Editor : Suryanto Tjuk Sasmito Hadi Endang Savitri Budidaya Shorea balangeran di lahan gambut BUDIDAYA Shorea balangeran DI LAHAN GAMBUT Editor : Suryanto Tjuk Sasmito Hadi Endang Savitri KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN BANJARBARU BUDIDAYA Shorea balangeran DI LAHAN GAMBUT Editor: Suryanto Tjuk Sasmito Hadi Endang Savitri ISBN 978 602 17334 0 0 © Tim Penulis Cetakan Pertama, Desember 2012 Gambar Sampul Tegakan balangeran oleh Purwanto BS Penerbit Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Jl. Ahmad Yani Km. 28,7 Landasan Ulin- Banjarbaru Kalimantan Selatan BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Kata Sambutan Balangeran (Shorea balangeran (Korth.) Burck.) adalah salah satu jenis komersil yang dapat dikembangkan dalam usaha budidaya tanaman penghasil kayu pertukangan di lahan rawa gambut. Balangeran merupakan jenis asli rawa gambut yang mempunyai pertumbuhan relatif lebih cepat dibanding jenis-jenis tumbuhan rawa gambut lainnya yang pada umumnya lambat. Penguasaan teknologi budidaya untuk jenis ini telah cukup memadai, sementara itu, ketersediaan lahan rawa gambut di Indonesia yang cukup besar menyebabkan peluang pengembangan usaha budidaya jenis ini menjadi cukup menjanjikan. Buku ini menyediakan paket IPTEK tentang berbagai hal mengenai balangeran, mulai dari informasi pengetahuan tentang botanis dan sifat dasar balangeran hingga, teknologi tentang pembibitan, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman dan informasi hama penyakit dan strategi pemuliaan balangeran. Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang selama ini telah membantu dalam penulisan dan pembuatan buku ini. Semoga buku ini bermanfaat dan menjadi sumber pengetahuan serta inspirasi bagi yang memerlukannya sehingga hutan rawa gambut tetap lestari dan meningkat produktifitasnya. Desember 2012 Penulis iii BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut DAFTAR ISI KATA SAMBUTAN 1. Mengenal Shorea balangeran .............................................1 2. Perbenihan dan Pembibitan Balangeran ............................5 Rusmana 3. Peningkatan Produktifitas Shorea balangeran di Persemaian melalui Pemupukan ..........................................................29 Tri Wira Yuwati 4 Peningkatan Pertumbuhan Shorea balangeran di Persemaian dengan Aplikasi Mikoriza.................................................. 35 Tri Wira Yuwati 5. Teknik Penanaman Balangeran .......................................... 41 Dony Rachmanadi 6. Kondisi Lingkungan Tempat Tumbuh Balangeran di Hutan Rawa Gambut ....................................................................55 Purwanto Budi Santosa dan Haryono Supriyono 7. Pemeliharaan Tanaman Balangeran................................... 66 Purwanto Budi Santosa 8. Potensi Jenis-Jenis Hama dan Penyakit pada Tanaman Shorea balangeran ...........................................................76 Beny Rahmanto dan Abdul Kodir 9 Strategi Pemuliaan Shorea balangeran untuk penghasil Kayu Pertukangan .............................................................90 Reni Setyo W, Rusmana, dan Budi Leksono iv BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut MENGENAL Shorea balangeran Balangeran merupakan jenis tanaman yang cukup potensial untuk dikembangkan di hutan rawa gambut. Jenis tersebut termasuk jenis pohon komersial dimana pada umumnya terdapat secara berkelompok (Martawijata, et al., 1989). Dalam klasifikasi tumbuhan, balangeran (Shorea balangeran) di klasifikasikan sbb: Devisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Theales Famili : Dipterocarpaceae Genus : Shorea Species : Shorea balangeran 1 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut A. Sifat fisik Pohon Balangeran dapat tumbuh mencapai tinggi pohon 20-25 m, mempunyai batang bebas cabang 15 m, diameter dapat mencapai 50 cm, biasanya tidak terdapat banir. Pohon balangeran dewasa mempunyai kulit luar berwarna merah tua sampai hitam, dengan tebal 1-3 cm, mempunyai alur dangkal, kulit tidak mengelupas. Jika dilihat dari kayu terasnya berwarna coklat-merah atau coklat tua, sedangkan kayu gubal berwarna putih kekuningan atau merah muda, dengan kertebalan 2-5 cm. Tekstur kayunya agak kasar sampai kasar dan merata. Kayunya mempunyai serat lurus, jika diraba pada permukaan kayunya licin dan pada beberapa tempat terasa lengket karena adanya damar. Kayu balangeran tergolong kelas kuat II dan mempunyai berat jenis 0,86. Kayunya tidak mengalami penyusutan ketika dikeringkan. Kayu balangeran termasuk ke dalam kelas awet III (I-III) dan tahan terhadap jamur pelapuk. Kegunaan kayu balangeran antara lain dapat dipakai untuk balok dan papan pada bangunan perumahan, jembatan, lunas perahu, bantalan dan tiang listrik. B. Ekofisiologi balangeran Daerah persebaran jenis balangeran yaitu di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Persebaran di Sumatera terdapat di Sumatera Selatan yaitu Bangka Belitung, sedangkan di Pulau Kalimatan terdapat di Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah. Nama daerah balangeran di setiap daerah berbeda. Di Kalimantan dikenal dengan nama belangiran, kahoi, kawi dan di Sumatera dikenal dengan nama belangeran, belangir, melangir. 2 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Gambar 1. Persebaran Shorea balangeran di Indonesia Balangeran tumbuh tersebar pada hutan primer tropis basah yang seaktu-waktu tergenang air, di daerah rawa atau di pinggir sungai, pada tanah liat berpasir, tanah liat dengan tipe curah hujan A-B pada ketingian 0-100 m dpl. Permudan alam terdapat bersama-sama dengan jenis lain dalam hutan yang heterogen terutama dengan jenis keruing, tembesu, bintangur, ramin. Balangeran seringkali tumbuh secara berkelompok. Untuk permudaan buatan dapat dilakukan dengan menanam bibit yang tingginya 30-50 cm dengan penanaman di dalam jalur dengan lebar 2-3 m yang telah dibersihkan. Jarak tanam 3 m dengan jarak antar jalur 5-6 m. Pada tanaman muda memerlukan pemeliharaan selama 4-5 tahun. Ketika dewasa memerlukan kondisi cahaya penuh, sehingga diperlukan pemeliharaan dengan membuka ruang tumbuh (Hyne, 1987). Musim berbunga dan berbuah tidak terjadi setiap tahun. Musim berbuah sangat dipengaruhi oleh keadaan setempat. Biasanya buah masak seringkali bersamaan dengan famili Dipterocarpaceae yaitu bulan Februari, April sampai Juni. Buah balangeran tergolong cepat berkecambah, dan hanya dapat disimpan selama 12 hari di dalam wadah yang diberi arang basah. 3 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Gambar 2. Penggunaan kayu balangeran untuk tiang dan papan jembatan di lahan gambut DAFTAR PUSTAKA Hyne, K., 1987. Tumbuhan Litbang Kehutanan berguna Indonesia. Badan Martawijaya, A., Kartasujana, I., Kadir, K., dan S.A. Prawira, 1989. Atlas Kayu Indonesia . Jilid II. P 20-24 4 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut PERBENIHAN DAN PEMBIBITAN Balangeran (Shorea balangeran) Rusmana Peneliti pada BPK Banjarbaru A. PERBENIHAN 1. Sumber benih Di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah pada kondisi saat ini, pohon balangeran yang baik dan bisa berbuah sudah mulai sulit ditemukan atau sudah langka. Musim berbuah balangeran tidak beraturan dan tidak setiap tahun berbuah. Musim buah jenis balangeran pada tahun 2011 jatuh pada Februari-April di daerah Kecamatan Mentangai, Kabupaten Kapuas, Propinsi Kalimantan Tengah. Pohon balangeran di daerah tersebut tumbuh mengelompok secara alami. Potensi produksi benih balangeran di daerah tersebut diperkirakan mencapai 800 - 1000 kg/ha dari jumlah pohon 99 batang/ha. 5 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Selain potensi produksi benih berupa biji (seeds), benih berupa anakan alam cukup banyak di daerah Mentangai tersebut. Berdasarkan hasil pendataan yang telah dilakukan pada November 2012, potensi pemanfaatan anakan alam balangeran di daerah Mentangai tersebut mencapai 780.000 - 2.410.000 anakan setiap musimnya. Oleh karena itu, BPK Banjarbaru akan menunjuk daerah tersebut sebagai sumber benih balangeran dan akan diusulkan untuk disertifikasi ke Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) Wilayah Kalimantan, sebagai tegakan benih pada level Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT), bekerjasama dengan pemilik lahan Bapak Rakhman Aspar. Kondisi tegakan balangeran sebagai sumber benih di daerah Mentangai disampaikan dalam gambar berikut. Gambar 1. Pohon balangeran di daerah Mentangai Kalimantan Tengah sebagai sumber benih (Dok. Rusmana dan team, 2012) 6 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Gambar 2. Anakan alam balangeran di sekitar pohon induknya di daerah Mentangai, Kalimantan Tengah dengan tinggi antara 10-25 cm sebagai sumber benih cabutan anakan alam. (Dok. Rusmana dan team, 2012) 2. Karakter benih Benih balangeran bersifat rekalsitran sehingga benihnya (bijinya) tidak bisa disimpan dalam waktu lama seperti halnya benih-benih dari famili leguminocaea yang bersifat ortodok. Oleh karena itu, jika memperoleh benih balangeran sebaiknya benih langsung disemai pada bedengan atau polibag dan disimpan dalam bentuk bibit, bukan disimpan dalam bentuk benih (seeds). Jumlah benih balangeran dalam satuan berat berkisar antara 3.500-4.000 butir/kg tanpa sayap. Ilustrasi benih balangeran disampaikan dalam Gambar 3. 7 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Gambar 3. Buah balangeran yang masih menempel pada cabang atau ranting pohonnya. (Foto : Turjaman, 2000) 3. Sumber bahan stek (benih vegetatif) Mengingat benih balangeran tidak bisa diperoleh setiap tahun karena musim berbuahnya tidak beraturan, maka pembangunan sumber benih bisa dilakukan dengan cara membangun kebun pangkasan. Kebun pangkasan dibangun dengan 3 (tiga) cara, yaitu: 1) kebun pangkasan langsung di lahan membentuk bedengan, 2) kebun pangkasan bergulir dalam polibag berukuran 12/25 cm, dan 3) kebun pangkasan dalam polibag besar berukuran 20/35 cm. Dengan tersedianya kebun pangkasan diharapkan kendala untuk memperoleh benih (biji) setiap tahun sebagai bahan utama produksi bibit dapat teratasi, karena pohon balangeran tidak setiap tahun berbuah. Kebun pangkasan tersebut merupakan sumber benih vegetatif sebagai bahan stek pada kegiatan pembuatan bibit dengan cara stek (pembiakan tanaman cara vegetatif makro). 8 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut BPK Banjarbaru sejak tahuan 2004 telah membangun kebun pangkasan balangeran bentuk bedengan sebagai sumber benih vegetatif (bahan stek) sebanyak 200 stock plant. Produktifitas bahan stek dari populasi tersebut mencapai 4.000 stek dalam satu fase (4 bulan). Sehingga dalam satu tahun diperoleh bahan stek 12.000 stek (benih vegetatif) untuk kegiatan penelitian. Pembangunan kebun pangkasan perlu dikembangkan oleh para penangkar bibit atau instansi terkait seperti Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota dan perusahaan swasta maupun BUMN agar ketersediaan benih setiap tahun tersedia dan tidak begantung pada ketersediaan benih generatif (biji). Salah satu kebun pangkasan balangeran di BPK Banjarbaru sebagai sumber benih vegetatif disajikan dalam Gambar 4. B. PEMBUATAN BIBIT 1. Pengadaan benih Telah disampaikan sebelumnnya bahwa balangeran (Shorea balangeran) musim berbuahnya tidak beraturan, sehingga benihnya tidak tersedia setiap tahun. Berdasarkan pengamatan di wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, musim berbuah masak jenis balangeran jatuh pada bulan Februari - April. Tahun 2011 untuk jenis belangeran terjadi panen raya antara Februari April di kedua daerah tersebut. 9 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Gambar 4. Kebun pangkasan balangeran sebagai sumber benih vegetatif (bahan stek) untuk mendukung ketersediaan bibit dalam rangka rehabilitasi hutan dan lahan di rawa Pengadaan benih balangeran bisa dilakukan melalui pemesanan kepada penjual benih. Namun jika akan mengunduh buah sendiri dari pohon induknya langsung ada beberapa tahapan yang harus diikuti, yaitu : · Survei pohon induk balangeran yang berbuah di alam atau tanaman di beberapa tempat. · Pengunduhan benih dipilih buah yang telah masak fisiologis dengan cara dipanjat dan memetik buahnya dengan galah berkait atau mengumpulkan buahnya yang jatuh ke tanah sampai lebih dari radius 25 m dari pohon induknya. · Pengangkutan buah/biji hasil panen dari lapangan sebaiknya menggunakan wadah karung yang tidak rapat (sarang) seperti 10 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut untuk wadah bawang merah. Wadah buah/biji menggunakan kardus. Sebaiknya kardus diberi/dibuat lubang-lubang kecil untuk sirkulasi udara agar selama dalam pengangkutan tidak mengalami suhu dan kelembaban yang terlampau tinggi dalam wadah. Jika terlampau panas dan lembab dalam wadah dalam waktu lama (> 24 jam), benih banyak yang membusuk atau berkecambah dengan akar melingkar (jika panjang akar lebih 1cm) yang menyulitkan penyapihan. · Setelah sampai di persemaian, benih dihampar dalam kondisi suhu kamar (jangan dalam wadah). · Kemudian benih diekstraksi dengan cara memotong sayap buah menggunakan gunting atau tangan. · Lakukan seleksi biji agar diperoleh biji yang baik (bernas) dan membuang segala macam kotoran-kotorannya (seresah buah, ranting dll.). · Benih balangeran tidak bisa disimpan lama karena termasuk benih rekalsitran, sehingga benih harus segera disemaikan. 2. Penaburan benih Secara praktis, tahapan kegiatan penaburan disampaikan sebagai berikut : · Bila benih sudah tersedia, segera ditabur/ disemaikan karena tidak bisa disimpan lama. · Penaburan benih dilakukan pada bedeng tabur, bak-bak tabur atau langsung disemai dalam polibag atau pot dengan cara 11 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut biji dimasuk- kan 2/3 bagiannya ke dalam media dengan posisi vertikal dimana calon keluarnya radikula berada di posisi bawah dan bekas tangkai buah berada di atas. · Media tabur menggunakan pasir (tanpa campuran media lain) atau menggunakan media tanah dicampur sekam padi dengan komposisi 1 : 1 (berdasarkan volume). · Tempat penyemaian harus di tempat yang bernaung dengan intensitas naungan 70%, kelembaban > 85% dan suhu udara 320 C - 350 C. Seperti dalam kondisi greenhouse/ rumah kaca atau bedengan-bedengan dalam sungkup plastik di bawah naungan 70%. · Taburan benih disiram air bersih dengan frekuensi 2 (dua) kali sehari atau secukupnya sesuai kondisi cuaca. · Perlu dilakukan pencegahan hama atau penyakit dari golongan insekta dan fungi/jamur dengan cara disemprot insektisida atau fungisida (konsentrasi 5-10 g/l air) setiap 2 minggu sekali sampai benih siap sapih. 3. Penyapihan kecambah Penyapihan kecambah balangeran dilakukan pada saat kotiledon mulai terangkat dari media dan paling lambat kecambah telah memiliki dua pasang daun dan kotiledon belum hilang. Secara garis besar, tahapan penyapihan disampaikan sebagai beikut : · Polibag atau pot yang telah berisi media disiram air bersih kemudian dibuat lubang di tengah-tengahnya menggunakan stik kayu. 12 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut · Cabut kecambah dengan tegak lurus ke atas, potong akarnya jika terlalu panjang hingga akar tersisa 5 - 8 cm · Masukkan bagian akar kedalam lubang media yang telah dibuat, kemudian padatkan media sekitarnya ke arah akar secara hati-hati. Pastikan bahwa media cukup rapat kontak dengan akar agar kecambah yang baru disapih tumbuh tegak dan tidak goyang. · Hasil sapihan berjumlah maksimal 1.000 semai segera siram dengan air bersih agar media dengan akar terjadi kontak yang baik. · Ilustrasi penyapihan disampaikan dalam Gambar 5. Keterangan : a. Kecambah, b. Kecambah dipotong akarnya sebagian, c. Polibag bagian tengahnya dilubangi dengan stik kayu dan d. Sapihan kecambah. Gambar 5. Ilustrasi penyapihan kecambah balangeran dengan menggunakan wadah pertumbuhan polibag. Ukuran polibag yang digunakan minimal berukuran 8/12 (diameter/tinggi polibag). 