8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peranan UPT Diklat dalam Upaya Penguatan Apatarur Disadari bahwa kondisi aparatur negara masih dihadapkan pada sistem manajemen pemerintahan yang cenderung belum efisien yang antara lain menghasilkan kualitas pelayanan publik rendah dan terjadi berbagai praktek korupsi, kolusi dan nepotisme serta mengakibatkan inefisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Upaya perbaikan dan peningkatan kinerja aparatur, dilaksanakan secara kesisteman melalui sistem pendidikan berjenjang pada UPT Pendidikan dan Pelatihan, sistem pelatihan berjejang ini diharapkan dapat mewujudkan pelayanan yang cepat, murah, mudah berkeadilan, berkepastian hukum, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakat. Untuk itu peranan UPT Pendidikan dan pelatihan ditujukan bagi penguatan kapasitas aparatur untuk mewujudkan manusia pembangunan yang berbudi luhur, tangguh cerdas, terampil, mandiri, dan memiliki rasa kesetiakawanan, bekerja keras, produktif, kreatif dan inovatif, berdisiplin serta berorientasi ke masa depan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Peningkatan kualitas sumber daya manusia diselaraskan dengan persyaratan keterampilan, keahlian, dan profesi yang dibutuhkan dalam semua sektor pembangunan (Kartasasmita, 1995). Pendekatan proses belajar; learning process sebagaimana dikemukakan David Korten (1981) merupakan wacana yang efektif bagi pembentukan profesionalisme aparatur birokrasi. Pendekatan ini memberi margin toleransi yang besar bagi aparatur birokrasi untuk berbuat kesalahan (embracing error) dalam proses pembentukan dan penyempurnaan profesionalisme karena kesalahan akan menjadi input untuk perbaikan diri. Melalui kesalahan tadi, birokrat akan belajar efektif (learning to be effective), dan dari sana akan melangkah menuju belajar efisien (learning to be efficient), dan pada akhirnya belajar berkembang (learning to be expand). 9 Untuk itu Bryant & White (1987) mengungkapkan bahwa terdapat empat aspek yang terkandung dalam pengembangan sumberdaya manusia, yaitu : Pertama, memberikan penekanan pada kapasitas (capacity), yaitu upaya meningkatkan kemampuan beserta energi yang diperlukan untuk itu. Kedua, penekanan pada aspek pemerataan (equity) dalam rangka menghindari perpecahan di dalam masyarakat yang dapat menghancurkan kapasitasnya. Ketiga, pemberian kekuasaan dan wewenang (empowerment) yang lebih besar kepada masyarakat. Dengan maksud agar hasil pembangunan dapat benar benar bermanfaat bagi masyarakat, karena aspirasi dan partisipasi masyarakat terhadap pembangunan dapat meningkat. Di samping adanya wewenang untuk memberikan koreksi terhadap keputusan yang diambil tentang alokasi resources. Keempat, pembangunan mengandung pengertian kelangsungan pembangunan yang harus diperhatikan mengingat keterbatasan sumber daya yang ada. Schuler dan Youngblood (1986) mengungkapkan bahwa pengembangan sumberdaya manusia pada suatu organisasi akan melibatkan berbagai faktor, seperti: pendidikan dan pelatihan; perencanaan dan manajemen karir; peningkatan kualitas dan produktivitas kerja; serta peningkatan kesehatan dan keamanan kerja. Osborne dan Gaebler (1996) justru lebih mementingkan pengembangan visi dan misi aparat pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada publik. Sejalan dengan semangat reformasi dan sistem desentralisasi, mereka lebih mengedepankan pengembangan sumber daya manusia pada visi, misi, inovasi, dan kemampuan aparat untuk melakukan semangat wirausaha dalam pelaksanaan tugas mereka. Semangat ini merupakan semangat kerja yang lebih berorientasi menghasilkan daripada menghabiskan anggaran dan pada waktu yang sama kepentingan publik justru dapat ditingkatkan pelayanannya. Dari kajian atas berbagai teori di atas, sebenarnya pengembangan sumberdaya manusia tidak terlalu jauh berbeda dengan harapan atas atribut-atribut profesionalisme, yaitu : (1) seseorang memiliki ketrampilan dan keahlian teoritis ilmiah tertentu sesuai dengan bidang pekerjaan yang akan