1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Helicobacter pylori berhubungan dengan banyak hal. Salah satunya dengan ghrelin. Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat berbagai perbedaan pendapat mengenai hubungan keduanya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keduanya berkorelasi negatif, sementara penelitian lain menunjukkan sebaliknya, bahkan ada pula yang menyebutkan bahwa keduanya tidak berhubungan. Helicobacter pylori adalah bakteri Gram negatif yang berkolonisasi di lambung dan merupakan penyebab penting ulkus dan karsinoma lambung (Marshall dan Warren, 1984). Dilaporkan bahwa infeksi Helicobacter pylori yang menetap dalam jangka panjang dapat menyebabkan gastritis atrofi dan meningkatkan risiko terjadinya adenokarsinoma lambung (Ernst dan Gold, 2000). Angka infeksi Helicobacter pylori di seluruh dunia adalah 50% (Correa dan Piazuelo, 2008). Angka kejadian infeksi Helicobacter pylori di dunia cukup tinggi yaitu 70-90% di negara berkembang dan 40-50% di negara industri (Fox dan Megraud, 2007); sedangkan di Denpasar adalah 41,2% (Sumandi, 2005). Ghrelin merupakan growth-hormone releasing peptide yang baru ditemukan dan sebagian besar dihasilkan oleh gastric X-like cell (Murray dkk, 2003). Ghrelin terbukti meningkatkan asupan makanan dan massa tubuh serta mengubah motilitas dan sekresi asam lambung (Wren dkk, 2001). Ghrelin juga 2 dilepaskan dalam jumlah kecil dari usus halus, ginjal, hipotalamus, pankreas, plasenta, dan kelenjar hipofisis (Buczkowska, 2005). Konsentrasi ghrelin dalam plasma meningkat sebelum makan dan menurun setelah makan. Ghrelin adalah hormon pertama dalam sirkulasi yang terbukti meningkatkan nafsu makan dan adipositas setelah diberikan secara sistemik pada hewan dan telah ditunjukkan bahwa ghrelin berpotensi merangsang nafsu makan dan asupan makanan pada manusia (Wren dkk, 2001). Sekresi asam lambung dipengaruhi oleh sistem saraf, sejumlah hormon seperti ghrelin dan somatostatin, serta infeksi Helicobacter pylori (Kaneko dkk, 2002). Hanya ada sedikit data dalam literatur mengenai hubungan antara Helicobacter pylori dengan ghrelin. Masaoka dkk pada tahun 2005 melaporkan satu kasus laki-laki 31 tahun dengan gastritis yang positif terinfeksi Helicobacter pylori. Pada kasus ini, kadar ghrelin total dan aktif dalam plasma menunjukkan tidak ada perubahan berarti setelah keberhasilan eradikasi berdasarkan follow-up jangka panjang (Masaoka dkk, 2005). Beberapa studi lain menunjukkan bahwa pada pasien yang positif terinfeksi Helicobacter pylori, kadar ghrelin dalam plasma secara bermakna lebih rendah dibanding pasien yang tidak terinfeksi Helicobacter pylori (Isomoto dkk, 2004; Isomoto dkk, 2005a). Sebaliknya, Gokcel dkk pada tahun 2003 melaporkan bahwa infeksi Helicobacter pylori tidak memiliki efek terhadap kadar ghrelin dalam plasma (Gokcel dkk, 2003). Karena masih adanya perbedaan hasil tersebut, melalui penelitian ini, penulis bertujuan untuk mengetahui infeksi Helicobacter pylori berkorelasi dengan kadar ghrelin 3 dalam plasma pada pasien dispepsia rawat inap di bagian penyakit dalam RSUP Sanglah Denpasar. 1.2 Rumusan Masalah Apakah infeksi Helicobacter pylori berkorelasi dengan kadar ghrelin dalam plasma pada pasien dispepsia di RSUP Sanglah? 1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui apakah infeksi Helicobacter pylori berkorelasi dengan kadar ghrelin dalam plasma pada pasien dispepsia di RSUP Sanglah. 1.4 Manfaat Penelitian Diharapkan penelitian ini dapat menjadi dasar bagi penelitian-penelitian selanjutnya terkait infeksi Helicobacter pylori dengan kadar ghrelin plasma baik dalam hal akademik maupun praktis. 4 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Helicobacter pylori Helicobacter pylori adalah bakteri Gram negatif yang berkolonisasi di mukosa lambung dan merupakan penyebab penting untuk terjadinya ulkus dan karsinoma lambung (Marshall dan Warren, 1984). Helicobacter pylori berbentuk kecil, melengkung, dan sangat motil. Sebagian besar penderita (>70%) ternyata asimtomatik (Logan dan Walker, 2002). Peran infeksi Helicobacter pylori pada kanker lambung semakin dikenal. Saat ini sedang dilakukan evaluasi mengenai peran infeksi tersebut pada penyakit saluran cerna atas (Suerbaum dan Michetti, 2002). Helicobacter pylori merupakan salah satu bakteri patogen yang paling sering ditemukan pada manusia. Prevalensinya bervariasi, namun rendah di sebagian besar negara maju. Seropositivitas meningkat seiring bertambahnya usia dan status sosioekonomi yang rendah (Malaty dan Graham, 1994; Logan dan Walker, 2002). Prevalensi pada usia dewasa pertengahan lebih dari 80% di banyak negara berkembang, sedangkan di negara maju sebesar 20-50% (Feldman, 2001; Rowland dkk, 1999). Angka kejadian infeksi Helicobacter pylori di dunia cukup tinggi yaitu 70-90% di negara berkembang dan 40-50% di negara industri (Fox dan Megraud, 2007); sedangkan di Denpasar adalah 41,2% (Sumandi, 2005). 5 Studi seroepidemiologi retrospektif menunjukkan efek kohort yang sesuai dengan hipotesis bahwa infeksi terutama diperoleh pada awal masa kanakkanak. Sampai saat ini, masih sulit melakukan penilaian secara akurat mengenai insiden dan rute infeksi karena ketidakakuratan serta biaya deteksi Helicobacter pylori (non-invasif) pada anak kecil. Akuisisi primer pada orang dewasa, atau reinfeksi setelah keberhasilan eradikasi memang dapat terjadi, namun lebih jarang; insiden tahunan adalah 0,3-0,7% di negara maju dan 6-14% di negara berkembang (Logan dan Walker, 2002). Infeksi didapat secara oral dan terutama ditransmisikan di antara anggota keluarga pada masa anak-anak (Feldman, 2001; Rowland dkk, 1999). Di negara maju, tampaknya transmisi secara langsung dari orang ke orang melalui muntahan, saliva, atau feses mendominasi; sedangkan transmisi lain seperti melalui air penting di negara berkembang (Parsonnet dkk, 1999; Goodman dkk, 1996). 2.2 Perjalanan Alamiah Infeksi Helicobacter pylori Meskipun Helicobacter pylori menginduksi gastritis inflamasi akut, namun respon imunologis host tersebut biasanya tidak cukup untuk mengeradikasi infeksi dan dapat menetap seumur hidup. Selain itu, infeksi dengan satu strain dari Helicobacter pylori tidak menghasilkan perlindungan terhadap ko-infeksi selanjutnya oleh strain lain yang berbeda. Infeksi oleh beberapa strain cukup sering terjadi dan lebih banyak ditemukan di negara berkembang. Infeksi poliklonal memungkinkan sejumlah strain untuk saling bertukar DNA. Hal 6 tersebut dapat meningkatkan penyebaran gen yang mengkode faktor virulensi penting ataupun resistensi terhadap antibiotik (Logan dan Walker, 2002). Helicobacter pylori dengan enzim urease dan produk lainnya telah beradaptasi sangat baik dalam cairan lambung. Ia juga memiliki heterogenitas genetik (tidak ada strain yang identik); studi menunjukkan bahwa diversitas tersebut memungkinkan setiap strain untuk beradaptasi dengan host (Logan dan Walker, 2002). Mukosa lambung sangat terlindungi dari infeksi bakteri. Helicobacter pylori mampu beradaptasi dengan baik pada ekologi tersebut. Ia mampu masuk ke dalam mukus, berenang, menyesuaikan diri dalam mukus, berikatan dengan sel epitel, menghindar dari respon imun, dan pada akhirnya mampu mengadakan kolonisasi persisten dan transmisi (Suerbaum dan Michetti, 2002). Setelah tertelan, Helicobacter pylori harus menghindar dari aktivitas bakterisidal isi lumen lambung dan kemudian masuk ke dalam lapisan mukosa. Produksi urease dan motilitas penting pada langkah pertama infeksi tersebut. Urease menghidrolisasi urea menjadi karbondioksida dan amonia yang memungkinkan Helicobacter pylori bertahan dalam lingkungan asam (Mobley, 2001). Aktivitas enzim tersebut diatur oleh pH-gated urea channel (UreI) yang terbuka pada pH rendah dan menghentikan influks urea pada kondisi netral (Weeks dkk, 2000). Motilitas penting untuk kolonisasi, dan flagel Helicobacter pylori telah beradaptasi dengan lingkungan lambung (Josenhans dan Suerbaum, 2001). 7 Helicobacter pylori menyebabkan inflamasi kontinyu pada lambung (Dooley dkk, 1989). Respon inflamasi ini awalnya terdiri dari perekrutan netrofil yang diikuti oleh limfosit T dan B, sel plasma, dan makrofag, bersama dengan kerusakan sel epitel (Goodwin dkk, 1986). Karena Helicobacter pylori jarang menginvasi mukosa lambung, respon host terutama dicetuskan oleh menempelnya bakteri ke sel epitel. Patogen tersebut kemudian berikatan dengan molekul majorhistocompatibility-complex (MHC) kelas II di permukaan sel epitel lambung yang nantinya menginduksi apoptosis (Fan dkk, 2000). Perubahan selanjutnya pada sel epitel bergantung pada protein yang dikode di cag-pathogenicity island (cag-PAI) dan pada translokasi CagA ke sel epitel lambung (Odenbreit dkk, 2000; Segal dkk, 1999). Urease dan porin Helicobacter pylori dapat berkontribusi pada ekstravasasi dan kemotaksis netrofil (Tufano dkk, 1994; Mai dkk, 1992). Epitel lambung pasien yang terinfeksi Helicobacter pylori mengalami peningkatan kadar interleukin-1β, interleukin-2, interleukin-6, interleukin-8, dan tumor necrosis factor-α (Yamaoka dkk, 1996; Yamaoka dkk, 1997; Crabtree dkk, 1991; Crabtree dkk, 1994). Di antara sitokin tersebut, interleukin-8 (kemokin pengaktivasi netrofil yang poten, diekspresikan oleh sel epitel lambung) memiliki peran sentral (Yamaoka dkk, 1996). Infeksi Helicobacter pylori menginduksi respon humoral sistemik dan mukosa yang hebat (Perez-Perez dkk, 1988). Produksi antibodi ini tidak menyebabkan eradikasi infeksi namun berkontribusi terhadap kerusakan jaringan. Sejumlah pasien yang terinfeksi Helicobacter pylori memiliki respon autoantibodi 8 terhadap H+/K+-ATPase sel parietal lambung yang berkorelasi dengan peningkatan atrofi pada korpus (Negrini dkk, 1997). Pada respon imun spesifik, muncul subgrup sel T. Sel tersebut berpartisipasi dalam proteksi mukosa dan membantu membedakan bakteria patogen dari bakteri komensal. Sel T helper (Th) imatur yang mengekspresikan CD4 dapat berdiferensiasi menjadi dua subtipe fungsional: sel Th1 yang mensekresikan interleukin-2 dan interferon-γ; dan sel Th2 yang mensekresikan interleukin-4, interleukin-5, dan interleukin-10. Sel Th2 menstimulasi sel B sebagai respon terhadap patogen ekstrasel, sedangkan sel Th1 sebagian besar diinduksi sebagai respon terhadap patogen intrasel. Karena Helicobacter pylori bersifat non-invasif dan menginduksi respon humoral yang kuat, diduga akan muncul respon sel Th2 (Harris dkk, 2000). Studi terhadap tikus dengan target gen menunjukkan bahwa sitokin Th1 menyebabkan gastritis, sedangkan sitokin Th2 bersifat protektif terhadap inflamasi lambung (Smythies dkk, 2000). Orientasi Th1 ini mungkin disebabkan oleh peningkatan produksi interleukin-18 di antrum sebagai respon terhadap infeksi Helicobacter pylori (Tomita dkk, 2001). Respon Th1 ini bersama dengan apoptosis klon sel T spesifik Helicobacter pylori yang dimediasi Fas berperan dalam persistensi Helicobacter pylori (Wang dkk, 2001). Selain kerusakan yang berhubungan dengan translokasi protein yang dimediasi cag-PAI, infeksi Helicobacter pylori menyebabkan cedera epitel melalui beberapa mekanisme lain. Kerusakan sel epitel dapat disebabkan oleh spesies oksigen reaktif atau spesies nitrogen reaktif yang dihasilkan oleh netrofil yang teraktivasi (Zhang dkk, 1996). Inflamasi kronik juga meningkatkan turnover 9 dan apoptosis sel epitel; mungkin disebabkan oleh efek kombinasi kontak langsung yang dimediasi Fas antara sel epitel dan sel Th1 serta interferon-γ (Rudi dkk, 1998). Tingkat ekspresi Fas, NF-κB, dan mitogen-associated