Penyakit Flu Burung: Riwayat Alamiah dan Pencegahannya Penulis: Dr. Budiman, S.Pd., SKM., S.Kep., M.Kes Page 1 BAGIAN-1. FENOMENA LINGKUNGAN DAN PENYAKIT FLU BURUNG 1.1. Interaksi Ekologi Manusia Bagi manusia, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya (Undang-undang RI, Nomor 23 Tahun 1997). Tidak ada satu pun di muka bumi ini yang berdiri sendiri, semuanya saling bergantung dan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Secara alami manusia mempunyai misi mempertahankan keberadaannya di muka bumi ini dalam kondisi lingkungan yang seoptimal mungkin. Masalah lingkungan merupakan isu penting yang menyangkut kehidupan manusia di muka bumi ini yang apabila dibiarkan berlarut-larut akan mengakibatkan punahnya kehidupan di bumi. Isu tentang menipisnya lapisan ozon, hujan asam, peningkatan suhu bumi, dan berbagai isu lainnya cukup memprihatinkan bagi semua makhluk hidup yang mendiami bumi ini. Kerusakan lingkungan terus berlangsung akibat dari kecerobohan manusia pada saat mengeksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan atau tidak terbarukan karena keinginan manusia yang tidak terbatas dan pola hidup mewah di negara-negara maju dan sebagian di negara berkembang. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang ceroboh seperti disebutkan sebelumnya menimbulkan berbagai dampak lanjutan. Pertama yaitu terjadinya kemiskinan yang semakin memprihatinkan di banyak negara sedang berkembang, tidak saja karena sumber daya alamnya yang terkuras habis untuk membayar utang luar negerinya. Kemerosotan sumber daya alam yang membuat mereka semakin tidak mampu untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Tingkat pendidikan tetap rendah, karena tidak mampu membayar biaya pendidikan yang lebih baik bagi anak-anaknya. Kedua yaitu timbulnya berbagai penyakit yang terkait langsung dengan mutu kehidupan yang semakin menurun di satu pihak dan dampak dari berbagai pencemaran lingkungan hidup di pihak lain. Ketiga yaitu terjadi kehancuran sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang membawa pengaruh langsung bagi kehancuran budaya masyarakat di sekitarnya yang menggantungkan hidupnya pada kondisi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati. Dewasa ini masyarakat dunia telah menyadari pentingnya memelihara lingkungan global, meningkatkan kualitas lingkungan fisik dan biologik serta tatanan sosio-budaya. Dalam dasawarsa 1970an, setelah diadakannya Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm tahun 1972, telah dihasilkan beberapa resolusi tentang lingkungan hidup. Beranjak dari keyakinan bahwa baku hidup Page 2 dapat ditingkatkan tanpa perlu menguras habis sumber daya alam yang terbatas dan tanpa mengorbankan lingkungan hidup, maka telah dikembangkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang mengandung arti bahwa pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang (WCED 1987 dalam Soemarwoto 2004). Dalam konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro, Brasil tahun 1992 pembangunan berkelanjutan menjadi tema sentral dengan dihasilkannya: (1) Deklarasi Rio, (2) Konvensi tentang Perubahan Iklim, (3) Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati, (4) Prinsip tentang Hutan, dan (5) Agenda 21. Isu lingkungan sudah menjadi kepentingan global yang harus dilaksanakan dalam program aksi dan strategi untuk mempersiapkan dunia dalam menghadapi tantangan abad ke-21. Hal ini ditujukan agar kualitas hidup manusia terus meningkat dan pembangunan dapat berkelanjutan. Agenda 21 global pada dasarnya adalah untuk mengentaskan kemiskinan, kelaparan, penyakit dan buta huruf di seluruh dunia, di samping untuk menghentikan kerusakan ekosistem yang penting bagi kehidupan manusia. Hal yang sama berlaku bagi seluruh negara di dunia yang berjumlah 191 negara anggota PBB telah berkumpul menetapkan upaya pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) dengan target pada tahun 2015 yaitu: (1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua; (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) menurunkan angka kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan ibu; (6) memerangi HIV/AIDs, dan penyakit menular lainnya; (7) memastikan kelestarian lingkungan hidup; (8) membangun kemitraan global. Dalam perspektif MDGs, isu lingkungan dan penyakit merupakan isu global yang perlu ditangani secara bersama karena akan mempengaruhi kualitas hidup manusia dan kualitas lingkungan global. Terjadinya kerusakan lingkungan akan berdampak pada status kesehatan masyarakat global sehingga kesejahteraan manusia di dunia tidak akan tercapai bahkan keselamatan manusia di dunia tidak akan terjamin. Hipocrates (460-377 SM), adalah tokoh di dunia yang pertama-tama berpendapat bahwa penyakit ada hubungan dengan fenomena alam dan lingkungannya. Rachel Carson (1962) dalam Soemarwoto (2004) bercerita tentang hari depan, antara lain: “Penyakit misterius telah menyerang ayam; sapi dan domba sakit kemudian mati. Dimana-mana terdapat bayangan kematian. Para petani berbicara tentang banyaknya penyakit dalam keluarga mereka. Para dokter menghadapi teka-teki penyakit baru yang timbul di antara para pasiennya. Kematian sekonyong-konyong yang tidak dapat diterangkan masih terjadi di antara orang dewasa, dan di antara anak-anak yang tiba-tiba menjadi sakit waktu bermain dan meninggal dalam beberapa jam. Page 3 Masalah lingkungan global telah menciptakan pola penyebaran penyakit baru sebagai suatu evolusi penyakit di dunia. Secara nyata perkembangan alam membawa pengaruh pada berbagai jenis penyakit yang menyerang manusia. Jumlah penyakit di dunia ini bukannya berkurang justru bertambah secara terus menerus dengan berbagai jenis dan cara timbulnya penyakit yang semakin bervariasi dan kompleks. Penyakit yang bermunculan saat ini (emerging diseases) belum bisa diatasi secara menyeluruh seperti penyakit DHF (Dengue Haemorrhagic Fever), kusta, anthrak, leptospirosis, dan filariasis yang selalu menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) setiap tahunnya. Muncul pula penyakit-penyakit baru (new emerging diseases)yang tidak kalah ganasnya diantaranya penyakit HIV/AIDS(Acquired Immune Deficiency Sindrom)yang sampai saat ini belum ditemukan obatnya, kejadian insidens SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome), dan timbulnya penyakit infeksi baru yaitu penyakit flu burung/avian influenza pada manusia. Dalam laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tahun 2001 diperoleh bukti baru bahwa perubahan iklim diakibatkan oleh aktivitas-aktivitas manusia. Perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global dapat menimbulkan perubahan fungsi berbagai ekosistem yang ada didunia dan secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Pengaruh buruk perubahan iklim global bagi kesehatan adalah fluktuasi cuaca jangka pendek dimana cuaca panas atau dingin yang ekstrim dapat menimbulkan stress panas atau hyperthermia, di samping dapat meningkatkan laju kematian pada penderita penyakit jantung dan pernafasan. Perubahan iklim akan memperpanjang musim bagi penyebaran penyakit menular melalui vektor seperti malaria, demam berdarah, dan penyakit menular lainnya. Penyakit ini dapat masuk ke wilayah-wilayah geografis baru bahkan pada populasi yang tingkat kekebalannya rendah dan prasarana kesehatan publik yang tinggi. Menurut Masjhur dan Ridad (1998) dampak dari pemanasan global (meningkatnya suhu bumi) selain semakin luasnya penyebaran penyakit-penyakit yang dibawa oleh vektor yaitu nyamuk dan lalat akan timbul pula penyakit menular lainnya. Asumsinya dapat saja penyakit menular lainnya adalah penyakit flu burung karena berhubungan dengan masalah lingkungan baik lokal, regional maupun lingkungan global. Interaksi berbagai komponen lingkungan baik fisik, kimia, dan biologi telah menjadi penyebab timbulnya penyakit flu burung. Lingkungan biologis adalah semua mahluk hidup yang berada disekitar manusia yaitu flora dan fauna, termasuk manusia (Budiarto dan Anggraeni 2003). Komponen lingkungan biologi dan kimia yang berperan langsung terhadap timbulnya penyakit flu burung adalah golongan Page 4 virus influenza tipe A yang terdiri atas Hemaglutinin (H) dan Neuramidase (N). Berdasarkan sifat antigenesitas dari glikoprotein-glikoprotein virus influensa dikelompokkan ke dalam enambelas subtipe H (H1-H16) dan sembilan N (N1-N9). Bahkan secara kimiawi virus avian influenza juga dapat beradaptasi dengan obat maupun vaksin. Burung liar sebagai pejamu alami telah membawa virus H5N1 menjadi patogen bagi golongan unggas domestik yang menular ke manusia. Komponen lingkungan fisik diantaranya udara dan air berperan sebagai faktor risiko penularan dan penyebaran penyakif flu burung. Penyakit ini dapat menular melalui lingkungan udara yang tercemar virus avian influenza yang berasal dari kotoran atau sekreta unggas yang menderita flu burung (Depkes 2004). Penularan dari unggas ke manusia juga dapat terjadi jika manusia telah menghirup udara yang mengandung virus flu burung atau kontak langsung dengan unggas yang terinfeksi. Lingkungan air merupakan tempat hidup virus H5N1 juga bahkan dapat bertahan di air sampai 4 hari pada suhu 22º C dan lebih dari 30 hari pada 0º C (Depkes 2004). Munculnya KLB penyakit flu burung pada manusia tidak terlepas kaitannya dengan degradasi fungsi lingkungan diikuti gaya hidup tidak sehat serta masalah kemiskinan yang masih cukup tinggi (www.menlh.go.id). Sumber penularan flu burung yang sulit dikendalikan adalah burung liar yang bermigrasi secara bebas dan mampu menyebarkan virus antar negara (www.komnasfbpi.org/Renstra_AI_dan_PI). Pola penularan melalui burung liar yang bermigrasi kini terbukti dengan kesamaan virus H5N1 di Danau Qiangli Cina dan pada pasien di Turki yang meninggal (Aditama, 2007). Isu utama perubahan iklim disebabkan fluktuasi secara alami dan banyak menunjukkan fluktuasi kesehatan secara musiman dan tahunan. Hal tersebut hanya menegaskan bahwa penyakit-penyakit memiliki kebergantungan pada musim dan perubahan iklim (IPCC, 2001). Pada musim dingin, burungburung liar bermigrasi ke arah selatan melintasi Indonesia. Migrasi burung liar yang merupakan reservoir virus pada hewan-hewan domestik yang ada di jalur perjalanan mereka. Para ilmuwan menyakini bahwa burung-burung liar/burung air yang bermigrasi membawa virus H5N1 dalam bentuk HPAIV (High Pathogenic Avian Influenza Virus). Hal ini terbukti dengan KLB flu burung pada hewan di Asia Tenggara yang terjadi pada musim dingin 2003-2004. Saat itu, kepadatan burung-burung liar di Asia Tenggara berada pada puncaknya. Semakin banyak hewan peliharaan yang terinfeksi maka risiko penularan pada manusia semakin besar (Endarti dan Juwita, 2006). Page 5 Penyakit flu burung pada manusia mempunyai tingkat keganasan (virulensi) yang membahayakan di antara penyakit infeksi menular lainnya (HIV/AIDS, Malaria, dan lain-lain). Tingkat kematian akibat penyakit flu burung mencapai 56% dan masa inkubasi penyakit flu burung pada manusia sangat cepat yaitu 1-10 hari. Penyakit flu burung telah menjadi isu global sehingga penanganan yang serius perlu segera diambil agar KLB flu burung tidak bermutasi menjadi flu yang menular dari manusia ke manusia dan menjadi wabah pandemi influenza. Menurut WHO, terdapat enam fase global pandemi influenza berdasarkan faktor epidemiologi pada manusia sebelum suatu pandemi ditetapkan. Flu burung berdasarkan data yang diperoleh dari WHO masuk pada fase ke-3 yaitu periode kewaspadaan terhadap pandemi. Data tahun 2003 hingga tanggal 27 Februari 2006, tercatat jumlah kasus Avian Influenza yang confirmed laboratorium mencapai 173 kasus dan 93 kasus (55%) di antaranya meninggal dunia. Negara dengan jumlah kasus Avian Influenza terbanyak adalah Vietnam (93 kasus) sekitar 53,8% dari total kasus di seluruh dunia dengan kematian 45,16%. Indonesia menempati urutan kedua kasus terbanyak di seluruh dunia dengan 28 kasus (15,6%) dan kematian 74,1%, setelah Thailand dengan 22 kasus (12,72%) dan kematian 63,6%. Area periode kewaspadaan terhadap pandemi penyakit flu burung di Asia Tenggara terlihat pada Gambar 1.1. Gambar 1. Area Periode Kewaspadaan Pandemik Flu Burung Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional juga berkewajiban melaksanakan penanganan flu burung secara berkelanjutan mengingat salah satu sumber penularan flu burung adalah burung liar yang bermigrasi secara bebas dan mampu menyebarkan virus antar negara. Meluasnya Page 6 penyakit flu burung mempengaruhi langsung segi kesehatan, segi sosial, dan tantangan di bidang ekonomi secara tidak langsung akan menimbulkan kekhawatiran di seluruh dunia. Situasi penyakit flu burung di Indonesia bulan Juni 2007 diperoleh data jumlah kasus konfirmasi adalah 100 orang penderita positif H5N1 (Depkes, 2007). Dari jumlah kasus tersebut terdapat 80 orang penderita yang meninggal (CFR = 80%). Secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1.1. Distribusi Penemuan Kasus Konfirmasi Flu Burung Berdasarkan Propinsi di Indonesia Tahun 2007 Propinsi Jawa Barat DKI Jakarta Banten Sumatera Utara Jawa Tengah Jawa Timur Lampung Sulawesi Selatan Sumatera Barat Sumatera Selatan Riau Total Positif Flu Burung Jumlah Kasus Meninggal 29 23 25 22 12 10 8 7 9 8 7 5 3 1 3 0 1 1 1 1 2 2 100 80 Sumber: Depkes RI (2007) Berdasarkan data yang diperoleh, diantara sebelas Propinsi di Indonesia ternyata Propinsi Jawa Barat menduduki peringkat ke-1 dengan jumlah kasus positif flu burung pada manusia mencapai 29 penderita (29%), Angka Case Fatality Rate (CFR) adalah 79,3%. Selanjutnya Propinsi DKI Jakarta dengan jumlah kasus 25 penderita (25%) dan CFR adalah 88% sedangkan posisi ketiga adalah Propinsi Banten dengan jumlah kasus 12 penderita (12%) dan CFR adalah 83,3%. Angka kesakitan dan kematian penyakit flu burung pada manusia yang tinggi terutama di wilayah Propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten akan menimbulkan risiko penularan dan penyebaran yang berbahaya karena wilayah propinsi tersebut merupakan wilayah padat populasi dengan jumlah penduduk yang besar di Indonesia. Padatnya populasi penduduk memerlukan tempat tinggal (area) yang makin luas dan memerlukan pemenuhan kebutuhan dasar hidup yang meningkat baik kebutuhan air, kebutuhan makanan, dan kebutuhan dasar hidup lainnya. Kondisi lingkungan tersebut akan menjadi faktor risiko terjadinya penyakit flu burung secara terus menerus pada saat tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan. Page 7 1.2. Problematika Penyakit Flu Burung Menjelang milenium ketiga, umat manusia dihadapkan pada berbagai perubahan lingkungan global yang langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kesehatan. Seringkali perubahan lingkungan yang tadinya berskala lokal dapat meluas menjadi regional bahkan global, karena sifat perubahan tersebut menjadikan negara-negara di muka bumi ini tidak mengenal batas lagi. Permasalahan lingkungan di suatu negara akan berdampak meluas ke negara lainnya yang berada di belahan dunia ini. Harus disadari secara alamiah manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Manusia bernafas memerlukan udara sekitarnya setiap detik. Makanan manusia diambil dari sekitarnya, demikian pula minuman, pakaian, dan lain sebagainya. Bergantung taraf budayanya, manusia dapat sangat erat atau erat hubungannya dengan lingkungan hidupnya. Hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya adalah sirkuler. Perubahan pada lingkungan itu pada gilirannya akan mempengaruhi kehidupan manusia termasuk masalah kesehatan manusia. Teori Gordon, dalam Anies (2006) menyatakan ketidakseimbangan terjadi akibat pergeseran faktor lingkungan akan mempengaruhi bibit penyakit (agent) menjadikannya lebih ganas atau lebih mudah masuk ke dalam tubuh manusia. Menurut Bloom (1974) dalam Suliha et al (2002) faktor yang paling dominan mempengaruhi derajat kesehatan manusia adalah faktor lingkungan (45%), faktor perilaku (30%), pelayanan kesehatan (20%), dan keturunan (5%). Penyakit-penyakit yang timbul saat ini baik penyakit degeneratif, penyakit tidak menular maupun penyakit menular tidak terlepas dari faktor lingkungan sebagai faktor risiko penyebab terjadinya penyakit termasuk mewabahnya penyakit flu burung di berbagai belahan dunia. Penyakit flu burung dalam waktu singkat sejak tahun 1997 pertama kali muncul di Hongkong menginfeksi manusia sebanyak 18 orang dengan jumlah kematian 6 orang (Siegel, 2006). Fakta yang melegakan bahwa setiap pasien ini menjadi terinfeksi akibat kontak langsung dengan unggas terinfeksi, bukan dengan orang yang terinfeksi. Munculnya penyakit flu burung tidak terlepas dari peranan masalah lingkungan sebagai faktor risiko terjadinya kasus kesakitan dan kematian yang meningkat secara progresif. Komponen lingkungan yang terlibat sebagai faktor risiko terjadinya penyakit flu burung