Untitled - ejournal of industrial system portal

advertisement
No Akreditasi: 705/AU/P2MI-LIPI/10/2015
p-ISSN 2089-0877
e-ISSN 2502-2962
Volume 8, Nomor 1, Juni 2017
Biopropal Industri merupakan publikasi ilmiah yang memuat hasil-hasil penelitian dan pengembangan dalam bidang
bioteknologi, proses, pangan dan lingkungan. Terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember. Biopropal
Industri diterbitkan oleh Balai Riset dan Standardisasi Industri Pontianak sejak Juni 2010.
PENANGGUNG JAWAB
Kepala Balai Riset dan Standardisasi Industri Pontianak
EDITOR KEPALA
Prof. Dr. Muhammad Hanafi (Kimia Bahan Alam – LIPI)
EDITOR BAGIAN
Dr. Rika Wulandari, S.Si, M.Si (Kimia Organik, Analitik, Lingkungan - Baristand Industri Pontianak)
Hidayati, ST, MT (Teknologi Proses – Baristand Industri Pontianak)
Mohamad Rusdi Hidayat, S.Si, M.Sc. (Biologi Molekuler - Baristand Industri Pontianak)
Yani Kartika Pertiwi, S.Si, M.Si MAIE (Kimia Industri – Baristand Industri Pontianak)
Farid Salahudin, STP (Teknologi Bahan Baku Pangan dan Kosmetika - Baristand Industri Pontianak)
Asmawit, STP (Teknologi Pangan – Baristand Industri Pontianak)
Pramono Putro Utomo, STP (Teknologi Bahan Baku Pangan dan Kosmetika - Baristand Industri Pontianak)
REVIEWER
Prof. Dr. Yanni Sudiyani, M.Agr (Biologi, Lingkungan, Bioenergi –LIPI)
Prof. Dr. Silvester Tursiloadi (Kimia Fisika - LIPI)
Prof. Dr. Partomuan Simanjuntak, M.Sc (Kimia Bahan Alam – LIPI)
Dr. Anny Sulaswatty (Teknologi Proses Pengolahan Bahan Pangan, Pertanian dan Perkebunan – LIPI)
Dr. Ir. Yohana S.Kusuma Dewi, MP (Ilmu Pangan – UNTAN)
Rudiyansyah, S.Si, M.Si, Ph.D (Kimia Organik Bahan Alam – UNTAN)
Dr. Dwinna Rahmi, M.Eng (Kimia Bahan Alam, Lingkungan, Analitik – BBKK)
Dr. Sri Pudjiraharti, M.Si (Biokimia, Biosains Terapan – LIPI)
Dr. Vivitri Dewi Prasasty (Biokimia – UNIKA ATMAJAYA)
Dr. M. Dani Supardan, MT (Teknologi Proses – UNSYIAH)
DESAIN GRAFIS
Teguh Satrio Pribowo, SH, MH
SEKRETARIAT
Sukma Budi Ariyani, ST
ALAMAT REDAKSI
Balai Riset dan Standardisasi Industri Pontianak, Jl. Budi Utomo No. 41, Pontianak 78243
Telp. (0561) 881393, 884442. Faks. (0561) 881533
e-mail: [email protected]
http://ejournal.kemenperin.go.id/biopropal
p-ISSN 2089-0877
e-ISSN 2502-2962
Nomor Akreditasi : 705/AU/P2MI-LIPI/10/2015
Volume 8, Nomor 1, Juni 2017
BIOPROPAL INDUSTRI
Vol. 8
No. 1
Hal. 1- 62
Pontianak, Juni 2017
ISSN 2089-0877
KATA PENGANTAR
Redaksi mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena telah
dapat menyelesaikan Majalah BIOPROPAL (Bioteknologi, Proses, Pangan,
Lingkungan) INDUSTRI Volume 8 Nomor 1, Juni 2017 untuk pembaca. Pada
kesempatan ini Redaksi mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu hingga terbitnya majalah ini.
Dalam penerbitan kali ini disajikan 5(lima) tulisan yang mencakup 2(dua)
artikel membahas tentang bioteknologi dengan judul: (1) Pengaruh Variasi
Konsentrasi Inulin pada Proses Fermentasi oleh Lactobacillus Acidophilus,
Lactobacillus Bulgaricus dan Streptococcus Thermophilus, (2) Pertumbuhan Bakteri
Laut Shewanella Indica Lbf-1-0076 dalam Naftalena dan Deteksi Gen Naftalena
Dioksigenase; 1(satu) artikel membahas tentang proses dengan judul: Karakteristik
Membran Asimetris Polietersufone (PES) Dengan Pelarut Dimetil Formamide dan
N-Metil-2-Pyrolidone; 1(satu) artikel membahas tentang pangan dengan judul:
Karakterisasi Mutu dan Nilai Gizi Nasi Mocaf dari Beras Analog; dan 1(satu) artikel
membahas tentang lingkungan dengan judul: Karakterisasi Adsorben dari Kulit
Manggis dan Kinerjanya pada Adsorpsi Logam Pb(II) Dan Cr(VI).
Redaksi sangat mengharapkan kiriman tulisan-tulisan ilmiah dari para peneliti
baik dari kalangan akademis maupun lembaga penelitian ke Majalah BIOPROPAL
INDUSTRI ini. Kritik dan saran juga sangat Redaksi harapkan dari semua pihak
dalam rangka memperbaiki kualitas majalah ini sehingga akreditasi pada majalah ini
dapat dipertahankan. Akhirnya Redaksi mengucapkan “Selamat Membaca” majalah
ini, semoga bermanfaat.
Redaksi
i
No Akreditasi: 705/AU/P2MI-LIPI/10/2015
p-ISSN 2089-0877
e-ISSN 2502-2962
Volume 8, Nomor 1, Juni 2017
DAFTAR ISI
Halaman
i
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ii
ABSTRAK
iii
PENGARUH VARIASI KONSENTRASI INULIN PADA PROSES FERMENTASI
OLEH Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus bulgaricus DAN Streptococcus
thermophilus
(THE INULIN VARIATION CONCENTRATION EFFECT IN FERMENTATION USING
Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus bulgaricus AND Streptococcus thermophilus)
R. Haryo Bimo Setiarto, Nunuk Widhyastuti, Iwan Sakiawan dan Rina Marita Safitri …
1-17
PERTUMBUHAN BAKTERI LAUT Shewanella indica LBF-1-0076 DALAM
NAFTALENA DAN DETEKSI GEN NAFTALENA DIOKSIGENASE
(THE GROWTH OF MARINE BACTERIA Shewanella indica LBF-1-0076 IN
NAPHTHALENE AND NAPHTHALENE DIOXYGENASE GENE DETECTION)
Nuzul Farini, Ahmad Thontowi, Elvi Yetti, Suryani dan Yopi ………………………..…
19-31
KARAKTERISASI MUTU DAN NILAI GIZI NASI MOCAF DARI BERAS
ANALOG
(CHARACTERIZATION OF QUALITY AND NUTRITION VALUE OF COOKED RICE
MOCAF FROM RICE ANALOG)
Enny Hawani Loebis, Lukman Junaidi dan Irma Susanti ………………………………..
33-46
KARAKTERISASI ADSORBEN DARI KULIT MANGGIS DAN KINERJANYA
PADA ADSORPSI LOGAM Pb(II) DAN Cr(VI)
(CHARACTERIZATION FROM MANGOSTEEN PEEL AND ITS ADSORPTION
PERFORMANCE ON Pb(II) AND Cr(VI))
Ulfa Haura, Fachrul Razi dan Hesti Meilina ……………………………………………...
47-54
KARAKTERISTIK MEMBRAN ASIMETRIS POLIETERSUFONE (PES)
DENGAN PELARUT DIMETIL FORMAMIDE DAN N-METIL-2-PYROLIDONE
(CHARACTERISTIC OF POLIETHERSULFONE (PES) ASYMMETRIC MEMBRANE
WITH DIMETHYL FORMAMIDE AND N-METHYL PYROLIDONE AS SOLVENT)
Sri Mulyati, Fachrul Razi dan Zuhra ………………………………………………..…….
ii
55-62
BIOPROPAL INDUSTRI
ISSN 2089-0877
Vol. 08, No. 01, Juni 2017
Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini
boleh dikopi tanpa izin dan biaya
PENGARUH VARIASI KONSENTRASI INULIN PADA PROSES FERMENTASI OLEH
Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus bulgaricus DAN Streptococcus thermophilus
R. Haryo Bimo Setiarto1), Nunuk Widhyastuti1), Iwan Sakiawan1) dan Rina Marita Safitri2)
1
Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Jalan
Raya Bogor Km 46, Kawasan CSC Cibinong 16911, Indonesia
2
Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
e-mail: [email protected]
Prebiotik adalah komponen bahan pangan yang tidak dapat dicerna oleh saluran pencernaan secara
enzimatis sehingga akan difermentasi oleh bakteri probiotik di usus besar. Inulin merupakan salah
satu sumber prebiotik yang banyak dimanfaatkan dalam produk pangan olahan seperti susu
fermentasi. Pemberian inulin pada kadar tertentu perlu diketahui untuk mengetahui jumlah
optimal yang diperlukan untuk menjaga kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh variasi konsentrasi prebiotik inulin terhadap pertumbuhan bakteri asam laktat starter
yogurt (Lactobacillus acidophillus, Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus).
Pengamatan pertumbuhan L. acidophilus, L. bulgaricus dan S. thermophillus dilakukan dengan
beberapa cara antara lain perhitungan total sel dengan menggunakan prinsip turbidimetrik OD
(Optical Density), jumlah total koloni dengan Total Plate Count (TPC), analisis kadar total asam
laktat tertitrasi dan pengukuran pH. Konsentrasi inulin 0,5% (b/v) mampu meningkatkan
pertumbuhan L. acidophilus, L.bulgaricus dan S. thermophilus secara signifikan dibandingkan
perlakuan lainnya. Penurunan nilai pH selama fermentasi inulin mengindikasikan pertumbuhan
bakteri penghasil asam laktat. L. acidophilus mengalami fase eksponensial pertumbuhannya mulai
dari masa inkubasi jam ke-6 hingga jam ke-24. Sementara itu L. bulgaricus dan S. thermophilus
mengalami fase eksponensial pertumbuhannya mulai dari masa inkubasi jam ke-6 hingga jam ke18. Laju pertumbuhan L. bulgaricus dan S. thermophilus lebih sensitif terhadap penambahan
konsentrasi prebiotik inulin jika dibandingkan dengan L. acidophilus. Selama pertumbuhan L.
acidophilus, L. bulgaricus dan S. thermophilus dalam media MRSB yang disuplementasi inulin
terjadi penurunan nilai pH dari kisaran 7,00 menjadi di bawah 5,00 karena pembentukan asamasam organik.
Kata kunci: fermentasi, inulin, L acidophilus, L. bulgaricus, S. thermophilus
PERTUMBUHAN BAKTERI LAUT Shewanella indica LBF-1-0076 DALAM
NAFTALENA DAN DETEKSI GEN NAFTALENA DIOKSIGENASE
Nuzul Farini1), Ahmad Thontowi2), Elvi Yetti2), Suryani1) dan Yopi2)
Departemen Biokimia, FMIPA, IPB, Jl. Raya Dramaga, 16680, Bogor, Indonesia
2
Lab. Biokatalis dan Fermentasi, Puslit. Bioteknologi LIPI, Jl. Raya Bogor Km.46, 16911,
Bogor, Indonesia
e-mail: [email protected]
1
Eksploitasi minyak bumi yang sering terjadi di laut mengakibatkan adanya pencemaran minyak di
laut. Naftalena merupakan salah satu senyawa dominan berbahaya yang terkandung dalam
minyak bumi dan dapat mengakibatkan pencemaran perairan. Penelitian ini menggunakan bakteri
laut LBF-1-0076 yang memiliki kemampuan untuk mendegradasi naftalena. Tujuan dari
penelitian ini adalah mempelajari pengaruh parameter konsentrasi naftalena dan konsentrasi sel
terhadap bakteri laut pendegradasi naftalena LBF-1-0076. Penelitian ini juga bertujuan untuk
mengidentifikasi isolat LBF-1-0076 dan mendeteksi gen pengkode naftalena dioksigenase.
Berdasarkan hasil uji pertumbuhan, degradasi naftalena yang optimal oleh isolat LBF-1-0076
iii
BIOPROPAL INDUSTRI
ISSN 2089-0877
Vol. 08, No. 01, Juni 2017
Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini
boleh dikopi tanpa izin dan biaya
terjadi pada konsentrasi naftalena 75 ppm dengan konsentrasi sel 15. Hasil analisis gen 16S
rDNA menunjukkan isolat LBF-1-0076 teridentifikasi sebagai Shewanella indica strain 0102
dengan nilai keidentikan 99%. Hasil deteksi gen naftalena dioksigenase dengan menggunakan
Polymerase Chain Reaction (PCR) menunjukkan bahwa isolat tersebut mempunyai gen naftalena
dioksigenase dengan ukuran ±377 bp. Oleh karena itu, isolat LBF-1-076 berpotensi sebagai agen
bioremediasi untuk mengatasi masalah pencemaran minyak bumi di laut.
Kata kunci: bakteri laut, minyak bumi, naftalena, naftalena dioksigenase, Shewanella indica
KARAKTERISASI MUTU DAN NILAI GIZI NASI MOCAF DARI BERAS ANALOG
Enny Hawani Loebis, Lukman Junaidi dan Irma Susanti
Balai Besar Industri Agro, Ir. H. Juanda No. 11, Bogor 16122, Indonesia
e-mail: [email protected]
Ketergantungan pada konsumsi beras perlu dikurangi untuk mengatasi permasalahan pasokan
beras dan masalah kesehatan. Alternatif yang dapat diusulkan adalah dengan pembuatan beras
analog berbasis mocaf. Penelitian ini bertujuan mempelajari karakterisasi mutu dan nilai gizi nasi
mocaf dari beras analog. Beras mocaf dibuat berdasarkan campuran mocaf, tepung beras, air dan
minyak goreng sawit, dengan komposisi mocaf 50, 60 dan 70%. Beras mocaf kemudian dimasak
dengan cara menggunakan rice cooker, pengukusan atau microwave. Hasil penelitian
menunjukkan beras mocaf 60% menghasilkan nasi mocaf dengan nilai kalori tertinggi. Pemasakan
terbaik adalah dengan cara pengukusan dengan kandungan gizi dan nilai kalori yang dihasilkan
terdiri dari 49,15% air; 2,05% lemak; 2,09% protein; 46,45% karbohidrat; 35,8 mg/kg besi; 403,4
mg/kg kalium; 193,8 mg/kg kalsium; 2,0 mg/kg vitamin B1 dan 212,53 kal/100 g nilai kalori.
Kata kunci: beras, karakterisasi mutu, mocaf, nilai gizi
KARAKTERISASI ADSORBEN DARI KULIT MANGGIS DAN KINERJANYA PADA
ADSORPSI LOGAM Pb(II) DAN Cr(VI)
Ulfa Haura1, Fachrul Razi2 dan Hesti Meilina2
Program Studi Magister Teknik Kimia Prog. Pascasarjana Universitas Syiah Kuala,
Jl. Teungku Syeh Abdul Rauf No.7 Darussalam, Banda Aceh, Indonesia
2
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Jl. Teungku Syeh Abdul Rauf No.7
Darussalam, Banda Aceh, Indonesia
e-mail: [email protected]
1
Penggunaan adsorben berbasis limbah biomassa untuk adsorpsi kandungan logam berbahaya dari
limbah cair industri selain dapat mengurangi limbah juga dapat menekan harga jual adsorben.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik adsorben yang terbuat dari limbah kulit
manggis (Garcinia mangostana L.) dan arang aktif dari limbah kulit manggis serta
membandingkan kinerja kedua jenis adsorben tersebut pada proses adsorpsi ion logam Pb(II) dan
Cr(VI). Limbah sintetis yang digunakan berupa ion dari Pb(II) dan Cr(VI) dari larutan Pb(NO3)2
dan K2Cr2O7 dengan variasi konsentrasi awal 20, 40, 80, 100 dan 200 mg/L. Proses adsorpsi
dilakukan pada pH 5, rasio perbandingan berat adsorben dan volume larutan limbah 1:200,
kecepatan pengadukan 60 rpm, adsorben berukuran nano dengan berat adsorben 0,5 g. Masingmasing adsorben dikarakterisasi menggunakan SEM untuk mengetahui struktur morfologi, FTIR
untuk mengetahui gugus fungsi dan SEM-EDS untuk mengetahui komponen kimia yang
iv
BIOPROPAL INDUSTRI
ISSN 2089-0877
Vol. 08, No. 01, Juni 2017
Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini
boleh dikopi tanpa izin dan biaya
terkandung dalam adsorben tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik kedua
jenis adsorben memenuhi syarat mutu sesuai SNI 06-3730-1995. Kapasitas adsorpsi tertinggi
dari karbon aktif untuk menyerap Pb(II) dan Cr(VI) masing-masing 38,543 mg/g dan 36,838
mg/g, sedangkan kapasitas adsorpsi tertinggi biosorben untuk menyerap Pb(II) dan Cr(VI)
masing-masing 36,98 mg/g dan 36,12 mg/g.
Kata kunci: adsorpsi, biosorben, Cr(VI), kulit manggis, Pb(II)
KARAKTERISTIK MEMBRAN ASIMETRIS POLIETERSUFONE (PES) DENGAN
PELARUT DIMETIL FORMAMIDE DAN N-METIL-2-PYROLIDONE
Sri Mulyati, Fachrul Razi dan Zuhra
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala
Jalan Tgk. Syekh Abdur Rauf No.7, Darussalam Banda Aceh, Indonesia, 23111
e-mail: [email protected]
Membran yang umumnya digunakan untuk proses pemisahan dapat dibuat menggunakan
teknik inversi fasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik membran asimetris
polietersulfone (PES) yang dibuat menggunakan teknik inversi fasa dengan variabel jenis
pelarut dan Trans Membrane Pressure (TMP). Hasil analisis Scanning Electron Microscopy
(SEM) terhadap morfologi membran membuktikan bahwa membran yang dihasilkan
merupakan membran asimetris yang terdiri dari dua lapisan yaitu bagian atas merupakan
lapisan tipis dan lapisan bawah adalah lapisan berpori. Membran PES/DMF memiliki struktur
pori yang lebih besar dibandingkan membran PES/NMP. Koefisien permeabilitas kedua
membran yang dihasilkan berada dalam jangkauan ultrafiltrasi. Koefisien permeabilitas (Lp)
membran PES/DMF sebesar 35,769 L/m2.jam, nilai ini jauh lebih besar dibandingkan
PES/NMP yaitu 15,364 L/m2.jam.bar. Molecular Weight Cut-Off (MWCO) dari membran
PES/DMF yaitu 177 Kda sedangkan membran PES/NMP sebesar 186 Kda. Kinerja membran
PES/DMF terhadap pemisahan larutan dekstran memberikan nilai fluks yang lebih tinggi
daripada membran PES/NMP sedangkan rejeksi yang dihasilkan lebih rendah. Fluks tertinggi
diperoleh pada TMP 2 bar sebesar 11,4 L/m2.jam untuk membran PES/DMF dan 10,2
L/m2.jam untuk membran PES/NMP.
Kata kunci: kinerja membran, membran asimetris, Molecular Weight Cut-Off (MWCO),
morfologi, permeabilitas
v
BIOPROPAL INDUSTRI
ISSN 2089-0877
Vol. 08, No. 01, June 2017
The descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced
without permission or charge
THE INULIN VARIATION CONCENTRATION EFFECT IN FERMENTATION USING
Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus bulgaricus AND Streptococcus thermophilus
R. Haryo Bimo Setiarto1), Nunuk Widhyastuti1), Iwan Sakiawan1) and
Rina Marita Safitri2)
1
Laboratory of Food Microbiology, Field of Microbiology, Research Center for Biology,
Indonesian Institute of Science, Jl. Raya Bogor Km 46, CSC Cibinong Area 16911, Indonesia
2
Departement of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Indonesia,
Depok 16424, Indonesia
e-mail: [email protected]
Prebiotics are food components that can not enzymatically digested, thus it fermented by probiotic
bacteria. Inulin is a prebiotic source that widely used in processed food products such as fermented
milk. This study aimed to know the variation concentrations effect of prebiotic inulin on the
growth of lactic acid bacteria starter yogurt (Lactobacillus acidophillus, Lactobacillus bulgaricus,
Streptococcus thermophillus). The growth of those lactic acid bacteries was determined based on
OD (Optical Density), Total Plate Count (TPC), total lactic acid content and pH. Inulin
concentration of 0.5% (w/v) increased the growth of those three bacteries. Reductioned of pH
value during inulin fermentation indicated the growth of bacteria that produced lactic acid. L.
bulgaricus and S. thermophilus growth rate were more sensitive than L. acidophilus in addition of
prebiotic inulin concentration. The growth of those bacteries in MRSB medium supplemented
inulin decreased pH around 7.00 into below 5.00 due to organic acids formation.
Keywords: Fermentation, Inulin, L. acidophilus, L. bulgaricus, S. thermophilus
THE GROWTH OF MARINE BACTERIA Shewanella indica LBF-1-0076 IN
NAPHTHALENE AND NAPHTHALENE DIOXYGENASE GENE DETECTION
1
Nuzul Farini1), Ahmad Thontowi2), Elvi Yetti2), Suryani1) and Yopi2)
Departement of Biochemistry, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Bogor Agricultural
University, Jl. Raya Dramaga, 16680, Bogor, Indonesia
2
Laboratory of Biocatalyst and Fermentation, Research Center for Biotechnology, Indonesian
Institute of Science, Jl. Raya Bogor Km.46, 16911, Bogor, Indonesia
e-mail: [email protected]
Crude oil exploitation which often occured offshore can cause water pollution in the sea since its
contains naphthalene which is a hazardous compounds. This research used marine bacteria LBF-10076 that have ability in naphthalene degradation. This research aimed to study the parameter
effect of naphthalene and cell concentration toward marine bacteria LBF-1-0076. This research
also identified isolate LBF-1-0076 and detected the encode gene of naphthalene dioxygenase.
Based on growth test result, the optimum naphthalene degradationby isolate LBF-1-0076 occured
in 75 ppm naphthalene concentration with 15cell concentration. The result of 16S rDNA gene
analysis showed that LBF-1-0076 was identified as Shewanella indica strain 0102 with identical
value 99%. The result of naphthalene dioxygenase gene detection using Polymerase Chain
Reaction (PCR) showed that the isolate contained naphthalene dioxygenase gene with size ±377
bp. Therefore, LBF-1-0076 potential as bioremediation agent to solve crude oil contamination in
the sea.
Keywords: crude oil, marine bacteria, naphthalene, naphthalene dioxygenase, Shewanella indica
vi
BIOPROPAL INDUSTRI
ISSN 2089-0877
Vol. 08, No. 01, June 2017
The descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced
without permission or charge
CHARACTERIZATION OF QUALITY AND NUTRITION VALUE OF COOKED RICE
MOCAF FROM RICE ANALOG
Enny Hawani Loebis, Lukman Junaidi and Irma Susanti
Center for Agro-Based Industry, Ir. H. Juanda No. 11, Bogor 16122, Indonesia
e-mail: [email protected]
Dependence on rice consumption needs to be reduced to overcome the problems of rice supply
and health problems. Alternative proposed is producing mocaf-based rice analog. This research
aims to study the quality characterization and nutritional value of mocaf-based rice analog.
Rice mocaf was made based on mixture of mocaf, rice flour, water and palm oil using variable:
50, 60 and 70% mocaf. Mocaf rice then cooked by using rice cooker, steamer or microwave.
The results showed mocaf rice 60% yield highest calorific value. The best cooking method
was steaming that resulted nutrient content and calorific value consisting of 49.15% water;
2.05% fat; 2.09% protein; 46.45% carbohydrate; 35.8 mg/kg of iron; 403.4 mg/kg of
potassium; 193.8 mg/kg of calcium, 2.0 mg/kg of vitamin B1 and 212.53 ca/100 g calorific
value.
Keywords: mocaf, nutritional value, quality characterisation, rice
CHARACTERIZATION FROM MANGOSTEEN PEEL AND ITS ADSORPTION
PERFORMANCE ON Pb(II) AND Cr(VI)
1
Ulfa Haura1, Fachrul Razi2 and Hesti Meilina2
Master Program of Chemical Engineering, Postgraduate Program, Syiah Kuala University,
Jl. Teungku Syeh Abdul Rauf No.7 Darussalam, Banda Aceh, Indonesia
2
Department of Chemical Engineering, Faculty of Engineering, Syiah Kuala University,
Jl. Teungku Syeh Abdul Rauf No.7 Darussalam, Banda Aceh, Indonesia
e-mail: [email protected]
The usage of biomass waste-based adsorbent for the adsorption of hazardous metal in
wastewater is not only reducing waste but also lowering adsorbent price. This research aims to
study the characteristics of adsorbent from mangosteen peel (Garcinia mangostana L.) and
activated charcoal from mangosteen peel, also to compare the adsorption performance on metal
ion Pb(II) and Cr(VI). Synthetic wastewater used from a solution of Pb(NO3)2 and K2Cr2O7
with variations in initial concentration of 20, 40, 80, 100 and 200 mg/L. Adsorption performed
at pH 5, ratio of adsorbent and waste solution 1/200 (w/v), 60 rpm, 0.5 gs nano-sized
adsorbent. Characterization using SEM, FTIR and SEM-EDS showed that both adsorbents
characteristics met the requirements of SNI 06-3730-1995. The highest adsorption capacity of
activated carbon to adsorb Pb(II) and Cr(VI) were 38.543 mg/g and 36.838 mg/g while
biosorbent adsorb Pb(II) and Cr(VI) respectively 3.98 mg/g and 36.12 mg/g.
Keywords: adsorption, biosorbent, Cr(VI), mangosteen peel, Pb(II)
vii
BIOPROPAL INDUSTRI
ISSN 2089-0877
Vol. 08, No. 01, June 2017
The descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced
without permission or charge
CHARACTERISTIC OF POLIETHERSULFONE (PES) ASYMMETRIC MEMBRANE
WITH DIMETHYL FORMAMIDE AND N-METHYL PYROLIDONE AS SOLVENT
Sri Mulyati, Fachrul Razi and Zuhra
Department of Chemical Engineering, Faculty of Engineering, Syiah Kuala University
Jalan Tgk. Syekh Abdur Rauf No.7, Darussalam Banda Aceh, Indonesia, 23111
e-mail: [email protected]
Membrane that is generally used for separation process could be made using phase inversion
technique. This research aims to create polyethersulfone (PES) asymmetric membranes via
phase inversion technique using solvent and Trans Membrane Pressure (TMP) as variable.
SEM analysis indicated that membranes had asymmetric structure that consits of two layers
which denser skin layer on the top surface and the porous support on the bottom. PES/DMF
membrane showed larger pore structure than PES/NMP. The permeability coefficients of both
membranes were in the ultrafiltration range. The coefficient permeability (Lp) of PES/DMF
membrane was 35.769 L/m2.hour, much greater compared to PES/NMP membrane which was
15.364 L/m2.hour.bar. Molecular Weight Cut-Off (MWCO) of PES/DMF membrane was 177
Kda, meanwhile PES/NMP was 186 Kda. Performances of the membranes were evaluated
using dextrane as feed solution. PES/DMF membrane resulted in an higher flux and lower
rejection than PES/NMP.
Keywords: asymmetric membrane, membrane performance, Molecular Weight Cut-Off
(MWCO), morphology, permeability
viii
Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin …… (R. Haryo Bimo Setiarto, dkk.)
PENGARUH VARIASI KONSENTRASI INULIN PADA PROSES
FERMENTASI OLEH Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus
bulgaricus DAN Streptococcus thermophilus
(The Inulin Variation Concentration Effect in Fermentation Using Lactobacillus
acidophilus, Lactobacillus bulgaricus and Streptococcus thermophilus)
R. Haryo Bimo Setiarto1), Nunuk Widhyastuti1), Iwan Saskiawan1) dan
Rina Marita Safitri2)
1
Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI,
Jalan Raya Bogor Km 46, Kawasan CSC Cibinong 16911, Indonesia
2
Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
e-mail: [email protected]
Naskah diterima 3 Oktober 2016, revisi akhir 15 Desember 2016 dan disetujui untuk diterbitkan 23
Desember 2016
ABSTRAK. Prebiotik adalah komponen bahan pangan yang tidak dapat dicerna oleh
saluran pencernaan secara enzimatis sehingga akan difermentasi oleh bakteri probiotik
di usus besar. Inulin merupakan salah satu sumber prebiotik yang banyak dimanfaatkan
dalam produk pangan olahan seperti susu fermentasi. Pemberian inulin pada kadar
tertentu perlu diketahui untuk mengetahui jumlah optimal yang diperlukan untuk
menjaga kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi
konsentrasi prebiotik inulin terhadap pertumbuhan bakteri asam laktat starter yogurt
(Lactobacillus
acidophillus,
Lactobacillus bulgaricus
dan
Streptococcus
thermophillus). Pengamatan pertumbuhan L. acidophilus, L. bulgaricus dan S.
thermophillus dilakukan dengan beberapa cara antara lain perhitungan total sel
dengan menggunakan prinsip turbidimetrik OD (Optical Density), jumlah total koloni
dengan Total Plate Count (TPC), analisis kadar total asam laktat tertitrasi dan
pengukuran pH. Konsentrasi inulin 0,5% (b/v) mampu meningkatkan pertumbuhan L.
acidophilus, L.bulgaricus dan S. thermophilus secara signifikan dibandingkan
perlakuan lainnya. Penurunan nilai pH selama fermentasi inulin mengindikasikan
pertumbuhan bakteri penghasil asam laktat. L. acidophilus mengalami fase
eksponensial pertumbuhannya mulai dari masa inkubasi jam ke-6 hingga jam ke-24.
Sementara itu L. bulgaricus dan S. thermophilus mengalami fase eksponensial
pertumbuhannya mulai dari masa inkubasi jam ke-6 hingga jam ke-18. Laju
pertumbuhan L. bulgaricus dan S. thermophilus lebih sensitif terhadap penambahan
konsentrasi prebiotik inulin jika dibandingkan dengan L. acidophilus. Selama
pertumbuhan L. acidophilus, L.bulgaricus dan S. thermophilus dalam media MRSB
yang disuplementasi inulin terjadi penurunan nilai pH dari kisaran 7,00 menjadi di
bawah 5,00 karena pembentukan asam-asam organik.
Kata kunci: Fermentasi, Inulin, L.acidophilus, L.bulgaricus, S.thermophilus
ABSTRACT. Prebiotics are food components that can not enzymatically digested,
thus it fermented by probiotic bacteria. Inulin is a prebiotic source that widely used in
processed food products such as fermented milk. This study aimed to know the variation
concentrations effect of prebiotic inulin on the growth of lactic acid bacteria starter
yogurt (Lactobacillus acidophillus, Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus
thermophillus). The growth of those lactic acid bacteries was determined based on OD
(Optical Density), Total Plate Count (TPC), total lactic acid content and pH. Inulin
concentration of 0.5% (w/v) increased the growth of those three bacteries. Reductioned
of pH value during inulin fermentation indicated the growth of bacteria that produced
lactic acid. L.bulgaricus and S.thermophilus growth rate were more sensitive than
L.acidophilus in addition of prebiotic inulin concentration. The growth of those
1
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 1-17
bacteries in MRSB medium supplemented inulin decreased pH around 7.00 into below
5.00 due to organic acids formation.
