1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Dalam ilmu politik

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Dalam ilmu politik, karakter terkecil dari kegiatan politik biasanya terdiri
dari tiga orang yang berinteraksi. Kenapa tiga orang dan bukan dua? Dalam
hubungan dua orang, interaksinya bersifat langsung: ”aku” berinteraksi dengan
”aku kedua”. Sedangkan pada hubungan tiga orang, ia memiliki semua
karakteristik yang dimiliki dua orang; dan dengan ditambahkan ”aktor ketiga”,
suasana menjadi lebih kompleks. Ada lompatan jumlah nuansa ungkapan dan
makna.
Pada tataran ini, ada kemungkinan dua aktor akan bersekongkol melawan
aktor ketiga. Politik berkembang apabila seseorang aktor diberikan kesempatan
untuk mewasiti dua atau lebih aktor lain; sebuah situasi dimana dua aktor dapat
mengurangi kekuasaan aktor lain. Ini memperlihatkan adanya suatu hubungan
yang melibatkan peran ”penguasa” dan ”yang dikuasai”, sekalipun tingkat
interaksi itu sangat informal.
Secara interaksional, ia memang berada pada domain komunikasi. Namun,
pada saat yang sama, komunikasi politik telah menjembatani dua disiplin dalam
ilmu sosial: komunikasi dan politik. Setiap sistem politik, sosialisasi dan
perekrutan politik, kelompok-kelompok kepentingan, penguasa, peraturan, dan
sebagainya dianggap bermuatan komunikasi.
1
Sebab, jika fenomena politik hanya hendak dilihat dari kacamata interaksi,
sebenarnya ia sudah cukup bisa didekati dengan komunikasi yang mengandung
banyak varian di tubuhnya, seperti dramaturgi, cultural studies, interaksionisme
simbolik, etnometodologi, semiotika, dekonstruksi, ataupun agains method-nya
Paul Feyerabend.
Di zaman dimana ilmu saling silang bersilang, lintas batas, zamanlah yang
menentukan apakah komunikasi politik sebagai bagian dari ilmu pengetahuan bisa
bertahan sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan kemanusiaan dan
pencarian kebenaran, bukan dalam sebuah jendela dari sekian banyak jendela
untuk melihat suatu realitas fisik yang tunggal, tetapi dalam sebuah dunia yang
egaliter dan pluralitas yang rendah hati.
Politik seperti halnya komunikasi adalah proses, politik melibatkan
pembicaraan. Pembicaraan ini bukan dalam arti sempit seperti kata yang
diucapkan, melainkan pembicaraan dalam arti yang lebih inklusif, yang berarti
segala cara orang bertukar simbol, kata-kata yang dituliskan dan diucapkan,
gambar, gerakan, sikap tubuh, perangai dan pakaian (Nimmo, 2000:8). Ilmuwan
politik Mark Roeloffs mengatakan dengan cara sederhana, politik adalah
pembicaraan; atau lebih tepat kegiatan politik (berpolitik) adalah berbicara. Ia
menekankan bahwa politik tidak hanya pembicaraan, juga tidak semua
pembicaraan adalah politik. Akan tetapi ”hakikat pengalaman politik dan bukan
hanya kondisi dasarnya, ialah bahwa politik adalah kegiatan komunikasi antar
orang-orang, (Roelofs dalam Nimmo, 2000:8).
2
Beberapa ilmuwan melihat komunikasi politik sebagai suatu pendekatan
dalam pembangunan politik. Karena itu komunikasi politik dianggap memiliki
fungsi yang sangat istimewa karena meletakkan basis untuk menganalisis
permasalahan yang muncul dan berkembang dalam keseluruhan proses dan
perubahan politik suatu bangsa. Bahkan Plano (Mulyana, 2007:29) melihat bahwa
”komunikasi politik merupakan proses penyebaran, makna atau pesan yang
bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik”.
Komisi untuk studi masalah komunikasi yang dibentuk oleh UNESCO
pada tahun 1980 menyelenggarakan sebuah kajian yang menghasilkan sebuah
rekomendasi global yang diberi judul Many Voices One World atau Aneka Suara
satu Dunia. Salah satu amatannya adalah pernyataan yang tegas bahwa
komunikasi secara keseluruhan tidak dapat dimengerti apabila tidak dihubungkan
dengan dimensi politik; masalah-masalahnya tidak dapat disesuaikan apabila tidak
diperhatikan hubungan-hubungan politiknya.
Kekuasaan adalah inti dari politik, karena kekuasaanlah yang menentukan
apakah yang bersangkutan memang memegang ”kuasa” tersebut. Bagaimana
caranya? Tidak lain adalah dengan meletakkan komunikasi sebagai sebuah politik.
Mengikuti Jurgen Habermas, teoritisi kritis dari Jerman, komunikasi adalah proses
perebutan pengaruh yang paling demokratis yang pernah ada. Ada beberapa
”modal” untuk mempunyai kekuasaan. Beberapa yang cukup efektif adalah:
Kekuatan fisik (termasuk militer), Uang (termasuk harta benda), Jabatan,
Pemerasan.
3
Keempat ”modal” tersebut memang efektif dalam meraih kekuasaan,
namun keempatnya adalah sarana yang tidak cukup fair dibanding komunikasi. Di
dalam komunikasi mereka yang berebut kekuasaan harus mampu mempengaruhi
orang banyak, baik dengan cara-cara yang karismatikal ataupun cara-cara yang
intelektual.
Disini kita melihat bahwa, komunikasi sebagai politik menjadi ”lahan”
perebutan pemegang kekuasaan. Tak kurang dari akademisi Sibernetik yang
mengabsahkan bahwa information is the power yang menegaskan bahwa
penguasa informasi adalah pemegang kekuasaan yang sesungguhnya. Komunikasi
dipahami sebagai sebuah media ( medium is the message ) untuk mengabsahkan
kekuasaan.
Selain daripada itu, Dan Nimmo mengatakan bahwa banyak aspek
kehidupan politik dapat dilukiskan sebagai komunikasi. Komunikasi politik
adalah kegiatan komunikasi yang dinggap komunikasi politik berdasarkan
konsekuensi-konsekuensinya (aktual maupun potensial) yang mengatur perbuatan
manusia dalam kondisi-kondisi konflik (Nimmo, 2000:9).
Sementara itu Gerceau (dalam Nimmo, 2000:21) mengatakan komunikasi
politik merupakan proses politik, karena itu bisa dipahami dan dipelajari sebagai
pola interaksi yang berganda, setara, bekerja sama, dan bersaingan yang
menghubungkan warga negara partisipan yang aktif dalam posisi utama pembuat
keputusan. Ia mengemukakan bahwa beberapa hubungan itu tak langsung tetapi
merupakan reaksi berantai yang sinambung secara layak, membentengi seluruh
jarak politik, namun banyak pola yang bermakna hanya membentang separuh
4
jalan, baik dari kutub atau segmen tanpa dampak yang mudah tampak pada setiap
kutub itu. Bahkan pola-pola segmentasi ini saling lingkup dan perilaku kondisi
serta hubungan pada segmen-segmen yang lain. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang
melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan
kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah.
Salah satu kebijakan Pemerintah adalah pelaksanaan pemilu langsung,
yang pertama kali dilaksanakan masa kepemimpinan Presiden Megawati
Soekarno Putri yang di gelar “Orde Gotong Royong”, Pemilu langsung
merupakan sejarah baru dalam perpolitikan Indonesia dan terutama bagi para
pemilih. Pasalnya, baru pertama kali dilaksanakan dalam sistem pelaksanaan
yang berbeda dengan sistem Pemilu-Pemilu sebelumnya. Keadaan pemilih di
Kabupaten Konawe pada Pemilihan Legislatif yang menggunakan hak pilihnya
adalah 150.802 ( 81% ) dan pada Pemilihan Presiden yang menggunakan hak
pilihnya adalah 136.118 ( 72% ). Pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya
pada Pemilihan Legislatif adalah 35.989 ( 19% ), dan pada Pemilihan Pesiden
adalah 52.881 ( 28% ). Wajib pilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap
pada Pemilihan Legislatif adalah 186.791 dan pada Pemilihan Presiden adalah
190.999.
