bab i pendahuluan

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Antara tahun 2010-2012, sepak bola Indonesia dilanda intrik dan konflik.
Konflik tersebut dapat dibagi menjadi dua, yakni pertama, konflik pengurus yang
menyebabkan munculnya dualisme kepengurusan Persatuan Sepak Bola Seluruh
Indonesia (PSSI), yaitu PSSI versus Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia
(KPSI), dan kedua, dualisme sistem kompetisi yaitu Liga Super Indonesia (LSI)
versus Liga Primer Indonesia (LPI).
Konflik itu berawal saat Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI periode 20072011, menjalani hukuman penjara di LP Cipinang karena terlibat korupsi
penyaluran minyak goreng tahun 1999-2000, saat Indonesia masih didera krisis
ekonomi. Dari balik jeruji penjara Nurdin Halid mengendalikan organisasi sepak
bola Indonesia. Hal ini memicu kontroversi. Ia dinilai oleh sejumlah kalangan
memanipulasi Statuta FIFA, Induk organisasi sepak bola dunia. Sebab dalam
statuta FIFA disebutkan bahwa seseorang yang melakukan tindak kriminal
dilarang memimpin atau menjadi pengurus asosiasi sepak bola dibawah FIFA.
Kondisi ini diperparah dengan prestasi sepak bola Indonesia yang berada
dititik nadir. Selama dibawah kendali Nurdin Halid, Tim Nasional kelompok usia
manapun belum pernah berprestasi. Puncak kekecewaan ditandai keinginan
beberapa kalangan melengserkan Nurdin Halid.
Berbagai usaha dicoba oleh para penentang Nurdin Halid. Di antaranya
mencoba menempatkan Kongres Sepak Bola Nasional (KSN) di Malang pada
2
akhir Maret 2010 menjadi Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) dengan
agenda mengganti Nurdin Halid. Namun, gerakan yang diinisiasi oleh Presiden
Soesilo Bambang Yudoyono dan didukung oleh Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI) gagal total melengserkan Nurdin Halid dari posisinya.
Usaha selanjutnya adalah mencoba menggembosi kompetisi resmi PSSI,
Liga Super Indonesia (atau juga disebut Indonesian Super League/ISL) dengan
membuat kompetisi tandingan yakni Liga Primer Indonesia (atau juga disebut
Indonesia Primere League/IPL). Pengagas IPL ialah Arifin Panigoro, pengusaha
sekaligus politisi yang berniat maju menggantikan Nurdin Halid sebagai Ketua
Umum PSSI. Sampai tahun 2013 terjadi dualisme sistem kompetisi di Indonesia
Usaha Nurdin Halid untuk bertahan diposisinya dilakukan dengan matimatian. Salah satunya ialah mengganjal calon ketua umum lainnya. Melihat cara
Nurdin yang dinilai ―curang,‖ penentangnya pun menggunakan cara ―kekerasan‖
dengan mengambil alih Kongres PSSI di Pekanbaru, Riau Maret 2011 secara
paksa sehingga menjadi deadlock.
Konflik kepengurusan sepak bola Indonesia merupakan arena yang
memiliki grafitasi menarik segenap pemilik kepentingan untuk ―bertarung‖ guna
memperebutkan sumber daya di dalamnya.
Konflik itu ibaratnya ranah (field),meminjam istilah Bourdieu, yang di
dalamnya terdapat upaya perjuangan untuk merebut sumber daya (modal) dan
juga demi memperoleh akses tertentu guna menentukan posisi. Ranah sekaligus
arena pertarungan di mana mereka yang menempatinya dapat mempertahankan
atau mengubah konfigurasi kekuasaan yang ada. Struktur ranahlah yang
3
membimbing dan memberikan strategi bagi penghuni posisi, baik individu
maupun kelompok, untuk melindungi atau meningkatkatkan posisi mereka dalam
kaitannya dengan jenjang pencapaian sosial.
Atas dasar itulah perhatian media massa di Ibu Kota terhadap peristiwaperistiwa konflik di PSSI yang terjadi dalam kurun waktu 2010-2012 cukup
serius. Hampir semua media seolah-olah berlomba memberitakan persoalanpersoalan tersebut dengan perspektif masing-masing. Harian Kompas dan Sindo,
misalnya, dari Januari sampai Juni 2011, setiap hari menurunkan berita yang
berkaitan dengan PSSI dan LPI; demikian pula dengan tabloid Bola, tabloid
olahraga ini bahkan membuat rubrik khusus IPL. Jumlah pemberitaan masingmasing media tersebut mencapai lebih dari seratus item berita. Jumlah berita yang
demikian besar ini menunjukkan bahwa olah raga sepak bola merupakan olah raga
paling popular dan menarik minat pembaca paling tinggi di Indonesia. Berikut
datanya:
Tabel 1.1
Jumlah Pemberitaan Konflik Kepengurusan Sepak Bola Indonesia
Januari-Juni 20111
Media
Jumlah Berita
Kompas
136
Seputar Indonesia (Sindo)
118
Bola
479
Sumber: diolah dari kumpulan kliping berita PSSI dan LPI di Kompas,
Sindo dan Bola
1
Jumlah pemberitaan konflik sepak bola jauh lebih besar bila dibanding dengan konflik organisasi
olah raga lain. Seperti yang terjadi pada kepengurusan di Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia
(PTMSI), konflik ini sepi dari pemberitaan media. Padahal yang ―berkonflik‖ di PTMSI
melibatkan elit-elit politik nasional seperti Komisaris Jenderal (Purn) Oegroseno, mantan Wakil
Kepala Kepolisisn RI vs Marzuki Alie, mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
4
Persoalan konflik sepak bola di Indonesia memang sarat kepentingan
ekonomi dan politik yang bertali-temali dengan industri media. Keinginan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyelenggarakan Kongres Sepak
Bola Nasional (KSN) Maret 2010, misalnya, pertama kali diungkapkan saat
bertemu dengan pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Istana Negara
Rabu, 27 Januari 2010. Dalam pertemuan tersebut, Presiden SBY meminta PWI
membantu pemerintah menggelar KSN pada tanggal 29-30 Maret 2010.
Pendukung Nurdin Halid waktu itu menilai PWI memiliki kepentingan dengan
KSN, karena sejatinya organisasi para wartawan itu tidak mengurusi sepak bola.
Pendukung Nurdin Halid menilai PWI berkeinginan menjatuhkan Nurdin Halid. 2
Kontradiksi kepentingan lainnya terkait saat Timnas senior PSSI berlaga
di Piala AFF 2010. Saat itu TV One memperoleh akses untuk berada satu pesawat
dengan Timnas, yang akan bertanding pada putaran final laga pertama melawan
Malaysia. Kru media TV One secara eksklusif mewawancarai sejumlah pemain
dalam pesawat. Perlakukan istimewa itu ternyata diperoleh dengan menggunakan
koneksi Nirwan D. Bakrie, Wakil Ketua Umum PSSI periode 2007-2011, yang
juga adik kandung Aburizal Bakrie, salah satu pemilik TV One yang juga Ketua
Umum Partai Golkar. Tak hanya itu, saat Timnas Indonesia maju ke final AFF
setelah mengalahkan Filipina di semifinal, Timnas PSSI menghadiri undangan
Aburizal Bakrie guna bersantap malam. Peristiwa itu menjadi sorotan kritik saat
itu, karena dianggap sebagai ajang pencitraan Partai Golkar dan Nurdin Halid.
Kritik lain juga mengemuka, mengapa kru Rajawali Citra Televisi Indonesia
2
http://bola.kompas.com/read/2010/02/04/04333971/pwi-koni.lakukan.kongres.sepak.bola, diakses
Jumat 11 Oktober 2013 pukul 05.30
5
(RCTI) tidak diikutkan dalam pesawat yang ditumpangi Timnas, padahal RCTI
yang memperoleh hak siar pertandingan Timnas.3
Penelitian penulis sebelumnya yang berjudul ―Wajah Sepak Bola
Indonesia Dalam Bingkai Pemberitaan Media‖ menemukan bahwa adanya konflik
kepentingan atas peristiwa KSN (Kongres Sepak Bola Nasional) yang
dilaksanakan di Malang, Jawa Timur 29-30 Maret 2010. KSN yang sebetulnya
adalah kongres untuk mencari solusi atas terpuruknya sepak bola nasional
dimaknai Kompas sebagai momentum yang tepat guna mengganti Ketua Umum
PSSI Nurdin Halid. KSN pun didorong untuk menjadi Kongres Luar Biasa (KLB)
PSSI. Padahal menurut Statuta PSSI, KLB baru bisa digelar apabila sudah
memperoleh rekomendasi 2/3 suara dari pemilik suara PSSI yang jumlahnya
mencapai 78 klub. 4
Sebaliknya Suara Karya, koran kepanjangan tangan Partai Golkar, lebih
fokus meng-counter isu-isu pelengseran Nurdin Halid dari Ketua Umum PSSI
daripada memberitakan substansi kongres tersebut. Apa yang dikatakan oleh Bill
Kovach dan Tom Rosenstiel5 bahwa Jurnalis harus membuat berita yang
komprehensif dan proporsional, tidak berlaku.
Elemen komprehensif dan proporsional mengamanahkan agar jurnalis
mencari sebanyak mungkin narasumber berita, supaya kebenaran muncul ke
3
http://news.detik.com/read/2010/12/28/121916/1534087/159/3/cari-popularitas-lewat-timnasberbuah-blunder diakses Minggu 6 Oktober 2013 pukul 08:22
4
Hasil penelitian dimuat pada Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta dengan Artikel
berjudul Bola Indonesia dalam Bingkai Pemberitaan Media, Edisi September 2010. Jurnal itu
terkareditasi B dari Dirjen Dikti. Artikel dapat diunduh pada http://repository.upnyk.ac.id/2508/
5
Bill Kovach adalah wartawan harian Atlanta Journal-Constitution yang kemudian bersama Tom
Rosenstiel menulis buku berjudul The Elements of Journalism: What News people Should Know
and the Public Should Expect terbitan New York: CrownPublisher, 2001, yang diterjemahkan
menjadi Elemen-elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan yang
Diharapkan Publik diterbitkan oleh ISAI tahun 2004
6
permukaan. Yang terjadi adalah masing-masing koran tidak mencari narasumber
di luar medan wacana yang dibangun. Akhirnya sudut pandang pemberitaan
sempit dan terjebak ke dalam sikap pro dan kontra. Akibat sempitnya sudut
pandang berita yang dimuat kemudian memunculkan dugaan bahwa pemberitaan
masing-masing koran tidak independen dan membawa kepentingan tersembunyi.
Suara Karya, misalnya, kelihatan tidak independen saat memberitakan KSN.
Fakta bahwa eksistensi Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid melanggar Statuta FIFA
tidak pernah diangkat. Hal ini mudah dipahami bahwa Nurdin Halid adalah kader
Partai Golkar dan dua kali terpilih menjadi anggota DPR dari Sulawesi Selatan
mewakili Fraksi Partai Golkar.
Sebaliknya Jurnal Nasional juga tidak independen dalam menggambarkan
fakta bahwa pemerintah kurang serius melakukan pembinaan sepak bola yang
ditandai dengan minimnya pembenahan fasilitas stadion dan anggaran.
Pengabaian fakta-fakta itu dapat diduga sangaja dilakukan oleh Jurnal Nasional,
mengingat koran ini adalah koran yang menyuarakan aspirasi pemerintah.
Gejala kontradiksi kepentingan pada pemberitaan konflik sepak bola
pernah dituduhkan PSSI kepada tabloid Bola, melalui Direktur Media PSSI,
Barry Sihotang yang mengadu ke Dewan Pers pada tanggal 9 Februari 2011.
Sihotang menilai pemberitaan tabloid Bola bias IPL. PSSI juga menuduh
Yesayas Oktavianus, salah seorang wartawan Kompas adalah pengurus IPL.
PSSI menilai tabloid Bola memiliki kontradiksi kepentingan dengan
7
pemberitaan IPL. 6 Sampai dengan konflik ini berakhir Dewan Pers belum
pernah mengklarifikasi kasus tersebut.
