Hukum Sumberdaya Alam : Perlukah Suatu Pengaturan Tersendiri Suatu Kajian Komparatif. (Etty R. Agus) HUKUM SUMBERDAYA ALAM: PERLUKAH SUATU PENGATURAN TERSENDIRI (Suatu Kajian Komparatif) Etty R. Agoes Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Jl. Dipatiukur No. 35 Bandung ABSTRAK Akhir-akhir ini timbul sinyalemen bahwa politik pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia lebih didasarkan kepada pertimbangan ekonomi untuk mendukung kepentingan kebutuhan investasi dalam rangka pemulihan kondisi ekonomi pasca krisis moneter. Selama ini Pasal 33 UUD 1945 selama dijadikan landasan oleh pemerintah untuk menguasai pemamfaatan sumberdaya alam. Dalam pada itu pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam di Indonesia masih mengikuti pola yang sifatnya terpisah-pisah (fragmented) secara sektoral. Disadari bahwa pengelolaan sumberdaya alam sebagai salah satu elemen utama dari lingkungan hidup harus dilakukan secara holistik (integrated), termasuk dalam peraturan perundang-undangan serta kelembagaan yang diperlukan untuk menanganinya. Dengan berdasarkan pada kenyataan yang ada, perlukah dibentuk suatu undangundang khusus yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya alam, atau cukupkah hanya dengan penyusunan landasan kebijaksanaan sebagai payung bagi pelaksanaannya ? LAW ON NATURAL RESOURCES : IS THERE A NEED FOR THE ESTABLISHMENT OF A SPECIAL ACT ? (A Comparative study) ABSTRACT Recently there has been an assumption that the government’s policy on the management of natural resources tends to be geared toward economic recovery from the monetary crises. The legal foundation on which exploitation of natural resources is based on Article 33 of the 1945 Constitution. Meanwhile the management of natural resources is carried out through the establishment of various law and regulations that are fragmented and divided among the sectors of the government. The awareness that the management of natural resources as an important element in the management of the living environment needs to be carried out in a holistic and integrated way, including the formulation of its regulation and relevant institutions. Based on the existing condition, there is a need for an enactment of social law to regulate the management of these resources, or another option of creating a basic policy will fill such needs. 26 Jurnal Sosiohumaniora, Vol. 2, No. 2, September 2000 : 26 - 38 PENDAHULUAN Pentingnya sumberdaya alam baik hayati maupun non-hayati telah disadari oleh penyelenggara pemerintahan di Indonesia, sejak Indonesia mulai merdeka hingga saat sekarang. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 sebagai salah satu ketentuan yang masih berlaku di Indonesia sering dijadikan sebagai dasar dari pengelolaan sumberdaya alam Indonesia. Bagi Indonesia sebagai negara berkembang sumberdaya alam menjadi aspek yang sangat penting karena Indonesia merupakan negara yang “basis ekonomi”-nya tergantung pada sumberdaya alam. Akibatnya kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh pemerintah selama ini lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi1. Sinyalemen bahwa politik pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia dewasa ini lebih didasarkan kepada pertimbangan ekonomi untuk mendukung kepentingan kebutuhan investasi dalam rangka pemulihan kondisi ekonomi pasca krisis moneter, merupakan suatu hal yang tidak perlu dibantah. Dalam pelaksanaannya kemudian, kekuasaan negara untuk mempergunakan sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tersebut belum secara jelas tercermin dalam suatu pola pengelolaan sumberdaya alam yang terpadu. GBHN 1998 telah memberikan arahan yang menjanjikan.2 Namun jika dilihat dari peraturan perundang-undangan yang ada, pemamfaatan sumberdaya alam di Indonesia masih mengikuti pola yang sifatnya terpisah-pisah (fragmented) secara sektoral. Dalam krisis ekonomi seperti yang kita hadapi dewasa ini, peranan sumberdaya alam semakin tinggi dan akan lebih memicu eksploitasi secara tak terkendali sehingga dapat mengganggu keberlanjutan pemamfaatannya.3 Disamping itu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang sumberdaya alam biasanya lebih banyak dikaitkan dengan tata-cara hubungan antara pemerintah sebagai pelaksana dari ketentuan