mencakup lingkungan fisik, kimia, biologi, dan sosial ekonomi. Menurut Azwar (1999) lingkungan fisik adalah lingkungan alamiah yang terdapat di sekitar manusia mencakup cuaca, musim, keadaan geografis, dan struktur geologi. Lingkungan fisik terdiri atas benda-benda yang tidak hidup termasuk golongan udara, sinar matahari, tanah, air, perumahan, sampah, dan sebagainya (Entjang 1993). Page 8 Lingkungan fisik rumah yang memenuhi syarat kesehatan menurut Winslow dalam Entjang (1993) diantaranya 1) harus memenuhi kebutuhan fisiologis, 2) kebutuhan psikologis, 3) dapat menghindarkan terjadinya kecelakaan, dan 4) dapat menghindarkan terjadinya penyakit. Lingkungan fisik rumah merupakan faktor risiko terjadinya penyakit flu burung dilihat dari aspek-aspek tempat tinggal rumah, jarak rumah dengan kandang ternak, jarak rumah ke pasar unggas, jarak rumah ke tempat peternakan, dan posisi tempat tinggal. Lingkungan fisik lainnya sebagai faktor risiko penyakit flu burung adalah lingkungan air mencakup sumber air rumah tangga, saluran limbah rumah tangga, dan saluran air limbah kotoran unggas. Virus H5N1 dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22ºC dan lebih dari 30 hari pada 0ºC (Depkes, 2004). Selain itu faktor lingkungan fisik lainnya adalah kebersihan kandang ternak dan kebersihan rumah yang dapat saja berhubungan dengan timbulnya penyakit flu burung. Lingkungan biologi terdiri atas organisme-organisme hidup yang berada di sekitar manusia baik yang merugikan maupun menguntungkan manusia. Lingkungan biologi bentuk mikroorganisme yang merugikan manusia adalah bibit penyakit golongan virus influenza A subtipe H5N1 yang beradaptasi pada unggas sebagai penyebab penyakit flu burung pada manusia. Keberadaaan virus H5N1 di lingkungan biologi yang merupakan faktor risiko mencakup keberadaan unggas liar, keberadaan kucing, dan burung peliharaan. Sedangkan lingkungan kimia sebagai faktor risiko timbulnya penyakit flu burung adalah penggunaan jenis pupuk yang dipakai. Faktor risiko lingkungan lainnya yang berhubungan dengan terjadinya penyakit flu burung pada manusia adalah lingkungan sosial ekonomi mencakup pendidikan, pekerjaan, jenis pekerjaan, tempat pekerjaan yang dicerminkan juga jabatan dalam pekerjaan, pekerjaan anggota keluarga, aktivitas kontak, jenis kontak, jumlah kontak, kontak erat, tempat kontak erat, kontak erat dengan unggas, aktivitas ke pantai. Lingkungan sosial ekonomi masyarakat tersebut berperan sebagai faktor risiko terhadap kejadian penyakit flu burung pada manusia. Kasus pertama kali ditemukan infeksi flu burung H5N1 pada manusia pada bulan Juli 2005 di Tangerang, yang berakhir pada kematian, dimana kasus ini unik karena korban tidak banyak berhubungan dengan unggas (Siegel, 2006). Berdasarkan hal tersebut diatas hampir semua lapisan masyarakat merupakan populasi yang berisiko tertular penyakit flu burung. Terjadinya penyakit pada manusia ditentukan pula oleh faktor manusia itu sendiri artinya bahwa dalam diri manusia terdapat faktor penyebab timbulnya penyakit. Pada penyakit flu burung yang menjadi faktor risiko dalam diri manusia mencakup umur, jenis kelamin, kebiasaan memasak daging unggas, kebiasaan memasak telur unggas, kebiasaan mencuci tangan sebelum dan sesudah memasak, riwayat kesehatan, tingkat stres dan status gizi. Page 9 Manusia yang terserang penyakit flu burung akan melewati masa inkubasi 1-3 hari, masa infeksi 1 hari sebelum 3-5 hari sesudah timbul gejala sedangkan padan anak-anak sampai 21 hari (Depkes, 2004). Gejala klinik yang timbul pada manusia mencakup demam (suhu badan di atas 38ºC, batuk dan nyeri tenggorokan, radang saluran pernafasan, pneumonia, infeksi mata, dan nyeri otot. Apabila tidak dilakukan tatalaksana dengan baik dapat menyebabkan kematian. Terbukti bahwa angka kematian akibat penyakit flu burung pada manusia di Indonesia cukup tinggi terutama pada kasus konfirmasi mencapai 81,7%. Hal ini menandakan bahwa perjalanan riwayat alamiah penyakit hampir sebagian pada tahap akhir dengan kematian. Jumlah kematian penyakit flu burung pada manusia cukup tinggi mengindikasikan bahwa di tahap pre-patogenesis faktor risiko lingkungan saat terjadi interaksi dengan manusia dan bibit penyakit tidak terkendalikan. Dampaknya penyakit flu burung pada manusia ditemukan sudah masuk pada tahap patogenesis (tahap klinik) dan sudah melewati masa inkubasi sehingga penemuan kasus terlambat yang akhirnya angka kematian menjadi dominan. Tingginya tahap kematian perjalanan riwayat alamiah penyakit flu burung melibatkan berbagai komponen lingkungan sebagai faktor risiko dominan. Pelibatan banyaknya faktor risiko lingkungan meningkatkan kerentanan manusia terhadap virulensi bibit penyakit (H5N1) sehingga identifikasi faktor risiko lingkungan dominan perlu dilakukan. Apalagi penyakit flu burung ini termasuk penyakit zoonosis. Penyakit zoonosis adalah suatu penyakit pada hewan (unggas) yang dapat menular kepada manusia. Pola penularan dari sumber utamanya (unggas) adalah kontak langsung dan lingkungan udara atau peralatan yang tercemar AI (Depkes RI, 2004). Penyakit ini sudah masuk pada tahap kewaspadaan pandemik. Pengendaliannya pun tentu saja melibatkan berbagai kelembagaan diantaranya Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan mulai dari tingkat Pusat sampai pada Unit Pelaksana Teknis terbawah (Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas Peternakan Kabupaten/Kota, dan sebagainya). Fokus yang dilakukan diantaranya mencakup upaya intervensi pencegahan sesuai tingkatan primer, sekunder, dan tersier. Penekanan upaya intevensi pencegahan adalah pada paradigma sehat tidak pada paradigma sakit. Saat ini paradigma berpikir masyarakat masih ke arah yang bersifat kuratif (pengobatan) artinya masyarakat terdogmatis mempunyai pikiran kalau sakit mudah tinggal datang saja berobat ke dokter atau ke tempat pelayanan kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, dan lainnya). Secara bertahap harus sudah mulai dibangun berpikir masyarakat ke arah yang bersifat preventif (pencegahan) artinya masyarakat sudah berpikir secara internal dalam dirinya supaya tidak terserang penyakit. Tujuan akhirnya segala upaya yang berhubungan dengan tindakan pencegahan penyakit (penyakit flu burung) dilaksanakan. Page 10 Bertitik tolak dari fenomena yang penulis temukan masalah penyakit flu burung pada manusia adalah sebagai berikut : Bagaimana pola perjalanan riwayat alamiah penyakit flu burung pada manusia mulai dari tahap peka, pragejala, klinik, dan tahap terminal pada kelompok kasus? Bagaimana model intervensi pencegahan berbasis interaksi faktor risiko lingkungan dalam menurunkan angka insidens penyakit flu burung pada manusia? 1.3. Kebaruan Perkembangan Penyakit Flu Burung Dalam buku ini, yang menjadi novelty-nya, adalah penulis telah membuat kumpulan Status Health Folder(SHF) perjalanan riwayat alamiah khusus penyakit flu burung pada manusia. SHF dikembangkan oleh penulis berdasarkan riset yang dilakukan pada 31 penderita flu burung yang dinyatakan sebagai kasus konfirmasi. SHF menggambarkan pola perjalanan pasien yang menderita penyakit flu burung sesuai tahapan pre-patogenesa sampai pada tahap terminal. Pengembanga SHF penyakit flu burung pada manusia merupakan entry point dalan menemukanmodel upaya intervensi pencegahan penyakit flu burung pada manusia. Pembuatan model intervensi pencegahan penyakit flu burung pada manusia menggunakan model dinamik. Model ini dapat membuat prediksi jika faktor-faktor yang berhubungan dengan KLB penyakit flu burung diintervensi. Page 11 BAGIAN-2. KONSEP DASAR PENYAKIT FLU BURUNG 2.1. Pengertian Penyakit Flu Burung Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala bidang semakin meningkat, termasuk bidang kesehatan secara umum. Kemajuan ilmu dan teknologi kesehatan telah mencapai taraf memuaskan dalam hal mengatasi penderitaan dan kematian penyakit tertentu. Masalah kesehatan bagi masyarakat umum masih sangat rawan. Pada beberapa tahun terakhir ini sejumlah penyakit menular tertentu sudah dapat diatasi. Di lain pihak timbul pula masalah baru dalam bidang kesehatan masyarakat adanya kejadian penyakit menular jenis baru salah satunya penyakit flu burung. Penyakit flu burung saat ini telah menjadi isu global yang sangat menakutkan dan mengancam populasi baik populasi unggas maupun populasi manusia di dunia. Menurut Dirjen P2PL Depkes RI (2005) Avian influenza merupakan penyakit menular pada hewan (unggas, babi, dan lain-lain) yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dengan manifestasi beragam, mulai dari sakit ringan hingga kematian. Avian influenza (penyakit flu burung), yang ditularkan oleh unggas ternyata dapat menyerang manusia (Dirjen P2PL Depkes RI 2006). Dalam operasionalisasi penentuan definisi kasus penyakit flu burung di kelompokan menjadi tiga jenis yaitu: 1) Kasus Suspekyaituadalah seseorang yang menderita ISPA dengan gejala demam (temperatur > 38°C), batuk dan atau sakit tenggorokan dan atau ber-ingus serta dengan salah satu keadaan: (a) seminggu terakhir mengunjungi peternakan yang sedang berjangkit KLB flu burung, (b) kontak dengan kasus konfirmasi flu burung dalam masa penularan, (c) bekerja pada suatu laboratorium yang sedang memproses spesimen manusia atau binatang yang dicurigai menderita flu burung 2) Kasus Probableyaitu kasus suspek disertai salah satu keadaan: (a) bukti laboratorium terbatas yang mengarah kepada virus influenza A (H5N1), misalnya: Test HI yang menggunakan antigen H5N1, (b) dalam waktu singkat berlanjut menjadi pneumonia gagal pernafasan/meninggal, (c) terbukti tidak terdapat penyebab lain 3) Kasus Konfirmasi yaitu kasus suspek atau "probable" didukung oleh salah satu hasil pemeriksaan laboratorium; (a) kultur virus influenza H5N1 positif, (b) PCR influenza (H5) positif, (c) peningkatan titer antibodi H5 sebesar 4 kali 2.2. Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit Flu Burung Page 12 Penyakit menular menyerang masyarakat kadang kala tidak bisa diantisipasi sebelumnya. Tingginya angka kesakitan dan kematian yang mendadak bisa berdampak pada timbulnya kepanikan dan ketakutan di masyarakat diantaranya penyakit flu burung. Kondisi saat ini penyakit flu burung telah masuk sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Depkes RI (1994) menyatakan KLB adalah timbulnya suatu kejadian kesakitan/kematian dan atau meningkatnya suatu kejadian atau kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu, termasuk kejadian kesakitan/kematian yang disebabkan oleh penyakit menular maupun tidak menular dan kejadian bencana alam yang disertai wabah penyakit. Suatu kejadian dapat disebut KLB bila memenuhi satu atau lebih indikator sebagai berikut: 1) Kesakitan/kematian suatu penyakit menular di suatu daerah menunjukan kenaikan tiga kali atau lebih selama tiga kurun waktu berturut-turut atau lebih. 2) Jumlah penderita baru dalam satu bulan dari suatu penyakit di suatu daerah, menunjukan kenaikan dua kali lipat atau lebih bila dibandingkan angka rata-rata per bulan pada tahun sebelumnya dari penyakit menular yang sama di suatu daerah tersebut. 3) Case Fatality Rate dari suatu penyakit menular tertentu dalam satu bulan di satu daerah, menunjukan kenaikan 50% atau lebih, bila dibandingkan dengan CFR penyakit yang sama dalam bulan yang lalu di daerah tersebut itu. 4) Apabila di daerah tersebut terdapat penyakit menular yang sebelumnya tidak ada/dikenal. Kejadian Luar Biasa (KLB) tergolong dalam letusan kejadian yang bersumber dari makanan/minuman dan air, yang lain berupa penyakit menular atau kejadian yang tidak diketahui sebab-sebabnya. Depkes RI (1994) menggolongkan KLB sebagai berikut: 1) Menurut penyebabnya mencakup toksin, infeksi, toksin biologis, dan kimia 2) Menurut sumbernya mencakup bersumber dari manusia dan bersumber dari kegiatan manusia 3) Bersumber dari hewan 4) Bersumber dari serangga 5) Bersumber dari udara 6) Bersumber dari permukaan benda-benda/alat-alat 7) Bersumber dari makanan/minuman Flu burung di Indonesia, telah dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) oleh Menteri Kesehatan RI melalui Surat Keputusan No. 1371/Menkes/Per/IX/2005 tentang Penetapan Flu Burung (Avian Influenza) sebagai penyakit yang dapat menimbulkan wabah serta pedoman penanggulangannya. Page 13 Penyaki flu burung telah ditetapkan termasuk kondisi kejadian luar biasa sesuai Surat Keputusan Menkes No. 1372/Menkes/Per/IX2005 tentang penetapan kondisi kejadian luar biasa (KLB) Flu Burung (Avian Influenza). 2.2.1. Faktor Lingkungan Lingkungan adalah agregat dari semua kondisi dan pengaruh-pengaruh luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan suatu organisasi (Azwar, 1999). Faktor lingkungan dapat berupa lingkungan biologi, lingkungan fisik, dan lingkungan sosial ekonomi (Budiarto dan Anggraeni, 2003). Lingkungan Biologi Lingkungan biologi ialah semua mahluk hidup yang berada disekitar manusia yaitu flora dan fauna, termasuk manusia. Misalnya wilayah dengan flora yang berbeda akan mempunyai pola penyakit berbeda. Faktor lingkungan biologi ini selain bakteri dan virus patogen, ulah manusia juga mempunyai peranan penting dalam terjadinya penyakit. Bahkan dapat dikatakan penyakit timbul karena ulah manusia. Lingkungan biologi yang berhubungan dengan penyakit flu burung akan diuraikan secara rinci berikut ini. Virus Penyebab Penyakit Flu Burung Penyebab flu burung adalah virus influenza tipe A. Virus influenza termasuk famili Orthomyxoviridae. Virus inflenza tipe A dapat berubah-rubah bentuk (drif shift). Berdasarkan sub tipe virus terdiri atas hemaglutinin (H) dan neuramidase (N). Kedua huruf ini digunakan sebagai identifikasi kode sub tipe flu burung yang banyak jenisnya. Pada manusia hanya terdapat jenis H1N1, H2N2, H3N3, H5N1, H9N2, H1N2, H7N7. Di binatang H1H5 dan N1-N9. Strain yang sangat virulen/ganas dan menyebabkan flu burung adalah dari subtipe A yaitu H5N1. Dalam perkembangan virus influenza A pada manusia mengalami evolusi (Siegel, 2006) seperti pada Tabel 2.1. Tabel 2.1.Evolusi Influenza A Pada Manusia Tahun 1874 1890 1902 1918 1933 1947 Galur H3N8 H2N2 H3N2 H1N1 H1N1 H1N1 Perkembangan Pandemi Flu Spanyol Galur-galur pertama diisolasi Varian terdeteksi Page 14 1957 1968 1997 Sumber: Siegel (2006) H2N2 H3N2 H5N1 Flu Asia Flu Hongkong Kewaspadaan Pandemi Penjamu Alami Burung-burung air yang liar, terutama yang termasuk dalam ordo Anserformis (bebek dan angsa) dan Charadiformis (burung camar dan burung-burung pantai), adalah pembawa (carier) semua varietas subtipe dari virus influenza A. Oleh karenanya, sangat mungkin merupakan penampung (reservoir) alami untuk semua spesies burung dianggap sebagai rentan terinfeksi, beberapa spesies unggas domestikayam, kalkun, balam. Puyuh dan merak diketahui terutama rentan terhadap sekuele (lanjutan) dari infeksi virus influenza. Virus-virus influenza A unggas biasanya tidak menimbulkan penyakit pada pejamu alami mereka. Sebaliknya virus-virus tersebut tetap dalam suatu keadaan statis yang evolusioner, yang secara molekuler ditandai dengan rendahnya rasio mutasi N/S (non synonymous vs synonymous) yang menunjukkan adanya evolusi pemurnian (Gorman, et al. 1992; Taubenberger, et al. 2005). Antara pejamu dengan virus agaknya terjadi saling toleransi yang seimbang, yang secara klinis ditunjukan dengan tidak adanya penyakit dan replikasi virus secara efiesien. Sejumlah besar virus sampai sebanyak 10 8,7 x 50% dosis infektif (egg-infective dose) per gram tinja, dapat dikeluarkan (Webster 1978 dalam Mohamad 2006 ). Jika virus tersebut menular ke spesies unggas yang rentan, dapat timbul gejala-gejala sakit yang kalau ada hanya bersifat ringan. Virus dari fenotip seperti ini disebut sebagai berpatogenisitas rendah (LPAIV; Low Pathogenic Avian Influenza Virus). Pada umumnya, hanya mengakibatkan terjadinya penurunan produksi telur yang bersifat ringan dan sementara dalam unggas petelur, atau menurunkan penambahan berat badan dalam unggas pedaging (Capua and Minelli, 2001). Strain-strain dari subtipe H5 dan H7 berpotensi untuk mengalami mutasi menjadi bentuk yang sangat patogen setelah mengalami perpindahan dan adaptasi unggas terhadap pejamu baru. Kelahiran bentuk yang sangat patogen dari H5 dan H7 atau subtipe yang lain tidak pernah dijumpai pada unggas liar (Webster 1998). Oleh karena itu, orang dapat mengambil kesimpulan bahwa bentuk yang sangat patogen tersebut sebenarnya merupakan hasil perbuatan manusia juga, akibat kelakuan manusia yang mempengaruhi keseimbangan sistem alami. Sekali fenotip HPAIV tumbuh dalam unggas domestik, mereka akan dapat ditularkan secara horisontal dari unggas ternak kembali ke burung liar. Kerentanan burung liar terhadap penyakit yang ditimbulkan oleh HPAIV sangat bervariasi bergantung pada spesies dan umur unggas, serta strain Page 15 virusnya. Sampai pada munculnya