Resusitasi Jantung paru

advertisement
RESUSITASI JANTUNG PARU
Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan gawat darurat akibat kegagalan
sirkulasi dan pernapasan untuk dikembalikan ke fungsi optimal guna mencegah
kematian biologis. Dalam pelaksanaannya resusitasi dilakukan untuk mencegah mati
klinis (mati suri, otak berhenti berfungsi) menjadi mati biologis (otak dan organ vital
rusak secara menetap). Resusitasi jantung paru dilakukan jika terjadi Respiratory
arrest / apneu / napas berhenti atau Cardiac arrest / jantung berhenti berdenyut.
Pertolongan resustasi harus diberikan setelah diketahui bahwa napas dan
denyut jantung tidak lagi mencukupi kebutuhan oksigen otak, bukan ketika jantung
benar-benar sudah berhenti. Keadaan ini tampak sebagai hilangnya kesadaran dan
hilangnya denyut nadi leher (pulsasi arteri karotis tidak teraba).
Diagnosa henti jantung tidak berdasarkan atas rekaman EKG. Meski dalam
layar EKG masih ada gelombang aktifitas jantung, tetapi jika nadi karotis atau
femoralis sudah tidak teraba (pulseless electrical activity), berarti curah jantung
tinggal 20% saja dan resusitasi harus dimulai.
Pengertian ini penting dan mendasar karena otak adalah organ vital yang peka
terhadap hipoksia dan anoksia. Jika suplai oksigen ke otak terhenti 10 detik saja,
orang sudah kehilangan kesadaran. Jika berhenti 15 – 30 detik, gelombang EEG akan
flat (brain arrest) dan jika berlangsung lebih dari 3 – 5 menit, maka sel-sel otak mulai
rusak. Jika pertolongan baru berhasil setelah lewat 5 – 6 menit, otak akan menderita
cacat sisa (sequele). Makin lambat pertolongan diberikan, makin jelek prognosa
penderita.
Resusitasi jantung paru dapat dibagi dalam 3 tahap: Basic Life Support
(Bantuan Hidup Dasar), yang tediri dari : Airway yaitu bebaskan jalan napas,
Breathing yaitu berikan napas buatan, Circulation yaitu pijat jantung untuk sirkulasi
darah. Advanced Life Support (Bantuan Hidup Lanjut), yang terdiri dari, Drugs yaitu
obat-obat untuk normalisasi sirkulasi, napas dan otak, EKG yaitu untuk evaluasi jenis
aritmia dan menentukan terapi, Fibrilation therapy, yaitu DC-shock. Prolonged Life
Support, yang terdiri dari, Gauging yaitu pengukuran segala parameter fungsi vital,
Human mentation yaitu pengembalian fungsi-fungsi otak, Intensive care yaitu ICU.
A-B-C harus dilakukan di segala tempat dan (sebaiknya) setiap orang harus
dapat melaksanakannya jika tiba-tiba ada orang disampingnya menjadi korban yang
perlu diresusitasi. D-E-F dilakukan oleh dokter atau paramedik terlatih dalam tim
atau ambulance yang dikirim ketempat kejadian. G-H-I dikerjakan dirumah sakit
dengan fasilitas ICU.
Usaha pertolongan ditujukan untuk mengambil alih fungsi utama yang
terhenti, yakni, gerak napas untuk membawa masuk O 2 ke paru-paru dan
mengeluarkan CO2, denyut jantung untuk membawa oksigen darah ke otak / organ
vital tubuh.
Korban yang baru berhenti napasnya, jantungnya masih berdenyut untuk
beberapa saat, sehingga pertolongan dengan pernapasan buatan saja sudah dapat
menyelamatkan jiwanya. Korban yang berhenti jantungnya, umumnya napasnya
sudah berhenti pula. Jika pada korban ini dilakukan pijat jantung saja, memang darah
mengalir, tetapi darah itu tidak membawa oksigen. Jelas disini perlunya diberikan
napas buatan dulu agar O2 masuk paru dan masuk ke dalam darah, baru dilanjutkan