Pemilu 2014 jelas menunjukkan bahwa jumlah golput cukup tinggi.
Terlepas dari persoalan golput, dari beberapa kali Pemilu sebelumnya, tampak
masing-masing Parpol memperoleh dukungan suara yang cukup bervariasi dari
basis massa yang terpola sebagaimana tesis pemilihan tiga aliran yang pernah
5
dikembangkan oleh Geertz sejak tiga puluh tahun yang lalu (Geertz, 1983).
Dengan demikian, preferensi seseorang sebagai politisi dan pemilih, termasuk
pemilih pemula terhadap sebuah Parpol dimaksud Geertz, tampak signifikan
dengan latar dan identitas pemilih.
Dalam proses dinamika sosial politik dan perubahan
budaya dengan
berbagai dampaknya dewasa ini, maka besar dugaan telah terjadi perubahan
dalam konteks preferensi pemilih dan tingkat partisipasi publik. Dalam artian,
preferensi seseorang terhadap Parpol tertentu, tidak lagi persis didasari oleh
kerangka antropologis tiga pilah Geertz. Demikian pula tingkat partisipasi publik
dalam menggunakan hak pilihannya, juga diduga mengalami pergeseran yang
cukup signifikan antara kinerja aparat eksekutif dan legislatif dengan tingkat
kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat.
Dalam perspektif akademis, penggunaan hak memilih cenderung
dipengaruhi oleh tiga macam teori voting yang dapat dikelompokkan dalam tiga
mashaf besar, yakni: teori voting dari mashaf sosiologis, psikologis dan ekonomis
atau rasional. Meskipun ketiga pendekatan tersebut masing-masing berbeda dalam
melihat perilaku pemilih dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya
(Kristiadi, 1996, Nadjib, 1999; Supriyanto, 2004). Demikian pula tingkat
partisipasi
publik
dalam
mengikuti
dinamika
politik
dengan
berbagai
konstalasinya. Oleh karena itu, penting dilakukan riset oleh Komisi Pemilihan
Umum Kabupaten Konawe untuk mengetahui tingkat rasionalitas pemilih dalam
memilih pada Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden pada tahun 2014.
6
1.2.RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam riset ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor
apa saja yang mempengaruhi perilaku pemilih di Kabupaten Konawe pada
Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden tahun 2014.
1.3. TUJUAN DAN KONTRIBUSI PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis berbagai faktor yang
mempengaruhi Perilaku Pemilih di Kabupaten Konawe pada Pemilihan Legislatif
dan Pemilihan Presiden tahun 2014.
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari hasil kajian tersebut adalah
menjadi kontribusi penting bagi pengembangan kajian ilmu sosial, terutama kajian
dalam perspektif sosio kultural yang selain dapat menambah khasanah
kepustakaan, juga dapat dimanfaatkan oleh peneliti selanjutnya yang bermaksud
mengkaji lebih jauh perihal Pemilu dan polarisasi perilaku pemilih. Dan tentu saja
secara praktikal, hasil penelitian sangat berguna bagi konstituen, elite politik
lokal, Parpol, KPU Kabupaten Konawe dalam rangka upaya merancang
pelaksanaan Pemilu ke depan yang lebih baik lagi agar tingkat partisipasi pemilih
semakin meningkat.
1.4. TINJAUAN PUSTAKA
1.4.1. Perilaku Sebagai Tindakan Sosial
Perilaku politik dalam sudut pandang sosiologi dapat dikategorisasikan
sebagai salah satu bentuk atau wujud perilaku sosial, khususnya yang berkaitan
dalam kehidupan politik. Menurut Weber bahwa tindakan sosial (social action)
7
adalah tindakan yang memiliki makna subjektif (a subjektive meaning) bagi dan
dari aktor pelakunya (Johnson, 1985; Parsons, 1985; Nashir, 2000; Sanders,2004).
Tindakan sosial itu adalah seluruh perilaku manusia yang memiliki arti
subjektif dari yang melakukannya, baik yang terbuka maupun yang tertutup, yang
diutarakan secara lahir maupun secara diam-diam, yang oleh pelakunya diarahkan
kepada tujuannya. Sehingga, tindakan sosial itu bukanlah perilaku yang kebetulan,
tetapi yang terstruktur atau memiliki pola tertentu dan makna-makna tertentu.
Weber secara khusus mengklasifikasikan tindakan sosial yang memiliki
arti-arti subjektif itu ke dalam empat tipe. Pertama instrumentally rational
(Zweckrational) yaitu tindakan yang ditentukan oleh harapan-harapan yang
memiliki tujuan untuk menggapai sesuatu yang diinginkan. Kedua value rational
(wertrational) yaitu tindakan yang didasari oleh keyakinan mengenai nilai-nilai
yang penting seperti etika, estetika, agama dan lain-lainnya yang mempengaruhi
tingkah laku manusia dalam kehidupannya. Ketiga, affectual (especially
emmotional) yaitu tindakan yang ditentukan oleh kondisi kejiwaan dan perasaan
yang melakukannya. Dan keempat, traditional yaitu tindakan yang ditentukan
kebiasaan-kebiasaan yang telah mendarah daging.
Salah satu wujud dari perilaku sosial dalam kehidupan masyarakat adalah
perilaku politik sebagai perilaku yang bersangkut paut dengan proses politik,
untuk membedakannya dari perilaku ekonomi, keluarga, agama dan budaya.
Sedangkan politik ialah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka
proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan
bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
8
Para ilmuan politik kontemporer berpandangan bahwa politik ialah proses
pembuatan keputusan dan pelaksanaan keputusan-keputusan yang mengikat bagi
masyarakat. Dengan demikian, perilaku politik berarti suatu kegiatan yang
berkenaan dengan proses dan pelaksanaan keputusan politik bagi pemerintah dan
masyarakat. Warga negara memang tidak memiliki fungsi menjalankan
pemerintahan, tetapi mereka memiliki hak untuk mempengaruhi orang yang
menjalankan fungsi pemerintahan itu (Budiardjo, 1981; Surbakti, 1992).
Di belakang setiap organisasi, kelompok dan lembaga-lembaga terdapat
beberapa individu konkrit yang membuat pelbagai keputusan. Karenanya individu
bukanlah subjek pasif yang semata-mata bereaksi terhadap nilai-nilai di luarnya
dan kondisi-kondisi struktural yang melingkupinya. Aktor-aktor itu juga tidak
hanya tanggap terhadap struktur yang telah mapan, tetapi juga melakukan
perubahan
pada kondisi-kondisi struktural itu. Karena itu, dalam memahami
kehidupan politik, maka diperlukan perhatian khusus pada nilai-nilai, motivasimotivasi dan persepsi individual dari aktor-aktor itu.
Perilaku Politik adalah tindakan individual dan kelompok dalam
melakukan tindakan-tindakan politik yang terkait dengan kesadaran dan tujuan
politik dari aktor yang memainkannya. Bahkan tingkah laku politik merupakan
hasil dari pertemuan faktor-faktor struktur kepribadian, keyakinan politik,
tindakan politik individu dan struktur serta proses politik menyeluruh. Kesadaran
yang dimaksud di sini adalah sebuah landasan ideologi yang tertuang dalam visimisi dari sebuah Partai Politik untuk diperjuangkan melalui taktik dan strategi
tertentu. Karena itu seorang politisi, politikus dan politikolog akan berpikir dan
9
bertindak dalam kerangka landasan idealisme dan orientasi yang khas (Martin,
1993; Alfaruq, 2000).
