PEREMPUAN DALAM IKLAN AXE EFFECT ‘CALL ME’ SEBAGAI PERWUJUDAN CONSUMER INSIGHT TARGET AUDIENCE Ercilia Rini Octavia Prodi Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Universitas Sebelas Maret, Surakarta Email: [email protected] Abstrak Penggunaan perempuan untuk visualisasi iklan merupakan salah satu strategi yang digunakan kreator iklan untuk menjaring target audience. Demikian halnya dengan iklan televisi Axe Effect „Call Me‟ yang menggunakan perempuan sebagai endorser dalam keempat versi visualisasi iklannya, yakni versi Special Needs, versi Lost, versi Mist, dan versi Sauce. Penggunaan perempuan ditujukan untuk menarik target audience Axe, yakni lelaki Indonesia berusia antara 16 – 22 tahun. Sosok perempuan yang divisualisasikan disusun secara kreatif oleh kreator iklan sesuai dengan gambaran perempuan idaman target audience. Tulisan ini berusaha menemukan tentang; mengapa pada iklan Axe Effect „Call Me‟ didominasi peran endorser perempuan dalam visualisasinya, dan bagaimanakah pemvisualisasian perempuan dalam iklan Axe Effect „Call Me‟. Melalui pendekatan metode penelitian kualitatif deskriptif yang memungkinkan untuk mencari pemaknaan secara mendalam hingga tahap ideologis, maka ditemukan bahwa 1) Penggunaan perempuan sebagai endorsement dalam visualisasi iklan Axe Effect „Call Me‟’, sebagai bentuk strategi komunikasi pemasaran Axe Effect „Call Me’; serta 2) Pemvisualisasian perempuan dalam iklan Axe Effect „Call Me’ sebagai perwujudan consumer insight target audience. Kata kunci: endorser, iklan, dan perempuan. A. Pendahuluan Kemajuan teknologi sangat berpengaruh terhadap dunia usaha dewasa ini. Pengusaha yang mampu memanfaatkan kemajuan teknologi akan tetap eksis di tengah-tengah persaingan usaha. Permasalahannya, tantangan yang dihadapi oleh dunia usaha dewasa ini semakin kompleks. Sebuah perusahaan tidak sekedar piawai dalam menghasilkan produk, juga bukan sebatas membuat konsumen puas dan loyal, tetapi juga dituntut mahir dalam melakukan promosi. Promosi dilakukan agar citra produk itu baik dan bermanfaat sehingga konsumen tertarik untuk membeli produk yang dihasilkan. Oleh sebab itu, produsen ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1- 72 perlu mengkomunikasikan produk pada konsumen sasarannya melalui komunikasi pemasaran. Kegiatan komunikasi pemasaran meliputi periklanan, promosi penjualan, humas, dan publikasi. Namun, ‘periklanan’ merupakan salah satu kegiatan yang paling marak dilakukan oleh produsen dalam mengkomunikasikan produknya pada konsumen sasaran. Periklanan sebagai sarana promosi dipandang sebagai sumber informasi, hiburan, dan media komunikasi bisnis yang efektif dan ampuh, meskipun tidak secara langsung berakibat pada peningkatan pembelian. Pandangan tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan penggunaan iklan 13 sebagai salah satu senjata pemasaran di dunia, termasuk juga di Indonesia. Hasil riset AC Nielsen menyimpulkan bahwa belanja iklan media di Indonesia sepanjang tahun 2012 mengalami pertumbuhan sebesar 20% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Nilai keseluruhan belanja iklan mencapai Rp. 87 triliun, dengan perincian: media televisi 6% dari total belanja iklan, diikuti surat kabar sebesar 33%, dan majalah atau tabloid sebesar 3%. Selain menduduki peringkat tertinggi, belanja iklan di media televisi juga mengalami pertumbuhan sebesar 24%. Jumlah ini merupakan persentase yang paling tinggi dibandingkan media cetak seperti surat kabar dan majalah yang hanya tumbuh 14% dan 7%.1 Besarnya belanja iklan tersebut menunjukkan betapa banyaknya produsen yang menginginkan produknya dikenal dan diminati oleh konsumen sasaran. Hal tersebut secara tidak langsung mempengaruhi langkahlangkah strategis agar penyampaian pesan melalui visualisasi iklan berdaya mempersuasi konsumen sasarannya. Oleh sebab itu, iklan harus tampil kreatif dan menarik. Salah satu cara untuk menarik konsumen sasarannya agar memperhatikan, menyenangi, dan terpersuasi iklan yang ditayangkan, yakni dengan menggunakan model atau figur (endorser) perempuan. Demikian halnya dengan semua tampilan iklan Axe Effect ‘Call Me’ yang tayang di media televisi Indonesia. Iklan yang terbagi pada beberapa versi, yakni versi Special Needs, versi Lost, versi Mist, dan versi Sauce, keempatnya memakai perempuan 1 Lihat http://wartaekonomi.co.id/berita8239/ nielsen-belanja-iklan-2012-naik-20.html, NIELSEN: Belanja Iklan Naik 20%, di-upload oleh Cipto-Warta Ekonomi, diakses pada 30 Mei 2013. 14 sebagai endorser-nya. Melalui pendekatan kualitatif deskriptif, tulisan ini diharapkan menemukan; mengapa pada Iklan Axe Effect ‘Call Me’ yang tayang di televisi didominasi peran endorser perempuan dalam visualisasinya, dan bagaimanakah pemvisualisasian perempuan dalam iklan Axe Effect „Call Me‟. B. Metode Penelitian Penulisan ini didasarkan pada pendekatan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Tulisan ini mengarah pada penggalian data kualitatif yang luas dan mendalam. Data yang terkumpul divalidasi, dianalisis, kemudian disusun ke dalam bentuk deskripsi kalimat yang rinci, lengkap, dan mendalam mengenai mengapa dan bagaimana endorser perempuan digunakan dalam visualisasi iklan Axe Effect „Call Me’ di media televisi. Bentuknya berupa studi kasus tunggal meskipun iklan Axe Effect „Call Me‟ terdiri atas empat versi dengan visualisasi berbeda (versi Special Needs, versi Lost, versi Mist, dan versi Sauce), tetapi memiliki karakteristik yang sama, yakni menampilkan perempuan sebagai strategi dalam komunikasinya. Studi kasus tunggal yang digunakan berupa studi kasus terpancang (embedded research),2 yang fokus penelitiannya sudah ditetapkan sejak perencanaan penyusunan tulisan ini. Melalui pendekatan komunikasi 2 Periksa H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif-Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian, (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2006), hlm. 39. Senada dengan pendapat Yin (1987) yang menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif ditemui bentuk penelitian terpancang (embedded research) yang merupakan penelitian kualitatif yang sudah menentukan fokus penelitiannya berupa variabel utamanya yang akan dikaji berdasarkan pada tujuan dan minat penelitinya sebalum peneliti masuk ke lapangan studinya. ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1-72 visual dan beberapa teori penunjangnya, diharapkan mampu menjawab dan mendeskripsikan tentang mengapa dan bagaimana endorser perempuan divisualisasikan iklan Axe Effect „Call Me‟ di media televisi. C. Pembahasan 1. Endorser perempuan sebagai strategi ‘komunikasi pemasaran’ Axe Effect ‘Call Me’ a. Figur atau model (endorser) Endorsement adalah rekomendasi untuk membeli produk tertentu yang terdapat dalam iklan yang diberikan oleh seorang ahli, tokoh terkenal, atau model. Mereka disebut sebagai endorser.3 Endorser juga disebut sebagai sumber langsung (direct source), yaitu orang atau figur atau model yang mengantarkan sebuah pesan dan atau memperagakan sebuah produk. Endorser juga dapat diartikan sebagai orang atau figur atau model yang dipilih mewakili citra (image) sebuah produk. Endorser biasanya berasal dari tokoh masyarakat yang memiliki karakter menonjol dan daya tarik yang kuat.4 Tugas utama para endorser dalam sebuah visualisasi iklan adalah menciptakan asosiasi yang baik antara endorser dengan produk yang diiklankan agar timbul 3 Periksa Maria Regina Collage, Kamus Istilah Desain Grafis dan Periklanan, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo-Kelompok Gramedia, 2008), hlm. 94. 4 Tesis Siti Chaeriah Rasyid, Analisis Pengaruh Endorser, Pendidikan Audiens, dan Kreatifitas Iklan Terhadap Efektifitas Iklan Serta Dampaknya Terhadap Sikap Merek Produk (Studi Kasus Pada Iklan Sunsilk Co Creation Versi Julie Estelle dan Thomas Taw), Universitas Negeri Syarif Hidayahtullah Jakarta, 2011, hlm. 47. ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1- 72 sikap positif dalam diri konsumen. Dampak yang diharapkan dari iklan adalah terciptanya citra baik produk yang diiklankan di mata konsumen sasaran. Jadi, iklan merupakan elemen penting untuk menciptakan brand image di dalam benak konsumen. Berkaitan dengan hal tersebut, Terence A Shimp membagi endorser ke dalam dua tipe, yaitu: celebrity endorser (figur/model selebriti), dan typical-person endorser (figur/model yang berkarakter). Ada empat pertimbangan utama memilih selebriti untuk iklan, yaitu: (1) Produsen melalui biro iklan yang ditunjuk, mampu membayar tinggi selebriti; (2) Selebriti yang dipilih disukai masyarakat dan menarik perhatian khalayak sehingga mampu meningkatkan awareness produk; (3) Melalui iklan, persepsi konsumen terhadap produk tersebut akan berubah; dari tidak menyukai menjadi menyukai dan mengonsumsi; dari yang semula konsumen menjadi pelanggan; serta (4) Konsumen merasa statusnya meningkat karena menggunakan produk yang sama dengan yang digunakan oleh selebriti. Adapun typical-person endorser dipilih untuk mendukung iklan karena; (1) Sebagai bentuk promosi testimonial untuk meraih kepercayaan konsumen dan (2) Lebih diakrabi oleh konsumen karena memiliki kesamaan dalam: konsep diri yang aktual (actual self concept), nilai-nilai yang dianut, 15 kepribadian, gaya hidup (life styles), dan karakter.5 Bagi Tata Bonita (31 tahun), kedua tipe endorser menurut Terence A Shimp tersebut sama pentingnya, meskipun biasanya model selebriti diasumsikan lebih kredibel. Tampilan fisik dan karakter non-fisik selebriti membuat sebuah iklan lebih menarik dan disukai oleh konsumen. Performa, citra, dan kepopuleran selebriti dapat menarik perhatian target audience untuk menyaksikan iklan yang dibintanginya sehingga dapat mempengaruhi persepsi mereka untuk membuat keputusan dalam melakukan pembelian. Demikian juga dengan menampilkan figur berkarakter (bukan selebriti) dapat membuat konsumen merasa lebih dekat dan familiar sehingga akan menghasilkan keterlibatan pesan yang cukup tinggi yang pada akhirnya dapat mempengaruhi terciptanya persepsi konsumen yang positif terhadap produk yang diiklankan.6 Sebuah visualisasi iklan televisi dapat menampilkan endorser laki-laki dan perempuan, atau salah satu di antara keduanya. Namun, peran lakilaki dan perempuan dalam visualisasi iklan televisi berbeda. Salah satu faktor yang membedakannya dikarenakan fisik yang dimiliki laki-laki dan perempuan berbeda. Perempuan dalam iklan televisi 5 Periksa Shimp, Terence A. Shimp, Advertising Promotion and Supplement Aspect of Integrated Marketing Communication 5th Edition ; Terjemahan: Reyvani Syahrial Alih Bahasa : Periklanan Promosi dan Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu, (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 460. 6 Tulisan Tata Bonita, melalui pesan dari akun facebook-nya [email protected] pada 11 Maret 2011. Tata Bonita, adalah Assisten Account Director Axe Lowe Jakarta Indonesia. Pada saat dipublikasikannya Iklan Axe Effect ‘Call Me’, Bonita merupakan salah satu anggota tim yang menyertai proses publikasinya. 16 umumnya direpresentasikan berwajah cantik, yang memancarkan inner beauty sehingga menghasilkan kecantikan luardalam. Sementara laki-laki dalam iklan televisi kebanyakan divisualisasikan secara ‘natural’, dan lebih ditekankan pada kepandaian dan kekuatan fisiknya daripada keindahan wajah. b. Peran model (endorser) perempuan dalam iklan Perempuan banyak digunakan dalam visualisasi iklan di media televisi. Pertama, karena adanya anggapan bahwa perempuan merupakan pasar yang sangat besar dalam industri. Pada kenyataannya lebih banyak produk industri yang diciptakan bagi perempuan daripada untuk lelaki. Misalnya saja produk-produk personal care, seperti peralatan kosmetik (lipstik, bedak, pemerah pipi, maskara, penghitam alis, bulu mata palsu, dan sebagainya), bra, pembalut, dan lain-lainnya. Sementara laki-laki tidak membutuhkan barangbarang seperti itu. Mereka tidak memerlukan produk khusus untuk perawatan tubuh seperti yang dibutuhkan perempuan. Oleh karena itu perempuan selalu menjadi target visualisasi iklan. Kedua, adanya keyakinan bahwa perempuan mampu menguatkan pesan iklan; bahwa visualisasi iklan yang merepresentasikan perempuan diyakini mampu menjual produk.7 Penelitian mengenai pemakaian perempuan dalam iklan sudah dilakukan sejak awal tahun 1970-an. Penelitian yang telah dilakukan oleh penelitipeneliti Barat membuktikan bahwa perempuan digambarkan secara seragam. Gambaran yang seragam itu seperti: perempuan selalu berada di rumah, perempuan tergantung pada 7 Perikasa Rendya Widyatama, Bias Gender dalam Iklan Televisi, (Yogyakarta: Media Presindo, 2006), hlm. 42. ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1-72 laki-laki, jarang sekali diperlihatkan perempuan profesional, perempuan kebanyakan ditampilkan sebagai objek seksual. Hasil penelitian tersebut masih berlaku sampai dengan tahun 1985-an, yang tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian di negara Indonesia.8 Misalnya penelitian yang dilakukan Tamrin Amal Tamagola terhadap 300-an iklan cetak menyimpulkan bahwa citra perempuan yang digambarkan dalam iklan di Indonesia dapat digolongkan ke dalam lima citra berikut ini. a. Citra pigura: perempuan digambarkan sebagai sosok yang cantik, berambut panjang, keibuan, lembut, dan berbagai sifat feminin lainnya. b. Citra pilar: perempuan digambarkan sebagai penopang utama dalam urusan domestik, setelah lelaki di wilayah publik. c. Citra peraduan: perempuan digambarkan dalam aspek seks dan kualitasnya. d. Citra pinggan: perempuan digambarkan aktivitasnya dalam wilayah domestik, khususnya dalam urusan masak-memasak. e. Citra pergaulan: perempuan digambarkan sebagai sosok yang cantik dan anggun sehingga pantas dipandang sebagai figur yang dihormati dalam pergaulan. 9 Kelima citra perempuan tersebut, sekarang mendominasi tayangan iklan di media televisi. Penggambaran citra kehidupan keseharian perempuan dalam visualisasi iklan mampu menciptakan asosiasi yang baik antara perempuan sebagai endorser dengan produk yang 8 Lihat Rendya Widyatama, hlm. 42-43. 9 Periksa Tamrin Amal Tamagola, Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru, (Bandung: Rosda, 1998), hlm.330-361. ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1- 72 diiklankan. Hal tersebut menimbulkan sikap positif dalam diri konsumen sasaran. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa iklan dapat menciptakan citra yang baik di mata konsumen sasaran (target audience). Iklan merupakan elemen yang penting dalam menanamkan brand image kepada konsumen sasaran sesuai dengan ciri fisik dan kualitas produk yang diiklankan. Sehubungan dengan hal itu Dolak menyatakan: “A brand is an identifiable entity that makes specific promises of value”.10 Merek merupakan hal yang sangat penting, baik bagi produsen maupun konsumen. Merek bukan hanya simbol yang dipakai untuk mengidentifikasi produk atau perusahaan. Saat ini, peranan atau fungsi suatu merek (brand) bukan sekedar sebagai pembeda antara produk yang satu dan lainnya, melainkan merupakan penentu dalam menghasilkan competitive advantages. Saat ini, konsumen sasaran (target audience) memandang merek (brand) sebagai salah satu faktor penting yang dipertimbangkan untuk memutuskan pembelian. Merek juga memiliki nilai tambah (value) bagi suatu produk. Merek adalah identitas dan representasi produk, serta bukan hanya sekedar nama. Merek merupakan persepsi yang direfleksikan ke dalam benak konsumen yang memikirkan suatu produk. Persepsi yang positif atas kepercayaan konsumen terhadap merek akan menciptakan citra merek yang baik pula.11 10 Dolak seperti yang dikutip Ajeng Peni Hapsari Analisis Perbandingan Penggunaan Celebrity Endorser dan Typical-Person Endorser Iklan Televisi dan Hubungannya dengan Brand Image Produk, (Bandung: Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung, 2011), hlm. 83. 11 Lihat Ajeng Peni Hapsari, hlm. 6. 17 c. Dominasi peran endorser perempuan pada iklan Axe Effect „Call Me‟ Adanya keyakinan bahwa perempuan mampu menguatkan pesan iklan, mendorong kreator iklan menggunakan perempuan untuk mengomunikasikan produk kepada target audience. Perempuan juga diperankan sebagai endorser pada keempat versi iklan Axe Effect ‘Call Me’, yang dapat dilihat pada printscreen tiap versinya sebagai berikut. 1. Versi Special Needs Gambar 1 Printscreen TVC. Axe Effect „Special Needs‟ (Sumber: direkam menggunakan USB TV Tunner melalui software Recorder Gold 2.6 pada 12 Januari 2009) 18 ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1-72 2. Versi Lost Gambar 2 Printscreen TVC. Axe Effect „Lost‟ (Sumber: direkam menggunakan USB TV Tunner melalui software Recorder Gold 2.6 pada 12 Januari 2009) ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1- 72 19 3. Versi Mist Gambar 3 Printscreen TVC. Axe Effect ‘Mist’ (Sumber: direkam menggunakan USB TV Tunner melalui software Recorder Gold 2.6 pada 12 Januari 2009) 20 ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1-72 4. Versi Saoce Gambar 4 Printscreen TVC. Axe Effect „Saoce‟ (Sumber: direkam menggunakan USB TV Tunner melalui software Recorder Gold 2.6 pada 12 Januari 2009) ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1- 72 21 Keempat versi iklan Axe Effect ‘Call Me’ yang pernah tayang di Indonesia tersebut menampilkan endorser perempuan dan endorser lakilaki sebagai tokoh dalam visualisasi iklannya. Endorser utama laki-laki selalu sebagai pemakai produk Axe Deodorant Bodyspray. Endorser perempuan memerankan sebagai orang-orang yang tertarik kepada endorser laki-laki karena efek bau Axe Deodorant Bodyspray yang dipakainya. Oleh karena itu, endorser laki-laki selalu mendapatkan simpati dari para perempuan yang ditemuinya. Rasa simpati perempuan-perempuan dalam iklan tersebut divisualisasikan melalui bahasa tubuh (gesture-nya), ekspresi, sikap, dan tingkah laku. Akting lelaki dalam iklan Axe tersebut mengekspresikan rasa kepasrahan menerima semua perlakuan agresif dan berlebihan dari para perempuan yang mengaguminya. Perilaku agresif para perempuan dalam iklan Axe tersebut merupakan efek dari Axe Deodorant Bodyspray yang dipakai para lelaki. Maka dalam iklan-iklan tersebut sangat terasa didominasi oleh peran endorser perempuan. Keempat versi iklan Axe di atas menimbulkan citra pigura dan citra peraduan pada perempuan.12 Citra pigura terlihat dari kecantikan wajah, kemolekan tubuh, dan tampilan fisik yang menarik. Sementara, citra peraduan terlihat dari bahasa tubuh yang sensual dengan busana yang umumnya ketat dan terbuka. Visualisasi iklan-iklan Axe tersebut merupakan bagian dari rangkaian positioning product (posisi produk), yaitu komunikasi pemasaran, pemilihan strategi kreatif dan media), visualisasi iklan Axe termasuk pertimbangan dipresentasikannya peran dominan perempuan dalam tayangannya. Senada dengan Alexander, AngloDutch Company Unilever memposisikan Axe Deodorant Bodyspray sebagai brand lifestyle yang inovatif, menyenangkan (fun), menarik perhatian (edgy), dan lucu (witty).13 Bagi Anglo-Dutch Company Unilever, merek/produk Axe perlu dikomunikasikan kepada konsumen