1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Antara tahun 2010-2012, sepak bola Indonesia dilanda intrik dan konflik. Konflik tersebut dapat dibagi menjadi dua, yakni pertama, konflik pengurus yang menyebabkan munculnya dualisme kepengurusan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), yaitu PSSI versus Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI), dan kedua, dualisme sistem kompetisi yaitu Liga Super Indonesia (LSI) versus Liga Primer Indonesia (LPI). Konflik itu berawal saat Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI periode 20072011, menjalani hukuman penjara di LP Cipinang karena terlibat korupsi penyaluran minyak goreng tahun 1999-2000, saat Indonesia masih didera krisis ekonomi. Dari balik jeruji penjara Nurdin Halid mengendalikan organisasi sepak bola Indonesia. Hal ini memicu kontroversi. Ia dinilai oleh sejumlah kalangan memanipulasi Statuta FIFA, Induk organisasi sepak bola dunia. Sebab dalam statuta FIFA disebutkan bahwa seseorang yang melakukan tindak kriminal dilarang memimpin atau menjadi pengurus asosiasi sepak bola dibawah FIFA. Kondisi ini diperparah dengan prestasi sepak bola Indonesia yang berada dititik nadir. Selama dibawah kendali Nurdin Halid, Tim Nasional kelompok usia manapun belum pernah berprestasi. Puncak kekecewaan ditandai keinginan beberapa kalangan melengserkan Nurdin Halid. Berbagai usaha dicoba oleh para penentang Nurdin Halid. Di antaranya mencoba menempatkan Kongres Sepak Bola Nasional (KSN) di Malang pada 2 akhir Maret 2010 menjadi Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) dengan agenda mengganti Nurdin Halid. Namun, gerakan yang diinisiasi oleh Presiden Soesilo Bambang Yudoyono dan didukung oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) gagal total melengserkan Nurdin Halid dari posisinya. Usaha selanjutnya adalah mencoba menggembosi kompetisi resmi PSSI, Liga Super Indonesia (atau juga disebut Indonesian Super League/ISL) dengan membuat kompetisi tandingan yakni Liga Primer Indonesia (atau juga disebut Indonesia Primere League/IPL). Pengagas IPL ialah Arifin Panigoro, pengusaha sekaligus politisi yang berniat maju menggantikan Nurdin Halid sebagai Ketua Umum PSSI. Sampai tahun 2013 terjadi dualisme sistem kompetisi di Indonesia Usaha Nurdin Halid untuk bertahan diposisinya dilakukan dengan matimatian. Salah satunya ialah mengganjal calon ketua umum lainnya. Melihat cara Nurdin yang dinilai ―curang,‖ penentangnya pun menggunakan cara ―kekerasan‖ dengan mengambil alih Kongres PSSI di Pekanbaru, Riau Maret 2011 secara paksa sehingga menjadi deadlock. Konflik kepengurusan sepak bola Indonesia merupakan arena yang memiliki grafitasi menarik segenap pemilik kepentingan untuk ―bertarung‖ guna memperebutkan sumber daya di dalamnya. Konflik itu ibaratnya ranah (field),meminjam istilah Bourdieu, yang di dalamnya terdapat upaya perjuangan untuk merebut sumber daya (modal) dan juga demi memperoleh akses tertentu guna menentukan posisi. Ranah sekaligus arena pertarungan di mana mereka yang menempatinya dapat mempertahankan atau mengubah konfigurasi kekuasaan yang ada. Struktur ranahlah yang 3 membimbing dan memberikan strategi bagi penghuni posisi, baik individu maupun kelompok, untuk melindungi atau meningkatkatkan posisi mereka dalam kaitannya dengan jenjang pencapaian sosial. Atas dasar itulah perhatian media massa di Ibu Kota terhadap peristiwaperistiwa konflik di PSSI yang terjadi dalam kurun waktu 2010-2012 cukup serius. Hampir semua media seolah-olah berlomba memberitakan persoalanpersoalan tersebut dengan perspektif masing-masing. Harian Kompas dan Sindo, misalnya, dari Januari sampai Juni 2011, setiap hari menurunkan berita yang berkaitan dengan PSSI dan LPI; demikian pula dengan tabloid Bola, tabloid olahraga ini bahkan membuat rubrik khusus IPL. Jumlah pemberitaan masingmasing media tersebut mencapai lebih dari seratus item berita. Jumlah berita yang demikian besar ini menunjukkan bahwa olah raga sepak bola merupakan olah raga paling popular dan menarik minat pembaca paling tinggi di Indonesia. Berikut datanya: Tabel 1.1 Jumlah Pemberitaan Konflik Kepengurusan Sepak Bola Indonesia Januari-Juni 20111 Media Jumlah Berita Kompas 136 Seputar Indonesia (Sindo) 118 Bola 479 Sumber: diolah dari kumpulan kliping berita PSSI dan LPI di Kompas, Sindo dan Bola 1 Jumlah pemberitaan konflik sepak bola jauh lebih besar bila dibanding dengan konflik organisasi olah raga lain. Seperti yang terjadi pada kepengurusan di Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PTMSI), konflik ini sepi dari pemberitaan media. Padahal yang ―berkonflik‖ di PTMSI melibatkan elit-elit politik nasional seperti Komisaris Jenderal (Purn) Oegroseno, mantan Wakil Kepala Kepolisisn RI vs Marzuki Alie, mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat 4 Persoalan konflik sepak bola di Indonesia memang sarat kepentingan ekonomi dan politik yang bertali-temali dengan industri media. Keinginan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyelenggarakan Kongres Sepak Bola Nasional (KSN) Maret 2010, misalnya, pertama kali diungkapkan saat bertemu dengan pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Istana Negara Rabu, 27 Januari 2010. Dalam pertemuan tersebut, Presiden SBY meminta PWI membantu pemerintah menggelar KSN pada tanggal 29-30 Maret 2010. Pendukung Nurdin Halid waktu itu menilai PWI memiliki kepentingan dengan KSN, karena sejatinya organisasi para wartawan itu tidak mengurusi sepak bola. Pendukung Nurdin Halid menilai PWI berkeinginan menjatuhkan Nurdin Halid. 2 Kontradiksi kepentingan lainnya terkait saat Timnas senior PSSI berlaga di Piala AFF 2010. Saat itu TV One memperoleh akses untuk berada satu pesawat dengan Timnas, yang akan bertanding pada putaran final laga pertama melawan Malaysia. Kru media TV One secara eksklusif mewawancarai sejumlah pemain dalam pesawat. Perlakukan istimewa itu ternyata diperoleh dengan menggunakan koneksi Nirwan D. Bakrie, Wakil Ketua Umum PSSI periode 2007-2011, yang juga adik kandung Aburizal Bakrie, salah satu pemilik TV One yang juga Ketua Umum Partai Golkar. Tak hanya itu, saat Timnas Indonesia maju ke final AFF setelah mengalahkan Filipina di semifinal, Timnas PSSI menghadiri undangan Aburizal Bakrie guna bersantap malam. Peristiwa itu menjadi sorotan kritik saat itu, karena dianggap sebagai ajang pencitraan Partai Golkar dan Nurdin Halid. Kritik lain juga mengemuka, mengapa kru Rajawali Citra Televisi Indonesia 2 http://bola.kompas.com/read/2010/02/04/04333971/pwi-koni.lakukan.kongres.sepak.bola, diakses Jumat 11 Oktober 2013 pukul 05.30 5 (RCTI) tidak diikutkan dalam pesawat yang ditumpangi Timnas, padahal RCTI yang memperoleh hak siar pertandingan Timnas.3 Penelitian penulis sebelumnya yang berjudul ―Wajah Sepak Bola Indonesia Dalam Bingkai Pemberitaan Media‖ menemukan bahwa adanya konflik kepentingan atas peristiwa KSN (Kongres Sepak Bola Nasional) yang dilaksanakan di Malang, Jawa Timur 29-30 Maret 2010. KSN yang sebetulnya adalah kongres untuk mencari solusi atas terpuruknya sepak bola nasional dimaknai Kompas sebagai momentum yang tepat guna mengganti Ketua Umum PSSI Nurdin Halid. KSN pun didorong untuk menjadi Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI. Padahal menurut Statuta PSSI, KLB baru bisa digelar apabila sudah memperoleh rekomendasi 2/3 suara dari pemilik suara PSSI yang jumlahnya mencapai 78 klub. 4 Sebaliknya Suara Karya, koran kepanjangan tangan Partai Golkar, lebih fokus meng-counter isu-isu pelengseran Nurdin Halid dari Ketua Umum PSSI daripada memberitakan substansi kongres tersebut. Apa yang dikatakan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel5 bahwa Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional, tidak berlaku. Elemen komprehensif dan proporsional mengamanahkan agar jurnalis mencari sebanyak mungkin narasumber berita, supaya kebenaran muncul ke 3 http://news.detik.com/read/2010/12/28/121916/1534087/159/3/cari-popularitas-lewat-timnasberbuah-blunder diakses Minggu 6 Oktober 2013 pukul 08:22 4 Hasil penelitian dimuat pada Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta dengan Artikel berjudul Bola Indonesia dalam Bingkai Pemberitaan Media, Edisi September 2010. Jurnal itu terkareditasi B dari Dirjen Dikti. Artikel dapat diunduh pada http://repository.upnyk.ac.id/2508/ 5 Bill Kovach adalah wartawan harian Atlanta Journal-Constitution yang kemudian bersama Tom Rosenstiel menulis buku berjudul The Elements of Journalism: What News people Should Know and the Public Should Expect terbitan New York: CrownPublisher, 2001, yang diterjemahkan menjadi Elemen-elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan yang Diharapkan Publik diterbitkan oleh ISAI tahun 2004 6 permukaan. Yang terjadi adalah masing-masing koran tidak mencari narasumber di luar medan wacana yang dibangun. Akhirnya sudut pandang pemberitaan sempit dan terjebak ke dalam sikap pro dan kontra. Akibat sempitnya sudut pandang berita yang dimuat kemudian memunculkan dugaan bahwa pemberitaan masing-masing koran tidak independen dan membawa kepentingan tersembunyi. Suara Karya, misalnya, kelihatan tidak independen saat memberitakan KSN. Fakta bahwa eksistensi Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid melanggar Statuta FIFA tidak pernah diangkat. Hal ini mudah dipahami bahwa Nurdin Halid adalah kader Partai Golkar dan dua kali terpilih menjadi anggota DPR dari Sulawesi Selatan mewakili Fraksi Partai Golkar. Sebaliknya Jurnal Nasional juga tidak independen dalam menggambarkan fakta bahwa pemerintah kurang serius melakukan pembinaan sepak bola yang ditandai dengan minimnya pembenahan fasilitas stadion dan anggaran. Pengabaian fakta-fakta itu dapat diduga sangaja dilakukan oleh Jurnal Nasional, mengingat koran ini adalah koran yang menyuarakan aspirasi pemerintah. Gejala kontradiksi kepentingan pada pemberitaan konflik sepak bola pernah dituduhkan PSSI kepada tabloid Bola, melalui Direktur Media PSSI, Barry Sihotang yang mengadu ke Dewan Pers pada tanggal 9 Februari 2011. Sihotang menilai pemberitaan tabloid Bola bias IPL. PSSI juga menuduh Yesayas Oktavianus, salah seorang wartawan Kompas adalah pengurus IPL. PSSI menilai tabloid Bola memiliki kontradiksi kepentingan dengan 7 pemberitaan IPL. 6 Sampai dengan konflik ini berakhir Dewan Pers belum pernah mengklarifikasi kasus tersebut. Kontradiksi kepentingan lain yang pernah bersinggungan dengan PSSI dan wartawan adalah saat penunjukan Ferry Kodrat sebagai Manajer Timnas PSSI Pra Piala Dunia tahun 2011. Ferry Kodrat pernah menjadi wartawan harian sore Suara Pembaruan. Sejumlah kalangan menilai penempatan Ferry sebagai manajer dapat mempengaruhi pemberitaan tentang Timnas, karena dinilai dapat melobi teman-temannya di media. MNC group, korporasi yang menaungi harian Seputar Indonesia, juga dianggap memiliki kontradiksi kepentingan terkait dengan hak siar IPL yang dipegang oleh MNC tahun 2011-2012. Ada yang menilaibahwa harian Seputar Indonesia mendeskriditkan ISL dan mencitrapositifkan IPL. Demikian juga dengan Viva Group, salah satu anak perusahaan Bakrie yang menaungi TV One, ANTV dan Vivanews.com. Berita-berita di kelompok Viva dianggap mendiskriditkan IPL dan mencitrapositifkan ISL, karena hak siar ISL dipegang oleh TV One dan ANTV. Di samping itu, Nirwan D. Bakrie, pengurus PSSI periode 2007-2011 adalah salah satu pemilik usaha Bakrie Group. Viva group memiliki kepentingan komersial dengan ISL. Dalam persepakbolaan pemberitaan Indonesia, konflik penulis kepengurusan menengarai bahwa dalam media tubuh massa mengkonstruksi konflik tersebut sebagai komoditas (nilai jual). Media 6 (http://sport.detik.com/sepakbola/read/2011/02/09/115629/1567609/76/pssi-tunggudewan-pers-panggil-dua-media-massa), diakses Senin, 7 Oktober 2013 pukul 7:10. 