protein (MAP) kinase nantinya akan diregulasi oleh interleukin-1β. Polimorfisme proinflamasi gen interleukin-1β membantu terjadinya gastritis dominan di korpus lambung, yang berhubungan dengan hipokhloridia, atrofi gaster, dan adenokarsinoma lambung. Jika polimorfisme proinflamasi tersebut tidak ada, gastritis yang dimediasi Helicobacter pylori akan terjadi dengan dominansi di antrum dimana sekresi asam lambung normal sampai tinggi (El-Omar dkk, 2001). Perjalanan alamiah infeksi Helicobacter pylori sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh faktor mikrobial dan host (Dixon, 2001). Outcome infeksi terutama bergantung kepada berat serta topografi gastritis secara histologis yang dapat ditentukan dari usia saat infeksi didapat. Infeksi saat bayi diduga menyebabkan pangastritis sedangkan akuisisi di masa kanak-kanak dapat menyebabkan gastritis predominan antrum (Logan dan Walker, 2002). Helicobacter pylori bertanggung jawab untuk sebagian besar ulkus duodenum dan lambung. Risiko ulkus peptikum pada pasien yang terinfeksi Helicobacter pylori berkisar dari 3% di Amerika Serikat sampai 25% di Jepang (Feldman, 2001; Schlemper dkk, 1996). Kanker lambung adalah penyebab kematian akibat kanker terbanyak kedua. Bukti yang sangat kuat menunjukkan bahwa Helicobacter pylori meningkatkan risiko kanker lambung (Parsonnet dkk, 1991; Nomura, dkk, 1991; Forman dkk, 1991). Infeksi Helicobacter pylori secara bermakna meningkatkan 10 risiko limfoma MALT pada lambung; dan 72-98% pasien dengan jenis limfoma ini terinfeksi Helicobacter pylori (Parsonnet dkk, 1994; Wotherspoon, 1998). Pola dan distribusi gastritis berkorelasi kuat dengan risiko sekuele klinis yaitu ulkus duodenum dan ulkus lambung, atrofi mukosa, karsinoma lambung, ataupun limfoma lambung. Pada gastritis predominan antrum (bentuk Helicobacter pylori yang paling banyak), terjadi kehilangan umpan balik regulasi (namun dengan korpus gaster pensekresi asam yang masih intak), dan beban asam tinggi yang mencapai duodenum menyebabkan berkembangnya metaplasia sel duodenum menjadi sel gaster. Metaplasia tersebut kemudian dikolonisasi oleh Helicobacter pylori dan menyebabkan duodenitis dan memberi risiko tinggi untuk terjadinya ulkus duodenum. Sedangkan pasien pangastritis (dengan inflamasi korpus dan atrofi multifokal) berhubungan dengan hilangnya sel-sel pensekresi asam yang meningkatkan risiko terjadinya ulkus lambung, atrofi lambung, metaplasia intestinal, dan pada akhirnya akan menjadi karsinoma lambung (Dixon, 2001; Logan dan Walker, 2002). 11 Gambar 2.1 Perjalanan Alamiah Infeksi Helicobacter pylori (Suerbaum dan Michetti, 2002). 2.3 Diagnosis Infeksi Helicobacter pylori Helicobacter pylori dapat dideteksi dari endoskopi melalui histologi, kultur, maupun tes urease, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Semua metode berbasis biopsi tersebut dapat mengalami kesalahan pengambilan sampel karena infeksi tersebut bersifat patchy. Sekitar 14% pasien tidak mengalami infeksi di antrum namun memiliki Helicobacter pylori di suatu tempat di lambung, terutama jika pasien tersebut mengalami atrofi gaster, metaplasia intestinal, ataupun refluks empedu. Selain itu, pasca-eradikasi dengan efektivitas parsial, infeksi dalam kadar rendah dapat terlewatkan pada biopsi melalui endoskopi. Hal ini menimbulkan overestimasi efikasi eradikasi dan tingkat 12 reinfeksi. Penghambat pompa proton mempengaruhi pola kolonisasi Helicobacter pylori di lambung dan mengurangi akurasi biopsi di antrum. Oleh karena itu, pedoman konsensus merekomendasikan untuk dilakukan biopsi multipel dari antrum dan korpus untuk histologi dan satu untuk metode lain (baik kultur maupun pemeriksaan urease) (Logan dan Walker, 2002). Pemeriksaan invasif 1. Histologi. Meskipun Helicobacter pylori dapat dikenali dari bagian yang diwarnai dengan hematoksilin dan eosin saja, dibutuhkan pengecatan tambahan (seperti Giemsa, Genta, Gimenez, perak Warthin-Starry, violet Creosyl) untuk mendeteksi infeksi dalam kadar rendah dan untuk menunjukkan karakteristik morfologi Helicobacter pylori. Keuntungan pemeriksaan secara histologi selain dapat disimpan, irisan dari biopsi dapat diperiksa kapanpun; dan adanya gastritis, atrofi, ataupun metaplasia intestinal dapat pula diperiksa. Spesimen biopsi dari bagian lain lambung dapat disimpan dalam formalin untuk diproses hanya jika histologi antrum tidak dapat disimpulkan (Logan dan Walker, 2002). 2. Kultur. Isolasi mikrobiologi adalah baku emas teoritis untuk identifikasi infeksi bakteri, namun kultur Helicobacter pylori kurang dapat dipercaya. Risiko pertumbuhan berlebih maupun kontaminasi membuatnya kurang sensitif, dan metode ini adalah metode yang paling tidak mudah dikerjakan bersama endoskopi. Meskipun hanya sedikit pusat kesehatan yang secara rutin menawarkan isolasi mikrobiologis Helicobacter pylori, prevalensi strain multiresisten membuat metode kultur dan uji sensitivitas terhadap 13 antibiotik menjadi persyaratan bagi pasien dengan infeksi persisten dengan kegagalan terapi (Logan dan Walker, 2002). 3. Uji urease. Metode ini bersifat cepat dan sederhana untuk deteksi infeksi Helicobacter pylori namun hanya menunjukkan ada atau tidaknya infeksi. Pemeriksaan CLO dan pemeriksaan urease yang lebih murah ternyata memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang serupa. Namun, sensitivitas pemeriksaan urease seringkali lebih tinggi dibanding metode berbasis biopsi karena seluruh spesimen biopsi ditempatkan di dalam media sehingga dapat menghindari sampel tambahan ataupun kesalahan proses terkait histologi maupun kultur. Sensitivitas pemeriksaan urease biopsi terlihat jauh lebih rendah (sekitar 60%) pada pasien dengan perdarahan saluran cerna atas. Namun kondisi tersebut dapat diperbaiki dengan menempatkan beberapa sampel biopsi di dalam satu vial untuk pemeriksaan (Logan dan Walker, 2002). Pemeriksaan non-invasif 1. Serologi. Infeksi Helicobacter pylori menimbulkan respon mukosa lokal dan antibodi sistemik. Antibodi IgG terhadap Helicobacter pylori dalam sirkulasi dapat dideteksi melalui antibodi enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) atau uji aglutinasi lateks. Pemeriksaan tersebut umumnya sederhana, reprodusibel, tidak mahal, dan dapat dilakukan terhadap sampel yang disimpan. Metode ini banyak digunakan dalam studi epidemiologi, termasuk studi retrospektif untuk menentukan prevalensi maupun insiden infeksi. Individu sangat bervariasi terkait respon antibodi terhadap antigen 14 Helicobacter pylori, dan tidak ada antigen yang sama yang dapat dikenali melalui serum dari semua subyek. Oleh karena itu akurasi pemeriksaan serologis bergantung kepada antigen yang digunakan sehingga penting untuk melakukan validasi lokal terhadap ELISA Helicobacter pylori. Pada orang tua dengan infeksi yang telah berlangsung lama, gastritis atrofi dikaitkan dengan hasil negatif palsu. Konsumsi obat anti-inflamasi nonsteroid juga dilaporkan mempengaruhi akurasi ELISA. Titer antibodi turun secara perlahan pasca-keberhasilan eradikasi sehingga serologi tidak dapat digunakan untuk menentukan eradikasi Helicobacter pylori ataupun untuk menentukan tingkat reinfeksi. Meskipun titer antibodi IgM terhadap Helicobacter pylori menurun seiring bertambahnya usia, tidak ada assay yang menunjukkan akuisisi baru. Karena infeksi ini biasanya asimtomatik, sulit untuk mengidentifikasi dan menegakkan jalur transmisi. Keuntungan metode serologi adalah perkembangan uji finger prick yang menggunakan assay fase solid terfiksir untuk mendeteksi adanya imunoglobulin Helicobacter pylori. Near patient test (NPT) dapat dilakukan di pusat kesehatan primer dan lebih sederhana dibanding 13C-urea breath test yang merupakan satu-satunya NPT yang digunakan saat ini. Namun akurasi NPT serologis lebih rendah dibanding yang dilaporkan untuk pemeriksaan ELISA standar menggunakan preparat antigen yang sama. Pemeriksaan ini sering digunakan untuk menenangkan pasien, namun saat ini belum ada studi yang membandingkan akurasi, efektivitas biaya, dan nilai jaminan 15 dari 13C-urea breath test dengan NPT serologis di pusat kesehatan primer. (Logan dan Walker, 2002). Tabel 2.1 Perbandingan Akurasi, Ketersediaan, dan Biaya Pemeriksaan Infeksi Helicobacter pylori (Logan dan Walker, 2002) Tes Sensitivitas Spesifisitas Ketersediaan Biaya Invasif Histologi 88-95% 90-95% ++++ >>>> Kultur 80-90% 95-100% ++ >>> Tes urease 90-95% 90-95% ++++ >>> Non-invasif 13 C-UBT 14 C-UBT Serologi : ELISA NPT Antigen feses 90-95% 86-95% 90-95% 86-95% ++++ +++ >>> >> 80-95% 60-90% 90-95% 80-95% 70-85% 90-95% +++ ++++ ++ > >> >> 2. Urea breath test (UBT). Deteksi non-invasif terhadap Helicobacter pylori melalui uji 13 C-urea breath test memiliki prinsip dasar yaitu larutan yang dilabel urea dengan karbon-13 akan dihidrolisasi secara cepat di sepanjang mukosa lambung dan melalui sirkulasi sistemik, diekskresikan sebagai 13 CO2 dalam udara ekspirasi. Pemeriksaan ini mendeteksi infeksi saat ini dan tidak bersifat radioaktif, dapat digunakan sebagai uji skrining untuk Helicobacter pylori, menilai eradikasi, dan mendeteksi infeksi pada anak. Pemeriksaan 14 C-urea breath test mirip dengan 13 C-urea breath test namun bersifat radioaktif dan tidak dapat dilakukan di pusat kesehatan primer (Logan dan Walker, 2002). 3. Faecal antigen test. Dalam pemeriksaan antigen di feses, ELISA sandwich sederhana digunakan untuk mendeteksi keberadaan antigen Helicobacter pylori yang terbungkus feses. Studi melaporkan sensitivitas dan 16 spesifisitas yang mirip dengan 13C-urea breath test (>90%), dan teknik ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai NPT. Keutungan utama dari pemeriksaan ini adalah dalam studi epidemiologi berskala besar terhadap akuisisi Helicobacter pylori pada anak (Logan dan Walker, 2002). Tabel 2.2 Rekomendasi untuk Diagnosis Helicobacter pylori dalam Maastricht III Consensus Report dengan Tingkat Bukti Ilmiah dan Derajat Rekomendasi (Malfertheiner dkk, 2007) Rekomendasi Tingkat Derajat bukti ilmiah rekomendasi Pemeriksaan non-invasif yang dapat digunakan 1a B untuk strategi test and treat adalah UBT dan pemeriksaan antigen feses. Beberapa alat pemeriksaan serologi dengan akurasi tinggi dapat digunakan. Penghambat pompa proton adalah sumber negatif 1b A palsu pada uji diagnostik, kecuali serologi. Penghambat pompa proton harus dihentikan minimal 2 minggu sebelum pemeriksaan dikerjakan. Serologi harus dipikirkan sebagai uji diagnostik 2 B jika pemeriksaan lain mungkin menghasilkan negatif palsu seperti pada pasien dengan perdarahan ulkus, atrofi gaster, limfoma Mucosa Associated Limphoid Tissue (MALT), dan penggunaan penghambat pompa proton serta antibiotik baru. Pemeriksaan serologi tidak semua ekuivalen dan 2b B dapat dilakukan beberapa pemeriksaan berbeda pada kondisi yang berbeda. Deteksi antibodi spesifik Helicobacter pylori di 1b A urin dan saliva saat ini belum memiliki peran dalam tatalaksana pasien namun dapat membantu dalam studi epidemiologis. Pemeriksaan NPT berbasis serologi saat ini belum 1 A memiliki peran dalam tatalaksana infeksi Helicobacter pylori. Deteksi faktor patogen Helicobacter pylori dan 3b D pemeriksaan polimorfisme gen host tidak membantu dalam tatalaksana infeksi Helicobacter pylori. Direkomendasikan untuk melakukan evaluasi 1b A lanjutan untuk memastikan keberhasilan eradikasi 17 menggunakan UBT jika tersedia. Jika tidak, dapat dikerjakan pemeriksaan antigen feses di laboratorium menggunakan antibodi monoklonal. Pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas 1b