Keterkaitan Harga Lahan Terhadap Laju Konversi

advertisement
KETERKAITAN HARGA LAHAN TERHADAP
LAJU KONVERSI LAHAN PERTANIAN
DI HULU SUNGAI CILIWUNG
KABUPATEN BOGOR
DESI IRNALIA ASTUTI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
i RINGKASAN
DESI IRNALIA ASTUTI. Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi
Lahan Pertanian di Hulu Sungai Ciliwung Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor.
Dibimbing Oleh PINI WIJAYANTI
Harga lahan merupakan alasan utama penduduk dalam menjual lahan pada
Kecamatan Cisarua. Penjualan lahan dilakukan karena penduduk tidak memiliki
pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Aktivitas
penjualan lahan tersebut juga diikuti oleh perubahan penggunaan lahan. Hal ini
dapat menyebabkan terjadinya konversi lahan. Perubahan tata guna lahan yang
sangat tinggi di hulu Sungai Ciliwung meningkatkan peluang terjadinya banjir
pada daerah hilir.
Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk memberikan informasi
mengenai pengaruh harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian di hulu
Sungai Ciliwung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Sedangkan, tujuan
khusus dari penelitian ini yaitu: (1) mengidentifikasi laju konversi lahan di
Kecamatan Cisarua, (2) menganalisis keterkaitan harga lahan terhadap laju
konversi lahan, (3) mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penduduk dalam
mengkonversi lahan di Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua.
Penelitian ini dilakukan di Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua,
Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi
dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan Kecamatan Cisarua
merupakan hulu Sungai Cilwung. Penelitian ini dilakukan selama bulan MaretApril 2011. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan responden
melalui kuisioner. Data sekunder diperoleh melalui pengumpulan data dari Badan
Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung,
Kecamatan Cisarua, Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua. Data sekunder yang
diperlukan merupakan data time series dari tahun 2001-2010, meliputi data harga
lahan per meter persegi, jumlah penduduk, vila, obyek wisata, luas konversi lahan,
serta studi literatur atau referensi lainnya berupa jurnal dan penelusuran data
melalui internet. Laju konversi lahan dianalisis dengan persamaan laju parsial dan
kontinu, pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan
menggunakan metode linier berganda, sedangkan pengaruh harga lahan terhadap
laju konversi lahan menggunakan metode korelasi Pearson. Pengolahan data
dilakukan secara manual serta komputer dan melalui program Microsoft Office
Excel 2007, SPSS 15, dan Minitab.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tren laju konversi lahan di
Kecamatan Cisarua tahun 2001-2010 terus meningkat. Konversi lahan tertinggi
terjadi pada tahun 2006. Laju konversi lahan pertanian dan pemukiman masingmasing sebesar 2.28 % dan 3.94 %. Keterkaitan harga lahan di tingkat Kecamatan
Cisarua pada tahun 2001-2010 berhubungan positif terhadap konversi lahan. Laju
konversi lahan semakin tinggi karena kenaikan harga lahan di Kecamatan Cisarua
lebih murah dibandingkan dengan daerah asal pembeli yaitu Jakarta. Faktor-faktor
yang mempengaruhi penduduk pada tingkat rumah tangga dalam mengkonversi
lahan adalah harga lahan, jumlah tanggungan, pendapatan, dan luas lahan yang
dimiliki saat menjual.
Kata kunci : Konversi lahan, Harga lahan, Laju parsial, dan Laju kontinu
i KETERKAITAN HARGA LAHAN TERHADAP
LAJU KONVERSI LAHAN PERTANIAN
DI HULU SUNGAI CILIWUNG
KABUPATEN BOGOR
DESI IRNALIA ASTUTI
H44070024
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
ii Judul Skripsi : Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian
di Hulu Sungai Ciliwung Kabupaten Bogor.
Nama
: Desi Irnalia Astuti
NRP
: H44070024
Disetujui
Pini Wijayanti, SP, M.Si
Pembimbing I
Nuva, SP, M.Sc
Pembimbing II
Diketahui
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT
Ketua Departemen
Tanggal Lulus: 24 Juni 2011
ii PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Keterkaitan Harga Lahan terhadap
Laju Konversi Lahan Pertanian di Hulu Sungai Ciliwung Kabupaten Bogor adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, Juni 2011
Desi Irnalia Astuti
H44070024
iii UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberi bantuan dan dukungan selama proses penyusunan skripsi ini, terutama
kepada:
1.
Ayah (Muchlis Abbas), Ibu (Mami Kustini, AMa), dan kakak-kakak penulis
(Deni Oktarian, Edi Candra, SH, Risma Feny, SPd dan Ade Christi) atas
segala dukungan, doa, semangat, dan kasih sayang.
2.
Pini Wijayanti, SP, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi I yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, saran, dan motivasi dalam
penyusunan skripsi ini.
3.
Nuva, SP, M.Sc, selaku dosen pembimbing skripsi II yang telah meluangkan
waktu untuk memberikan bimbingan, saran, dan motivasi dalam penyusunan
skripsi ini.
4.
Ir. Nindyantoro, M.Sp, selaku dosen penguji utama.
5.
Adi Hadianto, SP, M.Si, selaku dosen perwakilan departemen dan
pembimbing akademik.
6.
Kecamatan Cisarua, Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua atas data dan
informasinya.
7.
Balai Pengelolaan DAS Citarum Ciliwung, Badan Pusat Statistik Kabupaten
Bogor, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, dan Dinas Tata
Bangunan dan Pemukiman Kabupaten Bogor atas data dan informasinya.
8.
Rekan satu bimbingan, Andrian Irwansyah, Andika Lesmana, Dina Berina,
dan Nasya Fathiras atas bantuan, semangat, dan motivasinya.
9.
Teman-teman ESL 44 atas kebersamaannya selama ini.
iv KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya. Skripsi ini disusun sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor.
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian di Kecamatan
Cisarua Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kajian yang dilakukan meliputi
tren laju konversi lahan dengan persamaan laju parsial dan kontinu dan analisis
keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian dengan metode
korelasi Pearson. Selain itu, juga dilakukan analisis mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi konversi lahan sawah, perkebunan, dan hutan dengan metode
linier berganda.
Penulis menyadari bahwa skripsi jauh dari sempurna. Akhir kata, semoga
skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, khususnya pihak yang
terkait dengan penelitian ini.
Bogor, Juni 2011
Desi Irnalia Astuti
v DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ...........................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................
ii
HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................
iii
UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................
iv
KATA PENGANTAR ...............................................................................
v
DAFTAR ISI ..............................................................................................
vi
DAFTAR TABEL ......................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
x
I.
PENDAHULUAN ............................................................................
1
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
Latar Belakang ...........................................................................
Perumusan Masalah ....................................................................
Tujuan Penelitian ........................................................................
Manfaat Penelitian ......................................................................
Ruang Lingkup Penelitian ..........................................................
1
4
6
6
6
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................
8
II.
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
III.
IV.
Konversi Lahan ..........................................................................
Fungsi Utama Lahan ..................................................................
Harga Lahan ...............................................................................
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan .................
Dampak Konversi Lahan ............................................................
8
9
10
11
12
KERANGKA PENELITIAN ...........................................................
14
3.1 Kerangka Teoritis ......................................................................
3.1.1 Laju Konversi Lahan ........................................................
3.1.2 Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi
Lahan Pertanian.................................................................
3.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan ........
3.1.4 Hipotesis ...........................................................................
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ..............................................
14
14
15
15
17
18
METODE PENELITIAN .................................................................
20
4.1
4.2
4.3
4.4
20
21
22
22
23
23
Lokasi dan Waktu Penelitian .....................................................
Jenis dan Sumber Data ..............................................................
Metode Pengambilan Sampel ....................................................
Metode dan Prosedur Analisis ...................................................
4.4.1 Laju Konversi Lahan ........................................................
4.4.1.1 Model Laju Konversi Lahan ................................
4.4.2 Analisis Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju
vi Konversi Lahan Pertanian ................................................
4.4.3 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi
25
Lahan .................................................................................
27
GAMBARAN UMUM PENELITIAN .............................................
31
5.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ...........................................
5.2 Karakteristik Umum Responden .............................................
5.2.1 Jenis Kelamin dan Usia .................................................
5.2.2 Pendidikan Formal Responden ......................................
5.2.3 Luas dan Status Kepemilikan Lahan .............................
5.2.4 Tingkat Pendapatan .......................................................
5.2.5 Lama Menetap di Lokasi ................................................
31
32
32
33
34
35
36
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................
38
6.1 Laju Konversi Lahan ..................................................................
6.2 Keterkaitan Harga Lahan Terhadap Laju Konversi Lahan
Pertanian .....................................................................................
6.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan .................
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................
37
47
50
57
7.1 Kesimpulan ................................................................................
7.2 Saran ..........................................................................................
57
57
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
59
LAMPIRAN ................................................................................................
62
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................
77
V.
VI.
vii DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1
Matriks Metode Analisis Data . .........................................................
23
2
Luas Pemukiman dan Jalan di Kecamatan Cisarua Tahun
2001-2010 ..........................................................................................
46
Hasil Analisis Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi
Lahan Pertanian Tahun 2001-2010 dengan Korelasi Pearson ...........
47
3
viii DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1
Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 1961dan 2010 .............
3
2
Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur
Tahun 2005 – 2010 ............................................................................
5
3
Diagram Alur Berpikir ......................................................................
19
4
Peta Guna Lahan Kecamatan Cisarua Tahun 2000 dan 2009 ...........
20
5
Karakteristik Responden di Kecamatan Cisarua Berdasarkan
Tingkat Pendidikan Tahun 2011 .......................................................
34
Karakteristik Responden di Kecamatan Cisarua Berdasarkan
Lama Menetap Tahun 2011 ..............................................................
36
Laju Luasan Lahan Pemukiman dan Lahan Pertanian di
Kecamatan Cisarua Tahun 2001-2010 .............................................
37
Tren Jumlah Penduduk Kecamatan Cisarua Tahun
2001-2010 .........................................................................................
44
Harga Lahan Rata-Rata Kecamatan Cisarua dan Jakarta
Tahun 2001–2010 ..............................................................................
49
6
7
8
9
ix DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Kuisioner Penelitian .............................................................................
63
2.
Data Jumlah Penduduk Kecamatan Cisarua Tahun
2001-2010 ............................................................................................
66
Data Luasan Lahan Pertanian Kecamatan Cisarua
Tahun 2001-2010 .................................................................................
66
Data Luasan Pemukiman Kecamatan Cisarua Tahun 20012010 .....................................................................................................
67
Data Harga Lahan Rata-Rata Kecamatan Cisarua dan
Jakarta Tahun 2001-2010 ....................................................................
67
3.
4.
5.
6.
Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penduduk dalam
Mengkonversi Lahan ...........................................................................
68
7.
Laju Luasan Lahan Pertanian dan Pemukiman Kecamatan
Cisarua Tahun 2001-2010 ...................................................................
72
Laju Konversi Lahan Kontinu Kecamatan Cisarua Tahun
2001-2010 ...........................................................................................
72
8.
x I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang dikonversi menjadi lahan non RTH
akan menimbulkan dampak negatif dalam berbagai aspek. Namun, potensi
dampak konversi lahan tersebut seringkali kurang disadari, sehingga masalah
konversi lahan tidak menjadi perhatian masyarakat dan upaya pengendalian
konversi lahan terkesan terabaikan. Sala et al. (2000) menyatakan bahwa konversi
lahan terjadi di berbagai jenis lahan. Konversi lahan bisa terjadi di lahan sawah
dan hutan, dataran rendah maupun dataran tinggi dengan risiko yang berbedabeda. Dataran tinggi atau pun area puncak memiliki risiko yang cukup besar,
khususnya di hulu sungai dimana konversi lahan berdampak pada peningkatan
aliran dari dataran tinggi dan volume run off.
Kegiatan konversi lahan yang sangat tinggi di hulu sungai meningkatkan
peluang terjadinya banjir di daerah hilir. Salah satu bentuk konversi lahan adalah
pembangunan di daerah resapan air. Semakin banyak ruang RTH yang dikonversi
menjadi non RTH mengakibatkan semakin rendahnya daya resap air di daerah
tersebut. Bertambahnya wilayah terbangun (built up area) menyebabkan muka
tanah yang merupakan peresapan akan jauh berkurang luasannya (Achard et al.
1987) dalam (Barbier 1999). Rendahnya daya resapan air
menyebabkan
peningkatan aliran permukaan. Tingginya tingkat aliran permukaan tersebut
memicu peningkatan volume air yang menyebabkan terjadinya banjir.
Penyebab tingginya aliran permukaan di antaranya adalah hilangnya fungsi
hutan sebagai penahan aliran permukaan akibat adanya curah hujan di daerah
hulu. Salah satu kejadian banjir akibat curah hujan di daerah hulu Sungai
1 Ciliwung yang mengakibatkan banjir di daerah Jakarta. Curah hujan di hulu
Sungai Ciliwung terjadi pada bulan April tahun 2006, yaitu 268 mm dalam satu
bulan. Hal ini terbukti pada bulan April 2006 penduduk Jakarta yang terkena
dampak banjir sebanyak 7 340 Kepala Keluarga atau setara dengan 27 281 jiwa.
Jumlah pengungsi terbanyak dan berasal dari Jakarta Timur yaitu sebanyak 1 558
jiwa dengan ketinggian banjir paling parah mencapai 250 cm. Ketinggian banjir di
Kotamadya Jakarta Timur merupakan yang tertinggi1. Hal ini membuktikan
bahwa konversi lahan di daerah hulu akan mengakibatkan dampak hingga ke hilir.
Salah satu faktor yang menyebabkan konversi lahan yaitu adanya laju
pertumbuhan
penduduk.
Perubahan
penggunaan
lahan
ditandai
dengan
pertumbuhan jumlah penduduk dan konversi lahan yang signifikan, kedua proses
tersebut saling terkait (Barbier 1999). Adanya jumlah penduduk yang meningkat
menyebabkan konversi lahan di Kabupaten Bogor mayoritas untuk perumahan,
usaha, vila, dan lain-lain. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor cenderung
mengalami peningkatan. Hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa
jumlah penduduk Kabupaten Bogor adalah 3 508 826 jiwa sedangkan angka
sementara pada sensus penduduk tahun 2010 jumlahnya mencapai 4 763 209 jiwa.
Namun, pada tahun 1990 ke tahun 2000 terjadi penurunan jumlah penduduk
dikarenakan adanya pemekaran wilayah Kabupaten Bogor menjadi Kota Bogor
pada tahun 1995 berdasarkan PP No. 02/1995 dan Kota Depok di tahun 1999
berdasarkan UU RI No. 15/1999.
Rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor dalam kurun
waktu sepuluh tahun adalah 3.13. Artinya, pertambahan penduduk di Kabupaten
1
http://www.bnpb.go.id/website/ asp/index.asp. diakses tanggal 4 Januari 2011
2 Bogor setiap tahun rata-rata meningkat sebesar 3.13 persen. Pertambahan tersebut
akan menimbulkan pengaruh terhadap konversi lahan. Adapun gambaran tren
peningkatan jumlah penduduk Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 1
berikut ini.
