BAB 2. PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH BOKS 1. POLA PEMBENTUKAN HARGA BERAS DI JAWA BARAT Setelah pada triwulan sebelumnya dibahas tentang pola pembentukan harga beras di wilayah Bandung dan sekitarnya, kali ini akan diulas mengenai pola pembentukan harga beras dengan cakupan wilayah yang lebih luas, yakni di Jawa Barat. Wilayah Jawa Barat dalam hal ini meliputi wilayah Bandung dan sekitarnya (Kota Bandung, Kota dan Kabupaten Sukabumi, Kota dan Kabupaten Bogor, Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Subang.), Cirebon dan sekitarnya (Kabupaten cirebon dan Kabupaten Indramayu), serta Tasikmalaya dan sekitarnya (Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis). Penelitian tersebut dilakukan oleh Kantor Bank Indonesia Bandung, Cirebon, dan Tasikmalaya, bekerjasama dengan Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Berdasarkan hasil survei kepada responden petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, pedagang eceran, dan Bulog Divisi Regional, diperoleh kesimpulan bahwa pergerakan harga beras antar masa panen mempunyai pola dan faktor-faktor penyebab yang spesifik antar wilayah di Jawa Barat. Berdasarkan polanya, tingkat harga beras cenderung naik pada periode panen gadu. Penentuan harga beras pada level pedagang pengumpul dan pedagang besar sangat mempengaruhi pembentukan harga beras yang dibeli konsumen. Kesimpulan tersebut dapat dijelaskan oleh temuan-temuan penelitian sebagai berikut : 1. Data harga beras di Jawa Barat pada berbagai kabupaten/kota di wilayah Bandung, Cirebon, dan Tasikmalaya menunjukan pergerakan harga yang tidak sama dan bervariasi pada level petani, pengumpul, pedagang besar, dan pedagang eceran. Variasi dan fluktasi harga gabah lebih lebar pada level petani, sehingga kekuatan petani dalam penentuan harga beras dianggap tidak kuat. 2. Perubahan harga beras pada wilayah-wilayah Jawa Barat terutama dipengaruhi oleh volume stok beras ditingkat distributor (khususnya tingkat pedagang pengumpul dan pedagang besar), kualitas gabah/beras, harga gabah, dan kuantitas gabah yang dijual. Keterbatasan stok, tingginya kualitas beras, harga gabah yang naik, dan penurunan jumlah gabah/beras yang dijual akan mendorong kenaikan harga beras. Fator-faktor ini pula yang menyebabkan tren peningkatan harga beras pasca panen gadu (biasanya pada triwulan III) dibandingkan pasca panen rendeng (biasanya terjadi pada triwulan I). Pasca panen gadu umumnya stok beras relatif lebih terbatas dan jumlah gabah/beras yang dijual lebih sedikit namun dengan kualitas relatif lebih baik (kadar air dan kadar hampa rendah). 3. Pedagang pengumpul dan pedagang besar (pihak yang membeli gabah/beras dari para petani) berperan penting dalam pembentukan harga beras. Adapun pedagang eceran yang berada pada urutan akhir dalam distribusi beras sebelum sampai ke tangan konsumen, praktis tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi harga beras. Pergerakan harga beras di tingkat eceran mengkuti pergerakan harga yang ditetapkan oleh pedagang besar. - Harga rata-rata pembelian gabah oleh pedagang pengumpul secara umum lebih tinggi dibandingkan HPP yang menjadi patokan Bulog dalam membeli gabah petani. - Pedagang pengumpul, khususnya di sentra-sentra produksi yang besar, memiliki kekuatan dalam mengatur stok beras ke pasar karena memiliki kemampuan untuk membeli gabah langsung dari petani, menyimpan gabah, mengolah gabah menjadi beras (karena memiliki mesin pengolah gabah), serta membuat keputusan menahan atau melepas stok. Saat harga beras tinggi, mereka dapat segera mengolah gabah dan menjual beras ke pasar, sedangkan saat harga kurang baik mereka dapat menyimpan