8 seolah-seolah menciptakan dua kelompok yang saling berhadap-hadapan. Media mendramatisasi konflik tersebut sedemikian rupa, sehingga menarik untuk diikuti. Temuan awal penulis menunjukkan bahwa Kompas bersikap ―memojokkan‖ Nurdin Halid dengan tuduhan memanipulasi Statuta FIFA tentang pasal kriminal, sebaliknya Kompas ―menyanjung‖ Arifin Panigoro, pendiri Indonesia Primer League (IPL)—kompetisi tandingan Indonesia Super League (ISL)—padahal kenyataannya mendirikan liga tandingan juga melanggar Statuta FIFA, sebab FIFA hanya akan mengakui liga yang dibentuk oleh asosiasi anggota FIFA. IPL bukan liga yang dibentuk oleh PSSI, anggota FIFA. 7 Fakta di atas menunjukkan bahwa Kompas menerapkan standar ganda pada dua kelompok yang berkonflik. Dua kelompok yang sama-sama melakukan pelanggaran Statuta FIFA diperlakukan berbeda. Mengapa hal tersebut dilakukan? Penulis mencurigai bahwa harian Kompas memiliki agenda tersembunyi dengan konflik dalam persepakbolaan tersebut. Kepentingannya adalah Kompas-Gramedia (induk usaha harian Kompas) memiliki liga sepak bola usia di bawah 14 tahun yang bergulir sejak tahun 2010. Liga tersebut bernama ―Liga Kompas-Gramedia U14.‖ 7 Pasal 18 ayat 1 Statuta FIFA berbunyi ―Leagues or any other groups affiliated to a Member of FIFA shall be subordinate to and recognised by that Member. The Member’s statutes shall defi ne the scope of authority and the rights and duties of these groups. The statutes and regulations of these groups shall be approved by the Member. Lebih jauh tentang Statuta FIFA dapat dilihat di http://www.fifa.com/aboutfifa/organisation/mission.html 9 Kontradiksi kepentingan 8 dalam terminologi jurnalistik terjadi bila terdapat dua kepentingan berbeda dan bertentangan yang muncul secara bersamaan yang berkenaan dengan kerja jurnalistik. 9 Dalam kaidah jurnalistik salah satu prinsip yang harus dipenuhi adalah bersikap indenpenden. Independen diartikan bahwa setiap wartawan harus memenuhi sikap profesional tanpa membiarkan pihak ketiga menghalangi, mengganggu, mempengaruhi pekerjaannya dan atau hasil liputannya. Setiap wartawan berkewajiban untuk menolak siapa pun yang membatasi kemerdekaan mereka. Prinsip ini berlaku untuk kasus ketika fakta dan peristiwa yang disalahartikan atau terdistorsi oleh kepala lembaga wartawan wartawan bekerja. Kontradiksi kepentigan bisa mengganggu terwujudnya prinsip independen tersebut. Kontradiksi kepentingan walaupun agak mirip pengertiannya dengan conflict of interest namun tetap masih memiliki perbedaan. Jika kontradiksi kepentingan diartikan sebagai suatu kondisi dimana penilaian kepentingan utama bententangan dengan kepentingan sekunder, maka konflik kepentingan diartikan sebagai kondisi dimana kepentingan utama tidak 8 Terminologi ―kontradiksi kepentingan‖ dapat dilacak dari pemikiran-pemikiran Karl Marx tentang kritik terhadap kapitalisme. Marx menggunakan berbagai pendekatan untuk menunjukkan berbagai kebobrokan kapitalisme. Dari segi moral, Marx menilai kapitalisme mewarisi ketidakadilan sebab tidak peduli pada kepincangan dan kesenjangan sosial dalam masyarakat. Dari segi sosial, kapitalisme merupakan sumber konflik antar kelas, baik antar borjuis dengan proletar, antara tuan tanah dengan butuh tani. Dari segi ekonomi, Marx melihat bahwa kapitalisme digunakan oleh kaum kapitalis untuk mengejar laba sebanyakbanyaknya dengan menekan buruh sekeras mungkin. Marxisme memberikan perhatian kuat pada komunikasi dalam masyarakat. Praktek komunikasi merupakan hasil dari ketegangan antara aktivitas individual dan batasan-batasan sosial terhadap kreativitas tersebut. Kebebasan mengekspresikan diri tidak dapat tercapai dalam masyarakat yang berdasarkan kelas. Marxisme menyakini bahwa kontradiksi, ketegangan dan konflik tidak dapat dihindari dari tatanan sosial dan tidak pernah bisa dihapuskan. Lihat F.M. Suseno Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Penerbit Kanisius 1992. 9 Istilah kontradiksi sendiri pernah dikaji oleh Mashuri mahasiswa Pasca Sarjana program studi sastra UGM yang dimuat di Jurnal Lakon Universitas Airlangga Surabaya, Juli 2012. 10 dilaksanakan atau diabaikan oleh karena adanya kepentingan lain yang lebih mendominasi. Konflik kepentingan dalam kerja jurnalistik sering ditandai dengan wartawan yang menerima imbalan uang atau fasilitas eksklusif dalam peliputan sehingga mempengaruhi hasil liputannya bahkan cenderung mengabaikan aspek etika jurnalistik. 10 Kontradiksi kepentingan dalam jurnalistik memang belum sampai melanggar etika jurnalistik namun dikhawatirkan memicu lahirnya bias dalam pemberitaan. Bentuk bias tersebut bisa terwujud pada berita yang memihak pada kelompok tertentu yang berkonflik (imbalance), melakukan stigmatisasi (prejudice) dan memperoleh keuntungan pribadi/kelompok atas pemberitaan yang dibuatnya. Dilema yang timbul dari praktek kontradiksi kepentingan yakni terabaikannya hak publik untuk mengetahui infomasi yang benar (neglecting the public interest) dan mencederai keberagaman (Croteau dan Hoynes, 2006: 156). Bila informasi yang diterima oleh publik adalah informasi salah maka sudah pasti opini publik yang timbul adalah opini yang salah pula. Berangkat dari pemikiran-pemikiran di atas penulis tertarik mengkaji kontradiksi kepentingan dalam pemberitaan konflik kepengurusan dalam tubuh persepakbolaan di Indonesia. 1.1. Permasalahan Berangkat dari persoalan di atas, pertanyaan penelitian yang penulis ajukan adalah sebagai berikut: 10 Rosihan Anwar memberi contoh konflik kepentingan bagi wartawan terjadi misalnya bila wartawan merima imbalan dari narasumber yang diberitakannya. Lihat Rosihan Anwar , Wartawan & KodeEtik Jurnalistik, 1996: 19-20. 11 1. Bagaimana ketiga media cetak ibu kota (Kompas, tabloid Bola dan Seputar Indonesia) mewacanakan pemberitaan konflik dalam tubuh kepengurusan sepak bola di Indonesia? 2. Kepentingan ekonomi-politik apa yang ingin diperjuangkan masingmasing media cetak tersebut dalam memberitakan konflik dalam tubuh kepengurusan sepakbola di Indonesia? 1.2. Keaslian Penelitian Penelitian yang akan penulis lakukan bersifat kualitatif, menggunakan paradigma kritis dengan metode penelitiaan Critical Discourse Analysis (CDA). Teknik pengumpulan data menggunakan analisis teks media dan menggabungkan dengan wawancara mendalam. Kerangka teori yang akan penulis gunakan antara lain teori-teori yang berkaitan dengan ekonomi politik media yang dikembangkan oleh Vincent Mosco, Graham Murdoc dan Peter Golding, serta konsep-konsep hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci dan didukung oleh teori-teori lain. Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian tentang konflik kepengurusan dalam persepakbolaan Indonesia dengan menggunakan CDA dan kajian Ekonomi Politik belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini juga berbeda dengan penelitian-penelitan terdahulu seperti yang penulis akan gambarkan pada Tinjauan Pustaka. 12 1.3 Tujuan Penelitian Adapun penelitian ini bertujuan: 1. Menjelaskan secara komprehensif ketiga media cetak ibu kota (Kompas, Tabloid Bola dan harian Seputar Indonesia) dalam mengkonstruksi pemberitaan konflik dalam tubuh persepakbolaan di Indonesia. 2. Membongkar kepentingan ekonomi-politik masing-masing media cetak tersebut dalam memberitakan konflik dalam tubuh kepengurusan persepakbolaan di Indonesia 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian terdahulu tentang sepak bola pada umumnya menyoroti relasi kuasa yang bersifat hegemonik dalam industri sepak bola. Pemilik modal menempati posisi yang dominatif, pemain dan penonton menempati posisi subordinatif. Pemain dan penonton menjadi komoditas. Sedangkan penelitian terdahulu dengan metode analisa wacana media pada umumnya fokus pada relasi kuasa di lembaga legislatif dan eksekutif dengan pendekatan konstruktivis. Umumnya penelitian tersebut hanya membahas makna-makna dalam teks berita sehingga relasi kuasa di balik produksi, distribusi dan konsumsi teks media tidak cukup terungkap. Penelitian yang akan penulis lakukan diharapkan dapat membongkar relasi kuasa pada produksi, distribusi dan konsumsi diskursus konflik persepakbolaan pada korporasi besar media massa di Jakarta. 13 Penelitian ini akan berangkat dari pendekatan media and cultural studies. Pendekatan Cultural studies diarahkan untuk menguji subjek penting dalam kerangka praktek budaya dan hubungannya dengan kekuasaan. Tujuannya adalah untuk menunjukkan relasi kuasa dan kepentingan serta pada saat yang sama menguji seberapa jauh relasi kuasa tersebut mempengaruhi dan membentuk praktek-praktek budaya. 