Artikulasi Politik Majelis Ta’lim Kota Medan Oleh: Hasyimsyah Nasution1 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persoalan al-din wa al-dawlah dalam materi pengajian pada Majelis Ta’lim di Kota Medan, dan bagaiamana pengejawantahannya dalam pemilihan umum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Majelis Ta’lim di kota Medan tidak satu pun yang memprogram materi pengajiannya terkait dengan persoalan politik. Persoalan politik dikaji bersifat situasional menjelang dilaksanakan pemilihan Umum. Karena itu, tingkat pemahaman para anggota masih lemah. Pada bagian lain Majelis Ta’lim biasanya didatangi oleh elite dan aktor politik dalam kepentingan pencitraan dan pada gilirannya untuk mendulang dukungan. Selain itu, Majlis Ta’lim mengartikulasi politiknya sesuai intensitas informasi yang diperolehnya dan emosi primordial. Term Kunci: Politik, Majelis Ta’lim, Kota Medan Pendahuluan Perubahan besar setelah bergulirnya reformasi di Indonesia pada 21 Mei 1998 adalah menyangkut pergantian sistem pemerintahan dari demokrasi Pancasila ke demokrasi “liberal”. Perubahan itu secara legal ditandai dengan 4 (empat) kali terjadi amandemen Undang Undang Dasar (UUD) 1945 selama satu periode masa bakti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1979-2004 di bawah ketua M. Amin Rais. Kendatipun UUD 1945 tetap berisikan 37 Pasal, tetapi telah terjadi pertambahan ayat pada sejumlah pasal, bahkan lebih banyak dari semula. Untuk memudahkan mengenal perubahan (amandemen) tersebut ditandai dengan bintang. Salah satu perubahan yang sangat mendasar pada UUD 1945 tersebut adalah pada pasal 6A ayat (1), pasal 18 ayat (3) dan ayat (4), dan pasal 19 ayat (1). Pasal-pasal tersebut mempertegas bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan atas Kedaulatan Rakyat. Wujud dari kedaulatan tersebut adalah penyelengaraan Pemilihan Umum di Indonesia, termasuk kota Medan, yang meliputi Pemilihan Presiden/ Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/ Kota, dan Gubernur/ Wakil Gubernur serta Pemilihan Bupati/ Wakil Bupati atau Walikota/ Wakil Wali Kota. Relasi Islam dan politik di Indonesia senantiasa menarik untuk diperbincangkan dari dulu hingga sekarang. Selain karena umat Islam menjadi warga mayoritas di negeri ini, juga karena aspirasi politik umat Islam di Indonesia tidaklah bersifat homogen. Sulit untuk membantah bahwa kekuatan Islam memberikan warna yang cukup dominan pada dinamika politik di Indonesia. Salah satu kelompok yang ikut serta dalam memberikan peranannya sekaligus menancapkan pengaruhnya dibidang politik adalah Majlis Ta’lim, tentu hal ini merupakan fenomena yang baru, karena Majlis Ta’lim adalah lembaga swadaya masyarakat murni, yang 1 Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam UIN-SU Medan dikelola, dipelihara, dikembangkan dan didukung oleh anggotanya. Oleh karena itu merupakan wadah masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.2 Apakah keberadaan Majelis Ta’lim dimanfaatkan oleh para aktor politik dan sejauhmana Majelis Ta’lim bernuansa politik. Hal ini perlu ditelusuri secara mendalam untuk membekali baik aktor politik, maupun menjadi bahan pertimbangan kepada para relawan yang berkeinginan bergelut dengan nuasa politik ke depan. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini secara umum ialah untuk menganalisis artikulasi politik Majelis Ta’lim Kota Medan dalam Pemilihan Umum, baik untuk anggota legislatif maupun untuk jabatan eksekutif. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis : 1. Pemahaman pengurus dan anggota Majelis Ta’lim Kota Medan tentang hubungan politik dengan agama Islam; 2. Pengejawantahan aspirasi politik Majelis Ta’lim Kota Medan dalam Pemilihan Umum; 3. Pemanfaatan Majelis Ta’lim Kota Medan oleh aktor-aktor politik untuk mendapatkan dukungan/ suara dalam Pemilihan Umum. Kajian Teoritis Hubungan Islam dan Politik Islam dan politik terbangun hubungan yang saling melengkapi. Karena itu, Islam dapat dipandang sebagai instrumen ilahiah untuk memahami dunia. 