Kurban sebagai Simbol dalam Ajaran Islam

advertisement
Kurban sebagai Simbol dalam Ajaran
Islam
Sartiyati
Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstrak:
Dalam setiap lapangan kehidupan, manusia selalu bertemu
dengan simbol. Simbol memang tidak dapat dielakkan dari
kehidupan manusia. Bahkan manusia juga berpikir memakai
simbol-simbol. Artikel ini membahas tentang satu aspek ibadat
dalam Islam, yakni kurban, yang dipandang sebagai sebuah
simbol.
Kata Kunci: Kurban, Islam, simbol, kisah Ibrahim-Ismail.
A. Pendahuluan
Kurban merupakan salah satu aspek Islam sebagai perwujudan dari
ihsan yang berarti kesadaran adanya keikhlasan dan kebutuhan
seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada tuhannya. Adapun
dalam arti yang lebih mendalam, kurban mengingatkan seorang
Mukmin kepada satu peristiwa yang melukiskan satu kesediaan
memberi kurban kepada yang lebih tinggi dan lebih besar. Bukan
semata-mata pengorbanan kesenangan dan harta, tetapi pengorbanan
sesuatu yang amat dicintai di dunia ini. Pengorbanan jiwa untuk
sesuatu nilai yang lebih dari itu, yakni peristiwa pengorbanan yang
diperintahkan Allah kepada Ibrahim dan anaknya, Ismail.
Ketika darah merah segar terpancar dari leher hewan kurban,
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
568 SARTIYATI
semestinya setiap Muslim merenungkan kembali tentang hakikat
kurban. Dengan demikian, momentum (peristiwa sejarah) yang
bernilai mulia ini, tidak sekadar menjadi ritus (upacara) tanpa makna
atau tradisi tanpa arti. Apabila hakikat kurban ini tidak tertangkap,
jadilah ia sesuatu yang mubazir bahkan sia-sia. Semua prosedur dan
teknik dalam melakukan ritual ini, termasuk maknanya, harus
dipahami melampaui formalitasnya.1
Apabila setiap Muslim mengenang kembali sikap tulus Ibrahim
yang mengorbankan anak tercintanya, Ismail, dan disambut
keikhlasan hati sang putra, terpancarlah sebuah teladan utama dalam
kehidupan umat manusia. Suatu sikap hidup yang menyadari
sepenuhnya keberadaan dirinya di dunia. Secara manusiawi, amat
berat perintah yang diemban keduanya.
Peristiwa tersebut menggambarkan suatu kesabaran yang tinggi
dari seorang Ibrahim yang sedang diuji Allah. Ibrahim harus bisa
memilih antara cintanya kepada Allah atau cinta kepada anaknya. Ia
harus memilih salah satu dari dua pilihan, yang kedua pilihan tersebut
merupakan ujian baginya (cinta yang merupakan hidupnya atau
kebenaran yang merupakan agamanya). Dan hal inilah yang dapat
dilihat kesadaran tentang esensi ibadah seseorang.
Di dalam melaksanakan rites de passage (tamasya ritual) ibadah
haji, yang salah satunya adalah melakukan proses penyembelihan
kurban, di sana akan dijumpai banyak simbol. Simbol-simbol inilah
yang akan dibahas dalam artikel ini.
B. Simbol dalam Agama
Pengertian Simbol
Dalam setiap berpikir dan berkomunikasi dengan sesama, kita selalu
menggunakan tanda. Bahasa lisan adalah salah satu dari kompleksitas
tanda yang digunakan manusia. Ilmu yang membahas tentang tanda
adalah semiotika atau semiologi, yang berasal dari bahasa Yunani,
semeion, yang berarti tanda. Dunia manusia adalah dunia tanda.
Menurut Charles Sanders Pierce, tanda bisa dibedakan menjadi tiga,
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
KURBAN SEBAGAI SIMBOL DALAM AJARAN ISLAM 569
yaitu ikon, indeks, dan simbol. Dinamakan ikon jika hubungan antara
tanda dan ditandai memiliki kemiripan. Disebut indeks karena
adanya kedekatan eksistensi antara tanda dan objek yang diacunya.
Dan yang ketiga simbol ini cenderung bersifat abstrak yang disepakati
berdasarkan konvensi melalui proses panjang.2
Meskipun bisa dibedakan, ketiga sistem tanda di atas tidak dapat
dipisahkan secara mutlak. Dalam wacana ketuhanan, tampaknya
bahasa simbol yang lebih menonjol. Tentang bahasa simbol dalam
wacana ketuhanan, banyak pakar telah membahasnya.
Menurut Paul Tillich (w. 1965), ada enam karakter bahasa
simbol. Empat di antaranya yang sangat penting diungkapkan adalah
sebagai berikut:
1. Simbol sebagai sistem tanda pada umumnya. Simbol menunjuk
pada realitas yang berdiri di luar dirinya.
2. Simbol tidak bersifat netral, melainkan selalu berpartisipasi
ataupun terkait langsung dengan objek yang disimbolkan.
3. Simbol yang mengungkapkan sebuah realitas yang tidak mungkin
diungkapkan dengan kata-kata karena realitas itu begitu
kompleks, agung, dan mengandung misteri.
4. Simbol mampu membimbing dan membuka jiwa kita untuk
menangkap realitas di luar diri kita yang tidak bisa diterangkan
dengan bahasa sains.3
Pengertian kata “simbol” secara etimologis diambil dalam bahasa
Yunani, symbolos, yang berarti tanda, ciri,4 lambang.5 Sedangkan
yang diambil dari kata kerja bahasa Yunani, sumballo, berarti
berwawancara, merenungkan, memperbandingkan, bertemu,
melempar menjadi satu, menyatukan dua hal menjadi satu.6
Bagi manusia, membuat simbol adalah aktivitas primer.