Keywords: Fermentation, Inulin, L.acidophilus, L.bulgaricus, S.thermophilus
1. PENDAHULUAN
Biodiversitas mikroorganisme dalam
kolon manusia sangat kompleks dan
beragam. Kolon manusia merupakan suatu
ekosistem yang terdiri dari berbagai
macam koloni mikroflora, diperkirakan
terdiri atas 300-500 spesies bakteri yang
berbeda (Guamaer & Malagelada, 2003).
Beberapa koloni mikroba di dalam kolon
antara lain Lactobacillus, Enterococcus,
Streptococcus, Staphylococcus, Bifidobacteria,
Eubacterium,
Bacteroides,
Clostridium dan Fusobacteria. Mikroflora
di saluran kolon terdiri dari bakteri
menguntungkan, bakteri patogen maupun
bakteri yang mempunyai sifat keduanya.
Contoh
bakteri
yang
bersifat
menguntungkan antara lain Bifidobacteria,
Lactobacillus dan Streptococcus. Bakteri
yang merugikan atau bersifat patogen
antara lain Clostridia, Aeruginosa dan
Staphylococcus. Sedangkan bakteri yang
mempunyai kedua sifat tersebut antara lain
Bacteroides,
Escherichia
coli
dan
Enterococcus (Gibson & Robertfroid,
1995).
Probiotik merupakan mikroba hidup
yang bila diberikan dalam jumlah tertentu
akan bermanfaat bagi kesehatan saluran
pencernaan (Duncan & Flint, 2013).
Beberapa spesies bakteri probiotik yang
sering digunakan dalam produk pangan
antara lain Lactobacillus bulgaricus,
Lactobacillus
acidophilus
dan
Streptococcus
thermophillus
yang
digunakan
sebagai
starter
dalam
pembuatan yogurt. Syarat yang harus
dipenuhi kelompok bakteri asam laktat
(BAL) yang digunakan sebagai bakteri
probiotik
antara
lain:
mempunyai
ketahanan terhadap cairan asam lambung,
garam empedu dan kondisi anaerob;
mampu tumbuh dengan cepat dan
menempel pada sel epitel usus serta
saluran pencernaan lainnya; mampu
mendegradasi laktosa; tidak bersifat
patogen dan mampu menghambat bakteri
2
patogen serta memberikan pengaruh yang
menguntungkan lainnya;
mempunyai
viabilitas yang tinggi sehingga tetap hidup;
tumbuh dan aktif dalam sistem pencernaan
(Akin, et al., 2007).
Prebiotik adalah komponen bahan
pangan yang tidak dapat dicerna oleh
saluran pencernaan manusia secara
enzimatis sehingga akan difermentasi oleh
mikroflora yang ada di usus besar (AlSheraji, et al., 2013). Prebiotik di dalam
usus besar akan mendukung pertumbuhan
bakteri probiotik dan menekan bakteri
patogen. Terdapat berbagai manfaat yang
diperoleh dari mengonsumsi prebiotik,
antara lain mencegah konstipasi yaitu
kondisi tidak bisa buang air besar secara
teratur, menurunkan pH usus dan dapat
mengembalikan mikroflora di usus setelah
terjadi perubahan akibat penggunaan
antibiotik, diare maupun stress (Lopes, et
al., 2016).
Secara umum, komponen bahan
pangan yang mempunyai sifat prebiotik
antara lain polisakarida non pati (seperti
pektin, selulosa dan xilan), gula dan
oligosakarida (seperti laktosa, rafinosa,
fruktooligosakarida, galaktooligosakarida
dan laktulosa) (Grimoud, et al., 2010;
Machado, et al., 2015). Salah satu contoh
dari prebiotik alami yang saat ini terus
dikembangkan adalah inulin yang dapat
diperoleh dari beberapa tanaman. Inulin
merupakan komponen bahan pangan yang
tidak dapat dihidrolisis oleh asam lambung
maupun enzim pencernaan namun dapat
merangsang pertumbuhan dan aktivitas
bakteri
probiotik
dalam
saluran
pencernaan.
Inulin
telah
banyak
dimanfaatkan sebagai bahan pangan
fungsional dalam bidang medis serta
bidang farmasi. Inulin juga berfungsi
sebagai dietary fiber yaitu kelompok
kabohidrat yang tidak dapat dihidrolisis
oleh enzim tubuh manusia tetapi
difermentasi oleh mikroflora usus sehingga
Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin …… (R. Haryo Bimo Setiarto, dkk.)
berpengaruh pada fungsi usus (Huebner, et
al., 2007).
Gambar 1. Struktur inulin
Inulin
merupakan
kelompok
polisakarida alami dari karbohidrat yang
tersusun dari gabungan monosakarida
fruktosa. Setiap ujung pereduksi untai
polimer inulin terdapat gugus terminal
berupa glukosa. Masing-masing unit
fruktosa dihubungkan oleh suatu ikatan
(2→1) β-D- fructofuranosyl. Setiap ujung
untai inulin dapat ditemukan glukosa
sehingga polimer inulin dapat ditulis (GF)n
yaitu fruktan dengan ujung terminal
glukosa dan Fn yaitu fruktan tanpa ujung
terminal glukosa (Adebola, et al., 2014).
Struktur inulin dapat dilihat pada Gambar
1. Inulin terdapat pada beberapa jenis
umbi-umbian seperti umbi Dahlia (Dahlia
sp. L), umbi yacon (Chicoryum intybus L),
umbi Jerusalem artichoke (Helianthus
tuberosus), chicory, dandelion (Taraxacum
offinale Weber) dan bawang-bawangan
seperti bawang merah, bawang putih,
asparagus, pisang serta gandum dalam
jumlah yang kecil. Inulin juga dapat
bersumber dari oat mentah, barley dan
gandum (Cardarelli, et al., 2008).
Sifat khas pada inulin yaitu dapat
larut dalam air dan sulit dihidrolisis oleh
enzim yang berada di saluran pencernaan
sehingga dapat secara utuh sampai ke usus
besar. Di dalam usus besar, inulin akan
difermentasi oleh bakteri probiotik yang
ada di dalam usus menjadi asam-asam
lemak rantai pendek dan beberapa
mikroflora spesifik menghasilkan asam
laktat. Hal tersebut akan memberikan efek
positif terhadap kesehatan tubuh. Sifatsifat inulin antara lain berbentuk serbuk
putih, tidak berasa, tidak berbau dan tahan
panas (Roberfroid, 2007). Inulin Sebagai
prebiotik memberikan manfaat yang
penting dalam tubuh karena dapat
mengikat air dari beberapa polisakarida
penting dalam mempertahankan air di
dalam lambung. Selain itu, ada beberapa
manfaat inulin di bidang pangan antara lain
sebagai pengganti lemak dan gula pada
produk makanan rendah kalori, campuran
mayones, es krim, bahan baku sosis dan
saus (Karimi, et al., 2015).
Beberapa negara sudah memiliki
aturan mengenai standar jumlah prebiotik
yang dikonsumsi terutama inulin. Inulin
merupakan salah satu jenis prebiotik yang
banyak dimanfaatkan di dalam produk
pangan sehingga perlu ditambahkan dalam
kadar yang sesuai untuk produk makanan
olahan seperti susu fermentasi. Kadar
pemberian inulin perlu diketahui untuk
mendapatkan jumlah optimal inulin yang
bermanfaat
bagi
kesehatan
tubuh.
Berdasarkan uraian diatas maka perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui
kadar optimal inulin sebagai bahan
prebiotik sehingga dapat diaplikasikan
pada bakteri asam laktat starter yogurt.
Hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan acuan dan sebagai studi
awal untuk pemanfaatan inulin sebagai
sumber prebiotik. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh variasi
konsentrasi prebiotik inulin terhadap
pertumbuhan bakteri asam laktat starter
yogurt (L. acidophillus, L. bulgaricus dan
S. thermophillus) pada proses fementasi.
Pertumbuhan bakteri asam laktat dianalisis
menggunakan beberapa parameter yaitu
peningkatan kekeruhan sel dengan prinsip
turbidimetrik OD (Optical Density),
peningkatan jumlah total koloni bakteri
asam laktat dengan Total Plate Count
(TPC), analisis kadar total asam laktat
tertitrasi dan penurunan nilai pH selama
fermentasi (Adebola, et al., 2014; Rossi, et
al., 2005).
2. METODE PENELITIAN
Penelitian
ini
dilakukan
di
Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Pusat
Penelitian Biologi,
Lembaga
Ilmu
Pengetahuan Indonesia, Cibinong, Bogor,
Jawa Barat pada bulan Juni hingga
September 2016. Peralatan yang digunakan
dalam penelitian ini berupa labu
3
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 1-17
erlenmeyer Pyrex 300 mL dan 500 mL,
tabung reaksi 20 mL, autoklaf Hirayama
HVE-50, Vortex Autovortex Mixer SA2,
mikropipet Sibata (10-100 µL), mikropipet
Eppendorf (100-1000 µL), mikropipet
Sibata (1000-5000 µL), inkubator Isuzu
Himawari, spektrofotometer Biospec 160i,
timbangan, pH meter TOA, buret, jarum
inokulasi, cawan petri, pembakar spiritus
dan termometer.
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain Inulin dari chicory
(Sigma-Aldrich), media Man Rogosa and
Sharpe Broth (MRSB) (Oxoid) untuk
menumbuhkan bakteri asam laktat dan
bakteri uji L. acidophilus, L. bulgaricus
dan S. thermophillus dari Fakultas
Peternakan IPB. Komposisi media MRS
terdiri dari Glukosa (D(+)-glucose Merck)
20 g/2%, Yeast extract (Bacto TM Yeast
Extract) 4 g/0,4%, Beef extract, Bacto
pepton (BBL TM Polypeptone TM
Peptone) 10 g/1% , sodium acetat 5
g/0,5%, K2H2PO4 (Merck) 2 g/0,2%,
MgSO4.7H2O (Merck) 0,05 g/0,005%,
ammonium citrate tribune (SIGMA) 2 g/
0,2%, Tween 80 (Merck) 1 mL/0,1% dan
agar powder (American Bacteriological
Agar) 20 g/2%.
Pembuatan Media MRSB dan MRSA
Kultur Fermentasi (Instant)
Media MRSB instan ditimbang
sebanyak 52 g kemudian dilarutkan dalam
1 liter akuades. Larutan diaduk sampai
homogen dan disterilisasi pada suhu 121°C
selama 15 menit. Selanjutnya, MRSB
dituang ke dalam erlenmeyer masingmasing 25 mL, sesuai jumlah perlakuan
dan ulangan. Pada
masing-masing
erlenmeyer yang berisi MRSB tersebut
ditambahkan inulin dengan konsentrasi
0%; 0,1%; 0,3% dan 0,5%.
Pembuatan MRSB Modifikasi
Komposisi media MRSB modifikasi
(1L) ditimbang dengan neraca digital yaitu
yeast extract 20 g (sumber N), beef extract
4 g (sumber N), bacto pepton 10 g, sodium
acetat 5 g, K2H2PO4 2 g, MgS04.7 H2O 0,2
g, Ammonium citrate tribasic 2 g, Tween
80 1 mL, MnSO4.7 H2O 0,05 g (Adebola,
et al., 2014). Semua bahan dilarutkan
4
dengan akuades hingga mencapai 1 L.
Campuran diaduk hingga homogen lalu
disterilisasi pada suhu 121oC selama 15
menit.
Pembuatan
Suspensi
Bakteri
Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus
bulgaricus
dan
Streptococcus
thermophillus
Koloni isolat L. acidophilus, L.
bulgaricus dan S. thermophillus dibiakkan
pada media MRSB dengan cara masingmasing bakteri diambil sebanyak 2% dari
volume MRSB dan diinkubasi suhu 37°C
selama 24 jam. Setelah inokulasi berumur
24 jam, suspensi bakteri siap diinokulasi
pada media fermentasi MRSB yang
mengandung inulin 0%, 0,1%, 0,3% dan
0,5% sebanyak 1 mL.
Pembuatan Larutan Stok Inulin
Standar
Larutan stok inulin standar dibuat
dengan konsentrasi 5% (b/v) yaitu dengan
menimbang masing-masing sebanyak 7,5 g
inulin dan dilarutkan dalam 150 mL media
MRSB kemudian diaduk sampai homogen,
difilter dengan millipur 0,45 μm.
Selanjutnya dilakukan pengenceran untuk
memperoleh konsentrasi inulin 0,1%, 0,3%
dan 0,5% (b/v) dalam media MRSB guna
pengujian pertumbuhan bakteri asam
laktat.
Uji Pengaruh Variasi Inulin Terhadap
Pertumbuhan Lactobacillus acidophilus,
Lactobacillus
bulgaricus
dan
Streptococcus thermophillus
Uji pengaruh variasi inulin terhadap
pertumbuhan L. acidophilus, L. bulgaricus
dan S. thermophillus dilakukan dengan
beberapa cara antara lain perhitungan
jumlah total sel dengan menggunakan
prinsip turbidimetrik OD, perhitungan
jumlah total koloni dengan TPC di MRSA
serta mengetahui kadar total asam laktat
dengan cara titrasi dan pengukuran pH
menggunakan pH meter. Jumlah sel bakteri
uji dihitung pada masing-masing lama
inkubasi (6, 12, 18 dan 24 jam) diambil
sebanyak 1 mL untuk dilakukan
pengukuran OD pada panjang gelombang
600 nm. Sebanyak 1 mL sampel hasil
Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin …… (R. Haryo Bimo Setiarto, dkk.)
fermentasi (0, 6, 12, 18 dan 24 jam)
diambil untuk dilakukan pengenceran
dengan 9 mL akuades steril. Dua
pengenceran paling akhir dari masingmasing sampel hasil fermentasi (0, 6, 12,
18 dan 24 jam) diambil 1 mL untuk
diinokulasikan pada MRS agar plate
dengan metode spread plate, kemudian
diinkubasi pada suhu 37°C selama 48 jam.
Jumlah koloni L. acidophilus, L.
bulgaricus dan S. thermophillus yang
tumbuh dihitung dan dinyatakan dalam
logaritmic colony forming unit/mL (Log
CFU/mL).
Pengukuran Nilai Optical Density (OD)
Nilai OD diukur pada setiap beda
perlakuan konsentrasi variasi inulin setelah
inkubasi selama 0, 6, 12, 18 dan 24 jam
dengan menggunakan spektrofotometer
UV-Vis pada panjang gelombang 600 nm.
Analisis Kadar Total Asam Laktat dan
Pengukuran Nilai Derajat Keasaman
(pH)
Nilai derajat keasaman (pH) diukur
pada setiap perlakuan beda konsentrasi
inulin setelah masa inkubasi 0, 6, 12, 18
dan 24 jam dengan menggunakan pH
meter. Sebelum digunakan, pH meter
dikalibrasi dengan buffer fosfat (pH 6,86)
dan buffer asetat (pH 4,00). Sementara itu
pengukuran kadar total asam laktat
dilakukan dengan pengambilan sampel
sebanyak 25 mL dan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer. Campuran ini ditambahkan
indikator PP untuk uji total asam sebanyak
2 hingga 3 tetes. Sampel kemudian dititrasi
dengan larutan NaOH 0,1 N hingga terjadi
perubahan warna menjadi merah muda
yang menandakan telah tercapai titik akhir
titrasi.
Analisis Statistik
Data hasil penelitian diolah secara
statistik dengan menggunakan analisis
sidik ragam (ANOVA) yang dilanjutkan
dengan uji Duncan pada taraf signifikansi
5% apabila hasil yang diperoleh berbeda
nyata antar sampel dengan menggunakan
Software SPSS 17,0. Rancangan yang
digunakan adalah rancangan acak lengkap
(RAL) dengan variabel tetap adalah
konsentrasi inulin dan variabel bebas
adalah jumlah total koloni bakteri asam
laktat, nilai pH dan kadar total asam laktat
tertitrasi.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin
Terhadap pertumbuhan Lactobacillus
acidophilus
Pertumbuhan
L.
acidophilus
dipengaruhi oleh jumlah konsentrasi inulin
yang ditambahkan ke dalam media MRSB
modifikasi, meskipun nilainya tidak terlalu
signifikan (p<0,05). Hal ini ditunjukkan
dengan meningkatnya pertumbuhan jumlah
total koloni L. acidophilus selama masa
inkubasi 24 jam. Pada masa inkubasi 24
jam telah terjadi peningkatan pertumbuhan
sebanyak lebih dari 2 log (CFU/mL) koloni
L. acidophilus baik pada perlakuan tanpa
pemberian inulin maupun pemberian inulin
0,1%; 0,3% dan 0,5% (Tabel 1). Semakin
banyak jumlah konsentrasi inulin yang
ditambahkan dalam
media
MRSB
modifikasi maka akan meningkatkan
pertumbuhan jumlah total koloni L.
acidophilus. Bakteri L. acidophilus
memasuki fase eksponensial pertumbuhan
mulai dari masa inkubasi jam ke-6 hingga
jam ke-24 sebagaimana yang digambarkan
oleh grafik peningkatan nilai OD L.
acidophilus pada Gambar 1. Sampai akhir
masa inkubasi 24 jam masih terus terjadi
peningkatan pertumbuhan L. acidophilus
dan belum masuk fase stasioner.
Penambahan konsentrasi inulin 0,5% ke
dalam media MRSB merupakan modifikasi
yang paling efektif dalam meningkatkan
pertumbuhan
L.
acidophilus
jika
dibandingkan dengan perlakuan yang lain.
Hal ini disebabkan perlakuan tersebut
mampu
menghasilkan
peningkatan
pertumbuhan jumlah total koloni L.
acidophilus tertinggi yaitu sebesar 2,73 log
(CFU/mL).
L. acidophilus dan L. bulgaricus
merupakan kelompok jenis bakteri asam
laktat yang bersifat homofermentatif.
5
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 1-17
Tabel 1. Jumlah total koloni L. acidophilus (log CFU/mL sampel) pada beberapa variasi kadar inulin (0%; 0,1%;
0,3%; 0,5%) selama 24 jam.
Jumlah total koloni L. acidophilus (log CFU/mL)
Interval lama Inkubasi
Inulin 0%
a
Inulin 0,10%
7,65±0,03
a
Inulin 0,30%
7,38±0,02
Inulin 0,50%
g
7,33±0,01g
0 jam
7,81±0,02
6 jam
8,47±0,04b
8,54±0,01b
8,69±0,01f
8,75±0,07f
12 jam
9,42±0,01c
8,96±0,02f
8,84±0,04f
8,81±0,03f
18 jam
d
9,10±0,05
d
9,08±0,06
d
8,99±0,03
9,92±0,02e
24 jam
9,99±0,02e
9,91±0,04e
9,49±0,01c
10,06±0,05e
Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan taraf nyata 95%, (α=5%),
setelah dilakukan uji statistik dengan uji BNT pada SPSS 17,0.
Bakteri asam laktat yang bersifat
homofermentatif dapat memproduksi asam
laktat sebagai produk mayoritas dari
fermentasi karbohidrat dan sebagian kecil
asetat melalui jalur heksosa difosfat (HDP)
atau disebut juga Embden-Meyarhoff
Pathway (Cummings, et al., 2001).
Sementara itu bakteri asam laktat bersifat
heterofermentatif dapat menghasilkan
laktat dari fermentasi karbohidrat melalui
jalur heksosa monofosfat (HMP) atau biasa
juga disebut jalur fosfoketolase dan jalur
pentosa fosfat. L. acidophilus dan L.
bulgaricus
bersifat
homofermentatif
sehingga dalam proses metabolismenya
dapat menghasilkan asam laktat melalui
jalur heksosa difosfat (HDP). Karimi, et
al., (2015) melaporkan bahwa asam laktat
yang terbentuk pada proses fermentasi
sebagian besar diubah menjadi asam asetat,
asam propionat dan butirat melalui jalur
asetil-KoA.
Gambar 1. Nilai OD L. acidophilus dari beberapa
variasi kadar inulin (0%; 0,1%; 0,3%;
0,5%) selama 24 jam.
6
Berdasarkan
hasil
penelitian,
fermentasi inulin oleh L. acidophilus
belum mencapai fase stasioner pada jam
ke-24 (Gambar 1). Apabila proses
fermentasi inulin dilanjutkan setelah
fermentasi 24 jam, dapat dilihat waktu
ketika L. acidophilus memasuki fase
stasioner dan fase kematian. Pengamatan
pertumbuhan L. acidophilus dibatasi
sampai jam ke-24 untuk mencegah
penurunan kualitas sensorik produk yogurt
akibat produksi asam laktat berlebih. Hal
ini disebabkan tujuan fermentasi inulin ini
adalah untuk diaplikasikan pada produksi
yogurt sinbiotik.
Selain itu, setelah memasuki fase
stasioner dan kematian sebagian besar
asam laktat hasil fermentasi inulin akan
mengalami fermentasi alkohol oleh enzim
laktat dehidrogenase sehingga dapat
menimbulkan cita rasa pahit (Karimi, et
al., 2015). Konsentrasi optimum inulin
untuk meningkatkan pertumbuhan L.
acidophilus ditentukan berdasarkan jumlah
total koloni tertinggi dan nilai OD setelah
masa inkubasi 24 jam. Semakin tinggi nilai
OD dan jumlah total koloni bakteri
menunjukkan peningkatan pertumbuhan
bakteri asam laktat secara signifikan.
Pada fermentasi inulin oleh L.
acidophilus selama 24 jam terjadi
penurunan nilai pH dan peningkatan kadar
asam laktat baik pada perlakuan tanpa
pemberian inulin maupun pemberian inulin
0,1%; 0,3% dan 0,5% (Gambar 2).
Macfarlane dan Cummings (1999)
melaporkan
bahwa
penurunan
pH
dipengaruhi oleh meningkatnya kadar
asam laktat yang dihasilkan oleh BAL.
Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin …… (R. Haryo Bimo Setiarto, dkk.)
Tabel 2. Kadar total asam laktat tertitrasi L. acidophilus dengan beberapa variasi kadar inulin (0%;
0,1%; 0,3%; 0,5%) selama 24 jam
Interval lama
Inkubasi
0 jam
6 jam
12 jam
18 jam
24 jam
Nilai kadar total asam laktat L. acidophilus (%)
Inulin 0%
a
0,63±0,02
0,54±0,01b
0,45±0,01c
0,45±0,02c
0,41±0,02c
Inulin 0,10%
a
0,63±0,02
0,63±0,02a
0,32±0,01d
0,54±0,01b
0,59±0,01e
Inulin 0,30%
c
0,49±0,03
0,54±0,02b
0,50±0,04c
0,36±0,02d
0,36±0,01d
Inulin 0,50%
0,36±0,02d
0,54±0,02b
0,36±0,02d
0,45±0,01c
0,36±0,03d
Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan taraf nyata 95%, (α=5%),
setelah dilakukan uji statistik dengan uji BNT pada SPSS 17,0.
Gambar 2. Nilai pH L. acidophilus dengan
beberapa variasi kadar inulin (0%;
0,1%; 0,3%; 0,5%) selama 24 jam
Hidrolisis inulin sebagai sumber karbon
dalam
sel
L.
acidophilus
akan
menghasilkan energi yang dimanfaatkan
untuk pertumbuhan, reproduksi sel
maupun aktivitas bakteri probiotik. Selain
menghasilkan energi untuk metabolisme
dan pembelahan sel, fermentasi ini juga
menghasilkan produk sampingan berupa
asam laktat. Pembentukan asam laktat
tersebut akan menurunkan nilai pH. Pada
penelitian ini, kadar total asam laktat yang
dihasilkan oleh L. acidophilus relatif
mengalami fluktuasi (peningkatan maupun
penurunan) pada setiap interval periode
analisis. Fluktuasi tersebut terjadi karena
asam laktat sebagai asam lemak rantai
pendek juga dimanfaatkan sebagai sumber
karbon oleh L. acidophilus untuk
pertumbuhannya
melalui
jalur
metabolisme β-oksidasi sehingga asam
laktat hasil metabolisme inulin langsung
dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi oleh
L. acidophilus.
Macfarlane dan Cummings (1999)
melaporkan bahwa fermentasi karbohidrat
adalah sumber energi utama bagi
mikroflora usus misalnya Lactobacillus
dan Bifidobacterium. Namun seiring
dengan pergerakan bahan cerna di
sepanjang distal kolon, ketersediaan
karbohidrat akan berkurang sehingga
protein dan asam amino akan menjadi
sumber energi metabolik dominan untuk
bakteri di daerah distal kolon. Hal ini akan
menyebabkan
meningkatnya
bakteri
patogen di usus karena protein dan asam
amino merupakan sumber nutrien utama
bagi bakteri patogen. Oleh karena itu, diet
karbohidrat yang sulit dicerna tetap
dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan
mikroflora di usus, yang akhirnya
memunculkan konsep prebiotik. Pada
produksi asam lemak rantai pendek,
pemanfaatan
inulin
tersebut
akan
didegradasi oleh enzim fruktofuranosidase
yang dihasilkan oleh L. acidophilus
menjadi fruktosa. Selanjutnya, fruktosa
yang
merupakan
pentosa
melalui
fermentasi mengalami proses glikolisis
menjadi asam piruvat. Dalam proses
metabolisme selanjutnya asam piruvat
akan diubah menjadi asam laktat, asam
asetat, asam propionat, asam butirat dan
gas (Wang & Gibson, 1993).
Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Cummings, et al., (2001), karbohidrat
utama di dalam usus berupa oligosakarida
dan dietary fiber akan difermentasi oleh
bakteri asam laktat seperti Lactobacillus
dan Bifidobacterium menjadi asam lemak
rantai pendek terutama asam laktat, asam
asetat, propionat dan butirat, serta
7
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 1-17
sejumlah metabolit lainnya seperti etanol,
suksinat, gas CO2, H2S, CH4 dan H2S.
Produksi asam lemak rantai pendek dan
gas merupakan produk dari aktivitas
mikroflora pada fermentasi, namun pola
untuk menghasilkan produk ini oleh
masing-masing mikroflora berbeda dan
masih banyak yang belum diketahui. Efek
produksi asam lemak rantai pendek dan
peningkatan
jumlah
bakteri
menguntungkan antara lain meningkatkan
fungsi usus, absorpsi kalsium, metabolisme
lipid dan mengurangi risiko kanker kolon
(Cycroft, et al., 2001).
Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin
Terhadap pertumbuhan Lactobacillus
bulgaricus
Pertumbuhan L. bulgaricus sangat
dipengaruhi secara signifikan oleh
konsentrasi inulin yang ditambahkan ke
dalam media MRSB modifikasi (p<0,05).
Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya
pertumbuhan jumlah total koloni L.
bulgaricus selama masa inkubasi 24 jam
dimana
telah
terjadi
peningkatan
pertumbuhan sebanyak lebih dari 2 log
(CFU/mL) koloni L. bulgaricus baik pada
perlakuan tanpa pemberian inulin maupun
dengan pemberian inulin 0,1%; 0,3% dan
0,5% (Tabel 3). Semakin banyak jumlah
konsentrasi inulin yang ditambahkan
dalam media MRSB modifikasi maka
pertumbuhan jumlah total koloni L.
bulgaricus akan meningkat.
Bakteri L. bulgaricus memasuki fase
eksponensial pertumbuhannya mulai dari
masa inkubasi jam ke-6 hingga jam ke-18,
sebagaimana yang digambarkan oleh
grafik peningkatan nilai OD L. bulgaricus
(Gambar 3). Selanjutnya pertumbuhan
sedikit melambat pada interval waktu
inkubasi antara jam ke-12 dan jam ke-18.
Setelah memasuki jam ke-24, pertumbuhan
L. bulgaricus memasuki fase stationer
karena habisnya substrat inulin dan nutrisi
sumber karbon maupun sumber nitrogen
yang terkandung dalam media MRSB.
Penambahan konsentrasi inulin 0,5% ke
dalam media MRSB modifikasi paling
efektif dalam meningkatkan pertumbuhan
L. bulgaricus jika dibandingkan dengan
perlakuan yang lain. Hal ini disebabkan
perlakuan tersebut mampu menghasilkan
peningkatan pertumbuhan jumlah total
koloni L. bulgaricus tertinggi yaitu sebesar
2,75 log (CFU/mL). Selain itu perlakuan
tersebut juga mempercepat L. bulgaricus
masuk ke fase pertumbuhan eksponensial
selama periode inkubasi pada jam ke-6
sampai jam ke-12.
Gambar 3 memperlihatkan grafik
pola pertumbuhan L. bulgaricus yang
berbeda jika dibandingkan dengan grafik
pola pertumbuhan L. acidophilus pada
Gambar 1. Pertumbuhan L. bulgaricus
meningkat secara signifikan setelah
pemberian konsentrasi inulin 0,3% dan
0,5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa
semakin tinggi konsentrasi inulin yang
ditambahkan ke dalam media MRSB akan
semakin mempercepat laju pertumbuhan L.
bulgaricus. Kecepatan pertumbuhan sel L.
bulgaricus berbanding lurus dengan
kebutuhan energi metabolisme yang
diperlukan oleh bakteri tersebut untuk
melakukan pembelahan sel. Kebutuhan
Tabel 3. Jumlah total koloni L. bulgaricus (log CFU/mL sampel) pada beberapa variasi kadar inulin
(0%; 0,1%; 0,3%; 0,5%) selama 24 jam
Interval lama Inkubasi
Jumlah total koloni L. bulgaricus (log CFU/mL)
0 jam
6 jam
12 jam
18 jam
Inulin 0%
7,37±0,02a
7,60±0,03b
8,71±0,01c
9,24±0,06d
Inulin 0,10%
7,35±0,04a
7,65±0,06b
8,49±0,02f
8,94±0,03c
Inulin 0,30%
7,35±0,06a
7,95±0,03g
8,70±0,05c
9,59±0,02d
Inulin 0,50%
7,30±0,02a
7,82±0,04g
8,51±0,07f
9,23±0,03d
24 jam
9,74±0,04e
9,87±0,05e
9,86±0,01e
10,05±0,02h
Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan taraf nyata 95%, (α=5%),
setelah dilakukan uji statistik dengan uji BNT pada SPSS 17,0.
8
Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin …… (R. Haryo Bimo Setiarto, dkk.)
energi yang tinggi ini akan menginduksi
sel
untuk
mempercepat
proses
metabolismenya sehingga nutrisi yang
terkandung dalam media pertumbuhan L.
bulgaricus lebih cepat habis. Hal inilah
yang membuat L. bulgaricus lebih cepat
masuk ke fase stastioner dan kematian
pada pemberian konsentrasi inulin 0,3%
dan 0,5%. Pada perlakuan tanpa pemberian
konsentrasi inulin (0%) dan penambahan
inulin 0,1% laju pertumbuhan L.
bulgaricus justru lebih lambat sehingga
pada akhir jam ke-24 L. bulgaricus masih
terus mengalami fase eksponensial dan
belum mencapai fase stasioner (Gambar 3).
Hal ini semakin membuktikan bahwa
prebiotik inulin merupakan sumber nutrisi
penting dan esensial yang dibutuhkan oleh
L. bulgaricus dalam meningkatkan dan
mempercepat laju pertumbuhannya.
Nilai pH sangat berkaitan dengan
kadar asam laktat yang dihasilkan selama
fermentasi inulin oleh L. bulgaricus (Tabel
4 dan Gambar 4). Asam laktat yang
dihasilkan dari metabolisme inulin
menyebabkan penurunan pH. Hal tersebut
berkaitan dengan kenaikan jumlah populasi
bakteri asam laktat yang memanfaatkan
inulin sebagai sumber karbon untuk
pertumbuhan. Semakin banyak jumlah
inulin sebagai sumber karbon yang dapat
dimetabolisme maka semakin banyak pula
asam lemak rantai pendek yang dihasilkan
sehingga secara otomatis pH akan semakin
rendah. Fluktuasi kadar asam laktat yang
dihasilkan selama fermentasi inulin oleh L.
bulgaricus menunjukkan bahwa asam
laktat sebagai asam lemak rantai pendek
dimanfaatkan sebagai sumber karbon
untuk pertumbuhan L. bulgaricus sehingga
asam laktat langsung dimanfaatkan sebagai
sumber nutrisi (Tabel 4).