3 Islam, merupakan agama yang mudah untuk menerima premis ini mengingat ciri Islam yang paling menonjol, yaitu sifatnya yang “hadir di mana-mana” (omnipresence). Ini sebuah pandangan yang mengakui bahwa “di mana-mana”, kehadiran Islam selalu memberikan “panduan moral yang benar bagi tindakan manusia.”4 Islam mewajibkan atas seorang muslim supaya taat kepada Allah, Rasul-Nya dan mentaati pemimpin; pemimpin dalam hal ini adalah pemerintah, akan tetapi ketaatan terhadap pemerintah (negara) bukanlah kewajiban taat yang mutlak tetapi ketaatan bersyarat. Tidak akan ada ketaatan kepada pemimpin jika dapat membawa seorang muslim keluar dari mentaati Allah dan rasul-Nya (la tha’ata li ma’siat lil Allah).Perhatikan: QS. al-Nsa`/4:59. Islam sebagai agama samawi yang komponen dasarnya ‘aqidah dan syari’ah, punya korelasi erat dengan politik dalam arti yang luas. Sebagai sumber motivasi masyarakat, Islam berperan penting menumbuhkan sikap dan perilaku sosial politik. Implementasinya kemudian diatur dalam syari’at, sebagai katalog-lengkap dari perintah dan larangan Allah, pembimbing manusia dan pengatur lalu lintas aspek-aspek kehidupan manusia yang kompleks. Dalam konteks Indonesia, korelasi Islam dan politik juga menjadi jelas dalam penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Ini bukan berarti menghapus cita-cita Islam 2 Tuti Alawiyah, Strategi Dakwah dilingkunagn Majlis Ta’lim, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 75. Argumen ini pernah dikemukakan secara cukup kuat oleh Robert N. Bellah. Lihat tulisannya, “Islamic Tradition and the Problems of Modernization,” Robert N. Bellah, Beyond Belief: Essays on Religion in a Post-Traditionalist World, Berkeley dan Los Angeles: University of California Press, 1991, h. 146. Lihat juga Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies, Chicago dan Lon- don: University of Chicago Press, 1988, hlm. 4. 4Fazlur Rahman, Islam, New York, Chicago, San Fransisco: Holt, Reinhart, Winston, 1966, hlm. 241 3 dan melenyapkan unsur Islam dalam percaturan politik di Tanah Air. Sejauh mana unsur Islam mampu memberikan inspirasi dalam percaturan politik, bergantung pada sejauh mana kalangan muslimin mampu tampil dengan gaya baru yang dapat mengembangkan kekayaan pengetahuan sosial dan politik untuk memetakan dan menganalisis transformasi sosial. Menurut ulama Syafi’iyah, politik harus sesuai dengan syari’at Islam, yaitu setiap upaya, sikap dan kebijakan untuk mencapai tujuan umum prinsip syari’at. Tujuan itu ialah: 1. Memelihara, mengembangkan dan mengamalkan agama Islam. 2. Memelihara rasio dan mengembangkan cakrawalanya untuk kepentingan ummat. 3. Memelihara jiwa raga dari bahaya dan memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang primer, sekunder mau pun suplementer. 4. Memelihara harta kekayaan dengan pengembangan usaha komoditasnya dan menggunakannya tanpa melampaui batas maksimal dan mengurangi batas minimal. 5. Memelihara keturunan dengan memenuhi kebutuhan fisik mau pun rohani. Bangunan politik semacam ini, harus didasarkan pada kaidah fiqih yang berbunyi, tasharruf al-imam manuthun bi al-mashlahah (kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat atau masyarakat). Ini berarti, bahwa kedudukan kelompok masyarakat sipil dan lembaga kekuasaan tidak mungkin berdiri sendiri. Pemilihan Umum Pemilihan umum adalah syarat minimal bagi adanya demokrasi dan diselenggarakan dengan tujuan memilih wakil rakyat, wakil daerah, presiden untuk membentuk pemerintahan demokratis (Soedarsono, 2005:1). Demokrasi yang dianut di Indonesia adalah Demokrasi Pancasila yang mencakup prinsip–prinsip pokok demokrasi konstitusional yang berdasarkan rule of law. Untuk merelisasikan demokrasi dimaksud dibentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga negara yang menyelenggarakan pemilihan umum di Indonesia…KPU tidak dapat disejajarkan kedudukannya