No Akreditasi: 705/AU/P2MI-LIPI/10/2015 p-ISSN 2089-0877 e-ISSN 2502-2962 Volume 8, Nomor 1, Juni 2017 Biopropal Industri merupakan publikasi ilmiah yang memuat hasil-hasil penelitian dan pengembangan dalam bidang bioteknologi, proses, pangan dan lingkungan. Terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember. Biopropal Industri diterbitkan oleh Balai Riset dan Standardisasi Industri Pontianak sejak Juni 2010. PENANGGUNG JAWAB Kepala Balai Riset dan Standardisasi Industri Pontianak EDITOR KEPALA Prof. Dr. Muhammad Hanafi (Kimia Bahan Alam – LIPI) EDITOR BAGIAN Dr. Rika Wulandari, S.Si, M.Si (Kimia Organik, Analitik, Lingkungan - Baristand Industri Pontianak) Hidayati, ST, MT (Teknologi Proses – Baristand Industri Pontianak) Mohamad Rusdi Hidayat, S.Si, M.Sc. (Biologi Molekuler - Baristand Industri Pontianak) Yani Kartika Pertiwi, S.Si, M.Si MAIE (Kimia Industri – Baristand Industri Pontianak) Farid Salahudin, STP (Teknologi Bahan Baku Pangan dan Kosmetika - Baristand Industri Pontianak) Asmawit, STP (Teknologi Pangan – Baristand Industri Pontianak) Pramono Putro Utomo, STP (Teknologi Bahan Baku Pangan dan Kosmetika - Baristand Industri Pontianak) REVIEWER Prof. Dr. Yanni Sudiyani, M.Agr (Biologi, Lingkungan, Bioenergi –LIPI) Prof. Dr. Silvester Tursiloadi (Kimia Fisika - LIPI) Prof. Dr. Partomuan Simanjuntak, M.Sc (Kimia Bahan Alam – LIPI) Dr. Anny Sulaswatty (Teknologi Proses Pengolahan Bahan Pangan, Pertanian dan Perkebunan – LIPI) Dr. Ir. Yohana S.Kusuma Dewi, MP (Ilmu Pangan – UNTAN) Rudiyansyah, S.Si, M.Si, Ph.D (Kimia Organik Bahan Alam – UNTAN) Dr. Dwinna Rahmi, M.Eng (Kimia Bahan Alam, Lingkungan, Analitik – BBKK) Dr. Sri Pudjiraharti, M.Si (Biokimia, Biosains Terapan – LIPI) Dr. Vivitri Dewi Prasasty (Biokimia – UNIKA ATMAJAYA) Dr. M. Dani Supardan, MT (Teknologi Proses – UNSYIAH) DESAIN GRAFIS Teguh Satrio Pribowo, SH, MH SEKRETARIAT Sukma Budi Ariyani, ST ALAMAT REDAKSI Balai Riset dan Standardisasi Industri Pontianak, Jl. Budi Utomo No. 41, Pontianak 78243 Telp. (0561) 881393, 884442. Faks. (0561) 881533 e-mail: [email protected] http://ejournal.kemenperin.go.id/biopropal p-ISSN 2089-0877 e-ISSN 2502-2962 Nomor Akreditasi : 705/AU/P2MI-LIPI/10/2015 Volume 8, Nomor 1, Juni 2017 BIOPROPAL INDUSTRI Vol. 8 No. 1 Hal. 1- 62 Pontianak, Juni 2017 ISSN 2089-0877 KATA PENGANTAR Redaksi mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena telah dapat menyelesaikan Majalah BIOPROPAL (Bioteknologi, Proses, Pangan, Lingkungan) INDUSTRI Volume 8 Nomor 1, Juni 2017 untuk pembaca. Pada kesempatan ini Redaksi mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga terbitnya majalah ini. Dalam penerbitan kali ini disajikan 5(lima) tulisan yang mencakup 2(dua) artikel membahas tentang bioteknologi dengan judul: (1) Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin pada Proses Fermentasi oleh Lactobacillus Acidophilus, Lactobacillus Bulgaricus dan Streptococcus Thermophilus, (2) Pertumbuhan Bakteri Laut Shewanella Indica Lbf-1-0076 dalam Naftalena dan Deteksi Gen Naftalena Dioksigenase; 1(satu) artikel membahas tentang proses dengan judul: Karakteristik Membran Asimetris Polietersufone (PES) Dengan Pelarut Dimetil Formamide dan N-Metil-2-Pyrolidone; 1(satu) artikel membahas tentang pangan dengan judul: Karakterisasi Mutu dan Nilai Gizi Nasi Mocaf dari Beras Analog; dan 1(satu) artikel membahas tentang lingkungan dengan judul: Karakterisasi Adsorben dari Kulit Manggis dan Kinerjanya pada Adsorpsi Logam Pb(II) Dan Cr(VI). Redaksi sangat mengharapkan kiriman tulisan-tulisan ilmiah dari para peneliti baik dari kalangan akademis maupun lembaga penelitian ke Majalah BIOPROPAL INDUSTRI ini. Kritik dan saran juga sangat Redaksi harapkan dari semua pihak dalam rangka memperbaiki kualitas majalah ini sehingga akreditasi pada majalah ini dapat dipertahankan. Akhirnya Redaksi mengucapkan “Selamat Membaca” majalah ini, semoga bermanfaat. Redaksi i No Akreditasi: 705/AU/P2MI-LIPI/10/2015 p-ISSN 2089-0877 e-ISSN 2502-2962 Volume 8, Nomor 1, Juni 2017 DAFTAR ISI Halaman i KATA PENGANTAR DAFTAR ISI ii ABSTRAK iii PENGARUH VARIASI KONSENTRASI INULIN PADA PROSES FERMENTASI OLEH Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus bulgaricus DAN Streptococcus thermophilus (THE INULIN VARIATION CONCENTRATION EFFECT IN FERMENTATION USING Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus bulgaricus AND Streptococcus thermophilus) R. Haryo Bimo Setiarto, Nunuk Widhyastuti, Iwan Sakiawan dan Rina Marita Safitri … 1-17 PERTUMBUHAN BAKTERI LAUT Shewanella indica LBF-1-0076 DALAM NAFTALENA DAN DETEKSI GEN NAFTALENA DIOKSIGENASE (THE GROWTH OF MARINE BACTERIA Shewanella indica LBF-1-0076 IN NAPHTHALENE AND NAPHTHALENE DIOXYGENASE GENE DETECTION) Nuzul Farini, Ahmad Thontowi, Elvi Yetti, Suryani dan Yopi ………………………..… 19-31 KARAKTERISASI MUTU DAN NILAI GIZI NASI MOCAF DARI BERAS ANALOG (CHARACTERIZATION OF QUALITY AND NUTRITION VALUE OF COOKED RICE MOCAF FROM RICE ANALOG) Enny Hawani Loebis, Lukman Junaidi dan Irma Susanti ……………………………….. 33-46 KARAKTERISASI ADSORBEN DARI KULIT MANGGIS DAN KINERJANYA PADA ADSORPSI LOGAM Pb(II) DAN Cr(VI) (CHARACTERIZATION FROM MANGOSTEEN PEEL AND ITS ADSORPTION PERFORMANCE ON Pb(II) AND Cr(VI)) Ulfa Haura, Fachrul Razi dan Hesti Meilina ……………………………………………... 47-54 KARAKTERISTIK MEMBRAN ASIMETRIS POLIETERSUFONE (PES) DENGAN PELARUT DIMETIL FORMAMIDE DAN N-METIL-2-PYROLIDONE (CHARACTERISTIC OF POLIETHERSULFONE (PES) ASYMMETRIC MEMBRANE WITH DIMETHYL FORMAMIDE AND N-METHYL PYROLIDONE AS SOLVENT) Sri Mulyati, Fachrul Razi dan Zuhra ………………………………………………..……. ii 55-62 BIOPROPAL INDUSTRI ISSN 2089-0877 Vol. 08, No. 01, Juni 2017 Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya PENGARUH VARIASI KONSENTRASI INULIN PADA PROSES FERMENTASI OLEH Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus bulgaricus DAN Streptococcus thermophilus R. Haryo Bimo Setiarto1), Nunuk Widhyastuti1), Iwan Sakiawan1) dan Rina Marita Safitri2) 1 Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Jalan Raya Bogor Km 46, Kawasan CSC Cibinong 16911, Indonesia 2 Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia e-mail: [email protected] Prebiotik adalah komponen bahan pangan yang tidak dapat dicerna oleh saluran pencernaan secara enzimatis sehingga akan difermentasi oleh bakteri probiotik di usus besar. Inulin merupakan salah satu sumber prebiotik yang banyak dimanfaatkan dalam produk pangan olahan seperti susu fermentasi. Pemberian inulin pada kadar tertentu perlu diketahui untuk mengetahui jumlah optimal yang diperlukan untuk menjaga kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi prebiotik inulin terhadap pertumbuhan bakteri asam laktat starter yogurt (Lactobacillus acidophillus, Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus). Pengamatan pertumbuhan L. acidophilus, L. bulgaricus dan S. thermophillus dilakukan dengan beberapa cara antara lain perhitungan total sel dengan menggunakan prinsip turbidimetrik OD (Optical Density), jumlah total koloni dengan Total Plate Count (TPC), analisis kadar total asam laktat tertitrasi dan pengukuran pH. Konsentrasi inulin 0,5% (b/v) mampu meningkatkan pertumbuhan L. acidophilus, L.bulgaricus dan S. thermophilus secara signifikan dibandingkan perlakuan lainnya. Penurunan nilai pH selama fermentasi inulin mengindikasikan pertumbuhan bakteri penghasil asam laktat. L. acidophilus mengalami fase eksponensial pertumbuhannya mulai dari masa inkubasi jam ke-6 hingga jam ke-24. Sementara itu L. bulgaricus dan S. thermophilus mengalami fase eksponensial pertumbuhannya mulai dari masa inkubasi jam ke-6 hingga jam ke18. Laju pertumbuhan L. bulgaricus dan S. thermophilus lebih sensitif terhadap penambahan konsentrasi prebiotik inulin jika dibandingkan dengan L. acidophilus. Selama pertumbuhan L. acidophilus, L. bulgaricus dan S. thermophilus dalam media MRSB yang disuplementasi inulin terjadi penurunan nilai pH dari kisaran 7,00 menjadi di bawah 5,00 karena pembentukan asamasam organik. Kata kunci: fermentasi, inulin, L acidophilus, L. bulgaricus, S. thermophilus PERTUMBUHAN BAKTERI LAUT Shewanella indica LBF-1-0076 DALAM NAFTALENA DAN DETEKSI GEN NAFTALENA DIOKSIGENASE Nuzul Farini1), Ahmad Thontowi2), Elvi Yetti2), Suryani1) dan Yopi2) Departemen Biokimia, FMIPA, IPB, Jl. Raya Dramaga, 16680, Bogor, Indonesia 2 Lab. Biokatalis dan Fermentasi, Puslit. Bioteknologi LIPI, Jl. Raya Bogor Km.46, 16911, Bogor, Indonesia e-mail: [email protected] 1 Eksploitasi minyak bumi yang sering terjadi di laut mengakibatkan adanya pencemaran minyak di laut. Naftalena merupakan salah satu senyawa dominan berbahaya yang terkandung dalam minyak bumi dan dapat mengakibatkan pencemaran perairan. Penelitian ini menggunakan bakteri laut LBF-1-0076 yang memiliki kemampuan untuk mendegradasi naftalena. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari pengaruh parameter konsentrasi naftalena dan konsentrasi sel terhadap bakteri laut pendegradasi naftalena LBF-1-0076. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi isolat LBF-1-0076 dan mendeteksi gen pengkode naftalena dioksigenase. Berdasarkan hasil uji pertumbuhan, degradasi naftalena yang optimal oleh isolat LBF-1-0076 iii BIOPROPAL INDUSTRI ISSN 2089-0877 Vol. 08, No. 01, Juni 2017 Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya terjadi pada konsentrasi naftalena 75 ppm dengan konsentrasi sel 15. Hasil analisis gen 16S rDNA menunjukkan isolat LBF-1-0076 teridentifikasi sebagai Shewanella indica strain 0102 dengan nilai keidentikan 99%. Hasil deteksi gen naftalena dioksigenase dengan menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) menunjukkan bahwa isolat tersebut mempunyai gen naftalena dioksigenase dengan ukuran ±377 bp. Oleh karena itu, isolat LBF-1-076 berpotensi sebagai agen bioremediasi untuk mengatasi masalah pencemaran minyak bumi di laut. Kata kunci: bakteri laut, minyak bumi, naftalena, naftalena dioksigenase, Shewanella indica KARAKTERISASI MUTU DAN NILAI GIZI NASI MOCAF DARI BERAS ANALOG Enny Hawani Loebis, Lukman Junaidi dan Irma Susanti Balai Besar Industri Agro, Ir. H. Juanda No. 11, Bogor 16122, Indonesia e-mail: [email protected] Ketergantungan pada konsumsi beras perlu dikurangi untuk mengatasi permasalahan pasokan beras dan masalah kesehatan. Alternatif yang dapat diusulkan adalah dengan pembuatan beras analog berbasis mocaf. Penelitian ini bertujuan mempelajari karakterisasi mutu dan nilai gizi nasi mocaf dari beras analog. Beras mocaf dibuat berdasarkan campuran mocaf, tepung beras, air dan minyak goreng sawit, dengan komposisi mocaf 50, 60 dan 70%. Beras mocaf kemudian dimasak dengan cara menggunakan rice cooker, pengukusan atau microwave. Hasil penelitian menunjukkan beras mocaf 60% menghasilkan nasi mocaf dengan nilai kalori tertinggi. Pemasakan terbaik adalah dengan cara pengukusan dengan kandungan gizi dan nilai kalori yang dihasilkan terdiri dari 49,15% air; 2,05% lemak; 2,09% protein; 46,45% karbohidrat; 35,8 mg/kg besi; 403,4 mg/kg kalium; 193,8 mg/kg kalsium; 2,0 mg/kg vitamin B1 dan 212,53 kal/100 g nilai kalori. Kata kunci: beras, karakterisasi mutu, mocaf, nilai gizi KARAKTERISASI ADSORBEN DARI KULIT MANGGIS DAN KINERJANYA PADA ADSORPSI LOGAM Pb(II) DAN Cr(VI) Ulfa Haura1, Fachrul Razi2 dan Hesti Meilina2 Program Studi Magister Teknik Kimia Prog. Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Jl. Teungku Syeh Abdul Rauf No.7 Darussalam, Banda Aceh, Indonesia 2 Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Jl. Teungku Syeh Abdul Rauf No.7 Darussalam, Banda Aceh, Indonesia e-mail: [email protected] 1 Penggunaan adsorben berbasis limbah biomassa untuk adsorpsi kandungan logam berbahaya dari limbah cair industri selain dapat mengurangi limbah juga dapat menekan harga jual adsorben. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik adsorben yang terbuat dari limbah kulit manggis (Garcinia mangostana L.) dan arang aktif dari limbah kulit manggis serta membandingkan kinerja kedua jenis adsorben tersebut pada proses adsorpsi ion logam Pb(II) dan Cr(VI). Limbah sintetis yang digunakan berupa ion dari Pb(II) dan Cr(VI) dari larutan Pb(NO3)2 dan K2Cr2O7 dengan variasi konsentrasi awal 20, 40, 80, 100 dan 200 mg/L. Proses adsorpsi dilakukan pada pH 5, rasio perbandingan berat adsorben dan volume larutan limbah 1:200, kecepatan pengadukan 60 rpm, adsorben berukuran nano dengan berat adsorben 0,5 g. Masingmasing adsorben dikarakterisasi menggunakan SEM untuk mengetahui struktur morfologi, FTIR untuk mengetahui gugus fungsi dan SEM-EDS untuk mengetahui komponen kimia yang iv BIOPROPAL INDUSTRI ISSN 2089-0877 Vol. 08, No. 01, Juni 2017 Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya terkandung dalam adsorben tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik kedua jenis adsorben memenuhi syarat mutu sesuai SNI 06-3730-1995. Kapasitas adsorpsi tertinggi dari karbon aktif untuk menyerap Pb(II) dan Cr(VI) masing-masing 38,543 mg/g dan 36,838 mg/g, sedangkan kapasitas adsorpsi tertinggi biosorben untuk menyerap Pb(II) dan Cr(VI) masing-masing 36,98 mg/g dan 36,12 mg/g. Kata kunci: adsorpsi, biosorben, Cr(VI), kulit manggis, Pb(II) KARAKTERISTIK MEMBRAN ASIMETRIS POLIETERSUFONE (PES) DENGAN PELARUT DIMETIL FORMAMIDE DAN N-METIL-2-PYROLIDONE Sri Mulyati, Fachrul Razi dan Zuhra Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala Jalan Tgk. Syekh Abdur Rauf No.7, Darussalam Banda Aceh, Indonesia, 23111 e-mail: [email protected] Membran yang umumnya digunakan untuk proses pemisahan dapat dibuat menggunakan teknik inversi fasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik membran asimetris polietersulfone (PES) yang dibuat menggunakan teknik inversi fasa dengan variabel jenis pelarut dan Trans Membrane Pressure (TMP). Hasil analisis Scanning Electron Microscopy (SEM) terhadap morfologi membran membuktikan bahwa membran yang dihasilkan merupakan membran asimetris yang terdiri dari dua lapisan yaitu bagian atas merupakan lapisan tipis dan lapisan bawah adalah lapisan berpori. Membran PES/DMF memiliki struktur pori yang lebih besar dibandingkan membran PES/NMP. Koefisien permeabilitas kedua membran yang dihasilkan berada dalam jangkauan ultrafiltrasi. Koefisien permeabilitas (Lp) membran PES/DMF sebesar 35,769 L/m2.jam, nilai ini jauh lebih besar dibandingkan PES/NMP yaitu 15,364 L/m2.jam.bar. Molecular Weight Cut-Off (MWCO) dari membran PES/DMF yaitu 177 Kda sedangkan membran PES/NMP sebesar 186 Kda. Kinerja membran PES/DMF terhadap pemisahan larutan dekstran memberikan nilai fluks yang lebih tinggi daripada membran PES/NMP sedangkan rejeksi yang dihasilkan lebih rendah. Fluks tertinggi diperoleh pada TMP 2 bar sebesar 11,4 L/m2.jam untuk membran PES/DMF dan 10,2 L/m2.jam untuk membran PES/NMP. Kata kunci: kinerja membran, membran asimetris, Molecular Weight Cut-Off (MWCO), morfologi, permeabilitas v BIOPROPAL INDUSTRI ISSN 2089-0877 Vol. 08, No. 01, June 2017 The descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge THE INULIN VARIATION CONCENTRATION EFFECT IN FERMENTATION USING Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus bulgaricus AND Streptococcus thermophilus R. Haryo Bimo Setiarto1), Nunuk Widhyastuti1), Iwan Sakiawan1) and Rina Marita Safitri2) 1 Laboratory of Food Microbiology, Field of Microbiology, Research Center for Biology, Indonesian Institute of Science, Jl. Raya Bogor Km 46, CSC Cibinong Area 16911, Indonesia 2 Departement of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Indonesia, Depok 16424, Indonesia e-mail: [email protected] Prebiotics are food components that can not enzymatically digested, thus it fermented by probiotic bacteria. Inulin is a prebiotic source that widely used in processed food products such as fermented milk. This study aimed to know the variation concentrations effect of prebiotic inulin on the growth of lactic acid bacteria starter yogurt (Lactobacillus acidophillus, Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophillus). The growth of those lactic acid bacteries was determined based on OD (Optical Density), Total Plate Count (TPC), total lactic acid content and pH. Inulin concentration of 0.5% (w/v) increased the growth of those three bacteries. Reductioned of pH value during inulin fermentation indicated the growth of bacteria that produced lactic acid. L. bulgaricus and S. thermophilus growth rate were more sensitive than L. acidophilus in addition of prebiotic inulin concentration. The growth of those bacteries in MRSB medium supplemented inulin decreased pH around 7.00 into below 5.00 due to organic acids formation. Keywords: Fermentation, Inulin, L. acidophilus, L. bulgaricus, S. thermophilus THE GROWTH OF MARINE BACTERIA Shewanella indica LBF-1-0076 IN NAPHTHALENE AND NAPHTHALENE DIOXYGENASE GENE DETECTION 1 Nuzul Farini1), Ahmad Thontowi2), Elvi Yetti2), Suryani1) and Yopi2) Departement of Biochemistry, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Bogor Agricultural University, Jl. Raya Dramaga, 16680, Bogor, Indonesia 2 Laboratory of Biocatalyst and Fermentation, Research Center for Biotechnology, Indonesian Institute of Science, Jl. Raya Bogor Km.46, 16911, Bogor, Indonesia e-mail: [email protected] Crude oil exploitation which often occured offshore can cause water pollution in the sea since its contains naphthalene which is a hazardous compounds. This research used marine bacteria LBF-10076 that have ability in naphthalene degradation. This research aimed to study the parameter effect of naphthalene and cell concentration toward marine bacteria LBF-1-0076. This research also identified isolate LBF-1-0076 and detected the encode gene of naphthalene dioxygenase. Based on growth test result, the optimum naphthalene degradationby isolate LBF-1-0076 occured in 75 ppm naphthalene concentration with 15cell concentration. The result of 16S rDNA gene analysis showed that LBF-1-0076 was identified as Shewanella indica strain 0102 with identical value 99%. The result of naphthalene dioxygenase gene detection using Polymerase Chain Reaction (PCR) showed that the isolate contained naphthalene dioxygenase gene with size ±377 bp. Therefore, LBF-1-0076 potential as bioremediation agent to solve crude oil contamination in the sea. Keywords: crude oil, marine bacteria, naphthalene, naphthalene dioxygenase, Shewanella indica vi BIOPROPAL INDUSTRI ISSN 2089-0877 Vol. 08, No. 01, June 2017 The descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge CHARACTERIZATION OF QUALITY AND NUTRITION VALUE OF COOKED RICE MOCAF FROM RICE ANALOG Enny Hawani Loebis, Lukman Junaidi and Irma Susanti Center for Agro-Based Industry, Ir. H. Juanda No. 11, Bogor 16122, Indonesia e-mail: [email protected] Dependence on rice consumption needs to be reduced to overcome the problems of rice supply and health problems. Alternative proposed is producing mocaf-based rice analog. This research aims to study the quality characterization and nutritional value of mocaf-based rice analog. Rice mocaf was made based on mixture of mocaf, rice flour, water and palm oil using variable: 50, 60 and 70% mocaf. Mocaf rice then cooked by using rice cooker, steamer or microwave. The results showed mocaf rice 60% yield highest calorific value. The best cooking method was steaming that resulted nutrient content and calorific value consisting of 49.15% water; 2.05% fat; 2.09% protein; 46.45% carbohydrate; 35.8 mg/kg of iron; 403.4 mg/kg of potassium; 193.8 mg/kg of calcium, 2.0 mg/kg of vitamin B1 and 212.53 ca/100 g calorific value. Keywords: mocaf, nutritional value, quality characterisation, rice CHARACTERIZATION FROM MANGOSTEEN PEEL AND ITS ADSORPTION PERFORMANCE ON Pb(II) AND Cr(VI) 1 Ulfa Haura1, Fachrul Razi2 and Hesti Meilina2 Master Program of Chemical Engineering, Postgraduate Program, Syiah Kuala University, Jl. Teungku Syeh Abdul Rauf No.7 Darussalam, Banda Aceh, Indonesia 2 Department of Chemical Engineering, Faculty of Engineering, Syiah Kuala University, Jl. Teungku Syeh Abdul Rauf No.7 Darussalam, Banda Aceh, Indonesia e-mail: [email protected] The usage of biomass waste-based adsorbent for the adsorption of hazardous metal in wastewater is not only reducing waste but also lowering adsorbent price. This research aims to study the characteristics of adsorbent from mangosteen peel (Garcinia mangostana L.) and activated charcoal from mangosteen peel, also to compare the adsorption performance on metal ion Pb(II) and Cr(VI). Synthetic wastewater used from a solution of Pb(NO3)2 and K2Cr2O7 with variations in initial concentration of 20, 40, 80, 100 and 200 mg/L. Adsorption performed at pH 5, ratio of adsorbent and waste solution 1/200 (w/v), 60 rpm, 0.5 gs nano-sized adsorbent. Characterization using SEM, FTIR and SEM-EDS showed that both adsorbents characteristics met the requirements of SNI 06-3730-1995. The highest adsorption capacity of activated carbon to adsorb Pb(II) and Cr(VI) were 38.543 mg/g and 36.838 mg/g while biosorbent adsorb Pb(II) and Cr(VI) respectively 3.98 mg/g and 36.12 mg/g. Keywords: adsorption, biosorbent, Cr(VI), mangosteen peel, Pb(II) vii BIOPROPAL INDUSTRI ISSN 2089-0877 Vol. 08, No. 01, June 2017 The descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge CHARACTERISTIC OF POLIETHERSULFONE (PES) ASYMMETRIC MEMBRANE WITH DIMETHYL FORMAMIDE AND N-METHYL PYROLIDONE AS SOLVENT Sri Mulyati, Fachrul Razi and Zuhra Department of Chemical Engineering, Faculty of Engineering, Syiah Kuala University Jalan Tgk. Syekh Abdur Rauf No.7, Darussalam Banda Aceh, Indonesia, 23111 e-mail: [email protected] Membrane that is generally used for separation process could be made using phase inversion technique. This research aims to create polyethersulfone (PES) asymmetric membranes via phase inversion technique using solvent and Trans Membrane Pressure (TMP) as variable. SEM analysis indicated that membranes had asymmetric structure that consits of two layers which denser skin layer on the top surface and the porous support on the bottom. PES/DMF membrane showed larger pore structure than PES/NMP. The permeability coefficients of both membranes were in the ultrafiltration range. The coefficient permeability (Lp) of PES/DMF membrane was 35.769 L/m2.hour, much greater compared to PES/NMP membrane which was 15.364 L/m2.hour.bar. Molecular Weight Cut-Off (MWCO) of PES/DMF membrane was 177 Kda, meanwhile PES/NMP was 186 Kda. Performances of the membranes were evaluated using dextrane as feed solution. PES/DMF membrane resulted in an higher flux and lower rejection than PES/NMP. Keywords: asymmetric membrane, membrane performance, Molecular Weight Cut-Off (MWCO), morphology, permeability viii Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin …… (R. Haryo Bimo Setiarto, dkk.) PENGARUH VARIASI KONSENTRASI INULIN PADA PROSES FERMENTASI OLEH Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus bulgaricus DAN Streptococcus thermophilus (The Inulin Variation Concentration Effect in Fermentation Using Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus bulgaricus and Streptococcus thermophilus) R. Haryo Bimo Setiarto1), Nunuk Widhyastuti1), Iwan Saskiawan1) dan Rina Marita Safitri2) 1 Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Jalan Raya Bogor Km 46, Kawasan CSC Cibinong 16911, Indonesia 2 Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia e-mail: [email protected] Naskah diterima 3 Oktober 2016, revisi akhir 15 Desember 2016 dan disetujui untuk diterbitkan 23 Desember 2016 ABSTRAK. Prebiotik adalah komponen bahan pangan yang tidak dapat dicerna oleh saluran pencernaan secara enzimatis sehingga akan difermentasi oleh bakteri probiotik di usus besar. Inulin merupakan salah satu sumber prebiotik yang banyak dimanfaatkan dalam produk pangan olahan seperti susu fermentasi. Pemberian inulin pada kadar tertentu perlu diketahui untuk mengetahui jumlah optimal yang diperlukan untuk menjaga kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi prebiotik inulin terhadap pertumbuhan bakteri asam laktat starter yogurt (Lactobacillus acidophillus, Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus). Pengamatan pertumbuhan L. acidophilus, L. bulgaricus dan S. thermophillus dilakukan dengan beberapa cara antara lain perhitungan total sel dengan menggunakan prinsip turbidimetrik OD (Optical Density), jumlah total koloni dengan Total Plate Count (TPC), analisis kadar total asam laktat tertitrasi dan pengukuran pH. Konsentrasi inulin 0,5% (b/v) mampu meningkatkan pertumbuhan L. acidophilus, L.bulgaricus dan S. thermophilus secara signifikan dibandingkan perlakuan lainnya. Penurunan nilai pH selama fermentasi inulin mengindikasikan pertumbuhan bakteri penghasil asam laktat. L. acidophilus mengalami fase eksponensial pertumbuhannya mulai dari masa inkubasi jam ke-6 hingga jam ke-24. Sementara itu L. bulgaricus dan S. thermophilus mengalami fase eksponensial pertumbuhannya mulai dari masa inkubasi jam ke-6 hingga jam ke-18. Laju pertumbuhan L. bulgaricus dan S. thermophilus lebih sensitif terhadap penambahan konsentrasi prebiotik inulin jika dibandingkan dengan L. acidophilus. Selama pertumbuhan L. acidophilus, L.bulgaricus dan S. thermophilus dalam media MRSB yang disuplementasi inulin terjadi penurunan nilai pH dari kisaran 7,00 menjadi di bawah 5,00 karena pembentukan asam-asam organik. Kata kunci: Fermentasi, Inulin, L.acidophilus, L.bulgaricus, S.thermophilus ABSTRACT. Prebiotics are food components that can not enzymatically digested, thus it fermented by probiotic bacteria. Inulin is a prebiotic source that widely used in processed food products such as fermented milk. This study aimed to know the variation concentrations effect of prebiotic inulin on the growth of