Memerangi Korupsi: Peran Sistem Keuangan Politik Sebuah

advertisement
Memerangi Korupsi:
Peran Sistem Keuangan Politik
Sebuah Presentasi pada
Majelis Umum
South East Asian Parliamentarians Against
Corruption
Andrew Ellis
Direktur untuk Asia dan Pasifik
Medan, Indonesia
24 Oktober 2013
Korupsi sering diartikan sebagai penyalahgunaan jabatan publik
untuk keuntungan pribadi. Ini mungkin sebuah definisi yang terlalu
sempit: penyalahgunaan sumber daya untuk keuntungan atau
untuk mempertahankan jabatan dapat pula dipahami sebagai
korupsi.
Korupsi menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat – baik
terhadap lembaga dan para pemimpinnya maupun antar individu
dalam masyarakat. Ia praktis merupakan sebuah pajak yang
memiliki efek paling berat terhadap mereka yang paling miskin dan
lemah. Ia dapat ditemui dimana kekuasaan dapat dipengaruhi oleh
uang. Secara global, partai politik memiliki reputasi buruk dalam
kaitannya dengan korupsi: menurut Global Corruption Barometer
tahun ini, partai politik terlihat di antara lembaga-lembaga yang
paling terjangkit oleh korupsi di 51 dari 107 negara. Persepsi
terhadap lembaga legislatif secara umum lebih baik, namun
lembaga legislatif di beberapa negara masih terlihat sangat
terjangkit oleh korupsi. Sedangkan reputasi sektor publik secara
keseluruhan di Asia Tenggara tidaklah baik: secara rata-rata,
negara-negara Asia Tenggara berada di posisi ke-104 dalam
peringkat dunia persepsi terhadap korupsi.
Para anggota legislatif memiliki peran kunci dalam pertempuran
melawan korupsi: mereka tidak hanya menetapkan aturan, namun
menempatkan masalah dalam agenda dan mempengaruhi kondisi
opini publik. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang
mereka buat membentuk insentif yang dapat mendorong atau
menghalangi korupsi. Uang dan kekuasaan selalu melibatkan
kepentingan diri sendiri yang kuat.
Jadi, tindakan apa yang dapat para anggota legislatif ambil dalam
hal keuang politik? Sementara beberapa negara memiliki aturan
konstitusional yang membuat beberapa tindakan mustahil, sebuah
pilihan tindakan dapat terdiri dari yang berikut ini:

Larangan pendapatan dan pembatasan sumbangan –
contohnya, dalam hal sumbangan perusahaan, sumbangan
luar negeri, atau sumbangan tanpa nama untuk peserta
proses politik.

Larangan pengunaan dana – contohnya terhadap pembelian
suara seperti di banyak negara, atau terhadap pembelian spot
iklan di televisi seperti di Meksiko dan Inggris Raya.

Batasan penggunaan dana, membatasi jumlah uang yang
dapat digunakan oleh partai politik dan kandidat untuk
kampanye mereka.

Keterbukaan informasi dan keharusan mempublikasikan
laporan, yang membuat detil-detil keuangan tersedia untuk
pemeriksaan dan penelitian publik.