konstitusi tersebut di atas dengan pihak-pihak yang ingin memamfaatkan sumberdaya alam, baik individu maupun subyek-subyek hukum lainnya. Sedangkan pengaturan hubungan antara pemamfaat dengan sumberdaya alamnya sendiri masih merupakan suatu hal yang baru disadari pada awal tahun 70-an, yaitu ketika PBB menyelenggarakan Konfrensi Lingkungan Hidup yang pertama di Stockholm, yang telah berhasil menyusun sejumlah prinsip-prinsip Pengelolaan Lingkungan Hidup. Masalah yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah antara lain disebabkan karena kemajuan teknologi telah meningkatkan kemungkinan untuk pemamfaatan atau pengeksploitasian sumberdaya alam secara tidak terbatas, sedangkan baik secara kulitatif maupun kwantitatif, sumberdaya alam 1 Muladi, “Reformasi Hukum dan Kebijaksanaan Pengelolaan Sumberdaya Alam Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan serta Berbasis Kerakyatan : Urgensi dan Prioritas,” Lokakarya Reformasi Hukum di Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam, Jakarta 18 –19 Agustus 1998, diselenggarakan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan Fakultas Hukum Indonesia. 2 TAP MPR No. II/MPR/1998, Bab III, F. butir 7 dan 8. 3 Muladi, Supra,n. I, halaman 5. 27 Hukum Sumberdaya Alam : Perlukah Suatu Pengaturan Tersendiri Suatu Kajian Komparatif. (Etty R. Agus) jumlahnya terbatas. Disamping itu penigkatan jumlah penduduk telah mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya alam. Sejak itu, terutama sejak dikeluarkannya laporan dari komisi Brundtland, mulai disadari bahwa pengelolaan sumberdaya alam sebagai salah satu elemen utama dari lingkungan hidup harus dilakukan secara holistik (integrated). Pendekatan menyeluruh demikian tidak hanya berlaku untuk pengelolaan dalam arti sempit pemamfaatan sumberdaya alam tersebut, akan tetapi juga harus diterapkan dalam usaha penyusunan peraturan perundang-undangan serta kelembagaan yang diperlukan untuk menanganinya. Untuk itu akan diperlukan suatu pendekatan secara inter atau multidisiplin, yang tidak hanya melibatkan para ahli hukum, akan tetapi juga para ahli ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan masing-masing jenis sumberdaya alam, para teknisi, ahli ekonomi, sosial dan kebudayaan, dan lain-lain. EVOLUSI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG SUMBER DAYA ALAM Seperti juga halnya dengan perkembangan di negara-negara lain, pengaturan tentang sumberdaya alam di Indonesia berjalan melalui suatu evolusi yang bergantung pada perkembangan kebutuhan akan sumberdaya alam tersebut. Dengan demikian perkembangannya bergantung pada perkembangan kebutuhan tersebut, seperti diungkapkan oleh Guillermo J. Cano, bahwa:4 “…legal norms governing the ownership and use of natural resources and human relation with respect to these resources developed throughout the centuries, from the earliest stage of social arganization, but did so in relation to each resource separately as man needed to make use thereof.” Karena tanah merupakan sumberdaya alam pertama yang dibutuhkan, maka munculah peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan, yang di Indonesia dituangkan dalam bentuk UU Pokok Agraria, dimana penggunaan dan pemilikan tanah dibagi menjadi tanah negara dan tanah perorangan. Selanjutnya berkembanglah peraturan perundang-undangan lain seperti UU tentang Pengairan, UU Pokok Pertambangan, UU Pokok Kehutanan, UU tentang Perikanan, dan lain-lain. Oleh karena pengaturannya didasarkan pada tingkat pemamfaatan setiap jenis sumberdaya alam, UU Pokok Agraria misalnya, lebih komprehensif dan lebih berkembang dibandingkan dengan UU tentang Pengairan, UU Pokok Pertambangan, UU Pokok Kehutanan, maupun UU tentang Perikanan. Lebih jauh lagi, sebagai akibat dari perkembangannya yang bergantung pada kebutuhan, maka UU tentang Pengairan misalnya dibuat terpisah dari UU yang mengatur tentang angkutan sungai, maupun UU tentang Pelayaran. Demikian juga di bidang pertambangan, dipisahkan antara UU tentang pertambangan 4 Guillermo J. Cano, “A Legal and Institutional Framework for Natural Resources Management ,”Food and Agriculture Organization of The United Nations, Rome, 1975, p. 3. 