stok gabahnya untuk sementara waktu. - Pedagang pengumpul juga memiliki strategi khusus untuk menjamin ketersediaan pasokan gabah/beras. Pada beberapa kasus, para pedagang pengumpul memberikan modal kerja kepada para petani, sehingga pada saat panen petani tersebut berkewajiban menjual padinya kepada para pedagang dan tidak mempunyai kekuatan tawar-menawar harga. Di samping itu, besarnya jumlah pedagang pengumpul di daerah sentra padi, merupakan suatu kekuatan tersendiri dalam rantai distribusi beras. - Pedagang besar umumnya memiliki kekuatan modal yang cukup besar dalam melakukan pembelian dari pedagang pengumpul dan menentukan harga jual kepada pedagang eceran 4. Pola pembentukan harga beras pada pedagang pengumpul antar wilayah Jawa Barat mempunyai karakteristik yang berbeda-beda: - Di wilayah Bandung dan sekitarnya, pola pembentukan harga beras pada pedagang pengumpul di Subang dan Karawang berbeda dengan pedagang pengumpul di Cianjur. Di Subang dan Karawang faktor ’daya jual’ beras merupakan faktor utama dalam pembentukan harga beras. 52 BAB 2. PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH 5. 6. Faktor tersebut meliputi kualitas gabah/beras, harga jual beras dari pedagang pengumpul ke pedagang besar lokal dan luar kota, kemudahan bertransaksi dengan Bulog dan pedagang besar. Sementara itu, faktor utama dalam pembentukan harga beras di Cianjur adalah faktor ’bisnis/keuntungan’ yang meliputi nilai margin antara harga jual (ke pedagang besar) dan harga beli beras (dari petani), serta nilai omset penjualan beras oleh pedagang pengumpul. - Di wilayah Tasikmalaya dan sekitarnya, pembentukan harga produksi dan harga jual beras di tingkat pedagang pengumpul di Kecamatan Singaparna dan Ciawi-Kabupaten Tasikmalaya harga beras sangat ditentukan oleh harga jual dan jumlah gabah/beras yang dijual ke pedagang besar lokal, sedangkan di Kecamatan Padaherang dan Banjarsari-Kabupaten Ciamis harga beras sangat ditentukan harga gabah kering dan kemudahan transaksi dengan Bulog. Pada tingkat pedagang besar, para pedagang di Kecamatan Pataruman, besaran marjin atau keuntungan penjualan mempengaruhi pembentukan harga beras. Sebagian besar pedagang di Pataruman beroperasi dengan skala besar sehingga akan dapat mengatur besaran marjin yang diharapkan. Pergerakan harga beras di Pataruman hendaknya dimonitor untuk mengendalikan kenaikan harga beras di Kota Banjar. Sentra beras di Kecamatan Cihideung-Tasikmalaya merupakan sentra yang tidak memiliki faktor spesifik dalam pembentukan harga, sehingga kecamatan ini kurang berperan dalam pergerakan harga beras di Cirebon. - Di wilayah Cirebon dan sekitarnya, pola pembentukan harga beras menurut lokasi/kecamatan di Kabupaten Cirebon dan di Kecamatan Anjatan-Kabupaten Indramayu , pola pembentukan harga beras lebih dipengaruhi oleh besaran harga ke pedagang besar lokal dan kemudahan transaksi. Di Kecamatan Gabus Wetan-Kabupaten Indramayu, harga berea lebih dipengaruhi oleh besaran harga gabah dan kualitas beras. Karakteristik yang kuat dari Gabus Wetan didukung oleh keberadaan pebisnis beras dengan skala besar. Mereka adaah petani yang memiliki pabrik-pabrik penggilingan besar. Pergerakan harga beras di Gabus Wetan perlu diperhatikan dalam upaya pengendalian harga beras di Indramayu. Pola pembentukan harga beras di Kecamatan WeruCirebon tidak memiliki faktor dominan dalam pemebntukan harga beras, sehingga Weru kurang berperan dalam pergerakan harga beras di Cirebon Peran kelembagaan, seperti Bulog Divisi Regional dan lembaga ekonomi lokal dalam mengelola perberasan di seluruh sentra di Jawa Barat umumnya kurang berperan kecuali peran Bulog di wilayah Cirebon dan Ciamis. Keterkaitan