perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hukum serta Hak Waris Terhadap Anak atas Pembatalan
Perkawinan dalam Perkara antara Jessica Iskandar dengan Ludwig
Franz Willibald
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami
istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan
anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
sampai dengan derajat ketiga (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak).
Anak
merupakan
persoalan
yang
selalu
menjadi
perhatian
berbagai elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam
keluarga
dan
bagaimana
seharusnya
ia
diperlakukan
oleh
kedua
orang tuanya, bahkan juga dalam kehidupan masyarakat dan negara
melalui kebijakan-kebijakannya dalam mengayomi anak. Ada berbagai cara
pandang
dalam
menyikapi
dan
memperlakukan anak
yang
terus
mengalami perkembangan seiring dengan semakin dihargainya hak-hak
anak, termasuk oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Anak adalah potensi
serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh
generasi sebelumnya (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak).
Seperti yang telah disebutkan dalam bab II bahwa syarat untuk
melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Ini berarti bahwa jika
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38
suatu perkawinan telah dilakukan menurut tata cara dan aturan serta kebiasaan
yang ada, seperti pendeta atau pastur telah melaksanakan pemberkatan atau
ritual lainnya sehubungan dengan prosesi perkawinan (bagi yang nonmuslim), maka perkawinan tersebut adalah sah, terutama di mata agama dan
kepercayaan masyarakat (Wahyu Ernaningsih, 2009: 8). Menurut agama
Katolik pernikahan dipandang sah apabila memenuhi persyaratan sebagai
berikut
(http://www.kaj.or.id/dokumen/kursus-persiapan-perkawinan-
2/prosedur-perkawinan-katolik diakses tanggal 16/02/2016 pukul 11:46):
1.
Bebas dari halangan-halangan kanonik. Yakni 12 (dua belas) point jenis
halangan, salah satunya adalah tidak seiman/seagama, sebagaimana yang
sudah dirumuskan dalam Kitab Hukum Kanonik 1983.
2.
Adanya konsensus atau kesepakatan nikah, yaitu kemauan pria dan
wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk
perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali. Namun,
Konsensus tersebut bisa cacat oleh faktor-faktor yang dapat merusaknya.
3.
Dirayakan dalam forma kanonika, artinya perkawinan harus dirayakan
dihadapan tiga orang, yakni petugas resmi gereja sebagai peneguh, dan
dua orang saksi.
Menurut agama Kristen Protestan, syarat-syarat perkawinannya
adalah:
1.
Masing-masing calon mempelai tidak terikat tali perkawinan dengan
pihak lain.
2.
Kedua mempelai beragama Kristen Protestan (agar perkawinan tersebut
dapat diteguhkan dan diberkati).
3.
Kedua calon mempelai harus sudah ”sidi” (sudah dewasa).
4.
Harus dihadiri dua orang saksi.
5.
Harus
disaksikan
oleh
jemaat.Apabila
dapat
disimpulkan
maka
perkawinan menurut agama Kristen Protestan menghendaki perkawinan
itu adalah perkawinan antara sesama umat agama Kristen Protestan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39
Karena itulah agama Kristen Protestan melarang untuk berpoligami dan
menikah dengan orang lain yang beragama lain.
Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan jelas menegaskan dari segi materiil dan formil perkawinan. Aspek
materiilnya adalah bertolak pangkal pada hukum agamanya sebagai penentuan
keabsahan suatu perkawinan, aspek formil terletak pada ketentuan ayat (2)
yang menyangkut pencatatan (Herlien Budiono, 2010: 9).
Perkawinan yang sah berdasarkan Pasal 82 Peraturan Pemerintahan
Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Peristiwa perkawinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2) wajib dilaporkan kepada
Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana paling lambat 60 (enam
puluh) hari dengan menyerahkan:
1. Surat perkawinan Penghayat Kepercayaan;
2. Fotokopi KTP;
3. Pas foto suami dan istri;
4. Akta kelahiran; dan
5. Paspor suami dan/atau istri bagi orang asing.
Apabila syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, maka pencatatan
perkawinan baru dapat dilakukan. Perkawinan memiliki tujuan yang baik
sesuai dengan ajaran agama yang dianut serta dengan mendaftarkan
perkawinan tersebut pada kantor catatan sipil maka perkawinan akan sah
dimata hukum karena mendapatkan akte perkawinan. Akte perkawinan
tersebut akan mempunyai kekuatan hukum tetap dan untuk memudahkan
suami-istri untuk melakukan aktifitas keperdataannya terutama dalam hal
pengurusan akta kelahiran putra-putri.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara
hakiki berbeda dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu dalam hal
perkawinan yang sah, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40
Perkawinan orang harus kawin di hadapan seorang fungsionaris keagamaan.
Suatu perkawinan haruslah dilaksanakan menurut agama dan kepercayaannya
masing-masing karena suatu perkawinan didasarkan pada suatu keyakinan
yang ada (Herlien Budiono, 2010: 11).
Aturan tata tertib perkawinan sudah ada sejak masyarakat sederhana
yang dipertahankan anggota-anggota masyarakat dan para pemuka masyarakat
adat atau para pemuka agama. Aturan tata tertib itu terus berkembang maju
dalam masyarakat yang mempunyai kekuasan pemerintahan dan didalam
suatu negara.
Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu
masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan
lingkungan dimana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya.
Budaya perkawinan di pengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan
dan keagamaan yang dianut masyarakat yang bersangkutan. Seperti halnya
aturan perkawinan bangsa Indonesia bukan saja dipengaruhi adat budaya
masyarakat setempat tetapi juga dipengaruhi budaya perkawinan dari barat.
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, berikut adalah beberapa
pasal atau point yang dilanggar oleh Jessica Iskandar terkait dengan
perkawinannya:
1.
Bertentangan dengan Pasal 81 ayat (1) Peraturan Pemerintahan Nomor 37
Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan karena perkawinannya tidak
dilaksanakan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan.
2.
Bertentangan dengan Pasal 82 huruf A Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 2007 tentang Administrasi Kependudukan karena tidak didasarkan
pada surat perkawinan dari pemuka penghayat kepercayaan yang sah.
3.
Bertentangan dengan Pasal 66 huruf S Peraturan Gubernur DKI Jakarta
Nomor 93 Tahun 2012 karena dalam melakukan pencatatan perkainan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41
Jessica tidak menyertai dokumen yang menyatakan bahwa suaminya
adalah warga negara asing.
4.
Bertentangan dengan Pasal 83 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
2007 dan Pasal 67 ayat (3) huruf (A) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun
2008 karena Ludwig tidak pernah menerima dan mengisi formulir
pencatatan perkawinan.
5.
Bertentangan dengan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 karena Jessica tidak pernah memberitahukan
rencana perkawinan kepada Penggugat.
6.
Bertentangan dengan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975
dan Pasal 83 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 Jo.
Pasal 11 huruf A Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2010
karena Jessica dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tidak pernah
melakukan penelitian, verifikasi dan validasi terhadap data-data
perkawinan.
7.
Bertentangan dengan Pasal 66 huruf I Peraturan Gubernur DKI Jakarta
Nomor 93 Tahun 2012 karena pencatatan perkawinan oleh Jessica tidak
dihadiri oleh dua orang saksi.
Perihal pembatalan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan pengaturannya termuat dalam Bab IV Pasal
22 sampai dengan Pasal 28, yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan Bab VI Pasal 37 dan Pasal 38. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan:
“Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syaratsyarat untuk melangsungkan perkawinan”.
Kemudian, bila dilihat dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan:
“Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat
perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42
yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang aksi dapat
dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan
lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri”.
