PENGANTAR REDAKSI Memposisikan Halliday dalam Frame Cultural Studies dan E-135 1. Pendahuluan Edisi ini diawali dengan artikel Edi Setia berjudul Fungsi dan Dimensi Bahasa. Berangkat dari teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) yang beberapa ahli juga menyingkat/ menyebut teori Halliday ini dengan teori Sistemik atau teori Tata Bahasa Fungsional (Linguistic Functional Grammar), Edi Setia secara implisit berupaya mempertalikan dan memetakan fungsi bahasa pada posisi idealnya melalui lima dimensi, yakni (1) struktur sebagai simbol urutan sintagmatik atau urutan klausa-grup atau frasa-kata-morfem yang berkenaan dengan aspek komposisi bahasa; (2) sistem sebagai simbol urutan paradigmatik yang berkaitan dengan konstituensi atau jaringan sistem (tata bahasa sebuah bahasa) yang dibutuhkan dalam memproduksi teks; (3) stratifikasi yang dikaitkan dengan penggabungan dua strata yang berbeda antara strata semantik (makna) dan strata tata bahasa (bentuk); (4) ”penyontohan” sebagai simbol yang digunakan untuk merujuk pada konsep pemberian contoh penjabaran dalam strata sama atau bahasa yang dijabarkan dalam bentuk teks; dan (5) metafungsi (ideasional, interpersonal, dan tekstual) sebagai simbol fungsi dasar bahasa alami (natural language) atau tataran makna dalam suatu bahasa. Terimplisit, Edi Setia berupaya mengangkat citra teori Halliday agar lebih membumi dalam ranah teks, wacana, dan bahasa. Mengacu pada lima dimensi bahasa analisis Edi Setia mengindikasikan bahwa Halliday tampaknya memang tidak mau dikungkung dalam satu ranah untuk memaknai semesta tanda/teks. Tidak hanya paduan struktur (sintagmatik) dan sistem (paradigmatik) yang diharapkannya dalam analisis bahasa, tetapi juga dimensi strafikasi (strata semantik dan strata tata bahasa) serta metafungsi (ideasional, interpersonal, dan tekstual). Sebuah spirit bernafaskan lintas keilmuan (cultural studies). Tidak tanggung-tanggung, 22 tulisan (buku/artikel) Halliday, yakni The tones of English (1963, Archivum Linguisticum 15.1:1-28), Intonation in English grammar (1963, Transactions of the Philological Society 143-169), the Concept of Rank: a reply (1966, Journal of Linguistics 2, 1, 110-118), Intonation and Grammar in British English (1967, Mouton The Hague), Exploration in the Functions of Language (1973, Edward Arnold London), Language and Social Man (1974, Schools Council & Longman London), Learning How to Mean: Explorations in the development of language. (1975, Edward Arnold Publishers London), Cohesion in English (1976, bersama Ruqaiya Hasan, Longman London). Language as Social Semiotic: The social interpretation of language and meaning (1979, Edward Arnold Publishers London), An Introduction to Functional Grammar, edisi ke-1 (1985, Edward Arnold London), Spoken and Written Language (1986, Deakin University Press Victoria), The Notion of ‘context’ in language education (1992, in Le, T., McCausland, M. Eds., Interaction and development: proceedings of the international conference, Vietnam. 30 Maret – 1 April 1992, Language Education University of Tasmania), Writing Science: Literacy and Discursive Power (1993, the Falmer Press London), An Introduction Linguistika Kultura, Vol. 02, No.02/November/2008 to Functional Grammar, edisi ke-2 (1994, Arnold London), Construing Experience through Meaning: a language-based approach to cognition (1999, bersama Matthiessen, C. M.I.M., Cassell London), Linguistic Studies of Text and Discourse (2002, Continuum London), On Language and Linguistics (2003, Continuum London, The Language of Early Childhood (2004, Continuum London), An Introduction to Functional Grammar, edisi ke-3 (2004, bersama