BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) 2.1.1 Konsep Dasar Pendidikan Kecakapan Hidup Pendidikan kecakapan hidup atau yang biasa disebut dengan pendidikan life skills merupakan perkembangan teori yang dikembangkan oleh Gagne dalam teori klasifikasi (Seifert 1983). Walaupun tidak secara eksplisit menyatakan teorinya sebagai life skill namun dalam teori klasifikasinya, Gagne mengklasifikasikan hasil pembelajaran dalam beberapa bentuk kecakapan (skills) sebagai hasil akhir sebuah pembelajaran dan bukan sebagai proses yang menyebabkan munculnya pengetahuan. Menurut Gagne kecakapan ini akan muncul dalam diri siswa dengan adanya pengkondisian situasi pembelajaran. Proses pengkondisian inilah yang akan mempengaruhi kecakapan sepanjang karir dan pendidikan siswa. Dalam perkembangan pendidikan di Indonesia, pendidikan kecakapan hidup (life skills) dijadikan salah satu fokus analisis dalam pengembangan kurikulum pendidikan yang menekankan pada kecakapan hidup atau bekerja. Menurut Satori (2002): 13 Program pendidikan kecakapan hidup adalah pendidikan yang dapat memberikan keterampilan yang praktis, terpakai, terkait dengan kebutuhan pasar kerja, peluang usaha dan potensi ekonomi dan industri yang ada di masyarakat, apabila dihubungan dengan pekerjaan tertentu. Sementara Anwar (2004) menjelaskan bahwa “life skills dalam lingkup pendidikan nonformal ditujukan pada penguasaan vocational skills yang intinya terletak pada penguasaan specific occupational job”. Apabila dipahami dengan baik, maka dapat dikatakan bahwa life skills dalam konteks kepemilikan specific occupational skills sesungguhnya diperlukan oleh setiap orang. Ini berarti bahwa program life skills dalam pemaknaan program pendidikan formal maupun nonformal diharapkan dapat menolong mereka untuk memiliki harga diri dan kepercayaan diri mencari nafkah dalam konteks peluang yang ada di lingkungannya. Brolin (dalam Nur 2010) mendefinisikan life skills sebagai kontinum pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan oleh seseorang untuk berfungsi secara independen dalam kehidupan. Pendapat lain mengatakan bahwa kecakapan hidup adalah kecakapan sehari-hari yang diperlukan oleh seseorang agar sukses dalam menjalankan kehidupan (Slamet 2002). Sedangkan WHO (Depdiknas 2004) memberikan pengertian bahwa: Life skills adalah berbagai keteram-pilan atau kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang memungkinkan seseorang 14 mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan dalam hidupnya sehari-hari secara efektif. Sementara itu Tim Broad-Based Education (Depdiknas 2002) menafsirkan: Life skills adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya. Meskipun terdapat perbedaan dalam pengertian life skills, namun esensinya sama yaitu bahwa life skills adalah kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan yang diperlukan oleh seseorang untuk menjalankan kehidupan dengan nikmat dan bahagia. Oleh karena itu, pendidikan life skills adalah pendidikan yang memberi bekal dasar dan latihan yang dilakukan secara benar kepada peserta didik tentang nilai-nilai kehidupan sehari-hari agar yang bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjalankan kehidupannya yaitu dapat menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya. Dengan definisi tersebut, maka pendidikan life skills harus merefleksikan nilai-nilai kehidupan nyata sehari-hari, baik yang bersifat preservatif maupun progresif. Pendidikan perlu diupayakan relevansinya dengan nilai-nilai kehidupan nyata sehari-hari. Dengan cara ini, pendidikan akan lebih realistis, lebih 15 kontekstual, tidak akan mencabut peserta didik dari akarnya, sehingga pendidikan akan lebih bermakna bagi peserta didik dan akan tumbuh subur. Seseorang dikatakan memiliki kecakapan hidup apabila yang bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjalankan kehidupan dengan nikmat dan bahagia. Kehidupan yang dimaksud meliputi kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, kehidupan tetangga, kehidupan perusahaan, kehidupan masyarakat, kehidupan bangsa, dan kehidupan-kehidupan lainnya. Ciri kehidupan adalah perubahan yang selalu menuntut kecakapankecakapan untuk menghadapinya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika pendidikan formal dan nonformal mengajarkan kecakapan hidup. Menurut Slamet (2002) hasil yang diharapkan dari pendidikan kecakapan hidup adalah: (1) Peserta didik memiliki aset kualitas batiniyah, sikap, dan perbuatan lahiriyah yang siap untuk menghadapi kehidupan masa depan sehingga yang bersangkutan mampu dan sanggup menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya, (2) peserta didik memiliki wawasan luas tentang pengembangan karir dalam dunia kerja yang sarat perubahan yaitu yang mampu memilih, memasuki, bersaing, dan maju dalam karir, (3) peserta didik memiliki kemampuan berlatih untuk hidup dengan cara yang benar, yang memungkinan peserta didik berlatih tanpa bimbingan lagi, (4) peserta didik memiliki tingkat kemandirian, keterbukaan, kerjasama, dan akuntabilitas yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya, (5) peserta didik memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk mengatasi berbagai permasalahan hidup yang dihadapi. 16 Anwar (2004) mengungkapkan bahwa memasuki era globalisasi di abad XXI diperlukan suatu paradigma baru dalam sistem pendidikan dunia dalam rangka mencerdaskan umat manusia dan memelihara persaudaraan. Pemikiran seperti hal tersebut sesungguhnya telah disadari oleh UNESCO dengan merekomendasikan “empat pilar pembelajaran” untuk memasuki era globalisasi, yaitu program pembelajaran yang diberikan hendaknya mampu memberikan kesadaran kepada masyarakat sehingga mau dan mampu belajar (learning know or learning to know). Bahan belajar yang diberikan hendakanya mampu memberikan suatu pekerjaan alternatif kepada peserta didiknya (learning to do), dan mampu memberikan motivasi untuk hidup dalam era sekarang dan memiliki orientasi hidup ke masa depan (learning to be). Pembelajaran tidak cukup hanya diberikan dalam bentuk keterampilan untuk dirinya sendiri, tetapi juga keterampilan untuk hidup bertetangga, berbangsa dan hidup dalam pergaulan antar bangsa-bangsa dengan semangat kesamaan dan kesejajaran (learning to life together). Terkait dengan empat pilar pembelajaran tersebut, sesungguhnya program pendidikan life skills memiliki ciri yang relevan sebagaimana diungkapkan oleh Depdiknas (2002) bahwa ciri pendidikan life skills adalah: 17 (1) terjadi proses identifikasi kebutuhan belajar, (2) terjadi proses penyadaran untuk belajar bersama, (3) terjadi keselarasan kegiatan belajar untuk mengembangkan diri, usaha mandiri, usaha bersama, (4) terjadi proses penguasaan kecakapan personal, sosial, vokasional, akademik, manajerial, kewira usahaan, (5) terjadi proses pemberian pengalaman dalam melakukan pekerjaan dengan benar, menghasilkan produk bermutu, (6) terjadi proses interaksi saling belajar dari ahli, (7) terjadi proses penilaian kompetensi, (8) terjadi proses pendampingan untuk bekerja dan atau membentuk usaha bersama. Dengan demikian, maka kedelapan ciri tersebut merupakan suatu proses yang dapat mengantarkan peserta didik kepada penguasaan suatu vokasi tertentu guna diwujudkan menjadi sesuatu yang berarti bagi kehidupan pribadi dan kelompok untuk perbaikan kualitas hidup mereka. Adapun prinsip-prinsip pembelajaran kecakapan hidup di antaranya (Depag, 2005): (1) peran guru sebagai pembimbing siswa di samping sebagai tutor, fasilitator, dan pengubah lingkungan belajar untuk memajukan metakognisi siswa, (2) peran siswa sebagai peran sentral dalam proses pembelajaran dan (3) peran strategi pembelajaran sebagai suatu cara untuk menstransfer kecakapan hidup yang dibutuhkan oleh siswa di masa yang akan datang. 