lactic acid bacteria starter yogurt (Lactobacillus acidophillus, Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophillus). The growth of those lactic acid bacteries was determined based on OD (Optical Density), Total Plate Count (TPC), total lactic acid content and pH. Inulin concentration of 0.5% (w/v) increased the growth of those three bacteries. Reductioned of pH value during inulin fermentation indicated the growth of bacteria that produced lactic acid. L.bulgaricus and S.thermophilus growth rate were more sensitive than L.acidophilus in addition of prebiotic inulin concentration. The growth of those 1 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 1-17 bacteries in MRSB medium supplemented inulin decreased pH around 7.00 into below 5.00 due to organic acids formation. Keywords: Fermentation, Inulin, L.acidophilus, L.bulgaricus, S.thermophilus 1. PENDAHULUAN Biodiversitas mikroorganisme dalam kolon manusia sangat kompleks dan beragam. Kolon manusia merupakan suatu ekosistem yang terdiri dari berbagai macam koloni mikroflora, diperkirakan terdiri atas 300-500 spesies bakteri yang berbeda (Guamaer & Malagelada, 2003). Beberapa koloni mikroba di dalam kolon antara lain Lactobacillus, Enterococcus, Streptococcus, Staphylococcus, Bifidobacteria, Eubacterium, Bacteroides, Clostridium dan Fusobacteria. Mikroflora di saluran kolon terdiri dari bakteri menguntungkan, bakteri patogen maupun bakteri yang mempunyai sifat keduanya. Contoh bakteri yang bersifat menguntungkan antara lain Bifidobacteria, Lactobacillus dan Streptococcus. Bakteri yang merugikan atau bersifat patogen antara lain Clostridia, Aeruginosa dan Staphylococcus. Sedangkan bakteri yang mempunyai kedua sifat tersebut antara lain Bacteroides, Escherichia coli dan Enterococcus (Gibson & Robertfroid, 1995). Probiotik merupakan mikroba hidup yang bila diberikan dalam jumlah tertentu akan bermanfaat bagi kesehatan saluran pencernaan (Duncan & Flint, 2013). Beberapa spesies bakteri probiotik yang sering digunakan dalam produk pangan antara lain Lactobacillus bulgaricus, Lactobacillus acidophilus dan Streptococcus thermophillus yang digunakan sebagai starter dalam pembuatan yogurt. Syarat yang harus dipenuhi kelompok bakteri asam laktat (BAL) yang digunakan sebagai bakteri probiotik antara lain: mempunyai ketahanan terhadap cairan asam lambung, garam empedu dan kondisi anaerob; mampu tumbuh dengan cepat dan menempel pada sel epitel usus serta saluran pencernaan lainnya; mampu mendegradasi laktosa; tidak bersifat patogen dan mampu menghambat bakteri 2 patogen serta memberikan pengaruh yang menguntungkan lainnya; mempunyai viabilitas yang tinggi sehingga tetap hidup; tumbuh dan aktif dalam sistem pencernaan (Akin, et al., 2007). Prebiotik adalah komponen bahan pangan yang tidak dapat dicerna oleh saluran pencernaan manusia secara enzimatis sehingga akan difermentasi oleh mikroflora yang ada di usus besar (AlSheraji, et al., 2013). Prebiotik di dalam usus besar akan mendukung pertumbuhan bakteri probiotik dan menekan bakteri patogen. Terdapat berbagai manfaat yang diperoleh dari mengonsumsi prebiotik, antara lain mencegah konstipasi yaitu kondisi tidak bisa buang air besar secara teratur, menurunkan pH usus dan dapat mengembalikan mikroflora di usus setelah terjadi perubahan akibat penggunaan antibiotik, diare maupun stress (Lopes, et al., 2016). Secara umum, komponen bahan pangan yang mempunyai sifat prebiotik antara lain polisakarida non pati (seperti pektin, selulosa dan xilan), gula dan oligosakarida (seperti laktosa, rafinosa, fruktooligosakarida, galaktooligosakarida dan laktulosa) (Grimoud, et al., 2010; Machado, et al., 2015). Salah satu contoh dari prebiotik alami yang saat ini terus dikembangkan adalah inulin yang dapat diperoleh dari beberapa tanaman. Inulin merupakan komponen bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh asam lambung maupun enzim pencernaan namun dapat merangsang pertumbuhan dan aktivitas bakteri probiotik dalam saluran pencernaan. Inulin telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan fungsional dalam bidang medis serta bidang farmasi. Inulin juga berfungsi sebagai dietary fiber yaitu kelompok kabohidrat yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim tubuh manusia tetapi difermentasi oleh mikroflora usus sehingga Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin …… (R. Haryo Bimo Setiarto, dkk.) berpengaruh pada fungsi usus (Huebner, et al., 2007). Gambar 1. Struktur inulin Inulin merupakan kelompok polisakarida alami dari karbohidrat yang tersusun dari gabungan monosakarida fruktosa. Setiap ujung pereduksi untai polimer inulin terdapat gugus terminal berupa glukosa. Masing-masing unit fruktosa dihubungkan oleh suatu ikatan (2→1) β-D- fructofuranosyl. Setiap ujung untai inulin dapat ditemukan glukosa sehingga polimer inulin dapat ditulis (GF)n yaitu fruktan dengan ujung terminal glukosa dan Fn yaitu fruktan tanpa ujung terminal glukosa (Adebola, et al., 2014). Struktur inulin dapat dilihat pada Gambar 1. Inulin terdapat pada beberapa jenis umbi-umbian seperti umbi Dahlia (Dahlia sp. L), umbi yacon (Chicoryum intybus L), umbi Jerusalem artichoke (Helianthus tuberosus), chicory, dandelion (Taraxacum offinale Weber) dan bawang-bawangan seperti bawang merah, bawang putih, asparagus, pisang serta gandum dalam jumlah yang kecil. Inulin juga dapat bersumber dari oat mentah, barley dan gandum (Cardarelli, et al., 2008). Sifat khas pada inulin yaitu dapat larut dalam air dan sulit dihidrolisis oleh enzim yang berada di saluran pencernaan sehingga dapat secara utuh sampai ke usus besar. Di dalam usus besar, inulin akan difermentasi oleh bakteri probiotik yang ada di dalam usus menjadi asam-asam lemak rantai pendek dan beberapa mikroflora spesifik menghasilkan asam laktat. Hal tersebut akan memberikan efek positif terhadap kesehatan tubuh. Sifatsifat inulin antara lain berbentuk serbuk putih, tidak berasa, tidak berbau dan tahan panas (Roberfroid, 2007). Inulin Sebagai prebiotik memberikan manfaat yang penting dalam tubuh karena dapat mengikat air dari beberapa polisakarida penting dalam mempertahankan air di dalam lambung. Selain itu, ada beberapa manfaat inulin di bidang pangan antara lain sebagai pengganti lemak dan gula pada produk makanan rendah kalori, campuran mayones, es krim, bahan baku sosis dan saus (Karimi, et al., 2015). Beberapa negara sudah memiliki aturan mengenai standar jumlah prebiotik yang dikonsumsi terutama inulin. Inulin merupakan salah satu jenis prebiotik yang banyak dimanfaatkan di dalam produk pangan sehingga perlu ditambahkan dalam kadar yang sesuai untuk produk makanan olahan seperti susu fermentasi. Kadar pemberian inulin perlu diketahui untuk mendapatkan jumlah optimal inulin yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kadar optimal inulin sebagai bahan prebiotik sehingga dapat diaplikasikan pada bakteri asam laktat starter yogurt. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan dan sebagai studi awal untuk pemanfaatan inulin sebagai sumber prebiotik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi prebiotik inulin terhadap pertumbuhan bakteri asam laktat starter yogurt (L. acidophillus, L. bulgaricus dan S. thermophillus) pada proses fementasi. Pertumbuhan bakteri asam laktat dianalisis menggunakan beberapa parameter yaitu peningkatan kekeruhan sel dengan prinsip turbidimetrik OD (Optical Density), peningkatan jumlah total koloni bakteri asam laktat dengan Total Plate Count (TPC), analisis kadar total asam laktat tertitrasi dan penurunan nilai pH selama fermentasi (Adebola, et al., 2014; Rossi, et al., 2005). 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong, Bogor, Jawa Barat pada bulan Juni hingga September 2016. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini berupa labu 3 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 1-17 erlenmeyer Pyrex 300 mL dan 500 mL, tabung reaksi 20 mL, autoklaf Hirayama HVE-50, Vortex Autovortex Mixer SA2, mikropipet Sibata (10-100 µL), mikropipet Eppendorf (100-1000 µL), mikropipet Sibata (1000-5000 µL), inkubator Isuzu Himawari, spektrofotometer Biospec 160i, timbangan, pH meter TOA, buret, jarum inokulasi, cawan petri, pembakar spiritus dan termometer. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Inulin dari chicory (Sigma-Aldrich), media Man Rogosa and Sharpe Broth (MRSB) (Oxoid) untuk menumbuhkan bakteri asam laktat dan bakteri uji L. acidophilus, L. bulgaricus dan S. thermophillus dari Fakultas Peternakan IPB. Komposisi media MRS terdiri dari Glukosa (D(+)-glucose Merck) 20 g/2%, Yeast extract (Bacto TM Yeast Extract) 4 g/0,4%, Beef extract, Bacto pepton (BBL TM Polypeptone TM Peptone) 10 g/1% , sodium acetat 5 g/0,5%, K2H2PO4 (Merck) 2 g/0,2%, MgSO4.7H2O (Merck) 0,05 g/0,005%, ammonium citrate tribune (SIGMA) 2 g/ 0,2%, Tween 80 (Merck) 1 mL/0,1% dan agar powder (American Bacteriological Agar) 20 g/2%. Pembuatan Media MRSB dan MRSA Kultur Fermentasi (Instant) Media MRSB instan ditimbang sebanyak 52 g kemudian dilarutkan dalam 1 liter akuades. Larutan diaduk sampai homogen dan disterilisasi pada suhu 121°C selama 15 menit. Selanjutnya, MRSB dituang ke dalam erlenmeyer masingmasing 25 mL, sesuai jumlah perlakuan dan ulangan. Pada masing-masing erlenmeyer yang berisi MRSB tersebut ditambahkan inulin dengan konsentrasi 0%; 0,1%; 0,3% dan 0,5%. Pembuatan MRSB Modifikasi Komposisi media MRSB modifikasi (1L) ditimbang dengan neraca digital yaitu yeast extract 20 g (sumber N), beef extract 4 g (sumber N), bacto pepton 10 g, sodium acetat 5 g, K2H2PO4 2 g, MgS04.7 H2O 0,2 g, Ammonium citrate tribasic 2 g, Tween 80 1 mL, MnSO4.7 H2O 0,05 g (Adebola, et al., 2014). Semua bahan dilarutkan 4 dengan akuades hingga mencapai 1 L. Campuran diaduk hingga homogen lalu disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit. Pembuatan Suspensi Bakteri Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus Koloni isolat L. acidophilus, L. bulgaricus dan S. thermophillus dibiakkan pada media MRSB dengan cara masingmasing bakteri diambil sebanyak 2% dari volume MRSB dan diinkubasi suhu 37°C selama 24 jam. Setelah inokulasi berumur 24 jam, suspensi bakteri siap diinokulasi pada media fermentasi MRSB yang mengandung inulin 0%, 0,1%, 0,3% dan 0,5% sebanyak 1 mL. Pembuatan Larutan Stok Inulin Standar Larutan stok inulin standar dibuat dengan konsentrasi 5% (b/v) yaitu dengan menimbang masing-masing sebanyak 7,5 g inulin dan dilarutkan dalam 150 mL media MRSB kemudian diaduk sampai homogen, difilter dengan millipur 0,45 μm. Selanjutnya dilakukan pengenceran untuk memperoleh konsentrasi inulin 0,1%, 0,3% dan 0,5% (b/v) dalam media MRSB guna pengujian pertumbuhan bakteri asam laktat. Uji Pengaruh Variasi Inulin Terhadap Pertumbuhan Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus Uji pengaruh variasi inulin terhadap pertumbuhan L. acidophilus, L. bulgaricus dan S. thermophillus dilakukan dengan beberapa cara antara lain perhitungan jumlah total sel dengan menggunakan prinsip turbidimetrik OD, perhitungan jumlah total koloni dengan TPC di MRSA serta mengetahui kadar total asam laktat dengan cara titrasi dan pengukuran pH menggunakan pH meter. Jumlah sel bakteri uji dihitung pada masing-masing lama inkubasi (6, 12, 18 dan 24 jam) diambil sebanyak 1 mL untuk dilakukan pengukuran OD pada panjang gelombang 600 nm. Sebanyak 1 mL sampel hasil Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin …… (R. Haryo Bimo Setiarto, dkk.) fermentasi (0, 6, 12, 18 dan 24 jam) diambil untuk dilakukan pengenceran dengan 9 mL akuades steril. Dua pengenceran paling akhir dari masingmasing sampel hasil fermentasi (0, 6, 12, 18 dan 24 jam) diambil 1 mL untuk diinokulasikan pada MRS agar plate dengan metode spread plate, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 48 jam. Jumlah koloni L. acidophilus, L. bulgaricus dan S. thermophillus yang tumbuh dihitung dan dinyatakan dalam logaritmic colony forming unit/mL (Log CFU/mL). Pengukuran Nilai Optical Density (OD) Nilai OD diukur pada setiap beda perlakuan konsentrasi variasi inulin setelah inkubasi selama 0, 6, 12, 18 dan 24 jam dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 600 nm. Analisis Kadar Total Asam Laktat dan Pengukuran Nilai Derajat Keasaman (pH) Nilai derajat keasaman (pH) diukur pada setiap perlakuan beda konsentrasi inulin setelah masa inkubasi 0, 6, 12, 18 dan 24 jam dengan menggunakan pH meter. Sebelum digunakan, pH meter dikalibrasi dengan buffer fosfat (pH 6,86) dan buffer asetat (pH 4,00). Sementara itu pengukuran kadar total asam laktat dilakukan dengan pengambilan sampel sebanyak 25 mL dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Campuran ini ditambahkan indikator PP untuk uji total asam sebanyak 2 hingga 3 tetes. Sampel kemudian dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N hingga terjadi perubahan warna menjadi merah muda yang menandakan telah tercapai titik akhir titrasi. Analisis Statistik Data hasil penelitian diolah secara statistik dengan menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf signifikansi 5% apabila hasil yang diperoleh berbeda nyata antar sampel dengan menggunakan Software SPSS 17,0. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan variabel tetap adalah konsentrasi inulin dan variabel bebas adalah jumlah total koloni bakteri asam laktat, nilai pH dan kadar total asam laktat tertitrasi. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin Terhadap pertumbuhan Lactobacillus acidophilus Pertumbuhan L. acidophilus dipengaruhi oleh jumlah konsentrasi inulin yang ditambahkan ke dalam media MRSB modifikasi, meskipun nilainya tidak terlalu signifikan (p<0,05). Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya pertumbuhan jumlah total koloni L. acidophilus selama masa inkubasi 24 jam. Pada masa inkubasi 24 jam telah terjadi peningkatan pertumbuhan sebanyak lebih dari 2 log (CFU/mL) koloni L. acidophilus baik pada perlakuan tanpa pemberian inulin maupun pemberian inulin 0,1%; 0,3% dan 0,5% (Tabel 1). Semakin banyak jumlah konsentrasi inulin yang ditambahkan dalam media MRSB modifikasi maka akan meningkatkan pertumbuhan jumlah total koloni L. acidophilus. Bakteri L. acidophilus memasuki fase eksponensial pertumbuhan mulai dari masa inkubasi jam ke-6 hingga jam ke-24 sebagaimana yang digambarkan oleh grafik peningkatan nilai OD L. acidophilus pada Gambar 1. Sampai akhir masa inkubasi 24 jam masih terus terjadi peningkatan pertumbuhan L. acidophilus dan belum masuk fase stasioner. Penambahan konsentrasi inulin 0,5% ke dalam media MRSB merupakan modifikasi yang paling efektif dalam meningkatkan pertumbuhan L. acidophilus jika dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini disebabkan perlakuan tersebut mampu menghasilkan peningkatan pertumbuhan jumlah total koloni L. acidophilus tertinggi yaitu sebesar 2,73 log (CFU/mL). L. acidophilus dan L. bulgaricus merupakan kelompok jenis bakteri asam laktat yang bersifat homofermentatif. 5 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 1-17 Tabel 1. Jumlah total koloni L. acidophilus (log CFU/mL sampel) pada beberapa variasi kadar inulin (0%; 0,1%; 0,3%; 0,5%) selama 24 jam. Jumlah total koloni L. acidophilus (log CFU/mL) Interval lama Inkubasi Inulin 0% a Inulin 0,10% 7,65±0,03 a Inulin 0,30% 7,38±0,02 Inulin 0,50% g 7,33±0,01g 0 jam 7,81±0,02 6 jam 8,47±0,04b 8,54±0,01b 8,69±0,01f 8,75±0,07f 12 jam 9,42±0,01c 8,96±0,02f 8,84±0,04f 8,81±0,03f 18 jam d 9,10±0,05 d 9,08±0,06 d 8,99±0,03 9,92±0,02e 24 jam 9,99±0,02e 9,91±0,04e 9,49±0,01c 10,06±0,05e Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan taraf nyata 95%, (α=5%), setelah dilakukan uji statistik dengan uji BNT pada SPSS 17,0. Bakteri asam laktat yang bersifat homofermentatif dapat memproduksi asam laktat sebagai produk mayoritas dari fermentasi karbohidrat dan sebagian kecil asetat melalui jalur heksosa difosfat (HDP) atau disebut juga Embden-Meyarhoff Pathway (Cummings, et al., 2001). Sementara itu bakteri asam laktat bersifat heterofermentatif dapat menghasilkan laktat dari fermentasi karbohidrat melalui jalur heksosa monofosfat (HMP) atau biasa juga disebut jalur fosfoketolase dan jalur pentosa fosfat. L. acidophilus dan L. bulgaricus bersifat homofermentatif sehingga dalam proses metabolismenya dapat menghasilkan asam laktat melalui jalur heksosa difosfat (HDP). Karimi, et al., (2015) melaporkan bahwa asam laktat yang terbentuk pada proses fermentasi sebagian besar diubah menjadi asam asetat, asam propionat dan butirat melalui jalur asetil-KoA. Gambar 1. Nilai OD L. acidophilus dari beberapa variasi kadar inulin (0%; 0,1%; 0,3%; 0,5%) selama 24 jam. 6 Berdasarkan hasil penelitian, fermentasi inulin oleh L. acidophilus belum mencapai fase stasioner pada jam ke-24 (Gambar 1). Apabila proses fermentasi inulin dilanjutkan setelah fermentasi 24 jam, dapat dilihat waktu ketika L. acidophilus memasuki fase stasioner dan fase kematian. Pengamatan pertumbuhan L. acidophilus dibatasi sampai jam ke-24 untuk mencegah penurunan kualitas sensorik produk yogurt akibat produksi asam laktat berlebih. Hal ini disebabkan tujuan fermentasi inulin ini adalah untuk diaplikasikan pada produksi yogurt sinbiotik. Selain itu, setelah memasuki fase stasioner dan kematian sebagian besar asam laktat hasil fermentasi inulin akan mengalami fermentasi alkohol oleh enzim laktat dehidrogenase sehingga dapat menimbulkan cita rasa pahit (Karimi, et al., 2015). Konsentrasi optimum inulin untuk meningkatkan pertumbuhan L. acidophilus ditentukan berdasarkan jumlah total koloni tertinggi dan nilai OD setelah masa inkubasi 24 jam. Semakin tinggi nilai OD dan jumlah total koloni bakteri menunjukkan peningkatan pertumbuhan bakteri asam laktat secara signifikan. Pada fermentasi inulin oleh L. acidophilus selama 24 jam terjadi penurunan nilai pH dan peningkatan kadar asam laktat baik pada perlakuan tanpa pemberian inulin maupun pemberian inulin 0,1%; 0,3% dan 0,5% (Gambar 2). Macfarlane dan Cummings (1999) melaporkan bahwa penurunan pH dipengaruhi oleh meningkatnya kadar asam laktat yang dihasilkan oleh BAL. Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin …… (R. Haryo Bimo Setiarto, dkk.) Tabel 2. Kadar total asam laktat tertitrasi L. acidophilus dengan beberapa variasi kadar inulin (0%; 0,1%; 0,3%; 0,5%) selama 24 jam Interval lama Inkubasi 0 jam 6 jam 12 jam 18 jam 24 jam Nilai kadar total asam laktat L. acidophilus (%) Inulin 0% a 0,63±0,02 0,54±0,01b 0,45±0,01c 0,45±0,02c 0,41±0,02c Inulin 0,10% a 0,63±0,02 0,63±0,02a 0,32±0,01d 0,54±0,01b 0,59±0,01e Inulin 0,30% c 0,49±0,03 0,54±0,02b 0,50±0,04c 0,36±0,02d 0,36±0,01d Inulin 0,50% 0,36±0,02d 0,54±0,02b 0,36±0,02d 0,45±0,01c 0,36±0,03d Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan taraf nyata 95%, (α=5%), setelah dilakukan uji statistik dengan uji BNT pada SPSS 17,0. Gambar 2. Nilai pH L. acidophilus dengan beberapa variasi kadar inulin (0%; 0,1%; 0,3%; 0,5%) selama 24 jam Hidrolisis inulin sebagai sumber karbon dalam sel L. acidophilus akan menghasilkan energi yang dimanfaatkan untuk pertumbuhan, reproduksi sel maupun aktivitas bakteri probiotik. Selain menghasilkan energi untuk metabolisme dan pembelahan sel, fermentasi ini juga menghasilkan produk sampingan berupa asam laktat. Pembentukan asam laktat tersebut akan menurunkan nilai pH. Pada penelitian ini, kadar total asam laktat yang dihasilkan oleh L. acidophilus relatif mengalami fluktuasi (peningkatan maupun penurunan) pada setiap interval periode analisis. Fluktuasi tersebut terjadi karena asam laktat sebagai asam lemak rantai pendek juga dimanfaatkan sebagai sumber karbon oleh L. acidophilus untuk pertumbuhannya melalui jalur metabolisme β-oksidasi sehingga asam laktat hasil metabolisme inulin langsung dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi oleh L. acidophilus. Macfarlane dan Cummings (1999) melaporkan bahwa fermentasi karbohidrat adalah sumber energi utama bagi mikroflora usus misalnya Lactobacillus dan Bifidobacterium. Namun seiring dengan pergerakan bahan cerna di sepanjang distal kolon, ketersediaan karbohidrat akan berkurang sehingga protein dan asam amino akan menjadi sumber energi metabolik dominan untuk bakteri di daerah distal kolon. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya bakteri patogen di usus karena protein dan asam amino merupakan sumber nutrien utama bagi bakteri patogen. Oleh karena itu, diet karbohidrat yang sulit dicerna tetap dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan mikroflora di usus, yang akhirnya memunculkan konsep prebiotik. Pada produksi asam lemak rantai pendek, pemanfaatan inulin tersebut akan didegradasi oleh enzim fruktofuranosidase yang dihasilkan oleh L. acidophilus menjadi fruktosa. Selanjutnya, fruktosa yang merupakan pentosa melalui fermentasi mengalami proses glikolisis menjadi asam piruvat. Dalam proses metabolisme selanjutnya asam piruvat akan diubah menjadi asam laktat, asam asetat, asam propionat, asam butirat dan gas (Wang & Gibson, 1993). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Cummings, et al., (2001), karbohidrat utama di dalam usus berupa oligosakarida dan dietary fiber akan difermentasi oleh bakteri asam laktat seperti Lactobacillus dan Bifidobacterium menjadi asam lemak rantai pendek terutama asam laktat, asam asetat, propionat dan butirat, serta 7 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 1-17 sejumlah metabolit lainnya seperti etanol, suksinat, gas CO2, H2S, CH4 dan H2S. Produksi asam lemak rantai pendek dan gas merupakan produk dari aktivitas mikroflora pada fermentasi, namun pola untuk menghasilkan produk ini oleh masing-masing mikroflora berbeda dan masih banyak yang belum diketahui. Efek produksi asam lemak rantai pendek dan peningkatan jumlah bakteri menguntungkan antara lain meningkatkan fungsi usus, absorpsi kalsium, metabolisme lipid dan mengurangi risiko kanker kolon (Cycroft, et al., 2001). Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin Terhadap pertumbuhan Lactobacillus bulgaricus Pertumbuhan L. bulgaricus sangat dipengaruhi secara signifikan oleh konsentrasi inulin yang ditambahkan ke dalam media MRSB modifikasi (p<0,05). Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya pertumbuhan jumlah total koloni L. bulgaricus selama masa inkubasi 24 jam dimana telah terjadi peningkatan pertumbuhan sebanyak lebih dari 2 log (CFU/mL) koloni L. bulgaricus baik pada perlakuan tanpa pemberian inulin maupun dengan pemberian inulin 0,1%; 0,3% dan 0,5% (Tabel 3). Semakin banyak jumlah konsentrasi inulin yang ditambahkan dalam media MRSB modifikasi maka pertumbuhan jumlah total koloni L. bulgaricus akan meningkat. Bakteri L. bulgaricus memasuki fase eksponensial pertumbuhannya mulai dari masa inkubasi jam ke-6 hingga jam ke-18, sebagaimana yang digambarkan oleh grafik peningkatan nilai OD L. bulgaricus (Gambar 3). Selanjutnya pertumbuhan sedikit melambat pada interval waktu inkubasi antara jam ke-12 dan jam ke-18. Setelah memasuki jam ke-24, pertumbuhan L. bulgaricus memasuki fase stationer karena habisnya substrat inulin dan nutrisi sumber karbon maupun sumber nitrogen yang terkandung dalam media MRSB. Penambahan konsentrasi inulin 0,5% ke dalam media MRSB modifikasi paling efektif dalam meningkatkan pertumbuhan L. bulgaricus jika dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini disebabkan perlakuan tersebut mampu menghasilkan peningkatan pertumbuhan jumlah total koloni L. bulgaricus tertinggi yaitu sebesar 2,75 log (CFU/mL). Selain itu perlakuan tersebut juga mempercepat L. bulgaricus masuk ke fase pertumbuhan eksponensial selama periode inkubasi pada jam ke-6 sampai jam ke-12. Gambar 3 memperlihatkan grafik pola pertumbuhan L. bulgaricus yang berbeda jika dibandingkan dengan grafik pola pertumbuhan L. acidophilus pada Gambar 1. Pertumbuhan L. bulgaricus meningkat secara signifikan setelah pemberian konsentrasi inulin 0,3% dan 0,5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi inulin yang ditambahkan ke dalam media MRSB akan semakin mempercepat laju pertumbuhan L. bulgaricus. Kecepatan pertumbuhan sel L. bulgaricus berbanding lurus dengan kebutuhan energi metabolisme yang diperlukan oleh bakteri tersebut untuk melakukan pembelahan sel. Kebutuhan Tabel 3. Jumlah total koloni L. bulgaricus (log CFU/mL sampel) pada beberapa variasi kadar inulin (0%; 0,1%; 0,3%; 0,5%) selama 24 jam Interval lama Inkubasi Jumlah total koloni L. bulgaricus (log CFU/mL) 0 jam 6 jam 12 jam 18 jam Inulin 0% 7,37±0,02a 7,60±0,03b 8,71±0,01c 9,24±0,06d Inulin 0,10% 7,35±0,04a 7,65±0,06b 8,49±0,02f 8,94±0,03c Inulin 0,30% 7,35±0,06a 7,95±0,03g 8,70±0,05c 9,59±0,02d Inulin 0,50% 7,30±0,02a 7,82±0,04g 8,51±0,07f 9,23±0,03d 24 jam 9,74±0,04e 9,87±0,05e 9,86±0,01e 10,05±0,02h Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan taraf nyata 95%, (α=5%), setelah dilakukan uji statistik dengan uji BNT pada SPSS 17,0. 