13 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut C. PEMBUATAN BIBIT CARA STEK (CUTTING) Balangeran dapat dibiakkan dengan cara stek. Bagian tanaman yang baik untuk dijadikan stek adalah tunas ortotrop dari trubusan kebun pangkasan, anakan alam atau bibit berumur muda (berumur 7 -12 bulan), dengan mengambil bahan stek dari bagian batang hingga pucuknya (Hartman et al., (1990); Yasman dan Leppe (1988); Leppe, D. (1995)) Perbanyakan tanaman dengan cara stek dapat dilakukan secara persemaian modern misalnya dengan metode KOFFCO (Komatsu Forda Fog Cooling). Sistem persemaian metode KOFFCO merupakan metode yang dikembangkan dalam rangka kerjasama antara pemerintah Jepang (Poyek Komatsu Ltd.) dengan Badan Litbang Kehutanan. Persemaian metode KOFFCO memanipulasi kondisi lingkungan dengan pengaturan yang dilakukan secara otomatis terhadap temperatur / suhu dan kelembaban udara. Penyemaian stek dilakukan dalam boks propagasi khusus berukuran sekitar 40 x 70 cm dan tinggi 30 cm. Untuk mengontrol kondisi kelembaban agar selalu tinggi, dilakukan pengkabutan air (dengan alat nozel atau air cool) yang dipasang dalam rumah kaca (greenhouse) sehingga kondisi temperatur dalam boks propagasi rendah (< 320 C) dan kelembaban udara tinggi (> 90%) meskipun pada saat tengah hari. Berikut ini adalah teknik perbanyakan vegetatif cara stek untuk jenis balangeran menggunakan sistem persemaian konvensional dan sistem persemaian metode KOFFCO: 14 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut a. Media tumbuh stek Penggunaan media harus bebas dari hama dan penyakit (patogen). Agar media bebas dari patogen yang mengakibatkan stek busuk sebelum berakar, media perlu dijemur (disolarisasi) atau disterilisasi terlebih dahulu (Yasman dan Leppe, 1989). Dapat juga media di-steam untuk bahan yang ringan seperti cocopeat (Subiakto dan Sakai, 2007). Beberapa jenis media yang dapat digunakan sebagai media tumbuh stek dan mudah dicari di wilayah Jawa dan Kalimantan serta Sumatera antara lain (Supriadi dan vallii (1988); Yasman dan Leppe (1989); Sagala dan Rusmana (1988); Subiakto dan Sakai (2007); Rusmana (2011); Hartman dan Kester (1983); Mac Donal (1980)) : 1) Campuran serbuk kulit kelapa (Cocopeat atau cocodust) dengan sekam padi (2 : 1), 2) Kompos serbuk gergaji (Sawdust) dicampur tanah lapisan atas (2 : 1), 3) Campuran gambut dengan sekam padi (70% : 30%), 4) Pasir sungai atau pasir kuarsa dengan kekasaran dominan 0,5- 1,0 mm, 5) Arang sekam padi murni atau dicampur dengan bahan lain, dan 6) Pasir dicampur dengan serbuk arang aktif. 15 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Media yang cocok untuk penumbuhan akar stek balangeran adalah media pasir sungai murni dan cocopeat + sekam padi (2:1), (Rusmana et.al., 2004). Setelah stek berakar, kemudian dipindah pada wadah pertumbuhan (polibag atau pot-tryas) dengan menggunakan media campuran gambut dengan sekam padi (70% : 30%) atau media campuran topsoil dengan sekam padi dengan perbandingan volume 1:1 (v/v). b. Pemilihan bahan stek Bahan stek balangeran yang baik adalah yang diambil dari bagian pucuknya yang masih dorman (resting) yang tumbuh ortotrop (tegak) dan jangan mengambil bahan stek pucuk yang masih tumbuh menggelora (flushing) dan tumbuh plagiotrop (Hartman dan Kester, 1983). Seperti diilustrasikan dalam Gambar 6 menunjukkan bahwa stek pucuk balangeran yang sedang masa resting dan flusing. Stok tanaman untuk bahan stek umurnya jangan yang tua (lebih dari 2 tahun) karena sulit tumbuh akarnya tetapi harus yang muda (asal bibit dari biji berumur 6 bulan- 2 tahun) karena stek akan mudah tumbuh akarnya (Leppe dan Smith (1989); Omon (2007)). Untuk memperoleh bahan stek bisa dibangun kebun pangkasan dekat sekitar lokasi persemaian (Yasman dan Leppe, 1989). Bisa juga dibangun kebun pangkasan pola bergulir (Subiakto dan Sakai, 2007). Skema yang dikembangkan di Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi oleh Subiakto dan Sakai (2007) tentang metode kebun pangkas bergulir pada jenis meranti (Shorea spp.) dapat diadopsi untuk jenis balangeran jika benih berupa biji tidak tersedia. Metode kebun pangkasan bergulir disajikan pada Gambar 7. 16 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Gambar 6. Contoh fase pertumbuhan bahan stek dan tunas orthotrop dan plagiotrop (Sumber : Setyowahyuningtyas dan Rusmana,2005; Sakai dan Subiakto, 2007) Gambar 7. Pola rotasi pengambilan bahan stek pada sistem kebun pangkasan bergulir (Sumber: Subiakto dan Sakai, 2007). 17 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Keunggulan kebun pangkasan bergulir adalah (Subiakto dan Sakai,2007) : 1) Tidak memerlukan kebun pangkas khusus yang memerlukan tempat lebih luas 2) Produktifitas per satuan luas tinggi (tergantung jenis) 3) Menjamin bahan stek tunas juvenil 4) Setelah dipangkas, bibit bisa ditanam ke lapangan 5) Mengurangi biaya operasional c. Pengambilan dan penyemaian stek Pengambilan bahan stek bisa dilakukan dari kebun pangkasan. Kebun pangkasan ada dua macam, yaitu sistem bergulir dan sistem permanen. Sistem bergulir tidak memerlukan tempat kebun pangkasan khusus karena tanaman donornya tetap dalam polibag atau pot yang pada suatu waktu setelah diambil pucuknya bisa ditanam di lapangan. Sedangkan kebun pangkasan permanen memerlukan tempat khusus dan donornya ditanam dalam bedengan dan biasanya jika persentase pertumbuhan akar steknya sudah rendah (< 30%), karena umur kebun pangkasannya (tanaman donor) sudah lebih dari 2 tahun, maka kebun pangkasannya dimusnahkan dan diganti dengan yang baru atau bisa juga ditanam di lapangan dengan cara “putaran”. 18 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Tahapan pengambilan dan penyemaian stek secara ringkas adalah sebagai berikut : · persiapkan bahan dan peralatan yang diperlukan seperti : gunting stek atau sejenisnya, ember plastik, hormon perangsang akar “rootone F” atau sejenisnya dll, · ember plastik diisi dengan air bersih secukupnya (1/2 nya), · stek diambil dari pohon induk atau stock plant yang baik,yang diambil adalah pucuk atau bagian tunas orthotrop, · panjang stek dibuat sekitar 10 - 15 cm, · daun pada stek dibuang dan disisakan 2-3 helai dan dipotong ½ nya, · stek kemudian dimasukkan dalam ember plastik berisi air dan diusahakan bagian pangkalnya terendam air, · stek lalu disemai pada polibag atau media yang telah disediakan sebelumnya di rumah kaca dalam boks propagasi (metode KOFFCO) atau pada polibag atau bedengan dalam sungkup plastik (metode konvensional), · stek sebelum disemai terlebih dahulu diberi hormon perangsang akar (Rootone F atau sejenisnya), · buat lubang semai pada media dengan menggunakan stik kayu yang bersih agar pada saat penancapan/penyemaian stek, hormon perangsang akar dan bagian pangkal stek tidak rusak kena gesekan media, · kemudian stek disemaikan sedalam 1/3 panjang stek, lalu padatkan media kearah bagian stek yang tertanam dalam media, 19 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut · siramlah semaian stek dengan air secukupnya agar terjadi kontak yang baik antara stek yang ditanam dengan media tumbuhnya, · tutuplah boks propagasi atau sungkup plastik dengan rapat sehingga sirkulasi udara dalam boks propagasi/sungkup plastik dengan di luar boks propagasi/sungkup plastik tidak terjadi, · stek dipelihara dengan cara menjaga agar temperatur udara tidak melebihi 320 C dan kelembaban udara tidak kurang dari 90%. Hal tersebut dilakukan dengan cara penyiraman pada stek di dalam boks propagasi atau sungkup plastik sampai stek berakar seluruhnya (16 minggu), dan · hindari penyiraman terlalu basah dan bibit kekeringan karena akan mengakibatkan stek mati. Persentase stek berakar dan persen balangeran jadi bibit 75%. Berikut data hasil penelitian beberapa jenis rawa gambut dengan metode KOFFCO di BPK Banjarbaru (Tabel 1). Tabel 1. Rata-rata tingkat keberhasilan perbanyakan vegetatif tanaman dengan cara stek pucuk (shoot cutting) di persemaian metode KOFFCO BPK Banjarbaru Keberhasilan stek No. Jenis Jumlah stek Stek berakar Mulai berakar 1. Belangeran 300 75,3% 11-16 minggu 2. Kapur naga 100 80 % 11-13 minggu 20 Bibit stek jadi 75,3% 70,0% Sumber Rusmana et. al., 2005 Rusmana et. al., 2005 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut d. Pemeliharaan bibit Tahapan pemeliharaan bibit stek atau asal biji secara garis besar adalah sebagai berikut : 1) Penyiraman Penyiraman bibit bertujuan untuk memberikan kebutuhan tanaman akan air agar tidak terjadi kekurangan air dalam proses pertumbuhannya. Penyiraman dilakukan 2-3 kali sehari atau sesuai kondisi cuaca. 2) Pemupukan Pemupukan bertujuan untuk memberikan tambahan unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman, sehingga bibit tumbuh dengan normal. Jenis pupuk yang digunakan sebaiknya jenis pupuk lengkap seperti NPK. Dosis pupuk yang diberikan disesuaikan dengan umur bibit, artinya bibit makin bertambah umurnya, dosis pupuknya pun makin bertambah. Besarnya dosis pupuk khusus untuk jenis Pantung belum diketahui. Namun dengan dosis pupuk NPK sebesar 10 -15 g/m2 yang diberikan dalam bentuk larutan (konsentrasi larutan 20 g/10 liter air bersih) dengan frekuensi 2 kali/minggu menunjukkan respon pertumbuhan bibit Pantung cukup baik. Cara pemupukan dengan sistem larutan tersebut di atas perlu dilakukan dengan 2 tahap, yaitu pemberian pupuk dengan cara disiramkan menggunakan gembor atau embrat dan setelah itu disiram atau dibilas dengan air bersih agar cairan pupuk yang menempel di daun bibit tercuci dan tidak lengket di daun. Bila tidak dilakukan pencucian atau pembilasan dengan air bersih tersebut sering terjadi daun bibit balangeran atau pantung klorosis akibat kandungan nitrogen yang menempel di daun tidak hilang. 21 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut 3) Pengendalian gulma Pengendalian gulma dilakukan apabila gulma telah tumbuh dalam bedengan-bedengan di persemaian. Untuk mempermudah pelaksanaan, pemberantasan atau pengendalian gulma dapat dilakukan sekali setiap bulan. Pemberantasan gulma bisa dilakukan dengan cara manual yaitu gulma-gulma pengganggu dicabut atau dibersihkan dengan alat cangkul hingga bersih. Namun bisa juga pemberantasan/ pengendalian gulma dilakukan dengan cara kimiawi yaitu dengan cara disemprot dengan herbisida seperti roundup (sistemik), gramoxon (non sistemik) atau sejenisnya. Pengendalian gulma dengan cara biologis di Indonesia jarang dan belum pernah dilakukan untuk sekala besar. Pengendalian gulma bertujuan untuk menghindari persaingan pengambilan unsur hara dalam tanah atau pot yang tumbuh bersamaan dengan bibit. Selain itu bertujuan untuk menghindari tempat bersarangnya hama atau penyakit yang akan merugikan atau merusak pertumbuhan bibit. Selain itu, pengendalian gulma untuk menambah nilai estetika suatu persemaian, karena jika persemaian terlihat bersih ada kesan persemaian tersebut dikelola dengan baik. 4) Pemangkasan akar Pemangkasan akar dilakukan setiap bulan sekali. Pemangkasan akar bibit terakhir dilakukan yaitu pada saat 2 minggu sebelum bibit diseleksi dan dipak untuk diangkut ke lokasi penanaman. Pemangkasan akar ditujukan terhadap akar-akar bibit yang keluar dari polibag/potnya. Pemangkasan akar bertujuan untuk menghindari pertumbuhan akar-akar bibit menembus ke dalam tanah di luar pot yang akan mengakibatkan pertumbuhan bibit tak terkendali dan menyebabkan kerusakan bibit pada saat bibit akan diangkut ke lokasi penanaman. Pemangkasan akar dapat dilakukan 22 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut bersamaan dengan pengendalian gulma dan sekaligus menyeleksi bibit-bibit yang mati dalam polibag/pot. 5) Seleksi dan pengepak an bibit siap tanam Kegiatan seleksi dan pengepakan bibit merupakan kegiatan akhir persemaian dari suatu proses produksi bibit. Seleksi bibit siap tanam bertujuan untuk (Supriadi dan Valii (1988); Sagala (1988); Tampubolon dan Rusmana (1998); Santosa dan Yuwati (2004); Rusmana (2011)) : 1) Memilih bibit yang baik dan memenuhi syarat untuk ditanam di lapangan. 2) Menjaga bibit yang dibawa keluar dari persemaian tetap terjaga kualitasnya. 3) Meningkatkan ketahanan bibit dalam pengangkutan sehingga diharapkan bibit setelah ditanam di lapangan (lokasi tanam) daya hidupnya (survival) tinggi (> 90%) dan tidak mengalami stres yang panjang (bibit tokcer). Kriteria bibit siap tanam (secara umum) adalah sebagai berikut : 1) Bibit kondisinya sehat. 2) Batang lurus dan percabangan normal atau belum bercabang. 3) Tinggi bibit minimal 30 cm dan diameter batang minimal 3,0 mm dan tampak kokoh artinya tinggi dengan diameter batangnya seimbang ( 10 : 1) kecuali bibit yang ditanam di daerah dengan ketergenangan air cukup dalam, tinggi bibit harus lebih tinggi dari muka air pada saat banjir agar bibit tidak terendam total oleh air. 23 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut 4) Memiliki kekompakan akar dengan media (rootball compacknes) yang kompak (tidak pecah atau hancur medianya tetapi membentuk satu gumpalan yang kompak antara akar dengan medianya). Kelas kekompakan media dibagi 4 kelas seperti disajikan pada Tabel 2. 5) Jumlah daun minimal 8 helai atau 50% - 70% dari total tinggi bibit ditempati daun (tergantung jenis). Seleksi dan pengujian bibit siap tanam dilakukan dengan cara mengambil sampel (contoh bibit) yang telah cukup umurnya dari bedengan-bedengan di persemaian. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan sistematis yang diawali dengan cara acak (systematic random sampling with start). Tabel 2. Kriteria kelas kekompakan media Kelas kekompakan media Utuh Retak Patah Lepas Uraian/pengertian Bila bibit dicabut dari potnya/ polybag, media dan akar membentuk gumpalan yang kompak, padat dan utuh 100% Bila bibit dicabut dari potnya/ polybag, terdapat bagian media yang retak dan media yang terikat/ menempel pada akar bibit > 70%. Pilihan utama Pilihan kedua Bila bibit dicabut dari potnya/ polybag, terdapat bagian media yang retak dan patah mengelilingi media terbelah dua media yang menempel pada akar 50% - 70%. Belum siap tanam dan perlu pemeliharaan lagi di persemaian Bila bibit dicabut dari potnya/ polybag, terdapat bagian media yang menempel pada akar < 30%. Belum siap tanam dan perlu pemeliharaan lagi di persemaian Sumber :Supriadi dan Valli, (1988). 24 Keterangan BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut D. PENUTUP Untuk memproduksi bibit balangeran dapat dilakukan dengan cara generatif dan vegetatif (stek). Benih harus diambil dari pohon induk yang baik secara fenotipenya (lebih diharapkan sampai tingkat genetiknya) cukup baik agar diperoleh benih yang berkualitas. Untuk mendukung pembuatan bibit secara vegetatif (stek pucuk) perlu dibangun kebun pangkasan agar suatu persemaian bisa melakukan produksi bibit balangeran tanpa bergantung terhadap ketersediaan biji. Kondisi pohon induk balangeran saat ini di hutan alam sudah terancam keberadaannya karena banyak ditebang dan dimanfaatkan (diperjualbelikan) kayunya, konversi lahan untuk kepentingan lain seperti perkebunan atau pertanian, perluasan wilayah pemukiman dan pemanenan benihnya dengan cara menebang pohon induk oleh sekelompok pedagang benih. Oleh karena itu, pembangunan tegakan benih balangeran sebagai sumber benih perlu segera dibangun untuk penyediaaan sumber benih pada masa yang akan datang untuk keperluan produksi bibit dalam rangka rehabilitasi hutan dan lahan rawa gambut terdegradasi. 25 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut DAFTAR PUSTAKA Hartmann, H.T., Kester, D.E. and Davies, F.T.1990. Plant Propagation. Principles and Practises. Fifth Edition. Prentice-Hall International Editions, London Lazuardi, D., Rusmana, Pribadi, A. dan Supriadi. 2003. Standardisasi mutu bibit. Laporan hasil kegiatan penelitian. Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur. Lemmens, R.H.M.J; Soerianegara, I dan Wong, W.C 1995. Timber Trees : Minor Commercial Timbers. Plant Reseources of South-East Asia. Prosea. No. 5(2). P. 225 - 230. Leppe, D. 1995. Sistem stek Dipterocarpaceae. Lingkaran Informasi Hutan Tropika Basah. Kalimantan, No. 001-026 (001, Juni 1993). Balai Penelitian Kehutanan Samarinda. Martawijaya, A., Kartasujana,I., Mondang, Y.I., Prawira, S.A., Kadir, K. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid I dan II. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Rusmana, 2005. Teknik pembuatan bibit sistem KOFFCO. Materi Alih Teknologi Persemaian Sistem KOFFCO. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Rusmana dan Lazuardi,2004. Standardisasi Mutu Bibit. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur. 26 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Rusmana, 2007. Teknik pembuatan bibit beberapa jenis hutan rawa gambut. Materi Pelatihan Agroforestry Kerjasama antara BPK Banjarbaru dengan CARE Kalimantan Tengah. Rusmana, 2007. Teknik Produksi Bibit Tanaman Kehutanan. Materi Pelatihan Persemaian di Dishutbun Kabupaten Banjar Rusmana, 2008. Teknik Pembuatan bibit beberapa jenis hutan rawa gambut. Materi Pelatihan Petani Wilayah Kalimantan Tengah. Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah. Rusmana 2011. Teknik pembiakan vegetatif jenis balangeran untuk material tegakan. Galam. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Sagala, APS. 1988. Persemaian permanen di beberapa tempat. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Publikasi No. 28 Supriadi, G dan Valli, 1988. manual Persemaian ATA-267. Mechanized Nursery and Plantation Project in South Kalimantan (Indonesia - Finland). Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Sakai, Ch. dan subiakto, A. 2005. Teknik Propagasi massal Dipterokarpaceae dengan KOFFCOsystem. Materi Alih Teknologi Persemaian Sistem KOFF CO. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Sakai, Ch. dan subiakto, A. 2007. Komar E.T. Pratomo, S.F dan Siswandoyo, M. Pedoman Pembuatan Stek Jenis-Jenis 27 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Dipterokarpa dengan KOFFCO Sistem. Kerjasama antara Badan Litbang Kehutanan - Komatsu - JICA. Santosa, P.B dan Yuwati, T.W. 2004. Seleksi dan pengepakan bibit. Materi Alih Teknologi Persemaian istem KOFFCO. Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur. Tampubolon dan Rusmana, 1998. Hubungan Morfologi Benih dan Semai Jenis HTI terhadap Mutu Bibit serta Upaya Menghasilkan Bibit Bermutu Tinggi. Prosiding Ekspose Hasil Litbang BTR Banjarbaru. h. 107 - 129. 28 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut PENINGKATAN PRODUKTIVITAS BALANGERAN DI PERSEMAIAN MELALUI PEMUPUKAN Tri Wira Yuwati Peneliti pada BPK Banjarbaru 1. Unsur-unsur hara yang berperan bagi pertumbuhan tanaman Nelson dan Tisdale (1965) menyatakan bahwa tidak semua unsur hara yang diserap oleh tanaman memiliki peran dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Arnon (1950) menyatakan bahwa suatu unsur hara dikatakan esensial bagi pertumbuhan tanaman harus memenuhi tiga kriteria, yaitu: 1) tanpa atau kekurangan suplai unsur tersebut tidak memungkinkan tanaman untuk melengkapi tahapan vegetatif atau reproduktifnya, 2) gejala defisiensi unsur tersebut pada tanaman, bisa dicegah atau disembuhkan hanya dengan memberikan unsur tersebut pada tanaman, dan 3) unsur tersebut terlibat langsung dalam siklus nutrisi tanaman. 29 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Nitrogen (N) merupakan unsur hara esensial bagi pertumbuhan tanaman (Mengel dan Kirkby (1978); Kramer dan Kozlowski (1979)). Unsur N yang dapat diserap oleh tanaman berada dalam dua bentuk ion N yaitu nitrat (NO3-) dan ammonium (NH +). N berperan dalam pembentukan protein dan molekul klorofil. Dalam pertumbuhan tanaman, unsur N berperan dalam pertumbuhan vegetatif dan pemberi warna hijau daun. Klorosis atau daun menguning adalah salah satu gejala kekurangan unsur N. Pada kondisi kekurangan yang ekstrim, daun akan berubah warna menjadi coklat dan mati. Phospor (P), bersama dengan N dan Kalium (K) merupakan unsur esensial dalam pertumbuhan tanaman (Nelson dan Tisdale, 1965). Pasokan P pada tanaman muda sangat penting bagi pertumbuhan reproduktif tanaman. Selain itu, P juga dikenal berperan dalam pembentukan biji, kandungan unsur P sangat banyak ditemukan pada biji dan buah. Lebih lanjut, P juga diasosiasikan dengan pembentukan akar tanaman. Mengel dan Kirkby (1978) menekankan bahwa unsur ini terlibat dalam proses respirasi dan fotosintesis. Ikatan pospat ini berperan dalam transfer energi dalam proses metabolis tanaman sehingga keberadaan unsur ini sangat fundamental bagi tanaman. Kalium (K) sangat penting dalam produksi dan translokasi karbohidrat (Kramer dan Kozlowski, 1979). Selain itu, menurut Foth (1998), unsur K sangat penting dalam fungsi pengaturan mekanisme fotosintesis. Lebih lanjut, Rosmarkam (2001) menyatakan bahwa fungsi utama unsur K adalah memperkuat tegaknya batang tanaman. Tisdale dan Nelson (1965) menyatakan bahwa kekurangan pasokan unsur ini ditandai dengan luka pada jaringan, seperti luka bakar pada daun. Lebih lanjut, Nelson dan Tisdale (1965) menyatakan bahwa kekurangan unsur K 30 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut mengakibatkan terhambatnya konversi asam amino menjadi protein. Terhambatnya proses ini mengakibatkan berlebihnya kandungan ammonium nitrogen yang dalam jumlah yang banyak bersifat racun bagi jaringan. Kalsium (Ca) sangat erat hubungannya dengan pertumbuhan meristem apikal dan pembentukan bunga. Kekurangan ini mengakibatkan terhambatnya perkembangan atau deformasi tunas (Nelson dan Tisdale, 1965). Magnesium (Mg) berperan penting dalam pembentukan klorofil. Kekurangan unsur ini menyebabkan klorosis pada daun dan bila keadaan terus berlanjut, daun akan menguning diikuti dengan nekrotik atau kerusakan pada daun (Nelson dan Tisdale, 1965). 2. Status aplikasi unsur hara makro pada perbanyakan bibit balangeran Yuwati et al. (2010) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh unsur hara makro Nitrogen, Pospor, Kalium, Kalsium dan Magnesium terhadap pertumbuhan semai belangeran di persemaian. Semai balangeran diaplikasikan pupuk Urea (N), TSP (P), KCl (K) dan Dolomit (CaMg) dengan dosis 36,8 mg per polibag dengan frekuensi aplikasi 2 kali seminggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan unsur N, P dan K berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi semai balangeran, akan tetapi penambahan unsur CaMg tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi, diameter dan jumlah helai daun semai balangeran umur 7 bulan di persemaian. Grafik pertumbuhan tinggi, diameter dan jumlah helai daun semai balangeran disajikan pada Gambar 1, Gambar 2 dan Gambar 3. 31 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Gambar 1. Grafik rata-rata pertumbuhan tinggi semai S. balangeran umur 7 bulan di persemaian dengan aplikasi N, P, K dan CaMg (Yuwati et al., 2010) Gambar 2. Grafik rata-rata pertumbuhan diameter semai S. balangeran umur 7 bulan di persemaian dengan aplikasi N, P, K dan CaMg (Yuwati et al., 2010) 32 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Gambar 3. Grafik rata-rata jumlah helai daun semai S. balangeran umur 7 bulan di persemaian dengan aplikasi N, P, K dan CaMg (Yuwati et al., 2010) Hasil penelitian Yuwati et al. (2010) menunjukkan bahwa unsur-unsur hara makro N, P dan K sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan semai S. balangeran umur 7 bulan di persemaian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tisdale dan Nelson (1956); Mengel dan Kirkby (1978); Kramer dan Kozlowski (1979), yang menyatakan bahwa unsur-unsur yang tergolong esensial bagi pertumbuhan tanaman adalah N, P, K, Ca dan Mg. Unsur N sangat berperan dalam pertumbuhan vegetatif tanaman seperti pertumbuhan batang dan daun. Sesuai dengan hasil penelitian Yuwati et al. (2010), aplikasi pupuk N dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter dan jumlah daun S. balangeran. 33 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut DAFTAR PUSTAKA Arnon, D. I. 1950. Criteria of essentiality of inorganic nutrients for plants with special reference to molybdenium. Lotsya 3: 3138. Foth, H.D. 1998. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Kramer, P.J. dan Kozlowski, T.T. 1979. Physiology of Woody Plants. Academic Press Inc. London Mengel, K dan Kirkby, E.A. 1978. Principles of Plant Nutrition. International Potash Institute. Switzerland. Rosmarkam, A. 2001. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius. Yogyakarta Tisdale, S.L. dan Nelson, W.L. 1956. Soil fertility and Fertilizers. The Mac Millan Company. Canada. Yuwati.T.W., Susanti.P.D., Hermawan.B. 2010. Studi Nutrisi Tanaman Meranti Rawa dan Jelutung Rawa. Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Banjarbaru (Tidak dipublikasikan). 34 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut PENINGKATAN PERTUMBUHAN BALANGERAN DI PERSEMAIAN DENGAN APLIKASI MIKORIZA Tri Wira Yuwati Peneliti pada BPK Banjarbaru 1. Mengenal Mikoriza Mikoriza adalah suatu bentuk asosiasi antara jamur dan akar tanaman yang memiliki sifat saling menguntungkan (mutual benefit) antara keduanya (Harley dan Smith, 1983). Jamur mendapatkan derivat karbon fotosintetik dari tanaman, sedangkan tanaman mendapatkan pasokan Pospor dari jamur. Menurut Brundrett et al. (1996), terdapat tujuh asosiasi mikoriza yang telah dikenal yaitu: Endomikoriza atau bisa juga disebut Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA), Ektomikoriza (ECM), Orchid Mycorrhizae, Ericoid Mycorrhizae dan Ektendomikoriza. 35 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Hampir 80% tanaman di dunia ini berasosiasi dengan FMA. Mikoriza tipe ini membentuk kolonisasi di dalam akar tanaman. Orchid mycorrhizae membentuk asosiasi dengan tanaman anggrek. Ericoid Mycorrhizae membentuk kolonisasi dengan tanaman Ordo Ericales, Ektendomikoriza membentuk kolonisasi di dalam dan diluar akar tanaman, sedangkan ECM membentuk kolonisasi di luar akar tanaman. Tanaman yang berasosiasi dengan ECM ini adalah jenis-jenis perdu dan pohon, terutama adalah jenis konifer dan famili Dipterocarpaceae. Lebih lanjut, asosiasi ECM pada famili Dipterocarpaceae ini bersifat obligat, artinya tanpa asosiasi ECM tanaman akan terhambat pertumbuhannya (Smits, 1994). Alexander dan Lee (2005) juga menegaskan bahwa Dipterocarpaceae, Fagaceae, Pinaceae dan beberapa genus Myrtaceae terkenal dalam membentuk asosiasi ECM. 2. Aplikasi mikoriza pada S. balangeran Turjaman et al. (2011) melakukan penelitian inokulasi ECM pada S. balangeran dengan menggunakan spora cendawan Boletus sp., Scleroderma sp. dan Strobilomyces sp. Ketiga cendawan ini dikoleksi dari arboretum Nyaru Menteng di Kalimantan Tengah. Hasil penelitian Turjaman et al. (2011) ini disajikan pada Tabel 1. 36 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Tabel 1. Kolonisasi ECM, tinggi, diameter, jumlah daun, berat basah dan berat kering semai S. balangeran 6 bulan setelah inokulasi di persemaian Kalampangan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Penelitian Turjaman et al. (2001) menegaskan bahwa aplikasi spora ECM pada semai S.balangeran terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan semai tersebut sampai 6 bulan setelah inokulasi di persemaian. Pengaruh dari inokulasi ECM jenis Boletus sp. dan Scleroderma sp. tersebut berlanjut sampai 40 bulan setelah ditanam di persemaian (Turjaman et al., 2011). Santosa et al. (2004) juga melaporkan pengaruh positif dari Scleroderma sp. pada pertumbuhan S. balangeran di persemaian. Santosa et al. (2004) melakukan aplikasi ECM dalam bentuk tablet di persemaian. Tablet ini berasal dari spora badan buah Scleroderma sp. yang dicampur dengan lempung atau tanah liat sebagai perekat. Menurut Brundrett et al. (1996), ada beberapa kelemahan dalam penggunaan inokulum dalam bentuk spora, yaitu: variabilitas genetik yang tinggi, belum diketahuinya standar/metode untuk mengetahui viabilitas spora dan adanya penundaan dalam membentuk asosiasi mikoriza dibandingkan dengan penggunaan jenis inokulum yang lain seperti misalnya miselia. Akan tetapi, dari 37 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut hasil penelitian Turjaman et al. (2011) yang didukung oleh Chen et al. (2006) dan Jeffries (1999), Scleroderma sp. merupakan cendawan ECM yang menjanjikan untuk diaplikasikan pada tanaman di hutan rawa gambut terdegradasi karena jenis ini sangat adaptif pada habitat ekologi yang luas dan sangat mudah diambil sporanya untuk dipakai sebagai inokulum. Penutup ECM meningkatkan pertumbuhan semai S. balangeran di persemaian. Cendawan ECM, khususnya Scleroderma sp., dalam bentuk spora dapat direkomendasikan untuk diaplikasikan pada pembuatan semai S. balangeran untuk rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi. 38 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut DAFTAR PUSTAKA Alexander, I. dan Lee SS. 2005. Mycorrhizas and ecosystems processes in tropical rain forest: implications for diversity. In: Burslem DFRP, Pinard MA, Hartley SE (eds) Biotic interactions in the tropics: their role in the maintenance of species diversity. Cambridge University Press, New York, pp 165-203. Brundrett, M., Bougher, N., Dell, B., Grove, T. and Malajczuk, N. 1996. Working with mycorrhiza in forestry and agriculture, ACIAR. Chen, YL., Kang, LH dan Dell, B. 2006. Inoculation of Eucalyptus urophylla with spores of Scleroderma in a nursery in south China: comparison of field soil and potting mix. For Ecol Manag222:439-449 Harley, J.L. dan Smith, S.E. 1983. Mycorrhizal Symbiosis. Academic Press. London. Jeffries, P. 1999. Scleroderma. In: CJW G, Chambers SM (eds) Ectomycorrhizal fungikey genera in profile. Springer, Berlin, pp 187-200 Smits, WTM. 1994. Dipterocarpaceae: mycorrhizae and regeneration. Backhuys Publishers. Leiden. Santosa, P.B, Hermanwan, B., dan Harun, M,K., . 2004. Aplikasi mikorisa lokal pada jenis-jenis rawa gambut. Laporan Hasil Penelitian. BP2HTIBT. Tidak dipublikasikan. 39 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Turjaman, M., Santoso, E., Susanto, A., Gaman, S., Limin, S.H., Tamai, Y., Osaki, M. dan Tawaraya, K. 2011. Ectomycorrhizal fungi promote growth of Shorea balangeran in degraded peat swamp forests. Wetlands Ecology Management 19:331339. 40 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut TEKNIK PENANAMAN BALANGERAN Dony Rachmanadi Peneliti pada BPK Banjarbaru Pendahuluan Pembangunan tanaman/penanaman di lahan rawa gambut dihadapkan pada beberapa kendala berupa hambatan sifat fisika, sifat kimia dan tata air terutama pada lahan gambut yang telah rusak. Sifat kimia lahan yang mempersulit kegiatan penanaman adalah kemasaman tanah, kesuburan tanah yang rendah (miskin hara), potensi sulfat masam dan toksisitas asam-asam organik. Sifat fisika lahan yang menghambat adalah adanya penyusutan ketebalan (subsidence), sifat kering tak balik (irreversible drying), kedalaman dan tingkat kematangan gambut. Faktor tata air yang menghambat adalah adanya variasi genangan (Anwar, 2000). Hambatan lain adalah tidak selarasnya imbangan antara bahan organik, mineral, larutan tanah dan udara tanah (Suprihatno, et al., 2000). 