Kontradiksi kepentingan lain yang pernah bersinggungan dengan
PSSI dan wartawan adalah saat penunjukan Ferry Kodrat sebagai Manajer
Timnas PSSI Pra Piala Dunia tahun 2011. Ferry Kodrat pernah menjadi
wartawan harian sore Suara Pembaruan. Sejumlah kalangan menilai
penempatan Ferry sebagai manajer dapat mempengaruhi pemberitaan
tentang Timnas, karena dinilai dapat melobi teman-temannya di media.
MNC group, korporasi yang menaungi harian Seputar Indonesia, juga
dianggap memiliki kontradiksi kepentingan terkait dengan hak siar IPL yang
dipegang oleh MNC tahun 2011-2012. Ada yang menilaibahwa harian
Seputar Indonesia mendeskriditkan ISL dan mencitrapositifkan IPL.
Demikian juga dengan Viva Group, salah satu anak perusahaan
Bakrie yang menaungi TV One, ANTV dan Vivanews.com. Berita-berita di
kelompok Viva dianggap mendiskriditkan IPL dan mencitrapositifkan ISL,
karena hak siar ISL dipegang oleh TV One dan ANTV. Di samping itu,
Nirwan D. Bakrie, pengurus PSSI periode 2007-2011 adalah salah satu
pemilik usaha Bakrie Group. Viva group memiliki kepentingan komersial
dengan ISL.
Dalam
persepakbolaan
pemberitaan
Indonesia,
konflik
penulis
kepengurusan
menengarai
bahwa
dalam
media
tubuh
massa
mengkonstruksi konflik tersebut sebagai komoditas (nilai jual). Media
6
(http://sport.detik.com/sepakbola/read/2011/02/09/115629/1567609/76/pssi-tunggudewan-pers-panggil-dua-media-massa), diakses Senin, 7 Oktober 2013 pukul 7:10.
8
seolah-seolah menciptakan dua kelompok yang saling berhadap-hadapan.
Media mendramatisasi konflik tersebut sedemikian rupa, sehingga menarik
untuk diikuti. Temuan awal penulis menunjukkan bahwa Kompas bersikap
―memojokkan‖ Nurdin Halid dengan tuduhan memanipulasi Statuta FIFA
tentang pasal kriminal, sebaliknya Kompas ―menyanjung‖ Arifin Panigoro,
pendiri Indonesia Primer League (IPL)—kompetisi tandingan Indonesia
Super League (ISL)—padahal kenyataannya mendirikan liga tandingan juga
melanggar Statuta FIFA, sebab FIFA hanya akan mengakui liga yang
dibentuk oleh asosiasi anggota FIFA. IPL bukan liga yang dibentuk oleh
PSSI, anggota FIFA. 7 Fakta di atas menunjukkan bahwa
Kompas
menerapkan standar ganda pada dua kelompok yang berkonflik. Dua
kelompok
yang
sama-sama
melakukan
pelanggaran
Statuta
FIFA
diperlakukan berbeda. Mengapa hal tersebut dilakukan? Penulis mencurigai
bahwa harian Kompas memiliki agenda tersembunyi dengan konflik dalam
persepakbolaan tersebut. Kepentingannya adalah Kompas-Gramedia (induk
usaha harian Kompas) memiliki liga sepak bola usia di bawah 14 tahun yang
bergulir sejak tahun 2010. Liga tersebut bernama ―Liga Kompas-Gramedia
U14.‖
7
Pasal 18 ayat 1 Statuta FIFA berbunyi ―Leagues or any other groups affiliated to a Member of
FIFA shall be subordinate to and recognised by that Member. The Member’s statutes shall defi ne
the scope of authority and the rights and duties of these groups. The statutes and regulations of
these groups shall be approved by the Member. Lebih jauh tentang Statuta FIFA dapat dilihat di
http://www.fifa.com/aboutfifa/organisation/mission.html
9
Kontradiksi kepentingan 8 dalam terminologi jurnalistik terjadi bila
terdapat dua kepentingan berbeda dan bertentangan yang muncul secara
bersamaan yang berkenaan dengan kerja jurnalistik. 9 Dalam kaidah
jurnalistik salah satu prinsip yang harus dipenuhi adalah bersikap
indenpenden. Independen diartikan bahwa setiap wartawan harus memenuhi
sikap
profesional
tanpa
membiarkan
pihak
ketiga
menghalangi,
mengganggu, mempengaruhi pekerjaannya dan atau hasil liputannya. Setiap
wartawan berkewajiban untuk menolak siapa pun yang membatasi kemerdekaan
mereka. Prinsip ini berlaku untuk kasus ketika fakta dan peristiwa yang
disalahartikan atau terdistorsi oleh kepala lembaga wartawan wartawan bekerja.
Kontradiksi kepentigan bisa mengganggu terwujudnya prinsip independen
tersebut.
Kontradiksi kepentingan walaupun agak mirip pengertiannya dengan
conflict of interest namun tetap masih memiliki perbedaan. Jika kontradiksi
kepentingan diartikan sebagai suatu kondisi dimana penilaian kepentingan
utama
bententangan
dengan
kepentingan
sekunder,
maka
konflik
kepentingan diartikan sebagai kondisi dimana kepentingan utama tidak
8
Terminologi ―kontradiksi kepentingan‖ dapat dilacak dari pemikiran-pemikiran Karl Marx tentang
kritik terhadap kapitalisme. Marx menggunakan berbagai pendekatan untuk menunjukkan berbagai
kebobrokan kapitalisme. Dari segi moral, Marx menilai kapitalisme mewarisi ketidakadilan sebab tidak
peduli pada kepincangan dan kesenjangan sosial dalam masyarakat. Dari segi sosial, kapitalisme merupakan
sumber konflik antar kelas, baik antar borjuis dengan proletar, antara tuan tanah dengan butuh tani. Dari segi
ekonomi, Marx melihat bahwa kapitalisme digunakan oleh kaum kapitalis untuk mengejar laba sebanyakbanyaknya dengan menekan buruh sekeras mungkin. Marxisme memberikan perhatian kuat pada komunikasi
dalam masyarakat. Praktek komunikasi merupakan hasil dari ketegangan antara aktivitas individual dan
batasan-batasan sosial terhadap kreativitas tersebut. Kebebasan mengekspresikan diri tidak dapat tercapai
dalam masyarakat yang berdasarkan kelas. Marxisme menyakini bahwa kontradiksi, ketegangan dan konflik
tidak dapat dihindari dari tatanan sosial dan tidak pernah bisa dihapuskan. Lihat F.M. Suseno Filsafat
Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Penerbit Kanisius 1992.
9
Istilah kontradiksi sendiri pernah dikaji oleh Mashuri mahasiswa Pasca Sarjana program studi
sastra UGM yang dimuat di Jurnal Lakon Universitas Airlangga Surabaya, Juli 2012.
10
dilaksanakan atau diabaikan oleh karena adanya kepentingan lain yang lebih
mendominasi. Konflik kepentingan dalam kerja jurnalistik sering ditandai
dengan wartawan yang menerima imbalan uang atau fasilitas eksklusif
dalam peliputan sehingga mempengaruhi hasil liputannya bahkan cenderung
mengabaikan aspek etika jurnalistik. 10 Kontradiksi kepentingan dalam
jurnalistik memang belum sampai melanggar etika jurnalistik namun
dikhawatirkan memicu lahirnya bias dalam pemberitaan. Bentuk bias
tersebut bisa terwujud pada berita yang memihak pada kelompok tertentu
yang berkonflik (imbalance), melakukan stigmatisasi (prejudice) dan
memperoleh keuntungan pribadi/kelompok atas pemberitaan yang dibuatnya.
Dilema yang timbul dari praktek kontradiksi kepentingan yakni
terabaikannya hak publik untuk mengetahui infomasi yang benar (neglecting
the public interest) dan mencederai keberagaman (Croteau dan Hoynes,
2006: 156). Bila informasi yang diterima oleh publik adalah informasi salah
maka sudah pasti opini publik yang timbul adalah opini yang salah pula.
Berangkat dari pemikiran-pemikiran di atas penulis tertarik mengkaji
kontradiksi kepentingan dalam pemberitaan konflik kepengurusan dalam
tubuh persepakbolaan di Indonesia.
1.1. Permasalahan
Berangkat dari persoalan di atas, pertanyaan penelitian yang penulis
ajukan adalah sebagai berikut:
10
Rosihan Anwar memberi contoh konflik kepentingan bagi wartawan terjadi misalnya bila
wartawan merima imbalan dari narasumber yang diberitakannya. Lihat Rosihan Anwar ,
Wartawan & KodeEtik Jurnalistik, 1996: 19-20.
11
1. Bagaimana ketiga media cetak ibu kota (Kompas, tabloid Bola dan
Seputar Indonesia) mewacanakan pemberitaan konflik dalam tubuh
kepengurusan sepak bola di Indonesia?
2. Kepentingan ekonomi-politik apa yang ingin diperjuangkan masingmasing media cetak tersebut dalam memberitakan konflik dalam tubuh
kepengurusan sepakbola di Indonesia?
1.2. Keaslian Penelitian
Penelitian yang akan penulis lakukan bersifat kualitatif, menggunakan
paradigma kritis dengan metode penelitiaan Critical Discourse Analysis (CDA).
Teknik pengumpulan data menggunakan analisis teks media dan menggabungkan
dengan wawancara mendalam.
Kerangka teori yang akan penulis gunakan antara lain teori-teori yang
berkaitan dengan ekonomi politik media yang dikembangkan oleh Vincent
Mosco, Graham Murdoc dan Peter Golding, serta konsep-konsep hegemoni yang
dikembangkan oleh Antonio Gramsci dan didukung oleh teori-teori lain.
Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian tentang konflik kepengurusan
dalam persepakbolaan Indonesia dengan menggunakan CDA dan kajian Ekonomi
Politik belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini juga berbeda dengan
penelitian-penelitan terdahulu seperti yang penulis akan gambarkan pada Tinjauan
Pustaka.
12
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun penelitian ini bertujuan:
1. Menjelaskan secara komprehensif ketiga media cetak ibu kota (Kompas,
Tabloid Bola dan harian Seputar Indonesia) dalam mengkonstruksi
pemberitaan konflik dalam tubuh persepakbolaan di Indonesia.
2. Membongkar kepentingan ekonomi-politik masing-masing media cetak
tersebut dalam memberitakan konflik dalam tubuh kepengurusan
persepakbolaan di Indonesia
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian terdahulu tentang sepak bola pada umumnya menyoroti relasi
kuasa yang bersifat hegemonik dalam industri sepak bola. Pemilik modal
menempati posisi yang dominatif, pemain dan penonton menempati posisi
subordinatif. Pemain dan penonton menjadi komoditas. Sedangkan penelitian
terdahulu dengan metode analisa wacana media pada umumnya fokus pada relasi
kuasa di lembaga legislatif dan eksekutif dengan pendekatan konstruktivis.
Umumnya penelitian tersebut hanya membahas makna-makna dalam teks berita
sehingga relasi kuasa di balik produksi, distribusi dan konsumsi teks media tidak
cukup terungkap.
Penelitian yang akan penulis lakukan diharapkan dapat membongkar relasi
kuasa pada produksi, distribusi dan konsumsi diskursus konflik persepakbolaan
pada korporasi besar media massa di Jakarta.
13
Penelitian ini akan berangkat dari pendekatan media and cultural studies.
Pendekatan Cultural studies diarahkan untuk menguji subjek penting dalam
kerangka praktek budaya dan hubungannya dengan kekuasaan. Tujuannya adalah
untuk menunjukkan relasi kuasa dan kepentingan serta pada saat yang sama
menguji seberapa jauh relasi kuasa tersebut mempengaruhi dan membentuk
praktek-praktek budaya.
2. Tinjauan Pustaka & Landasan Teori
2.1 Tinjauan Pustaka
Penelitian seputar sepak bola sudah banyak dilakukan. Masing-masing
peneliti berangkat dari fokus yang berbeda. Ada yang menyoroti dari sisi
komunikasi politik (Lesmana, 2012), praktek nonton bareng (Rina Febriani,
2011), analisis isi media (Marcus Free dan John Hughson, 2011), ekonomi politik
(David Kennedy dan Peter Kennedy, 2010), Wyn Grant (2007) dan Gustavo
Madeiro (2007), dan supporter Chris Goumas (2013), serta semiotika iklan
(Khoirul Anwar, 2012).