sasaran (target audience) melalui iklan. Iklan sudah menjadi sistem komunikasi yang sangat penting, tidak saja bagi Unilever, tetapi juga bagi konsumen. Kemampuan iklan dalam menyampaikan pesan kepada konsumen dianggap memegang peranan penting bagi keberhasilan perusahaan karena membantu memasarkan produknya. Di pihak konsumen, iklan merupakan media informasi yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan untuk mengonsumsi atau tidak mengonsumsi produk yang ditawarkan.14 Untuk merealisasikan visualisasi iklan tersebut, diperlukan bantuan biro iklan. Dalam memvisualisasikan iklan, biro iklan terlebih dahulu menetapkan strategi kreatif, strategi visual, dan strategi media. Dalam visualisasi iklan televisinya, Axe selalu mengusung jargon ‘The Axe Effect’, seperti yang dinyatakan Steve 13 Penetapan positioning Axe tersebut juga dituliskan oleh Dwi Wulandari (Assistant Brand Manager Axe PT. Unilever Indonesia Tbk., Alexander), Menggoda Pria Muda dengan Call Me, Majalah MIX, 01/VI/12 Januari-8 Februari 2009, hlm. 55. 14 Wawancara dengan Alexander 15 Oktober 2011. Alexander adalah Brand Manager Axe PT. Unilever Indonesia Tbk. 12 Periksa Armytanti Hanum, Pencitraan Perempuan Pada Iklan „Axe Effect‟, Tesis S2 Ilmu Komunikasi Pascasarjana Universitas Lampung, 2010), hlm.173. 22 ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1-72 Elrick berikut ini. “Axe and ‘The Axe Effect’ is long running global campaign that has been adapted to many many countries and cultures around the world for the last 20 years. Agency and client (within) Indonesia work to create a brief that positioned ‘The Axe Effect’ as an attractive proposition for young males”. 15 (Axe dan ‘The Axe Effect’ adalah sebuah iklan global yang telah berjalan selama 20 tahun di berbagai negara dan kultur. Agensi dan klien bekerja sama menciptakan strategi praktis untuk menjadikan ‘The Axe Effect’ sebagai sebuah jargon yang menarik untuk lelaki muda). Jargon ‘The Axe Effect‟ yang telah dipertahankan selama 20 tahun tersebut merupakan jargon untuk setiap visualisasi iklan Axe Effect. Strategi kreatifnya adalah memposisikan Axe sebagai sebuah azimat yang digunakan oleh lelaki untuk mendekati atau mendapatkan perempuan idamannya. Oleh sebab itu, dalam visualisasi iklan Axe selalu mengekspos perempuan idaman lelaki yang memperlihatkan keterpesonaannya terhadap lelaki Axe, baik melalui kecantikan wajahnya, keseksian tubuhnya, maupun bahasa tubuhnya.16 15 Tulisan Steve Elrick yang didapat melalui balasan email-nya ([email protected] ) pada tanggal 08 Oktober 2008. Steve Elrick (48 tahun) merupakan Executive Creative Director Biro Iklan Bartle Bogle Hegarty (BBH) Singapore yang memimpin tim kreatif pada biro iklan tersebut untuk visualisasi iklan Axe Effect „Call Me‟ dengan versi Special Needs, versi Lost, versi Mist, dan versi Saoce, yang tayang di Indonesia pada kurun waktu 2008 hingga 2011. 16 Tulisan Tata Bonita, melalui pesan dari akun facebook-nya [email protected] pada 11 Maret 2011. ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1- 72 d. Dominasi peran endorser perempuan sebagai strategi komunikasi pemasaran Axe Effect „Call Me‟ Keempat Iklan Axe Effect ‘Call Me’ di atas selalu menampilkan endorser perempuan lebih dominan daripada endorser laki-laki. Alasannya, agar target audience yang melihat iklan tersebut memahami efek yang ditimbulkan oleh produk Axe. Dalam hal ini, sang lelaki yang memakai Axe digandrungi oleh perempuan-perempuan yang ditemuinya. Oleh karena itu, endorser perempuan diperankan lebih dominan dengan memperlihatkan detail perilakunya ketika membaui Axe Deodorant Bodyspray yang melekat di tubuh lelaki, mulai dari senyuman yang menggoda hingga gerakan tubuh yang agresif. Hal itu semua adalah bagian dari strategi pemasaran, seperti yang dinyatakan Alexander berikut ini. “Axe, that was first launched in 1983 in France now is the leader of male deodorant segments in Indonesia. Currently Axe launched marketing campaign titled “Axe Effect Call Me” in Indonesia. That campaign in TV Ads exposes sex appeal of Axe deodorant‟s users to females. These are Axe Effect‟s TV Ads in Indonesia based on strategic marketing.” 17 (Axe yang pertama kali diluncurkan pada tahun 1983 di Perancis sekarang merupakan pemimpin segmen deodoran laki-laki di Indonesia. Saat ini, Axe meluncurkan kampanye pemasaran yang berjudul Axe Effect „Call Me‟ di Indonesia. Kampanye melalui iklan televisi tersebut 17 Tulisan Alexander (Brand Manager Axe PT. Unilever Indonesia Tbk.), Axe Effect in Indonesia, yang dipublikasikan oleh Rahmat Hidayat, melalui http://enterprisesandmarketing.blogspot. com/2009/04/axe-effect-in-indonesia.html?m=l, pada hari Jumat 10 April 2009, dan diakses pada 23 Mei 2013. 23 memperlihatkan daya tarik seks (sex appeal) dari pengguna deodoran Axe kepada para perempuan. Hal ini adalah strategi pemasaran iklan Axe Effect melalui media televisi) Bagi PT. Unilever Indonesia Tbk, sebagai produsen produk Axe, penggunaan perempuan dalam setiap iklan Axe di televisi tersebut sebagai perwujudan dari strategi pemasaran yang berpijak pada kepentingan 18 konsumen sasaran. Adanya konsumen dan pelanggan Axe adalah alasan utama mengapa bisnis ada dan terus beroperasi. Konsumen dan pelanggan Axe adalah sumber utama dari profitabilitas dan keberlangsungan perusahaan. Pada akhirnya, stakeholder utama PT. Unilever Indonesia Tbk. adalah konsumen dan pelanggan Axe. Oleh karena itu, PT. Unilever Indonesia Tbk. menjadikan konsumen dan pelanggan Axe sebagai sumber inspirasi utama dalam memantapkan value proposition Axe. Tantangannya adalah konsumen dan pelanggan yang senantiasa bersifat dinamis, yang mengubah tingkah laku (behavior) dan sikapnya (attitude) sebagai akibat dari perubahan pada cara pandang bisnis. 19 Dalam era horizontal ini, persaingan antar produsen merupakan keharusan. Para produsen tidak hanya cukup memahami kebutuhan-kebutuhan (needs) dan keinginan-keinginan (wants) dari konsumen dan pelanggan. 18 Axe Indonesia (Alexander), Youth: What Senior Don‟t Know but Axe Knows, http://themarketeers.com/archives/youth-what-seniorsdont-know-but-axe-knows.html, di-upload pada 18 Juli 2011dan diakses pada 23 Mei 2013. 19 Axe Indonesia (Alexander), Youth: What Senior Don‟t Know but Axe Knows, http:// the-marketeers.com/archives/youth-whatseniors-dont-know-but-axe-knows.html, diupload pada 18 Juli 2011dan diakses pada 23 Mei 2013. 