digelutinya; (2) harus mampu menyumbangkan ilmu dan tenaganya secara optimal untuk kelancaran usaha tempat kerjanya; (3) harus dapat mendorong peningkatan produktivitas yang berkelanjutan; (4) memiliki sikap untuk terus menerus memperbaiki dan meningkatkan keahlian dan ketrampilannya; (5) disiplin dan patuh pada aturan main profesi dan tempat kerjanya; (6) memiliki kesiapan untuk berubah atau 10 melakukan penyesuaian terhadap perubahan-perubahan yang tengah berlangsung atau bahkan mampu menciptakan perubahan. Kondisi SDM aparatur kita pada umumnya belum memiliki kemauan yang besar untuk terus belajar. Akibatnya kekayaan intelektual yang dimiliki tidak berkembang dan hanya menggunakan paradigma lama di dalam bekerja. Paradigma lama ini sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini dan masa depan. Untuk menciptakan sosok aparatur PNS berorientasi sebagai abdi masyarakat, yaitu yang amanah melayani kepentingan publik perlu suatu proses pembelajaran untuk menciptakan nilai pribadi. Pemikiran menarik dikemukakan Ancok (2000) bahwa nilai pribadi atau human capital SDM aparatur masih belum memiliki social skill yang baik. Banyak aparatur yang sangat arogan, merasa berkuasa, tidak menghargai manusia lainnya seperti layaknya seorang yang beretika baik. Selanjutnya Ancok memberikan pandangan yaitu umumnya hancurnya bangsa ini karena tidak adanya sifat amanah, sifat jujur, beretika yang baik, bisa dipercaya dan percaya pada orang lain (trust), mampu menahan emosi, disiplin, pemaaf, penyabar, ikhlas, dan selalu ingin menyenangkan orang lain. Proses pendidikan SDM masa depan harus lebih banyak berisi komponen membangun sikap dan perilaku. Beberapa tahun terakhir ini makin banyak pembicaraan tentang pentingnya peranan inteligensi emosional (emotional intelligence) di dalam menunjang kesuksesan hidup manusia (Goleman, 1996). Upaya untuk menumbuhkan itu banyak ditempuh melalui paket pelatihan inteligensi emosional misalnya. Pelatihan lain yang sangat diperlukan adalah pelayanan prima (service excellence). Aparatur pemerintah adalah pelayan masyarakat bukan penindas masyarakat seperti zaman orde baru. Oleh karena itu aparatur PNS memerlukan kemampuan melayanani orang lain dengan baik. Pendekatan proses belajar; learning process sebagaimana dikemukakan David Korten (1981) merupakan wacana yang efektif bagi pembentukan profesionalisme aparatur birokrasi. Pendekatan ini memberi margin toleransi yang besar bagi aparatur birokrasi untuk berbuat kesalahan (embracing error) dalam proses pembentukan dan penyempurnaan profesionalisme karena kesalahan akan menjadi input untuk perbaikan diri. Melalui kesalahan tadi, birokrat akan belajar efektif (learning to be effective), dan dari sana akan melangkah menuju belajar efisien (learning to be efficient), dan pada akhirnya belajar berkembang (learning to be expand). Strategi pengembangan dan pemberdayaan aparatur menuju good 11 governance merupakan learning process yang seharusnya didukung oleh sistem pembelajaran yang kondusif berupa struktur organisasi pemerintahan yang adaptif. Subsistem kepegawaian negara terdiri dari: (1) rekruitmen; (2) penggajian dan reward; (3) pengukuran kinerja; (4) promosi jabatan; (5) pengawasan. Memahami ini merupakan suatu sistem membuat perhatian atas sub-sub sistem perlu secara utuh. Namun dalam kaitan kajian ini, learning process pada peningkatan kompetensi (kinerja) aparatur yang menjadi tuntutan publik pada pelayanan keseharian yang dinilai tidak memuaskan. Aparatur yang berkualitas, profesional, kompetensi, tentu saja tidak muncul begitu saja, ini merupakan output dari rangkaian yang utuh yaitu mulai rekruitmen dan pembinaan PNS. Ini berarti, upaya peningkatan kemampuan dan kualitas aparatur sudah dimulai sejak penerimaan pegawai. Penjaringan pegawai baru dimaksudkan untuk mendapatkan pegawai-pegawai dengan kualitas tinggi. Kesulitan pembinaan aparatur berawal dari mental calon PNS ingin menjadi pegawai negeri karena motivasi jaminan hari tua. Bukan karena motivasi memberi pelayanan yang