PENDAHULUAN Sebagai bagian integral dari Universitas, mahasiswa memiliki peran penting untuk turut serta melaksanakan tugas-tugas Perguruan Tinggi yang tertuang dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian masyarakat. Oleh karena itu, mahasiswa diharapkan mampu secara teoritis maupun praktis untuk menerapkan bidang ilmunya sehingga dapat memberikan kontribusi nyata baik di lingkungan Universitas maupun masyarakat luas. Salah satu wadah yang memfasilitasi mahasiswa dalam pengembangan kemampuan akademik, serta mengupayakan penggunaannya dalam kehidupan masyarakat adalah organisasi mahasiswa (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud), 1998). Organisasi mahasiswa sendiri terbagi menjadi dua jenis berdasarkan lingkungan kegiatannya, yaitu organisasi ekstrauniversiter dan organisasi intrauniversiter. Menurut catatan sejarah, organisasi mahasiswa ekstrauniversiter lebih dulu lahir sejak sebelum era kemerdekaan, dan pergerakannya berfokus pada kehidupan beragama, sosial dan politik atau golongan. Sedangkan organisasi mahasiswa intrauniversiter baru muncul pasca kemerdekaan, dan pergerakannya berfokus pada kehidupan bermahasiswa sebagai sivitas akademika dan persoalan-persoalan studi yang sesuai dengan bidang ilmunya (Notosusanto, 1983). Sejak dikeluarkannya keputusan dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) pada tahun 2002, mengenai larangan penyelenggaraan organisasi mahasiswa ekstra kampus dan aktivitas politik praktis di kampus, maka pengembangan organisasi mahasiswa lebih ditekankan pada pengembangan organisasi intra kampus (Dirjendikti, 2006). Hal tersebut didukung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, melalui pernyataanya yang mengungkapkan bahwa kegiatan kemahasiswaan intrakampus harus dikedepankan dan lebih dioptimalkan lagi agar meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan, serta menumbuhkan optimisme mahasiswa (Dikti, 2013). Bahkan setiap tahunnya, DIKTI sebagai institusi pemerintah yang menaungi seluruh perguruan tinggi di Indonesia, memberikan bantuan dana untuk pengembangan organisasi kemahasiswaan dan unit-unit kegiatan mahasiswa di seluruh Universitas di Indonesia (Dikti, 2014). Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) sebagai penyelenggara pendidikan tertinggi, memfasilitasi dan membina seluruh unit kegiatan mahasiswa di Lembaga Kemahasiswaan (LK) UKSW. Di dalam LK UKSW terdapat sub organisasi yang terbagi atas fungsi dan perannya diantaranya adalah Badan Perwakilan Mahasiswa Universitas atau Fakultas (BPMU atau BPMF, untuk selanjutnya disebut BPMU atau BPMF) yang bertugas 1 sebagai lembaga perwakilan dan permusyawaratan mahasiswa dan Senat Mahasiswa Universitas atau Fakultas (SMU atau SMF, untuk selanjutnya disebut SMU atau SMF) yang bertugas sebagai lembaga eksekutif yang mengkoordinasikan seluruh kegiatan mahasiswa baik kegiatan akademik maupun non akademik (KUKM UKSW, 2011). Dalam perkembangannya, LK UKSW sebagai organisasi mahasiswa juga mengalami berbagai konflik dan hambatan seperti organisasi pada umumnya. Bahkan LK UKSW merupakan organisasi mahasiswa intrakampus pertama di Indonesia yang anggotanya diundang untuk mengikuti rapat dosen dan menjadi senator di aras fakultas maupun universitas untuk turut berperan serta dalam pengambilan keputusan dan kebijakan kampus (“Sejarah Lembaga Kemahasiswaan dan Pembinaan Kemahasiswaan”, 2013). Hal tersebut menjadikan LK UKSW sebagai organisasi kemahasiswaan yang kompleks dan memiliki dinamika organisasi yang beragam. Penulis mencoba memetakan fenomena konflik yang terjadi di LK UKSW dengan mewawancari salah seorang ketua LK UKSW. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 4 Januari 2013, diketahui bahwa LK UKSW sebagai organisasi mahasiswa juga menghadapi banyak konflik dalam perkembangannya. Narasumber yang ditemui oleh penulis mengatakan, “saya sendiri sebagai pimpinan LK sering mengalami konflik dengan sesama anggota di LK, biasanya persoalan yang menyebabkan konflik antara lain adalah adanya ketidaksepahaman dalam menyikapi suatu hal, kurangnya tanggung jawab dan komitmen anggota terhadap tujuan dan visi misi organisasi, kurangnya inisiatif anggota dalam bekerja sama dan kurangnya kekompakkan di dalam LK itu sendiri”. Narasumber juga menjelaskan bahwa konflik yang paling sering muncul di LK UKSW adalah konflik antara pimpinan LK dengan anggota LK, anggota LK dengan kepanitiaan, anggota LK dengan mahasiswa yang menjadi peserta dalam kegiatan-kegiatan LK dan anggota LK dengan mahasiswa pada umumnya. Menurut narasumber, usaha-usaha untuk menyelesaikan konflik telah banyak dilakukan, namun, hingga saat ini belum dapat menyelesaikan konflik sepenuhnya dan persoalan yang sama masih tetap muncul kembali. Pada dasarnya konflik di dalam organisasi dipandang sebagai hal yang tidak dapat dihindarkan, karena individu dan kelompok saling bergantung dalam mencapai tujuan organisasi. Sehingga apabila konflik tidak dikendalikan secara efektif, akan menimbulkan pengaruh yang buruk pada kinerja organisasi (Wahyudi, 2011). Menurut Wirawan (2010), apabila organisasi tidak mampu mengelola konflik dengan baik maka akan menyebabkan 2 menurunnya produktivitas kerja, merusak hubungan dan komunikasi di dalam organisasi, merusak sistem organisasi, menurunkan mutu pengambilan keputusan, menimbulkan sikap dan perilaku negatif bagi individu di dalam organisasi. Thomas (2002) menjelaskan bahwa hampir setengah atau sekitar 42% dari waktu pemimpin dalam suatu organisasi, digunakan untuk menyelesaikan konflik, diantaranya konflik antara pemimpin dan anggotanya, konflik di antara anggota organisasi dan konflik anggota organisasi dan pihak di luar organisasi. Oleh karena itu individu-individu di dalam organisasi perlu menguasai pengetahuan dan keterampilan mengenai pengelolaan atau manajemen konflik, agar dapat bermanfaat guna mendorong