24 Produsen juga harus melihat dan mendalami lebih jauh sisi manusiawi konsumen sasaran. Produsen harus mengerti kegelisahan (anxiety) dan hasrat (desire) konsumen akan produk yang ditawarkan. Kegelisahan dan hasrat konsumen merupakan sesuatu yang sulit untuk ditangkap oleh produsen. Konsumen sendiri sering tidak menyadari solusi atas kegelisahan dan cara untuk menjadikan hasrat mereka menjadi kenyataan. Di sinilah, produsen harus bermain dengan strategi yang tepat. Produsen dapat menonjol (stand out) di mata konsumen jika dapat memberikan solusi atas kegelisahan konsumen dan merealisasikan hasrat mereka menjadi kenyataan. Jika produsen berhasil, maka produknya akan menjadi spesial di mata konsumen.20 Pemahaman akan kegelisahan dan hasrat konsumen ini merupakan kunci kesuksesan Axe Indonesia. Axe yang mempunyai target audience lelaki usia 16-22 tahun berhasil mengubah kondisi penjualan dari ketidakberkelanjutan dan kurang dari target pertumbuhan penjualan (unsustainable and less than targeted sales growth) menjadi pertumbuhan dua digit penjualan yang berkelanjutan (sustainable double digit sales growth). 2. Pemvisualisasian perempuan dalam iklan Axe Effect ‘Call Me’ sebagai perwujudan consumer insight target audience Visualisasi keempat versi Iklan Axe Effect „Call Me‟ yang menggunakan endorser perempuan merupakan perwujudan dari consumer insight lelaki Indonesia usia 16-22 tahun sebagai 20 Axe Indonesia (Alexander), Youth: What Senior Don‟t Know but Axe Knows, http:// the-marketeers.com/archives/youth-whatseniors-dont-know-but-axe-knows.html, diupload pada 18 Juli 2011dan diakses pada 23 Mei 2013. ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1-72 target audince-nya terhadap perempuan yang diidam-idamkan. Hal tersebutlah yang mendasari kreator iklan menyusun strateginya dalam membuat visualisasi iklan Axe. a. Perwujudan sebuah creative brief iklan Axe Effect „Call Me‟ PublikasivarianbaruAxe,berupaAxe Score, Axe Vice, Axe Pulse, dan Axe Twist kepada target konsumen memerlukan strategi dalam memasarkannya. Konsep utama pemasaran untuk keempat varian baru Axe tersebut oleh pihak PT. Unilever Indonesia Tbk. dirumuskan dalam konsep ‘mating game’. Untuk suksesnya proses ‘mating game’, keempat varian baru Axe tersebut dijadikan sebagai azimat bagi lelaki Axe untuk mendekati dan mendapatkan perempuan idamannya.21 Konsep utama ini dijadikan sebagai ide dasar untuk pengiklanannya. Biro iklan, selain harus menerjemahkan konsep ‘mating game‟ tersebut, juga harus mempelajari product insight Axe sebelum memvisualisasikannya. Hal ini karena iklan merupakan bagian dari ilmu desain komunikasi visual, yang pada tahap perancangannya memerlukan tiga buah strategi yang terangkum creative brief.22 Creative brief meliputi strategi kreatif, strategi visual, dan strategi media. Untuk dapat menjalankan ketiga strategi tersebut, tim kreatif biro iklan harus memahami pengetahuan product insight Axe. Data pengetahuan akan product insight Axe Score, Axe Vice, Axe Pulse, dan Axe Twist tersebut diberikan oleh Alexander sebagai Executive Brand Manager Axe Unilever Indonesia kepada biro iklan Bartle Bogle Hegarty (BBH) Singapore, yang diwakili oleh account directornya, Jeremi Bek. Kemudian, untuk lebih mengetahui insight konsumen (target audience) sebagai pijakan penyusunan creative brief tersebut, BBH menyerahkan kepada tim dari Indonesia, yaitu Andi S. Boediman dan Bubu.com Full Service Digital Agency. Mereka kemudian mengembangkan ‘mating game‟ ke dalam sebuah creative brief. Mereka juga melakukan riset yang hasilnya adalah sebagai berikut.23 Kaum youth, lelaki usia 16 – 22 tahun sebagai target audience Axe merupakan kaum yang mempunyai hasrat untuk mendapatkan dan mempunyai hubungan 21 Axe Indonesia (Alexander), Youth: What Senior Don‟t Know but Axe Knows, http:// the-marketeers.com/archives/youth-whatseniors-dont-know-but-axe-knows.html, diupload pada 18 Juli 2011 dan diakses pada 23 Mei 2013. Director di Biro Iklan Lowe Indonesia, yakni biro iklan yang ditunjuk oleh PT. Unilever Indonesia Tbk., untuk mempublikasikan Iklan Axe Effect ‘Call Me’ melalui iklan televisi yang telah dibuat visualisasinya oleh Biro Iklan Bartle Bogle Hegarty (BBH) Singapore, serta biro iklan yang membuat adaptasi iklan cetaknya untuk target audience Axe di Indonesia. 22 Wawancara dengan Yani Soenarso, pada tanggal 17 Februari 2011, saat beliau berkunjung ke Jurusan Desain Komunikasi Visual Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret. Yani Soenarso atau yang sering disapa dengan nama Tiwai ini merupakan praktisi di bidang Desain Komunikasi Visual dan Staf Pengajar Jurusan Desain Komunikasi Visual di Universitas Pelita Harapan Jakarta dan Universitas Trisakti Jakarta. Pada saat Iklan Axe Effect ‘Call Me’ dipublikasikan, beliau menjabat sebagai Art 23 Dituliskan oleh Alexander di dalam website Youth: What Senior Don‟t Know but Axe Knows, http://the-marketeers.com/archives/ youth-what-seniors-dont-know-but-axeknows.html, di-upload pada 18 Juli 2011 dan diakses pada 23 Mei 2013. Kemudiaan juga dapat diakses pada blog Andi S Boediman, http://andisboediman.blogspot.com. Serta dapat dilihat tampilan slide-nya pada http://www.slideshare.net/andisboediman/ challenge-insight-solution-deodorant-inindonesia?src=embed. ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1- 72 25 khusus dengan perempuan yang mereka idamkan. Mating game adalah sesuatu yang dianggap penting dalam kehidupan youth (target audience). Oleh karena itulah, anxiety dan desire mereka banyak berhubungan dengan proses mating game. Tim riset menemukan perbedaan antara ide mating game di Barat dengan konsep mating game di Indonesia. Mating game di Barat terdiri dari empat tahap, yaitu: 1) Kissing, 2) Top area, 3) Bottom area, dan 4) Home run (hubungan seksual). Kesimpulannya, anxiety dan desire yang terpendam pada youth (target audience) Barat adalah sex related activity. Bagi mereka, selfesteem akan timbul bila mereka berhasil melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang mereka idamkan (pada tahap home run).24 Axe mampu memahami anxiety dan desire youth/target audience Barat tersebut. Oleh sebab itu, visualisasi iklan Axe di Barat cenderung mempresentasikan adegan pertemuan antara lelaki Axe dengan perempuan idamannya yang mengarah ke terjadinya