PENGKAJIAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI KONSERVASI LAHAN UNTUK PENINGKATAN HASIL USAHATANI DI LAHAN KERING KABUPATEN ENDE Tony Basuki, Medo Kote, M. Robertson dan Jacob Nulik I. PENDAHULUAN 1.1.. Latar Belakang Kabupaten Ende merupakan wilayah yang secara biofisik mempunyai kondisi lahan pertanian yang terus mengalami kemerosatan mutu sehingga telah menyebabkan masih rendahnya tingkat produktivitas hampir semua jenis tanaman pertanian. Berdasarkan survei pendasaran (baseline survey), lahan di daerah ini didominasi oleh lahan marginal. Lahan marginal dicirikan oleh adanya satu atau lebih permasalahan sebagai berikut (1) kondisi biofisik yang buruk yang mencakup produktivitas/kesuburan tanah yang rendah, topografi berbukit (peka erosi), dan sumber daya air yang terbatas, (2) infrastruktur lemah/kurang, (3) sistem pengelolaan pertanian buruk, dan (4) petani/penduduk tergolong miskin (kepemilikan lahan rendah, pendapatan rendah hingga kurang pangan dan atau gizi (Badan Litbang Pertanian, 2003). Ende termasuk daerah beriklim kering dengan curah hujan rata-rata 1508 mm/tahun. Kondisi ini sangat beresiko pada pemenuhan kebutuhan air untuk tanaman, sehingga rentan terhadap kegagalan panen. Bulan basah yang dimilikinya (> 200 mm) adalah hanyalah 3 sampai 4 bulan dengan bulan kering (< 100 mm) >5-7 bulan. Meskipun total curah hujan tahunan tergolong rendah, namun karena jatuh dalam kisaran waktu yang singkat, maka ratarata intensitas hujan menjadi tinggi. Dengan bentuk wilayah yang umumnya bergunung dengan kemiringan lereng > 30% dan tanahnya yang dangkal (< 30 cm) dan berbatu (> 60%), maka resiko terhadap bahaya erosi dan longsor serta penurunan produktivitas lahan (degradation) menjadi tinggi. Hasil pengamatan sifat-sifat tanah di lokasi penelitian (Desa Tou dan Nualise) yang dilakukan pada tahun pertama kegiatan menunjukkan bahwa tanah tekstur tanah di daerah didominasi fraksi debu (rata-rata > 70 %). Debu merupakan fraksi yang paling rentan terhadap erosi, karena selain ukurannya yang halus, butir-butir debu tidak mampu membentuk ikatan tanpa adanya bantuan bahan pengikat/perekat. Dengan demikian daerah ini memiliki faktor pembatas tanah dan air yang perlu mendapatkan sentuhan inovasi teknologi khususnya teknologi konservasi tanah dan air untuk meningkatkan produktivitasnya. Kondisi ini ditambah 1 dengan permasalahan sistem usaha tani yang belum optimal, kepemilikan modal yang terbatas, serta SDM yang terbatas yang berimplikasi terhadap keberlanjutan (sustainability) sistem usahatani. Dalam upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan, faktor kelangkaan air (water scarcity) menjadi isu yang perlu ditanggulangi untuk menunjang keberlanjutan sistem usahatani berbasis tanaman perkebunan di Ende. Pemanfaatan rorak, merupakan alternatif untuk memanen air dan meningkatkan kelengasan tanah. Rorak yang dikombinasikan dengan mulsa vertikal juga mampu mengurangi erosi sampai 94 % (Noeralam, 2002). Pada tahun pertama pelaksanaan program pengembangan ini telah dilakukan pembuatan embung mini (kedung) dan pembuatan rorak. Namun pada tahun ketiga, petani setempat tidak merespon embung yang dibuat sebagai percontohan, karena dinilai belum efektif secara teknis sehingga mereka tidak memperoleh manfaat. Pengalaman selama lima tahun sejak tahun 2004 menunjukkan bahwa petani secara perlahan-lahan mulai merespon pentingnya upaya konservasi tanah pada lahan usahatani mereka. Manfaat yang yang diperoleh petani dimulai dari adanya peningkatan produksi tanaman pangan pada bidang datar, seperti jagung, padi gogo dan kacang tanah. Selanjutnya, petani secara kasat mata menilai bahwa, lapisan tanah telah mengalami perubahan warna yang relatif berubah dari warnah yang cerah menjadi relatif gelap. Warna tanah yang gelap ini, petani menganggap bahwa tanah telah menjadi subur kembali. III. TUJUAN DAN LUARAN 3. 1. Jangka Pendek ( tahun 2007) : 1. Mengimplementasikan dan memantapkan optimalisasi lahan pada bidang datar dengan menanam tanaman pangan semusim seperti jagung, padi gogo, kacang tanah dan kacang hijau dengan berbasis teknologi konservasi tanah 2. Menilai beberapa tanaman keras seperti dan rumput akar wangi yang telah ditanam pada bagian kontur lahan, yang fungsi utama adalah sebagai penguat teras serta sebagai potensi sumber Hijauan Makanan Ternak (HMT) 3. 2. Jangka Panjang (sampai tahun 2009) ==================================================== 2 Mengembangkan dan mendiseminasikan paket teknologi konservasi tanah yang spesifik sehingga mampu meningkatkan produktivitas lahan yang berkelanjutan serta memberikan pendapatan petani 3.3. Keluaran yang diharapkan 3.3.2. Jangka Panjang (sampai dengan akhir 2007) : Sistem usahatani konservasi yang mampu mempertahankan/meningkatkan produktivitas lahan dan menjaga kelestarian sumberdaya lahan dan lingkungan serta mampu meningkatkan pendapatan petani. 3.4. Perkiraan Manfaat dan Dampak Dengan paket teknologi konservasi dan pengelolaan air yang handal dan diterima serta diadopsi masyarakat petani, akan memberikan alternatif peningkatan intensitas tanam dan pengurangan resiko gagal panen. Pemberdayaan masyarakat petani dalam implementasi model paket teknologi konservasi tanah dan air akan membantu masyarakat petani mengelola lahannya dengan baik dan benar, serta menjamin keberlanjutan (sustainability) penerapan paket teknologi tersebut. Dengan demikian diharapkan produktivitas lahan usahatani serta pendapatan petani meningkat. IV METODOLOGI 4.1. Waktu dan lokasi Penelitian pengembangan dilaksanakan di Kabupaten Ende (NTT) dalam jangka waktu 5 tahun yang dimulai pada tahun 2004 dan berakhir pada tahun 2009. Dengan beberapa pertimbangan seperti tingkat kemiskinan, seringnya suatu lokasi menerima bantuan, dan kemampuan dana pengembangan yang tersedia maka dipilih 2 lokasi yaitu dusun Rateleo (Desa Tou) dan dusun Wolosambi (Desa Nualise) sebagai lokasi demfarm pengembangan teknologi konservasi tanah dan air sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Lokasi yang ditetapkan untuk pengembangan teknologi konservasi tanah dan air Lokasi Kelompok Tani Desa Tou, Kec. Kota Baru - - Napun Dura Dusun Rateleo Desa Nualise, Wolowaru Jumlah Anggota 18 orang Kec. Dau Dole 15 orang Dusun Wolosambi ==================================================== 3 Selain pertimbangan yang telah