Perkawinan adalah suatu perbuatan yang sakral yang dilaksanakan atau
dilakukan oleh dua orang yang berbeda jenis kelamin, yang memiliki tujuan
untuk membina suatu keluarga yang kekal dan abadi. Perkawinan yang
dilakukan hanya dengan agama yang diyakinin, tanpa melakukan pencatatan
pada kantor catatan sipil tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap, apalagi
jika tidak sah secara agama juga tidak sah secara hukum.
Demikian suatu perkawinan dapat dibatalkan, apabila perkawinan
dilangsungkan oleh para pihak (suami dan isteri) atau salah satu pihak (suami
atau isteri) terbukti tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan.
Secara
keperdataan
perkawinan
akan
memberikan
jaminan
perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang terkait dengan perkawinan,
baik suami, isteri, anak maupun pihak ketiga. Perkawinan sebagai suatu
perbuatan hukum maka mempunyai akibat hukum dan akibat hukum itu
dikehendaki oleh yang bertindak (CST. Kansil dan Christine ST. Kansil,
2011: 104).
1.
Kedudukan Hukum Anak atas Pembatalan Perkawinan dalam
Perkara antara Jessica Iskandar dengan Ludwig Franz Willibald
Keberadaan anak dalam hukum keluarga merupakan sesuatu yang
sangat berarti. Anak memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang.
Anak merupakan penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan,
dan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia lanjut. Anak merupakan
pemegang keistimewaan orang tua, waktu orang tua masih hidup, anak
sebagai penenang dan sewaktu orang tua meninggal, anak adalah lambang
penerus dan lambang keadilan. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan
dengan orang tuanya, termasuk ciri khas, baik maupun buruk, tinggi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43
maupun rendah. Anak adalah belahan jiwa dan potongan daging orang
tuanya (Wijayanto Setiawan, 2012: 202).
Dalam hukum perdata di Indonesia anak dibagi menjadi 2 (dua) yaitu
anak sah dan anak tidak sah. Anak tidak sah dibagi lagi menjadi 2 (dua)
yaitu anak tidak sah yang bukan hasil perselingkuhan atau anak sumbang
dan
anak
hasil
perselingkuhan
atau
(http://www.jurnalhukum.com/kedudukan-anak/
anak
diakses
zina
tanggal
27/04/2016 Pukul 10:40).
Namun menurut Ali Afandi berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata ada tiga tingkatan status hukum (Ali Afandi, 2000: 40):
a. Anak yang Lahir dalam atau Sebagai Akibat Perkawinan yang Sah
Merupakan anak yang lahir dari perkawinan yang sah,
perkawinan yang mengikuti prosedur Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kedudukan anak yang sah dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan
berikut ini, yaitu:
1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) Tahun
1945, pada Pasal 28 huruf B ayat (1), yaitu: "Setiap orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui
perkawinan yang sah";
2) Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, yaitu: "Anak sah adalah anak yang lahir dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah";
3) Pasal 2 ayat (1) Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yaitu: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu";
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44
4) Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yaitu: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku".
b. Anak yang Lahir di Luar Perkawinan dan diakui
Merupakan anak yang lahir di luar perkainan namun tetap
diakui anak oleh seorang ayah dan/atau seorang ibu. Dalam hal ini
antara si anak dan orang yang mengakui itu timbul pertalian
kekeluargaan.
Pertalian kekeluargaan ini hanya mengikat orang yang
mengakui anak itu saja. Jadinya keluarga lain dari orang yang
mengakui itu, tidak terikat oleh pengakuan orang lain. Anak dari
golongan ini, jika ayah dan ibunya kain, lalu anak tersebut menjadi
anak sah.
c. Anak yang Lahir di Luar Perkawinan, tapi Tidak diakui
Merupakan anak yang menurut hukum tidak punya ayah dan
tidak punya ibu. Hukum waris dari anak sah yang baru saja selesai
dibicarakan. Terhadap anak di luar perkawinan yang tidak diakui,
karena tidak mempunyai keluarga maka juga tidak ada ketentuan
tentang hukum warisnya.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perkawinan tidak mengenal
adanya anak yang lahir tanpa adanya perwinan.
Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
tersebut dijelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dan
atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Yang termasuk dalam kategori
Pasal ini adalah (http://kerinci.kemenag.go.id/2013/06/22/status-anak-diluar-nikah-dalam-kompilasi-hukum-islam/ diakses tanggal 13 Februari
2016 pukul 13:39):
a. Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu perkawinan yang sah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45
b. Anak yang dilahirkan oleh wanita didalam ikatan perkawinan dengan
tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa pernikahan
dengan melahirkan bayi.
c. Anak yang dilahirkan oleh wanita didalam ikatan perkawinan yang
waktunya kurang dari kebiasaan kehamilan tetapi tidak di ingkari
kelahirannya oleh suami.
Perkawinan antara Jessica Iskandar dengan Ludwig Franz Willibald
menurut Undang-Undang sangat jelas sudah melanggar peraturan agama
dan juga peraturan hukum yang berlaku di Indonesia serta tudak adanya
kesepakatan bersama antara kedua belah pihak, sehingga perkawinan
tersebut tidah sah atau istilahnya tidak sah secara materiil dan tidak sah
secara formil. Akibat hukum dari perkawinan yang tidak sah menurut
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
adalah kedudukan hukum anak hanya mempunyai hubungan perdata
dengan Ibu dan keluarga Ibu.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
secara tegas memberikan pengertian tentang istilah “anak diluar
perkawinan” tetapi hanya menjelaskan pengertian anak sah dan
kedudukan anak diluar perkawinan. Dikarenakan istilah anak diluar
perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tidak djelaskan secara rinci, maka dilihat dari Pasal 43 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa
Kedudukan anak luar kawin tersebut akan diatur lebih lanjut dalam suatu
Peraturan Pemerintah namun sampai sekarang belum diundangkan oleh
Pemerintah.
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan yang sah itu
menurut hukum masing-masing agamanya dan juga dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga perdebatan istilah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
46
anak diluar perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan sudah terjawab bahwa yang disebut anak diluar
perkawinan itu adalah anak hasil dari pernikahan yang tidak sesuai
dengan Pasal 2 ayat (1) maupun ayat (2), dengan kata lain meskipun anak
tersebut sah secara agama namun tidak sah secara hukum tetap saja
disebut anak diluar perkawinan.
Namun berdasarkan keputusan Mahkamah Kontitusi (MK) Nomor
46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 memiliki pemahaman
tersendiri terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan,
anak
yang
lahir
di
luar
perkawinan
disamakan
kedudukannya dengan anak yang lahir sah menurut Undang-Undang.
Maksud dari keputusan tersebut adalah anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata
dengan keluarga ayahnya (Irma Devita Purnamasari, 2015: 115).
Menurut Chotib Rasyid pemahaman terhadap putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut adalah salah,
terutama terhadap kalimat “anak yang dilahirkan di luar perkawinan”.
Dalam kasus putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, istilah “di luar
perkawinan”
sangat
berbeda
maknanya
dengan
istilah
“tanpa
perkawinan”. Pada kasus putusan Mahkamah Konstitusi menyebutkan
bahwa perkawinan Hj. Aisyah Mochta alias Machica binti H. Mochtar
Ibrahim adalah sah secara agama namun tidak sah secara hukum. Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan itu sesuai dengan ketentuan agama
dan kepercayaannya tapi tidak tercatat pada Kantor Urusan Agama atau
Kantor Catatan Sipil, yang merupakan anak sah secara materiil tapi tidak
sah secara formil. Sedangkan anak yang dilahirkan tanpa perkawinan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
47
orang tuanya atau anak yang dilahirkan dari hubungan antara lelaki
dengan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan merupakan anak yang
tidak sah secara materiil juga tidak sah secara formil dan merupakan anak
zina. Jadi yang melatarbelakangi putusan ini adalah tentang ”pencatatan
perkawinan”, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak bisa
dihubungkan dengan perzinahan atau akibat dari perzinahan (Chotib
Rasyid, 2012: 8).
