BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Diri 1. Definisi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyesuaian Diri
1. Definisi Penyesuaian Diri
Atwater (1983) mengemukakan salah satu konsep tentang penyesuaian
yaitu penyesuaian diri merupakan suatu perubahan yang dialami seseorang untuk
mencapai suatu hubungan yang memuaskan dengan orang lain dan lingkungan
sekitarnya. Menurut Schneiders (dalam Partosuwido, 1993), Penyesuaian diri
merupakan kemampuan untuk mengatasi tekanan kebutuhan, frustasi dan
kemampuan untuk mengembangkan mekanisme psikologis yang tepat. Sedangkan
Maslow (dalam Partosuwida, 1993) memandang penyesuaian diri sebagai
kemampuan seseorang untuk memunuhi kebutuhan yang sifatnya hirarki. Jadi,
dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah suatu perubahan yang dialami
seseorang dalam hidupnya sebagai suatu proses yang sedang berlangsung, atau
sebagai suatu keadaan yang tengah atau terus berlangsung untuk mencapai suatu
hubungan yang memuaskan dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya.
Menurut Daradjat (1972) penyesuaian diri merupakan suatu proses
dinamika yang bertujuan untuk mengubah tingkah laku agar terjadi hubungan
yang selaras antara dirinya dan lingkungannya. Dikatakan bahwa penyesuaian diri
mempunyai dua aspek, yaitu penyesuaian diri pribadi dan penyesuaian diri sosial.
Penyesuaian diri pribadi adalah penyesuaian individu terhadap dirinya sendiri dan
percaya pada diri sendiri. Sedangakan penyesuaian sosial merupakan suatu proses
yang terjadi dalam lingkungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi
dengannya. Penyesuaian diri merupakan faktor yang penting dalam kehidupan
seseorang. Setiap saat seseorang mempunyai kebutuhan penyesuaian diri, baik
dengan dirinya sendiri antara kebutuhan jasmani dan rohani, maupun kebutuhan
luarnya yaitu kebutuhan sosial, (Prastyawati, 1999).
Geringan (1986) mengatakan bahwa penyesuaian diri adalah mengubah
diri sendiri dengan keadaan lingkungan dan juga mengubah lingkungan sesuai
dengan keinginannya, Tentu saja hal ini tidak menimbulkan koflik bagi diri
sendiri dan tidak melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Menurut Hillgard (dalam Damayanti, 2002), individu mengadakan penyesuaian
diri untuk menghilangkan konflik dan melepaskan rasa ketidak enakan dalam
dirinya. Menurut Gunarso (1995) penyesuaian diri sebaiknya menjadi dasar dari
pembetukan hidup dengan pola-pola yang berintegrasi tanpa tekanan emosi yang
berarti. Katono (1980) mengartikan penyesuaian diri sebagai usaha untuk
mencapai keharmonisan pada diri sendiri dan pada lingkungan sehingga rasa
bermusuhan, dengki, iri hati, pasangka, kecemasan, kemarahan sebagai respon
pribadi yang tidak sesuai dengannya terkikis habis.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri
Sawrey dan Telford lebih jauh lagi mengemukakan bahwa penyesuaian
yang dilakukan tergantung pada sejumlah faktor yaitu pengalaman terdahulu,
sumber
frustrasi,
kekuatan
menanggulangi masalah.
motivasi,
dan
kemampuan
individu
untuk
Menurut Schneiders (1964, h. 122) faktor-faktor yang mempengaruhi
penyesuaian diri adalah :
a. Keadaan fisik
Kondisi fisik individu merupakan faktor yang mempengaruhi
penyesuaian diri, sebab keadaan sistem-sistem tubuh yang baik
merupakan syarat bagi terciptanya penyesuaian diri yang baik. Adanya
cacat fisik dan penyakit kronis akan melatarbelakangi adanya
hambatan pada individu dalam melaksanakan penyesuaian diri.
b. Perkembangan dan kematangan
Bentuk-bentuk penyesuaian diri individu berbeda pada setiap tahap
perkembangan.
