ANALISIS PRILAKU KEKERASAN MASSA DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA (Studi Kasus Konflik Antar Etnis di Kecamatan Sidomulyo Kabupaten Lampung Selatan) Oleh: Suwarno, Abdul Syani, dan Pairulsyah Dosen Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung E- mail: [email protected] ABSTRACT The behavior of mob violence is not only happening at the moment, but has often happened since the past ever since man living in a society. Haini prove that violence happens everywhere, because violence is instinctive answer and no one can be used to stop at the initial stages. The behavior of mob violence that has ample scope, which in the process is not solely driven individually, but can also be driven by other forces both political and non-political. Therefore, the way people make sense of the situation, will influence the decision of the person. Recognizing the existence of phenomena like these, this research needs to be done in order to obtain a comprehensive overview of all phenomena of mass violence is still common in public life. Based on the results of this research note that the behavior of mass violence is basically the root of the problem is caused by three factors, namely epistemological, anthropological and sociological factors factors. These three factors influence each other so that in the end can move an individual or group of people to commit violence against others. Keywords: Mob violence PENDAHULUAN Pada hakekatnya setiap manusia memiliki naluri merusak, yaitu naluri kekerasan. Dalam keadaan-keadaan tertentu naluri kekerasan itu dapat dicegah dengan adanya berbagai jenis social control di dalam masyarakatnya dan salah satu jenis social control itu adalah norma hukum. Namun, ketika hukum tidak lagi mampu mengekang naluri kekerasan itu, ketika hukum berserta para ―aktor hukum‖nya dimata warga masyarakat di pandang tidak mampu lagi untuk melindungi warga masyarakat, dianggap tidak mampu lagi untuk memuaskan rasa keadilan warga masyarakat dan tidak mampu lagi menciptakan perdamaian sosial, maka ketika itulah warga masyarakat akan melakukan apa yang secara sosiologis diistilahkan sebagai self help. Wujud dari tindakan self help itulah yang secara normatif yuridis dinamakan tindakan main hakim sendiri atau eigenrichting. Meskipun demikian harus diakui bahwa tindak kekerasan yang ada dalam masyarakat sebenarnya tidak semata- mata dilatarbelakangi oleh faktor ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum dan institusinya saja, melainkan juga banyak faktor penyebab lain seperti adanya kesenjangan sosial ekonomi, sara, tersumbatnya saluran sosial politis dan sebagainya, seperti yang terjadi pada kasus konflik antar etnis di Kecamatan Sidomulyo beberapa bulan yang lalu. 46 Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012 Secara umum menurut Kadish, (dalam Ronny Nitibaskara, 2002), kekerasan itu menunjuk pada semua tingkah laku yang berte ntangan dengan UndangUndang, baik berupa ancaman saja, maupun sudah merupakan suatu tindakan nyata yang mengakibatkan kerusakan terhadap harta benda, fisik atau mengakibatkan kematian pada seseorang. Sementara itu menurut Charles Tilly (1981), tindakan kekerasan selain dapat dilakukan secara individual, dapat juga dilakukan secara kolektif (massa). Menurutnya kekerasan massa dapat dibagi tiga kategori yaitu kekerasan massa yang bersifat primitif, kekerasan masa yang bersifat reaksioner dan kekerasan massa yang bersifat modern. Lebih lanjut Tilly menjelaskan bahwa: ―kekerasan massa primitif pada umumnya bersifat non politis. Ruang lingkupnya terbatas pada suatu komunitas lokal, misalnya pengeroyokan dalam bentuk pemukulan atau penganiayaan terhadap pe laku tindak kejahatan yang tertangkap tangan. Kekerasan massa reaksioner umumnya merupakan reaksi terhadap penguasa. Pelaku dan pendukungnya tidak semata-mata berasal dari suatu komunitas lokal, melainkan siapa saja yang merasa berkepentingan dengan tujuan bersama yang menentang suatu kebijakan atau sistem yang dianggap tidak adil dan jujur. Sedangkan kekerasan massa modern merupakan alat untuk mencapai tujuan ekonomis dan politis dari suatu organisasi yang tersusun dan terorganisir dengan baik.