dengan lembaga-lembaga negara yang lain yang kewenangannya ditentukan dan diberikan oleh UUD 1945. Bahkan nama Komisi Pemilihan Umum belum disebut secara pasti atau tidak ditentukan dalam UUD 1945, tetapi kewenangannya sebagai penyelenggara pemilihan umum sudah ditegaskan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yaitu Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Artinya, bahwa Komisi Pemilihan Umum itu adalah penyelenggara pemilu, dan sebagai penyelenggara bersifat nasional, tetap dan mandiri (independen)” (Asshiddiqie, 2006:236-239). Berdasarkan teori organ negara di atas, Komisi Pemilihan Umum merupakan auxiliary state body, yaitu penunjang atas lembaga negara utama (main state organ). Komisi Pemilihan Umum secara hierarki termasuk dalam kategori auxiliary state organ yang kedudukannya sejajar dengan Menteri Negara, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara, Komisi Yudisial, Komisi Ombudsman Indonesia dan Bank Sentral. Komisi pemilihan umum menunjang lembaga-lembaga negara utama sebagai penyelenggara pemilihan umum di negara Indonesia. Disamping itu, kegiatan pemilihan umum erat kaitannya dengan partai politik, karenanya partai politik tidak bias dinafikan, keberadaan Partai Politik dalam kehidupan ketatanegaraan pertama kali dijumpai di Eropa Barat, yakni sejak adanya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang patut diperhitungkan serta diikut sertakan dalam proses politik, Dengan adanya gagasan untuk melibatkan rakyat dalam proses politik (kehidupan dan aktifitas ketatanegaraan), maka secara spontan Partai Politik berkembang menjadi penghubung antara rakyat disatu pihak dan pemerintah di pihak lain. Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa sebagai organisasi yang secara khusus dipakai sebagai penghubung antara rakyat dengan Pemerintah, keberadaan Partai Politik sejalan dengan munculnya pemikiran mengenai paham demokrasi dan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan. Metodologi Penelitian Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian ini adalah Majelis Ta’lim yang terdapat di Kota Medan. Mengingat jumlah Majelis Ta’lim cukup banyak, dan tidak terdapat data akurat jumlah Majels Ta’lim dari lembaga resmi, seperti Kementerian Agama Kota Medan, dan Bagian Sosial dan Agama Pemerintah Kota Medan. Karena itu penentuan sampel menggunakan representasi populasi secara random purposif. Jenis Data Data yang dikumpukan dibedakan kepada dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang terkait langsung dengan permasalahan penelitian. Sedangkan data sekunder adalah data yang sifatnya menunjang dan memperjelas data primer. Sumber Data Data primer diperoleh dari informan yang berhubungan langsung dengan keberadaan Majelis Ta’lim, seperti Kementerian Agama Kota Medan yang mempunyai tugas terkait dengan pembinaan keagamaan, dan Pemerintah Kota Medan, cq. Bidang sosial keagamaan yang bertanggung jawab secara pemerintahan terhadap keberadaan kelompok keagamaan. Selain itu, data primer didapakan dari pengelola atau pengurus dan anggota Majelis Ta’lim Kota Medan. Adapun data sekunder diperoleh data masyarakat pada umumnya, baik yang bersifat sebagai pengamat, tokoh masyarakat, pimpinan organisasi kemasyarakatan dan keagamaan serta para politikus yang pernah ikut sebagai calon atau kontestan dalam Pemilihan Umum legislatif maupun eksekutif. Instrumen Pengumpul Data (IPD) Untuk mengumpulkan data maka peneliti menggunakan instrumen/ teknik, yaitu wawancara, observasi, dan dokemuntasi. Teknik Analisis Data Setelah data dan informasi yang diperlukan terkumpulkan selanjutnya dianalisis dalam rangka menemukan makna temuan dengan mengacu kepada pendapat Lincoln & Guba, 5 untuk mencapai trustworthiness (kebenaran) dipergunakan berbagai teknik, yaitu: kredibilitas, transferabilitas, dependanbilitas dan konfirmabilitas. 