55 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Informan Untuk memaparkan studi kualitatif (termasuk studi fenomenologis), ‘Creswell’ seperti dikutip Kuswarno 85 (2009: 153) menganjurkan bahwa penjelasan diawali dengan gambaran umum termasuk di dalamnya tentang informan yang terlibat. Oleh karena itu, perlu dikemukakan secara ringkas bagaimana profil atau deskripsi para subyek penelitian (yaitu lima Public Relations Officer perempuan yang menjadi informan pada penelitian ini). Berikut ini adalah deskripsi dari masing-masing PRO perempuan informan yang menjadi subyek penelitian dalam penelitian ini. Informan 1 (IR) adalah seorang PRO perempuan yang bekerja di sebuah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Jakarta. Ia memiliki latar belakang pendidikan Sarjana Hukum (SH) dari Fakultas Hukum salah satu Universitas Negeri di Jawa Timur. Kemudian ia menyelesaikan Program Magisternya (S2) jurusan Ilmu Komunikasi dengan peminatan Manajemen Komunikasi dan Public Relations (PR) di salah satu Universitas Negeri terkemuka di Jakarta. Ia mengawali karirnya pada tahun 1999 sebagai tenaga pengajar (dosen) di Fakultas Ilmu Komunikasi pada program studi public relations (PR) di salah satu PTS di Jakarta. Sebagai akademisi yang mempunyai dedikasi, pada tahun 2006 selain sebagai dosen ia juga dipromosikan untuk menempati posisi Kepala Biro Humas dan Sekretariat 85 Engkus Kuswarno. Metode Penelitian Komunikasi: Fenomenologi: Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian. Penerbit Widya Padjadjaran. 2009 hal: 153 55 56 Universitas hingga sekarang. Selain itu, di luar kampus ia juga menjadi konsultan komunikasi dan aktif dalam organisasi profesi kehumasan. Informan 2 (DM) adalah PRO perempuan yang bekerja di sebuah PTS yang berlokasi di Jakarta Selatan. Ia menyelesaikan program sarjananya (S1) di Fakultas Ilmu Komunikasi jurusan jurnalistik di salah satu Universitas Negeri di Bandung Jawa Barat. Kemudian ia mengambil program Magister Ilmu Komunikasi dengan peminatan manajemen komunikasi dan media di FISIP salah satu Universitas Negeri terkemuka di Jakarta, dan ia selesaikan pada tahun 2011. Sebelum menjalani profesi barunya di bidang kehumasan (PR), ia berprofesi jurnalis selama lima tahun di salah satu surat kabar harian nasional di Jakarta. Sejak tahun 2010 hingga sekarang ia menjadi praktisi PR dengan posisi sebagai Kepala Divisi Humas pada ‘Unit Pelaksana Teknis Marketing and Public Relations’ (UPT MPR) salah satu PTS yang sudah cukup tua di Jakarta. Selain sebagai praktisi PR, ia juga menjadi tenaga pengajar (dosen) di PTS tersebut. Informan 3 (LI) adalah PRO perempuan yang bekerja di salah satu PTS yang cukup terkenal di Jakarta yang berlokasi di Jakarta Barat. Ia menyelesaikan Program Sarjananya (S1) tahun 2002 di STISIP Jakarta jurusan Ilmu Komunikasi dengan peminatan public relations (PR). Kemudian ia mengambil program Magister Ilmu Komunikasi (S2) pada peminatan yang linier dengan program S1 nya di FIKOM salah satu Universitas swasta di Jakarta dan ia selesaikan pada tahun 2006. Ia mengawali karirnya di bidang kehumasan pada tahun 2002 dengan menjadi staf humas di almamaternya. Setelah merampungkan program S2 nya, ia dipercaya untuk menjadi PR manager pada Divisi Kehumasan dan Kerja sama. 57 Informan 4 (AF) adalah seorang praktisi PR perempuan di salah satu Universitas Swasta yang cukup ternama di Jakarta. Ia berlatar belakang pendidikan S1 Ekonomi Manajemen Pemasaran dari Fakultas Ekonomi Universitas Swasta di Jakarta yang kemudian menjadi tempat pengabdiannya hingga sekarang. Saat ini, ia juga masih tercatat sebagai mahasiswa pada Program Pasca Sarjana di Fakultas Ilmu Komunikasi dengan peminatan “Marketing Communication” salah satu Universitas Swasta di Jakarta. Ia telah berkiprah di bidang kehumasan hampir 23 tahun, dan sekarang ia menempati posisi Kepala Bagian Humas di PTS yang menjadi almamaterya sekaligus tempat pengabdiannya sejak 23 tahun lalu. Infroman 5 (IB) adalah praktisi PR perempuan yang bekerja di salah satu Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) di Jakarta Timur. Ia berlatar belakang Sarjana Ekonomi Pemasaran dari STIE yang menjadi tempat pengabdiannya sekarang. Ia telah berkiprah di bidang kehumasan sejak tahun 2010 sebagai staf humas pada Divisi kehumasan STIE tersebut. 4.2 Analisa Hasil Penelitian 4.2.1 Peran PRO Perempuan Informan Public Relations (PR) mempunyai peran dan fungsi yang cukup strategis bagi kehidupan, efektifitas, dan keberlangsungan suatu perusahaan (organisasi) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan penjelasan para ahli, ada dua kategori peran PR yang utama dalam public relations (PR), kedua peran 58 tersebut adalah: peran teknisi (technician role) dan peran manajerial (managerial role). Peran teknisi berkenaan dengan aktivitas atau tugas-tugas yang dijalankan oleh seorang praktisi PR (humas) di perusahaan (organisasi) dari sisi pekerjaan teknis, seperti: menulis dan mengedit, melakukan riset, kontak media, menyelenggarakan event (acara spesial), pidato, dan training. Sedangkan peran manajerial (managerial role) berkaitan dengan fungsi-fungsi manajemen yang melekat pada manajemen perusahaan (organisasi). Fungsi-fungsi tersebut antara lain: memelihara hubungan harmonis antara organisasi dengan khalayak sasaran; Mengidentifikasi segala sesuatu yang berkaitan dengan opini, persepsi dan tanggapan masyarakat terhadap organisasi yang diwakilinya, atau sebaliknya; dan Melayani keinginan publiknya dan memberikan sumbang saran kepada pihak manajemen demi tujuan dan manfaat bersama. Berikut ini adalah peran PR yang dijalankan oleh masing-masing PRO perempuan informan yang menjadi subyek penelitian dalam penelitian ini. Menurut IR, peran PR dalam menjalankan kegiatan-kegiatan kehumasan di perusahaannya (organisasinya) adalah sebagai Fasilitator komunikasi, Media Relations, Teknisi komunikasi, dan Peran expert. Sebagaimana penuturan IR berikut ini, “Peran saya sebagai Kabiro Humas adalah kombinasi antara lain: Fasilitator komunikasi, Media Relations, Teknisi komunikasi, dan Peran expert (expert communication)”. 59 Selain itu, IR mengatakan bahwa peran PR adalah sebagai ‘manajerial komunikasi (communication manager)’ walaupun prosentasenya sangat kecil jika dibandingkan dengan peran-peran yang lain. Seperti penuturan IR berikut ini, “Kalau untuk ‘manajerial komunikasi’ dilakukan tapi tidak rutin dilakukan, untuk managerial komunikasi hanya untuk kasus tertentu saja”. Selanjutnya, DM secara lebih spesifik mengatakan bahwa peran PR adalah sebagai teknisi komunikasi dalam arti peliputan media atau teknisi publikasi. Berikut ini adalah penuturan DM, “Emm… ya ‘I know’, kalau dari empat peran itu.., mungkin emm…kalau kami di sini lebih ke peliputan media, jadi yang dominan lebih ke teknisi komunikasi untuk publikasi dalam arti teknisi publikasi, peliputan media”. Selain sebagai teknisi komunikasi khususnya yang terkait dengan media, DM juga menuturkan bahwa peran PR adalah sebagai “counselor” yang berfungsi memberikan masukan-masukan atau saran kepada pihak manajemen khususnya pimpinan perusahaan (organisasi) terkait dengan apa yang sebaiknya dilakukan dan bagaimana melakukannya jika organisasi menghadapi masalah atau mengalami krisis. Sebagaimana dituturkan DM berikut ini, “...untuk peran ‘counselor’ saya jalankan juga namun prosentasenya sangat kecil. Saya juga memberikan saran kepada pimpinan lembaga misalnya untuk menggunakan media apa gitukan, dalam menangani “crisis”. Berbeda dengan IR dan DM, menurut LI peran PR adalah sebagai penghubung antara perusahaan (lembaga) dengan publik eksternal, khususnya terkait dengan media (publik media). Seperti penuturan LI berikut ini, 60 ”Kalau di sini, saya dikasih job hanya untuk berhubungan dengan publik eksternal (khususnya hubungan media)”. Selain peran penghubung, LI mengatakan bahwa secara spesifik ia juga bertanggung jawab untuk penyelenggaraan acara-acara spesial (special events) yang terkait dengan pengenalan dan promosi program-program lembaganya kepada khalayak sasaran. Seperti penuturannya berikut ini, ”...kalau saya spesifikasinya lebih ke ’event’, ngurusin mahasiswa mau magang”. Sementara itu, menurut AF peran PR adalah sama dengan marketing atau sales yang berfungsi mempromosikan dan menawarkan program-program lembaga kepada publik atau khalayak sasaran terutama para siswa di sekolahsekolah yang menjadi mitra lembaganya. Seperti dituturan AF berikut ini, “…Kalau menurut saya PR itu sama dengan sales, secara khusus saya bertanggung jawab untuk rekrutmen kelas reguler karena untuk kelas karyawan ada orang lain yang meng-handlenya. Tugas-tugas saya terutama terkait dengan rekrutmen calon mahasiswa baru antara lain: melakukan orientasi dan ’try out’ dengan cara ’door to door’ ke sekolahsekolah yang menjadi mitra lembaga. Jadi tugas saya lebih banyak bagaimana memperkenalkan dan mempromosikan lembaga kepada khalayak”. Informan lain, IB ternyata mengungkapkan hal yang hampir sama dengan LI dan AF, menurutnya peran PR adalah sebagai penghubung antara perusahaan (lembaga) dengan pihak luar (publik eksternal), menurut IB PR bertugas untuk mengkomunikasikan program-program kehumasan kepada khalayak sasaran. Seperti ia tuturkan berikut ini, “…mengkomunikasikan program-program lembaga kepada publik eksternal khususnya ke sekolah-sekolah SMU untuk menjaring para calon 61 mahasiswa baru. Kegiatan yang dilakukan antara lain presentasi program-program, melakukan ‘try out’ bagi para siswa SMU, memfasilitasi Ujian Nasional, mengadakan pameran pendidikan. Dan juga bersama staf