Persamaan Hak Penganut Agama dan Kepercayaan di Indonesia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Isu sentral yang akan dikaji dalam studi ini adalah persamaan hak antara
penganut agama dan penganut kepercayaan di Indonesia. Studi ini berangkat dari
tesis “penganut kepercayaan memiliki hak yang sama dengan penganut agama”.
Karena itu peraturan perundang-undangan harus melindungi hak-hak dasar
penganut kepercayaan. Hak asasi penganut kepercayaan harus dilindungi
sebagaimana negara melindungi penganut agama. Isu tersebut sesuai asas
perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan salah satu ciri
penting negara hukum (baik rechtsstaat mapun rule of law).
Menurut Philipus M. Hadjon1 ciri-ciri rechtsstaat adalah; 1) adanya
Undang-undang Dasar (selanjutnya akan ditulis: UUD) atau konstitusi yang
memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat, 2) adanya
pembagian kekuasaan negara, dan 3) diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan
rakyat.2 Menurut Julius Stahl konsep negara hukum, yang disebutnya dengan
istilah rechtsstaat, mencakup empat elemen penting, yaitu; 1) perlindungan hak
asasi manusia, 2) pembagian kekuasaan, 3) pemerintahan berdasarkan undangundang, 4) peradilan tata usaha negara.3
1
Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya; Bina
Ilmu,1987), hal.72.
2
Ni‟matul Huda, Negara Hukum Demokrasi dan Judicial Review, (Yogyakarta; UII Press,
2005), hal.9.
3
Sayuti, Konsep Rechtsstaat Dalam Negara Hukum Indonesia, Kajian Terhadap Pendapat
Azhari, dalam jurnal kajian ekonomi Islam dan kemasyarakatan volume 4 nomor 2 2001.
1
Kedua pendapat di atas menunjukkan bahwa prinsip utama negara hukum
adalah pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang bertumpu pada
prinsip kebebasan dan persamaan (liberty dan equality). Hak asasi sejatinya adalah
kebebasan dasar setiap individu manusia. Atas dasar itu, hak asasi setiap warga
negara di Indonesia yang beragam budaya, etnis, ras dan agama ini harus
terlindungi melalui peraturan perundang-undangan.4
Jaminan kebebasan menganut agama atau menganut kepercayaan di
Indonesia dijamin dalam UUD Negara Republik Indonesia (selanjutnya akan
ditulis: NRI) 1945.5 Pasal 28E ayat (1) menyatakan “setiap orang berhak memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya, .....”. Ayat (2) menyatakan “setiap orang
berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, ....., sesuai dengan hati nuraninya”.
Selanjutnya pasal 29 ayat (1) menyatakan ”negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Ayat (2) menyatakan ”negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”.
Muatan materi yang tertuang dalam konstitusi di atas koheren dengan
penduduk Indonesia yang plural, multi agama dan kepercayaan. Sayangnya, citacita ideal UUD NRI 1945 untuk melindungi hak-hak dasar setiap warga negara
yang beragam itu, belum terealisir secara penuh. Peraturan perundang-undangan
yang merinci gagasan mulia UUD NRI 1945 belum mampu memenuhi hak-hak
dasar kelompok minoritas (minority right). Salah satunya adalah pengaturan
4
Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia....., hlm. 71.
Penulis sengaja menulis „UUD NRI 1945‟ untuk menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah
UUD 1945 revisi keempat.
5
2
tentang kepercayaan yang mengandung berbagai permasalahan.6 Semangat untuk
mengakui, melindungi dan memenuhi tanpa ada diskriminasi belum diterjemahkan
dengan baik kedalam peraturan perundang-undangan tentang kepercayaan.
Mengenai eksistensi kepercayaan di Indonesia diatur dalam beberapa
peraturan perundang-undangan. Mengenai agama dan kepercayaan pertama-tama
diatur UU No. 1/PNPS Tahun 1965 yang utamanya melarang menceritakan,
menganjurkan untuk melakukan penafsiran atau melakukan kegiatan keagamaan
yang menyerupai kegiatan keagamaan „agama resmi‟ negara. 7 Persoalan
selanjutnya mengenai pelayanan Administrasi Kependudukan (Adminduk), yang
diatur UU No. 24 Tahun 2013 perubahan atas UU No. 26 Tahun 20068 khususnya
pasal yang mengatur pencantuman identitas agama di Kartu Tanda Pendudukan
(KTP).9
Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2007 tentang pelaksanaan UU
No. 34 Tahun 2013 yang mengatur pencatatan perkawinan penganut kepercayaan
mengandung persoalan.10 Selain soal Adminduk, penganut kepercayaan juga
mengalami persoalan pendidikan agama kepercayaan di sekolah umum karena UU
6
Halili dan Bonar Tigo Naipospos, Stagnasi Kebebasan Beragama; Laporan Kondisi
Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2013, (Jakarta: Pusat Masyarakat Setara,
2014), hlm. 119.