6000000
5000000
Jiwa
4000000
3000000
jumlah penduduk
2000000
1000000
0
1961 1971 1980 1990 2000 2010
Tahun
Sumber: BPS, 2010
Gambar 1. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 1961-2010
Pertambahan penduduk di Kabupaten Bogor mempengaruhi penggunaan
tata guna lahan yang ada, khususnya di daerah hulu Sungai Ciliwung. Perubahan
tata guna lahan dapat menaikkan ataupun mengurangi volume run off dan waktu
konsentrasi suatu area (Viessman 1977). Faktor yang paling besar mempengaruhi
volume aliran adalah laju infiltrasi dan tampungan permukaan. Berdasarkan data
BPS (2006), jenis penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 2001 berupa
pemukiman, jasa, dan industri sebesar 314 658 ha dan pada tahun 2006 meningkat
menjadi 319 862 ha. Seiring adanya pertumbuhan penduduk maka penggunaan
lahan untuk pemukiman dan sektor industri di daerah hulu Sungai Ciliwung juga
meningkat.
Sektor industri yang sangat diminati di daerah hulu Sungai Ciliwung
adalah industri pariwisata. Daerah dataran tinggi di hulu sungai ini memiliki
pesona alam yang indah. Kondisi udara yang sejuk dan jauh dari keramaian kota
sangat menarik minat pengunjung. Hal ini terlihat dari banyaknya wisatawan
3 domestik yang datang untuk berlibur bersama keluarga, teman, maupun kerabat.
Terdapat berbagai macam obyek wisata yang tersedia, di antaranya kebun
binatang, wahana outbond, rumah makan, dan tempat wisata lainnya. Selain itu
masih banyak terdapat objek wisata alam lainnya. Banyaknya wisatawan yang
datang menarik minat investor untuk mendirikan penginapan seperti vila, hotel,
dan wisma di daerah tersebut sebagai sumber investasi. Hal tersebut diduga
termasuk menjadi salah satu penyebab konversi lahan.
1.2.
Perumusan Masalah
Konversi lahan terjadi seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang
semakin meningkat setiap tahun. Salah satu wilayah yang mengalami
pertambahan jumlah penduduk yang tinggi adalah Kabupaten Bogor. Jumlah
penduduk yang tinggi terlihat lebih signifikan jika dibandingkan dengan dua
kabupaten lain yaitu Sukabumi dan Cianjur. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor
pada tahun 2005 mencapai 4 256 980 jiwa, sedangkan jumlah penduduk
Kabupaten Sukabumi 2 300 640 jiwa, dan jumlah penduduk Kabupaten Cianjur
sebesar 2 118 120 jiwa. Adapun perbandingan jumlah penduduk Kabupaten
Bogor, Sukabumi, dan Cianjur dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.
12000000
10000000
Jiwa
8000000
Cianjur
6000000
Sukabumi
4000000
Bogor
2000000
0
2005 2006 2007 2008 2009
Tahun
Sumber: BPS, 2010
Gambar 2. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Cianjur
Tahun 2005-2010
4 Laju pertambahan penduduk Kabupaten Bogor rata-rata sebesar 165 535
jiwa setiap tahun. Kabupaten Sukabumi rata-rata sebesar 44 668 jiwa per tahun
dan Kabupaten Cianjur sebesar 29 878 jiwa per tahun. Pertumbuhan penduduk
Kabupaten Bogor yang tinggi menyebabkan penyebaran pemukiman di berbagai
wilayah DAS. Kabupaten bogor dilalui dua wilayah DAS, yaitu Ciliwung dan
Cisadane.
Wilayah
DAS
yang
menjadi
perhatian
khusus
dalam
hal
menyumbangkan debit air pada peristiwa banjir di Jakarta adalah DAS Ciliwung.
Daerah yang mempunyai peran penting dalam peristiwa ini adalah daerah hulu.
Hulu Ciliwung terletak di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, tepatnya
di Desa Tugu Utara sedangkan Kelurahan Cisarua merupakan daerah yang
memiliki pemukiman yang padat. Daerah tersebut memiliki tingkat kegiatan
konversi RTH menjadi non RTH yang tinggi. Konversi lahan ini didukung dengan
pertambahan penduduk setiap tahun yang mengakibatkan kebutuhan pemukiman
yang tinggi. Penduduk di daerah hulu menjual lahan yang ada kepada pembeli,
kemudian pembeli menggunakan wilayah tersebut untuk membangun usaha
tempat tinggal sebagai tempat bermukim, hotel, vila, rumah makan, dan tempat
usaha lainnya. Hal lain yang diindikasikan sebagai penyebab konversi adalah daya
tarik lokasi penelitian sebagai daerah tujuan wisata. Berdasarkan uraian tersebut
beberapa masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua?
2. Bagaimana keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian?
3. Faktor–faktor apakah yang mempengaruhi penduduk Desa Tugu Utara dan
Kelurahan Cisarua dalam mengkonversi lahan?
5 1.3.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini
adalah:
1. Mengidentifikasi laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua.
2. Menganalisis keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian di
Kecamatan Cisarua.
3. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penduduk dalam mengkonversi
lahan di hulu sungai.
1.4.
Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka hasil penelitian ini diharapkan
dapat bermanfaat bagi:
1. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dan para pengambil keputusan dalam
menentukan kebijakan penggunaan lahan yang dikonversi dan melakukan
perbaikan tata guna lahan di Kabupaten Bogor pada umumnya dan Kecamatan
Cisarua pada khususnya.
2. Para pengguna lahan dan pemilik lahan untuk memperoleh gambaran mengenai
prospek dan peluang pemanfaatan lahan di Kabupaten Bogor pada umumnya
dan Kecamatan Cisarua pada khususnya.
3. Para akademisi sebagai bahan tambahan dan bahan rujukan untuk penelitian
selanjutnya.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini akan menghadapi keterbatasan sebagai berikut:
1. Faktor pendorong terjadinya konversi lahan hanya pada level mikro pada
tingkat rumah tangga yang sudah pernah menjual lahan yang dimiliki.
6 2. Konversi lahan yang dibahas dalam penelitian ini hanya dilihat dari luasan
sawah, perkebunan dan hutan.
3. Variabel-variabel yang diteliti pada penelitian ini berupa data harga lahan
setiap meter, luasan lahan hijau (sawah, hutan, dan perkebunan), pemukiman,
penduduk masing-masing desa, DAS hulu Ciliwung, serta data konversi lahan
berupa lahan hijau dan pemukiman di hulu Ciliwung.
4. Dampak konversi lahan terhadap lingkungan hanya dilihat dari hilangnya lahan
hijau menjadi pemukiman dan hilangnya daya resapan air yang dapat
mengakibatkan banjir.
7 II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konversi Lahan
Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh
kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi
lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi
lahan tersebut. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan atau penyesuaian
penggunaan disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi
keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin bertambah
jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik
(Utomo et al. 1992). Menurut Houghton (1991) terdapat tujuh tipe perubahan tata
guna lahan dalam perubahan stok karbon, yaitu konversi ekosistem alami menjadi
ladang, konversi ekosistem alami menjadi lahan pertanian budidaya, ladang
terbengkalai, peternakan terbengkalai, hutan produksi kayu, dan daerah
penghijauan.
Sihaloho (2004) menjelaskan bahwa konversi lahan adalah alih fungsi
lahan pertanian ke penggunaan non pertanian atau dari lahan non pertanian ke
lahan pertanian. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dijelaskan bahwa
konversi lahan dipengaruhi dua faktor utama, yaitu:
1. Faktor pada aras makro yang meliputi perubahan industri, pertumbuhan
pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah, dan kemiskinan
ekonomi.
2. Faktor pada aras mikro yang meliputi pola nafkah rumah tangga (struktur
ekonomi rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi
rumah tangga), dan strategi bertahan hidup rumah tangga.
8 Perubahan penggunaan RTH menjadi non RTH berlangsung dengan cepat
tanpa dilakukan upaya pengendalian. Artinya, peraturan atau kebijakan yang
ditetapkan tidak mampu menekan laju perubahan penggunaannya, tujuan
pemanfaatan lahan untuk mencapai optimalisasi produksi, keseimbangan
penggunaan, dan kelestarian pemanfaatan lahan akan terancam.
2.2.
Fungsi Utama Lahan
Jayadinata (1999) memaparkan bahwa tanah berarti bumi, sedangkan
lahan merupakan tanah yang sudah ada peruntukan dan umumnya ada pemiliknya.
Luas lahan dipengaruhi oleh pendapatan individu. Utomo et al. (1992)
menyatakan bahwa lahan sebagai modal alami utama yang melandasi kegiatan
kehidupan, memiliki dua fungsi dasar, yaitu:
1. Fungsi kegiatan budidaya, memiliki makna suatu kawasan yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, seperti pemukiman, perkebunan,
perkotaan maupun pedesaan, hutan produksi, dan lain-lain.
2. Fungsi lindung, memiliki makna suatu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utamanya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang ada, yang
mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, nilai sejarah, dan budaya
bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya.
Aturan-aturan dalam penggunaan lahan dijalankan berdasarkan pada
beberapa kategori antara lain kepuasan, kecendrungan dalam tata guna lahan,
kesadaran akan tata guna lahan, kebutuhan orientasi dan pemanfaatan atau
pengaturan estetika (Munir 2008). Sehubungan dengan hal yang telah dijelaskan
sebelumnya, maka Jayadinata (1999) menggolongkan lahan dalam tiga kategori
yaitu:
9 1. Nilai keuntungan, dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai
dengan jual beli lahan di pasaran bebas.
2. Nilai kepentingan umum, yang dihubungkan dengan pengaturan untuk
masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat
3. Nilai sosial, yang merupakan hal mendasar bagi kehidupan yang dinyatakan
oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi,
kepercayaan, dan sebagainya.
Fungsi lahan yaitu digunakan untuk pemukiman, perkebunan, industri,
perkotaan maupun pedesaan, serta sebagai nilai budaya dan kelestarian
lingkungan. Kategori lahan berupa nilai keuntungan, nilai kepentingan umum, dan
nilai sosial. Ketiga kategori tersebut menunjukan bahwa alasan setiap individu
menggunakan lahan dipengaruhi oleh tujuan yang berbeda-beda.
2.3.
Harga Lahan
Nilai lahan secara definisi diartikan sebagai kekuatan nilai dari lahan untuk
dipertukarkan dengan barang lain yang dapat didefinisikan sebagai harga (diukur
dalam satuan uang) yang dikehendaki oleh penjual dan pembeli. Nilai lahan
merupakan harga lahan yang diukur dalam satuan uang per meternya (Michalski
et al. 2010)
Pesatnya perkembangan suatu kota dan tingginya laju pertumbuhan jumlah
penduduk, secara langsung membuat kebutuhan lahan akan menjadi tinggi.
Ketersediaan lahan yang semakin terbatas dan jumlahnya relatif tetap membuat
nilai lahan juga akan meningkat pula. Nilai lahan juga menentukan penggunaan
lahan, karena penggunaan lahan ditentukan oleh kemampuan untuk membayar
lahan yang bersangkutan. Peningkatan nilai lahan terjadi di pusat kota dan
10 mengalami penurunan secara teratur menjauhi pusat kota (Berry 2008) dalam
(Yunus 2006).
Penelitian Jamal (2001), di Kabupaten Karawang Jawa Barat, harga jual
lahan yang diterima petani dalam proses alih fungsi lahan secara signifikan
dipengaruhi oleh status lahan, jumlah tenaga kerja yang terserap di lahan tersebut,
jarak dari saluran tersier, jarak dari jalan, dan jarak dari kawasan industri atau
pemukiman. Sementara itu produktivitas lahan, jenis irigasi, dan peubah lain tidak
berpengaruh signifikan.
Faktor-faktor penentu harga lahan antara lain adalah kondisi dan lokasi
lahan. Kondisi lahan dapat menentukan tingkat harga lahan, semakin baik kondisi
lahan yang ada, semakin mahal harga lahan tersebut. Lokasi juga menentukan
harga lahan yang ditentukan oleh jarak lokasi lahan terhadap akses umum seperti
pusat perbelanjaan, rumah sakit, tempat wisata, dan lain-lain.
2.4.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan
Proses alih fungsi lahan secara langsung dan tidak langsung ditentukan
oleh dua faktor, yaitu: sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat
dan pemerintah, dan sistem non kelembagaan yang berkembang secara alamiah
dalam masyarakat. Sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan
pemerintah antara lain direpresentasikan dalam bentuk terbitnya beberapa
peraturan mengenai konversi lahan.
Konversi lahan erat kaitannya dengan kepadatan penduduk yang semakin
meningkat. Rusli (2005) mengungkapkan bahwa dengan meningkatnya jumlah
penduduk, rasio antara manusia dan lahan menjadi semakin besar, sekali pun
pemanfaatan setiap jengkal lahan sangat dipengaruhi taraf perkembangan
11 kebudayaan suatu masyarakat. Pertumbuhan penduduk menyebabkan persediaan
lahan semakin kecil.
Persediaan lahan akan semakin kecil seiring dengan adanya alih fungsi
lahan yang terus terjadi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Ismail
(2010) mengenai konversi lahan di Kota Medan, diketahui bahwa konversi lahan
mengakibatkan: (1) penurunan luas lahan pertanian di Kota Medan dari tahun
2001 sampai 2008 sebesar 4 088 ha atau berkurang sebesar 36.5 % dari luas lahan
pertanian tahun 2001, (2) hasil analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor yang
secara signifikan mempengaruhi keputusan petani dalam menjual lahan mereka
adalah produktivitas dan proporsi pendapatan dengan derajat kepercayaan 5 %,
sedangkan untuk variabel yang tidak signifikan adalah harga jual lahan dan luas
lahan, sedangkan untuk faktor kebijakan dan pajak tidak langsung mempengaruhi
keputusan petani dalam mengkonversi lahannya.
Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan lahan yang
semakin meningkat. Hal ini mendorong penjualan lahan yang dilakukan oleh
penduduk dan petani. Faktor utama yang mendorong penduduk dan petani
menjual lahan yang dimiliki karena produktivitas hasil pertanian yang dihasilkan
terlalu kecil sehingga pendapatan yang diperoleh petani menjadi rendah dan tidak
dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari sehingga petani tertarik untuk mengubah
fungsi dan menjual lahan yang dimiliki.
2.5.
Dampak Konversi Lahan
Konversi lahan yang terjadi mengubah status kepemilikan lahan dan
penguasaan lahan. Perubahan penguasaan lahan di pedesaan membawa implikasi
bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat yang menjadi
12 indikator kesejahteraan masyarakat desa. Antara (2002) menyatakan bahwa
konversi lahan sawah untuk kepentingan non pertanian (pariwisata, pemukiman,
industri kecil, dan prasarana bisnis) saat ini sudah berada pada titik yang sangat
mengkhawatirkan. Tahun 1977 luas lahan sawah di Bali ± 98 000 ha dan tahun
1998 tinggal 87 850 ha. Ini berarti dalam kurun waktu ± 20 tahun terjadi
penyusutan lahan seluas 10 150 ha, atau 11.5 %. Bahkan selama lima tahun
terakhir, penyusutan seluas 727 ha/tahun.
Terbatasnya akses untuk menguasai lahan menyebabkan terbatas pula
akses masyarakat atas manfaat lahan yang menjadi modal utama mata pencaharian
sehingga menjadi pergeseran kesempatan kerja ke sektor non pertanian (sektor
informal). Hal ini menjadi ancaman bagi keberadaan budaya pertanian.
13 III. KERANGKA PENELITIAN
3.1.
Kerangka Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian ini berisi landasan teori yang
menjadi dasar dalam menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang diuraikan
meliputi konsep dasar dari faktor-faktor pengaruh konversi lahan, laju konversi
lahan, dan keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan. Selain itu, berisi
penjelasan mengenai keterkaitan antara ketiga tujuan tersebut.