antimikroba harus dikerjakan secara rutin: Sebelum memberi terapi berbasis klaritromisin, jika resistensi primer terhadap klaritromisin >15-20% di area yang berutrutan. Setelah dua kali gagal dengan antibiotik yang berbeda. Harus dilakukan pemantauan untuk resistensi antibiotik primer di laboratorium rujukan di beberapa area yang berbeda. Pada pasien yang menjalani endoskopi tanpa 2 terapi sebelumnya, hasil pemeriksaan urease cepat yang positif cukup untuk memulai terapi. B A 2.4 Terapi Eradikasi Helicobacter pylori Tujuan terapi Helicobacter pylori adalah eradikasi organisme dari lambung. Eradikasi didefinisikan sebagai pemeriksaan Helicobacter pylori yang menunjukkan hasil negatif empat minggu atau lebih setelah terapi selesai. Pemeriksaan yang terlalu dini dapat menunjukkan hasil negatif palsu karena klirens ataupun supresi temporer terhadap Helicobacter pylori. Pemeriksaan terbaik untuk konfirmasi eradikasi adalah 13 C-urea breath test. Pemeriksaan faecal antigen test dapat digunakan sebagai alternatif di masa depan. NPT maupun pemeriksaan serologi dalam darah berbasis laboratorium tidak tepat di sini karena titer antibodi membutuhkan minimal enam bulan untuk mengalami penurunan (Logan dan Walker, 2002). Terapi Helicobacter pylori merupakan hal yang sulit karena cepat berkembangnya resistensi terhadap obat antibakteri, terutama terhadap nitroimidazol—lebih sering terjadi pada wanita dan pasien dari negara 18 berkembang karena mendapat terapi terhadap infeksi ginekologis atau diare infeksi sebelumnya. Resistensi terhadap klaritromisin dapat terjadi setelah kegagalan terapi atau setelah penggunaan obat tersebut untuk indikasi lain seperti infeksi saluran napas. Resistensi terhadap antibiotik selain nitroimidazol juga dapat terjadi, namun lebih jarang. 1. Terapi tripel dosis rendah. Rejimen eradikasi Helicobacter pylori yang paling menyeluruh adalah kombinasi penghambat pompa proton dengan dua jenis berikut: amoksisilin, klaritromisin, atau nitroimidazol, selama satu minggu. Terdapat sedikit efek samping, yang paling sering adalah mual, diare, dan gangguan pengecapan. Hasil dari studi acak besar dengan kontrol menunjukkan eradikasi Helicobacter pylori pada sekitar 90% pasien (Logan dan Walker, 2002). 2. Ranitidin-bismut-sitrat telah dikembangkan secara khusus untuk terapi infeksi Helicobacter pylori. Terapi ini memiliki sifat antisekresi dan antibakteri dari senyawa induknya namun dapat mencapai tingkat eradikasi yang baik hanya jika digunakan sebagai alternatif untuk penghambat pompa proton yang dikombinasi dengan klaritromisin dan metronidazol atau amoksisilin selama satu minggu (Logan dan Walker, 2002). 3. Terapi kuadrupel. Terapi tripel klasik dengan bismut lebih efektif jika diresepkan bersama dengan penghambat pompa proton (80-90% eradikasi Helicobacter pylori). Efikasi sangat bergantung kepada kepatuhan terhadap rejimen tersebut, dan terdapat banyak efek samping. Terapi ini 19 sebaiknya hanya digunakan oleh spesialis di rumah sakit untuk terapi pasien yang mengalami kegagalan dengan terapi tripel (Logan dan Walker, 2002). Di area dengan prevalensi rendah (<30%) untuk strain dari Helicobacter pylori yang resisten metronidazol, direkomendasikan untuk memberi terapi lini pertama yaitu terapi tripel dosis rendah yang terdiri dari penghambat pompa proton, metronidazol, dan klaritromisin selama satu minggu. Kepatuhan pasien terhadap terapi mungkin baik karena dosis yang hanya dua kali sehari dan efek samping yang minimal. Jika kemungkinan resistensi metronidazol tinggi, maka dapat dipilih kombinasi penghambat pompa proton dengan amoksisilin dan klaritromisin selama satu minggu (Logan dan Walker, 2002). Setelah terbukti adanya kegagalan terapi yang mengandung metronidazol, pasien sangat mungkin mengalami kolonisasi oleh strain resisten dari Helicobacter pylori. Pada kasus ini, diberikan terapi lini kedua yaitu kombinasi penghambat pompa proton dengan amoksisilin dan klaritromisin selama satu minggu, dengan keberhasilan sekitar 90%. Jika terapi Helicobacter pylori gagal setelah pemberian terapi yang mengandung klaritromisin dan pasien mungkin memiliki strain yang resisten terhadap metronidazol, maka kombinasi omeprazol dengan amoksisilin dan metronidazol maupun pemberian terapi kuadrupel adalah satu-satunya pilihan yang logis, dengan keberhasilan sekitar 75% (Logan dan Walker, 2002). 20 Tabel 2.3 Terapi Tripel Dosis Rendah untuk Eradikasi Helicobacter pylori (Logan dan Walker, 2002) Terapi Proton Pump Inhibitor 2x/hari Proton Pump Inhibitor 2x/hari Amoksisilin 1 g 2x/hari Klaritromisin 250 mg 2x/hari Klaritromisin 500 mg 2x/hari Metronidazol 400 mg 2x/hari Durasi 1 minggu Efek samping Mual, diare, gangguan pengecapan Eradikasi 90% 90% pada MSS 75% pada MRS MSS: metronidazole sensitive strain of H. pylori. MRS: metronidazole resistant of H. pylori. Tabel 2.4 Terapi Kuadrupel untuk Eradikasi Helicobacter pylori (Logan dan Walker, 2002) Terapi Proton Pump Inhibitor 1-2x/hari Colloidal bismuth citrate 120 mg 4x/hari Tetrasiklin 500 mg 4x/hari Metronidazol 400 mg 4x/hari Durasi 1 minggu Efek samping Mual, diare, gangguan pengecapan Eradikasi >75% pada MRS >90% pada MSS MSS: metronidazole sensitive strain of H. pylori. MRS: metronidazole resistant of H. pylori. Gambar 2.2 Pemilihan Rejimen Terapi untuk Eradikasi Helicobacter pylori (Logan dan Walker, 2002) 21 Tabel 2.5 Rekomendasi untuk Terapi Infeksi Helicobacter pylori dalam Maastricht IV/Florence Concensus Report dengan Tingkat Bukti Ilmiah dan Derajat Rekomendasi (Malfertheiner dkk, 2012) Pernyataan Tingkat Bukti Derajat Ilmiah Rekomendasi Terapi tripel yang mengandung penghambat 5 D pompa proton dan klaritromisin tanpa uji kepekaan sebelumnya dapat ditinggalkan jika tingkat resistensi di daerah tersebut melebihi 15-20% Di daerah dengan resistensi yang rendah 1a A terhadap klaritromisin terapi yang mengandung klaritromisin direkomendasikan sebagai terapi empiris lini pertama. Terapi kuadrupel yang mengandung bismuth juga dapat dijadikan alternatif Di daerah dengan tingkat resistensi 1a A klaritromisin yang tinggi, direkomendasikan terapi kuadrupel yang mengandung bismuth untuk terapi empiris lini pertama. Jika rejimen tersebut tidak tersedia, maka direkomendasikan untuk menggunakan terapi sekuensial atau terapi kuadrupel non-bismuth Penggunaan penghambat pompa proton dosis 1b A tinggi (dua kali sehari) meningkatkan efikasi terapi tripel Memperpanjang durasi terapi tripel yang 1a A mengandung penghambat pompa proton dan klaritromisin dari 7 menjadi 10-14 hari memperbaiki keberhasilan eradikasi sekitar 5% dan dapat dipertimbangkan Rejimen penghambat pompa proton- 1a A klaritromisin-metronidazole (PCM) dan penghambat pompa proton-klaritromisinamoksisilin (PCA) ekuivalen Probiotik dan prebiotik tertentu menunjukkan 5 D hasil yang menjanjikan sebagai terapi adjuvan dalam mengurangi efek samping Terapi yang mengandung penghambat pompa 5 D proton-klaritromisin tidak perlu disesuaikan dengan faktor pasien, kecuali dosis Setelah gagal dengan terapi yang mengandung 1a A penghambat pompa proton-klaritromisin, direkomendasikan pemberian terapi kuadrupel yang mengandung bismuth atau terapi tripel yang mengandung Levofloksasin 22 Peningkatan tingkat resistensi terhadap 2b Levofloksasin harus dipikirkan Setelah gagal dengan terapi lini kedua, terapi 4 harus diberikan sesuai uji kepekaan antimikroba jika memungkinkan Urea breath test atau monoclonal stool test 1a tervalidasi direkomendasikan sebagai pemeriksaan non-invasif untuk menentukan keberhasilan terapi eradikasi. Serologi tidak berperan B A A 2.5 Ghrelin Istilah ―ghrelin‖ diambil dari kata ―ghre‖ akar kata bahasa Prot-IndoEropa untuk ―grow‖ (tumbuh), merujuk pada kemampuannya merangsang pelepasan growth hormone. Ghrelin adalah peptida 28 asam amino yang merupakan hormon peptida pertama yang diketahui mengalami modifikasi oleh asam lemak (Kojima dkk, 1999). Ghrelin merupakan hormon peptida yang awalnya diidentifikasi sebagai ligan endogen reseptor sekretagog growth hormone. Hormon ini terutama disekresi dari lambung; selain itu usus halus dan kolon juga mensekresi hormon ini dalam jumlah sedikit. Ghrelin juga dapat diekspresikan di sel islet pankreas, hipotalamus, hipofisis, dan sejumlah jaringan di perifer. Reseptor sekretagog growth hormone diekspresikan secara luas. Hal ini menunjukkan peran fisiologis ghrelin yang berbeda. Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa selain efeknya terhadap sekresi growth hormone, ghrelin berperan penting dalam regulasi singkat terhadap nafsu makan serta regulasi jangka panjang terhadap keseimbangan energi dan homeostasis glukosa. Studi terbaru mengimplikasikan ghrelin dalam regulasi 23 fungsi gastrointestinal, kardiovaskuler, dan imun, serta menunjukkan peran ghrelin dalam fisiologi tulang (Tritos dan Kokkotou, 2006). Seperti dipaparkan di atas, ghrelin adalah peptida 28-asam amino dengan modifikasi unik pada residu Ser3 dimana moietas oktanoil diesterifikasi (Kojima dkk, 1999). Adanya grup besar bersifat hidrofobik pada Ser3 penting untuk aktivasi reseptor sekretagog growth hormone (Matsumoto dkk, 2001; Bednarek dkk, 2000). Bentuk lain ghrelin adalah des-acyl ghrelin yang terdapat dalam jumlah banyak di dalam plasma, namun peran fisiologisnya belum jelas (Akamizu dkk, 2005; Hosoda dkk, 2000; Date dkk, 2000). Setelah spesimen darah diambil, EDTA dan aprotinin harus ditambahkan dan fraksi plasma dipisahkan melalui sentrifugasi dan segera diasidifikasi sebelum dibekukan pada suhu -70º C untuk memastikan stabilitas ghrelin terasilasi selama penyimpanan (Hosoda dkk, 2000). Ghrelin paling banyak diekspresikan di sel khusus pada kelenjar oksintik epitel lambung yaitu sel X/A-like. Sekitar 60-70% ghrelin dalam sirkulasi disekresikan oleh lambung, dan sebagian besar sisanya oleh usus halus (Date dkk, 2000). Telah terbukti bahwa ekspresi ghrelin dalam jumlah kecil di beberapa jaringan selain usus—meliputi sel islet pankreas-ɛ, hipotalamus (nukleus arkuata dan grup neuron paraventrikuler, hipofisis, paru, korteks adrenal, ginjal, dan tulang (Kojima dkk, 1999; Prado dkk, 2004; Wierup dkk, 2004; Fukushima dkk, 2005; Cowley dkk, 2003; Lu dkk, 2002; Gnanapavan dkk, 2002; Mozid dkk, 2003). Imunoreaktivitas ghrelin juga ditemukan di testis—mencakup sel Sertoli dan sel Leydig—juga di plasenta (sinsisiotrofoblas dan sitotrofoblas) (Barreiro dkk, 2002; Tena-Sempere dkk, 2002; Gualillo dkk, 2001). Ghrelin dalam kadar 24 rendah juga ditemukan di cairan serebrospinal, meskipun asal aktivitas tersebut belum jelas (jaringan otak atau jaringan perifer) (Tritos dkk, 2003). Gambar 2.3 Anatomi Kelenjar di Lambung serta Senyawa yang Disekresikan (Anonim, 2010) Gambar 2.4 Sekresi Asam Lambung Beserta Hormon yang Mengendalikan (Konturek dkk, 2006) 25 Kadar ghrelin plasma menunjukkan variasi diurnal, meningkat saat puasa dan sebelum makan serta di malam hari, dan sangat cepat mengalami supresi oleh asupan makanan (dalam <1 jam)—terutama oleh makanan berkalori tinggi ataupun makanan dengan kandungan karbohidrat tinggi (Tschop dkk, 2001a; Overduin dkk, 2005; Cummings dkk, 2001; Weigle dkk, 2003). Kadar ghrelin dalam plasma cairan serebrospinal saat puasa berhubungan negatif dengan adipositas tubuh. Hal ini mendukung peran ghrelin dalam regulasi homeostasis energi jangka panjang (Tritos, dkk, 2003; Tschop dkk, 2001b; Cummings dan Shannon, 2003a; Shiiya dkk, 2002). Stimulasi kolinergik menyebabkan peningkatan kadar ghrelin plasma (Broglio dkk, 2004). Pemberian kombinasi growth hormone-releasing hormone (GHRH)-arginin juga meningkatkan kadar ghrelin plasma (Koutkia dkk, 2004). Estrogen dan recombinant human insulin-like growth factor I meningkatkan kadar ghrelin sistemik pada penderita anoreksia nervosa (Grinspoon dkk, 2004). Sebaliknya, glukosa oral maupun intravena, insulin, glukagon, GH, dan somatostatin mensupresi kadar ghrelin sistemik (Shiiya dkk, 2002; Anderwald dkk, 2003; Mohlig dkk, 2002; Arafat dkk, 2005; Qi dkk, 2003; Norrelund dkk, 2002; Barkan dkk, 2003; Broglio dkk, 2002). Bersama dengan efek stimulasi ghrelin terhadap sekresi GH, efek supresi GH terhadap ekspresi ghrelin di lambung dan kadar ghrelin sistemik menunjukkan adanya mekanisme umpan balik negatif antara lambung dengan hipofisis (Koutkia dkk, 2005; Misra dkk, 2004; Misra dkk, 2005). 