BAB 2 - Library Binus

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Manajemen
Manajemen adalah proses menyelesaikan kegiatan dengan dan melalui orang
lain. Salah satu yang berperan penting dalam menjalankan management adalah
manajer. Manajer membuat keputusan, mengalokasikan sumber daya, dan
mengarahkan kegiatan orang lain untuk mencapai tujuan. Luthans (2012)
Manajer melakukan pekerjaan mereka dalam suatu perusahaan, yang
didasarkan atas kesadaran melalui suatu koordinasi sosial unit, yang terdiri dari dua
orang atau lebih, berfungsi secara terus menerus untuk mencapai tujuan bersama.
Henri Fayol menulis bahwa semua manajer melakukan lima fungsi manajemen:
planning, organizing, commanding, coordinating, dan controlling. Sekarang telah
disederhanakan menjadi empat fungsi yaitu planning berfungsi sebagai pendefinisian
tujuan, menetapkan tujuan kinerja secara spesifik, dan mengidentifikasi tindakan
yang diperlukan untuk mencapai tujuan; organizing menciptakan struktur kerja dan
sistem, serta mengatur sumber daya untuk mencapai tujuan dan sasaran; leading
yaitu menanamkan sifat semangat dalam berkomunikasi dengan orang lain,
memotivasi untuk bekerja keras, dan memelihara hubungan interpersonal yang baik;
controlling untuk memastikan bahwa hal-hal berjalan dengan baik dengan
memonitor kinerja dan mengambil tindakan korektif yang diperlukan. (Robbins &
Judge, 2013)
Terdapat tantangan manajemen dalam perusahaan. Pertama manajer yang
efektif langsung mendukung dan membantu orang lain mencapai tingkat tertinggi
kinerja dan kepuasan kerja. Manajer semakin diharapkan untuk bertindak lebih
seperti "pelatih" dan "fasilitator" daripada seperti "bos" dan "pengendali." Kemudian
keempat fungsi manajemen berencana untuk mengatur arah; pengorganisasian untuk
merakit sumber daya dan sistem; Memimpin dalam menciptakan antusiasme tenaga
kerja; dan pengendalian untuk memastikan hasil yang diinginkan.Terakhir manajer
menggunakan kombinasi teknis penting, manusia, dan keterampilan konseptual saat
bekerja di jaringan orang-orang untuk memenuhi berbagai peran interpersonal,
informasional, dan keputusan. (Bien, Schermerhorn dan Osborn 2014)
13
14
2.1.2 Sumber Daya Manusia
Manajemen sumber daya manusia (SDM) adalah proses mempekerjakan
orang, melatih, memberikan kompensasi, mengembangkan kebijakan yang berkaitan
dengan mereka, dan mengembangkan strategi untuk mempertahankan mereka.
Westover (2014)
2.1.2.1 Peran Sumber Daya Manusia
Terdapat tujuh peran utama SDM adalah:
Susunan Kepegawaian (Staffing)
Perusahaan membutuhkan orang untuk melakukan tugas dan pekerjaan yang ada
bahkan dengan mesin paling canggih, manusia masih diperlukan.Karena itu, salah
satu tugas utama dalam SDM adalah staffing. Staffing melibatkan proses perekrutan
seluruh dari posting pekerjaan sampai negosiasi gaji.
Pengembangan Kebijakan Tempat Kerja
Setiap perusahaan memiliki kebijakan untuk menjamin keadilan dan keberlanjutan
dalam perusahaan. Dalam pengembangan kebijakan, SDM, manajemen, dan
eksekutif terlibat dalam proses. Sebagai contoh, SDM profesional mungkin akan
menyadari kebutuhan untuk kebijakan atau perubahan kebijakan, mencari opini yang
objektif tentang kebijakan, menulis kebijakan, dan kemudian berkomunikasi
kebijakan itu kepada karyawan. Departemen SDM tidak bisa bekerja sendiri. Segala
sesuatu yang mereka lakukan perlu melibatkan semua departemen lain dalam
perusahaan.
Kompensasi dan Administrasi Manfaat
SDM profesional perlu menentukan kompensasi yang adil, memenuhi standar
industri, dan cukup tinggi untuk menarik orang bekerja kepada perusahaan. Ini
melibatkan pengaturan sistem gaji yang mempertimbangkan jumlah tahun dengan
perusahaan, tahun pengalaman, pendidikan, dan aspek yang sama.
Retention
SDM Retensi melibatkan menjaga dan memotivasi karyawan untuk tetap setia
dengan perusahaan. Sembilan puluh persen dari karyawan meninggalkan perusahaan
