Avian Influenza, Boesenbergia pandurata, Coturnix sp, IgY INTISARI

advertisement
UJI AKTIVITAS FRAKSI ETIL ASETAT EKSTRAK TEMU KUNCI
(Boesenbergia pandurata (Roxb)) SEBAGAI STIMULATOR PRODUKSI
ANTIBODI POLIKLONAL ANTI AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5N1
PADA Coturnix sp
TEST OF ACTIVITY FRACTION ETHYL ACETATE EXTRACT
(Boesenbergia pandurata (Roxb)) STIMULATOR PRODUCTION AS
POLYCLONAL ANTIBODY SUBTYPE H5N1 AVIAN INFLUENZA IN
Coturnix sp
Pharmacy Study Programme, Faculty of Medicine and Health Science
Muhammadiyah University of Yogyakarta
Zaini Miftah*, Puguh Noviarsito
[email protected]
ABSTRACT
Avian Influenza cases of which cause the death of birds and transmission
to humans is a serious threat in the community. Several effort were made to
handling of Avian Influenza has been carried out preventive and curative, one of
them with the use of IgY Anti-Avian Influenza (Anti-AI). This study aims to
determine the effect of ethyl acetate fraction extract Boesenbergia pandurata
(Roxb) against IgY production Anti-AI of laying quails (Coturnix sp) induced AI
Vaccine (H5N1) and determine the effective dose of ethyl acetate fraction extract
of Boesenbergia pandurata (Roxb) that serves as an immunostimulatory agent.
This study used an experimental design, with the laying quails (Coturnix
sp) medium type as animals test. A total of 15 birds were divided into 5 groups,
namely; Group T1: Zero Control; T2: Negative Control; T3: 15,6 mg
extract/quail; T4: 39 mg extract/quail; T5: 62,5 mg extract/quail. The vaccine is
given at a dose of 0,2 mL intramuscularly applied. Vaccination was repeated 3
times with the same dose in a 4-week intervals. Egg’s sampling was performed at
twelfth week. IgY Anti-AI isolated by PEG precipitation method, then the levels
was measuring with the HI Test.
The results showed that, administration of ethyl acetate fraction extract
Boesenbergia pandurata (Roxb) a dose of 15,6 mg/quail; 39 mg/quail; 62,5
mg/quail provide increased production of IgY anti-AI significantly different
(P<0.05) with the value of Haemaglutination Inhibision over ≥ 24. So it can be
concluded that the fraction of ethyl acetate extract Boesenbergia pandurata
(Roxb) can increase the production of IgY antibodies. The effective dose of ethyl
acetate fraction extract of Boesenbergia pandurata (Roxb) that serves as an
immunostimulatory agent is on a dose of 39 mg/quail.
Keywords : Avian Influenza, Boesenbergia pandurata, Coturnix sp, IgY
1
INTISARI
Kasus flu burung yang menyebabkan kematian unggas dan penularan
kepada manusia menjadi ancaman serius di kalangan masyarakat. Usaha
penanganan masalah flu burung telah dilakukan secara preventif maupun kuratif,
salah satunya dengan pemanfaatan IgY anti-Avian Influenza (anti-AI). Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian fraksi etil asetat ekstrak temu
kunci Boesenbergia pandurata (roxb) terhadap produksi IgY anti-AI dari burung
puyuh petelur yang diinduksi vaksin AI (H5N1) dan mengetahui dosis efektif
fraksi etil asetat ekstrak temu kunci yang berfungsi sebagai agen imunostimulator.
Penelitian ini menggunakan desain eksperimental, dengan burung puyuh
petelur (Coturnix sp) tipe medium sebagai hewan uji. Sebanyak 15 ekor yang
dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu; kelompok T1: Kontrol Nol; T2: Kontrol
Negatif; T3: dosis 15,6 mg/puyuh; T4: dosis 39 mg/puyuh; T5: dosis 62,5
mg/puyuh. Vaksin diberikan dengan dosis 0,2 mL diaplikasikan secara
intramuscular. Vaksinasi diulang 3 kali dengan dosis yang sama dalam interval
waktu 4 minggu. Pengambilan sampel telur dilakukan pada minggu ke-12. IgY
anti-AI diisolasi dengan metode presipitasi PEG, kemudian ditetapkan kadarnya
dengan HI Test.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pemberian fraksi etil asetat ekstrak
temu kunci dosis 15,6 mg/puyuh; 39 mg/puyuh; 62,5 mg/puyuh memberikan
peningkatan produksi IgY anti-AI berbeda signifikan (P<0,05) dengan nilai
hambat aglutinisasi lebih dari ≥ 24. Sehingga dapat disimpulkan bahwa fraksi etil
asetat ekstrak temu kunci Boesenbergia pandurata (roxb) dapat meningkatkan
produksi antibodi IgY. Dosis efektif fraksi etil asetat ekstrak temu kunci yang
berfungsi sebagai agen imunostimulator adalah pada dosis 39 mg/puyuh.
