perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 35 BAB III

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.
Hukum yang Berlaku dalam Pembagian Harta Bersama Akibat
Perceraian dari Perkawinan Campuran
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
tidak ditentukan secara jelas terkait hukum kebendaan yang dapat digunakan
dasar dalam proses pembagian harta bersama. Namun dalam ketentuan Pasal
37, dijelaskan bahwa pembagian harta bersama berdasarkan hukum masingmasing, dalam hal ini apabila gugatan terkait harta bersama diajukan ke
Pengadilan Negeri, maka ketentuan yang mungkin dapat dipakai sebagai
dasar pembagian harta bersama adalah ketentuan yang terdapat dalam
KUHPerdata.
Berdasarkan Pasal 504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, benda
dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak.
Mengenai benda tidak bergerak, diatur dalam Pasal 506 – Pasal 508
KUHPerdata. Sedangkan untuk benda bergerak, diatur dalam Pasal 509 –
Pasal 518 KUHPerdata.
Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok
Hukum Perdata (1970:61-62), suatu benda dapat tergolong dalam golongan
benda yang tidak bergerak (onroerend) pertama karena sifatnya, kedua karena
tujuan pemakaiannya, dan ketiga karena memang demikian ditentukan oleh
undang-undang.
Lebih lanjut, Subekti menjelaskan bahwa adapun benda yang tidak
bergerak karena sifatnya ialah tanah, termasuk segala sesuatu yang secara
langsung atau tidak langsung, karena perbuatan alam atau perbuatan manusia,
digabungkan secara erat menjadi satu dengan tanah itu. Jadi, misalnya
sebidang pekarangan, beserta dengan apa yang terdapat di dalam tanah itu
dan segala apa yang dibangun di situ secara tetap (rumah) dan yang ditanam
di situ (pohon), terhitung buah-buahan di pohon yang belum diambil. Tidak
bergerak karena tujuan pemakaiannya,
commit to ialah
user segala apa yang meskipun tidak
35
36
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
secara sungguh-sungguh digabungkan dengan tanah atau bangunan,
dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan itu untuk waktu yang
agak lama, yaitu misalnya mesin-mesin dalam suatu pabrik. Selanjutnya,
ialah tidak bergerak karena memang demikian ditentukan oleh undangundang, segala hak atau penagihan yang mengenai suatu benda yang tidak
bergerak.
Pada sisi lain masih menurut Subekti, suatu benda dihitung termasuk
golongan benda yang bergerak karena sifatnya atau karena ditentukan oleh
undang-undang. Suatu benda yang bergerak karena sifatnya ialah benda yang
tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau
bangunan, jadi misalnya barang perabot rumah tangga. Tergolong benda yang
bergerak karena penetapan undang-undang ialah misalnya vruchtgebruik dari
suatu benda yang bergerak, lijfrenten, surat-surat sero dari suatu perseroan
perdagangan, surat-surat obligasi negara, dan sebagainya. Untuk kebendaan
tidak bergerak dapat dibagi dalam tiga golongan (Frieda Husni Hasbullah,
2005:43-44) :
a. Benda tidak bergerak karena sifatnya (Pasal 506 KUHPerdata) misalnya
tanah dan segala sesuatu yang melekat atau didirikan di atasnya, atau
pohon-pohon dan tanaman-tanaman yang akarnya menancap dalam tanah
atau buah-buahan di pohon yang belum dipetik, demikian juga barangbarang tambang.
b. Benda tidak bergerak karena peruntukannya atau tujuan pemakaiannya
(Pasal 507 KUHPerdata) misalnya pabrik dan barang-barang yang
dihasilkannya,
penggilingan-penggilingan,
dan
sebagainya.
Juga
perumahan beserta benda-benda yang dilekatkan pada papan atau dinding
seperti cermin, lukisan, perhiasan, dan lain-lain; kemudian yang berkaitan
dengan kepemilikan tanah seperti rabuk, madu di pohon dan ikan dalam
kolam, dan sebagainya; serta bahan bangunan yang berasal dari reruntuhan
gedung yang akan dipakai lagi untuk membangun gedung tersebut, dan
lain-lain.
c. Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang misalnya, hak
pakai hasil, dan hak pakaicommit
atas kebendaan
to user tidak bergerak, hak pengabdian
37
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tanah, hak numpang karang, hak usaha, dan lain-lain (Pasal 508
KUHPerdata). Di samping itu, menurut ketentuan Pasal 314 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang, kapal-kapal berukuran berat kotor 20
m3 ke atas dapat dibukukan dalam suatu register kapal sehingga termasuk
kategori benda-benda tidak bergerak.
Sedangkan untuk kebendaan bergerak dapat dibagi dalam dua
golongan:
a. Benda bergerak karena sifatnya yaitu benda-benda yang dapat berpindah
atau dapat dipindahkan misalnya ayam, kambing, buku, pensil, meja,
kursi, dan lain-lain (Pasal 509 KUHPerdata). Termasuk juga sebagai benda
bergerak ialah kapal-kapal, perahu-perahu, gilingan-gilingan dan tempattempat pemandian yang dipasang di perahu dan sebagainya (Pasal 510
KUHPerdata).
b. Benda bergerak karena ketentuan undang-undang (Pasal 511 KUHPerdata)
misalnya:
1) Hak pakai hasil dan hak pakai atas benda-benda bergerak;
2) Hak atas bunga-bunga yang diperjanjikan;
3) Penagihan-penagihan atau piutang-piutang;
4) Saham-saham atau andil-andil dalam persekutuan dagang, dan lain-lain.
Manfaat pembedaan benda bergerak dan benda bergerak akan terlihat
dalam hal cara penyerahan benda tersebut, cara meletakkan jaminan di atas
benda tersebut, dan beberapa hal lainnya. Pentingnya pembedaan tersebut
berkaitan dengan empat hal yaitu penguasaan, penyerahan, daluwarsa, dan
pembebanan. Keempat hal yang dimaksud adalah sebagai berikut (Frieda
Husni Hasbullah, 2005:45-48):
a. Kedudukan berkuasa (bezit)
Bezit atas benda bergerak berlaku sebagai titel yang sempurna (Pasal
1977 KUHPerdata). Tidak demikian halnya bagi mereka yang menguasai
benda tidak bergerak, karena seseorang yang menguasai benda tidak
bergerak belum tentu adalah pemilik benda tersebut.
commit to user
38
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Penyerahan (levering)
Menurut Pasal 612 KUHPerdata, penyerahan benda bergerak dapat
dilakukan dengan penyerahan nyata (feitelijke levering). Dengan
sendirinya penyerahan nyata tersebut adalah sekaligus penyerahan yuridis
(juridische levering). Sedangkan menurut Pasal 616 KUHPerdata,
penyerahan benda tidak bergerak dilakukan melalui pengumuman akta
yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam Pasal 620
KUHPerdata antara lain membukukannya dalam register.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), maka pendaftaran hak
atas tanah dan peralihan haknya menurut ketentuan Pasal 19 UUPA dan
peraturan pelaksananya.
c. Pembebanan (bezwaring)
Pembebanan terhadap benda bergerak berdasarkan Pasal 1150
KUHPer harus dilakukan dengan gadai, sedangkan pembebanan terhadap
benda tidak bergerak menurut Pasal 1162 KUHPerdata harus dilakukan
dengan hipotik.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah, maka atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah hanya dapat dibebankan dengan Hak Tanggungan.