41 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Kondisi lahan rawa gambut merupakan suatu sistem yang kompleks karena kondisi ekosistemnya yang rapuh. Pada kondisi normal, lahan rawa gambut berada pada kondisi reduksi karena adanya genangan air dan aktivitas mikroba tanah yang dapat hidup pada kondisi anaerob (kurang udara). Walaupun sangat kecil, aktivitas mikroba tanah pada pada kondisi reduksi ini akan menghasilkan asam-asam organik dari pelapukan lignin yang bersifat racun bagi tanaman, khusunya asam fenolat. Apabila lahan rawa gambut didrainase atau air genangannya diturunkan maka akan terbentuk kondisi oksidasi pada lapisan tanah gambut dan pada kondisi berlebihan akan menyebabkan peningkatan derajat keasaman tanah (pH menjadi rendah). Pada kondisi yang asam ini akan menyebabkan berbagai hal yang merugikan tanaman, yaitu rusaknya perakaran tanaman, unsur hara menjadi tidak tersedia dan terganggunya keseimbangan fauna tanah. Secara fisik, lahan gambut adalah tanah yang terbentuk dari akumulasi bahan organik yang melapuk tidak sempurna, memiliki berat jenis yang sangat rendah sehingga kurang mendukung bagi perakaran tanaman. Untuk mengatasi kendala yang ada diperlukan perbaikan kondsi lahan dengan melakukan manipulasi lingkungan pada areal pertanaman. Teknik manipulasi lingkungan adalah suatu usaha untuk memperbaiki kondisi lahan sehingga kondisinya siap untuk dilakukan penanaman dan mendukung pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik dengan cara meminimalisir hambatanhambatan seperti disebutkan di atas. Usaha tersebut juga harus didukung dengan usaha mempersiapkan bibit tanaman yang berkualitas agar memiliki daya adaptasi yang lebih baik di lahan yang marginal tersebut. Pada dasarnya semua usaha tersebut adalah usaha untuk meningkatkan produktivitas lahan 42 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut dan tanaman sehingga kegiatan atau usaha rehabilitasi dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi perbaikan lingkungan. Beberapa tahap kegiatan yang perlu dilakukan dalam upaya manipulasi lingkungan adalah perencanaan penanaman, persiapan penanaman, penanaman dan evaluasi keberhasilan tanaman. A. Perencanaan penanaman Penanaman dalam rangka restorasi dan rehabilitasi hutan rawa gambut harus didasarkan pada pendekatan suksesi alami yang terjadi pada ekosistem tersebut. Pendekatan pertama adalah dengan mem- pelajari bagaimana proses awal tutupan lahan terjadi dan terbentuknya iklim mikro. Upaya manipulasi dapat dilakukan dengan penanaman menggunakan jenis-jenis pioner dengan rentang toleransi ekologi yang luas. Selanjutnya, apabila kondisi lahan sudah membaik dan iklim mikro terbentuk dapat dilakukan penanaman lanjutan menggunakan jenis pioner akhir atau bahkan jenis klimaks. Tahap kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah atau kerapatan dari jenis-jenis yang memiliki nilai tambah yang berasal dari jenis penyusun hutan rawa gambut, atau bisa juga bertujuan meningkatkan nilai biodiversitasnya sehingga akan terbentuk hutan yang memiliki fungsi dalam ekosistem tersebut. Shorea balangeran (nama lokal: kahui) merupakan salah satu jenis penyusun hutan rawa gambut yang dikenal sebagai jenis pioner, karena memiliki daya adaptasi yang baik pada kondisi hutan rawa gambut yang terdegradasi (Giesen (2004); Rachmanadi (2005)). Daya adaptasi tersebutlah yang menjadikan jenis ini dipilih untuk berbagai kegiatan penanaman untuk rehabilitasi hutan rawa gambut. Walaupun dikenal memiliki daya adaptasi yang baik, 43 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut hendaknya dalam penanaman jenis ini tetap harus dilakukan secara benar dan direncanakan dengan sebaik-baiknya. Beberapa tahap perencanaan penanaman yang dapat dilakukan antara lain adalah: 1. Identifikasi tingkat degradasi areal yang akan direhabilitasi Mengetahui tingkat degradasi pada suatu lahan akan memberikan arah dalam penentuan tindakan yang harus dilakukan dalam perbaikan lahan tersebut. Adapun data yang dihimpun dalam kegiatan identifikasi ini antara lain: a). komposisi jenis yang ada dan strukturnya, digunakan untuk mengetahui regenerasi secara alami, b). kondisi tanah, meliputi kedalaman gambut dan kematangannya, ketersediaan hara dan kondisi hidrologi, c). iklim, meliputi data suhu, kelembaban dan intensitas cahaya, serta d) data sejarah lahan, meliputi sejarah pemanfaatan lahan, ancaman kebakaran hutan dan lahan dan lain-lainnya. 2. Memetakan kondisi degradasi Berdasarkan data yang dikumpulkan pada tahap pertama dapat dilakukan pemetaan kondisi lahan yang terdegradasi, bertujuan untuk menentukan lokasi a). areal penanaman, b). areal pemeliharaan permudaan alam dan c). areal yang tidak memungkinkan untuk dilakukan penanaman walaupun menggunakan jenis pioner. Peta ini akan memandu upaya rehabilitasi di tingkat lapangan sehingga menjadi tepat sasaran. 44 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut 3. Menentukan areal yang akan ditanami Berdasarkan hasil perencanaan tahap satu dan dua akan diketahui areal yang sesuai untuk penanaman menggunakan jenis S. balangeran. Walaupun dikenal memiliki daya adaptasi yang baik tetapi suatu jenis tanaman tetap memiliki keterbatasan pada suatu kondisi lahan yang sangat marginal. Beberapa pertimbangan dalam menentukan areal penanaman S. balangeran adalah: a. S. balangeran merupakan penyusun hutan rawa gambut pada tipologi riverine forest hingga hutan rawa campuran (mixed-swamp forest) (Page, et al., 1999). b. S. balangeran dapat bertahan dan tumbuh dengan baik pada kondisi genangan sedang yang dipengaruhi air sungai (moderately flooded) (Giesen, 2008). c. S. balangeran memerlukan naungan ringan pada awal pertumbuhan tetapi harus dilakukan pembukaan kanopi dalam pertumbuhannya (Martawijaya, et al., 2004). Tahapan perencanaan yang disebutkan diatas sangat diperlukan karena penggunaan jenis S. balangeran dalam rehabilitasi hutan rawa gambut tidak serta merta dapat dilakukan untuk semua kondisi hutan rawa gambut yang terdegradasi. Perencanaan yang dilakukan dengan baik akan menghasilkan kegiatan rehabilitasi yang efektif dan efisien serta dapat berhasil secara maksimal. 45 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut B. Persiapan lahan Pada areal penanaman yang telah ditentukan, akan dilakukan persiapan lahan penanaman. Persiapan lahan ini diperlukan untuk membantu tanaman rehabilitasi beradaptasi pada kondisi awal penanaman. Beberapa kondisi yang harus dipertimbangkan dalam persiapan lahan ini adalah: tingginya genangan, adanya kompetisi dari tumbuhan pioner alami dan tumbuhan bawah serta kematangan tanah gambut. Persiapan lahan ini terdiri dari beberapa kegiatan yaitu: penentuan jarak tanam, pembersihan lahan atau jalur tanam dari tumbuhan bawah dan pemasangan ajir tanam. Berdasarkan kondisi lahan yang ada, terdapat beberapa perlakuan persiapan lahan yang dapat dilakukan, yaitu: 1. Persiapan lahan untuk mengatasi kondisi genangan. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu: a) pembuatan guludan; b) pembuatan surjan, dan c) mengatur tinggi muka air tanah secara mikro. a) Guludan dibuat berukuran 50cm x 50 cm x 50 cm atau disesuaikan dengan kondisi lingkungan terutama untuk tinggi guludan disesuaikan dengan tinggi muka air tanah. Guludan dapat diperkuat dengan menggunakan papan pada sisi guludan. Yang perlu diperhatikan dalam pembuatan guludan ini adalah sudah diketahuinya fluktuasi muka air tanah, sehingga dapat diperkirakan tingginya bangunan guludan dibuat, dimana pada saat tinggi muka air tanah turun tidak terjadi kekeringan yang berlebihan pada guludan yang dibuat tersebut. 46 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Berdasarkan pengamatan terhadap pertumbuhan balangeran umur 9,5 tahun menunjukkan bahwa cara menanam dengan menggunakan teknik guludan memberi hasil pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman yang lebih baik. Tinggi tanaman balangeran umur 9,5 tahun yang ditanam dengan teknik guludan adalah 8,5 m dan tanpa guludan 8,2 m. Sementara itu, diameter batang balangeran yang ditanam pada lahan tanpa guludan adalah 7,3 cm dan dengan guludan 7,1 cm (Santosa, 2010). Pertumbuhan tanaman balangeran dari tahap awal sampai umur 9,5 tahun dengan persiapan lahan dengan guludan dan tanpa guludan dapat dilihat pada Gambar 1 berikut. Gambar 1. Pertumbuhan tinggi Balangeran sampai umur 9,5 tahun (Sumber : Santosa, (2010); Rahmanadi dan Yuwati (2008) b) Pembuatan surjan pada prinsipnya sama dengan pembuatan guludan tetapi bentuknya yang berbeda yaitu ukurannya yang memanjang sehingga terbentuk bagian gundukan dan tabukan yang kontinyu. 47 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut c) Pengaturan tinggi muka air tanah secara mikro dilakukan dengan membuat parit berukuran kecil di sekeliling areal tanam. Parit ini dibuat tertutup dengan ukuran lebar 50 cm dan dalam 1 m atau sesuai keperluan. Parit dibuat mengelilingi tanaman dengan luasan 50 m x 50 m atau 50 m x 20 m atau sesuai keperluan. 2. Persiapan lahan untuk mengurangi kompetisi tumbuhan bawah. Dapat dilakukan dengan cara: a) pembersihan atau penebasan tumbuhan bawah pada jalur tanam dengan lebar tertentu; b) pembersihan titik tanam pada radius tertentu dan c) pembersihan areal tanam dengan penebasan pada semua area (total). Yang perlu diperhatikan dalam penebasan tumbuhan bawah ini adalah tumbuhan bawah masih memiliki fungsi awal untuk menjaga kelembaban tanah dan memberikan naungan pada bibit yang ditanam sehingga pengaturan waktu penebasan dan pengulangan dalam kegiatan pemeliharaan tanaman harus betulbetul diperhatikan. 3. Persiapan lahan untuk mengatasi kondisi kematangan tanah gambut. Dilakukan dengan cara: a) pemberian batuan pospat (rock phosphate), zeolit atau amelioan lainnya untuk mengkondisikan tingkat keasaman tanah dan asam organik tanah pada titik tanam yang sesuai; dan b) pemadatan tanah untuk membantu daya ikat akar pada media tanah gambut yang sangat porous. Pemadatan dilakukan dengan mencincang gambut pada titik tanam, menambah dengan gambut yang ada di sekitarnya dan dipadatkan. 48 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Penentuan lebar jalur tanam disesuaikan dengan tujuan dan kondisi areal penanaman. Penanaman pada areal terbuka atau areal yang hanya didominasi tumbuhan bawah berupa pakis-pakisan dan sedikit tumbuhan tingkat pohon disarankan menggunakan jalur tanam 3m x 3m. Pada kondisi lahan gambut yang umumnya sangat miskin hara disarankan untuk membuat lebar jalur tanam yang lebih sempit, misalnya 2m x 2m atau 1m x 1m. Sedangkan pada areal hutan sekunder yang perlu diperhatikan adalah ukuran lebar jalur tanam, semakin tinggi vegetasi yang ada maka lebar jalur tanam dibuat semakin lebar dan jarak antara jalur tanam semakin jauh. Disarankan menggunakan ukuran lebar jalur tanam 3 m dan jarak antara jalur tanam 10 m. Ajir tanam yang digunakan dalam penanaman rehabilitasi hutan rawa gambut pada umumnya dibuat ukuran yang lebih besar agar mudah dikenali di lapangan dan juga dapat bermanfaat dalam kegiatan pemeliharaan tanaman nantinya. C. Penanaman Keberhasilan penanaman rehabilitasi di lahan gambut sangat ditentukan oleh tersedianya bibit yang berkualitas dan penanganan bibit yang baik hingga sampai ke lokasi tanam dan juga ditentukan oleh kondisi genangan lahan pada saat penanaman. Walaupun persiapan lahan telah dilakukan dengan guludan atau surjan, penanaman yang baik dilakukan pada saat tinggi muka air tanah sedang turun tetapi daya kapiler air masih dapat mencapai permukaan tanah. Penanaman di lahan gambut dapat dilakukan baik pada saat musim hujan maupun kemarau tetapi tidak pada saat puncak musimnya. Sebagai contoh kondisi lahan gambut di areal KHDTK Banjarbaru dan Blok C areal eks PLG secara umum, puncak musim hujan terjadi pada bulan Februari tetapi genangan 49 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut yang cukup dalam tetap terjadi sampai bulan Mei, sedangkan puncak musim kemarau terjadi pada bulan Agustus, sehingga waktu yang baik untuk penanaman di areal tersebut pada bulan awal Juli, Nopember, Desember dan Januari. Untuk membantu daya adaptasi tanaman di lapangan, terlebih dahulu dilakukan aklimatisasi bibit di lapangan (bibit tentunya juga sudah melalui tahap aklimatisasi di persemaian). Aklimatisasi bibit di lapangan dilakukan dengan menempatkan bibit di sekitar plot tanam pada saat 2 minggu sebelum penanaman, apabila areal tanam sangat terbuka maka diperlukan sedikit naungan menggunakan tumbuhan bawah yang ada di lokasi tersebut. Setelah semua proses dilakukan, barulah penanaman siap dilakukan. Pada titik tanam yang telah dipadatkan, dibuat lubang tanam dengan ukuran sesuai ukuran polibag. Kemudian penanaman dilakukan hanya dengan membuka polibag pada bagian bawahnya saja tetapi tidak membuka polibag secara keseluruhan. Hal tersebut dimaksudkan untuk tetap menjaga kekompakan media tanam pada saat nantinya terjadi genangan karena hujan atau meluapnya air sungai. D. Evaluasi keberhasilan tanaman Setelah kegiatan penanaman dilakukan, selanjutnya akan dilakukan kegiatan evaluasi untuk melihat keberhasilan tanaman dan juga sebagai dasar untuk melakukan kegiatan pemeliharaan tanaman. Untuk evaluasi tersebut dapat dilakukan berdasarkan Tabel 1 berikut: 50 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Tabel 1. Evaluasi keberhasilan tanaman Waktu No evaluasi Kriteria Metode Keterangan 1. (bulan) T+1 DH=90% Sensus Penyulaman bila DH < 90% 2. 3. T+6 T+12 S=90% DH=80% Sensus Sensus 4. T+24 DH=80% Disesuaikan tumbuhan pencekik 5. T+60 DH=70% Disesuaikan stabil pada 70% setelah 5 tahun DH=90% Penyulaman bila DH < 80% Perhatikan kompetisi ruang dan Diharapkan daya hidup tanaman penanaman Keterangan: T = waktu setelah penanaman; DH = daya hidup; S = tanaman sulaman. Evaluasi juga dilakukan untuk melihat perkembangan tanaman (kualitas pertumbuhan), dimana dapat dilihat dari indikator kesehatan tanaman, serangan hama penyakit dan terbentuknya tunas vegetatif alami. Evans (1982) menyebutkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi daya hidup tanaman, seperti : 1) ilmu dan teknologi penanaman, khususnya pengetahuan mengenai tanah sebagai tempat berjangkarnya tanaman, 2) kondisi cuaca pada saat dan setelah penanaman, 3) kondisi bibit yang digunakan, 4) kondisi tanah, khususnya tata air atau erosi permukaan, 5) hama-penyakit, 6) kompetisi dengan tumbuhan bawah lain/gulma, dan lain-lain. Apabila semua kondisi pra dan paska penanaman telah dikelola dengan bagus dan ternyata masih menunjukkan daya hidup yang rendah, maka faktor tempat tumbuhlah (site) yang harus mendapat penanganan khusus. 51 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Selain permasalahan daya hidup, ternyata masalah stagnasi tanaman juga sangat besar ditemui dalam kegiatan penanaman khususnya pada lahan marginal seperti lahan rawa gambut. Keadaan ini ditunjukkan dengan tetap bertahan hidupnya tanaman tetapi kelihatan tidak sehat (kondisi daun dan batang) dan hanya mengalami pertumbuhan satu atau dua sentimeter setiap tahunnya. Keadaan tersebut menurut Evans (1982) disebabkan oleh : 1) pemilihan jenis yang tidak sesuai dengan tapaknya, 2) defisiensi unsur hara yang akut, 3) kondisi fisik tanah yang jelek, 4) hilangnya asosiasi tanaman dengan jamur tertentu yang mendukung pertumbuhannya seperti pada famili Dipterocapaceae, 5) penyimpangan sifat dari tanaman sendiri, 6) faktor lainnya, seperti penyiangan tanaman yang terlalu sering. Selanjutnya keberhasilan tanaman sangat ditentukan oleh kegiatan pemeliharaan tanaman yang akan dijelaskan pada bab berikutnya dari buku ini. Pemeliharaan tanaman sangat diperlukan karena cepatnya pertumbuhan tumbuhan bawah (pakis-pakisan) dan tumbuhan pencekik (struggle). Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada umur tanaman S. balangeran 5 tahun (diameter 5-8 cm), masih dapat dirobohkan oleh tumbuhan pemanjat dan pencekik (Rachmaandi, 2005). 52 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut DAFTAR PUSTAKA Anwar, K. 2000. Hambatan lahan gambut rawa untuk pengembangan tanaman pangan dan upaya penanggulangannya. Dalam: Daryono, H.; Sidik, Y.J.; Mile, Y.; Subagyo, E; Hadi, T.S.; Akbar, A. dan Budiningsih, K. (penyunting). Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan Rawa Gambut dan Ekspose Hasil Penelitian Di Hutan Lahan Basah. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Banjarmasin, 9 Maret 2000. pp. 144 - 150. Evans, J. 1982. Plantation Forestry in The Tropics. Clarendon Press. Oxford. Giesen, W. 2004. Causes of peatswamp forest degradation in Berbak National Park and recommendations for restoration. Water for Food and Ecosystems Programme Project on: “Promoting the river basin and ecosystem approach for sustainable management of SE Asian lowland peat swamp forests”. ARCADIS Euroconsult, Arnhem, the Netherlands, 125 pp. Martawijaya, 2004. Atlas kayu Indonesia. Rachmanadi, D. 2005. Pemilihan Jenis Pohon dan Pengembangan Teknik Rehabilitasi di Hutan Rawa Gambut. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Tidak dipublikasikan. Rahmanadi, D.,Yuwati, T.W. 2008. Revegetasi pada hutan dal lahan rawa gambut terdegradasi di Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Nasional Rawa. Universitas Lambung Mangkurat dan Departemen Pekerjaan Umum.Hal 79- 86. 53 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Suprihatno, B.; B. Prayudi dan H. Sutikno, 2000. Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian tanaman pangan. Dalam: Daryono, H.; Sidik, Y.J.; Mile, Y.; Subagyo, E; Hadi, T.S.; Akbar, A. dan Budiningsih, K. (penyunting). Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan Rawa Gambut dan Ekspose Hasil Penelitian Di Hutan Lahan Basah. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Banjarmasin, 9 Maret 2000. pp. 55 - 63. 54 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut KONDISI LINGKUNGAN TEMPAT TUMBUH BALANGERAN (Shorea balangeran) DI HUTAN RAWA GAMBUT Purwanto Budi Santosa1 dan Haryono Supriyo2 1Peneliti pada BPK Banjarbaru 2Dosen pada Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 1. Pendahuluan Potensi hutan rawa gambut seluas 2.267.880 ha di Kalimantan Tengah kini ditengarai tidak mampu lagi memerankan fungsi ekologisnya secara optimal. Hal ini disebabkan karena telah terjadi degradasi dan kerusakan hutan yang mengarah kepada kerusakan ekosistem (Limin, 2000). Faktor utama yang berperan 55 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut dalam degradasi adalah karena adanya pembukaan kanopi hutan, penurunan dan pengatusan air serta kebakaran hutan (Lazuardi, 2008). Kerusakan ekosistem lahan gambut diantaranya sebagai bagian dari dampak proyek PLG sejuta hektar. Pembuatan kanal-kanal besar dan penebangan hutan dalam proyek ini telah mengakibatkan drainase yang berlebih; yang menyebabkan terjadinya pengatusan air dan proses dekomposisi yang berjalan cepat. Penurunan muka air tanah gambut berpengaruh terhadap proses fisik, kimiawi dan ekosistem rawa gambut, sedangkan pembalakan hutan berlebih mengakibatkan kerusakan vegetasi hutan rawa gambut. Pada kondisi musim kering, penurunan muka air tanah dan kerusakan vegetasi hutan mengakibatkan kerawanan terjadinya kebakaran. Kebakaran yang terjadi pada hutan dan lahan gambut memperberat terjadinya kerusakan hutan rawa gambut dan upaya pemulihannya. Kendala utama keberhasilan rehabilitasi di lahan gambut adalah kondisi biofisik lahan yang tidak mendukung (favaourable) untuk jenis tanaman yang ditanam (Lauzardi, 2004). Salah satu penyebabnya menurut Nuyim (2000) adalah kebakaran yang sering berulangkali setiap musim kering. Kebakaran menyebabkan berkurangnya permukaan gambut dan terjadi penurunan permukaan gambut. Pada musim penghujan menyebabkan kondisi lahan tergenang. Penyebab tergenangnya lahan rawa gambut bekas terbakar yaitu terjadinya penurunan permukaan gambut (subsidense) yang merupakan hasil dari oksidasi dan dekomposisi, serta berkurangnya kapasitas menyerap air (Rieley dan Page, 2008). Kondisi lahan gambut yang tergenang memberi pengaruh yang tidak baik untuk pertumbuhan awal tanaman karena bibit yang tidak dapat bertoleransi pada kondisi tergenang dalam waktu yang lama (Rieley dan Page, 2008). 56 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Balangeran merupakan salah satu jenis asli pada habitat rawa gambut. Jenis ini prospektif ditanam di lahan gambut, khususnya ditanam dalam rangka rehabilitasi hutan rawa gambut, bahkan untuk tujuan pembangunan hutan tanaman produksi kayu pertukangan. 2. Tanaman Balangeran di Hutan Rawa Gambut a. Kajian kondisi lingkungan1 Kajian kondisi lingkungan dimulai dengan kegiatan pengamatan terhadap dimensi tanaman dan kondisi lingkungan tempat tumbuh. Salah satu parameter kondisi lingkungan adalah informasi tingkat kematangan gambut, yang memuat informasi tentang persentase kandungan serat. Tingkat kematangan ini dapat diukur dengan menggunakan metode tabung suntik (Radjaguguk et al., 2000). Kriteria penetapan kandungan serat menggunakan klasifikasi tingkat kematangan gambut ditentukan berdasarkan rubbed fibre dengan kadar serat : fibrik > 40 %, hemik 16%- 40%, 1 Kajian dilakukan pada tanaman yang ditanam di areal kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) Tumbang Nusa, Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru yang berada di desa Tumbang Nusa, Kecamatan Jabiren, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Areal ini termasuk dalam wilayah Dinas Kehutanan Kabupaten Pulang Pisau, Propinsi Kalimantan Tengah. Dari Palangkaraya berjarak ± 30 km yang terletak di antara Sungai Kahayan dan Sebangau. Secara geografis areal ini terletak pada 3027’ s/d 30 59 LS dan 1130 2’ 36” s/d 1140 44’ 00” BT. Luas KHDTK adalah 5.000 Ha, termasuk blok B dalam peta eks-PLG dengan ketinggian 0-5 m dpl, temperatur udara berkisar antara 21o - 36o C, curah hujan antara 2.000-3.500 mm/tahun, bulan basah antara Oktober sampai dengan Mei, bulan kering pada Juni sampai September. Pada tahun 1997 areal terbakar dan vegetasi yang tumbuh setelah terbakar didominasi jenis Kelakai (Stenoclaena sp), Pakispakis (Nephrolepsis sp.). Vegetasi berkayu yang dijumpai antara lain Tanah-tanah (Combretucarpus rotundatus), dan Gerunggang (Crotoxylum glaucum), Jelutung (Dyera polyphylla), Punak (Tetramerista glabra) dan Terentang (Campnosperma spp.) 57 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut saprik < 16% (D’Amore dan Lynn, 2002). Pengukuran permukaan gambut dilakukan pada setiap titik tanam dengan menggunakan waterpass yang terbuat dari selang plastik transparan yang diisi air (Santosa, 2010). Kondisi lingkungan tempat tumbuh yang diamati yaitu pada lingkungan tanaman yang mempunyai penampilan baik dan penampilan jelek. Tanaman balangeran yang diamati berumur 9,5 tahun. Kriteria penampilan baik adalah mempunyai dimensi tinggi dan diameter unggul diantara populasi tanaman balangeran yang ada. Demikian sebaliknya, untuk kriteria tanaman jelek ditentukan berdasarkan penampilan dimensi tanaman terendah diantara populasi tanaman balangeran. Analisis untuk mengetahui faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan Balangeran dilakukan menggunakan regresi berganda dengan backward analysis. Kondisi lingkungan tempat tumbuh balangeran dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa kondisi lingkungan yang berbeda pada tanaman balangeran adalah mikrotopografi dan tinggi muka air. Menurut Rieley dan Page (2008) mikrotopografi berupa gundukan-gundukan kecil (small hummocks) yang bisa mencapai tinggi 50 cm atau lebih dan cekungan-cekungan yang hampir sama dalamnya. Gundukan mempunyai kandungan hara yang lebih tinggi daripada daerah cekungan (Coomes, 2007) dalam Nishimua et al., (2007) karena tingkat dekomposisi seresah lebih tinggi daripada daerah yang tergenang. Menurut Nishimua et al., (2007) gundukan jarang mengalami genangan selama musim penghujan dibanding cekungan, akan tetapi pohon di hutan rawa gambut yang berada pada gundukan yang tinggi mempunyai resiko yang lebih tinggi kekurangan air pada saat kekeringan. Ilustrasi mikrotopografi di lahan gambut dapat dilihat pada Gambar 1. 58 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Tabel 1. Kondisi lingkungan tanaman balangeran umur 9,5 tahun (Santosa, 2010). Parameter Pertumbuhan Tinggi (cm) 1250 (±50) 270 (±43,5) sig sig Baik Keterangan Jelek Diameter (cm) 14,53 (±1,8) 1,9 (±0,3) Diameter tajuk (m) 3,9 (±1,1) 1,2 (±0,3) ns Intensitas cahaya (%) 0,17 (±0,02) 0,11 (±0,01) ns Suhu udara (oC) 26,5 (±2,1) 29,3 (±0,5) ns Kelembaban udara (%) 86 (±0,00) 84 (±1,7) ns Suhu tanah (oC) 26,3 (±0,5) 27 (±0,00) ns Kandungan serat 66,6(±9,4) 68,2 (±12,1) ns Mikrotopografi (cm) 12,5 (±4,4) 0,66 (±1,6) sig Tinggi permukaan air (cm) 75,5 (±4,4) 63,6 (±1,6) sig Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan standar deviasi ;sig (signifikan) berdasarkan uji Duncan 0,05 ; ns ( non signifikan). Gambar 1. Mikrotopografi pada lahan gambut (Sumber : Nishimua et al., 2007). 59 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Gambar 2. Mikrotopografi pada tanaman balangeran 9,5 tahun (Sumber: Santosa, 2010) Tinggi permukaan air di lahan gambut berfluktuasi tergantung pada kondisi curah hujan yang terjadi. Pada Gambar 2 dapat diketahui bahwa tanaman balangeran yang terbaik penampilan tingginya (13 m) terdapat pada kondisi mikrotopografi gundukan, sedangkan terendah (5,5 m) pada cekungan, sedangkan permukaan airnya terendah 38 cm dan terdalam 91 cm. Korelasi tinggi permukaan air dengan tinggi tananaman Balangeran nyata (p<0,01; r=0,55), demikian juga dengan dengan diameter Balangeran (r= 0,47). Hal ini berarti kondisi permukaan air semakin dalam menunjukkan penampilan tinggi dan diameter tanaman balangeran yang baik. Juga adanya keeratan hubungan tanaman balangeran umur 3 tahun dengan tinggi permukaan air Lazuardi (2004). 60 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut b. Manipulasi lingkungan pada penanaman balangeran di lahan rawa gambut Keadaan lahan rawa gambut yang tergenang berdampak terhadap kondisi fisiologi stres tanaman untuk dapat bertahan hidup. Oleh sebab itu diperlukan upaya manipulasi lingkungan agar pada tahap awal pertumbuhan tanaman dapat bertahan hidup. Teknik manipulasi lingkungan pada kondisi lahan tergenang yang dapat dilakukan adalah menanam dengan menggunakan guludan. Pembuatan guludan harus disesuaikan dengan tinggi maksimal air pada saat musim puncak penghujan dengan tujuan agar bibit tidak tenggelam dan kedalaman maksimal air pada saat musim kemarau dengan tujuan agar perakaran tanaman dapat menjangkau zona lembab air. Nuyim (2000) melaporkan bahwa penanaman dengan guludan pada tanaman Macaranga sp., Baccaurea sp., Syzygium pyrifolium, Sterculia bicolor dan Syzygium oblatum pada lahan gambut di Thailand menunjukkan pertumbuhan lebih baik dibanding tanpa guludan karena adanya oksigen yang cukup pada zona perakaran. Guludan juga dapat menekan pertumbuhan gulma, sehingga pertumbuhan tanaman lebih baik. Santosa (2010) melaporkan bahwa balangeran yang ditanam dengan guludan pada saat tanam meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter Balangeran, masing-masing 4% dan 3% lebih baik daripada tanpa guludan. Menurut Aribawa et al. (1993) pembuatan guludan dapat memberikan lingkungan perakaran yang lebih baik, disamping itu berguna juga untuk membuat gambut lebih padat sehingga penjangkaran akar dalam tanah lebih kuat. 61 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Pada tanaman yang tanpa guludan akan mengalami lebih banyak tergenang pada masa awal pertumbuhannya. Menurut Kozlowski (1997) ketergenangan menyebabkan beberapa gangguan fisiologis tanaman, diantaranya fotosintesis dan transpor karbohidrat terganggu, penyerapan unsur hara makro berkurang karena pembusukan dan kematian akar. Gupta (2005) juga menyampaikan bahwa ketersediaan dan pengambilan unsur hara oleh tanaman tergantung percabangan akar, jangkauan akar, serta panjang dan kerapatan rambut akar, sehingga ketika terjadi ketergenangan disekitar perakaran menjadi anoxia dan hypoxia yang berpengaruh terhadap berkurangnya penyerapan hara. Guludan yang dibuat pada persiapan lahan ini tidak hanya menunjukkan pengaruh yang baik terhadap kondisi awal penanaman tetapi juga untuk jangka waktu yang relatif lama. Kondisi lingkungan pada perlakuan persiapan lahan tanpa guludan dan dengan guludan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Kondisi lingkungan pertumbuhan tanaman balangeran pada persiapan lahan guludan dan tanpa guludan (Santosa, 2010) Variabel pH H2O Kandungan serat (%) Mikrotopografi (cm) Tinggi permukaan air (cm) Perlakuan Tanpa Dengan guludan guludan 3,4 (±0,1) 3,6 (±0,2) 64,2(±9,8) 52,7 (±13,7) 3,8 (±9,3) 8,8 (±9,3) 66,8 (±9,3) 71,8 (±9,3) Keterangan sig sig ns ns Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan standar deviasi ; sig (signifikan) berdasarkan uji-t ; ns ( non signifikan). Kondisi tapak tanaman balangeran yang ditanam tanpa dilakukan pengguludan mempunyai nilai pH yang lebih rendah 62 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut dibanding tapak yang dilakukan pengguludan. Kandungan serat pada tapak balangeran tanpa guludan lebih tinggi 21% daripada tapak dengan guludan. Pada kedua lokasi tersebut masing-masing mempunyai kandungan serat diatas 40%, termasuk tingkat kematangan fibrik. Kandungan serat semakin tinggi menunjukkan tingkat kematangan gambut dan tingkat dekomposisi gambut yang lebih rendah. Kandungan serat tanpa guludan menunjukkan bahwa tingkat dekomposisi gambut lebih rendah daripada guludan dan kandungan serat lebih rendah karena tingkat dekomposisi lebih tinggi. Coomes, (2007) dalam Nishimua et al. (2007) menyatakan bahwa gundukan mempunyai kandungan hara yang lebih tinggi karena tingkat dekomposisi lebih tinggi daripada daerah yang tergenang. Tingkat kesuburan gambut dipengaruhi oleh ketebalan gambut, komposisi tanaman penyusun gambut, tanah mineral yang berada di lapisan bawah gambut dan tingkat dekomposisinya (Barchia, 2006). Semakin tinggi kandungan serat maka semakin mentah dan tingkat dekomposisi gambut menjadi rendah. Sebaliknya, semakin rendah kandungan serat maka semakin matang sehingga tingkat dekomposisinya lebih tinggi (Noor, 2001; Barchia, 2006). 3. Penutup Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman balangeran adalah mikrotopografi dan tinggi permukaan air. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan keberhasilan hidup tanaman dan meningkatkan pertumbuhannya di lahan gambut tergenang diperlukan manipulasi lingkungan. Teknik pembuatan gundukan pada persiapan lahan merupakan cara yang baik sebagai prakondisi tapak pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Dengan gundukan, pertumbuhan tanaman balangeran menunjukkan penampilan yang lebih baik. 63 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut DAFTAR PUSTAKA Aribawa, I, B., Suping, S., Nugroho, K., dan Widjaya-Adhi, I.P,G. 1993. Perubahan Redoks Potensial dan Kimia Tanah Guludan Pada Tanah Sulfat Masam di Kalimantan Selatan. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Hal 18 - 25. Barchia, M,F. 2006. Gambut Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Gadjahmada University Press.Yogyakarta. D’Amore, D.V dan Lynn W.C. 2002. Clasification of Forested Histosols in Southeast Alaska. Soil Science 66: 554-562 Gupta, U.S. 2005. Physiology of Stressed Crops; Nutrien Relations.Science Publisers,USA. Kozlowski, T.T. 1997. Responses of Woody Plants to Flooding andSalinity.Tree Physiology Monograph, Canada, Lazuardi, D. 2004. Teknik Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut. Prosiding Seminar Ilmiah Kesiapan Teknologi untuk Mendukung Rehabilitasi Hutan dan Lahan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah,. Palangkaraya, 12 Mei 2004. Hal. 29-37 Lazuardi, D.2008. Silvikultur rehabilitasi hutan rawa gambut. Prosiding Seminar. Optimalisasi Tata Kelola Kehutanan Untuk Mendukung Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Hal 71-76 64 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Limin, S H., Tampung N. S, Patricia E. P., Untung D., dan Layuniyati.2000. Konsep pemanfaatan hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan Rawa Gambut dan Ekspose Hasil Penelitian di Hutan Lahan Basah. Banjarmasin, Maret 2000. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Hal. 9-14 Nishimua T.B.,. Suzuki, E., Kohyama, T., Tzuyuzaki, S. 2007. Moratlity and Growth of Trees in Peat Swamp And Heath Forest in Central Kalimantran after severe drought. Plant Ecol 188:165-177. Noor, M. 2001. Pertanian Kanisius.Yogyakarta. Lahan Gambut. Peneribit Nuyim, T. 2000. Whole Aspec on Nature and Management of Peat Swamp Forest Thailand. Proceedings Of The International Symposium On Tropical Peatlands. Hokkaido University And Indonesian Institute Of Science. Hal 109-117 Radjaguguk, B., Kurnain, A., Sarjawan, A., Kurniawan, R.E. 2000.Panduan analisis laboratorium untuk gambut. Laboratorium Fisika Tanah Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Tidak Dipublikasikan. Rieley, J., dan Page, S. 2008. The science of tropical peatlands and the central kalimantan peatland development area. Euroconsult Mot MacDonald. Tidak dipublikasikan. 