PENDAHULUAN - Al bukhari Subulussalam

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Seiring dengan kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kedokteran khususnya Ilmu Penyakit Dalam. Perlu adanya panduan/ acuan kerja yang bermutu
dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun material menyangkut pelayanan dan
perawatan kepada pasien di rumah sakit pemerintah dan swasta serta fasilitas kesehatan lainnya di
Indonesia, agar tidak terjadi “
kekeliruan”dalam bertindak yang mengakibatkan kerugian tidak
hanya bagi pasien tetapi juga seluruh praktisi kesehatan yang terlibat di dalamnya. Oleh karena
itu dalam melaksanakan pelayanan dan perawatan kepada pasien seorang dokter penyakit dalam
harus selalu menjunjung tinggi sikap humanism, profesionalisme, bertanggung jawab moral,
memegang teguh etika kedokteran, etika social dan etika nasional.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia (PB PAPDI) berusaha menyusun suatu buku panduan Pelayanan dan Perawatan
Kepada Pasien, sehingga tercapai tujuan pelayanan kesehatan yang optimal, professional dan
dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan material.
1.1 PENGERTIAN DAN TUJUAN
Panduan Pelayanan Medik Penyakit Dalam adalah panduan prosedur standar operasional
dalam pelayanan dan perawatan kepada pasien yang harus diketahui dan dijalankan oleh seorang
dokter penyakit dalam untuk melaksanakan kegiatan pelayanan secara optimal, professional dan
dapat dipertanggung jawabkan.
Panduan Pelayanan Medik Penyakit Dalam ditetapkan oleh PB PAPDI dengan tujuan
memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan dan perawatan kepada pasien secara lebih
optimal, berkesinambungan, professional dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan
material.
1.1 RUANG LINGKUP
Ruang lingkup panduan pelayanan medic penyakit dalam mencakup:
· Sepuluh penyakit terbanyak dari setiap divisi penyakit dalam
· Penyakit-penyakit yang dianggap penting walaupun angka kejadian kecil
· Penyakit-penyakit yang memerlukan tindakan emergensi
· Tatalaksana tindakan/prosedur penyakit dalam
1
BAB II
STANDAR PELAYANAN
MEDIK PAPDI
2
2.1
METABOLIK
ENDOKRINOLOGI
3
DIABETES MELITUS
PENGERTIAN
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang diotandai oleh
hiperglikemia akibat defek pada:
1. Kerja Insulin (resistensi insulin) di hati (peningkatan produksi glukosa hepatik) dan di
jaringan perifer (otot dan lemak)
2. Sekresi insulin oleh sel beta pancreas
3. Atau keduanya
Klasifikasi Diabetes Melitus (DM)
I. DM Tipe I (destruksi sel β, umumnya diikuti defisiensi insulin absolut):
· Immune-mediated,
· Idiopatik
II. DM tipe 2 (bervariasi mulai dari predominan resistensi insulin dengan defisiensi insulin
relative sampai predominan defek sekretorik dengan resistensi insulin)
III. Tipe spesifik lain:
· Defek genetic pada fungsi sel β
· Defek genetic pada kerja insulin
· Penyakit eksokrin pancreas
· Endokrinopati
· Diinduksi obat atau zat kimia
· Infeksi
· Bentuk tidak lazim dari immune mediated DM
· Sindrom genetic lain, yang kadang berkaitan dengan DM
IV. DM gestational
DIAGNOSIS
Terdiri dari:
· Diagnosis DM
· Diagnosis Komplikasi DM
· Diagnosis penyakit penyerta
· Pemantauan pengendalian DM
Anamnesis:
· Keluhan khas DM: Poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya.
· Keluhan tidak khas DM; lemah, kesemutan, gatal mata kabur, disfungsi ereksi pada
pria, pruritus vulvae pada wanita.
Faktor risiko DM tipe 2:
· Usia > 45 tahun,
· Berat badan lebih: > 1105 berat badan idaman atau indeks massa tubuh (IMT) > 23
kg/m2
· Hipertensi (TD 140/90mmHg)
· Riwayat DM dalam garis keturunan
· Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau BB lahir bayi > 4.000 gram
· Riwayat DM gestational
· Riwayat toleransi gula terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
· Penderita penyakit jantung koroner, tuberculosis, hipertiroidisme
4
·
Kolesterol HDL 35mg/dL atau trigliserida 250 mg/dL
Pemeriksaan fisik lengkap, termasuk :
· Tinggi badan, berat badan, tekanan darah, lingkar pinggang.
· Tanda neuropati
· Mata( visus, lensa mata dan retina)
· Gigi mulut
· Keadaan kaki (termasuk rabaan nadi kaki), kulit dan kuku
Kriteria diagnostic DM dan gangguan toleransi glukosa:
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plama vena) 200 mg/dL, atau
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126mg/dL, atau
3. Kadar glukosa plasma 200mg/dL pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO
DIAGNOSIS BANDING
Hiperglikemia reaktif, toleransi glukosa terganggu (TGT), Glukosa darah puasa terganggu
(GDPT)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
· Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, laju endap darah
· Glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan
· Urinalisis rutin, proteinuria 24 jam, CCT ukur, kreatinin
· SGPT, Albumin/globulin
· Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida
· A1 C
· Albuminuri mikro
Pemeriksaan penunjang lain:
EKG, foto thoraks, funduskopi
TERAPI
Edukasi meliputi pemahaman tentang:
Penyakit DM, makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM, penyulit DM,
intervensi farmakologis dan non-farmakologis, hipoglikemia, masalah khusus yang dihadapi, cara
mengembangkan system pendukung dan mengajarkan keterampilan, cara mempergunakan
fasilitas perawatan kesehatan.
Perencanaan Makan
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi:
Karbohidrat 60-70%, protein 10-15%, dan lemak 20-25%.
Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari
sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA = Mono Unsaturated Fatty Acid), dan membatasi PUFA
(Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat ± 25gr/hari,
diutamakan serat larut.
Jumlah kalori basal per hari:
5
· Laki-laki: 30 kal/kgBB Idaman
· Wanita: 25 kal/kg BB Idaman
Penyesuaian (terhadap kalori basal/hari):
· Status gizi:
- BB gemuk
-20%
- BB lebih
-10%
- BB kurang
+20%
· Umur > 40 tahun:
-5%
· Stres metabolic (infeksi, operasi, dll) + (10s/d 30%)
· Aktivitas:
- Ringan
+10%
- Sedang
+20%
- Berat
+30%
· Hamil
- Trimester I,II
+300kal
- Trimester III/laktasi
+500kal
Rumus Broca
Berat badan Idaman = (tinggi badan-100)-10%
Pria < 160cm dan wanita < 150cm, tidak dikurangi 10% lagi.
BB Kurang
: < 90 % BB idaman
BB Normal
: 90-110%BB idaman
BB Lebih
: 110-120% BB idaman
Gemuk
: > 120% BB idaman
Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit).
Prinsip : Continous-Rythmical-interval-Progresive-Endurance
Intervensi farmakologis
Obat Hipoglikemia Oral (OHO)
· Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): Sulfonilurea, glinid
· Penambah sensitifitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion
· Penghambat absorbsi glukosa : penghambat glukosidase alfa
6
Insulin
Indikasi:
· Penurunan berat badan yang cepat
· Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
· Ketoasidosis diabetic
· Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
· Hiperglikema dengan asidosis laktat
· Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
· Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
· KEhamilan dengan DM/ diabetes mellitus gestational yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
· Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
· Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan
secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Kalau dengan OHO tunggal sasaran
kadar glukosa darah belum tercapai, perlu kombinasi dua kelompok obat hipoglikemik oral yang
berbeda mekanisme kerjanya.
Pengelolaan DM tipe 2 Gemuk:
Non-farmakologis
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran tidak tercapai:
Penekanan kembali tata laksana non-farmakologis
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran tidak tercapai:
+1 macam OHO
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran tidak tercapai:
Kombinasi 2 macam OHO, antara:
Biguanid/ penghambat glukosidase α/Glitazon
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran tidak tercapai:
Kombinasi 3 macam OHO
Biguanid + penghambat glukosidase α+ Glitazon
Atau
Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran terapi kombinasi 3 OHO tidak tercapai:
Kombinasi 4 macam OHO:
Biguanid + penghambat glukosidase α+ Glitazon+Secretagogue
atau
Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran terapi kombinasi 4 OHO tidak tercapai:
Insulin
Atau
Terapi kombinasi OHO siang hari+insulin malam hari
7
Sasaran terapi kombinasi OHO + Insulin tidak tercapai:
Insulin
Bila sasaran tercapai: Teruskan terapi terakhir
Pengelolaan DM tipe 2 Tidak Gemuk:
Non-farmakologis
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran tidak tercapai:
Non-farmakologis + Secretagogue
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran tidak tercapai:
Kombinasi 2 macam OHO, antara:
Secretagogue+ Biguanid/ penghambat glukosidase α/Glitazon
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran tidak tercapai:
Kombinasi 3 macam OHO
Secretagogue + penghambat glukosidase α+Biguanid/Glitazon
Atau
Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran terapi kombinasi 3 OHO tidak tercapai:
Kombinasi 4 macam OHO:
Secretagogue + penghambat glukosidase α+Biguanid + Glitazon,
atau
Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis):
Sasaran terapi kombinasi 4 OHO tidak tercapai:
Insulin, atau
Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam
Sasaran terapi kombinasi 4 OHO + insulin tidak tercapai:
Insulin
Bila sasaran tercapai: Teruskan terapi terakhir
Penilaian hasil terapi
1. Pemeriksaan glukosa darah
2. Pemeriksaan A1C
3. Pemeriksaan glukosa darah mandiri
4. Pemeriksaan glukosa urin
5. Penentuan Benda Kriteria Keton Pengendalian DM (lihat tabel)
8
Tabel: Kriteria Pengendalian DM
GD puasa (mg/dL)
GD 2 jam PP (mg/dL)
A1C (%)
Kolesterol total (mg/dL)
Kolesterol LDL (mg/dL)
Kolesterol HDL (mg/dL)
Trigliserida (mg/dL)
IMT (Kg/m 2)
Tekanan darah (mmHg)
Baik
Sedang
Buruk
80-109
80-144
< 6,5
< 200
< 100
>45
< 150
18,5-22,9
<130/80
110-125
145-179
6,5-8
200-239
100-129
126
180
>8
240
130
150-199
23-25
130-140
80-90
200
>25
>140/90
Komplikasi
A. Akut:
· Ketoasidosis diabetic
· Hiperosmolar nonketotik
· hipoglikemia
B. Kronik
· Makroangiopati:
- Pembuluh koroner
- Vascular perifer
- Vascular otak
· Mikroangiopati:
- Kapiler retina
- Kapiler renal
· Neuropati
· Gabungan:
- Kardiomiopati: penyakit koroner, kardiomiopati
· Rentan infeksi
· Kaki Diabetik
· Disfungsi ereksi
Prognosis
Dubia
Wewenang
· RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS nonpendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Unit Yang Menangani
· RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Metabolik Endokrinologi
· RS nonpendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Unit Terkait
9
·
·
RS Pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi ginjal hipertensi , Divisi
kardiologi, dan Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Mata dan Gizi.
RS Non pendidikan: bagian Neurologi, Patologi Klinik, Mata dan Gizi
Referensi
1. PERKENI, Konsensus Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.2002
2. PERKENI. Petunjuk Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2.2002
3. The Expert Committee on The Diagnostic and classification of Diabetes Melitus. Report of the Expert
Committee on the diagnostic and Classification of Diabetes Melitus. Diabetes care, jan 2003; 26
9Suppl.I) : s5-20.
4. Suyono S. Type 2 Diabetes Management in Diabetes and its Complications : From Molecular to clinic.
Jakarta, 2-3 Nov 2002. Simposium Current Treatment in Internal Medicine 2000.
Jakarta, 11-12
November 2000: 185-99.
10
TIROTOKSIKOSIS
PENGERTIAN
Tirotoksikosis merupakan suatu keadaan dimana didapatkan kelebihan hormone tiroid
karena ini berhubungan dengan suatu kompleks fisiologis dan biokoimia yang ditemukan bila
suatu jaringan memberikan hormone tiroid berlebihan.
Toksikosis dibagi dalam 2 kategori:
1. Kelainan yang berhubungan dengan hipertiroidisme
2. Kelainan yang tidak berhubungan dengan hipertiroidisme
Hipertiroidisme adalah keadaan tirotoksikosi sebagai akibat dari produksi tiroid, yang
merupakan akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan. Etiologi tersering dari tirotoksikosis ialah
hipertiroidisme karena penyakit graves, struma multinodosa toksik (Plummer), adenoma toksik.
Penyebab lain ialah tiroiditis, penyakit trofoblatik, pemakaian yodium berlebihan, obat hormone
tiroid,dll.
Krisis Tiroid merupakan suatu keadaan klinis hipertiroidisme yang paling berat dan
mengancam jiwa. Umumnya keadaan ini timbul pada pasien dengan dasar penyakit Graves atau
struma multinodular toksik, dan berhubungan dengan factor pencetus : Infeksi, operasi, trauma,
zat kontras beriodium, hipoglikemia, partus, stress emosi, penghentian obat anti-tiroid, terapi I131,
ketoasidosis diabetikum, tromboemboli paru, penyakit serebrovaskular/strok, palpasi tiroid terlalu
kuat.
DIAGNOSIS
Gejala dan tanda tirotoksikosis: hiperaktivitas, palpitasi, berat badan turun, nafsu makan
meningkat, tidak tahan panas, banyak keringat, mudah lelah, sering buang air besar,
oligomenore/amenore dan libido turun, takikardia, fibrilasi arterial, tremor halus, reflex
meningkat, kulit hangat dan basah, rambut rontok, buit.
Gambaran klinis penyakit Graves: struma difus, tirotoksisitas, ofthalmopati/eksoftalmus,
dermopati local, akropati.
Laboratorium: TSHs rendah, T4 dan fT4 tinggi pada T3 toksisitas; T3 atau fT3 meningkat.
Penderita yang dicurigai krisis tiroid
· Anamnesis : Riwayat penyakit hipertiroidisme dengan gejala khas, berat badan turun,
perubahan suasana hati, bingung, diare, amenorea
· Pemeriksaan fisik:
- Gejala dan tanda khas hipertiroidisme, karena penyakit Graves atau penyakit lain
- Sistem saraf pusat terganggu: Delirium, koma
- Demam tinggi sampai 400C
- Takikardia sampai 130-200 x/menit
- Dapat terjadi gagal jantung kongestif, ikterus
11
· Laboratorium: TSHs sangat rendah, T4 / fT, / T3 tinggi, anemia normositik normokrom,
limfositosis relatif, hiperglikemia, enzim transaminase hati meningkat, azotemia prerenal
· EKG: sinus takikardia atau fibrilasi atrial dengan respons ventrikular cepat.
DIAGNOSIS BANDING
• Hipertiroidisme primer: penyakit Graves, struma multinodosa toksik, adenoma toksik,
metastasis karsinoma tiroid fungsional, struma ovarii, mutasi reseptor TSH, obat:
kelebihan iodium (fenomena Jod Basedow)
• Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme: tiroiditis subakut, tiroiditis silent, destruksi tiroid
(karena amiodarone, radiasi, infark adenoma), asupan hormon tiroid berlebihan
(tirotoksikosis/acft'rfa)
• Hipertiroidisme sekunder: adenoma hipofisis yang mensekresi TSH, sindrom resistensi
hormon tiroid, tumor yang mensekresi HCG, tirotoksikosis gestasional
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Laboratorium: TSHs, T4 atau fT4, T3 , atau fT3, TSH RAb, kadar leukosit (bila timbul
infeksi pada awal pemakaian obat antitiroid)
• Sidik Tiroid / thyroid scan: terutama membedakan penyakit Plummer dari penyakit
Graves dengan komponen nodosa
• EKG
• Foto toraks
TERAPI
Tata laksana Penyakit Graves:
ObatAntitiroid
• Propiltiourasil (PTU) dosis awal 300- 600 mg / hari, dosis maksimal 2.000 mg/hari.
• Metimazol dosis awal 20 - 30 mg / hari.
• Indikasi:
- Mendapatkan remisi yang menetap atau memperpanjang remisi pada pasien muda
dengan struma ringan - sedang dan tirotoksikosis
- Untuk mengendalikan tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan atau sesudah
pengobatan yodium radioaktif
- Persiapan tiroidektomi
- Pasien hamil, lanjut usia
- Krisis tiroid
Penyekat adrenergik βpada awal terapi diberikan, sementara menunggu pasien menjadi
eutiroid setelah 6-12 minggu pemberian antitiroid. Propanolol dosis 40-200 mgdalam4dosis.
Pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-6 minggu. Setelah eutiroid, pemantauan
setiap 3-6 bulan sekali: memantau gejala dan tanda klinis, serta lab. FT4/ T4/T3 dan TSHs.Setelah
tercapai eutiroid, obat antitiroid dikurangi dosisnya dan dipertahankan dosis terkecil yang masih
memberikan keadaan eutiroid selama 12-24 bulan. Kemudian pengobatan dihentikan. dan dinilai
apakah terjadi remisi. Dikatakan remisi apabila setelah 1 tahun obat antitiroid dihentikan, pasien
masih dalam keadaan eutiroid, walaupun kemudian hari dapat tetap eutiroid atau terjadi relaps.
12
Tindakanbedah
Indikasi:
•
Pasien usia muda dengan struma besar dan tidak respons dengan antitiroid
•
Wanita hamil trimester kedua yang memerlukan obat dosis tinggi
•
Alergi terhadap obat antitiroid, dan tidak dapat menerima yodium radioaktif
•
Adenoma toksik, struma multinodosa toksik
•
Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul
Radioablasi
Indikasi:
• Pasien berusia > 35 tahun
• Hipertiroidisme yang kambuh setelah dioperasi
• Gagal mencapai remisi setelah pemberian obat antitiroid
• Tidak mampu atau tidak mau terapi obat antitiroid
• Adenoma toksik, struma multinodosa toksik
Tatalaksana Krisis tiroid: (terapi segera mulai bila dicurigai krisis tiroid)
1. Perawatan suportif:
• Kompres dingin, antipiretik (asetaminofen)
• Memperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit: infus Dextrose 5% dan
NaCl 0,9 %
• Mengatasi gagal jantung: 02, diuretik, digitalis
2. Antagonis aktivitas hormon tiroid:
• Blokade produksi hormon tiroid: PTU dosis 300 mg tiap 4-6 jam PO. Alternatif:
Metimazol 20-30 mg tiap 4 jam PO.
• Pada keadaan sangat berat: dapat diberikan melalui pipa nasogastrik (NGT) PTU 600 1.000 mg atau metimazol 60-100 mg.
• Blokade ekskresi hormon tiroid:Solutio Lugol {saturated solution of potas sium
iodida) 8 tetes tiap 6 jam
• Penyekat (3: Propanolol 60 mg tiap 6 jam PO, dosis disesuaikan respons (target:
frekuensi jantung < 90 x/m).
• Glukokortikoid: Hidrokortison 100-500 mg IV tiap 12jam.
• Bila refrakter terhadap terapi di atas: plasmaferesis, dialisis peritoneal.
3. Pengobatan terhadap faktor presipitasi: antibiotik, dll.
KOMPLIKASI
• Penyakit Graves: penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati Graves, dermopati Graves,
infeksi karena agranulositosis pada pengobatan dengan obat antitiroid.
• Krisis tiroid: mortalitas
PROGNOSIS
•
Dubia adbonam.
•
Mortalitas krisis tiroid dengan pengobatan adekuat = 10-15 %.
13
WEWENANG
•
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalamdan PPDS Penyakit Dalam
•
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
SUNITYANG MENANGANI
•
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik Endokrinologi
•
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi ginjal-hipertensi, divisi
kardiologi, dan Departemen Neurologi, Radiologi/Kedokteran nuklir, Patologi Klinik,
Bedah/tumor.
• RS non pendidikan : Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Radiologi, dan Bedah.
REFERENSI
1. Sumual A , Pandelaki K. Hipertiroidisme. In: W aspadji S, et al, eds. Baku A jar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.p. 766-72.
2. Jameson JL, W eetman A P. Disorders of the Thyroid Gland. In Braunwald E, Fauci A S, Kasper DL,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine. 15"' ed. New Y ork:
McGraw-HM;2001.p. 2060-84.
3. Suyono S, Subekti I. Krisis Tiroid. Dalam Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di
Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16 A pril 2000:78-82.
4. Suyono S, Subekti 1. Patogenesis dan Gambaran Klinis Penyakit Graves. Makalah Jakarta
Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003.
5. W aspadji S. Pengelolaan medis Penyakit Graves. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003.
Jakarta, 18 Oktober 2003.
14
KETO-ASIDOSIS DIABETIKUM
PENGERTIAN
Ketoasidosis diabetikum adalah kondisi dekompensasi metabolik akibat defisiensi insulin
absolut atau relatif dan merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang serius. Gambaran klinis
utama ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah hiperglikemia, ketosis, dan asidosis metabolik,
faktor pencetus: infeksi, infark miokard akut, pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid,
penghentian atau pengurangan dosis insulin.
DIAGNOSIS
Klinis:
•
Keluhan poliuri, polidipsi
•
Riwayat berhenti menyuntik insulin
•
Demam / infeksi
•
Muntah
•
Nyeri perut
•
Kesadaran : kompos mentis, delirium, koma
•
Pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul)
•
Dehidrasi (turgor kulit menurun, lidah dan bibir kering)
•
Dapat disertai syok hipovolemik
Kriteria diagnosis:
Kadar glukosa
: >250mg/dL
pH
: <7,35
HCO3
: rendah
Anion gap
: tinggi
Keton serum
: positif dan atau ketonuria
DIAGNOSIS BANDING
Ketosis diabetik, hiperglikemi hiperosmolar non ketotik / hyperglycemic hyperosmolar
state, ensefalopati uremikum, asidosis uremikum, minum alkohol, ketosis alkoholik, ketosis
hipoglikemia, ketosis starvasi, asidosis laktat, asidosis hiperkloremik, kelebihan salisilat, druginduced acidosis, ensefalopati karena infeksi, trauma kapitis.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan cito: gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin, aseton darah. urin rutin, analisis
gas darah, EKG
Pemantauan:
• Gula darah: tiapjam,
• Na +, K+, CI": tiap 6 jam selama 24 jam, selanjutnya sesuai keadaan.
• Analisis gas darah : bila pH < 7 saat masuk —> diperiksa setiap 6 jam s.d. pH > 7,1.
Selanjutnya setiap hari sampai stabil.
Pemeriksaan lain (sesuai indikasi): kultur darah, kultur urin, kultur pus
15
TERAPI
Akses intra vena (iv) 2 jalur, salah satunya dicabang dengan 3 way:
II.
Cairan:
• NaCl 0,9 % diberikan ± 1-2 L pada 1 jam pertama, lalu ± 1L pada jam kedua, lalu ± 0,5 L
pada jam ketiga dan keempat, dan ± 0,25 L pada jam kelima dan keenam, selanjutnya
sesuai kebutuhan.
• Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5 L.
• Jika Na+ > 155 mEq/L -4 ganti cairan dengan NaCl 0,45 %.
• Jika GD < 200 mg/dL —> ganti cairan dengan Dextrose 5 %.
III.
•
•
•
•
Insulin {regular insulin = RI):
Diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan
RI bolus 180 mU/kgBB IV, dilanjutkan:
• RI drip 90 mU/kgBB/jam dalam NaCl 0,9 %
Jika GD < 200 mg/dL: kecepatan dikurangi —» RI drip 45 mU/kgBB/jam dalam NaCl
0,9%
• Jika GD stabil 200 - 300 mg/dL selama 12 jam -» RI drip 1-2 U/jam IV, disertai sliding
scale setiap 6 jam:
GD
(mg/dL)
<200
200-250
250-300
300-350
>350
RI
(Unit, subkutan)
0
5
10
15
20
• Jika kadar GD ada yang < 100 mg/dL: drip RI dihentikan
• Setelah sliding scale tiap 6 jam, dapat diperhitungkan kebutuhan insulin
dibagi 3 dosis sehari subkutan, sebelum makan (bila pasien sudah makan).
sehari
IV.
Kalium
• Kalium (K CI) drip dimulai bersamaan dengan drip RI, dengan dosis 50 mEq / 6 jam.
Syarat: tidak ada gagal ginjal, tidak ditemukan gelombang T yang lancip dan tinggi pada
EKG dan jumlah urine cukup adekuat.
• Bila kadar K+ pada pemeriksaan elektrolit kedua :
<3,5
—> dripKCl 75mEq/6jam
3,0-4,5
—> dripKCl 50mEq/6jam
4,5 - 6,0
—> drip KCJ 25 mEq/6jam
>6,0 —>
drip dihentikan
• Bila sudah sadar, diberikan K+oral selama seminggu.
16
V.
Drip
Natrium bikarbonat
100 mEq bila pH <7,0,
disertai KC126 mEq drip.
50 mEq bila pH 7,0 - 7,1, disertai KC113 mEq drip.
Juga diberikan pada asidosis laktat dan hiperkalemi yang mengancam.
VI.
•
•
•
•
•
•
•
•
TatalaksanaUmum:
OksigenbilaPO,<80mmIIg
Antibiotika adekuat
Heparin: bila ada KID satau hyperosmolar (> 380 mOsm/L) Terapi disesuaikan dengan
pemantauan klinis:
Tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, temperatur setiap jam,
Kesadaran setiap jam,
Keadaan hidrasi (turgor, lidah) setiap jam,
Produksi urin setiap jam, balans cairan
Cairan infus yang masuk setiap jam,
Dan pemantauan laboratorik (lihat pemeriksaan penunjang).
KOMPLIKASI
Syok hipovolemik, edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut, hipoglikemia,
hipokalemia, hiperkloremia, edema otak, hipokalsemia
PROGNOSIS
Dubia ad malam, tergantung pada usia, komorbid, adanya infark miokard akut, sepsis, syok.
WEWENANG
• RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan
konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
•
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik Endokrinologi
•
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
•
RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik
•
RS non pendidikan: Bagian Patologi Klinik
REFERENSI
1. PERKENl. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2. 2002.
2. W aspadji S. Kegawatanpada Diabetes Melitus. In: Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan
di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, J5-16 A pril 2000:83-8.
3. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In:Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang
limit Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16 A pril 2000:89-96.
4. Kitabchi A E, Umpierrez GE, Murphy MB, Barrett EJ, Kreisberg RA , Malone JI, et al. Management of
Hyperglycemic Crises in Patients W ith Diabetes. Diabetes Care, Jan 2001;24(1): 131-51.
17
HIPOGLIKEMIA
PENGERTIAN
Hipoglikemiaadalahkeadaandimanakadarglukosadarah <60 mg/dL, ataukadar glukosa
darah < 80 mg/dL dengan gejala klinis.Hipoglikemia pada DM terjadi karena:
• Kelebihan obat / dosis obat: terutama insulin, atau obat hipoglikemik oral
• Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun: gagal ginjal kronik, pasca persalinan
• Asupan makan tidak adekuat: jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat
• Kegiatanjasmaniberlebihan.
DIAGNOSIS
Gejala dan tanda klinis :
• Stadium parasimpatik : lapar, mual, tekanan darah turun
• Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung sementara
• Stadium simpatik: keringat dingin pada muka, bibir atau tangan gemetar
• Stadium gangguan otak berat: tidak sadar, dengan atau tanpa kejang
Anamnesis:
• Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral: dosis terakhir, waktu pemakaian
terakhir, perubahan dosis.
• Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi
• Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya
• Lama menderita DM, komplikasi DM
• Penyakit penyerta: ginjal, hati, dll
• Penggunaan obat sistemik lainnya: penghambat adrenergik (3, dll.
Pemeriksaan fisik: pucat, diaphoresis, tekanan darah, frekuensi denyut jantung, penurunan
kesadaran, defisit neurologik fokal transien
Trias Whipple untuk hipoglikemia secara umum:
1. Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia
2. Kadar glukosa plasma rendah
3. Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat
DIAGNOSIS BANDING
Hipoliglikemia karena
• Obat:
- (sering): insulin, sulfonilurea, alkohol,
- (kadang): kinin, pentamidine
- (jarang): salisilat, sulfonamide
• Hiperinsulinisme endogen: insulinoma, kelainan sel (3 jenis lain, sekretagogue
(sulfonilurea), autoimun, sekresi insulin ektopik
• Penyakit kritis: gagal hati, gagal ginjal, gagal jantung, sepsis, starvasi dan inanisi
• Defisiensi endokrin: kortisol, growth hormone, glukagon, epinefrin
• Tumor non-sel (3: sarkoma, tumor adrenokortikal, hepatoma, leukemia, limfoma,
melanoma
• Pasca-prandial: reaktif (setelah operasi gaster), diinduksi alkohol
18
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kadar glukosa darah (GD), tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, C-peptide
TERAPI
Stadium permulaan (sadar)
• Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni (bukan
pemanis pengganti gula atau gula diet/gula diabetes) dan makanan yang mengandung
karbohidrat
• Hentikan obat hipoglikemik sementara,
• Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
• Pertahankan GD sekitar 200 mg/dL (bila sebelumnya tidak sadar)
• Cari penyebab
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia):
1. Diberikan larutan Dekstrosa 40 % sebanyak 2 flakon (= 50 mL) bolus intra vena,
2. Diberikan cairan Dekstrosa 10 % per infus, 6 jam per kolf,
3. Periksa GD sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan glukometer:
• Bila GDs < 50 mg/dL —> + bolus Dekstrosa 40% 50 mL IV
• Bila GDs < 100 mg/dL —>+ bolus Dekstrosa 40 % 25 mL IV
4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40 % :
• Bila GDs < 50 mg/dL -H> + bolus Dekstrosa 40 % 50 mL IV
• Bila GDs < 100 mg/dL -4 + bolus Dekstrosa 40 % 25 mL IV
• Bila GDs 100 -200 mg/dL —> tanpa bolus Dekstrosa 40 %
• Bila GDs > 200 mg/dL —> pertimbangkan menurunkan kecepatan drip Dekstrosa 10%
5. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2 jam,
dengan protokol sesuai di atas. Bila GDs > 200 mg/dL —> pertimbangkan mengganti
infus dengan Dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 %.
6. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 4 jam,
dengan protokol sesuai di atas. Bila GDs > 200 mg/dL —> pertimbangkan mengganti
infus dengan Dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 %.
7. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding scale setiap 6 jam:
GD
(mg/dL)
<200
200-250
250-300
300-350
>350
RI
(Unit, subkutan)
0
5
10
15
20
8. Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin, seperti:
adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glukagon 0,5-1 mg IV / IM (bila penyebabnya
insulin)
9. Bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200 mg/dL: Hidrokortison 100 mg per 4 jam selama
12 jam atau Deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan Manitol 1,5 2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam. Cari penyebab lain penurunan kesadaran menurun
19
KOMPLIKASI
Kerusakan otak, koma, kematian
PROGNOSIS
Dubia.
WEWENANG
• RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan
konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik Endokrinologi
• RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik, Medical High Care IICU
• RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, ICU
REFERENSI:
1. PERKENI. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Pipe 2002. W aspadji S.
2. Kegawatan pada Diabetes Melitus. Dalam Prosiding Simposium Penatalaksanaan 1
Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16 April 2000:83-8.
3. CryerPE. Hypoglycemia. InBraunwaldE, FauciAS, KasperDL, MauserSL, LongoDL,
Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine. 15"' ed. New Y ork: McGraw-Hill;
2001.p. 2138-43.
20
DISLIPIDEMIA
PENGERTIAN
Dislipidemia merupakan kelainan metabolisme lipid yang ditandai oleh kelainan
(peningkatan atau penurunan) fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah
kenaikan kadar kolesterol total, kenaikan kadar trigliserid serta penurunan kadar kolesterol HDL.
Dalam proses terjadinya aterosklerosis ketiganya mempunyai peran penting danberkaitan,
sehingga dikenal sebagai triad lipid. Secara klinis dislipidemia diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
Hiperkolesterolemia.
hipertrigliseridemia,
dan
campuran
hiperkolesterolemia
dan
hipertrigliseridemia
DIAGNOSIS
Klasifikasi kadar kolesterol:
Kolesterol LDL:
< 100 mg/dL
100-129 mg/dL
130- 159mg/dL
160- 189mg/dL
190mg/dL
Optimal
Hampir optimal
Borderline tinggi
Tinggi
Sangat tinggi
Kolesterol total:
<200mg/dL
200-239mg/dL
240mg/dL
Idaman
Borderline tinggi
Tinggi
Kolesterol HDL
< 40 mg/dL
60 mg/dL
Rendah
Tingi
Untuk mengevaluasi risiko penyakit jantung koroner (PJK), perlu diperhatikan faktorfaktor risiko lainnya:
• Faktor risiko positif:
- Merokok
- Umur (pria 45 tahun, wanita 55 tahun)
- Kolesterol HDL rendah
- Hipertensi (TD 140/90 atau dalam terapi antihipertensi)
- Riwayat penyakit jantung koroner dini dalam keluarga (first degree: pria < 55 tahun,
wanita < 65 tahun)
• Faktor risiko negatif:
· Kolesterol HDL tinggi: mengurangi 1 faktor risiko dari perhitungan total.
ATP III menggunakan Framingham Risk Score (FRS) untuk menghitung besarnya risiko
penyakit jantung koroner (PJK) pada pasien dengan
2 faktor risiko, meliputi: umur, kadar
kolesterol total, kolesterol HDL, kebiasaan merokok, dan hipertensi. Penjumlahan skor pada FRS
akan menghasilkan angka persentase risiko PJK dalam 10 tahun.
Ekivalen risiko PJK mengandung risiko kejadian koroner mayor yang sebanding dengan
kejadian PJK. yakni > 20 % dalam 10 tahun, terdiri dari:
• Bentuk klinis lain dari aterosklerosis: penyakit arteri perifer, aneurisma aorta abdominalis,
penyakit arteri karotis yang simptomatis,
• Diabetes
• Faktor risiko multipel yang mempunyai risiko PJK dalam 10 tahun > 20 %.
21
Peningkatan kadar trigliserida juga merupakan faktor risiko independen untuk erjadinya
PJK. Faktor yang mempengaruhi tingginya trigliserida:
• Obesitas, berat badan lebih
• Inakti vitas fisik
• Merokok
• Asupan alkohol berlebih
• Diet tinggi karbohidrat (> 60 % asupan energi),
• Penyakit DM tipe 2, gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik
• Obat: kortikosteroid, estrogen, retinoid, penghambat adrenergik-beta dosis tinggi
• Kelainan genetik (riwayat keluarga)
Kiasifikasi derajat hipertrigliseridemia
Normal
: <150mg/dL
Borderline-tinggi
: 150-199mg/dL
Tinggi
: 200-499mg/dL
Sangat tinggi
:
500mg/dL
DIAGNOSIS BANDING
· Hiperkolesterolemia sekunder. Karena hipotiroidisme, penyakit hati obstruksi, sindrom
nefrotik, anoreksia nervosa, porfiria intermiten akut, obat (progestin, siklosporin, thiazide)
· Hipertrigliseridemia sekunder. karena obesitas, DM, penyakit ginjal kronik, lipodistrofi,
glycogen storage disease, alkohol, bedah bypass ileal, stres, sepsis, kehamilan, obat (estrogen,
isotretinoin, penghambat beta, glukokortikoid, resin pengikat bile-acid, thiazide), hepatitis
akut, lupus eritematosus sistemik, gammopati monoklonal: myeloma multipel, limfoma AIDS:
inhibitor protease
· HDL rendah sekunder. karena malnutrisi, obesitas, merokok, penghambat beta-steroid
anabolik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Skrining dianjurkan pada semua pasien berusia 20 tahun, setiap 5 tahun sekali: Kadar
kolesterol total, LDL, HDL, trigliserida, glukosa darah, tes fungsi hati, urin ;ngkap, tes fungsi
ginjal, TSH, EKG
TERAPI
Untuk Hiperkolesterolemia:
Penatalaksanaan Non-farmakologis (Perubahan Gaya I lidup):
• Diet, dengankomposisi:
- Lemakjenuh
< 7 % kalori total
- PUFA
hingga 10% kalori total
- MUFA
hingga 10% kalori total
- Lemak total
25 - 35 % kalori total
- Karbohidrat
50-60% kalori total
- Protein hingga
15 % kalori total
- Serat
20-30 g/hari
- Kolesterol
<200 mg/hari
22
•
Latihan jasmani
• Penurunan berat badan bagi yang gemuk
• Menghentikan kebiasaan merokok, minuman alkohol
Pemantauan profit lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target sudah tercapai (lihat tabel
target di bawah ini), pemantauan setiap 4-6 bulan.
• Bila setelah 6 minggu PGH, target belum tercapai: intensifkan penurunan lemak jenuh dan
kolesterol, tambahkan stanol/steroid nabati, tingkatkan konsumsi serat. dan kerjasama dengan
dietisien.
• Bila setelah 6 minggu berikutnya terapi non-farmakologis tidak berhasil menurunkan kadar
kolesterol LDL, maka terapi farmakologis mulai diberikan. dengan tetap meneruskan
pengaturan makan dan latihan jasmani.
Terapi Farmakologis:
• Golongan statin:
- Simvastatin
5-40 mg
- Lovastatin
10 - 80 mg
- Pravastatin
10-40 mg
- Fluvastatin
20-80 mg
- Atorvastatin 10-80 mg
• Golongan bile acid sequestrant:
- Kolestiramin
4-16 g
• Golongan nicotinic acid:
- Nicotinic acid (immediate release) 2 x 100 mg s.d. 1,5 - 3 g
Targer Kolesterol LDL (mg/dl) :
Kategori Risiko
Target LDL
Kadar LEfL
jrntukjmrlajTGH
>100
(100-129: opsional)
Kadar LDL untuk mulai
terapi farmakologis
130
PJK atau
Ekivalen PJK
(FRS>20%)
Faktor risiko 2
(FRS 20%)
Faktor risiko 0-1
<100
< 130
>130
<160
>160
>130 (FRS 10-20 %
(160-189: opsional)
>190
(160-189: opsional)
Terapi hiperkolesterolemia untuk pencegahan primer, dimulai dengan statin atau bile acid
sequestrant atau nicotinic acid.
Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target sudah tercapai (lihat tabel
target di atas), pemantauan setiap 4-6 bulan. Bila setelah 6 minggu terapi. target belum tercapai:
intensifkan/ naikkan dosis statin atau kombinasi dengan yang lain. Bila setelah 6 minggu
berikutnya terapi non-farmakologis tidak berhasil menurunkan kadar kolesterol LDL, maka terapi
farmakologis diintensifkan.
Pasien dengan PJK, kejadian koroner mayor atau dirawat untuk prosedur koroner, diberi
terapi obat saat pulang dari RS jika kolesterol LDL > 100 mg/dL.
23
Pasien dengan hipertrigliseridemia:
• Penatalaksanaan non farmakologis sesuai di atas.
• Penatalaksanaaan farmakologis: Target terapi:
- Pasien dengan trigliserida borderline tinggi atau tinggi: tujuan utama terapi adalah
mencapai target kolesterol LDL.
- Pasien dengan trigliserida tinggi: target sekunder adalah kadar kolesterol non-HDL,
yakni sebesar 30 mg/dL lebih tinggi dari target kadar kolesterol LDL (lihat tabel di
atas).
- Pendekatan terapi obat:
1. Obat penurun kadar kolesterol LDL, atau
2. Ditambahkan obat fibrat atau nicotinic acid. Golongan fibrat terdiri dari:
• Gemfibrozil 2 x 600 mg atau 1 x 900 mg
• Fenofibrat 1 x 200 mg
Penyebab primer dari dislipidemia sekunder, juga harus ditatalaksana.
KOMPLIKASI
Aterosklerosis, penyakit jantung koroner, strok, pankreatitis akut
PROGNOSIS
Dubia ad Bonam
WEWENANG
• RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan peserta PPDS Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik Endokrinologi
/Divisi Kardiologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Divisi Kardiologi, Departemen Patologi Klinik, Gizi
· RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Gizi
REFERENSI
1.
2.
3.
4.
5.
PERK EN I. K onsensus Pengelolaan Dislipidemia pada Diabetes Melitus di Indonesia. 1995.
Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in A dults. Executive Summary
of the Third Report of the N ational Cholesterol Education Program SCEPt Expert Panel on Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol p. A dults: A dult Treatment Panel III). JA MA , May 16,
2001;285(19):2486-97.
Semiardji G N ational Cholesterol Education Program - A dult Treatment Panel III (N CEP-A TP III): A dakah hal
yang baru? Makalah Siang K linik Bagian Metabolik Endokrinologi Bagian llmu Penyakit Dalam, 2002.
Ginsberg HN , Goldberg IJ. Disorders of Lipoprotein Metabolism. In Braunw ald E, Fauci A S, K asper DL,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine. 15"' ed. N ew Y ork: McGraw Hill; 2001.p. 2245-57.
Suyono S. Terapi Dislipidemia, Bagaimana Memilihnya dan Sampai K apan? Prosiding Simposium Current
Treatment in Internal Medicine 2000. Jakarta,ll-I2 N ovember 2000:185-99.
24
STRUMA NODOSA NON TOKSIK
PENGERTIAN
Struma nodosa non toksik merupakan pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai
suatu nodul, tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme.Berdasarkan jumlah nodul, dibagi:
· Struma mononodosa non toksik
· Struma multinodosa non toksik
Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif, nodul dibedakan menjadi: nodul
dingin, nodul hangat, nodul panas
Sedangkan berdasarkan konsistensinya, nodul dibedakan menjadi: nodul lunak, odul
kistik, nodul keras, nodul sangat keras
DIAGNOSIS
Anamnesis:
Sejak kapan benjolan timbul
· Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap
· Cara membesarnya: cepat, atau lambat
· Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan atau hanya
pembesaran leher saja
· Riwayat keluarga
· Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda
· Perubahan suara
· Gangguan menelan, sesak napas
· Penurunan berat badan
· Keluhan tirotoksikosis
Pemeriksaan fisik:
· Umum
· Lokal:
• Nodul tunggal atau majemuk, atau difus
• Nyeri tekan
• Konsistensi
• Permukaan
• Perlekatan pada jaringan sekitarnya
• Pendesakan atau pendorongan trakea Pembesaran kelenjar getah bening regional
Pemberton 's sign
Penilaian risiko keganasan:
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnostik penyakit tiroid r.ik. tetapi
tak sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid:
· Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau difusa jinak
·
·
·
Riwayat keluarga dengan tiroditis Hashimoto atau penyakit tiroid autoimun.
Gejala hipo atau hipertirodisme.
Nyeri berhubungan dengan nodul.
25
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
Nodul lunak, mudah digerakkan.
Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan kea rah keganasan tiroid :
Umur <20 tahun atau > 70 tahun
Gender laki-laki
Nodul disertai disfagi, serak, atau obstruksi jalan napas
Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu-bulan)
Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa (juga meningkatkan insiden penyakit
nodul tiroid jinak)
Riwayat keluarga kanker tiroid meduler
Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, irregular dan sulit digerakkan
Paralisis pita suara
Temuan limfadenopati servikal
Metastasis jauh (paru-paru,dll)
Langkah diagnostic I: TSHs, FT4
Hasil: Non-toksik
Langkah diagnostik II: BAJAH nodul tiroid
Hasil: A. Ganas
B. Curiga
C. Jinak
D. Tak cukup/sediaan tak representative (dilanjutkan di kolom Terapi)
DIAGNOSIS BANDING
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
Struma nodosa yang terjadi pada peningkatan kebutuhan terhadap tiroksin saat masa
pertumbuhan,pubertas,laktasi,menstruasi,kehamilan,menopause,infeksi, stes lain.
Tiroiditis akut
Tiroiditis subakut
Tiroiditis kronis: limfositik (Hashimoto), fibrous-invasif (Riedel)
Simple goiter
Struma endemic
Kista tiroid, kista degenerasi
Adenoma
Karsinoma tioid primer, metastatic
Limfoma
PEMERIKSAAN PENUNJANG
·
·
·
·
·
·
Laboratorium:T4 atay Ft4, T3M dab TSHs
Biosi aspirasi jarum halus (BAJAH) nodul tiroid:
- Bila hasil laboratorium: non-toksik
- Bila hasil lab. (awal) toksik, tetapi hasil scan : cold nedule.
Syarat: sudah menjadi eutiroid,
USG tiroid:
- Pemantau kasus nodul yang tidak dioperasi
- Pemandu pada BAJAH
Sidik tiroid:
- Bila klinis: ganas, tetapi hasil sitologi dengan BAJAH (2 kali): jinak,
- Hasil sitologi dengan BAJAH: curiga ganas
Petanda keganasan tiroid (bila ada riwayat keluarga dengan karsinoma tiroid medular, diperiksakan
kalsitonin)
Pemeriksaan antitiroglobulin bila TSHs meningkat, curiga penyakit Hashimoto.
26
TERAPI
Sesuai hasil BAJAH, maka terapi:
A. Ganas
Operasi Tirodektomi near-total
B. Curiga
Operasi dengan lebih dahulu melakukan potong beku (VC):
Bila hasil = ganas
Operasi Tiroidektomi near-total.
Bila hasil = jinak
Operasi Lobektomi, atau Tiroidektomi near-total.
Alternative:Sidik tiroid. Bila hasil=cold nedule Operasi
C. Tak cukup/sediaan tak representative
· Jika nodul Solid (saat BAJAH): ulang BAJAH.
Bila klinis curiga ganas tinggi
Operasi Lobektomi
Bila klinis curiga ganas rendah
Observasi
· Jika nodul Kistik (saat BAJAH):aspirasi.
Bila kista regresi
Observasi
Bila kista rekurens,klinis curiga ganas rendah
Observasi
Bila kista rekurens,klinis curiga ganas tinggi
Operasi Lobektomi
D. Jinak
Terapi dengan Levo-tiroksi (LT4) dosis subtoksis.
· Dosis ditirasi mulai 2x25 ug (3 hari),
· Dilanjutkan 3x25 ug (3-4 hari),
· Bila tidak ada efek samping atau tanda toksis: dosis-menjadi 2x100 ug sampai 4-6 minggu,
kemudian evaluasi TSH (targe 0,1 –0,3 ulU/L)
· Supresi TSH dipertahankan selama 6 bulan
· Evaluasi TSH dipertahankan selama 6 bulan
· Evaluasi dengan USG: apakah nodul berhasil mengecil atau tidak (berhasi bila
mengeci>50% dari volume awal)
- Bila nodul mengecil atau tetap
L-tiroksin dihentikan dan diobservasi:
§ Bila setelah itu struma membesar lagi, maka L-tiroksin dimulai lagi (target TSH
0,1-0,3 ulU/L).
§ Bila setelah l-tiroksin dihentikan, struma tidak berubah, diobservasi saja.
- Bila nodul membesar dalam 6 bulan atau saat terapi supresi
obat dihentikan dan operasi
Tiroidektomi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi
hasil PA:
§ Jinak:terapi dengan L-tiroksi:target TSH 0,5-3,0 ulU/L
§ Ganas terapi dengan L-tiroksin
§ Individu dengan risiko ganas tinggi:targe TSH<0,02-0,05 ulU/L
§ Individu dengan risiko ganas rendah:target TSH 0,05-0,1 ul/U/L
KOMPLIKASI
Umumnya tidak ada, kecuali ada infeksi seperti pada tiroiditis akut/subakut.
PROGNOSIS
Tergantung jenis nodul, tipe histopatologis.
WEWENANG
· RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Metabolik Endokrinologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
27
·
·
RS pendidikan: Departemen Patologi Klinik, Radiologi / Radiodiagnostik/ Kedokteran nuklir, Bedah
Tumor, Patologi Anatomik
RS non pendidikan : Bagian Radiologi,Bedah,Patologi Klinik,Patologi Anatomik
REFERENSI
1. Kariadi SHKS. Struma Nodosa Non-Toksik. In:W aspadji S, et al, eds. Buku A jar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;.p. 757-65.
2. Suyono S. Pendekatan Pasien dengan struma. Dalam Markum HMS, Sudoyo HA W, Effendy S, Setiati
S, Gani RA , A lwi I, eds. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 1997.
Jakrta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam; 1997.p.207-13
3. Subekti 1. Struma Nodosa Non-Toksi (SNNT). In Simadibrata M, Setiati S, A lwi 1, Maryantoro, Gani
RA , Mansjoer A ,eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakrta:Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;1999.187-9
4. Soebardi S. Pemeriksaan Diagnostik Nodul Tiroid. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003.
Jakarta, 18 Oktober 2003.
5. Jameson JL, W eetman A P. Disorders of the Thyroid Gland. In Braunwald E. Fauci A S. Kasper DL,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Harrison’
s Principles of Internal Medicine. 15th ed. New Y ork:
McGraw-Hill;2001.p.2060-86.
28
KISTA TIROID
PENGERTIAN
Kista tiroid adalah nodul kistik pada jaringan tiroid, merupakan 10-25% dari seluruh nodul
tiroid.Insidens keganasan pada nodul kistik kurang dibandingkan nodul solid. Pada nodul kistik kompleks
masih mungkin merupakan suatu keganasan. Sebagian nodul kistik mempunyai bagian yang solid.
DIAGNOSIS
Anamnesis
· Sejak kapan benjolan timbul
· Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap
· Cara membesarnya:cepat,atau lambat
· Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan atau hanya pembesaran
leher saja
· Riwayat keluarga
· Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda
· Perubahan suara
· Gangguan meelan
· Sesak napas
· Penurunan berat bada
· Keluhan tirotoksikosis
Pemeriksaan fisik:
· Umum
· Lokal:
- Nodus tunggal atau majemuk, atau difus
- Nyeri tekan
- Konsistensi:kistik
- Permukaan
- Perlekatan pada jaringan sekitarnya
- Pendesakan atau pendorongan trakea
- Pembesaran kelenjar getah bening regional
- Pemberton’
s sign
Penilaian risiko keganasan:
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnostic penyakit tiroid jinak, tetapi tak
sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid:
· Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau difusa jinak
· Riwayat keluarga dengan tiroiditis Hashimoto atau penyakit tiroid autoimun.
· Gejala hipotiroidisme atau hipertiroidisme.
· Nyeri berhubungan dengan nodul.
· Nodul lunak, mudah digerakkan.
· Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama.
·
·
·
·
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan kearah keganasan tiroid:
Umur < 20 tahun atau > 70 tahun
Gender laki-laki
Nodul disertai disfagia,serak,atau obstruksi jalan napas
Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu-bulan)
29
·
·
·
·
·
Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa (juga meningkatakan insidens
penyakit nodul tiroid jinak)
Riwayat keluarga kanker tiroid medular
Nodul yang tunggal,berbatas tegas,keras,irregular dan sulit digerakkan paralisis pita suara,
Temuan limfadenopati servikal
Metastasis jauh (paru-paru, dll)
Langkah diagnostik awal: TSHs, FT4
Bila hasil : Non toksik
Langkah diagnostik II:
Fungsi aspirasi kista dan BAJAH bagian solid dari kista tiroid
DIAGNOSIS BANDING
Kista tiroid, kista degenerasi, karsinoma tiroid
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· USG tiroid:
- Dapat membedakan bagian padat dan cair,
- Dapat untuk memandu BAJAH: menemukan bagian solid.
- Gambaran USG kista = kurang lebih bulat, seluruhnya hipoekoik sonolusen, dinding tipis.
· Sitologi cairan kista dengan prosedur sitospin.
· Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH): pada bagian yang solid.
TERAPI
Fungsi aspirasi seluruh cairan kista:
· Bila kista regresi
observasi
· Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas rendah
· Bila kista rekurens, klinis keecurigaan ganas tinggi
fungksi aspirasi dan observasi
operasi lobektomi
KOMPLIKASI
Tidak ada.
PROGNOSIS
Dubia ad bonam, tergantung tipe dan jenis histopatologinya.
WEWENANG
· RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Metabolik Endokrinologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik, Patologi Anatomi, Bedah tumor
· RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Patologi Anatomi, Bedah
30
REFERENSI
1. Kariadi SH KS. Struma Nodosa Non-Toksik. Dalam W aspadji S, et al, eds. Buku A jar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;.p.757-65.
2. Suyono S. Pendekatan Pasien dengan struma. Dalam Markum HMS, Sudoyo HA W, Effendy S, Setiati
S. Gani RA , A lwi Leditors. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 1997.
Jakarta:Departemen Ilmu Penyakit Dalam:1997.p.207-13.
3. Subekti I. Struma Nodosa Non-Toksik (SNNT). In Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani
RA , Mansjoer A ,editors. Pedoma Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakrta:Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI:1999.p. 187-9
4. Soebardi S. Pemeriksaan Diagnostik Nodul Tiroid. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003.
Jakarta, 18 Oktober 2003.
31
2.2
KARDIOLOGI
32
BRADIARITMIA
PENGERTIAN
Bradiaritmia adalah perlambatan denyut jantung di bawah 50 kali/menit yang dapat disebabkan
oleh disfungksi sinus node, hipersensitivitas/kelainan system persarafan dengan dan atau adanya gangguan
konduksi atriovetrikular. Dua keadaan yang sering ditemukan:
1. Gangguan pada sinus node (sick sinus syndrome)
2. Gangguan kondusksi atrioventrikular/blok AV (AV block):blok AV derajat satu, blok AV derajat dua,
blok AV total.
DIAGNOSIS
Gangguan pada sius node (sick sinus syndrome)
Keluhan:
· Penurunan curah jantung yang bermanifestasi dalam bentuk letih, pening, limbung, pingsan
· Kongesti pulmonal dalam bentuk sesak napas
· Bila disertai takikardia disebut braditakiaritmia:terdapat palpitasi, kadang-kadang disertai angina
pectoris atau sinkop (pingsan)
· Dapat pula menyebabkan kelainan/perubahan kepribadian, lupa ingatan, da emboli sistemik.
EKG:
· EKG monitoring baik selama dirawat inap di RS maupun dalam perawatan jalan (ambulatory/holter
ECG monitoring), dapat menemukan kelainan EKG berupa braidikardia sinus persisten.
Blok AV
· Blok AV Derajat Satu
Irama teratur dengan perpanjangan interval PR melebih 0,2 detik
·
-
-
Blok AV Derajat dua
Mobitz tipe I (Wenckebach), Gelombang P bentuk normal dan irama atrium yang teratur,
pemanjangan PR secara progresif lalu terdapat gelombang P yang tidak dihantarkan, sehingga terlihat
interval RR memendek dan kemudian siklus tersebut berulang kembali
Mobitz tipe II, Irama atrium teratur dengan gelombang P normal. Setiap gelombang P diikuti
gelombang QRS kecuali yang tidak dihantarkan dan bias lebih dari 1 gelombang P berturut-turut yang
tidak dihantarkan. Irama QRS bias teratur atau tidak teratur tergantung pada denyut yang tidak
dihantarkan. Kompleks QRS bias sempit bila hambatan terjadi pada berkas his, namun bias lebar
seperti pada blok cabang berkas bila hambatan ini pada cabang berkas.
Blok AV Total (Complete AV Block): terjadi hambatan total konduksi antara atrium dan ventrikel.
Atrium dan ventrikel masing-masing mempunyai frekuensi sendiri (frekuensi ventrikel < frekuensi
atrium)
Keluhan : Sinkop,vertigo, denyut jantung (<50 kali/menit)
EKG
: Disosisasi attrioventrikular Denyut atrium biasanya lebih cepat.
DIAGNOSIS BANDING
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· EKG 12 sdapan, Rekaman EKG 24 jam (Holter ECG Monitor), Ekokardiografi, Angiografi koroner,
Pemeriksaan elektrofisiologi (Electrophysiology Study)
33
TERAPI
Gangguan pada sinus node (sick sinus syndrome)
Pada keadaan gawat darurat berikan sulfas atropine (SA) 0,5-1 mg IV (total(0,04 mg/kgBB) jika
tidak ada respos berikan drip isoproterenol mulai dengna dosis I ug/menit sampai 10 ug/kg/menit secara
bertahap. Kemudian lanjutkan dengna pemasangan pacu jantung, sesuai dengan sarana yang tersedia
(transcutaneus temporary pace maker dan transvenous temporary pace maker). Pada penatalaksana
selanjutnya dilakukan pemasangan pacu jantung permanen.
Blok AV
Pengobatan hanya diberikan pada penderita yang simtomatik. Walaupun demikian etiologi
penyakit dan riwayat alamiah penyakut ikut menentukan tindakan selanjutnya. Bila penyebabnya obatobatan maka harus dihentikan. Demikian pula bila penyebabnya oleh karena factor metabolic yang
reversible maka factor-faktor tersebut juga harus dihilangkan (seperti hipotiroidisme, asidosis, gangguan
elektrolit dan sebagainya). Bila penyebab yang mendasarinya diketahui dan bila hal itu bersifat jantung
sementara) seperti halnya pada infark miokard akut inferior. Pada penderita yang simptomatik, perlu
dipasang pacu jantung permanen.
Blok AV total
Pada keadaan gawat darurat (simptomatik/asimptomatik) berikan sulfas atropine (SA) 0,5-1 mg IV
(total 0,04 mg/kgBB), atau isoproterenol. Bila obat tidak menolong pasang alat pacu jantung sementara,
selanjutnya dilakukan pemasangan pacu jantung permanen.
KOMPLIKASI
Sinkop, tromboemboli bila disertai takikardia, gagal jantung.
PROGNOSIS
Tergantung penyebab, berat gejala dan respon terapi
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultrasi pada
konsulen Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENGANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Kardiologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik, Medical High Care/ICCU
· RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Patologi Klinik, ICCU
REFERENSI
1.
2.
3.
Penggabean MM. Bradiaritmia Dalam In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , Mansjoer A ,
editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI;1999.p.161-5.
K aro K S. Disritmia. In:Rilantono LI, Baraas F, K aro K S., Roebiono PS, editors. Buku A jar K ardiologi, Jakarta:
Balai Penerbit FK UI:1999.p.275-88.
Trisnohadi HB. K elainan Gangguan Iram a Jantung Y ang Spesifik. In: Sjaifoellah N , Waspadji S, Rachman M,
Lesmana LA , Widodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku A jar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga, Jakarta:
Balai Penerbit FK UI;1996.p.1005-14.
34
EDEMA PARU AKUT (KARDIAK)
PENGERTIAN
Edema paru akut (kardiak) adalah Akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat
peninggian tekanan intravascular.
DIAGNOSIS
Riwayat sesak napas yang bertambah hebat dalam waktu singkat (jam atau hari) disertai gelisah,
batuk dengan sputum berbusa kemerahan.
Pemeriksaan Fisik :
· Sianosis sentral.
· Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih.
· Ronki basah nyari di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan paru; kadang-kadang
disertai ronki kering dan ekspirasi yang memanjang akibat bronkosparme sehingga disebut asma
kardial.
· Takikardia dengan gallop S3.
· Murmur bila ada kelainan katup.
Elektrokardiografi
· Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung penyebab gagal
jantung.
· Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bias ditemukan.
Laboratorium
· Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia.
· Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
Foto toraks
Opasifikasi hilus dan bagian basal paru kemudian makin ke arah apeks paru kadang-kadang timbul
efusi pleura.
Ekokardiografi
Gambaran penyebab gagal jantung: Kelainan katup, hipertrofi ventrikel (hipertensi), segmental
wall motion abnormality (penyakit jantung koroner), dan umumnya ditemukan dilatasi ventrikel kiri dan
atrium kiri.
DIAGNOSIS BANDING
Edema paru akut non kardiak, emboli paru, asma bronkial.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah rutin, ureum, kreatinin, analisis gas darah, elektrolit, urinalisis, foto toraks, EKG, Enzim
jantung (CK-CKMB, Troponin T), ekokardiogafi transtorakal, angiografi koroner.
TERAPI
1. Posisi duduk.
2. Oksigen (40-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk: pasien makin sesak,
takipnu, ronki bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan
60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan
aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan ederma secara adekuat :
dilakukan intubasi endotrakeal, suction dan ventilator/bipep.
35
3. Infus emergensi.
4. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin per oral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan
darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan nitrogliserin intravena mulai dosis 3-5 ug/kgBB. Jika tidak
memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan nitroprusid. Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1
ug/kgBB/menit bila tidak memberi respons dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan
perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang tadinya
mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organorgan vital.
6. Morfin sulfat : 3-5 mg iv, dapat diulangi tiap 25 menit sampai total dosis 15 mg.
7. Diuretik : furosemid 40-80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam atau
dilanjutkan drip kontinu sampai dicapai produksi urin 1 ml/kgBB/jam.
8. Bila perlu (tekanan darah turun/tanda hipoperfusi): Dopamin 2-5 ug/kgBB/menit atau dobutamin 2-10
ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respons klinis atau
keduanya.
9. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
10. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis atau tidak berhasil dengan terapi
oksigen.
11. Atasi aritmia atau gangguan konduksi.
12. Operasi pada komplikasi akut infark jantung akut, seperti regurgitasi, VSD, dan ruptur dinding
ventrikel atau korda tendinae.
KOMPLIKASI
Gagal napas.
PROGNOSIS
Tergantung penyebab, beratnya gejala, dan respons terapi.
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi pada
konsulen Penyakit Dalam.
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam.
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Kardiologi.
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam.
36
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : ICCU, Departemen Anestesi, Bedah toraks
· RS non pendidikan: Bagian Anestesi, ICCU/ICU, Bedah
REFERENSI
Panggabean MM, Suryadipraja RM. Gagal Jantung A kut dan Gagal Jantung Kronik. In: Simadibrata M,
Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , MansjoerA , eds. Pedoman Diagno sis dan Terapi di Bidang llmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 14054 .
37
ENDOKARDITIS INFEKTIF
PENGERTIAN
Endokarditis infektif adalah Inflamasi pada endokard yang biasanya melibatkan katup dan
jaringan sekitarnya yang terkait dengan agen penyebab infeksi
DIAGNOSIS
Kriteria Klinis Duke untuk Endokarditis Infektif (EI):
EI definite:
· Kriteria Patologis
Mikroorganisme : ditemukan dengan kultur atau histologi dalam vegetasi yang
mengalami emboli atau dalam suatu abses intrakardiak.
Lesi patologis : vegetasi atau terdapat abses intrakardiak yang dikonfirmasi dengan
histologis yang menunjukkan endokarditis aktif.
· Kriteria klinis : menggunakan definisi spesifik, yaitu :Dua kriteria mayor atau satu
mayor dan tiga kriteria minor atau lima kriteria minor
Kriteria Mayor:
1. Kultur darah positif untuk endokarditis Infektif (EI)
A. Mikroorganisme khas konsisten untuk EI dari 2 kultur darah terpisah seperti tertulis di
bawah ini:
(i) Streptococci viridans, streptococcus bovis atau grup HACEK atau
(ii) Community acquired Staphylococcus aureus atau enterococci tanpa ada fokus
primer atau
B. Mikroorganisme konsisten dengan EI dari kultur darah positif persisten didefinisikan
sebagai:
(i) > 2 kultur dari sampel darah yang diambil terpisah > 12 jam atau
(ii) Semua dari 3 atau mayoritas dari > 4 kultur darah terpisah (dengan sample awal dan
akhir diambil terpisah > 1 jam).
2. Bukti keterlibatan kardial
A. Ekokardiografi positif untuk EI didefinisikan sebagai:
(i) Massa intrakardiak oscilating pada katup atau struktur yang menyokong, di jalur
aliran jet regurgitasi atau pada material yang diimplantasikan tanpa ada alternatif
anatomi yang dapat menerangkan, atau
(ii) Abses, atau
(iii) Tonjolan baru pada katup prostetik atau
B. Regurgitasi valvular yang baru terjadi (memburuk atau berubah dari murmur yang ada
sebelumnya tidak cukup)
Kriteria Minor:
1. Predisposisi : predisposisi kondisi jantung atau pengguna obat intravena.
2. Demam:suhu>38°C.
3. Fenomena vascular : emboli arteri besar. infark pulmonal septik, aneurisma J. perdarahan
konjungtiva, dan lesi Janeway.
38
4. Fenomena imunologis : glomerulonefriti, Osier's nodes, Roth Spots, dan factor rheumatoid.
5. Bukti mirobiologi: kultur darah positif tetapi tidak raemenuhi kriteria mayor seperti tertulis
diatas atau bukti serologis infektif aktif oleh mikroorganisme konsisten dengan EI.
6. Temuan kardiografi: konsisten dengan EI tetapi tidak memenuhi kriteria seperti tertulis di atas.
El possible
Temuan konsisten dengan EI turun dari kriteria definite tetapi tidak memenuhi kriteria
rejected
EI Rejected
Diagnosis alternatif tidak memenuhi manifestasi endokardits atau resolusi manifestasi
endokarditis dengan terapi antibiotik selama < 4 hari atau Tidak ditemukan bukti patologis EI
pada saat operasi atau autopsi setelah terapi antibiotik > 4 hari.
DIAGNOSIS BANDING
Demam rematik akut dengan karditis, sepsis tuberkulosis milier, lupus eritematosus
sistemik, glomerulonefritis pasca streptokokus, pielonefritis,poliarteritis nodos reaksi obat.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah rutin, EKG foto toraks, ekokardiografi, transesofageae ekokardiografi, kulti darah.
TERAPI
Prinsip terapi adalah oksigenasi, cairan intravena yang cukup, antipiretik, antibioti
Regimen yang dianjurkan (AHA)
1. Endokarditis katup asli karena Streptococcus viridans dan Str. Bovis :
· Penisilin G kristal 12-28 juta unit/24 jam iv kontinu atau 6 dosis terbagi selar 4 minggu
atau seftriakson 2 g lkali/hari iv atau im selam 4 minggu
· Penisilin G kristal 12-28 juta unit/24 jam iv kontinu atau 6 dosis terbagi sela 2 minggu
dengan gentamicin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selan minggu
· Vankomisin hidroklorida 30 mg/kgBB/24jam iv dalam 2 dosis terbagi, tic 2g/24 jam
kecuali kadar serum dipantau selama 4 minggu
2. Endokarditis katup asli karena Str. Viridans dan Str. Bovis relatif resisten terhj Penisilin G
· Penisilin G kristal 18 juta unit/24 jam iv kontinu atau dalam 6 dosis te selama 4 minggu
dengan gentamicin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap: selama 2 minggu
· Vankomisin hidroklorida 30 mg/kgBB/24 jam iv dalam 2 dosis terbagi. tk 2g/24 jam
kecuali kadar serum dipantau selama 4 minggu
3. Endokarditis karena Enterococci
· PenisilinGkristal 18-30 juta unit/24 jam iv kontinu atau dalam 6 dosis terbagi selama 4-6
minggu dengan gentamisin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 4-6 minggu
· Ampisilin 12 g/24 jam/24 jam iv kontinu atau dalam 6 dosis terbagi selama 4 -6 minggu
dengan gentamisin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 4-6 minggu
· Vankomisin hidroklorida 30 mg/kgBB/24 jam iv dalam 2 dosis terbagi, tidak > 2g/24 jam
selama 4-6 minggu dengan gentamisin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 4-6
minggu
39
4. Endokarditis karena Stafilokokus tanpa materi prostetik.
a. Regimen untuk Methicilin Succeptible Staphylococci
• Nafsilin atau oksasilin 2 g IV tiap 4 jam selama 4-6 minggu dengan opsional ditambah
gentamisin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 3-5 hari
b. Regimen untuk pasien alergi beta laktam
• Cefazolin (atau sefalosporin generasi I laian dalam dosis setara) 2 g iv tiap 8 jam selama
4-6 minggu dengan opsional ditambah gentamisin sulfat Img/kgBB imatau iv tiap 8 jam
selama 3—5 hari
• Vankomisin hidroklorida 30 mg/kgBB/24 jam iv dalam 2 dosis terbagi, tidak > 2g/24
jam kecuali kadar serum dipantau selama4-6 minggu
Operasi dilakukan bila
Bakteremia yang menetap setelah pemberian terapi medis yang adekuat, gagal jantung
kongestif yang tidak responsif terhadap terapi medis, vegetasi yang menetap setelah emboli
sistemik, dan ekstensi perivalvular
KOMPLIKASI
Gagal jantung, emboli, aneurisma nekrotik, gangguan neurologi, perikarditis
PROGNOSIS
Tergantung beratnya gejala dan komplikasi
WEWENANG
• RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan
konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
• Panduan Pelayanan Medik PAPDI
• UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Bedah
• RS non pendidikan : Bagian Bedah
REFERENSI
A lwi I. Diagnosis dan Penatalaksanaan Endokarditis Infektif pada Penyalah guna Obat Intravena. In:
Setiati S, Sitdoyo A W , A lwi I, Ba.waz.ier LA , Soejono CH, Lydia A , et al, editors. Naskah Lengkap
Pertemuan Ilmiah Tahunan limit Penyakit Dalam 2000. Jakarta: Pusat Infonnasi dan Penerbitan Bagian
limit Penyakit Dalam FKUI ;2000. p. 171-86.
40
FIBRILASI ATRIAL
PENGERTIAN
FIBRILASI ATRIAL (FA) adalah Adanya irregularitas kompleks QRS dan gambaran
zelombang "P" dengan frekuensi antara 350-650 per menit.
DIAGNOSIS
Gambaran EKG berupa adanya irregularitas kompleks QRS dan gambaran gelombang P"
dengan frekuensi antara 350-650 per menit
Klasifikasi FA Berdasarkan ada tidaknya penyakit jantung yang mendasari:
1. Primer : bila tidak ditemukan kelainan struktur jantung dan kelainan sistemik yang dapat
menimbulkan aritmia.
2. Sekunder : bila tidak ditemukan kelainan struktur jantung tetapi ada kelainan sistemik yang
dapat menimbulkan aritmia
Klasifikasi FA berdasarkan waktu timbulnya Fibrilasi atrial (FA) serta kemungkinan ererhasilan usaha konversi ke irama sinus :
1. Paroksismal, bila FAberlangsung kurang dari 7 hari, berhenti dengan sendirinya tanpa
intervensi pengobatan atau tindakan apapun
2. Persisten, bila FA menetap lebih dari 48 jam, hanya dapat berhenti dengan intervensi
pengobatan atau tindakan.
3. Permanen bila FAberlangsung lebih dari 7 hari, dengan intervensi pengobatan AF tetap tidak
berubah
FA dapat pula dibagi menjadi:
1. FA Akut, bila timbul kurang dari 48 jam
2. FA Kronik, bila timbul lebih dari 48 jam
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• EKG bila perlu gunakan Holter Monitoring pada pasien AF paroksismal.
• Foto toraks, ekokardiografi untuk mengetahui adanya penyakit primer
• Pemeriksaan elektrofisiologi tidak diperlukan kecuali untuk kepentingan akademik
TERAPI
Fibrilasin Atrial Paroksismal
1. Bila asimptomatik, tidak diberikan obat antiaritmia, hanya diberi penerangan saja.
2. Bila menimbulkan keluhan yang memerlukan pengobatan dan tanpa kelainan jntung atau
disertai kelainan jantung minimal dapat diberi obat penyekat beta itau obat antiaritmia
kelas IC seperti propafenon atau flekainid.
3. Bila obat tersebut tidak berhasil, dapat diberikan amiodaron.
4. Bila dengan obat-obat itu juga tidak berhasil, dipertimbangkan terapi ablasi atau obat-obat
antiaritmia lain.
5. Bila disertai kelainan jantung yang signifikan, amidaron merupakan obat pilihan.
41
Fibrilasi atrial persisten
1. Bila FA tidak kembali ke irama sinus secara spontan kurang dari 48 jam, perlu dilakukan
kardioversi ke irama sinus dengan obat-obatan (farmakologis) atau elektrik tanpa pemberian
antikoagulan sebelumnya. Setelah kardioversi diberikan obat antikoagulan paling sedikit
selama 4 minggu. Obat antiaritmia yang dianjurkan kelas IC (propafenon dan flekainid)
2. Bila FA lebih dari 48 jam atau tidak diketahui lamanya maka pasien diberi obat antikoagulan
secara oral paling sedikit 3 minggu sebelum dilakukan kardioversi farmakologis atau elektrik.
Selama periode tersebut dapat diberikan obat-obat seperti digoksin, penyekat beta, atau
antagonis kalsium untuk mengontrol laju irama ventrikel. Alternatif lain pada pasien tersebut
dapat diberikan heparin dan dilakukan pemeriksaan TEE untuk menyingkirkan adanya
trombus kardiak sebelum kardioversi.
3. Pada FA persisten episode pertama, setelah dilakukan kardioversi tidak diberikan obat
antiaritmia profilaksis. Bila terjadi relaps dan perlu kardioversi pada pasien ini dapat
diberikan antiaritmia profilaksis dengan penyekat beta, golongan kelas IC (propafenon,
flekainid), sotalol atau amiodaron.
Fibrilasi Arial Permanen
1. Kardioversi tidak efektif
2. Kontrol laju ventrikel dengan digoksin, penyekat beta, atau antagonis kalsium.
3. Bila tidak berhasil dapat dipertimbangkan ablasi nodus AV atau pemasangan pacu jantung
permanen.
4. FAresisten, perlu pemberian antitromboemboli
KOMPLIKASI
Emboli, strok, trombus intrakardiak
PROGNOSIS
Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi
WEWENANG
• RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan
konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi
• RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Bedah toraks , ICCU, Anestesi
• RS non pendidikan : ICCU, Departemen Anestesi, Bedah
42
REFERENSI
1. Ismail D. Fibrilasi A trial: A spek Pencegahan Terjadinya Stmt In: Setiati S, SudoyoA W , A lwi I,
BawazierLA , Kasjmir Y , MansjoerA , editors. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu
Penyakit Dalam 2001. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2000. p.97-114.
2. Karo KS. Disritmia. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo KS, Roebiono PS, editors.Buku A jar
Kardiologi. Jakarta, Balai Penerbit FKUI; 1999. p. 275-88.
3. Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Y ang Spesifik. In: Sjaifoellah N, W aspadji S,
Rachman M, Lesmana LA , W idodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku A jar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I,
edisi ketiga. Jakarta; Balai Penerbit FKUI ;1996. p. 1005-14.
4. Makmun LH. Gangguan Irama Jantung. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro , Gani RA ,
Mansjoer A , eds. Pedoman Diagnosis dan Tempi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian limit Penyakit Dalam FKUI ;1999. p. 155-60.
43
GAGAL JANTUNG KRONIK
PENGERTIAN
Gagal jantung kronik merupakan Sindrom klinis yang kompleks akibat kelainan fungsi
atau struktural jantung yang mengganggu kemampuan jantung untuk berfungsi sebagai pompa
DIAGNOSIS
Anamnesis :
Dispnea d' effort; orthopnea; paroxysmal nocturnal dispnea; lemas; anoreksia dan mual;
gangguan mental pada usia tua
Pemeriksaan Fisik :
Takikardia, gallop bunyi jantung ketiga, peningkatan/ekstensi vena jugularis, refluks
hepatojugular, pulsus alternans, kardiomegali, ronkhi basah halus di basal paru, dan bisa meluas
di kedua lapang paru bila gagal jantung berat, edema pretibial pada pasien yang rawat jalan,
edema sakral pada pasien tirah baring. Efusi pleura, lebih sering pada paru kanan daripada paru
kiri. Asites sering terjadi pada pasien dengan penyakit katup mitral dan perikarditis konstriktif,
hepatomegali, nyeri tekan, dapat diraba pulsasi hati yang berhubungan dangan hipertensi vena
sistemik, ikterus, berhubungan dengan peningkatan kedua bentuk bilirubin, ekstremitas dingin,
pucat dan berkeringat.
KRITERIA DIAGNOSIS
Kriteria Framingham : Diagnosis ditegakkan bila terdapat paling sedikit satu kriteria
mayor dan dua kriteria minor
•
•
•
•
•
•
•
•
Kriteria Mayor
Paroxysmal nocturnal dispnea
Distensi vena-vena leher
Peningkatan vena jugularis
Ronki
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop bunyi jantung III
Refluks hepatojugular positif
•
•
•
•
•
•
•
Kriteria Minor
Edema ekstremitas
Batuk malam
Sesak pada aktivitas
Hepatomegali
Efusi pleura
Kapasitas vital berkurang 1/3 dari
normal
Takikardia (> 120 denyut per menit)
Mayor atau minor
Penurunan berat badan > 4.5 kg dalam 5 hari terapi
DIAGNOSIS BANDING
• Penyakit paru : pneumonia. PPOK. asma eksaserbasi akut, infeksi paru berat
• Penyakit »mjal: gagal ginjal kronik. sindrom nefrotik
• Penyakit hati: siro&is hepatis
44
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Penunjang
• Foto rontgen dada : Pembesaran jantung, distensi vena pulmonaris dan redistribusinya ke
apeks paru (opasifikasi hilus paru bisa sampai ke apeks) , peningkatan tekanan vaskular
pulmonar, kadang-kadang ditemukan efusi pleura.
• Elektrokardiografi :Membantu menunjukkan etiologi gagal jantung (infark, iskemia,
hipertrofi, dan Iain-lain) Dapat ditemukan low voltage, T inversi, QS, depresi ST, dan Iain
-lain
Laboratoratorium
1. Kimia darah (termasuk ureum, kreatinin, glukosa, elektrolit), hemoglobin, tes fungsi tiroid,
tes fungsi hati, dan lipid darah
2. Urinalisa untuk mendeteksi proteinuria atau glukosuria.
Ekokardiografi
Dapat menilai dengan cepat dengan informasi yang rinci tentang fungsi dan struktur
antung, katup dan perikard.Dapat ditemukan fraksi ejeksi yang rendah < 35-40% tfau normal,
kelainan katup (stenosis mitral, regurgitasi mitral, stenosis trikuspid itau regurgitasi trikuspid),
hipertrofi ventrikel kiri, dilatasi atrium kiri, kadang-kadang iitemukan dilatasi ventrikel kanan
atau atrium kanan, efusi perikard, tamponade, itau perikarditis
TERAPI
Non farmakologi
• Anjuran umum:
a. Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan
b. Akti vitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa. Sesuaikan
kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa dilakukan
c. Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang
d. Vaksinasi terhadap infeksi influensa dan pneumokokus bila mampu
e. Kontrasepsi dengan IUD pada gagal jantung sedang dan berat, penggunaan hormon dosis
rendah masih dapat dianjurkan.
• Tindakan umum :
a. Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g pada gagal
jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal
jantung ringan.
b. Hentikan rokok
c. Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang lainnya
d. Akti vitas fisik (latihan jasmani: jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau sepeda
statis 5 kali/ minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal
pada gagal jantung ringan dan sedang)
e. Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut
• Farmakologi
a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit diuretik
regular dosis rendah tujuan untuk mencapai tekanan vena jugularis normal dan
45
menghilangkan edema. Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila respons
tidak cukup baik dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik intravena, atau kombinasi
loop diuretik dan tiazid. Diuretik hemat kalium, spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari
dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas
fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik.
b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal, dan pada gagal
jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan dosis
rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif.
c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian mulai dosis kecil,
kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung.
Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas fungsional II dan III.
Penyekat Beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau metoprolol. Biasa digunakan
bersama-sama dengan penghambat ACE dan diuretik.
d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat diguna kan bila ada kontraindikasi penggunaan
penghambat ACE
e. Kombinasi hidralazin dengan isosorbide dinitrat Memberi hasil yang baik pada pasien
yang intoleran dengan penghambat ACE dapat dipertimbangkan
f. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi sistolik
ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama diuretik,
penghambat ACE, penyekat beta.
g. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan em boli serebral
pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan
perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat emboli, trombosis dan
transient ischemic attacks, trombus intrakardiak dan aneurisma ventrikel.
h. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau aritmia ventrikel
yang tidak menetap. Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali pada aritmia yang
mengancam nyawa. Antiaritmia kelas III terutama amiodaron dapat digunakan untuk terapi
aritmia atrial dan tidak digunakan untuk mencegah kematian mendadak.
i. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk mengobati
angina atau hipertensi pada gagal jantung.
KOMPLIKASI
Syok kardiogenik, infeksi paru, gangguan keseimbangan elektrolit
PROGNOSIS
Tergantung klas fungsionalnya
46
WEWENANG
• RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Di visi Kardiologi
• RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : ICCU / medical High Care
• RS non pendidikan: ICCU / ICU
REFERENSI
1. PanggabeanMM, SuiyadiprajaRM. GagalJantungA kutdan GagalJantung Kronik. In: Simadibrata M,
Setiati S, A lwi I, Maryantoro , Gani RA , Mansjoer A , eds. Pedoman Diagnosis dan Tempi di Bidang
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
1999.p. 140-54.