28 Jurnal Sosiohumaniora, Vol. 2, No. 2, September 2000 : 26 - 38 Umun dan UU tentang Migas. Perkembangan pengaturan terhadap pelbagai jenis sumberdaya alam juga bergantung pada sampai sejauhmana pemamfaatannya oleh manusia, disamping sudah barang tentu sampai sejauhmana perkembangan teknologi pengeksploitasiannya. UU tentang Migas misalnya sudah jauh lebih dulu berkembang dibanding dengan UU tentang Perikanan. Yang lebih penting dari semua itu adalah bahwa peraturan perundangundangan yang terbentuk lebih banyak mengatur tentang pemamfaatannya baik oleh induvidu, negara maupun badan hukum. Dengan demikian substansi pengaturannya lebih ditekankan pada hubungan antara para pengguna, dan belum menyentuh pengaturan tentang hubungan antara para pengguna tersebut dengan sumberdaya alamnya itu sendiri. Peraturan perundang-undangan yang terbentuk sebelum lahirnya kesadaran manusia akan lingkungan hidup serta sumberdaya alamnya tersebut, jarang atau bahkan sama sekali tidak mengandung ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang bagaimana sumberdaya alam tersebut sebaiknya dikelola. Sebagian dari materi pengaturan yang ada lebih bersifat mengatur sengketa atau tumpang tindih wewenang yang mungkin timbul di antara kepentingan-kepentingan para pengguna atau pemamfaatan tersebut. Pada waktu itu belum terfikirkan bahwa pemamfaatan satu jenis sumberdaya alam akan menpunyai dampak terhadap jenis-jenis sumberdayaalam lainnya. Sebagai contoh, dalam pemamfaatan hutan misalnya, belum terfikirkan bahwa hal itu akan mempunyai dampak terhadap sungai dan pelayaran melalui sungai, atau sebaliknya, demikian juga dampak pendirian bangunan sebagai pembangkit listrik tenaga air terhadap pengendalian banjir, pemamfaatan tanah dengan erosi, dan pemamfaatan batu bara dengan minyak dan bahan tambang lain. Dan lebih jauh lagi adalah bahwa semua contoh yang diberikan tersebut dapat bermula dari pemamfaatan air, tanah, ikan, minyak, dan lain-lain. Dilihat secara demikian masalahnya tidak dapat dipisah-pisahkan karena pemamfaatan salah satu jenis sumberdaya alam akan menimbulkan dampak terhadap jenis-jenis lainnya. Akan tetapi apa sebenarnya yang menjadi dasar keterkaitan antara semua itu, apakah ada suatu kesatuan di antara perbedaanperbedaan tersebut ? Tampaknya dasar permasalahan terletak pada adanya keterkaitan antara satu jenis sumberdaya alam dengan jenis-jenis lainnya, bahwa pemamfaatan salah satu jenis akan mempunyai dampak terhadap semua jenis lainnya. Akarnya tidak terletak secara terpisah pada masalah-masalah sektoral yang berbeda, atau saling tidak terkait, dan mungkin bertentangan, karena pada akhirnya kita akan menyadari bahwa semua ini akan bertumpu menjadi satu pada satu hal, yaitu pelaksanaan dari apa yang diamanatkan oleh pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa “…bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Jadi yang menjadi permasalahan utama adalah pemamfaatan sumberdaya alam untuk kepentingan rakyat atau umat manusia secara keseluruhan. 29 Hukum Sumberdaya Alam : Perlukah Suatu Pengaturan Tersendiri Suatu Kajian Komparatif. (Etty R. Agus) Fenomena fisik keterkaitan pelbagai jenis sumberdayas alam tersebut, ditambah dengan pertumbuhan jumlah penduduk serta peningkatan kebutuhan akan sumberdaya alam, dikaitkan pula dengan kemajuan teknologi, telah mendorong meningkatnya konflik pemamfaatan sumberdaya alam secara kuantitatif maupun kwalitatif, baik antara satu jenis sumberdaya alam dengan jenis-jenis lainnya, maupun antara pemamfaatan sumberdaya alam yang sama untuk kepentingan yang berbeda-beda. Konflik demikian tampak dalam pelbagai jenis peraturan perundang-undangan seperti yang telah dicontohkan di atas, yang tidak atau belum mencerminkan adanya kesadaran atas fenomena fisik tersebut. Selanjutnya, timbulah peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih dan bahkan bertentangan satu sama lain. KEBIJAKSANAAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM Pada dasarnya sumber hukum utama yang menjadi dasar kebijaksanaan pemanfaatan sumberdaya alam di Indonesia adalah Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, dimana negara sebagai penguasa dari ‘bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya’ mempunyai kewajiban untuk melaksanakan perintah UUD tersebut dengan pembatasan penggunaannya ‘untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.’ UUD sendiri tidak memberikan penjelasan tentang batasan tugas negara dalam pelaksanaan kekuasaannya tersebut, sedangkan perintah pelaksanaannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tersebut masih harus dijabarkan dalam bentuk produk legislatif yang lebih operasional.5 Produk-produk legislatif yang lahir kemudian mengikuti proses evolusi yang telah digambarkan di atas, lalu lahirlah UU Pokok Agraria dan UU Migas pada tahun 1960, diikuti dengan UU Pokok Pertambangan dan UU Pokok Kehutanan pada tahun 1967. UU No. 1 tahun 1967 tentang PMA dan UU PMDN tahun 1968 memicu lahirnya beberapa produk perundangan lainnya seperti UU No. 5 tahun 1984 tentang Perindustrian, UU No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif, dan UU No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan. Seperti telah disebutkan di atas kesadaran terhadap keterkaitan pelbagai jenis sumberdaya alam satu dengan lainnya baru lahir pasca Deklarasi Stockholm 1972. Hal ini tercermin dengan diperkenalkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam GBHN 1973. Konsep ini secara terus menerus dijadikan pedoman dalam setiap tahapan pembangunan dari satu PELITA ke PELITA lainnya. Dalam GBHN 1993, misalnya disebutkan, antara lain, bahwa : “2. Untuk memenuhi keperluan pembangunan yang beranekaragam perlu dikembangkan pola tata ruang yang menyerasikan tataguna tanah, tata guna 5 Mas Achmad Santosa. “Reformasi Hukum dan Kebijaksanaan di Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam,” dalam Demokratisasi Pengelolaan Sumberdaya Alam, Prosiding Lokakarya Reformasi Hukum di bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Jakarta, 1999, hlm. 26. 30 Jurnal Sosiohumaniora, Vol. 2, No. 2, September 2000 : 26 - 38 air dan sumberdaya alam lainnya dalam satu kesatuan tatanan lingkungan hidup yang dinamis.” Lebih jauh dalam GBHN 1998 yang belum sempat dilaksanakan secara sepenuhnya karena terjadi perubahan pemerintah dari Orde Baru ke era reformasi dan selanjutnya era demokrasi, pedoman serupa menjadi dasar dalam penetapan Arah Pembangunan Jangka Panjang Kedua, yang berbunyi, antara lain, sebagai berikut : “Pendayagunaan sumberdaya alam sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat dilakukan secara terencana, rasional, optimal dan bertanggungjawab dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan sebesarbesarnya kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan. Tata ruang nasional yang berwawasan nusantara dijadikan pedoman bagi perencanaan pembangunan agar penataan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara aman, tertib, efisien, dan effektif.” Lebih jauh pengelolaan sumberdaya alam tersebut dilaksanakan melalui : “Pembangunan ekonomi yang mengelola kekayaan bumi Indonesia seperti kehutanan dan pertambangan harus senantiasa memperhatikan bahwa pengelolaan sumberdaya alam, disamping untuk memberikan kemanfaatan masa kini juga harus menjamin masa depan.” Arah kebijaksanaan demikian menunjukkan adanya faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pelaksanaannya, yaitu : 1. perlunya konservasi sumberdaya alam melalui pemanfaatannya secara efisien, untuk menjamin kemanfaatan tidak saja pada masa sekarang tetapi juga untuk masa yang akan datang, antara lain dengan memperhatikan daya dukung ekosistemnya, serta ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; 2. perlunya penetapan prioritas pemanfaatan sumberdaya alam, baik untuk jenis-jenis tertentu, atau dalam macam-macam penggunaan terhadap satu jenis tertentu. Penetapan prioritas ini harus dilakukan dengan memperhatikan semua kepentingan dan hak yang ada agar dapat ditetapkan pemanfaatan yang paling banyak menjamin kepentingan umum; 3. perlunya pemanfaatan sumberdaya alam secara optimum, karena persediaan yang tidak seimbang dengan permintaan akan memerlukan perbaikan dalam pengelolaannya; 4. pemanfaatan langsung oleh negara terhadap jenis-jenis sumberdaya alam tertentu. 