BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semua negara

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Semua negara membutuhkan investasi baik investasi dalam negeri maupun investasi luar
negeri. Menurut Blomstron dan Hettne, tanpa investasi daerah akan mengalami stagnasi
perekonomian yang berakibat pada mandegnya akselarasi kesejahteraan riil masyarakat1. Adanya
investasi dapat memberikan pendapatan yang kemudian dijadikan modal oleh negara untuk
melaksanakan kepentingannya. Modal menjadi sumber enegi untuk meningkatkan kekayaan
suatu negara dan mensejahterakan rakyat2. Menurut kamus istilah keuangan dan investasi,
pengertian investasi adalah penggunaan modal untuk menciptakan uang, baik melalui sarana
yang menghasilkan pendapatan maupun melalui ventura yang lebih berorientasi ke resiko yang
dirancang untuk mendapatkan modal3. Investasi, khususnya investasi asing sampai hari ini
merupakan faktor penting untuk menggerakkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi4.
Harapan masuknya investasi asing dalam kenyataannya sudah mulai terlihat stabil. Hal ini dapat
dibuktikan dengan banyaknya perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Secara
umum bentuk investasi yang ada di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 yaitu investasi langsung
(direct investment) dan investasi tidak langung (indirect investment5). Investasi langsung adalah
suatu bentuk investasi yang dilakukan oleh investor yang secara langsung investor terlibat dalam
1
Indra Ismawan, 2002, Otonomi Ranjau-Ranjau, Pondok Edukasi, Solo, hal. 122
2
Lusiana, 2012, Usaha Penanaman Modal Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 10
3
Hendrik Budi Untung, 2010, Hukum Investasi, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 1
4
Syprianus Aristeus, 2007, Penelitian Hukum Tentang Peranan Hukum Investasi Di Indonesia Dalam Era
Globalisasi, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, hal. 129
5
Ibid, hal. 12
kegiatan usaha ditempat usahanya didirikan. Di Indonesia banyak investasi langsung baik oleh
investor dalam negeri maupun investor luar negeri. Salah satu contoh investasi langsung oleh
investor asing adalah PT Freeport Indonesia.
Bentuk investasi lain yang ada di Indonesia adalah investasi tidak langsung. Investasi
tidak langsung adalah suatu bentuk investasi yang dilakukan oleh investor dengan tanpa
mendirikan suatu badan usaha dan kegiatan usahanya hanya melalui pasar modal baik dengan
membeli saham-saham, obligasi maupun surat berharga. Jika dilihat dari pengertiannya maka
terlihat jelas perbedaan antara investasi langsung dan investasi tidak langsung. Secara sederhana
keuntungan dari investasi tidak langsung (indirect investment) adalah sebagai berikut :
a) Lebih efisien karena investor tidak perlu membangun badan usaha dan investor
dapat melakukan kegiatan usaha kapanpun dan dimanapun,
b) Waktu yang dibutuhkan untuk meraup keuntungan relatif cepat,
c) Tidak terkendala oleh proses perizinan dan tarif pajak yang tinggi,
Pengertian investasi yang secara yuridis dikenal dengan istilah penanaman modal
kemudian dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal (selanjutnya disebut UU Penanaman Modal) yaitu :
“Segala bentuk kegiatan penanaman modal, baik oleh penanaman modal dalam negeri
maupun penanaman modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik
Indonesia”.
Sebelum disahkannya UU Penanaman Modal, investasi yang beredar di Indonesia
dibedakan menjadi 2 yaitu penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing. Hal ini
mengalami pro dan kontra khususnya terkait melemahnya aliran investasi asing ke Indonesia
sebagai akibat dari pembedaan tersebut6. Seiring berkembangnya zaman, teknologi semakin
membantu manusia termasuk dalam hal investasi. Investasi yang dulunya terhambat oleh
infrastruktur kini telah dipermudah dengan dibukanya jalur investasi tidak langsung (indirect
investment)7. Investasi tidak langsung ini dapat dilakukan yaitu melalui pasar modal. Investasi di
pasar modal sangatlah berbeda dengan investasi langsung karena investasi di pasar modal
investor tidak perlu mengururs ijin-ijin, pajak, tidak perlu menggaji karyawan dan lain
sebagainya.
Banyak pihak yang terlibat dalam pasar modal akan tetapi pihak yang memiliki peran
terpenting di pasar modal adalah sebagai berikut:
1. Emiten, adalah perusahaan-perusahaan yang akan melakukan penjualan surat-surat
berharga atau melakukan emisi di bursa saham. Dalam melakukan emisi, para emiten
memilik berbagai tujuan dan hal ini biasanya sudah tertuang dalam rapat umum
pemengang saham (RUPS),
2. Perusahaan efek, adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin
emisi efek, perantara pedagang efek dan atau manager investasi.
3. Lembaga penunjang, fungsi lembaga penunjang ini antara lain turut serta mendukung
beroprasinya pasar modal, sehingga mempermudah baik emiten maupun investor dalam
melakukan berbagai kegiatan dengan pasar modal.
Lembaga penunjang yang memiliki peranan penting di dalam mekanisme pasar modal
adalah sebagai berikut:
6
7
Aminuddin Ilmar, 2004, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Kencana, Jakarta, hal. 49
An An Candrawulan, 2011, Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum Perdagangan
Internasional dan Hukum Penanaman Modal, Alumni, Bandung, hal. 42
a) Kustodian, adalah pihak yang menyediakan jasa penitipan efek, jasa penerimaan
dividen, mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
b) Biro administrasi efek adalah, pihak yang berdasarkan kontrak melakukan pencatatan
pemilikan efek dan pembagian hak yang berkaitan dengan efek.
c) Wali amanat, adalah pihak yang mewakili kepentingan pemegang efek yang bersifat
utang.8
Pasar modal dibedakan menjadi 2 yaitu pasar perdana dan pasar sekunder :
1. Pasar perdana (primary market )
Pasar perdana adalah penawaran saham pertama kali yang dilakukan oleh emiten kepada
para pemodal. Harga saham di pasar perdana ditentukan oleh penjamin emisi
(underwriter)
dan
emiten
berdasarkan
analisis
fundamental
perusahaan
yang
bersangkutan.
2. Pasar sekunder (secondary market)
Pasar sekunder adalah tempat terjadinya transaksi jual-beli saham diantara pemodal.
Harga saham pasar sekunder berfluktuasi sesuai dengan ekspektasi pasar, pihak yang
melakukan transaksi adalah pialang, adanya beban komisi untuk penjualan dan
pembelian, pemesanannya dilakukan melalui anggota bursa, jangka waktunya tidak
terbatas9.
8
Munir Fuady, 2001, Pasar Modal Modern (Tinjauan Hukum), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 38.
9
Ibid.