3.1.1. Laju Konversi Lahan
Panuju (2009) menjelaskan konversi lahan memiliki tingkat pertumbuhan
yang berbeda setiap tahun. Hal ini dinyatakan dengan laju konversi lahan. Laju
konversi lahan merupakan perbandingan tingkat perubahan luas penggunaan lahan
tertentu terhadap penggunaan lahan sebelumnya, dimana pertambahan tersebut
berbanding lurus dengan pertambahan jumlah penduduk. Pertambahan luas
wilayah dapat diwakilkan dengan pertambahan jumlah penduduk. Laju konversi
lahan dapat ditentukan dengan cara menghitung laju konversi secara parsial dan
kontinu (Sutandi 2009). Adapun laju konversi secara parsial dapat dijelaskan
sebagai berikut:
V=
L
L
L
100%.............................................................................................(3.1)
dimana:
V
= Laju konversi lahan (%)
Lt
= Luas lahan saat ini/tahun ke-t (ha)
Lt-1
= Luas lahan tahun sebelumnya (ha)
Laju konversi lahan secara kontinu dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan:
14 y(t) = a + b t
y(t) = a ebt > ln y(t) = ln a + b t……..…….……………..…….....………….(3.2)
dimana:
y(t)
= Luas lahan yang dikonversi pada tahun ke-t (ha)
a
= Nilai intersep (ha)
t
= Tahun
b
= Laju konversi lahan
e
= Error term
Besarnya laju konversi lahan dapat dilihat dari persentase nilai yang
diperoleh. Berdasarkan nilai yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa semakin
besar nilai persentase, maka semakin tinggi tingkat konversi lahan yang terjadi di
wilayah tersebut.
3.1.2. Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian
Keterkaitan antara harga lahan dengan laju konversi lahan merupakan
gambaran tentang dugaan kegiatan konversi yang dipengaruhi variabel-variabel.
Irianto (2008) menyatakan bahwa model statistik merupakan alat bantu untuk
memberikan gambaran atas suatu kejadian melalui bentuk yang sederhana, baik
berupa angka-angka maupun grafik-grafik.
3.1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan
Kegiatan konversi lahan sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor yang
mempengararuhi tindakan tersebut. Faktor konversi lahan terdiri dari dua jenis
yaitu faktor makro dan mikro. Faktor makro berupa data yang diperoleh dari
kecamatan Cisarua terkait perubahan industri, pertumbuhan jumlah penduduk,
harga lahan, jumlah vila, jumlah obyek wisata, dan luas konversi lahan. Faktor
kedua yaitu faktor mikro, berupa data dari kepala rumah tangga yaitu harga jual
15 lahan yang dimiliki, tingkat pendapatan, lama menetap, dan luas lahan yang
dimiliki.
Perubahan industri merupakan salah satu faktor makro yang berkembang
pesat di daerah hulu Sungai Ciliwung yaitu industri pariwisata. Pemanfaatan lahan
oleh industri pariwisata cukup besar. Hal ini terbukti dari bertambahnya jumlah
vila akhir-akhir ini. Tingginya tingkat permintaan pariwisata secara tidak
langsung mempengaruhi sektor lain, seperti penginapan, tempat makan,
peristirahatan, dan lain-lain.
Faktor makro lainnya yaitu pertumbuhan penduduk yang dapat
menyebabkan perubahan tata guna lahan. Peningkatan jumlah penduduk
menyebabkan bertambahnya kebutuhan lahan untuk tempat tinggal. Secara tidak
langsung ruang terbuka hijau yang ada di wilayah tersebut dikonversi menjadi
tempat tinggal. Selain itu, kemiskinan ekonomi juga merupakan faktor makro
yang mempengaruhi konversi lahan. Kemiskinan ekonomi dalam hal ini
disebabkan karena kesejahteraan petani cukup rendah. Produktivitas petani sangat
rendah, sehingga petani beralih profesi dan berusaha mendapatkan modal dengan
cara menjual lahan pertanian sebagai modal untuk berusaha di bidang lain.
Faktor mikro merupakan faktor yang mempengaruhi konversi lahan dalam
skala kecil berupa nilai ekonomi rumah tangga. Nilai ekonomi rumah tangga
diperoleh dari penghasilan masing-masing kepala keluarga. Besar kecilnya
penghasilan kepala keluarga akan menentukan seberapa besar tingkat konversi
yang dilakukan oleh individu kepala keluarga tersebut. Apabila nilai ekonomi
keluarga tersebut sangat rendah, maka kemungkinan untuk melakukan tindakan
konversi lahan akan semakin besar.
16 3.1.4. Hipotesis
Berdasarkan persamaan regresi sederhana di atas, maka hipotesis dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Harga lahan berpengaruh positif terhadap konversi lahan. Apabila harga lahan
semakin tinggi, maka pemilik lahan akan semakin tertarik untuk menjual lahan
yang dimiliki, akibatnya konversi lahan akan semakin tinggi.
2. Lama menetap berpengaruh positif terhadap konversi lahan. Semakin lama
pemilik lahan tinggal di daerah tersebut maka kebutuhan rumah tangga tersebut
akan meningkat dikarenakan adanya pertambahan anggota keluarga maupun
adanya peningkatan keperluan hidup sehari-hari. Sehingga kecenderungan
untuk menjual lahan menjadi besar dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, akibatnya konversi lahan menjadi tinggi.
3. Jumlah tanggungan berpengaruh positif terhadap konversi lahan. Semakin
banyak jumlah tanggungan dalam keluarga maka konversi lahan akan semakin
tinggi.
4. Tingkat pendapatan berpengaruh negatif terhadap konversi lahan. Apabila
tingkat pendapatan suatu rumah tangga tinggi, maka konversi lahan semakin
rendah.
5. Luas lahan yang dimiliki berpengaruh positif terhadap konversi lahan. Semakin
besar luas lahan yang dimiliki maka lahan yang dijual semakin tinggi.
3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional
Hulu sungai merupakan salah satu penyumbang aliran air ke daerah hilir.
Adanya konversi lahan di daerah hulu dapat mengakibatkan berbagai macam
ancaman, terutama peristiwa banjir di hilir. Tidak adanya penyerapan akibat lahan
17 terbuka hijau yang telah rusak merupakan salah satu penyebab kejadian tersebut.
Selain itu, pertumbuhan jumlah penduduk dan meningkatnya pembangunan luas
pemukiman juga diduga menjadi pemicu kurangnya daya resapan air di daerah
hulu sehingga menyebabkan debit air yang dialirkan ke hilir menjadi semakin
besar.
Kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini adalah keterkaitan
antara tahapan pelaksanaan penelitian dengan tujuan penelitian. Peneliti
melakukan analisis laju konversi lahan dari data konversi lahan yang diperoleh
dari Kecamatan untuk menjawab tujuan pertama dalam penelitian ini. Kajian
mengenai laju konversi lahan tersebut bertujuan untuk melihat persentase untuk
mengetahui seberapa besar lahan yang dikonversi. Berikutnya peneliti melakukan
analisis keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian di hulu
sungai yang merupakan daerah resapan air. Analisis menggunakan salah satu
model statistik yaitu metode korelasi Pearson.
Tahapan selanjutnya dan merupakan tahapan terakhir yang dilakukan
peneliti untuk menjawab tujuan ketiga dalam penelitian ini adalah menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi penduduk dalam mengkonversi lahan dengan
metode survei dengan unit analisis penduduk hulu sungai. Kajian ini bertujuan
untuk mengetahui hal apa saja yang mendorong penduduk melakukan konversi
lahan. Selanjutnya dari hasil penelitian ini dirumuskan rekomendasi kebijakan
bagi pemerintah setempat dalam mengatur tata guna lahan di hulu sungai.
Berdasarkan uraian kerangka pemikiran di atas, maka alur kerangka berpikir
terkait dengan rencana penelitian tersaji pada Gambar 3.
18 Konversi Lahan di
Daerah Hulu
Potensi Banjir di Daerah Hilir
Perubahan
Tutupan Lahan
Peningkatan
Aliran Permukaan
(run-off)
Pertambahan Jumlah
Penduduk yang
Semakin Meningkat
Kecamatan
Cisarua sebagai
Tujuan Wisata
Perubahan Tata Guna
Lahan
Pembangunan
Pemukiman dan Vila
Diperlukan Kajian
Secara Komprehensif
Faktor-Faktor
Pengaruh Konversi
Lahan
Laju Konversi
Lahan
Rekomendasi Kebijakan
Keterkaitan Harga Lahan
terhadap Konversi Lahan
Gambar 3. Diagram Alur Berpikir
19 IV. METODE PENELITIAN
4.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua,
Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi
dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan Kecamatan Cisarua
merupakan letak hulu Sungai Ciliwung. Lokasi tersebut saat ini telah mengalami
konversi lahan dan diduga menjadi salah satu penyebab banjir di daerah hilir.
Pengambilan data primer dilakukan pada bulan Maret hingga April 2011. Data
diperoleh melalui survei lapang dan wawancara yang dilakukan terhadap
penduduk dan aparat kecamatan dan aparat kedua wilayah tersebut. Ada pun
perubahan tata guna lahan di kawasan Cisarua pada tahun 2000 ke tahun 2009
dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.
Tahun 2000
Tahun 2009
Sumber: Balai Pengelolaan DAS Citarum Ciliwung, 2010
Gambar 4. Peta Guna Lahan Kecamatan Cisarua Tahun 2000 dan
Tahun 2009
20 Peta guna lahan menunjukkan perubahan yang cukup signifikan dari tahun
2000 hingga tahun 2009. Warna hijau tua pada gambar menunjukkan luas hutan
yang ada, sedangkan warna hijau muda menunjukkan kawasan perkebunan.
Berdasarkan gambar tersebut, luas perkebunan dari tahun 2000 ke tahun 2009
mengalami penurunan. Hal ini diduga disebabkan oleh peningkatan jumlah
penduduk yang dapat menyebabkan tingginya pemukiman yang didirikan.
Warna merah pada gambar tersebut menunjukkan pemukiman dan
bangunan yang terdapat di kawasan Kecamatan Cisarua. Berdasarkan gambar
tersebut dapat dilihat bahwa jumlah pemukiman di Kecamatan Cisarua cenderung
bertambah. Hal ini ditunjukkan oleh kawasan berwarna merah yang semakin
meluas di tahun 2009. Perubahan tersebut menunjukkan telah terjadi konversi
lahan di Kecamatan Cisarua dan hal tersebut menjadi latar belakang dari
penelititan ini.
4.2.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan responden melalui
kuisioner. Data primer meliputi data mengenai faktor-faktor yang menjadi alasan
utama penduduk mengkonversi lahan serta data lainnya yang diperlukan dalam
penelitan. Data sekunder diperoleh melalui pengumpulan data dari Badan Pusat
Statistik (BPS) RI Jakarta, BPS Provinsi Jawa Barat, dan BPS Kabupaten Bogor,
Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung, Kecamatan Cisarua, Desa Tugu Utara
dan Kelurahan Cisarua. Data sekunder yang diperlukan merupakan data time
series dari tahun 2001-2010, meliputi data harga lahan per meter persegi, jumlah
21 penduduk, jumlah vila, jumlah obyek wisata, luas jalan, dan luas konversi lahan
yang diperoleh dari pemerintah dan aparat di Kecamatan Cisarua.
4.3.
Metode Pengambilan Sampel
Penentuan desa dilakukan secara purposive, sedangkan untuk penentuan
lokasi pengambilan data primer yaitu rukun warga (RW) dilakukan dengan cara
justified. RW yang dipilih di Desa Tugu Utara merupakan tempat terdekat dengan
stasiun pengamatan aliran sungai (SPAS) yang memantau besarnya debit air
sungai. Sedangkan untuk Kelurahan Cisarua dipilih RW yang memiliki jumlah
penduduk terpadat yang menjadi salah satu penyumbang debit air pada DAS hulu
Sungai Ciliwung.
Penentuan responden dilakukan dengan stratified random sampling, yaitu
membagi populasi dalam kelompok yang homogen lebih dahulu, atau dalam
strata. Anggota sampel ditarik dari setiap strata (Nazir 1988). Sampling frame dari
penelitian adalah penduduk yang pernah menjual lahan yang dimiliki. Responden
telah menetap lebih dari lima tahun, pernah menjual lahan yang dimiliki, serta
dapat berkomunikasi dengan baik. Hal ini dilakukan agar peneliti memperoleh
responden yang berpengalaman sehingga diperoleh informasi yang mendalam
mengenai laju konversi lahan serta hubungannya terhadap harga lahan. Responden
diambil sebanyak 40% persen dari sampling frame tersebut.
4.4.
Metode dan Prosedur Analisis
Data yang diperoleh dalam penelitian dianalisis secara kualitatif dan
kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual serta komputer
dan melalui program Microsoft Office Excel 2007, SPSS 15, dan MiniTab. Tabel
22 1 menyajikan keterkaitan antara tujuan penelitian, sumber data dan metode
analisis data.
Tabel 1. Matriks Metode Analisis Data
No
Tujuan Penelitian
Sumber Data
1 Mengidentifikasi laju
Data sekunder
konversi lahan di
Kecamatan Cisarua
Metode Analisis Data
Persamaan laju
konversi lahan (parsial
dan kontinu)
2
Menganalisis pengaruh
harga lahan terhadap
laju konversi lahan di
Kecamatan Cisarua
Data sekunder
Metode Korelasi
Pearson
3
Mengkaji faktor-faktor
yang mempengaruhi
penduduk
mengkonversi lahan
Data primer
(wawancara
menggunakan
kuisioner)
Analisis regresi linier
berganda
4.4.1. Laju Konversi Lahan
Terdapat tiga tahapan dalam menentukan laju konversi lahan. Tahap
pertama mengidentifikasi luas wilayah pada tahun ke-t yang berarti tahun saat
terjadinya konversi lahan. Tahap kedua, mengidentifikasi luas wilayah pada
kondisi awal atau kondisi sebelum tahun ke-t-1. Tahap terakhir adalah
mengkalkulasikan perubahan luas wilayah lahan dengan melihat perbandingan
antara perubahan luas wilayah lahan tahun ke-t terhadap luas wilayah lahan tahun
ke-t-1.
4.4.1.1. Model Laju Konversi Lahan
Laju konversi lahan dapat ditentukan dengan cara menghitung laju
konversi secara parsial dan kontinu (Sutandi 2009). Analisis dengan persamaan ini
dapat melihat persentase laju konversi lahan yang terjadi di Kecamatan Cisarua
setiap tahunnya dari tahun 2001 hingga 2010. Laju konversi lahan tertinggi
selama 10 tahun dapat dilihat dengan menggunakan metode ini.
23 Laju konversi parsial:
V=
L
L
L
x100%........................................................................................(4.2)
dimana:
V
= Laju konversi lahan ( %)
Lt
= Luas lahan saat ini/ tahun ke-t (ha)
Lt-1
= Luas lahan tahun sebelumnya (ha)
Laju konversi lahan (%) dapat ditentukan dengan nilai selisih luas lahan
pada tahun ke-t dengan luas lahan tahun sebelumnya, dibagi luas lahan tahun
sebelumnya, kemudian dikalikan dengan 100 %. Apabila laju konversi lahan yang
akan di analisis pada tahun 2002, maka luas lahan pada tahun 2002 dikurangi
dengan luas lahan tahun 2001, kemudian dibagi dengan luas lahan pada tahun
2001, lalu dikalikan dengan 100 %. Hal ini dapat dilakukan pada tahun-tahun
berikutnya, dengan demikian kita dapat memperoleh hasil bahwa pada tahun
berapa yang terjadi laju konversi lahan tertinggi terjadi.