Pro dan kontra yang terjadi di tengah masyarakat akibat dari adanya
putusan Mahkamah Konstitusi sehingga membuat Mahkamah Konstitusi
menjelaskan pertimbangan putusannya yang menyangkut permasalahan
hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan, sebagai
berikut (Erlina, 2012: 42-43):
a. Secara alamiah, tidak mungkin seorang perempuan hamil tanpa
terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui
hubungan seksual maupun cara lain berdasarkan perkembangan
teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan.oleh karena itu,
tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak
yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar
perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut
sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum
membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang
menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari
tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu
hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut.
b. Mahkamah Konstitusi juga menegaskan hubungan anak dengan
seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya
ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian
adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai
bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/ administrasi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
48
perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan
hukum. Jika tidak, maka yang dirugikan adalah anak yang yang
dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa
karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa
memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang
tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus
memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status
seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk
terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya
masih dipersengketakan.
Negara dan pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab, ini
terlihat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak,yang menyebutkan bahwa:
“Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertangung jawab
menghormati menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan
suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa,
status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau
mental”.
Selanjutnya Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak mengatur bahwa: “Setiap anak berhak untuk
mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya
sendiri”.
Maksud dari Pasal tersebut adalah semua anak berhak untuk
mengetahui identitas kedua orang tuanya. Dari bunyi pasal di atas tentu
Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Uji
Materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
sejalan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
49
Perlindungan Anak yang wajib melindungi anak tanpa memandang status
anak baik itu anak sah maupun anak luar kawin (Irma Devita
Purnamasari, 2012: 220). Dalam hal ini, hanya berlaku bagi status anak
yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pernyataan dari Mahkamah Konstitusi sepanjang menyangkut Pasal 2
ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
beralasan menurut hukum, adapun alasan putusan Mahkamah Konstitusi
telah dijelaskan di paragraph sebelumnya. Pasal 43 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat
(conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat
tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki
yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/
atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai
ayahnya. Sehingga Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/ atau alat
bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya” (Erlina, 2012: 43-44).
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, anak yang lahir tanpa perkawinan tidak mempunyai
hubungan perdata dengan ibu yang melahirkannya jika sang ibu tidak
mengakuinya. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan tidak sah antara
Jessica Iskandar dengan Ludwig Franz Willibald adalah anak yang lahir
tanpa perkawinan. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
50
1974 tentang Perkawinan tersebut maka anak luar kawin otomatis
mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Anak
yang lahir tanpa perkawinan orang tua biologisnya dan tidak diakui
sebagai anak oleh bapak atau ayah biologisnya tidak mempunyai
hubungan perdata dengan ayah biologisnya. Hal tersebut dapat dilihat
pada Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, menyatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya,
namun setelah diuji materiil menjadi anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tua
biologis dan keluarganya dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk
memperoleh pengakuan dari ayah biologisnya melalui ibu biologisnya
(http://www.negarahukum.com/hukum/status-anak-di-luar-nikahmenurut-hukum-perkawinan-nasional-dan-hukum-islam.html
diakses
tanggal 16/02/2016 pukul 13:35).
Suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya
karena berzina dan pengadilan akan memberikan keputusan tentang sah
tidaknya anak itu (Pasal 44 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan). Pertanyaan yang timbul adalah apakah kata
‘berzina’ atau ‘perzinaan’ dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan itu sama dengan pengertian berzina (overspel) dalam
Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dikaitkan dengan
Pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (asas monogami) ataukah
berzina menurut pengertian hukum adat atau agama. Apabila Pasal 44
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu dikaitkan
dengan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, maka yang diartikan berzina adalah berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata bagi perkawinan yang beragama Kristen
atau orang-orang Cina yang akan diselesaikan pada Pengadilan Umum,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
51
sedangkan bagi perkawinan yang beragama Hindu Budha, berzina
diartikan menurut pengertian agama masing-masing dan diselesaikan
pada pendeta atau Dewan Pandita masing-masing atau ke Pengadilan
Umum, sedangkan bagi perkawinan menurut agama Islam yang diartikan
berzina adalah berdasarkan Hukum Islam yang diselesaikan Pengadilan
Agama (Hilmam Hadikusuma, 2007: 125).
Lain halnya apabila kita menengok peraturan dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata bahwa pengertian anak luar nikah dibagi menjadi
dua macam yaitu sebagai berikut:
a) Anak luar nikah dalam arti luas adalah anak luar perkawinan karena
perzinahan dan anak sumbang
Anak Zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan
luar nikah, antara laki-laki dan perempuan dimana salah satunya atau
kedua-duanya terikat pernikahan dengan orang lain, sementara anak
sumbang adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki
dan seorang perempuan yang antara keduanya berdasarkan ketentuan
undang-undang ada larangan untuk saling menikahi.
Anak zina dan anak sumbang tidak bisa memiliki hubungan
dengan ayah dan ibunya. Bila anak itu terpaksa disahkan pun tidak ada
akibat hukumnya (Pasal 288 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Kedudukan anak itu menyedihkan. Namun pada prakteknya dijumpai
hal-hal yang meringankan, karena biasanya hakikat zina dan sumbang
itu hanya diketahui oleh pelaku zina itu sendiri.
b) Anak luar nikah dalam arti sempit adalah anak luar perkawinan yang
tidak termasuk anak zinah dan anak sumbang
Anak yang lahir diluar perkawinan tapi bukan merupakan anak
zina atau anak sumbang. Anak dalam arti sempit ini dilahirkan
sebelum berlangsungnya perkawinan kedua orangtuanya, dan sebelum
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
52
hari 180 (seratus delapan puluh) dalam perkawinan kedua orangtuanya
keabsahannya dapat diingkari oleh ayahnya.
Status sebagai anak yang dilahirkan di luar pernikahan merupakan
suatu masalah bagi anak luar nikah tersebut, karena mereka tidak bisa
mendapatkan hak-hak dan kedudukan sebagai anak pada umumnya
seperti anak sah karena secara hukumnya mereka hanya memiliki
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak luar nikah
tidak akan memperoleh hak yang menjadi kewajiban ayahnya, karena
ketidak-absahan pada anak luar nikah tersebut. Konsekuensinya adalah
laki-laki yang sebenarnya menjadi ayah tidak memiliki kewajiban
memberikan hak anak tidak sah. Sebaliknya anak itupun tidak bisa
menuntut ayahnya untuk memenuhi kewajibanya yang dipandang
menjadi hak anak bila statusnya sebagai anak tidak sah. Hak anak dari
kewajiban ayahnya yang merupakan hubungan keperdataan itu, biasanya
bersifat material.
Anak luar nikah dapat memperoleh hubungan perdata dengan
bapaknya, yaitu dengan cara memberi pengakuan terhadap anak luar
nikah. Pasal 280 sampai Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menegaskan bahwa dengan pengakuan terhadap anak di luar nikah,
terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau ibunya.
Pengakuan terhadap anak di luar nikah dapat dilakukan dengan suatu akta
otentik, bila belum diadakan dalam akta kelahiran atau pada waktu
pelaksanaan pernikahan. Pengakuan demikian dapat juga dilakukan
dengan akta yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil, dan didaftarkan
dalam daftar kelahiran menurut hari penandatanganan. Pengakuan itu
harus dicantumkan pada margin akta kelahirannya, bila akta itu ada. Bila
pengakuan anak itu dilakukan dengan akta otentik lain, tiap-tiap orang
yang berkepentingan berhak minta agar hal itu dicantumkan pada margin
akta kelahirannya. Bagaimanapun kelalaian mencatatkan pengakuan pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
53
margin akta kelahiran itu tidak boleh dipergunakan untuk membantah
kedudukan yang telah diperoleh anak yang diakui itu.
