PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMAHAMI UNSUR

advertisement
Dinamika
Vol. 3, No. 3, Januari 2013
ISSN 0854-2172
PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMAHAMI UNSUR-UNSUR CERITA PENDEK
MELALUI METODE JIGSAW
Ramelan
SD Negeri Kasimpar Kecamatan Petungkriyono Kabupaten Pekalongan
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan pemahaman siswa kelas V terhadap proses
pembelajaran Bahasa Indonesia tentang “Mengidentifikasi unsur cerita pendek dengan metode
Jigsaw. Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif,
dengan siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang secara heterogen dan bekerja
sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi
pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang
lain. Subjek penelitian adalah siswa kelas V SD Negeri Kasimpar Kecamatan Petungkriyono semester
1 tahun pelajaran 2010-2011. Jumlah siswa 18 anak, terdiri dari 10 laki-laki dan 8 perempuan
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui observasi, test dan dokumentasi.
Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK), pelaksanaan penelitian terdiri 2 siklus.
Dari hasil tes formatif pra siklus nilai rata-rata baru 56,11 dan tingkat ketuntasan 27,78 % dari 18
siswa yang memperoleh nilai di atas 65 ada 5 siswa, sedangkan siklus I pencapaian nilai siswa di
atas 65 mencapai 9 siswa (50 % ), rata- rata kelas mencapai 65,56. Pada akhir siklus II pencapaian
nilai siswa di atas 65 mencapai 15 siswa, nilai rata- rata kelas mencapai 76,11 dan ketuntasan
klasikal mencapai 83,33%. Dari hasil penelitian ini telah menunjukkan bahwa penerapan metode
Jigsaw dapat meningkatkan kemampuan memahami unsur-unsur cerita pendek, sehingga metode
ini dapat dijadikan alternatif pilihan metode pembelajaran di sekolah dasar.
© 2013 Dinamika
Kata Kunci: metode Jigsaw; pemahaman siswa; unsur-unsur cerita pendek
PENDAHULUAN
Prinsip-prinsip pendidikan harus menjadi pedoman yaitu siswa menjadi sentral dalam
pendidikan. Dalam proses kegiatan belajar mengajar guru memiliki peran yang sangat strategis
untuk menanamkan investasi berupa pengetahuan dan ketrampilan, sehubungan dengan itu
guru dituntut untuk mampu menciptakan kondisi yang mempermudah pemahaman siswa.
Namun proses belajar mengajar keberhasilannya tidak hanya tergantung pada guru,
tetapi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor tersebut antara lain kemampuan guru, siswa dan
lingkungan siswa. Dalam kegiatannya sebagai pendidik guru tidak lepas dari berbagai masalah
sesuai dengan kondisi masing-masing lokasi tempat kerjanya. Selain harus mampu menguasai
materi dan cara mengajarkannya, guru juga dituntut untuk mampu menilai kinerjanya sendiri
melalui refleksi diri dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
Keterampilan berbahasa yang diajarkan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia
terdiri dari empat aspek yaitu aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
Keempat aspek yang diajarkan tersebut berhubungan satu sama lain, jika seseorang mendengarkan
pasti ada orang yang berbicara, begitu pula orang yang membaca berarti ia menikmati dan
menghayati tulisan orang lain. Keempat keterampilan berbahasa sebagai alat untuk berkomunikasi
harus dikuasai oleh setiap orang. Proses komunikasi itu sendiri terdiri dari komunikasi lisan dan
komunikasi tulisan.
Berbicara merupakan proses komunikasi secara lisan, hal itu sejalan dengan pendapat
yang dikemukakan Nurhadi (2003: 54), bahwa “Berbicara adalah suatu penyampaian maksud
(ide, pikiran, isi hati) seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan, sehingga
maksud tersebut dapat dipahami orang lain.” Berbicara sebagai salah satu proses penyampaian
maksud kepada orang lain secara lisan, keberhpasilannya ditentukan oleh kemampuan pembicara.
