MODEL PENGUKURAN KINERJA PERUSAHAAN DENGAN METODE SMART SYSTEM (STUDI KASUS PADA UKM CV. BATARA ELEKTRINDO) Agus Taman Pancoran Barat XI A, Pancoran, Jakarta Selatan [email protected] ABSTRAK Model SMART (Strategic Management Analysis and Reporting Technique) System merupakan sistem yang dibuat oleh Wang Laboratory , Inc. Lowell, yang mampu mengintegrasikan aspek finansial dan non-finansial yang dibutuhkan manajer (terutama manajer operasi), model ini dibuat untuk merespon keberhasilan perusahaan menerapkan Just in Time, sehingga fokusnya lebih mengarah ke operasional setiap departemen dan fungsi di perusahaan. Penelitian ini bertujuan mengetahui apakah selama pelaksanaan kinerja terdapat deviasi dari rencana yang telah ditentukan, atau apakah kinerja dapat dilakukan sesuai target yang ditetapkan atau diharapkan pada tahun pengukuran (2007 dan 2008). Metode penelitian adalah Identifikasi Strategi Objektif dan Key Performance Indicator (KPI), Penstrukturan Key Performance Indicator (KPI), Pembobotan Key Performance Indicator dan Penilaian Kinerja. Terdapat 21 strategi objektif dan 28 key performance indicators (KPI) yang dijadikan sebagai metrik pengukuran kinerja. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kinerja perusahaan dikatakan baik, terutama pada level Departemen dan Pusat Kerja, dan level Unit Operasi Bisnis, sehingga ada kemungkinan di periode mendatang level Unit Bisnis akan terjadi peningkatan kinerja. Untuk prioritas pertama, perbaikan dan peningkatan strategi objektif dilakukan pada level Departemen dan Pusat Kerja, pada level ini yang menjadi prioritas utama adalah peningkatan kualitas sistem informasi. Untuk prioritas kedua, perbaikan dan peningkatan strategi objektif dilakukan pada level Unit Operasi Bisnis, pada level ini yang menjadi prioritas utama adalah peningkatan pemeliharaan. Untuk prioritas ketiga, perbaikan dan peningkatan strategi objektif dilakukan pada level Unit Bisnis, pada level ini yang menjadi prioritas utama adalah peningkatan pendapatan dan peningkatan volume penjualan Kata Kunci : Perancangan Model, Pengukuran Kinerja, Smart System PENDAHULUAN Sektor usaha kecil dan menengah merupakan bagian integral dari perekonomian nasional yang mempunyai kedudukan, potensi dan peranan yang penting dan strategis dalam mewujudkan pembangunan ekonomi nasional yang kokoh. Selain itu sektor usaha ini telah terbukti berperan penting dalam mengatasi akibat dan dampak dari krisis ekonomi yang melanda indonesia pada tahun 1998, banyak usaha-usaha besar yang jatuh dan bangkrut, karena mereka tidak mampu bertahan pada kondisi tersebut. Namun sebaliknya usaha kecil dan menengah mampu bertahan di kondisi ini, mereka berperan penting dalam mengatasi akibat dan dampak dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia, dan memberikan kontribusi yang tidak kecil dalam mendorong pertumbuhan ekonomi 1 selama masa krisis. Kedudukan yang strategis sektor usaha kecil dan menengah tersebut karena mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan usaha besar antara lain mampu menyerap tenaga kerja dan menggunakan sumberdaya lokal, serta usahanya relatif bersifat fleksibel. Berdasarkan data Kementerian Koperasi & UKM, jumlah populasi UKM pada tahun 2006 mencapai 48.9 juta usaha atau 99.98 persen dari total unit usaha di Indonesia, dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 79 juta pekerja pada usaha kecil dan 4.2 juta pekerja pada usaha menengah. UKM di Sektor pertanian menempati urutan pertama dalam hal penyerapan tenaga kerja yaitu sebesar 38.8 juta pekerja atau 43.66 persen dari total tenaga kerja. Dilihat dari kontribusinya terhadap pembentukan PDB, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai hasil perkembangan Indikator Makro UKM tahun 2007 yang berdasarkan Sensus yang dilakukan tahun 2006 menunjukkan bahwa Usaha Kecil dan Menengah menyumbang 53,3 persen atau sebesar Rp1.778,7 triliun dari total Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2006 yang mencapai Rp 3.338,2 triliun. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sering kali dihadapi pada beberapa permasalahan, antara lain dari aspek permodalan, kemampuan manajemen usaha, dan kualitas sumberdaya manusia pengelolanya. Kesulitan dalam mengakses informasi dan sumberdaya produktif seperti modal dan teknologi, menyebabkan keterbatasan usaha kecil untuk berkembang. Pengembangan usaha kecil dan menengah merupakan salah satu strategi pembangunan ekonomi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dalam upaya pengembangan usaha kecil dan menengah ini diperlukan informasi yang lengkap, mudah dan cepat, terutama informasi potensi suatu sektor usaha ekonomi atau komoditas untuk dikembangkan pada suatu wilayah tertentu, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangannya, serta prospek pengembangan program kemitraan terpadu untuk sektor usaha atau komoditas tersebut. Berkembangnya UKM pada saat ini mendapat perhatian yang lebih serius dari berbagai kalangan. Masalah yang sering dihadapi oleh para pelaku UKM antara lain mengenai pemasaran produk, teknologi, pengelolaan keuangan, permodalan, dan kualitas sumber daya manusia. Era pasar bebas dan kondisi lingkungan yang semakin dinamis menyebabkan perusahaan harus menetapkan strategi yang tepat dan mengimplementasikannya dengan baik. Tuntutan agar strategi yang ada lebih dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemakaian sumber daya perusahan menjadi mengemuka. Sistem pengukuran kinerja merupakan salah satu model yang ada untuk memonitor keberhasilan implementasi strategi objektif yang telah ditetapkan pimpinan perusahaan, tidak terkecuali UKM. Selama ini, pengukuran kinerja perusahaan cenderung lebih memfokuskan terhadap sisi keuangan saja. Kecenderungan seperti ini berdampak kurang baik terhadap sustainabilitas bisnis perusahaan. Sebab hasil pengukuran kinerja secara parsial tersebut cenderung akan mengaburkan bahkan menyembunyikan kemampuan perusahaan sebenarnya dalam mencapai nilai ekonomis di masa datang. Banyak pimpinan perusahaan dinilai sukses jika berhasil mencapai suatu tingkat keuangan tertentu. Oleh karena itu, banyak perusahaan yang berusaha untuk meningkatkan keuntungan dengan cara apapun. Hal ini dapat menyebabkan perusahaan terjebak pada orientasi jangka pendek dan mengabaikan kelangsungan bisnis jangka panjang dari perusahaan tersebut. Sementara itu, metode pengukuran kinerja (performance measurement) telah berkembang pesat. Para akademisi dan praktisi telah banyak mengimplementasikan model-model baru dari sistem pengukuran kinerja perusahaan, antara lain Balanced Scorecard (Kaplan dan Norton, 1996), Integrated Performance Measurement System (IPMS) (Bititci et al, 1997), dan SMART System (Galayani et al, 1997). Implementasi sistem pengukuran kinerja dalam konteks 2 perusahaan di Indonesia telah banyak dilakukan. Akan tetapi aplikasi pengukuran kinerja pada perusahaan industri kecil dan menengah dirasa kurang, padahal perusahaan industri kecil dan menengah di Indonesia sangat signifikan jumlahnya dan memiliki tingkat kontribusi yang relatif besar dalam perekonomian Indonesia serta daya tahan ketika guncangan krisis moneter, industri kecil dan menengah lebih baik dibanding industri besar. Pada umumnya, hingga saat di Indonesia masih banyak perusahaan berskala kecil dan menengah (UKM) menjalankan bisnisnya tanpa memiliki visi, misi, dan strategi manajemen yang jelas. Bahkan tidak sedikit dari perusahaan-perusahaan tersebut tidak pernah melakukan penilaian terhadap kinerja bisnisnya. Sehingga meskipun daya tahan terhadap guncangan ekonomi terbukti kuat, tetapi daya saing bisnisnya di pasar domestik