Selain laju konversi lahan secara parsial, analisis juga dapat dilakukan
dengan melihat laju konversi secara kontinu. Metode ini berfungsi untuk melihat
laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua selama 10 tahun. Sehingga apabila hasil
analisis ini diperoleh maka dapat diketahui bagaimana perkembangan tata guna
lahan dari wilayah tersebut.
Metode laju konversi lahan secara kontinu dapat ditentukan dengan
menggunakan persamaan (Nazir 1988):
y(t)
=a+bt
y(t) = a ebt > ln y(t) = ln a + b t……..………………...…….....…………….(4.3)
dimana:
y(t)
= Luas lahan yang dikonversi pada tahun ke-t (ha)
24 a
= Nilai intersep (ha)
t
= Tahun
b
= Laju konversi lahan
e
= Error term
4.4.2. Analisis Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi Lahan
Pertanian
Korelasi Pearson merupakan salah satu ukuran korelasi yang digunakan
untuk mengukur kekuatan dan arah hubungan linier dari dua variabel. Dua
variabel dikatakan berkorelasi apabila terjadi perubahan variabel satu terhadap
variabel lainnya, baik dalam arah yang sama maupun sebaliknya.
Metode korelasi Pearson digunakan untuk melihat korelasi harga lahan
terhadap laju konversi lahan secara makro di Kecamatan Cisarua. Korelasi
Pearson merupakan metode yang digunakan untuk melihat korelasi antara
variabel-variabel yang terkait. Metode ini menggunakan data-data interval
maupun rasio. Pengambilan sampel dari populasi harus random, dengan variasi
yang skor kedua variabel yang akan dicari memiliki korelasi sama, dan diduga
memiliki hubungan linier. Korelasi Pearson dapat dihitung dengan rumus
(Santoso 2007):
∑
∑
…………………………………………….………..…(4.4)
∑
Atau dapat dihitung dengan rumus Pearson yang lain, yaitu:
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
……….…...……………………….…………(4.5)
dimana:
= Rata-rata data variabel X
X
= Data variabel X
= Rata-rata data variabel Y
Y
= Data variabel Y
25 Hasil perhitungan korelasi di atas berada pada selang -1≤ r ≤ 1, yang
dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar. Pertama, korelasi positif kuat,
terjadi apabila perhitungan korelasi mendekati +1 atau sama dengan +1. Hal ini
berarti bahwa setiap kenaikan skor atau nilai pada variabel X akan diikuti dengan
kenaikan skor atau nilai variabel Y. Sebaliknya, jika variabel X mengalami
penurunan, maka akan diikuti dengan penurunan variabel Y. Kedua, korelasi
negatif kuat, terjadi apabila perhitungan korelasi mendekati -1 atau sama dengan 1. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan skor atau nilai pada variabel X akan
diikuti dengan penurunan skor atau nilai variabel Y. Sebaliknya, jika variabel X
mengalami penurunan, maka akan diikuti dengan kenaikan variabel Y. Ketiga,
tidak ada korelasi, terjadi apabila perhitungan korelasi mendekati 0 atau sama
dengan 0. Hal ini berarti bahwa naik turunnya skor atau nilai satu variabel tidak
mempunyai kaitan dengan naik turunnya skor atau nilai variabel yang lainnya.
Apabila skor atau nilai variabel X naik tidak selalu diikuti dengan naik atau
turunya skor atau nilai variabel Y, demikian juga sebaliknya.
Hal lain yang harus diperhatikan yaitu standarisasi. Salah satu keterbatasan
kovarian sebagai ukuran kekuatan hubungan linier adalah arah/besarnya gradien
yang tergantung pada satuan dari kedua variabel tersebut. Misalnya, kovarian
antara serapan N (%) dan hasil padi (ton) akan jauh lebih besar apabila satuan %
(1/100) kita konversi ke ppm (1/sejuta). Agar nilai kovarian tidak tergantung
kepada unit dari masing-masing variabel, maka kita harus membakukannya
terlebih dahulu yaitu dengan cara membagi nilai kovarian tersebut dengan nilai
standar deviasi dari kedua variabel tersebut sehingga nilainya akan terletak antara
-1 dan +1. Ukuran statistik tersebut dikenal dengan Pearson product moment
26 correlation yang mengukur kekuatan hubungan linier (garis lurus) dari kedua
variabel tersebut. Koefisien korelasi linear kadang-kadang disebut sebagai
koefisien korelasi Pearson untuk menghormati Karl Pearson (1857-1936), yang
pertama kali mengembangkan ukuran statistik ini.
Variabel-variabel yang akan dilihat hubungannya antara lain harga lahan
per meter persegi, jumlah penduduk, jumlah vila, jumlah obyek wisata, dan luas
konversi lahan tahun 2001 hingga 2010. Melalui variabel-variabel tersebut kita
dapat melihat bagaimana hubungan antara variabel yang satu dengan yang lain.
Interpretasi hasil perhitungan Pearson meyatakan jika hasil tersebut negatif,
positif, maupun nol akan menunjukan pola hubungan antar variabel tersebut,
apakah saling mempengaruhi atau tidak.
4.4.3. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan
Analisis data yang digunakan dalam mengkaji faktor-faktor pengaruh
konversi lahan adalah analisis regresi linier berganda. Tujuannya adalah membuat
suatu deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat
mengenai fakta-fakta. Analisis regresi linier berganda melalui beberapa tahapan
dalam menentukan nilai a dan b pada koefisien-koefisien di atas maka digunakan
perumusan sebagai berikut:
Y = a + β1X1 + β 2X2 + β 3X3 + β 4X4 + β 5X5 + ε ……………………………………………..…(4.1)
dimana:
Y
= Luas lahan yang dikonversi (Ha)
a
= Intersep
X1
= Variabel harga lahan yang dijual (Rp/m2)
X2
= Variabel lama menetap (tahun)
X3
= Variabel jumlah tanggungan dalam keluarga (orang)
X4
= Variabel pendapatan (Rp/bulan)
27 X5
= Variabel luas lahan yang dimiliki (m2)
β 1, β 2, … β 5 = Koefisien regresi
ε
= Error term
Analisis regresi linier berganda merupakan alat untuk memperoleh suatu
prediksi di masa lalu maupun yang akan datang dengan dasar keadaan saat ini.
Prediksi dalam hal ini bukanlah merupakan hal yang pasti, namun mendekati
kebenaran. Tahapan penentuan nilai a dan b dapat dicari dengan teknik eliminasi
dimana dilakukan dengan cara menghilangkan satu demi satu bagian sehingga
diperoleh nilai pernilai.
Regresi linier sederhana dengan variabel ganda adalah analisis statistik
yang mencakup hubungan banyak variabel. Apabila dijumpai satu variabel terikat
yang dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas dalam mempengaruhi variabel
terikat itu bermacam, sehingga bentuk hubungannya pun tentunya berbeda-beda.
Sifat hubungan berjenjang sering kali terjadi dalam kajian ilmu sosial. Variabel
lain menjembatani pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat tersebut
dengan variabel antara. Variabel bebas itu sendiri mempunyai pola hubungan
yang tidak tetap. Artinya bisa benar-benar bebas, berkorelasi tetapi tidak
signifikan atau mempunyai hubungan yang tidak erat.
Metode regresi linier berganda memiliki beberapa asumsi. Asumsi model
regresi dikaitkan dengan pengujian parameter model dimana pengujian dikatakan
sah jika asumsi pengujian dipenuhi. Asumsi tersebut menyangkut sifat dari
distribusi residual. Residual harus menyebar di sekitar 0, memiliki varians konstan
(identik) dan independen (tidak berkorelasi satu sama lain). Salah satu syarat
untuk mencapai ini yaitu data tidak bersifat time series. Regresi linier berganda
dibutuhkan kondisi antar variabel X tidak saling berkorelasi (independent).
28 Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan bahwa model
yang telah dihasilkan adalah baik. Menurut Sutandi (2009), model yang baik
haruslah memenuhi beberapa uji asumsi pelanggaran, seperti:
1.
Kriteria Ekonomi
Model yang diuji berdasarkan kriteria ekonomi akan dilihat tandan dan besaran
tiap koefisien dugaan yang telah diperoleh. Kriteria ekonomi mensyaratkan tanda
dan besaran yang terdapat pada tiap koefisien dugaan sesuai dengan teori
ekonomi. Apabila model tersebut memenuhi kriteria ekonomi, maka model
tersebut dapat dikatakan baik secara ekonomi, namun, apabila kriteria tersebut
tidak memenuhi standar ekonomi maka model tersebut tidak dapat dikatakan baik
secara ekonomi.
2.
Kriteria Statistik dan Ekonometrika
Ada beberapa uji yang dapat digunakan untuk menentukan kesesuaian model
regresi yang telah didapatkan secara statistika dan ekonometrika. Uji tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Uji Normalitas
Uji Normalitas diperlukan untuk mengetahui apakah error term dari data atau
observasi yang jumlahnya kurang dari 60 mendekati sebaran normal sehingga
statistik t dapat dikatakan sah. Uji yang dapat dilakukan adalah uji KolmogorovSmirnov. Kelebihan dari uji ini adalah sederhana dan tidak menimbulkan
perbedaan persepsi di antara satu pengamat dengan pengamat yang lain.
Penerapan pada uji Kolmogorov Smirnov adalah bahwa jika signifikansi di atas 5
% bearti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara data yang akan diuji
dengan data normal baku, artinya data tersebut normal.
29 b. Uji Multikolinieritas
Model yang melibatkan banyak peubah bebas sering terjadi masalah
Multikolinieritas, yaitu terjadinya korelasi yang kuat antar peubah bebas. Masalah
ini dapat dilihat langsung melalui output komputer, dimana apabila nilai Varian
Inflaction Factor (VIF) < 10 maka tidak ada masalah multikolinieritas. Hal ini
berarti bebas uji asumsi pelanggaran dan persamaan yang digunakan merupakan
persamaan yang baik dan tidak terdapat pelanggaran.
c. Uji Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi metode penggunaan kuadrat terkecil adalah Homoskedastisitas,
yaitu ragam galat konstan dalam setiap amatan. Pelanggaran atas asumsi
Homoskedastisitas adalah Heteroskedastisitas. Masalah Heteroskedastisitas dapat
dideteksi dengan uji glejser. Uji glejser dilakukan dengan meregresikan variabelvariabel bebas terhadap nilai absolut residualnya. Jika nilai signifikannya dari
hasil uji gletser lebih besar dari α (5 %) maka tidak terdapat Heteroskedastisitas.
d. Uji Autokorelasi
Uji autokolerasi dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan diantara galat
dalam persamaan regresi yang diperoleh. Jika kita mengabaikan adanya
autokorelasi, maka akan berdampak terhadap pengujian hipotesis dan proses
peramalan. Uji paling sering digunakan dalam mendeteksi adanya autokolerasi
dalam suatu model adalah uji DW (Durbin Watson Test), dan jika hasilnya
mendekati 2 maka tidak ada autokolerasi (Sutandi 2009).
30 V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN
5.1.
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Cisarua terletak di kaki Gunung Gede-Pangrango tepatnya di
selatan wilayah Kabupaten Bogor pada 06o 42’ LS dan 106o 56’ BB. Ketinggian
dari permukaan laut antara 650–1 400 m dpl dengan curah hujan rata-rata 3 178
mm/th dan suhu udara antara 17.85o C – 23.91o C. Secara administratif Kecamatan
Cisarua terdiri atas sembilan desa dan satu kelurahan, 33 dusun, 73 RW, dan 260
RT, dengan luas wilayah 6 373.62 ha. Batas wilayah Kecamatan Cisarua sebelah
utara dan barat adalah Kecamatan Megamendung, sebelah selatan dan timur
berbatasan dengan Kabupaten Cianjur.
Kecamatan Cisarua merupakan wilayah yang menjadi salah satu obyek
wisata nasional. Kecamatan ini dekat dengan lokasi wisata andalan Provinsi Jawa
Barat, seperti Puncak, Taman Wisata Matahari, dan Taman Safari Indonesia.
Wilayah ini memiliki kondisi alam yang masih asri, udara yang sejuk, dan
pemandangan yang indah. Hal ini menimbulkan minat wisatawan untuk
menjadikan wilayah ini sebagai tempat peristirahatan dan rekreasi. Banyaknya
wisatawan
yang
datang
ke
wilayah
tersebut
mengakibatkan
tingginya
pembangunan tempat-tempat peristirahatan seperti vila, perhotelan, dan rumah
singgah. Wilayah yang menjadi lokasi pengambilan contoh dalam penelitian ini
adalah Kelurahan Cisarua dan Desa Tugu Utara.
Kelurahan Cisarua terletak di 6.07979o LS dan 106.93435o BT dengan luas
wilayah sebesar 200 ha. Batas wilayah Kelurahan Cisarua sebelah utara yaitu
Desa Leuwimalang atau Jogjogan, sebelah selatan berbatasan dengan Desa
31 Cibeureum, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Citeko dan sebelah timur
berbatasan dengan Desa Batulayang. Keempat wilayah tersebut masih berada
dalam kawasan Kecamatan Cisarua. Curah hujan sebesar 3 330 mm/tahun,
kelembaban dengan suhu rata-rata 26oC-14oC, serta bentuk wilayah yang berbukit.
Kelurahan Cisarua merupakan wilayah yang paling padat penduduknya di antara
desa yang ada di Kecamatan Cisarua,
Letak geografis Desa Tugu Utara terletak pada 6.67o LS dan 106.97o BT
dengan luas wilayah sebesar 1 703 ha. Wilayah ini terletak paling dekat dengan
hulu Sungai Ciliwung jika dibandingkan dengan wilayah lain yang ada di
Kecamatan Cisarua. Batas wilayah sebelah utara dan barat berbatasan dengan
Desa Batulayang, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tugu Selatan, dan
sebelah timur berbatasan dengan Desa Ciloto. Desa ini terletak di ketinggian 6501 200 m dari permukaan laut. Suhu maksimum/minimum 23.91oC–17.85oC.
Curah hujan rata-rata 3 178 mm/tahun.
5.2.
Karakteristik Umum Responden
Karakteristik
umum
responden
di
Kecamatan
Cisarua
diperoleh
berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 50 orang penduduk asli yang sudah
pernah menjual lahan yang dimiliki. Karakteristik umum responden ini dilihat dari
beberapa variabel meliputi jenis kelamin dan usia, pendidikan formal, luas lahan,
dan status kepemilikan lahan, tingkat pendapatan, serta lama menetap di lokasi.
5.2.1. Jenis Kelamin dan Usia
Responden yang diwawancarai dalam penelitian ini sebanyak 50 orang
yang berasal dari dua wilayah yaitu Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua.
masing-masing sebanyak 25 responden. Responden yang diambil dari Desa Tugu
32 Utara terdiri dari 52 % pria dan 48 % wanita sedangkan di Kelurahan Cisarua
terdiri dari 44 % pria dan 56 % wanita.
Responden memiliki tingkat usia yang bervariasi. Kisaran usia tersebut
dimulai dari 23 hingga 85 tahun. Ada pun usia rata-rata responden secara
keseluruhan adalah 51 tahun. Dominics (2009) menyatakan bahwa kategori usia
dibagi tiga, yaitu usia muda (0-35 tahun), usia paruh baya (35-58 tahun), dan usia
tua (>58 tahun). Responden dengan tingkat usia paruh baya sangat mendominasi
di kedua wilayah tersebut. Kelurahan Cisarua dengan tingkat usia paruh baya
sebanyak 76 %, usia tua sebanyak 20 %, dan sisanya 4 % tingkat usia muda.
Sedangkan Desa Tugu Utara
berusia paruh baya sebanyak
56 %, usia tua
sebanyak 36 %, dan usia muda sebanyak 8 %.
