4 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan untuk melihat onset, durasi, kematian dan tahapan anestesi Acepromazine (ACP). Selanjutnya, hasil penelitian dengan menggunakan ACP yang diberikan secara dipping terhadap ikan nila ini dapat disajikan sebagai berikut. 4.1 Onset Acepromazine (ACP) Onset anestetikum adalah suatu keadaan dimana status hewan yang kesadarannya mulai berkurang atau dengan kata lain dimulainya status kehilangan kesadaran (Mckelvey dan Wayne 2003). Hasil rataan onset ACP disajikan pada Tabel 4 dan grafik pada Gambar 2. Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 P5 R1 (menit) 0 49 33 18 16 20 Tabel 4 Hasil rataan onset ACP R2 R3 rataan onset±sd (menit) (menit) (menit) 0 0 0 35 37 40,33±7,57 39 32 34,67±3,79 21 28 21,67±4,04 18 23 19±3,61 12 14 15,33±4,16 Keterangan P0: kelompok ikan nila yang tidak direndam (dipping) acepromazine (kontrol); P1: kelompok ikan nila (dipping) acepromazine dengan dosis 10 ppm; P2: kelompok ikan nila (dipping) acepromazine dengan dosis 20 ppm; P3: kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine dengan dosis 30 ppm; P4: kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine dengan dosis 40 ppm; P5: kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine dengan dosis 50 ppm; R1: replikasi 1; R2: Replikasi 2; R3: replikasi 3. 45 Waktu Onset (menit) 40 40,33a 34,67ab 35 30 25 21,67bc 20 19c 15 15,33c 10 5 0 10 ppm 20 ppm 30 ppm 40 ppm 50 ppm Dosis Acepromazine Gambar 2 Grafik rataan onset ikan nila yang teranestesi setelah pemberian ACP secara dipping 15 Tabel 4 menunjukkan bahwa pada P0 memiliki waktu onset 0, karena ikan nila pada P0 tidak direndam (dipping) ACP sehingga ikan tidak teranestesi. Secara berurutan onset yang terpendek adalah P5 (15,33 menit), P4 (19 menit), P3 (21,67 menit), P2 (34,67 menit), dan P1 (40,33 menit). Perendaman ikan pada P5 memiliki onset yang lebih baik dibandingkan kelompok perlakuan lainnya. Sementara itu, P1 (10 ppm) memiliki onset terlama yaitu 40.33 menit. Terlihat perbedaan nyata antara P1 dan P5 serta P2 dengan P5. P5 lebih baik daripada P1 dan P2 karena onset pada P5 lebih cepat. Terlihat dari Tabel 4 bahwa semakin besar dosis maka semakin cepat onsetnya. Kecepatan onset anestetikum berarti ikan semakin cepat teranestesi. Perlakuan dengan dosis yang lebih tinggi akan lebih pendek onsetnya, karena pada perlakuan dengan dosis tinggi, tubuh ikan lebih banyak menyerap ACP sehingga onset lebih cepat. Faktor lain yang mempengaruhi kecepatan onset adalah kandungan lemak ikan. Ikan yang memiliki kandungan lemak lebih besar akan memiliki waktu onset yang pendek (lebih cepat teranestesi). Hal ini berkaitan dengan sifat dari acepromazine yang mudah terlarut atau terabsorbsi pada lemak (Crowell-Davis dan Murray 2005), sehingga ikan yang mempunyai kandungan lemak yang banyak akan lebih mudah teranestesi. Perubahan tingkah laku ikan pada proses pemingsanan ikan nila dengan ACP dapat dilihat pada Tabel 5. Salah satu parameter utama untuk mengetahui onset suatu sediaan anestetikum adalah hilangnya beberapa refleks (Mckelvey dan Wayne 2003). Tahapan pingsan atau kehilangan beberapa refleks ikan nila dapat dilihat pada Tabel 5. Menurut Bowser (2001) pada saat ikan nila kehilangan refleks maka ikan nila masuk pada tahapan kehilangan refleks, dengan ciriciri kehilangan