Bab 2 Landasan Teori Pada bab ini, penulis akan menguraikan teori yang akan digunakan sebagai landasan teori dalam penelitian skripsi. Teori yang digunakan oleh penulis sebagai konsep induk adalah konsep shuushin koyou yang terdapat dalam konsep tiga pilar dalam manajemen perusahaan Jepang. Dan sebagai konsep pendukung penulis menggunakan konsep tiga pilar dalam manajemen Jepang, konsep ie dan konsep loyalitas dalam perusahaan Jepang. 2.1 Konsep Tiga Pilar dalam Manajemen Jepang Salah satu faktor yang membuat Jepang dapat bangkit kembali dalam bidang ekonomi adalah tiga pilar manajemen dalam perusahaan Jepang yang dibentuk setelah perang dunia II. Firkola (2006, hal.118) menjelaskan asal usul tiga pilar manajemen Jepang dalam jurnalnya yang berjudul “Japanese Management Practices Past and Present”, sebagai berikut: The economic environment in which these management practices were cultivated is important. During the postwar period of the 1950s to the 1970s, Japan was rebuilt and its economy grew rapidly. Japanese companies were trying to catch up with their Western counterparts. Workers dedicated themselves to their companies, and education system implemented after the war helped create an educated workforce. It was at this time that Japanese companies reintegrated three key management practices: lifetime employment, seniority and enterprise unions, into a company’s overall personnel system. These three practices were first identified by Abegglen in his book in the late 1950s. Each of these practices will be examined along with their advantages and disadvantages. Terjemahan Sistem ekonomi yang diterapkan oleh manajemen ini sangat penting. Pada masa-masa perang setelah tahun 1950-1970, Jepang menjalani kembali masa pembangunan mereka dan ekonomi mereka bertumbuh drastis dalam masa tersebut. Perusahaan-perusahaan Jepang pada berusaha untuk berkembang dan bersaing dengan perusahaan-perusahaan di negara Barat. Para pekerja mendedikasikan diri mereka sepenuhnya untuk perusahaan mereka dan sistem pendidikan yang diterapkan setelah perang sangat berfokus kepada pekerjaan. Di saat seperti ini perusahaan Jepang menerapkan tiga kunci praktek manajemen: pekerjaan seumur hidup, senioritas dan serikat pekerja berbasis korporasi. Tiga praktek ini pertama kali dibahas oleh Abegglen dalam bukunya yang diterbitkan pada akhir tahun 1950. Setiap kunci praktek ini akan dipelajari dan dipertimbangkan dari segi positif dan negatif. Tiga pilar penting ini merupakan ciri khas dalam model manajemen perusahaanperusahaan Jepang. Ketiga pilar penting tersebut adalah (shuushin koyou) bekerja pada satu perusahaan sampai masa pensiun, (nenkoujyouretsu) kompensasi pekerjaan berdasarkan senioritas, dan (kigyou betsu kumiai) serikat pekerja berbasis korporasi (Kurniawan, 2010, hal.1). Takeshi (1981) dalam Kurniawan (2010, hal.11) menjelaskan bahwa sistem kerja seumur hidup (lifetime employment), dimana dengan semakin lama pekerja bekerja dalam satu perusahaan, maka semakin besar pula rasa memiliki akan perusahaan tersebut, sehingga terdapat hasrat untuk melindungi dan mengembangkan usaha mereka. Kemudian mengenai senioritas dalam perusahaan. Senioritas dalam pekerjaan telah menjadi elemen dasar dalam menjaga kestabilan kerja dan upah kerja. 2.2 Konsep Shuushin Koyou 「終身雇用」Bekerja Seumur Hidup Tsuboi (1990, hal.87) menjelaskan mengenai makna sistem shuushin koyou (bekerja seumur hidup), sebagai berikut: 終身雇用制は lifetime employment system あるいは permanent employment と表現されている。いずれも生涯雇用を意味しているが、必ずしも終 身雇用制の中身を正確に表現しているとはいい難い。まず、終身雇用 制は、周知 のように生涯雇用ではない。文字通りの身が終るまで会社 が雇用してくれるわけではなく、わが国では 55 歳 ~60 歳で定年(強制 退職)がある。 