‖ Bertolak dari pengkategorian perilaku kekerasan massa di atas, dapat diketahui bahwa ternyata perilaku kekerasan massa itu memiliki ruang lingkup yang cukup luas, yang dalam prosesnya tidak semata- mata digerakkan secara individual, melainkan juga dapat digerakkan oleh kekuatan-kekuatan lain baik yang bersifat politis maupun non politis. Wofgang dan Ferracuti (dalam Thomas Santosoa, 2001) mengatakan bahwa orang terlibat dalam suatu perilaku karena bagi dirinya perilaku tersebut masuk akal. Apabila dipandang kekerasan sebagai metode untuk mencapai tujuan tertentu, maka dia akan berpendapat bahwa orang lain melakukan suatu tindakan bukan didasarkan oleh dorongan dari dalam dirinya sendiri. Bila dia harus memilih untuk melakukan kekerasan, maka dia juga bisa memilih tindakan bukan kekerasan jika tindakan terakhir terbukti lebih efektif untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu, cara orang memaknai situasi, akan mempengaruhi putusan orang tersebut. Menyadari adanya fenomena seperti inilah maka penelitian ini perlu dilakukan guna mendapatkan gambaran yang komprehensif atas segala fenomena kekerasan massa yang sampai saat ini masih sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Adapun permasalahan yang ingin dikaji adalah faktor- faktor yang menyebabkan maraknya perilaku kekerasan massa dan upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk menghindarkan terjadinya perilaku kekerasan massa. Sedangkan kegunaan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada para aparat penegak hukum dalam menanggulangi tindak kekerasan massa. Disamping itu melalui penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, sehingga tidak mudah tersulut untuk melakukan berbagai tindak kekerasan massa. 47 Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012 TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan tentang Perilaku Kekerasan Perilaku kekerasan sebenarnya tidak hanya terjadi pada saat ini saja, tetapi sudah sering terjadi sejak masa lalu bahkan sejak manusia itu hidup bermasyarakat. Hal ini membuktikan bahwa kekerasan itu terjadi dimana- mana, sebab kekerasan adalah jawaban naluriah dan tidak ada yang dapat digunakan untuk menghentikannya pada tahap-tahap awalnya. Oleh sebab itu, sudah cukup banyak para ahli yang mencoba untuk mengungkapkan dan menganalisis tentang perilaku kekerasan tersebut. Jack D. Douglas dan Frances Chaput Waksler (dalam Thomas Santoso, 2002), mengatakan bahwa: ‗istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert) dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive) yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Kekerasaan terbuka adalah kekerasan yang dapat dilihat seperti perkelahian; kekerasan tertutup adalah kekerasan yang tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung, seperti perilaku mengancam; kekerasan agresif, adalah kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu seperti penodongan, perampokan dan sebagainya; kekerasan defensive yaitu kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri.‖ Sementara itu menurut Johan Galtung (dalam Windu I Marsana, 1992), bentuk-bentuk kekerasan itu terbagai tiga,, yang disebutnya dengan istilah ―segi tiga kekerasan‖, yaitu kekerasan langsung, kekerasan struktural dan kekerasan kultural. Kekerasan langsung melukai kebutuhan dasar manusia, sedangkan kekerasan kultural adalah legitimasi atas kekerasan struktural maupun kekerasan langsung secara budaya. Dengan demikian, penyebab kekerasan tidak lagi dilihat secara sepihak atau one dimensional, tetapi dari berbagai keterkaitan, baik langsung maupun tidak langsung dengan berbagai penyebab lain lahirnya kekerasan. Lebih lanjut Johan Galtung menguraikan adanya enam dimensi penting dari kekerasan yaitu: a. Kekerasan fisik dan psikologis; Dalam kekerasan fisik, tubuh manusia disakiti secara jasmani bahkan sampai pada pembunuhan. Sedangkan kekerasan psikologis adalah tekanan yang dimaksudkan meredusir kemampuan mental atau otak; b. Pengaruh positif dan negatif; Sistem orientasi imbalan (reward oriented) yang sebenarnya terdapat pengendalian, tidak bebas, kurang terbuka, dan cenderung manipulatif, meskipun memberikan kenikmatan dan euphoria. c. Ada objek atau tidak Dalam tindakan tertentu tetap ada ancaman kekerasan fisik dan psikologis, meskipun tidak memakan korban tetapi membatasi tindakan manusia. d. Ada subjek atau tidak; 48 Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012 Kekerasan disebut langsung atau personal jika ada pelakunya, dan apabila tidak ada pelakunya disebut struktural atau tidak langsung. Kekerasasn tidak langsung sudah menjadi bagian struktural itu (strukturalnya jelek) da n menampakkan diri sebagi kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan peluang hidup tidak sama. e. Disengaja atau tidak; Bertitik berat pada akibat dan bukan tujuan, pemahaman yang hanya menekankan unsur sengaja tentu tidak