lain membuat dan mempersiapkan materi-materi presentasi (seperti: media: brosur, dsb)”. Tabel 1 Peran PR yang dijalankan PRO perempuan informan No Informan Peran PR Communication facilitator 1 IR Sebagai penghubung dengan public media Expert prescriber Problem solving facilitator Communication technician a. Handling crisis b. Menghadapi kelompok kepentingan (FORKABI) a. Mengadakan konfrensi pers b. Membuat ’press release’ c. Monitoring liputanliputan media d. Media monitoring e. Advetorial f. Iklan TV g. Media breafing , media gathering, serta iklan cetak h. Menulis pesan website, FB i. Perayaan ulang tahun j. Menyelenggar akan event tahunan seperti festival k. Handling complaint (CR) l. Handling tamu dari luar negeri m. Melakukan studi banding n. Membuat program kampanye, dsb. 62 2 DM Sebagai penghubung dengan media Memberi masukan kepada direktur untuk penanganan krisis, bagaimana meng-counter pemberitaan di media Handling crisis a. Survey b. Media relations c. Iklan (above & below the line) d. Menulis pesan di website dan media online, membuat majalah, dan jurnal 3 LI Sebagai penghubung dengan public eksternal yaitu sekolah-sekolah sasaran Handling crisis a. Mengkordinas ikan acara special b. Mengatur perjalanan ke luar negeri (protokoler, menyiapkan itinerary) c. Mmembuat news letter d. Mendampingi studi lapangan, dsb. 4 AF Sebagai penghubung dengan public eksternal yaitu sekolah-sekolah yang menjadi mitra lembaga a. Melakukan orientasi, ‘Try out’ di sekolah mitra b. Mengadakan acara special (pameran pendidikan) c. Menyiapkan materi presentasi 5 IB Mengkomunika sikan programprogram lembaga kepada publik eksternal khususnya sekolah-sekolah yang menjadi mitra/target a. Presentasi program b. Try out di sekolahsekolah c. mengadakan pameran pendidikan d. Memfasilitasi ujian nasional e. Membuat 63 materi presentasi f. Membuat brosur g. Negosiasi dengan pihak sekolah h. Survey biaya studi yang dibebankan competitor kepada mahasiswa Berdasarkan data seperti terangkum pada table 1 di atas, ternyata sebagian besar PRO perempuan informan menganggap/melihat dirinya dominan dalam peran sebagai teknisi komunikasi (communication technician) dan penghubung (liaison) dengan publik eksternal (khalayak sasaran). Dari data di atas juga terlihat jelas bahwa mayoritas PRO perempuan tidak menjalankan peran manajerial (managerial role), walaupun ada sebagian kecil informan yang menjalankan peran manajerial, namun prosentasenya sangat kecil jika dibandingkan dengan peran teknisi (technician role). 4.2.2 Fungsi PR yang dijalankan PRO perempuan informan Seorang PR specialist dalam suatu perusahaan (organisasi) selain memiliki peran yang cukup penting untuk menopang kehidupan dan keberlangsungan organisasi (perusahaan), praktisi PR juga memiliki fungsi strategis untuk menciptakan hubungan yang saling menguntungkan antara perusahaan dengan publiknya. Berdasarkan penjelasan para ahli, fungsi PR antara lain adalah: Melayani keinginan publiknya dan memberikan sumbang saran kepada pimpinan manajemen demi tujuan dan manfaat bersama; Menciptakan komunikasi timbal 64 balik, mengatur arus informasi, publikasi serta pesan dari organisasi kepada publiknya atau sebaliknya, demi tercapainya citra positif bagi kedua belah pihak. Terkait dengan fungsi PR, berikut ini adalah fungsi PR yang dijalankan oleh masing-masing PRO perempuan informan di lembaga (organisasi) yang bersangkutan: IR mengatakan bahwa ia menjalankan beberapa fungsi PR di lembaganya, antara lain: Media relations (hubungan media), government relations (hubungan pemerintah), community relations (hubungan komunitas), consumer relations (hubungan pelanggan). Seperti penuturan IR berikut ini, “Untuk fungsi, saya di Humas itu banyak yah, saya menjalankan fungsi: ‘Media relations’, ‘Community relations’, ‘Government relations’, kecuali “Employee relations” saya tidak pegang karena ditangani oleh bagian SDM (HRD). Fungsi yang lain saya juga betanggung jawab untuk protokoler, dokumentasi, publikasi dan sosialisasi, ’handling event’, dan ’consumer relations”. Selanjutnya, LI mengungkapkan bahwa fungsi PR yang ia jalankan di perusahaannya lebih fokus pada hubungan dengan publik eksternal terutama publik media (media relations). Selain itu, LI menjelaskan bahwa ia juga menjalankan fungsi konseling untuk memberi masukan-masukan kepada pihak manajemen, namun hal tersebut ia lakukan tidak secara langsung. Sebagaimana ia tuturkan berikut ini, ”Fungsi yang saya jalankan lebih ke ’Media Relations’ (MR) dan eventevent, kalau untuk memberikan masukan-masukan kepada manajemen, biasanya lewat direktur ”Promosi dan Humas” jadi yang memberikan masukan direktur saya, jadi gak langsung. Kalau dulu sih bisa langsung ke owner/manajemen, karena sekarang beda manajemen, dan direktur saya humas juga kan ”direktur promosi dan humas kerja sama”. 65 Sementara itu, DM mengungkapkan hal senada dengan LI bahwa fungsi PR yang ia jalankan lebih pada hubungan media (Media relations), termasuk fungsi konseling walaupun hanya untuk kasus-kasus tertentu saja khususnya yang terkait dengan pemberitaan media, misalnya bagaimana meng-counter sebuah pemberitaan yang menyangkut citra lembaganya. Selain itu, ia juga menjalankan fungsi marketing. Berikut ini adalah penuturan DM, “..Untuk fungsi konseling saya jalankan juga namun prosentasenya sangat kecil. Saya juga memberikan saran kepada pimpinan lembaga misalnya untuk menggunakan media apa gitukan dalam meng-handle “crisis”, bagaimana menghandle medianya, atau bagaimana meng-counter sebuah pemberitaan, dan bagaimaana menciptakan ‘brand image’ yang bagus karena kami di sini juga divisi marketing”. Informan lain, AF menuturkan bahwa walaupun sebagai kabag humas namun secara dominan ia menjalankan fungsi pemasaran (marketing), seperti bagaimana memperkenalkan dan mempromosikan program-program lembaganya kepada khalayak sasaran. Seperti diungkapkan AF berikut ini, ”Secara khusus saya bertanggung jawab untuk rekrutmen kelas reguler karena untuk kelas karyawan ada orang lain yang meng-handlenya. Tugas-tugas saya terutama terkait dengan rekrutmen calon mahasiswa baru antara lain: melakukan orientasi dan ’try out’ dengan cara ’door to door’ ke sekolah-sekolah yang menjadi mitra lembaga. Jadi tugas saya lebih banyak untuk memperkenalkan dan mempromosikan lembaga kepada khalayak”. Ternyata, IB mengatakan hal yang sama dengan AF bahwa secara spesifik tugas-tugas yang ia jalankan lebih terkait dengan fungsi marketing. IB juga melakukan kegiatan yang sama dengan AF yaitu memperkenalkan dan mempromosikan program-program lembaganya kepada khususnya para siswa SMU. Berikut ini adalah penuturan IB, khalayak target 66 “Sebagai staf “Humas” secara umum tugas-tugas yang saya lakukan adalah mengkomunikasikan program-program lembaga kepada public eksternal khususnya ke sekolah-sekolah SMU untuk menjaring para calon mahasiswa baru. Kegiatan yang dilakukan antara lain presentasi program-program lembaga, melakukan ‘try out’ bagi para siswa SMU, memfasilitasi Ujian Nasional, mengadakan pameran pendidikan”. Table (2) Fungsi PR yang dijalankan PRO perempuan informan No Fungsi PR PRO informan IR DM LI 1 Counseling √ √ 2 Media relations √ √ √ 3 Government relations √ 4 Community relations 5 Comsumer relations 6 Employee relations 7 Marketing communication √ √ AF IB √ √ √ √ Data yang terangkum pada table 2 di atas memperlihatkan bahwa mayoritas PRO perempuan informan menjalankan fungsi marketing (marketing communication) secara dominan. Berdasarkan hasil analisis data, sebagian besar kegiatan kehumasan yang dijalankan oleh mayoritas PRO perempuan informan terlihat jelas mencerminkan fungsi marketing dimana mereka melakukan kombinasi kegiatan yang didesain untuk menjual layanan (service) dan programprogram lembaganya (organisasi) kepada khalayak sasaran seperti kegiatan pameran pendidikan, festival, special event, dan kegiatan promosi lainnya seperti melalui pesan-pesan di website dan social media (FB). 67 4.2.3 Tugas PR yang dijalankan oleh PRO perempuan informan Seorang PRO (PR specialist) sesuai dengan peran dan fungsinya, maka ia harus menjalankan sejumlah kegiatan dan tugas-tugas harian untuk mencapai tujuan organisasi yang diwakilinya secara efektif. Dari penjelasan beberapa ahli sebagaimana diulas dalam Bab 2, ada sepuluh kategori tugas yang harus dijalankan oleh seorang spesialis PR (humas) di lembaga (perusahaan), yaitu: menulis dan mengedit, hubungan dengan media dan penempatan media, riset, manajemen & organisasi, konseling, acara spesial, pidato, produksi, kontak, dan training. Berikut ini adalah tugas-tugas PR (kehumasan) yang dilakukan oleh para PRO perempuan informan di lembaganya (organisasinya) menurut penuturan masing-masing informan. Menurut IR, tugas-tugas PR (kehumasan) yang ia lakukan adalah mengadakan siaran pers, membuat rilis, memantau liputan media, membuat advertorial, iklan TV, media breafing, dan sebagainya. Berikut adalah penuturan IR terkait dengan tugas-tugas kehumasan yang ia lakukan, ”Program-program: implementasi dari fungsi-fungsi tersebut tadi, kegiatannya antara lain: melakukan konfrensi pers, membuat ’press release’, monitoring liputan-liputan media, media monitoring, advetorial, iklan TV, media breafing termasuk media gathering, serta iklan cetak”. Selain itu, IR mengatakan bahwa ia juga bertanggung jawab untuk menangani complaint dari para pelanggan (customer), misalnya mengenai kepuasan para customer terhadap pelayanan yang diberikan oleh perusahaanya (lembaga). Sebagaimana penuturan IR berikut ini, ”Tugas humas lain yang merupakan fungsi ’Customer Relations’ adalah ’handling complaint’ seperti ’banner’ yang ada di Menteng dan Meruya tentang pengaduan pelanggan”. 