Matthiessen, C. M.I.M. Arnold London), On Grammar (2005, Continuum London), The Language of Science. (2006, Continuum London), dan Computational and Quantitative Studies (2006, Continuum London) dijadikan Edi Setia sebagai sumber untuk melahirkan artikelnya. Banyaknya pengarang yang hanya berkiblat pada frekuensi, kuantitas, dan produktivitas, sehingga mengabaikan nuansa kualitas sebuah karya seperti yang dicemaskan Ignas Kleden tampaknya tidak terlihat pada karya-karya yang dilahirkan Halliday. Tulisan ini lebih difokuskan untuk membaca Halliday sebagai sosok semiotik sosial dan cultural studies. Salah satu buku yang ditulis Halliday ke arah demikian diberi judul Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning terbitan Edward Arnold London tahun 1978. Dalam artikel Edi Setia pada jurnal ini, buku dimaksud belum dijadikan sebagai referensi. Dengan demikian, kehadiran tulisan ini juga dimaksudkan untuk mengisi kekosongan dimaksud. 2. Halliday sebagai sosok semiotik sosial dan cultural studies Tentu tidak asing lagi bagi pembaca bahwa terma semiotik bermula dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda (sign). Selain semiotik, terma semiologi atau semiologie (semiology) juga mengemuka. Para ahli umumnya tidak lagi mempermasalahkan penggunaan istilah semiotik (berasal dari Peirce) dan semiologi (berasal dari Saussure yang diikuti Barthes). Dalam konteks Indonesia, terma semiotik (semiotics) tampaknya lebih lazim dipakai daripada semiologi (Sunardi, 2002:345). Istilah semiotik juga digunakan Halliday dalam sejumlah bukunya. Teori Halliday disebut Matthews (1997:156) Neo-Firthian. Sekalipun Halliday tidak mengatakan hal itu dalam buku-bukunya, klaim Matthews tersebut masuk akal karena Firth adalah mantan guru Halliday. Konsep konteks situasi yang mewarnai hampir semua karya Halliday antara lain, sebenarnya bermula dari konsep Malinowski yang dikembangkan oleh Firth. Menurut Halliday (1978), setiap bahasa yang muncul sebagai sebuah teks (teks adalah sebutan yang sering digunakan Halliday sebagai pengganti istilah tanda dalam kajian semiotik) harus diinterpretasi dalam konteks ruang dan waktu. Analisis bahasa yang memperhatikan konteks ruang dan waktu itulah yang disintesiskannya dengan terminologi konteks situasi (context of situation) dan konteks budaya (context of culture). Fungsi konteks situasi dan konteks budaya menurut Halliday selain dapat mengungkap representasi pengalaman, hubungan peran (role relationships), juga dapat berperan sebagai alat simbol (symbolic channels) dalam pengungkapan makna teks. Teori konteks situasi dan konteks budaya Halliday diilustrasikan oleh Suzanne Eggins (1994:34) seperti pada diagram halaman berikut. 96 Pengantar Redaksi-Sawirman K O N T E K S K MODE K O N T E K S S BAHASA/ TRANSITIVITAS FIELD S I T U A S I B U D A Y A TENOR Gambar 1 Modifikasi konsep konteks situasi dan konteks budaya Halliday yang diaplikasikan oleh Suzanne Eggins (1994:34) Gambar 1 menempatkan bahasa sebagai fenomena sosial. Halliday menganggap bahasa sebagai tindak semiotik yang dapat direalisasikan dengan sistem tata bahasa dengan memperhatikan konteks situasi dan budaya (baca pula Arfinal, 2003). Menurut sosok yang juga banyak dipengaruhi konsep-konsep Bühler dan Hjemslev ini memandang bahwa sistem linguistik selain ditentukan oleh struktur sosial dan partisipan, juga ditentukan pula oleh kondisi interaksinya. Interaksi sosial di mata Halliday secara tipikal menempatkan bentuk linguistik yang dinamakan teks (produk yang direalisasikan sebagai struktur leksikogramatikal). Adalah lingkungan suatu teks yang disebutnya konteks di luar faktor kebahasaan (konteks situasi dan budaya). Konteks situasi dianggap tokoh yang mempromotori munculnya pendekatan analisis wacana formal menurut Lucy (1995:90—91) ini sebagai bangunan semiotik yang distruktur menjadi terma field, tenor, dan mode wacana. 