2. Tinjauan Pustaka & Landasan Teori 2.1 Tinjauan Pustaka Penelitian seputar sepak bola sudah banyak dilakukan. Masing-masing peneliti berangkat dari fokus yang berbeda. Ada yang menyoroti dari sisi komunikasi politik (Lesmana, 2012), praktek nonton bareng (Rina Febriani, 2011), analisis isi media (Marcus Free dan John Hughson, 2011), ekonomi politik (David Kennedy dan Peter Kennedy, 2010), Wyn Grant (2007) dan Gustavo Madeiro (2007), dan supporter Chris Goumas (2013), serta semiotika iklan (Khoirul Anwar, 2012). Penelitian Tjipta Lesmana tentang konflik PSSI 2011-2012 intinya mengemukakan bahwa karut marutnya situasi menjelang kongres untuk memilih kepengurusan baru di PSSI tahun 2011, tidak terlepas dari konflik kepentingan berbagai pihak. Lesmana mengecam pihak-pihak yang bersikeras menyuarakan kepentingannya sendiri dalam perebutan kursi ketua umum PSSI tahun 2011, secara khusus yakni kepada George Toisutta – Arifin Panigoro (GT-AP) dan kelompok pendukungnya yakni Kelompok 78 (K78), yang begitu memaksakan 14 kandidatnya untuk maju, padahal sudah ditolak oleh Komite Banding. Lesmana menyebut bahwa sikap itu keliru, karena K78 sudah berani menentang FIFA. Padahal, menurutnya sepakbola adalah olahraga yang unik, karena segala peraturan harus tunduk pada FIFA. Lesmana juga membahas kekuatan-kekuatan siapa saja yang berada di balik kubu GT-AP, termasuk pandangan adanya campur tangan oknum-oknum tentara. Lesmana yang menggunakan pendekatan komunikasi politik dalam meneliti kasus PSSI mengkritik kepengurusan PSSI di bawah Djohar Arifin Husin, mulai dari masalah pemecatan Alfred Riedl, melahirkan klub kembar (atau yang populer disebut dengan klub kloningan), kontroversi pengangkatan Bernhard Limbong sebagai ketua Badan Tim Nasional, kontroversi Persipura Jayapura terkait keikutsertaan di ajang kompetisi Asia, dan pemecatan empat anggota Executive Committee (Exco) PSSI. Penelitian lainnya dilakukan oleh Rina Febriani yang menulis tesis berjudul ―Nonton Bareng (Nobar) di Kafe Sebagai Fenomena Budaya Populer‖di Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Ilmu Sastra, Peminatan Cultural Studies, Universitas Indonesia, Januari 2011. Febriani menggunakan teori Sirkuit Budaya Paul Du Gay dkk dan konsep Consumer Society Jean Baudrillard. Metode penelitian menggunakan etnografi dengan teknik pengumpulan data wawancara mendalam tak berstruktur dan observasi partisipan dengan larut dalam keriuhan nonton bareng tersebut. Penelitian dilakukan pada saat Piala Dunia tahun 2010 dengan rentang waktu 11 Juni-11 Juli 2010. 15 Hasil penelitian menjukkan bahwa aktivitas nobar di kafe merupakan kelanjutan dari aktivitas konsumsi penonton sepakbola. Kelangsungan sepakbola bukan bergantung pada bakat-bakat pemain tetapi pada konsumsi penonton dan suporter sebagai konsumen secara terus menerus. Oleh karena itu, bentuk konsumsi sepakbola terus menerus berkembang. Komoditas terus diproduksi bukan hanya untuk mempertahankan pendukung yang telah ada tetapi juga untuk meraih pendukung baru. Untuk ini, media massa berperan penting dalam penyebaran informasi yang mengandung tanda-tanda yang bisa diterima oleh masyarakat. Nobar di kafe merupakan gabungan aktivitas menonton sebelumnya, yaitu penonton stadion dan penonton televisi. Sebagai fenomena budaya, aktivitas ini terbentuk dari beberapa proses sosial yang relasional dan dialogis. Secara umum nobar di kafe merupakan salah satu bentuk konsumsi oleh penonton sepakbola. Namun ia juga tidak lepas dari proses lain yang memengaruhi pola konsumsi tersebut, yaitu representasi, identitas, produksi dan regulasi. Pemaknaan terjadi bukan karena objek tetapi bagaimana objek itu dikonsumsi. Ketenangan kafe bisa berkompromi dengan keriuhan penonton sepakbola yang bisa terjadi dengan adanya sistem yang menjadikannya sebagai salah satu bentuk praktik konsumsi penonton sepakbola. Marcus Free dan John Hughson(2011)dalam artikel yang berjudul ―Football's 'coming out': soccer and homophobia in England's tabloid press‖ mengemukakan bahwa tabloid-tabloid di Inggris bersifat ambivalen dalam memberitakan homophobia di dunia sepak bola. Dengan menggunakan perspektif psikoanalisis dan post-strukturalis, Freedan Hughson berpendapat bahwa tabloid- 16 tabloid Inggris memang mengkampanyekan penghentian homophobia di dunia sepak bola, namun pada sisi yang lain, tabloid-tabloid tersebut senantiasa memberitakan dengan rasa keingintahuan yang dalam tentang kehidupan pribadi para pesepakbola yang berorientasi seks sejenis ini. Mereka menilai bahwa dengan antusiasme memberitakan kehidupan pribadi para homosexual tersebut berarti memberikan ruang bagi para homophobia untuk terus menerus menentang kaum homoseksual. Seharusnya tabloid-tabloid Inggris tidak perlu mempersoalkan orientasi seksual seorang atlet sepakbola karena dalam olahraga yang diperlukan adalah skill, talenta dan kebugaran fisik untuk berprestasi, bukan orientasi seksual. Penelitian Chris Goumas (2013) yang berjudul ―Home Advantage and Crowd Size in Soccer: a Worldwide Study‖ menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara keriuhan penonton (crowd) tuan rumah dengan kemenangan tim sepak bola tuan rumah. Goumas yang melakukan survei di empat konfederasi sepak bola di empat benua, yakni Eropa (UEFA), Asia (AFC), Amerika Utara dan Tengah (Concacaf), serta Amerika Selatan (Conmebol) dengan meneliti 1900 jumlah pertandingan, menunjukkan bahwa pengaruh keriuhan penonton tuan rumah memberikan kontribusi kemenangan sebesar: 56,2% di Eropa, 63,5% di Asia, 67,1% di Amerika Utara dan 62,9% di Amerika Selatan atau rata-rata 60,4% untuk seluruh benua. Goumas menyimpulkan selain keriuhan supporter tuan rumah, faktor lain yang mempengaruhi diantaranya: kondisi psikologis yang sudah akrab dengan lapangan, atmosfir stadion, dan wasit yang kerap memihak tuan rumah. 17 David Kennedy dan Peter Kennedy (2011) membuat penelitian berjudul ―Toward a Marxist Political Economy of Football Supporters‖mereka meneliti kasus pendukung klub sepak bola liga Inggris, Everton, dengan pendekatan ekonomi politik Marxis. Mereka menyoroti rencana perpindahan markas Everton dari Goodison Park ke stadion Kirkby, yang digulirkan sejak 2006. Untuk mewujudkan rencana tersebut manajemen Everton menggandeng pengembang Tesco Plc. Dalam proposalnya Tesco berencana akan membangun supermarket raksasa yang buka 24 jam, restoran, bar dan taman bermain serta hotel berbintang dalam kompleks stadion Kirkby. Rencana itu kemudian menuai pro dan kontra dari pendukung fanatik Everton. Pendukung yang setuju kepindahan itu disebut terjebak dalam propaganda komersialisasi klub. Supporter Everton akan dijadikan sebagai ―komoditas palsu‖ (fictitious commodity) oleh pengembang. Sebaliknya mereka yang menolak kepindahan tersebut disebut sebagai kaum tradisional. Kaum tradisional berargumen bahwa antara pendukung dan klub terdapat ikatan emosional. Kepindahan stadion seakan-akan memisahkan jiwa antara klub dengan pendukungnya. Meskipun Goodison Park merupakan stadion tua, mulai digunakan sejak tahun 1892, tetapi di stadion itulah klub jatuh bangun membangun reputasi di kancah sepak bola Inggris. Kennedy & Kennedy tidak mengingkari bahwa sepak bola Inggris saat ini bersifat sangat kapitalistik, sehingga supporter dijadikan ladang pemujaan komoditi (Fetishism of Commodity). 18 Wyn Grant (2007) melakukan kajian ekonomi politik sepak bola Inggris dengan judul penelitian ―An Analytical Framework for a Political Economy of Football.‖ Ia menemukan bahwa ekonomi politik sepak bola menjadi lebih esensial semenjak terkooptasi oleh elemem-elemen bisnis. Muncul perdebatan antara paradigma yang memahami sepak bola sebagai sebuah intitusi bisnis dengan paradigma sepak bola sebagai gerakan kultural dan akvitas demokrasi. Perdebatan ketiga hal itu diwakili oleh industri media yang melihat sepak bola sebagai komoditas, supporter melihat sebagai kegiatan kesenangan (pleisure) dan praktek identitas sedangkan pemerintah berusaha menciptakan ruang regulasi dimana sepak bola dijadikan sebagai ajang promosi gaya hidup sehat. Kepentingan tersebut kemudian menimbulkan arena perdebatan di antara ketiganya. Grant menyimpulkan bahwa sepak bola membutuhkan kebijakan politik yang lebih ―canggih‖ untuk memastikan bahwa sepak bola bukan sekadar komoditas. Meski peran pemerintah diperlukan, perlu pula tetap hati-hati agar jangan sampai mencederai semangat kompetisi. Gustavo Madeiro (2007) dengan judul penelitian “Sport and Power: Globalization and Merchandizing in the Soccer World‖ menemukan bahwa pola transfer pemain saat ini tak berbeda dengan teori center-periphery. Klub-klub kaya dari Eropa akan membeli pemain bertalenta dari klub-klub miskin di Amerika Latin dengan harga murah. Setelah pemain tersebut mengantar klubnya berjaya di liga masing-masing, mereka akan dijual dengan harga selangit. Fenomena ini menurut Madeiro, seperti model center-periphery. Teori centerperiphery diperkenalkan oleh Komisi Ekonomi untuk Amerika Latin dan Karibia 19 (CEPAL) pada tahun 1960. Pada intinya teori ini menyatakan bahwa Negaranegara Utara yang kaya dianggap sebagai Pusat atau Inti Kapitalisme dan negaranegara Selatan yang miskin merupakan pinggiran dalam model Pusat dan Pinggiran (Center and Periphery). Melalui penaklukan imperial, berbagai tatanan perekonomian pinggiran disedot ke dalam kapitalisme, akan tetapi di atas pijakan yang tidak adil. Madeiro juga mengkritik FIFA yang terlalu mengakomodasi kepentingan kapitalisme dalam sepak bola, sehingga antara manajemen klub (pemilik media), pemain dan penonton tidak memiliki posisi yang setara. Khoirul Anwar (2010) melakukan penelitian berjudul ―Euforia Sepak Bola: Studi Semiotika dalam Iklan Piala Dunia History of Celebration.” Anwar menggunakan paradigm kritis dengan metode analisa semiotoka Roland Barthes. Unit analisisnya adalah iklan Coca Cola versi piala dunia sepak bola 2010. Anwar menemukan bahwa konstruksi makna dalam iklan ini mereproduksi imaji tentang perayaan gol sebagai ‗tarian‘ yang berelasi dengan ekspresi kebebasan dan kemenangan itu sendiri. Dalam tanda visual dan audio ditemukan bahwa ‗semangat‘ mencapai kemenangan adalah sesuatu yang terus dikumandangkan. Ia juga menemukan euforia dan kesenangan itu sendiri menjadi mitos universal dalam sepak bola, yang dalam konteks Piala Dunia untuk menutupi memori kelam bangsa Afrika yang kerap mengalami diskriminasi. Peneliti juga telah menelusuri beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan metode analisa wacana atau teks media. Penelitinya antara lain: Gati Gayatri (2002), Eduardus Dosi (2010), Ahmad Jamil (20012), Benny Siga Butarbutar (2005), Yusuf Hamdan (2006) 20 Gati Gayatri (2002) membuat penelitian berjudul ―Konstruksi Realitas Kepemimpinan Presiden Soeharto Dalam Berita Surat Kabar (Analisa Kritis terhadap Makna Pesan Politik yang Disampaikan dengan Menggunakan Konsep Ajaran Kemimpinan Jawa).‖ Penelitian ini menggunakan paradigma kritis, sedangkan metode penelitiannya adalah analisa semiotika Roland Barthes dan analisi isi kuantitatif. Objek penelitian pada harian Kompas, Kedaulatan Rakyat dan Suara Pembaruan, sedangkan unit analisisnya berupa berita dan foto tentang kepemimpinan Presiden Soeharto dalam kurun waktu 21 Maret 1968 dan 21 Mei 1998. Temuan penelitian menunjukkan bahwa realitas kepemimpinan yang dibuat Presiden Soeharto melalui ucapan-ucapan tidak selalu sama dengan konstruksi realitas yang dibuatnya melalui tindakan-tindakan. Meskipun ucapanucapan yang dikemukakan menunjukkan bahwa ia menggunakan konsep-konsep kepemimpinan Jawa, tindakan yang dilakukan tidak selalu mencerminkan nilainilai kepemimpinan Jawa. Terdapat perbedaan antara konstruksi realitas yang dibangun di media massa dengan konstruksi realitas yang dibuat oleh Presiden Soeharto sendiri. Eduardus Dosi (2010) menulis penelitian berjudul ―Wacana Dominasi Diskriminatif Dalam Surat Kabar Lokal (Studi Relasi Kuasa di Balik Sajian Berita Surat kabar Lokal)‖. Penelitian ini menggunakan perspektif teori kritis pascastrukturalis dengan berpedoman pada kerangka teoritis Michel Foucault tentang kekuasaan (power), wacana, ditunjang beberapa pemikiran lain. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dalam paradigma kritis 21 dengan kerangka analisis Norman Fairclough. Objek penelitiannya adalah Pos Kupang dan Timor Express. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat ideologi politik oligarki, ideologi keagamaan Katolik dan ideologi kapitalisme yang berada dibalik wacana dominasi disktriminatif dalam kemasan teks pencalonan anggota legislatif tahun 2004 di NTT. Peristiwa pencalonan anggota legislatif NTT dalam teks surat kabar dikemas menjadi aneka pertarungan antar kekuasaan, yakni kekuasaan patriarki versus perempuan, kekuasaan pemegang otoritas agama versus anggota dan umat, kekuasaan elit partai versus calon anggota legislatif. Kemasan citra pertarungan kekuasaan merupakan eksploitasi media yang merepresentasikan para pemain di dalam dan di luar media untuk memperoleh posisi kekuasaan yang strategis dalam struktur masyarakat. Peran dominasi pekerja media dalam merepresentasikan wacana dipengaruhi oleh kekuasaan pasar. Ahmad Jamil (2012) menulis penelitian berjudul ―Gerakan Sosial dalam Perspektif Framing (Studi Pembentukan, Proses dan Pertarungan Framing pada Gerakan Sosial Sengketa Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) dengan Polri Tahun 2009 dan 20012)‖. Paradigma penelitian konstruktivis dengan metode Penelitian studi kasus dan analisa teks media pada Kompas dan Media Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kasus antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melawan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam sengketa Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah, gerakan sosial yang berhasil menang adalah yang pro KPK. Ahli-ahli gerakan sosial umumnya melihat tiga elemen yang penting dan saling berkaitan, yakni (a) aktor gerakan sosial (b) 22 media (c) khalayak. Aktor gerakan sosial dilihat dalam perspektif framing sebagai pihak secara aktif bersaing dan bertarung dalam memperebutkan makna atas peristiwa. Sementara media dilihat sebagai entitas yang berperan dalam menyebarkan frame atas persitiwa sehingga pemaknaan dari masing-masing aktor gerakan sosial bisa tersebar luas ke masyarakat. Sedangkan elemen khalayak berkaitan dengan sumber dukungan dari gerakan sosial. Ketiga elemen yakni aktor gerakan sosial, media dan khalayak, tidak digambarkan secara linear. Masingmasing elemen itu pada dasarnya subjek yang mempunyai pemahaman dan penafsiran tersendiri atas persitiwa. Benny Siga Butarbutar (2004) menulis penelitian berjudul ―Dominasi Media Massa dalam Pilkada: Kajian Ekonomi Politik Media terhadap Pilkada Depok tahun 2004.‖ Paradigma penelitian ini adalah pradigma kritis, tipe penelitian yang bersifat kualitatif dengan metode analisis wacana kritis Theo Van Leeuwen. Objek Penelitian yakni harian Monitor Depok, Media Indonesia dan Surya Citra Televisi (SCTV). Hasil penelitian menunjukkan ada dua hal pokok yang bisa terlihat, yaitu kuatnya dominasi media massa dalam liputan Pilkada Kota Depok dan kenyataan kuatnya pengaruh bisnis dalam mempengaruhi kinerja pers, sehingga media massa terlihat lebih sebagai institusi ekonomi daripada institusi informasi. Namun lebih mengejutkan lagi adalah, kandidat yang tidak memiliki modal finansial yang kuat (Nurmahmudi) ternyata memenangkan pertarungan walau tidak mendominasi pemberitaan di media massa. Kondisi tersebut dapat dipahami, mengingat 23 tindakan media dalam memproduksi berita tidak terlepas dari kepentingan ekonomi dan politik baik pada jenjang organisasi, industri dan masyarakat. Yusuf Hamdan (2006) membuat penelitian berjudul ―Kontruksi Sosial Realitas Politik dalam Media (Analisis Berita Surat Kabar Pikiran Rakyat dan Metro Bandung) Mengenai Calon Gubernur dalam Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2003 Berdasarkan Perspektif Konstruksionisme.‖ Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis dengan metode penelitian analisis Framing model Robert Eatnman dengan objek penelitian surat kabar Pikiran Rakyat dan Metro Bandung. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan bingkai pada surat kabar mengenai realitas politik calon gubernur. Bagi Pikiran Rakyat calon gubernur dibingkai sebagai masalah kedaerahan. Bingkai ini terlihat dari mengemukanya isu-isu mengenai rekrutmen calon pemimpin harus dari putra daerah (tatar Sunda), serta kriteria pemimpin (calon gubernur) yang mengenal dan dikenal di Jawa Barat. Sedangkan pada Metro Bandung, realitas politik dibingkai sebagai calon pemimpin yang harus memiliki etika politik. Bingkai ini terlihat mengedepankan pada pemberitaan isu-isu mengenai kasus dana kavling perumahan anggota DPRD Jawa Barat tahun 2002. Penelitian yang akan penulis lakukan berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian terdahulu yang menggunakan analisa wacana pada umumnya membahas wacana media tentang isu pertarungan kekuasaan di ranah eksekutif dan legislatif seperti pada penelitian; Gayatri, Jamil, Dosi, Butarbutar dan 24 Hamdan. Umumnya mereka menggunakan analisa wacana yang masih diwarnai oleh pendekatan communication oriented secara linear (Pengirim-Pesan-MediaPenerima dan Efek). Penelitian semacam ini terlihat pada hasil penelitian Gayatri dan Jamil yang menggunakan analisa teks kuantitatif guna menghitung jumlah berita, kata dan kalimat pada masing-masing objek penelitian. Penelitian Hamdan meski menggunakan analisa teks kualitatif, paradigma yang digunakan adalah konstruktivis. Temuan pada penelitian konstruktivis lebih pada pembuatan dan pertukaran makna-makna dalam teks, sehingga temuan Hamdan tidak berhasil membongkar relasi kuasa di balik pembuatan berita di masing-masing media yang ditelitinya. Penelitian Dosi, meskipun menggunakan paradigma kritis dengan metode CDA Norman Fairclough, menggunakan objek penenelitian media lokal (Pos Kupang dan Timor Express). Kedua media tersebut tidak memiliki kontradiksi kepentingan dengan masing-masing subyek yang diberitakannya. Sehingga dinamika kepentingan ekonomi politiknya media tidak terlihat. Sedangkan penelitian terdahulu tentang sepak bola, umumnya melihat sepak bola dari kacamata teori Marxis tentang konflik kelas. Sepak bola digambarkan sebagai arena yang penuh dengan pertarungan kelas antara pemilik klub (pemodal), penonton sebagai objek komoditas, dan pemain sebagai tenaga kerja sekaligus komoditas. Relasi mereka digambarkan tidak setara. Pemilik modal menempati posisi yang dominatif yang cenderung eksploitatif terhadap pemain dan suporter, sedangkan pemain dan suporter menempati posisi yang subordinatif. Relasi kuasa digambarkan bukan pada relasi kuasa produksi, distribusi dan konsumsi teks di media massa. Temuan tersebut terlihat pada 25 penelitian Kennedy & Kennedy, Wyn Grant, Madeiro dan Febriani. Umumnya penelitian terdahulu tidak menggunakan metode penelitian analisa wacana media. Berangkat dari temuan tersebut penulis akan melakukan penelitian yang berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu. Penulis akan meneliti tentang wacana konflik persepakbolaan dengan metode analisa wacana kritis, sehingga penelitian ini diharapkan membongkar relasi kuasa di balik produksi, konsumsi dan distribusi teks media pada korporasi media besar. Terdapat tiga hal baru (heurisme) yang penulis akan kemukakan pada penelitian ini. Pertama, studi ini akan mengangkat wacana media tentang pemberitaan konflik persepakbolaan di Indonesia. Tema ini belum atau masih jarang diangkat.Kedua, objek penelitian ditujukkan pada korporasi besar media massa: Kompas dan Tabloid Bola.Kedua media ini tergabung dalam kelompok Kompas-Gramedia, dan harian Seputar Indonesia tergabung ke dalam kelompok usaha Media Nusantara Citra (MNC). Kedua korporasi media massa tersebut berkepentingan dengan konflik persepakbolaan di Indonesia. Ketiga, penelitian ini analisa wacana kritis dengan menggunakan pendekatan Media and Cultural Studies. Pendekatan ini berfokus pada interaksi dan representasi ideologi dan kelas, pada teks budaya termasuk budaya media. Cultural studies diarahkan untuk menguji subjek penting dalam kerangka praktek budaya dan hubungannya dengan kekuasaan. Tujuannya adalah untuk menunjukkan relasi kuasa dan kepentingan serta pada saat yang sama menguji seberapa jauh relasi kuasa tersebut mempengaruhi dan membentuk praktek-praktek budaya. 26 2.2 Landasan Teori Pendekatan ekonomi politik yang akan penulis gunakan adalah ekonomi politik kritis. Ekonomi politik bervarian kritis dipelopori oleh pemikiranpemikiran Karl Marx yang secara umum mengkritik kapitalisme, pertarungan kelas, revolusi dan pemujaan pada komoditi (Fetishism of Commodity)(Robert Babe, 2009) Marx, seperti yang dikutip Ritzer (2005) bahwa hubungan pekerja dengan kaum borjouis dipenuhi dengan eksploitasi, aleinasi dan dominasi. Relasi pekerja dengan majikan dikonversi menjadi komoditas. Komoditas menjadi sarana utama menumpukan modal (kekayaan), karena semua produk kerja bernilai sebagai komoditas. Menurut Marx sebagaimana dikutip Suseno (1992: 150-152) kapitalisme menjadikan kaum proletar sebagai objek penghisapan. Hakikat masyarakat borjouis adalah uang. Uang membuat manusia menjadi budak, yang tergantung, yang ditentukan dari luar. Ia menjadi komoditi. Menurut Marx sebagaimana dikutip Caporaso dan Livine (2008: 131), sebuah perekonomian kapitalis pada awalnya terdiri dari komoditas-komoditas dalam jumlah besar, ditambah dengan beberapa individu yang menjadi pemilik komoditas-komoditas itu, dan beberapa hubungan pertukaran yang saling menghubungkan individu-individu itu. Pada awalnya individu-individu ini tidak memandang dirinya sebagai anggota sebuah kelas tertentu dan juga tidak memandang bahwa kepentingan pribadi mereka sebagai kepentingan sebuah kelas. 