68 Selanjutnya, menurut DM tugas PR yang ia lakukan lebih banyak berhubungan dengan fungsi-fungsi jurnalistik, misalnya bagaimana mengelola website, majalah, media online, dan jurnal. Seperti penuturan DM berikut ini, “Emm, kita di sini kebetulan, kita handle…dari segi jurnalistik ada ‘website’, ‘magazine’, jurnal …yang kita harus update terus, jadi semua fungsi-fungsi jurnalistiknya dijalankan, yang kedua, kita juga handle ke sisi rektorat, misalnya untuk pembuatan naskah pidato bekerja sama sengan skretaris rector”. Sementara itu, LI mengungkapkan bahwa ia melakukan tugas kehumasan yang lebih fokus pada ‘hubungan media (media relations)’ dan ‘penyelenggaraan event’ (acara spesial). Untuk tugas lain seperti ‘riset’, ia tidak melakukannya karena kegiatan tersebut ditangani oleh divisi lain. Seperti dituturkan LI berikut ini, ”Saya lebih ke Media relations dan event, training, saya sering mengisi, untuk departemen lebih ke promosi yah, saya sering menjadi juri juga, sebagai ketuanya juga. Untuk tugas pembuatan film, multimedia, tapi saya tidak sendiri. Untuk disain saya dibantu anak-anak mahasiswa”. Sedangkan AF mengatakan bahwa tugas PR itu adalah promosi, yaitu bagaimana mempromosikan program-program lembaga kepada khalayak target. AF mengungkapkan bahwa tugas-tugas yang ia lakukan lebih terfokus pada presentasi program dan melakukan try out di sekolah-sekolah mitra. Sebagaimana ia tuturkan berikut ini, ”Tugas-tugas saya terutama terkait dengan rekrutmen calon mahasiswa baru antara lain: melakukan orientasi dan ’try out’ dengan cara door to door ke sekolah-sekolah yang menjadi mitra lembaga. Jadi tugas saya lebih banyak untuk memperkenalkan dan mempromosikan lembaga kepada khalayak”. 69 Informan lain IB, ternyata mengungkapkan hal yang sama dengan AF, menurutnya tugas PR adalah mempromosikan perusahaan (lembaga) kepada khalayak sasaran. Ia mengungkapkan bahwa tugas-tugas yang ia jalankan secara khusus terkait dengan perekrutan para “customer” (mahasiswa) di lembaganya. Tugas-tugas tersebut antara lain: presentasi program di lembaga-lembaga mitra, try out, dan memfasilitasi ujian nasional. Seperti penuturannya berikut ini, “Kegiatan yang dilakukan antara lain presentasi program-program lembaga, melakukan ‘try out’ bagi para siswa SMU, memfasilitasi Ujian Nasional, mengadakan pameran pendidikan”. 70 Table 3 Tugas-tugas PR yang dilakukan oleh PRO perempuan informan No Informan Tugas-tugas PR yang dilakukan PRO informan Teknis 1 IR a. Mengadakan konfrensi pers b. Membuat ’press release’ c. Monitoring liputan-liputan media d. Media monitoring e. Advetorial, Iklan TV f. Media breafing termasuk media gathering, serta iklan cetak g. Menulis pesan website, majalah, dan media sosial (FB) h. Perayaan ulang tahun i. Menyelenggarakan event tahunan (festival) j. Handling complaint (CR) k. Handling tamu dari luar negeri l. Melakukan studi banding m. Membuat program kampanye, dsb. 2 DM a. b. c. d. Survey Media relations Iklan (above & below the line) Menulis pesan di website dan media online, membuat majalah, dan jurnal 3 LI a. Mengkordinasikan acara special b. Mengatur perjalanan ke luar negeri (protokoler, menyiapkan itinerary) c. Mmembuat news letter d. Mendampingi studi lapangan, dsb. 4 AF a. Melakukan orientasi b. Try out di sekolah mitra c. Mengadakan acara spesial (pameran pendidikan) Non-teknis Handling crisis a. Konseling b. Handling crisis Handling crisis 71 d. Menyiapkan materi presentasi 5 IB a. Presentasi program b. Try out di sekolah-sekolah c. Mengadakan pameran pendidikan d. Memfasilitasi ujian nasional e. Membuat materi presentasi f. Membuat brosur (secara tim) g. Negosiasi dengan pihak sekolah h. Survey biaya studi yang dibebankan lembaga competitor kepada mahasiswa Berdasarkan data yang terangkum pada table 3 di atas, mayoritas PRO perempuan informan secara dominan melakukan tugas-tugas teknis ketimbang tugas-tugas non-teknis. Data di atas juga menunjukkan bahwa sebagian besar PRO informan tidak menjalankan kegiatan atau tugas-tugas non-teknis yang merupakan implementasi dari peran manajerial (managerial role) atau fungsi manajemen (management function) yang melekat pada manajemen organisasi (perusahaan). 4.2.3.1. Tugas riset yang dilakukan oleh PRO perempuan informan Berdasarkan penjelasan para ahli sebagaimana di ulas pada Bab 2, salah satu dari sepuluh kategori tugas yang harus dijalankan oleh praktisi PR adalah ‘riset’. Riset menurut dokumen (monograf) yang dikeluarkan oleh lembaga Public Relations Society of America (PRSA), juga termasuk kedalam komponen dasar public relations (PR). Kegitan riset tersebut bisa terkait dengan opini/persepsi publik, tren, isu yang sedang muncul, iklim politik dan peraturan perundangan, 72 liputan media, opini kelompok kepentingan, dan pandangan-pandangan lain berkenaan dengan stakeholder organisasi. Selain itu, mencari data base di internet, jasa online, dan data pemerintah elektronik, mendesain program riset, melakukan survey, dan menyewa perusahaan riset. Berkenaan dengan kegiatan riset tersebut, berikut ini adalah penuturan dari masing-masing PRO perempuan informan tentang kegiatan riset yang ia lakukan di lembaga (organisasi) yang bersangkutan: IR mengungkapkan bahwa tugas kehumasan khususnya riset yang ia lakukan hanya riset tentang kepuasan pelanggan (customer satisfaction) yang merupakan implementasi kegiatan dari fungsi “customer relations”. Sebagaimana penuturan IR berikut ini, “Sementara ini terkait dengan kegiatan riset, kalau saya hanya melakukan kegiatan riset yang berhubungan dengan masalah kepuasan pelanggan saja (sebagai customer care), jadi lebih fokus pada ‘customer care’ bagaimana pelayanan dosen, administrasi, dan perpustakaan. Karena sudah ada jobdesnya masing-masing”. Selanjutnya, DM mengatakan bahwa tugas ‘riset’ yang ia lakukan hanya berkaitan dengan branding (brand image) lembaga di mata publik khususnya para siswa SMU yang merupakan para calon customer potensial untuk direkrut di lembaganya. Sebagaimana diungkapkan DM berikut ini, ”Kalau riset kebetulan di sini belum banyak dilakukan, kami hanya melakukan riset terutama yang terkait dengan penerimaan mahasiswa baru. Jadi riset yang dilakukan terutama terkait dengan bagaimana sih branding lembaga ini di mata masyarakat, biasanya kita lakukan bisa di awal penerimaan mahasiswa baru, bahan evaluasi kita, atau kita melakukan survey-survey langsung ke sekolah-sekolah untuk menyebar kuesioner untuk melihat keefektifan program-program kita, jadi ’mostly’ terkait dengan ’branding’ lembaga di mata para siswa”. 73 Sementara itu, LI mengungkapkan bahwa ia tidak melakukan kegiatan riset sama sekali, karena menurutnya kegiatan tersebut ditangani oleh divisi tersendiri (khusus) yaitu Biro Kendali Mutu (BKM) dan bagian SDM. Seperti diungkapkan LI berikut ini, ”Yang terkait dengan riset, kebetulan di sini ada bagian sendiri yang ngurusin kegiatan tersebut yaitu ’Biro Kendali Mutu (BKM)’, dan yang berkenaan dengan ’publik internal’ (karyawan) ditangani langsung oleh bagian SDM. Jadi saya tidak melakukan riset”. Informan lain AF, ternyata mengungkapkan hal yang sama dengan LI bahwa ia tidak melakukan tugas kehumasan yang berupa kegiatan riset atau survey. Menurutnya, data yang ia gunakan labih banyak dari data-data rekapitulasi tahunan yang sudah ada. AF menuturkan sebagai berikut, ”Saya tidak banyak melakukan riset, karena saya lebih banyak menggunakan data-data rekapitulasi tahunan (data-data sekolah mitra). Jadi saya tidak melakukan riset/survey”. Sedangkan IB mengatakan bahwa riset yang ia lakukan hanya khusus terkait dengan biaya studi yang dibebankan oleh para competitor lembaganya. Menurutnya, tidak ada tugas-tugas riset yang harus dilakukan, sebagaimana penuturan IB berikut ini, “Kalau riset yang saya lakukan hanya yang terkait dengan biaya studi yang dibebankan oleh lembaga kepada mahasiswa khusunya lembagalembaga yang menjadi ‘competitor’ lembaganya. Selain itu saya tidak melakukan riset”. 74 Table 4 Kegiatan riset yang dilakukan oleh para PRO perempuan informan Kegiatan riset/survey No Informan Dilakukan Tidak dilakukan 1 IR Kepuasan pelanggan (customer satifaction) 2 DM “branding” lembaga 3 LI Ditangani oleh Biro Kendali Mutu (BKM) 4 AF Tidak melakukan riset 5 IB Survey tentang biaya studi dari para competitor lembaganya Berdasarkan data pada tabel 4 di atas, mayoritas PRO informan tidak melakukan kegiatan atau tugas riset. Dari data di atas terlihat bahwa kendatipun sebagian kecil PRO melakukan kegiatan ‘riset’, namun riset tersebut hanya menyangkut hal-hal tertentu saja seperti kepuasan pelanggan, branding, dan biaya studi. Data yang diperoleh juga memperlihatkan bahwa sebagian PRO perempuan informan tidak melakukan kegiatan riset sama sekali karena kegiatan riset ditangani oleh divisi atau biro tersendiri seperti Biro Kendali Mutu (BKM) atau divisi Sumber Daya Manusia (SDM). 