Sedangkan untuk benda-benda bergerak juga dapat dijaminkan dengan
lembaga fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia.
d. Daluwarsa (verjaring)
Terhadap benda bergerak, tidak dikenal daluwarsa sebab menurut
Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata, bezit atas benda bergerak adalah sama
dengan eigendom; karena itu sejak seseorang menguasai suatu benda
bergerak, pada saat itu atau detik itu juga ia dianggap sebagai pemiliknya.
Terhadap benda tidak bergerak dikenal daluwarsa karena menurut Pasal
610 KUHPerdata, hak milik atas sesuatu kebendaan diperoleh karena
daluwarsa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
39
digilib.uns.ac.id
Kesulitan akan selalu muncul apabila pembahasan tentang benda dan
hak-hak kebendaan dalam HPI dimulai dari dikotomi antara benda tetap,
benda bergerak, dan benda-benda tidak berwujud karena berbagai sistem
hukum menetapkan kriteria serta klasifikasi tentang benda yang berbedabeda. Karena itu, pertanyaan yang menjadi penting dalam HPI adalah
berdasarkan hukum mana klasifikasi jenis benda itu harus dilakukan.
Dalam kaitan ini, teori HPI mengenal dua asas utama yang menetapkan
bahwa klasifikasi semacam itu harus dilakukan berdasarkan :
a. Hukum dari tempat gugatan atas benda diajukan (lex fori).
b. Hukum dari tempat benda berada (lex situs).
Status benda-benda bergerak
Beberapa asas HPI yang menyangkut penentuan status benda-benda
bergerak, antara lain, menetapkan bahwa status benda-benda bergerak
didtetapkan berdasarkan :
1) Hukum dari tempat pemegang hak atas benda tersebut (bezitter atau
eigenaar) berkewarganegaraan (asas nasionalitas).
2) Hukum dari tempat pemegang hak atas benda tersebut berdomsili (asas
domicile).
3) Hukum dari tempat benda terletak (lex situs).
Pada poin ke 2 dan ke 3 dilandasi oleh asas hukum lain, yaitu asas mobilia
sequntuur personam (status benda bergerak mengikuti orangnya).
Status benda tetap
Asas umum yang diterima dalam HPI menetapkan bahwa status bendabenda tetap ditetapakan berdasarkan lex rei sitae atau lex situs atau hukum
dari tempat benda berada atau terletak. Asas ini juga dianut di Indonesia
seperti yang dimuat dalam pasal 17 AB.
Status benda tidak berwujud
Benda-benda yang dikategorikan ke dalam benda tidak berwujud biasanya
meliputi utang piutang, hak milik perindustrian, atau hak-hak milik
intelektual. Asas-asas HPI yang relevan dengan usaha penetuan status
benda-benda tidak berwujud, menetapkan bahwa yang harus diberlakukan
sistem hukum dari tempat commit
:
to user
perpustakaan.uns.ac.id
40
digilib.uns.ac.id
a. Kreditur atau pemegang hak atas benda itu berkewarganegaraan atau
berdomisili (lex patriae atau lex domicili).
b. Gugatan atas benda-benda itu diajukan (lex fori).
c. Yang sistem hukumnya dipilih para pihak dalam perjanjian yang
menyangkut benda-benda itu (choice of law).
d. Yang memiliki kaitan yang paling nyata dan substansial terhadap
transaksi yang menyangkut benda tersebut (the most subtantial
connection).
e. Pihak yang prestasinya dalam perjanjian tentang benda yang
bersangkutan tampak paling khas dan karakteristik (the most
charateristic connection).
Dalam hal ini ada perbedaan paham mengenai sifat hukum
sebenarnya dari harta benda perkawinan internasional dan hukum mana
yang harus digunakan apabila para pihak tidak membuat syarat-syarat
perkawinan, maka ada tiga aliran yang perlu dipahami yakni:
a. Pendirian yang memandang hukum harta benda perkawinan seperti
benda tidak bergerak, karena itu termasuk dengan apa yang dinamakan
status reel. Dalam pandangan ini dibedakan antara benda-benda yang
tidak bergerak dan benda-benda bergerak. Untuk benda tidak bergerak
dipakai Lex Rei Sitae yakni hukum dari tempat letaknya benda tidak
bergerak yang dipergunakan, sedangkan benda-benda bergerak ditaruh
dibawah hukum tempat tinggal para mempelai.
b. Pendirian bahwa hukum harta benda perkawinan termasuk bidang
status personal. Dengan demikian dianut sistem kesatuan daripada
hukum yang mengatur harta benda perkawinan tanpa membedakan
antara benda-benda yang bergerak dan tidak bergerak.
c. Pendirian bahwa hukum harta benda merupakan suatu kontrak diantara
para mempelai, maka kehendak para pihaklah yang menentukkan
hukum yang harus dipergunakan (Lili Rasjidi, 1982:67-68).
Dalam Jurisprudensi Indonesia memandang bahwa hukum harta
benda termasuk bidang status personal dan pada saat sekarang banyak
negara-negara menerima bahwa
commithukum
to userharta benda perkawinan termasuk
41
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bidang status personal. Namun bila menunjuk pada Konvensi HPI Den
Haag mengenai Hukum Harta Benda Perkawinan yang ditanda tangani
pada tanggal 23 Oktober 1976 (Convention in the law applicable to
matrimonial property regimes), ditentukan bahwa pertama-tama kepada
suami-isteri diberi kebebasan untuk menentukan sendiri hukum yang akan
berlaku bagi harta benda perkawinan mereka. Jika mereka tidak
menggunakan kesempatan ini, akan berlakulah hukum intern dari Negara
tempat kedua suami isteri menetapkan kediaman sehari-harinya yang
pertama setelah perkawinan. Pasal 4 ayat (1) berbunyi : “if the spouses,
before marriage, have not designated the the applicable law their
matrimonial property regime is governed by the internal law of the state in
which both sponses establish they first habitual residence after marriage”
(Bakri.A Rahman dan Ahmad Sukardja, 1981:85-89).
Tidak jarang terjadi persoalan mengenai harta bersama di
Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Hampir semua Pengadilan
Negeri atau Pengadilan Agama di Indonesia pernah menyelesaikan
sengketa harta bersama. Banyak terjadi di negara ini perkawinan campuran
sejak jaman dahulu kala hingga sekarang, apalagi di era globalisasi ini,
menurut pengamatan penulis, para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan
Tenaga Kerja Wanita (TKW) bahkan juga para selebriti Indonesia yang
melaksanakan perkawinan campuran berakhir juga pada perceraian.
Tentunya dari perkawinan mereka selama bertahun-tahun lamanya
menghasilkan suatu harta yang berupa harta bersama. Harta bersama itu
sebagian dapat berada di Indonesia dapat juga sebagian berada di Luar
Negeri. Hal ini tidak jarang menjadi kasus dan persoalan hukum, oleh
karena itu tidak aparat peradilan mengerti hal ini tetapi juga para pelaku
perkawinan
campuran.
Hal
sebagaimana
perlu
diketahui
untuk
mempersiapkan diri apabila hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada
suami istri yang melakukan perkawinan campur.
Permasalah timbul apabila harta bersama tersebut berada di Luar
Negeri. Seperti kita ketahui bahwa terhadap benda tidak bergerak berlaku
asas Lex Rei Sitae yaitu hukum
yang
berlaku atas suatu benda berdasarkan
commit
to user
42
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tempat dimana benda tersebut berada. Jika putusan pembagian harta
bersama diputuskan di Indonesia, hanya berlaku untuk harta bersama yang
berada di Indonesia. Apabila objek (harta bersama) eksekusi berada di
Luar Negeri dan hal tersebut diputus oleh pengadilan di Indonesia, maka
putusan tersebut tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk mengeksekusi
harta bersama tersebut, karena jangkauan hukum Indonesia hanya berlaku
dalam wilayah Indonesia saja. Oleh karena itu, perkawinan campuran yang
sudah dinyatakan sah bercerai di Indonesia dan putusan pembagian harta
bersama yang terletak di Indonesia sudah berkekuatan hukum tetap, maka
atas harta yang terletak di Luar Negeri, Pemohon (suami atau istri) dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan di Luar Negeri untuk melakukan
pembagian harta bersama yang terletak di negara yang bersangkutan.