2. A CC/A HA . A CC/A HA Guidelines for the Evaluation and Management of Chronic Heart Failure in
A dult: Executive Summary. A Report oj'The A merican College of Cardiology/ -.'nerican Heart
A ssociation Task Force on Practice Guidelines (Committee to Revise the 1995 Guidelines for the
Evaluation and Management of Heart Failure). Circulation ::-Jl: 104:2996-3007.
47
TAKIKARDIA ATRIAL PAROKSISMAL
PENGERTIAN
Takikardia atrial paroksismal adalah takikardia yang terjadi karena perangsangan yang
berasal dari AV node di mana sebagian rangsangan antegrad ke ventrikel sebagianke atrium
DIAGNOSIS
Gelombang P dapat negatif di depan kompleks QRS, terletak di belakang kompleks QRS
atau sama sekali tidak ada karena berada dalam kompleks QRS.Jarak R-R teraturKompleks QRS
langsing, kecuali pada rate ascendent aberrant conduction
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• EKG 12 sandapan
• Rekaman EKG 24 j am
• Pemeriksaan Elektrofisiologi
• Ekokardiografi
• Angiografi koroner
• TEE (Transesofageal Echocardiografi)
TERAPI
1. Manipulasi saraf autonom dengan manuver valsava, eye ball pressure, pemijitan sinus
karotikus dan sebagainya
2. Pemberian obat yang menyekat node AV
a. Adenosin atau adenosin Tri Phosphate (ATP) IV. Obat ini harus diberikan secara
intrvena dan cepat (flush)
b. Verapamil intravena
c. Obat penyekat beta
d. Digitalisasi
Pilihan utama adalah ATP dan verapamil.
3. Bila sering berulang dapat dilakukan ablasi dengan terlebih dahulu EPS untuk
menentukan lokasi bypass tract atau ICD (Defibrillator Intra Cardial)
KOMPLIKASI
Emboli, kematian mendadak
PROGNOSIS
Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi
WEWENANG
• RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan
konsultasi kepada dokter konsulen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
48
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Di visi Kardiologi
• RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : ICCU / medical High Care, Departemen Anestesi
• RS non pendidikan: ICCU / ICU, Bagian Anestesi
REFERENSI
1. Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Y ang Spesifik. In : Sjaifoellah N,
W aspadji S, Rachman M, Lesmana LA, W idodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilidl, edisi ketiga. Jakarta:Balai Penerbit FKUl ;1996. p. 1005-14.
2. Makmun, III. Gangguan Irama Jantung. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro .
Gani KA, MansjoerA, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUl; I999.p.
155-60.
49
PERIKARDITIS
PENGERTIAN
Perikarditis peradangan pada perikard parietalis, viseralis atau kedua-duanya, yang dapat
bermanifestasi sebagai : perikarditis akut, efusi perikard tanpa tamponade, efusi perikard dengan
tamponade, perikarditis konstriktif
DIAGNOSIS
Tergantung manifestasi klinis perikarditis :
Perikarditis akut
Sakit dada tiba-tiba substernal atau prekordial, yang berkurang bila duduk dan bertambah
sakit bila menarik napas (sehingga perlu dibedakan dengan pleuritis).Pada pemeriksaan fisik
ditemukan friction rub. EKG menunjukkan ST elevasi cekung (bedakan dengan infark jantung
akut dan repolarisasi dini). Foto jantung normal atau membesar
Tamponade
Pada fase awal terjadi peninggian tekanan vena jugularis dengan cekungan x prominen
dan hilangnya cekungan y (juga terlihat pada kateter vena sentral). Pada fase selanjutnya timbul
tanda Kusmaull (peninggian tekanan vena jugularis pada saat inspirasi), pulsus paradoksus
(penurunan tekanan darah > 12-15 mmHg pada inspirasi, terlihat pada arterial line atau
tensimeter). Penurunan tekanan darah. Umumnya tamponade disertai: pekak hati yang meluas,
bunyi jantung melemah, friction rub, takikardia.Foto toraks menunjukkan :
• paru normal kecuali bila sebabnya kelainan paru seperti tumor
• Jantung membesar membentuk kendi (bila cairan > 250 ml)
• EKG low voltage, elektrikal alternans (gelombang QRS saja, atau P, QRS dan T)
• Ekokardiografi : efusi perikard moderat sampai berat, swinging heart dengan kompresi
diastolik vena kava inferior, atrium kanan dan ventrikel kanan
• Kateterisasi : peninggian tekanan atrium kanan dengan gelombang x prominen serta
gelombang y menurun atau menghilang. Pulsus paradoksus dan ekualisasi tekanan
diastolik di ke-4 ruang jantung (atrium kanan, ventrikel kanan, ventrikel kiridanPCW)
Perikarditis Konstriktif
• Kelelahan, denyut jantung cepat, dan bengkak.
• Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda gagal jantung seperti peningkatan tekanan vena
jugularis dengan cekungan x dan y yang prominen. hepatomegali, asites dan edema
• Pulsus paradoksus (pada bentuk subakut)
• End diastolic sound (knock) (lebih sering pada kronik)
• Tanda Kusmaull (peninggian tekanan vena jugularis pada inspirasi) terutama pada yang
kronik.
• Foto toraks: kalsifikasi perikard, jantung bisa membesar atau normal.
• Echo CT Scan dan MRI bisa mengkonfirmasi foto toraks. Bila CT Scan/MRI
• normal maka diagnosis perikarditis konstriktif hampir pasti sudah bisa disingkirkan.
• Kateterisasi menunjukkan perbedaan tekanan atrium kanan, diastolik ventrikel kanan,
ventrikel kiri, dan rata-rata PCW < 5 mmHg. Gambaran dip dan platen pada tekanan
ventrikel.
50
DIAGNOSIS BANDING
• Perikarditis akut: infark jantung akut, emboli paru, pleuropneumonia, diseksi aorta, akut
abdomen
• Efusi perikard/tamponade: kardiomiopati dilatasi atau gagal jantung, emboli paru,
• Perikarditis konstriktiva: kardiomiopati restriktif
PEMERIKSAAN PENUNJANG
KG, foto toraks, ekokardiografi (terutama bila tersangka pericardial efusion), Kateterisasi,
CT Scan, MRI
TERAPI
Perikarditis Akut
• Pasien harus dirawat inap dan istirahat baring untuk memastikan diagnosis dan diagnosis
banding serta melihat kemungkinan terjadinya tamponade.
• Simptomatik dengan aspirin 650 mg/4 jam atau OAINS indometasin 25- 50 mg/6 jam. Dapat
ditambahkan morfm 2-5 mg/6 jam atau petidin 25-50 mg/4jam, hindarkan steroid karena
sering menyebabkan ketergantungan. Bila tidak membaik dalam 72 jam, maka prednison 6080 mg/hari dapat dipertimbangkan selama 5-7 hari dan kemudian tapering off.
• Cari etiologi/kausal
Efusi Perikard
• Sama dengan perikarditis akut, disertai pungsi perikard untuk diagnostik
Tamponade Jantung
• Perikardiosentesis perkutan
• Bila belum bisa dilakukan perikardiosentesis perkutan, infus normal salin 500 ml dalam
30-60 menit disertai dobutamin 2-10 ug/kgBB/menit atau isoproterenol 2-20 ug/menit
• Kalau perlu membuat jendela perikardial dengan :
a. Dilatasi balon melalui perikardiostomi jarum perkutan
b. Pembedahan (dengan mortalitas sekitar 15%) untuk membuat jendela perikardial dapat
dilakukan bila : tidak ada cairan yang keluar saat perikardiosentesis, tidak membaik
dengan perikardiosentesis, kasus trauma
• Pembedahan yang dapat dilakukan :
1. Bedah sub-xyphoid perikardiostomi
2. Reseksi perikard lokal dengan bantuan video
3. Reseksi perikard anterolateral jantung
• Pengobatan kausal : bila sebabnya antikoagulan, harus dihentikan; antibiotik,
antituberkulosis, atau steroid tergantung etiologi, kemoterapi intraperikard bila
etiologinya tumor.
Perikarditis Konstrikitiva
• Bila ringan diberikan diuretika atau dapat dicoba OAINS
• Bila progresif, dapat dilakukan perikardiektomi
51
KOMPLIKASI
• Perikarditis akut: chronic relapsing pericarditis, efusi perikard, tamponade, perikarditis
konstriktiva
• Efusi perikard/ tamponade: henti jantung, aritmia : fibrilasi atrial atau flutter, perikarditis
konstriktiva.
PROGNOSIS
Tergantung beratnya gejala dan komplikasi yang terjadi
WEWENANG
• RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan
konsultasi kepada dokter konsulen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi
• RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : ICCU / medical High Care, Departemen Bedah
• RS non pendidikan : ICCU / ICU, Bagian Bedah
REFERENSI
1. Ismail D, Panggabean MM. Perikarditis. In: Sjaifoellah N, W aspadji S, Rachman M, Lesmana LA ,
W idodo D, lsbagio H, etal, editors. Baku A jar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisiketiga. Jakarta: Balai
Penerbit FKUl ;1996.p. 1077-81.
2. Panggabean MM, Mansjoer H. Perikarditis. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro ,
Gani RA , Mansjoer A , editors. Pedoman Diagnosis dan Tempi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUl; 1999. p. 173-77.
52
SINDROM KORONER AKUT
PENGERTIAN
Sindrom koroner akut suatu keadaan gawat darurat jantung dengan manifestasi klinis
berupa perasaan tidak enak di dada atau gejala-gejala lain sebagai akibat skemia
miokard.Sindrom koroner akut mencakup:
1. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST
2. Infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST
3. Angina pektoris tak stabil (unstable angina pectoris)
DIAGNOSIS
Anamnesis
Nyeri dada tipikal (angina) berupa nyeri dada substernal, retrosternal, dan
prekordial.Nyeri seperti ditekan, ditindih benda berat, rasa terbakar, seperti ditusuk, rasa diperas
ian dipelintir. Nyeri menjalar ke leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/interskapula, dan
dapat juga ke lengan kanan. Nyeri membaik atau hilang dengan Kirahat atau obat nitrat, atau
tidak. Nyeri dicetuskan oleh latihan fisik, stres emosi, udara dingin, dan sesudah makan. Dapat
disertai gejala mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, dan lemas.
Elektrokardiogram
• Angina pektoris tidak stabil : depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T,
kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu ada nyeri, tidak dijumpai gelombang Q
• Infark miokard ST elevasi: hiperakut T, elevasi segmen ST, gelombang Q inversi
gelombang T
• Infark miokard non ST elevasi: depresi segmen ST, inversi gelombang T dalam.
Petanda Biokimia
• CK,CKMB,Troponin-T,dll
• Enzim meningkat minimal 2 kali nilai batas atas normal
DIAGNOSIS BANDING
• Angina pektoris tak stabil: infark miokard akut
• Infark miokard akut: diseksi aorta, perikarditis akut, emboli paru akut, penyakit dinding
dada, Sindrom Tietze, gangguan gastrointestinal seperti: hiatus hernia ian refluks
esofagitis, spasme atau ruptur esofagus, kolesistitis akut, tukak I
lambung, dan
pankreatitis akut.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• EKG
• Foto rontgen dada
• Petanda biokimia: darah rutin, CK, CKMB, Troponin T, dll
• Profil lipid, gula darah, ureum kreatinin
• Ekokardiografi
• Tes Treadmill (untuk stratifikasi setelah infark miokard)
• Angiografi koroner
53
TERAPI
• Tirah baring di ruang rawat intensif jantung (ICCU)
• Pasang infus intra vena dengan Nacl 0,9% atau dekstrosa 5%
• Oksigenisasi dimulai dengan 2 liter/menit 2-3 jam, dilanjutkan bila sarurasi oksigen arteri
rendah (< 90%)
• Diet: puasa sampai bebas nyeri, kemudian diet cair. Selanjutnya diet jantung.
• Pasang monitor EKG secara kontinu
Atasi nyeri dengan
• Nitrat sublingual/transdermal/nitrogliserin intravena titrasi (kontraindikasi bila TD sistolik
< 90 mmHg), bradikardia (< 50 kali/menit), takikardia. atau
• Morfin 2,5 mg (2-4 mg)intravena, dapat diulang tiap 5 menit sampai dosis total 20 mg
atau petidin 25-50 mg intravena atau tramadol 25-50 mg intravena.
Antitrombotik
• Aspirin (160-345 mg), bila alergi atau intoleransi/ tidak responsif diganti dengan
tiklopidin atau klopidogrel.
Trombolitik dengan streptokinase 1,5 juta U dalam 1 jam atau aktivator plasmino gen
jaringan (t-PA) bolus 15 mg, dilanjutkan dengan 0,75 mg/kgBB (maksimal 50 mg) dalam jam
pertama dan 0,5 mg/kgBB (maksimal 35 mg) dalam 60 menit jika elevasi segmen ST > 0,1 mv
pada dua atau lebih sadapan ekstremitas berdampingan atau > 0,2 mv pada dua atau lebih sadapan
prekordial berdampingan, waktu mulai nyeri dada sampai terapi < 12 jam, usia < 75 tahun. Blok
cabang (BBB) dan anamnesis dicurigai infark miokard akut.
Antikoagulan Heparin direkomendasikan untuk pasien yang menjalani revaskularisasi
perkutan atau bedah, pasien dengan risiko tinggi terjadi emboli sistemik seperti infark miokard
anterior atau luas, fibrilasi atrial, riwayat emboli, atau diketahui ada trombus ventrikel kiri yang
tidak ada kontraindikasi heparin. Heparin diberikan dengan target aPTT 1,5-2 kali kontrol.Pada
angina pektoris tak stabil heparin 5000 unit bolus intravena, dilanjutkan dengan drip 1000
unit/jam sampai angina terkontrol dengan menyesuaikan aPTT 1,5-2 kali nilai kontrol. Pada
infark miokard akut yang ST elevasi > 12 jam diberikan heparin bolus intravena 5000 unit
dilanjutkan dengan infus selama rata-rata 5 hari dengan menyesuaikan aPTT 1,5-2 kali nilai
kontrol.
Pada infark miokard anterior transmural luas antikoagulan diberikan sampai saat pulang
rawat. Pada penderita dengan trombus ventrikular atau dengan diskinesi yang luas di daerah
apeks ventrikel kiri antikoagulan oral diberikan secara tumpang tindih dengan heparin sejak
beberapa hari sebelum heparin dihentikan. Antikoagulan oral diberikan sekurang-kurangnya 3
bulan dengan menyesuaikan nilai INR (2-3)
Atasai rasa takut atau cemas
Diazepam 3 X 2-5 mg oral atau IV
54
Pelunak tinja
Laktulosa (laksadin) 2 X 15 ml
• Penyekat Beta diberikan bila tidak ada kontraindikasi
• Penghambat ACE diberikan bila keadaan menizinkan terutama pada infark miokard akut yang
luas, atau anterior, gagal jantung tanpa hipotensi, riwayat infark miokard Antagonis
• Antagonis kalsium : verapamil untuk infark miokard non ST elevasi atau angina rektoris tak
stabil bila nyeri tidak teratasi
Atasi komplikasi:
1. Febrilasi atrium
• Kardioversi elektrik untuk pasien dengan gangguan hemodinamik berat atau iskemia
intraktabel
• Digitalisasi cepat
• Penyekat Beta
• Diltiazem atau verapamil bila penyekat beta dikontraindikasikan
• Heparinisasi
2. Fibrilasi ventrikel
DC Shock unsynchronized dengan energi awal 200 J, jika tak berhasil harus diberikan
shock kedua 200-300 J dan jika perlu shock ketiga 360 J.
3. Takikardia ventrikel
• VT polimorfik menetap (> 30 detik) atau menyebabkan gangguan hemodinamik : DC
Shock unsynchronized dengan energi awal 200 J, jika gagal harus diberikan shock kedua
200-300 J dan jika perlu shock ketiga 360 J
• VT monomorfik yang menetap diikuti anina, edema paru atau hiptensi harus diterapi
dengan DC shock synchronized energi awal 100 J. Energi dapat ditingkatkan jika dosis
awal gagal.
• VT monomorfik yang tidak disertai angina, edema paru atau hipotensi dapat diberikan:
Lidokain bolus 1-15 mg/kg BB. Bolus tambahan 0,5- 0,75 mg/kg BB tiap 5-10 menit
sampai dosis loading total maksimal 3 mg/kgBB. Kemudian loading dilanjutkan dengan
infus 2-4 mg/menit (30-50 ug/kgBB/menit); atau Disopiramid: bolus 1-2 mg.kgBB dalam 5
-10 menit dilanjutkan dosis pemeliharaan 1 mg/kg BB/jam; atau Amiodaron 150 mg infus
selama 10-20 menit atau 5 ml/kgBB20-60 menit dilanjutkan infus tetap 1 mg/menit selama
6 jam dan kemudian infus pemeliha raan 0,5 mg/menit; atau Kardioversi elektrik
synchronized dimulai dosis 50 J (anestesi sebelumnya)
4. Bradiaritmia dan blok
• Bradikardia sinus simtomatik (frekuensi jantung < 50 kali/menit disertai hipotensi, iskemia
aritmia ventrikel escape)
• Asistol ventrikel
• Blok AV simtomatik terjad pada tingkat nodus AV (derajat dua tipe 1 atau derajat tiga
dengan ritme escape kompleks sempit)
• Terapi dengan sulfas atropin 0,5-2 mg. Isoproterenol 0,5-4 ug/menit bila atropin gagal,
sementara menunggu pacu jantung sementara
55
5. Gagal jantung akut, edema paru, syok kardiogenik diterapi sesuai standar pelayanan medis
mengenai kasus ini
6. Perikarditis
• Aspirin (160-325 mg/hari)
• Indometasin,
• Ibuprofen
• Kortikosteroid
7. Komplikasi mekanik
• Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel ditatalaksana
operasi.
KOMPLIKASI
1. Angina pektoris tak stabil : payah jantung, syok kardiogenik, aritmia, infark miokard akut.
2. Infark miokard akut (dengan atau tanpa ST elevasi) : gagal jantung, syok kardiogenik, ruptur
korda, ruptur septum, ruptur dinding bebas, aritmia gangguan hantaran, aritmia gangguan
pembentukan rangsang, perikarditis, sindrom dresler, emboli paru.
PROGNOSIS
Tergantung daerah jantung yang terkena, beratnya gejala, ada tidaknya komplikasi
WEWENANG
• RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Kardiologi
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : ICCU / medical High Care
• RS non pendidikan : ICCU / ICU
REFERENSI
1. Harun S, Mansjoer H. Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindrom Koroner A kut. In: Bawazier LA , A lwi
I, SyamA F, Gustaviani R, Mansjoer A , editors. Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit
Kardiovaskukir. Jakarta.Pusat Informasidan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKU1; 2001. p.
32-42.
2. Harun S, A lwi I, Rasyidi K. Infark Miokard A kut. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maiyantoro ,
Gani RA , Mansjoer A , editors. Pedoman Diagnosis dan Tempi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian limit Penyakit Dalam FKUI ;1999.p. 165-72.
3. Santoso T. Tatalaksana Infark Miokard A kut. In: Subekti I, LydiaA . Rumende CM, Syan i A F,
Mansjoer A , Suprohaita, editors. Prosiding Simpsosium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang
Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Ilmu Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI:
2000.p. 1-10.
56
RENJATAN KARDIOGENIK
PENGERTIAN
Renjatan kardiogenik adalah kegagalan sirkulasi akut karena ketidakmampuan daya
pompa jantung
DIAGNOSIS
Trias renjatan : tekanan darah < 90 mmHg, takikardia, dan oliguria
Pemeriksaan fisik
1. Tanda-tanda gagal jantung
2. Kemungkinan: komplikasi infark miokard akut seperti ruptur septum interventrikel atau
muskulus papilaris. Infark ventrikel kanan pada infark inferior dimana denyut aritung
rendah karena blok AV, tanda gagal jantung kanan dengan paru yang tidak
kongestif.Murmur : regurgitasi akut aorta, mitral, stenosis aorta berat, atau trombosis
katup prostetik
Elektrokardiografi
1. Tanda iskemia, infark, hipertrofi, low voltage
2. Aritmia: AVblok, bradiaritmia, takiaritmia
Foto toraks
Opsifikasi hilus dan bagian basal paru, kemudian makin ke arah apeks paru. Kadang-:ang
efusi pleura
Ekokardiografi
Kontraktilitas ventrikel kiri atau ventrikel kanan yang buruk, dilatasi ventrikel kiri I JCIU
atrium kiri atau arteri pulmonalis, Regurgitasi katup, Miksoma atrium, Efusi prikard dengan
tamponade, Kardiomiopati hipertrofik, Perikarditis konstriktiva
DIAGNOSIS BANDING
• Syokhipovolemik
• Syok obstruktif (emboli paru, tension pneumotoraks)
• Syok distributif (syok anafilaksis, sepsis, toksik, overdosis obat
• Infark jantung kanan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah rutin, ureum, kreatinin, AGD, elektrolit, foto toraks, EKG, Enzim jantung (CK-E
K.MB, Troponin T), Angiografi koroner
TERAPI
1. Posisi ½ duduk bila ada edema paru kecuali hipotensi berat
2. Oksigen (40-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk: pasien
makin sesak, takipnu. ronki bertambah, Pa02 tidak bisa dipertahankan > 60 mmlls dangan O,
konsentrasi dan aliran tinagi, retensi CO,, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan
edema secara adekuat: dilakukan intubasi endotrakeal, suction dan ventilator
57
3. Infus emergensi
4. Bila ada tension pneumotoraks segera diidentifikasi dan ditatalaksana untuk dekompresi
dengan chest tube torakotomi
5. Atasi segera aritmia dengan obat atau DC
6. Jika ada defisit volume yang ikut berperan berikan normal salin 250-500 ml kecuali ada
edema paru akut. Jika terapi cairan gagal pasang kateter Swan Ganz.
7. EKG prekordial kanan untuk deteksi gagal jantung kanan bila ada infark akut inferior
8. Penilaian cukup tidaknya volume paling baik dengan kateter Swan Ganz untuk mendapatkan
PAWP. Jika pemberian cairan kontraindikasi atau tidak efektif berikan vasopressor untuk
mempertahankan tekanan darah sistolik 100 mmgHg. Dopamin dimulai dengan 5
ug/kgBB/menit dititrasi sampai tercapai target mempertahankan tekanan darah atau sampai 15
ug/kgBB/menit. Tambahkan norepinefrin bila tekanan darah < 80 mmgHg dengan dosis 0,1 30 ug/kgBB/ menit. Jika tidak respons dengan dopamin dapat juga ditambahkan dobutamin
dengan dosis titrasi 2,5 -20 ug/kgBB/menit. Atau milrininon/amrinon
9. IABP (Intra Aortic Ballon Pump) bila tidak responsif dengan terapi adekuat I sambil
menunggu tindakan intervensi bedah.
10. Jika tekanan darah sudah stabil dapat diberikan vasodilator untuk mengurangi I afterload dan
memperbaiki fungsi pompa terutama berguna pada : hipertensi berat, edema paru,
dekompensasi katup. Nitrolgliserin sublingual atau intravena.
11. Nitrogliserin peroral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 I mmHg
bisa diberikan nitrogliserin intravena mulai dosis 3-5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil
memuaskan maka dapat diberikan nitroprusid. Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/
menit bila tidak memberi respons dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan
klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai
tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ
vital.
12. Bila perlu: Diberikan Dopamin 2-5 ug/kgBB/menit atau dobutamin 2-10 ug/kgBB/ menit
untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respons klinis
13. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard
14. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis atau tidak berhasil dengan
terapi oksigen
15. 15. Atasi aritmia atau gangguan konduksi
.
16. Operasi pada komplikasi akut infark jantung akut seperti regurgitasi, VSD dan ruptur dinding
ventrikel atau korda tendinae
KOMPLIKASI
Gagal napas
PROGNOSIS
Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi
WEWENANG
• RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
58
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan: ICCU / medical High Care, Departemen Bedah toraks / Jantung.
• RS non pendidikan: ICCU /ICU, Bagian Bedah, Anestesi
REFERENSI
1. Panggabean MM, Suryadipraja RM. Gagal Jantung Akut dan Gagal Jantung Kronik. In:
Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gam RA, Mansjoer A, editors. Pedoman
Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:Pusat Informasi dan Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI ,1999. p. 140-54.
2. Trisnohadi HB. Syok kardiogenik. In: Prosiding Simpsosium Penatalaksanaan Kedaruratan di
Bidang Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Ilmu Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2000.p. 11-16.
3. Harun S, Mansjoer H. Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut. In: Bawazier
LA, Alwi I, Syam AF, Gustaviani R, Mansjoer A, editors. Prosiding Simposium Pendekatan
Holistik Penyakit Kardiovaskular. Jakarta:Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2001. p. 32-42.
59
FIBRILASI VENTRIKULAR
PENGERTIAN
Fibrilasi ventrikular adalah kelainan irama jantung dengan tidak ditemukan depolarisasi
ventrikel yang terorganisasi sehingga ventrikel tidak mampu berkontraksi sebagai suatu kesatuan
dengan irama yang sangat kacau serta tidak terlihat gelombang P, QRS maupun T
DIAGNOSIS
EKG: kompleks QRS sudah berubah sama sekali, amplitudo R sudah mengecil sekali.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG 12 sandapan, rekaman EKG 24 jam, ekokardiografi, angiografi koroner
TERAPI
1. DC shock dengan evaluasi dan shock sampai 3 kali jika perlu dimulai dengan 200 Joule,
kemudian 200-300 Joule dan 360 Joule.
2. Resusitasi jantung paru selama tidak ada irama jantung yang efektif (pulsasi di pembuluh
nadi besar tidak teraba).
3. Bila teratasi penatalaksanaan seperti takikardia ventrikular.
KOMPLIKASI
Emboli paru, emboli otak, henti jantung
PROGNOSIS
Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi
WEWENANG
• RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam -Divisi Kardiologi
• RS non pendidikan: Bagian llmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : ICCU / medical High Care ' RS non pendidikan: ICCU /ICU
REFERENSI
1. Trisnohadi MB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Y ang Spesifik. In: Sjaifoellah N, W aspadji S,
Rachman M, Lesmana LA , W idodo D, Isbagio H. et al, editors. Buku A jar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I,
edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUl ;1996. p. 1005-14.
2. Sfakmun LH. Gangguan Iraina Jantung. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maiyantoro, Gain RA ,
MansjoerA , editors. Pedoman Diagnosis dan Tempi di Bidang limit Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI; 1999. p 155-60.
60
TAKIKARDIA VENTRIKULAR
PENGERTIAN
Takikardia ventrikular adalah kelainan irama jantung berupa tiga atau lebih kompleks
yang berasal dari ventrikel secara berurutan dengan laju lebih dari 100 per menit.
DIAGNOSIS
EKG: frekuensi kompleks QRS meningkat, 150-200 kali/menit, kompleks QRS melebar,
hubungan gelombang P dan kompleks QRS tidak tetap
DIAGNOSIS BANDING
Supraventrikular takikardia dengan konduksi aberans
PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG 12 sandapan, Rekaman EKG 24 jam, Ekokardiografi, Angiografi koroner,
Pemeriksaan elektrofisiologi
TERAPI
• Atasi penyakit dasar : bila iskemia maka dilakukan revaskularisasi koroner, bila payah
jantung maka diatasi payah jantungnya
• Pada keadaan akut:
- Bila mengganggu hemodinamik : dilakukan DC shock
- Bila tidak mengganggu hemodinamik : dapat diberikan antiaritmia dan bila tidak berhasil
dilakukan DC shock
DC Shock diberikan dan dievaluasi sampai 3 kali (200 Joule, 200-300 Joule, 360 Joule
atau bifasik ekuivalen) jika perlu. Antiaritmia yang diberikan : lidokain atau amiodaron. Lidokain
diberikan mulai dengan bolus dosis 1 mg/kgBB (50-75 mg dilanjutkan dengan rumatan 2-4
mg/kgBB). Bila masih timbul bisa diulangi bolus 50mg/kgBB. Untuk amiodaron dapat diberikan
15 mg/kg BB bolus 1 jam dilanjutkan 5 mg/kg BB bolus /drip dalam 24 jam sampai dengan 1000
mg/24jam.
Untuk jangka panjang
Bila selama takikardia tidak terjadi gangguan hemodinamik maka dapat dilakukan
tindakan ablasi kateter dari ventrikel kiri maupun ventrikel kanan. Hal ini terutama untuk
ventrikular takikardia reentran cabang berkas. Bila selama takikardia terjadi gangguan
hemodinamik perlu dilakukan tindakan konversi dengan defibrilator, kalau perlu pemasangan
defibrilator jantung otomatik.
KOMPLIKASI
Emboli paru, emboli otak, kematian
PROGNOSIS
Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi
61
WEWENANG
• RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi
• RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNITTERKAIT
• RS pendidikan : ICCU / medical High Care
• RS non pendidikan: ICCU / ICU
REFERENSI
1. Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Y ang Spesifik. In: Sjaifoellah N, W aspadji S,
Rachman M, Lesmana LA , W idodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku A jar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I,
edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUl; 1996. p. 1005-14.
2. Makmun LH. Gangguan Irama Jantung. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi 1, Maryantoro, Jani RA ,
MansjoerA , editors. Pedoman Diagnosis dan Tempi di Bidang Ilmu Penyakit Z'jlam. Jakarta: Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam cKUI;1999.p 155-60.
62
EKSTRASISTOL VENTRIKULAR
PENGERTIAN
Ekstrasistol ventrikuler adalah suatu kompleks ventrikel premature timbul secara dini di salah
satu ventrikel akibat cetusan dini dari suatu fokus yang otomatis atau melalui mekanisme reentri.
DIAGNOSIS
P sinus biasanya dalam komleks QRS, segmen ST atau gelombang T,kopleks QRS muncul lebih
awal dari seharusnya,QRS melebar (> 0,12 detik),gambaran QRS wide and bizarre, segmen ST
dan gelombang T berlawanan arah dengan kompleks QRS, bila karena mekanisme reentri maka
interval antara kompleks ekstrasistol ventrikel akan selalu sama. Bila berbeda maka asalnya dari
focus ventrikel yang berbeda
PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG 12 sandapan,rekaman EKG 24 jam,ekokardiografi,angiografi koroner
Terapi
· Tidak perlu diobati jika jarang,timbl pada pasien tanpa/tidak dicurigai kelainan organic
· Perlu pengobatan bila terjadi pada kedaan iskemiamiokard akut,bigemini,trigemini,atau
multifocal,alvo ventrikel.
· Koreksi gangguan elektrolit,gangguan keimbangan asam basa, dan hipoksia
· Obat: xilokain intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB dilanjutkan infs 2-4 mg/menit.Obat
alternative: prokainamid,disopiramid,amiodaron,meksiletin.Bila pengobatan tidak perlu
segera, obat-obat ersebut dapat diberikan secara oral
KOMPLIKASI
VT/VF,kematian mendadak
PROGNOSIS
Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi
WEWENANG
· RS pendidikan : dOKTERsPESIALIS Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Kardiologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : ICCU/medical High Care
· RS non pendidikan: ICCU/ICU
REFERENSI
Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Y ang Spesifik. In: Sjaifoellah N, W aspadji S,
RachmanM, Lesmana LA , W idodo D, Isbagio H,et al, editors. Buku A jar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I,
edisi ketiga, Jakarta: Balai Penerbit FKUI;1996.p.1000-14.
63
2.3
PULMONOLOGI
64
HEMOPTISIS
PENGERTIAN
Hemoptisis adalah ekspektoris darah dari saluran napas. Darah bervariasi dari dahak disertai
bercak/lapisan darah hingga batuk berisi darah saja. Batuk darah masif adalah batu darah lebih
dari 100 mL hingga lebih dari 600 mL darah dalam 24 jam
DIAGNOSIS
· Anamnesis
- Batuk, darah bewarna merah segar , bercampur busa
- Batuk sebelumnya,dahak(jumlah,bau penampilan),demam sesak, nyeri ada, riwayat
penyakit paru, penurunan berat badan, anoreksia
- Penyakit komorbid,riwayat penyakit sebelumnya
- Kelainan perdarahan, penggunaan obat antikoagulan/obat yang dapat menginduksi
trombositopenia
- Kebiasaan: merokok
· Pemeriksaan fisik
- Orofaring,nasofaring: idak ada sumber perdarahan
- Paru: ronk basah atau kering,pleural friction rub
- Jantung: tanda-tanda hipertensi pulmonal, mitral stenosis, gagal jantung
· Laboratorium
- DPL, LED, ureum, kreatinin, urin lengkap
- Hemoptisis(aPTT): bila perlu
- Sputum: pemeriksaan BTA langsung dan kultur, pewarnaan Gram,kultur MOR
· Bronkoskopi: Menentukan lokasi sumber perdarahan dan diagnosis
· CT scan toraks: Menemukan bronkiektasi, malformasi AV
DIAGNOSIS BANDING
· Sumber trakeobronkial:
- Neoplasma ( karsinoma bronkogenik,tumor metastasis endobronkial,dll)
- Bronkitis(akut dan kronik)
- Bronkiektasis
- Bronkiolitiasis
- Trauma
- Benda Asing
· Sumber parenkim paru:
- Tuberkulosis paru
- Pneumonia
- Abses paru
- Mycetoma(fungus ball)
- Sindrom Goodpasture
- Granulomatosis Wegener
- Pneumonitis lupus
- Sumber vascular
- Peningkatan tekanan vena pulmonal (stenosis mitral)
65
-
Emboli paru
Malformasi AV
Hematemesis
Perdarahan nasofaring
Koagulopati, pengobatan trombolitik/antikoagulan
Pemeriksaan penunjang
· Foto toraks
· Laboratorium:
- DPL, LED, ureum, kreatinin, urine lengkap
- Hemostasis: bila perlu
- Sputum: pemeriksaan BTA,pewarnaan Gram, kultur MOR
· Bronkoskopi: bila perlu
· CT Scan toraks: bila perlu
TERAPI
Hemoptisis massif:
Tujuan Terapi adalah mempertahankan jalan napas, proteksi paruyang sehat, menghentikan
perdarahan
· Istirahat baring, kepala direndahkan tubuh miring ke sisi sakit
· Oksigen
· Infuse,bila perlu transfuse darah
· Medikamentosa
- Antibiotikka
- Kodein tablet untuk spresi batuk
- Koreksi koagulopati; Vitamin K intravena
· Bronkoskopi: diagnostik dan terapeutik topical(bilas air es,intilasi epinefrin)
· Intubasi selektif pada bronkus paru yang tidak berdarah(bila perlu)
Indikasi operasi pada pasien batuk darah massif:
· Batuk darah 600cc/24jam, dan pada observasi tidak berhenti
· Batuk darah 100-250cc/24jam,hb< 10 g/dL, dan pada observasi tidak berhenti
· Batuk darah 100-250 cc/24jam, Hb>10 g/dL, dan pada observasi 48 jam tidak berhenti
Hemoptisis non-masif:
Tujuan terapi adalah mengendalikan penyakit dasar.
Terapi konservatif suatu penyakit dasar
KOMPLIKASI
Asfiksia, atelektasis, anemia
PROGNOSIS
Tergantung pada penyebabnya
66
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penakit Dalam
· RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Paru
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan: Departemen Bedah/Toraks, Radiologi, Patologi Klinik
· RS non pendidikan : Bagian Bedah, Patologi Klinik, Paru
REFERENSI
1. R Uyainah A . Hemoptisis. In: Simadibrata M,Setiani S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , Mansjoer A ,
editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;1999.p.215-6.
2. A pproach to the patient. In: Fishman A P, Elias JA , Fishman JA . Grippi MA , Kaiser LR, Senior
RM,editors. Fishman’
s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders 3nd ed.New Y ork: McGrawHill;2002.p. 16-21.
3. W einberg SE, Braunwald E. Cough and Hemoptysis. In: Braunwald E, Fauci A S, Kasper DL, Hauser
SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’
s Principles of internal medicine.15th ed. New Y ork: McGrawHill;2001.p.203-7.
67
EFUSI PLEURA
PENGERTIAN
Efusi pleura adalah adanya cairan di rongga pleura>15 ml, akibat ketidakseimbangan gaya
Starling, abnormalitas struktur endotel dan mesotel,drainase limpatik terganggu dan abnormalitas
side of entry( defek diafragma)
Tipe efusi pleura
1. Efusi transudatif: cairan oleura bersifat transudat (kandungan konsentrasi protein atau
molekul besar lain rendah). Efusi transudatif terjadi karena perubahan factor sistemik yang
mempengaruhi pembentukan dan absorbs cairan pleura
Penyebab:
· Gagal jantung Kongestif
· Sindrom nefrotik
· Sirosis hati
· Sindrom meigs
· Hidronefrosis
· Dialysis peritoneal
· Efusi pleura maligna/para maligna: karena atelektasis pada obstruksi bronchial, atau
stadium awal obstruksi limfatik
2. Efusi eksudatif: cairan pleura bersifat eksudat (konsentrasi protein lebih tinggi dari transudat).
Efusi eksudatif terjadi karena perubahan factor local yang mempengaruhi pembentukan dan
absorpsi cairan pleura.
Penyebab
· Tuberkulosis
· Efusi parapneumonia: efusi pada pneumonia
· Keganasan: metastasis(karsinoma paru,kanker mammae, limfoma, ovarium,dll),
mesothelioma
· Emboli paru
· Penyakit abdomen: penyakit pancreas, abses intraabdominal, hernia diafragmatika
· Penyakit kolagen(LES,dll)
· Trauma
· Chylothorax
· Uremia
· Radiasi
· Sindrom Dressler
· Pasca CABG
· Penyakit Pleura di induksi obat: amiodarone, bromocriptine,
· Penyakit pericardium
Chylothoraks : timbul bila terjadi disrupsi ductus thoracicus dan akumulasi chyclus darah tepi
keadaan ini disebabkan trauma atau rupture pembuluh darah atau tumor.
Efusi pleura maligna: dapat ditemukan sel-sel ganas yang terbawa pada cairan pleura atau
ditemukan pada jaringan pleura saat biopsy pleura
Efusi paramaligna: efusi yang disebabkan keganasan, tetapi sel-sel neoplasma tidak dapat
ditemukan pada cairan leura atau jaringan pleura. Efui paramalgna dapat berupa cairan transudat
68
DIAGNOSIS
Anamnesis:
Nyeri, Sesak, Demam
Pemeriksaan Fisik
Restriksi ipsilateral pada pergerakan dinding dada:
Bila>300 mL cairan:
· Bagian bawah/daerah cairan:
Perkusi
: redup
Fremitus taktil dan fokal : menghilang
Suara napas
: melemah s.d. menghilang,fremitus(saat awal)
Trakea
: terdorong ke kontralateral
Di atas dari cairan
: penekanan paru/konsolidasi
Foto torak
· PA: sudut kostofrenikus tumpul (>200mL cairan)
· Lateral: sudut kostofrenikus tumpul (>200mL cairan)
· PA/lateral: gambaran perselubungan homogeny menutupi struktur paru bawah, biasanya
relative radioopak, permukaan atas cekung
USG: menentukan adanya dan lokasi cairan di rongga pleura, membimbing aspirasi efusi
erlokulasi(terutama bila ketebalan efusi<10mm atau terlokulasi).
CT scan(bila perlu) : menunjukkan efusi yang belum terdeteksi dengan radiologi konvensional,
memperlihatkan parenkim paru, identiikasi penebalan pleura dan kalsifikasi karena paparan
asbestosis, membedakan bses paru perifer dengan empyema terlokulasi
Pungsi pleura(torakosentesis) dan analisis cairan pleura: melihat komposisi cairan pleura dan
membandingkan komposisi cairan pleura dengan darah.
Dinilai secara:
Makroskopis
· Transudat = jernih, sedikit kekuningan
· Eksudat = warna lebih gelap, keruh
· Empiema = opak , kental
· Efusi kaya kolesterol = berkilau seperti satin
· Efusi chylous = seperti susu
Mikroskopis:
· Sel leukosit <1.000/mm 3 : transudat
· Sel leukosit meningkat, predominasi limfosit matur: neoplasma, limfoma,TBC
· Sel leukosit predominasi PMN: pneumonia,pancreatitis
Kimiawi
69
·
·
·
·
-
Potein
LDH
Cairan disebut eksudat bila memenuhi salah satu dari 3 kriteria:
Rasio kadar protein total cairan pleura/serum>0,5
Rasio kadar LDH cairan pleura/serum>0,6
Kadar LDH> 200 IU atau > 2/3 batas atas nilai normal serum
Jika efusi pleura eksudat,selanjutnya diperiksakan
Kadar glukosa
Kadar amylase
PH
Hitung jenis
Kadar Lipid: trigliserida
Pemeriksaan mikrobiologi dan sitologi
Amilase
Tes Bakteriologi: pewarnaan Gram,kultur MOR,pemeriksaan BTA langsung dan Kultur
BTA
Sitologi
DIAGNOSIS BANDING
Transudat,eksudat,chylothorax,empiema(lihat di atas)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· Foto toraks PA, lateral dan lateral dekubitus
· Analisis cairan pleura
· Pemeriksaan cairan pleura: BTA langsung, kultur BTA, kultur mikroorganisme+ resistensi
· Sitologi cairan pleura(dengan atau tanpa cystopin)
· USG toraks
· CT scan
TERAPI
Efusi karena gagal jantung
· Diuretik
· Torakosentesis diagnostic bila:
- Efusi menetap terapi diuretik
- Efusi unilateral
- Efusi bilateral, ketinggian caira berbeda bermakna
- Efusi+ febris
- Efusi + nyeri dada pleuritik
Efusi Parapneumonia/empiema
Torakosentesis+ Antibiotika ± drainase(lihat lampiran algoritme)
Efusi pleura karena pleuritis tuberkulosis
Obat anti tuberculosis (minimal 9 bulan) + kortikosteroid dosis 0,75-1 mg/kgBB/hari selama 2-3
minggu, setelah ada respon diturunkan bertahap + torakosentesis terapeutik, bila sesak atau efusi
>tinggi dari sela iga III.
70
Efusi Pleura Keganasan
· Drainase dengan chest tube+ pleurodesis kimiawi. Kandidat yang baik untuk pleurodesis ialah:
- Terjadi rekurens yang cepat
- Angka harapan hidup: minimal beberapa bulan
- Pasien tidak debibilitasi
- Cairan pleura dengan pH>7.30
· Alternatif pasien yang tidak dapat dilakukan pleurodesis ialah pleuroperitoneal shunt
· Terapi kanker paru(lihat PPM kanker paru)
- Kemoterapi sistemik pada limfoma, kanker mammae dan karsinoma paru small cell
- Radioterapi pada limfoma dan chylothorax limfomatous dengan keteribatan KGB
mediastinum
· Pasien dengan lama harapan hidup pendek atau keadaan buruk: torakosentesis terapeutik
periodik
Chylothoraks
Chest tube/thoracostomy sementra, selanjutnya dipasang pleuroperitoneal shunt
Hemotoraks
Chest tube/thoracostomy, Bil perdarahan >200 ml/jam, pertimbangkan torakotomi
Efusi karena penyebab lain;
Atasi penyakit primer
Komplikasi
Efusi pleura berulang, efusi pleura maligna
PROGNOSIS
· Dubia : tergantung penyebab,dan penyakit komorbid
· Prognosis buruk pada efusi pleura maligna
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan: Departemen Ilmu penyakit dalam-Divisi Pulmunologi
· RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Paru
71
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan: Departemen bedah/toraks, Radiologi, Patologi,Anatomi, Mikrobiologi Klinik
REFERENSI
1. Uyainah A . Efusi Pleura In: Simadibrata M. Setiati S,A lwi I,Maryantoro, Gani RA ,Mansjoer A ,
editors. Pedoman Diagnosis dan terapi di bidang Ilmu Penyakit dalam Jakarta: Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilm Penyaki Dalam FKUI. 1999:210-1.
2. Rosenbluth DB. Pleura Effusions: Nonmalignant anf Malignant. In: Fishman A P, Elias JA , Grippi MA ,
Kaiser LR, Senior RM,editors. Fishman’
s Manual of Pulmonary Diseases and disorders.3rd ed. New
Y ork: Mc-Graw Hill,2002: 487-506.
3. Light RW . Disorders Of the Pleura, Mediastinum, and Diaphragm. In: Braunwald E, Fauci A S, Kasper
DI, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’
s Principles of Internal Medicine.15th ed. New Y ork:
McGraw-Hill,2001: 1513-6.
72
PNEUMOTORAKS
PENGERTIAN
Pneumotoraks adalah akumulasi udara di rongga pleura disertai kolaps paru. Pneumotoraks
spontan: terjadi tanpa trauma atau penyebab jelas:
· Pneumotoraks spontan primer: Pada orang sehat.
Faktor risiko : merokok
Penyebab : umumnya rupture bullae
· Pneumotoraks spontan sekunder: pada penderita PPOK, tuberculosis paru,asma,cystic fibrosis,
pneumonia pneumocystis carinii,dll.
Pneumotoraks traumatic adalah pneumotoraksyang didahului trauma, termasuk: biopsi
transtorakal, ventilasi mekanik, pemasangan kateter vena sentral,torakosentesis, biopsi
transbronkhial,dll.
Menurut fistulanya, dibagi atas:
1. Pneumotoraks ventil
2. Pneumotoraks terbuka
3. Pneumotoraks tertutup
DIAGNOSIS
Gejala: nyeri dada,akut, terlokalisir, dipsnea(pada pneumotoraks ventil: tiba-tiba, makin hebat),
batuk, hemoptisis
Pemeriksaan Fisik
· Takipneu
· Sisi terkena(ipsilateral)
- Statis: lebih menonjol
- Dinamis: pergerakan berkurang/tertinggal
- Fremitus: menghilang
- Perkusi: hipersonor
- Auskultasi: suara napas melemah-menghilang
· Tanda pneumotoraks tension:
- Keadaan umum sakit berat
- Denyut jantung> 140x/m
- Hipotensi
- Takipneu,pernapasan berat
- Sianosis
- Diaforesis
- Deviasi trakea ke sisi kontralateral
- Distensi vena leher
73
Foto toraks:
• Tepi luar pleura viseral terpisah dari pleura parietal oleh ruagan lusen
• PA tegak pneumotoraks kecil: tampak ruangan antara paru dan dinding dada pada apeks.
• Bila perlu foto saat ekspirasi: mediastinal shift, depresi diafragma, ekspansi rib cage
CT Scan: membedakan pneumotoraks terlokulasi dari kista atau bullae AGD : hipoksemia,
mungkin disertai hipokarbia (karena hiperventilasi) atau hiperkarbia.
DIAGNOSIS BANDING
Penyakit tromboemboli paru, pneumonia, infark miokardium, PPOK eksaserbasi akut, efusi
pleura, kanker paru
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto toraks CT scan toraks
Analisis gas darah : bila diperlukan
TERAPI
• Pneumotoraks unilateral kecil (< 20 %) dan asimtomatik: observasi, foto toraks serial.
• Aspirasi: anestesi lokal di sela iga II anterior (garis midklavikula) aspirasi dengan kateter 16F
atau 18F, hingga tidak ada gas lagi keluar.
• Jika tidak resolusi dengan aspirasi atau volume udara besar: konsul Bagian Bedah/Subbagian
Bedah Toraks untuk pertimbangan pemasangan thoracostomy tube. Tube disambungkan ke
water sealed chamber, dapat disertai suction untuk 24 jam pertama atau selama masih ada
kebocoran udara. Setelah 24 jam tidak terjadi pneumotoraks lagi: tube dapat dicabut.
• Jika pneumotoraks rekurens:
- Pleurodesis kimiawi dengan zat iritan terhadap pleura, atau:
- Konsul Bagian Bedah / Subbagian Bedah Toraks untuk pertimbangan:
§ Pleurodesis mekanik (abrasi permukaan pleura parietal atau stripping pleura parietal),
atau
§ Torakoskopi, atau Open thoracotomy.
Indikasi:
- Kebocoran udara memanjang,
- Reekspansi paru tidak sempurna
- Bullae besar
- Risikopekerjaan
Indikasi relatif:
- Pneumotoraks tension
- Hemopneumotoraks
- Bilateral pneumotoraks
- Rekurens ipsilateral / kontralateral
74
KOMPLIKASI
Gagal nafas pneumotoraks tensio, hemopneumotoraks, infeksi/piopneumotoraks, penebalan
pleura, atelektatis, pneumotoraksrekurens, emfisima mediastinu, edema paru reekspansi
PROGNOSIS
Dubia: tergantung tipe penyakit dasar, faktor pemberat/ komorbid.
WEWENANG
• RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
• RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dal am - Di visi Pulmonologi
• RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Paru
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Bedah / Toraks, Radiologi / Radiodiagnostik
• RS non pendidikan: Bagian Bedah, Paru, Radiologi
REFERENSI
1. Bahar A . Pneumothoraks. In Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , Mansjoer A ,
editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;1999.-p.221-2.
2. Rosenbluth DB. Pneumothorax. In Fishman A P, Elias J A , Fishman J A , Grippi MA , Kai ser LR,
Senior RM, editors. Fishman's Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3"1 ed. New Y ork:
McGraw-Hill; 2002.p. 507.
3. Light RW . Disorders of the Pleura, Mediastinum, and Diaphragm. In Braunwald E, Fauci A S, Kasper
DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine. 15"' ed. New Y ork:
McGraw-Hill; 2001.p. 1513-6.
75
PNEUMONIA DIDAPAT Dl MASYARAKAT
PENGERTIAN
Pneumonia adalah Inflamasi parenkim paru yang disebabkan
Mikobakterium tuberkulosis.
mikroorganisme selain
Pneumonia Didapat Di Masyarakat (Community-acquired Pneumonia, CAP)
• Pneumonia pada individu yang menjadi sakit di luar rumah sakit, atau dalam 48 jam sejak
masuk rumah sakit
• infeksi akut pada parenkim paru yang berhubungan dengan setidaknya beberapa gejala infeksi
akut, disertai adanya gambaran infiltrat akut pada radiologi toraks atau temuan auskultasi
yang sesuai dengan pneumonia (perubahan suara napas dan atau ronkhi setempat) pada orang
yang tidak dirawat di rumah sakit atau tidak berada pada fasilitas perawatan jangka panjang
selama > 14 hari sebelum timbulnya gejala (IDSA 2000)
Etiologi penyebab
Grup I: rawat jalan, tanpa penyakit kardiopulmonal, tanpa faktor modifikasi
• Streptococcus pneumoniae
• Mycoplasma pneumoniae
• Chlamydia pneumoniae (tunggal atau infeksi campuran)
• Hemophilus influenzae
• Respiratory viruses
• Lain: Legionella spp., Mycobacterium tuberculosis, fungi endemik
Grup II: rawat jalan, dengan penyakit kardiopulmonal, dan / atau faktor modifikasi
• Streptococcus pneumoniae (termasuk DRSP )
• Mycoplasma pneumoniae
• Chlamydia pneumoniae
• Infeksi campuran (bakteri + patogen atipik atau virus )
• Hemophilus influenzae
• Enterik gram negatif
• Respiratory viruses
• Lain: Moraxella catarrhalis, Legionella spp, aspirasi ( anaerob ), Mycobacte rium
tuberculosis, fungi endemik
Grup III: rawat inap Non-ICU
a. Dengan penyakit kardiopulmonal dan / atau faktor modifikasi (termasuk penghuni
pantijompo)
• Streptococcus pneumoniae (termasuk DRSP)
• Hemophilus influenzae
• Mycoplasma pneumoniae
• Chlamydia pneumoniae
• Infeksi campuran (bakteri + patogen atipik )
• Enterik gram negatif
• Aspirasi (Anaerob)
• Virus
76
• Legionella spp
• Lain: Mycobacterium tuberculosis,fungi endemik, Pneumocystis carinii
b. Tanpa penyakit kardiopulmonal, tanpa faktor modifikasi
• Streptococcus pneumoniae
• Hemophilus influenzae
• Mycoplasma pneumoniae
• Chlamydia pneumoniae
• Infeksi campuran (bakteri + patogen atipik)
• Virus
• Legionella spp
- Lain: Mycobacterium tuberculosis, fungi endemik, Pneumocystis carinii
Grup IV:RawatICU
a. Tanpa resiko infeksi Pseudomonas aeruginosa
- Streptococcus pneumoniae (termasuk DRSP )
- Legionella spp
- Hemophilus influenzae
- Enterik gram negatif
- Staphylococcus aureus
- Mycoplasma pneumoniae
- Respiratory Virus
- Lain:- Chlamydia pneumoniae, Mycobacterium tuberculosis, fungi endemik
b. Ada resiko infeksi Pseudomonas aeruginosa
- Semua patogen diatas (IV.a)
- + Pseudomonas aeruginosa
DIAGNOSIS
Rencana diagnostik bertujuan :
1. Diagnostik adanya CAP:
- Foto paru terdapat infiltrat baru atau infiltrat yang bertambah
- Terdapat 2 dari 3 gejala berikut: demam, batuk + sputum produktif, leukositosis (pada
penderita usia lanjut: gejala dapat tidak khas/tersamar, seperti lesu, tidak mau makan, dll)
2. Pengkajian awal derajat berat penyakit dengan The Pneumonia PORT prediction rule atau
Pneumonia Severity of Illness Index ( PSl): Berdasarkan proses dua langkah yang
mengevaluasi faktor demografis, penyakit komorbid, remeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan radiologis, pasien distratifikasi menjadi limakelas risiko mortalitas dan
outcome:
- Pasien dengan kondisi berikut dimasukkan dalam kelas risiko II-V
- Usia di atas 50 tahun
- Terdapat riwayat penyakit komorbid:
· keganasan
· gagal jantung kongestif
· penyakit serebrovaskular
77
·
· penyakit ginjal
penyakit hati
- Terdapat kelainan pada pemeriksaan i'isis:
· perubahan status mental
· nadi > 125 kali/menit
· pemapasan > 30 kali/menit
· tekanan darah sistolik < 90 mmHg
· suhu<30°Catau>40°C
• Selain kondisi di atas pasien dimasukkan dalam kelas risiko I
3. Identifikasi penyebab mikrobiologis (lihat tabel 4):
• pewarnaan Gram sputum
• kultur sputum
• kultur darah
• pemeriksaan serologis, pemeriksaan antigen, pemeriksaan polymerase chain reaction
(PCR), dan tes invasif (torakosentesis. aspirasi transtrakheal, bronkoskopi, aspirasi jarum
transtorakal. biopsi paru terbuka dan torakoskopi): bila diperlukan.
DIAGNOSIS BANDING
Tuberkulosis paru, jam ur
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• foto toraks
• pulse oxymetry
• Laboratorium Rutin : DPL, hitung jenis, LED. Glukosa darah, Ureum, Creatinin,
• SGOT.SGPT
• Analisis gas darah, elektrolit
• Pewarnaan Gram sputum
• Kultur sputum
• Kultur darah
• Pemeriksaan serologis
• Pemeriksaan antigen
• Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR).
• Tes invasif (torakosentesis, aspirasi transtrakheal. bronkoskopi. aspirasi jarum
transtorakal, biopsi paru terbuka dan thorakoskopi
TERAPI
Tata laksana Umum:
Rawatjalan:
• Dianjurkan untuk tidak merokok, beristirahat, dan minum banyak cairan
• Nyeri pleuritik/demam diredakan dengan parasetamol
• Ekspektoran/mukolitik
• Nutrisi tambahan pada penyakit yang berkepanjangan
• Kontrol setelah48jam atau lebih awal bila diperlukan
• Bila tidak membaik dalam 48 jam dipertimbangkan untuk dirawat di rumah sakit atau
78
dilakukan foto thoraks.
Keputusan merawat pasien di RS ditentukan oleh :
- Derajat berat CAP
- Penyakit terkait
- Faktor prognostik lain
- Kondisi dan dukungan orang dirumah
- Kepatuhan, keinginan pasien
Rawat inap di RS :
- Oksigen, bila perlu dengan pemantauan saturasi oksigen dan konsentrasi oksigen inspirasi.
Tujuannya : mempertahankan PaO2 > 8kPa dan SaO2 > 92 %
- Terapi oksigen pada pasien dengan penyakit dasar PPOk dengan komplikasi gagal napas
dituntut denga pengukuran analisa gas darah berkala
- Cairan : bila perlu dengan cairan intravena
- Nutrisi
- Nyeri pleuritik/ demam diredakan dengan parasetamol
- Ekspektoran/ mukolitik
Foto thorak diulang pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan yang memuaskan.
Rawat di ICU :
- Bronkoskopi daopat bermamfaat untuk retensi sekret, mengalami sampel untuk kultur
guna penulusuran mikrobiologi lain dan menyingkirkan kelainan endobrakial.
Terapi antibiotik :
Pemilihan antibiotik dengan spektrum sesempit mungkin, bedasarkan perkiraan etiologi yang
menyebabkan CAP pada kelompok p[asien rtertentu, sesuai pedoman terapi emp[irik inisial ATS
2001. Syarat untuk alih terapi :
- Berkurangnya keluhan batuk dan sesak nafas
- Suhu afebris ( < 1000F ) opada dua pengukuran yang terpisah 8 jam lamanya, leukosit
berkurang / menjadi normal.
- Saluran gastrointestinal berfungsi baik, masukan oral adekuat.
Syarat untuk pemulangan dapat merujuk pada criteria Weingarten atau Ramirez (lihat table 6).
KOMPLIKASI
- CAP berat :
Bila memenuhi suatu kriterias mayor ( dari dua kriteria modifikasi ) atau dua kriteria minor (
dari # kriteria minor modifikasi )
Kriteria minor yang dikaji saat masuk RS :
1. gagal nafas berat ( PaCO2/ FIO2 < 250 )
2. foto thoraks : pneumonia multilobaris
3. TD sistolik < 90 mmHg.
79
Kriteri mayor yang dikaji saat masuk RS atau dalam perjalanan penyakit :
1. perlunya ventilator mekanis
2. syok sepsis
- Gagal nafas
- sepsis, syok sepsis
- Gagal ginjal akut
- Efusi parapneumonik
- bronkiektasis
PROGNOSIS
Tergantung pada derajat berat penyakit, penyakit komorbid, status imunologis, dll.
WEWENANG
- RS pendididkan : dokter spesialis penyaklit dalam dan PPDS penyakit dalam
- RS non pendidikan : dokter spesialis penyakit dalam
UNIT YANG MENANGANI
- Rs pendidikan : departemen ilmu penyakit dalam- devisi pulmonologi
- Rs non pendidikan : bagian ilmu penyakit dalam.
UNIT TERKAIT
- RS pendidikan : devisi tropic infeksi, Depasrtement Radiologi/ Radiodiagnostik, Patolog
Klinik, Mikrobiologi Klinik, Parasitologi, Anestesia/ ICU
- RS non pendidikan : Bagian paru, patologi klinik, radiologi, parasitlogi, mikrobiologi
klinik, anestesi /ICU
REFERENSI
1. A merican Thoracic Society. Guidelines for Management of A dults with Community A cquired
Pneumonia: Diagnosis, A ssessment of Severity, A nti Microbial Therapy, and Prevention. A n J Respir
Crit Care Med, 2001: 163:1730 –54.
2. British Thoracic Society Standard of Care Committee. British Thoracic Society Guidelines for The
Management of Community A cquired Pneumonia in A dults. Thorax 2001:56(SUPPL IV ):1-64.
A vailable at URL:http://Thorax.bmjjournals.com /cgi/content/full/56/suppl_4/.
3. Rhew DC, W eingarten SR, A chieving A Safe and Early Discharge for Patients wit Community
A cquired Pneumonia. Medical Clinics of North A merica, November 2001:85(6):1427-40.
4. Barttlet JG, Dowell SF, Mendell LA , File Jr TM, Musher DM, Fine MJ. Guidelines from Infectious
Diseases Society of A merica: Practice Guidelines for The Management Community A cquired
Pneumonia in A dults. Clinical Infectious Diseases 2000:31:347-82.
80
Table 2. langkah kedua sistem skor rumus prediksi pneumonia
Karakteristik pasien
Faktor demografik :
Usia
Laki-laki
perempuan
Penghuni panti jompo
Penyakit ko-morbid :
Neoplasma
Penyakit hati
Gagal jantung kongestif
Penyakit serebrovaskul;ar
Penyakit ginjal
Temuan pemeriksaan fisik :
Perubahan status mental
Frekuensi pernafasan > 30 kali/menit
Tekanan darah sistolik < 90 mmHg
Suhu < 350C atau > 400 C
Frekuensi nadi > 125 kali/menit
Hasil laboratorium dan radiologis :
AGD : pH < 7,35
Blood Urea Nitrogen >30 Mg/dl ( 11 mmol/L)
Natrium < 130 mmol/L
Glukosa > 250 mg/dl
Hematokrit < 30 %
AGD : PaCO2 < 60 mmHg
Efusi pleura
Nilai
Umur ( tahun )
Umur (tahun)-10
+ 10
+30
+20
+10
+10
+10
+20
+20
+20
+15
+10
+30
+20
+20
+10
+10
+10
+10
Tabel 3. Stretifikasi Pneumoni Bedasarkan Skor Resiko, angka kematian dan rekomendasi
tempat rawat
Kelas
resiko
I
II
III
IV
V
Jumlah nilai
< 70
71-90
91-130
>130
Mortalitas
Cohort validasi pneumonia PORT (%)
Rawat inap
Rawat jalan
Semua pasien
0,5
0,0
0,1
0,9
0,4
0,6
1,2
0,0
0,9
9,0
12,5
9,3
27,1
0,0
27,0
Penatalaksanaan
Rawat jalan
Rawat jalan
Rawat inap singkat
Rawat inap
Rawat inap
81
Table 4. perbandingan pemeriksaan diagnostik CAP
ATS 2001
Lab Rutin
Rawat jalan :
Rawat jalan :
Pasien yang masih
tak perlu untuk
mungkin dirawat
mayoritas pasien
RS,>65 th,komorbid.
Rawat inap :
Rawat inap :
harus
semua pasien
CRP
Pemeriksaan
oksigenasi :
pulse oximetry
Pemeriksaan
oksigenasi:
Analisa gas
darah
Foto thoraks
Gram sputum
Kultur sputum
Kultur darah
BTS 2001
Rawat jalan :
penyakit dasar
jantung /paru
Rawat inap :
semua
Rawat inap:
Penyakit berat,
penyakit paru
kronis
Rawat jalan dan
inap ;
harus
Rawat jalan dan
inap :
Bila dicurigai
bakteri resisten,
atau bakteri tak
sensitive terhadap
AB yang biasa
Rawat jalan dan
inap :
Bila curiga bakteri
resisten atau bakteri
tak sensitive
terhadap AB biasa
Rawat inap :
Rawat inap :
bila tersedia
Rawat jalan :
diperteimbangkan
CIDS 2000
Rawat jalan :
Jika klinis/ro
mengarah
keprognostic buruk,
IDSA 2000
Rawat inap
direkomendasikan
Rawat inap :
datang ke IGD ;
direkomendasikan
Rawat inap :
Pasien tertentu
Rawat inap :
SaO2< 92%, CAP
berat
Rawat jalan :
Jika klinis/ro
mengfarah ke
prognostyi buruk
Rawat inap :
direkomendasikan
Rawat jalan dan
inap :
PPOK
Rawat jalan :
Tak perlu untuk
mayoritas pasien
Rawat jalan :
Direkomendasikan
bila diperlukan
Rawat jalan dan inap:
Harus
Rawat inap :
harus
Rawat jalan :
Tak respon
terhadap AB
empiris,
Rawat inap:
harus
Rawat jalan :
Mayoritas tak
direkomendasikan
Rawat inap :
semua
Rawat inap :
CAP berat,
komplikasi (+)
Rawat jalan :
Tidak respon
terhadap Ab
empiris
Rawat inap :
direkomendasikan
Rawat inap :
direkomendasikan
Rawat inap :
Bukan CAP
berat,dahak purulen,
belum AB, CAP
berat, tidak respon
terhadap AB
empiris
Rawat inap :
Rawat inap :
Rawat inap :
Pasien tetentu
Rawat jalan :
Optional
Rawat inap :
Direkomendasikan
Rawat jalan :
Optional
Rawat inap :
Direkomendasikan
Rawat inap :
82
Tes serologi
Pneumoco-ccal
antigen test
Tes antigen (A),
serologi (S),
Kultur (K),
Legionella
Direkomendasikan
Rawat inap :
Tidak rutin
direkomendasikan
Rawat inap :
(A)
CAP berat
Pemeriksaan
sputum BTA
langsung
Tatalaksana rawat jalan
direkomendasikan
Rawat inap:
CAP berat, tidak
respon terhadap
beta lactam, faktor
resiko, wabah
Rawat ianp :
CAP berat
Rawat inap :
(A,S,K)
CAP berat, faktor
resiko, wabah
Direkomendasikan
Tidak
direkomendasikan
Rawat jalan :
batuk produktif
persisten
Bila klinis
sesuai,faktir resiko
Direkomendasikan
Rawat inap :
(A)
CAP berat
Rawat inap :
(A,K), CAP berat, >40
Th, tak resp[on
terhadap beta lactam,
immunocompromise,
kecurigaan klinis dan
wabah
Rawat inap :
Pasien tertentu, batuk >
1 bulan
Tatalaksana rawat
CAP
Sakit ringan-sedang
Tanpa penyakit
kardiopulmona
l, tanpa faktor
modifikasi
Direkomendasikan
Tidak
direkomendasikan
Riwayat
penyakit
kardiopulmona
l+ /atau faktor
modifikasi
Severe CAP
Tanpa resiko
P.aeruginosa
Penyakit
kardiopulmona
l + /atau faktor
modifikasi
Tanpa resiko
P.aeruginosa
Tanpa penyakit
kardiopulmona
l, tanpa faktor
modifikasi
Gambar 2. Stratifikasi Pasien CAP ( ATS 2001 )
83
Tabel 5. Rekomendasi Terapi Empiris (ATS 2001)
Grup
Karakteristik
Antibiotik Pilihan (kedua pilihan ini setingkat)
I
Rawat jalan penyakit
MAKROLID
GENERASI DOXYCYLINE
kardiopulmonal (-)
BARU
factor modifikasi (-)
II
Rawat jalan, penyakit ΒLactam Oral:
Fluoroquinolon:
kardiopulmonal (+)
Cefpodoxime, Amoxc=Icilin
antipneumococcus
dan/atau Faktor
Dosis Tinggi,
modifikasi (+)
Amoxicilin/Clavulanat.
Atau parental:
Cefriaxone, diikuti Cefpodoxime
oral
Dikombinasi dengan: Makrolid
atau doxycycline
III A Rawat inap, penyakit
ΒLactam IV:
Fluoroquinolon:
kardiopulmonal (+)
Cefotaxime, Cefriaxone,
Antipneumococcus IV
dan/atau factor
Ampicilin/Sulbactam, Ampicilin
modifikasi (+)
dosis tinggi.
Dikombinasi dengan:
Makrolid IV atau oral
Atau doxycyline
III B
Rawat inap, penyakit Azithromycin IV
Fluoroquinolon:
kardiopulmonal
(-) Atau :
antipneumococcus
factor modifikasi (-)
Doxycycline dan βlactam
IV A Rawat ICU. Tanpa ΒLactam IV:
resiko Ps. Aeruginosa Cefotaxime
Cefriaxone
Dikombinasi Dengan:
Makrolida IV (Azithromycin)
Atau Fluoroquinolon IV
IV B Rawat ICU. Dengan Β Lactam Antipseudomonas IV ΒLactam Antipseudomonas
resiko Ps. Aeruginosa Tertentu
IV Tertentu
Cefepime
Cefepime
Imipenem
Imepenem
Meropenem
Meropenem
Piperacilin/Tazobactam
Piperacilin/Tazobactam
Dikombinasi Dengan :
Dikombinasi Dengan:
Quinolon Antipseudomonas IV
Aminoglikosid IV
Ciprofloxacin
Dikombinasi dengan:
Makrolid IV
(Azithromycin)
Atau
Fluoroquinolon
nonpseudomonas IV
Table 6. Kriteria Alih Terapi Dan Pemulangan Pasien (Weingarten Dan Ramirex)
84
Kriteria
alih terapi
Weingarten
Tidak ada alasan yang jelas untuk
tetap dirawat: TD sistolik < 100
mmHg, dehidrasi seperti ditunjukkan
oleh hipernatremia ( Na > 155 mmol/l),
rasio BUN: creatinin > 20
:1,
perubahan TD sistolik ortostatik >
20mmHg, perubahan mental akut,
hipoksia (saturasi gas darah arteri pada
udara kamar < 90% atau PO2 <55
mmHg), asidosis respiratorik akut
dengan pH <7,30, ketidakmampuan
minum obat atau cairan per oral,
penjalaran
infeksi
(meningitis),
penyakit komorbid yang tidak stabil .
Ramirez
Perbaikan batuk dan sesak nafas
Absorpsi gastrointestinal adekuat
Suhu menjadi normal (<37,80C
selama minimal 8 jam)
Leukosit menjadi normal
Tidak ada pathogen berisiko tinggi:
Stapylococcus aureus, aspirasi pasca
obstruksi, mycobacterial, fungi. Tidak
ada komplikasi fatal selama perawatan:
infark
miokard
akut,
fibrilasi
ventricular, takikardia ventricular,
asystole, blok jantung total, fibrilasi
atrial tak stabil atau baru, takikardia
supraventrikular, pneumotorak, gagal
jantung kongetif
Waktu alih
terapi
Kriteria
pulang
Waktu
pulang
Tidak ada imunosupresi, atau infeksi
Hari ke-3
Tidak ada
Hari ke-4
Jika kriteria alih terapi terpenuhi
Kandidat terapi oral.
Tidak perlu tata laksana kondisi
komorbid (CHF, dll)
Tak perlu tindakan diagnostic
(bronkoskop untuk massa paru)
Tak ada indikasi sosial unutk
melanjutkan perawatan (kondisi
rumah tak stabil)
Jika kriteria pulang terpenuhi
85
PNEUMONIA ATIPIK
PENGERTIAN
Pneumonia atipik adalah pneumonia yang disebabkan infeksi bakteri, tapi mempunyai gambaran
klinis radiologis tersendiri yang berbeda dari pneumonia umumnya, yakni onset yang insidious,
demam ringan sampai berat, batuk tanpa produksi sputum, dan tidak berespon dengan terapi
antibiotik beta lactam. Etiologi : Mycoplasma pneumonia, Chlamydia pneumonia, legionella spp,
influenza virus tipe A dan B.
DIAGNOSIS
Pada pneumonia tyang disebabkan oleh mokroba atipik, gejala sisten pernapasan dapat tidak khas,
sedangkan gejala sistemik, seperti sakit kepala, nyeri otot atau sendi dapat menonjol.
- Batuk tanpa sputum, kecuali bila penyakit memberat/ infeksi sekunder.
- Demam ringan, dapat dengan cepat meningkat hingga menggigil.
- Malaise, kelemahan seluruh anggota badan.
- Sakit kepala, nyeri otot.
- Nyeri dada, sesak nafas ( buila berat).
PEMERIKSAAN FISIK
- Tanda-tanda radang dan konsolidasi paru : suara nafas bronchial, ronkhi
- Efusi pleura, abses paru
- Gejala gangguan ekstra p[aru ( terutama oleh legionella dan mychoplasma )
§ Infeksi saluran nafas atas : laryngitis, faringitis, rinnitus.
§ Saluran gastrointestinal : diare, muntahj, nyerui perut, hepatosplenomegali.
§ Sistem kardiovaskular : bradikardia relatif, miokarditis, perikarditis.
§ Gangguan sistem saraf : confusion, ensefalitis, meningguismus, paralisis guilain barre,
kelumpuhan saraf cranial, neuropatio perifer.
§ Gangguan dermatomuskuloskeletal : rash, eritema, myalgia, artritis, atralgia.
§ Ganggguan sistem urogenital : glomerulonefritis, gagal ginjal akut, abses tuboovarian.
§ Mata : bullous myringitis.
§ Telinga : otitis media.
LABORATORIUM
DPL leukositosis, biiasanya < 15.000/ml, trombositopenia, anemia hemolitik, LED meningkat,
SGOT,SGPT meningkat.
FOTO THORAKS : bervariasi
- Fase awal : infiltrasi paru retikuler dan interstisial
- Unilateral, terutama lobus bawah, segmental atau satu lobus.
- Pemeriksaan KGB hilus.
DIAGNOSA BANDING
Pneumonia didapat dimasyarakat (CAP) bronchitis kronik.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : DPL, retikulosit, LED,SGOT, SGPT, serologi
86
Foto toraks : bervariasi.
· Fase awal : infiltrat paru retikuler dan interstitial
· Unilateral, terutama lobus bawah, segmental atau satu lobus
· Pembesaran KGB hillus
DIAGNOSA BANDING
Pneumonia yang didapat di masyarakat (CAP) bronchitis kronis.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : DPL, retikulosit, LED, SGOT, SGPT, Serologis.
Foto thoraks.
TERAPI
Antibiotok : pemilihan antibiotik dengan spektrum sesempit mungkin :
· Makrolid :
§ Eritromisin
§ Claritomisisin 2x500 mg
§ Azitromicin 1x500 mg
§ Roksitromisin 2x500 mg
· Doksisiklin
· Respiratory- fluorokuinolon
· Rifampisin (bila curiga legionella)
Tatalaksana umum penderita pneumonia (=tatalaksana uimun CAP)
RAWAT JALAN
- Dianjurkan untuk tidak merokok, beristirahat dan minum banyak cairan
- Nyeri pleuritik/ demam diredakan dengan parasetamol
- Ekspektoran/mukolitik
- Nutria tambahan pada penyakit yang berkepanjangan
- Control setelah 48 jam atau lenih awal buila perlu
- Bila tiodak membaik dalam 48 jam dipertiombangkan untuk dirawat di rumah sakit, atau
dilakukan foto thoraks.
Keputusan merawat pasien di RS ditentukan oleh :
- Derajat berat
- Penyakit terklait
- Faktor prognosis lain
- Kondisi dan dukungan orang dirumah
- Kepatuhan, keinginan pasien
87
Rawat inap di RS
- Oksigen, bila perlu dengan pantauan saturasi oksigen dan konsentrasi oksigen ibnspirasi.
Tujuannya : mempertahankan PaO2 > 8 kPa dan SaO2 > 92 %.
- Terap[I oksigen pada pasioen dengan penyakit dasar PPOK dengan komplikasi gagal
napas dituntun dengan pengukuran AGD berkala.
- Cairan ; bila perlu dengan cairan intravena.
- Nutrisi
- Nyeri pleuritik/ demam diredakan dengan parasetamol.
- Ekspektoran / miukolitik.
- Foto thoraks diulang pada pasien yang tiofdak menunjukkan perbaikan yang memuaskan.
Rawat di ICU
- Bronkoskopi dapat bermamfaat untuk retensi sekret, mengambil sampel untuk kultur guna
penulusuran mikrobiologi lain dan menyingkirkan kelainan endobronkial.
KOMPLIKASI
Efusi pleura, empiema, abses paru, atelektasis, gagal nafas, kor pulmonal, pneumotoraks,
septicemia, herepes labialis, penyakit tromboemboli.
PROGNOSA
Dubia : tergantung derajat berat penyakit, penyakit terkait, faktor prognosyik lain.
WEWENANG
- RS pendidikan : dokter spesialis penyakit dalam dan PPDS penyakiut dalam
- RS non pendidikan: dokterr spesialis penyakit dalam.
UNIT YANG MENANGANI
- RS pendidikan : departemen ilmu penyakit dalam- devisi pulmonologi
- RS non pendidikan : bagian ilmu penyakit dalam.
UNIT TERKAIT
- RS pendidikan : departemen radiologi / radiodiognostik, patologi klinik, mikrobiologi
klinik.
- Rs non pendidikan : bagian patologi klinik, paru, radiologi, mikrobiologi klinik.
88
GAGAL NAPAS
PENGERTIAN
Gagal nafas adalah ketidakmampuan mempertahankan nilai pH ( keasaman ), oksigen, dan
karbondioksida darah arteri supaya tetap dalam batas normal.
ETIOLOGI
- Penyakit saluran nafas : bronchitis kronis, emfisema, asma bronchial, bronkiektasis
- Penyakit paru parenkim : pneumonia, edema paru, aspirasi, inhalasi asap, gas.
- Gangguan hipermeabilitas : edema paru, ARDS
- Penyakit pembuluh darah : emboli paru, syok kardiogenik, Fistula A, V.pulmoner.
- Trauma : dada, leher, kepala.
- Gangguan neuromuscular : poliomyelitis, sindrom tetanus, paralisis diafragma.
- Obat-obatan : barbiturate, narkotik, sedative, obat0-obatan relaksasi.
- Kelainan dinding dada: kifoskoliosis, ankylosing spondylitis
- Lain-lain : hipotermia.
DIAGNOSIS
Sesak nafas berat, batuk, sianosis, pulsus paradoksus, stridor, aritmis, takikardia, kontriksi pupil.
Gagal napas tipe I
- PaCO2 normal atau menigkat
- PO2 turun
- Umumnya kurus
- Warna kulit : pink puffer
- Hiperventilasi
- Pernapasan : purse lips
Gagal napas tipe II
- PCO2 meningkat
- PO2 menurun
- Sianosis
- Umumnya kegemukan
- Hipoventilasi
- Tremor CO2
- Edema
DIAGNOSA BANDING
Edema paru, ARDS
PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Analisa gas darah
- Foto thoraks
- kateter Swan Gans dengan monitor-tekanan kap[iler paru (PCWP)
- EKG
89
TERAPI
Tahap I
- perbaikan gangguan hipoksemia dengan terapi O2
- bronkodilator nebulizer
- Humidifikasi
- Fisioterapi dada
- Antibiotik
Tahap II
- bronkodilator parenteral
- kortikosteroid
Tahap III
- stimulasi pernapasan
- mini trakheostomi bila retensi sputum
Tahap IV
- ventilasi mekanik
KOMPLIKASI
Mortalitas
PROGNOSIS
Malam
WEWENANG
dokter spesialis penyakit dalam dan PPDS penyakit dalam
: dokters spesialis penyakit dalam
UNIT YANG MENANGANI
DEpartemen Ilmu Penyakit dalam- devisis pulmonologi
: Bagian ilmu penyakit dalam
UNIT TERKAIT
Departemen Patiologi KLinik, Radiologi, ASnestesi/ICU
pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Anestesi /ICU.
RS pendidikan
:
RS non pendidikan
RS pendidikan
:
RS non pendidikan
RS pendidikan :
RS
non
90
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK
PENGERTIAN
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya perlambatan
aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible. Perlambatan aliran udaraq umunya bersifat
progressif dan berkaitan dengan respon inflamasi yang bersifat abnormal terhadap partikel dan
gas iritan.
DIAGNOSIS
· keluhan : sesak napas, batuk-batuk kronis, sputum yang produktif, faktor resiko +, PPOK
ringan dapat tanpa keluhan dan gejala.
· Anamnesa riwayat paparan dengan faktor rediko, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat
keluarga PPOK, riwayat eksaserbasi dan perawatan di RS sebelumnya, komorbiditas, dampak
penyakit terhadap aktifitas, dll. Kemungkinan mengurangi faktor resiko.
· Pemeriksaan fisik :
§ Pernapasan Pursed lipss
§ Takipnea
§ dada empisematous atau barrel chest
§ dengan tampilan fidsik pink puffer atau blue bloater
§ bunyi napas vesikuler melemah
§ ekspirasi memanjang
§ ronki kering atau weexing
§ bunyi jantung jauh
· Diagnosa pasti denga spirometri
§ FEV1/FVC< 70 %
§ uji bronkodilator (saat diagnose ditegakkan ) ; FEV1 pasca bronkodilator <80% prediksi.
· uji coba kortikosteroid
· analisa gas darah pada :
§ semua pasien dengan VEP1 < 40% prediksi
§ secara klinis diperkirakan gagal nafas atau payah jantung kanan.
PPOK eksaserbasi akut
· Gejala eksaserbasi : bertambah nya sesak nafas, kkadang-kadang disertai mengi,
bertambahnya batuk disertai meningkatnya sputum dan sputum menjadi lebih purulen atau
berubah warna.
· Gejala non spesifik : malaise, insomnis, fatique, depresi.
· Spirometri : fungsi paru sangat menurun
Etiologi eksaserbasi
Infeksi mukosa tracheobronkial, terutama Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza,
Moraxella catarralish.