Kemampuan tersebut salah satunya bisa berbentuk terhadap makna pesan yang hendak
disampaikan.
Seorang pembicara yang memiliki kemampuan menyampaikan pesan berupa ide, pikiran,
isi hati orang lain dengan baik maka isi pesan tersebut akan mudah dipahami oleh orang
yang menerima pesan tersebut. Oleh karena itu, untuk mencapai kemampuan tersebut maka
keterampilan berbicara perlu dilatihkan dan dipelajari baik melalui lingkungan keluarga, sekolah
maupun masyarakat. Proses pencapaian keterampilan berbicara siswa perlu mendapatkan
bimbingan dari guru melalui berbagai latihan pengembangan kemampuan kognitif, apektif,
dan psikomotor. (Djago Tarigan, 2002: 61-62) mengemukakkan bahwa: Keterampilan berbicara
harus dibina oleh guru melalui latihan: (1) pengucapan, (2) pelafalan, (3) pengontrolan suara,
(4) pengendalian diri, (5) pengontrolan gerak gerik tubuh, (6) pemilihan kata, kalimat dan
pelafalannya, (7) pemakaian bahasa yang baik, dan (8) pengorganisasian ide.
Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif,
dengan siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang secara heterogen dan
bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian
materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota
kelompok yang lain (Arends, 1997: 120).
Berdasarkan pengertian tersebut model pembelajaran jigsaw menekankan pada
diskusi kelompok dengan jumlah anggota relatif kecil dan bersifat heterogen. Hal utama yang
membedakan jigsaw dengan diskusi kelompok biasa adalah bahwa dalam model jigsaw masingmasing individu mempelajari bagian masing-masing dan kemudian bertukar pengetahuan
dengan temannya, sehingga akan terjadi ketergantungan positif antara siswa yang satu dengan
yang lainnya.
Jigsaw pada hakikatnya melibatkan tugas yang memungkinkan siswa saling membantu
dan mendukung satu sama lain dalam menyelesaikan tugas. Dalam model pembelajaran ini
siswa akan memiliki persepsi yang sama, mempunyai tanggung jawab individual dan kelompok
dalam mempelajari materi yang diberikan, saling membagi tugas dan tanggung jawab yang sama
besarnya dalam kelompok, serta dapat belajar kepemimpinan.
Berdasarkan pengalaman peneliti kemampuan bercerita siswa kelas V semester I SD Negeri
Kasimpar masih rendah. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pembelajaran bermain drama
di kelas V SD Negeri Kasimpar mengalami permasalahan yaitu siswa belum mampu bercerita
dengan lafal, intonasi, penghayatan, dan ekspresi yang sesuai karakter tokoh.
Dari faktor penyebab kesulitan siswa dalam bercerita di atas maka diperlukan suatu
tindakan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi selama berlangsungnya pembelajaran
bermain drama di kelas V SD Negeri Kasimpar. Upaya yang dilakukan peneliti adalah dengan
menerapkan model pembelajaran kooperatif teknik jigsaw. Sedangkan metode penelitian yang
digunakan adalah metode penelitian tindakan kelas (PTK). Melalui Penelitian Tindakan Kelas
peneliti melakukan penelitian di kelasnya sendiri yang dibantu oleh teman sejawat yang bertindak
sebagai observer. Penelitian diharapkan mampu untuk meningkatkan kinerja sebagai guru dan
meningkatkan hasil belajar siswa.
Peneliti melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas ini, karena setelah melaksanakan
pembelajaran mata pelajaran tersebut siswa belum mampu menjawab pertanyaan dari guru,
belum bisa menyelesaikan tugas dengan baik dan kurang memperhatikan keterangan dari guru,
sehingga hasil yang dicapai belum maksimal.