hubungan seksual. Penerapan anxiety dan desire dalam iklan Axe versi Shower Gel (How Dirty Boys Get Clean) di Amerika mampu mendulang kesuksesan bagi Unilever Global. Andi S. Boediman menyatakan bahwa kesuksesan iklan Axe Shower Gel (How Dirty Boys Get Clean) tersebut dikarenakan situasi yang digambarkan, baik di dalam iklan maupun komunikasi periklanannya relevan dengan situasi kehidupan nyata youth (target audience) di Barat. Visualisasi iklan tersebut membuat youth (target audience) merasa menemukan jawaban atas anxiety dan desire mereka, yaitu dapat melakukan hubungan seksual terutama dengan perempuan cantik dan seksi. Keuntungan (value preposition) yang ditawarkan Axe sesuai dengan gambaran yang mereka lihat di kehidupan nyata dan ingin mereka dapatkan.25 Penayangan iklan Axe serupa dengan versi Axe Shower Gel di Indonesia berujung pada minus growth, karena kontradiktif dengan kultur Indonesia. Hal inilah yang melatarbelakangi Axe Indonesia untuk mencari akar permasalahannya. Setelah dilakukan riset, menghasilkan insight yang mengejutkan, yaitu bahwa konsep mating game itu sangat penting bagi kaum youth (target audience) untuk menjalin hubungan dengan perempuan yang diidamkan. Memang ada perbedaan persepsi tentang mating game antara Barat dan Indonesia. Berdasarkan persepsi Barat, desire youth (target audience) dalam menjalin suatu hubungan adalah melakukan hubungan seksual. Menurut persepsi youth (target audience) di Indonesia, pernikahan adalah desire mereka dalam berhubungan. Meskipun hubungan seksual merupakan sesuatu yang diinginkan oleh youth (target 24 Dituliskan oleh Alexander di dalam website Youth: What Senior Don‟t Know but Axe Knows, http://the-marketeers.com/archives/youthwhat-seniors-dont-know-but-axe-knows.html, di-upload pada 18 Juli 2011 dan diakses pada 23 Mei 2013. Kemudiaan juga dapat diakses pada blog Andi S Boediman, http://andisboediman.blogspot.com. Serta dapat dilihat tampilan slide-nya pada http://www.slideshare.net/ andisboediman/challenge-insight-solution-deodorant-in-indonesia?src=embed. 25 Dituliskan oleh Alexander di dalam website Youth: What Senior Don‟t Know but Axe Knows, http://the-marketeers.com/archives/ yo u th -wha t-seni ors-don t-k now-but-a xeknows.html, di-upload pada 18 Juli 2011 dan diakses pada 23 Mei 2013. Kemudiaan juga dapat diakses pada blog Andi S Boediman, http://andisboediman.blogspot.com. Serta dapat dilihat tampilan slide-nya pada http://www.slideshare.net/andisboediman/ challenge-insight-solution-deodorant-inindonesia?src=embed. 26 ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1-72 audience) di Indonesia, tetapi bukanlah prioritas utama yang menentukan selfesteem mereka.26 Perbedaan tersebut terlihat di dalam empat tahapan mating game bagi youth (target audience) di Indonesia, yaitu: 1) Get her number, 2) Private time, 3) Meet the parents, dan 4) Get engaged or married. Hasil riset lainnya adalah kegembiraan (excitement) paling besar dari youth (target audience) terjadi pada tahap awal berhubungan, yaitu ketika mendapatkan nomor telepon sang perempuan (get her number). Ada beberapa alasan mengapa lelaki Indonesia usia 16 – 22 tahun mendapatkan kegembiraan pada tahap awal ini. Pertama, karena tahap ini paling realistis dan dekat dengan masa sekarang dibandingkan tahap pernikahan yang masih jauh di masa depan. Kedua, karena hubungan seksual di luar nikah adalah hal yang tabu di Indonesia, maka lelaki youth (target audience) Indonesia usia 16 – 22 tahun menganggap hubungan seksual adalah sesuatu yang tidak realistis. Ketiga, youth (target audience) memang suka berkhayal tentang masa depan, tetapi keputusan dalam membeli barang didasari pada kebutuhan di masa sekarang, bukan di masa mendatang.27 Selain itu, pada umumnya mereka cenderung pemalu. Mereka tidak memiliki keberanian untuk mendekati perempuan, bahkan untuk sekedar memperkenalkan dirinya, menanyakan alamat apalagi 26 Dituliskan oleh Alexander di dalam website Youth: What Senior Don‟t Know but Axe Knows, http://the-marketeers.com/archives/ you th- wha t-se n i ors -do nt-k now- but- axeknows.html, di-upload pada 18 Juli 2011 dan diakses pada 23 Mei 2013. 27 Dituliskan oleh Alexander di dalam website Youth: What Senior Don’t Know but Axe Knows, http://the-marketeers.com/archives/youth-whatseniors-dont-know-but-axe-knows.html, di-upload pada 18 Juli 2011 dan diakses pada 23 Mei 2013. ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1- 72 meminta nomor teleponnya. Perbedaan konsep berkencan ‘mating game’ antara youth (target audience) Axe di Barat dan di Indonesia mencetuskan konsep strategi komunikasi visual (creative brief) iklan Axe Effect „Call Me‟ berdasarkan atas proyek konsekuensi (project conse). Project conse didasarkan pada konsep yang mengadaptasi ide berkencan ‘mating game’ sesuai karakteristik konsumen Axe di Indonesia. b. Consumer insight target audience atas perempuan idaman Pemahaman akan kegelisahan (anxiety) dan hasrat (desire) lelaki usia 16 – 22 tahun sebagai konsumen sasaran (target audience) Axe Score, Axe Vice, Axe Pulse, dan Axe Twist, bagi PT. Unilever Indonesia Tbk. merupakan kunci sukses bagi komunikasi pemasarannya. Pemahaman tersebut merupakan insight awal konsumen sasaran yang masih perlu lagi dikembangkan untuk menyusun consumer insight secara lengkap. Hal itu dilakukan sebagai upaya agar produk mampu menemukan cara dalam ‘berkomunikasi dengan konsumen sasarannya (target audience-nya) melalui iklan. Djito Kasilo menyatakan bahwa consumer insight (biasanya sudah mengendap di bawah sadar) berpengaruh dalam mengarahkan tingkah laku. Ada yang menyebutnya sebagai forgotten truth atau hidden truth (sesuatu yang tak tampak namun sebenarnya ada dan sangat berpengaruh). Consumer insight menjadi titik awal yang penting dalam mempermudah pembentukan tingkah laku target audience sesuai dengan pesan-pesan yang dirancang oleh biro iklan. Penggalian data consumer insight dapat dilakukan dengan mengamati kehidupan target audience. Selain itu, juga dapat ditempuh cara-cara seperti: (a) 27 Memberikan pertanyaan kepada target audience tentang hobi, harapan, dan citacita mereka; (b) Mengamati motif dalam bertingkah laku; (c) Menggali insight target audience sesuai dengan tahapan kebutuhan berdasarkan teori motivasi Abraham Moslow, mulai dari tahap kebutuhan fisik, rasa aman, pengakuan sosial, hingga aktualisasi diri.28 Berdasarkan data dari beberapa narasumber di atas, dapat disimpulkan bahwa consumer insight dari konsumen sasaran (target audience) Axe Score, Axe Vice, Axe Pulse, dan Axe Twist adalah sebagai berikut. a. Target audience cenderung pemalu; tidak memiliki keberanian untuk mendekati perempuan, bahkan untuk sekedar memperkenalkan diri, menanyakan alamat atau meminta nomor teleponnya.29 b. Target audience cenderung tidak punya rasa percaya diri dalam 30 mendekati perempuan. c. Target audience menganggap bahwa mating game (berkencan) adalah sebuah proses yang penting dalam fase kehidupan mereka.31 d. Target audience memiliki impian/ hasrat untuk menemukan cara 28 Lihat Djito Kasilo, Komunikasi Cinta Menembus G-Spot Konsumen Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), hlm. 21-34. 