Penyakit Flu Burung: Riwayat Alamiah dan Pencegahannya

advertisement
Penyakit Flu Burung:
Riwayat Alamiah dan
Pencegahannya
Penulis: Dr. Budiman, S.Pd., SKM., S.Kep., M.Kes
Page 1
BAGIAN-1. FENOMENA LINGKUNGAN DAN PENYAKIT FLU BURUNG
1.1. Interaksi Ekologi Manusia
Bagi manusia, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya (Undang-undang RI, Nomor 23 Tahun 1997).
Tidak ada satu pun di muka bumi ini yang berdiri sendiri, semuanya saling bergantung dan saling
membutuhkan satu dengan yang lainnya. Secara alami manusia mempunyai misi mempertahankan
keberadaannya di muka bumi ini dalam kondisi lingkungan yang seoptimal mungkin.
Masalah lingkungan merupakan isu penting yang menyangkut kehidupan manusia di muka bumi
ini yang apabila dibiarkan berlarut-larut akan mengakibatkan punahnya kehidupan di bumi. Isu tentang
menipisnya lapisan ozon, hujan asam, peningkatan suhu bumi, dan berbagai isu lainnya cukup
memprihatinkan bagi semua makhluk hidup yang mendiami bumi ini. Kerusakan lingkungan terus
berlangsung akibat dari kecerobohan manusia pada saat mengeksploitasi sumber daya alam, baik yang
terbarukan atau tidak terbarukan karena keinginan manusia yang tidak terbatas dan pola hidup mewah
di negara-negara maju dan sebagian di negara berkembang.
Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang ceroboh seperti disebutkan sebelumnya
menimbulkan berbagai dampak lanjutan. Pertama yaitu terjadinya kemiskinan yang semakin
memprihatinkan di banyak negara sedang berkembang, tidak saja karena sumber daya alamnya yang
terkuras habis untuk membayar utang luar negerinya. Kemerosotan sumber daya alam yang membuat
mereka semakin tidak mampu untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Tingkat pendidikan tetap
rendah, karena tidak mampu membayar biaya pendidikan yang lebih baik bagi anak-anaknya. Kedua
yaitu timbulnya berbagai penyakit yang terkait langsung dengan mutu kehidupan yang semakin
menurun di satu pihak dan dampak dari berbagai pencemaran lingkungan hidup di pihak lain. Ketiga
yaitu terjadi kehancuran sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang membawa pengaruh
langsung bagi kehancuran budaya masyarakat di sekitarnya yang menggantungkan hidupnya pada
kondisi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati.
Dewasa ini masyarakat dunia telah menyadari pentingnya memelihara lingkungan global,
meningkatkan kualitas lingkungan fisik dan biologik serta tatanan sosio-budaya. Dalam dasawarsa 1970an, setelah diadakannya Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm tahun 1972, telah
dihasilkan beberapa resolusi tentang lingkungan hidup. Beranjak dari keyakinan bahwa baku hidup
Page 2
dapat ditingkatkan tanpa perlu menguras habis sumber daya alam yang terbatas dan tanpa
mengorbankan lingkungan hidup, maka telah dikembangkan konsep pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) yang mengandung arti bahwa pembangunan yang memenuhi kebutuhan
masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang (WCED 1987
dalam Soemarwoto 2004). Dalam konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de
Janeiro, Brasil tahun 1992 pembangunan berkelanjutan menjadi tema sentral dengan dihasilkannya: (1)
Deklarasi Rio, (2) Konvensi tentang Perubahan Iklim, (3) Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati, (4)
Prinsip tentang Hutan, dan (5) Agenda 21.
Isu lingkungan sudah menjadi kepentingan global yang harus dilaksanakan dalam program aksi
dan strategi untuk mempersiapkan dunia dalam menghadapi tantangan abad ke-21. Hal ini ditujukan
agar kualitas hidup manusia terus meningkat dan pembangunan dapat berkelanjutan. Agenda 21 global
pada dasarnya adalah untuk mengentaskan kemiskinan, kelaparan, penyakit dan buta huruf di seluruh
dunia, di samping untuk menghentikan kerusakan ekosistem yang penting bagi kehidupan manusia.
Hal yang sama berlaku bagi seluruh negara di dunia yang berjumlah 191 negara anggota PBB telah
berkumpul menetapkan upaya pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) dengan target pada
tahun 2015 yaitu: (1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar untuk
semua; (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) menurunkan angka
kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan ibu; (6) memerangi HIV/AIDs, dan penyakit menular
lainnya; (7) memastikan kelestarian lingkungan hidup; (8) membangun kemitraan global.
Dalam perspektif MDGs, isu lingkungan dan penyakit merupakan isu global yang perlu ditangani
secara bersama karena akan mempengaruhi kualitas hidup manusia dan kualitas lingkungan global.
Terjadinya kerusakan lingkungan akan berdampak pada status kesehatan masyarakat global sehingga
kesejahteraan manusia di dunia tidak akan tercapai bahkan keselamatan manusia di dunia tidak akan
terjamin.
Hipocrates (460-377 SM), adalah tokoh di dunia yang pertama-tama berpendapat bahwa penyakit
ada hubungan dengan fenomena alam dan lingkungannya. Rachel Carson (1962) dalam Soemarwoto
(2004) bercerita tentang hari depan, antara lain: “Penyakit misterius telah menyerang ayam; sapi dan
domba sakit kemudian mati. Dimana-mana terdapat bayangan kematian. Para petani berbicara tentang
banyaknya penyakit dalam keluarga mereka. Para dokter menghadapi teka-teki penyakit baru yang
timbul di antara para pasiennya. Kematian sekonyong-konyong yang tidak dapat diterangkan masih
terjadi di antara orang dewasa, dan di antara anak-anak yang tiba-tiba menjadi sakit waktu bermain dan
meninggal dalam beberapa jam.
Page 3
Masalah lingkungan global telah menciptakan pola penyebaran penyakit baru sebagai suatu
evolusi penyakit di dunia. Secara nyata perkembangan alam membawa pengaruh pada berbagai jenis
penyakit yang menyerang manusia. Jumlah penyakit di dunia ini bukannya berkurang justru bertambah
secara terus menerus dengan berbagai jenis dan cara timbulnya penyakit yang semakin bervariasi dan
kompleks.
Penyakit yang bermunculan saat ini (emerging diseases) belum bisa diatasi secara menyeluruh
seperti penyakit DHF (Dengue Haemorrhagic Fever), kusta, anthrak, leptospirosis, dan filariasis yang
selalu menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) setiap tahunnya. Muncul pula penyakit-penyakit baru
(new emerging diseases)yang tidak kalah ganasnya diantaranya penyakit HIV/AIDS(Acquired Immune
Deficiency Sindrom)yang sampai saat ini belum ditemukan obatnya, kejadian insidens SARS (Severe
Acute Respiratory Syndrome), dan timbulnya penyakit infeksi baru yaitu penyakit flu burung/avian
influenza pada manusia.
Dalam laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tahun 2001 diperoleh bukti
baru bahwa perubahan iklim diakibatkan oleh aktivitas-aktivitas manusia. Perubahan iklim yang
disebabkan oleh pemanasan global dapat menimbulkan perubahan fungsi berbagai ekosistem yang ada
didunia dan secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh bagi lingkungan dan kesehatan
manusia. Pengaruh buruk perubahan iklim global bagi kesehatan adalah fluktuasi cuaca jangka pendek
dimana cuaca panas atau dingin yang ekstrim dapat menimbulkan stress panas atau hyperthermia, di
samping dapat meningkatkan laju kematian pada penderita penyakit jantung dan pernafasan.
Perubahan iklim akan memperpanjang musim bagi penyebaran penyakit menular melalui vektor seperti
malaria, demam berdarah, dan penyakit menular lainnya. Penyakit ini dapat masuk ke wilayah-wilayah
geografis baru bahkan pada populasi yang tingkat kekebalannya rendah dan prasarana kesehatan publik
yang tinggi.
Menurut Masjhur dan Ridad (1998) dampak dari pemanasan global (meningkatnya suhu bumi)
selain semakin luasnya penyebaran penyakit-penyakit yang dibawa oleh vektor yaitu nyamuk dan lalat
akan timbul pula penyakit menular lainnya. Asumsinya dapat saja penyakit menular lainnya adalah
penyakit flu burung karena berhubungan dengan masalah lingkungan baik lokal, regional maupun
lingkungan global.
Interaksi berbagai komponen lingkungan baik fisik, kimia, dan biologi telah menjadi penyebab
timbulnya penyakit flu burung. Lingkungan biologis adalah semua mahluk hidup yang berada disekitar
manusia yaitu flora dan fauna, termasuk manusia (Budiarto dan Anggraeni 2003). Komponen lingkungan
biologi dan kimia yang berperan langsung terhadap timbulnya penyakit flu burung adalah golongan
Page 4
virus influenza tipe A yang terdiri atas Hemaglutinin (H) dan Neuramidase (N). Berdasarkan sifat
antigenesitas dari glikoprotein-glikoprotein virus influensa dikelompokkan ke dalam enambelas subtipe
H (H1-H16) dan sembilan N (N1-N9). Bahkan secara kimiawi virus avian influenza juga dapat beradaptasi
dengan obat maupun vaksin. Burung liar sebagai pejamu alami telah membawa virus H5N1 menjadi
patogen bagi golongan unggas domestik yang menular ke manusia.
Komponen lingkungan fisik diantaranya udara dan air berperan sebagai faktor risiko penularan
dan penyebaran penyakif flu burung. Penyakit ini dapat menular melalui lingkungan udara yang
tercemar virus avian influenza yang berasal dari kotoran atau sekreta unggas yang menderita flu burung
(Depkes 2004). Penularan dari unggas ke manusia juga dapat terjadi jika manusia telah menghirup udara
yang mengandung virus flu burung atau kontak langsung dengan unggas yang terinfeksi. Lingkungan air
merupakan tempat hidup virus H5N1 juga bahkan dapat bertahan di air sampai 4 hari pada suhu 22º C
dan lebih dari 30 hari pada 0º C (Depkes 2004).
Munculnya KLB penyakit flu burung pada manusia tidak terlepas kaitannya dengan degradasi
fungsi lingkungan diikuti gaya hidup tidak sehat serta masalah kemiskinan yang masih cukup tinggi
(www.menlh.go.id). Sumber penularan flu burung yang sulit dikendalikan adalah burung liar yang
bermigrasi
secara
bebas
dan
mampu
menyebarkan
virus
antar
negara
(www.komnasfbpi.org/Renstra_AI_dan_PI). Pola penularan melalui burung liar yang bermigrasi kini
terbukti dengan kesamaan virus H5N1 di Danau Qiangli Cina dan pada pasien di Turki yang meninggal
(Aditama, 2007).
Isu utama perubahan iklim disebabkan fluktuasi secara alami dan banyak menunjukkan fluktuasi
kesehatan secara musiman dan tahunan. Hal tersebut hanya menegaskan bahwa penyakit-penyakit
memiliki kebergantungan pada musim dan perubahan iklim (IPCC, 2001). Pada musim dingin, burungburung liar bermigrasi ke arah selatan melintasi Indonesia. Migrasi burung liar yang merupakan reservoir
virus pada hewan-hewan domestik yang ada di jalur perjalanan mereka. Para ilmuwan menyakini bahwa
burung-burung liar/burung air yang bermigrasi membawa virus H5N1 dalam bentuk HPAIV (High
Pathogenic Avian Influenza Virus). Hal ini terbukti dengan KLB flu burung pada hewan di Asia Tenggara
yang terjadi pada musim dingin 2003-2004. Saat itu, kepadatan burung-burung liar di Asia Tenggara
berada pada puncaknya. Semakin banyak hewan peliharaan yang terinfeksi maka risiko penularan pada
manusia semakin besar (Endarti dan Juwita, 2006).
Page 5
Penyakit flu burung pada manusia mempunyai tingkat keganasan (virulensi) yang membahayakan
di antara penyakit infeksi menular lainnya (HIV/AIDS, Malaria, dan lain-lain). Tingkat kematian akibat
penyakit flu burung mencapai 56% dan masa inkubasi penyakit flu burung pada manusia sangat cepat
yaitu 1-10 hari.
Penyakit flu burung telah menjadi isu global sehingga penanganan yang serius perlu segera
diambil agar KLB flu burung tidak bermutasi menjadi flu yang menular dari manusia ke manusia dan
menjadi wabah pandemi influenza. Menurut WHO, terdapat enam fase global pandemi influenza
berdasarkan faktor epidemiologi pada manusia sebelum suatu pandemi ditetapkan. Flu burung
berdasarkan data yang diperoleh dari WHO masuk pada fase ke-3 yaitu periode kewaspadaan terhadap
pandemi.
Data tahun 2003 hingga tanggal 27 Februari 2006, tercatat jumlah kasus Avian Influenza yang
confirmed laboratorium mencapai 173 kasus dan 93 kasus (55%) di antaranya meninggal dunia. Negara
dengan jumlah kasus Avian Influenza terbanyak adalah Vietnam (93 kasus) sekitar 53,8% dari total kasus
di seluruh dunia dengan kematian 45,16%. Indonesia menempati urutan kedua kasus terbanyak di
seluruh dunia dengan 28 kasus (15,6%) dan kematian 74,1%, setelah Thailand dengan 22 kasus (12,72%)
dan kematian 63,6%. Area periode kewaspadaan terhadap pandemi penyakit flu burung di Asia
Tenggara terlihat pada Gambar 1.1.
Gambar 1. Area Periode Kewaspadaan Pandemik Flu Burung
Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional juga berkewajiban melaksanakan
penanganan flu burung secara berkelanjutan mengingat salah satu sumber penularan flu burung adalah
burung liar yang bermigrasi secara bebas dan mampu menyebarkan virus antar negara. Meluasnya
Page 6
penyakit flu burung mempengaruhi langsung segi kesehatan, segi sosial, dan tantangan di bidang
ekonomi secara tidak langsung akan menimbulkan kekhawatiran di seluruh dunia.
Situasi penyakit flu burung di Indonesia bulan Juni 2007 diperoleh data jumlah kasus konfirmasi
adalah 100 orang penderita positif H5N1 (Depkes, 2007). Dari jumlah kasus tersebut terdapat 80 orang
penderita yang meninggal (CFR = 80%). Secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1.1. Distribusi Penemuan Kasus Konfirmasi Flu Burung Berdasarkan Propinsi di
Indonesia Tahun 2007
Propinsi
Jawa Barat
DKI Jakarta
Banten
Sumatera Utara
Jawa Tengah
Jawa Timur
Lampung
Sulawesi Selatan
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Riau
Total
Positif Flu Burung
Jumlah Kasus
Meninggal
29
23
25
22
12
10
8
7
9
8
7
5
3
1
3
0
1
1
1
1
2
2
100
80
Sumber: Depkes RI (2007)
Berdasarkan data yang diperoleh, diantara sebelas Propinsi di Indonesia ternyata Propinsi Jawa
Barat menduduki peringkat ke-1 dengan jumlah kasus positif flu burung pada manusia mencapai 29
penderita (29%), Angka Case Fatality Rate (CFR) adalah 79,3%. Selanjutnya Propinsi DKI Jakarta dengan
jumlah kasus 25 penderita (25%) dan CFR adalah 88% sedangkan posisi ketiga adalah Propinsi Banten
dengan jumlah kasus 12 penderita (12%) dan CFR adalah 83,3%. Angka kesakitan dan kematian penyakit
flu burung pada manusia yang tinggi terutama di wilayah Propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten
akan menimbulkan risiko penularan dan penyebaran yang berbahaya karena wilayah propinsi tersebut
merupakan wilayah padat populasi dengan jumlah penduduk yang besar di Indonesia.
Padatnya populasi penduduk memerlukan tempat tinggal (area) yang makin luas dan memerlukan
pemenuhan kebutuhan dasar hidup yang meningkat baik kebutuhan air, kebutuhan makanan, dan
kebutuhan dasar hidup lainnya. Kondisi lingkungan tersebut akan menjadi faktor risiko terjadinya
penyakit flu burung secara terus menerus pada saat tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.
Page 7
1.2. Problematika Penyakit Flu Burung
Menjelang milenium ketiga, umat manusia dihadapkan pada berbagai perubahan lingkungan
global yang langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kesehatan. Seringkali perubahan
lingkungan yang tadinya berskala lokal dapat meluas menjadi regional bahkan global, karena sifat
perubahan tersebut menjadikan negara-negara di muka bumi ini tidak mengenal batas lagi.
Permasalahan lingkungan di suatu negara akan berdampak meluas ke negara lainnya yang berada di
belahan dunia ini.
Harus disadari secara alamiah manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Manusia bernafas
memerlukan udara sekitarnya setiap detik. Makanan manusia diambil dari sekitarnya, demikian pula
minuman, pakaian, dan lain sebagainya. Bergantung taraf budayanya, manusia dapat sangat erat atau
erat hubungannya dengan lingkungan hidupnya. Hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya
adalah sirkuler. Perubahan pada lingkungan itu pada gilirannya akan mempengaruhi kehidupan manusia
termasuk
masalah
kesehatan
manusia.
Teori
Gordon,
dalam
Anies
(2006)
menyatakan
ketidakseimbangan terjadi akibat pergeseran faktor lingkungan akan mempengaruhi bibit penyakit
(agent) menjadikannya lebih ganas atau lebih mudah masuk ke dalam tubuh manusia.
Menurut Bloom (1974) dalam Suliha et al (2002) faktor yang paling dominan mempengaruhi
derajat kesehatan manusia adalah faktor lingkungan (45%), faktor perilaku (30%), pelayanan kesehatan
(20%), dan keturunan (5%). Penyakit-penyakit yang timbul saat ini baik penyakit degeneratif, penyakit
tidak menular maupun penyakit menular tidak terlepas dari faktor lingkungan sebagai faktor risiko
penyebab terjadinya penyakit termasuk mewabahnya penyakit flu burung di berbagai belahan dunia.
Penyakit flu burung dalam waktu singkat sejak tahun 1997 pertama kali muncul di Hongkong
menginfeksi manusia sebanyak 18 orang dengan jumlah kematian 6 orang (Siegel, 2006). Fakta yang
melegakan bahwa setiap pasien ini menjadi terinfeksi akibat kontak langsung dengan unggas terinfeksi,
bukan dengan orang yang terinfeksi. Munculnya penyakit flu burung tidak terlepas dari peranan masalah
lingkungan sebagai faktor risiko terjadinya kasus kesakitan dan kematian yang meningkat secara
progresif.
Komponen lingkungan yang terlibat sebagai faktor risiko terjadinya penyakit flu burung mencakup
lingkungan fisik, kimia, biologi, dan sosial ekonomi. Menurut Azwar (1999) lingkungan fisik adalah
lingkungan alamiah yang terdapat di sekitar manusia mencakup cuaca, musim, keadaan geografis, dan
struktur geologi. Lingkungan fisik terdiri atas benda-benda yang tidak hidup termasuk golongan udara,
sinar matahari, tanah, air, perumahan, sampah, dan sebagainya (Entjang 1993).