optimal pada masyarakat. Bisa dibayangkan begitu tingginya tingkat kesulitan bagi institusi yang diserah tugas pokok dan fungsi untuk meningkatkan kualitas calon PNS yang demikian dan mengubah nilai minta dilayani menjadi orientasi melayani. Dalam rangkaian perjalanan seorang aparatur, masa paling panjang adalah sebagai seorang aparatur pemerintahan (aktif) yang dalam aktivitasnya senantiasa diminta untuk mampu menjawab tuntutan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, globalisasi. Agar aparatur dapat selalu mampu mengikuti perkembangan zaman sebagai suatu upaya terus menerus meningkatkan kualitas, salah satu pilar adalah pendidikan dan latihan. Tuntutan yang semakin tinggi pada aparatur seharusnya disikapi dengan kebijakan yang semakin memberdayakan, memfungsikan diklat. Manajemen kepegawaian sipil dalam good governance menghendaki suatu kondisi yang dinamis, penuh dengan pemikiran dan aksi-aksi yang progresif. Dengan demikian, aparatur pemerintah senantiasa akan tertantang untuk mengejar kemajuan dan peningkatan kualitas. Kualitas sumber daya aparatur yang sesuai dengan riil tuntutan kualitas pelayanan publik. Secara nyata merupakan investasi masa depan organisasi pemerintah. Banyak contoh negara maju dalam perjalanan sejarah kebijakan memberikan perhatian yang serius pada bidang pendidikan. Seperti Jepang dan contoh negara tetangga yaitu Malaysia. Termasuk pada 12 peningkatan aparatur PNS perlu terus menerus melalui diklat. Pendidikan dan latihan harus mendapat perhatian yang lebih agar institusi ini berdaya, bermutu untuk berkesinambungan membangun, mencetak aparatur yang profesional, berkualitas, kompeten serta memiliki integritas dan moralitas. Disain kurikulum pendidikan dan latihan dalam kaitan menjawab tuntutan pelayanan publik yang operasional, terukur. Dalam aspek pelatihan, kurikulum ataupun pengajaran / pelatihan yang dilakukan yaitu mengisi keahlian atau keterampilan yang diperlukan untuk menduduki suatu jabatan. Untuk itu perlu adanya konsistensi antara pelatihan (training) yang ditempuh dengan jabatan yang akan diduduki aparatur. Sebagai konsekuensi atas konsistensi atas apa yang diajarkan, dilatih dengan kompetensi atas jabatan yang akan diduduki maka perlu selalu dilakukan aktualisasi jenis kurikulum pelatihan yang sesuai dengan perkembangan tuntutan masyarakat, dan perkembangan teknologi. Fenomena negatif yang muncul selama ini terhadap aparat birokrasi, memang tidak bisa begitu saja kita timpakan kesalahannya kepada aparat birokrasi. Lantas bagaimana dengan persepsi, sikap dan sentimen masyarakat mengenai kinerja aparat birokrasi dan dirinya sendiri? Apabila diamati ada dua perilaku yang kontras antara aparat birokrasi dan pencari jasa pelayanan. Di satu pihak, aparat birokrasi merasa ada dalam posisi penguasa yang lebih menempatkan diri sebagai pengarah daripada pamong. Oleh karena itu timbul kecenderungan untuk melihat warga masyarakat sebagai objek pasif dalam pelayanan publik. Di lain pihak, warga masyarakat telanjur melihat aparat birokrasi sebagai aparat pelayan, dan karena itu mereka menuntut adanya pengabdian dan pelayanan dari aparat birokrasi kepada masyarakat secara optimal. Bukti adanya tuntutan itu antara lain dengan banyaknya keluhan masyarakat terhadap pelayanan jasa yang dinilai kurang memuaskan. Namun demikian, untuk menuntut pelayanan yang baik, mestinya masyarakat juga sadar akan “citra diri”-nya sebagai warga yang tanggap norma kerja terhadap segala keterbatasan yang dimiliki aparat birokrasi. Sudah tentu di antara kontinum perilaku yang kontras tersebut terdapat perilaku yang moderat. Ada sebagian warga masyarakat, yang karena sikap paternalistiknya menempatkan diri sebagai klien dari patronnya, aparat birokrasi (Dwiyanto, 2002), sehingga menampilkan perilaku patuh. Begitu pula ada aparat birokrasi yang sadar tugas serta berdisiplin 13 tinggi sehingga memberikan yang terbaik untuk tugas, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun sayangnya, profil seperti ini jarang sekali, padahal