disebutkan terdahulu, kedua desa ini telah dipilih dengan pertimbangan penting adalah : (i) desa yang rawan dan rentan terhadap resiko degradasi lahan; (ii) desa yang wilayahnya sebagai kawasan lahan kering beriklim kering; (iii) desa yang sebagian masyarakatnyanya bergantung usahataninya pada lahan-lahan yang berslope miring dengan tanaman utamanya adalah tanaman pangan, yang dicampur dengan tanaman keras; (iv) desa yang sebagian masyarakatnya memiliki akses yang rendah terhadap inovasi, modal dan informasi dan (v) kedua desa ini, merupakan representatif dari dari sebagian besar wilayah kabuparten Ende, baik dari aspek biofisik wilayah maupun dari aspek sosial ekonomi desa (desa miskin). Kedua desa ini, walaupun memiliki karakteristik yang sama, namun letaknya berjauhan. Desa Tou berada di Wilayah Utara yang merepresentatif kawasan dataran rendah (< 300 mdpl) dan desa Nualise berada wilayah Selatan dan merupakan representatif dari kawasan dataran medium (> 600 mdpl) dari kabupaten Ende. 4.2. Lingkup kegiatan Penelitian pengembangan ini mencakup kegiatan-kegiatan utama sebagai berikut : 1. Implementasi paket teknologi konservasi tanah dan pengelolaan air untuk menunjang peningkatan produktivitas lahan usahatani berbasis tanaman pertania. 2. Pembentukan/pemberdayaan kelembagaan petani konservasi tanah dan air. METODOLOGI 1. Lokasi dan pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan community-based soil and water conservationon (CbS&WC) dimana petani koperator yang tergabung dalam kelompok tani diarahkan dalam menerapkan pilihan-pilhan komponen teknologi konservasi yang telah di dahului melalui penjelasan secara rasional terhadap mereka. Dua kelompok tani yang terlibat secara partisipatif di desa Tou dan Nualise seperti tersaji pada Tabel 1. Pertimbangan objektif terhadap kedua kelompok tani ini antara lain : : (i) kelompok yang sebagian besar lahan usahataninya rawan dan rentan terhadap resiko degradasi lahan ==================================================== namun memeliki 4 ketergantungan usahataninya pada lahan ini; dan (ii) kelompok yang anggotanya memiliki akses yang rendah terhadap inovasi, modal dan informasi. Tabel 1. Jumlah Anggota petani Koperator di desa Nualise dan Tou Lokasi Kelompok Tani Jumlah Anggota Desa Tou, Kec. Kota Baru (Dusun Rateleo) Desa Nualise, Kec. Wolowaru (Dusun Wolosambi) Napun Dura Dau Dole 18 orang 15 orang 2. Implementasi Teknologi Konservasi Komponen teknis yang menjadi fokus pelaksanaan lapang meliputi, teknologi yang berhubungan dengan menekan laju degradasi lahan akibat erosi dan perbaikan pola pertanaman, termasuk perbaikan dan introduksi jenis tanaman/varietas yang mau diterima oleh petani. Prinsip dari kombinasi perbaikan antara pola pertanaman dan penerapan komponen konservasi agar petani bisa melaksanakan secara utuh prinsip-prinsip konservasi secara berkelanjutan. Secara ringkas implementasi teknisnya meliputi : (i) perbaikan dan penataan garis-garis kontur dengan menerapkan kombinasi antara cara kebekolo (cara lokal) dan penanam jenis tanaman/vegetasi; dan (ii) pemanfaatan bidang datar lahan dengan menanam tanaman semusim yang bernilai ekonomis yang juga dikombinasikan dengan tanaman keras; (i) Penataan Kontur lahan Secara lokal masayarakat kedua desa ini telah mempunyai teknologi membuat kontur dan penyanggah tanah dalam rangka mengurangi resiko erosi maupun longsor. Mereka membuat ini, dengan menggunakan bahan kayu lokal diatur secara melintang searah garis kontur. Cara ini masyarakat setempat menyebut “Kebekolo”. Dengan demikian, pada dasarnya masrakat setempat telah memeliki pengetahuan akan pentingnya konservasi lahan pada lahanlahan yang berlereng. Jika dipelajari, cara lokal ini masih mempunyai kelemahan yakni jika bahan kayu penyanggah ini lapuk (biasanya hanya tahan 1 samapi 2 tahun) maka degradasi akan terus berlangsung. Dengan demikian dari aspek keberlanjutan ancaman degradasi masih terus berlanjut. Dengan dasar kelemahan cara Kebekolo ini maka disempurnakan dengan kombinasi antara vegetasi + Kebekolo. Pilihan petani dalam menerapkan ini adalah : 1). Kebekolo + Strip rumput; dan 2). Kebekolo + (Strip rumput + lamtoro atau gamal/glirisidia); Untuk mengevaluasi kinerja teknologi ini, maka diamati terhadap produktivitas tanaman dan respon petani berupa minat ingin mengikuti cara-cara teknis tersebut terhadap model yang diterapkan. ==================================================== 5 (ii) Penataan Bidang Datar Penataan ini diarahkan pada perbaikan pengelolaan budidaya tanaman semusim. Prioritas teknis pada komponen ini antara lain : introduksi jenis/varietas unggul (jagung Lamuru); introduksi kacang tanah (petani jarang menanam kacang tanah) karena mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dan penataan pola pertanaman dengan cara strip croping; Varietasvarietas yang diperbaiki adalah jagung diperkenalkan dengan varietas Lamuru untuk menggantikan varietas lokal yang mempunyai potensi genetik yang rendah, padi var Sito Bagendit dan var. Sito Patenggang untuk menggantikan var. Lokal serta jenis tanaman kacang tanah varietas lokal Kupang Barat, yang sebelumnya petani tidak pernah menanam tanaman ini. ==================================================== 6 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Profil desa Nualise dan Desa Tou Umum Desa Nualise dan Tou adalah dua desa dari 201 desa/kelurahan yang ada di kabupaten Ende. Secara biofisik dua desa ini dapat dipandang sebagai desa yang representatif untuk sebagian besar desa di kabupaten Ende. Letak Desa Nualise cenderung berada di bagian selatan arah timur (Tenggara) kabupaten Ende, yang secara administratif termasuk dalam kecamatan Wolowaru. Sementara desa Tou, terletak di wilayah utara bagian Timur (Timur Laut) dari pusat ibukota Ende atau secara administratif termasuk dalam kecamatan Kota Baru. Gambaran letak lokasi kedua desa ini tersaji pada Gambar 1. Walaupun kedua desa ini sama-sama sebagai desa wilayah lahan kering dan menganut sistem usahatani lahan kering, namun basis komoditas usahataninya berbeda antar desa tersebut. Di Nualise, basis sistem usahatani setempat adalah tanaman perkebunan seperti kakao dan kemiri (dominan) atau kopi dan vanili. Sementara di desa Tou basis sistem usahatani adalah tanaman pangan seperti jagung, padi ladang (gogo) dan ubikayu dengan tanaman perkebunan adalah