8 Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin …… (R. Haryo Bimo Setiarto, dkk.) energi yang tinggi ini akan menginduksi sel untuk mempercepat proses metabolismenya sehingga nutrisi yang terkandung dalam media pertumbuhan L. bulgaricus lebih cepat habis. Hal inilah yang membuat L. bulgaricus lebih cepat masuk ke fase stastioner dan kematian pada pemberian konsentrasi inulin 0,3% dan 0,5%. Pada perlakuan tanpa pemberian konsentrasi inulin (0%) dan penambahan inulin 0,1% laju pertumbuhan L. bulgaricus justru lebih lambat sehingga pada akhir jam ke-24 L. bulgaricus masih terus mengalami fase eksponensial dan belum mencapai fase stasioner (Gambar 3). Hal ini semakin membuktikan bahwa prebiotik inulin merupakan sumber nutrisi penting dan esensial yang dibutuhkan oleh L. bulgaricus dalam meningkatkan dan mempercepat laju pertumbuhannya. Nilai pH sangat berkaitan dengan kadar asam laktat yang dihasilkan selama fermentasi inulin oleh L. bulgaricus (Tabel 4 dan Gambar 4). Asam laktat yang dihasilkan dari metabolisme inulin menyebabkan penurunan pH. Hal tersebut berkaitan dengan kenaikan jumlah populasi bakteri asam laktat yang memanfaatkan inulin sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan. Semakin banyak jumlah inulin sebagai sumber karbon yang dapat dimetabolisme maka semakin banyak pula asam lemak rantai pendek yang dihasilkan sehingga secara otomatis pH akan semakin rendah. Fluktuasi kadar asam laktat yang dihasilkan selama fermentasi inulin oleh L. bulgaricus menunjukkan bahwa asam laktat sebagai asam lemak rantai pendek dimanfaatkan sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan L. bulgaricus sehingga asam laktat langsung dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi (Tabel 4). Seluruh senyawa prebiotik yang masuk dalam saluran pencernaan manusia akan mengalami fermentasi oleh bakteri di usus besar melalui beberapa jalur metabolisme untuk fermentasi inulin. Produk utama dari fermentasi inulin adalah butirat sedangkan produk utama dari fermentasi Frukto Oligosakarida (FOS) adalah asam asetat dan asam laktat (Rossi, et al., 2005). Selain itu, populasi Clostridium pada saluran pencernaan bertanggung jawab untuk peningkatan produksi gas seperti CO2 dan H2 sebagai hasil samping dari fermentasi fruktan melalui degradasi langsung dari inulin (Duncan, et al., 2004). Asam butirat adalah salah satu asam lemak rantai pendek paling penting yang dihasilkan selama fermentasi inulin. Jalur metabolisme untuk menghasilkan asam butirat terdiri dari kondensasi dua molekul asetil koenzim A dan pengurangan senyawa butiril-CoA (Duncan, et al., 2002). Asam butirat dapat dihasilkan melalui aktivitas enzim butirat kinase (Diez-Gonzalez, et al., 1999). Di jalur metabolisme lain yang melibatkan senyawa butiril-CoA dan enzim asetat transferase CoA, senyawa CoA dapat berpindah ke asetat ekstrinsik sehingga menghasilkan produk asam butirat dan asetil-CoA (Louis, et al., 2004). Gambar 3. Nilai OD L. bulgaricus dengan beberapa variasi kadar inulin (0%; 0,1%; 0,3%; 0,5%) selama 24 jam Hasil penelitian tentang metabolisme inulin dalam menghasilkan asam butirat melalui jalur butiril-CoA dan asetat transferase CoA menunjukkan keragaman yang tinggi di antara mikroorganisme dalam saluran pencernaan terkait kemampuan mereka untuk memanfaatkan asetat eksternal sebagai acosubstrate (Falony, et al., 2009). Meskipun aktivitas prebiotik dari inulin telah dipelajari secara ekstensif sebagai bahan pangan fungsional, masih sedikit informasi yang diperoleh mengenai korelasi antara kemampuan fermentasi bakteri probiotik di usus dengan panjang rantai polimer fruktan. Bakteri L. bulgaricus telah menunjukkan kemampuan degradasi tinggi pada rantai terpanjang 9 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 1-17 inulin tetapi belum menunjukkan selektivitasnya terhadap derajat polimerisasinya (Rossi, et al., 2005). L. bulgaricus juga dapat melepaskan enzim glikosil hidrolase dan β-fruktofuranosida untuk mencerna inulin (Schell, et al., 2002). Salah satu dampak dari penggunaan prebiotik inulin adalah pH di kultur sel maupun di dalam saluran pencernaan bersifat sedikit lebih asam sehingga menguntungkan untuk pertumbuhan probiotik. Jadi meskipun penurunan pH kolon dapat lebih meningkatkan pertumbuhan bakteri probiotik dengan menghambat pertumbuhan bakteri patogen, konsentrasi yang tinggi dari beberapa sumber prebiotik tersebut juga memiliki dampak negatif terhadap pertumbuhan bakteri probiotik. Prebiotik inulin juga dapat meningkatkan pertumbuhan probiotik dengan menurunkan pH usus ke tingkat optimal yang dipengaruhi oleh sifat fisikokimia asam empedu (Rodrigues, et al., 1998). Konsentrasi tinggi prebiotik inulin juga dapat menurunkan kelarutan asam empedu sehingga dapat menurunkan kadar toksisitas. Su, Henriksson & Mitchell (2007) melaporkan bahwa bakteri Lactobacillus casei dan Bifidobacterium lactis dapat tumbuh dalam medium MRSB yang ditambahkan inulin. Huebner, et al., (2007) telah melakukan penelitian untuk memilih prebiotik dengan penambahan FOS, inulin dan GOS yang terbukti ketiganya mampu meningkatkan pertumbuhan Lactobacillus sp. dan Bifidobacteria. Kombinasi tertentu antara probiotik dan prebiotik dapat memberi peningkatan yang tertinggi. Hal ini termasuk L. paracasei 1195 yang dapat ditumbuhkan pada media yang mengandung inulin. Rata-rata nilai pH pada awal fermentasi untuk semua perlakuan adalah sama yaitu 7,0 dan nilai pH menurun sejalan dengan bertambahnya waktu fermentasi (Gambar 4). Perubahan nilai pH disebabkan karena terbentuknya asamasam organik dengan produk utamanya adalah asam laktat. Sebagaimana dilaporkan oleh Alvarez-Olmas dan Oberhelman (2001) bahwa fermentasi karbohidrat oleh bakteri asam laktat menghasilkan asam-asam organik seperti laktat dan asetat yang menyebabkan penurunan pH di sekitarnya sehingga organisme patogen tidak mampu hidup. Perubahan pH menjadi asam akan menyebabkan efek antimikroba bagi mikroba patogen, sebaliknya bakteri asam laktat masih dapat hidup dalam suasana asam dengan pH optimum 3-8 (Djaafar, et al.,1996). Mekanisme lain dari sifat antimikroba ini adalah bakteri asam laktat juga menghasilkan peptida antimikroba misalnya bakteriosin. Bakteriosin mempunyai sifat daya hambat karena polipetida yang terkandung mampu bergabung dengan protein-protein lapisan membran sel bakteri patogen sehingga membran sel tidak dapat berfungsi dengan baik dalam hal menyeleksi molekulmolekul keluar masuk sel (Anderssen, et al., 1998). Tabel 4. Kadar total asam laktat tertitrasi L. bulgaricus dengan beberapa variasi kadar inulin (0%; 0,1%; 0,3%; 0,5%) selama 24 jam Interval lama Inkubasi 0 jam 6 jam 12 jam 18 jam 24 jam Nilai kadar total asam laktat L. bulgaricus (%) Inulin 0% a 0,49±0,02 0,54±0,01b 0,54±0,01b 0,54±0,01b 0,54±0,01b Inulin 0,10% a 0,45±0,02 0,63±0,02c 0,45±0,01a 0,45±0,01a 0,45±0,01a Inulin 0,30% b 0,54±0,01 0,54±0,01b 0,63±0,02c 0,54±0,02b 0,90±0,04d Inulin 0,50% 0,63±0,02c 0,54±0,01b 0,72±0,04e 0,99±0,03f 0,72±0,02e Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan taraf nyata 95%, (α=5%), setelah dilakukan uji statistik dengan uji BNT pada SPSS 17,0 10 Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin …… (R. Haryo Bimo Setiarto, dkk.) Apajalahti, et al., (2002), membutikan bahwa pemberian inulin pada diet tikus mengakibatkan peningkatan jumlah bakteri caecum dan peningkatan asam lemak rantai pendek sehingga terjadi reduksi pH. Gambar 4. Nilai pH L. bulgaricus dengan beberapa variasi kadar inulin (0%; 0,1%; 0,3%; 0,5%) selama 24 jam Menurut Cummings, et al., (2001), manfaat asam lemak rantai pendek hasil fermentasi bakteri probiotik yaitu dapat diabsorpsi oleh mukosa usus dan berperan dalam pemenuhan kebutuhan energi. Asam laktat akan menjadikan kondisi usus menjadi asam sehingga bakteri patogen yang tidak tahan asam akan mati. Asam asetat akan dimetabolisme pada sel otot, ginjal, jantung dan otak. Asam propionat merupakan prekusor glukoneogenik yang menekan sintesis kolesterol dalam hati. Hal ini dibuktikan dengan percobaan in vitro oleh Pereira, et al., (2003) terhadap penurunan kadar kolesterol yang disebabkan tingginya kadar propionat oleh L. fermentum. Naruszewicz, et al. (2002) membuktikan bahwa L. plantarum dapat menurunkan tekanan darah, fibrinogen dan kolesterol LDL serta menaikkan kolesterol HDL. Sementara itu asam butirat merupakan sumber energi utama untuk kolonosit, dimana butirat dimetabolisme oleh epitel kolon dan berfungsi sebagai regulator pertumbuhan dan deferensiasi sel (Russell, et al., 2013). Di samping itu, asam butirat memegang peranan penting dalam mencegah kanker (Topping & Clifton, 2001). Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin Terhadap pertumbuhan Streptococcus thermophilus Hampir serupa dengan L. bulgaricus, pertumbuhan S. thermophilus sangat dipengaruhi secara signifikan oleh konsentrasi inulin yang ditambahkan ke dalam media MRSB modifikasi (p<0,05). Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya pertumbuhan jumlah total koloni S. thermophilus selama masa inkubasi 24 jam. Selama masa inkubasi 24 jam telah terjadi peningkatan pertumbuhan sebanyak lebih dari 2 log (CFU/mL) koloni S. thermophilus baik pada perlakuan tanpa pemberian inulin maupun pemberian inulin 0,1%; 0,3% dan 0,5% (Tabel 5). Semakin banyak jumlah konsentrasi inulin yang ditambahkan dalam media MRSB modifikasi maka akan meningkatkan pertumbuhan jumlah total koloni S. thermophilus. Bakteri S. thermophilus memasuki fase eksponensial pertumbuhannya mulai dari masa inkubasi jam ke-6 hingga jam ke-18 sebagaimana yang digambarkan oleh grafik peningkatan nilai OD L. bulgaricus (Gambar 5). Pada periode jam ke-18 sampai jam ke-24, pertumbuhan S. thermophilus memasuki fase stasioner. Setelah jam ke-24 pertumbuhan S. thermophilus memasuki fase kematian (death) karena telah habisnya substrat inulin dan nutrisi sumber karbon maupun sumber nitrogen yang terkandung dalam media MRSB. Penambahan konsentrasi inulin 0,5% ke dalam media MRSB modifikasi paling efektif dalam meningkatkan pertumbuhan S. thermophilus jika dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini disebabkan perlakuan tersebut mampu menghasilkan peningkatan pertumbuhan jumlah total koloni S. thermophilus tertinggi yaitu sebesar 2,84 log (CFU/mL). Selain itu perlakuan tersebut juga mempercepat S. thermophilus masuk ke fase pertumbuhan eksponensial selama periode inkubasi jam ke-6 sampai jam ke-12. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa kecepatan pertumbuhan L. bulgaricus dan S. thermophilus lebih sensitif terhadap penambahan konsentrasi prebiotik inulin jika dibandingkan dengan L. acidophilus. 11 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 1-17 Tabel 5. Jumlah total koloni S. thermophilus ( log CFU/ml sampel) pada beberapa variasi kadar inulin (0%; 0,1%; 0,3%; 0,5%) selama 24 jam Interval lama Inkubasi 0 jam 6 jam 12 jam 18 jam 24 jam Jumlah total koloni S. thermophilus (log CFU/ml) Inulin 0% a 7,28±0,04 7,97±0,06b 8,71±0,02c 9,02±0,03d 9,27±0,05d Inulin 0,10% a 7,26±0,02 7,91±0,04b 8,93±0,02c 9,67±0,04e 9,58±0,03e Inulin 0,30% a 7,24±0,03 7,52±0,02f 9,00±0,06d 9,42±0,02e 9,82±0,02f Inulin 0,50% 6,85±0,02g 7,99±0,05b 9,17±0,03d 9,65±0,04e 9,69±0,05e Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan taraf nyata 95%, (α=5%), setelah dilakukan uji statistik dengan uji BNT pada SPSS 17,0. Gambar 5 memperlihatkan grafik pola pertumbuhan S. thermophilus yang hampir serupa jika dibandingkan dengan grafik pola pertumbuhan L. bulgaricus pada Gambar 3 namun sangat berbeda dengan grafik pola pertumbuhan L. acidophilus (Gambar 1). Gambar 5. Nilai OD S. thermophilus dengan beberapa variasi kadar inulin (0%; 0,1%; 0,3%; 0,5%) selama 24 jam Pertumbuhan S. thermophilus meningkat secara signifikan setelah pemberian konsentrasi inulin 0,3% dan 0,5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi inulin yang ditambahkan ke dalam media MRSB akan semakin mempercepat laju pertumbuhan S. thermophilus. Kecepatan pertumbuhan sel S. thermophilus berbanding lurus dengan kebutuhan energi metabolisme yang diperlukan oleh bakteri tersebut untuk melakukan pembelahan sel. Kebutuhan energi yang tinggi ini akan menginduksi sel untuk mempercepat proses metabolismenya sehingga nutrisi yang 12 terkandung dalam media pertumbuhan S. thermophilus lebih cepat habis. Hal inilah yang membuat S. thermophilus lebih cepat masuk ke fase stastioner dan kematian pada pemberian konsentrasi inulin 0,3% dan 0,5%. Pada perlakuan tanpa pemberian konsentrasi inulin (0%) dan penambahan inulin 0,1% laju pertumbuhan L. bulgaricus justru lebih lambat sehingga pada akhir jam ke-24 L. bulgaricus masih terus mengalami fase eksponensial dan belum mencapai fase stasioner (Gambar 5). Hal ini semakin membuktikan bahwa prebiotik inulin merupakan sumber nutrisi penting dan esensial yang dibutuhkan oleh L. bulgaricus dalam meningkatkan dan mempercepat laju pertumbuhannya. Penurunan pH selama fermentasi inulin oleh S. thermophilus dipengaruhi oleh adanya aktivitas bakteri tersebut dalam menghidrolisis inulin menjadi asam laktat (Gambar 6 dan Tabel 6). Gambar 6. Nilai pH S. thermophilus dengan beberapa variasi kadar inulin (0%; 0,1%; 0,3%; 0,5%) selama 24 jam Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin …… (R. Haryo Bimo Setiarto, dkk.) Tabel 6. Kadar total asam laktat tertitrasi S. thermophilus dengan beberapa variasi kadar inulin (0%; 0,1%; 0,3%; 0,5%) selama 24 jam Interval lama Inkubasi 0 jam 6 jam 12 jam 18 jam 24 jam Nilai kadar total asam laktat S. thermophilus (%) Inulin 0% a 0,58±0,04 0,63±0,02a 0,59±0,01a 0,63±0,03a 0,54±0,02b Inulin 0,10% c 0,40±0,01 0,54±0,02b 0,41±0,04c 0,63±0,02a 0,50±0,01d Inulin 0,30% d 0,49±0,02 0,68±0,01e 0,72±0,04e 0,99±0,04f 0,72±0,02e Inulin 0,50% 0,49±0,01d 0,68±0,03e 1,17±0,02g 0,90±0,04h 1,17±0,02g Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan taraf nyata 95%, (α=5%), setelah dilakukan uji statistik dengan uji BNT pada SPSS 17,0. Asam laktat yang terbentuk sebagai hasil metabolisme inulin menyebabkan penurunan pH. Hal tersebut berkaitan dengan semakin meningkatnya jumlah populasi bakteri asam laktat yang menggunakan inulin sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya. Semakin banyak sumber karbon yang dapat dimetabolisme maka semakin banyak pula asam laktat yang dihasilkan sehingga secara otomatis pH juga akan semakin rendah. Duncan dan Flint (2013) melaporkan bahwa bakteri jenis Streptococcus sp. bertanggung jawab atas penurunan pH awal yogurt menjadi sekitar 5,0 sedangkan Lactobacillus sp. bertanggung jawab atas penurunan lebih lanjut sampai pH mencapai 4,5. Inulin relatif masih utuh setelah transisi melalui sistem pencernaan. Inulin di dalam usus besar dicerna oleh enzim fruktofuranosidase yang dihasilkan oleh Bifidobacteria (Pokusaeva, et al., 2011). Inilah sebabnya inulin tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia kecuali melalui aktivitas bakteri probiotik. Inulin dapat mengubah komposisi mikroflora di dalam usus manusia dengan proses fermentasi yang didominasi oleh Bifidobacteria. Seperti disebutkan sebelumnya, derajat polimerisasi inulin biasanya berkisar 3-60 (Murphy, 2001). Hal inilah yang membuat fermentasi inulin dengan spesies Lactobacillus sp. relatif lebih mudah (Buriti, et al., 2007) karena kemampuan untuk memfermentasi jenis inulin merupakan kemampuan spesifik dari Lactobacillus sp. (Makras, et al., 2005). Efektivitas prebiotik inulin tidak hanya dipengaruhi oleh derajat polimerisasinya, namun juga tergantung pada kadar inulin (Van Loo, 2004). Alves, et al. (2013) meneliti penerapan inulin sebagai prebiotik di dalam keju krim yang dibentuk melalui fermentasi S. thermophilus, Bifidobacterium animalis Bb-12 dan L. acidophilus La-5. S. thermophilus menunjukkan viabilitas yang baik (6,669,38 log cfu g-1) sedangkan Bifidobacterium animalis memiliki viabilitas di atas 6 log cfu g-1 selama periode penyimpanan 45 hari. Namun L. acidophilus menunjukkan penurunan nilai viabilitas sebesar 3,1 log cfu g-1 pada akhir periode penyimpanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa inulin dalam krim keju lebih spesifik dapat menjaga pertumbuhan S. thermophilus, Bifidobacterium animalis Bb-12. Cardarelli, et al., (2008) meneliti pengaruh penambahan inulin, oligofruktosa dan oligosakarida lainnya terhadap viabilitas bakteri probiotik Bifidobacterium lactis dan L. acidophilus yang terkandung dalam keju petitsuisse. Mereka menemukan bahwa populasi probiotik bervariasi antara 7,20-7,69 log cfu g-1 untuk Bifidobacterium lactis dan 6,08-6,99 log cfu g-1 untuk L. acidophilus. Jumlah populasi probiotik menurun selama penyimpanan untuk kedua bakteri probiotik tersebut. Penurunan jumlah viabilitas koloni selama penyimpanan tidak pernah di atas 0,74 log cfu g-1 untuk L. acidophilus dan 0,37 log cfu g-1 untuk Bifidobacterium lactis. ModzelewskaKapitula, et al., (2007) meneliti jumlah 13 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 1-17 total populasi koloni L. plantarum dalam keju yang diberikan penambahan inulin dan melaporkan bahwa jumlah total koloni L. plantarum sangat dipengaruhi oleh penambahan inulin. Jumlah total koloni L. plantarum dalam sampel keju yang mengandung inulin berada di kisaran 7,277,66 cfu g-1. Nilai rata-rata jumlah total koloni L. plantarum jauh lebih tinggi daripada viabilitas bakteri tersebut pada sampel keju tanpa inulin selama periode penyimpanan 45 hari. Hal inilah yang berhasil dibuktikan yaitu penambahan inulin dengan konsentrasi 0,1-0,5% (b/v) ke dalam media MRSB sangat berpengaruh dalam meningkatkan viabilitas pertumbuhan bakteri L. acidophilus, L. bulgaricus, S. thermophilus sebesar 2,0-2,5 log cfu/mL. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa inulin dengan konsentrasi 0,1-0,5% (b/v) dapat diaplikasikan dalam pembuatan yogurt sinbiotik. Salem, et al., (2007) meneliti efek dari penambahan 1% inulin pada pertumbuhan dan stabilitas L. reuteri B14171, L. johnsonii B-2178 dan L. salivarius B-1950 sebagai kultur untuk starter pembuatan keju selama 30 hari penyimpanan pada suhu 5oC. Mereka membuktikan bahwa inulin tidak memiliki pengaruh pada pola pertumbuhan dari S. thermophilus dan L. delbreuckii ssp. bulgaricus selama penyimpanan dingin keju. Mereka juga menunjukkan bahwa kelangsungan hidup ketiga strain bakteri probiotik menurun selama penyimpanan. Namun kelangsungan hidup probiotik ini dalam percobaan yang mengandung inulin lebih tinggi dari kontrol (tanpa inulin). Viabilitas tertinggi ditemukan pada sampel dengan inulin yaitu 87,8% untuk L. reuteri, 81,68% untuk L. johnsonii dan 79,16% untuk L. salivarius. Sebaliknya, sampel kontrol yang tidak mengandung prebiotik memiliki tingkat rata-rata kelangsungan hidup 77,8% untuk L. reuteri, 74% untuk L. johnsonii dan 76% untuk L. salivarius (Salem, et al., 2007). Akin & Kirmaci (2007) melaporkan bahwa penambahan prebiotik inulin pada produk es krim tidak berpengaruh pada pertumbuhan jumlah koloni bakteri 14 probiotik S. thermophilus dan L. delbrueckii ssp. bulgaricus, akan tetapi akan meningkatkan jumlah total koloni L. acidophilus dan Bifidobacterium lactis. Sementara itu pada penelitian ini diketahui bahwa penambahan 0,5% (b/v) inulin ke dalam media MRSB mampu meningkatkan pertumbuhan L. acidophilus, L.bulgaricus, S. thermophilus secara signifikan. Oleh karena itu prebiotik inulin dengan konsentrasi 0,5% (b/v) dapat diaplikasikan untuk meningkatkan kualitas sifat fungsional dari yogurt sinbiotik. 4. KESIMPULAN Penambahan inulin sebesar 0,5% (b/v) ke dalam media MRSB mampu meningkatkan pertumbuhan L. acidophilus, L. bulgaricus, S. thermophilus secara signifikan. Selama fermentasi inulin, L. acidophilus mengalami fase eksponensial pertumbuhan mulai dari jam ke-6 hingga jam ke-24. Sementara itu L. bulgaricus dan S. thermophilus mengalami fase eksponensial pertumbuhan mulai dari jam ke-6 hingga jam ke-18. Fermentasi bakteri asam laktat dalam penelitian ini belum mencapai fase stasioner pada jam ke-24. Hal ini disebabkan tujuan fermentasi inulin adalah untuk produksi yogurt sinbiotik sehingga pengamatan dibatasi sampai jam ke-24 untuk mencegah penurunan kualitas sensorik produk yogurt akibat produksi asam laktat berlebih. Laju pertumbuhan L. bulgaricus dan S. thermophilus lebih sensitif terhadap penambahan konsentrasi prebiotik inulin, jika dibandingkan dengan L. acidophilus. Selama pertumbuhan L. acidophilus, L. bulgaricus, S. thermophilus dalam media MRSB yang ditambahkan inulin terjadi penurunan nilai pH dari kisaran 7,00 menjadi di bawah 5,00 karena pembentukan asam lemak rantai pendek. Prebiotik inulin lebih spesifik untuk meningkatkan pertumbuhan Lactobacillus sp. Untuk penelitian ke depannya dapat dilakukan studi komparatif dengan membandingkan kemampuan pertumbuhan ketiga isolat bakteri asam laktat starter yogurt tersebut terhadap sumber prebiotik yang lain seperti Frukto Oligosakarida Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin …… (R. Haryo Bimo Setiarto, dkk.) (FOS), Gluko Oligosakarida rafinosa dan pati resisten. (GOS), UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Kegiatan Inkubasi Teknologi Pusat Inovasi LIPI 2016. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ibu Kasirah, Nimas Ayu Rikmawati, Dewi Rista dan Nety Agustin yang telah membantu baik secara teknis maupun non teknis sehingga penelitian ini berjalan lancar. DAFTAR PUSTAKA Adebola, O.O., Corcoran, O. & Morgan, W.A. (2014). Synbiotics: the impact of potential prebiotics inulin, lactulose and lactobionic acid on the survival and growth of lactobacilli probiotics. Journal of Functional Foods, 10, 75–84. Akin, M.B., Akin, M.S. & Kirmaci, Z. (2007). Effects of inulin and sugar levels on the viability of yogurt and probiotic bacteria and the physical and sensory characteristics in probiotic ice cream. Food Chemistry, 104, 93–99. Al-Sheraji, S.H., Ismaila, A., Manap, M.Y., Mustafa, S., Yusof, R.M. & Hassan, F.A. (2013). Prebiotics as functional foods: A review. Journal of Functional Foods, 5, 1542 –1553. Alvarez-Olmos, M.I. & Oberhelman, R.A. (2001). Probiotic agents and infectious diseases: a modern perspective on a traditional therapy. Clinical Infectious Diseases, 32, 1567–1576. Alves, L.L., Richards, N.S.P.S., Mattanna,P., Andrade, D.F., Rezer, A.P.S. & Milani, L.I.G. (2013). Cream cheese as a symbiotic food carrier using Bifidobacterium animalis Bb-12 and Lactobacillus acidophilus La-5 and inulin. International Journal of Dairy Technology, 66, 63–69. Anderssen, E.L., Diep, D.B., Nes, I.F., Eijsink, V.G.H. & Nissen-Meyer, J. (1998). Antagonistic activity of Lactobacillus plantarum C11: two new two-peptide bacteriocins, plantaricins EF and JK, and the induction factor plantaricin A. Applied and Environmental Microbiology, 64, 2269–2272. Apajalahti, J.H., Kettunen, H., Kettunen, A., Holben, W.E., Nurminen, P.H., Rautonen, N. & Mutanen, M. (2002). Culture independent microbial community analysis reveals that insulin in the diet primarily affects previously unknown bacteria in the mouse cecum. Applied and Environ mental Microbiology, 68: 4986–4995. Buriti, F.C.A., Cardarelli, H.R., Filisetti, T.M.C.C. & Saad, S.M.I. (2007). Symbiotic potential of fresh cream cheese supplemented with inulin and Lactobacillus paracasei in co-culture with Streptococcus thermophilus. Food Chemistry, 104, 1605–1610. Cardarelli, H.R., Buriti, F.C.A., Castro, I.A. & Saad, S.M.I. (2008). Inulin andoligofructose improve sensory quality and increase the probiotic viable countin potentially symbiotic petitsuisse cheese. LWT – Food Science and Technology, 41, 1037–1046. Cummings, J. H., Macfarlane, G. T. & Englyst, H. N. (2001). Prebiotic digestion and fermentation. American Journal of Clinical Nutrition, 73, 415–420. Cycroft, C.E., Jones, M.R., Gibson, G.R. & Rostall, R.A. (2001). A Comparative In Vitro Evaluation on the Fermentation properties of Prebiotic Oligosaccharides. Journal of Aplied Microbiology, 91, 878–897. Diez-Gonzalez, F., Bond, D.R., Jennings, E. & Russell, J.B. (1999). Alternativeschemes of butyrate production in Butyrivibriofibrisolvens and their relationship to acetate utilization, lactate production, and phylogeny. Archives of Microbiology, 171, 324–330. Djaafar, T.F., Rahayu, E.S., Wibowo & Sudarmadji. (1996). Substansi Antimikroba Bakteri Asam Laktat yang Diisolasi dari Makanan Hasil Fermentasi Tradisional Indonesia. Jurnal Pertanian Indonesia, 1, 15–21. Duncan, S.H., Barcenilla, A., Stewart, C.S., Pryde, S.E. & Flint, H.J. (2002). Acetateutilization and butyrylcoenzyme A (CoA): acetate-CoA transferase in butyrate-producing bacteria from the human large intestine. 15 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 1-17 Applied and Environmental Microbiology, 68, 5186–5190. Duncan, S.H. & Flint, H.J. (2013). Probiotics and prebiotics and health in ageing populations. Maturitas, 75(1), 44–50. Duncan, S., Louis, P. & Flint, H.J. (2004). Lactate-utilizing bacteria, isolated from human feces, that produce butyrate as a major fermentation product. Applied and Environmental Microbiology, 70, 5810–5817. Falony, G., Lazidou, K., Verschaeren, A., Weckx, S., Maes, D. & De Vuyst, L. (2009). In vitro kinetic analysis of fermentation of prebiotic inulin-type fructans by Bifidobacterium species reveals four different phenotypes. Applied and Environmental Microbiology, 75, 454–461. Gibson, G.R. & Roberfroid, M.B. (1995). Dietary modulation of human colonic microbiota: introducing the concept of prebiotics. J Nutrition, 125(6), 14011412. Grimoud, J., Durand, H., Courtin, C., Monsan, P., Ouarné, F., Theodorou, V. & Roques, C. (2010). In vitro screening of probiotic lactic acid bacteria and prebiotic glucooligosaccharides to select effective synbiotics. Anaerobe, 16, 493– 500. Guamer, F. & Malagelada J.R. (2003). Gut flora in health and disease. European Nutrition Research, 361 (9356), 512519. Huebner, J.,Wehling, R.L. & Hutkins, R.W. (2007). Functional activity of commercial prebiotics. International Dairy Journal, 17, 770–775. Karimi, R., Azizi, M.H., Ghasemlouc, M. & Vaziri, M. (2015). Application of inulin in cheese as prebiotic, fat replacer and texturizer: A review. Carbohydrate Polymers, 119, 85–100. Lopes, S.M.S., Francisco, M.G., Higashi, B., de Almeida, R.T.R., Krausová, G., Pilau, E.J., Goncalves, J.E., Goncalves, R.A.C. & de Oliveira, A.J.B. (2016). Chemical characterization and prebiotic activity of fructo-oligosaccharides from Stevia rebaudiana (Bertoni) roots andin vitro adventitious root cultures. Carbohydrate Polymers, 152, 718–725. 