7
Lihat lebih lengkap mengenai muatan materinya dalam UU No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
8
Lihat UU Nomor 24 Tahun 2013 perubahan atas UU No. 26 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan.
9
UU No. 24 Tahun 2013 perubahan atas UU No. 26 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan.
10
Lihat, Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2007 tentang pelaksanaan UU No. 34 Tahun
2013 perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
3
No. 20 Tahun 2003 tidak mengatur hak „pendidikan kepercayaan‟ bagi siswa
penganut kepercayaan.11
Pengaturan yang spesifik mengatur kepercayaan Peraturan Bersama
(Perber) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata (Menbudpar) No. 43 Tahun 2009 dan No. 41 Tahun 2009 yang muatan
materinya mengandung persoalan secara formil dan materiil.12 Keputusan Presiden
(Keppres) No. 40 Tahun 1978 yang memindahkan kepercayaan ke Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (Direktorat
Bin Hayat Kepercayaan) dari
Departemen Agama juga bermasalah. Atas dasar Perpres di atas, dibuatlah
beberapa peraturan yakni Perpres No. 14 Tahun 2015,13 Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 73 Tahun 201214 yang secara
substansi bermasalah dalam mendefinisikan kepercayaan.
Persoalan berikutnya terdapat dalam UU No. 16 Tahun 2004 khususnya
pasal tentang pengawasan terhadap aliran-aliran kepercayaan.15 Atas UU di atas,
Jaksa Agung RI membuat keputusan No. KEP004/J.A/01/1994 tentang
pemembuatan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan (Bakor Pakem).
11
Lihat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam undang-undang ini
sama sekali tidak merumuskan pendidikan agama bagi siswa yang menganut kepercayaan.
12
Lihat, Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Peraturan bersama ini merupakan aturan pokok untuk melakukan
pelayanan bagi penganut kepercayaan di Indonesia.
13
Lihat, Peraturan Presiden (Perpres) No. 14 Tahun 2015 tentang Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Peraturan ini dimungkinkan akan terus berubah-ubah karena setiap tahun akan selalu
ada perubahan sesuai dengan keputusan menteri.
14
Selengkapnya lihat, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 73 Tahun 2012
tentang Bantuan Sosial Untuk Komunitas Budaya.
15
Lihat, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Undang-undang ini merupakan landasan
bagi pembentukan Pakem yang selama ini menjadi persoalan bagi penganut kepercayaan.
4
Peraturan perundang-undangan di atas, hanya sebagian persoalan yang
dialami penganut kepercayaan.16 Apabila dikomulasikan, setidaknya ada tujuh
persoalan yang menyangkut hak dasar penganut kepercyaan, yakni; pemakaman,
pembuatan sanggar, pendidikan agama, pelayanan Adminduk seperti pembuatan
KTP, KK, Akta Nikah, Akta Kelahiran, dan pengawasan yang berlebihan.
Persoalan inilah yang utamanya bertentangan dengan konstitusi UUD NRI 1945.
Demikianlah beberapa persoalan sementara yang menjadi titik tolak penulis
melakukan studi tentang “persamaan hak penganut agama dan kepercayaan di
Indonesia”.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, yang menggambarkan berbagai
persoalan pengaturan tentang kepercayaan, maka yang menjadi isu sentral dalam
penelitian ini adalah kondisi peraturan perundang-undangan yang ada jauh dari
semangat memberikan perlindungan secara sama atau setara kepada penganut
kepercayaan dan penganut agama. Atas dasar isu sentral tersebut maka selanjutnya
dirumuskan isu-isu spesifik penelitian ini sebagai berikut:
A. Konsep Agama dan Kepercayaan, Penganut Agama dan Penganut
Kepercayaan di Indonesia.
B. Konsep Hukum Persamaan Hak Penganut Agama dan Penganut
Kepercayaan di Indonesia.