Yang pasti, keterkaitan antara faktor yang mempengaruhi perilaku politik
seseorang atau kelompok dapat dicermati dari adanya dua model analisis teori
yang menelaah perilaku yang selama ini berkembang di Indonesia. Pertama,
Geertz yang melihat pola perilaku politik dengan orientasi sosio-religius santri
dan abangan. Kedua, model Jackson yang melihat faktor pola hubungan antara
pemimpin dan pengikut dalam perilaku politik. Dalam pandangan sosiologis
pengelompokan sosial mempengaruhi perilaku politik seseorang misalnya
dipengaruhi oleh latar belakang sosial ekonomi, kelas sosial, agama dan ideologi
(Geertz, 1983; Mulkhan, 1989; Taqwa, 1996; Nashir, 2000)
Dengan demikian, tingkah laku politik tidak berdiri sendiri karena terkait
dengan faktor-faktor lain yang melekat dalam suatu sistem politik. Ada empat
faktor atau variabel yang berpengaruh. Pertama, kekuasaan yakni cara untuk
mencapai hal yang diinginkan antara lain melalui sumber-sumber di antara
kelompok-kelompok dalam masyarakat itu. Kedua, kelompok yakni tujuan-tujuan
dikejar oleh perilaku-perilaku atau kelompok politik. Ketiga, kebijakan yakni
hasil dari interaksi antara kekuasaan dan kepentingan yang biasanya dalam bentuk
perundang-undangan, dan keempat budaya politik yakni orientasi subjektif dari
individu terhadap sistem politik.
Sedangkan perilaku politik yang dilakukan oleh aktor, juga dipengaruhi
oleh empat faktor. Pertama, lingkungan sosial politik tidak langsung seperti sistem
politik, sistem ekonomi, sistem budaya dan media massa. Kedua, lingkungan
10
sosial politik yang langsung mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor
seperti keluarga, agama sekolah dan kelompok pergaulan. Ketika, struktur
kepribadian tercermin dalam sikap individu. Dan keempat lingkungan politik
langsung berupa situasi yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung
ketika hendak dilakukan suatu kegiatan.
1.4.2. Perilaku Pemilih (Voting Behavior)
Ada tiga macam teori voting yang dapat dikelompokkan dalam tiga
mashaf besar, yakni: teori voting dari mashaf sosiologis, psikologis dan ekonomis
atau rasional. Ketiga pendekatan tersebut masing-masing berbeda dalam melihat
perilaku pemilih dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya (Kristiadi, 1996,
Nadjib, 1999; Supriyanto, 2004).
Pendekatan sosiologis dengan paradigma defenisi sosial sebagaimana
diuraikan terdahulu tampak lebih komprehensif dan fleksibel, ketimbang
paradigma fakta sosial yang cenderung deterministik, terutama pada Marxian dan
Weberian. Marx yang terlalu menekankan pada peranan kelas sebagai faktor yang
menentukan preferensi politik. Kemudian sangat dipercaya bahwa kelas
merupakan basis atau landasan pengelompokan politik, karena partai-partai politik
tumbuh dan berkembang berdasarkan kelompok-kelompok masyarakat yang
berlainan sesuai dengan kepentingan ekonomi masing-masing. Untuk konteks
Indonesia, maka refleksi peranan kelas dimaksud, mungkin ada pada pemilihan
kelompok yang berkuasa yang disebut birokrat dan rakyat sebagai kelompok yang
dikuasai serta pengelompokan secara primordial.
11
Sementara itu, pendekatan psikologis menekankan bahwa voting
ditentukan oleh tiga aspek, yakni: keterikatan seseorang kepada partai politik
tertentu, orientasi seseorang kepada calon Presiden, gubernur,bupati/walikota atau
anggota parlemen dan orientasinya terhadap isu-isu politik. Dengan demikian,
identifikasi kepartaian merupakan fokus utama pandangan psikologis dalam
menjelaskan perilaku seseorang untuk memilih sebuah Parpol.
Namun menurut Kristiadi bahwa studi-studi tentang voting yang
dikembangkan atas dasar pendekatan kedua mashaf tersebut tampaknya kurang
memuaskan para sarjana. Karena
itu beberapa sarjana lain
mencoba
mengembangkan teori voting dengan menggunakan pendekatan ekonomis atau
rasional yang menekankan pemberian suara ditentukan berdasarkan untung rugi.
Sementara kerangka tiga pilah Geertz sejak 30 tahun lalu tampak tidak
faktual lagi. Hal ini selain karena faktor dinamika sosial dan perubahan budaya,
juga karena ontologis kajian Geertz lebih terfokus pada budaya Jawa. Secara
empirik, hal ini pun telah dibuktikan dengan sebuah hasil penelitian yang pernah
dilakukan Taqwa (1996) tentang “Perilaku Politik Umat Islam”. Menurut Taqwa
dalam studi kasusnya di Lekkong Enrekang bahwa gencarnya mobilisasi politik
Golkar yang bersifat persuasif-intimidasi yang ditopang oleh ABRI ketika itu,
telah mempercepat perubahan perilaku memilih dari PPP ke Golkar. Demikian
pula dari hasil penelitian Peribadi dan Megawati (2004) tentang “Pemilu, Perilaku
Politisi dan Preferensi Pemilih” di Kota Kendari yang dominan dipengaruhi oleh
sikap dan perilaku pemilih serta unsur-unsur yang sifatnya pragmatis.
12
Uraian-uraian teoritis tersebut dapat ditandaskan bahwa perilaku Pemilih
tampak dipengaruhi oleh berbagai faktor sebagai unsur motivasi seseorang dalam
memberikan suaranya. Perilaku Pemilih harus dilihat sebagai tindakan sosial dan
variabel lainnya harus dilihat sebagai sistem sosial atau struktur sosial yang saling
terkait. Variabel tersebut dapat diasumsikan fungsional terhadap perilaku Pemilih.
Secara visual, hubungan multi-variabel dapat dilihat dalam bagan kerangka
pemikiran berikut ini.
1.4.3. Komunikasi politik
Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia. Dengan berkomunikasi,
manusia dapat saling berhubungan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari di
manapun mereka berada. Pentingnya komunikasi bagi manusia tidak dapat di
pungkiri dalam interaksi manusia. Dengan adanya komunikasi yang baik dalam
suatu interaksi maka efektifitas kehidupan dapat berjalan lancar dan berhasil.
Begitu juga sebaliknya, kurangnya atau tidak adanya komunikasi akan
menghambat efektifitas yang diinginkan.
Menurut Lexicographer (2006), komunikasi adalah upaya yang bertujuan
berbagi untuk mencapai kebersamaan. Jika dua orang berkomunikasi maka
pemahaman yang sama terhadap pesan yang saling dipertukarkan adalah tujuan
yang diinginkan oleh keduanya. Webster’s New Collegiate Dictionary edisi tahun
1977 antara lain menjelaskan bahwa komunikasi adalah suatu proses pertukaran
informasi di antara individu melalui sistem lambang-lambang, tanda-tanda atau
tingkah laku, (dalam Zubair : 2008).
13
Ilmu komunikasi sebagai ilmu pengetahuan sosial yang bersifat
multidisipliner, tidak bisa menghindari perspektif dari beberapa ahli yang tertarik
pada kajian komunikasi, sehingga definisi dan pengertian komunikasi menjadi
semakin banyak dan beragam. Masing-masing mempunyai penekanan arti,
cakupan, konteks yang berbeda satu sama lain, tetapi pada dasarnya saling
melengkapi
dan
menyempurnakan
makna
komunikasi
sejalan
dengan
perkembangan ilmu komunikasi.
Menurut Frank E.X. Dance dalam bukunya Human Communication
Theory terdapat 126 buah definisi tentang komunikasi yang diberikan oleh
beberapa ahli dan dalam buku Sasa Djuarsa Sendjaja Pengantar Ilmu Komunikasi
dijabarkan tujuh buah definisi yang dapat mewakili sudut pandang dan konteks
pengertian komunikasi. Definisi-definisi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Komunikasi adalah suatu proses melalui seseorang (komunikator)
menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan tujuan
mengubah atau membentuk perilaku orang-orang lainnya (khalayak).