Menciptakan simbol merupakan proses berpikir yang fundamental
dan berlangsung sepanjang waktu. 7 Pendapat seperti ini sukar
dibantah kebenarannya. Buktinya, jika mau menyadari hal-hal di
sekeliling kita sebentar saja, akan kita jumpai beraneka ragam simbol
yang mengelilingi kita. Sebagai orang modern, kita tidak bisa lepas
dari peranan simbol. Kebutuhan kita akan informasi dari media massa
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
570 SARTIYATI
adalah salah satu bukti keterikatan kita akan simbol, karena susunan
huruf yang ada adalah simbol untuk bahasa, sementara bahasa itu
sendiri adalah simbol komunikasi manusia dalam interaksi sosialnya.
Pendek kata, sepanjang hidupnya manusia bergulat dengan
simbol dan tanda. Simbol merupakan bagian integral dari hidup dan
kehidupan manusia di planet bumi ini. Ernst Cassirer menyebut
manusia sebagai makhluk “bersimbol” dalam karyanya yang berjudul
Die Philosophie Der Symbolischen Formen (filsafat tentang bentukbentuk simbolik). Cassirer menempatkan simbol sebagai persoalan
fundamental dalam hal konseptualisasi. Representasi simbolik
merupakan fungsi esensial dari kesadaran manusia dan hadir tidak
hanya dalam struktur sains, melainkan juga dalam mitos, agama,
bahasa, seni, dan sejarah. Pada intinya manusia adalah binatang yang
melakukan proses simbolisasi (a symbolizing animal).8
Ada dua pendapat atau pemikiran ontologis tentang simbol. Di
satu pihak ada yang menyatakan bahwa simbol adalah suatu hal yang
imanen, dalam arti yang disatukan dalam simbol adalah bagian atau
hal-hal yang di dalam manusia saja atau hal-hal yang terbatas dalam
dimensi horisontal. Di lain pihak ada pemikiran yang berdasarkan
keyakinan bahwa simbol menunjukkan kepada yang transenden,
bahwa dalam simbolisasi oleh manusia selalu terdapat jawaban
implisit manusia dalam dialog dengan yang lain. Jadi, menurut
pemikiran ini, simbol juga bisa berdimensi metafisik.9
Pembahasan mengenai sistem simbol dan tanda di atas akan
lebih jelas relevansinya apabila pembahasannya pada persoalan
keimanan dan ketuhanan. Setiap manusia merasa kenal Tuhan
sehingga karenanya manusia menyebut nama dan sifat-sifatnya ketika
berdoa atau ketika dalam situasi yang membahayakan. Sedangkan
kata Tuhan (God), Allah, ataupun sebutan lain, semuanya itu tetap
bersifat simbolik. Yang harus dibedakan adalah antara “nama” dan
“yang diberi nama”, “simbol” dan “the thing symbolized”, “predikat”
dan “substansi”, dan seterusnya.10
Meskipun dalam tradisi keagamaan banyak nama Tuhan serta
tempat dan orang yang disucikan, pada dasarnya tak suatu apa pun
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
KURBAN SEBAGAI SIMBOL DALAM AJARAN ISLAM 571
yang memiliki kesucian absolut kecuali Tuhan. Misalnya, Kabah bisa
saja dikatakan suci tetapi kesuciannya tidak intrinsik. Oleh karenanya,
jika seorang Muslim menyucikan Kabah sejajar dengan sikap
menyucikan Tuhan, ia telah jatuh menjadi musyrik, sebab
keyakinannya tidak jauh berbeda dari keyakinan orang Arab jahilliyah
pra-Islam yang juga menyucikan patung.11 Tidak mengherankan jika
bukti-bukti tentang adanya Tuhan itu ada hubungannnya dengan
pengalaman manusia, sebab manusialah yang dapat mengetahui
adanya Allah. Oleh karena itu, bukti tentang adanya Tuhan bukan
hanya kenyataan bahwa alam itu ada, akan tetapi juga apa yang dapat
dibuktikan oleh pengetahuan modern.12
Di sinilah semiotika ketika membicarakan Tuhan setidaknya
terbagi menjadi tiga mazhab. Pertama, mazhab materialismepositivisme, yaitu kelompok pemikiran yang menegaskan bahwa
ungkapan tentang Tuhan tidak memiliki makna. Kedua, mereka yang
berpandangan bahwa kitab suci benar-benar merupakan kalam
Tuhan, meskipun di sana terdapat banyak ungkapan simbolis dan
metaforis, sehingga untuk memahami bahasa agama diperlukan
interpretasi agar pesan yang dikandungnya bisa ditangkap secara
benar.
Ketiga, pengenalan manusia yang paling tinggi tentang
Tuhannya hanyalah bisa dijangkau dengan metabahasa, yaitu apa
yang oleh kaum mistik disebut “the language of silent”.13
Upacara Kurban sebagai Simbol Keagamaan
Kehidupan di alam semesta, dalam kesatuan sosial maupun sebagai
individu, tidak dapat berlangsung kalau tidak dipelihara dan
dirangsang dengan ritus-ritus yang menjamin kesesuaian dengan
ketentuan-ketentuan kosmos atau ilahi. Begitulah pemikiran
manusia-manusia religius, ritus-ritus inisiasi dipraktikkan di manamana. Mereka mengucilkan situasi-situasi kritis dan marginal dalam
hidup individu dan kreatif.14
Persiapan-persiapan sebelum kelahiran, upacara-upacara sekitar
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
572 SARTIYATI
kelahiran, inisiasi pemberian nama, waktu pubertas, perkawinan,
ketika sakit, dan upacara-upacara pemakaman diselenggarakan di
seluruh dunia untuk mencegah bahaya-bahaya yang tersembunyi
dalam perpindahan dari satu tahap kehidupan ke tahap yang lain dan
untuk menjamin kontak yang sangat diperlukan dengan sang ilahi.