16
Untuk lebih detail perundang-undangan apa saja yang bermasalah, akan diuraikan dalam bab
empat.
5
C. Pengaturan tentang Kepercayaan yang Sesuai dengan Hakikat Kesamaan
Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan serta Konsep Hukum
Kesamaan Hak Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan.
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk menjustifikasi keharusan
bagi negara untuk memberikan perlindungan yang setara kepada penganut agama
dan penganut kepercayaan. Sementara tujuan khusus penelitian ini adalah:
A. Menjustifikasi kesamaan hakikat kepercayan dan agama serta penganut
agama dan penganut kepercayaan di Indonesia.
B. Menjustifikasi hukum persamaan hak penganut agama dan penganut
kepercayaan di Indonesia.
B. Menjustifikasi bahwa negara gagal dalam merumuskan peraturan
perundang-undangan yang menjamin kesetaraan antara penganut agama
dan kepercayaan. Sehingga peraturan perundang-undangan tersebut
seyogyanya ditinjau sesuai dengan preskripsi penelitian ini.
D. MANFAAT PENELITIAN
Setelah ada pemetaan mengenai tujuan penelitian diharapkan ada
kegunaannya. Penelitian ini diharapkan bisa memberikan kegunaan baik secara
teoritis maupun praktis:
1. Dari sisi teoritis, penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu
hukum tata negara di Indonesia, terkhusus dalam kajian tentang hak asasi
manusia penganut kelompok minoritas agama/kepercayaan.
6
2. Dari sisi praksis-implementasi, penelitian ini sangat diharapkan bisa
memberikan sumbangsih bagi pengambil kebijakan (eksekutif dan
legislatif) dalam menyusun perangkat peraturan perundang-undangan
tentang kepercayaan.
3. Hasil penelitian ini juga diharapan memberikan kontribusi signifikan sebagai
rujukan para praktisi yang mengadvokasi korban-korban pelanggaran HAM
karena memeluk kepercayaan.
E. KERANGKA TEORI
1. Perlindungan Terhadap Martabat Manusia
Perlindungan atau pemeliharaan (hifdz) terhadap martabat manusia (human
dignity) adalah kewajiban negara. Theo Huijbers mendefiniskan hak asasi dengan
istilah „martabat‟. Dengan menyebut manusia menurut martabatnya, dimaksudkan
bahwa manusia merupakan suatu makhluk yang istimewa, yang tidak ada
bandinganya di dunia ini.17 Dalam arti universal, tiap-tiap pribadi manusia itu
masing-masing bernilai. Sesuai dengan nilainya itu semua manusia (tanpa ada
pembedaan) harus dihormati. Keistimewaan manusia (sebagai dasar hak-hak)
terletak dalam wujud manusia itu sendiri, sebagaimana didapati melalui
pikiranya.18
17
Soetandyo Wignjosoebroto, Modul Pelatihan untuk Menjadi Pelati Hak Atas Kebebasan
Beragama atau Berkeyakinan, diterbitikan kejasama antara Yayasan Tifa, YLBHI, ICLRS, dan The
Delo Coalition, hlm. 110.
18
Martabat manusia merupakan hak asasi dalam setiap individu manusia. Hak-hak manusia
disebut sebagai hak asasi karena dianggap fundamental yang diatasnya seluruh organisasi hidup
bersama harus dibangun. Hak-hak semacam itu merupakan asas-asas semua perundang-undangan.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius. 1995), hlm. 97
7
Theo Huijbers secara tradisional membedakan dua macam hak dan
kewajiban, yakni; Pertama, adalah hak yang dianggap melekat pada tiap-tiap
manusia sebagai manusia, sebab berkaitan dengan realitas manusia sendiri.
Karenanya hak itu dinamakan hak manusia. Dikatakan juga bahwa hak itu ada
pada manusia, sebab manusia harus dinilai menurut martabatnya. Hak ini tidak
tergantung pada persetujuan orang dan tidak dapat dicabut oleh seorang pun di
dunia ini. Hak-hak tersebut timbul bukan karena pembentukan undang-undang,
karena hak manusia ada mendahului undang-undang.