Page 8
Lingkungan fisik rumah yang memenuhi syarat kesehatan menurut Winslow dalam Entjang (1993)
diantaranya 1) harus memenuhi kebutuhan fisiologis, 2) kebutuhan psikologis, 3) dapat menghindarkan
terjadinya kecelakaan, dan 4) dapat menghindarkan terjadinya penyakit. Lingkungan fisik rumah
merupakan faktor risiko terjadinya penyakit flu burung dilihat dari aspek-aspek tempat tinggal rumah,
jarak rumah dengan kandang ternak, jarak rumah ke pasar unggas, jarak rumah ke tempat peternakan,
dan posisi tempat tinggal. Lingkungan fisik lainnya sebagai faktor risiko penyakit flu burung adalah
lingkungan air mencakup sumber air rumah tangga, saluran limbah rumah tangga, dan saluran air limbah
kotoran unggas. Virus H5N1 dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22ºC dan lebih dari 30
hari pada 0ºC (Depkes, 2004). Selain itu faktor lingkungan fisik lainnya adalah kebersihan kandang
ternak dan kebersihan rumah yang dapat saja berhubungan dengan timbulnya penyakit flu burung.
Lingkungan biologi terdiri atas organisme-organisme hidup yang berada di sekitar manusia baik
yang merugikan maupun menguntungkan manusia. Lingkungan biologi bentuk mikroorganisme yang
merugikan manusia adalah bibit penyakit golongan virus influenza A subtipe H5N1 yang beradaptasi
pada unggas sebagai penyebab penyakit flu burung pada manusia. Keberadaaan virus H5N1 di
lingkungan biologi yang merupakan faktor risiko mencakup keberadaan unggas liar, keberadaan kucing,
dan burung peliharaan. Sedangkan lingkungan kimia sebagai faktor risiko timbulnya penyakit flu burung
adalah penggunaan jenis pupuk yang dipakai.
Faktor risiko lingkungan lainnya yang berhubungan dengan terjadinya penyakit flu burung pada
manusia adalah lingkungan sosial ekonomi mencakup pendidikan, pekerjaan, jenis pekerjaan, tempat
pekerjaan yang dicerminkan juga jabatan dalam pekerjaan, pekerjaan anggota keluarga, aktivitas
kontak, jenis kontak, jumlah kontak, kontak erat, tempat kontak erat, kontak erat dengan unggas,
aktivitas ke pantai. Lingkungan sosial ekonomi masyarakat tersebut berperan sebagai faktor risiko
terhadap kejadian penyakit flu burung pada manusia. Kasus pertama kali ditemukan infeksi flu burung
H5N1 pada manusia pada bulan Juli 2005 di Tangerang, yang berakhir pada kematian, dimana kasus ini
unik karena korban tidak banyak berhubungan dengan unggas (Siegel, 2006).
Berdasarkan hal tersebut diatas hampir semua lapisan masyarakat merupakan populasi yang
berisiko tertular penyakit flu burung. Terjadinya penyakit pada manusia ditentukan pula oleh faktor
manusia itu sendiri artinya bahwa dalam diri manusia terdapat faktor penyebab timbulnya penyakit.
Pada penyakit flu burung yang menjadi faktor risiko dalam diri manusia mencakup umur, jenis kelamin,
kebiasaan memasak daging unggas, kebiasaan memasak telur unggas, kebiasaan mencuci tangan
sebelum dan sesudah memasak, riwayat kesehatan, tingkat stres dan status gizi.
Page 9
Manusia yang terserang penyakit flu burung akan melewati masa inkubasi 1-3 hari, masa infeksi 1
hari sebelum 3-5 hari sesudah timbul gejala sedangkan padan anak-anak sampai 21 hari (Depkes, 2004).
Gejala klinik yang timbul pada manusia mencakup demam (suhu badan di atas 38ºC, batuk dan nyeri
tenggorokan, radang saluran pernafasan, pneumonia, infeksi mata, dan nyeri otot. Apabila tidak
dilakukan tatalaksana dengan baik dapat menyebabkan kematian. Terbukti bahwa angka kematian
akibat penyakit flu burung pada manusia di Indonesia cukup tinggi terutama pada kasus konfirmasi
mencapai 81,7%. Hal ini menandakan bahwa perjalanan riwayat alamiah penyakit hampir sebagian pada
tahap akhir dengan kematian.
Jumlah kematian penyakit flu burung pada manusia cukup tinggi mengindikasikan bahwa di tahap
pre-patogenesis faktor risiko lingkungan saat terjadi interaksi dengan manusia dan bibit penyakit tidak
terkendalikan. Dampaknya penyakit flu burung pada manusia ditemukan sudah masuk pada tahap
patogenesis (tahap klinik) dan sudah melewati masa inkubasi sehingga penemuan kasus terlambat yang
akhirnya angka kematian menjadi dominan.
Tingginya tahap kematian perjalanan riwayat alamiah penyakit flu burung melibatkan berbagai
komponen lingkungan sebagai faktor risiko dominan. Pelibatan banyaknya faktor risiko lingkungan
meningkatkan kerentanan manusia terhadap virulensi bibit penyakit (H5N1) sehingga identifikasi faktor
risiko lingkungan dominan perlu dilakukan. Apalagi penyakit flu burung ini termasuk penyakit zoonosis.
Penyakit zoonosis adalah suatu penyakit pada hewan (unggas) yang dapat menular kepada
manusia. Pola penularan dari sumber utamanya (unggas) adalah kontak langsung dan lingkungan udara
atau peralatan yang tercemar AI (Depkes RI, 2004). Penyakit ini sudah masuk pada tahap kewaspadaan
pandemik. Pengendaliannya pun tentu saja melibatkan berbagai kelembagaan diantaranya Departemen
Pertanian dan Departemen Kesehatan mulai dari tingkat Pusat sampai pada Unit Pelaksana Teknis
terbawah (Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas Peternakan Kabupaten/Kota, dan sebagainya).
Fokus yang dilakukan diantaranya mencakup upaya intervensi pencegahan sesuai tingkatan
primer, sekunder, dan tersier. Penekanan upaya intevensi pencegahan adalah pada paradigma sehat
tidak pada paradigma sakit. Saat ini paradigma berpikir masyarakat masih ke arah yang bersifat kuratif
(pengobatan) artinya masyarakat terdogmatis mempunyai pikiran kalau sakit mudah tinggal datang saja
berobat ke dokter atau ke tempat pelayanan kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, dan lainnya). Secara
bertahap harus sudah mulai dibangun berpikir masyarakat ke arah yang bersifat preventif (pencegahan)
artinya masyarakat sudah berpikir secara internal dalam dirinya supaya tidak terserang penyakit. Tujuan
akhirnya segala upaya yang berhubungan dengan tindakan pencegahan penyakit (penyakit flu burung)
dilaksanakan.
Page 10
Bertitik tolak dari fenomena yang penulis temukan masalah penyakit flu burung pada manusia
adalah sebagai berikut :

Bagaimana pola perjalanan riwayat alamiah penyakit flu burung pada manusia mulai dari
tahap peka, pragejala, klinik, dan tahap terminal pada kelompok kasus?

Bagaimana model intervensi pencegahan berbasis interaksi faktor risiko lingkungan
dalam menurunkan angka insidens penyakit flu burung pada manusia?
1.3. Kebaruan Perkembangan Penyakit Flu Burung
Dalam buku ini, yang menjadi novelty-nya, adalah penulis telah membuat kumpulan Status
Health Folder(SHF) perjalanan riwayat alamiah khusus penyakit flu burung pada manusia. SHF
dikembangkan oleh penulis berdasarkan riset yang dilakukan pada 31 penderita flu burung yang
dinyatakan sebagai kasus konfirmasi. SHF menggambarkan pola perjalanan pasien yang menderita
penyakit flu burung sesuai tahapan pre-patogenesa sampai pada tahap terminal.
Pengembanga SHF penyakit flu burung pada manusia merupakan entry point dalan
menemukanmodel upaya intervensi pencegahan penyakit flu burung pada manusia. Pembuatan model
intervensi pencegahan penyakit flu burung pada manusia menggunakan model dinamik. Model ini dapat
membuat prediksi jika faktor-faktor yang berhubungan dengan KLB penyakit flu burung diintervensi.
Page 11
BAGIAN-2. KONSEP DASAR PENYAKIT FLU BURUNG
2.1. Pengertian Penyakit Flu Burung
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala bidang semakin meningkat, termasuk
bidang kesehatan secara umum. Kemajuan ilmu dan teknologi kesehatan telah mencapai taraf
memuaskan dalam hal mengatasi penderitaan dan kematian penyakit tertentu. Masalah kesehatan bagi
masyarakat umum masih sangat rawan. Pada beberapa tahun terakhir ini sejumlah penyakit menular
tertentu sudah dapat diatasi. Di lain pihak timbul pula masalah baru dalam bidang kesehatan
masyarakat adanya kejadian penyakit menular jenis baru salah satunya penyakit flu burung. Penyakit flu
burung saat ini telah menjadi isu global yang sangat menakutkan dan mengancam populasi baik populasi
unggas maupun populasi manusia di dunia.
Menurut Dirjen P2PL Depkes RI (2005) Avian influenza merupakan penyakit menular pada
hewan (unggas, babi, dan lain-lain) yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dengan manifestasi
beragam, mulai dari sakit ringan hingga kematian. Avian influenza (penyakit flu burung), yang ditularkan
oleh unggas ternyata dapat menyerang manusia (Dirjen P2PL Depkes RI 2006). Dalam operasionalisasi
penentuan definisi kasus penyakit flu burung di kelompokan menjadi tiga jenis yaitu:
1) Kasus Suspekyaituadalah seseorang yang menderita ISPA dengan gejala demam (temperatur > 38°C),
batuk dan atau sakit tenggorokan dan atau ber-ingus serta dengan salah satu keadaan: (a) seminggu
terakhir mengunjungi peternakan yang sedang berjangkit KLB flu burung, (b) kontak dengan kasus
konfirmasi flu burung dalam masa penularan, (c) bekerja pada suatu laboratorium yang sedang
memproses spesimen manusia atau binatang yang dicurigai menderita flu burung
2) Kasus Probableyaitu kasus suspek disertai salah satu keadaan: (a) bukti laboratorium terbatas yang
mengarah kepada virus influenza A (H5N1), misalnya: Test HI yang menggunakan antigen H5N1, (b)
dalam waktu singkat berlanjut menjadi pneumonia gagal pernafasan/meninggal, (c) terbukti tidak
terdapat penyebab lain
3) Kasus Konfirmasi yaitu kasus suspek atau "probable" didukung oleh salah satu hasil pemeriksaan
laboratorium; (a) kultur virus influenza H5N1 positif, (b) PCR influenza (H5) positif, (c) peningkatan
titer antibodi H5 sebesar 4 kali
2.2. Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit Flu Burung
Page 12
Penyakit menular menyerang masyarakat kadang kala tidak bisa diantisipasi sebelumnya.
Tingginya angka kesakitan dan kematian yang mendadak bisa berdampak pada timbulnya kepanikan dan
ketakutan di masyarakat diantaranya penyakit flu burung. Kondisi saat ini penyakit flu burung telah
masuk sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
Depkes RI (1994) menyatakan KLB adalah timbulnya suatu kejadian kesakitan/kematian dan atau
meningkatnya suatu kejadian atau kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu
kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu, termasuk kejadian kesakitan/kematian yang
disebabkan oleh penyakit menular maupun tidak menular dan kejadian bencana alam yang disertai
wabah penyakit. Suatu kejadian dapat disebut KLB bila memenuhi satu atau lebih indikator sebagai
berikut:
1) Kesakitan/kematian suatu penyakit menular di suatu daerah menunjukan kenaikan tiga kali atau
lebih selama tiga kurun waktu berturut-turut atau lebih.
2) Jumlah penderita baru dalam satu bulan dari suatu penyakit di suatu daerah, menunjukan kenaikan
dua kali lipat atau lebih bila dibandingkan angka rata-rata per bulan pada tahun sebelumnya dari
penyakit menular yang sama di suatu daerah tersebut.
3) Case Fatality Rate dari suatu penyakit menular tertentu dalam satu bulan di satu daerah,
menunjukan kenaikan 50% atau lebih, bila dibandingkan dengan CFR penyakit yang sama dalam
bulan yang lalu di daerah tersebut itu.
4) Apabila di daerah tersebut terdapat penyakit menular yang sebelumnya tidak ada/dikenal.
Kejadian Luar Biasa (KLB) tergolong dalam letusan kejadian yang bersumber dari
makanan/minuman dan air, yang lain berupa penyakit menular atau kejadian yang tidak diketahui
sebab-sebabnya. Depkes RI (1994) menggolongkan KLB sebagai berikut:
1) Menurut penyebabnya mencakup toksin, infeksi, toksin biologis, dan kimia
2) Menurut sumbernya mencakup bersumber dari manusia dan bersumber dari kegiatan manusia
3) Bersumber dari hewan
4) Bersumber dari serangga
5) Bersumber dari udara
6) Bersumber dari permukaan benda-benda/alat-alat
7) Bersumber dari makanan/minuman
Flu burung di Indonesia, telah dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) oleh Menteri
Kesehatan RI melalui Surat Keputusan No. 1371/Menkes/Per/IX/2005 tentang Penetapan Flu Burung
(Avian Influenza) sebagai penyakit yang dapat menimbulkan wabah serta pedoman penanggulangannya.
Page 13
Penyaki flu burung telah ditetapkan termasuk kondisi kejadian luar biasa sesuai Surat Keputusan
Menkes No. 1372/Menkes/Per/IX2005 tentang penetapan kondisi kejadian luar biasa (KLB) Flu Burung
(Avian Influenza).
2.2.1. Faktor Lingkungan
Lingkungan adalah agregat dari semua kondisi dan pengaruh-pengaruh luar yang mempengaruhi
kehidupan dan perkembangan suatu organisasi (Azwar, 1999). Faktor lingkungan dapat berupa
lingkungan biologi, lingkungan fisik, dan lingkungan sosial ekonomi (Budiarto dan Anggraeni, 2003).
Lingkungan Biologi
Lingkungan biologi ialah semua mahluk hidup yang berada disekitar manusia yaitu flora dan
fauna, termasuk manusia. Misalnya wilayah dengan flora yang berbeda akan mempunyai pola penyakit
berbeda. Faktor lingkungan biologi ini selain bakteri dan virus patogen, ulah manusia juga mempunyai
peranan penting dalam terjadinya penyakit. Bahkan dapat dikatakan penyakit timbul karena ulah
manusia. Lingkungan biologi yang berhubungan dengan penyakit flu burung akan diuraikan secara rinci
berikut ini.
Virus Penyebab Penyakit Flu Burung
Penyebab flu burung adalah virus influenza tipe A. Virus influenza termasuk famili
Orthomyxoviridae. Virus inflenza tipe A dapat berubah-rubah bentuk (drif shift). Berdasarkan sub tipe
virus terdiri atas hemaglutinin (H) dan neuramidase (N). Kedua huruf ini digunakan sebagai identifikasi
kode sub tipe flu burung yang banyak jenisnya.
Pada manusia hanya terdapat jenis H1N1, H2N2, H3N3, H5N1, H9N2, H1N2, H7N7. Di binatang H1H5 dan N1-N9. Strain yang sangat virulen/ganas dan menyebabkan flu burung adalah dari subtipe A
yaitu H5N1. Dalam perkembangan virus influenza A pada manusia mengalami evolusi (Siegel, 2006)
seperti pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1.Evolusi Influenza A Pada Manusia
Tahun
1874
1890
1902
1918
1933
1947
Galur
H3N8
H2N2
H3N2
H1N1
H1N1
H1N1
Perkembangan
Pandemi
Flu Spanyol
Galur-galur pertama diisolasi
Varian terdeteksi
Page 14
1957
1968
1997
Sumber: Siegel (2006)
H2N2
H3N2
H5N1
Flu Asia
Flu Hongkong
Kewaspadaan Pandemi
Penjamu Alami
Burung-burung air yang liar, terutama yang termasuk dalam ordo Anserformis (bebek dan angsa)
dan Charadiformis (burung camar dan burung-burung pantai), adalah pembawa (carier) semua varietas
subtipe dari virus influenza A. Oleh karenanya, sangat mungkin merupakan penampung (reservoir) alami
untuk semua spesies burung dianggap sebagai rentan terinfeksi, beberapa spesies unggas domestikayam, kalkun, balam. Puyuh dan merak diketahui terutama rentan terhadap sekuele (lanjutan) dari
infeksi virus influenza.
Virus-virus influenza A unggas biasanya tidak menimbulkan penyakit pada pejamu alami mereka.
Sebaliknya virus-virus tersebut tetap dalam suatu keadaan statis yang evolusioner, yang secara
molekuler ditandai dengan rendahnya rasio mutasi N/S (non synonymous vs synonymous) yang
menunjukkan adanya evolusi pemurnian (Gorman, et al. 1992; Taubenberger, et al. 2005). Antara
pejamu dengan virus agaknya terjadi saling toleransi yang seimbang, yang secara klinis ditunjukan
dengan tidak adanya penyakit dan replikasi virus secara efiesien. Sejumlah besar virus sampai sebanyak
10 8,7 x 50% dosis infektif (egg-infective dose) per gram tinja, dapat dikeluarkan (Webster 1978 dalam
Mohamad 2006 ). Jika virus tersebut menular ke spesies unggas yang rentan, dapat timbul gejala-gejala
sakit yang kalau ada hanya bersifat ringan. Virus dari fenotip seperti ini disebut sebagai berpatogenisitas
rendah (LPAIV; Low Pathogenic Avian Influenza Virus). Pada umumnya, hanya mengakibatkan terjadinya
penurunan produksi telur yang bersifat ringan dan sementara dalam unggas petelur, atau menurunkan
penambahan berat badan dalam unggas pedaging (Capua and Minelli, 2001).
Strain-strain dari subtipe H5 dan H7 berpotensi untuk mengalami mutasi menjadi bentuk yang
sangat patogen setelah mengalami perpindahan dan adaptasi unggas terhadap pejamu baru. Kelahiran
bentuk yang sangat patogen dari H5 dan H7 atau subtipe yang lain tidak pernah dijumpai pada unggas
liar (Webster 1998). Oleh karena itu, orang dapat mengambil kesimpulan bahwa bentuk yang sangat
patogen tersebut sebenarnya merupakan hasil perbuatan manusia juga, akibat kelakuan manusia yang
mempengaruhi keseimbangan sistem alami.
Sekali fenotip HPAIV tumbuh dalam unggas domestik, mereka akan dapat ditularkan secara
horisontal dari unggas ternak kembali ke burung liar. Kerentanan burung liar terhadap penyakit yang
ditimbulkan oleh HPAIV sangat bervariasi bergantung pada spesies dan umur unggas, serta strain
Page 15
virusnya. Sampai pada munculnya virus ganas (HPAIV) garis H5N1 di Asia, limpahan dari HPAIV ke
populasi burung liar hanya terjadi secara sporadik dan terbatas pada suatu daerah saja, kecuali satu
yaitu pada kematian sekelompok sterna (sejenis camar) di Afrika Selatan pada tahun 1961 (Becker
1996). Sebegitu jauh unggas liar secara epidemiologik tidak dianggap mempunyai peranan penting
dalam penyebaran HPAIV. Pandangan ini kini berubah secara fundamental sejak awal 2005. Ketika
terjadi wabah virus ganas (HPAIV) yang terkait dengan garis H5N1 Asia pada ribuan burung unggas di
cagar alam Danau Qinghai di barat laut China (Chen et al, 2005).
High Pathogenic Avian Influenza Virus (HPAIV)
Patogenesis sebagai sifat umum virus dalam virus influenza A merupakan bakat filogenik dan
sangat bergantung pada sebuah konstelasi gen yang ‘optimal’ yang mempengaruhi antara lain tropisme
(reaksi ke arah atau menjauhi stimulus) dari jaringan dan pejamu, efektivitas replikasi dan mekanisme
penghindaran imunitas. Selain itu faktor spesifik pada tiap spesies berperanan juga terhadap hasil suatu
infeksi, yang terjadi setelah penularan antar spesies, dan karenanya tidak dapat diduga sebelumnya.
