Gagal di AFF 2014, Bonus Demografi dan Tantangan Manajemen SDM Sepak Bola Drs. Priyono, M.Si. Dekan Fakulstas Geografi UMS Ditahan imbang 2-2 oleh Vietnam di laga pembuka, digunduli 4-0 oleh Filipina, lalu menang 5-1 dari tim underdog Laos membuat Timnas Indonesia harus pulang dengan tangan hampa dalam Piala AFF 2014 di Vietnam. Ini benar-benar menyedihkan bagi sebuah bangsa besar dengan penduduk terbesar ke4 se Dunia. Ironis sekali,Indonesia yang memiliki penduduk super power di Asia Tenggara sebanyak 251,1 juta, sedangkan Filipina, Vietnam dan Laos dengan jumlah penduduk masing masing 100,1 juta, 90,7 juta dan 6,8 juta pada tahun 2014. Hanya China, AS dan Indialah yang mampu mengungguli Indonesia dalam hal jumlah penduduk. Logikanya, dengan jumlah penduduk berlipat-lipat lebih banyak, Indonesia mempunyai persediaan dan pilihan pemain sepak bola lebih banyak dibanding Filipina dan negara kontestan AFF 2014 lainnya. Apalagi dewasa ini dari segi kependudukan Indonesia telah mulai memperoleh “Bonus Demografi” yang menyediakan jumlah penduduk muda usia dan produktif jauh lebih banyak dibanding era sebelumnya. Dalam proses evolusi kependudukan, sebuah negara akan memperoleh bonus demografi ketika angka ketergantungan penduduknya berada di rentang antara 40–50, yang berarti bahwa 100 orang usia produktif hanya menanggung 40–50 penduduk usia belum dan tidak produktif. Fenomena demografis ini menjadi jendela peluang (window of opportunity) yang disebut “bonus demografi” (demographic dividend). Indonesia pada tahun 2035 diperkirakan akan mengalami puncak bonus demografi dimana hanya akan ada 44 penduduk belum dan tidak produktif yang menjadi tanggungan 100 pekerja. Kondisi ini menjadikan Indonesia memiliki penduduk usia muda dan produktif yang jumlahnya 2 kali lipat dari jumlah penduduk yang belum dan tidak produktif. Dengan demikian, bonus demografi Indonesia menyediakan stok pemuda yang melimpah ruah untuk dapat diberdayakan dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang sepak bola yang nota bene adalah olah raga terfavorit di Indonesia. Maka apa susahnya memilih 11 orang pemuda terbaik dalam bermain bola dari 250 juta penduduk Indonesia? Tidak adakah dari 250 juta orang penduduk Indonesia yang tersebar dari Pulau Miangas sampai Rote yang memiliki talenta sepak bola sekelas Lionell Messi dari Argentina? Rasanya mustahil jika para pengelola sepak bola Indonesia (PSSI) kesulitan menemukan talenta muda berbakat itu. Salah satu contoh talenta bola Indonesia adalah Yadi Mulyadi dan Reynaldi, dua bocah asal Jawa Barat yang tergabung dalam Sekolah Sepak Bola (SSB) Asad 313 Purwakarta yang tengah dibidik salah satu klub di Eropa. Yadi tercatat sebagai pemain terbaik nasional Danone Cup 2014 dan Reynaldi kiper terbaik dunia Danone Nations Cup (DNC) 2014. Yadi penyumbang gol terbanyak di kejuaraan nasional. Sedangkan Reynaldi beberapa kali berhasil menyelamatkan gawang Indonesia, terutama saat adu pinalti melawan juara bertahan, Perancis. Dan mestinya masih banyak lagi talenta sepak bola Indonesia yang tersebar di seluruh nusantara. Jelaslah di sini bahwa masalahnya bukan terletak pada ketersediaan sumberdaya manusia, melainkan pada bagaimana pengelolaan/manajemennnya. Telaah manajemen bisa dilihat dari sisi manajerial dan operasional. Dari sisi manajerial berupa penerapan fungsifungsi manajemen yakni perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalianpengawasan bagaimana suatu perkumpulan sepakbola dilaksanakan. Sementara dari sisi operasional berupa fungsi manajemen rekrutmen dan seleksi pemain, orientasi organisasi dan distribusi peran pemain, pelatih dan kru, pelatihan dan pengembangan, penempatan para pemain, evaluasi kinerja pertandingan, dan manajemen kompensasi. Dalam hal ini proses rekruitmen dan seleksi pemain merupakan tahapan yang sangat penting. Maka sudah saatnya PSSI memiliki tim pencari bakat untuk mencari bibit-bibit potensial sepak bola yang tersebar di pelosok tanah air. Hal ini agar pemain yang benar-benar memiliki bakatlah yang bisa diikutkan dalam seleksi nasional untuk memperkuat timnas, bukan karena ikatan nepotisme. Selain itu, menaturalisasi pemain asing terbukti bukanlah solusi. Pembinaan pemain sejak dini tetap menjadi faktor yang harus dikedepankan. Sepakbola Indonesia harus bangkit dari pemuada bangsa sendiri yang tersedia melimpah seiring datangnya Bonus Demografi. Masih lekat dalam ingatan saya, anak tetangga dibina sejak dini secara serius dapat menghasilkan pemain level Nasional, jadi pembinan sejak ini menjadi kunci keberhasilan. Dalam teori Deontik, bahwa Pemerintah saat ini harus memikirkan kesejahteraan ataupun kualitas sumberdaya manusia yang lebih baik dibanding kondisi sumberdaya manusia yang telah lalu , itu artinya Pemerintah punya tanggung jawab besar untuk kelestarian serta kualitasnya penduduk yang akan datang agar menjadi bangsa yang disegani . Dalam Al Qur’an Allah berfirman jangan tinggalkan keturunanmu dalam keadaan lemah. Dengan memperhatikan adanya bonus demografi maka SDM sepak bola bangsa ini ibarat raksasa, tapi sedang tidur karena belum dikelola sebagaimana seharusnya. Oleh karena itu, tantangan pengelola sepak bola ke depan adalah bagaimana me-manage SDM yang ada tersebut agar mampu membentuk sebuah tim sepak bola yang pilih tandhing yang disegani di seantero dunia. Sehingga impian agar timnas Indonesia berlaga di Piala Dunia bukanlah mimpi di siang bolong. Jayalah sepak bola Indonesia.