Gaya Manajemen Konflik Pada Mahasiswa Yang Tergabung Dalam

advertisement
PENDAHULUAN
Sebagai bagian integral dari Universitas, mahasiswa memiliki peran penting untuk turut
serta melaksanakan tugas-tugas Perguruan Tinggi yang tertuang dalam Tri Dharma Perguruan
Tinggi yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian
masyarakat. Oleh karena itu, mahasiswa diharapkan mampu secara teoritis maupun praktis
untuk menerapkan bidang ilmunya sehingga dapat memberikan kontribusi nyata baik di
lingkungan Universitas maupun masyarakat luas. Salah satu wadah yang memfasilitasi
mahasiswa
dalam
pengembangan
kemampuan
akademik,
serta
mengupayakan
penggunaannya dalam kehidupan masyarakat adalah organisasi mahasiswa (Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud), 1998). Organisasi
mahasiswa sendiri terbagi menjadi dua jenis berdasarkan lingkungan kegiatannya, yaitu
organisasi ekstrauniversiter dan organisasi intrauniversiter. Menurut catatan sejarah,
organisasi mahasiswa ekstrauniversiter lebih dulu lahir sejak sebelum era kemerdekaan, dan
pergerakannya berfokus pada kehidupan beragama, sosial dan politik atau golongan.
Sedangkan organisasi mahasiswa intrauniversiter baru muncul pasca kemerdekaan, dan
pergerakannya berfokus pada kehidupan bermahasiswa sebagai sivitas akademika dan
persoalan-persoalan studi yang sesuai dengan bidang ilmunya (Notosusanto, 1983).
Sejak dikeluarkannya keputusan dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI)
pada tahun 2002, mengenai larangan penyelenggaraan organisasi mahasiswa ekstra kampus
dan aktivitas politik praktis di kampus, maka pengembangan organisasi mahasiswa lebih
ditekankan pada pengembangan organisasi intra kampus (Dirjendikti, 2006). Hal tersebut
didukung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, melalui pernyataanya
yang mengungkapkan bahwa kegiatan kemahasiswaan intrakampus harus dikedepankan dan
lebih dioptimalkan lagi agar meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan, serta
menumbuhkan optimisme mahasiswa (Dikti, 2013). Bahkan setiap tahunnya, DIKTI sebagai
institusi pemerintah yang menaungi seluruh perguruan tinggi di Indonesia, memberikan
bantuan dana untuk pengembangan organisasi kemahasiswaan dan unit-unit kegiatan
mahasiswa di seluruh Universitas di Indonesia (Dikti, 2014).
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) sebagai penyelenggara pendidikan
tertinggi, memfasilitasi dan membina seluruh unit kegiatan mahasiswa di Lembaga
Kemahasiswaan (LK) UKSW. Di dalam LK UKSW terdapat sub organisasi yang terbagi atas
fungsi dan perannya diantaranya adalah Badan Perwakilan Mahasiswa Universitas atau
Fakultas (BPMU atau BPMF, untuk selanjutnya disebut BPMU atau BPMF) yang bertugas
1
sebagai lembaga perwakilan dan permusyawaratan mahasiswa dan Senat Mahasiswa
Universitas atau Fakultas (SMU atau SMF, untuk selanjutnya disebut SMU atau SMF) yang
bertugas sebagai lembaga eksekutif yang mengkoordinasikan seluruh kegiatan mahasiswa
baik kegiatan akademik maupun non akademik (KUKM UKSW, 2011). Dalam
perkembangannya, LK UKSW sebagai organisasi mahasiswa juga mengalami berbagai
konflik dan hambatan seperti organisasi pada umumnya. Bahkan LK UKSW merupakan
organisasi mahasiswa intrakampus pertama di Indonesia yang anggotanya diundang untuk
mengikuti rapat dosen dan menjadi senator di aras fakultas maupun universitas untuk turut
berperan serta dalam pengambilan keputusan dan kebijakan kampus (“Sejarah Lembaga
Kemahasiswaan dan Pembinaan Kemahasiswaan”, 2013). Hal tersebut menjadikan LK
UKSW sebagai organisasi kemahasiswaan yang kompleks dan memiliki dinamika organisasi
yang beragam.
Penulis mencoba memetakan fenomena konflik yang terjadi di LK UKSW dengan
mewawancari salah seorang ketua LK UKSW. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan
oleh penulis pada tanggal 4 Januari 2013, diketahui bahwa LK UKSW sebagai organisasi
mahasiswa juga menghadapi banyak konflik dalam perkembangannya. Narasumber yang
ditemui oleh penulis mengatakan,
“saya sendiri sebagai pimpinan LK sering mengalami
konflik dengan sesama anggota di LK, biasanya persoalan
yang menyebabkan konflik antara lain adalah adanya
ketidaksepahaman dalam menyikapi suatu hal, kurangnya
tanggung jawab dan komitmen anggota terhadap tujuan
dan visi misi organisasi, kurangnya inisiatif anggota dalam
bekerja sama dan kurangnya kekompakkan di dalam LK itu
sendiri”.
Narasumber juga menjelaskan bahwa konflik yang paling sering muncul di LK UKSW
adalah konflik antara pimpinan LK dengan anggota LK, anggota LK dengan kepanitiaan,
anggota LK dengan mahasiswa yang menjadi peserta dalam kegiatan-kegiatan LK dan
anggota LK dengan mahasiswa pada umumnya. Menurut narasumber, usaha-usaha untuk
menyelesaikan konflik telah banyak dilakukan, namun, hingga saat ini belum dapat
menyelesaikan konflik sepenuhnya dan persoalan yang sama masih tetap muncul kembali.
Pada dasarnya konflik di dalam organisasi dipandang sebagai hal yang tidak dapat
dihindarkan, karena individu dan kelompok saling bergantung dalam mencapai tujuan
organisasi. Sehingga apabila konflik tidak dikendalikan secara efektif, akan menimbulkan
pengaruh yang buruk pada kinerja organisasi (Wahyudi, 2011). Menurut Wirawan (2010),
apabila organisasi tidak mampu mengelola konflik dengan baik maka akan menyebabkan
2
menurunnya produktivitas kerja, merusak hubungan dan komunikasi di dalam organisasi,
merusak sistem organisasi, menurunkan mutu pengambilan keputusan, menimbulkan sikap
dan perilaku negatif bagi individu di dalam organisasi. Thomas (2002) menjelaskan bahwa
hampir setengah atau sekitar 42% dari waktu pemimpin dalam suatu organisasi, digunakan
untuk menyelesaikan konflik, diantaranya konflik antara pemimpin dan anggotanya, konflik
di antara anggota organisasi dan konflik anggota organisasi dan pihak di luar organisasi.