Meskipun berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang mengatakan bahwa ketentuan yang lama dalam
hal perkawinan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie
Christen Indonesia 1933 Nomor 74), Peraturan Perkawinan Campuran
(Regelingop gemeng de Huwelijken S. 1989 Nomor 158, dan peraturanperaturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur
dalam Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku, namun peraturan
tentang kedudukan anak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 43 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa akan
diatur lebih lanjut di Peraturan Pemerintah dan samapi saat ini Pemerintah
belum mengundangkannya maka diberlakukanlah ketentuan yang lama
yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pengakuan kedudukan hukum anak diluar perkawinan menurut
Undang-Undang yang disempurnakan dengan putusan Mahkamah
Konstitusi berbeda dengan pengakuan kedudukan anak diluar perkawinan
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata pengakuan anak diluar perkawinan dapat
dilakukan
dengan
cara
(http://www.jimlyschool.com/read/analisis/256/putusan-mahkamahkonstitusi-tentang-status-anak-luar-kawin/ Diakses tanggal 11/02/2016
pukul 23:02):
a. Pengakuan sukarela
Suatu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara yang
ditentukan Undang-Undang, bahwa ia adalah bapaknya (ibunya)
seorang anak yang telah dilahirkan di luar perkawinan. Dengan adanya
pengakuan, maka timbulah hubungan Perdata antara si anak dan si
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
54
bapak (ibu) yang telah mengakuinya sebagaimana diatur dalam Pasal
280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pengakuan sukarela dapat dilakukan dengan cara-cara yang
ditentukan dalam Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
yaitu:
1) Dalam akta kelahiran si anak Menurut Pasal 281 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, pengakuan dilakukan pada saat
pembuatan akta perkawinan dari laki-laki dan perempuan yang
membenihkannya, yang berarti anak itu sekaligus pada saat itu telah
disahkan (wettiging) pula
2) Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat pula dilakukan pada saat
perkawinan orang tuanya berlangsung yang dimuat dalam akta
perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2) Jo Pasal
272 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengakuan ini akan
berakibat si anak luar kawin akan menjadi seorang anak sah.
3) Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dalam akta
otentik seperti akta notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
4) Dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil, yang
dibutuhkan dalam register kelahiran catatan sipil menurut hari
Penanggalannya sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
b. Pengakuan Paksaan
Pengakuan anak luar kawin dapat pula terjadi secara paksaan,
yakni dapat dilakukan oleh si anak yang lahir di luar perkawinan itu,
dengan cara mengajukan gugatan terhadap bapaknya kepada
Pengadilan Negeri, agar supaya anak luar kawin dalam arti sempit itu
diakui sebagai anak bapak atau ibunya, ketentuan ini diatur dalam
Pasal 287-289 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
55
Anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak luar kawin dalam
arti sempit, yaitu anak yang terlahir dari ibu dan bapak yang tidak
terikat perkawinan yang sah baik di antara mereka maupun dengan
orang lain (tidak tergolong anak zina atau anak sumbang).
Suatu pengakuan secara sukarela atas anak luar kawin tidak dapat
dibatalkan
apabila
pengakuan
tersebut
dilakukan
(https://hukumperdataunhas.wordpress.com/2013/06/17/kedudukanhukum-anak-luar-kawin/ diakses tanggal 13/02/2016 pukul 16:37):
a. Karena akibat paksaan atau salah paham atau tertipu;
b. Oleh seorang anak yang masih dibawah umur akibat suatu bujukan;
c. Oleh seorang anak yang masih berumur 18 tahun dan belum kawin
kecuali diakui pada saat dilangsungkannya perkawinannya.
d. Tanpa persetujuan dari ibu anak yang akan diakui sedangkan ibu
tersebut masih hidup.
e. Oleh seorang lelaki yang berada dibawah pengampuan.
Pengakuan seorang anak luar kawin dapat dilakukan pada:
a. Akta kelahiran sang anak yang akan diakui;
b. Akta autentik yang khusus dibuat untuk itu dihadapan dan oleh notaris;
c. Akta autentik yang dibuat oleh pejabat catatan sipil dan dibukukan
dalam daftar catatan sipil sesuai dengan tanggal kelahiran anak.
Setelah mendapatkan pengakuan dari pengadilan yang menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah
disempurnakan dengan putusan Mahkamah Konstitusi serta menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, prosedur pengakuan anak diluar
nikah dan syarat-syarat dokumen dalam pembuatan akta pengakuan anak
dimana telah disebutkan dalam bab II haruse segara dilaporkan.
Setelah Putusan Mahkamah Nomor 46/PUU-VIII/2010 maka akan
terlihat dampak yuridis terhadap akta kelahiran bagi anak di luar kawin.
Jika sebelumnya pencantuman nama ayah dalam akta kelahiran anak di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
56
luar kawin hanya semata-mata didasarkan atau digantungkan pada niat
sang ayah untuk mengakui anak luar kawinnya sehingga barulah terjadi
hubungan perdata, maka setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 pencantuman nama ayah terhadap
anak luar kawin tidak hanya didasarkan atau digantungkan pada niat sang
ayah untuk mengakui atau tidak mengakui anak luar kawinnya, akan
tetapi juga dapat dilakukan oleh ibu atau bahkan anaknya sendiri ketika
dapat membuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti lain bahwa anak tersebut adalah benar anak sang ayah (I Made
Surya Dana, 2014: 13-14).
Dengan tercantumnya nama ayah biologis anak luar kawin dalam akta
kelahirannya, maka anak diluar kawin akan memiliki bukti yang otentik
yang memperkuat bahwa si anak memiliki hubungan keperdataan dengan
si ayah sehingga anak akan memiliki hak waris dari sang ayah.
Selain dampak dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 terhadap akta kelahiran anak luar kawin yang telah diuraikan
diatas tersebut, tentu akta kelahiran yang telah mencantumkan nama ayah
biologisnya akan berpengaruh terhadap hubungan keperdataan ayah dan
anak luar kawin yang juga menyangkut pengaruhnya terhadap tanggung
jawab mengenai hak dan kewajiban secara timbal balik antara anak luar
kawin dengan ayah biologisnya.
Anak luar kawin yang tidak diakui sah oleh ayah biologisnya bila
kelak Ia akan melakukan perkawinan, Ia harus mendapatkan persetujuan
dari wali atau wali pengawasannya, bila tidak diberikan maka Ia dapat
mengajukan permohonan izin kepada Pengadilan Negeri atau PN (Pasal
40 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Namun bila Anak luar kawin tersebut diakui oleh bapak biologisnya
maka pada pokoknya berlaku ketentuan-ketentuan yang sama dengan
anak yang sah walaupun tidak seluruhnya sama. Bila kelak sang anak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
57
akan melakukan perkawinan, Ia akan diakui untuk mendapat persetujuan
dari ayah dan ibu yang mengakuinya untuk melangsungkan perkawinan,
jika salah seorang meninggal dunia atau tidak dapat menyatakan
kehendaknya maka yang diperlukan hanyalah persetujuan dari pihak yang
lain yang masih hidup (Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materiil Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan akan berimplikasi pada
semakin maraknya perbuatan zina. Putusan tersebut pasti akan dipandang
sebelah mata oleh masyarakat, putusan tersebut akan membuat para
wanita tidak takut melakukan zina dan menjadi hamil karena perbuatan
tersebut, sebab apabila hal itu terjadi, maka laki-laki yang merupakan
bapak biologis dari anak yang dikandungnya secara yuridis formal hampir
dipastikan memiliki hubungan perdata dengan anak hasil perzinahan
mereka. Mengenai hal tersebut, Mahfud MD dalam satu kesempatan
wawancara tidak membenarkan pandangan tersebut. Beliau berpendapat
bahwa putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materil Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan justru bermaksud menghindari
semakin meluasnya perzinahan, semangat yang digunakan hakim
Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara tersebut adalah semangat
menghindari perzinahan. Dengan adanya putusan tersebut, maka laki-laki
tentunya akan menjadi takut untuk melakukan perbuatan zina, sebab
dapat dituntut tanggungjawab secara hukum (Prianter Jaya Hairi, 2012: 34).