Hovland, Janis & Kelley:1953
2. Komunikasi adalah proses penyampaian informasi, gagasan, emosi,
keahlian dan lain-lain. Melalui penggunaan simbol-simbol seperti katakata, gambar-gambar, angka-angka dan lain-lain. Berelson dan Stainer,
1964
3. Komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan
siapa, mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada siapa? Dengan akibat
14
apa atau hasil apa? (Who? Says what? In which channel? To whom? With
what effect?) Lasswell, 1960
4. Komunikasi adalah suatu proses yang membuat sesuatu dari yang semula
dimiliki oleh seseorang (monopoli seseorang) menjadi dimiliki oleh dua
orang atau lebih. Gode, 1959
5. Komunikasi timbul didorong oleh kebutuhan-kebutuhan untuk mengurangi
rasa ketidakpastian, bertindak secara efektif, mempertahankan atau
memperkuat ego. Barnlund, 1964
6. Komunikasi adalah suatu proses yang menghubungkan satu bagian dengan
bagian lainnya dalam kehidupan.Ruesch, 1957
7. Komunikasi adalah seluruh prosedur melalui mana pikiran seseorang dapat
mempengaruhi pikiran orang lainnya. Weaver, 1949, (dalam Zubair 2008).
Kita lihat dari beberapa definisi tersebut saling melengkapi. Artinya Setiap
pelaku komunikasi dengan demikian akan melakukan empat tindakan:
membentuk, menyampaikan, menerima dan mengolah pesan. Keempat tindakan
tersebut lazimnya terjadi secara berurutan. Membentuk pesan artinya menciptakan
sesuatu ide atau gagasan. Ini terjadi dalam benak seseorang melalui proses kerja
sistem syaraf. Pesan yang telah terbentuk ini kemudian disampaikan kepada orang
lain. Baik secara langsung ataupun tidak langsung. Bentuk dan mengirim pesan,
seseorang akan menerima pesan yang disampaikan oleh orang lain. Pesan yang
diterimanya ini kemudian akan diolah melalui sistem syaraf dan diinterpretasikan.
Setelah diinterpretasikan, pesan tersebut dapat menimbulkan tanggapan atau
reaksi dari orang tersebut. Apabila ini terjadi, maka si orang tersebut kembali akan
15
membentuk dan menyampaikan pesan baru. Demikianlah keempat tindakan ini
akan terus-menerus terjadi secara berulang-ulang.
Pesan adalah produk utama komunikasi. Pesan berupa lambang-lambang
yang menjalankan ide/gagasan, sikap, perasaan, praktik atau tindakan. Bisa
berbentuk kata-kata tertulis, lisan, gambar-gambar, angka-angka, benda, gerakgerik atau tingkah laku dan berbagai bentuk tanda-tanda lainnya. Komunikasi
dapat terjadi dalam diri seseorang, antara dua orang, di antara beberapa orang atau
banyak orang. Komunikasi mempunyai tujuan tertentu. Artinya komunikasi yang
dilakukan sesuai dengan keinginan dan kepentingan para pelakunya, (dalam
Zubair : 2008).
Pada perkembangannya, komunikasi juga melahirkan apa yang disebut
komunikasi politik. Jika dilihat dari pengertian komunikasi di atas, tak heran jika
ia sanggup merangkul studi politik. Namun, kenapa ia berada di bawah studi
komunikasi dan tidak studi politik? kita harus melihat karakter ilmu politik itu
terlebih dahulu.
Secara formal objek komunikasi politik adalah dampak atau hasil yang
bersifat politik (political outcomes) di samping sebagai salah satu fungsi yang
menjadi syarat untuk berfungsinya sistem politik. Jika komunikasi politik dilihat
sebagai jembatan metodologis antara disiplin komunikasi dan politik juga adalah
proses penciptaan kebersamaan dalam makna (the commoness in meaning)
tentang fakta dan peristiwa politik.
Objek material komunikasi politik menurut Sartori (Mulyana, 2007:30)
adalah: ”dimensi-dimensi komunikasi dari fenomena politik dan dimensi politis
16
dari komunikasi” sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Gurevith dan
Blumler (Mulyana, 2007:30) yang mengemukakan empat komponen dalam
komunikasi
politik,
yaitu:
1.
Lembaga-lembaga
poltik
dalam
aspek
komunikasinya, 2. Institusi media dalam aspek politiknya, 3. Orientasi khalayak
terhadap komunikasi, dan 4. Aspek budaya politik yang relevan dengan
komunikasi.
Komunikasi politik mempelajari mata rantai antara komunikasi dan politik
atau jembatan metodologis antara disiplin komunikasi dan politik. Namun, jika
disimak dari berbagai literatur, komunikasi politik telah menjadi kajian tersendiri
sejak diakui oleh organisasi ilmiah International Communication Association
bersama divisi lain, seperti divisi sistem informasi, komunikasi antar pribadi,
komunikasi massa, komunikasi organisasi, komunikasi antar budaya, komunikasi
instruksional dan komunikasi kesehatan (Mulyana, 2007:29).
Namun demikian, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik
sebenarnya bukanlah hal yang baru. Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik
yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen,
tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki
komunikasi politik sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari
istilah belaka.
Menurut Plano dkk (1989 dalam Kamus Analisa Politik) komunikasi
politik adalah penyebaran aksi, makna, atau pesan yang bersangkutan dengan
fungsi suatu sistem politik, melibatkan unsur-unsur komunikasi seperti
komunikator, pesan, dan lainnya. Kebanyakan komunikasi politik merupakan
17
lapangan wewenang lembaga-lembaga khusus, seperti media massa, badan
informasi pemerintah, atau parpol. Namun demikian, komunikasi politik dapat
ditemukan dalam setiap lingkungan sosial, mulai dari lingkup dua orang hingga
ruang kantor parlemen.
1.4.4. Partisipasi Politik
Secara khusus partisipasi diartikan sebagai penentuan sikap dan
keterlibatan hasrat setiap individu dalam situasi dan kondisi organisasinya,
sehingga pada akhirnya mendorong individu tersebut untuk berperan dalam
pencapaian
tujuan
organisasi
serta
mengambil
bagian
dalam
setiap
pertanggungjawaban bersama (Lane,1971 dalam Rahman, 1998).
Surbakti (1990) mengartikan partisipasi politik sebagai kegiatan warga
negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan
umum serta ikut serta dalam menentukan pemimpin pemerintahan. Beliau
mengetengahkan dua pendekatan dalam melihat partisipasi politik, yakni: yang
dominan melakukan kegiatan politik berdasarkan pendekatan kelembagaan adalah
lembaga politik yang dilaksanakan oleh elit politik sesuai dengan peran dan
fungsinya. Sedangkan berdasarkan pendekatan perilaku (behavioralisme),
individulah yang secara aktual mengendalikan lembaga politik.
Sehubungan dengan itu, Blau mengetengahkan dua persyaratan yang harus
dipenuhi bagi perilaku yang menjurus pada pertukaran sosial yaitu pertama,
perilaku tersebut harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai
melalui interaksi dengan orang lain. Kedua, perilaku harus bertujuan untuk
memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tertentu tersebut. Tujuan yang
18
diinginkan itu dapat berupa ganjaran intrinsik (seperti kasih sayang, kepuasan dan
kehormatan) atau ganjaran ekstrinsik (seperti uang, barang, atau jasa). Perilaku
manusia yang di bimbing oleh prinsip-prinsip pertukaran sosial itu, mendasari
pembentukan struktur serta lembaga-lembaga sosial (Johnson, 1985; Poloma,
1987). Dengan demikian, berarti kepekaan, kepedulian dan partisipasi seseorang
atau sekelompok orang dalam politik adalah didasari dengan kedua tujuan
dimaksud
Paling tidak, partisipasi politik oleh masyarakat dan pemerintah sebagai
aktor didorong oleh empat faktor yaitu: pertama, adanya stimulus untuk
berpartisipasi dari lingkungan sosial politik tidak langsung seperti sistem politik,
sistem ekonomi, sistem budaya dan media massa. Kedua, karakteristik seseorang
yang bersumber dari lingkungan sosial politik yang secara langsung
mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor seperti keluarga, agama,
sekolah dan kelompok pergaulan. Ketiga, karakteristik kepribadian seseorang
yang tercermin dari sikap individu, dan Keempat, lingkungan sosial politik
langsung yang kondusif, yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung
ketika handak melakukan suatu kegiatan (Budiarjo, 1981).