Penelitian Tjipta Lesmana tentang konflik PSSI 2011-2012 intinya
mengemukakan bahwa karut marutnya situasi menjelang kongres untuk memilih
kepengurusan baru di PSSI tahun 2011, tidak terlepas dari konflik kepentingan
berbagai pihak. Lesmana mengecam pihak-pihak yang bersikeras menyuarakan
kepentingannya sendiri dalam perebutan kursi ketua umum PSSI tahun 2011,
secara khusus yakni kepada George Toisutta – Arifin Panigoro (GT-AP) dan
kelompok pendukungnya yakni Kelompok 78 (K78), yang begitu memaksakan
14
kandidatnya untuk maju, padahal sudah ditolak oleh Komite Banding. Lesmana
menyebut bahwa sikap itu keliru, karena K78 sudah berani menentang FIFA.
Padahal, menurutnya sepakbola adalah olahraga yang unik, karena segala
peraturan harus tunduk pada FIFA. Lesmana juga membahas kekuatan-kekuatan
siapa saja yang berada di balik kubu GT-AP, termasuk pandangan adanya campur
tangan oknum-oknum tentara.
Lesmana yang menggunakan pendekatan komunikasi politik dalam
meneliti kasus PSSI mengkritik kepengurusan PSSI di bawah Djohar Arifin
Husin, mulai dari masalah pemecatan Alfred Riedl, melahirkan klub kembar (atau
yang populer disebut dengan klub kloningan), kontroversi pengangkatan Bernhard
Limbong sebagai ketua Badan Tim Nasional, kontroversi Persipura Jayapura
terkait keikutsertaan di ajang kompetisi Asia, dan pemecatan empat anggota
Executive Committee (Exco) PSSI.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Rina Febriani yang menulis tesis
berjudul ―Nonton Bareng (Nobar) di Kafe Sebagai Fenomena Budaya Populer‖di
Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Ilmu Sastra, Peminatan Cultural Studies,
Universitas Indonesia, Januari 2011.
Febriani menggunakan teori Sirkuit Budaya Paul Du Gay dkk dan konsep
Consumer Society Jean Baudrillard. Metode penelitian menggunakan etnografi
dengan teknik pengumpulan data wawancara mendalam tak berstruktur dan
observasi partisipan dengan larut dalam keriuhan nonton bareng tersebut.
Penelitian dilakukan pada saat Piala Dunia tahun 2010 dengan rentang waktu 11
Juni-11 Juli 2010.
15
Hasil penelitian menjukkan bahwa aktivitas nobar di kafe merupakan
kelanjutan dari aktivitas konsumsi penonton sepakbola. Kelangsungan sepakbola
bukan bergantung pada bakat-bakat pemain tetapi pada konsumsi penonton dan
suporter sebagai konsumen secara terus menerus. Oleh karena itu, bentuk
konsumsi sepakbola terus menerus berkembang. Komoditas terus diproduksi
bukan hanya untuk mempertahankan pendukung yang telah ada tetapi juga untuk
meraih pendukung baru. Untuk ini, media massa berperan penting dalam
penyebaran informasi yang mengandung tanda-tanda yang bisa diterima oleh
masyarakat. Nobar di kafe merupakan gabungan aktivitas menonton sebelumnya,
yaitu penonton stadion dan penonton televisi.
Sebagai fenomena budaya, aktivitas ini terbentuk dari beberapa proses
sosial yang relasional dan dialogis. Secara umum nobar di kafe merupakan salah
satu bentuk konsumsi oleh penonton sepakbola. Namun ia juga tidak lepas dari
proses lain yang memengaruhi pola konsumsi tersebut, yaitu representasi,
identitas, produksi dan regulasi. Pemaknaan terjadi bukan karena objek tetapi
bagaimana objek itu dikonsumsi. Ketenangan kafe bisa berkompromi dengan
keriuhan penonton sepakbola yang bisa terjadi dengan adanya sistem yang
menjadikannya sebagai salah satu bentuk praktik konsumsi penonton sepakbola.
Marcus Free dan John Hughson(2011)dalam artikel yang berjudul
―Football's 'coming out': soccer and homophobia in England's tabloid press‖
mengemukakan bahwa tabloid-tabloid di Inggris bersifat ambivalen dalam
memberitakan homophobia di dunia sepak bola. Dengan menggunakan perspektif
psikoanalisis dan post-strukturalis, Freedan Hughson berpendapat bahwa tabloid-
16
tabloid Inggris memang mengkampanyekan penghentian homophobia di dunia
sepak bola, namun pada sisi yang lain, tabloid-tabloid tersebut senantiasa
memberitakan dengan rasa keingintahuan yang dalam tentang kehidupan pribadi
para pesepakbola yang berorientasi seks sejenis ini. Mereka menilai bahwa
dengan antusiasme memberitakan kehidupan pribadi para homosexual tersebut
berarti memberikan ruang bagi para homophobia untuk terus menerus menentang
kaum
homoseksual.
Seharusnya
tabloid-tabloid
Inggris
tidak
perlu
mempersoalkan orientasi seksual seorang atlet sepakbola karena dalam olahraga
yang diperlukan adalah skill, talenta dan kebugaran fisik untuk berprestasi, bukan
orientasi seksual.
Penelitian Chris Goumas (2013) yang berjudul ―Home Advantage and
Crowd Size in Soccer: a Worldwide Study‖ menunjukkan bahwa terdapat korelasi
yang signifikan antara keriuhan penonton (crowd) tuan rumah dengan
kemenangan tim sepak bola tuan rumah. Goumas yang melakukan survei di empat
konfederasi sepak bola di empat benua, yakni Eropa (UEFA), Asia (AFC),
Amerika Utara dan Tengah (Concacaf), serta Amerika Selatan (Conmebol)
dengan meneliti 1900 jumlah pertandingan, menunjukkan bahwa pengaruh
keriuhan penonton tuan rumah memberikan kontribusi kemenangan sebesar:
56,2% di Eropa, 63,5% di Asia, 67,1% di Amerika Utara dan 62,9% di Amerika
Selatan atau rata-rata 60,4% untuk seluruh benua.
Goumas menyimpulkan selain keriuhan supporter tuan rumah, faktor lain
yang mempengaruhi diantaranya: kondisi psikologis yang sudah akrab dengan
lapangan, atmosfir stadion, dan wasit yang kerap memihak tuan rumah.
17
David Kennedy dan Peter Kennedy (2011) membuat penelitian berjudul
―Toward a Marxist Political Economy of Football Supporters‖mereka meneliti
kasus pendukung klub sepak bola liga Inggris, Everton, dengan pendekatan
ekonomi politik Marxis. Mereka menyoroti rencana perpindahan markas Everton
dari Goodison Park ke stadion Kirkby, yang digulirkan sejak 2006. Untuk
mewujudkan rencana tersebut manajemen Everton menggandeng pengembang
Tesco Plc. Dalam proposalnya Tesco berencana akan membangun supermarket
raksasa yang buka 24 jam, restoran, bar dan taman bermain serta hotel berbintang
dalam kompleks stadion Kirkby. Rencana itu kemudian menuai pro dan kontra
dari pendukung fanatik Everton.
Pendukung yang setuju kepindahan itu disebut terjebak dalam propaganda
komersialisasi klub. Supporter Everton akan dijadikan sebagai ―komoditas palsu‖
(fictitious commodity) oleh pengembang. Sebaliknya mereka yang menolak
kepindahan tersebut disebut sebagai kaum tradisional. Kaum tradisional
berargumen bahwa antara pendukung dan klub terdapat ikatan emosional.
Kepindahan stadion seakan-akan memisahkan jiwa antara klub dengan
pendukungnya. Meskipun Goodison Park merupakan stadion tua, mulai
digunakan sejak tahun 1892, tetapi di stadion itulah klub jatuh bangun
membangun reputasi di kancah sepak bola Inggris. Kennedy & Kennedy tidak
mengingkari bahwa sepak bola Inggris saat ini bersifat sangat kapitalistik,
sehingga supporter dijadikan ladang pemujaan komoditi (Fetishism of
Commodity).
18
Wyn Grant (2007) melakukan kajian ekonomi politik sepak bola Inggris
dengan judul penelitian ―An Analytical Framework for a Political Economy of
Football.‖ Ia menemukan bahwa ekonomi politik sepak bola menjadi lebih
esensial semenjak terkooptasi oleh elemem-elemen bisnis. Muncul perdebatan
antara paradigma yang memahami sepak bola sebagai sebuah intitusi bisnis
dengan paradigma sepak bola sebagai gerakan kultural dan akvitas demokrasi.
Perdebatan ketiga hal itu diwakili oleh industri media yang melihat sepak bola
sebagai komoditas, supporter melihat sebagai kegiatan kesenangan (pleisure) dan
praktek identitas sedangkan pemerintah berusaha menciptakan ruang regulasi
dimana sepak bola dijadikan sebagai ajang promosi gaya hidup sehat.
Kepentingan tersebut kemudian menimbulkan arena perdebatan di antara
ketiganya.
Grant menyimpulkan bahwa sepak bola membutuhkan kebijakan
politik yang lebih ―canggih‖ untuk memastikan bahwa sepak bola bukan sekadar
komoditas. Meski peran pemerintah diperlukan, perlu pula tetap hati-hati agar
jangan sampai mencederai semangat kompetisi.
Gustavo Madeiro (2007) dengan judul penelitian “Sport and Power:
Globalization and Merchandizing in the Soccer World‖ menemukan bahwa pola
transfer pemain saat ini tak berbeda dengan teori center-periphery. Klub-klub
kaya dari Eropa akan membeli pemain bertalenta dari klub-klub miskin di
Amerika Latin dengan harga murah. Setelah pemain tersebut mengantar klubnya
berjaya di liga masing-masing, mereka akan dijual dengan harga selangit.
Fenomena ini menurut Madeiro, seperti model center-periphery. Teori centerperiphery diperkenalkan oleh Komisi Ekonomi untuk Amerika Latin dan Karibia
19
(CEPAL) pada tahun 1960. Pada intinya teori ini menyatakan bahwa Negaranegara Utara yang kaya dianggap sebagai Pusat atau Inti Kapitalisme dan negaranegara Selatan yang miskin merupakan pinggiran dalam model Pusat dan
Pinggiran (Center and Periphery). Melalui penaklukan imperial, berbagai tatanan
perekonomian pinggiran disedot ke dalam kapitalisme, akan tetapi di atas pijakan
yang tidak adil. Madeiro juga mengkritik FIFA yang terlalu mengakomodasi
kepentingan kapitalisme dalam sepak bola, sehingga antara manajemen klub
(pemilik media), pemain dan penonton tidak memiliki posisi yang setara.
Khoirul Anwar (2010) melakukan penelitian berjudul ―Euforia Sepak
Bola: Studi Semiotika dalam Iklan Piala Dunia History of Celebration.” Anwar
menggunakan paradigm kritis dengan metode analisa semiotoka Roland Barthes.
Unit analisisnya adalah iklan Coca Cola versi piala dunia sepak bola 2010.
Anwar menemukan bahwa konstruksi makna dalam iklan ini mereproduksi
imaji tentang perayaan gol sebagai ‗tarian‘ yang berelasi dengan ekspresi
kebebasan dan kemenangan itu sendiri. Dalam tanda visual dan audio ditemukan
bahwa
‗semangat‘
mencapai
kemenangan
adalah
sesuatu
yang
terus
dikumandangkan. Ia juga menemukan euforia dan kesenangan itu sendiri menjadi
mitos universal dalam sepak bola, yang dalam konteks Piala Dunia untuk
menutupi memori kelam bangsa Afrika yang kerap mengalami diskriminasi.