Setiap orang yang ingin melakukan investasi dengan memasuki pasar modal dan menjual
saham-saham maupun surat berharga lainnya melalui pasar modal haruslah terlebih dahulu
membentuk badan hukum. Badan hukum pada umumnya dianggap dapat bertindak dalam hukum
dan mempunyai hak dan kewajiban serta kepentingan-kepentingan hukum terhadap orang lain
atau terhadap badan hukum. Satu-satunya badan hukum yang dapat beroperasi di pasar modal
adalah Perseroan Terbatas (PT). Pengertian perusahaan dulunya dirumuskan dalam pasal 1 huruf
b Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan :
“Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang
bersifat tetap dan terus menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan di dalam
Wilayah Negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba.”
Pengertian Perseroan Terbatas kemudian dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 (selanjutnya disebut UUPT), yang mengatur bahwa :
“Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi
dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta
peraturan pelaksanaannya”.
Dari pengertiannya dapat dilihat PT adalah badan hukum yang menurut undang-undang
dapat menjadi subjek hukum. maka dari itu PT dapat melakukan segala tindakan/perbuatan
hukum yang dilakukan oleh subjek hukum sebagaimana mestinya. Pengertian PT menurut UUPT
memberikan makna bahwa untuk dapat disebut sebagai PT menurut UUPT harus memenuhi
unsur-unsur :
a) Berbentuk badan hukum, yg merupakan persekutuan modal;
b) Didirikan berdasarkan perjanjian;
c) Melakukan kegiatan usaha;
d) Modalnya terbagi atas saham-saham;
e) Memenuhi
persyaratan
yang
ditetapkan
dalam
UUPT
serta
peraturan
persyaratan materiil pendirian perseroan terbatas
Perseroan didirikan oleh 2 orang atau lebih dengan persekutuan modal yang dibagikan
dalam bentuk saham. Keseluruhan modal dalam pendirian perseroan disebut dengan modal
dasar. Selain modal dasar, dalam perseroan terbatas juga terdapat modal yang ditempatkan, dan
modal yang disetorkan. Tidak semua modal yang terkumpul tersebut dimasukkan ke perusahaan
karena biasanya modal tersebut disimpan dan hanya digunakan ketika perusahaan membutuhkan
bantuan dana. Modal yang disetor merupakan modal yang dimasukkan dalam perusahaan. Modal
yang disetor inilah yang kemudian dihitung berdasarkan satuan tertentu sehingga akhirnya modal
tersebut terbagi dalam bentuk saham yang dimiliki oleh para pemegang saham. Biasanya satu
saham memiliki nilainya tersendiri yang dibandingkan nilainya dengan uang yang disetorkan
oleh para pemegang saham. Berapa jumlahnya itulah kepemilikan saham yang dimiliki oleh para
pemegang saham.
Dalam perseroan terbatas selain kekayaan perusahaan dan kekayaan pemilik modal
terpisah juga ada pemisahan antara pemilik perusahaan dan pengelola perusahaan. Pengelolaan
perusahaan dapat diserahkan kepada tenaga-tenaga ahli dalam bidangnya (profesional). Struktur
organisasi perseroan terbatas terdiri dari pemegang saham, direksi, dan komisaris. Dalam PT,
para pemegang saham melimpahkan wewenangnya kepada direksi untuk menjalankan dan
mengembangkan perusahaan sesuai dengan tujuan dan bidang usaha perusahaan sebagai mana
tertuang dalam anggaran dasar perseroan. Dalam kaitan dengan tugas tersebut, direksi
berwenang untuk mewakili perusahaan, mengadakan perjanjian dan kontrak, dan sebagainya.
Apabila terjadi kerugian yang amat besar (diatas 50 %) maka direksi harus melaporkannya ke
para pemegang saham dan pihak ketiga, untuk kemudian dirapatkan.
Komisaris memiliki fungsi sebagai pengawas kinerja jajaran direksi perusahaan.
Komisaris bisa memeriksa pembukuan, menegur direksi, memberi petunjuk, bahkan bila perlu
memberhentikan direksi dengan menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (selanjutnya
disebut RUPS). Dalam RUPS, semua pemegang saham sebesar/sekecil apapun sahamnya
memiliki hak untuk mengeluarkan suaranya. Dalam RUPS sendiri dibahas masalah-masalah
yang berkaitan dengan evaluasi kinerja dan kebijakan perusahaan yang harus dilaksanakan.
Isi RUPS biasanya terdiri dari :
1) Laporan keuangan,
2) Laporan mengenai kegiatan perseroan,
3) Laporan pelaksanaan tanggungjawab sosial dan lingkungan,
4) Rincian permasalahan yang mempengaruhi kegiatan usaha perseroan,
5) Laporan mengenai tugas pengawasan yang dilakukan oleh komisaris,
6) Nama-nama anggota direksi dan anggota dewan komisaris,
7) Mengumumkan pembagian gaji, tunjangan dan laba (dividen) bagi organ PT10
10
Sujud Margono, 2008, Hukum Perusahaan Indonesia, Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, hal. 61-62
Dalam perkembangannya perseroan terbatas melakukan kegiatan usaha terkadang
memerlukan modal yang lebih besar. Penambahan modal bisa terjadi karena semakin besarnya
daya konsumsi terhadap produk dari perseroan tersebut sehingga dibutuhkan biaya produksi
yang lebih banyak untuk mencukupi kebutuhan masyarakat. Penambahan modal perseroan
biasanya akan dibicarakan pada RUPS, atau jika bersifat mendesak bisa dilaksanakan Rapat
Umum Pemegang Saham Luar Biasa (selanjutnya disebut RUPS LB). Setelah disepakati organ
perseroan maka penambahan/peningkatan modal bisa dilaksanakan tentunya dengan melakukan
perubahan anggaran dasar yang disertai dengan penambahan modal langsung dari para
pemegang saham. Setelah dilakukan proses tersebut anggaran dasar perseroan yang baru harus
memperoleh kembali persetujuan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Penambahan modal semacam ini dapat dilakukan sepanjang para pemegang saham mampu untuk
melakukannya. Seiring dengan kemajuan suatu perseroan maka semakin besar modal yang
dibutuhkan namun tidak serta merta pada kemampuan pemegang saham untuk melakukan
penambahan modal, oleh karena itulah pemerintah memfasilitasi hal tersebut. Pemerintah
memberikan kesempatan bagi perseroan yang membutuhkan lebih banyak modal untuk menjual
sahamnya kepada publik. Dalam konteks perusahaan hal ini disebut go public.
Seperti yang telah diketahui, di Indonesia dikenal ada dua jenis perseroan terbatas yaitu
PT. Tertutup dan PT. Terbuka. Perseroan Tertutup adalah perseroan terbatas yang saham-saham
yang secara langsung ditempatkan dalam perseroan tersebut dan kepemilikannya jelas tertuang
dalam anggaran dasar serta tidak diperjualbelikan kepada pihak umum. Perseroan Terbuka
adalah perseroan yang nilai sahamnya bersifat fluktuatif dan dapat diperjualbelikan kepada pihak
umum. PT. Terbuka inilah yang memasarkan saham-sahamnya di pasar modal tentunya setelah
melalui proses go pubic. Pengaturan mengenai mekanisme pasar modal diatur dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal (selanjutnya disebut UUPM). Berkaitan
dengan itu perseroan tetaplah harus menjalani proses sebagaimana ditentukan UUPT seperti
halnya RUPS meskipun kepemilikan saham tersebar di seluruh daerah maupun luar negeri.