16 Louis, P., Duncan, S.H., McCrae, S.I., Millar, J., Jackson, M.S. & Flint, H.J. (2004). Restricted distribution of the butyrate kinase pathway among butyrateproducing bacteria from the human colon. Journal of Bacteriology, 186, 2099–2106. Macfarlane, G.T. & Cumming, J.H. (1999). Probiotics and prebiotics: can regulating the activities of intestinal bacteria benefit health. Br. Med. J., 318, 999– 1003. Machado, M.T.C., Kaliana, S.E., Vieira, G.S., Menegalli, F.C., Martínez, J. & Hubinger, M.D. (2015). Prebiotic oligosaccharides from artichoke industrial waste: evaluation of different extraction methods. Industrial Crops and Products, 76, 141–148. Makras, L., Van Acker, G. & De Vuyst, L. (2005). Lactobacillus paracasei subsp.paracasei 8700:2 degrades inulintype fructans exhibiting different degrees of polymerization. Applied and Environmental Microbiology, 71, 6531– 6537. Modzelewska-Kapituła, M., Kł˛ebukowska, L. & Kornacki, K. (2007). Influence ofinulin and potentially probiotic Lactobacillus plantarum strain on microbiological quality and sensory properties of soft cheese. Polish Journal of Food and Nutrition Sciences, 57, 143–146. Murphy, O. (2001). Non-polyol low-digestible carbohydrates: Food applications and functional benefits. British Journal of Nutrition, 85(1), 547–553. Naruszewicz, M., Johansson, M.L., ZapolskaDownar, D. & Bukowska, H. (2002). Effect of Lactobaillus plantarum on cardivascular disease risk factors in smokers. American Journal of Clinical Nutrition, 76, 1249–1255. Pereira, D.I.A., McCartney, A.L. & Gibson, G.R. (2003). An in vitro study of the probiotic potential of a bile-salthydolysing Lactobacillus fermentum strain, and determination of its cholesterol-lowering properties. J. Applied and Environmental Microbiology, 69, 4743–4752. Pokusaeva, K., Fitzgerald, G.F. & van Sinderen, D. (2011). Carbohydrate Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin …… (R. Haryo Bimo Setiarto, dkk.) metabolismin bifidobacteria. Genes & Nutrition, 6, 285–306. Journal of Food and Nutrition Sciences, 57, 151–159. Roberfroid, M.B. (2007). Prebiotic: the concept revisited. The Jorunal of Nutrition, 137, 830-837. Schell, M.A., Karmirantzou, M., Snel, B., Vilanova, D., Berger, B. & Pessi, G. (2002).The genome sequence of Bifidobacterium longum reflects its adaptation to thehuman gastrointestinal tract. Proceedings of the National Academy of Sciences ofthe United States of America, 99(22), 14422–14427. Rossi, M., Corradini, C., Amaretti, A., Nicolini, M., Pompei, A. & Zanoni, S. (2005). Fermentation of fructooligosaccharides and inulin by bifidobacteria: A comparative study of pure and fecal cultures. Applied and Environmental Microbiology, 71, 6150– 6158. Rodrigues, D., Rocha-Santos, T.A.P., Pereira, C.I., Gomes, A.M., Malcata, F.X. & Freitas, A.C. (2011). The potential effect of FOS and inulin upon probiotic bacteriumperformance in curdled milk matrices. LWT–Food Science and Technology, 44, 100–108. Russell, W.R., Duncan, S.H. & Flint, H.J. (2013). The gut microbial metabolome: Modulation of cancer risk in obese individuals. The Proceedings of the Nutrition Society, 72, 177–188. Salem, M.M.E., Abd El-Gawad, M.A.M., Hassan, F.A.M. & Effat, B.A. (2007). Useof symbiotics for the production of functional low-fat Labneh. Polish Su, P., Henriksson, A. & Mitchell, H. (2007). Selected prebiotics support the growth of probiotic monocultures in vitro. Anaerobe, 13, 134–139. Topping, D.L. & Clifton, P.M. (2001). Shortchain fatty acids and human colonic function: roles of resistant starch and nonstarch polysaccharides. Physiological Reviews, 81, 1031–1064. Van Loo, J. (2004). The specificity of the interaction with intestinal bacterial fermentation by prebiotic determine their physiological efficacy. Nutrition Research Reviews, 17, 89–98. Wang, X. & Gibson, G.R. (1993). Effects of the in vitro fermentation of oligofructose and inulin by bacteria growing in the human large intestine. J. Appl. Bacteriol., 75, 373–380. 17 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 18 Pertumbuhan Bakteri Laut Shewanella indica LBF-1-0076 …… (Nuzul Farini, dkk.) PERTUMBUHAN BAKTERI LAUT Shewanella indica LBF-1-0076 DALAM NAFTALENA DAN DETEKSI GEN NAFTALENA DIOKSIGENASE (The Growth of Marine Bacteria Shewanella indica LBF-1-0076 in Naphthalene and Naphthalene Dioxygenase Gene Detection) Nuzul Farini1), Ahmad Thontowi2), Elvi Yetti2), Suryani1) dan Yopi2) 1 Departemen Biokimia, FMIPA, IPB, Jl. Raya Dramaga, 16680, Bogor, Indonesia Lab. Biokatalis dan Fermentasi, Puslit. Bioteknologi LIPI, Jl. Raya Bogor Km.46, 16911, Bogor, Indonesia e-mail: [email protected] 2 Naskah diterima 1 September 2016, revisi akhir 5 Februari 2017 dan disetujui untuk diterbitkan 6 Februari 2017 ABSTRAK. Eksploitasi minyak bumi yang sering terjadi di laut mengakibatkan adanya pencemaran minyak di laut. Naftalena merupakan salah satu senyawa dominan berbahaya yang terkandung dalam minyak bumi dan dapat mengakibatkan pencemaran perairan. Penelitian ini menggunakan bakteri laut LBF-1-0076 yang memiliki kemampuan untuk mendegradasi naftalena. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari pengaruh parameter konsentrasi naftalena dan konsentrasi sel terhadap bakteri laut pendegradasi naftalena LBF-1-0076. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi isolat LBF-1-0076 dan mendeteksi gen pengkode naftalena dioksigenase. Berdasarkan hasil uji pertumbuhan, degradasi naftalena yang optimal oleh isolat LBF-1-0076 terjadi pada konsentrasi naftalena 75 ppm dengan konsentrasi sel 15. Hasil analisis gen 16S rDNA menunjukkan isolat LBF-1-0076 teridentifikasi sebagai Shewanella indica strain 0102 dengan nilai keidentikan 99%. Hasil deteksi gen naftalena dioksigenase dengan menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) menunjukkan bahwa isolat tersebut mempunyai gen naftalena dioksigenase dengan ukuran ±377 bp. Oleh karena itu, isolat LBF-1-076 berpotensi sebagai agen bioremediasi untuk mengatasi masalah pencemaran minyak bumi di laut. Kata kunci: bakteri laut, minyak bumi, naftalena, naftalena dioksigenase, Shewanella indica ABSTRACT. Crude oil exploitation which often occured offshore can cause water pollution in the sea since its contains naphthalene which is a hazardous compounds. This research used marine bacteria LBF-1-0076 that have ability in naphthalene degradation. This research aimed to study the parameter effect of naphthalene and cell concentration toward marine bacteria LBF-1-0076. This research also identified isolate LBF-1-0076 and detected the encode gene of naphthalene dioxygenase. Based on growth test result, the optimum naphthalene degradationby isolate LBF-1-0076 occured in 75 ppm naphthalene concentration with 15cell concentration. The result of 16S rDNA gene analysis showed that LBF-1-0076 was identified as Shewanella indica strain 0102 with identical value 99%. The result of naphthalene dioxygenase gene detection using Polymerase Chain Reaction (PCR) showed that the isolate contained naphthalene dioxygenase gene with size ±377 bp. Therefore, LBF-1-0076 potential as bioremediation agent to solve crude oil contamination in the sea. Keywords: crude oil, marine bacteria, naphthalene, naphthalene dioxygenase, Shewanella indica 19 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 19-31 1. PENDAHULUAN Adanya kegiatan eksploitasi minyak bumi berupa pengeboran, pengilangan, pengolahan, penyimpanan dan pendistribusian maka mengakibatkan pencemaran minyak baik di darat maupun di laut. Kegiatan eksploitasi minyak bumi sering terjadi di dekat pantai maupun area lepas pantai sehingga mengakibatkan peningkatan terjadinya pencemaran minyak bumi di laut (Nursyirwani & Amolle, 2007). Minyak bumi merupakan senyawa hidrokarbon yang mengandung sekitar 25% PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) dan sebagian besar alkana. Senyawa PAH merupakan kelompok senyawa organik yang terdiri atas dua atau lebih cincin aromatik (Seo, et al., 2009). Walaupun kandungan senyawa PAH tersebut lebih kecil dibandingkan alkana namun senyawa tersebut memiliki toksisitas yang tinggi (Xue & Warshawsky, 2005). Indeks stabilitas, persistensi dan karsinogenik PAH akan semakin meningkat berdasarkan peningkatan jumlah cincin aromatik (berat molekul), struktur anguler dan hidrofobisitasnya (Marston, et al., 2001). Naftalena (C10H8) termasuk salah satu kelompok senyawa PAH sederhana yang telah banyak digunakan sebagai model dalam studi bioremediasi PAH karena strukturnya yang sederhana dan bersifat mudah larut (Goyal, et al., 1997). Naftalena merupakan salah satu kelompok senyawa PAH dengan berat molekul rendah yang terdiri atas gabungan dua cincin benzena (Rokade & Sayyed, 2009). Senyawa tersebut juga termasuk salah satu kelompok senyawa PAH dominan yang terkandung dalam minyak bumi (Kappell, et al., 2014). Naftalena dapat menyebabkan keracunan akut di perairan akibat kelarutannya yang tinggi. Senyawa tersebut pada kadar tertentu dapat menghambat respirasi pada mitokondria sehingga mengakibatkan terhambatnya konsumsi oksigen pada beberapa organisme perairan (Heitkamp, et al., 1987). Keracunan naftalena menyebabkan terjadinya anemia haemolitik dan 20 nefrotoksisitas pada manusia (Samanta, et al., 2002). Bioremediasi merupakan teknologi efektif dan ramah lingkungan yang melibatkan biokonversi polutan secara sebagian atau sempurna menjadi biomassa sel, karbon dioksida dan air. Proses biokonversi polutan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat mengurangi keefisienan dan keefektifannya. Faktor-faktor tersebut yaitu struktur polutan, kelarutan polutan dalam air, konsentrasi substrat, kadar toksisitas polutan, oksigen, nutrien, pH, suhu, salinitas dan aktivitas mikroba (Ward, 2004). Oleh karena itu, faktorfaktor yang mempengaruhi proses bioremediasi perlu diperhatikan. Bioremediasi melibatkan adanya proses pemberian mikroorganisme pada daerah yang terkontaminasi. Mikroorganisme pendegradasi naftalena yang biasa digunakan dalam proses bioremediasi adalah bakteri. Sistem metabolisme bakteri pendegradasi naftalena melibatkan gen-gen pengkode enzim pendegradasi naftalena yang diatur oleh operon nah1 dan nah2 (Puntus, et al., 2015). Naftalena dioksigenase (EC 1.14.12.12) merupakan enzim yang diketahui terlibat pada reaksi pertama dalam jalur degradasi naftalena (Kauppi, et al.,1998). Beberapa penelitian di Indonesia telah melaporkan tentang potensi dan identifikasi molekuler beberapa bakteri yang memiliki kemampuan untuk mendegradasi beberapa senyawa PAH (Harwati, et al., 2009; Murniasih, et al., 2009; Riffani, 2010; Teramoto, et al., 2010; Thontowi, et al., 2013, Thontowi & Yopi, 2011; Yetti, et al., 2015). Namun, penelitian tentang variabel yang mempengaruhi bakteri laut pendegradasi naftalena dan deteksi gen fungsionalnya masih belum banyak dilakukan. Beberapa penelitian telah mempelajari pengaruh variabel pH, salinitas, konsentrasi bakteri dan konsentrasi PAH terhadap bakteri laut (John, et al., 2012; Katsner, et al., 1998; Lakshmi & Velan, 2011). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh parameter konsentrasi naftalena Pertumbuhan Bakteri Laut Shewanella indica LBF-1-0076 …… (Nuzul Farini, dkk.) dan konsentrasi sel terhadap bakteri laut pendegradasi naftalena. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri laut LBF-1-0076 dan mendeteksi gen pengkode naftalena dioksigenase. 2. METODE PENELITIAN Bahan yang digunakan meliputi bubuk agarosa, buffer TAE 1x (Tris-asetatEDTA), 0,2 M buffer fosfat pH 7, bubuk naftalena, bubuk agar, bubuk MB (Marine Broth), bubuk MA (Marine Agar), bubuk ASW (Artificial Sea Water), kit Wizard® Genomic DNA Purification, larutan DMSO (Dimethyl Sulfoxide), Go Taq, DNA cetakan, ddH2O, EtBr, SYBR Green, etanol 70%, marker 100 bp, marker 1 kb, loading dye 6x, aplikasi NJ Plot, aplikasi Clustal X dan aplikasi MEGA 6.Alat-alat yang digunakan adalah seperangkat alat sublimasi, mesin PCR (Polymerase Chain Reaction), seperangkat alat elektroforesis, spektrofotometer nanodrop, spektrofotometer UV-VIS, deep well, autoklaf, freezer, penggojok (shaker), inkubator, sentrifus, microwave, water bath 37oC, UV transilluminator, penangas air, tabung eppendorf 1,5 mL, termometer, neraca analitik, pipet mikro dan seperangkat alat gelas lainnya. Prosedur penelitian meliputi peremajaan dan kultivasi isolat LBF-10076, uji sublimasi naftalena, uji pertumbuhan, analisis gen 16S rDNA, optimasi konsentrasi naftalena, optimasi konsentrasi sel dan deteksi gen naftalena dioksigenase. Peremajaan dan Kultivasi Isolat LBF-10076 Isolat bakteri laut yang digunakan dalam penelitian ini yaitu LBF-1-0076 yang berasal dari koleksi Laboratorium Biokatalis dan Fermentasi, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. Peremajaan isolat LBF1-0076 dilakukan dengan memindahkan isolat dari gliserol stock ke dalam media MA. Inkubasi dilakukan selama 24 jam pada suhu 30oC. Isolat LBF-1-0076 hasil peremajaan tersebut digunakan untuk kultivasi isolat kemudian isolat LBF-10076 tersebut ditumbuhkan dalam tabung reaksi yang berisi 3 mL MB (Marine Broth) steril. Inkubasi dilakukan selama 24 jam pada suhu 30oC dan kecepatan 150 rpm. Indikator dari hasil kultivasi isolat yaitu warna larutan MB tampak lebih keruh yang menunjukkan bahwa isolat tersebut telah tumbuh dalam media MB (Yetti, et al., 2016). Uji Sublimasi Naftalena Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yetti, et al. (2016), hasil uji sublimasi dan uji pertumbuhan menunjukkan bahwa isolat LBF-1-0076 memiliki kemampuan untuk mendegradasi naftalena. Pengecekan kemampuan degradasi naftalena oleh isolat LBF-1-0076 melalui uji sublimasi (uji kualitatif) dan uji pertumbuhan (uji kuantitatif) dilakukan kembali dalam penelitian ini. Metode uji sublimasi naftalena dilakukan sesuai penelitian Alley dan Brown (2000). Isolat LBF-1-0076 diinokulasi ke dalam media ASW (Artificial Sea Water) padat. Proses sublimasi dilakukan pada suhu 80oC selama 1 menit. Inkubasi dilakukan selama 7 hari pada suhu 30oC. Adanya pembentukan zona bening di sekeliling isolat LBF-1-0076 merupakan indikator bahwa isolat tersebut memiliki kemampuan mendegradasi naftalena. Uji Pertumbuhan Isolat LBF-1-0076 pada Senyawa Naftalena Pengujian kemampuan degradasi naftalena secara kuantitatif dilakukan melalui uji pertumbuhan (Thontowi, et al., 2011). Isolat LBF-1-0076 ditumbuhkan dalam tabung reaksi yang berisi media ASW cair dan naftalena dengan 3 kali pengulangan. Total larutan yang terdapat dalam tabung reaksi tersebut yaitu 3000 µL dengan OD (Optical Density) sel 1 dan konsentrasi naftalena 50 ppm. Inkubasi dilakukan di dalam penggojok selama 7 hari pada suhu 30oC dengan kecepatan 150 rpm. Pengukuran OD sel awal (pada hari ke-0) dan OD sel akhir (pada hari ke-7) dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. Adanya peningkatan OD sel menunjukkan isolat LBF-1-0076 dapat 21 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 19-31 tumbuh dalam media ASW cair yang berisi naftalena. Uji Pertumbuhan dengan Parameter Konsentrasi Naftalena Isolat LBF-1-0076 diinokulasi dalam tabung reaksi yang berisi media ASW cair dengan konsentrasi naftalena yang bervariasi yaitu 0, 25, 50, 75, 100 dan 200 ppm. Masing-masing perlakuan dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan kemudian inkubasi dilakukan di dalam penggojok selama 7 hari pada suhu 30oC dengan kecepatan 150 rpm. Nilai OD sel awal dan OD sel akhir diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. Peningkatan OD sel tertinggi pada konsentrasi naftalena tertentu merupakan indikator bahwa isolat LBF-1-0076 memiliki kemampuan degradasi naftalena yang optimal pada konsentrasi naftalena tersebut (Thontowi, et al., 2011). Uji Pertumbuhan dengan Parameter Konsentrasi Sel Isolat bakteri laut diinokulasi dalam tabung reaksi yang berisi media ASW cair dengan konsentrasi naftalena yang optimal berdasarkan hasil uji optimasi konsentrasi naftalena sebelumnya. Isolat bakteri laut yang diinokulasi memiliki nilai OD sel yang bervariasi yaitu 0, 5, 10, 15 dan 20. Masing-masing perlakuan dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan kemudian inkubasi dilakukan di dalam penggojok selama 7 hari pada suhu 30oC dengan kecepatan 150 rpm. Pengukuran OD sel awal dan OD sel akhir dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. Peningkatan OD sel tertinggi pada konsentrasi sel tertentu merupakan indikator bahwa isolat LBF-1-0076 memiliki kemampuan degradasi naftalena yang optimal pada konsentrasi sel tersebut (Thontowi, et al., 2011). Analisis Gen 16S rDNA Bakteri Laut Isolat LBF-1-0076 diidentifikasi dengan menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Identifikasi tersebut dilakukan dengan menganalisis 22 gen 16S rDNA bakteri. Isolasi DNA genom dari isolat LBF-1-0076 dilakukan terlebih dahulu dengan menggunakan kit Wizard® Genomic DNA Purification. Amplifikasi gen 16S rDNA dilakukan dengan menggunakan primer 9F (5’AGRGTTTGATCMTGGCTCAG-3’) dan primer 1492R (5’-TACGGYTACCTTG TTAYGACTT-3’) (Cavalca, et al., 1999). Kondisi PCR dilakukan pada 10 siklus pertama yaitu denaturasi (95oC selama 30 detik), penempelan primer (55oC selama 1 menit) dan perpanjangan (72oC selama 2 menit). Amplifikasi dilakukan kembali selama 30 siklus pada suhu dan waktu yang sama. Amplifikasi terakhir dilakukan pada suhu 72oC selama 2 menit dengan 1 siklus. Hasil amplifikasi gen 16S rDNA diverifikasi dengan menggunakan elektroforesis gel agarosa 1% kemudian dilakukan sekuensing dan hasil sekuensing dianalisis dengan menggunakan NCBI (Yetti, et al., 2015). Selanjutnya, pohon filogenetik dibuat dengan menggunakan aplikasi Clustal X, NJ Plot dan MEGA 6 (Thompson, et al., 1997; Choi, et al., 2000). Deteksi Gen Naftalena Dioksigenase Deteksi gen naftalena dioksigenase dilakukan dengan amplifikasi gen naftalena dioksigenase menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction). Primer yang digunakan yaitu primer NAH-F (CAAA A(A/G)CACCTGATT(C/T)ATGG) dan NAH-R ((C/T)(A/G)CG(A/G)G(C/G)GA CTTCTTTCAA) (Jones, et al., 1999). Kondisi PCR yang dilakukan yaitu denaturasi (95oC selama 3 menit dan 95oC selama 1 menit), penempelan primer (47oC selama 1 menit) dan pemanjangan (72oC selama 7 menit). Hasil PCR diverifikasi dengan elektroforesis menggunakan gel agarosa 2%. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Uji kemampuan degradasi naftalena oleh isolat bakteri laut LBF-1-0076 dilakukan secara kualitatif menggunakan uji sublimasi. Metode kualitatif lainnya untuk menentukan kemampuan degradasi naftalena secara kualitatif yaitu metode Pertumbuhan Bakteri Laut Shewanella indica LBF-1-0076…… (Nuzul Farini, dkk.) Gambar 1. Hasil sublimasi naftalena oleh isolat LBF-1-0076 pada hari ke-0 dan hari ke-7. Tanda panah menunjukkan zona bening di sekitar koloni bakteri LBF-1-0076 Pembentukan zona bening tidak terjadi pada hari ke-0 dan tampak jelas pada hari ke-7. Terbentuknya zona bening di sekeliling isolat menunjukkan bahwa isolat tersebut dapat menggunakan senyawa karbon aromatik yaitu naftalena sebagai sumber karbon dan energi bagi pertumbuhannya karena sumber karbon dari media ASW telah habis (Dykstershouse, et al., 1995). Hasil uji sublimasi naftalena juga menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan warna pada media agar. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yetti, et al. (2015) dan Yetti, et al. (2016) dimana hasil uji sublimasi naftalena hanya menunjukkan adanya pembentukan zona bening tanpa adanya perubahan warna. Namun, hasil uji sublimasi akan menunjukkan perubahan warna dan pembentukan zona bening di sekeliling isolat apabila uji tersebut dilakukan untuk senyawa PAH lainnya seperti dibenzotiofen dan fluorena karena degradasi senyawa tersebut akan menghasilkan metabolit yang bewarna sebagai hasil dari aktivitas enzim pada metabolisme bakteri. Penelitian yang dilakukan oleh Yetti, et al. (2015) menggunakan uji sublimasi sebagai uji utama untuk penapisan bakteri laut yang mampu mendegradasi berbagai senyawa Polyaromatic Hydrocarbons (PAH) sedangkan uji sublimasi pada penelitian ini berupa uji pendahuluan sebelum melakukan uji selanjutnya. Kemampuan degradasi naftalena oleh isolat bakteri laut LBF-1-0076 juga dilakukan secara kuantitatif melalui uji pertumbuhan (growth test). Uji pertumbuhan merupakan uji yang dilakukan dengan cara menumbuhkan isolat dalam tabung reaksi yang berisi senyawa naftalena dan media yang mengandung sumber karbon minimal (Thontowi, et al., 2011). Hasil uji pertumbuhan ditunjukkan pada Gambar 2. Rata-Rata (OD 600 nm) spray-plate. Metode spray-plate melibatkan penggunaan pelarut organik seperti aseton dan eter untuk dapat melarutkan senyawa PAHs. Metode spread-plating juga melibatkan kontak langsung pelarut organik ke dalam agar. Adanya penggunaan pelarut organik pada metode spray-plate dan spread-plating dapat menimbulkan efek toksik bagi bakteri (Alley & Brown, 2000). Metode uji sublimasi tidak melibatkan adanya penggunaan pelarut organik sehingga penentuan kemampuan degradasi naftalena oleh bakteri laut pada penelitian ini menggunakan metode uji sublimasi. Metode uji sublimasi bertujuan mengetahui potensi kemampuan degradasi naftalena oleh suatu isolat (Alley & Brown, 2000). Sublimasi dilakukan pada suhu yang sesuai dengan titik leleh naftalena yaitu 80oC. Indikator keberhasilan uji sublimasi ditunjukkan dengan adanya perubahan warna pada medium atau pembentukan zona bening di sekeliling isolat (Alley & Brown, 2000). Hasil uji sublimasi naftalena oleh isolat bakteri laut LBF-1-0076 ditunjukkan pada Gambar 1. 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 0,500 0,000 Rata-rata H0 Rata-rata H7 Kontrol naftalena LBF-1-0076 Perlakuan Gambar 2. Hasil uji pertumbuhan dalam media ASW cair berisi naftalena oleh isolat LBF-1-0076 23 Berdasarkan hasil uji pertumbuhan, isolat LBF-1-0076 dapat tumbuh dalam media ASW cair yang berisi naftalena. Nilai OD sel isolat LBF-1-0076 mengalami peningkatan dari 0,249 pada hari ke-0 menjadi 1,000 pada hari ke-7 sehingga nilai OD sel isolat tersebut mengalami peningkatan sebesar 75%. Nilai OD sel isolat didapatkan dari hasil selisih antara rata-rata hasil uji pertumbuhan dengan kontrol naftalena. Hasil uji pertumbuhan menunjukkan bahwa isolat bakteri laut dapat mendegradasi senyawa naftalena sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan selnya. Adanya kemampuan isolat dalam mendegradasi naftalena merupakan hasil adaptasi isolat dari habitat aslinya yang tercemar polutan (Meer, 2006). Isolat bakteri laut LBF-1-0076 dapat memanfaatkan naftalena sebagai sumber karbon karena sistem metabolisme dari isolat tersebut. Iwabuchi dan Harayama (1997) menyatakan bahwa degradasi naftalena atau senyawa PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) oleh bakteri laut diawali dengan reaksi atom oksigen dalam inti aromatik yang dikatalisis oleh multikomponen dioksigenase. Produk antara (intermediate) dari degradasi tersebut adalah salisilat. Oksidasi salisilat lebih lanjut dapat dilakukan melalui jalur asam gentisat atau katekol (ortho atau meta) untuk menghasilkan prekursor yang terintegrasi dengan siklus asam sitrat. Isolat LBF-1-0076 memiliki kemampuan degradasi naftalena berdasarkan hasil uji sublimasi dan uji pertumbuhan. Tahap selanjutnya berupa uji pertumbuhan dengan parameter konsentrasi naftalena dan konsentrasi sel oleh isolat LBF-1-0076. Hasil uji pertumbuhan dengan parameter konsentrasi naftalena oleh isolat LBF-10076 ditunjukkan pada Gambar 3. Hasil tersebut menunjukkan bahwa isolat LBF-1-0076 memiliki kemampuan degradasi naftalena yang optimal pada konsentrasi naftalena 75 ppm dengan peningkatan OD sel sebesar 37,30% (nilai OD sel 0,373). Peningkatan nilai OD sel isolat LBF-1-0076 mengalami kenaikan dari 0,070 (7%) pada konsentrasi naftalena 24 Peningkatan Sel (OD 600 nm) BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 19-31 0,400 0,350 0,300 0,250 0,200 0,150 0,100 0,050 0,000 0 25 50 75 100 200 Konsentrasi naftalena (ppm) Gambar 3. Degradasi naftalena oleh isolat bakteri laut LBF-1-0076 pada berbagaikonsentrasi naftalena 25 ppm menjadi 0,373 (37,30%) pada konsentrasi naftalena 75 ppm. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan degradasi naftalena isolat LBF-1-0076 semakin meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi naftalena. Konsentrasi naftalena yang semakin tinggi menyediakan sumber karbon yang lebih bagi bakteri sehingga sel bakteri dapat tumbuh semakin cepat (Kamil & Talih, 2015). Hasil uji pertumbuhan dengan parameter konsentrasi naftalena juga menunjukkan OD sel isolat LBF-1-0076 mengalami penurunan dari 0,373 (37,30%) pada konsentrasi naftalena 75 ppm menjadi 0,036 (3,60%) pada konsentrasi naftalena 200 ppm. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan degradasi naftalena oleh isolat bakteri laut semakin menurun apabila telah melebihi konsentrasi naftalena optimum. Konsentrasi naftalena yang semakin tinggi atau melebihi batas toleransi bakteri akan mengganggu keseimbangan metabolisme dan dapat memicu mekanisme toksisitas (Pumphrey & Madsen, 2007). Mekanisme toksisitas tersebut dapat berupa kerusakan membran sel bakteri (Ramos, et al., 2002). Selain itu, konsumsi naftalena yang berlebih oleh bakteri juga mengakibatkan kelebihan produksi metabolit sehingga mengganggu pertumbuhan sel bakteri (Park, et al., 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Pumphrey dan Madsen (2007) menunjukkan adanya akumulasi metabolit bewarna merah bercampur kuning (orange) pada medium kultur Pertumbuhan Bakteri Laut Shewanella indica LBF-1-0076…… (Nuzul Farini, dkk.) Polaromonas naphthalenivorans CJ2 yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan bakteri. Berdasarkan penelitian Pumphrey dan Madsen (2007), analisis metabolit menggunakan HPLC diduga akumulasi metabolit tersebut berupa 1,2-naftoquinon dan senyawa tersebut termasuk produk dari hasil autooksidasi naftalena. Konsentrasi naftalena yang berlebih juga dapat mengakibatkan enzim pendegradasi naftalena yang dihasilkan oleh bakteri laut mencapai kapasitas maksimal (Black, 2002). Hal tersebut disebabkan substrat naftalena telah berikatan dengan seluruh sisi aktif dari enzim pendegradasi naftalena sehingga substrat naftalena yang berlebih tidak dapat menempati sisi aktif enzim. Oleh karena itu, ketersediaan jumlah sisi aktif enzim yang berkurang mengakibatkan degradasi naftalena semakin menurun. Konsentrasi naftalena 75 ppm pada isolat LBF-1-0076 digunakan untuk uji pertumbuhan dengan parameter konsentrasi sel. Konsentrasi sel berpengaruh terhadap kemampuan degradasi naftalena oleh bakteri laut. Hasil uji pertumbuhan dengan parameter konsentrasi sel ditunjukkan pada Gambar 4. Peningkatan sel (OD 600 nm) 1,500 1,250 1,000 0,750 0,500 0,250 0,000 0 5 10 15 20 Konsentrasi sel ( OD 600 nm) Gambar 4. Degradasi naftalena oleh isolat bakteri laut LBF-1-0076 pada berbagai konsentrasi sel Berdasarkan hasil penelitian, isolat LBF-1-0076 memiliki kemampuan degradasi naftalena yang optimal pada konsentrasi sel 15 dengan peningkatan OD sel sebesar 1,249 (8,33%). Peningkatan OD sel isolat LBF-1-0076 juga terus mengalami kenaikan dari 0,162 (3,24%) pada konsentrasi sel 5 menjadi 1,249 (8,33%) pada konsentrasi sel 15. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan degradasi naftalena oleh bakteri laut semakin tinggi seiring dengan meningkatnya konsentrasi sel. Adanya peningkatan konsentrasi sel bakteri laut mengakibatkan peningkatan produksi enzim pendegradasi naftalena sehingga degradasi naftalena oleh isolate bakteri laut semakin cepat (Black, 2002). Hal tersebut disebabkan enzim yang dihasilkan memiliki sisi aktif yang akan berikatan dengan substrat naftalena. Oleh karena itu, jumlah sisi aktif enzim semakin meningkat seiring dengan meningkatnya produksi enzim yang menyebabkan degradasi naftalena yang semakin cepat sehingga bakteri dapat tumbuh dengan cepat. Hasil uji optimasi konsentrasi sel juga menunjukkan bahwa peningkatan sel isolat LBF-1-0076 mengalami penurunan dari 1,249 (8,33%) pada konsentrasi sel 15 menjadi 1,126 (5,63%) pada konsentrasi sel 20. Hal tersebut dapat diakibatkan adanya persaingan bakteri laut untuk memenuhi kebutuhan sumber karbon dan energinya (Auger, et al., 1995). Ketersediaan naftalena pada konsentrasi tertentu tidak seimbang dengan jumlah sel bakteri yang membutuhkan naftalena untuk pertumbuhan selnya sehingga bakteri laut yang tidak mendapatkan naftalena sebagai sumber nutrisinya akan terhambat pertumbuhan selnya. Identifikasi isolat LBF-1-0076 dilakukan melalui amplifikasi gen 16S rDNA. Isolasi DNA terlebih dahulu dilakukan dengan menggunakan kit Wizard Genomic DNA Purification. Hasil isolasi DNA dari isolat LBF-1-0076 ditunjukkan pada Gambar 5. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ukuran DNA genom isolat LBF-1-0076 memiliki ukuran pita diatas 1 kb. Menurut Demerdash (2012), molekul DNA kromosom bakteri memiliki ukuran lebih dari 1 kb yaitu 21-23 kb. DNA kromosom bakteri memiliki konformasi linier yang berukuran besar sehingga menyebabkan molekul DNA sulit melewati pori-pori gel agarosa. 25 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 19-31 (a) (b) Gambar 5. (a) Hasil isolasi DNA genom, M: Marker 1 kb, (b) Hasil amplifikasi gen 16S rDNA DNA genom hasil isolasi digunakan sebagai bahan amplifikasi gen 16S rDNA. Gen 16S rDNA merupakan bagian dari DNA yang sering digunakan untuk tujuan taksonomi (Bottger, 1989). Gen tersebut bersifat stabil, terdistribusi secara luas di sel dan tersimpan dengan baik pada jarak filogenik yang luas. Oleh karena itu, identifikasi bakteri dilakukan melalui analisis gen 16S rDNA karena ketersediaan datanya di bank data cukup bagus dan mudah diamplifikasi menggunakan PCR (Pace, 1997). Hasil amplifikasi gen 16S rDNA ditunjukkan pada Gambar 5. Hasil tersebut menunjukkan adanya pita gen 16S rDNA dengan ukuran 1522 bp sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Patel (2001) yaitu gen 16S rDNA bakteri memiliki ukuran ±1522. Gen 16S rDNA tersebut digunakan sebagai bahan untuk identifikasi bakteri. Gen 16S rDNA disekuensing dan dibandingkan dengan database yang terdapat pada NCBI dengan menggunakan BLAST (Basic Local Alignment Search Tool). Hal tersebut dilakukan untuk mengidentifikasi jenis dari bakteri LBF-1-0076. Penelitian sebelumnya terkait identifikasi bakteri pendegradasi naftalena yang diisolasi dari daerah tercemar PAH telah banyak dilakukan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hedlund, et al. (1999), Pseudomonas spp., Vibrio spp., Acinobacter spp., Marinobacter spp. dan 26 Sphingomonas spp. termasuk jenis bakteri yang memiliki kemampuan mendegradasi naftalena. Jenis bakteri lainnya yang memiliki kemampuan untuk mendegradasi naftalena yaitu Marinobacter hydrocarbonoclasticus dan Halomonas cupida yang diisolasi dari teluk Persia dan laut Kaspia (Ghasemi & Rahbari, 2015). Menurut Pawar, et al. (2013), jenis bakteri yang memiliki kemampuan mendegradasi naftalena berasal dari genus Micrococcus spp., Bacillus spp., Staphylococcus spp. dan Pseudomonas spp. Hasil BLAST sekuen gen 16S rDNA dari isolat LBF-1-0076 ditunjukkan pada Tabel 1. Hasil analisis gen 16S rDNA menunjukkan bahwa isolat dengan kode LBF-1-0076 memiliki kemiripan dengan spesies Shewanella indicastrain 0102 dengan keidentikan 99%. Penelitian yang dilakukan oleh Tahriz, et al. (2014) menunjukkan bahwa bakteri genus Shewanella memiliki kemampuan untuk mendegradasi senyawa naftalena. Genus Shewanella merupakan anggota dari kelas Gammaproteobacteria (Anzai, et al., 2000). Bakteri tersebut termasuk dalam kelompok bakteri gram negatif, fakultatif anaerobik, motil (memiliki flagella) dan berbentuk batang. Shewanella indica dapat tumbuh pada daerah yang memiliki suhu 10-45oC dan pH 6,5-10 (Verma, et al., 2011). Pohon filogenik dari isolat LBF-10076 ditunjukkan pada Gambar 6. Pertumbuhan Bakteri Laut Shewanella indica LBF-1-0076…… (Nuzul Farini, dkk.) Tabel 1. Hasil BLAST dari sekuen gen 16S rDNA isolat bakteri laut LBF-1-0076 No. Hasil BLAST Keidentikan sekuen (%) Identities 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Shewanella indicastrain 0102 (KP236237.1) Shewanella algaestrain LTY2 (KC210854.1) Shewanella algaestrain LTB3 (KC210850.1) Shewanella algaestrain LTB1 (KC210849.1) Pectobacterium carotovorumstrain CMG1ad (EU162034.1) Bacterium SCSIO16413 (KX254307.1) Bacterium SCSIO16397 (KX254306.1) Shewanella sp. ECSMB 56 (KM369861.1) Rhodobacter capsulatusstrain PSB-06 (FJ866784.1) Marine bacterium 41JIA3 (EU268272.1) 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 1635/1635 1635/1635 1635/1635 1635/1635 1635/1635 1629/1629 1629/1629 1629/1629 1618/1618 1618/1618 Gambar 6. Pohon filogenik dari isolat LBF-1-0076 ±377 bp Gambar 7. Hasil amplifikasi gen naftalena dioksigenase dari isolat LBF-1-0076. M: Marker 100 bp Isolat LBF-1-0076 diduga memiliki kemampuan untuk mendegradasi naftalena karena memiliki enzim pendegradasi naftalena berupa naftalena dioksigenase. Oleh karena itu, deteksi gen naftalena dioksigenase juga dilakukan dalam penelitian ini. Hasil amplifikasi gen naftalena dioksigenase dari isolat LBF-10076 dapat ditunjukkan pada Gambar 7. Hasil tersebut menunjukkan adanya pitagen naftalena dioksigenase dengan ukuran sekitar 377 bp. Menurut Minovaska, et al. (2013), gen naftalena dioksigenase memiliki 27 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 19-31 ukuran sekitar 377 bp. Pengaturan gen-gen pendegradasi naftalena pada bakteri telah dilaporkan dan studi awal berasal dari karakterisasi bakteri Pseudomonas sp. NCBI 9816-4 (Kauppi, et al., 1998). Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa gen-gen yang mengekspresikan enzim naftalena dioksigenase yaitu nahAa, nahAb, nahAcAd. Naftalena dioksigenase (EC 1.14.12.12) merupakan enzim yang mengkatalisis reaksi oksidasi naftalena menjadi (+)-cis-(1R,2S)-dihidroksi-1.2dihidronaftalena (Kauppi, et al., 1998). Senyawa cis-naftalena dihidrodiol tersebut akan terdehidrogenasi menjadi 1,2dihidroksinaftalena oleh enzim cisdihidrodiol dehidrogenase. Senyawa 1,2dihidroksinaftalena tersebut dimetabolisme menjadi senyawa antara (intermediate) yaitu salisilat. Salisilat mengalami proses dekarboksilasi menjadi katekol dan mengalami proses metabolisme lebih lanjut oleh pembelahan cincin melalui jalur gentisat dan orto atau meta untuk menghasilkan prekursor yang terintegrasi dengan siklus asam sitrat. 4. KESIMPULAN Konsentrasi naftalena dan konsentrasi sel berpengaruh terhadap bakteri laut pendegradasi naftalena LBF-10076. Isolat bakteri laut LBF-1-0076 memiliki kemampuan yang optimal untuk mendegradasi naftalena dengan peningkatan sel 37,3% pada konsentrasi naftalena75 ppm dan peningkatan sel sebesar 8,33% pada konsentrasi sel 15. Isolat bakteri laut LBF-1-0076 teridentifikasi sebagai Shewanella indica. Bakteri laut tersebut memiliki enzim pendegradasi naftalena berupa naftalena dioksigenase. Oleh karena itu, isolat LBF1-0076 dapat digunakan sebagai agen bioremediasi untuk mengatasi masalah pencemaran minyak bumi dalam perairan. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didukung oleh Project of SATREPS Development of Internationally Standardized Microbial Resources Center as a Core of Biological Resources Center to Promote 28 Lifa Science and Research and Biotechnology 2011-2016 dan DIPA Tematik Puslit Bioteknologi LIPI 2016. DAFTAR PUSTAKA Alley, J.F. & Brown, L.R.(2000). Use of sublimation to prepare solid microbial media with water-insoluble substrates. Applied and Enviromental Microbiology, 66(1), 439-442. Anzai, Y., Kodo, Y. & Oyaizu, H. (2000). The phylogeny of the genera Chrysomonas, Flavimonas and Pseudomonas supports synonymy of these three general. International Journal of Systematic Bacteriology, 47, 249-251. Auger, R.L., Jacobson, A.M. & Domach, M.M. (1995). Effect of nonionic surfactant addition on bacterial metabolism of naphthalene: assessment of toxicity and overflow metabolism potential. Journal of Hazardous Materials, 43, 263-272. Black, J.G. (2002). Microbial Principles and Exploration. Amerika: John Wiley & Sons Inc. Bottger, E.C. (1989). Rapid determination of bacterial ribosomal RNA sequences by direct sequencing of enzymatically amplified DNA, Federation of Europan Microbiological Societies Letters, 65, 171-176. Choi, J.H., Jung, H.Y., Kim, H.S. & Cho, H.G. (2000). PhyloDraw: a phylogenetic tree drawing system. Bioinformatics Application Note, 16(11), 1056-1058. Demerdash, H.A.M.E. (2012). A simple and expensive procedure for chromosomal DNA extraction from Streptococcus thermophilus strains. Middle-East Journal Scientific Research, 11(1), 1318. Dykstershouse, S.E., Gray, J.P., Herwig, R.P., Canolara & Staley, J.T. (1995). Cycloclasticus pugetii gen nov sp nov on aromatic hydrocarbon degrading bacterium from marine sadiments. International Journal of Systematic Bacteriology, 116-123. Ghasemi, S.M. & Rahbari, M. (2015). Characterization of naphthalenedegrading bacteria isolated from the Persian Gulf and the Caspian Sea as Pertumbuhan Bakteri Laut Shewanella indica LBF-1-0076…… (Nuzul Farini, dkk.) potential agents for naphthalene removal from polluted environments. Iranian Journal of Environmental Technology, 1(1), 1-8. Goyal, A.K. & Sylstra, G.J. (1997). Genetics of naphtalene and phenanthrene degradation by Comamonas testosteroni. Jounal of Indonesian Microbiology Biotechnology, 19, 401407. Harwati, T.U., Kasai, Y., Kodarma, Y., Susilaningsih, D. & Watanabe, K. (2009). Tropicibacter naphthalenivorans gen nov sp nov a polycyclic aromatic hydrocarbon degrading bacterium isolated from Semarang Port in Indonesia. International Journal of Systematic Bacteriology, 59, 392-396. Hedlund, B.P., Geiselbrecht, A.D., Bair, T.J. & Staley, J.T. (1999). Polycyclic aromatic hydrocarbon degradation by a new marine bacterium, Neptunomonas naphthovorans gen. nov., sp. nov. Appllied Environmental Microbiology, 65(1), 251-259. Heitkamp, M.A., Freeman, J.P. & Cerniglia, C.E. (1987). Naphthalene Biodegradation in Environmental Microcosms Estimates of Degradation Rates and Characterization of Metabolites. Appllied Environmental Microbiology, 53, 129-139. Iwabuchi, T. & Harayama, S. (1997). Biochemical and genetic characterization of 2-carboxybenzaldehyde dehydrogenase an enzyme involved in phenanthrene degradation by Nocardioides sp strain KP7. Journal Bacteriology, 179, 6488-6494. John, R.C., Essien, J.P., Akpan, S.B. & Okpokwasili, G.C. (2012). Polycyclic aromatic hydrocarbon-degrading bacteria from aviation fuel spill site at Ibeno, Nigeria. Bulletin of Environmental Contamination and Toxicology, 88, 1014-1019. Jones, L.G., Laurie, A.D., Hunter, D.W.F. & Fraser, R. (1999). Analysis of catabolic genes for naphtalene and phenanthrene degradation in contaminated New Zealand soils. Federation of Europan Microbiological Societies Microbiology Ecology, 29, 69-79. Kamil, N.A.F.M. & Talih, S.A. (2015). Biodegradation of PAHs in soil: influence of initial PAHs concentration. Soft Soil Engineering International Conference, 136, 1-6. Kappell, A.D., Wie, Y., Newton, R.J., Nostrand, J.D.V., Zhou, J., Mclellan, S.L. & Hristova, K.R. (2014). The polycyclic aromatic hydrocarbon degradation potential of gulf of mexico native coastal microbial communities after deepwater horizon oil spill. Frontiers in Microbiology, 5, 1-14. Kauppi, B., Lee, K., Ccarredano, E., Parales, R.E., Gibson, D.T., Eklund, H. & Ramaswamy, S. (1998). Structure of an aromatic-ring-hydroxylating dioxygen ase-naphthalene 1,2-dioxygenase. Structure, 6(5), 571-586. Lakshmi, M.B. & Velan, M. (2011). Biodegradation of the toxic polycyclic aromatic hydrocarbon, phenanthrene by an indigenously isolated Alcaligenes faecalis MVMB1 strain. International Conference on Environmental Science and Technology, 6, 440-444. Marston, C.P., Pereira, J., Ferguson, J., Fischer, L., Hedstrom, O., Dashwood, W.M. & Baird, W.M. (2001). Effect of a complex environmental mixture from coal tar containing polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) on tumor initiation, PAH-DNA binding and metabolic activation of carcinogenic PAH in mouse epidermis. Carcinogenesis, 22, 1077-1086. Meer, V.D. (2006). Environmetal pollution promotes selection of microbial degradation pathways. Frontiers in Ecology and the Environment, 4(1), 3542. Minovaska, G., Narancic, T., Mandic, M., Senerovic, L., Vvasikevic, B. & Nikodinovic, R. (2013). Limited aromatic pathway genes diversity amongst aromatic compound degrading soil bacterial isolates. Genetika, 45(3), 703-716. Murniasih, T., Yopi & Budiawan, (2009). Biodegradasi fenantren oleh bakteri laut Pseudomonas sp. Kalp3b22 asal Kumai Kalimantan Tengah. Makara Sains, 13(1), 77-80. 29 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 19-31 Nursyirwani, & Amolle, K.C. (2007). Isolasi dan karakterisasi bakteri hidrokarbonoklastik dari perairan Dumai dengan sekuen 16S rDNA. Ilmu Kelautan, 12(1), 12-17. Pace, N. (1997). A molecular view of microbiol diversity and the biosphere. Science, 276, 734-740. Park, W., Jeon, C.O., Cadillo, H., DeRito, C. & Madsen, E.L. (2004). Survival of naphtalene-degrading Pseudomonas putida NCIB 9816-4 in naphthaleneamended soils: toxicity of naphthalene and its metabolites. Applied Microbiology and Biotechnology, 64(3), 429-435. Patel, J. (2001). 16S rRNA Gene sequencing for bacterial pathogen identification in the clinical laboratory. Molecular Diagnostics, 6, 313-321. Pawar, A.N., Ugale, S.S., More, M.G., Kokani, N.F. & Khandelwal, S.R. (2013). Biological degradation of naphthalene: a new era. Journal Bioremediation & Biodegradation, 4(7), 1-5. Pumphrey, G.M. & Madsen, E.L. (2007). Naphthalene metabolism and growth inhibition by naphthalene in Polaromonas naphthalenivorans strain CJ2. Microbiology, 153, 37303738. Puntus, I.F., Ryazanova, L.P., Zvonarev, A.N., Funtikova, T.V. & Kulakovskaya, T.V. (2015). The Role of Mineral Phosphorus Compounds in Naphthalene Biodegradation by Pseudomonas Putida. Apllied Biochemistry and Microbiology, 51(2), 202-208. Ramos, J.L., Duque, E., Gallegos, M.T., Godoy, P., Gonzales, M.I., Rojas, A., Teran, W. & Segura, A., (2002). Mechanism of solvent tolerance in g negative bacteria. Annual Reviews in Microbiology, 56(1), 743-768. Riffani, R. (2010). Isolasi bakteri pendegradasi phenanthrene dari Batanta-Salawati Raja Ampat Papua. Jurnal Biologi Indonesia, 6(2), 153-161. Rokade, 30 Y.B. & Sayyed, R.Z. (2009). Naphtalene derivates: a new range of antimicrobials with high therapeutic value. Journal of Chemistry, 2(4), 972-980. Samanta, S.K., Singh, O.V. & Jain, R.K. (2002). Polycyclic aromatic hydrocarbons: environmental pollution and bioremediation. Trends in Biotechnology, 20(6), 243-248. Seo, J.S., Keum, Y.S.& Li, Q.X. (2009). Bacterial degradation of aromatic compounds.International Journal of Environmental Research and Public Health, 6, 278-309. Tahriz, V., Hamidi, A., Rahimi, E., Eramabadi, M., Eramabadi, P., Yahaghi, E., Darian, E.K. & Hejazi, M.S. (2014). Isolation and characterization of naphtalene-degradation bacteria from Qurugol lake located at Azerbaijan. Biosciences Biotechnology Research Asia, 11(2), 715-722. Teramoto, M., Suzuki, M., Okazaki, F., Hatmanti, A. & Harayama, S. (2010). Oceanobacter-related bacteria are important for the degradation of petroleum aliphatic hydrocarbons in the tropical marine environment. Microbiology, 155, 3362-3370. Thompson, J.D., Gibson, T.J., Plewniak, F., Jeanmougin, F. & Higgins, D.G. (1997). The CLUSTAL_X windows interface: flexibel strategies for multiple sequence alignment aided by quality analysis tool. Nucleic Acid Research, 25(24), 4876-4882. Thontowi, A. & Yopi. (2011). Alkane degradation and detection of monoxygenase gene from Alcanivorax sp. from Jakarta Bay. Annales Bogorienses, 15(2), 25-30. Thontowi, A., Rahmani, N. & Yopi. (2013). Polyaromatic hydrocarbon degradation and dioxygenase gene detection from Alteromonas alvinellae Bt05. Annales Bogorienses, 17(1), 33-42. Verma, P., Pandey, P.K., Gupta, K., Kim, H.J., Baik, K.S., Seong, C.N., Patole, M.S. & Shouce, Y.S. (2011). Shwenella indica sp. nov., isolated from sediment of the Arabian Sea. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 61, 20582064. Pertumbuhan Bakteri Laut Shewanella indica LBF-1-0076…… (Nuzul Farini, dkk.) Ward, O.P. (2004). The industrial sustainability of bioremediation processes. Journal of Industrial Microbiology and Biotechnology, 31, 1-4. Xue, W. & Warshawsky, D., (2005). Metabolic activation of polycyclic and heterocyclic aromatic hydrocarbons and DNA damage: a review. Toxicology and Applied Pharmacology, 206, 73-93. Yetti, E., Thontowi, A., Yopi & Lisdiyanti, P. (2015). Screening of marine bacteria capable of degrading various polyaromatic hydrocarbons. Squalen Bulletin of Marine & Fishereies Postharvest & Biotechnology, 10(3), 121-127. Yetti, E., Thontowi, A. & Yopi. (2016). Polycyclic aromatic hydrocarbon degrading bacteria from the Indonesian marine environment. Biodiversitas, 17(2), 857-864. 31 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 32 Karakterisasi Mutu dan Nilai Gizi Nasi Mocaf…… (Enny Hawani Loebis, dkk.) KARAKTERISASI MUTU DAN NILAI GIZI NASI MOCAF DARI BERAS ANALOG (Characterization of Quality and Nutrition Value of Cooked Rice Mocaf from Rice Analog) Enny Hawani Loebis, Lukman Junaidi dan Irma Susanti Balai Besar Industri Agro, Ir. H. Juanda No. 11, Bogor 16122, Indonesia e-mail: [email protected] Naskah diterima 11 Agustus 2016, revisi akhir 28 Februari 2017 dan disetujui untuk diterbitkan 27 Februari 2017 ABSTRAK. Ketergantungan pada konsumsi beras perlu dikurangi untuk mengatasi permasalahan pasokan beras dan masalah kesehatan. Alternatif yang dapat diusulkan adalah dengan pembuatan beras analog berbasis mocaf. Penelitian ini bertujuan mempelajari karakterisasi mutu dan nilai gizi nasi mocaf dari beras analog. Beras mocaf dibuat berdasarkan campuran mocaf, tepung beras, air dan minyak goreng sawit, dengan komposisi mocaf 50, 60 dan 70%. Beras mocaf kemudian dimasak dengan cara menggunakan rice cooker, pengukusan atau microwave. Hasil penelitian menunjukkan beras mocaf 60% menghasilkan nasi mocaf dengan nilai kalori tertinggi. Pemasakan terbaik adalah dengan cara pengukusan dengan kandungan gizi dan nilai kalori yang dihasilkan terdiri dari 49,15% air; 2,05% lemak; 2,09% protein; 46,45% karbohidrat; 35,8 mg/kg besi; 403,4 mg/kg kalium; 193,8 mg/kg kalsium, 2,0 mg/kg vitamin B1 dan 212,53 kal/100 g nilai kalori. Kata kunci: beras, karakterisasi mutu, mocaf, nilai gizi ABSTRACT. Dependence on rice consumption needs to be reduced to overcome the problems of rice supply and health problems. Alternative proposed is producing mocafbased rice analog. This research aims to study the quality characterization and nutritional value of mocaf-based rice analog. Rice mocaf was made based on mixture of mocaf, rice flour, water and palm oil using variable: 50, 60 and 70% mocaf. Mocaf rice then cooked by using rice cooker, steamer or microwave. The results showed mocaf rice 60% yield highest calorific value. The best cooking method was steaming that resulted nutrient content and calorific value consisting of 49.15% water; 2.05% fat; 2.09% protein; 46.45% carbohydrate; 35.8 mg/kg of iron; 403.4 mg/kg of potassium; 193.8 mg/kg of calcium, 2.0 mg/kg of vitamin B1 and 212.53 ca/100 g calorific value. Keywords: mocaf, nutritional value, quality characterisation, rice 1. PENDAHULUAN Beras merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi sebagai sumber kalori oleh masyarakat Indonesia (BPS, 2014). Volume konsumsi beras yang tinggi menyebabkan pemerintah bergantung pada impor beras. Disamping itu konsumsi karbohidrat berlebih berpotensi meningkatkan resiko penyakit diabetes dan obesitas (Santoso & Rianti, 2013). Diversifikasi pangan menjadi solusi alternatif bagi masyarakat untuk mengatasi hal ini sekaligus dalam rangka mendukung ketahanan pangan. Salah satu produk diversifikasi pangan yang saat ini banyak dikembangkan adalah beras analog. Beras analog adalah beras yang dibuat dari non padi dengan kandungan karbohidrat mendekati atau melebihi beras dengan bentuk menyerupai beras dan dapat berasal dari kombinasi tepung lokal (tepung singkong, sagu & tepung jagung) dan padi 33 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 33-46 (Samad, 2003; Budijanto & Yulianti, 2012; Yuwono & Zulfiah, 2015). Beberapa penelitian beras analog terkait dengan proses pembuatan, komposisi formulasi dan karakterisitik beras analog yang dibuat dari kombinasi dua atau beberapa sumber karbohidrat, diantaranya mocaf (modified cassava flour) (Loebis, dkk., 2015), tepung beras, tepung jagung, tepung sorgum, sagu dan pati (Subagio, 2007; Widara, 2012; Yuwono & Zulfiah, 2015). Proses pembuatan beras analog sudah pernah dilakukan dengan menggunakan metode granulasi namun beras analog yang dihasilkan mempunyai karakteristik yang masih jauh dari yang diharapkan karena masih menghasilkan beras dengan bentuk bulat, densitas rendah dan mudah pecah (Budi, dkk., 2013). Kendala utama dalam pengembangan beras analog selama ini yaitu aspek penerimaan produk dalam hal bentuk dan warna yang berbeda dengan beras pada umumnya sehingga dapat mempengaruhi psikologis konsumen dalam menentukan pilihannya terhadap beras analog tersebut (Agusman, dkk., 2014). Saat ini penelitian beras mocaf hanya sebatas karakteristik fisika dan kimia saja, belum menyentuh cara pemasakan yang ideal dan studi kandungan gizi serta kalori nasi mocaf. Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai pengaruh pemasakan beras mocaf menjadi nasi mocaf terhadap kandungan gizi dan kalorinya sehingga diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman bagi masyarakat tentang nilai gizi dan kalori nasi dari beras mocaf dan cara pemasakannya yang ideal. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan kandungan gizi dan nilai kalori pada nasi mocaf dan cara pemasakan terbaik beras mocaf menjadi nasi mocaf. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pelaku industri produsen pangan dan masyarakat untuk dapat memanfaatkan beras mocaf sebagai sumber pangan alternatif sekaligus sebagai bagian dari diversifikasi pangan dan mendukung prog ketahanan pangan nasional. 