UJI AKTIVITAS FRAKSI ETIL ASETAT EKSTRAK TEMU KUNCI (Boesenbergia pandurata (Roxb)) SEBAGAI STIMULATOR PRODUKSI ANTIBODI POLIKLONAL ANTI AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5N1 PADA Coturnix sp TEST OF ACTIVITY FRACTION ETHYL ACETATE EXTRACT (Boesenbergia pandurata (Roxb)) STIMULATOR PRODUCTION AS POLYCLONAL ANTIBODY SUBTYPE H5N1 AVIAN INFLUENZA IN Coturnix sp Pharmacy Study Programme, Faculty of Medicine and Health Science Muhammadiyah University of Yogyakarta Zaini Miftah*, Puguh Noviarsito [email protected] ABSTRACT Avian Influenza cases of which cause the death of birds and transmission to humans is a serious threat in the community. Several effort were made to handling of Avian Influenza has been carried out preventive and curative, one of them with the use of IgY Anti-Avian Influenza (Anti-AI). This study aims to determine the effect of ethyl acetate fraction extract Boesenbergia pandurata (Roxb) against IgY production Anti-AI of laying quails (Coturnix sp) induced AI Vaccine (H5N1) and determine the effective dose of ethyl acetate fraction extract of Boesenbergia pandurata (Roxb) that serves as an immunostimulatory agent. This study used an experimental design, with the laying quails (Coturnix sp) medium type as animals test. A total of 15 birds were divided into 5 groups, namely; Group T1: Zero Control; T2: Negative Control; T3: 15,6 mg extract/quail; T4: 39 mg extract/quail; T5: 62,5 mg extract/quail. The vaccine is given at a dose of 0,2 mL intramuscularly applied. Vaccination was repeated 3 times with the same dose in a 4-week intervals. Egg’s sampling was performed at twelfth week. IgY Anti-AI isolated by PEG precipitation method, then the levels was measuring with the HI Test. The results showed that, administration of ethyl acetate fraction extract Boesenbergia pandurata (Roxb) a dose of 15,6 mg/quail; 39 mg/quail; 62,5 mg/quail provide increased production of IgY anti-AI significantly different (P<0.05) with the value of Haemaglutination Inhibision over ≥ 24. So it can be concluded that the fraction of ethyl acetate extract Boesenbergia pandurata (Roxb) can increase the production of IgY antibodies. The effective dose of ethyl acetate fraction extract of Boesenbergia pandurata (Roxb) that serves as an immunostimulatory agent is on a dose of 39 mg/quail. Keywords : Avian Influenza, Boesenbergia pandurata, Coturnix sp, IgY 1 INTISARI Kasus flu burung yang menyebabkan kematian unggas dan penularan kepada manusia menjadi ancaman serius di kalangan masyarakat. Usaha penanganan masalah flu burung telah dilakukan secara preventif maupun kuratif, salah satunya dengan pemanfaatan IgY anti-Avian Influenza (anti-AI). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian fraksi etil asetat ekstrak temu kunci Boesenbergia pandurata (roxb) terhadap produksi IgY anti-AI dari burung puyuh petelur yang diinduksi vaksin AI (H5N1) dan mengetahui dosis efektif fraksi etil asetat ekstrak temu kunci yang berfungsi sebagai agen imunostimulator. Penelitian ini menggunakan desain eksperimental, dengan burung puyuh petelur (Coturnix sp) tipe medium sebagai hewan uji. Sebanyak 15 ekor yang dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu; kelompok T1: Kontrol Nol; T2: Kontrol Negatif; T3: dosis 15,6 mg/puyuh; T4: dosis 39 mg/puyuh; T5: dosis 62,5 mg/puyuh. Vaksin diberikan dengan dosis 0,2 mL diaplikasikan secara intramuscular. Vaksinasi diulang 3 kali dengan dosis yang sama dalam interval waktu 4 minggu. Pengambilan sampel telur dilakukan pada minggu ke-12. IgY anti-AI diisolasi dengan metode presipitasi PEG, kemudian ditetapkan kadarnya dengan HI Test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pemberian fraksi etil asetat ekstrak temu kunci dosis 15,6 mg/puyuh; 39 mg/puyuh; 62,5 mg/puyuh memberikan peningkatan produksi IgY anti-AI berbeda signifikan (P<0,05) dengan nilai hambat aglutinisasi lebih dari ≥ 24. Sehingga dapat disimpulkan bahwa fraksi etil asetat ekstrak temu kunci Boesenbergia pandurata (roxb) dapat meningkatkan produksi antibodi IgY. Dosis efektif fraksi etil asetat ekstrak temu kunci yang berfungsi sebagai agen imunostimulator adalah pada dosis 39 mg/puyuh. Kata Kunci : Avian Influenza, Boesenbergia pandurata, Coturnix sp, IgY 2 boesenbergin A) selain itu temu kunci juga mengandung minyak atsiri (geranial, neral, kamfor, zingiberen, d-pinen, kamfen, 1,8sineol) (Plantus, 2008). Efek immunostimulator dapat diketahui dengan mengukur titer antibodi IgY yang merupakan antibodi poliklonal. Antibodi unggas atau dikenal dengan IgY dapat dipurifikasi dari kuning telur. Metode deteksi antigen-antibodi telah banyak dikembangkan seiring dengan penemuan teknologi mutakhir dalam bidang biologi molekuler bersamaan dengan penemuan terbaru metode produksi antibodi spesifik terhadap antigen di dalam serum dan kuning telur (yolk). Penelitian ini dilakukan guna melihat apakah suplementasi fraksi etil asetat rimpang temu kunci dapat meningkatkan produksi IgY anti AI pada burung puyuh petelur setelah diinduksi vaksin H5N1. PENDAHULUAN Sejak bulan Desember 2003, tingginya wabah flu burung dilaporkan telah merebak di Asia Tenggara (WHO, 2012). Penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus AI (Avian Influenza) jenis H5N1 pada unggas dikonfirmasikan telah terjadi di Indonesia, Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Belanda, Thailand, Kamboja, Laos, Cina dan Pakistan. Sumber virus diduga berasal dari migrasi burung dan transportasi unggas yang terinfeksi (Tabbu et al., 2000). Menurut menteri kesehatan RI, sejak 2005 sampai saat ini jumlah kasus AI subtipe H5N1 mencapai 191 kasus dengan 159 kematian (WHO, 2012). Beberapa usaha telah dilakukan untuk menangani kasus kematian hewan unggas akibat flu burung yang dapat menular kepada manusia, salah satunya dengan pemberian vaksin H5N1 terhadap hewan unggas. Akan tetapi, permasalahan yang timbul adalah, respon titer antibodi unggas terhadap vaksinasi ini masih rendah (Wibowo, 2008). Oleh karena itu perlu dilakukan eksplorasi penggunaan bahan alam sebagai sumber imunostimulator. Indonesia terkenal sebagai negara yang kaya akan bahan alam. Salah satu bahan alam yang memiliki potensi untuk diteliti adalah Temu Kunci (Boesenbergia pandurata (roxb)). Pengujian secara in vitro menunjukkan temu kunci dapat meningkatkan jumlah limfosit, antibodi spesifik, dan dapat membunuh sel kanker (Hartono, 1999). Kandungan kimia temu kunci terutama adalah senyawa golongan flavonoid (pinosembrin, pinostrobin, alpinetin, kardamomin dan METODE Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental bersifat laboratories dengan tema imunologi farmasetik. Dilakukan di Laboratorium Penelitian Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Laboratorium Virologi Balai Besar Veteriner. pada bulan Maret 2013 hingga bulan Juli 2013. Pembuatan fraksi etil asetat ekstrak temu kunci Rimpang temu kunci yang digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang yang berumur dewasa dan telah siap panen, temu kunci diperoleh dari perkebunan yang terletak didaerah Waduk 3 Sermo, Wates, Kulonprogo. Rimpang temu kunci dicuci bersih kemudian dipotong tipis-tipis secara vertikal untuk memudahkan proses pengeringan. Selanjutnya rimpang yang telah dipotong tipis kemudian dikeringkan dengan memanfaatkan sinar matahari yang telah ditutup kain hitam selama ± 2 hari hingga rimpang kering sempurna. Setelah itu rimpang diserbuk menggunakan blender yang selanjutnya disebut serbuk simplisia. Serbuk simplisia kemudian dimaserasi didalam bejana kaca menggunakan etanol 70% menggunakan perbandingan 1 : 5 selama 7 hari dengan sesekali diaduk tiap hari agar maserat homogen dan tersari sempurna. Setelah proses maserasi selesai, rendaman disaring menggunakan kain flanel untuk memisahkan serbuk simplisia dengan dengan maserat etanol 70%. Maserat etanol 70% yang telah tersari kemudian dikentalkan menggunakan waterbath hingga diperoleh ekstrak pekat fraksi etanolik 70% temu kunci. Fraksi etanolik 70% temu kunci dimaserasi didalam toples kaca menggunakan etil asetat dengan perbandingan 1 : 5 selama 3 hari dengan sesekali diaduk agar maserat homogen dan tersari sempurna. Selanjutnya maserat fraksi etil asetat dipisahkan dari randemen yang mengendap didasar bejana kaca. Maserat kemudian dipisahkan dari etil asetat menggunakan Vaccum Rotary Evaporator untuk mendapatkan hasil sari ekstrak temu kunci yang terlarut etil asetat sehingga diperoleh ekstrak pekat fraksi etil asetat temu kunci. Pembuatan sediaan uji Fraksi etil asetat ekstrak temu kunci dicampur dengan lactosum sebanyak 2,2 kali bobot fraksi etil asetat ekstrak temu kunci hingga homogen menggunakan mortir dan stamper. Fraksi kering terserbut kemudian dikapsulasi menggunakan kapsul ukuran 03 dengan 3 peringkat dosis yaitu 15,6 mg/puyuh, 39 mg/puyuh, dan 62,5 mg/puyuh. Sediaan kapsul disimpan didalam almari pendingin 2 – 8 °C jika tidak digunakan. Perlakuan hewan uji Burung puyuh yang digunakan adalah sebanyak 15 ekor dalam kandang baterai dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan. Tiap kelompok terdiri dari 3 ulangan secara individual. a. Kelompok T1 : Burung puyuh tanpa diinduksi vaksin AI H5N1, tanpa suplementasi fraksi etil asetat ekstrak temu kunci sebagai kontrol nol (0). b. Kelompok T2 : Burung puyuh diinduksi vaksin AI H5N1, tanpa suplementasi fraksi etil asetat ekstrak temu kunci sebagai kontrol negatif (-). c. Kelompok T3 : Burung puyuh diiduksi vaksin AI H5N1, diberi suplementasi fraksi etil asetat ekstrak temu kunci dosis 15,6 mg/puyuh/hari. d. Kelompok T4 : Burung puyuh diiduksi vaksin AI H5N1, diberi suplementasi fraksi etil asetat ekstrak temu kunci dosis 39 mg/puyuh/hari. e. Kelompok T5 : Burung puyuh diiduksi vaksin AI H5N1, diberi