pedagang pengumpul dan pedagang besar dengan Bulog dikategorikan relatif kecil. HPP Bulog sering terjadi lebih kecil dibandingkan harga yang mereka inginkan. Banyak pedagang eceran yang mengeluhkan kebijakan Bulog dalam hal operasi pasar yang tidak tepat waktu/terlambat, seperti seringnya pelaksanaan operasi pasar saat harga sudah mulai turun, sehingga upaya tersebut tidak efektif mempengaruhi harga. Distribusi gabah/beras yang diproduksi di wilayah Jawa Barat diserap bukan hanya oleh daerah Jawa Barat sendiri tetapi juga diserap oleh daerah lain seperti produksi gabah/beras Indramayu, Karawang, dan Cianjur yang banyak diserap oleh pedagang luar daerah seperti Jakarta. Di seluruh sentra produksi dan distribusi beras, pelaku yang banyak mengambil margin adalah pedagang pengumpul/pabrikasi. Temuan ini cukup menambah bukti bahwa kontribusi pedagang pengumpul/pabrikasi dalam penentuan harga beras sangat penting. Di wilayah dengan arus keluarmasuk beras yang cukup aktif, harga beras relatif tinggi dan fluktuatif. Hal ini disebabkan kisaran harga di setiap level distribusi menjadi lebih besar ketika arus keluar-masuk beras semakin aktif. Rekomendasi Kebijakan Pengendalian Harga Beras 1. Adanya variasi dan fluktuasi harga beras antar daerah, baik antar kabupaten/kota maupun kecamatan, berpotensi mendorong inflasi beras di Jawa Barat. Pengendalian harga beras memerlukan peran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota berkoordinasi dengan Bulog divisi regional, terutama terkait dengan monitoring dan pengendalian stok beras secara berkala (bulanan) serta operasi pasar. Kegiatan monitoring terhadap pergerakan harga beras di beberapa daerah yang dinilai mempunyai efek kuat terhadap pembentukan harga beras perlu dilakukan lebih intensif, seperti di PatarumanBanjar dan Gabus Wetan-Indramayu,. 2. Adanya fakta bahwa deviasi dan fluktuasi harga beras akan terjadi pada saat arus beras keluar dan masuk daerah kurang stabil, maka diperlukan pula kebijakan pemerintah daerah untuk secara berkala menyeimbangkan produksi, stok dan kebutuhan di dalam suatu wilayah melalui peran aktif Dinas perdagangan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Bulog. Kebijakan tersebut sangat direkomendasikan dilakukan terutama sebagai antisipasi terjadinya potensi kenaikan harga pada akhir dan awal tahun (bulan November hingga Februari). 3. Pemerintah daerah melalui Dinas Perdagangan disarankan untuk memonitor dan menginformasikan data harga beras kualitas menengah kebawah pada berbagai pasar secara rutin kepada masyarakat luas ,sehingga akan diketahui pula oleh pedagang besar dan eceran, dengan harapan ketidakstabilan harga 53 BAB 2. PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH 4. 5. 54 yang terjadi di satu lokasi/kecamatan/kabupaten/kota akan terkoreksi dengan fakta adanya tingkat harga yang lebih rendah di lokasi lain. Melalui cara ini, diharapkan akan terjadi konvergensi harga beras yang pada akhirnya menjamin stabilisasi harga beras. Upaya pengendalian harga beras ternyata lebih efektif jika di suatu daerah terdapat lembaga ekonomi lokal yang berperan untuk mengurangi dominasi satu-dua pedagang pengumpul dan pedagang besar. Pada daerah yang berpotensi terjadi pergerakan harga beras seperti di Tasikmalaya, disarankan pada pemerintah daerah untuk memperkuat keberadaan dan peranan lembaga ekonomi lokal sebagai mitra atau pesaing bagi pedagang pengumpul atau pedagang besar. Kebijakan operasi pasar yang selama ini dilakukan masih relevan untuk dilakukan, namun dengan pemilihan waktu yang sangat tepat yaitu pada saat terjadi gejala kenaikan harga beras di pasar, bukan pada saat harga sedang bergerak turun.