Berbicara
mengenai
yurisdiksi
ekstrateritorial,
atas
dasar
kedaulatannya setiap Negara berwenang sepenuhnya untuk mengklaim
yurisdiksi atas subjek hukum, namun secara international diterima prinsip
bahwa kewenangan semacam itu perlu dibatasi dan Negara-negara harus
membatasi diri dalam mengklaim kewenangannya (self-restraint). Artinya
setidaknya harus ada dasar yang kongkret bagi pengadilan sustu Negara
untuk mengklaim yuridiksi ekstrateritorialnya. Dasar yang konkret itu
umumnya ditentukan oleh ada-tidaknya suatu pertautan atau kontrak
(connection) tertentu antara Negara dan badan peradilannya disatu pihak,
dengan gugatan atau pihak-pihak dalam perkara dilain pihak.
Penentuan dasar yurisdiksi pengadilan, dalam praktek litigasi
international umumnya dibedakan kedalam :
a) yurisdiksi in personam;
yurisdiksi atas orang, umumnya dianggap sebagai yurisdiksi tidak
terbatas (unlimited jurisdiction), artinya pengadilan memiliki yurisdiksi
/ kewenangan untuk memutus perkara yang menyangkut tergugat untuk
jumlah yang tidak terbatas dan menyangkut seluruh asetnya. Yurisdiksi
ini timbul disebabkan oleh :
1) Kehadiran (presence). Kehadiran seseorang di wilayah suatu negara
forum dianggap sebagai
commit dasar
to useryang cukup bagi forum untuk
perpustakaan.uns.ac.id
43
digilib.uns.ac.id
mengklian yurisdiksinya atas orang itu, namun kehadiran seseorang
di sebuah Negara sekedar transit belum dianggap cukup untuk
mengklaim yuridiksi;
2) Tempat kediaman tetap (domicilie) disuatu Negara, dianggap sebagai
dasar mengklaim yurisdiksi;
3) Penundukan sukarela (consent). Penundukan sukarela seseorang
ditunjukkan dengan seseorang mengajukan gugatan atau menjawab
gugatan terhadap dirinya diforum suatu Negara. Yurisdiksi ini
dikatagorikan sebagai yurisdiksi khusus (specific jurisdiction);
4) Pertautan Minimum (Minimum Contacts). Adanya minimum
contacts antara seorang dan Negara forum.
b) yurisdiksi in rem
Yuridiksi atas benda (thing/res) yang berada di wilayah Negara forum,
yang secara langsung atau tidak berkaitan dengan perkara yang sedang
dihadapi. Pengadilan yang memiliki yurisdiksi in rem memiliki
kewenangan untuk mengadili sengketa-sengketa yang berkenaan
dengan title atas benda-benda tertentu yang berada di wilayah forum.
c) yurisdiksi quasi in rem
Yurisdiksi quasi in rem dikenal dalam system hukum acara Amerika,
untuk perkara-perkara yang tidak langsung menyelesaikan gugatan atas
kepemilikan tergugat atas suatu kebendaan yang berkaitan dengan
perkara, tetapi hanya karena penggugat menuntut agar kekayaan
tertentu milik tergugat yang ada di wilayah forum dilekatkan pada
perkara, walaupun tidak ada kaitan langsung antara kekayaan dengan
pokok perkara.
2.
Akibat Hukum Perceraian dari Perkawinan Campuran Terhadap Harta
Bersama
a. Kedudukan Perkawinan Campuran
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
mengatur perkawinan campuran secara tersendiri. Terinci sampai
pelaksanaan dan pecatatan
serta toakibat
commit
user hukumnya. Ketentuan tersebut
44
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dilengkapi dengan peraturan lama yang masih berlaku sebagaimana
ditentukan oleh Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Dengan adanya ketentuan Undang-Undang Perkawinan dan
peraturan
pelaksanaannya,
maka
ketentuan
peraturan
perkawinan
campuran lama (GHR) dinyatakan tidak berlaku sejauh Undang-Undang
Perkawinan atau peraturan pelaksanaannya telah mengatur (Ichtijanto,
2003:69).
Sebelum
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
1974
tentang
Perkawinan berlaku, kasus perkawinan campuran pernah terjadi. Salah
satu contoh adalah perkawinan antara Putu Mahardika Utama dengan
Enjelijk van de Groott. Putu Mahardika Utama menikah dengan Enjelijk
van de Groott, seorang perempuan berkewarganegaraan Belanda pada
tahun 1948 di Denpasar, Indonesia. Dari perkawinan tersebut dilahirkan
dua orang putra, yang keduanya lahir di Amerika pada tahun 1949 dan
tahun 1953, sehingga berkewarganegaraan Amerika Serikat. Pada Tahun
1972
diketahui
bahwa
kedua
putra
Putu
Mahardika
Utama
berkewarganegaraan Indonesia (http://www.academia.edu).
Untuk menyelesaikan persoalan tersebut memakai ketentuan yang
mengatur perkawinan antara lain diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74),
Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S.
1898 No. 158) (Pasal 66 UUP). Untuk pencatatan perkawinannya
dilakukan di Pegawai Catatan Sipil (Pasal 4 KUHPerdata).
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan pada hakikatnya telah terjadi unifikasi dalam bidang hukum
perkawinan,
walaupun
Undang-Undang
tidak
menutup
terjadinya
perkawinan campuran di kalangan penduduk Indonesia. Sementara itu di
dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menegaskan bahwa untuk perkawinan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini
ketentuan yang diatur dalam
commitKitab
to userUndang-undang Hukum Perdata
45
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(KUHPerdata), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen, serta Peraturan
Perkawinan Campuran dan peraturan-peraturan lain yang mengatur
tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini,
dinyatakan tidak berlaku. Walaupun demikian, Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan ini idak menutup kemungkinan bagi
mereka yang ingin melakukan perkawinan campuran. Di dalam UndangUndang Perkawinan ini, perkawinan campuran diatur dalam Pasal
54sampai dengan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Pengertian perkawinan campuran dirumuskan di dalam Pasal
57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyatakan:
“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam
Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan
kewarganegaraan
dan
salah
satu
pihak
berkewarganegaraan Indonesia.”
Dari definisi Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan ini dapat
diuraikan unsur-unsur perkawinan campuran sebagai berikut:
a. perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita;
b. di Indonesia tunduk pada aturan yang berbeda;
c. karena perbedaan kewarganegaraan;
d. salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Unsur pertama jelas menunjuk kepada asas monogami dalam
perkawinan. Unsur kedua menunjukkan kepada perbedaan hukum yang
berlaku bagi pria dan wanita yang kawin itu. Tetapi perbedaan itu bukan
karena perbedaan agama, suku bangsa, golongan di Indonesia melainkan
karena unsur ketiga karena perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan
kewarganegaraan ini bukan kewarganegaraan asing semuanya, melainkan
unsur
keempat
bahwa
salah
satu
kewarganegaraan
itu
ialah
kewarganegaraan Indonesia. Tegasnya perkawinan campuran menurut UU
ini adalah perkawinan antar warganegara Indonesia dan warganegara
asing. Karena berlainan kewarganegaraan tentu saja hukum yang berlaku
bagi mereka juga berlainan.
commit to user
46
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pengertian istilah “Perkawinan Campuran” menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah lebih sempit jika
dibandingkan dengan isi pengertian perkawinan campuran menurut GHR,
karena kriteria “Perkawinan Campuran” menururt Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya didasarkan atas adanya hukum
yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan semata-mata. Untuk itu
dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan
campuran disaini hanyalah perkawinan campuran yang dilangsungkan
antara WNI dengan WNA (Usman, 2006:297).