Tidak hanya kejadian-kejadian sangat penting dalam hidup, tetapi
juga kegiatan-kegiatan kerja yang rutin serta permainan memeroleh
kemajuan dan kekuatan dari ritus-ritus yang mengiringinya. Sebagai
contoh, pembuatan perkakas, pembangunan rumah, pembuatan
perahu, pengolahan tanah, berburu dan memancing, mengadakan
perang; semua memerlukan inkarnasi, pengilahian, dan dedikasi.15
Dari semua ritus ini, upacara kurban mempunyai tempat utama
karena dengannya manusia religius mengadakan persembahan diri
kepada dewa lewat satu pemberian. Hubungan serta komunikasi yang
erat antara dia dengan dewa ditetapkan lewat keikutsertaan dan
diambil bagian dalam persembahan yang disucikan. Oleh karena itu,
tidak perlu diragukan bahwa upacara kurban tampak sebagai suatu
ritus religius yang penting dan bagi banyak suku bangsa; kurban
merupakan tindakan yang religius.16
Upacara kurban dapat digambarkan sebagai persembahan ritual
berupa makanan atau minuman atau binatang sebagai konsumsi bagi
suatu makhluk supernatural. Berbeda dengan persembahanpersembahan ritual kepada penguasa-penguasa manusiawi dan juga
dengan persembahan-persembahan lain kepada makhluk
supernatural yang bukan berupa makanan, misalnya pembaktian
pekerjaan seseorang bagi pelayanan Tuhan, penyucian hewan
sederhana, sebagaimana diteliti oleh C. Levi-Strauss:
Dalam setiap masyarakat, komunikasi bekerja dalam tiga taraf yang
berbeda: komunikasi para perempuan, komunikasi harta benda dan
pelayanan, komunikasi pesan-pesan. Oleh karena itu, studi
kekerabatan, ilmu ekonomi, dan linguistik mempunyai jenis-jenis
problem yang sama pada taraf-taraf strategis yang berbeda dan
sesungguhnya menyangkut bidang yang sama.17
Begitu juga upacara kurban merupakan ilustrasi yang bagus
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
KURBAN SEBAGAI SIMBOL DALAM AJARAN ISLAM 573
untuk suatu bentuk komunikasi nonverbal karena mencakup
pertukaran barang dan jasa pada taraf religius. Upacara kurban secara
ritual adalah benar-benar suatu bentuk pertukaran manusia dan
makhluk adikodrati; manusia pengorban memberikan barangbarangnya dan penerima illahi bereaksi. Segi persembahan dalam
upacara adalah yang terpenting.
Dalam antropologi sosial, persembahan secara tidak langsung
mengimplikasikan suatu pertukaran barang dan jasa. Meskipun
dianggap muncul dari kehendak mereka, persembahan merupakan
kewajiban dari tingkah laku sosial. Persembahan-persembahan
dilakukan dengan pengharapan yang jelas bahwa ganjaran balasan
akan diberikan lewat sesuatu cara.18
Dalam lingkup upacara, bisa dibedakan menjadi dua macam
kategori yang terpisah satu sama lain: upacara dan ritual. Dalam
Buddhisme, makna upacara berarti setiap organisasi kompleks apa
pun dari kegiatan manusia yang tidak hanya bersifat sekadar teknis
ataupun rekreasional dan berkaitan dengan penggunaan cara-cara
tindakan yang ekspresif dari hubungan sosial. Segala cara tingkah
laku yang demikian itu, entah yang sudah lazim atau sesuai dengan
mode. Goody mendefinisikan ritual sebagai suatu kategori adat
perilaku yang dibakukan, di mana hubungan antara sarana-sarana
dengan tujuan tidak bersifat intrinsik, dengan kata lain sifatnya
irasional atau nonrasional.19
Susanne longer memperlihatkan bahwa ritual merupakan
ungkapan yang lebih bersifat logis daripada hanya bersifat psikologis.
Ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang diobjekkan.
Simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan perasaan, serta
membentuk disposisi pribadi dari para pemuja mengikuti modelnya
masing-masing. Pengobjekan ini penting untuk kelanjutan dan
kebersamaan dalam kelompok keagamaan.20
Contoh upacara kurban ada pada penduduk primitif. Upacara
kurban tersebut adalah sebuah ibadah kepada leluhur di mana
hubungan antara yang hidup dengan yang mati diungkapkan. Di
antara penduduk Mende di Sierra Leone, semua ikut ambil bagian
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
574 SARTIYATI
dalam upacara ini. Upacara dilakukan di tempat doa yang terletak
pada semak-semak pohon. Di hadapan semua anggota keluarga,
diletakkan seekor unggas dan beras. Kemudian mereka semua
meletakkan makanan dan setelah itu mereka kembali ke rumah
masing-masing. Kalau makanan yang dipersembahkan kepada
leluhur sudah dimakan burung-burung atau binatang yang lewat,
maka itulah tanda bahwa pengorbanan sudah diterima. Kalau tidak,
upacara harus diulang pada hari berikutnya. Dasar kepercayaan dalam
pengorbanan seperti ini adalah bahwa roh-roh leluhur mengharapkan
bagian mereka dari kemakmuran saudara-saudaranya yang masih
hidup dan dari rumah tangga mereka.21
Lain halnya dengan upacara kurban pada umat Islam. Orang
Islam yang mampu diwajibkan untuk mengeluarkan kurban setiap
tahun, seekor domba untuk setiap orang atau sapi dan unta untuk
tujuh orang. Binatang kurban ini harus disembelih pada Hari Raya
Kurban atau selama tiga hari sesudahnya. Di luar waktu tersebut tidak
sah. Penyembelihannya boleh diwakilkan dan dagingnya dibagikan
untuk fakir miskin.22 Kemudian mengenai pengorbanan yang akan
diterima adalah pengorbanan yang dilandasi dengan keikhlasan dan
ketakwaan kepada Allah:
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
keridhaan Allah, tetapi ketakwaan daripada kamulah yang dapat
mencapainya.23
Penyembelihan hewan kurban tersebut sebagai tradisi
keagamaan yang dimulai sejak Nabi Ibrahim dan dikukuhkan dalam
syariat Nabi Muhammad; merupakan suatu qurbah (sarana
pendekatan diri kepada Allah). Untuk membuktikan kebaktian dan
kepatuhan kita kepada petunjuk-Nya, yaitu memantapkan tauhid kita
kepada-Nya dan ikut memperhatikan kemaslahatan masyarakat
dengan kesediaan berkurban harta dan tenaga sampai kepada jiwa
apabila hal itu diperlukan untuk terwujudnya kemaslahatan
bersama.24
Ajaran Islam tidak melarang sama sekali penyembelihan hewan
untuk maksud ibadah, tetapi di sini ditekankan bahwa ibadah itu
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
KURBAN SEBAGAI SIMBOL DALAM AJARAN ISLAM 575
semata-mata untuk Allah saja sebagai konsekuensi kepercayaan
tauhid. Penyembelihan hewan kurban itu dimaksudkan bukan untuk
disia-siakan begitu saja.25
C. Kurban di Dalam Islam
Menilik asal muasal pengertiannya, kurban berasal dari kata dasar
qaraba. Secara harfiah kata qaraba mengandung pengertian
mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan secara sosiologis kata
qaraba memiliki cakupan makna yang sangat luas.26
Menunjuk pada pengertian sebagaimana disebutkan diatas,
maka seorang Muslim dapat dikatakan dekat kepada Allah jika orang
yang bersangkutan merasa dekat dengan sesama, lebih-lebih kepada
orang-orang yang selalu berada dalam kekurangan dan penderitaan.
Di sinilah makna sosial dari istilah kurban yang sebenarnya. Seekor
hewan kurban hanyalah wujud dari keharusan untuk mengorbankan
harta benda milik kita demi kemaslahatan dan kepentingan orang
banyak yang merasa membutuhkan. Inilah bentuk kecintaan kepada
Allah yang maujud dengan kecintaan terhadap sesama.27
Menurut Ghufron A. Mas’adi, kurban berasal kata dari qaraba
yang artinya mendekatkan. Segala jenis tindakan atau amalan yang
membawa seseorang lebih dekat kepada Allah. Secara khusus, istilah
ini berarti penyembelihan binatang kurban pada hari Idul Adha (hari
raya penyembelihan kurban).28
Fahmi Amhar dan Arum Harjanti, mengatakan bahwa
menyembelih binatang kurban adalah mengenang kepatuhan Ibrahim
dan keikhlasan Ismail akan perintah Allah.29
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari pada kamulah yang dapat
mencapainya. Demikianlah Allah yang telah menundukkannya untuk
kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kapada
kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat
baik.
Kemudian pengertian kurban yang lain adalah kurban
merupakan binatang yang disembelih guna ibadah kepada Allah pada
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
576 SARTIYATI
hari raya haji dan tiga hari kemudian (11 sampai 13) yang biasa kita
sebut sebagai hari tasyriq.30
Lain halnya dengan Ali Shariati dalam karyanya yang berjudul
Hajj. Dia berpendapat bahwa dimaksudkannya berkurban yaitu
karena ketiga berhala yang terdapat di Mina itu adalah patung-patung
trinitas yang melambangkan tiga tahap kejahatan.31 Dan juga ketiga
berhala tersebut melambangkan setan yang telah berusaha untuk
memperdayakan Ibrahim. Seorang Muslim harus menempuh tiga
tahap sebelum ia dapat membebaskan dirinya dari setiap macam
perbudakan. Ia harus membuang ketamakan, mengalahkan sifat
kebinatangan yang dicirikan oleh sikap mementingkan diri sendiri,
dan naik ke tingkat Ibrahim dengan melakukan setiap sesuatu demi
Allah.32
Setelah menembak berhala yang terakhir tersebut, hendaklah
segera berkurban. Shariati menjelaskan bahwa tahap terakhir dari
evolusi dan idealisme adalah tahap kebebasan mutlak dan kepasrahan
mutlak. Dahulu Ibrahim membawa putranya Ismail untuk
dikurbankan di tempat ini (Mina). Dan kini kita berperan sebagai
Ibrahim. Lantas siapakah Ismail kita yang merupakan simbolisme
dari ibadah kurban sesungguhnya?