Proses timbulnya penyakit flu burung dalam perjalanan penyakit dipengaruhi oleh sifat-sifat
mikroorganisme sebagai agen penyebab penyakit. High Pathogenic Avian Influenza (HPAI) adalah
peningkatan kemampuan mikroorganisme (avian virus influenza) untuk menimbulkan penyakit flu
burung pada manusia atau dalam kondisi virus influneza unggas yang sangat patogen yang sampai saat
ini secara eksklusif ditimbulkan oleh subtipe H5 dan H7.
Dalam kenyataannya hanya sebagian kecil subtipe H5 dan H7 yang menunjukan subtipe yang
sangat patogen. Biasanya virus-virus H5 dan H7 bertahan stabil dalam pejamu alaminya dalam bentuk
yang berpatogenesis rendah. Dari resevoir ini virus dapat ditularkan melalui berbagai jalan ke kawanan
unggas ternak. Setelah masa sirkulasi yang bervariasi dan tidak pasti (dan barang kali juga beradaptasi)
dalam populasi unggas yang rentan, virus-virus tersebut dapat secara melompat mengalami mutasi
menjadi bentuk yang sangat patogen (Rohm, et al. 1995).
Fenotipe HPAI di lapangan nampaknya merupakan hal yang jarang terjadi, dan selama jangka
waktu lima puluh tahun terakhir di seluruh dunia hanya terjadi sebanyak 24 kali wabah HPAI primer
yang diakibatkan oleh HPAIV, yang agaknya secara de novo muncul dengan cara demikian.
Gambaran Reservoir
Setelah masa tunas yang biasanya berlangsung selama beberapa hari (jarang sampai 21 hari),
bergantung pada karakteristik isolat, dosis inokulum, spesies dan usia unggas, gambaran klinis influenza
Page 16
unggas pada burung bervariasi dan gejalanya sering tidak spesifik (Elbers, et al. 2005). Oleh karena itu
tidak mungkin untuk menegakkan diagnosis hanya berdasarkan gambaran klinis.
Gejala-gejala yang terjadi setelah terinfeksi oleh avian influenza virus berpatogenesis rendah
mungkin tidak terlalu jelas, seperti bulu-bulu yang kusut, produksi telur yang secara transien menurun
atau berat badan menurun yang disertai sedikit gangguan pernafasan (Capua dan Mutineli, 2001).
Dalam bentuknya yang patogen, penyakit yang terjadi pada ayam dan kalkun ditandai dengan
serangan yang mendadak dengan gejala yang hebat serta kematian yang mendekati 100% dalam jangka
waktu 48 jam. Penyebaran dalam kelompok bergantung pada pemeliharaan dalam kelompok yang
dilepas di tempat yang kotor dan terjadi hubungan langsung serta percampuran dengan hewan lain,
penyebaran infeksi berlangsung lebih cepat daripada yang dipelihara dalam kandang, tetapi masih juga
diperlukan beberapa hari untuk terjadinya penularan yang sempurna (Capua, 2000). Seringkali hanya
sebagian kandang saja yang terkena. Banyak unggas yang mati tanpa gejala-gejala awal sehingga
kadang-kadang pada mulanya orang menduga telah terjadi keracunan (Nakatami, 2005).
Di perusahaan ternak unggas yang besar, terjadinya penurunan konsumsi air dan makanan yang
progresif dan dalam waktu singkat, dapat menjadi tanda akan adanya penyakit sistemik pada kawanan
unggas ternak. Pada unggas petelur, terhentinya produksi telur sangat nyata. Secara individual, unggas
yang terkena HPAI sering hanya menunjukan gejala apatis dan tidak banyak bergerak (Kwon, et al.
2005). Pembengkakan nampak pada daerah kepala yang tidak ditumbuhi bulu, terjadi sianosis pada
jengger, gelambir, dan kaki, diare dengan kotoran berwarna kehijauan dan nampak susah bernafas,
dapat dijumpai meskipun tidak selalu (inkonsisten).
Pada unggas petelur, mulanya telur yang dihasilkan berkulit lembek, tetapi kemudian produksi
telur berhenti secara cepat sejalan dengan perkembangan penyakit (Elbers, 2005). Gejala-gejala sistem
syaraf termasuk tremor, tortikolis, dan ataxia mendominasi gambaran klinis pada spesies yang tidak
begitu rentan seperti bebek, angsa, dan jenis burung onta (Kwon, 2005).
Virulensi Virus Avian influenza
Influensa Unggas Patogenesis Rendah (Low Pathogenic Avian Influenza, LPAI)
Kerusakan jaringan (lesio) yang terjadi bervariasi bergantung pada strain virus dan spesies serta
umur pejamu. Pada umumnya, hanya kalkun dan ayam yang menunjukan terjadinya perubahan
Page 17
mikroskopik yang besar terutama dengan strain yang sudah beradaptasi dengan penjamu ini (Capua dan
Mutinelli, 2001).
Pada kalkun terjadi sinusitis, trakheitis, meskipun kemungkinan ada juga peranan infeksi bakteri
sekunder. Pernah juga dilaporkan terjadinya pankreatitis pada kalkun. Pada ayam yang paling sering
dijumpai adalah radang ringan di saluran pernafasan. Selain itu, lesi juga terjadi pada organ reproduktif
(ovarium, saluran telur, peritonitis kuning telur) dari unggas petelur.
Influensa Unggas Patogenesis Tinggi (High Pathogenic Avian Influenza, HPAI)
Perubahan patologik dan histopatologik yang hebat pada HPAI menunjukan kebergantungan
serupa dengan yang nampak pada gambaran klinis. Ada empat kelas perubahan patologik yang
dipostulasikan (Perkins dan Swayne, 2002) diantaranya adalah:
(a) Bentuk perakut (kematian terjadi dalam waktu 24-36 jam setelah infeksi, terutama terlihat pada
beberapa spesies galliformis) dan akut dari penyakit ini tidak menunjukkan terjadinya perubahan
patologik yang besar. Pada bentuk perakut, terlihat hidroperikardium yang tidak jelas, kongesti usus
yang ringan dan perdarahan petekhial pada selaput serosa mesenteri dan perikardium meskipun
tidak selalu (Mutenelli, et al. 2003). Ayam yang terinfeksi oleh H5N1 garis Asia adakalanya
menunjukan adanya bercak-bercak haemorrhagik disertai lendir di trakhea dalam jumlah yang nyata
(Elbers, et al. 2005). Dapat juga dijumpai pembengkakan serosa (serous exudattion) dalam ronggarongga tubuh dan paru-paru. Bintik-bintik perdarahan di mukosa proventrikulus, secara khusus
dijumpai pada unggas yang terinfeksi H5N1 garis Asia (Elbers, et al. 2005). Berbagai lesio histologi
bersama-sama dengan antigen virus dapat dideteksi di berbagai organ (Mo, 1997). Pertama-tama
virus ditemukan di sel endotel. Berikutnya sel-sel yang terinfeksi oleh virus dijumpai di myokardium,
kelenjar adrenal dan pankreas. Neuron dan juga sel glia di otak juga terinfeksi. Secara patogenesis,
diduga perjalanan penyakitnya serupa dengan infeksi virus endoteliotropik lainnya, ketika aktivasi
leukosit dan endotel mengakibatkan pelepasan sitotoksin secara sistematik dan tidak terkoordinasi
dan menjadi predisposisi kegagalan jantung-paru dan kegagalan multiorgan (Klenk, 2005).
(b) Pada hewan, gejala-gejala awal muncul sangat lambat dan penyakit berlangsung lama. Terlihat juga
gejala neurologik dan secara histologik, terjadi lesi nonsupuratif di otak mendominasi gambaran
klinis (Perkin dan Swayne, 2002; Kwon, 2005). Perjalanan penyakit semacam ini pernah diuraikan
pada angsa, bebek, dan spesies lain yang secara eksperimental diinfeksi dengan HPAI strain H5N1
garis Asia. Pada unggas petelur, peradangan dapat ditemukan di kandung telur, saluran telur, dan
setelah folikel pecah, terjadi peradangan yang disebut sebagai peritonitis kuning telur.
Page 18
(c) Pada bebek, burung camar, dan burung gereja, dijumpai replikasi virus yang terbatas. Unggasunggas ini menunjukan terjadinya pneumonia interstisial yang ringan, radang kantung udara dan
adakalanya miokarditis limfositik dan histiositik (Perkins dan Swayne 2002).
(d) Dalam percobaan yang dilaporkan oleh Perkins dan Swayne (2003), burung dara dan walet terbukti
kebal terhadap infeksi H5N1. Meskipun demikian, Werner et al (belum dipublikasikan) berhasil
memicu terjadinya gangguan neurologik yang berkepanjangan akibat adanya ensefalitis nonsupuratif (Klopfleisch, 2006). Sebaiknya sewaktu mengambil sampel dari burung yang diduga
terkena HPAI, standar keamanan harus dipatuhi agar petugas tidak terpapar pada HPAIV yang
berpotensi menular ke manusia (Bridges et al, 2002).
Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik dapat berupa geografis dan keadaan musim. Misalnya, negara yang beriklim
tropis mempunyai pola penyakit yang berbeda dengan negara yang beriklim dingin atau subtropis.
Demikian pula antara negara maju dengan negara berkembang. Dalam satu negara pun dapat terjadi
perbedaan pola penyakit, misalnya antara daerah pantai dan daerah pegunungan atau antara kota dan
desa (Budiarto dan Anggareni 2003). Azwar (1999) menyatakan keadaan geografis dapat berupa letak
wilayah, struktur tanah, curah hujan, sinar matahari, angin, kelembaban udara, suhu udara, dan lain
sebagainya.
Peranan lingkungan fisik sebagai tempat hidup virus H5N1 menentukan dalam penularan penyakit
flu burung. Menurut Depkes RI (2004) virus H5N1 dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu
22°C dan lebih dari 30 hari pada 0°C. Virus akan mati pada pemanasan 60°C selama 30 menit atau 56°C
selama 3 jam dan dengan deterjen, desinfektan misalnya formalin serta cairan yang mengandung iodin.
Lingkungan alam terutama di permukaan air, meskipun dalam morfologi nampak rapuh,
merupakan media bagi virus influenza unggas dalam mempertahankan daya penularannya (Stalknecht,
1990a+b, Lu, 2003). Selain menular melalui kontak langsung dari pejamu ke pejamu, air dan bendabenda lain yang tercemar virus merupakan jalur penularan tidak langsung yang juga penting. Ini berbeda
dengan penularan virus influenza pada mamalia (manusia, babi, kuda) yang terutama terjadi melalui
percikan droplet yang tersembur dari hidung dan mulut. Siklus infeksi antar unggas terjadi melalui rantai
oral-fekal (mulut-tinja) melalui penghantar media udara.
Air yang digunakan oleh burung liar, atau makan dan minum dari sumber yang tercemar kotoran
burung liar pembawa virus merupakan faktor risiko penularan dari burung liar ke unggas peliharaan
terutama terjadi kalau unggas peliharaan tersebut dibiarkan bebas berkeliaran (Capua, et al. 2003).
Unggas juga dapat terinfeksi jika bersentuhan langsung dengan hewan pembawa virus, atau kotoran
Page 19
hewan lain yang membawa virus, atau bersentuhan dengan benda-benda yang tercemar bahan
mengandung virus. Sekali virus menginfeksi kawanan unggas, LPAIV tidak harus mengalami suatu fase
adaptasi pada spesies unggas tersebut sebelum dikeluarkan lagi dalam jumlah yang cukup besar untuk
dapat menular secara horisontal ke unggas lain, baik dalam kawanan sendiri atau ke kawanan yang lain.
Demikian pula sekali HPAIV berkembang dari kawanan unggas yang terinfeksi LPAIV, virus juga dapat
menular dengan cara yang sama.
Lingkungan fisik lainnya yang merupakan faktor risiko penularan penyakit flu burung adalah
pasar unggas. Menurut Bulaga et al, (2003), pasar unggas yang menjual unggas dalam jumlah besar dan
ditempatkan secara saling berdesakan, merupakan multifaktor penyebaran penularan penyakit flu
burung. Bahkan Yuen, et al (1998) menyatakan kasus-kasus yang pertama kali ditemukan adanya
hubungan antara HPAIV H5N1 garis Asia dengan penyakit pernafasan pada manusia di Hongkong pada
tahun 1997 yang secara epidemiologik berhubungan dengan kejadian wabah H5N1 yang sangat patogen
di pasar unggas hidup.
Virus HPAI H5N1 garis Asia dapat ditemukan di semua jaringan termasuk daging di tubuh
bangkai. Beberapa kejadian serupa, di laporkan bahwa orang yang menyembelih atau mempersiapkan
unggas yang sakit untuk di makan telah mengalami penyakit yang fatal, sementara anggota keluarga
yang
juga
ikut
makan
daging
unggas
tersebut
tidak
mengalami
hal
serupa
(http//www.who.ins/csr/don/2005_10_13/n/indek.html).
Suatu strain H9N2 telah menyebabkan mirip influenza ringan pada dua orang anak dalam
kejadian SAR di Hongkong di tahun 1999, dan seorang anak lagi dipertengahan bulan Desember 2003
(Saito, 2001; Butt, 2005). Strain H9N2 yang beredar di dalam unggas ternak pada saat ini telah
menimbulkan gejala-gejala dan angka kematian yang bermakna pada spesies yang rentan semisal kalkun
dan ayam.
Sampai hari ini, tidak ada bukti daging unggas yang dimasak secara baik dapat menjadi sumber
penularan H5N1 garis Asia pada manusia. Sebagai pedoman umum, WHO menganjurkan agar daging di
masak sampai matang benar, sehingga seluruh bagian daging mencapai suhu internal 70°Celsius. Pada
suhu ini virus infuenza dapat dimatikan sehingga membuat aman untuk di makan meskipun daging
mentahnya telah tercemari virus H5N1 (WHO 2005).
Dalam beberapa kejadian, virus influenza unggas sudah menular ke berbagai spesies mamalia.
Golongan babi telah sering terlibat dalam perlintasan antar kelas semacam itu. Virus H1N1 di populasi
babi yang serupa virus unggas banyak dijumpai (Heinen, 2002). Virus H1N2, yang merupakan virus re-
Page 20
assortment unggas-manusia, pertama kali berhasil di isolasi di Inggris tahun 1992, kini makin mantap
pertumbuhannya (Brown, et al. 1998). Di Amerika Serikat virus (H3N2) yang merupakan triple reassortment antara H1N1 yang klasik, virus H3N2 manusia dan subtipe virus unggas kini mulai beredar
(Olsen, 2005). Subtipe lain yang barangkali yang berasal dari unggas (misalnya H1N7, H4N6) beberapa
kali di jumpai pada babi (Karasin, 2000). Virus H9N2 yang berasal dari unggas dalam prevalensi yang
moderat dijumpai pada babi di China bagian Timur ( Xu, 2004). Selain babi, mamalia laut dan kuda juga
sudah menunjukan tertulari virus influenza yang berasal dari unggas (Guo, 1992; Ito, 1999).
Infeksi H5N1 secara alami juga pernah dijumpai pada harimau dan kucing besar lainnya di
sebuah kebun binatang di Thailand setelah hewan-hewan itu diberi makan bangkai ayam yang diduga
membawa virus (Aminosin dan Payungporn, 2005). Hewan-hewan tersebut kemudian menderita sakit
berat dengan angka kematian yang tinggi. Nampaknya terjadi juga penularan dari kucing ke kucing di
kebun binatang tersebut (Thanawongnuwech, et al. 2005). Kasus-kasus ini merupakan laporan pertama
tentang terjadinya virus influenza pada golongan Felidae. Dalam suatu eksperimen, kucing rumah eropa
berbulu pendek juga dapat ditulari virus H5N1 (Kuiken, 2004).
Pada tahun 2004 sebanyak 3000 sampel serum yang diambil dari babi yang banyak berkeliaran
di Vietnam telah di uji secara serologi untuk mengetahui seberapa jauh mereka telah terpapar oleh virus
influenza H5N1 (Choi 2005). Nampaknya hasil penelitian menunjukan virus H5N1 ganas yang beredar di
Asia dapat secara alami menginfeksi babi tetapi insiden penularan seperti ini masih rendah. Tidak satu
pun virus H5N1 dari unggas dan manusia dalam uji coba tersebut sanggup menular diantara babi-babi
dalam kondisi eksperiment ini (Choi, 2005).
Dalam sebuah laporan singkat (Promed Mail 20050826), disampaikan sebuah kejadian infeksi
mematikan oleh influenza H5N1 pada tiga ekor musang pemakan ikan yang lahir di tempat
pemeliharaan di sebuah taman nasional Vietnam. Sumber penularan sampai saat ini belum diketahui
dengan jelas. Sementara 20 ekor hewan sejenis yang tinggal di kandang sebelahnya tidak ada satupun
yang sakit. Virus influenza unggas tidak ditemukan pada tikus, kelinci dan beberapa jenis hewan lainnya
yang ada di pasar unggas hidup di Hongkong. Namun sebanyak 20% ayam yang dijual di sana ditemukan
positif terinfeksi H5N1 garis Asia (Shortridge, 1998).
Lingkungan Sosial Ekonomi
Budiarto & Anggraeni (2003) menyatakan bahwa lingkungan sosial ekonomi mencakup
pekerjaan, urbanisasi, perkembangan ekonomi, dan bencana alam. Lingkungan sosial ekonomi yang
berhubungan dengan kejadian penyakit flu burung salah satunya adalah pekerjaan. Depkominfo (2005)
menyebutkan bahwa pekerjaan yang beresiko tinggi tertular oleh penyakit flu burung adalah peternak,
Page 21
pemotong ayam, penjual ayam, pemelihara ayam/burung/unggas lainnya, dan petugas laboratorium
yang meneliti/memeriksa penyakit flu burung.
Tingginya risiko jenis pekerjaan tersebut karena setiap saat bersentuhan atau kontak dengan
sumber penularan penyakit flu burung. WHO (2005) menyatakan bahwa risiko penularan langsung dari
unggas ke manusia terutama terjadi pada mereka yang telah bersentuhan/kontak dengan unggas ternak
yang sudah terinfeksi, atau dengan permukaan benda-benda yang banyak tercemari kotoran unggas.
Risiko terpapar diperkirakan cukup substantif sewaktu penyembelihan, pencabutan bulu, pemotongan
dan persiapan unggas untuk di masak (http//www.who.int/csr/don/2005_08_18).
Wabah influneza unggas yang patogen secara keseluruhan dapat mengakibatkan kehancuran
bagi industri ternak unggas, apalagi bagi peternak individual, di wilayah terserang seperti pada Tabel 3.
(Mohammad, 2006).