2.1.2 Macam-macam Pendidikan Life Skill Seperti pada uraian sebelumnya konsep kecakapan hidup dikemukakan oleh seorang pakar bernama Robert Gagne dalam teori klasifikasi (Seifert 1983). Gagne meyakini bahwa berbagai bentuk keca 18 kapan disebabkan oleh proses pengkondisian kelas yang dilakukan oleh guru. Berbagai bentuk kecakapan yang dikemukanan oleh Gagne ada 5 yaitu: (1) kecakapan intelektual, (2) strategi kognitif, (3) kecakapan verbal, (4) kecakapan motorik, (5) kecakapan sikap. Dalam teori Gagne (Seifert 1983), kecakapan intelektual meliputi tiga kecakapan yaitu: Pertama kecakapan diskriminasi. Kecakapan ini merupakan kecakapan anak untuk membedakan objek dari ciri-ciri yang dimiliki oleh objek tersebut. Kedua Kecakapan konsep. Kecakapan ini dimiliki oleh anak yang telah mampu mengelompokkan sebuah objek dengan objek yang lain dengan memperhatikan ciri-ciri yang dimiliki. Ketiga kecakapan aturan. Kecakapan ini dimiliki anak jika anak tersebut telah mampu mengaplikasikan aturan-aturan yang diketahui dalam kehidupan. Strategi-strategi kognitif merupakan kecakapan dari siswa untuk mencari hal-hal baru atau aturan baru untuk memudahkan kegiatan atau pekerjaan mereka. Sedangkan kecakapan verbal kemampuan siswa untuk mempelajari dan mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk ucapan atau bahasa. Adapun kecakapan motorik merupakan kecakapan seseorang yang lebih berfokus pada kemampuan keterampilan atau keterampilan bertindak terhadap sesuatu hal. Sementara kecakapan sikap merupakan kecakapan untuk bertindak yang terbaik bagi dirinya sendiri dengan berlandaskan pada kecakapan intelektual yang dimilikinya. 19 Agak berbeda dengan teori Gagne, pendidikan kecakapan hidup dibedakan menjadi 4 jenis untuk mengatasi 4 persoalan mendasar yang dialami manusia. Pertama persoalan yang berkaitan dengan dirinya sendiri, kedua persoalan yang berkaitan dengan keberadaannya bersama-sama dengan orang lain, ketiga persoalan yang berkaitan dengan keberadaannya di suatu lingkungan alam tertentu, dan keempat adalah personalan yang berkaitan dengan pekerjaannya, baik yang berkaitan dengan pekerjaan utama yang ditekuni sebagai mata pencaharian maupun pekerjaan yang hanya sekadar sebagai hobi. Empat jenis kecakapan hidup yang harus dibekalkan pada peserta didik di antaranya personal skills education, social skills education, environmental skills education, dan vocational atau occupational skills education. Sama-sama membagi kecakapan hidup menjadi 4 jenis tetapi dalam penjabarannya agak berbeda dengan penjabaran sebelumnya. Anwar (2004) membagi kecakapan hidup menjadi personal skill, social skill, academic skill dan vocational skill. Keempat jenis pendidikan kecakapan perlu diberikan untuk mempersiapkan anak didik agar dapat memiliki kemampuan untuk menjalani kehidupan atau kemampuan untuk menempuh perjalanan hidup itu, baik melalui pendidikan informal di dalam keluarga dan masyarakat, maupun melalui pendidikan formal di sekolah. Keempat jenis kecakapan ini saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya. 20 Dalam kehidupan sehari-hari ada seseorang yang sangat menonjol dalam menguasai salah satu kemampuan kecakapan, namun kurang dalam penguasaan kemampuan kecakapan lainnya. Ada juga yang kemampuan kecakapannya merata untuk kesemuanya. Yang lebih baik adalah yang seimbang dalam menguasai keempat jenis kecakapan tersebut. Adapun yang terbaik adalah penguasaan yang bukan saja seimbang, akan tetapi juga selaras karena dengan keseimbangan dan keharmonisan itulah yang mampu mewujudkan hidup yang indah. Zulkarnaini (2008) mengelompokkan empat jenis kecakapan yang dibagi oleh Anwar (2004) menjadi dua jenis yaitu kecakapan hidup yang bersifat umum (General Life Skill) dan kecakapan hidup yang bersifat khusus (Specific Life Skill). Pengelompokan Zulkarnaini (2008) ini senada dengan pengelompokan Depdiknas (2004) dan Depag (2005). 21 Kesadaran potensi diri Personal skill Kecakapan berfikir rasional Kesadaran spiritual General life skill (GLS) Kecakapan berkomunikasi Social skill Kecakapan hidup (life skill) Kecakapan bekerja sama Mengidentifikasi variabel Akademik life skill Merumuskan hipotesa Melaksanakan penelitian Speci fic life skill (SLF) Vokasional dasar Vokasional skill Vokasional khusus Sumber: Depdiknas (2004) Bagan 2.1 Pembagian Kecakapan Hidup (life skill) 22 General Life Skill (GLS) adalah kecakapan hidup yang harus dimiliki seorang untuk dapat melakukan hal-hal yang bersifat umum. Specific Life Skill (SLF) adalah kecakapan yang harus dimiliki seseorang untuk dapat melakukan hal-hal yang bersifat khusus. Dari bagan 2.1 dapat dilihat bahwa General Life Skill dapat dipilah lagi atas dua bagian yaitu kecakapan personal (Personal Skill) dan kecakapan sosial (Social Skill). Kecakapan hidup yang bersifat khusus (Specific Life Skill) dapat pula dipilah atas dua bagian. Kedua bagian itu adalah kecakapan akademika (Academic Skill) dan kecakapan vokasional (Vocational Skill). Zulkarnaini (2008) mengatakan bahwa personal skill merupakan kesadaran diri manusia sebagai makhluk Allah, sebagai makhluk sosial, sebagai makhluk hidup, dan sebagainya. Kesadaran akan potensi diri adalah kesadaran yang dimiliki seseorang atas kemampuan dirinya. Personal skill oleh Depag (2005) dibagi menjadi 3 kesadaran yang meliputi: (1) Kesadaran spiritual yaitu kesadaran seseorang sebagai makhluk Tuhan. Kesadaran ini merupakan kesadaran fitrah, dalam arti ketulusan dan kesucian sebagai potensi dasar manusia untuk mengesakan Tuhannya; (2) Kesadaran akan potensi diri yang akan menjadikan manusia menyadari dan mensukuri atas segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, yang diwujudkannya dalam berbagai bentuk diantaranya kesediaan menjaga kebersihan dan kesehatan, mengukur kemampuan diri, merasa cukup atas apa yang dimiliki, percaya diri, bertindak bijak serta berkemampuan untuk mengem- 23 bangkan diri secara bertanggung jawab; (3) Kecakapan berfikir rasional yaitu kecakapan untuk menggunakan akal untuk berfikir dan mempertimbangkan tindakan secara cerdas. Kecakapan berpikir rasional (thinking skill) meliputi kecakapan menggali informasi, kecakapan mengolah informasi, kecakapan mengambil keputusan, kecakapan memecahkan masalah (Zulkarnaini 2008). Pertama kecakapan menggali dan menemukan informasi. Kecakapan ini memerlukan kecakapan dasar seperti membaca, menghitung dan melakukan observasi. Kedua kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan secara cerdas. Kemampuan dasar yang dibutuhkan adalah kecakapan membandingkan, membuat perhitungan, analogi dan analisis sesuai informasi yang diolah. Ketiga kecakapan memecahkan masalah secara bijak dan kreatif. Dengan kecakapan berpikir rasional ini, diharapkan seseorang tidak akan gamang menghadapi kehidupan, sehingga dia dapat menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan. Zulkarnaini (2008) merinci kecakapan sosial sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mampu berkomunikasi lisan, berkomunikasi tertulis, dan bekerja sama, tetapi Depdiknas (2004) menambahkan yang termasuk dalam kecakapan sosial adalah kecakapan untuk bernegosiasi, memilih dan mengambil posisi diri, mengelola konflik, dan kecakapan mengambil keputusan secara sistematis. 