Pengertian perkawinan campuran dalam Pasal 57 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengandung unsur asing karena
akan melibatkan hukum yang berbeda, yaitu hukum dari masing-masing
pihak. Salah satu berkewarganegaraan Indonesia dan pihak yang lain
berkewarganegaraan asing. Sehingga karena terdapat unsur asing maka
untuk melakukan perkawinan campuran ini membutuhkan pedoman dari
Hukum Perdata Internasional.
Didalam HPI pengertian perkawinan campuran itu sendiri adalah
perkawinan yang berlangsung antara pihak-pihak yang berbeda domisili
atau berbeda kewarganegaraan. Pengertian ini apabila dihubungkan
dengan pengertian perkawinan dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki kesamaan, yaitu perkawinan
yang dilangsungkan antara para pihak yang berbeda kewarganegaraan,
namun dalam UUP ini salah satu pihak harus berkewarganegaraan
Indonesia dan dilangsungkan di Indonesia.
Berdasarkan Pasal 18 Algemene Bel Palingen Van Wet Geving
(AB) yang menyatakan bahwa segala bentuk peristiwa hukum yang
terdapat unsur asing didalamnya, dilaksanakan menurut hukum dari tempat
dilaksanakannya peristiwa hukum tersebut (locus regit actum). Sehingga
perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang dilaksanakan di Indonesia, dilakukan menurut
Hukum Indonesia.
commit to user
47
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Perihal syarat-syarat perkawinan yang menyangkut kedudukan dan
kekuasaan hukum, yaitu in casu untuk kawin, menurut Pasal 16 AB jo
Pasal 3 AB harus diberlakukan hukum nasional dari orang asing yang akan
melangsungkan perkawinan di Indonesia.
Pasal 16 AB mengatur mengenai status personil sesorang dan
wewenang, bahwa status dan wewenang seseorang harus dinilai menurut
hukum nasionalnya (lex patriae). Jadi seseorang dimanapun ia berada tetap
terikat kepada hukumnya yang menyangkut status dan wewenang
demikian pula orang asing, maksudnya status dan wewenang orang asing
itu harus dinilai hukum nasional orang asing tersebut.
Oleh karena itu berdasarkan kedua pasal tersebut, maka terkait
syarat-syarat hingga tata cara perkawinan campuran harus berdasarkan
aturan dalam Hukum Indonesia yaitu apa yang terdapat dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
1) Syarat Sahnya Perkawinan Campuran
Dalam melangsungkan sebuah perkawinan campuran ada syaratsyarat yang dipenuhi agar perkawina tersebut sah. Perkawinan dianggap
sah apabila diakui oleh negara. Namun dalam perkawina campuran, hal
tersebut mennjadi lebih kompleks, karena masing-masing pihak
memiliki syarat yang berbeda.
Persyaratan dan pelangsungan perkawinan yang dilangsungkan
di Indonesia harus dilakukan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Perkawinan campuran yang dilangsungkan
di Indonesia dapat dilaksanakan apabila syarat-syarat yang ditentukan
oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah
dipenuhi oleh masing-masing pihak yang ingin menikah, baik WNI
maupun WNA, syarat tersebut adalah :
a) Syarat Materiil, yaitu syarat mengenai diri pribadi calon mempelai.
Karena para pihak berbeda warga negara, maka secara materiil
para pihak tunduk pada hukum perkawinan masing-masing
negaranya, bagi pihak yang berkewarganegaraan Indonesia syarat
materiil berdasarkancommit
ketentuan
dalam Undang-Undang Nomor 1
to user
48
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Syarat bagi pihak WNI dalam
perkawina campuran adalah sama dengan mereka yang melakukan
perkawinan pada umumnya, yaitu :
(1) Ketentuan Pasal 6 ayat (1) mengenai keharusan adanya
persetujuan dari kedua mempelai;
(2) Ketentuan Pasal 6 ayat (2) mengenai ijin dari kedua orang tua
bagi mereka yang belum mencapai usia 21 tahun;
(3) Ketentuan Pasal 7 ayat (1) mengenai batasan usia, pria harus
mencapai usia 19 tahun dan wanita 16 tahun;
(4) Ketentuan Pasal 9 mengenai status kedua mempelai bahwa
masing-masing tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain
(kecuali dalam diijinkan oleh Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4;
(5) Ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan jo Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1974 mengenai waktu tunggu bagi seorang wanita yang
putus perkawinannya.
(6) Ketentuan Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 mengenai larangan
perkawinan.
Sementara itu bagi pihak yang berkewarganegaraan asing,
harus memenuhi syarat materiil yang ditentukan oleh hukum
perkawinan yang berlaku di negaranya. Perkawinan akan dapat
dilaksankan apabila pihak yang berkewarganegaraan asing telah
mempunyai bukti bahaw aia telah memenuhi syarat materiil
perkawinan menurut hukum yang berlaku baginya. Bukti ini berupa
surat keterangan berbentuk “Certificate of non Impediment to
Marriage” yang menerangkan bahwa yang bersangkutan tidak
mempunyai halangan untuk melangsungkan perkawinan menurut
hukum nasionalnya dari Pemerintah atau Kedutaan Besar negara asal
pasangan WNA (HukumOnline.com). Tidak dipenuhinya syaratsyarat
tersebut
menimbulkan
ketidakwenangan
untuk
melangsungkan perkawinan dan berakibat batalnya perkawinan.
commit to user
49
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b) Syarat formil yaitu yang menyangkut formalitas-formalitas atau tata
cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat dilangsungkan
perkawinan.
Secara formal perkawinan campuran yang dilakukan di
Indonesia diatur dalam Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun
1974
Perkawinan
tentang
Perkawinan
yang
menetukan
bahwa,
Campuran yang dilangsungkan di Negara Indonesia
akan dilaksanakan dan harus memperhatikan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Syarat-syarat formil
menururt Hukum Indonesia meliputi :
(1) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan
kepada Pegawai Pencatat Perkawinan (Pasal 3 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975);
(2) Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan (Pasal 8
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975);
(3) Pelaksanaan
perkawinan
menurut
hukum
agama
dan
kepercayaannya masing-masing (Pasal 10 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975);
(4) Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat perkawinan
(Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975).
Sebagai bukti telah dipenuhinya syarat-syarat perkawinan dan
tidak ada halangan atau rintangan untuk melangsungkan perkawinan
campuran, yang bersangkutan hendaknya meminta suatu keterangan
dari Pegawai Pencatat Perkawinan masing-masing yang berwenang
mencatat perkawinan. Jika pejabat Pegawai Pencatat Perkawinan
menolak
untuk
memberikan
surat
keterangan
itu,
yang
berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan
negeri setempat untuk memutuskan apakah penolakan pemberian
surat keterangan itu beralasan atau tidak. Pengadilan akan
memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh
dimintakan banding lagi. Keputusan Pengadilan itu menjadi
pengganti keterangan
darito Pegawai
Pencatat Perkawinan bila
commit
user
50
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pengadilan memutuskan penolakan surat keterangan itu tidak
beralasan.