26 Kadar ghrelin sistemik yang rendah dilaporkan pada hipertiroidisme yang tidak diterapi, hipogonadisme pada pria, sindroma ovarium polikistik, gastritis yang diinduksi Helycobacter pylori, atau pasca gastrektomi total (Riis dkk, 2003; Rojdmark dkk, 2005; Pagotto dkk, 2002; Pagotto dkk, 2003; Cummings, 2004; Isomoto dkk, 2005b; Takachi dkk, 2006). Ghrelin memiliki efek langsung terhadap sel somatotrof hipofisis in vitro dan bekerja secara sinergis dengan GHRH untuk stimulasi sekresi GH (Kojima dkk, 1999; Hataya dkk, 2001; Arvat dkk, 2001). Ghrelin mungkin memiliki efek langsung terhadap hipotalamus dan dapat menstimulasi aferen vagus untuk dinduksi sekresi GH lebih lanjut (Popovic dkk, 2003; Date dkk, 2002a). Ghrelin dosis tinggi juga dapat menstimulasi sekresi prolaktin, kortikotropin, dan kortisol pada manusia (Arvat dkk, 2000; Arvat dkk, 2001; Takaya dkk, 2000). Kadar ghrelin sistemik meningkat sebelum makan dan menurun setelah makan dalam waktu kurang dari satu jam sejak mulai makan (Tschop dkk, 2001a; Cummings dkk, 2001; Cummings dkk, 2002; Sugino dkk, 2002a; Sugino, dkk, 2002b). Pada manusia, infus ghrelin yang menyebabkan peningkatan ghrelin plasma sampai ke kadarnya sebelum makan akan menstimulasi lapar dan asupan makan secara spontan (Wren dkk, 2001). Pemberian ghrelin secara subkutan juga merangsang nafsu makan dan asupan makan pada seorang yang obes maupun kurus (Druce dkk, 2006; Druce dkk, 2005). Supresi kadar ghrelin setelah makan kurang kuat pada seorang yang obes, mungkin berhubungan dengan patogenesis 27 obesitas (Cummings dkk, 2001; Cummings dkk, 2002; Cummings dan Shannon, 2003b; English dkk, 2002). Selain perannya sebagai regulator jangka pendek yang meregulasi inisiasi makan dan rasa kenyang, ghrelin tampaknya juga berperan sebagai regulator jangka panjang untuk status nutrisi. Kadar ghrelin sistemik berhubungan negatif dengan adipositas tubuh dan meningkat seiring penurunan berat badan yang diinduksi oleh makanan rendah kalori, olahraga, anoreksia nervosa, atau kaheksia akibat gagal organ (jantung, paru, ginjal, ataupun hati), maupun keganasan (Cummings dkk, 2002; Tschop dkk, 2001b; Shiiya dkk, 2002; Cummings dan Shannon, 2003a; Ariyasu dkk, 2001; Foster-Schubert dkk, 2005; Otto dkk, 2001; Otto dkk, 2004a; Otto dkk, 2005b; Otto dkk, 2004b). Peningkatan berat badan yang diinduksi oleh makanan tinggi lemak, terapi anoreksia nervosa, ataupun pemberian glukokortikoid menyebabkan penurunan kadar ghrelin sistemik (Otto dkk, 2001; Otto dkk, 2004b; Robertson dkk, 2004). Data menunjukkan hubungan negatif antara ghrelin sistemik dengan kadar insulin (Cummings dkk, 2001; Tschop dkk, 2001b). Ghrelin menghambat efek insulin serta meningkatkan sintesis glikogen dan glukoneogenesis in vitro (Murata dkk, 2002). Ghrelin juga dapat menghambat sekresi protein adiponektin untuk sensitisasi insulin dari adiposit dan menstimulasi sekresi hormon kontraregulasi, meliputi GH, kortisol, epinefrin, dan glukagon (Takaya dkk, 2000; Otto V dkk, 2002; Salehi dkk, 2004). 28 Tabel 2.6 Kondisi dan Faktor yang Berhubungan dengan Perubahan Kadar Ghrelin Sistemik (Tritos dan Kokkotou, 2006) Peningkatan kadar ghrelin sistemik Penurunan kadar ghrelin sistemik Kondisi sebelum makan atau puasa Kondisi setelah makan Penurunan berat badan melalui diet Peningkatan berat badan dan/atau olahraga Sindroma Prader-Willi Operasi bypass lambung Anoreksia atau gangguan makan Gastrektomi total Kakeksia (akibat keganasan) Gastritis akibat H. pylori Neoplasma yang mensekresi ghrelin Hipertiroidisme Stimulasi kolinergik Hipogonadisme pada laki-laki; sindroma ovarium polikistik Growth hormone-releasing hormone— Glukosa arginin Estrogen (pada anoreksia nervosa) Insulin Insulin-like growth factor I (pada Glukagon anoreksia nervosa) Growth hormone Somatostatin Peptida YY Oksintomodulin Urokortin Gambar 2.5 Aktivitas Biologis Ghrelin (van der Lely dkk, 2004) 29 2.6 Infeksi Helicobacter pylori dan Kadar Ghrelin dalam Plasma Ghrelin paling banyak diekspresikan di sel khusus pada kelenjar oksintik epitel lambung yaitu sel X/A-like. Sekitar 60-70% ghrelin dalam sirkulasi disekresikan oleh lambung, dan sebagian besar sisanya oleh usus halus (Date dkk, 2000). Telah terbukti bahwa ekspresi ghrelin dalam jumlah kecil di beberapa jaringan selain usus—meliputi sel A pada islet pankreas, hipotalamus (nukleus arkuata dan grup neuron paraventrikuler, hipofisis, paru, korteks adrenal, ginjal, dan tulang (Kojima dkk, 1999; Prado dkk, 2004; Wierup dkk, 2004; Fukushima dkk, 2005; Cowley dkk, 2003; Lu dkk, 2002; Gnanapavan dkk, 2002; Mozid dkk, 2003). Meskipun sebagian besar ghrelin dalam sirkulasi dihasilkan oleh lambung, sumber lain dapat meningkatkan atau menurunkan sekresi ghrelin sebagai kompensasi. Misalnya pasca gastrektomi, kadar ghrelin plasma hanya menurun menjadi 65% (Cummings dkk, 2002). Ghrelin paling banyak diekspresikan di sel khusus pada kelenjar oksintik epitel lambung yaitu sel X/A-like (Date dkk, 2000). Oleh karena itu, terdapat kemungkinan bahwa kerusakan kronik persisten mukosa lambung—misalnya gastritis kronik—dapat mempengaruhi produksi ghrelin dan menyebabkan perubahan asupan makanan dan berat badan. Helicobacter pylori adalah bakteri Gram negatif yang berkoloni di lambung. Infeksi Helicobacter pylori terlibat dalam patogenesis gastritis, ulkus lambung dan duodenum, karsinoma lambung, dan mucosal-associated lymphoid tissue lymphoma (Marshall dkk, 1988; Uemura 30 dkk, 2001; Wotherspoon dkk, 1993). Lebih dari 50% populasi dewasa terinfeksi oleh Helicobacter pylori di seluruh dunia. Infeksi ini pertama menyebabkan gastritis atrofi dan metaplasia intestinal, yang nantinya dapat menyebabkan displasia dan karsinoma lambung. Oleh karena itu, timbul pertanyaan apakah infeksi tersebut mempengaruhi produksi ghrelin di lambung dan menyebabkan perubahan pada kadar ghrelin plasma (Osawa, 2008). Dalam menentukan apakah ghrelin terlibat dalam homeostasis energi jangka panjang, beberapa studi menemukan bahwa ghrelin dalam sirkulasi meningkat pada penderita anoreksia nervosa, menurun pada obesitas, dan menjadi normal pada peningkatan maupun penurunan berat badan (Shiiya dkk, 2002; Tolle dkk, 2003; Otto dkk, 2001). Kadar ghrelin dalam sirkulasi berkorelasi negatif dengan persentase lemak tubuh, massa lemak, indeks massa tubuh, berat badan, insulin, leptin, dan T3 pada studi potong lintang dan longitudinal yang meneliti anoreksia nervosa dan obesitas. Pada penderita infeksi Helicobacter pylori, korelasi antara indeks massa tubuh dengan kadar ghrelin dalam sirkulasi terbukti lemah (Shiotani dkk, 2005; Tatsuguchi dkk, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa infeksi Helicobacter pylori dapat mempengaruhi kadar ghrelin plasma dengan kuat. Beberapa peneliti melaporkan hubungan antara kadar ghrelin plasma dengan infeksi Helicobacter pylori. Nwokolo dkk pada tahun 2003 melaporkan bahwa kadar ghrelin plasma meningkat pasca-eradikasi Helicobacter pylori. Sebaliknya, Gokcel dkk pada tahun 2003 melaporkan bahwa infeksi tersebut tidak mempengaruhi kadar ghrelin plasma. Meskipun hubungan antara infeksi 31 Helicobacter pylori dengan kadar ghrelin plasma masih kontroversial di negara barat, peneliti Jepang menunjukkan efek infeksi Helicobacter pylori terhadap kadar ghrelin plasma (Nwokolo dkk, 2003; Gokcel dkk, 2003). Telah dibuktikan hubungan langsung antara infeksi Helicobacter pylori dengan produksi ghrelin di lambung yang dapat mempengaruhi kadar ghrelin plasma. Osawa dkk pada tahun 2005 dan Tatsuguchi dkk pada tahun 2004 meneliti hubungan antara infeksi Helicobacter pylori dengan produksi ghrelin di lambung pada manusia, dan di saat yang sama juga dilakukan pemeriksaan kadar ghrelin plasma. Beberapa peneliti mengklarifikasi efek infeksi Helicobacter pylori terhadap kadar ghrelin plasma. Kadar ghrelin plasma secara bermakna lebih rendah pada pasien Helicobacter pylori positif dibanding kontrol Helicobacter pylori negatif (Shiotani dkk, 2005; Tatsuguchi dkk, 2004; Osawa dkk, 2005). Kadarnya jelas independen terhadap jenis kelamin dan indeks massa tubuh serta bervariasi pada pasien yang terinfeksi Helicobacter pylori meskipun memiliki indeks massa tubuh yang sama (Shiotani dkk, 2005). Rerata kadar ghrelin plasma pada pasien Helicobacter pylori positif adalah dua pertiga dari subyek Helicobacter pylori negatif (Osawa dkk, 2005). Selain beberapa faktor klinis yang meliputi indeks massa tubuh, asupan makanan, dan kadar insulin serum (Shiiya dkk, 2002; Date dkk, 2002b), infeksi Helicobacter pylori juga merupakan determinan untuk kadar ghrelin plasma seperti halnya indeks massa tubuh. Sel imunoreaktif ghrelin terlihat di kelenjar epitel fundus lambung bagian bawah (Date dkk, 2000). Imunoreaktivitas terpusat di sitoplasma basal sel yang positif. Jumlah sel positif ghrelin di mukosa lambung penderita infeksi 32 Helicobacter pylori secara bermakna lebih rendah dibanding subyek Helicobacter pylori negatif (Osawa dkk, 2005). Lebih lanjut, jumlah sel positif ghrelin di mukosa lambung menurun secara bermakna seiring dengan penurunan kadar ghrelin plasma pada subyek Helicobacter pylori positif (Tatsugichi dkk, 2004). Hasil tersebut mendukung fakta bahwa atenuasi produksi ghrelin di lambung yang disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylori berperan dalam penurunan kadar ghrelin plasma pada subyek Helicobacter pylori positif. Dari beberapa penelitian yang telah disebutkan di atas, masih terdapat kontroversi mengenai peran infeksi Helicobacter pylori terhadap kadar ghrelin dalam plasma; oleh karena itu, peneliti bertujuan untuk mencari korelasi tersebut melalui penelitian potong lintang pada populasi pasien dispepsia di Rumah Sakit Sanglah dimana pasien menjalani pemeriksaan Helicobacter pylori dan kadar ghrelin plasma dalam satu kali pengambilan sampel. 33 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Kadar ghrelin plasma dipengaruhi oleh beberapa hal. Kondisi setelah makan, obesitas, gastrektomi, gastritis akibat infeksi Helicobacter pylori yang menimbulkan inflamasi mukosa, glukosa, insulin menurunkan kadar ghrelin plasma. Sementara kondisi puasa, kaheksia, anoreksia, neoplasma yang menghasilkan ghrelin, penurunan berat badan akibat diet maupun olahraga meningkatkan kadar ghrelin plasma. 3.2 Konsep Penelitian Kondisi yang meningkatkan kadar ghrelin plasma Kondisi sebelum makan atau puasa Kaheksia Anoreksia Neoplasma penghasil ghrelin Penurunan berat badan akibat diet ataupun olahraga Kadar ghrelin plasma Kondisi yang menurunkan kadar ghrelin plasma Kondisi setelah makan Obesitas Gastrektomi Dispepsia akibat infeksi Helicobacter pylori Glukosa Insulin Gambar 3.1 Konsep Penelitian Di antara faktor yang disebutkan di atas, yang diteliti adalah korelasi infeksi Helicobacter pylori dengan kadar ghrelin plasma pada pasien dispepsia dengan mengeksklusi kaheksia, obesitas, dan gastrektomi. 