97 Linguistika Kultura, Vol. 02, No.02/November/2008 Peran Halliday sebagai tokoh semiotik dapat dibaca dalam karyanya Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning terbitan Edward Arnold London. Halliday pada buku tersebut mengidentifikasi pentingnya dimensi sosial dalam penelaahan teks dan struktur bahasa sebagai pijakan awal analisisnya. Beliau mengamati proses dan struktur sosial, pesan, dan makna sebagai titik pandang analisis sistem makna (Halliday 1978:108—111; 113—114). Variabel situasi menurut Halliday (1978:125-126) berhubungan dengan komponen semantik seperti komponen ideational, interpersonal, dan tekstual yang mencakup makna sebagai isi (penilik fungsi bahasa), makna sebagai partisipasi (pengacau fungsi, the intruder function), dan makna sebagai komposisi (texture). Makna-makna tersebut menurutnya berhubungan dengan fitur situasi yang secara tipikal dinamakan jaringan opsi dari komponen semantik yang berhubungan. Dalam konteks itu pula, properti semiotik terhadap tipe situasi tertentu dalam kaitannya dengan tenor, field, dan mode menentukan konfigurasi semantik atau register (makna potensial yang berisi ciri-ciri tipe situasi) yang terealisasi menjadi ‘speech variant’. Proses itu diregulasi oleh Halliday (1978:125) dengan sistem kode, semiotik grid, atau prinsip makna sosial yang mewakili sisi kultural pada sistem sosial. Variasi subkultural menurut Halliday merupakan produk struktur sosial yang secara tipikal merupakan tindakan hirarki sosial melalui distribusi sistem peran yang berbeda. Halliday menganggap bahwa teori semiotik sosial menawarkan suatu studi yang sistematis, koheren, dan komprehensif terhadap fenomena komunikasi dan kebahahasaan secara keseluruhan. Penelaah bahasa melalui teori semiotik sosial menurut Halliday tidak hanya menyangkut penelaahan tentang sistem linguistik (linguistic system) dan ujaran (utterances), tetapi juga melibatkan sistem sosial (social system), konteks sosial (social contexts), sistem semantik (semantic system), sistem nilai (system of values), perubahan makna (semantic exchanges), struktur sosial (social structure), dan variasi dialek (dialectal varieties) (Halliday 1978: 108—126). Dengan demikian, Halliday tidak hanya menciptakan suatu hubungan yang erat antara semiotik sosial dengan studi bahasa, tetapi juga menghidupkan spirit lintas keilmuan (cultural studies). Kesamaan dan keterkaitan visi Halliday dengan para tokoh cultural studies ahli semakin terlihat pada telaahnya tentang antilanguage. Dalam buku Anti-languages (UEA Papers in Linguistics, 1:15—45) tahun 1976, Halliday menyebut antilanguage sebagai bahasa yang diciptakan oleh oposisi pemerintah atau orang-orang yang dipinggirkan oleh pemerintah (baca pula, Halliday, 1978:164--182). “An antilanguage is a metaphor for an everyday language; and this metaphorical quality appears all the way up and down the system” (Halliday, 1978:175). “An anti-language is defensive, protecting its community from direct grasp of problematic reality” (Kress dan Hodge, 1979:76). Menurut Halliday, seperti halnya Baudrillard, fungsi antilanguage sebagai pencipta antiworld atau seperangkat makna dan nilai yang membalikkan masyarakat yang dominan tidak hanya sebatas bahasa verbal, tetapi juga dalam bentuk lukisan, gambar, penataan ruang dan lain-lainnya. Antilanguage ada karena pihak tertentu memaknai suatu tanda dengan sudut padang berbeda. Telaah antilanguage mengilhami pula teori kompleks