virus ganas (HPAIV) garis H5N1 di Asia, limpahan dari HPAIV ke populasi burung liar hanya terjadi secara sporadik dan terbatas pada suatu daerah saja, kecuali satu yaitu pada kematian sekelompok sterna (sejenis camar) di Afrika Selatan pada tahun 1961 (Becker 1996). Sebegitu jauh unggas liar secara epidemiologik tidak dianggap mempunyai peranan penting dalam penyebaran HPAIV. Pandangan ini kini berubah secara fundamental sejak awal 2005. Ketika terjadi wabah virus ganas (HPAIV) yang terkait dengan garis H5N1 Asia pada ribuan burung unggas di cagar alam Danau Qinghai di barat laut China (Chen et al, 2005). High Pathogenic Avian Influenza Virus (HPAIV) Patogenesis sebagai sifat umum virus dalam virus influenza A merupakan bakat filogenik dan sangat bergantung pada sebuah konstelasi gen yang ‘optimal’ yang mempengaruhi antara lain tropisme (reaksi ke arah atau menjauhi stimulus) dari jaringan dan pejamu, efektivitas replikasi dan mekanisme penghindaran imunitas. Selain itu faktor spesifik pada tiap spesies berperanan juga terhadap hasil suatu infeksi, yang terjadi setelah penularan antar spesies, dan karenanya tidak dapat diduga sebelumnya. Proses timbulnya penyakit flu burung dalam perjalanan penyakit dipengaruhi oleh sifat-sifat mikroorganisme sebagai agen penyebab penyakit. High Pathogenic Avian Influenza (HPAI) adalah peningkatan kemampuan mikroorganisme (avian virus influenza) untuk menimbulkan penyakit flu burung pada manusia atau dalam kondisi virus influneza unggas yang sangat patogen yang sampai saat ini secara eksklusif ditimbulkan oleh subtipe H5 dan H7. Dalam kenyataannya hanya sebagian kecil subtipe H5 dan H7 yang menunjukan subtipe yang sangat patogen. Biasanya virus-virus H5 dan H7 bertahan stabil dalam pejamu alaminya dalam bentuk yang berpatogenesis rendah. Dari resevoir ini virus dapat ditularkan melalui berbagai jalan ke kawanan unggas ternak. Setelah masa sirkulasi yang bervariasi dan tidak pasti (dan barang kali juga beradaptasi) dalam populasi unggas yang rentan, virus-virus tersebut dapat secara melompat mengalami mutasi menjadi bentuk yang sangat patogen (Rohm, et al. 1995). Fenotipe HPAI di lapangan nampaknya merupakan hal yang jarang terjadi, dan selama jangka waktu lima puluh tahun terakhir di seluruh dunia hanya terjadi sebanyak 24 kali wabah HPAI primer yang diakibatkan oleh HPAIV, yang agaknya secara de novo muncul dengan cara demikian. Gambaran Reservoir Setelah masa tunas yang biasanya berlangsung selama beberapa hari (jarang sampai 21 hari), bergantung pada karakteristik isolat, dosis inokulum, spesies dan usia unggas, gambaran klinis influenza Page 16 unggas pada burung bervariasi dan gejalanya sering tidak spesifik (Elbers, et al. 2005). Oleh karena itu tidak mungkin untuk menegakkan diagnosis hanya berdasarkan gambaran klinis. Gejala-gejala yang terjadi setelah terinfeksi oleh avian influenza virus berpatogenesis rendah mungkin tidak terlalu jelas, seperti bulu-bulu yang kusut, produksi telur yang secara transien menurun atau berat badan menurun yang disertai sedikit gangguan pernafasan (Capua dan Mutineli, 2001). Dalam bentuknya yang patogen, penyakit yang terjadi pada ayam dan kalkun ditandai dengan serangan yang mendadak dengan gejala yang hebat serta kematian yang mendekati 100% dalam jangka waktu 48 jam. Penyebaran dalam kelompok bergantung pada pemeliharaan dalam kelompok yang dilepas di tempat yang kotor dan terjadi hubungan langsung serta percampuran dengan hewan lain, penyebaran infeksi berlangsung lebih cepat daripada yang dipelihara dalam kandang, tetapi masih juga diperlukan beberapa hari untuk terjadinya penularan yang sempurna (Capua, 2000). Seringkali hanya sebagian kandang saja yang terkena. Banyak unggas yang mati tanpa gejala-gejala awal sehingga kadang-kadang pada mulanya orang menduga telah terjadi keracunan (Nakatami, 2005). Di perusahaan ternak unggas yang besar, terjadinya penurunan konsumsi air dan makanan yang progresif dan dalam waktu singkat, dapat menjadi tanda akan adanya penyakit sistemik pada kawanan unggas ternak. Pada unggas petelur, terhentinya produksi telur sangat nyata. Secara individual, unggas yang terkena HPAI sering hanya menunjukan gejala apatis dan tidak banyak bergerak (Kwon, et al. 2005). Pembengkakan nampak pada daerah kepala yang tidak ditumbuhi bulu, terjadi sianosis pada jengger, gelambir, dan kaki, diare dengan kotoran berwarna kehijauan dan nampak susah bernafas, dapat dijumpai meskipun tidak selalu (inkonsisten). Pada unggas petelur, mulanya telur yang dihasilkan berkulit lembek, tetapi kemudian produksi telur berhenti secara cepat sejalan dengan perkembangan penyakit (Elbers, 2005). Gejala-gejala sistem syaraf termasuk tremor, tortikolis, dan ataxia mendominasi gambaran klinis pada spesies yang tidak begitu rentan seperti bebek, angsa, dan jenis burung onta (Kwon, 2005). Virulensi Virus Avian influenza Influensa Unggas Patogenesis Rendah (Low Pathogenic Avian Influenza, LPAI) Kerusakan jaringan (lesio) yang terjadi bervariasi bergantung pada strain virus dan spesies serta umur pejamu. Pada umumnya, hanya kalkun dan ayam yang menunjukan terjadinya perubahan Page 17 mikroskopik yang besar terutama dengan strain yang sudah beradaptasi dengan penjamu ini (Capua dan Mutinelli, 2001). Pada kalkun terjadi sinusitis, trakheitis, meskipun kemungkinan ada juga peranan infeksi bakteri sekunder. Pernah juga dilaporkan terjadinya pankreatitis pada kalkun. Pada ayam yang paling sering dijumpai adalah radang ringan di saluran pernafasan. Selain itu, lesi juga terjadi pada organ reproduktif (ovarium, saluran telur, peritonitis kuning telur) dari unggas petelur. Influensa Unggas Patogenesis Tinggi (High Pathogenic Avian Influenza, HPAI) Perubahan patologik dan histopatologik yang hebat pada HPAI menunjukan kebergantungan serupa dengan yang nampak pada gambaran klinis. Ada empat kelas perubahan patologik yang dipostulasikan (Perkins dan Swayne, 2002) diantaranya adalah: (a) Bentuk perakut (kematian terjadi dalam waktu 24-36 jam setelah infeksi, terutama terlihat pada beberapa spesies galliformis) dan akut dari penyakit ini tidak menunjukkan terjadinya perubahan patologik yang besar. Pada bentuk perakut, terlihat hidroperikardium yang tidak jelas, kongesti usus yang ringan dan perdarahan petekhial pada selaput serosa mesenteri dan perikardium meskipun tidak selalu (Mutenelli, et al. 2003). Ayam yang terinfeksi oleh H5N1 garis Asia adakalanya menunjukan adanya bercak-bercak haemorrhagik disertai lendir di trakhea dalam jumlah yang nyata (Elbers, et al. 2005). Dapat juga dijumpai pembengkakan serosa (serous exudattion) dalam ronggarongga tubuh dan paru-paru. Bintik-bintik perdarahan di mukosa proventrikulus, secara khusus dijumpai pada unggas yang terinfeksi H5N1 garis Asia (Elbers, et al. 2005). Berbagai lesio histologi bersama-sama dengan antigen virus dapat dideteksi di berbagai organ (Mo, 1997). Pertama-tama virus ditemukan di sel endotel. Berikutnya sel-sel yang terinfeksi oleh virus dijumpai di myokardium, kelenjar adrenal dan pankreas. Neuron dan juga sel glia di otak juga terinfeksi. Secara patogenesis, diduga perjalanan penyakitnya serupa dengan infeksi virus endoteliotropik lainnya, ketika aktivasi leukosit dan endotel mengakibatkan pelepasan sitotoksin secara sistematik dan tidak terkoordinasi dan menjadi predisposisi kegagalan jantung-paru dan kegagalan multiorgan (Klenk, 2005). (b) Pada hewan, gejala-gejala awal muncul sangat lambat dan penyakit berlangsung lama. Terlihat juga gejala neurologik dan secara histologik, terjadi lesi nonsupuratif di otak mendominasi gambaran klinis (Perkin dan Swayne, 2002; Kwon, 2005). Perjalanan penyakit semacam ini pernah diuraikan pada angsa, bebek, dan spesies lain yang secara eksperimental diinfeksi dengan HPAI strain H5N1 garis Asia. Pada unggas petelur, peradangan dapat ditemukan di kandung telur, saluran telur, dan setelah folikel pecah, terjadi peradangan yang disebut sebagai peritonitis kuning telur. Page 18 (c) Pada bebek, burung camar, dan burung gereja, dijumpai replikasi virus yang terbatas. Unggasunggas ini menunjukan terjadinya pneumonia interstisial yang ringan, radang kantung udara dan adakalanya miokarditis limfositik dan histiositik (Perkins dan Swayne 2002). (d) Dalam percobaan yang dilaporkan oleh Perkins dan Swayne (2003), burung dara dan walet terbukti kebal terhadap infeksi H5N1. Meskipun demikian, Werner et al (belum dipublikasikan) berhasil memicu terjadinya gangguan neurologik yang berkepanjangan akibat adanya ensefalitis nonsupuratif (Klopfleisch, 2006). Sebaiknya sewaktu mengambil sampel dari burung yang diduga terkena HPAI, standar keamanan harus dipatuhi agar petugas tidak terpapar pada HPAIV yang berpotensi menular ke manusia (Bridges et al, 2002). Lingkungan Fisik Lingkungan fisik dapat berupa geografis dan keadaan musim. Misalnya, negara yang beriklim tropis mempunyai pola penyakit yang berbeda dengan negara yang beriklim dingin atau subtropis. Demikian pula antara negara maju dengan negara berkembang. Dalam satu negara pun dapat terjadi perbedaan pola penyakit, misalnya antara daerah pantai dan daerah pegunungan atau antara kota dan desa (Budiarto dan Anggareni 2003). Azwar (1999) menyatakan keadaan geografis dapat berupa letak wilayah, struktur tanah, curah hujan, sinar matahari, angin, kelembaban udara, suhu udara, dan lain sebagainya. Peranan lingkungan fisik sebagai tempat hidup virus H5N1 menentukan dalam penularan penyakit flu burung. Menurut Depkes RI (2004) virus H5N1 dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22°C dan lebih dari 30 hari pada 0°C. Virus akan mati pada pemanasan 60°C selama 30 menit atau 56°C selama 3 jam dan dengan deterjen, desinfektan misalnya formalin serta cairan yang mengandung iodin. Lingkungan alam terutama di permukaan air, meskipun dalam morfologi nampak rapuh, merupakan media bagi virus influenza unggas dalam mempertahankan daya penularannya (Stalknecht, 1990a+b, Lu, 2003). Selain menular melalui kontak langsung dari pejamu ke pejamu, air dan bendabenda lain yang tercemar virus merupakan jalur penularan tidak langsung yang juga penting. Ini berbeda dengan penularan virus influenza pada mamalia (manusia, babi, kuda) yang terutama terjadi melalui percikan droplet yang tersembur dari hidung dan mulut. Siklus infeksi antar unggas terjadi melalui rantai oral-fekal (mulut-tinja) melalui penghantar media udara. Air yang digunakan oleh burung liar, atau makan dan minum dari sumber yang tercemar kotoran burung liar pembawa virus merupakan faktor risiko penularan dari burung liar ke unggas peliharaan terutama terjadi kalau unggas peliharaan tersebut dibiarkan bebas berkeliaran (Capua, et al. 2003). Unggas juga dapat terinfeksi jika bersentuhan langsung dengan hewan pembawa virus, atau kotoran Page 19 hewan lain yang membawa virus, atau bersentuhan dengan benda-benda yang tercemar bahan mengandung virus. Sekali virus menginfeksi kawanan unggas, LPAIV tidak harus mengalami suatu fase adaptasi pada spesies unggas tersebut sebelum dikeluarkan lagi dalam jumlah yang cukup besar untuk dapat menular secara horisontal ke unggas lain, baik dalam kawanan sendiri atau ke kawanan yang lain. Demikian pula sekali HPAIV berkembang dari kawanan unggas yang terinfeksi LPAIV, virus juga dapat menular dengan cara yang sama. Lingkungan fisik lainnya yang merupakan faktor risiko penularan penyakit flu burung adalah pasar unggas. Menurut Bulaga et al, (2003), pasar unggas yang menjual unggas dalam jumlah besar dan ditempatkan secara saling berdesakan, merupakan multifaktor penyebaran penularan penyakit flu burung. Bahkan Yuen, et al (1998) menyatakan kasus-kasus yang pertama kali ditemukan adanya hubungan antara HPAIV H5N1 garis Asia dengan penyakit pernafasan pada manusia di Hongkong pada tahun 1997 yang secara epidemiologik berhubungan dengan kejadian wabah H5N1 yang sangat patogen di pasar unggas hidup. Virus HPAI H5N1 garis Asia dapat ditemukan di semua jaringan termasuk daging di tubuh bangkai. Beberapa kejadian serupa, di laporkan bahwa orang yang menyembelih atau mempersiapkan unggas yang sakit untuk di makan telah mengalami penyakit yang fatal, sementara anggota keluarga yang juga ikut makan daging unggas tersebut tidak mengalami hal serupa (http//www.who.ins/csr/don/2005_10_13/n/indek.html). Suatu strain H9N2 telah menyebabkan mirip influenza ringan pada dua orang anak dalam kejadian SAR di Hongkong di tahun 1999, dan seorang anak lagi dipertengahan bulan Desember 2003 (Saito, 2001; Butt, 2005). Strain H9N2 yang beredar di dalam unggas ternak pada saat ini telah menimbulkan gejala-gejala dan angka kematian yang bermakna pada spesies yang rentan semisal kalkun dan ayam. Sampai hari ini, tidak ada bukti daging unggas yang dimasak secara baik dapat menjadi sumber penularan H5N1 garis Asia pada manusia. Sebagai pedoman umum, WHO menganjurkan agar daging di masak sampai matang benar, sehingga seluruh bagian daging mencapai suhu internal 70°Celsius. Pada suhu ini virus infuenza dapat dimatikan sehingga membuat aman untuk di makan meskipun daging mentahnya telah tercemari virus H5N1 (WHO 2005). Dalam beberapa kejadian, virus influenza unggas sudah menular ke berbagai spesies mamalia. Golongan babi telah sering terlibat dalam perlintasan antar kelas semacam itu. Virus H1N1 di populasi babi yang serupa virus unggas banyak dijumpai (Heinen, 2002). Virus H1N2, yang merupakan virus re- Page 20 assortment unggas-manusia, pertama kali berhasil di isolasi di Inggris tahun 1992, kini makin mantap pertumbuhannya (Brown, et al. 1998). Di Amerika Serikat virus (H3N2) yang merupakan triple reassortment antara H1N1 yang klasik, virus H3N2 manusia dan subtipe virus unggas kini mulai beredar (Olsen, 2005). Subtipe lain yang barangkali yang berasal dari unggas (misalnya H1N7, H4N6) beberapa kali di jumpai pada babi (Karasin, 2000). Virus H9N2 yang berasal dari unggas dalam prevalensi yang moderat dijumpai pada babi di China bagian Timur ( Xu, 2004). Selain babi, mamalia laut dan kuda juga sudah menunjukan tertulari virus influenza yang berasal dari unggas (Guo, 1992; Ito, 1999). Infeksi H5N1 secara alami juga pernah dijumpai pada harimau dan kucing besar lainnya di sebuah kebun binatang di Thailand setelah hewan-hewan itu diberi makan bangkai ayam yang diduga membawa virus (Aminosin dan Payungporn, 2005). Hewan-hewan tersebut kemudian menderita sakit berat dengan angka kematian yang tinggi. Nampaknya terjadi juga penularan dari kucing ke kucing di kebun binatang tersebut (Thanawongnuwech, et al. 2005). Kasus-kasus ini merupakan laporan pertama tentang terjadinya virus influenza pada golongan Felidae. Dalam suatu eksperimen, kucing rumah eropa berbulu pendek juga dapat ditulari virus H5N1 (Kuiken, 2004). Pada tahun 2004 sebanyak 3000 sampel serum yang diambil dari babi yang banyak berkeliaran di Vietnam telah di uji secara serologi untuk mengetahui seberapa jauh mereka telah terpapar oleh virus influenza H5N1 (Choi 2005). Nampaknya hasil penelitian menunjukan virus H5N1 ganas yang beredar di Asia dapat secara alami menginfeksi babi tetapi insiden penularan seperti ini masih rendah. Tidak satu pun virus H5N1 dari unggas dan manusia dalam uji coba tersebut sanggup menular diantara babi-babi dalam kondisi eksperiment ini (Choi, 2005). Dalam sebuah laporan singkat (Promed Mail 20050826), disampaikan sebuah kejadian infeksi mematikan oleh influenza H5N1 pada tiga ekor musang pemakan ikan yang lahir di tempat pemeliharaan di sebuah taman nasional Vietnam. Sumber penularan sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Sementara 20 ekor hewan sejenis yang tinggal di kandang sebelahnya tidak ada satupun yang sakit. Virus influenza unggas tidak ditemukan pada tikus, kelinci dan beberapa jenis hewan lainnya yang ada di pasar unggas hidup di Hongkong. Namun sebanyak 20% ayam yang dijual di sana ditemukan positif terinfeksi H5N1 garis Asia (Shortridge, 1998). Lingkungan Sosial Ekonomi Budiarto & Anggraeni (2003) menyatakan bahwa lingkungan sosial ekonomi mencakup pekerjaan, urbanisasi, perkembangan ekonomi, dan bencana alam. Lingkungan sosial ekonomi yang berhubungan dengan kejadian penyakit flu burung salah satunya adalah pekerjaan. Depkominfo (2005) menyebutkan bahwa pekerjaan yang beresiko tinggi tertular oleh penyakit flu burung adalah peternak, Page 21 pemotong ayam, penjual ayam, pemelihara ayam/burung/unggas lainnya, dan petugas laboratorium yang meneliti/memeriksa penyakit flu burung. Tingginya risiko jenis pekerjaan tersebut karena setiap saat bersentuhan atau kontak dengan sumber penularan penyakit flu burung. WHO (2005) menyatakan bahwa risiko penularan langsung dari unggas ke manusia terutama terjadi pada mereka yang telah bersentuhan/kontak dengan unggas ternak yang sudah terinfeksi, atau dengan permukaan