suplementasi fraksi etil asetat ekstrak temu kunci dosis 62,5 mg/puyuh/hari. 4 Burung puyuh diberi ransum pakan BR AD2 tanpa antibiotik dengan kandungan PK 15,57%, ME 2.850,25 kcal/kg, Ca 3,27%, dan P 1,08% serta diberi minum. Pengkondisian dilakukan dengan pemberian kapsul ekstrak temu kunci setiap jam 4 sore selama 7 hari. Setelah pengkondisian dilakukan vaksinasi menggunakan vaksin AI H5N1 (0,2 ml/puyuh) secara Intramuscular sebanyak 3 kali dalam jarak interval 4 minggu dan dilakukan pemberian kapsul ekstrak temu kunci pada kelompok T3, T4, dan T5 selama 12 minggu. (b/v) PEG 6000 dalam buffer A, lalu disentrifugasi pada 14000 g selama 10 menit, T = 4° C. Supernatan yang diperoleh disaring dengan kain kassa double, ditambahkan PEG 6000 padatan sampai konsentrasi akhir 12%, diaduk sampai larut. Kemudian disentrifuge 14000 g selama 10 menit, T = 4°C. Pelet yang diperoleh dilarutkan dalam 1 ml buffer A dan juga ditambahkan 1 ml 24% PEG dalam buffer A. Suspensi yang terbentuk disentrifugasi pada 14000 g selama 10 menit pada T = 4°C (Gassmann et al., 1990). Supernatan dibuang dan pelet yang diperoleh dilakukan uji HI Test. Pengambilan sampel Pada penelitian ini perlakuan dilakukan selama 12 minggu, dengan pengukuran titer antibodi pada minggu ke-12. Hal ini mengacu pada SOP (Standard Operational Procedure) untuk pengendalian penyakit Avian Influenza yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, yang menyatakan bahwa keberhasilan vaksinasi dapat diketahui dengan memeriksa adanya antibodi setelah 3 sampai 4 minggu setelah vaksinasi. Perulangan vaksinasi dilakukan setiap 3 hingga 4 bulan agar level antibodi tetap tinggi (Dirjen Peternakan, 2006). Untuk setiap kelompok perlakuan diambil 4 telur dari tiap ulangan yang diperoleh pada minggu ke-12 untuk diisolasi IgY-nya dengan metode presipitasi PEG. Pengukuran Titer Isolat IgY dengan HI Test a. Tahap preparasi RBC (Red Blood Cells) 1 % Darah puyuh yang sebelumnya telah dicampur dengan Na sitrat 3,8% dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dimasukkan PBS hingga penuh. Suspensi darah disentrifugasi selama 10 menit pada kecepatan 2000 rpm. Supernatan yang dihasilkan diambil kemudian tabung berisi pelet darah kembali diberi PBS hingga penuh dan dihomogenkan dengan cara membentuk angka 8. Suspensi kembali disentrifugasi pada kecepatan 200 rpm selama 10 menit. Pencucian pelet tersebut dilakukan tiga kali. Setelah supernatan terakhir dibuang, pelet yang dihasilkan diukur volumenya dengan menggunakan pipet. Pelet darah diencerkan menjadi konsentrasi 50% atau 40% (v/v) dan dihomogenkan. Digunakan pipa kapiler untuk mengambil Isolasi IgY dengan Metode Presipitasi PEG Kuning telur dipisahkan dari putih telur kemudian ditambahkan 2 ml buffer A dan dicampur dengan baik. Selanjutnya ditambahkan 2 ml 7% 5 kemudian dimasukkan 25 μl RBC 1% ke dalam setiap sumur. Microplate dihomogenkan dengan menggunakan plate shaker selama 10 detik kemudian diinkubasi selama 60 menit pada suhu 4°C. Hasil titer virus AI yang terbaca kemudian dilakukan pengenceran pada virus AI tersebut dengan menggunakan rumus: Titer HAU/4 = X kali faktor pengenceran untuk 4 HAU = Yμl antigen + Z μl PBS Hasil pengenceran virus AI standard dikonfirmasi dengan mentitrasi