31 Hukum Sumberdaya Alam : Perlukah Suatu Pengaturan Tersendiri Suatu Kajian Komparatif. (Etty R. Agus) Hal-hal tersebut di atas sudah barang tentu akan sangat berpengaruh dalam pengaturannya, sehingga akan menimbulkan dampak penyesuaian bahkan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang telah ada. Dengan demikian peraturan perundang-undangan yang tadinya hanya mengatur tentang hubungan antar para pemanfaat sumberdaya alam tersebut, harus disesuaikan atau diubah substansinya sehingga meliputi juga aturan tentang hubungan antara negara dengan pera pemanfaat, antara pemanfaat dengan sumberdaya alamnya, serta hubungan antara pelbagai instansi pemerintah terkait. Dari produk perundang-undangan yang ada kita melihat bahwa UU yang terbit setelah tahun 1982 yaitu setelah dilahirkannya UU No. 4 tentang ketentuan Pokok Lingkungan Hidup, mengandung beberapa ketentuan yang mengarah kepada pengaturan seperti yang disebutkan di atas. Dengan demikian UU tentang Zona Ekonomi Eksklusif misalnya, mengandung ketentuan yang membatasi pemanfaatan sumberdaya hayati, seperti juga halnya dengan UU No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan. Kalau kita telaah dari sejak awal terjadinya peningkatan pembangunan nasional terutama pada awal pemerintahan Orde Baru, sumberdaya alam lebih difahami dalam arti nilai ekonomisnya ketimbang nilai ekologis atau keberlanjutannya. Kebutuhan investasi untuk memulihkan keadaan ekonomi Indonesia pada waktu itu semakin terpacu dengan dikeluarkannya dua produk legislatif di bidang investasi yaitu UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan UU No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negri. Indonesia yang sedang dalam keadaan terpuruk ekonominya pada waktu itu sangat menggantungkan diri pada sumberdaya alam sebagai modal untuk menarik investasi dari pelbagai pihak. Sejak saat itu kita melihat adanya semacam ‘boom’ di bidang migas, dan PERTAMINA adalah primadona di bidang pendapatan negara. Perkembangan selanjutnya dalam keberlangsungan Indonesia suatu negara yang kaya akan pelbagai sumberdaya alam ini, diperburuk lagi dengan krisis ekonomi yang dimulai padatahun 1997 yang pada akhirnya juga memicu krisis politik atau pemerintahan. UU No. 4 tahun 1982 itu sendiri sebagai UU yang mengatur hanya ketentuan-ketentuan pokok tentang lingkungan hidup secara umum, belum menyentuh masalah pemanfaatan sumberdaya alam secara rinci. Sehingga peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tiap jenis sumberdaya alam sektoral berjalan terpisah dari UU Pokok yang mengatur tentang tiap jenis sumberdaya alam sektoral berjalan terpisah dari UU Pokok yang mengatur lingkungan hidup dimana sumberdaya alam tersebut berada. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa UU No. 4 1982 itu pun masih mengandung kekurangan karena pengaturannya dapat dikatakan hanya mengarah pada satu matra saja, yaitu matra darat. Baru setelah UU ini diubah dengan UU No. 23 tahun 1997 timbul pelbagai harapan akan terjadi perubahan dalam kebijaksanaan pemerintah untuk mengelola sumberdaya alam, yaitu dengan berpedoman pada suatu UU Pokok yang lebih rinci dibanding dengan UU sebelumnya. 32 Jurnal Sosiohumaniora, Vol. 2, No. 2, September 2000 : 26 - 38 Dampak dari arah kebijaksanaan demikian terhadap pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam akan memerlukan suatu perubahan yang substantif, sehingga materi pengaturannya tidak lagi mengatur hubungan antara individu atau badan hukum sesama pemanfaat sumberdaya alam, akan tetapi juga hubungan antara para pemanfaat tersebut dengan negara sebagai pelaksana (trustee) dari Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, serta hubungan antara negara dengan para pemanfaat di satu pihak dengan para pemanfaat tersebut dengan sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya dilain pihak. Kebijaksanaan yang bersifat sektoral tersebut diperkeruh lagi dengan kenyataan bahwa negara dalam melaksanakan kewajibannya sebagai ‘trustee’ dari rakyat, justru tidak berhasil memberikan ‘sebesar-besarnya kemakmuran bagi rakyat’. Maka lahirlah masalah Freeport dan Newmont di bidang pertambangan, pemberian HPH pada para konglomerat di bidang perhutanan, serta KKN di bidang migas, dan lain-lain. Timbul pertanyaan mengapa Arah Pembangunan Jangka Panjang yang dimuat dalam GBHN telah gagal dalam pelaksanaannya ? Mengapa dengan pedoman yang sangat menjanjikan tersebut justru rakyat menjadi lebih miskin, dan pemanfaatan sumberdaya alam lebih bersifat “pengurasan” ketimbang pengelolaan secara berkelanjutan, sebagaimana dijanjikan. Apakah pelbagai keikutsertaan Indonesia dalam upaya-upaya