65 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut PEMELIHARAAN TANAMAN BALANGERAN Purwanto Budi S Peneliti pada BPK Banjarbaru Pendahuluan Salah satu faktor pembatas produktifitas tanaman dan yang dapat mengakibatkan menurunnya hasil pertanian adalah adanya gangguan gulma (Utomo et al., 1990). Bahkan untuk jenis tanaman budidaya tahunan misalnya karet, kakao dan kopi, gangguan gulma mengakibatkan penurunan produktifitas sebesar 5-15% yang setara dengan gangguan terhadap hama dan penyakit (Cramer, 1967 dalam Rukmana et al., (1999). Pada tanaman kehutanan, keberadaan gulma sangat merugikan karena merupakan pesaing bagi tanaman dalam memperoleh air, unsur hara, udara dan sinar matahari. Jika dilihat dari perlindungan hutan, keberadaan gulma pada areal hutan juga menjadi sumber bahan bakar yang potensial 66 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut ketika musim kemarau panjang, sehingga hutan rawan terhadap kebakaran. Gulma merupakan tumbuhan pengganggu yang dapat tumbuh di sembarang tempat dan dapat bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang sangat miskin hara (Rachman, 1986). Gulma dapat tumbuh pada kondisi lahan dan tapak yang bermacammacam yang mengganggu pertumbuhan tanaman pokok. Oleh karena itu, metode pengendalian gulma bervariasi sesuai keadaan ekologi, tempat tumbuh, dan tingkat persaingan gulma dengan tanaman (Tjitrosoedirjo et al., 1984) . Seperti diketahui bahwa kerusakan yang terjadi pada hutan rawa gambut saat ini mengakibatkan berubahnya struktur dan komposisi vegetasi hutan rawa gambut (Daryono, 2000). Komposisi jenis pohon penyusun hutan rawa gambut pasca kebakaran, dijumpai vegetasi berkayu antara lain adalah tanahtanah (Combretocarpus rotundatus), Punak (Tetramerista glabra), Geronggang (Cratoxylum sp.), Terentang (Campnosperma sp.), dan vegetasi tidak berkayu atau semak; antara lain pakis-pakisan (Nephrolepsis sp.), dan kelakai (Stenochlaena sp.). Dua jenis terakhir ini berpotensi sebagai gulma. Kebakaran hutan dan lahan gambut yang berulangkali terjadi membuka kanopi hutan karena banyak pohon yang mati. Terbukanya kanopi hutan ini mengakibatkan introduksi gulma menjadi lebih infasif. Berdasarkan Mansor (2002) terdapat 61 jenis gulma di hutan rawa gambut yang terdegradasi. Kehadiran gulma tersebut menjadi suatu permasalahan tersendiri dalam usaha rehabilitasi lahan, utamanya pada fase awal pertumbuhan tanaman. 67 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Gambar 1 . Kondisi hutan rawa gambut dengan konopi terbuka didominasi semak belukar Pemeliharaan tanaman secara manual dengan cara ditebas adalah salah cara sederhana dan dipandang praktis dalam mengurangi persaingan tanaman dengan tumbuhan bawah. Efektifitas cara ini sangat ditentukan oleh interval penebasan (Sukman, 2002). Penelitian dan pengamatan pengendalian gulma tanaman balangeran telah dilakukan pada tanaman yang ditanam di KHDTK (Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus) di Tumbang Nusa (30 km dari Palangkaraya), koordinat 0o8’48”- 3o27’00” LS dan 113o2’36114o44’00” BT. Obyek penelitian ini adalah tanaman balangeran (S. balangeran) umur 18 bulan yang sebelumnya dipelihara dengan penebasan setiap 6 bulan. Pengamatan dalam penelitian ini baru berlangsung selama 6 bulan atau sampai umur tanaman 24 bulan. 68 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Luas tanaman balangeran adalah 1 ha dengan pananaman secara jalur dengan jarak antar jalur 4 m dan jarak tanam dalam jalur 3 m. Perlakuan pemeliharaan tanaman yaitu P1 (penebasan 2 bulan sekali), P2 (penebasan 3 bulan sekali), P3 (penebasan 4 bulan sekali) dan P6 (penebasan 6 bulan sekali). Pada tiap-tiap perlakuan dilakukan pengulangan 3 kali. Berdasarkan pengalaman penelitian tersebut, diketahui bahwa frekuensi pengendalian gulma tanaman balangeran secara manual mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap pertambahan tinggi tanaman, diameter batang dan daya hidup tanaman. Kondisi awal obyek pengamatan pada saat berumur 18 bulan dan akhir pengamatan (saat balangeran berumur 24 bulan) meliputi tinggi, diameter, daya hidup, bobot kering dan tinggi gulma dapat dilihat pada Gambar 2. Pemeliharaan tanaman dengan cara melakukan penebasan memberikan pengaruh yang nyata terhadap parameter yang diamati pada umur tanaman 24 bulan. Berdasarkan uji lanjutan dapat diketahui bahwa perlakuan penebasan gulma setiap 4 bulan memberikan pengaruh yang nyata dibandingkan dengan perlakuan lain untuk semua parameter yang diamati. Akan tetapi deskripsi pertumbuhan tanaman menunjukkan perlakuan tersebut relatif kurang baik dibandingkan perlakuan lainnya. Melihat kondisi tersebut dengan mempertimbangkan efektifitas kegiatan pemeliharaan, dengan metode penebasan tumbuhan bawah sebaiknya dilakukan setiap 3 bulan (tiap 3 bln) sampai umur tanaman 24 bulan. Bastoni dan Sianturi (2000) menyebutkan bahwa berdasarkan pada laju pertumbuhan tinggi tumbuhan bawah dan laju pertumbuhan tinggi tanaman pengayaan, pembebasan tumbuhan bawah yang efektif dilakukan 69 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut dengan frekuensi 3 kali pada tahun pertama (4 bulan sekali) serta 2 kali pada tahun kedua dan dengan frekuensi 2 kali pada tahun ketiga (6 bulan sekali) setelah penanaman. Gambar 2. Tinggi tanaman (a), diameter tanaman (b), daya hidup tanaman (c), bobot kering dan tinggi gulma (d) pada masing-masing perlakuan penebasan gulma (sumber : Santosa et al., (2003). 70 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Tabel 1. Pengaruh pemeliharaan terhadap pertumbuhan tinggi tanaman, diameter batang dan daya hidup tanaman S. balangeran (Santosa, et al., 2003) P1 Pertumbuhan Tinggi Diameter 25.32 a 0.20 ab P2 27.95 a Perlakuan 0.21 a P3 24.27 a 0.22 b P0 18.46 a 0.15 a Keterangan : - Nilai tengah yang diikuti huruf yang sama untuk masing-masing parameter yang diamati tidak berbeda nyata pada taraf 5% - Angka dalam kurung merupakan selang nilai pada taraf 5% - P1 = penebasan 2 bulan sekali, P2 = penebasan 3 bulan sekali, P3 = penebasan 4 bulan sekali, P0 = kontrol Periode kritis adalah suatu periode dimana tanaman berada pada kondisi yang peka terhadap lingkungan, terutama unsur hara, air, cahaya dan ruang tumbuh. Bila gulma tumbuh dan mengganggu tanaman pada periode kritis tersebut, maka tanaman akan kalah bersaing dalam pengunaan unsur-unsur yang diperlukan untuk pertumbuhannya. Periode kritis untuk persaingan gulma pada setiap jenis dipengaruhi oleh kemampuan tanaman untuk bersaing, jumlah dan macam gulma yang berasosiasi. Pengetahuan periode kritis persaingan gulma dengan tanaman pokok sangat penting artinya dalam usaha mencapai efisiensi tindakan pengendalian gulma (Sukman, 2002). Grafik pertumbuhan tanaman selama 6 bulan menunjukkan bahwa tanaman yang dipelihara setiap 2 bulan sekali mempunyai pertambahan tinggi terbesar dibandingkan perlakuan lain 71 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut dan cenderung bersifat linier. Penampilan pertumbuhan ini menunjukkan bahwa tanaman balangeran memerlukan intensitas cahaya yang cukup untuk pertumbuhannya, dimana hal ini merupakan sifat umum dari kelompok jenis meranti yaitu sifat semi toleran terhadap cahaya. Weidelt (1996) menyatakan bahwa pada semai jenis dipterocarpus memerlukan naungan untuk pertumbuhannya. Daya hidup berkisar antara 3% s/d 10%, dimana yang paling besar penurunannya adalah pada kontrol. Persaingan gulma yang mengakibatkan kematian tanaman pada plot kontrol kemungkinan disebabkan oleh tinggnya persaingan tanaman balangeran dengan gulma, baik persaingan di bawah permukaan tanah (sistem perakaran) maupun diatas permukaan tanah (penaungan). Kematian tanaman tersebut selain dipengaruhi oleh faktor cahaya juga sangat dipengaruhi kondisi tapak yang marginal dan genangan air di lahan rawa gambut. Secara umum daya hidup tanaman sudah cukup baik yaitu berkisar antara 50% s/d 70%. Mengingat kondisi lahan yang marginal maka daya hidup tanaman yang ada menunjukkan bahwa jenis S. balangeran sangat potensial untuk dikembangkan dalam usaha rehabilitasi lahan rawa gambut terdegradasi. Penemuan teknologi penanaman balangeran yang tepat yang ditunjukkan oleh daya hidup yang tinggi perlu terus diupayakan. Penutup Pemeliharaan tanaman merupakan salah satu kegiatan silvikultur yang diperlukan untuk memastikan keberhasilan kegiatan penanaman dan menjaga kelangsungan produksi, dimana kegiatan tersebut biasanya bersifat kolektif dan bukan berdiri sendiri. Dalam skala kegiatan operasional, pemeliharaan tanaman 72 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut terkait dengan teknik dan keter- sediaan biaya yang diperlukan. Pada kegiatan pemeliharaan tanaman balangeran dengan cara penebasan tumbuhan bawah dapat dilakukan setiap 3 bulan, setidaknya sampai umur tanaman 24 bulan. Intensitas penebasan lebih dari 3 bulan menunjukkan pertumbuhan tanaman semakin kurang baik. DAFTAR PUSTAKA Asyraf M, Mansor M (2002) The diversity and composition of weeds in disturbed and undisturbed peat swamp forest in Peninsula Malaysia. In: Rieley J, Page S (eds) Peatlands for people: natural resources function and sustainable management. Proceedings of the international symposium on tropical peatland, BPPT and Indonesian Peat Association, Jakarta, pp 7-14, 22-23 Aug 2001 Bastoni dan Sianturi, A. 2000. Teknik Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Pengayaan (Enrichment Planting) Pada hutan Rawa Gambut di Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Hutan Rawa dan Ekspose Hasil-hasil Penelitian Kehutanan di Hutan Lahan Basah dilaksanakan di Banjarmasin. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. P 109-117. Daryono, H. 2000. Kondisi Hutan Setelah Penebangan dan Pemilihan Jenis Pohon Yang Sesuai Untuk Rehabilitasi dan Pengembangan Hutan Tanaman di Lahan Rawa Gambut. Prosidings Seminar Nasional Pengelolaan Hutan Rawa dan Ekspose Hasil-hasil Penelitian Kehutanan di Hutan Lahan 73 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Basah diselenggarakan di Banjarmasin. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. P 21-43. Evans, J. 1982. Plantation Forestry in The Tropics. Clarendon Press-Oxford. New York. P 229-245 Martawijaya, A., Kartasujana, I., Kadir, K., dan S.A. Prawira., 1989. Atlas Kayu Indonesia . Jilid II. P 20-24. Rachman, A. 1986. Pengaruh Frekuensi Pemberian Herbisida dan Pengapuran Tanah Podsolik Merah Kuning Terhadap Pertumbuhan Gulma Tanaman. Universitas Padjadjaran. Bandung. Steel, R.G.D dan Torrie, J.H. 1985. Prinsip dan Prosedur Statistika (Suatu Pendekatan Biometrik). PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. P236-288. Sukman, Y., dan Yakup, 2002. Gulma dan Teknis Pengendaliannya. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 159 hal Tjitrosedirjo,S., Utomo,I.H., dan Wiroatmijo, J.,1984. Pengelolaan Gulma di Perkebunan Karet. PT. GramediaBiotrop. P 202-231. Utomo, I.H, dan S. Tjitrosemito, 1990. Country Report:Indonesia Recent Weed Management Practices in Indonesia. Weed Management. Biotrop Special Publication No. 38. Santosa, P.B., Rusmana., Wahyuningtyas, R.S.,2003. Pengaruh Penyiangan Gulma Terhadap Daya Hidup dan Pertumbuhan 74 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Awal Tanaman Shorea balangeran di Lahan Rawa Gambut. Buletin Tegian Tekno Hutan Tanaman No. 1/1 Tahun. Balai Peneltian dan Pengembangan Hutan Tanaman Indenesia Bagian Timur, Banjarbaru. Weidelt, H. J., 1996. Sustainable Management of Dipterocarp Forest Opportunities and Contrans in Dipterocarp Forest Ecosistems. (eds) Andreas Schulte. World Scientific. Singapore. 75 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut POTENSI JENIS-JENIS HAMA DAN PENYAKIT PADA TANAMAN BALANGERAN Beny Rahmanto dan Abdul Kodir Peneliti pada BPK Banjarbaru Hama dan penyakit tanaman merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dalam budidaya tanaman balangeran. Pengetahuan tentang potensi jenis-jenis hama dan penyakit pada balangeran diperlukan sebagai dasar untuk menentukan tindakan pengendalian hama dan penyakit. Selain itu informasi potensi jenis-jenis hama dan penyakit juga diperlukan untuk mewaspadai ledakan hama dan penyakit pada suatu waktu, sehingga dapat melakukan tindakan pencegahan secara tepat. Beberapa jenis hama dan penyakit yang berpotensi menyerang tanaman balangeran sebagai berikut : 76 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut a. Kutu loncat (Diaphorina sp, Psyllidae) Nimfa kutu loncat berwarna kuning berbentuk oval. Ukuran nimfa 0,7-1,2 mm. Nimfa hidup berkoloni pada pucuk semai tanaman balangeran. Umumnya nimfa berada pada lipatan daun bagian pucuk semai. Nimfa membentuk lapisan seperti kapas berwarna putih. Nimfa dari banyak spesies kutu loncat menghasilkan banyak sekresi malam putih yang menyebabkan mereka dari luar kelihatan seperti aphid wol (Borror et al., 1992). Serangga dewasa bersayap berwarna coklat dan mempunyai tungkai yang kuat untuk meloncat. Kutu loncat tergolong serangga penghisap cairan tanaman dan ditemukan di persemaian dengan naungan berat/intensitas cahaya rendah. Hama ini menyerang semai belangeran di persemaian. Pucuk semai yang terserang dicirikan oleh adanya lapisan seperti kapas. Serangan lebih lanjut mengakibatkan pucuk semai mengering dan dapat menyebabkan kematian atau pertumbuhan semai terganggu akibat muncul trubusan/multishoot. Serangan hama ini ditemukan di persemaian di Kalimantan Tengah dengan persentase serangan cukup besar mencapai 14,94% (Rahmanto dan Anggareni, 2012). Hama ini sangat merugikan dalam pembibitan balangeran karena mengakibatkan kematian tanaman. Pengendalian hama kutu loncat dapat dilakukan dengan mengurangi naungan pada persemaian. 77 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Perbesaran 200x Gambar 1. Nimfa Diaphorina sp. Perbesaran 200x Gambar 2. Imago Diaphorina sp. 78 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Gambar 3. Tanda serangan b. Ulat pemotong (Ophiusa triphaenoides, Noctuidae) Morfologi larva ulat pemotong adalah warna tubuh coklat keunguan dengan garis horizontal sepanjang tubuh berwarna kuning cerah membujur di kedua sisinya. Larva memiliki 3 pasang kaki di bagian depan (trueleg) dan 5 pasang proleg. Larva berjalan secara berjingkat. Ukuran panjang larva ± 4-5 cm. Larva aktif di malam hari dan apabila terkena cahaya akan menjatuhkan diri atau menghindar. Imago berupa ngengat dengan ciri-ciri warna sayap bagian atas coklat keabu-abuan dengan bintik-bintik hitam tersebar dan bagian ujung berwarna lebih gelap. Pada bagian sayap depan terdapat corak gambar angka delapan berwarna gelap. 