sangat didambakan. Pertanggungjawaban publik dan pelayanan publik dari aparatur PNS sebenarnya tidak hanya ditentukan oleh pandangan sebagian masyarakat yang menyoroti kinerja dan perilaku sebagian kecil aparatur PNS yang bersentuhan langsung dengan urusan kemasyarakatan. Ibarat pepatah setitik noda, rusak susu sebelanga. Karena perilaku oknum yang tidak terpuji dalam bidang pemberian layanan kemasyarakat telah memposisikan atau menyamakan sikap tidak terpuji itu kepada institusi aparatur pemerintah. Kondisi dapat dimaklumi karena aparatur PNS merupakan figur publik penyelenggara urusan negara dan pemerintahan. Dengan demikian, masalah tanggung jawab publik dan pelayanan aparat birokrasi sebenarnya bukan semata-mata masalah aparat birokrasi, akan tetapi masalah semua pihak yang terlibat dalam urusan pemerintahan. 2.2. Strategi Peningkatan Penguatan Kapasitas Aparatur Sebagai komponen birokrasi, lembaga pendidikan dan pelatihan pemerintah dapat memberikan dukungan agenda pembangunan sesuai peran dan tanggungjawabnya. Salah satunya adalah memfokuskan pada upaya peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sebagai salah satu strategi pengembangan kompetensi dan profesionalisme sumber daya manusia Aparatur. Lembaga Diklat, mampu menjadi daya ungkit yang paling kuat dalam mewujudkan sosok pegawai negeri sipil yang kompeten dan profesional, melalui upaya-upaya inovasi dan pengembangan dalam program, kurikulum, metode, serta sarana dan prasarana diklat (Petunjuk pelaksanaan teknis UPT Diklat, 2009) Namun demikian, dalam tataran praktis penyelenggaraan berbagai program diklat masih ditemui banyak kendala dimulai dari tidak standarnya kurikulum terhadap perkembangan tugas dan fungsi aparatur, minimnya kualitas pembelajaran, kurang jelasnya evaluasi hasil belajar, serta tidak tersedianya dukungan sarana dan prasarana diklat yang memadai. Bahkan, para pemangku kepentingan (stakeholders) pediklatan telah melihat bahwa program diklat cenderung jatuh pada rutinitas kegiatan yang berorientasi anggaran saja (budget driven), bukan kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan kapasitas para peserta diklat. Alih meningkatkan kompetensi dan kinerja pegawai, penyelenggaraan diklat dianggap sebagai kegiatan refreshing dari rutinitas kerja keseharian. Untuk 14 itu meningkatkan kualitas penyelenggaraan diklat aparatur akan mampu mewujudkan tujuan ideal diklat sebagai proses transformasi kualitas SDM aparatur negara yang menyentuh 4 (empat) dimensi utama; dimensi spiritual, intelektual, emosional, dan fiskal. Keempat dimensi ini bisa diwujudkan apabila implementasi pelaksanaan diklat mengedepankan kualitas, para penyelenggara memiliki komitmen yang tinggi kepada proses pembelajaran, dan sarana prasarananya disiapkan secara efektif. Dalam mendukung standarisasi kualitas diklat, perlunya ketentuan rumusan tentang standar minimal pelayanan untuk sarana dan prasarana kediklatan. Standar minimal ini akan menjadi acuan dalam proses akreditasi dan sertifikasi lembaga diklat, dimana hanya lembaga diklat yang memiliki sarana kelas, asrama, fasilitas pembelajaran yang memadai saja dapat menyelenggarakan diklat-diklat tertentu. Selain itu dalam rangka memastikan penerapan total quality management (TQM) penyelenggaraan diklat, juga perlu menyusun ketentuan tentang mekanisme koordinasi, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan diklat. Koordinasi monitoring dan evaluasi ini merupakan instrument dari instansi pembina diklat agar penyelenggaraan diklat dapat mengacu pada standar dan ketentuan yang telah digariskan. Koordinasi ini dapat diwujudkan dengan mengirimkan pemberitahuan kepada instansi pembina tentang program-program diklat yang akan dilaksanakan di berbagai lembaga diklat daerah, baik itu diklat kepemimpinan, teknis, dan fungsional. Selain itu menekankan pula pentingnya peran kediklatan dengan memberikan pemahaman kepada peserta bahwa diklat bukanlah forum untuk pesta pora. Peserta diklat bukan lagi sekedar penggembira. Output diklat bukan