Pakar Hukum Universitas Gadjah Mada, Abdul Gofur, berpendapat
bahwa putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materiil Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadikan status anak luar
nikah mendekati model pengaturan yang ada dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata). Sebagaimana diketahui, Pasal 5a
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa anak yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
58
sah juga anak tak sah yang diakui oleh ayahnya, maka menyandang nama
keturunan ayahnya, sedangkan anak yang tidak diakui oleh ayahnya,
menyandang
nama
keturunan
(http://www.dakwatuna.com/#axzz43wNnzhyP
diakses
ibunya
tanggal
21/03/2016 pukul 09:06).
Abdul Gofur juga menyampaikan bahwa Putusan Mahkamah
Konstitusi yang berimplikasi pada hubungan perdata dengan ayah
biologisnya merupakan penguatan terhadap yurisprudensi yang telah ada.
Pada Tahun 1996, Pengadilan Sleman pernah memutuskan berdasarkan
asas maslahih mursalah (Kepentingan Umum), bahwa seorang anak tetap
memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya.
Lebih lanjut, Abdul Gofur mengatakan, berdasarkan fiqih pernah ada
satu ahli fikih yang bernama Ishaq bin Rahawaih yang membuka
kemungkinan seorang anak di luar nikah diakui sebagai anak dari seorang
laki-laki melalui istilaq atau deklarasi pengakuan anak. Namun pendapat
ini tidak mendapat tempat di kalangan ulama karena dinilai mengafirmasi
kemerosotan moral.
Menurut Imelda Herawati Dewi Prihatin, S.H., M.H. Wakil Ketua
Hakim Pengadilan Negeri Batulicin Kalimantan Timur, dengan adanya
putusan Mahkamah Konstitusi dapat membantu melindungi hak anak
untuk mengenal kedua orangtuanya dan juga melindungi wanita sebagai
korban. Putusan tersebut mempermudah untuk memastikan kedudukan
hukum anak diluar perkawinan, namun dalam suatu kasus apabila tidak
ada pihak yang mengajukan permasalahan tersebut ke pengadilan
meskipun ayah biologis anak tersebut mengakui bahwa Ia adalah ayah
biologisnya, tetap kedudukan hukum anak tersebut hanya ada hubungan
perdata dengan ibunya, namun bila ada pihak yang mengajukan ke
pengadilan walaupun tidak ada hubungan perkawinan antara ayah dan
ibunya dan sang ayah biologis mengakui serta mau melakukan tes DNA
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
59
(Deoxyribo Nucleic Acid), berdasarkan hasil dari tes DNA itulah hakim
memutuskan anak tersebut memiliki hubungan perdata dengan ayahnya
atau tidak. Dalam kasus Jessica Iskandar, putusan Pengadilan Negeri
Jakarta
Selatan
mengabulkan
gugatan
permohonan
pembatalan
perkawinan dari Ludwig Franz Willibald namun pihak Jessica Iskandar
mengujakan banding dan meminta Ludwig untuk melakukan tes DNA
dan sebelumnya memang Ludwig Franz Willibald sudah mengakui kalau
anak Jessica Iskandar tersebut adalah anak hasil hubungannya dengan
Jessica Iskandar.
Menurut pendapat saya, keputusan Mahkamah Konstitusi tidak sesuai
dengan asas peradilan hukum acara perdata, yaitu asas sederhana, cepat,
dan biaya ringan. Karena dalam kasus pembatalan perkawinan antara
Jessica Iskandar dengan Ludwig Franz Willibald tersebut pihak laki-laki
sudah mengakui bahwa anak tersebut adalah hasil hubungannya dengan
Jessica Iskandar, namun mengapa masih harus dilakukan tes DNA yang
mana tes DNA tersebut memerlukan biaya yang mahal, sehingga putusan
Mahkamah Konstitusi tidak sesuai dengan asas peradilan hukum acara
perdata. Seharusnya dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
apabila pihak laki-laki sudah mengakui bahwa anak tersebut adalah
anaknya cukup dibuktikan secara tertulis dengan akta notarial atau
pengakuan dihadapan pengadilan, namun apabila pihak laki-laki tidak
mau mengakui bahwa anak tersebut adalah anaknya maka tes DNA
adalah jalan satu-satunya untuk membuktikan kebenarannya.
2. Hak Waris Anak atas Pembatalan Perkawinan dalam Perkara
antara Jessica Iskandar dengan Ludwig Franz Willibald
Hukum waris menurut para sarjana pada pokoknya adalah peraturan
yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia
kepada satu atau beberapa orang lain. Intinya adalah peraturan yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
60
mengatur akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta
kekayaan yang berwujud. Beberapa istilah tersebut beserta pengertiannya,
sebagai berikut:
a. Waris ialah orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan orang
yang telah meninggal).
b. Warisan berarti harta peninggalan, surat wasiat dan pusaka.
c. Pewaris yaitu orang yang memberi pusaka, yaitu orang yang
meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah pusaka, harta kekayaan
maupun surat wasiat.
d. Ahli waris adalah orang yang menjadi pewaris, berarti orang-orang
yang berhak meneriam harta peninggalan dari si pewaris;
e. Mewarisi ialah mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris
berhak mewarisi harta peninggalan pewarisnya.
f. Proses pewarisan, istilah proses pewarisan mempunya dua pengertian
atau dua makna, yaitu:
1) Berarti penunjukan atau penerusan para waris ketika pewaris masih
hidup.
2) Berarti pembagian harta warisan terjadi setelah pewaris meninggal.
Pewarisan
dibedakan
menjadi
2
(dua),
yaitu
(Soetojo
Prawirohamidjojo, 2000: 4):
a. Pewarisan berdasarkan undang-undang, juga disebut pewarisan abintestato.
Ahli waris ini bersifat otomatis, maksudnya ketika pewaris meninggal
dunia, maka anak-anak sahnya otomatis menjadi ahli waris tanpa
melakukan suatu perbuatan hukum apapun. Ahli waris ini dapat pula
menjadi ahli waris pengganti, yaitu ahli waris yang menggantikan ahli
waris sebenarnya karena ahli waris yang sebenarnya ini telah
meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris.
b. Pewarisan testamentair, yaitu pewarisan berdasarkan suatu testamen.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
61
Pewaris dapat menentukan siapa saja yang akan diberikan hartanya,
apakah diambil dari ahli waris abintestato kemudian dicantumkan
dalam testament atau diambil dari orang lain yang bukan merupakan
ahli warisnya. Selain menentukan siapakah ahli warisnya maka
pewaris juga sekalian menetapkan berapa besar bagian ahli waris
testamenter ini didalam wasiatnya. Akan tetapi apabila bagian yang
ditentukan dalam wasiat oleh pewaris mengurangi bagian legitim dari
ahli
waris
legitimaris
maka
bagaian
dalam
wasiat
harus
dikurangi. Ahli waris testementer ini tidak boleh bertindak sebagai
ahli waris pengganti.
Di
dalam
Kitab
Undang-Undang Hukum
Perdata, pewarisan
berdasarkan undang-undang dibicarakan terlebih dahulu, baru kemudian
pewarisan testamentair. Kalau dalam pewarisan testamentair yang
ditonjolkan adalah kehendak dari pewaris, maka pewarisan ab-intestato
berdasarkan sebagai alasan, sebab yang ada yang bersifat mengatur
(melengkapi), tetapi ada juga yang bersifat memaksa (dwingend).