benda-benda yang banyak tercemari kotoran unggas. Risiko terpapar diperkirakan cukup substantif sewaktu penyembelihan, pencabutan bulu, pemotongan dan persiapan unggas untuk di masak (http//www.who.int/csr/don/2005_08_18). Wabah influneza unggas yang patogen secara keseluruhan dapat mengakibatkan kehancuran bagi industri ternak unggas, apalagi bagi peternak individual, di wilayah terserang seperti pada Tabel 3. (Mohammad, 2006). Tabel 2.2.Kejadian wabah influenza yang patogen di masa lalu di dunia Tahun (1) 1959 Negara/Wilayah (2) Skotlandia Unggas peliharaan yang terkena (3) 2 kelompok ayam Strain (4) A/ayam/Skotlandi a/59 (H5N1) 1963 Inggris 29.000 ekor ternak kalkun A/kalkun/Inggris/6 3 (H7N3) 1966 Ontario (Kanada) 8.100 ekor ternak kalkun A/kalkun/Ontario/ 7732/66 (H5N9) (1) 1976 (2) 1979 Victoria (Australia) Jerman 1979 Inggeris 19831985 Pennsylvania (3) (4) 25.000 ayam petelur, 17.000 ayam boriler, & 16.000 bebek 1 kelompok yang terdiri dari 600.000 ayam 3 perusahaan peternak kalkun (jumlah unggas yang terkena tidak dilaporkan) 17 juta unggas dalam 452 kelompok; sebagian besar ayam atau kalkun, dan beberapa burung puyuh dan burung liar A/ayam/Victoria/7 6 (H7N7) A/ayam/Jerman/7 9 (H7N7) A/kalkukn/Inggeris /199/79 (H7N7) A/ayam/Pennyisyl vania?1370/83 (H5N2) Page 22 1983 Irlandia 1985 Victoria 1991 Inggeris 1992 1994 19942005 1994 1997 1997 1997 19922000 20022005 20022003 2004 2004 800 kalkukn pedaging mati; 8640 kalkun, 28.020 ayam, 270.000 bebek dimusnahkan 24.000 perbenihan ayam broiler, 27.000 ayam petelur, 69.000 ayam broiler, 118.418 ayam dari berbagai jenis 8.000 kalkun A/kalkun/Irlandia/ 1378/83 (H5N8) A/ayam/Victoria/8 5 (H7N7) A/kalkun/Inggeris/ 50-92/91 Victoria 12.700 perbenihan broiler, 5.700 A/ayam/Victoria?8 bebek 5 (H7N7) Australia 22.000 ayam petelur A/ayam/Quenslan d/667-6/94 Meksiko Data tentang jumlah unggas yang A/ayam/Puebla/86 terkena tidak ada, 360 kelompok 23-607/94 (H5N2) ayam dimusnahkan Pakistan 3,2 juta ayam broiler dan A/ayam/Pakistan/ perbenihan broiler 447/95 (H7N3) Hongkong 1,4 juta ayam dan sejumlah unggas A/ayam/Hongkonh (China) peliharaan /220/97 (H5N1) New South Wales 128.000 benih ayam broiler, 261 A/ayam/New (Australia) ayam South Wales/1651/97 (H7N4) Italia Sekitar 6.000 ayam, kalkun, bebek, A/ayam/Italia/330 merpati, dan berbagai unggas liar /97 (H5N2) Italia 413 peternakan, sekitar 14 juta A/kalkun/Italia/99 unggas (H7N1) Asia Tenggara China, Hongkong, Indonesia, A/ayam/Asia Jepang, Kampuchea, Korea, Timur/2003-2005 Thailand, Vietnam, diperkirakan (H5N1) 150 juta unggas Belanda Belanda; 255 peternakan, 30 juta A/ayam/Belanda/2 unggas 003 (H7N7) Belgia; 8 peternakan, 3 juta unggas Jerman; 1 peternakan, 80.000 ayam broiler Kanada 53 kelompok, 17 juta ayam A/ayam/USAAmerika Serikat 6.600 ayam broiler TX/2004 (H5N2) 2.2.2. Faktor Manusia Faktor manusia adalah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang dapat mempengaruhi timbulnya serta perjalanan suatu penyakit (Azwar, 1999). Penyakit flu burung yang terjadi saat ini erat kaitannya dengan faktor manusia yang terdiri dari umur, kebiasaan, dan faktor lainnya yang ada dalam manusia. Page 23 Penyakit flu burung lebih banyak menyerang kelompok anak-anak dan usia dewasa di banding usia balita walaupun tingkat kematian lebih banyak pada usia balita. Kelompok anak-anak dan usia dewasa muda mempunyai risiko terkena penyakit flu burung lebih tinggi akibat risiko terpapar oleh reservoir lebih tinggi di bandingkan balita karena aktivitas kehidupan dan interaksi dengan lingkungan sekitar lebih terbuka dan bebas. Namun untuk balita risiko kematian lebih tinggi terjadi akibat sistem kekebalan yang belum kuat atau juga penanganan kasus yang lambat karena gambaran klinis penyakit flu burung pada balita hampir sama dengan gejala pneumonia atau Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) yang kadang kala tidak teridentikasi secara dini bahkan masa inkubasi pada anak bisa sampai 21 hari. Secara umum gambaran klinis pada manusia yang tertular oleh virus H5NI secara nyata dapat di lihat melalui tanda dan gejala yang dikeluhkan. Gejala pada manusia diantaranya adanya demam dengan suhu badan diatas 38ºC, adanya batuk dan nyeri tenggorokan, radang saluran pernafasan atas, pneumonia, infeksi mata, dan nyeri otot. Penyakit flu burung pada manusia mengalami masa inkubasi yang relatif cukup cepat dibandingkan dengan penyakit menular lainnya. Masa inkubasi flu burung pada manusia yaitu 1-3 hari dengan masa infeksi 1 hari sebelum sampai 3-5 hari sesudah timbul gejala. Faktor manusia lainnya adalah gaya hidup atau kebiasaan sehari-hari yang tidak memperhatikan perilaku hidup bersih sehat dapat juga berisiko tertular H5NI. Salah satu kebiasaan tidak hidup sehat yaitu kebiasaan tidak mencuci tangan ini dapat mempercepat proses penularan H5N1 karena penularan dapat melalui kontak langsung lewat tangan yang menyentuh, memegang, atau bersinggungan dengan semua yang tercemar virus, termasuk saat berkontak dengan unggas atau telurnya (Djuwita & Endarti, 2006). 2.3. Upaya Pencegahan, Pengendalian, dan Penanggulangan Penyakit Flu Burung 2.3.1. Upaya Pencegahan Upaya pencegahan dari penyakit flu burung dilakukan pada kelompok unggas dengan cara melakukan pemusnahan unggas/burung yang terinfeksi flu burung dan melakukan vaksinasi pada unggas yang sehat. Sedangkan pada manusia kelompok berisiko tinggi (pekerja peternakan dan pedagang) yaitu mencuci tangan dengan desinfektan dan mandi sehabis kerja, hindari kontak langsung dengan ayam atau unggas yang terinfeksi flu burung, menggunakan alat pelindung diri (contoh masker dan pakaian kerja), meninggalkan pakaian kerja di tempat kerja, membersihkan kotoran unggas setiap hari, dan imunisasi. Pada masyarakat umum dengan cara menjaga daya tahan tubuh dengan memakan makanan bergizi dan istirahat cukup, mengolah unggas dengan cara yang benar yaitu pilih unggas yang Page 24 sehat (tidak terdapat gejala-gejala penyakit pada tubuhnya) dan memasak daging ayam sampai dengan suhu kurang lebih 80° Celsius selama 1 menit dan pada telur sampai dengan suhu kurang lebih 64° Celsius selama 4,5 menit. 2.3.2. Upaya Pengendalian dan Penanggulangan Pemerintah Indonesia telah membuat kerangka rencanan strategis dalam upaya pengendalian penyakit flu burung yang bertujuan untuk mencegah perkembangan flu burung ke tahap berikutnya (pandemi), penanganan sebaik-baiknya pasien/korban flu burung pada manusia dan hewan, meminimalkan kerugian akibat perkembangan flu burung, pengelolaan pengendalian flu burung secara berkelanjutan, dan mengefektifkan kesiapsiagaan nasional menghadapi pandemi influenza. Pengendalian flu burung perlu dilakukan sesuai dengan standar internasional. Kepatuhan terhadap ketentuan/standar internasional ini sangat penting sehingga dampak terhadap kesehatan hewan, kemungkinan penularannya pada manusia dan penyebarannya ke daerah wilayah dan negara lain dapat dihindari. Dengan demikian langkah ini merupakan pertangungjawaban bangsa dan negara Indonesia sebagai bagian dari Asia dan dunia internasional. Berkaitan dengan ini, maka langkah pengendalian flu burung ini merupakan upaya bersama dan perlu ditangani secara terpadu yang tertuang dalam program suatu negara, suatu wilayah, dan dunia yang terkait satu sama lain. Strategi pengendalian yang dilakukan adalah: 1) Pengendalian penyakit AI/flu burung pada hewan dengan kegiatan utama depopulasi daerah tertular dan vaksinasi emergency, stamping out pada daerah tertular baru, biosecurity dan monitoring, meningkatkan pengawasan karantina terhadap lalu lintas media pembawa HPAI dan penulusuran balik, penyediaan vaksin dan peningkatan cakupan vaksinasi pada hewan terutama sektor 3 dan 4 yaitu daerah yang ditemukan adanya wabah flu burung pada hewan. 2) Penatalaksanaan kasus pada manusia dengan kegiatan utama adalah pengadaan obat antiviral, pelaksanaan rujukan kasus, penyediaan sarana dan prasarana penanganan kasus di rumah sakit, penyusunan SOP penatalaksanaan kasus, dan pelatihan tenaga kesehatan. 3) Perlindungan kelompok risiko tinggi dengan kegiatan utama adalah penyediaan alat pelindung diri (pada peternak, petugas kesehatan peternakan, rumah sakit, dan laboratorium), perbaikan sanitasi lingkungan peternakan dan pasar unggas serta RPA, penyuluhan dan peningkatan cara hidup sehat dengan unggas 4) Surveilans epidemiologi pada hewan dan manusia dengan kegiatan utama adalah penyusunan dan pelaksanaan sistem surveilans terintegrasi termasuk surveilans kelompok risiko tinggi, penyusunan dan pelaksanaan sistem kewaspadaan dini (SKD), pengadaan saranan dan prasarana surveilans, Page 25 peningkatan kuantitas dan kualitas SDM surveilans, menyusun sistem surveilans menghadapi pandemi, pemantauan pasca vaksinasi, surveilans terhadap potensial reservoir AI hewan, pelaksanaan surveilans epidemiologi molekuler pada hewan dan manusia, pemantauan efektifitas homologus/heterologus vaksin pada peternakan dengan menggunakan metode sentinel birds, pemantauan efektivitas homologus vaksin pada peternakan dengan menggunakan metode DIVA, penyusunan dan pelaksanaan sistem penanggulangan AI dan PI dengan data based terintegrasi yang menggunakan teknologi sistem informasi geografi, dan pengembangan sistem informasi surveilans kesehatan hewan yang terintegrasi dari tingkat pusat sampai tingkat daerah, laboratorium, industri peternakan dan peternak. 5) Restrukturisasi sistem industri perunggasan dengan kegiatan utama adalah pengkajian sistem usaha peternakan ungggas, penyusunan aturan penataan ulang sistem usaha peternakan unggas termasuk penataan rumah potong ayam hewan dan pasar unggas ternak, dan pelaksanaan sistem usaha perunggasan peternakan unggas yang ditetapkan. 6) Komunikasi, informasi dan edukasi dengan kegiatan utama pengembangan komunikasi publik untuk mendiseminasikan cara pencegahan dan pengendalian flu burung, pembentukan organisasi peternak kecil dan menengah, penyuluhan dan pelatihan masyarakat dalam surveilans dan pencegahan flu burung, bina suasana terhadap kelompok khusus (legislatif, pelajar, pendidik, LSM, masyarakat perunggasan, tokoh masyarakat, komunitas kesehatan/veteriner trade community, komunitas ternak). 7) Penguatan dukungan peraturan dengan kegiatan utama finalisasi revisi UU No. 6 tahun 1967. 8) Peningkatan kapasitas dengan kegiatan utama pembentukan panel ahli (dokter hewan dan ahli kesehatan masyarakat) kelembagaan pengendalian AI/flu burung terpadu di tingkat nasional sampai sektoral dan regional tim respon cepat terpadu, peningkatan kapasitas otoriter veteriner, pembentukan tim surveilans integrasi di pusat dan daerah, pembangunan dan memfungsikan laboratorium BSL 3 untuk hewan dan manusia, melengkapi sarana dan prasarana termasuk sumber daya manusia laboratorium regional dan rujukan nasional, pembangunan 2 laboratorium kesehatan hewan tipe A dan melengkapi sarana dan prasarana termasuk sumber daya manusia pada 7 laboratorium kesehatan hewan tipe A, melengkapi sarana dan prasarana termasuk sumber daya manusia pada 7 laboratorium kesehatan hewan tipe B, melengkapi sarana dan prasarana termasuk sumber daya manusia pada lembaga penelitian, melengkapi sarana dan prasarana termasuk sumber daya manusia pada lembaga produksi bahan biologi, melengkapi sarana dan prasarana termasuk sumber daya manusia pada lembaga penguji dan sertifikasi, melengkapi sarana dan prasarana Page 26 termasuk sumber daya manusia pada laboratorium karantina hewan, pertemuan berkala dan komunikasi intensif antar laboratorium, dan peningkatan peralatan dan SDM lab tipe C/poskeswan, rekruitmen tenaga veteriner dengan sistem kontrak lapangan, pelatihan/training sumber daya kesehatan (hewan, karantina, lembaga penelitian), akreditasi laboratorium veteriner, dan memperkuat fungsi puskesmas dalam surveilans, sosialisasi, penemuan kasus dan sistem rujukan AI/flu burung. 9) Penelitian kaji tindak dengan kegiatan utama adalah melakukan penelitian epidemiologi dan genotiping serta diagnosis, pengembangan vaksin untuk manusia dan uji coba, pembuatan antigen, pengembangan model jejaring laboratorium penelitian flu burung, melakukan penelitian efektivitas vaksin dan vaksinasi hewan yang berkualitas dan aman, penelitian dan pengembangan diagnostik reagensia dan kits, penelitian dan pengembangan vaksin pada unggas selain ayam dan itik. Sementara itu dalam upaya pengendalian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan penerapan stamping out untuk menangani wabah HPAI untuk menghindari risiko terjadinya penularan kepada manusia, karena HPAI bersifat zoonis. Hal tersebut juga organisasi Terrestrial Animal Code mengatakan bahwa negara dapat dinyatakan bebas dari HPAI jika setelah masa 3 tahun dari kasus yang terakhir tidak terjadi kasus lagi atau setelah 6 bulan dari pemusnahan kasus terakhir tidak terjadi kasus lagi, bagi negara yang menerapkan kebijakan stamping out (pemusnahan masal) dengan atau tanpa vaksin. Negara Indonesia tidak mengambil kebijakan pemusnahan massal sebagai prioritas karena situasi peternakan unggas berbeda, dimana lokasi peternakan unggas di Indonesia tidak tersentralisasi, namun menyebar pada berbagai tempat ditambah lagi dengan ragam usaha peternakan yang bervariasi, peternakan ayam disekitar rumah, skala peternakan rakyat sampai skala industri. Situasi tersebut menyebabkan kesulitan untuk menerapkan kebijakan pemusnahan masal dalam menanggulangi wabah AI. Kenyataan lapangan yang menunjukkan bahwa penyakit telah menyebar secara luas pada sentrasentra perunggasan dan minimnya persediaan kompensasi, maka kebijakan pemusnahan massal tidak mungkin dapat diterapkan di Indonesia untuk menanggulangi wabah HPAI yang sedang berjangkit, karena akan menimbulkan dampak psikologis, sosial, politik, dan ekonomi yang amat besar. Mempertimbangkan pola budidaya peternakan unggas dan penyebaran HPAI di Indonesia, maka pendekatan yang efektif untuk dilakukan guna menanggulangi wabah AI adalah menerapkan kebijakan depopulasi selektif, peningkatan biosecuriti yang diikuti dengan pelaksanaan vaksinasi dan pembatasan lalu lintas. Depopulasi selektif dibatasi pada pemusnahan ayam yang sekandang dengan ayam sakit. Semua ayam sakit dan ayam yang dimusnahkan ditanam sekurang-kurangnya dengan dalam 1,5 meter Page 27 atau dibakar setelah dimatikan lebih dulu. Ayam sakit atau ayam sekandang dengan ayam sakit tidak boleh dikeluarkan untuk tujuan dipasarkan. Kotoran ayam dari peternakan terinfeksi tidak boleh dikeluarkan untuk digunakan sebagai pupuk karena akan menjadi sumber penularan. Sementara itu kandang dan peralatan peternakan dibersihkan dan didesinfektan secara reguler untuk meningkatkan sanitasi dan higienis. Kendaraan pengangkut sarana produksi peternakan dibatasi untuk keluar dan masuk lokasi peternakan dan juga harus didesinfeksi. Standar Operasionl Prosedur (SOP) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, secara umum prinsip-prinsip kerja yang higienis seperti mencuci tangan dengan sabun atau desinfektan lainnya dan menggunakan alat pelindung diri. Hal tersebut merupakan upaya yang harus dilakukan oleh mereka yang kontak dengan unggas, baik unggas hidup maupun unggas mati. WHO juga menyatakan bahwa dengan memasak bahan makanan asal unggas secara baik (merebus daging sampai 80ºC/sampai mendidih, merebus telur menjadi masak) maka virus akan mati. Juga perlu diperhatikan pada saat mengolah/memasak unggas dengan memakai perlindungan. Dan setelah itu mencuci tangan dengan sabun deterjen secara bersih. Khusus pada peternakan dan pemotongan hewan terdapat beberapa anjuran WHO yang dapat dilakukan (Depkominfo, 2005): 1) Semua orang yang kontak dengan binatang yang telah terinfeksi harus sering-sering mencuci tangan dengan sabun. Mereka yang langsung memegang dan membawa binatang yang sakit sebaiknya menggunakan desinfektan untuk membersihkan tangannya 2) Mereka yang memegang, membunuh, dan membawa atau memindahkan unggas yang sakit dan atau mati karena flu burung seyogianya melengkapi diri dengan baju pelindung, sarung tangan karet, masker, kacamata pelindung, dan juga sepatu bot. 3) Ruangan kandang perlu selalu dibersihkan dengan prosedur yang baku dan memperhatikan faktor keamanan petugas 4) Pekerja peternakan, pemotongan, dan keluarganya perlu diberitahu untuk melaporkan ke petugas kesehatan bila menghidap gejala-gejala pernafasan, seperti batuk, pilek, sakit tenggorokan, susah nafas, infeksi mata, dan gejala flu lainnya. Page 28 5) Dianjurkan juga agar petugas yang dicurigai punya potensi tertular ada dalam pengawasan petugas kesehatan secara ketat. Ada yang menganjurkan pemberian vaksin influenza, penyediaan obat antivirus, dan pengamatan perubahan kondisi pekerja. Standar Operasional Prosedur (SOP) lainnya adalah melaksanakan perilaku hidup sehat diantaranya melaksanakan kebiasaan mencuci tangan. Berikut ini adalah SOP