hanya atribut diklat seperti jaket, topi, atau barang lainnya. Outcome diklat bukanlah mengumpulkan sertifikat diklat sebanyak-banyaknya. Namun, diklat pada hakekatnya adalah proses pembelajaran yang akan menghasilkan output berupa peserta dengan kompetensi yang meningkat, dan outcome berupa kinerja aparatur yang lebih baik. Nampak hal yang tidak kalah penting lagi adalah kebijakan yang mengintegrasikan diklat dengan pola pengembangan karir PNS. Strategi pengembangan dan pemberdayaan sumber daya aparatur tidak dapat dilakukan seketika. Perubahan ini dimakna secara bertahap dan terencana yang berkesinambungan. Strategi pengembangan dan pemberdayaan aparatur menuju good governance merupakan learning process yang seharusnya didukung 15 oleh sistem pembelajaran yang kondusif berupa struktur organisasi pemerintahan yang adaptif. Subsistem kepegawaian negara terdiri dari: (1) rekruitmen; (2) penggajian dan reward; (3) pengukuran kinerja; (4) promosi jabatan; (5) pengawasan. Memahami ini merupakan suatu sistem membuat perhatian atas subsub sistem perlu secara utuh. Namun dalam kaitan kajian ini, learning process pada peningkatan kompetensi (kinerja) aparatur yang menjadi tuntutan publik pada pelayanan keseharian yang dinilai tidak memuaskan. Strategi peningkatan kualitas penyelenggaraan diklat akan dapat diimplementasikan secara efektif apabila seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) diklat aparatur memiliki komitmen dan pemahaman sama tentang urgensi peningkatan kualitas dan kompetensi aparatur. Untuk itu diperlukan keterpaduan dan koordinasi yang erat dalam melakukan optimalisasi implementasi strategi peningkatan kualitas diklat. Disamping itu dalam melaksanakan misi mewujudkan kualitas diklat tersebut, para pemangku kepentingan diklat di daerah harus terus menerus melakukan transformasi diri secara menyeluruh dalam meningkatkan kapasitas, keterampilan dan sikap sesuai dengan tuntutan lingkungan strategis yang terus berubah. 2.3. Penguatan Kapasitas SDM melalui Pendidikan Pengembangan dan pemberdayaan aparatur negara merupakan proses pembelajaran, yakni dengan dukungan sebuah sistem pembelajaran yang baik. Proses pembelajaran tetap harus berjalan dan dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah itu sendiri, dengan kesungguhan, konsisten dan terencana menuju aparatur yang berkualitas, kompetensi, profesional dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Pengembangan dan pemberdayaan aparatur negara merupakan learning process, yakni dengan dukungan sebuah sistem pembelajaran yang baik. Proses pembelajaran tetap harus berjalan dan dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah itu sendiri, dengan kesungguhan, konsisten dan terencana menuju aparatur yang berkualitas, kompetensi, profesional dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas Pendidikan dan pelatihan juga merupakan upaya untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan kepribadian pegawai. Oleh karena itu setiap 16 organisasi atau instansi yang ingin berkembang, pendidikan dan pelatihan pegawainya harus memperoleh perhatian yang lebih besar sehingga dapat meningkatkan kinerja pegawainya tersebut seperti yang disampaikan Notoatmodjo (2003). Melihat pentingnya sumberdaya manusia dalam suatu organisasi atau instansi, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa manusia adalah aset yang paling penting dan berdampak langsung pada organisasi atau instansi tersebut dibandingkan dengan sumber daya sumberdaya lainnya. Karena manusia memberikan tenaga, bakat, kreativitas, dan usaha mereka kepada organisasi atau instansi tersebut. Lembaga Diklat tetap dianggap sebagai upaya organisasi yang memiliki pengaruh signifikan dalam peningkatan kompetensi pegawai, karena diklat merupakan proses pembelajaran yang dirancang dan dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan untuk meningkatkan kompetensi agar mereka mampu melaksanakan tugas-tugas pekerjaan secara profesional. Meningkatnya kompetensi yang dimiliki para PNS, maka kinerja