Dalam kaitannya dengan go public, setiap organ perseroan berhak memberikan pendapat
dalam RUPS maupun RUPS LB, namun seringkali pendapat tersebut tidak diperhatikan karena
yang dilakukan untuk memperoleh keputusan adalah dengan jalan voting (pengambilan
keputusan berdasarkan suara terbanyak). Bagi pemegang saham mayoritas ini tentu hal yang
menguntungkan karena keputusan yang dikehendaki akan selalu terpenuhi, sedangkan untuk
pemegang saham minoritas akan selalu menuruti kehendak pemegang saham mayoritas. Dalam
setiap pengambilan keputusan, pasti ada konsekuensi yang diterima. Di saat konsekuensinya
berdampak positif, maka hal ini tidak menimbulkan permasalahan, akan tetapi jika konsekuensi
tersebut berdampak negatif bagi perseroan maka pemegang saham minoritas akan mengalami
kerugian padahal dalam kenyataannya sesungguhnya pemegang saham minoritas tidak
menghendaki keputusan yang akhirnya merugikan perseroan tersebut. Di dalam UUPM yang
seharusnya menjadi dasar hukum utama (lex spesialis) dari perseroan go public pada
kenyataannya tidak mengatur satupun tentang mekanisme perlindungan hukum terhadap
pemegang saham minoritas. Dengan tidak diaturnya perlindungan hukum terhadap pemegang
saham minoritas dalam perseroan go public dalam UUPM maka yang menjadi acuan adalah
dasar hukum yang bersifat umum yaitu UUPT. Dalam UUPT, dijelaskan untuk mempertahankan
hak-haknya, pemegang saham minoritas dapat melakukan gugatan derivatif (derivative action).
Gugatan derivatif dapat diajukan di pengadilan negeri tempat kedudukan perseroan
tersebut setelah syarat-syarat terpenuhi. Berkaitan dengan perseroan go public, maka pemegang
saham minoritas kesulitan dalam mengajukan gugatan derivatif mengingat bahwa perseroan perseroan go public dihuni oleh pemegang saham yang belum tentu berkedudukan ditempat yang
sama dengan perseroan tersebut. Hal ini menimbulkan kerugian pula bagi pemegang saham
minoritas karena pengajuannya hanya pada pengadilan negeri dimana tempat kedudukan
perseroan tersebut. Sejauh ini undang – undang pun belum mengakomodir pengajuan gugatan
derivatif yang dapat dilakukan oleh pemegang saham minoritas dalam perseroan go public.
Selain itu sekalipun gugatan derivatif itu dilakukan oleh para pemegang saham minoritas, potensi
kerugian bagi para pemegang saham minoritas tetap tidak dapat dihindari karena proses
pengajuan gugatan derivatif tergolong panjang dan membutuhkan banyak biaya.
Pengajuan gugatan derivatif haruslah dilakukan secara bersama-sama oleh para
pemegang saham sehingga para pemegang saham yang notabene terdiri dari pihak-pihak yang
berkedudukan di daerah yang berbeda-beda harus berkumpul terlebih dahulu, kemudian secara
bersama-sama membuat gugatan kemudian mengajukannya di pengadilan negeri tempat
kedudukan perusahaan terkait dan tentunya hal ini tentu saja hal ini membutuhkan banyak biaya.
Berbagai kelemahan gugatan derivatif tersebut menghadirkan keraguan akan aspek kemanfaatan
dari sebuah produk hukum tersebut terhadap pemegang saham minoritas. Jika dikaji lebih dalam
sesungguhnya gugatan derivatif tersebut merupakan solusi yang bersifat represif artinya hanya
bisa digunakan ketika telah terjadi suatu permasalahan. Mengacu pada hasil Komnas Good
Corporate Governance (GCG) yang tertuang dalam Ref. tanggal 31 Maret 2001, secara umum
pemegang saham memiliki hak-hak sebagai berikut :
a) Hak untuk menghadiri dan memberikan suara dalam RUPS
b) Hak untuk memperoleh informasi yang material mengenai perseroan secara tepat
waktu dan teratur agar memungkinkan pemegang saham dapat mengambil
keputusan penanaman modalnya berdasarkan informasi yang dimilikinya.
c) Hak untuk menerima sebagian keuntungan perseroan sebanding dengan jumlah
saham yang dimilikinya.
d) Hak pemegang saham untuk mendapatkan indormasi yang lengkap dan akurat
dalam rangka penyelenggaraan RUPS.
e) Hak pemegang saham untuk mendapatkan perlakuan setara berdasarkan
klasifikasi bahwa setiap pemegang saham mempunyai kedudukan yang sama.
Di Indonesia, kegiatan pasar modal diawasi oleh lembaga yang dulunya disebut dengan
Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), namun menurut kebijakan pemerintah BAPEPAM
diganti sehingga saat ini yang berwenang mengawasi pasar modal adalah Otoritas Jasa Keuangan
(OJK). Lembaga tersebut berwenang untuk mengawasi dan melakukan tindakan hukum untuk
menjaga stabilitas kegiatan pasar modal termasuk membuat peraturan terkait mekanisme tertentu
di pasar modal. Dalam kaitannya dengan pemegang saham minoritas, BAPEPAM maupun OJK
telah mengeluarkan regulasi yang bermaksud melindungi pemegang saham minoritas. Beberapa
regulasi tersebut adalah sebagai berikut :
a) Peraturan BAPEPAM Nomor IX.E.1 Tentang Benturan Kepentingan (Conflict Of
Interest) yang kemudian diganti dengan Lampiran Keputusan BAPEPAM LK
Nomor Kep-412/BL/2009 Tentang Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan
Transaksi Tertentu. Secara umum regulasi ini memberikan perlindungan terhadap
pemegang saham minoritas ketika terjadi transaksi benturan kepentingan yang
dilakukan oleh direksi yang mengakibatkan kerugian bagi perseroan. Peraturan
tersebut ditujukan untuk meminimalisir kemungkinan dirugikannya perseroan
oleh direksi sehingga kepentingan dan hak pemegang saham minoritas
terlindungi.
b) Peraturan BAPEPAM LK Nomor Kep-431/BL/2012 Tentang Penyampaian
Laporan Tahunan Emiten Atau Perusahaan Publik. Peraturan ini ditujukan untuk
menghadirkan keterbukaan informasi dalam pengelolaan perseroan khususnya
pemegang saham pengendali karena pemegang saham pengendali memiliki andil
besar dalam pengelolaan perseroan sehingga diperlukan keterbukaan agar tidak
terjadi hal yang tidak diinginkan seperti transaksi afiliasi, perdagangan orang
dalam (insider trading) dan lain sebagainya.
c) Peraturan OJK Nomor 32/POJK.04/2014 Tentang Rencana dan Penyelenggaraan
RUPS Perusahaan Terbuka. Dalam pasal 25 ayat (1) dinyatakan bahwa keputusan
RUPS diambil berdasarkan musyawarah mufakat. Selanjutnya dalam ayat (2)
pasal yang sama menyatakan keputusan RUPS diambil dengan pemungutan suara
apabila musyawarah gagal.