ideologi (ideological complexes) cetusan Hodge dan Kress. Kress dan Hodge (1979:70--84) dan Hodge dan Kress (1991:68; 78; 86) melakukan perubahan pada pasangan istilah anti-language/anti-world (Halliday, 98 Pengantar Redaksi-Sawirman 1978:164--182) menjadi pasangan anti-language/anti-society. Baik telaah antilanguage/anti-society (Kress dan Hodge, 1979; Hodge dan Kress, 1991), antilanguage/anti-world (Halliday, 1976; 1978), anti-system, anti-foundation, dan antisendentarity Baudrillard, dan wacana kontra-hegemoni Gramsci merupakan telaah bahasa yang diciptakan oleh pihak-pihak oposisi pemerintah (pihak-pihak termarjinalkan). Bahasa tersebut menciptakan antiworld atau seperangkat makna yang membalikkan imaji masyarakat dominan dan opini publik. Simbol tersebut muncul karena adanya pihak yang mendominasi, menghegemoni, dan memarjinalisasi dengan sudut pandang berbeda. Kress dan Hodge (1979:70--84) mengekpresi bahasa syair Donne, bahasa penjara (prison languages), jargonjargon pilot US, dan bahasa seputar perang Vietnam dalam konteks antilanguage untuk melawan opini publik. Anti-language, anti-world, anti-society, anti-system, anti-foundation, dan anti-sendentarity yang antara lain mengilhami teori ideological complexes (Hodge dan Kress, 1991). Berbeda terma dengan Kress dan Hodge serta Halliday, Gramsci dalam konteks kontra-hegemoni wacana (“sejajar dengan anti-language”), selain memerlukan organic intelectual (melawan wacana intelektual dengan wacana intelektual), juga memerlukan aparatus organik yang digunakan untuk melawan hegemoni kultural (cultural hegemony) dalam tataran praksis [+aksi]. Di mata Halliday, seperti halnya Hodge and Kress (1991), semiotik menawarkan suatu studi yang sistematis, koheren, dan komprehensif terhadap fenomena komunikasi secara keseluruhan. Semiotik di matanya lebih ditekankan pada produk, proses, dan sistem (Halliday 1978:122; 186--187), bukan pada partisipan dalam aktivitas semiotik. Acuan situasi (reference of situation) memberikan suatu kekuatan terhadap timbulnya makna. Halliday mengamati batasan terhadap bahasa verbal yang direlevansikan dengan penelahan makna dalam sistem makna lainnya seperti perilaku dan kode-kode lainnya (Halliday 1978:111--113). Halliday menyatakan bahwa suatu kode tidak bisa dipelajari secara terisolasi sama sekali. Teori bahasa verbal harus dilihat berdasarkan konteks teori sistem tanda yang dinyatakan secara sosial dan diperlakukan sebagai praktek-praktek sosial. Halliday mengklaim pula bahwa bahasa sebagai proses sosial tidak terlepas dari seperangkat makna atau teks. Makna menurutnya diproduksi dan direproduksi berdasarkan kondisi sosial tertentu, melalui agen dan objek-objek materi tertentu. Makna ada dalam hubungannya dengan subjek dan objek kongkrit yang tidak bisa diuraikan kecuali berdasarkan seperangkat hubungannya dengan struktur sosial. Masyarakat di matanya tidak lepas dari struktur sosial dan hubungan peran serta perilaku (Halliday, 1978:113—114; 123—124). Halliday menambahkan bahwa masyarakat ditandai oleh konflik dan keutuhan, sehingga struktur makna pada semua tingkatan kadangkala memperlihatkan suatu hal yang kontradiksi, ambiguitas, dan polisemi dalam berbagai proporsi tertentu. Dengan kata lain, teks, konteks situasi, konteks kultur, agen, objek makna, hegemoni, dan struktur sosial secara bersama-sama merupakan objek analisis semiotik menurut Halliday (1978:109—111; 113—122). Halliday (1978:109; 111—114) menganggap semiotik sosial mengkaji proses, dan efek-efek dari produksi, reproduksi, penerimaan dan sirkulasi makna dalam semua bentuk yang digunakan oleh semua pihak yang terlibat dalam komunikasi. Semiotik sosial menurutnya