Seluruh senyawa prebiotik yang
masuk dalam saluran pencernaan manusia
akan mengalami fermentasi oleh bakteri di
usus besar melalui beberapa jalur
metabolisme untuk fermentasi inulin.
Produk utama dari fermentasi inulin adalah
butirat sedangkan produk utama dari
fermentasi Frukto Oligosakarida (FOS)
adalah asam asetat dan asam laktat (Rossi,
et al., 2005). Selain itu, populasi
Clostridium pada saluran pencernaan
bertanggung jawab untuk peningkatan
produksi gas seperti CO2 dan H2 sebagai
hasil samping dari fermentasi fruktan
melalui degradasi langsung dari inulin
(Duncan, et al., 2004). Asam butirat adalah
salah satu asam lemak rantai pendek paling
penting yang dihasilkan selama fermentasi
inulin.
Jalur
metabolisme
untuk
menghasilkan asam butirat terdiri dari
kondensasi dua molekul asetil koenzim A
dan pengurangan senyawa butiril-CoA
(Duncan, et al., 2002). Asam butirat dapat
dihasilkan melalui aktivitas enzim butirat
kinase (Diez-Gonzalez, et al., 1999). Di
jalur metabolisme lain yang melibatkan
senyawa butiril-CoA dan enzim asetat
transferase CoA, senyawa CoA dapat
berpindah ke asetat ekstrinsik sehingga
menghasilkan produk asam butirat dan
asetil-CoA (Louis, et al., 2004).
Gambar 3. Nilai OD L. bulgaricus dengan
beberapa variasi kadar inulin (0%;
0,1%; 0,3%; 0,5%) selama 24 jam
Hasil
penelitian
tentang
metabolisme inulin dalam menghasilkan
asam butirat melalui jalur butiril-CoA dan
asetat transferase CoA menunjukkan
keragaman yang tinggi di antara
mikroorganisme dalam saluran pencernaan
terkait
kemampuan
mereka
untuk
memanfaatkan asetat eksternal sebagai
acosubstrate (Falony, et al., 2009).
Meskipun aktivitas prebiotik dari inulin
telah dipelajari secara ekstensif sebagai
bahan pangan fungsional, masih sedikit
informasi yang diperoleh mengenai
korelasi antara kemampuan fermentasi
bakteri probiotik di usus dengan panjang
rantai polimer fruktan. Bakteri L.
bulgaricus telah menunjukkan kemampuan
degradasi tinggi pada rantai terpanjang
9
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 1-17
inulin
tetapi
belum
menunjukkan
selektivitasnya
terhadap
derajat
polimerisasinya (Rossi, et al., 2005). L.
bulgaricus juga dapat melepaskan enzim
glikosil hidrolase dan β-fruktofuranosida
untuk mencerna inulin (Schell, et al.,
2002).
Salah satu dampak dari penggunaan
prebiotik inulin adalah pH di kultur sel
maupun di dalam saluran pencernaan
bersifat sedikit lebih asam sehingga
menguntungkan
untuk
pertumbuhan
probiotik. Jadi meskipun penurunan pH
kolon
dapat
lebih
meningkatkan
pertumbuhan bakteri probiotik dengan
menghambat pertumbuhan bakteri patogen,
konsentrasi yang tinggi dari beberapa
sumber prebiotik tersebut juga memiliki
dampak negatif terhadap pertumbuhan
bakteri probiotik. Prebiotik inulin juga
dapat
meningkatkan
pertumbuhan
probiotik dengan menurunkan pH usus ke
tingkat optimal yang dipengaruhi oleh sifat
fisikokimia asam empedu (Rodrigues, et
al., 1998). Konsentrasi tinggi prebiotik
inulin juga dapat menurunkan kelarutan
asam empedu sehingga dapat menurunkan
kadar toksisitas.
Su, Henriksson & Mitchell (2007)
melaporkan bahwa bakteri Lactobacillus
casei dan Bifidobacterium lactis dapat
tumbuh dalam medium MRSB yang
ditambahkan inulin. Huebner, et al., (2007)
telah melakukan penelitian untuk memilih
prebiotik dengan penambahan FOS, inulin
dan GOS yang terbukti ketiganya mampu
meningkatkan pertumbuhan Lactobacillus
sp. dan Bifidobacteria. Kombinasi tertentu
antara probiotik dan prebiotik dapat
memberi peningkatan yang tertinggi. Hal
ini termasuk L. paracasei 1195 yang dapat
ditumbuhkan
pada
media
yang
mengandung inulin.
Rata-rata nilai pH pada awal
fermentasi untuk semua perlakuan adalah
sama yaitu 7,0 dan nilai pH menurun
sejalan dengan bertambahnya waktu
fermentasi (Gambar 4). Perubahan nilai pH
disebabkan karena terbentuknya asamasam organik dengan produk utamanya
adalah
asam
laktat.
Sebagaimana
dilaporkan oleh Alvarez-Olmas dan
Oberhelman (2001) bahwa fermentasi
karbohidrat oleh bakteri asam laktat
menghasilkan asam-asam organik seperti
laktat dan asetat yang menyebabkan
penurunan pH di sekitarnya sehingga
organisme patogen tidak mampu hidup.
Perubahan pH menjadi asam akan
menyebabkan efek antimikroba bagi
mikroba patogen, sebaliknya bakteri asam
laktat masih dapat hidup dalam suasana
asam dengan pH optimum 3-8 (Djaafar, et
al.,1996). Mekanisme lain dari sifat
antimikroba ini adalah bakteri asam laktat
juga menghasilkan peptida antimikroba
misalnya
bakteriosin.
Bakteriosin
mempunyai sifat daya hambat karena
polipetida yang terkandung mampu
bergabung dengan protein-protein lapisan
membran sel bakteri patogen sehingga
membran sel tidak dapat berfungsi dengan
baik dalam hal menyeleksi molekulmolekul keluar masuk sel (Anderssen, et
al., 1998).
Tabel 4. Kadar total asam laktat tertitrasi L. bulgaricus dengan beberapa variasi kadar inulin (0%;
0,1%; 0,3%; 0,5%) selama 24 jam
Interval lama
Inkubasi
0 jam
6 jam
12 jam
18 jam
24 jam
Nilai kadar total asam laktat L. bulgaricus (%)
Inulin 0%
a
0,49±0,02
0,54±0,01b
0,54±0,01b
0,54±0,01b
0,54±0,01b
Inulin 0,10%
a
0,45±0,02
0,63±0,02c
0,45±0,01a
0,45±0,01a
0,45±0,01a
Inulin 0,30%
b
0,54±0,01
0,54±0,01b
0,63±0,02c
0,54±0,02b
0,90±0,04d
Inulin 0,50%
0,63±0,02c
0,54±0,01b
0,72±0,04e
0,99±0,03f
0,72±0,02e
Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan taraf nyata 95%, (α=5%),
setelah dilakukan uji statistik dengan uji BNT pada SPSS 17,0
10
Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin …… (R. Haryo Bimo Setiarto, dkk.)
Apajalahti, et al., (2002), membutikan
bahwa pemberian inulin pada diet tikus
mengakibatkan peningkatan jumlah bakteri
caecum dan peningkatan asam lemak
rantai pendek sehingga terjadi reduksi pH.
Gambar 4. Nilai pH L. bulgaricus dengan
beberapa variasi kadar inulin (0%;
0,1%; 0,3%; 0,5%) selama 24 jam
Menurut Cummings, et al., (2001),
manfaat asam lemak rantai pendek hasil
fermentasi bakteri probiotik yaitu dapat
diabsorpsi oleh mukosa usus dan berperan
dalam pemenuhan kebutuhan energi. Asam
laktat akan menjadikan kondisi usus
menjadi asam sehingga bakteri patogen
yang tidak tahan asam akan mati. Asam
asetat akan dimetabolisme pada sel otot,
ginjal, jantung dan otak. Asam propionat
merupakan prekusor glukoneogenik yang
menekan sintesis kolesterol dalam hati. Hal
ini dibuktikan dengan percobaan in vitro
oleh Pereira, et al., (2003) terhadap
penurunan
kadar
kolesterol
yang
disebabkan tingginya kadar propionat oleh
L. fermentum. Naruszewicz, et al. (2002)
membuktikan bahwa L. plantarum dapat
menurunkan tekanan darah, fibrinogen dan
kolesterol LDL serta menaikkan kolesterol
HDL. Sementara itu asam butirat
merupakan sumber energi utama untuk
kolonosit, dimana butirat dimetabolisme
oleh epitel kolon dan berfungsi sebagai
regulator pertumbuhan dan deferensiasi sel
(Russell, et al., 2013). Di samping itu,
asam butirat memegang peranan penting
dalam mencegah kanker (Topping &
Clifton, 2001).
Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin
Terhadap pertumbuhan Streptococcus
thermophilus
Hampir
serupa
dengan
L.
bulgaricus, pertumbuhan S. thermophilus
sangat dipengaruhi secara signifikan oleh
konsentrasi inulin yang ditambahkan ke
dalam media MRSB modifikasi (p<0,05).
Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya
pertumbuhan jumlah total koloni S.
thermophilus selama masa inkubasi 24
jam. Selama masa inkubasi 24 jam telah
terjadi peningkatan pertumbuhan sebanyak
lebih dari 2 log (CFU/mL) koloni S.
thermophilus baik pada perlakuan tanpa
pemberian inulin maupun pemberian inulin
0,1%; 0,3% dan 0,5% (Tabel 5).
Semakin banyak jumlah konsentrasi
inulin yang ditambahkan dalam media
MRSB
modifikasi
maka
akan
meningkatkan pertumbuhan jumlah total
koloni S. thermophilus. Bakteri S.
thermophilus memasuki fase eksponensial
pertumbuhannya mulai dari masa inkubasi
jam ke-6 hingga jam ke-18 sebagaimana
yang digambarkan oleh grafik peningkatan
nilai OD L. bulgaricus (Gambar 5). Pada
periode jam ke-18 sampai jam ke-24,
pertumbuhan S. thermophilus memasuki
fase stasioner. Setelah jam ke-24
pertumbuhan S. thermophilus memasuki
fase kematian (death) karena telah
habisnya substrat inulin dan nutrisi sumber
karbon maupun sumber nitrogen yang
terkandung
dalam
media
MRSB.
Penambahan konsentrasi inulin 0,5% ke
dalam media MRSB modifikasi paling
efektif dalam meningkatkan pertumbuhan
S. thermophilus jika dibandingkan dengan
perlakuan yang lain. Hal ini disebabkan
perlakuan tersebut mampu menghasilkan
peningkatan pertumbuhan jumlah total
koloni S. thermophilus tertinggi yaitu
sebesar 2,84 log (CFU/mL). Selain itu
perlakuan tersebut juga mempercepat S.
thermophilus masuk ke fase pertumbuhan
eksponensial selama periode inkubasi jam
ke-6 sampai jam ke-12. Hasil penelitian ini
mengindikasikan
bahwa
kecepatan
pertumbuhan L. bulgaricus dan S.
thermophilus lebih sensitif terhadap
penambahan konsentrasi prebiotik inulin
jika dibandingkan dengan L. acidophilus.
11
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 1-17
Tabel 5. Jumlah total koloni S. thermophilus ( log CFU/ml sampel) pada beberapa variasi kadar inulin
(0%; 0,1%; 0,3%; 0,5%) selama 24 jam
Interval lama Inkubasi
0 jam
6 jam
12 jam
18 jam
24 jam
Jumlah total koloni S. thermophilus (log CFU/ml)
Inulin 0%
a
7,28±0,04
7,97±0,06b
8,71±0,02c
9,02±0,03d
9,27±0,05d
Inulin 0,10%
a
7,26±0,02
7,91±0,04b
8,93±0,02c
9,67±0,04e
9,58±0,03e
Inulin 0,30%
a
7,24±0,03
7,52±0,02f
9,00±0,06d
9,42±0,02e
9,82±0,02f
Inulin 0,50%
6,85±0,02g
7,99±0,05b
9,17±0,03d
9,65±0,04e
9,69±0,05e
Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan taraf nyata 95%, (α=5%),
setelah dilakukan uji statistik dengan uji BNT pada SPSS 17,0.
Gambar 5 memperlihatkan grafik
pola pertumbuhan S. thermophilus yang
hampir serupa jika dibandingkan dengan
grafik pola pertumbuhan L. bulgaricus
pada Gambar 3 namun sangat berbeda
dengan grafik pola pertumbuhan L.
acidophilus (Gambar 1).
Gambar 5. Nilai OD S. thermophilus dengan
beberapa variasi kadar inulin (0%;
0,1%; 0,3%; 0,5%) selama 24 jam
Pertumbuhan
S.
thermophilus
meningkat secara signifikan setelah
pemberian konsentrasi inulin 0,3% dan
0,5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa
semakin tinggi konsentrasi inulin yang
ditambahkan ke dalam media MRSB akan
semakin mempercepat laju pertumbuhan S.
thermophilus. Kecepatan pertumbuhan sel
S. thermophilus berbanding lurus dengan
kebutuhan energi metabolisme yang
diperlukan oleh bakteri tersebut untuk
melakukan pembelahan sel. Kebutuhan
energi yang tinggi ini akan menginduksi
sel
untuk
mempercepat
proses
metabolismenya sehingga nutrisi yang
12
terkandung dalam media pertumbuhan S.
thermophilus lebih cepat habis. Hal inilah
yang membuat S. thermophilus lebih cepat
masuk ke fase stastioner dan kematian
pada pemberian konsentrasi inulin 0,3%
dan 0,5%. Pada perlakuan tanpa pemberian
konsentrasi inulin (0%) dan penambahan
inulin 0,1% laju pertumbuhan L.
bulgaricus justru lebih lambat sehingga
pada akhir jam ke-24 L. bulgaricus masih
terus mengalami fase eksponensial dan
belum mencapai fase stasioner (Gambar 5).
Hal ini semakin membuktikan bahwa
prebiotik inulin merupakan sumber nutrisi
penting dan esensial yang dibutuhkan oleh
L. bulgaricus dalam meningkatkan dan
mempercepat laju pertumbuhannya.
Penurunan pH selama fermentasi
inulin oleh S. thermophilus dipengaruhi
oleh adanya aktivitas bakteri tersebut
dalam menghidrolisis inulin menjadi asam
laktat (Gambar 6 dan Tabel 6).
Gambar 6. Nilai pH S. thermophilus dengan
beberapa variasi kadar inulin (0%;
0,1%; 0,3%; 0,5%) selama 24 jam
Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin …… (R. Haryo Bimo Setiarto, dkk.)
Tabel 6. Kadar total asam laktat tertitrasi S. thermophilus dengan beberapa variasi kadar inulin (0%;
0,1%; 0,3%; 0,5%) selama 24 jam
Interval lama
Inkubasi
0 jam
6 jam
12 jam
18 jam
24 jam
Nilai kadar total asam laktat S. thermophilus (%)
Inulin 0%
a
0,58±0,04
0,63±0,02a
0,59±0,01a
0,63±0,03a
0,54±0,02b
Inulin 0,10%
c
0,40±0,01
0,54±0,02b
0,41±0,04c
0,63±0,02a
0,50±0,01d
Inulin 0,30%
d
0,49±0,02
0,68±0,01e
0,72±0,04e
0,99±0,04f
0,72±0,02e
Inulin 0,50%
0,49±0,01d
0,68±0,03e
1,17±0,02g
0,90±0,04h
1,17±0,02g
Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan taraf nyata 95%, (α=5%),
setelah dilakukan uji statistik dengan uji BNT pada SPSS 17,0.
Asam laktat yang terbentuk sebagai
hasil metabolisme inulin menyebabkan
penurunan pH. Hal tersebut berkaitan
dengan semakin meningkatnya jumlah
populasi bakteri asam laktat yang
menggunakan inulin sebagai sumber
karbon untuk pertumbuhannya. Semakin
banyak sumber karbon yang dapat
dimetabolisme maka semakin banyak pula
asam laktat yang dihasilkan sehingga
secara otomatis pH juga akan semakin
rendah. Duncan dan Flint (2013)
melaporkan
bahwa
bakteri
jenis
Streptococcus sp. bertanggung jawab atas
penurunan pH awal yogurt menjadi sekitar
5,0
sedangkan
Lactobacillus
sp.
bertanggung jawab atas penurunan lebih
lanjut sampai pH mencapai 4,5.
Inulin relatif masih utuh setelah
transisi melalui sistem pencernaan. Inulin
di dalam usus besar dicerna oleh enzim
fruktofuranosidase yang dihasilkan oleh
Bifidobacteria (Pokusaeva, et al., 2011).
Inilah sebabnya inulin tidak dapat dicerna
oleh enzim pencernaan manusia kecuali
melalui aktivitas bakteri probiotik. Inulin
dapat mengubah komposisi mikroflora di
dalam usus manusia dengan proses
fermentasi
yang
didominasi
oleh
Bifidobacteria.
Seperti
disebutkan
sebelumnya, derajat polimerisasi inulin
biasanya berkisar 3-60 (Murphy, 2001).
Hal inilah yang membuat fermentasi inulin
dengan spesies Lactobacillus sp. relatif
lebih mudah (Buriti, et al., 2007) karena
kemampuan untuk memfermentasi jenis
inulin merupakan kemampuan spesifik dari
Lactobacillus sp. (Makras, et al., 2005).
Efektivitas prebiotik inulin tidak hanya
dipengaruhi oleh derajat polimerisasinya,
namun juga tergantung pada kadar inulin
(Van Loo, 2004).
Alves, et al. (2013) meneliti
penerapan inulin sebagai prebiotik di
dalam keju krim yang dibentuk melalui
fermentasi S. thermophilus, Bifidobacterium animalis Bb-12 dan L.
acidophilus
La-5.
S.
thermophilus
menunjukkan viabilitas yang baik (6,669,38
log
cfu
g-1)
sedangkan
Bifidobacterium
animalis
memiliki
viabilitas di atas 6 log cfu g-1 selama
periode penyimpanan 45 hari. Namun L.
acidophilus menunjukkan penurunan nilai
viabilitas sebesar 3,1 log cfu g-1 pada akhir
periode penyimpanan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa inulin dalam krim
keju lebih spesifik dapat menjaga
pertumbuhan
S.
thermophilus,
Bifidobacterium animalis Bb-12.
Cardarelli, et al., (2008) meneliti
pengaruh
penambahan
inulin,
oligofruktosa dan oligosakarida lainnya
terhadap viabilitas bakteri probiotik
Bifidobacterium lactis dan L. acidophilus
yang terkandung dalam keju petitsuisse.
Mereka menemukan bahwa populasi
probiotik bervariasi antara 7,20-7,69 log
cfu g-1 untuk Bifidobacterium lactis dan
6,08-6,99 log cfu g-1 untuk L. acidophilus.
Jumlah populasi probiotik menurun selama
penyimpanan untuk
kedua
bakteri
probiotik tersebut. Penurunan jumlah
viabilitas koloni selama penyimpanan tidak
pernah di atas 0,74 log cfu g-1 untuk L.
acidophilus dan 0,37 log cfu g-1 untuk
Bifidobacterium lactis. ModzelewskaKapitula, et al., (2007) meneliti jumlah
13
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 1-17
total populasi koloni L. plantarum dalam
keju yang diberikan penambahan inulin
dan melaporkan bahwa jumlah total koloni
L. plantarum sangat dipengaruhi oleh
penambahan inulin. Jumlah total koloni L.
plantarum dalam sampel keju yang
mengandung inulin berada di kisaran 7,277,66 cfu g-1. Nilai rata-rata jumlah total
koloni L. plantarum jauh lebih tinggi
daripada viabilitas bakteri tersebut pada
sampel keju tanpa inulin selama periode
penyimpanan 45 hari. Hal inilah yang
berhasil dibuktikan yaitu penambahan
inulin dengan konsentrasi 0,1-0,5% (b/v)
ke
dalam
media
MRSB
sangat
berpengaruh
dalam
meningkatkan
viabilitas
pertumbuhan
bakteri
L.
acidophilus, L. bulgaricus, S. thermophilus
sebesar 2,0-2,5 log cfu/mL. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa inulin
dengan konsentrasi 0,1-0,5% (b/v) dapat
diaplikasikan dalam pembuatan yogurt
sinbiotik.
Salem, et al., (2007) meneliti efek
dari penambahan 1% inulin pada
pertumbuhan dan stabilitas L. reuteri B14171, L. johnsonii B-2178 dan L.
salivarius B-1950 sebagai kultur untuk
starter pembuatan keju selama 30 hari
penyimpanan pada suhu 5oC. Mereka
membuktikan bahwa inulin tidak memiliki
pengaruh pada pola pertumbuhan dari S.
thermophilus dan L. delbreuckii ssp.
bulgaricus selama penyimpanan dingin
keju. Mereka juga menunjukkan bahwa
kelangsungan hidup ketiga strain bakteri
probiotik menurun selama penyimpanan.
Namun kelangsungan hidup probiotik ini
dalam percobaan yang mengandung inulin
lebih tinggi dari kontrol (tanpa inulin).
Viabilitas tertinggi ditemukan pada
sampel dengan inulin yaitu 87,8% untuk L.
reuteri, 81,68% untuk L. johnsonii dan
79,16% untuk L. salivarius. Sebaliknya,
sampel kontrol yang tidak mengandung
prebiotik memiliki tingkat rata-rata
kelangsungan hidup 77,8% untuk L.
reuteri, 74% untuk L. johnsonii dan 76%
untuk L. salivarius (Salem, et al., 2007).
Akin & Kirmaci (2007) melaporkan bahwa
penambahan prebiotik inulin pada produk
es krim tidak berpengaruh pada
pertumbuhan jumlah koloni bakteri
14
probiotik S. thermophilus dan L.
delbrueckii ssp. bulgaricus, akan tetapi
akan meningkatkan jumlah total koloni L.
acidophilus dan Bifidobacterium lactis.
Sementara itu pada penelitian ini diketahui
bahwa penambahan 0,5% (b/v) inulin ke
dalam media MRSB mampu meningkatkan
pertumbuhan L. acidophilus, L.bulgaricus,
S. thermophilus secara signifikan. Oleh
karena itu prebiotik inulin dengan
konsentrasi 0,5% (b/v) dapat diaplikasikan
untuk
meningkatkan
kualitas
sifat
fungsional dari yogurt sinbiotik.
4. KESIMPULAN
Penambahan inulin sebesar 0,5%
(b/v) ke dalam media MRSB mampu
meningkatkan
pertumbuhan
L.
acidophilus, L. bulgaricus, S. thermophilus
secara signifikan. Selama fermentasi
inulin, L. acidophilus mengalami fase
eksponensial pertumbuhan mulai dari jam
ke-6 hingga jam ke-24. Sementara itu L.
bulgaricus dan S. thermophilus mengalami
fase eksponensial pertumbuhan mulai dari
jam ke-6 hingga jam ke-18. Fermentasi
bakteri asam laktat dalam penelitian ini
belum mencapai fase stasioner pada jam
ke-24. Hal ini disebabkan tujuan
fermentasi inulin adalah untuk produksi
yogurt sinbiotik sehingga pengamatan
dibatasi sampai jam ke-24 untuk mencegah
penurunan kualitas sensorik produk yogurt
akibat produksi asam laktat berlebih. Laju
pertumbuhan L. bulgaricus dan S.
thermophilus lebih sensitif terhadap
penambahan konsentrasi prebiotik inulin,
jika dibandingkan dengan L. acidophilus.
Selama pertumbuhan L. acidophilus, L.
bulgaricus, S. thermophilus dalam media
MRSB yang ditambahkan inulin terjadi
penurunan nilai pH dari kisaran 7,00
menjadi
di
bawah
5,00
karena
pembentukan asam lemak rantai pendek.
Prebiotik inulin lebih spesifik untuk
meningkatkan pertumbuhan Lactobacillus
sp. Untuk penelitian ke depannya dapat
dilakukan studi komparatif dengan
membandingkan kemampuan pertumbuhan
ketiga isolat bakteri asam laktat starter
yogurt tersebut terhadap sumber prebiotik
yang lain seperti Frukto Oligosakarida
Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin …… (R. Haryo Bimo Setiarto, dkk.)
(FOS), Gluko Oligosakarida
rafinosa dan pati resisten.
(GOS),
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini didanai oleh Kegiatan
Inkubasi Teknologi Pusat Inovasi LIPI
2016. Terima kasih yang sebesar-besarnya
penulis sampaikan kepada Ibu Kasirah,
Nimas Ayu Rikmawati, Dewi Rista dan
Nety Agustin yang telah membantu baik
secara teknis maupun non teknis sehingga
penelitian ini berjalan lancar.
DAFTAR PUSTAKA
Adebola, O.O., Corcoran, O. & Morgan, W.A.
(2014). Synbiotics: the impact of
potential prebiotics inulin, lactulose and
lactobionic acid on the survival and
growth of lactobacilli probiotics.
Journal of Functional Foods, 10, 75–84.
Akin, M.B., Akin, M.S. & Kirmaci, Z. (2007).
Effects of inulin and sugar levels on the
viability of yogurt and probiotic bacteria
and the physical and sensory
characteristics in probiotic ice cream.
Food Chemistry, 104, 93–99.
Al-Sheraji, S.H., Ismaila, A., Manap, M.Y.,
Mustafa, S., Yusof, R.M. & Hassan,
F.A. (2013). Prebiotics as functional
foods: A review. Journal of Functional
Foods, 5, 1542 –1553.
Alvarez-Olmos, M.I. & Oberhelman, R.A.
(2001). Probiotic agents and infectious
diseases: a modern perspective on a
traditional therapy. Clinical Infectious
Diseases, 32, 1567–1576.
Alves, L.L., Richards, N.S.P.S., Mattanna,P.,
Andrade, D.F., Rezer, A.P.S. & Milani,
L.I.G. (2013). Cream cheese as a
symbiotic
food
carrier
using
Bifidobacterium animalis Bb-12 and
Lactobacillus acidophilus La-5 and
inulin. International Journal of Dairy
Technology, 66, 63–69.
Anderssen, E.L., Diep, D.B., Nes, I.F., Eijsink,
V.G.H. & Nissen-Meyer, J. (1998).
Antagonistic activity of Lactobacillus
plantarum C11: two new two-peptide
bacteriocins, plantaricins EF and JK,
and the induction factor plantaricin A.
Applied
and
Environmental
Microbiology, 64, 2269–2272.
Apajalahti, J.H., Kettunen, H., Kettunen, A.,
Holben, W.E., Nurminen, P.H.,
Rautonen, N. & Mutanen, M. (2002).
Culture
independent
microbial
community analysis reveals that insulin
in the diet primarily affects previously
unknown bacteria in the mouse cecum.
Applied
and
Environ
mental
Microbiology, 68: 4986–4995.
Buriti, F.C.A., Cardarelli, H.R., Filisetti,
T.M.C.C. & Saad, S.M.I. (2007).
Symbiotic potential of fresh cream
cheese supplemented with inulin and
Lactobacillus paracasei in co-culture
with Streptococcus thermophilus. Food
Chemistry, 104, 1605–1610.
Cardarelli, H.R., Buriti, F.C.A., Castro, I.A. &
Saad,
S.M.I.
(2008).
Inulin
andoligofructose
improve
sensory
quality and increase the probiotic viable
countin potentially symbiotic petitsuisse cheese. LWT – Food Science and
Technology, 41, 1037–1046.
Cummings, J. H., Macfarlane, G. T. & Englyst,
H. N. (2001). Prebiotic digestion and
fermentation. American Journal of
Clinical Nutrition, 73, 415–420.
Cycroft, C.E., Jones, M.R., Gibson, G.R. &
Rostall, R.A. (2001). A Comparative In
Vitro Evaluation on the Fermentation
properties
of
Prebiotic
Oligosaccharides. Journal of Aplied
Microbiology, 91, 878–897.
Diez-Gonzalez, F., Bond, D.R., Jennings, E. &
Russell,
J.B.
(1999).
Alternativeschemes
of
butyrate
production in Butyrivibriofibrisolvens
and their relationship to acetate
utilization, lactate production, and
phylogeny. Archives of Microbiology,
171, 324–330.
Djaafar, T.F., Rahayu, E.S., Wibowo &
Sudarmadji.
(1996).
Substansi
Antimikroba Bakteri Asam Laktat yang
Diisolasi
dari
Makanan
Hasil
Fermentasi
Tradisional
Indonesia.
Jurnal Pertanian Indonesia, 1, 15–21.
Duncan, S.H., Barcenilla, A., Stewart, C.S.,
Pryde, S.E. & Flint, H.J. (2002).
Acetateutilization
and
butyrylcoenzyme A (CoA): acetate-CoA
transferase
in
butyrate-producing
bacteria from the human large intestine.
15
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 1-17
Applied
and
Environmental
Microbiology, 68, 5186–5190.
Duncan, S.H. & Flint, H.J. (2013). Probiotics
and prebiotics and health in ageing
populations. Maturitas, 75(1), 44–50.
Duncan, S., Louis, P. & Flint, H.J. (2004).
Lactate-utilizing bacteria, isolated from
human feces, that produce butyrate as a
major fermentation product. Applied
and Environmental Microbiology, 70,
5810–5817.
Falony, G., Lazidou, K., Verschaeren, A.,
Weckx, S., Maes, D. & De Vuyst, L.
(2009). In vitro kinetic analysis of
fermentation of prebiotic inulin-type
fructans by Bifidobacterium species
reveals four different phenotypes.
Applied
and
Environmental
Microbiology, 75, 454–461.
Gibson, G.R. & Roberfroid, M.B. (1995).
Dietary modulation of human colonic
microbiota: introducing the concept of
prebiotics. J Nutrition, 125(6), 14011412.
Grimoud, J., Durand, H., Courtin, C., Monsan,
P., Ouarné, F., Theodorou, V. &
Roques, C. (2010). In vitro screening of
probiotic lactic acid bacteria and
prebiotic glucooligosaccharides to select
effective synbiotics. Anaerobe, 16, 493–
500.
Guamer, F. & Malagelada J.R. (2003). Gut
flora in health and disease. European
Nutrition Research, 361 (9356), 512519.
Huebner, J.,Wehling, R.L. & Hutkins, R.W.
(2007).
Functional
activity
of
commercial prebiotics. International
Dairy Journal, 17, 770–775.
Karimi, R., Azizi, M.H., Ghasemlouc, M. &
Vaziri, M. (2015). Application of inulin
in cheese as prebiotic, fat replacer and
texturizer: A review. Carbohydrate
Polymers, 119, 85–100.
Lopes, S.M.S., Francisco, M.G., Higashi, B.,
de Almeida, R.T.R., Krausová, G.,
Pilau, E.J., Goncalves, J.E., Goncalves,
R.A.C. & de Oliveira, A.J.B. (2016).
Chemical characterization and prebiotic
activity of fructo-oligosaccharides from
Stevia rebaudiana (Bertoni) roots andin
vitro adventitious root cultures.
Carbohydrate Polymers, 152, 718–725.
16
Louis, P., Duncan, S.H., McCrae, S.I., Millar,
J., Jackson, M.S. & Flint, H.J. (2004).
Restricted distribution of the butyrate
kinase pathway among butyrateproducing bacteria from the human
colon. Journal of Bacteriology, 186,
2099–2106.