dunia internasional untuk melaksanakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan hanya sekedar upaya “public relations” saja ?6 Disinyalir bahwa hal ini disebabkan karena GBHN tersebut tidak diterjemahkan secara taat asas, dengan dua faktor utama penyebabnya, yaitu :7 1. tidak adanya visi dan pemahaman pemerintah tentang sense of urgense atau vulnerability dari sumberdaya alam dan lingkungan hidup; dan 2. bad governance dalam pemerintahan yang disebabkan antara lain oleh KKN, yang dicerminkan juga dalam pelbagai produk legislatif yang mengatur tentang sumberdaya alam, seperti telah disebutkan di atas, pelbagai produk legislatif di bidang sumbedaya alam lebih ditujukan untuk memenuhi atau melengkapi kebutuhan di bidang investasi. Keadaan demikian lebih diperburuk lagi oleh kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya pemerintah telah gagal untuk menciptakan kemakmuran bagi rakyat. Dicontohkan di bidang pertambangan, misalnya, pertambangan rakyat justru diberi ‘cap’ sebagai ‘pertambangan tanpa izin’, sedangkan Depertemen Pertambangan lebih memberikan prioritas kepada kuasa-kuasa pertambangan yang bukan petambangan rakyat, bahkan dapat dikatakan bahwa kepentingan rakyat banyak dikesampingkan. Sebaiknya justru rakyat diberi beban lingkungan. Penggunaan bahan kimia berbahaya seperti misalnya, mercuri dan logam berat yang terbawa kesungai telah menimbulkan keasaman pada tubuh air (acid 6 7 Mas Achmad Santosa, supra, n. 5, hlm. 30. Ibid 33 Hukum Sumberdaya Alam : Perlukah Suatu Pengaturan Tersendiri Suatu Kajian Komparatif. (Etty R. Agus) mine drainage), suatu masalah dalam pertambangan yang akibatnya akan terasa berpuluh-puluh tahun lamanya, dan memerlukan biaya yang sangat tinggi untuk rehabilitasinya. Begitu juga dengan masalah yang ditimbulkan oleh pembuangan limbah tailing ke dasar laut pada perairan pesisir (submarine tailing disposal).8 HUKUM SUMBERDAYA PERBANDINGAN9 ALAM DI AMERIKA SERIKAT : SUATU Pengaturan dan pengelolaan sumberdaya alam di Amerika Serikat dilakukan melalui penerbitan sejumlah peraturan perundang-undangan baik di tingkat pemerintah federal maupun negara bagian yang telah berlangsung sejak tahun 1899, melalui pelbagai bentuk kebijaksanaan untuk mengkoordinasikan, mengorganisir, mengatur pengelola sumberdaya alam, yang meliputi ketentuanketentuan yang dapat digolongkan ke dalam bentuk-bentuk pengaturan common law (yang ditetapkan melalui yurisprudensi), peraturan undang-undang dan konstitusi.10 Sampai dengan tahun 1986, pemerintah Amerika Serikat telah mengeluarkan 41 buah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam.11 Dari jumlah tersebut tujuh buah peraturan perundangundangan dianggap sebagai “The Seven Statutory Wonder of United States Environmental Law”, yang merupakan dasar dari pengaturan pengelolaan sumberdaya alam dari segi lingkungan,12 yang terdiri dari : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. National Environmental Policy Act, 1972; Clean Air Act, 1972; Federal Insecticide, Fungicide and Rodenticide Act, 1972; Endangered Species Act, 1973; Toxis Substances Control Act, 1976; Resource Conservation and Recovery Act, 1976 dan Comprehensive Environmental Response Conpensarion and Liability Act, 1980. Pengaturan yang dilaksanakan melalui pelbagai macam peraturan perundang-undangan tersebut didasarkan pada :13 common law : diperoleh dari yurisprudensi di bidang hukum perdata, yang meliputi antara lain, hukum kontrak dan hukum tanah; tort : perbuatan melanggar hukum; statutory law : peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga negara yang berkaitan, baik ditingkat 8 Mas Achmad Santosa, supra, n. 5, hlm. 23 Disarikan dari laporan penulis yang disampaikan kepada Menteri Kehakiman RI berdasarkan hasil penelitian di Amerika Serikat, pada kurun waktu 28 Februari-6 Maret 1999. 10 Jan G. Laitos and Joseph P. Tomain, Energy and Natural Resources Law, West Publishing Co., St. Paul, Minn., 1992, hlm. 29. 11 Lihat Lampiran. 12 Wlliam H. Rodgers, “The Seven Statutory Wonders of United states Environmental Law”, 28 Loyola L. A. Rev, 1994 13 Jan G. Laitos and Josep P. Tomain, supra, n. 10, hlm. 30-61. 