untuk alasan berikut:
1. Pekerjaan yang dilakukan
15
2. Tantangan terhadap manajer dari karyawan
3. Tidak sesuai dengan budaya perusahaan
4. Tidak sesuai dengan lingkungan kerja
90 persen manajer berpikir karyawan meninggalkan perusahaan sebagai akibat dari
kompensasi. Akibatnya, manajer sering mencoba mengubah paket kompensasi untuk
mencegah karyawan keluar dari perusahaan ketika kompensasi bukanlah alasan
mereka sama sekali.
Pelatihan dan pengembangan
Pelatihan juga merupakan komponen kunci dalam motivasi karyawan.Karyawan
yang merasa mereka mengembangkan keterampilan mereka cenderung lebih bahagia
dalam pekerjaan, yang menghasilkan retensi karyawan meningkat. Contoh program
pelatihan meliputi:
1.
Pelatihan keterampilan kerja, seperti bagaimana menjalankan program
komputer tertentu
2.
Pelatihan komunikasi
3.
Kegiatan team-building
4.
Kebijakan dan pelatihan hukum, seperti pelatihan akan pencegahan
pelecehan seksual dan perilaku etika
Dealing dengan Hukum
Sumber daya manusia harus menyadari semua hukum yang mempengaruhi tempat
kerja. SDM profesional mungkin bekerja dengan beberapa undang-undang ini:
1.
Diskriminasi hukum
2.
Persyaratan health-care
3.
Persyaratan kompensasi seperti upah minimum
4.
Hukum keselamatan Pekerja
5.
Hukum Buruh
Perlindungan Pekerja
Keselamatan adalah pertimbangan utama dalam semua perusahaan.
Contoh Masalah perlindungan pekerja meliputi:
1. Bahaya kimia
2. Persyaratan heating dan ventilasi
16
3. Penggunaan zona "no fragrance"
4. Perlindungan informasi pribadi setiap karyawan. Westover (2014)
2.1.3 Etika
Etika adalah standar perilaku yang memandu keputusan dan berperilaku.
Orang-orang di perusahaan sangat perduli tentang etika, tetapi fokus kepada
pertimbangan etis khusus yang terlibat dalam pengaturan perusahaan, digunakan
istilah etika bisnis untuk merujuk pada studi kecenderungan orang berperilaku
dengan cara yang tepat secara moral dalam suatu perusahaan.
Etika penting di dalam perusahaan karena manusia tidak selalu melakukan
hal yang benar. Dalam suatu situasi, bahkan orang-orang yang tampaknya
berperilaku etis namun kenyataanya berperilaku tidak etis.Contohnya tekanan dalam
pemenuhan kuota penjualan, telah menyebabkan beberapa stockbroker untuk
meningkatkan
komisi
mereka
dengan
memanfaatkan
ketidaktahuan
klien
meyakinkan untuk membuat investasi yang buruk. Jelas ini salah atas dasar moral.
Meskipun manajer mungkin tidak nyaman mengubah moral mereka, mereka harus
perduli tentang mempromosikan perilaku etis karena dua alasan bisnis yang sehat.
Pertama, dalam jangka panjang, menjadi etika adalah hal yang menguntungkan.
Kedua, menjadi etika banyak memenuhi peraturan hukum saat ini. (Greenberg &
Baron, 2008)
Terdapat tiga kriteria keputusan etis. Pertama utilitarianisme adalah
mengusulkan pembuatan keputusan hanya berdasarkan hasil, idealnya untuk
memberikan kebaikan terbesar untuk jumlah terbesar. Pandangan ini mendominasi
pengambilan keputusan bisnis.Hal ini konsisten dengan tujuan seperti efisiensi,
produktivitas, dan keuntungan yang tinggi. Kedua penggunaan hak untuk membuat
keputusan yang konsisten dengan kebebasan dan hak fundamental, sebagaimana
diatur dalam dokumen-dokumen seperti Bill of Rights. Penekanan pada hak-hak
dalam pengambilan keputusan berarti menghormati dan melindungi hak-hak dasar
individu, seperti hak privasi, kebebasan berbicara, dan proses hukum. Terakhir fokus
pada keadilan untuk menegakkan aturan yang adil dan tidak memihak serta
memastikan keadilan atau pemerataan compensations dan benefits. Serikat buruh
biasanya mendukung pandangan ini. Ini membenarkan membayar upah yang sama
untuk pekerjaan yang diberikan tanpa memandang perbedaan kinerja dan
17
menggunakan senioritas sebagai penentuan utama dalam keputusan PHK. (Robbins
& Judge, 2013)
Maka, dapat disimpulkan bahwa Etika adalah suatu yang mendalami standar
moral bermasyarakat. Oleh karena itu kita wajib memepertahankan dan