Macfarlane, G.T. & Cumming, J.H. (1999).
Probiotics and prebiotics: can regulating
the activities of intestinal bacteria
benefit health. Br. Med. J., 318, 999–
1003.
Machado, M.T.C., Kaliana, S.E., Vieira, G.S.,
Menegalli, F.C., Martínez, J. &
Hubinger, M.D. (2015). Prebiotic
oligosaccharides
from
artichoke
industrial waste: evaluation of different
extraction methods. Industrial Crops
and Products, 76, 141–148.
Makras, L., Van Acker, G. & De Vuyst, L.
(2005).
Lactobacillus
paracasei
subsp.paracasei 8700:2 degrades inulintype fructans exhibiting different
degrees of polymerization. Applied and
Environmental Microbiology, 71, 6531–
6537.
Modzelewska-Kapituła, M., Kł˛ebukowska, L.
& Kornacki, K. (2007). Influence
ofinulin and potentially probiotic
Lactobacillus plantarum strain on
microbiological quality and sensory
properties of soft cheese. Polish Journal
of Food and Nutrition Sciences, 57,
143–146.
Murphy, O. (2001). Non-polyol low-digestible
carbohydrates: Food applications and
functional benefits. British Journal of
Nutrition, 85(1), 547–553.
Naruszewicz, M., Johansson, M.L., ZapolskaDownar, D. & Bukowska, H. (2002).
Effect of Lactobaillus plantarum on
cardivascular disease risk factors in
smokers. American Journal of Clinical
Nutrition, 76, 1249–1255.
Pereira, D.I.A., McCartney, A.L. & Gibson,
G.R. (2003). An in vitro study of the
probiotic potential of a bile-salthydolysing Lactobacillus fermentum
strain, and determination of its
cholesterol-lowering
properties.
J.
Applied
and
Environmental
Microbiology, 69, 4743–4752.
Pokusaeva, K., Fitzgerald, G.F. & van
Sinderen, D. (2011). Carbohydrate
Pengaruh Variasi Konsentrasi Inulin …… (R. Haryo Bimo Setiarto, dkk.)
metabolismin bifidobacteria. Genes &
Nutrition, 6, 285–306.
Journal of Food and Nutrition Sciences,
57, 151–159.
Roberfroid, M.B. (2007). Prebiotic: the concept
revisited. The Jorunal of Nutrition, 137,
830-837.
Schell, M.A., Karmirantzou, M., Snel, B.,
Vilanova, D., Berger, B. & Pessi, G.
(2002).The genome sequence of
Bifidobacterium longum reflects its
adaptation to thehuman gastrointestinal
tract. Proceedings of the National
Academy of Sciences ofthe United States
of America, 99(22), 14422–14427.
Rossi,
M., Corradini, C., Amaretti, A.,
Nicolini, M., Pompei, A. & Zanoni, S.
(2005).
Fermentation
of
fructooligosaccharides and inulin by
bifidobacteria: A comparative study of
pure and fecal cultures. Applied and
Environmental Microbiology, 71, 6150–
6158.
Rodrigues, D., Rocha-Santos, T.A.P., Pereira,
C.I., Gomes, A.M., Malcata, F.X. &
Freitas, A.C. (2011). The potential
effect of FOS and inulin upon probiotic
bacteriumperformance in curdled milk
matrices. LWT–Food Science and
Technology, 44, 100–108.
Russell, W.R., Duncan, S.H. & Flint, H.J.
(2013). The gut microbial metabolome:
Modulation of cancer risk in obese
individuals. The Proceedings of the
Nutrition Society, 72, 177–188.
Salem, M.M.E., Abd El-Gawad, M.A.M.,
Hassan, F.A.M. & Effat, B.A. (2007).
Useof symbiotics for the production of
functional low-fat Labneh. Polish
Su, P., Henriksson, A. & Mitchell, H. (2007).
Selected prebiotics support the growth
of probiotic monocultures in vitro.
Anaerobe, 13, 134–139.
Topping, D.L. & Clifton, P.M. (2001). Shortchain fatty acids and human colonic
function: roles of resistant starch and
nonstarch
polysaccharides.
Physiological Reviews, 81, 1031–1064.
Van Loo, J. (2004). The specificity of the
interaction with intestinal bacterial
fermentation by prebiotic determine
their physiological efficacy. Nutrition
Research Reviews, 17, 89–98.
Wang, X. & Gibson, G.R. (1993). Effects of
the
in
vitro
fermentation
of
oligofructose and inulin by bacteria
growing in the human large intestine. J.
Appl. Bacteriol., 75, 373–380.
17
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017
18
Pertumbuhan Bakteri Laut Shewanella indica LBF-1-0076 …… (Nuzul Farini, dkk.)
PERTUMBUHAN BAKTERI LAUT Shewanella indica LBF-1-0076
DALAM NAFTALENA DAN DETEKSI GEN NAFTALENA
DIOKSIGENASE
(The Growth of Marine Bacteria Shewanella indica LBF-1-0076 in Naphthalene
and Naphthalene Dioxygenase Gene Detection)
Nuzul Farini1), Ahmad Thontowi2), Elvi Yetti2), Suryani1) dan Yopi2)
1
Departemen Biokimia, FMIPA, IPB, Jl. Raya Dramaga, 16680, Bogor, Indonesia
Lab. Biokatalis dan Fermentasi, Puslit. Bioteknologi LIPI, Jl. Raya Bogor Km.46, 16911,
Bogor, Indonesia
e-mail: [email protected]
2
Naskah diterima 1 September 2016, revisi akhir 5 Februari 2017 dan disetujui untuk diterbitkan
6 Februari 2017
ABSTRAK. Eksploitasi minyak bumi yang sering terjadi di laut mengakibatkan
adanya pencemaran minyak di laut. Naftalena merupakan salah satu senyawa dominan
berbahaya yang terkandung dalam minyak bumi dan dapat mengakibatkan pencemaran
perairan. Penelitian ini menggunakan bakteri laut LBF-1-0076 yang memiliki
kemampuan untuk mendegradasi naftalena. Tujuan dari penelitian ini adalah
mempelajari pengaruh parameter konsentrasi naftalena dan konsentrasi sel terhadap
bakteri laut pendegradasi naftalena LBF-1-0076. Penelitian ini juga bertujuan untuk
mengidentifikasi isolat LBF-1-0076 dan mendeteksi gen pengkode naftalena
dioksigenase. Berdasarkan hasil uji pertumbuhan, degradasi naftalena yang optimal
oleh isolat LBF-1-0076 terjadi pada konsentrasi naftalena 75 ppm dengan konsentrasi
sel 15. Hasil analisis gen 16S rDNA menunjukkan isolat LBF-1-0076 teridentifikasi
sebagai Shewanella indica strain 0102 dengan nilai keidentikan 99%. Hasil deteksi gen
naftalena dioksigenase dengan menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR)
menunjukkan bahwa isolat tersebut mempunyai gen naftalena dioksigenase dengan
ukuran ±377 bp. Oleh karena itu, isolat LBF-1-076 berpotensi sebagai agen
bioremediasi untuk mengatasi masalah pencemaran minyak bumi di laut.
Kata kunci: bakteri laut, minyak bumi, naftalena, naftalena dioksigenase, Shewanella
indica
ABSTRACT. Crude oil exploitation which often occured offshore can cause water
pollution in the sea since its contains naphthalene which is a hazardous compounds.
This research used marine bacteria LBF-1-0076 that have ability in naphthalene
degradation. This research aimed to study the parameter effect of naphthalene and cell
concentration toward marine bacteria LBF-1-0076. This research also identified isolate
LBF-1-0076 and detected the encode gene of naphthalene dioxygenase. Based on
growth test result, the optimum naphthalene degradationby isolate LBF-1-0076 occured
in 75 ppm naphthalene concentration with 15cell concentration. The result of 16S rDNA
gene analysis showed that LBF-1-0076 was identified as Shewanella indica strain 0102
with identical value 99%. The result of naphthalene dioxygenase gene detection using
Polymerase Chain Reaction (PCR) showed that the isolate contained naphthalene
dioxygenase gene with size ±377 bp. Therefore, LBF-1-0076 potential as
bioremediation agent to solve crude oil contamination in the sea.
Keywords: crude oil, marine bacteria, naphthalene, naphthalene dioxygenase,
Shewanella indica
19
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 19-31
1. PENDAHULUAN
Adanya kegiatan eksploitasi minyak
bumi berupa pengeboran, pengilangan,
pengolahan,
penyimpanan
dan
pendistribusian maka
mengakibatkan
pencemaran minyak baik di darat maupun
di laut. Kegiatan eksploitasi minyak bumi
sering terjadi di dekat pantai maupun area
lepas pantai sehingga mengakibatkan
peningkatan
terjadinya
pencemaran
minyak bumi di laut (Nursyirwani &
Amolle, 2007). Minyak bumi merupakan
senyawa hidrokarbon yang mengandung
sekitar 25% PAH (Polycyclic Aromatic
Hydrocarbon) dan sebagian besar alkana.
Senyawa PAH merupakan kelompok
senyawa organik yang terdiri atas dua atau
lebih cincin aromatik (Seo, et al., 2009).
Walaupun kandungan senyawa PAH
tersebut lebih kecil dibandingkan alkana
namun senyawa tersebut
memiliki
toksisitas
yang
tinggi
(Xue
&
Warshawsky, 2005). Indeks stabilitas,
persistensi dan karsinogenik PAH akan
semakin
meningkat
berdasarkan
peningkatan jumlah cincin aromatik (berat
molekul),
struktur
anguler
dan
hidrofobisitasnya (Marston, et al., 2001).
Naftalena (C10H8) termasuk salah
satu kelompok senyawa PAH sederhana
yang telah banyak digunakan sebagai
model dalam studi bioremediasi PAH
karena strukturnya yang sederhana dan
bersifat mudah larut (Goyal, et al., 1997).
Naftalena merupakan salah satu kelompok
senyawa PAH dengan berat molekul
rendah yang terdiri atas gabungan dua
cincin benzena (Rokade & Sayyed, 2009).
Senyawa tersebut juga termasuk salah satu
kelompok senyawa PAH dominan yang
terkandung dalam minyak bumi (Kappell,
et
al.,
2014).
Naftalena
dapat
menyebabkan keracunan akut di perairan
akibat kelarutannya yang tinggi. Senyawa
tersebut pada kadar tertentu dapat
menghambat respirasi pada mitokondria
sehingga mengakibatkan terhambatnya
konsumsi
oksigen
pada
beberapa
organisme perairan (Heitkamp, et al.,
1987). Keracunan naftalena menyebabkan
terjadinya
anemia
haemolitik
dan
20
nefrotoksisitas pada manusia (Samanta, et
al., 2002).
Bioremediasi merupakan teknologi
efektif dan ramah lingkungan yang
melibatkan biokonversi polutan secara
sebagian atau sempurna menjadi biomassa
sel, karbon dioksida dan air. Proses
biokonversi polutan tersebut dipengaruhi
oleh beberapa faktor yang dapat
mengurangi
keefisienan
dan
keefektifannya. Faktor-faktor tersebut
yaitu struktur polutan, kelarutan polutan
dalam air, konsentrasi substrat, kadar
toksisitas polutan, oksigen, nutrien, pH,
suhu, salinitas dan aktivitas mikroba
(Ward, 2004). Oleh karena itu, faktorfaktor
yang mempengaruhi proses
bioremediasi perlu diperhatikan.
Bioremediasi melibatkan adanya
proses pemberian mikroorganisme pada
daerah
yang
terkontaminasi.
Mikroorganisme pendegradasi naftalena
yang biasa digunakan dalam proses
bioremediasi adalah bakteri. Sistem
metabolisme
bakteri
pendegradasi
naftalena melibatkan gen-gen pengkode
enzim pendegradasi naftalena yang diatur
oleh operon nah1 dan nah2 (Puntus, et al.,
2015). Naftalena dioksigenase (EC
1.14.12.12) merupakan enzim yang
diketahui terlibat pada reaksi pertama
dalam jalur degradasi naftalena (Kauppi, et
al.,1998).
Beberapa penelitian di Indonesia
telah melaporkan tentang potensi dan
identifikasi molekuler beberapa bakteri
yang
memiliki
kemampuan
untuk
mendegradasi beberapa senyawa PAH
(Harwati, et al., 2009; Murniasih, et al.,
2009; Riffani, 2010; Teramoto, et al.,
2010; Thontowi, et al., 2013, Thontowi &
Yopi, 2011; Yetti, et al., 2015). Namun,
penelitian
tentang
variabel
yang
mempengaruhi bakteri laut pendegradasi
naftalena dan deteksi gen fungsionalnya
masih belum banyak dilakukan. Beberapa
penelitian telah mempelajari pengaruh
variabel pH, salinitas, konsentrasi bakteri
dan konsentrasi PAH terhadap bakteri laut
(John, et al., 2012; Katsner, et al., 1998;
Lakshmi & Velan, 2011). Oleh karena itu,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh parameter konsentrasi naftalena
Pertumbuhan Bakteri Laut Shewanella indica LBF-1-0076 …… (Nuzul Farini, dkk.)
dan konsentrasi sel terhadap bakteri laut
pendegradasi naftalena. Penelitian ini juga
bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri
laut LBF-1-0076 dan mendeteksi gen
pengkode naftalena dioksigenase.
2. METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan meliputi
bubuk agarosa, buffer TAE 1x (Tris-asetatEDTA), 0,2 M buffer fosfat pH 7, bubuk
naftalena, bubuk agar, bubuk MB (Marine
Broth), bubuk MA (Marine Agar), bubuk
ASW (Artificial Sea Water), kit Wizard®
Genomic DNA Purification, larutan DMSO
(Dimethyl Sulfoxide), Go Taq, DNA
cetakan, ddH2O, EtBr, SYBR Green,
etanol 70%, marker 100 bp, marker 1 kb,
loading dye 6x, aplikasi NJ Plot, aplikasi
Clustal X dan aplikasi MEGA 6.Alat-alat
yang digunakan adalah seperangkat alat
sublimasi, mesin PCR (Polymerase Chain
Reaction), seperangkat alat elektroforesis,
spektrofotometer
nanodrop,
spektrofotometer UV-VIS, deep well, autoklaf,
freezer, penggojok (shaker), inkubator,
sentrifus, microwave, water bath 37oC, UV
transilluminator, penangas air, tabung
eppendorf 1,5 mL, termometer, neraca
analitik, pipet mikro dan seperangkat alat
gelas lainnya. Prosedur penelitian meliputi
peremajaan dan kultivasi isolat LBF-10076, uji sublimasi naftalena, uji
pertumbuhan, analisis gen 16S rDNA,
optimasi konsentrasi naftalena, optimasi
konsentrasi sel dan deteksi gen naftalena
dioksigenase.
Peremajaan dan Kultivasi Isolat LBF-10076
Isolat bakteri laut yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu LBF-1-0076
yang berasal dari koleksi Laboratorium
Biokatalis dan Fermentasi, Pusat Penelitian
Bioteknologi LIPI. Peremajaan isolat LBF1-0076 dilakukan dengan memindahkan
isolat dari gliserol stock ke dalam media
MA. Inkubasi dilakukan selama 24 jam
pada suhu 30oC. Isolat LBF-1-0076 hasil
peremajaan tersebut digunakan untuk
kultivasi isolat kemudian isolat LBF-10076 tersebut ditumbuhkan dalam tabung
reaksi yang berisi 3 mL MB (Marine
Broth) steril. Inkubasi dilakukan selama 24
jam pada suhu 30oC dan kecepatan 150
rpm. Indikator dari hasil kultivasi isolat
yaitu warna larutan MB tampak lebih
keruh yang menunjukkan bahwa isolat
tersebut telah tumbuh dalam media MB
(Yetti, et al., 2016).
Uji Sublimasi Naftalena
Berdasarkan
penelitian
yang
dilakukan oleh Yetti, et al. (2016), hasil uji
sublimasi
dan
uji
pertumbuhan
menunjukkan bahwa isolat LBF-1-0076
memiliki kemampuan untuk mendegradasi
naftalena.
Pengecekan
kemampuan
degradasi naftalena oleh isolat LBF-1-0076
melalui uji sublimasi (uji kualitatif) dan uji
pertumbuhan (uji kuantitatif) dilakukan
kembali dalam penelitian ini. Metode uji
sublimasi naftalena dilakukan sesuai
penelitian Alley dan Brown (2000). Isolat
LBF-1-0076 diinokulasi ke dalam media
ASW (Artificial Sea Water) padat. Proses
sublimasi dilakukan pada suhu 80oC
selama 1 menit. Inkubasi dilakukan selama
7 hari pada suhu 30oC. Adanya
pembentukan zona bening di sekeliling
isolat LBF-1-0076 merupakan indikator
bahwa
isolat
tersebut
memiliki
kemampuan mendegradasi naftalena.
Uji Pertumbuhan Isolat LBF-1-0076
pada Senyawa Naftalena
Pengujian kemampuan degradasi
naftalena secara kuantitatif dilakukan
melalui uji pertumbuhan (Thontowi, et al.,
2011). Isolat LBF-1-0076 ditumbuhkan
dalam tabung reaksi yang berisi media
ASW cair dan naftalena dengan 3 kali
pengulangan. Total larutan yang terdapat
dalam tabung reaksi tersebut yaitu 3000
µL dengan OD (Optical Density) sel 1 dan
konsentrasi naftalena 50 ppm. Inkubasi
dilakukan di dalam penggojok selama 7
hari pada suhu 30oC dengan kecepatan 150
rpm. Pengukuran OD sel awal (pada hari
ke-0) dan OD sel akhir (pada hari ke-7)
dilakukan
dengan
menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang
600 nm. Adanya peningkatan OD sel
menunjukkan isolat LBF-1-0076 dapat
21
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 19-31
tumbuh dalam media ASW cair yang berisi
naftalena.
Uji Pertumbuhan dengan Parameter
Konsentrasi Naftalena
Isolat
LBF-1-0076
diinokulasi
dalam tabung reaksi yang berisi media
ASW cair dengan konsentrasi naftalena
yang bervariasi yaitu 0, 25, 50, 75, 100 dan
200 ppm. Masing-masing perlakuan
dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan
kemudian inkubasi dilakukan di dalam
penggojok selama 7 hari pada suhu 30oC
dengan kecepatan 150 rpm. Nilai OD sel
awal dan OD sel akhir diukur dengan
menggunakan spektrofotometer
pada
panjang gelombang 600 nm. Peningkatan
OD sel tertinggi pada konsentrasi naftalena
tertentu merupakan indikator bahwa isolat
LBF-1-0076
memiliki
kemampuan
degradasi naftalena yang optimal pada
konsentrasi naftalena tersebut (Thontowi,
et al., 2011).
Uji Pertumbuhan dengan Parameter
Konsentrasi Sel
Isolat bakteri laut diinokulasi dalam
tabung reaksi yang berisi media ASW cair
dengan konsentrasi naftalena yang optimal
berdasarkan hasil uji optimasi konsentrasi
naftalena sebelumnya. Isolat bakteri laut
yang diinokulasi memiliki nilai OD sel
yang bervariasi yaitu 0, 5, 10, 15 dan 20.
Masing-masing
perlakuan
dilakukan
sebanyak 3 kali pengulangan kemudian
inkubasi dilakukan di dalam penggojok
selama 7 hari pada suhu 30oC dengan
kecepatan 150 rpm. Pengukuran OD sel
awal dan OD sel akhir dilakukan dengan
menggunakan spektrofotometer
pada
panjang gelombang 600 nm. Peningkatan
OD sel tertinggi pada konsentrasi sel
tertentu merupakan indikator bahwa isolat
LBF-1-0076
memiliki
kemampuan
degradasi naftalena yang optimal pada
konsentrasi sel tersebut (Thontowi, et al.,
2011).
Analisis Gen 16S rDNA Bakteri Laut
Isolat LBF-1-0076 diidentifikasi
dengan menggunakan metode PCR
(Polymerase Chain Reaction). Identifikasi
tersebut dilakukan dengan menganalisis
22
gen 16S rDNA bakteri. Isolasi DNA
genom dari isolat LBF-1-0076 dilakukan
terlebih dahulu dengan menggunakan kit
Wizard® Genomic DNA Purification.
Amplifikasi gen 16S rDNA dilakukan
dengan menggunakan primer 9F (5’AGRGTTTGATCMTGGCTCAG-3’) dan
primer 1492R (5’-TACGGYTACCTTG
TTAYGACTT-3’) (Cavalca, et al., 1999).
Kondisi PCR dilakukan pada 10 siklus
pertama yaitu denaturasi (95oC selama 30
detik), penempelan primer (55oC selama 1
menit) dan perpanjangan (72oC selama 2
menit). Amplifikasi dilakukan kembali
selama 30 siklus pada suhu dan waktu
yang sama. Amplifikasi terakhir dilakukan
pada suhu 72oC selama 2 menit dengan 1
siklus. Hasil amplifikasi gen 16S rDNA
diverifikasi
dengan
menggunakan
elektroforesis gel agarosa 1% kemudian
dilakukan sekuensing dan hasil sekuensing
dianalisis dengan menggunakan NCBI
(Yetti, et al., 2015). Selanjutnya, pohon
filogenetik dibuat dengan menggunakan
aplikasi Clustal X, NJ Plot dan MEGA 6
(Thompson, et al., 1997; Choi, et al.,
2000).
Deteksi Gen Naftalena Dioksigenase
Deteksi gen naftalena dioksigenase
dilakukan
dengan
amplifikasi
gen
naftalena dioksigenase menggunakan PCR
(Polymerase Chain Reaction). Primer yang
digunakan yaitu primer NAH-F (CAAA
A(A/G)CACCTGATT(C/T)ATGG) dan
NAH-R ((C/T)(A/G)CG(A/G)G(C/G)GA
CTTCTTTCAA) (Jones, et al., 1999).
Kondisi PCR yang dilakukan yaitu
denaturasi (95oC selama 3 menit dan 95oC
selama 1 menit), penempelan primer (47oC
selama 1 menit) dan pemanjangan (72oC
selama 7 menit). Hasil PCR diverifikasi
dengan elektroforesis menggunakan gel
agarosa 2%.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji kemampuan degradasi naftalena
oleh isolat bakteri laut LBF-1-0076
dilakukan secara kualitatif menggunakan
uji sublimasi. Metode kualitatif lainnya
untuk menentukan kemampuan degradasi
naftalena secara kualitatif yaitu metode
Pertumbuhan Bakteri Laut Shewanella indica LBF-1-0076…… (Nuzul Farini, dkk.)
Gambar 1. Hasil sublimasi naftalena oleh
isolat LBF-1-0076 pada hari ke-0
dan hari ke-7. Tanda panah
menunjukkan zona bening di
sekitar koloni bakteri LBF-1-0076
Pembentukan zona bening tidak
terjadi pada hari ke-0 dan tampak jelas
pada hari ke-7. Terbentuknya zona bening
di sekeliling isolat menunjukkan bahwa
isolat tersebut dapat menggunakan
senyawa karbon aromatik yaitu naftalena
sebagai sumber karbon dan energi bagi
pertumbuhannya karena sumber karbon
dari
media
ASW
telah
habis
(Dykstershouse, et al., 1995).
Hasil uji sublimasi naftalena juga
menunjukkan
bahwa
tidak
terjadi
perubahan warna pada media agar. Hal
tersebut sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Yetti, et al. (2015) dan
Yetti, et al. (2016) dimana hasil uji
sublimasi naftalena hanya menunjukkan
adanya pembentukan zona bening tanpa
adanya perubahan warna. Namun, hasil uji
sublimasi akan menunjukkan perubahan
warna dan pembentukan zona bening di
sekeliling isolat apabila uji tersebut
dilakukan untuk senyawa PAH lainnya
seperti dibenzotiofen dan fluorena karena
degradasi
senyawa
tersebut
akan
menghasilkan metabolit yang bewarna
sebagai hasil dari aktivitas enzim pada
metabolisme bakteri. Penelitian yang
dilakukan oleh Yetti, et al. (2015)
menggunakan uji sublimasi sebagai uji
utama untuk penapisan bakteri laut yang
mampu mendegradasi berbagai senyawa
Polyaromatic
Hydrocarbons
(PAH)
sedangkan uji sublimasi pada penelitian ini
berupa
uji
pendahuluan
sebelum
melakukan uji selanjutnya.
Kemampuan degradasi naftalena
oleh isolat bakteri laut LBF-1-0076 juga
dilakukan secara kuantitatif melalui uji
pertumbuhan
(growth
test).
Uji
pertumbuhan
merupakan
uji
yang
dilakukan dengan cara menumbuhkan
isolat dalam tabung reaksi yang berisi
senyawa naftalena dan media yang
mengandung sumber karbon minimal
(Thontowi, et al., 2011). Hasil uji
pertumbuhan ditunjukkan pada Gambar 2.
Rata-Rata
(OD 600 nm)
spray-plate.
Metode
spray-plate
melibatkan penggunaan pelarut organik
seperti aseton dan eter untuk dapat
melarutkan senyawa PAHs. Metode
spread-plating juga melibatkan kontak
langsung pelarut organik ke dalam agar.
Adanya penggunaan pelarut organik pada
metode spray-plate dan spread-plating
dapat menimbulkan efek toksik bagi
bakteri (Alley & Brown, 2000).
Metode
uji
sublimasi
tidak
melibatkan adanya penggunaan pelarut
organik sehingga penentuan kemampuan
degradasi naftalena oleh bakteri laut pada
penelitian ini menggunakan metode uji
sublimasi. Metode uji sublimasi bertujuan
mengetahui potensi kemampuan degradasi
naftalena oleh suatu isolat (Alley &
Brown, 2000). Sublimasi dilakukan pada
suhu yang sesuai dengan titik leleh
naftalena
yaitu
80oC.
Indikator
keberhasilan uji sublimasi ditunjukkan
dengan adanya perubahan warna pada
medium atau pembentukan zona bening di
sekeliling isolat (Alley & Brown, 2000).
Hasil uji sublimasi naftalena oleh isolat
bakteri laut LBF-1-0076 ditunjukkan pada
Gambar 1.
4,000
3,500
3,000
2,500
2,000
1,500
1,000
0,500
0,000
Rata-rata H0
Rata-rata H7
Kontrol naftalena
LBF-1-0076
Perlakuan
Gambar 2. Hasil uji pertumbuhan dalam
media ASW cair berisi naftalena
oleh isolat LBF-1-0076
23
Berdasarkan hasil uji pertumbuhan,
isolat LBF-1-0076 dapat tumbuh dalam
media ASW cair yang berisi naftalena.
Nilai OD sel isolat LBF-1-0076
mengalami peningkatan dari 0,249 pada
hari ke-0 menjadi 1,000 pada hari ke-7
sehingga nilai OD sel isolat tersebut
mengalami peningkatan sebesar 75%.
Nilai OD sel isolat didapatkan dari hasil
selisih antara
rata-rata
hasil
uji
pertumbuhan dengan kontrol naftalena.
Hasil uji pertumbuhan menunjukkan
bahwa
isolat
bakteri
laut
dapat
mendegradasi senyawa naftalena sebagai
sumber karbon bagi pertumbuhan selnya.
Adanya
kemampuan
isolat
dalam
mendegradasi naftalena merupakan hasil
adaptasi isolat dari habitat aslinya yang
tercemar polutan (Meer, 2006).
Isolat bakteri laut LBF-1-0076 dapat
memanfaatkan naftalena sebagai sumber
karbon karena sistem metabolisme dari
isolat tersebut. Iwabuchi dan Harayama
(1997) menyatakan bahwa degradasi
naftalena atau senyawa PAH (Polycyclic
Aromatic Hydrocarbon) oleh bakteri laut
diawali dengan reaksi atom oksigen dalam
inti aromatik yang dikatalisis oleh
multikomponen dioksigenase. Produk
antara (intermediate) dari degradasi
tersebut adalah salisilat. Oksidasi salisilat
lebih lanjut dapat dilakukan melalui jalur
asam gentisat atau katekol (ortho atau
meta) untuk menghasilkan prekursor yang
terintegrasi dengan siklus asam sitrat.
Isolat
LBF-1-0076
memiliki
kemampuan
degradasi
naftalena
berdasarkan hasil uji sublimasi dan uji
pertumbuhan. Tahap selanjutnya berupa uji
pertumbuhan
dengan
parameter
konsentrasi naftalena dan konsentrasi sel
oleh isolat LBF-1-0076. Hasil uji
pertumbuhan
dengan
parameter
konsentrasi naftalena oleh isolat LBF-10076 ditunjukkan pada Gambar 3.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa
isolat LBF-1-0076 memiliki kemampuan
degradasi naftalena yang optimal pada
konsentrasi naftalena 75 ppm dengan
peningkatan OD sel sebesar 37,30% (nilai
OD sel 0,373). Peningkatan nilai OD sel
isolat LBF-1-0076 mengalami kenaikan
dari 0,070 (7%) pada konsentrasi naftalena
24
Peningkatan Sel
(OD 600 nm)
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 19-31
0,400
0,350
0,300
0,250
0,200
0,150
0,100
0,050
0,000
0
25 50 75 100 200
Konsentrasi naftalena (ppm)
Gambar 3. Degradasi naftalena oleh isolat
bakteri laut LBF-1-0076 pada
berbagaikonsentrasi naftalena
25 ppm menjadi 0,373 (37,30%) pada
konsentrasi naftalena 75 ppm. Hal tersebut
menunjukkan
bahwa
kemampuan
degradasi naftalena isolat LBF-1-0076
semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya
konsentrasi
naftalena.
Konsentrasi naftalena yang semakin tinggi
menyediakan sumber karbon yang lebih
bagi bakteri sehingga sel bakteri dapat
tumbuh semakin cepat (Kamil & Talih,
2015).
Hasil uji pertumbuhan dengan
parameter konsentrasi naftalena juga
menunjukkan OD sel isolat LBF-1-0076
mengalami penurunan dari 0,373 (37,30%)
pada konsentrasi naftalena 75 ppm menjadi
0,036 (3,60%) pada konsentrasi naftalena
200 ppm. Hal tersebut menunjukkan
bahwa kemampuan degradasi naftalena
oleh isolat bakteri laut semakin menurun
apabila
telah melebihi konsentrasi
naftalena optimum. Konsentrasi naftalena
yang semakin tinggi atau melebihi batas
toleransi bakteri akan mengganggu
keseimbangan metabolisme dan dapat
memicu mekanisme toksisitas (Pumphrey
& Madsen, 2007). Mekanisme toksisitas
tersebut dapat berupa kerusakan membran
sel bakteri (Ramos, et al., 2002). Selain itu,
konsumsi naftalena yang berlebih oleh
bakteri juga mengakibatkan kelebihan
produksi metabolit sehingga mengganggu
pertumbuhan sel bakteri (Park, et al.,
2004). Penelitian yang dilakukan oleh
Pumphrey
dan
Madsen
(2007)
menunjukkan adanya akumulasi metabolit
bewarna
merah bercampur kuning
(orange)
pada
medium
kultur
Pertumbuhan Bakteri Laut Shewanella indica LBF-1-0076…… (Nuzul Farini, dkk.)
Polaromonas naphthalenivorans CJ2 yang
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan
bakteri. Berdasarkan penelitian Pumphrey
dan Madsen (2007), analisis metabolit
menggunakan HPLC diduga akumulasi
metabolit tersebut berupa 1,2-naftoquinon
dan senyawa tersebut termasuk produk dari
hasil autooksidasi naftalena.