jambu mente. Di desa Nualise, tanaman pangan seperti jagung, padi gogo dan ubikayu berperan sebagai sumber pangan utama bagi keluarga, sedangkan produksi tanaman perkebunan di jual untuk memperoleh uang tunai, selain berasal dari ternak kecil seperti babi, kambing dan ayam. Secara fisik, kedua desa ini tidak tergolong sebagai wilayah yang terisolasi dengan wilayah lain. Bahkan desa Nualise sebagian besar wilayahnya di belah (dilintas) oleh jalan trans flores jalur selatan (jalan negara) dengan jarak dari ibukota Ende ke arah Timur kurang lebih 79 km. Sedangkan desa Tou walaupun berjarak jauh dari ibukota Ende (± 100 km), desa ini juga Gambar 1. Peta lokasi Desa Nualiase dan Tou, Kabupaten Ende oleh jalan lintas utara trans flores yang menurut tata-ruang perencanaan jalur ini diharapkan akan menjadi salah satu urat nadi transflores yang bisa juga menghubungkan semua kota-kota yang ada di pulau Flores. Jalur trans-flores ini, masih tergolong sebagai kelas jalan propinsi sehingga kualitas jalan saat ini belum sama dengan jalur trans-Flores Selatan. Untuk mencapai desa Tou, dengan mempertimbangkan kualitas jalan dan keberadaan saat ini maka waktu tempuh dari kota Ende sampai di desa ini bisa mencapai 4 – 5 jam perjalanan menggunakan kendaraan pribadi. Sementara waktu tempuh dari kota Ende ke desa Nualise hanya membutuhkan waktu 1.5 jam perjalanan. Oleh karena itu, desa Tou memiliki aksesibilitas yang lebih rendah untuk banyak aspek dibanding desa Nualise. ==================================================== 7 Karena akses yang rendah dengan ibukota Ende, maka masyarakat Tou lebih banyak melaksanakan aktivitas ekonomi menuju kota Maumere kabupaten Sikka. Kondisi ini disebabkan oleh jarak dan kualitas jalan menunju kota Maumere jauh lebih baik. Jarak desa Tou ke kota Maumere adalah ± 55 km dengan waktu tempuh hanya 1.5 jam perjalanan. Kondisi Biofisik Wilayah (Iklim, Topografi dan Tanah) Seperti telah disebutkan bahwa kedua desa penelitian ini tergolong sebagai desa kawasan lahan kering beriklim kering. Dengan demikian ketergantungan sumber air untuk pertanian didominasi dari keberadaan kondisi curah hujan setempat. Walaupun kedua desa ini tergolong sebagai kawasan lahan kering beriklim kering, namun kedua desa ini memiliki sifat curah hujan yang berbeda. Desa Tou, memilki curah hujan kurang dari 1000 mm/tahun yang terdistribusi pada tiga bulan basa (Desember sampai Maret), sedangkan desa Nualise memiliki curah hujan antara 1500 sampai 2000 mm/tahun dan memiliki bulan basa 5 sampai 6 bulan (November sampai Mei). Dengan demikian musim tanam kedua wilayah ini mengikuti kondisi curah hujan setempat, yakni musim tanam jatuh pada bulan November atau Desember dan Musim panen jatuh antara Maret dan April (sesuai jenis tanaman pangan yang mereka usahakan). Jika dibandingkan kondisi mikro antar dua desa ini, maka desa Nualise memiliki kondisi agroekologi yang relatif lebih baik dibanding dengan desa Tou. Hal ini disebabkan karena desa Nualise berada pada ketinggian antara 500 sampai 700 meter di atas permukaan laut (mdpl), sementara desa Tou berada pada ketinggian antara 20 sampai 200 mdpl. Namun kedua desa ini memiliki kesamaan topografi yang sama yakni berbukit sampai bergunung. Gambaran mengenai kondisi topografi desa Nualise dan Tou. Untuk memberi gambaran sifat lahan kedua desa ini maka telah dilakukan survei lahan pada tahun sebelumnya (Subagyono, et al., 2004). Gambaran mengenai kondisi tanah pada masing-masing desa adalah sebagai berikut : a. Desa Tou Umumnya lahan-lahan di desa Tou adalah berlereng sedang sampai sangat curam (2590%) sehingga sangat beresiko terhadap terjadinya erosi. Tanahnya yang relatif dangkal (ratarata kedalaman efektif 86 cm) dan memiliki horison argilik pada kedalaman kurang dari 30 cm (Gambar 4), serta bahaya erosi yang tergolong besar (karena tidak di konservasi) menyebabkan tanah-tanah di daerah ini terdegradasi dan menjadi marjinal. ==================================================== 8 Berdasarkan hasil deskripsi profil (penampang) tanah, tanah di dusun Rateleo desa Tou diklasifikasikan kedalam Typic Argiustolls. Tanah ini berkembang dari bahan induk breksi volkanik (basalt dan andesit) pada perbukitan volkan tua. Reaksi tanah umumnya netral, dan secara kimia tergolong berpotensi. Hasil analisis kimia (Tabel 3) menunjukkan Kapasitas tukar kation tergolong sedang, kejenuhan basa tergolong sangat tinggi (>80%), dengan kandungan basa-basa (Ca, Mg, K dan Na) tergolong tinggi sampai sangat tinggi. Kandungan P-tersedia (P2O5-Olsen) juga tergolong sangat tinggi. Perbaikan kesuburan tanah yang perlu dilakukan adalah dalam hal peningkatan bahan organik tanah dan pemupukan nitrogen. Hasil pengamatan penampang tanah yang dilakukan pada lereng tengah, menunjukkan keberadaan lapisan argilik yang padat dan kandungan batu di permukaan yang sangat dominan. Hal ini merupakan kendala dalam pengelolaan lahan. Tekstur tanah pada lapisan atas tergolong sebagai lempung, terjadi peningatan kandungan liat dengan semakin meningkatnya kedalaman tanah, menunjukkan adanya proses iluviasi liat. Tabel 3. Sifat kimia tanah di lokasi Pengembangan Desa Tou, Kecamatan Kota Baru, Kabupaten Ende Kedalaman tanah (cm) Parameter sifat kimia tanah pH H2O pH HCl C-organik (%) N-total(%) C/N P2O5 HCl 25 % (mg/100g) K2O HCl 25 % (mg/100 g) P2O5 Olsen (ppm) K2O Morgan (ppm) Ca (cmolc/kg) Mg (cmolc/kg) K(cmolc/kg) KTK (cmolc/kg) KB (%) 0-20 20-40 >40 6,5 5,5 1,76 0,13 14 21 120 36 1113,0 15,16 3,91 2,22 21,49 99 6,8 5,5 0,63 0,05 13 12 170 11 1672,0 12,80 4,29 3,33 23,17 89 6,5 5,2 0,50 0,04 13 9 152 26 1506,0 12,70 4,38 3,08 24,35 83 Hasil analisis sifat fisik tanah dari lokasi pengembangan Tou disajikan pada Tabel 3. Adanya perbedaan kandungan (persen) debu pada tanah dengan posisi lereng yang berbeda, merupakan indikasi telah terjadi pengangkutan fraksi debu dari lereng bagian atas. Debu merupakan fraksi tanah yang paling mudah terbawa aliran permukaan. Selain karena ringan (halus), fraksi ini juga tidak mampu membentuk ikatan karena tidak mempunyai muatan. Fraksi debu hanya mampu membentuk ikatan kalau ada unsur perekat atau pengikat, misalnya bahan organik tanah, micelia jamur, perakaran halus tanaman, atau zat perekat atau pengikat lainnya. ==================================================== 9 Porositas tanah sampai kedalaman 0-20 cm