kesadaran total, denyut jantung sangat lambat, dan kehilangan refleks. Gambar ikan yang teranestesi dapat ditunjukkan pada Gambar 3. Gambar 3 Ikan nila mulai teranestesi 16 Tabel 5 Tingkah laku ikan nila pada proses perendaman ACP Waktu Pengamatan (menit) Perlaku an P1 P2 P3 P4 P5 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 Posisi tubuh tegak, gerakan operkulum normal, sesekali diam di dasar, respon terhadap rangsangan luar tinggi Posisi tubuh tegak, sirip punggung meregang, gerakan operkulum mulai melemah Ikan mulai kehilangan keseimbangan, mulut disembulkan ke permukaan, posisi tubuh rebah, respon terhadap rangsangan luar lambat Ikan kehilangan keseimbanga n, posisi tubuh terbalik, masih ada gerakan tetapi jarang dan lemah Pingsan Posisi tubuh tegak, gerakan operkulum normal, mulut sesekali disembulkan ke permukaan Posisi tubuh agak miring, mulut sesekali disembulkan ke permukaan, respon terhadap rangsangan luar lambat Ikan kehilangan keseimbanga n, posisi tubuh terbalik, masih ada gerakan tetapi jarang dan lemah Ikan mulai hilang keseimbanga n, Pingsan Ikan kehilangan keseimbangan, posisi tubuh terbalik, masih ada gerakan tetapi jarang dan lemah Posisi tubuh agak miring, mulut sesekali disembulkan ke permukaan Posisi tubuh agak miring, mulut sesekali disembulkan ke permukaan, masih ada gerakan tetapi jarang dan lemah Posisi tubuh agak miring, mulut sesekali disembulkan ke permukaan, ikan kehilangan keseimbangan Pingsan Pingsan Pingsan 17 4.2 Durasi Acepromazine (ACP) Durasi anestetikum adalah suatu keadaan lamanya hewan teranestesi sampai dengan hewan pulih kembali (recovery). Recovery dimulai ketika stadium anestesi berakhir dan konsentrasi anestetikum di otak mulai berkurang (Mckelvey dan Wayne 2003). Selanjutnya hasil rataan durasi ACP disajikan pada Tabel 6 dan pada grafik Gambar 4. Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 P5 R1 (menit) 0 40 54 60 75 83 Tabel 6 Hasil rataan durasi ACP R2 R3 (menit) (menit) rataan durasi±sd (menit) 0 0 0 51 56 49±8,19 55 66 58,33±6,66 67 69 65,33±4,73 79 95 83±10,58 102 97 94±9,85 Keterangan P0: kelompok ikan nila yang tidak direndam (dipping) acepromazine (kontrol); P1: kelompok ikan nila (dipping) acepromazine dengan dosis 10 ppm; P2: kelompok ikan nila (dipping) acepromazine dengan dosis 20 ppm; P3: kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine dengan dosis 30 ppm; P4: kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine dengan dosis 40 ppm; P5: kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine dengan dosis 50 ppm; R1: replikasi 1; R2: Replikasi 2; R3: replikasi 3 94c Durasi Acepromazine (menit) 100 90 83bc 80 70 60 50 58,33a 65,33ab 49a 40 30 20 10 0 10 ppm 20 ppm 30 ppm 40 ppm 50 ppm Dosis Acepromazine Gambar 4. Grafik rataan durasi ikan nila setelah peberian ACP secara dipping Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa P0 tidak mempunyai durasi. Hal tersebut karena ikan nila pada P0 tidak direndam (dipping) ACP sehingga durasinya 0. Perlakuan 1 (P1) memiliki durasi 49 menit, P2 mempunyai durasi 58,33 menit, P3 memiliki durasi 65,33 menit, P4 memiliki durasi 83 menit dan P5 memilki durasi 94 menit. Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan yang cenderung mempunyai durasi paling lama adalah P5 yaitu 94 menit dan durasi tercepat pada P1 yaitu 49 menit. Hal ini karena semakin besar dosis yang digunakan, maka semakin lama durasinya. 