perubahan dan inovasi serta tidak menghambat tujuan organisasi. Walton & Owens (1991) memaparkan bahwa tujuan dari manajemen konflik adalah untuk mencapai kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fungsional dan meminimalkan akibat konflik yang merugikan. Senada dengan pernyataan tersebut, Ross (dalam Lee, 2008) mendefinisikan manajemen konflik sebagai langkah-langkah yang diambil para pelaku konflik dalam rangka mengarahkan perselisihan yang terjadi dengan berupaya untuk mencapai hasil akhir berupa penyelesaian konflik yang positif, kreatif dan inovatif yang menghasilkan kesepakatan baru bagi pihak-pihak yang berkonflik. Terdapat lebih dari satu cara dalam menangani konflik bagi individu di dalam organisasi. Beberapa tokoh yang mempelajari perilaku organisasi telah mengembangkan gaya manajemen konflik yang dapat diterapkan dalam ruang lingkup organisasi. Salah satunya adalah Thomas dan Kilmann, yang mengembangkan taksonomi gaya manajemen konflik melalui dua dimensi dasar, yaitu cooperativeness (kooperatif) dan assertiveness (asertifitas) (Thomas & Kilmann dalam Wirawan, 2010). Dimensi cooperativeness dipahami sebagai upaya untuk memuaskan orang lain ketika individu sedang menghadapi konflik, sedangkan dimensi assertiveness diartikan sebagai upaya untuk memuaskan diri sendiri ketika individu sedang menghadapi konflik (Thomas, 2002). Berangkat dari kedua dimensi tersebut, Thomas (2002) mengemukakan lima gaya manajemen konflik, antara lain yaitu competing, collaborating, compromising, avoiding, dan accomodating. Penjabaran kelima gaya manajemen konflik tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Berikut ini. 3 Tabel 1. Penjabaran gaya manajemen konflik menurut Thomas & Kilmann Gaya Manajemen Konflik Competing Collaborating Dimensi Ciri-ciri Tingkat assertiveness berada dalam kategori tinggi, dan cooperativeness berada dalam kategori rendah 1. Berorientasi pada kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki individu. 2. Pengambilan keputusan secara sepihak (dictating a decision). 3. Tidak bernegosiasi ataupun tawar menawar (making no concessions). Tingkat 1. Mendamaikan pihakassertiveness pihak yang berkonflik dan dan menyelesaikan cooperativeness konflik dengan win-win berada dalam solution. kategori yang 2. Mengkombinasikan sama-sama solusi dari pihak-pihak tinggi yang berkonflik untuk mencari alternatif yang disepakati bersama dan memenuhi harapan kedua belah pihak Compromising Tingkat 1. Melakukan negosiasi dan assertiveness tawar menawar dan (exchanging concessions). cooperativeness 2. Memanfaatkan peluang berada dalam yang ada bersama lawan kategori konflik secara bergantian. sedang. 3. Mengambil keputusan dengan lebih lunak atau dengan menggabungkan gagasan pihak-pihak yang berkonflik. 4. Dilakukan ketika konflik tidak cukup bernilai untuk dipertahankan, tetapi juga terlalu penting untuk dihindari. 4 Implikasi 1. Dapat menjadi sangat efektif apabila organisiasi berada pada situasi yang mendesak. 2. Beresiko mengalami disfungsional organisasi, menurunkan motivasi anggota, dan merusak hubungan antaranggota organisasi. 1. Mendorong kreativitas dan inovasi untuk perbaikan dan pengembangan organisasi secara terbuka. 2. Memperbaiki hubungan antaranggota, sehingga menciptakan suasana kerja yang kondusif. 3. Diperlukan interpersonal skill yang baik, kepercayaan antaranggota dan sikap terbuka terhadap gagasan yang baru. 4. Menuntut waktu yang lebih lama dalam penyelesaian konflik 1. Menjadi sangat efektif ketika pihak-pihak yang berkonflik membutuhkan solusi sementara yang mendesak, demi keberlangsungan tujuan organisasi. 2. Tidak membutuhkan waktu yang lama, namun tetap bermanfaat. 3. Dapat memperbaiki hubungan pihak-pihak yang berkonflik 4. Penyelesaian konflik tidak mendalam (superficial understanding). Gaya Manajemen Konflik Avoiding Accomodating Dimensi Ciri-ciri Implikasi Tingkat 1. Menghindari konflik assertiveness dengan cara menajuhkan dan diri dari pokok cooperativeness permasalahan, menunda berada dalam hingga waktu yang tepat, kategori rendah maupun menarik diri dari konflik tersebut sementara waktu 2. Menghindari pembahasan isu yang tidak penting, kompleks, maupun mengancam. 3. Menghindari pihak-pihak tertentu yang sedang berkonflik. Tingkat 1. Mengabaikan kepentingan assertiveness dirinya sendiri dan berada dalam berupaya memuaskan kategori kepentingan lawan rendah, namun konfliknya. cooperativeness 2. Merupakan win-lose berada dalam strategy. kategori tinggi. 3. Sangat mudah untuk dipengaruhi lawan konflik. 4. Cenderung mematuhi otoritas 1. Tertundanya pengambilan keputusan organisasi. 2. Berpotensi menurunkan komunikasi kerja, dan merusak hubungan antaranggota. 3. Berada pada posisi aman atau menguntungkan, karena menjauhkan diri dari konflik yang berbahaya. 4. Mengurangi stress dan menghemat waktu. 1. Memiliki hubungan yang harmonis dengan anggota lainnya di organisasi. 2. Dapat membantu pihak lain keluar dari permasalahannya. 3. Kehilangan kesempatan karena mengorbankan tujuan pribadi. 4. Menurunkan motivasi kerja dalam diri individu. Sedangkan penyebaran gaya manajemen konflik berdasarkan kategori dimensinya yaitu assertiveness dan cooperativeness, dapat dilihat pada Gambar 1. berikut ini. Competing Assertiveness Collaborating Compromising Avoiding Accommodating Cooperativeness Gambar 1. Gaya Manajemen Konflik Thomas & Kilmann Sumber : Thomas (2002) Variasi gaya manajemen konflik individu di dalam organisasi dipengaruhi oleh beberapa beberapa faktor, antara lain yaitu karakteristik kepribadian, kebutuhan interpersonal, usia, nilai dalam kelompok, kekuasaan yang diberikan, dan status organisasi 5 (Havenga, 2006). Hal ini disebabkan manajemen konflik sendiri berupa kecenderungan perilaku individu dalam merespons situasi, sehingga faktor-faktor yang memengaruhi gaya manajemen konflik pada individu dengan sendirinya berasal dari faktor-faktor internal maupun eksternal individu tersebut (Wahyudi, 2010). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengungkap variasi gaya manajemen konflik individu dalam ruang lingkup organisasi. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Farmer & Roth (1998); Brewer, Mitchell & Weber (2002); Slabbert (2004) yang menghasilkan temuan bahwa status organisasi individu berpengaruh terhadap gaya manajemen konflik individu tersebut. Individu yang tergolong middle manager cenderung menggunakan gaya manajemen konflik yang asertif (kompetisi dan kolaborasi) karena berada dalam hirarki organisasi yang lebih tinggi, sedangkan individu yang tergolong junior manager cenderung menggunakan gaya manajemen konflik yang tidak kooperatif dan tidak asertif (menghindar) karena tindakannya didasarkan pada otoritas dan kepatuhan. Hasil temuan penelitian sebelumnya juga mengungkap bahwa collaborating dan competing memiliki dampak yang paling besar dalam efektivitas gaya manajemen konflik. Semakin sering kolaborasi digunakan maka akan semakin banyak hasil konstruktif yang didapatkan organisasi, sebaliknya, semakin sering kompetisi digunakan maka akan semakin banyak hasil yang merusak atau dysfunctional outcomes dalam organisasi (Vliert et al. dalam Thomas, Thomas & Schaubhut, 2008). Penelitian lain yang dilakukan oleh Havenga (2006) menyimpulkan bahwa individu yang tergolong usia muda (dibawah 36 tahun) cenderung menggunakan gaya manajemen konflik dominating dan obliging, sedangkan individu yang tergolong dalam usia yang lebih tua (36-45 tahun, dan 45 tahun ke atas) cenderung menggunakan gaya manajemen konflik integrating dan compromising. Variasi gaya manajemen konflik dalam organisasi juga ditunjukkan pada penelitian Thomas et al. (2008), yang menjelaskan bahwa pria cenderung menggunakan gaya manajemen konflik yang bersifat asertif yaitu kompetisi dan kolaborasi, sebaliknya, wanita cenderung menggunakan gaya manajemen konflik yang bersifat kooperatif seperti berkompromi, menghindar dan akomodasi. Rendahnya skor wanita dalam penggunaan gaya manajemen konflik asertif berdampak pada kecenderungan wanita akan turnover, segan untuk bernegosiasi, dan sering berada pada posisi no-win situation yang tentunya kurang menguntungkan bagi wanita, karena seringkali berakhir pada pemberian gaji yang rendah dan berkurangnya kesempatan untuk dipromosikan (Amantullah dalam Thomas et al., 2008). Kecenderungan gaya manajemen konflik individu dalam organisasi tidak hanya memberikan dampak pada individu tersebut, tetapi juga memberikan dampak pada organisasi 6 secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting bagi individu untuk mengetahui alternatif dan strategi penggunaan gaya manajemen konflik, serta mengetahui kapan penggunaan yang paling tepat. Kajian dan penelitian yang dipaparkan mendukung kesimpulan bahwa terdapat variasi gaya manajemen konflik pada individu dalam organisasi. Namun penelitian-penelitian yang dilakukan masih terbatas pada organisasi yang bersifat profit dan dalam ruang lingkup ekonomi, sedangkan LK UKSW sendiri adalah organisasi non profit yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, yang tentunya mengalami jenis konflik yang berbeda dengan organisasi dari kajian dan penelitian-penelitian yang telah dipaparkan. Oleh karena itu, penulis bermaksud melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana gambaran gaya manajemen konflik pada mahasiswa yang tergabung dalam Lembaga Kemahasiswaan UKSW. Melalui penelitian ini penulis berharap dapat memberikan gambaran kepada Pembantu Rektor III dan Koordinator Bidang Kemahasiswaan (Koorbidkem), sebagai pihak yang menaungi Lembaga Kemahasiswaan di UKSW, serta mahasiswa yang tergabung di LK UKSW, mengenai kondisi gaya manajemen konflik yang ada di LK UKSW. Selain itu, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada segenap fungsionaris LK UKSW mengenai alternatif-alternatif untuk mengatasi konflik berdasarkan gaya manajemen konflik yang sudah diketahui, sehingga konflik yang muncul di LK dapat diselesaikan dengan baik. METODE Partisipan Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa yang tergabung dalam keanggotaan LK UKSW. Sedangkan sampel dalam penelitian ini berjumlah 183 fungsionaris LK yang terdiri dari fungsionaris SMF, BPMF, SMU, dan BPMU. Adapun yang menjadi karakteristik sampel dalam penelitian ini adalah fungsionaris LK yang sedang dalam masa tugas periode 2013-2014, dan sedang aktif menjabat dalam susunan organisasi LK UKSW, bukan Pemegang Jabatan Sementara (PJS). Prosedur Sampling Teknik pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Adapun jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 183 fungsionaris, dari jumlah total fungsionaris LK UKSW sebanyak 600 fungsionaris. Sampel terdiri dari 72 fungsionaris laki-laki dan 111 fungsionaris perempuan; 70 fungsionaris berstatus sebagai 7 pimpinan dan 113 fungsionaris berstatus sebagai anggota, yang telah memenuhi kriteria sampel dalam penelitian ini. Pengukuran Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah Thomas-Kilmann Conflict Mode Instrument (TKI) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Alat ukur ini dikembangkan dari dua dimensi dasar manajemen konflik yang dikembangkan oleh Thomas dan Kilmann yaitu assertiveness (keasertifan) dan cooperativeness (kerja sama) (Thomas & Kilmann, 2007). TKI terdiri dari 30 item yang disusun berdasarkan model penskalaan paired comparison. Setiap item pada alat ukur ini disusun berpasangan dengan membandingkan dua pernyataan A dan B, yang masing-masing pernyataannya merujuk pada gaya manajemen konflik tertentu. Responden akan diminta untuk memilih salah satu dari pasangan tersebut yang paling menggambarkan keadaan dirinya. Dalam penelitian ini, responden juga diminta untuk menjabarkan identitas diri, status organisasi dan periode