Terjemahan Shuushin koyousei secara harafiah berarti ‘sistem pekerjaan seumur hidup’ atau ‘pekerjaan permanen’. Secara harafiahnya memang demikian, namun secara makna, sulit untuk dijelaskan seperti itu. Pertama-tama, shuushin koyousei bukanlah sistem yang benar-benar seumur hidup seperti yang diketahui pada umumnya. Maknanya bukan berarti diperkerjakan sampai seumur hidup oleh perusahaan, di negara kami usia pensiun pada umur 55-60 tahun (wajib pensiun). Lebih lanjut Michihiro (2008, hal.131) menjelaskan makna sistem shuushin koyou: 終身雇用制とは言うまでもないが、大学を卒業して人度就職すると、 定 年を迎えるまで雇用が保障されると言う制度である” 。 “ Terjemahan “Sistem kerja seumur hidup tanpa harus disebut lagi, adalah sistem dimana seseorang bekerja di satu tempat saja setelah lulus dari universitas, dimana pekerjaannya terjamin oleh perusahaan sampai dia memasuki usia pensiun”. Setelah memahami makna shuushin koyou barulah penulis memasuki pembahasan mengenai penerapan konsep shuushin koyou dalam perusahaan Jepang yang banyak memperkerjakan karyawan yang baru lulus dari universitas. Woronoff et al, (1985) dalam Sullivan & Peterson (1999, hal.79) menjelaskan tentang konsep shuushin koyou di perusahaan Jepang, yaitu: Lifetime employment refers to the practice whereby large Japanese firms hire many of their employees directly from high school or university, employees who are expected to stay with the firm or its subsidiary companies until at least the time of normal retirement between 55 and 60 years of age. Terjemahan Perekrutan bekerja seumur hidup memacu pada praktik dimana perusahaan besar Jepang merekrut banyak karyawan langsung dari universitas atau SMA (sekolah menangah atas). Karyawan dituntut untuk bekerja sampai dengan batas standar pensiun yaitu antara umur 55-60. Hal ini juga semakin diperkuat oleh pendapat Rowland (1985) yang diterjemahkan oleh Simamora (1992, hal.103), sebagai berikut: Perusahaan lebih suka merekrut karyawan yang berasal dari kalangan alumni baru universitas dan melatih serta membina mereka mulai dari jenjang yang terbawah ketimbang merekrut spesialis yang siap pakai. Karena lulusan baru belum dipengaruhi oleh nilai-nilai selain nilai-nilai dari keluarga. Sehingga akan lebih mudah bagi perusahaan dalam memperkenalkan dan menanamkan budaya perusahaan kepada karyawan baru yang baru lulus dari universitas atau SMA. Seperti yang diungkapkan oleh Lawanda (2009, hal.213) penerimaan pegawai baru di perusahaan Jepang (kaisha) pada umumnya menekankan pada lulusan baru dan upaya penanaman nilai-nilai budaya perusahaan. Lulusan baru memudahkan pengaturan penempatan kedudukan dan penggajian yang ditentukan berdasarkan umur. Tidak hanya berdasarkan umur, manajemen perusahaan Jepang juga melihat faktor lain, yaitu jenis kelamin. Seperti yang diungkapkan oleh Takanashi (1994) dalam Lawanda (2009, hal.221), sebagai berikut: Sistem shuushin koyou hampir seluruhnya beraplikasi untuk pekerja laki-laki di dalam perusahaan besar yang berada di sektor publik. Perusahaan Jepang agak membedakan pengembangan karir perempuan sebagaimana ada dalam tradisi. Shuushin Koyou, pelatihan internal (nyushashiki) dan gaji berdasarkan senioritas dan sistem promosi (nenkoujyoretsu) diaplikasikan secara eksklusif untuk laki-laki. Perempuan ditempatkan di bagian luar dari pusat karir dan mereka diperlakukan seperti kelompok tenaga kerja sementara dalam jangka pendek. Kira-kira sepertiga pekerja pria di Jepang (yakni mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan besar yang telah mapan), bergabung ke perusahaannya begitu selesai kuliah dan akan terus membela perusahaan tersebut sampai tiba saat pensiunnya atau jika perusahaannya bangkrut. Meskipun mereka memang tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, sejak awal mereka telah mencanangkan komitmen untuk selalu bersama-sama perusahaan, dalam situasi senang atau pun susah (Waters, 1995, hal.24). Reischauer (2001, hal.320) menjelaskan mengenai pelatihan internal (nyushashiki) yang diberikan pada awal bekerja, sebagai berikut: In their early years they are all trained thoroughly, often through advanced