34 3.3 Hipotesis Infeksi Helicobacter pylori berkorelasi dengan kadar ghrelin dalam plasma pada pasien dispepsia di RSUP Sanglah. 35 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan potong lintang analitik untuk mengetahui infeksi Helicobacter pylori berkorelasi dengan kadar ghrelin dalam plasma pada pasien dispepsia. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar pada bulan Juni 2012 sampai September 2012. 4.3 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini berada dalam ruang lingkup ilmu penyakit dalam, khususnya gastroenterologi. 4.4 Penentuan Sumber Data 4.4.1 Populasi Target Populasi target adalah semua pasien dispepsia. 4.4.2 Populasi Terjangkau Populasi terjangkau adalah semua pasien dispepsia yang dirawat inap di ruang rawat inap penyakit dalam RSUP Sanglah Denpasar serta memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. 4.4.3 Kriteria Inklusi a. Bersedia menjadi obyek penelitian dengan menandatangani surat persetujuan kesediaan sebagai sampel. 36 b. Pasien berusia antara 12-60 tahun. 4.4.4 Kriteria Eksklusi a. Indeks massa tubuh ≥ 30 kg/m2. b. Pasien dengan kondisi kahektis. c. Pasien yang mendapat pengobatan untuk eradikasi terhadap Helicobacter pylori dalam tiga bulan terakhir. d. Pasien dengan riwayat gastrektomi. e. Pasien hamil. 4.4.5 Besaran Sampel Besaran sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut (Hulley, Cummings, 1988; dikutip oleh Madiyono dkk, 2010): n = Keterangan: n = perkiraan besar sampel yang dibutuhkan zα = tingkat kesalahan tipe 1 untuk tingkat kemaknaan 5%, maka zα = 1,96 zβ = tingkat kesalahan tipe 2 = 20%, maka zβ = 0,84 r = 0,32 (asumsi peneliti) = 74,2 75 Jadi besar sampel minimal yang dibutuhkan adalah 75 sampel. 37 4.4.6 Teknik Pengambilan Sampel Sampel diambil secara berturut-turut (consecutive sampling) dari pasien dispepsia yang dirawat inap di ruang rawat inap penyakit dalam RSUP Sanglah Denpasar. 4.5 Variabel Penelitian 4.5.1 Identifikasi dan Klasifikasi Variabel Variabel dalam penelitian ini adalah: a. Variabel bebas: infeksi Helicobacter pylori. b. Variabel tergantung: kadar ghrelin dalam plasma. c. Variabel kendali: umur, jenis kelamin, indeks massa tubuh. d. Variabel pengganggu: strain Helicobacter pylori. 4.5.2 Definisi Operasional Variabel a. Infeksi Helicobacter pylori: dalam penelitian ini, infeksi Helicobacter pylori ditentukan dari pemeriksaan Bio M Pylori Tes Imunokromatografi produksi PT Bioramp Diagnostika Mataram, Indonesia. b. Kadar ghrelin dalam plasma: kadar ghrelin dalam plasma yang diperiksa dengan Active Ghrelin ELISA Kit 96-well plate (cat. #EZGAC-86K) Linco Research Inc. produksi Mitsubishi Kagaku Iatron, Missouri, Amerika Serikat; satuan yang digunakan adalah pg/mL. Pemeriksaan kadar ghrelin plasma dikerjakan di laboratorium riset eksoterik Laboratorium Klinik Prodia Jl. Kramat Raya No.150 Jakarta 10430. 38 c. Indeks massa tubuh: diperoleh dari rumus berat badan (dalam kilogram) dibagi kuadrat tinggi badan (dalam meter persegi) (Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Tabel 4.1 Indeks Massa Tubuh (Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006) Laki-laki Perempuan 2 Kurus <17 kg/m <18 kg/m2 Normal 17-23 kg/m2 18-25 kg/m2 2 Kegemukan >23-27 kg/m >25-27 kg/m2 Obesitas >27 kg/m2 >27 kg/m2 d. Umur: berdasarkan umur yang tercantum di kartu tanda pengenal (KTP). e. Jenis kelamin: berdasarkan jenis kelamin yang tercantum di kartu tanda pengenal (KTP). f. Dispepsia: nyeri kronik atau berulang atau rasa tidak nyaman yang terpusat di abdomen atas (Talley dkk, 1998). g. Kaheksia: dalam penelitian ini digunakan indeks massa tubuh <17 kg/m2 untuk mendiagnosis suatu kaheksia (Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). 4.6 Bahan dan Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini akan digunakan Active Ghrelin ELISA Kit 96-well plate (cat. #EZGAC-86K) Linco Research Inc., oleh Mitsubishi Kagaku Iatron, Missouri, Amerika Serikat untuk memeriksa kadar ghrelin dalam plasma. Berikut penjabaran prosedur preparasi serta penyimpanan sampel sekaligus menjelaskan bahan dan instrumen yang akan digunakan. Bentuk aktif molekul ghrelin sangat tidak stabil karena adanya ikatan ester labil pada asam amino serin-3 yang menghubungkan peptida tersebut dengan 39 kelompok oktanoil. Sampel harus diproses sesegera mungkin dan disimpan dalam es untuk mencegah/meminimalkan pemecahan ghrelin aktif. a. Untuk preparasi sampel plasma, whole blood segera dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi yang berisi 500 unit Aprotinin dan 1,25 mg EDTA-2Na per 1 mL whole blood. b. Goyang tabung perlahan dan kemudian sentrifugasi sampel darah pada 1500 x g selama 15 menit pada suhu 4º C. c. Segera tambahkan 100 μl HCl 1 mol/L per mL plasma. d. Transfer dan simpan sampel plasma dalam tabung terpisah. e. Gunakan plasma yang baru dipreparasi atau alikuotnya, dan simpan pada suhu ≤40º C untuk pemeriksaan selanjutnya. Hindari siklus pembekuan/pencairan. Sementara pemeriksaan serologi Helicobacter pylori dilakukan dengan Bio M Pylori Tes Imunokromatografi produksi PT Bioramp Diagnostika Mataram, Indonesia. Bahan yang digunakan adalah serum. Baik plasma maupun whole blood tidak dapat digunakan dalam pemeriksaan ini. Serum dapat disimpan pada suhu 2-8º C selama satu minggu atau dibekukan untuk jangka waktu lama. Prosedurnya adalah: a. Diamkan dahulu kartu tes selama ±20 menit agar mencapai suhu kamar, kemudian keluarkan kartu tes dari sachet aluminium. b. Letakkan kartu dengan posisi terbuka di atas tempat datar. c. Teteskan 20 μl sampel serum pada bantalan warna biru. 40 d. Tambahkan 1 tetes larutan buffer pada bantalan yang sama dan 2 tetes buffer pada bantalan warna merah, tunggu sampai meresap pada garis batas. e. Segera tutup kartu tes dan baca hasil tes melalui jendela pengamatan 15-20 menit kemudian. 4.7 Prosedur Penelitian Populasi target Populasi terjangkau Kriteria inklusi Kriteria inklusi Kriteria eksklusi Kriteria eksklusi Sampel Pengambilan sampel secara konsekutif Pemeriksaan serologi Helicobacter pylori dan kadar ghrelin plasma Analisis data Gambar 4.1 Prosedur Penelitian 4.8 Analisis Data Data yang diperoleh diolah dengan bantuan komputer sebagai berikut: 1. Uji deskriptif, dilakukan untuk memperoleh karakteristik subyek penelitian. 2. Uji normalitas, dilakukan untuk mengetahui data berdistribusi normal atau tidak. Sampel dalam penelitian ini berjumlah >30 orang, sehingga digunakan 41 uji normalitas Kolmogorov-Smirnoff. Karena data berdistribusi tidak normal, dilakukan uji non-parametrik. 3. Uji homogenitas, dilakukan untuk mengetahui subyek-subyek penelitian homogen atau tidak. 4. Uji inferensial, dalam penelitian ini dilakukan uji korelasi Spearman karena distribusi data tidak normal. 42 BAB V HASIL 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian Subyek penelitian berjumlah 75 orang yang terdiri dari 40 orang pria (53,3%) dan 35 orang wanita (46,7%) dengan rerata usia 48,75 ± 13,91 tahun. Rerata indeks massa tubuh (IMT) adalah 21,3836 ± 3,11 kg/m2 dimana sebagian besar subyek (78,7%) memiliki IMT normal. Rerata kadar ghrelin plasma pada subyek adalah 368,25 ± 333,73 pg/mL dimana 92% subyek memiliki kadar ghrelin normal. Data disajikan dalam Tabel 5.1. Tabel 5.1 Karakteristik Subyek Parameter n (%) Jenis kelamin 40 (53,3) Pria 35 (46,7) Wanita Helicobacter pylori 52 (69,3) Positif 23 (30,7) Negatif IMT (kg/m2) 59 (78,7) Normal 11 (14,7) Kegemukan 5 (6,7) Obesitas Ghrelin plasma (pg/mL) 6 (8) Rendah 69 (92) Normal 0 Tinggi SB: Simpang Baku; IMT: Indeks Massa Tubuh Rerata ± SB 21,3836 ± 3,11 368,25 ± 333,73 Lima puluh dua subyek (69,3%) Helicobacter pylori positif memiliki rerata ghrelin plasma 400 ± 359,19 pg/mL sementara 23 subyek lainnya (30,7%) adalah subyek Helicobacter pylori negatif dengan rerata ghrelin plasma 296,39 ± 260,27 pg/mL. Rerata kadar ghrelin plasma pada subyek Helicobacter pylori 43 positif lebih tinggi dibanding kadar ghrelin plasma subyek Helicobacter pylori negatif namun perbedaan tersebut tidak berbeda bermakna (p=0,421) berdasarkan uji Mann-Whitney. Data disajikan dalam Tabel 5.2. Tabel 5.2 Perbedaan Kadar Ghrelin Parameter Helicobacter pylori Positif Negatif Rerata Ghrelin Plasma ± 400 ± 359,19 296,39 ± 260,27 SB (pg/mL) *Uji Mann-Whitney p 0,421* 5.2 Korelasi Kadar Ghrelin Plasma dengan Helicobacter pylori Dalam studi ini, kami menemukan batas atas kadar ghrelin plasma pada subyek Helicobacter pylori positif adalah 1534 pg/mL dan batas bawah 15 pg/mL dengan median 267,5 pg/mL. Sementara pada subyek Helicobacter pylori negatif, batas atas kadar ghrelin plasma adalah 1229 pg/mL dan batas bawah 15 pg/mL dengan median 263 pg/mL. Korelasi diuji dengan uji korelasi Spearman karena data berdistribusi tidak normal. Kami menemukan korelasi negatif lemah yang tidak bermakna dengan r= -0,094 (p=0,425). Tabel 5.3 Helicobacter pylori dan Ghrelin Plasma Status Helicobacter pylori Ghrelin Plasma Batas Atas Batas Bawah (Median) Positif 267,5 pg/mL 1534 pg/mL 15 pg/mL Negatif 263 pg/mL 1229 pg/mL 15 pg/mL 44 BAB VI PEMBAHASAN Helicobacter pylori adalah bakteri Gram negatif yang berkolonisasi di mukosa lambung dan merupakan penyebab penting untuk terjadinya ulkus dan karsinoma lambung (Marshall dan Warren, 1984). Infeksi Helicobacter pylori yang menetap dalam jangka panjang dapat menyebabkan gastritis atrofi dan meningkatkan risiko terjadinya adenokarsinoma lambung (Ernst dan Gold, 2000). Ghrelin merupakan growth-hormone releasing peptide yang sebagian besar dihasilkan oleh gastric X-like cell (Murray dkk, 2003). Ghrelin terbukti meningkatkan asupan makanan dan massa tubuh serta mengubah motilitas dan sekresi asam lambung (Wren dkk, 2001). Ghrelin juga dilepaskan dalam jumlah kecil dari usus halus, ginjal, hipotalamus, pankreas, plasenta, dan kelenjar hipofisis (Buczkowska, 2005). Konsentrasi ghrelin dalam plasma meningkat sebelum makan dan menurun setelah makan. Ghrelin adalah hormon pertama dalam sirkulasi yang terbukti meningkatkan nafsu makan dan adipositas (Wren dkk, 2001). 