Peneliti juga telah menelusuri beberapa penelitian sebelumnya yang
menggunakan metode analisa wacana atau teks media. Penelitinya antara lain:
Gati Gayatri (2002), Eduardus Dosi (2010), Ahmad Jamil (20012), Benny Siga
Butarbutar (2005), Yusuf Hamdan (2006)
20
Gati Gayatri (2002) membuat penelitian berjudul ―Konstruksi Realitas
Kepemimpinan Presiden Soeharto Dalam Berita Surat Kabar (Analisa Kritis
terhadap Makna Pesan Politik yang Disampaikan dengan Menggunakan Konsep
Ajaran Kemimpinan Jawa).‖ Penelitian ini menggunakan paradigma kritis,
sedangkan metode penelitiannya adalah analisa semiotika Roland Barthes dan
analisi isi kuantitatif. Objek penelitian pada harian Kompas, Kedaulatan Rakyat
dan Suara Pembaruan, sedangkan unit analisisnya berupa berita dan foto tentang
kepemimpinan Presiden Soeharto dalam kurun waktu 21 Maret 1968 dan 21 Mei
1998.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa realitas kepemimpinan yang
dibuat Presiden Soeharto melalui ucapan-ucapan tidak selalu sama dengan
konstruksi realitas yang dibuatnya melalui tindakan-tindakan. Meskipun ucapanucapan yang dikemukakan menunjukkan bahwa ia menggunakan konsep-konsep
kepemimpinan Jawa, tindakan yang dilakukan tidak selalu mencerminkan nilainilai kepemimpinan Jawa. Terdapat perbedaan antara konstruksi realitas yang
dibangun di media massa dengan konstruksi realitas yang dibuat oleh Presiden
Soeharto sendiri.
Eduardus Dosi (2010) menulis penelitian berjudul ―Wacana Dominasi
Diskriminatif Dalam Surat Kabar Lokal (Studi Relasi Kuasa di Balik Sajian Berita
Surat kabar Lokal)‖. Penelitian ini menggunakan perspektif teori kritis
pascastrukturalis dengan berpedoman pada kerangka teoritis Michel Foucault
tentang kekuasaan (power), wacana, ditunjang beberapa pemikiran lain.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dalam paradigma kritis
21
dengan kerangka analisis Norman Fairclough. Objek penelitiannya adalah Pos
Kupang dan Timor Express. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
ideologi politik oligarki, ideologi keagamaan Katolik dan ideologi kapitalisme
yang berada dibalik wacana dominasi disktriminatif dalam kemasan teks
pencalonan anggota legislatif tahun 2004 di NTT. Peristiwa pencalonan anggota
legislatif NTT dalam teks surat kabar dikemas menjadi aneka pertarungan antar
kekuasaan, yakni kekuasaan patriarki versus perempuan, kekuasaan pemegang
otoritas agama versus anggota dan umat, kekuasaan elit partai versus calon
anggota legislatif. Kemasan citra pertarungan kekuasaan merupakan eksploitasi
media yang merepresentasikan para pemain di dalam dan di luar media untuk
memperoleh posisi kekuasaan yang strategis dalam struktur masyarakat. Peran
dominasi pekerja media dalam merepresentasikan wacana dipengaruhi oleh
kekuasaan pasar.
Ahmad Jamil (2012) menulis penelitian berjudul ―Gerakan Sosial dalam
Perspektif Framing (Studi Pembentukan, Proses dan Pertarungan Framing pada
Gerakan Sosial Sengketa Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) dengan Polri
Tahun 2009 dan 20012)‖. Paradigma penelitian konstruktivis dengan metode
Penelitian studi kasus dan analisa teks media pada Kompas dan Media Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kasus antara Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) melawan Kepolisian Republik Indonesia (Polri)
dalam sengketa Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah, gerakan sosial yang
berhasil menang adalah yang pro KPK. Ahli-ahli gerakan sosial umumnya melihat
tiga elemen yang penting dan saling berkaitan, yakni (a) aktor gerakan sosial (b)
22
media (c) khalayak. Aktor gerakan sosial dilihat dalam perspektif framing sebagai
pihak secara aktif bersaing dan bertarung dalam memperebutkan makna atas
peristiwa. Sementara media dilihat sebagai entitas yang berperan dalam
menyebarkan frame atas persitiwa sehingga pemaknaan dari masing-masing aktor
gerakan sosial bisa tersebar luas ke masyarakat. Sedangkan elemen khalayak
berkaitan dengan sumber dukungan dari gerakan sosial. Ketiga elemen yakni aktor
gerakan sosial, media dan khalayak, tidak digambarkan secara linear. Masingmasing elemen itu pada dasarnya subjek yang mempunyai pemahaman dan
penafsiran tersendiri atas persitiwa.
Benny Siga Butarbutar (2004) menulis penelitian berjudul ―Dominasi
Media Massa dalam Pilkada: Kajian Ekonomi Politik Media terhadap Pilkada
Depok tahun 2004.‖ Paradigma penelitian ini adalah pradigma kritis, tipe
penelitian yang bersifat kualitatif dengan metode analisis wacana kritis Theo Van
Leeuwen. Objek Penelitian yakni harian Monitor Depok, Media Indonesia dan
Surya Citra Televisi (SCTV).
Hasil penelitian menunjukkan ada dua hal pokok yang bisa terlihat, yaitu
kuatnya dominasi media massa dalam liputan Pilkada Kota Depok dan kenyataan
kuatnya pengaruh bisnis dalam mempengaruhi kinerja pers, sehingga media massa
terlihat lebih sebagai institusi ekonomi daripada institusi informasi. Namun lebih
mengejutkan lagi adalah, kandidat yang tidak memiliki modal finansial yang kuat
(Nurmahmudi) ternyata memenangkan pertarungan walau tidak mendominasi
pemberitaan di media massa. Kondisi tersebut dapat dipahami, mengingat
23
tindakan media dalam memproduksi berita tidak terlepas dari kepentingan
ekonomi dan politik baik pada jenjang organisasi, industri dan masyarakat.
Yusuf Hamdan (2006) membuat penelitian berjudul ―Kontruksi Sosial
Realitas Politik dalam Media (Analisis Berita Surat Kabar Pikiran Rakyat dan
Metro Bandung) Mengenai Calon Gubernur dalam Pemilihan Gubernur Jawa
Barat
2003
Berdasarkan
Perspektif
Konstruksionisme.‖
Penelitian
ini
menggunakan paradigma konstruktivis dengan metode penelitian analisis Framing
model Robert Eatnman dengan objek penelitian surat kabar Pikiran Rakyat dan
Metro Bandung.
Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan bingkai pada surat kabar
mengenai realitas politik calon gubernur. Bagi Pikiran Rakyat calon gubernur
dibingkai sebagai masalah kedaerahan. Bingkai ini terlihat dari mengemukanya
isu-isu mengenai rekrutmen calon pemimpin harus dari putra daerah (tatar Sunda),
serta kriteria pemimpin (calon gubernur) yang mengenal dan dikenal di Jawa
Barat.
Sedangkan pada Metro Bandung, realitas politik dibingkai sebagai calon
pemimpin yang harus memiliki etika politik. Bingkai ini terlihat mengedepankan
pada pemberitaan isu-isu mengenai kasus dana kavling perumahan anggota DPRD
Jawa Barat tahun 2002.
Penelitian yang akan penulis lakukan berbeda dengan penelitian-penelitian
terdahulu. Penelitian terdahulu yang menggunakan analisa wacana pada umumnya
membahas wacana media tentang isu pertarungan kekuasaan di ranah eksekutif
dan legislatif seperti pada penelitian; Gayatri, Jamil, Dosi, Butarbutar dan
24
Hamdan. Umumnya mereka menggunakan analisa wacana yang masih diwarnai
oleh pendekatan communication oriented secara linear (Pengirim-Pesan-MediaPenerima dan Efek). Penelitian semacam ini terlihat pada hasil penelitian Gayatri
dan Jamil yang menggunakan analisa teks kuantitatif guna menghitung jumlah
berita, kata dan kalimat pada masing-masing objek penelitian. Penelitian Hamdan
meski menggunakan analisa teks kualitatif, paradigma yang digunakan adalah
konstruktivis. Temuan pada penelitian konstruktivis lebih pada pembuatan dan
pertukaran makna-makna dalam teks, sehingga temuan Hamdan tidak berhasil
membongkar relasi kuasa di balik pembuatan berita di masing-masing media yang
ditelitinya. Penelitian Dosi, meskipun menggunakan paradigma kritis dengan
metode CDA Norman Fairclough, menggunakan objek penenelitian media lokal
(Pos Kupang dan Timor Express). Kedua media tersebut tidak memiliki
kontradiksi kepentingan dengan masing-masing subyek yang diberitakannya.
Sehingga dinamika kepentingan ekonomi politiknya media tidak terlihat.
Sedangkan penelitian terdahulu tentang sepak bola, umumnya melihat
sepak bola dari kacamata teori Marxis tentang konflik kelas. Sepak bola
digambarkan sebagai arena yang penuh dengan pertarungan kelas antara pemilik
klub (pemodal), penonton sebagai objek komoditas, dan pemain sebagai tenaga
kerja sekaligus komoditas. Relasi mereka digambarkan tidak setara. Pemilik
modal menempati posisi yang dominatif yang cenderung eksploitatif terhadap
pemain dan suporter, sedangkan pemain dan suporter menempati posisi yang
subordinatif. Relasi kuasa digambarkan bukan pada relasi kuasa produksi,
distribusi dan konsumsi teks di media massa. Temuan tersebut terlihat pada
25
penelitian Kennedy & Kennedy, Wyn Grant, Madeiro dan Febriani. Umumnya
penelitian terdahulu tidak menggunakan metode penelitian analisa wacana media.
Berangkat dari temuan tersebut penulis akan melakukan penelitian yang
berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu. Penulis akan meneliti tentang
wacana konflik persepakbolaan dengan metode analisa wacana kritis, sehingga
penelitian ini diharapkan membongkar relasi kuasa di balik produksi, konsumsi
dan distribusi teks media pada korporasi media besar.
Terdapat tiga hal baru (heurisme) yang penulis akan kemukakan pada
penelitian ini. Pertama, studi ini akan mengangkat wacana media tentang
pemberitaan konflik persepakbolaan di Indonesia. Tema ini belum atau masih
jarang diangkat.Kedua, objek penelitian ditujukkan pada korporasi besar media
massa: Kompas dan Tabloid Bola.Kedua media ini tergabung dalam kelompok
Kompas-Gramedia, dan harian Seputar Indonesia tergabung ke dalam kelompok
usaha Media Nusantara Citra (MNC). Kedua korporasi media massa tersebut
berkepentingan dengan konflik persepakbolaan di Indonesia. Ketiga, penelitian ini
analisa wacana kritis dengan menggunakan pendekatan Media and Cultural
Studies. Pendekatan ini berfokus pada interaksi dan representasi ideologi dan
kelas, pada teks budaya termasuk budaya media. Cultural studies diarahkan untuk
menguji subjek penting dalam kerangka praktek budaya dan hubungannya dengan
kekuasaan. Tujuannya adalah untuk menunjukkan relasi kuasa dan kepentingan
serta pada saat yang sama menguji seberapa jauh relasi kuasa tersebut
mempengaruhi dan membentuk praktek-praktek budaya.
26
2.2 Landasan Teori
Pendekatan ekonomi politik yang akan penulis gunakan adalah ekonomi
politik kritis. Ekonomi politik bervarian kritis dipelopori oleh pemikiranpemikiran Karl Marx yang secara umum mengkritik kapitalisme, pertarungan
kelas, revolusi dan pemujaan pada komoditi (Fetishism of Commodity)(Robert
Babe, 2009)
Marx, seperti yang dikutip Ritzer (2005) bahwa hubungan pekerja dengan
kaum borjouis dipenuhi dengan eksploitasi, aleinasi dan dominasi. Relasi pekerja
dengan majikan dikonversi menjadi komoditas. Komoditas menjadi sarana utama
menumpukan modal (kekayaan), karena semua produk kerja bernilai sebagai
komoditas.
Menurut Marx sebagaimana dikutip Suseno (1992: 150-152) kapitalisme
menjadikan kaum proletar sebagai objek penghisapan. Hakikat masyarakat
borjouis adalah uang. Uang membuat manusia menjadi budak, yang tergantung,
yang ditentukan dari luar. Ia menjadi komoditi.
Menurut Marx sebagaimana dikutip Caporaso dan Livine (2008: 131),
sebuah perekonomian kapitalis pada awalnya terdiri dari komoditas-komoditas
dalam jumlah besar, ditambah dengan beberapa individu yang menjadi pemilik
komoditas-komoditas itu, dan beberapa hubungan pertukaran yang saling
menghubungkan individu-individu itu. Pada awalnya individu-individu ini tidak
memandang dirinya sebagai anggota sebuah kelas tertentu dan juga tidak
memandang bahwa kepentingan pribadi mereka sebagai kepentingan sebuah
kelas.
