BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Diri 1. Definisi Penyesuaian Diri Atwater (1983) mengemukakan salah satu konsep tentang penyesuaian yaitu penyesuaian diri merupakan suatu perubahan yang dialami seseorang untuk mencapai suatu hubungan yang memuaskan dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Menurut Schneiders (dalam Partosuwido, 1993), Penyesuaian diri merupakan kemampuan untuk mengatasi tekanan kebutuhan, frustasi dan kemampuan untuk mengembangkan mekanisme psikologis yang tepat. Sedangkan Maslow (dalam Partosuwida, 1993) memandang penyesuaian diri sebagai kemampuan seseorang untuk memunuhi kebutuhan yang sifatnya hirarki. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah suatu perubahan yang dialami seseorang dalam hidupnya sebagai suatu proses yang sedang berlangsung, atau sebagai suatu keadaan yang tengah atau terus berlangsung untuk mencapai suatu hubungan yang memuaskan dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Menurut Daradjat (1972) penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamika yang bertujuan untuk mengubah tingkah laku agar terjadi hubungan yang selaras antara dirinya dan lingkungannya. Dikatakan bahwa penyesuaian diri mempunyai dua aspek, yaitu penyesuaian diri pribadi dan penyesuaian diri sosial. Penyesuaian diri pribadi adalah penyesuaian individu terhadap dirinya sendiri dan percaya pada diri sendiri. Sedangakan penyesuaian sosial merupakan suatu proses yang terjadi dalam lingkungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengannya. Penyesuaian diri merupakan faktor yang penting dalam kehidupan seseorang. Setiap saat seseorang mempunyai kebutuhan penyesuaian diri, baik dengan dirinya sendiri antara kebutuhan jasmani dan rohani, maupun kebutuhan luarnya yaitu kebutuhan sosial, (Prastyawati, 1999). Geringan (1986) mengatakan bahwa penyesuaian diri adalah mengubah diri sendiri dengan keadaan lingkungan dan juga mengubah lingkungan sesuai dengan keinginannya, Tentu saja hal ini tidak menimbulkan koflik bagi diri sendiri dan tidak melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Hillgard (dalam Damayanti, 2002), individu mengadakan penyesuaian diri untuk menghilangkan konflik dan melepaskan rasa ketidak enakan dalam dirinya. Menurut Gunarso (1995) penyesuaian diri sebaiknya menjadi dasar dari pembetukan hidup dengan pola-pola yang berintegrasi tanpa tekanan emosi yang berarti. Katono (1980) mengartikan penyesuaian diri sebagai usaha untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri dan pada lingkungan sehingga rasa bermusuhan, dengki, iri hati, pasangka, kecemasan, kemarahan sebagai respon pribadi yang tidak sesuai dengannya terkikis habis. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri Sawrey dan Telford lebih jauh lagi mengemukakan bahwa penyesuaian yang dilakukan tergantung pada sejumlah faktor yaitu pengalaman terdahulu, sumber frustrasi, kekuatan menanggulangi masalah. motivasi, dan kemampuan individu untuk Menurut Schneiders (1964, h. 122) faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah : a. Keadaan fisik Kondisi fisik individu merupakan faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, sebab keadaan sistem-sistem tubuh yang baik merupakan syarat bagi terciptanya penyesuaian diri yang baik. Adanya cacat fisik dan penyakit kronis akan melatarbelakangi adanya hambatan pada individu dalam melaksanakan penyesuaian diri. b. Perkembangan dan kematangan Bentuk-bentuk penyesuaian diri individu berbeda pada setiap tahap perkembangan. Sejalan dengan perkembangannya, individu meninggalkan tingkah laku infantil dalam merespon lingkungan. Hal tersebut bukan karena proses pembelajaran semata, melainkan karena individu menjadi lebih matang. Kematangan individu dalam segi intelektual, sosial, moral, dan emosi mempengaruhi bagaimana individu melakukan penyesuaian diri. c. Keadaan psikologis Keadaan mental yang sehat merupakan syarat bagi tercapainya penyesuaian diri yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya frustrasi, kecemasan dan cacat mental akan dapat melatarbelakangi adanya hambatan dalam penyesuaian diri. Keadaan mental yang baik akan mendorong individu untuk memberikan respon yang selaras dengan dorongan internal maupun tuntutan lingkungannya. Variabel yang termasuk dalam keadaan psikologis di antaranya adalah pengalaman, pendidikan, konsep diri, dan keyakinan diri. d. Keadaan lingkungan Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, aman, penuh penerimaan dan pengertian, serta mampu memberikan perlindungan kepada anggota-anggotanya merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian diri. Sebaliknya apabila individu tinggal di lingkungan yang tidak tentram, tidak damai, dan tidak aman, maka individu tersebut akan mengalami gangguan dalam melakukan proses penyesuaian diri. Keadaan lingkungan yang dimaksud meliputi sekolah, rumah, dan keluarga. B. Penyesuaian Diri terhadap Pasangan Menurut Spanier (dalam Lasswell & Lasswell, 1987) penyesuaian diri berarti pasangan suami istri berusaha untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan yang terjadi pada diri sendiri, pasangan, dan lingkungannya dalam kehidupan perkawinan, dengan berupaya menjaga komunikasi agar tetap berjalan baik dan sehat. Menurut Hurlock (1980) pasangan suami istri yang melakukan penyesuaian diri berupaya untuk dapat berhubungan dengan mesra, saling memberi dan menerima cinta, menunjukan afeksi, dan melakukan komunikasi terhadap perbedaan yang dimiliki. 1. Aspek-aspek penyesuaian diri terhadap pasangan Menurut Spanier (Lasswell & Lasswell, 1987) Penyesuaian diri yang baik dapat diukur dari sejauh mana pasangan suami istri bisa melaksanakan aspekaspek yang terkandung di dalam penyesuain diri secara optimal, yaitu persetujuan antar pasangan, kelekatan antar pasangan, kepuasaan antar pasangan, dan ungkapan perasaan. Aspek-aspek penyesuaian diri pada pasangan, diantaranya : a. Dyadic consensus atau Kesepakatan antar pasangan. Mengukur tingkat kesepakatan mengenai keuangan keluarga, hal-hal yang berkaitan dengan masalah keuangan, rekreasi dan agama, filsafat kehidupan, serta tugas-tugas rumah tangga. b. Dyadic cohesion atau Kelekatan antar pasangan. Kebersamaan atau kedekatan, yang menunjukkan seberapa banyak pasangan melakukan berbagai kegiatan secara bersama-sama dan menikmati kebersamaan yang ada. Aspek ini untuk mengungkap solidaritas yang dimiliki oleh pasangan suami istri, yang di tunjukkan lewat frekuensi bertukar pikiran, bekerja sama dalam satu kegiatan, dan berbagai minat seperti minat berolahraga dan berkebun. c. Dyadic satisfaction atau Kepuasan antar pasangan. Kepuasaan hubungan adalah derajat kepuasan dalam hubungan. Mencakup frekuensi pertengkaran, membicarakan perceraian atau bahkan tidak pernah memikirkan perceraian, janji tentang kelangsungan hubungan dan kesepakatan untuk mempertahankan perkawinan atau saling mempercayai pihak lain. d. Affectional expression atau Ungkapan perasaan. Kesepahaman dalam menyatakan perasaan dan hubungan seks maupun masalah yang ada mengenai hal-hal tersebut. Aspek ini mengukur kecenderungan pasangan suami istri dalam menyampaikan kasih sayang atau yang berkaitan dengan aktivitas seksual. Menurut Spanier (dalam Lasswell & Lasswell, 1987) menyatakan bahwa penyesuaian perkawinan dapat dilihat dalam dua cara : 1) sebagai sebuah proses yang dipelajari dalam suatu hubungan, 2) sebagai evaluasi kualitatif dalam setiap periode perkawinan, dalam hal ini pasangan menikah melakukan analisa terhadap perkawinannya. 