6.1 Karakteristik Subyek Studi yang kami kerjakan terhadap 75 orang subyek dispepsia menemukan angka kejadian Helicobacter pylori sebesar 69,3%. Angka ini lebih tinggi dibanding studi yang dilakukan di Denpasar yaitu 41,2% (Sumandi, 2005) dan sejumlah studi lain di Indonesia yaitu Malang, Solo, dan Medan (34-37%), Mataram 54%, Surabaya 36%, Jakarta 52,3%, dan Trenggalek 45,6% 45 (Kusumobroto, 2002; Firmanto, 2003). Hal yang mungkin dapat menjelaskan perbedaan tersebut adalah perbedaan alat yang digunakan untuk studi seroepidemiologi. Dari 75 subyek yang kami teliti, 78,7% memiliki IMT dan kadar ghrelin plasma normal meskipun sebagian besar sampel (69,3%) merupakan subyek dengan Helicobacter pylori positif. Dalam studi kami, kadar ghrelin plasma pada pasien dengan Helicobacter pylori positif ternyata lebih tinggi (400 ± 359,19 pg/mL) dibanding subyek yang tidak terinfeksi (296,39 ± 260,27 pg/mL) meskipun perbedaan tersebut tidak bermakna (p=0,421) berdasarkan uji MannWhitney dan keduanya masih termasuk dalam rentang normal. Hasil tersebut berbeda dengan meta-analisis oleh Nweneka dan Prentice pada tahun 2011 terhadap 26 studi mengenai ghrelin dan Helicobacter pylori (p=0,00001). Studi dilakukan terhadap partisipan yang terinfeksi Helicobacter pylori dan partisipan yang tidak terinfeksi. Meta-analisis tersebut menunjukkan bahwa kadar ghrelin plasma lebih rendah pada subyek terinfeksi Helicobacter pylori dibanding subyek yang tidak terinfeksi. Secara keseluruhan, 17 studi dalam meta-analisis tersebut melaporkan bahwa kadar ghrelin lebih rendah pada subyek dengan Helicobacter pylori positif. Namun sembilan studi lain dalam meta-analisis tersebut, termasuk tiga studi dari Amerika Serikat tidak menemukan perbedaan antara subyek dengan Helicobacter pylori positif dan negatif (Nweneka dan Prentice, 2011). Studi kami menunjukkan bahwa kadar ghrelin plasma pasien Helicobacter pylori positif lebih tinggi dibanding subyek 46 yang tidak terinfeksi meskipun perbedaan tersebut tidak bermakna (p=0,421), sesuai dengan sembilan studi lain dalam meta-analisis tersebut. Efek infeksi Helicobacter pylori terhadap kadar ghrelin bergantung kepada durasi infeksi dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan oleh infeksi tersebut di mukosa lambung (Isomoto dkk, 2005b; Liew dkk, 2006; MendezSanchez dkk, 2007). kerusakan Tidak semua infeksi Helicobacter pylori menimbulkan lambung. Penelitian oleh Zub-Pokrowiecka pada tahun 2010 menunjukkan bahwa di antara penderita berbagai penyakit lambung, kadar ghrelin pada penderita gastritis atrofi adalah yang terendah bahkan jika dibandingkan dengan penderita kanker gaster (Zub-Pokrowiecka dkk, 2010). Helicobacter pylori sendiri merupakan infeksi menahun. Infeksi ini sebagian besar didapat pada awal masa kanak-kanak (Logan dan Walker, 2002). Durasi infeksi serta besarnya kerusakan yang ditimbulkan di mukosa yang tidak kami teliti dapat menjelaskan temuan tersebut. Penjelasan lain adalah karena ghrelin juga dihasilkan oleh sel islet pankreas, hipotalamus, hipofisis, dan sejumlah jaringan di perifer meskipun dalam proporsi rendah. Studi terbaru mengimplikasikan ghrelin dalam regulasi fungsi gastrointestinal, kardiovaskuler, dan imun, serta menunjukkan peran ghrelin dalam fisiologi tulang (Tritos dan Kokkotou, 2006). Ghrelin paling banyak diekspresikan di sel khusus pada kelenjar oksintik epitel lambung yaitu sel X/Alike. Sekitar 60-70% ghrelin dalam sirkulasi disekresikan oleh lambung, dan sebagian besar sisanya oleh usus halus (Date dkk, 2000). Kompensasi produksi 47 ghrelin dari sumber lain tersebut dapat membuat kadar ghrelin plasma tampak normal. 6.2 Korelasi Infeksi Helicobacter pylori dan Kadar Ghrelin Plasma Infeksi Helicobacter pylori terlibat dalam patogenesis gastritis, ulkus lambung dan duodenum, karsinoma lambung, dan mucosal-associated lymphoid tissue lymphoma (Marshall dkk, 1988; Uemura dkk, 2001; Wotherspoon dkk, 1993). Infeksi ini menyebabkan gastritis atrofi dan metaplasia intestinal, yang nantinya dapat menyebabkan displasia dan karsinoma lambung. Oleh karena itu, timbul pertanyaan apakah infeksi tersebut mempengaruhi produksi ghrelin di lambung dan menyebabkan perubahan pada kadar ghrelin plasma (Osawa, 2008). Beberapa peneliti melaporkan hubungan antara kadar ghrelin plasma dengan infeksi Helicobacter pylori. Nwokolo dkk pada tahun 2003 melaporkan bahwa kadar ghrelin plasma meningkat pasca-eradikasi Helicobacter pylori. Sebaliknya, Gokcel dkk pada tahun 2003 melaporkan bahwa infeksi tersebut tidak mempengaruhi kadar ghrelin plasma. Meskipun hubungan antara infeksi Helicobacter pylori dengan kadar ghrelin plasma masih kontroversial di negara barat, peneliti Jepang menunjukkan efek infeksi Helicobacter pylori terhadap kadar ghrelin plasma (Nwokolo dkk, 2003; Gokcel dkk, 2003). Telah dibuktikan hubungan langsung antara infeksi Helicobacter pylori dengan produksi ghrelin di lambung yang dapat mempengaruhi kadar ghrelin plasma. Osawa dkk pada tahun 2005 dan Tatsuguchi dkk pada tahun 2004 meneliti hubungan antara infeksi Helicobacter pylori dengan produksi ghrelin di lambung pada manusia, dan di saat yang sama juga dilakukan pemeriksaan kadar ghrelin plasma. 48 Beberapa peneliti mengklarifikasi efek infeksi Helicobacter pylori terhadap kadar ghrelin plasma. Kadar ghrelin plasma secara bermakna lebih rendah pada pasien Helicobacter pylori positif dibanding kontrol Helicobacter pylori negatif (Shiotani dkk, 2005; Tatsuguchi dkk, 2004; Osawa dkk, 2005). Rerata kadar ghrelin plasma pada pasien Helicobacter pylori positif adalah dua pertiga dari subyek Helicobacter pylori negatif (Osawa dkk, 2005). Studi kami menemukan korelasi negatif lemah yang tidak bermakna antara infeksi Helicobacter pylori dan kadar ghrelin plasma dengan r = -0,094 (p=0,425). Hasil tersebut sesuai dengan studi oleh Gokcel dkk pada tahun 2003 yang melaporkan bahwa infeksi Helicobacter pylori tidak mempengaruhi kadar ghrelin plasma (Gokcel dkk, 2003). Beberapa faktor dapat menjelaskan kondisi tersebut. Ghrelin juga dihasilkan oleh sel islet pankreas, hipotalamus, hipofisis, dan sejumlah jaringan di perifer. Studi terbaru mengimplikasikan ghrelin dalam regulasi fungsi gastrointestinal, kardiovaskuler, dan imun, serta menunjukkan peran ghrelin dalam fisiologi tulang (Tritos dan Kokkotou, 2006). Kompensasi produksi ghrelin dari sumber lain tersebut dapat membuat kadar ghrelin plasma tampak normal. Selain itu, ghrelin plasma tidak secara spesifik mampu mencerminkan kadar ghrelin gaster. Pemeriksaan yang dapat dikerjakan untuk kadar ghrelin adalah melalui pemeriksaan mRNA ataupun sel imunoreaktif ghrelin langsung dari gaster (Nweneka dan Prentice, 2011). Faktor lain dibuktikan pada studi oleh Isomoto dkk pada tahun 2005 yang menemukan bahwa keragaman strain juga berhubungan dengan kadar 49 ghrelin. Pasien dengan strain tipe I (yang mengekspresikan faktor virulensi yaitu cytotoxin–associated gene product (CagA) dan vacuolating cytotoxin A (VacA) memiliki kadar ghrelin yang lebih rendah dalam sirkulasi dibanding subyek yang terinfeksi oleh strain tipe II yang tidak mengekspresikan faktor virulensi. Infeksi kronik oleh strain tipe I menyebabkan kerusakan sel mukosa lambung sehingga dapat terjadi kerusakan sel penghasil ghrelin yang mengakibatkan penurunan produksi ghrelin di lambung (Isomoto dkk, 2005a). Kelemahan studi ini di antaranya adalah karena tidak dikerjakannya esofagogastroduodenoskopi (EGD) dan pemeriksaan histopatologi. Alat tersebut sedang dalam kondisi rusak saat proposal penelitian dibuat dan penelitian dikerjakan sehingga tidak dapat dicari populasi gastritis dan Helicobacter pylori yang dibuktikan dengan endoskopi dan biopsi. Pemeriksaan tersebut dapat menunjukkan besarnya kerusakan di gaster, lokasi infeksi di gaster, jenis kerusakan (ulkus, atrofi, gastritis kronis, kanker), bahkan pemeriksaan mRNA ghrelin ataupun sel imunoreaktif penghasil ghrelin. Kelemahan lain penelitian ini adalah karena analisis IMT dilakukan secara keseluruhan (bukan berdasarkan subpopulasi jenis kelamin), eksklusi IMT untuk definisi operasional variabel menggunakan kriteria WHO sementara pembagian IMT menggunakan kriteria dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2006, serta tidak dilakukan eksklusi terhadap penyakit yang dapat menyebabkan dispepsia. Populasi pasien adalah pasien dispepsia dengan infeksi Helicobacter pylori yang belum tentu disertai kerusakan lambung dalam bentuk gastritis atrofi. Penelitian oleh Zub-Pokrowiecka pada tahun 2010 menunjukkan bahwa di antara 50 penderita berbagai penyakit lambung, kadar ghrelin pada penderita gastritis atrofi adalah yang terendah bahkan jika dibandingkan dengan penderita kanker gaster (Zub-Pokrowiecka dkk, 2010). 51 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 1.1 Simpulan 1. Rerata kadar ghrelin plasma pada subyek Helicobacter pylori positif pada penelitian ini lebih tinggi dibanding rerata kadar ghrelin plasma pada subyek Helicobacter pylori negatif meskipun perbedaan tersebut tidak bermakna (p=0,421) dan kedua rerata tersebut masih berada dalam rentang normal. 2. Infeksi Helicobacter pylori tidak berkorelasi dengan kadar ghrelin plasma pada populasi dispepsia dalam studi ini. 1.2 Saran 1. Perlu dilakukan studi dengan esofagogastroduodenoskopi dan histopatologi ataupun mRNA ghrelin dan sel imunoreaktif penghasil ghrelin di gaster. 2. Perlu dilakukan studi dengan pemeriksaan strain Helicobacter pylori. 52 DAFTAR PUSTAKA Anonim. Gastric glands. 2010. [cited 2011, http://www.tutorvista.com/biology/gastric-glands. May 1]. Available at: Akamizu T, Shinomiya T, Irako T, et al. Separate measurement of plasma levels of acylated and desacyl ghrelin in healthy subjects using a new direct ELISA assay. J Clin Endocrinol Metab. 2005;90:6-9. Anderwald C, Brabant G, Bernroider E, et al. Insulin-dependent modulation of plasma ghrelin and leptin concentrations is less pronounced in type 2 diabetic patients. Diabetes. 2003;52:1792-8. Arafat MA, Otto B, Rochlitz H, et al. Glucagon inhibits ghrelin secretion in humans. Eur J Endocrinol. 2005;153:397-402. Ariyasu H, Takaya K, Tagami T, et al. Stomach is a major source of circulating ghrelin, and feeding state determines plasma ghrelin-like immunoreactivity levels in humans. J Clin Endocrinol Metab. 2001;86:4753-8. Arvat E, Di Vito L, Broglio F, et al. Preliminary evidence that Ghrelin, the natural GH secretagogue (GHS)-receptor ligand, strongly stimulates GH secretion in humans. J Endocrinol Invest. 2000;23:493-5. Arvat E, Maccario M, Di Vito L, et al. Endocrine activities of ghrelin, a natural growth hormone secretagogue (GHS), in humans: comparison and interactions with hexarelin, a nonnatural peptidyl GHS, and GH-releasing hormone. J Clin Endocrinol Metab. 2001;86:1169-74. Barkan AL, Dimaraki EV, Jessup SK, Symons KV, Ermolenko M, Jaffe CA. Ghrelin secretion in humans is sexually dimorphic, suppressed by somatostatin, and not affected by the ambient growth hormone levels. J Clin Endocrinol Metab. 2003;88:2180-4. Barreiro ML, Gaytan F, Caminos JE, et al. Cellular location and hormonal regulation of ghrelin expression in rat testis. Biol Reprod. 2002;67:1768-76. Broglio F, Gottero C, Van Koetsveld P, et al. Acetylcholine regulates ghrelin secretion in humans. J Clin Endocrinol Metab. 2004;89:2429-33. Broglio F, van Koetsveld P, Benso A, et al. Ghrelin secretion is inhibited by either somatostatin or cortistatin in humans. J Clin Endocrinol Metab. 2002;87:4829-32. Correa P, Piazuelo MB. Natural history of Helicobacter pylori infection. Dig. Liver Dis. 2008; 40: 490–6. 53 Cowley MA, Smith RG, Diano S, et al. The distribution and mechanism of action of ghrelin in the CNS demonstrates a novel hypothalamic circuit regulating energy homeostasis. Neuron. 2003;37:649-61. Crabtree JE, Shallcross TM, Heatley RV, Wyatt JI. Mucosal tumour necrosis factor alpha and interleukin-6 in patients with Helicobacter pylori associated gastritis. Gut 1991;32:1473-7. Crabtree JE, Wyatt JI, Trejdosiewicz LK, et al. Interleukin-8 expression in Helicobacter pylori infected, normal, and neoplastic gastroduodenal mucosa. J Clin Pathol 1994;47:61-6. Cummings DE. Helicobacter pylori and ghrelin: interrelated players in bodyweight regulation? Am J Med. 2004;117:436-9. Cummings DE, Purnell JQ, Frayo RS, Schmidova K, Wisse BE, Weigle DS. A preprandial rise in plasma ghrelin levels suggests a role in meal initiation in humans. Diabetes. 2001;50:1714-9. Cummings DE, Shannon MH. Roles for ghrelin in the regulation of appetite and body weight. Arch Surg. 2003;138:389-96. Cummings DE, Shannon MH. Ghrelin and gastric bypass: is there a hormonal contribution to surgical weight loss? J Clin Endocrinol Metab. 2003;88:2999 3002. Cummings DE, Weigle DS, Frayo RS, et al. Plasma ghrelin levels after dietinduced weight loss or gastric bypass surgery. N Engl J Med. 2002;346: 1623-30. Date Y, Kojima M, Hosoda H, et al. Ghrelin, a novel growth hormone-releasing acylated peptide, is synthesized in a distinct endocrine cell type in the gastrointestinal tracts of rats and humans. Endocrinology. 