Kata Kunci : Avian Influenza, Boesenbergia pandurata, Coturnix sp, IgY
2
boesenbergin A) selain itu temu
kunci juga mengandung minyak
atsiri (geranial, neral, kamfor,
zingiberen, d-pinen, kamfen, 1,8sineol) (Plantus, 2008).
Efek immunostimulator
dapat
diketahui dengan mengukur titer
antibodi IgY yang merupakan
antibodi poliklonal. Antibodi unggas
atau dikenal dengan IgY dapat
dipurifikasi dari kuning telur.
Metode deteksi antigen-antibodi
telah banyak dikembangkan seiring
dengan
penemuan
teknologi
mutakhir dalam bidang biologi
molekuler
bersamaan
dengan
penemuan terbaru metode produksi
antibodi spesifik terhadap antigen di
dalam serum dan kuning telur (yolk).
Penelitian ini dilakukan guna melihat
apakah suplementasi fraksi etil asetat
rimpang
temu
kunci
dapat
meningkatkan produksi IgY anti AI
pada burung puyuh petelur setelah
diinduksi vaksin H5N1.
PENDAHULUAN
Sejak bulan Desember 2003,
tingginya
wabah
flu
burung
dilaporkan telah merebak di Asia
Tenggara (WHO, 2012). Penyakit flu
burung yang disebabkan oleh virus
AI (Avian Influenza) jenis H5N1
pada unggas dikonfirmasikan telah
terjadi di Indonesia, Korea Selatan,
Jepang,
Hongkong,
Belanda,
Thailand, Kamboja, Laos, Cina dan
Pakistan. Sumber virus diduga
berasal dari migrasi burung dan
transportasi unggas yang terinfeksi
(Tabbu et al., 2000). Menurut
menteri kesehatan RI, sejak 2005
sampai saat ini jumlah kasus AI
subtipe H5N1 mencapai 191 kasus
dengan 159 kematian (WHO, 2012).
Beberapa usaha telah dilakukan
untuk menangani kasus kematian
hewan unggas akibat flu burung yang
dapat menular kepada manusia, salah
satunya dengan pemberian vaksin
H5N1 terhadap hewan unggas. Akan
tetapi, permasalahan yang timbul
adalah, respon titer antibodi unggas
terhadap vaksinasi ini masih rendah
(Wibowo, 2008). Oleh karena itu
perlu
dilakukan
eksplorasi
penggunaan bahan alam sebagai
sumber imunostimulator. Indonesia
terkenal sebagai negara yang kaya
akan bahan alam. Salah satu bahan
alam yang memiliki potensi untuk
diteliti
adalah
Temu
Kunci
(Boesenbergia pandurata (roxb)).
Pengujian
secara
in
vitro
menunjukkan temu kunci dapat
meningkatkan
jumlah
limfosit,
antibodi
spesifik,
dan
dapat
membunuh sel kanker (Hartono,
1999). Kandungan kimia temu kunci
terutama adalah senyawa golongan
flavonoid (pinosembrin, pinostrobin,
alpinetin,
kardamomin
dan
METODE
Penelitian
ini
merupakan
penelitian eksperimental bersifat
laboratories dengan tema imunologi
farmasetik.
Dilakukan
di
Laboratorium Penelitian Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas
Muhammadiyah
Yogyakarta
dan
Laboratorium
Virologi Balai Besar Veteriner. pada
bulan Maret 2013 hingga bulan Juli
2013.
Pembuatan fraksi etil asetat
ekstrak temu kunci
Rimpang temu kunci yang
digunakan dalam penelitian ini
adalah rimpang yang berumur
dewasa dan telah siap panen, temu
kunci diperoleh dari perkebunan
yang terletak didaerah Waduk
3
Sermo,
Wates,
Kulonprogo.