Sejalan
dengan
perkembangannya,
individu
meninggalkan tingkah laku infantil dalam merespon lingkungan. Hal
tersebut bukan karena proses pembelajaran semata, melainkan karena
individu menjadi lebih matang. Kematangan individu dalam segi
intelektual, sosial, moral, dan emosi mempengaruhi bagaimana individu
melakukan penyesuaian diri.
c. Keadaan psikologis
Keadaan mental yang sehat merupakan syarat bagi tercapainya
penyesuaian diri yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya
frustrasi, kecemasan dan cacat mental akan dapat melatarbelakangi
adanya hambatan dalam penyesuaian diri. Keadaan mental yang baik
akan mendorong individu untuk memberikan respon yang selaras
dengan dorongan internal maupun tuntutan lingkungannya. Variabel
yang termasuk dalam keadaan psikologis di antaranya adalah
pengalaman, pendidikan, konsep diri, dan keyakinan diri.
d. Keadaan lingkungan
Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, aman, penuh
penerimaan dan pengertian, serta mampu memberikan perlindungan
kepada
anggota-anggotanya
merupakan
lingkungan
yang
akan
memperlancar proses penyesuaian diri. Sebaliknya apabila individu
tinggal di lingkungan yang tidak tentram, tidak damai, dan tidak aman,
maka individu tersebut akan mengalami gangguan dalam melakukan
proses penyesuaian diri. Keadaan lingkungan yang dimaksud meliputi
sekolah, rumah, dan keluarga.
B. Penyesuaian Diri terhadap Pasangan
Menurut Spanier (dalam Lasswell & Lasswell, 1987) penyesuaian diri
berarti pasangan suami istri berusaha untuk melakukan adaptasi terhadap
perubahan yang terjadi pada diri sendiri, pasangan, dan lingkungannya dalam
kehidupan perkawinan, dengan berupaya menjaga komunikasi agar tetap berjalan
baik dan sehat.
Menurut Hurlock (1980) pasangan suami istri yang melakukan
penyesuaian diri berupaya untuk dapat berhubungan dengan mesra, saling
memberi dan menerima cinta, menunjukan afeksi, dan melakukan komunikasi
terhadap perbedaan yang dimiliki.
1. Aspek-aspek penyesuaian diri terhadap pasangan
Menurut Spanier (Lasswell & Lasswell, 1987) Penyesuaian diri yang baik
dapat diukur dari sejauh mana pasangan suami istri bisa melaksanakan aspekaspek yang terkandung di dalam penyesuain diri secara optimal, yaitu persetujuan
antar pasangan, kelekatan antar pasangan, kepuasaan antar pasangan, dan
ungkapan perasaan.
Aspek-aspek penyesuaian diri pada pasangan, diantaranya :
a. Dyadic consensus atau Kesepakatan antar pasangan.
Mengukur tingkat kesepakatan mengenai keuangan keluarga, hal-hal
yang berkaitan dengan masalah keuangan, rekreasi dan agama, filsafat
kehidupan, serta tugas-tugas rumah tangga.
b. Dyadic cohesion atau Kelekatan antar pasangan.
Kebersamaan atau kedekatan, yang menunjukkan seberapa banyak
pasangan melakukan berbagai kegiatan secara bersama-sama dan
menikmati kebersamaan yang ada. Aspek ini untuk mengungkap
solidaritas yang dimiliki oleh pasangan suami istri, yang di tunjukkan
lewat frekuensi bertukar pikiran, bekerja sama dalam satu kegiatan,
dan berbagai minat seperti minat berolahraga dan berkebun.
c. Dyadic satisfaction atau Kepuasan antar pasangan.
Kepuasaan hubungan adalah derajat kepuasan dalam hubungan.