27 Argumen Marx untuk menjelaskan bagaimana kelas bisa muncul dalam masyarakat sipil diawali dengan mengkritik pandangan pendekatan klasik tentang pasar. Marx berpendapat bahwa perekonomian pasar bukanlah mekanisme untuk memaksimalkan kesejahteraan pribadi dari individu-individu di dalamnya, melainkan sebuah sarana untuk menfasilitasi para kapitalis merampas nilai surplus dan mengakumulasi kapital (Caporaso dan Livine, 2008). Lebih lanjut Marx, sebagaimana dikutip Dealiarnov (2006:42) mengatakan bahwa pasar dalam setting kapitalis mempunyai dua tujuan yaitu: Pertama, sebagai mekanisme mensirkulasikan Commodity-Money-Commodity (C-M-C), dan Kedua, sebagai mekanisme penggunaan uang untuk menghasilkan uang kembali dengan mekanisme Money-Commodity-Money (M-C-M). Selisih M-M inilah yang oleh Marx disebut sebagai surplus. Dalam konsep nilai surplus ini, Marx menjelaskan bahwa suplus adalah kelebihan nilai produktivitas marjinal pekerja (labor) atas tingkat upah yang dibayarkan oleh pemilik modal kepada buruh untuk sekadar bertahan hidup. Menurut Marx realitas masyarakat ditentukan oleh kekuasaan kelas yang satu di atas kelas-kelas yang lainnya. Namun dalam masyarakat kapitalis kenyataan itu terselubung oleh karena semua hubungan kerja berdasarkan perjanjian yang secara formal diadakan secara bebas. Akan tetapi kebebasan itu hanyalah semu. Paksaan kelas yang satu terhadap kelas yang satunya dialihkan saja pada keharusan-keharusan produksi komoditi. Jadi apa yang sebenarnya merupakan penindasan kelas yang satu oleh satunya dikeramatkan dalam bentuk komoditi. Menurut Marx, hubungan-hubungan sosial yang dijalankan dalam 28 kerangka kapitalisme tidak sesuai dengan martabat kemanusiaan. Oleh karena itu Marx menyerukan revolusi. Marx berargumen bahwa kapitalisme dengan dinamikanya sendiri akan mendestruksikan diri dan menghasilkan masyarakat sosialis. Kapitalisme niscaya akan melahirkan krisis-krisis yang akan menghancurkannya serta sekaligus menciptakan kesadaran dalam kelas buruh yang akan membuat mereka akan mendirikan sosialisme. Dalam Das Kapital sebagaimana dikutip Suseno (1992) dengan rinci Marx menunjukkan bagaimana hukum laba niscaya mengakibatkan krisis demi krisis: krisis produksi berlebihan, krisis penyusutan persentase laba, krisis penjualan hasil produksi, krisis pertambahan pengangguran. Setiap lingkaran krisis itu menyapu bersih perusahaan-perusahaan yang lebih lemah, sehingga jumlah kapitalis semakin menciut dan massa proletariat makin meluas. Untuk terus memaksimalkan laba maka eksploitasi tenaga kerja buruh harus terus diperkeras. Dengan demikian kapitalisme justru menumbuhkan kesadaran revolusioner yang semakin tajam di kalangan kelas buruh. Bila sistem ekonomi kapitalis akhirnya sama sekali macet, kelas buruh niscaya akan mengambil alih pabrik-pabrik dari tangan kaum pemilik yang masih ada, mengorganisasikan bersama proses produksi dan dengan demikian mewujudkan masyarakat sosialis. Penelitian ini memang tidak akan menguji relasi kelas yang saling bertentangan sebagaimana diramalkan Marx. Namun penelitian ini akan melihat bagaimana relasi kelas tercipta dalam kondisi kapitalisme lanjut 11. Oleh karena itu 11 Kapitalisme lanjut menurut Habermas sebagai kapitalisme teroganisasi atau kapitalisme yang diatur oleh negara. Tanda-tanda kapitalisme lanjut adalah di satu pihak, proses konsentrasi 29 penulis akan meminjam analisis Antonio Gramsci tentang hegemoni. Bagi Gramsci (2013) hegemoni merupakan hubungan antar kelas dan kelas sosial lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologis. Suatu kelompok bisa menjadi hegemonik bila memperhatikan berbagai kepentingan dari kelas dan kekuatan sosial yang lain serta menemukan cara mempertemukannya dengan kepentingan mereka sendiri. Kepentingan tersebut tidak boleh sebatas pada perjuangan lokal. Mereka harus siap membuat berbagai konsensus, agar bisa mewakili semua kelompok kekuatan sosial yang besar. Hegemoni memerlukan penyatuan berbagai kekuatan sosial yang berbeda ke dalam sebuah aliansi yang luas yang mengungkapkan kehendak kolektif semua rakyat, sehingga masing-masing kekuatan tersebut bisa mempertahankan otonominya sendiri dan memberi sumbangan atas tercapainya tujuan bersama. Strategi membangun suatu kelompok besar yang terdiri dari berbagai kekuatan sosial yang disatukan oleh konsepsi yang sama tentang dunia ini yang disebut Gramsci sebagai perang posisi (war of position). Menurut Hardiman (2010:176) hegemoni sendiri mengambil banyak bentuk dan digunakan dengan berbagai cara. Proses pembangunan hegemoni atau hegemonisasi adalah gerakan dari kepentingan korporat ekonomi partikular atau kepentingan kelas tertentu ke kepentingan universal umum. Dalam proses inilah perusahaan dan pengorganisasian pasar-pasar bahan, modal dan pekerjaan, di lain pihak adanya negara intervensionis yang mencoba untuk mengimbangi kegagalan fungsi pasar. Dengan demikian kapitalisme lanjut merupakan akhir kapitalisme kompetisi atau liberal. Lihat F. Budi Hardiman Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009 30 terjadi pembentukan aliansi yang dilandaskan kepemimpinan moral dan intelektual. Menurut hemat penulis, dalam konteks industri media, hegemonisasi sangat mungkin terjadi dalam sebuah korporasi media besar. Pemilik modal dengan segenap kuasa melakukan intervensi ke ruang redaksi. Hegemoni tersebut terjadi bisa dengan alasan kepentingan ekonomi atau kekuasaan. Hegemoni dapat langgeng karena terjadi apa yang disebut Harry Bravermen sebagaimana dikutip Ritzer (2010: 195), sebagai pengendalian manajerial. Braverman mengatakan bahwa cara kapitalis mengendalikan tenaga kerja adalah dengan pengendalian melalui manajer. Manajemen di mata Braverman tak lain sebagai proses memimpin tenaga kerja yang bertujuan mengendalikan dalam perusahaan. Selanjutnya Braverman menyatakan bahwa: Kelas buruh tidak mendeskripsikan sekelompok orang atau kelompok pekerjaan tertentu, tetapi lebih merupakan sebuah pernyataan tentang proses pembelian dan penjualan tenaga kerja. Kapitalisme modern sebenarnya tak seorang pun di antara tenaga kerja itu memiliki alat produksi; Karena itu segolongan besar orang termasuk pekerja kantoran dan pelayan terpaksa menjual tenaga kerja mereka kepada segolongan kecil yang memiliki alat produksi. Harry Bravermen sebagaimana dikutip Ritzer (2010: 195), mengatakan, salah satu bentuk pengendalian tenaga kerja adalah dengan cara pemanfaatan spesialisasi dan pembagian kerja kepada unit-unit terkecil. Bravermen yakin bahwa pembagian kerja di tingkat masyarakat dapat meningkatkan individualisme, sebaliknya spesialisasi di tempat kerja menimbulkan malapetaka. Mengapa kaum kapitalis melakukan hal itu? Menurut Braverman hal itu untuk 31 meningkatkan kontrol manajemen. Mengontrol pekerja yang melakukan tugas khusus jauh lebih mudah daripada mengontrol pekerja yang melakukan keterampilan lebih luas. Selain itu, juga untuk meningkatkan produktivitas. Tujuan utama kontrol manajemen itu sebenarnya adalah menciptakan tenaga kerja menjadi teralienasi. Penulis sengaja mengangkat teori-teori tersebut atas dasar asumsi bahwa pembentukan wacana media tentang konflik kepengurusan dalam tubuh persepakbolaan di Indonesia menjadi arena pergulatan kelas dominan dalam rangka menciptakan hegemoni atas kelas subordinat yang ada dalam ruang redaksi (news room). Oleh karena itu titik pijak penelitian ini adalah media and cultural studies. Secara konkrit penulis ingin melihat terbentuknya arena hegemoni sekaligus kontra hegemoni dalam ruang redaksi. Pertanyaan-pertanyaan kegelisahan penulis, misalnya, apakah pemilik media berada pada posisi yang hegemonik atas pekerja media yang berada pada ruang redaksi (news room) yang bertugas melakukan produksi dan reproduksi teks? Seberapa jauh pekerja media mampu melakukan negosiasi dalam rangka melakukan kontra hegemoni? Penulis juga akan meminjam konsep-konsep ekonomi politik media dengan pendekatan kritis. Pendekatan ekonomi politik media oleh Goldin dan Murdoc (2000) diarahkan pada kritik atas kepemilikan media melalui konsolidasi kepemilikan ke konsentrasi kepemilikan media,atau dari konsentrasi ke sentralisasi. Corak kepemilikan ini dianggap bersifat oligopolistik.Target utama sebagai konsekuensi struktur kepemilikan media yang bercorak oligopolistik 32 adalah pembatasan pilihan konsumen pada aspek hiburan dan konsolidasi pada apa yang disitilahkan sebagai ―konsensus‖ melalui kontrol informasi. Sementara itu menurut Dennis McQuail (2005: 99-100) teori ekonomi politik adalah pendekatan kritik sosial yang berfokus pada hubungan antara struktur ekonomi dan dinamika industri media dan konten ideologi media. Dalam sudut pandang teori ini, lembaga media dianggap sebagai bagian dari sistem ekonomi dengan hubungan erat kepada sistem politik. Konsekuensinya terlihat dari berkurangnya sumber media yang independen, konsentrasi kepada khalayak yang lebih besar, menghindari resiko, dan mengurangi penanam modal pada media yang kurang menguntungkan. Karateristik ekonomi politik media menurut McQuail, dilihat sebagai berikut: (1) Economic control and logic are determinant (2) Media structure tends towards concentration (3) Global integration of media develops (4) Contents and audience are comodifeid (5) Diversity decreases (6) Oposition and alternative voices are marginalized (7) public interest in communication is subordinated to private interest(Dennis McQuail -2005: 99-100) Adapun Vincet Mosco (2010) melihat ekonomi politik media dari dua sudut pandang, yakni yang khusus (sempit) dan yang luas (general). Dari sudut pandang yang sempit, ekonomi politik media diartikan sebagai studi tentang relasi sosial, khususnya relasi kekuasaan yang saling berkaitan dalam sistem produksi, distribusi, dan konsumsi sumber daya komunikasi. Sedangkan definisi dari sudut pandang yang lebih luas, ekonomi politikadalah studi tentang kontrol dan kelangsungan hidup dalam kehidupan sosial. Makna kontrol adalah pengaturan individu dalam sebuah organisasi sebagai anggota kelompok. Kelangsungan hidup berarti bagaimana orang memproduksi dan menghasilkan apa yang mereka 33 butuhkan. Maknanya secara khusus mengacu pada bagaimana masyarakat mengorganisasi dirinya sendiri, mengelola urusan dan menyesuaikan; atau bahkan gagal untuk beradaptasi oleh perubahan yang tak terelakkan. Menurut Golding dan Murdock (1997), pendekatan ekonomi politik mempunyai tiga karakteristik penting. Pertama, holistik, dalam arti pendekatan ekonomi politik melihat hubungan yang saling berkaitan antara berbagai faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya di sekitar media dan berusaha melihat berbagai pengaruh dari beragam faktor. Kedua, historis, dalam artian analisis ekonomi politik mengaitkan posisi media dengan lingkungan global dan kapitalisme, dimana proses perubahan dan perkembangan konstelasi ekonomi merupakan hal yang terpenting untuk diamati. Ketiga, studi ekonomi politik juga berpegang pada falsafah materialisme, dalam arti mengacu pada hal-hal yang nyata dalam realitas kehidupan media. Golding dan Murdock (2000) berpendapat bahwa perspektif ekonomi politik media berbeda dengan arus utama dalam ilmu ekonomi dalam hal holisisme, keseimbangan antara usaha kapitalis dengan intervensi publik; dan keterkaitan dengan persoalan-persoalan moralitas seperti masalah keadilan, kesamaan, dan barang-barang publik (public goods). Seperti ditulis Goldin & Murdoc (1997:xvi) “the political economy approach was holistic: it did not abstract theeconomic or the political from social relations, but examined in full the interrelation of socialand cultural dynamics.” Holistik di sini berarti menunjukkan adanya saling pengaruh antara organisasi ekonomi dan kehidupan politik, sosial, dan kultural. Analisisnya 34 bersifat historis dan secara moral menunjukkan keterkaitannya dengan persoalan public goods. Aspek historis dalam sifat holisme perspektif ekonomi politik media berpusat pada analisa pertumbuhan media, perluasan jaringan dan jangkauan perusahaan media, komodifikasi dan peran negara. Analisa ekonomi politik media memperhatikan perluasan ―dominasi‖ perusahaan media, yaitu melalui peningkatan kuantitas dan kualitas produksi budaya yang langsung dilindungi oleh pemilik modal. Tentu saja, ekstensifikasi dominasi media dikontrol melalui dominasi produksi isi media yang sejalan dengan preferensi pemilik modal. Proses komodifikasi media massa memperlihatkan dominasi peran kekuatan pasar. Proses komodifikasi justru menunjukkan menyempitnya ruang kebebasan bagi para konsumen media untuk memilih dan menyaring informasi. Menurut Mosco (2010), terdapat empat sifat ekonomi politik, yakni: 1. Social change & history Sikap ekonomi politik ini merupakan keberlanjutan dari teori-teori ekonomi klasik seperti mengungkap dinamika kapitalisme, penumpukan monopoli kapital dan pengaruh aparatur negara. 