kembali sesuai dengan prosedur uji HA (CVI, 2010). c. Tahap Haemaglutination Inhbition Test Uji serologis ini digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen virus H5N1 yang diketahui titernya sekaligus mengetahui nilai titer IgY spesifik pada kuning telur burung puyuh. Sampel kuning telur burung puyuh sebelumnya diencerkan dengan menggunakan PBS dengan perbandingan 1 : 2 kemudian dihomogenkan dengan menggunakan vortex. Selanjutnya larutan kuning telur burung puyuh tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 10 menit dan diambil supernatannya (Soejoedono 2005). Pengujian HI menggunakan microplate 96well “U” bottom. Semua sumur diisikan 25 μl PBS dengan menggunakan mikropipet. Selanjutnya pada sumur 1 diisi supernatan kuning telur burung puyuh sebanyak 25 μl dan suspensi dan disentrifugasi untuk mengonfirmasi konsentrasi pengenceran. Suspensi yang telah dikonfirmasi konsentrasinya tersebut kembali diencerkan menjadi konsentrasi 5% kemudian dikonfirmasi kembali dengan menggunakan pipa kapiler. Selanjutnya diencerkan kembali menjadi konsentrasi 1% dan disimpan pada suhu 4°C (CVI 2010). b. Tahap uji hemaglutinasi (HA) Uji HA digunakan untuk membuat virus AI standard 4 HAU. Pengujian HA menggunakan microplate 96well “U” bottom. Sebanyak 25 μl PBS dimasukkan ke dalam sumur baris A hingga F, kolom 2 hingga 12. Dimasukkan masingmasing 25 μl sampel virus AI ke dalam sumur A1 hingga E1 serta A2 hingga E2 kemudian dihomogenkan sebanyak 5x dengan menggunakan mikropipet. Selanjutnya 25 μl PBS dimasukkan pada sumur B2 dan dihomogenkan sebanyak 10x dengan menggunakan mikropipet kemudian diambil kembali sebanyak 25 μl sampel pengenceran (sebanyak volume PBS yang dimasukkan). Sebanyak 75 μl PBS dimasukkan pada sumur C2, 125 μl PBS ke dalam sumur D2, 175 μl PBS ke dalam sumur E2 dan dilakukan prosedur yang sama dengan sumur B2. Selanjutnya dilakukan pengenceran kelipatan dua sebanyak 25 μl dari sumur A2–E2 hingga sumur A12–E12. Sebanyak 25 μl PBS dimasukkan ke semua sumur 6 dihomogenkan dengan menggunakan mikropipet. Selanjutnya dilakukan pengenceran kelipatan dua sebanyak 25 μl hingga sumur 8. Semua sumur diisikan virus AI standard 4 HAU sebanyak 25 μl kemudian diinkubasi selama 60 menit pada suhu 4°C. Selanjutnya semua sumur diisikan masing-masing 25 μl RBC 1%, dihomogenkan dengan cara digoyang-goyangkan dan diinkubasi pada suhu 4°C selama 60 menit. Reaksi dibaca dengan cara menegakkan microplate 90° (CVI, 2010). Pengukuran Titer Antibodi IgY Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 15 ekor burung puyuh Coturnix coturnix yang terbagi dalam 5 kelompok perlakuan. Keadaan lingkungan, umur, strain, dan pakan dikondisikan dalam keadaaan yang sama, dimaksudkan untuk mengendalikan variabel agar hasil riset tidak bias. Pada saat vaksinasi semua sampel diasumsikan tidak memiliki titer antibodi terhadap AI. Dapat diartikan bahwa semua sampel belum mendapat paparan virus AI baik dari lingkungan sekitar maupun dari vaksin. Titer antibodi diukur pada minggu ke-12 setelah vaksinasi mengacu kepada keputusan Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian yang menyebutkan bahwa keberhasilan vaksinasi dapat diketahui dengan memeriksa adanya antibodi setelah 3 sampai 4 minggu setelah vaksinasi. Perulangan vaksinasi dilakukan setiap 3 hingga 4 bulan agar level antibodi tetap tinggi (Dirjen Peternakan, 2006). Hasil Uji Hemaglutinasi Inhibisi kuning telur burung puyuh setelah vaksinasi secara intra muscular dengan dosis 0,2 mL menggunkan vaksin AI subtipe H5N1 tertera pada tabel 1. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Determinasi Tanaman Determinasi tanaman bahan uji dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan kebenaran bahan uji yang dipergunakan dalam penelitian ini. Identifikasi tanaman bahan uji dilakukan di Bagian Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada pada tanggal 28 Mei 2013. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa tanaman yang digunakan sebagai bahan uji adalah benar temu kunci (Boesenbergia pandurata (roxb)) dari suku Zingiberaceae. Tabel 1. Rata-rata titer antibodi IgY anti AI H5N1 Replikasi I II III Rerata Perlakuan K0 0 0 0 0±0.00 K- 4 2 4 3.33±1.15 TK 15.6 mg 16 8 16 13.33±4.62 TK 39 mg 32 32 32 32±0.00 TK 62.5 mg 16 16 16 16±0.00 Kelompok 7 Keterangan : Kelompok K0 : Tanpa pemberian kapsul ekstrak temu kunci dan tanpa diinduksi vaksin AI H5N; Kelompok K - : Tanpa pemberian kapsul ekstrak temu kunci dan diinduksi vaksin AI H5N1; TK 15,6 mg, TK 39 mg, dan TK 62,5 mg berurutan : Diberi kapsul ekstrak temu kunci 15,6 mg/ekor, 39 mg/ekor, 62,5 mg/ekor dan semuanya diberi vaksin AI H5N1. Dari hasil analisis data menggunakan Kruskal-Wallis Test diketahui bahwa terdapat perbedaan signifikan (P<0,05) titer antibodi IgY terhadap terhadap lima kelompok perlakuan. Pada uji Mann-Whitney Test terdapat perbedaan signifikan (P<0,05) titer antibodi IgY antara kelompok K0 dan K(-). Hal ini dapat diartikan bahwa terjadi peningkatan titer antibodi burung puyuh kelompok kontrol negatif (K-) terhadap kelompok kontrol nol (K0). Pemberian suplementasi ekstrak temu kunci fraksi etil asetat dosis 15,6 mg/ekor, 39 mg/ekor, dan 62,5 mg/ekor, kesemuanya telah terjadi perbedaan signifikan (P<0,05) terhadap kelompok K0 dan K(-). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak temu kunci fraksi etil asetat pada semua dosis mampu meningkatkan titer antibodi burung puyuh yang diinduksi vaksin AI H5N1. Diketahui pada kelompok TK 39 mg/ekor memberikan nilai rata-rata HI Test tertinggi yaitu 32. Selain itu antibodi yang dihasilkan oleh kelompok TK 39 mg/ekor setelah vaksinasi bersifat protektif. Titer antibodi dinyatakan protektif apabila pengukuran titer antibodi setelah vaksinasi lebih besar dari 16 (24) (Braytenbach, 2005). Tingkat keberhasilan vaksinasi dipengaruhi oleh kualitas vaksin, program vaksinasi, kondisi unggas saat divaksinasi, dan jenis unggas yang divaksin. Vaksin AI berisi virus inaktif dalam adjuvant minyak mineral. Hal tersebut menyebabkan respon imun timbul lebih lama serta titer antibodi yang dihasilkan lebih rendah bila dibandingkan dengan infeksi virus aktif (Anonim, 2014). 35 ** 30 NIlai HI 25 ** 20 ** 15 10 5 0 Kontrol Nol Kontrol TK 15,6 TK 39 Kelompok Perlakuan TK 62,5 Gambar 1. Rerata nilai HI Test dari isolate IgY yang menggambarkan produksi IgY anti-AI antar kelompok perlakuan. Keteranangan : *P<0.05 Terdapat perbedaan titer antibodi IgY yang bermakna terhadap kontrol nol. *P<0.05 Terdapat perbedaan titer antibodi IgY yang bermakna terhadap kontrol negatif. 