cukup, untuk melihat, mengatasi kekerasan struktural yang bekerja secara halus dan tidak disengaja. Dari sudut korban, disengaja atau tidak, kekerasan tetap kekerasan. f. Yang tampak dan tersembunyi; Kekerasan yang tampak, nyata (manifest), baik yang personal maupun struktural, dapat dilihat meski secara tidak langsung. Sedangkan kekerasan tersembunyi adalah sesuatu yang memang tidak kelihatan (laten), tetapi bisa dengan mudah meledak. Kekerasan tersembunyi akan terjadi jika situasi menjadi tidak begitu stabil, sehingga tingkat realisasi aktual dapat menurun dengan mudah. Kekerasan tersembunyi yang struktural terjadi jika suatu struktur egaliter dapat dengan mudah diubah menjadi feodal, atau revolusi hasil dukungan militer yang hirarkis dapat berubah lagi menjadi struktur hirarkis setelah tantangan utama terlewati. Galtung (Windhu, 1992), juga membedakan kekerasan personal dan struktural. Sifat kekerasan personal adalah dinamis, mudah diamati, memperlihatkan fluktuasi yang hebat yang dapat menimbulkan perubahan. Sedangkan kekerasan struktural sifatnya statis, memperlihatkn stabilitas tertentu dan tidak tampak. Dalam masyarakat statis, kekerasan personal akan diperhatikan, sementara kekerasan struktural dianggap wajar. Namun dalam suatu masyarakat yang dinamis, kekerasan personal bisa dilihat sebagai hal yang berbahaya dan salah, sementara kekerasan struktural semakin nyata menampilkan diri. Dikatakan lebih lanjut oleh Galtung bahwa kekerasan personal bertitik berat pada realisasi jasmani aktual. Sehubungan dengan itu ada tiga pendekatan untuk melihat kekerasan personal, yaitu: a. Cara-caa yang digunakan (menggunakan badan manusia atau senjata); b. Bentuk organisasi (individu, massa atau pasukan); c. Sasaran (manusia). Disamping itu kekerasan personal juga dapat dibedakan dari susunan anatomis (secara struktural) dan secara fungsional (fisiologis). Pembedaan antara yang anatomis dan fisiologis terletak pada kenyataan bahwa yang pertama sebagai usaha menghancurkan mesin manusia sendiri (badan), dan yang kedua untuk mencegah supaya mesin itu tidak berfungsi. Sementara itu ada 6 faktor yang mendukung tidak egaliternya mekanisme kekerasan struktural yaitu: (a) kedudukan linier; (b) pola interaksi yang tidak siklis; (c) korelasi antara kedudukan dan sentralitas; (d) persesuaian antar sistem; (e) keselarasan antar kedudukan; (f) perangkapan yang tinggi antar tingkat. Sistem sosial akan cenderung mengembangkan keenam mekanisme ini yang pada akhirnya memperbedar ketidaksamaan. Dalam beberapa struktur, ketidaksamaan terjadi begitu rupa sehingga pelaku yang berkedudukan paling rendah tidak hanya relatif terhalangi dimensi potensialnya, tetapi juga sungguh-sungguh berada di 49 Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012 bawah batas minimum subsistensinya. Sturktur tidak memungkinkan mereka membangun kekuatan, mengorganisasi dan mewujudkan kekuasaannya berhadapan dengan pihak yang kuat. Mereka terpecah belah, kurang integrasi dan kurang mempunyai kekuatan atas diri sendiri, otonomi yang cukup untuk menghadapi pihak yang kuat. Jadi, kekerasan personal dan struktural membahayakan jasmani, tetapi kekerasan struktural lebih sering dilihat sebagai kekerasan psikologis. Perbedaannya hanya cara, tetapi akibatnya memperlihatkan hasil yang serupa. Perbedaan kekerasan personal dan kekerasan struktural tidak tajam. Keduanya bisa mempunyai hubungan kausal dan mungkin pula hubungan dialektis. Pembedaan antara kekerasan keduanya berarti melalaikan unsur-unsur struktural dalam kekerasan personal dan unsur personal dalam kekerasan struktural. Walaupun kekerasan sudah menjadi satu dengan struktural, namun ada sa ja orang yang tampaknya menjadi beringas dalam hampir semua kejadian. Hal ini berarti mereka menampakkan kecenderungan kerasnya di luar konteks struktural yang masih bisa diterima masyarakat luas. Satu jenis kekerasan tidak mengandaikan kehadiran nyata jenis kekerasan lainnya. Namun juga diakui bahwa kemungkinan kekerasan struktural nyata mengandaikan kekerasan personal tersembunyi. Misalnya, jika struktur terancam, mereka yang mendapat keuntungan dari kekerasan struktural, terutama mereka yng berada pada posisi puncak akan berusaha mempertahankan status quo untuk melindungi kepentingan-kepentingannya. Mereka ini bisa saja tidak tampil terang-terangan untuk membela struktur, tetapi dengan menggunakan alat (polisi atau tentara bayaran) untuk memerangi sumber-sumber kekacauan, sementara mereka sendiri tetap tinggal jauh terasing dan terpencil dari pergolakan kekerasan personal. 