27
Argumen Marx untuk menjelaskan bagaimana kelas bisa muncul dalam
masyarakat sipil diawali dengan mengkritik pandangan pendekatan klasik tentang
pasar. Marx berpendapat bahwa perekonomian pasar bukanlah mekanisme untuk
memaksimalkan kesejahteraan pribadi dari individu-individu di dalamnya,
melainkan sebuah sarana untuk menfasilitasi para kapitalis merampas nilai surplus
dan mengakumulasi kapital (Caporaso dan Livine, 2008).
Lebih lanjut Marx, sebagaimana dikutip Dealiarnov (2006:42) mengatakan
bahwa pasar dalam setting kapitalis mempunyai dua tujuan yaitu: Pertama,
sebagai mekanisme mensirkulasikan Commodity-Money-Commodity (C-M-C),
dan Kedua, sebagai mekanisme penggunaan uang untuk menghasilkan uang
kembali dengan mekanisme Money-Commodity-Money (M-C-M). Selisih M-M
inilah yang oleh Marx disebut sebagai surplus. Dalam konsep nilai surplus ini,
Marx menjelaskan bahwa suplus adalah kelebihan nilai produktivitas marjinal
pekerja (labor) atas tingkat upah yang dibayarkan oleh pemilik modal kepada
buruh untuk sekadar bertahan hidup.
Menurut Marx realitas masyarakat ditentukan oleh kekuasaan kelas yang
satu di atas kelas-kelas yang lainnya. Namun dalam masyarakat kapitalis
kenyataan itu terselubung oleh karena semua hubungan kerja berdasarkan
perjanjian yang secara formal diadakan secara bebas. Akan tetapi kebebasan itu
hanyalah semu. Paksaan kelas yang satu terhadap kelas yang satunya dialihkan
saja pada keharusan-keharusan produksi komoditi. Jadi apa yang sebenarnya
merupakan penindasan kelas yang satu oleh satunya dikeramatkan dalam bentuk
komoditi. Menurut Marx, hubungan-hubungan sosial yang dijalankan dalam
28
kerangka kapitalisme tidak sesuai dengan martabat kemanusiaan. Oleh karena itu
Marx menyerukan revolusi.
Marx berargumen bahwa kapitalisme dengan dinamikanya sendiri akan
mendestruksikan diri dan menghasilkan masyarakat sosialis. Kapitalisme niscaya
akan melahirkan krisis-krisis yang akan menghancurkannya serta sekaligus
menciptakan kesadaran dalam kelas buruh yang akan membuat mereka akan
mendirikan sosialisme.
Dalam Das Kapital sebagaimana dikutip Suseno (1992) dengan rinci Marx
menunjukkan bagaimana hukum laba niscaya mengakibatkan krisis demi krisis:
krisis produksi berlebihan, krisis penyusutan persentase laba, krisis penjualan
hasil produksi, krisis pertambahan pengangguran. Setiap lingkaran krisis itu
menyapu bersih perusahaan-perusahaan yang lebih lemah, sehingga jumlah
kapitalis semakin menciut dan massa proletariat makin meluas. Untuk terus
memaksimalkan laba maka eksploitasi tenaga kerja buruh harus terus diperkeras.
Dengan
demikian
kapitalisme
justru
menumbuhkan
kesadaran
revolusioner yang semakin tajam di kalangan kelas buruh. Bila sistem ekonomi
kapitalis akhirnya sama sekali macet, kelas buruh niscaya akan mengambil alih
pabrik-pabrik dari tangan kaum pemilik yang masih ada, mengorganisasikan
bersama proses produksi dan dengan demikian mewujudkan masyarakat sosialis.
Penelitian ini memang tidak akan menguji relasi kelas yang saling
bertentangan sebagaimana diramalkan Marx. Namun penelitian ini akan melihat
bagaimana relasi kelas tercipta dalam kondisi kapitalisme lanjut 11. Oleh karena itu
11
Kapitalisme lanjut menurut Habermas sebagai kapitalisme teroganisasi atau kapitalisme yang
diatur oleh negara. Tanda-tanda kapitalisme lanjut adalah di satu pihak, proses konsentrasi
29
penulis akan meminjam analisis Antonio Gramsci tentang hegemoni. Bagi
Gramsci (2013) hegemoni merupakan hubungan antar kelas dan kelas sosial lain
dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan
politik dan ideologis.
Suatu kelompok bisa
menjadi
hegemonik
bila
memperhatikan berbagai kepentingan dari kelas dan kekuatan sosial yang lain
serta menemukan cara mempertemukannya dengan kepentingan mereka sendiri.
Kepentingan tersebut tidak boleh sebatas pada perjuangan lokal. Mereka harus
siap membuat berbagai konsensus, agar bisa mewakili semua kelompok kekuatan
sosial yang besar.
Hegemoni memerlukan penyatuan berbagai kekuatan sosial yang berbeda
ke dalam sebuah aliansi yang luas yang mengungkapkan kehendak kolektif semua
rakyat, sehingga masing-masing kekuatan tersebut bisa mempertahankan
otonominya sendiri dan memberi sumbangan atas tercapainya tujuan bersama.
Strategi membangun suatu kelompok besar yang terdiri dari berbagai kekuatan
sosial yang disatukan oleh konsepsi yang sama tentang dunia ini yang disebut
Gramsci sebagai perang posisi (war of position).
Menurut Hardiman (2010:176) hegemoni sendiri mengambil banyak
bentuk dan digunakan dengan berbagai cara. Proses pembangunan hegemoni atau
hegemonisasi adalah gerakan dari kepentingan korporat ekonomi partikular atau
kepentingan kelas tertentu ke kepentingan universal umum. Dalam proses inilah
perusahaan dan pengorganisasian pasar-pasar bahan, modal dan pekerjaan, di lain pihak adanya
negara intervensionis yang mencoba untuk mengimbangi kegagalan fungsi pasar. Dengan
demikian kapitalisme lanjut merupakan akhir kapitalisme kompetisi atau liberal. Lihat F. Budi
Hardiman Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme
Menurut Jurgen Habermas, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009
30
terjadi pembentukan aliansi yang dilandaskan kepemimpinan moral dan
intelektual.
Menurut hemat penulis, dalam konteks industri media, hegemonisasi
sangat mungkin terjadi dalam sebuah korporasi media besar. Pemilik modal
dengan segenap kuasa melakukan intervensi ke ruang redaksi. Hegemoni tersebut
terjadi bisa dengan alasan kepentingan ekonomi atau kekuasaan.
Hegemoni dapat langgeng karena terjadi apa yang disebut Harry
Bravermen sebagaimana dikutip Ritzer (2010: 195), sebagai pengendalian
manajerial. Braverman mengatakan bahwa cara kapitalis mengendalikan tenaga
kerja adalah dengan pengendalian melalui manajer. Manajemen di mata
Braverman tak lain sebagai proses memimpin tenaga kerja yang bertujuan
mengendalikan dalam perusahaan.
Selanjutnya Braverman menyatakan bahwa:
Kelas buruh tidak mendeskripsikan sekelompok orang atau kelompok
pekerjaan tertentu, tetapi lebih merupakan sebuah pernyataan tentang
proses pembelian dan penjualan tenaga kerja. Kapitalisme modern
sebenarnya tak seorang pun di antara tenaga kerja itu memiliki alat
produksi; Karena itu segolongan besar orang termasuk pekerja kantoran
dan pelayan terpaksa menjual tenaga kerja mereka kepada segolongan
kecil yang memiliki alat produksi.
Harry Bravermen sebagaimana dikutip Ritzer (2010: 195), mengatakan,
salah satu bentuk pengendalian tenaga kerja adalah dengan cara pemanfaatan
spesialisasi dan pembagian kerja kepada unit-unit terkecil. Bravermen yakin
bahwa
pembagian
kerja
di
tingkat
masyarakat
dapat
meningkatkan
individualisme, sebaliknya spesialisasi di tempat kerja menimbulkan malapetaka.
Mengapa kaum kapitalis melakukan hal itu? Menurut Braverman hal itu untuk
31
meningkatkan kontrol manajemen. Mengontrol pekerja yang melakukan tugas
khusus jauh lebih mudah daripada mengontrol pekerja yang melakukan
keterampilan lebih luas. Selain itu, juga untuk meningkatkan produktivitas.
Tujuan utama kontrol manajemen itu sebenarnya adalah menciptakan tenaga kerja
menjadi teralienasi.
Penulis sengaja mengangkat teori-teori tersebut atas dasar asumsi bahwa
pembentukan wacana media tentang konflik kepengurusan dalam tubuh
persepakbolaan di Indonesia menjadi arena pergulatan kelas dominan dalam
rangka menciptakan hegemoni atas kelas subordinat yang ada dalam ruang redaksi
(news room). Oleh karena itu titik pijak penelitian ini adalah media and cultural
studies.
Secara konkrit penulis ingin melihat terbentuknya arena hegemoni
sekaligus kontra hegemoni dalam ruang redaksi. Pertanyaan-pertanyaan
kegelisahan penulis, misalnya, apakah pemilik media berada pada posisi yang
hegemonik atas pekerja media yang berada pada ruang redaksi (news room) yang
bertugas melakukan produksi dan reproduksi teks? Seberapa jauh pekerja media
mampu melakukan negosiasi dalam rangka melakukan kontra hegemoni?
Penulis juga akan meminjam konsep-konsep ekonomi politik media
dengan pendekatan kritis. Pendekatan ekonomi politik media oleh Goldin dan
Murdoc (2000) diarahkan pada kritik atas kepemilikan media melalui konsolidasi
kepemilikan ke konsentrasi kepemilikan media,atau dari konsentrasi ke
sentralisasi. Corak kepemilikan ini dianggap bersifat oligopolistik.Target utama
sebagai konsekuensi struktur kepemilikan media yang bercorak oligopolistik
32
adalah pembatasan pilihan konsumen pada aspek hiburan dan konsolidasi pada
apa yang disitilahkan sebagai ―konsensus‖ melalui kontrol informasi.
Sementara itu menurut Dennis McQuail (2005: 99-100) teori ekonomi
politik adalah pendekatan kritik sosial yang berfokus pada hubungan antara
struktur ekonomi dan dinamika industri media dan konten ideologi media. Dalam
sudut pandang teori ini, lembaga media dianggap sebagai bagian dari sistem
ekonomi dengan hubungan erat kepada sistem politik. Konsekuensinya terlihat
dari berkurangnya sumber media yang independen, konsentrasi kepada khalayak
yang lebih besar, menghindari resiko, dan mengurangi penanam modal pada
media yang kurang menguntungkan. Karateristik ekonomi politik media menurut
McQuail, dilihat sebagai berikut:
(1)
Economic control and logic are determinant (2) Media structure
tends towards concentration (3) Global integration of media develops (4)
Contents and audience are comodifeid (5) Diversity decreases (6)
Oposition and alternative voices are marginalized (7) public interest in
communication is subordinated to private interest(Dennis McQuail -2005:
99-100)
Adapun Vincet Mosco (2010) melihat ekonomi politik media dari dua
sudut pandang, yakni yang khusus (sempit) dan yang luas (general). Dari sudut
pandang yang sempit, ekonomi politik media diartikan sebagai studi tentang relasi
sosial, khususnya relasi kekuasaan yang saling berkaitan dalam sistem produksi,
distribusi, dan konsumsi sumber daya komunikasi. Sedangkan definisi dari sudut
pandang yang lebih luas, ekonomi politikadalah studi tentang kontrol dan
kelangsungan hidup dalam kehidupan sosial. Makna kontrol adalah pengaturan
individu dalam sebuah organisasi sebagai anggota kelompok. Kelangsungan hidup
berarti bagaimana orang memproduksi dan menghasilkan apa yang mereka
33
butuhkan. Maknanya secara khusus mengacu pada bagaimana masyarakat
mengorganisasi dirinya sendiri, mengelola urusan dan menyesuaikan; atau bahkan
gagal untuk beradaptasi oleh perubahan yang tak terelakkan.