Mencakup frekuensi pertengkaran, membicarakan perceraian atau
bahkan
tidak
pernah
memikirkan
perceraian,
janji
tentang
kelangsungan hubungan dan kesepakatan untuk mempertahankan
perkawinan atau saling mempercayai pihak lain.
d. Affectional expression atau Ungkapan perasaan.
Kesepahaman dalam menyatakan perasaan dan hubungan seks maupun
masalah yang ada mengenai hal-hal tersebut. Aspek ini mengukur
kecenderungan pasangan suami istri dalam menyampaikan kasih
sayang atau yang berkaitan dengan aktivitas seksual.
Menurut Spanier (dalam Lasswell & Lasswell, 1987) menyatakan bahwa
penyesuaian perkawinan dapat dilihat dalam dua cara : 1) sebagai sebuah proses
yang dipelajari dalam suatu hubungan, 2) sebagai evaluasi kualitatif dalam setiap
periode perkawinan, dalam hal ini pasangan menikah melakukan analisa terhadap
perkawinannya.
2. Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi
Penyesuaian
Diri
dalam
Perkawinan.
Burgess & Locke (1971) mengungkapkan 9 faktor dasar yang
mempengaruhi penyesuaian perkawinan, yaitu :
a. Karakteristik Pribadi.
Persamaan karakteristik pribadi antar pasangan suami-istri sangat
berhubungan dengan penyesuaian perkawinan.
b. Latar-Belakang Budaya.
Persamaan
latar-belakang
budaya
menguntungkan bagi suami-istri.
adalah
suatu
hal
yang
c. Partisipasi Sosial.
Kepuasan perkawinan sangat berhubungan dengan jumlah orang
yang dekat dengan pasangan suami-istri.
d. Pengalaman Berhubungan dengan Lawan Jenis.
Masa pacaran dan pertunangan yang cukup lama berhubungan
dengan
penyesuaian
perkawinan
yang
mudah,
sedangkan
keterbatasan waktu berhubungan akan berdampak pada kesulitan
penyesuaian perkawinan.
e. Usia Saat Menikah.
Usia
adalah
faktor
yang
turut
menentukan
keberhasilan
penyesuaian perkawinan.
f. Pendidikan.
Individu dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan memiliki
penyesuaian perkawinan yang lebih baik bila dibandingkan dengan
individu yang tingkat pendidikannya rendah.
g. Penyesuaian Terhadap Keluarga.
Seorang pria atau wanita yang menikah tidak hanya menikahi
pasangannya
saja
tetapi
juga
menikah
dengan
keluarga
pasangannya.
h. Tingkah Laku Seksual.
Penyesuaian perkawinan juga berhubungan dengan persamaan nilai
dan harapan pasangan suami-istri dalam masalah seks.
i. Jumlah Anak.
Karena setiap pasangan suami-istri memiliki perbedaan tentang
jumlah anak yang diinginkan sesuai dengan latar-belakang yang
ada pada pasangan suami-istri.
B. Perkawinan
1. Definisi Perkawinan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan
dianggap sah apabila
dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan
serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang
berlaku. Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu
dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan
untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya.
Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena
menikah adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang.
2. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Dari kalimat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Perkawinan itu adalah untuk membentuk keluarga yaitu mendapatkan
keturunan, karena suatu keluarga tentunya terdiri dari suami istri dan anakanaknya.
2. Perkawinan itu untuk selama-lamanya, hal ini dapat kita tarik dari kata
“kekal”.
3. Perkawinan itu bertujuan untuk mencapai kebahagiaan.
Tujuan perkawinan yang diinginkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 bila kita rasakan adalah sangat ideal karena tujuan perkawinan itu tidak
hanya melihat dari segi lahiriah saja tetapi sekaligus terdapat adanya suatu
pertautan batin antara suami
dan istri yang ditujukan untuk membina suatu
keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang
sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Bahwa dengan melangsungkan perkawinan akan diperoleh kebahagiaan,
baik materiil maupun spirituil. Kebahagiaan yang ingin dicapai bukanlah
kebahagiaan yang sifatnya sementara saja, tetapi kebahagiaan yang kekal,
karenanya perkawinan yang diharapkan juga adalah perkawinan yang kekal, yang
dapat berakhir dengan kematian (Asmin, 1986: 20).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan perkawinan.