menerapkan standar-standar moral dalam bermasyarakat. Moral dan perilaku
seseorang akan menghasilkan pendapat seseorang mengenai etika. Berdasarkan
pandangannya moral dalam suatu masyarakat berbeda tergantung dimana orang itu
berbeda karena setiap lokasi dan tempat tata cara beretika berbeda.
2.1.4 Kepemimpinan
Kepemimpinan telah didefinisikan dalam hal sifat, perilaku, pengaruh, pola
interaksi, hubungan peran, dan pekerjaan dari posisi administrasi. Kebanyakan
definisi kepemimpinan mencerminkan asumsi bahwa pemimpin melibatkan proses
kesengajaan memberikan pengaruh kepada orang lain untuk membimbing,
strukturalisasi, dan memfasilitasi kegiatan hubungan dalam kelompok atau
perusahaan.
Kepemimpinan memainkan peran yang efektif dalam membesarkan
perusahaan apapun. Seorang pemimpin yang baik atau efektif adalah salah satu yang
memiliki kualitas kepemimpinan dengan tidak melakukan perbuatan buruk
(Kanungo, 2001; Ciulla, 1995) dalam Sheraz, et al. (2012) Seorang pemimpin
dianggap sebagai efektif, bermoral, dan etis berdasarkan kualitas perbuatan nya yang
baik dan sifat-sifat yang ada di dalam diri pemimpin tersebut. Menurut Kirkpatrick
dan Locke (1991), Posner dan Schmidt (1992), Kouzes dan Posner (1993) dalam
Sheraz, et al. (2012) beberapa peneliti telah melihat konsep kepemimpinan
berdasarkan sifat-sifat pribadi individu, kejujuran, tindakan moral, kepercayaan di
antara rekan-rekan, reputasi, dan integritas.
Maka, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan serta kekuasaan memiliki
keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin bukan
hanya berdasarkan suka satu sama lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin
memiliki sudut pandang atau pendekatan berbeda yang digunakan, apakah itu
kepribadiannya, keterampilan, bakat, sifat – sifatnya, atau kewenangannya yang
dimiliki yang mana nantinya sangat berpengaruh terhadap teori maupun gaya
kepemimpinan yang akan diterapkan.
18
2.1.5 Ethical Leadership
Ethical leadership telah didefinisikan dalam berbagai cara. Ketika diminta
untuk menggambarkan pemimpin etis dalam satu studi, eksekutif mengidentifikasi
beberapa perilaku, nilai-nilai, dan motif (misalnya, jujur, dapat dipercaya, altruistik,
adil). Kunci karakteristik utama adalah upaya pemimpin untuk mempengaruhi
perilaku etis kepada orang lain (Trevino, Brown, & Hartman, 2003) dalam Yukl
(2013).
Manajer hari ini harus menciptakan iklim etis sehat bagi karyawan nya, di
mana mereka dapat melakukan pekerjaan mereka secara produktif dengan
meminimalkan ambiguitas tentang apa yang benar dan salah. Perusahaan yang
mempromosikan etika yang kuat, mendorong karyawan untuk berperilaku dengan
integritas, dan memberikan kepemimpinan etis yang kuat dapat mempengaruhi
keputusan karyawan untuk berperilaku etis.
Sebuah studi dari 195 manajer menunjukkan bahwa ketika manajemen
puncak menekankan nilai-nilai etika yang kuat, supervisor lebih mungkin untuk
berlatih kepemimpinan etis. sikap etis positif ditanamkan ke karyawan, yang
menunjukkan tingkat yang lebih rendah dari perilaku menyimpang dan tingkat yang
lebih tinggi dari kerjasama dan bantuan. Sebuah penelitian yang melibatkan auditor
menemukan tekanan dari para pemimpin organisasi untuk berperilaku tidak etis
dikaitkan dengan peningkatan niat untuk terlibat dalam praktik yang tidak etis.
(Robbins & Judge, 2013)
Maka, dapat disimpulkan bahwa Ethical Leadership mencakup upaya untuk
mendorong perilaku etis serta upaya untuk menghentikan praktik yang tidak etis.
Ethical Leadership berusaha untuk membangun saling percaya dan menghormati
antara bawahan yang beragam dan untuk menemukan solusi integrative konflik
antara para stakeholder dengan kepentingan bersaing.
2.1.5.1 Dilema dalam penilaian Ethical Leadership
Mempengaruhi komitmen perilaku karyawan dan optimisme untuk tugas
adalah aspek yang paling sentral dalam teori kepemimpinan yang efektif, tetapi