Tabel 2.2.Kejadian wabah influenza yang patogen di masa lalu di dunia
Tahun
(1)
1959
Negara/Wilayah
(2)
Skotlandia
Unggas peliharaan yang terkena
(3)
2 kelompok ayam
Strain
(4)
A/ayam/Skotlandi
a/59 (H5N1)
1963
Inggris
29.000 ekor ternak kalkun
A/kalkun/Inggris/6
3 (H7N3)
1966
Ontario (Kanada)
8.100 ekor ternak kalkun
A/kalkun/Ontario/
7732/66 (H5N9)
(1)
1976
(2)
1979
Victoria
(Australia)
Jerman
1979
Inggeris
19831985
Pennsylvania
(3)
(4)
25.000 ayam petelur, 17.000 ayam
boriler, & 16.000 bebek
1 kelompok yang terdiri dari
600.000 ayam
3 perusahaan peternak kalkun
(jumlah unggas yang terkena tidak
dilaporkan)
17 juta unggas dalam 452
kelompok; sebagian besar ayam
atau kalkun, dan beberapa burung
puyuh dan burung liar
A/ayam/Victoria/7
6 (H7N7)
A/ayam/Jerman/7
9 (H7N7)
A/kalkukn/Inggeris
/199/79 (H7N7)
A/ayam/Pennyisyl
vania?1370/83
(H5N2)
Page 22
1983
Irlandia
1985
Victoria
1991
Inggeris
1992
1994
19942005
1994
1997
1997
1997
19922000
20022005
20022003
2004
2004
800 kalkukn pedaging mati; 8640
kalkun, 28.020 ayam, 270.000
bebek dimusnahkan
24.000 perbenihan ayam broiler,
27.000 ayam petelur, 69.000 ayam
broiler, 118.418 ayam dari berbagai
jenis
8.000 kalkun
A/kalkun/Irlandia/
1378/83 (H5N8)
A/ayam/Victoria/8
5 (H7N7)
A/kalkun/Inggeris/
50-92/91
Victoria
12.700 perbenihan broiler, 5.700 A/ayam/Victoria?8
bebek
5 (H7N7)
Australia
22.000 ayam petelur
A/ayam/Quenslan
d/667-6/94
Meksiko
Data tentang jumlah unggas yang A/ayam/Puebla/86
terkena tidak ada, 360 kelompok 23-607/94 (H5N2)
ayam dimusnahkan
Pakistan
3,2 juta ayam broiler dan A/ayam/Pakistan/
perbenihan broiler
447/95 (H7N3)
Hongkong
1,4 juta ayam dan sejumlah unggas A/ayam/Hongkonh
(China)
peliharaan
/220/97 (H5N1)
New South Wales 128.000 benih ayam broiler, 261 A/ayam/New
(Australia)
ayam
South
Wales/1651/97
(H7N4)
Italia
Sekitar 6.000 ayam, kalkun, bebek, A/ayam/Italia/330
merpati, dan berbagai unggas liar
/97 (H5N2)
Italia
413 peternakan, sekitar 14 juta A/kalkun/Italia/99
unggas
(H7N1)
Asia Tenggara
China,
Hongkong,
Indonesia, A/ayam/Asia
Jepang,
Kampuchea,
Korea, Timur/2003-2005
Thailand, Vietnam, diperkirakan (H5N1)
150 juta unggas
Belanda
Belanda; 255 peternakan, 30 juta A/ayam/Belanda/2
unggas
003 (H7N7)
Belgia; 8 peternakan, 3 juta unggas
Jerman; 1 peternakan, 80.000 ayam
broiler
Kanada
53 kelompok, 17 juta ayam
A/ayam/USAAmerika Serikat
6.600 ayam broiler
TX/2004 (H5N2)
2.2.2. Faktor Manusia
Faktor manusia
adalah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang dapat
mempengaruhi timbulnya serta perjalanan suatu penyakit (Azwar, 1999). Penyakit flu burung yang
terjadi saat ini erat kaitannya dengan faktor manusia yang terdiri dari umur, kebiasaan, dan faktor
lainnya yang ada dalam manusia.
Page 23
Penyakit flu burung lebih banyak menyerang kelompok anak-anak dan usia dewasa di banding
usia balita walaupun tingkat kematian lebih banyak pada usia balita. Kelompok anak-anak dan usia
dewasa muda mempunyai risiko terkena penyakit flu burung lebih tinggi akibat risiko terpapar oleh
reservoir lebih tinggi di bandingkan balita karena aktivitas kehidupan dan interaksi dengan lingkungan
sekitar lebih terbuka dan bebas. Namun untuk balita risiko kematian lebih tinggi terjadi akibat sistem
kekebalan yang belum kuat atau juga penanganan kasus yang lambat karena gambaran klinis penyakit
flu burung pada balita hampir sama dengan gejala pneumonia atau Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) yang kadang kala tidak teridentikasi secara dini bahkan masa inkubasi pada anak bisa sampai 21
hari.
Secara umum gambaran klinis pada manusia yang tertular oleh virus H5NI secara nyata dapat di
lihat melalui tanda dan gejala yang dikeluhkan. Gejala pada manusia diantaranya adanya demam dengan
suhu badan diatas 38ºC, adanya batuk dan nyeri tenggorokan, radang saluran pernafasan atas,
pneumonia, infeksi mata, dan nyeri otot. Penyakit flu burung pada manusia mengalami masa inkubasi
yang relatif cukup cepat dibandingkan dengan penyakit menular lainnya. Masa inkubasi flu burung pada
manusia yaitu 1-3 hari dengan masa infeksi 1 hari sebelum sampai 3-5 hari sesudah timbul gejala.
Faktor manusia lainnya adalah gaya hidup atau kebiasaan sehari-hari yang tidak memperhatikan
perilaku hidup bersih sehat dapat juga berisiko tertular H5NI. Salah satu kebiasaan tidak hidup sehat
yaitu kebiasaan tidak mencuci tangan ini dapat mempercepat proses penularan H5N1 karena penularan
dapat melalui kontak langsung lewat tangan yang menyentuh, memegang, atau bersinggungan dengan
semua yang tercemar virus, termasuk saat berkontak dengan unggas atau telurnya (Djuwita & Endarti,
2006).
2.3. Upaya Pencegahan, Pengendalian, dan Penanggulangan Penyakit Flu Burung
2.3.1. Upaya Pencegahan
Upaya pencegahan dari penyakit flu burung dilakukan pada kelompok unggas dengan cara
melakukan pemusnahan unggas/burung yang terinfeksi flu burung dan melakukan vaksinasi pada
unggas yang sehat. Sedangkan pada manusia kelompok berisiko tinggi (pekerja peternakan dan
pedagang) yaitu mencuci tangan dengan desinfektan dan mandi sehabis kerja, hindari kontak langsung
dengan ayam atau unggas yang terinfeksi flu burung, menggunakan alat pelindung diri (contoh masker
dan pakaian kerja), meninggalkan pakaian kerja di tempat kerja, membersihkan kotoran unggas setiap
hari, dan imunisasi. Pada masyarakat umum dengan cara menjaga daya tahan tubuh dengan memakan
makanan bergizi dan istirahat cukup, mengolah unggas dengan cara yang benar yaitu pilih unggas yang
Page 24
sehat (tidak terdapat gejala-gejala penyakit pada tubuhnya) dan memasak daging ayam sampai dengan
suhu kurang lebih 80° Celsius selama 1 menit dan pada telur sampai dengan suhu kurang lebih 64°
Celsius selama 4,5 menit.
2.3.2. Upaya Pengendalian dan Penanggulangan
Pemerintah Indonesia telah membuat kerangka rencanan strategis dalam upaya pengendalian
penyakit flu burung yang bertujuan untuk mencegah perkembangan flu burung ke tahap berikutnya
(pandemi), penanganan sebaik-baiknya pasien/korban flu burung pada manusia dan hewan,
meminimalkan kerugian akibat perkembangan flu burung, pengelolaan pengendalian flu burung secara
berkelanjutan, dan mengefektifkan kesiapsiagaan nasional menghadapi pandemi influenza.
Pengendalian flu burung perlu dilakukan sesuai dengan standar internasional. Kepatuhan
terhadap ketentuan/standar internasional ini sangat penting sehingga dampak terhadap kesehatan
hewan, kemungkinan penularannya pada manusia dan penyebarannya ke daerah wilayah dan negara
lain dapat dihindari. Dengan demikian langkah ini merupakan pertangungjawaban bangsa dan negara
Indonesia sebagai bagian dari Asia dan dunia internasional. Berkaitan dengan ini, maka langkah
pengendalian flu burung ini merupakan upaya bersama dan perlu ditangani secara terpadu yang
tertuang dalam program suatu negara, suatu wilayah, dan dunia yang terkait satu sama lain. Strategi
pengendalian yang dilakukan adalah:
1) Pengendalian penyakit AI/flu burung pada hewan dengan kegiatan utama depopulasi daerah tertular
dan vaksinasi emergency, stamping out pada daerah tertular baru, biosecurity dan monitoring,
meningkatkan pengawasan karantina terhadap lalu lintas media pembawa HPAI dan penulusuran
balik, penyediaan vaksin dan peningkatan cakupan vaksinasi pada hewan terutama sektor 3 dan 4
yaitu daerah yang ditemukan adanya wabah flu burung pada hewan.
2) Penatalaksanaan kasus pada manusia dengan kegiatan utama adalah pengadaan obat antiviral,
pelaksanaan rujukan kasus, penyediaan sarana dan prasarana penanganan kasus di rumah sakit,
penyusunan SOP penatalaksanaan kasus, dan pelatihan tenaga kesehatan.
3) Perlindungan kelompok risiko tinggi dengan kegiatan utama adalah penyediaan alat pelindung diri
(pada peternak, petugas kesehatan peternakan, rumah sakit, dan laboratorium), perbaikan sanitasi
lingkungan peternakan dan pasar unggas serta RPA, penyuluhan dan peningkatan cara hidup sehat
dengan unggas
4) Surveilans epidemiologi pada hewan dan manusia dengan kegiatan utama adalah penyusunan dan
pelaksanaan sistem surveilans terintegrasi termasuk surveilans kelompok risiko tinggi, penyusunan
dan pelaksanaan sistem kewaspadaan dini (SKD), pengadaan saranan dan prasarana surveilans,
Page 25
peningkatan kuantitas dan kualitas SDM surveilans, menyusun sistem surveilans menghadapi
pandemi, pemantauan pasca vaksinasi, surveilans terhadap potensial reservoir AI hewan,
pelaksanaan surveilans epidemiologi molekuler pada hewan dan manusia, pemantauan efektifitas
homologus/heterologus vaksin pada peternakan dengan menggunakan metode sentinel birds,
pemantauan efektivitas homologus vaksin pada peternakan dengan menggunakan metode DIVA,
penyusunan dan pelaksanaan sistem penanggulangan AI dan PI dengan data based terintegrasi yang
menggunakan teknologi sistem informasi geografi, dan pengembangan sistem informasi surveilans
kesehatan hewan yang terintegrasi dari tingkat pusat sampai tingkat daerah, laboratorium, industri
peternakan dan peternak.
5) Restrukturisasi sistem industri perunggasan dengan kegiatan utama adalah pengkajian sistem usaha
peternakan ungggas, penyusunan aturan penataan ulang sistem usaha peternakan unggas termasuk
penataan rumah potong ayam hewan dan pasar unggas ternak, dan pelaksanaan sistem usaha
perunggasan peternakan unggas yang ditetapkan.
6) Komunikasi, informasi dan edukasi dengan kegiatan utama pengembangan komunikasi publik untuk
mendiseminasikan cara pencegahan dan pengendalian flu burung, pembentukan organisasi
peternak kecil dan menengah, penyuluhan dan pelatihan masyarakat dalam surveilans dan
pencegahan flu burung, bina suasana terhadap kelompok khusus (legislatif, pelajar, pendidik, LSM,
masyarakat perunggasan, tokoh masyarakat, komunitas kesehatan/veteriner trade community,
komunitas ternak).
7) Penguatan dukungan peraturan dengan kegiatan utama finalisasi revisi UU No. 6 tahun 1967.
8) Peningkatan kapasitas dengan kegiatan utama pembentukan panel ahli (dokter hewan dan ahli
kesehatan masyarakat) kelembagaan pengendalian AI/flu burung terpadu di tingkat nasional sampai
sektoral dan regional tim respon cepat terpadu, peningkatan kapasitas otoriter veteriner,
pembentukan tim surveilans integrasi di pusat dan daerah, pembangunan dan memfungsikan
laboratorium BSL 3 untuk hewan dan manusia, melengkapi sarana dan prasarana termasuk sumber
daya manusia laboratorium regional dan rujukan nasional, pembangunan 2 laboratorium kesehatan
hewan tipe A dan melengkapi sarana dan prasarana termasuk sumber daya manusia pada 7
laboratorium kesehatan hewan tipe A, melengkapi sarana dan prasarana termasuk sumber daya
manusia pada 7 laboratorium kesehatan hewan tipe B, melengkapi sarana dan prasarana termasuk
sumber daya manusia pada lembaga penelitian, melengkapi sarana dan prasarana termasuk sumber
daya manusia pada lembaga produksi bahan biologi, melengkapi sarana dan prasarana termasuk
sumber daya manusia pada lembaga penguji dan sertifikasi, melengkapi sarana dan prasarana
Page 26
termasuk sumber daya manusia pada laboratorium karantina hewan, pertemuan berkala dan
komunikasi intensif antar laboratorium, dan peningkatan peralatan dan SDM lab tipe C/poskeswan,
rekruitmen tenaga veteriner dengan sistem kontrak lapangan, pelatihan/training sumber daya
kesehatan (hewan, karantina, lembaga penelitian), akreditasi laboratorium veteriner, dan
memperkuat fungsi puskesmas dalam surveilans, sosialisasi, penemuan kasus dan sistem rujukan
AI/flu burung.
9) Penelitian kaji tindak dengan kegiatan utama adalah melakukan penelitian epidemiologi dan
genotiping serta diagnosis, pengembangan vaksin untuk manusia dan uji coba, pembuatan antigen,
pengembangan model jejaring laboratorium penelitian flu burung, melakukan penelitian efektivitas
vaksin dan vaksinasi hewan yang berkualitas dan aman, penelitian dan pengembangan diagnostik
reagensia dan kits, penelitian dan pengembangan vaksin pada unggas selain ayam dan itik.
Sementara
itu
dalam
upaya
pengendalian
Organisasi
Kesehatan
Dunia
(WHO)
merekomendasikan penerapan stamping out untuk menangani wabah HPAI untuk menghindari risiko
terjadinya penularan kepada manusia, karena HPAI bersifat zoonis. Hal tersebut juga organisasi
Terrestrial Animal Code mengatakan bahwa negara dapat dinyatakan bebas dari HPAI jika setelah masa
3 tahun dari kasus yang terakhir tidak terjadi kasus lagi atau setelah 6 bulan dari pemusnahan kasus
terakhir tidak terjadi kasus lagi, bagi negara yang menerapkan kebijakan stamping out (pemusnahan
masal) dengan atau tanpa vaksin.
Negara Indonesia tidak mengambil kebijakan pemusnahan massal sebagai prioritas karena
situasi peternakan unggas berbeda, dimana lokasi peternakan unggas di Indonesia tidak tersentralisasi,
namun menyebar pada berbagai tempat ditambah lagi dengan ragam usaha peternakan yang bervariasi,
peternakan ayam disekitar rumah, skala peternakan rakyat sampai skala industri. Situasi tersebut
menyebabkan kesulitan untuk menerapkan kebijakan pemusnahan masal dalam menanggulangi wabah
AI. Kenyataan lapangan yang menunjukkan bahwa penyakit telah menyebar secara luas pada sentrasentra perunggasan dan minimnya persediaan kompensasi, maka kebijakan pemusnahan massal tidak
mungkin dapat diterapkan di Indonesia untuk menanggulangi wabah HPAI yang sedang berjangkit,
karena akan menimbulkan dampak psikologis, sosial, politik, dan ekonomi yang amat besar.
Mempertimbangkan pola budidaya peternakan unggas dan penyebaran HPAI di Indonesia, maka
pendekatan yang efektif untuk dilakukan guna menanggulangi wabah AI adalah menerapkan kebijakan
depopulasi selektif, peningkatan biosecuriti yang diikuti dengan pelaksanaan vaksinasi dan pembatasan
lalu lintas. Depopulasi selektif dibatasi pada pemusnahan ayam yang sekandang dengan ayam sakit.
Semua ayam sakit dan ayam yang dimusnahkan ditanam sekurang-kurangnya dengan dalam 1,5 meter
Page 27
atau dibakar setelah dimatikan lebih dulu. Ayam sakit atau ayam sekandang dengan ayam sakit tidak
boleh dikeluarkan untuk tujuan dipasarkan. Kotoran ayam dari peternakan terinfeksi tidak boleh
dikeluarkan untuk digunakan sebagai pupuk karena akan menjadi sumber penularan. Sementara itu
kandang dan peralatan peternakan dibersihkan dan didesinfektan secara reguler untuk meningkatkan
sanitasi dan higienis. Kendaraan pengangkut sarana produksi peternakan dibatasi untuk keluar dan
masuk lokasi peternakan dan juga harus didesinfeksi.
Standar Operasionl Prosedur (SOP)
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, secara umum prinsip-prinsip kerja
yang
higienis seperti mencuci tangan dengan sabun atau desinfektan lainnya dan menggunakan alat
pelindung diri. Hal tersebut merupakan upaya yang harus dilakukan oleh mereka yang kontak dengan
unggas, baik unggas hidup maupun unggas mati.
WHO juga menyatakan bahwa dengan memasak bahan makanan asal unggas secara baik
(merebus daging sampai 80ºC/sampai mendidih, merebus telur menjadi masak) maka virus akan mati.
Juga perlu diperhatikan pada saat mengolah/memasak unggas dengan memakai perlindungan. Dan
setelah itu mencuci tangan dengan sabun deterjen secara bersih.
Khusus pada peternakan dan pemotongan hewan terdapat beberapa anjuran WHO yang dapat
dilakukan (Depkominfo, 2005):
1) Semua orang yang kontak dengan binatang yang telah terinfeksi harus sering-sering mencuci tangan
dengan sabun. Mereka yang langsung memegang dan membawa binatang yang sakit sebaiknya
menggunakan desinfektan untuk membersihkan tangannya
2) Mereka yang memegang, membunuh, dan membawa atau memindahkan unggas yang sakit dan
atau mati karena flu burung seyogianya melengkapi diri dengan baju pelindung, sarung tangan
karet, masker, kacamata pelindung, dan juga sepatu bot.
3) Ruangan kandang perlu selalu dibersihkan dengan prosedur yang baku dan memperhatikan faktor
keamanan petugas
4) Pekerja peternakan, pemotongan, dan keluarganya perlu diberitahu untuk melaporkan ke petugas
kesehatan bila menghidap gejala-gejala pernafasan, seperti batuk, pilek, sakit tenggorokan, susah
nafas, infeksi mata, dan gejala flu lainnya.
Page 28
5)
Dianjurkan juga agar petugas yang dicurigai punya potensi tertular ada dalam pengawasan petugas
kesehatan secara ketat. Ada yang menganjurkan pemberian vaksin influenza, penyediaan obat
antivirus, dan pengamatan perubahan kondisi pekerja.
Standar Operasional Prosedur (SOP) lainnya adalah melaksanakan perilaku hidup sehat
diantaranya melaksanakan kebiasaan mencuci tangan. Berikut ini adalah SOP mencuci tangan yang
benar:
1) Cucilah tangan anda dengan air mengalir, kalau bisa dengan air hangat karena air hangat lebih baik
daripada air dingin untuk membunuh kuman,
2) Gunakan sabun dan kemudian gosok tangan dengan sabun berbusa sampai sekitar 10 atau 15 detik.
Pastikan daerah-daerah seperti sela-sela jari dan di bawah kuku juga ikut dibersihkan. Bersihkan
sampai ke pergelangan tangan,
3) Bilaslah tangan, kemudian keringkan dengan baik menggunakan handuk.