5Lincoln S. Yuonna & Egon G. Guba, Naturalistic Inquiriy, (California: Sage Publication, 1985), hlm.300. Tahapan yang diikuti mengacu pada pendapat Huberman & Miles, 6 yaitu tahap reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil Penelitian dan Pembahasan Profil Responden Penelitian Pada penelitian ini dapat ditetapkan responden/ informan yang menjadi sumber data, meliputi: (a) Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Kota Medan;( b) Bagian Agama Sekretariat Daerah Kota Medan, (c) Pengurus Majelis Ta’lim bercorak Organisasi keagamaan/kemasyarakatan yang diwakili Pengurus Cabang dan atau ranting Muhammadiyah, (d) pengurus dan anggota Majelis Ta’lim bercorak organisasi sosial politik, yang diwakili Al-Hidayah, (e) Majelis Ta’lim bercorak umum, yang diwakili Nikmatul Hasabah dan Majelis Ta’lim Parwadah Kecamatan Medan Tembung, Majelis Ta’lim AlMahsun Kecamatan Medan Kota, Majelis Ta’lim Irsyadud Dakhillah Kecamatan Medan Kota, dan Majelis Ta’lim Al-Amin Kecamatan Medan Perjuangan. Keempat jenis reponden dimaksud memiliki karakter dan sifat masing-masing sesuai dengan dasar dan posisinya. Kementerian Agama Kota Medan sesuai dengan tugas pokok sebagai lembaga pemerintahan yang bertanggung jawab tentang keberagaman masyarakat. Terkait dengan keberadaan Majelis Ta’lim menjadi pembinaan dan koordinasi pada Seksi Pembinaan Masyarakat Islam. Tetapi struktur fungsi dan tugas tersebut secara khirarkis lebih memperhatikan hal-hal yang bersifat instruktif dari jenjang struktur di atasnya, dalam hal ini Kementerian agama Provinsi Sumatera Utara, dan seterusnya, sedangkan lembaga pemerintahan lain yang sama level tingkatannya seperti Pemerintah Kota Medan adalah merupakan mitra kerja, karena itu, kedua instansi ini “saling memahami” dan tidak saling memerintah. Terkait Majelis Ta’lim yang dibentuk oleh Organisasi Keagamaan/ Kemasyarakatan, hanya terdapat di lingkungan persyerikaan Muhammadiyah. Sesuai dengan Anggaran Dasar (AD) pasal 3 dan Anggaran Rumah Tangga (ART) pasal 3 tentang amal usaha dinyatakan bahwa salah satu amal usaha Muhammadiyah adalah mebenar sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah melalui pengajian pada setiap jenjang persyerikatan. Bahkan salah satu syarat berdirinya ranting ditandai dengan adanya pengajian dimaksud. “Di Medan saat ini terdapat 30 Pimpinan Cabang dengan 137 Pimpinan Ranting, sedangkan pada Aisyiyah terdapat 27 Pimpinan Cabang dengan 105 Pimpinan Ranting”.7 Pada Organisasi Keagamaan/ Kemasyarakatan lainnya, seperti Al-Washliyah dan Nahdlatul Ulama, ada bentuk pengajian dimaksud terutama pada tingkat pimpinan daerah Kota Medan, tapi sulit untuk dipanau keberadaannya. Adapun keberadaan Majelis Ta’lim yang didirikan oleh Partai Politik atau elit politik, biasanaya mengadakan kegiatan dalam momen-monen tertentu, seperti ulang tahun partai, konsolidasi partai, dan menjelang Pemilihan Umum. Al-Hidayah merupakan Majelis Ta’lim di bawah naungan Partai Golkar dan keberadaannya sudah sejak masa orde baru yang pada umumnya didukung oleh para kaum perempuan Golkar. 6A. Michael Huberman & Matthew B. Miles, Data Management and Analysis Methods, (New York: Jersey Pers, 1984), hlm. 429. 7Wawancara dengan M. Nur (Kepala Sekretariat Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Medan) tanggal 5 Nopember 2015 di Medan. Bentuk Majelis Ta’lim yang bersifat umum, baik yang didirikan atas dasar kesamaan asal daerah (kampung halaman), maupun karena kesaaan tempat tingal. Pada dasarnya digabungkan dengan Syerikat Tolong Menolong (STM), suatu organisasi non-profit yang menginisiasi kehidupan, seperti kematian dan pernikahan. Bentuk Majlis Ta’lim ini terdapat disemua lingkungan kelurahan yang beranggotakan laki-laki dan perempuan. Tetapi, aktifitas perwiritan dan pengajian lebih banyak terdapat di kalangan Ibu-Ibu. Bahkan, terdapat pegajian bersama/ akbar pada tingkat kecamatan, dan relatif mudah memobilisasi untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat massif, baik yang bertendensi agama maupun politik. Pemahaman Majelis