8 yang diperoleh dari fraksinasi hasil maserasi serbuk simplisia dengan pelarut Etanol 70%. Fraksi etil asetat ekstrak temu kunci (Boesenbergia pandurata (roxb)) ditujukan untuk memisahkan senyawa-senyawa spesifik terlarut yang mampu meningkatkan titer antibodi IgY pada burung puyuh yang telah diinduksi vaksin AI H5N1. Pada Gambar 1 menyatakan bahwa rerata peningkatan titer antibodi mulai dari yang tertinggi hingga terendah secara berurut pada pemberian fraksi etil asetat ekstrak temu kunci adalah pada dosis 39 mg/puyuh, 62,5 mg/puyuh, dan 15,6 mg/puyuh. Histogram pada Gambar 1 menunjukkan titer antibodi yang dimulai dari kelompok nol, kelompok negatif, kelompok perlakuan pemberian ekstrak temu kunci dosis 15,6 mg/puyuh dan 39 mg/puyuh telah terjadi peningkatan secara berturut. Terkecuali pada pemaparan dosis 62,5 mg/puyuh terjadi penurunan titer antibodi. Suplementasi ektrak temu kunci fraksi etil asetat dosis 62,5 mg/puyuh tidak berefek dalam peningkatkan titer antibodi secara signifikan. Hal ini bisa saja disebabkan oleh pemberian dosis yang terlalu tinggi akan menjadi bersifat down regulation pada proses sintesa IgY dalam sel. Peningkatan titer antibodi IgY pada penelitian telur burung puyuh yang telah diinduksi vaksin AI H5N1 dan pemberian suplemen fraksi etil asetat ekstrak temu kunci dengan dosis yang efektif yaitu 39 mg/puyuh dapat meningkatkan produksi IgY yang diduga melalui mekanisme peningkatan produktivitas sel limfosit B. Peningkatan titer antibodi Pembahasan Salah satu bidang baru dalam farmakologi yang masih dalam tingkat eksplorasi dan perdebatan adalah imunomodulator (Immunomodulating agents) yaitu mengembangkan bahan yang dapat meningkatkan respon imun daripada menekannya. Imunomodulator adalah bahan (obat) yang dapat mengembalikan ketidakseimbangan sistem imun. Cara kerja imunomodulator adalah mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu (imunrestorasi), memperbaiki fungsi sitem imun (imunostimulasi) dan menekan respons imun (imunosupresi). Kandungan dalam rimpang temu kunci sangatlah bervariasi, sehingga memiliki lebih dari satu efek farmakologis dan efek yang timbul tergantung senyawa yang memiliki aktivitas paling dominan. Secara teoritis rimpang temu kunci mengandung minyak atsiri yaitu metilsinamat, kamper, sineol, dan terpena. Di samping minyak atsiri, temu kunci mengandung saponin dan flavonoid (Chairul et al., 1996). Senyawa-senyawa yang mempunyai prospek cukup baik biasanya berasal dari golongan flavonoid, kurkumin, limonoid, vitamin C, vitamin E (tokoferol), dan katekin yang bisa digunakan sebagai obat antikanker. Senyawa-senyawa tersebut biasanya bermanfaat pula sebagai antioksidan (Aldi et al. 1996). Pengujian secara in vitro menunjukkan temu kunci dapat meningkatkan jumlah limfosit, antibodi spesifik, dan dapat membunuh sel kanker (Hartono 1999). Dalam penelitian ini digunakan fraksi etil asetat rimpang temu kunci 9 ini dimungkinkan oleh kandungan senyawa aktif yang terlarut dalam ekstrak temu kunci fraksi etil asetat yang bersifat kompleks mampu menstimulasi pembentukan antibodi. Kandungan flavonoid dalam fraksi etil asetat rimpang temu kunci merupakan faktor utama yang bertindak