24 Dalam pengembangan kecakapan sosial, empati diperlukan. Empati merupakan sikap penuh pengertian, memberi perhatian dan menghargai orang lain dalam seni komunikasi dua arah. Kecakapan sosial ini diwujudkan dengan cara: (1) Kecakapan berkomunikasi dengan empati baik lisan, tulisan maupun alat teknologi. Komunikasi secara lisan membutuhkan kecakapan mendengarkan sehingga membuat lawan bicara merasa diperhatikan dan dihargai, kecakapan berbicara untuk menyampaikan gagasan dengan jelas dan santun, serta kecakapan meyakinkan orang lain. Komunikasi secara tertulis membutuhkan kecakapan membaca dan menulis gagasan. Sedangkan komunikasi melalui teknologi dapat diberikan berupa etiket saat bertelepon dan tata cara menggunakan internet. (2) Kecakapan bekerja sama meliputi kecakapan bekerja dalam tim sebagai partner kerja yang menyenangkan dan terpercaya. Kecakapan akademik (Academic Skill) adalah kecakapan yang dimiliki seseorang di bidang akademik. Kecakapan akademik sering juga disebut kecakapan berpikir ilmiah yang merupakan kelanjutan dari keca-kapan berpikir rasional (Depag 2005). Jika kecakapan berpikir rasional (thinking skill) masih bersifat umum, kecakapan akademik sudah mengarah kepada keca-kapan yang bersifat keilmuan (akademik). Kecakapan akademik antara lain meliputi kecakapan mengiden-tifikasi variabel, menghubungkan variabel 25 dengan fenomena tertentu, merumuskan hipotesis, dan meran-cang serta melakukan penelitian. Hal ini mungkin dapat dilatihkan dalam skala-skala sederhana kepada siswa SD dan MI sehingga tidak terkesan memaksakan. Kecakapan akademik ini sudah mengarah pada ke-giatan keilmuan sehingga kecakapan ini lebih cocok jika dikembangkan di tingkat sekolah lanjutan tingkat atas (Zulkarnaini 2008). Kecakapan vokasional (Vocational Skill) sering juga disebut kecakapan kejuruan. Kecakapan kejuruan artinya kecakapan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di dalam masyarakat (Zulkarnaini 2008). Pada tingkat SD dan MI mungkin dapat dilaksanakan dalam bentuk pravokasional seperti keterampilan-keterampilan sederhana yang tidak terlalu memberatkan. Kecakapan vokasional lebih cocok bagi siswa yang ingin menekuni pekerjaan yang banyak membutuhkan ketrampilan psikomotorik daripada kecakapan akademik sehingga lebih tepat jika dikembangkan di SMK. Terhadap kecakapan vokasional Depag (2004) merinci menjadi dua jenis yaitu kecakapan vokasional dasar dan kecakapan vokasional khusus. Kecakapan vokasional dasar mencakup gerak dasar, menggunakan alat sederhana yang secara umum mencakup aspek nilai, taat asas, presisi dan akurasi. Kecakapan vokasional khusus hanya diberikan bagi yang ingin menekuni bidang pekerjaan tertentu. 26 2.2 Strategi Implementasi Pendidikan Life Skill 2.2.1 Dasar Hukum Implementasi Pendidikan Life Skill dalam Pembelajaran Sebagai sesuatu yang baru bagi pendidikan di Indonesia, pendidikan life skill memerlukan undangundang sebagai dasar hukum pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup di sekolah atau madrasah. Pemerintah telah mempersiapkan dasar hukum tersebut sejak tahun 2003 walaupun belum secara eksplisit dituliskan. Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3 tentang fungsi dan tujuan menyatakan: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembagnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Meskipun rumusan itu tidak secara eksplisit menyebutkan kecakapan hidup tetapi kalau fungsi dan tujuan tersebut direalisasikan dalam pendidikan, maka hasilnya adalah lulusan yang memiliki kecakapan hidup. Pernyataan pendidikan kecakapan hidup terdapat dalam pasal 26 ayat 3 dalam Undang-Undang yang sama sebagai rincian dari pendidikan non formal 27 bersama pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan dan lainnya. Sedangkan dalam penjelasan pasal 26 ayat 3 dijelaskan bahwa pendidikan kecakapan hidup sebagai pendidikan yang memberikan berbagai kecakapan untuk bekerja atau usaha mandiri. Sebagai dasar hukum realisasi di sekolah atau madrasah formal pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan untuk lebih menguatkan pendidikan kecakapan hidup dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003. Dalam peraturan pemerintah (PP) No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan memuat pernyataan-pernyataan eksplisit tentang pendidikan kecakapan hidup. Pasal-pasal yang memuat tentang pendidikan kecakapan hidup di antaranya adalah pasal 6 ayat 3 yang menyatakan “satuan pendidikan non formal dalam bentuk kursus dan lembaga pelatihan menggunakan KBK (kurikulum berbasis kompetensi) hidup”. yang Sedangkan memuat yang pendidikan kecakapan menyatakan pendidikan kecakapan hidup dapat dimasukan di sekolah formal adalah pasal 13 ayat 1 sampai 4. 2.2.2 Strategi Implementasi Pendidikan Life Skill Menurut David (dalam Sanjaya 2011) strategi diartikan sebagai a plan, method, or series activities designed to archieves a particular education goal. 28 Pengertian ini menyatakan bahwa strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dari pengertian di atas ada 2 hal yang dapat kita cermati. Pertama strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan termasuk metode dan pemanfaatan berbagai sumber dalam pembelajaran. Kedua strategi disusun untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Artinya semua rencana dan pemanfaatan sumber daya yang digunakan untuk pembelajaran bertujuan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sementara itu Kemp (dalam Sanjaya 2011) menguatkan pendapat David yang menyatakan bahwa strategi merupakan suatu kegiatan yang harus dilakukan oleh guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Senada dengan Kemp, Dick dan Carey (dalam Sanjaya 2011) menyebutkan bahwa strategi pembelajaran adalah satu set materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar siswa. Berdasar pengertian strategi dari beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran merupakan cara penyesuaian tindakan terhadap lingkungan baru dan khas dengan merencanakan serangkaian kegiatan pembelajaran untuk mencapai suatu tujuan pendidikan. 29 Menurut Pardjono (dalam Fitrihana 2008), ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam melaksanakan pendidikan kecakapan hidup di antaranya: (1) pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup tidak merubah sistem pendidikan yang berlaku saat ini, (2) tidak mereduksi pendidikan hanya sebagai suatu pelatihan, (3) etika dan religius bangsa Indonesia dapat diintegrasikan, (4) memperhatikan potensi wilayah setempat, (5) menerap kan manajemen berbasis sekolah. Berdasarkan kelima prinsip di atas Pardjono (dalam Fitrihana 2008) menyarankan 3 model penerapan pendidikan kecakapan hidup di sekolah di antaranya: (1) pendidikan kecakapan hidup diintegrasikan dalam mata pelajaran lain, (2) pendidikan kecakapan diimplementasikan dalam kegiatan ekstra kurikuler seperti pramuka, PMR, olah raga dll, (3) dilakukan diklat-diklat pra vokasional. Sedangkan Saryono (dalam Fitrihana 2008) berpendapat tentang model lain yang dapat digunakan dalam implementasi pendidikan kecakapan hidup antara lain model integratif, model komplementif dan model diskrit. Model integratif yaitu menyatukan pendidikan kecakapan hidup pada mata pelajaran maupun ekstra kurikuler yang sudah ada. Model komplementif yaitu menjadikan pendidikan hidup sebagai satu pelajaran tersendiri yang memerlukan waktu khusus dalam struktur kurikulum. Model diskrit yaitu menjadikan pendidikan kecakapan hidup bukan men 30 jadikan pendidikan kecakapan hidup masuk dalam struktur kurikulum namun dalam jam khusus seperti kegiatan kokurikuler ataupun ekstra kurikuler tersendiri. Dari beberapa pendapat yang telah diuraikan di atas, model integratiflah yang paling mungkin diterapkan di MI Miftakhul Huda Bengkal. Hal ini karena dengan model ini tidak memerlukan waktu khusus untuk penerapan pendidikan kecakapan hidup, tidak menambah biaya yang banyak serta tidak perlu merubah kurikulum yang sudah ada. Tetapi tetap saja model ini membutuhkan kreativitas guru yang banyak untuk dapat mencari kompetensi kecakapan hidup yang dapat ditempelkan dalam mata pelajaran yang ada, kreatifitas mencari metode pembelajaran yang sesuai sehingga tujuan pembelajaran tercapai, termasuk di dalamnya tujuan pembelajaran life skills. Ada 3 strategi implementasi pendidikan kecakapan hidup dalam pembelajaran yaitu strategi yang dikemukakan oleh Depag (2005), strategi yang dikemukakan oleh Napitupulu (1983) dan strategi yang dikemukakan oleh Arif (1986). Ketiga strategi implementasi pendidikan kecakapan hidup jika dicermati hampir sama, tetapi ada penekanan yang berbeda dari ketiganya. Depag lebih menekankan pada