terutama sekali mengkaji semiosis manusia sebagai suatu fenomena sosial yang inheren baik dari segi fungsi, sumber, konteks dan efeknya. Semiotik sosial juga berkaitan dengan makna99 Linguistika Kultura, Vol. 02, No.02/November/2008 makna sosial yang dikonstruksikan melalui berbagai bentuk semiotik, teks semiotik dan praktek-praktek semiotik pada berbagai lapisan masyarakat. Halliday (1978:109--110) menambahkan bahwa semiotik sosial mempelajari semua sistem semiotik manusia. Fenomena semiotik menurut Halliday (1978:109; 122-124; 126) selalu punya dimensi acuan dan dimensi sosial yang disebut Hodge dan Kress (1991) dengan istilah mimetic plane (realitas sebagai acuan) dan dari segi semiosic plane (peristiwa semiotik yang menghubungkan produser) dan penerima (signifier) dan kode (code) atau signified dalam suatu hubungan yang signifikan. Dalam peristiwa semiotik, bagian analisis yang penting menurut Halliday adalah teks dan wacana. Model realitas sosial yang saling berkompetisi dan yang diimplikasikan dalam teks dan wacana perlu dieksplikasi pada setiap teks. Halliday (1978:109—110; 125) mengklaim bahwa gaya penyampaiannya (tenor of discourse), wilayah wacana bidang (field of discourse) dan wilayah wacana mode (mode of discourse) merupakan struktur semiotik untuk mengungkapkan aktivitas sosial (social activity), hubungan peran (role relationships) yang terlibat, dan alat simbol (symbolic channels) dalam pengungkapan makna bahasa. Sebagai suatu sistem, suatu perspektif akan selalu tergantung dengan perspektif yang lain. Halliday secara tersirat mengklaim bahwa perspektif gaya (wilayah) penyampaian (tenor of discourse style) tidak bisa terlepas dari perspektif wilayah wacana bidang (field of discourse) dan wilayah wacana mode (mode of discourse). Bentuk semiotik yang paling kecil yang memiliki eksistensi konkret adalah pesan (content) (Halliday 1978:53). Dalam studi komunikasi verbal, istilah semiotik yang sering dipakai Halliday adalah teks (text) dan wacana (discourse). Teks mengacu ke suatu struktur pesan yang utuh dan memiliki satu kesatuan makna (Halliday, 1978:122; 125). Sekalipun tidak diutarakan secara eksplisit, Halliday (1978) pada prinsipnya mengiyakan pendapat Saussure dalam penelaahan bahasa sebagai semiotik sosial. Seperti halnya Saussure (1988:47), Halliday (1978:122-123; 125) mengklaim bahwa konteks budaya (context of culture), konteks situasi (context of situation) dalam konteks sosial dan masyarakat merupakan hal-hal yang intrinsik dalam semiotik. Adapun fungsi konteks budaya dan konteks situasi (1978:109; 122--124) menurut Halliday sangat menentukan dalam penelaahan sebuah wacana. Hal yang melandasinya menurut Halliday, demikian pula Hodge dan Kress (1991) antara lain: (i) konteks semiotik diorganisir sebagai suatu rangkaian teks dengan makna yang melekat pada kategori partisipan dan hubungannya; (ii) dalam semiotik, partisipan pesan dengan sejumlah kode menyangkut status pertukaran dan peran masing-masingnya; (iii) semiotik tidak melibatkan kontak langsung dengan semua partisipan, pembuat tanda cenderung mengikutsertakan instruksi dan konteks; dan (iv) separangkat pesan yang mengorganisir pertukaran semiotik tertentu akan mengimplikasikan model hubungan sosial. Halliday juga mempertimbangkan aspek-aspek diakronis, waktu, sejarah, proses, perubahan, proses signifikasi, transaksi antara sistem tanda dan struktur referen, dan sifat materi tanda yang juga telah diungkap Hodge dan Kress (1991) dalam bukunya. Senada pula dengan Hodge dan Kress, bahasa menurut Halliday merupakan fenomena kolektif yang bersifat totalitas. Bentuk tanda ditentukan oleh struktur sosial serta partisipan