29 Lihat http://andisboediman.blogspot.com/ search/label/consumer%20insight, Axe from Insight to Execution, di-upload pada hari Jumat tanggal 05 September 2008, kemudian diakses pada tanggal 28 April 2013 30 Lihat http://andisboediman.blogspot.com/ search/label/consumer%20insight, Axe from Insight to Execution, di-upload pada hari Jumat tanggal 05 September 2008, kemudian diakses pada tanggal 28 April 2013 31 Axe Indonesia (Alexander), Youth: What Senior Don‟t Know but Axe Knows, http:// the-marketeers.com/archives/youth-whatseniors-dont-know-but-axe-knows.html, diupload pada 18 Juli 2011 dan diakses pada 23 Mei 2013. 28 mendekati dan mendapatkan perempuan idamannya, serta berhasil dalam berkencan (mating game).32 Dengan demikian, kesuksesan bagi konsumen sasaran (target audience) yang telah dalam berkencan (mating game), akan sangat bergantung pada penggunaan azimat Axe. Hasil temuan penyusunan creative brief itu kemudian dijadikan sebagai ide dasar pembuatan visualisasi iklan Axe Effect „Call Me‟. Oleh karena itu, melalui adegan-adegan yang diperlihatkan, iklan tersebut harus mampu menyampaikan pesan bahwa Axe adalah azimat untuk mendapatkan perempuan idaman. Strategi kreatifnya berupa positioning Axe sebagai sebuah azimat yang digunakan oleh lelaki untuk mendekati dan mendapatkan perempuan idamannya. Oleh sebab itu, yang diekspos dalam visualisasi iklan Axe „Call Me‟ adalah perempuan idaman yang diimajinasikan oleh lelaki usia 16 – 22 tahun.33 Perspektif tentang perempuan idaman yang cantik dan seksi di mata lelaki usia 16 – 22 tahun tersebut sesuai dengan pendapat Louann Brizendine, bahwa lelaki lajang seusia itu berada dalam tahap masa remaja akhir dan dewasa awal yang memiliki fase pubertas dan maturitas seksual. Konsep tentang perempuan cantik, seksi, dan sensual tersebut kemudian digarap oleh tim kreatif BBH Singapore dalam empat versi iklan Axe Effect „Call Me‟. Namun, Steve Elrick menolak jika iklan Axe Effect „Call Me‟ diklaim sebagai 32 Axe Indonesia (Alexander), Youth: What Senior Don‟t Know but Axe Knows, http:// the-marketeers.com/archives/youth-whatseniors-dont-know-but-axe-knows.html, diupload pada 18 Juli 2011 dan diakses pada 23 Mei 2013. 33 Tulisan Tata Bonita, melalui pesan dari akun facebook-nya [email protected] pada 11 Maret 2011. ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1-72 iklan yang memanfaatkan kecantikan, seksualitas, dan sensualitas perempuan. Karena menurut dia, iklan tersebut sesungguhnya hanya menyajikan adegan cerita yang bernuansa komedi. Perempuan-perempuan Indonesia dipilih sebagai endorser oleh BBH Singapore karena dianggap mampu merepresentasikan perempuan idaman lelaki Axe (consumer insight-nya) dalam iklan Axe Effect „Call Me‟. Mereka adalah sebagai berikut.34 a. Endorser perempuan pada iklan Axe Effect „Call Me‟ versi Special Needs, memiliki typical person endorser. Perempuan dengan typical person endorser tersebut memiliki kepribadian dan gaya hidup yang diidamkan oleh lelaki Axe. Gambar 5 Endorser perempuan dalam TVC. Axe Effect „Special Needs‟ (Sumber: direkam menggunakan USB TV Tunner melalui software Recorder Gold 2.6 pada 12 Januari 2009) b. Endorser perempuan pada iklan Axe Effect „Call Me‟ versi Lost menggunakan celebrity endorser, yakni Agni Pratistha Arkadewi Kuswardono, atau lebih dikenal dengan nama Agni Pratistha. Ia adalah penyandang gelar Cosmogirl of the Year 2003, Puteri Indonesia 2006, dan sebagai delegasi pada 34 Tulisan Tata Bonita, melalui pesan dari akun facebook-nya [email protected] pada 11 Maret 2011. ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1- 72 ajang Miss Universe 2007.35 Gambar 6 Agni Pratista dalam TVC. Axe Effect Lost (Sumber: direkam menggunakan USB TV Tunner melalui software Recorder Gold 2.6 pada 12 Januari 2009) c. Endorser perempuan pada iklan Axe Effect „Call Me‟ versi Mist, menggunakan typical person endorser. Perempuan dengan typical person endorser tersebut memiliki kepribadian dan gaya hidup yang diidamkan oleh lelaki Axe. Gambar 7 Endorser perempuan dalam TVC. Axe Effect Special Needs (Sumber: direkam menggunakan USB TV Tunner melalui software Recorder Gold 2.6 pada 12 Januari 2009) 35 Agni Pratistha lahir di Canberra, 8 Desember 1987, putri dari Bapak Anon Kuswardono dan Ibu Threes Tarunawati Kusumawardani. Ia memiliki tinggi badan 178 Cm; berat badan 59 Kg; mempunyai hobi menggambar. Saat ini berstatus sebagai mahasiswa pada Jurusan Desain Grafis Universitas Bina Nusantara Jakarta. Biodata tersebut didapat/diunduh dari http://www.profil.web. id/2012/12/profil-biodata-agni-pratistha-foto-agni.html , pada Sabtu, 13 Juli 2013 pukul 14.10 WIB. 29 d. Endorser perempuan pada iklan Axe Effect „Call Me‟ versi Saoce, menggunakan celebrity endorser, yakni Asmirandah Zantman, seorang model dan bintang sinetron terkenal di Indonesia. Gambar 8 Asmirandah dalam TVC. Axe Effect Saoce (Sumber: direkam menggunakan USB TV Tunner melalui software Recorder Gold 2.6 pada 12 Januari 2009) Dari berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa visualisasi endorser perempuan yang ditampakkan dalam iklan Axe Effect „Call Me‟ memang sengaja dirancang kreatornya agar iklan tersebut mampu menjual produk. D. Penutup Jargon ‘The Axe Effect‟ yang telah dipertahankan selama 20 tahun PT. Unilever Indonesia Tbk, sebagai produsen produk Axe merupakan jargon untuk setiap visualisasi iklan Axe Effect, baik iklan cetak, iklan televisi, serta iklan di media maya. Strategi kreatifnya adalah memposisikan Axe sebagai sebuah azimat yang digunakan oleh lelaki untuk