Oleh karena itu individu-individu di dalam organisasi perlu menguasai pengetahuan
dan keterampilan mengenai pengelolaan atau manajemen konflik, agar dapat bermanfaat
guna mendorong perubahan dan inovasi serta tidak menghambat tujuan organisasi. Walton &
Owens (1991) memaparkan bahwa tujuan dari manajemen konflik adalah untuk mencapai
kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fungsional dan meminimalkan
akibat konflik yang merugikan. Senada dengan pernyataan tersebut, Ross (dalam Lee, 2008)
mendefinisikan manajemen konflik sebagai langkah-langkah yang diambil para pelaku
konflik dalam rangka mengarahkan perselisihan yang terjadi dengan berupaya untuk
mencapai hasil akhir berupa penyelesaian konflik yang positif, kreatif dan inovatif yang
menghasilkan kesepakatan baru bagi pihak-pihak yang berkonflik.
Terdapat lebih dari satu cara dalam menangani konflik bagi individu di dalam
organisasi. Beberapa tokoh yang mempelajari perilaku organisasi telah mengembangkan gaya
manajemen konflik yang dapat diterapkan dalam ruang lingkup organisasi. Salah satunya
adalah Thomas dan Kilmann, yang mengembangkan taksonomi gaya manajemen konflik
melalui dua dimensi dasar, yaitu cooperativeness (kooperatif) dan assertiveness (asertifitas)
(Thomas & Kilmann dalam Wirawan, 2010). Dimensi cooperativeness dipahami sebagai
upaya untuk memuaskan orang lain ketika individu sedang menghadapi konflik, sedangkan
dimensi assertiveness diartikan sebagai upaya untuk memuaskan diri sendiri ketika individu
sedang menghadapi konflik (Thomas, 2002). Berangkat dari kedua dimensi tersebut, Thomas
(2002) mengemukakan lima gaya manajemen konflik, antara lain yaitu competing,
collaborating, compromising, avoiding, dan accomodating. Penjabaran kelima gaya
manajemen konflik tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Berikut ini.
3
Tabel 1. Penjabaran gaya manajemen konflik menurut Thomas & Kilmann
Gaya
Manajemen
Konflik
Competing
Collaborating
Dimensi
Ciri-ciri
Tingkat
assertiveness
berada dalam
kategori tinggi,
dan
cooperativeness
berada dalam
kategori rendah
1. Berorientasi
pada
kekuasaan
atau
kewenangan yang dimiliki
individu.
2. Pengambilan keputusan
secara sepihak (dictating a
decision).
3. Tidak
bernegosiasi
ataupun tawar menawar
(making no concessions).
Tingkat
1. Mendamaikan
pihakassertiveness
pihak yang berkonflik
dan
dan
menyelesaikan
cooperativeness
konflik dengan win-win
berada dalam
solution.
kategori yang
2. Mengkombinasikan
sama-sama
solusi dari pihak-pihak
tinggi
yang berkonflik untuk
mencari alternatif yang
disepakati bersama dan
memenuhi
harapan
kedua belah pihak
Compromising Tingkat
1. Melakukan negosiasi dan
assertiveness
tawar menawar
dan
(exchanging concessions).
cooperativeness 2. Memanfaatkan peluang
berada dalam
yang ada bersama lawan
kategori
konflik secara bergantian.
sedang.
3. Mengambil keputusan
dengan lebih lunak atau
dengan menggabungkan
gagasan pihak-pihak yang
berkonflik.
4. Dilakukan ketika konflik
tidak cukup bernilai untuk
dipertahankan, tetapi juga
terlalu penting untuk
dihindari.
4
Implikasi
1. Dapat
menjadi
sangat
efektif apabila organisiasi
berada pada situasi yang
mendesak.
2. Beresiko
mengalami
disfungsional
organisasi,
menurunkan
motivasi
anggota,
dan
merusak
hubungan
antaranggota
organisasi.
1. Mendorong kreativitas dan
inovasi untuk perbaikan dan
pengembangan organisasi
secara terbuka.
2. Memperbaiki
hubungan
antaranggota,
sehingga
menciptakan suasana kerja
yang kondusif.
3. Diperlukan
interpersonal
skill yang baik, kepercayaan
antaranggota dan sikap
terbuka terhadap gagasan
yang baru.
4. Menuntut waktu yang lebih
lama dalam penyelesaian
konflik
1. Menjadi sangat efektif
ketika pihak-pihak yang
berkonflik membutuhkan
solusi sementara yang
mendesak, demi
keberlangsungan tujuan
organisasi.
2. Tidak membutuhkan waktu
yang lama, namun tetap
bermanfaat.
3. Dapat memperbaiki
hubungan pihak-pihak yang
berkonflik
4. Penyelesaian konflik tidak
mendalam (superficial
understanding).
Gaya
Manajemen
Konflik
Avoiding
Accomodating
Dimensi
Ciri-ciri
Implikasi
Tingkat
1. Menghindari konflik
assertiveness
dengan cara menajuhkan
dan
diri dari pokok
cooperativeness
permasalahan, menunda
berada dalam
hingga waktu yang tepat,
kategori rendah
maupun menarik diri dari
konflik tersebut sementara
waktu
2. Menghindari pembahasan
isu yang tidak penting,
kompleks, maupun
mengancam.
3. Menghindari pihak-pihak
tertentu yang sedang
berkonflik.
Tingkat
1. Mengabaikan kepentingan
assertiveness
dirinya sendiri dan
berada dalam
berupaya memuaskan
kategori
kepentingan lawan
rendah, namun
konfliknya.
cooperativeness 2. Merupakan win-lose
berada dalam
strategy.
kategori tinggi. 3. Sangat mudah untuk
dipengaruhi lawan konflik.
4. Cenderung mematuhi
otoritas
1. Tertundanya pengambilan
keputusan organisasi.
2. Berpotensi menurunkan
komunikasi kerja, dan
merusak hubungan
antaranggota.
3. Berada pada posisi aman
atau menguntungkan,
karena menjauhkan diri dari
konflik yang berbahaya.
4. Mengurangi stress dan
menghemat waktu.
1. Memiliki hubungan yang
harmonis dengan anggota
lainnya di organisasi.
2. Dapat membantu pihak lain
keluar dari
permasalahannya.
3. Kehilangan kesempatan
karena mengorbankan
tujuan pribadi.
4. Menurunkan motivasi kerja
dalam diri individu.
Sedangkan penyebaran gaya manajemen konflik berdasarkan kategori dimensinya yaitu
assertiveness dan cooperativeness, dapat dilihat pada Gambar 1. berikut ini.