Dalam teori simbol yang dikemukakan oleh Paul Tillich, salah
satu bahasa simbol yang dia ungkapkan adalah simbol sebagai sistem
tanda umumnya. Dan juga diperkuat oleh pandangan Susane Langer
dan Ernst Cassirer yang menjelaskan tentang posisi manusia sebagai
homo simbolicum yang berkarya lewat tanda-tanda dari bidang yang
paling konkret hingga sampai dengan tanda atau simbol keagamaan.
Selanjutnya Shariati dalam karya yang berjudul Hajj
memberikan beberapa petunjuk atau tanda tentang apa dan siapa
Ismail sebenarnya. Menurutnya, Ismail yang dia maksud adalah
setiap sesuatu yang melemahkan iman, setiap sesuatu yang
menghalangi perjalanan, setiap sesuatu yang membuat kita enggan
menerima tanggung jawab, setiap sesuatu yang memikirkan
kepentingan sendiri, setiap sesuatu yang membuat kita tidak dapat
mendengarkan perintah Allah dan menyatakan kebenaran, setiap
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
KURBAN SEBAGAI SIMBOL DALAM AJARAN ISLAM 577
sesuatu yang memaksa kita untuk melarikan diri, setiap sesuatu yang
membuat kita mengemukakan alasan-alasan demi kemudahan dan
setiap sesuatu yang membutakan mata dan menulikan telinga.33
Ayat yang memerintahkan kurban adalah: “Maka laksanakanlah
salat karena Tuhanmu dan sembelihlah hewan kurban.”34 Asbabun
nuzul dari ayat ini adalah Jibril datang kepada Rasulullah pada
peristiwa Hudaibiyyah dan memerintahkan kurban serta salat.
Rasulullah segera berdiri berkhotbah, kemudian salat dua rakaat dan
menuju ke tempat kurban lalu memotong kurban.35
Muhammad Abduh menafsirkan ayat tersebut dengan
menjadikan salat semata-mata demi Tuhan serta menunjukkan
sembelihan hewan kurban itu kepada Allah. Itu dikarenakan hanya
Allah-lah pemelihara dan pelimpah segala kenikmatan bagi setiap
diri manusia.36
Dalam meneliti “keagamaan keagungan” sunah berkurban, kita
dapat memahami betapa Nabi Ibrahim rela mengorbankan putranya
yang dicintai untuk sesuatu yang besar, yaitu pengabdiannya kepada
Tuhan. Kurban adalah pengabdian suci dan merupakan ujian
terhadap ketabahan dan kekuatan iman seseorang untuk mencapai
sesuatu yang besar. Memang kurban harus banyak diberikan, malah
tiada kebahagiaan tanpa ada pengorbanan dan tidak ada sia-sia
pengorbanan untuk menyukseskan segala macam bidang
pembangunan dan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur pun
diperlukan banyak pengorbanan, baik tenaga, harta, dan pikiran.
Dalam semangat berkurban yang ditunjukkan dengan rasa
keikhlasan, akan menghasilkan sebuah amal dan sekaligus
merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas nikmat yang
diberikan. Dalam sejarah perjuangan, Rasulullah beserta para
sahabatnya tak pernah meninggalkan semangat berkurban.
Pengorbanan yang mereka lakukan tak pernah sia-sia. Harapan
kemenangan yang mereka cita-citakan tidak pernah padam, karena
yakin bahwa Allah selalu menyertai perjuangan mereka. Hanya
dengan pengorbanan yang ikhlas kepada Allah saja yang akan
membuahkan hasil perjuangan dakwah. Demikianlah ketika hamba
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
578 SARTIYATI
Allah senantiasa mengobarkan dalam dadanya semangat berkurban,
Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya berjuang sendiri. Allah
akan membantu dalam setiap usaha yang dilakukannya.
Segala sesuatu yang telah dikurbankan di jalan Allah merupakan
amal yang pasti diperhitungkan. Harta dan diri kita merupakan aset
yang besar untuk meraih pahala Allah manakala dapat tersalurkan
ke jalan-Nya. Inilah yang disebut dengan orang yang berbuat
kebaikan.
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna)
sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan
apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya.37
Di dalam masalah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya pun dituntut
sebuah pengorbanan yang besar sebagai bukti atas kecintaan tersebut.
Tingkat keimanan seorang Mukmin terlihat dari kadar pengorbanan
yang dikeluarkan untuk kejayaan (kemenangan) Islam. Semua yang
kita miliki entah keluarga, pekerjaan, jabatan, kedudukan, harta
kekayaan yang melimpah, itu hanyalah sebagai ujian.
Oleh karena itu cara pemanfaatan yang paling tepat adalah
dengan menjadikan sebagai wasilah (alat) untuk menuju ketakwaan
kepada Allah, bukan sebagai ghayah (tujuan) kehidupan. Berkurban
dengan semua itu demi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kisah Nabi Ibrahim mengandung teladan (ibrah) yang jelas akan
sebuah pengorbanan. Betapa besar pengorbanan yang dilakukan
Ibrahim. Itulah yang disebut dengan ridha Allah. Nabi Ibrahim
merupakan sosok keluarga yang ideal. Keluarganya telah
dipersembahkan hanya kepada Allah, dan bukan kepada selain-Nya,
sehingga Allah memuji dan meridainya. Pengorbanan yang besar
hanya bisa dilakukan dengan kepasrahan dan kesabaran yang besar
pula serta didasari tawakkal kepada Allah SWT.