9 34 Jurnal Sosiohumaniora, Vol. 2, No. 2, September 2000 : 26 - 38 federal maupun negara bagian; dan constitutional law : sebagai pedoman untuk membatasi pelaksanaan statutory law. Berbeda dengan pembagian sumberdaya alam tradisional ke dalam jenisjenis sumberdaya hayati dan bukan hayati, sumberdaya alam dibedakan ke dalam bentuk dan jenisnya, yang digolongkan sebagai berikut : - sumberdaya lingkungan : air, udara dan ekosistem yang sensitif; - sumberdaya konservasi : tempat pengembalaan ternak, perlindungan binatang liar, taman nasional, hutan, dll; - sumberdaya mineral padat : emas, perak, besi, timah, dll; - sumberdaya hutan; - sumberdaya air : sungai, danau, rawa, payau, dll; - sumber energi konvensional : minyak, gas, batubara, uranium, dll; - sumber energi alternatif : geothermal, solar, angin, dll; dan - tanah. Dengan ruang lingkup sumberdaya alam yang demikian luas pengaturannya dikelompokkan ke dalam pelbagai jenis hukum dan pengaturan seperti misalnya tentang lingkungan (environmental law), tanah dan sumberdaya milik negara (publik land and resources law), pertambangan (mining law), perkayuan (timber law), perairan (water law), minyak dan gas bumi (oil and gas law), energi (energy law), pekerjaan umum (public utility law), dan penggunaan tanah (land- use planning). Di Amerika Serikat sebagian dari sumberdaya alam dan energi pemilikannya berada pada pemerintah federal, dan berada pada tanah-tanah yang memiliki nilai ekonomis serta taman-taman nasional dan kawasan lindung lainnya. Di luar taman nasional dan kawasan lindung tersebut, tanah-tanah milik federal yang memiliki nilai ekonomis dikelola berdasarkan prinsip multi-guna (multiple use), untuk menjamin agar sebanyak mungkin sumberdaya alam dapat dimanfaatkan sejalan dengan pemanfaatan lain terhadap tanah secara berkelanjutan (sustainable). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa meskipun pengaturannya masih sektoral, pemanfaatan sumberdaya alam dilaksanakan secara integral dengan meemperhatikan nilai-nilai ekologis disamping nilai ekonomisnya. KESIMPULAN Dengan melihat pada praktek yang dilakukan oleh Amerika Serikat tersebut, tampaknya keinginan yang pernah muncul dari sebagian masyarakat agar dibentuk suatu undang-undang khusus tentang pengelolaan sumberdaya alam, perlu difikirkan kembali. Selain dari kenyataan bahwa pengaturan yang fragmental atau sektoral ternyata dapat dipertahankan asalkan dilandasi dengan suatu kebijakan umum tentang pembangunan berkelanjutan, perlu juga difikirkan bahwa pembentukan undang-undang demikian akan sangat menyita waktu dan menimbulkan masalah baru. 35 Hukum Sumberdaya Alam : Perlukah Suatu Pengaturan Tersendiri Suatu Kajian Komparatif. (Etty R. Agus) Pada tanggal 7 Mei 1999 pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang No. 22 tentang Pemerintah Daerah, yang dilengkapi lebih lanjut dengan Undangundang No. 25 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemarintah Daerah. Meskipun ketentuan-ketentuan yang tercakup ke dalam Undang-undang No. 22 tahun 1999 tersebut di atas sebagian besar berupa aturan tentang pemerintah daerah, namun didalamnya terkandung beberapa ketentuan yang secara tidak langsung berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam. Pasal 10 ayat 1 No. 22 tahun 1999 tersebut misalnya, menetapkan kewenangan daerah dalam mengelola sumberdaya nasional14, yang terdapat di wilayahnya, disertai dengan kewajiban untuk memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Seperti telah disebutkan di bagian lain dalam tulisan ini, baru pada produk perundang-undangan yang terbit setelah tahun 1982 yaitu setelah dilahirkannya UU No. 4 tentang Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup, ketentuan tentang hal tersebut dimasukkan, seperti misalnya kedalam UU No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif dan UU No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan. Pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam di Indonesia yang lahir sebelum itu belum semua mengandung ketentuan seperti itu. Dengan demikian apakah dengan belum dicantumkannya hal-hal yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam yang didasarkan baik pada kepentingan ekonomi, sosial maupun ekologi pada produk-produk hukum sebelumnya, kita sekarang telah mencapai suatu momentum baru untuk mengadakan reformasi terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalan tersebut ? Yang menjadi permasalahan adalah dari mana harus kita mulai, apakah perlu disusun RUU-RUU baru untuk mengubah atau mengganti undang-undang yang dianggap tidak mencerminkan pola pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan tersebut ? Atau, apakah, sebagaimana yang pernah diusulkan, perlu kita buat undang-undang khusus yang merupakan penjabaran dari Pasal 33 UUD 1945, atau apakah konstitusi itu sendiri perlu diubah dengan memasukan ketentuan yang dapat dijadikan dasar bagi pengembangan kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya alam15. 