34 2. METODE PENELITIAN Bahan yang digunakan pada penelitian ini berupa mocaf (Loebis & Meutia, 2012), tepung beras, air dan minyak goreng yang diperoleh dari Pasar Bogor. Peralatan yang digunakan terdiri dari seperangkat unit mesin pencetak beras yaitu mesin mixer berkapasitas 100 kg/batch/jam dengan kecepatan 25 rpm, alat pencetak beras tipe twin screw extruder dan alat penepung tipe disk mill, model FFC 15 dengan kecepatan 8.500 rpm, double screw yang dilengkapi dengan motor listrik 2 HP, 380 volt, 2.840 rpm, rangka mild steel dengan kapasitas 10 kg/jam. Peralatan pembuatan beras mocaf menggunakan ekstruder milik PT Kertalaksana, Cimahi, Bandung. Peralatan pemasakan meliputi rice cooker, microwave, kompor, dandang pengukus, timbangan, pengaduk nasi, baskom, wadah tahan microwave, termometer dan stopwatch. Peralatan pendukung yang digunakan adalah neraca digital Mettler Toledo, oven Memmert, kotak timbang, soxhlet kondensor, tanur, spektrofotometer UV-Vis Shimadzu UV-2450PC, Kjeltec FOSS Digester, Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) Shimadzu, Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) Varian 280FS AA dan perangkat gelas laboratorium. Beras mocaf dibuat berdasarkan campuran mocaf, tepung beras, air dan minyak goreng sawit. Campuran mocaf dan tepung beras sebanyak 10 kg di mixer selama 5 menit kemudian ditambahkan 300 g minyak goreng sawit dan 2 kg air, lalu diaduk dalam mixer sampai rata. Campuran bahan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam screw extruder untuk proses pencetakan. Dalam penelitian ini ditetapkan beberapa variasi komposisi mocaf yaitu 50, 60 dan 70%. Ada tiga cara pemasakan nasi mocaf yang dipilih yaitu pemasakan dengan menggunakan rice cooker, pengukusan dan microwave. Pemasakan Beras Mocaf Menjadi Nasi Mocaf Pemasakan beras mocaf dilakukan dengan tiga perlakuan yaitu pemasakan Karakterisasi Mutu dan nilai Gizi Nasi Mocaf…… (Enny Hawani Loebis, dkk.) dengan menggunakan rice cooker, pengukusan dan microwave. Formulasi ketiga pemasakan tersebut terdiri dari ± 200 g beras mocaf dituangkan ke dalam alat pemasakan (rice cooker, dandang, atau microwave) dan ditambahkan air ± 300 ml kemudian dimasak sampai matang. Hasil masakan berupa nasi dimasukkan ke dalam plastik food grade dan setelah dingin, kemasan plastik ditutup rapat selanjutnya siap dianalisis. Suhu pemasakan, lama pemasakan dan jumlah air pada proses pemasakan nasi mocaf merupakan faktor tetap tergantung pada jenis dan peralatan pemasakan. Apabila suhu pemasakan, lama pemasakan dan jumlah air tidak tepat maka nasi mocaf yang dihasilkan akan terlalu keras atau terlalu lembek (menjadi bubur). Suhu pemasakan, lama pemasakan dan jumlah air pada proses pemasakan nasi mocaf yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Loebis, dkk., (2013). Penelitian utama meliputi perhitungan nilai gizi, kalori dan karakterisasi mutu beras mocaf dengan cara analisis fisik dan kimia beras mocaf dan nasi mocaf. Karakterisasi Nilai Gizi Nasi mocaf dikarakterisasi dengan menggunakan metode uji SNI 2891-1992 untuk parameter kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein dan kadar pati. Parameter uji lainnya berupa bobot seribu butir dan densitas kamba (Widara, 2012), kadar karbohidrat (Webster-Gandy, et al., 2014), kadar vitamin B1 (SNI 3751-2009), kadar mineral (AOAC Method 968.081996), nilai kalori, kadar amilosa dan kadar amilopektin (ISO/NP 6647-2 2010). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai gizi nasi mocaf dievaluasi melalui pengujian parameter fisik dan kimia meliputi uji bobot seribu butir dan densitas kamba, kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar karbohidrat, kadar vitamin B1, kadar mineral, nilai kalori, kadar pati, kadar amilosa dan kadar amilopektin. Hasil pengujian nasi mocaf dibandingkan dengan data sekunder pengujian beras IR-64 (Setiyaningsih, 2008) dan nasi beras putih (Depkes, 1995), untuk membandingkan nilai gizi beras mocaf dan nasi mocaf yang dihasilkan. Hal ini dimaksudkan untuk menilai potensi nasi mocaf yang dihasilkan untuk menggantikan nasi beras putih. Beras IR64 dijadikan sebagai pembanding didasarkan pada data bahwa Beras IR-64 merupakan salah satu varietas beras yang paling banyak dikonsumsi masyarakat (Saheda, 2008). Bobot Seribu Butir dan Densitas Kamba Bobot seribu butir beras dapat menunjukkan bobot beras per butirnya. Analisis bobot seribu butir dilakukan untuk mengetahui keseragaman ukuran beras (Widara, 2012). Bobot seribu butir dapat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya campuran dalam sampel beras di pasaran. Selain itu juga dapat digunakan untuk mengetahui kemurnian suatu varietas beras (Hernawan & Meylani, 2016). Hasil analisis bobot seribu butir ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bobot seribu butir beras mocaf dengan komposisi 50, 60 dan 70%, berturut-turut adalah 0,026 g, 0,029 g dan 0,030 g. Bobot seribu butir semua jenis beras mocaf lebih besar dari Tabel 1. Hasil Analisis Fisik Bobot Seribu butir dan Densitas Kamba Jenis Beras Mocaf Beras Mocaf 50:50 Beras Mocaf 60:40 Beras Mocaf 70:30 Beras Padi IR-64 Bobot 1000 Butir (g) Bobot perbutir (g) 26,3 28,6 29,9 19,0* 0,026 0,029 0,030 0,019* Densitas Kamba (g/ml) 0,69 0,70 0,70 0,79** Sumber: * Setiyaningsih (2008) ** Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2008) 35 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 33-46 beras IR-64 (yang belum dimasak), hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh proses pembuatan beras mocaf yang menggunakan mesin ekstruder. Menurut Widara (2012), proses yang paling berpengaruh pada pencetakan beras analog adalah kecepatan screw dan kecepatan cutter. Kombinasi kedua parameter tersebut dapat menentukan bentuk beras analog. Jika kecepatan dikurangi maka ukuran beras analog menjadi besar dan begitu pula sebaliknya. Densitas kamba beras analog ditentukan untuk mengetahui volume dan porositas beras. Densitas kamba suatu bahan pangan penting untuk diketahui terutama dalam hal pengemasan produk, penyimpanan dan transportasi. Nilai densitas kamba yang besar akan membutuhkan tempat yang lebih kecil begitu pula sebaliknya (Setiawati, dkk., 2014). Berdasarkan data pada Tabel 1, diketahui densitas kamba beras mocaf dengan komposisi 50, 60 dan 70%, berturut-turut adalah 0,69 g/ml, 0,70 g/ml dan 0,70 g/ml, lebih kecil dari densitas kamba Beras IR-64. Densitas kamba beras analog yang rendah menunjukkan beras analog memiliki porositas yang tinggi. Porositas yang tinggi dapat dipengaruhi oleh kandungan gizi beras analog maupun proses pengeringan pasca pencetakan beras (Widara, 2012). Kadar Air Hasil analisis kadar air beras mocaf dan nasi mocaf ditunjukkan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Berdasarkan grafik pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa kadar air beras mocaf tidak berbeda jauh dengan kadar air beras IR-64. Kadar air beras mocaf memenuhi standar SNI Beras (SNI 6128:2015) dengan kadar air maksimal 14%. Kadar air yang tidak berbeda jauh tersebut dikarenakan dalam proses pembuatannya menggunakan alat ekstruder dengan suhu yang sama dan kemudian dilanjutkan menggunakan cara pengeringan yang sama yaitu dengan sinar matahari (Loebis, dkk., 2015). Hasil analisis kadar air nasi mocaf pada 3(tiga) perlakuan pemasakan ditunjukkan pada Gambar 2. Kadar air nasi mocaf lebih rendah dibandingkan kadar air nasi beras putih karena kandungan pati nasi mocaf lebih rendah dibandingkan nasi beras putih sehingga air tidak banyak terserap oleh beras mocaf saat pemasakan. Untuk mengevaluasi cara pemasakan nasi mocaf terbaik maka dilakukan pengamatan proses pemasakan dengan menggunakan rice cooker, Gambar 1. Hasil analisis kadar air beras mocaf (Setiyaningsih, 2008) Gambar 2. Hasil analisis kadar air nasi mocaf (Depkes, 1995) 36 Karakterisasi Mutu dan nilai Gizi Nasi Mocaf…… (Enny Hawani Loebis, dkk.) pengukusan dan microwave yang dapat dilihat pada Tabel 2. Noviasari, dkk., (2013) menyatakan bahwa beras analog dimasak menggunakan rice cooker dengan perbandingan air dan beras 1:1 dan waktu rehidrasi beras analog berkisar 10 menit. Hasil analisis waktu rehidrasi beras analog dapat dipengaruhi oleh konsentrasi pati (Lumba, 2013). Daya serap air dipengaruhi oleh komposisi pati di dalam bahan pangan (Heti & Widowati, 2009). Menurut Harper (1981), bahan pangan yang mengandung kadar pati yang tinggi akan semakin mudah menyerap air karena tersedianya molekul amilopektin yang bersifat reaktif terhadap molekul air sehingga jumlah air yang terserap ke dalam bahan pangan semakin banyak. Rumambi (2011) menyatakan daya serap air terhadap beras analog dapat dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat, protein, serat kasar dan komponen lainnya. Berdasarkan analisis sidik ragam, perlakuan pemasakan memberikan pengaruh nyata terhadap hasil analisis kadar air karena nilai signifikansi < 0,05. Uji Duncan menunjukkan kadar air nasi mocaf berbeda nyata antara kadar air nasi mocaf hasil pemasakan dengan menggunakan rice cooker dengan kadar air nasi mocaf menggunakan pengukusan. Hal ini disebabkan karena kondisi pemasakan nasi mocaf dengan menggunakan rice cooker membuat beras kontak langsung dengan medium pemanasan yang mengakibatkan banyak air terserap. Kadar Abu Hasil analisis kadar abu beras mocaf dan nasi mocaf ditunjukkan pada Gambar 3 dan Gambar 4. Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral dalam suatu bahan (Winarno, 2008). Namun, kadar abu tidak selalu ekuivalen dengan bahan mineral karena adanya beberapa mineral yang hilang selama volatilisasi atau interaksi antar konstituen (Sulaeman & Mudjajanto, 1991). Hasil analisis kadar abu pada beras mocaf dengan komposisi 50, 60 dan 70% tidak berbeda jauh dengan kadar abu beras IR-64 dan beras putih. Gambar 3. Hasil analisis kadar abu beras mocaf Tabel 2. Hasil Pengamatan Suhu dan Waktu Pemasakan Beras Mocaf Cara Pemasakan Bobot Beras (g) Penambahan Air (ml) Komposisi Beras Mocaf (%) 50 Rice Cooker Pengukusan Microwave 200 200 200 300 300 300 Hasil Pengamatan Waktu Suhu Pemasakan (oC) (menit) 10 99 60 10 101 70 10 102 50 12 89 60 11 89 70 11 90 50 24 90 60 24 89 70 24 89 37 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 33-46 Gambar 4. Hasil analisis kadar abu nasi mocaf Hasil analisis kadar abu nasi mocaf berdasarkan 3(tiga) proses perlakuan pemasakan ditunjukkan pada Gambar 4. Berdasarkan analisis sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95%, jenis nasi dan perlakuan pemasakan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap hasil analisis kadar abu. Penurunan kadar abu dari beras menjadi nasi dapat disebabkan oleh proses perendaman dengan air sebelum pemasakan yang dapat melarutkan zat anorganik pada permukaan beras mocaf. Kadar Lemak Hasil pengujian kadar lemak beras mocaf dan nasi mocaf ditunjukkan pada Gambar 5 dan Gambar 6. Berdasarkan grafik pada Gambar 5, dapat dilihat bahwa kadar lemak pada beras mocaf mendekati kadar lemak beras IR-64. Lemak yang terkandung pada beras mocaf berasal dari penambahan minyak goreng pada proses pembuatan beras mocaf. Lemak dapat berfungsi sebagai pelumas pada mesin ekstruder sehingga mempermudah pengeluaran dan pencetakan adonan (Setiawati, 2014). Kadar lemak pada beras mocaf dengan komposisi 70% lebih tinggi dibandingkan dengan kadar lemak beras lainnya karena kandungan lemak dalam singkong (tepung mocaf) lebih besar dari beras (tepung beras) (Depkes, 2005). Hasil analisis kadar lemak nasi mocaf ditunjukkan pada Gambar 6. Analisis sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa jenis nasi dan perlakuan pemasakan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap hasil analisis kadar lemak. Kadar lemak 38 meningkat setelah beras mocaf dimasak menjadi nasi. Pemanasan menyebabkan lemak terekstraksi keluar dari dalam beras. Kadar lemak beras mocaf yang rendah dihasilkan dari pemasakan dengan cara menggunakan rice cooker. Pemasakan dengan menggunakan rice cooker menghasilkan suhu pemasakan yang lebih tinggi dibandingkan dengan cara pemasakan lainnya. Pada umumnya setelah proses pengolahan bahan pangan, akan terjadi kerusakan lemak yang terkandung di dalamnya. Tingkat kerusakannya sangat bervariasi tergantung suhu yang digunakan serta lamanya waktu proses pengolahan. Semakin tinggi suhu yang digunakan maka kerusakan lemak akan semakin tinggi (Palupi, dkk., 2007). Gambar 5. Hasil analisis kadar lemak beras mocaf Kadar Protein Hasil pengujian kadar protein beras mocaf dan nasi mocaf ditunjukkan pada Gambar 7 dan Gambar 8. Beras mocaf dibuat dari komposisi tepung mocaf dengan kadar protein 1,25% dan tepung Karakterisasi Mutu dan nilai Gizi Nasi Mocaf…… (Enny Hawani Loebis, dkk.) Gambar 6. Hasil analisis kadar lemak nasi mocaf beras dengan kadar protein 8,5% (Loebis, dkk., 2013) sehingga diharapkan kadar proteinnya mendekati kadar protein beras padi. Berdasarkan grafik pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa kadar protein pada beras mocaf berkisar 3,3-4,3%, lebih rendah dari kadar protein beras IR-64 (10,9%). Hal ini dapat disebabkan oleh proses ekstruksi panas dalam pembuatan beras mocaf yang menyebabkan kerusakan protein (Loebis, dkk., 2013). Gambar 7. Hasil analisis kadar protein beras mocaf Hasil analisis kadar protein nasi mocaf ditunjukkan pada Gambar 8. Kadar protein nasi mocaf lebih rendah dibandingkan dengan kadar protein nasi beras putih yaitu sebesar 3,6%. Hal ini disebabkan oleh kadar protein pada singkong lebih rendah dibandingkan dengan kadar protein pada beras putih (Depkes, 1995). Analisis sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa jenis nasi mocaf dan jenis perlakuan pemasakan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar protein nasi mocaf. Kadar protein nasi mocaf setelah pemasakan berkurang. Kebanyakan protein pangan terdenaturasi jika dipanaskan selama satu jam pada suhu yang moderat 60-90oC (Palupi, dkk., 2007). Kadar Karbohidrat Hasil pengujian kadar karbohidrat beras mocaf dan nasi mocaf ditunjukkan pada Gambar 9 dan Gambar 10. Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa kadar Gambar 8. Hasil analisis kadar protein nasi mocaf 39 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 33-46 karbohidrat beras mocaf 50, 60 dan 70% berturut-turut adalah 83,8%, 84,9% dan 85%. Nilai tersebut mendekati kadar karbohidrat dari beras padi jenis IR-64 yaitu 88%. Kadar karbohidrat beras mocaf yang tinggi merupakan hasil pencampuran mocaf dan tepung beras sebagai sumber karbohidrat (Loebis, dkk., 2013). Gambar 9. Hasil analisis kadar karbohidrat beras mocaf Hasil analisis kadar karbohidrat nasi mocaf ditunjukkan pada Gambar 10. Kadar karbohidrat pada nasi mocaf sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kadar karbohidrat nasi beras putih. Hal ini disebabkan oleh kadar air nasi mocaf lebih rendah dibandingkan dengan kadar air nasi beras putih. Dengan kadar air nasi mocaf yang lebih rendah tersebut mengakibatkan proporsi karbohidrat pada nasi mocaf menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan nasi beras putih. Berdasarkan analisis sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95%, jenis nasi tidak memberikan pengaruh terhadap kadar karbohidrat nasi mocaf sedangkan perlakuan pemasakan memberikan pengaruh nyata terhadap hasil analisis kadar karbohidrat dengan nilai signifikansi < 0,05. Uji duncan menunjukkan kadar karbohidrat nasi mocaf berbeda nyata terutama kadar karbohidrat nasi mocaf dengan cara pemasakan menggunakan rice cooker dengan kadar karbohidrat nasi mocaf menggunakan pengukusan. Hal ini disebabkan oleh pemasakan dengan menggunakan rice cooker menghasilkan nasi mocaf dengan kadar air yang lebih tinggi dibandingkan menggunakan pengukusan dan microwave. Akhirnya pada proses perhitungan by dfference, kadar air akan memberikan efek pengurangan yang besar. Hal ini dapat digambarkan bahwa pada nasi pratanak yang kadar airnya > 70% maka karbohidratnya lebih rendah bahkan pemasakan dengan menggunakan rice cooker. Kadar Pati, Amilosa dan Amilopektin Hasil pengujian kadar pati, amilosa dan amilopektin beras mocaf dan nasi mocaf ditunjukkan pada Tabel 3. Pati merupakan polisakarida yang apabila dipanaskan akan terbagi menjadi amilosa dan amilopektin. Kadar pati beras mocaf dianalisis untuk mengetahui jumlah karbohidrat dalam bentuk pati. Pengurangan kadar pati terhadap amilosa akan menghasilkan kadar amilopektin. Gambar 10. Hasil analisis kadar karbohidrat nasi mocaf 40 Karakterisasi Mutu dan nilai Gizi Nasi Mocaf…… (Enny Hawani Loebis, dkk.) Tabel 3. Hasil analisis kadar pati, amilosa dan amilopektin beras mocaf Parameter 50% Mocaf Jenis Beras 60% Mocaf 70% Mocaf IR 64* Pati (%) 72,32 52,19 52,01 73,70 Amilosa (%) 24,00 20,33 22,88 24,60 Amilopektin (%) 48,32 31,86 29,13 49,10 Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa semakin banyak proporsi tepung beras yang digunakan maka semakin besar kadar pati beras mocaf. Hal ini dikarenakan tepung beras memiliki kadar pati yang lebih tinggi dibandingkan dengan beras mocaf. Beras mocaf 50% memiliki kadar pati lebih tinggi dibandingkan dengan beras mocaf lainnya, yaitu sebesar 72,32% Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa selisih kadar karbohidrat dan pati pada beras mocaf 50% sekitar 11%, pada beras mocaf 60% dan pada beras mocaf 70% berkisar 32-33%. Selisih nilai ini diduga adalah kadar serat pangan, serat kasar atau pati resisten yang merupakan bagian dari karbohidrat yang belum dianalisis kadarnya. Pengurangan kadar pati oleh kadar amilosa akan menghasilkan kadar amilopektin. Kadar amilosa dan amilopektin dapat menentukan sifat fisik beras. Menurut Juliano (1994), perbandingan antara amilosa dan amilopektin dapat menentukan tekstur pera atau tidaknya nasi, cepat atau tidaknya mengeras, lengket atau tidaknya nasi, warna dan kilap. Semakin tinggi kandungan amilosa maka nasi semakin kurang lekat dan semakin keras (pera). Berdasarkan kadar amilosa, beras diklasifikasikan menjadi beras beramilosa sangat rendah (<10%), beras beramilosa rendah (10-20%), beras beramilosa sedang (20-24%) dan beras beramilosa tinggi (>25%) (Winarno, 2008). Pada Tabel 3 ditunjukkan bahwa kadar amilosa beras mocaf 50, 60 dan 70%, berturut-turut adalah 24,0, 20,33 dan 22,88%. Dengan demikian beras mocaf dapat dikategorikan dalam beras beramilosa sedang. Semakin tinggi jumlah tepung mocaf maka semakin rendah kadar air beras tiruan yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan mocaf memiliki kadar amilosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung beras. Amilosa memiliki sifat mudah mengikat air dan mudah pula melepaskan air. Pada saat proses pengeringan, beras tiruan dengan kadar amilosa tinggi akan lebih mudah melepaskan air yang terdapat dalam bahan (Yuwono, dkk., 2013). Pada saat gelatinisasi, daerah amorphous lebih awal menyerap air karena amilosa lebih hidrofilik akan tetapi amilosa juga lebih cepat mengalami sineresis dan mengkristal. Kadar Mineral Hasil pengujian kadar mineral (Fe, K, Ca) nasi mocaf ditunjukkan pada Tabel 4. Kandungan mineral berkaitan dengan kadar abu. Dalam proses pembakaran, zatzat organik dapat terbakar habis tetapi zat anorganiknya tidak terbakar (Winarno, 2008). Menurut Andarwulan, dkk. (2011), pengaruh pengolahan pada bahan dapat mempengaruhi ketersediaan mineral bagi tubuh. Penggunaan air pada proses pencucian, perendaman dan perebusan dapat mengurangi ketersediaan mineral karena mineral akan larut oleh air yang digunakan. Hasil analisis sidik ragam kadar besi pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa perlakuan pemasakan tidak berpengaruh terhadap kadar besi nasi mocaf tetapi jenis komposisi nasi mocaf berpengaruh terhadap kadar besi nasi mocaf. Jenis komposisi nasi mocaf yang berpengaruh nyata berasal dari nasi mocaf 50 dan 70%. Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa kadar besi nasi mocaf 50% lebih kecil dari nasi mocaf 70% untuk semua perlakuan. Hal ini disebabkan karena 41 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 33-46 Tabel 4. Hasil analisis kadar mineral nasi mocaf (per 100 g) Perlakuan Rice Cooker Parameter Pengukusan Microwave Nasi Beras Putih 50% mocaf 60% mocaf 70% mocaf 50% mocaf 60% mocaf 70% mocaf 50% mocaf 60% mocaf 70% mocaf Fe (mg) 3,20 3,78 4,59 2,83 3,58 3,91 2,71 3,26 4,99 0,80 K (mg) 31,58 35,17 36,71 31,54 40,34 33,93 36,45 34,49 57,5 35.00 Ca (mg) 20,87 20,94 20,90 16,73 19,38 20,95 16,31 18,49 23,08 21,00 kandungan zat besi pada singkong berkisar 1,1 mg/100 g sebelum diolah dan 0,4 mg/100 g setelah diolah (Anonim, 2007). Semakin besar proporsi mocaf maka kadar besi nasi mocaf akan meningkat. Kadar kalium dan kalsium yang tinggi pada nasi mocaf berasal dari bahan baku mocaf yaitu singkong. Singkong mengandung 20 mg/100 g kalsium sebelum diolah dan 16 mg/100 g setelah diolah (Anonim, 2007). Pemanasan akan membebaskan mineral dari ikatan senyawa lain sehingga ketersediaan meningkat. Pada analisis kalium dan kalsium, perlakuan proses pemasakan tidak memberikan pengaruh signifikan pada hasil analisis. Hal ini sesuai hasil analisis sidik ragam pada kadar kalsium dan kalium dimana pada tingkat kepercayaan 95%, nilai signifikansinya < 0,05. Kadar Vitamin B1 Hasil analisis kadar vitamin B1 nasi mocaf ditunjukkan pada Gambar 11. Hasil analisis sidik ragam vitamin B1 pada tingkat kepercayaan 95% dengan nilai signifikansi < 0,05. Hal ini berarti perlakuan pemasakan memberikan pengaruh nyata terhadap kandungan vitamin B1. Grafik pada Gambar 11 menunjukkan hasil analisis kadar vitamin B1 dengan menggunakan pengukusan dan microwave berkisar antara 0,18-0,22 mg/100 g tetapi kadar vitamin B1 dengan menggunakan rice cooker tidak terdeteksi. Kehilangan tiamin sebagai senyawa vitamin B1 pada proses pemasakan dengan rice cooker disebabkan oleh sifatnya yang tidak stabil di udara, larut air, mudah rusak oleh pemanasan pada pH tinggi dan ultraviolet (Simone, 1983; Harris & Karmas, 1989; Prinzo, 1999; Palupi, dkk., 2007). Selain itu kehilangan kadar tiamin juga disebabkan oleh kondisi pemasakan dengan menggunakan rice cooker dalam keadaan tertutup sehingga menghasilkan tekanan dan suhu yang tinggi. Hal ini berbeda dengan suhu pemasakan dengan menggunakan pengukusan dan microwave yang lebih rendah dibandingkan pemasakan dengan rice cooker (Tabel 2). Pengukusan dengan uap panas menghasilkan retensi (ketahanan) zat gizi larut air yang lebih besar dibandingkan perebusan dengan air. Vitamin B1 larut air Gambar 11. Hasil analisis kadar vitamin B1 nasi mocaf (per 100 g) 42 Karakterisasi Mutu dan nilai Gizi Nasi Mocaf…… (Enny Hawani Loebis, dkk.) akan semakin susut dengan meningkatnya kontak antara medium penghantar panas dengan bahan pangan (Harris & Karmas, 1989). Kadar Kalori Hasil pengujian kadar kalori beras mocaf dan nasi mocaf ditunjukkan pada Gambar 12 dan Gambar 13. Pada penelitian ini, nilai kalori ditetapkan dengan perhitungan by difference, yaitu hasil penjumlahan dari perkalian kadar karbohidrat, lemak dan protein terhadap perkiraan nilai kalori/g (Webster-Gandy, et. al., 2014). Gambar 12 menunjukkan nilai kalori beras mocaf masih lebih rendah dibandingkan dengan nilai kalori beras IR64 karena kadar protein beras mocaf masih di bawah beras IR-64. Gambar 12. Hasil analisis kadar kalori beras mocaf Nilai kalori nasi mocaf ditunjukkan pada Gambar 13. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, nilai signifikansi perlakuan < 0,05. Hal ini menunjukkan perlakuan pemasakan memberikan pengaruh terhadap nilai kalori nasi mocaf. Nilai kalori yang didasarkan atas perhitungan kasar dipengaruhi oleh besarnya kadar protein, lemak dan karbohidrat, yang mana semua nilai kalori nasi mocaf dengan menggunakan rice cooker lebih rendah dibandingkan dengan nilai kalori nasi mocaf dengan menggunakan pengukusan dan microwave. Hal ini terjadi karena kadar karbohidrat nasi mocaf menggunakan rice cooker lebih rendah dibandingkan dengan kadar karbohidrat nasi mocaf menggunakan pengukusan dan microwave sehingga memberikan nilai penjumlahan yang tidak besar. Secara keseluruhan, nasi mocaf memiliki nilai kalori lebih tinggi dibandingkan dengan nasi padi biasa. Hasil ini juga membuktikan hipotesis penelitian bahwa nilai kalori nasi mocaf lebih besar dari nasi padi biasa (pratanak). Pemanasan dengan gelombang mikro dapat dianggap tidak mempengaruhi peningkatan degradasi komponen makanan secara langsung selain melalui peningkatan suhu (Harris & Karmas, 1989). Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa waktu pemasakan dengan menggunakan microwave lama dengan suhu pemasakan tidak terlalu tinggi. Tabel 4 dan Gambar 11 menunjukkan kadar mineral dan vitamin B1 lebih tinggi dengan pemasakan menggunakan microwave dibandingkan dengan pengukusan namun kadar karbohidrat sebagai sumber energi, lemak, protein dan kalori lebih tinggi pada pengukusan. Kandungan gizi dan kalori terbaik dari nasi mocaf yang dihasilkan Gambar 13. Hasil analisis kadar kalori beras mocaf dan nasi mocaf 43 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 33-46 yaitu nasi mocaf 60% dengan cara pengukusan karena kandungan karbohidrat, lemak, protein dan kalori lebih tinggi. Bahkan nasi mocaf cara pengukusan memiliki nilai gizi dan kalori di atas nasi beras putih. Cara pengukusan memberikan hasil yang lebih baik karena pada cara pengukusan digunakakan suhu pemasakan yang lebih rendah dibandingkan rice cooker dan microwave. Demikian juga waktu pemasakan lebih singkat dibandingkan cara microwave. Pada cara pengukusan air yang digunakan tidak kontak langsung dengan beras mocaf sehingga kemungkinan kandungan gizi terserap ke dalam air lebih kecil dibandingkan dengan cara rice cooker dan microwave. 4. KESIMPULAN Beras mocaf dengan komposisi 60% mocaf menghasilkan nasi mocaf dengan nilai kalori tertinggi yaitu 36,11 kal/100 g dibandingkan nasi mocaf yang berasal dari tepung mocaf dengan komposisi 50, 60 dan 70%. Sedangkan cara pemasakan yang terbaik adalah dengan cara pengukusan. Kandungan gizi dan nilai kalori yang dihasilkan yaitu 49,15% air; 2,05% lemak; 2,09% protein; 46,45% karbohidrat; 35,8 mg/Kg besi; 403,4 mg/Kg Kalium; 193,8 mg/Kg kalsium, 2,0 mg/Kg vitamin B1 dan 212,53 kal/100 g nilai kalori. Kandungan gizi dan nilai kalori nasi mocaf lebih tinggi dari kandungan gizi nasi beras putih. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala BBIA sebagai penanggung jawab unit tempat dilakukannya penelitian dan Yodi Setiawan, analis di BBIA, yang telah mendukung pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Agusman, Apriani, S.N.K. & Murdinah. (2014). Penggunaan Tepung Rumput Laut Eucheuma cottonii pada Pembuatan Beras Analog dari Tepung Modified Cassava Flour (Mocaf). JPB Perikanan, 9(1), 1-10. 