4.2.4. Pemaknaan profesi PR oleh PRO perempuan informan Setiap profesi yang dijalani oleh sesorang akan mempunyai makna yang berbeda bagi setiap orang yang menjalaninya. Dalam konteks penelitian ini yaitu bidang profesi PR, maka masing-masing PRO akan memaknai profesi PR secara 75 berbeda-beda pula. Berikut ini adalah pemaknaan profesi PR oleh masing-masing PRO perempuan informan yang menjadi subyek dalam penelitian ini. IR memaknai profesi PR sebagai suatu profesi yang menuntut kreativitas dan inovasi-inovasi untuk bisa menjalankan peran dan fungsi PR secara efektif. Ia mengatakan bahwa untuk menunjang profesinya sebagai PRO ia harus senantiasa belajar dalam arti bahwa dengan menjadi seorang PRO, maka upaya peningkatan kapasitas diri (continuous improvement) secara terus menerus harus ada. Berikut ini adalah penuturan IR, ”Orang bekerja itu kan bagian dari proses belajar. Jadi kalau saya itu menjadi PR officer harus siap berinovasi dan berkreatifitas, memaksimalkan kreatifitas. Kalau saya sepiritnya jadikanlah pekerjaan itu sebagai ’challange’. Saya senang dengan pekerjaan ini karena jiwa saya sudah di sini, jadi sudah ’passion’ saya pada pekerjaan ini, jadi saya memaknainya bahwa menjadi ’PR officer’ itu harus selalu berinovasi dan kreatif, ada ’continues improvement’ karena pekerjaan PR itu tidak mudah”. Selanjutnya DM, ia memaknai profesi PR hampir sama dengan IR bahwa profesi tersebut merupakan profesi yang menantang (challanging rofession), oleh karena itu menurutnya, menjadi seorang praktisi PR harus selalu meningkatkan kemampuan diri dalam arti bahwa ia harus belajar terus (never-ending learning) dan praktisi PR itu harus bekerja dengan hati. DM menuturkan berikut ini, “Walaupun antara jurnalistik dan PR, beda-beda tipis, tapi berbeda, misalnya waktu saya menjadi jurnalistik saya harus di “treat” orang, sementara kita sebagai humas harus men-“treat” orang atu jurnalis, karena kita harus bisa meng-“grab” para wartawan agar bisa membuat pemberitaan ayng bagus, paling tidak memberitakan fakta-fakta. Jadi menurut saya PR adalah “challenging profession”dan “never-ending learning”, dan PR itu harus dari hati menurut saya, menghadapi wartawan itu susah-susah gampang”. 76 Sementara itu, LI mengungkapkan hal senada dengan IR dan DM, ia memaknai profesi PR sebagai profesi yang bisa untuk berbagi dengan orang lain dalam mengatasi suatu masalah. Ia juga mengatakan bahwa menjadi praktisi PR itu harus selalu ada “improvement” diri dan harus banyak belajar. LI mengungkapkan sebagai berikut, “Kalau saya “happy” ya pak, yang kedua saya suka “share” dengan orang lain yah, kalau saya suka membantu orang lain untuk mengatasi suatu masalah. Saat itu memang saya harus kerja keras, saya harus ‘improve’ diri saya, saya harus belajar banyak, tapi kalau sekarang sih tinggal menikmati saja, tinggal ’maintain’ aja”. Selain itu, LI juga mengatakan bahwa menjalani profesi PR itu harus dilandasi dengan ketulusan dan keikhlasan hati, sehingga walaupun harus melakukan tugas-tugas kehumasan di luar jam kerja akan tetap “happy”. Seperti diungkapkan LI berikut ini, ”Bagi saya dalam menjalakan profesi ini diperlukan ketulusan hati, keikhlasan, dan bekerja dengan hati. Walaupun saya harus bekerja sampai malam tapi saya enjoy”. Ternyata, AF juga mengatakan hal yang hampir sama dengan IR dan LI dalam memaknai profesi PR, menurutnya untuk bisa menjalani profesi PR, terlebih dahulu ia harus menanamkan rasa cinta terhadap profesi tersebut. Sebagaimana penuturan AF berikut ini, ”Memang pekerjaan PR itu tidak mudah, untuk itu yang pertama sekali saya tanamkan dalam diri saya adalah ”saya harus mencintai pekerjaan (profesi) ini. Dengan demikian saya akan menghadapi semuanya dengan mudah”. 77 Sedangkan IB, berbeda dengan IR, DM, LI, dan AF dalam memaknai profesi PR, menurutnya profesi PR itu profesi yang biasa saja, sama seperti profesi lain dalam arti bahwa untuk menjalani profesi tersebut ia tidak merasa perlu untuk mempelajari lagi ilmu-ilmu lain karena tugas-tugas yang ia terima sudah sangat spesifik. Seperti diungkapkan IB berikut ini, ”Bagi saya profesi ini biasa saja yah, karena saya bisa menjalankannya, artinya gak berat-berat amat. Cuma yang agak berat kalau soal negosiasi dengan pihak sekolah, untuk itu saya harus belajar tentang bagaimana lobi dan negosiasi”. Table 5 Pemaknaan profesi PR oleh PRO perempuan informan No Informan Makna Profesi PR Positif 1 IR Profesi PR sebagai suatu profesi yang menuntut peningkatan kapasitas diri, kreativitas, dan inovasi-inovasi. Mejadi PRO berarti harus ada “continuous improvement”. 2 DM Profesi PR merupakan “Challanging profession”, yang menuntut untuk belajar secara terus menerus (never-ending learning) 3 LI Profesi yang menuntut “improvement” dan banyak belajar 4 AF Bidang profesi PR merupakan suatu profesi yang menuntut kecintaan dan keikhlasan hati 5 IB PR sebagai suatu profesi yang biasa saja, sama dengan profesiprofesi lain Negatif 78 Dari data yang terangkum pada table 5 di atas, terlihat jelas bahwa seluruh PRO perempuan informan memaknai profesi PR secara positif dan para informan hampir memiliki kesamaan dalam memaknai profesi PR tersebut. Namun demikian, hasil analisis data menunjukkan bahwa sebagian besar informan mengakui bahwa profesi PR merupakan profesi yang tidak mudah (profesi yang menantang) dalam arti bahwa dengan menjadi praktisi PR, maka mereka dituntut untuk senantiasa meningkatkan kemampuan diri, kreativitas, dan inovasi-inovasi. Dari data yang diperoleh, terlihat bahwa sebagian besar informan melakukan peningkatan kapasitas diri melalui berbagai cara, antara lain: melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi; mengikuti kegiatan seminar, diskusi dengan para profesional, dan mengikuti workshop-workshop yang relevan dengan profesi kehumasan yang mereka jalani. 4.2.4.1. Alasan PRO perempuan informan memilih profesi PR Setiap orang yang memilih suatu pekerjaan atau profesi pasti memiliki alasan atau motivasi tersendiri mengapa ia memilih profesi tersebut. Demikian pula dalam konteks penelitian ini, masing-masing PRO perempuan informan mempunyai alasan tertentu mengapa ia memilih bidang profesi PR. Berikut ini adalah alasan atau motivasi para PRO perempuan informan memilih bidang profesi PR menurut penuturannya masing-masing. IR menuturkan bahwa ia memilih bidang profesi PR lebih karena latar belakang pendidikan Magisternya (S2) yang jurusan Ilmu Komunikasi. Dengan kualifikasi tersebut ia mempunyai peluang untuk menjadi tenaga pengajar (dosen). 79 IR tidak pernah bercita-cita untuk menjadi dosen ataupun spesialis PR. Ia mengawali karirnya sebagai seorang dosen untuk program studi PR, kemudian ia merasakan adanya kecocokan di dunia kehumasan dan akhirnya selain mengajar ia juga menjadi praktisi PR. Berikut ini adalah penuturan IR, ”Sebenarnya awalnya tidak pernah terpikir untuk menjadi PR ataupun dosen. Jadi gini, kan setelah selesai S1 itu saya meneruskan di S2 Manajemen Komunikasi UI. Nah.. itu yang membuat....saya memilih harus menjadi dosen, dan saya kan kompetensi peminatannya komunikasi dan public relations. Nah dari situ kayaknya kok menarik, jadi awalnya PR ini ”learning by doing” aja, dunia komunikasi PR kok menarik gitu. Nah dari situ kemudian akhirnya saya menemukan ”field” saya di situ”. Selanjutnya, DM mengungkapkan bahwa profesi PR yang ia jalani saat ini tidak pernah dicita-citakan sebelumnya. Menurutnya menjadi praktisi PR ini hanya secara kebetulan atau hanya karena takdir yang membawanya menjadi seorang spesialis PR. DM juga mengatakan bahwa bidang profesi PR sebenarnya tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya yang jurnalistik, namun karena hubungan baik dengan Kabag humas terdahulu di lembaga tersebut, akhirnya dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, DM direkrut sebagai Kepala Divisi Humas dan Marketing. Seperti ia tuturkan berikut ini, “Sebenarnya mungkin karena takdir membawa saya ke sini kali ya pak yah, karena begini emm,.kebetulan saya dulu cukup dekat dengan Kabag humas yang terdahulu…saya dulu sering liputan di sini untuk meng-cover bidang pendidikan di sini, saya dulu lama di Republika, nah ee..kebetulan saat itu lembaga membutuhkan staf humas yang pada saat itu masih berada di bawah Kabag humas terdahulu, jadi saya selesaikan S2 sembari saya belajar kehumasan pada bagian kehumasan di sini”. Sementara itu, LI mengungkapkan bahwa bidang profesi PR memang merupakan profesi yang ia cita-citakan. Walupun awalnya ia berkiprah di bidang 80 marketing, namun ia bercita-cita menjadi seorang praktisi PR yang terkenal. Selain itu, LI memilih profesi PR, karena ia suka bergaul, suka bertemu orang banyak, dan suka bersosialisasi. LI juga termotivasi untuk membantu orang lain dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Berikut ini adalah penuturan LI, “Awalnya karena saya tertarik berhubungan dengan orang, saya suka berhubungan dengan manusia, saya suka berinteraksi dengan orang lain, gitu awalnya. Jadi intinya bersosialisasi. Saya juga baca buku-buku tentang PR, kalau PR itu perlu talent dan keterampilan khusus. Bagaimana menguasai orang lain, itu juga yang menarik saya awalawalnya. Menurut saya, profesi PR itu sangat strategis, menyenangkan”. Sedangkan AF, secara singkat mengungkapkan bahwa ia tertarik dengan bidang profesi PR karena ia menyukai tantangan dan suka bertemu dengan banyak orang. Sebagaimana penuturan AF berikut ini, “Saya memilih bidang profesi PR ini karena saya suka dengan tantangan dan suka ketemu banyak orang”. Berbeda dengan keempat informan lainnya, IB mengatakan bahwa profesi PR itu menarik, sebagaimana penuturan IB berikut ini, “Kalau menurut saya pekerjaan PR itu menarik, makanya saya memilih untuk bergabung di Biro humas di lembaga ini”. 