91
Kalisifasi PPOK menurut National Heart, Lung and Blood Institute dan WHO
· Stadium 0 ; derajat beresiko PPOK ; spirometri normal, kelainan kronik ( batuk, sputum
produktif)
· Stadium I : PPOK ringan : VEP1/ KVP < 70%, VEP1> 80% prediktif, dengan atau tanpa
keluhan kronik (batuk, sputum produktif ).
o
Stadium II : PPO sedang : VEP1 / KVP< 70%. 30% < VEP1 < 80 % prediktif, dengan
atau tanpa keluhan kronk ( batuk, sputum prediktif ).
· Stadium III : PPOK berat : VEP1 / KVP < 70%, VEP1 < 30% prediktif atau VEP1 < 50%
prediktif + gagal napas
DIAGNOSA BANDING
Asa bronchial, bronkiektasis, gagal jantung kongestif, pneumonia.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Spirometri
- Foto thoraks
- Bila eksaserbasi akut ; analisa gas darah, DPL, sputum gram, kultur MOR.
TERAPI
Usaha mengurangi faktor resiko
- Eedukasi –motivasi berhenti merokok
- Farmakoterapi stop merokok
Terapi PPOk stabil
Terapi farmakologis
a. Bronkodilator
- Secara inhalasi (MDI), kecuali preparat tak tersedia, tak terjangkau.
- Rutin (bila gejala menetap ) atau hanya bila diperlukan (gejala intermitten)
- 3 golongan :
· A gonis beta 2 : fenopterol, salbotamol, albuterol, terbutalin, formoterol,
salmeterol.
· Antikolinergik : ipatropium bromide, oksitropium bromide.
· Metilxantin : teofilin le[pas lambat, bila kombinasi beta 2 dan steroid belum
memuaskan.
· Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada meningkatkan dosis bronkodilator
monoterapi.
b. Steroid pada :
· PPOK yang menunjukkan respon pada uji steroid
· PPOK dengan FEV1 <50% prediksi
· Eksaserbasi akut
c. Obat-obat tambahan lain
- Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) : ambroxol, karbosistein, gliserol iodide
- Antioksidan : N asetil sistein
- Imunoregulator ( imunostimulator, immunomodulator) ; tidak rutin
- Anttusif : tida rutin
- Vaksinasi : influenza, pneumokok
Terapi nonfarmakologis
92
a.
b.
-
Rehabilitasi ; latihan fisik, latihan endurance, latihan pernafasan, rehabilitasi psikososial.
Terapi ksigen jangka panjang (> 15 jam sehari) : pada PPOK stadium III, AGD =
PaO2< 55 mmHg, atau SaO2 < 88% dengan/ tanpa hiperkapni.
paO2 55-66 mmHg, atau SaO2 < 885 disertai hipertensi pulmonal, edema perifer karena
gagal jantng, polisitemia.
c. Nutrisis
d. Pembedahan : pada PPOk berat, ( bila dapat memperbaiki fungsi paru atau gerakan
mekanik paru ).
Terapi PPOK Eksaserbasi Akut
Penatalaksanaan PPOk eksaserbasi akut dirumah : bronkodilator sepertipada PPOK stabl, dosis 46 kali 2-4 hirup sehari. Steroid oral dapat diberikan selama 10-14 hari. Bila infeksi : diberikan
antibiotic spectrum luas (termasuk pneumonia, H influenza).
Terapi eksaserbasi akut dirumah sakit ;
- Terapi oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau venture mask.
Bronkodilator : inhalasi agonis β2 (dosis dan frekuensi ditingkatkan) + antikolinergik.
Pada eksaserbasi akut berat : + aminofilin (0,5 mg/kgbb/jam)
- Steroid : prednisolon 30-40 mg PO selama 10-14 hari. Steroid intra vena : pada keadaan
akut
Antibiotik terhadap S pneumonia, H influenza, M catarralish.
- Ventilasi mekanik pada : gaga; napas akut atau kronik.
KOMPLIKASI
Gagal napas, kor pulmonal, septicemia.
PROGNOSA
Dubia, tergabtubg stage, penyakit paru komorbid, penyakit komorbid lain.
WEWENANG
- Rs pendidikan ; Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PDS Penyakit Dalam
- RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Pulmonologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS Pendidikan : Departemen Rehabilitasi medik, Radiologi/ Radiodiagnostik, Anestesi/ ICU
· RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Anestesi/ ICU
REFERENSI
Uyainah A . Standarisasi Baru dalam Diagnosis dan Terapi PPOK . In: Setiati S, A lwi I, K asjmir Y I, Baw ajer LA ,
Lidya A , Syam A F, et al. editors. Proceeding Simposium Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine
2002. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan bbagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2002, p.55-64.
93
TUBERKULOSIS PARU
PENGERTIAN
· Tuberkulosis paru adalah infeksi paru yang menyerang jaringan parenkim paru, disebabkan
bakteri Mycobacterium Tuberculosis berdasarklan hasil pemeriksaan sputum, TB dibagi
dalam:
1. TB paru BTA positif: sekurangnya 2 dari 3 spesimen sputum BTA positif
2. TB paru BTA negative, 3 dari specimen sputum BTA negative, foto thorak positif
· Berdasarkan tingkat keparahan penyakit yang ditunjukkan oleh foto thorak, TB paru dibagi
dalam:
1. TB paru dengan kelainan luas
2. TB paru dengan kelainan paru sedikit
· Berdasarkan organ selain paru yang terserang, Tb paru dibagi dalam:
1. TB Ekstra Paru Ringan: TB kelenjar limfe, TB tulang non-vertebra, Tb sendi, Tb
adrenal
2. TB Ekstra Paru Berat: meningitis, Tb milier, TB diseminata, perikarditis, pleuritis,
peritonitis, TB vertebra, TB usus, Tb genitourinarius
· Berdasarkan riwayat pengobatannya, Tb paru dibagi dalam:
1. Kasus baru
2. Kambuh(Relaps)
3. Drop-out / default
4. Gagal terapi
5. Kronis
DIAGNOSIS
Keluhan (tergantung derajat berat, organ terlibat, dan komplikasi): batuk-batuk 3 minggu, Batuk
berdarah, sesak nafas, nyeri dada, malaise, lemah, berat badan turun, nafsu makan turun, keringat
malam, demam
Gejala yang ditemukan(tergantung derajat berat, organ terlibat, dan komplikasi): keadaan umum
lemas, kakeksia, takipnea, febris, paru: tanda-tanda konsolidasi(redup, fremitus
mengeras/melemah, suara nafas bronchial/melemah, ronkhi basah/kering)
Laboratorium: LED meningkat
Mikrobiologis:
· B TA sputum positif minimal 2 dari 3 spesimen SPS
· Kultur Mycobacterium Tuberculosis positif(diagnosis pasti)
Radiologis:
· Foto thoraks PA ± lateral (hasil bervariasi) : infiltrate, pembesaran KGB hilus/KGB
paratrakeal, milier, atelektasis, efusi pleura, kalsifikasi, bronkiektasis, kavitas, destroyed lung
Imuno-serologis:
· Uji kulit dengan tuberculin (Mantoux) positif > 15 mmpada orang Indonesia yang
imunokompeten
· Tes PAP, ICT-TB : positif
PCR –TB dari sputum (hanya menunjang klinis)
DIAGNOSIS BANDING
94
Pneumonia, tumor,/keganasan paru, jamur patu, penyakit paru, akibat kerja
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium: LED
Mikrobiologis: BTA sputum, kultur resistensi sputum terhadap M.tuberculosis.
·
Pada kategoti 1 dan 3: sputum BTA diulangi pada akhir bulan ke 2, 4 dan 6.
·
Pada kategori 2: sputum BTA diulangi pada akhir bulan ke 2, 5 dan 8.
·
Kultur BTA sputum diulangi pada akhir bulan ke 2 dan akhir terapi.
Radiologis : foto thoraks PA, lateral pada saat diagnosis awal dan terapi.
Selam terapi : evaluasi foto setelah pengobatan 2 bulan dan 6 bulan.
Imuno-serologis :
·
Uji kulit dengan tuberculin (Mantoux)
·
Tes PAP, ICT-TB PCR-Tb dari sputum
TERAPI
Terapi umum: istirahat, stop merokok, hindari polusi, tatalaksanakomorbiditas, nutrisi, vitamin
Medikamentosa obat anti TB (OAT):
Kategori 1 : untuk
· Penderita baru TB paru, sputum BTA positif
· Penderita Tb paru, sputum BTA negative, rontgen positif dengan kelainan paru luas
· Penderita TB ekstra paru berat diterapi dengan
· 2 RHZE / 4 RH-2 RHZE / 4 R3H3-2 RHZE / 6 HE
Kategori 2 : untuk
· Penderita kambuh
· Penderita gagal
· Penderita after default
diterapi dengan :
- 2 RHZES / 1 RHZE / 5 RHE
- 2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3
Kategori 3 : untuk
· Penderita baru TB paru, sputum BTA negative, rontgen positif dengan kelainanparu tidak luas
· Penderita TB Ekstra Paru Ringan diterapi dengan:
- 2 RHZ / 4 RH
- 2 RHZ / 4 R3H3
- 2 RHZ / 6 HE
Kategori 4 : untuk
· Penderita Tb kronik
Diterapi dengan :
- H seumur hidup
- Bila mampu: OAT lini kedua
95
KOMPLIKASI
· Komplikasi paru: atelektasis, hemoptisis, fibrosis, bronkiektasis, pneumothoraks, gagal nafas,
· TB ekstra paru : pleuritis, efusi pleura, perikarditis, peritonitis, Tb kelenjar limfe,
· Kor pulmonal
PROGNOSIS
Dubia : tergantung derajat berat, kepatuhan pasien, sensitivitas bakteri, gizi, status imun,
komorbiditas
·
·
WEWENANG
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Pulmonologi
· RS non-pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Divisi di Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang terkait dengan keterlibatan
organ/komplikasi TB, Departemen Radiologi / Radiodiagnostik, Patologi Klinik,
Mikrobiologi Klinik, Patologi Anatomi, Bedah/Thoraks dan bagian lain yang terkait dengan
keterlibatan organ/komplikasi TB
· RS non pendidikan : Bagian Bedah, Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Patologi Anatomi,
Mikrobiologi Klinik dan Bagian lain yang terkait dengan keterlibatan organ/komplikasi TB
96
KARSINOMA PARU
PENGERTIAN
Karsinoma paru umumnya berarti tumor yang berasal dari epitel pernafasan( bronkus,
bronkiolus, alveolus). Tipe sel yang paling sering ditemukan menurut klasifikasi WHO untuk
neoplasma primer :
1. Karsinoma sel skuamosa (epidermoid)
2. Karsinoma sel kecil (oat cell carcinoma)
3. Adenokarsinoma (termasuk bronkioalveolar)
4. Karsinoma sel besar
Faktor risiko:
· Merokok (aktif, pasif)
· Polusi lingkungan kerja:
- Asbestos (galangan kapal, konstruksi, pertambangan)
- Arsenik (kebun anggur, gembala kambing, tambang emas, pelapis logam)
- Hidrokarbon aromatik polisiklik(industry baja)
- Kromat dan kromium (pekerja industri, pelapis krom)
- Silica(penemuan baja)
- Pabrik gas beracun, penyulingan nikel
- Tambang uranium, radon, dan turunannya
· Polusi udara : gas buangan kendaraan bermotor mengandung hidokarbon aromatic
polisiklik
· Radiasi non-ionisasi (telepon seluler)
· Radisasi prosedur diagnostik
DIAGNOSIS
Gambaran klinis:
· Asimptomatis
· Klinis lokal: batuk, hemoptisis, wheezing, stridor, abses, atelektasis
· Klinis invasi lokal: nyeri dada, dyspnea karena efusi pleura, aritmia (invasi ke
pericardium), sindrom vena cava superior, sindrom Horner (facial anhidrosis, ptosis,
miosis), suara serak (penekanan pada n.Laryngeal recurrent) ,sindrom pancoast (invasi
pleksus brakialis dan saraf simpatis servikalis)
· Metastasis : nyeri tulang, sakit kepala, ikterus, perubahan neurologis, suara serak, sulit
menelan, sesak nafas, pembesaran kelenjar getah bening
· Sindrom paraneoplastik:
- Gejala sistemik : penurunan berat badan, anoreksia, demam
- Hematologi : leukositosis, anemia, hiperkoagulasi
- Neurologik : demensia, ataksia, tremor, neuropati perifer
- Endokrin : sekresi PTH (hiperkalsemia)
- Dermatologi : eritema multiform, hyperkeratosis, jari tabuh
- Renal : SIADH
- Osteoartropati hipertrofi
97
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Diagnostik pada pasien dengan kanker paru terdiri dari:
Diagnosis adanya kanker paru
Diagnosis tipe histologist kanker paru
Staging kanker paru
Anatomic staging : penentuan lokasi tumor
Physiologic staging : pengkajian kemampuan pasien menerima berbagai terapi antitumor
Terutama untuk kanker paru non-small cell : resektabilitas (apakah tumor dapat diangkat
seluruhnya dengan prosedur bedah standar seperti lobektomi atau pneumonektomi) dan
operabilitas (apakah pasien dapat mentoleransi prosedur bedah)
DIAGNOSIS BANDING
Tumor metastasis dari kanker primer di tempat lain. Tumor jinak paru: tersering ialah
adenoma bronchial dan hamartoma. Yang lebih jarang kondroma, fibroma, lipoma,
hemangioma, leiomyoma, teratoma, endometriosis. Infeksi (Tb paru, infeksi non-spesifik),
granuloma.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· Pemeriksaan sitologi sputum merupakan pemeriksaan rutin pada pasien dengan batuk
dan gambaran klinis dicurigai suatu keganasan.
· Pemeriksaan sitologi lain dapat dilakukanpada cairan pleura, aspirasi kelenjar getah
bening, biopsy transthorakal, transbrokhial needle aspiration(TBNA), bilasan bronkus,
sikatan bronkus, biopsy sumsum tulang.
· Pemeriksaan histopatologis, merupakan baku emas, dilakukan melaui cara: bronkoskopi,
thorakoskopi, mediastinoskopi, thorakotomi
· Foto thoraks: untuk penapisan pasien dengan resiko tinggi, menentukan adanya massa di
paru, melihat adanya efusi pleura
· CT Scan thoraks: memastikan adanya lesi di paru, menentukan lokasi dan ukuran lesi
secara tepat, menilai KGB hilus dan mediastinum, mencari metastasis paru suprarenalis
dan hepar dan hepar, menilai respon terapi, mendeteksi kekambuhan terapi.
· Pencitraan lain: CT scan Abdomen, USG abdomen, CT kepala, bone scan, bone survey,
angiografi, MRI
Prosedur staging untuk pasien kanker paru:
A. Untuk semua pasien
· Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik lengkap
· Penentuan status tampilan
· Laboratorium : DPL, elektrolit, glukosa, kalsium, fosfat, fungsi ginjal, fungsi hati
· EKG
· Tes kulit untuk tuberculosis
· Foto thotaks
· CT scan thoraks
· CT scan abdomen atau USG abdomen
· CT scan otak
· Bone scan
· Bone survey atau foto daerah tulang yang dicurigai berdasarkan bone scan atau
98
klinis
· Foto barium bila ada keluhan esophagus
· Fungsi parui/spirometri dan analisia gas darah bila ada gangguan pernapasan
· Biopsy dari lesi yang dicurigai kanker yang dapat dijangkau:
- Lesi sentral: bronkoskopi dengan bilasan bronkus, sikatan bronkus, TBNA,
biopsy, forsep
- Lesi perifer: biopsy aspirasi jarum halus transthorakal dengan atau tanpa
bimbingan USG/CT scan, biopsi dengan thorakoskopi
· Sitologi cairan pleura bila ada efusi pleura
B. Untuk pasien dengan NSCLC tanpa kontraindikasi untuk pembedahan kuratif atau
radioterapi:
· Seperti butir A, ditambah:
· Tes koagulasi
· Jika rencana bedah: evaluasi mediastinum oleh bagian bedah pada saat
mediastinoskopi atau thorakotomi
C. Untuk pasien SCLC:
· Seperti butir A, ditambah:
· Aspirasi sumsum tulang dan biopsy
TERAPI
Berdasarkan tipe histopatologis dan staging TNM menurut IUCC 1997:
NSCLC:
Stage I : A-B, II A-B, beberapa III A:
St. I A-B & 2 A-B: Reseksi
St. III A dengan keterlibatan N2 minimalI(ditentukan saat thorakotomi atau
mediastinoskopi):
Reseksi + Diseksi KGB mediastinum lengkap + pertimbangkan kemoterapi neoajuvan
Keterlibatan N2(bila tidaK diberikanKemoterapi Neoajuvan): radioterapi pasca op
Kemoterapi /ajuvan:diskusikan resiko/keuntungan bagi pasien
Non-operabel: radioterapi berpotensi kuratif
Stage II A dengan tipe tertentu dari tumor stage T3:
Invasi dinding dada (T3): reseksi on block tumor + dinding dada yang terlibat, pertimbangkan
radioterapi pasca op
Tumor Pancoast(T3): radioterapi pre-op (30-45Gy) dilanjutkan reseksi en block tumor+dinding
dada yang terlibat, pertimbangkan radioterapi pasca op atau brakiterapi intra op
Keterlibatan saluran napas proksimal(<2 cm dari karina) tanpa KGB mediastinum : reseksi
sleeve(jika mungkin pertahankan paru distal yang normal) atau pneumonektoni
Stage III A “
lanjut bulky , klinis terbukti N2 pre-op,
Stage III B yang toleran terhadap Radioterapi port: radioterapi potensial kuratif+kemoterapi(jika
status tampilan dan kondisi umum memungkinkan), atau radioterapi saja(bila tidak mungkin
kemoterapi)
99
Stage III A dengan N2 lanjut
Pertimbangkan kemoterapi neoajuvan dan reseksi
Stage III B dengan invasi karina(T4) tanpa adanya N2: pertimbangkan pneumonektomi dengan
reseksi sleeve trakea dan reanastomosis langsung ke bronkus mainstem dan kolateral
Stage IV dan III B yang lebih lanjut:
Radioterapi pada daerah local yang simptomatis
Kemoterapi untuk pasien rawat jalan
Drainase chest tube untuk efusi pleura maligna yang banyak
Pertimbangkan reseksi tumor primer/metastasis untuk kasus metastasis otak atau adrenal yang
terisolasi
SCLC:
Limited stage (status tampilan baik): kemoterapi kombinasi+radioterap thorak
Extensive stage (status tmapilan baik): khemoterapi kombinasi
Respon tumor komplit (semua stage): radioterapi cranial profilaktik
Status tampilan buruk(semua stage):
Kemoterapi kombinasi dengan modifikasi dosis
Radioterapi paliatif
Semua pasien:
Radioterapi untuk:
· Metastasis otak
· Kompresi medulla spinalis
· Lesi litik pada tulang penahan beban
· Lesi local simptomatik (paralysis nervus, obstruksi saluran nafas, hemoptisis pada
NSCLC dan SCLC yang tidak respon pada kemoterapi
Diagnosis dan tatalaksana masalah medis lain dan supportive care selama kemoterapi
Mendorong stop merokok
KOMPLIKASI
· Obstruksi jalan napas
· Gagal napas
· Perdarahan/hemoptisis
· Abses
· Atelektasis
· Nyeri kanker
· Efusi pleura
· Aritmia
· Sindrom vena cava superior
· Sindrom Horner
· Dysphonia
· Sindrom Pancoast
· Metastasis ke organ: otak, tulang, hepar, limfatik
· Sindrom paraneoplastik:
- Penurunan berat badan, anoreksia, demam
100
-
Leukositosis, anemia, hiperkoagulasi
Hiperkalsemia
SIADH
Demensia, ataksia, tremor, neuropati perifer
PROGNOSIS
Tergantung tipe histology, staging resektabilitas, dan operabilitas
WEWENANG
· RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPds Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan: Departemen Ilmu penyakit Dalam-Divisi Pulmonologi HematologiOnkologi Medik
· RS non pendidikan: bagian Ilmu penyaki Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan: Departemen Radiologi/radiodiagnostik/Radioterapi/Patologi Anatomi,
Bedah/Thoraks/Onkologi
· RS non pendidikan: Bagian Bedah, Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Patologi Anatomi
REFERENSI
1. Uyainah A .Pendekatan Diagnostik Kanker Paru. In: A lwi I, Setiati S, Kasjmir Y I, Bawazier LA , Syam
A F, Mansjoer A , editors. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan ILmu Penyakit Dalam 2002.
Jakarta:Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;2002.p. 91-8.
2. Minna JD. Neoplasm of the lung. In: Braunwald E Fauci A S, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL,
Jameson JL. Harrison’
s Principle of Internal Medicine.15th ed New Y ork: McGraw-Hill; 2001.p.562-71.
101
EMBOLI PARU
PENGERTIAN
Emboli paru adalah kelainan jaringan paru yang disebabkan olehembolus pada arteri pulmonalis
paru. Bekuan vena sistemik yang menyangkut di percabangan arteri pulmonalis, merupakan
komplikasi thrombosis vena dalam (DVT) yang umumnya terjadi pada kaki atau panggul. Factor
predisposisi thrombosis vena, dikaitkan dengan Trias Virchow, yaitu:
· Stasis: Imobilitas, tirah baring, anestesi, gagal jantung kongestif/kor pulmonal, thrombosis
vena sebelumnya
· Hiperkoagulabilitas: keganasan, antibody antikardiolipin, sindrom nefrotik, thrombosis
esensial, terapi estrogen, heparin-induced thrombocytopenia, inflammatory bowel disease
Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria, koagulasi intravaskular intravascular diseminata,
defisiensi protein C dan S, defisiensi antitrombin III
· Kerusakan dinding pembuluh darah : trauma pembedahan
Manifestasi klinis terbagi atas:
· Akut: oklusi massif, infark paru, emboli paru tanpa infark
· Kronik: emboli paru unresolved
DIAGNOSIS
· Keluhan: sesak nafas, nyeri dada, hemoptisis
· Pemeriksaan fisik: takipneu, takikardi, pleural rub, tanda-tanda efusi pleura, tanda-tanda
gagal jantung kanan akut(JVP meningkat, bunyi P2 mengeras, murmur sistolikdaerah
katup pulmonal).
· EKG: terutama menyingkirkan penyakit lain, perubahan ST-T tidak spesifik. Inverse
gelombang T di V1-V4, kadang-kadang dijumpai RBBB, AF. Pada emboli paru massif
dapat dijumpai RAD, P pulmonal, SI Q3T3.
· Foto thoraks: menyingkirkan penyebab lain berupa emboli paru infiltrate, efusi,
atelektasis, gambaran khas emboli paru Hampton’
s sign, W estermark’
s sign, Palla’
s sign,
pada sebagian kasus: tidak tampak kelainan
· AGD: Hipoksemia, alkalosis respiratorik
· D-dimer plasma: meningkat(sensitive, tidak spesifik). Bila >500 ng/ml, dilanjutkan
dengan pemeriksaan:
· Ventilation / Perfusion Lung Scan: (sensitive, tidak spesisik)
- Pada emboli paru: kelainan perfusi tidak disertai kelainan ventilasi, atau kelainan
perfusi lebih menonjol
- Berdasarkan adanya, ukuran, dan hubungan defek ventilasi-perfusi, hasil dibagi atas :
high-probability lung scan, non-high probability lung scan(=low dan intermediate
probability lung scan), normal lung scan.
- USG kompresi kaki. Indikasi : hasil scan menunjukkan non-high probability lung scan,
sedangkan klinis sangat mengarah ke emboli paru.
- Jika hasil scan adalah high-probabilitiy lung scan, atau USG kaki positif DVT:
diterapi sebagai emboli paru.
- Angiografi pulmoner: baku emas. Indikasi: hasil diagnostic lain tidak jelas, dan
dibutuhkan diagnosis pasti(seperti pada pasien yang tidak stabil, atau yang memiliki
resiko tinggi bila diterapi antikoagulan atau trombolitik).
102
DIAGNOSIS BANDING
Pneumonia, bronchitis, asma bronchial, bronchitis kronik eksaserbasi akut, infark miokard,
edema paru, kanker paru, pneumothoraks, kostokondritis, aorta dissekans, tamponade, fraktur iga,
hipertensi pulmoner primer, nyeri musculoskeletal, anxietas.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· Lab: DPL, AGD, D-dimer plasma, hemostasis (PT, aPTT, INR, aktivitas protrombin,
kadar fibrinogen), kadar protein C dan S, ACA, urin lengkap
· Ventilation/perfusi lung scan
· USG Doppler
· EKG
· Angiografi pulmoner
TERAPI
Terapi primer
Obat trombolitik diindikasikan pada emboli paru massif yang menyebabkan instabilitas
hemodinamik atau gagal napas, streptokinase: dosis loading 250.000IU drip IV dalam 30 menit.
Dilanjutkan 100.000 IU perjam drip IV, selam total 24 jam.
Terapi preventif
Antikoagulan:
· Unfractionated heparin secara intravena, diberikan kontinyu atau intermiten, bolus inisial
IV 80 IU/kgBB atau sekitar 5.000 IU, dilanjutkan dengan drip 18 IU/kgBB/jam IV
- Pemantauan dengan pemeriksaan aPTT setiap 6 jam: target 1,5-2,5 x control. Bila hasil
aPTT> 2,5 x control: dosis diturunkan 100-200 IU/jam, bila hasil aPTT <1,5 x control:
dosis dinaikkan 100-200 IU/jam, bila aPTT 1,5-2,5 x control : dosis dipertahankan.
Pemantauan aPTT hari ke II setiap 12 jam, hari ke III setiap 24 jam.
- Setelah 7 hari heparinisasi: ditambahkan(overlapping) antikoagulan oral selama ± 5 hari,
hingga tercapat target INR pada 2 kali pemeriksaan berturut-turut.
- Selama pemberian antikoagulan, perlu diperhatikan lesi fokal di tempat lain, prosedur
invasive yang direncanakan, dipantau jumlah trombosit.
· Low Molecular W eight Heparin(LMW H) diberikan subkutan tiap 12 jam. Dosis LMWH,
yaitu enoxaparin 1ml/kgBB sedangkan nadroparin 0,1 ml/kgBB. Pada obesitas, BB < 50 kg,
gagal ginjal kronik, kehamilan dapat diperiksakan anti factor Xa: 0,3-0,7 IU.
Antikoagulan oral (warfarin ) dimulai sesudah 7 hari pemberian heparin dengan dosis awal 5
mg/hari. Pemantauan dengan pemeriksaan INR tiap 1-3 hari: target INR 2-3 hari. Bila INR <
2: dosis dinaikkan ½ tablet/hari, bila INR > 3: dosis diturunkan , bila INR 2-3 :dosis
dipertahankan.
103
Terapi Suportif
· Oksigen
· Infuse cairan
· Inotropik: dobutamin drip, bila hipotensi atau tanda-tanda gagal jantung akut yang lain
· Vasopresor sesuai indikasi
· Anti aritmia sesuai indikasi
· Analgetik
KOMPLIKASI
Komplikasi emboli paru : gagal napas , gagal jantung kanan akut, hipotensi/syok kardiogenik.
Komplikasi diagnostic: reaksi alergi terhadap zat kontras. Komplikasi terapi: perdarahan:
termasuk (perdarahan intrakranial), heparin induced thrombocyitopenia, nekrosis kulit, warfarin
embriopati.
PROGNOSIS
Malam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit dalam-Divis Pulmonologi
· RS pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT YANG TERKAIT
· RS pendidikan: Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Radiologi/Radiodiagnostik,
Patologi Klinik, Bedah/Thoraks
· RS non pendidikan: Bagian Bedah, Patologi Klinik, Radiologi
REFERENSI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Bahar A . Diagnostik dan Diagnosis Banding Emboli Paru. Prosiding Simposium Cardiovascular Respiratory
Immunology: From Pathogenesis to Clinical A pplication 2003. Jakarta, 2003:16-8.
Fishman A P. Pulmonary Thromboembolic Disease. In Fishman A P, Elias JA , Fishman JA , Grippi MA , K aiser
LR, Senior RM(eds). Fishman’
s Manual of Pulmonary Disease and Disorder.3 nd ed. N ew Y ork: McGraw Hill;2002.p. 461-8.
Goldhaber SZ. Pulmonary Thromboembolism. In Braunw ald E, Fauci A S, K asper DL, Hauser SL, Longo DL,
Jameson JL, Harrison’
s Principles of Internal Medicine.15th ed. N ew Y ork: McGraw -Hill;2001.p. 1508-13.
Bahar A , Emboli Paru. In : Simadibrata M Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , Mansjoer A (eds). Pedoman
Diagnosis dan Terapi di bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FK UI; 1999.p.211-2.
Tambunan K L. Deteksi dan Tatalaksana Trombosis V ena Dalam. Prosiding Simposium Penatalaksanaan
K edaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam II. Jakarta, 2002:28-33.
Goldhaber SZ. Pulmonary Embolism. N Engl J med, July 9, 1998;339(2):93-104
A gnelli G. A nticoagulation in the prevention and treatment of Pulmonary Embolism. Chest, Jan
1995;107(1):39S-44S.
Hyers TM, A gnelli G, Hull RD, Morris TA , Samama M, Tapson V , et al. antithrombotic Therapy for V enous
Thromboembolic Disease. Sixth A CCP Consensus Conference on A ntithrombotic Therapy. Chest Jan 2001;
119(1): 176-93S.
104
2.4
REUMATOLOGI
105
ARTRITIS PIRAI
PENGERTIAN
Arthritis pirai adalah penyakit yang disebabkan oleh deposisi Kristal-monosodium urat
(MSU) yang terjadi akibat supersaturasi cairan ekstra selular dan megakibatkan satu atau
beberapa manifestasi klinik.
DIAGNOSA
Criteria ACR (977) :
A. Didapatkan Kristal monosodium urat di dalam cairan sendi, atau
B. Didapatkan Kristal monosodium urat di dalam tofus, atau
C. Didapatkan 6 dari criteria berikut :
1. Inflamsi maksimal pada hari pertama
2. Serangan arthritis akut lebih dari 1 kali
3. Arthritis monoartikuler
4. Sendi yang terkena berwarna kemerahan
5. Pembengkakan dan sakit pada sendi MTP I
6. Serangan pada sendi MTP unilateral
7. Serangan pada sendi tarsal unilateral
8. Tofus
9. Hiperurisemia
10. Pembengkakan sendi asimetris pada gambaran radiologic
11. Kista subkortikal tanpa erosi pada gambaran radiologic
12. Kultur bakteri cairan sendi negative
DIAGNOSA BANDING
Pseudogout, arthritis septic, arthritis rheumatoid
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· LED, CRP
· Analisa cairan sendi
· Asam urat darah dan urin 24 jam
· Ureum, kreatini, CCT
· Radiologi sendi
TERAPI
1. Penyuluhan
2. Pengobatan fase akut :
a. Kolkisin. Dosis 0,5 mg diberikan tiap jam sampai terjadi perbaikan inglamasi atau
terdapat tanda-tanda toksik atau dosis tidak melebihi 8 mg/24 jam
b. Obat anti inflamasi non steroid
c. Glukokortikoid dosis rendah bila ada kontraindikasi dari kolkisin dan obat antiinflamasi
ninsteroid
3. Pengobatan hiperurisemia :
a. Diet rendah purin
106
b. Obat penghambat xantin oksidase (untuk tipe produksi berlebih), misalnya allopurinol
c. Obat urikosurik (untuk tipe sekresi rendah) obat antihiperurisemik tidak boleh diberkan
pada stadium akut.
KOMPLIKASI
· Tofus
· Deformitas sendi
· Nefropati gout, gagal ginjal, batu saluran kencing
PROGNOSIS
Bonam
WEWENANG
· RS pendidikn : Dokter Spesialis PEnyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit DAlam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Rematologi
· RS non pendidikan : BAgian Ilmu Penyakit DAlam
UNIT TERKAIT
-
107
ARTRITIS REUMATOID
PENGERTIAN
Artritis rheumatoid adalah penyakit inflamasi sistemik kronik yang terutama mengenai
sendi diartrodial. Termasuk penyakit autoimun dengan etiologi yang tidak diketahui
DIAGNOSIS
Criteria diagnosis (ACR, 1987) :
1. Kaku pagi, sekurangnya 1 jam
2. Arthritis pada sekurangnya 3 sendi
3. Arthritis pada sendi pergelangan tangan, metacarphalanx (MCP) dan proximal interphalanx
(PIP)
4. Arthritis yang simetris
5. Nodul rheumatoid
6. Factor rheumatoid serum positif
7. Gambaran radiologic yang spesifik
Untuk diagnosis AR diperlukan 4 dari 7 kriteria tersebut diatas. Criteria 1-4 harus minimal
diderita selama 6 minggu.
DIAGNOSA BANDING
Spondiloartropati seronegatif, sindrom Sjorgen
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· LED, CRP
· Factor rheumatoid serum. Hasil positif dijumpai pada sebagian besar kasus (85%), sedangkan
hasil negative tidak menyingkirkan adanya AR
· Analisa cairan sendi. dapat terlihat peningkatan jumlah leukosit di atas 2000/mm3. Analisis
ini sekaligus digunakan untuk menyingkirkan adanya artropi Kristal
· Radiologi tangan dan kaki. Gambaran dini berupa pembengkakan jaringan lunak, diikuti oleh
osteoporosis juxta-articular dan erosi pada bare area tulang. Keadaan lanjut terlihat
penyempitan celah sendi, osteoporosis difus, erosi meluas sampai daerah subkondral.
· Biopsy sinovium/nodul rheumatoid.
TERAPI
· Penyuluhan
· Proteksi sendi, terutama pada stadium akut
· Obat antiinflamasi non steroid
· Obat remitif (DMARD), misalnya :
o
Klorokuin dengan dosis 1x250 mg/hari
o
Metotreksat dosis 7,5-20 mg sekali seminggu
o
Salazoprin dosis 3-4x 500mg/hari
o
Garam emas per oral dosis 3-9 mg/hari, atau subkutan dosis awal 10 g, dilanjutkan
seminggu kemudian dengan dosis 25 mg/minggu, dan dinaikkan menjadi 50
mg/minggu selama 20 minggu, selanjutnya diturunkan setiap 4 minggu sampai dosis
kumulatif 2 g
· Glukokortikoid, dosis seminimal mungkin dan sesingkat mungkin, untuk mengatasi keadaan
108
·
·
·
akut atau kekabuhan. Dapat diberikan prednisone dengan dosis 20 mg dosis terbagi dan
segera tapering off
Bila terdapat peradangan yang terbatas hanya pada 1-2 sendi, dapat diberikan injeksi steroid
intraartikular seperti tiamcinolon acetonide 10 mg atau metilprednisolon 20-40 mg
Fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis
Operasi untuk memperbaiki deformitas
KOMPLIKASI
· Deformitas sendi (boutonnierre, swan neck, deviasi ulnas)
· Sindrom terowongan karpal
PROGNOSIS
Dubia
WEWENANG
· RS pendidikn : Dokter Spesialis PEnyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Rematologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS Pendidikan : Departemen Bedah-Ortopedi
· RS non pendidikan : Departemen Bedah
109
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
PENGERTIAN
Lupus eritematous sistemik adalah penyakit autoiun yang ditandai produksi antibody
terhadapa komponen-komponen inti sel yang mengakibatkan manifestasi klinis yang luas
DIAGNOSIS
Criteria diagnosis ACR 1982, diagnose ditegakkan bila didapatkan 4 dari criteria dibawah ini :
1. Ruam malar
2. Ruam discoid
3. Fotosensitvitas
4. Ulserasi dimulut atau nasofaring
5. Arthritis
6. Serositis (pleuritis atau perikarditis)
7. Kelainan ginjal (proteinuria >0,5 g/hari, atau silinder sel)
8. Kelainan neurologi, kejang-kejang atau psikosis
9. Kelainan hematologi, anemia, hemolitik, atau leucopenia, atau trombositopenia
10. Kelainan imunologik, sel LE positif atau anti DNA positif, atau anti Sm positif, tes serologis
untuk sifilis positif palsu.
11. Antibody antinuclear (ANA) positif
DIAGNOSIS BANDING
Mixed connective tissue disease, sindrom vaskulitis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· LED, CRP
· C3 dan C4
· ANA, ENA (anti dsDNA dsb)
· Comb test, bila ada AIHA
· Biopsy kulit
TERAPI
· Penyuluhan
· Proteksi terhadap sinar matahari, sinar ultraviolet, dan sinar fluoresein
· Pada manifestasi non-organ vital (kulit, sendi, fatigue) dapat diberkan klorokuin
4mg/kgBB/hari
· Bila mengenai organ vital, berikan prednisone 1-1,5 mg/kgBB/hari selama 6 minggu,
kemudian tapering off
· Bila terdapat peradangan terbatas pada 1- sendi, dapat diberikan injeksi sterois intraartikular
· Pada kasus berat atau mengancam nyawa dapat diberikan metilprednison 1 gr/hari IV selama
3 hari berturut-turut, lalu prednisone 40-60 mg/hari per oral
· Bila pemberian glukokortikoid selama 4 minggu tidak memuaskan, maka dimulai pemberian
imunosupresif lain, missal siklofosfamid 500-1000 mg/m 2 sebulan sekali selama 6 bulan,
kemudian tiap 3 bulan sampai 2 tahun.
· Immunosupresan lain yang dapat diberikan dalah azatioprin, siklosporin-A
KOMPLIKASI
110
Anemia hemolitik, thrombosis, lupus serebral, efritis lupus, infeksi sekunder,
osteonekrosis.
PROGNOSIS
Dubia
WEWENANG
· RS Pendidikan : Dokter Spesialis PEnyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Rematologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS Pendidikan : Divisi alergi, ginjal, pulmonologi, hematologi dan departemen ilmu
penyakit kulit kelamin
· RS non pendidikan :Bagian Kulit-Kelamin.
111
ARTRITIS SEPTIK
PENGERTIAN
Arthritis septic adalah arthritis yang disebabkan oleh adanya infeksi berbagai
mikroorganisme (bakteri,non-gonokokal)
DIAGNOSIS
· Nyeri sendi akut, umumnya monoartikular
· Umunya terdapat penyakit lain yang mendasari
· Ditemukan bakteri dari kultus caitan sendi
DIAGNOSIS BANDING
Arthritis gonokokal, bursitis septic
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· Analisis cairan sendi
· Pewarnaan Gram dan kultur cairan sendi
· Radiografi sendi yang terserang
· LED, CRP, leukosit darah
· Kultur darah, bila ada anda-tanda sepsis
TERAPI
· Aspirasi cairan sendi
· Antibiotic bersprektum luas sebelum ada hasil kultur dan diubah setelah hasil kultur
siperoleh
· Drainasi sendi yang terinfeksi
· indikasi tindakan bedah adalah infeksi koksa pada anak-anak, infeksi mengenai sendi
yang sulit dilakukan drainasi secara adekuat, terdapat bukti osteomielitis, infeksi
berkembang ke jaringan lunak disekitarnya.
KOMPLIKASI
Osteomielitis, sepsis
PROGNOSIS
Dubia
WEWENANG
· RS pendidikn : Dokter Spesialis PEnyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Rematologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS Pendidikan : Departemen Bedah-Ortopedi
· RS non pendidikan : Departemen Bedah
OSTEOARTRITIS
112
PENGERTIAN
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degenerative yang mengenai rawan sendi.
penyakit ini ditandai oleh kehilangan rawan sendi progresif dan terbentuknya tulang baru pada
trabekula subkondral dan tepi tulang (osteofit)
DIAGNOSIS
Osteoatritis sendi lutut :
1. Nyeri lutut, dan
2. Salah satu dari 3 kriteria berikut :
a. Usia > 50 tahun
b. Kaku sendi < 30 menit
c. Krepitasi + osteofit
Osteoatritis sendi tangan :
1. Nyeri tangan atau kaku, dan
2. Tiga dari 4 kriteria berikut :
a. Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih dari 10 sendi tangan tertentu (DIP II dan III
kiri dank an, CMC I kid an ka)
b. Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih sendi DIP
c. Pembengkakan pada < 3 sendi MCP
d. Deformitas pada minimal 1 dari 10 sendi tangan tertentu
Osteoatritis sendi pinggul :
1. Nyeri pinggul, dan
2. Minimal 2 dari 3 kriteria berikut :
a. LED < 20 mm/jam
b. RAdiologi : terdapat osteofit pada femut atau asetabulum
c. Radiologi : terdapat penyempitan celah sendi (superior, aksial, dan/atau medial)
DIAGNOSIS BANDING
Arthritis rheumatoid, arthritis gout, arthritis septic, spondilitis ankilosa
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· LED (pada OA inflamatif, LED meningkat)
· Analisis cairan sendi
· Radiografi sendi yang terserang
· atroskopi
TERAPI
· penyuluhan
· proteksi sendi, terutama pada stadium akut
· obat antiinflamasi non steroid, diantaranya : sodium diklofenak 50 mg t.i.d piroksikam 20
mg o.d, meloksikam 7,5 mg o.d dan sebagainya
· steroid intraartikular untuk OA inflamasi
· fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu diberikan ortosis
113
·
operasi untuk memperbaiki deformitas
KOMPLIKASI
Deformitas sendi
PROGNOSIS
Dubia
WEWENANG
· RS pendidikn : Dokter Spesialis PEnyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Rematologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS Pendidikan : Departemen Bedah-Ortopedi
· RS non pendidikan : Bagian Bedah
114
SKLEROSIS SISTEMIK
PENGERTIAN
Sklerosis sistemik merupakan penyakit kronik yang mengenai berbagai system organ dan
terutama ditandai dengan penebalan kulit. Penyakit ini dapat difus, terbatas, atau berupa sindrom
tumpang tindih.
DIAGNOSIS
A. Kriteria mayor
Skeloroderma proksimal
B. Kriteria minor
1. Sklerodaktil
2. Pencekungan jaru atau hilangnya substansi jari
3. Fibrosis basal di kedua paru
Diagnosis ditegakkan bila didapat 1 kriteria mayordan 2 kriteria minor atau lebih.
DIAGNOSIS BANDING
Mixed Connective Tissue Disease
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· LED, CRP. Peningkatan hasil menunjukkan proses inflamasi aktif
· ANA, anti topo-I (Scl-70), antibody antisenromer, anti SS-A, anti SS-B, anti RNP.
Diharapkan hasil tersebut positif, terutama anti-toposomerase I, RNA polymerase I,III,
dan U3 RNP
· Radiologi tangan, toraks
· Uji fungsi paru
· Ureum dan kreatinin
· Biopsy kulit
TERAPI
Penyuluhan dan dukungan psikososial :
· Proteksi terhadap suhu dingin untuk mengatasi fenomena Raynud
· Bila terdapat ulkus atau gangrene, harus dirawat dengan baik dan diberikan antiiotik yang
adekuat
· Dapat dicoba D-penisilamin 3x250 mg. bila gagal dapat dicoba DMARD lain seperti
metotreksat
· Bila didapatkan gangguan gastrointestinal, dapat diberikan H2 antagonis, omeprasol, dan
obat-obat prokinetik
· Pada keadaan kirisis renal, dapat diberkan kaptopril. Bila fungsi ginjal memburuk, dapat
dilakukan dialysis.
· Pada pneumonitis, dapat diberikan glukokortikoid atau siklofosfamid.
KOMPLIKASI
Hipertensi yang tidak
divertikulosis
terkontrol,
krisis renal,
pneumonitis, refluks esofagitis,
115
PROGNOSIS
Dubia
WEWENANG
· RS pendidikn : Dokter Spesialis PEnyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Rematologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS Pendidikan :divisi alergi, ginjal, pulmunologi, hematologi dan Departemen Ilmu Kulit
Kelamin
· RS non pendidikan : BAgian Kulit Kelamin
116
2.5
TROPIK INFEKSI
117
DEMAM BERDARAH DENGUE
PENGERTIAN
Demam berdarah dengue merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus
dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes Albopticus serta
memenuhi criteria WHO untuk demam berdarah dengue (DBD)
DIAGNOSIS
Criteria diagnosis WHO 1997 untuk DBS harus memenuhi :
· Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, bisanya bifasik
· Terdapat minimal sati dari manifestasi perdarahan berikut :
o
Uji tourniquet positif (>20 petekie dalam 2,54 cm2)
o
Petekie, ekimosis, atau purpura
o
Perdarahan ukosa, saluran cerna, bekas suntikan, atau tempat lain
o
Hematemesis atau melena
· Trombositopenia (<100.000/mm3)
· Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage
o
Hematokrit meningkat >20 dibanding hematokrit rata-rata pada usia, jenis kelamin,
dan poplasi yang sama
o
Hematokrit turun hingga >20% dari hematokrit awal, setelah pemberian cairan
o
Terdapat efusi pleura, efusi perikard, asites, dan hipoproteinemia
Derajat
I : demam disertai gejala konstitusional yang tidak khas, manifestasi perdarahan hanya berupa uji
tourniquet positif dan/atau mudah memar
II : derajat I disertai perdarahan spontan
III : terdapat kegagalan sirkulasi : nadi cepat dan lemah atau hipotensi, diserti kulit dingn dan
lembab serta gelisah.
IV: renjatan : tekanan darah dan nadi tidak teratur DBD derajat III dan IV digolongkan dalam
sindrom renjatan dengue
DIAGNOSIS BANDING
Demam akut lain yang bermanifestasi trombositopenia
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hb, Ht, leukosit, trombosit, serologi dengue
TERAPI
Nonfarmakologi : tirah baring, makanan lunak
Farmakologis :
· Simtomatis : antipiretik : antipiretik parasetamol bila demam
· Tatalaksana terinci dapat dilihat pada lampiran protocol tatalaksana DBD
o
Cairan intravena : Ringer Laktat atau ringer asetat 4-6 jam/kolf. Koloid/plasma
ekspander pada DBD stadium III dan IV bila diperlukan.
o
Tranfusi trombosit dan komponen darah sesuai indikasi
118
o
Pertimbangan heparinisasi dapa DBD stadium III dan IV dengan koagulasi
intravascular diseminta (KID)
KOMPLIKASI
Renjatan, perdarahan, KID
PROGNOSIS
Bonam
WEWENANG
· RS pendidikn : Dokter Spesialis PEnyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Tropik Infeksi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS Pendidikan : Divisi Hematologi-Onkologi Medik, PMI
119
DEMAM TIFOID
PENGERTIAN
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman
Salmonella thypi dan Salmonella parathypi.
DIAGNOSIS
· Anamnesis : demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu demam menetap
(kontinyu) atau remiten pada minggu kedua. Demam terutama sore/malam hari, sakit
kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare
· Pemeriksaan fisis : febris, kesadaran berkabut, bradikardia relative (peningkatan suhu 1C
tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (kotor ditengah,
tepid an ujung merah, serta tremor), hepatomegali, splenomegali, nyeri abdomen,
sodeolae (jarang pada orang Indonesia)
· Laboratorium : dapat ditemukan lekopeni, lekositosis, atau lekosit normal, aneosinofilia,
limfopenia, peningkatan LED, anemia ringan, trombositopenia, gangguan fungsi hati.
Kultur darah (biakan empedu) positif atau pennkatan titer uji widal >4 kali lipat setelah
satu minggu memastikan diagnosis. Kultur darah negative tidak menyingkirkan diagnosis.
Uji widal tunggal dengan titer antibody O 1/320 atau H 1/640 disertai gambaran klinis
khas menyokong diagnosis.
Hepatitis tifosa
Bila emenuhi 3 atau lebih criteria Kholsa (!990) : hepatomegali, ikterik, kelainan
laboratorium ( antara lain : bilirubin >30,6 umol/l, peningkatan SGOT/SGPT, penurunan indeks
PT) kelainan histopatologi.
Tifoid karier
Ditemukannya kuman salmonella thypi dalam biakan feses urin pada seseorang tanpa
tanda infeksi atau pada seseorang setelah 1 tahun pasca demam tifoid
DIAGNOSIS BANDING
Infeksi virus, malaria
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Daraf perifer lengkap, tes fungsi hati, serologi, kultur darah (biakan empedu)
TERAPI
Nonfarmakologis : tirah baring, makanan lunak rendah serat
Farmakologis :
· Simtomatis
· Antimikroba :
o
Pilihan utama : kloramfenikol 4x500 mg sampai dengan 7 hari sebelum bebas demam
Alternative lain :
· Tiamfenikol 4x500 mg (komplikasi hematologi lebih rendah dibandingkan
kloramfenikol)
· Kortimoksazol 2x2 tablet selama 2 minggu
120
·
·
·
·
Sefalosporin generasi III, yang terbukti efektif adalah seftriakson 3-4 gram dalam
dekstrosa 100 cc selama ½ jam perinfus sekali sehari, selama 3-5 hari. Dapat pula
diberikan sefotaksim 2-3 x 1 gram, sefoperazon 2x1 gram
· Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada hari III atau menjelang hari IV) :
o
Norfloksasin 2x 400 mg/hari selama 14 hari
o
Siprofloksasin 2x50 mg/hari selama 6 hari
o
Ofloksasin 2x400mg/hari selama 7 hari
o
Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari
o
Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari
Pada kasus toksik difoid (demama tifoid sisertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa
kelainan neurologis lainnya dan hasil pemerikasaan cairan otak masih dalam batas normal )
langsung diberikan kombinasi kloramfenikol 4x500 mg dengan ampisilin 4x1 gram dan
deksametason 3x5 mg
Kombinasi antibiotika hanya diindikasikan pada toksik tifoid, peritonitis atau perforasi,
renajatn septic
Steroid hanya diindikasikan pada toksis tifoid atau demam tifoid yang mengalami tenjatan
septic dengan dosis 3x5 mg
Kasus tifoid karier :
· Tanpa kolelitiasis à pilihan rejimen terapi selama 3 bulan :
o
Ampisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari
o
Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari
o
Kortimoksazol 2x2 tablet /hari
· Dengan kolelitiasis à kolesistektomi +regimen tersebut diatas selama 28 hari atau
kolesistektomi + salah satu rejimen berikut :
o
Siprofloksasin 2x750 mg/hari
o
Norfloksasin 2x400 mg/hari
· Dengan infeksi schistosoma haematobium pada traktus urinarius àeradikasi schistosoma
haematobium :
o
Prazikuantel 40 mg/kgBB dosis tunggal, atau
o
Metrifonat 7,5 mg/kgBB bila perlu diberikan 3 dosis, interval 2 minggu .
Setelah ereadikasi berhasil, diberikan rejimen terapi untuk tifoid karier seperti diatas
Perhatian : pada kehamilan fluorokuinolon dan kortimoksazol tidak boleh digunakan.
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada rismester III. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trismester I.
obat yang dianjurkan golongan beta laktam : ampisilin, amoksisilin, dan sefalosporin generasi III
(seftriakson)
KOMPLIKASI
Intestinal : perdarahan intestinal, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis.
Ekstra-intestinal : kardiovaskular (kegagalan sirkulasi parifer, miokarditis, thrombosis,
tromboflebitis), hematologik (anemia hemolitik, trombositopenia, KID), paru (pneumonia,
empiema, pleuritis), hematobolier (hepatitis, kolesistitis), ginjal (glomerulonefritis, pielonefritis,
perinefritis), tulang (osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis), neuropsikiatrik (toksik tifoid)
121
PROGNOSIS
Baik. Bila penyakit berat, pengobatan terlambat/ tidak adekuat atau ada komplikasi berat,
prognosis meragukan/ buruk
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Tropik Infeksi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Departemen Bedah digestif
· RS non pendidikan : Departemen Bedah
122
LEPTOSPIROSIS
PENGERTIAN
Penyakit zoonosis yang disebabkan oleh spirokaeta patogen dari famili leptospiraceae
DIAGNOSIS
· Anamnesis: demam tinggi, menggigil, sakit kepala, nyeri otot, mual, muntah, diare
· Pemeriksaan Fisis: injeksi konjungtiva, ikterik, fotofobia, hepatomegali, splenomegali,
penurunan kesadaran
· Laboratorium: dapat ditemukan leukositosis, peningkatan amylase, lipase, dan CK, gangguan
fungsi hati, gangguan fungsi ginjal. Serologi leptospira positif (titer 1/100 atau terdapat
peningkatan 4 kali pada titer ulangan)
DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis tifosa, ikterus obstruktif, malaria, kolangitis, hepatitis fulminan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, elektrolit, amylase, lipase, serologi leptospira MAT
(mikoaglutinasi test)
TERAPI
Nonfarmakologis
Tirah baring, makanan/ cairan tergantung pada komplikasi organ yang terlibat
Farmakologis :
· Simtomatis
· Antimikroba pilihan adalah pilihan utama: penisilin G4 x 1,5 juta unit selama 5-7 hari.
Alternatifnya tetrasiklin, eritromisin, doksisiklin, sefalosporin generasi III, fluorokuinolon
KOMPLIKASI
Gagal
ginjal,
pankreatitis, miokarditis, perdarahan massif, meningitis aseptik.
Ekstra-intestinal : kardiovaskular (kegagalan sirkulasi parifer, miokarditis, thrombosis,
tromboflebitis), hematologik (anemia hemolitik, trombositopenia, KID), paru (pneumonia,
empiema, pleuritis), hematobolier (hepatitis, kolesistitis), ginjal (glomerulonefritis, pielonefritis,
perinefritis), tulang (osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis), neuropsikiatrik (toksik tifoid)
PROGNOSIS
Bonam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
123
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Tropik Infeksi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Devisi ginjal-hipertensi.
124
SEPSIS DAN RENJATAN SEPTIK
PENGERTIAN
· Sepsis merupakan sindrom respons inflamasi sistemik (SIRS) yang disebabkan oleh infeksi.
· Renjatan (syok) septik: sepsis dengan hipotensi, ditandai dengan penurunan TDS < 90 mmHg
atau penurunan > 40 mmHg dan TD awal tanpa adanya obat-obatan yang dapat menurunkan
TD
· Sepsis berat :gangguan fungsi organ atau kegagalan fungsi organ termasuk penurunan
kesadaran, gangguan fungsi hati, ginjal, paru-paru, dan asidosis metabolik.
DIAGNOSIS SEPSIS
1. Sirs ditandai dengan 2 gejala atau lebih berikut:
· Suhu badan >38°C atau < 36°C
· Frekuensi denyut jantung > 90 x menit
· Frekuensi pernafasan > 24 x/menit atau PaCO2 < 32
· Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3, atau adanya >10% sel batang
2. Ada fokus infeksi yang bermakna
DIAGNOSIS BANDING
Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, gula darah, AGD, elektrolit, kultur darah dan
infeksi fokal (urin, pus, sputum, dan lain-lain) disertai uji kepekaan mikroorganisme terhadap anti
mikroba, foto toraks.
TERAPI
· Eradikasi fokus infeksi
· Antimikroba empirik diberikan sesuai dengan tempat infeksi, dugaan kuman penyebab, profil
antimikroba (farmakokinetik dan farmakodinamik), keadaan fungsi ginjal dan fungsi hati
Antimikroba definitif diberikan bila hash kultur mikroorganisme telah diketahui, antimikroba
dapat diberikan sesuai basil uji kepekaan mikroorganisme.
· Sportif: resusitasi ABC, oksigenase, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi (sesuai
indikasi) pada renjatan septik diperlukan untuk mendapatkan respons secepatnya
- Resusitasi cairan. Hipovolemia pada sepsis segera diatasi dengan pemberian cairan
kristaloid atau koloid. Volume cairan yang diberikan mengacu pada respons klinis
(respons terlihat dan peningkatan tekanan darah, penurunan frekuensi jantung, kecukupan
isi nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin, dan perbaikan kesadaran) dan perlu
diperhatikan ada tidaknya tanda kelebihan cairan (peningkatan tekanan vena jugularis,
ronki, galop S,. dan penurunan saturasi oksigen) Sebaiknya dievaluasi dengan CVP
(dipertahankan 8-12 mm Hg), dengan mempertimbangkan kebutuhan kalori per hari
- Oksigenase sesuai kebutuhan. Ventilator diindikasikan pada hipoksemia yang progresif,
hiperkapnia gangguan neurologis, atau kegagalan otot pernafasan
- Bila hidrasi cukup tetapi pasien tetap hipotensi, diberikan vasoaktif untuk mencapai
tekanan darah sistolik
90 mmHg atau MAP 60 mmHg dan urin dipertahankan >30
125
-
-
ml/jam. Dapat digunakan vasopresor seperti dopamin dengan dosis >8 g/kgBB/menit,
norepinefrmn 0,03-1,5 mg/kgBB /menit, fenilefrin 0,5-8 mg/kgBB/menit, atau epinefrin
0,1-0,5 tg/kgBB/menit. Bila terdapat disfungsi miokard, dapat digunakan inotropik seperti
dobutamin dengan dosis 2-28 mg/kgBB/menit, dopamin 3-8 mg/kgBB/menit, epinefrin 0,1
-0,5 mg/kgBB/menit, atau fosfodiesterase inhibitor (amrinondanmilrinon)
Transfusi komponen darah sesuai indikasi
Koreksi gangguan metabolik: elektrolit, gula darah, dan asidosis metabolik (secara
empiris dapat diberikan bila pH < 7,2 atau bikarbonat serum < 9 mEq/l, dengan disertai
upaya perbaikan hemodinamik)
Nutrisi yang adekuat
Terapi suportif terhadap gangguan fungsi ginjal
Kartikosteroid bila ada kecurigaan insufisiensi adrenal
Bila terdapat KID dan didapatkan bukti terjadinya tromboemboli, dapat diberikan heparin
dengan dosis 100 IU/kgBB bolus, dilanjutkan 15-25 W/ kgBB/jam dengan infus kontinu,
dosis lanjutan disesuaikan untuk mencapai target aPTT 1,5-2 kali kontrol atau
antikoagulan lainnya.
KOMPLIKASI
Gagal nafas gagal ginjal, gagal hati, KID, renjatan septik ireversibel
PROGNOSIS
Dubia ad malam
WEWENANG
· RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit alam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan Departemen Ilmu Penyakit Dalam —Divisi Tropik Infeksi
· RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan: Divisi pulmonologi, ginjal-hipertensi, hematologi-onkologi, dan medical high
care / ECU
· RS non pendidikan: ECU
126
FEVER OF UNKNOWN ORIGIN
PENGERTIAN
· Fever of Unknown Origin (FUO) klasik adalah demam > 38,3°C selama lebih dari 3 minggu,
sudah dilakukan pemeriksaan intensif selama 3 hari bila pasien dirawat atau minimal 3 kali
kunjungan pasien rawat jalan tetapi belum dapat ditentukan penyebab demam. Penyebab:
infeksi, neoplasma, penyakit kolagen dan vaskular
· FUO pada pasien HIV adalah demam > 38,3°C selama 4 minggu atau lebih pada pasien rawat
jalan atau minimal 4 hari pada pasien yang dirawat dengan hasil pertumbuhan
mikroorganisme negatif dan dugaan fokus infeksi. Penyebab: infeksi, obat, sarkoma, limfoma
· FUO pada pasien netropenia (jumlah lekosit PMN<500/mm 3) adalah demam > 38,3°C, dalam
3 hari perawatan pertumbuhan mikroorganisme masih negatif dan dugaan fokus infeksi.
Penyebab: infeksi
· FUO pada geriatri adalah demam > 38,3°C, dalam 3 hari perawatan atau minimal 3 kali
kunjungan pasien rawat jalan belum dapat ditentukan penyebab dan demam. Penyebab:
neoplasma, penyakit kolagen, infeksi
· FUO pada pasien pediatri (usia<18 tahun) adalah demam > 38,3°C selama lebih dari 5 hari,
sudah dilakukan pemeriksaan intensif selama 3 hari bila pasien dirawat atau minimal 3 kali
kunjungan pasien rawat jalan tetapi belum dapat ditentukan penyebab demam. Penyebab:
infeksi, penyakit kolagen, neoplasma
· FUO pada pasien nosokomial demam > 38,3°C timbul pada pasien yang dirawat di RS dan
pada saat mulai dirawat serta pada masa permulaan perawatan tidak terjangkit infeksi.
penyebab demam tak diketahui dalam waktu 3 hari termasuk hasil pertumbuhan
mikroorganisme negatif dan dengan fokus infeksi. Penyebab: infeksi
· FUO iatrogenic adalah demam > 38,3°C akibat penggunaan obat: penicillin, sefalosponin,
sulfonamida, atropin, fenitoin, prokainarnida, amfoterisin, interferon, interleukin, rifarnpisin,
INH, makrolida, klindamisin, vankomisin, aminoglikosida, allopurinol
DIAGNOSIS
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis:
· riwayat penyakit secara terperinci: pola demam, ada tidaknya infeksi saluran nafas atas,
infeksi saluran nafas bawah, kaku leher, nyeri perut, disuria atau sakit pinggang, diare, abses
atau radang tonsil dan otot, nyeri dan pembengkakan sendi, atau tanpa kelainan spesifik
· riwayat pekerjaan, perjalanan, kontak dengan orang sakit atau hewan, trauma fisik atau bedah,
obat-obatan (termasuk rokok, alkohol, narkoba), keadaan kulit pasien, kelenjar getah bening,
lubang orifices pasien
Laboratorium: sesuai mikroorganisme dan organ terkait
DIAGNOSIS BANDING
Infeksi, penyakit kolagen, neoplasma, efek samping obat
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan hematologi, kimia darah, UL, mikrobiologi, immunologi, radiologi, EKG
biopsi jaringan tubuh, pencitraan, sidikan (scanning), endoskopi/peritoneoskopi, angiografi,
limfografi, tindakan bedah (laparatomi percobaan), uji pengobatan
TERAPI
127
·
·
Simtounatik
Uji terapeutik dengan antibiotika, kartikosteroid, atau obat anti inflamasi non- steroid tidak
dianjurkan kecuali bila penyakit progresif dan potensial fatal sehingga terapi empirik
diperlukan
KOMPLIKASI
Sepsis, renjatan sepsis
PROGNOSIS
Dubia
WEWENANG
· RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam —Divisi Tropik Infeksi
· RS non pendidikan: Bagian ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan: Divisi pulmonologi, hematologi-onkologi.
· RS non pendidikan: -
128
MALARIA
PENGERTIAN
Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit Plasmodium falciparum,
Plasmodium vivax, Plasmodium ovate, atau Plasmodium malariae dan ditularkan melalui gigitan
nyamuk anopheles
DIAGNOSIS
Anamnesis: riwayat demam intermiten atau terus menerus, riwayat dan atau pergi ke
daerah endemik malaria, trias malaria (keadaan menggigil yang diikuti dengan demam dan
kemudian timbul keringat yang banyak; pada daerah endemik malaria, trias malaria mungkin
tidak ada, diare dapat merupakan gejala utama)
Pemeriksaan Fisis: konjungtiva pucat, sklera ikterik, splenomegali
Laboratorium: sediaan darah tebal dan tipis ditemukan plasmodium, serologi malaria (+) [sebagai
penunjang]
Malaria berat: ditemukannya P falciparum dalam stadium aseksual disertai satu atau lebih gejala
berikut:
1. Malaria serebral: koma dalam yang tak dapat/sulit dibangunkan dan bukan disebabkan oleh
penyakit lain
2. Anemia berat (normositik) pada keadaan hitung parasit >10.000/ul; (Hb < 5 g/dl atau
hematokrit < 15%)
3. Gagal ginjal akut(urin < 400 ml/24 jam pada orang dewasa, atau < 12 ml/kgBB pada anakanak setelah dilakukan rehidrasi disertai kreatinin >3 mg/dl
4. Edema paru/Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
5. Hipoglikemia (gula darah < 40 mg/dl)
6. Gagal sirkulasi atau syok (tekanan sistolik <70 mmHg, disertai keringat dingin atau
perbedaan temperatur kulit-mukosa > 1°C)
7. Pendarahan spontan dan hidung, gusi, saluran cerna, dan/atau disertai gangguan koagulasi
intravaskular
8. Kejang berulang lebih dan 2 kali dalam 24 jam setelah pendinginan pada hyperthermia
9. Asidemia (pH 7,25) atau asidosis (bikarbonat plasma <15 mEq/l)
10. Hemoglobinuria mikroskopik oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena efek samping
obat antimalaria pada pasien dengan defisiensi G6PD)
11. Diagnosis pasca-kematian dengan ditemukannya P Falciparum yang padat pada pembuluh
darah kapiler jaringan otak
Beberapa keadaan yang juga digolongkan sebagai malaria berat sesuai dengan gambaran klinis
daerah setempat:
1. Gangguan kesadaran
2. Kelemahan otot tanpa kelainan neurologis (tak bisa duduk/jalan)
3. Hiperparasitemia > 5% pada daerah hipoendemik atau daerah tak stabil malaria
4. Ikterus (bilirubin >3 mg/dl)
5. Hyperpyrexia (suhu rektal > 40°C)
129
DIAGNOSIS BANDING
Infeksi virus, demam tifoid toksik, hepatitis fulminan, leptospirosis, ensefalitis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah tebal dan tipis malaria, serologi malaria, DPL, tes fungsi ginjal, tea fungsi hati, gula
darab, UL, AGD, elektrolit, hemostasis, rontgen toraks, EKG
TERAPI
A. Infeksi P vivax atau P. ovale
a. Daerah sensitif klorokuin:
Klorokuin basa 150 mg:
Han I : 4 tablet + 2 tablet (6 jam kemudian),
Hari II dan III: 2 tablet atau
Hari I dan II : 4 tablet,
Hari III : 2 tablet
Terapi radikal: ditambah primaquine 1 x 15mg selama 14 hari.
Bila gagal dengan terapi klorokuin, kina sulfat 3 x 400-600 mg/hari selama 7
hari
b. Daerah resisten klorokuin
Kina 3 x 400-600mg selama 7 hari
Terapi radikal: ditambah primaquine 1 x 15 mg selama 14 hari
B. Infeksi P. falciparum ringan/sedang infeksi campur P falciparum dan P vivax
· Artemisin
Hari I:4 tablet (200 mg)
Hari II:4 tablet (200 mg)
Hari III:4 tablet (200 mg)
· Arnodiaquin
Hari I: 4 tablet (600 mg)
Hari II: 4 tablet (600 mg)
Hari III: 2 tablet (600 mg)
· Klorokuin basa 150 mg:
Hari 1 : 4 tablet + 2 tablet (6jam kemudian),
Hari II : 2 tablet
Hari III : 2 tablet atau Hari I : 4 tablet
Hari II : 4 tablet
Hari III : 2 tablet
· Bila perlu ditambah terapi radikal: ditambah primaquine 45 mg (3 tablet) (dosis tunggal);
infeksi campur: primaquine 1 x 15 mg selama 14 hari à bila resisten dengan pengobatan
tersebut: SP 3 tablet (dosis tunggal) atau kina sulfat 3 x 400-600 mg/hari selama 7 hari
C. Malaria berat
· Articulate iv/im 2,4 mg/kgBB diberikan pada jam ke-0, 12, 24, dilanjutkan satu kali per
hari.
· Drip kina HCl 500mg (10 mg/kgBB) dalam 250-500 ml D5% diberikan dalam 6 - 8 jam
(maksimum 2000 mg) dengan pemantauan EKG dan kadar gula darah tiap 8 - 12 jam
sampai pasien dapat minum obat per oral atau sampai hitung parasit malaria sesuai target
130
·
(total pemberian parenteral dan per oral selama 7 hari dengan dosis per oral 10
mg/kgBB/24 jam diberikan 3 kali sehari)
Pengobatan dengan kina dapat dikombinasikan dengan tetrasiklin 94 mg/ kgBB diberikan
4 kali sehari atau doksisiklin 3 mg/kgBB sekali sehari
Perhatian SP tidak boleh diberikan pada bayi dan ibu hamil. Primaquine tidak boleh diberikan
pada ibu hamil, bayi, dan penderita defisiensi G6PD. Klorokuin tidak botch diberikan dalam
keadaan perut kosong. Pada pemberian kina parenteral, bila obat sudah diterima selama 48 jam
tetapi belum ada perbaikan dan atau terdapat gangguan fungsi ginjal, maka dosis selanjutnya
diturunkan sampai 30-50%. Kartikosteroid merupakan kontraindikasi pada malaria serebral.
Pemantauan pengobatan: hitting parasit minimal tiap 24 jam, target hitung parasit pada H1 50%
HO dan H3 < 25% HO. Pemeriksaan diulang sampai dengan tidak ditemukan parasit malaria
dalam 3 kali pemeriksaan berturut-turut.
Pencegahan: klorokuin basa 5 mg/kgBB, maksimal 300 mg/minggu diminum tiap minggu sejak
1 minggu sebelum masuk daerah endemik sampai dengan 4 minggu setelah meninggalkan daerah
endemik atau doksisiklin 1,5 mg/kgBB/hari dimulai 1 (satu) hari sebelum pergi ke daerah
endemis malaria hingga 4 minggu setelah meninggalkan daerah endemis
KOMPLIKASI
Malaria berat, renjatan, gagal nafas, gagal ginjal akut
PROGNOSIS
Malaria falciparum ringan/sedang, malaria vivax, atau malaria ovale: bonam. Malaria berat: duhia
ad malam
WEWENANG
· RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam — Divisi Tropik Infekal
· RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan: Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi Pulmonologi dan Departemen Neurologi
· RS non pendidikan: Bagian Neurologi
131
INTOKSIKASI OPIAT
PENGERTIAN
Intoksikasi opiat merupakan intoksikasi akibat penggunaan obat golongan opiat yaitu
morfin, petidin, heroin, opium, pentazokain, kodein, loperamid, dekstrometorfan.
DIAGNOSIS
· Anamnesis: informasi mengenai seluruh obat yang digunakan, sisa obat yang ada
· Pemeriksaan Fisis: pupil miosis-pin point pupil, depresi nafas, penurunan kesadaran, nadi
lemah, hipotensi, tanda edema paru, needle tracksigiz, sionosis, spasme saluran cerna dan
belier, kejang
· Laboratorium: opiat urin positif atau kadar dalam darah tinggi
DIAGNOSIS BANDING
Intoksikasi obat sedatif: barbiturat, benzodiazepin, etanol
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Opiat urin/darah, AGD, elektrolit, gula darah, rontgen toraks
TERAPI
A. Penanganan kegawatan: resusitasi A-B-C (airway, breathing, circulation) dengan
memperhatikan prinsip kewaspadaan universal. Bebaskan jalan nafas, berikan oksigen sesuai
kebutuhan, pemasangan infus dan pemberian cairan, sesuai kebutuhan.
B. Pemberian antidotnalokson
1. Tanpa hiperventilasi: dosis awal diberikan 0,4 mg intravena pelan-pelan atau diencerkan
2. Dengan hiperventilasi: dosis awal diberikan 1-2 mg intravena pelan-pelan atau diencerkan
3. Bila tak ada respon, diberikan nalokson 1-2 mg intravena tiap 5 —10 menit hingga timbul
respons (perbaikan kesadaran, hilangnya depresi pernafasan, dilatasi pupil) atau telah
mencapai dosis maksimal 10mg. Bila tetap tak ada respon, diagnosis intoksikasi opiat
perlu dikaji ulang,
4. Efek nalokson berkurang dalam 2O-40 menit dan pasien dapat jatuh ke dalam keadaan
overdosis kembali, sehingga perlu pemantauan ketat tanda vital, kesadaran, dan perubahan
pupil selama 24 jam. Untuk pencegahan dapat diberikan drip nalokson satu ampul dalam
500 ml P5% atau NaCl 0,9% diberikan dalam 4-6 jam
5. Simpan sampel urin untuk pemeriksaan opiat urin dan lakukan foto toraks
6. Pertimbangan pemasangan pipa endo trakeal bila: pernafasan tak adekuat setelah
pemberian nalokson yang optimal, oksigenasi kurang meski ventilasi cukup, atau
hipoventitasi menetap setelah 3 jam pemberian nalokson yang optimal
7. Pasien dipuasakan 6 jam untuk menghindari aspirasi akibat spasme pyloric, bila
diperlukan dapat dipasang NOT untuk mencegah aspirasi atau bilas lambung pada
intoksikasi opiat oral
8. Activated clzarcoal dapat diberikan pada intoksikasi peruraian memberikan 240 ml cairan
dengan 30 gram charcoal, dapat diberikan sampai 100 gram
9. Bila terjadi kejang dapat diberikan diazeparn intravena 5-10 mg dan dapat diulang bila
perlu.
132
Pasien dirawat untuk penilaian keadaan klinis dan rencana rehabilitasi.
KOMPLIKASI
Aspirasi, gagal nafas. edema paru akut
PROGNOSIS
Dubia
WEWENANG
· RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam — Divisi Tropik Infeksi
· RS non pendidikan: Bagian ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan: Divisi Psikosomatik, Divisi Pulmonologi dan Departemen Psikiatri,
Departemen Anestesi/ICU
· RS non pendidikan: Bagian Psikiatri
133
INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT
PENGERTIAN
Intoksikasi organofosfat merupakan intoksikasi akibat zat yang mengandung organofosfat.
DIAGNOSIS
· Anamnesis: riwayat minum/kontak dengan zat yang mengandung organofosfat, muntah
· Pemeriksaan Fisis: bradikardia, pupil miosis, penurunan kesadaran, tanda-tanda aspirasi
· Laboratorium: pemeriksaan bahan muntah atau darah mengandung organofosfat
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, elektrolit, rontgen toraks, EKG, pemeriksaan organofosfat
TERAPI
•Bilas ambung melalui NGT
•Atropinisasi
KOMPLIKASI
Gagal nafas, blok AV
PROGNOSIS
Dubia
WEWENANG
• RS pendidikan: Dokter Spesial Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
• RS non pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan: Departemen ilmu Penyakit Dalam Divisi Tropik Infeksi
• RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan: Divisi Pulmonologi, Psikosomatik
• RS non pendidikan: Bagian Psikiatri
134
2.6
GINJAL HIPERTENSI
135
PENYAKIT GINJAL KRONIK
PENGERTIAN
Kriteria penyakit ginjal kronik adalah:
1. Kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, berupa kelainan struktur atau fungsi
ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), berdasarkan:
· kelainan patologik atau
· petanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan pada komposisi darah atau urin, atau
kelainan pada pemeriksaan pencitraan
2. LFG <60 ml/menit/1,73 m² yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal
DIAGNOSIS
· Anamnesis: lemas, mual, muntah, sesak nafas, pucat, BAK berkurang
· Pemeriksaan Fisis: anemis, kulit kering, edema tungkai atau palpebra, tanda bendungan paru
· Laboratorium: gangguan fungsi ginjal
Batasan dan Stadium Penyakit Ginjal Kronik
Dengan Kerusakan
LFG
Ginjal
(ml/menit/l,7
Dengan
Tanpa
3 m²)
Hipertensi
Hipertensi
> 90
1
1
60-89
2
2
30-59
3
3
15-29
4
4
< 15 (atau
5
5
dialisis)
Tanpa Kerusakan Ginjal
Dengan
Hipertensi
Hipertensi
Hipertensi
+1 ¯ LFG
3.
4
5
Tanpa
Hipertensi
Normal
¯ LFG
3.
4
5
DIAGNOSIS BANDING
Gagal ginjal akut
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, ureum, kreatinin, UL, tes klirens kreatinin (TTK) ukur, elektrolit (Na, K, Cl, Ca, P, Mg),
profil lipid, asam urat serum, gula darah, AGD, SI,TIBC, feritin serum, hormon PTH, albumin,
globulin, USG ginjal, pemeriksaan immunologi, hemostasis lengkap, foto polos abdomen,
renogram, foto toraks, EKG ekokardiografi, biopsi ginjal, HBsAg, Anti HCV, Anti HIV.
TERAPI
Nonfarmakologis:
· Pengaturan asupan protein:
- pasien non dialisis 0,6-0,75 gram/kgBB ideal/hari sesuai dengan CCT dan toleransi pasien
- pasien hemodialisis 1-1,2 gram/kgBB ideal/hari
- pasien peritoneal dialisis 1,3 gram/kgBB/hari
· Pengaturan asupan kalori: 35 Kal/kgBB ideal/hari
136
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama antara
asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dan kalori total
Garam (NaCl): 2-3 gram/hari
Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari
Fosfor:5-10mg/kgBB/hari. Pasien HD: 17mg/hari
Kalsium: l400-l600mg/hari
Besi: 10-18 mg/hari
Magnesium: 200-300 mg/hari
Asam folat pasien HD: 5 mg
Air: jumlah urin 24 jam + 500 ml (insensible water loss).
Pada CAPD air disesuaikan dengan jumlah dialisat yang keluar. Kenaikan berat badan di
antara waktu RD <5% BB kering.
Farmakologis:
· Kontrol tekanan darah:
- Penghambat ACE atau antagonis reseptor Angiotensin II à evaluasi kreatinin dan kalium
serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemi harus
dihentikan
- Penghambat kalsium
- Diuretik
· Pada pasien DM. kontrol gula darah à hindari pemakaian metformin dan obat-obat
sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 di atas nilai
normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%
· Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
· Kontrol hiperfosfatemi: kalsium karbonat atau kalsium asetat
· Kontrol osteodystrophy renal : Kalsitniol
· Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/1
· Koreksi hiperkalemi
· Kontrol dislipidemia dengan target LDL<100 mg/dl, dianjurkan golongan statin
· Terapi ginjal pengganti
KOMPLIKASI
Kardiovaskular, gangguan keseimbangan asam basa, cairan, dan elektrolit, osteodistrofi renal,
anemia
PROGNOSIS
Dubia
137
WEWENANG
· RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
· Hemodialisis: wewenang Subspesialis Ginjal-Hipertensi dan internist dengan sertifikasi
hemodialisis
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam — Divisi Ginjal-Hipertensi
· RS non pendidikan: Bagian ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan: Unit Hemodialisis, ICU/Medical High Care, Departemen Bedah Urologi
· RS non pendidikan: Unit hemodialisis, ICU
138
SINDROM NEFROTIK
PENGERTIAN
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular yang
ditandai dengan proteinuria masif > 3,5 gram/24 jam/1,73 m² disertai hipoalbuminemia, edema
anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas.
DIAGNOSIS
• Anamnesis: bengkak seluruh tubuh, buang air kecil keruh
• Pemeriksaan fisis: edema anasarka, asites
• Laboratorium: proteinuria masif > 3,5 gram/24 jam/1,73 m², hiperlipidemia, hipoalbuminemia
(<3,5 gram/dl), lipiduria, hiperkoagulabilitas. Diagnosis etiologi berdasarkan biopsi ginjal
DIAGNOSIS BANDING
Edema dan asites akibat penyakit hati atau malnutrisi, diagnosis etiologi SN
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urinalisis, ureum, kreatinin, tes fungsi hati, profil lipid, DPL, elektrolit, gula darah,
hemostasis, pemeriksaan immunologi, biopsi ginjal, protein urin kuantitatif
TERAPI
Nonfarmakologis:
• Istirahat
• Restriksi protein dengan diet protein 0,8 gram/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam
urin/24 jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6
gram/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam
• Diet rendah kolesterol < 600 mg/hari
• Berhenti merokok
• Diet rendah garam, restriksi cairan pada edema
Farmakologis:
• Pengobatan edema: diuretik loop
• Pengobatan proteinunia dengan penghambat ACE dan/atau antagonis reseptor Angiotensin II
• Pengobatan dislipidemia dengan golongan statin
• Pengobatan hipertensi dengan target tekanan darah < 125/75 mmHg. Penghambat ACE dan
antagonis reseptor Angiotensin II sebagai pilihan obat utama
• Pengobatan kausal sesuai etiologi SN (lihat topik penyakit glomerular)
KOMPLIKASI
Penyakit ginjal kronik, tromboemboli
PROGNOSIS
Tergantung jenis kelainan glomerular
139
WEWENANG
• RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
• RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam —Divisi Ginjal-Hipertensi
• RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan: Departemen Patologi Anatomik
· RS non pendidikan: -
140
PENYAKIT GLOMERULAR
PENGERTIAN
Penyakit Glomerular merupakan penyakit ginjal berupa peradangan pada glomerulus dan
dapat dibedakan menjadi penyakit glomerular primer atau sekunder.