79 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Larva menyerang dengan cara memakan daun muda sehingga daun hanya menyisakan tangkai atau tulang daun. Selain itu larva juga memotong pucuk batang. Bibit yang diserang akan tampak gundul tanpa pucuk. Serangan yang berat akan berakibat pucuk batang bibit seperti dipotong/patah. Hilangnya pucuk batang bibit berakibat pada hilangnya titik tumbuh apikal semai. Serangan ulat pernah ditemukan di persemaian Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah dengan persentase serangan 3,89-5,23% (Rahmanto et al., 2011). Pengendalian hama ulat pemotong dapat dilakukan secara mekanis yaitu dengan menangkap ulat pada waktu malam hari. 1 cm Gambar 4. Larva O. triphaenoides 80 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut 1 cm Gambar 5. Imago O. triphaenoides Gambar 6. Tanda kerusakan 81 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut c. Belalang (Catantops splendens : Acrididae) Nimfa belalang ini berwarna hijau muda berukuran 2-2,5 cm. Setelah dewasa menjadi berwarna coklat keabu-abuan dengan pola titik-titik hitam pada bagian dorsal. Imago berukuran 3,5-4,5 cm. Pada bagian torak terdapat pola garis miring berwarna putih. Bagian femur juga terdapat garis membujur berwarna putih. Tibia berwarna oranye kemerahan. Belalang menyerang daun muda dan terdapat bekas gigitan tipe mulut pengunyah. Tipe serangan hanya parsial pada daun. Belalang hanya memakan sebagian daun (folium) dan bagian per bagian tidak secara menyeluruh pada satu daun. Pada penelitian di persemaian Kalimantan Tengah diperoleh persentase serangan sebesar 5,07-6,21% dengan intensitas serangan cukup kecil berkisar 2-4% (Rahmanto dan Anggraeni.,2012). Pengendalian yang dapat dilakukan untuk hama belalang adalah dengan cara mekanis yaitu menangkap belalang dewasa dan memusnahkan telur-telurnya. Pengendalian secara kimiawi juga dapat dilakukan dengan penyemprotan insektisida misalnya Phosdrin, Basudin, atau Diazinon (Pracaya, 2005). Insektisida berbahan aktif BPMC 500 g/l dengan dosis 2-4 cc per liter air juga dapat mengendalikan hama belalang (Anggraeni et al., 2010). 82 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Gambar 7. Nimfa C. splendens 1 cm Gambar 8. Imago C. splendens 83 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Gambar 9. Tanda kerusakan d. Bintil Daun/Leaf Gall oleh Hymenoptera Serangga termasuk ke dalam golongan tabuhan-tabuhan. Serangga ini secara seksual merupakan serangga dimorfik. Ukuran serangga relatif kecil ± 0,85 mm. Funukula pada antena terdiri dari 4 ruas. Sayap terdiri dari 2 pasang, ukuran sayap belakang lebih sempit dan runcing. Kaki berwarna kuning kecoklatan. Kepala dan torak berwarna kuning kecoklatan. Abdomen berwarna coklat tua. Mata majemuk berwarna merah terang. Serangga ini mempunyai 3 oseli dorsal. Serangan hama ini ditandai oleh bintil-bintil pada permukaan daun. Serangga ini bertelur dalam jaringan daun. Nimfa serangga ini berkembang di dalam jaringan daun dan mengakibatkan 84 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut timbulnya bintil (gall) pada daun. Serangga dewasa akan membuat lubang untuk keluar dan membebaskan diri dari dalam bintil. Pada bintil yang sudah kosong akan tampak lubang kecil bekas lubang keluar serangga. Bintil yang terdapat lubang akhirnya mengering. Dari hasil pengamatan di beberapa persemaian di Kalimantan Tengah diketahui bibit yang terserang tidak mengalami kematian. Serangan yang ditimbulkan hanya mengakibatkan berkurangnya luas permukaan daun akibat timbulnya bintil-bintil. Gall/bintil menyediakan makanan dan tempat tinggal bagi serangga, tetapi tanaman tidak mendapatkan keuntungan dari hubungan tersebut, kehilangan nutrisi, pertumbuhan tidak normal, dan memperlemah struktur tanaman (Speight et al., 2001). Serangan hama ini ditemukan di persemaian dengan persentase serangan sebesar 6,19% (Rahmanto dan Anggraeni, 2012). Gambar 10. Imago Hymenoptera 85 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Gambar 11. Bintil daun e. Penyakit Bercak Daun (Lasiodiplodia sp dan Colletotrichum sp) Berupa bercak-bercak berwarna coklat kemerahan. Bercak tersebar di permukaan daun. Lasiodiplodia sp masuk dalam famili Sphaeropsidaceae. Hifa berwarna kecoklatan berseptat dengan percabangan sederhana. Colletotrichum sp termasuk ke dalam famili Diaporthaceae. Daun yang terserang mempunyai bercak-bercak berwarna coklat kemerahan. Serangan yang lebih lanjut mengakibatkan daun berlubang sehingga luas permukaan daun menjadi berkurang. Pengendalian penyakit bercak daun Colletotrichum sp dapat 86 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut dilakukan menggunakan cuka kayu dengan dosis 40 cc per liter air dengan cara penyemprotan seminggu sekali (Anggraeni et al., 2010). Menurut Rahayu (1999) pengendalian penyakit bercak daun dapat dilakukan dengan langkah - langkah sebagai berikut : a. Menjaga kelembaban di persemaian agar tidak terlalu tinggi dengan mengurangi kerapatan semai. b. Melakukan pencampuran beberapa jenis semai pada suatu lokasi persemaian untuk menghindari kerusakan satu jenis semai tertentu oleh penyakit bercak daun pada skala luas. c. Melakukan eradikasi secara intensif dengan menyingkirkan bagian tanaman yang rusak untuk menekan sumber inokulum patogen. d. Melindungi semai dari serangan jamur penyebab bercak daun dengan penyemprotan fungisida. 87 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut DAFTAR PUSTAKA Anggraeni I. et al. 2010. Sintesa Hasil Penelitian Hama, Penyakit dan Gulma Hutan Tanaman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor Anonim. 2010. Tribe Ophiusini. http://www.mothsoorneo. com/part-15-16/ophiusini/ophiusini_3_5.php. Download 12/10/2011. Borror, J.D., Triplehorn, C.A., dan Johnson, N.F. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi Keenam. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Pracaya. 2005. Hama Swadaya.Jakarta dan Penyakit Tanaman. Penebar Rahayu, S. 1999. Penyakit Tanaman Hutan Di Indonesia. Gejala, Penyebab dan Teknik Pengendaliannnya. Kanisius. Yogyakarta Rahmanto, B., Akbar, A., dan Kodir, A. 2011. Serangan Hama Ulat Ophiusa triphaenoides Pada Shorea balangeran Di Persemaian Kalimantan Tengah. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Kalimantan Selatan Rahmanto, B., dan Anggraeni, I. 2012. Jenis-jenis Hama Pada Tanaman Shorea balangeran Di Persemaian. Prosiding Seminar Nasional Kesehatan Hutan dan Kesehatan Pengusahaan Hutan Untuk Produktivitas Hutan . Pusat 88 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor Speight, MR dan Wylie, FR. 2001. Insect Pest In Tropical Forestry. CABI Publishing. New York. USA 89 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut STRATEGI PEMULIAAN Shorea balangeran UNTUK KAYU PERTUKANGAN Reni Setyo Wahyuningtyas1, Rusmana1 dan Budi Leksono2 1Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru 2Peneliti Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta I. PENDAHULUAN Shorea balangeran (Korth.) Burk., sering disebut balangeran atau kahui oleh masyarakat lokal merupakan salah satu jenis meranti yang mempunyai habitat alami di hutan rawa gambut. Jenis ini tumbuh secara alami di lahan gambut tipis sampai dalam, meliputi daerah penyebaran Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat (Martawijaya et al., 1989). 90 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Masyarakat di Kalimantan Tengah telah lama mengenal pohon balangeran sebagai penghasil kayu pertukangan yang bagus, bahkan kayu balangeran menduduki peringkat nomor dua karena memiliki kualitas kuat dan kelas awet setelah kayu ulin (Eusyderoxylon zwagery). Masyarakat sering menggunakan kayu balangeran sebagai pengganti ulin (yang hanya tumbuh di tanah mineral) karena warna kayunya berwarna coklat tua kemerahan atau coklat tua sangat mirip dengan kayu ulin. Selain untuk kayu pertukangan, kayu balangeran juga banyak digunakan sebagai bahan baku perahu atau kapal. Kayu balangeran yang utuh (tidak berlubang/growong) banyak digunakan masyarakat sebagai bahan pembuat kelotok (perahu kecil) sampai kapal motor. Hal ini yang menyebabkan kayu balangeran sangat diminati masyarakat karena mampu bertahan lama (awet) dalam kondisi basah dan kering. Walaupun sangat diminati, namun sampai saat ini belum ada masyarakat yang membudidayakan pohon balangeran. Hal ini diduga karena balangeran memiliki umur masak tebang yang lama (lebih 20 tahun) sehingga masyarakat akan cenderung memilih jenis-jenis yang cepat mendatangkan hasil seperti jelutung (Dyera polyphylla) untuk disadap getahnya, menanam karet dan kelapa sawit. Karena eksploitasinya berjalan terus menerus tanpa diimbangi dengan upaya penanaman, saat ini kayu balangeran sudah mulai sulit didapatkan di pasaran. Eksploitasi yang terus-menerus tanpa diimbangi kegiatan konservasi yang benar dikhawatirkan akan menyebabkan populasi balangeran di alam menuju kelangkaan seperti yang telah terjadi pada jenis rawa gambut lainnya seperti ramin (Gonystyllus bancanus). Hal ini dapat dilihat dengan cukup 91 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut sulitnya mendapatkan tegakan alam balangeran yang masih baik potensinya dengan kualitas pohon-pohon yang bagus. Kondisi tegakan alam balangeran saat ini sangat dipengaruhi oleh adanya kegiatan eksploitasi hutan rawa gambut yang telah dilakukan sejak tahun 1980-an. Hutan rawa gambut yang rusak sejak adanya penebangan oleh HPH tersebut juga diperparah dengan adanya program pembukaan lahan gambut sejuta hektar (PLG) oleh pemerintah yang menyebabkan tegakan alam yang tersisa ditebang habis. Saat ini yang masih tersisa adalah anakan-anakan alam hasil permuda- an dari pohon induk terdahulu atau dari pohon induk tersisa yang saat itu tidak ditebang karena kualitasnya yang kurang baik. Upaya rehabilitasi hutan rawa gambut yang rusak sangat diperlukan dengan penanaman jenisjenis asli rawa gambut (native species) seperti balangeran. Untuk menunjang pengadaan bibit balangeran yang baik dalam program rehabilitasi lahan, saat ini telah tersedia beberapa tegakan benih yang ditunjuk sebagai sumber benih oleh BPTH (Balai Perbenihan Tanaman Hutan) wilayah Kalimantan, seperti : TBT (Tegakan Benih Teridentifikasi) di Desa Petak Bahandang Kabupaten Katingan (luas 37,5 Ha, potensi 1.012 pohon), TBT di Desa Sakakajang di Kabupaten Pulang Pisau (luas 2 Ha, potensi 130 pohon) dan TBT di Desa Sebaru Kabupaten Palangkaraya (luas 40 Ha, potensi 800 pohon) (Anonim,2011). Tegakan benih tersebut dapat digunakan sebagai sumber benih untuk produksi bibit balangeran oleh masyarakat atau pemerintah daerah. Sumber benih balangeran tersebut di atas sebagian besar tingkat TBT yang merupakan tingkatan terendah dalam klasifikasi sumber benih menurut Permenhut P. 72/Menhut-II/2009. Dalam Permenhut tersebut sumber benih tanaman hutan terbagi atas 7 92 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut tingkatan mulai dari yang terendah sampai tertinggi, yaitu : 1. Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT) 2. Tegakan Benih Terseleksi (TBS) 3. Areal Produksi Benih (APB) 4. Tegakan Benih Provenan (TBP) 5. Kebun Benih Semai (KBS) 6. Kebun Benih Klon (KBK) 7. Kebun Pangkas (KP). Masih terbatasnya kelas sumber benih balangeran pada tingkatan TBT mengindikasikan diperlukannya upaya penyediaan sumber benih yang berkualitas serta kegiatan pemuliaan dari jenis tersebut dalam rangka peningkatan produktivitasnya. Pemuliaan balangeran menjadi upaya yang penting dan harus segera dilakukan mengingat jenis ini merupakan jenis asli rawa gambut yang harus dilestarikan dan menjadi jenis komersial yang diminati masyarakat. II. BOTANI BALANGERAN Shorea balangeran (Korth.) Burck termasuk dalam famili Dipterocarpaceae. Menurut Martawijaya et al. (1989) nama daerah jenis ini cukup beragam yaitu : belangeran, belangir, belangiran, melangir (Sumatera), kahoi, kahui, kawi (Kalimantan). 93 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Balangeran merupakan pohon berkayu yang tingginya dapat mencapai 20-25 m dengan tinggi bebas cabang mencapai 15 m, diameter 50 cm dan tidak berbanir. Kulit luar merah tua sampai hitam, sedikit beralur dangkal, tebal 1-3 cm, tidak mengelupas dan beralur dangkal. Kayu balangeran memiliki kelas awet II (I-III). Balangeran tumbuh tersebar di hutan primer tropis basah yang sewaktu-waktu tergenang air, di rawa atau di pinggir sungai, pada tanah berpasir, tanah gambut atau tanah liat dengan tipe curah hujan A-B pada ketinggian 0-100 m dpl (Martawijaya et al., 1989) Musim berbunga dan berbuah tidak terjadi setiap tahun, karena sangat dipengaruhi oleh iklim setempat (Martawijaya et al., 1989). Beberapa informasi di lapangan menyebutkan bahwa musim buah balangeran berkisar pada bulan Februari-Maret atau Desember-April. Buah balangeran dapat bertahan paling lama selama 12 hari di dalam wadah yang diberi arang basah. III. KONSERVASI SUMBER DAYA GENETIK DAN STRATEGI PEMULIAAN Shorea balangeran Menurut Elridge et al. (2001) strategi yang optimal untuk domestikasi suatu jenis perlu melibatkan 4 tipe populasi yaitu : populasi dasar, populasi pemuliaan, populasi perbanyakan dan populasi produksi. Demikian juga untuk strategi konservasi sumberdaya genetik dan pemuliaan balangeran. a. Konservasi Insitu dan Ex situ Tegakan balangeran sebagai sumber kayu, potensinya sudah mengalami penurunan sangat drastis yang disebabkan adanya eksploitasi yang tidak terkendali dan pengurangan habitat 94 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut untuk dikonversi guna keperluan lainnya. Ancaman kerusakan ini dikhawatirkan akan menyebabkan menurunnya keragaman genetik dan menyempitnya basis genetik, yang keduanya sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan pemuliaan jenis ini di masa mendatang. Menurut Boyle (1996), praktek penebangan yang hanya dilakukan pada pohon yang berfenotip bagus dan meninggalkan pohon dewasa yang terbatas jumlahnya dalam suatu populasi akan menimbulkan erosi genetik akibat meningkatnya kawin kerabat. Apabila materi genetik yang digunakan untuk mempersiapkan materi tanaman di masa mendatang memiliki kualitas yang lebih rendah dibandingkan dengan rerata induknya karena proses kawin kerabat, sisa pencurian, serangan hama dan penyakit dan lain-lain, dapat dipastikan bahwa kualitas tanaman yang akan dihasilkan juga akan menurun. Sebaliknya bila materi tanaman dipersiapkan dari sumber benih yang berkualitas baik (kebun benih) maka kualitas tanaman yang akan dihasilkan juga akan meningkat karena perolehan genetik yang tinggi (Wright, 1976; Zobel dan Talbert, 1984). Berdasarkan kondisi tersebut upaya yang perlu dilakukan untuk menjaga keragaman genetiknya adalah melalui konservasi in situ maupun ex situ. Ditengah sulitnya mendapatkan tegakan balangeran yang masih terjaga baik, masih terdapat tegakan alam yang sangat potensial untuk dijadikan areal konservasi in situ dan harus dilindungi kelestariannya. Tegakan tersebut berada di eks PLG di Desa Mantangai Hulu, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Propinsi Kalimantan Tengah. Lokasinya berada di sekitar Sungai Mantangai dan di pinggir handil Terentang. Tegakan tersebut seluas ± 36 Ha dan didominasi jenis balangeran dengan potensi jumlah pohon cukup tinggi sekitar 90 batang/ha. Jika dilihat dari 95 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut jumlah anakan di lantai hutan yang sangat tinggi yaitu antara 270.000 sampai 1.380.000 semai per Ha, diperkirakan produksi buah yang dihasilkan mencapai puluhan kg per ha. Karena potensinya yang besar bukan sesuatu yang berlebihan jika areal tersebut ditetapkan pemerintah sebagai areal konservasi in situ dan sumber benih balangeran. Kegiatan konservasi ex situ merupakan kegiatan yang tidak bisa diabaikan dalam rangka kegiatan penyelamatan dan pelestarian keragaman genetik balangeran di luar sebaran alaminya. Beberapa bentuk konservasi ex situ yang bisa diterapkan untuk balangeran adalah pembangunan plot populasi dasar (base population) dari materi generatif maupun vegetatif (clone bank). Populasi tersebut dalam jangka panjang dapat digunakan untuk kegiatan pemuliaan dalam melakukan seleksi dan persilangan. Gambar 1. Tegakan alam balangeran di Mantangai, Kabupaten Kapuas, potensi pohon sekitar 90 batang/Ha 96 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Kegiatan pemuliaan balangeran dapat diawali dengan mengumpulkan potensi genetik yang baik dari alam dalam bentuk bank klon (clone bank). Pembuatan bank benih balangeran agak sulit dilakukan mengingat buah balangeran termasuk kategori benih cepat rusak (recalcitrant seed) yang memiliki daya simpan rendah yaitu paling lama hanya 12 hari di dalam wadah yang diberi arang basah (Martawijaya et al., 1989). Koleksi klon-klon tersebut kemudian diperbanyak di persemaian dan diuji di lapangan dalam bentuk uji klon dengan melibatkan beberapa klon-klon terpilih yang ditanam di beberapa tapak (site) yang berbeda. Klon terbaik dan stabil pertumbuhannya di beberapa site akan