Rimpang temu kunci dicuci bersih
kemudian dipotong tipis-tipis secara
vertikal untuk memudahkan proses
pengeringan. Selanjutnya rimpang
yang telah dipotong tipis kemudian
dikeringkan dengan memanfaatkan
sinar matahari yang telah ditutup
kain hitam selama ± 2 hari hingga
rimpang kering sempurna. Setelah itu
rimpang diserbuk menggunakan
blender yang selanjutnya disebut
serbuk simplisia.
Serbuk
simplisia
kemudian
dimaserasi didalam bejana kaca
menggunakan
etanol
70%
menggunakan perbandingan 1 : 5
selama 7 hari dengan sesekali diaduk
tiap hari agar maserat homogen dan
tersari sempurna. Setelah proses
maserasi selesai, rendaman disaring
menggunakan kain flanel untuk
memisahkan serbuk simplisia dengan
dengan maserat etanol 70%. Maserat
etanol 70% yang telah tersari
kemudian dikentalkan menggunakan
waterbath hingga diperoleh ekstrak
pekat fraksi etanolik 70% temu
kunci.
Fraksi etanolik 70% temu kunci
dimaserasi didalam toples kaca
menggunakan etil asetat dengan
perbandingan 1 : 5 selama 3 hari
dengan sesekali diaduk agar maserat
homogen dan tersari sempurna.
Selanjutnya maserat fraksi etil asetat
dipisahkan dari randemen yang
mengendap didasar bejana kaca.
Maserat kemudian dipisahkan dari
etil asetat menggunakan Vaccum
Rotary
Evaporator
untuk
mendapatkan hasil sari ekstrak temu
kunci yang terlarut etil asetat
sehingga diperoleh ekstrak pekat
fraksi etil asetat temu kunci.
Pembuatan sediaan uji
Fraksi etil asetat ekstrak temu
kunci dicampur dengan lactosum
sebanyak 2,2 kali bobot fraksi etil
asetat ekstrak temu kunci hingga
homogen menggunakan mortir dan
stamper. Fraksi kering terserbut
kemudian dikapsulasi menggunakan
kapsul ukuran 03 dengan 3 peringkat
dosis yaitu 15,6 mg/puyuh, 39
mg/puyuh, dan 62,5 mg/puyuh.
Sediaan kapsul disimpan didalam
almari pendingin 2 – 8 °C jika tidak
digunakan.
Perlakuan hewan uji
Burung puyuh yang digunakan
adalah sebanyak 15 ekor dalam
kandang baterai dibagi menjadi 5
kelompok perlakuan. Tiap kelompok
terdiri dari 3 ulangan secara
individual.
a. Kelompok T1
:
Burung
puyuh tanpa diinduksi vaksin AI
H5N1, tanpa suplementasi fraksi
etil asetat ekstrak temu kunci
sebagai kontrol nol (0).
b. Kelompok T2
:
Burung
puyuh diinduksi vaksin AI
H5N1, tanpa suplementasi fraksi
etil asetat ekstrak temu kunci
sebagai kontrol negatif (-).
c. Kelompok T3
:
Burung
puyuh diiduksi vaksin AI H5N1,
diberi suplementasi fraksi etil
asetat ekstrak temu kunci dosis
15,6 mg/puyuh/hari.
d. Kelompok T4
:
Burung
puyuh diiduksi vaksin AI H5N1,
diberi suplementasi fraksi etil
asetat ekstrak temu kunci dosis
39 mg/puyuh/hari.
e. Kelompok T5
:
Burung
puyuh diiduksi vaksin AI H5N1,
diberi suplementasi fraksi etil
asetat ekstrak temu kunci dosis
62,5 mg/puyuh/hari.
4
Burung puyuh diberi ransum
pakan BR AD2 tanpa antibiotik
dengan kandungan PK 15,57%, ME
2.850,25 kcal/kg, Ca 3,27%, dan P
1,08%
serta
diberi
minum.
Pengkondisian dilakukan dengan
pemberian kapsul ekstrak temu kunci
setiap jam 4 sore selama 7 hari.