Kedua, kategori hak yang ada pada manusia akibat adanya peraturan, yakni
hak timbul karena adanya peraturan perundang-undangan. Hak yang demikian
tidak langsung berhubungan dengan martabat manusia, tetapi menjadi hak, sebab
tertampung dalam peraturan perundang-undangan yang sah.19 Hak asasi yang
digolongkan dalam dua jenis, yakni hak individual dan sosial. Hak asasi yang
merupakan hak fundamental melekat pada pribadi manusia adalah hak atas hidup
dan perkembangan kehidupan.
Umpanya hak atas kebebasan batin, atas kebebasan agama, atas kebebasan
dalam hidup pribadi, hak atas nama baik, hak untuk mengadakan pernikahan,
untuk membentuk keluarga dan lain-lain. Itulah hak-hak yang melekat pada
individu manusia. Kemudian hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk
sosial dibagi dalam hak-hak ekonomi dan hak kultural. Hak-hak manusia di atas
19
Theo Huijbers, Filsafat Hukum......., hlm. 96.
8
menyangkut hak untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok hidup, yakni
pangan, sandang, kesehatan, pekerjaan, serta pendidikan.20
Perlindungan terhadap martabat manusia itu sejalan dengan konsep negara
hukum. Wiryono Projodikoro21 sebagaimana dikutif Bahder Johan Nasution,
mendefinisikan negara hukum, dimana para penguasa dalam melaksanakan tugas
kenegaraannya terikat dengan hukum.22 Perlindungan terhadap martabat manusia
ini sejalan dengan konsep negara hukum, dimana Indonesia merupakan negara
hukum (lihat; UUD NRI 1945).23 Sesuai pengertian di atas perlindungan HAM
sebagai prinsip esensial negara hukum, sejalan dengan sistem konstitusional
Indonesia yang dibangun berdasarkan atas negara hukum dan perlindungan
HAM.24
2. Relasi Agama dan Negara
Persoalan yang kerap mungundang perdebatan dalam sistem politik modern
adalah membangun relasi antara agama dan negara. Secara teoritis, relasi agama
dan negara didefinisikan secara beragam. Ran Hirschl mengategorikan relasi
agama dan negara kedalam delapan model yakni; model negara ateis, model
20
Secara ontologis, para filsuf Yunani, Skolastik, dan Arab, menyatakan manusia adalah
makhluk istimewa. Pada abad ini Max Scheler mengetengahkan bahwa manusia merupakan suatu
makhluk rohani yang melebihi makhluk-makhluk lainya karena akal budinya yang transenden.
Lihat, Theo Huijbers, Filsafat Hukum......., 97-98.
21
Wiryono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia (Jakarta; Dian Rakyat.
1971), hlm. 10 .
22
Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung; Mandar Maju,
cet 3, 2014) hlm. 1.
23
Sayuti, Konsep Rechtsstaat Dalam Negara Hukum Indonesia.........
24 Lihat, Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, (Jakarta; Pustaka Utama Grafiti , 2008) hlm. 36.
Lihat juga Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Fundasi dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum
Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional di Indonesia (Disertasi Pada Universitas
Padjajaran Bandung, 2006), hlm. 6.
9
sekuler tegas (assertive),25 model pemisahan netralitas negara terhadap agama,
model agama dalam posisi lemah,26 model pemisahan formal namun pengunggulan
satu agama, model pemisahan akomodatif multikultural,27 model wadah
keagamaan, dan terakhir model agama sebagai sumber hukum negara.28
Selain delapan model di atas, ada pendapat yang lebih sederhana. Tedi
Kholiludin mengutip J. Philip Wogaman, menyatakan empat bentuk relasi gereja
dan negara, yakni; model teokrasi,29 model erastianisme,30 model pemisahan
agama dan negara ‟secara ramah‟ (friendly),31 dan model pemisahan agama dan
negara tidak ramah (unfriendly).32 Musdah Mulia dan Luthfi Assyaukanie,
25
Cina merupakan negara yang termasuk dalam model pertama ini pada 1949 dan di Jamaica
melalui gerakan Rastavara. Sementara model kedua menetapkan bentuk sekularisme yang
melampaui netralitas terhadap agama. Ran Hirschl, Comparative Constitutional Law and Religion
dalam jurnal Research Handbooks In Comparative Law, (editor: Tom Ginsburg, Rosalind Dixon),
(Northampton, MA, USA, Edward Elgar Publishing Limited, 2011), hlm. 423.