yang terlibat dan juga oleh kondisi interaksi antarpersonal (Halliday 1978:112). Halliday (1978) menciptakan suatu hubungan yang begitu dekat antara semiotik dengan studi bahasa. Secara 100 Pengantar Redaksi-Sawirman implisit Halliday berpesan bahwa teori semiotik sosial berpegang pada asumsi bahwa teks menghasilkan makna dan efeks seperti yang diharapkan pengarangnya. Halliday (1978:123) mengemukakan pula peran bahasa sebagai fenomena sosial. Beliau menempatkan bahasa sebagai tindak semiotik yang dapat direalisasikan dengan sistem lexicogramatical dengan memperhatikan konteks sosial dan nilai-nilai konfigurasi makna. Menurutnya pula sistem linguistik selain ditentukan oleh struktur sosial dan partisipan, juga ditentukan oleh kondisi interaksinya. Interaksi sosial di mata Halliday (1978:125-126) secara tipikal menempatkan bentuk linguistik yang dinamakan teks. Teks merupakan produk yang direalisasikan sebagai struktur leksikogramatikal. Lingkungan suatu teks menurut Halliday adalah konteks situasi seperti konteks sosial dan tipe situasi. Halliday (1978:25) menambahkan klaimnya bahwa tipe situasi merupakan konstruk semiotik yang distruktur menjadi terminologi field, tenor, dan mode. Halliday (1978:116; 124--125) juga menyiratkan pesan bahwa tanpa menekuni secara intensif bahasa verbal dan berbagai tradisi linguistik, petualangan di bidang semiotik tidak akan menemukan sasaran yang jelas. 3. Halliday dalam kerangka fungsional dan fenomenologis Paham fungsionalis seperti yang juga banyak diikuti oleh para ahli seperti Hymes, Brown and Gilman, Braun, Hodge dan Kress, dan lain-lain terhadap fenomena kebahasaan berlandaskan pada antara lain: (1) memiliki tendensi untuk melihat bahasa sebagai fenomena sosial dan sistem tanda (Halliday 1978:106; 123; 126); (2) memerikan kesemestaan bahasa sebagai manifestasi kesemestaan penggunaan bahasa dalam masyarakat bahasa (Halliday 1978:112; 117); (3) memiliki tendensi untuk menelaah bahasa dalam hubungannya dengan fungsi sosialnya (Halliday 1978:109); (4) menelaah pemakaian bahasa dan sistem makna yang muncul akibat perubahan sosial (Halliday 1978:106; 114); (5) menilik makna bahasa dan tuturan melalui proses interpretatif dalam interaksi sosial (Halliday 1978:121--122); (6) memiliki tendensi untuk mengkaji pemakaian bahasa sebagai semiotik sosial yang tidak dapat dilepaskan dari tatanan budaya yang ada (Halliday 1978:111; 124); dan (7) melihat pemakaian bahasa yang hendaknya diperoleh dengan etic grid (Halliday 1978:111) atau berupa acuan kategori pola pemakaian bahasa khususnya tentang hubungan peran dan latar pemakaian bahasa dengan sistem sosial, sistem nilai, dan lain-lain yang perlu ditidaklanjuti dengan kegiatan emik (pemberian makna perilaku tertentu). Frame fenomenologis tampaknya menjadi basis Halliday dengan alasanalasan berikut. Pertama, penelaahan bahasa sebagai semiotik sosial Halliday yang menyangkut antara lain tentang sistem linguistik (linguistic system), ujaran (utterances), sistem sosial (social system), konteks sosial (social contexts), sistem semantik (semantic system), sistem nilai (system of values), perubahan makna (semantic exchanges), struktur sosial (social structure), dan variasi dialek (dialectal varieties) (1978:108—126) dititikberatkan pada aspek-aspek keuniversalan fakta teoritis yang dipadukan secara koheren dengan realitas empiris dan sistem logika dalam menelaah sebuah kebenaran. Kedua, penelaahan semiotik sosial Halliday yang mengarah pada pengetahuan dasar idiografik (pemahaman kasus-kasus tertentu atas pengkajian elemen-elemen bahasa yang memiliki karakteristik sejenis) merupakan ciri khas epistemologi 101 Linguistika Kultura, Vol. 