Jadi dalam suatu perkawinan campuran, perkawinan tersebut
hanya dapat dilakukan jika telah dipenuhi persyaratan yang mengenai
diri pribadi masing-masing yang akan melangsungkan perkawinan,
demikian juga persyaratan mengenai tata cara perkawinan. Syarat
mengenai diri pribadi yang harus dipenuhi ialah bahwa bagi WNI harus
memenuhi persyaratan yang diatur atau ditentukan dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangakan bagi
orang asing harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh hukum
negara yang bersangkutan. Untuk membuktikan persyaratan tersebut
telah terpenuhi, mereka harus dapat menunjukkan surat keterangan
yang diberikan oleh Pejabat yang berwenang untuk itu, menururt
hukumnya yang menerangkan bahwa yang bersangkutan telah
memenuhi syarat Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
Adapun tata cara perkawinan campuran diatur dalam Pasal 59
ayat (2) sampai dengan Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menetukan sebagai berikut :
a) Perkawinan campuran yang dilakukan di Indonesia dilakukan
menurut Undang-Undang Perkawinan ini;
b) Perkawinan campuran ini tidak dapat dilangsungkan sebelum
terbukti syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang
relatif terpenuhi dan karena itu tidak untuk melangsungkan
perkawinan campuran, maka mereka menurut hukum yang berlaku
bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan,
diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah terpenuhi;
c) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat
keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan
pengadilan memberikan keputusan dengan tidak boleh dimintakan
banding soal apakah penolakan pemberian surat keterangan tersebut
beralasan atau tidak;commit to user
51
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d) Jika pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan maka
keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut dalam
Pasal 60 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan;
e) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak
mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan
dalam masa 6 (enam) bulan setelah surat keterangan itu diberikan;
f) Perkawinan
campuran
dicatat
oleh
pegawai
pencatat
yang
berwenang.
Pencatatan perkawinan ini dimaksudkan untuk memperoleh
kutipan Akta Perkawinan (kutipan buku nikah) oleh pegawai yang
berwenang. Bagi yang beragama Islam, pencatatan dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
Talak Cerai Rujuk. Sedang bagi yang Non Islam, pencatatan
dilakukan oleh Pegawai Kantor Catatan Sipil.
g) Legalisir Kutipan Akta Perkawinan, Kutipan Akta Perkawinan yang
telah didapatkan, masih harus dilegalisir di Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia dan Departemen Luar Negeri, serta didaftarkan
di Kedutaan negara asal suami. Dengan adanya legalisasi itu, maka
perkawinan sudah sah dan diterima secara internasional, baik bagi
hukum di negara asal suami, maupun menurut hukum di Indonesia.
Tata
cara
penyelenggaraan
dan
pencatatan
perkawinan
campuran merupakan sesuatu urutan formalitas yang harus ditempuh
dalam melangsungkan perkawinan campuran. Hal ini diperlukan untuk
memenuhi syarat formil dari suatu perkawinan campuran.
Dari segi ilmu perbandingan hukum perkawinan campuran
(terutama antar warga negara yang berbeda) berpengaruh terhadap
konsep hukum suatu negara. Perkawinan campuran berakibat terhadap
hak-hak pribadi (terhadap harta), hak kekeluargaan (hak untuk
berkeluarga, kedudukan anak, pemeliharaan anak).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
52
digilib.uns.ac.id
b. Harta Kekayaan dalam Perkawinan
Disamping soal hak dan kewajiban, persoalan harta benda
merupakan pokok pangkal yang dapat menimbulkan berbagai perselisihan
dan ketegangan dalam hidup perkawinan. Sehubungan dengan itu UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan ketentuanketentuan sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 35 sampai Pasal 37
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menetapkan:
1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2) Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan
lain.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, harta benda milik bersama berada dibawah
penguasaan suami istri sejak perkawinan dan suami istri hanya dapat
bertindak terhadap harta benda milik bersama berdasarkan atas persetujuan
kedua belah pihak. Apabila perkawinan putus maka harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing (Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama harus
didahului dengan perjanjian antara suami istri. Sedangkan untuk
melakukan perbuat hukum terhadap harta bawaan, suami istri sepenuhnya
menguasai harta bawaannya masing-masing. Meskipun demikian terbuka
peluang bagi suami istri untuk menyimpangi ketentuan Undang-Undang
melalui perjanjian kawin yang dibuat sebelum atau pada saat
melangsungkan perkawinan. Perjanjian perkawinan sangat dibutuhkan
untuk mengantisipasi permasalahan yang timbul terkait pembagian harta
bersama apabila terjadi perceraian, apalagi terkait perkawinan campuran
yang mengandung unsur asing didalamnya.
Perjanjian kawin (Huwdlijkse Voorwaarden) adalah perjanjian
(persetujuan) yang dibuat commit
oleh calon
suami atau istri sebelum atau pada
to user
53
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan
terhadap harta benda mereka (R. Soetojo Prawirohadojo. 1988:57).
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
hanya terdapat satu pasal yang mengatur terkait Perjanjian Kawin, yaitu
Pasal 29. Sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai
peraturan pelaksananya sama sekali tidak mengatur tentang perjanjian
kawin. Sehingga Mahkamah Agung berpendapat bahwa ketentuan yang
sudah berlaku sebelumnya, termasuk KUHPerdata, tetap berlaku.
Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menetukan bahwa pada waktu sebelum atau pada saat
perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian bersama dapat
mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga tersebut tersangkut. Dengan demikian bentuk
perjanjian perkawinan adalah bebas, bisa akta otentik atau akta dibawah
tangan. Namun dalam praktik perjanjian kawin berbentuk akta otentik
yang dibuat dihadapan notaris.
Selanjutnya perjanjian kawin disahkan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan.Pengesahan hanya dapat diberikan apabila perjanjian kawin
tidak melanggar batasan-batasan hukum, agama, dan kesusilaan. Pasal 29
ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menetukan bahwa perjanjian kawin mulai berlaku sejak perkawinan
berlangsung. Apabila perkawinan tidak jadi dilangsungkan, maka
perkawinan akan menjadi gugur.
Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menetukan bahwa selama perkawinan berlangsung, perjanjian
kawin tidak dapat diubah, kecuali atas persetujuan suami istri dan tidak
merugikan pihak ketiga (R. Soetojo Prawirohadojo. 1988:58-61).
Dalam membuat suatu perjanjian tidak boleh melanggar atau
bertentangan dengan undang-undang, agama, kesusilaan, dan ketertiban
umum.Landasan inilah yang digunakan seorang suami istri dalam
mengadakan
perjanjian commit
perkawinan.
to user Dalam
membuat
perjanjian
perpustakaan.uns.ac.id
54
digilib.uns.ac.id
perkawinan tidak boleh melanggar pula ketentuan-ketentuan mengenai
hukum perkawinan.
Proses mengenai pembuatan perjanjian perkawinan khususnya
mengenai harta bersama tidak diatur secara lengkap baik di UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga berdasarkan Pasal 66
Undang-Undang Perkawinan, kita masih bisa mengacu pada ketentuan
KUHPerdata sepanjang Undang-Undang Perkawinan tidak mengaturnya.
Sebelum perkawinan dilangsungkan, calon suami istri atas persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian perkawinan (Huwelijkvoorwarden)
mengenai harta bersama melalui proses-proses sebagai berikut:
1) Kesepakatan mengenai kedudukan harta bersama dan harta bawaan
masing-masing pihak.
2) Biaya yang dikeluarkan untuk rumah tangga dan pemeliharaan serta
pendidikan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka dan
pengeluaran biasa dan sehari-hari untuk keperluan rumah tangga
menjadi tanggungan kedua belah pihak.
3) Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama akan dibagi
secara wajar dan adil dan/atau diatur menurut hukumnya masingmasing.
4) Ketentuan mengenai pilihan hukum yang berlaku;
5) Perjanjian perkawinan tersebut dibuat secara tertulis (Akta Notariil).
6) Perjanjian perkawinan tertulis tersebut disahkan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan.
7) Sejak pengesahan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, isi ketentuan
perjanjian tersebut menjadi sah kepada suami isteri dan juga terhadap
pihak ketiga, sepanjang isi ketentuan yang menyangkut pihak ketiga.
8) Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak tanggal hari perkawinan
dilangsungkan.
9) Perjanjian perkawinan tidak dapat diubah selama perkawinan, jika
perubahan tersebut dilakukan
commit tosecara
user sepihak. Perubahan Unilateral
55
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tidak boleh, akan tetapi jika perubahan atas kehendak bersama atau
secara bilateral perubahan dimaksud dapat dilakukan.
10) Perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan bilamana isi ketentuan
perjanjian itu melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan.
Perjanjian perkawinan ini sangat penting diadakan terutama
terhadap pasangan yang akan melakukan perkawinan campuran. Pada
pasangan yang berbeda kewarganegaraan ini, biasanya dibuat perjanjian
perkawinan
pemisahan
harta
kekayaan,
misalnya
istri
yang
berkewargaraan Indonesia memiliki tanah hak milik, jika ia mengadakan
perjanjian
perkawinan
ketika
menikah
dengan
suaminya
yang
berkewarganegaraan asing, maka pasangannya tidak ikut memiliki
setengah tanah tersebut. Jika tidak dibuatkan perjanjian perkawinan, maka
akan timbul permasalahan terkait pembagian harta bersama apabila terjadi
perceraian.
“Agreements made before or during marriage or civil partnership
which seek to regulate the couple’s financial affairs during the
relationship or to determine the division of their property in the
event of divorce, dissolution or separation. Often referred to
colloquially as “pre-nups” and “post-nups” (depending on
whether they are made before or after marriage), and sometimes in
legal writing collectively as “nuptial agreements” (David Hertzell,
2014 :19).”
c. Perceraian dari Perkawinan Campuran
Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah didepan
hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan Undangundang. Secara umum mengenai putusnya hubungan perkawinan ini dalam
tiga golongan seperti yang tercantum dalam Pasal 38 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu; kematian, perceraian dan
atas keputusan pengadilan. Menurut ketentuan Pasal 209 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata mengenai
berbagai
alasan
yang dapat
mengakibatkan perceraian, yakni: Overspel (perzinahan), meninggalkan
pihak yang lain tanpa alasan, dikenakan pidana penjara selama lima tahun
atau lebih setelah perkawinan dilangsungkan, isteri/suami yang mengalami
luka berat akibat penganiayaan sehingga membahayakan jiwa pihak yang
commit to user
teraniaya. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang
56
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan
bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan,
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah
pihak.
Perceraian dalam perkawinan campuran termasuk dalam bidang
status personal HPI. Hal ini menjadi tidak ada masalah apabila suatu
perceraian
itu
dilakukan
oleh
suami-istri
yang
mempunyai
kewarganegaraan yang sama, tetapi menjdi kurang apabila suami-istri
mempunyai kewarganegaraan yang berbeda. Persoalan perceraian dalam
bidang HPI dibagi dalam beberapa aspek yang menarik perhatian, antara
lain; Perceraian dari Warga Negara Indonesia, perceraian dari orang-orang
di Indonesia, persoalan Jurisdiksi dalam perkara-perkara perceraian,
pengakuan terhadap keputusan-keputusan cerai dari luar negeri (Sudargo
Gautama, 2005:167).
Mengenai perceraian orang-orang asig yang dilakukan di Indonesia
ini menjadi sangat menarik karena menyangkut kompetensi dan persoalan
tentang hukum mana yang dipergunakan (choice of law). Bagi orang-orang
asing yang berada diwilayah Indonesia, Pengadilan Negeri dapat
memberikan keputusan-keputusan perceraian, bilamana kedua mempelai
bertempat tinggal di Indonesia, hal ini menjadi tidak masalah. Yang
menjadi persoalan adalah apabila hanya salah satu pihak saja yang berada
di Indonesia sedang pihak yang lain berada di luar negeri, maka tuntutan
perceraian diajukan di Pengadilan Negeri dan apabila para pihak tidak
mendalilkan kewarganegaraan mereka, maka Hakim mempergunakan
hukum Indonesia, tanpa menghiraukan segi-segi HPInya. Jika para pihak
mendalilkan kewarganegaraannya maka perlu diperhatikan “choice of
law”. Sesuai dengan asas kewarganegaraan, suatu keputusan cerai yang
diucapkan diluar negeri antara para pihak yang kedua-duanya adalah WNI
hanya dapat diakui Hakim Indonesia, jika keputusan bersangkutan
didasarkan atas alasan-alasan yang dikenal dalam Hukum Indonesia.
Salah satu contoh kasus perceraian yang terjadi atas sepasang
suami istri dalam perkawinan
campuran,
commit
to user yaitu seorang wanita Ni Made
57
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Jati WNI dengan seorang laki-laki WNA Michael Patrick Donnelly
(berkebangsaan Amerika Serikat). Mereka menikah di Los Angeles,
Country Angeles, California pada tanggal 14 September 1985 dan menikah
secara hukum adat Bali dan agama Hindu Bali pada tanggal 25 Mei 1994
di Jalan Pengembak Gang III No. 29 Sanur Denpasar Bali sesuai dengan
kutipan Akta Perkawinan No. 299/1996 yang dikeluarkan oleh kantor
catatan sipil Kab. Dati II Badung pada tanggal 30 September 1996, namun
pada bulan April 2005, Ni Made Jati menggugat cerai suaminya. Ni Made
Jati menggugat cerai ke Pengadilan Negeri Denpasar berdasarkan kutipan
Akta Perkawinan No. 299/1996 yang dikeluarkan oleh kantor catatan sipil
Kab. Dati II Badung pada tanggal 30 September 1996.
Terhadap gugatan tersebut PN Denpasar menjatuhkan putusan No.
119/Pdt.G/2005/PN, tanggal 22 November 2005, yang amar putusannya
mengabulkan gugatan dari Ni Made Jati. Salah satunya menyatakan bahwa
perkawinan yang dilakukan menurut adat dan agama Hindu Bali sah dan
putus karena perceraian. Putusan PN Denpasar tersebut dikuatkan oleh
Pengadilan Tinggi Denpasar dengan putusan No. 16/Pdt/2006/PT.Dps,
tanggal 20 Februari 2006.
Atas putusan terakhir tersebut maka Michael Patrick Donnelly
mengajukan kasasi. Mahkamah Agung menjatuhkan putusan yang isinya
membatalkan
putusan
Pengadilan
Tinggi
Denpasar
No.
15/Pdr/2006/PT.Dps, tanggal 20 Februari 2006 yang menguatkan Putusan
Pengadilan Negeri Denpasar No. 119/Pdt.G/2005/PN.Dps, tanggal 22
November 2005. Salah satu pertimbangan hukumnya adalah Pasal 56 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyebutkan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia
antara dua orang WNI atau seorang WNA adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum yang berlaku di Negara tempat perkawinan tersebut
dilaksanakan. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa perkawinan
tersebut harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal
mereka. Sehingga tentang hukum yang dipergunakan atas perkawinan
yang dilaksanakan di Balicommit
pada tanggal
to user 30 September 1996 adalah tidak
58
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
benar, karena kedua belah pihak sudah mengajukan surat perkawinan
tahun 1985 di Amerika Serikat. Sehingga perkawinan yang benar-benar
sah adalah perkawinan yang dilangsungkan di Amerika Serikat.