Konsentrasi naftalena yang berlebih
juga
dapat
mengakibatkan
enzim
pendegradasi naftalena yang dihasilkan
oleh bakteri laut mencapai kapasitas
maksimal (Black, 2002). Hal tersebut
disebabkan substrat naftalena telah
berikatan dengan seluruh sisi aktif dari
enzim pendegradasi naftalena sehingga
substrat naftalena yang berlebih tidak
dapat menempati sisi aktif enzim. Oleh
karena itu, ketersediaan jumlah sisi aktif
enzim yang berkurang mengakibatkan
degradasi naftalena semakin menurun.
Konsentrasi naftalena 75 ppm pada
isolat LBF-1-0076 digunakan untuk uji
pertumbuhan
dengan
parameter
konsentrasi
sel.
Konsentrasi
sel
berpengaruh
terhadap
kemampuan
degradasi naftalena oleh bakteri laut. Hasil
uji pertumbuhan dengan parameter
konsentrasi sel ditunjukkan pada Gambar
4.
Peningkatan sel
(OD 600 nm)
1,500
1,250
1,000
0,750
0,500
0,250
0,000
0
5
10
15
20
Konsentrasi sel ( OD 600 nm)
Gambar 4. Degradasi naftalena oleh isolat
bakteri laut LBF-1-0076 pada
berbagai konsentrasi sel
Berdasarkan hasil penelitian, isolat
LBF-1-0076
memiliki
kemampuan
degradasi naftalena yang optimal pada
konsentrasi sel 15 dengan peningkatan OD
sel sebesar 1,249 (8,33%). Peningkatan
OD sel isolat LBF-1-0076 juga terus
mengalami kenaikan dari 0,162 (3,24%)
pada konsentrasi sel 5 menjadi 1,249
(8,33%) pada konsentrasi sel 15. Hal
tersebut menunjukkan bahwa kemampuan
degradasi naftalena oleh bakteri laut
semakin
tinggi
seiring
dengan
meningkatnya konsentrasi sel. Adanya
peningkatan konsentrasi sel bakteri laut
mengakibatkan peningkatan produksi
enzim pendegradasi naftalena sehingga
degradasi naftalena oleh isolate bakteri laut
semakin cepat (Black, 2002). Hal tersebut
disebabkan enzim yang dihasilkan
memiliki sisi aktif yang akan berikatan
dengan substrat naftalena. Oleh karena itu,
jumlah sisi aktif enzim semakin meningkat
seiring dengan meningkatnya produksi
enzim yang menyebabkan degradasi
naftalena yang semakin cepat sehingga
bakteri dapat tumbuh dengan cepat.
Hasil uji optimasi konsentrasi sel
juga menunjukkan bahwa peningkatan sel
isolat LBF-1-0076 mengalami penurunan
dari 1,249 (8,33%) pada konsentrasi sel 15
menjadi 1,126 (5,63%) pada konsentrasi
sel 20. Hal tersebut dapat diakibatkan
adanya persaingan bakteri laut untuk
memenuhi kebutuhan sumber karbon dan
energinya (Auger, et al., 1995).
Ketersediaan naftalena pada konsentrasi
tertentu tidak seimbang dengan jumlah sel
bakteri yang membutuhkan naftalena untuk
pertumbuhan selnya sehingga bakteri laut
yang tidak mendapatkan naftalena sebagai
sumber
nutrisinya
akan terhambat
pertumbuhan selnya.
Identifikasi
isolat
LBF-1-0076
dilakukan melalui amplifikasi gen 16S
rDNA. Isolasi DNA terlebih dahulu
dilakukan dengan menggunakan kit
Wizard Genomic DNA Purification.
Hasil isolasi DNA dari isolat LBF-1-0076
ditunjukkan pada Gambar 5. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa ukuran DNA genom
isolat LBF-1-0076 memiliki ukuran pita
diatas 1 kb. Menurut Demerdash (2012),
molekul DNA kromosom bakteri memiliki
ukuran lebih dari 1 kb yaitu 21-23 kb.
DNA
kromosom
bakteri
memiliki
konformasi linier yang berukuran besar
sehingga menyebabkan molekul DNA sulit
melewati pori-pori gel agarosa.
25
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 19-31
(a)
(b)
Gambar 5. (a) Hasil isolasi DNA genom, M: Marker 1 kb, (b) Hasil amplifikasi gen 16S rDNA
DNA genom hasil isolasi digunakan
sebagai bahan amplifikasi gen 16S rDNA.
Gen 16S rDNA merupakan bagian dari
DNA yang sering digunakan untuk tujuan
taksonomi (Bottger, 1989). Gen tersebut
bersifat stabil, terdistribusi secara luas di
sel dan tersimpan dengan baik pada jarak
filogenik yang luas. Oleh karena itu,
identifikasi bakteri dilakukan melalui
analisis
gen
16S
rDNA
karena
ketersediaan datanya di bank data cukup
bagus
dan
mudah
diamplifikasi
menggunakan PCR (Pace, 1997). Hasil
amplifikasi gen 16S rDNA ditunjukkan
pada Gambar 5.
Hasil tersebut menunjukkan adanya
pita gen 16S rDNA dengan ukuran 1522
bp sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Patel (2001) yaitu gen 16S
rDNA bakteri memiliki ukuran ±1522. Gen
16S rDNA tersebut digunakan sebagai
bahan untuk identifikasi bakteri. Gen 16S
rDNA disekuensing dan dibandingkan
dengan database yang terdapat pada NCBI
dengan menggunakan BLAST (Basic
Local Alignment Search Tool). Hal
tersebut dilakukan untuk mengidentifikasi
jenis dari bakteri LBF-1-0076.
Penelitian
sebelumnya
terkait
identifikasi bakteri pendegradasi naftalena
yang diisolasi dari daerah tercemar PAH
telah banyak dilakukan. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Hedlund, et
al. (1999), Pseudomonas spp., Vibrio spp.,
Acinobacter spp., Marinobacter spp. dan
26
Sphingomonas spp. termasuk jenis bakteri
yang memiliki kemampuan mendegradasi
naftalena. Jenis bakteri lainnya yang
memiliki kemampuan untuk mendegradasi
naftalena yaitu Marinobacter hydrocarbonoclasticus dan Halomonas cupida
yang diisolasi dari teluk Persia dan laut
Kaspia (Ghasemi & Rahbari, 2015).
Menurut Pawar, et al. (2013), jenis bakteri
yang memiliki kemampuan mendegradasi
naftalena berasal dari genus Micrococcus
spp., Bacillus spp., Staphylococcus spp.
dan Pseudomonas spp.
Hasil BLAST sekuen gen 16S rDNA
dari isolat LBF-1-0076 ditunjukkan pada
Tabel 1. Hasil analisis gen 16S rDNA
menunjukkan bahwa isolat dengan kode
LBF-1-0076 memiliki kemiripan dengan
spesies Shewanella indicastrain 0102
dengan keidentikan 99%. Penelitian yang
dilakukan oleh Tahriz, et al. (2014)
menunjukkan bahwa bakteri genus
Shewanella memiliki kemampuan untuk
mendegradasi senyawa naftalena. Genus
Shewanella merupakan anggota dari kelas
Gammaproteobacteria (Anzai, et al.,
2000). Bakteri tersebut termasuk dalam
kelompok bakteri gram negatif, fakultatif
anaerobik, motil (memiliki flagella) dan
berbentuk batang. Shewanella indica dapat
tumbuh pada daerah yang memiliki suhu
10-45oC dan pH 6,5-10 (Verma, et al.,
2011). Pohon filogenik dari isolat LBF-10076 ditunjukkan pada Gambar 6.
Pertumbuhan Bakteri Laut Shewanella indica LBF-1-0076…… (Nuzul Farini, dkk.)
Tabel 1. Hasil BLAST dari sekuen gen 16S rDNA isolat bakteri laut LBF-1-0076
No.
Hasil BLAST
Keidentikan sekuen (%)
Identities
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Shewanella indicastrain 0102 (KP236237.1)
Shewanella algaestrain LTY2 (KC210854.1)
Shewanella algaestrain LTB3 (KC210850.1)
Shewanella algaestrain LTB1 (KC210849.1)
Pectobacterium carotovorumstrain CMG1ad (EU162034.1)
Bacterium SCSIO16413 (KX254307.1)
Bacterium SCSIO16397 (KX254306.1)
Shewanella sp. ECSMB 56 (KM369861.1)
Rhodobacter capsulatusstrain PSB-06 (FJ866784.1)
Marine bacterium 41JIA3 (EU268272.1)
99
99
99
99
99
99
99
99
99
99
1635/1635
1635/1635
1635/1635
1635/1635
1635/1635
1629/1629
1629/1629
1629/1629
1618/1618
1618/1618
Gambar 6. Pohon filogenik dari isolat LBF-1-0076
±377 bp
Gambar 7. Hasil amplifikasi gen naftalena dioksigenase dari isolat LBF-1-0076. M: Marker 100 bp
Isolat LBF-1-0076 diduga memiliki
kemampuan untuk mendegradasi naftalena
karena memiliki enzim pendegradasi
naftalena berupa naftalena dioksigenase.
Oleh karena itu, deteksi gen naftalena
dioksigenase juga dilakukan dalam
penelitian ini. Hasil amplifikasi gen
naftalena dioksigenase dari isolat LBF-10076 dapat ditunjukkan pada Gambar 7.
Hasil tersebut menunjukkan adanya
pitagen naftalena dioksigenase dengan
ukuran sekitar 377 bp.
Menurut Minovaska, et al. (2013),
gen naftalena dioksigenase memiliki
27
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 19-31
ukuran sekitar 377 bp. Pengaturan gen-gen
pendegradasi naftalena pada bakteri telah
dilaporkan dan studi awal berasal dari
karakterisasi bakteri Pseudomonas sp.
NCBI 9816-4 (Kauppi, et al., 1998). Hasil
studi tersebut menunjukkan bahwa gen-gen
yang mengekspresikan enzim naftalena
dioksigenase yaitu nahAa, nahAb,
nahAcAd. Naftalena dioksigenase (EC
1.14.12.12) merupakan enzim yang
mengkatalisis reaksi oksidasi naftalena
menjadi
(+)-cis-(1R,2S)-dihidroksi-1.2dihidronaftalena (Kauppi, et al., 1998).
Senyawa cis-naftalena dihidrodiol tersebut
akan terdehidrogenasi menjadi 1,2dihidroksinaftalena oleh enzim cisdihidrodiol dehidrogenase. Senyawa 1,2dihidroksinaftalena tersebut dimetabolisme
menjadi senyawa antara (intermediate)
yaitu salisilat. Salisilat mengalami proses
dekarboksilasi menjadi katekol dan
mengalami proses metabolisme lebih lanjut
oleh pembelahan cincin melalui jalur
gentisat dan orto atau meta untuk
menghasilkan prekursor yang terintegrasi
dengan siklus asam sitrat.
4. KESIMPULAN
Konsentrasi
naftalena
dan
konsentrasi sel berpengaruh terhadap
bakteri laut pendegradasi naftalena LBF-10076. Isolat bakteri laut LBF-1-0076
memiliki kemampuan yang optimal untuk
mendegradasi
naftalena
dengan
peningkatan sel 37,3% pada konsentrasi
naftalena75 ppm dan peningkatan sel
sebesar 8,33% pada konsentrasi sel 15.
Isolat
bakteri
laut
LBF-1-0076
teridentifikasi sebagai Shewanella indica.
Bakteri laut tersebut memiliki enzim
pendegradasi naftalena berupa naftalena
dioksigenase. Oleh karena itu, isolat LBF1-0076 dapat digunakan sebagai agen
bioremediasi untuk mengatasi masalah
pencemaran minyak bumi dalam perairan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini didukung oleh Project
of
SATREPS
Development
of
Internationally Standardized Microbial
Resources Center as a Core of
Biological Resources Center to Promote
28
Lifa Science and Research and
Biotechnology 2011-2016 dan DIPA
Tematik Puslit Bioteknologi LIPI 2016.
DAFTAR PUSTAKA
Alley, J.F. & Brown, L.R.(2000). Use of
sublimation to prepare solid microbial
media with water-insoluble substrates.
Applied
and
Enviromental
Microbiology, 66(1), 439-442.
Anzai, Y., Kodo, Y. & Oyaizu, H. (2000). The
phylogeny of the genera Chrysomonas,
Flavimonas and Pseudomonas supports
synonymy of these three general.
International Journal of Systematic
Bacteriology, 47, 249-251.
Auger, R.L., Jacobson, A.M. & Domach, M.M.
(1995). Effect of nonionic surfactant
addition on bacterial metabolism of
naphthalene: assessment of toxicity and
overflow metabolism potential. Journal
of Hazardous Materials, 43, 263-272.
Black, J.G. (2002). Microbial Principles and
Exploration. Amerika: John Wiley &
Sons Inc.
Bottger, E.C. (1989). Rapid determination of
bacterial ribosomal RNA sequences by
direct sequencing of enzymatically
amplified DNA, Federation of Europan
Microbiological Societies Letters, 65,
171-176.
Choi, J.H., Jung, H.Y., Kim, H.S. & Cho, H.G.
(2000). PhyloDraw: a phylogenetic tree
drawing
system.
Bioinformatics
Application Note, 16(11), 1056-1058.
Demerdash, H.A.M.E. (2012). A simple and
expensive procedure for chromosomal
DNA extraction from Streptococcus
thermophilus
strains.
Middle-East
Journal Scientific Research, 11(1), 1318.
Dykstershouse, S.E., Gray, J.P., Herwig, R.P.,
Canolara & Staley, J.T. (1995).
Cycloclasticus pugetii gen nov sp nov
on aromatic hydrocarbon degrading
bacterium from marine sadiments.
International Journal of Systematic
Bacteriology, 116-123.
Ghasemi, S.M. & Rahbari, M. (2015).
Characterization
of
naphthalenedegrading bacteria isolated from the
Persian Gulf and the Caspian Sea as
Pertumbuhan Bakteri Laut Shewanella indica LBF-1-0076…… (Nuzul Farini, dkk.)
potential agents for naphthalene
removal from polluted environments.
Iranian Journal of Environmental
Technology, 1(1), 1-8.
Goyal, A.K. & Sylstra, G.J. (1997). Genetics of
naphtalene
and
phenanthrene
degradation
by
Comamonas
testosteroni. Jounal of Indonesian
Microbiology Biotechnology, 19, 401407.
Harwati, T.U., Kasai, Y., Kodarma, Y.,
Susilaningsih, D. & Watanabe, K.
(2009).
Tropicibacter
naphthalenivorans gen nov sp nov a polycyclic
aromatic
hydrocarbon
degrading
bacterium isolated from Semarang Port
in Indonesia. International Journal of
Systematic Bacteriology, 59, 392-396.
Hedlund, B.P., Geiselbrecht, A.D., Bair, T.J. &
Staley, J.T. (1999). Polycyclic aromatic
hydrocarbon degradation by a new
marine
bacterium,
Neptunomonas
naphthovorans gen. nov., sp. nov.
Appllied Environmental Microbiology,
65(1), 251-259.
Heitkamp, M.A., Freeman, J.P. & Cerniglia,
C.E.
(1987).
Naphthalene
Biodegradation
in
Environmental
Microcosms Estimates of Degradation
Rates
and
Characterization
of
Metabolites. Appllied Environmental
Microbiology, 53, 129-139.
Iwabuchi, T. & Harayama, S. (1997).
Biochemical
and
genetic
characterization of 2-carboxybenzaldehyde dehydrogenase an enzyme
involved in phenanthrene degradation
by Nocardioides sp strain KP7. Journal
Bacteriology, 179, 6488-6494.
John, R.C., Essien, J.P., Akpan, S.B. &
Okpokwasili, G.C. (2012). Polycyclic
aromatic
hydrocarbon-degrading
bacteria from aviation fuel spill site at
Ibeno,
Nigeria.
Bulletin
of
Environmental Contamination and
Toxicology, 88, 1014-1019.
Jones, L.G., Laurie, A.D., Hunter, D.W.F. &
Fraser, R. (1999). Analysis of catabolic
genes for naphtalene and phenanthrene
degradation in contaminated New
Zealand soils. Federation of Europan
Microbiological Societies Microbiology
Ecology, 29, 69-79.
Kamil, N.A.F.M. & Talih, S.A. (2015).
Biodegradation of PAHs in soil:
influence of initial PAHs concentration.
Soft Soil Engineering International
Conference, 136, 1-6.
Kappell, A.D., Wie, Y., Newton, R.J.,
Nostrand, J.D.V., Zhou, J., Mclellan,
S.L. & Hristova, K.R. (2014). The
polycyclic
aromatic
hydrocarbon
degradation potential of gulf of mexico
native coastal microbial communities
after deepwater horizon oil spill.
Frontiers in Microbiology, 5, 1-14.
Kauppi, B., Lee, K., Ccarredano, E., Parales,
R.E., Gibson, D.T., Eklund, H. &
Ramaswamy, S. (1998). Structure of an
aromatic-ring-hydroxylating dioxygen
ase-naphthalene
1,2-dioxygenase.
Structure, 6(5), 571-586.
Lakshmi, M.B. & Velan, M. (2011).
Biodegradation of the toxic polycyclic
aromatic hydrocarbon, phenanthrene by
an indigenously isolated Alcaligenes
faecalis MVMB1 strain. International
Conference on Environmental Science
and Technology, 6, 440-444.
Marston, C.P., Pereira, J., Ferguson, J., Fischer,
L., Hedstrom, O., Dashwood, W.M. &
Baird, W.M. (2001). Effect of a
complex environmental mixture from
coal tar containing polycyclic aromatic
hydrocarbons
(PAH)
on
tumor
initiation, PAH-DNA binding and
metabolic activation of carcinogenic
PAH
in
mouse
epidermis.
Carcinogenesis, 22, 1077-1086.
Meer, V.D. (2006). Environmetal pollution
promotes selection of microbial
degradation pathways. Frontiers in
Ecology and the Environment, 4(1), 3542.
Minovaska, G., Narancic, T., Mandic, M.,
Senerovic, L., Vvasikevic, B. &
Nikodinovic, R. (2013). Limited
aromatic pathway genes diversity
amongst aromatic compound degrading
soil bacterial isolates. Genetika, 45(3),
703-716.
Murniasih, T., Yopi & Budiawan, (2009).
Biodegradasi fenantren oleh bakteri laut
Pseudomonas sp. Kalp3b22 asal Kumai
Kalimantan Tengah. Makara Sains,
13(1), 77-80.
29
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 19-31
Nursyirwani, & Amolle, K.C. (2007). Isolasi
dan
karakterisasi
bakteri
hidrokarbonoklastik
dari
perairan
Dumai dengan sekuen 16S rDNA. Ilmu
Kelautan, 12(1), 12-17.
Pace, N. (1997). A molecular view of
microbiol diversity and the biosphere.
Science, 276, 734-740.
Park, W., Jeon, C.O., Cadillo, H., DeRito, C. &
Madsen, E.L. (2004). Survival of
naphtalene-degrading
Pseudomonas
putida NCIB 9816-4 in naphthaleneamended soils: toxicity of naphthalene
and
its
metabolites.
Applied
Microbiology and Biotechnology, 64(3),
429-435.
Patel, J. (2001). 16S rRNA Gene sequencing
for bacterial pathogen identification in
the clinical laboratory. Molecular
Diagnostics, 6, 313-321.
Pawar, A.N., Ugale, S.S., More, M.G., Kokani,
N.F. & Khandelwal, S.R. (2013).
Biological degradation of naphthalene:
a new era. Journal Bioremediation &
Biodegradation, 4(7), 1-5.
Pumphrey, G.M. & Madsen, E.L. (2007).
Naphthalene metabolism and growth
inhibition
by
naphthalene
in
Polaromonas
naphthalenivorans
strain CJ2. Microbiology, 153, 37303738.
Puntus, I.F., Ryazanova, L.P., Zvonarev, A.N.,
Funtikova, T.V. & Kulakovskaya,
T.V. (2015). The Role of Mineral
Phosphorus
Compounds
in
Naphthalene
Biodegradation
by
Pseudomonas
Putida.
Apllied
Biochemistry
and
Microbiology,
51(2), 202-208.
Ramos, J.L., Duque, E., Gallegos, M.T.,
Godoy, P., Gonzales, M.I., Rojas, A.,
Teran, W. & Segura, A., (2002).
Mechanism of solvent tolerance in g
negative bacteria. Annual Reviews in
Microbiology, 56(1), 743-768.
Riffani, R. (2010). Isolasi bakteri pendegradasi
phenanthrene dari Batanta-Salawati
Raja Ampat Papua. Jurnal Biologi
Indonesia, 6(2), 153-161.
Rokade,
30
Y.B. & Sayyed, R.Z. (2009).
Naphtalene derivates: a new range of
antimicrobials with high therapeutic
value. Journal of Chemistry, 2(4),
972-980.
Samanta, S.K., Singh, O.V. & Jain, R.K.
(2002). Polycyclic aromatic hydrocarbons: environmental pollution and
bioremediation. Trends in Biotechnology, 20(6), 243-248.
Seo, J.S., Keum, Y.S.& Li, Q.X. (2009).
Bacterial degradation of aromatic
compounds.International Journal of
Environmental Research and Public
Health, 6, 278-309.
Tahriz, V., Hamidi, A., Rahimi, E., Eramabadi,
M., Eramabadi, P., Yahaghi, E.,
Darian, E.K. & Hejazi, M.S. (2014).
Isolation and characterization of
naphtalene-degradation bacteria from
Qurugol lake located at Azerbaijan.
Biosciences Biotechnology Research
Asia, 11(2), 715-722.
Teramoto, M., Suzuki, M., Okazaki, F.,
Hatmanti, A. & Harayama, S. (2010).
Oceanobacter-related bacteria are
important for the degradation of
petroleum aliphatic hydrocarbons in
the tropical marine environment.
Microbiology, 155, 3362-3370.
Thompson, J.D., Gibson, T.J., Plewniak, F.,
Jeanmougin, F. & Higgins, D.G.
(1997). The CLUSTAL_X windows
interface: flexibel strategies for
multiple sequence alignment aided by
quality analysis tool. Nucleic Acid
Research, 25(24), 4876-4882.
Thontowi, A. & Yopi. (2011). Alkane
degradation and detection of monoxygenase gene from Alcanivorax sp.
from
Jakarta
Bay.
Annales
Bogorienses, 15(2), 25-30.
Thontowi, A., Rahmani, N. & Yopi. (2013).
Polyaromatic hydrocarbon degradation and dioxygenase gene detection
from Alteromonas alvinellae Bt05.
Annales Bogorienses, 17(1), 33-42.
Verma, P., Pandey, P.K., Gupta, K., Kim, H.J.,
Baik, K.S., Seong, C.N., Patole, M.S.
& Shouce, Y.S. (2011). Shwenella
indica sp. nov., isolated from sediment
of the Arabian Sea. International
Journal
of
Systematic
and
Evolutionary Microbiology, 61, 20582064.
Pertumbuhan Bakteri Laut Shewanella indica LBF-1-0076…… (Nuzul Farini, dkk.)
Ward, O.P. (2004). The industrial sustainability
of bioremediation processes. Journal
of Industrial Microbiology and
Biotechnology, 31, 1-4.
Xue, W. & Warshawsky, D., (2005). Metabolic
activation
of
polycyclic
and
heterocyclic aromatic hydrocarbons
and DNA damage: a review.
Toxicology and Applied Pharmacology, 206, 73-93.
Yetti, E., Thontowi, A., Yopi & Lisdiyanti, P.
(2015). Screening of marine bacteria
capable
of
degrading
various
polyaromatic hydrocarbons. Squalen
Bulletin of Marine & Fishereies
Postharvest & Biotechnology, 10(3),
121-127.
Yetti, E., Thontowi, A. & Yopi. (2016).
Polycyclic
aromatic
hydrocarbon
degrading bacteria from the Indonesian
marine environment. Biodiversitas,
17(2), 857-864.
31
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017
32
Karakterisasi Mutu dan Nilai Gizi Nasi Mocaf…… (Enny Hawani Loebis, dkk.)
KARAKTERISASI MUTU DAN NILAI GIZI NASI MOCAF DARI
BERAS ANALOG
(Characterization of Quality and Nutrition Value of Cooked Rice Mocaf from Rice
Analog)
Enny Hawani Loebis, Lukman Junaidi dan Irma Susanti
Balai Besar Industri Agro, Ir. H. Juanda No. 11, Bogor 16122, Indonesia
e-mail: [email protected]
Naskah diterima 11 Agustus 2016, revisi akhir 28 Februari 2017 dan disetujui untuk diterbitkan
27 Februari 2017
ABSTRAK. Ketergantungan pada konsumsi beras perlu dikurangi untuk mengatasi
permasalahan pasokan beras dan masalah kesehatan. Alternatif yang dapat diusulkan
adalah dengan pembuatan beras analog berbasis mocaf. Penelitian ini bertujuan
mempelajari karakterisasi mutu dan nilai gizi nasi mocaf dari beras analog. Beras
mocaf dibuat berdasarkan campuran mocaf, tepung beras, air dan minyak goreng
sawit, dengan komposisi mocaf 50, 60 dan 70%. Beras mocaf kemudian dimasak
dengan cara menggunakan rice cooker, pengukusan atau microwave. Hasil penelitian
menunjukkan beras mocaf 60% menghasilkan nasi mocaf dengan nilai kalori tertinggi.
Pemasakan terbaik adalah dengan cara pengukusan dengan kandungan gizi dan nilai
kalori yang dihasilkan terdiri dari 49,15% air; 2,05% lemak; 2,09% protein; 46,45%
karbohidrat; 35,8 mg/kg besi; 403,4 mg/kg kalium; 193,8 mg/kg kalsium, 2,0 mg/kg
vitamin B1 dan 212,53 kal/100 g nilai kalori.
Kata kunci: beras, karakterisasi mutu, mocaf, nilai gizi
ABSTRACT. Dependence on rice consumption needs to be reduced to overcome the
problems of rice supply and health problems. Alternative proposed is producing mocafbased rice analog. This research aims to study the quality characterization and
nutritional value of mocaf-based rice analog. Rice mocaf was made based on mixture of
mocaf, rice flour, water and palm oil using variable: 50, 60 and 70% mocaf. Mocaf
rice then cooked by using rice cooker, steamer or microwave. The results showed mocaf
rice 60% yield highest calorific value. The best cooking method was steaming that
resulted nutrient content and calorific value consisting of 49.15% water; 2.05% fat;
2.09% protein; 46.45% carbohydrate; 35.8 mg/kg of iron; 403.4 mg/kg of potassium;
193.8 mg/kg of calcium, 2.0 mg/kg of vitamin B1 and 212.53 ca/100 g calorific value.
Keywords: mocaf, nutritional value, quality characterisation, rice
1. PENDAHULUAN
Beras merupakan bahan pangan
pokok yang dikonsumsi sebagai sumber
kalori oleh masyarakat Indonesia (BPS,
2014). Volume konsumsi beras yang tinggi
menyebabkan pemerintah bergantung pada
impor beras. Disamping itu konsumsi
karbohidrat
berlebih
berpotensi
meningkatkan resiko penyakit diabetes dan
obesitas (Santoso & Rianti, 2013).
Diversifikasi pangan menjadi solusi
alternatif bagi masyarakat untuk mengatasi
hal ini sekaligus dalam rangka mendukung
ketahanan pangan. Salah satu produk
diversifikasi pangan yang saat ini banyak
dikembangkan adalah beras analog. Beras
analog adalah beras yang dibuat dari non
padi dengan kandungan karbohidrat
mendekati atau melebihi beras dengan
bentuk menyerupai beras dan dapat berasal
dari kombinasi tepung lokal (tepung
singkong, sagu & tepung jagung) dan padi
33
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 33-46
(Samad, 2003; Budijanto & Yulianti, 2012;
Yuwono & Zulfiah, 2015).
Beberapa penelitian beras analog
terkait
dengan
proses
pembuatan,
komposisi formulasi dan karakterisitik
beras analog yang dibuat dari kombinasi
dua atau beberapa sumber karbohidrat,
diantaranya mocaf (modified cassava
flour) (Loebis, dkk., 2015), tepung beras,
tepung jagung, tepung sorgum, sagu dan
pati (Subagio, 2007; Widara, 2012;
Yuwono & Zulfiah, 2015). Proses
pembuatan beras analog sudah pernah
dilakukan dengan menggunakan metode
granulasi namun beras analog yang
dihasilkan mempunyai karakteristik yang
masih jauh dari yang diharapkan karena
masih menghasilkan beras dengan bentuk
bulat, densitas rendah dan mudah pecah
(Budi, dkk., 2013). Kendala utama dalam
pengembangan beras analog selama ini
yaitu aspek penerimaan produk dalam hal
bentuk dan warna yang berbeda dengan
beras pada umumnya sehingga dapat
mempengaruhi
psikologis
konsumen
dalam menentukan pilihannya terhadap
beras analog tersebut (Agusman, dkk.,
2014).
Saat ini penelitian beras mocaf
hanya sebatas karakteristik fisika dan
kimia saja, belum menyentuh cara
pemasakan yang ideal dan studi kandungan
gizi serta kalori nasi mocaf. Oleh karena
itu, diperlukan penelitian mengenai
pengaruh pemasakan beras mocaf menjadi
nasi mocaf terhadap kandungan gizi dan
kalorinya sehingga diharapkan dengan
adanya penelitian ini dapat memberikan
pengetahuan dan pemahaman bagi
masyarakat tentang nilai gizi dan kalori
nasi dari beras mocaf dan cara
pemasakannya
yang ideal.
Tujuan
penelitian ini adalah untuk menentukan
kandungan gizi dan nilai kalori pada nasi
mocaf dan cara pemasakan terbaik beras
mocaf menjadi nasi mocaf. Hasil penelitian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat
kepada pelaku industri produsen pangan
dan masyarakat untuk dapat memanfaatkan
beras mocaf sebagai sumber pangan
alternatif sekaligus sebagai bagian dari
diversifikasi pangan dan mendukung prog
ketahanan pangan nasional.
34
2. METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan pada
penelitian ini berupa mocaf (Loebis &
Meutia, 2012), tepung beras, air dan
minyak goreng yang diperoleh dari Pasar
Bogor. Peralatan yang digunakan terdiri
dari seperangkat unit mesin pencetak beras
yaitu mesin mixer berkapasitas 100
kg/batch/jam dengan kecepatan 25 rpm,
alat pencetak beras tipe twin screw
extruder dan alat penepung tipe disk mill,
model FFC 15 dengan kecepatan 8.500
rpm, double screw yang dilengkapi dengan
motor listrik 2 HP, 380 volt, 2.840 rpm,
rangka mild steel dengan kapasitas 10
kg/jam. Peralatan pembuatan beras mocaf
menggunakan
ekstruder
milik
PT
Kertalaksana, Cimahi, Bandung. Peralatan
pemasakan
meliputi
rice
cooker,
microwave, kompor, dandang pengukus,
timbangan, pengaduk nasi, baskom, wadah
tahan microwave,
termometer
dan
stopwatch. Peralatan pendukung yang
digunakan adalah neraca digital Mettler
Toledo, oven Memmert, kotak timbang,
soxhlet kondensor, tanur, spektrofotometer
UV-Vis Shimadzu UV-2450PC, Kjeltec
FOSS Digester, Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi (KCKT) Shimadzu, Atomic
Absorption Spectrophotometry (AAS)
Varian 280FS AA dan perangkat gelas
laboratorium.
Beras mocaf dibuat berdasarkan
campuran mocaf, tepung beras, air dan
minyak goreng sawit. Campuran mocaf
dan tepung beras sebanyak 10 kg di mixer
selama 5 menit kemudian ditambahkan
300 g minyak goreng sawit dan 2 kg air,
lalu diaduk dalam mixer sampai rata.