Competing
Assertiveness
Collaborating
Compromising
Avoiding
Accommodating
Cooperativeness
Gambar 1. Gaya Manajemen Konflik Thomas & Kilmann
Sumber : Thomas (2002)
Variasi gaya manajemen konflik individu di dalam organisasi dipengaruhi oleh
beberapa beberapa faktor, antara lain yaitu karakteristik kepribadian, kebutuhan
interpersonal, usia, nilai dalam kelompok, kekuasaan yang diberikan, dan status organisasi
5
(Havenga, 2006). Hal ini disebabkan manajemen konflik sendiri berupa kecenderungan
perilaku individu dalam merespons situasi, sehingga faktor-faktor yang memengaruhi gaya
manajemen konflik pada individu dengan sendirinya berasal dari faktor-faktor internal
maupun eksternal individu tersebut (Wahyudi, 2010).
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengungkap variasi gaya manajemen
konflik individu dalam ruang lingkup organisasi. Seperti penelitian yang dilakukan oleh
Farmer & Roth (1998); Brewer, Mitchell & Weber (2002); Slabbert (2004) yang
menghasilkan temuan bahwa status organisasi individu berpengaruh terhadap gaya
manajemen konflik individu tersebut. Individu yang tergolong middle manager cenderung
menggunakan gaya manajemen konflik yang asertif (kompetisi dan kolaborasi) karena berada
dalam hirarki organisasi yang lebih tinggi, sedangkan individu yang tergolong junior
manager cenderung menggunakan gaya manajemen konflik yang tidak kooperatif dan tidak
asertif (menghindar) karena tindakannya didasarkan pada otoritas dan kepatuhan. Hasil
temuan penelitian sebelumnya juga mengungkap bahwa collaborating dan competing
memiliki dampak yang paling besar dalam efektivitas gaya manajemen konflik. Semakin
sering kolaborasi digunakan maka akan semakin banyak hasil konstruktif yang didapatkan
organisasi, sebaliknya, semakin sering kompetisi digunakan maka akan semakin banyak hasil
yang merusak atau dysfunctional outcomes dalam organisasi (Vliert et al. dalam Thomas,
Thomas & Schaubhut, 2008).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Havenga (2006) menyimpulkan bahwa individu
yang tergolong usia muda (dibawah 36 tahun) cenderung menggunakan gaya manajemen
konflik dominating dan obliging, sedangkan individu yang tergolong dalam usia yang lebih
tua (36-45 tahun, dan 45 tahun ke atas) cenderung menggunakan gaya manajemen konflik
integrating dan compromising. Variasi gaya manajemen konflik dalam organisasi juga
ditunjukkan pada penelitian Thomas et al. (2008), yang menjelaskan bahwa pria cenderung
menggunakan gaya manajemen konflik yang bersifat asertif yaitu kompetisi dan kolaborasi,
sebaliknya, wanita cenderung menggunakan gaya manajemen konflik yang bersifat
kooperatif seperti berkompromi, menghindar dan akomodasi. Rendahnya skor wanita dalam
penggunaan gaya manajemen konflik asertif berdampak pada kecenderungan wanita akan
turnover, segan untuk bernegosiasi, dan sering berada pada posisi no-win situation yang
tentunya kurang menguntungkan bagi wanita, karena seringkali berakhir pada pemberian gaji
yang rendah dan berkurangnya kesempatan untuk dipromosikan (Amantullah dalam Thomas
et al., 2008). Kecenderungan gaya manajemen konflik individu dalam organisasi tidak hanya
memberikan dampak pada individu tersebut, tetapi juga memberikan dampak pada organisasi
6
secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting bagi individu untuk mengetahui alternatif dan
strategi penggunaan gaya manajemen konflik, serta mengetahui kapan penggunaan yang
paling tepat.
Kajian dan penelitian yang dipaparkan mendukung kesimpulan bahwa terdapat variasi
gaya manajemen konflik pada individu dalam organisasi. Namun penelitian-penelitian yang
dilakukan masih terbatas pada organisasi yang bersifat profit dan dalam ruang lingkup
ekonomi, sedangkan LK UKSW sendiri adalah organisasi non profit yang berkecimpung
dalam dunia pendidikan, yang tentunya mengalami jenis konflik yang berbeda dengan
organisasi dari kajian dan penelitian-penelitian yang telah dipaparkan. Oleh karena itu,
penulis bermaksud melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana gambaran gaya
manajemen konflik pada mahasiswa yang tergabung dalam Lembaga Kemahasiswaan
UKSW.
Melalui penelitian ini penulis berharap dapat memberikan gambaran kepada Pembantu
Rektor III dan Koordinator Bidang Kemahasiswaan (Koorbidkem), sebagai pihak yang
menaungi Lembaga Kemahasiswaan di UKSW, serta mahasiswa yang tergabung di LK
UKSW, mengenai kondisi gaya manajemen konflik yang ada di LK UKSW. Selain itu, hasil
dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada segenap fungsionaris LK
UKSW mengenai alternatif-alternatif untuk mengatasi konflik berdasarkan gaya manajemen
konflik yang sudah diketahui, sehingga konflik yang muncul di LK dapat diselesaikan dengan
baik.
METODE
Partisipan
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa yang tergabung dalam
keanggotaan LK UKSW. Sedangkan sampel dalam penelitian ini berjumlah 183 fungsionaris
LK yang terdiri dari fungsionaris SMF, BPMF, SMU, dan BPMU. Adapun yang menjadi
karakteristik sampel dalam penelitian ini adalah fungsionaris LK yang sedang dalam masa
tugas periode 2013-2014, dan sedang aktif menjabat dalam susunan organisasi LK UKSW,
bukan Pemegang Jabatan Sementara (PJS).
Prosedur Sampling
Teknik pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah purposive
sampling. Adapun jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 183 fungsionaris,
dari jumlah total fungsionaris LK UKSW sebanyak 600 fungsionaris. Sampel terdiri dari 72
fungsionaris laki-laki dan 111 fungsionaris perempuan; 70 fungsionaris berstatus sebagai
7
pimpinan dan 113 fungsionaris berstatus sebagai anggota, yang telah memenuhi kriteria
sampel dalam penelitian ini.
Pengukuran
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah
Thomas-Kilmann Conflict Mode Instrument (TKI) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Alat ukur ini dikembangkan dari dua dimensi dasar manajemen konflik yang
dikembangkan
oleh
Thomas
dan
Kilmann
yaitu
assertiveness
(keasertifan)
dan
cooperativeness (kerja sama) (Thomas & Kilmann, 2007). TKI terdiri dari 30 item yang
disusun berdasarkan model penskalaan paired comparison. Setiap item pada alat ukur ini
disusun berpasangan dengan membandingkan dua pernyataan A dan B, yang masing-masing
pernyataannya merujuk pada gaya manajemen konflik tertentu. Responden akan diminta
untuk memilih salah satu dari pasangan tersebut yang paling menggambarkan keadaan
dirinya. Dalam penelitian ini, responden juga diminta untuk menjabarkan identitas diri, status
organisasi dan periode bertugas di LK.