Keharusan audit.
Dengan aturan pembatasan dan keterbukaan dalam bentuk apapun,
adalah penting untuk mempertanyakan kepada siapa aturan-aturan
tersebut berlaku. Di Australia, yang merupakan negara serikat,
partai-partai politik utama memiliki dewan pengurus di tingkat
federal dan di keenam negara bagian dan di kedua territory. Batas
sumbangan perorangan sedikit di atas US$ 10.000 – tetapi tiap
sumbangan dapat diberikan secara terpisah untuk setiap dewan
pengurus partai. Jadi, mungkin saja seseorang memberikan
sumbangan sebesar US$ 90.000 (sebuah jumlah yang sangat
besar) pada sebuah partai politik tanpa harus mendeklarasikan diri
sebagai donor.
Penting pula untuk mempertimbangkan jadwal pelaporan. Kalau
tidak ada keharusan bagi peserta pemilu untuk menyampaikan
laporan keuangan pada waktu tertentu, maka efektivitas
pengawasan akan jatuh.
Semua pengawasan dan pengaturan keuangan politik dapat
diberlakukan pada kandidat dan/atau partai politik. Seperti halnya
upaya mengendalikan penyalahgunaan, pertanyaan yang penting
untuk diutarakan dalam merancang undang-undang maupun
peraturan lainnya adalah ‘apakah yang akan dilakukan oleh para
penjahat – apapun jendernya?’ Jawabannya dalam hal ini adalah
mudah: jika anda hanya mengatur partai politik, maka uang akan
mengalir pada kandidat; jika anda hanya mengatur kandidat, maka
uang akan mengalir pada partai politik. Di Asia, 62% negara
menerapkan pembatasan terhadap kandidat dan hanya 32% yang
menerapkan kepada partai politik... tebak kemana uangnya pergi!
Walau bagaimanapun, sangatlah penting untuk memperhatikan
pengaturan terhadap bagian dari sistem dimana kekuasaan berada.
Sistem pemilu adalah faktor yang penting dalam menentukan ini.
Contohnya, Sistem Perwakilan Berimbang dengan Daftar Tertutup
adalah sebuah sistem yang menempatkan partai politik sebagai
aktor utama. Sebaliknya, dalam sistem First-past-the-post,
biasanya kandidatlah yang lebih berperan.
Sistem partai politik juga merupakan faktor penting yang terkait.
Sistem kepartaian yang lebih longgar dan fleksibel seiring dengan
metode kampanye politik yang modern dan teknologi komunikasi
mutakhir membuat identifikasi siapa sesungguhnya peserta politik
itu lebih sulit dilakukan ketimbang dalam sistem kepartaian yang
lama
dan
mapan
–
namun
sama
pentingnya.
Bentuk
akuntabilitasnya sedang mengalami perubahan: signifikansinya
tidak.
Pengunaan uang untuk mempengaruhi proses politik tentunya tidak
hanya terbatas pada partai politik dan kandidat saja. Lembaga
pihak ketiga – seperti perusahaan, serikat pekerja, lembaga
swadaya masyarakat – dapat pula menginginkan peranan dalan
proses politik. Apabila mekanisme untuk berkiprah tidak diatur,
insentif akan timbul untuk menyalurkan uang melalui mereka. Lalu,
organisasi mafia bisa saja tertarik untuk mencapai tujuannya
dengan menyuntik dana ke dalam proses politik.
Waktu dimana pengaturan berlaku juga penting: aktor politik
merespon pada insentif-insentif yang ada dalam sistem. Tigapuluh
tahun yang lalu, saya bertanggung jawab atas kampanye pemilu
sebuah partai politik di Inggris Raya. Kami harus membuka semua
penggunaan dana dalam setiap daerah pemilihan selama tahapan
pemilu berlangsung. Ini secara alami mengarah pada dua strategi.
Pertama, upayakan untuk memastikan bahwa dana digunakan oleh
pengurus partai di tingkat nasional dan tidak diperuntukkan bagi
sebuah daerah pemilihan tertentu. Kedua, pastikan bahwa
sebanyak mungkin penggunaan dana di tingkat daerah pemilihan
terjadi di luar periode pemilu: beli peralatan dan perlengkapan
sebelum tahapan pemilu dimulai, lalu sewakan pada tim kampanye
untuk beberapa minggu.
Dana publik untuk partai politik dan kampanye pemilu seringkali
dikedepankan sebagai cara untuk memastikan bahwa peserta
proses politik dapat memiliki dana cukup tanpa godaan untuk
menjual kekuasaan jabatannya. Walaupun argumen ini cukup valid,
namun tak pernah cukup untuk mengatasi korupsi. Sistem
keuangan publik dan cara mempertanggungjawabkannya dengan
sendirinya dapat menimbulkan insentif. Apakah akan mengurangi
korupsi, atau sekedar berarti barangsiapa memperoleh dana publik
memiliki uang lebih banyak dan tetap melakukan apa yang biasa
mereka lakukan?
Transparansi adalah musuh korupsi dan teman akuntabilitas. Akan
lebih sulit untuk melakukan korupsi atau menyelewengkan dana
negara kalau semuanya diketahui oleh publik. Namun, seperempat
dari semua negara yang mengatur pengeluaran dana tidak
mengharuskan publikasi oleh partai, kandidat atau rekening
kampanye, dan tidak ada keharusan bagi otoritas yang
bertanggungjawab mengawasi untuk mempublikasikan laporan
auditnya. Transparansi memberikan kesempatan untuk mengawasi
kepada para aktor politik, lembaga swadaya masyarakat dan
perorangan – membuka peluang bagi perdebatan publik walaupung
kadangkala kurang mengenakkan. Ada kesamaan kepentingan yang
alami antara para anggota legislatif dan lembaga-lembaga antikorupsi.
Namun pengawasan baru separuh dari cerita: sebanyak apapun
suara masyarakat dilontarkan, tetap saja terbatas jika peraturan
perundang-undangan pada akhirnya tidak diterapkan secara
konsekuen. Seperti dikatakan oleh Michael Pinto-Duschinsky,
seorang
akademisi
yang
selama