Campuran bahan tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam screw extruder
untuk proses pencetakan. Dalam penelitian
ini ditetapkan beberapa variasi komposisi
mocaf yaitu 50, 60 dan 70%. Ada tiga cara
pemasakan nasi mocaf yang dipilih yaitu
pemasakan dengan menggunakan rice
cooker, pengukusan dan microwave.
Pemasakan Beras Mocaf Menjadi Nasi
Mocaf
Pemasakan beras mocaf dilakukan
dengan tiga perlakuan yaitu pemasakan
Karakterisasi Mutu dan nilai Gizi Nasi Mocaf…… (Enny Hawani Loebis, dkk.)
dengan menggunakan rice cooker,
pengukusan dan microwave. Formulasi
ketiga pemasakan tersebut terdiri dari ±
200 g beras mocaf dituangkan ke dalam
alat pemasakan (rice cooker, dandang, atau
microwave) dan ditambahkan air ± 300 ml
kemudian dimasak sampai matang. Hasil
masakan berupa nasi dimasukkan ke dalam
plastik food grade dan setelah dingin,
kemasan plastik ditutup rapat selanjutnya
siap dianalisis.
Suhu pemasakan, lama pemasakan
dan jumlah air pada proses pemasakan nasi
mocaf merupakan faktor tetap tergantung
pada jenis dan peralatan pemasakan.
Apabila suhu pemasakan, lama pemasakan
dan jumlah air tidak tepat maka nasi mocaf
yang dihasilkan akan terlalu keras atau
terlalu lembek (menjadi bubur). Suhu
pemasakan, lama pemasakan dan jumlah
air pada proses pemasakan nasi mocaf
yang digunakan pada penelitian ini
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Loebis, dkk., (2013). Penelitian utama
meliputi perhitungan nilai gizi, kalori dan
karakterisasi mutu beras mocaf dengan
cara analisis fisik dan kimia beras mocaf
dan nasi mocaf.
Karakterisasi Nilai Gizi
Nasi mocaf dikarakterisasi dengan
menggunakan metode uji SNI 2891-1992
untuk parameter kadar air, kadar abu,
kadar lemak, kadar protein dan kadar pati.
Parameter uji lainnya berupa bobot seribu
butir dan densitas kamba (Widara, 2012),
kadar karbohidrat (Webster-Gandy, et al.,
2014), kadar vitamin B1 (SNI 3751-2009),
kadar mineral (AOAC Method 968.081996), nilai kalori, kadar amilosa dan
kadar amilopektin (ISO/NP 6647-2 2010).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai gizi nasi mocaf dievaluasi
melalui pengujian parameter fisik dan
kimia meliputi uji bobot seribu butir dan
densitas kamba, kadar air, kadar abu,
kadar lemak, kadar karbohidrat, kadar
vitamin B1, kadar mineral, nilai kalori,
kadar pati, kadar amilosa dan kadar
amilopektin. Hasil pengujian nasi mocaf
dibandingkan dengan data sekunder
pengujian beras IR-64 (Setiyaningsih,
2008) dan nasi beras putih (Depkes, 1995),
untuk membandingkan nilai gizi beras
mocaf dan nasi mocaf yang dihasilkan. Hal
ini dimaksudkan untuk menilai potensi
nasi mocaf yang dihasilkan untuk
menggantikan nasi beras putih. Beras IR64
dijadikan
sebagai
pembanding
didasarkan pada data bahwa Beras IR-64
merupakan salah satu varietas beras yang
paling banyak dikonsumsi masyarakat
(Saheda, 2008).
Bobot Seribu Butir dan Densitas Kamba
Bobot seribu butir beras dapat
menunjukkan bobot beras per butirnya.
Analisis bobot seribu butir dilakukan untuk
mengetahui keseragaman ukuran beras
(Widara, 2012). Bobot seribu butir dapat
digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
campuran dalam sampel beras di pasaran.
Selain itu juga dapat digunakan untuk
mengetahui kemurnian suatu varietas beras
(Hernawan & Meylani, 2016). Hasil
analisis bobot seribu butir ditunjukkan
pada Tabel 1.
Tabel 1 menunjukkan bobot seribu
butir beras mocaf dengan komposisi 50,
60 dan 70%, berturut-turut adalah 0,026 g,
0,029 g dan 0,030 g. Bobot seribu butir
semua jenis beras mocaf lebih besar dari
Tabel 1. Hasil Analisis Fisik Bobot Seribu butir dan Densitas Kamba
Jenis Beras Mocaf
Beras Mocaf 50:50
Beras Mocaf 60:40
Beras Mocaf 70:30
Beras Padi IR-64
Bobot 1000 Butir (g)
Bobot perbutir (g)
26,3
28,6
29,9
19,0*
0,026
0,029
0,030
0,019*
Densitas Kamba
(g/ml)
0,69
0,70
0,70
0,79**
Sumber: * Setiyaningsih (2008)
** Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2008)
35
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 33-46
beras IR-64 (yang belum dimasak), hal ini
dapat disebabkan oleh pengaruh proses
pembuatan
beras
mocaf
yang
menggunakan mesin ekstruder.
Menurut Widara (2012), proses yang
paling berpengaruh pada pencetakan beras
analog adalah kecepatan screw dan
kecepatan cutter. Kombinasi kedua
parameter tersebut dapat menentukan
bentuk beras analog. Jika kecepatan
dikurangi maka ukuran beras analog
menjadi besar dan begitu pula sebaliknya.
Densitas kamba beras analog
ditentukan untuk mengetahui volume dan
porositas beras. Densitas kamba suatu
bahan pangan penting untuk diketahui
terutama dalam hal pengemasan produk,
penyimpanan dan transportasi. Nilai
densitas kamba yang besar akan
membutuhkan tempat yang lebih kecil
begitu pula sebaliknya (Setiawati, dkk.,
2014). Berdasarkan data pada Tabel 1,
diketahui densitas kamba beras mocaf
dengan komposisi 50, 60 dan 70%,
berturut-turut adalah 0,69 g/ml, 0,70 g/ml
dan 0,70 g/ml, lebih kecil dari densitas
kamba Beras IR-64. Densitas kamba beras
analog yang rendah menunjukkan beras
analog memiliki porositas yang tinggi.
Porositas yang tinggi dapat dipengaruhi
oleh kandungan gizi beras analog maupun
proses pengeringan pasca pencetakan beras
(Widara, 2012).
Kadar Air
Hasil analisis kadar air beras mocaf
dan nasi mocaf ditunjukkan pada Gambar
1 dan Gambar 2. Berdasarkan grafik pada
Gambar 1 dapat dilihat bahwa kadar air
beras mocaf tidak berbeda jauh dengan
kadar air beras IR-64. Kadar air beras
mocaf memenuhi standar SNI Beras (SNI
6128:2015) dengan kadar air maksimal
14%. Kadar air yang tidak berbeda jauh
tersebut dikarenakan dalam proses
pembuatannya menggunakan alat ekstruder
dengan suhu yang sama dan kemudian
dilanjutkan
menggunakan
cara
pengeringan yang sama yaitu dengan sinar
matahari (Loebis, dkk., 2015). Hasil
analisis kadar air nasi mocaf pada 3(tiga)
perlakuan pemasakan ditunjukkan pada
Gambar 2. Kadar air nasi mocaf lebih
rendah dibandingkan kadar air nasi beras
putih karena kandungan pati nasi mocaf
lebih rendah dibandingkan nasi beras putih
sehingga air tidak banyak terserap oleh
beras mocaf saat pemasakan.
Untuk
mengevaluasi
cara
pemasakan nasi mocaf terbaik maka
dilakukan pengamatan proses pemasakan
dengan menggunakan rice cooker,
Gambar 1. Hasil analisis kadar air beras mocaf
(Setiyaningsih, 2008)
Gambar 2. Hasil analisis kadar air nasi mocaf (Depkes, 1995)
36
Karakterisasi Mutu dan nilai Gizi Nasi Mocaf…… (Enny Hawani Loebis, dkk.)
pengukusan dan microwave yang dapat
dilihat pada Tabel 2. Noviasari, dkk.,
(2013) menyatakan bahwa beras analog
dimasak menggunakan rice cooker dengan
perbandingan air dan beras 1:1 dan waktu
rehidrasi beras analog berkisar 10 menit.
Hasil analisis waktu rehidrasi beras analog
dapat dipengaruhi oleh konsentrasi pati
(Lumba, 2013). Daya serap air dipengaruhi
oleh komposisi pati di dalam bahan pangan
(Heti & Widowati, 2009). Menurut Harper
(1981), bahan pangan yang mengandung
kadar pati yang tinggi akan semakin
mudah menyerap air karena tersedianya
molekul amilopektin yang bersifat reaktif
terhadap molekul air sehingga jumlah air
yang terserap ke dalam bahan pangan
semakin banyak. Rumambi (2011)
menyatakan daya serap air terhadap beras
analog dapat dipengaruhi oleh kandungan
karbohidrat, protein, serat kasar dan
komponen lainnya.
Berdasarkan analisis sidik ragam,
perlakuan
pemasakan
memberikan
pengaruh nyata terhadap hasil analisis
kadar air karena nilai signifikansi < 0,05.
Uji Duncan menunjukkan kadar air nasi
mocaf berbeda nyata antara kadar air nasi
mocaf
hasil
pemasakan
dengan
menggunakan rice cooker dengan kadar
air nasi mocaf menggunakan pengukusan.
Hal ini disebabkan karena kondisi
pemasakan
nasi
mocaf
dengan
menggunakan rice cooker membuat beras
kontak
langsung
dengan
medium
pemanasan yang mengakibatkan banyak
air terserap.
Kadar Abu
Hasil analisis kadar abu beras mocaf
dan nasi mocaf ditunjukkan pada Gambar
3 dan Gambar 4. Kadar abu menunjukkan
besarnya kandungan mineral dalam suatu
bahan (Winarno, 2008). Namun, kadar abu
tidak selalu ekuivalen dengan bahan
mineral karena adanya beberapa mineral
yang hilang selama volatilisasi atau
interaksi antar konstituen (Sulaeman &
Mudjajanto, 1991). Hasil analisis kadar
abu pada beras mocaf dengan komposisi
50, 60 dan 70% tidak berbeda jauh dengan
kadar abu beras IR-64 dan beras putih.
Gambar 3. Hasil analisis kadar abu beras mocaf
Tabel 2. Hasil Pengamatan Suhu dan Waktu Pemasakan Beras Mocaf
Cara
Pemasakan
Bobot
Beras (g)
Penambahan
Air
(ml)
Komposisi
Beras Mocaf
(%)
50
Rice Cooker
Pengukusan
Microwave
200
200
200
300
300
300
Hasil Pengamatan
Waktu
Suhu
Pemasakan
(oC)
(menit)
10
99
60
10
101
70
10
102
50
12
89
60
11
89
70
11
90
50
24
90
60
24
89
70
24
89
37
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 33-46
Gambar 4. Hasil analisis kadar abu nasi mocaf
Hasil analisis kadar abu nasi mocaf
berdasarkan 3(tiga) proses perlakuan
pemasakan ditunjukkan pada Gambar 4.
Berdasarkan analisis sidik ragam pada
tingkat kepercayaan 95%, jenis nasi dan
perlakuan pemasakan tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap hasil analisis
kadar abu. Penurunan kadar abu dari beras
menjadi nasi dapat disebabkan oleh proses
perendaman
dengan
air
sebelum
pemasakan yang dapat melarutkan zat
anorganik pada permukaan beras mocaf.
Kadar Lemak
Hasil pengujian kadar lemak beras
mocaf dan nasi mocaf ditunjukkan pada
Gambar 5 dan Gambar 6. Berdasarkan
grafik pada Gambar 5, dapat dilihat bahwa
kadar lemak pada beras mocaf mendekati
kadar lemak beras IR-64. Lemak yang
terkandung pada beras mocaf berasal dari
penambahan minyak goreng pada proses
pembuatan beras mocaf. Lemak dapat
berfungsi sebagai pelumas pada mesin
ekstruder
sehingga
mempermudah
pengeluaran dan pencetakan adonan
(Setiawati, 2014). Kadar lemak pada beras
mocaf dengan komposisi 70% lebih tinggi
dibandingkan dengan kadar lemak beras
lainnya karena kandungan lemak dalam
singkong (tepung mocaf) lebih besar dari
beras (tepung beras) (Depkes, 2005).
Hasil analisis kadar lemak nasi
mocaf ditunjukkan pada Gambar 6.
Analisis sidik ragam pada tingkat
kepercayaan 95% menunjukkan bahwa
jenis nasi dan perlakuan pemasakan tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap hasil
analisis kadar lemak. Kadar lemak
38
meningkat setelah beras mocaf dimasak
menjadi nasi. Pemanasan menyebabkan
lemak terekstraksi keluar dari dalam beras.
Kadar lemak beras mocaf yang
rendah dihasilkan dari pemasakan dengan
cara menggunakan rice cooker. Pemasakan
dengan
menggunakan
rice
cooker
menghasilkan suhu pemasakan yang lebih
tinggi
dibandingkan
dengan
cara
pemasakan lainnya. Pada umumnya setelah
proses pengolahan bahan pangan, akan
terjadi kerusakan lemak yang terkandung
di dalamnya. Tingkat kerusakannya sangat
bervariasi tergantung suhu yang digunakan
serta lamanya waktu proses pengolahan.
Semakin tinggi suhu yang digunakan maka
kerusakan lemak akan semakin tinggi
(Palupi, dkk., 2007).
Gambar 5. Hasil analisis kadar lemak beras
mocaf
Kadar Protein
Hasil pengujian kadar protein beras
mocaf dan nasi mocaf ditunjukkan pada
Gambar 7 dan Gambar 8. Beras mocaf
dibuat dari komposisi tepung mocaf
dengan kadar protein 1,25% dan tepung
Karakterisasi Mutu dan nilai Gizi Nasi Mocaf…… (Enny Hawani Loebis, dkk.)
Gambar 6. Hasil analisis kadar lemak nasi mocaf
beras dengan kadar protein 8,5% (Loebis,
dkk., 2013) sehingga diharapkan kadar
proteinnya mendekati kadar protein beras
padi. Berdasarkan grafik pada Gambar 7
dapat dilihat bahwa kadar protein pada
beras mocaf berkisar 3,3-4,3%, lebih
rendah dari kadar protein beras IR-64
(10,9%). Hal ini dapat disebabkan oleh
proses ekstruksi panas dalam pembuatan
beras mocaf yang menyebabkan kerusakan
protein (Loebis, dkk., 2013).
Gambar 7. Hasil analisis kadar protein beras
mocaf
Hasil analisis kadar protein nasi
mocaf ditunjukkan pada Gambar 8. Kadar
protein nasi mocaf lebih rendah
dibandingkan dengan kadar protein nasi
beras putih yaitu sebesar 3,6%. Hal ini
disebabkan oleh kadar protein pada
singkong lebih rendah dibandingkan
dengan kadar protein pada beras putih
(Depkes, 1995). Analisis sidik ragam pada
tingkat kepercayaan 95% menunjukkan
bahwa jenis nasi mocaf dan jenis perlakuan
pemasakan tidak memberikan pengaruh
nyata terhadap kadar protein nasi mocaf.
Kadar protein nasi mocaf setelah
pemasakan berkurang. Kebanyakan protein
pangan terdenaturasi jika dipanaskan
selama satu jam pada suhu yang moderat
60-90oC (Palupi, dkk., 2007).
Kadar Karbohidrat
Hasil pengujian kadar karbohidrat
beras mocaf dan nasi mocaf ditunjukkan
pada Gambar 9 dan Gambar 10. Pada
Gambar 9 dapat dilihat bahwa kadar
Gambar 8. Hasil analisis kadar protein nasi mocaf
39
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 33-46
karbohidrat beras mocaf 50, 60 dan 70%
berturut-turut adalah 83,8%, 84,9% dan
85%. Nilai tersebut mendekati kadar
karbohidrat dari beras padi jenis IR-64
yaitu 88%. Kadar karbohidrat beras mocaf
yang tinggi merupakan hasil pencampuran
mocaf dan tepung beras sebagai sumber
karbohidrat (Loebis, dkk., 2013).
Gambar 9. Hasil analisis kadar karbohidrat
beras mocaf
Hasil analisis kadar karbohidrat nasi
mocaf ditunjukkan pada Gambar 10. Kadar
karbohidrat pada nasi mocaf sedikit lebih
tinggi
dibandingkan dengan kadar
karbohidrat nasi beras putih. Hal ini
disebabkan oleh kadar air nasi mocaf lebih
rendah dibandingkan dengan kadar air nasi
beras putih. Dengan kadar air nasi mocaf
yang lebih rendah tersebut mengakibatkan
proporsi karbohidrat pada nasi mocaf
menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan
nasi beras putih.
Berdasarkan analisis sidik ragam
pada tingkat kepercayaan 95%, jenis nasi
tidak memberikan pengaruh terhadap kadar
karbohidrat nasi mocaf sedangkan
perlakuan
pemasakan
memberikan
pengaruh nyata terhadap hasil analisis
kadar karbohidrat dengan nilai signifikansi
< 0,05. Uji duncan menunjukkan kadar
karbohidrat nasi mocaf berbeda nyata
terutama kadar karbohidrat nasi mocaf
dengan cara pemasakan menggunakan rice
cooker dengan kadar karbohidrat nasi
mocaf menggunakan pengukusan. Hal ini
disebabkan oleh pemasakan dengan
menggunakan rice cooker menghasilkan
nasi mocaf dengan kadar air yang lebih
tinggi
dibandingkan
menggunakan
pengukusan dan microwave. Akhirnya
pada proses perhitungan by dfference,
kadar air akan memberikan efek
pengurangan yang besar. Hal ini dapat
digambarkan bahwa pada nasi pratanak
yang kadar airnya > 70% maka
karbohidratnya lebih rendah bahkan
pemasakan dengan menggunakan rice
cooker.
Kadar Pati, Amilosa dan Amilopektin
Hasil pengujian kadar pati, amilosa
dan amilopektin beras mocaf dan nasi
mocaf ditunjukkan pada Tabel 3. Pati
merupakan polisakarida yang apabila
dipanaskan akan terbagi menjadi amilosa
dan amilopektin. Kadar pati beras mocaf
dianalisis untuk mengetahui jumlah
karbohidrat
dalam
bentuk
pati.
Pengurangan kadar pati terhadap amilosa
akan menghasilkan kadar amilopektin.
Gambar 10. Hasil analisis kadar karbohidrat nasi mocaf
40
Karakterisasi Mutu dan nilai Gizi Nasi Mocaf…… (Enny Hawani Loebis, dkk.)
Tabel 3. Hasil analisis kadar pati, amilosa dan amilopektin beras mocaf
Parameter
50% Mocaf
Jenis Beras
60% Mocaf
70% Mocaf
IR 64*
Pati (%)
72,32
52,19
52,01
73,70
Amilosa (%)
24,00
20,33
22,88
24,60
Amilopektin (%)
48,32
31,86
29,13
49,10
Data pada Tabel 3 menunjukkan
bahwa semakin banyak proporsi tepung
beras yang digunakan maka semakin besar
kadar pati beras mocaf. Hal ini
dikarenakan tepung beras memiliki kadar
pati yang lebih tinggi dibandingkan dengan
beras mocaf. Beras mocaf 50% memiliki
kadar pati lebih tinggi dibandingkan
dengan beras mocaf lainnya, yaitu sebesar
72,32%
Data pada Tabel 3 menunjukkan
bahwa selisih kadar karbohidrat dan pati
pada beras mocaf 50% sekitar 11%, pada
beras mocaf 60% dan pada beras mocaf
70% berkisar 32-33%. Selisih nilai ini
diduga adalah kadar serat pangan, serat
kasar atau pati resisten yang merupakan
bagian dari karbohidrat yang belum
dianalisis kadarnya. Pengurangan kadar
pati oleh kadar amilosa akan menghasilkan
kadar amilopektin. Kadar amilosa dan
amilopektin dapat menentukan sifat fisik
beras.
Menurut
Juliano
(1994),
perbandingan
antara
amilosa
dan
amilopektin dapat menentukan tekstur pera
atau tidaknya nasi, cepat atau tidaknya
mengeras, lengket atau tidaknya nasi,
warna dan kilap. Semakin tinggi
kandungan amilosa maka nasi semakin
kurang lekat dan semakin keras (pera).
Berdasarkan kadar amilosa, beras
diklasifikasikan menjadi beras beramilosa
sangat rendah (<10%), beras beramilosa
rendah (10-20%), beras beramilosa sedang
(20-24%) dan beras beramilosa tinggi
(>25%) (Winarno, 2008). Pada Tabel 3
ditunjukkan bahwa kadar amilosa beras
mocaf 50, 60 dan 70%, berturut-turut
adalah 24,0, 20,33 dan 22,88%. Dengan
demikian beras mocaf dapat dikategorikan
dalam beras beramilosa sedang.
Semakin tinggi jumlah tepung
mocaf maka semakin rendah kadar air
beras tiruan yang dihasilkan. Hal ini
dikarenakan mocaf memiliki kadar amilosa
yang lebih tinggi dibandingkan dengan
tepung beras. Amilosa memiliki sifat
mudah mengikat air dan mudah pula
melepaskan air. Pada saat proses
pengeringan, beras tiruan dengan kadar
amilosa tinggi akan lebih mudah
melepaskan air yang terdapat dalam bahan
(Yuwono, dkk., 2013). Pada saat
gelatinisasi, daerah amorphous lebih awal
menyerap air karena amilosa lebih
hidrofilik akan tetapi amilosa juga lebih
cepat
mengalami
sineresis
dan
mengkristal.
Kadar Mineral
Hasil pengujian kadar mineral (Fe,
K, Ca) nasi mocaf ditunjukkan pada Tabel
4. Kandungan mineral berkaitan dengan
kadar abu. Dalam proses pembakaran, zatzat organik dapat terbakar habis tetapi zat
anorganiknya tidak terbakar (Winarno,
2008). Menurut Andarwulan, dkk. (2011),
pengaruh pengolahan pada bahan dapat
mempengaruhi ketersediaan mineral bagi
tubuh. Penggunaan air pada proses
pencucian, perendaman dan perebusan
dapat mengurangi ketersediaan mineral
karena mineral akan larut oleh air yang
digunakan.
Hasil analisis sidik ragam kadar besi
pada
tingkat
kepercayaan
95%
menunjukkan bahwa perlakuan pemasakan
tidak berpengaruh terhadap kadar besi nasi
mocaf tetapi jenis komposisi nasi mocaf
berpengaruh terhadap kadar besi nasi
mocaf. Jenis komposisi nasi mocaf yang
berpengaruh nyata berasal dari nasi mocaf
50 dan 70%. Pada Tabel 4 dapat dilihat
bahwa kadar besi nasi mocaf 50% lebih
kecil dari nasi mocaf 70% untuk semua
perlakuan. Hal ini disebabkan karena
41
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 33-46
Tabel 4. Hasil analisis kadar mineral nasi mocaf (per 100 g)
Perlakuan
Rice Cooker
Parameter
Pengukusan
Microwave
Nasi Beras
Putih
50%
mocaf
60%
mocaf
70%
mocaf
50%
mocaf
60%
mocaf
70%
mocaf
50%
mocaf
60%
mocaf
70%
mocaf
Fe (mg)
3,20
3,78
4,59
2,83
3,58
3,91
2,71
3,26
4,99
0,80
K (mg)
31,58
35,17
36,71
31,54
40,34
33,93
36,45
34,49
57,5
35.00
Ca (mg)
20,87
20,94
20,90
16,73
19,38
20,95
16,31
18,49
23,08
21,00
kandungan zat besi pada singkong berkisar
1,1 mg/100 g sebelum diolah dan 0,4
mg/100 g setelah diolah (Anonim, 2007).
Semakin besar proporsi mocaf maka kadar
besi nasi mocaf akan meningkat.
Kadar kalium dan kalsium yang
tinggi pada nasi mocaf berasal dari bahan
baku mocaf yaitu singkong. Singkong
mengandung 20 mg/100 g kalsium
sebelum diolah dan 16 mg/100 g setelah
diolah (Anonim, 2007). Pemanasan akan
membebaskan mineral dari ikatan senyawa
lain sehingga ketersediaan meningkat.
Pada analisis kalium dan kalsium,
perlakuan proses pemasakan tidak
memberikan pengaruh signifikan pada
hasil analisis. Hal ini sesuai hasil analisis
sidik ragam pada kadar kalsium dan
kalium dimana pada tingkat kepercayaan
95%, nilai signifikansinya < 0,05.
Kadar Vitamin B1
Hasil analisis kadar vitamin B1 nasi
mocaf ditunjukkan pada Gambar 11. Hasil
analisis sidik ragam vitamin B1 pada
tingkat kepercayaan 95% dengan nilai
signifikansi < 0,05. Hal ini berarti
perlakuan
pemasakan
memberikan
pengaruh nyata terhadap kandungan
vitamin B1. Grafik pada Gambar 11
menunjukkan hasil analisis kadar vitamin
B1 dengan menggunakan pengukusan dan
microwave berkisar antara 0,18-0,22
mg/100 g tetapi kadar vitamin B1 dengan
menggunakan rice cooker tidak terdeteksi.
Kehilangan tiamin sebagai senyawa
vitamin B1 pada proses pemasakan dengan
rice cooker disebabkan oleh sifatnya yang
tidak stabil di udara, larut air, mudah rusak
oleh pemanasan pada pH tinggi dan
ultraviolet (Simone, 1983; Harris &
Karmas, 1989; Prinzo, 1999; Palupi, dkk.,
2007). Selain itu kehilangan kadar tiamin
juga disebabkan oleh kondisi pemasakan
dengan menggunakan rice cooker dalam
keadaan tertutup sehingga menghasilkan
tekanan dan suhu yang tinggi. Hal ini
berbeda dengan suhu pemasakan dengan
menggunakan pengukusan dan microwave
yang
lebih
rendah
dibandingkan
pemasakan dengan rice cooker (Tabel 2).
Pengukusan
dengan
uap
panas
menghasilkan retensi (ketahanan) zat gizi
larut air yang lebih besar dibandingkan
perebusan dengan air. Vitamin B1 larut air
Gambar 11. Hasil analisis kadar vitamin B1 nasi mocaf (per 100 g)
42
Karakterisasi Mutu dan nilai Gizi Nasi Mocaf…… (Enny Hawani Loebis, dkk.)
akan semakin susut dengan meningkatnya
kontak antara medium penghantar panas
dengan bahan pangan (Harris & Karmas,
1989).
Kadar Kalori
Hasil pengujian kadar kalori beras
mocaf dan nasi mocaf ditunjukkan pada
Gambar 12 dan Gambar 13. Pada
penelitian ini, nilai
kalori ditetapkan
dengan perhitungan by difference, yaitu
hasil penjumlahan dari perkalian kadar
karbohidrat, lemak dan protein terhadap
perkiraan nilai kalori/g (Webster-Gandy,
et. al., 2014). Gambar 12 menunjukkan
nilai kalori beras mocaf masih lebih rendah
dibandingkan dengan nilai kalori beras IR64 karena kadar protein beras mocaf masih
di bawah beras IR-64.
Gambar 12. Hasil analisis kadar kalori beras
mocaf
Nilai kalori nasi mocaf ditunjukkan
pada Gambar 13. Berdasarkan hasil
analisis sidik ragam, nilai signifikansi
perlakuan < 0,05. Hal ini menunjukkan
perlakuan
pemasakan
memberikan
pengaruh terhadap nilai kalori nasi mocaf.
Nilai kalori yang didasarkan atas
perhitungan kasar dipengaruhi oleh
besarnya kadar protein, lemak dan
karbohidrat, yang mana semua nilai kalori
nasi mocaf dengan menggunakan rice
cooker lebih rendah dibandingkan dengan
nilai
kalori
nasi
mocaf
dengan
menggunakan pengukusan dan microwave.
Hal ini terjadi karena kadar karbohidrat
nasi mocaf menggunakan rice cooker lebih
rendah dibandingkan dengan kadar
karbohidrat nasi mocaf menggunakan
pengukusan dan microwave sehingga
memberikan nilai penjumlahan yang tidak
besar. Secara keseluruhan, nasi mocaf
memiliki nilai kalori lebih tinggi
dibandingkan dengan nasi padi biasa. Hasil
ini juga membuktikan hipotesis penelitian
bahwa nilai kalori nasi mocaf lebih besar
dari nasi padi biasa (pratanak).
Pemanasan dengan gelombang
mikro dapat dianggap tidak mempengaruhi
peningkatan degradasi komponen makanan
secara langsung selain melalui peningkatan
suhu (Harris & Karmas, 1989). Pada
Tabel 2 dapat dilihat bahwa waktu
pemasakan
dengan
menggunakan
microwave lama dengan suhu pemasakan
tidak terlalu tinggi.
Tabel
4
dan
Gambar
11
menunjukkan kadar mineral dan vitamin
B1 lebih tinggi dengan pemasakan
menggunakan microwave dibandingkan
dengan
pengukusan
namun
kadar
karbohidrat sebagai sumber energi, lemak,
protein dan kalori lebih tinggi pada
pengukusan. Kandungan gizi dan kalori
terbaik dari nasi mocaf yang dihasilkan
Gambar 13. Hasil analisis kadar kalori beras mocaf dan nasi mocaf
43
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 33-46
yaitu nasi mocaf 60% dengan cara
pengukusan
karena
kandungan
karbohidrat, lemak, protein dan kalori
lebih tinggi. Bahkan nasi mocaf cara
pengukusan memiliki nilai gizi dan kalori
di atas nasi beras putih. Cara pengukusan
memberikan hasil yang lebih baik karena
pada cara pengukusan digunakakan suhu
pemasakan
yang
lebih
rendah
dibandingkan rice cooker dan microwave.
Demikian juga waktu pemasakan lebih
singkat dibandingkan cara microwave.
Pada cara pengukusan air yang digunakan
tidak kontak langsung dengan beras mocaf
sehingga kemungkinan kandungan gizi
terserap ke dalam air lebih kecil
dibandingkan dengan cara rice cooker dan
microwave.
4. KESIMPULAN
Beras mocaf dengan komposisi 60%
mocaf menghasilkan nasi mocaf dengan
nilai kalori tertinggi yaitu 36,11 kal/100 g
dibandingkan nasi mocaf yang berasal dari
tepung mocaf dengan komposisi 50, 60
dan 70%. Sedangkan cara pemasakan yang
terbaik adalah dengan cara pengukusan.
Kandungan gizi dan nilai kalori yang
dihasilkan yaitu 49,15% air; 2,05% lemak;
2,09% protein; 46,45% karbohidrat; 35,8
mg/Kg besi; 403,4 mg/Kg Kalium; 193,8
mg/Kg kalsium, 2,0 mg/Kg vitamin B1 dan
212,53 kal/100 g nilai kalori. Kandungan
gizi dan nilai kalori nasi mocaf lebih tinggi
dari kandungan gizi nasi beras putih.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Kepala BBIA sebagai penanggung
jawab unit tempat dilakukannya penelitian
dan Yodi Setiawan, analis di BBIA, yang
telah mendukung pelaksanaan penelitian
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agusman, Apriani, S.N.K. & Murdinah.
(2014). Penggunaan Tepung Rumput
Laut
Eucheuma
cottonii
pada
Pembuatan Beras Analog dari Tepung
Modified Cassava Flour (Mocaf). JPB
Perikanan, 9(1), 1-10.
44
Andarwulan, N., Kusnandar, F. & Herawati, D.