Setelah pengkondisian dilakukan
vaksinasi menggunakan vaksin AI
H5N1 (0,2 ml/puyuh) secara
Intramuscular sebanyak 3 kali dalam
jarak interval 4 minggu dan
dilakukan pemberian kapsul ekstrak
temu kunci pada kelompok T3, T4,
dan T5 selama 12 minggu.
(b/v) PEG 6000 dalam buffer A, lalu
disentrifugasi pada 14000 g selama
10 menit, T = 4° C. Supernatan yang
diperoleh disaring dengan kain kassa
double, ditambahkan PEG 6000
padatan sampai konsentrasi akhir
12%, diaduk sampai larut. Kemudian
disentrifuge 14000 g selama 10
menit, T = 4°C. Pelet yang diperoleh
dilarutkan dalam 1 ml buffer A dan
juga ditambahkan 1 ml 24% PEG
dalam buffer A. Suspensi yang
terbentuk disentrifugasi pada 14000
g selama 10 menit pada T = 4°C
(Gassmann et al., 1990). Supernatan
dibuang dan pelet yang diperoleh
dilakukan uji HI Test.
Pengambilan sampel
Pada penelitian ini perlakuan
dilakukan selama 12 minggu, dengan
pengukuran titer antibodi pada
minggu ke-12. Hal ini mengacu pada
SOP
(Standard
Operational
Procedure) untuk pengendalian
penyakit Avian Influenza yang
diterbitkan oleh Direktorat Jenderal
Peternakan Departemen Pertanian,
yang
menyatakan
bahwa
keberhasilan
vaksinasi
dapat
diketahui dengan memeriksa adanya
antibodi setelah 3 sampai 4 minggu
setelah
vaksinasi.
Perulangan
vaksinasi dilakukan setiap 3 hingga 4
bulan agar level antibodi tetap tinggi
(Dirjen Peternakan, 2006). Untuk
setiap kelompok perlakuan diambil 4
telur dari tiap ulangan yang diperoleh
pada minggu ke-12 untuk diisolasi
IgY-nya dengan metode presipitasi
PEG.
Pengukuran Titer Isolat IgY
dengan HI Test
a. Tahap preparasi RBC (Red
Blood Cells) 1 %
Darah puyuh yang sebelumnya
telah dicampur dengan Na sitrat
3,8% dimasukkan ke dalam
tabung reaksi dan dimasukkan
PBS hingga penuh. Suspensi
darah disentrifugasi selama 10
menit pada kecepatan 2000 rpm.
Supernatan yang dihasilkan
diambil kemudian tabung berisi
pelet darah kembali diberi PBS
hingga
penuh
dan
dihomogenkan dengan cara
membentuk angka 8. Suspensi
kembali disentrifugasi pada
kecepatan 200 rpm selama 10
menit. Pencucian pelet tersebut
dilakukan tiga kali. Setelah
supernatan terakhir dibuang,
pelet yang dihasilkan diukur
volumenya
dengan
menggunakan pipet. Pelet darah
diencerkan menjadi konsentrasi
50% atau 40% (v/v) dan
dihomogenkan. Digunakan pipa
kapiler
untuk
mengambil
Isolasi IgY dengan Metode
Presipitasi PEG
Kuning telur dipisahkan dari putih
telur kemudian ditambahkan 2 ml
buffer A dan dicampur dengan baik.
Selanjutnya ditambahkan 2 ml 7%
5
kemudian dimasukkan 25 μl
RBC 1% ke dalam setiap sumur.
Microplate
dihomogenkan
dengan menggunakan plate
shaker
selama
10
detik
kemudian diinkubasi selama 60
menit pada suhu 4°C. Hasil titer
virus AI yang terbaca kemudian
dilakukan pengenceran pada
virus AI tersebut dengan
menggunakan rumus:
Titer HAU/4 = X kali faktor
pengenceran untuk 4 HAU =
Yμl antigen + Z μl PBS
Hasil pengenceran virus AI
standard dikonfirmasi dengan
mentitrasi kembali sesuai dengan
prosedur uji HA (CVI, 2010).
c. Tahap
Haemaglutination
Inhbition Test
Uji serologis ini digunakan
untuk
mendeteksi
antibodi
terhadap antigen virus H5N1
yang diketahui titernya sekaligus
mengetahui nilai titer IgY
spesifik pada kuning telur
burung puyuh. Sampel kuning
telur burung puyuh sebelumnya
diencerkan
dengan
menggunakan PBS dengan
perbandingan 1 : 2 kemudian
dihomogenkan
dengan
menggunakan
vortex.