18 Tanda-tanda pulih kembali menurut Mckelvey dan Wayne (2003) antara lain refleks, tonus otot dan rasa nyeri telah pulih kembali dan hewan mulai sadar. Hal ini terlihat jelas pada ikan nila yang kembali sadar setelah beberapa menit dipindahkan ke dalam air tanpa ACP. Tubuh ikan kembali seimbang, terlihat dari ikan berenang dengan aktif. Ikan merespon ketika diberi rangsangan, hal ini berarti refleks ikan telah pulih kembali. Gambar ikan telah recovery dapat ditunjukkan pada Gambar 5. Gambar 5 Ikan nila recovery 4.3 Kematian Ikan Nila Penggunaan anestetikum selalu mempunyai resiko. Pemberian anestetikum mempengaruhi otak terutama otak pada bagian yang mengontrol kardiovaskular, respirasi dan termoregulasi. Kematian terjadi apabila aktivitas pada pusat pengontrol tersebut di otak terdepres dan berhenti (Mckelvey dan Wayne 2003). Hasil rataan kematian ACP disajikan pada Tabel 7. Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 P5 Tabel 7 Hasil rataan persentase kematian ACP R1 R2 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 20% 40% R3 0% 0% 20% 0% 0% 20% Ketererangan P0: kelompok ikan nila yang tidak direndam (dipping) acepromazine (kontrol); P1: kelompok ikan nila (dipping) acepromazine dengan dosis 10 ppm; P2: kelompok ikan nila (dipping) acepromazine dengan dosis 20 ppm; P3: kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine dengan dosis 30 ppm; P4: kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine dengan dosis 40 ppm; P5: kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine dengan dosis 50 ppm; R1: replikasi 1; R2: Replikasi 2; R3: replikasi 3. Berdasarkan Tabel 7 terlihat kematian ikan nila pada P0 adalah 0%, karena ikan nila pada P0 tidak diberikan perlakuan ACP. Kematian ikan nila pada P0 ini menunjukkan air yang digunakan aman terhadap ikan nila dan kepadatan ikan masih dalam kepadatan yang normal. Sementara itu, kematian ikan nila pada P1 sampai P4 sebesar 0%. Meskipun pada P2 19 replikasi ke-3 terdapat kematian sebesar 20% namun kematian ini mungkin terjadi dikarenakan kondisi ikan yang mati kurang baik. Sedangkan pada P5 menunjukkan tingkat kematian 20% pada replikasi pertama, 40% pada replikasi ke-2, dan 20% pada replikasi ke-3. Data ini sebanding dengan pemingsanan ikan menggunakan MS-222 40 ppm yaitu memiliki tingkat kelangsungan hidup yang masih 100% (Daud et al. 1997). Hal ini menunjukkan bahwa dosis 50 ppm dapat menyebabkan kematian pada pemingsanan ikan nila, sebagaimana tampak pada Gambar 6. Gambar 6 Ikan nila mati Kematian pada dosis 50 ppm menurut Wiryoatmodjo (2000) disebabkan oleh kelebihan dosis (overdosis, terlalu dalam, keracunan) sehingga terjadi kelumpuhan pada pusat pernafasan dan sirkulasi yang letaknya di medulla oblongata. Berdasarkan Gambar 6 terlihat bahwa kematian terbesar pada perlakuan 5, hal ini disebabkan perlakuan 5 mendapatkan dosis yang terlalu tinggi (overdosis). Menurut Crowell-Davis dan Murray (2005) senyawa acepromazine dapat mendepres saluran respirasi. Ikan yang banyak mati adalah ikan dengan kandungan lemak yang besar. Hal ini berkaitan dengan sifat dari acepromazine yang mudah terlarut atau terabsorbsi pada lemak (Crowell-Davis dan Murray 2005). Ikan yang mempunyai lemak tinggi akan lebih cepat teranestesi dan proses ekskresi ACP dari tubuh berlangsung lama, sehingga durasinya menjadi lama dan ACP mendepres pusat respirasi lebih lama sehingga terjadi asphyxia. Kematian oleh karena anestesi dalam waktu singkat (akut) terjadi karena yaitu anestesi terlalu dalam (overdose, kelebihan dosis), gangguan pernapasan dan gangguan sirkulasi. Sementara itu, kematian dalam waktu yang lama terjadi karena kegagalan fungsi hati dan fungsi ginjal dalam mengeliminasi senyawa anestetikum (Wirjoatmodjo 2000). 