Pada Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan mengatur mengenai Harta Bersama, namun juga memiliki
kaitan dengan masalah warisan walaupun tidak terlalu spesifik. Pasal 35
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan berisi bahwa harta selama perkawinan itu menjadi harta
bersama, dan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami istri dan
harta yang masing-masing individu adalah sebagai hadiah atau warisan
yang berada dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain. Ini artinya, bahwa:
a. Selama masa perkawinan ayah dan ibu, sekalipun hanya ayah saja yang
bekerja mencari nafkah dan mengumpulkan harta, maka Ibu-pun berhak
atas setengahnya dari harta perolehan ayah tersebut, begitu pula
sebaliknya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
62
b. Dan jika mau dibagi warisan dari ayah, maka yang dimaksud dengan
warisan ayah di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan ini, adalah setengah (1/2) dari seluruh harta bersama yang
diperoleh selama masa perkawinan ayah dan ibu, ditambah:
1) Harta bawaan ayah (jika ada). Ini adalah harta yang diperoleh beliau
sebelum masa pernikahan dengan Ibu.
2) Juga bisa jadi ayah memperoleh hadiah dari seseorang, dari
keluarganya atau lembaga, maka itu juga bisa dimasukkan ke dalam
harta warisan ayah.
3) Satu lagi adalah warisan yang diperoleh ayah dari pihak keluarganya,
maka harta warisan tersebut dimasukkan kedalam kelompok harta
warisan ayah, yang akan dibagikan kepada semua ahli warisnya.
Namun dalam hal kasus Jessica Iskandar ini, menurut Ludwig tidak
ada perkawinan antara Jessica Iskandar dengan Ludwig Franz Willibald
namun akta perkawinan telah terbit dan anaknya pun merupakan anak
yang lahir tanpa perkawinan, pada ketentuan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (tidak dibedakan mengenai anak zina
dan anak luar kawin). Yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan hanyalah anak yang dilahirkan di luar
perkawinan. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Oleh karena
adanya hubungan perdata dengan ibunya, maka anak yang lahir setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
bisa mendapatkan warisan dari ibunya.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 yang menguji Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, sehingga pasal tersebut harus dibaca:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
63
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Melihat pada putusan tersebut, ini berarti anak yang dilahirkan di luar
perkawinan (tidak dibedakan antara anak zina dengan anak luar kawin,
seperti pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dapat memiliki
hubungan perdata dengan ayahnya jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga anak tersebut juga berhak
mendapatkan warisan dari ayah biologisnya.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi mengenai status anak
yang lahir di luar nikah tersebut dapat membuat sebagian orang
bergembira, terlebih bagi para ibu yang mengalaminya. Namun, putusan
ini dianggap menimbulkan persoalan baru, terutama terkait pembagian
harta ayah kepada anak tersebut.
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
HM Nurul Irfan, berpendapat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
memang mengarah ke pembagian harta ayah kepada anak di luar nikah.
Tapi, pembagian harta tersebut tidak bisa diimplementasikan sebagai
warisan menurut konsep dasar hukum Islam, yaitu anak laki-laki
mendapat
harta
dua
kali
lipat
ketimbang
anak
perempuan
(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f41e31435676/putusan-mkberpengaruh-pada-hukum-waris- diakses tanggal 25/02/2016 pukul
13:07).
Sebab, warisan menurut konsep dasar hukum Islam memiliki syarat
seperti adanya nasab atau hubungan sah menurut pernikahan. Nasab
sendiri adalah keturunan darah atau hubungan-hubungan kekerabatan di
dalam Islam melalui pernikahan yang sah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
64
Apabila akan disinkronisasi dengan konsep dasar hukum Islam istilah
waris tidaklah tepat. Syarat waris adalah harus ada hubungan kekerabatan
yang sah, apabila kedudukan anak tersebut tidak sah atau merupakan anak
diluar perkawinan (menurut hukum), jadi perolehan haknya bukan dengan
istilah waris, melainkan seperti hibah, sedekah dan/ atau istilah lainnya.
Mengenai pewarisan terhadap anak luar kawin yang diakui
berdasarkan Pasal 863 sampai dengan Pasal 866 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, adalah (Ali Afandi, 2000: 41):
a. Jika yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau seorang
suami atau istri, maka anak-anak luar kawin mewarisi 1/3 bagian dari
bagian yang seharusnya mereka terima jika mereka sebagai anak-anak
yang sah (Pasal 863 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
b. Jika yang meninggal tidak meninggalkan keturunan maupun suami
atau istri, tetapi meninggalkan keluarga sedarah, dalam garis ke atas
(ibu, bapak, nenek, dst.) atau saudara laki-laki dan perempuan atau
keturunannya, maka anak-anak yang diakui tersebut mewaris 1/2 dari
warisan. Namun, jika hanya terdapat saudara dalam derajat yang lebih
jauh, maka anak-anak yang diakui tersebut mendapat 3/4 (Pasal 863
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
c. Bagian anak luar kawin harus diberikan lebih dahulu. Kemudian
sisanya baru dibagi-bagi antara para waris yang sah (Pasal 864 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata);
d. Jika yang meninggal tidak meninggalkan ahli waris yang sah, maka
mereka memperoleh seluruh warisan (Pasal 865 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata);
e. Jika anak luar kawin itu meninggal dahulu, maka Ia dapat digantikan
anak-anaknya (yang sah) (Pasal 866 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
65
Pasal 863 sampai Pasal 866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
membahas mengenai hak waris aktif dari anak-anak luar perkawinan yang
sepenuhnya haknya sama dengan hak dari keluarga sedara yang sah,
demikian juga dengan saudara sedara luar kawin yang merupakan waris
yang sesungguhnya.
Jadi, sesuai pengaturan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, waris
mewaris hanya berlaku bagi anak luar kawin yang diakui oleh ayah
dan/atau ibunya. Tanpa pengakuan dari ayah dan/atau ibu, anak luar
kawin tidak mempunyai hak mewaris.
Anak yang lahir diluar perkawinan orang tua biologisnya tersebut
diakui sebagai anak oleh bapak atau ayah biologisnya. Akibat dari
pengakuan sebagai anak oleh bapak biologisnya, maka timbul hubungan
hukum antara anak dengan bapak yang mengakuinya. Anak luar kawin ini
mempunyai hubungan perdata dengan bapak yang mengakuinya.
Konsekuensi dari mempunyai hubungan perdata ini adalah bahwa anak
luar kawin yang diakui sah ini dapat menjadi ahli waris dari bapak yang
mengakuinya, meskipun bagiannya lebih sedikit dari anak sah. Akan
tetapi jika pembagian harta warisan anak luar kawin ini dilakukan pada
saat bapak biologisnya terikat perkawinan dengan perempuan lain
(istrinya yang sah pada saat pewarisan) maka anak luar kawin ini bukan
merupakan
ahli
waris
dari
bapak
biologisnya
kecuali
(https://hukumperdataunhas.wordpress.com/2013/06/17/kedudukanhukum-anak-luar-kawin/ diakses tanggal 25/02/2016 pukul 13:36):
a. Pengakuan tersebut dilakukan pada saat bapak biologisnya belum
terikat perkawinan, atau
b. Perkawinan tersebut tidak mempunyai keturunan dan pasangan
hidupnya juga sudah bukan merupakan ahli waris disebabkan karena
telah meninggal atau bercerai.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
66
Anak luar kawin yang diakui sah hanya mempunyai hubungan perdata
dengan bapak yang mengakuinya sedangkan terhadap keluarga bapaknya
tidak mempunyai hubungan perdata. Oleh karena itulah maka anak luar
kawin yang diakui sah ini tidak bisa menjadi ahli waris pengganti, kecuali
pengakuan yang dilakukan oleh bapak tersebut telah disetujui oleh sanak
keluarga. Ayah yang telah mengakui sah anaknya dapat mengajukan
permohonan kepada hakim agar perwalian dari anak yang diakuinya itu
diserahkan kepada dirinya dan Ia berkewajiban untuk memelihara dan
mendidik anak tersebut tanpa menghiraukan apakah Ia yang menjalankan
perwalian atau tidak.
Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 anak-anak yang lahir di luar perkawinan tidak ditolak hakhaknya pada hukum tertentu, seperti warisan dan hak mendapat
kebutuhan hidup dari ayah biologisnya, meskipun dalam putusan tersebut
hak Ibu tidak dibicarakan, tapi setidaknya putusan tersebut memberikan
kemudahan bagi Ibu untuk membuat akta kelahiran bagi anak yang
terlahir diluar perkawinan tersebut (Steven L. Nock, 2005: 15).
B. Pembagian Harta Kekayaan atas Pembatalan Perkawinan dalam
Perkara antara Jessica Iskandar dengan Ludwig Franz Willibald
Kehadiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
membuat kedudukan suami isteri lebih diperhatikan. Menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini, hak dan kedudukan
isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami. Begitu juga
mengenai kewajiban-kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya. Dimana
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini
ditekankan orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
67
Mengenai saat dimulainya pembatalan perkawinan beserta akibat
hukum yang ditimbulkan dengan adanya pembatalan perkawinan oleh
Pengadilan Agama ditentukan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan bahwa batalnya suatu perkawinan
dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap
dan berlaku sejak saat berlangsungnyaperkawinan. Berdasarkan ketentuan
tersebut, maka perkawinan yang dibatalkan oleh Pengadilan Negeri dimulai
sejak Keputusan Pengadilan dan berlaku surut sejak saat pekawinan tersebut
dilangsungkan, artinya perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada.
Apabila dalam perkawinan terjadi pemutusan maka menurut Pasal 28
ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
disebutkan bahwa putusnya perkawinan tersebut tidak berlaku surut terhadap:
1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
2. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta
bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan
lain yang lebih dahulu;
3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam uraian tersebut sepanjang
mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan
tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Setiap perbuatan hukum pasti akan menimbulkan akibat hukum.
Demikian halnya dengan perkawinan, perkawinan merupakan perjanjian
perikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasar
Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan syarat pekawinan tersebut sah secara
hukum dalam arti perkawinan tersebut dilangsungkan dengan memenuhi
secara sempurna syarat-syarat perkawinan sebagaimana yang telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Indonesia, karena
hanya dengan perkawinan yang sah saja maka akan membawa akibat hukum
yang baik dimata hukum dan masyarakat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
68
Lain halnya apabila perkawian antara seorang pria dengan seorang
wanita dilakukan dengan tidak mengindahkan syarat-syarat perkawinan yang
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam,
maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Oleh karena itu terhadap pihakpihak yang mengetahui adanya hal-hal yang menyebabkan perkawinan itu
tidak sah secara hukum, maka seharusnya segera mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama.
Setelah perkara pembatalan perkawinan sudah melalui seluruh tahapan
pemeriksaan dan putusan pengadilan sudah memperoleh kekuatan hukum
tetap maka perkawinan tersebut batal sejak saat perkawinan tersebut
berlangsung, dengan demikian perkawinan tersebut dianggap tidak pernah
terjadi.
Mengenai akibat hukum terhadap putusan pembatalan perkawinan
mencakup 3 (tiga) masalah penting:
1. Timbulnya hubungan antara suami-istri;
2. Timbul hubungan antara orang tua dan anak;
3. Timbul akibat hukum terhadap harta benda dalam perkawinan.
Membahas tentang harta dalam perkawinan, harta bersama dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pengaturannya
termuat dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37. Pasal 35 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan:
“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.
Pembagian harta kekayaan atau pembagian harta gono-gini adalah
harta milik bersama dari suami istri yang diperoleh keduanya selama
berlangsungnya perkawinan dimana keduanya bekerja untuk kepentingan
hidup berumahtangga (Wasmandan Wardah Nuroniyah, 2011: 218). Istilah Harta
gono-gini yang sebenarnya digunakan secara resmi dan legal-formal dalam
peraturan perundang-undangan di tanah air, baik dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
69
Perdata (KUHPer), maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah harta
bersama. Hanya, istilah gono-gini lebih popular dibandingkan dengan istilah
yang resmi digunakan dalam bahasa hukum konvensional. Pembagian harta
tersebut diatur dalam Pasal 36 yang terbagi dalam tiga bentuk yaitu:
1. Harta Bersama (Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan)
Harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh sesudah suami-istri
berada dalam hubungan perkawinan, atas usaha mereka berdua atau usaha
salah seorang dari mereka. Harta bersama dikuasai oleh suami dan istri,
sehingga baik suami maupun istri punya hak dan kewajiban yang sama
untuk memperlakukan harta mereka dengan persetujuan kedua belah pihak
Bila terjadi pemutusan perkawinan karena perceraian, maka menurut
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, harta
bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan
hukumnya masing-masing adalah hukum yang berlaku sebelumnya bagi
suami istri, yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lain (Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata misalnya).
Ketentuan semacam ini kemungkinan akan mengaburkan arti
penguasaan harta bersama yang diperoleh suami-istri selama dalam
perkawinan. Karena ada kecenderungan pembagiannya tidak sama,
dikarenakan dominasi dan stereotipe bahwa suami memiliki kedudukan
yang lebih tinggi dari istri. Yang berarti akan mengecilkan hak istri atas
harta bersama. Untuk menghindari hal tersebut, beberapa pasangan suami
istri memilih melakukan pemisahan harta dalam perkawinan yang
dituangkan dalam perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan ini dapat
dilakukan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan dibuat
secara tertulis oleh kedua calon pengantin atas persetujuan bersama (Pasal
29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Kompilasi Hukum Islam-pun juga memungkinkan untuk dilakukan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
70
pemisahan kekayaan dalam Perjanjian Perkawinan (Pasal 45 Kompilasi
Hukum Islam).
2. Harta Bawaan (Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan)
Harta benda yang telah dimiliki masing-masing suami-istri sebelum
mereka melangsungkan perkawinan, baik yang berasal dari warisan, hibah,
atau usaha mereka sendiri-sendiri. Harta bawaan dikuasai oleh masingmasing pemiliknya yaitu suami atau istri. Artinya, seorang istri atau suami
berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya masing-masing. Tetapi bila suami istri menentukan lain yang
dituangkan dalam perjanjian perkawinan misalnya, maka penguasaan harta
bawaan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian itu. Demikian pula bila
terjadi putusnya perkawinan, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh
masing-masing pemiliknya, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan. Untuk itu penyimpanan surat-surat berharga sangat penting
disini.
3. Harta Perolehan
Harta masing-masing suami-istri yang dimilikinya sesudah mereka
berada dalam hubungan perkawinan. Harta ini diperoleh bukan dari usaha
mereka baik seorang atau bersama-sama, tetapi merupakan hibah, wasiat
atau warisan masing-masing. Pada dasarnya penguasaan harta perolehan ini
sama seperti harta bawaan, yakni suami atau istri berhak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta perolehannya.
Asas hukum harta perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan mengacu pada asas hukum harta perkawinan
menurut Hukum Adat, yang juga mengenal harta bersama yang disebut harta
gomo-gini dan harta asal (Wiratni Ahmadi, 2008: 383).