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri dalam Perkawinan. Burgess & Locke (1971) mengungkapkan 9 faktor dasar yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan, yaitu : a. Karakteristik Pribadi. Persamaan karakteristik pribadi antar pasangan suami-istri sangat berhubungan dengan penyesuaian perkawinan. b. Latar-Belakang Budaya. Persamaan latar-belakang budaya menguntungkan bagi suami-istri. adalah suatu hal yang c. Partisipasi Sosial. Kepuasan perkawinan sangat berhubungan dengan jumlah orang yang dekat dengan pasangan suami-istri. d. Pengalaman Berhubungan dengan Lawan Jenis. Masa pacaran dan pertunangan yang cukup lama berhubungan dengan penyesuaian perkawinan yang mudah, sedangkan keterbatasan waktu berhubungan akan berdampak pada kesulitan penyesuaian perkawinan. e. Usia Saat Menikah. Usia adalah faktor yang turut menentukan keberhasilan penyesuaian perkawinan. f. Pendidikan. Individu dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan memiliki penyesuaian perkawinan yang lebih baik bila dibandingkan dengan individu yang tingkat pendidikannya rendah. g. Penyesuaian Terhadap Keluarga. Seorang pria atau wanita yang menikah tidak hanya menikahi pasangannya saja tetapi juga menikah dengan keluarga pasangannya. h. Tingkah Laku Seksual. Penyesuaian perkawinan juga berhubungan dengan persamaan nilai dan harapan pasangan suami-istri dalam masalah seks. i. Jumlah Anak. Karena setiap pasangan suami-istri memiliki perbedaan tentang jumlah anak yang diinginkan sesuai dengan latar-belakang yang ada pada pasangan suami-istri. B. Perkawinan 1. Definisi Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang. 2. Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari kalimat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1. Perkawinan itu adalah untuk membentuk keluarga yaitu mendapatkan keturunan, karena suatu keluarga tentunya terdiri dari suami istri dan anakanaknya. 2. Perkawinan itu untuk selama-lamanya, hal ini dapat kita tarik dari kata “kekal”. 3. Perkawinan itu bertujuan untuk mencapai kebahagiaan. Tujuan perkawinan yang diinginkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bila kita rasakan adalah sangat ideal karena tujuan perkawinan itu tidak hanya melihat dari segi lahiriah saja tetapi sekaligus terdapat adanya suatu pertautan batin antara suami dan istri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa dengan melangsungkan perkawinan akan diperoleh kebahagiaan, baik materiil maupun spirituil. Kebahagiaan yang ingin dicapai bukanlah kebahagiaan yang sifatnya sementara saja, tetapi kebahagiaan yang kekal, karenanya perkawinan yang diharapkan juga adalah perkawinan yang kekal, yang dapat berakhir dengan kematian (Asmin, 1986: 20). 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan perkawinan. Menurut Hurlock (1980) yang mempengaruhi kebahagiaan perkawinan adalah sebagai berikut : a. Penyesuaian diri dengan pasangan b. Penyesuaian seksual c. Penyesuaian keuangan d. Penyesuaian dengan pihak keluarga 4. Tahap – Tahap Perkawinan. Kurdek & Smith (dalam Hoffman, Paris & Hall 1994) menyatakan bahwa ada tiga tahap yang dilalui pasangan suami-istri dalam usaha membangun pernikahan mereka, yaitu : a. Fase Blending yang terjadi pada tahun pertama. Suami dan istri belajar hidup bersama dan memahami bahwa mereka saling tergantung sehingga perbuatan seseorang akan mempunyai konsekuensi terhadap yang lain. b. Fase Nesting yang terjadi antara tahun kedua dan ketiga. Suami dan istri mengeksplorasi batas-batas kecocokan mereka sehingga mulai timbul konflik-konflik dalam pernikahan. c. Fase Maintaining biasanya dimulai setelah tahun keempat. Pada fase ini tradisi sudah mulai terbentuk dan konflik yang muncul pada fase sebelumnya biasanya sudah mulai dapat teratasi. Kualitas dari pernikahan itu pun sudah mulai terlihat. C. Remaja 1. Pengertian Remaja Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990). Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang remaja, seperti DeBrun (dalam Rice, 1990) mendefinisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Papalia dan Olds (2001) tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence). Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Menurut Santrock (2003), remaja (adolescence) adalah masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional. Piaget (dalam Hurlock, 1999) mengemukakan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Masa remaja dapat dilihat sebagai jembatan biologis antara masa kanak-kanak dan dewasa. Pada masa ini individu dituntut untuk menyesuaikan tingkah laku kanak-kanak dengan bentuk tingkah laku orang dewasa yang diterima di masyarakat, (Dusek dalam Husnah, 2008). Menurut Santrock (2003) remaja dimulai dari usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun. Batas usia remaja Indonesia adalah 11 sampai 24 tahun dan belum menikah (Sarwono, 2000). Hurlock (1999) membagi masa remaja menjadi dua periode, yaitu : a. Remaja Awal (Early Adolesence), yang berlangsung antara usia 13-16 tahun (wanita) dan 14-17 tahun (pria). b. Remaja Akhir (Late Adolesence), yang berlangsung antara usia 16/17 tahun sampai 18 tahun (pria dan wanita). Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Bahkan ada yang dikenal juga dengan istilah remaja yang diperpanjang, dan remaja yang diperpendek. Remaja adalah masa yang penuh dengan permasalahan. Statemen ini sudah dikemukakan jauh pada masa lalu yaitu di awal abad ke-20 oleh Bapak Psikologi Remaja yaitu Stanley Hall. Pendapat Stanley Hall pada saat itu yaitu bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress) sampai sekarang masih banyak dikutip orang. WHO (dalam Sarwono, 2002) mendefinisikan remaja lebih bersifat konseptual, ada tiga krieria yaitu biologis, psikologik, dan sosial ekonomi, dengan batasan usia antara 10-20 tahun, yang secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut: a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tandatanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. b. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. 2. Karakteristik Remaja a. Aspek Perkembangan Fisik Datangnya masa remaja, ditandai oleh adanya perubahan-perubahan fisik. Hurlock (1992) menyatakan bahwa perubahan fisik tersebut, terutama dalam hal perubahan yang menyangkut ukuran tubuh, perubahan proposisi tubuh, perkembangan ciri-ciri seks primer, dan perkembangan ciri-ciri seks sekunder. Pertumbuhan yang terjadi pada fisik remaja dapat terjadi melalui perubahanperubahan, baik internal maupun eksternal. Selain itu, perubahan yang terjadi pada remaja adalah timbulnya menstruasi pada perempuan dan mimpi basah pada anak laki-laki (Papalia & Olds, 1995). b. Aspek Perkembangan Kognitif Menurut J.J. Piaget, remaja berada pada tahap operasi formal, yaitu tahap berfikir yang dicirikan dengan kemampuan berfikir mengenai kemungkinankemungkinan hipotetis, penalaran-penalaran yang abstrak, logis, ilmiah serta pemikiran remaja juga idealistis. Pada usia remaja, operasi-operasi berpikir tidak lagi terbatas pada obyek-obyek konkrit seperti usia sebelumnya, tetapi dapat pula dilakukan pada proposisi verbal (yang bersifat abstrak) dan kondisi hipotetik (yang bersifat abstrak dan logis). Remaja juga lebih mampu memikirkan beberapa hal sekaligus bukan hanya satu dalam satu saat dan konsep-konsep abstrak (Keating, dalam Carlson, dkk., 1999). Menurut Nettle (2001), remaja juga dapat berfikir tentang proses berfikirnya sendiri, serta dapat memikirkan hal-hal yang tidak nyata – sebagaimana hal-hal yang nyata – untuk menyusun hipotesa atau dugaan. Remaja mulai berpikir tentang ciri-ciri ideal bagi mereka sendiri dan orang lain dan membandingkan diri mereka dan orang lain dengan standar ideal tersebut (Santrock, 1995). Pada saat yang sama, ketka remaja berpikir lebih abstrak dan idealis, mereka juga berpikir lebih logis (Kuhn dalam Santrock, 1995). c. Aspek Perkembangan Emosional Pola emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi pada masa kanakkanak. Pola-pola emosi itu berupa marah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira, sedih dan kasih sayang. Perbedaan terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan pengendalian dalam mengekspresikan emosi. Remaja umumnya memiliki kondisi emosi yang labil pengalaman emosi yang ekstrem dan selalu merasa mendapatkan