Kebersihan lingkungan merupakan faktor risiko terbaik dalam pencegahan terhadap penularan
penyakit. Untuk mencegah tertular oleh virus flu burung perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Bersihkan kandang secara rutin setiap hari,
2) Buanglah kotoran unggas dengan cara ditimbun,
3) Bersihkan makanan unggas yang tercecer di lantai sehingga tindak mengundang burung-burung liar
ke kandang,
4) Alirkan limbah cair yang berasal dari hasil pembersihan kandang ke saluran pembuangan kotoran
yang tersedia (selokan),
5) Jauhkan kandang-kandang unggas dari tempat tinggal,
6) Apabila ada unggas (ayam, burung, bebek) yang mati gunakan sarung tangan pada saat membakar
dan menimbun unggas tersebut,
7) Bagi pekerja pada peternakan unggas seyogianya: a) menggunakan pakaian pelindung diri (topi,
masker, sarung tangan, sepatu bot, pakaian khusus, b) cuci tangan dan kaki setelah keluar dari
kandang, c) jangan merokok dan makan di dalam areal kandang,
8) Apabila menggunakan pupuk kandang pada tanaman diharapkan menggunakan sarung tangan dan
masker (tutup hidung),
9) Apabila akan membersihkan ayam yang sudah dipotong diharapkan: a) membersihkan ayam
tersebut dengan air mengalir, b) buanglah kotoran yang berasal dari jeroan dengan dibungkus
plastik, c) cucilah telur sebelum disimpan, d) cuci tangan dengan sabun, atau deterjen setelah
membersihkan ayam atau telur.
Page 29
Pencegahan penyakit flu burung tentunya tidak hanya berorientasi pada pekerja peternakan
saja ataupun pada masyarakat secara umum. Petugas kesehatan yang memberikan pelayanan
perawatan dan pengobatan pada pasien dengan penyakit flu burung tentunya harus memenuhi standar
operasional prosedur. Kewaspadaan universal standar bagi petugas rumah sakit adalah:
1) Mencuci tangan yang dilakukan di bawah air mengalir dengan menggunakan sabun dan sikat selama
kurang lebih 5 menit, yaitu menyikat seluruh permukaan telapak tangan maupun punggung tangan,
2) Hal ini dilakukan sebelum dan sesudah memeriksa penderita,
3) Pakaian yang digunakan adalah pakaian bedah atau pakaian sekali pakai,
4) Memakai masker N95 atau minimal masker bedah,
5) Menggunakan pelindung wajah/kaca mata goggle (bila diperlukan),
6) Menggunakan apron/gaun pelindung,
7) Menggunakan sarung tangan,
8) Menggunakan pelindung kaki (sepatu boot).
2.4. Hasil-hasil Penelitian yang Berkaitan dengan Penyakit Flu Burung
1) Kasus lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita tetapi tingkat kematian lebih tinggi pada
wanita. Untuk peubah umur kasus paling banyak terjadi pada usia dewasa muda (>18 tahun) dan
paling sedikit pada balita sedangkan kematian tertinggi pada balita dan terendah pada anak usia
sekolah. Kasus yang melakukan banyak kontak dengan unggas lebih besar dibandingkan dengan
kasus yang sedikit kontak dengan unggas sedangkan kematian lebih banyak yang sedikit kontak
daripada yang banyak kontak. Kasus yang mendapatkan tamiflu angka kematiannya lebih tinggi
dibandingkan dengan kasus yang tidak mendapatkan tamiflu. Memasuki musim hujan pada bulan
September 2005, terjadi peningkatan kasus 6 kali lipat dari pada bulan Juli 2005 selanjutnya sampai
bulan Februari 2006 dilaporkan selalu ada kasus baru dengan jumlah yang berfluktuasi (Djuwita dan
Endarti, 2006)
2)
Pada musim dingin, burung-burung liar bermigrasi kearah selatan melintasi Indonesia yang terletak
pada 6º LU-11ºLS (Profil Indonesia, 2005)
3) Migrasi burung liar yang merupakan reservoir virus H5N1 dimulai pada bulan Juli dan semakin lama
semakin banyak (Soeroso, 2005)
4) Migrasi tersebut akan menularkan virus pada hewan-hewan domestik yang ada di jalur perjalanan
mereka (FAO, 2005)
Page 30
5) Semakin banyak hewan peliharaan yang terinfeksi maka risiko penularan pada manusia semakin
banyak (FAO, 2005)
6) Suhu lingkungan yang relatif lebih rendah itu akan membuat virus bertahan lebih lama, karena dia
mampu bertahan hidup di air pada suhu 22ºC sekitar empat hari (FAO, 2005)
7) Peningkatan kasus pada musim dingin juga disebabkan oleh kebiasaan tinggal di dalam rumah dan
kebiasaan membawa ternak mereka ke dalam rumah sehingga menyebabkan kontak yang lebih
sering akibatnya risiko penularan antar hewan ataupun hewan ke manusia menjadi lebih besar
(Wikipedia, 2005)
8) Penelitian evolusi virus H5N1 yang dilakukan WHO di Asia, menunjukkan bahwa gen HA virus H5N1
yang diisolasi dari spesimen manusia berhubungan erat dengan gen HA dari virus H5N1 yang secara
alami berasal dari burung dengan perbedaan antara kedua gen HA tersebut terdapat pada 2-14
nukleotida (penyimpangan <1%). Hal ini sesuai dengan data-data epidemiologi bahwa manusia yang
terinfeksi virus H5N1 berasal dari kontak langsung maupun tidak langsung dengan unggas atau
produk-produk unggas (CDC, 2006).
9) Kontak tidak langsung dapat terjadi melalui kontak dengan tinja unggas yang terinfeksi yang dapat
mengandung virus H5N1 dalam jumlah besar (WHO, 2006)
10) Burung-burung air yang liar, terutama yang termasuk bebek dan angsa dan burung camar dan
burung-burung pantai adalah pembawa seluruh varietas subtipe dari virus influenza A, dan oleh
karenanya, sangat mungkin merupakan penampung alami untuk semua jenis virus influenza
(Widjaja, 2004)
11) Kasus-kasus flu burung ini secara epidemiologik berhubungan dengan kejadian wabah H5N1 yang
sangat patogen di pasar unggas hidup (Yuen, 1998; Claas, 1998; Katz, 1999).
12) Virus influenza unggas menunjukan kemampuan dalam mempertahankan daya penularannya di
lingkungan alam, terutama di permukaan air, meskipun dalam morfologi nampak rapuh (Lu, 2003)
13) Risiko penularan dari burung liar ke unggas peliharaan terutama terjadi kalau unggas peliharaan
tersebut dibiarkan bebas berkeliaran, menggunakan air yang juga digunakan oleh burung liar, atau
makan dan minum dari sumber yang tercemar kotoran burung liar pembawa virus (Capua, 2003)
14) Sebuah analisis yang dilakukan terhadap kasus wabah HPAI di Italia selama tahun 1999-2000
menunjukan cara penularan sebagai berikut: pemindahan atau perpindahan kawanan unggas
(1,0%), kontak yang terjadi selama dalam pengangkutan unggas ke tempat pemotongan (8,5%),
lingkungan dalam radius atau kilometer seputar peternakan yang terserang (26,2%), truk-truk yang
Page 31
digunakan mengangkut pakan, kandang, atau bangkai unggas (21,3%), penularan secara tidak
langsung karena pertukaran karyawan, alat-alat, dan sebagainya (9,4%) (Capua, 2003).
15) Sejak akhir 2003, di Asia telah dijumpai beberapa virus H5N1 yang sangat patogen pada ayam tetapi
tidak pada bebek (Strum-Ramirez, 2005)
16) Risiko penularan langsung dari unggas ke manusia terutama terjadi pada mereka yang telah
bersentuhan dengan unggas ternak yang sudah terinfeksi, atau dengan permukaan benda-benda
yang banyak tercemar kotoran unggas. Risiko terpapar diperkirakan cukup substantif sewaktu
penyembelihan, pencabutan bulu, pemotongan dan persiapan unggas untuk dimasak (WHO, 2005).
17) Virus HPAI H5N1 garis Asia dapat ditemukan di semua jaringan termasuk daging di tubuh bangkai.
Dalam beberapa kejadian serupa, dilaporkan bahwa orang yang menyembelih atau mempersiapkan
unggas yang sakit untuk dimakan telah mengalami penyakit yang fatal, sementara anggota
keluarganya yang juga ikut makan daging unggas tersebut tidak mengalami hal serupa (WHO, 2005)
18) Dampak dari penyakit avian influenza (AI) paling dirasakan oleh peternakan poultry dan industri
terkait. Biaya dari penyakit AI dianalisis untuk mengidentifikasi urgensi dan pentingnya strategi
pencegahan dan pengendalian AI secara terpadu. Hasil penelitian apabila terjadi wabah AI di Bali
akibat tidak adanya strategi pencegahan, maka estimasi biaya yang harus ditanggung oleh seluruh
pemangku kepentingan hampir mencapai Rp. 7 milyar. Kalkulasi penghitungan tersebut dilakukan
terhadap biaya langsung maupun tidak langsung dari penyakit AI. Kerugian ini bisa dicegah dengan
menerapkan kegiatan pencegahan wabah AI, dimana total biaya pencegahan tersebut jauh lebih
kecil dari pada biaya akibat wabah AI ( Trisna, 2006)
19) Penyakit flu burung bersifat zoonosis (menular kepada manusia) dan virus penyebabnya memiliki
tingkat mutasi yang sangat tinggi, maka penyakit ini memiliki dampak sosial, ekonomi dan politik
cukup besar. Oleh sebab itu pengendalian penyakit ini memerlukan perhatian tersendiri agar dapat
dilaksanakan secara efektif dan efisien. Meskipun strategi pengendalian yang ideal untuk penyakit
ini menurut WHO adalah pemusnahan massal namun situasi dan kondisi peternakan Indonesia tidak
cocok sehingga alternatifnya dalam pengendalian penyakit flu burung adalah depopulasi selektif,
peningkatan biosekuriti, pembatasan transportasi dan pelaksanaan program vaksin yang diikuti
secara paralel dengan kegiatan monitoring dan surveilans (Darminto, 2007).
Page 32
BAGIAN-3. RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT FLU BURUNG PADA MANUSIA
3.1. Konsep Dasar Riwayat Alamiah Penyakit
Proses terjadinya penyakit memang komplek sehingga diperlukan pemahaman terhadap
multidisiplin ilmu diantaranya anatomi, fisiologi, histologi, biokimia, mikrobiologi dan tentunya ilmu
lingkungan. Dasarnya bahwa penyakit merupakan suatu konsep yang sulit untuk dipahami dan tidak
jelas serta memiliki definisi yang berlainan baik secara sosial, budaya, maupun secara ilmu pengetahuan.
Sehingga pendefinisian penyakit lebih difokuskan pada disfungsional organ tubuh.
Page 33
Menurut Timmreck (2005), penyakit didefinisikan sebagai suatu pola respons yang diberikan
oleh organisme hidup terhadap beberapa bentuk invasi benda asing atau terhadap cedera, yang
mengakibatkan berubahnya fungsi normal organisme tersebut. Lebih jauh lagi didefinisikan sebagai
suatu keadaan abnormal saat tubuh tidak dapat merespon atau menjalankan fungsi normalnya. Maka
penyakit timbul sebenarnya akibat dari beroperasinya berbagai faktor baik dari agen, induk semang, dan
lingkungan.
Setiap penyakit memiliki perjalanan alamiahnya sendiri jika tidak diganggu dengan intervensi
medis atau jika penyakit dibiarkan sampai melengkapi perjalanannya. Proses suatu penyakit dimulai dari
seorang yang rentan terhadap penyakit dan diserang oleh agent patogen yang cukup virulen untuk
menimbulkan penyakit.
Perjalanan alamiah penyakit dimulai dari pajanan seseorang yang rentan pada suatu patogen.
Kuman patogen akan memperbanyak dirinya dan kemudian menyebar di dalam tubuh pejamu. Setiap
penyakit, setiap patogen, dan setiap pejamu memiliki perbedaan dalam hal respon pada penyakit, cara
penyakit menyebar, dan pengaruh penyakit pada tubuh.
Perkembangan suatu penyakit dapat dihentikan di titik manapun, baik oleh kekuatan respon
yang diberikan oleh imun alami tubuh atau melalui intervensi yang menggunakan antibiotik, terapeutik,
atau intervensi medis lainnya. Tubuh pertama kali akan merespon perubahan yang tidak terdeteksi dan
tidak dirasakan.
Di dalam tubuh penyakit akan memberikan reaksi yang sebenarnya ganjil bagi penyakit itu
sendiri. Kemudian, tubuh akan merespon dan penderita pada umumnya mulai sembuh dan semakin
membaik, atau sebaliknya semakin sakit. Jika sakit memburuk, pada akhirnya akan menguasai tubuh,
dan penderita menjadi semakin lemah atau bahkan meninggal dunia.
Begitu pula dengan perjalanan alamiah penyakit flu burung pada manusia, sebagian besar
seseorang yang terinfeksi H5N1 meninggal dunia (angka kematian akibat penyakit flu burung di Propinsi
Jawa Barat adalah 83,9%). Menunjukan bahwa virus yang masuk dalam tubuh manusia mempunyai
tingkat virulensi yang tinggi.
Setiap individu mengalami kondisi sakit ada keterkaitan dengan faktor internal sebagai bentuk
respon tubuh terhadap agent penyakit. Respon tubuh merupakan aktivitas adaptasi tubuh yang
dipengaruhi oleh berbagai kemampuan internal diantaranya umur individu, jenis kelamin, dan
sebagainya. Pada penyakit profil manusia dapat pula berpotensi sebagai salah satu faktor risiko
terjadinya penyakit flu burung. Pada bagian ini tujuan penelitiannya adalah menerangkan perjalanan
Page 34
alamiah penyakit flu burung pada manusia dan mendeskripsikan kejadian penyakit flu burung menurut
profil manusia.
3.2. Metode Penemuan Riwayat Alamiah Penyakit Flu Burung
3.2.1. Disain
Disain penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus yaitu melakukan kajian secara
komprehensif terhadap individu yang menderita positif penyakit flu burung. Studi kasus individu
dilakukan dengan mengidentifikasi pertama kali terkena pajanan sumber penyakit (virus H5N1), sampai
tubuh memberikan respon penyakit berdasarkan gejala awal klinis, dan berakhir pada tahap terminasi
penyakit.
Disain penelitian studi kasus penderita positif penyakit flu burung difokuskan kepada tahapan
riwayat alamiah penyakit mencakup tahap pre-patogenesis dan patogenesis. Disain studi kasus ini
dilakukan untuk menemukan perilaku respon atau gejala penyakit flu burung pada tiap-tiap individu.
Maka akan teridentifikasi setiap gejala atau respon tubuh manusia terhadap bibit penyakit yang masuk
ke dalam tubuh.
3.2.2. Peubah
Peubah penelitian ini mencakup tahapan perjalanan riwayat alamiah penyakit flu burung pada
manusia. Tiap-tiap peubah penelitian diungkap dan diidentifikasi secara empirik setiap kasusnya. Secara
lengkap peubah penelitian ini dapat di lihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Peubah Penelitian Tahapan Riwayat Alamiah Penyakit Flu Burung
Peubah Penelitian
Definisi Konseptual
Tahap
Pre- Tahap ini meliputi orang-orang
patogenesis
yang sehat, tetapi mempunyai
faktor risiko atau predisposisi
untuk terkena penyakit. Faktor
risiko tersebut meliputi faktor
orang,
penyebab,
dan
lingkungan. Faktor tersebut
dapat berdiri sendiri atau
kombinasi beberapa faktor untuk
menimbulkan penyakit (Budiarto
& Anggraeni 2003)
Tahap Inkubasi
Tahap ini telah terjadi infeksi,
tetapi belum menunjukkan gejala
dan
masih
belum
terjadi
gangguan fungsi organ (masa
inkubasi). Tahap pragejala ini
mempunyai
ciri-ciri
adanya
perubahan akibat infeksi atau
Definisi Operasional
Riwayat awal penderita pada
saat masih dalam kondisi
sehat tetapi dengan faktor
risiko dan faktor lingkungan
yang menunjukan penderita
tersebut sebenarnya sudah
interaksi dengan H5N1 dan
faktor risikonya.
Penderita
belum
menunjukan gejala obyektif
tetapi telah menunjukan
terjadinya tingkat perubahan
patologi yang siap untuk
dideteksi
tanda
dan
gejalanya
Page 35
Tahap Klinis
Tahap Terminal
pemaparan oleh agen penyebab
penyakit masih belum tampak
dan pada penyakit infeksi terjadi
perkembangbiakan
mikroorganisme
patogen.
Sebenarnya tahap ini sulit untuk
diagnosis secara klinis (Budiarto
& Anggraeni 2003)
Kondisi ketika telah terjadi fungsi
organ
yang
terkena
dan
menimbulkan gejala (Budiarto &
Anggraeni 2003)
Penderita mulai menunjukan
gejala-gejala klinis penyakit
flu burung yaitu adanya
demam kurang lebih 38ºC,
batuk, sakit tenggorokan,
beringus.
Tahap ini dimana mulai terlihat Penderita meninggal, cacat,
akibat dari penyakit (Murti 1997) ataupun sembuh
3.3. Studi Kasus: Riwayat Alamiah Penyakit Flu Burung
Berdasarkan hasil penelitian melalui status health folder penderita penyakit flu burung yang
dibuat sendiri oleh peneliti terlihat secara jelas tahapan perjalanan riwayat alamiah penyakit flu burung.
Seseorang yang sehat kemudian menjadi sakit akan mengalami perubahan-perubahan patologis didalam
tubuhnya. Lamanya perubahan patologis hingga orang tersebut kelihatan sakit bervariasi antara satu
penyakit dengan penyakit lainnya termasuk pada penyakit flu burung.
Demikian pula akibat yang dialami seseorang setelah ia sakit bervariasi antara satu penyakit
dengan penyakit lainnya. Ada yang sembuh dengan sendirinya, ada yang cacat, ada yang meninggal.
Begitu pula pada seseorang yang terkena penyakit flu burung. Bagian ini akan melakukan pembahasan
secara mendalam tentang tahapan riwayat alamiah perjalanan penyakit flu burung pada manusia
menurut status health folder penderita, yaitu:
3.3.1. Tahap Pre-Patogenesis Penyakit Flu Burung pada Manusia
Tahap pre-patogenesis merupakan tahap berlangsungnya proses etiologis, dimana faktor
penyebab pertama kalinya bertemu dengan pejamu. Faktor penyebab pertama belum menimbulkan
penyakit, tetapi telah mulai meletakkan dasar-dasar bagi berkembangnya penyakit nantinya (Murti,
1997). Tahap pre-patogenesis penyakit flu burung terjadi karena seseorang interaksi dengan unggas.
Interaksi terjadi tidak disengaja, tidak disadari, dan terjadi karena kebetulan. Interaksi antara manusia
dengan sumber penularan (unggas) secara dominan terjadi di lingkungan sekitar rumah.
Page 36
Interaksi sebagai manifestasi kontak langsung seseorang dengan unggas terjadi di masa
aktivitas sehari-hari. Jenis interaksi seseorang dengan unggas, kebanyakan dengan ayam yang dipelihara
dirumahnya. Memelihara ayam di rumah mayoritas menggunakan kandang ternak seadanya tidak sesuai
norma kesehatan. Hasil penelitian menunjukan unggas (ayam) yang ada tidak dikonsentrasikan secara
khusus penempatannya. Bahkan pada satu kasus tertentu penempatan ayam peliharaan di dalam rumah
tepatnya di ruang tamu. Kondisi lain misalnya studi kasus pre-patogenesis di Ds. Cikelet Kec. Cikelet.
Kab. Garut penempatan ayam peliharaan di kolong rumah yang dihuni.