Masalah dalam penelitian ini adalah ; apakah metode jigsaw dapat meningkatkan
380
Dinamika
Vol. 3. No. 3. (2013)
pemahaman unsur-unsur cerita pendek pada siswa kelas V SD Negeri Kasimpar, apakah
metode jigsaw dapat meningkatkan minat belajar siswa, apakah melalui metode jigsaw
dapat meningkatkan penerapan siswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam
menyelesaikan permasalahan cerita pendek, apakah metode jigsaw dapat meningkatkan
kinerja guru dalam proses belajar mengajar?
Bercerita atau storytelling diidentikkan dengan mendongeng. Larkin (2001: 1)
menjelaskan bercerita merupakan sebuah seni berbicara yang menceritakan sebuah cerita atau
pengalaman kepada pendengar dan biasanya dilakukan secara tatap muka. Berbeda dengan
Larkin, National Storrytelling Association (dalam Dewi, 2006: 432) menjelaskan bahwa bercerita
sebagai keterampilan bahasa lisan dengan atau tanpa gerakan fisik dan gesture yang bertujuan
membangkitkan imajinasi sebuah cerita secara spesifik kepada pendengar. Jadi, dari kedua
pendapat tersebut, bercerita atau mendongeng dapat dikatakan sebuah seni sekaligus
kemampuan individu menceritakan kembali sebuah cerita ataupun pengalaman secara lisan
yang mampu membangkitkan daya imajinasi pendengarnya.
Menurut Alwasilah (2006: 2) menjelaskan bahwa keterampilan berkisah, khususnya
untuk siswa, sangat diperlukan untuk menumbuhkan imajinasi siswa. Ditambahkan oleh
Priyono (2001: 13) bahwa bercerita atau mendongeng tidak hanya merupakan kegiatan yang
bersifat menghibur belaka, tetapi juga bertujuan memperkenalkan lingkungan, budi pekerti,
dan mendorong anak untuk bersikap positif. Meskipun tampak sederhana, namun hal ini sangat
penting ditanamkan pada diri anak. Dalam program pengajaran sastra, guru dapat melatih siswa
bercerita mengenai kisah fiksi yang sudah dibaca di kelas atau bahkan melombakannya pada
tingkat kelas atau sekolah. Kemudian, untuk pembelajaran bahasa, siswa dapat menceritakan
ataupun melaporkan secara lisan hasil pengamatan maupun pengalaman dari berbagai sumber.
1. Bentuk-bentuk Pembelajaran Keterampilan Berbicara di SD
Pembelajaran keterampilan berbicara siswa di SD dijabarkan dalam bentuk standart
kompetensi dan kompetensi dasar yang tercantum dalam KTSP. Standart kompetensi tersebut
mencantumkan bentuk-bentuk atau macam keterampilan berbicara, yaitu: mengungkapkan
pikiran, perasaan dan informasi secara lisan dalam bentuk percakapan sederhana, bercerita,
bertelepon, berdiskusi, bermain drama sederhana, berbalas pantun, menyampaikan
tanggapan dan sasaran, berpidato, melaporkan secara lisan, dan membaca puisi. Kemudian
secara khusus lagi disebutkan bahwa untuk kelas V terdapat standart kompetensi yang harus
dikuasai siswa adalah mengungkapkan pikiran, pendapat, perasaan, fakta secara lisan dengan
menanggapi suatu persoalan, menceritakan hasil pengamatan.