Selanjutnya, untuk mengetahui sejauh mana tingkat keandalan alat ukur yang
digunakan, penulis melakukan uji reliabilitas menggunakan teknik test-retest, yang kemudian
akan dihitung dengan akan rumus pearson correlation. Hasil koefisien korelasi alat ukur TKI
dalam pada penelitian ini adalah sebesar 0,75. Berdasarkan kategori reliabilitas Azwar
(2011), maka reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini tergolong cukup tinggi dan layak
digunakan sebagai alat ukur penelitian.
Prosedur Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif
deskriptif. Penelitian ini akan di lakukan di lingkungan sekitar kampus UKSW dan di tempattempat penyelenggaraan kegiatan LK UKSW. Penulis akan membagikan angket TKI yang
nantinya akan diisi oleh fungsionaris LK UKSW yang telah memenuhi kriteria sebagai
sampel penelitian. Selanjutnya, berselang dua minggu kemudian, penulis akan memilih 37
responden yang telah mengisi angket TKI sebelumnya untuk kembali mengerjakan angket
TKI untuk kepentingan uji reliabilitas alat ukur dengan teknik test-retest. Selain itu, penulis
juga melakukan wawancara terhadap beberapa responden untuk mengungkap dampak dari
kecenderungan gaya manajemen konflik fungsionaris terhadap LK secara keseluruhan.
Data yang sudah terkumpul nantinya akan dianalisis secara deskriptif menggunakan
aplikasi microsoft excel 2007. Penyajian hasil analisis deskriptif dapat berupa frekuensi dan
persentase, tabulasi silang, serta berbagai bentuk grafik dan chart pada data yang bersifat
8
kategorikal serta berupa statistik-statistik kelompok (antara lain mean dan varians) pada data
yang bukan kategorikal (Azwar, 2010).
HASIL PENELITIAN
Responden dibagi ke dalam beberapa kategori menurut jenis kelamin dan status
organisasinya. Berikut ini pada Tabel 2 merupakan jumlah (N) responden dan persentase
fungsionaris LK UKSW berdasarkan jenis kelamin dan status organisasinya.
Tabel 2. Data Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di LK UKSW
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Total
Status Organisasi
Pimpinan
Anggota
N
%
N
%
30
42,86
42
37,17
40
57,14
71
62,83
70
100
113
100
Total (N)
72
111
183
Untuk menghitung persentase, penulis menggunakan rumus sebagai berikut :
%
=
dengan n adalah angka yang akan dicari persentasenya, dan N adalah jumlah total kelompok.
Dari jumlah keseluruhan responden dalam penelitian ini, diketahui bahwa terdapat
42,86% fungsionaris laki-laki yang berstatus sebagai pimpinan LK, dan sebanyak 57,14%
fungsionaris perempuan berstatus sebagai pimpinan LK. Sedangkan fungsionaris laki-laki
yang berstatus sebagai anggota adalah sebanyak 37,17%, dan fungsionaris perempuan yang
berstatus sebagai anggota adalah sebanyak 62,83% dari total keseluruhan responden.
Berdasarkan data tersebut, penulis kemudian mengelompokkan responden menurut
gaya manajemen konfliknya untuk mengetahui penyebaran gaya manajemen konflik pada
mahasiswa yang tergabung di LK UKSW dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.
60
50
40
30
20
10
0
50
47
36
32
18
Gambar 2. Penyebaran gaya manajemen konflik di LK
9
Pada grafik batang di atas, dapat diketahui bahwa gaya compromising, adalah gaya
yang paling banyak digunakan oleh fungsionaris LK, tercatat sebanyak 50 fungsionaris
(27,32%) menggunakan gaya ini. Kemudian gaya manajemen konflik yang juga banyak
digunakan oleh fungsionaris LK adalah avoiding sebanyak 47 fungsionaris (25,68%), diikuti
dengan gaya accomodating sebanyak 36 fungsionaris (19,67%). Sedangkan fungsionaris LK
yang menggunakan gaya collaborating adalah sebanyak 32 fungsionaris (17,49%), dan yang
paling jarang digunakan oleh fungsionaris LK adalah gaya competing, yaitu 18 fungsionaris
(9,84%).
Untuk mengetahui lebih dalam mengenai variasi gaya manajemen konflik di LK,
penulis mengelompokkan gaya manajemen konflik menurut jenis kelamin dan status
organisasinya. Tabel 3 berikut ini merupakan sebaran jumlah dan persentase gaya manajemen
konflik berdasarkan jenis kelamin dan status organisasinya.
Tabel 3. Gaya manajemen konflik pada mahasiswa yang tergabung dalam LK UKSW
Gaya Manajemen konflik
Competing
Collaborating
Compromising
Avoiding
Accomodating
Total
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
N
%
N
%
6
8,33
12
10,81
10 13,89
22
19,82
17 23,61
33
29,73
20 27,78
27
24,32
19 26,39
17
15,32
72
100
111
100
Status organisasi
Pimpinan
Anggota
N
%
N
%
7
10,00
11
9,73
17 24,29
15
13,27
16 22,86
34
30,09
14 20,00
33
29,20
16 22,86
20
17,70
70
100
113
100
Dari hasil pengelompokan gaya manajemen konflik menurut jenis kelaminnya,
diketahui bahwa penggunaan gaya avoiding di antaranya terdapat 27,78% fungsionaris lakilaki dan 24,32% fungsionaris perempuan. Gaya compromising yang merupakan gaya yang
paling banyak digunakan di LK, di antaranya terdapat 23,61% fungsionaris laki-laki, dan
29,73% fungsionaris perempuan. Untuk gaya accomodating, terdapat 26,39% fungsionaris
laki-laki dan 15,32% fungsionaris perempuan yang menggunakan gaya ini. Pada gaya
collaborating, diketahui penggunanya adalah 13,89% fungsionaris laki-laki, dan 19,82%
fungsionaris perempuan. Sedangkan fungsionaris yang cenderung menggunakan gaya
competing, di antaranya sebesar 8,33% merupakan fungsionaris laki-laki, dan 10,81%
merupakan fungsionaris perempuan. Untuk memperjelas perbandingan gaya manajemen
konflik berdasarkan jenis kelamin, maka data tersebut dibuat dalam bentuk diagram pie
seperti pada gambar 3 berikut ini.