pengaruh ini juga merupakan sumber perhatian etis. Tantangannya adalah untuk
menentukan kapan pengaruh tersebut dalam waktu tepat. Hal ini lebih mudah untuk
mengevaluasi kepemimpinan etis ketika kepentingan pemimpin, karyawan, dan
perusahaan sebangun dan dapat dicapai dengan tindakan yang tidak melibatkan
19
banyak risiko atau biaya. Namun, dalam banyak situasi proses pengaruh melibatkan
dimana setiap jenis pengaruh melibatkan dilema etika :
1. Menciptakan antusiasme untuk resiko strategi atau proyek
2. Mendorong karyawan untuk mengubah keyakinan dasar mereka dan nilainilai
3. Mempengaruhi keputusan yang akan menguntungkan beberapa orang dengan
mengorbankan lain.
Hal penting dalam tanggung jawab kepemimpinan adalah untuk menafsirkan
peristiwa membingungkan dan membangun persetujuan dalam strategi untuk
menghadapi ancaman dan peluang. Sering sukses membutuhkan strategi atau proyek
yang berani dan inovatif. Bagaimana pemimpin mempengaruhi persepsi karyawan
akan resiko dan prospek untuk sukses adalah relevan untuk mengevaluasi
kepemimpinan yang etis. Kebanyakan orang akan setuju bahwa itu tidak etis untuk
secara sengaja memanipulasi karyawan untuk dengan melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan kepentingan diri mereka seperti membuat janji-janji palsu atau
menipu mereka akan kemungkinan hasil. Satu standar yang diusulkan untuk Ethical
Leadership bagi pemimpin agar sepenuhnya menginformasikan karyawan tentang
kemungkinan biaya dan manfaat dari resiko, serta meminta karyawan untuk
membuat keputusan sadar tentang apakah usaha tersebut berharga. Namun, seringkali
sulit untuk menemukan dasar obyektif untuk memprediksi kemungkinan hasil dari
strategi yang inovatif dan proyek. Jika krisis yang jelas sudah ada untuk kelompok
atau perusahaan, mengungkapkan keraguan dan berbagi informasi lengkap dapat
membuat panik dan memastikan kegagalan. Heifetz (1994) dalam Yukl (2013)
mengusulkan, penting untuk
membantu
orang memahami
masalah tanpa
medemoralisasi mereka. Para pemimpin yang efektif tidak tinggal terlalu banyak
pada risiko atau hambatan, tetapi menekankan apa yang dapat dicapai dengan usaha
bersama. Harapan dan optimisme akhirnya dapat menjadi ramalan yang memenuhi
jika dikombinasikan dengan pemecahan masalah yang efektif.
Pandangan sebaliknya adalah bahwa pemimpin memiliki tanggung jawab
untuk melaksanakan perubahan besar dalam sebuah perusahaan bila diperlukan untuk
menjamin kelangsungan hidup dan efektivitas. Sebuah perubahan perusahaan skala
besar tidak akan berhasil tanpa perubahan keyakinan anggota dan persepsi. Para
pemimpin yang efektif melibatkan anggota dan stakeholder dalam menentukan jenis
perubahan apa yang diperlukan dan moral yang tepat untuk perusahaan. Seberapa
20
besar pengaruh CEO atau individu lain harus mencoba untuk mengerahkan proses
ini.
Kesulitan dalam mengevaluasi efektivitas pemimpin meliputi beberapa
kriteria dengan penjualan yang kompleks dan stakeholder dengan sebagian konflik
kepentingan. Melakukan apa yang terbaik untuk satu jenis stakeholder (misalnya,
pemilik perusahaan) tidak mungkin apa yang terbaik untuk orang lain (misalnya,
karyawan, pelanggan, masyarakat). Upaya untuk menyeimbangkan nilai-nilai dan
kepentingan bersaing melibatkan penilaian subjektif tentang hak, akuntabilitas,
proses hukum, dan tanggung jawab sosial. Hal ini lebih sulit untuk mengevaluasi
kepemimpinan etis ketika stakeholder memiliki preferensi yang tidak kompatibel.
Dalam perspektif tradisional manajer dalam perusahaan bisnis adalah agen yang
mewakili kepentingan pemilik dalam mencapai keberhasilan ekonomi bagi
perusahaan. Dari perspektif ini, kepemimpinan etis dituntut memaksimalkan hasil
ekonomi yang menguntungkan pemilik sementara tidak melakukan apa-apa dilarang
oleh undang-undang dan standar moral. (Yukl, 2013)
Bagaimana cara mengatasi Ethical Leadership?