Interaksi tersebut, antara manusia dengan unggas sebagai sumber penularan sebenarnya sudah
terjadi secara langsung. Dari hasil studi yang dilakukan lebih dari setengahnya pasien pernah kontak
langsung dengan ayam yang mendadak mati atau burung peliharaan yaitu mencapai 17 (55%) pasien
positif penyakit flu burung. Kondisi ini menunjukan bahwa unggas yang dipelihara di rumah merupakan
potensi faktor risiko mempercepat transmisi H5N1 pada manusia. Banyaknya unggas yang dipelihara di
rumah membuktikan bahwa secara nampak sumber penularan H5N1 itu ada di sekeliling manusia.
Menurut Anies (2006) interaksi manusia dengan lingkungannya telah menyebabkan kontak
antara kuman dengan manusia. Selanjutnya Anies (2006) menyatakan bahwa sering terjadi kuman yang
tinggal ditubuh inang (host) kemudian berpindah ke manusia karena manusia tidak mampu menjaga
kebersihan lingkungannya. Hal ini terjadi misalnya pada kasus penularan penyakit melalui binatang yang
mengalami domestikasi, seperti sapi, babi, dan anjing. Menurut Aditama (2004) penyakit flu burung
menular ke manusia terjadi karena kontak dengan berbagai jenis unggas yang terinfeksi oleh virus H5NI
maupun tidak langsung.
Keseimbangan interaksi antara manusia dengan sumber penularan sebagai titik tumpunya
adalah lingkungan. Di tahapan pre-patogenesis (tahap peka) lingkungan mempunyai peran yang nyata
terjadinya transmisi dan distribusi penyakit flu burung. Dari hasil studi yang diperoleh ternyata
lingkungan yang menjadi titik tumpu keseimbangan adalah lingkungan di sekitar rumah bukan
lingkungan di luar rumah.
Kenyataannya lingkungan sekitar rumah merupakan tempatnya seseorang berdiam diri dengan
waktu yang paling lama. Baik secara sengaja atau tidak sengaja seseorang yang ada di rumah melakukan
kontak langsung dengan sumber penyakit (Unggas). Kondisi ini terjadi banyaknya penderita yang
memelihara ayam membiarkan bebas berkeliaran di sekitar rumah dengan angka mencapai 20 orang
(65%). Memelihara ayam yang dibiarkan bebas berkeliaran masuk halaman dan rumah setiap orang
nampaknya menjadi kondisi yang tidak menguntungkan terutama bagi kesehatan.
Page 37
Aspek lingkungan lainnya adalah saluran air limbah rumah tangga dan kotoran unggas yang
terbuka di setiap rumah. Ini mempunyai implikasi tidak terpeliharanya sanitasi lingkungan sehingga
dijadikan tempat hidupnya virus H5N1. Menurut Capua dan Henzler (2003), faktor risiko penularan dari
burung liar pembawa semua varietas subtipe dari virus influenza A ke unggas peliharaan terutama
terjadi kalau unggas peliharaan tersebut di biarkan bebas berkeliaran.
Maka studi ini berhasil mengidentifikasi tahapan prepatogenesis penyakit flu burung pada
manusia menurut studi kasus diantaranya adalah unggas yang di pelihara untuk keperluan kebutuhan
sendiri dan lingkungan sekitar rumah sebagai salah satu faktor interaksi risiko. Hal ini memperlihatkan
bahwa faktor risiko prepatogenesis yang dominan sebenarnya bukan di lingkungan peternak justru pada
kebiasaan memelihara ternak di rumah.
3.3.2. Tahap Inkubasi Penyakit Flu Burung pada Manusia
Tahap inkubasi (tahap prasimtomatik) merupakan tahap berlangsungnya proses perubahan
patologik yang diakhiri dengan keadaan ireversibel (yaitu, manifestasi penyakit tidak dapat dihindari
lagi). Pada tahapan ini belum terjadi manifestasi penyakit, tetapi telah terjadi tingkat perubahan
patologis yang siap untuk dideteksi tanda dan gejala pada tahap berikutnya (Murti, 1997). Pendapat lain
menjelaskan bahwa tahap inkubasi merupakan masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh pejamu
(manusia) tetapi gejala penyakit belum tampak (Azwar, 1999).
Dalam konteks realita ada kesulitan untuk menemukan masa waktu yang tepat virus H5N1
menginfeksi tubuh manusia karena berhubungan dengan ukuran dan bentuk virus yang tidak dapat di
indra melalui penglihatan. Cara yang digunakan adalah menghubungkan masa inkubasi virus H5N1
melalui identifikasi awal mula terjadinya interaksi seseorang dengan unggas yang positif H5N1 sampai
akhirnya seseorang merasakan adanya perubahan fisiologi tubuh yang mengarah pada tanda dan gejala
penyakit flu burung.
Tahap inkubasi penyakit flu burung pada manusia menurut referensi yang ada sampai saat ini
belum diketahui secara pasti namun untuk sementara para ahli (WHO) menetapkan masa inkubasi virus
influenza ini pada manusia rata-rata adalah 3 hari (Depkes dan WHO, 2006).
Dalam penelitian ini, melalui status health folder penderita positif flu burung dari mulai
terjadinya interaksi di masa pre-patogenesis sampai pada titik awal munculnya gejala klinis rata-rata
masa inkubasi adalah 7 hari. Rentang nilai masa inkubasi penyakit flu burung dalam penelitian ini
diperoleh mulai dari masa inkubasi minimal 2 (dua) hari dan maksimal 20 hari.
Page 38
Hasil analisis yang digunakan menunjukan terjadinya masa inkubasi penyakit flu burung yang
cukup lama sampai 20 hari disebabkan daya tahan tubuh seseorang pada saat itu baik dan kemampuan
virus H5N1 tidak cukup untuk secara cepat menginfeksi manusia dan menimbulkan penyakit. Namun
setelah virus H5N1 masuk dalam tubuh secara perlahan menjadi virulen sehingga akhirnya daya tahan
tubuh tidak kuat melawan virulensi virus H5N1 dan akhirnya menjadi sakit.
Pada masa inkubasi yang pendek yaitu hanya 2 hari dianalisis karena adanya tingkat virulensi
H5N1 yang tinggi. Menurut WHO (2006), unggas yang sakit bahkan mati akan mengeluarkan virus
dengan jumlah besar dalam kotorannya. Dari analisis status health folder penderita flu burung, seperti
yang terjadi pada pasien-16,-18, dan serta lainnya menunjukan bahwa virulensi virus H5N1 pada unggas
mati menyebabkan patogenesis penyakit terjadi sangat cepat. Namun kondisi inipun sebenarnya sangat
dipengaruhi oleh imunitas tubuh.
Masa inkubasi penyakit flu burung pada manusia berdasarkan dari studi kasus yang
dikumpulkan memperlihatkan begitu cepatnya transmisi H5N1 dari unggas ke manusia. Masuknya bibit
penyakit H5N1 pada manusia merupakan suatu risiko semua orang karena dari hasil penelitian ini
menunjukan justru potensi penularan terjadi di lingkungan sekitar rumah. Menurut Depkes RI (2006)
menyatakan bahwa avian influenza (H5N1) dapat menyebar dengan cepat diantara populasi unggas
dengan kematian yang tinggi, bahkan dapat menyebar antar peternakan, dan menyebar antar daerah
yang luas. Hasil analisis kasus yang diperoleh menunjukan bahwa pola masuk bibit penyakit tidak mutlak
bersumber dari unggas yang dipelihara oleh keluarga tetapi ada juga yang dimulai dari unggas (ayam)
yang dipelihara oleh tetangga.
Menurut WHO (2006), penularan penyakit flu burung kepada manusia dapat melalui kontak
langsung dengan sekret/lendir atau tinja binatang yang terinfeksi melalui saluran pernafasan atau
mukosa konjunctiva (selaput lendir). Dari studi kasus yang dilakukan oleh peneliti, kejadian flu burung di
Propinsi Jawa Barat sebagian besar melalui kontak dengan unggas (ayam) yang mati mendadak. Unggas
yang mati mendadak ini bukan berasal dari peternakan melainkan berasal dari peliharaan ayam miliknya
sendiri atau milik tetangga. Selanjutnya WHO (2006) menyatakan bahwa penyakit ini juga bisa menular
melalui udara yang tercemar virus Avian Influenza (H5N1) yang berasal dari tinja atau sekret/lendir
unggas atau binatang lain terinfeksi dalam jarak terbatas dan kontak dengan benda yang terkontaminasi
H5N1. Pada beberapa pasien yang dijadikan studi kasus oleh peneliti menunjukan hal yang sama, pasien
terinfeksi melalui burung peliharaan yang tergantung di rumahnya dan terinfeksi melalui kotoran unggas
yang mati mendadak.
Page 39
Studi ini menunjukan bahwa orientasi perhatian penyakit flu burung pada manusia tidak hanya
pada lingkup peternakan saja dan tempat risiko lainnya tetapi justru harus beralih secara cepat orientasi
pada rumah sebagai target perhatian. Menurut WHO sampai awal tahun 2006 secara epidemiologi dan
virologis belum terbukti terjadinya penularan dari manusia ke manusia dan juga penularan pada
manusia melalui daging yang dikonsumsi. Studi ini menunjukan bahwa ada dua penderita disuatu
keluarga terinfeksi H5N1 dan riwayat kontak dengan unggas mati tidak pernah. Informasi yang
dikembangkan melalui wawancara dengan orangtua yang merawat langsung diperoleh data sebenarnya
dua anaknya sebelum sakit ikut memasak daging ayam dan diketahui daging yang dikonsumsinya masih
belum matang dengan indikator masih terlihat ada darahnya pada saat dikonsumsi. Pernyataan ini
dibenarkan oleh saudaranya yang langsung melihat kondisi tersebut. Pada akhirnya dua anak tersebut
terinfeksi avian influenza dengan masa inkubasi rata-rata waktunya sama yaitu 5 hari (Studi Kasus di
Desa Cipedang Kecamatan Bongas Kabupaten Indramayu).
Fenomena lain yang diperoleh dari studi penelitian ini adalah adanya pola kebiasaan di
masyarakat tertentu yang menganggap adanya ayam mati mendadak sebagai sesuatu hal yang biasa dan
tidak mendapat perhatian yang serius. Secara kultur dan sosial di masyarakat tertentu justru
menganggap apabila ada ayam yang sakit menjadi kesempatan ayam tersebut untuk disembelih dan
dikonsumsi. Kultur sosial ini tanpa disadari sebenarnya sudah menunjukan titik awal terjadinya
infektivitas virus ke tubuh manusia (seperti terjadi pada studi kasus di Desa Sindang Galih Kecamatan
Karang Pawitan Kabupaten Garut).
Berdasarkan uraian tersebut diatas, masuknya bibit penyakit pada tubuh manusia tidak
semuanya menyebabkan penyakit. Kekebalan tubuh manusia menentukan juga apakah bibit penyakit
mampu menimbulkan sakit atau sebaliknya justru tidak mampu menimbulkan sakit. Jika daya tahan
tubuh tidak kuat, tentu penyakit akan berjalan terus yang mengakibatkan terjadinya gangguan bentuk
dan fungsi tubuh. Garis yang membatasi tempat atau tidak tampaknya gejala penyakit biasanya disebut
dengan nama horison klinik. Ini menunjukan adanya kondisi yang menyatakan bahwa tubuh itu
mempunyai pertahanan kuat yang dapat menangkal infektivitas virus.
3.3.3. Tahap Klinis Penyakit Flu Burung pada Manusia
Tahap klinis dihitung mulai dari munculnya gejala penyakit sampai kepada seseorang
memerlukan perawatan dan pengobatan secara khusus karena ketidakmampuan tubuh melakukan
aktivitas sehari-hari secara mandiri. Tahap klinis penyakit flu burung pada studi kasus yang dilakukan
Page 40
oleh penulis dalam penelitian ini hampir semuanya menunjukan gejala dan tanda klinis diantaranya:
demam panas ≥ 38ºC, adanya batuk, sakit tenggorokan, pilek, dan sesak nafas.
Menurut Soejoedono dan Handharyani (2005) orang yang terserang flu burung menunjukan
gejala seperti terkena flu biasa, hanya saja karena keganasan virusnya menyebabkan flu ini juga ganas.
Selanjutnya disampaikan dalam waktu singkat, gejala-gejala tersebut dapat menjadi lebih berat dengan
terjadinya peradangan paru-paru (pneumonia). Gejala lain yang dapat ditemukan adalah pilek, sakit
kepala, nyeri otot, infeksi selaput mata, diare atau gangguan saluran cerna. Bila ditemukan gejala sesak
menandai terdapat kelainan saluran nafas bawah akan ditemukan bronchitis di paru dan bila semakin
berat frekuensi pernafasan akan semakin cepat (Depkes RI, 2006).
Merujuk hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, gejala dan tanda klinis awal yang dirasakan
oleh penderita penyakit flu burung sebagian besar merasakan adanya demam panas ≥ 38ºC. Gejala awal
yang dirasakan atau dikeluhkan penderita oleh keluarga kadang kala dianggap sebagai gejala biasa yang
tidak perlu perawatan dan pengobatan ke rumah sakit. Bahkan keluarga atau penderita mengambil
keputusan untuk diobati sendiri dengan cara membeli obat ke warung. Lebih bahaya lagi dibiarkan dulu
karena ada asumsi gejala demam panas itu sifatnya sementara diistirahatkan pun akan sembuh.
Fenomena tersebut didukung oleh hasil studi yang penulis lakukan terhadap 31 penderita positif
penyakit flu burung diperoleh data bahwa tidak dengan segera pada saat penderita memperlihatkan
gejala awal di bawa ke tempat pelayanan kesehatan tetapi dirawat dulu di rumah. Hasil penelitian
menunjukan rata-rata waktu penderita dirawat di rumah adalah selama 5 hari. Perawatan di rumah yang
dilakukan tentunya tidak memperhatikan spesifikasi penyakit tetapi hanya didasarkan pada pengalaman
dan kebiasaan dalam merawat anggota keluarga yang sakit.
Kondisi ini sangat merugikan pasien dalam menghadapi virus H5N1 di dalam tubuhnya. Keluhan
sakit yang dirasakan pasien tidak akan berkurang atau sembuh justru gejala penyakit terus menerus
semakin memperburuk keadaan kesehatan pasien. Kemampuan dan pengetahuan keluarga merawat
anggota keluarga yang sakit hanya didasarkan pada pengalaman dan kebiasaan. Pada akhirnya si
penderita hanya mendapatkan perawatan dan pengobatan terbatas.
Penemuan kasus secara dini yang dilakukan oleh petugas kesehatan sangat lemah, mengingat
penyakit flu burung merupakan suatu penyakit yang ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
Mestinya tanggap penyakit flu burung dalam penemuan kasus tidak terlambat. Masa waktu 5 hari
penderita di rawat di rumah memberikan masa waktu yang luang bagi virus H5N1 menyebabkan
komplikasi penyakit seperti pneumonia.
Page 41
Di tahap klinis ini, penderita rata-rata hari ke-5 mendapatkan perawatan dan pengobatan
ditempat pelayanan kesehatan profesional (Mantri Kesehatan, Dokter Praktek Swasta, Puskesmas, dan
Rumah Sakit). Ada beberapa kasus tertentu petugas kesehatan tidak tepat mendiagnosis penyakit
bahkan salah praduga mendiagnosis penyakit, misalnya mendiagnosis typus abdominalis, atau suspek
demam berdarah. Dampaknya memberikan obat salah, akhirnya gejala yang dirasakan oleh penderita
bukan berkurang malah semakin parah.
Pelayanan kesehatan di tingkat pertama pasien dengan suspek flu burung mestinya langsung
mendapatkan Oseltamivir 2 x 75 mg (jika anak, sesuai dengan berat badan) lalu dirujuk dengan segera.
Ternyata di tataran lapangan pasien dengan suspek flu burung baru dibawa ke rumah sakit rujukan ratarata pada hari ke-6. Bahkan data yang diperoleh rentang waktu penderita di rumah adalah 2-12 hari.
Lamanya penderita mendapatkan perawatan dan pengobatan yang spesifik tentunya ini menjadi
preseden buruk bagi kondisi kesehatan penderita. Maka pada tahap klinik hampir sebagian penderita
yang positif penyakit flu burung masuk perawatan dan pengobatan di RS sudah masuk pada tahap
komplikasi atau stadium lanjut.
3.3.4. Tahap Terminal Penyakit Flu Burung pada Manusia
Perjalanan penyakit pada suatu saat akan berakhir sesuai dengan riwayat alamiahnya. Tahap
terminal penyakit merupakan titik berakhir suatu mekanisme penyakit di dalam tubuh manusia dalam
keadaan sembuh, mengalami kecacatan, atau meninggal dunia. Termasuk perjalanan akhir penyakit flu
burung pada manusia.
Perjalanan akhir penyakit flu burung lebih disebabkan adanya komplikasi pada infeksi paru-paru
(pneumonia) berat yang bisa menyebabkan gagal nafas. Hal ini terjadi karena adanya gangguan ventilasi
dan perfusi jaringan paru-paru. Selain itu juga sering terjadi syok (dapat hipovolemik, distributif,
kardiogenis ataupun obstruktif) yang pada akhirnya tubuh tidak lagi mampu menahan keseimbangan.
Tahap akhir penyakit flu burung dari 31 penderita ternyata sebagian besar berakhir dengan
meninggal yaitu 26 orang (83,8%), sembuh 5 orang (16,2%), dan mengalam kecacatan (00,0%). Tingginya
angka kematian menurut Dirjen P2PL Depkes RI bisa dikarenakan penderita sendiri yang tidak menyadari
dirinya kemungkinan menderita AI karena gejalanya sangat mirip dengan influenza musiman. Petugas
kesehatanpun bisa terkecoh. Akibatnya penderita baru dikirim ke RS rujukan AI setelah mencapai
stadium lanjut.
Angka kematian ini menunjukan bahwa virus H5N1 mempunyai tingkat virulensi yang tinggi.
Virus flu burung memiliki daya replikasi tinggi sehingga dapat berkembang sangat cepat dalam tubuh
Page 42
(Soejoedono dan Handharyani, 2005). Maka wajar saja kondisi saat ini penyakit flu burung ditakuti oleh
sebagian besar masyarakat di dunia.
Penderita positif penyakit flu burung yang sembuh berjumlah 5 orang dimungkinkan karena
beberapa hal diantaranya: 1) penderita yang sembuh berada pada kelompok usia muda (60%) hal ini
erat kaitannya dengan daya tahan tubuh seseorang terhadap penyakit, 2) kecepatan mengambil
keputusan mencari pelayanan kesehatan, dan 3) pelaksanaan perawatan dan pengobatan di Rumah
Sakit yang disiplin dalam menjalankan standar operasional prosedur penangangan penyakit flu burung.
Pada saat penelitian dilakukan, kondisi tubuh secara umum penderita yang sembuh
menggambarkan sehat dan tidak ada gejala sisa. Penderita yang sembuh secara mental telah kembali
pada kehidupan normal di masyarakat. Awalnya ada perasaan ragu berinteraksi kembali dengan
masyarakat. Dukungan keluarga secara personal dan dukungan masyarakat menjadi dorongan yang kuat
dalam melaksanakan rutinitas kehidupan.
BAGIAN-4. MODEL INTERVENSI PENYAKIT FLU BURUNG PADA MANUSIA
4.1. Konsep Dasar Model Intervensi Penyakit Flu Burung
Penularan flu burung pada manusia di Indonesia terjadi bulan Juli 2005 yang telah menyebabkan
tiga orang meninggal dalam waktu yang sangat singkat. Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia dan para ahli dari laboratorium WHO di Hongkong diperoleh hasil sementara
bahwa virus flu burung yang terjangkit pada ketiga warga negara Indonesia tersebut melalui kotoran
unggas. Insidens ini cukup menjadi perhatian serius dan mengagetkan karena para penderita tidak
berhubungan secara nyata dengan peternakan.