study in Japan or abroad and through a variety of jobs in order to broaden their knowledge of the company’s activities, though the most promising are likely to be given the most challenging assignments. Terjemahan Pada tahun-tahun awal bekerja para lulusan yang baru masuk dilatih secara menyeluruh, seringkali pelatihan diberikan di Jepang atau sampai ke luar Jepang. Isi dari pelatihan itu sendiri adalah pemberian bermacam-macam pelatihan kerja yang dilakukan untuk membuka wawasan mereka seluasluasnya mengenai aktivitas perusahaan. Didalam dunia pemerintahan pun terdapat sistem umum seperti seleksi, pelatihan, promosi dan pensiun. Seperti yang diungkapkan oleh Reischauer (2001, hal.321), sebagai berikut : This general system of selection, training, promotion, and retirement is also used by the various ministries and agencies of the central government. Bureaucrats when they retire usually take advisory positions in the government or more frequently in business, where their income remains much the same but the duties are much lighter. Terjemahan Sistem umum yang terdiri dari seleksi, pelatihan, promosi dan pensiun ini juga digunakan oleh berbagai kementerian dan lembaga-lembaga yang ada di pusat pemerintahan. Ketika seorang pejabat pensiun biasanya mereka akan menempati posisi penasehat dalam sebuah pemerintahan atau lebih seringnya dalam dunia bisnis, dimana pendapatan mereka tetap sama tetapi tugas jauh lebih ringan. Sedangkan penerapan konsep kerja seumur hidup bagi pimpinan eksekutif di Jepang sama sekali tidak ada batasannya. Hal ini diungkapkan oleh Reischauer (2001, hal.323), sebagai berikut: Lifetime employment for persons in executive positions is by no means limited to Japan. It is common in most military organizations and in many civilian branches of government. But the extension of this system to labor is a unique feature of the Japanese system. Terjemahan Penerapan konsep kerja seumur hidup bagi pimpinan eksekutif di Jepang sama sekali tidak ada batasannya. Hal tersebut merupakan hal yang biasa pada kebanyakan organisasi militer dan beberapa bagian sipil dari pemerintahan. Namun perluasan dari konsep ini menjadi sesuatu yang bersifat kerja keras dan merupakan bagian yang unik dari sistem Jepang. Konsep kerja seumur hidup menurut pandangan Firkola (2006, hal.118): Lifetime employment refers to the practice of allowing workers to remain with company throughout their work life. Lifetime employment was not unique to Japan and was practiced in other countries, particularly in goverment and military organizations. Unlike other countries, however, lifetime employment in Japan was widespread throughout most organizations, in particular, large companies. The lifetime employment agreement was unwritten and there was no written contract guaranteeing that the individual could stay with that company until retirement. Not all workers received lifetime employment, however. It was limited to male university and high school graduates in large companies, meaning that roughly 30 percent of the workforce had lifetime employment. Female workers were mainly hired as part-time contingency workers, and were encouraged to leave the company after they were married. Terjemahan Pekerjaan seumur hidup mengacu kepada praktek yang memungkinkan pekerja untuk tetap dengan perusahaan sepanjang hidup pekerjaan mereka. Pekerjaan seumur hidup itu tidak unik ke Jepang dan dipraktekan di negaranegara lain, terutama di organisasi pemerintah dan militer. Tidak seperti negara-negara lain, akan tetapi, pekerjaan seumur hidup di Jepang paling tersebar luas di Organisasi, khususnya, perusahaan besar. Perjanjian kerja seumur hidup itu tidak tertulis dan tidak ada kontrak tertulis yang menjamin seseorang dapat tinggal dengan perusahaan itu sampai pensiun. Namun, tidak semua pekerja menerima pekerjaan seumur hidup. Hal ini terbatas