d) Peraturan OJK Nomor 31/POJK.04/2015 Tentang Keterbukaan Atas Informasi
Atau Fakta Material Oleh Emiten Atau Perusahaan Publik. Peraturan ini memiliki
tujuan untuk menghadirkan keterbukaan informasi sehingga para pemegang
saham dapat mengetahui pengelolaan perseroan secara transaparan.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas dapat dilihat sesungguhnya sedikit demi sedikit
pemerintah mulai mampu mewujudkan prinsip GCG khususnya dalam aspek keterbukaan
(transparency) dan pertanggungjawaban (responsibility), akan tetapi ketentuan tersebut belum
cukup mampu melindungi pemegang saham minoritas. Sebagaimana yang telah dipaparkan
diatas bahwa keputusan RUPS diambil berdasarkan pemungutan suara apabila musyawarah
mufakat gagal. Hal ini menimbulkan celah permasalahan karena bagi pemegang saham
mayoritas yang berkepentingan, akan sangat mudah menekan pemegang saham minoritas untuk
melakukan pemungutan suara dalam RUPS sehingga kepentingannya akan selalu terpenuhi.
Mekanismenya adalah pemegang saham mayoritas dengan caranya tersendiri menggagalkan
musyawarah mufakat sehingga selanjutnya pengambilan keputusan adalah dilakukan dengan
pemungutan suara. Dengan demikian kehendak pemegang saham mayoritas akan selalu
terpenuhi sementara pemegang saham minoritas hanya mengikuti kehendak pemegang saham
mayoritas. Demikian pula dalam penggunaan hak pre-emptive pemegang saham minoritas yang
diatur pada pasal 43 UUPT sesungguhnya bertentangan dengan ketentuan pasal 87 ayat (2)
UUPT tersebut. Sekiranya pemerintah Indonesia menyediakan atau memberikan perlindungan
secara preventif bagi para pemegang saham minoritas untuk menjamin hak-haknya.
Setelah melakukan kajian mendalam terhadap UUPM, ternyata tidak ada pengaturan
mengenai perlindungan hukum yang dapat menegaskan kedudukan pemegang saham minoritas
dalam perseroan go public. Dalam UUPT pun hanya memberikan perlindungan hukum yang
bersifat represif dan terkesan “terlambat” karena pada titik itu pemegang saham minoritas telah
mengalami kerugian yang besar. Dalam perspektif lainnya, pemegang saham minoritas
sesungguhnya memiliki peran penting dalam suatu perseroan. Tanpa memandang jumlah saham
yang dimilikinya pemegang saham minoritas tetaplah bagian dari perseroan yang turut berjasa
hingga perseroan tersebut berkembang.
Dapat dilihat bahwa pemegang saham minoritas memiliki kedudukan yang sangat lemah
dalam perseroan khususnya perseroan go public. Berdasarkan kajian tersebut maka dapat
ditentukan bahwa permasalahan tersebut berawal dari sebuah kekosongan hukum (vacoom norm)
dan konflik norma (conflict of norm) yang seharusnya segera diselesaikan. Permasalahan inilah
yang menjadi dasar pemikiran untuk dilakukannya penelitian yang berjudul “Kedudukan
Hukum Pemegang Saham Minoritas Dalam Perseroan Go Public”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas maka diambil beberapa
permasalahan antara lain :
1.2.1 Bagaimana pengaturan hak-hak pemegang saham minoritas dalam perseroan go public ?
1.2.2 Bagaimana kedudukan hukum pemegang saham minoritas dalam perseroan go public?
1.3 Orisinalitas Penelitian
Permasalahan yang terjadi terkait pemegang saham minoritas merupakan suatu bentuk
nyata suatu peraturan haruslah bersifat dinamis. Dinamis dalam artian mampu berkembang
mengikuti perkembangan kehidupan masyarakat. Berbagai masalah lain akan timbul apabila
masalah seperti yang diuraikan diatas tidak segera diselesaikan. Untuk membuktikan bahwa
tulisan ini original atau asli maka dibawah ini disajikan maupun dipaparkan secara singkat
beberapa karya tulis yang ada kaitannya dengan perseroan terbatas.
1. Tesis dengan judul “Perlindungan Hukum Kepada Pemegang Saham Minoritas Dalam
Perusahaan Joint Venture Di Indonesia” oleh Albertus Banunaek, Universitas Indonesia
Jakarta, tahun 2012, menggunakan metode penelitian hukum normative dengan rumusan
masalah sebagai berikut :
I.
Bagaimanakah kedudukan pemegang saham minoritas pada Perseroan Terbatas
yang melakukan Joint Venture?
II.
Bagaimanakah perlindungan hukum menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas
Nomor 40 Tahun 2007, terhadap pemegang saham minoritas pada perseroan
terbatas yang melakukan joint venture?
III.
Bagaimana perlindungan yang diberikan terhadap keseimbangan kepentingan
antara investor asing dan kepentingan nasional?
Kesimpulan dari tesis tersebut adalah :
I.
UU Nomor 25 Tahun 2007 Penanaman Modal memiliki arti strategis dalam
proses investasi di Indonesia namun UU tersebut hanya mengatur hal-hal prinsip
dan pokok sehingga masih menyimpan sejumlah pasal yang isinya harus
disesuaikan dan disinkronisasikan dengan sejumlah undang-undang lain. Dalam
pelaksanaannya pemerintah harus merespon perkembangan bisnisyang terjadi,
akibat tidak ada batas antar negara dalam perkembangan bisnis yhang
mengglobal.
II.
Peran pengusaha nasional atau penanam modal dalam negeri yang umumnya
merupakan pemegang saham minoritas, dalam sebuah perusahaan joint venture
antara Perusahaan Modal Asing (PMA) dan Perusahaan Modal Dalam Negeri
(PMDN) dapat dilindungi dengan hak-hak yang diberikan oleh Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas yaitu berdasarkan pasal 114
ayat (6) UUPT, pasal 61 ayat (1) dan (2), pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
III.
Suatu Perseroan Terbatas (PT) termasuk PT Joint Venture antara PMA dengan
PMDN pada dasarnya didirikan dan dijalankan berdasarkan anggaran dasar yang
dibuat diantara para pemegang saham yang sepakat untuk mendirikan PT tersebut.
Dengan demikian, segal hak dan kewajiban antar para pemegang saham yang ada
didalamnya harus dituangkan sejelas mungkin di dalam anggaran dasar (AD) PT
tersebut. Anggaran Dasar inilah yang dapat dikatakan sebagai “Perjanjian”
diantara mereka.
2. Tesis dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Investor Publik Dalam Penghapusan
Pencatatan (Delisting) Saham Pada Kegiatan Pasar Modal Indonesia” oleh Mukhti,
Universitas Sumatera Utara, tahun 2008, menggunakan metode penelitian hukum normatif,
dengan rumusan masalah sebagai berikut :
I.