81 Table 6 Alasan PRO perempuan informan memilih profesi PR No Informan Alasan memilih bidang profesi PR Latar belakang Pendidikan √ Tantangan 1 IR 2 DM 3 LI 4 AF √ 5 IB √ Cita-cita Peluang √ √ Berdasarkan data yang terangkum pada table 6 di atas, ternyata alasan para informan memilih bidang profesi PR berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sebagian informan memilih profesi tersebut karena merupakan profesi yang menantang. Sedangkan sebagian lain memilih menjadi praktisi PR itu karena adanya peluang (kesempatan) dan latar belakang pendidikan yang relevan dengan profesi PR tersebut. Data yang diperoleh juga menunjukkan bahwa sebagian besar informan tidak merencanakan sejak awal untuk menjadi praktisi PR yang profesional. Jadi, bisa dikatakan bahwa peluang atau kesempatanlah yang membuat para informan memilih bidang profesi PR. 4.2.5. Pembentukan stereotip gender di lembaga (organisasi) Beberapa contoh kasus iklan tentang lowongan kerja yang secara explicit mensyaratkan “perempuan” bagi calon PRO sebagaimana dibahas pada Bab 1 (pendahuluan), menunjukkan adanya pembentukan stereotip gender pada perusahaan perekrut PRO tersebut. Iklan seperti itu merupakan bentuk stereotip 82 gender yang nyata yang telah terjadi pada perusahaan (lembaga) tersebut. Sebagian lembaga perekrut PRO secara explicit menyebutkan bahwa syarat bagi calon PRO ‘harus perempuan’. Berikut ini adalah penuturan masing-masing PRO perempuan informan mengenai ‘stereotip gender’ pada lembaga dimana ia bekerja. Menurut IR, lembaga (perusahaan) tidak pernah ‘mensyaratkan perempuan’ bagi calon PRO (humas) yang akan direkrut di lembaganya. Ia juga menjelaskan bahwa walaupun faktanya para PRO (staf humas) di lembaganya didominasi oleh perempuan, namun itu hanya secara kebetulan. Seperti penuturan IR brikut ini, ”Tidak harus perempuan, karena kebetulan dari awal di sini PR nya perempuan.., profesi PR itu harus dilihat dari sisi kompetensi, bukan dilihat dari sisi cantik dan muda, karena tugas PR itu tidak mudah”. Selanjutnya, DM mengatakan hal yang sama dengan IR bahwa proses rekrutmen untuk posisi PRO di lembaganya tidak ‘disyaratkan harus perempuan’, dan faktanya menurut dia bahwa PRO yang terdahulu di lembaganya juga lakilaki. Sebagaimana penuturan DM berikut ini, “Tidak mengharuskan perempuan, dan kebetulan PR di sini yang sebelumnya juga dipegang oleh laki-laki dan cukup lama (sekitar 7 tahun), namun mungkin dari sisi emosionalnya masih cukup tinggi. Jadi ya itu tadi kelebihan perempuan saya kira kesabarannya ketika harus melakukan hal-hal yang bisa memicu emosi. Contohnya seperti “case” yang saya katakan tadi “How to handle my boss”. Sementara itu, LI juga mengatakan hal senada dengan IR dan DM bahwa dalam proses rekrutmen untuk posisi PRO (humas) di lembaganya tidak ada persyaratan harus perempuan. Ia juga mengungkapkan bahwa proses rekrutmen 83 untuk posisi PRO tersebut dilakukan secara tertutup, tidak melalui iklan dan tidak terbuka untuk umum. Sebagaimana penuturan LI berikut ini, “Saya dipanggil ‘owner’, jadi saya gak pernah melamar, saya selalu dilamar. Jadi untuk formalitas setelah diterima baru buat lamaran. Jadi awalnya ‘background’ saya juga marketing yah. Jadi owner tertarik sama saya karena saya sudah banyak berhubungan dengan orang banyak. Jadi kalau persyaratan calon PR harus perempuan tidak ada pak”. Infroman lain, AF ternyata juga mengatakan hal yang sama dengan ketiga informan di atas (IR, DM, dan LI) bahwa untuk calon PRO di lembaganya tidak harus perempuan, walaupun kenyataannya ia sendiri telah menjalani bidang profesi humas hampir selama 23 tahun, dari sejak berdirinya lembaga yang menjadi tempat pengabdiannya hingga sekarang. Berikut ini adalah penuturan AF, “Di lembaga ini kebetulan dari awal humasnya perempuan, dan saya sendiri humasnya sejak awal, saya sudah 23 tahun menjadi humas. Lembaga ini tidak mengharuskan perempuan karena banyak praktisi humas (staf humas) yang lain adalah laki-laki seperti Kabiro humasnya juga laki-laki”. Ternyata, IB juga mengungkapkan hal yang sama dengan keempat informan lainnya, ia mengatakan bahwa di lembaganya tidak ada persyaratan harus perempuan bagi calon PRO yang akan direkrut. Namun demikian, ia mengatakan bahwa salah satu yang menjadi persyaratan adalah keterampilan berkomunikasi dan penampilan fisik yang harus menarik. Seperti ia tuturkan berikut ini, ”Gak sih, paling juga syaratnya bisa berkomunikasi denga baik, berpenampilan menarik, wanita atau pria, berumur maximal 25 tahun. Jadi tidak harus perempuan”. 84 Tabel 7 Pembentukan stereotip gender di lembaga (perusahaan) No Informan Pembentukan Stereotip Gender di lembaga (organisasi) Ada Tidak ada 1 IR Tidak ada persyaratan harus perempuan untuk calon PRO 2 DM Tidak mensyaratkan perempuan untuk posisi PRO 3 LI Tidak ada persyaratan perempuan bagi calon PRO 4 AF Tidak ada persyaratan perempuan untuk calon PRO (humas) 5 IB Tidak harus perempuan, tetapi harus menarik dan relatif muda (25 th) Data yang terangkum dalam table 7 di atas menunjukkan bahwa seluruh lembaga (organisasi) tidak mensyaratkan bahwa calon PRO yang akan direkrutnya harus perempuan. Data di atas juga memperlihatkan bahwa lembaga cenderung merekrut PRO-nya dari kalangan internal, tanpa melalui iklan yang disebarkan luaskan kepada publik secara terbuka. Berdasarkan data di atas, bisa dikatakan bahwa tidak ada pembentukan ‘stereotip gender’ di masing-masing lembaga dimana para PRO perempuan informan bekerja. 4.2.5.1. Tanggapan PRO informan tentang stereotip PR perempuan Terjadinya dominasi perempuan di bidang profesi public relations (PR) telah memunculkan stereotip gender di bidang profesi tersebut. Terkait dengan dominasi perempuan pada bidang profesi PR, beberapa hasil studi mengemukakan stereotip PRO perempuan, antara lain: multi-tasking, detil, tekun, sabar, murah, 85 dan tidak ambisius. Apa pendapat para PRO perempuan informan tentang stereotip PR perempuan di atas? Berikut ini adalah tanggapan mereka tentang stereotip PRO perempuan tersebut. Menurut IR, beberapa stereotip (citra baku) yang melekat pada praktisi PR perempuan itu sifatnya relatif. Mengenai stereotip multi-tasking, IR berpendapat bahwa tidak semua PRO perempuan itu multi-tasking, dan menurutnya itu tergantung pada orangnya masing-masing. Namun demikian, ia menegaskan bahwa dirinya sebagai Kepala biro dengan tugas dan tanggung jawabnya yang banyak, maka ia harus bisa multi-tasking. Untuk stereotip ‘tekun’, IR sependapat dengan hasil studi yang dikemukakan oleh Dozier tersebut. Seperti penuturan IR berikut ini, “Untuk stereotip ‘ketekunan’ saya setuju dengan pendapat itu, ada-lah pengaruhnya, tetapi semua itu tergantung pada orangnya masing-masing karena ada staf saya yang cuma mengerjakan itu-itu saja, tidak “multitasking”, tidak semua staf bisa “multi-tasking”. Selanjutnya, DM berpendapat bahwa ‘stereotip (citra baku) ‘tidak ambisius’ yang dilekatkan pada praktisi PR perempuan, itu tidak bisa digeneralisasikan kepada semua PRO perempuan, karena menurutnya ada juga PRO perempuan yang sangat ambisius dan sangat gigih bersaing dengan laki-laki untuk mengejar karirnya. DM berpendapat bahwa PRO perempuan itu cenderung lebih sabar dalam menangani suatu masalah ketimbang laki-laki. Berikut ini adalah penuturan DM, ”Mungkin karena tidak dimanding menurut saya, tetapi hal ini tidak bisa digeneralisasi untuk semua perempuan, karena saya juga kenal beberapa perempuan yang sangat ambisius ketika bekerja, ’eager’ untuk ”compete” dengan laki-laki, bisa dibilang bisa mengikuti head-nya laki-laki”. 86 Sementara itu, LI mengungkapkan pendapat senada dengan IR dan DM bahwa PR perempuan itu tidak selalu multi-tasking, menurutnya hal itu tergantung pada pribadi orangnya masing-masing. Demikian juga, tidak semua PR perempuan itu tidak ambisius dibandingkan dengan laki-laki. LI menuturkan sebagai berikut, ”Soal stereotip PRO perempuan, kalau menurut saya sih tergantung pada pribadinya masing-masing, tidak semua orang bisa ’multitasking’, dan tidak semua perempuan tidak ambisius. Jadi semua itu tergantung orangnya masing-masing. Tetapi memang perempuan itu cenderung lebih mudah diarahkan, detil, dan cepet, jika dibandingkan dengan cowok”. Ternyata, AF mempunyai pendapat (tanggapan) yang hampir sama dengan IR, DM, dan LI, bahwa citra baku (stereotip) yang dilekatkan pada PRO perempuan itu tidak selalu sesuai. Menurutnya itu hanya padangan seseorang saja, dan ia menegaskan bahwa perempuan itu tidak harus selalu lembut, karena menurut AF bisa membuat orang malas mendengarkan apa yang disampaikan. Seperti penuturannya berikut ini, ”Menurut saya tidak semuanya begitu, kita tidak harus selalu lembut, karena orang bisa males mendengar kita, ada kalanya kita harus tegas. Jadi menurut saya itu hanya pandangan seseorang”. Sedangkan IB, mengatakan bahwa ia sependapat dengan ‘citra baku (stereotip)’ yang dilekatkan pada PRO perempuan, seperti ‘sabar’, menurutnya perempuan itu cenderung lebih ‘sabar’ dan lebih ‘komunikatif’ dibandingkan dengan laki-laki. Sebagaimana penuturan IB betikut ini, “Saya setuju bahwa PRO perempuan itu lebih sabar dibandingkan lakilaki, dan menurut saya perempuan juga lebih komunikatif”. 87 Table 8 Tanggapan PRO Informan tentang stereotip PRO perempuan No Informan Stereotip PRO Perempuan Multitasking 1 IR 2 DM 3 LI 4 AF 5 IB Detil Tekun Sabar Tidak ambisius Tidak semua PRO perempuan multitasking Ada juga perempuan yang ambisius untuk bersaing dengan lakilaki Tidak semua perempuan tidak ambisius, tergantung orangnya Tergantung pada orangnya masingmasing Perempua n itu lebih sabar dan komunika tif Berdasarkan hasil analisis data di atas, mayoritas informan berpendapat bahwa “citra baku” yang dilekatkan pada PRO perempuan (seperti: multi-tasking, detil, sabar, tekun, dan tidak ambisius), itu tidak selalu sesuai. Dengan kata lain bahwa semua itu tergantung pada individunya (PRO perempuan) masing-masing. Dari data di atas, bisa dikatakan bahwa ‘stereotip (citra baku)’ yang melekat pada 88 praktisi PR perempuan tersebut sifatnya relatif dan tidak bisa digeneralisasikan kepada semua PRO perempuan. 