20 4.4 Kualitas Air Kualitas air merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh mendasar bagi kelangsungan hidup ikan air tawar. Pengujian kualitas air pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik kimia fisik air baik sebelum maupun setelah proses pemingsanan. Pengujian sebelum proses pemingsanan bertujuan untuk melihat kelayakan kualitas air yang akan digunakan sebagai media pada proses pemingsanan. Sedangkan, proses pengujian kualitas air setelah proses pemingsanan bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh pemberian berbagai konsentrasi berbeda terhadap karakteristik fisik kimia air yang telah digunakan setelah proses pemingsanan. Pengujian kualitas air pada proses pemingsanan ikan nila dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Pengujian kualitas air pada pemingsanan ikan nila dengan ACP Parameter Uji DO Perlakuan pH TAN Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah P0 5,19±0,01 5,15±0,0265 7,20±0,02 7,19±0,265 0,212±0,01 0,232±0,0361 P1 5,17±0,0173 5,01±0,01 7,16±0,0361 7,07±0,01 0,215±0,02 0,263±0,0361 P2 5,16±0,02 5,03±0,0265 7,11±0,01 7,04±0,0265 0,209±0,0265 0,258±0,02 P3 5,16±0,0265 5,04±0,0436 7,08±0,361 7,04±0,361 0,216±0,02 0,254±0,02 P4 5,15±0,0361 7,03±0,0265 7,00±0,02 0,207±0,0265 0,243±0,01 P5 5,14±0,0265 5,07±0,0265 6,98±0,01 6,96±0,01 0,208±0,0361 0,241±0,0265 5,07±0,02 Ketererangan P0: kelompok ikan nila yang tidak direndam (dipping) acepromazine (kontrol); P1: kelompok ikan nila (dipping) acepromazine dengan dosis 10 ppm; P2: kelompok ikan nila (dipping) acepromazine dengan dosis 20 ppm; P3: kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine dengan dosis 30 ppm; P4: kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine dengan dosis 40 ppm; P5: kelompok ikan nila yang direndam (dipping) acepromazine dengan dosis 50 ppm; Keasaman air menurut Pudjianto (1984) adalah kemampuan kuantitatif (banyaknya asam) untuk menetralkan basa kuat sampai pH yang dikehendaki. Kandungan oksigen terlarut dalam air merupakan faktor pembatas dalam mendukung optimalisasi organisme perairan. Oksigen dibutuhkan untuk mempertahankan kesehatan ikan dan sebagai fasilitator proses oksidatif kimiawi. Jika konsentrasi DO yang sesuai tidak dipertahankan, ikan akan stres yang akhirnya menyebabkan kematian. Berdasarkan Tabel 8 di atas, dapat dilihat perubahan kualitas air sebelum dan sesudah dilakukan pemingsanan. Sebelum dilakukan pemingsanan, kadar DO air terukur pada kisaran 5,14-5,19; pH 6,98-7,20; dan kadar TAN 0,207-0,216. Sesudah dilakukan pemingsanan, kadar air terukur pada kisaran 5,01-5,15; pH 6,96-7,19; dan TAN 0,232-0,263. Kisaran 21 perubahan kualitas air tersebut masih dalam ambang batas yang layak untuk kelangsungan hidup ikan nila. Menurut Arie (2000), kualitas perairan yang baik bagi ikan nila untuk dapat hidup secara alami adalah kadar