2. Social Totality Ekonomi politik dilihat sebagai kekuatan yang holistik. Penjelasan yang lebih konkrit, sifat ini mengekplorasi hubungan antara komoditi, institusi, relasi sosial, dan hegemoni serta bagaimana setiap elemen tersebut saling mempengaruhi satu sama lainnya, meskipun ada salah satu elemen yang memiliki penekanan tertentu dibanding dengan elemen yang lain 35 3. Moral Philosophy Filsafat moral mengacu pada nilai-nilai sosial dan konsepsi sosial pada pelaku sosial secara tepat. Tujuan khusus format ini adalah memperjelas dan menerangkan peran posisi moral perspektif ekonomi dalam kajian ekonomi politik. Karateristik ini juga mengikuti teori-teori klasik yang menekankan pada filosofi moral, termasuk pada sistem ekonomi, pengambilan kebijakan dan isu-isu moral berikut isu-isu lain yang mengikutinya. 4. Praxis Secara umum praxis diartikan sebagai apa yang dipikirkan diterjemahkan ke dalam perbuatan. Ide ini mengakar dalam sejarah filsafat antara lain termasuk teori-teori Marxis atau pemikiran kritis Mazhab Frankfurt. Konsepsi komunikasi dalam terminologi ekonomi politik menurut Mosco (2010) ialah desentralisasi media komunikasi (decentering of media communication). Artinya, media dilihat sebagai bagian intergral yang mendasar dari proses ekonomi, politik, sosial dan budaya dalam masyarakat. Makna konkriknya menempatkan media dalam rangka proses produksi dan reproduksi. Oleh karena itu media dilihat sebagai sarana akumulasi modal. Menurut pandangan ini media sebagai unit ekonomi, politik, sosial dan budaya juga selaras dengan aspek pendidikan, keluarga, agama, dan dari kegiatan kelembagaan lainnya. Intinya, menurut Mosco (2010), pendekatan ekonomi politik menempatkan subjek komunikasi dalam totalitas sosial yang lebih luas, dan oleh karena ituekonomi politik cenderung menghindari esensialisme dalam penelitian 36 komunikasi. Esensialisme artinya melihat komunikasi sebagai transmisi informasi –sebagaimana konsep yang dipopulerkan oleh Shanon & Weafer.12 Menurut Mosco (2010) komunikasi diartikan sebagai suatu proses pertukaran sosial, yang produknya adalah tanda atau perwujudannya dari hubungan sosial (communication is a social process of exchange, whose product is the mark or embodiment of a social relationship). Maknanya adalah bahwa analisis ekonomi politik merupakan analisis kelembagaan. Titik fokusnya misalnya berkonsentrasi pada bagaimana komunikasi dikonstruksi secara sosial; bagaimana kekuatan sosial berkontribusi terhadap pembentukan saluran komunikasi; dan rangkaian pesan apayang ditransmisikan melalui saluran tertentu. Singkatnya, komunikasi bukan hanya transmisi informasi, melainkan juga konstruksi sosial makna. Hal ini telah memberikan kontribusi penting pada bangunan penelitian ekonomi politik tentang bagaimana bisnis (produsen), pemerintah, dan aspek lainnya sebagai kekuatan struktural berpengaruh pada praktek komunikasi. Tiga kerangka kerja Mosco (2010) dalam Ekonomi Politik: 1. Komodifikasi (Comodification) Komodifikasi berhubungan dengan bagaimana proses transformasi barang dan jasa beserta nilai gunanya menjadi suatu komoditas yang mempunyai nilai tukar di pasar. Proses transformasi dari nilai guna menjadi nilai tukar (Commodification is the process of transforming use values into exchange values) dalam media massa selalu melibatkan para awak media, 12 Model Shanon dan Weaver diterima secara luas sebagai salah satu dasar berkembangannya ilmu komunikasi. Model Shannon dan Weaver memandang komunikasi sebagai transmisi pesan. Lihat John Fiske, Introductionto communaction studies (terjemahan), 2012 hal 9. 37 khalayak pembaca, pasar, dan negara yang mana masing-masing mempunyai kepentingan. Nilai tambah produksi berita akan sangat ditentukan oleh kemampuan berita tersebut memenuhi kebutuhan sosial dan individual. Terdapat dua hal penting yang berkaitan dengan komodifikasi komunikasi: pertama, proses komunikasi dan teknologi berkontribusi secara umum pada proses komodifikasi dalam dunia ekonomi secara luas. Kedua, proses komodifikasi dalam dunia kerja di masyarakat sebagai keseluruhan penetrasi komunikasi dan lembaga-lembaganya. Oleh karena itu perbaikan dan kontradiksi di dalam komodifikasi sosial mempengaruhi komunikasi sebagai sebuah praktek sosial. Lebih jauh Mosco menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis komodifikasi yakni; pertama komodifikasi isi media. Komodifikasi isi ini merupakan proses perubahan pesan dari kumpulan informasi ke dalam sistem makna dalam wujud produk yang dapat dipasarkan. Atau dalam penjelasan lainnya disebut sebagai proses mengubah pesan dari sekumpulan data ke dalam sistem makna sedemikian rupa sehingga menjadi produk yang bisa dipasarkan. Kedua, komodifikasi khalayak merupakan proses modifikasi peran pembaca/khalayak oleh perusahaan media dan pengiklan, dari fungsi awal sebagai konsumen media menjadi konsumen khalayak selain media. Pada proses ini, perusahaan media memproduksi khalayak melalui suatu program/tayangan untuk selanjutnya dijual kepada pengiklan. Terjadi proses kerja sama yang saling menguntungkan antara perusahaan media dan pengiklan, dimana perusahaan media digunakan sebagai sarana untuk menarik khalayak, yang selanjutnya 38 dijual kepada pengiklan. Ketiga, komodifikasi pekerja media. Komodifikasi pekerja media dapat dilakukan melalui dua jalan yaitu; mengatur fleksibilitas dan kontrol atas pekerja, dan menawarkan pekerja media tersebut untuk meningkatkan nilai tukar dari isi pesan media. 2. Spasialisasi Spasialisasi diartikan sebagai proses mengatasi kendala ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Komunikasi merupakan pusat spasialisasi karena komunikasi dan teknologi informasi mempromosikan fleksibilitas dan kontrol seluruh industri, khususnya dalam media, komunikasi, dan sektor informasi. Spasialisasi meliputi proses globalisasi ke seluruh dunia seperti restrukturisasi industri, perusahaan, dan lembaga lainnya. Globalisasi dan restrukturisasi industri saling mempengaruhi empat pola utama restrukturisasi pemerintah. Pertama, komersialisasi menetapkan fungsi negara sebagai entitas bisnis seperti menyediakan layanan surat dan telekomunikasi yang menghasilkan pendapatan. Kedua, privatisasi mengambil langkah lebih lanjut dengan mengubah unit-unit bisnis negara menjadi bisnis pribadi. Ketiga, liberalisasi memberikan persetujuan negara untuk membuka pasar bebas demi kompetisi yang luas, dan keempat, internasionalisasi menghubungkan negara ke negara lain sehingga terjadi pergeseran kewenangan ekonomi dan politik dari pusat kepada pemerintah daerah yang mempertemukan beberapa negara dalam satu wilayah geografis. Spasialisasi dalam kerangka ekonomi politik media secara tradisional merupakan perpanjangan kekuasaan korporasi dalam industri komunikasi. 39 Spasialisasi dalam media komunikasi erat terkait dengan sejauh mana media mampu menyajikan produknya di depan pembaca dalam batasan ruang dan waktu. Dalam hal ini struktur kelembagaan media menentukan perannya dalam memenuhi jaringan dan kecepatan penyampaian produk media ke khalayak. Spasialisasi berkaitan dengan bentuk lembaga media, apakah berbentuk korporasi yang berskala besar atau kecil, berjaringan atau tidak, bersifat monopolistik atau tidak, bentuk korporasi media merupakan integrasi horizontal atau integrasi vertikal atau kepemilikan silang. 3. Strukturasi Strukturasi berkaitan dengan relasi ide antar agen masyarakat, proses sosial dan praktik sosial dalam analisis struktur. Strukturasi dapat digambarkan sebagai proses dimana struktur sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial, dan bahkan masing-masing bagian dari struktur mampu bertindak melayani bagian yang lain. Hasil akhir strukturasi adalah serangkaian hubungan sosial dan proses kekuasaan diorganisasikan di antara kelas, gender, ras, dan gerakan social yang masing-masing berhubungan satu sama lain. Isu yang dibahas disini yakni: kelas sosial (class), gender, ras (race), gerakan sosial (social movement) dan hegemoni (hegemony) Para pemikir ekonomi politik media pada umumnya mengkritik kepemilikan media yang makin terkosentrasi pada satu kelompok yang terjadi di berbagai negara. Selain itu gejala makin meluasnya kepemilikan media berpindah atau bergabung ke kelompok usaha non media. Hal ini melahirkan gejala 40 homogenisasi, imitasi, trivialisasi dan sensasionalisasi pada isi media (Croteau & Hynes, 2006: 157-164). Media yang dikelola secara terkonsentrasi kepada satu kelompok atau disebut media konglomerasi berangkat berdasarkan perspektif market model. Market model diartikan sebagai isi media yang dikendalikan oleh pasar sehingga isi media yang dibuat mengikuti logika pasar guna menciptakan suatu lingkungan ke arah usaha komersialisasi. Ada tiga ciri market model, motivasi mengejar keuntungan, sehingga berita atau isi media dibuat cenderung sensasional, kedua karena motifnya keuntungan, maka berita atau isi media yang dibuat oleh media cenderung seragaman. Ketiga, pasar menjadi kekuatan suksesnya isi media. Dalam market model, audience lebih dilihat sebagai pelanggan sebanding sebagai citizen (warga negara). Karena audiens dilihat sebagai warga negara maka marketing menjadi bagian jurnalisme. Institusi media disusun berdasarkan unitunit customer dan editor bertanggung jawab dalam mencari pembaca dan keuntungan. Dengan demikian, institusi media lebih diabdikan untuk mencetak uang (making money ), meraih tujuan-tujuan pemasaran dan melayani kebutuhan pengiklan dibandingkan dengan memainkan peran tradisional mereka sebagai pelayan publik dalam menyediakan informasi bagi warga negara dan melaksanakan peran pengawasan (watchdog) bagi pemerintahan dan pelaku bisnis. (Lihat Puji Rianto, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UGM, Vol 9 No 1, Juli 2005). Tentu model market bertentang atau kontradiktif dengan publik spehere model. Dalam public spehere model, tujuan jurnalisme atau isi media adalah berusaha meningkatkan kualitas sipil dengan mendorong partisipasi dan 41 debat. Oleh karena itu menurut Fraser Bond seperti dikutip A, Muis (1999) bahwa jurnalis memiliki fungsi menemukan kebenaran di atas segalanya dan menjanjikannya kepada pembacanya. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa indutri media berbeda dengan industri yang lain. Perbedaan tersebut bisa dilihat dari cara menjalankan bisnis. Bisnis biasa potensi keuntungan hanya berasal dari satu sisi yakni sales dari produk/jasa yang terjual. Adapun media memiliki dua potensi keuntungan yakni pertama berasal dari pelanggan (subscriber) dan kedua, jumlah pelanggan tersebut dijual ke pengiklan (advertiser). Perbedaan lainnya adalah media adalah sumber daya publik (public resources). Media adalah penyedia utama informasi bagi masyarakat melalui menyedian isu baik yang bersifat aktual maupun yang bersifat jangka panjang. Oleh karena media memiliki peran sentral dalam proses deliberasi, pendidikan dan integrasi sosial. Perbedaan selanjutnya adalah bahwa institusi media memperoleh perlindungan khusus di dalam konstitusi dan UU. Perlindungan itu kemudian dikenal dengan istilah ―kebebasan pers.‖ Jaminan itu tertuang dalam konstitusi UUD 1945 pasal 28 F yang menyatakan ―setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.‖ Hal tersebut diperkuat lagi dalam UU Hak Asasi Manusia No. 39/1999 dalam pasal 23 ayat 2 ―setiap orang bebas 42 mempunyai, mengeluarkan dan menyebarkan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum , dan keutuhan bangsa.‖Lalu dipertegas dalam UU Pers No. 40/1999, ―kebebasan pers adalah hak asasi warga negara,‖ dan setiap usaha yang menghalangi tegaknya kebebasan pers dipidana dua tahun penjara atau denda Rp 500 Juta. Untuk memperjelas kontradiksi antara market driven model dengan public journaism model dapat dilihat matriks sebagai berikut: Konsep Model Market Model Ruang Publik Konsep tentang media Perusahaan swasta yang Sumber daya publik yang menjual produk melayani kepentingan publik Tujuan utama media Mengakumulasi Memajukan partisipasi keuntungan untuk pemilik warga melalui informasi, dan para pemangku pendidikan dan integrasi kepentingan Yang didorong oleh Menikmati media untuk publik tonton sosial isi media, Mendorong publik yang iklan dan beli partisipatif produk Kepentingan publik/isi Apa saja yang populer Keberagaman, substansi media dan laku dan isi media yang inovatif meskipun tidak populer Peran media memajukan keberagaman inovasi dalam Inovasi dapat melalui dicapai Inovasi Keberagaman cara standarisasi utama media mengingat dan model dalam mencapai warga. keuntungan. adalah Keberagaman adalah misi media untuk menjadi menghadirkan luasnya 43 sebuah strategi pandangan publik menciptakan ceruk pasar. Cara pandang melihat Umumnya melihat aturan Cara regulasi Ukuran kesuksesan sebagai serbaguna mengganggu melindungi kepentingan pasar publik Jumlah Keuntungan Kepuasan pelayanan publik Sumber; disarikan dari David Croteau dan William Hoynes The Business of Media, Corporate Media and the Public Interest, 2006. Hal 39 Penelitian ini berusaha mengelaborasi konsep-konsep tentang Critical Discourse Analysis (CDA). Paul de Gee (1999) memberikan pengertian wacana (discourse) pada dua aspek pertama discourse dengan ‗d‘ kecil dan kedua discourse dengan ―D‖ besar. Discourse dengan ―d‖ kecil merujuk pada bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Sedangkan ―D‖ besar diartikan sebagai praktek penggunaan bahasa yang digabungkan dengan praktek sosial keseharian seperti, cara perpikir, tingkah laku, sikap, nilai-nilai dan kebiasaan sang pengguna bahasa. Oleh karena itu menurut de Gee, wacana bukan persoalan linguistik semata, tetapi juga menggabungkan unsur-unsur nonlinguistik. Teori-teori wacana yang berkembang saat ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Michel Foucault. Wacana yang dimaksud Foucault di sini yakni sesuatu yang dipahami sebagai penjelasan, pendefenisian, pengklarifikasian, dan pemikiran tentang orang, pengetahuan dan sistem-sistem abstrak. Menurut Foucault wacana tidak terlepas dari relasi kekuasaan (Alexander Aur: 2005) Analisis wacana kritis yang diperkenalkan Norman Fairclough (1995) adalah suatu pendekatan interdisipliner untuk mempelajari wacana yang 44 memandang bahasa sebagai bentuk praktek sosial dan berfokus pada cara dominasi sosial dan politik yang direproduksi secara tekstual maupun lisan. Dalam analisis wacana kritis, wacana tidak dipahami semata sebagai studi bahasa. Meskipun masih menjadikan bahasa sebagai unit analisis, tetapi bahasa disini digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan yang terjadi dalam masyarakat. Berikut ini diulas ciri-ciri analisis wacana kritis: (Fairclough dan Wodak sebagaimana dikutip Van Dijk, 1992) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. CDA addresses social problems Power relations are discursive Discourse constitutes society and culture Discourse does ideological work Discourse is historical The link between text and society is mediated Discourse analysis is interpretative and explanatory Discourse is a form of social action. CDA Norman Fairclough melihat teks sebagai hal yang memiliki konteks baik berdasarkan ―process of production‖ atau ―text production‖; ―process of interpretation‖ atau ―text consumption‖ maupun berdasarkan praktik sosiokultural (Fairclough, 1997: 98). Dengan demikian, untuk memahami wacana (naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk menemukan ‖realitas‖ di balik teks kita memerlukan penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks Dalam penjelasan Faiclough, dalam setiap wacana terdapat relasi kuasa (power relation), relasi kelas (class relation), perjuangan sosial (social struggle) dan agenda tersembunyi (hidden agendas) (1992 : 28). Penulis sengaja memaparkan teori wacana kritis Fairclough karena teori tersebut akan penulis gunakan untuk membongkar kepentingan ekonomi politik yang tersembunyi di 45 balik wacana atas konflik persepakbolaan di Indonesia di tiga media massa ibu kota. Secara operasional level analisis akan dibagi menjadi tiga, sebagai berikut: Kepentingan Ekonomi Politik Analisis Teks dan Linguistik Praktik Wacana Mikro Meso Praktik Sosiokultural Makro Pada level mikro penulis akan mengupas secara rinci tentang praktek pewacanaan konflik sepakbola di tiga media ibu kota (Kompas, Bola dan Seputar Indononesia). Disini penulis akan melihat dikonstruksi menjadi berita, pilihan bagaimana konflik tersebut kata apa yang digunakan dalam menggambarkan konflik tersebut dan mengapa kata tersebut yang dipakai. Pada level meso, penulis akan menganalisis bagaimana para pembuat berita (wartawan dan redaktur) menerjemahkan kepentingan masing-masing organisasi media dalam bersentuhan dengan konflik sepak bola di Indonesia. Secara detail penulis akan membahas bagaimana para redaktur dan wartawan menciptakan ruang negosiasi dengan kebijakan redaksi masing-masing. 46 Pada level makro, penulis akan menelusuri agenda tersembunyi guna mengungkap kepentingan ekonomi-politik di balik pemberitaan konflik sepakbola di Indonesia. 3. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan paradigma kritis. Paradigma kritis menurut Guba dan Lincoln (2005) adalah mendefinisikan ilmu sosial sebagai suatu proses yang secara kritis berusaha mengungkap ―the real structures‖ dibalik ilusi, false needs, yang ditampakkan dunia materi, dengan tujuan membantu membentuk suatu kesadaran sosial agar memperbaiki dan mengubah kondisi kehidupan manusia. Paradigma kritis melihat aspek ontologis sebagai realitas yang teramati merupakan realitas ―semu‖ (virtual reality) yang telah terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial, budaya, dan ekonomi-politik. Dalam aspek epistimologis hal ini bersifat transaksional dan subjektif. Artinya hubungan peneliti dengan yang diteliti selalu dijembatani nilai-nilai tertentu. Pemahaman tentang suatu realitas merupakan value mediated findings (diperantarai oleh nilai). Adapun dalam aspek metodologisnya bersifat dialogis dan dialektis. Artinya nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tak terpisahkan dari penelitian; peneliti menempatkan diri sebagai transformative intellectual, advokat dan aktivis. Penggunaan paradigma kritis karena tujuan penelitian ini yakni kritik sosial atas relasi kuasa pada praktek wacana pemberitaan seputar konflik persepakbolaan di Indonesia di tiga koran ibu kota. 47 Sesuai dengan paradigma kritis, Peneliti memandang bahwa dalam institusi media terdapat kepentingan kelas penguasa dalam memproduksi hubungan yang intinya adalah eksploitatif dan manipulatif, dan mengukuhkan kapitalisme serta mengesampingkan kelas pekerja. Dalam pandangan ini institusi media dikendalikan dalam asas komersialisme yang mana tujuannya adalah menarik khalayak/pembaca se luas-luasnya. Keuntungan adalah kata kunci. Studi ini bersifat deskriptif kualitatif. Bogdan dan Taylor sebagaimana dikutip Moleong (2000) mengartikan penelitian deskriptif kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Kirk dan Miler sebagaimana dikutip Moleong (2000) mendefinisikan penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan atas manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasa dan peristilahannya. Data yang dikumpulkan dalam penelitian kualitatif berupa kata-kata dan gambar daripada angka-angka. Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran. Data tersebut berasal dari misalnya; wawancara, catatan lapangan, foto, videotape, dokumen pribadi, memo dan dokumen resmi lainnya. Metode penelitian studi ini adalah analisis wacana kritis Norman Fairclough, didukung wawancara mendalam13 dan studi kepustakaan. Fairclough membangun suatu model yang mengintegrasikan analisis wacana yang didasarkan 13 Wawancara mendalam dilakukan untuk mengungkap konteks mengapa teks diproduksi. 