bertugas di LK. Selanjutnya, untuk mengetahui sejauh mana tingkat keandalan alat ukur yang digunakan, penulis melakukan uji reliabilitas menggunakan teknik test-retest, yang kemudian akan dihitung dengan akan rumus pearson correlation. Hasil koefisien korelasi alat ukur TKI dalam pada penelitian ini adalah sebesar 0,75. Berdasarkan kategori reliabilitas Azwar (2011), maka reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini tergolong cukup tinggi dan layak digunakan sebagai alat ukur penelitian. Prosedur Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif deskriptif. Penelitian ini akan di lakukan di lingkungan sekitar kampus UKSW dan di tempattempat penyelenggaraan kegiatan LK UKSW. Penulis akan membagikan angket TKI yang nantinya akan diisi oleh fungsionaris LK UKSW yang telah memenuhi kriteria sebagai sampel penelitian. Selanjutnya, berselang dua minggu kemudian, penulis akan memilih 37 responden yang telah mengisi angket TKI sebelumnya untuk kembali mengerjakan angket TKI untuk kepentingan uji reliabilitas alat ukur dengan teknik test-retest. Selain itu, penulis juga melakukan wawancara terhadap beberapa responden untuk mengungkap dampak dari kecenderungan gaya manajemen konflik fungsionaris terhadap LK secara keseluruhan. Data yang sudah terkumpul nantinya akan dianalisis secara deskriptif menggunakan aplikasi microsoft excel 2007. Penyajian hasil analisis deskriptif dapat berupa frekuensi dan persentase, tabulasi silang, serta berbagai bentuk grafik dan chart pada data yang bersifat 8 kategorikal serta berupa statistik-statistik kelompok (antara lain mean dan varians) pada data yang bukan kategorikal (Azwar, 2010). HASIL PENELITIAN Responden dibagi ke dalam beberapa kategori menurut jenis kelamin dan status organisasinya. Berikut ini pada Tabel 2 merupakan jumlah (N) responden dan persentase fungsionaris LK UKSW berdasarkan jenis kelamin dan status organisasinya. Tabel 2. Data Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di LK UKSW Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total Status Organisasi Pimpinan Anggota N % N % 30 42,86 42 37,17 40 57,14 71 62,83 70 100 113 100 Total (N) 72 111 183 Untuk menghitung persentase, penulis menggunakan rumus sebagai berikut : % = dengan n adalah angka yang akan dicari persentasenya, dan N adalah jumlah total kelompok. Dari jumlah keseluruhan responden dalam penelitian ini, diketahui bahwa terdapat 42,86% fungsionaris laki-laki yang berstatus sebagai pimpinan LK, dan sebanyak 57,14% fungsionaris perempuan berstatus sebagai pimpinan LK. Sedangkan fungsionaris laki-laki yang berstatus sebagai anggota adalah sebanyak 37,17%, dan fungsionaris perempuan yang berstatus sebagai anggota adalah sebanyak 62,83% dari total keseluruhan responden. Berdasarkan data tersebut, penulis kemudian mengelompokkan responden menurut gaya manajemen konfliknya untuk mengetahui penyebaran gaya manajemen konflik pada mahasiswa yang tergabung di LK UKSW dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini. 60 50 40 30 20 10 0 50 47 36 32 18 Gambar 2. Penyebaran gaya manajemen konflik di LK 9 Pada grafik batang di atas, dapat diketahui bahwa gaya compromising, adalah gaya yang paling banyak digunakan oleh fungsionaris LK, tercatat sebanyak 50 fungsionaris (27,32%) menggunakan gaya ini. Kemudian gaya manajemen konflik yang juga banyak digunakan oleh fungsionaris LK adalah avoiding sebanyak 47 fungsionaris (25,68%), diikuti dengan gaya accomodating sebanyak 36 fungsionaris (19,67%). Sedangkan fungsionaris LK yang menggunakan gaya collaborating adalah sebanyak 32 fungsionaris (17,49%), dan yang paling jarang digunakan oleh fungsionaris LK adalah gaya competing, yaitu 18 fungsionaris (9,84%). Untuk mengetahui lebih dalam mengenai variasi gaya manajemen konflik di LK, penulis mengelompokkan gaya manajemen konflik menurut jenis kelamin dan status organisasinya. Tabel 3 berikut ini merupakan sebaran jumlah dan persentase gaya manajemen konflik berdasarkan jenis kelamin dan status organisasinya. Tabel 3. Gaya manajemen konflik pada mahasiswa yang tergabung dalam LK UKSW Gaya Manajemen konflik Competing Collaborating Compromising Avoiding Accomodating Total Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan N % N % 6 8,33 12 10,81 10 13,89 22 19,82 17 23,61 33 29,73 20 27,78 27 24,32 19 26,39 17 15,32 72 100 111 100 Status organisasi Pimpinan Anggota N % N % 7 10,00 11 9,73 17 24,29 15 13,27 16 22,86 34 30,09 14 20,00 33 29,20 16 22,86 20 17,70 70 100 113 100 Dari hasil pengelompokan gaya manajemen konflik menurut jenis kelaminnya, diketahui bahwa penggunaan gaya avoiding di antaranya terdapat 27,78% fungsionaris lakilaki dan 24,32% fungsionaris perempuan. Gaya compromising yang merupakan gaya yang paling banyak digunakan di LK, di antaranya terdapat 23,61% fungsionaris laki-laki, dan 29,73% fungsionaris perempuan. Untuk gaya accomodating, terdapat 26,39% fungsionaris laki-laki dan 15,32% fungsionaris perempuan yang menggunakan gaya ini. Pada gaya collaborating, diketahui penggunanya adalah 13,89% fungsionaris laki-laki, dan 19,82% fungsionaris perempuan. Sedangkan fungsionaris yang cenderung menggunakan gaya competing, di antaranya sebesar 8,33% merupakan fungsionaris laki-laki, dan 10,81% merupakan fungsionaris perempuan. Untuk memperjelas perbandingan gaya manajemen konflik berdasarkan jenis kelamin, maka data tersebut dibuat dalam bentuk diagram pie seperti pada gambar 3 berikut ini. 10 Laki-laki 8,33% 13,89% 26,39% 27,78% 23,61% Perempuan 10,81% Competing Collaborating Compromising Avoiding Accomodating 15,32% 24,32% Competing Collaborating 19,82% Compromising Avoiding 29,73% Accomodating Gambar 3. Gaya manajemen konflik di LK menurut jenis kelamin Selanjutnya, dari hasil pengelompokkan gaya manajemen konflik menurut status organisasinya, dapat diketahui bahwa fungsionaris LK yang menggunakan gaya