bertahun-tahun
meneliti
pendanaan politik: “Terlalu banyak aturan, terlalu sedikit
penegakan”.
Seperti apakah penegakan aturan yang efektif itu? Ia
membutuhkan sebuah lembaga penegakan hukum, seperti lembaga
penegakan hukum lainnya yang diharuskan menegakkan aturan:
yang independen dalam melaksanakan tugasnya, yang terbuka
dalam proses pemilihan pimpinan dan stafnya, yang memiliki
pimpinan yang tidak dapat dengan serta-merta diganti selama
masa jabatannya, tidak adanya kemungkinan campur-tangan politik
atas anggaran keuangannya, dan yang memiliki mandat yang jelas
tanpa
kewenangan
yang
bertindih
atau
kebingungan
tanggungjawab
dengan
lembaga
lainnya.
Pendeknya,
ia
membutuhkan
fearless independence, sama
seperti yang
semestinya dimiliki oleh penyelenggara pemilu. Beberapa negara
memang memberikan tanggungjawab penegakan aturan keuangan
politik pada lembaga penyelenggara pemilu, walaupun negara
lainnya menganggap penting keduanya dipangku oleh lembaga
berlainan.
Walaupun lembaga penegak aturannya merupakan lembaga yang
terpisah, lembaga penyelenggara pemilu tetap memegang peran
penting karena tugas pokoknya dalam menyelenggarakan pemilu.
Di banyak negara, pemilihan umum adalah suatu perhelatan
terbesar yang terjadi di masa damai. Ia melibatkan anggaran dana
yang besar, dan oleh karenanya merupakan suatu godaan yang
besar pula. Seperti saya pernah diberitahu oleh seorang pejabat
tinggi Kementerian Dalam Negeri sebuah negara yang sedang
memperdebatkan siapa yang semestinya menyelenggarakan
pemilu: “Saya tidak melihat adanya masalah dengan komisi pemilu
independen yang membuat aturan sendiri untuk merancang dan
menyelenggarakan pemilu. Namun, saya keberatan untuk
menyerahkan kewenangan menandatangani kontrak pembelian
tinta pada mereka”. Adalah sangat penting bagi sebuah lembaga
penyelenggara pemilu untuk memperoleh akses pada dana secara
tepat waktu sepanjang siklus tahapan pemilu agar dapat
menyelenggarakan pemilu secara baik – dan adalah sama
pentingnya
mereka
mempertanggungjawabkan
penggunaan
dananya setelah pemilu usai.
Selalu saja ada resistensi kelembagaan terhadap tindak antikorupsi: mereka yang mengambil untung dari korupsi tidak
menginginkan perubahan. Oleh karena itu, skandal-skandal korupsi
tidaklah semuanya buruk. Meminjam kata-kata Walikota Chicago,
Rahm Emmanuel: “Jangan pernah membiarkan sebuah krisis yang
baik sia-sia”. Ketika sebuah isu menimbulkan perhatian, reaksi, dan
kemarahan publik yang tinggi, kemungkinan ada kesempatan politik
bagi para anggota legislatif dan aktivis anti-korupsi untuk
memanfaatkan momentum perubahan tersebut.
Saya akan mengakhiri sebuah pesan pengharapan dan sebuah
peringatan. Pesan pengharapannya adalah bahwa sangatlah
mungkin untuk melakukan perubahan besar pada kultur politik.
Pada tahun 1881, kakek dari nenek saya, James Cobert,
memberikan kesaksian pada sebuah sidang pemeriksaan mengenai
pembelian suara saat pemilu tahun sebelumnya di sebuah kota
bernama Gloucester di Inggris. Ia bersaksi bahwa ia menerima
sepuluh shillings dari Partai Liberal dan satu pound (yang dua kali
lipat besarnya) dari Partai Konservatif, dan walau begitu tetap
memilih Partai Liberal. Dua ratus orang lainnya bersaksi bahwa
mereka menerima uang dari salah satu atau kedua partai – dan
Royal Commission on Electoral Practices berkesimpulan bahwa
setengah dari keseluruhan pemilih telah menerima suap. Saat ini,
walaupun masih saja ada tantangan dan permasalahan dalam
penyelenggaraan pemilu di Inggris Raya, pembelian suara massal
semacam itu telah hilang, dan tidak pernah tercium lagi selama
empatpuluh tahun terakhir. Hanya karena saat ini kecurangan
masih terjadi, jangan berpikir bahwa ia akan selamanya ada.
Pada saat yang sama, penting pula untuk menyerukan sebuah
peringatan. Sementara para pelaku advokasi pemilu dan politik
yang bersih terus mengalami kemajuan sepanjang kurva
pembelajaran kecurangan pemilu, mereka tidak berjuang sendirian.
Mereka yang ingin mengganggu integritas proses politik dan pemilu
tetap aktif dan inovatif, serta berusaha untuk menghalangi upaya
meningkatkan kualitas pemilu dan politik pada umumnya.
Sangatlah jelas bahwa melindungi dan membangun integritas,
inklusivitas, efektivitas, dan legitimasi bukanlah langkah menuju
akhir yang sempurna, namun lebih merupakan proses lompatan
yang terus-menerus dengan tujuan untuk senantiasa berada di
depan mereka yang tidak ingin pemilu yang berlegitimasi dan politik
yang kredibel, atau mereka yang tidak menentang itu semua.
Perang melawan korupsi tidak akan pernah dimenangi secara
mutlak.
Visi dan misi International IDEA sebagai sebuah organisasi antar
pemerintah adalah untuk mendukung perubahan demokratis yang
berkesinambungan dan didorong dari dalam negeri di seluruh dunia.
Kami dengan senang hati menyediakan bekal pengetahuan
komparatif dan mendukung para aktor demokrasi saling berbagi
pengalaman; dialog dan advokasi yang dapat membawa angin
perubahan. Perjuangan menuju transparansi dan melawan korupsi
adalah bagian penting perubahan demokratis, dan kami
memberikan hormat pada SEAPAC yang secara aktif melibatkan diri
dalam proses perubahan tersebut.
Sukses dengan upaya anda dan terima kasih.
Download