26
Model ketiga ini menekankan pada keberimbangan negara terhadap agama. Sementara model
keempat merupakan penunjukan suatu agama sebagai ‟agama negara‟. Sebagai contoh, kepala
negara Norwegia, seorang pemimpin gereja, Ran Hirschl, hlm. 424-427.
27
Model kelima ini menggambarkan sebuah negara yang memisahkan secara formal antara
gereja dan negara tetapi secara politik ada hegemoni gereja atas Negara. Sementara model kelima
diterapkan umumnya pada masyarakat imigran terutama Kanada dengan merefleksikan komitmen
terhadap multikulturalisme dan keragaman, Ran Hirschl, hlm. 430-431.
28
Model ketujuh ini, mengakui otonomi hukum adat untuk mengikuti tradisi mereka dalam
wilayah hukum terutama dalam masalah hukum keluarga. Sementara model kedelapan ini
merupakan negara teokrasi yang tergambar pada masyarakat primitip seperti Tibet, sekte Mormon
awal di Utah serta Iran, Lihat Ran Hirschl, hlm. 433-435
29
J. Philip Wogaman, Christian Persfectives on Politics, (Kentucky; Westminster. John Knox
Press. 2000), hlm. 250. Lihat juga, Tedi Kholiludin, Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil
di Indonesia, (Salatiga; Fakultas Teologi UKSW. 2014), hlm. 114.
30
Bentuk ini menggambarkan bahwa negara memiliki ‟agama resmi‟, agama yang mapan
dipenuhi hak-haknya sementara agama yang inferior haknya tidak dipenuhi. Lihat, Tedi Kholiludin,
Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesia…… hlm. 115.
31
Menurut Tedi, model ini merupakan prinsip yang dipraktikan di Amerika Serikat. Prinsip
tidak memapankan agama dalam konstitusi Amerika tidak harus dipahami sebagai suatu yang
negatif. Tedi Kholiludin, hlm. 116.
32
Model ini memisahkan secara legal antara agama dan negara dalam posisi yang antagonistik.
10
mengategorikan tiga kecenderungan relasi agama dan negara, yakni; model negara
agama, model agama sebagai spirit bernegara, dan model negara sekuler.33
Nasaruddin Umar menyatakan, Indonesia bukan negara agama. Indonesia
bukan pula negara yang mengakui adanya salah satu agama resmi.34 Indonesia
adalah negara Pancasila dimana semua agama dan masing-masing pemeluknya
diperlakukan sama sebagai warga negara Indonesia.35 Ada pendapat menarik dari
Sumanto Al-Qurtuby dengan mengutip pernyataan Rais Aam PBNU (alm) K.H
M.A Sahal Mahfudz yang mengatakan, meskipun negara dan agama tidak dapat
dipisahkan, namun bukan berarti negara beserta produk-produknya harus
berlabelkan Islam. Agama cukup menjadi spirit dalam bernegara sehingga tujuan
syariat untuk memelihara agama (din), akal (aql), jiwa (nafs), harta (mal) dan
keturunan (nasl) terlaksana.36
Bahkan negara tidak boleh intervensi terhadap keyakinan keagamaan.
Negara tidak berhak turut campur terhadap internal keagamaan, negara hanya
dibolehkan melakukan intervensi terhadap agama dalam masalah ekspresi
keagamaan. Jazim Hamidi dan M Husnu Abadi berpendapat bahwa campur tangan
33
Sarjana Indonesia sejatinya banyak yang merumuskan model relasi agama dan negara.
Meskipun dalam jumlah model yang berbeda namun substansinya hampir sama. Namun pada
prinsipnya adalah “agama adalah agama”. Lihat, Hasyim Asy’ari, Relasi Negara dan Agama di
Indonesia, jurnal RechtsVinding Online, hlm.2.
34
Karena tidak tegas apakah menganut sistem sekuler atau teokrasi ini Indonesia mengalami
banyak persoalan dalam merumuskan peraturan perundang-undangan.
35
Nasaruddin Umar, Antara Negara dan Agama Negara, diambil dari situs resmi depag.go.id,
Senin, 4 April 2015.
36
Sumanto Al-Qurthubi. Era Baru Fiqih Indonesia, (Yogyakarta; Cermin: 2002), hlm. 86.
Buku ini merupakan skripsi di IAIN Walisongo tahun 1999. Lihat juga Neneng Yani Yuningsih,
Pola Interaksi (hubungan) Antara Agama, Politik dan Negara (pemerintah) Dalam Kajian
Pemikiran Politik (Islam), hlm. 14-15.