Menurut Hurlock (1980) yang mempengaruhi kebahagiaan perkawinan
adalah sebagai berikut :
a. Penyesuaian diri dengan pasangan
b. Penyesuaian seksual
c. Penyesuaian keuangan
d. Penyesuaian dengan pihak keluarga
4. Tahap – Tahap Perkawinan.
Kurdek & Smith (dalam Hoffman, Paris & Hall 1994) menyatakan bahwa
ada tiga tahap yang dilalui pasangan suami-istri dalam usaha membangun
pernikahan mereka, yaitu :
a. Fase Blending yang terjadi pada tahun pertama.
Suami dan istri belajar hidup bersama dan memahami bahwa
mereka saling tergantung sehingga perbuatan seseorang akan
mempunyai konsekuensi terhadap yang lain.
b. Fase Nesting yang terjadi antara tahun kedua dan ketiga.
Suami dan istri mengeksplorasi batas-batas kecocokan mereka
sehingga mulai timbul konflik-konflik dalam pernikahan.
c. Fase Maintaining biasanya dimulai setelah tahun keempat.
Pada fase ini tradisi sudah mulai terbentuk dan konflik yang
muncul pada fase sebelumnya biasanya sudah mulai dapat teratasi.
Kualitas dari pernikahan itu pun sudah mulai terlihat.
C. Remaja
1. Pengertian Remaja
Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to
grow atau to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990). Banyak tokoh
yang memberikan definisi tentang remaja, seperti DeBrun (dalam Rice, 1990)
mendefinisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak
dengan masa dewasa. Papalia dan Olds (2001) tidak memberikan pengertian
remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian
masa remaja (adolescence). Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja
adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa
yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia
akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.
Menurut
Santrock
(2003),
remaja
(adolescence)
adalah
masa
perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup
perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional. Piaget (dalam Hurlock, 1999)
mengemukakan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana
individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi
merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam
tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Masa remaja dapat
dilihat sebagai jembatan biologis antara masa kanak-kanak dan dewasa. Pada
masa ini individu dituntut untuk menyesuaikan tingkah laku kanak-kanak dengan
bentuk tingkah laku orang dewasa yang diterima di masyarakat, (Dusek dalam
Husnah, 2008). Menurut Santrock (2003) remaja dimulai dari usia 10-13 tahun
dan berakhir pada usia 18-22 tahun. Batas usia remaja Indonesia adalah 11 sampai
24 tahun dan belum menikah (Sarwono, 2000). Hurlock (1999) membagi masa
remaja menjadi dua periode, yaitu :
a. Remaja Awal (Early Adolesence), yang berlangsung antara usia
13-16 tahun (wanita) dan 14-17 tahun (pria).
b. Remaja Akhir (Late Adolesence), yang berlangsung antara usia
16/17 tahun sampai 18 tahun (pria dan wanita).
Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada pada
rentang 12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa
dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja
sangat bervariasi. Bahkan ada yang dikenal juga dengan istilah remaja yang
diperpanjang, dan remaja yang diperpendek. Remaja adalah masa yang penuh
dengan permasalahan. Statemen ini sudah dikemukakan jauh pada masa lalu yaitu
di awal abad ke-20 oleh Bapak Psikologi Remaja yaitu Stanley Hall. Pendapat
Stanley Hall pada saat itu yaitu bahwa masa remaja merupakan masa badai dan
tekanan (storm and stress) sampai sekarang masih banyak dikutip orang.