4.2.5.2 Keterlibatan PRO perempuan dalam pembuatan keputusan Menurut penjelasan para ahli bahwa praktisi PR dalam suatu perusahaan (organisasi) mempunyai penekanan pada fungsi manajemen. Sebagai sebuah fungsi manajemen, Public Relations memiliki kedudukan, peran, fungsi, dan status yang sejajar dengan fungsi -fungsi manajerial yang lain seperti manajemen sumber daya manusia, manajemen pemasaran, atau manajemen keuangan. Para ahli juga menjelaskan bahwa Public Relations (PR) merupakan bagian dari dominant coalision dalam perusahaan dan karenanya memiliki kewenangan cukup besar untuk melakukan pengambilan keputusan. Berikut ini adalah keterlibatan masing-masing PRO perempuan informan dalam pembuatan (pengambilan) keputusan di lembaga yang bersangkutan. IR mengungkapkan bahwa ia terlibat dalam pembuatan (pengambilan) keputusan di lembaganya sejauh keputusan (kebijakan) tersebut terkait dengan kompetensi komunikasinya, dalam arti bahwa keterlibatannya lebih pada bagaimana ia menyampaikan keputusan (kebijakan) yang telah diambil oleh lembaga kepada publik perusahaan sesuai dengan peran dan fungsinya sebagai PRO (humas). IR juga menegaskan bahwa keterlibatannya bukan pada pembuatan keputusan secara umum yang dilakukan oleh institusinya. Berikut ini adalah penuturan IR, “Saya dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan kompetensi komunikasi saya. Itu dilakukan dalam proses baik langsung 89 maupun tidak langsung yah; saya selalu terlibat dalam Rapat Pimpinana, Rapat Direktur, dan Rapat Pimpinan Dekan, jadi kalau ada info-info atau policy (kebijakan) yang membutuhkan kompetensi saya dilibatkan. Sejauh ini sih gak da masalah”. Selanjutnya, DM mengungkapkan hal senada dengan IR bahwa ia terlibat dalam pembuatan keputusan di lembaganya, tetapi hanya terkait dengan masalahmasalah komunikasi. DM menuturkan tentang keterlibatannya sebagai berikut, “Saya terlibat, seperti yang saya jelaskan tadi, yaitu yang terkait dengan kompetensi komunikasi saya, walaupun manajer saya bisa menerima atau menolaknya, tetapi apa yang saya usulkan selalu berdasarkan faktafakta”. Sementara itu, LI menuturkan bahwa ia terlibat dalam pembuatan keputusan di lembaganya. Namun, keterlibatannya lebih pada hal-hal yang menyangkut administrasi kehumasan. Seperti penuturan LI berikut ini, ”Saya terlibat juga dalam pengambilan keputusan, dan hal-hal yang terkait terkait dengan administrasi kehumasan yang perlu ditanda tangani, maka Kepala Bagian Humas (direktur humas) dan saya (PR Manager) harus menandatanganinya”. Informan AF, ternyata mempunyai kesamaan dengan informan lain yaitu IR, DM, dan LI dalam hal keterlibatannya dalam pembuatan keputusan di lembaganya. AF mengatakan bahwa ia terlibat sejauh keputusan tersebut berkaitan dengan tugas-tugas kehumasan yang menjadi tanggung jawabnya. Seperti penuturannya berikut ini, ”Saya terlibat sejauh berkenaan dengan tugas-tugas kehumasan, misalnya untuk mempersiapkan materi presentasi. Terkait dengan hal ini misalnya untuk Fakultas Teknik, apa yang membedakan Fakultas Teknik di Lembaga ini dengan Universitas lain. Jadi semua itu harus disampaikan kepada jajaran manajemen”. 90 Sedangkan IB mengungkapkan bahwa ia tidak terlibat sama sekali dalam pembuatan keputusan di lembaganya, karena hal-hal yang terkait dengan pengambilan keputusan menjadi tanggung jawabnya kepala biro humas di lembaganya. Sebagaimana penuturan IB berikut ini, “Kalau yang berkenaan dengan rapat-rapat pengambilan keputusan saya tidak pernah terlibat, karena kegiatan seperti itu hanya diikuti oleh atasan saya, “kepala biro”, paling yang saya lakukan hanya mempersiapkan materi-materi, informasi, dan data-data yang diperlukan oleh kepala biro, jadi saya tidak terlibat dengan rapat-rapat pengambilan keputusan atau yang terkait dengan manajemen di lembaga ini”. Tabel 9 Keterlibatan PRO perempuan dalam pengambilan keputusan No Informan Keterlibatan dalam pembuatan keputusan 1 IR 2 DM Yang terkait dengan kompetensi komunikasinya/bagian PR 3 LI Hanya terkait dengan administrasi kehumasan 4 AF Hanya yang terkait dengan tugas-tugas kehumasan 5 IB Terlibat Yang terkait dengan kompetensi komunikasi/bagian PR Tidak terlibat Tidak terlibat, karena menjadi tanggung jawab Kabiro humas Data yang terangkum pada table 9 di atas, menunjukkan bahwa sebagian besar PRO perempuan informan terlibat dalam pembuatan/pengambilan keputusan di institusinya jika keputusan-keputusan tersebut berkaitan dengan kompetensi komunikasinya atau menyangkut kehumasan. Data di atas juga dengan jelas 91 memperlihatkan bahwa mayoritas informan tidak terlibat dalam pembuatan atau pengambilan keputusan-keputusan strategis di level organisasi. Dari data yang diperoleh, keterlibatan para informan dalam pembuatan keputusan lebih bertujuan agar PR lebih mengetahui apa-apa yang menjadi keputusan organisasi (lembaga) sehingga PRO bisa mensosialisasikan/mengkomunikasikan keputusan (kebijakan) tersebut kepada public perusahaan secara efektif dan efisien. Jadi, partisipasi para informan dalam pengambilan keputusan hanya yang terkait dengan bidang kehumasan. 4.2.6. Pertentangan antara profesi PR dengan peran gender perempuan Seorang praktisi PR perempuan selain secara profesional bertanggung jawab atas profesinya sebagai PRO, ia juga sebagai seorang wanita yang harus memperhatikan tanggung jawab dan tugasnya sebagai perempuan dengan berbagai gender prempuannya (peran gender) yang melekat pada dirinya. Berikut ini adalah bagaimana masing-masing PRO perempuan informan menjalani sisi profesionalnya sebagai PR dan sisi lainnya sebagai pribadi perempuan yang secara sosial dituntut juga bertanggung jawab atas keluarga atau rumah tangganya. Menurut IR pertentangan pasti ada antara sisi profesionalnya dengan pribadinya sebagai perempuan (peran gendernya), setidaknya menurut dia dari sisi waktu karena selain harus menjalankan tugas-tugas kehumasan yang kadangkadang menuntut waktu extra, ia juga harus memperhatikan urusan keluarga dan rumahtangganya. Seperti penuturan IR berikut ini, “Pertentangan pasti adalah, khususnya dari segi waktu yah, kadangkadang saya harus pulang malam. Kalau dari sisi pembagian tugas, 92 kebetulan dengan suami ada pembagian tugas, jadi sepanjang semuanya bisa dijalankan yang gak ada masalah. Kecuali sakit tidak bisa ditolak yah”. Selanjutnya, DM mengatakan bahwa bagi dia tidak ada pertentangan antara profesinya sebagai spesialis PR dengan pribadinya sebagai perempuan. Menurut DM, walaupun profesi PR menuntut waktu extra dan bahkan harus standby 24 jam, tetapi tidak menjadi masalah baginya karena ia belum berkeluarga. DM menuturkan sebagai berikut, “Pertama mungkin kalau saya belum berkeluarga, jadi tidak ada masalah dari sisi waktu walaupun harus lembur malam”. Namun demikian, menurut DM bagi PRO perempuan yang sudah berumah tangga, maka ia harus mampu mengelola waktunya dengan baik. “Time management” harus betul-betul diperhatikan oleh seorang praktisi PRO perempuan. Sebagaimana penuturan DM berikut ini, “…tetapi kalau bagi mereka yang sudah berkeluarga saya kira soal manajemen waktu yang harus diperhatikan, karena saya juga kenal dengan beberapa PR perempuan yang harus standby 24 jam, walaunpun merekan bilang “saya harus punya privacy time” dong, namun kadangkadang ada “urgent call” atau ada hal-hal yang mendadak yang harus ditangani”. Sementara itu, LI mengutarakan bahwa bagi dia tidak pertentangan antara profesinya sebagai PRO dengan pribadinya sebagai perempuan. Walaupun ia harus menjalankan tugas-tugas kehumasan di luar jam kerjanya sekaligus harus memperhatikan keluarganya, ia tetap “happy” dan menikmati profesi tersebut. LI menuturkan bahwa profesi PR memang sudah menjadi cita-citanya sejak dulu, ia ingin menjadi PR yang professional dan terkenal. LI menuturkan sebagai berikut, 93 ”Saya selalu bekerja dengan hati, memang dari dalam hati saya yah, dari dulu memang saya bercita cita pengen jadi PR terkenal. Apa yah, jiwa saya memang sudah di situ, sejak awal saya banyak berhubungan dengan orang. Memang hidup saya itu seperti itu, saya nikmati aja, walau saya harus urus event sampai malam. Waktu awal-awal jadi PR saya keliling keliling terus, ikut workshop untuk meng-improve knowledge saya. Jadi saya enjoy saja menjalani profesi ini”. AF ternyata menuturkan hal yang sama bahwa ia tidak merasakan adanya pertentangan antara profesinya sebagai PR dengan tugas-tugas di luar profesinya yaitu tugas atau tanggung jawabnya sebagai perempuan. AF menuturkan sebagai berikut, “Tidak ada pertentangan, buktinya saya sudah menggeluti bidang ini hampir 23 tahun, jadi tidak ada masalah”. Table 10 Pertentangan antara profesi PR dengan peran gender perempuan No Informan Pertentangan antara Profesi PR dan Gender Perempuan Ada Tidak ada 1 IR Dari sisi waktu, karena harus membagi waktunya dengan urusan keluarga 2 DM Ia sebagai perempuan lajang tidak merasakan adanya pertentangan baik dari sisi waktu maupun beban kerja 3 LI Walaupun ia “single parent” tidak merasakan adanya pertentangan antara profesinya dengan peran gender-nya sebagai perempuan 4 AF Ia merasa enjoy dengan profesiya, hampir 23 tahun ia telah menggeluti bidang profesi PR 5 IB Tidak merasakan adanya pertentangan, ia merasa senang 94 menjalani bidang profesi PR Data pada table di atas menunjukkan bahwa mayoritas PRO perempuan informan tidak mengalami adanya pertentangan antara profesinya sebagai PRO dengan peran gender-nya sebagai perempuan. Walaupun peran gender-nya sering distereotipkan sebagai orang yang memiliki kasih sayang dan kemampuan mengasuh, para PRO perempuan informan bisa menjalankan dunia profesionalnya sebagai PRO, sekaligus menjalankan apa yang menjadi peran gender-nya di masyarakat. 