Ta’lim Tentang Hubungan Politik dan Islam Sejak iklim demokasi semakin kondusif untuk mengartikulasikan kepentingankepentingan kelompok, maka Majlis ta’lim mencoba memasuki dunia barunya berupa partisipasi politik, atau keikutsertaan Majlis Ta’lim dalam kegiatan politik tidak dapat dihindarkan lagi. Pada kenyataannya kecenderungan Majlis Ta’lim dijadikan sebagai tempat pengumpulan suara itu tidak bisa dihindari dan sangat jelas Majlis Ta’lim selalu terlihat dalam hal politik, bahkan yang sangat disayangkan ketika menjelang pemilu sering muncul Majlis Ta’lim dadakan yang memang dibentuk untuk kepentingan politik, setelah selesai pemilu Majlis Ta’lim terebut akan bubar dengan sendirinya. Oleh karena itu memang benar adanya tanpa disadari Majlis Ta’lim itu selalu menjadi sasaran calon pemilu untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya.8 Tampaknya Majlis Ta’lim sudah jauh terlibat kedalam dunia politik karena itu harus dikembalikan kepada ruh awal kemunculannya, sebagai kelompok terbuka dan tentunya peran sosial politik yang diembannya harus lebih murni, netral dan lebih melihat kepentingan semua pihak.9 Sebenarnya Majelis Ta’lim sebagai organisasi kemasyarakatan secara normatif tidak memiliki hubungan langsung dengan proses Pemilihan Umum namun pada kenyataannya Majlis Ta’lim membuat kebijakan keikutsertaan serta partisipasi politik dalam proses tersebut. Partisipasi politik itu perlu dan sepertinya ada kewajiban untuk memberikan partisipasi politik ketika dilakukannya pemilu, dan memang itulah yang menjadi suatu keharusan di dalam negara yang demokrasi. Walaupun pada kenyataannya sering hak dan partisipasi politik seseorang itu dibeli oleh para aktor politik tetapi itu kembali kepada pemikiran individualnya masing-masing. Bagaimana mereka menyikapi sistem politik itu. Sementara kedatangan konstentan pemilu ini selalu diterima dengan baik dan memang diharapkan kedatangan mereka, kebanyakan para calon itu datang untuk meminta dukungan, oleh karena itu sebagaimana mestinya para anggota dan pengurus dapat membuat beberapa usulan program yang apabila si calon tersebut terpilih diharapkan bisa merealisasikan keinginan-keinginan tersebut. Walaupun agama tidak terwujud secara institusional atau konstitusi atau perundang-undangan negara, namun hanya terwujud dalam etika dan moral setiap individu pelaku-pelaku politik saja, karena itu agama tidak terpisah dari agama, sebab 8 9 Wawancara dengan Kementaria agama Kota Medan Cq. Bimas Islam. Wawancara dengan Pemko Medan Cq. Pembinaan Agama. agama mengatur segala aspek kehidupan, termasuk didalamnya aspek politik dan kenegaraan10 Pendapat yang sama dinyatakan oleh Pengurus Majlis Ta’lim Parwadah11 dan Majelis Ta’lim Al-Mahsum Kecamatan Medan Kota.12 Dari hasil wawancara tersebut dengan pimpinan Majlis Ta’lim diberbagai tempat menyangkut keterlibatan sekaligus pandangan Majlis Ta’lim pada aktivitas politik atau hubungan agama dengan politik praktis di atas, diketahui beberapa alasan yang memperkuat sikapnya untuk mendukung pasangan kontestan politik. Mereka umumnya berpandangan bahwa setiap ada momen politik sangat penting untuk masa depan. Majlis Ta’lim dalam hal ini ingin tampil sebagai pelopor perubahan sosial dan keagamaan, karena niat tersebut mereka memberikan suara dan ikut serta dalam proses politik tersebut, karena diyakini bahwa hal terebut merupakan perintah ajaran agama. Pengejawantahan Aspirasi Politik Majelis Ta’lim dalam Pemilihan Umum Antusisme dan partisipasi masyarakat dalam politik menunjukkan bahwa proses demokrasi semakin tampak jelas di Indonesia. Bahkan para politikus terkadang egois dan menghalalkan segala cara supaya terpilih. Seperti mensosialisasikan visi-misi-nya di berbagai Majlis Ta’lim. Majlis Ta’lim bukanlah tempat penunjang jalannya politik tapi sebagai tempat untuk menjalankan pendidikan agama bagi masyarakat.13 Sebagai lembaga pemerintah, Kementerian Agama Kota Medan juga memiliki tugas mensosialisasikan Pemilihan Umum kepada masyarakat melalui Majelis Ta’lim dengan tetap menjaga netralitas dan tidak memihak kepada satu parpol. Hal ini dimaksudkan supaya para anggota Majelis Ta’lim tidak salah dalam memberikan hak pilihnya, dan memang pada akhirnya akan dikembalikan kepada diri mereka sendiri karena itu sudah menjadi hak privasi masing-masing. 