19
Bagan 1 : Kerangka Pemikiran
Pemilihan Legislatif dan Pemilihan
Presiden Tahun 2014
Perilaku Pemilih
Kabupaten Konawe
 Penyelenggara Pemilu
 Sosialisasi dan
Pendidikan Pemilih
 Daftar Pemilih Tetap
 Relawan Demokrasi
20
1.5. METODE PENELITIAN
1.5.1 Pendekatan
Tipe penelitian yang digunakan adalah studi korelatif yang berusaha
mencari akibat yang terjadi pada suatu variabel oleh adanya sebab dari variabel
lain.
1.5.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Konawe, yang mengambil lokasi di 4
Kecamatan yaitu Kecamatan Sampara, Kecamatan Wonggeduku, Kecamatan
Unaaha dan Kecamatan Lambuya. Dengan pertimbangan bahwa 4 Kecamatan
tersebut mewakili 4 daerah pemilihan yang ada di kabupaten Konawe.
1.5.3 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel
1.5.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah wajib pilih yang berada di Kabupaten
Konawe yang berjumlah 186.791.
1.5.3.2 Teknik Penarikan Sampel
Teknik penentuan sampel dilakukan dengan multi stage sampling karena akan
membagi di 4 Kecamatan yang berada di 4 Daerah Pemilihan di Kabupaten
Konawe yaitu Kecamatan Sampara, Kecamatan Wonggeduku, Kecamatan Unaaha
dan Kecamatan Lambuya. Untuk menentukan besarnya anggota sampel
ditentukan dengan menggunakan Yamane ( Rakhmat, 1991:81 ).
21
n=N
N
d 2+1
Keterangan :
n = Jumlah Sampel
N = Jumlah Populasi
D = 10 % dengantingkat kepercayaan 90 %
𝑛=
186.791
186.791 0,1 2 + 1
𝑛=
186.791
1.868,91
𝑛 = 99,94
Dengan demikian besarnya sampel dalam penelitian ini adalah 100 wajib pilih
sebagai responden. Sampel akan dibagi dalam 4 Kecamatan yaitu Kecamatan
Sampara, Kecamatan Wonggeduku, Kecamatan Unaaha dan Kecamatan
Lambuya.
8.757
Kecamatan Sampara = 45.909 x 100 = 19 Orang
Kecamatan Wonggeduku =
14.394
45.909
x 100 = 31 Orang
17.468
Kecamatan Unaaha = 45.909 x 100 = 38 Orang
5.290
Kecamatan Lambuya = 45.909 x 100 = 12 Orang
22
1.5.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, adalah
kuesioner dan dokumentasi.
1.5.5 Teknik Analisis Data
Data yang dikumpulkan akan diolah dengan menggunakan teknik analisis
kuantitatif. Analisis yang dilakukan terhadap data responden kemudian hasilnya di
deskripsikan untuk menjawab rumusan masalah. Analisis yang dilakukan adalah
analisis tabel frekuensi dan persentase, kemudian analisis korelasi parsial. Untuk
melihat bagaimana tingkat keeratan hubungan maka digunakan pedoman
interpretasi koefisien korelasi dari Sugiyono (1994:149) yaitu pada tabel berikut
ini.
Tabel 1 : Pedoman Intrepretasi Korelasi
Interval Koefisien
Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199
Sangat Rendah
0,20 – 0,399
Rendah
0,40 – 0,599
Sedang
0,60 – 0,799
Kuat
0,80 – 1,000
Sangat Kuat
23
BAB II
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
2.1. Profil Kabupaten Konawe
Kabupaten Konawe secara geografis terletak pada 02o45 04o30 lintang
selatan dan 121o15 123o15 bujur timur, dengan batas wilayah :
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kolaka Timur
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Konawe Utara
Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi
Sulawesi Tengah
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Konawe Selatan
Kabupaten Konawe yang beribukota di Unaaha memiliki luas 679,245
Km2 yang terbagi dalam 375 Desa dan 30 Kecamatan, di antaranya Kecamatan
Wawonii selatan, Kecamatan Wawonii Barat, Kecamatan Wawonii Tengah,
Kecamatan Wawonii Timur, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kecamatan Wawonii
Timur Laut, Kecamatan Wawonii
Utara, Kecamatan Sampara, Kecamatan
Bondoala, Kecamatan Besulutu, Kecamatan Kapoiala, Kecamatan Lambuya,
Kecamatan Uepai, Kecamatan Puriala, Kecamatan Pondidaha, Kecamatan
Wonggeduku, Kecamatan Amonggedo, Kecamatan Wawotobi, kecamatan
Meluhu, Kecamatan Konawe, Kecamatan Unaaha, Kecamatan Anggaberi,
Kecamatan Abuki, Kecamatan Latoma, Kecamatan Tongauna, Kecamatan
Asinua, dan Kecamatan Routa.
Komoditi unggulan Kabupaten Konawe yaitu sektor perkebunan, pertanian,
dan jasa. Sektor perkebunan komoditi unggulan adalah kakao, kopi, kelapa,
24
cengkeh, jambu mente, lada dan pala. Sub sektor pertanian komoditi yang di
unggulkan berupa jagung dan ubi kayu. Sub sektor jasa pariwisatanya yaitu wisata
alam dan budaya.
2.2 Profil KPU Konawe
2.2.1 VISI
Terwujudnya Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara Pemilihan
Umum yang memiliki integritas, profesional, mandiri, transparan dan akuntabel,
demi terciptanya demokrasi Indonesia yang berkualitas berdasarkan pancasila dan
UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.2.2 MISI
1. Membangun lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki
kompetensi, kredibilitas dan
kapabilitas dalam menyelenggarakan Pemilihan
Umum;
2. Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, akuntabel, edukatif
dan beradab;
3. meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum yang bersih, efesien
dan efektif;
4. Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara adil dan
setara, serta menegakan peraturan Pemilihan Umum secara konsisten sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
25
5. Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam
Pemilihan Umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang
demokratis;
Tugas dan wewenang
Dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum dan pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja
Sekretariat Komisi Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa untuk melaksanakan
Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas kewenangan sebagai berikut :
1. merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum;
2. menerima, meneliti dan menetapkan partai-partai politik Yang berhak
sebagai peserta Pemilihan Umum;
3. membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan
mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum dari tingkat pusat sampai
di tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS;
4. menetapkan jumlah kursi Anggota DPR, DPRD I, DPRD II untuk setiap
daerah pemilihan;
5. menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah
pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II;
6. mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil
Pemilihan Umum;
7. memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum;
26
Dalam pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 tersebut juga
ditambahkan, bahwa selain tugas dan wewenang KPU sebagai dimaksud dalam
pasal 10, selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah Pemilihan Umum
dilaksanakan, KPU mengevaluasi sistem Pemilihan Umum.
Dalam penyelenggaraan Pemilu, KPU bekerja berdasarkan tahapan jadwal
Pemilu Legislatif dan tahapan jadwal Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Tahapan pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 berdasarkan
jadwal yang dikeluarkan KPU seperti pendaftaran pemilih dan pendaftaran
penduduk berkelanjutan, pemetaan daerah pemilihan dan penetapan jumlah kursi
DPR, dan DPRD, pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Daerah DPR, DPD,
DPRD, penetapan daftar pemilih tetap (DPT), proses pendaftaran, verifikasi, dan
penetapan partai politik peserta pemilu 2014 dan kampanye peserta pemilu.
