KELUARGA – IMAM – KERAHIMAN ILAHI (Rm. Drs. Hironimus Pakaenoni, Pr., LTh.) Pengantar: Pada hari Jumat, 13 Maret 2015, pada akhir homili selama perayaan tobat di basilica St. Petrus, Roma, Paus Fransiskus mengumumkan suatu Tahun Suci Kerahiman. Pengumuman ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Bulla “Misericordiae Vultus” (Wajah Kerahiman) pada tanggal 11 April 2015, bertepatan dengan Hari Minggu Paskah II atau Hari Minggu Kerahiman Ilahi. Pada bagian akhir Bulla ini Sri Paus menghimbau Gereja untuk tidak pernah lelah menyebarluaskan kerahiman, serta senantiasa sabar dalam menawarkan kasih-sayang dan kenyamanan. Tahun Suci Kerahiman ini secara resmi dimulai pada tanggal 8 Desember 2015, pada hari raya Bunda Maria Dikandung Tanpa Noda Dosa, dan akan ditutup pada Hari Raya Kristus Raja, tanggal 20 November 2016. Selain itu, dalam berbagai kesempatan, Sri Paus juga menyinggung bahwa dunia dewasa ini tengah menghadapi tantangan serius dan mendasar berupa budaya ketidakpedulian terhadap sesama, sebagai dampak dari globalisasi ekonomi dan perkembangan teknologi yang kian pesat. Tantangan ini sangat mempengaruhi kebersamaan hidup dalam keluarga-keluarga. Menyikapi tantangan ini maka Gereja Katolik universal, nasional maupun setempat memberikan perhatian penuh pada persoalan pastoral hidup keluarga-keluarga, dengan penekanan utama agar keluarga-keluarga kembali menyadari serta menghayati identitas dan jati-dirinya yang benar, sebagai locus di mana terjadi pertemuan antara kasih Allah yang mencipta dan cinta manusia yang melahirkan, yang diperluas hingga tindakan pemeliharaan dan pendidikan, sebagai wujud penciptaan dan kelahiran berlanjut. Selain itu, agar keluarga-keluarga juga menyadari serta menghayati identitasnya sebagai seminari pertama dan utama, yang dengan segala kekuatan dan kelemahannya,menghadirkan serta menumbuhkembangkan benih-benih kasih, kebaikan serta kerahiman ilahi bagi keluarga besar umat manusia. Bertepatan dengan momen-momen istimewa ini, Paroki St. Yosef Naikoten, Kupang juga mensyukuri perayaan Pancawindu Imamat Pastor Parokinya, P. Dagobertus Sotaringgi, SVD, yang dikemas dalam bingkai permenungan serta refleksi bersama dengan tema: “Imam, Keluarga, dan Kerahiman Ilahi”. Bagi penulis yang adalah juga seorang Imam, masa 40 tahun Imamat merupakan masa istimewa penuh rahmat, yang 1 mengingatkan penulis akan masa pembebasan “bangsa pilihan” dari perbudakan di Mesir serta pengembaraan di padang gurun selama 40 tahun sebelum memasuki “tanah terjanji” yang berlimpah susu dan madu. Masa 40 tahun itu juga boleh dibilang sebagai masa “honeymoon” atau bulan-madu antara Yahwe dan Israel, yang diwarnai kasih dan kesetiaan yang penuh dan intens, walau terkadang diwarnai juga oleh jatuh-bangunnya Israel karena ketidaksetiaannya. Justru dalam situasi inilah, Israel sebagai “mempelai wanita” semakin mengalami serta merasakan kasih, kerahiman dan kesetiaan Yahwe yang tidak terbatalkan, sebagai satu-satunya jaminan kelangsungan hidup dan kebahagiaannya. Pengalaman akan kasih, kerahiman serta kesetiaan Allah inilah yang selanjutnya mendorong, baik umat Allah Perjanjian Lama maupun umat Allah Perjanjian Baru untuk terus berjuang menjadi sarana yang menyalurkan rahmat keselamatan berupa belaskasih, pengampunan dan kerahiman Allah yang tidak terperi itu kepada segala bangsa. Karena itu pula, pada momen bahagia Pancawindu Imamat Pastor Dagobertus ini, penulis juga ingin berbagi refleksi dan permenungan bersama umat dengan merujuk pada tema “Keluarga, Imam, dan Kerahiman Ilahi”, dengan asumsi bahwa Imam - yang terlahir dari rahim keluarga sebagai “gereja mini” yang dengan segala kelebihan serta keterbatasan insaninya boleh mengalami, merasakan, dan sekaligus menumbuhkembangkan benih-benih kasih dan kesetiaan ilahi dalam hidupnya – selanjutnya ia juga dipanggil dan dipilih untuk menyerupai Kristus, sang Mempelai dan Imam Agung, Pengantara Allah dan manusia, untuk menyalurkan rahmat keselamatan berupa kasih, kebaikan, kemurahan hati serta kerahiman kepada keluarga besar umat manusia. 