2. Tinjauan tentang Perilaku Kekerasan Massa Pada umumnya perilaku kekerasan massa muncul dari situasi konkrit yang sebelumnya didahului oleh sharing gagasan, nilai, tujuan dan masalah bersama dalam periode waktu yang lama. Masalah bersama adalah faktor penting dan bisa melibatkan perasaan akan bahaya, dendam dan marah. Suatu masalah langsung bisa memicu suatu pemberontakan massa. Bahkan Ted Robert Gurr (1970), mengatakan bahwa individu yang memberontak sebelumnya harus memiliki latar belakang situasi seperti terjadinya ketidakadilan, munculnya kemarahan moral dan kemudian memberi respons dengan kemarahan pada sumber penyebab kemarahan tersebut. Selain itu massa juga harus merasakan situasi konkrit dan langsung menjadi pendorong ungkapan kemarahan mereka, sehingga mereka bersedia menerima resiko yang berbahaya. Sam Wright (dalam Mulyana W. Kusuma, 1984), mengatakan bahwa kekerasan kolektif dapat timbul dari kerumunan (crowd) yang memiliki semua jenis dan tingkatan budaya dan organisasi sosial yang sama. Hal ini sejalan dengan pendapat TB. Ronny Nitibaskara (2002) yang mengatakan bahwa: ―Perilaku kekerasan massa memberikan dukungan (crowd) dan kebebasan dari tanggungjawab moral, sehingga orang dapat menyalurkan dorongan hati. Dalam kerumunan (crowd) biasanya orang akan merasa 50 Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012 bahwa tidak ada orang lain yang memperhatikan dan mengenalnya, sehingga menjadi gampang meniru perbuatan orang lain. Kondisi seperti inilah yang mengakibatkan anggota kerumunan lepas kendali, sehingga memungkinkan seseorang melakukan tindakan agresif dan destruktif. Dari sinilah lahir tingkah laku manusia yang kejam dan sadistik. Terjadi proses penurunan intelektual dan moral serta hilangnya nasionalistis dari para individu yang ada dalam kerumunan tersebut.‖ Begitu pula dengan Shibutani (dalam Thomas Santoso, 2002) mengatakan bahwa meskipun riset zaman sekarang mengindikasikan kerumunan (crowd) tidak selalu menimbulkan kekerasan, tetapi bisa menjadi latar belakang yang kondusif bagi suatu kekerasan, jika ada issue- isue bersama dan hangat yang bisa menyatukan kerumunan (crowd) dan jika situasi konkrit saat itu membuat kekerasan menjadi suatu respon yang masuk akal. Para sosiolog saat ini umumnya setuju bahwa kerumunan (crowd), meskipun memiliki organisasi sosial dengan tingkatan tertentu, saat membuat kerusuhan umumnya lebih memberikan perhatian pada apa yang terjadi dalam kerumunan (crowd). Interaksi antara para partisipan dipandang sebagai hal yang fundamental dalam aktivitas kerumunan (crowd), sehingga dengan cara ini pertukaran informasi antara sesama anggota kerumunan semakin mudah dilakukan. Bertolak dari pendapat di atas, saat ini muncul perspektif baru yang menyatakan bahwa orang terlibat dalam suatu perilaku karena bagi dirinya perilaku tersebut masuk akal. Apabila dipandang kekerasan sebagai metode untuk mencapai tujuan tertentu, maka dia akan berpendapat bahwa orang lain melakukan suatu tindakan bukan didasarkan oleh dorongan dari dalam dirinya sendiri. Jika harus memilih untuk melakukan tindak kekerasan atau tidak, maka tentu orang akan memilih untuk tidak melakukan kekerasan, jika tindakan tersebut memang lebih efektif untuk mencapai tujuan tertentu. Tetapi apabila sebaliknya, maka jalan kekerasanlah yang akan dilakukannya. Dengan demikian cara orang memaknai situasi akan mempengaruhi putusan orang tersebut. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Data yang diperlukan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan menggali informasi secara langsung terhadap para informan. Pemilihan informan dilakukan dengan teknik penunjukan langsung (purposive) yang didasarkan pada subjek yang pernah terlibat dalam kekerasan massa khususnya yang berkaitan dengan konflik antar etnis di Kecamatan Sidomulyo, menguasai permasalahan, memiliki data dan bersedia memberikan data. Begitu pula dengan aparat penegak hukum juga dipilih secara purposive yang benar-benar dianggap mampu memberikan informasi yang memadai sesuai dengan permasalahan penelitian. Sedangkan data sekunder diperoleh dengan mempelajari berbagai dokumen tertulis yang berkaiatan dengan permasalahan penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara (interview) dan teknik dokumentasi. Sedangkan analisis data dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analisis. 