sebagai agen imunomodulator. Kandungan flavonoid seperti halnya karotenoid, berpotensi sebagai antioksidan pada pertumbuhan tumor dengan cara meningkatkan respon imun (Robinovitc, 1995). Pada penelitian bahan alam lain yang mengandung flavonoid, seperti meniran (Phyllanthus niruri L.) memiliki kemampuan dalam memperbaiki sistem imun dan alkaloid bersifat sebagai imunostimulan (Iaconelli dan Simmen, 2002). Saponin dapat digunakan sebagai adjuvant, dengan menginduksi respon sel Th2. Efek adjuvant yang muncul tergantung dari jumlah saponin yang berikatan dengan protein antigen (Marciani, 1999). Adjuvant digunakan untuk memeperkuat imunogenesitas vaksin, dengan memperbanyak dan memperbesar respon dari sistem imun terhadap vaksin (Tizard, 1988). Sel Th2 melepaskan berbagai sitokin yang penting untuk menstimulasi respon antibodi (Wahab dan Julia, 2002). Sitokin yang terbentuk adalah IL-1 dan IL-2 yang berperan dalam mekanisme pembentukan antibodi. Sehingga pada penelitian ini kemungkinan aktivitas imunostimulator yang terjadi berasal dari berbagai metabolit sekunder dalam rimpang temu kunci yang terkandung dalam fraksi etil asetat rimpang temu kunci (Boesenbergia pandurata (Roxb). DAFTAR PUSTAKA Aldi, Y., N.C. Sugiarto, S. Andreanus A., dan A.S. Ranti. 1996. Uji efek antihis tonninergik dari tanaman Andrographis paniculata Ness. Warta Tanaman Obat Indonesia 3(1): 17-19. Anonim, 2014, Purifikasi neuraminidase virus influenza H5N1 dan efikasi beberapa vaksin AI, http://bbalitvet.litbang.deptan.go.i d/ind/. [31 Maret 2014] Braytenbach, J.H., 2005, Guidelines for the Administration of Nobilis Influenza H5 Vacccine as Part of an Avian Influenza Control Strategy, Intervet International b.v, Netherland Chairul, M. Harapini, dan Shinta, 1996, Analisis komponen kimia dari temu putri dan temu kunci, Prosiding Simposium Penelitian Bahan Obat Alami, VIII, Perhimpuan Penelitian Bahan Obat Alami, Bogor, hlm, 628-634. Dirjen Peternakan, 2006, Prosedur Operasional Standar (SOP) Pengendalian Penyakit AI, 25-26. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta. Hartono, A. 1999. Terapi nutrisi dan herbal untuk kanker. Intisari 435 (36): 44-53. Iaconelli, S., Simmen B., 2002, Taste thresholds and suprathreshold responses to tanin-rich plant extracts and quinine in a primate species (Microcebus murinus), J Chem Ecol; 28(11). Marciani, D.J., 2000, Immunostimulating and Vaccine Compositions Employing Saponin Analog Adjuvants and Uses 10 Thereof, http://www.freepatentsonline.com Plantus, 2008, Fingerroot (Boesenbergia pandurata Roxb. Schult). http://www.ccrc.farmasi.ugm. ac.id/?page_id=166. [29 May 2013] Robinovitch, M., Proffesional and non- Proffesional Phagocytes an Introduction, Trends In Cell Biology; 1995. Vol : 5, Hal. 8587. Tabbu, C. R., 2000, Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Penyakit Bakterial, Mikal, dan Viral. Edisi II, Vol. 1, Hal. 232-244, Kanisius, Yogyakarta. Tizard, I.R., 1988, Pengantar Imunologi Veteriner, Ed Kedua, 69-70, Saunders Company, London. Wahab, A.S., dan Julia, M., 2002, Sistem Imun, Imunisasi, dan Penyakit Imun, Widya Medika, Jakarta. WH0, 2012, Influenza at The Human-Animal Interface, http://www.who.int/influenza /human_animal_interface/en/. [14 May 2013] 11