Selanjutnya larutan kuning telur
burung
puyuh
tersebut
disentrifugasi dengan kecepatan
5000 rpm selama 10 menit dan
diambil
supernatannya
(Soejoedono 2005). Pengujian
HI menggunakan microplate 96well “U” bottom. Semua sumur
diisikan 25 μl PBS dengan
menggunakan
mikropipet.
Selanjutnya pada sumur 1 diisi
supernatan kuning telur burung
puyuh sebanyak 25 μl dan
suspensi dan disentrifugasi
untuk
mengonfirmasi
konsentrasi
pengenceran.
Suspensi
yang
telah
dikonfirmasi
konsentrasinya
tersebut kembali diencerkan
menjadi
konsentrasi
5%
kemudian dikonfirmasi kembali
dengan
menggunakan
pipa
kapiler. Selanjutnya diencerkan
kembali menjadi konsentrasi 1%
dan disimpan pada suhu 4°C
(CVI 2010).
b. Tahap uji hemaglutinasi (HA)
Uji HA digunakan untuk
membuat virus AI standard 4
HAU.
Pengujian
HA
menggunakan microplate 96well “U” bottom. Sebanyak 25
μl PBS dimasukkan ke dalam
sumur baris A hingga F, kolom 2
hingga 12. Dimasukkan masingmasing 25 μl sampel virus AI ke
dalam sumur A1 hingga E1 serta
A2 hingga E2 kemudian
dihomogenkan sebanyak 5x
dengan
menggunakan
mikropipet. Selanjutnya 25 μl
PBS dimasukkan pada sumur B2
dan dihomogenkan sebanyak
10x
dengan
menggunakan
mikropipet kemudian diambil
kembali sebanyak 25 μl sampel
pengenceran (sebanyak volume
PBS
yang
dimasukkan).
Sebanyak
75
μl
PBS
dimasukkan pada sumur C2, 125
μl PBS ke dalam sumur D2, 175
μl PBS ke dalam sumur E2 dan
dilakukan prosedur yang sama
dengan sumur B2. Selanjutnya
dilakukan pengenceran kelipatan
dua sebanyak 25 μl dari sumur
A2–E2 hingga sumur A12–E12.
Sebanyak
25
μl
PBS
dimasukkan ke semua sumur
6
dihomogenkan
dengan
menggunakan
mikropipet.
Selanjutnya
dilakukan
pengenceran
kelipatan
dua
sebanyak 25 μl hingga sumur 8.
Semua sumur diisikan virus AI
standard 4 HAU sebanyak 25 μl
kemudian diinkubasi selama 60
menit
pada
suhu
4°C.
Selanjutnya
semua
sumur
diisikan masing-masing 25 μl
RBC 1%, dihomogenkan dengan
cara digoyang-goyangkan dan
diinkubasi pada suhu 4°C
selama 60 menit. Reaksi dibaca
dengan
cara
menegakkan
microplate 90° (CVI, 2010).
Pengukuran Titer Antibodi IgY
Penelitian
ini
menggunakan
sampel sebanyak 15 ekor burung
puyuh Coturnix coturnix yang
terbagi dalam 5 kelompok perlakuan.
Keadaan lingkungan, umur, strain,
dan pakan dikondisikan dalam
keadaaan yang sama, dimaksudkan
untuk mengendalikan variabel agar
hasil riset tidak bias. Pada saat
vaksinasi semua sampel diasumsikan
tidak memiliki titer antibodi terhadap
AI. Dapat diartikan bahwa semua
sampel belum mendapat paparan
virus AI baik dari lingkungan sekitar
maupun dari vaksin. Titer antibodi
diukur pada minggu ke-12 setelah
vaksinasi mengacu kepada keputusan
Direktorat
Jendral
Peternakan
Departemen
Pertanian
yang
menyebutkan bahwa keberhasilan
vaksinasi dapat diketahui dengan
memeriksa adanya antibodi setelah 3
sampai 4 minggu setelah vaksinasi.
Perulangan vaksinasi dilakukan
setiap 3 hingga 4 bulan agar level
antibodi
tetap
tinggi
(Dirjen
Peternakan, 2006).