WHO (dalam Sarwono, 2002) mendefinisikan remaja lebih bersifat
konseptual, ada tiga krieria yaitu biologis, psikologik, dan sosial ekonomi, dengan
batasan usia antara 10-20 tahun, yang secara lengkap definisi tersebut berbunyi
sebagai berikut:
a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tandatanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan
seksual.
b. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi
dari kanak-kanak menjadi dewasa.
c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh
kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
2. Karakteristik Remaja
a. Aspek Perkembangan Fisik
Datangnya masa remaja, ditandai oleh adanya perubahan-perubahan fisik.
Hurlock (1992) menyatakan bahwa perubahan fisik tersebut, terutama dalam hal
perubahan yang menyangkut ukuran tubuh, perubahan proposisi tubuh,
perkembangan ciri-ciri seks primer, dan perkembangan ciri-ciri seks sekunder.
Pertumbuhan yang terjadi pada fisik remaja dapat terjadi melalui perubahanperubahan, baik internal maupun eksternal. Selain itu, perubahan yang terjadi
pada remaja adalah timbulnya menstruasi pada perempuan dan mimpi basah pada
anak laki-laki (Papalia & Olds, 1995).
b. Aspek Perkembangan Kognitif
Menurut J.J. Piaget, remaja berada pada tahap operasi formal, yaitu tahap
berfikir yang dicirikan dengan kemampuan berfikir mengenai kemungkinankemungkinan hipotetis, penalaran-penalaran yang abstrak, logis, ilmiah serta
pemikiran remaja juga idealistis. Pada usia remaja, operasi-operasi berpikir tidak
lagi terbatas pada obyek-obyek konkrit seperti usia sebelumnya, tetapi dapat pula
dilakukan pada proposisi verbal (yang bersifat abstrak) dan kondisi hipotetik
(yang bersifat abstrak dan logis). Remaja juga lebih mampu memikirkan beberapa
hal sekaligus
bukan hanya satu dalam satu saat dan konsep-konsep abstrak
(Keating, dalam Carlson, dkk., 1999). Menurut Nettle (2001), remaja juga dapat
berfikir tentang proses berfikirnya sendiri, serta dapat memikirkan hal-hal yang
tidak nyata – sebagaimana hal-hal yang nyata – untuk menyusun hipotesa atau
dugaan. Remaja mulai berpikir tentang ciri-ciri ideal bagi mereka sendiri dan
orang lain dan membandingkan diri mereka dan orang lain dengan standar ideal
tersebut (Santrock, 1995). Pada saat yang sama, ketka remaja berpikir lebih
abstrak dan idealis, mereka juga berpikir lebih logis (Kuhn dalam Santrock,
1995).
c. Aspek Perkembangan Emosional
Pola emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi pada masa kanakkanak. Pola-pola emosi itu berupa marah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hati,
gembira, sedih dan kasih sayang. Perbedaan terletak pada rangsangan yang
membangkitkan emosi dan pengendalian dalam mengekspresikan emosi. Remaja
umumnya memiliki kondisi emosi yang labil pengalaman emosi yang ekstrem dan
selalu merasa mendapatkan tekanan (Hurlock, 1999). Bila pada akhir masa remaja
mampu menahan diri untuk tidak mengeksperesikan emosi secara ekstrem dan
mampu memgekspresikan emosi secara tepat sesuai dengan situasi dan kondisi
lingkungan dan dengan cara yang dapat diterima masyarakat, dengan kata lain
remaja yang mencapai kematangan emosi akan memberikan reaksi emosi yang
stabil (Hurlock, 1999). Nuryoto (1992) menyebutkan ciri-ciri kematangan emosi
pada masa remaja yang ditandai dengan sikap sebagai berikut:
(1) tidak bersikap kekanak-kanakan.
(2) bersikap rasional.
(3) bersikap objektif
(4) dapat menerima kritikan orang lain sebagai pedoman untuk
bertindak lebih lanjut.
(5) bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan.