2000;141:4255-61. Date Y, Murakami N, Toshinai K, et al. The role of the gastric afferent vagal nerve in ghrelin-induced feeding and growth hormone secretion in rats. Gastroenterology. 2002;123:1120-8. Date Y, Nakazato M, Hashiguchi S, Dezaki K, Mondal MS, Hosoda H, Kojima M, Kangawa K, Arima T, Matsuo H, Yada T, Matsukura S. Ghrelin is present in pancreatic alphacells of humans and rats and stimulates insulin secretion. Diabetes 2002; 51: 124-9. Dixon MF. Pathology of gastritis and peptic ulceration. In: Mobley HLT, Mendz GL, Hazell SL, eds. Helicobacter pylori: physiology and genetics. Washington, D.C.: ASM Press, 2001:459-69. 54 Dooley CP, Cohen H, Fitzgibbons PL, et al. Prevalence of Helicobacter pylori infection and histologic gastritis in asymptomatic persons. N Engl J Med 1989;321:1562-6. Druce MR, Neary NM, Small CJ, et al. Subcutaneous administration of ghrelin stimulates energy intake in healthy lean human volunteers. Int J Obes (Lond). 2006;30:293-6. Druce MR, Wren AM, Park AJ, et al. Ghrelin increases food intake in obese as well as lean subjects. Int J Obes Relat Metab Disord. 2005;29:1130-6. English PJ, Ghatei MA, Malik IA, Bloom SR, Wilding JP. Food fails to suppress ghrelin levels in obese humans. J Clin Endocrinol Metab. 2002;87:2984. El-Omar EM, Carrington M, Chow WH, et al. Interleukin-1 polymorphisms associated with increased risk of gastric cancer. Nature 2000; 404:398-402. [Erratum, Nature 2001;412:99.] Fan X, Gunasena H, Cheng Z, et al. Helicobacter pylori urease binds to class II MHC on gastric epithelial cells and induces their apoptosis. J Immunol 2000;165:1918-24. Feldman RA. Epidemiologic observations and open questions about disease and infection caused by Helicobacter pylori. In: Achtman M, Suerbaum S, eds. Helicobacter pylori: molecular and cellular biology. Wymondham, United Kingdom: Horizon Scientific Press, 2001:29-51. Firmanto A. Asosiasi pemakaian MCK pribadi dan umum dengan seropositivitas Helycobacter pylori pada penderita dispepsia di Desa Panggul Kecamatan Panggul Kabupaten Trenggalek. Karya akhir Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSU Dr. Soetomo Surabaya. 2003 (Tesis). Forman D, Newell DG, Fullerton F, et al. Association between infection with Helicobacter pylori and risk of gastric cancer: evidence from a prospective investigation. BMJ 1991;302:1302-5. Foster-Schubert KE, McTiernan A, Frayo RS, et al. Human plasma ghrelin levels increase during a one-year exercise program. J Clin Endocrinol Metab. 2005;90:820-5. Fox JG, Megraud F. Helicobacter. In: Murray PR, ed. Manual of clinical microbiology. 9th ed. Pensylvania: Elsevier Mosby; 2007.p.947-62. Fukushima N, Hanada R, Teranishi H, et al. Ghrelin directly regulates bone formation. J Bone Miner Res. 2005;20:790-8. 55 Gnanapavan S, Kola B, Bustin SA, et al. The tissue distribution of the mRNA of ghrelin and subtypes of its receptor, GHS-R, in humans. J Clin Endocrinol Metab. 2002;87:2988. Gokcel A, Gumurdulu Y, Kayaselcuk F, Serin E, Ozer B, Ozsahin AK, Guvener N. Helicobacter pylori has no effect on plasma ghrelin levels. Eur J Endocrinol 2003; 148: 423-42. Goodman KJ, Correa P, Tengana Aux HJ, et al. Helicobacter pylori infection in the Colombian Andes: a population-based study of transmission pathways. Am J Epidemiol 1996;144:290-9. Goodwin CS, Armstrong JA, Marshall BJ. Campylobacter pyloridis, gastritis, and peptic ulceration. J Clin Pathol 1986;39:353-65. Grinspoon S, Miller KK, Herzog DB, Grieco KA, Klibanski A. Effects of estrogen and recombinant human insulin-like growth factor-I on ghrelin secretion in severe undernutrition. J Clin Endocrinol Metab. 2004;89:3988- 93. Gualillo O, Caminos J, Blanco M, et al. Ghrelin, a novel placental derived hormone. Endocrinology. 2001;142:788-94. Harris PR, Smythies LE, Smith PD, Dubois A. Inflammatory cytokine mRNA expression during early and persistent Helicobacter pylori infection in nonhuman primates. J Infect Dis 2000;181:783-6. Hataya Y, Akamizu T, Takaya K, et al. A low dose of ghrelin stimulates growth hormone (GH) release synergistically with GH-releasing hormone in humans. J Clin Endocrinol Metab. 2001;86:4552. Hosoda H, Kojima M, Matsuo H, Kangawa K. Ghrelin and des-acyl ghrelin: two major forms of rat ghrelin peptide in gastrointestinal tissue. Biochem Biophys Res Commun. 2000;279:909-13. Hulley SB, Cummings SR. Designing clinical research: an epidemiologic approach. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins. 1988. Isomoto H, Nakazato M, Ueno H, Date Y, Nishi Y, Mukae H, Mizuta Y, Ohtsuru A, Yamashita S, Kohno S. Low plasma ghrelin levels in patients with Helicobacter pylori-associated gastritis. Am J Med 2004; 117: 429-32. Isomoto H, Nishi Y, Ohnita K, Mizuta Y, Kohno S, Ueno H, Nakazato M. The relationship between plasma and gastric ghrelin levels and strain diversity in Helycobacter pylori virulence. Am J Gastroenterol 2005; 100(6):1425-7. 56 Isomoto H, Ueno H, Nishi Y, Yasutake T, Tanaka K, Kawano N, Ohnita K, Mizuta Y, Inoue K, Nakazato M, Kohno S. Circulating ghrelin levels in patients with various upper gastrointestinal diseases. Dig Dis Sci 2005; 50: 833-8. Isomoto H, Ueno H, Saenko VA, et al. Impact of Helicobacter pylori infection on gastric and plasma ghrelin dynamics in humans. Am J Gastroenterol. 2005; 100:1711-20. Josenhans C, Suerbaum S. Helicobacter motility and chemotaxis. In: Achtman M, Suerbaum S, eds. Helicobacter pylori: molecular and cellular biology. Wymondham, United Kingdom: Horizon Scientific Press, 2001: 171-84. Kaneko H, Konagaya T, Kusugami K. Helicobacter pylori and gut hormones. J Gastroenterol 2002; 37: 77-86. Kojima M, Hosoda H, Date Y, Nakazato M, Matsuo H, and Kangawa K. Ghrelin is a growth-hormone-releasing acylated peptide from stomach. Nature 402: 656– 60, 1999. Konturek SJ, Konturek PC, Konturek JW, Plonka M, Czesnikiewicz-Guzik M, Brzozowski T, Bielanski W. Helycobacter pylori and its involvement in gastritis and peptic ulcer formation. Journal of physiology and pharmacology 2006; 57, Supp 3, 29-50. Koutkia P, Canavan B, Breu J, Johnson ML, Grinspoon SK. Nocturnal ghrelin pulsatility and response to growth hormone secretagogues in healthy men. Am J Physiol Endocrinol Metab. 2004;287:E506-E512. Koutkia P, Schurgin S, Berry J, et al. Reciprocal changes in endogenous ghrelin and growth hormone during fasting in healthy women. Am J Physiol Endocrinol Metab. 2005;289:E814-E822. Kusumobroto H. Helycobacter pylori infection from molecular biology to clinical practice. Proceedings of Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya. September 2002. Liew PL, Lee WJ, Lee YC, Chen WY. Gastric ghrelin expression associated with Helycobacter pylori infection and chronic gastritis in obese patients. Obes Surg 2006;16(5):612-9. Logan RPH, Walker MM. Epidemiology and diagnosis of Helycobacter pylori infection. In: ABC of the upper gastrointestinal tract. 1st. Ed. London: BMJ Publishing Group. p.16-8. Lu S, Guan JL, Wang QP, et al. Immunocytochemical observation of ghrelincontaining neurons in the rat arcuate nucleus. Neurosci Lett. 2002;321:157-60. 57 Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar sampel. In: Sastroasmoro S, Ismael S, eds. Dasar-dasar metolodologi penelitian klinis. 3rd. Ed. Jakarta: Sagung Seto. 2010: p.302-30. Mai UE, Perez-Perez GI, Allen JB, Wahl SM, Blaser MJ, Smith PD. Surface proteins from Helicobacter pylori exhibit chemotactic activity for human leukocytes and are present in gastric mucosa. J Exp Med 1992;175: 517-25. Malaty HM, Graham DY. Importance of childhood socioeconomic status on the current prevalence of Helicobacter pylori infection. Gut 1994;35: 742-5. Malfertheiner P, Megraud F, O’Morain C, et al. Current concepts in the management of Helycobacter pylori infection: the Maastricht III Consensus Report. Gut 2007;56:772-81. Malfertheiner P, Megraud F, O’Morai C, et al. Management of Helycobacter pylori infection—the Maastricht IV/Florence concensus report. Gut 2012;61:64664. Marshall BJ, Goodwin CS, Warren JR, et al. Prospective double-blind trial of duodenal ulcer relapse after eradication of Campylobacter pylori. Lancet 1988; 2:1437-42. Marshall BJ, Warren JR. Unidentified curved bacilli in the stomach of patients with gastritis and peptic ulceration. Lancet 1984; 1: 1311-5. Masaoka T, Suzuki H, Imaeda H, Hosoda H, Ohara T, Morishita T, Ishii H, Kangawa K, Hibi T. Long-term strict monitoring of plasma ghrelin and other serological markers of gastric diseases after Helicobacter pylori eradication. Hepatogastroenterology 2005; 52: 1-4. Mendez-Sanchez N, Pichardo-Bahena R, Vasquez-Fernandez F, et al. Effect of Helycobacter pylori infection on gastric ghrelin expression and body weight. Revista de Gastroenterologia de Mexico 2007; 72(4):359-64. Misra M, Miller KK, Herzog DB, et al. Growth hormone and ghrelin responses to an oral glucose load in adolescent girls with anorexia nervosa and controls. J Clin Endocrinol Metab. 2004;89:1605-12. Misra M, Miller KK, Kuo K, et al. Secretory dynamics of ghrelin in adolescent girls with anorexia nervosa and healthy adolescents. Am J Physiol Endocrinol Metab. 2005;289:E347-E356. Mobley HLT. Helicobacter pylori urease. In: Achtman M, Suerbaum S, eds. Helicobacter pylori: molecular and cellular biology. Wymondham, United Kingdom: Horizon Scientific Press, 2001:155-70. 58 Mohlig M, Spranger J, Otto B, Ristow M, Tschop M, Pfeiffer AF. Euglycemic hyperinsulinemia, but not lipid infusion, decreases circulating ghrelin levels in humans. J Endocrinol Invest. 2002;25:RC36-RC38. Mozid AM, Tringali G, Forsling ML, et al. Ghrelin is released from rat hypothalamic explants and stimulates corticotrophin-releasing hormone and arginine-vasopressin. Horm Metab Res. 2003;35:455-59. Murata M, Okimura Y, Iida K, et al. Ghrelin modulates the downstream molecules of insulin signaling in hepatoma cells. J Biol Chem. 2002;277:5667-74. Murray CD, Kamm MA, Bloom SR, Emmanuel AV. Ghrelin for the gastroenterologist: history and potential. Gastroenterology 2003; 125(5), 14921502. Negrini R, Savio A, Appelmelk BJ. Autoantibodies to gastric mucosa in Helicobacter pylori infection. Helicobacter 1997;2:Suppl 1:S13-S16. Nomura A, Stemmermann GN, Chyou P-H, Kato I, Perez-Perez GI, Blaser MJ. Helicobacter pylori infection and gastric carcinoma among Japanese Americans in Hawaii. N Engl J Med 1991;325:1132-6. Norrelund H, Hansen TK, Orskov H, et al. Ghrelin immunoreactivity in human plasma is suppressed by somatostatin. Clin Endocrinol (Oxf). 2002;57:539-46. Nweneka CV, Prentice AM. Helycobacter pylori infection and circulating ghrelin levels—a systematic review. BMC Gastroenterology 2011;11:7. Nwokolo CU, Freshwater DA, O'Hare P, Randeva HS. Plasma ghrelin following cure of Helicobacter pylori. Gut 2003; 52: 637-40. Odenbreit S, Puls J, Sedlmaier B, Gerland E, Fischer W, Haas R. Translocation of Helicobacter pylori CagA into gastric epithelial cells by type IV secretion. Science 2000;287:1497-500. Osawa H. Ghrelin and Helycobacter pylori infection. World J Gastroenterol 2008 November 7; 14(41): 6327-33. Osawa H, Nakazato M, Date Y, et al. Impaired production of gastric ghrelin in chronic gastritis associated with Helicobacter pylori. J Clin Endocrinol Metab 2005; 90: 10-6. Otto B. Endokrynol Diabetol Chor Przemiany Materii Wieku Rozw 2005; 11: 3942. 