5.2.2. Pendidikan Formal Responden
Tingkat pendidikan responden di kedua wilayah berbeda-beda. Responden
di Desa Tugu Utara memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah jika
dibandingkan dengan Kelurahan Cisarua. Hal ini ditunjukkan oleh responden di
Desa Tugu Utara yang tidak bersekolah sebanyak 16 %, berpendidikan SD
sebanyak 60 %, dan berpendidikan SLTP dan SLTA masing-masing sebanyak 4
% dan 20 %, sedangkan tidak ada yang berpendidikan hingga tingkat perguruan
tinggi. Sementara itu di Kelurahan Cisarua semua responden bersekolah, hal ini
ditunjukkan dengan responden yang berpendidikan SD sebanyak 40 %, SLTP dan
SLTA masing-masing sebanyak 12 % dan 36 %, serta perguruan tinggi sebanyak
12 %. Berdasarkan tingkat pendidikan tersebut dapat dilihat bahwa Kelurahan
Cisarua memiliki sumberdaya manusia yang lebih baik dibandingkan dengan desa
Tugu Utara. Persentase tingkat pendidikan dapat dilihat pada Gambar 5.
33 SMP
SD
SMP
SLTA
SD
SLTA
Tidak Sekolah
Desa Tugu Utara
Perguruan
Tinggi
Kelurahan Cisarua
Sumber: Data Primer (diolah)
Gambar 5. Karakteristik Responden di Kecamatan Cisarua Berdasarkan
Tingkat Pendidikan Tahun 2011
Tingkat pendidikan responden di kedua wilayah berbeda disebabkan
karena perbedaan tingkat usia dan pendapatan rumah tangga yang cukup jauh.
Tingkat pendapatan responden di Desa Tugu Utara jauh lebih kecil dibandingkan
dengan Kelurahan Cisarua. Hal ini menyebabkan ketidakmampuan responden
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Adanya responden
yang tidak bersekolah di Desa Tugu Utara disebabkan karena pada saat responden
berusia sekolah belum tersedia sarana pendidikan di wilayah tersebut, mengingat
pada saat itu responden berada pada zaman penjajahan Belanda.
5.2.3. Luas dan Status Kepemilikan Lahan
Luas lahan yang dimiliki oleh responden saat menjual lahan sangat
bervariasi. Kisaran luas lahan yang dimiliki responden Desa Tugu Utara mulai
dari 0.0049 sampai dengan satu hektar dengan rata-rata kepemilikan lahan sebesar
0.2114 ha. Persentase penduduk yang memiliki luas lahan di bawah rata-rata
sebesar 72 %. Sementara kepemilikan lahan di Kelurahan Cisarua jauh lebih
sedikit dibandingkan di Desa Tugu Utara yaitu mulai dari 0.0035 sampai 0.1600
ha dengan rata-rata kepemilikan lahan seluas 0.0191 ha. Sebanyak 84 %
responden memiliki lahan di bawah 0.0191 ha. Umumnya luas lahan yang
34 dimiliki responden di Tugu Utara lebih luas jika dibandingkan dengan
kepemilikan lahan yang dimiliki responden di Kelurahan Cisarua. Hal ini
disebabkan karena lahan yang dimiliki responden Desa Tugu Utara merupakan
lahan pengalihan dari lahan pemerintah menjadi lahan garapan milik rakyat.
Sebanyak 76 % dari responden memiliki tanah dengan status garapan dan sisanya
telah memiliki surat tanah. Selain itu, sebanyak 80 % responden di Kelurahan
Cisarua memiliki status lahan berupa girik dan sisanya memiliki surat tanah.
5.2.4. Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan responden di kedua wilayah termasuk rendah.
Pendapatan penduduk per bulan di Desa Tugu Utara rata-rata sebesar Rp 754
600.00 dan Kelurahan Cisarua sebesar Rp 2 044 000.00. Pendapatan penduduk di
Desa Tugu Utara cenderung lebih rendah mengingat banyak penduduk yang tidak
memiliki mata pencaharian tetap. Selain itu banyak responden yang tidak
mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup untuk mendapatkan
penghasilan lebih.
Rendahnya penghasilan responden di Desa Tugu Utara disebabkan oleh
rendahnya pilihan lapangan kerja. Hal tersebut menyebabkan responden yang
pada mulanya bekerja sebagai pemillik lahan, menjual lahan yang dimiliki.
Setelah lahan dijual, responden berganti pekerjaan menjadi penjaga vila yang
dibangun di lahan yang telah dijual tersebut.
Tingkat pendapatan responden di Kelurahan Cisarua lebih tinggi jika
dibandingkan dengan Desa Tugu Utara. Hal ini disebabkan oleh banyaknya
responden yang mengikuti tingkat pendidikan formal dari SMP hingga perguruan
tinggi. Tingkat pendidikan yang tinggi menjadi latar belakang responden
35 memperoleh lapangan pekerjaan yang lebih layak. Responden di Desa Tugu Utara
pada umumnya bekerja sebagai penjaga vila dan di Kelurahan Cisarua sebagian
besar responden bekerja sebagai wiraswasta.
5.2.5. Lama Menetap di Lokasi
Responden sebagian besar merupakan penduduk asli yang sudah sejak
lahir tinggal di kedua wilayah tersebut dan merupakan penduduk asli. Responden
di Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua sebagian besar telah menetap selama
41 hingga 85 tahun, masing-masing sebesar 48 % dan 40 %, sisanya telah
menetap di bawah 40 tahun. Persentase lama menetap dapat dilihat pada Gambar
6 berikut ini.
<20 tahun
21‐40 tahun
Desa Tugu Utara
Sumber: Data Primer (diolah)
41‐85 tahun
<20 tahun
41‐85 tahun
21‐40 tahun
Kelurahan Cisarua
Gambar 6. Karakteristik Responden di Kecamatan Cisarua Berdasarkan
Lama Menetap Tahun 2011
36 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1.
Laju Konversi Lahan
Penelitian ini dilakukan pada tingkat makro dengan menggunakan data
sekunder mengenai harga lahan rata-rata pada Kecamatan Cisarua dari tahun 2001
hingga 2010. Analisis dilakukan untuk mengetahui laju konversi lahan di
Kecamatan Cisarua secara parsial dan secara kontinu. Laju secara parsial
merupakan analisis yang memperlihatkan perubahan penggunaan lahan yang dari
tahun ke tahun dimana perubahan tersebut mengacu pada penggunaan lahan di
tahun sebelumnya. Perubahaan laju tertinggi dapat dilihat pada laju parsial.
Sedangkan laju secara kontinu merupakan analisis yang digunakan untuk melihat
perubahan laju secara keseluruhan dari tahun yang ada, sehingga perubahan yang
terjadi pada daerah tersebut dapat diamati pada daerah tersebut. Laju konversi
lahan dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini.
Luas Lahan (Ha)
5000
4000
3000
2000
Lahan Hijau
(Sawah, Hutan,
Perkebunan)
Pemukiman
1000
0
Tahun
Sumber: Dinas Pertanian dan Kehutanan dan Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman Kabupaten
Bogor Tahun 2011
Gambar 7. Laju Luasan Lahan Pemukiman dan Lahan Pertanian di
Kecamatan Cisarua Tahun 2001-2010
Secara parsial, laju konversi lahan sawah, perkebunan, dan hutan yang
paling tinggi selama 10 tahun terakhir terjadi pada tahun 2006 dan tahun 2010.
Terdapat perambahan sawah, perkebunan, dan hutan yang terjadi pada tahun
37 2006. Pembeli yang telah membeli lahan di Kecamatan Cisarua langsung
membangun usaha di atas lahan yang dimiliki dan mengalihkan fungsi lahan
tersebut, baik dengan membangun vila maupun tempat usaha lainnya. Kurangnya
kesadaran pembeli lahan akan fungsi lingkungan membuat pembeli lahan
langsung mendirikan bangunan di daerah resapan air tanpa berpikir tentang
dampak yang akan ditimbulkan. Pembangunan yang dilakukan akan menyebabkan
penebangan dan pengurangan lahan sawah serta perkebunan. Penebangan
dilakukan di wiilayah yang pada awalnya merupakan sawah, perkebunan, dan
hutan. Setelah fungsinya berubah segera didirikan bangunan untuk kepentingan
pribadi masing-masing pemilik lahan.
Penurunan jumlah luasan lahan sawah, perkebunan, dan hutan diikuti
dengan pertambahan luas pemukiman. Gambar 7 menunjukkan bahwa pada tahun
2006 jumlah luasan pemukiman meningkat hingga 8.06 % dari tahun sebelumnya.
Selain itu terjadi perpindahan penduduk yang cukup besar pada tahun tersebut.
Hal ini menyebabkan meningkatnya kebutuhan tempat tinggal seperti pemukiman
dan vila di lokasi tersebut.
Pemerintah belum cukup memperhatikan penerapan regulasi mengenai
kegiatan dan oknum pembangunan liar di wilayah Kecamatan Cisarua. Hal ini
dibuktikan dengan sekitar 1 300 bangunan tidak memiliki Izin Mendirikan
Bangunan (IMB). Lahan sawah, perkebunan, dan hutan juga berkurang drastis
pada tahun 2010. Selain disebabkan oleh tingginya pembangunan pemukiman,
alih fungsi lahan dari lahan sawah, perkebunan, dan hutan menjadi lahan kedap air
juga disebabkan oleh pembangunan jalan yang tidak memperhatikan drainase.
38 Kecamatan Cisarua memiliki wilayah terbangun yang pada awalnya
merupakan wilayah pertanian. Daerah sawah, perkebunan, dan hutan banyak
dihilangkan untuk tujuan para developer sebagai tempat penginapan, areal parkir,
maupun areal rekreasi dengan tujuan mendapatkan pemandangan yang indah bagi
para wisatawan. Hal ini belum sesuai dengan ketentuan yang dibuat dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 yang mengatur penyusunan RTRW
dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mengatasi masalah
pembangunan liar tersebut. Kebijakan tersebut antara lain seperti pembongkaran
vila-vila yang berdiri pada wilayah lindung dan yang tidak memiliki IMB,
memperketat perizinan pembangunan wilayah di Kecamatan Cisarua, dan
menetapkan pajak yang tinggi untuk pembangunan tempat wisata.
Besarnya pajak untuk tempat wisata tersebut mencapai 15 % dari total
jumlah pemasukan yang diperoleh tempat wisata tersebut. Meskipun pajak yang
berlaku terbilang tinggi, hal tersebut tidak menghalangi niat investor untuk
membangun daerah wisata mengingat banyaknya wisatawan yang datang
berkunjung ke Kecamatan Cisarua. Hal ini dibuktikan dengan munculnya banyak
obyek wisata pada wailayah Kecamatan Cisarua seperti dibangunnya kawasan
obyek wisata Taman Wisata Matahari. Tempat ini merupakan objek wisata yang
paling luas di Kecamatan Cisarua.
Keinginan investor menanamkan modalnya dengan membuka tempat
wisata dilandasi karena motif keuntungan ekonomi yang cukup tinggi. Hal ini
disebabkan karena Puncak merupakan wilayah yang mempunyai suasana
pegunungan dengan infrastruktur yang baik seperti jalan dan sarana pendukung
39 lainnya. Kawasan Puncak merupakan kawasan yang bersuasana pegunungan yang
dapat diakses dengan mudah oleh berbagai asal pengunjung terutama pengunjung
yang berasal dari wilayah Jabodetabek. Jarak yang relatif tidak terlalu jauh dari
pusat ibu kota menimbulkan dampak kemacetan lalu lintas di hari libur.
Umumnya kendaraan yang memasuki kawasan puncak pada hari libur mencapai
angka 40 000. Hal tersebut membuktikan bahwa puncak sebagai wilayah yang
baik dan tepat untuk pengmbangan pariwisata. Akibatnya, jumlah lahan pertanian
berkurang dan pembangunan pemukiman semakin tinggi.
Selain pajak, kebijakan perizinan yang diterapkan oleh pemerintah berupa
pembongkaran vila-vila yang berada pada kawasan lindung dan tidak memiliki
IMB menjadi suatu solusi. Namun masih terdapat banyak kekurangan yang
mengakibatkan kebijakan tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Kekurangan
tersebut meliputi tidak tegasnya pemerintah dalam mengeksekusi lahan. Hal ini
tergambar pada masih banyaknya bangunan yang tidak memiliki IMB yang tidak
dibongkar oleh pemerintah. Sekitar 400 bangunan vila yang tidak memiliki IMB,
dan baru 42 vila yang dibongkar pada tahun 2007.
Vila yang tidak dibongkar tersebut merupakan salah satu bukti ketidak
tegasan pemerintah dalam menjalankan kebijakannya secara baik. Namun lain hal
nya dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah yang berkaitan dengan
pembongkaran bangunan liar lainnya yang luasannya relatif lebih kecil. Sebanyak
50 bangunan liar yang terletak sepanjang Jalan Cisarua-Puncak telah dibongkar
oleh pemerintah. Padahal bangunan tersebut berdiri di sepanjang wilayah yang
memang bukan wilayah lindung. Prioritas pemerintah kurang tepat dalam hal
40 tersebut. Kebijakan lainnya adalah dengan penetapan pajak yang tinggi sebesar
10% dari harga beli bangunan tersebut.
Laju konversi lahan terhadap luasan pemukiman tertinggi terjadi pada
tahun 2006 dan tahun 2010. Hal ini dibuktikan dengan adanya pembangunan
besar-besaran baik dari sektor pariwisata maupun tempat peristirahatan.
Perkembangan jumlah vila sepanjang tahun 2001 hingga 2010 terus bertambah.
Jumlah vila di kawasan ini pada tahun 2002 yaitu sebanyak 112 unit, dan
meningkat menjadi sekitar 400 vila pada tahun 2006. Laju konversi ini juga
diperparah dengan perkembangan jumlah obyek wisata di wilayah tersebut terus
bertambah. Mulanya pada tahun 2001 hanya terdapat obyek wisata Puncak dan
Taman Safari Indonesia, namun pada tahun 2006 bertambah satu obyek wisata
baru.
Salah satu contoh obyek wisata baru yaitu didirikannya obyek wisata
Taman Wisata Matahari. Tempat tersebut dibangun sebelum tahun 2006 dan telah
selesai dibangun pada tahun 2007 dengan luas areal mencapai 30 ha. Saat ini
obyek wisata tersebut menjadi obek wisata favorit wisatawan yang datang dan
menjadi salah satu obyek wisata andalan di daerah tersebut.
Perubahan
alih
fungsi
lahan
yang
biasanya
dijadikan
lahan
terbangun/pemukiman ini akan sulit ditata ulang karena pelestarian fungsi
lingkungannya yang tidak tergantikan. Konversi lahan bisa mempengaruhi kadar
buangan air yang seharusnya bisa terserap tanah. Misalnya yang tadinya lahan
pertanian dapat menyerap 70 % air hujan, karena beralih menjadi pemukiman,
bisa berkurang daya penyerapannya hingga 30 % (Arsyad 2010). Hal ini
dibuktikan dengan adanya kejadian banjir yang terjadi pada wilayah Jakarta pada
41 tahun 2007. Tingginya tingkat pembangunan pemukiman di wilayah Cisarua
menyebabkan rendahnya resapan air pada kantung-kantung resapan yang ada pada
wilayah Cisarua.