2. Manfaat Pembelajaran Keterampilan Bercerita bagi Siswa SD
Bercerita merupakan salah satu cara untuk mengungkapkan keterampilan berbicara secara
pragmatis. Untuk itu ada dua hal yang harus dikuasai siswa, yaitu unsur linguistik (bagaimana
cara berbicara, bagaimana memilih bahasa) dan unsur apa yang diceritakan (Nurgiyantoro,
2001: 289). Surono (2002: 2) membagi dua unsur tersebut menjadi unsur linguistik dan
ekstralinguistik. Dalam hal unsur linguistik, kedua pendapat tersebut sejalan. Namun,
unsur kedua tidaklah demikian, Sarono memasukkan ketepatan, kelancaran, ekspresi,
dan kejelasan cerita sebagai unsur ekstralinguistik. Siswa akan dianggap mampu berbicara
dapat terindikasi dari ketepatan, kelancaran, dan kejelasan cerita (Nurgiyantoro, 2001:
289). Oleh karena itu, keterampilan berbicara pada siswa perlu ditingkatkan melalui pelatihan
bercerita secara teratur, sistematis, dan berkesinambungan.
Metode Kooperatif Tipe Jigsaw
1. Pengertian Metode Kooperatif Tipe Jigsaw
Jigsaw pada hakikatnya melibatkan tugas yang memungkinkan siswa saling membantu
dan mendukung satu sama lain dalam menyelesaikan tugas. Dalam model pembelajaran
ini siswa akan memiliki persepsi yang sama, mempunyai tanggung jawab individual dan
kelompok dalam mempelajari materi yang diberikan, saling membagi tugas dan tanggung
PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMAHAMI UNSUR-UNSUR CERITA PENDEK MELALUI METODE JIGSAW
Ramelan
381
jawab yang sama besarnya dalam kelompok, serta dapat belajar kepemimpinan.
2. Pembagian kelompok
Di dalam pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, kelas dibagi ke dalam beberapa
kelompok yang terdiri dari kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal adalah kelompok
induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan asal yang berbeda. Kelompok
ahli adalah kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang
ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas
yang berhubungan dengan topik untuk kemudian dijelaskan kepada kelompok asal. Arends
menggambarkan hubungan antara kelompok ahli dengan kelompok asal sebagai berikut:
KELOMPOK ASAL
A
B E
A
B E
A
B E
A
B E
C
D
C
D
C
D
C
D
A
A
B
B
C
C
D
D
E
E
A
A
B
B
C
C
D
D
E
E
KELOMPOK AHLI
Gambar 1. Pembagian kelompok Jigsaw
Berdasarkan bagan tersebut dapat dijelaskan bahwa anggota dari kelompok asal
yang berbeda bertemu dengan topik yang sama dalam kelompok ahli untuk berdiskusi dan
membahas materi yang ditugaskan pada masing-masing anggota kelompok serta membantu
satu sama lain untuk mempelajari topik tersebut. Setelah pembahasan selesai, para anggota
kelompok kemudian kembali pada kelompok asal dan mengajarkan pada teman sekelompoknya
apa yang telah mereka dapatkan pada saat di kelompok ahli.
Kerangka Berfikir
Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif, dengan siswa belajar dalam kelompok kecil
yang terdiri dari 4-6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang
positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari
dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain.
langkah-langkah dalam penerapan model pembelajaran Jigsaw:
1. membentuk kelompok jigsaw yang terdiri atas 5 atau 6 siswa. Anggota kelompok
hendaknya berbeda secara kelamin, budaya, ras, dan kemampuan;
2. menunjuk salah satu siswa sebagai ketua kelompok. Ketua kelompok hendaknya dipilih
yang paling dewasa diantara yang lain;
3. membagi materi menjadi 5 atau 6 bagian
4. meminta siswa untuk mempelajari satu bagian. Yakinkan bahwa siswa hanya mendapat
satu bagian dan mempelajari bagian mereka sendiri;
382
Dinamika
Vol. 3. No. 3. (2013)
5. memberi waktu pada siswa untuk membaca bagiannya agar mereka tahu apa yang harus
mereka lakukan. Dalam langkah ini siswa tidak perlu menghafal materinya;
6. membentuk kelompok sesaat (kelompok ini disebut kelompok ahli. Siswa yang memiliki
bagian yang sama membentuk satu kelompok dan mendiskusikan agar mereka benar-benar
paham);
7. mengembalikan siswa dalam kelompok asalnya (kelompok jigsaw) masing-masing;
8. memberi waktu kepada setiap siswa untuk menjelaskan apa yang mereka peroleh dalam
kelompok ahli dan siswa diberi kesempatan untuk bertanya dan meminta penjelasan;
9. guru dapat berkeliling dari kelompok satu ke kelompok untuk mengawasi prosesnya.