Untuk mengawasi jalannya Pemilu, di bentuk Panitia Pengawas Pemilu
(Panwaslu) berkedudukan di Ibukota Republik Indonesia. Disamping Panwaslu
ada juga pemantau Pemilu baik dari dalam maupun di luar negeri. Pemantau
Pemilu dari dalam negeri mempunyai struktur organisasi berjenjang dari pusat
hingga ke daerah yang akre-ditasinya diberikan oleh KPU. Secara kesuluruhan
terdapat 112 Lembaga Pemantau Pemilu yang mendaftar untuk berpartisipasi
sebagai pemantau, dengan rincian 90 berasal dari pemantau dalam negeri dan 22
berasal dari pemantau luar negeri yang lulus akreditasi dan mendapat sertifikat
sebagai pemantau Pemilu 2009.
Di tengah sempitnya waktu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mampu
menyelenggarakan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
27
Setelah Pemilu Legislatif tahun 2009. Anggota KPU Pusat berjumlah 7 orang.
Kemudian anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara berjumlah 5 orang dan
anggota KPU Kabupaten Konawe berjumlah 5 orang. Untuk periode tahun 20082012 anggota KPU adalah Sukiman Tosugi,S.Sos, Ir. Hajaratul A. Taridala,
Rudiasin,A.Md, Suhardin dan Bislan,S.Ag. dan untuk periode 2013-2018 yang
beranggotakan Sarmadan,S.Sos, M.Si, Bislan,S.Ag, Aswar ,S.Sos, M.Si, Hasim,
SP, dan Ulil Amrin, SE. M.AP
2.3 Analisis Data Responden
Untuk kebutuhan analisis data responden akan dipaparkan beberapa aspek
yang meliputi : Jenis Kelamin, Usia Responden, Status Kawin, Agama,
Pendidikan, Pekerjaan, Jenis Pekerjaan dan Penghasilan.
Aspek pertama berdasarkan Jenis Kelamin dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2 : Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin
JENIS KELAMIN
JUMLAH (Org)
PERSENTASE (%)
Laki-Laki
54
54
Perempuan
46
46
TOTAL
100
100%
Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
Tabel 2, menunjukkan bahwa jenis kelamin pada penelitian ini terdiri atas
2 kategori. Dari kategori jenis kelamin tersebut responden terbanyak adalah lakilaki yaitu berjumlah 54 orang atau 54 % dan responden perempuan berjumlah 46
orang atau 46 %. Selanjutnya adalah pemaparan distribusi responden menurut
Usia Responden.
28
Tabel 3 : Distribusi Responden Menurut Usia Responden
USIA
JUMLAH (Org)
PERSENTASE (%)
< 17 Tahun
1
1
17-25 Tahun
17
17
26-35 Tahun
34
34
36-45 Tahun
29
29
46-55 Tahun
13
13
>55 Tahun
6
6
TOTAL
100
100%
Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
Tabel 3, menunjukkan bahwa usia responden terdiri atas 6 kategori.
Kategori pertama adalah usia responden <17 Tahun yaitu berjumlah 1 orang atau
1 %, usia responden 17-25 tahun yaitu berjumlah 17 orang, usia responden 26-35
tahun yaitu berjumlah 34 orang, usia responden 46-55 tahun yaitu berjumlah 13
orang, dan usia responden >55 tahun adaah sebanyak 6 orang. Dari tabel diatas
dapat dilihat bahwa usia responden yang dominan di lokasi penelitian adalah 2635 tahun yaitu 34 %. Ini berarti umur yang dominan dalam wilayah sampel
responden adalah umur produktif dan sangat membutuhkan banyak aktifitas
keseharian dan informasi yang berkaitan dengan perkembangan daerah, lapangan
pekerjaan dan tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga.
Tabel 4 : Distribusi Responden Menurut Status Kawin
STATUS KAWIN
JUMLAH (Org)
PERSENTASE (%)
Belum Kawin
26
26
Kawin
73
73
Janda
1
1
Total
100
100
Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
Tabel 4, menunjukkan bahwa status perkawinan responden terdiri atas 3
kategori. Kategori responden yang pertama adalah belum kawin yaitu berjumlah
29
26 orang atau 26 %, kemudian kategori responden kawin yaitu berjumlah 73
orang atau 73 % dan kategori responden janda/ duda adalah 1 orang atau 1 %.
Tabel 5 : Distribusi Responden Menurut Agama
AGAMA
JUMLAH (Org)
PERSENTASE (%)
Islam
98
98
Katolik
1
1
Protestan
1
1
Total
100
100
Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
Tabel 5, menunjukkan bahwa responden berdasarkan agama yang dianut
terdiri atas 3 kategori. Yaitu responden yang menganut agama Islam berjumlah 98
orang atau 98 %, responden yang menganut agama katolik berjumlah 1 orang atau
1 % dan responden yang menganut agama kristen protestan adalah 1 orang atau 1
%.
Tabel 6 : Distribusi Responden Menurut Pendidikan
PENDIDKAN
JUMLAH (Org)
Tamat SD
6
Tamat SLTP
8
Tamat SLTA
45
Tamat Akademi/Diploma
6
Tamat S1
30
Tamat S2
4
Tamat S3
1
Total
100
Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
PERSENTASE (%)
6
8
45
6
30
4
1
100
Pendidikan dijadikan sebagai tolak ukur untuk menilai kualitas sumber
daya manusia di suatu daerah. Semakin tinggi tingkat pendidikan penduduk, maka
akan semakin tinggi pula kualitas sumber daya manusia di daerah tersebut,
demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu dengan mengkaji tingkat pendidikan,
30
akan dapat digambarkan potensi penduduk dan perkembangan suatu daerah dalam
proses pembangunan di segala bidang.
Tabel 6, menunjukkan bahwa responden pada lokasi penelitian di
Kabupaten Konawe berdasarkan pendidikan terdiri atas 7 kategori. Rseponden
yang dominan ada pada kategori tamat SLTA yaitu berjumlah 45 orang atau 45 %,
kemudian tamat S1 yaitu berjumlah 30 orang atau 30 % dan tamat SLTP
berjumlah 8 orang atau sebanyak 8 %. Kemudian untuk Tamat Akademi/ Diploma
sebanyak 6 orang atau 6 % dan Tamat S2 adalah 4 orang atau 4 %, hal ini tidak
mengherankan karena Kabupaten Konawe sudah memiliki Perguruan Tinggi.
Tabel 7 : Distribusi Responden Menurut Pekerjaan
PEKERJAAN
JUMLAH (Org)
PERSENTASE (%)
Kerja
78
78
Tidak Kerja
22
22
Total
100
100
Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
Tabel 7, menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini yang
memiliki pekerjaan berjumlah 78 orang atau 78 % dan yang tidak memiliki
pekerjaan 22 orang atau 22 %. Hal ini tentunya berhubungan dengan tingkat
pendidikan yang dimiliki responden di Kabupaten Konawe. Berikutnya adalah
pembahasan mengenai jenis pekerjaan yang dimiliki responden dalam penelitian
ini.
31
Tabel 8 : Distribusi Responden Menurut Jenis Pekerjaan
JENIS PEKERJAAN
JUMLAH (Org)
Petani
9
Pedagang
3
Wiraswasta
29
Pegawai swasta
5
PNS
24
Profesional
2
Pelajar/Mahasiswa
10
Ibu Rumah Tangga
12
Pensiunan PNS
1
Tenaga Kontrak/Honorer
4
Kepala Desa
1
Total
100
Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
PERSENTASE (%)
9
3
29
5
24
2
10
12
1
4
1
100
Lebih dominannya pekerjaan sebagai wiraswasta dilatarbelakangi oleh
lokasi yang strategis untuk berdagang dan sudah menjadi pekerjaan turun temurun
yaitu sebesar 29 %, namun pekerjaan responden sebagai PNS juga cukup tinggi
yaitu 24 %, hal ini tentunya karena tingkat pendidikan yang dimiliki oleh
responden sudah maju dan tinggi. Dengan latar belakang profesi pekerjaan dan
pendidikan yang sudah baik sudah pasti mereka tidak asing lagi pengetahuan
mengenai kepemiluan.
