BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Tinjauan Tentang Obesitas 2.1.1.1 Pengertian Obesitas Obesitas adalah kelebihan lemak dalam tubuh, yang umumnya ditimbun dalam jaringan subkutan (bawah kulit), sekitar organ tubuh dan katand terjadi perluasan ke dalam jaringan organnya. Dijelaskan pula bahwa Obesitas yaitu kegemukan atau kelebihan berat badan yang melampaui berat badan normal (Misnadiarly, 2007) . Menurut Sumanto (2009) bahwa obesitas merupakan keadaan yang menunjukkan ketidakseimbangan antara tinggi dan berat badan akibat jaringan lemak dalam tubuh sehingga terjadi kelebihan berat badan yang melampaui ukuran ideal. 2.1.1.2 Epidemiologi dan Patofisioligi Obesitas Timbulnya obesitas lebih ditentukan oleh terlalu banyaknya makan, terlalu sedikitnya aktivitas atau latihan fisik maupun keduanya. Menurut Misnardiarly (2007) bahwa faktor-faktor yang berperan dalam timbulnya obesitas yakni bila makanan melebihi kebutuhan faali. Seperti diketahui, bahanbahan yang terkandung dalam makanan sehari-hari akan menjadi penyusun tubuh setelah melalui berbagai proses dengan mekanisme pengaturan yang meliputi (a) penyerapan dalam saluran pencernaan, (b) metabolisme dalam jaringan, (c) pengeluaran oleh alat-alat ekskresi. Dijelaskan pula oleh Misnardiarly (2007) bahwa beberapa faktor yang diketahui mempengaruhi mekanisme pengaturan tersebut antara lain umur, jenis kelamin, tingkat sosial, aktivitas fisik, kebiasaan makan, faktor psikologis dan faktor genetis. 1) Umur Meskipun dapat terjadi pada semua umur, obesitas sering dianggap sebagai kelainan pada umur pertengahan. Obesitas yang muncul pada tahun pertama kehidupan biasanya disertai perkembangan rangka yang cepat dan anak menjadi besar untuk umurnya. Anak-anak yang mengalami obesitas cenderung menjadi orang dewasa yang juga obesitas. Obesitas pada anak muda sering dijumpai dalam keluarga mampu, tetapi akan sulit dijumpai pada keluarga miskin. 2) Jenis Kelamin Jenis kelamin tampaknya juga ikut berperan dalam timbulnya obesitas. Meskipun dapat terjadi pada kedua jenis kelamin, tetapi obesitas lebih umum dijumpai pada wanita terutama setelah kehamilan dan pada saat menopause. Pada saat kehamilan jelas karena adanya peningkatan jaringan adiposa sebagai simpanan yang akan diperlukan selama masa menyusui. Mungkin juga obesitas pada wanita disebabkan karena pengaruh faktor endoktrin, karena kondisi ini muncul pada saat-saat adanya perubahan hormonal tersebut di atas. 3) Tingkat Sosial Di negara-negara barat, obesitas banyak dijumpai pada golongan sosialekonomi rendah. Salah satu survei di Manhattan menunjukan bahwa obesitas dijumpai 30% pada kelas sosial-ekonomi rendah, 17% pada kelas menengah, dan 5% pada kelas atas. Obesitas banyak dijumpai pada wanita keluarga miskin barangkali karena sulitnya membeli makanan yang tinggi kandungan protein. Mereka hanya mampu membeli makanan murah yang umumnya mengandung banyak hidrat arang. Obesitas yang dijumpai pada kalangan eksekutif atau usahawan, barangkali timbul karena makanan berlemak tinggi disertai penggunaan minuman beralkohol. 4) Aktivitas Fisik Obesitas banyak dijumpai pada orang yang kurang melakukan aktifitas fisik dan kebanyakan duduk. Di masa industri sekarang ini, dengan meningkatnya mekanisasi dan kemudahan transportasi, orang cenderung kurang gerak atau menggunakan sedikit tenaga untuk aktivitas sehari-hari. 5) Kebiasaan Makan Obesitas sering dijumpai pada orang yang senang masak atau bekerja di dapur. Di samping itu juga dijumpai pada orang yang memiliki gejala suka makan pada waktu malam. Ini biasa menyertai insomnia dan hilangnya nafsu makan pada waktu pagi hari. Ada sementara orang beranggapan bahwa semua orang gemuk adalah orang yang suka makan. Ternyata beberapa peneliti menunjukkan bahwa orang gemuk tidak makan lebih banyak dibanding orang kurus. Bahkan terkadang orang kurus menyatakan sudah makan banyak tetapi tetap kurus. 