mendekati atau mendapatkan perempuan idamannya. Oleh sebab itu, dalam visualisasi iklan Axe selalu mengekspos perempuan idaman lelaki yang memperlihatkan keterpesonaannya terhadap lelaki Axe , baik melalui kecantikan wajahnya, keseksian tubuhnya, maupun bahasa tubuhnya. Demikian halnya dengan semua versi pada iklan Axe Effect “Call Me” yang 30 tayang di media televisi Indonesia, yang memvisualisasikan perempuan sebagai endorser-nya. Visualisasi iklan Axe Effect „Call Me‟ tersebut merupakan bagian dari rangkaian positioning product (posisi produk), yaitu komunikasi pemasaran, pemilihan strategi kreatif dan media,visualisasi iklan Axe termasuk pertimbangan dipresentasikannya peran dominan perempuan dalam tayangannya. Bagi PT. Unilever Indonesia Tbk, sebagai produsen produk Axe penggunaan perempuan dalam setiap iklan Axe Effect „Call Me‟ di televisi tersebut sebagai perwujudan dari strategi pemasaran yang berpijak pada kepentingan konsumen sasaran sehingga pemvisualisasian endorser perempuan sebagai consumer insight dari konsumen (target audience-nya). Konsumen (taget audience) Axe ‘Call Me’ adalah lelaki Indonesia berusia 16 – 22 tahun (youth). Pada usia tersebut lelaki merupakan kaum yang sedang berhasrat mendapatkan perempuan yang mereka idamkan dan ingin memiliki hubungan khusus dengan perempuan, yaitu dalam masa mating game. Mating game merupakan hal yang sangat penting di dalam kehidupan kaum youth tersebut, karena berhubungan dengan anxiety dan desire mereka. Untuk keberhasilan youth dalam sebuah mating game, PT. Unilever Indonesia menawarkan Axe Score, Axe Vice, Axe Pulse, dan Axe Twist sebagai solusi lelaki Indonesia usia 16 – 22 tahun untuk mendekati dan mendapatkan perempuan idaman. Keuntungan dari solusi sekaligus azimat tersebut perlu dikomunikasikan melalui iklan. Dalam visualisasi iklannya direpresentasikan perempuan idaman dan ideal menurut target audience Axe lengkap dengan efek yang ditimbulkan oleh deodorant bodyspray ini.� Oleh sebab itulah, diperlukan dominasi peran perempuan dalam iklan Axe Effect „Call ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1-72 Me‟ dalam keempat versi iklannya untuk mempublikasikan keampuhan efek yang ditimbulkan setelah pemakaian Axe Score, Axe Vice, Axe Pulse, dan Axe Twist. Perspektif tentang perempuan idaman yang cantik dan seksi di mata lelaki usia 16 – 22 tahun tersebut sesuai dengan pendapat Louann Brizendine, bahwa lelaki lajang seusia itu berada dalam tahap masa remaja akhir dan dewasa awal yang memiliki fase pubertas dan maturitas seksual. Perempuan idaman menurut pandangan lelaki Indonesia usia 16 – 22 tahun adalah perempuan yang cantik, seksi, dan sensual. Perempuan yang cantik adalah yang memiliki kecantikan luar (fisik) dan dalam (inner beauty). Kecantikan luar dimiliki oleh perempuan-perempuan yang kulitnya putih bersih, bibirnya menawan, hidungnya mancung, matanya indah, tubuhnya langsing, dan wajahnya halus. Kecantikan dalam tersirat dari kepintarannya, kecerdasannya, ke-pedeannya, kelembutan tutur katanya, tingkah lakunya, dan moralitasnya. Perempuan yang seksi dan sensual berkenaan dengan kondisi biologis perempuan, kepercayaan diri, harga diri, dan perilaku yang terlihat dari bahasa tubuhnya. Oleh sebab itulah, endorser perempuan pada iklan Axe Efect ‘Call Me’ yang tanyang di media televisi Indonesia merupakan cerminan dari insight konsumen (target audience-nya). Daftar Pustaka Ajeng Peni Hapsari. 2011. Analisis Perbandingan Penggunaan Celebrity Endorser dan Typical-Person Endorser Iklan Televisi dan Hubungannya dengan Brand Image Produk. Bandung: Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran. Arief Agung Suwarsono. 2002. “Sekilas Tentang Televisi dan Tayangan Iklan”, (Surabaya: Universitas Kristen Petra, Januari 2002), hlm. 38-51, dalam Jurnal Nirmana Vol. 4, No. 1, Januari 2002: 38 – 51, Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain – Universitas Kristen Petra. Brizendine, Louann. 2010. Male Brain-Mengungkap Misteri Otak Laki-laki, diterjemahkan oleh: Ati Cahyani. Jakarta Selatan: PT. Ufuk Publishing House. Djito Kasilo. 2008. Komunikasi Cinta Menembus G-Spot Konsumen Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. George, Belch E dan Michael A Belch. 2001. Advertising And Promotion : An Integrated Marketing Communications Perspective, 12th edition. McGraw Hill. Hanum, Armytanti. 2010. Pencitraan Perempuan Pada Iklan „Axe Effect‟. Lampung: Tesis S2 Ilmu Komunikasi Pascasarjana Universitas Lampung. Maria Regina. 2008. Kamus Istilah Desain Grafis dan Periklanan. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo-Kelompok Gramedia. Moriarty,Sandra, Nancy Mitchell, dan William Wells. 2011. Advertising. Jakarta: Kencana. ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1- 72 31 Rendra Widyatama. 2004. Bias Gender dalam Iklan Televisi. Tesis S2 Program Studi Ilmu Komuniksi dengan minat studi Teori dan Penelitian Komunikasi: Universitas Sebelas Maret. Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Terjemahan Muhammad Taufiq. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Sarwono, Jonathan dan Hary Lubis. 2007. Metode Riset untuk Desain Komunikasi Visual. Yogyakarta: Penerbit Andi. Shimp. 2003. Terence A., Advertising Promotion and Supplement Aspect of Integrated Marketing Communication 5th Edition ; Terjemahan: Reyvani Syahrial Alih Bahasa : Periklanan Promosi dan Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu. Jakarta: Erlangga. Sigit Santosa. 2009. Creative Advertising-Petunjuk Teknis Mempersiapkan Iklan Cetak dan Elektronik dengan Efisien. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Siti Chaeriah Rasyid. 2011. Analisis Pengaruh Endorser, Pendidikan Audiens, dan Kreatifitas Iklan Terhadap Efektifitas Iklan Serta Dampaknya Terhadap Sikap Merek Produk (Studi Kasus Pada Iklan Sunsilk Co Creation Versi Julie Estelle dan Thomas Taw). Jakarta: Universitas Negeri Syarif Hidayahtullah. Storey, John (Ed). 1994. Cultural Theory and Cultural Culture: A Reader. New York: Harvester Heatsheaf. Sutherland, Max dan Sylvester, Alice K. 2005. Advertising and The Mind of The Consumer. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif-Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Tamrin Amal Tamagola. 1998. Wanita dan Media. Bandung: PT. Remaja Rosdakary 32 ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1-72