11
negara terhadap agama hannya sebatas pada fasilitas, sarana, dan prasarana, 37
bukan menentukan sebuah kelompok keyakinan masuk pada kategori agama atau
kepercayaan.
3. Perlindungan dari Intervensi Negara terhadap Kebebasan Menganut
Kepercayaan
3.1. Toleransi Beragama
Kedudukan agama dan kepercayaan sama, tidak ada yang istimewa di mata
negara. Atas dasar itu, negara harus mendorong susana toleransi supaya
perlindungan
terhadap
martabat
manusia
terlaksana.
Presiden
keempat,
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berpandangan, untuk menciptakan iklim toleransi,
negara harus mengarahkan pada pemikiran dan sikap inklusif dalam kehidupan
keberagamaan.38 Sikap tegasnya dalam mendorong toleransi antar umat beragama
dengan dicabutnya TAP MPRS XXV/1966 menunjukkan bahwa Gus Dur betulbetul bertekad menyejajarkan penganut Kong Hu Chu dengan penganut agama
lima agama lainnya. Mengenai toleransi beragama, Jimly Asshiddiqie mengatakan,
penganut agama selain Islam di Indonesia sangat besar sehingga tidak boleh
diabaikan hak-haknya.39
Semua peraturan perundang-undangan harus mendorong kondisi beragama
yang toleran. Hal ini penting, karena tak jarang peraturan perundang-undangan
37
Negara tidak boleh intervensi terlalu jauh dalam masalah agama. Negara tidak boleh ikut
campur dalam masalah keyakinan atau materi agamanya, mareka keyakinan itu hak yang tidak bisa
dikurangi. Jazim Hamidi dan M Husnu Abadi, Intervensi Negara Terhadap Agama, (Yogyakarta;
UII Pres. 2001), hlm. 13
38
Abdurrahman Wahid, Muslim di Tengah Pergumulan, (Jakarta; Lappenas, 1981), hlm. 173.
39
Jimly Asshiddiqie, Toleransi dan Intoleransi Beragama di Indonesia Pasca Reformasi,
makalah dalam dialog Kebangsaan tentang “Toleransi Beragama”, Ormas Gerakan Masyarakat
Penerus Bung Karno, di Hotel Borobudur Jakarta, 13 Februari, 2014.
12
justru menjadi pemicu kasus intoleran di masyarakat. Sebagai contoh, Perber
Menteri Agama (Menag) dan Mendagri No. 9/8 Tahun 2006 tentang Pendirian
Rumah Ibadah yang mewajibkan adanya syarat persetujuan 90 jamaah 60
penduduk sekitar. Aturan ini menjadi ganjalan bagi penganut agama minoritas
termasuk penganut kepercayaan untuk membuat tempat ibadah atau sanggar serta
memicu tindakan intoleransi.
John Locke, pernah membuat surat yang terkenal tentang toleransi pada
tahun 1689 yang isinya sebagai berikut:
“...... Apabila berkumpul secara hidmat, menjalankan perayaan agama, beribadah
di tempat umum diijinkan kepada kelompok agama tertentu, maka hal ini juga harus
diijinkan terhadap kelompok agama yang lain...”40
Berdasarkan uraian di atas, maka negara dalam membuat peraturan
perundang-undangan harus mendorong pada suasana toleransi. Negara harus
mengakomodir kebebasan penganut kepercayaan selaku kelompok minoritas.
Negara dalam membuat kebijakan harus bersifat netral, tidak memicu konflik atas
dasar agama/kepercayaan.
3.2. Prinsip Non-Intervensi dan Diskriminasi Negara terhadap Penganut
Kepercayaan
Adanya UUD NRI 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM serta
diratifikasinya International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
menjadi UU No. 12 Tahun 2005 menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai itikad
40
Locke memaknai toleransi sebagai persamaan perlakuan diantara kelompok-kelompok
keagamaan/kepercayaan. Dengan kata lain toleransi mengandung makna memberikan kesempatan
kepada kelompok agama lain untuk melaksanakan/menjalankan peribadatannya. Archot
Krishnaswami, Study of Discrimination In the Matter of Religious Rights & Practices 3 (1983).
Lihat juga, Uli Parulian Sihombing, Hak Atas Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Dalam
Perspektif HAM: Teori Dan Praktek, makalah dalam kursus HAM untuk Pengacara Angkatan
XVII, ELsam, 28 November 2013.