1. Keluarga: Locus Kehadiran Allah Perkawinan atau keluarga pada hakekatnya bukan sekedar institusi manusiawi sebagai produk keinginan suatu budaya masyarakat tertentu, melainkan sekaligus bahkan terutama merupakan institusi Ilahi, justru karena ia telah dipikirkan, direncanakan dan dikehendaki Allah sejak semula. Dalam hal ini, perkawinan dan atau keluarga merupakan locus di mana terjadi pertemuan antara tindakan creatio (mencipta) dari pihak Allah dan tindakan procreatio (memperanakkan/melahirkan) dari pihak manusia, yang selanjutnya meluas hingga tindakan conservatio/pemeliharaan (sebagai penciptaan berlanjut) serta educatio/pendidikan (sebagai kelahiran berlanjut), yang mensyaratkan adanya persetujuan bebas berlandaskan cinta antara pasangan suami-istri, sebagai lambang dan cerminan Cinta Allah sendiri. Dengan demikian, perkawinan suami-istri merupakan sakramen: di satu pihak, ia menjadi sarana efektif untuk menyalurkan rahmat Allah bagi manusia, dan di lain pihak, ia merupakan lambang yang menunjuk pada sesuatu yang lain. Ada sekurangkurangnya tiga hal atau kenyataan yang ingin dilambangkan dan ditunjuk oleh perkawinan 2 sakramental itu, yakni: (1) misteri persekutuan cinta intra-Trinitaris (Bapa-Putra-Roh Kudus)1; (2) misteri Inkarnasi (penjelmaan sang Sabda menjadi Daging)2; serta (3) misteri hubungan Kristus dengan GerejaNya3. Inilah sebenarnya dasar utama sukacita dan kegembiraan dalam hidup perkawinan/keluarga, dengannya keluarga-keluarga boleh mengalami sekaligus bertumbuh dalam Rahmat Kasih serta Kerahiman Allah yang tak terperi. Sayangnya, sukacita dan kegembiraan ini sering dikaburkan, justru oleh ketidakpahaman sekaligus penolakan secara bebas dari pihak manusia (pasutri/keluarga) terhadap maksud dan rencana Allah sejak semula terhadap lembaga perkawinan/keluarga itu sendiri, yang sedikit-banyaknya juga dipicu oleh arus perubahan dan perkembangan zaman dengan aneka tawaran nilainya yang sering menyesatkan (antara lain: konsumerisme, materialisme, hedonisme, egosisme, individualisme, dll.) . Dalam situasi penuh tantangan yang teramat riskan semacam ini, lembaga perkawinan/keluarga-keluarga Allah diharapkan untuk kembali menyadari sekaligus menghayati sungguh-sungguh fitrah, hakekat atau jatidirinya yang benar, sambil terus membuka diri dan proaktif menanggapi berbagai bantuan pastoral yang ditawarkan Gereja dan semua pihak yang berkehendak baik. Hanya dengan itu, keluarga-keluarga modern/post-modern boleh menemukan kembali “paradise” yakni taman sukacita/kegembiraan, kasih dan kerahiman yang mungkin nyaris hilang dan sirna oleh aneka tawaran sesat”. 