Ethical Leadership adalah studi tentang masalah etika dan tantangan yang khas
untuk dan melekat dalam proses, praktek, dan hasil dari terkemuka dan berikut.

Dalam organisasi, tantangan terbesar etika berasal dari tekanan untuk hasil
(misalnya, keuntungan) di semua biaya (misalnya, merugikan individu atau
masyarakat) dan ketegangan antara kepentingan diri dan "kebaikan."

Pemimpin menggunakan kekuasaan bukan untuk kepentingan diri sendiri tetapi
untuk pertumbuhan karyawan, kelangsungan hidup organisasi, dan tanggung
jawab kepada masyarakat.

Memberdayakan kepemimpinan berfokus pada menilai dan mengembangkan
orang dengan memungkinkan otonomi dan menghapus kendala birokrasi.

Teori Ethical Leadership adalah teori normatif yang mengatakan pemimpin harus
menjadi panutan bagi etika dan menciptakan iklim etika yang menegakkan
standar etika yang tinggi. (Bien, Schermerhorn dan Osborn 2014)
2.1.5.2 Dimensi Ethical Leadership
Integrity (integritas)
21
Melakukan tindakan dengan cara yang konsisten dengan nilai-nilai yang dianut oleh
perusahaan.
Humility (kerendahan hati)
Menghindari simbol status dan hak-hak istimewa, mengakui keterbatasan dan
kesalahan.
Empathy (empati)
Mendorong untuk menerima keragaman, mendorong sifat memaafkan pada konflik
yang merusak.
Personal Growth (pengembangan diri)
Memfasilitasi pengembangan kepercayaan diri individu dan skill meskipun bukan
untuk kepentingan pekerjaan saat ini, memberikan mentoring dan coaching bila
diperlukan.
Fairness and Justice (keadilan)
Mendorong dan mendukung perlakuan yang adil
Empowerment (pemberdayaan)
Memberikan jumlah yang tepat dari otonomi dan keleluasaan untuk bawahan,
berkonsultasi dengan karyawan tentang keputusan yang akan mempengaruhi
karyawan
Tabel: 2.1 Kriteria Evaluasi dari Ethical Leadership
Kriteria
Ethical Leadership
Unethical Leadership
Menggunakan kekuasaan
Melayani bawahan dan
Memenuhi kebutuhan diri
dalam mempengaruhi
perusahaan
sendiri
Mengatasi perbedaan dari
Menyeimbangkan dan
kepentingan stakeholder
mengintegrasi
Mengembangkan visi
Mengembangkan visi di
berdasarkan masukan
Perusahaan
bawahan, kebutuhan, nilai,
dan ide
Integritas dari perilaku
Bertindak konsisten
Mengambil partner yang
memberikan banyak
manfaat
Mengusahakan visi
personal sebagai
kesuksesan perusahaan
Mementingkan personal
22
kepemimpinan
objective
Mengambil resiko dalam
Mau mengambil resiko
membuat keputusan dan
dan membuat keputusan
tindakan
yang dibutuhkan
Komunikasi yang
berhubungan dengan
produksi
Respon terhadap kritik
dari bawahan
Menyelesaikan masalah,
informasi acara, dan
tindakan tepat pada
waktunya
Menghindari keputusan
dan tindakan yang
membahayakan diri
sendiri
Penipuan kepada persepi
bawahan tentang masalah
dan progress
Mendorong evaluasi yang
Tidak berani terhadap
kritis demi menciptakan
kritik dan perbedaan
solusi yang baik
pendapat
Mengembangkan
Membina, melatih, dan
keberanian dan skill dari
mentoring untuk
bawahan
pengembangan bawahan
Tidak mengembangkan
bawahan yang lemah
Sumber: (Yuk1, 2013)
2.1.6 Organizational Citizenship Behavior
2.1.6.1 Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Organizational Citizenship Behavior dalam konteks teori Organ (2006)
dalam Sani (2013) muncul sebagai sistem kerjasama dan kesediaan orang untuk
berkontribusi dan melakukan beberapa upaya dalam sistem koperasi dan menjadi
syarat mutlak dalam perusahaan. Colquitt, LePine, dan Wesson (2012) menjelaskan
bahwa OCB adalah kategori kedua dari presati kerja. OCB didefinisikan sebagai
kegiatan sukarela yang dilakukan karyawan yang mungkin dan tidak mungkin
dihargai oleh organisasi dan kegiatan ini memberikan kontribus terhadap organisasi
dengan meningkatkan kualitas kinerja.
Menurut Greenberg & Baron (2008) Organizational Citizenship Behavior
dapat diarahkan baik pada individu (OCB-I) dan di perusahaan (OCB-O). OCB-I
adalah berperilaku organizational citizenship yang diarahkan kepada individu lain di
tempat kerja. Beberapa contoh adalah melakukan kebaikan untuk seseorang,
membantu rekan kerja dengan masalah pribadi, membawa makanan dan berbagi
dengan orang lain, mengumpulkan uang untuk rekan kerja yang sakit atau
pemakaman, mengirim ucapan selamat ulang tahun kepada sesama pekerja di kantor.
23
OCB-O adalah berperilaku organizational citizenship yang diarahkan pada
perusahaan itu sendiri.Contoh nya berbicara tentang kebaikan perusahaan kepada
orang luar, menerima ide-ide baru, toleran terhadap ketidaknyamanan sementara
tanpa mengeluh, memberikan ide untuk meningkatkan fungsi perusahaan,
mengekspresikan loyalitas terhadap perusahaan.
Maka, dapat disimpulkan bahwa Organizational Citizenship Behavior
adalah sebuah perilaku di mana seseorang mau melakukan sesuatu di luar apa yang
sudah dideskripsikan oleh pekerjaannya, dan tidak memiliki penghargaan (reward)
untuk itu. Sebagai contoh OCB, jika ada seorang pekerja yang bersedia membantu
bosnya atau teman kerjanya untuk melakukan pekerjaan yang tidak ada dalam
kontrak kerjanya, maka orang tersebut dikatakan memiliki OCB yang baik.
2.1.6.2 Penyebab OCB Terjadi
Manusia terkadang memiliki sifat egois dan tidak terlibat dalam
OCB.Meskipun ada beberapa faktor yang terlibat, bukti kuat bahwa kepercayaan
karyawan bahwa mereka sedang diperlakukan secara adil oleh suatu perusahaan
(terutama supervisor) merupakan faktor penting. Semakin banyak orang percaya