maupun internasional tergolong rendah. Kondisi seperti ini tidak menguntungkan bagi upaya pengembangan UKM dan mewujudkan UKM sebagai pilar ekonomi yang kuat untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan kondisi itulah, perlu dilakukan upaya penelaahan terhadap strategi bisnis UKM dalam kerangka pengembangan kinerja UKM yang berfokus peningkatan daya saing di masa datang. Untuk itu perlu model pengembangan kinerja UKM berdasarkan sistem penilaian kinerja yang sesuai dengan sifat dan karakteristik UKM. Dalam hal ini, SMART system adalah metode pengukuran kinerja yang dipandang cocok untuk UKM di Indonesia. TELAAH PUSTAKA Pengertian Kinerja Menurut Wibowo (2008), kinerja berasal dari pengertian performance. Adapun pengertian performance sebagai hasil kerja atau prestasi kerja. Namun, sebenarnya kinerja mempunyai makna luas, tidak hanya hasil kerja, tetapi bagaimana proses pekerjaan berlangsung. Adapun pendapat lain yang dikemukakan oleh Armstrong dan Baron dalam Wibowo (2008), kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi. Venkatraman dan Ramanujam (1986) menunjukkan bahwa kinerja perusahaan merupakan sebuah konstruk multidimensi. Dalam hal ini, kinerja perusahaan terdiri dari kinerja keuangan, kinerja bisnis, dan kinerja keorganisasian. Kinerja keuangan berada di pusat wilayah efektifitas keorganisasian. Ukuran kinerja ini dinilai sangat penting , tetapi tidak cukup untuk mendefinisikan efektifitas keseluruhan. Standar berbasis akuntansi seperti penerimaan atas aset (return on asset), penerimaan atas penjualan (return on sales), dan return on equity mengukur keberhasilan keuangan. Indikator-indikator tersebut menggambarkan profitabilitas saat ini. Ukuran kinerja bisnis berkaitan dengan pasar seperti pasar pangsa pasar, pertumbuhan, diversifikasi, dan pengembangan produk. Terdapat dua dimensi dalam kinerja ini, yaitu (i) indikator yang berkaitan dengan pertumbuhan dalam bisnis yang ada dan (ii) indikator yang berkaitan dengan posisi perusahaan di masa datang (pengembangan produk baru dan diversifikasi). Ukuran efektivitas keorganisasian berkaitan erat dengan stakeholder. Contoh ukuran tersebut adalah kepuasan pelanggan, kualitas dan tanggung jawab sosial. Terdapat dua dimensi, yaitu (i) indikator yang berkaitan dengan kualitas (kualitas produk, kepuasan pegawai), dan (ii) indikator yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial (lingkungan dan masyarakat). 3 Model-model Sistem Pengukuran Kinerja Merancang sistem pengukuran kinerja organisasi dibutuhkan model yang mampu memotret kinerja keseluruhan dari organisasi. Telah banyak model sistem pengukuran kinerja terintegrasi berhasil dibuat oleh para akademisi dan praktisi. Tiga di antaranya adalah: Balanced Scorecard Kaplan dan Norton, (1996), Integrated Performance Measurement System (IPMS) Bititci et al, (1997), dan SMART System dari Wang Laboratory, Inc. Lowell, Massachucets Galayani et al, (1997). Sampai saat ini Balance Scorecard adalah model terpopuler untuk sistem pengukuran kinerja baru yang telah dikembangkan. Kerangka kerja Balanced Scorecard menggunakan empat perspektif dengan titik awal strategi sebagai dasar perancangannya. Adapun keempat perspektif tersebut meliputi: financial perspective, customer perspective, internal business process perspective, dan learning and growth perspective. Keterkaitan antar objektif dan ukuran kinerja dinyatakan dengan cause-and-effect relationship, di mana terjadi kulminasi kinerja pada financial perspective. Berbeda dengan model Balanced Scorecard yang menggunakan strategi menjadi titik awal dalam melakukan perancangannya, model Integrated Performance Measurement System (IPMS) adalah model sistem pengukuran kinerja yang dikembangkan di Center for Strategic Manufacturing dari University of Strathclyde, Glasgow. Tujuan dari model