Penyakit glomerular primer:
1. Kelainan minimal
2. Glomerulo skelerosis fokal segmental
3. Olomerulonefritis (GN) difusi:
a. ON membranosa (nefropati membranosa)
b. ON proliferatif (terdapat sedimen aktif pada urinalysis: sedimen eritrosit (+), hematuri):
- ON prohferatif mesangial
- GN proliferatif endokapiler
- ON membranoproliferatif(mes/angiokapiler)
- ON kresentik dan necrotizing
c. ON sclerosing
4. Nefropati IgA
Penyakit glomerular sekunder:
1. Nefropati diabetik
2. Nefritis lupus
3. GN pasca infeksi
4. GN terkait hepatitis
5. GN terkait HIV
Keterangan:
• Difus: lesi mencakup > 80% glomerulus.
• Fokal: lesi mencakup < 80% glomerulus.
• Segmental: lesi mencakup sebagian gelung glomerulus.
• Global: lesi mencakup keseluruhan gelung glomerulus.
DIAGNOSIS
Manifestasi klinis penyakit glomerular dapat berupa:
1. Sindrom nefrotik
2. Hematuria persisten
3. Proteinuria persisten
4. Sindrom nefritik (hipertensi, hematuria, azotemia)
5. Rapid progressive glomerulonephritis (RPGN)
DIAGNOSIS BANDING
Etiologi dan penyakit glomerular
141
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urinalisis, ureum, kreatinin, protein urin kuantitatif/24 jam, pemeriksaan immunologi,
biopsi ginjal, gula darah, tes fungsi hati
TERAPI
Sesuai etiologi, penyakit glomerular primer:
1. Kelainan minimal:
· Steroid yang setara dengan prednison 60 mg/m² (maksimal 80mg) selama 4- 6 minggu
· Setelah 4-6 minggu dosis prednison diberikan 40 mg/m² selang sehari selama 4-6minggu
- Bila terjadi relaps: dosis prednison kembali 60 mg/m² (maksimal 80mg) setiap hari
sampai 3 hari bebas protein dalam urin, kemudian kembali selang sehari dengan dosis
40 mg/m² selama 4 minggu
- Bila sering relaps (2 kali): prednison selang sehari ditambah dengan siklofosfamid 2
mg/kgBB atau klorambusil 0,15 mg/kgBB selama 8 minggu. Bila gagal, diberikan
siklosporin 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan
- Bila tergantung steroid (relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam 2
minggu pasca obat sudah dihentikan, 2 kali berturut-turut): siklofosfamid 2 mg/kgBB
selama 8-12 minggu. Bila gagal, diberikan siklosponin 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan
- Bila resisten terhadap steroid, diberikan siklosporin 5 mg/kgBB selama 6- 12 bulan
2. Glomerulonefritis fokal segmental:
· Steroid yang setara dengan prednison 60 mg/hari selama 6 bulan.
- Bila resisten atau tergantung steroid: siklosponin 5 mg/kgBB selama 6 bulan
- Bila terjadi remisi, dosis siklosporin diturunkan 25% setiap dua bulan
- Bila gagal, siklosporin dihentikan
3. Nefropati membranosa:
· Metil prednisolon bolus intravena 1 gram/hari selama 3 hari
· Kemudian diberikan steroid yang setara dengan prednison 0,5 mg/kgBB/hari selama 1
bulan lalu diganti dengan kloambusil 0,2 mg/kgBB/hari atau siklofosfamid 2
mg/kgBB/hari selama 1 bulan
· Prosedur kedua diulang kembali sampai seluruhnya dad prosedur kedua sebanyak 3 kali
4. Glomerulonefritis membranoproliferatif
· Steroid tidak terbukti efektif pada pasien dewasa.
· Dianjurkan pemberian aspirin 325 mg/had atau dipinidamol 3 x 75-100 mg/hari atau
kombinasi keduanya selama 12 bulan. Bila dalam 12 bulan tidak memberikan respon,
pengobatan dihentikan sama sekali
5. Nefropati IgA
· Bila proteinuria < 1 gram, hanya observasi
· Bila proteinuria 1 - 3 gram, dengan fungsi ginjal normal, hanya observasi. Bila dengan
gangguan fungsi ginjal, diberikan minyak ikan
· Bila proteinuria > 3 gram dengan CCT >70 ml/menit, diberikan steroid yang setara
dengan prednison 1 mg/kgBB selama 2 bulan lalu tappering off secara perlahan sampai
dengan 6 bulan. Bila CCT < 70 ml/menit, hanya diberikan minyak ikan
· Suplementasi kalsium selama terapi dengan steroid
142
KOMPLIKASI
Penyakit ginjal kronik
PROGNOSIS
Tergantung jenis kelainan glomerular
WEWENANG
• RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Dokter Spesialis penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan Departemen Ilmu Penyakit Dalam — Divisi Ginjal-Hipertensi
• RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan: Departemen Patologi Anatomik
• RS non pendidikan: -
143
GAGAL GINJAL AKUT
PENGERTIAN
Gagal ginjal akut (GGA) adalah sindrom yang ditandai oleh penurunan laju filtrasi
glomerulus secara mendadak dan cepat (hitungan jam-minggu.) yang mengakibatkan terjadinya
retensi produk sisa nitrogen seperti ureum dan kreatinin. Peningkatan kreatinin serum 0,5 mg/dl
dan nilai sebelumnya, penurunan CCT hitung sampai 50% atau penurunan fungsi ginjal yang
mengakibatkan kebutuhan akan dialisis.
DIAGNOSIS
Terdapat kondisi yang dapat menyebabkan GGA:
1. Pre-renal: akibat hipoperfusi ginjal (dehidrasi, perdarahan, penurunan curah jantung dan
hipotensi oleh sebab lain)
2. Renal: akibat kerusakan akut parenkim ginjal (obat, zat kimia/toksin, iskemi ginjal, penyakit
glomerular)
3. Post-renal: akibat obstruksi akut traktus uninarius/batu saluran kemih, hipertrofi prostat,
keganasan ginekologis)
Fase gagal ginjal akut adalah anuria (produksi urin < 100 mg/24 jam), oligunia (produksi urin <
400 ml/24 jam), poliuria (produksi urin > 3.500 ml/24 jam)
DIAGNOSIS BANDING
Episode akut pada penyakit ginjal kronik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes fungsi ginjal, DPL, urinalysis elektrolit, AGD, gula darah
TERAPI
- Asupan nutrisi
- Kebutuhan kalori 30 Kal/kgBB Ideal/hari pada. GGA tanpa komplikasi; kebutuhan
ditambah 15-20% pada GGA berat (terdapat komplikasi/stres)
- Kebutuhan protein 0,6-0,8 gram/kgBB ideal/hari pada OGA tanpa komplikasi; 1-1,5
gram/kgBB ideal/hari pada GGA berat
- Perbandingan karbohidrat dan lemak 70 : 30
- Suplementasi asam amino tidak dianjurkan
- Asupan cairan à tentukan status hidrasi pasien, catat cairan yang masuk dan keluar tiap hari,
pengukuran BB setiap hail bila memungkinkan, dan pengukuran tekanan vena sentral bila ada
fasilitas.
- Hipovolemia: rehidrasi sesuai kebutuhan
- Bila akibat perdarahan diberikan transfusi darah PRC dan cairan Isotonik, hematokrit
dipertahankan sekitar 30% - Bila akibat diare, muntah, atau asupan cairan yang kurang dapat diberikan cairan
kristaloid
- Normovolemia: cairan seimbang (input = output)
- Hipervolemia: restriksi cairan (input < output)
- Fase anuria/oligunia: cairan seimbang; Fase poliuria: 2/3 dan cairan yang keluar
Dalam keadaan insensible water loss yang normal, pasien membutuhkan 300- 500 ml
144
electrolyte free water per hari sebagai bagian dan total cairan yang diperlukan
- Koreksi gangguan asam basa
- Koreksi gangguan elektrolit:
• Asupan kalium dibatasi <50 mEq/hari. Hindari makanan yang banyak mengandung
kalium, obat yang mengganggu ekskresi kalium seperti penghambat ACE dan diuretik
hemat kalium, dan cairan/nutrisi parenteral yang mengandung kalium
• Bila terdapat hipokalsemia ringan diberikan koreksi per oral 34 gram per hari dalam
bentuk kalsium karbonat, bila sampai timbul tetani, diberikan kalsium glukonas 10% IV
• Bila terdapat hiperfosfatemia, diberikan obat pengikat fosfat seperti alumunium
hidroksida atau kal1ium karbonat yang diminum bersamaan dengan makan
- Pemberian furosemid bersamaan dengan dopamin dapat membantu pemeliharaan fase
nonoligunik, tapi terapi harus dihentikan bila tidak memberikan hasil yang diinginkan
- Indikasi dialisis:
• Oliguria
• Anunia
• Hiperkalemia (K > 6,5 mEq/l)
• Asidosis berat (pH <7,1)
• Azotemia (ureum > 200 mg/dl)
• Edema paru
• Ensefalopati uremikum
• Penikarditis uremik
• Neuropati/miopati uremik
• Disnatremia bera (Na > 160 mEq/l atau < 115 mEq/l)
• Hipertermia
• Kelebihan dosis obat yang dapat didialisis (keracunan)
KOMPLIKASI
Gangguan asam basa dan elektrolit, sindrom uremik, edema paru, infeksi
PROGNOSIS
Dubia ad bonam
WEWENANG
• RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
• RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam Hemodialisis: wewenang Subspesialis
Ginjal-Hipertensi dan internist dengan sertifikasi hemodialisis
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan departemen Ilmu Penyakit Dalam—Divisi Ginjal-Hipertensi,
hemodialisis
• RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam, unit Hemodialisis
Unit
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan ICU, unit dialisis
• RS non pendidikan: -
HIPERTENSI
145
PENGERTIAN
Hipertensi adalah keadaan tekanan darah yang sama atau melebihi 140 mmHg sistolik
dan/atau sama atau melebihi 90 mmHg diastolik pada seseorang yang tidak sedang makan obat
antihipertensi.
Klasifikasi Tekanan Darah Berdasarkan Joint National Committee VII:
Klasifikasi
TD sistolik (mmHg)
TD diastolik (mmHg)
Normal
< 120
dan
< 80
Pre-hipertensi
120-139
atau
80-89
Hipertensi stage 1
140-159
atau
90-99
Hipertensi stage 2
160
atau
100
Diagnosis
• Klasifikasi berdasarkan hasil rata-rata pengukuran tekanan darah yang dilakukan minimal 2
kali tiap kunjungan pada 2 kali kunjungan atau lebih dengan menggunakan cuff yang meliputi
minimal 80% lengan atas pada pasien dengan posisi duduk dan telah beristirahat 5 menit.
• Tekanan sistolik = suara fase 1 dan tekanan diastolik = suara fase 5
• Pengukuran pertama harus pada kedua sisi lengan untuk menghindarkan kelainan pembuluh
darah perifer
• Pengukuran tekanan darah pada waktu berdiri diindikasikan pada pasien dengan risiko
hipotensi postural (lanjut usia, pasien DM, dan lain-lain)
• Faktor risiko kardiovaskular:
- Hipertensi
- Merokok
- Obesitas (IMT > 30)
- Inaktivitas fisik
- Dislipidemia
- Diabetes melitus
- Mikroalbuminuria atau LFG <60 ml/menit
- Usia (laki-laki > 55 tahun, perempuan > 65 tahun)
- Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular dini (laki-laki <55 tahun atau
perempuan <65 tahun)
• Kerusakan organ sasaran:
- Jantung: hipertrofi ventrikel kin, angina atau riwayat infark miokard, riwayat
revaskularisasi koroner, gagal jantung
- Otak: strok atau transient ischemic attack (TIA)
- Penyakit ginjal kronik
- Penyakit arteri perifer
- Retinopati
• Penyebab hipertensi yang telah diidentifikasi: sleep apnea, akibat obat atau berkaitan dengan
obat, penyakit ginjal kronik, aldosterinisme primer, penyakit renovaskular, terapi steroid
kronik dan sindrom Cushing, feokromositoma, koarktasi aorta, penyakit tiroid atau paratiroid.
146
DIAGNOSIS BANDING
Peningkatan tekanan darah akibat white coal hypertension, rasa nyeri, peningkatan
tekanan intraserebral, ensefalitis, akibat obat, dan lain-lain.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urinalisis, tes fungsi ginjal, gula darah, elektrolit, profil lipid, foto toraks, EKG; Sesuai
penyakit penyerta: asam urat, aktivitasrenin plasma, aldosteron, katekholamin
urin, USG pembuluh darah besar, USG ginjal, ekokardiografi
TERAPI
• Modifikasi gaya hidup dengan target tekanan darah <140/90 mmHg atau <130/ 80 pada
pasien DM atau penyakit ginjal kronis. Bila target tidak tercapai maka diberikan obat inisial.
• Obat inisial dipilih berdasarkan:
1. Hipertensi tanpa compelling indication
a. Pada hipertensi stage I dapat diberikan diuretik. Pertimbangkan pemberian
penghambat ACE, penyekat reseptor beta, penghambat kalsium, atau kombinasi.
b. pada hipertensi stage II dapat diberikan kombinasi 2 obat, biasanya golongan diuretik,
tiazid dan penghambat ACE atau antagonis reseptor AII atau penyekat reseptor beta
atau penghambat kalsium.
2. Hipertensi dengan compelling indication. Lihat tabel petunjuk pemilihan obat pada
compelling indication. Obat antihipertensi lain dapat diberikan bila dibutuhkan misalnya
diuretik, antagonis reseptor AII, penghambat ACE, penyekat reseptor beta, atau
penghambat kalsium.
Bila target tidak tercapai maka dilakukan optimalisasi dosis atau ditambahkan obat lain
sampai target tekanan darah tercapai. Pertimbangkan untuk berkonsultasi pada spesialis
hipertensi.
• Pada penggunaan penghambat ACE atau antagonis reseptor AII: evaluasi kreatinin dan
kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemi harus
dihentikan.
• Kondisi khusus lain:
- Obesitas dan sindrom metabolik (terdapat 3 atau lebih keadaan berikut: lingkar pinggang
laki-laki > 102 cm atau perempuan > 89 cm, toleransi glukosa terganggu dengan gula
darah puasa 110 mg/dl, tekanan darah minimal 130/85 mmHg, trigliserida tinggi 150
mg/dl kolesterol HDL rendah <40 mg/dl pada laki-laki atau <50 mg/dl pada perempuan)
à modifikasi gaya hidup yang intensif dengan pilihan terapi utama golongan penghambat
ACE. Pilihan lain adalah antagonis reseptor AII, penghambat kalsium, dan penghambat α
- Hipertrofi ventrikel kiri à tatalaksana tekanan darah yang agresif termasuk penurunan
berat badan, restriksi asupan natrium, dan terapi dengan semua kelas antihipertensi
kecuali vasodilator langsung, hidralazih dan minoksidil.
- Penyakit arteri perifer à semua kelas anti hipertensi, tatalaksana faktor risiko lain, dan
pemberian aspirin
- Lanjut usia, termasuk penderita hipertensi sistolik terisolasi à diuretika (tiazid) sebagai
lini pertama, dimulai dengan dosis rendah 12,5 mg/hari. Penggunaan obat antihipertensi
Lain dengan mempertimbangkan penyakit penyerta
- Kehamilan à pilihan terapi adalah golongan metildopa, penyekat reseptor β, antagonis
kalsium, dan vasodilator. Penghambat ACE dan antagonis reseptor AII tidak boleh
147
digunakan selama kehamilan.
Petunjuk pemilihan obat pada compelling indications
Obat-obat yang Direkomendasikan
Kondisi
Antagoni
Risiko Tinggi
Penghamba s
Penghamba
Dengan
Diureti Penyekat
t
Reseptor t
compelling
k
Reseptor β
ACE
AII
Kalsium
indication
Gagal
Jantung
Pasca Infark
Miokard
Risiko tinggi
Penyakit
Koroner
DM
penyakit
Ginjal
Kronik
Pencegahan
Stroke
Berulang
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Antagonis
Aldostero
n
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
KOMPLIKASI
Hipertrofi ventrikel kiri, proteinuria dan gangguan fungsi genial, atherosclerosis
pembuluh darah, retinopati, stroke atau TIA, infark miokard, angina pektoris, gagal jantung
PROGNOSIS
Bonam
WEWENANG
• RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
• RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan: Departemen Umum Penyakit Dalam — Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi
Kardiologi
• RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan: ICCU, Departemen mata, Neurologi
• RS non pendidikan: ICCU / ICU, Departemen mata, neurologi
148
KRISIS HIPERTENSI
PENGERTIAN
Krisis hipertensi adalah keadaan hipertensi yang memerlukan penurunan tekanan darah
segera karena akan mempengaruhi keadaan pasien selanjutnya. Tingginya tekanan darah
bervariasi, yang terpenting adalah cepat naiknya tekanan darah. Dibagi menjadi dua:
1. Hipertensi emergency: situasi di mana diperlukan penurunan tekanan dara yang segera
dengan obat antihipertensi parenteral karena adanya kerusakan organ target akut atau
progresif
2. Hipertensi urgency: situasi di mana terdapat peningkatan tekanan darah yang bermakna tanpa
adanya gejala yang berat atau kerusakan organ target progresif dan tekanan darah perlu
diturunkan dalam beberapa jam.
DIAGNOSIS
• Anamnesis: Riwayat hipertensi dan terapinya, kepatuhan minum obat pasien, tekanan darah
rata-rata riwayat pemakaian obat-obat simpatomimetik dan steroid, kelainan hormonal,
riwayat penyakit kronik lain, gejala-gejala serebral, jantung, dan gangguan penglihatan
• Pemeriksaan fisis: Tekanan darah pada kedua ekstremitas, perabaan denyut nadi perifer,
bunyi jantung, bruit pada abdomen, adanya edema atau tanda penumpukan cairan, funduskopi,
dan status neurologis.
• Laboratorium: sesuai dengan penyakit dasar, penyakit penyerta, dan kerusakan organ target
DIAGNOSIS BANDING
Penyebab hipertensi emergency:
Hipertensi maligna terakselerasi dan papiledema
• Kondisi serebrovaskular: ensefalopati hipertensi, infark otak aterotrombotik dengan hipertensi
berat, perdarahan intraserebral, perdarahan subarahnoid, dan trauma kepala
• Kondisi jantung: diseksi aorta akut, gagal jantung kiri akut, infark miokard akut, pasca
operasi bypass koroner
• Kondisi ginjal: GN akut hipertensi renovaskular, krisis renal karena penyakit kolagenvaskular, hipertensi berat pasca transplantasi ginjal
• Akibat katekolamin di sirkulasi: krisis feokromositoma, interaksi makanan atau obat dengan
MAO inhibitor, penggunaan obat simpatomimetik, mekanisme rebound akibat penghentian
mendadak obat antihipertensi, hiperretleksi otomatis pasca cedera korda spinalis
• Eklampsia
• Kondisi bedah: hipotensi berat pada pasien yang memerlukan operasi segera, hipertensi pasca
operasi, perdarahan pasca operasi dan garis jahitan vaskular
• Luka bakar berat
• Epistaksis berat
• Thrombotic thronibocytopenic purpura
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, uninalisis, ureum, kreatinin, gula darah, elektrolit, EKG Pemeriksaan khusus sesuai
indikasi: foto toraks, ekokardiografi, aktivitas renin plasma, aldqeron, metanefrin/katekolamin,
USG abdomen, CT scan, dan MRL
149
TERAPI
Target terapi hipertensi emergency sampai tekanan darah diastolik kurang lebih 110
mmHg atau berkurangnya mean arterial blood pressure 25% (pada strok penurunan hanya boleh
20% dan .khusus pada strok iskemik, tekanan darah baru diturunkan secara bertahap bila sangat
tinggi >220/130 mmHg) dalam waktu 2 jam. Setelah diyakinkan tidak ada tanda hipoperfusi
organ, penurunan dapat dilanjutkan dalam 12-16 jam selanjutnya sampai mendekati normal.
Penurunan tekanan darah pada hipertensi urgency dilakukan secara bertahap dalam waktu 24 jam.
KOMPLIKASI
Kerusakan organ target
Hipertensi urgency:
Obat
Dosis
Awitan
Kaptopril
6,25-50 mg per oral atau sublingual bila tidak
dapat menelan
Dosis awal per oral 0,15 mg, selanjutnya 0,15
mg tiap jam dapat diberikan sampai dengan dosis
total 0,9 mg
100 - 200 mg per oral
20-40 mg per oral
20-40 mg, dapat diulang hanya diberikan bila
terdapat retensi cairan
Infus 5-100 mcg/menit. Dosis awal 5 mcg/menit,
dapat ditingkatkan 5 mcg/menit tiap 3-5 menit
Bolus IV 10 mg (0,25 mg/kgBB), dilanjutkan
infus 5-10 mg/jam
6 ampul dalam 250 ml cairan infus, dosis
diberikan dengan titrasi
Infus 0,25-10 mcg/kgBB/menit, (maksimum 10
menit)
15 menit
Lama
Kerja
4-6 jam
0,5 - 2 jam
6-8 jam
0,5-2 jam
0,5-1 jam
5-15
Menit
2-5
Menit
8-12 jam
6-8 jam
2-3jam
Segera
1-2
menit
Klonidin
Labetalol
Furosemid
Diuretik:
Furosemid
Vasodilator:
- Nitrogliserin
- Diltiazem
-
Klonidin
-
Nitroprusid
5-10
Menit
PROGNOSIS
Dubia
WEWENANG
• RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
• RS non pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam —Divisi Ginjal-Hipertensi
• RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan: Medical High Care, ICU
• RS non pendidikan: ICU
150
INFEKSI SALURAN KEMIH
PENGERTIAN
Infeksi saluran kemih (ISIC) adalah infeksi akibat terbentuknya koloni kuman di saluran
kemih. Kuman mencapai saluran kemih melalui cara hematogen dan asending.
Faktor risiko:
Kerusakan atau kelainan anatomi saluran kemih berupa obstruksi internal oleh jaringan
parut, endapan obat intratubular, refluks, instrumentasi saluran kemih, konstruksi arteri-vena,
hipertensi, analgetik, ginjal polikistik, kehamilan, DM, atau pengaruh obat-obat estrogen.
ISK sederhana/takber komplikasi:
ISK yang terjadi pada perempuan yang tidak hamil dan tidak terdapat disfungsi struktural
ataupun ginjal
ISK berkomplikasi:
ISK yang berlokasi selain di vesika urinaria, ISK pada anak-anak, laki-laki, atau ibu hamil
DIAGNOSIS
• Anamnesis: ISK bawah frekuensi, disuria terminal, polakisuria, nyeri suprapubik. ISK atas:
nyeri pinggang, demam, menggigil, mual dan muntah, hematuria
• Pemeriksaan fisis: febris, nyeri tekan suprapubik, nyeri ketok sudut kostovertebra
• Laboratorium: leukositosis, lekosituria, kultur urin (+): bakteriuria >105/ml urin
DIAGNOSIS BANDING
ISK sederhana, ISK berkomplikasi.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, urinalysis, kultur urin dan tes resistensi kuman, tes fungsi ginjal, gula darah, foto
BNO-IVP, USG ginjal.
TERAPI
Nonfarmakologis:
• Banyak minum bila fungsi ginjal masih baik
• Menjaga higiene genitalia eksternal
Farmakologis:
• Antimikroba berdasarkan pola kuman yang ada; Bila hasil tes resistensi kuman sudah ada,
pemberian antimikroba disesuaikan.
151
Tabel 1.Antimikroba pada ISK bawah tak berkomplikasi
Antimikroba
Dosis
Trimetopnim- Sulfametoksazol
2 x 160/800 mg
Trimetopnim
2 x 100mg
Siprofloksasin
2 x 100-250 mg
Levofloksasin
2 x 250 nig
Setlksim
1x400mg
Sefjodokshn proksetil
2 x 100 mg
Nitrofurantoin makrokristal
4 x 50 mg
Nitrofunantoin monobidnat
2 x 100 mg
makroknistal
Amoksisilin/klavulanat
2 x 500 mg
Tabel 2. Obat parenteral pada ISK atas akut berkomplikasi
Antimikroba
Dosis
Sefepim
1 gram
Siprofloksasin
400 mg
Levofloksasin
500 mg
Ofloksasin
400mg
Gentamisin (+ ampisilin)
3-5 mg/kgBB
1 mg/kgBB
Ampisilin (+gentamisin)
1-2 gram
Tikarsilin-klavulanat
3,2 gram
Piperasilin-tazobaktam
3,375 gram
Imipenem-silastatin
250-500mg
Lama Terapi
3 hari
3 hari
3 hari
3 hari
3 hari
3 hari
7 hari
7 hari
7 hari
Lama Terapi
12 jam
12 jam
24 jam
12 jam
24 jam
8 jam
6 jam
8 jam
2-8 jam
6.8 jam
152
ISK pada Perempuan
Perempuan dengan keluhan disuria dan sering
flAK
Pengobatan selama 3 hari
Folow up selama 4-7 hari
Tak Berg ejala
Tak perlu
intervensi lebih
lanjut
Berg ejala
Keduanya
negatif
Piuria tanpa
bakteriuria
Piuria dengan
atau tanpa
bakteriuria
Observasi,
pengobatan
dengan analgetika
saluran kemih
Pengobatan
untuk kuman
Pengobatan
diperpanjang
• ISK tak bergejala pada perempuan menopause tidak perlu pengobatan
• ISK pada perempuan hamil tetap diberikan pengobatan meski tidak bergejala
• Pengobatan untuk ISK pada laki-laki usia < 50 tahun harus diberikan selama 14 hari; usia >
50 tahun pengobatan selama 4-6 minggu
• Infeksi jamur kandida diberikan flukonazol 200-400 mg/hari selama l4 hari. Bila infeksi
terjadi pada pasien dengan kateter, kateter dicabut lalu dilakukan irigasi kandung kemih
dengan amfoterisi selama 5 hari.
153
ISK Berulang
Riwayat ISK berulang
Gejala ISK baru
Pengobatan 3 hari
Follow up selama 4-7 hari
Pengobatan berhasil
Pasien dengan reinfeksi
Calon untuk terpakai jangka
panjang dosis rendah
·
Pengobatan gagal
Infeksi kuman resistensi
antimikroba
Infeksi kuman peka
antimikroba
Terapi 3 hari untuk kuman
yang peka
Terapi dosis tinggi selama
6 minggu
Terapi jangka panjang: trimetopnim-sulfametoksazol dosis rendah (40-200 mg) tiga kali
seminggu setiap malam, fluorokuinolon dosis rendah, nitrofurantoin makrokristal 100 mg tiap
malam. Lama pengobatan 6 bulan dan bila perlu dapat diperpanjang 1-2 tahun lagi.
KOMPLIKASI
Batu saluran kemih, obstruksi saluran kemih, sepsis infeksi kuman yang multiresisten, gangguan
fungsi ginjal
PROGNOSIS
Bonam
WEWENANG
• RS pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Daam dan PPDS Pertyakit Dalarn
• RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam — Divisi Ginjal-Hipertensi
• RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan: Departemen Radiologi, Departemen Mikrobiologi
• RS non pendidikan: Bagian Radiologi, Bagian Mikrobiologi
154
BATU SALURAN KEMIH
PENGERTIAN
Batu saluran kemih adalah batu di traktus urinarius mencakup ginjal, ureter, vesika
urinaria.
DIAGNOSIS
• Anamnesis: nyeri/kolik ginjal dan saluran kemih, pinggang pegal, gejala infeksi saluran
kemih, hematuria, riwayat keluarga
• Pemeriksaan fisis: nyeri ketok sudut kostovertebra, nyeri tekan perut bagian bawah, terdapat
tanda balotemen
• Laboratorium: hematuria, bayangan radio opak pada foto BNO, filling defect path IVP atau
pielografi antegrad/retrograd, gambaran batu di ginjal atau kandung kemih serta hidronefrosis
pada USG
DIAGNOSIS BANDING
• Nefrokalsinosis
• Lokasi batu: batu ginjal, batu ureter, batu vesika
• Jenis batu: asam urat, kalsium, struvite
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urinalisis, kultur urin dan tes resistensi kuman, tes fungsi ginjal, elektrolit darah (kalsium,
fosfor) dan urin 24 jam (kalsium, sitrat, oksalat, asam urat), asam urat darah, hormon paratiroid,
foto BNO-IVP, USG abdomen, pielografi antegrad/retrograd, renogram, analisis batu
TERAPI
Nonfarmakologis:
• Batu kalsium: kurangi asupan garam dan protein hewani
• Batu urat: diet rendah asam urat
• Minum banyak (2,5 1/hari) bila fungsi ginjal masih baik
Farmakologis:
• Antispasmodik bila ada kolik
• Antimikroba bila ada infeksi
• Batu kalsium: kalium sitrat
• Batu urat: alopuninol
Bedah:
• Pielotomi
• •ESWL
• Nefrostomi
KOMPLIKASI
Kolik, obstruksi, infeksi saluran kemih, gangguan fungsi ginjal
155
PROGNOSIS
Bonam
WEWENANG
• RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
• RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan: Departemen ilmu Penyakit Dalam —Divisi Ginjal-Hipertensi
• RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan: Departemen Bedah I Urologi
• RS non pendidikan: Bagian Bedah
156
NEFRITIS LUPUS
PENGERTIAN
Lupus eritematosus sistemik (LES) yang disertai keterlibatan ginjal
DIAGNOSIS
• Memenuhi kriteria LES menurut ACR 1982,
• Diagnosis klinis ditegakkan bila pada pasien LES terdapat proteinuria 1 gram/24 jam
dengan/atau hematuria (> 8 eritrosit/LPB) dengan/atau penurunan fungsi ginjal sampai 30%.
• Biopsi ginjal harus dilakukan bila tidak ada kontraindikasi, untuk menentukan pilihan
pengobatan berdasarkan kelas nefritis lupus.
Klasifikasi Nefritis Lupus (WHO 1995)
Nefritis Lupus
Histopatologi
Kelas I
Glomeruli normal
Kelas II
Kelas III
Kelas IV
Kelas V
Kelas VI
Gejala Klinis
Hanya proteinuria, sedimen urin tidak ada
kelainan
Perubahan pada mesangial Kelas II a: hanya proteinuria, kelainan sedimen
urin tidak ada Kelas II b: hematuria
mikroskopik dan/atau proteinuria, tanpa
hipertensi, tidak pernah terjadi SN atau
gangguan fungsi ginjal
Glomerulonephritis fokal Hematuria dan proteinuria pada seluruh pasien.
segmental
Hipertensi, SN, dan penurunan fungsi ginjal
pada sebagian pasien
Glomerulonephritis difus
Hematuria dan proteinuria pada seluruh pasien.
Hipertensi, SN, dan penurunan fungsi ginjal
pada hampir seluruh pasien
Glomerulonephritis
SN pada seluruh pasien, sebagian dengan
membranosa difus
hematuria atau hipertensi, namun fungsi ginjal
masih normal atau sedikit menurun
Glomerulonephritis
Penurunan fungsi ginjal yang lambat dengan
sklerotik lanjut
kelainan urin yang relatif normal
DIAGNOSIS BANDING
Glomerulonephritis oleh sebab lain
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urinalysis, protein urin kuantitatif 24 jam, tes fungsi ginjal, biopsi ginjal, albumin serum,
profil lipid, komplemen C3, C4, anti ds-DNA
TERAPI
Tujuan pengobatan untuk memperbaiki fungsi ginjal atau setidaknya mempertahankan
fungsi ginjal agar tidak bertambah buruk.
157
Penatalaksanaan Umum:
• Diet rendah garam bila terdapat hipertensi, rendah lemak bila terdapat dislipidemia atau
sindrom nefritik, renda protein sesuai derajat penyakit
• Diuretik dapat diberikan sesuai dengan kebutuhan
• Tatalaksana hipertensi dengan baik
• Pemeriksaan rutin periodik meliputi: sedimen urin, protein urin kuantitif 24 jam, tes fungsi
ginjal, albumin serum, komplemen C3,C4 , anti ds-DNA
• Monitor efek samping steroid dan immunosuppressant serta komplikasi selama pengobatan.
Suplementasi kalsium untuk mengurangi efek samping osteoporosis karena steroid
• Hindari pemberian salisilat dan obat anti-inflamasi nonsteroid yang akan memperberat fungsi
ginjal. Aspirin hanya diberikan selektif bila ada sindrom anti fosfolipid
• Hindari kehamilan bila nefritis lupus masih aktif
KOMPLIKASI
Gagal ginjal
PROGNOSIS
Tergantung kelas nefritis lupus. Kelas I dan II prognosis balk. Kelas III dan IV hampir
seluruhnya akan menimbulkan penurunan fungsi ginjal. Kelas V prognosis cukup baik.
WEWENANG
· RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam —Divisi Ginjal-Hipertensi
· RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan: Unit hemodialisis, Divisi Rematologi, Divisi Alergi-immunologi,
Departemen Patologi Anatomik
· RS non pendidikan: Unit hemodialisis
158
2.7
HEMATOLOGI
ONKOLOGI MEDIK
159
LIMFOMA NON-HODGKIN
PENGERTIAN
Limfoma non-hodgkin merupakan penyakit keganasan primer jaringan limfoid padat.
DIAGNOSIS
• Riwayat pembesaran kelenjar getah bening/massa tumor di tempat lain (tulang, intra abdomen,
hidung, lambung dan sebagainya)
• Riwayat demam tanpa sebab yang jelas
• Penurunan berat badan 10% dalam waktu 1 bulan
• Keringat malam banyak, tanpa sebab yang sesuai
• Pemeriksaan histopatologi tumor: sesuai dengan limfoma non Hodgkin (LNH)
DIAGNOSIS BANDING
Limfoma Hodgkin, limfaderitis, tuberkulosis, toxoplasmosis, filariasis, tumor padat yang lain.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Pemeriksaan sitologi kelenjar/massa tumor untuk mengetahui LNH tersebut serta keterlibatan
kelenjar lain yang membesar
• Laboratorium: darah tepi lengkap, gula darah, fungsi hati, fungsi ginjal
• Aspirasi dan biopsi sumsum tulang
• CT scan atau USG abdomen untuk mengetahui adanya pembesaran kelenjar
• Getah bening (KGB) para aorta abdominal atau KGB lainnya, massa tumor dalam abdomen
• Foto toraks untuk mengetahui pembesaran KGB mediastinum
• Pemeriksaan telinga hidung tenggorokan (TNT) untuk melihat keterlibatan cincin Waldeyer
• Gastroskopi bila perlu untuk melihat keterlibatan lambung
• Bone scan atau foto bone survey bila perlu untuk melihat keterlibatan tulang
TERAPI
Derajat keganasan rendah
• Kemoterapi obat tunggal atau ganda, peroral.
• Radioterapi paliatif
Derajat keganasan menengah
• Stadium I s.d. IIa: radioterapi atau kemoterapi parenteral kombinasi.
• Stadium IIb s.d. IV: kemoterapi parenteral kombinasi, radioterapi berperan untuk tujuan
paliatif.
Derajat keganasan tinggi
• Selalu kemoterapi parenteral kombinasi (lebih agresif)
• Radioterapi hanya berperan untuk tujuan paliatif
Reevaluasi hasil penobatan:
• Setelah siklus kemoterapi kedua, keempat
• Setelah selesai pengobatan lengkap
160
KOMPLIKASI
Akibat langsung penyakitnya:
• Penekanan terhadap organ khususnya jalan nafas, usus, dan saraf
• Mudah terjadi infeksi, bisa fatal
Akibat efek samping pengobatan:
• Aplasia sunisum tulang
• Gagal jantung oleh obat golongan antrasiklin
• Gagal ginjal oleh obat sisplatinum
• Neuritis oleh obat vinkristin
PROGNOSIS
Bergantung pada derajat keganasan, tingkat penyakit, bulky mass. keadaan umum
pasien dan ada tidaknya gangguan organ yang mempengaruhi pengobatan.
• Derajat keganasan rendah: Tidak dapat sembuh, namun dapat hidup lama.
• Derajat keganasan menengah: Sebagian dapat disembuhkan.
• Derajat keganasan tinggi: Dapat disembuhkan, cepat meninggal apabila tidak diobati.
WEWENANG
• RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
• RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik
• RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan: Departemen THT, Patologi Anatori, Radiologi/Radioterapi
• RS non pendidikan: Bagian THT, Patologi Anatomi, Radiologi/Radioterapi
REFERENSI
1. Reksodiputra, AH. Irawan C. Limfoma non Hodgkin. In: Suyono, S. W aspadji, S. Lesmana, L.
Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 11. Edisi II.
Jakarta: Balai Penerbit PKUI:2001.p. 607-21.
2. Non-Hodgkin’
s Lymfomen Hematologie Klapper. 8thed. Leids Universitair Medisch Centrun,
Leiden. Juni 1999:82-98.
3. Abdulmuthaljb, Limfoma non-Hodgkin, In: Simadibrata M, Setiadi S, Alwi, Oemardi M,
Gani R4, Mansjoer A, editors. Pedoman diagnosis dan terapi di bidang ilmu penyakit dalam.
Jakarta. Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM:
1999. p. 113-4.
161
ANEMIA APLASTIK
PENGERTIAN
Anemia aplastik adalah anemia akibat aplasia sumsum tulang di mana jaringan hemopoiesis
diganti oleh jaringan lemak, dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Anemia aphlatik berat
Selularitas sumsum tulang < 25% dan terdapat 2 dan 3 gejala berikut
• granulosit <500/ul
• trombosit <20.000/ul
• retikuiosit< 10%
2. Anemia aplastik
• Sumsum tulang hipoplastik
• Pansitopenia dengan satu dan tiga pemeriksaan darah seperti pada anemia aplastik berat
DIAGNOSIS
• Anamnesis:
- Riwayat paparan terhadap zat toksik (obat, lingkungan kerja, hobi), menderita infeksi
virus 6 bulan terakhir (hepatitis, parvovirus), pernah mendapat transfusi darah
- Gejala anemia: rasa lemas/lemah, pucat, pusing, sesak nafas/gagal jantung, berkunangkunang
- Tanda-tanda infeksi: sering demam
- Akibat trombositopenia: perdarahan (menstruasi lama, epistaksis, perdarahan gusi,
perdarahan di bawah kulit, hematunia. buang air besar campur darah, muntah darah)
• Pemeriksaan fisik: konjungtiva pucat, takikardi, tanda perdarahan Pemeriksaan penunjang:
darah tepi lengkap ditemukan pansitopenia, serologi virus (hepatitis, parvovirus)
• Diagnosis pasti: sitologi dan histopatologi sumsum tulang
DIAGNOSIS BANDING
Mielofibrosis, anemia hemolitik, anemia defisiensi anemia karena penyakit kronik,
anemia karena penyakit keganasan sumsum tulang, hiperspienisme, leukemia akut
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Laboratorium: darah tepi lengkap, serologi virus
• Aspirasi dan biopsi sumsum tulang
TERAPI
Terapi penunjang:
• Transfusi komponen darah (PRC dan/atau TC) sesuai indikasi (pada topik transfusi darah)
• Menghindari dan mengatasi infeksi
• Kortikosteroid: prednison 1-2 mg/kgBB/ hari
• Androgen: Metenolol asetat 2-3 mg/kgBB/ hari, maksimal diberikan selama 3 bulan
• Splenoktomi dilakukan bila tidak respons dengan steroid. Bila pasien menolak splenoktomi
dapat diberikan terapi immunosuppressive:
- Siklosponin 5 mg/kgBB/hari
- ATG (anti thymocyte globulin) 15 mg/ kgBB/ hari intravena selama 5 hari
- Transplantasi sumsum tulang, bila ditemukan HLA yang cocok
162
Respons terapi:
• Komplit: granulosit> 1000/ul, trombosit> 100.000/ul, Hb normal
• Parsial: granulosit >500/ul, tidak membutuhkan transfusi darah merah dan trombosit
• Minimal: granulosit>S00/uf, membutuhkan transfusi darah merah dan trombosit
• Tidak berespons: anemia aplastik berat menetap
KOMPLIKASI
Infeksi bisa fatal, perdarahan, gagal jantung pada anemia berat
PROGNOSIS
•Dubia, tergantung tingkat hipoplasianya
•Pada umumnya pasien meninggal karena infeksi, perdarahan atau komplikasi transfusi darah
WEWENANG
•RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
•RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
•RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Hematologi - Onkologi Medik
•RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
•RS pendidikan: Departemen Patologi Anatomi
•RS non pendidikan: Bagian Patologi Anatomi
REFERENSI:
1. Salonder, H. A nemia aplastic. Dalam: Suyono, S. W aspadji, S. Lexmana, L A lwi, I. Setiati, S. Sundaru,
H. dkk. Buku A jar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi III. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2001:501-8.
2. A piastisehe anemie. Hematology Klapper 8 th ed. Leids Universirair Medisch Centrun Leiden. Juni
1999.12-16.
3. W idjanarko A . A nemia aplastik. In: Sintadibrata M, Setiari S. A lwi I, Oemardi M, Gani R,4, Mansjoer
A , edt. Pedoman diagnosis don terapi di bidang ilmu penyakit dalam Jakarta: Pusar Informasi dan
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI RSCM: 1999. p. 102-3.
163
LEUKEMIA AKUT
PENGERTIAN
Leukemia akut merupakan penyakit proliferasi neoplastik yang sangat cepat dan progresif
sehingga susunan sumsum tulang normal digantikan oleh sel primitif dan set induk darah (sel bias
dan atau satu tingkat di atasnya). leukemia akut dibagi dua yaitu: leukemia mieblastik akut,
leukemia limfoblastik akut
DIAGNOSIS
Anamnesis:
- Gejala anemia: rasa lemas/lemah, pucat, pusing, sesak nafas/gagal jantung, berkunangkunang
- Tanda-tanda infeksi: sering demam
- Akibat trombositopenia: perdarahan (menstruasi lama, epistaksis, perdarahan gusi,
perdarahan di bawah kulit, hematuria, buang air besar campur darah, muntah darah)
• Pemeriksaan fisik: pucat, demam, pembesaran kelenjar getah b1ing (KGB) superfisial,
organomegali, petekie/purpural ekimosis
• Pemeriksaan penunjang: Aspirasi sumsum tulang: hitung jenis set bias dari atau progranulosit >
30%
DIAGNOSIS BANDING
Sindrom mielodisptasia (MDS), reaksi leukernoid, leukemia kronis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Laboratorium: darah tepi lengkap (termasuk retikulosit dan hitung jenis), LDH, asam urat,
fungsi ginjal, fungsi hati, serologi virus (hepatitis, HSV, EBV, CMV)
• Sitologi aspirasi sumsum tulang, sitogenetik
TERAPI
Perawatan di ruang rawat isolasi imunitas menurun:
Persiapan pengobatan sitoreduksi:
• Akses vena sentral
• Anti emetik
• Profilaksis asam urat (allopurinol sesuai CCT, hidrasi cukup > 2000 ml/24 jam. alkalinisasi
urin dengan natrium bikarbonat oral 4 x 500-1000 mg/hari (target pH urin > 7)
• Tunda haid (lynestrenol)
• Antibiotika dekontaminasi parsial
• Profilaksis streptokokus (henzyipenicilline 4x 1 gr)
• Vitamin K 2 kali seminggu 5 mg per oral
• Asam folat 1x5 mg/hari dan vit B12 1000 ug/minggu
• Leukoferesis untuk mencegah leukostasis jika leukosit > 100.000/uL dikombinasi metil
prednisoton 5 mg/kg/hari
164
Pemeriksaan rutin:
• Turn, over rate set tumor (LDH, asam urat)
• Elektrolit (Na, K, Ca)
• Hemostasis lengkap
• Fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
• Keasaman urin
• Fungsi hari (bilirubin direk/indirek, SGOT/SGPT, ALP)
• Gula darah
• Serologi virus
• Surveillance bakteriologi
• Foto dada
• Fungsi lumbal diagnostik jangkitan otak
Kuratif:
• Sitoreduksi dengan sitostatika mulai dan yang ringan hingga yang agresif dengan
membutuhkan rescue set induk darah pasien clan darah perifer untuk penyelamatan pada
ablasi sumsum tulang
• Transplantasi set induk darah alogenik atau/autogenik dan darah perifer, sumsum tulang atau
tali pusar
Paliatif
Respons terapi
Komplit:
• Hitung jenis set bias dan atau progranulosit < 5% pada sitologi aspirat sumsum tulang
• Pada darah tepi tidak ditemukan bias, leukosit > 3000/ul, granulosit > 1500/ul dan trombosit >
100.000/ul
Partial:
• Hitung jenis set bias dan atau progranutosit 5-10% pada sitologi aspirat sumsum tulang
• Pada darah tepi dapat ditemukan sel blas
Tidak respon:
• Hitung jenis sel bias dan atau progranulosit > 10% pada sitologi aspirat sumsum tulang
KOMPLIKASI
Sindrom lisis tumor, infeksi neutropenia dan perdarahan trombopenia/koagulasi
intravaskular diseminata.
PROGNOSIS
Malam.
WEWENANG
• RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
• RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
165
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan Departemen Patologi Anatomi
• RS non pendidikan: Bagian Patologi Anatomi
REFERENSI
1. A cute leukemie algemeen. Hematologie Klapper, 8th ed. Leids Universitair Medisch Centrum: Leiden,
Juni 1999:20.
2. A bdul Muthalib Leukimia akut. In: Simadibraga M, Setiati S, A lwi I Oemardi M, Gani RA , Mansjoer
A , eds. Pedoman diagnosis dan terapi di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan
Penerbitan Departemen: Ilmu Penyakit Dalam FKUIRSCM; 1999, p. 110-3.
166
SINDROM LISIS TUMOR
PENGERTIAN
Sindrom lisis tumor adalah sindrom yang ditandai berbagai kombinasi antara hiperurisemia,
hiperkalemia, hiperfosfatemia, asidosis laktat dan hipokalsemia yang disebabkan oleh
pengrusakan sejumlah besar sel neoplasma yang sedang berproliferasi secara cepat.
DIAGNOSIS
· Anamnesis : Riwayat mendapat kemoterapi dalam 1-5 hari terakhir, jenis tumor yang diderita
(limfoma burkitt, leukimia limfoblastik akut, dan limfoma derajat tinggi lainnya)
· Pemeriksaan fisik : Tidak khas, sesuai dengan kelainan yang terjadi (misalnya pernapasan
kussmaul pada asidosis laktat, oliguria/anuria bila terjadi gagal ginjal, aritmia ventrikel pada
hiperkalemia)
· Laboratorium : Peningkatan LDH, asam urat darah, kalium darah, fosfat darah, penurunan
kalsium darah, analisis gas darah (AGD) menunjukkan asidosis metabolik, urinalisa
menunjukkan pH urin < 7 dan/ terdapat kristal asam urat
DIAGNOSIS BANDING
Gagal ginjal akut karena penyebab yang lain
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : DPL, ureum, kreatinin, LDH, K, F, Ca, asam urat, AGD, urinalisis
TERAPI
· Mencegah dan mendeteksi faktor resiko lebih penting
· Hidrasi adekuat 5000ml/m 2 per hari
· Mempertahankan pH urin > 7 dengan pemberian Na bikarbonat
· Allopurinol 300mg/m 2 per hari
· Monitor fungsi ginjal, elektrolit, AGD dan asam urat
· Bila secara konservatif tidak berhasil dan ditemukan tanda-tanda sebagai berikut (K > 6
meq/dl, kreatinin > 10 mg/dl, F > 10 mg/dl atau semakin meningkat, hipokalsemia simtomatik)
maka dilakukan hemodialisa
KOMPLIKASI
Gagal ginjal akut, aritmia ventrikel, kematian mendadak
PROGNOSIS
Malam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
167
·
·
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi - Onkologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
-
IDIOPHATIC THROMBOCYTOPENIA
168
PURPURA
DIAGNOSIS
Untuk menyingkirkan kemungkinan idiophatic thrombocytopenia purpura (ITP) sekunder
· Anamnesis :
- Riwayat obat-obatan (heparin, alkohol, sulfonamides, kuinidin/kuinin, aspirin) dan bahan
kimia
- Gejala sistematik ; pusing, demam, penurunan berat badan
- Gejala penyakit autoimun ; artalgia, rash kulit, rambut rontok
- Riwayat perdarahan (lokasi, banyaknya, lamanya), resiko infeksi HIV, status kehamilan,
riwayat transfusi, riwayat pada keluarga (trombisitopenia, gejala perdarahan dan kelainan
autoimun),
- Penyakit penyerta yang dapat meningkatkan resiko perdarahan (kelainan gastrointestinal,
sistem saraf pusat dan Urologi)
- Kebiasaan/hobi : aktivitas yang traumatik
· Pemeriksaan fisik :
- Perdarahan (lokasi dan beratnya)
- Jarang ditemukan organomegali, tidak ditemukan jaundice atau sitgmata penyakit hati
kronik
- Tanda infeksi (bakteria/infeksi HIV)
- Tanda penyakit autoimun (artritis, goiter, nefritis, vaskulitis)
· Pemeriksaan penunjang :
- Darah tepi : hitung trombosit < 150.000/uL dengan tidak dijumpai sitopenia lainnya,
pemeriksaan morfologi darah tepi dapat dijumpai trombosit muda yang berukuran lebih
besar.
- Laboratorium kimia rutin dan enzim hati
- Pemeriksaan serologi virus (dengue, CMV, EBV, HIV, rubella)
- Pemeriksaan ACA, Coomb’
s test, C3, C4, ANA, andti dsDNA
- Pemeriksaan imunoelektroforesis protein
- Pemeriksaan hemostasis normal bila tidak ada komplikasi, kecuali masa perdarahan yang
memanjang
- Pemeriksaan pungsi sumsum tulang: megakariosit normal atau meningkat
- Pemeriksaan autoantibodi trombosit.
DIAGNOSIS BANDING
· Berkurangnya produksi trombosit/aplasia megakariosit baik yang kongenital atau didapat
· Gangguan distribusi trombosit (hipersplenisme, hipotermia)
· Peningkatan penghancuran trombosit (ITP sekunder, drug induced, kehamilan dll)
· Pseudotrombositopenia akibat EDTA terlalu banyak pada spesimen darah tepi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· Laboratorium : darah tepi lengkap, enzim hati, kimia rutin, ACA, Comb test, C3, C4, ANA,
anti dsDNA, serologi virus, anti HIV, antibodi antitrombosit
· Sitologi aspirasi sumsum tulang
TERAPI
ITP akut : (anak-anak, self limiting)
169
·
·
·
Trombosit > 30.000/ul, asimtomatik/ purpura minimal tidak diterapi rutin
Trombosit < 20.000/ul dengan perdarahan bermakna atau < 10.000/ul dengan purpura
minimal Steroid (~ prednison 1-2 mg/kgBB/hari)
Mengingat ITP pada anak bersifat self limiting, maka lama terapi dibatasi selama 21 hari.
Dapat juga diberikan IV Ig 1gr/kg 1 hari
Perdarahan yang mengancam jiwa
dirawat, steroid injeksi dosis tinggi (metilprednisolon
30 mg/kg/hari) atau steroid oral dosis tinggi (~ prednison 4-8 mg/kg/hari) dan transfusi
trombosit
ITP kronik (dewasa)
Terapi suportif :
· Membatasi aktivitas yang berisiko trauma
· Menghindari obat-obat yang mengganggu fungsi trombosit
· Transfusi PRC sesuai kebutuhan
· Transfusi trombosit bila :
- Perdarahan masif
- Adanya ancaman perdarahan otak/ SPP
- Persiapan untuk operasi besar
Perawatan RS untuk pasien dengan :
· Perdarahan berat yang mengancam jiwa
· Trombosit < 20.000/ul dengan perdarahan mukosa bermakna
· Trombosit > 50.000/ul asimtomatik/ dengan purpura minimal tidak diterapi
· Trombosit < 30.000/ul dengan/ tanpa gejala, 30.000-50.000/ul dengan perdarahan bermakna,
kadar trombosit berapa saja dengan perdarahan yang mengancam jiwa diterapi :
Steroid
(~ prednison 1-2 mg/kg/hari), dipertahankan 3-4 minggu lalu tapp down, maksimal selama 6
bulan. Prednison tidak boleh diberikan dalam jumlah tinggi lebih dari 4 minggu pada pasien tidak
respon
Splenektomi
Indikasi :
· Gagal remisi dengan terapi steroid dalam 6 bulan observasi
· Memerlukan dosis maintenance steroid yang tinggi
· Adanya kontraindikasi / intoleransi terhadap steroid
Pilihan terapi yang lain :
· Obat-obatan imunosupresan (siklofosfamid, azatioprin, vinkristin)
· Preparat androgen (danazol)
· Exchange plasmapharesis pada pasien dengan keadaan sakit berat
· Hormonal anovulatoir
KOMPLIKASI
Infeksi, ITP berat, DM indeuced steroid, hipertensi, immunocompromised
170
PROGNOSIS
· ITP akut : bonam
· ITP kronik : dubia ad malam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi - Onkologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
REFERENSI
1. Idiopatische trombocytopenische purpura. Hematologie Klapper. 8th ed. Leids Universitair
Medisch Centrum Leiden. Juni 1999:113-7.
2. Djoerban Z. Immune trombocytopenic purpura. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Oemardi
M, Gani RA, Mansjoer A, editors. Pedoman diagnosis dan terapi di bidang ilmu penyakit
dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIRSCM: 1999.p. 104-8.
TROMBOSIS VENA DALAM
PENGERTIAN
171
Trombosis vena dalam adalah pembekuan darah di dalam pembuluh darah vena terutama pada
vena tungkai bawah
DIAGNOSIS
Gejala klinik bervariasi (90% tanpa gejala klinis)
Pasien dengan resiko tinggi yaitu apabila :
· Riwayat trombosis, stroke
· Pasca tindakan bedah terutama bedah ortpedi
· Imobilisasi lama terutama paska trauma/penyakit berat
· Luka bakar
· Gagal jantung akut atau kronik
· Penyakit keganasan baik tumor solid maupun keganasan hematologi
· Infeksi baik jamur, bakteri maupun virus terutama yang disertai syok
· Penggunaan obat-obatan yang mengandung hormon estrogen
· Kelainan darah bawaan atau didapat yang menjadi predisposisi untuk trombosis
Anamnesis
Nyeri lokal, bengkak, perubahan warna dan fungsi berkurang pada anggota tubuh yang terkena
Pemeriksaan fisik
· Edem, eritem, peningkatan suhu lokal tempat yang terkena, pembuluh darah vena teraba,
Homan’
s sign (+)
· Berdasarkan data tersebut di atas sering ditemukan negatif palsu
· Prosedur diagnosis baku adalah pemeriksaan venografi
Pemeriksaan penunjang
· Kadar antitrombin III (AT III) menurun (N:85-125%)
· Kadar fibrinogen degradation product (FDP) meningkat
· Tider D-dimer meningkat
DIAGNOSIS BANDING
Sindrom pasca flebitis, varises, gagal jantung, trauma, refluks vena, selulitis, limfangitis, abses
inguinal, keganasan dengan sumbatan kelenjar limfe atau vena, gout, dermatitits kontak, eritema
nodosum, kehamilan, flebitis superfisial, paralisis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· Radiologi : venografi/flebografi, USG vena-B mode atau colour doppler
· Laboratorium : kadar AT III, protein C, protein S, antibodi antikardiolipin, profil lipid, agresi
trombosit
Tersangka DVT
Ultrasonografi
172
Ada 3 pilihan
DVT
Pertimbangan Klinis
D-Dimer
Diagram Pendekatan Diagnosis DVT
TERAPI
Non farmakologis :
· Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena untuk melancarkan aliran darah vena
· Kompres hangat untuk meningkatkan sirkulasi mikrovaskular
· Latihan lingkup gerak sendi (range of motion) seperti gerakan fleksi-ekstensi, menggenggam
dll, tindakan ini dapat meningkatkan aliran darah vena di vena-vena yang masih terbuka
(patent)
· Pemakaian kaus kaki elastik (elastic stocking), alat ini dapat meningkatkan aliran darah vena
Farmakologis :
1. Antikoagulan
Heparin (unfractionated)
· Bolus intravena 100 IU/kg dilanjutkan drip mulai 1000IU/jam
· Target ApTT 1,5 - 2,5 x kontrol, bila
- aPTT < 1,5 x kontrol, dosis –100 - 200 IU/jam
- aPTT 1,5 - 2,5 x kontrol, dosis tetap
- aPTT > 2,5 x kontrol, dosis –100 - 200 IU/jam
· Hari I : aPTT diperiksa tiap 6 jam
Hari II : aPTT diperiksa tiap 12 jam
Hati III: aPTT diperiksa tiap 24 jam
LMWH (Low Molecular W eight Heparin)
· Nadroparin 0,1 ml/kg/12 jam
· Enoksaparin 1 mg/kg/12 jam
· Tidak perlu pemantauan
Warfarin
· Warfarin dapat dimulai segera sesudah pemberian heparin dengan dosis hari 16-10 mg
malam hari, hari II diturunkan.
· INR diperiksa setelah 4-5 hari kemudian dengan target 2-3
173
·
·
Bila target INR tercapai, heparin dapat dihentikan 24 jam berikutnya
Lama pemberian tergantung ada tidaknya faktor resiko
- Bila tidak ada faktor resiko, dapat distop dalam 3-6 bulan
- Bila ada faktor resiko dapat diberikan lebih lama atau bahkan seumur hidup
Cara penyesuaian dosis INR
- INR 1,1 - 1,4
Hari I naikkan 10-20% dari total dosis mingguan
Mingguan naikkan 10-20% dari total dosis mingguan
Kembali 1 minggu
- INR 1,5 - 1,9
Hari I naikkan 5-10% dari total dosis mingguan
Mingguan naikkan 5-10% dari total dosis mingguan
Kembali 2 minggu
- INR 2,0 - 3,0
Tidak ada perubahan
Kembali 1 minggu
- INR 3,1 - 3,9
Hari I kurangi 5-10% dari dosis total mingguan
Mingguan kurangi 5-10% dari dosis total mingguan
Kembali 2 minggu
- INR 3,9 –5,0
Hari I tidak dapat obat
Mingguan kurangi 10-20% dari dosis total mingguan
Kembali 1 minggu
- INR > 5,0
Stop warfarin, pantau sampai INR 3,0
Mulai dengan dosis kurang 20-50%
Kembali tiap hari
2. Trombolisis (streptokinasi, tPA)
· Terapi ini dapat dipertimbangkan sampai 2 minggu setelah pembentukan thrombus
(trombosis vena iliaka atau vena femoralis akut atau subakut)
· Tidak dianjurkan untuk trombus yang berusia lebih dari 4 minggu
3. Antiagregasi trombosit (aspirin, dipiridamol, sulfinpirazon)
· Bukan merupakan terapi utama
· Pemakaiannya dapat dipertimbangkan 3-6 minggu setelah terapi standar heparin atau
warfarin
KOMPLIKASI
Perdarahan akibat antikoagulan/ antiagregasi trombosit, trombositopenia akibat heparin,
osteoporosis pada pasien yang mendapat > 6 bulan dengan dosis 10.000U/hari
PROGNOSIS
Tergantung pada penyebab, pada yang tidak disertai komplikasi baik
WEWENANG
174
·
·
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Radiologi, Bedah / Vaskular
· RS non pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah
REFERENSI
1. Supandiman, I. Trombosis. Dalam: Suyono, S. W aspadji, S. Lesmana, L. Alwi, I. Sefiati, S.
Sundaru, H. Dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi III. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta 2000:588-91.
2. Tambunan, KL. Terapi anti koagulan pada trombosis vena dalam. Dalam : Setiadi, S.
Bawazier, LA. Atmakusuma, D. Kasjmir, Y I. Syam, AF. Gustaviani, R. Current Treatment in
Internal Medicine 2000. PIP IPD FKUI Jakarta 2000:19-22.
3. Atmakusuma, D. Perbedaan trombosis vena dalam dan trombosis arter akut dalam hal
diagnosis dan tatalaksanaan. Dalam : Prodjosudjadi, W . Setianti, S. Alwi, I. Pertemuan Ilmiah
Nasional PB PAPDI 2003, therapeutic update and workshop in internal medicine. PIP IPD
FKUI Jakarta 2000:193-205.
4. Tambunan, KL. Peran terapi medicamentosa pada DVT kronik. Dalam: Simadibrata, M. Alwi,
I. Kasjmir, Y I. Bawazier, LA. Syam, AF. Mansjoer, A. Penyakit kronik dan degenaratif,
penatalaksanaan dalam praktek sehari-hari. PIP IPD FKUI Jakarta. 2003:9-13.
KOAGULASI INTRAVASKULAR
DISEMINATA
175
PENGERTIAN
Koagulasi intravaskular diseminata adalah aktivasi sistem koagulasi dan fibrinolisis secara
berlebihan dan terjadi pada waktu yang bersamaan.
DIAGNOSIS
Klinis :
· Gejala-gejala umum seperti demam, hipotensi, asidosis, hipoksia, proteinuria.
· Tanda-tanda perdarahan (petekie, purpura, ekimosis, hematoma, hematemesis-melena,
hematuria, epistaksis)
· Manifestasi trombosis gagal organ (paru, ginjal, hati)
· KID merupakana akibat dari kausa primer yang lain :
- Bidang obstetri (emboli cairan amnion, kematian janin intra-uterin, abortus septik)
- Bidang hematologi (reksi transfusi, hemolisis berat, leukimia)
- Infeksi (septikemia, gram negatif, gram positif; virus HIV, hepatitis, dengeu; parasit
malaria)
- Trauma, penyakit hati akut, luka bakar
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan
Kompensasi
Trombosit
N
PTT
N
PT
N
Fibrinogen
N
D Dimer
+/
·
·
Hiperkompensasi
N
N/
N/
N/
+/
Dekompensasi
++/
Darah tepi : trombositopenia atau normal, burr cell (+)
Pemeriksaan hemostasis pada KID
DIAGNOSIS BANDING
Fibrinolisis primer, penyakit hati berat, pseudo KID
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : DPL, hemostasis lengkap (PT, aPTT, fibrinogen, D-dimer)
TERAPI
· Suportif
- Memperbaiki dan menstabilkan hemodinamik
- Memperbaiki dan menstabilkan tekanan darah
- Membebaskan jalan napas
- Memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan asam basa
- Memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan elektrolit
· Mengobati penyakit primer
· Menghambat proses patologis
- Antikoagulan
Heparin inytavena bolus tiap 6 jam dosis 5000 IU, evaluasi aPTT dengan target 1,5-2,5 x
kontrol pada jam kedua dan keempat
176
·
Bila pada jam kedua :
· aPTT < 1,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi 7500 U
· aPTT 1,5-2,5 x kontrol, dosis heparin tetap
· aPTT > 2,5 x kontrol, evaluasi aPTT pada jam keempat, bila
o
aPTT < 1,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi 7500 U
o
aPTT > 2,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi 2500 U
Transfusi sesuai komponen darah sesuai indikasi (PRC, TC, FFP, kriopresipitat)
KOMPLIKASI
Gagal organ, syok/hipoperfusi, trombosis vena dalam, KID fulminan
PROGNOSIS
Malam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
REFERENSI
1. Tambunan, KL. Koagulasi intravasculas diseminata. Dalam : Suyono, S. W aspadji, S.
Lesmana, L. Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Edisi III. Jakarta : Balai Penerbit FKUI : 2001:555-64.
2. Tambunan, KL. Diagnosis dan Penatalaksanaan Koagulasi Intravaskular Diseminata. In :
Subekti, I. Lydia, A. Rumende, CM. Syam, AF. Mansjoer, A. Suprohita. Penatalaksanaan
kegawatdaruratan di bidang Ilmu Penyakit Dalam. PIP IPD FKUI Jakarta 2001 : 25-31.
TROMBOSITOSIS PRIMER/SENSIAL
PENGERTIAN
· Trombositosis adalah bila jumlah trombosit lebih dari jumlah normal tertinggi (450.000/ul)
177
·
Trombositosis primer adalah kelainan klonal dari stem sel multipotensial hemopoietik
DIAGNOSIS
· Anamnesis :
- Sakit seperti terbakar pada telapak tangan dan kaki serta berdenyut, cenderung timbul
kembali disebabkan panas, pergerakan jasmani dan hilang bila kaki ditinggikan
(eritromialgia).
- Gejala-gejala iskemia serebrovaskular kadang tidak spesifik seperti sakit kepala, pusing,
defisit neurologi fokal, serangan iskemia sepintas, kejang atau oklusi arteri retina.
- Pada wanita hamil ditemukan riwayat abortus berulang, pertumbuhan fetus terlambat
· Pemeriksaan fisik :
- Splenomegali (40%), tanda-tanda perdarahan atau trombosis sesuai lokasi yang terkena.
· Pemeriksaan laboratorium :
- Jumlah trombosis seringkali > 1 juta/ml
- Laju endap darah normal
- Variasi bentuk trombosis abnormal (raksasa, hipogranular) fragmen trombosit
- Masa perdarahan normal
- Faktor VIII/ von Willebrand normal
DIAGNOSIS BANDING
Trombositosis reaktif, trombositosis sekunder
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, morfologi trombosis, laju endap darah, masa
perdarahan, faktor VIII/ von Willebrand, tes agregasi trombosit dengan epinefrin
TERAPI
Tujuan pengobatan untuk menurunkan jumlah trombosit dan menurunkan fungsi trombosit
· Untuk menurunkan trombosit :
1. Hydroxyuria (hydrea) : 15mg/kgBB/hari
2. Anagrelide (agrylin) : 14 kali 1,5-2,5 mg sehari, dimulai dosis rendah dan dinaikkan
secara bertahap tiap minggu
3. Thromboreduction
4. Interferon alfa : 3 juta IU, tiga kali satu minggu
5. Fosforus-32
· Untuk menurunkan fungsi trombosit :
6. Aspirin
7. Tiklopidin
8. Klopidogrel
KOMPLIKASI
· Perdarahan (memar kebiruan, epistaksis, perdarahan saluran cerna, perdarahan pasca operasi).
Risiko terbesar bila trombosit > 1 juta/ml dan mendapat aspirin.
· Trombosis (eritromialgia, iskemia ginjal, infark miokar, stroke, iskemi misentric, infark
plasenta, sindrom Budd Chiari). Resiko terbesa bila sebelumnya ada riwayat trombosis, umur
178
·
lebih dari 60 juta tahun dan sudah lama mengalami trombositosis.
Trombosis esensial dapat mengalamai transformasi menjadi mielofibrosis (4%), polisitemia
vera (2,7%), leukimia mielositik akut (0,6-5%)
PROGNOSIS
· Ad vitam : dubia
· Ad fungsionam : dubia
· Ad sanasionam : malam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Gastroenterologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
REFERENSI
1. Tambunan, KL. Trombositosis dan trombositosis esensial. In : Atmakusuma, A. Uyainah, A.
Irawan, C. Suhendro. Current diagnosis adn treatment in internal medicine 2003. PIP IPD
FKUI Jakarta 2003:94-9
2. Essentiele trombocutemie. Hematologie Klapper. 8th ed. Leids Universitair Medisch Centrum
Leiden, Juni 1999:50-1
SINDROM VENA KAVA SUPERIOR
PENGERTIAN
Sindrom vena kava superior adalah kumpulan gejala yang disebabkan obstruksi vena kava
superior oleh sebuah tumor mediastinum
179
DIAGNOSIS
· Anamnesis : keluhan sakit kepala, mual, muntah-muntah, gangguan penglihatan, sinkop,
suara serak, sesak napas, disfagia dan sakit punggung
· Pemeriksaan fisik : distensi tubuh sebelah atas, edema muka, leher, lengan dan dada atas,
sianosis.
· Pemeriksaan penunjang :
- Foto dada menunjukkan massa paratrakeal atau di mediastinum
- CT scan dada membantu memperlihatkan luasnya massa
DIAGNOSIS BANDING
· Tumor mediastinum : tumor ganas, teratoma, limfoma malignum
· Tumor paru
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan radiologi : foto toraks, CT scan toraks
TERAPI
· Radioterapi pada kasus darurat dapat meringankan gejala pada 70% kasus, dosis harian
dimulai dengan dosis tinggi (400 cGy) untuk mendapatkan pengecilan massa tumor yang
dibutuhkan
· Pada limfoma malignum atau kanker paru jenis SCLC, kemoterapi akan sama efektifnya
dengan radioterapi.
KOMPLIKASI
Trombosis vena jugularis dan otak
PROGNOSIS
· Ad vitam : dubia ad malam
· Ad fungsionam : dubia
· Ad sanasionam : malam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik,
Pulmonologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Departemen Radiologi, Radioterapi, Bedah/toraks
· RS non pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah
REFERENSI
1. Djoerban, Z. Kedaruratan onkologi. Dalam : W aspadji, S. Gani, RA. Setiati, S. Alwi, I. Bunga
180
rampai Ilmu Penyakit Dalam penerbit FKUI Jakarta 1996:97-100
2. Kaiser, LR. Putnam, JB. Fishman, JA. Grippi, MA. Kaiser, LR. Senior, RM. Fishman’
s
manual of pulmonary disease and disorders. 3 rd ed. McGraw-Hill USA 2002:521-34
HIPERKALSEMIA
PENGERTIAN
Hiperkalsemia merupakan kedaruratan onkologi yang sering terjadi ditemukan sebagai akibat
metabolik dari keganasan
181
DIAGNOSIS
· Anamnesis : anoreksia, mual, muntah-muntah, polyuria
· Pemeriksaan fisik : penurunan kesadaran
· Pemeriksaan penunjang : kadar kalsium serum meningkat
DIAGNOSIS BANDING
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· Pemeriksaan kadar kalsium darah, fungsi ginjal
TERAPI
· Diuresis paksa dengan larutan salin (200-250 ml/jam) dan furosemide disertai monitor ketat
balans cairan dan fungsi kardiopulmoner
· Mithramycin 25 ug/kg intravena. Tidak boleh digunakan pada gagal ginjal dan
trombositopenia
· Kartikosteroid, efek terapi dicapai setelah 5-10 hari pengobatan. Berguna pada hiperkalsemia
pada limfoma maglinum, mieloma multiple dan karsinoma payudara.
· Bisfosfonat (penghambat osteoklas) bila hiperkalsemia refrakter terhadap cara-cara
sebelumnya atau terdapat kontraindikasi
· Kunci keberhasilan dalam mengendalikan hiperkalsemia adalah kemoterapi yang efektif
KOMPLIKASI
Gagal ginjal akut
PROGNOSIS
· Ad vitam : dubia
· Ad fungsionam : dubia ad malam
· Ad sanasionam : malam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik
· RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik
REFERENSI
Djoerban, Z. Kedaruratan onkologi. Dalam : W aspadji, S. Gani, RA. Setiati, S. Alwi, I. Bunga
rampai Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI 1996:97-110
182
HIPERURISEMIA
PENGERTIAN
Hiperurisemia merupakan kelainan yang terjadi akibat pengobatan pada leukimia, gangguan
mieloproliferatif, limfoma atau mieloma yaitu ketika sel-sel tumor mengalami penghancuran
selama kemoterapi dimana purin akan dilepaskan dalam jumlah banyak untuk kemudian
mengalami katabolisme menjadi asam urat
183
DIAGNOSIS
· Uremia, hematuria dan rasa nyeri menandakan adanya batu ginjal
· Kadar asam urat melebihi 10mg/dl dan rata-rata 20mg/dl. Oliguria atau anuria dengan atau
tanpa adanya kristal asam urat. Kadar nitrogen darah dan serum kreatinin meningkat
· Perbandingan asam urat dengan kreatinin > 1, dihitung menurut sampel acak, mendukung
diagnosis nefropati akibat hiperurisemia
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan kadar asam urat darah, fungsi ginjal, urinalisis
TERAPI
1. Alopurinol, hidrasi dan alkalinisasi urin seperti pada sindrom lisis tumor
2. Hemodialisis jika diperlukan, dapat menurunkan kadar asam urat dan memperbaiki fungsi
ginjal
KOMPLIKASI
· Batu ginjal
· Gagal ginjal
PROGNOSIS
· Ad vitam : malam
· Ad fungsionam : malam
· Ad sanasionam : malam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
Unit hemodialisis, Departemen Patologi Klinik
REFERENSI
Djoerban, Z. Kedaruratan onkologi. Dalam : W aspadji, S. Gani, RA. Setiati, S. Alwi, I. Bunga
rampai Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI 1996:97-110
184
TERAPI SUPORTIF
PADA PASIEN KANKER
PENGERTIAN
Terapi suportif pada pasien kanker merupakan hal yang amat penting, sehingga tidak jarang lebih
penting daripada pengobatan pembedahan, radiasi maupun kemoterapi karena pengobatan
suportif ini justru sering berkaitan dengan usaha untuk mengatasi masalah-masalah yang dapat
185
mengancam jiwa. Pengobatan suportif ini tidak hanya diperlukan pada pasien kanker yang
menjalani pengobatan kuratif tetapi juga yang pengobatan paliatif.
Pengobatan suportif ini meliputi :
1. Masalah nutrisi dan gangguan saluran cerna
2. Penanganan nyeri
3. Penanganan infeksi
4. Masalah efek samping sitostatika terutama efek mielosupresi
DIAGNOSIS
Masalah Nutrisi
· Anamnesis : penurunan berat badan yang cepat
· Antropometri : tebal lemak kulit (M. Deltoideusi lengan atas), indeks massa tubuh ( di bawah
1,5 menunjukkan katabolisme berlebihan), penilaian terhadap massa otot
· Laboratorium :
- Hitung limfosit (bila menurun berarti ada gangguan respons imun)
- Kadar albumin dan prealbumin (albumin < 3 g/dl dan prealbumin < 1,2 g/dl menunjukkan
malnutrisi)
- Kadar urea nitrogen urin (>24 g/24 jam menunjukkan katabolisme protein berlebihan),
kadar feritin darah
Penanganan Nyeri
· Anamnesis : waktu timbul nyeri, lokasinya, intensitasnya dan faktor yang menambah atau
mengurangi nyeri.
· Anamnesis yang teliti dapat diketahui jenis nyeri pada pasien, apakah nyeri viseral, somatik,
neuropatik.
· Dari anamnesis dapat juga diketahui tingkatan nyeri, menggunakan alat bantu VAS (visual
analog scale) yaitu skala dari nol sampai sepuluh (nol menunjukkan tidak ada nyeri sama
sekali, sepuluh menunjukkan nyeri yang paling hebat).
Angka yang ditunjuk pasien kemudian dapat dibagi menjadi empat kelompok :
- Angka 0 menyatakan tidak ada nyeri
- Angak 1-3 menyatakan nyeri ringan
- Angka 4-6 menyatakan nyeri sedang
- Angaka 7-10 menyatakan nyeri berat
Hal yang paling menentukan untuk memulai pengobatan adalah jenis tingkatan nyeri.
Penanganan Infeksi
Masalah Efek Samping Sitostatika
1. Penekanan sumsun tulang (infeksi neutropenia, trombositopenia, leukopenia, anemia)
2. Mual dan muntah
3. Toksisitas jantung (kardiomiopati, perimokarditis)
4. Toksisitas ginjal (nekrosis tubular ginjal)
5. Ekstravasari
6. Sindrom lisis tumor
186
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· Masalah Nutrisi
- Antropometri : tebal lemak kulit, indeks massa tubuh dan massa otot
- Laboratorium : hitung limfosit, albumin, prealbumin darah, urea nitrogen urin, feritin
darah
· Penanganan Nyeri
- Pemeriksaan radiologi : foto, USG bone scan, CT scan, MRI untuk mengetahui jenis nyeri
dan lokasinya
· Penanganan Infeksi
- Laboratorium darah perifer lengkap dengan hitung jenis, kultur darah, kultur urin, kultur
sputum, swab tenggorok untuk mencari fokus infeksi, pemeriksaan terhadap koloni jamur
- Foto toraks
· Masalah Efek Samping Sitostatika
- Pemeriksaan fisik : luas permukaan tubuh, tingkat kemampuan berperan, mencari sumber
infeksi.
- Pemeriksaan Laboratorium : DPL dengan hitung jenis, fungsi ginjal, urinalisis, asam urat
darah, fungsi hati, kultur pada tempat-tempat tertentu secara berkala
- Pemeriksaan radiologi
- Pemeriksaan ekokardiografi
TERAPI
Masalah Nutrisi
· Indikasi terapi :
o
Pasien tidak mampu mengkonsumsi 1000 kalori per hari
o
Bila terjadi penurunan berat badan > 10% BB sebelum sakit
o
Kadar albumin serum < 3,5 gr/dl
o
Terdapat tanda-tanda penurunan daya tahan tubuh
·
·
Perhitungan kebutuhan kalori :
Rumus perhitungan kebutuhan kalori =
Kalori basal + aktivitas sehari-hari + keadaan hiperkatabolik
Kalori basal laki-laki : 27-30 kalori/kgBB ideal/hari
Kalori basal perempuan : 23-26 kalori/kgBB ideal/hari
Perhitungan kebutuhan protein :
Protein yang dibutuhkan adalah 0,6-0,8 g/kgBB idela/hari
Untuk mengganti kehilangan nitrogen tubuh diperlukan tambahan 0,5 g/kgBB ideal/hari
Cara pemberian:
1. Enteral melalui saluran cerna peroral, lewal selang nasogastrik, jejunostomi, gastrostomi
2. Parenteral dberikan bila melalu enteral tidak bisa atau pasien tidak mau dilakukan
gastrostomi/jejunostomi. Nutrisi sebaiknya melalui vena sentral karena dapat diberikan
cairan dengan osmolalitas tinggi dan dalam waktu lama (6 bulan-1 tahun). Hati-hati
terhadap bahaya infeksi dan trombosis
Penanganan Nyeri
187
Pengobatan medikamentosa/farmakologi
- Pada nyeri ringan pengobatan dimulai dengan asetaminofen atau OAINS, kemudian
dievaluasi dalam 24-72 jam, bila masih nyeri ditambahkan amitriptilin 3x25 mg atau opioid
ringan kodein sampai dengan 6x30 mg/hari.
- Pada nyeri sedang pengobatan dimulai dengan opioid ringan kemudian dievaluasi dalam 24
jam, bila masih nyeri obat diganti dengan opioid kuat, biasanya dipakai morfin. Pemberian
morfin intravena dimulai dengan, dosis ditirasi sampai pasien bebas nyeri.
- Pada nyeri berat pengobatan morfin intravena sejak awal dan dievaluasi sampai hitungan jam
sampai nyeri terkendali baik. Setelah didapat dosis optimal maka pemberian morfin intravena
diganti dengan morfin oral masa kerja pendek 4-6 jam dengan perbandingan 1:3, artinya jika
dosis injeksi 20mg/24 jam maka dosis oral sebanyak 3x20 mg/24 jam (60mg), diberikan
6x10mg atau 4x15mg/hari. Bila setelahnya nyeri terkendali baik maka diganti morfin oral
kerja lama dengan dosis 2x30mg/hari. Bila nyeri belum terkendali, morfin dinaikkan dosisnya
menjadi dua kali lipat dan dievaluasi lebih lanjut serta berpedoman pada VAS.
- Obat adjuvan diberikan sesuai pengkajian, bila penyebabnya neuropatik maka selain obatobat tersebut ditambahkan GABA (gabapentin), bila nyeri somatik akibat metastasis tulang
sedikit dapat ditambahkan OAINS dan bifosfonat, bila metastasis luas dan multipel maka
pilihan utamanya adalah radioterapi dan dapat ditambahkan bifosfonat.