collaborating terdiri dari pimpinan sebanyak 24,29% dan anggota sebanyak 13,27%. Pada penggunaan gaya compromising, diketahui sebanyak 22,86% pimpinan dan 30,09% anggota yang menggunakan gaya ini. Kemudian gaya avoiding, diketahui penggunaannya pada pimpinan sebanyak 20,00% dan pada anggota 29,20%. Untuk gaya accomodating, terdapat 22,86% pimpinan dan 17,70% anggota yang menggunakannya. Sedangkan gaya competing, terdapat 10,00% pimpinan dan 9,73% anggota yang menggunakan gaya ini. Pada gambar 4 berikut ini adalah perbandingan gaya manajemen konflik menurut status organisasinya. Pimpinan 10,00% 22,86% 24,29% 20,00% 22,86% Anggota 9,73% Competing 17,70% Collaborating 13,27% Compromising Avoiding 29,20% 30,09% Accomodating Competing Collaborating Compromising Avoiding Accomodating Gambar 4. Gaya manajemen konflik LK berdasarkan status organisasi Penulis kemudian menggabungkan kedua kategori tersebut ke dalam tabel tabulasi silang untuk mengetahui kaitan antara gaya manajemen konflik dengan kategori jenis kelamin dan status organisasi. Tabel 4 berikut ini merupakan tabel tabulasi silang untuk gaya manajemen konflik berdasarkan jenis kelamin dan status organisasinya. 11 Tabel 4. Tabel tabulasi silang penyebaran gaya manajemen konflik LK Status organisasi Gaya manajemen konflik Competing Collaborating Compromising Avoiding Accomodating Total Pimpinan Laki-laki Perempuan N % N % 2 2,86 5 7,14 5 7,14 12 17,14 7 10,00 9 12,86 7 10,00 7 10,00 9 12,86 7 10,00 30 42,86 40 57,14 N = 70 % = 100 Anggota Laki-laki Perempuan N % N % 4 3,54 7 6,19 5 4,42 10 8,85 10 8,85 24 21,24 13 11,50 20 17,70 10 8,85 10 8,85 42 37,17 71 62,83 N = 113 % = 100 Dari tabel tabulasi di atas, dapat dilihat bahwa pada pimpinan, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kecenderungan untuk menggunakan gaya collaborating (17,14%); accomodating (12,86%); dan compromising (12,86%). Berbeda dengan pimpinan, anggota yang berjenis kelamin laki-laki memiliki kecenderungan untuk menggunakan gaya avoiding (11,50%), sedangkan anggota yang berjenis kelamin perempuan cenderung menggunakan gaya compromising (21,24%), dan avoiding (17,70%). PEMBAHASAN Berdasarkan analisa data secara deskriptif, diketahui bahwa secara umum mahasiswa yang tergabung di LK UKSW cenderung menggunakan gaya compromising (27,32%) dan avoiding (25,68%). Maka dapat diketahui kondisi pengelolaan konflik compromising di LK muncul dalam bentuk seperti, banyak melakukan negosiasi dan tawar menawar (exchanging concessions), membagi peluang yang ada bersama lawan konflik, dan menggabungkan gagasan-gagasan yang ada antara pihak-pihak yang berkonflik. Sedangkan kondisi pengelolaan konflik avoiding di LK muncul dalam bentuk seperti, menunda atau menarik diri dari permasalahan, menghindari pembahasan isu yang rentan konflik dan mengancam, serta menghindari pihak-pihak tertentu yang sedang berkonflik. Gaya yang paling jarang digunakan oleh mahasiswa yang tergabung di LK adalah gaya competing (9,84%); diikuti dengan gaya collaborating (17,49%) dan accomodating (19,67%). Keadaan ini bisa diakibatkan oleh beberapa hal, beberapa di antaranya adalah jenis kelamin (Thomas & Schaubhut, 2008); Havenga, (2006) dan status organisasi (Farmer & Roth, 1998); Brewer, Mitchell dan Weber (2002); Slabbert (2004). Berdasarkan data yang diperoleh penulis, diketahui bahwa gaya manajemen konflik yang paling sering muncul pada fungsionaris laki-laki adalah avoiding (27,78%), 12 accomodating (26,39%), dan compromising (23,61%) karena berada di atas 20%. Sedangkan gaya yang sering muncul pada fungsionaris perempuan adalah compromising (29,73%), avoiding (24,32%), dan collaborating (19,82%). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Thomas et al. (2008); Havenga (2006); Weber et al. (2002), yang menjelaskan bahwa wanita cenderung menggunakan gaya manajemen konflik yang bersifat kooperatif seperti compromising dan avoiding. Tetapi pada fungsionaris laki-laki menunjukkan hasil yang berbeda dengan penelitian sebelumnya. Thomas et al. (2008); Webber et al. (2002); Havenga (2006); dan Wirawan (2010) menjelaskan bahwa pria cenderung menggunakan gaya manajemen konflik yang bersifat asertif yaitu competing dan collaborating. Sebaliknya, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa competing adalah gaya yang paling jarang digunakan oleh fungsionaris laki-laki, diketahui penggunaannya adalah sebesar 8,33%. Broverman et al. (dalam Webber et al., 2002) menjelaskan bahwa penggunaan gaya yang bersifat asertif pada pria dikarenakan pria cenderung akan mengembangkan karakteristik maskulin seperti agresif, independen, kompetitif, dan asertif, sedangkan perempuan cenderung mengembangkan karakteristik feminin seperti emosional, sensitif, dan kooperatif. Lemahnya penggunaan gaya competing di LK baik pada fungsionaris laki-laki maupun perempuan diakibatkan oleh sistem organisasi di LK yang lebih mengutamakan kebebasan dalam berpendapat. Seperti yang tertuang dalam Ketentuan Umum Keluarga Mahasiswa (KUKM) Pasal 35 mengenai mekanisme pengambilan keputusan, yang mengatakan bahwa pengambilan keputusan di LK dilakukan atas dasar musyawarah untuk mufakat, apabila dengan musyawarah kesepakatan belum tercapai maka akan dilakukan lobi, jika lobi masih belum mencapai kesepakatan maka keputusan akan di ambil dengan pemungutan suara (KUKM UKSW, 2011). Mekanisme tersebut lebih mendukung penggunaan gaya colaborating dan compromising yang mengedepankan negosiasi dan win-win solution, daripada gaya competing yang berorientasi pada kekuasaan dan tidak adanya negosiasi. Faktor lain yang juga menyebabkan variasi gaya manajemen konflik dalam organisasi adalah status organisasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa yang tergabung di LK dan menjabat sebagai pimpinan cenderung menggunakan gaya collaborating (24,29%); compromising (22,86%); dan accomodating (22,86%). Gaya compromising dan accomodating ini memiliki persentase yang sama pada kategori pimpinan LK, yang berarti kedua gaya ini sering muncul dalam usaha penyelesaian konflik di tingkat pimpinan. Lain halnya dengan penyebaran gaya manajemen konflik pada anggota, gaya yang paling sering muncul adalah compromising (30,09%) dan avoiding (29,20%). Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Slabbert (2004); Weber (2002); Thomas, Thomas & Schaubhut (2008); dan 13 Wirawan (2010) yang menjelaskan bahwa individu yang tergabung dalam lower organizational status cenderung menggunakan gaya manajemen konflik yang kooperatif seperti compromising dan avoiding karena tindakannya didasarkan pada otoritas dan kepatuhan. Hasil yang berbeda terdapat pada penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa individu yang tergolong upper organizational status cenderung menggunakan gaya yang asertif seperti competing dan collaborating. Sebaliknya, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gaya competing merupakan gaya yang paling jarang digunakan di aras pimpinan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 14 & 15 Agustus 2014, diketahui bahwa lemahnya penggunaan gaya competing di aras pimpinan diakibatkan karena LK merupakan organisasi non profit yang memberikan beban kerja dan tanggung jawab yang besar kepada anggota dalam aktivitas organisasi. Sehingga pimpinan LK berusaha tidak menggunakan gaya competing demi menjaga hubungan baik dengan anggota, menciptakan iklim organisasi yang kondusif, dan meningkatkan kinerja anggota. Penyebaran gaya manajemen konflik di LK dapat dilihat dengan lebih rinci setelah penulis mengklasifikasikan setiap gaya dengan menggabungkan kedua kategori yaitu jenis kelamin dan status organisasi. Dari penggabungan tersebut diketahui bahwa baik pimpinan laki-laki maupun perempuan cenderung menggunakan gaya collaborating, compromising, dan accomodating dalam usaha-usaha penyelesaian konfliknya. Sedangkan pada anggota, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kecenderungan untuk menggunakan gaya avoiding dan compromising. Dari hasil tersebut terlihat jelas bahwa pengelolaan konflik di tingkat pimpinan sudah tepat sasaran, hanya saja di tingkat anggota masih perlu lebih ditingkatkan lagi penggunaannya. Penulis mencoba mengumpulkan informasi dengan kembali mewawancarai beberapa responden dalam penelitian ini untuk mengetahui gambaran dari pengelolaan konflik LK antara pimpinan dan anggota, yang terjadi dalam kurun waktu periode 2013-2014. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis, diketahui terdapat beberapa hal yang mengindikasikan penggunaan gaya manajemen konflik yang tidak selaras antara pimpinan dan anggota. Beberapa di antaranya adalah, (1) seringnya terjadi kesalahpahaman antara fungsionaris LK dan panitia terkait dengan pemahaman konsep kegiatan mahasiswa, yang berakibat pada perubahan konsep keseluruhan kegiatan; (2) keterlambatan dalam pengurusan proposal kegiatan mahasiswa oleh pengurus kegiatan, yang pada akhirnya menghambat kinerja fungsionaris LK; (3) defisit anggaran kegiatan mahasiswa yang berujung pada penggunaan uang pribadi mahasiswa; (4) dan menurunnya minat mahasiswa dalam berorganisasi di LK. 14 Berdasarkan hasil wawancara tersebut, dapat diketahui bahwa pada poin 1 dan 2 menunjukkan adanya penggunaan gaya manajemen konflik collaborating dan accomodating di aras pimpinan. Penggunaan gaya collaborating terlihat dari persetujuan fungsionaris LK, untuk merubah konsep kegiatan, dengan maksud mereduksi konflik dengan anggota atau panitia, supaya tujuan organisasi tetap tercapai namun tidak merusak hubungan antaranggota. Selanjutnya penggunaan gaya manajemen konflik accomodating terlihat dari keputusan fungsionaris LK untuk memberikan toleransi waktu pada anggota apabila terdapat keterlambatan dalam pengurusan proposal kegiatan. Pemberian toleransi waktu sebenarnya merugikan fungsionaris LK karena akan menghambat kinerja berikutnya, namun tetap dilakukan dengan maksud membantu anggota menyelesaikan tugasnya. Pada poin 2 juga terlihat penggunaan gaya avoiding oleh anggota, mengingat keterlambatan ini terjadi karena lemahnya koordinasi antara pimpinan dan anggota. Selanjutnya, poin 3 dan 4 menunjukkan adanya penggunaan gaya manajemen konflik compromising pada pimpinan dan anggota, serta avoiding pada anggota. Penggunaan uang pribadi dalam kegiatan mahasiswa menunjukkan bahwa fungsionaris LK baik pimpinan maupun anggota tetap ingin menyelesaikan persoalan namun dengan beban yang sama, sehingga hubungan baik antaranggota tetap terjalin. Apabila defisit anggaran hanya ditangani oleh satu pihak saja, tentu saja akan memberatkan pihak tersebut untuk menggunakan uang pribadinya. Bagi fungsionaris LK, kondisi tersebut menjadi salah satu pengalaman yang kurang menyenangkan, yang berakibat pada menurunnya minat fungsionaris LK untuk kembali bertugas pada periode selanjutnya. Situasi tersebut menunjukkan penggunaan gaya manajemen konflik avoiding, yang menyebabkan LK diisi oleh mahasiswa yang belum memiliki pengalaman dalam berorganisasi. Kecenderungan fungsionaris LK yang berjenis kelamin laki-laki dalam penggunaan gaya manajemen konflik yang bersifat kooperatif (avoiding dan accomodating) merupakan temuan baru terhadap penelitian gaya manajemen konflik dalam kaitannya dengan jenis kelamin. Hal ini berarti fungsionaris laki-laki dan perempuan di LK UKSW memiliki kecenderungan gaya manajemen konflik yang sama-sama bersifat kooperatif. Apabila penggunaan gaya manajemen konflik antara laki-laki dan perempuan berbeda, sesungguhnya tidak memberikan implikasi secara langsung pada organisasi, namun, implikasi secara langsung akan dialami individu dalam organisasi tersebut (Thomas, Thomas & Schaubhut 2008). Seperti yang disampaikan Amantullah (dalam Thomas et. al., 2008), rendahnya skor wanita dalam penggunaan