Munculnya penyakit flu burung pada manusia merupakan Kejadian Luar Biasa (KLB) yang
melibatkan golongan unggas dan manusia. Dalam perspektif lingkungan, penularan sumber penyakit
(H5N1) dimediasi oleh komponen lingkungan sekitar yang akhirnya masuk ke dalam tubuh manusia.
Seekor unggas yang terinfeksi H5N1 akan menularkannya dalam waktu sangat singkat. Setiap individu
mempunyai peluang sama terinfeksi penyakit flu burung berdasarkan beberapa contoh kasus yang
terjadi. Ketika jumlah unggas terinfeksi flu burung telah meningkat maka pekerja peternakan unggas dan
orang-orang yang terlibat dalam usaha-usaha depopulasi unggas potensi mempunyai risiko yang lebih
besar (tinggi).
Menurut Hayat, Liang dan Low (2006), terbuka dapat menjadi hotbed untuk pembiakan virus
Avian influenza dan menyebabkan lompatan dari unggas ke manusia. Kekhawatiran utama lainnya yang
Page 43
berkisar pada jumlah wabah baru yang berkelanjutan yaitu adanya mutasi virus acak yang mungkin
terjadi. Jika ini terjadi, virus dapat dengan mudah bermutasi untuk melompat ke spesies lain.
Selanjutnya Hayat, Liang dan Low (2006) mencontohkan spesies lain itu diantaranya babi yang rentan
pada jenis mutasi virus ini karena babi dapat menjadi tempat jenis flu avian dan jenis flu manusia, yang
membuat transmisi manusia ke manusia dapat menjadi realitas.
Orientasi penanggulangan penyakit flu burung saat ini adalah pada kasus yang telah terjadi.
Penanganan lebih kepada efek kesehatan dan kejadian. Ironisnya justru tingkat kematian dan kesakitan
bukannya menurun justru mengalami peningkatan. Biosekuriti terhadap manusia cendrung lemah.
Fragmentasi penanganan penyakit flu burung terjadi secara tidak seimbang antara komunitas
peternakan dan non peternakan.
Studi penelitian yang dilakukan oleh penulis menghasilkan bahwa kejadian flu burung hampir
setengahnya terjadi di lingkungan rumah yaitu 52% dan sebagian besar berhubungan dengan kebersihan
kandang ternak 84%. Kondisi ini menunjukan manifestasi bahwa penyakit flu burung dapat dicegah
dengan intervensi pada simpul 2 (teori simpul menyatakan bahwa simpul 2 adalah lingkungan). Bahkan
hasil penelitian sebelumnya pada model regresi logistik menemukan empat peubah yang dominan
mempengaruhi terjadinya penyakit flu burung yaitu aktivitas kontak, jumlah kontak, kontak erat, dan
kebersihan kandang ternak.
Pemodelan sistem dinamik dalam rangka upaya pencegahan penyakit flu burung yang sudah ada
diorientasikan pada pencegahan pemberian pil. Model ini mengilustrasikan sebuah representatif yang
disederhanakan dari dinamika infeksi manusia yang disebabkan oleh virus flu burung dan efektivitas
pengobatan pencegahan (Hayat, Liang dan Low, 2006). Hasil studi penelitian sebelumnya diperoleh
bahwa pemberian pil pencegahan tidak efektif. Maka orientasi pencegahan penyakit flu burung sudah
saatnya bergeser pada posisi lingkungan sebagai center model intervensi pencegahan diantaranya pada
kebersihan kandang ternak sesuai hasil empirik dari uji statistik model regresi logistik.
Pemodelan intervensi pencegahan penyakit flu burung pada manusia tentunya menggunakan
pendekatan sistem dinamik. Menurut Marimin (2004) pendekatan sistem adalah suatu pendekatan
analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Manajemen sistem
dapat diterapkan dengan mengarahkan perhatian kepada berbagai ciri dasar sistem perubahan dan
gerakannya akan mempengaruhi keberhasilan suatu sistem. Menurut Eriyatno (1998) pendekatan
sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap
Page 44
adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang
dianggap efektif.
Model intervensi pencegahan penyakit flu burung yang akan dibangun memerlukan pendekatan
sistem karena suatu penyakit timbul melibatkan berbagai unsur (subsistem) sebagai suatu kebutuhan
dalam model intervensi yang dibangun ini melibatkan pendekatan statistik. Hal ini dilakukan agar
kebutuhan-kebutuhan membangun sistem peubahnya telah diuji secara empirik sehingga intervensi
yang dihasilkan dari sistem adalah tepat sasaran.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis membuat model intervensi pencegahan penyakit flu
burung pada manusia yang berorientasi pada faktor risiko lingkungan. Keputusan ini dilakukan atas
hipotesis penelitian sebelumnya yang menemukan secara statistik aktivitas kontak, jumlah kontak,
kontak erat, dan kebersihan kandang ternak sebagai faktor risiko terjadinya penyakit flu burung pada
manusia.
4.2. Metodologi Pemecahan Masalah Penyakit Flu Burung
Metodologi pemecahan masalah penyakit flu burung pada manusia penulis menggunakan
simulasi model. Menurut Muhammadi dan Soesilo (2001), simulasi adalah peniruan perilaku suatu gejala
atau proses. Simulasi model bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut, membuat analisis
dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan.
Tahapan penyusunan simulasi model dalam penelitian ini dilakukan melalui penyusunan
konsep, pembuatan model, simulasi, dan validasi hasil simulasi (Aminullah, Muhammadi, Soesilo: 2001).
Masing-masing tahapan mempunyai kegiatan yang berbeda-beda tetapi menjadi kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Uraian rinci kegiatan penyusunan simulasi model intervensi pencegahan penyakit flu
burung adalah sebagai berikut:
1)
Penyusunan konsep. Gejala atau proses yang ditirukan dengan jalan menentukan unsur-unsur
yang berperan dalam gejala atau proses tersebut. Unsur-unsur tersebut saling berinteraksi, saling
berhubungan, dan saling ketergantungan. Unsur-unsur tersebut bersatu dalam melakukan suatu
kegiatan. Dari unsur-unsur dan keterkaitannya, dapat disusun gagasan atau konsep mengenai
gejala atau proses yang akan disimulasikan. Unsur-unsur yang digunakan dalam membangun
konsep berasal dari hasil uji statistik model regresi logistik yaitu aktivitas kontak, jumlah kontak,
kontak erat, dan kebersihan kandang ternak.
2)
Pembuatan model. Gagasan-gagasan tersebut selanjutnya dirumuskan sebagai model berbentuk
gambar yang dapat mendeskripsikan kejadian penyakit flu burung pada manusia.
Page 45
3)
Simulasi. Dalam model intervensi pencegahan penyakit flu burung akan didapatkan simulasi
perilaku insidensi suspek penyakit flu burung, perilaku simulasi orang yang positif terkena penyakit
flu burung. Selain itu akan diperoleh juga skenario kebijakan yang berhubungan dengan intervensi
pencegahan penyakit flu burung pada manusia.
4)
Validasi. Pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif harus taat fakta. Validitas atau keabsahan
adalah salah satu kriteria penilaian keobyektifan dari suatu pekerjaan ilmiah. Model intervensi
penyakit flu burung ini akan divalidasi menggunakan RMSE (Root Mean Square Error) yaitu
penyimpangan nilai rata-rata simulasi terhadap aktual.
4.3. Pemodelan Intervensi Penyakit Flu Burung pada Manusia
4.3.1. Penyusunan Konsep
Titik tolak menyusun konsep untuk membangun model intervensi pencegahan penyakit flu
burung pada penelitian ini didasarkan pada hasil uji statistik model regresi logistik yaitu aktivitas kontak,
jumlah kontak, kontak erat, dan membersihkan kandang ternak. Peubah penjelas lingkungan ini diyakini
secara empirik dan bermakna terbukti sebagai faktor risiko terjadinya penyakit flu burung pada manusia.
Penyusunan konsep, dimulai orang sehat akan mengalami suspek flu burung karena adanya laju
kontak dengan sumber penularan yaitu unggas sakit, unggas mati, kotoran unggas, benda-benda yang
terinfeksi H5N1, dan lain sebagainya. Laju kontak berhubungan karena adanya pengaruh kontak yang
disebabkan oleh empat peubah penjelas lingkungan yaitu aktivitas kontak, jumlah kontak, kontak erat,
dan kebersihan kandang ternak. Sedangkan cuaca (musim) dalam model ini dianggap lingkungan
eksogen artinya siapapun akan sama mempunyai tingkat keterpaparan.
Terpajannya seseorang oleh empat penjelas lingkungan menandakan individu telah berinteraksi
langsung dengn virus H5N1. Keadaan ini seterusnya berpengaruh terhadap laju kontak melalui pengaruh
kontak. Kontak dengan sumber penularan maka individu akan masuk kondisi suspek flu burung atau
sudah masuk laju insidensi penyakit flu burung. Daya tahan tubuh setiap individu merespon masuknya
bibit penyakit (H5N1) berbeda-beda. Pilihannya individu tersebut kuat dan tetap sehat, individu ternyata
tidak kuat akhir terkena positif penyakit flu burung, atau individu meninggal dunia.
Pembuatan model intervensi pencegahan penyakit flu burung ini menggunakan tiga asumsi
diantaranya:1) setiap orang mempunyai risiko yang sama untuk terinfeksi penyakit flu burung, 2) cuaca
(musim) dianggap kecil berpengaruh terhadap timbulnya penyakit flu burung, dan 3) virus H5N1 belum
mampu menular antar manusia.
4.3.2. Pembuatan Model
Page 46
1) Diagram Simpal Kausal Model Intervensi Pencegahan Penyakit Flu Burung
Diagram simpal kausal dalam penelitian ini, disusun melalui hubungan sebab akibat antara
peubah penjelas lingkungan yaitu aktivitas kontak, jumlah kontak, kontak erat, dan membersihkan
kandang ternak. Pemilihan peubah simpal kausal didasarkan pada hasil model regresi logistik yang
menemukan empat peubah tersebut mempunyai hubungan bermakna terhadap kejadian penyakit flu
burung. terutama aktivitas kontak. Selain itu, ketiga peubah lingkungan tersebut sebagai faktor risiko
kejadian penyakit flu burung. Sedangkan kebersihan kandang ternak sebagai faktor protektif (pencegah)
terhadap kejadian penyakit flu burung. Cuaca (musim) dalam simpal kausal ini merupakan faktor
lingkungan eksogen yang dianggap kecil pengaruhnya terhadap kontak.
Diagram simpal kausal ini mencerminkan identifikasi sistem yang merupakan suatu rantaian
hubungan antara pernyataan dan kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang
harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Untuk lebih jelasnya simpal kausal
model intervensi pencegahan penyakit flu burung tertera pada Gambar 4.1. berikut ini:
+
+
Laju
Kontak
FLu
Burung
Orang
Sehat
AKTIVITAS
KONTAK
+
+
Orang
Suspek
Flu Burung
B1
+
JUMLAH
KONTAK
+
Pengaruh
Kontak
-
KONTAK
ERAT
+
+
+
B2
ORANG YANG
FLU BURUNG
Laju
Insidensi
Flu Burung
+
KEBERSIHAN
KANDANG
TERNAK
+
+
+
Orang
yang Mati
+
Curah Hujan
Temperatur
Kelembaban
CUACA/MUSIM
Gambar 4.1. Diagram Simpal Kausal Model Intervensi Pencegahan Penyakit Flu Burung pada Manusia
Merujuk Gambar 4.1. terlihat bahwa penjelas lingkungan yaitu aktivitas kontak, jumlah kontak,
kontak erat, dan kebersihan kandang ternak yang merupakan hasil uji statistik menyebabkan terjadinya
Page 47
pengaruh kontak (Tabel 12). Ini berarti setiap individu yang terkena infeksi penyakit flu burung karena
adanya kontak dengan sumber penularan. Pengaruh kontak seterusnya melaju kontak dan melaju
insidensi penyakit flu burung. Sementara cuaca (musim) dianggap lingkungan eksogen.
2) Diagram Alir Model Intervensi Pencegahan Penyakit Flu Burung pada Manusia
Bertitik tolak pada simpal kausal model intervensi pencegahan penyakit flu burung , maka
selanjutnya peneliti menyusun diagram alir yang akan disimulasikan sebagai peniruan perilaku model.
Adapun diagram alir dapat dilihat pada Gambar 15.
Jumlah_Kontak
Kontak_Erat
Pengaruh_Kontak
Fraksi_Insidensi_Flu_Burung
Kebersihan_Kandang
Aktivitas_Kontak
Fraksi_Kematian_akibat_Suspek_Flu_Burung
Orang_Suspek_Flu_Burung
Orang_Sehat
Laju_Kontak
Laju_Kesembuhan
Laju_Kematian_Suspek_Flu_Burung
Laju_Insidensi_Flu_Burung
Orang_yang_Mati
Penduduk_Jawa_Barat
data
Laju_Suspek_Menjadi_Sembuh
Laju_Kematian_orang_Flu_Burung
cld
ORANG_SAKIT_FLU_BURUNG
story
sim-1
Fraksi_Kesembuhan_Suspek
sfd-2
Fraksi_Kesembuhan_Flu_Burung
Fraksi_Kematian_akibat_Flu_Burung
sim-2
Gambar 4.2. Diagram Alir Model Intervensi Pencegahan Penyakit Flu Burung pada Manusia
3) Simulasi Model Intervensi Pencegahan Penyakit Flu Burung
Tahapan selanjutnya, penelitian ini membuat simulasi model intervensi pencegahan penyakit flu
burung yang berbasis pada empat peubah penjelas lingkungan (Tabel 4.2). Simulasi ini menggambarkan
simulasi perilaku insidensi suspek penyakit flu burung dan orang yang positif penyakit flu burung.
Simulasi model ini disusun mulai tahun 2005 sebagai awal terjadinya kasus flu burung di Indonesia
termasuk juga di Propinsi Jawa Barat.
Page 48
15
10
5
2,005
2,007 penyakit2,008
2,009
2,010kejadian 2,011
Simulasi model2,006
intervensi pencegahan
flu burung berikut
ini mendeskripsikan
Tahun
penyakit flu burung tanpa dilakukan intervensi seperti tertera pada Gambar 4.3 dan Gambar
4.4.
SUSPEK F LU BURUN G
550
475
400
325
250
175
100
25
2,005
2,007
2,009
2,011
2,013
2,015
Tahun
Gambar 4.3. Simulasi Model Insidensi Orang Suspek Penyakit Flu Burung
ORANG YANG SAKIT FLU BURUNG
95
90
85
80
75
70
65
60
55
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
2,005
2,006
2,007
2,008
2,009
2,010
2,011
2,012
2,013
2,014
2,015
Tahun
Bud h i So es il o 20 0 8
Gambar 4.4. Simulasi Model Insidensi Orang Positif Penyakit Flu Burung
Merujuk Gambar 4.3 dan Gambar 4.4, menunjukan bahwa simulasi perilaku model kejadian
suspect penyakit flu burung sampai 2015 adanya kecendrungan terus meningkat. Di lihat dari angka
Page 49
insidensi orang suspek flu burung pada tahun 2015 mencapai 550 orang sedangkan yang dinyatakan
positif penyakit flu burung akan mencapai 95 orang.
Simulasi perilaku model insidensi penyakit flu burung telah memperlihatkan suatu trend atau
kecendrungan sesuai realita. Ini menunjukan bahwa mesti adanya perlakuan kebijakan dalam
mengintervensi laju insidensi penyakit flu burung pada manusia. Upaya utama berdasarkan riset yang
dilakukan oleh penulis ini kiranya intervensi pencegahan penyakit flu burung harus mengacu kepada
empat peubah faktor risiko lingkungan yaitu aktivitas kontak, jumlah kontak, kontak erat, dan
kebersihan kandang ternak (Tabel 4.2).
Berdasarkan hal tersebut intervensi pada faktor risiko lingkungan harus dilakukan agar
peningkatan laju insidensi kejadian penyakit flu burung dapat dicegah sehingga insidensi penyakit
menurun. Penulis membuat intervensi pada faktor risiko lingkungan yang seperti tertera pada Gambar
4.5.
STRUKTUR INTERVENSI
Jumlah_Kontak_1
Intervensi_3
Kontak_Erat_1
Pengaruh_Kontak_1
Aktivitas_Kontak_1
Fraksi_Insidensi_Flu_Burung_1
Intervensi_4
Intervensi_2
Kebersihan_Kandang_1
Intervensi_1
Fraksi_Kematian_akibat_Suspek_Flu_Burung_1
Orang_Suspek_Flu_Burung_1
Orang_Sehat_1
Laju_Kontak_1
Laju_Kesembuhan_1
Laju_Kematian_Suspek_Flu_Burung_1
Laju_Insidensi_Flu_Burung_1
Orang_yang_Mati_1
Penduduk_Jawa_Barat_1
data
Laju_Suspek_Menjadi_Sembuh_1
Laju_Kematian_orang_Flu_Burung_1
cld
ORANG_SAKIT_FLU_BURUNG_1
story
sfd-1
Fraksi_Kesembuhan_Suspek_1
sim-1
Fraksi_Kesembuhan_Flu_Burung_1
Fraksi_Kematian_akibat_Flu_Burung_1
sim-2
Gambar 4.5. Struktur Intervensi Pencegahan Penyakit Flu Burung pada Manusia
Page 50
Merujuk pada Gambar 4.5. terlihat bahwa model intervensi pencegahan penyakit flu burung
diberikan perlakuan pada faktor risiko lingkungan. Diharapkan dengan memberikan perlakuan atau
intervensi dapat mengurangi laju insidensi penyakit flu burung pada manusia.
Bentuk intervensi yang diberikan disesuaikan dengan hasil persamaan regresi logistik. Untuk
peubah aktivitas kontak, jumlah kontak, dan kontak erat mempunyai persamaan positif (Tabel 4.2). Ini
berarti jika ketiga peubah tersebut dikurangi secara normatif laju insidensi penyakit flu burung harus
mengalami penurunan bukan sebaliknya. Untuk peubah kebersihan kandang ternak hasil persamaan
model regresi logistik adalah negatif (Tabel 4.2). Ini berarti jika kebersihan kandang ternak ditingkatkan
maka laju insidensi penyakit flu harus mengalami penurunan.
Untuk menurunkan angka kejadian penyakit flu burung pada manusia ternyata bisa dengan cara
mengendalikan faktor lingkungan. Intervensi yang dilakukan diantaranya meningkatkan kebersihan
kandang ternak. Seperti terlihat pada hasil simulasi perilaku setelah lingkungan di intervensi melalui
peningkatan aktivitas membersihkan kandang ternak pada Gambar 4.6. berikut ini:
ORANG YANG SAKIT FLU BURUNG
95
90
85
80
75
70
65
60
55
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
2,005
2,006
2,007
2,008
2,009
2,010
2,011
2,012
2,013
2,014
2,015
Tahun
Bud h i So es il o 20 0 8
Gambar 4.6. Model Intervensi Pencegahan Penyakit Flu Burung dengan Perlakuan pada Faktor Risiko
Lingkungan (Peningkatan Kebersihan Kandang Ternak)
Page 51
KONTAK ERAT
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
1.6
1.8
2.0
KEBERSIHAN KANDANG TERNAK
2,015
0.0
Keterangan
0.3
0.6
:
1.