pijat jantung. Agar napas buatan dapat memasukkan udara ke paru, diperlukan jalan
napas yang bebas.
Bebaskan Jalan Napas (Airway)
Jaga agar dagu jauh dari dada untuk menengadahkan kepala agar jalan napas
bebas dari sumbatan pangkal lidah, tariklah dagu keatas. Sering setelah jalan napas
bebas korban akan bernapas kembali. Tindakan ini juga dapat dilakukan dengan
mendorong dahi korban ke belakang (head-tilt). Khusus bagi korban trauma (terutama
trauma kepala) hati-hati menengadahkan leher, karena akan membuat cedera tulang
leher menjadi lebih parah. Bagi korban trauma cara terbaik adalah jaw thrust, yaitu
mendorong rahang bawah kedepan sampai deretan gigi bawah berada di depan gigi
atas, kemudian dengan kedua ibu jari, bibir / mulut korban dibuka. Jika perlu
membalikkan badan korban agar dapat berbaring terlentang dengan kaki lurus,
lakukanlah dengan jalan membalik seluruh tubuh (dari kepala sampai kaki) dalam
satu gerakan serentak (log-roll). Hal ini penting untuk menghindari terpilinnya tulang
yang patah. Jika tampak kotoran / darah di mulut korban, miringkan kepalanya dan
coba mengorek keluar kotoran tersebut dengan jari-jari kita. Lebih mudah jika jari
kita dibalut secarik kain.
Berikan Napas (Breath)
Pernapasan buatan diberikan dengan meniupkan udara napas dari mulut
penolong kehidung atau ke mulut korban. Tiupan pertama dilakukan 2 x, diselingi
sejenak waktu untuk udara keluar dari paru korban sebelum ditiup lagi. Jika perut
tampak kembung karena napas buatan masuk ke lambung, jangan menekan lambung
untuk mengeluarkannya. Ada bahaya lambung robek atau isinya terdorong keluar dan
masuk ke paru. Udara ekspirasi dari napas kita yang digunakan untuk meniup korban
masih mengandung 14–17% O2 dan 4% CO2. Dapat dicapai PaO2 hingga 80 mmHg
dalam alveoli paru korban, normalnya adalah sekitar 110 mmHg.
Pijat Jantung (Circulate)
Lokasi pijatan pada ½ bagian bawah sternum. Agar pijat jantung dapat
memompa darah dengan baik, alas dibawah tubuh korban harus datar dan keras. Bahu
tegak lurus diatas tulang dada korban. Kedua tangan-lengan-sampai bahu harus lurus
selama memijat. Siku yang ditekuk akan mengurangi kekuatan pijatan. Tekan agak
dalam kira-kira 4 cm, dengan teratur, jangan menyentak, lakukan 80 – 100 kali
permenit.
Bila pijatan dilakukan dengan benar, denyut nadi leher akan teraba. Pijatan
jantung yang baik memberikan tekanan sistolik sampai 100 mmHg walau tekanan
diastoliknya praktis 0 mmHg. Ini menghasilkan mean arterial pressure (MAP) hanya
30–40 mmHg dan cardiac output sekitar 20–40% saja. Jelas ini tidak cukup untuk
perfusi otak, apalagi untuk seluruh tubuh. Agar darah dari pijatan jantung dapat
dimanfaatkan untuk otak, maka kedua tungkai harus diangkat lebih tinggi dari
jantung, sehingga darah yang kita pompa tidak usah mengaliri tungkai. Pada korban
perdarahan, mengangkat kedua tungkai ini merupakan retransfusi mengembalikan
volume darah dari kaki sebanyak 500 ml. Pijatan jantung tetap dilakukan meski
korban patah tulang iga. Tanda awal dari berhasilnya resusitasi adalah pupil yang
mengecil lagi dan menunjukkan refleks cahaya positif. Jika pulsasi nadi karotis sudah
teraba, pijat jantung dihentikan. Jalan napas harus tetap dijaga selama korban belum
sadar kembali.
Indikasi Melakukan RJP