(6) mampu menghadapi masalah dan tantangan yang dihadapi.
d. Aspek Perkembangan Kepribadian dan Sosial
Yang dimaksud dengan perkembangan kepribadian adalah perubahan cara
individu berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik;
sedangkan perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan
orang lain (Papalia & Olds, 2001). Perkembangan kepribadian yang penting pada
masa remaja adalah pencarian identitas diri. Yang dimaksud dengan pencarian
identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang penting
dalam hidup (Erikson dalam Papalia & Olds, 2001). Perkembangan sosial pada
masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua
(Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dibanding pada masa kanak-kanak, remaja
lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstra
kurikuler dan bermain dengan teman (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001).
Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok teman sebaya adalah besar.
Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup
kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang
memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja
dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya
(Conger, 1991). Kelompok teman sebaya
diakui dapat mempengaruhi
pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya (Beyth-Marom,
et al., 1993; Conger, 1991; Deaux, et al, 1993; Papalia & Olds, 2001). Conger
(1991) dan Papalia & Olds (2001) mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya
merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang
berkaitan dengan gaya hidup. Bagi remaja, teman-teman menjadi sumber
informasi misalnya mengenai bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik
atau film apa yang bagus, dan sebagainya (Conger, 1991).
3. Tugas Perkembangan Remaja
Tugas Perkembangan Remaja menurut Havighurst (1970):
1. Mencapai hubungan baru dan hubungan yang matang dengan teman
sebaya dari kedua jenis kelamin
2. Mencapai peran sosial feminin dan maskulin
3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuh secara efektif
4. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang lain
5. Mencapai keyakinan akan kemandirian ekonomi
6. Memilih dan mempersiapkan diri untuk bekerja
7. Persiapan pernikahan dan kehidupan berkeluarga
8. Membangun
kecakapan
intelektual
dan
konsep-konsep
yang
diperlukan dalam bermasyarakat
9. Ada keinginan untuk mencapai perilaku yang bertanggung jawab
10. Mencapai nilai-nilai dan meyakini sistem adat tertentu sebagai
pedoman dalam bertingkah laku.
D. Pernikahan Usia Remaja
Pasal 7 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
menetapkan bahwa "perkawinan diizinkan bila pria berusia 19 tahun dan wanita
berusia 16 tahun". Dengan adanya undang-undang perkawinan akan ada batasan
usia, pernikahan di usia muda baru dapt dilakukan bila usia seorang remaja sudah
sesuai undang-undang pernikahan yang berlaku di Indonesia. Menurut Prof. Dr.
Sarlito Wirawan Sarwono pernikahan dini adalah sebuah nama yang lahir dari
komitmen moral dan keilmuan yang sangat kuat, sebagai sebuah solusi alternatif.
Menurut Hurlock (1996) remaja mempunyai tugas-tugas perkembangan
antara lain memilih teman hidup, dalam memilih teman hidup biasanya remaja
akan menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau
pacaran dan biasanya diteruskan menuju ketahap yang lebih jauh yaitu dengan
melakukan perkawinan. Perkawinan atau pernikahan pada remaja biasanya terjadi
dikarenakan beberapa hal, diantaranya; selain faktor yang umum misalnya telah
hamil di luar nikah, faktor ekonomi dan standar kedewasaan yang dlihat dari
perubahan fisik semata. Namun secara khusus setiap daerah memiliki faktor
tambahan yang biasanya dihubungkan dengan sub-kultur di suatu komunitas.
Selain itu juga adanya ketakutan orang tua pada fenomena seks pra-nikah yang
marak terjadi di kalangan remaja saat ini, sehingga orang tua lebih memilih
menikahkan anaknya diusia remaja untuk menghindari pergaulan bebas yang
menyebabkan terjadinya kehamilan diluar nikah atau “Married by Accident”
(Suara Merdeka, 25 Oktober 2003). Pernikahan usia remaja juga sering terjadi
karena remaja berfikir secara emosional, remaja berfikir telah saling mencintai
dan siap untuk menikah tanpa adanya pertimbangan yang matang. Sarwono
(2001) mengemukakan bahwa pernikahan remaja merupakan pilihan terbaik untuk
terciptanya pergaulan sehat. Menikah di usia remaja menjadi pilihan, mengingat
untuk melakukannya yang dibutuhkan tidak hanya persiapan yang matang dalam
banyak hal, namun juga konsekuensi dan tanggung jawab yang besar. Tetapi juga
orientasi pernikahan, kebahagiaan pernikahan lebih ditentukan oleh bagaimana
orientasi pasangan dalam pernikahan. Berat ringannya tanggung jawab yang
dipikul
hanya ditentukan oleh banyak sedikitnya beban, melainkan tujuan dan
pandangan kita terhadap pernikahan.