02, No.02/November/2008 fenomenologis (bdk. Brannen, 1997:140; Moleong, 1991:34; dan Ricoeur, 1978:250--251). Namun jika dicermati secara mendalam klaim Halliday (1978) tentang bahasa sebagai semiotik sosial pada dasarnya memang sudah bergeser dari semiotik strukturalis seperti Saussure, Pierce, dan Piaget. Teori Halliday (1978) dapat diterapkan pada cakupan disiplin ilmu yang lebih luas. Sistem tanda Peirce dan Saussure yang hanya mengklaim bahwa bahasa semata-mata alat komunikasi atau sebuah sistem kode atau nilai yang secara sewenang-wenang menunjuk sesuatu realitas monolitik (konvensi) berbeda dengan perspektif Halliday. Halliday (1978:110--111; 114—115; dan 123--126) mengklaim bahwa bahasa lebih intens pada suatu kegiatan sosial yang terikat dan dikonstruksi dalam kondisi khusus atau setting sosial dan budaya tertentu, ketimbang tertata menurut hukum yang diatur secara ilmiah dan universal. Jika kaum strukturalisme (Latief dan Ibrahim, 1996) menganggap bahwa bahasa memiliki struktur dan sistem yang direpresentasikan dalam universum tanda-tanda, Halliday (1978:113--114) menganggap bahwa totalitas suatu realitas ilmu sosial dan budaya lainnya juga memiliki suatu struktur dan sistem relasi-relasi antar komponen beraneka yang harus diprioritaskan dalam penelaahan sebuah teks. Halliday (1978:114--125) menyiratkan pesan bahwa bahasa memerlukan dan diperlukan dalam penelaahan disiplin ilmu seperti ilmu budaya, sosiologi, antropologi, psikologi, dan biologi. Statemen Halliday dipertegas oleh Ricoeur (lihat Ricoeur, 1978:241--244) yang mengklaim bahwa kajian tentang language acqusition dan innate tidak hanya membutuhkan ilmu bahasa dan psikologi, tetapi juga ilmu biologi dan psikologi. Seperti yang sudah diutarakan di depan bahwa perspektif Halliday (1978) itu mengarah pada tatapan kaum fenomenologis. Dalam perspektif fenomenologis peran subjeks dan hubungan-hubungan sosial budaya dianggap sangat sentral dalam pembuatan sebuah wacana atau teks. Fenomenolog menganggap bahwa bahasa tidak hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka yang dipisahkan dari budaya dan aspek-aspek sosial lainnya (Ricoeur, 1978:245; Latief dan Idi Subandy Ibrahim 1996:17--23). 4. Penutup Halliday memberikan gambaran tentang peran bahasa sebagai fenomena sosial. Bagi para teoritikus yang tidak hanya berhubungan dengan disiplin ilmu bahasa, tetapi juga disiplin ilmu sejarah, sastra, studi-studi media, dan pendidikan, sosiologi, antropologi yang ingin menjelajahi proses daya kekuatan sosial sebagaimana dipaparkan pada teks dan berbagai bentuk wacana. Lima dimensi bahasa atau tetapi juga menjadikan teori Halliday sebagai pengungkap wacana bahasa demi “pejuang kemanusiaan” (sebuah spirit cultural studies). Sampai artikel ini dimunculkan, penulis belum pernah menemukan model aplikasi praktis teori Halliday terutama dalam kerjasama antar-keilmuan. Untuk meilhat posisi teori Halliday dalam E-135 akan diutarakan pada artikel editorial. E-135 merupakan singkatan dari Eksemplar 135. Huruf e pada e135 menyimbolkan eksemplar (bukan simbol elektronik seperti e-mail, e-journal, e-learning, e-book, e-library, e-commerce, dan lain-lain), sekalipun e-135 memang menjadikan data elektronik sebagai data “hiperteks” pada salah satu tahapan (tahapan eksplorasi). Angka 1 pada e-135 menyimbolkan landasan ontologis/filosofis (hermeneutika), angka 3 menyimbolkan revisi pendekatan 102 Pengantar Redaksi-Sawirman wacana terkini (kritis, dekonstruksionis, cultural studies), serta angka 5 menyimbolkan tahapan analisis (elaborasi, representasi, signifikasi, eksplorasi, dan transfigurasi) sekaligus landasan objek material dan formal yang