Bagaimana aspek hukum dalam pelaksanaan penghapusan pencatatan (delisting)
pada kegiatan pasar modal Indonesia?
II.
Bagaimana mekanisme perlindungan hukum yang dilakukan oleh Bapepam bagi
investor publik dalam proses penghapusan pencatatan (delisting) saham pada
kegiatan pasar modal Indonesia?
III.
Apakah ketentuan di bidang pasar modal yang ada telah memberikan
perlindungan hukum bagi investor publik manakala terjadi penghapusan
pencatatan (delisting) saham pada kegiatan pasar modal Indonesia?
Kesimpulan dari tesis tersebut adalah :
I.
Langkah-langkah yang dilakukan untuk melaksanakan proses go private suatu
perusahaan publik adalah :
a. Delisting
b. Persetujuan Bapepam untuk go private. Kedua tahapan tersebut tentunya harus
disetujui oleh pemegang saham independen di dalam RUPS. Langkah pertama
adalah delisting saham dan bursa efek dimana perusahaan publik tersebut tercatat.
Dengan dilakukannya delisting, maka saham-saham perseroan tersebut sudah
tidak dapat diperdagangkan lagi di bursa efek. Selanjutnya melalui persetujuan
BAPEPAM, pemegang saham mayoritas harus membeli kembali saham-saham
yang dimiliki oleh publik dengan harga yang wajar. Bagi perusahaan yang akan
melakukan voluntary delisting atau go private diwajibkan oleh BAPEPAM untuk
melakukan Rapat Umum Pemegang Saham Independen, dimana hal tersebut
wajib dilakukan guna melindungi kepentingan pemegang saham publik atau
minoritas.
II.
BAPEPAM menetapkan kriteria penentuan harga saham untuk memberikan
perlindungan mengenai kewajaran harga saham. Faktor lain selain kewajaran
harga saham adalah harga yang menarik minat pemegang saham publik untuk
melepaskan atau menjual sahamnya dalam penawaran tender. Perlindungan
hukum yang dilakukan oleh BAPEPAM kepada pemegang saham publik yang
tidak setuju dengan rencana emiten atau perusahaan publik yang melakukan go
private atau tidak mau menjual sahamnya kepada pihak yang melakukan
penawaran tender, adalah saham publik tersebut wajib dibeli oleh perseroan
dengan harga sebagaimana ditetapkan dalam penawaran tender yang telah
dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 55 ayat (1) huruf a UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal dan telah diubah menjadi
pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas.
III.
Kendala-kendala yang dihadapi dalam rangka pelindungan investor tersebut
antara lain pengawasan terhadap kepatuhan perseroan setelah go private apakah
perseroan tersebut tetap akan mematuhi surat Ketua Bapepam tersebut berkaitan
dengan kewajaran harga saham bagi pemegang saham publik yang pada saat
penawaran tender tidak mau menjual sahamnya yaitu karena dia memberikan
suara tidak setuju pada saat RUPS Independen. Ketentuan di bidang pasar modal
yang ada telah cukup memadai memberikan perlindungan hukum bagi investor
publik, antara lain dengan memperbesar korum kehadiran pemegang saham
independen dianggap lebih memberikan perlindungan kepada pemegang saham
independen itu sendiri. Kedua karya ilmiah yang diuraikan diatas sudah tentu
berbeda penulisannya dengan tesis ini dimana dalam penelitian ini menekankan
pada kajian mengenai kedudukan hukum pemegang saham minoritas dalam
proses perseroan go public.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini agar memiliki suatu maksud yang jelas, dan mencapai
target yang diinginkan maka tujuannya dapat digolongkan menjadi dua yaitu :
1.4.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian atas suatu permasalahan di atas dalam kerangka pengembangan
ilmu hukum sehubungan dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai suatu proses),
dimana dengan paradigma ini artinya ilmu tidak akan pernah berhenti (final) dalam
penggaliannya atas kebenaran di bidang obyeknya masing-masing. Oleh karena itu secara umum
penelitian ini bertujuan untuk :
a. Mengembangkan aspek pembahasan ilmu hukum terutama hukum perusahaan,
dan hukum pasar modal;
1.4.2 Tujuan Khusus
Dalam penelitian ini, selain untuk mencapai tujuan umum sebagaimana yang telah
diuraikan tersebut di atas juga terdapat tujuan khusus. Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai
sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a) Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis hak-hak pemegang saham minoritas
dalam perseroan go public;
b) Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis bagaimana kedudukan hukum
pemegang saham minoritas dalam perseroan go public;
1.5 Manfaat Penelitian
Suatu penelitian yang dilakukan diharapkan memberikan suatu manfaat, baik manfaat
teoritis maupun secara praktis untuk membantu pengembangan suatu ilmu pengetahuan.
1.5.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai
berikut :
a) Untuk memberikan sumbangan pemikiran-pemikiran maupun pendapat-pendapat
khususnya dalam penemuan asas-asas, konsep-konsep, dan teori-teori yang
berhubungan dengan permasalahan ini.
b) Untuk menambah ruang lingkup ilmu pengetahuan hukum secara umumnya, dan
secara khususnya hukum perusahaan mengenai aspek-aspek terkait perseroan
yang selama ini telah banyak mengalami perkembangan.
1.5.2 Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut
:
a) Memberikan informasi dan konstribusi yang dapat dijadikan masukan bagi
pemerintah dalam rangka melaksanakan amanat Undang – Undang Nomor 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas serta Undang – Undang Nomor 8 Tahun
1995 Tentang Pasar Modal terutama untuk menegaskan kedudukan hukum
pemegang saham minoritas dalam suatu perseroan khususnya perseroan go public.
b) Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi terhadap perusahaan –
perusahaan dan masyarakat serta notaris (dalam hal ini notaris pasar modal)
sebagai sumbangan pemikiran atau lebih baik lagi sebagai pemecahan suatu
masalah hukum bagi masyarakat khususnya mengenai kedudukan hukum
pemegang saham minoritas dalam perseroan go public.
1.6 Landasan Teoritis/Kerangka Pemikiran
1.6.1 Landasan Teoritis
Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua atau lebih atau pengaturan
fakta dengan cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada
umumnya dapat diuji secara empiris11. Menurut pendapat Maria S.W. Sumardjono, teori adalah :
seperangkat preposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefenisikan dan
saling berhubungan antar variable sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena
yang digambarkan oleh suatu variable lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar
variable tersebut12.
Selanjutnya menurut pendapat Snellbecker teori adalah sebagai perangkat proposisi yang
terintegrasi secara simbolis dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan
fenomena yang diamati13. Kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada
metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori. Kerangka teori
merupakan dasar fundamental dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau
memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah
kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau
tidak disetujui, oleh karena itu dalam suatu penelitian semakin banyak teori-teori, konsep –
konsep dan asas - asas
yang berhasil diidentifikasi dan dikemukakan untuk mendukung
penelitian yang sedang dilakukan maka semakin tinggi pula derajat kebenaran yang bisa dicapai.