10
Laki-laki
8,33%
13,89%
26,39%
27,78%
23,61%
Perempuan
10,81%
Competing
Collaborating
Compromising
Avoiding
Accomodating
15,32%
24,32%
Competing
Collaborating
19,82%
Compromising
Avoiding
29,73%
Accomodating
Gambar 3. Gaya manajemen konflik di LK menurut jenis kelamin
Selanjutnya, dari hasil pengelompokkan gaya manajemen konflik menurut status
organisasinya, dapat diketahui bahwa fungsionaris LK yang menggunakan gaya
collaborating terdiri dari pimpinan sebanyak 24,29% dan anggota sebanyak 13,27%. Pada
penggunaan gaya compromising, diketahui sebanyak 22,86% pimpinan dan 30,09% anggota
yang menggunakan gaya ini. Kemudian gaya avoiding, diketahui penggunaannya pada
pimpinan sebanyak 20,00% dan pada anggota 29,20%. Untuk gaya accomodating, terdapat
22,86% pimpinan dan 17,70% anggota yang menggunakannya. Sedangkan gaya competing,
terdapat 10,00% pimpinan dan 9,73% anggota yang menggunakan gaya ini. Pada gambar 4
berikut ini adalah perbandingan gaya manajemen konflik menurut status organisasinya.
Pimpinan
10,00%
22,86%
24,29%
20,00%
22,86%
Anggota
9,73%
Competing
17,70%
Collaborating
13,27%
Compromising
Avoiding
29,20%
30,09%
Accomodating
Competing
Collaborating
Compromising
Avoiding
Accomodating
Gambar 4. Gaya manajemen konflik LK berdasarkan status organisasi
Penulis kemudian menggabungkan kedua kategori tersebut ke dalam tabel tabulasi
silang untuk mengetahui kaitan antara gaya manajemen konflik dengan kategori jenis
kelamin dan status organisasi. Tabel 4 berikut ini merupakan tabel tabulasi silang untuk gaya
manajemen konflik berdasarkan jenis kelamin dan status organisasinya.
11
Tabel 4. Tabel tabulasi silang penyebaran gaya manajemen konflik LK
Status organisasi
Gaya manajemen konflik
Competing
Collaborating
Compromising
Avoiding
Accomodating
Total
Pimpinan
Laki-laki
Perempuan
N
%
N
%
2
2,86
5
7,14
5
7,14
12 17,14
7
10,00
9
12,86
7
10,00
7
10,00
9
12,86
7
10,00
30 42,86 40 57,14
N = 70
% = 100
Anggota
Laki-laki
Perempuan
N
%
N
%
4
3,54
7
6,19
5
4,42
10
8,85
10
8,85
24
21,24
13 11,50 20
17,70
10
8,85
10
8,85
42 37,17 71
62,83
N = 113
% = 100
Dari tabel tabulasi di atas, dapat dilihat bahwa pada pimpinan, baik laki-laki maupun
perempuan memiliki kecenderungan untuk menggunakan gaya collaborating (17,14%);
accomodating (12,86%); dan compromising (12,86%). Berbeda dengan pimpinan, anggota
yang berjenis kelamin laki-laki memiliki kecenderungan untuk menggunakan gaya avoiding
(11,50%), sedangkan anggota yang berjenis kelamin perempuan cenderung menggunakan
gaya compromising (21,24%), dan avoiding (17,70%).
PEMBAHASAN
Berdasarkan analisa data secara deskriptif, diketahui bahwa secara umum mahasiswa
yang tergabung di LK UKSW cenderung menggunakan gaya compromising (27,32%) dan
avoiding (25,68%). Maka dapat diketahui kondisi pengelolaan konflik compromising di LK
muncul dalam bentuk seperti, banyak melakukan negosiasi dan tawar menawar (exchanging
concessions), membagi peluang yang ada bersama lawan konflik, dan menggabungkan
gagasan-gagasan yang ada antara pihak-pihak yang berkonflik. Sedangkan kondisi
pengelolaan konflik avoiding di LK muncul dalam bentuk seperti, menunda atau menarik diri
dari permasalahan, menghindari pembahasan isu yang rentan konflik dan mengancam, serta
menghindari pihak-pihak tertentu yang sedang berkonflik. Gaya yang paling jarang
digunakan oleh mahasiswa yang tergabung di LK adalah gaya competing (9,84%); diikuti
dengan gaya collaborating (17,49%) dan accomodating (19,67%). Keadaan ini bisa
diakibatkan oleh beberapa hal, beberapa di antaranya adalah jenis kelamin (Thomas &
Schaubhut, 2008); Havenga, (2006) dan status organisasi (Farmer & Roth, 1998); Brewer,
Mitchell dan Weber (2002); Slabbert (2004).
Berdasarkan data yang diperoleh penulis, diketahui bahwa gaya manajemen konflik
yang paling sering muncul pada fungsionaris laki-laki adalah avoiding (27,78%),
12
accomodating (26,39%), dan compromising (23,61%) karena berada di atas 20%. Sedangkan
gaya yang sering muncul pada fungsionaris perempuan adalah compromising (29,73%),
avoiding (24,32%), dan collaborating (19,82%). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Thomas et al. (2008); Havenga (2006); Weber et al. (2002), yang menjelaskan
bahwa wanita cenderung menggunakan gaya manajemen konflik yang bersifat kooperatif
seperti compromising dan avoiding. Tetapi pada fungsionaris laki-laki menunjukkan hasil
yang berbeda dengan penelitian sebelumnya. Thomas et al. (2008); Webber et al. (2002);
Havenga (2006); dan Wirawan (2010) menjelaskan bahwa pria cenderung menggunakan gaya
manajemen konflik yang bersifat asertif yaitu competing dan collaborating. Sebaliknya, hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa competing adalah gaya yang paling jarang digunakan oleh
fungsionaris laki-laki, diketahui penggunaannya adalah sebesar 8,33%. Broverman et al.
(dalam Webber et al., 2002) menjelaskan bahwa penggunaan gaya yang bersifat asertif pada
pria dikarenakan pria cenderung akan mengembangkan karakteristik maskulin seperti agresif,
independen, kompetitif, dan asertif, sedangkan perempuan cenderung mengembangkan
karakteristik feminin seperti emosional, sensitif, dan kooperatif. Lemahnya penggunaan gaya
competing di LK baik pada fungsionaris laki-laki maupun perempuan diakibatkan oleh sistem
organisasi di LK yang lebih mengutamakan kebebasan dalam berpendapat. Seperti yang
tertuang dalam Ketentuan Umum Keluarga Mahasiswa (KUKM) Pasal 35 mengenai
mekanisme pengambilan keputusan, yang mengatakan bahwa pengambilan keputusan di LK
dilakukan atas dasar musyawarah untuk mufakat, apabila dengan musyawarah kesepakatan
belum tercapai maka akan dilakukan lobi, jika lobi masih belum mencapai kesepakatan maka
keputusan akan di ambil dengan pemungutan suara (KUKM UKSW, 2011). Mekanisme
tersebut lebih mendukung penggunaan gaya colaborating dan compromising yang
mengedepankan negosiasi dan win-win solution, daripada gaya competing yang berorientasi
pada kekuasaan dan tidak adanya negosiasi.