1 Dalam Teologi Kristen, relasi/persekutuan cinta intra-Trinitaris merupakan dasar sekaligus model relasi/persekutuan cinta suami-istri karena di dalam relasi cinta Intra-Trinitaris (Allah Tritunggal) terdapat cirri polaritas-komplementer (keberbedaan yang saling melengkapi); suatu hubungan dan kerjasama antar-pribadi yang demikian intens (perichoresis: saling menyerapnya ketiga Pribadi Ilahi yang sedemikian intens, teristimewa dalam pelaksanaan fungsi dan peran, tanpa tendensi persaingan apapun, juga tanpa peleburan atau pencampuran yang dapat mengancam hilangnya identitas masing-masing Mereka). Dengan demikian, terdapat analogi antara relasi cinta Allah Tritunggal dan relasi cinta suami-istri, yang semakin diperuncing ketika relasi antar-pribadi berupa cinta itu membuahkan pribadi baru (anak), yang seakan mempribadikan komunikasi (bahasa) kasih suami-istri (sebagaimana Roh Kudus [sebagai bahasa kasih Bapa dan Putera] sekaligus adalah Pribadi). Konsili Vatikan II bicara tentang “cinta suami-istri yang majemuk, yang bersumberkan kasih ilahi Allah sendiri” *GS. 48+. Artinya, cinta suami-istri tidak hanya mengalir/bersumber dari kasih ilahi Allah, tetapi sekaligus juga memantulkan kasih ilahi Allah itu, sebagaimana berlangsung di dalam [relasi] keilahian antara Bapa dan Anak berupa Roh Kudus). 2 Menurut dogma Kristen, Kristus sebagai Gambar Asli Allah [semua manusia merupakan gambar dari Gambar Asli itu), mempersatukan di dalam diriNya keallahan dan kemanusiaan, berkat kasih-ilahi yaitu Roh Kudus. Menurut Luk 1:35 dan Mat 1:18.20, Yesus dikandung Roh Kudus, yang menurut dogma tentang Inkarnasi, hal itu diartikan sbb.: bahwa Roh Kudus [sebagai bahasa kasih ilahi] mempersatukan di dalam Yesus Kristus keallahan dan kemanusiaan. Relasi yang berlandaskan kasih ilahi (RK) ini adalah relasi yang mantap dan abadi. Karena itu juga, suami-istri yang berdasarkan cinta/kasih secara mantap bersatu dalam perkawinan, dapat dinilai sebagai gambar Kristus yang adalah Allah-Manusia, sebuah gambar Inkarnasi). Dalam FC.3, Sri Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa “perkawinan yang didirikan Allah, menurut hakekatnya terarah kepada Kristus untuk digenapi oleh Dia”. 3 Pandangan tradisional berdasarkan Ef 5:31-32 melihat hubungan suami-istri dalam perkawinan sebagai pralambang hubungan Kristus dengan Gereja. Dalam sejarah perjanjian, hubungan Kristus dengan Gereja [sebagai hubungan antara Mempelai Pria dan Wanita] sebenarnya mengungkapkan, memperlihatkan dan memberi wujud/rupa kepada hubungan implicit yang sejak semula sudah terjalin antara Allah/Yahweh dan Israel. GS 48 memandang cinta-kasih suami-istri sebagai cerminan [exemplatum] terbentuk sesuai dengan persatuan kasih antara Kristus dan Gereja. 3 Pada akhir bagian Pengantar dari “Roadmap – Tahun Kerahiman Ilahi – KAK 20152016”, YM. Bapak Uskup Kupang antara lain menulis sbb.: “Keluarga adalah tempat dan ruang pesemaian/seminari pertama dan utama dalam menumbuhkan, mengembangkan dan menghadirkan Kerahiman Ilahi, biarpun keluarga tetap diselimuti oleh pelbagai kekurangan dan kerapuhan. Cinta-kasih antar suami-istri dan antara orang-tua dengan anak-anak, serta antar-anak-anak adalah wujud Kerahiman Ilahi yang meneruskan perkembangan umat manusia. Karya penciptaan Tuhan karena belaskasihNya mengungkapkan diri secara nyata mesra dan berkelanjutan dalam hidup keluarga. Oleh karena itu, Tahun Agung Kerahiman Ilahi dengan memusatkan perhatian pada hidup keluarga sejatinya adalah waktu rahmat dalam persekutuan gerejawi kita”.4 2. Imam: Pelayan Kerahiman Ilahi Mengenai Imam sebagai Pelayan Kerahiman Ilahi, kita dapat menemukannya dalam berbagai referensi atau rujukan, baik dari data Biblis, Tradisi, maupun Magsterium Gereja. Dari data biblis, Injil Yoh 10:1-18 [tentang Gembala yang Baik, yang kiranya juga menjadi inspirasi utama dikeluarkannya anjuran apostolik “Pastores Dabo Vobis”, oleh Paus Yohanes Paulus II, tgl 25 Maret 1992) maupun injil-injil