mencuci tangan yang benar: 1) Cucilah tangan anda dengan air mengalir, kalau bisa dengan air hangat karena air hangat lebih baik daripada air dingin untuk membunuh kuman, 2) Gunakan sabun dan kemudian gosok tangan dengan sabun berbusa sampai sekitar 10 atau 15 detik. Pastikan daerah-daerah seperti sela-sela jari dan di bawah kuku juga ikut dibersihkan. Bersihkan sampai ke pergelangan tangan, 3) Bilaslah tangan, kemudian keringkan dengan baik menggunakan handuk. Kebersihan lingkungan merupakan faktor risiko terbaik dalam pencegahan terhadap penularan penyakit. Untuk mencegah tertular oleh virus flu burung perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Bersihkan kandang secara rutin setiap hari, 2) Buanglah kotoran unggas dengan cara ditimbun, 3) Bersihkan makanan unggas yang tercecer di lantai sehingga tindak mengundang burung-burung liar ke kandang, 4) Alirkan limbah cair yang berasal dari hasil pembersihan kandang ke saluran pembuangan kotoran yang tersedia (selokan), 5) Jauhkan kandang-kandang unggas dari tempat tinggal, 6) Apabila ada unggas (ayam, burung, bebek) yang mati gunakan sarung tangan pada saat membakar dan menimbun unggas tersebut, 7) Bagi pekerja pada peternakan unggas seyogianya: a) menggunakan pakaian pelindung diri (topi, masker, sarung tangan, sepatu bot, pakaian khusus, b) cuci tangan dan kaki setelah keluar dari kandang, c) jangan merokok dan makan di dalam areal kandang, 8) Apabila menggunakan pupuk kandang pada tanaman diharapkan menggunakan sarung tangan dan masker (tutup hidung), 9) Apabila akan membersihkan ayam yang sudah dipotong diharapkan: a) membersihkan ayam tersebut dengan air mengalir, b) buanglah kotoran yang berasal dari jeroan dengan dibungkus plastik, c) cucilah telur sebelum disimpan, d) cuci tangan dengan sabun, atau deterjen setelah membersihkan ayam atau telur. Page 29 Pencegahan penyakit flu burung tentunya tidak hanya berorientasi pada pekerja peternakan saja ataupun pada masyarakat secara umum. Petugas kesehatan yang memberikan pelayanan perawatan dan pengobatan pada pasien dengan penyakit flu burung tentunya harus memenuhi standar operasional prosedur. Kewaspadaan universal standar bagi petugas rumah sakit adalah: 1) Mencuci tangan yang dilakukan di bawah air mengalir dengan menggunakan sabun dan sikat selama kurang lebih 5 menit, yaitu menyikat seluruh permukaan telapak tangan maupun punggung tangan, 2) Hal ini dilakukan sebelum dan sesudah memeriksa penderita, 3) Pakaian yang digunakan adalah pakaian bedah atau pakaian sekali pakai, 4) Memakai masker N95 atau minimal masker bedah, 5) Menggunakan pelindung wajah/kaca mata goggle (bila diperlukan), 6) Menggunakan apron/gaun pelindung, 7) Menggunakan sarung tangan, 8) Menggunakan pelindung kaki (sepatu boot). 2.4. Hasil-hasil Penelitian yang Berkaitan dengan Penyakit Flu Burung 1) Kasus lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita tetapi tingkat kematian lebih tinggi pada wanita. Untuk peubah umur kasus paling banyak terjadi pada usia dewasa muda (>18 tahun) dan paling sedikit pada balita sedangkan kematian tertinggi pada balita dan terendah pada anak usia sekolah. Kasus yang melakukan banyak kontak dengan unggas lebih besar dibandingkan dengan kasus yang sedikit kontak dengan unggas sedangkan kematian lebih banyak yang sedikit kontak daripada yang banyak kontak. Kasus yang mendapatkan tamiflu angka kematiannya lebih tinggi dibandingkan dengan kasus yang tidak mendapatkan tamiflu. Memasuki musim hujan pada bulan September 2005, terjadi peningkatan kasus 6 kali lipat dari pada bulan Juli 2005 selanjutnya sampai bulan Februari 2006 dilaporkan selalu ada kasus baru dengan jumlah yang berfluktuasi (Djuwita dan Endarti, 2006) 2) Pada musim dingin, burung-burung liar bermigrasi kearah selatan melintasi Indonesia yang terletak pada 6º LU-11ºLS (Profil Indonesia, 2005) 3) Migrasi burung liar yang merupakan reservoir virus H5N1 dimulai pada bulan Juli dan semakin lama semakin banyak (Soeroso, 2005) 4) Migrasi tersebut akan menularkan virus pada hewan-hewan domestik yang ada di jalur perjalanan mereka (FAO, 2005) Page 30 5) Semakin banyak hewan peliharaan yang terinfeksi maka risiko penularan pada manusia semakin banyak (FAO, 2005) 6) Suhu lingkungan yang relatif lebih rendah itu akan membuat virus bertahan lebih lama, karena dia mampu bertahan hidup di air pada suhu 22ºC sekitar empat hari (FAO, 2005) 7) Peningkatan kasus pada musim dingin juga disebabkan oleh kebiasaan tinggal di dalam rumah dan kebiasaan membawa ternak mereka ke dalam rumah sehingga menyebabkan kontak yang lebih sering akibatnya risiko penularan antar hewan ataupun hewan ke manusia menjadi lebih besar (Wikipedia, 2005) 8) Penelitian evolusi virus H5N1 yang dilakukan WHO di Asia, menunjukkan bahwa gen HA virus H5N1 yang diisolasi dari spesimen manusia berhubungan erat dengan gen HA dari virus H5N1 yang secara alami berasal dari burung dengan perbedaan antara kedua gen HA tersebut terdapat pada 2-14 nukleotida (penyimpangan <1%). Hal ini sesuai dengan data-data epidemiologi bahwa manusia yang terinfeksi virus H5N1 berasal dari kontak langsung maupun tidak langsung dengan unggas atau produk-produk unggas (CDC, 2006). 9) Kontak tidak langsung dapat terjadi melalui kontak dengan tinja unggas yang terinfeksi yang dapat mengandung virus H5N1 dalam jumlah besar (WHO, 2006) 10) Burung-burung air yang liar, terutama yang termasuk bebek dan angsa dan burung camar dan burung-burung pantai adalah pembawa seluruh varietas subtipe dari virus influenza A, dan oleh karenanya, sangat mungkin merupakan penampung alami untuk semua jenis virus influenza (Widjaja, 2004) 11) Kasus-kasus flu burung ini secara epidemiologik berhubungan dengan kejadian wabah H5N1 yang sangat patogen di pasar unggas hidup (Yuen, 1998; Claas, 1998; Katz, 1999). 12) Virus influenza unggas menunjukan kemampuan dalam mempertahankan daya penularannya di lingkungan alam, terutama di permukaan air, meskipun dalam morfologi nampak rapuh (Lu, 2003) 13) Risiko penularan dari burung liar ke unggas peliharaan terutama terjadi kalau unggas peliharaan tersebut dibiarkan bebas berkeliaran, menggunakan air yang juga digunakan oleh burung liar, atau makan dan minum dari sumber yang tercemar kotoran burung liar pembawa virus (Capua, 2003) 14) Sebuah analisis yang dilakukan terhadap kasus wabah HPAI di Italia selama tahun 1999-2000 menunjukan cara penularan sebagai berikut: pemindahan atau perpindahan kawanan unggas (1,0%), kontak yang terjadi selama dalam pengangkutan unggas ke tempat pemotongan (8,5%), lingkungan dalam radius atau kilometer seputar peternakan yang terserang (26,2%), truk-truk yang Page 31 digunakan mengangkut pakan, kandang, atau bangkai unggas (21,3%), penularan secara tidak langsung karena pertukaran karyawan, alat-alat, dan sebagainya (9,4%) (Capua, 2003). 15) Sejak akhir 2003, di Asia telah dijumpai beberapa virus H5N1 yang sangat patogen pada ayam tetapi tidak pada bebek (Strum-Ramirez, 2005) 16) Risiko penularan langsung dari unggas ke manusia terutama terjadi pada mereka yang telah bersentuhan dengan unggas ternak yang sudah terinfeksi, atau dengan permukaan benda-benda yang banyak tercemar kotoran unggas. Risiko terpapar diperkirakan cukup substantif sewaktu penyembelihan, pencabutan bulu, pemotongan dan persiapan unggas untuk dimasak (WHO, 2005). 17) Virus HPAI H5N1 garis Asia dapat ditemukan di semua jaringan termasuk daging di tubuh bangkai. Dalam beberapa kejadian serupa, dilaporkan bahwa orang yang menyembelih atau mempersiapkan unggas yang sakit untuk dimakan telah mengalami penyakit yang fatal, sementara anggota keluarganya yang juga ikut makan daging unggas tersebut tidak mengalami hal serupa (WHO, 2005) 18) Dampak dari penyakit avian influenza (AI) paling dirasakan oleh peternakan poultry dan industri terkait. Biaya dari penyakit AI dianalisis untuk mengidentifikasi urgensi dan pentingnya strategi pencegahan dan pengendalian AI secara terpadu. Hasil penelitian apabila terjadi wabah AI di Bali akibat tidak adanya strategi pencegahan, maka estimasi biaya yang harus ditanggung oleh seluruh pemangku kepentingan hampir mencapai Rp. 7 milyar. Kalkulasi penghitungan tersebut dilakukan terhadap biaya langsung maupun tidak langsung dari penyakit AI. Kerugian ini bisa dicegah dengan menerapkan kegiatan pencegahan wabah AI, dimana total biaya pencegahan tersebut jauh lebih kecil dari pada biaya akibat wabah AI ( Trisna, 2006) 19) Penyakit flu burung bersifat zoonosis (menular kepada manusia) dan virus penyebabnya memiliki tingkat mutasi yang sangat tinggi, maka penyakit ini memiliki dampak sosial, ekonomi dan politik cukup besar. Oleh sebab itu pengendalian penyakit ini memerlukan perhatian tersendiri agar dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Meskipun strategi pengendalian yang ideal untuk penyakit ini menurut WHO adalah pemusnahan massal namun situasi dan kondisi peternakan Indonesia tidak cocok sehingga alternatifnya dalam pengendalian penyakit flu burung adalah depopulasi selektif, peningkatan biosekuriti, pembatasan transportasi dan pelaksanaan program vaksin yang diikuti secara paralel dengan kegiatan monitoring dan surveilans (Darminto, 2007). Page 32 BAGIAN-3. RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT FLU BURUNG PADA MANUSIA 3.1. Konsep Dasar Riwayat Alamiah Penyakit Proses terjadinya penyakit memang komplek sehingga diperlukan pemahaman terhadap multidisiplin ilmu diantaranya anatomi, fisiologi, histologi, biokimia, mikrobiologi dan tentunya ilmu lingkungan. Dasarnya bahwa penyakit merupakan suatu konsep yang sulit untuk dipahami dan tidak jelas serta memiliki definisi yang berlainan baik secara sosial, budaya, maupun secara ilmu pengetahuan. Sehingga pendefinisian penyakit lebih difokuskan pada disfungsional organ tubuh. Page 33 Menurut Timmreck (2005), penyakit didefinisikan sebagai suatu pola respons yang diberikan oleh organisme hidup terhadap beberapa bentuk invasi benda asing atau terhadap cedera, yang mengakibatkan berubahnya fungsi normal organisme tersebut. Lebih jauh lagi didefinisikan sebagai suatu keadaan abnormal saat tubuh tidak dapat merespon atau menjalankan fungsi normalnya. Maka penyakit timbul sebenarnya akibat dari beroperasinya berbagai faktor baik dari agen, induk semang, dan lingkungan. Setiap penyakit memiliki perjalanan alamiahnya sendiri jika tidak diganggu dengan intervensi medis atau jika penyakit dibiarkan sampai melengkapi perjalanannya. Proses suatu penyakit dimulai dari seorang yang rentan terhadap penyakit dan diserang oleh agent patogen yang cukup virulen untuk menimbulkan penyakit. Perjalanan alamiah penyakit dimulai dari pajanan seseorang yang rentan pada suatu patogen. Kuman patogen akan memperbanyak dirinya dan kemudian menyebar di dalam tubuh pejamu. Setiap penyakit, setiap patogen, dan setiap pejamu memiliki perbedaan dalam hal respon pada penyakit, cara penyakit menyebar, dan pengaruh penyakit pada tubuh. Perkembangan suatu penyakit dapat dihentikan di titik manapun, baik oleh kekuatan respon yang diberikan oleh imun alami tubuh atau melalui intervensi yang menggunakan antibiotik, terapeutik, atau intervensi medis lainnya. Tubuh pertama kali akan merespon perubahan yang tidak terdeteksi dan tidak dirasakan. Di dalam tubuh penyakit akan memberikan reaksi yang sebenarnya ganjil bagi penyakit itu sendiri. Kemudian, tubuh akan merespon dan penderita pada umumnya mulai sembuh dan semakin membaik, atau sebaliknya semakin sakit. Jika sakit memburuk, pada akhirnya akan menguasai tubuh, dan penderita menjadi semakin lemah atau bahkan meninggal dunia. Begitu pula dengan perjalanan alamiah penyakit flu burung pada manusia, sebagian besar seseorang yang terinfeksi H5N1 meninggal dunia (angka kematian akibat penyakit flu burung di Propinsi Jawa Barat adalah 83,9%). Menunjukan bahwa virus yang masuk dalam tubuh manusia mempunyai tingkat virulensi yang tinggi. Setiap individu mengalami kondisi sakit ada keterkaitan dengan faktor internal sebagai bentuk respon tubuh terhadap agent penyakit. Respon tubuh merupakan aktivitas adaptasi tubuh yang dipengaruhi oleh berbagai kemampuan internal diantaranya umur individu, jenis kelamin, dan sebagainya. Pada penyakit profil manusia dapat pula berpotensi sebagai salah satu faktor risiko terjadinya penyakit flu burung. Pada bagian ini tujuan penelitiannya adalah menerangkan perjalanan Page 34 alamiah penyakit flu burung pada manusia dan mendeskripsikan kejadian penyakit flu burung menurut profil manusia. 3.2. Metode Penemuan Riwayat Alamiah Penyakit Flu Burung 3.2.1. Disain Disain penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus yaitu melakukan kajian secara komprehensif terhadap individu yang menderita positif penyakit flu burung. Studi kasus individu dilakukan dengan mengidentifikasi pertama kali terkena pajanan sumber penyakit (virus H5N1), sampai tubuh memberikan respon penyakit berdasarkan gejala awal klinis, dan berakhir pada tahap terminasi penyakit. Disain penelitian studi kasus penderita positif penyakit flu burung difokuskan kepada tahapan riwayat alamiah penyakit mencakup tahap pre-patogenesis dan patogenesis. Disain studi kasus ini dilakukan untuk menemukan perilaku respon atau gejala penyakit flu burung pada tiap-tiap individu. Maka akan teridentifikasi setiap gejala atau respon tubuh manusia terhadap bibit penyakit yang masuk ke dalam tubuh. 3.2.2. Peubah Peubah penelitian ini mencakup tahapan perjalanan riwayat alamiah penyakit flu burung pada manusia. Tiap-tiap peubah penelitian diungkap dan diidentifikasi secara empirik setiap kasusnya. Secara lengkap peubah penelitian ini dapat di lihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Peubah Penelitian Tahapan Riwayat Alamiah Penyakit Flu Burung Peubah Penelitian Definisi Konseptual Tahap Pre- Tahap ini meliputi orang-orang patogenesis yang sehat, tetapi mempunyai faktor risiko atau predisposisi untuk terkena penyakit. Faktor risiko tersebut meliputi faktor orang, penyebab, dan lingkungan. Faktor tersebut dapat berdiri sendiri atau kombinasi beberapa faktor untuk menimbulkan penyakit (Budiarto & Anggraeni 2003) Tahap Inkubasi Tahap ini telah terjadi infeksi, tetapi belum menunjukkan gejala dan masih belum terjadi gangguan fungsi organ (masa inkubasi). Tahap pragejala ini mempunyai ciri-ciri adanya perubahan akibat infeksi atau Definisi Operasional Riwayat awal penderita pada saat masih dalam kondisi sehat tetapi dengan faktor risiko dan faktor lingkungan yang menunjukan penderita tersebut sebenarnya sudah interaksi dengan H5N1 dan faktor risikonya. Penderita belum menunjukan gejala obyektif tetapi telah menunjukan terjadinya tingkat perubahan patologi yang siap untuk dideteksi tanda dan gejalanya Page 35 Tahap Klinis Tahap Terminal pemaparan oleh agen penyebab penyakit masih belum tampak dan pada penyakit infeksi terjadi perkembangbiakan mikroorganisme patogen. Sebenarnya tahap ini sulit untuk diagnosis secara klinis (Budiarto & Anggraeni 2003) Kondisi ketika telah terjadi fungsi organ yang terkena dan menimbulkan gejala (Budiarto & Anggraeni 2003) Penderita mulai menunjukan gejala-gejala klinis penyakit flu burung yaitu adanya demam kurang lebih 38ºC, batuk, sakit tenggorokan, beringus. Tahap ini dimana mulai terlihat Penderita meninggal, cacat, akibat dari penyakit (Murti 1997) ataupun sembuh 3.3. Studi Kasus: Riwayat Alamiah Penyakit Flu Burung Berdasarkan hasil penelitian melalui status health folder penderita penyakit flu burung yang dibuat sendiri oleh peneliti terlihat secara jelas tahapan perjalanan riwayat alamiah penyakit flu burung. Seseorang yang sehat kemudian menjadi sakit akan mengalami perubahan-perubahan patologis didalam tubuhnya. Lamanya perubahan patologis hingga orang tersebut kelihatan sakit bervariasi antara satu penyakit dengan penyakit lainnya termasuk pada penyakit flu burung. Demikian pula akibat yang dialami seseorang setelah ia sakit bervariasi antara satu penyakit dengan penyakit lainnya. Ada yang sembuh dengan sendirinya, ada yang cacat, ada yang meninggal. Begitu pula pada seseorang yang terkena penyakit flu burung. Bagian ini akan melakukan pembahasan secara mendalam tentang tahapan riwayat alamiah perjalanan penyakit flu burung pada manusia menurut status health folder penderita, yaitu: 3.3.1. Tahap Pre-Patogenesis Penyakit Flu Burung pada Manusia Tahap pre-patogenesis merupakan tahap berlangsungnya proses etiologis, dimana faktor penyebab pertama kalinya bertemu dengan pejamu. Faktor penyebab pertama belum menimbulkan penyakit, tetapi telah mulai meletakkan dasar-dasar bagi berkembangnya penyakit nantinya (Murti, 1997). Tahap pre-patogenesis penyakit flu burung terjadi karena seseorang interaksi dengan unggas. Interaksi terjadi tidak disengaja, tidak disadari, dan terjadi karena kebetulan. Interaksi antara