Tabel 9 : Distribusi Responden menurut Penghasilan
PENGHASILAN
JUMLAH (Org)
Tidak memiliki penghasilan
22
< 1 Juta
25
1 Juta - 2 Juta
21
>2 Juta - >3 Juta
17
>3 Juta
15
Total
100
Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
PERSENTASE (%)
22
25
21
17
15
100
Dengan penghasilan diatas 1 juta, akan mendorong masyarakat untuk
memiliki alat komunikasi dan barang elektronik untuk memenuhi kebutuhan
32
informasi mereka. Hal ini sejalan dengan Teori McLuhan, disebut teori
perpanjangan alat indra, menyatakan bahwa media adalah perluasan dari alat indra
manusia; telepon adalah perpanjangan telinga dan televisi adalah perpanjangan
mata. Secara operasional dan praktis media adalah pesan. Ini berakibat bahwa
akibat-akibat personal dan sosial dari media yakni karena perpanjangan diri kita
timbul karena skala baru yang dimaksudkan pada kehidupan kita oleh perluasan
diri kita atau oleh teknologi baru. Media adalah pesan karena media membentuk
dan mengendalikan skala serta bentuk hubungan dan tindakan manusia.
Ada tiga dimensi efek komunikasi massa, yaitu kognitif, afektif, dan
konatif. Efek konatif berhubungan dengan perilaku dan niat untuk melakukan
sesuatu menurut cara tertentu. Jadi antara besarnya penghasilan dan perilaku
memilih memiliki hubungan.
Tabel 9, menunjukkan bahwa responden yang memiliki frekuensi tertinggi
adalah responden dengan penghasilan diatas 1 juta yaitu sebanyak 25 orang atau
25 %, kemudian responden yang tidak memiliki penghasilan sebanyak 22 orang
dan responden yang memiliki penghasilan 1 juta sampai 2 juta sebanyak 21 orang.
2.4 Alasan Memilih/ Tidak Memilih dalam Pemilu
Partisipasi politik wajib pilih pada pemilu sebelum tahun 2014 cukup
tinggi, yaitu 80 %, hal ini terlihat pada tabel berikut.
33
Tabel 10 : Keikutsertaan dalam Pemilu sebelum tahun 2014
PEMILU
JUMLAH (Org)
Tahun 1999
3
Tahun 2004
12
Tahun 2009
20
Tahun 2004 dan 2009
45
Tidak Memilih Sebelum
20
2014
Total
100
Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
PERSENTASE (%)
3
12
20
45
20
100
Tingkat partisipasi masyarakat di Kabupaten Konawe dalam proses
penyelenggaraan Pemilu sebelum tahun 2014, tampak pemilih cukup antusias
datang ke TPS untuk menggunakan hak pilih dalam rangka memilih Caleg-caleg
yang dianggap layak untuk menjadi wakil rakyat ataupun Presiden RI. Betapa
tidak, 80 persen responden yang langsung menjawab bahwa menggunakan hak
pilihnya pada Pemilu sebelum tahun 2014. Sebaliknya, hanya 20 persen yang
menyatakan secara tegas bahwa mereka tidak memilih atau tidak menggunakan
hak suaranya.
Tabel 11 : Menggunakan Hak Pilih pada Pemilu Tahun 2014
PEMILU
JUMLAH (Org)
Legislatif dan Presiden
90
Legislatif
4
Presiden
2
Tidak Memilih
4
Total
100
Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
PERSENTASE (%)
90
4
2
4
100
Terlihat bahwa antusias responden dalam menggunakana hak pilihnya pada
Pemilu Tahun 2014 sangat signifikan yaitu sebesar 96 % dan yang tidak
menggunakan hak pilihnya hanya 4 % saja. Mereka yang menggunakan hak
pilihnya terbagi dalam 3 kategori yang pertama adalah responden yang
34
menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden yaitu
sebesar 90 %, yang kedua adalah responden yang menggunakan hak pilihnya pada
Pemilihan Legislatif saja yaitu 4 % dan yang ketiga adalah responden yang
menggunakan hak pilihnya pada Pemilihan Presiden saja yaitu 2 %. Alasan
responden menggunakan hak pilihnya hanya pada salah satu pemilu dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 12 : Alasan Memilih Pemilihan Legislatif Tahun 2014
JUMLAH
(Org)
Figur dan Profil Partai Politik
1
Figur dan Partai Calon
1
Visi Misi
2
Total
4
Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
ALASAN
PERSENTASE (%)
1
1
2
4
Tabel 12, menunjukkan bahwa alasan memilih pada Pemilihan Legislatif
saja karena responden percaya terhadap figur dan profil partai politik yang mereka
dukung, responden yang menjawab adalah 1 %. Ada juga jawaban menarik
lainnya dari 1 % responden lainnya yang menjawab bahwa alasan memilih hanya
pada Pemilihan Legislatif saja adalah karena percaya pada figur dan Partai Calon.
Alasan lainnya adalah Visi Misi yang dimiliki Calon Legislatif, alasan ini
diberikan oleh 2 % responden dalam penelitian ini. Berikutnya akan kita lihat
tabel 13.
Tabel 13 : Alasan Memilih Pemilihan Presiden Tahun 2014
ALASAN
JUMLAH (Org)
Figur dan Profil Partai Politik
1
Visi Misi
1
Total
2
Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
PERSENTASE (%)
1
1
2
35
Alasan responden yang menjawab alasan mereka memilih hanya pada
Pemilihan presiden saja dapat dilihat pada tabel 13 yaitu 1 % menjawab karena
Figur dan Profil Partai Politik dan 1 % lainnya menjawab dengan alasan karena
visi misi calon Presiden. Berikutnya akan kita lihat alasan responden yang tidak
menggunakan hak pilihnya sama sekali dalam Pemilu Tahun 2014.
Tabel 14 : Alasan Tidak Menggunakan Hak Pilih pada Pemilu Tahun 2014
ALASAN
JUMLAH (Org)
Tidak Terdaftar dalam DPT
2
Berhalangan karena Urusan
2
Pekerjaan
Total
4
Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
PERSENTASE (%)
2
2
4
Pada tabel 14, terlihat bahwa ada 2 % responden yang tidak menggunakan
hak pilihnya karena tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap atau DPT
Kabupaten Konawe sementara 2 % lainnya memilih alasan berhalangan karena
memiliki urusan pekerjaan. Hal ini bisa menjadi motivasi bagi KPU Kabupaten
Konawe untuk lebih meningkatkan kinerja penyelenggara agar semua wajib pilih
yang ada di Kabupaten Konawe tidak ada lagi yang terlewatkan.
Tabel 15 : Alasan Memutuskan Untuk Tidak Menggunakan Hak Pilih pada
Pemilu Tahun 2014
ALASAN
JUMLAH (Org)
PERSENTASE (%)
Pengaruh Keluarga
1
1
Pilihan Sendiri
9
9
Total
10
10
Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
Alasan lain yang juga menjadi pertimbangan untuk tidak menggunakan
hak pilih adalah karena pengaruh dari keluarga sebesar 1 % dan karena pilihan
dari dalam diri sendiri adalah sebesar 9 %. Ini menunjukkan bahwa di responden
36
di Kabupaten Konawe masih ada yang kurang menyadari bahwa suara mereka
sangat berharga bagi kemajuan Kabupaten Konawe.
Tabel 16 : Pandangan Mengenai Pemilu Tahun 2014
PERSENTASE
PANDANGAN
JUMLAH (Org)
(%)
Hak Sebagai Warga Negara
78
78
Kewajiban Sebagai Warga Negara
22
22
Total
100
100
Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
Pandangan mengenai pemilu tahun 2014 tergambar pada tabel 15 dimana
78 persen responden menganggap bahwa menggunakan hak pilih merupakan hak
mereka sebagai warga negara sedangkan 22 persen menganggap bahwa hak pilih
mereka adalah kewajiban sebagai warga negara Republik Indonesia, yang
memiliki peran penting untuk ikut serta dalam mewujudkan Indonesia yang lebih
baik lagi dalam berbagai segi. Dari pilihan menggunakan hak pilih atau tidak
menggunakan hak pilih, kita akan melihat tanggapan responden mengenai anggota
legislatif dan presiden serta wakil presiden yang telah terpilih.