2.
0.9
1.2
1.5
1.8
2.1
2.4
2.7
3.0
data
Garis merah menunjukan faktor risiko lingkungan tidak diintervensi
Garis biru menunjukan faktor risiko lingkungan di intervensi
Merujuk pada Gambar 4.6. hasil simulasi perilaku model memperlihatkan bahwa orang yang
sakit flu burung angka kejadiannya bisa menurun jika ada intervensi untuk meningkatkan kebersihan
kandang ternak. Model simulasi ini mempunyai nilai RMSE sebesar 11,36%. Ini berarti bahwa model ini
bisa memprediksikan ketepatannya mencapai 88,64%.
4.4. Penerapan Model Intervensi Pencegahan Penyakit Flu Burung
Pencegahan secara umum adalah mengambil tindakan terlebih dahulu sebelum kejadian.
Mengambil langkah-langkah untuk pencegahan haruslah didasarkan pada data atau keterangan yang
bersumber dari hasil analisis kajian (penelitian) sebagai entry point dimulainya pencegahan.
Model simulasi penyakit flu burung yang ditemukan dalam riset ini, memberikan gambaran
bahwa peran aktivitas kontak individu dengan sumber penularan dapat menyebabkan terjadinya laju
kontak dan insidensi penyakit flu burung. Aktivitas kontak berhubungan dengan komponen lingkungan.
Model intervensi pencegahan penyakit flu burung merupakan suatu usaha atau langkah
mengambil tindakan sebelum kejadian penyakit muncul. Model simulasi pencegahan yang dibangun
sebenarnya berorientasi pada tingkatan pencegahan penyakit. Orientasinya, model intervensi
pencegahan dibangun pada aspek komponen lingkungan hasil uji regresi logistik yaitu aktivitas kontak,
jumlah kontak, kontak erat, dan kebersihan kandang ternak.
Upaya atau tindakan melakukan kebersihan pada komponen lingkungan, dalam perspektif
tingkatan pencegahan termasuk pada tingkatan pertama (primer). Menurut Level & Clark (1974) dalam
Noor (1997) membagi pencegahan pada tingkatan pertama (primer), kedua (sekunder), dan ketiga
(tersier). Pencegahan tingkatan pertama suatu upaya yang dilakukan dengan tujuan untuk memutus
mata rantai penyakit atau menahan masuknya bibit penyakit di dalam tubuh manusia supaya tidak
menimbulkan sakit.
Model intervensi pencegahan penyakit flu burung pada manusia memberikan gambaran bahwa
faktor lingkungan bisa dijadikan upaya untuk menurunkan angka kejadian penyakit flu burung. Upaya
Page 52
intervensi yang dilakukan adalah pada tingkat pencegahan primer yaitu peningkatan kesehatan dan
perlindungan khusus terhadap masalah kesehatan. Bentuknya memberikan pendampingan personal
tentang pengetahuan masyarakat akan faktor risiko penularan virus H5N1.
Pengendalian faktor lingkungan sosial ekonomi di fokuskan kepada menghindari kontak dengan
sumber penularan. Individu menghindari kontak akan terjadi kalau sudah memahami dan mengetahui
tentang penyakit flu burung. Pemahaman dan pengetahuan erat kaitannya dengan nilai dan
kepercayaan yang dimiliki individu. Pendekatan sosial dan kultur dalam menanamkan pengetahuan
perlu dilakukan. Sehingga informasi kesehatan akan mudah diterima dan membentuk perilaku aktif
kesehatan pada individu dan masyarakat.
Kegiatan pencegahan yang dilakukan untuk menghindari kontak dengan sumber penularan
diantaranya higiene perseorangan membentuk perilaku hidup sehat. Perilaku hidup sehat merupakan
respon seseorang terhadap stimulus konsep sehat sakit, stimulus pelayanan kesehatan, dan stimulus
kesehatan lingkungan. Respon perilaku kesehatan individu positif merupakan upaya pencegahan yang
efektif dalam menghindari terjadinya berbagai penyakit termasuk penyakit flu burung.
Intervensi lingkungan lainnya adalah dengan meningkatkan kebersihan kandang ternak. Hasil
simulasi sistem dinamik pada Gambar 19. menunjukan bahwa semakin ditingkatkan kebersihan kandang
ternak maka ada pengaruh terhadap penurunan angka kejadian penyakit flu burung. Kandang ternak
merupakan suatu tempat hidup golongan unggas untuk berteduh, beristirahat, dan beraktivitas lainnya.
Kondisi ini menunjukan bahwa sanitasi kebersihan kandang ternak merupakan pilihan utama yang harus
di prioritaskan.
Merujuk pada hasil simulasi yang melakukan intervensi pada kebersihan kandang ternak
mencerminkan faktor lingkungan dapat mengendalikan penyebaran virus H5N1. Pernyataan ini
didukung oleh data empirik berdasarkan statistik diperoleh seseorang yang terinfeksi H5N1 rata-rata
membersihkan kandang ternak perminggunya berkisar hanya 1,5 kali sedangkan kelompok kontrol ratarata per-minggu 4 kali. Kondisi lingkungan seperti tersebut menjadi faktor pendorong dan penguat
sebagai barier dan pencegah adanya virus H5N1 yang mengakibatkan terjadinya penyakit flu burung.
Standarisasi membersihkan kandang ternak seharusnya adalah setiap hari 1 kali dengan
memperhatikan prosedur yang benar (Depkes, 2006). Lingkungan berperan positif menjadi media
penularan penyakit flu burung. Pencegahan terhadap kejadian penyakit flu burung pada manusia yang
perlu dilakukan sangat sederhana yaitu melakukan aktivitas kebersihan kandang ternak secara rutin
melalui prosedur yang benar.
Page 53
Simulasi model intervensi menunjukan bahwa mesti adanya kebijakan yang mengintervensi
langsung upaya pencegahan penyakit flu burung pada lingkup kebersihan kandang ternak. Upaya
pencegahan tersebut mencerminkan bagaimana penyakit flu burung muncul dengan melibatkan dua
golongan yaitu unggas dan manusia. Upaya pencegahan dengan cara kebersihan kandang ternak
menunjukan penciptaan kondisi sehat pada unggas. Sampai saat ini penyebaran penyakit flu burung
adalah melalui unggas. Maka dengan kandang yang sehat dan terawat akan menciptakan unggas-unggas
yang sehat bukan unggas-unggas sakit yang dapat menularkan penyakit flu burung.
Program operasional dalam menggerakan kegiatan peningkatan kebersihan kandang ternak
dapat dilakukan dengan melibatkan berbagai sektor intansi mencakup: Dinas Kesehatan baik di tingkat
Propinsi, Kabupaten/Kota sampai pada Puskesmas membangun jejaring dengan Perguruan Tinggi yang
secara bersama-sama menggerakkan dan memberdayakan masyarakat.
Pendekatan penggerakan masyarakat disesuaikan dengan kultur dan sosial yang ada diwilayah.
Ini berarti pada kondisi masyarakat tertentu bisa saja membuat bentuk penyuluhan secara sederhana
bila perlu menggunakan bahasa daerah setempat. Pemaknaannya akan dirasakan lebih tinggi dengan
bahasa keseharian.
Tingkatan pencegahan pertama ini dilakukan pada kondisi sebelum terjadinya sakit dan
bertumpu kepada modifikasi lingkungan secara internal. Upaya yang dilakukan adalah mendahului
sebelum adanya rantai penularan dan penyebaran penyakit melalui media lingkungan. Teori simpul
terjadinya penyakit di lingkungan dapat diputus dan dipotong pada simpul lingkungan. Lingkungan
bersih dan sehat tidak akan menjadi tempat berkembang biaknya suatu penyakit di wilayah. Upaya
pencegahan ini memperlihatkan bahwa peran lingkungan sangat penting dalam memutus mata rantai
penyakit.
BAGIAN-5. PERAN KELEMBAGAAN DALAM PENANGANGAN PENYAKIT FLU
BURUNG PADA MANUSIA
5.1. Peran Kelembagaan dan Kronologis Penyebaran Penyakit Flu Burung
Peran kelembagaan dan kronologis penyebaran penyakit Flu burung yang terjadi di Indonesia
melibatkan lintas departemen. Isue kejadian penyakit flu burung ada di Indonesia dimulai pada tahun
2003 setelah ditemukan banyaknya unggas yang mati mendadak. Kejadian penyakit flu burung
menyebar ke sentra-sentra peternakan unggas.
Page 54
Departemen Kesehatan melalui Dirjen Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan telah
mengidentifikasi dan melakukan screening (penyaringan kasus) untuk memerikan berbagai olahan
unggas. Begitu pula Departemen Pertanian telah melakukan investigasi lapangan untuk menyelidiki
kejadian penyakit yang menyerang unggas. Walaupun hasil sementara masih menyatakan bahwa
kejadian penyakit dan kematian ayam yang mendadak karena virus teteleo.
Realita menunjukan angka kematian ayam yang mati mendadak semakin meluas. Departemen
pertanian sekitar bulan Desember 2003 mulai mencurigai bahwa adanya kematian mendadak pada
unggas disertai penyakit flu burung (virus H5N1). Akhirnya tanggal 22 Desember 2003, Departemen
Pertanian melalui Pusat Informasi Unggas mengumumkan bahwa virus H5N1 menyertai penyebab
terjadinya kematian unggas. Maka akhirnya Departemen Pertanian membuat kesiapsiagaan penanganan
penyakit flu burung pada unggas.
Penyebaran penyakit flu burung di Indonesia ternyata bukan hanya menyerang unggas saja
tetapi mempunyai kemampuan menginfeksi manusia sehingga menjadi kekhawatiran masyarakat.
Pertama kali kasus penyakit flu burung menyerang manusia terjadi bulan Juli 2005. Departemen
Kesehatan akhirnya mengumumkan bahwa penyakit flu burung merupakan Kejadian Luar Biasa (KLB)
melalui Surat Keputusan No. 1371/Menkes/Per/IX/2005 tentang Penetapan Flu burung (Avian Influenza)
sebagai penyakit yang dapat menimbulkan wabah serta pedoman penanggulangannya, dan No.
1372/Menkes/Per/IX/2005 tentang Penetapan kondisi Kejadian Luar Biasa (KLB) Flu burung (Avian
Influenza).
5.2. Peran Kelembagaan dalam Upaya Penanggulangan Penyakit Flu Burung pada Manusia
Pencegahan penyakit Flu burung melibatkan dua departemen yaitu Departemen Pertanian yang
befungsi mengendalikan unggas sebagai sumber penularan Avian Influenza (H5N1) dan Departemen
Kesehatan yang menjaga kesehatan manusia. Hasil kajian kelembagaan dalam upaya penanggulangan
penyakit Flu burung adalah sebagai berikut:
Berdasarkan tugas pokok dan fungsi organisasi Pemerintah, tiga sektor yang terkait dalam
Penanggulangan KLB Flu burung di Indonesia, yaitu sektor pertanian & peternakan, sektor kehutanan,
dan sektor kesehatan. Keberadaan unggas atau hewan penular lainnya yang merupakan bidang tugas
sektor pertanian & peternakan, dan kehutanan merupakan populasi hewan penular Avian Influenza
tetapi sekaligus merupakan faktor risiko terjadinya KLB Flu burung pada manusia yang merupakan
bidang tugas sektor kesehatan. Alur pikir kelembagaan yang terjadi harus terintegrasi, seperti terlihat
pada Gambar 5.1.
Page 55
Sehat
Area Kerja
Integrasi
Manajemen Program Pertanian/Peternakan
Host
Agent
Lingkungan
Manajemen Program Kesehatan
Unit Peternakan
Unit Kesehatan
Terintegrasi
Informasi
(waktu,
tempat, dan
orang
Surveilance Rutin
Pencegahan,
Penyelidikan, &
Penanggulangan
Sakit
Mendukung
program
peternakan
dan
kesehatan
Disepakati: Siapa
mengerjakan, Kapan,
dimana, mekanisme kerja,
instrumen, & formulir
Gambar 5.1. Alur Pikir Surveilance Avian Influenza Terintegrasi
Sektor pertanian dan peternakan mempunyai peran lebih besar pada saat Avian Influenza masih
sebatas menyerang unggas atau hewan penular lainnya, tetapi bagaimanapun juga adanya transmisi
virus AI diantara unggas atau hewan penular lain merupakan faktor risiko penting terjadinya penularan
virus AI pada manusia. Tanggung jawab kelembagaan menghadapi pandemi Flu burung terlihat pada
Gambar 5.2 dan Gambar 5.3.
Periode Waspada Pandemi
Fase 3, 4, dan 5
DEPKES
DEPTAN
Periode interpandemi
Fase 1 dan 2
Periode Pandemi
Fase 6
Gambar 5.2. Tanggung Jawab Kelembagaan Menghadapi Pandemi Flu Burung
Page 56
Tim SE AI Integrasi
Kab/Kota, Propinsi, Pusat
Informasi SE
Hewan
Pertukaran data &
Informasi Kajian
Terintegrasi
Informasi SE
Manusia
Rekomendasi
Kurang
Terkoordinasi
Respon Cepat dan
Terintegrasi Unggas &
Faktor Risiko
Gambar 5.3. Pengorganisasian Surveilance Avian Influenza Terintegrasi
Avian Influenza merupakan penyakit yang relatif masih baru, berkembangnya penyakit Flu
burung dapat menjadi masalah besar bagi masyarakat di dunia, terutama kemungkinan dapat
berkembang menjadi pandemi influenza pada manusia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis
secara kelembagaan harus terbentuknya networking informasi antar lembaga yang bertanggung jawab
sesuai tugas pokoknya antara lembaga departemen pertanian dan departemen kesehatan. Secara
hierarki networking kelembagaan surveilan Avian Influenza disajikan pada Gambar 5.4.
Page 57
Masyarakat
KCD/Poskeswan
Puskesmas
Rumah Sakit
RS Rujukan AI
Disnak
Kab/Kota
Dinkes
Kab/Kota
Labkeswan
Labkesda
Disnak
Provinsi
Dinkes
Provinsi
BBV/BPPV/Ba
litvet
Ditjen Peternakan
BTKLPPM
RSPI
Ditjen PP & PL
Balitbangkes
Gambar 5.4. Networking Kelembagaan dalam Surveilance Avian Influenza
5.3. Peran Kelembagaan dalam Penanganan Penyakit Flu Burung
Peran kelembagaan dalam penanganan penyakit Flu burung pada bagian ini di fokuskan pada
manusia (penderita). Hasil penelitian yang dilakukan berhubungan dengan kelembagaan, sebagian besar
masyarakat yang mempunyai keluhan atau gejala awal ternyata tidak melakukan pengobatan pada
pelayanan kesehatan profesional. Masyarakat mengambil keputusan sendiri dalam menghadapi keluhan
atau gejala yang sebenarnya mengarah pada suspek Flu burung. Pengambilan keputusan tersebut
didasarkan pada kebiasaan yang menganggap gejala yang dirasakan adalah sakit biasa dan lumrah.
Page 58
Peran pelayanan kesehatan terdepan dan rujukan yaitu Puskesmas dan Rumah Sakit acapkali
merupakan kontak lanjutan setelah gejala yang dirasakan dan dirawat dirumah tidak menunjukan
perbaikan. Secara jelas terdapat pada Gambar 5.5.
Populasi/Masyarakat
Sehat
Merasakan Gejala
Membeli
obat di
warung
Dirawat di rumah
Dikompres,
diberi selimut
tebal, dll
Gejala terus berlanjut
Puskesmas
Rumah Sakit
Rumah Sakit
Rujukan
Gambar 5.5. Kelembagaan Pelayanan Kesehatan Pertama Kontak Kasus Flu Burung
Pada saat penemuan kasus Flu burung di masyarakat, hasil studi dokumentasi maka petugas
kesehatan selanjutnya akan melakukan langkah-langkah seperti pada Gambar 5.6.
Page 59
Observasi kasus
suspek AI/kecurigaan
terhadap AI di
Puskesmas/Klinik
Daerah dengan
positif H5N1
unggas
Kasus suspek
AI/kecurigaan AI di
Rumah Sakit
Laboratorium
daerah/propinsi
Dinkes Propinsi Atau
Posko AI jika ada
Dinas Kab/Kota atau
Posko AI jika ada
Litbangkes Jakarta
Posko AI di Ditjen PPM
& PL Depkes RI
Gambar 5.6. Alur Pelaporan Kasus Flu Burung pada Manusia
Hasil studi dokumentasi diperoleh bahwa Pemerintah telah menetapkan 44 RS rujukan Flu burung
yang tersebar di seluruh propinsi Indonesia, juga telah menetapkan laboratorium rujukan untuk
pemeriksaan spesimen guna menegakkan diagnosis Flu burung. Selain itu Pemerintah juga telah
mengeluarkan kebijakan pembebasan biaya pasien penderita Flu burung yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 756/Menkes/SK/IX/2006 tertanggal 20 September 2006.
Pembebasan biaya berlaku bagi pasien yang dirawat di rumah sakit rujukan Flu burung dan rumah
sakit non rujukan Flu burung (pemerintah atau swasta) yang menerima pasien sebelum dirujuk ke rumah
sakit rujukan flu burung. Biaya yang ditanggung oleh pemerintah meliputi: biaya administrasi, biaya
pelayanan dan perawatan (di UGD, Ruang Isolasi, Ruang ICU, dan Jasa dokter), obat-obatan dan habis
pakai, biaya rujukan; dan pemulasaran jenazah (peti jenazah, transportasi, dan penguburan).
Mekanisme penanganan kasus Flu burung di Sarana Pelayanan Kesehatan Non Rujukan dan di
Rumah Sakit Rujukan seperti terlihat pada Gambar 5.7 dan Gambar 5.8.
Page 60
Datang
sendiri tanpa
RISTI
Datang
sendiri
dengan RISTI
Rujukan
Tempat
Pendaftaran
Pasien
Poliklinik:
Umum, Paru,
Dalam, Anak
TRIAGE IRD
SUSPEK FLU BURUNG
Ya
Tidak
Berikan
Oseltamivir
Rawat
Jalan/Inap
Kirim ke
Rumah Sakit
Rujukan FB
Gambar 5.7. Alur Pasien Suspek Flu Burung di Sarana Pelayanan Kesehatan Non Rujukan
Page 61
Datang
sendiri tanpa
RISTI
Datang
sendiri
dengan RISTI
Rujukan
Tempat
Pendaftaran
Pasien
Poliklinik:
Umum, Paru,
Dalam, Anak
TRIAGE IRD
SUSPEK FLU BURUNG
Ya
Tidak
Rawat Inap
Isolasi
Rawat
Jalan/Inap
Alur
Penatalaksan
aan Medis
Gambar 5.8 Alur Pasien Suspek Flu Burung di Rumah Sakit Rujukan
Hasil penelitian lainnya, bahwa tempat pelayanan kesehatan swasta yang berada di daerahdaerah terutama pelosok seperti di Kabupaten Garut, Kabupaten Indramayu, dan daerah lainnya secara
kelembagaan berperan andil dalam penanganan Flu burung. Hampir mencapai angka 90% penderita Flu
burung mencari perawatan dan pengobatan pada tempat pelayanan kesehatan non rujukan seperti
dokter praktek swasta, mantri kesehatan, dan klinik swasta kesehatan lainnya. Identifikasi diagnosis
dibiaskan dengan adanya musiman penyakit seperti: demam berdarah, typus abdominalis, dan influenza
biasa. Implikasinya pasien datang setelah melewati masa inkubasi yang menuju pada masa klinik yang
kritis.
Page 62
Page 63
Download