IPMS agar sistem pengukuran kinerja lebih robust, terintegrasi, efektif, dan efisien. Berbeda dengan model Balanced Scorecard, model ini menjadikan keinginan Stakeholder menjadi titik awal dalam melakukan perancangan sistem pengukuran kinerjanya. Stakeholder tidak berarti hanya pemegang saham (shareholder), melainkan beberapa pihak yang memiliki kepentingan atau dipentingkan oleh organisasi seperti konsumen, karyawan, dll. Model SMART (Strategic Management Analysis and Reporting Technique) System merupakan model yang dibut oleh Wang Laboratory dengan menggunakan strategi objektif sebagai titik awal perancangannya. Perspektif berdasarkan strategi objektifnya diyakini mampu menunjang operasional perusahaan. Susunan strategi objektif disusun sesuai tingkatan dalam manajemen perusahaan manufaktur sehingga tersusun seperti piramida. Banyak perusahaan kecil dan menengah tidak memiliki visi dan strategi yang jelas. Orientasi yang lebih terfokus pada kinerja operasional lebih mendominasi. Oleh karena itu, model ini sering dipakai oleh perusahaan kecil dan menengah untuk mengukur kinerja organsasinya. Setelah dilakukan telaah teoritis dari ketiga model sistem pengukuran kinerja yaitu : Balanced Scorecard, Integrated Performance Measurement System (IPMS), dan SMART System, dalam konteks pengukuran kinerja UKM menunjukkan bahwa model SMART System lebih dipilih dibanding dengan kedua lainnya. Tidak adanya visi, misi, dan strategi, sulitnya mengidentifikasi stakeholder perusahaan, dan lebih berorientasinya pihak manajer pada kinerja operasional adalah alasan utama memilih SMART System. Model SMART System Model SMART (Strategic Management Analysis and Reporting Technique) System merupakan sistem yang dibuat oleh Wang Laboratory , Inc. Lowell, yang mampu mengintegrasikan aspek finansial dan non-finansial yang dibutuhkan manajer (terutama manajer operasi). Model ini dibuat untuk merespon keberhasilan perusahaan menerapkan Just in Time, sehingga fokusnya lebih mengarah ke operasional setiap departemen dan fungsi di perusahaan. 4 Tanpa adanya strategi yang jelaspun, kerangka kerja ini dapat digunakan, akan tetapi akan lebih baik didasarkan atas visi dan strategi perusahaan. Strategi objektif perusahaan diperoleh dari penjabaran visi dan fungsi bisnis unit yang utama yaitu finansial (financial) dan pasar (market). Keberhasilan kinerja finansial dan pasar perlu didukung kemampuan perusahaan untuk dapat memuaskan konsumennya (customer satisfaction), fleksibilitas produknya (flexibility), dan kemampuan memproduksi yang efektif dan efisien (productivity). Level terakhir yang perlu dilakukan oleh masing-masing departemen dan stasiun kerja adalah bagaimana agar produk yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik (quality), kecepatan proses produksi dan pengiriman produk (delivery), waktu proses yang semakin pendek (process time), dan biaya yang murah (cost). Keempat perspektif ini diyakini akan dapat menunjang kemampuan perusahaan untuk memuaskan konsumen, memiliki produk yang fleksibel, dan kemampau produksi dan karyawan yang produktif. Gambar 1 memperlihatkan level masing-masing perspektif pada kerangka kerja SMART System. Piramid Visi Objektivitas Ukuran Ukuran Ukuran Unit Bisnis P Kepuasa n Unit Fleksibi Produk litas tivitas Ope Departemen Pengi Kualitas Waktu riman Pro dan Biaya Operasi Gambar 1. Perspektif pada metode SMART System Sumber : Vanany dan Sugianto, 2007 METODE PENELITIAN Pengukuran Kinerja dengan SMART System Langkah-langkah pengukuran kinerja dengan SMART system meliputi : a. Identifikasi Strategi Objektif dan Key Performance Indicator (KPI) Dengan menggunakan kerangka kerja SMART system, strategi objektif perusahaan dilihat dari level bisnis perusahaan dan perspektif masing-masing level bisnisnya. Melalui data perusahaan dan wawancara dengan para manajer perusahaan, strategi objektif perusahaan dapat ditentukan. 