diperbanyak lagi dan dijadikan sebagai materi kebun pangkas. Sehingga hasil akhir penelitian ini adalah beberapa klon unggul di Kebun Pangkas (hedge orchard). Kebun pangkas yang telah disertifikasi akan menjadi sumber benih dan merupakan kelas sumber benih tertinggi (tingkatan ke-7) berdasarkan klasifikasi sumber benih di Indonesia. Gambar 2. Anakan alam (wildling) balangeran pada tegakan alam di Mentangai , kerapatan 270.000-1,38 juta batang/Ha. 97 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Secara umum, strategi pemuliaan balangeran yang akan dilakukan disajikan dalam Gambar 3. Gambar 3. Strategi pemuliaan balangeran (Shorea balangeran) untuk kayu pertukangan 98 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut a. Seleksi Pohon Induk sebagai Sumber Klon Materi dari pohon induk terpilih, diperoleh dari pembiakan vegetatif dengan cara cangkok (air layering). Pembiakan vegetatif dimaksudkan untuk mendapatkan duplikat individu secara utuh karena dengan pembiakan vegetatif, anakan yang diperoleh 100% akan identik dengan induknya (Hartmann dan Kester, 1975). Mengingat teknik yang digunakan adalah cangkok, maka pemilihan pohon induk selain didasarkan pada penampilannya yang baik seperti: berbatang lurus dan bentuk batang silindris, pertimbangan lain adalah dipilih pohon yang mempunyai tajuk tebal dengan harapan banyak pilihan ranting untuk dicangkok serta tingkat ketuaan (maturity) cabang yang akan dicangkok cukup ideal untuk digunakan bahan cangkok. Selain itu pohon yang tidak terlalu tua (berumur sekitar 10 tahunan) diharapkan memiliki kondisi batang yang ideal (juvenile), yang ditandai dengan kondisi ranting masing muda dengan kulit batang belum banyak retak/ beralur, warna kulit batang hijau tua/kehitaman dan pencangkokan dipilih pada posisi tajuk bagian tengah sampai atas. Hasil percobaan pendahuluan pencangkokan pada tajuk bagian bawah cenderung menghasilkan persen berakar yang rendah karena batang kurang juvenile, adanya sifat prunning alami yang memungkinkan batang cenderung kering, mudah patah secara alami dan tingginya serangan penggerek batang (stem borer) pada cabang bagian bawah. Seleksi pohon induk dilakukan pada tegakan balangeran di tanaman dan hutan alam. Pohon induk dari tanaman diambil sebanyak 30 pohon dari tanaman uji di KHDTK Tumbang Nusa berumur 8 sampai 11 tahun, sedangkan dari hutan alam diambil 30 99 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut pohon dari tegakan alam di Kecamatan Jabiren, Kabupaten Pulang Pisau dengan perkiraan umur di atas 7 tahun. Pemilihan pohon dari tegakan alam akan lebih menguntungkan karena akan diperoleh karakter yang lebih beragam karena berasal dari induk yang berbeda. Pencangkokan dilakukan saat musim penghujan. Cangkokan dapat dipanen saat umur ± 6 bulan setelah perlakuan. Gambar 4. Cangkokan yang telah Gambar 5. Cangkokan yang mati berakar dan mati sebelum dipanen karena batang bagian bawah patah Gambar 6. Gejala serangan penggerek Gambar 7. Batang yang diserang terlihat berupa bubuk di bagian luar batang lubang berbentuk terowongan 100 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Gambar 8. Pemilihan pohon induk balangeran di tegakan alam Jabiren, Kab. Pulang Pisau Gambar 9. Pencangkokan pohon induk balangeran di hutan tanaman KHDTK Tumbang Nusa b. Koleksi Klon dalam Bentuk Bank Klon Dari semua pohon yang dicangkok, tidak semuanya menghasilkan persen berakar yang tinggi. Ada beberapa pohon yang menghasilkan persen jadi cangkokan yang tinggi (> 50%), ada yang rendah (<50%), bahkan ada yang tidak satu pun cangkokan berakar. Disini seleksi awal terjadi. Individu yang sulit untuk dicangkok secara otomatis tidak digunakan karena individu tersebut mengindikasikan memiliki tingkat kesulitan tinggi untuk dibiakkan secara vegetatif karena rooting ability-nya rendah. Namun demikian, fakta di lapangan menunjukkan balangeran mudah menghasilkan trubusan (sprouts). Hal ini dapat menjadi indikator bahwa jenis ini mudah dibiakkan secara vegetatif. Namun demikian, kemampuan setiap individu sangat bervariasi sehingga seleksi awal juga mulai dapat dilakukan. Fungsi seleksi klon dalam kegiatan pemuliaan balangeran salah satunya adalah mendapatkan klon unggul dan mudah dibiakkan secara vegetatif. 101 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Gambar 10. Bibit hasil cangkokan yang telah disapih di persemaian Gambar 11. Trubusan balangeran yang tumbuh pada tunggak anakan alam di Jabiren, Kab. Pulang Pisau 102 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Bibit-bibit dari hasil cangkokan yang telah berakar kemudian dipelihara di persemaian sebagai bahan koleksi atau bank klon (clone bank). Di persemaian klon-klon yang dikoleksi akan dikembangbiakkan dengan cara stek pucuk (cutting). Disini akan terlihat keragaman masing-masing klon dalam menumbuhkan tunas/terubusan (sprouts), serta kemampuannya dalam menumbuhkan akar (roots). Klon-klon yang memiliki kemampuan bertunas (sprouting ability) dan kemampuan berakar (rooting ability) yang rendah akan terseleksi sebagai bahan uji klon karena cenderung sulit dikembangbiakkan. c. Pembangunan Kebun Pangkasan (multiplication garden) Untuk mendapatkan produksi bibit dalam jumlah banyak maka bibit-bibit koleksi di bank klon yang merupakan duplikat pohon induk di alam (ortet) akan dibiakkan dalam bentuk persemaian klon dengan teknik stek pucuk (cutting). Agar diperoleh stek pucuk dalam jumlah banyak perlu dibuat kebun pangkasan (multiplication garden) di persemaian yang bahannya terdiri dari klon-klon yang memiliki daya bertunas dan berakar yang baik. Kebun pangkasan disini belum layak dimanfaatkan sebagai sumber materi penanaman skala luas karena belum teruji secara genetik. Kebun pangkasan yang dibangun hanya digunakan sebagai sumber ramet untuk memproduksi bibitbibit baru sebagai bahan uji klon yang akan dibangun. Setelah uji klon terbangun maka adaptabilitas dan produktivitas masingmasing klon yang telah dikoleksi akan terlihat. Pada uji klon ini juga akan terlihat berapa tingkat produktivitas masing-masing klon dalam memproduksi bahan stek (cutting productivity), serta berapa lama produktivitas kebun pangkas. Kebun pangkas balangeran biasanya akan menurun setelah 103 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut berumur di atas 3 tahun. Menurut Tolkamp dan Leppe (2002) umur kebun pangkas jenis meranti akan menurun kemampuan berakar steknya setelah berumur 3-7 tahun. Untuk memulihkan produktifitas kebun pangkas maka diperlukan pemangkasan, yaitu memotong batang dengan menyisakan tinggi 0,75 m dari atas tanah. Tujuan pemangkasan adalah untuk memproduksi tunas-tunas muda (rejuvenisasi) sehingga diperoleh banyak tunas-tunas vertikal (orthotropic) muda sebagai bahan stek ideal. Hasil pembiakan balangeran dengan cara stek menggunakan metode KOFFCO (sistem pengkabutan) yang pernah dilakukan di BPK Banjarbaru menghasilkan persen berakar sekitar 54,2-88,7% dengan persen hidup bibit 100% (Wahyuningtyas dan Rusmana, 2006). Bibit balangeran yang berasal dari stek kemudian dipelihara dan akan siap tanam setelah berumur di atas 6 bulan. d. Uji Klon (Clonal Test) Uji klon dibangun pada kondisi lingkungan yang sesuai dengan habitat alami balangeran yaitu lahan rawa gambut tipis sampai dalam dengan kondisi lingkungan terbuka (tanpa naungan). Rancangan yang digunakan adalah Randomized Completely Block Design (RCBD) dengan tujuan untuk meminimalisir error dengan menyeragamkan kondisi lingkungan yang bervariasi. Dalam setiap blok, terdapat plot-plot perlakuan yaitu klon-klon yang dilibatkan dalam uji klon ini. Masing-masing klon terdiri dari 5 pohon yang ditanam secara baris (line planting). Posisi setiap plot dalam setiap blok ditentukan secara acak/random. 104 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Jarak tanam yang digunakan disesuaikan dengan karakter pertumbuhan balangeran. Hasil penelitian Santosa et al. (2011) dengan menanam balangeran dengan sistem jalur, jarak antar jalur 5 m, jarak tanam dalam jalur 4 m dan lebar jalur tanam 3 m dan di setiap titik tanam dibuat gundukan berukuran 50x50x50 cm menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan balangeran yang ditanam tanpa gundukan. Pemberian gundukan selain berfungsi untuk mengurangi efek genangan pada saat awal pertumbuhan tanaman muda juga berfungsi meningkatkan ketersediaan oksigen di daerah perakaran dan mengurangi pertumbuhan gulma (Nishimua et al., 2007). Untuk mendapatkan data pertumbuhan, pengukuran dapat dilakukan setiap 6 bulan sekali (sampai tanaman berumur 2 tahun). Setelah itu pengukuran dilakukan setiap 1 tahun sekali. Parameter yang diamati meliputi : tinggi total, tinggi bebas cabang, diameter setinggi dada (dbh) dan bentuk batang (stem form). e. Kebun Benih Klon (Clonal Seed Orchard) Kebun Benih Klon (KBK) merupakan konversi dari plot uji klon yang menjadi kebun benih klon untuk produksi buah. Pada KBK, pohon-pohon yang memiliki pertumbuhan rendah dan kualitas batang jelek diseleksi (ditebang) sehingga menyisakan pohon-pohon berkualitas baik yang akan diambil benihnya setelah tinggal 1 (satu) pohon terbaik dari setiap plot atau setelah seleksi di dalam plot (within plot selection) selesai dilakukan. Seleksi disini adalah menebang individu di dalam klon dan klon-klon yang jelek (inferior) dan menyisakan minimal 25 klon terbaik. Masing-masing klon yang dipilih disisakan 1 pohon terbaiknya. Pohon-pohon yang tersisa akan menjadi pohon penghasil buah (seed trees). 105 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut f. Pembangunan Kebun Pangkas Tahap I (Hedge Orchard I) Performance masing-masing klon yang diuji akan dapat dinilai saat mulai terlihat perbedaan pertumbuhan yang nyata antara satu klon dengan lainnya. Perbedaan tersebut biasanya dapat dilihat saat setengah daur, pada balangeran diperkirakan saat berumur di atas 10 tahun (diperkirakan daur balangeran adalah 20 tahun). Pada umumnya tidak semua klon akan menunjukkan kinerja yang baik, oleh karena itu hanya akan dipilih 5-7 klon terbaik (berdasarkan riap volume dan fenotipik) di lapangan. Klon-klon terbaik tersebut yang akan digunakan sebagai materi penyusun kebun pangkas (hedge orchard) tahap I. Menurut Permenhut P. 72/Menhut-II/2009 kebun pangkas (hedge orchard) dapat disertifikasi setelah melalui uji klon di lapangan. Oleh karena itu materi penyusun kebun pangkas adalah klon-klon yang terbukti mempunyai pertumbuhan terbaik dari hasil uji klon yang telah dibangun (butir d). Lima klon yang mempunyai pertumbuhan terbaik akan dikembangkan di kebun pangkas. Luas kebun pangkas yang dibangun adalah 0,1 ha dengan jarak tanam 0,5 m x 0,5 m atau 1 m x 1 m. Kebun pangkas dapat langsung digunakan sebagai materi populasi produksi karena kebun pangkas hanya terdiri dari klon-klon unggul saja. Namun demikian, pemilihan suatu klon untuk ditanam di suatu site hanya dapat merujuk dari hasil evaluasi performa klon tersebut pada uji klon. Untuk mengetahui klon mana yang sesuai untuk ditanam di suatu site hanya dapat diketahui setelah dilakukan evaluasi uji klon di beberapa lokasi (multilokasi). 106 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut g. Uji Peningkatan Genetic (Genetic Gain Trial) Uji peningkatan genetik dibangun untuk mendapatkan data peningkatan genetik yang diperoleh pada klon-klon terpilih dibandingkan dengan tanaman yang berasal dari tegakan benih yang digunakan oleh masyarakat. Uji peningkatan genetik dibangun dengan melibatkan 5-7 klon terbaik dari hasil uji klon (butir d) dengan pembanding sebagai kontrol yang berasal dari 2-3 asal sumber benih lainnya. Uji ini dibangun di beberapa lokasi yang mempunyai karakter site berbeda seperti: 1) Lahan rawa gambut dangkal dan di bawahnya terdapat lapisan tanah mineral, seperti: di Jabiren, Kab. Pulang Pisau dan Mantangai Kab. Kapuas, 2) Lahan rawa gambut dalam seperti: di Tumbang Nusa, Kab. Pulang Pisau, dan 3) Lahan rawa gambut tipis di bawahnya terdapat lapisan pasir kuarsa seperti: di Nyarumenteng dan Bukit Batu Kota Palangkaraya. Dari ketiga karakter site yang berbeda tersebut akan diketahui klon-klon yang relatif stabil atau menunjukkan performa yang baik di ketiga site tersebut dan klon-klon yang menunjukkan performa baik hanya pada site-site tertentu. Klon yang cenderung tumbuh baik di semua site menunjukkan performa yang stabil (stable clone), sedangkan yang baik pada site 107 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut tertentu diindikasikan hanya tumbuh optimal dengan kondisi site tertentu (specific clone). h. Pembangunan Kebun Pangkas Tahap II (Hedge Orchard II) Kebun pangkas tahap II tidak jauh berbeda dengan kebun pangkas tahap I, hanya saja klon-klon yang dikembangkan disini sudah lebih teruji dan lebih sedikit jumlahnya, hanya 2 sampai 3 klon terpilih yang mempunyai pertumbuhan paling baik dari hasil uji klon dan uji peningkatan genetik. Dengan demikian, bibit-bibit yang dihasilkan dari materi kebun pangkas tahap II akan mempunyai nilai dan produktivitas lebih tinggi dibandingkan bibit yang dihasilkan dari kebun pangkas tahap I. 108 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. Direktori sumber benih region Kalimantan. Balai Perbenihan Tanaman Hutan Kalimantan. Boyle, T.J.B. 1996. CIFOR’s research programme on conservation of tropical forest genetic resources. Working Paper No. 9. CIFOR. Bogor, Indonesia. Departemen Kehutanan. 2000. Statistik Departemen Kehutanan dan Perkebunan Tahun 1999/2000. Elridge KG, Davidson J., Harwood C.E, Van Wyk G. 2001. Eucalypt domestication and breeding. Oxford Science Publication. Reprinted. 288 p. Hartmann H.T. dan D.E. Kester. 1975. Plant Propagation. Principles and Practices. 4 Th Edition. Prentice-Hall., INC., Englewood Cliffs, New Jersey 07632. Martawijaya A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira dan K. Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Badan Litbang Kehutanan, Bogor. Nishimua T.B.,. Suzuki, E., Kohyama, T., Tzuyuzaki, S. 2007. Mortality and growth of trees in peat swamp and heath forest in Central Kalimantran after severe drought. Plant Ecol 188:165-177 Santosa P.B., Yuwati, T.W. dan Rachmanadi. 2011. Long term effect of site preparation on the growth of Balangeran (Shorea balangeran) at over burn peat swamp forest, 109 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut Central Kalimantan. Prosiding INAFOR 2011 (dalam proses penerbitan) Tolkamp, G.W. dan D. Leppe. 2002. Pembangunan kebun pangkas.Jakarta. Wahyuningtyas, R dan Rusmana. 2006. Penerapan sistem KOFFCO (Komatsu FORDA Fog Cooling System) di Balai Penelitian Kehutanan, Banjarbaru. Makalah Lokakarya Penerapan Teknologi KOFFCO Sektor Kehutanan untuk Mendukung Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, di Bogor 31 Juli. Wright, J.W.1976. Introduction to Forest Genetic. Academy Press. NewYork. Zobel, B.J and J.T.talbert, 1984. Apliied Forest Tree Improvement . John Willey and Sons Inc. Canada Zobel,B.J. dan J.T. Talbert. 1984. Apllied Forest Tree Improvement. John Wiley & Sons, Inc., New York. 110 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut 111 BUDIDAYA Shorea balangeran di Lahan Gambut 112 (Shorea balangeran (Korth.) Burck.) merupakan salah satu jenis komersil yang dapat dikembangkan dalam usaha budidaya tanaman penghasil kayu pertukangan di lahan rawa gambut. Balangeran merupakan jenis asli rawa gambut yang mempunyai pertumbuhan relatif lebih cepat dibanding jenis-jenis tumbuhan rawa gambut lainnya yang pada umumnya lambat. Buku ini disusun berdasarkan hasil - hasil penelitian, pengalaman lapangan dan kajian pustaka. Buku ini mengupas bagaimana teknik budidaya balangeran dari aspek pembibitan, penanaman, pemeliharaan tanaman, hama dan penyakit, serta strategi pemuliaananya. Semoga informasi yang tersedia dapat bermanfaat. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Jl. A. Yani Km 28,7 Landasan Ulin Banjarbaru - Kalimantan Selatan www.foreibanjarbaru.or.id Budidaya Shorea balangeran di lahan gambut Balangeran