untuk universitas laki-laki dan lulusan SMA di perusahaan besar, yang berarti bahwa sekitar 30 persen dari angkatan kerja memiliki pekerjaan seumur hidup. Terutama, para pekerja perempuan kemungkinan dipekerjakan sebagai pekerja paruh waktu, dan dianjurkan meninggalkan perusahaan setelah mereka menikah. Penerapan konsep pekerjaan seumur hidup ini diintegrasikan ke dalam perusahaan melalui beberapa proses seperti yang dijelaskan oleh Firkola (2006, hal.118) berikut ini: Lifetime employment was integrated into the company through recruitment, training and transfer practices. For university graduates and certain high school graduates this meant joining a company after graduation and working with that same company until about age 55. Students would be recruited during their final year of university or high school. The recruit agreed to take on general employment rather than being hired for a specific job in that company; it was understood that young Japanese were looking for a company and not a job. Recruitment was thus an exchange of commitment: the recruit agreed to join the company and the company assumed the obligation of looking after him for as long as possible. Terjemahan Pekerjaan seumur hidup diintegrasikan kedalam perusahaan melalui perekrutan, pelatihan dan transfer. Ini berarti untuk lulusan universitas dan beberapa lulusan SMA bergabung dengan perusahaan setelah lulus dan bekerja dengan perusahaan yang sama sampai usia 55. Siswa akan direkrut selama tahun terakhir mereka di universitas atau sekolah tinggi. Persetujuan merekrut untuk mengambil pekerjaan umum bukannya dipekerjakan untuk pekerjaan tertentu di dalam perusahaan itu; ini telah dimengerti oleh anak muda Jepang yang sedang mencari perusahaan dan bukan pekerjaan. Perekrutan itu adalah pertukaran komitmen; yang direkrut setuju untuk bergabung dengan perusahaan dan perusahaan bertanggung jawab untuk merawat yang direkrut untuk waktu yang selama mungkin. Masih mengenai penerapan konsep kerja seumur hidup oleh Reischauer (2001, hal.323) : The lifetime employment system is essentially the same for executives and workers, though it started earlier with executives. It began to be important for labor only after World War I and became the dominant system in big business only after World War II. It succeeds in building almost as much loyalty to the company among workers as among executives. Terjemahan Penerapan konsep kerja seumur hidup pada dasarnya sama untuk pimpinan eksekutif dan pekerja level rendah, walaupun pada awalnya konsep ini diterapkan oleh pimpinan eksekutif. Konsep ini mulai menjadi penting bagi pekerja setelah Perang Dunia I dan menjadi konsep yang dominan bagi para pekerja setelah Perang Dunia II. Hal ini sukses dalam membangun loyalitas kepada perusahaan diantara para pekerja dan juga para eksekutif. Merupakan sebuah keuntungan bagi para eksekutif dengan adanya sistem bekerja seumur hidup ini, karena dapat mengurangi konflik internal dan dapat membangun loyalitas terhadap perusahaan. Seperti pendapat Reischauer (2001, hal.323), berikut ini: “On the other hand, Japan’s system of lifetime employment for executives has the advantage of reducing internal frictions and building up great loyalty to the company or branch of government a person joins”. Terjemahan “Di sisi lain, sistem kerja seumur hidup Jepang untuk para eksekutif mempunyai keunggulan untuk mengurangi konflik internal dan membangun loyalitas yang tinggi terhadap perusahaan atau cabang pemerintah yang diikuti oleh orang tersebut”. Sebenarnya konsep kerja seumur hidup merupakan tradisi di Jepang. Seperti yang dikatakan oleh Rowland (1985) yang diterjemahkan oleh Simamora (1992, hal.103104) : Sesuatu tradisi penting dari pola-pola kehidupan perusahaan, industri dan birokrasi pemerintah di Jepang adalah komitmen untuk mempekerjakan karyawannya seumur