Faktor lain yang juga menyebabkan variasi gaya manajemen konflik dalam organisasi
adalah status organisasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa yang tergabung
di LK dan menjabat sebagai pimpinan cenderung menggunakan gaya collaborating
(24,29%); compromising (22,86%); dan accomodating (22,86%). Gaya compromising dan
accomodating ini memiliki persentase yang sama pada kategori pimpinan LK, yang berarti
kedua gaya ini sering muncul dalam usaha penyelesaian konflik di tingkat pimpinan. Lain
halnya dengan penyebaran gaya manajemen konflik pada anggota, gaya yang paling sering
muncul adalah compromising (30,09%) dan avoiding (29,20%). Hasil tersebut sesuai dengan
pernyataan Slabbert (2004); Weber (2002); Thomas, Thomas & Schaubhut (2008); dan
13
Wirawan (2010) yang menjelaskan bahwa individu yang tergabung dalam lower
organizational status cenderung menggunakan gaya manajemen konflik yang kooperatif
seperti compromising dan avoiding karena tindakannya didasarkan pada otoritas dan
kepatuhan. Hasil yang berbeda terdapat pada penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa
individu yang tergolong upper organizational status cenderung menggunakan gaya yang
asertif seperti competing dan collaborating. Sebaliknya, hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa gaya competing merupakan gaya yang paling jarang digunakan di aras pimpinan.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 14 & 15 Agustus
2014, diketahui bahwa lemahnya penggunaan gaya competing di aras pimpinan diakibatkan
karena LK merupakan organisasi non profit yang memberikan beban kerja dan tanggung
jawab yang besar kepada anggota dalam aktivitas organisasi. Sehingga pimpinan LK
berusaha tidak menggunakan gaya competing demi menjaga hubungan baik dengan anggota,
menciptakan iklim organisasi yang kondusif, dan meningkatkan kinerja anggota.
Penyebaran gaya manajemen konflik di LK dapat dilihat dengan lebih rinci setelah
penulis mengklasifikasikan setiap gaya dengan menggabungkan kedua kategori yaitu jenis
kelamin dan status organisasi. Dari penggabungan tersebut diketahui bahwa baik pimpinan
laki-laki maupun perempuan cenderung menggunakan gaya collaborating, compromising,
dan accomodating dalam usaha-usaha penyelesaian konfliknya. Sedangkan pada anggota,
baik laki-laki maupun perempuan memiliki kecenderungan untuk menggunakan gaya
avoiding dan compromising. Dari hasil tersebut terlihat jelas bahwa pengelolaan konflik di
tingkat pimpinan sudah tepat sasaran, hanya saja di tingkat anggota masih perlu lebih
ditingkatkan lagi penggunaannya. Penulis mencoba mengumpulkan informasi dengan
kembali mewawancarai beberapa responden dalam penelitian ini untuk mengetahui gambaran
dari pengelolaan konflik LK antara pimpinan dan anggota, yang terjadi dalam kurun waktu
periode 2013-2014. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis, diketahui terdapat
beberapa hal yang mengindikasikan penggunaan gaya manajemen konflik yang tidak selaras
antara pimpinan dan anggota. Beberapa di antaranya adalah, (1) seringnya terjadi
kesalahpahaman antara fungsionaris LK dan panitia terkait dengan pemahaman konsep
kegiatan mahasiswa, yang berakibat pada perubahan konsep keseluruhan kegiatan; (2)
keterlambatan dalam pengurusan proposal kegiatan mahasiswa oleh pengurus kegiatan, yang
pada akhirnya menghambat kinerja fungsionaris LK; (3) defisit anggaran kegiatan mahasiswa
yang berujung pada penggunaan uang pribadi mahasiswa; (4) dan menurunnya minat
mahasiswa dalam berorganisasi di LK.
14
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, dapat diketahui bahwa pada poin 1 dan 2
menunjukkan adanya penggunaan gaya manajemen konflik collaborating dan accomodating
di aras pimpinan. Penggunaan gaya collaborating terlihat dari persetujuan fungsionaris LK,
untuk merubah konsep kegiatan, dengan maksud mereduksi konflik dengan anggota atau
panitia, supaya tujuan organisasi tetap tercapai namun tidak merusak hubungan antaranggota.
Selanjutnya penggunaan gaya manajemen konflik accomodating terlihat dari keputusan
fungsionaris LK untuk memberikan toleransi waktu pada anggota apabila terdapat
keterlambatan dalam pengurusan proposal kegiatan. Pemberian toleransi waktu sebenarnya
merugikan fungsionaris LK karena akan menghambat kinerja berikutnya, namun tetap
dilakukan dengan maksud membantu anggota menyelesaikan tugasnya. Pada poin 2 juga
terlihat penggunaan gaya avoiding oleh anggota, mengingat keterlambatan ini terjadi karena
lemahnya koordinasi antara pimpinan dan anggota.
Selanjutnya, poin 3 dan 4 menunjukkan adanya penggunaan gaya manajemen konflik
compromising pada pimpinan dan anggota, serta avoiding pada anggota. Penggunaan uang
pribadi dalam kegiatan mahasiswa menunjukkan bahwa fungsionaris LK baik pimpinan
maupun anggota tetap ingin menyelesaikan persoalan namun dengan beban yang sama,
sehingga hubungan baik antaranggota tetap terjalin. Apabila defisit anggaran hanya ditangani
oleh satu pihak saja, tentu saja akan memberatkan pihak tersebut untuk menggunakan uang
pribadinya. Bagi fungsionaris LK, kondisi tersebut menjadi salah satu pengalaman yang
kurang menyenangkan, yang berakibat pada menurunnya minat fungsionaris LK untuk
kembali bertugas pada periode selanjutnya. Situasi tersebut menunjukkan penggunaan gaya
manajemen konflik avoiding, yang menyebabkan LK diisi oleh mahasiswa yang belum
memiliki pengalaman dalam berorganisasi.