Pengobatan Non Medikamentosa :
1. Penanganan psikiatris
2. Operasi bedah saraf
3. Blok anestesi
4. Rehabilitasi medik
Penanganan Infeksi
· Infeksi oleh bakteri gram negatif
- Kombinasi antibiotik beta laktam dengan aminoglikosida
- Monoterapi dengan seftazidim, sefepim, imipenem, meropenem
· Infeksi oleh bakteri gram positif. Staphylococcus epidermidis sering resisten pada berbagai
macam antibiotika, diberikan vankomisin dan teikoplanin
· Infeksi jamur. Pemberian Amtoferisin B dianjurkan pada pasien neutropenia dengan demam
berkepanjangan setelah pemberian antibiotika spektrum luas untuk beberapa hari tanpa
adanya bakterimia
· Infeksi virus dapat terjadi pada pasien neutropenia tanpa imunosupresi, sehingga beberapa
pusat menganjurkan pemberian asiklovir sejak awal pada pasien yang diperkirakan akan
mengalami neutropenia berat untuk waktu yang lama
Masalah Efek Samping Sitostatika
1. Penekanan sumsum tulang
· Pemilihan dan penjadwalan obat sitostatika yang tepat
· Pencegahan infeksi pada pasien neutropenia berupa dekontaminasi saluran cerna, kulit dan
rambut bila akan mendapat kemoterapi agresif
2. Mual dan muntah
Meliputi fenotiazin, haloperidol, metoklopropamid, antagonis serotonin (ondansetron,
granisetron dan tropisetron), kortikosteroid, benzodiazepin, nabilon, antihistamin dan
188
kombinasi obat-obat antiemetik di atas. Dianjurkan kombinasi tersebut meliputi deksametason
diikuti antagonis serotonin atau difenhidramin dan metoklopropamid
3. Toksisitas jantung
Pasien dengan resiko tinggi (EF < 50%) harus menjalani ekokardiografi setiap satu atau dua
siklus pengobatan, sedangkan pada yang tidak beresiko tinggi ekokardiografi diulang setelah
dosis kumulatif 350-400 mg/m 2. Hal yang paling penting pada pemantauan adalah dosis
kumulatif (epirubisin 950 mg/m 2, daunorubisin 750 mg/m 2, mitomisin 160 mg/m 2 dan
doksorubisin 550 mg/m 2)
4. Toksisitas ginjal
Kerusakan ginjal dapat dicegah dengan hidrasi adekuat, alkalinisasi urin dengan natrium
bikarbonat dan diuretik
5. Ekstravasasi obat-obat kemoterapi yang bersifat vesikan dapat dicegah dengan memastikan
jalan infus intravena lancar dan setelah kemoterapi diberikan , cairan infus tetap diberikan
6. Sindrom lisis tumor
Untuk mencegah hal ini, mulai 48 jam sebelum kemoterapi sampai dengan 3-5 hari setelahnya
diberikan hidrasi intravena 3000ml/m2, alopurinol 500mg/m 2 per oral, bila kadar asam urat >
7 mg/dl diberikan alkalinisasi urin dengan natrium bikarbonat dengan mempertahankan pH
urin di atas 7
KOMPLIKASI
Hati-hati dengan efek samping morfin
PROGNOSIS
· Ad vitam : malam
· Ad fungsionam : malam
· Ad sanasionam : malam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
REFERENSI
1. Harsal, A. Tatalaksana nyeri kanker. Dalam : Setiati, S. Alwi, I. Kasjmir, Y I. Bawazier, LA.
Lydia, A. Syam, AF. dkk. Current diagnosis and treatment in internal medicine 2002. PIP IPD
FKUI Jakarta 2002:15-20
2. Sutandyo, N. Harryanto, A. Peran nutrisi pada keganasan. Dalam :Setiati, S. Soewondo, P.
Pitoyo, CW . Syam, AF. Mansjoer, A. Pertemuan ilmiah tahunan perkembangan mutakhir IPD.
PIP IPD FKUI Jakarta 2003:130-3
3. Reksodiputro, AH. Sutandyo, N. Nafrialdi. Y unihastuti, E. Beberapa aspek pengobatan
189
suportif pada pasien kanker. Dalam : Alwi, I. Setiati, S. Sudoyo, AW . Bawazier, LA. Kasjmir,
Y I. Mansjoer, A. Pertemuan ilmiah tahunan ilmu penyakit dalam IPD. PIP IPD FKUI Jakarta
2001:123-38
POLISITEMIA VERA
PENGERTIAN
Polisitemia merupakan kelainan sistem hemopoesis yang dihubungkan dengan peningkatan
jumlah dan volume sel darah merah (eritrosit) secara bermakna mencapai 6-10 juta/ml di atas
ambang batas nilai normal dalam sirkulasi darah, tanpa memperdulikan jumlah leukosit dan
trombosit. Disebut polisitemia vera bila sebagian populasi eritrosit berasal dari suatu klon sel
induk darah yang abnormal (tidak membutuhkan eritropoetin untuk proses pematangannya).
190
Berbeda dengan polisitemia sekunder dimana eritropoetin meningkat secara fisiologis sebagai
kompensasi atas kebutuhan oksigen yang meningkat atau eritropoetin meningkat secara non
fisiologis pada sindrom paraneoplastik sebagai manifestasi neoplasma lain yang mensekresi
eritropoetin. Perjalanan klinis :
1. Fase eritrositik atau fase polisitemia
Berlangsung 5-25 tahun, membutuhkan flebotomi teratur untuk mengendalikan viskositas
darah dalam batas normal.
2. Fase burn out atau spent out
Kebutuhan flebotomi menurun jauh, kesannya seperti remisi, kadang timbul anemia
3. Fase mielofibrotik
Bila terjadi sitopenia dan splenomegali progresif, menyerupai mielofibrosis dan metaplasia
mieloid
4. Fase terminal
DIAGNOSIS
International Polycythemia Study Group II
Diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika memenuhi kriteria
a. A1+A2+A3 atau
b. A1+A2+2 Kategori B
Kategori A
1. Meningkatnya massa sel darah merah diukur dengan krom radioaktif Cr-51. Pada pria
36ml/kg dan pada wanita 32 ml/kg.
2. Saturasi oksigen arterial 92% (pada polisitemia vera, saturasi oksigen tidak menurun)
3. Splenomegali
Kategori B
1. Trombositosis : trombosis 400.000/ml
2. Leukositosis : leukositm 12.000/ml (tidak ada infeksi)
3. Leukosit alkali fosfatase (LAF) score meningkat > 100 (tanpa ada panas/infeksi)
4. Kadar vitamin B12 > 900ρg/ml atau UB12BC dalam serum 2200ρg/ml
DIAGNOSIS BANDING
Polisitemia sekunder akibat saturasi oksigen arterial rendah atau eritropoetin meningkat akibat
manifestasi sindrom paraneoplastik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· Laboratorium : eritrosit, granulosit, trombosit, kadar B12 serum, NAP, saturasi O2
· Pemeriksaan sumsum tulang untuk menyingkirkan kelainan mieoproliferatif yang lain
TERAPI
Prinsip pengobatan :
1. Menurunkan viskositas darah sampai ketingkat normal dan mengendalikan eritropoesis
dengan flebotomi
2. Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/polisitemia yang belum terkendali
3. Menghindari pengobatan berlebihan
191
4. Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan berefek sterilisasi pada pasien usia muda
5. Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis tertentu atau kemoterapi sitostatik
pada pasien di atas 40 tahun bila didapatkan :
- Trombositosis persisten di atas 80.000/ml terutama jika disertai gejala trombosis
- Leukositosis progresif
- Splenomegali simtomatik atau menimbulkan sitopenia problematic
- Gejala sistematik yang tidak terkendali seperti pruritus yang sukar dikendalikan,
penurunan berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.
A. Flebotomi
Pada PV tujuan prosedur flebotomi adalah mempertahankan hematokrit 42% pada wanita dan
47% pada pria untuk mencegah timbulnya hiperviskositas dan penurunan shear rate. Indikasi
flebotomi terutama untuk semua pasien pada permulaan penyakit dan yang masih dalam usia
subur.
Indikasi :
1. Polisitemia vera fase polisitemia
2. Polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika Ht > 55% (target Ht 55%)
3. Polisitemia sekunder nonfisiologis bergantung pada derajat beratnya gejala yang
ditimbulkan akibat hiperviskositas dan penurunan shear rate
B. Kemoterapi sitostatika
Tujuannya adalah sitoreduksi
Indikasi :
· Hanya untuk polisitemia rubra primer (PV)
· Flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan > 2 kali sebulan
· Trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis
· Urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistamin
· Splenomegali simtomatik/ mengancam ruptur limpa
Cara pemberian
· Hidroksiurea 800-1200 mg/m 2/hari atau 10-15 mg/kg/kali diberikan dua kali sehari. Bila
tercapai target dilanjutkan pemberian secara intermiten untuk pemeliharaan
· Klorambusil dengan dosis induksi 0,1-0,2 mg/kg/hari selama 3-6 minggu dan dosis
pemeliharaan 0,4 mg/kgBB tiap 2-4 minggu
· Busulfan 0,06 mg/kgBB/hari atau 1,8 mg/m 2/hari. Bila tercapat target dilanjutkan
pemberian secara intermiten untuk pemeliharaan
C. Fosfor radioaktif
P32 pertama kali diberikan dengan dosis 2-3 mCi/m 2 intravena, bila per oral dinaikkan 25%.
Selanjutnya bila setelah 3-4 minggu pemberian P32 pertama :
· Mendapatkan hasil, reevaluasi setelah 10-12 minggu. Dapat diulang jika diperlukan
· Tidak berhasil, dosis kedua dinaikkan 25% dari dosis pertama, diberikan setelah10-12
minggu dosis pertama
Pasien diperiksa setiap 2/3 bulan setelah keadaan stabil
192
D. Kemoterapi biologi (sitokin)
E. Pengobatan suportif
· Hiperurisemia : allopurinol 100-699 mg/hari
· Pruritus dengan urtikaria : antihistamin, PUVA
· Gastritis/ulkus peptikum : antagonis reseptor H2
· Antiagregasi trombosit anagrelid
KOMPLIKASI
Trombosis, perdarahan, mielofibrosis
PROGNOSIS
· Ad vitam : dubia ad malam
· Ad fungsionam : malam
· Ad sanasionam : malam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Hematologi - Onkologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
REFERENSI
1. Abdul Muthalib, Effendy, S. Polisitemia vera. Dalam : Suyono, S. W aspdji, S. Lesmana, L.
Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. Dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi III.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI:2001.p.541-6.
2. Polycythemia vera. Hematologie Klapper. 8th ed. Leids Universitair Medisch Centrum Leiden.
Juni 1999:48-9.
193
2.8
GERIATRI
194
PENGKAJIAN GERIATRI PARIPURNA/
COMPREHENSIVE GERIATRIC ASSESSMENT (CGA)
Pendekatan dalam evaluasi medis bagi pasien berusia lanjut (berusia 60 tahun atau lebih) berbeda
dengan pasien dewasa muda. Pasien geriatri memiliki karakteristik multipatologi, daya cadangan
faali yang rendah, gejala dan tanda klinis yang menyimpang, menurunnya status fungsional, dan
gangguan nutrisi. Selain itu, perbaikan kondisi medis kadangkala kurang dramatis dan lebih
lambat timbulnya.
Karakteristik pasien geriatrik yang pertama adalah multipatologi, yaitu pada satu pasien terdapat
lebih dari satu penyakit yang umumnya bersifat kronik degeneratif. Kedua adalah menurunnya
cadangan faali, yang menyebabkan pasien geriatri amat mudah jatuh dalam kondisi gagal pulih
(failure to thrive). Hal ini terjadi akibat penurunan fungsi berbagai organ atau sistem organ
sesuai dengan bertambahnya usia, yang walaupun normal untuk usianya namun menandakan
menipisnya daya cadangan faali. Ketiga adalah penyimpangan gejala dan tanda penyakit dari
yang klasik, misalnya pada pneumonia mungkin tidak akan dijumpai gejala khas seperti batuk,
demam dan sesak, melainkan terdapat perubahan kesadaran atau jatuh. Keempat adalah
terganggunya status fungsional pasien geriatri. Status fungsional adalah kemampuan seseorang
untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Status fungsional menggambarkan kemampuan
umum seseorang dalam memerankan fungsinya sebagai manusia yang mandiri, sekaligus
menggambarkan kondisi kesehatan secara umum. Kelima adanya gangguan nutrisi, gizi kurang,
atau gizi buruk. Gangguan nutrisi ini secara langsung akan mempengaruhi proses penyembuhan
dan pemulihan.
Jika karena suatu hal pasien geriatri mengalamai kondisi akut seperti pneumonia, maka pasien
geriatri juga seringkali muncul dengan gangguan fungsi kognitif, depresi, instabilitas, imobilisasi,
inkontinensia (sindrom geriatri). Kondisi tersebut akan semakin kompleks jika secara psikososial
terdapat hendaya seperti pengabaian (neglected) atau kemiskinan (masalah finansial).
Berdasarkan uraian di ataas tidak dapat disangkal lagi bahwa pendekatan dalam evaluasi medis
bagi pasien geriatri mutlak harus bersifat holistik atau paripurna yang tidak semata-mata dari sisi
biopsiko-sosial saja, namun juga harus senantiasa memperhatikan aspek kuratif, rehabilitatif,
promotif dan prenventif. Komponen dari pengkajian paripurna pasien geriatri meliputi status
fungsional, status kognitif, status emosional, dan status nutrisi. Selain itu, anamnesis yang
dilakukan adalah anamnesis sistem organ yang secara aktif ditanyakan oleh dokter (mengingat
seringkali pasien geriatri memiliki hambatan dalam menyampaikan atau tidak menganggap hal
tersebut sebagai suatu keluhan) dan pemeriksaan fisik lengkap yang mencakup pula pemeriksaan
neurologis dan muskuloskeletal.
STATUS FUNGSIONAL
Pendekatan yang dilakukan untuk menyembuhkan kondisi akut pasien geriatri tidak akan cukup
untuk mengatasi permasalahan yang muncul. Meskipun kondisi akutnya sudah teratasi, tetapi
pasien tetap tidak dapat dipulangkan karena belum mampu duduk, apalgi berdiri dan berjalan,
pasien belum mampu makan dan minum serta membersihkan dari tanpa bantuan. Pengkajian
status fungsional untuk mengatasi berbagai hendaya menjadi penting, bahkan sering kali menjadi
prioritas penyelesaian masalah. Nilai dari kebanyakan intervensi medis pada orang usia lanjut
dapat diukur dari pengaruhnya pada kemandirian atau status fungsionalnya. Kegagalan mengatasi
195
hendaya maupun gejala yang muncul akan mengakibatkan kegagalan pengobatan secara
keseluruhan.
Mengkaji status fungsional seseorang berarti melakukan pemeriksaan dengan instrumen tertentu
untuk membuat penilaian menjadi objektif, antara lain dengan indeks aktivitas kehidupan seharihari (activity of daily living/A DL ) Barthel dan Katz. Pasien dengan status fungsional tertentu
akan memerlukan berbagai program untuk memperbaiki status fungsionalnya agar kondisi
kesehatan kembali pulih, mempersingkat lama rawat, meningkatkan kualitas hidup dan kepuasan
pasien.
STATUS KOGNITIF
Pada pasien geriatri, peran dari aspek selain fisik justru terlihat lebih menonjol terutama saat
mereka sakit. Faal kognitif yang sering terganggu pada pasien geriatri yang dirawat inap karena
penyakit akut antara lain memori segera dan jangka pendek, perspesi, proses pikir, dan fungsi
eksekutif. Gangguan tersebut dapat menyulitkan dokter dalam pengambilan data anamnesis,
demikian pula dalam pengobatan dan tindak lanjut adanya gangguan kognitif tentu akan
mempengaruhi kepatuhan dan kemampuan pasien untuk melakasanakan program yang telah
direncanakan sehingga pada akhirnya pengelolalaan secara keseluruhan akan terganggu juga.
Gangguan faal kognitif bisa ditemukan pada derajat ringan (mild cognitive impairment/MCI dan
vascular cognitive impairment/VCI) maupun yang lebih berat (demensia ringan, sedang dan
berat). Hal tersebut tentunya memerlukan pendekatan diagnosis dan terapeutik tersendiri.
Penapisan adanya gangguan faal kognitif secara objektif antara lain dapat dilakukan dengan
pemeriksaan neuropsikiatrik seperti Abbreviated Mental Test, The Mini Mental State
Examination (MMSE), The Global Deterioration Scale (GDS), dan Clinical Dementia Ratings
(CDR).
STATUS EMOSIONAL
Kondisi psikologik, seperti gangguan penyesuaian dan depresi juga dapat mempengaruhi hasil
pengelolaan. Pasien yang depresi akan sulit untuk diajak bekerja sama dalam kerangka
pengelolalaan secara terpadu. Pasien cenderung bersikap pasif atau apatis terhadap berbagai
program pengobatan yang akan diterapkan. Hal ini tentu akan menyulitkan dokter dan paramedik
untuk mengikuti dan mematuhi berbagai modalitas yang diberikan. Keinginan bunuh diri secara
langsung maupun tidak, cepat atau lambat akan mengancam proses penyembuhan dan pemulihan.
Instrumen untuk mengkaji status emosional pasien misalnya Geriatric Depression Scale (GDS)
yang terdiri atas 15 atau 30 pertanyaan. Instrumen ini bertujuan untuk menapis adanya gangguan
depresi atau gangguan penyesuaian. Pendekatan secara profesional dengan bantuan psikiater amat
diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti.
STATUS NUTRISI
Masalah gizi merupakan masalah lain yang mutlak harus dikaji pada pasien geriatri. Gangguan
nutrisi akan mempengaruhi status imun dan keadaan umum pasien. Adanya gangguan nutrisi
sering kali terabaikan mengingat gejala awal seperti rendahnya asupan makanan disangka sebagai
kondisi normal yang terjadi pada pasien geriatri. Sampai kondisi staturs gizi turun menjadi gizi
buruk baru tersadar bahwa memang ada masalah di bidang gizi. Pada saat tersebut biasanya
sudah terlambat atau setidaknya akan amat sulit menyusun program untuk mengobati status gizi
buruk.
Pengkajian status nutrisi dapat dilakukan dengan anamnesis gizi (anamnesis asupan),
196
pemeriksaan antropometrik, maupun biokimia. Dari anamnesis harus dapat dinilai berapa
kilokalori energi, berapa gram protein, dan berapa gram lemak yang rata-rata dikonsumsi pasien.
Juga perlu dievaluasi berapa gram serat dan mililiter cairan yang dikonsumsi. Jumlah vitamin
dan mineral biasanya dilihat secara lebih spesifik sehingga memerlukan perangkat instrumen lain
dengan bantuan seorang ahli gizi. Pemeriksaan antropometrik yang lazim dilakukan adalah
pengukuran indeks massa tubuh dengan memperhatikan perubahan tinggi tubuh dibandingkan
saat usia dewasa muda. Rumus tinggi lutut yang disesuaikan dengan ras Asia dapat dipakai untuk
kalkulasi tinggi badan orang usia lanjut. Pada pemeriksaan penunjang dapat diperiksa
hemoglobin dan kadar albumin plasma untuk menilai status nutrisi secara biokimiawi.
Instrumen untuk mengkaji status fungsional, kognitif, dan emosional dapat dilihat pada lampiran.
197
LAMPIRAN I
INDEKS AKTIVITAS KEHIDUPAN SEHARI-HARI BARHTEL
(AKS BARTHEL)
Fungsi
Skor
Keterangan
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Mengendalikan
rangsang
pembuangan tinja
Mengendalikan
rangsang berkemih
Membersihkan diri
(seka muka, sisir
rambut, sikat gigi)
Penggunaan jamban,
masuk dan keluar
(melepaskan,
memakai celana,
membersihkan,
menyiram)
Makan
Berubah sikap dari
berbaring ke duduk
7.
Berpindah/ berjalan
8.
Memakai baju
9.
Naik turun tangga
10.
Mandi
0
1
2
0
1
2
0
1
Tak terkendali/tak teratur (perlu pencahar)
Kadang-kadang tak terkendali (1 x seminggu)
Terkendali teratur
Tak terkendali atau pakai kateter
Kadang-kadang tak terkendali (hanya 1x/24jam)
Mandiri
Butuh pertolongan orang lain
Mandiri
0
1
Tergantung pertolongan orang lain
Perlu pertolongan pada beberapa kegiatan tetapi
dapat mengerjakan sendiri beberapa kegiatan
Mandiri
2
0
1
2
0
1
2
3
0
1
2
3
0
1
2
0
1
2
0
1
Keterangan : skor AKS BARTHEL
20
: Mandiri
12-19 : Ketergantungan ringan
Nilai
Skor
Tidak mampu
Perlu ditolong memotong makanan
Mandiri
Tidak mampu
Perlu banyak bantuan untuk bisa duduk
(2 orang)
Bantuan minimal 1 orang
mandiri
Tidak mampu
Bisa (pindah) dengan kursi roda
Berjalan dengan bantuan 1 orang
Mandiri
Tergantung orang lain
Sebagian dibantu (misalnya mengancing baju)
Mandiri
Tidak mampu
Butuh pertolongan
Mandiri
Tergantung orang lain
Mandiri
TOTAL SKOR
5-8
0-4
: Ketergantungan berat
: Ketergantungan total
198
9-11 : Ketergantungan sedang
LAMPIRAN 2
ABBREVIATED MENTAL TEST (AMT)
Status Mental
Nilai
A. Umur ..................... tahun
0. Salah
1. Benar
B. Waktu / jam sekarang .....................
0. Salah
1. Benar
C. Alamat tempat tinggal ....................
0. Salah
1. Benar
D. Tahun ini ...................
0. Salah
1. Benar
E. Saat ini berada di mana ...................
0. Salah
1. Benar
F. Mengenali orang lain (dokter, perawat, penanya)
0. Salah
1. Benar
G. Tahun kemerdekaan RI ...................
0. Salah
1. Benar
H. Nama Presiden RI ...................
0. Salah
1. Benar
I. Tahun kelahiran pasien atau anak terakhir ................
0. Salah
1. Benar
J. Menghitung terbalik (20 s.d. 1) ....................
0. Salah
1. Benar
K. Perasaan hati (afeksi)
A. Baik
B. Labil
C. Depresi
D. Gelisah
E. Cemas
Total Skor :
(diisi oleh petugas)
Keterangan :
Skor AMT
0-3
: Gangguan ingatan berat
4-7
: Gangguan ingatan sedang
8-10 : Normal
199
LAMPIRAN 3
MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE)
Nama Responden :
Nama pewawancara :
Umur Responden :
Tanggal Wawancara :
Pendidikan :
Jam Mulai :
Nilai
Nilai
Maksimum Responden
ORIENTASI
Sekarang (hari-tanggal-bulan-tahun) dan musim apa?
5
( )
5
Sekarang kita berada dimana? (nama rumah sakit dan instansi, jalan,
nomor rumah, kota, kabupaten, propinsi)
( )
REGISTRASI
5
Pewawancara menyebutkan nama tiga buah benda, misalnya :
Satu detik untuk tiap benda. Kemudian mintalah responden mengulang
ke tiga nama benda tersebut
Berilah nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar, bila masih salah, ulangi
menyebutkan ke tiga nama benda tersebut sampai responden dapat
mengatakannya dengan benar :
(bola, kursi, sepatu)
Hitunglah jumlah percobaan dan catatlah :
kali
( )
ATENSI DAN KALKULASI
5
Hitunglah berturut-turut selang 7 angka mulai dari 100 ke bawah.
Berhenti setelah 5 kali hitungan (93-86-79-72-65). Kemungkinan lain,
ejalah kata dengan lima huruf, misalnya ‘
DUNIA’dari akhir ke awal /
dari kanan ke kiri : ‘
AINUD’
( )
Satu (1) nilai untuk setiap jawaban yang benar
MENGINGAT
3
Tanyakan kembali nama ke tiga benda yang telah disebut di atas.
Berikan nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar.
( )
BAHASA
9
( )
a. Apakah nama benda ini? Perlihatlanlah pinsil dan arloji (2 nilai)
b. Ulangi kalimat berikut:”
JIKA TIDAK DAN ATAU TAPI”(1 nilai)
c. Laksanakanlah 3 buah perintah ini :
peganglah selembar kertas dengan tangan kananmu, lipatlah kertas itu
pada pertengahan dan letakkan di lantai.
(3 nilai)
d. Bacalah dan laksanakan perintah berikut :
“
PEJAMKAN MATA ANDA”
(1 nilai)
e. Tulislah sebuah kalimat !
(1 nilai)
f. Tirulah gambar ini !
(1 nilai)
Jumlah nilai :
(
)
Tandailah tingkat kesadaran responden pada garis absis di bawah
ini dengan huruf ‘
X’
SADAR SOMNOLEN STUPOR KOMA
Jam selesai
:
Tempat wawancara :
200
Lembar Lampiran MMSE (BAHASA) :
· BACALAH DAN LAKSANAKANLAH PERINTAH BERIKUT :
“
PEJAMKAN MATA ANDA!”
· TULISLAH SEBUAH KALIMAT !
……………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………..
· TIRULAH GAMBAR INI !
201
LAMPIRAN 4
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
GERIATRIC DEPRESSION SCALE (GDS)
Pertanyaan
Apakah anda sebenarnya puas dengan kehidupan anda?
Apakah anda telah meninggalkan banyak kegiatan dan minat atau
kesenangan anda?
Apakah anda merasa kehidupan anda kosong?
Apakah anda sering merasa bosan?
Apakah anda sangat berharap terhadap masa depan?
Apakah anda merasa terganggu dengan pikiran bahwa anda tidak
dapat keluar dari pikiran anda?
Apakah anda merasa mempunyaio semangat yang baik setiap saat?
Apakah anda merasa takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi
pada diri anda?
Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian hidup anda?
Apakah anda sering merasa tidak berdaya?
Apakah anda sering merasa resah dan gelisah?
Apakah anda merasa sering berada di rumah dari pada pergi ke luar
rumah dan melakukan hal-hal yang baru?
Apakah anda sering merasa khawatir terhadap masa depan anda?
Apakah anda merasa memiliki banyak masalah dengan daya ingat
anda dibandingkan kebanyakan orang?
Apakah menurut anda hidup anda sekarang menyenangkan?
Apakah anda sering merasa sedih?
Apakah anda merasa saat ini tidak berharga?
Apakah anda sangat mengkhawatirkan masalalu anda?
Apakah anda merasa hidup ini sangat menarik dan menyenangkan?
Apakah sulit bagi anda untuk memulai suatu hal yang baru?
Apakah anda merasa penuh semangat?
Apakah anda merasa bahwa keadaan anda tidak punya harapan?
Apakah anda merasa orang lain memiliki keadaan yang lebih baik
daripada anda?
Apakah anda sering merasa sedih dengan hal-hal kecil?
Apakah anda sering merasa ingin menangis?
Apakah anda bermasalah dalam berkonsentrasi?
Apakah anda merasa senang ketika bangun dipagi hari?
Apakah anda lebih memilih tidak mengikuti peretmuan-pertemuan
social/ bermasyarakat?
Apakah mudah bagi anda untuk membuat keputusan?
Apakah pikiran anda secerah biasanya?
Jawaban
YA
YA
TIDAK
TIDAK
YA
YA
YA
YA
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
YA
YA
TIDAK
TIDAK
YA
YA
YA
YA
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
YA
YA
TIDAK
TIDAK
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
YA
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
YA
YA
YA
YA
YA
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
TIDAK
YA
YA
TIDAK
TIDAK
Skor : hitung jumlah jawaban yang bercetak tebal
· Setiap jawaban yang bercetak tebal mempunyai nilai 1
· Skor antara 5-9 menunjukkan kemungkinan besar depresi
· Skor 19 atau lebih menunjukkan depresi
202
SINDROM DELIRIUM AKUT
PENGERTIAN
Sindrom delirium akut (acute confusional statel ACS) adalah sindrom mental organic yang
ditandai dengan gangguan kesadaran dan atensi serta perubahan kognitif atau gangguan persepsi
yang timbul dalam jangka pendek dan berfluktuasi.
DIAGNOSA
· Kriteria diagnosis menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IVTR) meliputi gangguan kesadaran yang disertai penurunan kemampuan untuk memusatkan,
mempertahankan, atau mengalihkan perhatian, perubahan kognitif (gangguan daya ingat,
disorientasi, atau gangguan berbahasa) atau timbulnya gangguan persepsi yang bukan akibat
demensia, akibat gangguan tersebut timbul dalam jangka pendek (jam atau hari) dan
cenderung berfluktuasi sepanjang hari, serta terdapat bukti dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
atau pemeriksaan penunjang bahwa gangguan tersebut disebabkan kondisi medis umum
maupun akibat intoksikasi, efek samping, atau putus obat/ zat.
· Harus dicari faktor pencetus dan faktor risikonya
- Pencetus yang sering : gangguan metabolic (hipoksia, hiperkarbia, hipo atau
hiperglikemia, azotemia), infeksi (sepsis, pneumonia, infeksi saluran kemih), penurunan
cardiac output (dehidrasi, kehilangan darah akut, infark miokard akut, gagal jantung
kongestif), strok (korteks kecil), obat-obatan (terutama antikolinergik), intoksikasi
(alcohol,dll), hipo atau hipertermia, lesi sistemsaraf pusat, psikosis akut, pemindahan ke
lingkungan yang baru/tidak familiar, impaksi fekal, dan retensi urin
- Faktor risiko : riwayat gangguan kognitif, berusia lebih dari 80 tahun, mengalami fraktur
saat masuk perawatan, infeksi yang simtomatik, jenis kelamin pria, mendapat obat
antipsikotik atau analgesic narkotik, penggunaan pengikat, malnutrisi, penambahan 3 atau
lebih obat, dan penggunaan kateter urin.
DIAGNOSIS BANDING
Demensia, psikosis fungsional, kelainan neurologis.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis; menemukan penyebab/ pencetus :
· Lakukan pemeriksaan neurologis untuk mendeteksi deficit neurologis fokal, adakah cerebro
vascular disease atau transient ischemic attack; lakukan brain CT scan jika ada indikasi
· Darah perifer lengkap
· Elektrolit (terutama natrium), ureum, kreatinin, dan glukosa darah
· Analisis gas darah
· Urin lengkap dan kultur resistensi urin
· Foto toraks
· EKG
203
TERAPI
· Berikan oksigen, pasang infuse dan monitor
· Segera dapatkan hasil pemeriksaan penunjang untuk memandu langkah selanjutnya;
tujuan utama terapi adalah mengatasi faktor pencetus
· Jika khawatir aspirasi dapat dipasang pipa naso-gastrik
· Kateter urin dipasang terutama jika terdapat ulkus dekubitus disertai inkontinensia urin
· Awasi kemungkinan imobilisasi
· Hindari sebisa mingkin pengikat tubuh untuk mencegah imobilisasi. Jika memang
diperlikan, gunakan dosis terendah obat neuroleptik dan atau benzodiazepine dan monitor
status neuroligisnya; pertimbangkan penggunaan antipsikotik antipikal. Kaji ulang
intervensi ini setiap hari; targetnya adalah penghentian obat anti psikotik dan pembatasan
penggunaan obat tidur secepatnya
· Kaji status hidrasi secara berkala
· Ruangan tempat pasien harus berpenerangan cukup, terdapat jam dan kalender yang besar
dan jika memungkunkan diletakkan barang-barang yang familiar bagi pasien dari rumah,
hindari stimulus berlebihan, keluarga dan tenaga kesehatan harus berupaya sesering
mungkin mengingatkan pasien mengenai hari dan tanggal, jika kondisi klinis sudah
memungkinkan pakai alat bantu dengar atau kacamata yang biasa digunakan oleh pasien
sebelumnya, motivasi untuk berinteraksi sesering mungkin dengan keluarga dan tenaga
kesehatan, evaluais strategi orientasi realitas; beritahu pasien bahwa dirinya sedang
binggung dan disorientasi namun kondisi tersebut dapat membaik.
KOMPLIKASI
Fraktur, hipotensi sampai renjatan, thrombosis vena dalam, emboli paru, sepsis
PROGNOSIS
Dubia
WEWENANG
Dokter Spesialis Penyakit dalam dan Konsultan Geriatri
UNIT YANG MENANGANI
Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
Divisi Di Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang terkait dengan keterlibatan etiologi ACS,
Departemen Rehabilitasi Medik, Departemen Psikiatri, Instalasi gizi, Instalasi Farmasi, Bidang
keperawatan, Departemen Neurologi.
204
INSTABILITAS DAN JATUH
PENGERTIAN
Adanya instabilitas membuat seseorang berisiko untuk jatuh. Kemampuan untuk mengontrol
posisi tubuh dalam ruang merupakan suatu interaksi kompleks system saraf dan musculoskeletal
yang dikenal sebagai system control postural. Jatuh terjadi manakala system control postural
tubuh gagal mendeteksi pergeseran dan tidak mereposisi pusat gravitasi terhadap landasan
penopang (kaki, saat berdiri) pada waktu yang tepat untuk menghindari hilangnya keseimbangan.
Kondisi ini seringkali merupakan keluhan utama yang menyebabkan pasien datang berobat
(keluhan utama dari penyakit-penyakit yang juga bias mencetuskan sindrom delirium akut)
DIAGNOSIS
Subjektif: terdapat keluhan perasaan seperti akan jatuh, disertai atau tanpa dizziness, vertigo,
rasa bergoyang, rasa tidak percaya diri untuk transfer atau mobilisasi mandiri; atau terdapat
riwayat jatuh
Objektif: terdapat faktor risiko instrinsik dan ekstrinsik untuk terjadinya jatuh. Faktor instrinsik
terdiri atas faktor local dan faktor sistemik. Faktor instrinsik local: osteoarthritis genu/ vertebra
lumbal, plantar fasciitis, kelemahan otot kuadrisep femoris, gangguan pendengaran, gangguan
penglihatan, gangguan pada alat keseimbangan seperti vertigo yang dapat ditimbulkan oleh
gangguan aliran darah ke otak akibat hiperkoagulan, hiperagregasi, atau spondiloartrosis servikal.
Faktor instrinsik sistemik: penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), pneumonia, infark miokard
akut, gagal jantung, infeksi saluran kemih, gangguan aliran darah ke otak (hiperkoagulasi, strok,
dan TIA/ transient ischemic attact), diabetes mellitus, dan atau hipertensi (terutama jika tak
terkontrol), paresis inferior, penyakit atau sindrom Parkinson, demensia, gangguan saraf lain serta
gangguan metabolic seperti hiponatremia, hipoglikemia atau hiperglikemia, dan hipoksia. Faktor
risiko ekstrinsik/ lingkungan antara lain: alas kaki yang tidak sesuai, kain/ pakaian bagian bawah
tubuh yang terjuntai, lampu ruangan yang kurang teran, lantai yang licin, basah dan tidak rata,
furniture yang terlalu rendah dan tinggi, tangga yang taka man, kamar mandi dengan bak mandi/
closet terlalu rendah atau tinggi dan tidak memiliki alat bantu untuk berpegangan, tali atau kabel
yang berserakan di lantai, karpet yang terlipat, dan benda-benda di lantai yang mmbuat seseorang
terantuk.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beberapa pemeriksaan seperti the timed up-and-go test (TUG), uji menggapai fungsional
(functional reach test), dan uji keseimbangan Berg (the Berg balance sub-scale of the mobility
index) dapat untuk mengevaluasi fungsi mobilitas sehingga dapat mendeteksi perubahan klinis
bermakna yang menyebabkan seseorang berisiko untuk jatuh atau timbul disabilitas dalam
mobilitas.
Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu mengidentifikasi faktor risiko; menemukan
penyebab/ pencetus :
· Lakukan pemeriksaan neurologis untuk mendeteksi deficit neurologi fokal, adakah cerebro
vascular disease atau transient ischemic attack; lakukan brain CT scan jika ada indikasi
· Darah perifer lengkap
· Elektrolit (terutama natrium kalium), ureum, creatinin, dan glukosa darah
· Analisa gas darah
· Urin lengkap dan kultur resistensi urin
205
·
·
·
·
Hemostase darah dan agregasi thrombosis
Foto toraks, vertebra, genu, dan pergelangan kaki (sesuai indikasi)
EKG
Identifikasi faktor demosili (lingkungan tempat tinggal)
Tabel 1. Penyebab Jatuh
Penyebab Jatuh
Kecelakaan
Sinkop
Drop attack
Dizziness dan atau
vertigo
Hipotensi Ortostatik
Obat-obatan
Proses penyakit
Idiopatik
Keterangan
Kecelakaan murni (terantuk, terpleset, dll)
Interaksi antara bahaya di lingkungan dan faktor yang meningkatkan kerentanan
Hilangnya kesadaran mendadak
Kelemahan tungkai bawah mendadak yang menyebabkan jatuh tanpa kehilangan
kesadaran
Penyakit vestibular, penyakit system saraf pusat
Hipovolemia atau kardiak output yang rendah, disfungsi otonom, gangguan
aliran darah balik vena, tirah baring lama, hipotensi akibat obat-obatan,
hipotensi postprandial
Diuretika, antihipertensi, antidepresi golongan trisiklik, sedative, antipsikotik,
hipoglikemia,alcohol
Berbagai penyakit akut
Kardiovascular: aritmia, penyakit katup jantung (stenosis aorta), sinkop sinus
carotid
Neurologis: TIA, strok akut, gangguan kejang, penyakit Parkinson, spondilosis
lumbal atau servikal (dengan kompresi pada korda spinalis atau cabang saraf),
penyakit serebelum, hidrosefalus tekanan normal (gangguan gaya berjalan), lesi
system saraf pusat (tumor, hematom subdural)
Tak ada penyebab yang dapat diidentifikasi
Table 2. Evaluasi pada Pasien Usia Lanjut yang Jatuh
Evaluasi
Keterangan
Anamnesis
Riwayat medis umum
Tingkat mobilitas
Riwayat jatuh sebelumnya
Obat-obatan yang dikomsumsi
Apa yang dipikirkan pasien
sebagai penyebab jatuh?
Lingkungan sekitar
jatuh
Gejala yang terkait
Hilangnya kesadaran
Terutama obat antihipertensi dan psikotropika
Apakah pasien sadar bahwa akan jatuh?, Apakah kejadian jatuh
tersebut sama sekali tak terduga?, Apakah pasien terpeleset atau
terantuk?
tempat Waktu dan tempat jatuh; saksi; kaitannya dengan perubahan postur,
batuk, buang air kecil, memutar kepala
Kepala terasa ringan, dizziness, vertigo; palpitasi, nyeri dada, sesak;
gejala neurologis fokal mendadak (kelemahan, gangguan sensorik,
disartria, ataksia, bingung, afasia); aura; inkontinensia urin atau alvi
Apakah yang langsung diingat segera setelah jatuh?
Apakah pasien dapat bangkit kembali setelah jatuh dan jika
dapat, berapa lama waktu yang diperlukan untuk dapat
bangkit setelah jatuh?
Apakah adanya kehilangan kesadaran dapat dijelaskan oleh
saksi?
206
Pemeriksaan Fisik:
Tanda vital
Kulit
Mata
Kardiovascular
Ekstremitas
Neurologis
Demam, hipotermia, frekuensi pernapasan, frekuensi nadi, dan
tekanan darah saat berbaring, duduk, dan berdiri
Turgor, trauma, pusat
Visus
Aritmia, bruit karotis, tanda stenosis aorta, sensitivitas sinus
karotis
Penyakit sendi degenerative, lingkup gerak sendi, deformitas,
fraktur, masalah pediatric (kalus, bunion, ulserasi, sepatu yang
tidak sesuai, kesempitan/ kebesaran, rusak)
Status mental, tanda fokal. Otot (kelemahan, rigiditas,
spastisitas), saraf perifer (terutama sensasi posisi),
proprioseptif, reflex, fungsi saraf cranial, fungsi serebelum
(terutama uji tumit ke tulang kering), gejala ekstrapiramidal:
tremor saat istirahat, bradikinesia, gerakan involunter lain,
keseimbangan dan cara berjalan dengan mengobservasi cara
pasien berdiri dan berjalan (uji get up and go)
Table 3. Penilaian klinis dan Tatalaksana yang direkomendasikan bagi Orang Usia Lanjut
yang Berisiko Jatuh
Penilaian dan Faktor Risiko
Tatalaksana
Lingkungan saat jatuh sebelumnya
Perubahan lingkungan dan aktivitas untuk
mengurangi kemungkinan jatuh berulang
Konsumsi obat-obatan
Review dan kurangi konsumsi obat-obatan
- Obat-obatan berisiko tinggi (Benzodiazepin,
obat tidur lain, neuroleptik, antidepresan,
antikonvulsi, atau antiaritmia kelas IA)
- Konsumsi 4 macam obat atau lebih
Penglihatan
Penerangan yang tidak menyilaukan; hindari
- Visus <20/60
pemakaian kacamata multifocal saat berjalan;
- Penurunan persepsi kedalaman (depth rujuk ke dokter spesialis mata
perception)
- Penurunan sensitivitas terhadap kontras
- katarak
Tekanan darah postural (setelah 5 menit Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika
dalam posisi berbaring/ supine, segera setelah memungkinkan; review dan kurangi obatberdiri, dan 2 menit setelah berdiri) tekanan obatan; modifikasi dari restriksi daram; hidrasi
sistolik turun
20 mmHg (atau 20 %), yang adekuat; strategi kompensasi (elevasi
dengan atau tanpa gejala, segera atau setelah 2 bagian kepala tempat tidur, bangkit perlahan,
menit berdiri
atau latihan doksofleksi); stoking kompresi;
terapi farmakologis jika strategi di atas gagal
Keseimbangan dan gaya berjalan
Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika
- laporan pasien atau observasi adanya memungkinkan; kurangi obat-obatan yang
ketidakstabilan
mengganggu
keseimbangan;
rujuk
ke
- gangguan pada penilaian singkat (uji get up rehabilitasi medic untuk alat bantu dan latihan
ang
go
atau
performance-oriented keseimbangan dan gaya berjalan
207
assessment of mobility)
Pemeriksaan neurologis
- gangguan proprioseptif
- gangguan kognitif
- penurunan kekuatan otot
Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika
memungkinkan; tingkatkan input proprioseptif
(dengan alat bantu atau alas kaki yang sesuai,
berhak rendah, dan bersol tipis); kurangi obatobatan yang mengenai deficit kognitif; kurangi
faktor
mengganggu
fungsi
kognitif;
kewaspadaan pendamping resiko lingkungan;
rujuk ke RM untuk latihan berjalan,
keseimbangan dan kekuatan
Pemeriksaan musculoskeletal :
Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika
Pemeriksaan tungkai (sendi dan gerakan sendi) memungkinkan; rujuk ke RM untuk latihan
dan pemeriksan kaki
kekuaran, lingkup gerak sendi, gaya berjalan,
dan keseimbangan serta untuk alat bantu;
gunakan alas kaki yang sesuai; rujuk ke
pediatric
Pemeriksaan kardiovaskular
Rujuk ke konsultan kardiologi; pemijatan sinus
- sinkop
karotis (pada kasus sinkop)
- aritmia (jika telah diketahui adanya
penyakit kardiovaskular, EKG abnormal,
dan sinkop)
Evaluasi terhadap “
bahaya”di rumah setelah Rapikan karpet yang terlipat dan gunakan
pulang dari rumah sakit
lampu malam hari, bathnast yang tidak licin,
dan pegangan tangga; intervensi lain yang
diperlukan
TERAPI
· Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan masalah instabilitas dan riwayat jatuh adalah
identifikasi faktor risiko instrinsik dan ekstrinsik, mengkaji dan mengobati trauma fisik
akibat jatuh; mengobati berbagai kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh;
memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguat otot, alat
bantu, sepatu atau sandal yang sesuai; mengubah lingkungan agar lebih aman seperti
pencahayaan yang cukup; pegangan; lantai yang licin; dan sebagainya
· Latihan desensitisasi faal keseimbangan, latihan fisik (penguat otot, fleksibilitas sendi,
dan keseimbangan) latihan Thai Chi, adaptasi perilaku (bangun dari duduk perlahan-lahan,
menggunakan pegangan atau perabot untuk mencegah morbiditas akibat instabilitas dan
jatuh berikutnya
· Perubahan lingkungan sangat penting dilakukan untuk mencegah jatuhnya berulang
karena lungkungan tempat orang usia lanjut tinggal seringkali tidak aman sehingga upaya
perbaikan diperlukan untuk perbaiki keamanan mereka agar kejadian jatuh dapat dihindari
208
KOMPLIKASI
Fraktur, memar jaringan lunak, isolasi dan depresi, imobilisasi
PROGNOSIS
Dubia
WEWENANG
Dokter Spesialis Ilmu penyakit dalam, Konsultan Geriatri, Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik
209
GANGGUAN KOGNITIF RINGAN DAN DEMENSIA
PENGERTIAN
Antara fungsi kognitif yang normal untuk usia lanjut dan demensia yang jelas, terdapat suatu
kondisi penurunan fungsi kognitif ringan yang disebut dengan mild cognitive impairment (MCI)
dan vascular cognitive impairment (VCI), yang sebagian akan berkembang menjadi demensia,
baik penyakit Alzheimer maupun demensia tipe lain.
Mild cognitive impairment (MCI) merupakan suatu kondisi “
sindrom predemensia”(kondisi
transisi fungsi kognisi antara penuaan normal dan demensia ringan), yang pada berbagai studi
telah dibuktikan sebagian akan berlanjut menjadi demensia (terutama demensia Alzheimer) yang
simtomatik.
Vascular cognitive impairment (VCI) merujuk pada keadaan penurunan fungsi kognitif ringan
dan dihubungkan dengan iskemia serta infark jaringan otak akibat penyakit vascular dan
aterosklerosis.
Demensia adalah gangguan fungsi intelektual (berpikir abstrak, penilaian, kepribadian, bahasa,
praksis, dan visuospasial) dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak
berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran, sehingga mempengaruhi aktivitas kerja dan
social secara bermakna.
Demensia Alzheimer merupakan demensia yang disebabkan oleh penyakit Alzheimer, munculnya
gejala perlahan-lahan namun progresif. Demensia vascular merupakan demensia yang terjadi
berhubungan dengan serangan strok (biasanya terjadi 3 bulan pasca strok), munculnya gejala
biasanya bertahap sesuai serangan strok yang mendahului (step ladder). Pada satu p[asien pasca
strok bisa terdapat dua jenis ini (tipe campuran). Pada kedua tipe jenis ini lazim terdapat faktor
resiko seperti: hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, dan faktor resiko ateroskerosis lain.
Demensia dapat disertai behavioral and psychological symptom of dementia (BPSD) yang lazim
disebut sebagai perubahan perilaku dan kepribadian. Gejala BPSD dapat berupa depresi,
wandering/pacing, pertanyaan berulang atau mannerism, kecemasan, atau agresivitas.
DIAGNOSIS
Tabel 1. Kriteria Diagnosis untuk MCI dan VCI
Mild Cognitive Impairment (MCI)
·
·
·
·
·
Keluhan memori yang diperkuat oleh informan
Fungsi memori yang tidak sesuai untuk umur dan pendidikan
Fungsi kognitif umum masih baik
Aktivitas sehari-hari masih baik
Tidak demensia
210
Vascular Cognitive Impairment (VCI)
·
·
·
·
·
Gangguan kognitif ringan sampai sedang, terutama fungsi eksekutif
Tidak memenuhi kriteria demensia
Mempunyai penyebab vascular berdasarkan adanya tanda iskemia atau infark jaringan
otak
Bukti lain adanya ateroskerosis
Hachinski Ischemic Score (HIS) yang tinggi
Tabel 2. Kriteria Diagnosis untuk Demensia (Sesuai dengan DSM IV)
A. Munculnya defisit kognitif multipel yang bermanifestasi pada kedua keadaan berikut
1. Gangguan memori (ketidakmampuan untuk mempelajari informasi baru atau untuk
mengingat informasi yang baru saja dipelajari)
2. Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut
a. Afasia (gangguan berbahasa)
b. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas motorik walaupun fungsi
motorik masih normal)
c. Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda walaupun
fungsi sensorik masih normal)
d. Gangguan fungsi eksekutif (seperti merencanakan, mengorganissasi, berpikir
runut, berpikir abstrak)
B. Defisit kognitif yang terdapat pada kriteria A1 dan A2 menyebabkan gangguan
bermakna pada fungsi sosial dan okupasi serta menunjukkan penurunan yang
bermakna dari fungsi sebelumnya. Defisit yang terjadi bukan terjadi khusus saat
timbulnya delirium.
DIAGNOSIS BANDING
Acute confusional state, depresi, penyakit Parkinson
Catatan: demensia sering terdapat bersamaan dengan depresi dan/atau Penyakit Parkinson
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· Pemeriksaan neuropsikiatrik dengan the Mini-Mental state Examination (MMSE), the Global
Deterioration Scale (GDS), dan The Clinical Dementia Ratings (CDR)
Nilai MMSE dipengaruhi oleh umur dan tingkat pendidikan, sehingga pemeriksa harus
mempertimbangkan hal-hal tersebut dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan MMSE.
· Fungsi tiroid, hati, dan ginjal
· Kadar vitamin B12
· Kadar obat dalam darah (terutama yang bekerja pada susunan saraf pusat)
· CT scan, MRI
Tabel 3. Kriteria untuk Diagnosis Klinis Penyakit Alzheimer menurut the National Institute
of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS) dan the Alzheimer’
s
211
Disease and Related Disorder Association (ADRDA)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyakit Alzheimer mencakup:
· Demensia yang ditegakkan oleh pemeriksaan oleh pemeriksaan klinis dan tercatat
dengan pemeriksaan the mini-mental test, Blessed Dementia scale, atau pemeriksaan
sejenis, dan dikonfirmasi oleh tes neuropsikologis
· Defisit pada dua atau lebih area kognitif
· Tidak ada gangguan kesadaran
· Awitan antara umur 40 dan 90, umumnya setelah umur 65 tahun
· Tidak ada kelainan sitemik atau penyakit otak lain yang dapat menyebabkan defisit
progresif pada memori dan kognitif
Diagnosis probable penyakit Alzhemeir didukung oleh:
· Penurunan progresif fungsi kognitif spesifik seperti afasia, apraksia, dan agnosia
· Gangguan aktivitas sehari-hari dan perubahan pola perilaku
· Riwayat keluarga dengan gangguan yang sama, terutama bila sudah dikonfirmasi secara
neuropatologi
· Hasil laboratorium yang menunjukkan
· Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi dengan teknik standar
· Pola normal atau perubahan yang nonspesifik pada EEG, seperti peningkatan aktivitas
slow-wave
· Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT yang progresif dan terdokumentasi oleh
pemeriksaan serial
Gambaran klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit Alzheimer, setelah
mengeksklusi penyebab demensia selain penyakit Alzheimer:
· Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat (plateau)
· Gejala-gejala yang berhubungan seperti depresi, insomnia, inkontinensia, delusi,
halusinasi, verbal katastorik, emosional, gangguan seksual, dan penurunan berat badan
· Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien, terutama pada penyakit tahap lanjut
seperti peningkatan tonus otot, mioklonus, dan gangguan melangkah (gait disorder)
· Kejang pada penyakit yang lanjut
· Pemeriksaan CT normal untuk usianya
Gambaran yang membuat diagnosis probable penyakit Alzheimer menjadi tidak cocok
adalah:
· Onset yang mendadak dan apoplectic.
· Terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis, gangguan sensorik, defisit
lapangan pandang, dan inkoordinasi pada tahap awal penyakit, dan kejang atau gangguan
melangkah pada saat awitan atau tahap awal perjalanan penyakit
Diagnosis possible penyakit Alzheimer adalah:
· Dibuat berdasarkan adanya sindrom demensia, tanpa adanya gangguan neurologis,
psikiatrik, atau sistemik lain yang dapat menyebabkan demensia, adanya variasi pada
awitan, gejala klinis, atau perjalanan penyakit
· Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik sekunder yang cukup untuk
menyebabkan demensia, namun penyebab primernya bukanmerupakan penyebab
demensia
Kriteria untuk diagnosis definite penyakit Alzheimer adalah:
Kriteria klinis
untuk
probableuntuk
penyakit
Alzheimer
7.· Klasifikasi
penyakit
Alzheimer
tujuan
penelitian dilakukan bila terdapat gambaran
mungkinyang
merupakan
subtype
penyakit
Alzheimer, seperti:
· khusus
Bukti yang
histopatologi
didapat dari
biopsy
atau autopsi
· Banyak anggota keluarga yang mengalami hal yang sama
·
Awitan sebelum umur 65 tahun
·
Adanya trisomi-21
212
Tabel 4. Penatalaksanaan terhadap Faktor Risiko Timbulnya Gangguan Kognitif pada
Usia Lanjut
Faktor Risiko
Penatalaksanaan
Keterangan
Hipertensi
Dislipidemia
·
·
·
·
·
·
Kurangi asupan garam
Obat hipertensi awal dengan diuretic, dapat
dikombinasi dengan ACEI, ARB, Penyekat B
atau antagonis kalsium
Target TDS< 130mmHg,TDD <80mmHg
Kurangi asupan makanan berlemak
Obat antidislipidemia
Target: trigliserida <150 mg/dl, HDL>40
mg/dl, LDL<100mg/dl
·
Rekomendasi JNC VII dan
penelitian ALLHATT
·
Konsensus pengendalian
dislipidemia yang dikeluarkan
oleh PERKENI dan NCEP-ATP
III
Beberapa penulis melaporkan
statin dapat menurunkan
fungsi kognitif
Konsensus penatalaksanaan
DM tipe 2 oleh PERKENI
Penggunaan insulin sering
menimbulkan efek
hipoglokemik pada usia
lanjut yang dapat
bermanifestasi gangguan
kognitif
·
Diabetes Melitus
·
·
·
Obesitas
Gagal jantung,
fibrilasi atrium,
hiperkoagulasi,
·
·
·
·
·
5 pilar penatalaksanaan DM: edukasi,
perencanaan makanan, latihan fisik, obat
hipoglikemik oral, dan insulin
Perhatian pada pemilihan OHO dan insulin
disesuaikan dengan penurunan fungsi organ
Target: GDP< 120mg/dl, pada usia lanjut
GDP< 160 mg/dl masih diterima
·
·
Penatalaksanaan sejak usia dini
Target IMT<25kg/m2
Identifikasi etiologi yang bisa dikoreksi
Terapi farmakologis dan nonfarmakoilogis
yang sesuai untuk mengendalikan dan
mengatasinya
Rujuk ke konsultan yang sesuai pada
keadaan khusus
213
Tabel 5. Obat-obatan yang Dipergunakan untuk Menghambat Penurunan dan
Memperbaiki Fungsi Kognitif pada Demensia dan Gangguan Kognitif Ringan
TERAPI
· Libatkan seorang usia lanjut pada kehidupan sosial yang lebih intensif serta partisipasi pada
aktivitas yang mennstimulus fungsi kognitif dan menstimulasi mental maupun emosional
yang menurunkan faktor resiko Alzheimer dan memperlambat munculnya manifestasi klinis
gangguan kognitif
· Latihan memori multifaset dan latihan relaksasi
· Penyampaian informasi yang benar kepada keluarga, latihan orentasi realitas, rehabilitas,
dukungan keluarga, manipulasi lingkungan, program harian untuk pasien, reminiscene, terapi
music, psikoterapi, modifikasi perilaku, konsultasi untuk pramuwerdha, jaminan nutrisi yang
optimal
· Pemberian obat pada BPSD ditujukan untuk target gejala tertentu dengan pembatasan waktu.
Tentukan target yang hendak diobati, identifikasi pencetus gejala, psikoterapi dan konseling
diberikan bersama dengan obat (risperidon, sertralin, atau haloperidol, sesuai gejala yang
muncul)
· Tatalaksana pada demensia baerat terutama modalitas non-farmakologis
· Tatalaksana faktor risiko gangguan kognitif
214
Pasien usia lanjut dengan keluhan memori subjektif/ dilaporkan keluarga
Faktor Resiko:
Anamnesis :
L ama keluhan
Awitan
Progresivitas
Aktivitas sehari-hari
Riwayat keluarga
Penggunaan obatan
dan alcohol
· Riwayat CABG
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
MMSE <24
Hipertensi
DM
Dislipidemia
Merokok
Obesitas
PPOK
· Gagal jantung
· Hiperkoagulasi
· Hiperagregasi
trombosit
· Neurosifilis &
HIV
Modifikasi/terapi bila ada
· K adar obat dalam darah
Evaluasi
fung si
kog nitif tiap 6
bulan
Inhibitor kolinestrase ( masih
kontroversi)
Skor MMSE
tetap/turun
Fungsi tiroid
Fungsi hati
Fungsi ginjal
Kadar vitamin B12
MMSE >28
Edukasi
R ujuk SpKJ/Konsultan
g eriatri
·
·
·
·
Terapi sesuai penyebab
bila abnormal
MMSE 24-28
Edukasi
L aboratorium:
Skor MMSE
meningkat
Evaluasi 6 bulan
Kelelola faktor
resiko
sesegera &
seoptimal
mungkin
Optimalkan
pengelolaan
faktor resiko
L anjutkan pengelolaan
faktor resiko:
· Terapi hipertensi
· Injeksi/obat
hipoglikemik
· Obat penurun kadar
lemak
· Antikoagulan
· Olahraga
· Suplemen asam folat dan
vit.B12
· Serat larut air
· Asupan kalori yang baik
Gambar 1. Algoritme Evaluasi dan Penatalaksanaan Pasien Usia Lanjut dengan Penurunan Fungsi
Kognitif
KOMPLIKASI
Jatuh, rusaknya struktur sosial keluarga, isolasi, malnutrisi
PROGNOSIS
Tergantung stadium diagnosis
WEWENANG
Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Geriatri, Psikiater-Geriatri, Neurolog-Geriatri
215
UNIT YANG MENANGANI
Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Psikiatri-Geriatri Departemen Psikiatri,
Departemen Neurologi
UNIT TERKAIT
Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Psikiatri-Geriatri Departemen Psikiatri,
Departemen Neurologi, Departemen Rehabilitasi Medik, Instalasi Gizi, Instalasi Farmasi,
Perawat Gerontik
216
IMOBILISASI
PENGERTIAN
Mobilisasi tergantung pada interaksi yang terkoordinasi antara fungsi sensorik persepsi,
keterampilan motorik, tingkat kognitif, dan kesehatan premorbid, serta variabel eksternal seperti
keberadaan sumber-sumber komunitas, dukungan keluarga, adanya halangan arsitektural (kondisi
lingkungan), dan kebijaksanaan institusional.
Imobilisasi didefinisikan sebagai kehilangan gerakan anatomic akibat perubahan fungsi fisiologis
yang dalam praktek sehari-hari dapat diartikan sebagai ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas mobilitas di tempat tidur, transfer, atau ambulasi selama lebih dari 3 hari. Imobilisasi
menggambarkan sindrom degenerasi fisiologis yang diakibatkan penurunan aktivitas dan
deconditioning.
FAKTOR RESIKO
Berbagai faktor fisik, psikologis dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada pasien usia
lanjut.
Tabel 1. Penyebab Umum Imobilisasi pada Usia Lanjut
Gangguan musculoskeletal
Artritis
Osteoporosis
Fraktur
Problem kaki
Lain-lain
Gangguan neurologis
Penyakit kardiovaskular
Penyakit paru
Faktor sensorik
Penyebab lingkungan
Nyeri akut atau kronik
Lain-lain
strok
Penyakit Parkinson
Lain-lain
Gagal jantung kongestif
Penyakit jantung koroner
Penyakit vascular perifer
Penyakit Paru Obstruksi kronis
Gangguan penglihatan
Takut
Imobilisasi yang dipaksakan
Alat bantu mobilisasi yang tidak adekuat
dekondisi
Malnutrisi
Penyakit sistemik berat
Depresi
Efek samping obat
Perjalanan lama yang menyebabkan seseorang tidak
bergerak
217
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pengkajian geriatric paripurna diperlukan dalam mengevaluasi pasien usia lanjut yang mengalami
imobilitas meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, evaluasi status fungsional, status mental, status
kognitif, dan tingkat mobilitas, serta pemeriksaan penunjang sesuai indikasi.
Tabel 2. Evaluasi Pasien Usia Lanjut yang Mengalami Imobilisasi
Evaluasi
Keterangan
Anamnesis
- riwayat dan lama imobilisasi
- kondisi medis yang merupakan faktor resiko dan
Penyebab Imobilisasi
-kondisi premorbid
- nyeri
- obat-obatan yang dikonsumsi
-dukungan pramuwerdha
-interaksi sosial
-faktor psikologis
-faktor lingkungan
Pemeriksaan fisik
status kardiopulmonal
Kulit
Musculoskeletal: kekuatan, tonus, lingkup gerak,
lesi,
Deformitas
Neurologis: kelemahan fokal, evaluasi persepsi dan
sensorik
Gastrointestinal
Genitourinarius
Status fungsional
AKS Barthel
Status mental
Pemeriksaan GDS
Status kognitif
Pemeriksaan MMSE, AMT
Tingkat mobilitas
mobilitas di tempat tidur, kemampuan transfer, mobilitas di
Kursi roda, keseimbangan saat duduk dan berdiri,
cara
berjalan, nyeri saat bergerak
Pemeriksaan penunjang
penilaian berat ringan kondisi medis penyebab imobilisasi
TERAPI
Tatalaksana Umum
· Kerjasama tim medis interdisiiplin ilmu dengan partisipasi pasien, keluarga, dan
pramuwerdha.
· Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama, pentingnya latihan
bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah ketergantungan pasien dengan melakukan
aktivitas kehidupan sehari-hari sendiri, semampu pasien
· Dilakukan pengkajian geriatric paripurna, perumusan target fungsional, dan pembuatan
rencana terapi yang mencakup pula perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai target
terapi
218
·
·
·
·
·
·
Temu kenali dan tatalaksana infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit yang
mungkin terjadi pada kasus imobilisasi serta penyakit/kondisi peneyrta lainnya
Evaluasi seluruh obat yang dikonsumsi, obat yang dapat menyebabkan kelemahan atau
kelelahan harus diturunkan dosisnya atau dihentikan jika mungkin
Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang mengandung serat serta
vitamin dan mineral
Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis terjadi meliputi
latihan mobilitas di tempat tidur, latihan lingkup gerak sendi, latihan penguatan otot, latihan
koordinasi/keseimbangan, transfer dengan bantuan dan ambulasi terbatas.
Bila diperlukan sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu berdiri dan ambulasi.
Manajemen miksi dan defekasi termasuk penggunaan komod atau toilet
Tatalaksana Khusus
· Tatalaksana faktor resiko
· Tatalaksana komplikasi akibat imobilisasi
· Pada keadaan khusus, konsultasikan kondisi medic kepada dokter spesialis yang kompeten
· Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pada pasien-pasien yang mengalami sakit atau
riwayat di rumah sakit dan panti werdha untuk mencegah imobilisasi lanjut
· Upayakan dukungan lingkungan dan ketersediaan alat bantu untuk mobilisasi yang adekuat
bagi usia lanjut yang mengalami disabilitas permanen.
KOMPLIKASI
Imobilisasi dapat menyebabkan proses degenerasi yang terjadi pada hampir semua sistem organ
sebagai akibat berubahnya tekanan gravitasi dan berkurangnya fungsi motorik.
PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada penyakit yang mendasari imobilisasi dan komplikasi yang
ditimbulkannya. Perlu dipahami, imobilisasi dapat memperberat penyakit dasarnya bila tidak
ditangani sedini mungkin, bahkan dapat menimbulkan kematian.
Tabel 3. Efek imobilisasi pada Berbagai Sistem Organ
Organ/Sistem
Perubahan yang Terjadi akibat Imobilisasi
Muskuloskeletal Osteoporosis, penurunan masa tulang, hilangnya kekuatan otot,
penurunan area potong lintang otot, kontraktur, degenerasi rawan sendi,
ankilosis, peningkatan tekanan intraartikular, berkurangnya volume sendi
Kardiopulmonal Peningkatan denyut nadi istirahat,penurunan perfusi miokard intoleran
dan Pembuluh
terhadap ortostatik, penurunan pengambilan oksigen maksimal, penurunan
darah
volume plasma, perubahan uji fungsi paru, atelektasis paru, pneumonia,
peningkatan statis vena, agregasi trombosit dan hiperkoagulasi
Integument
peningkatan ulkus dekubitus dan maserasi kulit
Metabolik dan
keseimbangan nitrogen negatif, hiperkalsiuria, natriuresis, dan deplesi
Endokrin
natrium, resistensi insulin, hiperlipidemia, serta penurunan absorpsi dan
metabolism vitamin/mineral
Neurologi dan
depresi dan psikosis, atrofi korteks motorik dan sensorik, gangguan
psikiatri
keseimbangan, penurunan fungsi kognitif, neuropati kompresi, dan
rekrutmen neuromuscular yang tidak efesien
219
Traktus
gastrointestinal
dan Urinarius
inkontinensia urin dan alvi, infeksi saluran kemih, pembentukan batu
kalsium, pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna dan distensi
kandung kemih, impaksi feses, dan konstipasi, penurunan motilitas usus,
refluks esophagus, aspirasi saluran nafas, dan peningkatan resiko
perdarahan gastrointestinal
WEWENANG
Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Geriatri, Dokter Spesialis Rehabilitasi
UNIT YANG MENANGANI
Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Rehabilitasi Medik
UNIT TERKAIT
Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam,Divisi Psikiatrik-Geriatri Departemen Psikiatri,
Departemen Rehabilitasi Medik, Instalasi Gizi, Instalasi Farmasi, Bidang Keperawatan
220
INKONTINENSIA URIN
PENGERTIAN
· Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak terkendali sehingga menimbulkan
masalah hygiene dan sosial. Inkontinensia urin merupakan masalah yang sering dijumpai pada
pasien geriatric dan menimbulkan masalah fisik dan psikososial seperti dekubitus, jatuh,
depresi, dan isolasi sosial.
· Inkontinensia urin dapat bersifat akut atau persisten. Inkontinensia urin yang akut dapat
diobati bila masalah yang mendasari diatasi seperti infeksi saluran kencing, gagguan
kesadaran, vaginitis atrofik, obat-obatan, masalah psikologik, dan skibala. Inkontinensia urin
yang persisten biasanya dapat pula dikurangi dengan bebagai modalitas terapi.
DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis perlu diketahui penyebab dan tipe inkontinensia urin. Terdapat 2
masalah dalam sistem saluran kemih yang dapat memberikan gambaran inkonteninsia urin yakni
masalah saat pengosongan kandung kemih dan masalah saat pengisian kandung kemih.
· Untuk inkontinensia urin akut, perlu diobati penyakit yang mendasari, seperti infeksi
saluran kemih, obat-obatan, gangguan kesadaran, skibala, prolaps uteri. Biasanya pada
inkontinensia urtin yang akut, dengan mengatasi penyebabnya, inkontinensianya juga
akan teratasi.
· Inkontinensia urin yang kronik dapat dibedakan atas beberapa jenis: inkontinensia tipe
urgensi atau overactive bladder, inkontenensia tipe stress, dan inkontinensia urin tipe
overflow
¾ Inkontinensia tipe urgensi dicirikan oleh gejala adanya sering berkemih, keinginan
berkemih yang tidak tertahankan, sering berkemih di malam hari, dan keluarnya urin yang
tidak terkendalikan yang didahului oelh keinginan berkemih yang tidak tertahankan
¾ Inkontinensia urin tipe stress dicirikan oleh keluarnya urin yang tidak terkendali pada saat
tekanan abdomen meningkat saat bersin, batuk, dan tertawa.
¾ Inkontinensia urin tipe overflow dicirikan oleh menggelembungnya kandung kemih
melebihi volume yang seharusnya dimiliki kandung kemih, post void residu>100cc.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urin lengkap, dan kultur urin, PVR, kartu catatan berkemih, gula darah, kalsium darah dan urin,
perineometri, urodynamic study.
TERAPI
Terapi untuk inkontinensia urin tergantung pada penyebab inkontinensia urin.
· Untuk inkontinensia urin tipe urgensi dan overactive bladder, diberikan latihan otot dasar
panggul, baldder training, schedule toileting, dan obat yang bersifat antimuskarinik seperti
tolterodin atau oksibutinin. Obat antimuskarinik yang dipilh seyogyanya yang bersifat
uroselektif.
· Untuk inkontinensia tipe stress, latihan otot dasar panggul merupakan pilihan utama, dapat
dicoba bladder training dan obat agonis alfa.
· Untuk inkontinensia tipe overflow, perlu diatasi penyebabnya. Bila ada sumbatan, perlu
diatasi sumbatannya.
221
KOMPLIKASI
Inkontinensia urin dapat menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, lecet pada area bokong
sampai dengan dekubitus karena selalu lembab, serta jatuh dan fraktur akibat terpleset oleh urin
yang tercecer.
PROGNOSIS
· Inkontinensia urin tipe stress biasanya dapatr diatasi dengan latihan otot dasar
panggul,prognosis cukup baik
· Inkontinensia urin tipe urgensi atau overactive bladder umumnya dapat diperbaiki dengan
obat-obatan golongan antimuskarinik, prognosis cukup baik
· Inkontinensia urin tipe overflow, tergantung pada penyebabnya 9misalnya dengan mengatasi
sumbatan/retensi urin)
WEWENANG
Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Geriatri, Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik ,
Dokter Spesialis Urologi, Dokter Spesialis Uroginekologi
UNIT YANG MENANGANI
Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Rehabilitasi Medik, Urologi,
Divisi Uroginekologi Departemen Obstetri dan Ginekologi
UNIT TERKAIT
Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Rehabilitasi Medik, Urologi,
Bidang Keperawatan, Divisi Uroginekologi Departemen Obstetri dan Ginekologi.
222
DEHIDRASI
PENGERTIAN
Dehidrasi adalah berkurangnya cairan tubuh total, dapat berupa hilangnya air lebih banyak dari
natrium ( dehidrasi hipertonik ), atau hilangnya air dan natrium dalam jumlah yang sama (
dehidrasi isotonic ), atau hilangnya natrium yang lebih banyak daripada air ( dehidrasi hipotonik).
Dehidrasi hipertonik ditandai dengan tingginya kadar natrium serum ( lebih dari 145 mmol/liter)
dan peningkatan osmolaritas efektif serum ( lebih dari 285 mosmol/ liter). Dehidrasi isotonic
ditandai dengan normalnya kadar natrium serum ( 135-145 mmol/liter) dan osmolaritas efektif
serum ( kurang dari 270 -285mosmol/ Liter). Dehidrasi hipotonik ditandai dengan rendahnya
kadar natrium serum ( kurang dari 135 mmol/ Liter) dan osmolaritas efektif serum ( kurang dari
270 mosmol/ Liter).
Penting diketahui perubahan fisiologis pada usia lanjut. Secara umum, terjadi penurunan
kemampuan homeostatic seiring dengan bertambahnya usia. Secara khusus, terjadi penurunan
respon rasa haus terhadap kondisi hipovolemik dan hiperosmilaritas. Di samping itu juga terjadi
penurunan laju filtrasi glomerulus, kemampuan fungsi konsentrasi ginjal, renin, aldosteron, dan
penurunan respon ginjal terhadap vasopressin.
DIAGNOSA
Gejala dan tanda klinis dehidrasi pada usia lanjut tak jelas, bahkan bisa tidak ada sama sekali.
Gejala klasik dehidrasi seperti haus, lidah kering, penurunan turgor, dan mata cekung sering tidak
jelas.gejala klinis yang dapat dievaluasi adalah penurunan berat badan akut lebih dari 3%. Tanda
klinis obyektif lainnya yang dapat membantu mengidentifikasi kondisi dehidrasi adalah hipotensi
ortostatik. Berdasarkan studi di Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM,
bila ditemukan aksila lembab/ basah, suhu tubuh meningkat dari suhu basal, dieresis berkurang,
berat jenis (BJ) urin lebih dari atau sama dengan 1,019 ( tanpa adanya glukosuria dan proteinuria),
serta rasio Blood Urea Nitrogen/ kreatinin lebih dari atau sama dengan 16,9 ( tanpa adanya
perdarahan aktif saluran cerna ) maka kemungkinan terdapat dehidrasi pada usia lanjut adalah
81%. Kriteria ini dapat dipakai dengan syarat: tidak menggunakan obat –obat sitostatik, tidak
ada perdarahan saluran cerna, dan tidak ada kondisi overload (gagal jantung kongestif, sirosis
hepatis dengan hipertensi portal, penyakit ginjal kronik stadium terminal, sindrom nefrotik).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· Kadar natrium plasma darah
· Osmolaritas serum
· Ureum dan kreatinin darah
· BJ urin
· Tekana vena sentral ( central venous pressure)
223
TERAPI
Lakukan pengukuran keseimbangan (balans) yang masuk dan keluar secara berkala sesuai
kebutuhan .
Pada dehidrasi ringan, terapi cairan dapat diberikan secara oral sebanyak 1500-2500 ml/24
jam (30ml/kg berat badan /24 jam )untuk kebutuhan dasar, ditambah dengan penggantian
deficit cairan dan kehilangan cairan yang masih berlangsung. Menghitung kebutuhan cairan
sehari, termasuk jumlah insensible water loss sangat perlu dilakukan setiap hari. Perhatikan
tanda –tanda kelebihan cairan seperti ortopnea, sesak napas, perubahan pola tidur, atau
confusion. Cairan yang diberikan secara oral tergantung jenis dehidrasi.
· Dehidrasi hipertonik: cairan yang dianjurkan adalah air atau air dengan kandungan sodium
rendah, jus buah seperti apel, jeruk dan anggur.
· Dehidrasi isotonic: cairan yang dianjurkan selain air dan suplemen yang menganduung
sodium (jus tomat), juga dapat diberikan larutan isotonic yang ada di pasaran.
· Dehidrasi hipotonik cairan yang dianjurkan seperti di atas tetapi dibutuhkan kadar sodium
yang lebih tinggi.
Pada dehidrasi sedang sampai berat dan pasien tidak dapat minum peroral, selain
pemberian cairan enteral, dapat diberikan rehidrasi parenteral, jika cairan tubuh yang hilang
terutama air, maka jumlah cairan rehidrasi yang dibutuhkan dapat dihitung dengan rumus:
Deficit cairan (liter)= Cairan badan total (CBT) yang diinginkan –CBT saat ini
CBT yang diinginkan =
CBT saat ini ( pria ) = 50% x berat badan (kg)
CBT saat ini ( peremepuan) = 45% x berat badan (kg)
Jenis cairan kristaloid yang digunakan untuk rehidrasi tergantung dari jenis dehidrasinya.
Pada dehidrasi isotonic dapat diberikan cairan Na Cl 0,9% atau Dekstrosa 5% dengan kecepatan
25-30% dari deficit cairan total perhari. Pada dehidrasi hipertonik digunakan cairan NaCl 0,45%.
Dehidrasi hipotonik ditatalaksana dengan mengatasi penyebab yang mendasari, penambahan diet
natrium, dan bila perlu pemberian cairan hipertonik.
KOMPLIKASI
Gagal ginjal , sindrom delirium akut
PROGNOSIS
Dubia ad bonam
WEWENANG
Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Konsultan geriatric
UNIT YANG MENANGANI
Divisi Geriatri department Ilmu penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
Divisi di Departemen Penyakit Dalam yang terkait dengan keterlibatan etiologi dehidrasi , bidang
keperawatan
224
KONSTIPASI
DEFINISI
Konstipasi merupakan suatu keluhan, bukan penyakit. Konstipasi sulit didefinisikan
secara tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat variasi yang berlainan antara individu.
Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar (BAB), biasanya kurang
dari 3 kali seminggu dengan feses yang kecil – kecil dank eras, serta kadangkala disertai
kesulitan sampai rasa sakiit saat BAB.
Batasan dari konstipasi klinis yang sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah besar
feses memenuhi ampula rekti pada colok dubur, dan atau timbunan feses pada kolon, rectum, atau
keduanya yang tampak pada foto polos abdomen.
DIAGNOSIS
Konstipasi menurut Holson, meliputi paling sedikit 2 dari keluhan di bawah ini dan terjadi
dalam waktu 3bulan:
a. Konsistensi feses yang keras
b. Mengejan dengan keras saat BAB
c. Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB
d. Frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang.
Konstipasi menurut international workshop on constipation dapat dilihat pada tabel berikut:
TIPE
KRITERIA
1. Konstipasi fungsional ( akibat waktu
Dua akibat lebih dari keluhan ini ada paling
perjalanan lambat dari feses)
sedikit dalam 12 bulan
· Mengejan keras 25% dari BAB
· Fese yang keras 25% dari BAB
· Rasa tidak tuntas 25% dari BAB
· BAB kurang dari 2 kali perminggu
2. Penundaan pada muara rectum ( terdapat
disfungsi ano-rektal)
·
·
·
Hambatan pada anus lebih dari 25%BAB
Waktu untuk BAB lebih lama
Perlu bantuan jari –jari untuk
mengeluarkan feses
PEMERIKASAAN PENUNJANG
· Darah tepi
· Glukosa dan elektrolit ( terutama kalium dan kalsium) darah
· Fungsi tiroid
· CEA
· Anuskopi (dianjurkan dilakukan secara rutin pada semua pasien dengan konstipasi untuk
menemukan adakah fisura, ulkus, hemoroid, dan keganasan )
· Foto polos abdomen harus dikerjakan pada pasien konstipasi, terutama yang terjadinya untuk
mendeteksi akut untuk mendeteksi adanya impaksi fese yang dapat menyebabkan sumbatan
dan perforasi kolon. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon. Dapat dianjurkan dengan barium
enema untuk memastikan tempat dan sifat sumbatan.
· Pemeriksaan yang intensif dikerjakan secara selektif setelah 3-6 bulan pengobatan konstipasi
kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusat –pusat pengelolaan konstipasi tertentu.
225
ü Uji yang dikerjakan dapat bersifat anatomis (enema, proktosigmoidoskopi, kolonoskopi)
atau fisiologi ( waktu singgah di kolon, sinedefekografi, manometri, dan elektromiografi).
Proktosigmoidoskopi biasanya dikerjakan pada konstipasi yang baru terjadi sebagai
prosedur penapisan adanya keganasan kolon –rectum. Bila ada penurunan berat badan
,anemia, keluarnya darah dari rectum atau adanya riwayat keluarga dengan kanker kolon
perlu dikerjakan kolonoskopi.
ü Waktu persinggahan suatu bahan radio-opak kolon dapat diikuti dengan melakukan
pemeriksaan radiologis seteah menelan bahan tersebut. Bila timbunan zat ini terutama
ditemukan di rectum menunjukkan kegagalan fungsi ekspulsi, sedangkan bila di kolon
menunjukkan kelemahan yang menyeluruh.
ü Sinedefecografi adalah pemeriksaan radiologis daerah anorektal untuk menilai evakuasi
feses secara tuntas, mengidentifikasi kelainan anorektal melalui dan mengevaluasi
kontraksi serta relaksasi otot rectum.uji ini memakai semacam pasta yang konsistensinya
mirip feses, dimasukkan ke dalam rectum. Kemudian penderita duduk pada toilet yang
diletakkan dalam pesawat sinar X. penderita diminta mengejan untuk mengeluarkan
pasata tersebut. Dinilai kelainan anorektal saat proses berlangsung.
ü Uji manometri dikerjakan untuk mengukur tekanan pada rectum dan saluran anus saat
istirahat dan pada berbagai rangsang untuk menilai fungsi anorektal.
ü Pemeriksaan elektromiografi dapat mengukur misalnya tekanan sfingter dan fungsi saraf
pudendus, adakah atrofi saraf yang dibuktikan dengan respons sfingter yang terhambat.
Pada kebanyakan kasus tidak didapatkan kelainan anatomis maupun fungsional, sehingga
penyebab dari konstipasi disebut sebagai non- spesifik.
TERAPI
· Aktivitas dan olahraga teratur
· Asupan cairan dan serat (25-30 gram/hari ) yang cukup
· Latihan usus besar; penderita menganjurkan mengadakan waktu secara teratur tiap hari untuk
memanfaatkan gerakan usus besarnya. Dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan,
sehingga dapat memanfaatkan refleks gastro- kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini
dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda –tanda dan rangsang untuk BAB, dan
tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.
· Jika modifikasi perilaku kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologi, dan biasanya
dipakai obat –obatan golongan pencahar.
Ada 4 tipe golongan obat pencahar:
a. Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain:\
- Cereal
- Methyl selulose
- Psilium
b. Melunakkan dan melicinkan feces, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan
permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air.contohnya antara lain :
- Minyak kastor
- Golongan docusate
226
c. Golongan osmotic yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan, misalnya
pada penderita gagal ginjal, antara lain:
- Sorbitol
- Lactulose
- Glyserin
d. Merangsang peristaltic, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini yang
banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bila dipakai untuk
jangka panjang, dapat merusak pleksus mesentrikus dan berakibat dismotilitas kolon.
Contohnya antara lain:
- Bisakodil
- Fenolpatelin
· Bila dijumapai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara –cara tersebut di
atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan. Pada umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan
karena massa atau adanya volvulus , tidak dilakukan tindakan pembedahan.
KOMPLIKASI
Sindrom delirium akut, aritmia, ulserasi sterkoraseus, perforasi usus, retensio urin,
hidronefrosis bilateral, gagal ginjal, inkontinensia urin, inkontinensia alvi, dan volvulus daerah
sigmoid akibat impaksi feses, serta prolaps rectum.