Seharusnya setiap manusia berbuat demikian. Cinta terhadap
Allah dan Rasul-Nya jauh lebih diutamakan daripada cinta kepada
keluarga, cinta kepada jabatan, cinta kepada kedudukan yang tinggi,
ataupun cinta kepada harta yang melimpah. Jika telah melakukan
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
KURBAN SEBAGAI SIMBOL DALAM AJARAN ISLAM 579
hal yang demikian, maka derajat takwa akan diraih. Dengan kata lain
takwa akan diperoleh manakala kita bersungguh-sungguh dalam
melaksanakan perintah atau syariat-Nya, yang di dalamnya ada
tuntutan untuk melakukan suatu pengorbanan.
Ada beberapa pelajaran yang dapat diperoleh dari suatu
pengorbanan yang ikhlas, di antaranya:
1. Nilai setiap amal bukan sekadar dilihat dari zahir dan kulit
luarnya saja, tetapi justru tergantung pada motivasi yang
melatarbelakangi amalan tersebut. Manakala bertolak dari niat
ikhlas dan ketakwaan, sampailah kepada Allah. Sebaliknya ketika
tidak ikhlas, tidak akan sampai kepada Allah.
2. Niat ikhlas dan ketakwaan itu harus dibarengi dengan cara-cara
yang diturunkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Modal keikhlasan saja
tanpa dibarengi cara yang benar akan menyebabkan amal
tersebut tertolak. Oleh karena itu para ulama memberi kaidah
dan syarat diterimanya suatu amal itu adalah ikhlas dan benar.
Jadi kurban yang diterima oleh Allah dan mendapatkan ridhaNya adalah yang berangkat dari niat ikhlas dan ketakwaan serta
melaksanakannya sesuai ajaran Rasulullah.
Kurban sebenarnya sudah dikenalkan Allah pertama kali kepada
anak-anak Nabi Adam:
Ceritakanlah kepada mereka (manusia) kisah kedua putra Adam (Qabil
dan Habil) menurut yang sebenarnya. Ketika keduanya
mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari
mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qobil); ia
berkata (Qobil), “Aku pasti membunuhmu.” Berkata Habil,
“Sesungguhnya Allah (hanya) akan menerima (kurban) dari orangorang yang bertakwa.”38
Menurut ayat tersebut, upacara kurban sudah ada sejak zaman
Nabi Adam, hanya bentuknya berbeda. Kurban sekarang memang
dikaitkan dengan perintah Allah kepada Nabi Ibrahim tentang
penyembelihan putranya, Ismail. Dikatakan dalam Alquran bahwa
sampai hari menjelang tua, Nabi Ibrahim belum dikarunia putra.
Sekalipun demikian, Nabi Ibrahim tidak berputus asa dari rahmat
Allah untuk mendapatkan keturunan. Atas ikhtiar dan doa Nabi
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
580 SARTIYATI
Ibrahim yang tak pernah putus asa itu, Allah berkenan memberi kabar
gembira dengan akan datangnya seorang putra yang saleh (Ismail),
yang akan melanjutkan misi kenabiannya. Namun, kebahagiaan
keluarga Ibrahim terusik sewaktu anak yang didambakannya itu lahir.
Tak lama kemudian Nabi Ibhaim diperintahkan agar Ismail dan
ibunya (Hajar) dibawa dan ditempatkan di padang pasir yang tandus
dan gersang, yang dikenal sebagai kota Mekah sekarang.39
Untuk mengetahui berapa tingkat keyakinan dan keimanan Nabi
Ibrahim, Allah memberikan wahyu kepadanya agar menyembelih
anaknya, Ismail. Putra yang sangat disayangi dan menjadi buah hati
selama ini ternyata harus disembelih dengan tangannya sendiri.
Betapa pilu rasa hatinya apabila teringat perintah penyembelihan
terhadap anaknya itu. Namun apa boleh dikata, kecintaan kepada
Allah tidak boleh dikalahkan dengan kecintaan kepada anak. Perintah
Allah untuk menyembelih anaknya harus dilaksanakan dengan hati
yang amat berat.
Ismail putranya lalu dipanggil dan diberitahu mengenai perintah
Allah tersebut. Ternyata Nabi Ismail putranya bukannya merasa susah
dan khawatir, melainkan justru bersemangat mendorong ayahnya,
yaitu Nabi Ibrahim, untuk melaksanakan apa yang telah
diperintahkan Allah. Nabi Ismail pasrah, menyerahkan sepenuhnya
yang bakal terjadi atas dirinya kepada Allah.
Begitu pula Nabi Ibrahim akhirnya menjadi mantap dan ikhlas
semurni-murninya melaksanakan perintah Allah dengan
menyembelih putranya yang tercinta di Mina.
Menghadapi hal ini, Ibrahim meminta pendapat putranya
dengan berkata:
Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku bahwa aku
menyembelihmu. Maka pikirkanlah, bagaimana pendapatmu.
Mendengar pertanyaan bapaknya tersebut, Ismail menjawab
dengan tenang:
Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu,
insya Allah engkau akan mendapatkan termasuk orang yang sabar.
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
KURBAN SEBAGAI SIMBOL DALAM AJARAN ISLAM 581
Dan tatkala keduanya telah berserah diri, dan Ibrahim
membaringkan putranya, turunlah malaikat yang berseru:
Wahai Ibrahim, sesungguhnya engkau telah membenarkan mimpimu.
Sesungguhnya yang demikianlah Kami memberikan balasan kepada
orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar ujian yang
nyata. Dan Kami tebus anak itu (Ismail) dengan seekor sembelihan
(domba) yang besar.