Kecenderungan fungsionaris LK yang berjenis kelamin laki-laki dalam penggunaan
gaya manajemen konflik yang bersifat kooperatif (avoiding dan accomodating) merupakan
temuan baru terhadap penelitian gaya manajemen konflik dalam kaitannya dengan jenis
kelamin. Hal ini berarti fungsionaris laki-laki dan perempuan di LK UKSW memiliki
kecenderungan gaya manajemen konflik yang sama-sama bersifat kooperatif. Apabila
penggunaan gaya manajemen konflik antara laki-laki dan perempuan berbeda, sesungguhnya
tidak memberikan implikasi secara langsung pada organisasi, namun, implikasi secara
langsung akan dialami individu dalam organisasi tersebut (Thomas, Thomas & Schaubhut
2008). Seperti yang disampaikan Amantullah (dalam Thomas et. al., 2008), rendahnya skor
wanita dalam penggunaan gaya manajemen konflik asertif berdampak pada kecenderungan
wanita akan turnover, segan untuk bernegosiasi, dan sering berada pada posisi no-win
15
situation yang tentunya kurang menguntungkan bagi wanita, karena seringkali berakhir pada
berkurangnya
kesempatan untuk
dapat
menduduki
posisi
penting di
organisasi.
Kecenderungan gaya manajemen konflik yang sama antara laki-laki dan perempuan di LK
justru berdampak pada terbukanya peluang yang sama bagi fungsionaris laki-laki maupun
perempuan dalam kehidupan organisasi. Hal tersebut terlihat dari fungsionaris laki-laki yang
menjabat sebagai pimpinan sebanyak 42,86% dan fungsionaris perempuan sebanyak 57,14%.
Hasil penelitian ini juga menyimpulkan bahwa fungsionaris LK yang berstatus sebagai
pimpinan memiliki kecenderungan gaya yang bersifat asertif (collaborating, compromising &
accomodating). Thomas (2002) menjelaskan bahwa keuntungan penggunaan gaya yang
bersifat asertif (collaborating & compromising) khususnya di aras pimpinan, dapat
meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, meningkatkan kreativitas, dan memperkuat
hubungan antaranggota. Dalam penggunaan gaya ini, diperlukan interpersonal skills, situasi
organisasi yang kondusif, keterbukaan terhadap ide-ide baru dan kepercayaan antaranggota
organisasi (Thomas, 2002). Kemudian, fungsionaris LK yang menjabat sebagai anggota
cenderung menggunakan gaya yang kooperatif (compromising & avoiding). Oleh karena itu
melalui penelitian ini penulis menyarankan pada pimpinan LK untuk tetap mempertahankan
penggunaan gaya manajemen konflik collaborating, compromising & accomodating karena
dinilai sudah efektif dan tepat sasaran. Namun pada tingkat anggota, penggunaan gaya
manajemen konflik perlu lebih ditingkatkan lagi meningat penggunaan gaya avoiding dinilai
merugikan organisasi, karena dapat merusak hubungan antaranggota, memperbesar konflik
ketika tidak segera terselesaikan, dan menurunkan mutu pengambilan keputusan (Thomas,
2002). Kecenderungan anggota LK dalam penggunaan gaya compromising dan avoiding
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain yaitu, fungsionaris LK yang berstatus sebagai
anggota pada periode 2013-2014 merupakan mahasiswa yang belum memiliki pengalaman di
LK, selain itu terbatasnya pelatihan gaya manajemen konflik dan problem solving juga
menyebabkan anggota LK kurang mendapat pengetahuan mengenai cara-cara pengelolaan
konflik.
Dari paparan di atas, maka penulis menyarankan untuk diadakannya pelatihan gaya
manajemen konflik agar dapat membekali fungsionaris LK khususnya anggota, terkait
dengan teknik-teknik penyelesaian konflik serta untuk mengasah kemampuan gaya
manajemen konflik fungsionaris LK. Untuk itu, pihak-pihak yang menaungi LK UKSW
seperti Pembantu Rektor III, Koorbidkem dan segenap jajaran fungsionaris LK UKSW dapat
bekerjasama untuk menyelenggarakan pelatihan gaya manajemen konflik, problem solving
dan perencanaan strategis kepada fungsionaris LK UKSW. Pelatihan yang sudah ada, seperti
16
Latihan
Menengah
Kepemimpinan
Mahasiswa
(LMKM)
dan
Latihan
Lanjutan
Kepemimpinan Mahasiswa (LLKM) dinilai masih belum mampu menjawab kebutuhan
fungsionaris LK terkait dengan kemampuan mengelola konflik, karena pada pelatihan
tersebut pembekalan gaya manajemen konflik hanya diberikan dalam satu kali pelatihan
dengan durasi 120 menit. Pelatihan gaya manajemen konflik yang diberikan sebaiknya berisi
tentang gambaran alternatif gaya manajemen konfik beserta kelebihan dan kekurangan dari
masing-masing gaya, penerapan gaya manajemen konflik pada situasi yang tepat, dan skill
yang diperlukan dalam penggunaan gaya tersebut. Thomas (2002) menyatakan bahwa
penggunaan gaya manajemen konflik dapat sangat efektif apabila individu mengetahui kapan
penggunaan yang tepat pada masing-masing gaya, serta memiliki ketrampilan yang cukup
untuk menerapkan setiap gaya. Penelitian yang dilakukan oleh Abubakar (2008)
menyimpulkan bahwa pemberian pelatihan gaya manajemen konflik dapat meningkatkan
kinerja individu secara signifikan.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan program magang
fungsionaris LK dengan maksimal. Narasumber yang ditemui oleh penulis menyampaikan
bahwa hingga akhir periode 2013-2014, program magang fungsionaris LK belum dilakukan
secara sistematis dan terarah, sehingga seusai mengikuti program magang, mahasiswa masih
belum memahami fungsi dan perannya sebagai fungsionaris LK. Hal ini dikarenakan belum
adanya ketentuan maupun kurikulum yang mengatur tentang program magang, sehingga LK
UKSW belum memiliki acuan untuk materi pembekalan pada program magang. Program
magang perlu untuk dimaksimalkan mengingat calon fungsionaris LK yang belum memiliki
pengalaman organisasi membutuhkan proses penyesuaian terhadap kehidupan berorganisasi
di LK UKSW. Pada pelaksanaan program magang, sebaiknya calon fungsionaris LK dibekali
dengan gambaran konflik organisasi dan persoalan-persoalan yang kerap muncul di LK, serta
alternatif gaya manajemen konflik yang dapat dilakukan.
Kekurangan dalam penelitian ini antara lain yaitu, sampel dalam penelitian ini terbatas
pada mahasiswa yang tergabung di LK UKSW, yang tentunya memiliki iklim organisasi
yang berbeda dengan organisasi lainnya sehingga hasil penelitian ini tidak dapat
digeneralisasikan pada organisasi lainnya, terutama organisasi yang berorientasi pada profit.