14 Kendatipun berbagai pihak menyadari bahwa Majelis Ta’lim meruapakan lembaga dakwah, tetapi ketika menjelang Pemilu wadah ini sering “ditarik” memasuki wilayah politik praktis oleh berbagai pihak mengingat efektifitas kegiatan dakwah Majlis Ta’lim menyentuh emosional para anggotanya. Pemanfaatan Majelis Ta’lim Oleh Aktor Politik Pemilihan Umum menjadi medan pembuktian bagi partai politik sekaligus para aktor politik untuk menunjukkan performa yang bagus untuk mendorong sifat rasionalitas pemilih menuju budaya politik demokratis. Upaya itu seperti kualifikasi track record, kapabilitas, dan program calon kepala daerah, dan tidak lagi partai politik primordial yang mendorong masyarakat memilih atas pertimbangan hubungan agama, suku, dan kesamaan budaya. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan partai politik, dalam rangka penguatan peran partai politik dalam kaitannya dengan Pemilihan Umum antara lain adalah perubahan paradigma dan sosialisasi. Hal itu dilakukan secara agresif dan cermat oleh aktor politik, dimaksudkan untuk 10 Hj. Nurhayati, Pengurus MT Nikmatul Hasanah, Kec. Medan Tembung. Wawancara dengan Hj. Khojijah Pengurus Majlis Ta’lim, Kec. Medan Tembung. 12 Wawancara dengan Hj.Nurhayati BA Pengurus Majlis Ta’lim AL-Mahsun, Kec. Medan Kota. 13 Wawancara dengan Mukhlish Muaz, Pengurus Majlis Tabligh Muhammadiyah Kota Medan. 14 Wawancara dengan Kementerian Agama Kota Medan Cq. Bimas Islam. 11 mendulang suara pada pesta demokrasi. Berbagai tempat yang formal maupun nonformal termasuk Majlis Ta’lim secara inten dikunjungi aktor-aktor politik. Berdasarkan wawancara dengan Ihwan Ritonga (Caleg DPRD Kota Medan dari Partai Gerindra), menurutnya: Kelompok pengajian terutama ibu-ibu ketika menjelang pemilihan umum biasanya itu kebanjiran order. Dan para calon tentu akan berupaya untuk mendapatkan dukungan dari kelompok pengajian tersebut. Dengan sedikit mengeluarkan dana dengan membawa ustadz sebagai penceramah dan memberikan uang konsumsi para anggota pengajian tersebut adalah sudah sangat antusias. Dan tentunya pengaruhnya sangat besar terhadap kesuksesan terhadap kontestan politik. Intinya kemenangan saya tidak terlepas dari peran serta dan usaha baik dari tim sukses, keluarga ibu-ibu pengajian, dan segenap lapisan masyarakat.15 Sementara itu, keterangan yang diberikan IR. H. Ahmad parlindungan Batubara. M.Si (Sebagai Caleg DPRD Provinsi SUMUT dari partai PPP). Menurutnya: Saya sebagai salah satu pengurus di DMI Kota Medan tentu tidak mungkin tidak pernah melakukan sosialisasi politik di dalam internal keorganisasian kami maupun berkunjung ke organisasi-organisasi lain. Termasuk Majlis Ta’lim dan memang itulah harapan besar saya supaya para anggota beserta jajarannya mau mendukung visi-misi yang mereka rencanakan, agar supaya setelah terpilih saya pun mampu dan dapat mengemban tanggung jawab untuk menyuarakan hati rakyat demi kebahagiaan hidup bersama. Bahkan dalam perkiraan saya semua calon kemungkinan sangat besar peran serta Majlis Ta’lim ini dalam perolehan suara. Namun tidak juga semestinya perkiraan kita tergantung terhadap masalah itu, karena masih banyak hal lain yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur. Buktinya saja saya tidak terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi Sumut. Dan setiap masalah itu sepertinya kita tidak harus mempermasalahkan orang-orang disekitar lingkungan kita, karena kita sudah menempuh jalan sebagaimana mestinya dan selebihnya kita kembalikan kepada yang Maha Kuasa.16 Pembahasan Hasil Penelitian Keberadaan Majelis Ta’lim diduga kuat keberadaannya