Tentang akibat hukum terhadap harta bersama setelah adanya putusan
pengadilan yang dapat membatalkan perkawinan dapat diketahui dari Pasal 28
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
71
ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dari Pasal 28 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dapat ditafsirkan bahwa terhadap suami istri yang bertindak
dengan niat baik dalam arti diantara suami istri tidak ada unsur kesengajaan
sebelumnya untuk melangsungkan perkawinan dengan melanggar hukum
yang berlaku, sehingga walaupun perkawinan telah dibatalkan oleh
pengadilan karena tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan maka tetap ada
pembagian harta bersama diantara suami istri. Dikarenakan keputusan
pengadilan tidak berlaku surut dalam arti keputusan pengadilan yang
membatalkan perkawinan berlaku saat keputusan pengadilan mempunyai
kekuatan hukum tetap (sama dengan saat berlakunya putusan perceraian).
Dengan demikian walaupun perkawinan itu tidak sah namun karena
perkawinan ini dilakukan dengan itikad baik, maka diberi perkecualian dalam
hal harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, yakni
setelah perkawinan dibatalkan masing-masing mantan suami dan mantan istri
tetap memperoleh harta bersama.
Penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan telah memberikan suatu ketegasan terhadap maksud dari
perkataan “hukum lainnya”, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(B.W.) bagi pengaturan harta bersama orang-orang golongan Timur Asing
Tionghoa, golongan Eropa, dan orang-orang yang dipersamakan dengan
mereka yang berada di Indonesia.
Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat calon suami dan isteri
untuk mengatur akibat-akibat perkawinannya terhadap harta kekayaan
mereka. Perjanjian kawin diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1
Tahun
1974
tentang
Perkawinan,
yang
menetapkan
(R.
Soetojo
Prawirohamidjojo, 2000: 73):
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian kawin yang disahkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
72
oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum agama dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan
Perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Terdapat perbedaan antara perjanjian perkawinan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan perjanjian
perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, antara lain
sebagai berikut (Erlando Parsaoran Siburian, 2015: 89-90):
1. Dari sisi subyek perjanjian dalam pembuatan perjanjian perkawinan
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah
dibuat oleh kedua belah pihak yang akan melangsungkan perkawinan, yaitu
calon suami isteri. Tidak ada ketentuan bahwa calon suami isteri yang akan
membuat perjanjian kawin harus meminta bantuan dari orang lain (orang
tua atau wali), sedangkan dalam ketentuan perjanjian kawin menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata ditentukan jika para pihak yang akan
melangsungkan suatu perkawinan ternyata belum dewasa maka pembuatan
perjanjian perkawinan dilakukan dengan bantuan orang tua atau walinya.
2. Dari sisi formil dan tata cara pembuatan perjanjian perkawinan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
diwajibkan harus dibuat dengan akta notaris, tetapi hanya ditentukan bahwa
perjanjian
perkawinan
tersebut
disahkan
oleh
pegawai
pencatat
perkawinan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perjanjian
perkawinan tersebut dapat dibuat dengan akta dibawah tangan bukan
dengan akta otentik atau akta notaris sebagaimana berlaku pada perjanjian
perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
73
3. Dari tata cara pembuatan perjanjian perkawinan, menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan perjanjian perkawinan dapat
dibuat pada waktu perkawinan dilangsungkan atau sebelum perkawinan
dilangsungkan, hal ini berbeda dengan pembuatan perjanjian perkawinan
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang harus dibuat sebelum
perkawinan dilangsungkan yang kemudian disusul dengan pelaksanaan
perkawinan segera setelah perjanjian dibuat.
4. Perjanjian perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan pada asasnya tidak dapat diubah kecuali jika kedua
belah pihak bersepakat untuk mengubah dengan catatan tidak boleh
merugikan pihak ketiga, sedangkan menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata perjanjian perkawinan tidak dapat diubah selama
perkawinan berlangsung, karena hal ini untuk menjaga keutuhan bentuk
dan macam harta kekayaan selama perkawinan yang tidak boleh berubah
atau diubah meski disepakati oleh kedua belah pihak.
5. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
disebutkan macam atau bentuk perjanjian perkawinan yang dapat dibuat
oleh calon suami isteri sebelum melangsungkan perkawinan dan juga tidak
menjelaskan fungsi dan tujuan pembuatan perjanjian perkawinan tersebut.
Bahwa pembuatan perjanjian perkawinan menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata adalah untuk menyimpangi terjadinya persatuan harta
secara bulat, di mana calon suami isteri dapat menentukan sendiri
pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan dengan memilih bentuk atau
macam pengaturan.
Pada dasarnya ada bermacam-macam sistem hukum harta kekayaan
perkawinan, hal ini karena tiap-tiap sistem hukum mempunyai peraturanperaturannya sendiri yang mengatur mengenai harta benda suami istri. Hal
tersebut sebagaimana diatur di dalam Hukum Adat, Hukum Islam, dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Sementara itu Undang-Undang Nomor 1
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
74
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang juga mengatur mengenai harta benda
perkawinan namun ketentuan tersebut belum diatur lebih lanjut dalam
peraturan pelaksanaannya, menimbulkan persoalan dalam praktek apakah
ketentuan harta benda perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah dapat diberlakukan (Hartini, dkk,
2013: 12).
Untuk mengatasi persoalan tersebut, seperti: harta benda perkawinan,
kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, serta
perwalian, belum dapat diperlakukan secara efektif dan dengan sendirinya
untuk
hal-hal
tersebut
masih
diperlakukan
ketentuan-ketentuan
dan
perundang-undangan lama.
Kata-kata masih diperlakukan ketentuan dan perundang-undangan
yang lama dapat diartikan bahwa hukum harta perkawinan berdasarkan
peraturan lama dapat dipergunakan sebagai peraturan pelaksanaan untuk
melaksanakan hukum harta perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai peraturan pokok. Hukum dan
perundang-undangan lama berarti hukum yang tidak tertulis dan hukum yang
tertulis. Sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
kita mengenal beberapa undang-undang yang mengatur tentang perkawinan
seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (B.W.), Ordonansi Perkawinan
Indonesia Kristen Staatsblad 1933 Nomor 74, dan Peraturan Perkawinan
Campuran Staatsblad 1898 Nomor 158. Menurut Mahkamah Agung,
peraturan itu masih berlaku, khusus untuk hal-hal yang belum diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentu saja terbatas pada golongangolongan yang sediakala berlaku baginya, khusus dalam hal perjanjian
perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku bagi orangorang
Tionghoa, HOCI untuk orang-orang Indonesia Kristen di Jawa dan Madura, di
sebagian
Residen
Manado
yang
dikenal
commit to user
dengan
nama
Minahasa,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
75
onderafdeling-onderafdeling Ambon, Saparua dan Banda, tanpa pulau-pulau
Teun, Nila dan serupa di Afdeling Ambon di Keresidenan Maluku (Erlando
Parsaoran Siburian, 2015: 91-92).
Uraian diatas dapat diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan memberi pengecualian terhadap suami istri yang
perkawinannya dibatalkan oleh Pengadilan karena dalam melangsungkan
perkawinan suami istri bertindak dengan niat baik. Namun, dalam perkawinan
antara Jessica dengan Ludwig tidak ada itikad baik dari salah satu pihak untuk
melangsungkan perkawinan, dan dari awal perkawinan mereka tidak ada
perjanjian perkawinan yang membahas mengenai harta kekayaan bersama,
serta mereka tidak pernah hidup bersama meski akta perkawinan telah
diterbitkan dan telah dikaruniai seorang anak. Sehingga, dari kelajutan isi
Pasal 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat diketahui bahwa
terhadap perkawinan yang dibatalkan antara Jessica Iskandar dengan Ludwig
tidak akan ada pembagian harta bersama, yang ada hanya harta bawaan dan
harta perolehan dari masing-masing pihak berdasarkan Pasal 36 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
commit to user
Download