PROGNOSIS
Dubia Ad bonam
WEWENANG
Dokter Spesialis Penyakit Dalam , Konsultan Geriatri, dan Konsultan Gastro Enterologi
UNIT YANG MENANGANI
Divisi / Departemen Ilmu Penyakit Dalam
UNIT YANG TERKAIT
Departemen Rehabilitasi Medik. Bidang Keperawatan, Instalasi Gizi, Instalasi Farmasi
227
PNEUMONIA PADA GERIATRI
PENGERTIAN
Pneumonia adalah infeksi parenkim paru yang disebabkan oleh berbagia jenis bakteri
(Gram-positif maupun Gram- negatif, tipikal maupun atipikal ), virus, jamur dan parasit. Terdapat
beberapa jenis pneumonia sesuai dengan tempat didapatnya infeksi: pneumonia komunitas (
community-acquired pneumonia, CAP), pneumonia yang didapat di rumah sakit (hospitalacquired pneumonia, HAP), dan pneumonia yang didapat di ICU ( ventilator- associated
pneumonia, VAP).
DIAGNOSIS
Infiltrate baru atau perubahan infiltrate progresif pad foto toraks, dengan disertai sekurang
–kurangnya 1 gejala mayor atau 2 gejala minor berikut:
Gejala mayor :
1. Batuk
2. Sputum produktif
3. Demam (Suhu >37,8 C)
Gejala minor :
1. Sesak napas
2. Nyeri dada
3. Konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4. Jumlah leukosit >12.000/µL
Pneumonia pada usia lanjut seringkali memberikan gejala yang tidak khas. Selain batuk
dan demam pasien tidak jarang datang dengan keluhan gangguan kesadaran ( delirium ), tidak
mau makan, jatuh dan inkontinensia akut.
DIAGNOSIS BANDING
Emboli paru, gagal jantung, tuberculosis paru
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah lengkap dengan hitung jenis, ureum dan kreatinin, analisis gas darah dan saturasi
oksigen, c-reactive protein, albumin, foto toraks, EKG, kultur sputum mikroorganisme dan
resistensi.
TERAPI
· Suportif: oksigen, cairan, nutrisi, mukolitik- ekspektoran, bronkodilator.
· Farmakologis:
- Antibiotika emperik segera diberikan sejak awal sesuai dengan jenis pneumonia yang
terjadi (CAP, HAP, atau VAP). Pada CAP dapat dinberikan antibiotika golongan blaktam/ anti b-laktamase dan sefalosporin generasi II atau III yang dikombinasi dengan
makrolid atau doksisiklin, atau fluorokuinolon saluran napas ( levofloksain, gatifloksasin,
moksifloksasin) sebagai obat tunggal. Pada HAP atau VAP dipilih antibiotic yang bekerja
terhadap kuman Pseudomonas dan kuman nosokomial lain, seperti sefalosporin generasi
III anti-pseudomonas, sefalosporin generasi IV, piperacilin –tazobactam, kuinolon anti –
pseudomonas (ciproploksasin), atau aminoglikosida.
- Antibiotika spesifik diberikan setelah didapatkan hasil pemeriksaan biakan kuman dan uji
228
resistensi.
- Pemilihan antibiotika juga harus memperlihatkan penurunan fungsi organ yang mungkin
sudah terjadi pada usia lanjut.
· Program rehabilitasi medic (fisioterapi dada dan program lain yang terkait).
KOMPLIKASI
Empiema , efusi pleura, gagal nafas, sepsis sampai syok sepsis
PROGNOSIS
Dubia
WEWENANG
Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Konsultan Geriatri
UNIT YANG MENANGANI
Divisi geriatri Ilmu Penyakit dalam
UNIT TERKAIT
Divisi Pulmonologi departemen Ilmu Penyakit dalam, Departemen Rehabilitasi Medik,
Bidang keperawatan , Departemen Gigi-Mulut
229
INFEKSI SALURAN KEMIH
PENGERTIAN
Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang melibatkan struktur saluran kemih, yaitu dari
epitel glomerulus tempat mulai dibentuk urin sampai dengan muara urin di meatus urethrae
externus.secara mikrobiologi definisi infeksi saluran kemih (ISK) adalah terdapatnya
mikroorganisme pada struktur saluran kemih dan baru dapat dipastikan setelah didapatkan bukti
adanya koloni mikroorganisme dalam pemeriksaan kultur urin. ISK pada usia lanjut, seperti
inkontinensia urin dan hipertrofi prostat yang memerlukan pemakaian kateter menetap,
imobilisasi, dan penurunan fungsi imunitas baik non- spesifik maupun spesifik.
DIAGNOSIS
· Meningkatkan kecurigaan adanya ISK bila didapatkan kondisi –kondisi akut pada usia lanjut
tanpa memperhatikan gejala khas dari ISK atau mengenali faktor –faktor risiko ISK pada
usia lanjut adalah merupakan pendekatan diagnosis yang tepat. Hal tersebut dapat dijadikan
dasar untuk memeriksakan sampel urin untuk dialisis dan dibiak serta melakukan
pemeriksaan penunjang lain guna mengetahui adanya kalianan anatomic maupun structural.
· Kriteria diagnosis bakteriuria berdasarkan gambaran klinis dan cara pengambilan sampel urin;
102 Colony Forming Unit (CFU) coliform/ml urin atau > 105 CFU non-coliform/ml
urin, pada wanita dengan gejala ISK
103 CFU bakteri/ml urin, pada pria dengan gejala ISK
105 CFU bakteri/ml urin (2 kali pemeriksaan dengan jarak 1 minggu), pada wanita
dan pria tanpa gejala ISK
102 CFU bakteri/ml urin, pada pasien dengan kateter
- Berapapun jumlah CFU bakteri/ml urin, pada pasien dengan gejala ISK dengan
pengambilan sampel urin dari kateterisasi suprapubik.
PEMERIKSAAN FISIK
A. Laboratorium
· Darah tepi lengkap
· Urin lengkap
· Biakan urin dengan tes resistensi kuman
· Fungsi ginjal (ureum, kreatinin, bersihan kreatinin)
· Gula darah
B. Non laboratorium
· BNO/IVP
· USG ginjal
TERAPI
Non farmakologi
· Banyak minum bila fungsi ginjal masih bagus
· Menjaga kebersihan daerah genetalia bagian luar.
230
Farmakologi
· Antibiotika sangat dianjurkan dan perlu segera diberikan pada ISK simtomatik, sesuai dengan
tes resistensi kuman atau pola kuman yang ada atau secara emperis yang dapat mencakup
echerechia coli dan gram negative lainnya.
· Pada ISK asimtomatik antibiotika hanya diberikan pada pasien dengan risiko tinggi untuk
terjadinya komplikasi yang serius (seperti transplantasi ginjal atau pasien dengan
granulositopenia ) dan pasien yang akan menjalani pembedahan .
· Antibiotic oral direkomendasikan untuk ISK tak berkomplikasi dengan lama pemberian 7-10
hari pada perempuan dan 10-14 hari pada laki –laki. Antibiotika parenteral untuk ISK
berkomplikasi dengan lama pemberian tidak kurang dari 14 hari.
· Antibiotika golongan flurokuinolon masih digunakan sebagai pengobatan pilihan pertama.
Kadang pengobatan kombinasi masih digunakan pada infeksi yang sulit dikendalikan ,
terutama infeksi karena enterococcocusi dan pseudomonas. Golongan lain yang biasa
digunkaan adalah aminoglikosida, sefalosporin generasi ke –3 dan ampisilin.
· Kebersihan pengobatan pada ISK simtomatik ditentukan oleh hilangnya gejala dan bukan
hilangnya bakteri.
· Evaluasi ulang dengan kecurigaan adanya kelaianan anatomi atau structural dapat mulai
dipertimbangkan bila terjadi ISK berulang 2 kali dalam waktu 6 bulan.
KOMPLIKASI
Sepsis, gagal ginjal, pielonefritis akut, inkontinensia urin, ISK berulang.
PROGNOSIS
Baik bila tidak ada komplikasi
WEWENANG
Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
Unit / Departemen Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
Departemen Rehabilitasi medic, Bidang Keperawatan, Urologi, Departemen Obsterti dan
Ginekologi
231
ULKUS DEKUBITUS
PENGERTIAN
Ulkus dekubitus adalah lesi yang disebabkan oleh tekanan yang menimbulkan kerusakan
jaringan di bawahnya.
DIAGNOSIS
Biasanya terdapat faktor –faktor risiko: imobilisasi, inkontinensia, fraktur, defisiensi
nutrisi (terutama vitamin C dan albumin), kulit kering, peningkatan suhu tubuh, meningkatnya
tekanan darah, usia lanjut.
Stadium Klinis:
· Stadium 1: respon inflamasi akut terbatas pada epidermis, tampak sebagai daerah eritema
indurasi yang kulit masih utuh atau lecet.
· Stadium 2: luka meluas ke dermis hingga lapisan subkutan tampak sebagai ulkus dangkal
dengan tepi yang jelas dan perubahan warna pigmen kulit, biasanya sembuh dalam waktu
beberapa hari sampai beberapa minggu.
· Stadium 3: ulkus lebih dalam, menggaung, perbatasan dengan fascia dan otot –otot.
· Stadium 4: perluasan ulkus menembus otot hingga tampak tulang di dasar ulkus yang dapat
mengakibatkan infeksi pada tulang dan sendi.
Luka tekan biasa terjadi di daerah tulang yang menonjol seperti sacrum dan kalkaneus
karena posisi telentang, trokanter mayor dan maleolus karena posisi miring Sembilan derajat, dan
tuberositas iscia karena posisi duduk.
DIAGNOSIS BANDING
Pada ulkus dekubitus stadium IV, bila luka tidak membaik, foto tulang terdapat kalianan,
hitung lekosit >15.000/µL, atau LED 120 mm/jam kemungkinan 70% sudah ada osteomielitis
yang mendasari .
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, kultur plus (MOR), kadar albumin serum, foto tulang di region yang dengan ulkus
dekubitus dalam.
TERAPI
Umum
· Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan mencegah terjadinya dekubitus dengan
mengenali faktor –faktor risiko untu terjadinya dekubitus serta eliminasi faktor –faktor
tersebut.
· Perhatikan status nutrisi pada semua stadium ulkus dekubitus. Pemberian asam askorbat
500mg 2 kalisehari dapat mengurangi luas permukaan luka sebesar 84%. Asupan protein juga
merupakan predictor untuk membaiknya luka dekubitus.
· Antibiotic sistemik diberikan bila terdapat bukti selulitis, sepsis, atau osteomielitis.
Klindamisin dan gentamisin dapat berpenetrasi ke dalam jaringan di sekitar ulkus. Pemberian
antibiotic spekturm luas untuk batang gram negative dan positif, anaerob, dan kokus gram
positif dilakukan pada pasien sepsis karena ulkus dekubitus.
· Debridement semua jaringan nekrotik harus dilakukan untuk membuang sumber bakteremia
232
·
·
·
·
·
pada posisi tersebut.
Tempat tidur khusus: penggunaan kasur dekubitus yang berisis udara serta reposisi 4 kali
sehari menurunkan angka kejadian ulkus dekubitus dibandingkan penggunaan tempat tidur
biasa dengan reposisi setiap 2 jam.
Perawatan luka: tujuan perawatan luka adalah untuk mengurangi jumlah bakteri agar proses
penyembuhan tidak terlambat. hal ini dapat dilakukan dengan debridement jaringan nekrotik
secara pembedahan dengan menggunakan kompres kasa dengan Na Cl dua hingga tiga kali
sehari. Antiseptic seperti povidin iodine, asam asetat, hydrogen peroksida, dan sodium
hipoklorit (larutan dakin) bersifat sitotoksik terhadap fibroblast sehingga mengganggu proses
penyembuhan. Antibiotik topical seperti silver sulfadiazine dan genamisin tidak menunjukkan
sifat sitotoksik. Bia sangat dibutuhkan seperti pada luka dengan pus atau sangat bau,
antiseptic dapat digunakan dalam waktu singkat dan segera dihentikan begitu luka bersih. Zat
–zat inipembersih enzimatik seperti kolagenase, fibrinolisin, dan deoksiribonuklease serta
streptokinase –sterptodornase bisa membantu untuk debridement jaringan nekrotik namun
zat –zat ini juga akan merusak proses penyembuhan bila digunakan setelah luka bersih.
Bila luka telah bersih, harus dipelihara suasana luka yang lembab untuk merangsang
penyembuhan. Dari penelitian diketahui bahwa kompres yang tertutup rapat dapat membantu
penyembuhan pada luka superficial tapi tidak pada luka yang dalam. Kompres ini harus
dibiarkan selama beberapa hari untuk memfasilitasi migrasi epidermis (epitelisasi). Luka
dalam yang bersih harus dikompres kasa steril yang dibasahi dengan larutan NaCl atau RL.
Kasa lembab ini harus dijauhi dari jaringan kulit sekitar luka agar jaringan normal tidak
teratasi.
Tindakan medic berdasarkan derajat ulkus;
a. Dekubitus derajat I: kulit yang kemerahan dibersihkan dengan air hangat dan sabun,
diberi lotion, kemudian dimasase 2-3 kali/hari.
b. Dekubitus derajat II: perawatan luka memperhatikan syarat- syarat aseptic dan antiseptic.
Dapat diberikan salep topical. Pergantian balut dan salep jangan terlalu sering karena
dapat merusak pertumbuhan jaringan yang diharapkan.
c. Dekubitus derjat III: usahakan luka selalu bersih dan eksudat dapat mengalir ke luar.
Balutan jangan terlalu tebal dan sebaiknya transparan sehingga udara keluar.balutan
jangan terlalu tebal dan sebaiknya transparan sehingga udara dapat masuk dan penguapan
berjalan baik. Dengan menjaga luka agar tetap basah akan mempermudah regenerasi sel
–sel kulit.
d. Semua langkah di ats tetap dikerjakan dan jaringan nekrotik harus dibersihkan karena
akan mengahalangi epitelisasi
Penilaian tindak lanjut diulang minimal seminggu sekali. Evaluasi yang diperlukan adalah
mengenai lokasi, stadium, ukuran, dan karakteristik lainnya yang perlu dicatat. Dalam waktu
2 hingga 4 minggu ulkus harus menunjukkan perbaikan. Berurangnya ukuran ulkus dalam
waktu 2 minggu member gambaran akan terjadinya penyembuhan luka sempurna.
KOMPLIKASI
Sepsis
233
PROGNOSIS
Dubia ad bonam
UNIT YANG MENANGANI
Unit / Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Rehabilitasi medik, Bedah
orthopedi, Bedah Plastik, Bedah Vaskular
UNIT TERKAIT
Bidang Keperawatan, Departemen Kulit dan Kelamin
234
MALNUTRISI
PENGERTIAN
Malnutrisi energy-protein adalah keadaan yang disebabkan ketidakseimbangan antara asupan
kalori dan protein dengan kebutuhan tubuh. Pada orang usia lanjut, malnutrisi sulit dikenali
karena terjadi berbagai perubahan fisiologis seiring peningkatan usia, termasuk perubahan akan
kebutuhan zat gizi, serta adanya berbagai penyakit kronik. Malnutrisi yang terjadi pada usia
lanjut serin dipengaruhi berbagai hal seperti keadaan gigi-geligi, gangguan menelan, masalah
neuropsikologis (depresi, demensia), keganasan, dan imobilisasi.
DIAGNOSIS
Komponen penilaian status gizi pada usia lanjut mencakup: anamnesis, pemeriksaan fisik dan
antropometrik, serta laboraturium. Komponen-komponen tersebut tidak selalu dapat menentukan
ada-tidaknya malnutrisi, namun setidaknya dapat menentukan apakah seorang lanjut usia berisiko
atau diduga mengalami malnutrisi.
· Anamnesis: Asupan gizi sehari-hari (food recall), penurunan berat badan, gangguan
mengunyah, gangguan menelan, status fungsional (aktivitas hidup sehari-hari terutama yang
berhubungan dengan penyiapan dan proses makanan), penyakit kronis yang diderita
(termasuk ada-tidaknya diare kronik), adanya depresi atau demensia, serta penggunaan obatobatan.
· Pemeriksaan fisik: Higieni rongga mulut, status gigi-geligi, status neurologis (gangguan
menelan), kulit yang kering/bersisik, rambut kemerahan, massa otot, edema tungkai.
· Antropometrik: Lingkar lengan atas, lingkar betis, tebal lipatan kulit triseps, indeks massa
tubuh.
· Laboratorium: Hemoglobin, jumlah limfosit, albumin, prealbumin, kolesterol darah, kadar
vitamin/mineral dalam darah.
Saat ini tersedia beberapa instrument pengkajian status nutrisi pada usia lanjut yang
mengobyektifkan paduan komponen tersebut di atas, seperti The Mini Nutritional Assessment
(MNA, Nutrition Screening Index (NSI), atau Subjective Global Assessment (SGA).
DIAGNOSIS BANDING
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah perifer lengkap dengan hitung jenis leukosit, serum albumin, prealbumin, kadar kolesterol,
kadar vitamin/mineral, elektrolit, bioelectrical impendance analysis.
TERAPI
Evaluasi umum dan kebutuhn nutrisi
· Evaluasi penyebab dan factor timbulnya malnutrisiyang pada usia lanjut umumnya
merupakan kombinasi dari berbagai penyebab, mulai dari factor sosial-ekonomi
(kemiskinan, pengetahuan rendah), neuropsikologis (adanya demensia, depresi), dan
kondisi fisik-medik (gangguan fungsi organ pencernaan serta adanya penyakit-penyakit
akut dan kronis).
· Evaluasi status fungsional, terutama yang berhubungan dengan penyiapan dan proses
makan.
235
·
Menentukan jumlah energi dan komposisi zat gizi yang akan diberikan. Jumlah
kebutuhan energy dapat ditentukan dengan menghitung total energy expenditure (TEE).
Selain jumlah kalori, kebutuhan cairan, protein/asam amino, serta mineral dan vitamin
perlu juga ditentukan. Penentuan kebutuhan dan komposisi nutrisi dan cairan ini juga
memerlukan evaluasi kondisi medik termasuk penurunan fungsi organ yang terjadi
(adanya gagal jantung, penyakit ginjal kronik, hepatitis kronis dan sirosis hati, diabetes
mellitus, keganasan, dan fungsi absorbsi saluran cerna).
Terapi/dukungan nutrisi
· Secara umum, dukungan nutrisi pada usia lanjut yang mengalami malnutrisi dapat dilakukan
melalui cara enteral atau parenteral.
· Dukungan nutrisi enteral harus menjadi pilihan utama, mengingat hal ini merupakan cara
yang fisiologis. Pemberian nutrisi secara enteral akan mempertahankan fungsi mencerna,
absorbs, dan barier imunologis saluran cerna. Bila berbagai factor risiko dan kondisi medic
dapat diatasi, umumnya pasien diharpakan dapat makan secara normal. Pada usia lanjut yang
dapat makan secara normal, jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi setiap hari penting
untuk dipantau karena mereka cendrung untuk mengurangi makananya. Pada beberapa
keadaan, nutrisi enteral dapat diberikan melalui pipa nasogastrik, pipa nasoduodenum, pipa
nasoileum, maupun dengan gastrosnomi. Dukungan nutrisi enteral semacam ini umumnya
berupa makanan cair, sehingga overload cairan harus menjadi pertimbangan (misalnya
dengan mengentalkan).
· Dukungan nutrisi parenteral dipilih bila secara enteral nutrisi tidak mngkin dilakukan.
Umumnya di gunakan pada pasien usia lanjut di rumah sakit yang dalam keadaan akut atau
sakit berat (critically ill), dimana fungsi saluran cerna terganggu atau terdapat kontraindikasi
pemberian nutrisi enteral (seperti adanya pendarahan saluran cerna, pancreatitis, atau ileus).
Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa dukungan nutrisi parenteral dilakukan untuk
jangka panjang dan dilakukan di rumah atau fasilitas perawatan jangka panjang lain. Saat ini
telah banyak tersedia berbagai jenis dan komposisi zat nutrisi (kalori, asam amino, lipid,
mineral/vitamin) dalam bentuk cairan parenteral. Penggunaan dukungan nutrisi parenteral
memerlukan tekhnik khusus dan pemantauan yang ketat.
Terapi Lain
· Pada pasien-pasien keganasan atau keadaan lain dimana terdapat anoreksia, dapat diberikan
peningkat nafsu makan (appetite stimulant) seperti megesterol asetat
KOMPLIKASI
Status imunitas menurun, pemulihan dari penyakit menjadi lambat.
PROGNOSIS
Dubia
UNIT YANG MENANGANI
Unit/Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Gizi Klinik.
UNIT TERKAIT
Instalasi gizi, bidang keperawatan
236
2.9
PSIKOSOMATIK
237
DEPRESI
PENGERTIAN
Depresi merupakan gangguan afektif yang ditandai adanya mood depresi (sedih), hilang minat,
dan mudah lelah. Pada umumnya pasien dating ke klinik penyakit dalam dengan keluhan somatic.
DIAGNOSIS
Gejala A
· Perasaan sedih (depresif), tidak bisa menikmati hidup
· Kurang atau tidak ada perhatian pada lingkungan
· Mudah lelah
Gejala B
· Konsentrasi dan perhatian kurang
· Harga diri dan kepercayaan diri kurang
· Perasaan bersalah/ tidak berguna
· Pandangan masa depan suram/ pesimis
· Tidur terganggu
· Nafsu makan kurang/ bertambah
Diagnosis ditegakkan apabila ada gejala-gejala tersebut dengan atau tanpa gejala somatic. Derajat
depresi:
1. Ringan : 2 gejala A dan 2 gejala B
2. Sedang : 2 gejala A dan 3 gejala B
3. Berat : 3 gejala A dan 4 gejala B
DIAGNOSIS BANDING
Gangguan campuran ansietas dan depresi, ansietas, gangguan somatisasi, kelainan organ yang
ditemukan (koinsidensi)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· Hb, Ht, leukosit, ureum, kreatinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap
· AGD, K, Na, Ca, T3, T4, TSH, sesuai indikasi
· Foto toraks bila perlu
· EKG, elektromiogram, elektroensefalogram, bila perlu
· Endoskopi, kolonoskopi, USG, bila perlu
TERAPI
Nonfarmakologis : edukasi, reassurance, psikoterapi
Farmakologis :
· Antidepresan : maprotilin, amineptin; moklobemid; dan obat golongan SSRI seperti
sertralin, paroksetin dan lain-lain
· Simptomatik, sesuai indikasi
238
KOMPLIKASI
Kurang / tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari (bekerja), bunuh diri
PROGNOSIS
Bonam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Psikosomatik
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : semua sub-bagian di lingkungan departemen ilmu penyakit dalam
· RS non pendidikan
REFERENSI
1. Mudjaddid E, Shatri H. Depresi Berorientasi Organ. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro,
Gani RA , Mansjoer A , Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 193-4.
2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical of Psycho physiologic Reaction. 3rd Edition.
London 1957.
3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4th edition. A merican Psychiatric A ssosiation.
W ashington 1994.
4. Carlson NR. Physiology of Behaviour. 4th Edition. 1991.
5. Neuroimmunomodulation : Molecular aspects, integrarive system and clinical advances. In: McCann
SM, Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, Gold PW , Smith CC editors. A nnal of New Y ork
A cademy of Sciences. 1998; 840.
239
DISPEPSI FUNGSIONAL
PENGERTIAN
Dispepsi funsional adalah perasaan dyspepsia tanpa disertai adanya kelainan organik.
DIAGNOSIS
· Rasa sakit dan tidak enak di ulu hati
· Perih, mual, kembung, cepat kenyang, muntah, sering bersendawa, regurgitasi
· Keluhan dirasakan terutama berhubungan / dicetuskan dengan adanya stress
· Berlangsung lama dan sering kambuh
· Sering disertai gejala-gejala ansietas dan depresi
· Pemerksaan endoskopi normal
DIAGNOSIS BANDING
· Dispepsia oleh sebab oraganik misalnya ulkus peptikum, gastritis erosif dsb
· Gangguan pada system hepato-bilier
· Dispepsi yang disebabkan penyakit kronik lain misalnya Gagal ginjal, diabetes mellitus
dsb
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· Hb, Ht, leukosit, kreatinin, ureum, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap.
· Radiologis : Foto lambung dan duodenum dengan kontras
· Endoskopi
· Pemeriksaan labolatorium lain sesuai indikasi untuk menyingkirkan diagnosis banding
TERAPI
· Simptomatik diberikan antasida, obat-obatan H2 antagonis, seperti : simetidin, ranitidine,
famotidin, penghambat pompa proton seperti omeprazol dan obat-obatan prokinetik.
· Bila jelas terdapat ansietas atau depresi diberikan ansiolitik atau anti depresan yang sesuai
· Psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku
KOMPLIKASI
Dehidrasi bila muntah berlebihan, gangguan gizi.
PROGNOSIS
Dubia ad Bonam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Psikosomatik
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
240
·
·
RS pendidikan : Divisi Gastroenterologi
RS non pendidikan : -
REFERENSI
1. Mudjaddid E, Shatri H. Depresi Berorientasi Organ. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro,
Gani RA , Mansjoer A , Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 197-8
2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical of Psycho physiologic Reaction. 3rd Edition.
London 1957.
3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4th edition. A merican Psychiatric A ssosiation.
W ashington 1994.
4. Carlson NR. Physiology of Behaviour. 4th Edition. 1991.
5. Neuroimmunomodulation : Molecular aspects, integrarive system and clinical advances. In: McCann
SM, Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, Gold PW , Smith CC editors. A nnal of New Y ork
A cademy of Sciences. 1998; 840.
241
SINDROM LELAH KRONIK
PENGERTIAN
Sindrom lelah kronik adalah rasa lelah yang berlangsung lama dan tidak hilang dengan istirahat
tanpa penyebab organik yang jelas.
DIAGNOSIS
· Gejala utama: rasa lelah kronis yang dirasakan terus menerus atau berulang. Rasa lelah
bertambah bila melakukan aktivitas atau saat mengalami stress emosi dan tidak pulih
sepenuhnya dengan istirahat.
· Gejala tambahan yang dapat menyertai ialah mialgia, sefalgia, nyeri sendi, nyeri tenggorokan
(faringitis), demam, limfadenopati terutama daerah leher atau aksila. Juga didapat adanya
gejala-gejala neuropsikologis seperti depresi, kecemasan, insomnia.
Gejala utama dalam 6 bulan atau lebih disertai minimal 4 gejala tambahan dan tidak didapatkan
penyakit kronis lain yang spesifik.
DIAGNOSIS BANDING
Chronic fatique, fibromalgia, keganasan, infeksi kronis, penyakit autoimun, penyalahgunaan obat
(drug abuse)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik
· Pemeriksaan penunjang sesuai dengan gejala yang dominan dan bila diperlukan untuk
menyingkirkan diagnosis
TERAPI
· Terapi simtomatik sesuai gejala yang dominan
· Antidepresan
· Latihan (rehabilitasi) psikis dan fisik
· Terapi penunjang lain, diet rendah lemak, vitamin, tidak merokok, tidak minum alcohol
KOMPLIKASI
Isolasi sosial, tidak mampu bekerja
PROGNOSIS
Bonam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Psikosomatik
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
242
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Semua sub-bagian di lingkungan departemen ilmu penyakit dalam
· RS non pendidikan : REFERENSI
1. Mudjaddid E, Shatri H. Depresi Berorientasi Organ. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro,
Gani RA , Mansjoer A , Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 198-9
2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical of Psycho physiologic Reaction. 3rd Edition.
London 1957.
3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4th edition. A merican Psychiatric A ssosiation.
W ashington 1994.
4. Carlson NR. Physiology of Behaviour. 4th Edition. 1991.
5. Neuroimmunomodulation : Molecular aspects, integrarive system and clinical advances. In: McCann
SM, Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, Gold PW , Smith CC editors. A nnal of New Y ork
A cademy of Sciences. 1998; 840.
243
ANSIETAS
PENGERTIAN
Ansietas merupakan kecemasan yang berlebihan dan lebih bersifat subyektif. Pada umumnya
pasien dating ke poliklinik penyakit dalam dengan keluhan somatik.
DIAGNOSIS
1. Perasaan cemas berlebihan, subyektif, tidak realistis
2. Terdapat keluhan dan gejala-gejala dsb :
· Ketegangan motorik: kedutan otot, kaku, pegal, sakit dada, sakit persendian
· Hiperaktif otonom : sesak nafas, jantung berdebar, telapak tangan basah, mulut kering,
rasa mual, mules, diare dan lain-lain.
· Bila ditemukan adanya kelainan organis pada umumnya keluhan tidak sebanding
dengan kelainan organ yang ditemukan.
· Kewaspadaan berlebihan dan daya tangkap berkurang : mudah terkejut, cepat
tersinggung sulit konsentrasi, sukar tidur dan lain-lain.
3. Aktifitas sehari-hari terganggu : kemampuan kerja menurun, hubungan sosial terganggu,
kurang merawat diri, dan lain-lain.
DIAGNOSIS BANDING
Gangguan campuran ansietas dan depresi, deptresi, gangguan somatisasi, kelainan organ yang
ditemukan (koinsidensi)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· Hb, Ht, leukosit, ureum, kretinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap
· Analisis gas darah, K, Na, Ca, T3, T4, TSH, sesuai indikasi
· Foto toraks, bila perlu
· EKG, elektromiogram, elektroensefalogram, bila perlu
· Endoskopi, kolonoskopi, USG, bila perlu
TERAPI
Nonfarmakologis : edukasi, reassurance, psikoterapi
Farmakologis :
· Benzodiazepin: Diazepam, Alprazolam, clobazam
· Non benzodiazepim : Buspiron, penyekat beta bila gejala hiperaktivitas otonom menonjol
· Sintomatik, sesuai indikasi
KOMPLIKASI
Kurang/tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari (bekerja)
PROGNOSIS
Bonam
244
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Psikosomatik
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Semua sub-bagian di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : REFERENSI
1. Mudjaddid E, Shatri H. Depresi Berorientasi Organ. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro,
Gani RA , Mansjoer A , Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 192-3
2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical of Psycho physiologic Reaction. 3rd Edition.
London 1957.
3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4th edition. A merican Psychiatric A ssosiation.
W ashington 1994.
4. Carlson NR. Physiology of Behaviour. 4th Edition. 1991.
5. Neuroimmunomodulation : Molecular aspects, integrarive system and clinical advances. In: McCann
SM, Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, Gold PW , Smith CC editors. A nnal of New Y ork
A cademy of Sciences. 1998; 840.
245
SINDROM HIPERVENTILASI
PENGERTIAN
Sindrom hiperventilasi adalah sesak nafas disertai adanya takhipnu tanpa kelainan organik
DIAGNOSIS
1. Sesak nafas tidak khas
2. Merasa adanya kekurangan udara sehingga harus menarik nafas panjang
3. Sering disertai adanya takhipneu dan rasa sempit di dada
4. Kadang-kadang disertai adanya keluhan pada jantung
5. Parestesi
6. Badan terasa enteng, melayang, penglihatan kabur
7. Gejala-gejala fisik lain yang tidak khas
8. Kejang pada tangan dan kaki seperti keadaan histerik
9. Adanya gangguan emosional terutama rasa takut
10. Stresor psikososial
DIAGNOSIS BANDING
Angina pectoris, terutama pada orang tua, proses local di otak, gangguan elektrolit dan asam-basa,
hipoparatiroidisme, tetanus, ansietas panic
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· Hb, Ht, leukosit, ureum, kretinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap
· AGD, K, Na, Ca
· Foto toraks, EKG, sesuai diagnosis banding
· Hormon paratiroid
TERAPI
Nonfarmakologis: istirahat: istirahat, psikoterapi suportif
Farmakologis:
1. Sungkup dan oksigen nasal
2. Ansiolitik golongan benzodiazepine
3. Koreksi bila ada gangguan elektrolit dan asam-basa
4. Simptomatik sesuai keperluan
KOMPLIKASI
Sesuai dengan penyakit organic yang menyertai
PROGNOSIS
Bonam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
246
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Psikosomatik
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Divisi pulmonologi, Kardiologi
· RS non pendidikan : REFERENSI
1. Shatri H. Sindrom Hiperventilasi. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA ,
Mansjoer A , Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi
dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 195-6
2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical of Psycho physiologic Reaction. 3rd Edition.
London 1957.
3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4th edition. A merican Psychiatric A ssosiation.
W ashington 1994.
4. Carlson NR. Physiology of Behaviour. 4th Edition. 1991.
5. Neuroimmunomodulation : Molecular aspects, integrarive system and clinical advances. In: McCann
SM, Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, Gold PW , Smith CC editors. A nnal of New Y ork
A cademy of Sciences. 1998; 840.
247
NYERI PSIKOGENIK
PENGERTIAN
Nyeri psikogenik adalah keluhan nyeri yang penyebabnya bukan penyebab penyakit organik
DIAGNOSIS
1. Adanya nyeri tanpa kelainan organic yang jelas, misalnya nyeri kepala, migren, mialgia,
artralgia, kolik abdomen dll
2. Stresor psikososial (+)
3. Sering disertai adanya gejala-gejala depresi atau antesias
DIAGNOSIS BANDING
Nyeri organik sesuai dengan lokasi nyeri
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· Hb, Ht, Leukosit, hitung jenis, urin lengkap
· Foto roontgen, EKG dll sesuai diagnosis banding nyeri organic
TERAPI
Nonfarmakologis : istirahat, psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku
Farmakologis :
Analgetik, NSAID, antispasmodic, antisiolitik, dan anti depresan simtomatik lain bila perlu,
analgetik narkotik, obat yang menghambat saraf local.
KOMPLIKASI
Kurang/tidak mampu melakukan aktifitas sehari-hari (bekerja), bunuh diri
PROGNOSIS
Bonam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Psikosomatik
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Semua sub-bagian di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : -
248
REFERENSI
1. Shatri H. Sindrom Hiperventilasi. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA ,
Mansjoer A , Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi
dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 195-6
2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical of Psycho physiologic Reaction. 3rd Edition.
London 1957.
3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4th edition. A merican Psychiatric A ssosiation.
W ashington 1994.
4. Carlson NR. Physiology of Behaviour. 4th Edition. 1991.
5. Neuroimmunomodulation : Molecular aspects, integrarive system and clinical advances. In: McCann
SM, Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, Gold PW , Smith CC editors. A nnal of New Y ork
A cademy of Sciences. 1998; 840.
249
SINDROM KOLON IRITABEL
Pengertian
Sakit perut disertai gangguan buang air besar tanpa dijumpai kelainan organic
Diagnosis
· Rasa nyeri/ tidak enak di perut disertai diare dan atau konstipasi
· Perut kembung yang tampak dengan jelas
· Rasa nyeri di perut hilang setelah buang air besar
· Buang air besar lebih sering pada saat timbulnya rasa sakit
· Keluhan-keluhan psikis menonjol seperti gejala-gejala ansietas atau depresi
· feses lembek pada saat timbulnya rasa sakit
· feses campur lendir dan tidak berdarah
· penurunan berat badan tidak lebih dari 5% dalam satu tahun terakhir
· pemeriksaan feses tidak ditemukan parasit
· pemeriksaan barium enema maupun kolonoskopi normal
Diagnosis Banding
· penyakit kolon inflamasi (colitis)
· laktosa intolerans
· karsinoma kolon
Pemeriksaan Penunjang
· laboratorium rutin: Hb, leukosit, hitung jenis, ureum, kreatinin, gula darah, tes fungsi hati
· feses lengkap (cacing, amuba)
· barium enema
· kolonoskopi
Terapi
· diet tinggi serat untuk memperbaiki konstipasi, sedangkan laksatif diberikan bila perlu
dan hanya dalam jangka pendek
· untuk nyeri yang mengganggu dapat diberikan antispasmodic seperti mebeverin
hidroklorid, atau obat-obat anti kolinergik
· keluhan diare diobati dengan loperamid 2-4 mg empat kali sehari
· bila gejala psikis menonjol dibarikan ansiolitik atau anti depresan yang sesuai
· psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku
Komplikasi
· rasa sakit yang sulit dikendalikan sehubungan faktor psikis yang menonjol
· sosial: kurang atau tidak mampu melakukan pekerjaan sehari-hari
Prognosis
Bonam
Wewenang
250
·
·
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Unit yang menangani
· RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Psikosomatik
· RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Unit terkait
· RS pendidikan: semua sub-bagian di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
· RS non pendidikan:Referensi
1. Mudjaddid E. sindrom kolon irritable. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA ,
Mansjoer A . Pedoman Diagnosis dan terapi di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta; pusat informasi
dan penerbitan bagian ilmu penyakit dalam FKUI, 1999:197-8.
2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic medicine: A clinical of psychophysiologic reaction. 3th edition.
London 1957.
3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4 th edition. A merican psychiatric association.
W ashington 1994.
4. Carlson NR. Physiology of behavior. 4th edition. 1991.
5. Neuroimmunomodulation: molecular aspects, integrative system and clinical advances. McCann SM,
Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, gold PW , smith CC editor. A nnal of new Y ork academy of
sciences. 1998;840.
251
PENYAKIT JANTUNG FUNGSIONAL (NEUROSIS KARDIAK)
Pengertian
Penyakit jantung fungsional (neurosis kardiak) adalah kelainan dengan keluhan seperti penyakit
jantung tanpa disertai kelainan organic.
Diagnosis
· Nyeri dada menyerupai “
angina pectoris”biasanya dicetuskan oleh suatu stressor tertentu
· Berdebar-debar/palpitasi, sesak napas atau napas terasa berat
· Adanya keluhan-keluhan vegetative seperti kesemutan, tremor, sakit kepala, tidak bias
tidur, dsb
· Terdapat keluhan psikis seperti rasa takut, risau/waswas, gelisah dsb
· Keluhan-keluhan umum lainnya seperti pandangan mata gelap, berkunang-kunang, lemas
· Stressor psikososial (+)
· Pemeriksaan EKG, ekaokardiografi maupun tes treadmill normal
Diagnosis banding
Penyakit jantung koroner (angina pectoris, infark miokard)
Pemeriksaan penunjang
Elektrokardiografi, ekokardiografi dan tes treadmill
Terapi
· Analgetik untuk rasa nyeri
· Pemberian ansiolitik yang sesuai, biasanya untuk ansietas panic
· Psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku
Komplikasi
· Meras memiliki penyakit jantung organic sehingga menghindari aktivitas/ kerja seharihari
· Pada orang tua dengan factor psikis yang menonjol dapt mensetusakn timbulnya penyakit
jantung organic
· Timbulnya aritmia
Prognosis
Dubia ad bonam
Wewenang
· RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Unit yang menangani
· RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Psikosomatik
· RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
252
Unit terkait
· RS pendidikan: divisi kardiologi
· RS non pendidikan:-
Referensi
1. Shatri H. penyakit jantung fungsional (functional heart disease). In: simadibrata M, setiati S, A lwi I,
Maryantoro, Gani RA , mansjoer A , editors. Pedoman diagnosis dan terapi di bidang ilmu penyakit
dalam. Jakrta: pusat informasi dan penerbita bagian ilmu penyakit dalam FKUI; 1999.p. 194-5.
2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic medicine: A clinical of psychophysiologic reaction. 3th edition.
London 1957.
3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4 th edition. A merican psychiatric association.
W ashington 1994.
4. Carlson NR. Physiology of behavior. 4th edition. 1991.
5. Neuroimmunomodulation: molecular aspects, integrative system and clinical advances. McCann SM,
Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, gold PW , smith CC editor. A nnal of new Y ork academy of
sciences. 1998;840.
253
2.10
ALERGI IMMUNOLOGI
254
INFEKSI HIV/AIDS
Pengertian
Pasien dinyatkan terbukti terinfeksi HIV bila dari pemeriksaan penunjang
Diagnosis
Adanya factor resiko penularan
Diagnosis HIV: tes ELISA 3 kali raktif dengan reagen yang berbeda
Stadium WHO:
· Stadium 1: asimtomatik, loimfadenopati generalisata
· Stadium 2:
- Berat badan turun<10%
- Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur kuku,
ulkus oral rekuren, cheilitis angularis)
- Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
- Infeksi saluran napas atau rekuren
· Stadium 3:
- Berat badan turun >10%
- Diare yang tidak diketahui penyebabnya, >1 bulan
- Demam berkepanjangan (intermitena atau kponstan), >1 bulan
- Kandidiasis oral
- Oral hairy leukoplakia
- Tuberculosis paru
- Infeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis)
· Stadium 4:
- HIV wasting syndrome
- Pneumonia pneumocytis carinii
- Toksoplasma serebral
- Kriptosporidiosis dengan diare>1 bulan
- Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa atau kelenjar getah bening
(misalnya retinitis CMV)
- Infeksi herpes simpleks, mukokutan (>1 bulan) atau visceral
- Progressive multifocal leucoencephalopaty
- Mikosis endemic diseminata
- Kandidiasis esophagus, trakea, dan bronkus
- Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru
- Septicemia salmonella non-tifosa
- Tuberculosis ekstrapulmonal
- Limfoma
- Sarcoma Kaposi
- Ensefalopati HIV
255
Diagnosis banding
Penyakit imunodefisiensi primer
Pemeriksaan penunjang
· Anti-HIV ELISA
· Anti-HIV western blot
· Antigen p-24
· Hitung CD4
· Jumlah virus HIV dengan RNA-PCR
· Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis infeksi oportunistik
Terapi
· Konseling
· Terapi suportif
· Terapi infeksi oportunistik dan pencegahan infeksi oportunistik
· Terapi antiretrovirus kombinasi, efek samping dan penangannnya
· Vaksinasi pada penderita HIV/AIDS
· Terapi paska paparan HIV (post-exposure prophylaxis)
· Penatalaksannnan infeksi HIV pada kehamilan
· Penatalaksannaaan koinfeksi HIV dengan hepatitis C dan hepatitis B
Komplikasi
infeksi oportunistik, kanker terkai HIV, dan manifestasi HIV pada organ lain
Prognosis
tergantung stadium penyakit
Wewenang
· RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Unit yang menangani
· RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi alergi-imunologi
· RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Unit terkait
· RS pendidikan: divisi pulmonologi, kardiologi, tropic infeksi, ICU/medical high care,
kelompok studi khusus (pokdisus) AIDS
· RS non pendidikan: ICU
Referensi
1. Bartlett JG, gallant JE. 2004 medical management of HIV infection. Maryland: john Hopkins
university school of medicine, 2004.
2. Goldman L, ausiello D, editors. Cecil textbook of medicine, 22nd edition. Philadelphia:saunders, 2004.
3. W HO. Scaling up antiretroviral therapy in resource-limited settings; treatment guidelines for a public
health approach, 2003 revision.
RENJATAN ANAFILAKSIS
256
Pengertian
Renjatan anafilaksis adalah keadaan gawat darurat yang ditandai dengan (hipotensi) penurunan
tekanan darah sistolik<90mmHg akibat respons hipersensitivitas tipe 1 (adanay reaksi antigen
dengan antibody IgE)
Diagnosis
Hipotensi, takikardia, akral dingin, oliguria yang dapat disertai gejala klinis lain berupa:
· Reaksi sistemik ringan: rasa geli/gatal serta hangat, rasa penuh dimulut dan tenggorokan,
hidung tersumbat dan terjadi edema di sekitar mata, kulit gatal, mata berair, bersin-bersin,
onset biasanya 2 jam setelah paparan antigen.
· Reaksi sistemik sedang: seperti reaksi sistemik ringan, ditambah spasme bronkus dan atau
edema saluran napas, sesak, batuk, mengi, angioedema, urtikaria menyeluruh, mual,
muntah, gatal, badan terasa hangat, gelisah, onset seperti reaksi anafilaksis ringan.
· Reaksi sistemik berat: terjadi mendadak, seperti reaksi sistemik ringan dan sedang yang
bertambah berat. Spasme bronkus, edema laring, suara serak, stridor, sesak napas, sianosis,
henti napas. Edema dan hipermotilitas saluran cerna sehingga sakit menelan, kejang perut,
diare dan muntah. Kejang uterus, kejang umum. Gangguan kardiovaskular, aritmia
jantung, koma.
Diagnose banding
Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik
Pemeriksaan penunjang
Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, analisis ga sdarah, EKG
Terapi
A. Untuk renjatan:
1. Adrenalin larutan 1:1000, 0,3-0,5 ml subkutan/intramuscular pada lengan atas atau paha.
Bila renjatan anafilaksis disebabkan sengatan serangga berikan suntikan adrenalin kedua
0,1-0,3 ml pada tempat sengatan kecuali bila srngatan di kepala, leher, tangan, dan kaki.
Terapi dapat dilanjutkan dengan infuse adrenalain 1 ml (1mg) dalam dextrose 5% 250cc
dimulai dengan kecepatan 1 ug/menit dapat ditingkatkan sampai 4 ug/menit sesuai
keadaan tekanan darah. Hati-hati pada orang tua dengan kelainan jantung atau gangguan
kardiovaskular lainnya.
2. Pasang tourniquet proksimal dari suntikan atau sengatan serangga, dilongarkan 1-2 menit
setiap 10 menit
3. Oksigen bila sesak, mengi, sianosis 3-4 l/menit dengan sungkup atau kanul nasal
4. Antihistamin intravena, intramuscular atau oral
Rawat pasien di ICU bila dengan tindakan diatas tidak membaik, dilanjutkan dengan
terapi:
1. IVFD dekstrose 5% dalam 0,45%NaCl 2-3 l/m 3 permukaan tubuh
2. Dopamine 0,3-1,2 mg/kg BB/jam bila tekanan darah tidak membaik
3. Kortikosteroid 7-10 mg hidrokortison/kg BB intravena dilanjutkan 5 mg/kg BB
tiap 6 jam, yang dihentikan setelah 72 jam.
257
B. Bila disertai spasme bronkus maka pada pasien diberikan inhalasi beta 2-agonis, jika
spasme bronkus menetap aminofilin 4-6 mg/kg BB dilarutkan dalam NaCl 0,9% 10ml
diberikan perlahan-lahan dalam 20 menit, bila perlu dilanjutkan dengan infuse aminofilin
0,2-1,2 mg/kg BB/jam.
C. Bila disertai edema hebat saluran napas atas maka pada pasien dilakuakn intubasi dan
trakeostomi.
D. Pemantauan paling sedikit 24 jam
Komplikasi
Renjatan irreversible, kegagalan multi organ failure
prognosis
tergantung organ yang terlibat dan beratnya gejala
Wewenang
· RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Unit yang menangani
· RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi alergi-imunologi
· RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Unit terkait
· RS pendidikan: ICU/medical high care
· RS non pendidikan: ICU
Referensi
1. Djauzi S. syok anafilaktik. In: subekti I, Lydia A , rimende CM, syam A F, suprohaita, mansjoer A ,
editors. Penatalaksanaan kedaruratan dibidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: pusat informasi dan
penerbitan bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2000.p.97-100.
2. Mahdi A . syok anafilaktik.in:setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , mansjoer A , editors. Pedoman
diagnosis dan terapi di bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:pusat informasai dan penerbitan bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 1999.p.8-10.
258
ASMA BRONCHIAL
Pengertian
Asma bronchial adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai dengan obstruksi
jalan napas yang dapat hilang dengan atau tanpa pengobatan akibat hiperreaktivitas bronkus
terhadap berbagai rangsangan yang melibatkan sel-sel dan elemen selular teruatama mastosit,
eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil dan epitel
Diagnosis
Episode berulang sesak napas, dengan atau tanpa mengi dan rasa berat didada akibat factor
pencetus. Asma bronchial dibagi menjadi:
1. Asma intermiten, gejala asma<1 kali/minggu, asimptomatik, APE diantara serangan
normal, asma malam 2 kali/bulan, APE 80%, variabilitas <20%
2. Asma persisten ringan, gejala asma 1 klai/minggu, <1 kali/hari, asma malam >2
kali/bulan, APE 80%, variabilitas 20-30%
3. Asma persisten sedang, gejala asma tiap hari, tiap hari menggunakan beta 2 agonis kerja
singkat, aktivitas terganggu saat serangan, asma malam>1 kali/minggu, APE>60% dan
<80% prediksi atau variabilitas >30%
4. Asma persisten berat, gejala asma terus menerus, asma malam sering, aktivitas terbatas,
dan APE 60% prediksi atau variabilitas >30%. Asma eksaserbasi akut dapat terjadi apda
semua tingkatan derajat asma.
Diagnosis banding
Penyakit paru obstruksif kronik (PPOK), gagal jantung
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium: jumlah eosinofil darah dan sputum, foto thoraks, spirometri, uji tusuk kulit (skin
prick test/SPT), uji bronkodilator atas indikasi, uji provokasi bronkus atas indikasi, analisis gas
darah atas indikasi
Terapi
1. Asma intermiten tidak memerlukan opbat pengendali
2. Asma persisten ringan memerlukan obat pengendali kortikosteroid inhalasi (500 ug BDP atau
ekuivalennya) atau pilihan lainnya: teofilin lepas lambat, kromolin, antileukotrien.
3. Asma persisten sedang memerlukan obat pengendali berupa kortikosteroid inhalasi (200-1000
ug BDP atau ekuivalennya) ditambah dengan beta-2 agonis aksi lama (LABA) atau
pilihanlain kortikosteroid inhalasi (500-1000 ug BDP atau ekuivalennya) + teofilin lepas
lambat atau kortikosteroid inhalasi (500-1000 ug BDP atau ekuivalennya) + LABA oral atau
kortikosteroid inhalasi dosis ditinggikan (>1000 ug BDP atau ekuivalennya) atau
kortikosteroid inhalasi 500-1000 ug BDP atau ekuivalennya) + antileukotrien.
4. Asma persisten berat memerlukan kortikosteroid inhalasi (>1000 ug BDP atau ekuivalennya)
+ LABA inhalasi + salah satu pilihan berikut:
· Teofilin lepas lambat
· Antileukotrien
· LABA oral
BDP= Budesonide propionate
259
Sedangkan untuk penghilang sesak pada pasien diberikan inhalasi beta- 2 agonis kerja singkat
tetapi tidak boleh lebih dari 3-4 kali sehari. Inhalasi antikolinergik agonis beta 2 kerja singkat
oral dan teofilin lepas lambat dapat diberikan sebagai pilihan lain selai agonis beta 2 kerja singkat
inhalasi. Bila terjadi eksaserbasi akut maka tahap penatalaksanaannya sebagai berikut:
1. Oksigen
2. Inhalasi agonis beta 2 tiap 20 menit sampai 3 kali selanjutnya tergantung respons terapi
awal
3. Inhalasi antikolinergik (ipatropium bromide) setiap 4-6 jam terutama pada obstruksi berat
( atau dapat diberikan bersama-sama dengan agonis beta 2)
4. Kortikosteroid oral atau parenteral dengan dosis 40-60 mg/hari setara prednisone
5. Aminofilin tidak dianjurkan (bila diberikan dosisi awal 5-6 mg/kg BB dilanjutkan infuse
aminofilin 0,5-0,6 mg/kg BB/jam
6. Antibiotic bila ada infeksi sekunder
7. Pasien di observasi 1-3 jam kemudian dengan pemberian agonis beta 2 tiap 60 menit. Bila
setelah masa observasiterus membaik, pasien dapat dipulangkan dengan pengobatan (3-5
hari): inhalasi agonis beta 2 diteruskan, steroid oral diteruskan, penyuluhan dan
pengobatan lanjutan, antibiotic diberikan bila ada indikasi, perjanjian control berobat
8. Bila setelah observasi 1-2 jam tidak ada perbaikan atau pasien termasuk golongan resiko
tinggi: pemeriksaan fisik tambah berat, APE (arus puncak ekspirasi) >50% dan <70% dan
tidak ada perbaikan hipoksemia (dari analisis gas darah) pasien harus dirawat.
Pasien dirawat di ICU bila tidak berespons terhadap upaya pengobatan di unit gawat darurat atau
bertambah beratnya serangan/ buruknya keadaan setelah perawatan 6-12 jam, adanya penurunan
kesadaran atau tanda-tanda henti napas, hasil pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan
hipoksemia dengan kadar pO2 < 60 mmHg dan/atau pCO2> 45 mmHg walaupun mendapat
pengobatan oksigen yang adekuat.
Komplikasi
Penyakit paru obstruksif kronik (PPOK), gagal jantung. Pada keadaan eksaserbasi akut dapat
terjadi gagal napas dan pneumothoraks
prognosis
tergantung beratnya gejala
Wewenang
· RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Unit yang menangani
· RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi alergi-imunologi, divisi
pulmonologi
· RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Unit terkait
· RS pendidikan: ICU/medical high care
· RS non pendidikan: ICU
260
URTIKARIA KARENA OBAT
Pengertian
Urtikaria karena obat adalah kelainan kulit dan mukosa yang diinduksi obat berupa papul
kemerahan yang cepat berubah menjadi lepuhan
Diagnosis
Riwayat minum obat sebelumnya yang dapat menginduksi penyakit, missal: OAINS, sulfonamide,
antikonvulsan, penisilin, dan tetrasiklin.
Gejala prodromal berupa gejala radang saluran napas atas :demam, batuk, sakit kepala, malaise,
nyeri menelan. Papul kemerahan yang cepat berubah menjadi lepuhan. Dalam beberapa hari
terjadi erosi multiple pada membrane mukosa, lepuhan, macula purpura. Daerah yang terkena
lepuhan dan pelepasan kulit 10%.
Diagnose banding
Toxic epidermal necroticans (TEN), eritema multiformis
Pemeriksaan penunjang
Hitung eosinofil, elektrolit, foto toraks, kultur pus dari kulit, kultur sputum.
Terapi
1. Hentikan obat penyebab
2. Rawat di pusat luka bakar, skin graft dini untuk mencegah invasi bakteri
3. Monitor cairan dan elektrolit, termasuk monitor jumlah urin
4. Monitor infeksi sekunder dengan melakukan kultur berkala dari darah dan mukokutan
5. Pemberian makanan tinggi kalori
6. Penggantian cairan dan elektrolit
7. Suction, postural drainage, nebulizer, terapi infeksi paru segera
8. Konsultasi mata
9. Irigasi mata dengan salin hangat, cairan lubrikan mata
10. Antasida cairan dan antagonis H2 bila ada ulserasi gastrointestinal
11. Antibiotika tergantung hasil kultur
Komplikasi
Sepsis, syok hipovolemik, syok septic
Prognosis
Tergantung beratnya gejala
Wewenang
· RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Unit yang menangani
· RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi alergi-imunologi, divisi
pulmonologi
· RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
261
Unit terkait
· RS pendidikan: ICU/medical high care, unit luka bakar, departemen kulit-kelamin
· RS non pendidikan: ICU, unit luka bakar, departemen kulit-kelamin
262
2.11
GASTROENTEROLOGI
263
ULKUS PEPTIKUM
PENGERTIAN
Ulkus peptikum adalah salah satu penyakit saluran cerna bagian atas yang kronis
DIAGNOSIS
· Faktor Resiko : umur, penggunaan obat-obatan aspirin atau OAINS, kuman Helicobacter
pylori
· Anamnesis : terdapat nyeri epigastrium, dispepsia, nausea, vomitus, anoreksa dan kembung.
DIAGNOSIS BANDING
Ulkus gaster, ulkus duodenum, dispepsia non ulkus
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· Barium dobel kontras
· Endoskopi saluran cerna bagian atas
TERAPI
Tanpa Komplikasi
· Suportif : nutrisi
· Memperbaiki / menghindari faktor resiko
· Pemberian obat-obatan : antasida, antagonis reseptor H2, proton pump inhibitor, pemberian
obat-obatan untuk mengikat asam empedu, prokinetik, pemberian obat untuk eradikasi kuman
Helicobacter pylori, pemberian obat-obatan untuk meningkatkan faktor defensif.
Dengan Komplikasi
Pada tukak peptik yang berdarah dilakukan penatalaksanaan umum atau suportif sesuai dengan
penatalaksanaan hematemis melena secara umum
Penatalaksanaan / tindakan khusus :
· Tindakan / terapi hemostatik per endoskopi dengan adrenalin dan etoksisklerol atau obat
fibrinogen trombin atau tindakan hemostatik dengan heat probe atau terapi laser atau terapi
koagulasi listrik untuk bipolar probe.
· Pemberian obat somatostatin jangka pendek.
· Terapi embolisasi arteri melalui arteriografi.
· Terapi bedah atau operasi, bila setelah semua pengobatan tersebut dilaksanakan tetap masuk
dalam keadaan gawat I s.d. II maka pasien masuk dalam indikasi operasi
KOMPLIKASI
Perdarahan ulkus, perforasi
PROGNOSIS
Dubia
264
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Umum
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Gastroenterologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : ICU / Medical High Care, Departemen Bedah Digestif
· RS non pendidikan : ICU, Departemen Bedah
265
DISPEPSIA
PENGERTIAN
Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri atas nyeri ulu hati, mual
kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang dan sendawa
DIAGNOSIS
Anamnesis terdapatnya kumpulan gejala tersebut di atas
DIAGNOSIS BANDING
· Penyakit refluks gastroesofageal
· Irritable Bowel Syndrome
· Karsinoma saluran cerna bagian atas
· Kelainan pankreas dan kelainan hati
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Endoskopi saluran cerna bagian atas dan biopsi, pemeriksaan terhadap adanya infeksi
Helicobacter pylori, pemeriksaan fungsi hati, amilase dan lipase, fosfatase alkali dan gamma GT,
USG Abdomen
TERAPI
· Suportif : nutrisi
· Pengobatan empirik selama 4 minggu
· Pengobatan berdasarkan etiologi
KOMPLIKASI
Tergantung etiologi dispepsia
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Umum
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Gastroenterologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Divisi Psikosomatik (RS tertentu)
· RS non pendidikan : -
266
KARSINOMA KOLON
PENGERTIAN
Karsinoma kolon merupakan keganasan pada saluran cerna bagian atas (kolon)
DIAGNOSIS
· Perubahan pola defekasi, konsistensi, seringkali didapatkan hematokezia, dapat dijumpai
adanya tanda obstruksi saluran cerna bawah baik parsial maupun total.
· Berat badan turun tanpa sebab
· Pemeriksaan fisik : tidak ada yang spesifik.
· Laboratorium : Feses lengkap dan tes benzidin
· Berat badan kurang.
· Pemeriksaan colok dubur untuk melihat adanya perdarahan saluran cerna bagian bawah.
DIAGNOSIS BANDING
· Polipkolitis, karsinoma rekti, hemoroid
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, analisis feses lengkap, petanda tumor, endoskopi saluran cerna bagian bawah dan biopsi,
USG Abdomen
TERAPI
Berdasarkan staging : kemoterapi atau bedah
KOMPLIKASI
Obstruksi saluran cerna, metastasis, perdarahan
PROGNOSIS
Dubia
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Gastroenterologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Divisi Hematologi –Onkologi, Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical
High Care
· RS non pendidikan : ICU
267
KARSINOMA REKTI
PENGERTIAN
Karsinoma rekti merupakan keganasan pada rektum
DIAGNOSIS
Perubahan pola defekasi, berat badan turun tanpa sebab, seringkali pada pemeriksaan colok dubur
didapatkan massa
DIAGNOSIS BANDING
Hemoroid, polip
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan DPL, feses lengkap, endoskopi saluran cerna bagian bawah dan biopsi
TERAPI
Berdasarkan staging, kemoterapi atau bedah
KOMPLIKASI
Obstruksi saluran cerna bagian bawah, perdarahan
PROGNOSIS
Dubia
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Umum
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Gastroenterologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Divisi Hematologi –Onkologi, Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical
High Care
· RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah
268
KARSINOMA GASTER
PENGERTIAN
Karsinoma gaster merupakan keganasan pada lambung
DIAGNOSIS
Anamnesis dapat ditemukan adanya sindrom dispepsia, rasa tidak enak pada perut bagian atas
yang bersifat difus, cepat kenyang, sampat nyeri yang hebat dan terus-menerus. Anoreksia yang
disertai dengan mual sering dikeluhkan namun tidak selalu. Keluhan sulit menelan dapat pula
terjadi. Berat badan turun tanpa penyebab. Pemeriksaan fisik : pada awal penyakit, biasa tidak
didapatkan kelainan apapun. Pada keadaan lanjut didapatkan adanya pembesaran pada
pemeriksaan abdomen.
DIAGNOSIS BANDING
Karsinoma esofagus, esofagitis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, endoskopi saluran cerna bagian atas dan biopsy, USG Abdomen. CT scan abdomen
TERAPI
Berdasarkan staging, bedah atau kemoterapi
KOMPLIKASI
Obstruksi saluran cerna bagian atas
PROGNOSIS
Dubia
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Umum
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Gastroenterologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Divisi Hematologi –Onkologi, Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical
High Care
· RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah
269
HEMATEMESIS MELENA
PENGERTIAN
Hematemesis adalah muntah darah berwarna hitam ter yang berasal dari saluran cerna bagian atas.
Melena adalah buang air besar (BAB) berwarna hitam ter yang berasal dari saluran cerna bagian
atas. Yang dimaksud dengan saluran cerna bagian atas adalah saluran cerna di atas (proksimal)
ligamentum Treitz , mulai dari jejunum proksimal, duodenum, gaster dan esofagus.
DIAGNOSIS
Muntah dan BAB darah warna hitam dengan sindrom dispepsia, bila ada riwayat makan obat
OAINS, jamu pegal linu, alkohol yang menimbulkan erosi/ulkus peptikum, riwayat sakit
kuning/hepatitis. Keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, dapat disertai gangguan
kesadaran (prekoma/koma hepatikum), dapat terjadi syok hipovolemik
DIAGNOSIS BANDING
Hemoptoe, hematoskezia
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, hemostasis lengkap atau masa perdarahan, masa pembekuan, masa protrombin, elektrolit
(Na, K, Cl), pemeriksaan fungsi hati (cholinesterase, albumin/globulin, SGOT/SGPT, petanda
hepatitis B dan C), endoskopi SCBA diagnostik atau foto rontgen OMD, USG hati.
TERAPI
Nonfarmakologis : tirah baring, puasa, diet hati/lambung, pasang NGT untuk dekompresi, pantau
perdarahan
Farmakologis :
· Transfusi darah PRC (sesuai perdarahan yang terjadi dan Hb). Pada kasus varises transfusi
sampai dengan Hb 10gr%, pada kasus non varises transfusi sampai dengan Hb12gr%.
· Sementara menunggu darah dapat diberikan pengganti plasma (misalnya dekstran/hemacel)
atau NaCl 0,9% atau RL
· Untuk penyebab non varises :
1. Injeksi antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton
2. Sitoprotektor : Sukralfat 3-4 x 1 gram atau Teprenon 3 x 1 tab
3. Antasida
4. Injeksi vitamin K untuk pasien dengan penyakit hati kronis atau sirosis hati
· Untuk penyebab varises :
5. Somatostatin bolus 250 ug + drip 250 µg/jam intravena atau okreotide (sandostatin) 0,1
mg/2 jam. Pemberian diberikan sampai perdarahan berhenti atau bila mampu diteruskan 3
hari setelah skleroterapi/ligasi varises esofagus.
6. Propanolol, dimulai dosis 2 x 10 mg dosis dapat ditingkatkan hingga tekanan diastolik
turun 20 mmHg atau denyut nadi turun 20% (setelah keadaan stabil
hemetemesis
melena (-)
7. Isosorbid dinitrat/mononitrat 2 x 1 tablet/hari hingga keadaan umum stabil
8. Metoklopramid 3 x 10 mg/hari
· Bila ada gangguan hemostasis obati sesuai kelainan
· Pada pasien dengan pecah varises/penyakit hati kronik/sirosis hati diberikan :
270
9. Laktulosa 4 x 1 sendok makan
10. Neomisin 4 x 500 mg
Obat ini diberikan sampai tinja normal.
KOMPLIKASI
Syok hipovolemik, aspirasi pneumonia, gagal ginjal akut, sindrom hepatorenal, koma hepatikum,
anemia karena perdarahan
PROGNOSIS
Dubia
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Umum
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Gastroenterologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Divisi Hematologi –Onkologi, Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical
High Care
· RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah
271
DIARE KRONIK
PENGERTIAN
Diare kronik adalah Diare yang berlangsung lebih dari 15 hari sejak awal diare
DIAGNOSIS
Diare dengan lama lebih dari 15 hari
DIAGNOSIS BANDING
Kelainan pankreas, kelainan usus halus dan usus besar, kelainan PEM dan tirotoksikosis, kelainan
hati, sindrom kolon iritabel tipe diare
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· Pemeriksaan tinja
· Pemeriksaan darah : DPL, kadar feritin, SI-IBC, kadar vitamin B12 darah, kadar asam folat
darah, albumin serum, eosinofil darah, serologi amuba (IDT), widal, pemeriksaan
imunodefisiensi (CD4, CD8), feses lengkap dan darah samar
· Pemeriksaan anatomi usus : Barium enama/colon in loop (didahului BNO),Kolonoskopi,
ileoskopi, dan biopsi, barium follow through atau enteroclysis, ERCP, USG abdomen, CT
Scan abdomen
· Fungsi usus dan pankreas : tes fungsi ileum dan yeyunum, tes fungsi pankreas, tes Schilling,
CEA dan Ca 19-9
TERAPI
· Non farmakologis : diet lunak tidak merangsang, tinggi kalori, tinggi protein, bila tidak tahan
laktosa diberikan rendah laktosa, bila maldigesti lemak diberikan rendah lemak. Bila penyakit
Crohn dan kolitis ulserosa diberikan rendah serat pada keadaan akut. Pertahankan minum
yang baik, bila perlu infus untuk mencegah dehidrasi
· Farmakologis :
· Bila sesak napas dapat diberikan oksigen, infus untuk memberikan cairan dan elektrolit.
· Antibiotika bila terdapat infeksi
· Bila penyebab amuba/parasit/giardia dapat diberikan metronidazol.
· Bila alergi makanan/obat/susu, diobati dengan menghentikan makanan/obat penyebab
alergi tersebut
· Keganasan/polip diobati dengan pengangkatan kanker/polip
· TB usus diobati dengan OAT
· Diare karena kelainan endokrin, diobati dengan kelainan endokrin-nya
· Mal-absorbsi diatasi dengan pemberian enzim
· Kolitis diatasi sesuai jenis kolitis
KOMPLIKASI
Dehidrasi sampai syok hipovolemik, sepsis, gangguan elektrolit, dan asam basa/gas darah, gagal
ginjal akut, kematian
272
PROGNOSIS
Dubia ad bonam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Umum
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Gastroenterologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical High Care
· RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah
273
PANKREATITIS AKUT
PENGERTIAN
Pankreatitis akut adalah reaksi peradangan pankreas yang akut
DIAGNOSIS
· Keadaan umum pasien seperti dispepsia sedang sampai berat, gelisah kadang disertai
gangguan kesadaran
· Demam, ikterus, gangguan hemodinamik, syok dan takikardia, bising usus menurun (ileus
paralitik)
· Penyakit penyerta yang meningkatkan risiko : batu empedu, trauma, tindakan bedah di
abdomen, diabetes melitus, hipertiroidisme, alkoholisme, ulkus peptikum, leptospirosis,
demam berdarah dengue
DIAGNOSIS BANDING
Perforasi ulkus peptikum, kolangitis akut, kolesistitis akut, apendisistis akut, nefrolitiasis kanan
akut, infark miokard akut inferior.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, amilase serum, lipase serum, gula darah, kalsium serum, LDH serum, fungsi ginjal,
SGOT/SGPT, analisis gas darah, elektrolit
TERAPI
Non farmakologis : Puasa dan pemasangan infus untuk nutrisi parentral total sampai amilase dan
lipase serum normal/mendekati normal dan pada selang nasogastrik cairan lambung < 300 cc, dan
pasien tak merasakan nyeri ulu hati.
Farmakologis :
· Analgesik dan sedatif, infus cairan, pasang selang lambung
· Antibiotika bila ada infeksi
· Penghambat sekresi enzim pankreas
· Prosedur bedah pada infeksi berat berupa drainase cairan
KOMPLIKASI
Pseudokista pankreas, abses pankreas, peradangan hemoragik, nekrosis organ sekitar,
pembentukan fistel, ulkus duodenum, ikterus obstruksi, asites, sepsis
PROGNOSIS
Dubia ad bonam (tergantung berat ringannya pankreatitis akut, gunakan kriteria RANSON)
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
274
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Gastroenterologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical High Care
· RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah
275
ILEUS PARALITIK
PENGERTIAN
Ileus paralitik adalah keadaan abdomen akut berupa kembung/distensi usus karena usus tidak
dapat bergerak (mengalami dismotilitas), pasien tidak dapat buang air besar.
DIAGNOSIS
· Perut kembung (distensi), bising usus menurun dan menghilang
· Muntah, bisa disertai diare, tak bisa buang air besar
· Dapat disertai demam
· Keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, bisa disertai penurunan kesadaran, syok
· Pada colok dubur : rektum tidak kolaps, tidak ada konstraksi
· Adanya penyakit yang meningkatkan risiko : batu empedu, trauma, tindakan bedah di
abdomen, DM, hipokalemia, obat spasmolitik, pankreatitis akut, pneumonia, dan semua jenis
infeksi tubuh
Pemeriksaan fisik : Keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, bisa disertai penurunan
kesadaran, demam, tanpa dehidrasi, syok. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan distensi, bising
usus yang menurun sampai hilang.
DIAGNOSIS BANDING
Ileus obstruktif
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, amilase-lipase, gula darah, kalium serum, dan analisis gas darah, foto abdomen 3 (tiga)
posisi
TERAPI
· Non farmakologis :
- Puasa dan nutrisi parenteral total sampai bising usus positif atau dapat buang angin
melalui dubur
- Pasang selang lambung dan dekompresi
- Pasang kateter urin
· Farmakologis :
- Infus cairan, rata-rata 2,5 –3 liter/hari disertai elektrolit
- Natrium dan kalium sesuai kebutuhan / 24 jam
- Nutrisi parenteral yang adekuat sesuai kebutuhan kalori basal ditambah kebutuhan lain
· Terapi etilogi
KOMPLIKASI
Syok hipovolemik, septikemia sampai dengan sepsis, malnutrisi
PROGNOSIS
Dubia ad bonam
276
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Gastroenterologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical High Care
· RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah
277
HEMATOSKEZIA
PENGERTIAN
Hematoskezia adalah buang air besar berupa darah segar berwarna merah yang berasal dari
saluran cerna bagian bawah
DIAGNOSIS
· Buang air besar berupa darah merah segar sampai merah tua
· Demam bila penyebabnya infeksi usus
· Nyeri perut di atas umbilikus seperti kejang/kolik, atau perut kanan bawah yang hilang timbul
dapat akut atau kronik, dapat ditemukan massa
· Dapat disertai diare sampai dehidrasi, dapat terjadi syok hipovolemik
· Bising usus menurun dan menghilang
· Berat badan dapat menurun
· Ada riwayat kontak dengan pasien lain, memakan makanan yang tidak biasanya, mendapat
terapi antibiotik, penyakit kardiovaskular, dapat disertai gejala ekstraintestinal seperti
kelainan kulit, sendi dan radang mata.
DIAGNOSIS BANDING
· Melena, hemoroid, infeksi usus, penyakit usus inflamatorik
· Divertikulosis kolon dan/atau usus halus, angiodiplasia, tumor kolon dan/atau usus halus,
kolitis iskemik, kolitis radiasi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· Laboratorium :
- DPL tiap 6 jam, analisis gas darah, elektrolit
- Pemeriksaan hemostasis lengkap
- Pemeriksaan etiologi : Kultur Widal-Gall, serologi amuba, serologi IDT amuba, kultur
Salmonella-Shigella feses-urin, pemeriksaan mikroskopik parasit di feses.
· Kolonoskopi, ileoskopi, jejunoskopi dan biopsi. Pada demam tifoid kolonoskopi sebaiknya
dilakukan bila demam sudah menghilang dan keadaan umum membaik
· Foto abdomen 3 posisi
· Colon in loop kontras ganda
· USG abdomen
· CT Scan abdomen / foto usus halus
· Foto dada
· EKG
TERAPI
· Non farmakologis : puasa, perbaikan hemodinamik. Jika hemodinamik stabil dapat nutrisi
enteral
· Farmakologis :
- Transfusi darah PRC/WB sampai dengan Hb > 10gr%
- Infus cairan
278
Pengobatan infeksi sesuai penyebab
Bila ada kelainan hemostasis diobati sesuai penyebabnya
KOMPLIKASI
Syok hipovolemik, gagal ginjal akut, anemia karena perdarahan
PROGNOSIS
Dubia ad bonam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Gastroenterologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Divisi Hematologi –Onkologi, Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical
High Care
· RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah
279
2.12
HEPATOLOGI
280
SIROSIS HATI
PENGERTIAN
Sirosis hati merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya neksosis,
pembentukan jaringan ikat disertai nodul
DIAGNOSIS
· Pemeriksaan fisik : stigmata sirosis (palmar eritema, spider nevi) vena kolateral dinding perut,
ikterus, edema pretibial, asites, splenomegali
· Laboratorium : rasio albumin dan globulin terbalik
DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis kronik aktif
PEMERIKSAAN PENUNJANG
(DPL, SGOT, SPGT, fosfatase alkali, albumin, kolin esterase, PT, seromaker hepatitis), USG,
biopsi hati, endoskopi saluran cerna bagian atas, analisis cairan asites
TERAPI
· Istirahat cukup
· Diet seimbang (tergantung kondisi klinis)
· Roboransia
· Mengatasi komplikasi
KOMPLIKASI
Hipertensi portal, peritonitis bakterial spontan, hemetemesis melena, sindrom hepatorenal,
gangguan hemostasis, ensefalopati hepatikum
PROGNOSIS
Dubia ad bonam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Hepatologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Divisi Gastroenterologi, Hematologi –Onkologi dan Departemen Bedah
Digestif
· RS non pendidikan : Departemen Bedah
281
HEPATOMA
PENGERTIAN
Hepatoma merupakan tumor ganas hati primer
DIAGNOSIS
· Anamnesis : penurunan berat badan, nyeri perut kanan atas, anoreksia, malaise, benjolan
perut kanan atas
· Pemeriksaan fisik : hepatomegali berbenjol-benjol, stigmata penyakit hati kronik.
· Laboratorium : peningkatan AFP, PIVKA II, fosfatase alkali USG: lesi fokal/difus di hati
DIAGNOSIS BANDING
Abses hati
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· AFP, PIVKA II, fosfatase alkali, SGOT, SGPT, seromarker hepatitis
· USG: lesi fokal/difus
· CT scan, biopsi hati
TERAPI
· Pembedahan/reseksi tumor (bila tumor mengenai 1 lobus, ukuran < 3 cm)
· Injeksi etanol perkutan dengan tuntunan USG (bila tumor < 3 buah, ukuran < 3 cm, tumor
yang residif pasca reseksi hati, tumor residual pasca embolisasi)
· Transplantasi hati
· Kemoembolisasi pada a. hepatika
KOMPLIKASI
Ensefalopati hepatikum, ruptur tumor spontan, hematemesis melena, kegagalan hati
PROGNOSIS
Malam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Hepatologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Divisi Gastroenterologi, Hematologi–Onkologi dan Departemen Bedah
Digestif
· RS non pendidikan : Departemen Bedah
HEPATITIS VIRUS AKUT
282
PENGERTIAN
Hepatitis virus akut inflamasi hati akibat infeksi virus hepatitis yang berlangsung selama < 6
bulan
DIAGNOSIS
· Anamnesis : mual, malaise, anoreksia, urin berwarna gelap
· Pemeriksaan fisik : ikterus, hepatomegali
· Laboratorium : ALT dan AST meningkat > 3 kali normal
DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis akibat obat, hepatitis alkoholik, penyakit saluran empedu, leptospirosis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : SGOT, SGPT, fosfatase alkali, bilirubing/seromarker (IgM anti HAV, HbsAg,
IgM anti HBc, anti HCV, Ig M anti HEV)
TERAPI
· Tirah baring, diet seimbang, pengobatan suportif
KOMPLIKASI
Hepatitis fulminan, kolestasis berkepanjangan, hepatitis kronik
PROGNOSIS
Bonam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Hepatologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Divisi Gastroenterologi, Hematologi–Onkologi dan Departemen Bedah
Digestif
· RS non pendidikan : Departemen Bedah
283
HEPATITIS VIRUS KRONIK
PENGERTIAN
Hepatitis virus kronik adalah suatu sindrom klinis dan patologis yang disebabkan oleh bermacammacam etiologi, ditandai oleh berbagai tingkat peradangan dan nekrosis pada hati.
DIAGNOSIS
· Anamnesis : umumnya tanpa keluhan
· Pemeriksaan fisik : bisa ditemukan hepatomegali
· Laboratorium : petanda virus hepatitis B atau C positif
· USG : hepatitis kronik
· Biopsi hati : peradangan dan fibrosis pada hati
DIAGNOSIS BANDING
Perlemakan hati
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· Pemeriksaan laboratorium seperti pada hepatitis akut
· USG hati
· Biopsi hati
TERAPI
Hepatitis B kronik : lamivudin
Hepatitis C kronik : interferon α+ ribavirin
KOMPLIKASI
Sirosis hati, karsinoma hepatoselular
PROGNOSIS
20% akan berkembang menjadi sirosis hati
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Hepatologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
-
284
ABSES HATI
PENGERTIAN
Abses hati adalah rongga patologis berisi jaringan nekrotik yang timbul dalam jaringan hati
akibat amuba atau bakteri
DIAGNOSIS
· Anamnesis : demam, perasaan nyeri perut kanan atas
· Pemeriksaan fisik : ikterus, hepatomegali yang nyeri tekan, nyeri tekan perut kanan atas
· Laboratorium : leukositosis, gangguan fungsi hati
· USG : rongga dalam hati
· Aspirasi : pus (+)
DIAGNOSIS BANDING
Hepatoma, kolesistitis, tuberkulosis hati, aktinomikosis hati
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, SGPT, bilirubin, serologi amuba; USG, kultural cairan pus
TERAPI
· Tirah baring, diet tinggi kalori tinggi protein
· Pada abses amuba : metronidazol 4 x 500-750 mg/hari selama 5-10 hari. Pada abses piogenik :
antibiotika spektrum luas atau sesuai hasil kultur kuman. Pada abses campuran : kombinasi
metronidazol dan antibiotika
· Drainase cairan abses terutama pada kasus yang gagal dengan terapi konservatif atau bila
abses berukuran besar (>5 cm)
KOMPLIKASI
Ruptur abses (ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit), perdarahan dalam
abses, sepsis
PROGNOSIS
Bonam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Hepatologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Departemen Bedah Digestif
· RS non pendidikan : Departemen Bedah
KOLESISTITIS AKUT
285
PENGERTIAN
Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi kandung empedu akibat infeksi bakterial akut yang
disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan panas badan
DIAGNOSIS
· Anamnesis : nyeri epigastrium atau perut kanan atas yang dapat menjalar ke daerah skapula
kanan, demam
· Pemeriksaan fisik : Teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda-tanda
peritonitis lokal, tanda Murphy (+), ikterik biasanya menunjukkan adanya batu di saluran
empedu ekstrahepatik
· Laboratorium : leukositosis
· USG : penebalan dinding kandung empedu, sering ditemukan pula sludge atau batu
DIAGNOSIS BANDING
Angina pektoris, infark miokard akut, apendisitis akut retrosaekal, tukak peptik perforasi,
pankreatitis akut, obstruksi intestinal
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· Laboratorium : DPL, SGOT, SGPT, fosfatase alkali, bilirubin, kultur darah
· USG hati
TERAPI
· Tirah baring
· Puasa sampai nyeri berkurang / hilang
· Pengobatan suportif (antipiretik, analgetik, pemberian cairan infus dan mengoreksi kelainan
elektrolit)
· Antibiotika parenteral
· Kolesistektomi bila diperlukan
KOMPLIKASI
Gangren / empiema kandung empedu, perforasi kandung empedu, fistula, peritonitis umum, abses
hati, kolesistitis kronik
PROGNOSIS
Bonam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Hepatologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
286
·
·
RS pendidikan : Departemen Bedah Digestif
RS non pendidikan : Departemen Bedah
287
PERLEMAKAN HEPATITIS
NON ALKOHOLIK
PENGERTIAN
Perlemakan hepatitis non alkoholik merupakan suatu sindrom klinis dan patologis akibat
perlemakan hati, ditandai oleh berbagai tingkat perlemakan, peradangan dan fibrosis pada hati
DIAGNOSIS
· Anamnesis : rasa mengganjal di perut kanan atas
· Pemeriksaan fisik : kelebihan berat badan, hepatomegali
· USG : gambaran bright liver
· Biopsi hati : ditemukan perlemakan hati, peradangan lobulus, kerusakan hepatoselular, hialin
Mallory dengan atau tanpa fibrosis.
DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis virus kronik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
· Laboratorium : gula darah, profil lipid, SGOT, SGPT, fosfatase alkali, gamma GT,
seromarker hepatitis, ANA, anti ds DNA
· Biopsi hati
TERAPI
Mengoreksi faktor resiko (penurunan berat badan, kontrol gula darah, memperbaiki profil lipid
dan olah raga)
KOMPLIKASI
Sirosis hati
PROGNOSIS
Bonam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Hepatologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
-
288
BAB III
STANDAR PROSEDUR
TINDAKAN PAPDI
289
3.1
KARDIOLOGI
290
KARDIOVERSI
PENGERTIAN
Kardioversi adalah upaya konversi secara elektrik pada aritmia arterial atau ventrikular
memakai DC (Direct Current) shock yang synchronized dan DC shock nonsynchronized yang
juga disebut defibrillation. Saat kejutan yang synchronized yaitu pada awal gelombang T kirakira 30 ms sebelum apeks gelombang T.
TUJUAN
Menghentikan aritmia yang mengancam menjadi irama sinus yang normal
INDIKASI
· Fibrilasi ventrikular, fluter arterial atau fibrilasi atrial yang menyebabkan gangguan
hemodinamik dan tak responsif dengan terapi farmakologis
· Takikardia supraventrikular yang menyebabkan gangguan hemodinamik dan tak responsif
dengan obat antiaritmia atau manuver vagal
· Takikardia ventrikular yang menyebabkan gangguan hemodinamik dan tak responsif dengan
obat antiaritmia
KONTRAINDIKASI
· Fibrilasi artrial kronik pada stenosis mitral atau regurgitasi mitral dan tirotoksikosis
· Fibrilasi atrial dengan slow ventricular rate
· Hipokalemia
· Keracunan digitalis
PERSIAPAN
1. Penjelasan seperlunya kepada pasien dan keluarga
2. Alat kardioversi dan monitor jantung berfungsi baik
3. Sebaiknya puasa untuk menghindari regurgitasi/asfiksia
4. Pemakaian digitalis dihentikan 1-2 hari sebelum tindakan
5. Kadar elektrolit serum harus optimal
6. Oksigen terpasang
7. Premedikasi meperidin 100 mg atau diazepam 5 mg IV
PROSEDUR TINDAKAN
· Fluter atrial dimulai dengan dosis 20 Joule bila gagal diulang memakai 50 atau 100 Joule.
· Fibrilasi atrial diawali dengan dosis 100 Joule bila gagal bisa 200-300 Joule. Sehari
sebelumnya pasien diberi kuinidin oral tiap 6 jam kadangkala obat ini diperlukan untuk
jangka waktu lama. Prokainamid dapat dipakai bila pasien tak toleran dengan kuinidin.
· Takikardia supraventrikular 10 Joule biasanya efektif. 100 Joule hampir selalu efektif
· Fibrilasi ventrikular dosis awal 200 Joule bila gagal segera pakai 360 Joule.
291
PENILAIAN
LAMA TINDAKAN
KOMPLIKASI
· Bradiaritmia atau asistol sehingga perlu disiapkan atropin, isoproterenol, dan pacu jantung
sementara
· Takiaritmia ventrikular atau fibrasi ventrikular, pasien perlu dimonitor kira-kira 8 jam pasca
tindakan.
WEWENANG
· RS pendidikan : Internist Cardiologist / Cardiologist PPDS Penyakit Dalam / Kardiologi yang
sedang / sudah melalui Divisi Kardiologi dengan konsultasi kepada konsultan Divisi
Kardiologi
· RS non pendidikan : Internist / Kardiolog
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam / Divisi Kardiologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam / Kardiolog
UNIT TERKAIT
REFERENSI
Gumiwang I. Kardioversi. In: Sumaryono, A lwi I, Sudoyo A W . Simadibrata M, Setiati S, Gani RA ,
Mansjoer A , editors. Prosedur Tindakan Di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI:2001 p. 149-50
292
KATETERISASI JANTUNG DAN
ANGIOGRAFI KORONARIA
PENGERTIAN
Kateterisasi jantung adalah tindakan memasukkan kateter kedalam arteri arteri atau vena
perifer sampai ke jantung untuk mendapatkan gambar arteri koronaria dan ruang jantung, juga
untuk mengukur tekanan ruang jantung dan pembuluh darah (hemodinamik kardiak). Angiografi
koroner adalah tindakan menyuntikkan kontras ke dalam arteri koronaria untuk
memvisualisasikan dan membuat gambar arteri koronaria dan cabang-cabangnya untuk keperluan
diagnostik serta perencanaan strategi pengobatan lanjut.
TUJUAN
· Mendapatkan gambaran arteri koronaria dan ruang jantung
· Mengukur tekanan ruang jantung dan pembuluh darah (hemodinamik kardiak).
· Memvisualisasikan dan membuat gambar arteri koronaria dan cabang-cabangnya untuk
keperluan diagnostik serta perencanaan strategi pengobatan lanjut.
INDIKASI
· Dugaan penyakit jantung koroner :
- angina awitan baru
- angina pektoris tidak stabil
- evaluasi preoperative tindakan bedah mayor
- iskemia silent
- positive ETT
- atypical chest pain
· Infark jantung :
- angina pasca infark,
- kegagalan trombolisis
- renjatan
- defek sentrum ventrikel
- ruptur m. Papilaris.
· Sudden cardiac death
· Penyakit katup jantung
· Penyakit jantung bawaan
· Diseksi aorta
· Perikarditis konstriktif dan tamponade
· Kardiomiopati
· Persiapan dan pasca transplantasi jantung
KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi absolut : fasilitas dan peralatan laboratorium yang tidak memadai
Kontraindikasi relatif :
· Gagal jantung yang belum terkontrol,
· Tekanan darah tinggi, dan
· Aritmia
· Penyakit serebrovaskular (kurang dari 1 tahun)
293
·
·
·
·
·
·
·
Demam atau infeksi yang belum diketahui penyebabnya
Ketidakseimbangan elektrolit
Anemia dan perdarahan gastrointestinal
Kehamilan
Pengobatan dengan antikoagulan (diatesis hemoragik yang sudah diketahui)
Pasien yang tidak kooperatif
Intoksikasi obat (digitalis, fenotiazin)
PERSIAPAN
Bahan dan alat :
· Unit kateterisasi yang terdiri dari fluoroskopi U, atau C arm, meja kateterisasi, dan monitor
TV
· Alat perekam data fisiologis (EKG, tekanan intrakardiak, transduser, kertas perekam dan lain
-lain)
· Injektor kontras
· Defibrilator dan perlengkapan resusitasi kardiopulmonar (Air Viva O2 dan obat-obat
emergensi)
· Perlengkapan tindakan operasi steril
Pasien :
· Identifikasi pasien dan izin operasi dengan penerangan tujuan, cara dan risiko
· Puasa 4-6 jam sebelum kateterisasi, obat-obat penting diteruskan, Profilaksis antibiotik.
· Resume klinis, laboratorium, EKG, foto dada, laboratorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya :
- Riwayat alergi, obat-obatan yang digunakan saat ini
- Pemeriksaan jasmani
- Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium : Hb, leukosit,
- Ureum, kreatinin, masa protrombim, dan masa tromboplastin parsial, natrium, kalium dan
gula darah
- Bila mendapat insulin diberikan hanya setengah dosis
- Foto dada
- EKG istirahat maupun hasil test treadmill. Bila ada, hasil ekokardiografi atau hasil
kateterisasi sebelumnya
PROSEDUR TINDAKAN
1. Kateterisasi dilakukan di ruangan kateterisas
2. Memasang pemantaun EKG
3. Infus emergensi tangan kiri
4. Premedikasi : petidin 25 mg IM, antistin 1 ampul IM
5. Proteksi radiasi (apron Pb tebal 0,50 mm atau yang setara menutup badan sampai lutut dan
leher) bagi operator atau pada pasien hamil serta badge pengukur radiasi yang diperiksa setiap
bulan
6. Aseptik dan antiseptik serta prosedur steril seperti pada tindakan operasi (bagi operator
maupun pasien)
7. Pungsi pembuluh darah atau arteriotomi untuk akses pembuluh darah. Pungsi vena/arteri
dengan jarum perkutan dengan teknik Seldinger paling sering dilakukan. Guidewire
294
dimasukkan ke dalam pembuluh darah melalui jarum pungsi disusul oleh sheat. Heparin 2500
-5000 unit disuntikkan melalui sheat ke dalam pembuluh darah. Kateter dapat dimasukkan
dalam pembuluh darah dengan mudah dan aman melalui sheat. Arteri/vena femoralis paling
sering digunakan, namun pembuluh brachialis atau radialis juga dapat digunakan. Arteriotomi
dan venaseksi (membuka arteri dan vena serta menjahit kembali) saat ini sudah jarang
dilakukan
8. Pengukuran tekanan intrakardiak, pengambilan sampel saturasi darah dan penyuntikkan
kontras pada proyeksi tertentu
9. Evaluasi hasil sementara kateterisasi
10. Setelah dianggap cukup maka sheat dicabut, melakukan hemostatik dan pembalut mencegah
perdarahan.
11. Mengisi formulir hasil sementara dan instruksi pasca kateterisasi yang berisi :
· Istirahat di tempat tidur (tidak menggerakkan daerah kateterisasi selama 8 jam),
· Tekanan darah dan nadi setiap 15 menit selama 4 jam, dan selanjutnya setiap jam selama 8
jam,
· Hipotensi biasanya disebabkan oleh diuresis akibat kontras.
· Takikardia akibat perdarahan harus dilaporkan pada operator.
· Periksa adanya hematoma pada pembuluh yang mengalami pungsi, hilangnya denyut nadi
pada bagian distal
· Ekstremitas yang dingin bisa karena trombus, spasme atau vasokonstriksi.
· Bila ada trombus dapat diberi aspirin 325 mg dan heparin bolus 5000 U dilanjutkan drip
1000 U/jam.
· Bila ada iskemia ekstremitas, perlu intervensi bedah vaskular.
· Mencatat produksi urin (sekitar 30 ml/jam)
12. Menyimpulkan hasil akhir kateterisasi dan mendiskusikannya dengan pasien
PENILAIAN
LAMA TINDAKAN
KOMPLIKASI
Kematian, infark jantung, strok, aritmia ventrikel yang serius, trombosis, perdarahan yang
memerlukan transfusi, pseudoaneurisma, diseksi aorta, perforasi jantung, tamponad, reaksi
kontrasm anafilaksis/nefropati, reaksi protamin, infeksi, gagal jantung, reaksi vasovagal
WEWENANG
· RS pendidikan : Internist-Cardiologist dengan keahlian khusus dan didampingi oleh tim
kateterisasi yang terdiri dari dua-tiga perawat terlatih dan seorang penata rontgen, PPDS
Penyakit Dalam yang sedang / sudah melalui Divisi Kardiologi : mempersiapkan dan
membantu pelaksanaan
· RS non pendidikan : Internist / Kardiolog yang telah mempunyai sertifikasi
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi
295
·
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam / Kardiolog
UNIT TERKAIT
REFERENSI
Panggabean M. Kateterisasi Jantung Kiri dan Kanan dan A ngiografi Koronaria. Dalam : Sumaryono, A lwi
I, Sudoyo A W . Simadibrata M, Setiati S, Gani RA , Mansjoer A , editors. Prosedur Tindakan Di Bidang
Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI:2001 p. 15161
296
PACU JANTUNG SEMENTARA
PENGERTIAN
Pacu jantung sementara merupakan teknik memberikan rangsangan listrik pada jantung
kanan dengan elektroda endokardial perkutan
TUJUAN
· Terapeutik
· Diagnosis penatalaksanaan siaga pada infark miokard akut, kateterisasi jantung dan tindakan
bedah.
INDIKASI
Terapeutik
· Bradikardia simptomatik pada kondisi : sick sinus syndrome, fibrilasi atau fluter atrial dengan
blok AV derajat tinggi, blok AV total
· Takikardia simptomatik pada takikardia ventricular intermitem, fibrilasi ventrikular
intermitem yang memerlukan obat-obatan yang potensial menimbulkan bradiaritmia.
· Malfungsi pacu jantung permanen
· Sinkop sinus karotis
Diagnostik
· Penelitian fungsi jaras His
· Penelitian fungsi nodus SA
· Identifikasi ritme pada analisis aritmia
Indikasi pencegahan dan penatalaksanan siaga :
· Infark miokard akut dengan kondisi : asistol, bradikardia simptomatik, BBB bilateral, blok
fasikular baru atau tidak tergantung usia (RBBB dengan LAFB atau LPFB) dengan blok AV
derajat satu, Blok AV derajat dua Mobilitz tipe II
· Selama operasi dengan kondisi : bradikardia berat (frekuensi jantung < 40 kali/menit),
bradikardia sinus (frekuensi jantung < 60 kali/menit) dengan penurunan respons nodus SA
treadmill test dan/atau atropin IV (laju sinus meningkat < 90 kali/menit setelah bolus SA 1 mg
IV), Blok AV Mobitz II atau blok AV total, blok fasikular kronik yang dihubungkan dengan
sinkop, angina tidak stabil atau infark miokard akut.
KONTRAINDIKASI
Masa perdarahan dan pembekuan yang memanjang
PERSIAPAN
1. Periksa EKG dan foto dada
2. Periksa hitung trombosit, PT dan APTT
3. Pasang IV line
4. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien termasuk risiko penyulit serta informed
consent
5. Akses vena : jalur femoral : jarum Potts-Cournand, set kateter, scalpel nomor 11, klem
mosquito. P
297
6. Pacemaker : elektroda pacu bipolar (5-7 F) dan generator, fluoroskop portable dan lead
aprons
7. Desinfektan dan duk steril : solusio antiseptik, sarung tangan steril, masker, tutup kepala, dan
kasa steril
8. Anestesi : lidokain (1% 10 ml, siring 10 ml dan jarum 23 G
9. Resusitasi : defibrillator, oksigen
PROSEDUR TINDAKAN
1. Pasien pada posisi telentang dengan kaki sedikit abduksi
2. Identifikasi anatomi vena femoralis yang akan dilakukan pungsi vena. Letaknya medial dari A.
Femoralis dan sekitar 1 atau 2 inchi di bawah lipat inguinal.
3. A dan antisepsis daerah pungsi dan sekitarnya
4. Anestesi kulit dan jaringan subkutan sekitar tempat pungsi
5. Lakukan pungsi vena. Buat insisi kecil pada kulit dengan pisau scalpel nomor 11. Masukkan
jarum Potts-Cournand dengan membentuk sudut 60 derajat. Aspirasi untuk memastikan
daerah vena
6. Kanulasi vena dengan menggunakan teknik seldinger
7. Masukkan elektroda pacu jantung
8. Alur posisi fluoroskopi mengikuti elektroda. Kateter terus didorong sampai vena kava inferior
kemudian masuk atrium kanan. Selanjutnya kateter akan melalui permukaan atas katup
trikuspid dan masuk ke ventrikel kanan.
9. Hubungan elektroda distal dengan bagian negatif generator dan elektroda proksimal dengan
bagian positif generator.
10. Tentukan threshold (ambang) pacu jantung. Nilai threshold adalah miliamper terendah
dimana pacu jantung akan pace. Setelah wire pada posisinya maka :
· Tahap 1 : set miliamper pada 5 mA
· Tahap 2 : Putar mode pacu jantung tetap pada rate lebih tinggi dari rate pasien
· Tahap 3 : putar miliamper turun 1 maA sampai irama pacing hilang. Kemudian miliamper
dinaikkan sampai timbul irama pacing. Level ini menunjukkan ambang.
· Tahap 4 : set mA 2 kali ambang
11. Buat dokumen EKG 12 sadapan untuk melihat gambaran LBBB; jika terlihat gambaran
RBBB berarti posisi elektroda tidak tepat
PENILAIAN
LAMA TINDAKAN
KOMPLIKASI
Infeksi, flebitis, emboli udara, hidrotoraks, pneumotraks, perforasi mikokard, kegagalan
pacing (pacing failure) dislokasi lead endokardial, stimulasi diafragma
298
WEWENANG
· RS pendidikan : Internist-Cardiologist dengan keahlian khusus dan didampingi oleh tim
kateterisasi yang terdiri dari dua-tiga perawat terlatih dan seorang penata rontgen, PPDS
Penyakit Dalam yang sedang / sudah melalui Divisi Kardiologi : mempersiapkan dan
membantu pelaksanaan
· RS non pendidikan : Internist / Kardiolog yang telah mempunyai sertifikasi
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam / Divisi Kardiologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam / Kardiolog
UNIT TERKAIT
· Bedah vaskular, Pulmonologi bila terjadi komplikasi
REFERENSI
Harun S. A lwi I, Rasjidi K. Pacu Jantung Sementara. Dalam : Sumaryono, A lwi I, Sudoyo A W .
Simadibrata M, Setiati S, Gani RA , Mansjoer A , editors. Prosedur Tindakan Di Bidang Penyakit Dalam.
Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI:2001 p. 162-5
299
PERIKARDIOSENTESIS
(PUNGSI PERIKARD)
PENGERTIAN
Perikardiosentesis (pungi perikard) adalah tindakan aspirasi efusi perikard
TUJUAN
· Konfirmasi dan mencari etiologi
· Terapi
INDIKASI
Efusi perikard
KONTRAINDIKASI
Masa perdarahan dan pembekuan yang memanjang
PERSIAPAN
1. Penjelasan kepada pasien tentang tujuan, cara dan risiko tindakan disertai inform consent
2. Pemeriksaan PT dan APTT
3. EKG
4. Xilocain 2%
5. Spuit 20 atau 50 ml
6. Jarum pungsi nomor 16-18
7. Trokar
PROSEDUR TINDAKAN
1. Pasien disandarkan pada sadapan dengan sudut 450
2. Dilakukan dengan ekokardiografi untuk melihat posisi cairan perikard
3. Dilakukan a dan antisepsis pada lokasi pungsi (sudut antara prosesus sifoideus dengan arkus
iga kiri atau sela iga 5, kira-kira 2 cm medial dari perkusi pekak atau sela iga 5 atau 6 garis
sternal kiri atau sela iga 4 kanan, kira-kira 1 cm medial dari perkusi pekak, sela iga 5-6 garis
sternal kanan atau sela iga 7-8 belakang, garis midskapula kiri)
4. Anestesi dengan xilocain 2% atau prokain 2% di lokasi pungsi
5. Jarum nomor 16-18 dihubungkan dengan spuit 20-50 ml dihubungkan dengan jarum EKG
(sadapan prekordial) melalui aligator atau hemostat, diarahkan ke posterosefalad, membentuk
sudut 450 dengan permukaan dinding dada
6. Jarum ditusukkan dengan mantap 2-4 cm sampai terasa tahanan. Bila jarum pungsi menembus
perikard dan kontak dengan otot jantung akan timbul elevasi segmen ST (injury) dan
ekstrasistol ventrikel dengan amplitudo tinggi. Bila hal ini terjadi, maka jarum pungsi harus
ditarik sedikit dan diarahkan ke tempat lain.
7. Apabila cairan perikard, dapat dipakai trokar yang lebih besar.
8. Pada pungsi di sela iga depan diusahakan agar tusukan jarum tepat di atas iga agar terhindar
dari arteri interkostal yang berada tepat di bawah oiga yang berada di atasnya.
9. Apabila tidak diperoleh cairan yang mengalir, jarum ditarik perlahan-lahan dan ditusuk
kembali ke arah lain atau lebih dalam sedikit. Hindarkan tusukan yang tiba-tiba, kasar, atau
pemindahan arah tusukan secara kasar.
300
10. Perubahan arah tusukan harus dilakukan secara perlahan-lahan tapi konstan sambil diisap
secara kontinyu. Pada aspirat berdarah sering sulit dibedakan dengan tusukan intraventrikula
oleh karena itu periksa hematokrit, mekanisme pembekuan cairan aspirat dan darah arterial
bersamaan. Bisa juga diperiksa analisis gas darah.
PENILAIAN
LAMA TINDAKAN
KOMPLIKASI
Laserasi dinding ventrikel, pneumotoraks, laserasi arteri mammaria interna
WEWENANG
· RS pendidikan : Internist-Cardiologist dengan keahlian khusus dan didampingi oleh tim
kateterisasi yang terdiri dari dua-tiga perawat terlatih dan seorang penata rontgen, PPDS
Penyakit Dalam yang sedang / sudah melalui Divisi Kardiologi : mempersiapkan dan
membantu pelaksanaan
· RS non pendidikan : Internist / Kardiolog yang telah mempunyai sertifikasi
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam / Divisi Kardiologi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam / Kardiolog
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Divisi Pulmonologi dan Departemen Bedah/Toraks
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Bedah, Pulmonologi
REFERENSI
Ismail D, Panggabean MM. Perikarditis.. Dalam : Noer S, W aspadji A , Rachman M, Lesmana LA ,
W idodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku A jar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta, Balai
Penerbit FKUI: p.1077-81.
301
MANAJEMEN PERIOPERATIF
PADA OPERASI NONKARDIAK
PENGERTIAN
Manajemen perioperatif pada operasi nonkardiak adalah usaha untuk menilai. memonitor
dan memperbaiki kondisi jantung sebelum, saat maupun setelah operasi nonkardiak guna
mengurangi risiko operasi terhadap jantung
TUJUAN
• Mengevaluasi status kesehatan pasien terkini
• Membuat rekomendasi tentang evaluasi, manajemen dan risiko masalah jantung selama
periode operasi
• Memberikan profil risiko klinik sehingga pasien, dokter, anestesiologi, dan ahli bedah
dapat membuat keputusan penatalaksanaan yang berpengaruh pada jantung jangka pendek
maupun jangka panjang
• Identifikasi pemeriksaan dan strategi penalataksanaan yang paling sesuai untuk
mengoptimalkan perawatan pasien
• Memberikan pengkajian risiko jantung jangka pendek dan jangka panjang
• Menghindari pemeriksaan yang tidak perlu
INDIKASI
Operasi nonkardiak
KONTRAINDIKASI
PERSIAPAN
Penilaian preoperative
1. Anamnesis untuk menilai riwayat penyakit
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan EKG
4. Pengkajian:
• Identifikasi kelainan jantung yang serius : penyakit jantung koroner (misJ infark miokard
akut dan angina pektoris, gagal jantung, aritmia simptomatik. adanya pacemaker atau
defibrilator yang ditanam, atau riwayat intoleria ortostatik, adanya anemia.
• Menilai berat penyakit, stabilitas penyakit dan terapi sebelumnya
• Kapasitas fungsional
• Usia
• Kondisi komorbid (diabetes melitus, penyakit pembuluh darah perifea disfungsi ginjal,
dan penyakit paru kronik)
• Tipe operasi : (prosedur vaskular dan prosedur yang lama, prosedur surf dada. perut.
kepala dan leher risiko lebih tinggi)
5. Pengkajian tentang prediktor klinik peningkatan risiko kardiovaskular perioperatif (infark
miokard, gagal jantung, kematian)
Mayor:
302
• Sindrom koroner tak stabil
- Infark miokard akut atau recent dengan bukti risiko iskemia yang penting baik simptom
maupun pemeriksaan non invasif
- Angina tak stabil atau angina berat {Canadian Clas III atau IV
• Gagal jantung dekompensata
• Aritmia bermakna
• BlokAVderajattinggi
• Aritmia ventrikular simptomatik dengan dasar
• penyakit jantung
• Aritmia supraventrikular dengan rate vetrikel yang tidak terkontrol.
• Penyakit katup berat
Intermediate :
• Angina pektoris ringan (Canadian Class I atau II)
• Infark miokard lama diketahui dengan anamnesis atau adanya Q patologis
• Gagal jantung sebelumnya atau kompensata
• Diabetes melitus (terutama yang tergantung insulin)
• Insufisiensi ginjal
Minor:
• Usia lanjut
• EKG abnormal (LVH, left bundle-branch block, abnormalitas ST-T)
• Irama selain sinus (misal fibrilasi atrial)
• Kapasitas fungsional yang rendah (misal : tidak mampu memanjat tangga dengan tas
punggung)
• Riwayat strok
• Hipertensi sistemik tidak terkontrol
6. Pengkajian stratifikasi risiko jantung untuk prosedur operasi nonkardiak Tinggi (risiko
jantung yang dilaporkan selalu> 5%)
• Operasi mayor emergensi (terutama pada usia lanjut)
• Operasi aorta atau operasi pembuluh darah besar lainnya
• Operasi pembuluh darah perifer
• Prosedur operasi yang diantisipasi memanjang sehubungan dengan hilangnya darah dan
atau pergantian cairan dalam jumlah besar
Intermediate (Risiko jantung yang dilaporkan < 59c)
• Endarterektomi karotis
• Operasi leher dan kepala
• Operasi intratoraks dan intraperitoneal
• Operasi ortopedi
• Operasi prostat
303
Rendah (Risiko jantung yang dilaporkan umumnya < 1%)
• Prosedur endoskopi
• Prosedur superfisial
• Operasi katarak
• Operasi payudara
7. Penilaian kapasitas fungsional
Dengan memperkirakan energi yang dibutuhkuan untuk berbagai aktivitas
1 MET
• Merawat diri
• Makan, berpakaian, menggunakan toilet
• Berjalandalamrunah
• Berjalan satu blok atau dua tingkat dengan kecepatan 3,2 sampai 4,8 km per jamatau2
-3 mph
4 MET
• Bekerja di sekitar rumah seperti mencuci atau membersihkan debu
4 MET
• Memanjat tangga atau berjalan ke bukit
• Berjalan datar dengan kecepatan 4 mph atau 6,4 km per jam
• Bekerja berat di rumah seperti membersihkan lantai atau mengangkat atau
menggerakkan furnitur yang beratlkut serta dalam aktivitas rekreasi yang sedang
seperti golf, bowling, dansa, tenis ganda atau melempar bola basket atau bola sepak
bola
> 10 MET
• Ikut dalam olahraga seperti berenang, tenis tunggal, sepak bola, bola basket, atau ski
Risiko jantung dan jangka panjang perioperatif meningkat pada pasien yang tidak dapat
mencapai 4 MET pada waktu kebanyakan aktivitas normal sehari-hari
PROSEDUR TINDAKAN
• Tahap 1. Apakah operasi nonkardiak merupakan sesuatu yang urgensi? Jika keadaan
emergensi maka tidak ada waktu untuk evalusi jantung preoperatif. Stratifikasi risiko
postoperatif sesuai untuk pasien yang tidak dinilai sebelumm a.
• Tahap 2. Apakah pasien menjalani revaskularisasi koroner 5 tahun terakhir ? JikJ ya dan jika
status klinik tetap stabil tanpa gejala rekuren/tanda-tanda iskemia. ujri jantung lebih jauh
secara umum tidak dibutuhkan.
• Tahap 3. Apakah pasien telah menjalani evaluasi koroner 2 tahun terakhir? Jika risiko koroner
telah dikaji secara adekuat dan penemuannya memuaskan, biasanya, tidak diperlukan uji ulang
kecuali pasien mempunyai pengalaman perubahia atau gejala baru iskemia koroner sejak
evaluasi sebelumnya.
• Tahap 4. Apakah pasien mempunyai sindrom koroner tak stabil atau risilJ prediktor klinik
mayor? Ketika operasi nonkardiak elektif dipertimbangkin, adanya penyakit koroner tak stabil,
gagal jantung dekompensasi, aritmij simtomatik. dan atau penyakit jantung katup yang berat
304
•
•
•
•
biasanya menuiKB operasi sampai masalah teridentifikasi dandiobati
Tahap 5. Apakah pasien mempunyai risiko prediktor klinik intermediate! Ada atau tidak
adanya infark miokard sebelumnya dari riwayat atau EKG, angina pektoris, gagal jantung
terkompensasi atau gagal jantung sebelumnya, kreatinin preoperatif > 2 mg/dl, dan atau
diabetes melitus membantu untuk tnenstratifikasi risiko kejadian koroner perioperatif lebih
jauh lagi. Pertimbangan kapasitas fungsional dan tingkat risiko operasi spesifik memberi
pendekatan rasional untuk mengidentifikasi pasien untuk mencapai manfaat dari uji noninvasif
yang lebih jauh.
Tahap 6. Pasien tanpa prediktor risiko klinik mayor tapi intermediate dan kapasitas fungsional
moderat atau baik dapat menjalani operasi risiko intermediate dengan sedikit risiko kematian
atau infark miokard perioperatif. Sebaliknya, uji noninvasif selalu dipertimbangkan untuk
pasien dengan kapasitas fungsional yang buruk atau moderat tapi operasi risiko lebih tinggi,
terutama untuk pasien dengan 2 atau lebih prediktor risiko intermediate.
Tahap 7. Operasi non kardiak umunya aman untuk pasien tanpa prediktor risiko klinik mayor
atau intermediate dan kapasitas fungsional moderat atau baik (4 METs atau lebih). Uji
tambahan mungkin dipertimbangkan secara individual untuk pasien tanpa petanda klinik tapi
kapasitas fungsionalnya buruk yang terpajan dengan risiko operasi yang lebih tinggi, terutama
untuk mereka dengan beberapa prediktor risiko klinik minor yang dijadualkan menjalani
operasi vaskular.
Tahap 8. Hasil uji noninvasif dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan uji tambahan
preoperatif dan pengobatan. Pada beberapa pasien dengan CAD, risiko intervensi koroner atau
operasi koreksi jantung mungkin mendekati atau melebihi risiko operasi nonkardiak.
Pendekatan ini sesuai, meskipun tidak secara signifikan memperbaiki prognosis jangka
panjang.
PENILAIAN
LAMATINDAKAN
KOMPLIKASI
• Bradiaritmia atau asistol sehingga perlu disiapkan atropin, isoproterenol, dan pacu jantung
sementara.
• Takiaritmia(TVatauFV)
• Emboli (Pasien perlu dimonitor kira-kira 8 jam pasca tindakan)
WEWENANG
• RS Pendidikan : Internist-cardiologist dan PPDS Penyakit Dalam .
• RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Di visi Kardiologi
• RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
305
• Tiap Departemen / Bagian / Divisi pelaksana operasi: Bedah, Kebidanan, THT.
BedahSarafdll.
REFERENSI
Eagle KA , Berger PB, Calkins H, Chaitman BR, Ewy GA , Fleischmann KE, et al. Perioperav: >
Cardiovascular Evaluation For Cardiac Surgery Update. A Report of the A merican College of
Cardiology/A merican Heart A ssociation Task Force on Practice Guidelines (Committee I Update the 1996
Guidelines on Perioperative Cardiovascular Evaluation for Noncardic: Surgery)
306
PERCUTANEUS TRANSLUMINAL
CORONARY ANGIOPLASTY
PENGERTIAN
Percutaneus transluminal coronary angioplasty adalah Tindakan revaskularisasi koroner di
mana lesi stenotik dilebarkan dengan menggunakan balon
TUJUAN
Melebarkan lesi stenotik dengan menggunakan balon
INDIKASI
• Single vessel disease :
- angina persisten, kapasitas jasmaninya rendah, tidak dapat bekerja normal,
dibutuhkan pengobatan polifarmasi jangka panjang
• Multivessel disease :
- gejala simtomatik dengan angina kelas II-IV yang tak dapat dikontrol dengan obatobatan atau bila pasien tidak dapat mentoleransi obat
- Bila tidak mempunyai keluhan, indikasi bila ada daerah iskemia miokardium luas
(dengan tes non invasif) disertai salah satu dari: iskemia berat pada tes noninvasif,
pasca resusitasi henti jantung atau takikardia ventrikel tanpa adanya infark, pasien
hams menjalani operasi nonkardiak risiko tinggi, adanya riwayat infark jantung,
hipertensi dan depresi ST pada EKG
• Sindrom koroner akut, termasuk infark jantung akut
KONTRAINDIKASI
• Alergi zat kontras, aspirin
• Kardiovaskular: gagal jantung berat (syok kardiogenik akibat infark jantung akut kadangkadang justru merupakan indikasi), hipertensi berat, aritmia mayor, seperti takikardia
ventrikel yang berulang. takikardia atrium dengan respons ventrikel cepat.
• Diabetes mellitus berat tak terkontrol
• Gangguan elektrolit: hipokalemia, hiponatremia
• Gastrointestinal: hepatitis akut. perdarahan saluran cerna
• Hematologi: trombositopenia < 50000/dl. leukositosis tanpa sebab jelas, Hb < 10 g/dl)
• Neurologis : penyakit serebrovaskular dalam 2-4 bulan
• Renal: gagal ginjal
• Sistemik : infeksi bakterial, demam tanpa sebab yang jelas
Persiapan
• Evaluasi adanya indikasi dan kontraindikasi
• Laboratorium rutin : darah lengkap. ureum. kreatinin, elektrolit, gula darah,.
• EKG dibuat pada hari yang sama sebelum Percutaneus Transluminal Coronary
Angioplasty (PTCA)
• Bila ada kecurigaan gagal jantung atau kelainan paru perlu dibuat foto dada
• Film angiografi terakhir hams dinilai sebelum menentukan strategi tindakan
• Aspirin dan tiklopidin diberikan minimal 3 hari sebelum tindakan.
307
PROSEDUR TINDAKAN
5. Akses pembuluh darah dapat melalui arteri femoralis atau radialis
6. Akses melalui arteri brakhialis jarang dilakukan
7. Heparin (150 U/kgBB) diberikan intravena atau intraarteri dan selanjutnya diberikan tiap
jam 2500 U untuk mempertahankan nilai ACT > 300 detik
8. Pemasangan alat pacu jantung sementara tidak rutin dilakukan dan dilakukan bila
dikhawatirkan akan terjadi penyulit gangguan hantaran atrioventrikular yang berat
9. Melalui kateter (guiding catheter) dimasukkan kawat penuntun (guidewire) melewati lesi.
Dipilih balon dengan diameter sesuai dengan pembuluh yang akan didilatasi. Balon
dikembangkan dengan alat indeflator sampai stenosis terbuka
10. Balon dikempiskan dan ditarik. Dinilai dengan penyuntikan kontras, apakah dilatasi telah
cukup
11. Bila hasil masih suboptimal atau terjadi diseksi dapat dilakukan dilatasi ulang atau
dipasang stent
12. Pada akhir tindakan hams diyakini bahwa pasien secara klinis stabil dan angio gram
memperlihatkan hasil optimal dengan stenosis residual < 20%, aliran lancar. tak ada
diseksi bermakna atau trombus.
13. Selama tindakan PTCA, nitrat atau verapamil dapat diberi intrakoroner bila ] diperlukan.
Abciximab dapat diberikan pula
14. Pasca tindakan pasien dipantau di ICCU, minimal sehari.
15. Sheath ditarik pada hari yang sama bila waktu pembekuan darah normal atai
ACTkurangdari 150 detik.
16. Heparin tidak rutin diberikan pasca PTCA. Tiklopidin dibeirkan terutama bi dilakukan
pemasangan stent
17. Aspirin diberikan setemsnya bila tidak ada kontraindikasi
18. Obat-obat antiiskemik seperti nitrat dan antagonis kalsium umumnya diberika kecuali bila
ada kontraindikasi obat-obat tersebut. Bila tidak ada penyulit pas:e dipulangkan 2 hari
pasca PTCA.
PENILAIAN
LAMA TINDAKAN
KOMPLIKASI
• Bila ada nyeri dada berulang, teliti apakah hal tersebut bukan angina dan j apakah ada
perubahan EKG
• Hipotensi karena : dehidrasi, perdarahan, obat-obatan (nitrat, sedatif, antagc kalsium).
tamponade jantung (jarang sekali), infark jantung akut akibat
• akut pembuluh yang didilatasi atau sepsis.
• Insufisiensi ginja! akut
• Fistula AV
• Pseudoaneurisma
• Hematoma
• Oklusi trombotik
308
• Diseksi
• Gangguan neurologis
• Infeksi
WEWENANG
• RS Pendidikan : Internist-cardiologist/cardiologist dengan keahJian khusus dan
didampingi oleh tim PTC A. PPDS Penyakit Dalam / Kardiologi yang sedang / sudah
melalui Divisi Kardiologi: mempersiapkan dan membantu pelaksanaan.
• RS Non Pendidikan : Internist /Cardiologist yang telah mempunyai sertifikasi
UNIT YANG MENANGANI
• RS Pendidikan : Departemen Penyakit Dalam Di visi Kardiologi
• RS Non Pendidikan : Bagian Penyakit Dalam / Kardiologi
UNIT TERKAIT
• Bedah Jantung
REFERENSI
Santoso T. Pemasangan StentIntrakoroner. In: Sumaryono, A lwil, SudoyoA W . Simadibrata M,
Setiati S, GaniRA , MansjoerA , editors. Prosedur Tindakan Di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian limn Penyakit Dalam FKUI; 2001. p. 166-8
309
TES TREADMILL
PENGERTIAN
Tes treadmill merupakan salah satu modalitas noninvasif yang digunakan untuk menilai
pasien dengan dugaan atau terbukti menderita penyakit jantung.
TUJUAN
Memperkirakan prognosis dan menentukan kapasitas fungsional.
INDIKASI
• Untuk diagnosis penyakit jantung koroner.
• Penilaian risiko dan prognosis pada pasien dengan gejala atau riwayat penyakit jantung
koroner sebelumnya.
• Pada pasien dengan IMA untuk menilai prognosis, toleransi aktivitas, evaluasi terapi
medis dan rehabilitasi jantung.
• Evaluasi pasien dengan gejala berulang yang disertai iskemia pasca revaskularisasi.
KONTRA INDIKASI
Absolut:
• Infark miokard akut.
• Angina pektoris tidak stabil yang belum stabil dengan terapi medis
• Aritmia yang tidak terkendali yang menyebabkan keluhan atau gangguan
• hemodinamik.
• Stenosis aorta berat simtomatik.
• Gagal jantung simtomatik yang belum terkendali.
• Emboli paru akut atau infark paru.
• Miokarditis atau perikarditis akut.
• Diseksi aorta akut.
Relatif:
• Stenosis arteri koroner "left main ".
• Penyakit jantung katup stenotik moderat.
• Gangguan elektrolit.
• Hipertensi berat.
• Bradiaritmia dan takiaritmia.
• Kardiomiopati hipertropik dan bentuk obstruksi "outflow tract".
• Penurunan fisik dan mental yang menyebabkan ketidakmampuan melakui latihan secara
adekuat.
• BlokAVderajattinggi.
PERSIAPAN
• Pasien tidak makan atau merokok sekurang-kurangnya 2 jam sebelum tes.
• Anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menyingkirkan kontraindikasi tes.
• Menanyakan obat-obat yang masih diminum.
• EKG 12 standar pasien terlentang dan berdiri sebelum dilakukan tes .
310
PROSEDUR TINDAKAN
1. Perekaman elektrokardiografi dilakukan sebelum, selama dan setelah tes tread mill
diakhiri
2. Sebelum tes treadmill, perekaman EKG dilakukan pada pasien dengan posisi tidur, posisi
yang sesuai dengan posisi saat tes treadmill, dan setelah pasien diminta untuk bernapas
dalam dan cepat (hiperventilasi).
3. Selama tes treadmill gambaran EKG diambil melalui osiloskop, sedangkan perekamannya
dikerjakan 10-30 detik terakhir dari setiap beban tes treadmill, setelah tes treadmill
diakhiri, dan dalam interval-interval tertentu selam 6 menit berikutnya atau setelah
abnormalitas menghilang.
4. Biasanya minimal dikerjakan 1 perekaman baku dengan exploring electrode diletakkan di
posisi V5, sedangkan reference electrode disesuaikan dengan posisi listrikjantung.
5. Indikasi penghentian tes
Absolut:
• Tekanan darah sistolik turun (menetap di bawah baseline) walaupun dengan peningkatan
beban latihan.
• Nyeri dada angina baru atau meningkat.
• Gejala susunan saraf pusat (pusing, hampir sinkop, ataksia).
• Tanda perfusi perifer menurun (sianosis atau pucat).
• Aritimia serius (ventrikular derajat tinggi seperti multiform, triplet, dan VT/SVT).
• Kesulitan teknis dalam pemantauan EKG atau tekanan darah sistolik.
• Pasien mintaberhenti.
Relatif:
• Perubahan ST atau QRS seperti perubahan segmen ST > 3-4 mm, depresi junctional atau
perubahan aksis QRS.
• Peningkatan rasa tidak enak di dada.
• Lelah, sesak napas, wheezing.
• Target HR 100% sudah tercapai.
LAMA TINDAKAN
KOMPLIKASI
• Penurunan tekanan darah.
• Angina sedang sampai berat.
• Pusing, sinkop sebagi akibat peningkatan gejala sistem saraf.
• Sianosis atau pucat.
• Takikardia ventrikular.
• Aritmia.
• Gangguan konduksi.
• Iskemia miokard.
311
WEWENANG
• RS Pendidikan : dokter spesialis penyakit dalam/PPDS Penyakit Dalam yang sudah
melalui Divisi Kardiologi dengan supervisi dari konsultan kardiovaskular
• RS Non Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
ICCU
REFERENSi :
• Sugiri. Elektrokardiograft Pada Uji Latih Jantung. In: Noer S, W aspadji A, Rachaman
M.Lesmana LA, W idodoD, lsbagioH, etal, editors. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I,
edisi ketiga, Jakarta, Balai PenerbitFKUI ;1996. p.934-8.
• ChaiRman. Exercise Stress Testing. In : Braunwald E, eds. Heart Disease, 6th ed.
312
3.2
PULMONOLOGI
313
PUNGSI CAIRAN PLEURA
PENGERTIAN
Pungsi cairan pleura adalah tindakan aspirasi cairan pleura dari rongga pleura dengan
jarum perkutan (= torakosentesis)
TUJUAN
Diagnostik efusi pleura atau terapeutik / drainase.
INDIKASI
Efusi pleura
KONTRA INDIKASI
Keadaan sepsis
PERSIAPAN
1. Menerangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga,
indikasi, dan komplikasi yang mungkin timbul, serta kemungkinan yang akan terjadi bila
tidak dilakukan prosedur tersebut.
2. Setelah mengerti dan setuju, pasien dan keluarga menigisi dan menandatangani suratijin
tindakan.
3. Pemeriksaan hemodinamik (tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan, suhu).
4. Menentukan lokasi cairan pleura dengan klinis dan radiologis. Efusi pleura yang sedikit
diperiksa foto toraks lateral dekubitus, bila mungkin dengan ultrasonografi yang lebih
baik membedakan cairan yang mengambang bebas dan terlokulasi.
5. Menyediakan alat dan bahan yang diperlukan: Lidocain 2 % ampul (4 ampul), Spuit (5 ml,
20 ml, 50 ml), Abocath no 16 G/ no 14 G, three way, dan blood set.
PROSEDUR TINDAKAN
1. Pasien berada dalam posisi duduk tegak, kedua lengan ke depan, sebaiknya kepala dan
kedua lengan ditopang meja.
2. Lokasi yang akan dipungsi diperiksa ulang dan diberi tanda dengan pen. Lokasi harus
bebas dari penyakit lokal. Untuk efusi yang besar, lokasi pungsi ialah di satu iga di bawah
batas atas perkusi pekak, di linea aksilaris posterior atau media. Pendapat lain ialah di sela
iga VI atau VII linea aksilaris posterior atau media. Pada efusi yang kecil, sebaiknya
dengan dibimbing USG.
3. Menggunakan sarung tangan steril.
4. A dan antisepsis daerah kulit di atas efusi pleura.
5. Bila aspirasi diagnostik hanya akan mengambil sedikit cairan, anestesi lokal umumnya
tidak diperlukan. Pada pasien yang tidak gemuk, digunakan jarum untuk pungsi vena
ukuran 21-G dengan syringe 50 ml.
6. Jarum ditusukkan tegak lurus terhadap dinding dada, sedikit superior dari tepi atas tulang
iga (- di bagian bawah ruang inter-kosta) untuk menghindari berkas neurovaskular. Seraya
menusukkan jarum, dilakukan penghisapan dengan syringe sampai cairan pleura
teraspirasi. Lalu ujungjarum diarahkan ke inferior.
314
7. Bila volume cairan lebih besar akan dikeluarkan, digunakan anestesi lokal ( Lidocaine 2 %
2-4 ml), three-way tap, dan kanul intravena (Abocath) 16-G.
8. Luka bekas pungsi ditutup kassa steril yang ditetesi iodium povidone (Betadine).
9. Contoh cairan dikirim untuk pemeriksaan analisis cairan pleura,, ^sitologi. mikrobiologi
sesuai indikasi.
10. Hemodinamik dimonitor sesuai dengan banyaknya cairan yang diambil, dan reaksi tubuh
pasien terhadap prosedur.
LAMATINDAKAN
Tergantung tujuan dan volume cairan: untuk diagnostik : 5 menit, terapeutik : 15 - 60 menit
KOMPLIKASI
Pneumotoraks, hemotoraks, edema paru re-ekspansi (terutama bila drainase terlalu cepat,
dan > 1 L cairan dikeluarkan pada satu saat), emboli udara.
WEWENANG
• RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam j yang
sedang dan sudah melalui Divisi Pulmonologi .PPDS Penyakit Dalam tahap I I dengan
pengawasan PPDS tahap II atau III atau supervisor
• RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• RS Pendidikan : Departemen Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi, Departeri
Pulmonologi
• RS Non Pendidikan : Bagian Penyakit Dalam, Pulmonologi
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Radiologi / Radiodiagnostik, Departemen Bed Bedah Toraks
• RS Non Pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah
REFERENSI
1. Rosenbluth DB. Pleural Effusions: Nonmalignant and Malignant. In Fishman A P,, J A , Fishman J A ,
Grippi MA , Kaiser LR, Senior RM (eds). Fishman's Pulmonary eases and Disorders.3rd ed. New Y ork:
McGraw-Hill; 2002.p. 487-506.
2. Colt HG, Mathur PN. Manual of Pleural Procedures. Philadelphia: Lippincott W ill & W ilkins; 1999.p.
155-161.
3. Light RW . Disorders of the Pleura, Mediastinum, and Diaphragm. In: Braunwak Fauci A S, Kasper DL,
Mauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison's Princ Internal Medicine. 15"' ed. New Y ork: McGrawHill; 2001.p. 1513-6.
4. W oodcock A , V iskum K. Pleural and other investigations. In Brewis RA L, Conr0 Geddes DM,
Gibson GJ (eds). Respiratory Medicine. 2'"' ed. London: W B Saw:. 1995.p. 383-91.
5. Karlinsky JB, Lau J, Goldstein RH. Decision making in Pulmonary Medicine. Phi pliia: BC Decker;
1991.p. 12-3.
6. Sahn SA . Pleural diseases. In A merican College of Chest Physicians. IV 1 ' Nations Pulnwnarx Board
Review. Illinois: A CCP, 1996:243-53.
315
BIOPSI ASPIRASI JARUM HALUS
PENGERTIAN
Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) atau fine needle aspiration biopsy (FNAB) adalah
pengambilan material jaringan kelenjar getah bening untuk dilakukan pemeriksaan sitologi dan
mikrobiologi. Kelenjar getah bening yang dimaksud di sini ialah kelenjar getah bening (KGB)
daerah submandibula, leher, atau supraklavikula.
TUJUAN
Mengambil bahan jaringan kelenjar getah bening untuk pemeriksaan sitologi dan
mikrobiologi.
INDIKASI
Pembesaran kelenjar getah bening di daerah submandibula, leher, supraklavikula, dengan
kecurigaan kelainan paru yang berhubungan dengan KGB tersebut.
KONTRAINDIKASI
• Mutlak : tidak ada.
• Relatif: gangguan koagulasi berat.
PERSIAPAN
Persiapan pasien:
1. Pemeriksaan DPL, masa perdarahan, masa pembekuan
2. Menerangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga,
indikasi, dan komplikasi yang mungkin timbul,
3. Setelah mengerti dan setuju, pasien dan keluarga menandatangani surat ijin tindakan.
4. Dilakukan pemeriksaan hemodinamik (TD, nadi, frekuensi pernapasan, suhu).
5. Pasien diminta untuk buang air besar/kecil sebelum mulai tindakan
Bahan dan alat:
1. Jarum suntikukuran23G atau 25G
2. Syringe 2,5 mL atau 5 mL tanpa jarum
3. Kaca obyek 3 buah
4. Kasa steril
5. Larutan povidon iodine
6. Sarung tangan steril
PROSEDUR TINDAKAN
1. Memakai sarung tangan steril
2. Daerah benjolan/KGB, dan sekitarnya. dibersihkan dengan kasa steril yang telah dibasahi
dengan antiseptik, secara sentrifugal
3. Benjolan difiksasi dengan tangan kiri ( bila pemeriksa merupakan pengguna tangan kanan)
.
4. Jarum tanpa syringe ditusukkan ke benjolan dari pinggir ke tengah benjolan.
5. Setelah jarum masuk, ditarik sedikit lalu ditusukkan lagi ke arah kiri dan kanan arah
sebelumnya, kira-kira 3-7 kali tusukan
316
6. Jarum ditarik keluar sambil menutup lubang pangkal jarum
7. Syringe tanpa jarum mengaspirasi udara bebas
8. Jarum dipasangkan kepada syringe
9. Dekatkan ujung jarum ke tengah kaca obyek, lalu disemprotkan ( syringe dikosongkan)
10. Kaca obyek yang ada bahan aspirasi ditempelkan kepada kaca obyek bersih. sehingga
didapatkan 2 buah kaca obyek dengan bahan aspirasi
11. Kedua kaca obyek dibiarkan mengering di udara, lalu diberi tanda identitas dan segera
dikirim ke laboratorium
12. Bekas luka tusukan jarum ditutup dengan kasa steril yang telah dibubuhi cairan antiseptik
LAMATINDAKAN
5-10menit
KOMPLIKASI
Perdarahan
WEWENANG
• RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam â– 
•yang
sedang dan sudah melalui Divisi Pulmonologi .PPDS Penyakit Dalam tahap I dengan
pengawasan PPDS tahap II atau III atau supervisor
• RS Non Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi Departemen
Pulmonologi
• RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Pulmonologi
• UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Patologi Anatomi, Mikrobiologi
• RS Non Pendidikan : Bagian Patologi Anatomi, Mikrobiolgi
REFERENSI
Syafei S, Prayogo N. Biopsi A spirasi Jarum Halus (BA JA H). In: Sumaryono, A lwi I, Sua A W ,
Simadibrata M, Setiati S, Gani RA , Mansjoer A , editors. Prosedur Tindakan di Bidj Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Pusat lnfonnasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Da^. FKUl:1999.p.l03-4 .
317
PLEURODESIS
PENGERTIAN
Penyatuan permukaan pleura viseralis dan parietalis, secara permanen dengan cara
kimiawi, mineral, atau mekanik. Pleurodesis disebut jugapleural sclerosis.
TUJUAN
1. Mencegah berulangnya efusi pleura,
2. Menghindari torasentesis berikutnya, menghindari diperlukannya insersi chest tube
berulang,
3. Terapi simptomatisjangkapanjang,
4. Menghindari morbiditas yang berkaitan dengan efusi pleura atau pneumotoraks berulang
(trapped lung, atelektasis, pneumonia, insufisiensi respirasi, tension pneumothorax ),
5. Meningkatkan kualitas hidup dan aktitvitas kehidupan sehari-hari.
INDIKASI
1. Efusi pleura keganasan atau non-keganasan yang cepat berulang walaupun telah dilakukan
torasentesis volume besar, atau tidak respons terhadap terapi sistemik. Kandidat ideal
mempunyai tingkat tampilan yang memuaskan ( skor Karnofsky > 40 ), memiliki
perkiraan kesintasan > 3 bulan, dan menunjukkan perbaikan gejala setelah thoracentesis
sebelumnya.
2. Pneumotoraks spontan atau sekunder yang berulang, atau pneumotoraks pertama kali pada
pasien dengan risiko tinggi untuk rekurens atau dimana pneumotoraks berikutnya dapat
mengakibatkan morbiditas atau mortalitas yang bermakna
KONTRA INDIKASI
1. Pasien dengan perkiraan kesintasan < 3 bulan,
2. Tidak ada gejala yang ditimbulkan oleh efusi pleura,
3. Pasien tertentu yang masih mungkin membaik dengan teerapi sistemik (kanker mammae,
dll),
4. Pasien yang menolak dirawat di RS atau keberatan terhadap rasa tidak nyaman di dada
karena slang torakostomi.
5. Pasien dengan re-ekspansi paru yang tidak sempurna setelah pengeluaran semua cairan
pleura (trapped lung ).
PERSIAPAN
• Menerangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga,
indikasi, dan komplikasi yang mungkin timbul,
• Setelah mengerti dan setuju, pasien dan keluarga mengisi dan menandatangani suratijin
tindakan.
• Foto toraks dilakukan sebelum pleurodesis untuk memastikan bahwa paru-paru telah
mengembang sepenuhnya. Mediastinum dilihat untuk menilai tekanan pleura pada sisi
efusi dan kontra lateral,
• Bila memungkinkan dilakukan bronkoskopi sebelum pleurodesis untuk menilai adakah
obstruksi di bronkus yang memerlukan radioterapi atau terapi laser.
• Anamnesis dan pemeriksaan fisik ulang
318
• Dilakukan pemeriksaan hemodinamik (tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan, suhu).
• Hasil laboratorium dilihat ulang
• Insersi chest tube bila belum terpasang. Semua cairan pleura dibiarkan keluar sampai
habis, atau produksi cairan maksimal 100 cc per 24 jam. Idealnya slang berada pada posisi
posterior-inferior.
• Alat-alat:
- Klem chest tube 2 buah, catheter tip syringe (60 mL) 1 buah, mangkuk steril 1 buah,
sarung tangan steril, drape/duk steril, kassa steril,
• Bahan-bahan:
- Larutanpovidon-iodine, 10 ampullidocaine2 %, 1 ampul pethidin50mg. cairan NaCl 0,
9 % steril,
• Bahan sclerosing ( salah satu ):
- Agen sitotoksik: bleomisin 40 - 80 unit, atau mitoxantron 30 mg (20 mg/nvi.
dicampur dengan 30 -100 mL NaCl 0,9 %,
- Tetrasiklin dan turunannya: tetrasiklin 1.000 mg (35 mg/kgBB) atau minosiklin 300
mg ( 7 mg/kgBB) atau doksisiklin 500-1.000 mg, dicampur dengan 30 -100 mL NaCl
0,9 % dan 20 mL lidokain 2 %,
- Talk: 3 -10 g bubuk talk steril dilarutkan dalam 100 mL NaCl 0,9 % steril. Talc
disterilkan dengan radiasi sigma atau dalam autoclave dengan suhu 270°F. Bubuk
dimasukkan dalam kolf NaCl 0,9 %, dikocok , lalu dituang dalam mangkuk steril.
PROSEDUR TINDAKAN
• Tindakan dilakukan di ruangan pasien.
• Dipasang jalur infus NaCl 0,9 %
• Disiapkan O,
• Posisi pasien setengah lateral dekubitus pada sisi kontra-lateral (sisi yang a,
• chest tube berada di atas), tempatkan handuk di antara pasien dan tempat tidurj
• Petidin 50 mg IM, 15-30 menit sebelum memasukkan zat pleurodesis
• Chest tube di-klem dengan 2 klem, lalu dilepaskan dari adaptor / WSD
• Klem dibuka sesaat, agar paru sedikitkolaps dalam rongga pleura
• Lidokain 2 % 20 mL diinjeksikan melalui chest tube, kemudian klem kemb.
• dipasang. Posisi pasien diubah-ubah agar merata di seluruh permukaan pleu
• Dengan menggunakan teknik steril, agen sclerosing dicampur dengan larut
• salin di mangkuk steril. Campuran diaspirasi dengan syringe
• Syringe dipasangkan pada chest tube, kedua klem dibuka, larutan diinjeksii
• melalui chest tube. Bilas dengan NaCl 0,9 %
• Pasien diminta bernapas beberapa kali agar larutan tertarik ke rongga pleura
• Klem segera dipasang kembali dan chest tube dihubungkan dengan adaptor
• WSD
• Hindari suction negatif selama 2 jam setelah pleurodesis. Pasien diubah-u
• posisinya (supine, decubitus lateral kanan-kiri) selama 2 jam, lalu klem dicata^
• Rongga pleura dihubungkan dengan suction bertekanan - 20 cmH,0
319
•
-
Pasca tindakan:
Dilakukan foto toraks AP ulang untuk meyakinkan reekspansi paru, bila perlu setiap
hari
Awasi tanda vital
Monitor drainase chest tube harian
Monitor kebocoran udara
Perban diganti tiap 48 jam
Kendalikan nyeri dengan analgetik Bila perlu spirometri insentif
Mobilisasi bertahap, cegah thrombosis vena dalam
Pertimbangkan mencabut chest tube bila drainase pleura harian < 100 mL atau tidak
terlihat lagi fluktuasi pada botol WSD
LAMA TINDAKAN
±3 jam
KOMPLIKASI
• Nyeri
• Takikardia, takipnea, pneumonitis atau gagal napas (terutama setelah pemberian talc
slurry), edema paru reekspansi. Umumnya reversibel.
• Demam. Berkaitan dengan pleuritis, hilang dalam < 48 jam.
• Ekspansi paru inkomplit dan partially trapped lung.
• Reaksi terhadap obat
• Syok neurogenik
WEWENANG
• RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang
dan sudah melalui Divisi Pulmonologi. PPDS Penyakit Dalam tahap I dengan pengawasan
PPDS tahap II atau III atau supervisor
• RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi. Departemen
Pulmonologi
• RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Pulmonologi
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Departemen Bedah/Toraks.
• RS Non Pendidikan : Bagian Bedah
REFERENSI
1. Colt HG, Matlntr PN. Manual of Pleural Procedures. Philadelphia: Lippincott W lllunm
&W ilkins;1999.p. 155-161.
2. Rasmin M, Rogayah R, W ihastuti R, Fordiastiko, Zubaedah. Elisna S. Prosedur Bidang Paru dan
Pernapasan: Diagnostikdan Tempi. Jakarta: Bag. Pulmo 2001.p. 91-2.
320
BRONKOSKOPI
PENGERTIAN
Bronkoskopi merupakan proses visualisasi langsung dari percabangan trakeo-bronkial,
menggunakan alat bronkoskop flexible atau rigid.
• Bilasan bronkus (Bronchial washing) = tindakan membilas daerah bronkus dan cabangcabangnya dengan cairan normal saline via bronkoskop, pada permukaan lesi.
Bronchoalveolar lavage (BAL) merujuk pada pengambilan sampel dari daerah yang tidak
tervisualisasi - parenkim paru yang lebih distal - dengan ujung bronkoskop menutup suatu
saluran subsegmental, kemudian normal sa line diinjeksikan untuk mendapatkan sel dan
organisme dari ruang alveolar.
• Sikatan bronkus (Bronchial brushing) = tindakan menyikat daerah bronkus yang dicurigai
terdapat kelainan.
• Biopsi forsep = tindakan biopsi dengan menggunakan alat biopsi forsep melalui
bronkoskop.
• Biopsi aspirasi jarum transbronkial (transbronchial needle aspiration ITBNA | = tindakan
biopsi menembus trakeobronkus dengan jarum melalui bronkoskop untuk lesi/kelainan
yang menekan trakeobronkial.
• Pengangkatan benda asing = pengambilan benda asing dalam saluran napas menggunakan
bronkoskop.
• Biopsi Paru Transbronkial (Transbronchial Lung Biospy/TBLB ) karena membutuhkan
fluoroskopi C-arm, terapi laser, atau pemasangan stent trakeobronkial tidak dimasukkan
disini.
TUJUAN
TujuanUmum:
1. menilai keadaan percabangan bronkus
2. mengambil spesimen untuk diagnostik
3. melakukan tindakan terapeutik
Tujuan Khusus:
• Bilasan bronkus : untuk mendapatkan spesimen untuk diagnostik ( sitologi dan
• mikrobiologi) dan membersihkan bronkus dari sekret, darah, atau bekuan darah
• Sikatan bronkus : untuk mendapatkan spesimen untuk pembuatan sediaan apus
• sitologi dan pemeriksaan mikrobiologi.
• Biopsi forsep : untuk mengambil spesimen dari mukosa trakeobronkial untuk
• pemeriksaan histopatologi.
• TBNA : untuk mendapatkan spesimen sitologi dari lesi yang menekaaJ
• trakeobronkial.
• Pengangkatan benda asing : untuk membebaskan saluran napas
321
INDIKASI
Diagnostik:
1. Nodul paru soliter
2. Penyakit kanker paru
3. Penyakitparuinterstisial(ILD)
4. TB endobronkial
5. Batuk menetap atau terdapat keluhan perubahan sputum
6. Kelainan foto toraks yang belum jelas penyebabnya
7. Pneumotoraks: bila paru tidak mengembang
8. Hemoptisis
9. Sputum sitologi positif, tetapi foto toraks normal
10. Pengambilan spesimen pasien dengan ventilasi mekanik
11. Paralisis n. recurrens / diafragma
12. Suara serak yang belum jelas penyebabnya
13. Wheezing lokal
14. Cedera inhalasi akut
15. Perioperatif
Terapeutik:
1. Lavage
2. Pengeluaran benda asing
3. Penanganan hemoptisis masif
4. Abses paru
5. Terapi paliatifuntuk kanker
• Bilasan bronkus:
- Diagnostik : penyakit paru infeksi, penyakit paru kerja, ILD, keganasan
- Terapeutik : evakuasi bahan yang ter-aspirasi / inhalasi Pasca operasi
• Sikatan bronkus:
- Kelainan di daerah trakeobronkial: jaringan infiltratif Curiga TB endobronkial Infeksi
saluran napas bawah
• Biopsi forsep:
- Kelainan di daerah trakeobronkial: massa keganasanjaringan granulomatosa-Benda
asing kecil
• TBNA:
- Lesi yang mendesak dari Iuar trakea dan bronkus utama atau pembesaran KGB
paratrakea, subkarina, tetapi tidak ditemukan lesi intralumen
- Karina tumpul karena desakan dari luar
- Tumor intralumen yang mudah berdarah, atau tidak memberikan hasil dengan sikatan
bronkus.
Pada sebagian besar kasus, digunakan bronkoskop flexible. Bronkoskop rigid untuk kasus
dimana diperlukan patensi saluran napas dan ventilasi yang lebih baik (saluran napas yang kecil),
322
pengambilan darah/ sekret/ jaringan tumor/ benda asing.
KONTRA-INDIKASI
(relatif):
1. Hipoksemia ireversibel (PO, <60mmHg)
2. Aritmia
3. Penyakitjantung iskemik
4. Asma
5. Obstruksi vena cava superior
6. Diathesis perdarahan, termasuk thrombositopenia dan gagal ginjal kronik
7. pasien tidak kooperatif
PERSIAPAN
Pasien:
• Menerangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga,
indikasi, dan komplikasi yang mungkin tirabul,
• Setelah mengerti dan setuju, pasien dan keluarga menandatangani surat ijin tindakan.
• Pemeriksaan DPL, BT, CT, ureum, elektrolit, AGD
• Foto toraks PA dan lateral
• Spirometri
• EKG
• Pada pasien asma diberikan nebulisasi dengan beta 2 agonis 30 menit sebelum
- tindakan.
• Pasien dengan gangguan perdarahan/pembekuan diberikan trombosit atau FTP
- segera sebelum tindakan.
• Puasa, minimal 4 jam sebelum tindakan.
• PasanglVFD.
• Pemeriksaan hemodinamik (tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan, suhu).
Ruangan:
Dilakukan di ruang tindakan Divisi Pulmonologi, kecuali darurat.
Alat:
• 1 set peralatan bronkoskopi
• Sumber O, dengan aparatusnya
• Mouth piece
• Larutan povidon iodine diencerkan untuk membersihkan bronkoskop
• Kassa steril
• Kain penutup mata pasien
• Pulse oxymeter
• Mucus corrector I Wadah penampung cairan bilasan
• Untuk Sikatan bronkus: sikat tanpa selubung, sikat dengan selubung, sikat kateter
• ganda tertutup polietilenglikol, gelas obyek 6 buah, alkohol 96 %
• Untuk Biopsi forsep: alat biopsi forsep, wadah berisi formalin 40 %
• Untuk TBNA: alat jarum TBNA, syringe 10 ml, syringe 20 mL, wadah berisi formalin 40 %
Bahan:
• Sulfas atropin (SA) 0,25 mg, 1-2 ampul
323
•
•
•
•
•
•
•
Diazepam 5 mg. 1 ampul
Lidokain 2 %, 2 ampul @ 20 mL
Syringe 5 cc. 3 buah
Syringe 20 cc, 3 buah
CairanNaC10,9%
Xilokain spray 10 %
Obat resusitasi: Adrenalin ampul, dexamethason ampul, SAampul, Na-bikarbonat ampul,
bronkodilator ampul).
PROSEDUR TINDAKAN
• Periksa tanda vital, status paru dan jantung
• Premedikasi dengan Sulfas Atropin 0,25 - 0,5 mg IM, 1 jam sebelum bronkoskopi
• Sesaat sebelum tindakan: Diazepam 5 mg IM
• Anestesi lokal:
- Kumur tenggorok dengan lidokain 2 % 5 mL selama 5 menit dalam posisi duduk
- Xilokain spray 10 % 5 - 7 semprot daerah laringo-faring dan pita suara ( menggunakan
kaca laring)
- Bila via hidung: semprotkan 30 mg lidokain 4 % atau 10 % ke ostium nasal Instilasi
lidokain 2 % 2 mL ke trakea via pita suara
• Pasien terlentang, tubuh bagian atas / punggung disangga, membentuk sudut 45°
• Ditempatkan bantal di belakang kepala, supaya otot leher menjadi lemas
• Bronkoskopi diinspeksi dan kejernihan gambar diperiksa
• Sensor oxymeter ditempelkan pada jari telunjuk pasien
• 0,3-4 L/mmelaluikanul nasal
• Kedua mata pasien ditutup dengan kain penutup untuk mencegah terkena larutan lidokain /
cairan pembilas
• Diletakkan mouth piece di antara gigi atas dan bawah untuk melindungi bronkoskop
• Bronkoskop mulai dimasukkan melalui celah mouthpiece
• Faring diinspeksi
• Instrument dimasukkan ke dorsal/epiglottis, mobilitas pita suara dilihat pada saat pasien
menyebutkan "ii"
• Pita suara diinstilasi dengan lidokain 1-2 mL melalui saluran di bronkoskop. Sebelum
diinstilasi, pasien diberitahu bahwa hal itu dapat merangsang batuk. Instilasi lidokain dengan
jumlah yang sama dapat diulangi bila pasien terbatuk selama dilakukan tindakan. Lidokain
yang berlebihan diaspirasi dari sekitar laring
• Instrument dimasukkan melalui bagian terlebar dari glotis pada saat inspirasi tanpa
menyentuh pita suara. Sebelumnya pasien diberitahu bahwa hal ini dapat menimbulkan
sensasi tercekik yang segera hilang
• Trakea, karina, dan percabangan bronkus dinilai dan dianestesi dengan lidokain 2 % 2 mL,
maksimal 6 kali. Lobus superior paru kanan dan kiri dianestesi dengan injeksi langsung
lidokain (dosis maksimal instilasi lidokain 400 mg)
• Inspeksi menyeluruh dilakukan pada semua percabangan bronkus sampai bronkus
subsegmental
• Bila pandangan terhalang oleh sekret pada lensa distal, semprot dengan 5 mL NaCl 0,9 9c
yang diaspirasi kembali saat pasien batuk. Alternatif adalah mem-fleksikan ujung bronkoskop
dan dengan hati-hati diusapkan pada mukosa trakea atau bronkus
324
Untuk bilasan bronkus:
• setelah bronkoskop berada pada daerah bronkus yang dicurigai, dimasukkan cairan NaCl
0,9 % hangat 5 mL,
• cairan segera diaspirasi lagi dan ditampung dalam wadah penampung khusus yang
dipasang pada alat bronkoskop.
• Tindakan ini diulangi sampai cukup bersih atau didapat spesimen
Untuk sikatan bronkus:
• setelah bronkoskop berada pada daerah bronkus yang dicurigai terdapat kelainan. alat
sikat dimasukkan melalui bronkoskop
• dilakukan sikatan beberapa kali sampai dirasa cukup
• setelah selesai melakukan sikatan, alat sikat ditarik ke dalam kanal bronkoskop dan
dikeluarkan dari trakeobronkial bersama bronkoskop
• setelah berada di luar, sikat dikeluarkan dari ujung bronkoskop sepanjang ± 5 cm,
kemudian sikat dijentikkan pada gelas obyek dan dibuat sediaan apus (bila sikat tanpa
selubung, untuk pemeriksaan kanker paru) atau ujung sikat digunting dan dimasukkan ke
dalam pot steril berisi media transpor / media kultur (sikat kateter ganda untuk
pemeriksaan mikroorganisme)
• sediaan apus untuk pemeriksaan sitologi direndam dalam wadah berisi alkohol 96 %
Untuk biopsi:
• setelah bronkoskop berada pada daerah bronkus yang dicurigai terdapat kelainan. ujung
bronkoskop ditempatkan ± 4 cm di atas daerah tersebut
• alat biopsi forsep dimasukkan melalui manouver channel sampai terlihat keluar dari ujung
bronkoskop.
• Asisten membuka forsep, lalu forsep didorong sampai terbenam di massa,
• forsep ditutup, lalu ditarik sambil melihat jaringan yang didapat (jaringan nekrotik
dihindari)
• setelah biopsi selesai, forsep bersama material yang didapat ditarik keluar dari
bronkoskopi spesimen direndam dalam wadah berisi cairan formalin 40 %
• bronkoskop dilanjutkan untuk evaluasi, bila ada perdarahan harus diatasi. Setelah tidak
ada masalah lagi, bronkoskop dikeluarkan
Untuk TBNA:
• Setelah bronkoskop berada pada daerah bronkus yang dicurigai terdapat kelainar.. I ujung
bronkoskop ditempatkan + 4 cm di atas daerah tersebut.
• Alat biopsi jarum dimasukkan melalui manouver channel sampai terlihat keluar I dari
ujung bronkoskop
• Jarum dikeluarkan dari selubungnya, bronkoskop didorong ke sasaran sampail jarum
menembus mukosa bronkus atau menembus bronkus pada lesi vanjM menekan bronkus
• Operator melakukan biopsi dengan cara menekan dan menarik jarum, sementara I asisten
melakukan aspirasi dari ujung proksimal jarum dengan syringe 10 - M mL beberapa kali
• Bila sediaan dianggap cukup, pengisapan dengan semprit dihentikan dan jaruiJ
dimasukkan kembali ke dalam selubungnya
• Jarum dikeluarkan dari bronkoskop
325
• Setelah berada di luar, jarum dikeluarkan dari selubungnya dan ditempatkan di atas gelas
obyek dan dengan menggunakan syringe 10-20 mL yang dihubungkan dengan ujung
jarum TBNA, material didorong ke gelas objek untuk dibuat sediaan apus
• Sediaan apus direndam dalam wadah berisi cairan formalin 40 %
• bronkoskop dilanjutkan untuk evaluasi, bila ada perdarahan harus diatasi. Setelah tidak
ada masalah lagi, bronkoskop dikeluarkan
Untuk Pengambilan benda asing,
• digunakan:
- Grasping forceps untuk mengeluarkan benda pipih atau tipis anorganik (pin), atau
organik tapi keras (tulang)
- Basket untuk benda berukuran besar dan bulky
- Magnet untuk benda logam yang kecil, jarum, klip
• Setelah spesimen sitologi, mikrobiologi dan biopsi atau benda asing diambil, sekret
berlebihan diaspirasi, hemostasis diyakinkan, dan instrumen dicabut
• Pasca tindakan diterangkan kepada pasien kemungkinan adanya sedikit darah saat batuk,
yang akan hilang dalam 48 jam. Dianjurkan tidak makan atau minum selama 2 jam setelah
tindakan karena efek anestesi topikal
LAMA TINDAKAN
± ljam
KOMPLIKASI
• Yang berhubungan dengan premedikasi: depresi pernapasan, hipotensi transien, sincope,
hipereksitabilitas.
• Yang berhubungan dengan analgesia topikal (jarang dengan lidocaine ):Henti napas, konvulsi,
kolaps kardiovaskular, laryngospasme, metHemoglobinemia.
• Yang berhubungan dengan bronkoskopi :Laryngospasme, respiratory compro-mwe/depresi
napas, bronkospasme, demam pasca bronkoskopi, epistaksis (bila via nasal), henti jantung,
aritmia, syncope, pneumonia, infeksi silang.
• Yang berhubungan dengan biopsi transbronkiakpneumotoraks, perdarahan.
• Yang berhubungan dengan lavage / BAL : demam.
WEWENANG
• RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam Divisi Pulmonologi dan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam dengan sertifikasi
• PPDS Penyakit Dalam membantu persiapan dan pelaksanaan.
• RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi. Pulmonologist.
• UNIT YANG MENANGANI
• RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi. Departemen
Pulmonologi
326
• RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Pulmonologi
• Panduan Prosedur Tindakan PAPDI
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan: Departemen Radiologi / Radiodiagnostik Departemen Bedah / Bedah
Toraks, Patologi Anatomi
• RS Non Pendidikan: Bagian Radiologi, Bedah, Patologi Anatomi
REFERENSI
1. Halpin D, Collins J. Invasive Techniques: Bronchoscopy and Lavage. In Brewis RA L, Corrin B,
Geddes DM, Gibson GJ (eds). Respiratory Medicine. 2'"' ed. London: W B Saunders; 1995.p.362-73.
2. Rasrnin M, Rogayah R, W ihastuti R, Fordiastiko, Zubaedah, Elisna S. Prosedur Tindakan Bidang Paru
dan Pernapasan: Diagnostik dan Tempi. Jakarta: Bag. Pulmonologi FKUI; 200Lp. 2-15.
3. Sternum DH. Bronchoscopy, Transthoracic Needle A spiration, and Related Procedures. InFishmanA P,
EliasJA , FishmanJA , GrippiMA , KaiserLR, SeniorRM(eds). Fishman's Manual of Pulmonary Diseases
and Disorders.3"' ed. New Y ork: McGraw-Hill; 2002.p. 75-91.
4. W einberger SE, Drazen JM. Diagnostic Procedures in Respiratory Disease. In: Braunwald E, Fauci
A S, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine.15'1 '
ed. New Y ork: McGraw-Hill; 2001.p. 1455.
327
SPIROMETRI
PENGERTIAN
Spirometri adalah pemeriksaan untuk mengukur volume paru static dan dinamik dentgan alat
spirometer. Volume udara total di paru0paru tebgai atas kompartemen (volume) dan kapasitas (kombinasi
dari 2 atau lebih volume).
Volume adalah keadaan statis :
· Tidal volume
=
TV
· Ekspiratory reserve volume
=
ERV
· Inspiratory reserve volume
=
IRV
· Residual volume
=
RV
· Vital capacity
=
VC
· Force vital capacity
=
FVC
· Inspiratory capacity
=
IC
· Functional residual capacity
=
FRC
· Total lung capacity
=
TLC
Volume Dinamik :
· Volume expired in the first second
=
FEVI
· Maximal voluntary ventilation
=
MVV
Interpretasi : klasifikasi pola abnormal terdiri atas :
1. Pola obstruksi (karena penyempitan jalan nafas, dan perlambatan arus udara)..
2. Pola restriksi ( karena penyakit parenkim paru, dinding dada, rongga pleuran, neuromuscular yang
mengurangi kapasitas vital, dan volume-volume paru).
3. Pola campuran obstruksi –restriksi (karena proses patologis yang mengurangi volume udara,
kapasitas vital, dan arus udara, dan termasuk penyempitan jalan nafas).
4. Transfer udara abnormal (abnormaitas membrane alveolus –kapiler)
Katagori Obstruksi berdasarkan pengukuran FEVI/FFC%:
· Normal
:
nilai FEVI/FVC%
> 69%
· Obstruksi Ringan
:
61 - 69 %
· Obstruksi Sedang
:
45 - 60%
· Obstruksi Berat
:
< 45%
Katagori Restriksi berdasarkan rasio VC didapat /VC prediksi :
· Normal
:
VC%
81%
· Restriksi Ringan
:
66 - 80 %
· Restriksi Sedang
:
51 - 65%
· Restriksi Berat
:
45%
Tujuan
1. Menilai status faal baru : norma, hiper inflasi, obstruksi, restriksi, atau campuran
2. Menilai manfaat intervensi/pengobatan
3. Evaluasi perkembangan penyakit
4. Menentukan prognosis
5. Menentukan toleransi tindakan bedah :
- Menentukan resiko ringan, sedang, atau berat
- Menentukan apakah dapat dilakukan reseksi paru
INDIKASI
1. Penderita sesak napas
328
2. Penderita asma dalam keadaan stabil untuk mendapatkan nilai dasar, selanjutnya setiap 6 bulan
3. Penderita PPOK dalam keadaan stabil untuk mendapatkan nilai dasar PPOK dan penyakit obstruksi
lainnya, selanjutnya setiap 3-6 bulan
4. Penderita asma dan PPOK setelah pemberian bronkodilator untuk melihat efek pengobatan
5. Penderita yang akan mengalami tindakan bedah dengan anestesi umum
6. Penderita yang akan mengalami tindakan torakotomi
7. Pemeriksaan berkala pada orang-orang yang merokok : sekali setahun
KONTRA INDIKASI
· Absolut
: tidak ada
· Relatif
: hemoptitis, pneumotoraks, infark miokard, emboli paru, status kardiovaskular
tidak stabil, pasca bedah mata, infeksi viral (2-3 minggu terakhir)
PERSIAPAN
Alat :
· Spirometri
· Mouth piece 1 buah
Penderita
· Tidak menggunakan obat bronkodilator minimal 8 jam (kerja singkat) atau 24 jam (ketja panjang)
· Tidak merokok atau makan kenyang dalam 2 jam sebelum pemeriksaan
· Tidak berpakaian ketat
· Diterangkan tujuan dan cara pemeriksaan, serta contoh cara melakukan pemeriksaan
· Diukur tinggi badan, berat badan
PRUSEDUR TINDAKAN
· Posisi berdiri tegak, kecuali jika tidak memungkinkan : dalam posisi duduk
· Penderita menghirup udara semaksimal mungkin, kemudian meniup melalui mouth piece sekuatkuatnya dan semua udara dapat dikeluarkan sebanyak-banyaknya, dengan tidak ada udara yang
bocor melalui celah antara bibir dan mouth piece
· pemeriksaan dilakukan untuk mendapatkan 3 nilai yang reproduksibel (beda antara 2nilai terbesar
dari ketiga percobaan 5% atau 100mL)
LAMA TINDAKAN
± 10 menit
KOMPLIKASI
Pneumotoraks, peningkatan tekanan intracranial, sinkope, sakit kepala, pusing, nyeri dada, batuk,
infeksi nosokomial, desaturasi oksigen.
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter spesialis Penyakit dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang dan
sudah melalui Divisi Pulmonologi, Divisi Alergi –Imunologi
· RS non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Penyakit dalam –Divisi Pulmonologi, Divisi Alergi –Imunologi
· RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam, Pulmonologi
UNIT TERKAIT
329
REFERENSI
1. Grippi MA , Bellini LM. Pulmonary Function & Cardiopulmonary Exercise Testing.
Philadelphia : Lippincott W illiams & W illkins ; 2002.p.31-40
2. Y unus F. Pemeriksaan Spirometri. Prosiding W orkshop on Respiratory Physiology and Its Clinical
A pplication. Jakarta, 28-29 Juni 1997
3. Rasmin M, Rogayyah R, W ihastuti R, Fordiastiko, Zubaedah, Elisna S. Prosedur tindaka Bidang Paru
Dan Pernapasan : Diagnostik dan Terapi. Jakarta :Bag. Pulmonologi FKUI;2001.p.28-32
330
BIOPSI PLEURA
PENGERTIAN
Biopsi Pleura adalah tindakan untuk mengambil specimen jaringan pleura parietal secara trans –
toraka
TUJUAN
Untuk mendiagnosis penyakit-penyakit pleura, seperti tuberpulosis dan keganasan
INDIKASI
· Bila torasentesis sebelumnya tidak memberikan hasil diagnostic yang diaharapkan
· Untuk meningkatkan ketepatan diagnostic pada saat torasentesis inisial pada pasien dengan efusi
pleura yang belum dapat diterangkan atau penebalan pleura, terutama jika dicurigai karsinomatosis
pleura atau tuberklosis
KONTRA –INDIKASI
Gangguan fungsi koagulasi yang belum teratasi, pneumotoraks, pasien tidak kooperatif, pasien
yang mendapatkan positive pressure ventilation (PPV)
PERSIAPAN
Bahan dan Alat
· Jarum diopsi
· Scalpel no. 11
· Klem Kelly
· Cairan anti septik, sarung tangan steril, kasa, handuk steril
· Lidokain 1% 20ml
· Spuit 2cc & 10cc
· Jarum no.25.