bahwa mereka diperlakukan secara adil oleh perusahaan, semakin mereka percaya
manajemen, dan lebih bersedia untuk bekerja ekstra dan membantu bila diperlukan.
Mereka yang merasa bahwa perusahaan mereka mengambil keuntungan dari mereka,
tidak mempercayai perusahaan dan sama sekali tidak mungkin untuk terlibat dalam
OCB. OCB juga terjadi untuk alasan lain. Misalnya, OCB cenderung terjadi pada
tingkat tinggi ketika karyawan memegang sikap positif terhadap perusahaan mereka.
OCB juga sangat mungkin terjadi ketika orang-orang terus hubungan baik dengan
supervisor mereka. Perlu dicatat bahwa tidak semua orang sama memiliki
kecenderungan untuk terlibat dalam OCB. Karakteristik kepribadian juga terhubung
dalam OCB.Secara khusus, individu yang sangat teliti dan tegas yang cenderung
untuk terlibat dalam OCB. Hal ini terjadi karena orang tersebut sangat tertarik
berperilaku “ekstra" untuk membuat orang lain merasa baik. (Greenberg & Baron,
2008)
2.1.6.3 Pentingnya Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Seperti yang di bayangkan, efek dari OCB sulit untuk dinilai karena OCB
umumnya tidak dimasukkan sebagai bagian dari langkah-langkah kinerja standar
24
perusahaan dalam mengumpulkan informasi terhadap karyawannya. Namun, OCB
memang memiliki efek penting pada fungsi perusahaan.Secara khusus, kesediaan
orang untuk terlibat dalam berbagai jenis OCB terkait dengan langkah-langkah
terkait dengan pekerjaan tersebut.Menjadi warga negara perusahaan yang baik dapat
memiliki efek penting pada upaya perekrutan. Ketika karyawan saat mengungkapkan
hal yang positif tentang perusahaan tempat mereka bekerja, semakin efektif
perusahaan-perusahaan akan dapat merekrut karyawan baru yang terbaik. (Greenberg
& Baron, 2008)
2.1.6.4 Dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Menurut Greenberg & Baron (2008) dimensi OCB sebagai berikut :
Conscientiousness (disiplin dalam bekerja)
Perilaku
yang
ditunjukkan
dengan
berusaha
melebihi
yang
diharapkan
perusahaan.Perilaku sukarela yang bukan merupakan kewajiban atau tugas pegawai.
Dimensi ini menjangkau jauh diatas dan jauh ke depan dari panggilan tugas. Seperti
tiba lebih awal sehingga siap bekerja pada saat jadwal kerja dimulai dan berbicara
seperlunya dalam percakapan di telepon
Altruism (kerjasama tim)
Perilaku karyawan dalam menolong rekan kerjanya yang mengalami kesulitan dalam
situasi yang sedang dihadapi baik mengenai tugas dalam perusahaan maupun
masalah pribadi orang lain. Dimensi ini mengarah kepada memberi pertolongan yang
bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya.Seperti menggantikan rekan kerja
yang tidak masuk atau istirahat, membantu pelanggan dan para tamu jika mereka
membutuhkan bantuan.
Sportsmanship (tidak mengeluh dalam bekerja)
Perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang ideal dalam
perusahaan tanpa mengajukan keberatan-keberatan. Seseorang yang mempunyai
tingkatan yang tinggi dalam spotmanship akan meningkatkan iklim yang positif
diantara pegawai, pegawai akan lebih sopan dan bekerja sama dengan yang lain
sehingga akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih menyenangkan. Seperti
kemauan untuk bertoleransi tanpa mengeluh dan tidak membesar-besarkan
permasalahan di luar proporsinya
25
Courtessy (menjaga citra perusahaan)
Menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari masalah-masalah
interpersonal. Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah orang yang menghargai
dan memperhatikan orang lain. Seperti mengikuti perubahan-perubahan dan
perkembangan dalam perusahaan dan membuat pertimbangan dalam menilai apa
yang terbaik untuk perusahaan.
Civic virtue (profesional dalam menggunakan asset)
Perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada kehidupan perusahaan
(mengikuti
perubahan
dalam
perusahaan,
mengambil
inisiatif
untuk
merekomendasikan bagaimana operasi atau prosedur-prosedur perusahaan dapat
diperbaiki, dan melindungi sumber-sumber yang dimiliki oleh perusahaan). Dimensi
ini mengarah pada tanggung jawab yang diberikan perusahaan kepada seorang untuk
meningkatkan kualitas bidang pekerjaan yang ditekuni. Seperti keterlibatan dalam
fungsi-fungsi perusahaan dan memberikan perhatian terhadap pertemuan-pertemuan
yang dianggap penting.
2.1.7 Organizational Culture
Organizational Culture mengacu pada sistem makna bersama yang
diselenggarakan oleh anggota yang membedakan perusahaan dari perusahaan lain.
Organizational Culture menunjukkan bagaimana karyawan mempersepsikan
karakteristik Organizational Culture, bukan apakah mereka menyukai budaya
tersebut. Organizational Culture merupakan persepsi umum dari anggota
perusahaan. Oleh karena itu kita harus mengharapkan individu dengan latar belakang
yang berbeda atau pada tingkat yang berbeda dalam perusahaan untuk
menggambarkan budaya dalam hal yang sama. (Robbins & Judge, 2013)
Sedangkan Schein (2010) menyatakan organizational culture merupakan
suatu set asumsi implicit yang dipegang dan disebarluaskan serta dipatuhi oleh suatu
kelompok yang mendeterminasi bagaimana cara pandang, cara fikir, dan reaksi
terhadap suatu lingkungan dalam mengatasi masalah adaptasi integrasi eksternal dan
internal, serta dikonsiderasi sebagai hal yang valid sehingga diajarkan kepada
anggota baru sebagai nilai benar yang dianut atau diterapkan. Tiga karakteristik
penting dalam organizational culture:
26