Peristiwa banjir di Jakarta tahun 2007 merupakan bencana banjir yang
terparah sepanjang 10 tahun terakhir. Hal ini selain disebabkan oleh sistem
drainase yang buruk pada wilayah Jakarta dan juga disebabkan oleh banjir kiriman
dari wilayah Bogor Puncak Cianjur yang mengalir melalui DAS Ciliwung. Banjir
kiriman ini mengakibatkan 60 % wilayah Jakarta tergenang dengan kedalaman
banjir hingga lima meter di beberapa titik. Pantauan di 11 pos pengamatan hujan
milik Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menunjukkan
hujan yang terjadi mencapai 235 mm, hal ini merupakan tingkat curah hujan
tertinggi selama kurun waktu 10 tahun. Banjir kiriman ini memakan korban
sedikitnya 80 orang tewas baik karena terseret arus, tersengat listrik maupun sakit.
Kerugian materi mencapai 4.3 triliun rupiah. Warga yang mengungsi mencapai
320 000 orang. Hal ini lebih parah dibandingkan dengan kejadian banjir yang
terjadi pada tahun 20022. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya tingkat alih
fungsi lahan merupakan salah satu penyebab rendahnya daya resap air yang dapat
memicu terjadinya banjir kiriman dari daerah puncak.
Tahun 2007 ditemukan berbagai penyimpangan yang terjadi di Kecamatan
Cisarua. Wilayah Desa Tugu Utara terdapat 400 vila liar yang seharusnya sudah
diratakan dengan tanah. Namun pada saat itu hanya kurang dari 70 vila yang
sudah dibongkar. Hal ini tidak sesuai dengan keputusan wakil presiden Jusuf
2
id.wikipedia.org/wiki/banjir_Jakarta_2007 diakses 28 Mei 2011
42 Kalla pada saat itu3. Pemerintah mengharapkan agar bangunan yang tidak
memiliki izin dapat dibongkar karena tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Laju konversi lahan sawah, perkebunan, dan hutan berkurang akibat
adanya penghijauan di wilayah tersebut. Kementerian Negara Lingkungan Hidup
Indonesia (KNLH) menggagas penghijauan untuk menyelamatkan bumi pada
tahun 2004. Salah satu tempat yang menjadi sasaran penghijauan adalah kawasan
hulu Sungai Ciliwung yang terletak di Kecamatan Cisarua4. Seiring dengan
dilakukannya penghijauan, maka pada tahun 2004 luasan wilayah pertanian
menjadi bertambah yang pada mulanya seluas 1 986 ha menjadi 2 126 ha. Hal ini
sangat dirasakan manfaatnya karena pohon yang ditanam dapat membentuk
resapan air untuk mencegah risiko curah hujan yang berlebih di wilayah hulu.
Analisis laju konversi lahan selain diperoleh dengan cara parsial dapat
juga dilakukan secara kontinu. Sepanjang tahun 2001 hingga 2010 laju secara
kontinu konversi dari lahan sawah, perkebunan, dan hutan menjadi wilayah
terbangun terjadi penurunan sebesar 2.28 % dari kondisi awal pada tahun 2001.
Hal ini berarti pada Kecamatan Cisarua telah terjadi perubahan fungsi tata guna
lahan akibat perambahan maupun penebangan liar sebanyak 2.28 % dari luasan
lahan tahun 2001 hingga 2010. Konversi lahan tersebut tidak hanya diakibatkan
oleh pembangunan pemukiman namun juga bisa terjadi akibat pembangunan
materi-materi non pemukiman lainnya, seperti jalan, lapangan, dan lain-lain. Hasil
analisis laju konversi lahan pertanian dapat dilihat pada persamaan berikut ini.
Ln Y = 54.1 – 0,0228 t…………………………………………………..…….(6.2)
3
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2007/05/21/LU/mbm.20070521.LU124012.id.html
diakses tanggal 4 Mei 2011
4
www1.menlh.go.id/serasi/serasi2009_edisi_2.pdf diakses tanggal 27 Mei 2011 43 Laju konversi lahan terhadap luasan pemukiman secara kontinu terjadi
sebesar 3.94 %. Hal ini berarti selama 10 tahun terakhir telah terjadi penambahan
wilayah terbangun (pemukiman) sebesar 3.94 %. Hasil analisis laju konversi lahan
terhadap luasan pemukiman dapat dilihat pada persamaan berikut ini.
Ln Y = -71.5 + 0.0394 t……………………………...………………………...(6.3)
Penambahan wilayah pemukiman tersebut dipicu oleh peningkatan jumlah
penduduk yang berlangsung secara terus-menerus. Tahun 2001 jumlah penduduk
Kecamatan Cisarua adalah sebanyak 86 758 jiwa dan meningkat mencapai 113
833 jiwa pada tahun 2010. Peningkatan ini terjadi seiring bertambahnya jumlah
penduduk dari luar yang datang untuk mencari mata pencaharian di wilayah
tersebut. Tren pertumbuhan jumlah penduduk dapat dilihat pada Gambar 8
Jiwa
berikut.
140000
120000
100000
80000
60000
40000
20000
0
jumlah
penduduk
Tahun
Sumber: BPS, 2010
Gambar 8. Tren Jumlah Penduduk Kecamatan Cisarua Tahun 2001-2010
Jumlah penduduk Kecamatan Cisarua mengalami pertambahan yang
signifikan pada tahun 2005 hingga 2006, yaitu mencapai 21 054 jiwa. Hal ini
diakibatkan oleh tingginya angka kelahiran dan pendatang yang berasal dari luar
wilayah Kecamatan Cisarua. Tingginya angka kelahiran tersebut dapat dilihat dari
perubahan angka rata rata pertambahan penduduk yaitu sebanyak 3 000 jiwa per
44 tahun. Tingginya pertambahan penduduk tahun 2005 hingga tahun 2006
merupakan salah satu dampak dari meningkatnya wilayah obyek wisata pada
daerah Cisarua. Peningkatan obyek wisata ini membuka peluang pekerjaan baru
sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah penduduk. Peningkatan ini
diakibatkan oleh adanya pendatang baru yang bekerja pada obyek wisata tersebut
maupun di luar obyek wisata tersebut, seperti pedagang kaki lima dan pemandu
wisata, serta tempat jajanan dan sarana pendukung lainnya yang banyak menyerap
tenaga kerja. Penyebab lain adalah pemikiran penduduk yang mempunyai
pemahaman banyak anak banyak rezeki menjadi salah satu penyebab tingginya
angka pertambahan penduduk.
Penurunan jumlah penduduk terjadi pada tahun 2004 hingga 2005.
Penurunan jumlah penduduk terjadi akibat kematian dan perpindahan penduduk
keluar wilayah baik untuk kepentingan pekerjaan maupun pindah permanen.
Menurut data yang diperoleh melalui Kecamatan Cisarua, pada tahun tersebut
banyak penduduk yang keluar dari wilayah tersebut untuk mencari pekerjaan baru
seperti menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dengan kontrak kerja selama dua
tahun. Peningkatan jumlah penduduk terjadi kembali pada tahun 2006.
Peningkatan penduduk ini merupakan salah satu dampak dari kembalinya
penduduk yang menjadi TKI ke wilayah tersebut setelah memenuhi kontrak kerja
yang sudah disepakati.
Pertambahan obyek wisata juga mendorong keinginan para investor untuk
membangun daerah peristirahatan yang lebih banyak yang tentu memicu
pengurangan lahan lebih banyak pula. Hal tersebut dapat menimbulkan dampak
yang buruk pada wilayah resapan daerah hulu Sungai Ciliwung.
45 Peningkatan luas jalan bertambah seiring dengan meningkatnya luas
pemukiman yang dibangun. Penambahan pemukiman atau tempat tinggal
membutuhkan penambahan sarana dan prasarana yang mempermudah akses
masyarakat berupa jalan. Ada pun luas pemukiman dan luas jalan di Kecamatan
Cisarua tahun 2001-2010 dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Luas Pemukiman dan Jalan di Kecamatan Cisarua Tahun 20012010
Pemukiman
Luas Kecamatan
Tahun
Jalan (Ha) Total (Ha)
(Ha)
Cisarua (Ha)
2001
1 717.488
90.883
1 808.371
6 373.620
2002
1 816.896
91.581
1 908.477
6 373.620
2003
1 951.271
92.392
2 043.663
6 373.620
2004
1 954.229
92.392
2 046.621
6 373.620
2005
1 968.287
92.392
2 060.679
6 373.620
2006
2 126.917
93.274
2 220.191
6 373.620
2007
2 287.500
94.161
2 381.661
6 373.620
2008
2 383.021
94.845
2 477.866
6 373.620
2009
2 366.970
94.845
2 461.815
6 373.620
2010
2 425.752
95.382
2 521.134
6 373.620
Sumber: Pemerintah Kecamatan Cisarua, 2011
Salah satu bentuk nyata adalah pembangunan sarana penginapan yang
bertempat pada daerah pelosok di kecamatan tersebut yang belum ada akses jalan
arteri, maka untuk mempermudah akses menuju lokasi penginapan dibangun jalan
pendukung yang bisa dilalui kendaraan. Penambahan tersebut tentu akan
menambah tingkat wilayah terbangun non perumahan. Jalan untuk kendaraan roda
empat dengan dua arah paling tidak membutuhkan lebar jalan 7 m, sehingga
pembangunan jalan sepanjang 500 m jalan akan menambah daerah terbangun
seluas 3 500 m2.
46 Pertambahan jalan tertinggi terjadi pada tahun 2005 hingga 2006. Hal ini
sejalan dengan pertambahan pemukiman. Pertumbuhan pemukiman pada tahun
2005 hingga 2006 juga meningkat tinggi. Infrastruktur berupa jalan sering kali
tidak dapat berkurang luasannya. Hal ini disebabkan karena jalan merupakan
sarana yang dimanfaatkan tidak hanya untuk akses terhadap pemukiman namun
juga untuk kebutuhan lainnya. Luasan jalan dapat bertambah seiring dengan
pertambahan pemukiman maupun sarana lainnya karena sarana-sarana tersebut
membutuhkan jalan sebagai kebutuhan utama untuk melakukan kegiatan.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, laju konversi, baik untuk lahan
pemukiman maupun sawah, perkebunan, dan hutan secara parsial yang tertinggi
terjadi pada tahun 2006. Laju konversi lahan yang dikonversi untuk pemukiman
yang tertinggi juga terjadi pada tahun 2006. Jumlah penduduk yang tinggi pada
tahun 2006 menyebabkan kebutuhan akan tempat tinggal dan bangunan lainnya
juga bertambah, sehingga lahan pertanian banyak yang dikonversi pada tahun
tersebut.
6.2.
Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian
Penelitian ini dilakukan pada tingkat makro berdasarkan data sekunder
Kecamatan Cisarua sepanjang tahun 2001 hingga 2010. Analisis dilakukan
dengan menggunakan metode Pearson untuk mengetahui hubungan harga lahan
terhadap laju konversi lahan terhadap luasan pertanian yang terdiri dari sawah,
perkebunan, dan hutan serta luasan pemukiman. Harga lahan rata-rata yang
digunakan dalam penelitian ini adalah harga lahan yang diperoleh berdasarkan
NJOP dengan sumber dari Kantor Kecamatan Cisarua dan Direktorat Jendral
47 Pajak Jakarta. Hasil analisis hubungan harga lahan terhadap laju konversi lahan
dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.
Tabel 3. Hasil Analisis Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju Konversi
Lahan Pertanian Tahun 2001-2010 dengan Korelasi Pearson
Variabel
Harga
Lahan
Pearson
Correlation
Harga Lahan
Lahan Pertanian
(Sawah,
Perkebunan, dan
Hutan)
1.000
Sig. (2-tailed)
Lahan
Pertanian
(Sawah,
Perkebunan,
Hutan)
Pemukiman
Sumber:
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
-0.721
Pemukiman
-0.721
0.807
*0.019
*0.005
1.000
-0.747
0.019
0.013
Pearson
Correlation
0.807
-0.747
Sig. (2-tailed)
0.005
0.013
1.000
Data Primer (diolah)
Hubungan harga lahan terhadap luasan lahan sawah, perkebunan, dan
hutan adalah negatif. Nilai korelasi harga lahan terhadap lahan pertanian sebesar 0.721 dengan nilai p-value sebesar -0.019 pada taraf nyata 5 %. Artinya, harga
lahan rata-rata berkorelasi negatif dan signifikan terhadap luasan lahan sawah,
perkebunan, dan hutan. Apabila harga lahan di Kecamatan Cisarua tinggi, maka
luasan lahan sawah, perkebunan, dan hutan akan berkurang akibat adanya
peningkatan penjualan lahan yang dilakukan oleh pemilik lahan. Pengurangan
luas lahan tersebut diakibatkan oleh aktivitas pembeli yang mengubah lahannya
menjadi vila, hotel, restoran, obyek wisata, dan lain-lain.
Selain hubungan harga lahan terhadap sawah, perkebunan, dan hutan
dilihat juga korelasi harga lahan terhadap luas pemukiman. Hubungan tersebut
berkorelasi positif. Nilai korelasi harga lahan terhadap luas pemukiman sebesar 0.807 dengan nilai p-value sebesar 0.005 pada taraf nyata 5 %. Artinya, harga
48 lahan berkorelasi signfikan terhadap luasan lahan untuk pemukiman. Meskipun
harga lahan tinggi kegiatan pembangunan pemukiman terus meningkat karena
kenaikan harga lahan cenderung tidak signifikan dibanding dengan wilayah
lainnya seperti Jakarta. Hal tersebut menjadi pemicu para pembeli lahan untuk
meningkatkan nilai jual lahan yang telah dibeli dengan cara membangun lahan
tersebut menjadi tempat tinggal maupun tempat untuk mengembangkan usaha.
Pembeli yang berasal dari wilayah Jakarta tetap bersaing untuk membeli
lahan di Kecamatan Cisarua meskipun harga lahan di wilayah tersebut terus
meningkat pada setiap tahunnya. Hal ini disebabkan karena kenaikan harga lahan
di Kecamatan Cisarua cenderung tidak signifikan dibandingkan dengan harga
lahan per meter persegi yang ada di tempat asal pembeli yaitu Jakarta. Hal ini
disebabkan oleh persepsi pembeli mengenai harga lahan yang ada di Kecamatan
Cisarua dinilai masih sangat murah dibandingkan harga lahan per meter persegi di
Jakarta yang mencapai jutaan rupiah. Ada pun perbedaan harga lahan rata-rata
Harga
Kecamatan Cisarua dengan DKI Jakarta dapat dilihat pada Gambar 9 berikut ini.
8000000
7000000
6000000
5000000
4000000
3000000
2000000
1000000
0
Harga Lahan
Cisarua
Harga Lahan
Jakarta
Tahun
Sumber: Pemerintah Kecamatan Cisarua, 2011
Gambar 9. Harga Lahan Rata-Rata Kecamatan Cisarua dan Jakarta Tahun 2001 –
2010
49 Kenaikan harga lahan rata-rata di Kecamatan Cisarua cenderung lebih
landai jika dibandingkan dengan wilayah Jakarta. Harga lahan rata-rata di
Kecamatan Cisarua jauh lebih murah mulai dari Rp 82 000.00 pada tahun 2001
hingga Rp 270 000.00 pada tahun 2010 per meter. Sedangkan harga lahan ratarata wilayah Jakarta mencapai jutaan rupiah, dimulai dari Rp 800 000.00 pada
tahun 2001 hingga Rp 7 455 000.00 pada tahun 2010.