4.3. Interpretasi Bidang profesi PR memang sering dianggap atau diidentikan dengan bidang profesi perempuan, walaupun profesi PR itu sendiri sudah menjadi suatu profesi yang cenderung ke public sphere. Dengan kata lain bahwa sebenarnya profesi ini sama dengan profesi-profesi lain seperti pengacara, guru, dokter, dan sebagainya. Namun, ada beberapa kriteria khusus jika seorang praktisi PR (PRO) itu berjenis kelamin perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas PRO perempuan menganggap (melihat) dirinya dominan dalam peran teknisi (technician role), yaitu suatu peran yang tugas-tugasnya mengurusi soal tulis menulis, memproduksi dan menyebarkan komunikasi seperti: press release, pidato, website, cerita feature, dan laporan tahunan. 95 Temuan di atas agaknya berbeda dengan teori yang dikemukakan oleh Dozier dan Broom (Dan Lattimore, dkk, 2008: 52) yang menjelaskan bahwa ada dua peran PR utama yang secara konsisten muncul dalam public relations (PR), yaitu: peran teknisi (technician role) dan peran manajerial (managerial role). Namun, peran manajerial cenderung tidak dijalankan oleh para PRO di perusahaan (lembaga) baik swasta maupun lembaga-lembaga pemerintahan. Dominannya salah satu peran yang dijalankan oleh praktisi PR (PRO) tersebut di atas, terutama peran teknisi (technician role) disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: dari sisi kualifikasi (latar belakang pendidikan), sebagian besar PRO tidak memiliki latar belakang pendidikan yang benar-benar relevan untuk bidang profesi public relations (kehumasan). Hanya sebagian kecil PRO yang memiliki latar belakang Ilmu komunikasi khususnya pada peminatan public relations (PR). Tetapi mayoritas perusahaan (organisasi) cenderung menganggap bahwa tidak penting seorang PRO memiliki latar belakang pendidikan Public Relations (PR) karena untuk perusahaan – perusahaan tersebut yang terpenting adalah kemampuan PRO dalam berkomunikasi. Hal ini bisa disebabkan oleh opini dan anggapan umum yang menyatakan bahwa perempuan memang diciptakan untuk dapat handal dalam berkomunikasi. Kemampuan atau bakat perempuan dalam berkomunikasi ternyata dipengaruhi oleh faktor hormonal, yaitu hormon “estrogen” yang diproduksi dalam diri perempuan yang secara alamiah hormon tersebut membuat perempuan lebih komunikatif dan lebih bisa berempati ketimbang laki-laki. Ketika hormon “estrogen” (hormon seks perempuan) memenuhi otak perempuan, secara inten perempuan mulai memfokuskan pada 96 emosi dan komunikasinya, perempuan cenderung lebih aktif berhubungan dengan teman-teman perempuannya untuk berbicara tentang banyak hal. Pada saat yang sama ketika hormon “testosteron” (hormon seks laki-laki) mempengaruhi otak laki-laki, mereka cenderung kurang komunikatif dan lebih suka menyendiri (Louann Brizendine, 2006: 7-9) 86. Selain itu, menurut Brizendine ternyata otak perempuan memiliki kemampuan yang sangat unik – yaitu memiliki kemampuan verbal yang sangat baik, memiliki kemampuan untuk menjalin persahabatan secara mendalam, kemampuan membaca raut wajah dan pikiran orang, dan kemampuan untuk mencegah konflik. Kesemua itu hanya terprogram (hard-wired) dalam otak perempuan dan merupakan bakat sejak lahir, dan bakat tersebut tidak dimiliki oleh laki-laki. Laki-laki terlahir dengan bakat lain yang dibentuk oleh realitas hormonal tersendiri. Jadi, kemampuan komunikasi perempuan dipengaruhi oleh faktor hormonal pada otaknya yang secara alamiah otak perempuan memang berbeda dengan otak laki-laki. Disamping itu, bayi perempuan secara alamiah cenderung lebih mudah beresonansi dengan ibunya ketimbang anak bayi laki-laki. Selain dipengaruhi oleh faktor hormonal sebagaimana dikemukakan di atas, ternyata model gaya komunikasi yang cenderung digunakan (disukai) perempuan juga menjadi faktor penyebab mengapa perempuan lebih cocok untuk menjalankan peran-peran teknisi komunikasi (technician roles). Hal tersebut diungkapkan oleh Aldoory & Toth (2004) 87 yang menjelaskan bahwa perempuan 86 Louann Brizendine. The Female Brain. Published by Broad way Books United States. 2006 hal: 7–9 87 Victoria Geyer-Sempel. Classroom to Boardroom: The Role of Gender in Leadership Style, stereotypes and Aptitude for Command in Public Relations. Public Relations Journal Vol. 5, No. 97 mampu berkomunikasi secara efektif dalam model komunikasi dua arah, terutama gaya komunikasi transformasional (komunikasi yang bisa menstimuli semangat) yang membuat perempuan lebih baik dalam menjalankan peran-peran teknisi komunikasi. Sementara, laki-laki lebih menyukai gaya komunikasi transaksional (ada proses negosiasi makna), oleh karena itu laki-laki lebih cocok untuk menjalankan peran- peran manajerial (managerial roles). Faktor lain yang menyebabkan PRO lebih cenderung melakukan tugastugas teknis adalah karena struktur atau posisi dalam organisasi (perusahaan), PR belum diposisikan pada posisi atau struktur puncak, dengan kata lain bahwa posisi PR hanya disejajarkan dengan fungsi-fungsi manajerial yang lain seperti keuangan, marketing, dsb. Padahal, untuk memaksimalkan peran dan fungsinya maka PRO perlu memiliki garis komunikasi yang bagus di seluruh organisasi agar PRO memperoleh informasi secara cepat atau PRO bisa diberikan informasi ketika sesuatu terjadi. Dari sisi “communication line”, Jefkins (1994: 33) mengilustrasikan garis komunikasi untuk PRO agar bisa mengakses informasi dari berbagai departemen dengan mudah maka posisinya secara struktur harus berada di leher. Struktur tersebut dipraktikkan dalam Departemen PR yaitu “British Telecom” (BT). Seperti tampak pada ilustrasi di bawah ini, 2, Spring 2011 ISSN 1942-4604 © 2011 Public Relations Society of America. Dari: http://www.prsa.org/SearchResults/download/6D050206/0/Classroom_to_Boardroom_The_Role_of_Gender_in_Leade (diakses pada tanggal 24 April 2012) 98 Chief Executive PRO Personnel R&D Puchasing Production Marketing Finance Sumber: Jefkins (1994: 33) Public Relations Techniques Berdasarkan ilustrasi di atas, posisi PRO juga menentukan apakah ia hanya dilihat atau dianggap sebagai fungsi pendukung teknis atau sebagai komunikator yang bertugas menyampaikan informasi tentang organisasi (perusahaan) kepada publik. Ketika PRO diposisikan sejajar dengan fungsi-fungsi manajerial lain seperti tampak pada gambar di atas, maka PRO cenderung hanya menjadi pelaksana keputusan-keputusan yang telah diambil oleh pimpinan puncak organisasi (perusahaan). Terjadinya ketidakseimbangan peran public relations (PR) (antara peran teknisi dan peran manajerial) juga bisa disebabkan oleh karena PR berkembang dan dianalogikan secara beragam tergantung bagaimana lembaga (orang) mempersepsikannya. Sebagian mendeskripsikan tugas PR sebagai protokoler, fotografi, tugas mengatur dan melayani wartawan, menjawab berita, mengkliping koran, mengelola buletin, event organizer sampai dengan analogi sebagai” penyelamat” organisasi dari citra buruk di mata publik. Sehingga PR dipraktikkan sesuai dengan analogi dan persepsi tersebut yang akibatnya tugas PR cenderung menjadi lebih spesifik (sempit). Sebagian PRO hanya cenderung menjalankan 99 tugas untuk berhubungan dengan publik eksternal (media), dan sebagian lagi hanya melaksanakan tugas-tugas marketing. Hal tersebut juga tercermin dari penamaan divisi atau biro yang digunakan oleh lembaga masing-masing, seperti divisi Marketing PR, dsb. Temuan penelitian tentang dominannya peran teknisi juga mengamini hasil penelitian Dozier yang mengemukakan bahwa dari sisi peran, jumlah praktisi PR yang menjalankan peran teknisi meningkat 14% dari 38% menjadi 52% dari tahun 1979 sampai dengan 1985. Sedangkan peran sebagai manajer komunikasi hanya meningkat 1% dari 18% menjadi 19%. Lalu, perempuan juga dianggap lebih luwes, menarik, empati, komunikatif, dan mampu menjalin hubungan dengan orang lain khususnya dengan publik perusahaan (organisasi). Sehingga sebagian praktisi PR (PRO) cenderung menjalankan peran sebagai penghubung (liaison) secara dominan. Citra baku (stereotip) tersebut ternyata didukung oleh para ahli. Salah satunya adalah John Gray (2002: 16) 88 yang menjelaskan bahwa perempuan secara alamiah mempunyai nilai-nilai yang berbeda dengan laki-laki. Ternyata menurut Gray perempuan itu lebih menghargai cinta (kasih sayang), komunikasi, kecantikan, dan hubungan (persahabtan). Perempuan menghabiskan waktunya untuk memberi dukungan, membantu, dan saling mengasuh satu sama lain. Perempuan juga lebih peduli dengan hidup bersama dalam harmoni, dalam komunitas, dan suka bekerja sama. Sifat-sifat yang dimiliki oleh perempuan tersebut memang sesuai dengan 88 John Gray. Men are from Mars, women are from Venus. A practical guide for improving communication and getting what you want in your relationship (PDF). Dari: http://xa.yimg.com/kq/groups/21230179/1805388939/name/ladies.pdf , diakses pada tanggal 11 Juni 2012 Jam: 12: 44 WIB 100 prinsip atau esensi dari fungsi PR (humas) yaitu untuk membangun dan memelihara hubungan harmonis antara perusahaan dengan publiknya. Dengan memiliki sifat-sifat tersebut, perempuan bisa lebih mampu mencegah konflik dan menghindari agresivitas atau tindakan-tindakan “coercive” yang tidak sesuai dengan fungsi PR dan bisa merusak citra (image) perusahaan di mata publiknya. Jadi sifat-sifat yang dimiliki perempuan sangat sesuai dengan fungsi PR di perusahaan yang bertugas untuk membangun dan memelihara hubungan harmonis dengan berbagai publiknya. Uraian di atas juga didukung oleh Grunig et.al (2001) yang menjelaskan bahwa perempuan dalam public relations adalah komunikator yang lebih baik ketimbang laki-laki, dan perempuan lebih terampil dalam bidang komunikasi yang dibutuhkan dalam public relations (PR). Selain Grunig, Florich dan Peters (2007) seperti dikutip Allex dan Reinhenbach89 dalam studinya mencatat bahwa “lakilaki kurang memiliki kepekaan (sensitivitas) dan empati terhadap pemeliharaan hubungan dengan para klien, para wartawan, dan kelompok-kelompok sasaran”. Lebih jauh, Alex dan Megan mengemukakan bahwa “Public relations practitioners must have the ability to form trusting and lasting relationships with clients. Without these connections, the field of public relations wouldn’t exist”. (Para praktisi PR harus memiliki kemampuan membangun hubungan saling percaya dan langgeng dengan para klien. Tanpa hubungan ini, bidang PR tidak akan ada). 