sinoptik yang berbicara tentang karya belaskasih dan pengampunan Yesus, kiranya merupakan rujukanrujukan penting bagi pelayanan para Imam. Selain itu, tradisi Gereja juga banyak berbicara tentang Imam sebagai Pelayan Kerahiman Ilahi, yang salah satunya yang cukup menonjol nampak dalam penggunaan istilah “in persona Christi” yang dikenakan kepada para Imam dalam hubungan dengan tugasnya sebagai pelayan sakramen-sakramen, khususnya Ekaristi, demi menyalurkan rahmat belaskasih, kerahiman dan keselamatan dari Allah kepada umat manusia. Istilah ini sebenarnya sudah mulai digunakan sejak zaman Patristik, namun secara formal baru mulai digunakan sejak Konsili Trente pada pertengahan abad ke-enambelas. Referensi lain tentang hakekat Imamat dan tugas pelayanannya, juga dalam konteks menyalurkan rahmat [kerahiman] Allah, dikeluarkan oleh Magisterium atau Kuasa Mengajar Gereja, dalam hal ini oleh Para Paus secara pribadi maupun bersama para Uskup sedunia sebagai suatu Collegium. Pada kesempatan ini, saya merasa lebih tertarik untuk menyajikan refleksi Paus Benediktus XVI yang dituangkannya dalam Pencanangan Tahun Imam Dalam rangka Peringatan 150 tahun Dies Natalis Imam Paroki dari Ars, tgl 16 Juni 2009. Dalam suratnya itu, Sri Paus antara lain menulis sebagai berikut: “Imam adalah jantung Hati Yesus,” demikian yang kerap dikatakan Imam dari Ars yang kudus. Ungkapan yang menyentuh ini membuat kita merenungkan, pertama-tama, dengan rasa syukur sepenuh hati atas anugerah luar biasa yang diwakili 4 Keuskupakan Agung Kupang, Yubileum Kerahiman Ilahi 2015-2016, “Pemberdayaan Hidup Bersesama dalam Keluarga”, (Kupang: KAK, …..), hal. 4. 4 para imam, bukan hanya bagi Gereja, melainkan juga bagi umat manusia itu sendiri. Saya mengenangkan segenap imam yang tanpa menonjol menghadirkan sabda dan perbuatan Kristus setiap hari kepada umat beriman dan kepada segenap dunia, yang berjuang untuk menjadi satu dengan Tuhan dalam pikiran dan kehendak, perasaan dan cara hidup. Bagaimanakah mungkin saya tak hendak menyampaikan penghargaan atas karya-karya apostolik mereka, pelayanan-pelayanan mereka yang tak kenal lelah dan tersembunyi, amal kasih mereka yang universal? Dan bagaimanakah mungkin saya tak hendak memuji kesetiaan gagah berani begitu banyak imam yang, bahkan di tengah kesulitan dan tak dimengerti, tetap setia pada panggilan mereka sebagai “sahabat-sahabat Kristus”, yang telah dipanggil-Nya dengan namanya, dipilih dan diutus? Saya masih menyimpan kenangan akan imam paroki pertama dengan siapa saya melakukan karya pelayanan saya sebagai seorang imam muda: ia meninggalkan bagi saya teladan akan bakti dan pemberian diri sepenuhnya pada tugas pelayanan pastoral, bahkan hingga mempertaruhkan nyawa dalam menghantar viaticum kepada seorang yang sakit payah. Saya juga terkenang akan tak terhitung banyaknya sesama saudara imam yang telah saya jumpai dan akan terus saya jumpai, juga dalam kunjungan-kunjungan pastoral saya ke berbagai negeri: para imam yang dengan murah hati membaktikan diri pada tugas pelayanan imamat mereka sehari-hari. Namun demikian, ungkapan St Yohanes Maria juga membuat kita merenungkan Hati Yesus yang tertikam dan mahkota duri yang mengelilinginya. Sebab itu, saya juga dihantar untuk mengenangkan tak terbilang banyaknya situasi dan keadaan derita yang harus ditanggung oleh banyak imam, entah karena mereka sendiri ikut ambil bagian dalam berbagai rupa pengalaman derita manusia atau karena mereka menghadapi kesalahpahaman dari orang-orang yang mereka layani itu sendiri. Bagaimanakah