bersamaan dengan kehadiran Islam di tengah-tengah masyarakat, karena sekaligus merupakan bagian dari aktifitas dakwah. Demikian juga halnya di Kota Medan memiliki posisinya strategis dalam kehidupan masyarakat mengingat wadah ini tampil dalam berbagai fungsi, setidaknya dihubungkaitkan dengan fungsi-fungsi sosial. Seperti silaturrahim, arisan, bisnis, media kangenan, media politik dan kebijakan publik. Namun, manajerial pengelolaannya masih sulit melakukan perubahan secara professional, dan masih terikat dengan nuansa keberagamaan secara tradisional, dan faktor usia, bahkan priodesasi hanyalah formalitas. Kontribusi Majelis Ta’lim lebih mengarah pada penguatan simbol keagamaan yang memberikan ikatan kohesif di kalangan para jema’ahnya. Hal ini terutama pada Majelis Ta’lim yang bercorak umum. Bahkan masih terpelihara anggapan bahwa mereka yang tidak ikut bergabung dalam perwiritan (salah satu bentuk Majelis Ta’lim) akan mendapat sanksi sosial, seperti masyarakat disekitar tempat tinggalnya kurang simpati berduka dalam kematian anggota keluarga yang bersangkutan. Hal ini terkait dengan pola budaya masyarakat Kota 15 Wawancara dengan Ihwan Ritonga (Caleg DPRD Kota Medan dari Partai Gerindra). Wawancara dengan Ir. H. Ahmad Parlindungan Batubara . M.Si (Caleg DPRD Kota Medan Provinsi Sumut dari Partai PPP). 16 Medan yang berada pada transisi menuju kota metropolitan dan masih dikitari corak budaya yang sejak lama menyatu dengan kehidupan karena banyaknya anggota masyarakat dan anggota Majelis Ta’lim yang berasal dari kampung (halaman). Hampir tidak dijumpai Majelis Ta’lim yang mempunyai kurikulum dalam upaya memahami Islam kaffah (komprehensif). Hal ini karena keterbatasan pengurus, baik dalam waktu, menejerial, profesionalisme, maupun dalam sumber dana. Sehingga kegiatan Majelis Ta’lim lebih bersifat rutinitas dan wadah silaturrahim. Karena menghadirkan penceramah/ ustadz yang relevan dengan materi kurikulum harus didukung dana.Tidak ada penceramah yang gratis. Biasanya materi pengajian diserakan kepada ustadz dan ketika ada pergantian ustadz dengan yang lain, biasa terjadi pengulangan materi. Selain itu, tingkat pendidikan/ daya serap anggota sangat variatif dan ustadz/ ustadzah menyesuaiakan kepada hal yang bersifat umum. Kementerian Agama Kota Medan, khususnya Seksi Bimbingan Masyarakat Islam dan Bagian Agama Sekretariat Daerah Kota Medan secara pemerintahan bertangung jawab tentang keberadaan lembaga-lembaga keagamaan, termasuk Majelis Ta’lim sebagai lembaga non-formal yang diakui secara sah keberadaannya dan posisinya yang dekat dengan keberagamaan masyarakat. Tetapi, kedua lemabaga ini tidak mempunyai program dalam membina Majelis Ta’lim, hal ini ditandai tidak adanya alokasi anggaran, bahkan tidak ada data tertulis pada kedua instansi ini tentang jumlah dan pengurus Majelis Ta’lim, seperti halnya kenaziran mesjid. Boleh jadi BKM mesjid melaporkan keberadaannya ke pemerintahan karena adanya bantuan seperti halnya di beberapa negara yang penduduknya mayoritas muslim, seperti Malaysia dan Turki, sebaliknya tidak demikian halnya dengan Majelis Ta’lim yang lebih independen dan tidak dijumpai di Malaysia. Karena itu, Majelis Ta’lim berpeluang menjadi jalan masuk pemahaman agama yang cenderung ekstrim. Independensi Majelis Ta’lim tersebut, kecuali yang terdapat pada Muhammadiyah, dimanfaatkan oleh para aktor politik untuk mendapat dukungan suara dan partisipasi dalam setiap Pemilihan Umum, dengan cara berkunjung dan atau memberikan “sumbangan”. Pemanfaatan ke arah politik terjadi karena faktor pengetahuan pengurus dan anggota Majelis Ta’lim yang sedikit tentang nuansa Politik dan hubungannya dengan Islam, dan pada bagian lain sesuai dengan sifat politik liberal yang tengah berkembang di Indonesia pada umumnya dan tak terkecuali di Kota Medan dengan menggunakan berbagai cara untuk sampai tujuan (vested intress). Partisipasi Majelis ta’lim dalam kaitan politik baru sebatas memberikan