Organizational Culture disampaikan kepada karwayawan baru
melalui proses sosialisasi.

Organizational Culture mempengaruhi cara / sikap dalam bekerja.

Organizational Culture beroperasi pada tingkat yang berbeda.
Maka, dapat disimpulkan bahwa Organizational Culture membedakan
masyarakat satu dengan yang lain dalam cara berinteraksi dan bertindak
menyelesaikan suatu pekerjaan. Organizational Culture mengikat anggota
kelompok masyarakat menjadi satu kesatuan pandangan yang menciptakan
keseragaman berperilaku atau bertindak. Seiring dengan bergulirnya waktu,
Organizational Culture pasti terbentuk dalam organisasi dan dapat pula dirasakan
manfaatnya dalam memberi kontribusi bagi efektivitas perusahaan secara
keseluruhan.
2.1.7.1 Dimensi Organizational Culture
Organizational Culture dikelompokkan kedalam 7 (tujuh) dimensi. (Robbins &
Judge, 2013)
1. Inovasi dan penempatan resiko
2. Perhatian secara jelas
3. Orientasi hasil
4. Orientasi orang
5. Orientasi tim
6. Keagresifan
7. Stabil
Innovation and risk taking (Inovasi dan penempatan resiko)
Dilihat dari sejauh mana karyawan didorong untuk bersikap inovatif bersikap kreatif
dan berani mengambil resiko.
Attention to detail (Perhatian secara jelas)
Dimana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis, dan perhatian pada halhal detail.
Outcome Orientation (Orientasi hasil)
Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil yang di dapat ketimbang pada
teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
27
People Orientation (Orientasi orang)
Sejauh mana keputusan-keputusan manajemen mempertimbangkan berbagai efek
dari hasil tersebut atas orang yang ada di dalam perusahaan.
Team Orientation (Orientasi tim)
Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja di perusahaan terfokus pada tim ketimbang
pada indvidu-individu yang ada di dalam perusahaan tersebut.
Aggressiveness (Keagresifan)
Sejauh mana orang bersikap agresif yang kompetitif ketimbang santai.
Stability (Stabil)
Sejauh mana kegiatan-kegiatan perusahaan menekankan dan taat pada peraturan.
2.1.7.2 Fungsi Organizational Culture
Budaya yang kuat didukung oleh peraturan dan regulasi formal memastikan
mereka akan bertindak dengan cara yang relatif seragam dan dapat diprediksi.
Budaya adalah perekat sosial yang membantu memegang perusahaan bersama-sama
dengan menyediakan standar untuk apa karyawan harus katakan dan lakukan.
Merupakan rasa keputusan dan control mekanisme yang memandu dan membentuk
sikap dan perilaku karyawan. (Robbins & Judge, 2013)
Menurut Sudarmanto fungsi Organizational Culture:

Budaya mempunyai peran menetapkan tapal batas. Artinya, budaya menciptakan
perbedaan yang jelas antara satu perusahaan dengan yang lain.

Budaya membawa suatu identitas bagi anggota-anggota perusahaan.

Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas
daripada kepentingan pribadi seseorang.

Budaya meningkatkan kemantapan sistem sosial.

Budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang
memmpermudah dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.