Penelitian ini tidak mengukur kinerja individu, sehingga efektivitas setiap gaya manajemen
konflik tidak dapat ditaksir. Pada saat pengambilan data, penulis kurang memperhatikan
situasi lapangan saat partisipan sedang mengisi alat ukur, sehingga banyak ditemukan
responden yang hasilnya tidak konsisten saat diujikan kembali. Selanjutnya, alat ukur yang
digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen TKI yang telah diterjemahkan ke dalam
17
Bahasa Indonesia. Pada saat proses penerjemahan, penulis masih belum berhasil untuk
sepenuhnya mengkaitkan dengan konteks organisasi mahasiswa khususnya LK UKSW,
sehingga beberapa item tetap sulit dipahami meskipun telah diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia. Pada akhirnya, penelitian ini hanya menggambarkan penggunaan gaya manajemen
konflik LK pada satu masa periode saja (2013-2014), yang tentunya mengalami jenis konflik
yang berbeda dengan periode-periode sebelumnya. Oleh karena itu, hasil penelitian ini tidak
dapat digunakan untuk memprediksi gambaran pengelolaan konflik di LK pada periode
selanjutnya. Disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui
perkembangan penggunaan gaya manajemen konflik pada fungsionaris LK UKSW. Bagi
peneliti selanjutnya, diharapkan untuk lebih mendalami lagi fenomena yang ada dengan
menambahkan kategori seperti pengalaman organisasi, usia, tipe kepribadian, maupun
karakteristik perkerjaan. Selain itu, penerjemahan alat ukur TKI dapat lebih disesuaikan
dengan karakteristik organisasi yang menjadi partisipan penelitian.
18
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, S. B. A. (2008). Pengaruh Pelatihan Manajemen Konflik Pada Kepala Ruangan
Terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit DR. H.
Marzoeki Mahdi Bogor. Universitas Indonesia. Tesis. Tidak Diterbitkan.
Ahmed, I., Nawaz, M, Muhammad., Shaukat Z, Muhammad., Usman, A. (2010). Personality
Does Affect Conflict Handling Style: Study of Future Manager. International Journal of
Trade, Economics and Finance, 1, 268-270.
Azwar, S. (2008). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Azwar, S. (2011). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Bercovitch, J. (2011). Conflict and conflict management in organizations: A framework
analysis. Journal of Conflict Resolution, 12, 104-123.
Brewer, N., Mitchell, P. & Weber, N. (2002). Gender role, organizational status and conflict
management style. The International Journal of Conflict Management,13, 78-94.
De Dreu, W. C., & Gelfand, J.M. (2008). The Psychology of conflict and conflict
management in organizations. New York : Taylor & Francis Group, LLC.
Endarmoko, E. (2006). Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Farmer, M.S. & Roth, J. (1998). Conflict handling behavior in Work Groups : Effects of
Groups Structure, Decision Processes and Time. Small Group Research Publication, Inc.
29 (6), 669-713.
Goel, D. & Khan, I. (2012). Predictive role of personality on conflict management strategies
of individuals in IT sector: Indian perspective. New Delhi : Departement of Social Work.
Havenga, W. (2006). Relationship between gender, age status differences and conflict
management style in small bussines. Johannesburg, South Africa : Departement of
Human Resource Management, University of Johannesburg.
Huan, J. L. & Yaznadifard, R. (2012). The Difference of conflict management styles and
conflict resolution in workplace. Bussines & Entrepreneurship Journal, 1(1), 141-155.
Ivancevich, J.M., Konopaske, R. & Matteson, M.T. (2005). Organizational behavior and
management. New York : McGraw-Hill International Edition.
Juanita, S. (2002). Manajemen konflik dalam suatu organisasi. USU. Digital Library.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. (2013). Retrieved October 13, 2013 from
http://kbbi.web.id .
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (2013).
Mendikbud:
Mahasiswa
menjadi
prioritas
utama.
Retrieved
from
http://www.dikti.go.id/id/2013/03/01/mendikbud-mahasiswa-menjadi-prioritas-utama/
19
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (2002).
Peraturan Perundangan: Pelarangan Organisasi Ekstra Kampus atau Partai Politik
dalam Kehidupan Kampus. Retrieved from http://www.dikti.go.id/id/peraturanperundangan/files/atur/SKDirjen26-DIKTI-Kep-2002LaranganOrganisasiKampus.docx
Kusnadi, A. (2009). Management for a great life. Jakarta : Elex Media Komputindo.
Lee, L.K. (2008). An Examination between the relationship of conflict management style and
employees satisfaction. International Journal of Business and Management. 3 (9), 1125.
Lewis, T.C. (1997). Conflict management as the essence of leadership: An Update. The
Journal of Leadership & Organizational Studies, 4 (3), 20-31.
Luthans, F. (2011). Organizational behavior: an evidence-based approach. 12th Edition.
New York : McGraw-Hill Companies, Inc.
Notosusanto, N. (1985). Menegakkan wawasan almamater. Jakarta: UI-Press
Rahim, A.M. (2001). Managing conflict in organization. London: Greenwood Publishing
Group , Inc.
Robbins, P.S. (2002). Essentials of organizational behavior. New Jersey : Pearson Education,
Inc.
Robbins, P.S. & Judge A.J. (2008). Perilaku organisasi. Buku 2. Jakarta : Salemba Empat.
Schaubhut, A. N. (2007). Technical brief for the Thomas-Kilmann conflict mode instrument:
Description of The Update Normative Sample and Implications For Use. California :
CPP Research Departement, Inc.
Slabbert, A.D. (2004). Conflict management styles in traditional organisations. The Social
Sciene Journal, 41, 83-92.
Sugiyono (2012). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta
Sugiyono (2013). Statistika untuk penelitian. Bandung : Alfabeta.
Thomas, K. W. & Kilmann, H. R. (2007). Thomas-Kilmann conflict mode instrument.
Mountain View, California: CPP, Inc.
Thomas, K. W. (2002). Introduction to conflict management. Mountain View, California:
CPP, Inc.
Thomas, K. W. & Thomas, F. G (2008). Conflict style of men and wommen at six
organization levels. International Journal of Conflict Management, 14, (2), 1-38.
Universitas Kristen Satya Wacana. 2011. Ketentuan Umum Keluarga Mahasiswa Bab III
Tahun 2011 Tentang Lembaga Kemahasiswaan. KUKM 2011. Salatiga.
20
Wahyudi. (2011). Manajemen konflik dalam organisasi. Bandung : Alfabeta, cv.
Wirawan. (2010). Konflik dan manajemen konflik: Teori, aplikasi dan penelitian. Jakarta:
Salemba Humanika.
Winardi (2007). Manajemen konflik: konflik perubahan dan pengembangan. Bandung : CV.
Mandar Maju
21
Download