Perkawinan yang dilakukan di Bali tidak mempunyai kekuatan hukum.
Putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi
Denpasar mengabaikan surat perkawinan tahun 1985 yang dilaksanakan di
Amerika Serikat.
Sehingga
gugatan
perceraian
yang
diajukan
berdasarkan
perkawinan tanggal 30 September 1996 harus ditolak, karena mengabaikan
perkawinan tahun 1985 di Amerika Serikat. Oleh karena itu dalam dalam
mengeluarkan putusan perceraian tersebut tidak boleh mengabaikan
ketentuan hukum yang berlaku di Amerika Serikat.
Mengenai perceraian dengan segala akibat hukumnya, di dalam
Hukum Perdata Internasional berkembang beberapa asas yang menyatakan
bahwa hal tersebut harus diselesaikan berdasarkan sistem hukum dari
tempat (Bayu Seto Hardjowahono, 2006:157-158) :
1. Sistem hukum tempat perkawinan diresmikan atau dilangsungkan (lex
loci celebrationis)
2. Sistem hukum dari tempat suami-isteri bersama-sama menjadi warga
negara setelah perkawinan (joint nationality)
3. Sistem hukum dari tempat suami isteri berkediaman tetap bersamasama setelah perkawinan (joint residence) atau tempat suami
berdomisili tetap setelah perkawinan.
4. Tempat diajukannya perceraian (lex fori)
Perbedaan yang demikian besar dalam perundang-undangan
perceraian dari berbagai negara, nyata pula kecondongan kepada lex fori.
Persoalan perceraian dalam Hukum Perdata Internasional ini menjadi
berubah sifatnya menjadi persoalan yurisdiksi. Dengan demikian, dalam
menghadapi perceraian internasional, suatu negara cenderung untuk
menyelesaikannya berdasarkan lex fori dengan mempergunakan hukum
nasionalnya sendiri (Sudargo Gautama. 2005:275).
commit to user
59
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pada umumnya kewarganegaraan tidak dipakai untuk menentukan
kompetensi, domicilie lah yang dipergunakan sebagai titik taut. Dalam
penjelasan yang tersebut di atas, dipergunakan “tempat kediaman”
(woonplaats) sebagai yang menentukan yurisdiksi pengadilan.
Bilamana hendak dipertahankan prinsip nasionalitas, maka hal ini
juga dapat dilakukan dengan menerima suatu kombinasi antara prinsip
domisili dan nasionalitas ini.
Kecenderungan untuk hidup bersatu adalah kodrat naluri manusia.
Dalam keadaan semacam itu, norma yang mengatur ragam aktivitas
tersebut tentu tidak diserahkan kepada aturan normatif suatu negara
tertentu. Hal itu disebabkan hukum nasional suatu negara berdaulat, batas
berlakunya hanya di dalam teritorial negara tersebut. Untuk itu, pengaturan
tentang berbagai kepentingan bersama antar negara berdaulat, tentu akan
diupayakan dalam bentuk kesepakatan bersama antar negara-negara yang
lazimnya dituangkan dalam bentuk “perjanjian internasional (Mochtar
Kusumaatmadja, 1978:109-114).
Instrumen itulah yang paling mungkin untuk digunakan dalam
menangani berbagai persoalan transnasional yang dihadapi bersama.
Memang setiap negara merdeka dan berdaulat memiliki sistem HPI yang
berlainan satu sama lain. Untuk mengatasi kesulitan yang terjadi manakala
muncul persoalan perdata dan melibatkan dua negara atau lebih, biasanya
negara-negara berupaya mengadakan kerjasama internasional dengan jalan
mempersiapkan konvensi-konvensi yang bertujuan menciptakan unifikasi
di dalam bidang hukum, khususnya hukum perdata. Akan tetapi upaya
tersebut bukan dimaksudkan untuk menyeragamkan seluruh sistem hukum
intern dari negara-negara peserta konperensi, melainkan sekedar upaya
untuk menyelaraskan kaidah-kaidah HPI-nya. Selanjutnya, penyelesaian
persoalan untuk masalah-masalah hukum perdata tertentu akan dapat
dilakukan oleh badan-badan peradilan masing-masing negara peserta
(Sudargo Gautama, 2005:5).
Permasalahan
perceraian
internasional
ini
ternyata
telah
diupayakan penyelesaiannya
pada
konferensi tentang Hukum perdata
commit
to user
perpustakaan.uns.ac.id
60
digilib.uns.ac.id
Internasional ke sebelas yang diselenggarakan di Den Haag tanggal 7
sampai 26 Oktober 1968. Pada konferensi tersebut telah diterima suatu
Konvensi tentang pengakuan keputusan perceraian dan pisah hidup
(Conventions on the recognition of divorces and legal separations).
Konferensi Den Haag inilah yang pertama kali dimana Indonesia turut
serta pula, walau baru sebagai “observer” (Sudargo Gautama, 2005:13).
Menghindarkan perceraian-perceraian pincang dan memudahkan
hak untuk menikah kembali inilah yang merupakan tujuan utama Konvensi
Den Haag pada Konferensi ke-11 tahun 1968 ini. Konvensi ini hanya akan
memakai sistem apa yang dinamakan “Convention Simple”. Pada
Konvensi semacam ini maka tidaklah oleh Konvensi dibebankan suatu
peraturan kompetensi yang demikian mengikatnya hingga para hakim dari
negara negara peserta akan harus mengucapkan sendiri perceraian atau
hidup terpisah, tetapi ia hanya wajib untuk mengakui perceraianperceraian yang telah diucapkan oleh instansi dari negara peserta lainnya
berdasarkan ketentuan-ketentuan yurisdiksi yang telah ditentukan dalam
Konvensi yang bersangkutan (Sudargo Gautama, 2005:222).
Untuk menjamin bahwa jumlah ratifikasi Konvensi ini bisa menjadi
sebesar mungkin diadakan pembatasan pula dari berlakunya Konvensi
yang bersangkutan, hingga tak termasuk di dalamnya perintah-perintah
yang kondemnatoir dan menyertai suatu keputusan cerai, misalnya
mengenai kewajiban memberikan nafkah atau mengenai kewajiban
finansial berkenaan dengan anak-anak dan pendidikan serta pemeliharaan
anak. Tujuan konvensi ini ialah menjamin bahwa keputusan-keputusan
cerai dan hidup terpisah dalam negara peserta yang satu dijamin
pengakuannya dan realisasinya (misalnya untuk menikah lagi) dalam
negara-negara perserta lainnya.
Seperti perceraian pada umumnya, perceraian pada perkawinan
campuran pun menimbulkan akibat-akibat baik terhadap hubungan suami
istri yang bercerai tersebut, juga terhadap anak jika ada, dan terhadap harta
bersama.
d. Akibat Hukum terhadap Harta
Bersama
commit
to user
perpustakaan.uns.ac.id
61
digilib.uns.ac.id
Menurut ketentuan Pasal 119 Kitab Undang undang Hukum
Perdata, sejak dilangsungkannya perkawinan antara suami istri secara
hukum (van rechtswege) terjadilah kebersamaan harta perkawinan sejauh
hal tersebut tidak menyimpang dari perjanjian kawin. Dengan demikian
terbukti bahwa walaupun ada kebersamaan secara bulat, tetapi ada
kemungkinan bahwa barang-barang tertentu yang diperoleh suami atau
istri dengan cuma-cuma, yaitu karena pewarisan secara testamentair,
secaraa legaat atau hadiah, tidak masuk dalam kebersamaan harta
kekayaan itu, tetapi menjadi milik suami pribadi atau milik istri pribadi.
Hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal 120 Kitab Undang undang Hukum
Perdata.
Menurut UUP tentang harta benda dalam perkawinan diatur dalam
tiga pasal saja yaitu :
Pasal 35 menyatakan bahwa,
“(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harat
bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah
dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.”
Pasal 36 menyatakan bahwa,
“(1) Mengenai harta suami istri dapat bertindak atas perjanjian kedua
belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
mengenai harta bendanya.”
Pasal 37 menyatakan bahwa “bila perkawinan putus karena perceraian,
harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.”
Pasal 37 ini mengindikasikan bahwa ketika terjadi perceraian, harta
bersama yang diperoleh oleh pasangan suami isteri selama perkawinan
dapat diatur dengan menggunakan aturan yang berbeda-beda tergantung
pada variasi hukum adat atau hukum lain di luar hukum adat.
Secara umum di Indonesia berlaku dua sistem peraturan tentang
harta benda perkawinan yang satu sama lain berhadapan secara diam
commit to user
artinya berseberangan satu sama lain yakni : Hukum Islam dan Kitab
perpustakaan.uns.ac.id
62
digilib.uns.ac.id
Undang undang Hukum Perdata. Menurut Hukum Islam menganggap
kekayaan suami dan isteri masing-masing terpisah satu dengan lainnya,
artinya atas harta benda milik suami, si isteri tidak mempunyai hak, dan
terhadap barang-barang milik si isteri, si suami tidak mempunyai hak.Jadi
konsekwensi menurut Hukum Islam, status harta benda, status harta benda
seorang perempuan tidak berubah dengan adanya perkawinan. Di
Indonesia juga berlaku Kompilasi Hukum Islam, yang berkaitan dengan
pembagian harta bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 96 dan 97
Kompilasi Hukum Islam tersebut, yang menyebutkan bahwa pembagian
harta bersama baik cerai hidup maupun cerai mati ini, masing-masing
mendapat setengah dari harta bersama tersebut. Selengkapnya Pasal 96
Kompilasi Hukum Islam berbunyi :
“(1) Apabila terjadi cerai mati, maka separo harta bersama menjadi hak
pasangan yang hidup lebih lama.
(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri
atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian
matinya yang hakiki atau mati secara hukum atas dasar keputusan
Pengadilan Agama.”
Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam menyatakan: “Janda atau duda
yang cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”. Dari uraian
di atas, dapat diambil pengertian bahwa pembagian harta bersama karena
cerai hidup dapat dilakukan secara langsung antara bekas istri dan suami
dengan pembagian masing-masing setengah bagian.
Sedangkan menurut Kitab Undang undang Hukum Perdata
menganggap bahwa apabila suami dan isteri pada waktu akan
melangsungkan perkawinan tidak mengadakan perjanjian pisah harta
diantara mereka maka akibat dari perkawinan itu adalah percampuran
kekayaan suami dan isteri menjadi satu kekayaan milik berdua secara
bersama-sama dan bagian masing-masing dalam kekayaan bersama ini
adalah separuh. Di dalam Hukum Adat menganut sistem tengah antara
sistem Hukum Islam dan Kitab Undang undang Hukum Perdata artinya
ada kemungkinan dalam suatu perkawinan sebagian dari kekayaan masingcommit to user
masing suami dan isteri terpisah satu dari yang lain, dan ada kemungkinan
perpustakaan.uns.ac.id
63
digilib.uns.ac.id
sebagian kekayaan itu tercampur menjadi harta benda bersama suami isteri
(R.Soetojo Prawirohamidjojo, 1994:74).
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
konsep pembagian harta gono gini (harta bersama) setelah perceraian
adalah 50:50, yaitu 50% untuk pihak isteri dan 50% untuk pihak suami.
Hal ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa dalam suatu perkawinan
itu baik pihak isteri maupun pihak suami mempunyai kedudukan yang
seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat dengan suami sebagai kepala rumah tangga dan isteri
sebagai ibu rumah tangga. sPembagian harta gono gini tersebut dilakukan
setelah perceraian terjadi atau diputus oleh Pengadilan yang berwenang
untuk itu. Hal ini disebabkan, pembagian harta gono gini tersebut akan
didasarkan pada isi amar putusan perceraian yang menyatakan mengenai
pembagian harta gono gini.
Dalam hal terjadi suatu perceraian, maka pihak yang mensahkan
pembagian harta gono gini tersebut adalah pihak Pengadilan yang
berwenang untuk itu. Hal ini dikarenakan, pembagian harta gono gini
tersebut terdapat/dicantumkan dalam amar putusan perceraian yang
diputus dan disahkan oleh Pengadilan yang berwenang untuk itu.
Berkaitan dengan saksi-saksi dalam pembagian harta gono gini,
peraturan perundang-undangan tidak memperinci secara lebih jelas lagi
perihal mengenai pihak yang menjadi saksi untuk hal tersebut. Hanya saja,
dalam suatu sidang perceraian yang merupakan sidang tertutup saksi-saksi
akan diajukan berkaitan dengan hal-hal yang dinyatakan dalam gugatan
cerai selama sidang pemeriksaan gugatan cerai.
Mengenai pembagian harta dalam perkawinan campuran, dapat
dilakukan hanya terhadap harta bersama (harta yang di dapat selama
perkawinan). Harta bawaan adalah tetap dikuasai oleh masing-masing
pihak, kecuali sebelum perkawinan campuran dilakukan, kedua belah
pihak membuat dan menanda tangani suatu Perjanjian Pisah Harta.
Mengenai harta bersama berupa benda tetap yaitu tanah, dalam
perkawinan campuran, seorang
commit WNA
to usertidak dapat memiliki tanah atas
64
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
namanya sendiri. Jika seorang WNI yang melaksankan perkawinan dengan
WNA tanpa diadakan perjanjian perkawinan sebelumnya, dipaksa untuk
tunduk pada ketentuan peraturan yang diperuntukkan bagi WNA. Dapat
dilihat dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5
Tahun 1960 (UUPA) yang menyatakan :
“Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang ini
memperoleh hak milik karena pewarisan tapa wasiat atau
percampuran harta karena perkawinan, demikian pula Warga Negara
Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya
Undang-Undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib
melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak
diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. jika
sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik tidak dilepaskan,
maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada
Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung.”
Berdasarkan Pasal 42 dan Pasal 45 UUPA dan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan (HGB),
Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai (HP) atas tanah pada Pasal 39, WNA
dapat memiliki hak pakai dan hak sewa saja. WNI yang menikah dengan
WNA dan tidak mengadakan perjanjian perkawinan dapat secara otomatis
digolongkan sebagai subjek hukum yang hanya berhak untuk mendapatkan
hak pakai dan hak sewa. Pada Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1996, hak pakai dapay diberikan diatas tanah dengan status Tanah
Negara, Tanah Hak Pengelolaan, dan Tanah Hak Milik. Oleh karena itu,
salah satu cara agar WNI tersebut agar tetap memiliki hak milik atas
tanahnya sendiri adalah dengan perjanjian perkawinan. Dengan dibuatnya
perjanjian perkawinan, semua harta yang diatur dalam perjanjian tersebut
terpisah, sehingga WNI tersebut tetap dapat memiliki tanah atas namanya
sendiri, dan pasangannya yang WNA tidak berhak atas setengah tanahnya
tersebut.
commit to user
Download