tergolong tinggi, ditunjukkan oleh rata-rata ruang pori total >50%. Porositas tanah menurun dengan meningkatnya kedalaman tanah, namun demikian sampai kedalaman >40 cm, rata-rata ruang pori total masih >50%. Distribusi pori tanah juga menunjukkan indikasi bahwa peresapan air ke dalam tanah dapat berjalan dengan baik, yang mana pori drainase cepat pada kedalaman 0-20 cm tergolong tinggi, yakni >20 %. Meskipun demikian adanya lapisan argilik dapat menyebabkan peresapan air menjadi terhambat, hal ini dapat ditunjukkan oleh semakin menurunnya permeabilitas tanah dengan semakin dalamannya tanah 4 Tabel 4. Sifat fisik tanah di lokasi Pengembangan Desa Tou, Kecamatan Kota Baru, Kabupaten Ende Lereng Atas Kedalaman tanah 0-20 cm 20-40 cm Tengah 0-20 cm 20-40 cm Bawah 0-20 cm 20-40 cm Parameter Pasir (%) 49 4 9 4 8 27 Debu (%) 20 91 80 78 83 26 Liat (%) 31 5 11 18 9 53 BD (g/cc) 1,09 1,15 1,02 1,29 1,05 1,19 Ruang pori total (%vol) 58,9 56,6 61,5 51,3 60,4 55,1 Pori drainase cepat (%vol) 25,0 26,6 31,0 12,1 29,0 21,9 Pori drainase lambat (% vol) 5,2 4,4 4,4 4,6 4,2 4,4 Pori air tersedia (% vol) 9,2 8,3 7,5 8,2 7,8 7,5 Permeabilitas (cm/jam) 8,43 6,74 2,48 1,97 14,45 7,01 Perkolasi (cm/jam) 11,22 12,53 13,15 14,62 8,24 3,47 % Agregasi 47,1 45,6 51,0 69,5 52,5 54,7 Stabilitas agregat 95 89 121 37 73 112 Persen tanah yang teragregasi relatif rendah. Pada kedalaman 0-20 cm, persen agregasi tanah berkisar antara 47-52 %. Agregat tanah pada lapisan 0-20 cm rata-rata masih tergolong stabil. Kemampuan tanah untuk memegang air rata-rata tergolong rendah, ditunjukkan oleh persentase pori pemegang air tersedia yang rata-rata tergolong rendah pada semua kedalaman. Rendahnya kemampuan tanah untuk memegang air, menyebabkan air yang masuk ke dalam tanah tidak dapat bertahan dalam jangka waktu relatif lama. Sehingga ==================================================== 10 ketersediaan air dalam tanah pada saat musim kemarau menjadi rendah. Padahal jangka waktu musim hujan per tahun (curah hujan > 100 mm/bulan) di lokasi penelitian tergolong sangat pendek, rata-rata hanya 3 bulan/tahun, dengan bulan basah (curah hujan > 200 mm/bulan) rata-rata hanya satu bulan (Gambar 5), sehingga masa tanam bagi petani (khususnya untuk tanaman semusim) menjadi sangat terbatas. 400 Curah hujan (mm) 350 Rata-rata (2001-2004) 300 2004 250 200 150 100 50 Desember Nopember Oktober September Agustus Juli Juni Mei April Maret Februari Januari 0 Gambar 2. Kondisi curah hujan di lokasi pengembangan Tou (rata-rata tahun 2001-2004 dan tahun 2004) b. Desa Nualise Hasil analisis sifat kimia tanah di desa Nualise tersaji pada Tabel 4. Reaksi tanah tergolong agak masam (pH = 6,2). KTK tanah tergolong tinggi, dan kejenuhan basa tergolong sangat tinggi. Kandungan kation tertentu seperti Ca, Mg, dan Na tergolong tinggi, namun K tergolong rendah. Kandungan P-tersedia (P2O5-Olsen) juga tergolong tinggi, namun kandungan P-potensial (P2O5 HCl 25 %) tergolong sangat rendah. Perbaikan kesuburan tanah yang perlu dilakukan di lokasi pengembangan ini relatif lebih berat dibanding lokasi pengembangan Tou, selain diperlukan peningkatan bahan organik tanah dan pemupukan nitrogen, pemupukan K di lokasi ini juga perlu dilakukan. Karena kandungan P potensial juga tergolong rendah, maka perlu juga dilakukan pemupukan P. Tabel 4. Sifat kimia tanah di lokasi Pengembangan Desa Nualise, Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende Parameter sifat kimia tanah ==================================================== Nilai* 11 pH H2O 6,2 pH HCl 5,0 C-organik (%) 1,44 N-total(%) 0,10 C/N 14 P2O5 HCl 25 % (mg/100g) 10 K2O HCl 25 % (mg/100 g) 12 P2O5 Olsen (ppm) 18 K2O Morgan (ppm) 81,2 Ca (cmolc/kg) 13,72 Mg (cmolc/kg) 1,97 Na (cmolc/kg) 0,16 K(cmolc/kg) 0,13 KTK (cmolc/kg) 14,86 KB (%) >100 *Sample tanah diambil pada lereng tengah pada kedalaman 20 cm Hasil analisis sifat fisik tanah menunjukkan tanah pada lereng atas dan tengah di lokasi pengembangan ini didominasi fraksi pasir. Terdapat perbedaan tekstur yang sangat nyata pada lereng bawah, yang mana tanah pada bagian lereng ini didominasi fraksi debu. Fraksi liat pada lereng bawah juga mengalami peningkatan (Tabel 6). Adanya perbedaan tekstur pada lereng bagian atas dan lereng bawah dapat menjadi indikasi telah terjadi erosi yang sangat intensif, yang mana fraksi-fraksi halus telah banyak terangkut dan terdeposisi pada lereng bawah. Selain tektur, terdapat pula perbedaan sifat fisik tanah yang cukup mencolok untuk tanah-tanah dengan posisi lereng yang berbeda; tanah pada lereng atas bersifat sangat sarang, ditunjukkan oleh laju permeabilitas dan perkolasi yang jauh lebih tinggi. Tingginya laju peresapan air ke dalam tanah pada lereng atas disebabkan oleh distribusi pori yang didominasi oleh pori berukuran besar (pori drainase cepat), hal ini berhubungan dengan dominannya fraksi pasir pada lereng ini (Tabel 5). Tabel 5. Sifat fisik tanah di lokasi pengembangan Desa Nualise, Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende Lapisan Atas (cm) Lapisan Tengah (cm) Lapisan Bawah (cm) Parameter 0-20 20-40 0-20 ==================================================== 20-40 0-20 20-40 12 Pasir (%) Debu (%) Liat (%) BD (g/cc) Ruang pori total (%vol) Pori drainase cepat (%vol) Pori drainase lambat (% vol) Pori air tersedia (% vol) Permeabilitas (cm/jam) Perkolasi (cm/jam) % Agregasi Stabilitas agregat 67 18 15 1,22 54,0 31,3 70 19 11 1,27 52,1 21,8 63 22 15 1,42 46,4 18,1 65 17 18 1,47 44,5 14,8 19 42 39 0,99 62,6 17,5 18 44 38 1,01 61,9 12,8 4,1 4,1 4,7 4,6 4,7 4,7 6,6 26,90 32,17 64,8 179 6,6 18,48 23,89 65,8 86 7,6 13,19 14,75 65,9 127 9,5 15,21 23,80 70,2 95 15,9 5,03 4,03 73,0 54 14,4 5,64 0,90 69,4 39 Meskipun laju peresapan air ke dalam tanah tergolong tinggi (khususnya pada lereng atas dan tengah), namun ternyata tingkat bahaya erosi di lokasi ini masih tergolong tinggi. Hal ini disebabkan oleh kemiringan lahan rata-rata tergolong sangat curam (>90%). Kondisi curah hujan juga merupakan faktor penyebab tingginya erosi di daerah ini, yang mana meskipun secara total (curah hujan tahunan) tergolong rendah, namun karena terjadi dalam kisaran waktu yang singkat maka rata-rata hujan terjadi dengan intensitas tinggi, sehingga daya rusaknya terhadap tanah menjadi besar. Kandungan debu yang relatif tinggi pada lereng bawah diduga akibat deposisi debu dari