6) Faktor Psikologis Faktor stabilitas emosi diketahui berkaitan dengan obesitas. Keadaan obesitas dapat merupakan dampak dari pemecahan masalah emosi yang dalam dan ini merupakan suatu pelindung penting bagi yang bersangkutan. Dalam keadaan semacam ini menghilangkan obesitas tanpa menyediakan pemecahan alternatif yang memuaskan, justru akan memperberat masalah. 7) Faktor Genetis Faktor genetis merupakan salah satu faktor yang juga berperan dalam timbulnya obesitas. Telah lama diamati bahwa anak-anak obesitas umumnya berasal dari keluarga dengan orangtua obesitas. Bila salah satu orang tua obesitas kira-kira 40-50% anak-anaknya akan menjadi obesitas, sedangkan bila kedua orang tua obesitas, 80% anak-anaknya akan menjadi obesitas. Pengamatan selama setahun terhadap bayi-bayi yang ibunya obesitas menunjukkan bahwa 50% di antaranya menjadi obesitas bukan karena makannya yang berlebihan. Dikatakan bahwa pada bayi-bayi tersebut terdapat pengurangan kalori yang dibakar. Jadi, diduga bahwa beberapa orang memang secara genetis sudah terprogram untuk obesitas. 2.1.1.3 Tipe-Tipe Obesitas Berdasarkan kondisi selnya, kegemukan dapat digolongkan dalam beberapa tipe (Purwati, 2001) yaitu: 1) Tipe hiperplastik, adalah kegemukan yang terjadi karena jumlah sel yang lebih banyak dibandingkan kondisi normal, tetapi ukuran sel-selnya sesuai dengan ukuran sel normal terjadi pada masa anak-anak. Upaya menurunkan berat badan ke kondisi normal pada masa anak-anak akan lebih sulit. 2) Tipe hipertropik, kegemukan ini terjadi karena ukuran sel yang lebih besar dibandingkan ukuran sel normal. Kegemukan tipe ini terjadi pada usia dewasa dan upaya untuk menurunkan berat akan lebih mudah bila dibandingkan dengna tipe hiperplastik. 3) Tipe hiperplastik dan hipertropik kegemukan tipe ini terjadi karena jumlah dan ukuran sel melebihi normal. Kegemukan tipe ini dimulai pada masa anak-anak dan terus berlangsung sampai setelah dewasa. Upaya ini menurunkan berat badan pada tipe ini merupakan yang paling sulit, karena dapat beresiko terjadinya komplikasi penyakit, seperti penyakit degenaratif. 2.1.1.4 Penentuan Obesitas Keadaan obesitas ditentukan dengan mengklasifikasikan status gizi berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks Masa Tubuh (IMT) merupakan rumus matematis yang berkaitan dengan lemak tubuh orang dewasa dan dinyatakan sebagai berat badan dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam ukuran meter (Arisman, 2007). Rumus menentukan IMT : Rumus IMT : IMT = BB/TB2 Keterangan : IMT : Indeks Massa Tubuh (Kg/m2) BB : Berat Badan (Kg) TB : Tinggi Badan (m2) Tabel 2.1 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (Body Mass Index, BMI) BMI < 18,5 18,5 – 24,9 25,0 – 29,9 30,0 – 34,9 35,0 – 39,9 ≥ 40,0 Sumber : WHO NCHS 2005 Klasifikasi Berat badan di bawah normal Normal Normal tinggi Obesitas tingkat 1 Obesitas tingkat 2 Obesitas tingkat 3 Selain Indeks Masa Tubuh (IMT), cara menentukan berat badan dapat pula dilakukan dengan Indeks Broca. Di Indonesia, pada umumnya memakai cara ini untuk menentukan berat badan normal dan ideal (Misnadiarly, 2007). Berat Badan Normal = Tinggi Badan (cm) – 100Kg Berat Badan Ideal = Berat Badan Normal – 10%Kg Contohnya Seorang wanita memiliki tinggi badan 150cm, berat badan 60Kg Berat Badan Normal = 150 -100Kg Berat Badan Ideal = 50-5Kg Berarti orang ini kelebihan berat 15 Kg (Lebih dari 20%) termasuk obes. 2.1.1.5 Manifestasi dan Komplikasi Menurut Misnadiarly (2007) bahwa manifestasi klinis dan komplikasi yang sering ditemukan pada obesitas adalah: 1) Jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) - Hipertensi - Penyakit arteri koroner - Kegagalan jantung 2) Paru-paru (pulmonal) - Sindrom Pickwickian - Infeksi saluran pernapasan 3) Endokrin dan metabolik - Diabetes melitus - Perlemakan hati - Hipertrigliserid 4) Saluran pencernaan (gastrointestinal) - Kolelitiasis (batu kandung empedu) - Kolesistitis (radang kandung empedu) 5) Tulang dan sendi - Osteoarthritis 6) Problem psikiatri dan sosial Menurut Purwati (2001) bahwa dari segi fisik, orang yang mengalami obesitas akan merasa kurang percaya diri, sehingga seringkali akan mengalami tekanan, baik dari dirinya sendiri maupun dari lingkungannya. Ditambahkan pula oleh Misnadierly (2007) bahwa orang dengan obesitas akan lebih mudah terserang penyakit degeneratif antara lain: 1) Hipertensi Orang-orang dengan obesitas akan mempunyai resiko yang tinggi terhadap penyakit hipertensi. Menurut hasil penelitian menunjukkan bahwa pada usia 20-39 tahun orang obesitas mempunyai resiko dua kali lebih besar terserang hipertensi dibandingkan dengan orang yang mempunyai berat badan normal (Wirakusumah, 1994). 2) Jantung koroner Penyakit jantung koroner adalah penyakit yang terjadi akibat penyempitan pembuluh darah koroner. Hasil penelitian menyebutkan bahwa dari 500 penderita obesitas, sekitar 88% mendapat resiko terserang penyakit jantung koroner. Meningkatnya faktor resiko penyakit jantung koroner sejalan dengan terjadinya penambahan berat badan seseorang. Penelitian lain juga menunjukkan kegemukan yang terjadi pada usia 20-40 tahun ternyata berpengaruh lebih besar terjadinya penyakit jantung dibandingkan kegemukan yang terjadi pada usia yang lebih tua (Purwati, 2001). 3) Diabtes Melitus Diabetes melitus dapat disebut penyakit keturunan, tetapi kondisi tersebut tidak selalu timbul jika seseorang tidak kelebihan berat badan. Lebih dari 90% penderita diabetes melitus tipe serangan dewasa adalah penderita kegemukan. Pada umumnya penderita diabetes mempunyai kadar lemak yang abnormal dalam darah. Maka, dianjurkan bagi penderita diabetes yang ingin menurunkan berat badan sebaiknya dilakukan dengan mengurangi konsumsi bahan makanan sumber lemak dan lebih banyak mengkonsumsi makanan tinggi serat (Purwati, 2001). 4) Gout Penderita obesitas mempunyai resiko tinggi terhadap penyakit radang sendi yang lebih serius jika dibandingkan dengan orang yang berat badannya ideal. Penderita obesitas yang juga menderita gout harus menurunkan berat badannya secara perlahan-lahan (Purwati, 2001). 5) Batu Empedu Penderita obesitas mempunyai resiko terserang batu empedu lebih tinggi karena ketika tubuh mengubah kelebihan lemak makanan menjadi lemak tubuh, cairan empedu lebih banyak diproduksi di dalam hati dan disimpan dalam kantong empedu. Penyakit batu empedu lebih sering terjadi pada penderita obesitas tipe buah apel. Penurunan berat badan tidak akan mengobati penyakit batu empedu, tetapi hanya membantu dalam pencegahannya. Sedangkan untuk mengobati batu empedu harus menggunakan sinar ultrasonic maupun melalui pembedahan (Andrianto, 2000). 2.1.1.6 Penatalaksanaan Obesitas Prinsip pengobatan obesitas adalah pertama mencegah komplikasi dan menurunkan gejala klinis yang timbul karena obesitas. Yang kedua, pengobatan untuk menurunkan berat badannya (Misnadiarly, 2007). 1) Program menurunkan berat badan a) Diet bebas dengan pemberian kalori rata-rata 900-1700 kalori. Diet ini umumnya diberikan pada obesitas derajat ringan. b) Diet rendah karbohidrat, diet ini sangat efektif, karena dapat mencegah lipogenesis (pembentukan jaringan lemak). Kalori yang diberikan rata-rata 1300 kalori. Diet ini dapat digunakan bagi obesitas derajat sedang. 2) Kelaparan Pengobatan dengan kelaparan total dapat dilakukan selama 2-3 hari secara periodik agar tidak timbul komplikasi karena kelaparan seperti naiknya asam urat dalam darah, hipertensi, kadang timbul aritmi jantung. Pengobatan ini dapat diberikan pada obesitas berat. 3) Olahraga Tujuan latihan jasmani adalah meningkatkan penggunaan kalori. Untuk aktivitas ringan dibutuhkan 1.5 – 2.0 kcal/menit, aktivitas sedang 3.57.0 kcal/menit, pada aktivitas berat 7.4 kcal/menit atau lebih. 4) Pembedahan Pembedahan dilakukan apabila ada indikasi jelas, misalnya pada morbid obesity atau malignant obesity. 