Hasil Uji Hemaglutinasi Inhibisi
kuning telur burung puyuh setelah
vaksinasi secara intra muscular
dengan dosis 0,2 mL menggunkan
vaksin AI subtipe H5N1 tertera pada
tabel 1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Determinasi Tanaman
Determinasi tanaman bahan uji
dilakukan dengan tujuan untuk
membuktikan kebenaran bahan uji
yang dipergunakan dalam penelitian
ini. Identifikasi tanaman bahan uji
dilakukan di Bagian Biologi Farmasi,
Fakultas
Farmasi,
Universitas
Gadjah Mada pada tanggal 28 Mei
2013.
Hasil
identifikasi
menunjukkan bahwa tanaman yang
digunakan sebagai bahan uji adalah
benar temu kunci (Boesenbergia
pandurata
(roxb))
dari
suku
Zingiberaceae.
Tabel 1. Rata-rata titer antibodi IgY anti AI H5N1
Replikasi
I
II
III
Rerata
Perlakuan
K0
0
0
0
0±0.00
K-
4
2
4
3.33±1.15
TK 15.6 mg
16
8
16
13.33±4.62
TK 39 mg
32
32
32
32±0.00
TK 62.5 mg
16
16
16
16±0.00
Kelompok
7
Keterangan : Kelompok K0 : Tanpa pemberian kapsul ekstrak temu kunci dan tanpa diinduksi
vaksin AI H5N; Kelompok K - : Tanpa pemberian kapsul ekstrak temu kunci dan diinduksi vaksin
AI H5N1; TK 15,6 mg, TK 39 mg, dan TK 62,5 mg berurutan : Diberi kapsul ekstrak temu kunci
15,6 mg/ekor, 39 mg/ekor, 62,5 mg/ekor dan semuanya diberi vaksin AI H5N1.
Dari
hasil
analisis
data
menggunakan Kruskal-Wallis Test
diketahui bahwa terdapat perbedaan
signifikan (P<0,05) titer antibodi IgY
terhadap terhadap lima kelompok
perlakuan. Pada uji Mann-Whitney
Test terdapat perbedaan signifikan
(P<0,05) titer antibodi IgY antara
kelompok K0 dan K(-). Hal ini dapat
diartikan bahwa terjadi peningkatan
titer
antibodi
burung
puyuh
kelompok kontrol negatif (K-)
terhadap kelompok kontrol nol (K0).
Pemberian suplementasi ekstrak
temu kunci fraksi etil asetat dosis
15,6 mg/ekor, 39 mg/ekor, dan 62,5
mg/ekor, kesemuanya telah terjadi
perbedaan
signifikan
(P<0,05)
terhadap kelompok K0 dan K(-). Hal
ini menunjukkan bahwa ekstrak temu
kunci fraksi etil asetat pada semua
dosis mampu meningkatkan titer
antibodi burung puyuh
yang
diinduksi vaksin AI H5N1. Diketahui
pada kelompok TK 39 mg/ekor
memberikan nilai rata-rata HI Test
tertinggi yaitu 32. Selain itu antibodi
yang dihasilkan oleh kelompok TK
39 mg/ekor setelah vaksinasi bersifat
protektif. Titer antibodi dinyatakan
protektif apabila pengukuran titer
antibodi setelah vaksinasi lebih besar
dari 16 (24) (Braytenbach, 2005).
Tingkat keberhasilan vaksinasi
dipengaruhi oleh kualitas vaksin,
program vaksinasi, kondisi unggas
saat divaksinasi, dan jenis unggas
yang divaksin. Vaksin AI berisi virus
inaktif dalam adjuvant minyak
mineral. Hal tersebut menyebabkan
respon imun timbul lebih lama serta
titer antibodi yang dihasilkan lebih
rendah bila dibandingkan dengan
infeksi virus aktif (Anonim, 2014).
35
**
30
NIlai HI
25
**
20
**
15
10
5
0
Kontrol Nol
Kontrol TK 15,6
TK 39
Kelompok Perlakuan
TK 62,5
Gambar 1. Rerata nilai HI Test dari isolate IgY yang menggambarkan produksi IgY anti-AI antar
kelompok perlakuan. Keteranangan : *P<0.05 Terdapat perbedaan titer antibodi IgY yang
bermakna terhadap kontrol nol. *P<0.05 Terdapat perbedaan titer antibodi IgY yang bermakna
terhadap kontrol negatif.