Guru dapat memberikan bantuan penjelasan atau mengintervensi secara tidak langsung;
10. pada akhir pelajaran siswa diminta untuk mengerjakan tes atau kuis agar mereka sadar
bahwa pelajaran berlangsung serius, bukan hanya bermain.
Hasil yang dicapai dalam pembelajaran model Jigsaw pada materi unsur-unsur cerita pendek
antara lain :
Metode Jigsaw dapat meningkatkan kemampuan memahami unsur-unsur cerita pendek.
Berdasarkan latar belakang dalam penelitian ini dapat dirumuskan hipotesis adalah ;
metode jigsaw dapat meningkatkan pemahaman unsur-unsur cerita pendek pada siswa kelas
V SD Negeri Kasimpar, metode jigsaw dapat meningkatkan minat belajar siswa, metode
jigsaw dapat meningkatkan penerapan siswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi
dalam menyelesaikan permasalahan cerita pendek, metode jigsaw dapat meningkatkan
kinerja guru dalam proses belajar mengajar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Siklus I
Berdasarkan data hasil observasi guru dan siswa pada siklus I dapat diketahui bahwa proses
pembelajaran yang terjadi di kelas V, dapat dinyatakan cukup. Sehingga proses pembelajaran
mengalami peningkatan yang cukup baik dibandingkan sebelum siklus. Karena guru sudah
menggunakan metode Jigsaw dan telah memenuhi beberapa kriteria yang ada pada lembar
observasi walaupun belum maksimal.
Tabel 1. Daftar Sebaran Nilai Tes Formatif Siklus I
Interval Nilai
Frekuensi
91 – 100
81 – 90
71 – 80
5
61 – 70
4
51 – 60
6
41 – 50
2
31 – 40
1
Jumlah
18
Keterangan.
Rerata
Nilai Tertinggi
Nilai Terendah
Kriteria Ketuntasan Minimal
Persentase ketuntasan
Frekuensi
Relatif (%)
27,78%
22,22%
33,33%
11,11%
5,56%
100,00%
Kualifikasi
-
Tuntas
Tuntas
Belum Tuntas
Belum Tuntas
: 65,56
: 80
: 40
: 65
: 50 %
PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMAHAMI UNSUR-UNSUR CERITA PENDEK MELALUI METODE JIGSAW
Ramelan
383
Selain data kuantitatif, juga di peroleh data kualitatif dari hasil pengamatan observer
tentang keikutsertaan siswa dalam proses pembelajaran dapat diketahui bahwa aktifitas siswa
dalam pelaksanaan pembelajaran masih tergolong cukup terbukti siswa yang memperoleh
skor baik ada 5 atau 27,78%, skor cukup ada 9 siswa atau 50% dan skor kurang ada 4 siswa atau
22,32 % dari 18 siswa, pengamatan yang dilakukan terhadap guru terdapat kinerja guru yang
masih kurang yaitu pada memberi petunjuk dan penjelasan dengan metode jigsaw hal ini terjadi
karena metode ini adalah baru sehingga masih perlu pendalaman lagi, metode yang digunakan
dalam proses belajar mengajar belum bervariasi, guru belum mampu mewujudkan ketertiban
siswa dalam kerja kelompok, anak cenderung bermain atau sekedar berbicara dalam kelompok
kurang mengena pada materi yang dibahas. Analisis terhadap hasil observasi dan data hasil tes
di atas menyimpulkan bahwa pembelajaran secara umum mengalami peningkatan walaupun
masih ada kelemahan. Hal ini memacu guru untuk merefleksi diri bersama teman sejawat untuk
berkolaborasi merencanakan tindakan pada siklus 2. Oleh karena itu kreatifitas guru, keaktifan
siswa perlu peningkatan dalam mencapai hasil belajar berikutnya. Pada tahap berikutnya inovasi
perlu dilakukan untuk meningkatkan aktivitas guru dan siswa yang masih kurang, kemudian
meningkatkan skor rata-rata hasil belajar siswa dengan cara menyempurnakan kekurangan pada
siklus 1.