Henti Napas (Apneu)
Dapat disebabkan oleh sumbatan jalan napas atau akibat depresi pernapasan
baik di sentral maupun perifer. Berkurangnya oksigen di dalam tubuh akan
memberikan suatu keadaan yang disebut hipoksia. Frekuensi napas akan lebih
cepat dari pada keadaan normal. Bila berlangsungnya lama akan memberikan
kelelahan pada otot-otot pernapasan. Kelelahan otot-otot napas akan
mengakibatkan terjadinya penumpukan sisa-sisa pembakaran berupa gas CO2,
kemudian mempengaruhi SSP dengan menekan pusat napas. Keadaan inilah
yang dikenal sebagai henti napas.

Henti Jantung (Cardiac Arrest)
Otot jantung juga membutuhkan oksigen untuk berkontraksi agar darah dapat
dipompa keluar dari jantung ke seluruh tubuh. Dengan berhentinya napas,
maka oksigen akan tidak ada sama sekali di dalam tubuh sehingga jantung
tidak dapat berkontraksi dan akibatnya henti jantung ( cardiac arrest ).
Langkah – langkah yang harus diambil sebelum memulai resusitasi jantung
paru (RJP)
a. Penentuan Tingkat Kesadaran ( Respon Korban )
Dilakukan dengan menggoyangkan korban. Bila korban menjawab, maka ABC
dalam keadaan baik. Dan bila tidak ada respon, maka perlu ditindaki segera.
b. Memanggil bantuan (call for help)
Bila petugas hanya seorang diri, jangan memulai RJP sebelum memanggil
bantuan
b. Posisikan Korban
Korban harus dalam keadaan terlentang pada dasar yang keras (lantai, long
board). Bila dalam keadaan telungkup, korban dibalikkan. Bila dalam keadaan
trauma, pembalikan dilakukan dengan ”Log Roll”
c. Posisi Penolong
Korban di lantai, penolong berlutut di sisi kanan korban
d. Pemeriksaan Pernapasan
Yang pertama harus selalu dipastikan adalah airway dalam keadaan baik

Tidak terlihat gerakan otot napas

Tidak ada aliran udara via hidung

Dapat dilakukan dengan menggunakan teknik lihat, dengan dan rasa

Bila korban bernapas, korban tidak memerlukan RJP
e. Pemeriksaan Sirkulasi

Pada orang dewasa tidak ada denyut nadi carotis

Pada bayi dan anak kecil tidak ada denyut nadi brachialis

Tidak ada tanda – tanda sirkulasi

Bila ada pulsasi dan korban pernapas, napas buatan dapat dihentikan.
Tetapi bila ada pulsasi dan korban tidak bernapas, napas buatan
diteruskan. Dan bila tidak ada pulsasi, dilakukan RJP.
Henti Napas
Pernapasan buatan diberikan dengan cara :
a. Mouth to Mouth Ventilation
Cara langsung sudah tidak dianjurkan karena bahaya infeksi (terutama hepatitis,
HIV) karena itu harus memakai ”barrier device” (alat perantara). Dengan cara ini
akan dicapai konsentrasi oksigen hanya 18 %.

Tangan kiri penolong menutup hidung korban dengan cara memijitnya dengan
jari telunjuk dan ibu jari, tangan kanan penolong menarik dagu korban ke atas.

Penolong menarik napas dalam – dalam, kemudian letakkan mulut penolong
ke atas mulut korban sampai menutupi seluruh mulut korban secara pelan –
pelan sambil memperhatikan adanya gerakan dada korban sebagai akibat dari
tiupan napas penolong. Gerakan ini menunjukkan bahwa udara yang ditiupkan
oleh penolong itu masuk ke dalam paru – paru korban.