13
baik dalam pemenuhan HAM. Dalam konsep pemenuhan hak asasi manusia,
pelaku pelanggarannya selalu dilakukan negara dengan cara aktif (commision) dan
dengan cara pasif (ommision).
Untuk mengetahui pelanggaran kebebasan beragama atau kepercayaan
dapat dilihat dari tiga kewajiban negara, yakni; Pertama, kewajiban untuk
menghormati (to respect). Negara tidak perlu ikut campur dalam hak kebebasan
memilih agama juga pindah agama atau kepercayaan. Kedua, kewajiban
melindungi (to protect). Negara harus melindungi semua warga negara, semua
agama termasuk melindungi hak dari intervensi pelaku non-negara (private
interference). Ketiga, kewajiban memenuhi atau memfasilitasi (to ful fill). Terkait
kewajiban ini negara harus memenuhi hak ekonomi sosial dan budaya seperti hak
pendidikan, pekerjaan, dan pangan.41
Merujuk uraian di atas, kunci pemenuhan hak dasar penganut kepercayaan
adalah tindakan non-intervensi dan diskriminasi dari pemerintah. UU No. 12 tahun
2005 mendefinisikan diskriminasi sebagai pembedaan (distinction), eksklusi
(exclusion), pembatasan (restriction) atau pilihan (preference) yang mempunyai
maksud untuk meniadakan atau mengurangi setiap orang untuk menikmati dan
melaksanakan hak-haknya.
Prinsip non-diskriminasi mencakup wilayah
persamaan didepan hukum dan persamaan perlindungan hukum dimana setiap
41
Tedi Kholiludin (edit), Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, di Jawa
Tengah, (Semarang; eLSA Pers, 2014), hlm. 6-7. Lihat juga, Hesti Armiwulan (penanggungjaab
penelitian), Laporan Pemetaan Hak Atas Kebebasan Beragama dan Kepercayaan di Enam Daerah:
Kotamadya Tangerang (Prov. Banten), Kab. Lebak (Prov. Banten), Kab. Sukabumi (Prov.Jawa
Barat) , Kab. Tasikmalaya, Kab. Blora (Prov. Jateng), Kotamadya Solo (Prov. Jateng), (Jakarta;
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 2009), hlm. 16.
14
orang dijamin dan dilindungi secara efektif dan setara terhadap paktik-praktik
diskriminasi. Prinsip non-diskriminasi ini erat kaitanya dengan prinsip toleransi
yang telah dijabarkan di atas.
Berdasarkan penjelasan di atas, negara harus mampu merumuskan
perundang-undangan yang sesuai dengan prinsip non-intervensi dan diskriminasi.
Umpamanya persoalan pembangunan rumah ibadah, negara tidak boleh membedabedakan antara penganut agama dan penganut kepercayaan. Jika agama diberikan
aturan yang mapan untuk menjalankan ibadah, maka penganut kepercayaan juga
harus diperlakukan sama.
F. METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian hukum.42 Untuk menjawab isu hukum
tersebut di atas peneliti akan menggunakan tiga pendekatan, yakni;
Pertama,
pendekatan
perundang-undangan
(statute
approach).43
Pendekatan peraturan perundang-undangan ini untuk menjawab persoalan dalam
peraturan perundang-undanan yang berkaitan dengan kepercayaan dengan
mengacu kepada UUD NRI 1945, UU No. 39 Tahun 1999, UU No. 12/2005, UU
42
Mengenai istilah ”penelitian hukum normatif”, menurut Peter Mahmud Marzuki tidak perlu.
Istilah legal research, dalam bahasa Belanda rechtsonderzoek yang artinya selalu normatif
Mengikuti pendapat Marzuki, penulis menamakan penelitian ini dengan ”penelitian hukum”.
bersifat normatif. Lihat, Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
(Malang; Banyumedia Publishing. 2006), hlm. 45. 42. Lihat juga Titon Slamet Krunia, Sri Harini
Dwiyatmi, dan Dyah Hapsari P, Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum dan Penelitian Huku di Indonesia
(Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 129.
43
Peter Mahmud Marzuki mengatakan, pendekatan perundang-undangan adalah penelitian
yang dilakukan dengan mengkaji semua perundang-undang dan pengaturan yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang diteliti. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta;
Prenada Media. Cet-6.2010), hlm. 139.