89 Sumber: http://platformmagazine.org/2012/01/the-female-appeal-in-public-relations/, diakses pada tanggal 20 April 2012, Jam : 11: 55 WIB 101 Terkait dengan “managerial roles”, data yang diperoleh menunjukkan bahwa mayoritas PRO perempuan di perguruan tinggi tidak menjalakan peran manajerial (managerial roles). Padahal, menurut teori bahwa para PRO selain mempunyai peran teknis, mereka juga memiliki peran manajerial yang berfungsi mendukung kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh manajemen puncak melalui fungsi konseling. Sebagian besar PRO tidak menjalankan peran tersebut karena mereka lebih fokus untuk menjalankan aktivitas/kegiatan kehumasan yang bersifat teknis seperti mengedit dan menulis, mengadakan konfrensi pers, membuat rilis, menyelenggarakan event dsb. Hasil penelitian di atas juga didukung oleh Cutlip, dkk (2009: 49) yang mengemukakan bahwa PRO yang perannya lebih fokus pada aktivitas komunikasi dan aktivitas lain dalam proses komunikasi biasanya mereka bukan bagian dari lingkaran dalam manajemen. Selain itu, menurut Cutlip mereka cenderung kurang memperhatikan soal perencanaan strategis dan riset. Jadi, peran manajerial (managerial roles) bisa dijalankan oleh PRO jika mereka merupakan bagian dari lingkaran manajemen. Terkait dengan tugas atau program-program PR di perguruan tinggi, Wilcox, dkk (1995: 37) 90 mengungkapkan “public relations programs are essential to the well-being universities and colleges”. (Program public relations adalah penting untuk kesejahtraan universitas dan akademi). Menurut Wilcox bidang kegiatan dari praktisi PR perguruan tinggi bisa meliputi: a. News release – mendistribusikan informasi tentang acara-acara kampus, penelitian, dan fakultas atau pencapaian mahasiswa 90 Dennis L. Wilcox, Philip H. Ault, dan Warren K. Agee. Public Relations: Strategies and Tactics Fourth edition. Harper Collins College Publishers United States. 1995 hal: 37 102 b. Publications – persiapan brosur dan catalog berkala c. Alumni contact work – berbagai kegiatan termasuk mengadakan tur kampus d. Hubungan dengan pemerintah dan pemda e. Penggalangan dana – donasi dari lembaga, alumni, pemerintah dan kelompok kepentingan f. Rekrutmen mahasiswa g. Hubungan Internal – dengan fakultas, staff, dan badan kemahasiswaan Selanjutnya, tentang pembentukkan ‘stereotip gender’ di lembaga (perusahaan), mayoritas PRO menyatakan bahwa lembaga (organisainya) tidak pernah mensyaratkan harus ‘perempuan’ untuk posisi PRO yang akan direkrut di lembaga tersebut. Menurut para PRO, pihak lembaga juga tidak pernah membuat iklan untuk posisi PRO yang disebarluaskan kepada khalayak. Hasil analisis data juga menunjukkan bahwa tidak satupun hal yang mengindikasikan adanya pembentukkan ‘stereotip gender’ di lembaga (pendidikan tinggi). Hal tersebut terjadi dikarenakan lembaga perekrut PRO menyadari bahwa bidang profesi PR adalah suatu profesi yang sama dengan profesi-profesi lain yang menuntut pengetahuan, keterampilan atau kompetensi tertentu. Profesi ini bisa dijalani oleh perempuan ataupun laki-laki sepanjang keduanya memenuhi syarat dan memiliki standar kompetensi yang dibutuhkan oleh bidang profesi PR. Mengenai anggapan bahwa profesi PR hanya cocok untuk perempuan, hal itu terjadi karena adanya persepsi yang salah yang berkembang di masyarakat 103 tentang profesi PR. Anggapan tersebut berkembang karena banyak lembaga (perusahaan) perekrut PRO mendeskripsikan dan menganalogikan tugas PR sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Sehingga tugas PR menjadi lebih sempit dan profesi ini cenderung menjadi ‘bias gender’ yang diindikasikan oleh banyaknya lembaga perekrut PRO yang membuat iklan dan mensyaratkan ‘perempuan’ untuk calon PRO yang akan direkrutnya. Padahal, sejauh ini belum ada hasil penelitian di Indonesia yang menyatakan bahwa dunia PR lebih membutuhkan perempuan ketimbang laki-laki, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa profesi tersebut sudah menjadi tren profesi perempuan. Realitas di atas juga didukung oleh para praktisi PR di Indonesia antara lain ’Wisnu Juwono’- Kepala kantor Komunikasi dan Humas Universitas Indonesia (UI) yang menyatakan bahwa tidak seharusnya ada bias gender untuk bidang profesi PR. Karena PR merupakan profesi yang umum dan faktanya juga menunjukkan bahwa banyak para praktisi PR yang handal yang memegang peranan penting juga laki-laki. Misalnya saja Wimar Witoelar adalah PR di jaman Presiden Abdurahman Wahid, demikian pula PR Presiden SBY, termasuk sekretarisnya Presiden AS Barrac Obama. Jadi, memang seharusnya bidang profesi PR bisa dijalani oleh perempuan atau laki-laki tanpa ada bias gender. Terkait dengan pertanyaan “apakah ada pertentangan antara profesi PR dengan gender perempuan (peran gender)”? Mayoritas PRO menyatakan bahwa mereka tidak merasakan (mengalami) adanya pertentangan antara profesinya sebagai PRO dengan ‘peran gender-nya’ sebagai perempuan. Hal tersebut cukup beralasan karena tugas-tugas yang dijalankan para PRO cenderung lebih spesifik 104 dan tidak sekompleks tugas-tugas yang dijalankan oleh PRO pada perusahaanperusahaan atau bisnis murni seperti perusahaan pertambangan dan perusahaan penghasil produk-produk yang tantangan dan risikonya jauh lebih besar. Namun demikian, pengelolaan waktu sangat penting diperhatikan oleh PRO, karena selain menjalankan profesinya sebagai PRO mereka juga dituntut menjalankan ‘peran gender-nya’ sebagai perempuan. Lantas, apa alasan para PRO memilih profesi PR? Hasil analisis data menunjukkan bahwa sebagian besar PRO memilih profesi PR lebih karena adanya peluang atau kesempatan di bidang profesi tersebut. Bagi sebagian besar PRO ternyata profesi PR bukan merupakan suatu profesi yang dicita-citakan sejak awal. Jadi, mereka menjalani bidang profesi PR lebih karena adanya peluang di bidang profesi tersebut yang didukung oleh adanya relasi, jadi masuknya para PRO ke perusahaan juga tidak terlepas dari relasi pribadi mereka dengan organisasi yang bersangkutan. Walaupun dari sisi latar belakang pendidikan kurang sesuai untuk bidang profesi PR, namun karena adanya relasi, mereka bisa menjadi praktisi PR di perusahaan (organisasi). Tentang keterlibatan PRO dalam pembuatan keputusan, hasil analisis data menunjukkan bahwa sebagian besar PRO tidak terlibat dalam pengambilan keputusan strategis di level organisasi. Kendatipun PRO terlibat dalam pembuatan keputusan, namun hanya ketika keputusan yang diambil terkait dengan bidang PR (kehumasan). Hal itu terjadi karena sebagian besar PRO memang lebih banyak diberikan tugas-tugas teknis yang bertanggung jawab untuk mengkomunikasikan berbagai kebijakan yang telah diambil oleh pihak manjemen kepada publik. Selain 105 itu, mayoritas PRO tidak berada dalam lingkaran manajemen di organisasi yang bersangkutan. Temuan di atas diperkuat oleh Cutlip, dkk (2009: 49) yang menjelaskan bahwa PRO yang perannya lebih fokus pada aktivitas komunikasi dan aktivitas lain dalam proses komunikasi biasanya mereka bukan bagian dari lingkaran dalam manajemen. Selain itu, mereka cenderung kurang berminat kepada perencanaan strategis dan riset. Oleh karena itu, peran manajerial (managerial role) bisa dijalankan oleh PRO jika mereka merupakan bagian dari lingkaran manajemen. Kemudian, dari sisi fungsi, hasil analisis data memperlihatkan bahwa sebagian besar PRO secara dominan menjalankan fungsi pemasaran (marketing communication). Hal ini terjadi bisa disebabkan oleh beberapa hal, antara lain adalah adanya konsep tentang ‘Komunikasi Pemasaran Terpadu’ atau yang sering disebut “Integrated Marketing Communication (IMC)”. IMC merupakan sebuah proses perencanaan komunikasi marketing yang memperkenalkan konsep perencanaan komprehensif untuk mengevaluasi peranan strategis dari berbagai elemen komunikasi pemasaran, seperti public relation, advertising, direct selling, sales promotion, dan interactive marketing, untuk memberikan kejelasan, konsistensi, serta pengaruh komunikasi yang maksimum. Komunikasi Pemasaran Terpadu merupakan sebuah proses strategi bisnis dalam mengelola hubungan dengan konsumen yang intinya untuk menggerakkan brand value. Komunikasi Pemasaran Terpadu tidak hanya menggunakan iklan (advertising) melainkan juga public relations (PR). 106 Alasan lain mengapa fungsi marketing lebih dominan dijalankan oleh PRO, bisa jadi karena sebagian besar PRO tidak memiliki latar belakang pendidikan yang relevan untuk bidang profesi PR. Sehingga PRO lebih cenderung menjalankan tugas-tugas pemasaran (komunikasi pemasaran) yang menurut dokumen PRSA adalah merupakan salah satu komponen dasar public relations.