51 Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012 HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Faktor-faktor yang Menyebabkan Tindak Kekerasan Massa Kekerasan massa adalah kekerasan yang dilakukan oleh massa. Kekerasan jenis ini berbeda dari kekerasan yang dilakukan individu, karena para pelaku melakukan kekerasan itu tidak semata- mata atas dasar dendam atau kebencian personal, melainkan banyak dipengaruhi oleh dinamika sebua h kelompok. Kekerasan individual terliput oleh hukum pidana dan situasi sehari- hari, tetapi kekerasan massa sering melampaui hukum positif itu. Bentuk gigantis dari kekerasan massa itu adalah revolusi dan perang. Sulitlah menghukum demikian banyak pelaku. Karena itu semakin banyak pelakunya, semakin besar massa yang bertindak destruktif, dan semakin merasa benarlah para pelaku kekerasan itu. Kekerasan massa tidak beroperasi di dalam hukum, melainkan melawan dan melampaui tatanan hukum itu sendiri. Karena ko mpleksnya peristiwa ini, akarakar penyebabnya juga kompleks. Menurut F. Budi Hardiman ada tiga akar kekerasan yang terkait dengan conditio humana, yaitu: yang bersifat epistemologis, antropologis dan sosiologis. a. Akar Epistemologis Akar epistemologis yang dimaksud adalah proses pengenalan manusia terhadap manusia yang lainnya, artinya apakah orang lain selalu dianggap sebagai sesamanya atau justru sebaliknya yaitu sebagai musuh bagi dirinya. Ketika orang lain dianggap sebagai sesamanya maka rasanya mustahil kekerasan terhadap orang lain itu akan timbul, dan lain halnya apabila yang terjadi sebaliknya. Namun bagaimana dengan massa yang mengarak kepala manusia dengan rasa penuh kemenangan, kerumunan penduduk membakar pencuri dengan teriakan-teriakan kemarahan, atau seorang pelaku pemerkosaan melecehkan korbannya senista mungkin?. Sulit mempercayai bahwa para pelaku di dalam peristiwa-peristiwa ini melihat korbannya sebagai ―sesama‖ manusia. Dengan yang sama manusia tidak akan melakukan kekerasan, karena dirinya tercermin di dalam yang sama itu. ―Yang sama mengenal yang sama,‖ demikian tulis Empedokles dua setengah milenium yang silam. Kalau demikian, kekerasan dilakukan bukan terhadap yang sama, melainkan yang lain. Korban dipersepsi dengan cara yang khas sedemikian rupa sehingga di hadapan pelaku tampil dalam sosoknya yang terasing. Dia asing bukan sekedar sebagai penduduk, warganegara atau pengikut sebuah kelompok, melainkan lebih daripada itu asing sebagai manusia. Dengan kata lain korban didehumanisasikan dan didepersonalisasikan sampai pada status objek-objek. Inilah antara lain yang dialami oleh para pelaku kekerasan massa ketika terjadi konflik antar etnis di Kecamatan Sidomulyo Lampung Selatan beberapa bulan yang lalu. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi yang sangat mengerikan dan terkesan tidak masuk akal bahwa mereka tega dan sadis untuk saling membunuh karena mereka menganggap yang dihadapi saat itu menurutnya adalah bukan manusia melainkan mahluk lain yang dianggap musuh manusia. Dalam kondisi massa, manusia-manusia tidak mengenal satu sama lain sebagai individu- individu, melainkan sebagai elemen massa. Pengenalan kolektif ini bukan hanya tertambat, melainkan juga mengalami degradasi. Bentuk 52 Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012 degradasi pengenalan kolektif adalah stigma. Sang ―kamu‖ yang distigmatisasi, yaitu korban kekerasan, tidak dipandang sebagai ‗manusia seperti kita‘, melainkan sebagai anasir sebuah ras, kelas, partai atau agama yang ‗keliru‘. Di tengah-tengah anonimitas massa stigma adalah jalan pengenalan yang paling sederhana. Lewat stigma kelompok dibenturkan kepada kelompok, sehingga manusia- manusia tidak lagi melihat orang-orang lain sebagai ―sesama‖ manusia, melainkan sebagai musuh-musuh yang harus dibasmi. Sebuah kelompok mendisiosiasikan diri dari kelompok lain karena yang lain ini kelihatan ‗kurang ortodoks‘ daripada yang pertama. Setiap perbedaan kecil macam itu bisa dibesar-besarkan untuk mendeskreditkan kelompok musuh itu, seperti tampak dalam konflik antara etnis Bali dan etnis Lampung di Lampung Selatan atau antara suku Dayak dan Madura di Kalimantan, dan sebagainya. Dalam kondisi massa, para pelaku kekerasan tidak merasa membunuh ‗sesama‘ mereka; mereka justru melihat aksi kekerasan itu sebagai ‗kewajiban etis‘ untuk menjaga keutuhan kolektif mereka. Yang mereka bunuh bukan manusia, melainkan musuh, dan musuh itu hanyalah separuh manusia. Dari akar epistemologis ini lahir ideologi- ideologi atau sistem-sistem nilai yang mendisosiasikan manusia ke dalam ―kawan‖ dan ―lawan‖. Dalam dikhotomi ini korban dipersepsi sebagai ancaman kelompok. b. Akar Antropologis Individu tidak akan bergabung ke dalam massa dan