Setelah itu angkat mulut penolong dan lepaskan jari penolong dari hidung
korban. Hal ini memberikan kesempatan pada dada korban kembali ke posisi
semula.
c. Mouth to Stoma
Dapat
dilakukan
dengan
membuat
Krikotiroidektomi
yang
kemudian
dihembuskan udara melalui jalan yang telah dibuat melalui prosedur
Krikotiroidektomi tadi.
d. Mouth to Mask ventilation
Pada cara ini, udara ditiupkan ke dalam mulut penderita dengan bantuan face
mask.
e. Bag Valve Mask Ventilation ( Ambu Bag)
Dipakai alat yang ada bag dan mask dengan di antaranya ada katup. Untuk
mendapatkan penutupan masker yang baik, maka sebaiknya masker dipegang satu
petugas sedangkan petugas yang lain memompa.
f. Flow restricted Oxygen Powered Ventilation (FROP)
Pada ambulans dikenal sebagai “ OXY – Viva “. Alat ini secara otomatis akan
memberikan oksigen sesuai ukuran aliran (flow) yang diinginkan.
Bantuan jalan napas dilakukan dengan sebelumnya mengevaluasi jalan napas
korban apakah terdapat sumbatan atau tidak. Jika terdapat sumbatan maka
hendaknya dibebaskan terlebih dahulu.
Henti Jantung
RJP dapat dilakukan oleh satu orang penolong atau dua orang penolong.
Lokasi titik tumpu kompresi:

1/3 distal sternum atau 2 jari proksimal Proc. Xiphoideus

Jari tengah tangan kanan diletakkan di Proc. Xiphoideus, sedangkan jari
telunjuk mengikuti

Tempatkan tumit tangan di atas jari telunjuk tersebut

Tumit tangan satunya diletakkan di atas tangan yang sudah berada tepat di
titik pijat jantung

Jari – jari tangan dapat dirangkum, namun tidak boleh menyinggung dada
korban
Teknik Resusitasi Jantung Paru (Kompresi)

Kedua lengan lurus dan tegak lurus pada sternum

Tekan ke bawah sedalam 4 – 5 cm

Tekanan tidak terlalu kuat

Tidak menyentak

Tidak bergeser / berubah tempat

Kompresi ritmik 100 kali / menit ( 2 pijatan / detik )

Fase pijitan dan relaksasi sama ( 1 : 1)

Rasio pijat dan napas 15 : 2 (15 kali kompresi : 2 kali hembusan napas)

Setelah empat siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi
Resusitasi jantung paru pada bayi ( < 1 tahun)

2 – 3 jari atau kedua ibu jari

Titik kompresi pada garis yang menghubungkan kedua papilla mammae

Kompresi ritmik 5 pijatan / 3 detik atau kurang lebih 100 kali per menit

Rasio pijat : napas 15 : 2

Setelah tiga siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi
Resusitasi Jantung paru pada anak – anak ( 1 – 8 tahun)

Satu telapak tangan

Titik kompresi pada satu jari di atas Proc. Xiphoideus

Kompresi ritmik 5 pijatan / 3 detik atau kurang lebih 100 kali per menit

Rasio pijat : napas 15 : 2

Setelah tiga siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi
Indikasi penghentian RJP

Korban bernapas spontan dan normal kembali

Penolong merasa lelah

Henti napas dan henti jantung berlangsung selama 30 menit

Telah ada tenaga lain yang lebih ahli
Komplikasi RJP

Fraktur sternum (sering terjadi pada orang tua)

Robekan paru

Perdarahan intra abdominal (Posisi yang terlalu rendah akan menekan Proc.
Xiphoideus ke arah hepar atau limpa)

Distensi lambung karena pernapasan buatan
Fibrilation treatment
Defibrilasi adalah tindakan yang berpotensi penyelamatan hidup. Harus sedini
mungkin dengan alasan :
1. irama yang umum didapati pada henti jantung adalah VF
2. terapi yang paling efektif pada VF adalah defibrilasi
3. makin lambat dilakukan makin jelek
4. VF cenderung asistole
Energi


VF / VT , nadi tidak teraba :
Pertama
: 200
Joule
Kedua
: 200 – 300
Joule
Ketiga
: 360
Joule
Keempat
: 360
Joule
Gel. QRS lebar (VT)
: 100
Joule
Gel QRS sempit (SVT)
: 50
Joule
VT, SVT AF
Yang harus diperhatikan :
 Defibrilasi tidak boleh dilakukan pada anak umur kurang dari delapan tahun
dan berat badan kurang dari 25 Kg.
 Segala perhiasan dan bahan metal yang melekat dari tubuh korban dilepaskan.
 Korban dari permukaan air, dikeringkan terlebih dahulu
Download