tekanan (Hurlock, 1999). Bila pada akhir masa remaja mampu menahan diri untuk tidak mengeksperesikan emosi secara ekstrem dan mampu memgekspresikan emosi secara tepat sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan dan dengan cara yang dapat diterima masyarakat, dengan kata lain remaja yang mencapai kematangan emosi akan memberikan reaksi emosi yang stabil (Hurlock, 1999). Nuryoto (1992) menyebutkan ciri-ciri kematangan emosi pada masa remaja yang ditandai dengan sikap sebagai berikut: (1) tidak bersikap kekanak-kanakan. (2) bersikap rasional. (3) bersikap objektif (4) dapat menerima kritikan orang lain sebagai pedoman untuk bertindak lebih lanjut. (5) bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan. (6) mampu menghadapi masalah dan tantangan yang dihadapi. d. Aspek Perkembangan Kepribadian dan Sosial Yang dimaksud dengan perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik; sedangkan perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan orang lain (Papalia & Olds, 2001). Perkembangan kepribadian yang penting pada masa remaja adalah pencarian identitas diri. Yang dimaksud dengan pencarian identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup (Erikson dalam Papalia & Olds, 2001). Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dibanding pada masa kanak-kanak, remaja lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstra kurikuler dan bermain dengan teman (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok teman sebaya adalah besar. Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya (Conger, 1991). Kelompok teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya (Beyth-Marom, et al., 1993; Conger, 1991; Deaux, et al, 1993; Papalia & Olds, 2001). Conger (1991) dan Papalia & Olds (2001) mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Bagi remaja, teman-teman menjadi sumber informasi misalnya mengenai bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik atau film apa yang bagus, dan sebagainya (Conger, 1991). 3. Tugas Perkembangan Remaja Tugas Perkembangan Remaja menurut Havighurst (1970): 1. Mencapai hubungan baru dan hubungan yang matang dengan teman sebaya dari kedua jenis kelamin 2. Mencapai peran sosial feminin dan maskulin 3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuh secara efektif 4. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang lain 5. Mencapai keyakinan akan kemandirian ekonomi 6. Memilih dan mempersiapkan diri untuk bekerja 7. Persiapan pernikahan dan kehidupan berkeluarga 8. Membangun kecakapan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan dalam bermasyarakat 9. Ada keinginan untuk mencapai perilaku yang bertanggung jawab 10. Mencapai nilai-nilai dan meyakini sistem adat tertentu sebagai pedoman dalam bertingkah laku. D. Pernikahan Usia Remaja Pasal 7 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menetapkan bahwa "perkawinan diizinkan bila pria berusia 19 tahun dan wanita berusia 16 tahun". Dengan adanya undang-undang perkawinan akan ada batasan usia, pernikahan di usia muda baru dapt dilakukan bila usia seorang remaja sudah sesuai undang-undang pernikahan yang berlaku di Indonesia. Menurut Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono pernikahan dini adalah sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan yang sangat kuat, sebagai sebuah solusi alternatif. Menurut Hurlock (1996) remaja mempunyai tugas-tugas perkembangan antara lain memilih teman hidup, dalam memilih teman hidup biasanya remaja akan menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau pacaran dan biasanya diteruskan menuju ketahap yang lebih jauh yaitu dengan melakukan perkawinan. Perkawinan atau pernikahan pada remaja biasanya terjadi dikarenakan beberapa hal, diantaranya; selain faktor yang umum misalnya telah hamil di luar nikah, faktor ekonomi dan standar kedewasaan yang dlihat dari perubahan fisik semata. Namun secara khusus setiap daerah memiliki faktor tambahan yang biasanya