8
yang diperoleh dari fraksinasi hasil
maserasi serbuk simplisia dengan
pelarut Etanol 70%. Fraksi etil asetat
ekstrak temu kunci (Boesenbergia
pandurata (roxb)) ditujukan untuk
memisahkan
senyawa-senyawa
spesifik terlarut yang mampu
meningkatkan titer antibodi IgY pada
burung puyuh yang telah diinduksi
vaksin AI H5N1.
Pada Gambar 1 menyatakan
bahwa rerata peningkatan titer
antibodi mulai dari yang tertinggi
hingga terendah secara berurut pada
pemberian fraksi etil asetat ekstrak
temu kunci adalah pada dosis 39
mg/puyuh, 62,5 mg/puyuh, dan 15,6
mg/puyuh. Histogram pada Gambar
1 menunjukkan titer antibodi yang
dimulai
dari
kelompok
nol,
kelompok
negatif,
kelompok
perlakuan pemberian ekstrak temu
kunci dosis 15,6 mg/puyuh dan 39
mg/puyuh telah terjadi peningkatan
secara berturut. Terkecuali pada
pemaparan dosis 62,5 mg/puyuh
terjadi penurunan titer antibodi.
Suplementasi ektrak temu kunci
fraksi etil asetat dosis 62,5 mg/puyuh
tidak berefek dalam peningkatkan
titer antibodi secara signifikan. Hal
ini bisa saja disebabkan oleh
pemberian dosis yang terlalu tinggi
akan
menjadi
bersifat
down
regulation pada proses sintesa IgY
dalam sel.
Peningkatan titer antibodi IgY
pada penelitian telur burung puyuh
yang telah diinduksi vaksin AI H5N1
dan pemberian suplemen fraksi etil
asetat ekstrak temu kunci dengan
dosis yang efektif yaitu 39 mg/puyuh
dapat meningkatkan produksi IgY
yang diduga melalui mekanisme
peningkatan
produktivitas
sel
limfosit B. Peningkatan titer antibodi
Pembahasan
Salah satu bidang baru dalam
farmakologi yang masih dalam
tingkat eksplorasi dan perdebatan
adalah
imunomodulator
(Immunomodulating agents) yaitu
mengembangkan bahan yang dapat
meningkatkan respon imun daripada
menekannya.
Imunomodulator
adalah bahan (obat) yang dapat
mengembalikan ketidakseimbangan
sistem
imun.
Cara
kerja
imunomodulator
adalah
mengembalikan fungsi sistem imun
yang terganggu (imunrestorasi),
memperbaiki fungsi sitem imun
(imunostimulasi)
dan
menekan
respons imun (imunosupresi).
Kandungan dalam rimpang temu
kunci sangatlah bervariasi, sehingga
memiliki lebih dari satu efek
farmakologis dan efek yang timbul
tergantung senyawa yang memiliki
aktivitas paling dominan. Secara
teoritis
rimpang
temu
kunci
mengandung minyak atsiri yaitu
metilsinamat, kamper, sineol, dan
terpena. Di samping minyak atsiri,
temu kunci mengandung saponin dan
flavonoid (Chairul et al., 1996).
Senyawa-senyawa yang mempunyai
prospek cukup baik biasanya berasal
dari golongan flavonoid, kurkumin,
limonoid, vitamin C, vitamin E
(tokoferol), dan katekin yang bisa
digunakan sebagai obat antikanker.
Senyawa-senyawa tersebut biasanya
bermanfaat pula sebagai antioksidan
(Aldi et al. 1996). Pengujian secara
in vitro menunjukkan temu kunci
dapat meningkatkan jumlah limfosit,
antibodi
spesifik,
dan
dapat
membunuh sel kanker (Hartono
1999).
Dalam penelitian ini digunakan
fraksi etil asetat rimpang temu kunci
9
ini dimungkinkan oleh kandungan
senyawa aktif yang terlarut dalam
ekstrak temu kunci fraksi etil asetat
yang bersifat kompleks mampu
menstimulasi pembentukan antibodi.
Kandungan flavonoid dalam
fraksi etil asetat rimpang temu kunci
merupakan faktor utama yang
bertindak
sebagai
agen
imunomodulator.