(2011). Analisis Pangan. Dian Rakyat.
Jakarta.
Anonim. (2007). Community Food System
Data: Staples, Root Crops, Cereals and
Grain Products, Manihot esculenta
crantz. https://www.mcgill.ca/.
AOAC International. (1996). AOAC official
method 968.08: Minerals in animal feed
and pet food-Atomic absorption
spectrophotometric method. AOAC
Official Methods of Analysis. 16th ed.
Vol. 1. Gaithersburg, MD: AOAC Int.
Inc.
Badan Standarisasi Nasional. (2009). SNI 013751-2009, Tepung Terigu Sebagai
Bahan Makanan. Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. (2008). SNI
6128:2015, Beras. Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. (1992). SNI 012891-1992,
Cara
Uji
Makanan
Minuman. Jakarta.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. (2008).
Mutu Gizi Beras Kristal. Warta
Penelitian
dan
Pengembangan
Pertanian, 30(6), 8-10.
Biro
Pusat Statistik. (2014). Rata-rata
Konsumsi Kalori per Kapita Sehari
Menurut Kelompok Makanan 1999,
2002-2013. http://www.bps.go.id/.
Budi, F.S., Hariyadi, P., Budijanto, S. & Syah,
D. (2013). Teknologi Proses Ekstrusi
Membuat Beras Analog. J. Pangan,
22(3), 163-274.
Budijanto, S. & Yuliyanti. (2012). Studi
Persiapan Tepung Sorgum (Sorghum
bicolor L. Moench) dan Aplikasinya
pada Pembuatan Beras Analog. Jurnal
Teknologi Pertanian, 13(3), 177-186.
Departemen Kesehatan RI. (2005). Daftar
Komposisi Bahan Makanan. Subdirektorat Gizi Klinis. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. (1995). Daftar
Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia.
Direktorat
Jenderal
Pembinaan
Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina
Gizi Masyarakat, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Gizi. Jakarta.
Dewi, R.K. (2012). Rekayasa Beras Analog
Berbahan Dasar Modified Cassava
Flour (MOCAF) dengan Teknologi
Karakterisasi Mutu dan nilai Gizi Nasi Mocaf…… (Enny Hawani Loebis, dkk.)
Ekstruksi, Skripsi di Fakultas Teknologi
Pertanian IPB Bogor.
dengan Memanfaatkan Jagung Putih. J.
Teknol.dan Industri Pangan, 24(2).
Harper, J.M. (1981). Extruction of Food. Vol
II. CRC Press Inc. Florida. Page 52-53.
Palupi, N.S., Zakaria F.R. & Prangdimurti, E.
(2007).
Pengaruh
Pengolahan
Terhadap Nilai Gizi Pangan. Modul elearning ENBP, Departemen Ilmu &
Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi
Pertanian, IPB.
Harris, R.S. & Karmas, E. (1989). Evaluasi
Gizi Pada Pengolahan Bahan Pangan.
Edisi 2. ITB Bandung.
Hernawan, E. & Meylani, V. (2016). Analisis
Karakteristik Fisikokimia Beras Putih,
Beras Merah dan Beras Hitam (Oryza
sativa L., Oryza nivara dan Oryza
sativa L. indica). Jurnal Kesehatan
Bakti Tunas Husada, 15(1), 79-91.
Heti, H. & Widowati, S. (2009). Karakteristik
Beras Mutiara Dari Umbi Jalar
(Ipomae batatas). Balai Besar Penelitian
dan
Pengembangan
Pascapanen
Pertanian, Bogor.
International Organization for Standardization
(ISO). (2010). Rice-Determination of
Amylose Content- Part 2: Routine
Method. ISO/NP 6647-2.
Juliano, B.O. (1994). Criteria and Test for Rice
Grain Quality. In: Rice Chemistry and
Technology (B.O. Juliano, ed., 1994).
American Association of Cereal
Chemists. St. Paul.
Lisnan, V. (2008). Pengembanan Beras
Artificial Dari Ubi Kayu dan Ubi Jalar
Sebagai Upaya Diversifikasi Pangan.
Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian
IPB, Bogor.
Loebis, E.H., Pohan, H.G. & Susanti, I. (2015).
Pengembangan Produk Pangan Darurat
Berbasis Mocaf Siap Saji. Prosiding
Workshop Hasil Litbang Unggulan
Tahun
2015.
Kementerian
Perindustrian.
Loebis, E.H. & Meutia, Y.R. (2012).
Pembuatan Starter Mocaf Terimobilisasi
dari Isolat Bakteri Asam Laktat dan
Aplikasinya pada Proses Produksi
Mocaf. Jurnal Hasil Penelitian Industri.
25(1), 35-47.
Lumba, R. (2013). Kajian Pembuatan Beras
Analog Berbasis Tepung Umbi Daluga
(Cyrtosperma merkusii (Hassk) Schott).
Skripsi Faperta. Jurusan Teknologi
Pertanian. UNSRAT. Manado.
Noviasari, S., Kusnandar, F. & Budijanto, S.
(2013). Pengembangan Beras Analog
Prinzo, Z.W. (1999). Thiamine Deficiency and
Its Prevention and Control in Major
Emergencies.
World
Health
Organization.
Rumambi, R.A. (2011). Pembuatan Beras
Analog dari Tepung Ubi Kayu (Manihot
esculenta,
Cratntz)
dengan
Penambahan
Tepung
Ikan
Teri
(Stolephorus, Sp) Sebagai Pangan
Alternatif. Skripsi. Fakultas Pertanian
UNSTRAT. Manado.
Saheda, A.S. (2008). Preferensi dan Kepuasan
Petani Terhadap Benih Padi Varietas
Lokal Pandan Wangi Di Kabupaten
Cianjur. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian, IPB.
Samad, M.Y. (2003). Pembuatan Beras Tiruan
(Artificial Rice) dengan Bahan Baku
Ubi Kayu dan Sagu. Jurnal Sains dan
Teknologi, 2, 36-40.
Santoso, S. & Rianti, A.L. (2013). Kesehatan
dan Gizi. PT Rineka Cipta. Jakarta.
Setiawati, N.P., Santoso, J. & Purwaningsih, S.
(2014). Karakteristik Beras Tiruan
dengan Penambahan Rumput Laut
(Eucheuma cottonii) Sebagai Sumber
Serat Pangan. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis, 6(1), 197208.
Setiyaningsih, P. (2008). Karakterisasi Sifat
Fisiko Kimia dan Indeks Glikemiks
Beras Berkadar Amilosa Sedang.
Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian.
IPB.
Simone, C.B. (1983). Cancer and Nutrition.
McGraw Hill Book Company. New
York.
Subagio, A. (2007). Industrialisasi Modified
Cassava Flour Sebagai Bahan Baku
Industri Pangan untuk Menunjang
Diversifikasi Pangan Pokok Nasional.
Fakultas
Teknologi
Pertanian,
Universitas Jember.
45
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 33-46
Sulaeman, A. & Mudjajanto, E.S. (1991). Ujiuji dan Percobaan dalam Kimia
Makanan. Jurusan Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya
Keluarga,
Fakultas
Pertanian. IPB.
Webster-Gandy, J., Madden, A. & Holdsworth,
M. (2014). Gizi & Dietetika, alih
bahasa, Hutagalung, M.S.B. EGC.
Jakarta.
Widara, S.S. (2012). Studi Pembuatan Beras
Analog
dari
Berbagai
Sumber
Karbohidrat Menggunakan Teknologi
Hot Extrusion. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian, IPB.
46
Winarno, F.G. (2008). Kimia Pangan Dan
Gizi. Edisi Terbaru Cetakan 1. M Brio
Pres. Bogor.
Yuwono, S.S. & Zulfiah, A.A. (2015).
Formulasi Beras Analog Berbasis
Tepung Mocaf dan Maizena dengan
Penambahan CMC dan Tepung Ampas
Tahu. Jurnal Pangan dan Agroindustri,
3(4), 1465-1472.
Yuwono, S.S., Febrianto, K. & Dewi, N.S.
(2013). Pembuatan Beras Tiruan
Berbasis Modified Cassava Flour
(MOCAF): Kajian Proporsi MOCAF:
Tepung Beras Dan Penambahan Tepung
Porang. Jurnal Teknologi Pertanian,
14(3), 175-182.
Karakterisasi Adsorben dari Kulit Manggis…… (Ulfa Haura, dkk.)
KARAKTERISASI ADSORBEN DARI KULIT MANGGIS DAN
KINERJANYA PADA ADSORPSI LOGAM Pb(II) DAN Cr(VI)
(Adsorbent Characterization from Mangosteen Peel and Its Adsorption Performance
on Pb(II) and Cr(VI))
Ulfa Haura1, Fachrul Razi2 dan Hesti Meilina2
1
Program Studi Magister Teknik Kimia Prog Pascasarjana Universitas Syiah Kuala,
Jl. Teungku Syeh Abdul Rauf No.7 Darussalam, Banda Aceh, Indonesia
2
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Jl. Teungku Syeh Abdul
Rauf No.7 Darussalam, Banda Aceh, Indonesia
e-mail: [email protected]
Naskah diterima 28 Februari 2017, revisi akhir 17 Maret 2017 dan disetujui untuk diterbitkan 20
Maret 2017
ABSTRAK. Penggunaan adsorben berbasis limbah biomassa untuk adsorpsi
kandungan logam berbahaya dari limbah cair industri selain dapat mengurangi limbah
juga dapat menekan harga jual adsorben. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
karakteristik adsorben yang terbuat dari limbah kulit manggis (Garcinia mangostana
L.) dan arang aktif dari limbah kulit manggis serta membandingkan kinerja kedua jenis
adsorben tersebut pada proses adsorpsi ion logam Pb(II) dan Cr(VI). Limbah sintetis
yang digunakan berupa ion dari Pb(II) dan Cr(VI) dari larutan Pb(NO3)2 dan K2Cr2O7
dengan variasi konsentrasi awal 20, 40, 80, 100 dan 200 mg/L. Proses adsorpsi
dilakukan pada pH 5, rasio perbandingan berat adsorben dan volume larutan limbah
1:200, kecepatan pengadukan 60 rpm, adsorben berukuran nano dengan berat
adsorben 0,5 g. Masing-masing adsorben dikarakterisasi menggunakan SEM untuk
mengetahui sturktur morfologi, FTIR untuk mengetahui gugus fungsi dan SEM-EDS
untuk mengetahui komponen kimia yang terkandung dalam adsorben tersebut. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa karakteristik kedua jenis adsorben memenuhi syarat
mutu sesuai SNI 06-3730-1995. Kapasitas adsorpsi tertinggi dari karbon aktif untuk
menyerap Pb(II) dan Cr(VI) masing-masing 38,543 mg/g dan 36,838 mg/g, sedangkan
kapasitas adsorpsi tertinggi biosorben untuk menyerap Pb(II) dan Cr(VI) masingmasing 36,98 mg/g dan 36,12 mg/g.
Kata kunci: adsorpsi, biosorben, Cr(VI), kulit manggis, Pb(II)
ABSTRACT. The usage of biomass waste-based adsorbent for the adsorption of
hazardous metal in wastewater is not only reducing waste but also lowering adsorbent
price. This research aims to study the characteristics of adsorbent from mangosteen
peel (Garcinia Mangostana L.) and activated charcoal from mangosteen peel, also to
compare the adsorption performance on metal ion Pb(II) and Cr(VI). Synthetic
wastewater used from a solution of Pb(NO3)2 and K2Cr2O7 with variations in initial
concentration of 20, 40, 80, 100 and 200 mg/L. Adsorption performed at pH 5, ratio of
adsorbent and waste solution 1/200 (w/v), 60 rpm, 0.5 gs nano-sized adsorbent.
Characterization using SEM, FTIR and SEM-EDS showed that both adsorbents
characteristics met the requirements of SNI 06-3730-1995. The highest adsorption
capacity of activated carbon to adsorb Pb(II) and Cr(VI) were 38.543 mg/g and 36.838
mg/g while biosorbent adsorb Pb(II) and Cr(VI) respectively 3.98 mg/g and 36.12 mg/g.
Keywords: adsorption, biosorbent, Cr(VI), mangosteen peel, Pb(II)
47
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 47-54
1. PENDAHULUAN
2. METODE PENELITIAN
Adsorpsi merupakan salah satu cara
efektif untuk menyerap kandungan
berbahaya yang terdapat pada limbah cair
dan sering dilakukan dalam proses
penanganan limbah cair industri. Adsorben
yang digunakan untuk proses adsorpsi
relatif mahal sehingga diperlukan adsorben
yang lebih murah dan ramah lingkungan,
misalnya yang berasal dari limbah
biomassa. Adsorben yang diperoleh dari
bahan baku limbah, selain mengurangi
beban limbah padat di lingkungan sekitar
juga dapat menekan harga jual dari
adsorben tersebut.
Walaupun jika dibandingkan arang
aktif harga biosorben yang dihasilkan dari
limbah padat lebih murah (Mohammed, et
al., 2014), arang aktif memiliki beberapa
keunggulan diantaranya mengandung
sekitar 85-95% karbon (Gultom dan Lubis,
2014), memiliki porositas yang tinggi, luas
permukaan yang lebih besar dan kekuatan
mekanik yang tinggi (El-Wakil, et al.,
2014). Menurut Danarto (2007), pasir yang
dilapisi besi oksida dapat dijadikan
activated carbon (arang aktif) untuk
menyerap Cr(VI) dalam larutan dengan
kapasitas penyerapan optimum sebesar
14,7 mg/g adsorben.
Sejauh ini telah dilakukan penelitian
tentang penggunaan adsorben ramah
lingkungan yang diperoleh dari limbah
atau biomassa. Kurniawan et.al (2013)
melaporkan bahwa biji sirsak mempunyai
kemampuan sebagai biosorben penyerap
ion Pb(II) dan Cu(II). Earnestly (2007)
menyatakan bahwa ukuran adsorben tidak
memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap proses adsorpsi berdasarkan hasil
penelitiannya yang menggunakan kulit
manggis
sebagai
biosorben
untuk
menyerap ion logam Pb(II), Ni(II), Cd(II)
dan Cr(VI).
Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari karakteristik adsorben yang
terbuat dari limbah kulit manggis
(Garcinia Mangostana L.) dan arang aktif
dari limbah kulit manggis pada proses
adsorpsi ion logam Pb(II) dan Cr(VI) serta
membandingkan kinerja kedua jenis
adsorben tersebut dalam penyisihan ion
logam Pb(II) dan Cr(VI).
Bahan baku utama yang digunakan
dalam penelitian yaitu kulit manggis
didapat dari tempat pembuangan sampah
sementara kemudian dibersihkan dan
dikeringkan. Kulit manggis yang akan
digunakan sebagai biosorben diperkecil
ukurannya menggunakan mill khusus
nanopartikel hingga berukuran nano. Kulit
manggis yang digunakan sebagai arang
aktif dilakukan proses karbonisasi di dalam
furnace tube selama 2 jam dengan
temperatur 450oC. Setelah mengalami
proses karbonisasi, kulit manggis yang
sudah menjadi arang aktif dihancurkan
dalam mill hingga berukuran nano.
48
Uji Karakterisasi Adsorben
1. Uji Methylene Blue (MB)
Uji methylene blue (MB) dilakukan
untuk mengetahui kemampuan dari
masing-masing adsorben dalam menyerap
warna pada ukuran partikel > 10 Å.Untuk
melarutkan MB digunakan alkohol sebagai
pelarutnya. Uji methylene blue dilakukan
dengan variasi konsentrasi yaitu 20, 80 dan
200 mg/L. Analisis konsentrasi MB
dilakukan menggunakan spektrofotometer
UV-Vis pada panjang gelombang 664 nm
(Ahda, dkk., 2013).
2. Uji Iodin
Uji
iodin
dilakukan
untuk
mengetahui kemampuan dari masingmasing adsorben dalam menyerap warna
pada ukuran partikel <10 Å dimana larutan
KI digunakan sebagai pelarut iodin. Uji
iodin dilakukan pada 3 variabel
konsentrasi yaitu 20, 80 dan 200 mg/L.
Untuk mengetahui konsentrasi iodin,
digunakan spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 615 nm.
Analisis Gugus Fungsi dan Komponen
Kimia Penyusun Adsorben
Analisis gugus fungsi dilakukan
untuk mengetahui gugus-gugus fungsi
yang ada pada adsorben. Analisis gugus
fungsi adsorben dilakukan menggunakan
Fourier Transform Infared (FTIR) pada
interval bilangan gelombang 400-4000
cm-1, sedangkan untuk analisis komponen
kimia penyusun adsorben digunakan SEM-
Karakterisasi Adsorben dari Kulit Manggis…… (Ulfa Haura, dkk.)
EDS atau SEM-EDX (Scanning Electron
Microscopes Energy Dispersive X-ray).
Struktur Morfologi Adsorben
Analisis SEM (Scanning Electron
Microscope) dilakukan untuk mengetahui
struktur permukaan dan ukuran partikel
dari masing-masing adsorben. Alat SEM
yang digunakan adalah Jeol JED-2200
Series buatan Jepang.
Proses Adsorpsi
Proses adsorpsi dilakukan secara
batch dimana adsorben seberat 0,5 g
dimasukkan ke dalam beaker glass 250 mL
yang telah diisi 100 mL larutan sampel
(Pb(NO3)2 atau K2Cr2O7) dengan variasi
konsentrasi 20, 40, 80, 100 dan 200 mg/L.
Proses adsorpsi dilakukan pada pH 5
dengan kecepatan pengadukan 60 rpm
selama 120 menit. Sampel sebanyak 10
mL
diambil
untuk
dianalisis
konsentrasinya
menggunakan
AAS
(Atomic Adsorption Specthrometry) pada
setiap interval waktu 20 menit.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Gugus Fungsi Menggunakan
FTIR (Fourier Transform Infra Red)
Gugus fungsi biosorben kulit manggis
dan arang aktif kulit manggis dianalisis
menggunakan
FTIR
sebagaimana
diperlihatkan pada Gambar 1. Berdasarkan
hasil pengukuran FTIR, dapat diamati
bahwa pada biosorben dan arang aktif
terdapat gugus CH (alkana), CH
(aldehida), -N3>CO (asam karboksilat) dan
–C-NO2 (nitro aromatik). Gugus-gugus
tersebut
ditemukan
lebih
rendah
intensitasnya pada arang aktif. Selain itu,
pada arang aktif juga ditemukan gugus CO
(β-diketon) dengan intensitas absorbansi
0,0801. Gugus C-O-C (eter) pada
biosorben teramati dengan intensitas
absorbansi 0,0767.
Analisis Komponen Kimia Penyusun
Adsorben Menggunakan SEM-EDS
Analisis komposisi kimia dari
permukaan adsorben secara kuantitatif dan
kualitatif dilakukan menggunakan EDS
(Energy Dispersive Spectroscopy) yang
ada pada alat SEM. Persentase massa dari
elemen-elemen kimia yang terkandung
dalam biosorben dan arang aktif dapat
dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan
hasil
SEM-EDS,
diketahui bahwa elemen kimia yang hilang
saat proses karakterisasi adsorben menjadi
arang aktif adalah seng (Zn). Zn adalah
senyawa aktif yang bersifat antioksidan
untuk
menangkap
radikal
bebas,
sedangkan tujuan riset ini adalah untuk
menyerap ion logam Pb(II) dan Cr(VI)
yang keduanya bersifat toksin dan
karsinogenik (Sayuti dan Yenrina,2015).
Oleh karena itu, kandungan Zn pada
biosorben diharapkan dapat membantu
proses adsorpsi dengan kemampuannya
menangkap ion logam Pb(II) dan Cr(VI).
A b s o r b a n c e (A .U )
0.2
0.1
0
-0.1
-0.2
Biosorben
Arang Aktif
-0.3
4000
3600
3200
2800
2400
2000
1600
1200
800
400
Wavenumber (1/cm)
Gambar 1. Analisis gugus fungsi biosorben dan arang aktif sebelum proses adsorpsi mengunakan
FTIR
49
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 47-54
Tabel 1. Hasil SEM-EDS adsorben
Elemen Kimia (%massa)
Jenis
Adsorben
C
O
Na
Cl
K
Zn
Biosorben
93,62
1,13
-
0,29
2,00
2,96
Arang aktif
94,75
0,80
0,15
0,64
3,66
-
(a)
(b)
Gambar 2. Hasil analisis SEM Biosorben (a) dan arang aktif (b) dengan pembesaran 500 kali
Elemen yang timbul setelah proses
pirolisis (aktivasi secara fisik) adalah
natrium (Na). Adanya elemen natrium dan
kenaikan persen massa dari kalium
mengindikasikan terdapat kadar abu yang
biasanya terkandung pada arang aktif.
Kadar abu maksimal untuk arang aktif
serbuk menurut SNI 06-3730-1995 adalah
10%. Semakin kecil kadar abu pada arang
aktif maka semakin besar pula kemampuan
adsorben untuk menyerap ion logam. Hal
ini dikarenakan kadar abu merupakan zat
pengotor yang tidak diharapkan ada pada
adsorben.
Peningkatan kadar kalium (K) dan
kadar natrium (Na) setelah adsorben
melalui tahap pirolisis dikarenakan adanya
kegagalan dari tahap proses pirolisis
dimana kulit manggis bereaksi dengan
oksigen sehingga kulit manggis tersebut
menjadi abu yang ditandai dengan
senyawa natrium dan kalium. Indikasi
keberhasilan proses pirolisis kulit manggis
menjadi arang aktif adalah adanya kadar
karbon (C).
Struktur Morfologi Adsorben
Struktur morfologi dari kedua jenis
adsorben dianalisis menggunakan SEM
(Scanning Electron Microscopy) dengan
500 kali pembesaran sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 2.
50
Berdasarkan hasil analisis SEM
pada Gambar 2, kedua adsorben memiliki
bentuk yang tidak seragam. Biosorben
memiliki ukuran terkecil yaitu sekitar 5-6
µm dan ukuran terbesar sekitar 25 µm,
sedangkan arang aktif mempunyai ukuran
terkecil sekitar 0,5-2 µm dan ukuran
terbesar sekitar 20 µm. Ukuran rata-rata
dari biosorben terlihat jelas lebih besar
dibandingkan arang aktif pada pembesaran
500 kali.
Pengaruh Jenis Adsorben terhadap
Proses Penyerapan Logam Pb (II) dan
Cr (VI)
Pada penelitian ini digunakan dua
jenis adsorben, yaitu biosorben (kulit
manggis tanpa aktivasi secara fisik) dan
arang aktif (kulit manggis yang teraktivasi
secara fisik). Terdapat perbedaan kinerja
dari dua jenis adsorben dalam proses
penyerapan logam Pb(II) dan Cr(VI)
sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 3.
Sesuai dengan Gambar 3, arang aktif
lebih efektif menyerap logam Pb(II)
daripada biosorben pada konsentrasi awal
ion logam 20 dan 100 mg/L, sedangkan
untuk proses penyerapan logam Cr(VI)
arang aktif bekerja lebih efektif
dibandingkan biosorben pada konsentrasi
awal larutan 100 dan 200 mg/L.
Kemampuan adsorben untuk menyerap
Karakterisasi Adsorben dari Kulit Manggis…… (Ulfa Haura, dkk.)
20
Arang aktif, Pb (II)
Arang aktif, Cr (VI)
Biosorben, Pb (II)
Biosorben, Cr (VI)
18
Konsentrasi (mg/L)
16
14
12
10
8
6
4
2
00
20
40
60
80
100
120
Waktu (menit)
(a)
Konsentrasi (mg/L)
100
Arang aktif, Pb (II)
Arang aktif, Cr (VI)
Biosorben, Pb (II)
Biosorben, Cr (VI)
80
60
40
20
0
0
20
40
60
80
Waktu (menit)
100
120
Konsentrasi (mg/L)
(b)
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
0
Arang aktif, Pb (II)
Arang aktif, Cr (VI)
Biosorben, Pb II)
Biosorben, Cr (VI)
20
40
60
80
Waktu (menit)
100
120
(c)
Gambar 3. Pengaruh biosorben dan arang aktif terhadap waktu yang dilakukan oleh biosorben dan
arang aktif pada konsentrasi awal 20 mg/L (a), 100 mg/L (b) dan 200 mg/L (c)
logam dipengaruhi oleh tinggi atau
rendahnya nilai konsentrasi awal sampel.
Jika sampel memiliki konsentrasi yang
rendah maka daya serap adsorben untuk
menyerap sampel juga kecil.
Karakteristik dari kedua jenis
adsorben sangat mempengaruhi proses
penyerapan yang dilakukan. Arang aktif
yang mengandung sekitar 85-95% karbon
dapat lebih banyak menyerap logam
(Gultom dan Lubis, 2014). Akan tetapi
menurut Palakawong, et al., (2010),
senyawa aktif yang terdapat dalam kulit
manggis
bermanfaat
dalam proses
adsorpsi. Hal ini dikarenakan kemampuan
antioksidan yang tinggi pada kulit manggis
51
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 47-54
dapat menyerap ion yang bersifat toksin
dan karsinogenik seperti Pb(II) dan Cr(VI).
juga terkait dari besar atau kecilnya ukuran
pori adsorben. Jika ukuran pori adsorben
lebih besar dari ukuran partikel zat terserap
maka memungkinkan terjadinya proses
penyerapan. Kapasitas adsorpsi dari arang
aktif dan biosorben untuk penyerapan
logam Pb(II) dan Cr(VI) dapat dilihat pada
Gambar 4.
Kapasitas adsorpsi (mg/g)
Kapasitas Adsorpsi dari Arang Aktif
dan Biosorben untuk Proses Penyerapan
Logam Pb (II) dan Cr (VI)
Kapasitas adsorpsi dapat berkaitan
dengan kemampuan daya serap adsorben
terhadap zat yang akan diserap. Hal ini
25
20
15
Arang aktif, Pb (II)
Arang aktif, Cr (VI)
Biosorben, Pb (II)
Biosorben, Cr (VI)
10
5
0
0
20
40
60
80
Waktu (menit)
100
120
Kapasitas adsorpsi (mg/g)
(a)
45
40
35
Arang aktif Pb (II)
Arang aktif, Cr (VI)
Biosorben, Pb (II)
Biosorben, Cr (VI)
30
25
20
15
10
5
0
0
20
40
60
80
100
120
Waktu (menit)
Kapasitas adsorpsi (mg/g)
(b)
45
40
35
Arang aktif Pb (II)
Arang aktif, Cr (VI)
Biosorben, Pb (II)
Biosorben, Cr (VI)
30
25
20
15
10
5
00
20
40
60
80
100
120
Waktu (menit)
(c)
Gambar 4. Kapasitas adsorpsi terhadap waktu yang dilakukan oleh biosorben dan arang aktif pada
konsentrasi awal (a) 20 mg/L, (b) 100 mg/L dan (c) 200 mg/L
52
Karakterisasi Adsorben dari Kulit Manggis…… (Ulfa Haura, dkk.)
Tabel 2. Nilai kapasitas adsorpsi maksimal dari arang aktif dan biosorben utnuk menyerap logam
Pb(II) dan Cr(VI)
JenisLogam
Pb(II)
Cr(VI)
Kondisi Proses
Kapasitas
Adsorpsi (mg/g)
Co (mg/L)
T (menit)
Arang Aktif
38,5430
200
120
Biosorben
36,9800
200
100
Arang Aktif
36,8384
200
120
Biosorben
36,1209
200
120
Jenis Adsorben
Berdasarkan Gambar 4, terlihat jelas
bahwa semakin besar konsentrasi awal dari
larutan maka semakin besar pula kapasitas
adsorpsi yang dihasilkan. Nilai kapasitas
maksimum yang diperoleh pada penelitian
ini untuk kinerja arang aktif dan biosorben
sebagai adsorben untuk menyerap logam
Pb(II) dan Cr(VI) dapat dilihat pada Tabel
2.
Kapasitas adsorpsi yang dicapai
dalam
penelitian
ini
lebih
baik
dibandingkan dengan penelitian Earnestly
(2007) yang menghasilkan kapasitas
adsorpsi
maksimal
untuk
proses
penyerapan logam Pb(II) dan Cr(VI)
masing-masing sebesar 1,715 mg/g dan
2,49 mg/g. Hasil ini membuktikan bahwa
ukuran adsorben berpengaruh pada proses
adsorpsi. Hal ini dikarenakan semakin
kecil ukuran adsorben maka semakin besar
luas permukaannya (Earnestly, 2007).
Berdasarkan Tabel 2, kinerja penyerapan
logam Pb(II) dan Cr(VI) yang dilakukan
oleh arang aktif yang memiliki ukuran
partikel terkecil rata-rata 0,5-2µm.
4. KESIMPULAN
Karakter dari kedua jenis adsorben
memenuhi kriteria untuk dijadikan sebagai
adsorben berdasarkan acuan SNI 06-37301995. Hal ini terbukti dari kemampuan
kedua jenis adsorben yang mampu
menyisihkan logam Pb(II) dan Cr(VI).
Kapasitas adsorpsi maksimal arang aktif
dalam menyerap ion logam Pb(II) dan
Cr(VI) masing-masing sebesar 38,54 mg/g
dan 36,84 mg/g, sedangkan kapasitas
adsorpsi yang diberikan oleh biosorben
untuk penyisihan logam Pb(II) dan Cr(VI)
masing-masing sebesar 36,98 mg/g dan
36,12 mg/g.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada pihak LPDP (Lembaga Pengelola
Dana Pendidikan) yang telah memberikan
dana untuk riset ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahda M., Sutarno & Kunarti, E.S. (2013).
Sintetis Silika MCM-41 dan Uji
Kapasitas Adsorpsi Terhadap Metilen
Biru. Jurnal Ilmiah Kefarmasian, 3(1),
1-8.
Danarto, Y.C. (2007). Kinetika Adsorpsi
Logam Berat Cr(IV) dengan Adsorben
Pasir yang Dilapisi Besi Oksida.
Ekuilibrium, 6(2), 65-70.
Earnestly, F. (2007). The Use of The Peel of
Mangosteen (Garcinia mangostana L.)
as Biosorbent of Pb(II), Ni(II), Cd(II),
and Cr(IV) ion. Universitas Andalas,
Sumatera Barat.
El-Wakil A.M, Abou El-Maaty W.M., & Awad
F.S. (2014). Removal of Lead From
Aqueous Solution on Activated Carbon
and Modified Activated Carbon
Prepared from Dried Water Hyacinth
Plant.
Journal
Analytical
&Bioanalytical
Techniques,
5(2).
http://dx.doi.org/10.4172/2155-9872.10
00187.
Gultom, E.M. & Lubis, M.T. (2014). Aplikasi
Karbon Aktif dari Cangkang Kelapa
Sawit dengan Aktivator H3PO4 Untuk
Penyerapan Logam Berat Cd dan Pb.
Jurnal Teknik Kimia Universitas
Sumatera Utara, 3(1).
Kurniawan, M.I., Rahmadani, A., Abdullah, Z.,
Zein, R. & Munaf, E. (2013). Isotherm
and Kinetic Modelling of Pb(II) and
Cu(II) uptake by Annona muricata L.
seed. Asian Journal of Chemical,
26(12), 35-88.
53
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 47-54
Mohammed, M.A., Shitu, A., Tadda, M.A. &
Ngabura, M. (2014). Utilization of
Various Agricultural Waste Materials in
the Treatment of Industrial Wastewater
Containing Heavy Metals. International
Research Journal of Environment
Sciences, 3(3), 62-71, ISSN 2319–1414.