Tingkat harga lahan pada Kecamatan Cisarua jauh lebih rendah
dibandingkan dengan tingkat harga lahan pada wilayah Jakarta. Lebih rendahnya
tingkat harga lahan wilayah Kecamatan Cisarua menjadi salah satu faktor
pendorong bagi para pembeli lahan yang sebagian besar berasal dari wilayah
Jakarta untuk membeli lahan pada Kecamatan Cisarua. harga lahan di Jakarta
mencapai Rp 7 455 000.00 per m2 pada tahun 2010. Hal ini lebih besar dari pada
harga lahan yang berlaku pada tahun yang sama di Kecamatan Cisarua yaitu
sebesar Rp 270 000.00 per m2. Perbedaan harga yang sangat jauh menjadi
penyebab tingginya kegiatan jual beli lahan yang menyebabkan terjadinya
konversi lahan yang dilakukan pada wilayah Cisarua.
6.3.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan
Penelitian ini merupakan survei pada tingkat mikro yaitu pada tingkat
rumah tangga yang pernah menjual lahannya pada kurun waktu tahun 1950 hingga
2011. Metode analisis yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor pendorong
konversi lahan dalam penelitian ini dengan cara memasukkan beberapa variabel
bebas. Variabel yang digunakan dalam model adalah harga lahan saat dijual, lama
menetap, jumlah tanggungan dalam keluarga, pendapatan rumah tangga per bulan,
dan luas lahan yang dimiliki. Setelah dilakukan pengolahan data maka didapat
50 model terbaik secara ekonomi dan statistik, dimana variabel harga lahan saat
dijual, lama menetap, jumlah tanggungan, pendapatan rumah tangga per bulan,
dan luas lahan yang dimiliki yang digunakan dalam model. Berdasarkan hasil
analisis regresi linier berganda, maka didapat model untuk faktor-faktor
pendorong penduduk dalam mengkonversi lahan. Berikut model hasil analisis
regresi linier berganda yang merupakan fungsi luas lahan yang dikonversi.
Y = -415.932 + 0.003 X1 + 0.314 X2 + 69.851 X3 + 0.0000228 X4 +
0.129 X5 + ε………………………………………………...…(6.1)
dimana:
Y = Luas lahan yang dikonversi (m2)
X1 = Harga lahan yang dijual (Rp/m)
X2 = Lama menetap (tahun)
X3 = Jumlah tanggungan dalam rumah tangga (jiwa)
X4 = Total pendapatan rumah tangga (Rp/bulan)
X5 = Luas lahan yang dimiliki saat sebelum menjual (Rp/m)
Nilai Adjusted R square yang dihasilkan pada model ini sebesar 67.2 %,
artinya keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor penjelas dalam
model sebesar 67.2 % sedangkan sisanya 32.8 % dijelaskan oleh faktor-faktor di
luar model. Taraf nyata yang digunakan dalam model ini adalah 15 %. Model
yang digunakan ini merupakan model yang paling baik.
Variabel bebas yang berpengaruh nyata sebagai faktor-faktor pendorong
konversi lahan adalah harga lahan saat dijual, jumlah tanggungan dalam keluarga,
pendapatan, dan luas lahan yang dimiliki. Masing-masing variabel ini memiliki Pvalue 0.005, 0.087, 0.134, dan 0.025. Masing-masing variabel tersebut memiliki
P-value < 0,15. Hal ini menyatakan bahwa keempat variabel tersebut berpengaruh
nyata terhadap faktor-faktor pendorong konversi lahan pada taraf α = 15 %, atau
51 dengan kata lain kedua variabel bebas berpengruh nyata pada tingkat selang
kepercayaan 85 %.
Model yang dihasilkan dari analisis regresi linier berganda tersebut telah
diuji kenormalan, multikolinieritas, dan heteroskedastisitas. Pemeriksaan asumsi
untuk menguji masalah multikolinieritas didasarkan pada nilai VIF. Tabel 2
menunjukkan nilai VIF masing-masing variabel bebas memiliki nilai kurang dari
sepuluh (VIF<10). Hal ini mengindikasikan tidak terjadinya pelanggaran
multikolinieritas.
Selain multikolinieritas, pemeriksaan asumsi untuk menguji ada atau
tidaknya autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji Durbin-Watson. Nilai
statistik DW yang dihasilkan pada model ini sebesar 1.029 (lampiran). Nilai
tersebut berada pada kisaran 0 sampai 4, dan nilai tersebut mendekati 2. Artinya,
tidak terjadi autokorelasi ordo kesatu. Pemeriksaan asumsi sisaan menyebar
normal dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov Z. Output SPSS 15 dengan
melihat Asymp. Sig (2-tailed) menunjukkan nilai 0.209. Nilai tersebut berada di
atas 0.15. Hal ini menunjukkan bahwa galat menyebar normal. Pemeriksaan
asumsi homoskedastisitas dilakukan dengan uji Glejser menunjukkan nilai 1.00 >
taraf nyata (α) 5 %. Beberapa variabel yang secara nyata dan tidak nyata
berpengaruh terhadap luas lahan yang dikonversi adalah sebagai berikut:
1.
Harga Lahan saat Dijual
Hasil regresi menunjukkan bahwa harga lahan mempunyai hubungan yang
positif dengan nilai koefisien 0.003, artinya, jika harga tanah per meter persegi
meningkat 1 000 rupiah maka diduga rata-rata luas lahan yang dikonversi akan
meningkat 3 m2 dan sesuai dengan hipotesis awal. Variabel harga lahan saat
52 dinjual memiliki P-value 0.005 yang berarti harga lahan memberikan pengaruh
nyata terhadap luas lahan yang dikonversi dengan taraf kepercayaan 85 %.
Harga lahan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan
keputusan penduduk dalam mengkonversi lahan. Hasil penelitian ini relevan
dengan hasil penelitian Sihaloho (2004) bahwa konversi lahan pada aras mikro
dipengaruhi oleh faktor pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi rumah
tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi rumah tangga), dan
strategi bertahan hidup rumah tangga.
Hal tersebut membuktikan bahwa harga lahan berpengaruh terhadap
keputusan pemilik lahan dalam menjual lahannya. Apabila dalam rumah tangga
responden terjadi masalah dalam hal keuangan maka penjualan lahan menjadi
salah satu strategi untuk bertahan hidup. Namun, penelitian berupa jurnal yang
dilakukan oleh Ismail (2010) di Kota Medan menyatakan bahwa harga lahan tidak
berpengaruh terhadap luas lahan yang dikonversi. Hal ini berbeda dengan hasil
penelitian ini dimana harga lahan merupakan faktor utama yang menentukan
keputusan para pemilik lahan untuk menjual lahan yang dimiliki.
2.
Lama Menetap
Hasil regresi menunjukkan bahwa lama menetap mempunyai hubungan
yang positif dengan nilai koefisien 0.314. Artinya, jika lama menetap meningkat
10 tahun maka diduga rata-rata luas lahan yang dikonversi akan meningkat 3.14
m2, hal ini sesuai dengan hipotesis awal. Variabel lama menetap memiliki P-value
0.849 yang berarti variabel tersebut tidak memberikan pengaruh nyata terhadap
luas lahan yang dikonversi dengan taraf kepercayaan 85 % (α=0.15).
53 Lama atau tidaknya seseorang menetap di suatu tempat tidak menentukan
keputusannya
dalam
mengkonversi
lahan.
Hal
ini
disebabkan
karena
ketidakmampuan pemilik lahan dalam mengelola lahan, sehingga lahan yang
dimiliki tersebut tidak menguntungkan pemilik lahan, maka pemilik lahan lebih
memilih menjual lahan yang dimiliki, hal ini bertujuan untuk mendapatkan
keuntungan lebih dari penjualan yang dilakukan.
Adapun hasil penelitian ini relevan dengan penelitian (Utomo et al. 1992)
bahwa alih fungsi lahan dalam artian perubahan atau penyesuaian penggunaan
disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk
memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin bertambah jumlahnya dan
meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
3.
Jumlah Tanggungan dalam Keluarga
Hasil regresi menunjukkan bahwa jumlah tanggungan mempunyai
hubungan positif dengan nilai koefisien 69.851. Artinya, jika jumlah tanggungan
dalam keluarga bertambah 1 jiwa maka diduga rata-rata luas lahan yang dijual
akan meningkat 69.851 m2 sesuai dengan hipotesis. Variabel jumlah tanggungan
memiliki P-value 0.087 yang berarti variabel tersebut memberikan pengaruh nyata
terhadap luas lahan yang dikonversi dengan taraf kepercayaan 85 % (α=0.15).
Hasil regresi berpengaruh karena semakin banyak jumlah tanggungan
yang ada dalam suatu keluarga maka kebutuhan yang harus terpenuhi akan
semakin meningkat sehingga pemilik lahan akan tertarik menjual lahannya
dikarenakan tidak memiliki sumber lain, sehingga semakin tinggi jumlah
tanggungan maka luas lahan yang dikonversi akan semakin meningkat seiring
dengan kebutuhan yang diperlukan.
54 4.
Pendapatan
Hasil regresi menunjukkan bahwa pendapatan mempunyai hubungan yang
positif dengan nilai koefisien 0.0000228. Artinya, jika pendapatan meningkat 100
000 rupiah maka diduga rata-rata luas lahan yang dikonversi akan meningkat 2.28
m2. Variabel pendapatan memiliki P-value 0.134 yang berarti variabel harga lahan
memberikan pengaruh nyata terhadap luas lahan yang dikonversi dengan taraf
kepercayaan 85 % (α=0.15).
Hasil regresi ini tidak sesuai dengan hipotesis bahwa semakin tinggi
tingkat pendapatan maka konversi lahan juga akan semakin rendah. Pemilik lahan
tetap menjual lahan yang dimiliki meskipun terjadi peningkatan pendapatan. Hal
ini disebabkan karena kebutuhan rumah tangga responden yang tetap tidak
tercukupi. Rata-rata pendapatan responden yang sebagian besar petani sebesar Rp
789 000.00 angka ini di bawah UMR Kabupaten Bogor sebesar Rp 873 231.00.
Pendapatan ini masih rendah sehingga responden lebih tergiur untuk menjual
lahan, apalagi adanya desakan sebagai daerah wisata.
Hal ini disebabkan oleh pola hidup responden yang semakin tinggi,
sehingga hal tersebut mendorong responden untuk memperoleh sumber
pemasukan lain sebagai pemenuh kebutuhan rumah tangga. Hal tersebut dipenuhi
dengan cara menjual lahan yang dimilikinya.
5.
Luas lahan yang dimiliki saat menjual
Hasil regresi menunjukkan bahwa luas lahan yang dimiliki saat menjual
mempunyai hubungan yang positif dengan nilai koefisien 0.129. Artinya, jika luas
lahan yang dimiliki meningkat 10 meter persegi maka diduga rata-rata luas lahan
yang dikonversi akan meningkat 1.29 m2, hal ini sesuai dengan hipotesis awal.
55 Variabel luas lahan yang dimiliki saat sebelum menjual memiliki P-value 0.025
yang berarti variabel memberikan pengaruh nyata terhadap luas lahan yang
dikonversi dengan taraf kepercayaan 85 % (α=0.15).
Hasil regresi berpengaruh karena semakin luas ukuran lahan yang
ditawarkan maka harga yang berlaku akan semakin tinggi, karena lahan yang
berukuran luas akan lebih mudah dimanfaatkan untuk investasi sebagai vila, hotel,
obyek wisata, dan lain-lain dibandingkan dalam jumlah kecil. Berdasarkan fakta
yang diperoleh, luas lahan rata-rata yang dimiliki responden di Kecamatan
Cisarua sebesar 1 152 m2 dan rata-rata luas lahan yang dikonversi sebesar 1 152
m2, dan hal tersebut sesuai dengan hipotesis.
Hasil penelitian ini relevan dengan hasil peneliti sebelumnya seperti yang
dilakukan oleh Utomo et al. (1992) bahwa lahan sebagai modal alami utama yang
melandasi kegiatan kehidupan. Hasil ini sesuai dengan hipotesis yang dijelaskan
pada bab sebelumnya yaitu semakin besar luas lahan yang dimiliki maka lahan
yang dijual semakin tinggi, hal ini disebabkan karena motivasi untuk
mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi, akibatnya konversi lahan akan
semakin meningkat.
.
Berdasarkan sejumlah variabel yang telah dijelaskan di atas, pada tingkat
mikro keinginan seseorang untuk mengkonversi lahan dipengaruhi oleh dua
faktor, yaitu harga lahan yang dijual dan luas lahan yang dimiliki sebelum
menjual. Berry (1987) dalam Yunus (2006) menyatakan bahwa pesatnya
perkembangan suatu kota dan tingginya laju pertumbuhan jumlah penduduk,
secara langsung membuat kebutuhan lahan akan menjadi tinggi. Ketersediaan
lahan yang terbatas dan jumlah relatif tetap membuat nilai lahan akan meningkat.
56 VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Tren laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua tahun 2001-2010 terus
mengalami peningkatan. Konversi lahan tertinggi terjadi pada tahun 2006,
karena ada pertambahan jumlah obyek wisata dan jumlah penduduk. Tingkat
konversi lahan untuk pertanian dan untuk pemukiman masing-masing sebesar
2.28 % dan 3.94 %.
2. Harga lahan di tingkat Kecamatan Cisarua pada tahun 2001-2010 berhubungan
positif terhadap konversi lahan. Laju konversi semakin tinggi karena kenaikan
harga lahan di Kecamatan Cisarua lebih murah dibandingkan dengan daerah
asal mayoritas pembeli yaitu Jakarta dimana pembeli memiliki keinginan untuk
berinvestasi.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penduduk pada tingkat rumah tangga dalam
mengkonversi lahan adalah harga lahan, jumlah tanggungan, pendapatan, dan
luas lahan yang dimiliki saat sebelum menjual.
7.2.
Saran
Berdasarkan hasil penelititan dan pembahasan maka dapat disarankan:
1. Pemerintah harus menetapkan batas-batas wilayah pembangunan sesuai dengan
rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kecamatan Cisarua dengan cara
pemberitahuan melalui media seperti larangan tertulis maupun himbauan
secara hukum seperti pemberian sanksi secara progresif.
57 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang mekanisme penetapan harga
lahan di Kecamatan Cisarua agar nilainya tidak terlalu rendah, sehingga
konversi lahan dapat dikurangi.
3. Pemerintah harus memberikan penyuluhan kepada pemilik lahan yang
mayoritas petani dengan cara memberikan penyuluhan dan pelatihan melalui
gabungan kelompok tani (Gapoktan) agar pemilik lahan dapat meningkatkan
produktifitas lahan yang dimilikinya guna meningkatkan pendapatan petani dan
nilai lahan itu sendiri, sehingga pemilik lahan tidak tertarik untuk
mengkonversi lahan.
58 DAFTAR PUSTAKA
Antara
.2002.
‘Konversi
Lahan
Pertanian
Menjadi
Pariwisata’.
http://ejournal.unud.ac.id/?module=editor&idf=7&idj= 48&idv= 185&
idi=188. diakses pada tanggal 13 Januari 2011.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana 2010. ‘Banjir Sepanjang Tahun 2009
Kota Jakarta’. http://www.bnpb.go.id/website/ asp/index.asp diakses pada
tanggal 4 Januari 2011.
Badan Pusat Statistik 2001. ‘Kabupaten Bogor Dalam AngkaTahun 2001’ . BPS.
Kabupaten Bogor.
_________________ 2002. ‘Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2002’. BPS.
Kabupaten Bogor.
_________________ 2003. ‘Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2003’. BPS.
Kabupaten Bogor.
_________________ 2004. ‘Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2004’. BPS.
Kabupaten Bogor.
_________________ 2005. ‘Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2005’. BPS.
Kabupaten Bogor.
_________________ 2006.’ Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2006’. BPS.
Kabupaten Bogor.
_________________ 2007.’ Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2007’. BPS.
Kabupaten Bogor.
_________________ 2008. ‘Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2008’. BPS.
Kabupaten Bogor.