2.1.2 Tinjauan Tentang Hipertensi 2.1.2.1 Pengertian Hipertensi Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala yang akan berlanjut ke suatu organ target seperti stroke (untuk otak), penyakit jantung koroner (untuk pembuluh darah jantung) dan hipertrofi ventrikel kanan/left ventricle hypertrophy (untuk otot jantung). Dengan target organ di otak yang berupa stroke, hipertensi menjadi penyebab utama stroke yang membawa kematian yang tinggi (Bustan, 2007). Istilah hipertensi diambil dari bahasa Inggris ”hypertension”. Hypertension merupakan istilah kedokteran yang populer untuk menyebutkan penyakit darah tinggi. Hipertensi atau lebih dikenal dengan penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan dimana seorang mengalami peningkatan darah di atas normal yaitu lebih dari 140/90 mmHg (Rahma, 2009) Menurut Apriyanti (2012) bahwa tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah kondisi medis di mana terjadi peningkatan tekanan darah secara kronis (dalam jangka waktu lama). Penderita yang mempunyai sekurang-kurangnya tiga bacaan tekanan darah yang melebihi 140/90 mmHg saat istirahat diperkirakan mempunyai keadaan darah tinggi. Tekanan darah yang selalu tinggi adalah salah satu faktor resiko untuk stroke, serangan jantung, gagal jantung dan aneurisma arterial dan merupakan penyebab utama gagal jantung kronis. Pada pemeriksaan tekanan darah akan didapat dua angka. Angka yang lebih tinggi diperoleh pada saat jantung berkontraksi (sistolik), angka yang lebih rendah diperoleh pada saat jantung berkontraksi (sistolik), angka yang lebih renda diperoleh pada saat jantung berelaksasi (diastolik). Tekanan darah kurang dari 120/80 mmHg didefinisikan sebagai normal. 2.1.2.2 Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO (World Health Organization), organisasi kesehatan dunia di bawah PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), klasifikasi tekanan darah tinggi sebagai berikut. 1) Tekanan darah normal, yakni jika sistolik kurang atau sama dengan 140 dan diastolik kurang atau sama dengan 90mmHg. 2) Tekanan darah perbatasan, yakni sistolik 141-149 dan diastolik 9194mmHg. Tekanan darah tinggi atau hipertensi, yakni jika sistolik lebih besar atau sama dengan 160mmHg dan diastolik lebih besar atau sama dengan 95mmHg. Jenis hipertensi menurut Bustan (2007) menurut beratnya atau tingginya peningkatan tekanan darah terbagi menjadi tiga yakni hipertensi ringan, hipertensi sedang dan hipertensi berat. (1) Hipertensi ringan yakni tekanan sistole 140-150 mmHg dan diastole 90-100 mmHg, (2) Hipertensi sedang keadaan yakni tekanan darah sistole 160-180 mmHg dan diastole 100-110 mmHg, dan (3) Hipertensi berat yakni tekanan darah sistole lebih dari 185 mmHg dan diastole lebih dari 110 mmHg. Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi Kategori Optimal Normal Tingkat 1 (Hipertensi ringan) Sub grup : perbatasan Tingkat 2 (hipertensi sedang) Tingkat 3 (hipertensi berat) Hipertensi sistol terisolasi Sub grup : perbatasan Sistol (mmHg) < 120 < 130 140 - 159 140- 159 160 - 179 ≥ 180 ≥ 140 140 - 149 Diastol (mmHg) <80 < 85 90 – 99 90 – 94 100 – 109 ≥ 110 > 90 < 90 2.1.2.3 Penyebab Hipertensi Penyebab terjadinya hipertensi di bagi 2 golongan,yaitu (1) hipertensi essensial/primer, yaitu hipertensi yang tidak di ketahui penyebabnya,dan ada kemungkinan karena faktor keturunan atau genetik ( 90% ) dan (2) hipertensi sekunder, yaitu hipertensi merupakan akibat dari adanya penyakit lain seperti kelainan pembuluh ginjal dan ganguan kelenjar tiroid ( 10% ). Faktor ini biasanya juga erat hubungannya dengan gaya hidup dan pola makan yang kurang baik. Faktor makanan yang sangat berpengaruh adalah kelebihan lemak (obesitas), konsumsi garam dapur yang tinggi,merokok,dan minuman alkohol. (Adip 2009). Menurut Apriyanti (2012) bahwa penyebab hipertensi dapat dibagi menjadi dua yakni hipertensi primer (esensial) adalah hipertensi yang tidak atau belum diketahui penyebabnya (terdapat pada kurang lebih 90% dari seluruh hipertensi). Sedangkan hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan sebagai akibat dari adanya penyakit lain. Dijelaskan pula oleh Apriyanti (2012) bahwa hipertensi primer adalah suatu kondisi yang lebih sering terjadi pada banyak orang. Penyebab dasar yang mendasarinya tidak terlalu diketahui, namun dapat terdiri dari beberapa faktor lain yakni tekanan tidak terdeteksi (diastolik < 90 mHg, sistolik > 105 mm Hg), peningkatan kolesterol plasma (>240 – 250 mmHg), kebiasaan merokok/alkohol, kelebihan berat badan/kegemukan obesitas, kurang olahraga, penggunaan garam yang berlebihan, peradangan ditandai peningkatan C reactive, gagal ginjal (renal insufficiency), faktor genetik/keturunan dan usia. Sedangkan penyebab hipertensi sekunder yakni penyakit ginjal, kelainan hormonal, obat-obatan, penyebab lain. 2.1.2.4 Patofisiologi Mekanisme yang mengontrol konstruksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada medula diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula dari syaraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari molumina spinalis ke gonglia simpatis thoraks dan abnomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk implus yang bergerak ke bawah melalui sistem saraf simpatis ke gonglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetil kolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, di mana dengan di lepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respons pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin. Meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal itu bisa terjadi. Pada saat bersamaan di mana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsangan emosi. Kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriski. Medula adrenal mensekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi, korteks adrenal mensekresi kortisal dan steroid lainnya yang dapat memperkuat respons vasokontriktor, pembuluh darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin-renin merangsang angiotension II suatu vasokontriksi kuat yang pada gilirannya merangsang sekresi aidosteron oleh korteks adreal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskular. Semua faktor tersebt cenderung mencetuskan hipertensi (Brunner dan Suddarth : 2002) 2.1.2.5 Faktor-Faktor Resiko Hipertensi Banyak faktor resiko hipertensi. Menurut Julianti (2005) bahwa faktor resiko hipertensi meliputi: 1) Faktor usia sangat berpengaruh terhadap hipertensi karena dengan bertambahnya umur maka semakin tinggi mendapat resiko hipertensi. Insiden hipertensi makin meningkat dengan meningkatnya usia. Ini sering disebabkan oleh perubahan alamiah di dalam tubuh yang mempengaruhi jantung,pembuluh darah dan hormon. Hipertensi pada yang berusia kurang dari 35 tahun akan menaikkan insiden penyakit arteri koroner dan kematian prematur (Julianti, 2005) 2) Jenis kelamin juga sangat erat kaitannya terhadap terjadinya hipertensi dimana pada masa muda dan paruh baya lebih tinggi penyakit hipertensi pada laki-laki dan pada wanita lebih tinggi setelah umur 55 tahun, ketika seorang wanita mengalami menopause. 3) Riwayat keluarga juga masalah yang memicu masalah hipertensi. Hipertensi merupakan penyakit keturunan, jika seorang dari orang tua kita memili riwayat hipertensi maka sepajang hidup kita memiliki kemungkinan 25% terkena hipertensi (Astawan,2002) 4) Garam dapur merupakan faktor yang sangat dalam patogenesis hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan hipertensi yang rendah jika asupan garam antara 5-15 gram perhari, prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20%. Pengaruh asupan garam terhadap timbulnya hipertensi terjadai melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah (Basha, 2004). Garam mengandung 40% sodium dan 60% klorida. Orang-orang peka sodium lebih mudah meningkat sodium, yang menimbulkan retensi cairan dan peningkatan tekanan darah (Sheps, 2000). Garam berhubungan erat dengan terjadinya tekanan darah tinggi gangguan pembuluh darah ini hampir tidak ditemui pada suku pedalaman yang asupan garamnya rendah. Jika asupan garam kurang dari 3 gram sehari prevalensi hipertensi presentasinya rendah, tetapi jika asupan garam 5-15 gram perhari, akan meningkat prevalensinya 15-20% (Wiryowidagdo, 2004). 