Palakawong, C., Sophanodora, P., Pisuchpen,
S. dan Phong paichit., S. (2010).
54
Antioxidant and antimicrobial activities
of crude extracts from mangosteen
(Garcinia mangostana L.) parts and
some essential oils. International Food
Research Journal, 17, 583-589.
Sayuti, K. dan Yenrina, R. (2015). Antioksidan,
Alami dan Sintetik. Padang. Universitas
Adalas.
Karakteristik Membran Asimetris Polietersufone…… (Sri Mulyati, dkk.)
KARAKTERISTIK MEMBRAN ASIMETRIS
POLIETERSUFONE (PES) DENGAN PELARUT DIMETIL
FORMAMIDE DAN N-METIL-2-PYROLIDONE
(Characteristic of Poliethersulfone (PES) Asymmetric Membrane with Dimethyl
Formamide and N-Methyl Pyrolidone as Solvent)
Sri Mulyati, Fachrul Razi dan Zuhra
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala
Jalan Tgk. Syekh Abdur Rauf No.7, Darussalam Banda Aceh, Indonesia, 23111
e-mail: [email protected]
Naskah diterima 18 September 2016, revisi akhir 5 April 2017 dan disetujui untuk diterbitkan 7 April 2017
ABSTRAK. Membran yang umumnya digunakan untuk proses pemisahan dapat
dibuat menggunakan teknik inversi fasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
karakteristik membran asimetris polietersulfone (PES) yang dibuat menggunakan teknik
inversi fasa dengan variabel jenis pelarut dan Trans Membrane Pressure (TMP). Hasil
analisis Scanning Electron Microscopy (SEM) terhadap morfologi membran
membuktikan bahwa membran yang dihasilkan merupakan membran asimetris yang
terdiri dari dua lapisan yaitu bagian atas merupakan lapisan tipis dan lapisan bawah
adalah lapisan berpori. Membran PES/DMF memiliki struktur pori yang lebih besar
dibandingkan membran PES/NMP. Koefisien permeabilitas kedua membran yang
dihasilkan berada dalam jangkauan ultrafiltrasi. Koefisien permeabilitas (Lp) membran
PES/DMF sebesar 35,769 L/m2.jam, nilai ini jauh lebih besar dibandingkan PES/NMP
yaitu 15,364 L/m2.jam.bar. Molecular Weight Cut-Off (MWCO) dari membran
PES/DMF yaitu 177 Kda sedangkan membran PES/NMP sebesar 186 Kda. Kinerja
membran PES/DMF terhadap pemisahan larutan dekstran memberikan nilai fluks yang
lebih tinggi daripada membran PES/NMP sedangkan rejeksi yang dihasilkan lebih
rendah. Fluks tertinggi diperoleh pada TMP 2 bar sebesar 11,4 L/m2.jam untuk
membran PES/DMF dan 10,2 L/m2.jam untuk membran PES/NMP.
Kata kunci: kinerja membran, membran asimetris, Molecular Weight Cut-Off
(MWCO), morfologi, permeabilitas
ABSTRACT. Membrane that is generally used for separation process could be made
using phase inversion technique. This research aims to create polyethersulfone (PES)
asymmetric membranes via phase inversion technique using solvent and Trans
Membrane Pressure (TMP) as variable. SEM analysis indicated that membranes had
asymmetric structure that consits of two layers which denser skin layer on the top
surface and the porous support on the bottom. PES/DMF membrane showed larger
pore structure than PES/NMP. The permeability coefficients of both membranes were in
the ultrafiltration range. The coefficient permeability (Lp) of PES/DMF membrane was
35.769 L/m2.hour, much greater compared to PES/NMP membrane which was 15.364
L/m2.hour.bar. Molecular Weight Cut-Off (MWCO) of PES/DMF membrane was 177
Kda, meanwhile PES/NMP was 186 Kda. Performances of the membranes were
evaluated using dextrane as feed solution. PES/DMF membrane resulted in an higher
flux and lower rejection than PES/NMP.
Keywords: asymmetric membrane, membrane performance, Molecular Weight Cut-Off
(MWCO), morphology, permeability
55
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 55-62
1. PENDAHULUAN
Proses pemisahan dengan membran
telah diaplikasikan di berbagai bidang,
diantaranya untuk pemurnian air (He dan
Radisav, 2016), pada industri makanan dan
obat-obatan (Gierszewska, et al., 2016)
dan proses pengolahan limbah industri
(Huang, et al., 2015). Berdasarkan
struktur, membran dapat dibedakan
menjadi membran simetris dan asimetris.
Membran simetris mempunyai ukuran dan
kerapatan pori yang sama di semua bagian
sedangkan membran asimetris terdiri dari
lapisan tipis pada bagian atas yang
merupakan lapisan aktif tempat pemisahan
terjadi serta lapisan bawah yang berpori
dan bertindak sebagai penyangga. Lapisan
ini tidak mempengaruhi karakteristik
pemisahan dan laju filtrasi. Membran
asimetris terutama digunakan untuk proses
pemisahan yang menggunakan perbedaan
tekanan sebagai gaya dorong seperti proses
ultrafiltrasi dan reverse osmosis (RO).
Sejak
Loeb
dan
Sourirajan
mempublikasikan metode inversi fasa
(Kools, 1998), sebagian besar peneliti telah
mempelajari
tentang
mekanisme
pembentukan membran. Proses inversi fasa
secara presipitasi imersi dikenal sebagai
teknik yang paling populer untuk membuat
membran asimetris, khususnya membran
untuk proses ultrafiltrasi (Mulder,1996).
Pada proses ini membran yang baru
dicetak kemudian dicelupkan ke dalam bak
koagulasi yang berisi non pelarut yaitu
senyawa yang mempunyai afinitas yang
tinggi terhadap pelarut namun rendah
terhadap polimer. Proses presipitasi terjadi
karena kelarutan antara polimer dan non
pelarut rendah. Pada saat yang sama,
kelarutan yang tinggi antara pelarut dengan
non
pelarut
menyebabkan
proses
pergantian pelarut dengan non pelarut di
beberapa titik sehingga terjadi demixing.
Pembentukan sublayer pada membran
asimetris dikendalikan oleh beberapa
variabel di dalam larutan cetak, yaitu
larutan yang akan digunakan sebagai
material untuk membuat membran seperti
komposisi, temperatur koagulasi, aditif
organik dan anorganik (Mohammadi dan
Saljoughi, 2009). Selain itu, pembentukan
membran asimetris juga dipengaruhi oleh
56
polimer, pelarut dan non pelarut yang
digunakan (Idris, dkk., 2007). Beberapa
parameter yang terkait mekanisme
pembentukan membran terhadap morfologi
dan kinerja membran untuk proses
pemisahan membran diantaranya adalah
pengaruh konsentrasi polimer di dalam
larutan cetak (Kim, et al., 1996), tipe dari
pasangan pelarut dan non pelarut (Kools,
1998), ketebalan membran (Vogrin, et al.,
2002) serta penambahan aditif (Kim dan
Lee, 2003). Parameter-parameter di atas
berpengaruh terhadap proses demixing
yang terjadi secara instan maupun lambat
di dalam bak koagulasi.
PES (Polyethersulfone) adalah salah
satu polimer yang paling banyak
digunakan
sebagai
material
untuk
membran ultrafiltrasi. Hal ini dikarenakan
PES tahan terhadap temperatur tinggi,
toleransi pH yang luas, memiliki kekuatan
mekanik dan kimia yang baik serta mudah
dalam pembuatan (Xu dan Qusay, 2004).
Tipe membran asimetris umumnya
digunakan untuk menambah kekuatan
mekanik dari membran ultrafiltrasi. Teknik
inversi fasa khususnya metode presipitasi
imersi adalah teknik untuk membuat
membran
asimetris.
Penelitian
ini
bertujuan untuk mengetahui karakteristik
membran PES yang dibuat melalui teknik
inversi fasa dengan menggunakan variabel
berupa jenis pelarut dan Trans Membrane
Pressure (TMP).
2. METODE PENELITIAN
Polimer
polietersulfone
(PES)
berasal dari Solvay Process India Ltd.
digunakan sebagai
material utama
membran, N-metil Pyrrolidone (NMP) dan
Dimetil Formamide (DMF) berasal dari
Merck digunakan sebagai pelarut. Dekstran
dengan berat molekul 6 kDa, 40 kDa, 70
kDa, 100 kDa dan 188 kDa dari Sigma
Aldrich digunakan sebagai sampel larutan
untuk menghitung MWCO membran.
Bahan lainnya adalah aseton dan akuades
(distilled water). Alat yang digunakan
adalah seperangkat peralatan ultrafiltrasi,
pipet ukur, timbangan analitik, plat kaca,
gelas ukur 10 ml, erlenmeyer 50 ml,
magnetic stirrer, motor pengaduk, casting
Karakteristik Membran Asimetris Polietersufone…… (Sri Mulyati, dkk.)
knife, bak koagulasi, stop watch, water
bath, gas bertekanan dan lemari es.
Pembuatan
Membran
Asimetris
PES/DMF dan PES/NMP
Pembuatan larutan cetak dilakukan
dengan mencampurkan serbuk PES dengan
pelarut NMP atau DMF dengan
perbandingan komposisi 15:85(w/w).
Campuran kemudian diaduk sampai
homogen, ditandai oleh polimer yang telah
larut. Pengadukan dilakukan selama 24
jam dengan kecepatan pengadukan 100
rpm. Perlakuan yang sama dilakukan untuk
membuat membran dengan variasi
berbeda. Hasil pengadukan berupa larutan
bening yang selanjutnya disebut dope
PES/NMP atau dope PES/DMF. Campuran
atau dope tersebut disimpan di dalam
lemari es selama ±24 jam untuk
menghilangkan gelembung udara.
Sebelum
dicetak,
campuran
didiamkan hingga mencapai suhu ruang.
Kemudian dope dituang ke atas pelat kaca
untuk proses pencetakan dan diratakan ke
seluruh
permukaan
kaca
dengan
menggunakan casting knife. Lapisan tipis
yang terbentuk dibiarkan pada suhu ruang
selama 15 detik untuk menguapkan
pelarut. Selanjutnya, lapisan yang masih
tertempel di permukaan kaca dicelupkan
ke dalam bak koagulasi yang berisi media
pengendap berupa air murni yang
berfungsi sebagai non pelarut pada proses
presipitasi. Proses ini dibiarkan hingga
lapisan membran terlepas dari pelat kaca.
Temperatur bak koagulasi dijaga konstan
pada temperatur ruangan 27oC selama
proses presipitasi. Kemudian dilakukan
proses annealing pada membran PES/NMP
dan PES/DMF yang terbentuk dengan cara
dipanaskan secara perlahan hingga suhu
70oC. Suhu tersebut dipertahankan selama
10 menit, selanjutnya membran siap
digunakan untuk proses pemisahan.
Karakterisasi Membran dan Kinerja
Membran
Karakteristik membran berupa uji
morfologi
yang
dilakukan
dengan
menggunakan
Scanning
Electron
Microscope (SEM), uji permeabilitas air
dan uji Molecular Weight Cut-Off
(MWCO). Kinerja membran ditentukan
dengan mengukur fluks dan rejeksi larutan
dekstran dengan beberapa variasi berat
molekul.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakterisasi Membran
Struktur
permukaan
membran,
penampang melintang dan struktur
makrovoid dari PES/NMP dan PES/DMF
hasil analisis dengan alat SEM ditunjukkan
pada Gambar 1. Struktur permukaan
membran PES/NMP terlihat lebih rapat
dibandingkan
struktur
membran
PES/DMF. Membran dengan pelarut DMF
pada permukaan atas memiliki ukuran
pori-pori yang lebih besar. Gambar 1
adalah hasil foto SEM dengan ukuran
pembesaran
50.000
kali
yang
menunjukkan ukuran pori yang berbeda
antara hasil SEM kedua membran. Proses
pembentukan permukaan atas pori-pori
dipengaruhi oleh sifat termodinamika dari
larutan cetak dan kinetika pada saat
pembentukan membran. Saat proses
pembentukan,
membran
dibiarkan
mengalami penguapan selama 15 detik
sehingga membentuk lapisan atas yang
aktif. Tahap kedua dalam proses
perendaman membran PES dapat dianggap
stabil dimana pelarut dan non pelarut
berdifusi di dalam bak koagulasi
(Arthanareeswaran dan Starov, 2011). Laju
difusi antara pelarut dan non pelarut di
dalam bak koagulasi sangat mempengaruhi
proses pembentukan sublayer. Apabila
terjadi proses demixing secara spontan
(instanteneous demixing)
maka difusi
pelarut ke bak koagulasi akan lambat,
begitu juga terhadap difusi non pelarut ke
dalam
membran.
Hal
ini
akan
mengakibatkan bentuk dan ukuran pori
yang lebih besar dibandingkan proses
demixing yang terjadi secara lambat
(delayed demixing).
Kelarutan atau parameter kelarutan
antara pelarut dan non pelarut merupakan
faktor penting di dalam pembentukan
membran. Apabila perbedaan solubilitas
antara pelarut dan non pelarut rendah maka
non pelarut dapat berdifusi lebih mudah ke
dalam lapisan film atau polimer. Hal ini
akan menghasilkan kenaikan laju difusi
57
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 55-62
PES/DMF-A
PES/NMP-B
PES/DMF-C
PES/NMP-D
PES/DMF-E
PES/NMP-F
Gambar 1. Morfologi membrane PES yang dibuat dengan pelarut yang berbeda, (A) Struktur
permukaan membran PES/DMF, (B) Struktur permukaan membran PES/NMP, (C)
Struktur penampang melintang membran PES/DMF, (D) Struktur penampang melintang
membran PES/NMP, (E) Struktur makrovoid permukaan membran PES/DMF, (F)
Struktur makrovoid permukaan membran PES/NMP
antara pelarut di dalam film polimer
dengan non pelarut yang berada dalam bak
koagulasi yang menyebabkan terjadi
pemisahan secara spontan. Pemisahan
tersebut secara normal dapat dilihat dari
terbentuknya pori pada permukaan
membran, dimana bentuk pori-pori seperti
jari pada lapisan bawah (Madaeni dan
Rahimpour, 2005). Perbedaan parameter
solubilitas antara pelarut DMF lebih
rendah dibandingkan dengan pelarut NMP,
hal ini konsisten dengan karakter membran
yang dihasilkan. Pada membran PES/DMF
terjadi
pemisahan
spontan
yang
menghasilkan struktur permukaan (lapisan
atas)
membran yang lebih tipis
dibandingkan dengan PES/NMP.
58
Hasil analisis SEM terhadap stuktur
penampang melintang membran terlihat
kedua membran merupakan membran
asimetris yang terdiri dari dua lapis yang
mana lapisan atas tipis dan rapat
sedangkan lapisan bawah berpori yang
berfungsi sebagai penyangga dan dapat
memberikan ketahanan terhadap membran.
Struktur pori pada bagian lapisan bawah
terlihat berbeda, pada PES/DMF terlihat
bentuk seperti jari. Hasil ini sesuai dengan
penelitian yang telah dilakukan oleh
Hatijah, dkk. (2008). Ketebalan bagian
atas lapisan aktif berpori membran
terbentuk dari NMP lebih besar
dibandingkan dengan DMF. Bentuk
makrovoid pori-pori di membran terbentuk
Karakteristik Membran Asimetris Polietersufone…… (Sri Mulyati, dkk.)
dari NMP dan DMF sebagai pelarut
menunjukkan bahwa tingkat pembentukan
makrovoid di lapisan bawah dari membran
adalah tertinggi untuk pelarut DMF.
Pelarut DMF memiliki fluks yang lebih
tinggi karena karakteristik lapisan yang
tipis dan pori-pori makrovoid besar.
Permeabilitas air murni merupakan
salah satu karakteristik penting untuk
membran apabila diaplikasikan pada
industri. Nilai permeabilitas air murni
diperoleh dengan mengukur fluks air
murni yang melewati membran. Fluks
adalah jumlah volume permeat yang
melewati satu satuan permukaan luas
membran dengan waktu tertentu dengan
adanya gaya dorong, dalam hal ini berupa
tekanan. Fluks merupakan karakterisasi
penting bagi membran yang akan
diaplikasikan di industri. Hubungan antara
fluks air murni dengan Trans Membran
Pressure (TMP) ditunjukkan pada Gambar
2 dimana kenaikan harga TMP berbanding
lurus dengan fluks yang dihasilkan.
Gambar 2 mengindikasikan bahwa
membran PES/DMF mempunyai nilai
fluks yang lebih tinggi dibandingkan
dengan membran PES/NMP. Membran
PES/DMF mempunyai lapisan yang rapat
(dense layer) lebih tipis dibandingkan
dengan membran PES/NMP sehingga fluks
yang melewati membran akan lebih tinggi.
70
Fluks (L/m2.jam)
60
50
40
30
20
10
PES/DMF
PES/NMP
0
0,5
1
1,5
2
2,5
Trans Membrane Pressure (TMP)
Gambar 2. Permeabilitas air murni dari
membran
PES/DMF
dan
membran PES/NM
Nilai fluks terbesar diperoleh pada
membran PES/DMF dimana pada tekanan
1 bar membran PES/DMF dan membran
PES/NMP menunjukkan fluks 23,27
L/m2.jam dan 16,16 L/m2.jam sedangkan
pada tekanan 2 bar menunjukkan fluks
sebesar 59,43 L/m2.jam dan 32,25
L/m2.jam.
Koefisien permeabilitas air murni
(Lp) adalah kemampuan membran untuk
melewatkan air murni berdasarkan tekanan
operasi
pada
membran.
Koefisien
permeabilitas (Lp) menjadi salah satu
faktor penentu karakteristik membran.
Harga Lp diperoleh dari kemiringan
(slope) grafik fluks terhadap tekanan
operasi. Semakin tinggi nilai koefisien
permeabilitas maka semakin mudah solut
untuk melewati membran sehingga akan
menghasilkan nilai fluks yang tinggi.
Membran PES/NMP memiliki Lp 15,364
L/m2.jam.bar dan membran PES/DMF
memiliki Lp 35,769 L/m2.jam.bar.
Menurut Pratomo (2003), membran
ultrafiltrasi mempunyai rentangan tekanan
operasional pada 1,0-5,0 bar dengan fluks
air murni antara 10-50 L/m2.jam.bar
sehingga kedua jenis membran yang
dihasilkan dalam penelitian ini (PES/DMF
dan PES/NMP) diklasifikasikan sebagai
membran ultrafiltrasi.
Molecular Weight Cut-Off (MWCO)
MWCO adalah karakterisitik dari
pori membran yang berhubungan dengan
rejeksi dari larutan dengan berat molekul
tertentu. Persentase rejeksi dari senyawa
tersebut dapat berada dalam range 100%
sampai 0%, dimana 100% berarti semua
solut akan terejeksi sedangkan 0% berarti
tidak ada solut yang terejeksi. Secara
umum, kriteria MWCO suatu membran
dipilih apabila 90% dari suatu solut
terejeksi oleh suatu membran (Bossu, K.,
2006). Rejeksi dekstran MWCO dari
PES/DMF dan PES/NMP dapat dilihat
pada Gambar 3. Pada penelitian ini
digunakan larutan dekstran dengan variasi
berat molekul 6 kDa, 40 kDa, 70 kDa, 100
kDa dan 188 kDa. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa untuk membran
PES/DMF memiliki nilai MWCO lebih
rendah dibandingkan nilai MWCO
membran PES/NMP. Nilai MWCO untuk
membran PES/DMF adalah 177 Kda
sedangkan membran PES/NMP adalah
59
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 55-62
100
% Rejeksi
90
80
70
60
50
PES/DMF
PES/NMP
40
0
50000
100000
150000
200000
Berat Molekul Dextran (Da)
Gambar 3. Profil Molecular Weight Cut Off dari membran PES/DMF dan membran PES/NMP
186 Kda. Nilai MWCO berbanding lurus
dengan ukuran pori dari suatu membran
(Idris, dkk., 2007). Hasil ini sesuai dengan
struktur permukaan membran yang
dihasilkan, membran PES/DMF memiliki
struktur
pori
yang
lebih
besar
dibandingkan membran PES/NMP.
Kinerja Membran
Kinerja membran diukur untuk
melihat pengaruh jenis pelarut terhadap
fluks dan rejeksi dekstran dengan berbagai
ukuran molekul pada beberapa TMP.
Membran mempunyai kinerja yang baik
apabila menghasilkan fluks yang tinggi
dan rejeksi yang tidak terlalu rendah.
Pengaruh
TMP
terhadap
Fluks
Membran
Hubungan antara TMP terhadap
fluks dekstran dengan berbagai berat
(A) Membran PES/DMF
molekul ditunjukkan pada Gambar 4 yang
memperlihatkan bahwa semakin tinggi
tekanan yang diberikan maka nilai fluks
yang dihasilkan akan semakin tinggi. Hal
ini disebabkan gaya dorong yang semakin
besar sehingga semakin mendorong umpan
melewati membran. Kenaikan berat
molekul dekstran menyebabkan fluks
semakin menurun. Kinerja membran
ditentukan oleh karakter membran. Fluks
yang dihasilkan oleh kedua membran
konsisten dengan morfologi membran.
Membran PES/DMF yang memiliki pori
lebih besar dan lebih banyak dibandingkan
membran PES/NMP menghasilkan fluks
yang lebih besar dibandingkan membran
PES/NMP. Fluks tertinggi diperoleh pada
TMP 2 bar dan dekstran 6 Kda sebesar
11,4 L/m2.jam untuk membran PES/DMF
dan 10,2 L/m2.jam untuk membran
PES/NMP.
(B) Membran PES/NMP
Gambar 4. Pengaruh TMP dan berat molekul dekstran terhadap fluks membran
60
Karakteristik Membran Asimetris Polietersufone…… (Sri Mulyati, dkk.)
(A) Membran PES/DMF
(B) Membran PES/NMP
Gambar 5. Pengaruh TMP dan berat molekul dekstran terhadap rejeksi membrane
Pengaruh TMP terhadap Rejeksi
Membran
Rejeksi dipengaruhi oleh tekanan
operasi dimana rejeksi menurun dengan
bertambahnya TMP. Hal ini dapat dilihat
pada Gambar 5 dimana persentase rejeksi
larutan dekstran yang dihasilkan untuk
semua larutan dekstran yang berbeda berat
molekul
menurun
seiring
dengan
meningkatnya TMP. Membran PES/NMP
memiliki rejeksi yang lebih tinggi yaitu
94,6% dibandingkan dengan membran
PES/DMF sebesar 91,5%.
Hal ini
konsisten dengan kondisi morfologi
membran dimana membran PES/NMP
memiliki lapisan rapat (dense) yang lebih
tebal dan juga pori-pori yang lebih rapat
dibandingkan membran PES/DMF.
UCAPAN TERIMA KASIH
4. KESIMPULAN
Gierszewska, M. & Jadwiga, O.C. (2016).
Chitosan-based
membranes
with
different ionic crosslinking density for
pharmaceutical
and
industrial
applications. Carbohydrate Polymers,
153, 501-511.
Membran asimetris dari PES/NMP
memiliki struktur pori yang lebih rapat
dibandingkan membran
PES/DMF
sehingga permebilitas air murni dan
MWCO yang dihasilkan lebih rendah
dibandingkan membran PES/DMF. Kinerja
membran PES/DMF terhadap pemisahan
larutan dekstran memberikan nilai fluks
yang lebih tinggi dari pada membran
PES/NMP. Fluks tertinggi diperoleh pada
TMP 2 bar dan dekstran 6 Kda yaitu
sebesar 11,4 L/m2.jam untuk membran
PES/DMF dan 10,2 L/m2.jam untuk
membran PES/NMP. Rejeksi membran
PES/NMP mencapai 94,6% sedangkan
membran PES/DMF adalah 91,5%.
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada DP2M DIKTI yang telah
mendukung pembiayaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arthanareeswaran, G. & Starov, V.M. (2011).
Effect of solvents on performance of
polyethersulfone
ultrafiltration
membranes: Investigation of metal ion
separations. Desalination, 267(1), 5763.
Boussu K., Van der Bruggen B., Volodin A.,
Van Haesendonck C., Delcour J.A, Van
der Meeren P. (2006). Characterization
of
commercial
nanofiltration
membranes and comparison with selfmade polyethersulfone membranes.
Desalination. 191(1), 245-53.
Hatijah, B., Ahmad, F.I. & Madzlan, A. (2008).
Effect of Different Solvent in The
Preparation of Polyethersulfone (PES)Ag Polymer Composite. Jurnal
Teknologi, 49, 133–140.
He, C. & Radisav, D.V. (2016). Application of
microfiltration for the treatment of
Marcellus Shale flowback water:
Influence of floc breakage on membrane
fouling. Journal of Membrane Science,
510, 348-354.
61
BIOPROPAL INDUSTRI Vol.8 No.1, Juni 2017 : 55-62
Huang, X., Weiping, W., Liu, Y., Wang, H.,
Zhibing, Z., Wenling & F., Lei, L.
(2015). Treatment of oily waste water
by PVP grafted PVDF ultrafiltration
membrane.
Chemical
Engineering
Journal, 273, 421-429.
Idris, A., Zain, N.M. & Noordin, M.Y. (2007).
Synthesis,
characterization
and
performance
of
asymmetric
polyethersulfone (PES) ultrafiltration
membranes with polyethylene glycol of
different molecular weights as additives.
Desalination, 207(1-3), 324-339.
Kim, H.J., Tyagi, R.K., Fouda, A.E. &
Jonasson, K. (1996). The kinetic study
for asymmetric membrane formation via
phase-inversion process. Journal of
applied polymer science, 62(4), 621629.
Kim, I. C. & Lee, K. H. (2003). Effect of
various additives on pore size of
polysulfone
membrane
by
phase‐inversion process. Journal of
applied polymer science, 89(9), 25622566
Kools, W.F.C. (1998). Membrane formation by
phase inversion in multicomponent
polymer systems. Mechanisms and
morphologies. Universiteit Twente.
Madaeni, S.S. & Rahimpour, A. (2005). Effect
of type of solvent and non-solvents on
62
morphology and performance of
polysulfone
and
polyethersulfone
ultrafiltration membranes for milk
concentration. Polymers for Advanced
Technologies, 16(10), 717-724.
Mohammadi, T. & Saljoughi, E. (2009). Effect
of production conditions on morphology
and permeability of asymmetric
cellulose
acetate
membranes.
Desalination, 243(1-3), 1-7.
Mulder, M. (1996). Basic Principles of
Membrane
Technology.
Kluwer
Academic Publisher. Netherland.
Pratomo, A. & Heru. (2003). Pembuatan dan
Karakterisasi
Membran
Komposit
Polisulfon Selulosa Asetat Untuk Proses
Ultrafiltrasi.
Jurnal
Pendidikan
Matematika dan Sains, 2003, 168-173.
Vogrin, N., Stropnik, Črtomir, S., Vojko, M. &
Milan, B. (2002). The wet phase
separation: The effect of cast solution
thickness on the appearance of
macrovoids in the membrane forming
ternary cellulose acetate/acetone/water
system. Journal of Membrane Science,
207(1), 139-141.
Xu,
Z.L.
&
Qusay,
F.A.
(2004).
Polyethersulfone (PES) hollow fiber
ultrafiltration membranes prepared by
PES/non-solvent/NMP solution. Journal
of Membrane Science, 233(1), 101-111.
PEDOMAN PENULISAN NASKAH/ARTIKEL
Ruang Lingkup
Naskah/artikel yang diajukan merupakan hasil penelitian dalam bidang Bioteknologi, Proses, Pangan dan
Lingkungan yang belum pernah diterbitkan dan tidak direncanakan diterbitkan dalam penerbitan-penerbitan lain.
Naskah/artikel merupakan pemikiran sendiri, mengandung unsur kekinian/baru dan bersifat ilmiah. Naskah/artikel
yang telah diseminarkan dalam pertemuan ilmiah nasional atau internasional, hendaknya disertai catatan kaki.
Tata Cara Pengiriman Naskah
Naskah/artikel dikirim secara online melalui website http://ejournal.kemenperin.go.id/biopropal dengan melakukan
registrasi dan login terlebih dahulu. Registrasi secara online tidak dikenakan biaya. Format penulisan naskah/artikel
(journal template) dapat dilihat di website jurnal Biopropal Industri. Redaksi berhak menolak naskah/artikel yang
dianggap tidak layak untuk diterbitkan.
Penyiapan Naskah/Artikel
 Format penulisan naskah/artikel :
1. Judul, memuat maksimal 15 kata, ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
2. Nama penulis ditulis di bawah judul dengan ketentuan jika penulisnya lebih dari satu dan intansinya berbeda
maka ditandai dengan 1), 2) dan seterusnya.
3. Instansi/alamat + Email ditulis di bawah Nama penulis.
4. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia (maksimal 250 kata) dan Bahasa Inggris (maksimal 150 kata).
Abstrak berisikan latar belakang penelitian, tujuan, metode penelitian dan hasil yang diperoleh.
5. Kata Kunci/Keywords terdiri dari 3-5 kata penting dari keseluruhan naskah.
6. Pendahuluan, berisi: Latar belakang/permasalahan, teori yang mendukung (tinjauan pustaka), tujuan dan
ruang lingkup.
7. Metode Penelitian, dapat berisi: bahan, peralatan, desain eksperimen/rancangan penelitian dan prosedur
penelitian
8. Hasil dan Pembahasan.
9. Kesimpulan (dapat memuat saran bila ada).
10. Ucapan Terima Kasih (bila ada).
11. Daftar Pustaka
Daftar pustaka mengacu pada sistem APA (American Psychological Association), dengan contoh sbb:
Buku
Smith, F. J., & Jones, E. (1948). A scheme of qualitative organic analysis. London: Blackie.
Artikel Jurnal
Deutsch, F. M., Lussier, J. B., & Servis, L. J. (1993). Husbands at home: Predictors of paternal participation
in childcare and housework. Journal of Personality and Social Pyschology, 65, 1154-1166.
Lawson, W. (2004). A mental roadblock. Psychology Today, 37(5), 24.
Prosiding
Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1991). A motivational approach to self: Integration in personality. In R.
Dienstbier (Ed.), Nebraska Symposium on Motivation: Vol. 38. Perspectives on motivation (pp. 237288). Lincoln: University of Nebraska Press.
Skripsi/tesis/disertasi (tidak dipublikasi)
Bennett, K. (2003). Structures in early childhood learning. Unpublished doctoral dissertation. University of
Cape Town, Cape Town.
Penulis Korporasi
Telstra Research Laboratories. (1993). New horizon: 1993 annual report. Clayton, Vic.: Telstra Research
Laboratories.
Laporan Penelitian
Suyono, Y. (2010). Pemanfaatan Bakteri sebagai Biosorben Logam Berat Limbah Cair Industri Pelapisan
Seng. Program Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa, Baristand Industri
Pontianak, Kementerian Perindustrian, Pontianak.
Website
Fredrickson, B. L. (2000, March 7). Cultivating positive emotions to optimize health and well-being.
Prevention & Treatment, 3 Article 0001a. Retrieved November 20, 2000, from
http://journals.apa.org/prevention/volume3/pre0030001a.html
VandenBos, G., Knapp, S., & Doe, J. (2001). Role of reference elements in the selection of resources by
psychology undergraduates [Electronic version]. Journal of Bibliographic Research(5), 117-123.
 Tabel diberi nomor dan ditulis singkat serta jelas di bagian atasnya; Grafik dan gambar harus jelas, kontras dan
dibuat dengan tinta hitam. Setiap gambar diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas di bawahnya.
 Foto harus mempunyai ketajaman yang baik, diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas di bawahnya.
ISSN 2089-0877
9 772089 087760
Download