mungkin juga kita tak mengenangkan segenap imam yang dihinakan martabatnya, yang dihalangi dan dirintangi dalam pelayanan serta dianiaya, bahkan terkadang hingga mempersembahkan kesaksian tertinggi dengan darah mereka sendiri?..........” Pada masanya, Pastor dari Ars dapat mengubah hati dan hidup begitu banyak orang sebab ia memampukan mereka untuk mengalami kasih Allah yang berbelaskasihan. Masa kita secara mendesak membutuhkan suatu pemakluman serupa dan kesaksian terhadap kebenaran Kasih:Deus caritas est (1 Yohanes:4:8). Syukur terima kasih atas Sabda dan Sakramen-sakramen Yesus, dengan mana Yohanes Maria Vianney membangun kawanannya, meski kerap ia gemetar akibat kesadaran akan ketidaklayakan diri, dan lebih dari satu kali berharap untuk menarik diri dari tanggung jawab pelayanan pastoral karena rasa ketidakpantasan. Namun demikian, dengan ketaatan yang patut diteladani, ia tidak pernah meninggalkan tempat tugasnya, melainkan senantiasa berkobar-kobar dengan semangat apostolik demi keselamatan jiwa-jiwa. Ia berupaya untuk setia sepenuhnya pada panggilan dan perutusan melalui praktek laku tapa yang keras: “Celaka besar bagi kita para imam paroki - demikian ia meratap - jika jiwa-jiwa kita menjadi suam-suam kuku”; artinya bahwa ada bahaya seorang pastor terbiasa dengan keadaan dosa atau keacuhan dengan mana banyak kawanannya hidup. Ia sendiri melilitkan seutas tali pada tubuhnya, dengan berjaga dan berpuasa, agar jangan tubuhnya memberontak terhadap jiwa imamatnya. Pula ia tiada menjauhkan diri dari matiraga demi kebajikan jiwa-jiwa dalam tanggung jawabnya dan sebagai silih begitu banyak dosa yang ia dengar dalam kamar pengakuan. Kepada seorang sama saudara imam ia menjelaskan: “Akan aku katakan kepadamu resepku: Aku memberikan penitensi ringan kepada para pendosa sementara aku menanggung sisanya demi mereka.” Pokok ajaran Pastor dari Ars tetap relevan bagi setiap kita: jiwa-jiwa telah dimenangkan dengan harga darah Yesus sendiri, dan seorang imam tiada akan dapat membaktikan diri bagi keselamatan jiwa-jiwa jika ia menolak untuk ikut ambil bagian secara pribadi dalam “harga mahaberharga” penebusan. 5 Dari Surat Paus Benediktus XVI ini kita dapat melihat bahwa Imam, dipanggil dan dipilih secara khusus dari tengah-tengah keluarga manusiawi, yang dengan segala keunggulan dan keterbatasannya, merupakan tempat dan ruang pertama dan utama kehadiran dan bertumbuh-kembangnya Kerahiman Ilahi, untuk selanjutnya menyerupai Kristus, sang Imam Agung, Pengantara Allah dan manusia, yang menyalurkan kasih, pengampunan dan kerahiman ilahi kepada keluarga besar umat manusia Penutup Sebagai penutup dari permenungan ini, penulis mengutip doa dari Santa Theresia Lisieux untuk para Imam. DOA UNTUK PARA IMAM Ya Yesus, Imam Agung yang kekal, peliharalah para imam-Mu dalam naungan Hati-Mu yang Mahakudus, di mana tak seorang pun dapat menjamahnya. Jagalah agar jangan sampai ternoda tangan-tangan mereka yang terurapi, yang setiap hari menyentuh Tubuh-Mu yang Kudus. Jagalah agar jangan sampai cemar bibir mereka, yang setiap hari dimerahkan oleh Darah-Mu yang Mahasuci. Jagalah agar hati mereka, yang dimeteraikan dengan tanda agung imamat, murni dan bebas dari segala ikatan duniawi. Kiranya kasih-Mu yang kudus melingkupi mereka dan melindungi mereka dari kekejian dunia. Berkatilah karya mereka dengan buah-buah melimpah; kiranya jiwa-jiwa yang mereka layani boleh menjadi sukacita dan penghiburan bagi mereka di dunia ini dan menjadi bagi mereka mahkota indah nan abadi di surga. Amin. [Santa Theresia Lisieux) 6