hidup. Orang Jepang sangat menyukai kepastian kerja yang disajikan di bawah sistem kerja yang seperti ini, karena menurut mereka dapat menarik dan melahirkan karyawan yang setia dan kreatif. Dan, pada umumnya setiap karyawan Jepang, bila ia memulai karirnya pada sebuah perusahaan, bertekad untuk bekerja pada perusahaan itu sampai masa pensiunnya. Bahkan tempat bekerjanya itu nanti dapat digantikan oleh anak atau sanak keluarganya (Herujito, 2001, hal. 269). Lawanda (2009, hal.210) berpendapat bahwa, pengabdian karyawan menyerahkan hidupnya untuk perusahaan menghasilkan penghargaan dari perusahaan dalam gaji, bonus dan fasilitas yang berlangsung seiring dengan kedudukan dan kemampuan pegawai. Penghargaan atas kerja berdasarkan pada kedudukan berlangsung secara otomatis mengikuti usia dan masa kerja. Meskipun demikian kerja tidak hanya untuk memperoleh gaji dan bonus, melainkan merepresentasikan diri sebagai anggota dari komunitas yang harus diperjuangkan bersama. Pemutusan hubungan kerja biasanya bukan merupakan pilihan apabila perusahaan akan “melangsingkan” usahanya. Sebaliknya, anggota perusahaan biasanya bersedia berkorban bagi kepentingan bersama dengan memotong gaji atau upah mereka untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan (Hartanto, 2009, hal.335). Menurut Iwata (1982) dalam Hartanto (2009, hal.333) di lingkungan perusahaan Jepang, di mana terdapat keterikatan sosial yang kuat, biasanya konsep maju dan bertumbuh kembang bersama mewarnai seluruh kehidupan kerja dan usaha. Tidaklah mengherankan bahwa pekerja biasanya bekerja seumur hidup (life-long employment) bagi suatu perusahaan tertentu, artinya pekerja hanya bekerja pada satu perusahaan sampai pensiun selama keberadaaan perusahaan tidak dipertaruhkan. Selain itu, konsekuensi lain dari praktek bekerja seumur hidup adalah upaya perusahaan untuk mengadakan pelatihan yang dijalankan secara berencana dengan topik yang bervariasi sesuai dengan perkembangan kebutuhan perusahaan. Di samping jaminan pekerjaan seumur hidup, tipikal pekerja Jepang menerima banyak tunjangan tambahan dari perusahaan. Pinjaman bank dan hipotik diberikan kepada karyawan-karyawan seumur hidup dengan asumsi mereka tidak akan kehilangan pekerjaan mereka, dan dengan begitu juga tidak akan kehilangan kemampuan untuk membayar kembali (Cateora et al, 2007, hal.379). Fiona Graham dalam buku yang berjudul Inside The Japanese Company (2003) telah melakukan penelitian mengenai sistem shuushin koyou. Fiona Graham meneliti sebuah perusahaan bernama C-Life yang bergerak dibidang asuransi. Berdasarkan penelitian Fiona Graham disebutkan bahwa sistem shuushin koyou di beberapa perusahaan Jepang lebih mengacu kepada sebuah tujuan akhir berupa peningkatan jenjang karir dan upah yang pasti daripada kenyataan yang memperlihatkan kondisi ekonomi yang sulit (Graham, 2003, hal.67). Cateora et al. (2007, hal.379) mengatakan seberapa paternalistis sebenarnya tipikal perusahaan Jepang dapat diilustrasikan oleh pernyataan dari Kementrian Luar Negeri Jepang yang memberi contoh dari A, seorang pekerja laki-laki yang dipekerjakan dalam sebuah perusahaan yang cukup representatif di Tokyo. Untuk memulainya, A tinggal dalam sebuah rumah yang disediakan oleh perusahaan, dan sewa yang dibayarnya secara menakjubkan sangat rendah dibandingkan dengan sewa rata-rata kota. Perusahaan membayar perjalanan hariannya antara rumah dan pabrik. Jam kerja A adalah dari jam 9 pagi sampai 5 sore dengan istirahat untuk makan siang di mana dia biasa melakukannya di restoran perusahaan dengan harga yang sangat murah. Dia seringkali membawa pulang makanan, pakaian, dan barang-barang lainnya yang telah dia beli di toko perusahaan dengan potongan harga berkisar dari 10 persen sampai 30 persen di bawah harga kota. Toko perusahaan bahkan menyediakan furnitur, lemari pendingin dan perangkat televisi beserta