59 Otto B, Cuntz U, Fruehauf E, et al. Weight gain decreases elevated plasma ghrelin concentrations of patients with anorexia nervosa. Eur J Endocrinol. 2001;145:669-73. Otto B, Tschop M, Cuntz U. Similar fasting ghrelin levels in binge eating/purging anorexia nervosa and restrictive anorexia nervosa [letter]. Psychoneuroendocrinology. 2004;29:692-3. Otto B, Tschop M, Fruhauf E, et al. Postprandial ghrelin release in anorectic patients before and after weight gain. Psychoneuroendocrinology. 2005;30:577-1. Otto B, Tschop M, Heldwein W, Pfeiffer AF, Diederich S. Endogenous and exogenous glucocorticoids decrease plasma ghrelin in humans. Eur J Endocrinol. 2004;151:113-7. Otto V, Fasshauer M, Dalski A, et al. Direct peripheral effects of ghrelin include suppression of adiponectin expression. Horm Metab Res. 2002;34:640-5. Overduin J, Frayo RS, Grill HJ, Kaplan JM, Cummings DE. Role of the duodenum and macronutrient type in ghrelin regulation. Endocrinology. 2005;146:845-50 Pagotto U, Gambineri A, Pelusi C, et al. Testosterone replacement therapy restores normal ghrelin in hypogonadal men. J Clin Endocrinol Metab. 2003;88:4139-43. Pagotto U, Gambineri A, Vicennati V, Heiman ML, Tschop M, Pasquali R. Plasma ghrelin, obesity, and the polycystic ovary syndrome: correlation with insulin resistance and androgen levels. J Clin Endocrinol Metab. 2002;87: 5625-9. Parsonnet J, Friedman GD, Vandersteen DP, et al. Helicobacter pylori infection and the risk of gastric carcinoma. N Engl J Med 1991;325:1127-31. Parsonnet J, Hansen S, Rodriguez L, et al. Helicobacter pylori infection and gastric lymphoma. N Engl J Med 1994;330:1267-71. Parsonnet J, Shmuely H, Haggerty T. Fecal and oral shedding of Helicobacter pylori from healthy infected adults. JAMA 1999;282:2240-5. Perez-Perez GI, Dworkin BM, Chodos JE, Blaser MJ. Campylobacter pylori antibodies in humans. Ann Intern Med 1988;109:11-7. Popovic V, Miljic D, Micic D, et al. Ghrelin main action on the regulation of growth hormone release is exerted at hypothalamic level. J Clin Endocrinol Metab. 2003;88:3450-3. 60 Prado CL, Pugh-Bernard AE, Elghazi L, Sosa-Pineda B, Sussel L. Ghrelin cells replace insulin-producing beta cells in two mouse models of pancreas development. Proc Natl Acad Sci U S A. 2004;101:2924-9. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Glosarium data & informasi kesehatan. 2006; 40. Qi X, Reed J, Englander EW, Chandrashekar V, Bartke A, Greeley GH Jr. Evidence that growth hormone exerts a feedback effect on stomach ghrelin production and secretion. Exp Biol Med (Maywood). 2003;228:1028-32. Riis AL, Hansen TK, Moller N, Weeke J, Jorgensen JO. Hyperthyroidism is associated with suppressed circulating ghrelin levels. J Clin Endocrinol Metab. 2003;88:853-7. Robertson MD, Henderson RA, Vist GE, Rumsey RD. Plasma ghrelin response following a period of acute overfeeding in normal weight men. Int J Obes Relat Metab Disord. 2004;28:727-33. Rojdmark S, Calissendorff J, Danielsson O, Brismar K. Hunger-satiety signals in patients with Graves’ thyrotoxicosis before, during, and after longterm pharmacological treatment. Endocrine. 2005;27:55-61. Rowland M, Kumar D, Daly L, O’Connor P, Vaughan D, Drumm B. Low rates of Helicobacter pylori reinfection in children. Gastroenterology 1999;117:336-41. Rudi J, Kuck D, Strand S, et al. Involvement of the CD95 (APO-1/Fas) receptor and ligand system in Helicobacter pylori-induced gastric epithelial apoptosis. J Clin Invest 1998;102:1506-14. Salehi A, Dornonville de la Cour C, Hakanson R, Lundquist I. Effects of ghrelin on insulin and glucagon secretion: a study of isolated pancreatic islet and intact mice. Regul Pept. 2004;118:143-50. Schlemper RJ, van der Werf SD, Biemond I, Lamers CB. Seroepidemiology of gastritis in Japanese and Dutch male employees with and without ulcer disease. Eur J Gastroenterol Hepatol 1996;8:33-9. Segal ED, Cha J, Lo J, Falkow S, Tompkins LS. Altered states: involvement of phosphorylated CagA in the induction of host cellular growth changes by Helicobacter pylori. Proc Natl Acad Sci U S A 1999;96:14559-64. Shiiya T, Nakazato M, Mizuta M, et al. Plasma ghrelin levels in lean and obese humans and the effect of glucose on ghrelin secretion. J Clin Endocrinol Metab. 2002;87:240-4. 61 Shiotani A, Miyanishi T, Uedo N, Iishi H. Helicobacter pylori infection is associated with reduced circulating ghrelin levels independent of body mass index. Helicobacter 2005; 10:373-8. Smythies LE, Waites KB, Lindsey JR, Harris PR, Ghiara P, Smith PD. Helicobacter pylori-induced mucosal inflammation is Th1 mediated and exacerbated in IL-4, but not IFN-gamma, gene-deficient mice. J Immunol 2000;165:1022-9. Suerbaum S, Michetti P. Helycobacter pylori infection. N Engl J Med 2002; 347(15): 1175-86. Sugino T, Hasegawa Y, Kikkawa Y, et al. A transient ghrelin surge occurs just before feeding in a scheduled meal-fed sheep. Biochem Biophys Res Commun. 2002;295:255-60. Sugino T, Yamaura J, Yamagishi M, et al. A transient surge of ghrelin secretion before feeding is modified by different feeding regimens in sheep. Biochem Biophys Res Commun. 2002;298:785-8. Sumandi IK. Hubungan infeksi Helycobacter pylori dengan kadar pepsinogen II serum penderita dispepsia. Karya akhir Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UnudRSUP Sanglah Denpasar. 2009. (Tesis). Takachi K, Doki Y, Ishikawa O, et al. Postoperative ghrelin levels and delayed recovery from body weight loss after distal or total gastrectomy. J Surg Res. 2006;130:1-7. Takaya K, Ariyasu H, Kanamoto N, et al. Ghrelin strongly stimulates growth hormone release in humans. J Clin Endocrinol Metab. 2000;85:4908-11. Talley NJ, Silverstein MD, Agre´us L, Nyre´n O, Sonnenberg A, Holtmann G. Evaluation of dyspepsia. Gastroenterology 1998;114:582–595. Tatsuguchi A, Miyake K, Gudis K, et al. Effect of Helicobacter pylori infection on ghrelin expression in human gastric mucosa. Am J Gastroenterol 2004; 99: 2121-7. Tena-Sempere M, Barreiro ML, Gonzalez LC, et al. Novel expression and functional role of ghrelin in rat testis. Endocrinology. 2002;143:717-25. Tomita T, Jackson AM, Hida N, et al. Expression of interleukin-18, a Th1 cytokine, in human gastric mucosa is increased in Helicobacter pylori infection. J Infect Dis 2001;183:620-7. 62 Tritos NA, Kokkinos A, Lampadariou E, Alexiou E, Katsilambros N, MaratosFlier E. Cerebrospinal fluid ghrelin is negatively associated with body mass index. J Clin Endocrinol Metab. 2003;88:2943-6. Tritos NA, Kokkotou EG. The physiology and potential clinical applications of ghrelin, a novel peptide hormone. Mayo Clinic Proc. 2006;81(5):653-60. Tschop M, Wawarta R, Riepl RL, et al. Post-prandial decrease of circulating human ghrelin levels. J Endocrinol Invest. 2001;24:RC19-RC21. Tschop M, Weyer C, Tataranni PA, Devanarayan V, Ravussin E, Heiman ML. Circulating ghrelin levels are decreased in human obesity. Diabetes. 2001;50:7079. Tufano MA, Rossano F, Catalanotti P, et al. Immunobiological activities of Helicobacter pylori porins. Infect Immun 1994;62:1392-9. Uemura N, Okamoto S, Yamamoto S, et al. Helicobacter pylori infection and the development of gastric cancer. N Engl J Med 2001; 345: 784-9. Van der Lely AJ, Tschop M, Heiman ML, Ghigo E. Biological, physiological, pathophysiological, and pharmacological aspects of ghrelin. Endocrine Reviews, 2004, 25(3):426–57. Wang J, Brooks EG, Bamford KB, Denning TL, Pappo J, Ernst PB. Negative selection of T cells by Helicobacter pylori as a model for bacterial strain selection by immune evasion. J Immunol 2001;167:926-34. Weeks DL, Eskandari S, Scott DR, Sachs G. A H+-gated urea channel: the link between Helicobacter pylori urease and gastric colonization. Science 2000;287:482-5. Weigle DS, Cummings DE, Newby PD, et al. Roles of leptin and ghrelin in the loss of body weight caused by a low fat, high carbohydrate diet. J Clin Endocrinol Metab. 2003;88:1577-86. Wierup N, Yang S, McEvilly RJ, Mulder H, Sundler F. Ghrelin is expressed in a novel endocrine cell type in developing rat islets and inhibits insulin secretion from INS-1 (832/13) cells. J Histochem Cytochem. 2004;52:301-10. Wotherspoon AC. Helicobacter pylori infection and gastric lymphoma. Br Med Bull 1998;54:79-85. Wotherspoon AC, Doglioni C, Diss TC, et al. Regression of primary low-grade Bcell gastric lymphoma of mucosa-associated lymphoid tissue type after eradication of Helicobacter pylori. Lancet 1993; 342: 575-7. 63 Wren AM, Seal LJ, Cohen MA, Brynes AE, Frost GS, Murphy KG, et al. Ghrelin enhances appetite and increases food intake in humans. J Clin Endocrinol Metab. 2001;86:5992. Yamaoka Y, Kita M, Kodama T, Sawai N, Imanishi J. Helicobacter pylori cagA gene and expression of cytokine messenger RNA in gastric mucosa. Gastroenterology 1996;110:1744-52. Yamaoka Y, Kita M, Kodama T, Sawai N, Kashima K, Imanishi J. Induction of various cytokines and development of severe mucosal inflammation by cagA gene positive Helicobacter pylori strains. Gut 1997;41:442-51. Zhang QB, Nakashabendi IM, Mokhashi MS, Dawodu JB, Gemmell CG Russell RI. Association of cytotoxin production and neutrophil activation by strains of Helicobacter pylori isolated from patients with peptic ulceration and chronic gastritis. Gut 1996;38:841-5. Zub-Pokrowiecka A, Rembiasz K, Konturek SJ, Budzynsky A, Konturek PC, Budzynski P. Ghrelin in diseases of the gastric mucosa associated with Helycobacter pylori infection. Med Sci Monit 2010;16(10):CR493-500. 64 Lampiran 1. ETHICAL CLEARANCE 65 Lampiran 2. SURAT IJIN PENELITIAN 66 Lampiran 3. SURAT PERSETUJUAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan setuju untuk ikut serta dalam penelitian yang berjudul ―Korelasi Antara Infeksi Helicobacter pylori dengan Kadar Ghrelin Plasma pada Pasien Dispepsia di RSUP Sanglah April – Juli 2012.‖ Nama : Umur : Jenis kelamin : Alamat : No. Tlp : Denpasar, .................................... ( ) 67 Lampiran 4. IDENTITAS SAMPEL Nomor : Tanggal : No. CM : Nama : Jenis kelamin : Umur : Alamat : No. Tlp : Ruangan : tahun Tinggi badan : cm Berat Badan : kg IMT : kg/m2 68 Lampiran 5. DATA STATISTIK Statistics usia N Valid Ghrelin IMT 75 75 75 75 0 0 0 0 48.75 1.4667 368.25 21.3836 13.908 .50225 333.731 3.11314 Missing Mean Std. Deviation JK JK Cumulative Frequency Valid Percent Valid Percent Percent pria 40 53.3 53.3 53.3 wanita 35 46.7 46.7 100.0 Total 75 100.0 100.0 HPNum Cumulative Frequency Valid Percent Valid Percent Percent positif 52 69.3 69.3 69.3 negatif 23 30.7 30.7 100.0 Total 75 100.0 100.0 Rentang_ghrelin_num Cumulative Frequency Valid Percent Valid Percent Percent rendah 6 8.0 8.0 8.0 normal 69 92.0 92.0 100.0 Total 75 100.0 100.0 69 Rentang_IMT Cumulative Frequency Valid Percent Valid Percent Percent normal 59 78.7 78.7 78.7 kegemukan 11 14.7 14.7 93.3 5 6.7 6.7 100.0 75 100.0 100.0 obesitas Total Group Statistics HPNum Ghrelin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean positif 52 400.04 359.199 49.812 negatif 23 296.39 260.272 54.270 Test Statistics a Ghrelin Mann-Whitney U 528.000 Wilcoxon W 804.000 Z -.804 Asymp. Sig. (2-tailed) .421 a. Grouping Variable: HPNum Tests of Normality a Kolmogorov-Smirnov HPNum Ghrelin Statistic df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. positif .205 52 .000 .857 52 .000 negatif .154 23 .169 .811 23 .001 a. Lilliefors Significance Correction 70 Correlations HPNum Spearman's rho HPNum Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Ghrelin Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Ghrelin 1.000 -.094 . .425 75 75 -.094 1.000 .425 . 75 75