1. Pernikahan Dini dalam Perspektif Psikologi
Menurut
Clarke-Stewart
&
Koch
lewat
bukunya
“Children
Development Through”: bahwa pernikahan di usia remaja dan masih di
bangku sekolah bukan sebuah penghalang untuk meraih prestasi yang
lebih baik, bahwa usia bukan ukuran utama untuk menentukan kesiapan
mental dan kedewasaan seseorang bahwa menikah bisa menjadi solusi
alternatif untuk mengatasi kenakalan kaum remaja yang kian tak
terkendali. Bahkan menurut Abraham M. Maslow, pendiri psikologi
humanistik yang menikah di usia 20 tahun, orang yang menikah di usia
dini lebih mungkin mencapai taraf aktualisasi diri lebih cepat dan lebih
sempurna dibanding dengan individu yang selalu menunda pernikahan.
Pernikahan yang sebenarnya, menurut M. Maslow, dimulai dari saat
menikah. Pernikahan akan mematangkan seseorang sekaligus memenuhi
separuh dari kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia, yang pada
gilirannya
akan
menjadikan
manusia,
mampu
mencapai
puncak
pertumbuhan kepribadian yang mengesankan. Dari kacamata psikologi,
pernikahan dini lebih dari sekedar alternatif dari sebuah musibah yang
sedang mengancam kaum remaja, tetapi merupakan motivator untuk
meningkatkan potensi diri dalam segala aspek positif.
2. Permasalahan-permasalahan pada Pernikahan Usia Remaja
a. Ego masih besar. Individu yang masih di kisaran umur 17-23
tahun mayoritas adalah remaja yang baru beranjak dewasa, dimana
tingkat kematangan belum stabil dan gejolak emosi masih
membara. Maka ketika antara suami istri tidak pandai mengatur
emosi, dan keduanya sama-sama keras, maka akan sulit menjalin
hubungan yang harmonis dalam berumah tangga.
b. Waktu untuk diri sendiri jadi berkurang. Dengan adanya keputusan
untuk hidup berumah tangga, remaja perlu membagi waktu untuk
pasangan, mengerjakan pekerjaan rumah. Waktu yang digunakan
untuk diri pribadi pun menjadi berkurang setelah memutuskan
untuk menikah.
c. Mengorbankan beberapa cita-cita. Sebelum menikah, remaja
memiliki kecenderungan untuk menjelajah dunia. Ketika sudah
menikah, tentunya sebelum akan melakukan sesuatu, ada banyak
pertimbangan yang harus dipikirkan, dan ada kemungkinan
beberapa cita-cita harus ada yang dikorbankan demi kepentingan
keluarga.
Saat ini banyak ditemukan remaja yang menikah diusia yang sangat muda
padahal kebutuhan materi untuk dirinya sendiri belum sepenuhnya terpenuhi
apalagi harus memenuhi kebutuhan pasangannya, hal ini yang mendorong remaja
bergantung pada orang lain. Sejalan dengan pendapat Wijayanto (2007) bahwa
saat ini banyak ditemukan remaja yang menikah dini dan telah mempunyai anak
tapi konsekuensi dari pernikahan masih diserahkan pada orang tua, misalnya:
tinggal di rumah orangtua, makan dan minum masih ikut orang tua serta
kebutuhan lainnya 100% masih ditanggung orang tua.
Download