lereng atas dan tengah selama proses erosi dan sedimentasi. Fraksi liat, meskipun mempunyai kemampuan untuk saling berikatan, namun begitu ikatannya lepas, fraksi ini juga menjadi mudah untuk diangkut oleh aliran permukaan. Dari segi penyimpanan air, laju perkolasi yang terlalu tinggi sangat merugikan, apalagi untuk lahan beriklim kering seperti lokasi pengembangan ini. Tanah menjadi sulit untuk menyimpan air, sehingga resiko kekurangan air pada musim kemarau menjadi tinggi. Akibat terjadinya penumpukan debu dan liat pada lereng bagian bawah, menyebabkan tanah pada posisi ini menjadi relatif kedap dibanding tanah pada lereng di atasnya. Keberadaan Konservasi lahan di desa Nualise dan Tou Berdasarkan kondisi biofisik, bahwa kedua desa ini sangat beresiko terhadap degradasi kualitas lahan, bahkan dapat menjadi ancaman bagi lingkungan usahatani setempat. Masyarakat kedua desa ini menyadari pentingnya perlakuan konservasi lahan pada lahan usahatani mereka. Namun pada kenyataannya mereka belum menerapkan prinsip konservasi sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi yang normatif. Keadaan kondisi ini lebih banyak berhubungan dengan keberadaan petani setempat, baik terhadap pengetahuan yang terbatas ==================================================== 13 maupun teknologi yang dikuasai. Berikut ini gambaran mengenai keberadaan konservasi lahan pada kedua desa ini. Desa Nualise Pemahaman dan perlakuan konservasi lahan di desa Nualise pada prinsipnya sudah ada. Masyarakat setempat menyadari penuh bahwa, lahan-lahan mereka perlu dikonservasi agar dapat memperoleh hasil pertanian yang memadai. Kondisi ini tercermin dari aplikasi teknologi dan pengetahuan lokal mengenai konservasi yang mereka sebut adalah “Kebekolo“. Hasil wawancara dengan kelompok tani Doudole di desa Nulaise, Kebekolo merupakan indikasi bahwa masyarakat setempat telah melaksanakan usaha konservasi pada lahan-lahan usahatani. Kebekolo, adalah suatu cara menahan laju degradasi lahan pada lahan usahatani berslope miring, yang secara turun-temurun telah dilakukan oleh masyarakat setempat. Kebekolo juga dikenal bagi sebagian besar masyarakat kabupaten Ende. Dengan demikian Kebekolo adalah suatu cara dan pengetahuan lokal bagi masyarakat Ende pada umumnya. Bahan penahan tanah umumnya adalah kayu-kayu lokal (seperti bambu dan lain-lain yang diambil sekitar lahan, dan disusun melintang mengikuti garis kontur yang sudah ditentukan. Konstruksi yang dibuat sangat sederhana dan biasanya hanya bertahan untuk dua tahun/dua musim. Kebekolo dianggap masyarakat setempat adalah penjamin mutu lahan untuk jangka waktu sangat pendek (1 atau 2 musim); Berdasarkan cara kerja petani, maka ditemukan dua macam Kebekolo yakni : Kebekolo sederhana dan Kebekolo yang disusun lebih Dari pengetahuan lokal mengenai intens. Kebekolo yang sudah Gambar 3. Bentuk KEBEKOLO yang bahwa masyarakat tani setempat juga sudah mengetahui lebih intens konservasi walaupun masih sangat terbatas. diketahui adalah pengetahuan yang ada, nampak komponen-komponen Komponen-komponen konservasi yang telah berhubungan dengan tingkat erosi dan kehilangan hasil, pengetahuan yang berhubungan dengan garis-garis kontur, pengetahuan yang berhubungan dengan pemanfaatan bidang datar dan lain-lain. Dengan demikian jika yang bersifat lokal ini maka dapat digunakan untuk diperbaiki. Kebekolo hanya bersifat jangka pendek ( dua musim) karena sifat kontruksi teras yang tidak bertahan lama. Kebiasaan lain yang beruhubungan dengan KEBEKOLO adalah sistem ==================================================== 14 lahan berpindah (shifting cultivation). Sistem ini menurut mereka merupakan penjamin perbaikan mutu lahan jangka menengah. Hasil pengamatan dan evaluasi di lokasi menunujukkan bahwa teknologi KEBEKOLO masih mempunyai kelemahan maupun kelebihan. Gambaran umum mengenai kelebihan dan kekurangan dari pengetahuan lokal Kebekolo tersaji secara ringkas pada Tabel 6. Tabel 6. Kelebihan (plus) dan Kelemahan (minus) cara Kebekolo Yang Diterapkan Masyarakat Tani di Kabupaten Ende Plus Sebagai indegeneous Minus knowledge Konstruksinya sangat rapuh, karena bahan kayu dari SUT lahan kering yang berslope merupakan komponen utama dari KEBEKOLO Pemahaman Tidak bertahan lama (maksimum dua tahun), walaupun masyarakat tentang penurunan mutu lahan telah ada petani masih menanam di lahan ini Prinsip-prinsip pengetahuan Tidak variatif dengan metoda lain, karena petani hanya konservasi sudah ada di masyarakat menyiapkan kebekolo untuk jaminan mutu lahan dalam setempat (al: kontur, bidang tanam, semusim gejala penurunan mutu lahan, dll) Secara teknis masih berpeluang untuk diperbaiki Sangat bergantung dengan ketersediaan lahan karena masih menganut ladang berpindah Selain Kebekolo, praktek ladang berpindah juga masih dilaksanakan sebagian masyarakat setempat. Menurut mereka, sistem ladang berpindah merupakan bagian dari memulihkan kesuburan tanah/konservasi. Cara mempraktekkan ladang berpindah umumnya sama dengan cara praktek ladang berpindah di daerah lain di NTT. Mereka melakukan ladang berpindah ketika lahan yang mereka usahakan telah mengalami penurunan mutu yang ditandai dengan menurunnya hasil panen mereka. Cara praktek ladang berpindah masyarakat setempat yakni, setelah lahan yang sedang diusahakan sudah mengalami penurunan hasil maka musim selanjutnya mereka pindah ke tempat lain (umumnya lokasi tidak jauh dengan lokasi sebelumnya) dan membuka lahan (lahan baru atau yang sudah pernah) dengan cara tebas bakar dan selanjutnya mereka mengusahakan di tempat ini selama rentang waktu menurut kemampuan lahan (biasanya hanya 3-4 kali musim). Setelah ini, mereka pindah lagi ketempat semula yang telah dihutan belukarkan atau pindah ke tempat lain sesuai ketersediaan lahan yang mereka miliki. ==================================================== 15 Setelah dibiarkan 3 sampai empat tahun petani akan kembali membuka lahannya dengan cara tebas bakar yang dikombinasikan dengan KEBEKOLO. Mereka menganggap bahwa, jika kembali beberapa tahun setelah dibiarkan tumbuh semak belukar maka tanah sudah pulih (subur) kembali. Oleh karena itu, petani yang menganut sistem ini memiliki parsil lahan usahatani yang lebih dari satu. Diduga bahwa, ketersediaan lahan untuk ladang berpindah masih ada, sehingga kebekolo yang dibuat juga yang sederhana. Namun jika lahan untuk