48 pada linguistik dan pemikiran sosial dan politik, serta pada perubahan sosial. Penulis berasumsi bahwa pemberitaan media seputar konflik persepakbolaan di Indonesia kental diwarnai kontradiksi kepentingan dan kekuasaan. Oleh karena itu CDA model Fairclough tepat. Salah satu kelebihan Fairclough adalah berusaha membangun model analisis wacana yang berkontribusi dalam analisis sosial dan budaya, mengombinasikan tradisi analisis teks dalam konteks masyarakat yang lebih luas. Fokus utama Fairclough melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi: teks, praktik wacana dan praktik sosial-kultural (Fairclough, 2001). Dalam analis teks, Fairclough (1995) melihatnya dalam tiga tingkatan. Pertama adalah representasi.Yang dianalisis dalam tingkatan ini adalah bagaimana peristiwa, orang, kelompok, situasi, keadaan ditampilkan dan digambarkan dalam teks. Unit analisisnya adalah pilihan kata yang digunakan (vocabulary) dan struktur kalimat yang dipakai (grammar) Kedua, relasi, yang diamati dalam tingkatan ini yakni bagaimana hubungan antar wartawan, khalayak, dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks. Ketiga, identitas yaitu bagaimana identitas wartawan, khalayak dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks. Pada praktik wacana pusat perhatian diletakkan pada bagaimana produksi dan konsumsi teks. Menurut Fairclough (1995) setidaknya ada tiga aspek yang membangun praktek wacana. Pertama, sisi individu wartawan penulis pemberita itu sendiri. Kedua, dari sisi bagaimana hubungan antar wartawan dan struktur organisasi baik dengan sesama anggota redaksi maupun dengan bidang lain 49 seperti pemasaran, iklan, distribusi dll. Ketiga, praktek kerja/rutinitas kerja produksi berita mulai dari pencarian berita, penulisan berita, editing sampai muncul sebagai tulisan di media. Sedangkan praktik sosial kultural didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang ada di luar media mempengaruhi bagaimana wacana yang muncul dalam media ruang redaksi atau wartawan bukanlah bidang atau kotak kosong yang steril, tetapi sangat ditentukan oleh faktor di luar dirinya sendiri. Sociocultural practice sebenarnya ingin menggambarkan bagaimana kekuatankekuatan yang ada dalam masyarakat memaknai dan menyebarkan ideologi yang dominan kepada masyarakat. Fairclough (1995) membagi tiga level analisis pada sociocultural practice yakni: situasional, institusional dan sosial. Untuk memudahkan penjelasan berikut ini dijelaskan matriks analisis wacana kritis model Norman Fairclough: Tingkatan Text Level Analisis Representasi, Relasi dan Identitas Praktik wacana Sisi individu wartawan, Sisi relasi intraorganisasi media wartawan, sisi praktek dan rutinitas kerja wartawan Praktik sosial Situasional, Institusional dan kultural sosial Metode Critical Linguistic Wawancara mendalam dengan Pimred, Redaktur dan wartawan Studi kepustakaan penulusuran literatur dan Untuk menjawab tingkatan praktik wacana (pada analisis wacana kritis) dan kepentingan ekonomi politik pada pemberitaan konflik dalam tubuh persepakbolaan di Indonesia penulis melakukan wawancara tak berstruktur. Menurut Densin dan Lincoln (2005) wawancara dapat merupakan teknik 50 pengumpulan data yang biasa dipakai dalam penelitian kuantitatif maupun kualitatif karena mampu menghadirkan kebenaran dan melengkapi informasi yang disampaikan narasumber. Penelitian kualitatif yang menggunakan teknik pengumpulan data wawancara memerlukan narasumber kunci, yakni mereka yang memiliki pengetahuan dan mendalami situasi, selain lebih mengetahui informasi yang diperlukan. Berdasarkan kriteria tersebut, narasumber kunci dalam penelitian ini adalah Yesayas Oktavianus dan Anton Sanjoyo, Redaktur Olahraga harian Kompas Lilianto Apriadi, mantan copy chief tabloid Bola Decky Irawan Jasri, wartawan olahraga harian Seputar Indonesia (Sindo) Yul Bambang Androno, mantan Senior Programing RCTI Obyek penelitian dalam studi ini adalah tiga koran yang terbit di Jakarta yakni Kompas, Tabloid Bola dan Harian Seputar Indonesia (Sindo). Kenapa ketiga media massa itu yang dipilih? Berdasarkan data Nielsen Media sebagaimana termuat dalam Indonesia Media Guide, 2010, Kompas saat ini memiliki oplah sebanyak 530 ribu eksemplar setiap hari, termasuk salah satu koran dengan reputasi panjang dalam industri media Indonesia, sudah berusia 50 tahun. Tabloid Bola dipilih karena, menurut data Indonesia Media Guide 2010 untuk kategori tabloid, ia berada di urutan kedua setelah tabloid Pulsa. Namun untuk kategori tabloid olahraga Bola menempati urutan pertama sebagai tabloid olahraga terpopuler. Kompas dan tabloid Bola berada dalam naungan kelompok 51 usaha Kompas-Gramedia. Kelompok usaha ini merupakan salah satu dari 12 kelompok usaha konglomerasi media di Indonesia. Kompas-Gramedia saat ini memiliki dan mengendalikan: 10 stasiun televisi, 12 stasiun radio, 88 media cetak, dan 2 media online. Kelompok ini juga memiliki jaringan toko buku, properti dan hotel, event organizer (EO), manufaktur dan Perguruan Tinggi. 14 Selain itu, Kompas-Gramedia juga menggelar kompetisi sepak bola usia di bawah 14 tahun se-Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) sejak tahun 2010. Liga ini bernama Liga Kompas Gramedia (LGK) U14. Kompetisi ini mempertemukan tim-tim dari Sekolah Sepak Bola (SSB) se Jabodetabek. Ketua LGK 2010-2014 adalah Anton Sanjoyo, yang juga wartawan dan kolomnis sepak bola di harian Kompas. Kompas-Gramedia meluncurkan kompetisi setelah memperoleh restu dari pemerintah dan PSSI. Menteri Pemuda dan Olahraga RI, A. Alfian Mallarangeng sendiri yang membuka dengan resmi kompetisi tersebut pada hari Minggu, 18 Juli 2010, yang juga di hadiri Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Rita Subowo dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PSSI, Nugraha Besoes. 15 Sedangkan koran Seputar Indonesia (Sindo) dipilih karena merupakan koran pendatang baru dengan perkembangan tercepat yang beroplah sebanyak 330 ribu eksemplar setiap hari. 16 Selain itu Sindo juga dimiliki oleh salah satu dari 12 kelompok usaha media yakni, Media Nusantara Citra (MNC) Group. MNC Group merupakan kelompok usaha media terbesar di Indonesia, MNC Group memiliki 14 Hasil penelitian R Kristiawan yang berjudul Liberalisasi Media: Kajian Ekonomi Politik Tentang Demokratisasi dan Industrialisasi Media di Indonesia tahun 2012. Hal 117. 15 HarianKompas, Judul berita, Muncul Pemain Bagus: Kekosongan Pembinaan Usia Muda Berdampak Panjang, Senin 19 Juli 2010. Hal 30. 16 Menurut data pada profil koran Sindo tahun 2010. 52 dan mengendalikan: 20 stasiun televisi, 22 radio, 7 media cetak, 1 media online. Ia juga memiliki lini usaha di bidang produksi dan distribusi content dan manajemen artis. 17 MNC Group adalah pemegang hak siar LPI tahun 2011-2012. MNC menyiarkan liga tersebut di tiga stasiun miliknya, yakni MNC TV, Sindo TV dan RCTI dan dukungan pemberitaan dari harian Seputar Indonesia. Di harian tersebut berita LPI ditempatkan dalam rubrik bernama Hattrick. Guna mendapatkan hak siar tersebut MNC group membayar Rp 100 miliar permusim kepada PSSI.18 Alasan memilih surat kabar dan tabloid tersebut sudah tepat karena kedua kelompok usaha media itu memiliki kepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan konflik dalam tubuh persepakbolaan di Indonesia. Obyek materiil studi ini adalah teks beritaseputar konflik PSSI dengan Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI)dandualisme liga, yakni Liga Primer Indonesia (LPI) dan Indonesia Super League (ISL) dari tahun 2010-2102. Sebuah penelitian kualitatif dikatakan lengkap apabila penelitian tersebut telah menjalani uji keabsahan data (Zelltiz, dkk sebagaimana dikutipBlack dan Champion, 1992: 204). Tujuannya agar hasil penelitian kredibel. Menurut Moleong (2000) keabsahan data dalam penelitian kualitatif dilakukan dalam empat kriteria, yaitu derajat keterpercayaan (credibility), keteralihan (transferabiity), kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability). Credibility adalah derajat kepercayaan terhadap data yang diperoleh peneliti. 17 Credibility dapat dilakukan antara dengan cara perpanjangan R. Kristiawan. Op. Cit., hal 117. Tabloid Bola, judul berita MNC Dalam Persimpangan , Edisi Kamis-Jumat, 20-21 Oktober 2011 Rubrik Ole Nasional, hal 3. 18 53 keikutsertaan, ketekunan pengamatan, triangulasi, pengecekan sejawat dan kecukupan referensial. Sebagaimana diketahui dalam penelitian kualitatif, peneliti bertindak sebagai instrumen. Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data. Keikutsertaan tersebut tidak dilakukan dalam waktu singkat, tetapi memerlukan perpanjangan keikutsertaan peneliti dalam latar penelitian. Memang tidak ada patokan waktu, tetapi dengan peneliti menyediakan waktu yang luang diharapkan data yang diinginkan tercapai semaksimal mungkin. Ketekunan pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Dengan kata lain, jika perpanjangan keikutsertaan menyediakan lingkup, maka ketekunan pengamatan menyediakan kedalaman. Transferability diartikan sebagai validitas eksternal sedangkan dalam penelitian kualitatif diartikan derajat keotentikan (dapat dipercaya). Keotentikan menurut L. Neuman (2003, 242) menawarkan sifat yang adil, jujur dan seimbang dalam kehidupan sosial dari sudut pandang dari orang-orang yang menjalaninya setiap hari. Dependability dalam penelitian kuantitatif diartikan sebagai realibilitas. Suatu penelitian yang reliabel adalah apabila orang lain dapat mengulangi/mereplikasi proses penelitian tersebut. Dalam penelitian kualitatif, uji dependability dilakukan dengan melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Pengujian confirmability dalam penelitian kuantitatif disebut dengan uji obyektivitas penelitian. penelitian kualitatif cenderung menganggap bahwa setiap peneliti membawa perspektif yang unik untuk penelitian. Konfirmabilitas mengacu pada sejauh mana hasilnya dapat 54 dikonfirmasi atau dikuatkan oleh orang lain. Menguji confirmability berarti menguji hasil penelitian, dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Adapun sistematika pembahasan disertasi sebagai berikut: Bab I Pendahuluan, bab ini membahas tentang alasan pemilihan topik, rumusan masalah, manfaat penelitian, landasan teori dan metode penelitian. Bab II Penggambaran konflik persepakbolaan di Indonesia pra kongres luar biasa PSSI tahun 2011 di tiga surat kabar ibukota. Bab III Penggambaran konflik persepakbolaan di Indonesia setelah kongres luar biasa PSSI tahun 2011 di tiga surat kabar ibukota. Bab IV Praktek wacana surat kabar ibu kota pada konflik persepakbolaan di Indonesia. BAB V Praktek sosiokultural wacana konflik dalam tubuh persepakbolaan Indonesia, dan Bab VI Kesimpulan dan Rekomendasi.