dukungan sosialisasi dan suara, belum sampai ketingkat patisipasi aktif dalam wujud pengawasan dan peringatan (wa tawashau bi al-haq). Artinya Majelis Ta’lim belum berperan sebagai masyarakat madani. Kesimpulan 1. Majelis Ta’lim di Kota Medan dapat dibedakan kepada empat corak pemebentukan, yaitu (1) bercorak Organisasi keagamaan/kemasyarakatan seperti Muhammadiyah, Al-Washliyah, dan Nahdlatul Ulama; (b) bercorak organisasi sosial politik seperti AlHidayah; (c) bercorak umum, yang dapat dibedakan atas kesamaan kampung halaman dan atau kesamaan tempat tinggal, seperti Nikmatul Hasabah, Parwadah di Kecamatan Medan Tembung, Al-Mahsun di Kecamatan Medan Kota, Irsyadud Dakhillah di Kecamatan Medan Kota, dan Al-Amin Kecamatan Medan Perjuangan; dan (d) bercorak insidental, seperti Sumut Bangkit Bangkit yang timbul pada saat menjelang Pemilihan Gubernur Sumatera Utara pada tahun 2013, dan Pengajian Wanita Medan (PWM) menjelang Pemilikada Walikota/ Wakil Walikota Medan tahun 2015. 2. Pengetahuan para pengurus dan anggota Masjelis Ta’lim tentang hubungan politik dan Islam mesih lemah, hal itu disebakan tidak adanya kurikulum yang menjadi materi pengajian yang terkait dengan persoalan politik. Biasanya pengetahuan para pegurus dan anggota tentang politik diperoleh dari informasi media lain, dan terbatasnya para ustadz/ ustadzah yang memahami dengan benar hubungan Islam dan politik secara komprehensif. Ustadzah/Ustadz lebih banyak belajar secara otodidak dalam kaitan Islam dengan politik. 3. Majelis Ta’lim biasanya didatangi oleh elite dan aktor politik menjelang Pemilihan Umum untuk memberikan sumbangan dan mengharapkan dukungan suara dan partisipasi sosialisasi. Pada umumnya jemaah Majelis Ta’lim mengartikulasi politiknya sesuai dengan informasi yang diperolehnya dan didasari pada pertimbangan emosi primordial atas dasar keagamaan dan kedekatan dengan Calon. Pada bagian lain masih lemah peran Majelis Ta’lim dalam memberikan pengawasan dan peringatan agama terhadap penyelenggaraan kekuasaan. Daftar Pustaka Abu Za’rur, Seputar Gerakan Islam, terjemahan Yahya Abdurrahman (Bogor: al-Azhar Press, 2012). Faisal Ismail dalam kata pengantar Hamdan Daulay, Dakwah di Tengah Persoalan Budaya dan Politik, cetakan ke-1 (Yogyakarta: LESFI, 2001). Fazlur Rahman, Islam, New York, Chicago, San Fransisco: Holt, Reinhart, Winston, 1966. John Lofland dan Lyn H. Lofland, Anliyzing Social Setting: A Guide to Qualitative Observation and Analysis (Belmont: Wadsworth Publishing Company, 1984). Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies, Chicago dan Lon- don: University of Chicago Press, 1988. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 1983). Margono, Metode Penelitian Pendidikan, (Jakartta: Rineka Cipta, 2005). Miriam Budiardjo. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta (Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000). Muhammad A.S. Hikam. Islam, Demokratisasi, dan Pemberdayaan Civil Society. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2000). Nazih Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World. Nurul Huda, Pedoman Majlis Ta’lim, (Jakarta: KODI DKI Jakarta, 1990). Robert N. Bellah, Beyond Belief: Essays on Religion in a Post-Traditionalist World, Berkeley dan Los Angeles: University of California Press, 1991. Salwa Ismail, “Being Muslim: Islam, Islamism and Identity Politics”, dalam Frédéric Volpi (ed), Political Islam: A Critical Reader (London and New York: Routledge, 2011). Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Andi Offset, 1995), Jilid II. Thomas w Arnold, Sejarah Dakwah Islam, (Jakarta: PT Bumirestu, 1985). Tuti Alawiyah, Strategi Dakwah dilingkunagn Majlis Ta’lim, (Bandung: Mizan, 1997). William Liddle, Media Dakwah “One Form of Islam Political Thought and Action in New Order Indonesia” Mark R. Woodward (ed), Toward a New Paradium Recent Development in Indonesia Islamic Thought, (Temple: Arizona State University, 1996).