pola manajemen sekolahnya, sedangkan Napitupulu terfokus pada pelaksanaan pembelajaran. Sementara Arif mengembangkan apa yang dikemukakan oleh Napitupulu 31 menjadi langkah-langkah yang lebih rinci dalam mengimplementasikan pendidikan kecakapan hidup. Strategi yang dijelaskan oleh Depag (2005) merupakan strategi dalam arti luas yang tidak hanya strategi untuk mengimplementasikan pendidikan kecakapan hidup dalam pembelajaran namun dijelaskan pula strategi yang lain di antaranya strategi untuk memberlakukan manajemen berbasis madrasah, pengembangan budaya sekolah, membuat hubungan yang sinergis dengan masyarakat, membuat kurikulum tambahan untuk pendidikan pra vokasional. Sedangkan strategi untuk mengimplementasikan pendidikan life skill dalam pembelajaran hanya diuraikan dalam tahap reorientasi pembelajaran. Tahap reorientasi pembelajaran inilah yang dikhususkan untuk menerapkan pendidikan kecakapan hidup dalam pembelajaran. Dalam orientasi pembelajaran, sekolah dan guru dituntut melakukan 3 hal di antaranya (1) menganalisis life skill yang akan dikembangkan, (2) mengembangkan model pembelajaran yang tepat, (3) penilaian hasil belajar. Reorientasi pembelajaran ini merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan implementasi pendidikan life skill dalam pembelajaran karena berhubungan langsung dengan siswa sebagai objek pelaksanaan program. Kegiatan reorientasi pembelajaran dapat dilakukan oleh kepala sekolah, guru atau TPS/M (tim pengembang sekolah /madrasah) di sekolah yang bersangkutan. 32 Tahap reorientasi pembelajaran sebagai ujung tombak pelaksanaan implementasi pendidikan life skill oleh Napitupulu (1983) dijelaskan sebagai siklus sederhana yang terdiri dari tiga tahap yaitu tahap motivasi, tahap pelaksanaan dan tahap evaluasi. Siklus yang dikemukakan oleh Napitupulu (1983) merupakan siklus yang biasa diterapkan di jalur pendidikan non formal namun bukan tidak mungkin dapat diadopsi pada pendidikan formal. Adapun penjelasan tiap-tiap tahap adalah sebagai berikut: a. Tahap Motivasi Tahap motivasi ini meliputi kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk memotivasi kelompok sasaran pendidikan yaitu siswa, guru dan warga masyarakat. Guru dalam tahap ini berperan sebagai “sutradara” proses belajar. Tahap motivasi merupakan tahap penciptaan kondisi khususnya di kalangan kelompok sasaran pendidikan. Dalam tahap ini merupakan tahap menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan program termasuk menyiapkan strategi pelaksanaan program, kesiapan guru dalam melaksanakan pembelajaran juga kesiapan siswa dan wali murid untuk dapat menerima perubahan dari program baru yang akan dilaksanakan. 33 b. Tahap Pelaksanaan Program Dalam tahap ini merupakan inti dari program yang akan dilaksanakan. Program ini berupa jenis kegiatan pendidikan yang ditandai oleh kegiatan “bekerja” dan “belajar” untuk mengejar ketertinggalan dalam berbagai bidang kehidupan. Pada tahap kedua ini merupakan pelaksanaan kegiatan proses belajar mengajar dan proses belajar bekerja dalam kelompok belajar sebagai realisasi dari tahap motivasi sebagai tahap perencanaan kegiatan. c. Tahap Evaluasi dan Tindak Lanjut Tahap ini merupakan tahap evaluasi terhadap program yang dilaksanakan. Evaluasi yang dilakukan meliputi kesesuaian pelaksaan program dengan rencana dan ketercapaian tujuan program yang dilaksanakan. Jika pada tahap evaluasi, program ini dirasa cukup sesuai dengan rencana baik dalam pelaksanaan maupun pencapaian tujuan maka program ini dapat dilakukan tindak lanjut. Tindak lanjut yang dilakukan dengan mengimplementasikan program baru ini ke dalam lingkup yang lebih luas. Namun jika hasil evaluasi dirasa belum sesuai rencana atau belum sesuai dengan tujuan maka perlu merefleksi program yang sudah dilaksanakan dan perlu membuat rencana lagi untuk mengimplementasikan sebuah program baru yang lebih baik. 34 Di samping model sederhana yang diuraikan di atas, Arif (1986) memperkenalkan model induktif dalam pelaksanaan pengembangan kelompok. Model yang diperkenalkan Arif (1986) merupakan model yang berbeda dengan model yang dikemukakan oleh Napitupulu (1983) dan reorientasi pembelajaran yang dikemukakan oleh Depag (2005). Arif (1986) memerinci tahap pelaksanaan yang dikemukakan oleh Napitupulu. Perincian tahap motivasi dibagi menjadi 8 tahap, tahap pelaksanaan menjadi 1 tahap dan tahap evaluasi dan tindak lanjut dirinci menjadi 2 tahap sehingga tahap yang dikemukakan oleh Arif (1986) menjadi 11 tahap dari 3 tahap yang dikemukakan oleh Napitupulu (1983). Adapun langkah-langkah implementasi pendidi kan kecakapan hidup yang disarankan oleh Arif (1986) dalam pembelajaran dapat dilakukan secara berurutan berupa suatu daur (siklus) yang diharapkan akan berkelanjutan, yaitu: (1) pembentukan panitia perencana di tingkat desa (lembaga) bagi pendidikan non formal dan pembentukan TPS/M bagi pendidikan formal, (2) mengidentifikasi kebutuhan, minat dan karakteristik kelompok peserta didik, tujuannya untuk menjadi bahan dalam penentuan jenis program yang akan dilaksanakan, (3) merumuskan tujuan belajar yang diharapkan dan menjadi arah dari setiap kegiatan belajar yang akan dilaksanakan, (4) memilih isi program serta metode-metode belajar yang akan dilakukan dalam proses belajar mengajar, (5) memilih tenaga pendidik/pelatih/fasilitator beserta sumber belajar yang akan dilaksanakan dalam proses belajar mengajar bagi pendidikan non formal 35 sedangkan bagi pendidikan formal dapat dilakukan dengan sosialisasi dan pelatihan bagi guru tentang pelaksanaan program baru, (6) menyusun rencana kegiatan, (7) menyusun rencana dana yang diperlukan dalam pelaksanaan program, (8) menyusun fasilitas dan peralatan yang diperlukan untuk pelaksanaan program, (9) melaksana kan proses belajar mengajar dalam kelompok sesuai dengan rencana belajar yang telah disusun, (10) mengadakan evaluasi untuk mengetahui sejauh mana tujuan-tujuan belajar yang telah dirumuskan tersebut telah tercapai. Apabila tidak tercapai, faktorfaktor apa yang menghambat terhadap program tersebut, (11) perencanaan kembali programprogram tersebut. Langkah ini akan dilaksanakan apabila perancang program menilai bahwa tujuan belajar telah tercapai, dan perancang program menyusun kembali program, apakah program tersebut merupakan program lanjutan dari program lama atau merupakan program baru sama sekali sesuai dengan kebutuhan belajar baru dari kelompok sasaran. Dari uraian di atas jelaslah bahwa antara Depag (2005), Napitupulu (1983) dan Arif (1986) memiliki strategi yang berbeda dalam mengimplementasikan pendidikan kecakapan hidup dalam pembelajaran namun pada intinya adalah sama yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap evaluasi. Masingmasing strategi yang telah diuraikan di atas memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Strategi yang diuraikan Depag memang lengkap tetapi butuh waktu yang relatif panjang. Mungkin dapat beberapa tahun untuk mengimplementasikannya karena membutuhkan manajemen yang lebih luas dan tidak hanya dalam pembelajaran saja melainkan manajemen berbasis madrasah, reorientasi pembelajaran, hubungan 36 yang sinergis antara madrasah dan masyarakat, pengembangan budaya madrasah dan kurikulum untuk pembelajaran pra vokasional. Sementara itu pendapat dari Napitupulu hanya dalam pembelajaran dan sangat sederhana. Sedangkan pendapat Arif lebih luas dari pada pendapat Napitupulu namun rincian yang dikemukakan arif digunakan untuk pembelajaran non formal yang masih perlu mencari pengajar, dana dan pembentukan panitia. Menurut hemat penulis strategi yang paling tepat untuk mengimplementasikan pendidikan life skills adalah mengambil strategi Napitupulu namun di dalamnya terdapat strategi Depag sehingga strateginya sederhana tetapi sudah mencakup banyak hal. Strategi untuk mengimplementasikan pendidikan life skills menurut penulis di antaranya adalah langkah strateginya ada 3 langkah yaitu langkah motivasi, langkah implementasi, dan langkah evaluasi. Namun dalam pelaksanaan evaluasi melibatkan wali murid. Hal ini bertujuan menjalin hubungan yang sinergis dengan masyarakat. Di samping itu dalam pelaksanaanya banyak melakukan pembiasaan di rumah siswa maupun di sekolah. Pembiasaan ini bertujuan untuk mengembangkan budaya sekolah yang baik. Kurikulum ditentukan oleh TPS/M (Tim Pengembang Sekolah/Madrasah). Hal ini bertujuan untuk menuju ke arah manajemen berbasis masyarakat dan aspek life skills yang diberikan benar-benar keterampilan bagi 37 siswa yang dibutuhkan masyarakat sekitar. Adapun metode implementasinya menggunakan metode integrasi yaitu pemberian pelajarannya ditempelkan pada sejumlah mata pelajaran tertentu dan tidak berdiri sendiri sebagai suatu mata pelajaran tersendiri. 