Siklus II
Hasil observasi proses kegiatan belajar mengajar dengan penerapan media gambar kegiatan
guru dan kegiatan siswa diperoleh gambaran hasil perolehan nilai rata-rata siswa dalam proses
pembelajaran pada siklus 2 menjadi 76,11 dan tingkat ketuntasan mencapai 83,33%. Kenaikan
aktifitas siswa ini tidak terlepas dari usaha guru meningkatkan aktifitas dan kreatifitasnya dalam
pembelajaran. Dalam melaksanakan tugasnya siswa lebih aktif dengan banyaknya siswa yang
menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan tugasnya, sehingga
Interval Nilai
Frekuensi
91 – 100
81 – 90
5
71 – 80
4
61 – 70
6
51 – 60
3
41 – 50
31 – 40
Jumlah
18
Rerata
Nilai Tertinggi
Nilai Terendah
Kriteria Ketuntasan Minimal
Persentase ketuntasan
Frekuensi
Relatif (%)
27,78 %
22,22 %
33,33 %
16,67 %
100,00%
: 76,11
: 90
: 60
: 65
: 83,33 %
Kualifikasi
-
Tuntas
Tuntas
Tuntas
Belum Tuntas
Belum Tuntas
Pada siklus kedua, peneliti mencoba dengan menambah metode jigsaw. Ternyata, sebagian
siswa aktif, siswa lebih tertarik dalam proses pembelajaran ini, hasil belajar pun meningkat. Dari
9 siswa yang tuntas pada siklus pertama, menjadi 15 siswa yang tuntas pada siklus kedua, atau
mencapai 83,33 %.
Dari temuan hasil refleksi, semua langkah perbaikan pembelajaran yang telah dilaksanakan
pada pembelajaran Bahasa Indonesia tentang kemampuan memahami unsur-unsur cerita
pendek, pada siklus kedua dengan menggunakan metode jigsaw, diskusi, latihan terbimbing dan
pemberian motivasi kepada siswa dengan penguatan verbal maupun nonverbal serta penggunaan
384
Dinamika
Vol. 3. No. 3. (2013)
media pembelajaran yang sesuai ternyata mampu meningkatkan hasil belajar siswa, dilihat dari
perolehan nilai siswa berikut ini :
Tabel 3. Daftar Sebaran Nilai Tes Formatif Pra Siklus, Siklus I dan Siklus II
Pra Siklus
Siklus I
Siklus II
Interval Nilai
F
%
F
%
F
%
91 – 100
81 – 90
5
27,78
71 – 80
5
27,78
4
22,22
61 – 70
5
27,78
4
22,22
6
33,33
51 – 60
5
27,78
6
33,33
3
16,67
41 – 50
5
27,78
2
11,11
31 – 40
2
11,11
1
5,56
21 - 30
1
5,56
Jumlah
18
100,00
18
100,00
18
100,00
Rerata
76,11
65,56
76,11
Nilai Tertinggi
90
80
90
Nilai Terendah
60
40
60
KKM
65
65
65
Ketuntasan
83,33
50
83,33
Kita lihat bahwa persentase daya serap siswa sebelum dan sesudah perbaikan mengalami
kenaikan dari sebelum perbaikan hanya 56% dan pada siklus pertama naik menjadi 66%
dilanjutkan pada siklus kedua mencapai 76%. Untuk lebih jelasnya lihat grafik berikut ini :
Gambar 1. Daya serap belajar siswa, sebelum dan sesudah perbaikan pada siklus pertama dan
kedua
Pada siklus pertama, tanpa menggunakan metode jigsaw, siswa masih banyak yang kurang
memperhatikan dan merespon keterangan guru. Hasilnya, dari 18 anak, 9 anak yang sudah tuntas
atau mencapai 50 %. Pada siklus kedua, peneliti mencoba dengan menambah metode jigsaw.