individu mereka sekembalinya ke tempat kerja diharapkan akan meningkat, dan pada akhirnya kinerja organisasi secara keseluruhan akan meningkat pula. 2.4. Kelembagaan Israel (1990) mendefinisikan kelembagaan (institution), pengembangan kelembagaan (institutional development) atau pembangunan kelembagaan (institutional building) merupakan proses perbaikan kapasitas organisasi supaya lebih efektif datam penggunaan SDM berdasarkan ketersediaan dana. Mengenai kelembagaan, tinjauannya menyangkut pola norma dan hubungan. Pembahasan pola norma terkait prilaku penataan organisasi (behavior), sedangkan pola hubungan kaitannya dengan jejaring kerja (network) dengan institusi luar komunitas (vertikal) maupun dalam komunitas (horizontal). Tuntutan dimaksud berlaku terhadap kelembagaan di tingkat nasional maupun kelembagaan lokal. Thoha (1998) menegaskan, "setiap membicarakan dinamika kelompok dalam hubungannya dengan perilaku organisasi maka tidaklah lengkap jika belum dibicarakan pola perilaku panitia dalam suatu organisasi. Panitia (kepengurusan) merupakan tipe formal yang amat penting yang dijumpai sekarang ini dalam kehidupan organisasi. 17 Hal yang terpenting dan diharapkan dalam sebuah organisasi adalah ruh atau keberlanjutan disebut dengan institutional sustainability. Kelembagaan berkelanjutan mampu bergerak secara kontiniu pra realisasi bantuan maupun pasca terhentinya bantuan donatur. Kelembagaan di negara sedang berkembang agak sulit bertahan jika diperhatikan pada operasional proyek-proyek international seperti di Indonesia. Oleh karena itu kelembagaan pembangunan ke depan perlu menerapkan dengan sungguh-sungguh prinsip pembangunan berkelanjutan, artinya perlu dikembangkan kerangka pembangunan berkelanjutan dalam konteks Indonesia (Kolopaking dan Tonny, 2007). Kelembagaan adalah organisasi masyarakat ataupun pemerintah yang tumbuh dan berkembang sebagai sebuah kebutuhan komunitas atau organisasi formal lainnya sebagai upya menyatukan visi, misi dan tujuannya dalam sebuah wadah atas dasar kepentingan yang sama dalam satu unit satuan sosial ataupun organisasi. 2.5. Pengembangan Kurikulum Konsep terpenting yang perlu mendapatkan penjelasan dalam teori kurikulum adalah konsep kurikulum. Ada tiga konsep tentang kurikulum, kurikulum sebagai substansi, sebagai sistem pembelajaran, dan kurikulum sebagai bidang pengetahuan studi : a. Konsep pertama, kurikulum sebagai suatu substansi: Suatu kurikulum, dipandang orang sebagai suatu rencana kegiatan belajar atau sebagai suatu perangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum juga dapat menunjuk kepada suatu dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan, bahan ajar, kegiatan belajar-mengajar, jadwal, dan evaluasi. Suatu kurikulum juga dapat digambarkan sebagai dokumen tertulis sebagai hasil persetujuan bersama antara para penyusun kurikulum dan pemegang kebijaksanaan pendidikan dengan masyarakat. Suatu kurikulum juga dapat mencakup lingkup tertentu, suatu sekolah, suatu kabupaten, propinsi, ataupun seluruh negara. b. Konsep kedua, adalah kurikulum sebagai suatu sistem Sistem kurikulum merupakan bagian dari sistem pendidikan bahkan sistem pendidikan di masyarakat. Suatu sistem kurikulum mencakup struktur personalia, dan prosedur kerja bagaimana cara menyusun suatu kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi, dan menyempurnakannya. Hasil dari suatu sistem 18 kurikulum adalah tersusunnya suatu kurikulum, dan fungsi dari sistem kurikulum adalah bagaimana memelihara kurikulum agar tetap dinamis. c. Konsep ketiga, kurikulum sebagai suatu bidang pengetahuan studi Kurikulum merupakan bidang kajian para ahli kurikulum dan ahli pendidikan dan pengajaran. Tujuan kurikulum sebagai sebuah bidang studi adalah mengembangkan ilmu tentang kurikulum dan sistem kurikulum. Mereka yang mendalami bidang kurikulum mempelajari konsep-konsep dasar tentang kurikulum. Melalui studi kepustakaan dan berbagai kegiatan penelitian dan percobaan, mereka menemukan hal-hal barn yang dapat memperkaya dan memperkuat