2.3 Kesiapan Guru dalam Pembelajaran Arikunto (1993), memberikan arti terhadap kesiapan guru sebagai kompetensi guru, sehingga seorang guru yang berkompetensi berarti guru tersebut memiliki kesiapan yang cukup untuk melaksanakan pembelajaran. Terkait dengan kesiapan seorang guru dalam mengajar Sudjana (1989) berpendapat bahwa ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan guru dalam melaksanakan strategi mengajar. Pertama adalah tahap mengajar (merencanakan rencana belajar), kedua adalah menggunakan atau pendekatan mengajar (alat peraga) dan tahap ketiga prinsip mengajar (persiapan mental). Sementara itu Nasution (2003) membagi kesiapan guru sebagai pengajar dalam tiga tahap yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran dan mengevaluasi pembelajaran. 2.3.1 Kesiapan Merencanakan Pembelajaran Mempersiapkan diri sebelum mengajar akan membuat pengajar siap serta penuh percaya diri untuk memasuki ruangan kelas, karena pengajar tersebut telah mengetahui cara yang akan digunakan 38 untuk menjelaskan bahan pelajaran. Pada dasarnya konsep persiapan dalam melaksanakan proses belajar mengajar adalah konsep yang sangat baik, namun implementasi dalam proses persiapan ini memerlukan waktu yang cukup panjang. Kemampuan merencanakan proses belajar mengajar merupakan salah satu kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang (Hamalik 2001). Proses belajar mengajar yang baik perlu direncanakan agar dalam pelaksanaannya berlangsung dengan baik dan dapat mencapai hasil yang diharapkan. Kesiapan seorang guru dalam merencanakan pembelajaran khususnya yang berkaitan dengan implementasi pendidikan life skill meliputi mengidentifikasi life skill yang dibutuhkan siswa, menetapkan tujuan pembelajaran, menentukan strategi dan skenario pembelajaran yang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, menentukan kriteria evaluasi (Hunt dalam Majid 2005). Menguatkan pendapat Hunt, Hatimah (2000) menyatakan bahwa peran guru dalam mengembangkan strategi amat penting karena aktivitas belajar siswa sangat dipengaruhi oleh sikap dan penyampaian guru. Sementara Mulyasa (2004) menuliskan bahwa pengembangan persiapan mengajar harus disesuaikan dengan minat dan perhatian peserta didik terhadap materi yang akan dijadikan bahan ajar. 39 Agar dapat membuat persiapan mengajar yang baik, guru dituntut untuk memahami aspek yang berkaitan dengan pengembangan persiapan mengajar. Gagne dan Briggs (dalam Majid 2005) menyatakan bahwa rencana pembelajaran yang baik meliputi 3 hal yaitu (1) tujuan pembelajaran, (2) materi pembelajaran, bahan ajar, pendekatan dan metode, media pengajaran, pengalaman belajar dan (3) evaluasi keberhasilan. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa unsur-unsur yang harus ada dalam perencanaan pembelajaran adalah: (1) merumuskan tujuan pelajaran yang hendak dicapai, (2) memilih dan mengembangkan materi pembelajaran yang dapat digunakan untuk dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan, (3) merumuskan kegiatan belajar mengajar, (4) merencanakan metode dan teknik yang digunakan untuk mencapai tujuan, (5) merencanakan media dan sumber belajar, (6) penilaian untuk mengetahui tujuan pembelajaran tercapai atau tidak. Tujuan pembelajaran merupakan tujuan yang berbentuk tingkah laku kemampuan yang diharapkan dapat dilakukan oleh peserta didik setelah proses belajar mengajar (Sudirman dkk. 1991). Sedangkan Bloom (dalam Usman 1994) menyatakan tujuan pembelajaran digolongkan dalam 3 ranah yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Sementara itu Nasution (2003) mengemukakan beberapa syarat tujuan pembelajaran yang baik adalah kata kerjanya hendaknya menunjuk 40 kan perbuatan yang dapat diamati, uraian tentang stimulus respon siswa, menentukan alat yang digunakan oleh siswa dan penunjukan tentang sifat jawaban yang diharapkan. Memilih dan mengembangkan bahan pengajaran harus dilakukan guru yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik karena dapat menunjang tercapainya tujuan pembelajaran. Ada 3 hal yang harus diperhatikan dalam merencanakan bahan pengajaran yaitu berpedoman pada kurikulum, memilih sesuai karakteristik siswa serta penyusunan disesuaikan dengan taraf berfikir siswa (Usman 1994). Sementara Sagala (2003) menyatakan ada 4 hal yang harus diperhatikan saat menyusun materi pelajaran di antaranya materi hendaknya menunjang tujuan yang hendak dicapai, materi disesuaikan dengan perkembangan siswa, materi teorganisir secara sistematik dan berkesinambungan, materi menyangkut hal-hal yang faktual dan konseptual. Usman (2004) merumuskan kegiatan belajar yang meliputi kegiatan menentukan metode, langkah kegiatan belajar mengajar, merencanakan alat dan sumber belajar. Kegiatan pembelajaran diarahkan untuk memberdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang diharapkan. Merencanakan metode pembelajaran yang akan digunakan. Metode mengajar adalah suatu cara yang digunakan guru dalam mengorganisasi kelas pada 41 umumnya atau menyajikan bahan pelajaran pada khususnya (Sagala 2003). Dalam pemilihan metode mengajar diperlukan adanya pemahaman dan adanya kesesuaian dengan bahan yang akan diajarkan. Menurut Surakhmad (1979), yang menjadi pertimbangan utama dalam metode mengajar adalah kesesuaian metode dengan tujuan pembelajaran, materi pelajaran, sumber dan fasilitas yang tersedia, kondisi belajar mengajar, kondisi siswa dan waktu yang tersedia. Menurut Sanjaya (2011) metode yang dapat diterapkan dalam mengimplementasi life skill hidup antara lain metode ceramah, metode demonstrasi, metode diskusi, metode simulasi. Sedangkan strategi pembelajaran yang dapat digunakan antara lain strategi ekspositori, strategi inkuiri, strategi pembelajaran berbasis masalah, strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir, strategi pembelajaran kooperatif, strategi pembelajaran kontekstual, dan strategi pembelajaran afektif. Metode dan strategi apapun yang direncanakan oleh guru hendaknya dapat mengakomodir secara menyeluruh terhadap prinsip prinsip KBM (Majid 2005) di antaranya: (1) berpusat pada anak didik. Artinya guru harus memahami antara siswa yang satu dengan siswa yang lain memiliki karakteristik yang berbeda dan harus dipahami sebagai individu yang berbedabeda; (2) Belajar dengan melakukan (learning by doing). Guru harus memberi kesempatan siswa untuk melakukan apa yang dipelajari sehingga siswa mem 42 peroleh pengalaman nyata; (3) Mengembangkan kemampuan sosial. Hendaknya pembelajaran digunakan oleh siswa untuk sarana berinteraksi sosial dengan lingkungan; (4) Mengembangkan imajinasi dan keingintahuan. Guru harus mampu memancing rasa ingin tahu siswa dan memompa imajinasi siswa untuk berfikir kritis dan kreatif; (5) Mengembangkan kreativitas dan ketrampilan memecahkan masalah. Merencanakan media pembelajaran. Media pembelajaran adalah alat-alat yang digunakan guru ketika mengajar untuk membantu memperjelas materi pelajaran yang disampaikan kepada siswa dan mengurangi verbalisme (Usman 1994). Sesuai dengan fungsinya, media dapat digunakan untuk membantu