11
Burhan Ashofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 19
12
Netti, 2011, “Analisis Yuridis Pernikahan Sirri Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam”, Tesis Universitas Sumatera Utara, Medan, hal. 11, mengutip dari Maria
S. W. Sumardjono, 1989, Pedoman Pembuatan Usulan Peneltian, PT. Gramedia, Yogyakarta, hal. 19,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33701/5/Chapter% 20I.pdf, diakses pada tanggal 16 Februari 2016
13
Mohammad Birowo Karnan, 2012, “Peranan Notaris Dalam Persekongkolan Tender Barang/Jasa Pemerintah
Terkait Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat”, Tesis Universitas Sumatera Utara, Medan, hal. 14, mengutip dari Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, 2002,
Metodologi
Penelitian
Kualitatif,
Remaja
Rosdakarya,
Bandung,
hal.
34-35,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32619/4/Chapter% 20I.pdf, diakses pada tanggal 30 November 2015
Setiap penelitian selalu harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena
itu ada hubungan timbal balik yang sangat erat antara teori dengan kegiatan pengolahan data,
analisa serta konstruksi data. Dalam menganalisa bahan hukum dalam penelitian ini akan
digunakan teori perlindungan hukum, teori keadilan, dan teori kepastian hukum.
1.6.1.1 Teori Perlindungan Hukum
Awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum
alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan
Zeno (pendiri aliran Stoic)14. Menurut Fitzgerald, dia menjelaskan teori pelindungn hukum
Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai
kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan
terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai
kepentingan di lain pihak15. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan
manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia
yang perlu diatur dan dilindungi16. Secara gramatikal perlindungan artinya sesuatu yang dapat
melindungi sesuatu lainnya. Menurut Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, rumusan pengertian
teori perlindungan hukum adalah teori yang mengkaji dan menganalisis tentang wujud atau
bentuk atau tujuan perlindungan, subjek hukum yang dilindungi serta objek perlindungan yang
diberikan oleh hukum kepada subjeknya17.
14
Larisa Muchdani Batubara, 2012, “Perlindungan Hukum Terhadap Lembaga Perbankan Untuk Menjadi
Kreditur Dalam Menerima Hak Jaminan Resi Gudang” Tesis Universitas Sumatera Utara, hal. 12,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34365/4/Chapter%25201.pdf, diakses pada tanggal 30 November
2015
15
Satijipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 53
16
Ibid, hal. 69
17
Salim Hs dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Desertasi,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 263
Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari
konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia karena menurut sejarah
dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi
manusia ditujukan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan
pemerintah. Aspek dominan dalam konsep barat tentang hak asasi manusia mengutamakan
eksistensi hak dan kebebasan yang melekat pada kodrat manusia dan statusnya sebagai individu,
hak tersebut berada di atas negara dan di atas semua organisasi politik dan bersifat mutlak
sehingga tidak dapat diganggu gugat. Mengacu pada konsep ini, maka sering kali dilontarkan
kritik bahwa konsep barat tentang hak-hak asasi manusia adalah konsep yang individualistik.
Kemudian dengan masuknya hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi serta hak kultural, terdapat
kecenderungan mulai melunturnya sifat indivudualistik dari konsep barat tersebut.
Dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum di Indonesia, landasannya
adalah Pancasila yang merupakan ideologi dan falsafah negara. Konsepsi perlindungan hukum
bagi rakyat di barat bersumber pada konsep-konsep Rechtstaat dan ”Rule of The Law”.
Perlindungan hukum di Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat
dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila18. Prinsip perlindungan hukum terhadap
tindak pemerintah sejatinya mengacu dan bersumber dari konsep pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep
tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi menusia secara tidak langsung
mengarah pada pembatasan-pembatasan dan perumusan kewajiban masyarakat dan pemerintah.
18
Setiono, 2004, Rule Of Law (Supremasi Hukum), Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas
Sebelas Maret, Surakarta, hal. 3
Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu
ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada
dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara
anggota-anggota masyarakat dan antara perseoranan dengan pemerintah yang dianggap mewakili
kepentingan masyarakat. Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan
itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh
hukum19.
Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang
mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan
diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa,
termasuk penanganannya di lembaga peradilan20.
Dalam perlindungan hukum preventif, subyek hukum memiliki kesempatan untuk
mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah memperoleh
bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum
preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan
bertindak. Perlindungan hukum yang represif memiliki fungsi untuk menyelesaikan sengketa.
Penanganan perlindungan hukum oleh pengadilan umum dan peradilan administrasi di Indonesia
termasuk dalam kategori perlindungan hukum represif. Prinsip perlindungan hukum terhadap
tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan
19
20
Ibid, hal. 54
Maria Alfons, 2010, “Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat Lokal
Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual”, Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas Brawijaya, Malang, hal. 18
terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep
tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia ditujukan kepada
pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua yang mendasari
perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan
dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan yang utama dan dapat dikaitkan
dengan tujuan dari negara hukum.
Hukum Indonesia yang berlandaskan pancasila sesungguhnya memiliki tujuan untuk
memberikan perlindungan kepada seluruh warga negara termasuk didalamnya pemegang saham
minoritas. Secara umum konsep perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas
terpaku pada gugatan derivatif yang merupakan wujud dari perlindungan hukum represif. Tidak
adanya perlindungan hukum preventif dalam peraturan perundang-undangan menyebabkan
pincangnya perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas. Teori perlindungan
hukum ini ditujukan untuk mengupas kedua permasalahan dalam penelitian ini.
1.6.1.2 Teori Keadilan
Keadilan merupakan sebuah konklusi yang ingin dicapai oleh setiap penyelesaian suatu
permasalahan. Semua negara di dunia ini pasti menginginkan masyarakatnya memperoleh
kehidupan yang sejahtera tentunya hal ini diperoleh dengan menegakan keadilan yaitu dengan
hukum. Dalam penegakannya, hukum seringkali melahirkan berbagai pandangan yang
menyebabkan perbedaan persepsi akan keadilan. Hal itulah yang melahirkan keadilan substantif
dan keadilan prosedural.
Keadilan substantif ini menolak pandangan legalisme, yaitu pandangan yang
menganggap hukum yang diciptakan adalah sempurna dalam artian apa yang dikatakan oleh
hukum maka itulah keadilan. Keadilan substantif menganggap bahwa legalisme yang
sesungguhnya tidaklah mungkin, karena semua penerapan kaidah-kaidah hukum yang umum dan
abstrak pada perkara-perkara konkret merupakan suatu ciptaan hukum baru. Putusan seorang
hakim tidak dapat diturunkan secara serta merta dari peraturan-peraturan yang berlaku, karena
peraturan itu dibuat oleh manusia, mungkin juga salah atau kurang tepat, sehingga dapat
menimbulkan ketidakadilan. Keadilan substanif disini merupakan upaya untuk mencari keadilan
dalam arti yang sesungguhnya dengan mengesampingkan ketentuan peraturan perundangundangan. Sesungguhnya keadilan substantif ini cukup sulit diperoleh karena Indonesia adalah
negara hukum yang segala keputusannya harus mengacu pada norma tertulis. Sedikit harapan
untuk mendapatkan keadilan substantif adalah melalui azas rechtfinding hakim yaitu hakim
diberikan kebebasan untuk menemukan dan menentukan hukum baru namun hal ini sulit
diimplementasikan.