Menurut Golding dan Murdock (1997), pendekatan ekonomi politik
mempunyai tiga karakteristik penting. Pertama, holistik, dalam arti pendekatan
ekonomi politik melihat hubungan yang saling berkaitan antara berbagai faktor
sosial, ekonomi, politik dan budaya di sekitar media dan berusaha melihat
berbagai pengaruh dari beragam faktor. Kedua, historis, dalam artian analisis
ekonomi politik mengaitkan posisi media dengan lingkungan global dan
kapitalisme, dimana proses perubahan dan perkembangan konstelasi ekonomi
merupakan hal yang terpenting untuk diamati. Ketiga, studi ekonomi politik juga
berpegang pada falsafah materialisme, dalam arti mengacu pada hal-hal yang
nyata dalam realitas kehidupan media.
Golding dan Murdock (2000) berpendapat bahwa perspektif ekonomi
politik media berbeda dengan arus utama dalam ilmu ekonomi dalam hal
holisisme, keseimbangan antara usaha kapitalis dengan intervensi publik; dan
keterkaitan dengan persoalan-persoalan moralitas seperti masalah keadilan,
kesamaan, dan barang-barang publik (public goods). Seperti ditulis Goldin &
Murdoc (1997:xvi)
“the political economy approach was holistic: it did not abstract
theeconomic or the political from social relations, but examined in full the
interrelation of socialand cultural dynamics.”
Holistik di sini berarti menunjukkan adanya saling pengaruh antara
organisasi ekonomi dan kehidupan politik, sosial, dan kultural. Analisisnya
34
bersifat historis dan secara moral menunjukkan keterkaitannya dengan persoalan
public goods. Aspek historis dalam sifat holisme perspektif ekonomi politik media
berpusat pada analisa pertumbuhan media, perluasan jaringan dan jangkauan
perusahaan media, komodifikasi dan peran negara.
Analisa ekonomi politik media memperhatikan perluasan ―dominasi‖
perusahaan media, yaitu melalui peningkatan kuantitas dan kualitas produksi
budaya yang langsung dilindungi oleh pemilik modal. Tentu saja, ekstensifikasi
dominasi media dikontrol melalui dominasi produksi isi media yang sejalan
dengan
preferensi
pemilik
modal.
Proses
komodifikasi
media
massa
memperlihatkan dominasi peran kekuatan pasar. Proses komodifikasi justru
menunjukkan menyempitnya ruang kebebasan bagi para konsumen media untuk
memilih dan menyaring informasi.
Menurut Mosco (2010), terdapat empat sifat ekonomi politik, yakni:
1. Social change & history
Sikap ekonomi politik ini merupakan keberlanjutan dari teori-teori ekonomi
klasik seperti mengungkap dinamika kapitalisme, penumpukan monopoli
kapital dan pengaruh aparatur negara.
2. Social Totality
Ekonomi politik dilihat sebagai kekuatan yang holistik. Penjelasan yang lebih
konkrit, sifat ini mengekplorasi hubungan antara komoditi, institusi, relasi
sosial, dan hegemoni serta bagaimana setiap elemen tersebut saling
mempengaruhi satu sama lainnya, meskipun ada salah satu elemen yang
memiliki penekanan tertentu dibanding dengan elemen yang lain
35
3. Moral Philosophy
Filsafat moral mengacu pada nilai-nilai sosial dan konsepsi sosial pada pelaku
sosial secara tepat. Tujuan khusus format ini adalah memperjelas dan
menerangkan peran posisi moral perspektif ekonomi dalam kajian ekonomi
politik. Karateristik ini juga mengikuti teori-teori klasik yang menekankan
pada filosofi moral, termasuk pada sistem ekonomi, pengambilan kebijakan
dan isu-isu moral berikut isu-isu lain yang mengikutinya.
4. Praxis
Secara umum praxis diartikan sebagai apa yang dipikirkan diterjemahkan ke
dalam perbuatan. Ide ini mengakar dalam sejarah filsafat antara lain termasuk
teori-teori Marxis atau pemikiran kritis Mazhab Frankfurt.
Konsepsi komunikasi dalam terminologi ekonomi politik menurut Mosco
(2010)
ialah
desentralisasi
media
komunikasi
(decentering
of
media
communication). Artinya, media dilihat sebagai bagian intergral yang mendasar
dari proses ekonomi, politik, sosial dan budaya dalam masyarakat. Makna
konkriknya menempatkan media dalam rangka proses produksi dan reproduksi.
Oleh karena itu media dilihat sebagai sarana akumulasi modal. Menurut
pandangan ini media sebagai unit ekonomi, politik, sosial dan budaya juga selaras
dengan aspek pendidikan, keluarga, agama, dan dari kegiatan kelembagaan
lainnya.
Intinya,
menurut
Mosco
(2010),
pendekatan
ekonomi
politik
menempatkan subjek komunikasi dalam totalitas sosial yang lebih luas, dan oleh
karena ituekonomi politik cenderung menghindari esensialisme dalam penelitian
36
komunikasi. Esensialisme artinya melihat komunikasi sebagai transmisi informasi
–sebagaimana konsep yang dipopulerkan oleh Shanon & Weafer.12
Menurut Mosco (2010) komunikasi diartikan sebagai suatu proses
pertukaran sosial, yang produknya adalah tanda atau perwujudannya dari
hubungan sosial (communication is a social process of exchange, whose product
is the mark or embodiment of a social relationship).
Maknanya adalah bahwa analisis ekonomi politik merupakan analisis
kelembagaan.
Titik
fokusnya
misalnya
berkonsentrasi
pada
bagaimana
komunikasi dikonstruksi secara sosial; bagaimana kekuatan sosial berkontribusi
terhadap pembentukan saluran komunikasi; dan rangkaian pesan apayang
ditransmisikan melalui saluran tertentu. Singkatnya, komunikasi bukan hanya
transmisi informasi, melainkan juga konstruksi sosial makna.
Hal ini telah memberikan kontribusi penting pada bangunan penelitian
ekonomi politik tentang bagaimana bisnis (produsen), pemerintah, dan aspek
lainnya sebagai kekuatan struktural berpengaruh pada praktek komunikasi.
Tiga kerangka kerja Mosco (2010) dalam Ekonomi Politik:
1. Komodifikasi (Comodification)
Komodifikasi berhubungan dengan bagaimana proses transformasi
barang dan jasa beserta nilai gunanya menjadi suatu komoditas yang
mempunyai nilai tukar di pasar. Proses transformasi dari nilai guna menjadi
nilai tukar (Commodification is the process of transforming use values into
exchange values) dalam media massa selalu melibatkan para awak media,
12
Model Shanon dan Weaver diterima secara luas sebagai salah satu dasar berkembangannya ilmu
komunikasi. Model Shannon dan Weaver memandang komunikasi sebagai transmisi pesan. Lihat
John Fiske, Introductionto communaction studies (terjemahan), 2012 hal 9.
37
khalayak pembaca, pasar, dan negara yang mana masing-masing mempunyai
kepentingan. Nilai tambah produksi berita akan sangat ditentukan oleh
kemampuan berita tersebut memenuhi kebutuhan sosial dan individual.
Terdapat dua hal penting yang berkaitan dengan komodifikasi komunikasi:
pertama, proses komunikasi dan teknologi berkontribusi secara umum pada
proses komodifikasi dalam dunia ekonomi secara luas. Kedua, proses
komodifikasi dalam dunia kerja di masyarakat sebagai keseluruhan penetrasi
komunikasi dan lembaga-lembaganya. Oleh karena itu perbaikan dan
kontradiksi di dalam komodifikasi sosial mempengaruhi komunikasi sebagai
sebuah praktek sosial.
Lebih jauh Mosco menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis komodifikasi
yakni; pertama komodifikasi isi media. Komodifikasi isi ini merupakan proses
perubahan pesan dari kumpulan informasi ke dalam sistem makna dalam
wujud produk yang dapat dipasarkan. Atau dalam penjelasan lainnya disebut
sebagai proses mengubah pesan dari sekumpulan data ke dalam sistem makna
sedemikian rupa sehingga menjadi produk yang bisa dipasarkan. Kedua,
komodifikasi khalayak merupakan proses modifikasi peran pembaca/khalayak
oleh perusahaan media dan pengiklan, dari fungsi awal sebagai konsumen
media menjadi konsumen khalayak selain media. Pada proses ini, perusahaan
media memproduksi khalayak melalui suatu program/tayangan untuk
selanjutnya dijual kepada pengiklan. Terjadi proses kerja sama yang saling
menguntungkan antara perusahaan media dan pengiklan, dimana perusahaan
media digunakan sebagai sarana untuk menarik khalayak, yang selanjutnya
38
dijual kepada pengiklan. Ketiga, komodifikasi pekerja media. Komodifikasi
pekerja media dapat dilakukan melalui dua jalan yaitu; mengatur fleksibilitas
dan kontrol atas pekerja, dan menawarkan pekerja media tersebut untuk
meningkatkan nilai tukar dari isi pesan media.
2. Spasialisasi
Spasialisasi diartikan sebagai proses mengatasi kendala ruang dan waktu
dalam kehidupan sosial. Komunikasi merupakan pusat spasialisasi karena
komunikasi dan teknologi informasi mempromosikan fleksibilitas dan kontrol
seluruh industri, khususnya dalam media, komunikasi, dan sektor informasi.
Spasialisasi meliputi proses globalisasi ke seluruh dunia seperti restrukturisasi
industri, perusahaan, dan lembaga lainnya.
Globalisasi dan restrukturisasi industri saling mempengaruhi empat pola
utama restrukturisasi pemerintah. Pertama, komersialisasi menetapkan fungsi
negara sebagai entitas bisnis seperti menyediakan layanan surat dan
telekomunikasi yang menghasilkan pendapatan. Kedua, privatisasi mengambil
langkah lebih lanjut dengan mengubah unit-unit bisnis negara menjadi bisnis
pribadi. Ketiga, liberalisasi memberikan persetujuan negara untuk membuka
pasar bebas demi kompetisi yang luas, dan keempat, internasionalisasi
menghubungkan negara ke negara lain sehingga terjadi pergeseran
kewenangan ekonomi dan politik dari pusat kepada pemerintah daerah yang
mempertemukan beberapa negara dalam satu wilayah geografis. Spasialisasi
dalam kerangka ekonomi politik media secara tradisional merupakan
perpanjangan kekuasaan korporasi dalam industri komunikasi.
39
Spasialisasi dalam media komunikasi erat terkait dengan sejauh mana
media mampu menyajikan produknya di depan pembaca dalam batasan ruang
dan waktu. Dalam hal ini struktur kelembagaan media menentukan perannya
dalam memenuhi jaringan dan kecepatan penyampaian produk media ke
khalayak. Spasialisasi berkaitan dengan bentuk lembaga media, apakah
berbentuk korporasi yang berskala besar atau kecil, berjaringan atau tidak,
bersifat monopolistik atau tidak, bentuk korporasi media merupakan integrasi
horizontal atau integrasi vertikal atau kepemilikan silang.
3. Strukturasi
Strukturasi berkaitan dengan relasi ide antar agen masyarakat, proses sosial
dan praktik sosial dalam analisis struktur. Strukturasi dapat digambarkan
sebagai proses dimana struktur sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial,
dan bahkan masing-masing bagian dari struktur mampu bertindak melayani
bagian yang lain. Hasil akhir strukturasi adalah serangkaian hubungan sosial
dan proses kekuasaan diorganisasikan di antara kelas, gender, ras, dan gerakan
social yang masing-masing berhubungan satu sama lain. Isu yang dibahas
disini yakni: kelas sosial (class), gender, ras (race), gerakan sosial (social
movement) dan hegemoni (hegemony)
Para pemikir ekonomi politik media pada umumnya mengkritik
kepemilikan media yang makin terkosentrasi pada satu kelompok yang terjadi di
berbagai negara. Selain itu gejala makin meluasnya kepemilikan media berpindah
atau bergabung ke kelompok usaha non media. Hal ini melahirkan gejala
40
homogenisasi, imitasi, trivialisasi dan sensasionalisasi pada isi media (Croteau &
Hynes, 2006: 157-164).
Media yang dikelola secara terkonsentrasi kepada satu kelompok atau
disebut media konglomerasi berangkat berdasarkan perspektif market model.