5 b. Penstrukturan Key Performance Indicator (KPI) Pihak manajemen telah menyimpulkan bahwa hasil KPI dianggap valid kemudian dilakukan penstrukturan sesuai dengan jenis perspektif yang terdapat pada kerangka kerja SMART system. c. Pembobotan Key Performance Indicator Pembobotan KPI dengan Proses Hierarkhi Analitik didasarkan pada strukturisasi hierarkhi sistem pengukuran kinerja. Pembobotan diperlukan agar preferensi dari pihak manajemen terhadap tingkat kepentingan kriteria (Perspektif, Strategi, dan KPI) dapat diketahui. Desain kuesioner bersifat tertutup dan diberikan kepada pihak manajemen yang mengerti terhadap kriteria-kriteria yang hendak ditanyakan. Hasil data dari kuesioner kemudian diolah. Bobot yang didapatkan harus konsisten dengan syarat inconcistency ratio harus kurang dari atau sama dengan 0,1. Bila tidak konsisten, maka dilakukan konfirmasi kembali kepada pihak manajemen hingga tercapai tingkat konsistensi yang disyaratkan. Adapun proses hierarkhi analitik untuk melacak ketidakkonsistenan dalam pertimbangan preferensi angka kepentingan kriteria/perspektif serta KPI. Pada dasarnya proses hierarkhi analitik merupakan penyederhanaan suatu masalah yang kompleks yang tidak terstruktur, strategik, dan dinamik kedalam bagian komponennya, serta menata bagian atau variabel dalam suatu susunan hierarkhi, Iskandar (2009). Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel lain. Dari beberapa pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sinujia untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tertinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem kinerja, Iskandar (2009). Prinsip kerja proses hierarkhi analitik dimulai dengan mengidentifikasi sistem, lalu diikuti dengan penyusunan hierarkhi, dan penyusunan matriks pendapat. Tahap identifikasi sistem diperlukan untuk memahami permasalahan, menetapkan tujuan, dan kriteria alternatif. d. Penilaian Kinerja Proses pengukuran kinerja dilakukan untuk mengetahui apakah selama pelaksanaan kinerja terdapat deviasi dari rencana yang telah ditentukan, atau apakah kinerja dapat dilakukan sesuai target yang ditetapkan atau diharapkan pada tahun pengukuran (2007 dan 2008). Data yang di perlukan dalam pengukuran berupa data sekunder dari pihak manajemen yang berkompeten. Data yang di peroleh tersebut dikonversikan dalam bentuk angka atau skor. Adapun sistem penyekoran yang digunakan dalam penelitian ini adalah OMAX (Objective Matrix) untuk setiap KPI. Skor OMAX terletak pada rentang 1 s.d. 10 dimana Nilai 1 menunjukkan bahwa kinerja KPI sangat jauh dibawah target atau dapat dikatakan kinerja terjelek, nilai 7 menunjukkan kinerja KPI sama dengan yang telah ditargetkan, dan nilai 10 menunjukkan KPI telah mencapai target dan jauh melampaui target. Nilai 2,3,4,5, dan 6 merupakan nilai interpolasi dalam rentang 1 s.d. 7, dan nilai 8 dan 9 adalah nilai interpolasi antara nilai 7 dan 10. Nilai kinerja KPI perusahaan dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah ini untuk masing-masing KPI sesuai dengan level dan perspektif. Pada saat pengukuran digunakan konsep Traffic Light System dengan menggunakan tiga warna, yaitu warna hijau dengan ambang batas 7,1 s.d. 10 artinya kinerja KPI telah mencapai target bahkan melampaui target, warna kuning dengan ambang batas 3,1 s.d. 7,0 artinya kinerja KPI belum mencapai target tetapi telah mendekati target yang hendak dicapai, dan warna merah dengan ambang batas lebih kecil atau sama dengan 3,0 artinya kinerja KPI benar-benar dibawah target dan KPI ini perlu dapat perhatian khusus pada saat periode berikutnya. 