manusia dengan sumber penularan (unggas) secara dominan terjadi di lingkungan sekitar rumah. Page 36 Interaksi sebagai manifestasi kontak langsung seseorang dengan unggas terjadi di masa aktivitas sehari-hari. Jenis interaksi seseorang dengan unggas, kebanyakan dengan ayam yang dipelihara dirumahnya. Memelihara ayam di rumah mayoritas menggunakan kandang ternak seadanya tidak sesuai norma kesehatan. Hasil penelitian menunjukan unggas (ayam) yang ada tidak dikonsentrasikan secara khusus penempatannya. Bahkan pada satu kasus tertentu penempatan ayam peliharaan di dalam rumah tepatnya di ruang tamu. Kondisi lain misalnya studi kasus pre-patogenesis di Ds. Cikelet Kec. Cikelet. Kab. Garut penempatan ayam peliharaan di kolong rumah yang dihuni. Interaksi tersebut, antara manusia dengan unggas sebagai sumber penularan sebenarnya sudah terjadi secara langsung. Dari hasil studi yang dilakukan lebih dari setengahnya pasien pernah kontak langsung dengan ayam yang mendadak mati atau burung peliharaan yaitu mencapai 17 (55%) pasien positif penyakit flu burung. Kondisi ini menunjukan bahwa unggas yang dipelihara di rumah merupakan potensi faktor risiko mempercepat transmisi H5N1 pada manusia. Banyaknya unggas yang dipelihara di rumah membuktikan bahwa secara nampak sumber penularan H5N1 itu ada di sekeliling manusia. Menurut Anies (2006) interaksi manusia dengan lingkungannya telah menyebabkan kontak antara kuman dengan manusia. Selanjutnya Anies (2006) menyatakan bahwa sering terjadi kuman yang tinggal ditubuh inang (host) kemudian berpindah ke manusia karena manusia tidak mampu menjaga kebersihan lingkungannya. Hal ini terjadi misalnya pada kasus penularan penyakit melalui binatang yang mengalami domestikasi, seperti sapi, babi, dan anjing. Menurut Aditama (2004) penyakit flu burung menular ke manusia terjadi karena kontak dengan berbagai jenis unggas yang terinfeksi oleh virus H5NI maupun tidak langsung. Keseimbangan interaksi antara manusia dengan sumber penularan sebagai titik tumpunya adalah lingkungan. Di tahapan pre-patogenesis (tahap peka) lingkungan mempunyai peran yang nyata terjadinya transmisi dan distribusi penyakit flu burung. Dari hasil studi yang diperoleh ternyata lingkungan yang menjadi titik tumpu keseimbangan adalah lingkungan di sekitar rumah bukan lingkungan di luar rumah. Kenyataannya lingkungan sekitar rumah merupakan tempatnya seseorang berdiam diri dengan waktu yang paling lama. Baik secara sengaja atau tidak sengaja seseorang yang ada di rumah melakukan kontak langsung dengan sumber penyakit (Unggas). Kondisi ini terjadi banyaknya penderita yang memelihara ayam membiarkan bebas berkeliaran di sekitar rumah dengan angka mencapai 20 orang (65%). Memelihara ayam yang dibiarkan bebas berkeliaran masuk halaman dan rumah setiap orang nampaknya menjadi kondisi yang tidak menguntungkan terutama bagi kesehatan. Page 37 Aspek lingkungan lainnya adalah saluran air limbah rumah tangga dan kotoran unggas yang terbuka di setiap rumah. Ini mempunyai implikasi tidak terpeliharanya sanitasi lingkungan sehingga dijadikan tempat hidupnya virus H5N1. Menurut Capua dan Henzler (2003), faktor risiko penularan dari burung liar pembawa semua varietas subtipe dari virus influenza A ke unggas peliharaan terutama terjadi kalau unggas peliharaan tersebut di biarkan bebas berkeliaran. Maka studi ini berhasil mengidentifikasi tahapan prepatogenesis penyakit flu burung pada manusia menurut studi kasus diantaranya adalah unggas yang di pelihara untuk keperluan kebutuhan sendiri dan lingkungan sekitar rumah sebagai salah satu faktor interaksi risiko. Hal ini memperlihatkan bahwa faktor risiko prepatogenesis yang dominan sebenarnya bukan di lingkungan peternak justru pada kebiasaan memelihara ternak di rumah. 3.3.2. Tahap Inkubasi Penyakit Flu Burung pada Manusia Tahap inkubasi (tahap prasimtomatik) merupakan tahap berlangsungnya proses perubahan patologik yang diakhiri dengan keadaan ireversibel (yaitu, manifestasi penyakit tidak dapat dihindari lagi). Pada tahapan ini belum terjadi manifestasi penyakit, tetapi telah terjadi tingkat perubahan patologis yang siap untuk dideteksi tanda dan gejala pada tahap berikutnya (Murti, 1997). Pendapat lain menjelaskan bahwa tahap inkubasi merupakan masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh pejamu (manusia) tetapi gejala penyakit belum tampak (Azwar, 1999). Dalam konteks realita ada kesulitan untuk menemukan masa waktu yang tepat virus H5N1 menginfeksi tubuh manusia karena berhubungan dengan ukuran dan bentuk virus yang tidak dapat di indra melalui penglihatan. Cara yang digunakan adalah menghubungkan masa inkubasi virus H5N1 melalui identifikasi awal mula terjadinya interaksi seseorang dengan unggas yang positif H5N1 sampai akhirnya seseorang merasakan adanya perubahan fisiologi tubuh yang mengarah pada tanda dan gejala penyakit flu burung. Tahap inkubasi penyakit flu burung pada manusia menurut referensi yang ada sampai saat ini belum diketahui secara pasti namun untuk sementara para ahli (WHO) menetapkan masa inkubasi virus influenza ini pada manusia rata-rata adalah 3 hari (Depkes dan WHO, 2006). Dalam penelitian ini, melalui status health folder penderita positif flu burung dari mulai terjadinya interaksi di masa pre-patogenesis sampai pada titik awal munculnya gejala klinis rata-rata masa inkubasi adalah 7 hari. Rentang nilai masa inkubasi penyakit flu burung dalam penelitian ini diperoleh mulai dari masa inkubasi minimal 2 (dua) hari dan maksimal 20 hari. Page 38 Hasil analisis yang digunakan menunjukan terjadinya masa inkubasi penyakit flu burung yang cukup lama sampai 20 hari disebabkan daya tahan tubuh seseorang pada saat itu baik dan kemampuan virus H5N1 tidak cukup untuk secara cepat menginfeksi manusia dan menimbulkan penyakit. Namun setelah virus H5N1 masuk dalam tubuh secara perlahan menjadi virulen sehingga akhirnya daya tahan tubuh tidak kuat melawan virulensi virus H5N1 dan akhirnya menjadi sakit. Pada masa inkubasi yang pendek yaitu hanya 2 hari dianalisis karena adanya tingkat virulensi H5N1 yang tinggi. Menurut WHO (2006), unggas yang sakit bahkan mati akan mengeluarkan virus dengan jumlah besar dalam kotorannya. Dari analisis status health folder penderita flu burung, seperti yang terjadi pada pasien-16,-18, dan serta lainnya menunjukan bahwa virulensi virus H5N1 pada unggas mati menyebabkan patogenesis penyakit terjadi sangat cepat. Namun kondisi inipun sebenarnya sangat dipengaruhi oleh imunitas tubuh. Masa inkubasi penyakit flu burung pada manusia berdasarkan dari studi kasus yang dikumpulkan memperlihatkan begitu cepatnya transmisi H5N1 dari unggas ke manusia. Masuknya bibit penyakit H5N1 pada manusia merupakan suatu risiko semua orang karena dari hasil penelitian ini menunjukan justru potensi penularan terjadi di lingkungan sekitar rumah. Menurut Depkes RI (2006) menyatakan bahwa avian influenza (H5N1) dapat menyebar dengan cepat diantara populasi unggas dengan kematian yang tinggi, bahkan dapat menyebar antar peternakan, dan menyebar antar daerah yang luas. Hasil analisis kasus yang diperoleh menunjukan bahwa pola masuk bibit penyakit tidak mutlak bersumber dari unggas yang dipelihara oleh keluarga tetapi ada juga yang dimulai dari unggas (ayam) yang dipelihara oleh tetangga. Menurut WHO (2006), penularan penyakit flu burung kepada manusia dapat melalui kontak langsung dengan sekret/lendir atau tinja binatang yang terinfeksi melalui saluran pernafasan atau mukosa konjunctiva (selaput lendir). Dari studi kasus yang dilakukan oleh peneliti, kejadian flu burung di Propinsi Jawa Barat sebagian besar melalui kontak dengan unggas (ayam) yang mati mendadak. Unggas yang mati mendadak ini bukan berasal dari peternakan melainkan berasal dari peliharaan ayam miliknya sendiri atau milik tetangga. Selanjutnya WHO (2006) menyatakan bahwa penyakit ini juga bisa menular melalui udara yang tercemar virus Avian Influenza (H5N1) yang berasal dari tinja atau sekret/lendir unggas atau binatang lain terinfeksi dalam jarak terbatas dan kontak dengan benda yang terkontaminasi H5N1. Pada beberapa pasien yang dijadikan studi kasus oleh peneliti menunjukan hal yang sama, pasien terinfeksi melalui burung peliharaan yang tergantung di rumahnya dan terinfeksi melalui kotoran unggas yang mati mendadak. Page 39 Studi ini menunjukan bahwa orientasi perhatian penyakit flu burung pada manusia tidak hanya pada lingkup peternakan saja dan tempat risiko lainnya tetapi justru harus beralih secara cepat orientasi pada rumah sebagai target perhatian. Menurut WHO sampai awal tahun 2006 secara epidemiologi dan virologis belum terbukti terjadinya penularan dari manusia ke manusia dan juga penularan pada manusia melalui daging yang dikonsumsi. Studi ini menunjukan bahwa ada dua penderita disuatu keluarga terinfeksi H5N1 dan riwayat kontak dengan unggas mati tidak pernah. Informasi yang dikembangkan melalui wawancara dengan orangtua yang merawat langsung diperoleh data sebenarnya dua anaknya sebelum sakit ikut memasak daging ayam dan diketahui daging yang dikonsumsinya masih belum matang dengan indikator masih terlihat ada darahnya pada saat dikonsumsi. Pernyataan ini dibenarkan oleh saudaranya yang langsung melihat kondisi tersebut. Pada akhirnya dua anak tersebut terinfeksi avian influenza dengan masa inkubasi rata-rata waktunya sama yaitu 5 hari (Studi Kasus di Desa Cipedang Kecamatan Bongas Kabupaten Indramayu). Fenomena lain yang diperoleh dari studi penelitian ini adalah adanya pola kebiasaan di masyarakat tertentu yang menganggap adanya ayam mati mendadak sebagai sesuatu hal yang biasa dan tidak mendapat perhatian yang serius. Secara kultur dan sosial di masyarakat tertentu justru menganggap apabila ada ayam yang sakit menjadi kesempatan ayam tersebut untuk disembelih dan dikonsumsi. Kultur sosial ini tanpa disadari sebenarnya sudah menunjukan titik awal terjadinya infektivitas virus ke tubuh manusia (seperti terjadi pada studi kasus di Desa Sindang Galih Kecamatan Karang Pawitan Kabupaten Garut). Berdasarkan uraian tersebut diatas, masuknya bibit penyakit pada tubuh manusia tidak semuanya menyebabkan penyakit. Kekebalan tubuh manusia menentukan juga apakah bibit penyakit mampu menimbulkan sakit atau sebaliknya justru tidak mampu menimbulkan sakit. Jika daya tahan tubuh tidak kuat, tentu penyakit akan berjalan terus yang mengakibatkan terjadinya gangguan bentuk dan fungsi tubuh. Garis yang membatasi tempat atau tidak tampaknya gejala penyakit biasanya disebut dengan nama horison klinik. Ini menunjukan adanya kondisi yang menyatakan bahwa tubuh itu mempunyai pertahanan kuat yang dapat menangkal infektivitas virus. 3.3.3. Tahap Klinis Penyakit Flu Burung pada Manusia Tahap klinis dihitung mulai dari munculnya gejala penyakit sampai kepada seseorang memerlukan perawatan dan pengobatan secara khusus karena ketidakmampuan tubuh melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Tahap klinis penyakit flu burung pada studi kasus yang dilakukan Page 40 oleh penulis dalam penelitian ini hampir semuanya menunjukan gejala dan tanda klinis diantaranya: demam panas ≥ 38ºC, adanya batuk, sakit tenggorokan, pilek, dan sesak nafas. Menurut Soejoedono dan Handharyani (2005) orang yang terserang flu burung menunjukan gejala seperti terkena flu biasa, hanya saja karena keganasan virusnya menyebabkan flu ini juga ganas. Selanjutnya disampaikan dalam waktu singkat, gejala-gejala tersebut dapat menjadi lebih berat dengan terjadinya peradangan paru-paru (pneumonia). Gejala lain yang dapat ditemukan adalah pilek, sakit kepala, nyeri otot, infeksi selaput mata, diare atau gangguan saluran cerna. Bila ditemukan gejala sesak menandai terdapat kelainan saluran nafas bawah akan ditemukan bronchitis di paru dan bila semakin berat frekuensi pernafasan akan semakin cepat (Depkes RI, 2006). Merujuk hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, gejala dan tanda klinis awal yang dirasakan oleh penderita penyakit flu burung sebagian besar merasakan adanya demam panas ≥ 38ºC. Gejala awal yang dirasakan atau dikeluhkan penderita oleh keluarga kadang kala dianggap sebagai gejala biasa yang tidak perlu perawatan dan pengobatan ke rumah sakit. Bahkan keluarga atau penderita mengambil keputusan untuk diobati sendiri dengan cara membeli obat ke warung. Lebih bahaya lagi dibiarkan dulu karena ada asumsi gejala demam panas itu sifatnya sementara diistirahatkan pun akan sembuh. Fenomena tersebut didukung oleh hasil studi yang penulis lakukan terhadap 31 penderita positif penyakit flu burung diperoleh data bahwa tidak dengan segera pada saat penderita memperlihatkan gejala awal di bawa ke tempat pelayanan kesehatan tetapi dirawat dulu di rumah. Hasil penelitian menunjukan rata-rata waktu penderita dirawat di rumah adalah selama 5 hari. Perawatan di rumah yang dilakukan tentunya tidak memperhatikan spesifikasi penyakit tetapi hanya didasarkan pada pengalaman dan kebiasaan dalam merawat anggota keluarga yang sakit. Kondisi ini sangat merugikan pasien dalam menghadapi virus H5N1 di dalam tubuhnya. Keluhan sakit yang dirasakan pasien tidak akan berkurang atau sembuh justru gejala penyakit terus menerus semakin memperburuk keadaan kesehatan pasien. Kemampuan dan pengetahuan keluarga merawat anggota keluarga yang sakit hanya didasarkan pada pengalaman dan kebiasaan. Pada akhirnya si penderita hanya mendapatkan perawatan dan pengobatan terbatas. Penemuan kasus secara dini yang dilakukan oleh petugas kesehatan sangat lemah, mengingat penyakit flu burung merupakan suatu penyakit yang ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Mestinya tanggap penyakit flu burung dalam penemuan kasus tidak terlambat. Masa waktu 5 hari penderita di rawat di rumah memberikan masa waktu yang luang bagi virus H5N1 menyebabkan komplikasi penyakit seperti pneumonia. Page 41 Di tahap klinis ini, penderita rata-rata hari ke-5 mendapatkan perawatan dan pengobatan ditempat pelayanan kesehatan profesional (Mantri Kesehatan, Dokter Praktek Swasta, Puskesmas, dan Rumah Sakit). Ada beberapa kasus tertentu petugas kesehatan tidak tepat mendiagnosis penyakit bahkan salah praduga mendiagnosis penyakit, misalnya mendiagnosis typus abdominalis, atau suspek demam berdarah. Dampaknya memberikan obat salah, akhirnya gejala yang dirasakan oleh penderita bukan berkurang malah semakin parah. Pelayanan kesehatan di tingkat pertama pasien dengan suspek flu burung mestinya langsung mendapatkan Oseltamivir 2 x 75 mg (jika anak, sesuai dengan berat badan) lalu dirujuk dengan segera. Ternyata di tataran lapangan pasien dengan suspek flu burung baru dibawa ke rumah sakit rujukan ratarata pada hari ke-6. Bahkan data yang diperoleh rentang waktu penderita di rumah adalah 2-12 hari. Lamanya penderita mendapatkan perawatan dan pengobatan yang spesifik tentunya ini menjadi preseden buruk bagi kondisi kesehatan penderita. Maka pada tahap klinik hampir sebagian penderita yang positif penyakit flu burung masuk perawatan dan pengobatan di RS sudah masuk pada tahap komplikasi atau stadium lanjut. 3.3.4. Tahap Terminal Penyakit Flu Burung pada Manusia Perjalanan penyakit pada suatu saat akan berakhir sesuai dengan riwayat alamiahnya. Tahap terminal penyakit merupakan titik berakhir suatu mekanisme penyakit di dalam tubuh manusia dalam keadaan sembuh, mengalami kecacatan, atau meninggal dunia. Termasuk perjalanan akhir penyakit flu burung pada manusia. Perjalanan akhir penyakit flu burung lebih disebabkan adanya komplikasi pada infeksi paru-paru (pneumonia) berat yang bisa menyebabkan gagal nafas. Hal ini terjadi karena adanya gangguan ventilasi dan perfusi jaringan paru-paru. Selain itu juga sering terjadi syok (dapat hipovolemik, distributif, kardiogenis ataupun obstruktif) yang pada akhirnya tubuh tidak lagi mampu menahan keseimbangan. Tahap akhir penyakit flu burung dari 31 penderita ternyata sebagian besar berakhir dengan meninggal yaitu 26 orang (83,8%), sembuh 5 orang (16,2%), dan mengalam kecacatan (00,0%). Tingginya angka kematian menurut Dirjen P2PL Depkes RI bisa dikarenakan penderita sendiri yang tidak menyadari dirinya kemungkinan menderita AI karena gejalanya sangat mirip dengan influenza musiman. Petugas kesehatanpun bisa terkecoh. Akibatnya penderita baru dikirim ke RS rujukan AI setelah mencapai stadium lanjut. Angka kematian ini menunjukan bahwa virus H5N1 mempunyai tingkat virulensi yang tinggi. Virus flu burung memiliki daya replikasi tinggi sehingga dapat berkembang sangat cepat dalam tubuh Page 42 (Soejoedono dan Handharyani, 2005). Maka wajar saja kondisi saat ini penyakit flu burung ditakuti oleh sebagian besar masyarakat di dunia. Penderita positif penyakit flu burung yang sembuh berjumlah 5 orang dimungkinkan karena beberapa hal diantaranya: 1) penderita yang sembuh berada pada kelompok usia muda (60%) hal ini erat kaitannya dengan daya tahan tubuh seseorang terhadap penyakit, 2) kecepatan mengambil keputusan mencari pelayanan kesehatan, dan 3) pelaksanaan perawatan dan pengobatan di Rumah Sakit yang disiplin dalam menjalankan standar operasional prosedur penangangan penyakit flu burung. Pada saat penelitian dilakukan, kondisi tubuh secara umum penderita yang sembuh menggambarkan sehat dan tidak ada gejala sisa. Penderita yang sembuh secara mental telah kembali pada kehidupan normal di masyarakat. Awalnya ada perasaan ragu berinteraksi kembali dengan masyarakat. Dukungan keluarga secara personal dan dukungan masyarakat menjadi dorongan yang kuat dalam melaksanakan rutinitas kehidupan. BAGIAN-4. MODEL INTERVENSI PENYAKIT FLU BURUNG PADA MANUSIA 4.1. Konsep Dasar Model Intervensi Penyakit Flu Burung Penularan flu burung pada manusia di Indonesia terjadi bulan Juli 2005 yang telah menyebabkan tiga orang meninggal dalam waktu yang sangat singkat. Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan para ahli dari laboratorium WHO di Hongkong diperoleh hasil sementara bahwa virus flu burung yang terjangkit pada ketiga warga negara Indonesia tersebut melalui kotoran unggas. Insidens ini cukup menjadi perhatian serius dan mengagetkan karena para penderita tidak berhubungan secara nyata dengan peternakan. Munculnya penyakit flu burung pada manusia merupakan Kejadian Luar Biasa (KLB) yang melibatkan golongan unggas dan manusia. Dalam perspektif lingkungan, penularan sumber penyakit (H5N1) dimediasi oleh komponen lingkungan sekitar yang akhirnya masuk ke dalam tubuh manusia. Seekor unggas yang terinfeksi H5N1 akan menularkannya dalam waktu sangat singkat. Setiap individu mempunyai peluang sama terinfeksi penyakit flu burung berdasarkan beberapa contoh kasus yang terjadi. Ketika jumlah unggas terinfeksi flu burung telah meningkat maka pekerja peternakan unggas dan orang-orang yang terlibat dalam usaha-usaha depopulasi unggas potensi mempunyai risiko yang lebih besar (tinggi). Menurut Hayat, Liang dan Low (2006), terbuka dapat menjadi hotbed untuk pembiakan virus Avian influenza dan menyebabkan lompatan dari unggas ke manusia. Kekhawatiran utama lainnya yang Page 43 berkisar pada jumlah wabah baru yang berkelanjutan yaitu adanya mutasi virus acak yang mungkin terjadi. Jika ini terjadi, virus dapat dengan mudah bermutasi untuk melompat ke spesies lain. Selanjutnya Hayat, Liang dan Low (2006) mencontohkan spesies lain itu diantaranya babi yang rentan pada jenis mutasi virus ini karena babi dapat menjadi tempat jenis flu avian dan jenis flu manusia, yang membuat transmisi manusia ke manusia dapat menjadi realitas. Orientasi penanggulangan penyakit flu burung saat ini adalah pada kasus yang telah terjadi. Penanganan lebih kepada efek kesehatan dan kejadian. Ironisnya justru tingkat kematian dan kesakitan bukannya menurun justru mengalami peningkatan. Biosekuriti terhadap manusia cendrung lemah. Fragmentasi penanganan penyakit flu burung terjadi secara tidak seimbang antara komunitas peternakan dan non peternakan. Studi penelitian yang dilakukan oleh penulis menghasilkan bahwa kejadian flu burung hampir setengahnya terjadi di lingkungan rumah yaitu 52% dan sebagian besar berhubungan dengan kebersihan kandang ternak 84%. Kondisi ini menunjukan manifestasi bahwa penyakit flu burung dapat dicegah dengan intervensi pada simpul 2 (teori simpul menyatakan bahwa simpul 2 adalah lingkungan). Bahkan hasil penelitian sebelumnya pada model regresi logistik menemukan empat peubah yang dominan mempengaruhi terjadinya penyakit flu burung yaitu aktivitas kontak, jumlah kontak, kontak erat, dan kebersihan kandang ternak. Pemodelan sistem dinamik dalam rangka upaya pencegahan penyakit flu burung yang sudah ada diorientasikan pada pencegahan pemberian pil. Model ini mengilustrasikan sebuah representatif yang disederhanakan dari dinamika infeksi manusia yang disebabkan oleh virus flu burung dan efektivitas pengobatan pencegahan (Hayat, Liang dan Low, 2006). Hasil studi penelitian sebelumnya diperoleh bahwa pemberian pil pencegahan tidak efektif. Maka orientasi pencegahan penyakit flu burung sudah saatnya bergeser pada posisi lingkungan sebagai center model intervensi pencegahan diantaranya pada kebersihan kandang ternak sesuai hasil empirik dari uji statistik model regresi logistik. Pemodelan intervensi pencegahan penyakit flu burung pada manusia tentunya menggunakan pendekatan sistem dinamik. Menurut Marimin (2004) pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Manajemen sistem dapat diterapkan dengan mengarahkan perhatian kepada berbagai ciri dasar sistem perubahan dan gerakannya akan mempengaruhi keberhasilan suatu sistem. Menurut Eriyatno (1998) pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap Page 44 adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Model intervensi pencegahan penyakit flu burung yang akan dibangun memerlukan pendekatan sistem karena suatu penyakit timbul melibatkan berbagai unsur (subsistem) sebagai suatu kebutuhan dalam model intervensi yang dibangun ini melibatkan pendekatan statistik. Hal ini dilakukan agar kebutuhan-kebutuhan membangun sistem peubahnya telah diuji secara empirik sehingga intervensi yang dihasilkan dari sistem adalah tepat sasaran. Berdasarkan uraian tersebut, penulis membuat model intervensi pencegahan penyakit flu burung pada manusia yang berorientasi pada faktor risiko lingkungan. Keputusan ini dilakukan atas hipotesis penelitian sebelumnya yang menemukan secara statistik aktivitas kontak, jumlah kontak, kontak erat, dan kebersihan kandang ternak sebagai faktor risiko terjadinya penyakit flu burung pada manusia. 4.2. Metodologi Pemecahan Masalah Penyakit Flu Burung Metodologi pemecahan masalah penyakit flu burung pada manusia penulis menggunakan simulasi model. Menurut Muhammadi dan Soesilo (2001), simulasi adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi model bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut, membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Tahapan penyusunan simulasi model dalam penelitian ini dilakukan melalui penyusunan konsep, pembuatan model, simulasi, dan validasi hasil simulasi (Aminullah, Muhammadi, Soesilo: 2001). Masing-masing tahapan mempunyai kegiatan yang berbeda-beda tetapi menjadi kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Uraian rinci kegiatan penyusunan simulasi model intervensi pencegahan penyakit flu burung adalah sebagai berikut: 1) Penyusunan konsep. Gejala atau proses yang ditirukan dengan jalan menentukan unsur-unsur yang berperan dalam gejala atau proses tersebut. Unsur-unsur tersebut saling berinteraksi, saling berhubungan, dan saling ketergantungan. Unsur-unsur tersebut bersatu dalam melakukan suatu kegiatan. Dari unsur-unsur dan keterkaitannya, dapat disusun gagasan atau konsep mengenai gejala atau proses yang akan disimulasikan. Unsur-unsur yang digunakan dalam membangun konsep berasal dari hasil uji statistik model regresi logistik yaitu aktivitas kontak, jumlah kontak, kontak erat, dan kebersihan kandang ternak. 2) Pembuatan model. Gagasan-gagasan tersebut selanjutnya dirumuskan sebagai model berbentuk gambar yang dapat mendeskripsikan kejadian penyakit flu burung pada manusia. Page 45 3) Simulasi. Dalam model intervensi pencegahan penyakit flu burung akan didapatkan simulasi perilaku insidensi suspek penyakit flu burung, perilaku simulasi orang yang positif terkena penyakit flu burung. Selain itu akan diperoleh juga skenario kebijakan yang berhubungan dengan intervensi pencegahan penyakit flu burung pada manusia. 4) Validasi. Pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif harus taat fakta. Validitas atau keabsahan adalah salah satu kriteria penilaian keobyektifan dari suatu pekerjaan ilmiah. Model intervensi penyakit flu burung ini akan divalidasi menggunakan RMSE (Root Mean Square Error) yaitu penyimpangan nilai rata-rata simulasi terhadap aktual. 4.3. Pemodelan Intervensi Penyakit Flu Burung pada Manusia 4.3.1. Penyusunan Konsep Titik tolak menyusun konsep untuk membangun model intervensi pencegahan penyakit flu burung pada penelitian ini didasarkan pada hasil uji statistik model regresi logistik yaitu aktivitas kontak, jumlah kontak, kontak erat, dan membersihkan kandang ternak. Peubah penjelas lingkungan ini diyakini secara empirik dan bermakna terbukti sebagai faktor risiko terjadinya penyakit flu burung pada manusia. Penyusunan konsep, dimulai orang sehat akan mengalami suspek flu burung karena adanya laju kontak dengan sumber penularan yaitu unggas sakit, unggas mati, kotoran unggas, benda-benda yang terinfeksi H5N1, dan lain sebagainya. Laju kontak berhubungan karena adanya pengaruh kontak yang disebabkan oleh empat peubah penjelas lingkungan yaitu aktivitas kontak, jumlah kontak, kontak erat, dan kebersihan kandang ternak. Sedangkan cuaca (musim) dalam model ini dianggap lingkungan eksogen artinya siapapun akan sama mempunyai tingkat keterpaparan. Terpajannya seseorang oleh empat penjelas lingkungan menandakan individu telah berinteraksi langsung dengn virus H5N1. Keadaan ini seterusnya berpengaruh terhadap laju kontak melalui pengaruh kontak. Kontak dengan sumber penularan maka individu akan masuk kondisi suspek flu burung atau sudah masuk laju insidensi penyakit flu burung. Daya tahan tubuh setiap individu merespon masuknya bibit penyakit (H5N1) berbeda-beda. Pilihannya individu tersebut kuat dan tetap sehat, individu ternyata tidak kuat akhir terkena positif penyakit flu burung, atau individu meninggal dunia. Pembuatan model intervensi pencegahan penyakit flu burung ini menggunakan tiga asumsi diantaranya:1) setiap orang mempunyai risiko yang sama untuk terinfeksi penyakit flu burung, 2) cuaca (musim) dianggap kecil berpengaruh terhadap timbulnya penyakit flu burung, dan 3) virus H5N1 belum mampu menular antar manusia. 4.3.2. Pembuatan Model Page 46 1) Diagram Simpal Kausal Model Intervensi Pencegahan Penyakit Flu Burung Diagram simpal kausal dalam penelitian ini, disusun melalui hubungan sebab akibat antara peubah penjelas lingkungan yaitu aktivitas kontak, jumlah kontak, kontak erat, dan membersihkan kandang ternak. Pemilihan peubah simpal kausal didasarkan pada hasil model regresi logistik yang menemukan empat peubah tersebut mempunyai hubungan bermakna terhadap kejadian penyakit flu burung. terutama aktivitas kontak. Selain itu, ketiga peubah lingkungan tersebut sebagai faktor risiko kejadian penyakit flu burung. Sedangkan kebersihan kandang ternak sebagai faktor protektif (pencegah) terhadap kejadian penyakit flu burung. Cuaca (musim) dalam simpal kausal ini merupakan faktor lingkungan eksogen yang dianggap kecil pengaruhnya terhadap kontak. Diagram simpal kausal ini mencerminkan identifikasi sistem yang merupakan suatu rantaian hubungan antara pernyataan dan kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Untuk lebih jelasnya simpal kausal model intervensi pencegahan penyakit flu burung tertera pada Gambar 4.1. berikut ini: + + Laju Kontak FLu Burung Orang Sehat AKTIVITAS KONTAK + + Orang Suspek Flu Burung B1 + JUMLAH KONTAK + Pengaruh Kontak - KONTAK ERAT + + + B2 ORANG YANG FLU BURUNG Laju Insidensi Flu Burung + KEBERSIHAN KANDANG TERNAK + + + Orang yang Mati + Curah Hujan Temperatur Kelembaban CUACA/MUSIM Gambar 4.1. Diagram Simpal Kausal Model Intervensi Pencegahan Penyakit Flu Burung pada Manusia Merujuk Gambar 4.1. terlihat bahwa penjelas lingkungan yaitu aktivitas kontak, jumlah kontak, kontak erat, dan kebersihan kandang ternak yang merupakan hasil uji statistik menyebabkan terjadinya Page 47 pengaruh kontak (Tabel 12). Ini berarti setiap individu yang terkena infeksi penyakit flu burung karena adanya kontak dengan sumber penularan. Pengaruh kontak seterusnya melaju kontak dan melaju insidensi penyakit flu burung. Sementara cuaca (musim) dianggap lingkungan eksogen. 2) Diagram Alir Model Intervensi Pencegahan Penyakit Flu Burung pada Manusia Bertitik tolak pada simpal kausal model intervensi pencegahan penyakit flu burung , maka selanjutnya peneliti menyusun diagram alir yang akan disimulasikan sebagai peniruan perilaku model. Adapun diagram alir dapat dilihat pada Gambar 15. Jumlah_Kontak Kontak_Erat Pengaruh_Kontak Fraksi_Insidensi_Flu_Burung Kebersihan_Kandang Aktivitas_Kontak Fraksi_Kematian_akibat_Suspek_Flu_Burung Orang_Suspek_Flu_Burung Orang_Sehat Laju_Kontak Laju_Kesembuhan Laju_Kematian_Suspek_Flu_Burung Laju_Insidensi_Flu_Burung Orang_yang_Mati Penduduk_Jawa_Barat data Laju_Suspek_Menjadi_Sembuh Laju_Kematian_orang_Flu_Burung cld ORANG_SAKIT_FLU_BURUNG story sim-1 Fraksi_Kesembuhan_Suspek sfd-2 Fraksi_Kesembuhan_Flu_Burung Fraksi_Kematian_akibat_Flu_Burung sim-2 Gambar 4.2. Diagram Alir Model Intervensi Pencegahan Penyakit Flu Burung pada Manusia 3) Simulasi Model Intervensi Pencegahan Penyakit Flu Burung Tahapan selanjutnya, penelitian ini membuat simulasi model intervensi pencegahan penyakit flu burung yang berbasis pada empat peubah penjelas lingkungan (Tabel 4.2). Simulasi ini menggambarkan simulasi perilaku insidensi suspek penyakit flu burung dan orang yang positif penyakit flu burung. Simulasi model ini disusun mulai tahun 2005 sebagai awal terjadinya kasus flu burung di Indonesia termasuk juga di Propinsi Jawa Barat. Page 48 15 10 5 2,005 2,007 penyakit2,008 2,009 2,010kejadian 2,011 Simulasi model2,006 intervensi pencegahan flu burung berikut ini mendeskripsikan Tahun penyakit flu burung tanpa dilakukan intervensi seperti tertera pada Gambar 4.3 dan Gambar 4.4. SUSPEK F LU BURUN G 550 475 400 325 250 175 100 25 2,005 2,007 2,009 2,011 2,013 2,015 Tahun Gambar 4.3. Simulasi Model Insidensi Orang Suspek Penyakit Flu Burung ORANG YANG SAKIT FLU BURUNG 95 90 85 80 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 2,005 2,006 2,007 2,008 2,009 2,010 2,011 2,012 2,013 2,014 2,015 Tahun Bud h i So es il o 20 0 8 Gambar 4.4. Simulasi Model Insidensi Orang Positif Penyakit Flu Burung Merujuk Gambar 4.3 dan Gambar 4.4, menunjukan bahwa simulasi perilaku model kejadian suspect penyakit flu burung sampai 2015 adanya kecendrungan terus meningkat. Di lihat dari angka Page 49 insidensi orang suspek flu burung pada tahun 2015 mencapai 550 orang sedangkan yang dinyatakan positif penyakit flu burung akan mencapai 95 orang. Simulasi perilaku model insidensi penyakit flu burung telah memperlihatkan suatu trend atau kecendrungan sesuai realita. Ini menunjukan bahwa mesti adanya perlakuan kebijakan dalam mengintervensi laju insidensi penyakit flu burung pada manusia. Upaya utama berdasarkan riset yang dilakukan oleh penulis ini kiranya intervensi pencegahan penyakit flu burung harus mengacu kepada empat peubah faktor risiko lingkungan yaitu aktivitas kontak, jumlah kontak, kontak erat, dan kebersihan kandang ternak (Tabel 4.2). Berdasarkan hal tersebut intervensi pada faktor risiko lingkungan harus dilakukan agar peningkatan laju insidensi kejadian penyakit flu burung dapat dicegah sehingga insidensi penyakit menurun. Penulis membuat intervensi pada faktor risiko lingkungan yang seperti tertera pada Gambar 4.5. STRUKTUR INTERVENSI Jumlah_Kontak_1 Intervensi_3 Kontak_Erat_1 Pengaruh_Kontak_1 Aktivitas_Kontak_1 Fraksi_Insidensi_Flu_Burung_1 Intervensi_4 Intervensi_2 Kebersihan_Kandang_1 Intervensi_1 Fraksi_Kematian_akibat_Suspek_Flu_Burung_1 Orang_Suspek_Flu_Burung_1 Orang_Sehat_1 Laju_Kontak_1 Laju_Kesembuhan_1 Laju_Kematian_Suspek_Flu_Burung_1 Laju_Insidensi_Flu_Burung_1 Orang_yang_Mati_1 Penduduk_Jawa_Barat_1 data Laju_Suspek_Menjadi_Sembuh_1 Laju_Kematian_orang_Flu_Burung_1 cld ORANG_SAKIT_FLU_BURUNG_1 story sfd-1 Fraksi_Kesembuhan_Suspek_1 sim-1 Fraksi_Kesembuhan_Flu_Burung_1 Fraksi_Kematian_akibat_Flu_Burung_1 sim-2 Gambar 4.5. Struktur Intervensi Pencegahan Penyakit Flu Burung pada Manusia Page 50 Merujuk pada Gambar 4.5. terlihat bahwa model intervensi pencegahan penyakit flu burung diberikan perlakuan pada faktor risiko lingkungan. Diharapkan dengan memberikan perlakuan atau intervensi dapat mengurangi laju insidensi penyakit flu burung pada manusia. Bentuk intervensi yang diberikan disesuaikan dengan hasil persamaan regresi logistik. Untuk peubah aktivitas kontak, jumlah kontak, dan kontak erat mempunyai persamaan positif (Tabel 4.2). Ini berarti jika ketiga peubah tersebut dikurangi secara normatif laju insidensi penyakit flu burung harus mengalami penurunan bukan sebaliknya. Untuk peubah kebersihan kandang ternak hasil persamaan model regresi logistik adalah negatif (Tabel 4.2). Ini berarti jika kebersihan kandang ternak ditingkatkan maka laju insidensi penyakit flu harus mengalami penurunan. Untuk menurunkan angka kejadian penyakit flu burung pada manusia ternyata bisa dengan cara mengendalikan faktor lingkungan. Intervensi yang dilakukan diantaranya meningkatkan kebersihan kandang ternak. Seperti terlihat pada hasil simulasi perilaku setelah lingkungan di intervensi melalui peningkatan aktivitas membersihkan kandang ternak pada Gambar 4.6. berikut ini: ORANG YANG SAKIT FLU BURUNG 95 90 85 80 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 2,005 2,006 2,007 2,008 2,009 2,010 2,011 2,012 2,013 2,014 2,015 Tahun Bud h i So es il o 20 0 8 Gambar 4.6. Model Intervensi Pencegahan Penyakit Flu Burung dengan Perlakuan pada Faktor Risiko Lingkungan (Peningkatan Kebersihan Kandang Ternak) Page 51 KONTAK ERAT 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0 KEBERSIHAN KANDANG TERNAK 2,015 0.0 Keterangan 0.3 0.6 : 1. 