memudahkan pemahaman siswa dalam menangkap dan memahami konsep atau materi yang disampaikan. Media juga dapat menghantarkan siswa ketingkat pemahaman yang lebih tinggi dari pada disampaikan dengan ceramah atau lisan. Dalam memilih media yang akan digunakan hendaknya memperhatikan beberapa hal di antaranya objektivitas, program pengajaran, sasaran program, situasi dan kondisi, kualitas teknik, efektivitas dan efisiensi media (Sudirman dkk., 1991). Sementara itu Hoover (dalam Usman 1994) mengingatkan tentang beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam merencanakan media pembelajaran di antaranya tidak ada peraga yang dianggap paling baik, alat tertentu dianggap lebih tepat diban 43 dingkan yang lain sehubungan dengan tujuan yang hendak dicapai, perlu persiapan sebelum menggunakan alat audio visual sehingga dalam pelaksanaan tidak terganggu persiapan alat. Merencanakan penilaian siswa. Penilaian adalah suatu proses untuk mengetahui apakah proses dan hasil dari suatu rencana telah sesuai dengan tujuan yang ditetapkan (Suwandi 2011). Adapun pentingnya penilaian yang dikemukakan oleh Baxter (dalam Suwandi 2011) di antaranya untuk membandingkan siswa satu dengan lainnya, mengetahui apakah tujuan pembelajaran sudah tercapai, membantu kegiatan pembelajaran siswa, mengontrol pembelajaran apakah sudah berjalan sebagaimana mestinya. Penilaian dalam kurikulum berbasis kurikulum (KBK) adalah penilaian berbasis kelas sedangkan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah penilaian kelas. Namun kedua istilah itu secara substansi adalah sama (Suwandi 2011). Penilaian pendidikan life skills yang digulirkan bersama KBK juga dapat dilakukan dengan penilaian kelas. Penilaian kelas dapat dilakukan dengan tes dapat pula dilakukan dengan non tes. Penilaian non tes yang dapat dilakukan dalam implementasi pendidikan kecakapan hidup antar lain penilaian kinerja, penilaian sikap, penilaian proyek, penilaian produk, penilaian portofolio dan penilaian diri. Dalam evaluasi keberhasilan pendidikan life skills dalam pembelajaran, sistem penilaian yang banyak digunakan adalah 44 jenis penilaian non tes walaupun bukan tidak mungkin penilaian tes juga dapat dilakukan. Penilaian dapat dilakukan di awal pelajaran, selama proses atau di akhir pelajaran (Sudirman 1991). Dari beberapa uraian di atas maka dapat diketahui bahwa pembuatan rencana pembelajaran mutlak diperlukan untuk mengetahui keberhasilan suatu pembelajaran. Dalam integrasi pendidikan life skills ini dokumen yang sangat dominan diperlukan adalah rencana pelaksanaan pembelajaran yang didalamnya mengacu segala hal yang akan dilakukan saat pembelajaran di antaranya tujuan pembelajaran. Dalam tujuan pembelajaran harus ada dengan jelas aspek life skills yang akan dicapai disamping tujuan pembelajaran yang sudah tercantum dalam standar isi. Selain tujuan pembelajaran, bahan pelajaran seperti sumber belajar, media, dan metode juga harus disesuaikan dengan tujuan pembelajarannya. Dalam pendidikan life skills sumber belajar tidak mutlak dari guru atau buku tetapi lebih diarahkan untuk lebih memanfaatkan lingkungan alam sekitar siswa sehingga siswa menjadi terbiasa untuk memanfaatkan potensi yang ada pada dirinya dan lingkungannya untuk hal yang berguna. Dengan begitu tentu metode yang tepat dalam pembelajarannya adalah metode kontekstual yang dapat digali dari pengalaman dan lingkungan siswa di samping itu untuk media 45 pembelajarannya dapat beragam dan tidak hanya menggunakan papan tulis dan kapur saja. Teknik evaluasi yang digunakan dalam pendidikan life skills menurut penulis adalah teknik evaluasi non tes terutama unjuk kerja. Evaluasi ini perlu melibatkan orang tua di rumah. Inilah yang membedakan antara pembelajaran biasa dengan pembelajaran yang terintegrasi life skills yaitu jika pada pembelajaran biasa teknik evaluasi hanya dari guru saja dan biasanya lebih banyak aspek kognitif tetapi dalam pembelajaran life skills evaluasi tidak hanya guru yang terlibat tetapi orang tua juga ikut terlibat dalam proses penilaian. Sehingga dalam penelitian ini teknik evaluasi bersama orang tua menjadi hal baru yang perlu sosialisasi dan pengertian dari orang tua. 2.3.2 Kesiapan Melaksanakan Pembelajaran Usman (1994) mengemukakan pelaksanaan pembelajaran mengikuti prosedur memulai pembelajaran, mengelola kegiatan belajar mengajar, mengorganisasi waktu, siswa dan fasilitas belajar, melaksanakan evaluasi dan mengakhiri pelajaran. Dari uraian di atas pelaksanaan pembelajaran dapat dikelompokkan dalam 3 tahap yaitu membuka pelajaran, menyampaikan materi pelajaran dan menutup pelajaran. a. Membuka Pelajaran Membuka pelajaran dimaksudkan untuk memotivasi siswa, memusatkan perhatian dan mengetahui 46 kemampuan siswa berkaitan dengan bahan yang akan dipelajari (Majid 2005). Membuka pelajaran menurut Majid (2005) meliputi 2 cara yaitu melaksanakan persepsi atau melakukan pretes untuk mengetahui kemampuan awal siswa dan dilanjutkan motivasi untuk menciptakan kondisi awal siswa mengikuti pelajaran. Sedangkan menurut Usman (1994) memulai pelajaran ada 4 cara yaitu menarik perhatian siswa, memotivasi siswa, mengemukakan tujuan pembelajaran, membuat kaitan antara pengalaman siswa dengan materi yang akan disampaikan. b. Menyampaikan Materi Pelajaran Menyampaikan materi pelajaran merupakan kegiatan inti untuk menanamkan, mengembangkan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang berkaitan dengan bahan kajian yang bersangkutan (Majid 2005). Dalam menyampaikan materi pembelajaran Usman (1994) memberikan rambu-rambu di antaranya: (1) bahan yang disampaikan benar, (2) penyampaiannya lancar, (3) penyampaian sistematis, (4) mudah dime ngerti oleh siswa, (5) memberi contoh yang tepat. Menyampaikan materi pelajaran tidak bisa lepas dengan pengelolaan kelas. Berkaitan dengan pengelolaan kelas, Usman (1994) mengingatkan beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu: (1) mengatur tempat duduk sesuai strategi yang digunakan, (2) menentukan alokasi waktu pembelajaran, (3) menentukan cara 47 mengorganisasi murid yang terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Sementara Mulyasa (2004) menyebutkan 7 hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kelas antara lain mengatur ruang kelas, mengatur sarana belajar, mengatur susunan tempat duduk siswa, penerangan ruang kelas yang cukup, pengaturan suhu ruangan, melakukan pemanasan sebelum pelajaran dan bina suasana saat pembelajaran. c. Menutup Pembelajaran Menurut Majid (2005) kegiatan menutup pelajaran adalah kegiatan yang memberikan penegasan atau kesimpulan dan penilaian terhadap penguasaan bahan kajian yang diberikan pada kegiatan inti. Sementara Usman (1994) berpendapat bahwa kegiatan menutup pelajaran adalah adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk mengakhiri kegiatan belajar mengajar. Kegiatan yang harus dilaksanakan guru dalam kegiatan menutup pelajaran menurut Majid (2005) meliputi: (1) melaksanakan penilaian akhir, (2) melaksanakan kegiatan tindak lanjut dan alternatif kegiatan seperti pemberian tugas, pekerjaan rumah dan pemberian motivasi, (3) mengakhiri proses pembelajaran dan menyampaikan materi yang akan disampaikan pada pertemuan yang akan datang. Sedangkan menurut Usman (1994) dalam menutup pembelajaran guru perlu melakukan beberapa hal di antaranya: 48 (1) merangkum materi yang baru saja dibahas, (2) memotivasi siswa pada hal-hal tertentu sehingga siswa berminat pada materi selanjutnya, (3) mengorganisasi semua kegiatan yang telah dipelajari, (4) memberikan saran agar materi jangan dilupakan dan diterapkan dalam kehidupan seharihari. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kegiatan menutup pelajaran terdiri dari kegiatan memberikan simpulan, penguatan dan memberikan tugas. Membuat kesimpulan merupakan komponen strategi yang memuat semua bagaian sisi pelajaran yang penting yang berupa pengertian singkat dari konsep, prosedur atau prinsip yang baru dipelajari. Pemberian kesimpulan dimaksudkan agar siswa lebih mudah mencerna ide-ide pokok dari isi mata pelajaran yang diajarkan. Penguatan diberikan untuk memperjelas materi yang telah diberikan dan memberikan kesan yang mendalam kepada peserta didik. Pemberian tugas merupakan suatu metode dalam proses belajar mengajar sebagai bentuk pengalaman belajar. Metode tugas adalah cara mengajar dengan pemberian tugas kepada siswa dalam bentuk pekerjaan rumah, dan membuat tugas keterampilan tertentu. Dalam pembelajaran life skills hal penting yang harus diperhatikan guru menurut penulis antara lain materi yang digunakan untuk menyampaikan aspek life skills harus benar-benar materi yang tidak asing bagi siswa atau dengan materi yang sehari-hari dapat ditemui di lingkungan siswa sehingga siswa akan 49 mampu memanfaatkan lingkungannya baik lingkungan sosial maupun alam untuk kehidupannya. 2.3.3 Kesiapan Mengevaluasi Pembelajaran Penilaian berfungsi sebagai alat untuk mengukur keberhasilan mencapai tujuan (Sudirman, 1991). Evaluasi atau penilaian merupakan kegiatan yang harus dilakukan oleh guru dan siswa dalam serangkaian kegiatan pembelajaran. Beberapa hal yang harus disiapkan oleh guru dalam mengevaluasi pembelajaran menurut Suwandi (2011) adalah penetapan indikator pencapaian hasil belajar, penetapan teknik penilaian, menginterpretasi hasil penilaian. a. Penetapan Indikator Pencapaian Hasil Belajar Indikator merupakan ukuran, karakteristik, ciriciri yang menunjukan ketercapaian suatu kompetensi dasar (Suwandi 2011). Indikator dirumuskan dengan kata kerja operasional yang dapat diukur. Indikator dikembangkan oleh guru dengan memperhatikan perkembangan dan kemampuan peserta didik. Setiap kompetensi dasar dapat dikembangkan menjadi dua atau lebih indikator pencapaian hasil belajar tergantung kedalaman kompetensi dasar tersebut. Indikator dari kompetensi dasar inilah yang digunakan sebagai acuan dalam melakukan penilaian. 50 b. Penetapan Teknik Penilaian Dalam memilih teknik penilaian, Suwandi (2011) menyarankan guru harus memperhatikan beberapa hal di antaranya: (1) Apabila tuntutan indikator melakukan sesuatu maka teknik penilaiannya adalah unjuk kerja; (2) Apabila indikator berkaitan dengan pemahaman konsep maka teknik penilaiannya adalah tertulis; (3) Apabila indikatornya adalah memuat unsur penyelidikan maka penilaiannya adalah penilaian proyek. c. Interpretasi Hasil Penilaian Penilaian dapat dilakukan pada saat pelajaran berlangsung atau pada akhir pembelajaran. Sebuah indikator dapat dijaring dengan beberapa soal dan tugas. Kriteria ketuntasan belajar tiap indikator dalam setiap kompetensi dasar (KD) ditetapkan antara 0% sampai 100%. Kriteria ideal untuk tiap indikator adalah lebih dari 60%, tetapi sekolah dapat menentukan sendiri kriteria ketuntasan belajar disesuaikan dengan kondisi sekolah masing-masing (Suwandi 2011). Apabila pencapaian nilai oleh peserta didik sama atau lebih besar dari kriteria ketuntasan minimal maka dapat dikatakan peserta didik telah menuntaskan indikator tersebut. Bila semua indikator sudah dituntaskan maka peserta didik dikatakan sudah menuntaskan satu kompetensi dasar dan dapat melanjutkan ke kompetensi dasar berikutnya. Bila ketuntas 51 an semua indikator belum mencapai lebih 50% maka peserta didik belum dapat melanjutkan ke kompetensi dasar berikutnya (Suwandi 2011). Jadi dalam pembelajaran life skills teknik penilaian yang paling tepat menurut penulis adalah dengan penilaian unjuk kerja karena aspek life skills yang diharapkan merupakan bentuk tindakan nyata yang diharapkan dilakukan oleh siswa. Dengan unjuk kerja, siswa diminta melakukan sesuatu sehingga walaupun awalnya tindakan siswa itu dipaksakan namun lama-lama akan biasa dilakukan oleh siswa walaupun tanpa disuruh oleh guru maupun orang tua karena siswa merasa butuh dan merasakan manfaat dari tindakan pembiasaan itu. 2.4 Kendala Implementasi Life Skills Dalam implementasi sebuah program baru tentu menghadapi banyak kendala. Beberapa kendala yang dihadapi saat mengimplementasikan pendidikan life skill di antaranya kendala yang dialami Khasanah (2006) saat mengimplementasikan life skill pada Sekolah Alam Ar-Ridho Semarang yaitu kurangnya kemampuan pendidik dalam menyiapkan pendidikan life skill dan juga keterbatasan sarana dan prasarana dalam memfasilitasi pembelajaran yang berorientasi life skill. Kendala yang hampir sama juga dialami oleh Hasbullah (2008) saat mengimplementasikan life skill bagi remaja putus sekolah di Bandung yaitu keterba 52 tasan sarana, kurang kemampuan pendidik, dan keterbatasan waktu. Kurangnya pemahaman guru, alokasi waktu yang minim, materi yang banyak dan minimnya sosialisasi serta monitoring evaluasi merupakan kendala yang dialami Suryadi (2011) saat mengimplementasikan pelajaran sejarah di sebuah SMA di Klaten. Dari beberapa uraian tentang kendala yang dialami dalam mengimplementasikan pendidikan life skills meskipun agak berbeda tetapi ada hal yang dominan yaitu keterbatasan kemampuan tenaga pendidik baik itu dalam persiapan pembelajaran atau saat implementasi pembelajaran. Di samping itu keterbatasan sarana dan prasarana juga menjadi kendala dalam setiap implementasi life skills. Dalam pembelajaran waktu dan materi juga menjadi kendala yaitu materi yang banyak dengan waktu yang relatif sedikit sehingga menjadikan pembelajaran life skills belum mencapai tujuan yang diharapkan. Dari berbagai hambatan atau kendala yang terjadi dalam implementasi life skills sebagai seorang manajer, kepala sekolah atau madrasah tentunya harus mempunyai langkah-langkah yang jitu untuk menanggulangi permasalahan yang ada. Langkahlangkah yang dapat dilakukan kepala sekolah sebagai seorang manajer dapat memanfaatkan fungsi manajemen yang pertama yaitu sebelum implementasi perlu perencanaan yang matang dengan memberdayakan 53 semua sumber yang ada untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Misalnya menanggulangi keterbatasan pendidik, dalam perencanaan perlu dilakukan prioritas peningkatan kualitas guru seperti pelatihan atau studi banding ke sekolah yang sudah lebih dulu mengimplementasikan pendidikan life skills. Untuk menanggulangi keterbatasan sarana dan prasaran yang digunakan sebelum pelaksanaan program perlu dimanfaatkan fungsi manajemen yang kedua yaitu pengorganisasian. Jika memang sarana dan prasaran kurang memadahi perlu dilakukan pengorganisasian untuk memanfaatkan sarana yang ada dulu semaksimal mungkin dengan materi yang sesuai dengan sarana yang ada. Materi atau kurikulum tidak perlu terlalu banyak tetapi dapat sesuai dengan lingkungan siswa. Sedangkan untuk menanggulangi minimnya evaluasi, kepala sekolah perlu berkoordinasi dengan instansi di atasnya untuk melakukan monitoring secara berkala sehingga instansi di bawahnya menjadi lebih semangat dalam mengimplementasikan pendidikan life skills. 