Keadilan prosedural adalah suatu bentuk pandangan akan keadilan dimana keadilan
tersebut hanya mengacu pada suatu kaidah hukum. Keadilan prosedural ini merupakan
implementasi hukum sejati yang selalu mengacu pada norma-norma tertulis. Di Indonesia segala
permasalahan yang diselesaikan melalui jalur litigasi selalu berakhir dengan putusan pengadilan
yang mengacu pada suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini sangat sejalan dengan konsep
negara hukum yang dianut oleh Indonesia. Jika mengacu kembali pada konstitusi khususnya sila
kedua yang berbunyi “kemanusiaan yang adil dan beradab”, secara sederhana hal ini berarti
masyarakat Indonesia harus hidup dengan dinaungi oleh keadilan dan cara memperoleh keadilan
tersebut adalah dengan membangun hukum yang baik. Seluruh masyarakat Indonesia harus
memperoleh keadilan tidak terkecuali pemegang saham minoritas. Dalam suatu perseroan
berlaku sistem one share one vote yaitu satu saham satu suara. Hal ini melemahkan posisi
pemegang saham minoritas karena dengan seperti itu maka kepemilikan saham para pemegang
saham minoritas yang notabene sedikit pasti akan dikalahkan oleh para pemegang saham
mayoritas yang memiliki banyak saham. Hal ini sering terjadi tatkala suatu perseroan ingin
mengambil suatu keputusan terkait perseroan tersebut.
Mengacu pada permasalahan tersebut sesungguhnya pemegang saham minoritas tidak
memperoleh keadilan. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa ada 2 macam keadilan yaitu
keadilan substantif dan keadilan prosedural, maka dapat dilihat bahwa pemegang saham
minoritas tidak memperoleh keadilan sama sekali. Didalam UUPT, dijelaskan bahwa pemegang
saham minoritas dapat mempertahankan haknya hanya dengan melakukan gugatan derivatif,
begitu juga undang-undang tersebut tidak mengatur tentang tata cara pengambilan keputusan
dalam suatu RUPS secara musyawarah mufakat. Hal ini berarti undang-undang tersebut
menggiring perseroan di Indonesia untuk melaksanakan sebuah sistem yang akhirnya
melemahkan posisi pemegang saham minoritas.
UUPT tidak dapat mengimplementasikan nilai keadilan procedural bagi pemegang saham
minoritas karena regulasinya hanya mengacu pada penyelesaian melalui jalur litigasi yaitu
gugatan derivatif tanpa memberikan solusi preventif yang dapat mengurangi potensi kerugian
bagi para pemegang saham minoritas. Tentunya untuk dapat memberikan keadilan procedural
bagi para pemegang saham minoritas perlu sebuah konstruksi hukum dalam UUPT tersebut agar
para pemegang saham minoritas dapat dilindungi haknya melalui norma tertulis yang dapat
dijadikan acuan bagi pengadilan karena jika tidak ada norma tertulis yang mengatur maka tidak
akan diperoleh keadilan prosedural, jadi jika keadilan procedural saja tidak dapat diperoleh maka
keadilan substantif yang merupakan esensi dari keadilan tidak akan mungkin terpenuhi.
Menurut John Rawls, teori keadilan memiliki inti sebagai berikut:
1. Memaksimalkan kemerdekaan.
2. Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial maupun
kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (“social goods”).
3. Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan.
Untuk meberikan jawaban atas hal tersebut, Rawls melahirkan 3 (tiga) prinsip kedilan, yang
sering dijadikan rujukan oleh bebera ahli yakni:
1. Prinsip kebebasan yang sama (equal liberty of principle)
2. Prinsip perbedaan (differences principle)
3. Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle21).
Berdasarkan prinsip yang dikemukakan Rawls maka jelas disini untuk memperoleh
keadilan haruslah memperhatikan persamaan kesempatan. Dalam konteks pemegang saham
minoritas dalam perseroan go public, maka sejatinya pemegang saham minoritas juga memiliki
hak untuk menjabat dalam suatu perseroan karena berdasarkan prinsip persamaan kesempatan
tersebut. Teori ini sangat berkorelasi dengan teori keadilan Antonio D’Amato yang
mengemukakan bahwa “keadilan hanya dapat diperoleh dari ketidakadilan”. Teori ini
memberikan makna bahwa ketidakadilan yang dirasakan oleh pemegang saham minoritas akan
menghadirkan keadilan bagi pemegang saham minoritas di masa depan. Tentunya ketidakadilan
yang dirasakan pemegang saham minoritas tersebut segera dituntaskan, sehingga akan
menghadirkan suatu hukum baru yang mampu memberi keadilan bagi pemegang saham
minoritas. Teori keadilan disini dapat dijadikan acuan untuk mengupas permasalahan khususnya
21
Bur Rasuanto, 2005, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas; Dua Teori Filsafat
Politik Modern, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 78
permasalahan pertama yang bertujuan untuk mencari solusi yang dapat dilakukan oleh pemegang
saham minoritas untuk mempertahankan haknya.
1.6.1.3 Teori Kepastian Hukum
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah sebuah pernyataan
yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan
tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk manusia yang bersifat memaksa.
Undang-undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu
bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun
dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat
dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan
pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum22.
Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 nilai dasar, yaitu sebagai berikut
:
1. Kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari sudut yuridis.
2. Keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan
adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan
3. Kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau utility23).
22
23
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 158.
Riduan Syahrani, 2012, “Aspek Hukum Sita Material Terhadap Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan”, Tesis Universitas Sumatera Utara, Medan, hal. 20,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33623/4/Chapter%25201.pdf, diakses pada tanggal 30 November
2015
Ketiga nilai dasar tersebut merupakan ide dasar hukum sehingga dapat dipersamakan
dengan asas hukum24. Ketiga nilai dasar tersebut yang mendekati realistis adalah kepastian
hukum dan kemanfaatan hukum. Seperti yang dikemukakan bahwa “summum ius, summa
injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali
keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan
tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan25.
Kepastian hukum merupakan tonggak awal untuk membangun suatu negara negara
hukum. Mengkonstruksikan sebuah undang-undang merupakan konsekuensi dari konsep negara
hukum. Di Indonesia telah banyak undang-undang yang digunakan untuk menata kehidupan di
masyarakat. Hadirnya suatu undang-undang menjadi penting ketika terjadi suatu permasalahan.
Adanya undang-undang atau norma lain akan menghadirkan sebuah jawaban atas permasalahan
yang timbul, oleh karena itu untuk mewujudkan tujuan negara hukum yang dicita-citakan
tersebut, maka hukum yang dikonstruksikan haruslah sesuai dan mampu mengakomodir segala
aspek. Kepastian hukum dapat dikatakan terpenuhi ketika suatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara pasti telah mengatur secara jelas dan logis dalam artian tidak menimbulkan
keragu-raguan (multitafsir) dan logis dalam artian saling berkorelasi antara norma yang satu
dengan norma yang lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma yang
ditimbulkan dari ketidakpastian. Kepastian hukum merupakan suatu keadaan dimana perilaku
manusia baik individu, kelompok maupun organisasi terikat dan berada dalam koridor yang
sudah digariskan oleh aturan hukum.