2. 0.9 1.2 1.5 1.8 2.1 2.4 2.7 3.0 data Garis merah menunjukan faktor risiko lingkungan tidak diintervensi Garis biru menunjukan faktor risiko lingkungan di intervensi Merujuk pada Gambar 4.6. hasil simulasi perilaku model memperlihatkan bahwa orang yang sakit flu burung angka kejadiannya bisa menurun jika ada intervensi untuk meningkatkan kebersihan kandang ternak. Model simulasi ini mempunyai nilai RMSE sebesar 11,36%. Ini berarti bahwa model ini bisa memprediksikan ketepatannya mencapai 88,64%. 4.4. Penerapan Model Intervensi Pencegahan Penyakit Flu Burung Pencegahan secara umum adalah mengambil tindakan terlebih dahulu sebelum kejadian. Mengambil langkah-langkah untuk pencegahan haruslah didasarkan pada data atau keterangan yang bersumber dari hasil analisis kajian (penelitian) sebagai entry point dimulainya pencegahan. Model simulasi penyakit flu burung yang ditemukan dalam riset ini, memberikan gambaran bahwa peran aktivitas kontak individu dengan sumber penularan dapat menyebabkan terjadinya laju kontak dan insidensi penyakit flu burung. Aktivitas kontak berhubungan dengan komponen lingkungan. Model intervensi pencegahan penyakit flu burung merupakan suatu usaha atau langkah mengambil tindakan sebelum kejadian penyakit muncul. Model simulasi pencegahan yang dibangun sebenarnya berorientasi pada tingkatan pencegahan penyakit. Orientasinya, model intervensi pencegahan dibangun pada aspek komponen lingkungan hasil uji regresi logistik yaitu aktivitas kontak, jumlah kontak, kontak erat, dan kebersihan kandang ternak. Upaya atau tindakan melakukan kebersihan pada komponen lingkungan, dalam perspektif tingkatan pencegahan termasuk pada tingkatan pertama (primer). Menurut Level & Clark (1974) dalam Noor (1997) membagi pencegahan pada tingkatan pertama (primer), kedua (sekunder), dan ketiga (tersier). Pencegahan tingkatan pertama suatu upaya yang dilakukan dengan tujuan untuk memutus mata rantai penyakit atau menahan masuknya bibit penyakit di dalam tubuh manusia supaya tidak menimbulkan sakit. Model intervensi pencegahan penyakit flu burung pada manusia memberikan gambaran bahwa faktor lingkungan bisa dijadikan upaya untuk menurunkan angka kejadian penyakit flu burung. Upaya Page 52 intervensi yang dilakukan adalah pada tingkat pencegahan primer yaitu peningkatan kesehatan dan perlindungan khusus terhadap masalah kesehatan. Bentuknya memberikan pendampingan personal tentang pengetahuan masyarakat akan faktor risiko penularan virus H5N1. Pengendalian faktor lingkungan sosial ekonomi di fokuskan kepada menghindari kontak dengan sumber penularan. Individu menghindari kontak akan terjadi kalau sudah memahami dan mengetahui tentang penyakit flu burung. Pemahaman dan pengetahuan erat kaitannya dengan nilai dan kepercayaan yang dimiliki individu. Pendekatan sosial dan kultur dalam menanamkan pengetahuan perlu dilakukan. Sehingga informasi kesehatan akan mudah diterima dan membentuk perilaku aktif kesehatan pada individu dan masyarakat. Kegiatan pencegahan yang dilakukan untuk menghindari kontak dengan sumber penularan diantaranya higiene perseorangan membentuk perilaku hidup sehat. Perilaku hidup sehat merupakan respon seseorang terhadap stimulus konsep sehat sakit, stimulus pelayanan kesehatan, dan stimulus kesehatan lingkungan. Respon perilaku kesehatan individu positif merupakan upaya pencegahan yang efektif dalam menghindari terjadinya berbagai penyakit termasuk penyakit flu burung. Intervensi lingkungan lainnya adalah dengan meningkatkan kebersihan kandang ternak. Hasil simulasi sistem dinamik pada Gambar 19. menunjukan bahwa semakin ditingkatkan kebersihan kandang ternak maka ada pengaruh terhadap penurunan angka kejadian penyakit flu burung. Kandang ternak merupakan suatu tempat hidup golongan unggas untuk berteduh, beristirahat, dan beraktivitas lainnya. Kondisi ini menunjukan bahwa sanitasi kebersihan kandang ternak merupakan pilihan utama yang harus di prioritaskan. Merujuk pada hasil simulasi yang melakukan intervensi pada kebersihan kandang ternak mencerminkan faktor lingkungan dapat mengendalikan penyebaran virus H5N1. Pernyataan ini didukung oleh data empirik berdasarkan statistik diperoleh seseorang yang terinfeksi H5N1 rata-rata membersihkan kandang ternak perminggunya berkisar hanya 1,5 kali sedangkan kelompok kontrol ratarata per-minggu 4 kali. Kondisi lingkungan seperti tersebut menjadi faktor pendorong dan penguat sebagai barier dan pencegah adanya virus H5N1 yang mengakibatkan terjadinya penyakit flu burung. Standarisasi membersihkan kandang ternak seharusnya adalah setiap hari 1 kali dengan memperhatikan prosedur yang benar (Depkes, 2006). Lingkungan berperan positif menjadi media penularan penyakit flu burung. Pencegahan terhadap kejadian penyakit flu burung pada manusia yang perlu dilakukan sangat sederhana yaitu melakukan aktivitas kebersihan kandang ternak secara rutin melalui prosedur yang benar. Page 53 Simulasi model intervensi menunjukan bahwa mesti adanya kebijakan yang mengintervensi langsung upaya pencegahan penyakit flu burung pada lingkup kebersihan kandang ternak. Upaya pencegahan tersebut mencerminkan bagaimana penyakit flu burung muncul dengan melibatkan dua golongan yaitu unggas dan manusia. Upaya pencegahan dengan cara kebersihan kandang ternak menunjukan penciptaan kondisi sehat pada unggas. Sampai saat ini penyebaran penyakit flu burung adalah melalui unggas. Maka dengan kandang yang sehat dan terawat akan menciptakan unggas-unggas yang sehat bukan unggas-unggas sakit yang dapat menularkan penyakit flu burung. Program operasional dalam menggerakan kegiatan peningkatan kebersihan kandang ternak dapat dilakukan dengan melibatkan berbagai sektor intansi mencakup: Dinas Kesehatan baik di tingkat Propinsi, Kabupaten/Kota sampai pada Puskesmas membangun jejaring dengan Perguruan Tinggi yang secara bersama-sama menggerakkan dan memberdayakan masyarakat. Pendekatan penggerakan masyarakat disesuaikan dengan kultur dan sosial yang ada diwilayah. Ini berarti pada kondisi masyarakat tertentu bisa saja membuat bentuk penyuluhan secara sederhana bila perlu menggunakan bahasa daerah setempat. Pemaknaannya akan dirasakan lebih tinggi dengan bahasa keseharian. Tingkatan pencegahan pertama ini dilakukan pada kondisi sebelum terjadinya sakit dan bertumpu kepada modifikasi lingkungan secara internal. Upaya yang dilakukan adalah mendahului sebelum adanya rantai penularan dan penyebaran penyakit melalui media lingkungan. Teori simpul terjadinya penyakit di lingkungan dapat diputus dan dipotong pada simpul lingkungan. Lingkungan bersih dan sehat tidak akan menjadi tempat berkembang biaknya suatu penyakit di wilayah. Upaya pencegahan ini memperlihatkan bahwa peran lingkungan sangat penting dalam memutus mata rantai penyakit. BAGIAN-5. PERAN KELEMBAGAAN DALAM PENANGANGAN PENYAKIT FLU BURUNG PADA MANUSIA 5.1. Peran Kelembagaan dan Kronologis Penyebaran Penyakit Flu Burung Peran kelembagaan dan kronologis penyebaran penyakit Flu burung yang terjadi di Indonesia melibatkan lintas departemen. Isue kejadian penyakit flu burung ada di Indonesia dimulai pada tahun 2003 setelah ditemukan banyaknya unggas yang mati mendadak. Kejadian penyakit flu burung menyebar ke sentra-sentra peternakan unggas. Page 54 Departemen Kesehatan melalui Dirjen Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan telah mengidentifikasi dan melakukan screening (penyaringan kasus) untuk memerikan berbagai olahan unggas. Begitu pula Departemen Pertanian telah melakukan investigasi lapangan untuk menyelidiki kejadian penyakit yang menyerang unggas. Walaupun hasil sementara masih menyatakan bahwa kejadian penyakit dan kematian ayam yang mendadak karena virus teteleo. Realita menunjukan angka kematian ayam yang mati mendadak semakin meluas. Departemen pertanian sekitar bulan Desember 2003 mulai mencurigai bahwa adanya kematian mendadak pada unggas disertai penyakit flu burung (virus H5N1). Akhirnya tanggal 22 Desember 2003, Departemen Pertanian melalui Pusat Informasi Unggas mengumumkan bahwa virus H5N1 menyertai penyebab terjadinya kematian unggas. Maka akhirnya Departemen Pertanian membuat kesiapsiagaan penanganan penyakit flu burung pada unggas. Penyebaran penyakit flu burung di Indonesia ternyata bukan hanya menyerang unggas saja tetapi mempunyai kemampuan menginfeksi manusia sehingga menjadi kekhawatiran masyarakat. Pertama kali kasus penyakit flu burung menyerang manusia terjadi bulan Juli 2005. Departemen Kesehatan akhirnya mengumumkan bahwa penyakit flu burung merupakan Kejadian Luar Biasa (KLB) melalui Surat Keputusan No. 1371/Menkes/Per/IX/2005 tentang Penetapan Flu burung (Avian Influenza) sebagai penyakit yang dapat menimbulkan wabah serta pedoman penanggulangannya, dan No. 1372/Menkes/Per/IX/2005 tentang Penetapan kondisi Kejadian Luar Biasa (KLB) Flu burung (Avian Influenza). 5.2. Peran Kelembagaan dalam Upaya Penanggulangan Penyakit Flu Burung pada Manusia Pencegahan penyakit Flu burung melibatkan dua departemen yaitu Departemen Pertanian yang befungsi mengendalikan unggas sebagai sumber penularan Avian Influenza (H5N1) dan Departemen Kesehatan yang menjaga kesehatan manusia. Hasil kajian kelembagaan dalam upaya penanggulangan penyakit Flu burung adalah sebagai berikut: Berdasarkan tugas pokok dan fungsi organisasi Pemerintah, tiga sektor yang terkait dalam Penanggulangan KLB Flu burung di Indonesia, yaitu sektor pertanian & peternakan, sektor kehutanan, dan sektor kesehatan. Keberadaan unggas atau hewan penular lainnya yang merupakan bidang tugas sektor pertanian & peternakan, dan kehutanan merupakan populasi hewan penular Avian Influenza tetapi sekaligus merupakan faktor risiko terjadinya KLB Flu burung pada manusia yang merupakan bidang tugas sektor kesehatan. Alur pikir kelembagaan yang terjadi harus terintegrasi, seperti terlihat pada Gambar 5.1. Page 55 Sehat Area Kerja Integrasi Manajemen Program Pertanian/Peternakan Host Agent Lingkungan Manajemen Program Kesehatan Unit Peternakan Unit Kesehatan Terintegrasi Informasi (waktu, tempat, dan orang Surveilance Rutin Pencegahan, Penyelidikan, & Penanggulangan Sakit Mendukung program peternakan dan kesehatan Disepakati: Siapa mengerjakan, Kapan, dimana, mekanisme kerja, instrumen, & formulir Gambar 5.1. Alur Pikir Surveilance Avian Influenza Terintegrasi Sektor pertanian dan peternakan mempunyai peran lebih besar pada saat Avian Influenza masih sebatas menyerang unggas atau hewan penular lainnya, tetapi bagaimanapun juga adanya transmisi virus AI diantara unggas atau hewan penular lain merupakan faktor risiko penting terjadinya penularan virus AI pada manusia. Tanggung jawab kelembagaan menghadapi pandemi Flu burung terlihat pada Gambar 5.2 dan Gambar 5.3. Periode Waspada Pandemi Fase 3, 4, dan 5 DEPKES DEPTAN Periode interpandemi Fase 1 dan 2 Periode Pandemi Fase 6 Gambar 5.2. Tanggung Jawab Kelembagaan Menghadapi Pandemi Flu Burung Page 56 Tim SE AI Integrasi Kab/Kota, Propinsi, Pusat Informasi SE Hewan Pertukaran data & Informasi Kajian Terintegrasi Informasi SE Manusia Rekomendasi Kurang Terkoordinasi Respon Cepat dan Terintegrasi Unggas & Faktor Risiko Gambar 5.3. Pengorganisasian Surveilance Avian Influenza Terintegrasi Avian Influenza merupakan penyakit yang relatif masih baru, berkembangnya penyakit Flu burung dapat menjadi masalah besar bagi masyarakat di dunia, terutama kemungkinan dapat berkembang menjadi pandemi influenza pada manusia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis secara kelembagaan harus terbentuknya networking informasi antar lembaga yang bertanggung jawab sesuai tugas pokoknya antara lembaga departemen pertanian dan departemen kesehatan. Secara hierarki networking kelembagaan surveilan Avian Influenza disajikan pada Gambar 5.4. Page 57 Masyarakat KCD/Poskeswan Puskesmas Rumah Sakit RS Rujukan AI Disnak Kab/Kota Dinkes Kab/Kota Labkeswan Labkesda Disnak Provinsi Dinkes Provinsi BBV/BPPV/Ba litvet Ditjen Peternakan BTKLPPM RSPI Ditjen PP & PL Balitbangkes Gambar 5.4. Networking Kelembagaan dalam Surveilance Avian Influenza 5.3. Peran Kelembagaan dalam Penanganan Penyakit Flu Burung Peran kelembagaan dalam penanganan penyakit Flu burung pada bagian ini di fokuskan pada manusia (penderita). Hasil penelitian yang dilakukan berhubungan dengan kelembagaan, sebagian besar masyarakat yang mempunyai keluhan atau gejala awal ternyata tidak melakukan pengobatan pada pelayanan kesehatan profesional. Masyarakat mengambil keputusan sendiri dalam menghadapi keluhan atau gejala yang sebenarnya mengarah pada suspek Flu burung. Pengambilan keputusan tersebut didasarkan pada kebiasaan yang menganggap gejala yang dirasakan adalah sakit biasa dan lumrah. Page 58 Peran pelayanan kesehatan terdepan dan rujukan yaitu Puskesmas dan Rumah Sakit acapkali merupakan kontak lanjutan setelah gejala yang dirasakan dan dirawat dirumah tidak menunjukan perbaikan. Secara jelas terdapat pada Gambar 5.5. Populasi/Masyarakat Sehat Merasakan Gejala Membeli obat di warung Dirawat di rumah Dikompres, diberi selimut tebal, dll Gejala terus berlanjut Puskesmas Rumah Sakit Rumah Sakit Rujukan Gambar 5.5. Kelembagaan Pelayanan Kesehatan Pertama Kontak Kasus Flu Burung Pada saat penemuan kasus Flu burung di masyarakat, hasil studi dokumentasi maka petugas kesehatan selanjutnya akan melakukan langkah-langkah seperti pada Gambar 5.6. Page 59 Observasi kasus suspek AI/kecurigaan terhadap AI di Puskesmas/Klinik Daerah dengan positif H5N1 unggas Kasus suspek AI/kecurigaan AI di Rumah Sakit Laboratorium daerah/propinsi Dinkes Propinsi Atau Posko AI jika ada Dinas Kab/Kota atau Posko AI jika ada Litbangkes Jakarta Posko AI di Ditjen PPM & PL Depkes RI Gambar 5.6. Alur Pelaporan Kasus Flu Burung pada Manusia Hasil studi dokumentasi diperoleh bahwa Pemerintah telah menetapkan 44 RS rujukan Flu burung yang tersebar di seluruh propinsi Indonesia, juga telah menetapkan laboratorium rujukan untuk pemeriksaan spesimen guna menegakkan diagnosis Flu burung. Selain itu Pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan pembebasan biaya pasien penderita Flu burung yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 756/Menkes/SK/IX/2006 tertanggal 20 September 2006. Pembebasan biaya berlaku bagi pasien yang dirawat di rumah sakit rujukan Flu burung dan rumah sakit non rujukan Flu burung (pemerintah atau swasta) yang menerima pasien sebelum dirujuk ke rumah sakit rujukan flu burung. Biaya yang ditanggung oleh pemerintah meliputi: biaya administrasi, biaya pelayanan dan perawatan (di UGD, Ruang Isolasi, Ruang ICU, dan Jasa dokter), obat-obatan dan habis pakai, biaya rujukan; dan pemulasaran jenazah (peti jenazah, transportasi, dan penguburan). Mekanisme penanganan kasus Flu burung di Sarana Pelayanan Kesehatan Non Rujukan dan di Rumah Sakit Rujukan seperti terlihat pada Gambar 5.7 dan Gambar 5.8. Page 60 Datang sendiri tanpa RISTI Datang sendiri dengan RISTI Rujukan Tempat Pendaftaran Pasien Poliklinik: Umum, Paru, Dalam, Anak TRIAGE IRD SUSPEK FLU BURUNG Ya Tidak Berikan Oseltamivir Rawat Jalan/Inap Kirim ke Rumah Sakit Rujukan FB Gambar 5.7. Alur Pasien Suspek Flu Burung di Sarana Pelayanan Kesehatan Non Rujukan Page 61 Datang sendiri tanpa RISTI Datang sendiri dengan RISTI Rujukan Tempat Pendaftaran Pasien Poliklinik: Umum, Paru, Dalam, Anak TRIAGE IRD SUSPEK FLU BURUNG Ya Tidak Rawat Inap Isolasi Rawat Jalan/Inap Alur Penatalaksan aan Medis Gambar 5.8 Alur Pasien Suspek Flu Burung di Rumah Sakit Rujukan Hasil penelitian lainnya, bahwa tempat pelayanan kesehatan swasta yang berada di daerahdaerah terutama pelosok seperti di Kabupaten Garut, Kabupaten Indramayu, dan daerah lainnya secara kelembagaan berperan andil dalam penanganan Flu burung. Hampir mencapai angka 90% penderita Flu burung mencari perawatan dan pengobatan pada tempat pelayanan kesehatan non rujukan seperti dokter praktek swasta, mantri kesehatan, dan klinik swasta kesehatan lainnya. Identifikasi diagnosis dibiaskan dengan adanya musiman penyakit seperti: demam berdarah, typus abdominalis, dan influenza biasa. Implikasinya pasien datang setelah melewati masa inkubasi yang menuju pada masa klinik yang kritis. Page 62 Page 63