gaya manajemen konflik asertif berdampak pada kecenderungan wanita akan turnover, segan untuk bernegosiasi, dan sering berada pada posisi no-win 15 situation yang tentunya kurang menguntungkan bagi wanita, karena seringkali berakhir pada berkurangnya kesempatan untuk dapat menduduki posisi penting di organisasi. Kecenderungan gaya manajemen konflik yang sama antara laki-laki dan perempuan di LK justru berdampak pada terbukanya peluang yang sama bagi fungsionaris laki-laki maupun perempuan dalam kehidupan organisasi. Hal tersebut terlihat dari fungsionaris laki-laki yang menjabat sebagai pimpinan sebanyak 42,86% dan fungsionaris perempuan sebanyak 57,14%. Hasil penelitian ini juga menyimpulkan bahwa fungsionaris LK yang berstatus sebagai pimpinan memiliki kecenderungan gaya yang bersifat asertif (collaborating, compromising & accomodating). Thomas (2002) menjelaskan bahwa keuntungan penggunaan gaya yang bersifat asertif (collaborating & compromising) khususnya di aras pimpinan, dapat meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, meningkatkan kreativitas, dan memperkuat hubungan antaranggota. Dalam penggunaan gaya ini, diperlukan interpersonal skills, situasi organisasi yang kondusif, keterbukaan terhadap ide-ide baru dan kepercayaan antaranggota organisasi (Thomas, 2002). Kemudian, fungsionaris LK yang menjabat sebagai anggota cenderung menggunakan gaya yang kooperatif (compromising & avoiding). Oleh karena itu melalui penelitian ini penulis menyarankan pada pimpinan LK untuk tetap mempertahankan penggunaan gaya manajemen konflik collaborating, compromising & accomodating karena dinilai sudah efektif dan tepat sasaran. Namun pada tingkat anggota, penggunaan gaya manajemen konflik perlu lebih ditingkatkan lagi meningat penggunaan gaya avoiding dinilai merugikan organisasi, karena dapat merusak hubungan antaranggota, memperbesar konflik ketika tidak segera terselesaikan, dan menurunkan mutu pengambilan keputusan (Thomas, 2002). Kecenderungan anggota LK dalam penggunaan gaya compromising dan avoiding disebabkan oleh beberapa faktor antara lain yaitu, fungsionaris LK yang berstatus sebagai anggota pada periode 2013-2014 merupakan mahasiswa yang belum memiliki pengalaman di LK, selain itu terbatasnya pelatihan gaya manajemen konflik dan problem solving juga menyebabkan anggota LK kurang mendapat pengetahuan mengenai cara-cara pengelolaan konflik. Dari paparan di atas, maka penulis menyarankan untuk diadakannya pelatihan gaya manajemen konflik agar dapat membekali fungsionaris LK khususnya anggota, terkait dengan teknik-teknik penyelesaian konflik serta untuk mengasah kemampuan gaya manajemen konflik fungsionaris LK. Untuk itu, pihak-pihak yang menaungi LK UKSW seperti Pembantu Rektor III, Koorbidkem dan segenap jajaran fungsionaris LK UKSW dapat bekerjasama untuk menyelenggarakan pelatihan gaya manajemen konflik, problem solving dan perencanaan strategis kepada fungsionaris LK UKSW. Pelatihan yang sudah ada, seperti 16 Latihan Menengah Kepemimpinan Mahasiswa (LMKM) dan Latihan Lanjutan Kepemimpinan Mahasiswa (LLKM) dinilai masih belum mampu menjawab kebutuhan fungsionaris LK terkait dengan kemampuan mengelola konflik, karena pada pelatihan tersebut pembekalan gaya manajemen konflik hanya diberikan dalam satu kali pelatihan dengan durasi 120 menit. Pelatihan gaya manajemen konflik yang diberikan sebaiknya berisi tentang gambaran alternatif gaya manajemen konfik beserta kelebihan dan kekurangan dari masing-masing gaya, penerapan gaya manajemen konflik pada situasi yang tepat, dan skill yang diperlukan dalam penggunaan gaya tersebut. Thomas (2002) menyatakan bahwa penggunaan gaya manajemen konflik dapat sangat efektif apabila individu mengetahui kapan penggunaan yang tepat pada masing-masing gaya, serta memiliki ketrampilan yang cukup untuk menerapkan setiap gaya. Penelitian yang dilakukan oleh Abubakar (2008) menyimpulkan bahwa pemberian pelatihan gaya manajemen konflik dapat meningkatkan kinerja individu secara signifikan. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan program magang fungsionaris LK dengan maksimal. Narasumber yang ditemui oleh penulis menyampaikan bahwa hingga akhir periode 2013-2014, program magang fungsionaris LK belum dilakukan secara sistematis dan terarah, sehingga seusai mengikuti program magang, mahasiswa masih belum memahami fungsi dan perannya sebagai fungsionaris LK. Hal ini dikarenakan belum adanya ketentuan maupun kurikulum yang mengatur tentang program magang, sehingga LK UKSW belum memiliki acuan untuk materi pembekalan pada program magang. Program magang perlu untuk dimaksimalkan mengingat calon fungsionaris LK yang belum memiliki pengalaman organisasi membutuhkan proses penyesuaian terhadap kehidupan berorganisasi di LK UKSW. Pada pelaksanaan program magang, sebaiknya calon fungsionaris LK dibekali dengan gambaran konflik organisasi dan persoalan-persoalan yang kerap muncul di LK, serta alternatif gaya manajemen konflik yang dapat dilakukan. Kekurangan dalam penelitian ini antara lain yaitu, sampel dalam penelitian ini terbatas pada mahasiswa yang tergabung di LK UKSW, yang tentunya memiliki iklim organisasi yang berbeda dengan organisasi lainnya sehingga hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan pada organisasi lainnya, terutama organisasi yang berorientasi pada profit. Penelitian ini tidak mengukur kinerja individu, sehingga efektivitas setiap gaya manajemen konflik tidak dapat ditaksir. Pada saat pengambilan data, penulis kurang memperhatikan situasi lapangan saat partisipan sedang mengisi alat ukur, sehingga banyak ditemukan responden yang hasilnya tidak konsisten saat diujikan kembali. Selanjutnya, alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen TKI yang telah diterjemahkan ke dalam 17 Bahasa Indonesia. Pada saat proses penerjemahan, penulis masih belum berhasil untuk sepenuhnya mengkaitkan dengan konteks organisasi mahasiswa khususnya LK UKSW, sehingga beberapa item tetap sulit dipahami meskipun telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Pada akhirnya, penelitian ini hanya menggambarkan penggunaan gaya manajemen konflik LK pada satu masa periode saja (2013-2014), yang tentunya mengalami jenis konflik yang berbeda dengan periode-periode sebelumnya. Oleh karena itu, hasil penelitian ini tidak dapat digunakan untuk memprediksi gambaran pengelolaan konflik di LK pada periode selanjutnya. Disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui perkembangan penggunaan gaya manajemen konflik pada fungsionaris LK UKSW. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan untuk lebih mendalami lagi fenomena yang ada dengan menambahkan kategori seperti pengalaman organisasi, usia, tipe kepribadian, maupun karakteristik perkerjaan. Selain itu, penerjemahan alat ukur TKI dapat lebih disesuaikan dengan karakteristik organisasi yang menjadi partisipan penelitian. 18 DAFTAR PUSTAKA Abubakar, S. B. A. (2008). Pengaruh Pelatihan Manajemen Konflik Pada Kepala Ruangan Terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Universitas Indonesia. Tesis. Tidak Diterbitkan. Ahmed, I., Nawaz, M, Muhammad., Shaukat Z, Muhammad., Usman, A. (2010). Personality Does Affect Conflict Handling Style: Study of Future Manager. International Journal of Trade, Economics and Finance, 1, 268-270. Azwar, S. (2008). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Azwar, S. (2011). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Bercovitch, J. (2011). Conflict and conflict management in organizations: A framework analysis. Journal of Conflict Resolution, 12, 104-123. Brewer, N., Mitchell, P. & Weber, N. (2002). Gender role, organizational status and conflict management style. The International Journal of Conflict Management,13, 78-94. De Dreu, W. C., & Gelfand, J.M. (2008). The Psychology of conflict and conflict management in organizations. New York : Taylor & Francis Group, LLC. Endarmoko, E. (2006). Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Farmer, M.S. & Roth, J. (1998). Conflict handling behavior in Work Groups : Effects of Groups Structure, Decision Processes and Time. Small Group Research Publication, Inc. 29 (6), 669-713. Goel, D. & Khan, I. (2012). Predictive role of personality on conflict management strategies of individuals in IT sector: Indian perspective. New Delhi : Departement of Social Work. Havenga, W. (2006). Relationship between gender, age status differences and conflict management style in small bussines. Johannesburg, South Africa : Departement of Human Resource Management, University of Johannesburg. Huan, J. L. & Yaznadifard, R. (2012). The Difference of conflict management styles and conflict resolution in workplace. Bussines & Entrepreneurship Journal, 1(1), 141-155. Ivancevich, J.M., Konopaske, R. & Matteson, M.T. (2005). Organizational behavior and management. New York : McGraw-Hill International Edition. Juanita, S. (2002). Manajemen konflik dalam suatu organisasi. USU. Digital Library. Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. (2013). Retrieved October 13, 2013 from http://kbbi.web.id . Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (2013). Mendikbud: Mahasiswa menjadi prioritas utama. Retrieved from http://www.dikti.go.id/id/2013/03/01/mendikbud-mahasiswa-menjadi-prioritas-utama/ 19 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (2002). Peraturan Perundangan: Pelarangan Organisasi Ekstra Kampus atau Partai Politik dalam Kehidupan Kampus. Retrieved from http://www.dikti.go.id/id/peraturanperundangan/files/atur/SKDirjen26-DIKTI-Kep-2002LaranganOrganisasiKampus.docx Kusnadi, A. (2009). Management for a great life. Jakarta : Elex Media Komputindo. Lee, L.K. (2008). An Examination between the relationship of conflict management style and employees satisfaction. International Journal of Business and Management. 3 (9), 1125. Lewis, T.C. (1997). Conflict management as the essence of leadership: An Update. The Journal of Leadership & Organizational Studies, 4 (3), 20-31. Luthans, F. (2011). Organizational behavior: an evidence-based approach. 12th Edition. New York : McGraw-Hill Companies, Inc. Notosusanto, N. (1985). Menegakkan wawasan almamater. Jakarta: UI-Press Rahim, A.M. (2001). Managing conflict in organization. London: Greenwood Publishing Group , Inc. Robbins, P.S. (2002). Essentials of organizational behavior. New Jersey : Pearson Education, Inc. Robbins, P.S. & Judge A.J. (2008). Perilaku organisasi. Buku 2. Jakarta : Salemba Empat. Schaubhut, A. N. (2007). Technical brief for the Thomas-Kilmann conflict mode instrument: Description of The Update Normative Sample and Implications For Use. California : CPP Research Departement, Inc. Slabbert, A.D. (2004). Conflict management styles in traditional organisations. The Social Sciene Journal, 41, 83-92. Sugiyono (2012). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta Sugiyono (2013). Statistika untuk penelitian. Bandung : Alfabeta. Thomas, K. W. & Kilmann, H. R. (2007). Thomas-Kilmann conflict mode instrument. Mountain View, California: CPP, Inc. Thomas, K. W. (2002). Introduction to conflict management. Mountain View, California: CPP, Inc. Thomas, K. W. & Thomas, F. G (2008). Conflict style of men and wommen at six organization levels. International Journal of Conflict Management, 14, (2), 1-38. Universitas Kristen Satya Wacana. 2011. Ketentuan Umum Keluarga Mahasiswa Bab III Tahun 2011 Tentang Lembaga Kemahasiswaan. KUKM 2011. Salatiga. 20 Wahyudi. (2011). Manajemen konflik dalam organisasi. Bandung : Alfabeta, cv. Wirawan. (2010). Konflik dan manajemen konflik: Teori, aplikasi dan penelitian. Jakarta: Salemba Humanika. Winardi (2007). Manajemen konflik: konflik perubahan dan pengembangan. Bandung : CV. Mandar Maju 21