Kejadian ini diperingati dan dijadikan syariat dalam agama Islam
dengan mengadakan kurban hewan pada 10 Zulhijah. Dan setiap kali
Nabi Ibrahim mendengar setan yang menggodanya, dijadikan
manasik dalam ibadah haji, yaitu melempar jumrah tiga kali.
Ali Shariati menggambarkan ketiga berhala itu merupakan lawan
dari ketiga tahap yang dilalui dalam penunaian ibadah haji. Berhala
yang pertama (jumrah ula) adalah lawan dari tahap Arafat. Berhala
yang kedua (jumrah wustha) adalah lawan dari tahap Masyair.
Berhala yang ketiga (jumrah uqba) adalah lawan dari tahap Mina.40
Jika pada hari raya Idul Fitri fuqara’ dan masakin digembirakan
dengan pembagian beras zakat fitrah, pada waktu Idhul Adha mereka
digembirakan dengan pembagian daging kurban. Suatu garis sosial
yang demikian tinggi dalam Islam di mana fakir miskin setiap saat
harus selalu mendapat perhatian bantuan pangan dan tidak boleh
dilupakan.
Selanjutnya Rasulullah selalu menghidupkan kembali kurban.
Dalam hajinya, beliau berkurban seratus ekor onta, dan beliau pernah
pula berkurban dengan dua ekor domba besar yang bertanduk dan
tanpa cacat. Seekor diperuntukkan bagi tebusan dirinya dan semua
keluarganya, sedang seekor lagi untuk tebusan umatnya.
Menurut Ahmad Mursyidi, dari kisah keluarga Ibrahim di atas
dapat diambil pelajaran yang sangat berharga, antara lain:
1. Ikhtiar mesti disertai dengan doa permohonan kepada Allah.
Ketidakberhasilan kita sekarang bukan mustahil karena kita
terlalu banyak mengandalkan rasio, mengesampingkan doa
permohonan kepada Allah.
2. Keberhasilan merupakan karunia Allah sekaligus sebagai ujian
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
582 SARTIYATI
apakah manusia bersyukur atau kufur, sebagaimana ungkapan
Nabi Sulaiman, “Ini merupakan sebagian dari karunia Tuhanku,
untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau aku kufur.”
3. Betapa penting kekompakan antara semua anggota keluarga
(bapak, ibu, dan anak) dalam menyikapi suatu permasalahan,
kekompakan yang dilandasi kacamata keimanan kepada Allah.41
Namun jika ditinjau dari perspektif sejarah, panggilan Ibrahim
untuk mengunjungi Baitullah, yang kemudian dikukuhkan oleh Nabi
Muhammad SAW, mengandung makna yang mendalam mengajak
manusia kepada ajaran tauhid (monotheist) yang berdimensi
kepemilikan sosial. Kedua sisi ajaran Islam ini tidak dapat dipisahkan,
ibarat sebuah mata uang logam dengan dua permukaan (two sides of
the same coin). Memang tidak ada mata uang logam tanpa dua
permukaan. Menyatunya kedua permukaan mata uang tersebut
dalam satu kesatuan yang utuh menjadikan benda tersebut dapat
disebut dengan uang logam. Menyatunya dimensi tauhid yang bersifat
transendental fungsional dan dimensi kepedulian sosial yang bersifat
historis-empiris dalam satu keutuhan pandangan hidup
mencerminkan sikap hidup keberagamaan Islam yang otentik dan
tulus.42
D. Penutup
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa prosesi penyembelihan
hewan kurban bertujuan untuk menapaktilasi pengorbanan Nabi
Ibrahim terhadap anak tercintanya, Ismail. Penyembelihan hewan
kurban merupakan simbolisasi penyembelihan sifat-sifat
kebinatangan atau dorongan nafsu bahimiyyah (nafsu hewani), yang
ada pada diri pengurban dan insan manusia.
Ali Shariati menjelaskan sifat-sifat kebinatangan seperti serigala,
anjing, tikus, dan domba yang melambangkan kekejaman dan
penindasan, tipu daya, kelicikan, serta penghambaan. Hal-hal inilah
yang seharusnya dikikis habis dari jiwa manusia. Itulah sebabnya ia
dilambangkan dengan menyembelih binatang.
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
KURBAN SEBAGAI SIMBOL DALAM AJARAN ISLAM 583
Catatan:
1. Ali Shariati, Hajj, alih bahasa Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1995),
hlm. 100.
2. Komaruddin Hidayat dan M. Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan
Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 30.
3. Hidayat dan Nafis, Agama Masa Depan, hlm. 30-31.
4. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 941.
5. Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, alih bahasa Abdul
Muis Naharang, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 16.
6. B. Rahmanto, “Simbolisme dalam Seni”, Basis, edisi Maret XLI. No. 03,
(Yogyakarta: Andi Offset, 1992), hlm. 107.
7. Rahmanto, “Simbolisme dalam Seni”, hlm. 106.
8. Lihat Musa Asy’arie, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir,
(Yogyakarta: LESFI, 1999), hlm. 205.
9. Rahmanto, “Simbolisme dalam Seni”, hlm. 31.
10. Hidayat dan Nafis, Agama Masa Depan, hlm. 31.
11. Hidayat dan Nafis, Agama Masa Depan, hlm. 32.
12. David Trueblood, Filsafat Agama, alih bahasa M. Rasyidi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994), hlm. 60.
13. Hidayat dan Nafis, Agama Masa Depan, hlm. 35.
14. Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, alih bahasa Kelompok
Studi Agama Driyarkarya, (Yayasan: Kanisius, 1995), hlm. 203.