Ternyata, sebagian siswa aktif, siswa lebih tertarik dalam proses pembelajaran ini, hasil belajar
PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMAHAMI UNSUR-UNSUR CERITA PENDEK MELALUI METODE JIGSAW
Ramelan
385
pun meningkat. Dari 9 siswa yang tuntas pada siklus pertama, menjadi 15 siswa yang tuntas pada
siklus kedua, atau mencapai 83,33 %.
Kegiatan perbaikan pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas V tentang kemampuan
memahami unsur-unsur cerita pendek dan dianalisis dari perolehan nilai sebelum dan sesudah
perbaikan dari siklus pertama dan kedua.
1. Sebelum perbaikan, siswa yang mendapat nilai dibawah 65 ada 13 dari 18 siswa.
2. Pada perbaikan siklus pertama, siswa yang mendapat nilai dibawah 65 ada 9 dari 18 siswa.
3. Pada perbaikan siklus kedua, siswa yang mendapat nilai dibawah 65 ada 3 dari 18 siswa.
Dari perolehan nilai pada sebelum, siklus pertama dan kedua dapat dilihat jumlah siswa
yang tuntas dan yang tidak tuntas dari tabel berikut ini :
No
1.
2.
3.
Uraian
Sebelum perbaikan
Siklus pertama
Siklus kedua
Siswa Yang
Sudah Tuntas
Siswa Yang
belum Tuntas
5 ( 27,78 % )
9 ( 50,00 % )
15 ( 83,33 % )
13 ( 72,22 % )
9 ( 50,00 % )
3 ( 16,37 % )
Siswa yang sudah tuntas sebelum perbaikan sejumlah 5 anak, pada siklus pertama
bertambah menjadi 9 anak, dan pada siklus kedua bertambah lagi 15 anak. Sedangkan yang
belum tuntas sebelum perbaikan 13 anak, pada siklus pertama berkurang menjadi 9 anak dan
pada siklus kedua hanya 3 anak.
Dari tabel di atas dapat dibuat grafik ketuntasan belajar siswa sebagai berikut :
15
9
10
5
0
15
13
9
5
Pra Siklus
3
Siklus I
Tuntas
Siklus II
Belum Tuntas
Gambar 2. Grafik Ketuntasan belajar siswa, sebelum dan sesudah perbaikan pada siklus pertama
dan kedua
Tampak jelas dari grafik bahwa jumlah siswa yang tuntas dalam perbaikan pembelajaran
mengalami kenaikan sedangkan jumlah siswa yang tidak tuntas mengalami penurunan, hal
ini membuktikan bahwa setelah diadakan perbaikan pembelajaran ketuntasan belajar siswa
mencapai target yang diharapkan.