2.5 Peran Kepala Sekolah dalam Implementasi Program Pendidikan Kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran adalah kepemimpinan yang menekankan pada komponen-komponen yang terkait erat dengan pembelajaran, meliputi kurikulum, proses belajar mengajar, 54 penilaian, pengembangan guru, layanan prima dalam pembelajaran, dan pembangunan komunitas belajar di sekolah. Tujuan utama kepemimpinan pembelajaran adalah memberikan layanan prima kepada semua siswa agar mereka mampu mengembangkan potensi, bakat, minat dan kebutuhannya. Kepemimpinan pembelajaran ditujukan juga untuk memfasilitasi pembelajaran agar siswa meningkatkan prestasi belajarnya, kepuasan belajar semakin tinggi, motivasi belajar semakin tinggi, keingintahuan terwujudkan, kreativitas terpenuhi, inovasi terealisir, jiwa kewirausahaan terbentuk, dan kesadaran untuk belajar sepanjang hayat karena ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni berkembang dengan pesat tumbuh dengan baik. Kepemimpinan pembelajaran jika diterapkan di sekolah akan mampu membangun komunitas belajar warganya dan bahkan mampu menjadikan sekolahnya sebagai sekolah belajar (learning school). Sekolah belajar memiliki perilaku-perilaku di antaranya memberdayakan warga sekolah seoptimal mungkin, memfasilitasi warga sekolah untuk belajar terus dan belajar ulang, mendorong kemandirian setiap warga sekolahnya, memberi kewenangan dan tanggung jawab kepada warga sekolahnya, mendorong warga sekolah untuk mempertanggung jawabkan proses dan hasil kerjanya, mendorong teamwork yang kompak, cerdas, dinamis, harmonis, dan lincah/cepat tanggap terhadap pelanggan utama yaitu siswa, meng 55 ajak warga sekolahnya untuk menjadikan sekolahnya berfokus pada layanan prima kepada siswa, mengajak warga sekolahnya untuk siap dan akrab menghadapi perubahan, mengajak warga sekolahnya untuk berpikir sistematis, mengajak warga sekolahnya untuk komit terhadap keunggulan mutu, dan mengajak warga sekolahnya untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus. Dalam mengimplementasikan sebuah program baru, kepala sekolah dituntut untuk mampu melaksananakan fungsi-fungsi manajemen yang meliputi perencanaan program, mengorganisasai program yang akan dilaksanakan serta melakukan evaluasi dan tindak lanjut terhadap program yang telah dilaksanakan. Jika program sesuai perencanaan maka tindak lanjutnya dapat melanjutkan program yang sudah dilaksanakan tanpa harus merubah lagi dan tantangannya adalah meningkatkan jika program yang bersangkutan sudah berjalan tetapi jika sebuah program baru yang baru diuji coba maka tindak lanjutnya adalah melaksanakan program dalam skala besar atau dilaksanakan oleh seluruh warga sekolah. Sebaliknya jika program yang dilaksanakan kurang sesuai dengan rencana maka tindak lanjutnya perlu menganalisis apa penyebab ketidaksesuaian antara perencanaan dengan pelaksanaan. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas 2006), terdapat tujuh peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai (1) educator (pendidik), (2) ma 56 najer, (3) administrator, (4) supervisor (penyelia), (5) leader (pemimpin), (6) pencipta iklim kerja, dan (7) wirausahawan. Peran pertama yaitu kepala sekolah sebagai educator (pendidik). Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif dan efisien. Kepala sekolah sebagai manajer pendidikan artinya dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas yang harus dilakukan kepala sekolah adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan profesi para guru. Dalam hal ini, kepala sekolah seyogyanya dapat memfasiltasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada para guru untuk dapat melaksanakan kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah, seperti MGMP/MGP tingkat sekolah, in house training, diskusi profesional dan sebagainya, atau melalui kegiatan 57 pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan yang diselenggarakan pihak lain. Sedangkan kepala sekolah sebagai administrator, khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya. Seberapa besar sekolah dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi guru tentunya akan mempengaruhi terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Oleh karena itu kepala sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi guru. Peran kepala sekolah sebagai supervisor adalah untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran, secara berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi, yang dapat dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara langsung, terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang digunakan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran (Mulyasa 2004). Dari hasil supervisi ini, dapat diketahui kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam melaksanakan pembelajaran, tingkat penguasaan kompetensi guru yang bersangku tan, selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan dan tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus mempertahan 58 kan keunggulannya dalam melaksana kan pembelajaran. Peran kepala sekolah sebagai leader (pemimpin) berkaiatan erat dengan gaya kepemimpinan kepala sekolah. Setidaknya kita mengenal dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, seorang kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan kepribadian dan kepribadian kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin dalam sifat-sifat sebagai berikut: (1) jujur, (2) percaya diri, (3) tanggung jawab, (4) berani mengambil resiko dan keputusan, (5) berjiwa besar, (6) emosi yang stabil, dan (7) teladan (Mulyasa 2004). Peran selanjutnya adalah peran kepala sekolah sebagai pencipta iklim kerja karena iklim yang kondusif akan memungkinkan setiap guru lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang disertai usaha untuk meningkatkan kompetensinya. Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut (Sudrajat 2008): 59 (1) para guru akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan, (2) tujuan kegiatan perlu disusun dengan dengan jelas dan diinformasikan kepada para guru sehingga mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut, (3) para guru harus selalu diberitahu tentang hasil dari setiap pekerjaannya, (4) pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan, (5) usahakan untuk memenuhi kebutuhan sosiopsiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan Peran kepala sekolah terakhir adalah sebagai wirausahawan artinya dalam menerapkan prinsipprinsip kewirausaan dihubungkan dengan peningkatan kompetensi guru, maka kepala sekolah seyogyanya dapat menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap kewirauhasaan yang kuat akan berani melakukan perubahan-perubahan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi gurunya. Dalam penelitian ini peneliti berperan sebagai kepala madrasah sehingga dalam setiap kegiatan selalu berkoordinasi dengan kepala madrasah. Peran kepala madrasah dalam implementasi pendidikan life skills di antaranya berperan sebagai edukator (pendidik) yaitu memberikan bimbingan kepada guru untuk membuat rencana pelaksanaan pembelajaran yang terintegrasi pendidikan life skills. Peran yang lain adalah sebagai manajer yang bertanggung jawab atas semua 60 program kegiatan implementasi life skills termasuk melakukan evaluasi setelah program dilaksanakan. Peran selanjutnya adalah sebagai supervisor (penyelia) yaitu melakukan supervisi atau observasi terhadap persiapan maupun pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru disamping itu juga siap membimbing saat guru membutuhkan bimbingan saat persiapan maupun pelaksanaan implementasi life skills. Peran kepala selanjunya dalam penelitian ini adalah peran sebagai wira usaha yaitu ketika menyajikan sebuah program baru hendaknya yang mendatangkan keuntungan atau diminati konsumen. Konsumen yang dimaksud adalah wali murid. Jika dengan program baru ini wali murid keberatan maka program baru ini tidak perlu dilanjutkan namun jika wali murid tidak keberatan dan mendukung maka ini merupakan suatu cara untuk menarik minat konsumen atau orang tua siswa yang belum menyekolahkan anaknya di sekolah yang bersangkutan menjadi tertarik untuk menyekolahkan anaknya di MI Miftakhul Huda Bengkal. 2.6 Tindakan Implementasi Pendidikan Life Skills dalam Pembelajaran Beberapa strategi implementasi yang sudah diuraikan pada sub bab sebelumnya dapat dijadikan dasar dalam implementasi pendidikan life skills yang 61 akan dilaksanakan oleh peneliti. Tindakan dalam penelitian ini antara lain menggunakan 3 tahap strategi implementasi yaitu tahap motivasi, tahap implementasi dan tahap evaluasi. Sedangkan model implementasinya adalah model integratif yaitu menempelkan aspek life skills ke dalam mata pelajaran yang sudah ada tanpa menambah jam pelajaran serta tanpa merubah struktur kurikulum. Kurikulumnya ditempelkan pada kurikulum yang sudah ada. 62