15
No. 11 Tahun 2005, UU No. 12 Tahun 2011 dan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM).
Kedua, pendekatan konseptual (conseptualical approach).44 Pendekatan ini
digunakan untuk menganalisis permasalahan peraturan perundang-undangan
tentang kepercayaan dengan mengacu pada asas/prinsip secara teoritis. Prinsipprinsip yang digunakan dalam penelitian ini, yakni; prinsip non-intervensi, prinsip
non-diskriminasi, dan prinsip toleransi negara terhadap penganut kepercayaan.
Ketiga, pendekatan kasus (case approach).45 Pendakatan kasus, akan
digunakan untuk menganalisis peraturan perundang-undangan dengan pendapat
hakim yang pernah memutus kasus yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan.
Pendapat hakim dalam kasus-kasus tersebut utamanya pendapat hakim Mahkamah
Konstitusi (MK) Maria Farida Indrati dalam putusan Putusan MK No. 84/PUUX/2012.
Bahan-bahan hukum yang akan diteliti dalam penelitian ini dibedakan
menjadi dua. Pertama, peraturan perundang-undangan yang dipermasalahkan
karena tidak kondusif dalam melakukan perlindunan terhadap penganut
kepercayaan,46 yaitu;
1. UU No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama.
2. UU No. 24 Tahun 2013 perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan.
44
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, hlm. 177
Peter Mahmud Marzuki, hlm. 158
46
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta; Sinar Grafika. 2010), hlm. 47
45
16
3. PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 24 Tahun 2013
tentang Administrasi Kependudukan.
4. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
5. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
6. Keppres No. 40 Tahun 1978 tentang Pemindahan Kepercayaan dari
Kementerian Agama ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
7. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan
Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
8. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
No. 73 Tahun 2012
tentang Bantuan Sosial Untuk Komunitas Budaya.
9. Peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun
2006 dan No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
Pendirian Rumah Ibadat.
10. Keputusan Jaksa Agung RI No. : KEP004/J.A/ 01/1994 tentang
Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan.
Kedua, peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam merumuskan
asas atau prinsip perlindungan hak penganut kepercayaan, yaitu;
1. UUD NRI 1945
2. UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak asasi Manusia
17
3. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Kovenan Hak Sipil dan Politik
4. UU No. 11 Tahun 2005 Tentang Kovenan Hak Ekonomo Sosial dan
Budaya
5. UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan
6. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Hasil penelitian ini disajikan dalam suatu karya ilmiah berupa tesis yang
terdiri dari 5 (lima) bab dan tiap-tiap bab akan dirinci menjadi beberapa sub bab:
Bab I : Pendahuluan
Pendahuluan ini berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
mantaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II : Konsep Agama dan Kepercayan, Penganut Agama dan Penganut
Kepercayaan di Indonesia
Bab ini berisi; pertama, konseps agama dan penganut agama. Kedua,
konsep kepercayaan dan penganut kepercayaan. Ketiga, konsep kesamaan
kedudukan antara penganut agama dan penganut kepercayaan.
Bab III : Konsep Hukum Persamaan Hak Penganut Agama dan Penganut
Kepercayaan di Indonesia
Bab ini berisi; Pertama, membahas prinsip universalitas hak asasi manusia.
Kedua, membahas prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan. Ketiga,
18
membahas kesamaan hak antara penganut agama dan penganut kepercayaan di
Indonesia.
Bab IV : Peraturan Kepercayaan dan Penganut Kepercayaan serta Agama
dan Penganut Agama di Indonesia
Bab ini akan dibagi dalam tiga sub bab, yakni; Pertama, membahas
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang agama dan kepercayaan di
Indonesia. Kedua, membahas semua peraturan perundang-undangan tersebut
bertentangan dengan asas atau prinsip kesamaan hak penganut agama dan
kepercayaan. Ketiga, membahas preskripsi peraturan perundang-undangan tentang
kepercayaan yang sesuai dengan asas atau prinsip kesamaan hak antara penganut
agama dan kepercayaan di Indonesia
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini terdiri dari kesimpulan dari penelitian yang dilakukan dan saransaran yang dianggap perlu sebagai masukan bagi pihak yang berkepentingan. Bab
ini boleh dibilang bab ini pungkas dari penelitian yang dilakukan.
19
Download