dihubungkan dengan sub-kultur di suatu komunitas. Selain itu juga adanya ketakutan orang tua pada fenomena seks pra-nikah yang marak terjadi di kalangan remaja saat ini, sehingga orang tua lebih memilih menikahkan anaknya diusia remaja untuk menghindari pergaulan bebas yang menyebabkan terjadinya kehamilan diluar nikah atau “Married by Accident” (Suara Merdeka, 25 Oktober 2003). Pernikahan usia remaja juga sering terjadi karena remaja berfikir secara emosional, remaja berfikir telah saling mencintai dan siap untuk menikah tanpa adanya pertimbangan yang matang. Sarwono (2001) mengemukakan bahwa pernikahan remaja merupakan pilihan terbaik untuk terciptanya pergaulan sehat. Menikah di usia remaja menjadi pilihan, mengingat untuk melakukannya yang dibutuhkan tidak hanya persiapan yang matang dalam banyak hal, namun juga konsekuensi dan tanggung jawab yang besar. Tetapi juga orientasi pernikahan, kebahagiaan pernikahan lebih ditentukan oleh bagaimana orientasi pasangan dalam pernikahan. Berat ringannya tanggung jawab yang dipikul hanya ditentukan oleh banyak sedikitnya beban, melainkan tujuan dan pandangan kita terhadap pernikahan. 1. Pernikahan Dini dalam Perspektif Psikologi Menurut Clarke-Stewart & Koch lewat bukunya “Children Development Through”: bahwa pernikahan di usia remaja dan masih di bangku sekolah bukan sebuah penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik, bahwa usia bukan ukuran utama untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang bahwa menikah bisa menjadi solusi alternatif untuk mengatasi kenakalan kaum remaja yang kian tak terkendali. Bahkan menurut Abraham M. Maslow, pendiri psikologi humanistik yang menikah di usia 20 tahun, orang yang menikah di usia dini lebih mungkin mencapai taraf aktualisasi diri lebih cepat dan lebih sempurna dibanding dengan individu yang selalu menunda pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya, menurut M. Maslow, dimulai dari saat menikah. Pernikahan akan mematangkan seseorang sekaligus memenuhi separuh dari kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia, yang pada gilirannya akan menjadikan manusia, mampu mencapai puncak pertumbuhan kepribadian yang mengesankan. Dari kacamata psikologi, pernikahan dini lebih dari sekedar alternatif dari sebuah musibah yang sedang mengancam kaum remaja, tetapi merupakan motivator untuk meningkatkan potensi diri dalam segala aspek positif. 2. Permasalahan-permasalahan pada Pernikahan Usia Remaja a. Ego masih besar. Individu yang masih di kisaran umur 17-23 tahun mayoritas adalah remaja yang baru beranjak dewasa, dimana tingkat kematangan belum stabil dan gejolak emosi masih membara. Maka ketika antara suami istri tidak pandai mengatur emosi, dan keduanya sama-sama keras, maka akan sulit menjalin hubungan yang harmonis dalam berumah tangga. b. Waktu untuk diri sendiri jadi berkurang. Dengan adanya keputusan untuk hidup berumah tangga, remaja perlu membagi waktu untuk pasangan, mengerjakan pekerjaan rumah. Waktu yang digunakan untuk diri pribadi pun menjadi berkurang setelah memutuskan untuk menikah. c. Mengorbankan beberapa cita-cita. Sebelum menikah, remaja memiliki kecenderungan untuk menjelajah dunia. Ketika sudah menikah, tentunya sebelum akan melakukan sesuatu, ada banyak pertimbangan yang harus dipikirkan, dan ada kemungkinan beberapa cita-cita harus ada yang dikorbankan demi kepentingan keluarga. Saat ini banyak ditemukan remaja yang menikah diusia yang sangat muda padahal kebutuhan materi untuk dirinya sendiri belum sepenuhnya terpenuhi apalagi harus memenuhi kebutuhan pasangannya, hal ini yang mendorong remaja bergantung pada orang lain. Sejalan dengan pendapat Wijayanto (2007) bahwa saat ini banyak ditemukan remaja yang menikah dini dan telah mempunyai anak tapi konsekuensi dari pernikahan masih diserahkan pada orang tua, misalnya: tinggal di rumah orangtua, makan dan minum masih ikut orang tua serta kebutuhan lainnya 100% masih ditanggung orang tua.