pemasangannya, jika diperlukan. A bisa mendapatkan pinjaman dari perusahaan hampir bebas bunga. Jika jatuh sakit, A diberi perawatan medis gratis dalam rumah sakit perusahaan, dan jika penyakitnya berlanjut sampai beberapa tahun, perusahaan akan terus membayar hampir penuh seluruh gajinya. Perusahaan memelihara rumah penginapan di tepi pantai atau rumah peristirahatan gunung di mana A dapat menghabiskan waktu pada hari libur atau sesekali di akhir minggu bersama keluarganya dengan harga lunak. Harus juga diingat bahwa saat A mencapai usia pensiun (biasannya 55) dia akan menerima uang pensiun yang dibayarkan sekaligus atau dana pensiun, yang manapun yang dia pilih akan menjamin kehidupan yang relatif stabil untuk sisa hidupnya. 2.3 Konsep Ie Davies & Ikeno (2002, hal.119) menjelaskan berbagai macam makna ie di Jepang, sebagai berikut: Traditionally, the Japanese word ie has a variety of meaning: (1) a building that is used as a residence, (2) a family or household, (3) a group that consists of a family according to the old Japanese civil code, and (4) the family line that descends from one’s ancestors and that will continue into the future. Terjemahan Menurut tradisi, kata ie memiliki berbagai makna: (1) sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal, (2) sebuah keluarga atau rumah tangga, (3) sebuah kelompok yang terdiri dari keluarga sesuai dengan peraturan orang Jepang dulu, dan (4) garis keluarga yang turun temurun dari leluhur dan akan terus berlanjut di masa depan. Takeda (1981) dalam Davies & Ikeno (2002, hal.119) juga menjelaskan dasar dari konsep ie, sebagai berikut: The foundation of ie are thought to be based on the worship of ancestors. For most Japanese, except for the emperor and the aristocrats, the origins and names of one’s ancestors were not usually known; nevertheless, all households had ancestors that they worshiped. These ancestors were percievied as a unity of souls of all the ancestors who had been part of the family line since the ie was found. Terjemahan Dasar dari pemikiran konsep ie didasarkan pada penyembahan leluhur. Untuk sebagian besar orang Jepang, kecuali kaum kaisar dan bangsawan, asal usul dan nama nenek moyang seseorang yang biasanya tidak diketahui; namun, semua rumah tangga mempunyai leluhur yang disembah oleh mereka. Leluhur-leluhur yang dianggap sebagai kesatuan jiwa dari semua leluhur yang telah menjadi bagian dari garis keluarga sejak didirikan. Davies & Ikeno (2002, hal.120) mengenai konsep ie di Jepang, sebagai berikut: Patriarchism is one of the main characteristics of ie. Under this system, the head of household, who was generally the senior male, decided on the actions of its members and had the absolute power of control over the family, for example, his consent was needed when family members married, and they had to obey his orders respectfully. Terjemahan Patrialisme adalah salah satu karakteristik utama dari ie. Di bawah sistem ini, Kepala rumah tangga, yang biasanya adalah laki-laki yang paling tua, memutuskan tindakan anggotanya dan mempunyai kekuasaan yang absolut atas kontrol semua keluarga. Sebagai contoh, persetujuan kepala keluarga dibutuhkan pada saat anggota keluarga menikah, dan mereka harus menghormati perintahnya. Lebih lanjut Davies & Ikeno (2002, hal.119) juga menjelaskan tentang konsep ie, sebagai berikut: “The succession of lineage was extremely important in this system. The notion that all family members belonged to the same lineage made them unite, cooperate, and support the ie”. Terjemahan “Suksesnya garis keturunan sangat penting dalam sistem ini. Gagasan bahwa semua anggota keluarga memiliki garis keturunan yang sama membuat mereka bersatu, bekerja sama, dan mendukung ie itu sendiri”. Davies & Ikeno (2002, hal.121) menjelaskan tentang posisi wanita dalam konsep ie di Jepang, sebagai berikut: The position of