44 Andarwulan, N., Kusnandar, F. & Herawati, D. (2011). Analisis Pangan. Dian Rakyat. Jakarta. Anonim. (2007). Community Food System Data: Staples, Root Crops, Cereals and Grain Products, Manihot esculenta crantz. https://www.mcgill.ca/. AOAC International. (1996). AOAC official method 968.08: Minerals in animal feed and pet food-Atomic absorption spectrophotometric method. AOAC Official Methods of Analysis. 16th ed. Vol. 1. Gaithersburg, MD: AOAC Int. Inc. Badan Standarisasi Nasional. (2009). SNI 013751-2009, Tepung Terigu Sebagai Bahan Makanan. Jakarta. Badan Standarisasi Nasional. (2008). SNI 6128:2015, Beras. Jakarta. Badan Standarisasi Nasional. (1992). SNI 012891-1992, Cara Uji Makanan Minuman. Jakarta. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. (2008). Mutu Gizi Beras Kristal. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 30(6), 8-10. Biro Pusat Statistik. (2014). Rata-rata Konsumsi Kalori per Kapita Sehari Menurut Kelompok Makanan 1999, 2002-2013. http://www.bps.go.id/. Budi, F.S., Hariyadi, P., Budijanto, S. & Syah, D. (2013). Teknologi Proses Ekstrusi Membuat Beras Analog. J. Pangan, 22(3), 163-274. Budijanto, S. & Yuliyanti. (2012). Studi Persiapan Tepung Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) dan Aplikasinya pada Pembuatan Beras Analog. Jurnal Teknologi Pertanian, 13(3), 177-186. Departemen Kesehatan RI. (2005). Daftar Komposisi Bahan Makanan. Subdirektorat Gizi Klinis. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. (1995). Daftar Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia. Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. Jakarta. Dewi, R.K. (2012). Rekayasa Beras Analog Berbahan Dasar Modified Cassava Flour (MOCAF) dengan Teknologi Karakterisasi Mutu dan nilai Gizi Nasi Mocaf…… (Enny Hawani Loebis, dkk.) Ekstruksi, Skripsi di Fakultas Teknologi Pertanian IPB Bogor. dengan Memanfaatkan Jagung Putih. J. Teknol.dan Industri Pangan, 24(2). Harper, J.M. (1981). Extruction of Food. Vol II. CRC Press Inc. Florida. Page 52-53. Palupi, N.S., Zakaria F.R. & Prangdimurti, E. (2007). Pengaruh Pengolahan Terhadap Nilai Gizi Pangan. Modul elearning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Harris, R.S. & Karmas, E. (1989). Evaluasi Gizi Pada Pengolahan Bahan Pangan. Edisi 2. ITB Bandung. Hernawan, E. & Meylani, V. (2016). Analisis Karakteristik Fisikokimia Beras Putih, Beras Merah dan Beras Hitam (Oryza sativa L., Oryza nivara dan Oryza sativa L. indica). Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada, 15(1), 79-91. Heti, H. & Widowati, S. (2009). Karakteristik Beras Mutiara Dari Umbi Jalar (Ipomae batatas). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor. International Organization for Standardization (ISO). (2010). Rice-Determination of Amylose Content- Part 2: Routine Method. ISO/NP 6647-2. Juliano, B.O. (1994). Criteria and Test for Rice Grain Quality. In: Rice Chemistry and Technology (B.O. Juliano, ed., 1994). American Association of Cereal Chemists. St. Paul. Lisnan, V. (2008). Pengembanan Beras Artificial Dari Ubi Kayu dan Ubi Jalar Sebagai Upaya Diversifikasi Pangan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Loebis, E.H., Pohan, H.G. & Susanti, I. (2015). Pengembangan Produk Pangan Darurat Berbasis Mocaf Siap Saji. Prosiding Workshop Hasil Litbang Unggulan Tahun 2015. Kementerian Perindustrian. Loebis, E.H. & Meutia, Y.R. (2012). Pembuatan Starter Mocaf Terimobilisasi dari Isolat Bakteri Asam Laktat dan Aplikasinya pada Proses Produksi Mocaf. Jurnal Hasil Penelitian Industri. 25(1), 35-47. Lumba, R. (2013). Kajian Pembuatan Beras Analog Berbasis Tepung Umbi Daluga (Cyrtosperma merkusii (Hassk) Schott). Skripsi Faperta. Jurusan Teknologi Pertanian. UNSRAT. Manado. Noviasari, S., Kusnandar, F. & Budijanto, S. (2013). Pengembangan Beras Analog Prinzo, Z.W. (1999). Thiamine Deficiency and Its Prevention and Control in Major Emergencies. World Health Organization. Rumambi, R.A. (2011). Pembuatan Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu (Manihot esculenta, Cratntz) dengan Penambahan Tepung Ikan Teri (Stolephorus, Sp) Sebagai Pangan Alternatif. Skripsi. Fakultas Pertanian UNSTRAT. Manado. Saheda, A.S. (2008). Preferensi dan Kepuasan Petani Terhadap Benih Padi Varietas Lokal Pandan Wangi Di Kabupaten Cianjur. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Samad, M.Y. (2003). Pembuatan Beras Tiruan (Artificial Rice) dengan Bahan Baku Ubi Kayu dan Sagu. Jurnal Sains dan Teknologi, 2, 36-40. Santoso, S. & Rianti, A.L. (2013). Kesehatan dan Gizi. PT Rineka Cipta. Jakarta. Setiawati, N.P., Santoso, J. & Purwaningsih, S. (2014). Karakteristik Beras Tiruan dengan Penambahan Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Sebagai Sumber Serat Pangan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 6(1), 197208. Setiyaningsih, P. (2008). Karakterisasi Sifat Fisiko Kimia dan Indeks Glikemiks Beras Berkadar Amilosa Sedang. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Simone, C.B. (1983). Cancer and Nutrition. McGraw Hill Book Company. New York. Subagio, A. (2007). Industrialisasi Modified Cassava Flour Sebagai Bahan Baku Industri Pangan untuk Menunjang Diversifikasi Pangan Pokok Nasional. Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember. 45 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 33-46 Sulaeman, A. & Mudjajanto, E.S. (1991). Ujiuji dan Percobaan dalam Kimia Makanan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian. IPB. Webster-Gandy, J., Madden, A. & Holdsworth, M. (2014). Gizi & Dietetika, alih bahasa, Hutagalung, M.S.B. EGC. Jakarta. Widara, S.S. (2012). Studi Pembuatan Beras Analog dari Berbagai Sumber Karbohidrat Menggunakan Teknologi Hot Extrusion. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. 46 Winarno, F.G. (2008). Kimia Pangan Dan Gizi. Edisi Terbaru Cetakan 1. M Brio Pres. Bogor. Yuwono, S.S. & Zulfiah, A.A. (2015). Formulasi Beras Analog Berbasis Tepung Mocaf dan Maizena dengan Penambahan CMC dan Tepung Ampas Tahu. Jurnal Pangan dan Agroindustri, 3(4), 1465-1472. Yuwono, S.S., Febrianto, K. & Dewi, N.S. (2013). Pembuatan Beras Tiruan Berbasis Modified Cassava Flour (MOCAF): Kajian Proporsi MOCAF: Tepung Beras Dan Penambahan Tepung Porang. Jurnal Teknologi Pertanian, 14(3), 175-182. Karakterisasi Adsorben dari Kulit Manggis…… (Ulfa Haura, dkk.) KARAKTERISASI ADSORBEN DARI KULIT MANGGIS DAN KINERJANYA PADA ADSORPSI LOGAM Pb(II) DAN Cr(VI) (Adsorbent Characterization from Mangosteen Peel and Its Adsorption Performance on Pb(II) and Cr(VI)) Ulfa Haura1, Fachrul Razi2 dan Hesti Meilina2 1 Program Studi Magister Teknik Kimia Prog Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Jl. Teungku Syeh Abdul Rauf No.7 Darussalam, Banda Aceh, Indonesia 2 Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Jl. Teungku Syeh Abdul Rauf No.7 Darussalam, Banda Aceh, Indonesia e-mail: [email protected] Naskah diterima 28 Februari 2017, revisi akhir 17 Maret 2017 dan disetujui untuk diterbitkan 20 Maret 2017 ABSTRAK. Penggunaan adsorben berbasis limbah biomassa untuk adsorpsi kandungan logam berbahaya dari limbah cair industri selain dapat mengurangi limbah juga dapat menekan harga jual adsorben. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik adsorben yang terbuat dari limbah kulit manggis (Garcinia mangostana L.) dan arang aktif dari limbah kulit manggis serta membandingkan kinerja kedua jenis adsorben tersebut pada proses adsorpsi ion logam Pb(II) dan Cr(VI). Limbah sintetis yang digunakan berupa ion dari Pb(II) dan Cr(VI) dari larutan Pb(NO3)2 dan K2Cr2O7 dengan variasi konsentrasi awal 20, 40, 80, 100 dan 200 mg/L. Proses adsorpsi dilakukan pada pH 5, rasio perbandingan berat adsorben dan volume larutan limbah 1:200, kecepatan pengadukan 60 rpm, adsorben berukuran nano dengan berat adsorben 0,5 g. Masing-masing adsorben dikarakterisasi menggunakan SEM untuk mengetahui sturktur morfologi, FTIR untuk mengetahui gugus fungsi dan SEM-EDS untuk mengetahui komponen kimia yang terkandung dalam adsorben tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik kedua jenis adsorben memenuhi syarat mutu sesuai SNI 06-3730-1995. Kapasitas adsorpsi tertinggi dari karbon aktif untuk menyerap Pb(II) dan Cr(VI) masing-masing 38,543 mg/g dan 36,838 mg/g, sedangkan kapasitas adsorpsi tertinggi biosorben untuk menyerap Pb(II) dan Cr(VI) masingmasing 36,98 mg/g dan 36,12 mg/g. Kata kunci: adsorpsi, biosorben, Cr(VI), kulit manggis, Pb(II) ABSTRACT. The usage of biomass waste-based adsorbent for the adsorption of hazardous metal in wastewater is not only reducing waste but also lowering adsorbent price. This research aims to study the characteristics of adsorbent from mangosteen peel (Garcinia Mangostana L.) and activated charcoal from mangosteen peel, also to compare the adsorption performance on metal ion Pb(II) and Cr(VI). Synthetic wastewater used from a solution of Pb(NO3)2 and K2Cr2O7 with variations in initial concentration of 20, 40, 80, 100 and 200 mg/L. Adsorption performed at pH 5, ratio of adsorbent and waste solution 1/200 (w/v), 60 rpm, 0.5 gs nano-sized adsorbent. Characterization using SEM, FTIR and SEM-EDS showed that both adsorbents characteristics met the requirements of SNI 06-3730-1995. The highest adsorption capacity of activated carbon to adsorb Pb(II) and Cr(VI) were 38.543 mg/g and 36.838 mg/g while biosorbent adsorb Pb(II) and Cr(VI) respectively 3.98 mg/g and 36.12 mg/g. Keywords: adsorption, biosorbent, Cr(VI), mangosteen peel, Pb(II) 47 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 47-54 1. PENDAHULUAN 2. METODE PENELITIAN Adsorpsi merupakan salah satu cara efektif untuk menyerap kandungan berbahaya yang terdapat pada limbah cair dan sering dilakukan dalam proses penanganan limbah cair industri. Adsorben yang digunakan untuk proses adsorpsi relatif mahal sehingga diperlukan adsorben yang lebih murah dan ramah lingkungan, misalnya yang berasal dari limbah biomassa. Adsorben yang diperoleh dari bahan baku limbah, selain mengurangi beban limbah padat di lingkungan sekitar juga dapat menekan harga jual dari adsorben tersebut. Walaupun jika dibandingkan arang aktif harga biosorben yang dihasilkan dari limbah padat lebih murah (Mohammed, et al., 2014), arang aktif memiliki beberapa keunggulan diantaranya mengandung sekitar 85-95% karbon (Gultom dan Lubis, 2014), memiliki porositas yang tinggi, luas permukaan yang lebih besar dan kekuatan mekanik yang tinggi (El-Wakil, et al., 2014). Menurut Danarto (2007), pasir yang dilapisi besi oksida dapat dijadikan activated carbon (arang aktif) untuk menyerap Cr(VI) dalam larutan dengan kapasitas penyerapan optimum sebesar 14,7 mg/g adsorben. Sejauh ini telah dilakukan penelitian tentang penggunaan adsorben ramah lingkungan yang diperoleh dari limbah atau biomassa. Kurniawan et.al (2013) melaporkan bahwa biji sirsak mempunyai kemampuan sebagai biosorben penyerap ion Pb(II) dan Cu(II). Earnestly (2007) menyatakan bahwa ukuran adsorben tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap proses adsorpsi berdasarkan hasil penelitiannya yang menggunakan kulit manggis sebagai biosorben untuk menyerap ion logam Pb(II), Ni(II), Cd(II) dan Cr(VI). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik adsorben yang terbuat dari limbah kulit manggis (Garcinia Mangostana L.) dan arang aktif dari limbah kulit manggis pada proses adsorpsi ion logam Pb(II) dan Cr(VI) serta membandingkan kinerja kedua jenis adsorben tersebut dalam penyisihan ion logam Pb(II) dan Cr(VI). Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian yaitu kulit manggis didapat dari tempat pembuangan sampah sementara kemudian dibersihkan dan dikeringkan. Kulit manggis yang akan digunakan sebagai biosorben diperkecil ukurannya menggunakan mill khusus nanopartikel hingga berukuran nano. Kulit manggis yang digunakan sebagai arang aktif dilakukan proses karbonisasi di dalam furnace tube selama 2 jam dengan temperatur 450oC. Setelah mengalami proses karbonisasi, kulit manggis yang sudah menjadi arang aktif dihancurkan dalam mill hingga berukuran nano. 48 Uji Karakterisasi Adsorben 1. Uji Methylene Blue (MB) Uji methylene blue (MB) dilakukan untuk mengetahui kemampuan dari masing-masing adsorben dalam menyerap warna pada ukuran partikel > 10 Å.Untuk melarutkan MB digunakan alkohol sebagai pelarutnya. Uji methylene blue dilakukan dengan variasi konsentrasi yaitu 20, 80 dan 200 mg/L. Analisis konsentrasi MB dilakukan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 664 nm (Ahda, dkk., 2013). 2. Uji Iodin Uji iodin dilakukan untuk mengetahui kemampuan dari masingmasing adsorben dalam menyerap warna pada ukuran partikel <10 Å dimana larutan KI digunakan sebagai pelarut iodin. Uji iodin dilakukan pada 3 variabel konsentrasi yaitu 20, 80 dan 200 mg/L. Untuk mengetahui konsentrasi iodin, digunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 615 nm. Analisis Gugus Fungsi dan Komponen Kimia Penyusun Adsorben Analisis gugus fungsi dilakukan untuk mengetahui gugus-gugus fungsi yang ada pada adsorben. Analisis gugus fungsi adsorben dilakukan menggunakan Fourier Transform Infared (FTIR) pada interval bilangan gelombang 400-4000 cm-1, sedangkan untuk analisis komponen kimia penyusun adsorben digunakan SEM- Karakterisasi Adsorben dari Kulit Manggis…… (Ulfa Haura, dkk.) EDS atau SEM-EDX (Scanning Electron Microscopes Energy Dispersive X-ray). Struktur Morfologi Adsorben Analisis SEM (Scanning Electron Microscope) dilakukan untuk mengetahui struktur permukaan dan ukuran partikel dari masing-masing adsorben. Alat SEM yang digunakan adalah Jeol JED-2200 Series buatan Jepang. Proses Adsorpsi Proses adsorpsi dilakukan secara batch dimana adsorben seberat 0,5 g dimasukkan ke dalam beaker glass 250 mL yang telah diisi 100 mL larutan sampel (Pb(NO3)2 atau K2Cr2O7) dengan variasi konsentrasi 20, 40, 80, 100 dan 200 mg/L. Proses adsorpsi dilakukan pada pH 5 dengan kecepatan pengadukan 60 rpm selama 120 menit. Sampel sebanyak 10 mL diambil untuk dianalisis konsentrasinya menggunakan AAS (Atomic Adsorption Specthrometry) pada setiap interval waktu 20 menit. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Gugus Fungsi Menggunakan FTIR (Fourier Transform Infra Red) Gugus fungsi biosorben kulit manggis dan arang aktif kulit manggis dianalisis menggunakan FTIR sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 1. Berdasarkan hasil pengukuran FTIR, dapat diamati bahwa pada biosorben dan arang aktif terdapat gugus CH (alkana), CH (aldehida), -N3>CO (asam karboksilat) dan –C-NO2 (nitro aromatik). Gugus-gugus tersebut ditemukan lebih rendah intensitasnya pada arang aktif. Selain itu, pada arang aktif juga ditemukan gugus CO (β-diketon) dengan intensitas absorbansi 0,0801. Gugus C-O-C (eter) pada biosorben teramati dengan intensitas absorbansi 0,0767. Analisis Komponen Kimia Penyusun Adsorben Menggunakan SEM-EDS Analisis komposisi kimia dari permukaan adsorben secara kuantitatif dan kualitatif dilakukan menggunakan EDS (Energy Dispersive Spectroscopy) yang ada pada alat SEM. Persentase massa dari elemen-elemen kimia yang terkandung dalam biosorben dan arang aktif dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan hasil SEM-EDS, diketahui bahwa elemen kimia yang hilang saat proses karakterisasi adsorben menjadi arang aktif adalah seng (Zn). Zn adalah senyawa aktif yang bersifat antioksidan untuk menangkap radikal bebas, sedangkan tujuan riset ini adalah untuk menyerap ion logam Pb(II) dan Cr(VI) yang keduanya bersifat toksin dan karsinogenik (Sayuti dan Yenrina,2015). Oleh karena itu, kandungan Zn pada biosorben diharapkan dapat membantu proses adsorpsi dengan kemampuannya menangkap ion logam Pb(II) dan Cr(VI). A b s o r b a n c e (A .U ) 0.2 0.1 0 -0.1 -0.2 Biosorben Arang Aktif -0.3 4000 3600 3200 2800 2400 2000 1600 1200 800 400 Wavenumber (1/cm) Gambar 1. Analisis gugus fungsi biosorben dan arang aktif sebelum proses adsorpsi mengunakan FTIR 49 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 47-54 Tabel 1. Hasil SEM-EDS adsorben Elemen Kimia (%massa) Jenis Adsorben C O Na Cl K Zn Biosorben 93,62 1,13 - 0,29 2,00 2,96 Arang aktif 94,75 0,80 0,15 0,64 3,66 - (a) (b) Gambar 2. Hasil analisis SEM Biosorben (a) dan arang aktif (b) dengan pembesaran 500 kali Elemen yang timbul setelah proses pirolisis (aktivasi secara fisik) adalah natrium (Na). Adanya elemen natrium dan kenaikan persen massa dari kalium mengindikasikan terdapat kadar abu yang biasanya terkandung pada arang aktif. Kadar abu maksimal untuk arang aktif serbuk menurut SNI 06-3730-1995 adalah 10%. Semakin kecil kadar abu pada arang aktif maka semakin besar pula kemampuan adsorben untuk menyerap ion logam. Hal ini dikarenakan kadar abu merupakan zat pengotor yang tidak diharapkan ada pada adsorben. Peningkatan kadar kalium (K) dan kadar natrium (Na) setelah adsorben melalui tahap pirolisis dikarenakan adanya kegagalan dari tahap proses pirolisis dimana kulit manggis bereaksi dengan oksigen sehingga kulit manggis tersebut menjadi abu yang ditandai dengan senyawa natrium dan kalium. Indikasi keberhasilan proses pirolisis kulit manggis menjadi arang aktif adalah adanya kadar karbon (C). Struktur Morfologi Adsorben Struktur morfologi dari kedua jenis adsorben dianalisis menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) dengan 500 kali pembesaran sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2. 50 Berdasarkan hasil analisis SEM pada Gambar 2, kedua adsorben memiliki bentuk yang tidak seragam. Biosorben memiliki ukuran terkecil yaitu sekitar 5-6 µm dan ukuran terbesar sekitar 25 µm, sedangkan arang aktif mempunyai ukuran terkecil sekitar 0,5-2 µm dan ukuran terbesar sekitar 20 µm. Ukuran rata-rata dari biosorben terlihat jelas lebih besar dibandingkan arang aktif pada pembesaran 500 kali. Pengaruh Jenis Adsorben terhadap Proses Penyerapan Logam Pb (II) dan Cr (VI) Pada penelitian ini digunakan dua jenis adsorben, yaitu biosorben (kulit manggis tanpa aktivasi secara fisik) dan arang aktif (kulit manggis yang teraktivasi secara fisik). Terdapat perbedaan kinerja dari dua jenis adsorben dalam proses penyerapan logam Pb(II) dan Cr(VI) sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 3. Sesuai dengan Gambar 3, arang aktif lebih efektif menyerap logam Pb(II) daripada biosorben pada konsentrasi awal ion logam 20 dan 100 mg/L, sedangkan untuk proses penyerapan logam Cr(VI) arang aktif bekerja lebih efektif dibandingkan biosorben pada konsentrasi awal larutan 100 dan 200 mg/L. Kemampuan adsorben untuk menyerap Karakterisasi Adsorben dari Kulit Manggis…… (Ulfa Haura, dkk.) 20 Arang aktif, Pb (II) Arang aktif, Cr (VI) Biosorben, Pb (II) Biosorben, Cr (VI) 18 Konsentrasi (mg/L) 16 14 12 10 8 6 4 2 00 20 40 60 80 100 120 Waktu (menit) (a) Konsentrasi (mg/L) 100 Arang aktif, Pb (II) Arang aktif, Cr (VI) Biosorben, Pb (II) Biosorben, Cr (VI) 80 60 40 20 0 0 20 40 60 80 Waktu (menit) 100 120 Konsentrasi (mg/L) (b) 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 0 Arang aktif, Pb (II) Arang aktif, Cr (VI) Biosorben, Pb II) Biosorben, Cr (VI) 20 40 60 80 Waktu (menit) 100 120 (c) Gambar 3. Pengaruh biosorben dan arang aktif terhadap waktu yang dilakukan oleh biosorben dan arang aktif pada konsentrasi awal 20 mg/L (a), 100 mg/L (b) dan 200 mg/L (c) logam dipengaruhi oleh tinggi atau rendahnya nilai konsentrasi awal sampel. Jika sampel memiliki konsentrasi yang rendah maka daya serap adsorben untuk menyerap sampel juga kecil. Karakteristik dari kedua jenis adsorben sangat mempengaruhi proses penyerapan yang dilakukan. Arang aktif yang mengandung sekitar 85-95% karbon dapat lebih banyak menyerap logam (Gultom dan Lubis, 2014). Akan tetapi menurut Palakawong, et al., (2010), senyawa aktif yang terdapat dalam kulit manggis bermanfaat dalam proses adsorpsi. Hal ini dikarenakan kemampuan antioksidan yang tinggi pada kulit manggis 51 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 47-54 dapat menyerap ion yang bersifat toksin dan karsinogenik seperti Pb(II) dan Cr(VI). juga terkait dari besar atau kecilnya ukuran pori adsorben. Jika ukuran pori adsorben lebih besar dari ukuran partikel zat terserap maka memungkinkan terjadinya proses penyerapan. Kapasitas adsorpsi dari arang aktif dan biosorben untuk penyerapan logam Pb(II) dan Cr(VI) dapat dilihat pada Gambar 4. Kapasitas adsorpsi (mg/g) Kapasitas Adsorpsi dari Arang Aktif dan Biosorben untuk Proses Penyerapan Logam Pb (II) dan Cr (VI) Kapasitas adsorpsi dapat berkaitan dengan kemampuan daya serap adsorben terhadap zat yang akan diserap. Hal ini 25 20 15 Arang aktif, Pb (II) Arang aktif, Cr (VI) Biosorben, Pb (II) Biosorben, Cr (VI) 10 5 0 0 20 40 60 80 Waktu (menit) 100 120 Kapasitas adsorpsi (mg/g) (a) 45 40 35 Arang aktif Pb (II) Arang aktif, Cr (VI) Biosorben, Pb (II) Biosorben, Cr (VI) 30 25 20 15 10 5 0 0 20 40 60 80 100 120 Waktu (menit) Kapasitas adsorpsi (mg/g) (b) 45 40 35 Arang aktif Pb (II) Arang aktif, Cr (VI) Biosorben, Pb (II) Biosorben, Cr (VI) 30 25 20 15 10 5 00 20 40 60 80 100 120 Waktu (menit) (c) Gambar 4. Kapasitas adsorpsi terhadap waktu yang dilakukan oleh biosorben dan arang aktif pada konsentrasi awal (a) 20 mg/L, (b) 100 mg/L dan (c) 200 mg/L 52 Karakterisasi Adsorben dari Kulit Manggis…… (Ulfa Haura, dkk.) Tabel 2. Nilai kapasitas adsorpsi maksimal dari arang aktif dan biosorben utnuk menyerap logam Pb(II) dan Cr(VI) JenisLogam Pb(II) Cr(VI) Kondisi Proses Kapasitas Adsorpsi (mg/g) Co (mg/L) T (menit) Arang Aktif 38,5430 200 120 Biosorben 36,9800 200 100 Arang Aktif 36,8384 200 120 Biosorben 36,1209 200 120 Jenis Adsorben Berdasarkan Gambar 4, terlihat jelas bahwa semakin besar konsentrasi awal dari larutan maka semakin besar pula kapasitas adsorpsi yang dihasilkan. Nilai kapasitas maksimum yang diperoleh pada penelitian ini untuk kinerja arang aktif dan biosorben sebagai adsorben untuk menyerap logam Pb(II) dan Cr(VI) dapat dilihat pada Tabel 2. Kapasitas adsorpsi yang dicapai dalam penelitian ini lebih baik dibandingkan dengan penelitian Earnestly (2007) yang menghasilkan kapasitas adsorpsi maksimal untuk proses penyerapan logam Pb(II) dan Cr(VI) masing-masing sebesar 1,715 mg/g dan 2,49 mg/g. Hasil ini membuktikan bahwa ukuran adsorben berpengaruh pada proses adsorpsi. Hal ini dikarenakan semakin kecil ukuran adsorben maka semakin besar luas permukaannya (Earnestly, 2007). Berdasarkan Tabel 2, kinerja penyerapan logam Pb(II) dan Cr(VI) yang dilakukan oleh arang aktif yang memiliki ukuran partikel terkecil rata-rata 0,5-2µm. 4. KESIMPULAN Karakter dari kedua jenis adsorben memenuhi kriteria untuk dijadikan sebagai adsorben berdasarkan acuan SNI 06-37301995. Hal ini terbukti dari kemampuan kedua jenis adsorben yang mampu menyisihkan logam Pb(II) dan Cr(VI). Kapasitas adsorpsi maksimal arang aktif dalam menyerap ion logam Pb(II) dan Cr(VI) masing-masing sebesar 38,54 mg/g dan 36,84 mg/g, sedangkan kapasitas adsorpsi yang diberikan oleh biosorben untuk penyisihan logam Pb(II) dan Cr(VI) masing-masing sebesar 36,98 mg/g dan 36,12 mg/g. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) yang telah memberikan dana untuk riset ini. DAFTAR PUSTAKA Ahda M., Sutarno & Kunarti, E.S. (2013). Sintetis Silika MCM-41 dan Uji Kapasitas Adsorpsi Terhadap Metilen Biru. Jurnal Ilmiah Kefarmasian, 3(1), 1-8. Danarto, Y.C. (2007). Kinetika Adsorpsi Logam Berat Cr(IV) dengan Adsorben Pasir yang Dilapisi Besi Oksida. Ekuilibrium, 6(2), 65-70. Earnestly, F. (2007). The Use of The Peel of Mangosteen (Garcinia mangostana L.) as Biosorbent of Pb(II), Ni(II), Cd(II), and Cr(IV) ion. Universitas Andalas, Sumatera Barat. El-Wakil A.M, Abou El-Maaty W.M., & Awad F.S. (2014). Removal of Lead From Aqueous Solution on Activated Carbon and Modified Activated Carbon Prepared from Dried Water Hyacinth Plant. Journal Analytical &Bioanalytical Techniques, 5(2). http://dx.doi.org/10.4172/2155-9872.10 00187. Gultom, E.M. & Lubis, M.T. (2014). Aplikasi Karbon Aktif dari Cangkang Kelapa Sawit dengan Aktivator H3PO4 Untuk Penyerapan Logam Berat Cd dan Pb. Jurnal Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara, 3(1). Kurniawan, M.I., Rahmadani, A., Abdullah, Z., Zein, R. & Munaf, E. (2013). Isotherm and Kinetic Modelling of Pb(II) and Cu(II) uptake by Annona muricata L. seed. Asian Journal of Chemical, 26(12), 35-88. 53 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 47-54 Mohammed, M.A., Shitu, A., Tadda, M.A. & Ngabura, M. (2014). Utilization of Various Agricultural Waste Materials in the Treatment of Industrial Wastewater Containing Heavy Metals. International Research Journal of Environment Sciences, 3(3), 62-71, ISSN 2319–1414. Palakawong, C., Sophanodora, P., Pisuchpen, S. dan Phong paichit., S. (2010). 