Tabel 17 : Aspirasi Pemilu Tahun 2014
ASPIRASI
JUMLAH (Org)
PERSENTASE (%)
Ya
78
78
Tidak
22
22
Total
100
100
Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
Setelah penggunaan hak pilih pada Pemilu Tahun 2014, makan akan
muncul pemenang pemilu yang selanjutnya menjadi wakil rakyat di DPRD, DPD
DPRD Provinsi, DPR RI, sebesar 78 persen responden menganggap bahwa wakil
rakyat serta presiden dan wakil presiden yang telah terpilih sudah sesuai dengan
aspirasi yang telah mereka salurkan pada hari pemilihan namun sebanyak
37
22 persen menganggap bahwa wakil rakyat serta presiden dan wakil presiden
tidak mewakili aspirasi mereka.
2.5 Perilaku Memilih Pada Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden
Tahun 2014
Perilaku wajib pilih dalam menggunakan hak pilihnya telah tergambar pada
pembahasan sebelumnya, dimana dari 100 responden yang menjawab Kuesioner
yang diberikan oleh KPU Kabupaten Konawe, ternyata 96 persen menggunakan
hak pilihnya pada hari pemilihan. Hal ini merupakan angka yang signifikan yang
menunjukkan bahwa minat wajib pilih di Kabupaten Konawe tinggi untuk
membantu perkembangan daerahnya. Kemudian riset ini mencoba mencari faktor
apa saja yang mempengaruhi perilaku memilih pada pemilihan legislatif dan
pemilihan presiden tahun 2014. Ada 4 faktor yang dihubungkan dengan alasan
memilih yaitu Penyelenggara Pemilu, Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih, DPT
dan Relawan Demokrasi. Tabel selanjutnya akan membahas mengenai hal ini.
Tabel 18 : Perilaku Memilih
ALASAN MEMILIH
Penyelenggara Pemilu
Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih
DPT/DPktb/Pindah Memilih
Relawan Demokrasi
Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
0,84
1,73
0,274
0,234
Tabel 18 menberikan hasil yang mengejutkan, karena hubungan yang
ditunjukkan tidak begitu signifikan. Pertama melihat hubungan antara alasan
memilih dengan penyelenggara pemilu yaitu 0,84 yang artinya tingkat
hubungannya sangat rendah. Hal ini bisa disebabkan karena yang menjadi
responden kami hanya 38 persen yang pernah menjadi penyelenggara pemilu.
38
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka penelitian ini
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Perilaku Memilih pada Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden tahun
2014 sangat signifikan yaitu sebesar 96 %, artinya dari 100 responden
dalam penelitian ini ada 96 responden yang menggunakan hak pilihnya
pada Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden tahun 2014. Hal ini
menunjukkan bahwa antusias untuk memberikan suara pada hari
pemilihan sangat tinggi.
2. Berdasarkan analisis korelasi yang dilakukan antara alasan memilih
dengan penyelenggara pemilu, sosialisasi dan pendidikan pemilih
menunjukkan hasil bahwa hubungannya sangat rendah.kemudian analisis
korelasi antara alasan memilih dengan daftar pemilih tetap dan relawan
demokrasi menunjukkan hasil bahwa hubungannya rendah. Ini artinya
bahwa hubungan antara alasan memilih dengan penyelenggara pemilu,
sosialisasi dan pendidikan pemilih, daftar pemilih tetap serta relawan
demokrasi tidak begitu signifikan.
39
3.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan, dapat direkomendasikan beberapa hal sebagai
berikut :
1. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Konawe perlu meningkatkan
kinerjanya berhubungan dengan peningkatan angka partisipasi pemilih
2. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Konawe meningkatkan lagi
kinerjanya pada aspek peningkatan kinerja penyelenggara pemilu mulai
dari KPPS, PPS dan PPK. Aspek Sosialisasi pun harus ditingkatkan lagi,
mulai dari sosialisasi kepada pemilih pemula, pemilih perempuan hingga
pemilih dengan usia tua. Daftar Pemilih Tetap harus dimaksimalkan
dalam pelaksanaan pendataan di tingkat desa/ kelurahan. Dan fungsi
relawan demokrasi pun harus ditingkatkan.
40
DAFTAR PUSTAKA
Alfaruq Dkk,
2000. Akrobat Politik, Investigasi Jurnalistik Membongkar Skenario dan Intrik
Politik, diantar oleh Kristiadi, Rosda, Bandung.
Almond, Gabriel dan Sidney Verba. 1984. Budaya Politik, Tingkah Laku Politik dan Demokrasi
Di Lima Negara, PT. Bina Aksara, Jakarta.
Amal, Ichlasul (Ed). 1996. Teori-teori Mutakhir Partai Politik, PT. Tiara Wacana Yagya, Anggota
IKAPI
BPS Kota Kendari. 2008. Kota Kendari Dalam Angka, Katalog BPS: 1403.7471
Gaffar, Afan, 1988. Javanese Voters, A Case Study Of Election Under A Hegemony Party
System, Disertasi, The Ohio State University.
Geertz, Cliford, 1983. Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Terjemahan YIIS,
Pustaka Jaya, Jakarta.
Goodman, Douglas, J. Ritzer, George. 2004. Teori Sosiologi Moderen, Edisi, Keenam, Kencana.
Kristiadi, J., 1996. Pemilihan Umum dan Perilaku Pemilih di Indonesia, Prisma,
Little John, W. Stephen. 1996. Theories Of Human Communication (Fifth Edition), wadsworth
Publishing Company: California.
Majalah Kajian Ekonomi dan Sosial, No 3 Tahun XXV Maret 1996, LP3ES, Jakarta.
Malkhan, Munir, Abdul, 1989. Perubahan Perilaku Politik dan Umat Islam 1965-1987, Dalam
Perspektif Sosiologis, Rajawali Pers, Jakarta.
Martin, Roderick,BN.1993. Sosiologi Kekuasaan, Rajawali Press, Jakarta.
Maskur, 2008. “Pola Komunikasi Antar Umat Beragama Studi Atas Dialog Umat Islam dan
Kristen Di Kota Cilegon Banten.
Muhadjir, Noeng, 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif, Penerbit: Rake Sarasin P.O. BOX 83,
Yogyakarta.
Mulyana, Deddy dan Solatun, 2007. Metode Penelitian Komunikasi: Contoh-Contoh Penelitian
Kualitatif Dengan Pendekatan Praktis. Remaja Rosda Karya. Bandung.
Natosusanto, Nugroho,1993. Menegakan Wawasan Almamater. UI Press. Jakarta
Nimmo, Dan. 2000. Komuniaksi Politik: Komunikator: Pesan dan Media. Remaja Rosdakarya.
Bandung.
Rahman Arifin, 1998. Sistem Politik Indonesia, SIC. Surabaya Kerja sama dengan LPM IKIP
Malang.
Rakhmat, Jalaluddin, 2005. Metode Penelitian Komunikasi: Dilengkapi Contoh Analisis Statistik.
Remaja Rosdakarya. Bandung.
Santoso, Topo dan Supriyanto, Didik, 2004. Mengawasi Pemilu, Mengawal Demokrasi, Murai
Kencana, Jakarta.
Surbakti, Ramlan, 1990. Memahami Ilmu Politik. Gramedia Widiasarana, Jakarta.
Uchana, Onong Effendy, 1997. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Remaja Rosadakarya.
Bandung.
Yan, R. K., 1995. Studi Kasus (Desain dan Metode) Terjemahan, Rajawali Press, Jakarta.
41
Download