15. Dhavamony, Fenomenologi Agama, hlm. 203.
16. Dhavamony, Fenomenologi Agama, hlm. 203.
17. Dhavamony, Fenomenologi Agama, hlm. 214.
18. Dhavamony, Fenomenologi Agama, hlm. 215.
19. Dhavamony, Fenomenologi Agama, hlm. 175.
20.Dhavamony, Fenomenologi Agama, hlm. 174.
21. Dhavamony, Fenomenologi Agama, hlm. 204.
22. Fahmi Amhar dan Arum Harjanti, Buku Pintar Calon Haji, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1999), hlm. 79.
23. QS. al-Hajj: 37.
24. Ali Yafi’e, Teologi Sosial: Telaah Kritis Persoalan Agamai, (Yogyakarta:
LKPSM, 1997), hlm. 192-193.
25. Q.S al-Hajj: 37.
26. Al-Ikhtilaf, Edisi No. 41, 6 Dzulhijjah 1421 H., hlm. 2.
27. Al-Ikhtilaf, hlm. 2.
28.Ghufron A. Mas’adi, Cyril Glasse Ensiklopedi Islam (Ringkasan),
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 336.
29. Amhar dan Harjanti, Buku Pintar, hlm. 79.
30.Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah dan Yayasan
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
584 SARTIYATI
Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1976), hlm. 447.
31. Ali Shariati, Hajj, alih bahasa Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1995),
hlm. 100.
32. Shariati, Hajj, hlm. 122.
33. Shariati, Hajj, hlm. 101-102.
34. Q.S. al-Kautsar: 3.
35. Qomaruddin Shaleh, dkk., Asbabun Nuzul, (Bandung: CV. Diponegoro,
1999), hlm. 616.
36. Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma, alih bahasa Muhammad Baqir
(Bandung: Mizan, 1999), hlm. 342.
37. Q.S. Ali Imran: 92.
38.Q.S. Al-Maidah: 27.
39. Achmad Mursyidi, “Berkurban adalah Wujud Syukur Bernilai Sosial”,
makalah tidak diterbitkan.
40.Shariati, Hajj, hlm. 122.
41. Lihat Mursyidi, “Berkurban adalah Wujud”, hlm. 6-7.
42. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post-Modernisme, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 271.
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
KURBAN SEBAGAI SIMBOL DALAM AJARAN ISLAM 585
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. Falsafah Kalam di Era Post Modernisme.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
Asy’arie, Musa. Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir.
Yogyakarta: LESFI, 1999
Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama, alih bahasa
kelompok studi agama Driyarkarya. Yogyakarta: Kanisius, 1995
Depag Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang:
CV. Al-Wah, 1993
Depag Republik Indonesia. Ensiklopedia Ilam di Indonesia. Jakarta:
CV. Anda Utama, 1992
Dipohusodo, Istimawan. Pergi Haji Sesuai Sunnah Rasul.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
Hidayat, Komaruddin dan Nafis, M. Wahyuni. Agama Masa Depan
Perspektif Filsafat Perennial. Jakarta: Paramadina, 1995
Hidayat, Komaruddin. Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan
Krisis Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1998
Kajasha. Kumpulan Artikel Wa Islama. Yogyakarta: Yayasan Kajasha
UGM, 1991
Khatami, Muhammad. Membangun Dialog Antar Peradaban
(Harapan dan Tantangan), alih bahasa Tim CIMM. Bandung:
Mizan, 1998
Mas’adi Ghufron. A. Cyril Glasse Ensiklopedi Islam (ringkasan).
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999
Mutahhari, Murtadha. Manusia dan Agama, alih bahasa Haidar
Baqir. Bandung: Mizan, 1984
Nottingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat, alih bahasa Abdul
Muis Naharong. Jakarta: Rajawali Pers, 1992
Rais, M. Amien. Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan.
Bandung: Mizan, 1998
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Jakarta: Attariyah dan Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Penafsiran Al-Qur’an, 1976
Said, Fuad. Kurban dan Aqiqah menurut Ajaran Islam. Jakarta:
Pustaka Al-Husna, 1994
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2001
Suriasumantri, Jujun S. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: PT.
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
586 SARTIYATI
Gramedia, 1998
Shaleh, Qomaruddin, dkk. Asbabun Nuzul. Bandung: CV.
Diponegoro, 1999
Shariati, Ali. Hajj, alih bahasa Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka,
1995
Shariati, Ali. Kritis Islam Atas Marxisme dan Sesat Pikir Barat, alih
bahasa Husin Al-Habsyi. Bandung: Mizan, 1983
Shariati, Ali. Membangun Masa Depan Islam, alih bahasa Rahmani
Astuti. Bandung: Mizan, 1986
Shariati, Ali. Humanisme Antara Islam dan Mazhab Barat, alih
bahasa Afif Muhammad. Bandung: Pustaka Hidayah, 1992
Shariati, Ali. Marxism and Other Western fallacies. USA: Mizan
Press, 1980
Shihab, M. Quraish. Haji Bersama M. Quraish Shihab. Bandung:
Mizan, 1998
Trueblood, David. Filsafat Agama, alih bahasa M. Rasyidi. Jakarta:
Bulan Bintang, 1994
Yafie, Ali. Teologi Sosial: Telaah Kritis Persoalan Agama dan
Kemanusiaan. Yogyakarta: LKPSM, 1997
Yunus, Ilyas dan Ahmad Farid. Sosiologi Islam dan Masyarakat
Kontemporer, alih bahasa Hamid Basyaib. Bandung: Mizan,
1996
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
Download