_________________ 2009. ‘Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2009’. BPS.
Kabupaten Bogor.
_________________ 2010. ‘Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2010’. BPS.
Kabupaten Bogor.
Balai Pengelolaan DAS Citarum Ciliwung. ‘Peta Guna Lahan Kecamatan
Cisarua’. BPDAS Citarum Ciliwung. Bogor
Barbier EB. 2000. The Economic Linkages Between Rural Poverty and Land
Degradation: Some Evidence from Africa. Agriculture, Ecosystems and
Environment Journal. vol 82. no 20: 355–370
59 Dinas Pertanian dan Kehutanan.2010. ‘Luas Lahan Hijau Kabupaten Bogor Tahun
2001-2010’. Dinas Pertanian dan Kehutanan. Kabupaten Bogor.
Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman Kabupaten Bogor. ‘Luasan Pemukimam
Kabupaten Bogor Tahun 2001-2010’. Dinas Tata Bangunan dan
Pemukiman. Kabupaten Bogor.
Dominics A, Rutland A, Pelletier J, Ferrell J. 2009. Group Nous and Social
Exclusion: The Role of Theory of Social Mind, Multiple Classification
Skill and Social Experience of Peer Relations Within Groups. Child
Development Journal. vol. 80: 224-243
Ewers RM. 2006. Interaction Effect Between Economic Development and Forest
Cover Determine Deforestation Rates. Global Environtmental Change
Journal. vol. 16: 161-169
Handayani YL, Jayadi R, Triatmodjo B. 2005. Optimasi Tata Guna Lahan dan
Penerapan Rekayasa Teknik dalam Analisa Banjir di Daerah Aliran
Sungai. Jurnal Manusia dan Lingkungan. vol. 12. no. 2: 56-31
Houghton RA. 1991. Tropical Deforestation and Atmospheric carbondioxide.
Climate Change Journal. vol.19. no. 3: 99-118
Irianto A. 2004. Statistik: Konsep Konsep Dasar dan Aplikasinya. Kencana
Predana Media Group. Jakarta.
Ismail A. 2010. Dampak Konversi Lahan di Kota Medan. Skripsi Sarjana.
Universitas Sumatra Utara. Medan.
Jamal. 2002. Harga Pengaruh Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Karawang. Skripsi
Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Jayadinata JT. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan,
dan Wilayah Edisi Ketiga. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Michalski F, Metzger JP, Peres CA. 2010. Rural Property Size Drives Pattern of
Upland and Riparian Forest Retention. Global Environtmental Change
Journal. 20:705-712.
Milis Lingkungan Indonesia. 2007. Bongkar Vila-vila Liar di Puncak.
http://groups.yahoo.com/group/lingkungan/message/30060. diakses pada
tanggal 4 Mei 2011.
Munir M.2008. Pengaruh Konversi Lahan Pertanian terhadap Tingkat
Kesejahteraan Rumah Tangga Petani di Kecamatan Kertek, Kabupaten
Wonosobo. Skripsi Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nazir M.1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
60 PT Taman Wisata Matahari. 2009. Taman Wisata Matahari Recreation and
Education Park. http://www.tamanwisatamatahari.com/about_us.html.
diakses pada tanggal 4 Mei 2011.
Rusli S. 1995. Pengantar Ilmu Kependudukan. Pustaka. LP3ES. Jakarta.
Santoso S. 2007. Soal-Jawab Statistik dengan SPSS dan Excel. Elex Media
Komputindo. Jakarta.
Sihaloho M. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria di
Kelurahan Mulyoharjo Kecamatan Bogor Selatan. Tesis Sarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Sudrajat J. 2007. Tempo Online. http://tempointeraktif.com/id/arsip /2007/05 /21/
LU/mbm.20070521.LU124012.id.html. diakses pada tanggal 4 Mei 2011.
Utomo S. 1992. Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. Universitas
Lampung. Lampung.
Viessman JW, Harbaugh TE, Knapp JW. 1977. Introduction to Hydrology Second
Edition. Harper da RowPubliser. New York.
Zanten W. 1994. Statistika untuk Ilmu-Ilmu Sosial Edisi Kedua. Gramedia.
Jakarta.
61 LAMPIRAN
62 KUESIONER PENELITIAN
Hari/Tanggal ……….
: …………………………………………………………..
: …………………………………………………………..
: …………………………………………………………..
…………………………………………………………..
Nomor Telepon/HP : …………………………………………………………..
Nomor Responden
Nama Responden
Alamat Responden
Kuesioner ini digunakan sebagai acuan dalam mengumpulkan data yang
dibutuhkan dalam skripsi “PENGARUH HARGA LAHAN TERHADAP
LAJU KONVERSI LAHAN DI HULU SUNGAI CILIWUNG KABUPATEN
BOGOR PROVINSI JAWA BARAT” oleh Desi Irnalia Astuti, Mahasiswi
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, IPB. Saya mohon partisipasi Bapak/Ibu/Saudara/i untuk mengisi
kuesioner ini dengan objektif, lengkap, dan teliti. Kerahasian informasi yang
Bapak/Ibu/Saudara/I berikan terjamin dan tidak untuk dipublikasikan, serta tidak
terkait dengan kepentingan politik pihak mana pun. Atas perhatian dan
partisipasinya saya ucapkan terima kasih.
A. Karakteristik Responden
1. Jenis Kelamin
2. Usia
3. Pendidikan Terakhir :
: L / P
: ………….. tahun
a. Tidak Sekolah
b. SD/Sederajat
d. SLTA/Sederajat
e. Perguruan
Tinggi/Sederajat
c. SMP/Sederajat
Sampai dengan
kelas/tingkat…………………………..
4. Status Perkawinan:
a. Menikah
b. Belum Menikah
5. Pekerjaan
: a. Wirausaha
d. Pedagang
b. PNS/Swasta
e. Buruh
c. Petani
f.
Lainnya…………………...
6. Tinggal di lokasi sejak
: …………………………...………..Tahun
B. Faktor-Faktor Pengaruh Konversi Lahan
Tingkat Pendapatan
7. Jumlah anggota keluarga : ……………………………………..Orang
8.
Jumlah tanggungan
:..……………………………………..Orang
63 9.
Apakah ada anggota keluarga yang sudah bekerja? Ya ( ) Tidak ( ) jika tidak
ke pertanyaan no (12)
10. Apakah menyumbang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga? Ya ( )
Tidak ( )
11. Jika ya, berapa sumbangan terhadap kebutuhan keluarga?
12. Berapa penghasilan rumahtangga dalam sebulan?
13. Apakah ada hubungan dalam pendapatan dan alasan anda menjual lahan? ya
( ) tidak ( )
14. Jika ya kenapa, jika tidak kenapa?
Lahan
15. Berapa Luas Lahan yang anda miliki saat itu?…… ( ha )
16. Berapa luas lahan yang anda jual saat itu? ….. ( ha )
17. Berapa harga lahan per m2 saat anda menjual lahan anda?
18. Apakah harga jual lebih rendah/lebih tinggi dari harga yang anda harapkan?
19. Apa alasan anda menjual lahan yang anda miliki?
20. Bagaimana status lahan yang anda miliki? Surat tanah/girik?
Kependudukan
21. Apakah anda merupakan penduduk asli desa ini? ya ( ) tidak ( ). Jika ya
langsung ke pertanyaan nomor (23)
64 22. Jika tidak anda berasal dari mana?
23. Apa alasan anda pindah ke desa ini?
24. Apakah status lahan ini untuk anda? Warisan ( ), Membeli ( ), Pemberian
Kerabat ( )
25. Apa alasan anda bertahan menetap di sini?
26. Apakah alasan anda menjual lahan berkaitan dengan lama anda menetap
disini?
ya ( ) tidak ( )
Alasannnya:
27. Apakah ada warga lain disekitar rumah anda yang menjual lahan? Ada ( )
Tidak ( )
28. Jika ada berpa orang?
29. Jika ada Apakah tindakan warga lain mempengaruhi anda untuk menjual
lahan anda? ya ( ) tidak( )
30. Apakah alasan anda dipengaruhi oleh penduduk lain?
65 Lampiran 2. Data Jumlah Penduduk Kecamatan Cisarua Tahun 2011-2010
Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Jumlah Penduduk (Jiwa)
86 758
87 211
93 661
93 803
83 966
105 020
109 800
114 385
111 187
113 833
Sumber: BPS, 2010
Lampiran 3. Data Luasan Lahan Hijau Kecamatan Cisarua
Tahun 2001-2010
Sawah
Perkebunan
Hutan
Tahun
(Ha)
(Ha)
(Ha)
2001
394.339
3 384.977
279.507
2002
709.810
3.384.977
279.507
2003
988.476
3 384.977
279.507
2004
678.263
3 384.977
279.507
2005
659.860
3 384.977
279.507
2006
616.506
2 962.943
248.284
2007
616.506
2 962.943
269.068
2008
616.506
2 919.064
289.875
2009
616.506
3 016.420
582.038
2010
592.768
1 938.073
728.016
Total (Ha)
4 058.823
4 374.294
4 652.960
4 342.747
4 324.344
3 827.733
3 848.517
3 825.444
4 214.964
3 258.857
Sumber: Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, 2010
66 Lampiran 4. Data Luasan Pemukiman Kecamatan Cisarua Tahun 2001-2010
Tahun
Pemukiman (Ha)
2001
1 717.488
2002
1 816.896
2003
1 951.271
2004
1 954.229
2005
1 968.287
2006
2 126.917
2007
2 287.500
2008
2 383.021
2009
2 366.970
2010
2 425.752
Sumber: Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman Kabupaten Bogor, 2010
Lampiran 5. Data Harga Lahan Rata-Rata Kecamatan Cisarua dan Jakarta
Tahun 2001-2010
Tahu
n
Harga Lahan Cisarua (Rp)
Harga Lahan Jakarta (Rp)
2001
108 600
800 000
2002
102 300
950 000
2003
104 000
1 150 000
2004
113 000
1 500 000
2005
116 000
2 200 000
2006
118 000
3 500 000
2007
119 200
4 100 000
2008
200 600
5 500 000
2009
255 150
6 500 000
2010
270 000
7 455 000
Sumber: Kantor Kecamatan Cisarua dan Direktorat Pajak Jakarta, 2010
67 Lampiran 6. Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penduduk dalam Mengkonversi Lahan
1. Uji F (menguji model secara simultan)
Model Summaryb
Change Statistics
Model
1
R
R Square
.840a
.706
Adjusted
R Square
.672
Std. Error of
the Estimate
214.92247
R Square
Change
.706
F Change
21.123
df1
df2
5
44
Sig. F Change
.000
DurbinWatson
1.029
a. Predictors: (Constant), X5, X2, X4, X3, X1
b. Dependent Variable: Y
2. Uji-t
ANOVAb
Model
1
Regression
Residual
Total
Sum of
Squares
4878500
2032433
6910933
df
5
44
49
Mean Square
975699.982
46191.666
F
21.123
Sig.
.000a
a. Predictors: (Constant), X5, X2, X4, X3, X1
b. Dependent Variable: Y
68
3.
Signifikan
Coefficientsa
Model
1
(Constant)
X1
X2
X3
X4
X5
Unstandardized
Coefficients
B
Std. Error
-415.932
120.788
.003
.001
.314
1.636
69.851
39.904
2.28E-005
.000
.129
.056
Standardized
Coefficients
Beta
t
-3.443
2.966
.192
1.750
1.527
2.316
.418
.016
.189
.133
.287
Sig.
.001
.005
.849
.087
.134
.025
95% Confidence Interval for B
Lower Bound Upper Bound
-659.363
-172.500
.001
.004
-2.984
3.611
-10.571
150.274
.000
.000
.017
.241
Zero-order
.794
.164
.640
.329
.718
Correlations
Partial
.408
.029
.255
.224
.330
Part
.243
.016
.143
.125
.189
Collinearity Statistics
Tolerance
VIF
.336
.920
.571
.879
.435
2.975
1.088
1.752
1.138
2.296
a. Dependent Variable: y
4.
Uji K-S
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
N
Normal Parameters a,b
Most Extreme
Differences
Mean
Std. Deviation
Absolute
Positive
Negative
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Unstandardiz
ed Residual
50
.0000000
203.66205043
.150
.150
-.149
1.063
.209
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
69
5.
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual
Dependent Variable: Y
Expected Cum Prob
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Observed Cum Prob
70
Scatterplot
Dependent Variable: Y
Regression Standardized Predicted
Value
3
2
1
0
-1
-2
-4
-2
0
2
4
6
Regression Studentized Residual
Sumber: Data Primer (diolah)
71
Lampiran 7. Laju Luasan Lahan Hijau dan Pemukiman Kecamatan
Cisarua Tahun 2001-2010
Tahun
Laju Luasan Lahan Hijau (%)
Laju Luasan Pemukiman (%)
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
0
7.772
-0.488
-0.235
-0.424
-11.484
0.543
-0.600
4.078
0
5.788
7.396
0.152
0.719
8.059
7.550
4.176
-0.674
2010
-18.149
2.483
Sumber: Data Primer (diolah)
Lampiran 8. Laju Konversi Lahan Kontinu Kecamatan Cisarua Tahun
2001-2010
Luasan Lahan Hijau
The regression equation is
lnY1 = 54.1 - 0.0228 t
Predictor
Constant
t
Coef
54.05
-0.022816
S = 0.0639063
SE Coef
14.11
0.007036
R-Sq = 56.8%
T
3.83
-3.24
P
0.005
0.012
R-Sq(adj) = 51.4%
Analysis of Variance
Source
Regression
Residual Error
Total
DF
1
8
9
SS
0.042949
0.032672
0.075621
MS
0.042949
0.004084
F
10.52
P
0.012
Luasan Pemukiman
The regression equation is
lnY2 = - 71.5 + 0.0394 t
72
Predictor
Constant
t
Coef
-71.461
0.039444
S = 0.0272384
SE Coef
6.014
0.002999
R-Sq = 95.6%
T
-11.88
13.15
P
0.000
0.000
R-Sq(adj) = 95.0%
Analysis of Variance
Source
Regression
Residual Error
Total
DF
1
8
9
SS
0.12835
0.00594
0.13429
MS
0.12835
0.00074
F
173.00
P
0.000
73
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 27 Desember 1988
sebagai putri ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Muchlis Abbas dan
Ibu Mami Kustini. Pada tahun 1994 penulis memulai studinya di TK Dharma
Wanita Bandar Lampung dan lulus pada tahun 1995. Penulis melanjutkan
pendidikan di SD Negeri 7 Raja Basa Bandar Lampung, dan lulus tahun 2001.
Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 8 Bandar Lampung
dan lulus pada tahun 2004. Kemudian penulis bersekolah di SMA Negeri 9
Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. Tahun itu juga, penulis diterima di
Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI). Setelah setahun belajar di Tingkat Persiapan Bersama (TPB-IPB). Pada
tahun 2008 penulis memasuki Mayor Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan yang
diampu Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi
dan Manajemen-IPB. Untuk melengkapi kompetensi Mayor, penulis memilih
Supporting Course dari berbagai fakultas yang berkaitan dengan bidang studi
penulis.
Selama kuliah penulis aktif pada berbagai lembaga kemahasiswaan intra
kampus. Tercatat penulis pernah menjadi anggota divisi Science and Technology
Development, pada International Association of Students in Agricultural and
Related Sciences (IAAS), dan anggota divisi Public Relation pada Resource and
Environmental Economics Student Association (REESA) Departemen Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan, FEM-IPB tahun 2008-2009. Selain itu, penulis juga
aktif di berbagai kegiatan baik sebagai peserta maupun sebagai panitia.
74
Download