24
Achmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk
Undang-Undang (Legisprudence) Volume I Pemahaman Awal, Kencana, Jakarta, hal. 288
25
Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang Pressindo,
Yogyakarta, hal.59
Dalam hukum perseroan kepastian hukum ini seakan telah terpenuhi dengan adanya
UUPT, namun apabila kita telisik lebih dalam ternyata didalam UUPT ini tersirat kelemahan
yaitu menyangkut perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas. Sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya, kepastian hukum dalam UUPT hanya menyangkut upaya represif
bagi pemegang saham minoritas untuk mempertahankan haknya yaitu dengan melakukan
gugatan derivatif. Gugatan derivatif merupakan upaya awal sekaligus upaya akhir yang dapat
dilakukan pemegang saham minoritas dalam mempertahankan haknya. Dibutuhkan sebuah
konstruksi norma untuk mengakomodir dan menyelesaikan permasalahan tersebut. Teori
kepastian hukum sangat relevan digunakan karena penelitian ini beranjak dari kekosongan
hukum sehingga dapat digunakan untuk mengupas kedua permasalahan dalam karya ilmiah ini.
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum
normatif mengingat bahwa permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini berkaitan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tepatnya dapat dikatakan telah terjadi kekosongan
hukum (vacuum norm). Metode Penelitian Hukum Normatif merupakan metode atau cara yang
dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka
yang ada26.
Metode penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum
sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai azas –
azas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin
26
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal.13
(pendapat para ahli)27. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif adalah suatu
proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip – prinsip hukum, maupun doktrin –
doktrin hukum (pendapat para ahli) untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi 28.
Menurut pendapat saya metode penelitian hukum normatif adalah sebuah metode penelitian
hukum yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan hukum terkait dogmatika hukum
dengan memanfaatkan bahan hukum baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tersier.
1.7.2 Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum normatif, ada 7 jenis pendekatan yang dapat digunakan untuk
mengupas permasalahan dalam penelitian hukum yaitu pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan analisis konsep hukum (legal analitical & conceptual approach),
pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan fakta
(fact approach), pendekatan frasa ( words & phrase approach),dan pendekatan perbandingan
(comparative approach), akan tetapi secara khusus untuk penelitian atas permasalahan seperti
yang telah dipaparkan diatas dapat digunakan 2 jenis pendekatan antara lain :
1.7.2.1 Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)
Penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute
approach), dimana analisis dalam penelitian ini didasarkan pada norma hukum positif yang
berupa peraturan perundang-undangan sebagai bahan hukum primer, terutama Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan beberapa peraturan perundang-undangan
yang memiliki relevansi dengan rumusan permasalahan. Pendekatan perundang-undangan ini
27
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, hal.34
28
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal.35
digunakan karena perlu dilakukan kajian terhadap undang-undang terkait untuk menganalisa
permasalahan khususnya pada rumusan masalah pertama untuk melihat sejauh mana norma
tersebut memberikan manfaat terhadap masyarakat khususnya berkaitan dengan hak-hak
pemegang saham minoritas dalam perseroan go public.
1.7.2.2 Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Legal Analitical & Conseptual Approach)
Dalam penelitian ini juga digunakan pendekatan analisis konsep hukum (legal analitical
& conseptual approach) terkait kedudukan hukum pemegang saham minoritas dalam perseroan
go public sebagai pedoman dalam menyelesaikan rumusan permasalahan yang kedua karena
setiap pengambilan keputusan dalam suatu perseroan sebaiknya melalui proses persesuaian
kehendak/musyawarah mufakat sebagaimana pada saat mendirikan perseroan tersebut.
Mengingat bahwa penelitian yang dilakukan beranjak dari kekosongan hukum, maka sangat
relevan menggunakan pendekatan analisis konsep hukum (legal analitical & conseptual
approach) untuk memecah permasalahan sehingga memberikan dampak positif bagi Perseroan
Terbatas di Indonesia khususnya bagi pemegang saham minoritas.
1.7.3 Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa sumber dalam pengumpulan bahan
hukum untuk menunjang penelitian antara lain :
a) Bahan hukum primer, merupakan bahan-bahan hukum pokok yang bersifat
mengikat. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan adalah
peraturan perundang-undangan, maupun peraturan-peraturan lainya yang ada
kaitannya dengan permasalahan tersebut, antara lain :
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, Tentang Perseroan Terbatas
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
b) Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan sebuah
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang
digunakan dalam penelitian ini adalah buku teks hukum (legal text book), Jurnal
hukum, karya tulis hukum terkait yang memuat pandangan/pendapat para ahli
hukum baik dalam bentuk buku maupun yang dimuat dalam media masa dan
media elektronik yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
c) Bahan hukum tersier adalah data yang memberikan petunjuk serta penjelasan
yang menunjang data primer dan data sekunder, antara lain : kamus hukum,
ensiklopedia hukum.
Dalam penelitian ini dimuat pula beberapa bahan hukum yang diperoleh dari media
internet yang berkembang dengan pesat dewasa ini seperti misalnya definisi-definisi terkait
permasalahan yang diteliti.
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum adalah teknik bola salju atau
yang lebih sering disebut dengan Snow Ball Technique, yaitu mencari/mengumpulkan bahan
hukum dari bahan hukum yang ada dan begitu seterusnya. Seperti yang diketahui bahan hukum
primer yang fundamental dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.
Kedua undang-undang inilah yang menjadi kunci untuk menemukan sumber/bahan hukum
lainnya. Selanjutnya bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku-buku, jurnal hukum dan karya
ilmiah lainnya ditemukan secara berkelanjutan. Pencarian bahan hukum sekunder melalui snow
ball technique sangat efektif mengingat bahwa sebuah sumber utama/kunci sangat banyak
memuat daftar pustaka buku-buku yang memiliki relevansi untuk membedah permasalahan
dalam penelitian ini. Buku-buku yang relevan sebagaimana yang tertera dalam daftar pustaka
tersebut kemudian dicari dan digunakan sebagai referensi dalam melengkapi sumber bacaan
dalam penelitian ini. Proses tersebut terus berlanjut hingga sumber bacaan yang ditetapkan telah
terpenuhi.
1.7.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Untuk menganalisa permasalahan dalam penelitian ini teknik analisis bahan hukum yang
digunakan adalah sebagai berikut :
a) Teknik Deskripsi, adalah teknik dasar analisis dengan memaparkan secara apa
adanya suatu kondisi, peristiwa, pendapat-pendapat maupun proposisi-proposi
terkait permasalahan yang diteliti.
b) Teknik Konstruksi, adalah teknik analisis yang bertujuan membangun semacam
konstruksi yuridis dengan melakukan analogi (perbandingan kesamaan) maupun
pembalikan proposisi (acontrario).
Download