bidang studi kurikulum, yang selalu disesuaikan dengan kebutuhan organisasi maupun masyarakat yang dipandang sebagai subjek dalam pelayanan publik (UPT Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Riau, 2008). Berdasarkan paparan singkat di atas maka dalam proses pembuatan dan pelaksanaan suatu kurikulum pembelajaran diperlukan kegiatan- kegiatan seperti; (1) mengembangkan definisi-definisi deskriptif dan preskriptif dari istilah-istilah teknis; (2) mengadakan klasifikasi tentang pengetahuan yang telah ada dalam pengetahuan-pengetahuan baru; (3)melakukan penelitian inferensial dan prediktif menyangkut perkembangan organisasi; (4) mengembangkan subsubteori kurikulum, mengembangkan dan melaksanakan model-model kurikulum. 2.6. Pembelajaran dan Suasana Belajar Suasana belajar di dalam kelas merupakan salah satu faktor pendukung sukses tidaknya sebuah proses pembelajaran. Membangun suasana belajar secara partisipatif dalam kegiatan pendidikan berjenjang pada UPT Pendidikan dan Pelatihan BKD Provinsi Riau dimulai dengan melakukan kontrak belajar dengan peserta pendidikan dan pelatihan. Hal ini sangat penting mengingat jadwal dan materi pendidikan harus ditetapkan secara bersama, agar peserta pendidikan lebih berperan serta aktif dalam setiap proses kegiatan pendidikan dan pelatihan. Pengembangan belajar lebih diarahkan kepada kegiatan yang bersifat participatory training, dalam bentuk ceramah, diskusi, penugasan dan analisis permasalahan secara lokalitas dan merupakan bagian dari pekerjaan peserta sebagai unit pelayanan kepada publik. Untuk itu dalam pengembangan pembelajaran peserta secara aktif diharuskan mengungkapkan pandangan, 19 pengalaman dan keilmuannya, untuk kemudian dibuat sebuah kesimpulan yang disepakati oleh seluruh peserta. Agar muatan keilmuan ada dalam setiap proses pembelajaran maka diperlukan pembanding yang berasal dari tenaga profesional seperti perguruan tinggi maupun aktivis penggerak komunitas. Hasil yang diperoleh dari narasumber ini kemudian dibawa kedalam proses diskusi dan penugasan untuk kemudian dibuat sebuah analisis dan kesimpulan bagi pengembangan kegiatan kerja peserta pasca mengikuti pendidikan dan pelatihan. 2.7. Pembelajaran Orang Dewasa UPT Pendidikan dan Pelatihan sebagai lembaga pemerintah yang berfungsi untuk mendorong peningkatan kapasitas pegawai negeri, dalam hal ini dalam proses penyusunan kurikulum pembelajarannya harus menempatkan metodologi pendidikan orang dewasa. Sistem Pendidikan orang dewasa memiliki daur proses pembelajaran yang dimulai dari proses mengalami, mengungkapkan, manganalisis, menyimpulkan dan terakhir adalah menerapkan, dalam hal ini peserta didik dianggap orang yang telah mempunyai pengalaman dalam bekerja dan telah pernah mengetahui beberapa konsep keilmuan. Untuk itu peserta di-review kembali segala bentuk pengalaman dan ilmu pengetahuannya, untuk dibuat kesimpulan yang sistematis untuk dikerjakan secara individu maupun kolektif. (Petunjuk teknis kegiatan UPT Pendidikan dan Pelatihan BKD. Provinsi Riau, 2009). Mustikasari (2008) menyatakan bahwa bagi orang dewasa pembelajaran lebih menekankan untuk apa ia belajar. Dalam proses pembelajaran orang dewasa (andragogi), ia menghendaki kemandirian dan tidak mau diperlakukan seperti anak-anak, misalnya ia diberi ceramah oleh orang lain tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Apabila orang dewasa dibawa pada situasi belajar yang memperlakukan dirinya dengan penuh penghargaan, maka ia akan melakukan proses belajar dengan penuh penghargaan pula. Ia akan melakukan proses belajar dengan pelibatan dirinya secara mendalam. Situasi tersebut menunjukkan orang dewasa mempunyai kemauan sendiri untuk belajar. Oleh sebab itu perlu diketahui cara-cara yang efektif untuk pembelajaran orang dewasa. Faktor-faktor yang mempengaruhi orang dewasa dalam belajar dapat bersifat psikis dan fisik. 