women was low in the ie system, since it was believed that they were inferior to men. Even if they married well, women were in a weak position because they could be sent away for any reason. They had to adjust themselves to the customs f their husbands' ie and work hard to satisfy their husbands parents. Most important, they had the duty of bearing children, and if wives could not fulfill these obligations, they were often forced to divorce. Terjemahan Posisi wanita rendah dalam sistem ie, sejak diyakininya mereka lebih rendah dari pria. Bahkan sekalipun mereka menikah, wanita berada dalam posisi yang lemah karena mereka dapat dikirim pergi untuk alasan apapun. Mereka harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan suami mereka dan bekerja keras untuk memuaskan orang tua suami mereka. Yang paling penting, mereka memiliki tugas mengasuh anak, dan jika istri tidak bisa memenuhi kewajiban, mereka sering dipaksa untuk bercerai. Jadi, jika konsep ie dihubungkan dengan konsep shuushin koyou dan konsep loyalitas maka dapat di simpulkan sebagai berikut “Shuushin Koyou merupakan bentuk pengabdian kehidupan seseorang di dalam sebuah komunitas dan perusahaan yang muncul dalam kehidupan keluarga dan kerabat” (Lawanda, 2009, hal.220). 2.4 Konsep Loyalitas dalam Perusahaan Jepang Loyalitas merupakan hal yang membuat sistem karir di sebuah perusahaan Jepang berjalan dengan rapi. Berbeda dengan sistem karir yang ada di Asia dan Eropa, dimana keluar masuk pekerja dalam sebuah perusahaan merupakan hal yang wajar, di Jepang akan sangat jarang dijumpai pekerja yang keluar masuk perusahaan. Orang Jepang biasanya bertahan pada satu atau maksimal dua perusahaan sampai waktu pensiun tiba. Orang Jepang sanggup bekerja lembur tanpa mengharapkan bayaran, bahkan mereka rela bekerja tanpa di gaji karena menganggap pekerjaan adalah kewajiban. Mereka merasa lebih dihargai jika diberikan tugas yang pekerjaan yang menantang. Bagi mereka, jika hasil produksi meningkat dan perusahaan untung besar, maka secara otomatis mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam pikiran dan jiwa mereka hanya ada keinginan untuk melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan mencurahkan seluruh komitmen pada pekerjaan (Susilo, 2009, hal. 86). Tetapi (Waters, 1995, hal.25) berpendapat bahwa belakangan ini tingkat loyalitas tersebut sudah mulai menurun. Loyalitas seumur hidup tidak terdapat di semua perusahaan. Para manajer di Jepang, khususnya tingkat menengah kini mulai berpindah-pindah tempat kerja untuk mendapatkan karir atau penghasilan yang lebih memuaskan. Namun, loyalitas kerja orang-orang Jepang masih tetap jauh lebih tinggi daripada yang ada di negara-negara lain, khususnya di negara-negara Barat. Pihak perusahaan sendiri, di mana pun, sesungguhnya lebih suka jika memiliki staf yang setia. Beberapa perusahaan seperti Unilever dan ICI secara aktif mendorong pekerjanya untuk bekerja selama mungkin. Selama masa depresi pada tahun 1930-an IBM tidak satupun memecat pekerjanya. Namun, tentu saja perusahaan-perusahaan tersebut sulit mengharapkan loyalitas pekerja setinggi di Jepang (Waters, 1995, hal. 25). Pada umumnya para pengusaha Jepang, termasuk mereka yang beroperasi di negara-negara lain khususnya di Barat, lebih suka mengambil orientasi jangka panjang. Mereka jauh lebih suka memikirkan kelangsungan hidup perusahaannya sampai sekian puluh tahun mendatang daripada mengejar keuntungan besar dalam waktu singkat (Waters, 1995: 26). Struktur gaji di kebanyakan perusahaan Jepang bertumpu pada senioritas sehingga seorang pekerja yang lebih lama bergabung dengan perusahaan akan mendapatkan penghasilan yang lebih besar sekalipun bidang tugasnya sama saja dengan pekerja lain. Salah satu tujuan ditekankannya senioritas adalah memupuk loyalitas di kalangan para pekerja terhadap perusahaan (Waters, 1995, hal.27).