ladang berpindah tidak tersedia lagi, maka petani akan secara serius mejaga kualitas lahan dengan berbagai cara yang mereka ketahui. Desa Tou Di desa Tou, sangat jarang ditemukan sistem Kebekolo. Mereka memilki kebiasaan membuat teras yang sangat terbatas yakni, dengan menggunakan batu-batuan yang berasal dari lahan mereka sendiri dan difungsikan sebagai teras. Hal ini telah menjadi kebiasaan karena berhubungan dengan ketersediaan bahan pembuat teras pada wilayah setempat. Namun demikian belum semua lahan sudah dibuat teras seperti ini. Kesadaran akan penurunan mutu lahan dan penurunan hasil (tanaman pangan), nampaknya belum sama dengan petani di desa Nualise. Kondisi ini dapat tergambar dari keberadaan lahan usahatani setempat. Sekalipun tanaman pangan seperti padi gogo jagung dan ubikayu sebagai tanaman utama di ladang namun kualitas pengelolaannya juga masih sangat terbatas. Produksi tanaman pangan tersebut hanya diperuntukan sebagai sumber pangan untuk setahun. Oleh karena usahatani setempat hanya orientasi subsisten atau berperan sebagai food security. Gambaran usahatani ini merupakan manifestasi dari keterbatasan banyak hal, antara lain pengetahuan dan ketrampilan usahatani, keterbatasan akses terhadap varietas-varietas tanaman yang unggul serta keterbatasan modal dan perlatan pertanian yang memadai. Disamping itu, juga dapat dipengaruhi oleh ketidak-pastian kondisi iklim sepanjang waktu yang sulit diprediksi. Secara umum teknologi konservasi tanah dan air yang telah diterapkan petani di desa Tou, sangat sederhana. Di desa ini petani telah menerapkan teras batu walau masih terbatas pada lahan pekarangan dekat rumah tempat tinggalnya. Potensi ketersediaan batu yang tergolong banyak di desa ini sangat memungkinkan petani untuk menerapkan teknik konservasi secara mekanik dengan menggunakan teras batu. Namun demikian teknik konservasi ini umumnya tidak diterapkan di lahan usahatani yang mereka kelola ==================================================== 16 Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan hampir semua petani belum menerapkan teknologi panen air (water harvesting) dan tindakan konservasi air. Meskipun di desa ini terdapat sumber air, namun upaya untuk mengatur pendistribusian air masih sangat terbatas dan umumnya air tersebut digunakan untuk keperluan rumah tangga. Ketersediaan air tersebut masih terbatas sehingga pada saat tertentu (musim kering) sumber-sumber air tersebut menjadi sangat terbatas, dan pada periode ini petani sama sekali tidak dapat memanfaatkan air yang terbatas tersebut untuk kegiatan usahatani. Oleh karena itu upaya panen air dan tindakan konservasi air menjadi sangat penting. Selain keterbatasan air, permasalahan lain yang sering terjadi pada saat musim kemarau panjang adalah terbakarnya lahan usahatani. Beberapa kejadian kebakaran lahan pertanian terjadi saat dilakukan pembersihan alang-alang, hal ini pada mulanya ditujukan untuk persiapan tanam tanaman sela. Namun demikian, selain alang-alang tanaman utama khususnya jambu mete seringkali juga turut terbakar, sehingga beberapa tanaman menjadi rusak. Hasil Kajian sebelum Tahun 2008 Sejak tahun 2004, di dua desa ini telah diperkenalkan metoda konservasi lahan dengan berbagai metoda yang diperkenalkan. Pada prinsipnya metoda ini merupakan kombinasi antara kebiasaan mereka dengan komponen teknologi yang dianggap baru bagi mereka. Pada tahun 2004, lebih menekankan pada bagaimana petani dapat memahami metoda yang diperbaiki tersebut untuk diterapkan. Komponen-komponen teknologi antara lain : 1. Perbaikan pola pertanaman di bidang datar dengan mengintroduksi beberapa tanaman pangan semusim dan varietas unggul 2. Perbaikan konstruksi bangunan kebekolo dengan mengkombinasikan antara kebekolo dan metoda vegetatif. Tanaman yang dintroduksi antara lain, rumput akar wangi, turi, lamtoro, dll Setelah tahun 2004, kegiatan yang sama telah dilanjutkan yang pada prinsipnya adalah menerpakan hasil evaluasi dan respon petani terhadap metoda konservasi yang diterapkan sejak tahun 2004. Oleh karena itu pada tahun 2007 lebih diarahkan untuk petani bagaimana petani dapat menerapkan konservasi lahan dan air yang telah diperbaiki dan dijadikan bagian dari kebiasaan (termasuk dalam sistem usahatani). Dengan demikian, komponen-komponen teknologi konservasi yang diterapkan adalah sama dengan komponen yang diperkenalkan pada tahun 2004 yang telah mengalami ==================================================== 17 perbaikan. Pada tahun 2007, telah mengalami perbaikan pola pertanaman (croping patern). Tujuan penambahan komponen ini dalam rangka bagian dari insentive teknologi yang diberikan agar penerapan komponen konservasi yang telah diperkenalkan sebelumnya dapat bersifat berkelanjutan (sustainable). Berikut ini disampaikan hasil terapan konservasi lahan di dua desa ini. Keadaan lahan konservasi Lahan tempat aktivitas konservasi di desa Nualise adalah tiga lokasi yakni lokasi Aidire, lokasi Pomo dan lokasi Dure Senai. Semua lokasi konservasi ini merupakan lahan tanaman pangan, yang pada saat musim kemarau masih nampak terbuka (tanpa ada tanaman penutup). Sedangkan di desa Tou, hanya ada satu lokasi yang menjadi tempat kegiatan konservasi. Lokasi konservasi di tempat ini adalah berbasis tanaman jambu mente yang sebagian besar telah berproduksi. Semua lokasi di dua desa ini telah ada nampak kontruksi konservasi yang telah dibuat pada tahun sebelumnya. Komponen-komponen konservasi yang sudah ada yakni : (i) teras-teras, yang pada konturnya ditanami rumput akar wangi dengan tingkat pertumbuhan sudah cukup berkembang; (iii) adanya rorak-rorak (hanya di desa Tou) Implementasi Teknologi dalam Penataan Garis Kontur Berdasarkan kondisi biofisik, bahwa kedua desa ini sangat beresiko terhadap degradasi kualitas lahan, bahkan dapat menjadi ancaman penting bagi lingkungan usahatani setempat. Masyarakat kedua desa ini menyadari pentingnya perlakuan konservasi lahan pada lahan usahatani mereka. Namun pada kenyataannya mereka belum menerapkan prinsip konservasi sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi yang normatif. Keadaan kondisi ini lebih banyak berhubungan dengan keberadaan petani setempat, baik terhadap pengetahuan yang terbatas maupun teknologi yang dikuasai. Berikut ini gambaran mengenai keberadaan konservasi lahan pada kedua desa ini. Secara lokal