5) Merokok merupakan salah satu faktor yang dapat diubah, adapun hubungan merokok dengan hipertensi adalah nikotin akan menyebabkan peningkatan tekana darah karena nikotin akan diserap pembulu darah kecil dalam paru-paru dan diedarkan oleh pembulu darah hingga ke otak, otak akan bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas efinefrin (Adrenalin). Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi. Selain itu, karbon monoksida dalam asap rokok menggantikan oksigen dalam darah. Hal ini akan menagakibatkan tekanan darah karena jantung dipaksa memompa untuk memasukkan oksigen yang cukup kedalam orga dan jaringan tubuh (Astawan, 2002). 6) Aktivitas sangat mempengaruhi terjadinya hipertensi, dimana pada orang yang kuat aktvitas akan cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tingi sehingga otot jantung akan harus bekerja lebih keras pada tiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung memompa maka makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri (Amir, 2002). 7) Stress juga sangat erat merupakan masalah yang memicu terjadinya hipertensi dimana hubungan antara stress dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Stress yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota (Dunitz, 2001). 2.1.2.6 Manifestasi Klinik Manifestasi klinik bagi penderita hipertensi adalah sebagai berikut: 1) Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala. 2) Gejala yang lain adalah sakit kepala, epistaksis, marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, mata berkunang-kunang dan pusing (Arif, 2001). Dijelaskan pula oleh Arif (2001) bahwa akibat dari hipertensi yakni terjadi stroke, terjadi penyakit jantung dan terjadi penyakit ginjal. Sejalan dengan hal tersebut maka dapat dilakukan perawatan hipertenis yakni dengan menghindari faktor penyebab hipertensi, memeriksakan diri ke puskesmas, mengatur pola makan dan olah raga teratur, dan mengkonsumsi sayur dan buah. Penyakit hipertensi dapat dicegah dengan mengatur pola makan yang memiliki gizi seimbang, olahraga secara teratur, hindari merokok, hindari stress, hindari minuman beralkohol, dan hindari makanan yang mengandung kolesterol (Arif, 2001). Pemeriksaan laboratorium rutin yang dilakukan sebelum memulai terapi bertujuan menetukan adanya kerusakan organ dan faktor resiko lain atau mencari penyebab hipertensi. Biasanya diperiksa urinalisa, darah perifer lengkap, kimia darah (kalium, natrium, kreatinin, gula darah puasa, kolestrol total dan E K G (Arif, 2001). 2.1.2.7 Penatalaksanaan Dijelaskan pula oleh Arif (2001) bahwa penatalaksanaan hipertensi adalah menurunkan resiko penyakit kardiovaskular dan mortalitas serta morbiditas yang berkaitan. Tujuan terapi adalah mencapai dan mempertahankan tekanan sistolik di bawah 140 mmHg dan tekanan diastolik di bawah 90 mmHg dan mrngontrol faktor resiko. Hal ini dapat dicapai melalui modifikasi gaya hidup saja, atau dengan obat anti hipertensi. 2.2 Kerangka Berpikir 2.2.1 Kerangka Teori Gaya hidup Hipertensi Obesitas Pola Konsumsi Gambar 2.1 kerangka Teori 2.2.2 Kerangka Konsep Hipertensi Obesitas Keterangan = Variabel Independen = Variabel dependen Gambar 2.2 Kerangka Konsep 2.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran diatas dapat diajukan hipotesis yakni : Hipotesis penelitian : Terdapat hubungan antara obesitas dengan kejadian hipertensi pada masyarakat diwilayah kerja puskesmas tapa. Hipotesis statistik Ho = Tidak ada hubungan antara obesitas dengan kejadian hipertensi pada masyarakat di wilayah kerja puskesmas tapa. H1= Ada hubungan antara obesitas dengan kejadian hipertensi pada masyarakat di wilayah kerja puskesmas tapa.