14 Termasuk kedalamnya sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan sumberdaya manusia. Lihat penjelasan terhadap Pasal 10 ayat 1 Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. 15 mas Achmad Santosa. Supra, n. hlm. 32-33. 36 Jurnal Sosiohumaniora, Vol. 2, No. 2, September 2000 : 26 - 38 DAFTAR PUSTAKA Etty R. Agoes, “Laporan Pelaksanaan Studi Banding tentang Hukum Sumberdaya Alam di Amerika Serikat,” disampaikan kepada Menteri Kehakiman RI berdasarkan hasil penelitian di Amerika Serikat, pada kurun waktu 28 Februari-6 Maret 1999, terbatas. Guilermo J. Cano, “ A Legal and Institutional Framework for Natural Resources Management,” Food and Agriculture Organization of United Nation, Rome, 1975. Jan G. Laitos and Joseph P. Tomain, Energy and Natural Resources Law, West Publishing Co., St. Paul, Minn., 1992. Mas Achmad Santosa, “Reformasi Hukum dan Kebijaksanaan di Bidang Pengelolaan Suberdaya Alam,“ dalam Demokratisasi Pengelolaan Sumberdaya Alam, Prosiding Lokakarya Reformasi Hukum di bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Jakarta, 1999, hlm. 21-39. Muladi, SH., “Reformasi Hukum dan Kebijaksanaan Pengelolaan Sumberdaya Alam Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan serta Berbasis Kerakyatan: Urgensi dan Prioritas, “dalam Demokratisasi Pengelolaan Sumberdaya Alam, Prosiding Lokakarya Reformasi Hukum di bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam, Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL), Jakarta, 1999, hlm. 1-5. William H. Rodgers, “The Seven Statutory Wonders Environmental Law,” 28 Loyola L. A. Rev. 1994. of United States DOKUMEN-DOKUMEN : 1. Undang-undang Dadasr Republik Indonesia tahun 1945. 2. TAP MPR No. II/MPR/1998 3. Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. 37 Hukum Sumberdaya Alam : Perlukah Suatu Pengaturan Tersendiri Suatu Kajian Komparatif. (Etty R. Agus) LAMPIRAN : PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN AMERIKA SERIKAT TENTANG SUMBERDAYA ALAM NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 38 TAHUN 1899 1902 1910 1911 1934 1937 1958 1964 1965 1966 1969 1970 1972 1973 1974 1976 1977 1978 1980 1982 1984 1986 - MATERI PENGATURAN River and Harbors Act Reclamation Act Insecticide Act Weeks Law Taylor Grazing Act Flood Control Act Wildlife Restoration Act Fish and Wildlife Coordination Act Wilderness Act Water Resources Planning Act Solid Waste Disposal Act Natural Historic Preservation Act National Environmental Policy Act Clean Air Act Occupational Safety and Health Act Water Pollution Control Act Marine Protection,Research and Sanctuaries Act Coastal Zone Management Act Home Control Act Federal Insecticide, Fungicide and Rodenticide Act Park and Waterways Safety Act Marine Mammal Protection Act Endangered Species Act Deepwater Port Act Safe Drinking Water Act Energy Supply and Environmental Coordination Act Toxic Substance Control Act Federal Land and Policy Management Act Resources Conservation and Recovery Act Clean Air Act Amendments Clean Water Act Surface Mining Control and Reclamation Act Soil and Water Resources Conservation Act Endangered Species Act Amendments Environmental Education Act Comprehensive Environmental Response Compensation and Liability Act Nuclear Waste Policy Act Resource Conservation and Recovery Act Amendments Environmental Programs and Assistant Act Safe Drinking Water Act Amendments Superfund Amendments and Reorganization Act SINGKATAN RHA RA IA WL TGA FCA WRA FWCA WA WRPA SWDA NHPA NEPA CAA OSHA WPCA MPRSA CZMA HCA FIFRA PWSA MMPA ESA DPA SDWA ESECA TSCA FLPMA RCRA CAAA CWA SMCRA SMCRA ESAA EEA CER CERCLA NWPA RCRAA EPAA SDWAA SARA Jurnal Sosiohumaniora, Vol. 2, No. 2, September 2000 : 26 - 38 39