20 Oleh kaena itu untuk memperlancar proses pembelajaran orang dewasa perlu memperhatikan beberapa prinsip: a. Nilai dan Norma Perbedaan, dalam pemahaman atas nilai dan norma adalah pada orang dewasa terletak pada dirinya sendiri, sedangkan pada anak-anak terletak pada pendidik. Orang dewasa dalam memahami suatu informasi tidak serta merta diterima atau ditelan bulat-bulat tetapi selalu dibandingkan dengan nilai dan norma yang sudah melekat dalam dirinya yang terbentuk selama pengelamannya. Orang dewasa tidak akan mudah terbujuk dan lalu setuju terhadap informasi yang diterima, apalagi yang ia ragukan kebenaran dan kurang sejalan dengan nilai dan norma yang diyakininya. Sedangkan nilai dan norma pada diri anak masih dalam proses “pembentukan”. Oleh karena itu mereka memerlukan contoh dan teladan yang baik dari pendidik. Implikasi dalam proses pembelajaran orang dewasa adalah lebih mengutamakan pendekatan pembelajaran “terpusat pada peserta didik”. Pada hakekatnya pendekatan pembelajaran ini, peserta diberi kesempatan mengambil tanggung jawab yang luas untuk mengambil keputusan sendiri dalam belajar. Orang dewasa belajar dengan cara menemukan yaitu informasi yang diterima menjadi sikap hidupnya setelah ia menganalisis, mensintesis, merefleksi dan merenungkan. Apabila informasi itu ternyata benar menurut dirinya maka ia mengambil keputusan dalam dirinya berupa setuju – tidak setuju, suka – tidak suka, boleh – tidak boleh, maupun baik atau buruk. b. Perhatian dan motivasi proses belajar tidak akan terjadi tanpa perhatian dari peserta. Perhatian dapat dibangkitkan dengan penggunaan media dan metode pembelajaran yang bervariasi. Hal tersebut memunculkan motivasi pada diri peserta. Motivasi sangat berperan dalam kegiatan belajar. Motivasi adalah kondisi dalam diri individu yang mendorong seseorang berbuat (belajar). Motivasi berkaitan dengan minat. Orang yang memiliki minat terhadap sesuatu akan tumbuh motivasi untuk mempelajari seseuatu itu. Motivasi dapat bersifat internal yaitu datang dari diri sendiri dan bersifat eksternal yaitu motivasi tumbuh karena pengaruh dari luar. c. Keaktifan secara psikologis setiap manusia mempunyai dorongan untuk berbuat sesuai inspirasinya. Belajar tidak dapat dipaksaan dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain. Belajar hanya mungkin terjadi bila orang 21 mengalaminya sendiri. Belajar menyangkut apa yang harus dikerjakannya untuk dirinya sendiri, inisiatif belajar harus datang dari dalam diri peserta. Orang dewasa belajar tidak hanya menerima, menyimpan informasi tetapi juga mentransformasikannya. Orang belajar memiliki sifat aktif, konstruksif dan mampu merencanakan sesuatu. Peserta diklat mampu mencari, menemukan dan menggunakan pengetahuan yang diperolehnya. Dalam proses belajar peserta mampu mengidentifikasi, merumuskan masalah, mencari dan menemukan fakta, menganalisi, menafsirkan, menarik kesimpulan, mengadopsi, dan mengambil keputusan. Prinsip keaktifan mengemukakan bahwa individu merupakan manusia belajar yang selalu aktif untuk ingin tahu. Keaktifan terlihat baik berupa kegiatan fisik seperti membaca, menulis, mendengar, berlatih, dan lainlain, maupun kegiatan psikis seperti menggunakan pengetahuan dalam memecahkan masalah, membandingkan suatu konsep, menganalisis, mensisntesis, menilai, merefleksi, merasakan, dan lain-lain. Belajar harus dilakukan secara aktif baik individu maupun kelompok. d. Keterlibatan langsung belajar paling baik adalah belajar melalui pengalaman langsung. Belajar dengan prinsip ini, peserta tidak sekedar mengamati, tetapi ia harus menghayati, terlibat langsung dalam perbuatan, dan bertanggung jawab terhadap hasilnya. Orang belajar naik sepeda yang paling baik langsung diberi sepedanya untuk dapat dinaiki. Belajar bersepeda tidak dapat melelui modul dan diceramahi. e. Pengulangan, prinsip belajar yang tidak kalah penting adalah mengulangulang. Mengulang-ulang suatu materi pelajaran merupakan latihan untuk mengembangkan daya-daya dalam diri individu. Daya-daya itu ialah inteligensi, mengamati, menanggapi, mengingat, menghayal, merasakan, berpikir, dan lain-lain. Ibarat mengasah pedang yang terus menerus menjadi tajam.