DO minimal 4 mg/L air, pH 4-11, dan kadar TAN 0,23-1,04 ppm. Perubahan kualitas air yang tidak signifikan ini juga menunjukkan bahwa penyebab ikan nila pingsan adalah penambahan acepromazine sebagai zat anestesi, bukan diakibatkan oleh perubahan kualitas air. 4.5 Pemingsanan Ikan Nila Besar Dosis terbaik yang didapat dari data waktu onset, durasi acepromazine, dan tingkat kematian ikan nila dari P1-P6 adalah P5 (perendaman ACP 40 ppm). Sehingga pada ikan besar dilakukan perlakuan dengan perendaman ACP 40 ppm. Hasil waktu onset, durasi acepromazine, tingkat kematian dan kualitas air untuk ikan besar dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Hasil pemingsanan nila besar dengan ACP Pengujian Waktu Onset (menit) Durasi ACP (menit) Tingkat Kematian (%) Nilai DO Nilai pH Nilai TAN A B A B A B 1 63 45 0 5,20 5,14 7,15 7,08 0,217 0,276 2 69 42 0 5,21 5,13 7,15 7,08 0,217 0,277 3 64 46 0 5,21 5,11 7,15 7,10 0,217 0,277 Ulangan Ketererangan A: Awal; B: Akhir Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa waktu onset rata-rata ikan nila besar yang direndam acepromazine 40 ppm selama 65,33 menit. Durasi acepromazine rata-rata untuk ikan besar yang direndam dengan acepromazine 40 ppm selama 44,33 menit dan untuk tingkat kematiannya sebesar 0%. Hal ini menunjukkan bahwa dosis 40 ppm aman untuk kelangsungan hidup ikan nila pada proses pemingsanan. Sedangkan untuk hasil pengujian kualitas air pada ikan nila besar juga tidak terjadi perubahan yang besar terlihat dari nilai DO pada awal berkisar 5,20-5,21 dan pada akhir berkisar 5,11-5,14. Nilai pH pada awal pemingsanan ikan besar dengan acepromazine sebesar 7,15 dan pada akhir berkisar 7,087,10. Serta untuk nilai TAN pada awal pemingsanan ikan nila besar dengan acepromazine sebesar 0,217 dan pada akhir berkisar 0,276-0,277. Data hasil penelitian terhadap kedua kelompok ikan (besar/kecil) dengan perlakuan perendaman acepromazine 40 ppm menunjukkan perbedaan yang sangat jelas pada waktu onset dan durasi acepromazine, hal ini dapat terlihat pada Tabel 10. 22 Tabel 10 Perbandingan waktu onset dan durasi ACP ikan kecil dengan ikan besar yang direndam dengan larutan ACP 40 ppm Jenis Ikan Berat Badan Ikan (gram) Waktu Onset (menit) Durasi Acepromazine (menit) Nila Kecil 40 19 83 Nila Besar 200 65,33 44,33 Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa waktu onset dan durasi acepromazine untuk ikan besar yang memiliki berat badan 200 gram yaitu 65,33 menit dan 44,33 menit, nilai tersebut sangat berbeda jika dibandingkan dengan waktu onset dan durasi acepromazine untuk ikan kecil yang memiliki berat badan 40 gram yaitu 19 menit dan 83 menit. Hal ini menunjukkan ukuran ikan mempengaruhi waktu onset dan durasi acepromazine. Kemampuan ikan untuk bertahan pada media yang berbeda tergantung pada kemampuan untuk mengatur cairan tubuh sehingga mampu mempertahankan tingkat tekanan osmotik yang mendekati normal. Ikan yang lebih besar mempunyai kemampuan mengatur cairan tubuh yang lebih baik (Slembrouck et al. 2003). Menurut Ferguson (1988) faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi antara lain spesies, kualitas air dan status kesehatan ikan. Spesies termasuk di dalamnya adalah berat badan, lapisan lemak, ikan yang berumur tua, dan ikan betina gravid (berproduksi). Kualitas air meliputi temperatur, keasaman dan PH.