Market model diartikan sebagai isi media yang dikendalikan oleh pasar sehingga
isi media yang dibuat mengikuti logika pasar guna menciptakan suatu lingkungan
ke arah usaha komersialisasi. Ada tiga ciri market model, motivasi mengejar
keuntungan, sehingga berita atau isi media dibuat cenderung sensasional, kedua
karena motifnya keuntungan, maka berita atau isi media yang dibuat oleh media
cenderung seragaman. Ketiga, pasar menjadi kekuatan suksesnya isi media.
Dalam market model, audience lebih dilihat sebagai pelanggan sebanding sebagai
citizen (warga negara). Karena audiens dilihat sebagai warga negara maka
marketing menjadi bagian jurnalisme. Institusi media disusun berdasarkan unitunit customer dan editor bertanggung jawab dalam mencari pembaca dan
keuntungan. Dengan demikian, institusi media lebih diabdikan untuk mencetak
uang (making money ), meraih tujuan-tujuan pemasaran dan melayani kebutuhan
pengiklan dibandingkan dengan memainkan peran tradisional mereka sebagai
pelayan publik dalam menyediakan informasi bagi warga negara dan
melaksanakan peran pengawasan (watchdog) bagi pemerintahan dan pelaku
bisnis. (Lihat Puji Rianto, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UGM, Vol 9 No 1,
Juli 2005). Tentu model market bertentang atau kontradiktif dengan publik
spehere model. Dalam public spehere model, tujuan jurnalisme atau isi media
adalah berusaha meningkatkan kualitas sipil dengan mendorong partisipasi dan
41
debat. Oleh karena itu menurut Fraser Bond seperti dikutip A, Muis (1999) bahwa
jurnalis memiliki fungsi menemukan kebenaran di atas segalanya dan
menjanjikannya kepada pembacanya.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa indutri media berbeda dengan
industri yang lain. Perbedaan tersebut bisa dilihat dari cara menjalankan bisnis.
Bisnis biasa potensi keuntungan hanya berasal dari satu sisi yakni sales dari
produk/jasa yang terjual. Adapun media memiliki dua potensi keuntungan yakni
pertama berasal dari pelanggan (subscriber) dan kedua, jumlah pelanggan
tersebut dijual ke pengiklan (advertiser).
Perbedaan lainnya adalah media adalah sumber daya publik (public
resources). Media adalah penyedia utama informasi bagi masyarakat melalui
menyedian isu baik yang bersifat aktual maupun yang bersifat jangka panjang.
Oleh karena media memiliki peran sentral dalam proses deliberasi, pendidikan dan
integrasi sosial.
Perbedaan selanjutnya adalah bahwa institusi media memperoleh
perlindungan khusus di dalam konstitusi dan UU. Perlindungan itu kemudian
dikenal dengan istilah ―kebebasan pers.‖ Jaminan itu tertuang dalam konstitusi
UUD 1945 pasal 28 F yang menyatakan ―setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia.‖ Hal tersebut diperkuat lagi dalam UU Hak
Asasi Manusia No. 39/1999 dalam pasal 23 ayat 2 ―setiap orang bebas
42
mempunyai, mengeluarkan dan menyebarkan pendapat sesuai hati nuraninya,
secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media elektronik dengan
memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum , dan
keutuhan bangsa.‖Lalu dipertegas dalam UU Pers No. 40/1999, ―kebebasan pers
adalah hak asasi warga negara,‖ dan setiap usaha yang menghalangi tegaknya
kebebasan pers dipidana dua tahun penjara atau denda Rp 500 Juta.
Untuk memperjelas kontradiksi antara market driven model dengan public
journaism model dapat dilihat matriks sebagai berikut:
Konsep
Model Market
Model Ruang Publik
Konsep tentang media
Perusahaan swasta yang Sumber daya publik yang
menjual produk
melayani
kepentingan
publik
Tujuan utama media
Mengakumulasi
Memajukan
partisipasi
keuntungan untuk pemilik warga melalui informasi,
dan
para
pemangku pendidikan dan integrasi
kepentingan
Yang
didorong
oleh Menikmati
media untuk publik
tonton
sosial
isi
media, Mendorong publik yang
iklan dan
beli partisipatif
produk
Kepentingan publik/isi Apa saja yang populer Keberagaman, substansi
media
dan laku
dan
isi
media
yang
inovatif meskipun tidak
populer
Peran
media
memajukan
keberagaman
inovasi
dalam Inovasi
dapat
melalui
dicapai Inovasi
Keberagaman
cara
standarisasi utama media mengingat
dan model dalam mencapai warga.
keuntungan.
adalah
Keberagaman
adalah misi media untuk
menjadi menghadirkan
luasnya
43
sebuah
strategi pandangan publik
menciptakan ceruk pasar.
Cara pandang melihat Umumnya melihat aturan Cara
regulasi
Ukuran kesuksesan
sebagai
serbaguna
mengganggu melindungi kepentingan
pasar
publik
Jumlah Keuntungan
Kepuasan
pelayanan
publik
Sumber; disarikan dari David Croteau dan William Hoynes The Business of
Media, Corporate Media and the Public Interest, 2006. Hal 39
Penelitian ini berusaha mengelaborasi konsep-konsep tentang Critical
Discourse Analysis (CDA). Paul de Gee (1999) memberikan pengertian wacana
(discourse) pada dua aspek pertama discourse dengan ‗d‘ kecil dan kedua
discourse dengan ―D‖ besar. Discourse dengan ―d‖ kecil merujuk pada bahasa
yang digunakan dalam berkomunikasi. Sedangkan ―D‖ besar diartikan sebagai
praktek penggunaan bahasa yang digabungkan dengan praktek sosial keseharian
seperti, cara perpikir, tingkah laku, sikap, nilai-nilai dan kebiasaan sang pengguna
bahasa. Oleh karena itu menurut de Gee, wacana bukan persoalan linguistik
semata, tetapi juga menggabungkan unsur-unsur nonlinguistik.
Teori-teori wacana yang berkembang saat ini tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh Michel Foucault. Wacana yang dimaksud Foucault di sini yakni sesuatu
yang dipahami sebagai penjelasan, pendefenisian, pengklarifikasian, dan
pemikiran tentang orang, pengetahuan dan sistem-sistem abstrak. Menurut
Foucault wacana tidak terlepas dari relasi kekuasaan (Alexander Aur: 2005)
Analisis wacana kritis yang diperkenalkan Norman Fairclough (1995)
adalah suatu pendekatan interdisipliner untuk mempelajari wacana yang
44
memandang bahasa sebagai bentuk praktek sosial dan berfokus pada cara
dominasi sosial dan politik yang direproduksi secara tekstual maupun lisan.
Dalam analisis wacana kritis, wacana tidak dipahami semata sebagai studi
bahasa. Meskipun masih menjadikan bahasa sebagai unit analisis, tetapi bahasa
disini digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan yang terjadi dalam
masyarakat. Berikut ini diulas ciri-ciri analisis wacana kritis: (Fairclough dan
Wodak sebagaimana dikutip Van Dijk, 1992)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
CDA addresses social problems
Power relations are discursive
Discourse constitutes society and culture
Discourse does ideological work
Discourse is historical
The link between text and society is mediated
Discourse analysis is interpretative and explanatory
Discourse is a form of social action.
CDA Norman Fairclough melihat teks sebagai hal yang memiliki konteks
baik berdasarkan ―process of production‖ atau ―text production‖; ―process of
interpretation‖ atau ―text consumption‖ maupun berdasarkan praktik sosiokultural (Fairclough, 1997: 98). Dengan demikian, untuk memahami wacana
(naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk menemukan
‖realitas‖ di balik teks kita memerlukan penelusuran atas konteks produksi teks,
konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks
Dalam penjelasan Faiclough, dalam setiap wacana terdapat relasi kuasa
(power relation), relasi kelas (class relation), perjuangan sosial (social struggle)
dan agenda tersembunyi (hidden agendas) (1992 : 28). Penulis sengaja
memaparkan teori wacana kritis Fairclough karena teori tersebut akan penulis
gunakan untuk membongkar kepentingan ekonomi politik yang tersembunyi di
45
balik wacana atas konflik persepakbolaan di Indonesia di tiga media massa ibu
kota.
Secara operasional level analisis akan dibagi menjadi tiga, sebagai berikut:
Kepentingan Ekonomi Politik
Analisis Teks dan
Linguistik
Praktik Wacana
Mikro
Meso
Praktik Sosiokultural
Makro
Pada level mikro penulis akan mengupas secara rinci tentang praktek
pewacanaan konflik sepakbola di tiga media ibu kota (Kompas, Bola dan Seputar
Indononesia).
Disini penulis akan melihat
dikonstruksi menjadi
berita,
pilihan
bagaimana konflik tersebut
kata apa
yang digunakan dalam
menggambarkan konflik tersebut dan mengapa kata tersebut yang dipakai.
Pada level meso, penulis akan menganalisis bagaimana para pembuat
berita (wartawan dan redaktur) menerjemahkan kepentingan masing-masing
organisasi media dalam bersentuhan dengan konflik sepak bola di Indonesia.
Secara detail penulis akan membahas bagaimana para redaktur dan wartawan
menciptakan ruang negosiasi dengan kebijakan redaksi masing-masing.
46
Pada level makro, penulis akan menelusuri agenda tersembunyi guna
mengungkap kepentingan ekonomi-politik di balik pemberitaan konflik sepakbola
di Indonesia.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma kritis. Paradigma kritis menurut
Guba dan Lincoln (2005) adalah mendefinisikan ilmu sosial sebagai suatu proses
yang secara kritis berusaha mengungkap ―the real structures‖ dibalik ilusi, false
needs, yang ditampakkan dunia materi, dengan tujuan membantu membentuk
suatu kesadaran sosial agar memperbaiki dan mengubah kondisi kehidupan
manusia.
Paradigma kritis melihat aspek ontologis sebagai realitas yang teramati
merupakan realitas ―semu‖ (virtual reality) yang telah terbentuk oleh proses
sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial, budaya, dan ekonomi-politik. Dalam
aspek epistimologis hal ini bersifat transaksional dan subjektif. Artinya
hubungan peneliti dengan yang diteliti selalu dijembatani nilai-nilai tertentu.
Pemahaman tentang suatu realitas merupakan value mediated findings
(diperantarai oleh nilai). Adapun dalam aspek metodologisnya bersifat dialogis
dan dialektis. Artinya nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tak
terpisahkan dari penelitian; peneliti menempatkan diri sebagai transformative
intellectual, advokat dan aktivis. Penggunaan paradigma kritis karena tujuan
penelitian ini yakni kritik sosial atas relasi kuasa pada praktek wacana
pemberitaan seputar konflik persepakbolaan di Indonesia di tiga koran ibu kota.
47
Sesuai dengan paradigma kritis, Peneliti memandang bahwa dalam
institusi media terdapat kepentingan kelas penguasa dalam memproduksi
hubungan yang intinya adalah eksploitatif dan manipulatif, dan mengukuhkan
kapitalisme serta mengesampingkan kelas pekerja. Dalam pandangan ini institusi
media dikendalikan dalam asas komersialisme yang mana tujuannya adalah
menarik khalayak/pembaca se luas-luasnya. Keuntungan adalah kata kunci.
Studi ini bersifat deskriptif kualitatif. Bogdan dan Taylor sebagaimana
dikutip Moleong (2000) mengartikan penelitian deskriptif kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini
diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Kirk dan Miler
sebagaimana dikutip Moleong (2000) mendefinisikan penelitian kualitatif adalah
tradisi tertentu dalam ilmu sosial yang secara fundamental bergantung pada
pengamatan atas manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan
orang-orang tersebut dalam bahasa dan peristilahannya. Data yang dikumpulkan
dalam penelitian kualitatif berupa kata-kata dan gambar daripada angka-angka.
Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk
memberikan gambaran. Data tersebut berasal dari misalnya; wawancara, catatan
lapangan, foto, videotape, dokumen pribadi, memo dan dokumen resmi lainnya.
Metode penelitian studi ini adalah analisis wacana kritis Norman
Fairclough, didukung wawancara mendalam13 dan studi kepustakaan. Fairclough
membangun suatu model yang mengintegrasikan analisis wacana yang didasarkan
13
Wawancara mendalam dilakukan untuk mengungkap konteks mengapa teks diproduksi.
48
pada linguistik dan pemikiran sosial dan politik, serta pada perubahan sosial.