melakukan kekerasan kolektif semata- mata spontan dan naluriah. ―Kewajaran‖ dalam melukai atau menghabisi sesama manusia itu dimungkinkan karena individu- individu memandang tindakan kekerasannya sebagai sesuatu yang bernilai. Fenomena yang tampaknya berlawanan dengan akal sehat itu memiliki akar antropologis yang dalam. Jika dimengerti sebagai sistem nilai- nilai, kultur memberi manusia sebuah fiksi untuk menumpulkan perasaan cemas akan kematian atau bahkan melupakannya. Entah dengan melupakan kematian atau mengubahnya sebagai positif, nilai berfungsi mengatasi rasa panik dalam diri manusia. Menurut Broch ―terutama orang-orang yang terancam nilai-nilainyalah, yang paling rentan dan cepat terkena psikosis massa.‖ Broch melihatnya dari dua sisi; Pertama, krisis makna dalam lingkungan sosial. Jika nilai- nilai moral kehilangan daya gigitnya karena oportunisme merajalela, suatu disorientasi nilai akan dialami individu. Inkosistensi dan inkoherensi nilai-nilai menimbulkan rasa ketidakpastian yang mendorong panik massa. Kerinduan akan kepastian yang muncul merupakan bahan bakar bagi setiap ideologi massa yang memotivasi kekerasan kolektif. Fanatisme, radikalisme atau ekstremisme adalah gaya berpikir untuk lari dari rasa ketidakpastian itu. Kedua, krisis makna dalam diri individu. Para pengangguran, mereka yang merasa dimarginalisasikan, para korban ketimpangan sosial dan sebagainya, merasa kehilangan tempat dalam masyarakatnya, sehingga merasa diri mereka tak bermakna. Ego mereka mengecil dan panik. Seperti dianalisis oleh Wolfgang Sofsky, dalam rasa paniknya manusia tidak menjadi tuan atas rasionya. Rasio tidak dapat begitu saja mengusir rasa cemasnya. Justru sebaliknya, rasa cemas itu mendikte rasionya, sehingga persepsipersepsinya dan lebih daripada itu abstraksinya tentang dunia luar terdistorsi. 53 Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012 Perversi dalam kesadaran yang disebabkan oleh rasa panik ini merupakan penjelasan mengapa dalam situasi krisis sistem nilai tertutup, seperti fundamentalisme agama, ekstremisme sayap kanan, ataupun radikalisme, menjadi populer. Sistem nilai tertutup memenuhi kerinduan akan konsistensi, koherensi dan kepastian. Konsep-konsep abstrak di sini melayani agresi manusia dengan cara membenarkannya.Tak ada sistem nilai yang begitu mempesona massa yang gelisah selain yang memuat asas ―barangsiapa tidak termasuk kita, melawan kita‖. Dalam sistem tertutup semacam inilah membunuh atau melukai musuh bukan hanya benar, melainkan juga harus. Sumber dari fanatisme dan kebengisan yang menyertainya terletak di dalam palung jiwa manusia, yaitu dalam pelarian psikis dari perasaan tak pasti yang tak tertanggungkan. ―Yang jahat,‖ demikian Rousseau, ‖takut kepada dirinya sendiri dan berupaya untuk melarikan diri dari dirinya sendiri‖. Fanatikus gagap menghadapi ambivalensi hidup dan menyerahkan kebebasannya kepada sistem nilai tertutup. Dengan demikian fanatisme massa dan kekerasan yang menyertainya bukanlah tanda kekuatan, melainkan tanda ketakberdayaan manusia sebagai individu. ―Fanatisme,‖ demikian kata Nietzsche,‖adalah satu-satunya jalan yang membawa orang-orang lemah kepada ‗kekuatan kehendak‘‖ c. Akar Sosiologis William Chang menilai bahwa maraknya kekerasan di negeri ini beberapa saat terakhir, sebenarnya memperlihatkan frustasi sosial yang tengah melanda sebagian masyarakat. Dalam kondisi seperti ini orang cenderung melihat hidup tidak lagi mempunyai makna. Hidup orang lain cenderung dinilai sangat murah, sama sekali tidak dihargai martabatnya sebagai manusia. Frustasi yang melanda sebagian masyarakat itu, disebabkan menurunnya kualitas pendidikan kemanusiaan, baik di keluarga, sekolah maupun di masyarakat. Disisi lain, penegakan hukum yang tidak konsisten telah mendorong sebagian masyarakat tidak lagi menghiraukan hukum. Guru Besar Psikologi dari Universitas Indoneksia Sarlito Wirawan melihat maraknya aksi kekerasan massa di picu oleh terlalu seringnya tokoh bangsa berantem dan berdebat tanpa ujung di media massa, khususnya di televisi. ‖Dalam teori psikologi, ada namanya teori modelling. Ilustrasinya, jika anak kecil diberi tayangan film yang di dalamnya ada adegan memukuli boneka, saat anak itu diberi boneka, ia akan ikut- ikutan memukuli boneka. Jika di film itu bonekanya dibelai dengan kasih sayang, si anak itu juga akan membelainya dengan kasih sayang,‖ katanya. Dalam hal ini, lanjut Sarlito, media massa, terutama televisi, perlu lebih menahan diri tidak membesar-besarkan polemik tokoh. Ia juga melihat polisi saat ini tak lagi memiliki wibawa di mata masyarakat. Saat polisi turun ke lapangan, mereka tak digubris. Kondisi ini terjadi karena secara sengaja atau tidak polisi sering dihujat dan dikecilkan, terlepas kinerja polisi dalam penegakan hukum itu baik atau tidak. Sarlito tidak menepis adanya faktor kemiskinan di balik fenomena maraknya aksi kekerasan massa itu. Meski demikian, ia menegaskan, tidak semua pelaku kekerasan massa dari kalangan orang miskin. Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia Adrianus Meliala mengatakan, apa yang terjadi di bawah umumnya dikendalikan dari atas (elite). 54 Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012 Isu yang digunakan adalah isu agama dan suku. ‖Kedua isu ini paling menguntungkan dan berbuah bagus untuk kepentingan mereka. Sebab itu, mereka berulang kali memakai dua isu ini untuk menggalang kekuatan massa di jalanan melakukan tindakan destruktif,‖ kata Meliala. ‖Kalau menyangkut mayoritas, umumnya elite menggunakan isu agama, tetapi kalau menyangkut minoritas, mereka memakai isu suku,‖ tambahnya. Meliala menduga institusi negara dan institusi politik terlibat dalam banyak kasus kekerasan massa di jalanan. ‖Mereka bisa bersikap pasif dengan melakukan pembiaran atau bersikap aktif dengan ikut mendorong terjadinya benturan,‖ ucapnya. Menurut Meliala, terlibatnya elite membuat polisi dan aparat hukum lain ragu bertindak. ‖Mereka lebih baik bermain aman daripada harus kehilangan jabatan. Janji menindak tegas pelaku cuma janji kosong,‖ tandasnya. Tamrin Amal menambahkan, bentrokan di antara dua atau lebih kelompok massa tidak lain adalah bentuk perebutan ruang fisik. Penguasaan lahan parkir atau sumber daya ekonomi lain diakui lebih banyak menjadi alasan pemicu bentrok. Penyelesaian kekerasan yang marak terjadi adalah dengan pendekatan sosiologi, diiringi peningkatan pendidikan serta peluang pekerjaan. Endriartono Sutarto menuturkan, konflik horizontal yang terjadi akhir-akhir ini adalah kombinasi dari dua hal. Pertama, masyarakat merasa tidak bisa mendapatkan keadilan. Kedua, menguatnya rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. ‖Akibatnya, masyarakat mencari keadilan dengan cara sendiri,‖ kata Endriatono. 4.2 Upaya untuk Mengatasi Prilaku Kekerasan Massa dan Konflik Antar Etnis Secara sederhana upaya untuk mengatasi prilaku kekerasan massa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat relatif lebih mudah dan lebih cepat, apabila dibandingkan dengan koflik yang terjadi antar etnis. Langkah- langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi perilaku kekerasan massa antara lain adalah: a. Pemerintah harus mampu menindak tegas para pelaku tindak kekerasan massa demi tegaknya negara hukum dan tatanan sosial kemasyarakatan yang arif dan bijak; b. Pemerintah harus bertndak cepat, tepat, tegas dan komprehensif untuk dapat membuat rasa aman dan nyaman hidup berdampingan bagi warganya, baik kebijakan regulasi maupun implementasi, karena pemerintah mempunyai kewenangan mengatur dan melindungi warga bangsa tanpa terkecuali. c. Media harus mampu untuk tidak menayangkan visualisasi kekerasan secara vulgar yang dapat menyulut rasa kebencian ataupun amarah diantara kelompok masyarakat. Langkah- langkah di atas tentu tidak lagi bersifat sesederhana itu, apabila kekerasan massa yang terjadi sudah berkembang menjadi konflik antara etnis seperti yang terjadi di Kecamatan Sidomulyo beberapa bulan yang lalu. Terlebih lagi disadari bahwa konflik antar etnis atau kelas sosial dalam sebuah negara mungkin tidak akan pernah dianggap reda oleh masing- masing pihak yang terlibat konflik. Oleh karena itu harus dicari penyelesaian masalah yang mampu meredam konflik untuk tidak kembali muncul. Pasti tidak akan pernah ada konflik yang dapat diselesaikan secara permanent dan tuntas. Namun kita tetap harus 55 Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012 selalu berupaya menyelesaikannya, dan upaya itu antara lain adalah melalui rosolusi konflik dan rekonsiliasi. Resolusi konflik merupakan metode gradual yang bersifat kondusif untuk mengadakan perubahan struktur dan sikap lingkungan serta menuju rekonsiliasi guna membangun hubungan baru antar dua masyarakat yang lebih baik, interdependen dan terciptanya kooperatif diantara mereka. Penyelesaian konflik harus memperhatikan empat hal yaitu (1) harus mengetahui faktor utama maksud atau tujuan dari setiap kelompok yang terlibat konflik, seperti apakah krena self determination, upaya melepaskan diri dari dominasi etnis tertentu atau lainnya; (2) karakteristik setiap