· Tempat specimen dengan larutan formalin 10%
Persiapan pasien :
1. Pemeriksaan DPL, DT, CT
2. Menerangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan krpada pasien dan keluarga, indikasi, dan
komplikasi yang mungkin timbul
3. Setelah mengerti dan setuju, pasien pasien dan keluarga menandatangani surat ijin tindakan
4. Dilakukan pemeriksaan Hemodinamik (tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan, suhu)
PROSEDUR TINDAKAN
1. Pasien duduk dengan posisi santai
2. Tetapkan lokasi biopsio, pada sela iga linea aksilaris posterior
3. Gunakan sarung tangan steril dan latih penggunaan jarum Abrams
4. Asepsis dan antisepsis daerah tindakan
5. Anestesi daerah tindakan dengan jarum No. 25 untuk bagian luar, dan jarum no. 20 untuk bagian
dalam
6. Dilakukan sayatan 3mm dengan scalpel pada kulit atau jaringan interkostal yang dipilih
7. Dorong jarum Abrams dengan gerakan memutar dalam posisi tertutup sampai terasa ada hambatan.
Putar alat kedalam posisi terbuka dan aspirasi dengan spuit. Adanya cairan membuktikan
pemotongan berada diruang pleura
8. Letakkan pemotongan diposisi jam 6. Pemotongan dikeluarkan bila pleura parietal telah diperoleh,
jarum pemotong diputar diposisi tertutup dan keluarkan
331
9. Letakkan specimen pada kaldu untuk M.Tuberkulosis dan Kultur jamur, sedangkan yang lainnya
diletakkan dalam formalin 10% untuk pemeriksaan histology
10. Ulang prosedur ini sampai 5kali dengan jarum pemotong dan di arahkan kebawah abtara posisi
jam 2 dan jam 10. Jarum pemotong jangan diarahkan keatas oleh Karen dapat merusak saraf, dan
pembuluh darah interkostal
11. Jika ingin mengeluarkan cairan pleura, gunakan jarum torakosentesis atau jarum Abrams
12. Luka ditutp dengan perban dan jika diperlukan dapat diajhit
Tehnik memakai jarum cope
1. Pasien duduk dengan posisi santai dan nyaman
2. Tetapkan lokasi biopsy, pada sela iga linea aksilaris posterior
3. Gunakan sarung tangan steril dan latih penggunaan jarum cope
4. Asepsis dan antisepsis daerah tindakan
5. Anestesi daerah tindakan
6. Buat insisi pada kulit sepanjang 3mm
7. Masukkan ujung stoker kedalam kanula luar, tusukkan kedinding dada dan tarik stoker dengan
gerakan memutar sampai cairan teraspirasi
8. Keluarkan trokar dari kanula luar dan masukkan kaitan trokar biopsy dalam. Untuk mencegah
udara memasuki ruangan pleura ketika trokar dikeluarkan dari kanula luar pasien dianjurkan untuk
menahan napas
9. Tempatkan pemotong kait trokar biopsy antara 2 jam dan 10 jam, gunakan penutup metal pada
proksimal trokar biopsy sebagai tuntunan jika inging mengeluarkan cairan p;lbiopsy
10. Cabut perlahan-lahan trokar biopsy dan kanula bersama-sama sampai kait trokar terangkat
11. Masukkan kanula luar kedalam dada dengan gerakan memutar sambil tetap berusaha menarik
trokar biopsy. Tarik trokar biopsy dari kanula luar dan keluarkan hasil biopsy
12. Trokar dapat dimasukkan ulang kedalam kanula luar dan dapat dilakukan biopsy tambahan. 3
sampai 6 spesimen dapat diperoleh dari kait biopsy dengan arah yang berbeda-beda. Letakkan 1
jaringan specimen pada kaldu M. Tuberkulosis dan kultur jamur
13. Sedangkan lainnya dapat diletakkan pada cairan formalin 10% untuk pemeriksaan histology
14. Jika ingin mengeluarkan cairan pleura, dapat melalui kanula luar
15. Tutup tempat fungsi dengan perban. Jika perlu dapat dijahit
Evaluasi pasca Biopsi Pleura
· Observasi tanda-tanda pneumotorak
· Foto dada PA
LAMA TINDAKAN
10 –15 mnt
KOMPLIKASI
Pneumotoraks, pendarahan, kerusakan saraf interkostal dengan gejala nyeri sisa dan berkurangnya
sensibilitas, nodul tuberculosis pada lokasi, emfisema subkutan, reaksi vasovagal
WEWENANG
· RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit dalam Subspesialis pulnomologi. PPDS Penyakit
Dalam membantu persiapan dan pelaksanaan
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam , Pulnomologi
332
UNIT TERKAIT
· RS Pendidikan : Departemen Radiologi / Radiagnostik Departemen Bedah/ Bedah Toraks,
Patologi, Anatomi
· RS non Pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah, Patologi Anatomi
333
3.3
REUMATOLOGI
334
PENYUNTIKAN INTRA –ARTIKULLAR
PENGERTIAN
Penyuntikan intra artikullar merupakan suatu terapi local dengan tujuan memberikan analgesic
anti inflamasi di daerah sendi
TUJUAN
Memberikan efek analgesic antiinflamasi di daerah sendi
INDIKASI
1. Aspirasi cairan sendi : tindakan ini penting dalam rangka memastikan diagnosis jika penyebab efusi
sendi berupa sepsis, deposit Kristal atau pendarahan. Juga berguna dalam membedakan kelainan sendi
inflamatif atau non inflamatif. Aspirasi juga mempunyai arti terapeutik denagn jalan mengeluarkan
darah, pus, cairan sendi yang terlalu banyak atau yang mengandung Kristal
2. Suntikan/ pemberian obat : penyuntikan bahan tertentu kedalam ruang sendi merupakan prosedur
terapeutik, dan dilakukan dalam keadaan-keadaan sebagai berikut, dengan syarat infeksi harus telah
disingkirkan :
a) Hanya 1 atau beberapa sendi yang meradang
b) Hanya 1 atau beberapa sendi yang lebih meradang dari yang lain
c) Jika terapi sistemik dikontra-indikasikan
d) Sebagai pelengkpa terapi sistemik terhadap kelainan/keradangan sendi yang sulit diatasi
e) Membantu mobilisasi dan mencegah deformitas sendi, bersama-sama dengan program
rehabilitasi
f) Keluhan reumatik ekstra-artikular : bursitis, tenosinovitis, nerve entrapement syndhrome dsb
g) Menghilangkan nyeri dengan cepat
h) Biasanya tidak diberikan pada osteoarthritis, kecuali pada kasus tertentu yaitu untuk
menghilangkan nyeri pada osteoarthritis yang menunjukkan inflamasi local
KONTRAINDIKASI
1. Infeksi local
2. Hipersensifitas terhadap bahan yang disuntikkan
3. Diathesis henoragik
4. Sendi yang tidak stabil
5. Fraktur intra-artikular
6. Sendi yang tidak dapat dicapai
7. Osteo[orosis juksta-artikular yang berat
8. Kegagalan suntikan terdahulu
9. Tidak ada indikasi yang tepat
10. Lesi yang mungkin tidak akan memberikan respons terhadap suntikan
11. Psikologis : penderita neurosis mungkin akan bergantung kepada suntikan
12. Pasien yang takut disuntik
PERSIAPAN
Semua perlengkapan yang dipakai harus steril. Umumnya dipakai spuit dan jarum yang diposable.
Ukuran jarum yang dipakai disesuaikan dengan besar sendi yang akan disuntik. Juga tidak boleh
dilupakan botol kecil tempat menampung aspirat guan pemeriksaan cairan sendi lebih lanjut.
335
PROSEDUR TINDAKAN
Sebaiknya penyuntikan dilakukan dalam lingkungan yang aseptic. Hendaklah ditimbulkan kesan
pada penderita bahwa prosedur ini bukanlah prosedur yang sulit. Jarang diperlukan obat penenang.
Penentuan tempat yang tepat sangat penting. Keberhasilan suntikan local sangat bergantung kepada
pengetahuan antomis daerah yang bersangkutan. Sebelum melakukan penyuntikan, dokter harus
mempunyai gambaran yang jelas tentang tempat yang akan disuntik dan jaluir yang akan dilakui oleh
jarum suntik. Penderita harus dalam posisi sedemikian rupa sehingga struktur disekitar sasaran suntikan
dalam keadaan rileks. Kemudian dilakukan pembersihan serta tindakan asepsis dan antisepsis pada tempat
yang akan disuntik. Draping hanya diperlukan pada penderita imunokompromis atau jika diperkirakan
prosedur akan berlangsung lama atau sulit. Tindakan untuk mengurangi sensasi tusukan jarum (misalnya
semprotan etilklorida atau anestesi local atau infiltrasi lidokain menuju jarum yang sangat halus) kadangkadang diperlukan.
KOMPLIKASI
Komplikasi suntikan local :
1. infeksi, dengan insidens 1 dari 1000-16000 pada dokter yang berpengalaman
2. pendarahn, jika merata harus dicurigai trauma atau gangguan mekanisme perdarahan. Lalu
lakukan aspirasi dan jangan lakukan penyuntikan
3. kerusakan rawan sendi, dapat terjadi akibat trauma oleh ujung jarum suntik.
4. nekeosis aseptic, terjadi akibat infark tulang subkhondral
5. atrofi kulit, dan jaringan subkutan
6. sinovitis Kristal
7. rupture tendo/ligament
8. supresi korteks adrenal
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam yang sedang/sudah melalui divisi Rematologi
· RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit - Divisi Reumatologi
· RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Departemen Bedah / Ortopedi
· RS Non Pendidikan : Bagian Bedah
336
ASPIRASI CAIRAN SENDI/ARTROSENTESIS
PENGERTIAN
Aspirasi cairan sendi/artrosentesis merupakan tindaka yang sering dilakukan dibidang reumatologi.
Tindakan aspirasi dan analisis cairan sendi sangat penting artinya dalam diagnosis dan tata laksana
beberapa penyakit sendi seperti artritis septik dan artritis gout. Sendi-sendi tertentu seperti sendi lutut lebih
sering mengalami afusi daripada sendi lainnya.
TUJUAN
INDIKASI
Diagnostik
1. Membantu diagnosis artritis
2. Memberikan konfirmasi diagnosis klinik
3. Selama pengobatan arthtritis septik, dilakukan secara serial untuk menghitung jumlah leukosit,
pengecatan gram, dan kultur cairan sendi
Terapeutik
1. Artrosentesis –evakuasi kristal untuk mengurangi inflamasi pada pseudogout akut dan crystal
induced artritis yang lain –evakuasi serial pada arthtritis septik untuk mengurangi destruksi
(drainase)
2. Pemberin kortikosteroid intraartikular –mengontrol inflamasi steril pada sendi-sendi secara
maksimal merupaka kunci dimana obat anti –inflamasi nonsteroid telah gagal, kemungkinan akan
gagal atau merupakan kontraindikasi-mempersingkat periode kesakitan, pada inflamasi yang self
limited (gout)-menghilangkan nyeri inflamasi dengan cepat-membantu terapi fisik pada kontraktur
sendi.
KONTRAINDIKASI
Diagnostik : infeksi jaringan lunak yang menutupi sendi, bakteremia, anatomis tidak bisa dilakukan,
pasien tidak kooperatif
Terapeutik : kontraindikasi diagnostik, instabilitas sendi, nekrosis avaskular, artritis septik, osteonekrosis,
sendi neurotropik
PERSIAPAN
Bahan dan alat :
· SPUIT SESUAI KEPERLUAN
· JARUM SPUIT : No.25 untuk sendi kecil, No. 21 untuk sendi lain, No. 15-18 untuk efusi yang
padat (pus)
· Disinfektan iodine (betadine), alkohol
· Kasa steril
· Anestesi lokal
· Sarung tangan
· Pulpen (untuk penanda)
· Plester
· Tabung gelas
· Tabung steril untuk kultur
· Lain-lain sesuai kebutuhan : media kultur, kortikosteroid
337
PROSEDUR TINDAKAN
Umum :
1. Sebelum melakukan aspirasi cairan sendi, lakukan pemeriksaan fisis sendi dan bila diperlukan
periksa foto sendi yang akan dilakukan aspirasi, harus dikuasai anatomi regional sendi yang akan
diaspirasi untuk menghindari kerusakan struktur-struktur vital seperti pembuluh darah dan saraf.
Hati-hati jangan sampai mencongkel rawan sendi karena tidak dapat sembuh sendiri
2. Harus dilakukan teknik yang steril untuk menghidari terjadinya arthtritis septik. Untuk disinfeksi
perlu dipakai iodine dan alkohol. Dokter harus memakai sarung tangan untuk menghindari kontak
dengan darah dan cairan sendi pasien
3. Untuk mengurangi nyeri dapat digunakan semprotan etilklorida. Bila diperlukan, dapat digunakan
prokain untuk anestesi lokal
4. Selama dilakukan prosedur aspirasi, harus diingatkan kepada pasien untuk selalu rileks dan tidak
banyak menggerakkan sendi
Khusus :
1. Sendi lutut, pada efusi yang besar, tusukan dari lateral secara langsung pada tengah-tengah
benjolan supra patella lebih mudah dan lebih enak untuk pasien. Tonjolan pada kantung supra
patella ini dapat diperjelas dengan menekan ke lateral dari bagian medial. Dengan ujung bulpen
dilakukan pemberian tanda pada daerha target yaitulebih kurang pada tepi atas patella (chepallad
border of patella) tanda ini masih akan terlihat dalam aktu yang cukup untuk melakukan disinfeksi,
anestesi dan artrosentesis. Pada efusi sendi yang sedikit, lebih baik dilakukan tusukan dari medial
bawah titik tengah patella.
2. Bahu, pada pasien duduk, lakukan palpasi pada tonjolan korakoid. Pada 45 derajat inferior dan
lateral dari tonjolan tersebut akan di dapadatkan sendi glenuhumeral. Pada lokasi tersebut tusukan
jarum lurus ke posterior ke ruang sendi.
3. Subtalar, pada pasien posisi terlentang kaki 90 derajat terhadap tungkai bawah, tusukan jarum
secara horizontal ke ruang sendi di inferior dari ujung maleolus lateral dan posterior dari sinus
tarsus.
4. Metatarsofalangeal, untuk mengidentifikasi garis sendi ini dapat dilakukan dengan fleksi dan
ekstensi sendi. Untuk mempermudah memasuki sendi ini di lakukan tarikan dan plantar fleksi 30
derajat. Tusukan jarum pada garis sendi pada posisi 90 derajat.
5. Pergelangan tangan, sendi pergelangan tangan terlatak di antara prosesus stiloideus radius dan
ulna. Ruang sendi ini dapat dicapai melalui salah satu sisi pada bagian dorsal yaitu sedikit di
sebelah distal radius atau sedikit distal ulna.
LAMA TINDAKAN
15 menit
KONPLIKASI
· Infeksi iatrogenetik, pendarahan pada tempat aspirasi, hemartrosis, luka pada rawan sendi, episode
vasovagel pada saat atau seteah tindakan.
WEWENANG
· RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang / sudah
melalui Devisi Rematologi.
· RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam.
UNIT YANG MENANGANI
· RS Pendidikan : departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Reumatologi
· RS Non Pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS Pendidikan : Departemen Bedah/ Ortopedi
· RS Non Pendidikan : Bagian Bedah
338
3.4
GINJAL HIPERTENSI
339
BIOPSI GINJAL
PENGERTIAN
Biopsy ginjal adalah pengambiloan contoh jaringan ginjal
TUJUAN
1. Untuk mengevaluasi dan mengikuti perjalanan penyakit diduga mempunyai sindrom glomerular,
interstisial, atau vascular seperti:
a) Sindrom nefrotik
b) Proteinuria dan hematuria yanag tidak jelas penyebabnya
2. Gagal ginjal akut yang tidak jelas penyebabnya atau perjalanan penyakitnya cepat
3. Penyakit sistemi8k yang diduga melibatkan ginjal (lupus eritematosus sistemik)
4. Resipien transplantasi ginjal yang mengalami rejeksi atau penyakit yang rekuren
KONTRAINDIKASI
1. Kelainan pembekuan darah
2. Ginjal tidak berfungsi atau ginjal melisut
3. Hipertensu yang tidak terkontrol
4. Penderita tidak kooperatif
5. Kecurigaan adanya tumor ginjal
6. Infeksi saluran kemih
7. Uremia
8. Deformitas tulang vertebrata berat
9. Ginjal tunggal
PERSIAPAN
1. Ijin tindakan medic tertulis
2. Dokter ruanagn mengisis formulir biopsy ginjal sebagai syarat penjadwalan biopsi. Bila formulir
ini tidak diisi, maka biopsy tidak bisa dijadwalkan
3. Buat perjanjian jadwal biopsy di subbagian Ginjal –Hipertensi
4. Periksa hitung trombosit, bleeding time, clotting time, prthrombine time, dan activated patial
prothrombine time
5. Pinjam termos dan es kering ke bagian patologi anatomi
6. Jarum suntik 5cc, jarum eksplorasi, jarum biopsy USG (Tru-Cut needle), duks steril, kasa steril,
plester, botol untuk penyimpanan jaringan biopsy
7. Lidokain 2%, alcohol, betadine, formalin 10%, gel untuk fiksasi pemeriksaan imunoflouresensi
jaringan ginjal
8. Isi status biopsy ginjal divisi Ginjal-Hipertensi dan catat pada buku biopsy
9. Isi formulir PA untuk dikirim ke Patologi Anatomi
340
PERITONEAL DIALISIS AKUT
PENGERTIAN
Peritoneal dialysis akut adalah salah satu bentuk dialysis dimana membrane peritoneal digunakan
sebagai membran semipermiabel pada pasien dengan gagal ginjal
TUJUAN
Dialysis dalam keadaan darurat
INDIKASI
Pasien gagal ginjal dengan keadaan umum buruk yang memerlukan tindakan dialysis segera
KONTRA INDIKASI
· Pasca-oprasi organ abdomen, ileus, hernia
· Penyakit paru yang menimbulkan hipoksia berat
· Gangguan pembekuan darah
· Tidak kooperatif
PERSIAPAN
Pasien :
· Penjelasan mengenai peritoneal
· Informed consent
Alat :
Set bedah minor, kateter dialysis peritoneal, cairan perisolution dan giving set, heparin, antibiotika,
lidokain 2%, KCI injeksi, blood set, besturi, jarum suntik diposable (3cc, 5cc)m sarung tangan
PROSEDUR TINDAKAN
1. Siapkan 2 kolf (1kolf = 1l) cairan perisolution, hangatkan dengan direndam dalam air panas
sampai suhu ±37º
C
- Kolf I : tambah 500 unit heparin, 3 mEq KCI, dan 10mg Gentamisin
- Kolf II : tambah 250 unit heparin, 3 mEq KCI, dan 10mg Gentamisin
2. Operator menggunakan sarung tangan
3. A dan antisepsis lapangan operasi : daerah umbilicus dan sekitarnya dibersihkan dengan betadine
kemudian alcohol 70%
4. Pasang duk steril
5. Anestesi local dengan lidokain ±2ml sekitar 2cm dibawah umbilicus : kutis subkutis, peritoneum
6. Kiri-kira 2cm dibawah umbilicus insisi membujur dengan besturi sesuai diameter kateter
7. Bebaskan jaringan dengan klem arteri secara tumpul samoai teraba lapisan peritoneal
8. Bila peritoneal sudah diacapai :
- Ambil jarum infuse dari blood set, tusuk sampai menembus peritoneum
- Ambil konektor karet dari blood set, hubungkan dengan jarum yang tertanam pada rongga
peritoneum, ujung yang satu lagi dihubungkan dengan kateter cairan perisolution yang telah
disiapkan pada tiang infuse
9. Isi Rongga peritoneum dengan cairan perisolution 1 liter (kolf). Bila tepat masuk rongga
peritoneum aliran akan lancer.
10. Cabut jarum dari rongga peritoneum.
11. a. kateter peirtorenialialisis dengan stilet : tembus dinding peritoneal dengan hati-hati, kemudian
belokkan menyusur dinding peritoneum kearah SIAS sampai mentok
b. kateter peritonealdialisis tanpa stilet : ujung kateter ini tumpul, terlebih dahulu dibuat insisi
kecil pada dinding peritoneum dengan besturi sesuai diameter kateter
341
12. Bila posisi kateter dinilai sudah betul, tes dulu dengan memasukkan cairan pada kolf II dan mengel
uarannya sedikit. Bila cairan lancar berarti posisi kateter sudah baik.
13. Jahit kulit sekitar kateter, benang diikat ada kateter sedemikian rupa sehingga kateter tertanam
cukup baik.
14. Tutup luka dengan kasa yang diberikan betadine
INSTRUKSI PASCA TINDAKAN
1. Siapkan siklus terdiri dari 2 kolf (1 kolf = 1 liter cairan perisolution)
2. Sebelum digunakan, cairan peritonealdialisis direndam dalam air panas sampai suhu ±37º
C. tiap
kolf (1 Liter) ditambahkan heparin 250 unit, KCI 3 mEq, dan gentamisin 10mg
3. Setelah cairan masuk semua, diamkan didalam rongga peritoneum selama 30mnt. Setelah itu
cairan dikeluarkan, jadi setiap siklus akan memerlukan waktu selama 60menit dengan perincian :
- Memasukkan cairan 2liter : 10menit
- Lama cairan tinggal di rongga : 30menit
- Mengeluarkan cairan : 20 menit
4. Lakukan tindakan 1-3 siklus XII
5. Catat jam masuk dan keluar cairan serta jumlah cairan yang masuk dan keluar pada formulir
balans cairan
6. Pada silus XII, cairan yang dikeluarkan hanya 1 liter, sisakan 1 liter dalam rongga peritoneum
7. Buat balans cairan dialysis peritoneal setiap hari. Balans ini ikut diperhitungkan dengan balans
keseluruhan
8. Keesokan harinya ulang tindakan 1-7
LAMA TINDAKAN
Satu siklus memakan waktu 60 menit, dilakukan 12 siklus setiap hari
KOMPLIKASI
Peritonitis, exit site infection, perdaraan, hernia, hidrotoraks
WEWENANG
· RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam – Suspesialis Ginjal Hipertensi, Dokter
Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi . PPDS Penyakit Dalam untuk membantu persiapan
dan pelaksanaan
UNIT YANG MENANGANI
· RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Ginjal Hipertensi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS Pendidikan : Departemen Bedah –Divisi Bedah Urologi
· RS Non Pendidikan : Bagian Bedah
342
PERITONEAL DIALISIS MANDIRI BERKESINAMBUNGAN
PENGERTIAN
Peritoneal dialysis mandiri berkesinambungan atau continous ambulatory peritoneal dialysis
(CAPD) adalah proses dialysis berkesinambungan yang menggunakan selaput peritoneal sebagai
membrane alami yang dilakukan secara mandiri.
TUJUAN
Dialysis yang adekuat
INDIKASI
Paien gagal ginjal terminal, terutama yang mengalami :
- DM dengan komorbiditas tinggi
- Kei\tidakstabilan kardiovaskular akibat penyakit kadiovaskular atau usia lanjut dengan
hemodinamik tidak stabil
- Kesulitan/kegagalan pembentukan akses vascular karena proses ateroklerosis dan lain-lain
pada pasien HD
- Kecendrungan pendarahan (trombosito penia/trombopati)
- Strok baru
- Alergi terhadap bahan dialisat / asetat
- Pasien gagal ginjal terminal dengan HD regular yang mengalami gangguan serebral akut
(pendarahan itraknial), gagal jantung kongestif, kardiomiopati, penyakit jantung iskemik berat,
atau gangguan irama jantung dengan kelainan hemodinamik.
KONTRAINDIKASI
Mutlak :
Permukaan selaput peritoneum sempit (akibat adhesi peritoneal yang berlebihan/peritonitis berulang)
Relatif :
·
·
·
·
·
·
·
·
Ostomi, (kolostomi, ileostomi, nefrostomi)
Peritonitis local (tuberculosis jamur)
Sangat gemuk
Ginjal polikistik massif (rongga perut sempit akibat masa tumor)
Fistel abdominal/sepsis abdominal
Ketidakmampuan
pasien
untuk
menjalankan
program
hemiparesis/kuadriplagia)
Retardasi mental/psikosis
Motivasi rendah
sendiri
(buta,
PERSIAPAN
Bahan dan Alat ;
· Larutan dialysis
· Volume larutan 1-2 liter
· Susunan elktrolit tergantung pabriknya
· Konsentrasi dektrosa
· Cairan transfer set
· Variasi sambungan untuk CAPD
· Modifikasi konektor pada CAPD
· Kateter peritoneum (yang bisa dipakai di Indonesia)
343
·
Standard doble-cuff tenckhoff
1. Obat-obatan harus diberikan intraperitoneal selama 10-14 hari sebagai tindakan
pencegahan penyulit :
- Heparin (1000 unit untuk setiap kantong dialisat)
- Antimikroba (biasanya golongan aminoglikosida/sefalosporin 100mg untuk setiap
kantong dialisat)
2. Resep program CAPD
- Volume cairan dialysis : pengganti cairan 4 kali sehari, masing-masing 2 liter
- Jam pertukaran :08.00, 12.00, 16.00, 22.00, dan 24.00 (sebelum tidur)
- Ultrafiltrasi . untuk 3 kali pertukaran pertama, dialisat standar (1,5%), untuk
malam sebelum tidur, dialisat hipertonis (4,25%)
- Komposisi cairan dialisat : Na 132mEq/l, Cl 98mEq/l, Ca 3,5 mEq/l, Mg 0,5
mEq/l, laktat 40 mEq/l
- Urea klirens yang diharapkan perminggu : 47 liter klirens
PROSEDUR TINDAKAN
Perawatan exit site
Perawatan tempat lubang ke;luarnya kateter tenckhoff dilakukan setiap hari oleh pasien
sendiri atau bantuan anggota keluarga, untuk mencegah infeksi. Alat dan obat yang dibutuhkan :
kasa steril, plester, gunting, immobilizer untuk kateter, betadine/NaCl 0,9%
344
3.5
HEMATOLOGI
ONKOLOGI MEDIK
345
AFERESIS
PENGERTIAN
Aferesis adala prosedur pemisahan komponen datah seseorang secara langsung dengan
menggunakan mesin pemisah komponen darah
TUJUAN
Mengeluarkan sebagian komponen darah, dapat berupa sel (cytopheresis) atau plasma
(plasmaferesis/plasma exchange0
INDIKASI
Terapeutik :
· Sitoferesis
· Eritristoferesi : sickle cell anemia, malaria dengan parasitemia
· Tromboferesis : Trombositemia amtomatik
· Leukoferesis : Leukimia dengan Hiperleukositosis, arthtritis rheumatoid (dalam keadaan tertentu)
· Plasmaferesis : kelainan para protein (sindrom hiperviskositas, krioglobulinemia, penyakit cold
agglutinin), kelainan akibat metabolic toksik (penyakit refsum, penyakit fabri, hiperkoleterolemia
familial), kelainan imunologis (sindrom goodpasture, miastenia grais, sindrom eaten lambert,
sindrom guilain barre, pemfigus, ITP, granulomatosis wagener), defisiensi factor plasma (TTP),
keracunan obat atau bahan racun lainnya
Donor :
Untuk memenuhi kebutuhan komp[onen darah pasien :
- Trombofrresis
- Plasmaferesis
- Leukoferesis, untuk mendukung program PBSCT
KONTRA INDIKASI
· Aferesis terapeutik
· Pasien dengan kondisi buruk dan gangguan hemodinamik
· Aferesis donor
· Kadar trombosit/leukosit/hemoglobin/hematokrit dibawah nnormal
· Golongan ABO-Rh tidak cocok, cross matching hasil (+)
· Mengandung HbsAg/antiHCV/HIV/VDRL dan malaria
· Berat badan kurang, usai tua, anak-anak
· Menderita penyakit jantung, paru-paru, gagal ginjal kronik atau penyakit akut lainnya
PERSIAPAN
Bahan dan Alat :
· mesin aferesis
· set aferesis disposable, set trombaferesis, set plasmaferesis, set leukaferesis, set eritositaferesis
· antikoagulan ACD-A
· akses intra vena
· AV fistula
· Heparin injeksi infuse salin 0.9%
· Albumin (untuk plasmeferesis)
· Obat-obat darurat : injeksi Ca Glukonas, inj adrenalin, inj kortikosteroid, inj antihistamin, infuse
salin, plasma expander, oksigen, alat resusitasi dan obat darurat untuk resusitasi
Pasien :
346
·
·
·
·
·
Penjelasan mengenai prosedur yang akan dijalani
Pemeriksaan fisik, hemodinamik, berat badan, dan tinggi badan
Laboratorium gol. Darah : ABO-Rh, cross-matching, DPL, HbsAg, Anti HCV
Informed consent
Menelan tablet kalsium sehari sebelumnya
PROSEDUR TINDAKAN
·
·
·
·
·
Mesin aferesis dihidupkan dan dinilai apakah layak beroprasi, memasang set aferesis
disposable (set tunggal atau ganda) pada mesin aferesis, beserta infuse NsCl 0,9%,
antigoakulan ACD-A
Melakukan koleksi komponen darah dari donor via vena di lengan kanan, kiri (set ganda)
atau satu lengan, mengisi data donor pada computer mesin, menghubungkan computer
mesin dengan mesin set aferesis disposable dengan donor, memulai prosedur
Prosedur donor trombosit dsan plasm berlangsung selama 100 menit,. Sedangkan prosedur
donor donor sel asal darah dalam darah tepi berlangsung 4-8 jam.
Bila prosedur telah selesai dilakukan, start rinseback mode, kemudian lepaskan set
eferesis dari donor, trombosit yang dikoleksi segera diberikan kepada pasien atau bila
disimpan harus diatas blood rotator (yang bergoyang) selama maksimal 5 hari
Selama prosedur aferesis berjalan, dokter dan perawat harus mengatasi keluhan dan bila
perlu menilai hemodinamik
LAMA TINDAKAN
KOMPLIKASI
Hipokalselmia (kesemutan bibir dan jari tangan, dada rasa tertekan, pandangan gelap),
gangguang hemodinamik dan penurunan kesadaran
347
PUNGSI SUMSUM TULANG
TUJUAN
· Diagnosis sitomorfologi / evaluasi produk pematangan sel asal darah (stem cell)
· Penilaian terhadap simpanan besi
· Pengumpulan colony forming unit pada tranplantasi sumsum tulang
· Mendapatkan specimen untuk pemeriksaan bakteriovirologis (biakan mikrobiologi)
INDIKASI
· Anemia dan sitopenia lainnya yang tidak dapat diterangkan
· Leukositosos dantrombositosis yang tidak dapat diterangkan
· Dugaan leukemia atau mieloptitis
KONTRA INDIKASI
Bahan dan alat
· Bahan tindakan antiseptic
· Povidone iodine
· Kapas lidi steril dan kapas steril
· Prokain/lidokain 3%, dan spuit 5cc, spuit 20cc dan jarum hipodermik 23-25 gaus
· Sarung tangan steril, dan duk steril
· Set jarum aspirasi sumsum tulang (14-16G) yang sesuai dengan tempat yang akan dilakukan dan
spuit yang sesuai dengan jarum aspirasi sumsum tulang
Tenpat aspirasi
· Spina iliaka posterior superior (SIPS)
· Krista iliaka
· Spina iliaka anterior superior (SIAS)
· Sternum diantara 2 iga dan 3 garis mid sterna atau sedikit di kanannya (jangan lebih dari 1cm)
· Spina dorsalis/prosesus spinosus vertebra lumbalis (jarang dilakukan karena alatnya tidak ada)
PROSEDUR TINDAKAN
· Pasien diminta untuk buang air kecil atau besar sebelum tindakan
· Periksa kelengkapan dan kelayakan bahan dan alat
· Cuci tangan yang bersih dan keringkan
· Pakai sarung tangan steril
· Periksa kelengkapan dan kesesuaian jarum aspirasi spuitnya. Isi spuit untuk aspirasi tersebut
dengan sedikit anti koagulan titriplex?EDTA untuk pemeriksaan sitologi dan imunologi atau
heparin tanpa pengawet untuk siotogenetik
· Lakukan tindakan a, dan antiseptic daerah eindakan dan prosedur terjaga aseptic
· Tentukan titik tindakan
348
BIOPSI SUMSUM TULANG
TUJUAN
· Menilai selularitas sumsum tulang
· Menentukan adanya keganasan hematologi dan nonhematologi (metastasis)
· Menentukan adanya fibrosis tulang
INDIKASI
· Kecurigaan adanya gangguan produksi sel darah, menentukan stadium keganasan nonhematologi
KONTRA INDIKASI
· Tidak ada kontraindikasi mutlak
· Pada trombositopenia berat (<20, 000) pemberian transfusi trombosit sebelum tidakan akan lebih
baik
· Melakukan biopsi sumsum tulang pada sternum
PERSIAPAN
Bahan dan alat
· Jarum biopsi jamshidi atau sejenis
· Pelengkap standar minor set sederhana yaitu antiseptic, alkohol 70%, kapas, lidi, duk bolong, serit
5 cc, lidokain, sarung tangan steril, kasa steril, plester, botol kaca, formalin 10 %.
PROSEDUR TINDAKAN
· Pasien diminta untuk buang air kecil/ besar sebelum tindakan dimulai
· Pasien pada posisi tengkurap
· A dan antisepsis pada daerah sekitar lokasi yaitu Krista iliaka superior posterior
· Setiap tindakan dilakukan secara steril
· Pasang duk bolong
· Anestesi dengan lidokain 2 % pada krista iliaka posterior 3-6 cc sampai mencapai periosteum
· Suntikan jarum biopsi dengan cara twisting morion sambil melakukan penekanan sampai terasa
menembus tulang dan dilanjutkan sepanjang 1-2 cm
· Melakukan gerakan 4 arah ( atas, bawah, kiri, kanan) setelah itu jarum di angkat
· Luka biopsi ditutup dengan kasa steril yang dibasahi povindone iodine dan tidak boleh dibasahi
selama 3 hari
Pembuatan preparat
Gosokan bahan / jaringan sumsum tulang yang didapat pada kaca obyek (slide) sebanyak 2-3 buah dan
biarkankering dengan pewarnaan. Pewarnaan bisa berupa pewarnaan wright atau giemsa.
LAMA TINDAKAN
KOMPLIKASI
· Rs Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam, PPDS Penyakit Dalam Tahap yang Asedang
/Sudah Melalui Kepaniteraan Hematologi
· RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS Pendidikan : Departemaen Penyakit Dalam-Divisi Hematogi-Onkologi
· Rs Non Pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· TRs Pendidikan / RS Non Pendidikan : Patologi Anatomi
TRANSFUSI DARAH
349
PENGERTIAN
Transfusi darah adalah tindakan memasukkan sel darah merah (darah segatr, pack red cell ) ke
dalam tubuh melalui vena
TUJUAN
Memberikan kebutuhan sel darah merah sesuai indikasi
INDIKASI
Sesuai dengan komponen yang ditransfusikan :
· Darah lengkap ( whole blood ) 250-300 cc/unit : meningkatkan volumedarah merah dan volume
plasmna pada pendarahan akut dan pada kehilangan darah >25 % volume darah total
· Darah merah pekat ( packed red blood cells ) 150-250 cc/ unit : meningkatkan masa sel darah
merah dan kapasitas oksigen pada anemia normovolemik simtomatik termasuk anemia kronik
pada kelainan ginjal kronik dan kanker
350
PEMASANGAN NUTRICATH
INDIKASI
· Kebutuhan akses vena jangka lama untuk terapi atau nutrisi
· Pengukuran tekanan vena sentral
KONTRA INDIKASI
· Gangguan hemostatis yang beresiko perdarahan massif apabila dilakukan tindakan
(misalnya koagulasi intravascular diseminata berat, defisiensi faktor pembekuan tingkat
sedang-berat)
· Trombositopenia (< 50.000/ul : absolute, 50.000-100.000/ul: relatif)
· Kelainan lokal disekitar vena subklavia: massa tumor, paska radioterapi karena seringkali
terjadi penekanan vena subklavia sehingga menjadi sempit).
· Kelainan (tidak utuhnya) permukaan kulit ditempat insersi kateter (misalnya pada luka
bakar/infeksi local, (sindrom Steven Johnson).
PERSIAPAN
Alat yang diperlukan :
· Kateter vena sentral dengan diameter lumen yang sesuai untuk usia dan bentuk tubuh
pasien.
· Benang jahit, misalnya prolene no 2,0, Lidokain 2%, 10-20 cc
· Heparin
· Beberapa alat suntik: spuit 5 cc 1 buah, spuit 20 cc 2 buah
· Pinset sirugis, 2 buah kom kecil dan satu buah bengkok (kidney basin)
· Klem anatomis kecil (dengan ujung yang membengkok)
· Mata pisau bedah
· Kain steril (duk), ukuran minimal 60 cm x 60 cm, berlubang memanjang di bagian tengah
· Larutan infuse NaCl, infuse set three way 2buah rubber slopper 2 buah, extension tube 1
buah
Jenis-jenis kateter vena sentral untuk vena subklavia:
· Pada umumnya berukuran panjang 30-35 cm
· Untuk yang dipasang dengan guide wire berukuran panjang 20 cm Nutricath (merk vygon)
no 16 atau 14
Pemilihan lokasi vena subklavia
· Diutamakan sebelah kanan, Karena kemungkinan penyulit lebih kecil daripada kiri.
· Apabila ada kelainan paru yang sedang sampai berat (infeksi, efusi pleura, tumor dll) pada
satu sisi atau bila paska bedah MRM/ axillary dissection, dipilih vena subklavia
kontralateral)
PROSEDUR TINDAKAN
· Posisi pasien terlentang, dengan letak kepala datar tanpa bantal dan menoleh kea rah yang
berbeda dengan lokasi pemasangan kateter.
· Dilakukan tindakan a dan antisepsis di daerah sekitar klavikula
· Siapkan NaCl 0,9% sekitar 100-200 cc
· Isi alat suntik 10 cc (sekitar 2 buah) dengan larutan NaCl 0,9% hingga terisi setengahnya,
agar masih ada ruang untuk melakukan aspirasi
351
·
·
·
·
·
·
·
·
·
·
Pada kulit kira-kira 1 cm di sebelah bawah pertengahan klavikula yang dipilih, dilakukan
penyuntikan lidokain 2% berturut-turut secara subkutan, masuk mengenai tulang
klavikula, kemudian menyusur tepi bawah tulang klavikula sampai jarum suntik masuk
habis ke dalam kulit. Ingat tiap kali menyuntik lidokain diaspirasi dulu, keluar darah atau
tidak. Pada waktu jarum menyisir tepi bawah klavikula tersebut, alat suntik didorong pada
posisi mendatar dengan mengarah ke tepi proksimal dari ujung medial klavikula, sambil
melakukan aspirasi, sehingga apabila ujung jarum masuk ke dalam vena akan diketahui
dengan adanya darah vena yang teraspirasi ke dalam alat suntik.
Pasang kanula plastik dengan dengan jarum logam didalamnya ( merupakan bagian dari
set CVP) pada alat suntik yang berisi NaCl 0,9%
Masukkan ujung jarum tersebut dengan cara dan arah yang sama seperti yang telah
diterangkan sebelumnya sampai menyentuh tulang klavikula, kemudian mulai menyusur
tepi bawah klavikula sambil melakukan aspirasi. Apabila ujung jarum masuk ke dalam
vena, akan ditandai terhisapnya darah vena ke dalam jarum suntik. Pada tahap ini
masukkan kanula plastic dengan mendorong sejauh 0,5 cm sambil menahan pangkal
jarum logamnya, dengan demikian maka ujung kanula diharapkan sudah berada di dalam
vena.
Tariklah pangkal jarum logam ke luar kanula, kemudian pasang alat suntik berisi heparin
dan lakukan aspirasi. Apabila darah masuk ke dalam alat suntik, berarti ujung kanula telah
berada di dalam vena. Pada saat ini posisi pasien kembali melihat ke depan, tidak menoleh
lagi, hal ini untuk mengurangi kemungkinan kateter nanti masuk ke vena jugularis.
Masukkan kateter CVP/ nutricath ke dalam kanula tersebut sejauh yang diperlukan yaitu
dengan ujung kateter mencapai atrium kanan.
Untuk prosedur pemasangan CVP cukup sampai disini, sedangkan untuk pemasangan
nutricath setelah prosedur ini dilanjutkan dengan tunelisasi subkutis yaitu memasang
kateter di bawah kulit sejauh kira-kira 10 cm, baru kemudian dilakukan prosedur
selanjutnya.
Tunelisasi subkutis :
- Lakukan sayatan menggunakan mata pisau bedah sepanjang 0,75 cm kea rah
lateral, dengan kedalaman 0,3 cm dimulai dari lokasi kateter ke luar dari kulit.
- Longgarkan jaringan bawah kulit secara tumpul menggunakan klem anatomis
berukuran kecil, lebih baik bila ujungnya agak bengkok. Bebaskan jaringan ikat di
sekitar kateter sehingga kateter dapat digerakkan longgar di lubang tersebut.
- Suntikkan secara subkutan, lidokain 10 cc pada titik sejauh 10 cm di bawah
sayatan tersebut, kea rah bawah (untuk menjahit kepala kateter nantinya) dan ke
arah atas menuju lokasi sayatan untuk memasang kanula nanti.
- Masukkan kanula (beserta jarum logam di dalamnya) di titik penyuntikan lidokain
tadi, kemusian kea rah atas (lokasi sayatan) secara subkutan sampai menembus
lubang sayatan pada posisi lateral dari kateter.
- Cabut jarum logam, tinggalkan kanula ditempatnya
Masukkan kateter ke dalam kanula dari arah atas sehingga keluar pada ujung kanula
setelah bawah. Lakukan penjahitan luka sayatan tadi.
Lakukan jahitan fiksasi kateter tepat di tempat keluarnya dari kulit sengan jahitan fiksasi
kepala kateter (yang akan disambungkan dengan T-way) dan selang infuse).
Sambungkan kepala kateter dengan selang infuse ataupun ectension tube dengan perantara
T-way.
352
LAMA TINDAKAN
KOMPLIKASI
Pneumotoraks, rupture vena subklavia
WEWENANG
· RS pendisikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam, PPDS Penyakit Dalam tahap yang
sedang / sudah melalui kepaniteraan Hematologi
· RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Hematologi Onkologi
· RS Non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT YANG TERKAIT
-
353
FLEBOTOMI
PENGERTIAN
Suatu tindakan menurunkan volume darah dengan cara mengeluarkannya melalui pembuluh vena
secara bertahap dan cepat.
TUJUAN
Menghilangkan gejala-gejala distress dan fletora
INDIKASI
Polisitemia vera, eritrositosis, hemokromatosis, porfiria cutane tarda
KONTRA INDIKASI
Gagal jantung
PERSIAPAN
Bahan dan alat
· Tensimeter dan stetoskop untuk memantau status hemodinamik sebelum, selama dan
sesudah tindakan dan juga untuk membendung vena pada vena seksi
· Tempat tidur untuk berbaring pasien
· Set donor
· Botol (plaboof) atau kantong penampung darah dengan skala volume
· Set infuse/kateter intravena dan cairan plasma atau dekstran (sebagai persiapan) terutama
pada pasien di atas usia 65 tahun atau adanya penyakit/penyulit kardiovaskuler atau gejala
-gejala hiperviskositas.
· Perangkat standar antiseptic antara lain gauge steril, providone iodine, alcohol dan plester.
PROSEDUR TINDAKAN
· Pasien diminta untuk buang air besar atau kecil sebelum tindakan.
· Pasien dalam posisi berbaring dilakukan evaluasi status hemodinamik, sedang untuk
pasien di atas usia 65 tahun sebaiknya pemeriksaan tekanan darah dilakukan dalam posisi
duduk/berdiri karena mencerminkan tekanan darah sebenarnya.
· Bila status hemodinamik stabil, pasien berbaring di tempat tidur.
· Dilakukan tindakan a dan antisepsis pada lengan vena seksi yang dilanjutkan dengan
pembendungan vena dengan tensimeter tekanan 60 mmHg (atau antara sistolik dan
diastolik)
· Pada orang tua di atas 65 tahun atau pasien dengan kecenderungan penyakit
kardiovaskuler, di sisi lengan yang satunya dipasang infuse set dengan cairan pengganti
plasma (plasma expander) atau dekxtran yang dimulai secara bersamaan dengan tindakan
flebotomi dengan jumlah yang sama dengan darah yang dikeluarkan.
· Kebanyakan pasien dapat menerima pengeluaran darah sebanyak 3 unit (kira-kira 450-600
cc) per minggu, bahkan ada yang melakukan sebanyak 500 cc dengan interval 1-3 hari.
Untuk usia lanjut dan pasien dengan penyakit kardiovaskuler dianjurkan sekitar 200-300
cc.
· Setelah tercapai target pengobatan yaitu hematokrit antara 40-50%, maka kekerapan
354
flebotomi biasanya dapat diturunkan antara 1 atau 2 kali tiap 3-4 bulan tergantung
evaluasi rutin yaitu nilai hematokrit atau serum feritin dalam batas normal rendah 10-40
ug/ml untuk pasien-pasien dengan hemokromaosis.
LAMA TINDAKAN
KOMPLIKASI
Perdarahan/hematom, gangguan hemodinamik
WEWENANG
· RS pendisikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam, PPDS Penyakit Dalam tahap yang sedang
/ sudah melalui kepaniteraan Hematologi
· RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Hematologi Onkologi
· RS Non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT YANG TERKAIT
-
355
3.6
ALERGI IMUNOLOGI
356
TES TUSUK (SKIN PRICK TEST)
PENGERTIAN
Tes tusuk (skin prick test) adalah tes kulit yang pada umumnya dilakukan di bagian volar
lengan bawah dengan memasukkan allergen melalui tusukan di kulit.
TUJUAN
Mengetahui adanya sensitisasi terhadap allergen.
INDIKASI
Pasien asma, rhinitis, konjungtivitis alergi, dermatitis atopsi, dan urtikaria.
KONTRAINDIKASI
Pasien dalam serangan asma, pasien yang sedang minum obat antihistamim dan steroid.
PERSIAPAN
· Bahan dan alat : Ekstrak allergen yang sering menimbulkan alergi, jarum khusus skin prick
test atau dapat juga jarum G 26 X 0,5, kapas dan alkohol 70%.
· Pasien : tidak minum antihistamin dan steroid, tes dilakukan setelah wash out period (3 hari
sampai 1 bulan tergantung dari jenis obat yang diminum)
PROSEDUR DAN TINDAKAN
· Tes dilakukan di voler lengan bawah.
· Bersihkan bagian bawah yang akan dites dengan alkohol 70% tunggu sampai kering.
· Gambar batas tiap allergen dengan pulpen sebanyak jumlah allergen yang akan dites.
· Teteskan allergen ditempat yang telah ditandai.
· Jarak tiap tetesan allergen 1,5-2,5 cm untuk menghindari bercampurnya dua allergen yang
kemungkinan bereaksi positif.
· Tes dibaca setelah 15 menit.
PENILAIAN
(-)
tak ada reaksi
+
indurasi 1-2 mm
++
indurasi 3-5 mm
+++ indurasi 6-9 mm
++++ indurasi > 9 mm
LAMA TINDAKAN
15-30 menit
KOMPLIKASI
-
357
WEWENANG
· RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Alergi-Imunologi (konsulen)
dan PPDS Penyakit yang sedang dan sudah melalui Divisi Alergi-Imunologi dibawah
bimbingan konsulen.
· RS Non Pendidikan : Dokter spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Alergi-Imunologi.
UNIT YANG TERKAIT
· Departemen Kulit dan Kelamin
REFERENSI
Rengganis 1. Tes Tempel (Patch Test), Dalam : Sumaryono. A lwi 1, Sudoyo A , Simadibrata M. Setiati S,
Gani RA , Mansjoer A . Editors. Prosedur tindakan di bidang penyakit dalam. Jakarta : pusat informasi dan
penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI : 2001.p.10-1.
358
TES PROVOKASI BRONKUS
PENGERTIAN
Tes provokasi bronkus adalah tes untuk mengetahui adanya hiperreaktivitas bronkus
TUJUAN
Mendiagnosis asma bronchial
INDIKASI
Pasien asma bronchial yang tidak terdiagnosis dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan non invasive.
KONTRAINDIKASI
Adanya obstruksi saluran nafas.
PERSIAPAN
Bahan dan Alat :
· Histamine dalam konsentrasi 5% : 2,5 % : 0,625% NaCI 0,9%
· Spirometri
· Obat Bronkodilator (adrenalin, beta -2 agonis, aminofilin)
· Tabung oksigen
Pasien : pasien bebeas asma selama 12 jam
PROSEDUR TINDAKAN
1. Pasien menjalani pengukuran spirometri pertama
2. Kemudian diminta membuka mulut lebar-lebar dan disemprotkan ke dalamnya NaCI 0,9%
sebanyak 3-5 kali semprot lalu dihisap kedalam paru-paru.
3. Ditunggu selama1 menit lalu dilakukan spirometri kedua
4. Ulang kembali spirometri ketiga setelah 1 menit kemudian
5. Tunggu beberapa saat (1-2 menit) ulangi tindakan nomor 2-4 dengan menggunakan
histamine 0,625%
6. Lakukan hal yang sama pada konsentrasi histamine 1,25% dan seterusnya sampai dicapai
konstentrasi histamine yang memberikan hasil provokasi positif.
PENILAIAN
Positif : bila pada pengukuran menilai FEV1 setelah dilakukan provokasi dengan histamine
dosisi tertentu terdapat perbedaan sebesar > 20% disbanding FEV1 awal
Negatif : bila pada pengukuran spirometri setelah dilakukan provokasi dengan histamine sampai
konsentrasi 5% tidak didapatkan perbedaan FEV1 sebesar >20% dibandingkan dengan spirometri
awal.
LAMA TINDAKAN
30-60 menit
359
KOMPLIKASI
Serangan asma bronchial
WEWENANG
· RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Alergi Imunologi (konsulen)
dan PPDS yang sedang dan sudah melalui Divisi Alergi di bawah bimbingan konsulen Alergi
Imunologi.
UNIT YANG MENANGANI
· RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Alergi-Imunologi
UNIT TERKAIT
· RS Pendidikan : Divisi Pulmonologi
· RS Non Pendidikan : Bagian Paru, Penyakit Dalam, ICU.
REFERENSI
Karjadi TH. Tes Provokasi Bronkus. In : Sumaryono, A lwi I, Sudoyo A W , Simadibrata M. Setiati S. Gani
RA . Mansjoer A . Penyunting. Prosedur tindakan di bidang penyakit dalam Jakarta : Pusat Informasi dan
penerbitan bagian ilmu penyakit dalam FKUI : 2001-p, 3-4.
360
TES PROVOKASI OBAT
PENGERTIAN
Tes provokasi obat adalah tes yang dilakukan mulai dengan memberikan obat dengan
dosis yang lebih kecil dari dosis yang diduga akan menimbulkan reaksi berat, kemudian dosis
ditingkatkan dan diberikan jarak tertentu sampai tercapai dosis penuh sesuai dengan yang
diharapkan.
TUJUAN
Mengetahui adanya sensitivias terhadap obat tersebut. Bila terjadi reaksi, masih dalam
tahap ringan sehingga prosedur dihentikan dan gejala dapat diobati. Biasanya digunakan untuk
menguji obat anestesi local sebelum digunakan dosis penuh.
INDIKASI
Jika dalam riwayat penyakit ada tanda-tanda yang mengarah ke alergi obat.
KONTRAINDIKASI
· Pasien yang sudah jelas diketahui alergi terhadap obat tertentu tidak perlu dilakukan tes lagi
· Pasien yang sedang minum obat antihistamin dan steroid
· Pasien penyakit jantung dan penyakit berat lainnya.
PERSIAPAN
Bahan dan Alat : Kit anafilaksis, infuse set, obat/bahan yang akan dites
Pasien : tidak minum obat antihistamin dan steroid, tes dilakukan setelah wash out period.
PROSEDUR TINDAKAN
· Tes dilakukan dengan jumlah yang sesuai dengan kadar yang akan digunakan dan jangan
menggunakan bahan yang mengandung epinefrin.
· Mula-mula dilakukan prick test dengan anestesi yang tidak diencerkan sebanyak satu tetes.
· Bila negative, lanjutkan dengan 0,1 ml larutan 1:100 subkutan
· Bila negative, lanjutkan dengan 0,1 ml larutan 1:10 subkutan
· Bila negative, lanjutkan dengan 0,5 ml tidak diencerkan subkutan
· Bila negative, lanjutkan dengan 1 ml larutan tidak diencerkan subkutan
· Bila negative, lanjutkan dengan 2 ml larutan tidak diencerkan subkutan
· Suntikan diberikan dengan jarak 15 menit.
PENILAIAN
Dianggap negative bila pasien telah menerima 3 ml anestesi local tanpa reaksi yang
berarti, tidak menunjukkan resiko yang lebih besar dibandingkan dengan populasi dalam
masyarakat.
LAMA TINDAKAN
½-2 Jam
361
KOMPLIKASI
Reaksi alergi ringan, sedang, berat. Anafilaksis sampai kematian
WEWENANG
· RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Alergi Imunologi (konsulen)
dan PPDS yang sedang dan sudah melalui Divisi Alergi di bawah bimbingan konsulen Alergi
Imunologi.
UNIT YANG MENANGANI
· RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Alergi-Imunologi
UNIT TERKAIT
· RS Pendidikan : Divisi Pulmonologi
· RS Non Pendidikan : Bagian Paru, Penyakit Dalam, ICU.
REFERENSI
Rengganis I, Tes provokasi obat. Dalam : Sumaryono. A lwi I. Sudoyo A W , Simadibrata M, Setiati S, Gani
RA ,Mansjoer A . Penyunting. Prosedur tindakan dibidang penyakit dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2001 : 149-50
362
3.7
GASTROENTEROLOGI
363
SKLEROTERAPI DAN LIGASI
VARISES ESOFAGUS
PENGERTIAN
Skleroterapi dan ligasi varises esophagus merupakan prosedur invasive dengan
menggunakan endoskopi yang dimasukkan ke dalam saluran cerna dilanjutkan dengan pengikatan
dan penyuntikan varises pada esophagus/gaster.
TUJUAN
Melakukan eradikasi varises esophagus dengan cara melakukan prosedur berulang dengan
rata-rata sebanyak 3-4 kali.
INDIKASI
Perdarahan akibat pecahnya varises esophagus/gaster.
KONTRAINDIKASI
· Gagal jantung akut, infark jantung akut, gangguan hemodinamik, syok hipovolemik,
gangguan pernapasan (respiratory distress), koagulasi intravascular diseminata akut
(gangguan hemostatis).
· Prekoma dan koma hepatikum merupakan kontraindikasi relative.
PERSIAPAN
· DPL, masa perdarahan, masa pembekuan
· Puasa 6-8 jam
PROSEDUR TINDAKAN
· Prosedur ini harus dilakukan secara legeartis oleh tenaga yang terampil dan berpengalaman.
Sebab resiko tindakan nini akan meningkat bila dilakukan oleh operator yang tidak
berpengalaman dan sebaliknya resiko akan menjadi kecil atau tanpa resiko bila dikerjakan
oleh operator yang berpengalaman.
· Sifat prosedur ini bias elektif atau emergensi. Khususnya untuk prosedur emergensi
persiapan sebelum tindakan dilakukan dengan sebaik mungkin, dengan memperhatikan
resiko yang dapat terjadi pada saat tindakan maupun sesudah tindakan.
· Langkah-langkah tindakan Skleroterapi :
1. Pasien telah dijelaskan dan dimotivasi sehingga menyetujui tindakan untuk mendapatkan
hasil yang optimal.
2. Pemeriksaan fungsi, hemostatis, HBsAg dam anti HCV
3. Kadar haemoglobin diusahakan lebih dari 10 gr%
4. Puasa minimal 6 jam sehari sebelum tindakan
5. Pagi hari sebelum skleroterapi dianjurkan untuk pasang infuse cairan.
6. Premedikasi :
a. Sediasi berupa diazepam i.v. 5-10mg atau midazolam 5mg, 15 menit sebelum
tindakan.
b. Gascon 15cc per oral 5-10 menit sebelum tindakan
c. Spray xilokain 10% merata keseluruh faring, sekitar uvula, dan hipofaring 5-10 menit
364
sebelum pemeriksaan.
d. Hyoscine-N-butylbromide (buscopan) i.m 1-2 ampul (20-40mg)
7. Alat yang dipakai :
a. Endoskopi dengan pandangan samping maupun depan.
b. Jarum khusus untuk skleroterapi serta obat sklerosan yang bisa dipakai :
i. Polidocanol (ethxysclerol) 1%, 2% dan 3%
ii. Etanolamin 5%
iii.Sodium tetradesil sulfat 0,5-1,5 % (trombovar)
iv. Kinin
v. Dextrose 50%
vi. Alkohol absolute 96%
vii. Jumlah sampai total sebanyak 5-30ml untuk setiap skleroterapi
·
Langkah-langkah tindakan ligasi :
1. Pemeriksaan fungsi hati, hemostatis. HbsAg dan anti HCV
2. Kadar haemoglobin diusahakan lebih dari 10 gr%
3. Puasa minimal 6 jam sehari sebelum tindakan.
4. Premedikasi :
a. Sedasi berupa diazepam i.x. 5-10 mg atau midazolam 5mg. 15 menit sebelum
tindakan
b. Gascon 15 cc per oral 5-10 menit sebelum tindakan
c. Spray xilokain 10% merata ke seluruh faring. Sekitar uvula, dan hipofaring 5-10
menit sebelum pemeriksaan
d. Hyoscine-N-butylbromide (buscopan) i.m. 1-2 ampul (20-40mg)
5. Persiapan alat :
a. Endoskopi pandan depan (GIF IT20.Evi GIF 100)
b. Ligator endoskopik Stiegmann-Goff yang terdiri dari beberapa bagian :
i. Overtube panjang 25 cm
ii. Adaptor ukuran kecil dan besar (friction-fit adaptor)
iii. Inner cylinder
iv. Ligator dari karet berbentuk “
o”
v. Tali pengait (trip wire)
·
Evaluasi : hasil prosedur ini harus dilakukan evaluasi secara klinis dan endoskopi. Prosedur
endoskopi dilakukan tiga kali berturut-turut dengan tenggang waktu satu minggu (untuk
skleroterapi) dan tenggang waktu dua minggu (untuk tindakan ligasi). Setelah itu satu bulan
setelah prosedur ke tiga dan selanjutnya dengan tenggang waktu 1-6 bulan tergantung hasil
evaluasi endoskopi.
Tindakan ini dapat dilakukan diluar jadwal bila terdapat tanda-tanda klinis perdarahan dalam
bentuk melena dengan atau tanpa hematemesis, penurunan Hb akibat perdarahan samar,
disfagia akibat striktur pasca skleroterapi.
·
KOMPLIKASI
Hipoksia, refleks vagal, perdarahan ulang, demam, pleuritis, empiema dan disfagia
LAMA TINDAKAN
365
30 menit
WEWENANG
· RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikat Endoskopis, PPDS
Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Divisi Gastroenterologi membantu persiapan
dan pelaksanaan.
· RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikat Endoskopis.
UNIT YANG MENANGANI
· RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Gastroenterologi
· RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT YANG TERKAIT
· RS Pendidikan : Departemen Bedah/Digestif
· RS Non Pendidikan : Bagian Bedah
366
SKLEROTERAPI HEMOROID
PENGERTIAN
Skleroterapi hemoroid adalah prosedur tindakan terapetik untuk mengobati hemoroid
dengan cara menyuntikkan obat sklerosan dengan bantuan anoskop/endoskopi dan jarum suntik.
TUJUAN
· Mengobati hemoroid menjadi sklerotik
· Menghentikan perdarahan aktif hemoroid
INDIKASI
Hemoroid interna derajat I-II dengan keluhan perdarahan, benjolan
KONTRAINDIKASI
· Infeksi akut/abses pada hemoroid
· Pasien tidak kooperatif
· Keadaan umum buruk
PERSIAPAN
· DPL. Masa perdarahan, masa pembekuan
· Diazepam 5-10 mg IV dan tidur dengan posisi miring ke kiri (posisi Sim’
s) (tidak diberikan
secara rutin).
PROSEDUR TINDAKAN
Cara I :
- Setelah dioleskan jeli, kolonoskop dimasukkan ke dalam anus
- Untuk melihat posisi skop dapat langsung lurus foreward view atau melalui U turn. Kanul
jarum sklerosing ditempelkan ke hemoroid interna sasaran di atas linea dentate, jarum
dikeluarkan dan obat etoksisklerol disuntikkan sebanyak 0,5-1cc intra hemoroid
- Jarum dicabut atau dimasukkan dan kanul tetap pada hemoroid selama 1-2 menit
- Setiap hemoroid dapat di suntik obat etoksisklerol dengan cara yang sama. Penyuntikan
etoksisklerol sebaiknya jangan diberikan para/peri hemoroid karena dapat menimbulkan
stenosis/striktur anus.
Pasca tindakan : selama 5 hari harus diberikan antibiotika oral, obat hemoroid
suppositoria/ointment dan obat penghilang rasa sakit dubur. Tindakan ini diulang 1-2 minggu
sampai hemoroid sklerotik.
Cara II :
- Setelah dioleskan jeli pada anus dan anuskopnya, lalu anuskop dimasukkan ke dalam anus.
- Jarum suntik berisi etoksisklerol ditusukkan ke dalam hemoroid. Setelah di suntik, bekas
suntikan di tekan dengan kasa steril yang telah dicelupkan betadin selama 1-2 menit.
- Hemoroid lain dilakukan tindakan yang sama. Penyuntikan etoksisklerol sebaiknya jangan
diberikan para/peri hemoroid, karena dapat menimbulkan stenosis/striktur anus.
Pasca tindakan : selama 5 hari harus diberikan antibiotika oral, obat hemoroid
367
supositoria/ointment dan obat penghilang rasa sakit dubur. Tindakan ini diulang tiap 1-2 minggu
sampai hemoroid sklerotik. Evaluasi : tigapuluh menit sesudah tindakan harus dipastikan bahwa
tidak ada perdarahan peranum. Tujuh hari kemudian dilakukan endoskopis ulang untuk hasil
skleroterapi.
KOMPLIKASI
Perdarahan, abses anus, demam, rasa sakit di dubur, bakteremia, ulkus ano-rektal,
stenosis/striktur anus.
LAMA TINDAKAN
15 menit
WEWENANG
· RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi PPDS Penyakit Dalam
yang sedang dan sudah melalui Divisi Gastroenterologi membantu persiapan dan
pelaksanaan.
· RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi
UNIT YANG MENANGANI
· RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Gastroenterologi
· RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT YANG TERKAIT
· RS Pendidikan : Departemen Bedah/Digestif
· RS Non Pendidikan : Bagian Bedah
368
BUSINASI
PENGERTIAN
Businasi adalah tindakan dilatasi esophagus
TUJUAN
Dilatasi striktur esophagus
INDIKASI
Striktur esophagus, spasme esophagus, akalasia
KONTRAINDIKASI
Keadaan umum buruk
PERSIAPAN
Puasa 6-8 jam
PROSEDUR TINDAKAN
Dilatasi dengan menggunakan busi
KOMPLIKASI
LAMA TINDAKAN
30 Menit
WEWENANG
· RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang
dan sudah melalui Divisi Gastroenterologi.
· RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam.
UNIT YANG MENANGANI
· RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Gastroenterologi
· RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
-
369
KOLONOSKOPI
PENGERTIAN
Kolonoskopi adalah suatu tindakan untuk mengadakan observasi keadaan lumen usus
besar secara langsung dengan menggunakan endoskop.
TUJUAN
Identifikasi lesi dalam lumen usus besar
INDIKASI
· Mengevaluasi kelainan yang didapat pada pemeriksaan Colon in loop
· Perdarahan peranum yang tidak diketahui penyebabnya
· Diare kronik
· Obstipasi
· Menegakkan diagnosis keganasan kolon / untuk mendapatkan jaringan biopsy dari kolon
· Evaluasi pasca anastomosis
· Surveillance : kelompok resiko tinggi untuk kanker kolon, tindak lanjut sesudah operasi
pengangkatan polip atau kanker.
· Terapeutik : polipektomi, pengambilan benda asing, terapi laser.
KONTRAINDIKASI
Mutlak : Pasien tidak kooperatif, perforasi usus, peritonitis, kehamilan trimester III, infark
jantung baru, pasien dalam keadaan syok.
Relatif : semua proses peradangan akut dan berat yang akan memperbesar kemungkinan
perforasi.
· Diverticulitis akut dengan gejala sistemik
· Kehamilan trimester I dan penyakit peradangan panggul
· Penyakit anal dan perianal akut
· Obstruksi intestinal / distensi perut akut
· Demam
· Aneurisma aorta abdominal atau aneurisma iliakal
· Baru menjalani operasi
· Visualisasi terganggu : perdarahan akut gastrointestinal massif, persiapan tidak baik.
PERSIAPAN
· Informed concent
· Persiapan usus besar :
1. Sejak 2 hari sebelum tindakan, pasien makan bubur kecap atau makanan cair, minum
yang banyak 2-3 liter/hari. Jika sulit buang air besar minum laktulosa 2 x 1 sendok
makan atau bisacodyl 2 x 1 tab/hari.
2. Malam hari sebelum tindakan, puasa. Makan terakhir jam 20.00, setelah itu puasa tetapi
minum tetap boleh kecuali susu. Pukul 21.00 minum garam Inggris 30 gram atau
Dulcolax x 4 tab.
3. Pukul 05.00 pagi (3 jam sebelum tindakan) dilakukan klisma (untuk pasien yang dirawat)
atau bisacodyl 1 buah suppositoria atau larutan enema 1 botol.
370
PROSEDUR TINDAKAN
1. Meniup (inflasi) udara diusahakan seminimal mungkin
2. Sedapat mungkin harus melihat lumen kolon dengan baik dengan menarik alat atau
memutarnya ke kiri atau ke kanan serta menghindari timbulnya loops. Kadang-kadang alat
perlu di dorong menyusuri dinding kolon tanpa melihat lumennya. Hal ini dapat dilakukan
tanpa resiko selama alat tersebut menyusur dengan mudah tanpa paksaan. Bila ada tahanan,
apalagi pasien merasa sakit, sebaiknya alat ditarik mundur.
3. Rasa sakit merupakan suatu tanda bahwa kita harus hati-hati menarik alat dan memendekkan
kolon dengan cara menghisap merupakan salah satu cara keberhasilan mencapai caecum.
Langkah-langkah tindakan :
1. Surat persetujuan tindakan
2. Persiapan kolon
3. Memakai celana khusus yang mempunyai lobang berukuran ( 14 cm) untuk jalannya skop
KOMPLIKASI
Gangguan kardiovaskular dan pernapasan, perforasi kolon, perdarahan, distensi pasca
kolonoskopi, reaksi vasovagal, flebitis, infeksi,volvulus
LAMA TINDAKAN
30-60 menit
WEWENANG
· RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi, PPDS Penyakit Dalam
yang sedang dan sudah melalui Divisi Gastroenterologi membantu persiapan dan
pelaksanaan.
· RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi.
UNIT YANG MENANGANI
· RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Gastroenterologi
· RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS Pendidikan : Departemen Bedah / Digestif
· RS Non Pendidikan : Bagian Bedah
371
PEMASANGAN SELANG NASOGASTRIK
PENGERTIAN
Pemasangan selang nasogastrik (NGT/flocare) ke dalam lambung melalui hidung pada
keadaan pasien tidak dapat menelan makanan oleh berbagai sebab untuk menjamin pemberian
nutrisi enteral. Pemasangan NGT juga dilakukan pada pasien dengan perdarahan saluran cerna
bagian atas, pancreatitis akut ileus paralitik/obstruksi untuk dekompresi.
TUJUAN
· Pemberian nutrisi enteral pada pasien yang tidak dapat menelan oleh berbagai sebab.
· Dekompresi / menyalurkan cairan lambung keluar pada ileus paralitik/obstruktif dan
pancreatitis akut.
· Bilas lambung pada perdarahan SCBA
INDIKASI
Pasien tidak dapat menelan oleh berbagai sebab, perdarahan saluran cerna bagian atas,
pancreatitis akut, ileus obstruktif/paralitik.
KONTRAINDIKASI
Pasien tidak kooperatif
PERSIAPAN
PROSEDUR TINDAKAN
1. Pasien posisi terlentang atau miring ke kiri/kanan dengan kepala sedikit di tekuk ke depan.
2. Selang dimasukkan ke hidung setelah ujungnya diberi jeli
3. Setelah mencapai lambung, biasanya pada tanda 3 strip hitam yaitu kira-kira 50 cm dari
lambung dimasukkan udara melalui selang. Hal ini bisa menimbulkan suara yang dapat di
dengar dengan stetoskop yang ditempelkan kira-kira di atas lambung (perut kiri atas/sedikit
di atas epigastrium). Jika terdapat banyak cairan lambung, biasanya cairan lambung keluar
melalui selang.
KOMPLIKASI
Erosi pada esophagus dan lambung
LAMA TINDAKAN
± 15 menit
WEWENANG
· RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang
dan sudah melalui Divisi Gastroenterologi dibantu oleh perawat terlatih.
· RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam.
372
UNIT YANG MENANGANI
· RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Gastroenterologi
· RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS Pendidikan : Departemen Bedah /Digestif
· RS Non Pendidikan : Bagian Bedah
373
ESOFAGO-GASTRO-DUODENOSKOPI
PENGERTIAN
Esofago-gastro-duodenoskopi adalah pemeriksaan intralumen esophagus, gaster, dan
duodenum dengan menggunakan alat endoskop (serat optic atau EVIS).
TUJUAN
Identifikasi lesi mucosal intralumen di esophagus, gaster, dan duodenum
INDIKASI
Dispepsia, disfagia, perdarahan gastrointestinal, konfirmasi abnormalitas pada
pemeriksaan radiologi, penapisan keganasan saluran cerna bagian atas, muntah hebat, berat badan
turun tanpa sebab, dispepsi yang menetap setelah terapi empiric, occult bleeding, anemia tidak
diketahui penyebabnya.
INDIKASI
Terapeutik : Ligasi /STE varises esophagus, mengambil benda asing
KONTRAINDIKASI
Mutlak : tak kooperatif atau psikotik, infark miokard akut
Relatif : kesadaran menurun, divertikulum Zenker, gagal jantung, pneumonia berat, asma akut,
aneurisma aorta torakal, gastritis korosif akut
PERSIAPAN
· Persiapan psikologis dan penjelasan tentang tujuan (informed concent)
· Puasa 6-8 jam sebelum tindakan
· Persiapan alat :
1. Memastikan semua tombol-tombol berfungsi baik. Baik itu air feeding, water feeding,
dan suction (knop).
2. Pompa isap
3. Botol air cukup isinya
4. Sumber cahaya
5. Alat foto tersedia dan cairan formalin (5-10%) serta botol-botol kecil apabila
direncanakan biopsy.
PROSEDUR TINDAKAN
1. Melalui mouth piece, ujung skop diinsersikan ke dalam mulut, faring, sfingter, esophagus
superior dan masuk ke dalam esophagus.
2. Esophagus di evaluasi, kemudian melalui sfingter esophagus bawah, skop dimasukkan ke
dalam gaster
3. Evaluasi dilakukan di daerah kardia, fundus, korpus dan antrum
4. Melalui pylorus skop dimasukkan ke dalam bulbus dan pars desenden duodenum
5. Skup ditarik kembali sambil melihat keadaan mokusa dengan mengisap udara dan cairan
selama ditarik
374
KOMPLIKASI
Refleks vasovagal, perdarahan, aspirasi, perforasi
LAMA TINDAKAN
± 30 menit
WEWENANG
· RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi. PPDS Penyakit Dalam
yang sedang dan sudah melalui Divisi Gastroenterologi membantu persiapan dan
pelaksanaan.
· RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi.
UNIT YANG MENANGANI
· RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Gastroenterologi
· RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS Pendidikan : Departemen Bedah / Digestif
· RS Non Pendidikan : Bagian Bedah
375
3.8
HEPATOLOGI
376
BIOPSI ASPIRASI JARUM HALUS
PENGERTIAN
Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) atau fine needle aspiration biopsy (FNAB) adalah
suatu tindakan untuk menetapkan diagnosis jaringan dengan menggunakan jarum halus tanpa
melalui prosedur pembedahan.
TUJUAN
· Untuk menetapkan diagnosis lesi-lesi maligna organ intra abdomen seperti hati, pancreas dan
limpa
· Untuk menentukan stadium suatu keganasan
INDIKASI
· Terdapat lesi fokal di hati
· Terdapat dugaan adanya keganasan pada korpus dan kauda pancreas
· Limfadenopati peripankreatik atau para aorta
KONTRAINDIKASI
Gangguan hemostatis, pasien tidak kooperatif, asites
PERSIAPAN
Bahan dan Alat :
· Alat USG yang dilengkapi dengan probe yang khusus digunakan sebagai penuntun biopsy
aspirasi
· Jarum chiba no. 22 G-23 G dengan panjang 15 atau 20 cm
· Gelas obyek
· Lidokain 2% 5 ampul
· Alcohol 96%
· Spuit Betadine disposable 10 cc dan 20 cc masing-masing 1 buah
· Aspirator
· Sarung tangan steril
· Kain handuk steril
Pasien :
· Pasien rawat inap
· Pasien tidak dipuasakan
· Diperiksa masa perdarahan, masa pembekuan dn masa protrombin
· Vitamin K 10 mg intra muscular mulai 1 hari sebelum tindakan
· Terpasang infuse NaCI 0,9% atau Dextrose 5%
· Surat persetujuan tindakan
377
PROSEDUR TINDAKAN
Tindakan dilakukan secara lege artis meliputi :
1. Persiapan periksa kembali kelengkapan bahan dan alat periksa pasien tidak ada
kontraindikasi sudah ada persetujuan tindakan
2. Teknik puncture
· a dan antisepsis lapangan kerja dengan larutan betadine
· tentukan titik puncture USG
· infiltrasi anestesi local dengan lidokain 2% 6-10 cc dari titik puncture yang ditentukan
sampai daerah kapsul hati atau peritoneum
· lakukan puncture dengan jarum chiba dengan dipandu USG sampai ke daerah sasaran.
3. Teknik aspirasi
· Setelah jarum mencapai sasaran yang dituju lepaskan mandarin di dalamnya
· Lakukanlah aspirasi dengan spuit disposable 20 cc dengan cara membuat tekanan negative
serta menarik dan mendorong jarum ke atas dan ke bawah
· Setelah didapat aspirat, tekanan negative spuit dinetralkan kembali dan jarum kemudian
ditarik.
4. Pembuatan slide
· Keluarkan aspirat dari jarumnya dengan mendorongnya dengan mandrin atau spuit
disposable ke atas gelas obyek
·
Buatlah sediaan apus preparat direndam dalam alkohol 96% selama 5 menit
5. Pengawasan pasca tindakan
· Setelah luka dirawat periksa tekanan darah dan pulsasi.
LAMA TINDAKAN
30 menit
KOMPLIKASI
Perdarahan, nyeri daerah tusukan, peradangan, seeding sepanjang tract jarum
WEWENANG
· RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam yang sudah mendapat sertifikasi. PPDS
Penyakit Dalam yang sedang / sudah melalui Divisi Hepatologi : mempersiapkan dan
membantu pelaksanaan.
· RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam.
UNIT YANG MENANGANI
· RS Pendidikan : Departemen Penyakit Dalam-Divisi Hepatologi
· RS Non Pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
-
378
PARASENTESIS ABDOMEN
PENGERTIAN
Parasentesis abdomen adalah suatu tindakan untuk mengeluarkan cairan asites
TUJUAN
· Untuk membantu menegakkan diagnosis
· Sebagai terapi, bila pengobatan dengan medikamentosa tidak member respons
Indikasi
· Diagnostic : untuk memastikan penyebab asites atau menentukan asites yang terinfeksi
seperti SBP pada pasien sirosis hati.
· Untuk mengatasi distensi abdomen atau sesak napas akiba tekanan asites.
KONTRAINDIKASI
· Gangguan pembekuan darah, masa protrombin memanjang > 5 detik control, trombosit <
50.000/mm. ileus obstruktif, infeksi pada dinding perut
· Relative : pasien tidak kooperatif, riwayat operasi laparotomi berulang
PERSIAPAN
Bahan dan alat :
· Sarung tangan steril
· Betadine, alkohol
· Kasa steril
· Kain duk steril
· Lidokain 1% (10 cc)
· Spuit disposable 10 cc (2 buah), 50 cc (2 buah)
· IV cath no. 14 atau 16
· Blood set
· Tabung steril
Pasien :
· Diperiksa darah perifer lengkap, masa perdarahan, masa pembekuan dan masa protrombin
(paling lama 48 jam terakhir)
· Surat persetujuan tindakan
PROSEDUR TINDAKAN
· Vesika urinaria harus kosong
· Pasien tidur berbaring dengan posisi kepala 45-90
· Identifikasi tempat aspirasi : hindari vena-vena kolateral, pembuluh darah epigastrika inferior,
lokasi bekas operasi dan limpa yang membesar
· Pakai sarung tangan steril
· Bersihkan lokasi tindakan dengan antiseptic
· Pasang duk steril
· Anestesi local dengan likodain 1% sampai dengan peritoneum
· Pasang IV-cath no 14 atau 16 secara zigzag, sedot cairan dengan spuit 10 cc dan 50 cc untuk
379
·
·
·
pemeriksaan.
Untuk tujuan terapi pasang set infuse, lalu alirkan cairan keluar
Tidka ada batas pasti jumlah maksimal yang boleh dikeluarkan, rata-rata 3-4 liter masih
cukup aman
Pada pasien sirosis hati sebaiknya ditambahkan 6-8 g albumin intraven untuk setiap liter
cairan asites yang dikeluarkan.
LAMA TINDAKAN
· Parasentesis diagnosis : 15 menit
· Parasentesis terapeutik : tergantung jumlah cairan asites yang dikeluarkan
KOMPLIKASI
· Local : perdarahan, infeksi dinding perut, peritonitis, perforasi usus atau vesika urinaria
· Umum : Hipovolemia, hipotensi, gagal ginjal, ensefalopati portosistemik.
WEWENANG
· RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang /
sudah melalui Divisi Hepatologi.
· RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam.
UNIT YANG MENANGANI
· RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Hepatologi
· RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
-
380
BAB IV
PENUTUP
381
PENUTUP
Sebagaimana kita ketahui kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam bidang kedokteran/kesehatan khususnya ilmu penyakit dalam, sedemikian cepat dan luas
seiring dengan pertambahan jumlah penduduk di Indonesia yang semakin banyak serta kemajuan
dan perubahan pola pikir masyarakat tentang pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, dengan
adanya Buku Standar Pelayanan Medik Penyakit Dalam PAPDI ini dapat membantu sejawat
dalam memberikan pelayanan dan perawatan kesehatan kepada masyarakat secara lebih optimal,
berkesinambungan, professional dan dapat dipertanggungjawabkan.
Standar Pelayanan Medik Penyakit Dalam ini meliputi standar operasional yang bermutu
dalam pelayanan dan perawatan kesehatan kepada masyarakat yang diperuntukkan bagi semua
sarana pelayanan kesehatan yang telah dan akan menggunakan standar pelayanan medic ini.
Apabila ada kekurangan dalam penyusunan Standar Pelayanan Medik Penyakit Dalam
PAPDI ini kami menerima masukan dari sejawat untuk revisi selanjutnya.
382
Download