Data–data yang telah peneliti peroleh dari pelaksanaan perbaikan pembelajaran pada
sebelum perbaikan, pelaksanaan perbaikan siklus pertama dan pelaksanaan perbaikan pada siklus
kedua, bahwa hasil belajar siswa dan keikutsertaan siswa pada proses pembelajaran menunjukkan
peningkatan yang signifikan. Hasil belajar menunjukkan ketuntasan adalah sebelum perbaikan
ada 5 siswa ( 27,78 % ), siklus I ada 9 siswa (50%), dan 15 siswa (83,33). Sedangkan presentase
keikutsertaan siswa pada siklus I 33,33 % dan siklus II 77,78%
Penggunaan metode jigsaw, dan pemberian motivasi kepada siswa dengan penguatan verbal
maupun nonverbal, ternyata mampu menarik dan siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran
386
Dinamika
Vol. 3. No. 3. (2013)
sehingga mampu meningkatkan hasil belajar siswa pada pembelajaran Bahasa Indonesia tentang
kemampuan memahami unsur-unsur cerita pendek.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan pada siswa kelas V SDN
Kasimpar dengan penerapan metode kooperatif tipe jigsaw dalam menulis cerita pendek,
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Hasil tes siswa yang dilakukan oleh guru mengalami peningkatan setiap siklusnya. Jumlah
siswa yang dinyatakan tuntas meningkat dengan standar ketuntasan yang telah ditentukan.
Pada pra siklus terdapat 5 siswa atau 62,50%, pada siklus I guru dan peneliti sepakat memberi
batas ketuntasan 65, sesuai dengan standar ketuntasan belajar yang ditentukan pihak sekolah.
Dari batasan tersebut didapatkan hasil bahwa 9 atau 50% siswa dinyatakan tuntas. Pada
siklus II terdapat 15 siswa atau 83,33% siswa dinyatakan tuntas. Penelitian hanya dilakukan
dua siklus karena secara klasikal siswa yang telah tuntas sudah melebihi 75% sesuai dengan
aturan dalam kurikulum.
2. Adanya peningkatan perhatian, kerja sama, inisiatif, dan sistematisasi kerja siswa selama
pembelajaran. Pada indikator ini masuk dalam penilaan proses belajar, terjadi peningkatan
nilai perhatian dan konsentrasi siswa pada tiap tindakan. Pada siklus I, nilai rata-rata siswa
dari aspek perhatian, kerja sama, inisiatif, dan sistematisasi kerja sebesar 50% yang masuk
dalam kategori cukup, kemudian menjadi 83,33% masuk pada kategori baik pada siklus II.
3. Ada peningkatan kualitas hasil pembelajaran keterampilan bercerita pada siswa kelas V SDN
Kasimpar.
Dengan memperhatikan kesimpulan di atas, Peneliti memberikan saran kepada guru dalam
melaksanakan tugas untuk meningkatkan kualitas pembelajaran hendaknya memperhatikan halhal di bawah ini :
1. Dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa, penggunaan metode Jigsaw siswa perlu
diupayakan untuk sering dilaksanakan terbukti dapat meningkatkan hasil belajar, namun
demikian harus disesuaikan dengan materi pembelajaran yang akan disampaikan.
2. Memberikan motivasi pada siswa agar siswa mempunyai keberanian dalam menjawab
pertanyaan.
3. Menguasai materi / bahan ajar, agar dalam mengajar lebih percaya diri.
4. Melakukan refleksi terhadap setiap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan untuk
diadakan tindak lanjut.
Di samping itu, karena terbukti Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dapat meningkatkan
prestasi belajar siswa, peneliti menyarankan rekan-rekan guru mempelajari dan menerapkan
PTK di kelasnya masing-masing. Pemahaman PTK ini dapat ditempuh melelui pertemuan KKG
(Kelompok Kerja Guru).
DAFTAR PUSTAKA
Arief.S. Sadiman. 2009. Media Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Djago Tarigan. 1993. Materi Pokok Pendidikan Bahasa Indonesia I Buku II.4 Modul 1-6. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Haryadi dan Zamzani. 1997. Peningkatan Keterampilan Berbahasa Indonesia. Yogyakarta. Departeman
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Bagian Proyek Pengembangan
Guru Sekolah Dasar
Karli, H-Margaretha. 2004. Model-model Pembelajaran. Bandung: CV Bina Media Informasi
PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMAHAMI UNSUR-UNSUR CERITA PENDEK MELALUI METODE JIGSAW
Ramelan
387
Download