6 Alat Bantu Pengolahan Data Penelitian ini menggunakan perangkat lunak Criterium DecisionPlus(R) 3.0.4 Student Version membantu proses pengolahan data pada tahap pembobotan Key Performance Indicators dengan Analytical Hierarchy Process (AHP) didasarkan pada struktur hierarki sistem pengukuran kinerja. PEMBAHASAN Dengan mengacu pada kerangka kerja SMART system, strategi objektif UKM BE dilihat dari level bisnis dan perspektif masing-masing level bisnis. Melalui metode wawancara dengan pihak manajer, maka strategi objektif dapat ditentukan. Strategi objektif belum dapat menunjukkan seberapa berhasilnya mewujudkan tujuan. Oleh karena itu, perlu metrik yang dapat diukur serta mampu mempresentasikan keberhasilan dari strategi objektif, metrik yang dimaksud adalah key performance indicators (KPI), yang selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Perspektif Pengukuran Kinerja ,Strategi Objektif dan KPI Level Perspektif Strategi Objektif KPI Unit Bisnis Ukuran Peningkatan Profit Jumlah Profit Finansial Peningkatan pendapatan Rasio perubahan pendapatan Peningkatan Likuiditas Cash Ratio Ukuran pasar Peningkatan Pangsa Pasar Pangsa pasar Peningkatan Volume Penjualan Volume penjualan Peningkatan jumlah produk Jumlah produk baru terjual barang terjual Unit Operasi Produktivitas • % produk cacat Bisnis • Konsistensi hasil Peningkatan kemampuan produksi produksi • Jumlah produk yang tidak sesuai QC Pengembangan inovasi produk Jumlah produk baru Peningkatan produktivitas Tingkat produktivitas karyawan karyawan Fleksibilitas Penggunaan teknologi baru Volume perubahan teknologi baru Persentase Pemeliharaan alat produksi Peningkatan pemeliharaan Persentase emeliharaan alat non produksi Peningkatan kepuasan pelanggan Pesentase keluhan Pelanggan pelanggan Peningkatan jumlah pelanggan Pesentase pelanggan baru Memepertahankan kesetiaan Jumlah pelanggan tetap pelanggan Departemen Biaya Harga bahan baku Harga pokok produksi dan Pusat Biaya penggunaan mesin Persentase penggunaan Kerja mesin 7 • • Waktu proses Perbaikan kemampuan proses Kapasitas Produksi Persentase produk tidak terpenuhi Persentase kerusakan komponen • • Pengiriman Kualitas Peningkatan kompetensi karyawan • Peningkatan layanan distribusi • Peningkatan kualitas produk Peningkatan kualitas sistem informasi Jumlah program pelatihan Tingkat pendidikan karyawan Ketepatan waktu pengiriman produk • Ketepan spesifikasi order Banyaknya produk cacat Ketersediaa database Sumber : UKM BE Langkah selanjutnya adalah pembobotan dari masing-masing KPI berdasarkan struktur hierarki pengukuran kinerja. Langkah ini diperlukan untuk preferensi dari pihak manajemen terhadap tingkat kepentingan kriteria dapat diketahui. Sifat dari kuesioner yang berfungsi sebagai instrumen perolehan data adalah tertutup serta diberikan kepada pihak yang kompeten dan memahami dari setiap kriteria yang akan ditanyakan. Pembobotan diperoleh dari metode Analytical Hierarchy Process (AHP) didasarkan pada struktur hierarki pengukuran kinerja. Langkah-langkah yang di lalui pada proses pembobotan diantaranya, melakukan pengajuan kuesioner yang berisikan daftar pertanyaan kepada pihak internal maupun eksternal perusahaan, pertanyaan yang diberikan untuk mengidentifikasi tingkat kepentingan pada tiap-tiap perspektif dan KPI, misalkan KPI A dengan B, A dengan C, B dengan C, dan seterusnya. Setelah itu di olah dengan software Criterium DecisionPlus(R) 3.0.4 Student Version dengan metode AHP. Apabila hasil pengolahan masih menunjukkan terdapat inkonsistensi maka dilakukan konfirmasi ulang ke pihak internal maupun eksternal perusahaan, dikarenakan pada metode AHP disyaratkan untuk nilai inconcistency ratio harus kurang dari atau sama dengan 0,1. Prinsip kerja proses hierarkhi analitik dimulai dengan mengidentifikasi sistem, lalu diikuti dengan penyusunan hierarkhi, dan penyusunan matriks pendapat. Tahap identifikasi sistem diperlukan untuk memahami permasalahan, menetapkan tujuan, dan kriteria alternatif. 