spesifik, masyarakat sudah mempunyai teknologi “Kebekolo” yang berfungsi sebagai penahan tanah agar tidak/mengurangi laju erosi. Namun secara teknis, cara tradisonal ini tidak sustainable karena konstruksi yang sangat sederhana dan bersifat jangka pendek. Menurut hasil pengamatan, berdasarkan bentuk kontruksinya Kebekolo ditemukan 2 macam yakni Kebekolo yang sederhana dan kebekolo yang dibuat lebih intens. Menurut masyarakat setempat, Kebekolo adalah suatu cara menahan laju degradasi lahan pada lahan usahatani berslope miring, yang secara turun-temurun telah dilakukan oleh masyarakat setempat. Kebekolo juga dikenal bagi sebagian besar masyarakat kabupaten Ende. ==================================================== 18 Dengan demikian Kebekolo adalah suatu cara dan pengetahuan lokal bagi masyarakat Ende pada umumnya. Bahan penahan tanah umumnya adalah kayu-kayu lokal (seperti bambu dan lain-lain yang diambil sekitar lahan, dan disusun melintang mengikuti garis kontur yang sudah ditentukan. Konstruksi yang dibuat sangat sederhana dan biasanya hanya bertahan untuk dua tahun/dua musim. Kebekolo dianggap masyarakat setempat adalah penjamin mutu lahan untuk jangka waktu sangat pendek (1 atau 2 musim). Sejak tahun awal penelitian, maka dicoba mengkombinasikan antara cara-cara vegetatif dengan kebekolo yang telah ada di petani. Dengan dasar kelemahan cara Kebekolo ini maka disempurnakan dengan kombinasi antara vegetasi + Kebekolo, yakni : (1). Kebekolo + strip rumput Vetiver; dan 2). Kebekolo + strip rumput vetiver + lamtoro atau gamal/glirisidia. Pola ini diimplementasi pada garis kontur untuk membentuk teras. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pola Kebekolo + Strip rumput vetiver lebih disukai dibanding pada pola Kebekolo + strip rumput vetiver + lamtoro/glirisidia. Namun kedua pola tetap juga diminati petani. Menurut petani, mereka memilih pola pertama karena rumput vetiver cukup berkembang cepat dan sangat tahan terhadap kondisi kering serta tidak menggangu tanaman utama yang telah ditanam di bidang datar. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, jumlah anakan rumput vetiver sudah mencapai antara 23 – 40 anakan perumpum, bahkan pada rumpun-rumpun tertentu telah mencapai lebih dari 100 anakan (yang sudah berumur lebih dari dua tahun). Jika tanaman keras, lamtoro dan glirisidia ini tumbuh baik maka petani diarahkan pada produksi Hijauan Makanan Ternak (HMT) yang berbasis konservasi tanah. Diduga petani belum merespon pola kedua, karena tanaman lamtoro dan glirisidia pada awal pertumbuhan sangat lambat, dan secara fisik belum memperlihatkan manfaat dalam konteks konservasi tanah. c. Bidang Datar Lahan Untuk Pertanaman Sela : Bidang ini, merupakan bagian dari konstruksi konservasi yang diperkenalkan petani. Bidang ini, dipakai oleh petani untuk menanam tanaman sela, terutama tanaman pangan seperti : padi gogo, jagung dan kacang tanah. Usaha tanaman selah hanya bisa dimanfaatkan pada musim hujan dan pada musim kemarau dibiarkan bero. Kondisi pada saat bulan Juni – Agustus bidang lahan ini nampak terbuka tanpa ditumbuhi tanaman apapun. Di desa Nualise, keadaan lahan nampak terbuka bersih tanpa ada bekas gulma. Sedangkan di desa Tou, bidang lahan untuk pertanaman sela ditumbuhi semak belukar. ==================================================== 19 Dalam percobaan ini, telah diperkenalkan pola pertanaman strip jagung // padi gogo // kacang hijau. Hasil menunjukkan bahwa dengan adanya penanaman di bidang datar ini petani dengan sendirinya telah melaksanakan pemeliharaan konservasi, disamping mereka juga memperoleh hasil secara langsung dari lahan konservasi. Masing-masing memperlihatkan kondisi bidang datar sebelum dan sesudah ada pertanaman di desa Nualise dan Tou. Kondisi Pertanaman Seperti telah dikemukaan sebelumnya bahwa, tanaman pangan yang ditanam di lokasi percobaan dan lahan swadaya adalah kacang tanah (var lokal Kupang dan Var. Lokal Maumere), padi gogo adalah varietas Situpatenggang dan var. Sitobagendit dan jagung var. Lamuru. Sedangkan tanaman keras meliputi lamtoro, gamal (Glirisidia sepium), Turi termasuk juga rumput akar wangi (rumput setaria) yang ditanam sepanjang kontur dan sekitar keliling embung mini. Penanaman telah diatur dalam pola pertanaman stip croping dimana tanaman pangan ditanam dalam bidang datar lahan dan tanaman lamtoro, gamal dan rumput setaria ditanam sepanjang kontur yang berperan sebagai penahan teras bersama kayu-kayu kebekolo. Diintroduksinya pola pertanaman strip croping tanaman pangan pada tahun 2007, dalam lahan konservasi dengan sengaja dimaksudkan agar petani dapat tetap berktivitas pada lahan konservasi. Introduksi pola ini merupakan insentive teknis yang diberikan agar lahan konservasi yang telah dibuat dapat sustainable. Jadwal penanaman tanaman pangan di desa Tou dan desa Nualise berbeda-beda. Di desa Nualise, jadwal penamanan untuk tanaman pangan dilaksanakan pada tanggal Tengah Desember 2006. Sedangkan di desa Tou, jadwal penamanan awal jatuh pada Awal Januari 2007. Perbedaan jadwal tanam ini, disebabkan karena sifat curah hujan lokal, dimana di Nualise jatuh curah hujan lebih duluan dibanding desa Tou. Secara umum kondisi pertanaman baik tanaman pangan maupun tanaman keras dan rumput pakan tumbuh relatif normal walalupun kondisi curah hujan mengalami gangguan. Produksi tanaman pangan tersaji pada Tabel 7. Tabel 7. Produktivitas Dari Masing-masing Tanaman Dalam Pola Pertanaman Strip Cropping pada MT. 2007 Produktivitas (ton/ha) Jenis Tanaman Jagung var. Lamuru Jagung Lokal (kontrol) Padi gogo (var. Sito Bagendit) Padi gogo (var. Sito Patenggang) Kacang hijauh (var. Fore Belu) Desa Tou 3.7 1.1 2.1 2.6 0.9 ==================================================== Desa Nualise 3.5 1.4 2.3 2.8 0.7 20 Walaupun, di desa Tou, sempat mengalami gangguan hujan selama bulan Januari 2008, namun tidak sampai menimbulkan gangguan pertumbuhan. Gangguan curah hujan ini, hanya berimplikasi terhadap jadwal penyiangan dan pemupukan yang telah terencana. Demikian juga, kondisi pertumbuhan tanaman keras dan rumput setaria cukup tumbuh baik. Demikian hal juga, dari aspek hama dan penyakit, tidak ditemukannya gangguan hama dan penyakit yang berarti bagi pertumbuhan tanaman. Respon Petani Analisis respon petani terhadap teknologi konservasi yang diterapkan mereka, telah dilakukan melalui