kelompok, seperti struktur organisasi sosial, kultur dan tradisi, idiologi atau keyakinan, maupun karakteristik lainnya; (3) hubungan yang terjadi antara kelompok yang tengah bertikai tersebut, seperti jalinan integrasi yang terjadi antar mereka, persepsi masing- masing pihak, terhadap lawannya dan lainnya; (4) konteks sosial yang terjadi. PENUTUP 1. Kesimpulan Penyebab seorang manusia melakukan kekerasan terhadap sesamanya, karena umumnya dia berfikir dan merasa tidak melakukannya terhadap sesamanya, melainkan terhadap musuhnya yang harus dihancurkannya. Karena musuh itu dipersepsi mengancam survival-nya dan menimbulkan panik. Karena kondisi struktural masyarakatnya membuatnya merasa terisolasi sebagai individu, tercerabut dari komunitasnya dan termarginalisasi secara ekonomis. Ketiga akar ini menjadi alasan mengapa sistem nilai tertutup yang menganjurkan jalan kekerasan menjadi begitu menarik, yaitu karena para pelaku kekerasan massa menemukan ―etika semu‖ dalam ideologi- ideologi yang menganjurkan kekerasan itu sebagai pelengkap defisit psikis mereka. Para pelaku kekerasan massa adalah manusia- manusia yang dikolektifkan dari dua sisi: oleh ketakberdayaan dirinya sebagai individu dan oleh ke lemahan komunitasnya. Para pelaku kekerasan massa adalah orang-orang yang bertindak keras karena merasa kabur dengan dirinya sendiri dan tidak sanggup menegaskan diri lewat komunikasi dan jalan pantang kekerasan. Sementara itu tentang upaya yang dapat dilakukan adalah: a. Pemerintah harus mampu menindak tegas para pelaku tindak kekerasan massa di demi tegaknya negara hukum dan tatanan sosial kemasyarakatan yang arif dan bijak; b. Pemerintah harus bertndak cepat, tepat, tegas dan komprehensif untuk dapat membuat rasa aman dan nyaman hidup berdampingan bagi warganya, baik kebijakan regulasi maupun implementasi, karena pemerintah mempunyai kewenangan mengatur dan melindungi warga bangsa tanpa terkecuali. c. Media harus mampu untuk tidak menayangkan visualisasi kekerasa n secara vulgar yang dapat menyulut rasa kebencian ataupun amarah diantara kelompok masyarakat. Langkah- langkah di atas tentu tidak lagi bersifat sesederhana itu, apabila kekerasan massa yang terjadi sudah berkembang menjadi konflik antara etnis 56 Seminar Hasil-Hasil Penelitian d an Peng abdian Kepad a MasyarakatDies Natalis FISIP Unila Tahun 2012 seperti yang terjadi di Kecamatan Sidomulyo beberapa bulan yang lalu. Terlebih lagi disadari bahwa konflik antar etnis atau kelas sosial dalam sebuah negara mungkin tidak akan pernah dianggap reda oleh masing- masing pihak yang terlibat konflik. Oleh karena itu harus dicari penyelesaian masalah yang mampu meredam konflik untuk tidak kembali muncul Pasti tidak akan pernah ada konflik yang dapat diselesaikan secara permanent dan tuntas. Namun kita tetap harus selalu berupaya menyelesaikannya, dan upaya itu antara lain adalah melalui resolusi konflik dan rekonsiliasi. Resolusi konflik merupakan metode gradual yang bersifat kondusif untuk mengadakan perubahan struktur dan sikap lingkungan serta menuju rekonsiliasi guna membangun hubungan baru antar dua masyarakat yang lebih baik, interdependen dan terciptanya kooperatif di antara mereka. 2. Saran 1. Perlu meningkatkan kewibawaan aparat penegak hukum di mata masyarakat dengan selalu memberikan suri tauladan yang baik kepada mayarakat. 2. Perlu dilakukan penyuluhan hukum secara rutin kepada warga masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh berbagai isue- isue negatif yang dapat merangsang timbulnya kekerasan massa. 3. Perlu dilakukan penindakan yang tegas terhadap para pelaku kekerasan massa untuk memberikan efek jera terhadap para pelakunya. Daftar Pustaka Ali, Ahmad, 2001 . Keterpurukan Hukum di Indonesia: Penyebab dan Solusi, Ghalia Indonesia, Jakarta. Douglas, Jack D. and Waksler, Frances Chaput, 1982. The Sociology of Deviance, An Introduction. Little Brown and Company, Boston. Gurr, Ted Robert, 1970. Relative Deprivation and the Impetus to Violence. Princenton University Press, Princeton. Husin, Kadri, 1977. Pelaksanaan Penerapan Hak-hak Tersangka/Terdakwa Menurut KUHP dalam Proses Peradilan Pidana. Disertasi, Program Pasca Sarjana UI, Jakarta. Kusuma, Mulyana W., 1983. Kejahatan, Penjahat dan Reaksi Sosial. Alumni, Bandung. Nitibaskara, Ronny, 2002. Meningkatnya Derajat Kekerasan Kolektif. Kompas, Saptu, 17 Juni 2002 Santoso, Thomas, 2001. Kekuasaan dan Kekerasan, dalam Masyarakat, Kebudayaan dan Politik. Unair. Surabaya. Santoso, Thomas, 2002. Teori-teori Kekerasan. Ghalia Indonesia, Jakarta. 57