masingmasingnya diberi penjelasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis. E-135 semula penulis ciptakan untuk membedah simbol lingual wacana politik Tan Malaka (salah seorang tokoh perenial asal Minangkabau) untuk keperluan disertasi doktoral di Universitas Udayana tahun 2005. Diseminasi dan sosialisasi e-135 ini sudah dilakukan dalam berbagai forum dan jurnal ilmiah. Baik masukan, kritikan, dan input berharga maupun respon positif dan apresiasi lisan dari sejumlah pihak membuat penulis secara berkelanjutan merevisi e-135 agar semakin teruji secara akademis. Tulisan ini memuat “revisi e-135” dan model analisis terkini setelah disosialisasikan dalam penelitian Hibah Bersaing tahun 2007 tentang wacana terorisme, draf buku Analisis Wacana Berdimensi Cultural Studies, beberapa jurnal (Kajian Budaya Program Doktor Unud dan Linguistika Kultura Unand), dan sejumlah forum ilmiah. Bila sebuah teori dimaknai seperti batasan Summers, et al (2005:1719) as an idea or set of ideas that is intended to explain something about life or the world, especially an idea that has not been proved to be true or general principles and ideas about a subject and an idea or opinion that someone thinks is true but for which they have no proof, maka e-135 dapat dikatakan sebuah draf teori. Bila dianggap tidak terlalu berlebihan, sebutan draf teori untuk e-135 juga cukup beralasan bila statemen Wehmeier, et al digunakan sebagai acuan. Teori adalah formal set of ideas that is intended to explain something why something happens or exists or the principles on which a particular subject is based (Wehmeier, et al., 2005:1590). Tiga paradigma yang dipertalikan dalm E-135 dapat dibaca pada untaian artikel editorial berikut. 103 Linguistika Kultura, Vol. 02, No.02/November/2008 DAFTAR PUSTAKA Arfinal. 2003. Teks Pasambahan Kamatian Masyarakat Kota Padang: Sebuah Analisis Teori Semiotik Sosial. Tesis Magister Linguistik Universitas Udayana. Brannen, Julia. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Braun, Friederike. 1988. Term of Address. Problems of Patterns and Usage in Various Languages and Cultures. New York: Mouton. Eco, Umberto. 1992. Sebuah Pengantar Logika Kebudayaan._________. Eggins, Suzanne. 1993. An Introduction To Systemic Functional Linguistics. London: Pinter Publishers Ltd. Halliday, M.A.K. 1978. Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning. London: Edward Arnold. Hodge and Kress. 1991. Social Semiotic. Great Britain: Tj. Press, Padstow, Cornwall. Latif, Yudi dan Idi Subandi Ibrahim. 1996. Bahasa dan Kekuasaan. Yogyakarta: Mizan. Matthews. 1997. The Concise Oxford Dictionary of Linguistics. Oxford, New York: Oxford University Press. Moleong, Lexy J. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Piaget, Jean. 1995. Strukturalisme (terjemahan). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Piliang, Yasraf Amir. 1997. Dunia yang Dilipat. Bandung: Mizan. Piliang, Y.A. 2003. Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Piliang, Y.A. 2004. Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra Ricoeur, Paul. 1978. Main Trends in Philosophy. New York: Holmes and Meier Publishers. de Saussure, Ferdinand. 1988. Pengantar Linguistik Umum. (Terjemahan). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Sawirman. 2005. Simbol Lingual Teks Politik Tan Malaka Eksplorasi, Signifikasi, dan Transfigurasi Interteks, (disertasi). Denpasar: Universitas Udayana. Summers, D. et al, 2005. Longman Dictionary of Contemporary of English. England: Pearson Education Limited. Wehmeier, S. et al. 2005. Oxford Advanced Learner’s Dictionary. New York: Oxford University Press. Sawirman Editor Ahli 104