analisis persepsi. Berikut ini respon petani anggota kelompok secara keseluruhan di desa Nualise dan Tou. Petani Nualise 1. Semua petani (15 anggota) sedang menerapkan teknologi konservasi sesuai binaan BPTP dan Balitanah; 2. Semua petani, sangat respon terhadap pola pertanaman strip croping jagung // kacang tanah // padi gogo. Menurut mereka, dengan metoda ini secara langsung petani memelihara komponen konservasi lainnya; 3. Selama masa pertumbuhan tanaman, petani setiap hari berada di lahannya untuk memelihara tananman (tanaman pangan, rumput dan lamtoro); 4. Kacang hijau dan padi gogo sangat direspon oleh petani setempat (karena petani setempat sangat jarang menanam kacang tanah; Petani Tou 5. Semua petani (18 anggota) sedang menerapkan teknologi konservasi sesuai binaan BPTP NTT 6. Semua petani, cukupt respon terhadap pola pertanaman strip croping jagung // kacang hijau // padi gogo. Menurut mereka, dengan metoda ini secara langsung petani memelihara komponen konservasi lainnya; 7. Selama masa pertumbuhan tanaman, petani setiap saat berada di lahannya untuk memelihara tananman (tanaman pangan, rumput dan lamtoro); ==================================================== 21 8. Kacang hijau dan padi gogo sangat direspon oleh petani setempat (karena petani setempat sangat jarang menanam kacang tanah; Petani lain Selain ditanggapi oleh petani koperator dalam dua desa ini, teknologi konservasi ini juga direspon/diminati oleh kelompok tani lain masih dalam desa Nualise. Respon yang diberikan adalah dengan meminta langsung yang telah diikuti dengan surat lamaran yang dikirim langsung kepada Kepala BPTP NTT. Isi surat lamaran ini, agar kelompok ini juga dapat diikutsertakan dalam kegiatan tahun 2006. KESIMPULAN 1. Sampai saat ini, teknologi konservasi ini cukup direspon oleh semua anggota kelompok tani; 2. Metoda dan teknologi konservasi ini akan diterapakan pada masa yang akan datang, menurut pengakuan sebagian besar kelompok tani 3. Peluang pengembangan model ini cukup prospektif untuk kondisi kabupaten Ende, dengan tetap harus mempertimbangkan insentive teknis yang akan diterpakan menurut kebutuhan lokal (spesifik lokal) 4. Penerapan teknologi konservasi lokal spesifik yang diterapkan petani desa Nualise dan Tou mampu menunjang perbaikan pendapatan yang tercermin dari peningkatan produktivitas yang sangat nyata untuk semua tanaman pangan. 5. Perbaikan pola pertanaman pada bidang datar di lahan konservasi dapat dianggap sebagai insentive teknis bagi petani dalam menerapkan metoda konservasi tanah secara utuh. Cara ini, dapat dipandang sebagai metoda diseminasi dalam pengembangan konservasi tanah di masa yang akan datang. 6. Metoda dan teknologi konservasi yang telah dirancang ini telah layak dan direspon petani untuk dikembangkan, walaupun model ini masih perlu terus diuji, dengan beberapa perbaikan menurut respon teknis petani; DAFTAR PUSTAKA Basuno E., I. Sadikin dan D. K. S. Swastika. 2004. Socio-Economic Baseline Survey For Poor Farmer Income Improvement Through Innovation Project (PFI3P) (In Ende, East Nusa Tenggara). Laporan Akhir. Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Miskin Melalui ==================================================== 22 Inovasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Agus, F., H. Hartomi, dan R. Watung. 2003. Konservasi tanah pertanian lahan kering: Aspek teknis dan kelembagaan. Lokakarya Sistem Usahatani Konservasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah & Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Badan Litbang Pertanian. 2003. Panduan Perencanaan Penelitian dan Pengkajian Pengembangan Inovasi Pertanian di Lahan Marginal PFI3P (Poor Farmers’ Income Improvement through Innovation Project). Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Dariah, A., D. Erfandy, E. Suriadi, dan H. Suwardjo. 1993. Tingkat efisiensi dan efektivitas tindakan konservasi secara vegetatif dengan strip vetiver dan tanaman pagar Flemingia congesta pada usahatani tanaman jagung. hlm. 83-92 dalam Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. 18-21 Februari 1993. Dariah, A. and F. Agus. 1999. The Prospect of Vetiver (Vetiveria zizanoides) for vegerative Conservation and rehabilitation measures. p. 458-464 in Proceeding International Seminar Toward Sustainable Agriculture in The Humid Tropics facing the 21st Century. Bandar Lampung, Indonesia, 26-28 September, 1999. Departemen Pertanian. 1975. Petunjuk Pelaksanaan Percobaan Erosi Sistem Petani Kecil No. 12/1975. Bagian Konservasi Tanah dan Air. Lembaga Penelitian Tanah. Erfandy, M.D., M. Nur dan T. Budhyastoro. 1997. Perbaikan sifat fisik tanah dengan strip vetiver dan pupuk kandang. hlm. 33-40 dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Cisarua, Bogor, 4-6 Maret 1997. Edwards, W.M. 1982. Predicting tillage on infiltration. In Predicting Tillage Effects on Soil Physical Properties and Processes. ASA Special Publication Number 44. p. 105-115. Garrity, D.P. and F. Agus. 1999. Natural resource management on watershed scale: What can agroforestry contribute? In R. Lal (Ed.). Integrated Watershed Management in The Global Ecosystem. CRC Press LLC, Boca Raton, USA. Hillel, D. 1990. Role of irrigation in Agricultural systems. pp. 5-30. In B.A. Stewart and D.R. Nielsen (eds.) Irrigation of Agricultural Crops. Agronomy 30. American Society of Agronomy, Madison, WI. Noeralam, A. 2002. Teknik pemanenan air yang efektif dalam pengelolaan lengas tanah pada usahatani lahan kering. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Subagyono, K., T. Vadari, Sukristiyonubowo, R.L. Watung, and F. Agus. 2004. Land Management for Controlling Soil Erosion at Micro Catchment Scale in Indonesia. p. 3981 in Maglinao, A.R. and C. Valentin (2004) Community-Based Land and Water Management Systems for Sustainable Upland Development in Asia: MSEC Phase 2. 2003 Annual Report. International Water management Institute (IWMI). Southeast Asia Regional Office. Bangkok. Thailand. Subagyono K., A. Dariah, T. Budyastoro dan N. Nurida. 2004. Pengembangan Teknologi Konservasi Untuk Peningkatan Produktivitas Tanaman Perkebunan di Lahan Kering Kabupaten Ende. Laporan Penelitian. Poor Farmers Income Improvement Through Innovation Project (PFI3P). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. ==================================================== 23