54 Antioxidant and antimicrobial activities of crude extracts from mangosteen (Garcinia mangostana L.) parts and some essential oils. International Food Research Journal, 17, 583-589. Sayuti, K. dan Yenrina, R. (2015). Antioksidan, Alami dan Sintetik. Padang. Universitas Adalas. Karakteristik Membran Asimetris Polietersufone…… (Sri Mulyati, dkk.) KARAKTERISTIK MEMBRAN ASIMETRIS POLIETERSUFONE (PES) DENGAN PELARUT DIMETIL FORMAMIDE DAN N-METIL-2-PYROLIDONE (Characteristic of Poliethersulfone (PES) Asymmetric Membrane with Dimethyl Formamide and N-Methyl Pyrolidone as Solvent) Sri Mulyati, Fachrul Razi dan Zuhra Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala Jalan Tgk. Syekh Abdur Rauf No.7, Darussalam Banda Aceh, Indonesia, 23111 e-mail: [email protected] Naskah diterima 18 September 2016, revisi akhir 5 April 2017 dan disetujui untuk diterbitkan 7 April 2017 ABSTRAK. Membran yang umumnya digunakan untuk proses pemisahan dapat dibuat menggunakan teknik inversi fasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik membran asimetris polietersulfone (PES) yang dibuat menggunakan teknik inversi fasa dengan variabel jenis pelarut dan Trans Membrane Pressure (TMP). Hasil analisis Scanning Electron Microscopy (SEM) terhadap morfologi membran membuktikan bahwa membran yang dihasilkan merupakan membran asimetris yang terdiri dari dua lapisan yaitu bagian atas merupakan lapisan tipis dan lapisan bawah adalah lapisan berpori. Membran PES/DMF memiliki struktur pori yang lebih besar dibandingkan membran PES/NMP. Koefisien permeabilitas kedua membran yang dihasilkan berada dalam jangkauan ultrafiltrasi. Koefisien permeabilitas (Lp) membran PES/DMF sebesar 35,769 L/m2.jam, nilai ini jauh lebih besar dibandingkan PES/NMP yaitu 15,364 L/m2.jam.bar. Molecular Weight Cut-Off (MWCO) dari membran PES/DMF yaitu 177 Kda sedangkan membran PES/NMP sebesar 186 Kda. Kinerja membran PES/DMF terhadap pemisahan larutan dekstran memberikan nilai fluks yang lebih tinggi daripada membran PES/NMP sedangkan rejeksi yang dihasilkan lebih rendah. Fluks tertinggi diperoleh pada TMP 2 bar sebesar 11,4 L/m2.jam untuk membran PES/DMF dan 10,2 L/m2.jam untuk membran PES/NMP. Kata kunci: kinerja membran, membran asimetris, Molecular Weight Cut-Off (MWCO), morfologi, permeabilitas ABSTRACT. Membrane that is generally used for separation process could be made using phase inversion technique. This research aims to create polyethersulfone (PES) asymmetric membranes via phase inversion technique using solvent and Trans Membrane Pressure (TMP) as variable. SEM analysis indicated that membranes had asymmetric structure that consits of two layers which denser skin layer on the top surface and the porous support on the bottom. PES/DMF membrane showed larger pore structure than PES/NMP. The permeability coefficients of both membranes were in the ultrafiltration range. The coefficient permeability (Lp) of PES/DMF membrane was 35.769 L/m2.hour, much greater compared to PES/NMP membrane which was 15.364 L/m2.hour.bar. Molecular Weight Cut-Off (MWCO) of PES/DMF membrane was 177 Kda, meanwhile PES/NMP was 186 Kda. Performances of the membranes were evaluated using dextrane as feed solution. PES/DMF membrane resulted in an higher flux and lower rejection than PES/NMP. Keywords: asymmetric membrane, membrane performance, Molecular Weight Cut-Off (MWCO), morphology, permeability 55 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 55-62 1. PENDAHULUAN Proses pemisahan dengan membran telah diaplikasikan di berbagai bidang, diantaranya untuk pemurnian air (He dan Radisav, 2016), pada industri makanan dan obat-obatan (Gierszewska, et al., 2016) dan proses pengolahan limbah industri (Huang, et al., 2015). Berdasarkan struktur, membran dapat dibedakan menjadi membran simetris dan asimetris. Membran simetris mempunyai ukuran dan kerapatan pori yang sama di semua bagian sedangkan membran asimetris terdiri dari lapisan tipis pada bagian atas yang merupakan lapisan aktif tempat pemisahan terjadi serta lapisan bawah yang berpori dan bertindak sebagai penyangga. Lapisan ini tidak mempengaruhi karakteristik pemisahan dan laju filtrasi. Membran asimetris terutama digunakan untuk proses pemisahan yang menggunakan perbedaan tekanan sebagai gaya dorong seperti proses ultrafiltrasi dan reverse osmosis (RO). Sejak Loeb dan Sourirajan mempublikasikan metode inversi fasa (Kools, 1998), sebagian besar peneliti telah mempelajari tentang mekanisme pembentukan membran. Proses inversi fasa secara presipitasi imersi dikenal sebagai teknik yang paling populer untuk membuat membran asimetris, khususnya membran untuk proses ultrafiltrasi (Mulder,1996). Pada proses ini membran yang baru dicetak kemudian dicelupkan ke dalam bak koagulasi yang berisi non pelarut yaitu senyawa yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap pelarut namun rendah terhadap polimer. Proses presipitasi terjadi karena kelarutan antara polimer dan non pelarut rendah. Pada saat yang sama, kelarutan yang tinggi antara pelarut dengan non pelarut menyebabkan proses pergantian pelarut dengan non pelarut di beberapa titik sehingga terjadi demixing. Pembentukan sublayer pada membran asimetris dikendalikan oleh beberapa variabel di dalam larutan cetak, yaitu larutan yang akan digunakan sebagai material untuk membuat membran seperti komposisi, temperatur koagulasi, aditif organik dan anorganik (Mohammadi dan Saljoughi, 2009). Selain itu, pembentukan membran asimetris juga dipengaruhi oleh 56 polimer, pelarut dan non pelarut yang digunakan (Idris, dkk., 2007). Beberapa parameter yang terkait mekanisme pembentukan membran terhadap morfologi dan kinerja membran untuk proses pemisahan membran diantaranya adalah pengaruh konsentrasi polimer di dalam larutan cetak (Kim, et al., 1996), tipe dari pasangan pelarut dan non pelarut (Kools, 1998), ketebalan membran (Vogrin, et al., 2002) serta penambahan aditif (Kim dan Lee, 2003). Parameter-parameter di atas berpengaruh terhadap proses demixing yang terjadi secara instan maupun lambat di dalam bak koagulasi. PES (Polyethersulfone) adalah salah satu polimer yang paling banyak digunakan sebagai material untuk membran ultrafiltrasi. Hal ini dikarenakan PES tahan terhadap temperatur tinggi, toleransi pH yang luas, memiliki kekuatan mekanik dan kimia yang baik serta mudah dalam pembuatan (Xu dan Qusay, 2004). Tipe membran asimetris umumnya digunakan untuk menambah kekuatan mekanik dari membran ultrafiltrasi. Teknik inversi fasa khususnya metode presipitasi imersi adalah teknik untuk membuat membran asimetris. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik membran PES yang dibuat melalui teknik inversi fasa dengan menggunakan variabel berupa jenis pelarut dan Trans Membrane Pressure (TMP). 2. METODE PENELITIAN Polimer polietersulfone (PES) berasal dari Solvay Process India Ltd. digunakan sebagai material utama membran, N-metil Pyrrolidone (NMP) dan Dimetil Formamide (DMF) berasal dari Merck digunakan sebagai pelarut. Dekstran dengan berat molekul 6 kDa, 40 kDa, 70 kDa, 100 kDa dan 188 kDa dari Sigma Aldrich digunakan sebagai sampel larutan untuk menghitung MWCO membran. Bahan lainnya adalah aseton dan akuades (distilled water). Alat yang digunakan adalah seperangkat peralatan ultrafiltrasi, pipet ukur, timbangan analitik, plat kaca, gelas ukur 10 ml, erlenmeyer 50 ml, magnetic stirrer, motor pengaduk, casting Karakteristik Membran Asimetris Polietersufone…… (Sri Mulyati, dkk.) knife, bak koagulasi, stop watch, water bath, gas bertekanan dan lemari es. Pembuatan Membran Asimetris PES/DMF dan PES/NMP Pembuatan larutan cetak dilakukan dengan mencampurkan serbuk PES dengan pelarut NMP atau DMF dengan perbandingan komposisi 15:85(w/w). Campuran kemudian diaduk sampai homogen, ditandai oleh polimer yang telah larut. Pengadukan dilakukan selama 24 jam dengan kecepatan pengadukan 100 rpm. Perlakuan yang sama dilakukan untuk membuat membran dengan variasi berbeda. Hasil pengadukan berupa larutan bening yang selanjutnya disebut dope PES/NMP atau dope PES/DMF. Campuran atau dope tersebut disimpan di dalam lemari es selama ±24 jam untuk menghilangkan gelembung udara. Sebelum dicetak, campuran didiamkan hingga mencapai suhu ruang. Kemudian dope dituang ke atas pelat kaca untuk proses pencetakan dan diratakan ke seluruh permukaan kaca dengan menggunakan casting knife. Lapisan tipis yang terbentuk dibiarkan pada suhu ruang selama 15 detik untuk menguapkan pelarut. Selanjutnya, lapisan yang masih tertempel di permukaan kaca dicelupkan ke dalam bak koagulasi yang berisi media pengendap berupa air murni yang berfungsi sebagai non pelarut pada proses presipitasi. Proses ini dibiarkan hingga lapisan membran terlepas dari pelat kaca. Temperatur bak koagulasi dijaga konstan pada temperatur ruangan 27oC selama proses presipitasi. Kemudian dilakukan proses annealing pada membran PES/NMP dan PES/DMF yang terbentuk dengan cara dipanaskan secara perlahan hingga suhu 70oC. Suhu tersebut dipertahankan selama 10 menit, selanjutnya membran siap digunakan untuk proses pemisahan. Karakterisasi Membran dan Kinerja Membran Karakteristik membran berupa uji morfologi yang dilakukan dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM), uji permeabilitas air dan uji Molecular Weight Cut-Off (MWCO). Kinerja membran ditentukan dengan mengukur fluks dan rejeksi larutan dekstran dengan beberapa variasi berat molekul. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Membran Struktur permukaan membran, penampang melintang dan struktur makrovoid dari PES/NMP dan PES/DMF hasil analisis dengan alat SEM ditunjukkan pada Gambar 1. Struktur permukaan membran PES/NMP terlihat lebih rapat dibandingkan struktur membran PES/DMF. Membran dengan pelarut DMF pada permukaan atas memiliki ukuran pori-pori yang lebih besar. Gambar 1 adalah hasil foto SEM dengan ukuran pembesaran 50.000 kali yang menunjukkan ukuran pori yang berbeda antara hasil SEM kedua membran. Proses pembentukan permukaan atas pori-pori dipengaruhi oleh sifat termodinamika dari larutan cetak dan kinetika pada saat pembentukan membran. Saat proses pembentukan, membran dibiarkan mengalami penguapan selama 15 detik sehingga membentuk lapisan atas yang aktif. Tahap kedua dalam proses perendaman membran PES dapat dianggap stabil dimana pelarut dan non pelarut berdifusi di dalam bak koagulasi (Arthanareeswaran dan Starov, 2011). Laju difusi antara pelarut dan non pelarut di dalam bak koagulasi sangat mempengaruhi proses pembentukan sublayer. Apabila terjadi proses demixing secara spontan (instanteneous demixing) maka difusi pelarut ke bak koagulasi akan lambat, begitu juga terhadap difusi non pelarut ke dalam membran. Hal ini akan mengakibatkan bentuk dan ukuran pori yang lebih besar dibandingkan proses demixing yang terjadi secara lambat (delayed demixing). Kelarutan atau parameter kelarutan antara pelarut dan non pelarut merupakan faktor penting di dalam pembentukan membran. Apabila perbedaan solubilitas antara pelarut dan non pelarut rendah maka non pelarut dapat berdifusi lebih mudah ke dalam lapisan film atau polimer. Hal ini akan menghasilkan kenaikan laju difusi 57 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 55-62 PES/DMF-A PES/NMP-B PES/DMF-C PES/NMP-D PES/DMF-E PES/NMP-F Gambar 1. Morfologi membrane PES yang dibuat dengan pelarut yang berbeda, (A) Struktur permukaan membran PES/DMF, (B) Struktur permukaan membran PES/NMP, (C) Struktur penampang melintang membran PES/DMF, (D) Struktur penampang melintang membran PES/NMP, (E) Struktur makrovoid permukaan membran PES/DMF, (F) Struktur makrovoid permukaan membran PES/NMP antara pelarut di dalam film polimer dengan non pelarut yang berada dalam bak koagulasi yang menyebabkan terjadi pemisahan secara spontan. Pemisahan tersebut secara normal dapat dilihat dari terbentuknya pori pada permukaan membran, dimana bentuk pori-pori seperti jari pada lapisan bawah (Madaeni dan Rahimpour, 2005). Perbedaan parameter solubilitas antara pelarut DMF lebih rendah dibandingkan dengan pelarut NMP, hal ini konsisten dengan karakter membran yang dihasilkan. Pada membran PES/DMF terjadi pemisahan spontan yang menghasilkan struktur permukaan (lapisan atas) membran yang lebih tipis dibandingkan dengan PES/NMP. 58 Hasil analisis SEM terhadap stuktur penampang melintang membran terlihat kedua membran merupakan membran asimetris yang terdiri dari dua lapis yang mana lapisan atas tipis dan rapat sedangkan lapisan bawah berpori yang berfungsi sebagai penyangga dan dapat memberikan ketahanan terhadap membran. Struktur pori pada bagian lapisan bawah terlihat berbeda, pada PES/DMF terlihat bentuk seperti jari. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Hatijah, dkk. (2008). Ketebalan bagian atas lapisan aktif berpori membran terbentuk dari NMP lebih besar dibandingkan dengan DMF. Bentuk makrovoid pori-pori di membran terbentuk Karakteristik Membran Asimetris Polietersufone…… (Sri Mulyati, dkk.) dari NMP dan DMF sebagai pelarut menunjukkan bahwa tingkat pembentukan makrovoid di lapisan bawah dari membran adalah tertinggi untuk pelarut DMF. Pelarut DMF memiliki fluks yang lebih tinggi karena karakteristik lapisan yang tipis dan pori-pori makrovoid besar. Permeabilitas air murni merupakan salah satu karakteristik penting untuk membran apabila diaplikasikan pada industri. Nilai permeabilitas air murni diperoleh dengan mengukur fluks air murni yang melewati membran. Fluks adalah jumlah volume permeat yang melewati satu satuan permukaan luas membran dengan waktu tertentu dengan adanya gaya dorong, dalam hal ini berupa tekanan. Fluks merupakan karakterisasi penting bagi membran yang akan diaplikasikan di industri. Hubungan antara fluks air murni dengan Trans Membran Pressure (TMP) ditunjukkan pada Gambar 2 dimana kenaikan harga TMP berbanding lurus dengan fluks yang dihasilkan. Gambar 2 mengindikasikan bahwa membran PES/DMF mempunyai nilai fluks yang lebih tinggi dibandingkan dengan membran PES/NMP. Membran PES/DMF mempunyai lapisan yang rapat (dense layer) lebih tipis dibandingkan dengan membran PES/NMP sehingga fluks yang melewati membran akan lebih tinggi. 70 Fluks (L/m2.jam) 60 50 40 30 20 10 PES/DMF PES/NMP 0 0,5 1 1,5 2 2,5 Trans Membrane Pressure (TMP) Gambar 2. Permeabilitas air murni dari membran PES/DMF dan membran PES/NM Nilai fluks terbesar diperoleh pada membran PES/DMF dimana pada tekanan 1 bar membran PES/DMF dan membran PES/NMP menunjukkan fluks 23,27 L/m2.jam dan 16,16 L/m2.jam sedangkan pada tekanan 2 bar menunjukkan fluks sebesar 59,43 L/m2.jam dan 32,25 L/m2.jam. Koefisien permeabilitas air murni (Lp) adalah kemampuan membran untuk melewatkan air murni berdasarkan tekanan operasi pada membran. Koefisien permeabilitas (Lp) menjadi salah satu faktor penentu karakteristik membran. Harga Lp diperoleh dari kemiringan (slope) grafik fluks terhadap tekanan operasi. Semakin tinggi nilai koefisien permeabilitas maka semakin mudah solut untuk melewati membran sehingga akan menghasilkan nilai fluks yang tinggi. Membran PES/NMP memiliki Lp 15,364 L/m2.jam.bar dan membran PES/DMF memiliki Lp 35,769 L/m2.jam.bar. Menurut Pratomo (2003), membran ultrafiltrasi mempunyai rentangan tekanan operasional pada 1,0-5,0 bar dengan fluks air murni antara 10-50 L/m2.jam.bar sehingga kedua jenis membran yang dihasilkan dalam penelitian ini (PES/DMF dan PES/NMP) diklasifikasikan sebagai membran ultrafiltrasi. Molecular Weight Cut-Off (MWCO) MWCO adalah karakterisitik dari pori membran yang berhubungan dengan rejeksi dari larutan dengan berat molekul tertentu. Persentase rejeksi dari senyawa tersebut dapat berada dalam range 100% sampai 0%, dimana 100% berarti semua solut akan terejeksi sedangkan 0% berarti tidak ada solut yang terejeksi. Secara umum, kriteria MWCO suatu membran dipilih apabila 90% dari suatu solut terejeksi oleh suatu membran (Bossu, K., 2006). Rejeksi dekstran MWCO dari PES/DMF dan PES/NMP dapat dilihat pada Gambar 3. Pada penelitian ini digunakan larutan dekstran dengan variasi berat molekul 6 kDa, 40 kDa, 70 kDa, 100 kDa dan 188 kDa. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa untuk membran PES/DMF memiliki nilai MWCO lebih rendah dibandingkan nilai MWCO membran PES/NMP. Nilai MWCO untuk membran PES/DMF adalah 177 Kda sedangkan membran PES/NMP adalah 59 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 55-62 100 % Rejeksi 90 80 70 60 50 PES/DMF PES/NMP 40 0 50000 100000 150000 200000 Berat Molekul Dextran (Da) Gambar 3. Profil Molecular Weight Cut Off dari membran PES/DMF dan membran PES/NMP 186 Kda. Nilai MWCO berbanding lurus dengan ukuran pori dari suatu membran (Idris, dkk., 2007). Hasil ini sesuai dengan struktur permukaan membran yang dihasilkan, membran PES/DMF memiliki struktur pori yang lebih besar dibandingkan membran PES/NMP. Kinerja Membran Kinerja membran diukur untuk melihat pengaruh jenis pelarut terhadap fluks dan rejeksi dekstran dengan berbagai ukuran molekul pada beberapa TMP. Membran mempunyai kinerja yang baik apabila menghasilkan fluks yang tinggi dan rejeksi yang tidak terlalu rendah. Pengaruh TMP terhadap Fluks Membran Hubungan antara TMP terhadap fluks dekstran dengan berbagai berat (A) Membran PES/DMF molekul ditunjukkan pada Gambar 4 yang memperlihatkan bahwa semakin tinggi tekanan yang diberikan maka nilai fluks yang dihasilkan akan semakin tinggi. Hal ini disebabkan gaya dorong yang semakin besar sehingga semakin mendorong umpan melewati membran. Kenaikan berat molekul dekstran menyebabkan fluks semakin menurun. Kinerja membran ditentukan oleh karakter membran. Fluks yang dihasilkan oleh kedua membran konsisten dengan morfologi membran. Membran PES/DMF yang memiliki pori lebih besar dan lebih banyak dibandingkan membran PES/NMP menghasilkan fluks yang lebih besar dibandingkan membran PES/NMP. Fluks tertinggi diperoleh pada TMP 2 bar dan dekstran 6 Kda sebesar 11,4 L/m2.jam untuk membran PES/DMF dan 10,2 L/m2.jam untuk membran PES/NMP. (B) Membran PES/NMP Gambar 4. Pengaruh TMP dan berat molekul dekstran terhadap fluks membran 60 Karakteristik Membran Asimetris Polietersufone…… (Sri Mulyati, dkk.) (A) Membran PES/DMF (B) Membran PES/NMP Gambar 5. Pengaruh TMP dan berat molekul dekstran terhadap rejeksi membrane Pengaruh TMP terhadap Rejeksi Membran Rejeksi dipengaruhi oleh tekanan operasi dimana rejeksi menurun dengan bertambahnya TMP. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5 dimana persentase rejeksi larutan dekstran yang dihasilkan untuk semua larutan dekstran yang berbeda berat molekul menurun seiring dengan meningkatnya TMP. Membran PES/NMP memiliki rejeksi yang lebih tinggi yaitu 94,6% dibandingkan dengan membran PES/DMF sebesar 91,5%. Hal ini konsisten dengan kondisi morfologi membran dimana membran PES/NMP memiliki lapisan rapat (dense) yang lebih tebal dan juga pori-pori yang lebih rapat dibandingkan membran PES/DMF. UCAPAN TERIMA KASIH 4. KESIMPULAN Gierszewska, M. & Jadwiga, O.C. (2016). Chitosan-based membranes with different ionic crosslinking density for pharmaceutical and industrial applications. Carbohydrate Polymers, 153, 501-511. Membran asimetris dari PES/NMP memiliki struktur pori yang lebih rapat dibandingkan membran PES/DMF sehingga permebilitas air murni dan MWCO yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan membran PES/DMF. Kinerja membran PES/DMF terhadap pemisahan larutan dekstran memberikan nilai fluks yang lebih tinggi dari pada membran PES/NMP. Fluks tertinggi diperoleh pada TMP 2 bar dan dekstran 6 Kda yaitu sebesar 11,4 L/m2.jam untuk membran PES/DMF dan 10,2 L/m2.jam untuk membran PES/NMP. Rejeksi membran PES/NMP mencapai 94,6% sedangkan membran PES/DMF adalah 91,5%. Penulis mengucapkan terima kasih kepada DP2M DIKTI yang telah mendukung pembiayaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Arthanareeswaran, G. & Starov, V.M. (2011). Effect of solvents on performance of polyethersulfone ultrafiltration membranes: Investigation of metal ion separations. Desalination, 267(1), 5763. Boussu K., Van der Bruggen B., Volodin A., Van Haesendonck C., Delcour J.A, Van der Meeren P. (2006). Characterization of commercial nanofiltration membranes and comparison with selfmade polyethersulfone membranes. Desalination. 191(1), 245-53. Hatijah, B., Ahmad, F.I. & Madzlan, A. (2008). Effect of Different Solvent in The Preparation of Polyethersulfone (PES)Ag Polymer Composite. Jurnal Teknologi, 49, 133–140. He, C. & Radisav, D.V. (2016). Application of microfiltration for the treatment of Marcellus Shale flowback water: Influence of floc breakage on membrane fouling. Journal of Membrane Science, 510, 348-354. 61 BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 55-62 Huang, X., Weiping, W., Liu, Y., Wang, H., Zhibing, Z., Wenling & F., Lei, L. (2015). Treatment of oily waste water by PVP grafted PVDF ultrafiltration membrane. Chemical Engineering Journal, 273, 421-429. Idris, A., Zain, N.M. & Noordin, M.Y. (2007). Synthesis, characterization and performance of asymmetric polyethersulfone (PES) ultrafiltration membranes with polyethylene glycol of different molecular weights as additives. Desalination, 207(1-3), 324-339. Kim, H.J., Tyagi, R.K., Fouda, A.E. & Jonasson, K. (1996). The kinetic study for asymmetric membrane formation via phase-inversion process. Journal of applied polymer science, 62(4), 621629. Kim, I. C. & Lee, K. H. (2003). Effect of various additives on pore size of polysulfone membrane by phase‐inversion process. Journal of applied polymer science, 89(9), 25622566 Kools, W.F.C. (1998). Membrane formation by phase inversion in multicomponent polymer systems. Mechanisms and morphologies. Universiteit Twente. Madaeni, S.S. & Rahimpour, A. (2005). Effect of type of solvent and non-solvents on 62 morphology and performance of polysulfone and polyethersulfone ultrafiltration membranes for milk concentration. Polymers for Advanced Technologies, 16(10), 717-724. Mohammadi, T. & Saljoughi, E. (2009). Effect of production conditions on morphology and permeability of asymmetric cellulose acetate membranes. Desalination, 243(1-3), 1-7. Mulder, M. (1996). Basic Principles of Membrane Technology. Kluwer Academic Publisher. Netherland. Pratomo, A. & Heru. (2003). Pembuatan dan Karakterisasi Membran Komposit Polisulfon Selulosa Asetat Untuk Proses Ultrafiltrasi. Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains, 2003, 168-173. Vogrin, N., Stropnik, Črtomir, S., Vojko, M. & Milan, B. (2002). The wet phase separation: The effect of cast solution thickness on the appearance of macrovoids in the membrane forming ternary cellulose acetate/acetone/water system. Journal of Membrane Science, 207(1), 139-141. Xu, Z.L. & Qusay, F.A. (2004). Polyethersulfone (PES) hollow fiber ultrafiltration membranes prepared by PES/non-solvent/NMP solution. Journal of Membrane Science, 233(1), 101-111. PEDOMAN PENULISAN NASKAH/ARTIKEL Ruang Lingkup Naskah/artikel yang diajukan merupakan hasil penelitian dalam bidang Bioteknologi, Proses, Pangan dan Lingkungan yang belum pernah diterbitkan dan tidak direncanakan diterbitkan dalam penerbitan-penerbitan lain. Naskah/artikel merupakan pemikiran sendiri, mengandung unsur kekinian/baru dan bersifat ilmiah. Naskah/artikel yang telah diseminarkan dalam pertemuan ilmiah nasional atau internasional, hendaknya disertai catatan kaki. Tata Cara Pengiriman Naskah Naskah/artikel dikirim secara online melalui website http://ejournal.kemenperin.go.id/biopropal dengan melakukan registrasi dan login terlebih dahulu. Registrasi secara online tidak dikenakan biaya. Format penulisan naskah/artikel (journal template) dapat dilihat di website jurnal Biopropal Industri. Redaksi berhak menolak naskah/artikel yang dianggap tidak layak untuk diterbitkan. Penyiapan Naskah/Artikel Format penulisan naskah/artikel : 1. Judul, memuat maksimal 15 kata, ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. 2. Nama penulis ditulis di bawah judul dengan ketentuan jika penulisnya lebih dari satu dan intansinya berbeda maka ditandai dengan 1), 2) dan seterusnya. 3. Instansi/alamat + Email ditulis di bawah Nama penulis. 4. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia (maksimal 250 kata) dan Bahasa Inggris (maksimal 150 kata). Abstrak berisikan latar belakang penelitian, tujuan, metode penelitian dan hasil yang diperoleh. 5. Kata Kunci/Keywords terdiri dari 3-5 kata penting dari keseluruhan naskah. 6. Pendahuluan, berisi: Latar belakang/permasalahan, teori yang mendukung (tinjauan pustaka), tujuan dan ruang lingkup. 7. Metode Penelitian, dapat berisi: bahan, peralatan, desain eksperimen/rancangan penelitian dan prosedur penelitian 8. Hasil dan Pembahasan. 9. Kesimpulan (dapat memuat saran bila ada). 10. Ucapan Terima Kasih (bila ada). 11. Daftar Pustaka Daftar pustaka mengacu pada sistem APA (American Psychological Association), dengan contoh sbb: Buku Smith, F. J., & Jones, E. (1948). A scheme of qualitative organic analysis. London: Blackie. Artikel Jurnal Deutsch, F. M., Lussier, J. B., & Servis, L. J. (1993). Husbands at home: Predictors of paternal participation in childcare and housework. Journal of Personality and Social Pyschology, 65, 1154-1166. Lawson, W. (2004). A mental roadblock. Psychology Today, 37(5), 24. Prosiding Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1991). A motivational approach to self: Integration in personality. In R. Dienstbier (Ed.), Nebraska Symposium on Motivation: Vol. 38. Perspectives on motivation (pp. 237288). Lincoln: University of Nebraska Press. Skripsi/tesis/disertasi (tidak dipublikasi) Bennett, K. (2003). Structures in early childhood learning. Unpublished doctoral dissertation. University of Cape Town, Cape Town. Penulis Korporasi Telstra Research Laboratories. (1993). New horizon: 1993 annual report. Clayton, Vic.: Telstra Research Laboratories. Laporan Penelitian Suyono, Y. (2010). Pemanfaatan Bakteri sebagai Biosorben Logam Berat Limbah Cair Industri Pelapisan Seng. Program Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa, Baristand Industri Pontianak, Kementerian Perindustrian, Pontianak. Website Fredrickson, B. L. (2000, March 7). Cultivating positive emotions to optimize health and well-being. Prevention & Treatment, 3 Article 0001a. Retrieved November 20, 2000, from http://journals.apa.org/prevention/volume3/pre0030001a.html VandenBos, G., Knapp, S., & Doe, J. (2001). Role of reference elements in the selection of resources by psychology undergraduates [Electronic version]. Journal of Bibliographic Research(5), 117-123. Tabel diberi nomor dan ditulis singkat serta jelas di bagian atasnya; Grafik dan gambar harus jelas, kontras dan dibuat dengan tinta hitam. Setiap gambar diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas di bawahnya. Foto harus mempunyai ketajaman yang baik, diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas di bawahnya. ISSN 2089-0877 9 772089 087760