Kandungan
flavonoid seperti halnya karotenoid,
berpotensi sebagai antioksidan pada
pertumbuhan tumor dengan cara
meningkatkan
respon
imun
(Robinovitc, 1995). Pada penelitian
bahan alam lain yang mengandung
flavonoid,
seperti
meniran
(Phyllanthus niruri L.) memiliki
kemampuan dalam memperbaiki
sistem imun dan alkaloid bersifat
sebagai imunostimulan (Iaconelli dan
Simmen, 2002). Saponin dapat
digunakan sebagai adjuvant, dengan
menginduksi respon sel Th2. Efek
adjuvant yang muncul tergantung
dari jumlah saponin yang berikatan
dengan protein antigen (Marciani,
1999). Adjuvant digunakan untuk
memeperkuat imunogenesitas vaksin,
dengan
memperbanyak
dan
memperbesar respon dari sistem
imun terhadap vaksin (Tizard, 1988).
Sel Th2 melepaskan berbagai sitokin
yang penting untuk menstimulasi
respon antibodi (Wahab dan Julia,
2002). Sitokin yang terbentuk adalah
IL-1 dan IL-2 yang berperan dalam
mekanisme pembentukan antibodi.
Sehingga pada penelitian ini
kemungkinan
aktivitas
imunostimulator yang terjadi berasal
dari berbagai metabolit sekunder
dalam rimpang temu kunci yang
terkandung dalam fraksi etil asetat
rimpang temu kunci (Boesenbergia
pandurata (Roxb).
DAFTAR PUSTAKA
Aldi, Y., N.C. Sugiarto, S.
Andreanus A., dan A.S. Ranti.
1996. Uji efek antihis tonninergik
dari
tanaman
Andrographis
paniculata Ness. Warta Tanaman
Obat Indonesia 3(1): 17-19.
Anonim,
2014,
Purifikasi
neuraminidase virus influenza
H5N1 dan efikasi beberapa vaksin
AI,
http://bbalitvet.litbang.deptan.go.i
d/ind/. [31 Maret 2014]
Braytenbach, J.H., 2005, Guidelines
for the Administration of Nobilis
Influenza H5 Vacccine as Part of
an Avian Influenza Control
Strategy, Intervet International
b.v, Netherland
Chairul, M. Harapini, dan Shinta,
1996, Analisis komponen kimia
dari temu putri dan temu kunci,
Prosiding Simposium Penelitian
Bahan Obat Alami, VIII,
Perhimpuan Penelitian Bahan
Obat Alami, Bogor, hlm, 628-634.
Dirjen Peternakan, 2006, Prosedur
Operasional
Standar
(SOP)
Pengendalian
Penyakit
AI,
25-26. Direktorat
Jenderal
Peternakan
Departemen
Pertanian, Jakarta.
Hartono, A. 1999. Terapi nutrisi dan
herbal untuk kanker. Intisari 435
(36): 44-53.
Iaconelli, S., Simmen B., 2002, Taste
thresholds and suprathreshold
responses to tanin-rich plant
extracts and quinine in a primate
species (Microcebus murinus), J
Chem Ecol; 28(11).
Marciani,
D.J.,
2000,
Immunostimulating and Vaccine
Compositions Employing Saponin
Analog Adjuvants and Uses
10
Thereof,
http://www.freepatentsonline.com
Plantus,
2008,
Fingerroot
(Boesenbergia pandurata Roxb.
Schult).
http://www.ccrc.farmasi.ugm.
ac.id/?page_id=166. [29 May
2013]
Robinovitch, M., Proffesional and
non- Proffesional Phagocytes an
Introduction, Trends In Cell
Biology; 1995. Vol : 5, Hal. 8587.
Tabbu, C. R., 2000, Penyakit Ayam
dan Penanggulangannya. Penyakit
Bakterial, Mikal, dan Viral.
Edisi II, Vol. 1, Hal. 232-244,
Kanisius, Yogyakarta.
Tizard, I.R., 1988, Pengantar
Imunologi Veteriner, Ed Kedua,
69-70, Saunders Company,
London.
Wahab, A.S., dan Julia, M., 2002,
Sistem Imun, Imunisasi, dan
Penyakit Imun, Widya Medika,
Jakarta.
WH0, 2012, Influenza at The
Human-Animal
Interface,
http://www.who.int/influenza
/human_animal_interface/en/. [14
May 2013]
11
Download