Budaya akan menghasilkan komitmen dan misi perusahaan.
2.1.8 Job Performance
Job Performance merujuk pengertian sebagai hasil. Dalam konteks hasil,
bernardin (dalam Sudarmanto) menyatakan bahwa kinejra merupakan catatan hasil
28
yang diproduksi (dihasilkan) atas fungsi pekerjaan tertentu atau aktivitas-aktivitas
selama periode waktu tertentu.
Mangkunegara
(2001)
dalam
Sudarmanto
(2014)
menyatakan
Job
Performance dapat didefinisikan sebagai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas
yang dapat dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Sedangkan Menurut Mathis & Jackson
(2014), kinerja para karyawan individual adalah faktor yang memengaruhi
keberhasilan suatu organisasi.
Maka, dapat disimpulkan bahwa Job Performance adalah hasil akhir dari
serangkaian aktivitas yang dilakukan karyawan sebagai bentuk pertanggung jawaban
terhadap pekerjaannya. Job Performance menunjukkan seberapa berhasil karyawan
menyelesaikan tugasnya dan dapat menjadi bahan evaluasi bagi atasan untuk
melakukan perbaikan terhadap faktor-faktor yang mendorong adanya peningkatan
Job Performance.
2.1.8.1 Dimensi Job Performance
Menurut Sudarmanto (2014) terdapat 4 kriteria dasar atau dimensi untuk
mengukur job performance, yaitu :
1.
Kualitas (Quality)
Terkait dengan proses atau hasil mendekati sempurna/ideal dalam
memenuhi maksud atau tujuan.
2.
Kuantitas (Quantity)
Terkait dengan satuan jumlah atau kuantitas yang dihasilkan
3.
Penggunaan waktu dalam bekerja (Timeliness)
Terkait dengan waktu yang diperlukan dalam menyelesaikan aktivitas
atau menghasilkan produk.
4.
Kerja Sama dengan orang lain dalam bekerja (Interpersonal Impact)
Terkait dengan kemampuan individu dalam meningkatkan perasaan
harga diri, keinginan baik, dan kerja sama diantara sesama pekerja dan
karyawan.
29
2.1.8.2 Syarat Penilaian Job Performance
Penilaian Job Performance adalah salah satu tugas penting untuk dilakukan
oleh seorang manajer atau pimpinan. Walaupun demikian, pelaksanaan Job
Performance yang objektif bukanlah tugas yang sederhana. Penilaian harus
dihindarkan adanya “like dan dislike”, dari penilai, agar objektifitas penilai dapat
terjaga. Kegiatan penilaian ini adalah penting, karena dapat digunakan untuk
memperbaiki keputusan-keputusan personalia dan memberikan uman balik kepada
pegawai tentang kinerja pegawai tersebut. Menurut Mathis dan Jackson (2014),
menyatakan pendapatnya bahwa, “Penilaian kinerja dapat dilaksanakan oleh siapa
saja yang mengerti benar tentang penilaian Job Performance secara individual”.
Kemungkinannya antara lain adalah: 1) Para atasan yang menilai bawahannya. 2)
Bawahan yang menilai atasannya. 3) Anggota kelompok menilai satu sama sama
lain. 4) Penilaian pegawai sendiri. 5) Penilaian dengan multisumber, dan 6) Sumbersumber dari luar.
2.1.8.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Job Performance
Menurut Simanjutak (2011) Job Performance dipengaruhi oleh:
1. Kualitas dan kemampuan pegawai. Yaitu hal-hal yang berhubungan dengan
pendidikan/ pelatihan, etos kerja, motivasi kerja, sikap mental, dan kondisi fisik
pegawai.
2. Sarana pendukung, yaitu hal yang berhubungan dengan lingkungan kerja
(keselamatan kerja, kesehatan kerja, sarana produksi, teknologi), dan hal-hal
yang berhubungan dengan kesejahteraan pegawai (upah/gaji, jaminan sosial,
keamanan kerja).
3. Supra sarana, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan kebijaksanaan pemerintah
dan hubungan industrial manajemen.
Menurut Mathis dan Jackson (2014) dalam pembahasan mengenai permasalahan Job
Performance maka tidak terlepas dari berbagai macam faktor yang menyertai
diantaranya:
a. Faktor kemampuan (ability)
Secara psikologis kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi
(IQ) dan kemampuan (knowledge dan skill) artinya pegawai yang memiliki IQ
diatas rata-rata (110-120) dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya
30
dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari maka akan lebih mudah
mencapai kinerja diharapkan. Oleh karena itu pegawai perlu ditempatkan pada
pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya.
b. Faktor motivasi
Motivasi terbentuk sikap (attitude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi
(situation) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai
yang terarah untuk mencapai tujuan kerja.
2.2 Kerangka Pemikiran
Gambar: 2.1 Kerangka Pemikiran
Sumber: (Penulis, 2016)
31
2.3 Hipotesis
Dari kerangka berpikir dan tinjauan pustaka diatas, dapat dirumuskan
hipotesis atau dugaan sementara terhadap variabel-variabel penelitian yang
digunakan .
Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah :
Untuk T1 :
Ho : Tidak memiliki pengaruh signifikan antara Ethical Leadership dengan Job
Performance
Ha : Memiliki pengaruh signifikan antara Ethical Leadership dengan Job
Performance
Untuk T2 :
Ho : Tidak memiliki pengaruh signifikan antara Organizational Citizenship Behavior
dengan Job Performance
Ha : Memiliki pengaruh signifikan antara Organizational Citizenship Behavior
dengan Job Performance
Untuk T3 :
Ho :
Tidak memiliki pengaruh signifikan antara Organizational Culture dengan
Job Performance
Ha : Memiliki pengaruh signifikan antara Organizational Culture dengan Job
Performance
Untuk T4 :
Ho :
Tidak
Organizational
memiliki
pengaruh
Citizenship
signifikan
Behavior,
antara
Organizational
Ethical
Culture
Leadership,
dengan
Job
Performance
Ha : Memiliki pengaruh signifikan antara Ethical Leadership, Organizational
Citizenship Behavior, Organizational Culture dengan Job Performance
32
Download