Penulis berasumsi bahwa pemberitaan media seputar konflik persepakbolaan di
Indonesia kental diwarnai kontradiksi kepentingan dan kekuasaan. Oleh karena itu
CDA model Fairclough tepat. Salah satu kelebihan Fairclough adalah berusaha
membangun model analisis wacana yang berkontribusi dalam analisis sosial dan
budaya, mengombinasikan tradisi analisis teks dalam konteks masyarakat yang
lebih luas. Fokus utama Fairclough melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan.
Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi: teks, praktik wacana dan
praktik sosial-kultural (Fairclough, 2001).
Dalam analis teks, Fairclough (1995) melihatnya dalam tiga tingkatan.
Pertama adalah representasi.Yang dianalisis dalam tingkatan ini adalah
bagaimana peristiwa, orang, kelompok, situasi, keadaan ditampilkan dan
digambarkan dalam teks. Unit analisisnya adalah pilihan kata yang digunakan
(vocabulary) dan struktur kalimat yang dipakai (grammar) Kedua, relasi, yang
diamati dalam tingkatan ini yakni bagaimana hubungan antar wartawan, khalayak,
dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks. Ketiga, identitas
yaitu bagaimana identitas wartawan, khalayak dan partisipan berita ditampilkan
dan digambarkan dalam teks.
Pada praktik wacana pusat perhatian diletakkan pada bagaimana produksi
dan konsumsi teks. Menurut Fairclough (1995) setidaknya ada tiga aspek yang
membangun praktek wacana. Pertama, sisi individu wartawan penulis pemberita
itu sendiri. Kedua, dari sisi bagaimana hubungan antar wartawan dan struktur
organisasi baik dengan sesama anggota redaksi maupun dengan bidang lain
49
seperti pemasaran, iklan, distribusi dll. Ketiga, praktek kerja/rutinitas kerja
produksi berita mulai dari pencarian berita, penulisan berita, editing sampai
muncul sebagai tulisan di media.
Sedangkan praktik sosial kultural didasarkan pada asumsi bahwa konteks
sosial yang ada di luar media mempengaruhi bagaimana wacana yang muncul
dalam media ruang redaksi atau wartawan bukanlah bidang atau kotak kosong
yang steril, tetapi sangat ditentukan oleh faktor di luar dirinya sendiri.
Sociocultural practice sebenarnya ingin menggambarkan bagaimana kekuatankekuatan yang ada dalam masyarakat memaknai dan menyebarkan ideologi yang
dominan kepada masyarakat. Fairclough (1995) membagi tiga level analisis pada
sociocultural practice yakni: situasional, institusional dan sosial.
Untuk memudahkan penjelasan berikut ini dijelaskan matriks analisis
wacana kritis model Norman Fairclough:
Tingkatan
Text
Level Analisis
Representasi, Relasi dan
Identitas
Praktik wacana Sisi individu wartawan, Sisi
relasi intraorganisasi media
wartawan, sisi praktek dan
rutinitas kerja wartawan
Praktik sosial Situasional, Institusional dan
kultural
sosial
Metode
Critical Linguistic
Wawancara
mendalam
dengan Pimred, Redaktur dan
wartawan
Studi
kepustakaan
penulusuran literatur
dan
Untuk menjawab tingkatan praktik wacana (pada analisis wacana kritis)
dan kepentingan ekonomi politik pada pemberitaan konflik dalam tubuh
persepakbolaan di Indonesia penulis melakukan wawancara tak berstruktur.
Menurut Densin dan Lincoln (2005) wawancara dapat merupakan teknik
50
pengumpulan data yang biasa dipakai dalam penelitian kuantitatif maupun
kualitatif karena mampu menghadirkan kebenaran dan melengkapi informasi yang
disampaikan narasumber.
Penelitian kualitatif
yang
menggunakan teknik pengumpulan data
wawancara memerlukan narasumber kunci, yakni mereka yang memiliki
pengetahuan dan mendalami situasi, selain lebih mengetahui informasi yang
diperlukan.
Berdasarkan kriteria tersebut, narasumber kunci dalam penelitian ini adalah
Yesayas Oktavianus dan Anton Sanjoyo, Redaktur Olahraga harian
Kompas
Lilianto Apriadi, mantan copy chief tabloid Bola
Decky Irawan Jasri, wartawan olahraga harian Seputar Indonesia (Sindo)
Yul Bambang Androno, mantan Senior Programing RCTI
Obyek penelitian dalam studi ini adalah tiga koran yang terbit di Jakarta
yakni Kompas, Tabloid Bola dan Harian Seputar Indonesia (Sindo).
Kenapa ketiga media massa itu yang dipilih? Berdasarkan data Nielsen
Media sebagaimana termuat dalam Indonesia Media Guide, 2010, Kompas saat ini
memiliki oplah sebanyak 530 ribu eksemplar setiap hari, termasuk salah satu
koran dengan reputasi panjang dalam industri media Indonesia, sudah berusia 50
tahun. Tabloid Bola dipilih karena, menurut data Indonesia Media Guide 2010
untuk kategori tabloid, ia berada di urutan kedua setelah tabloid Pulsa. Namun
untuk kategori tabloid olahraga Bola menempati urutan pertama sebagai tabloid
olahraga terpopuler. Kompas dan tabloid Bola berada dalam naungan kelompok
51
usaha Kompas-Gramedia. Kelompok usaha ini merupakan salah satu dari 12
kelompok usaha konglomerasi media di Indonesia.
Kompas-Gramedia saat ini memiliki dan mengendalikan: 10 stasiun
televisi, 12 stasiun radio, 88 media cetak, dan 2 media online. Kelompok ini juga
memiliki jaringan toko buku, properti dan hotel, event organizer (EO),
manufaktur dan Perguruan Tinggi. 14 Selain itu, Kompas-Gramedia juga
menggelar kompetisi sepak bola usia di bawah 14 tahun se-Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) sejak tahun 2010. Liga ini bernama Liga
Kompas Gramedia (LGK) U14. Kompetisi ini mempertemukan tim-tim dari
Sekolah Sepak Bola (SSB) se Jabodetabek. Ketua LGK 2010-2014 adalah Anton
Sanjoyo, yang juga wartawan dan kolomnis sepak bola di harian Kompas.
Kompas-Gramedia meluncurkan kompetisi setelah memperoleh restu dari
pemerintah dan PSSI. Menteri Pemuda dan Olahraga RI, A. Alfian Mallarangeng
sendiri yang membuka dengan resmi kompetisi tersebut pada hari Minggu, 18 Juli
2010, yang juga di hadiri Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI)
Rita Subowo dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PSSI, Nugraha Besoes. 15
Sedangkan koran Seputar Indonesia (Sindo) dipilih karena merupakan
koran pendatang baru dengan perkembangan tercepat yang beroplah sebanyak 330
ribu eksemplar setiap hari. 16 Selain itu Sindo juga dimiliki oleh salah satu dari 12
kelompok usaha media yakni, Media Nusantara Citra (MNC) Group. MNC Group
merupakan kelompok usaha media terbesar di Indonesia, MNC Group memiliki
14
Hasil penelitian R Kristiawan yang berjudul Liberalisasi Media: Kajian Ekonomi Politik
Tentang Demokratisasi dan Industrialisasi Media di Indonesia tahun 2012. Hal 117.
15
HarianKompas, Judul berita, Muncul Pemain Bagus: Kekosongan Pembinaan Usia Muda
Berdampak Panjang, Senin 19 Juli 2010. Hal 30.
16
Menurut data pada profil koran Sindo tahun 2010.
52
dan mengendalikan: 20 stasiun televisi, 22 radio, 7 media cetak, 1 media online. Ia
juga memiliki lini usaha di bidang produksi dan distribusi content dan manajemen
artis. 17 MNC Group adalah pemegang hak siar LPI tahun 2011-2012. MNC
menyiarkan liga tersebut di tiga stasiun miliknya, yakni MNC TV, Sindo TV dan
RCTI dan dukungan pemberitaan dari harian Seputar Indonesia. Di harian
tersebut berita LPI ditempatkan dalam rubrik bernama Hattrick. Guna
mendapatkan hak siar tersebut MNC group membayar Rp 100 miliar permusim
kepada PSSI.18
Alasan memilih surat kabar dan tabloid tersebut sudah tepat karena kedua
kelompok usaha media itu memiliki kepentingan baik secara langsung maupun
tidak langsung dengan konflik dalam tubuh persepakbolaan di Indonesia.
Obyek materiil studi ini adalah teks beritaseputar konflik PSSI dengan
Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI)dandualisme liga, yakni Liga
Primer Indonesia (LPI) dan Indonesia Super League (ISL) dari tahun 2010-2102.
Sebuah penelitian kualitatif dikatakan lengkap apabila penelitian tersebut
telah menjalani uji keabsahan data (Zelltiz, dkk sebagaimana dikutipBlack dan
Champion, 1992: 204). Tujuannya agar hasil penelitian kredibel. Menurut
Moleong (2000) keabsahan data dalam penelitian kualitatif dilakukan dalam
empat
kriteria,
yaitu
derajat
keterpercayaan
(credibility),
keteralihan
(transferabiity), kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability).
Credibility adalah derajat kepercayaan terhadap data yang diperoleh
peneliti.
17
Credibility
dapat
dilakukan antara dengan cara
perpanjangan
R. Kristiawan. Op. Cit., hal 117.
Tabloid Bola, judul berita MNC Dalam Persimpangan , Edisi Kamis-Jumat, 20-21 Oktober 2011
Rubrik Ole Nasional, hal 3.
18
53
keikutsertaan, ketekunan pengamatan, triangulasi, pengecekan sejawat dan
kecukupan referensial. Sebagaimana diketahui dalam penelitian kualitatif, peneliti
bertindak sebagai instrumen. Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam
pengumpulan data. Keikutsertaan tersebut tidak dilakukan dalam waktu singkat,
tetapi memerlukan perpanjangan keikutsertaan peneliti dalam latar penelitian.
Memang tidak ada patokan waktu, tetapi dengan peneliti menyediakan waktu
yang luang diharapkan data yang diinginkan tercapai semaksimal mungkin.
Ketekunan pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam
situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan
kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Dengan kata lain,
jika perpanjangan keikutsertaan menyediakan lingkup,
maka ketekunan
pengamatan menyediakan kedalaman. Transferability diartikan sebagai validitas
eksternal sedangkan dalam penelitian kualitatif diartikan derajat keotentikan
(dapat dipercaya). Keotentikan menurut L. Neuman (2003, 242) menawarkan sifat
yang adil, jujur dan seimbang dalam kehidupan sosial dari sudut pandang dari
orang-orang yang menjalaninya setiap hari. Dependability dalam penelitian
kuantitatif diartikan sebagai realibilitas. Suatu penelitian yang reliabel adalah
apabila orang lain dapat mengulangi/mereplikasi proses penelitian tersebut. Dalam
penelitian kualitatif, uji dependability dilakukan dengan melakukan audit terhadap
keseluruhan proses penelitian. Pengujian confirmability dalam penelitian
kuantitatif disebut dengan uji obyektivitas penelitian. penelitian kualitatif
cenderung menganggap bahwa setiap peneliti membawa perspektif yang unik
untuk penelitian. Konfirmabilitas mengacu pada sejauh mana hasilnya dapat
54
dikonfirmasi atau dikuatkan oleh orang lain. Menguji confirmability berarti
menguji hasil penelitian, dikaitkan dengan proses yang dilakukan.
Adapun sistematika pembahasan disertasi sebagai berikut: Bab I
Pendahuluan, bab ini membahas tentang alasan pemilihan topik, rumusan
masalah, manfaat penelitian, landasan teori dan metode penelitian. Bab II
Penggambaran konflik persepakbolaan di Indonesia pra kongres luar biasa PSSI
tahun 2011 di tiga surat kabar ibukota. Bab III Penggambaran konflik
persepakbolaan di Indonesia setelah kongres luar biasa PSSI tahun 2011 di tiga
surat kabar ibukota. Bab IV Praktek wacana surat kabar ibu kota pada konflik
persepakbolaan di Indonesia. BAB V Praktek sosiokultural wacana konflik dalam
tubuh persepakbolaan Indonesia, dan Bab VI Kesimpulan dan Rekomendasi.
Download