8 Gambar 2. Hierarkhi Model Pengukuran Kinerja berdasarkan Sembilan Kinerja Gambar 3. Output Proses Pembobotan Sembilan Perspektif dengan AHP Sumber : Output software Criterium DecisionPlus(R) 3.0.4 Student Version 9 Perspektif Gambar 4. Hierarkhi Model Pengukuran Kinerja UKM Pada level Unit Bisnis Gambar 5. Output Proses Pembobotan KPI pada level Unit Bisnis dengan AHP Sumber : Output software Criterium DecisionPlus(R) 3.0.4 Student Version 10 Gambar 6. Hierarkhi Model Pengukuran Kinerja UKM Pada Level Business Operating Units Gambar 7. output Proses Pembobotan KPI Pada Level Business Operating Units dengan AHP Sumber : Output software Criterium DecisionPlus(R) 3.0.4 Student Version 11 Gambar 8. Hierarkhi Model Pengukuran Kinerja Pada level Unit Departemen dan Pusat Kerja Gambar 9. Output Proses Pembobotan KPI Pada Level Departements and Work Centers dengan AHP Sumber : Output software Criterium DecisionPlus(R) 3.0.4 Student Version 12 Tabel 2 Kombinasi Hasil Pembobotan dan Pengukuran Kinerja KPI Level Perspektif Unit Bisnis Keuangan Ukuran pasar Unit Operasi Bisnis Produktivitas Fleksibilitas Pelanggan Biaya Departemen dan Pusat Kerja Waktu proses Pengiriman Kualitas Key Performance Indicator Bobot (%) 16.4 20.6 13 20.6 16.4 Skor Volume Penjualan 13 5.0 Persentase Produk Cacat Konsistensi Hasil Produksi Jumlah produk yang tidak sesuai dengan QC Jumlah produk baru Tingkat produktivitas karyawan Volume perubahan teknologi baru Persentase pemeliharaan alat produksi Persentase pemeliharaan alat non produksi Persentase keluhan pelanggan Persentase pelanggan baru Jumlah pelanggan tetap Harga pokok produksi Persentase penggunaan mesin Kapasitas produksi Persentase jumlah produk tidak terpenuhi Persentase kerusakan komponen Jumlah program pelatihan Tingkat pendidikan karyawan Ketepatan waktu pengiriman Ketepatan spesifikasi order Banyaknya produk cacat Ketersediaan data base 1.1 13 2.6 5.0 5.0 7.5 5 11.6 5.2 22 5.0 5.0 4.0 5.0 6.2 5.0 11.1 11.1 11.1 21.5 3.19 9.2 3.9 4.0 4.0 4.0 5.0 5.0 4.9 5.0 1 5.3 5.3 10.5 10.5 3.7 26.1 5.0 5.0 5.0 4.0 7.5 7.5 8.0 Jumlah Profit Pendapatan Cash Ratio Pangsa Pasar Jumlah Produk baru terjual 5.0 4.5 5.0 4.5 4.8 Sumber : Pengolahan AHP dengan software Criterium DecisionPlus(R) 3.0.4 Student Version dan pengukuran kinerja th. 2007-2008 UKM Tabel 4.13 menunjukkan besar pembobotan dan nilai kinerja dari setiap masing-masing KPI. Pada subbab ini penulis memfokuskan analisis pada KPI yang memiliki besar pembobotan kedua paling tinggi dan nilai kinerja nya, pada level yang berbeda. Level Unit Bisnis, di level ini terdapat dua KPI yang memiliki besaran bobot paling tinggi dengan nilai yang sama yaitu 20.6 % diantaranya KPI pendapatan dan pangsa pasar, kedua KPI tersebut mewakili perspektif keuangan 13 dan ukuran pasar. Nilai kinerja KPI tersebut belum mencapai target karena masih dibawah angka 7 dan berwarna kuning, tetapi keduanya berpeluang untuk mencapai target diperiode berikutnya. Level Unit Operasi Bisnis, KPI yang memiliki besar bobot tertinggi adalah Persentase pemeliharaan alat produksi dengan bobot 22 %, diikuti 3 KPI dari aspek pelanggan dengan KPI Persentase keluhan pelanggan, Persentase pelanggan baru, Jumlah pelanggan tetap dengan bobot 11.1 %. Namun ada satu KPI yang berwarna hijau yaitu jumlah produk yang tidak sesuai kualias kontrol berarti menunjukan kinerja perusahaan sudah mencapai target yang diharapkan meskipun bobotnya 2.6 % Level selanjutnya yaitu level Departemen dan Pusat Kerja, untuk level ini perusahaan dapat dikatakan sudah mencapai target yang diharapkan, hal itu ditunjukan oleh KPI yang mempunyai bobot tinggi juga berkinerja sesuai target yaitu Ketersediaan data base dengan bobot 26.1 % dan berwarna hijau dengan nilai 8.0. sedangkan untuk bobot tertinggi berikutnya ditunjukan oleh KPI Harga pokok produksi pada perspektif biaya dengan bobot sebesar 21.5 %a tetapi kinerjanya belum menunjukan pencapaian target yang diharapkan karena nilainya masih dibawah tujuh dan masih berwarna kuning, tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan bagi perusahaan untuk berbenah memperbaiki serta meningkatkan performance untuk periode mendatang. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan pada bab sebelumnya, maka penulis dalam hal ini dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Terdapat 21 strategi objektif dan 28 key performance indicators (KPI) yang dijadikan sebagi metric pengukuran kinerja. 2. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kinerja perusahaan dikatakan baik, terutama pada level Departemen dan Pusat Kerja, dan level Unit Operasi Bisnis, sehingga ada kemungkinan di periode mendatang level Unit Bisnis akan terjadi peningkatan kinerja. 3. Dalam penerapannya hal yang harus diperhatikan untuk perbaikan dan peningkatan strategi objektif dilakukan pada level Departemen dan Pusat Kerja, pada level ini yang menjadi prioritas utama adalah peningkatan kualitas sistem informasi. Selanjutnya perbaikan dan peningkatan strategi objektif dilakukan pada level Unit Operasi Bisnis, pada level ini yang menjadi prioritas utama adalah peningkatan pemeliharaan. Dan yang terakhir perbaikan dan peningkatan strategi objektif dilakukan pada level Unit Bisnis, pada level ini yang menjadi prioritas utama adalah peningkatan pendapatan dan peningkatan volume penjualan. 14 DAFTAR PUSTAKA Abubakar, Arif., dan Wibowo. 2005. Akuntansi untuk Bisnis Usaha Kecil dan Menengah. PT Grasindo: Jakarta. Antony, R & Vijay Govindarajan.2005. Sistem Pengendalian Manajemen. Salemba Empat: Jakarta. Bititci, U.S., Carrie, A.S. McDevitt and Turner, T. 1997. Integrated Performance Measurement Systems: A Reference Model. Proceeding of IFIP-WG5.7 1997 Working Conference, Ascona Ticono-Switzerland, 15-18 September 1997. Ghalayani, A.M. and Noble, J.S. 1998. The changing of performance Measurement Univesity of Missouri, Columbia, USA. Kardi Teknomo.1999. Penggunaam Metode Analytic Hierarchy Process Dalam Menganalisa FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Moda Kekampus. Jurnal Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan – Universitas Kristen Petra. Kaplan, Robert S. And Norton, David P. 1997. Translating Stretegy Into Action The Balanced Scorecard. Harvard Business Scholl Press. Boston, Massachusetts. Mohan, Isaac. 2006. “Financial Record-Keeping as a Tool For Small Business Success: A Case Study Of Free State Province, South Africa”. Saaty, ST.L. 1993. the Analytic HierarchyProsess. McGraw-Hill, New York. Stanislaus S. Uyanto. 2006. Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Graha Ilmu: Yogyakarta. Sujoko Efferin., dan Bonnie Soeherman. 2005. “Analisis Empiris Tentang Peran Akuntansi Manajemen Dalam Perencanaan Dan Pengendalian UKM”, Jurnal Akuntansi dan Teknologi Informasi, Vol. 4, No. 2: 71-91. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Bab IV Kriteria, Pasal 6. Vanany, Iwan. 2002. ’Studi Awal Sistem Pengukuran Kinerja Baru bagi Industri Kecil dan Menengah (Perusahaan-perusahaan Industri Manufaktur Kecil dan Menengah (IMKM))’. Jurnal Manajemen Usahawan Indonesia, PPM UI. Vanany, Iwan. dan Sugianto, Agus. 2007. Perancangan dan Pengukuran Kinerja Perusahaan Kecil dan Menengah dengan Metode Smart System. Jurnal Manajemen Usahawan Indonesia, PPM UI, No. 05 TH XXXVI. Venkatraman, &V.Ramanujam. 1986. Measurement of Business Performance in Strategy Research: a Comparison of Approaches. Academy of Management Review, Vol 11, pp801-814. Wibowo. 2008. Manajemen Kinerja. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta. http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_glossary&func=display&letter=U&Itemid=73 &catid=43&page=1 15