GENDER DAN SEKSUALITAS: SEBUAH PERSPEKTIF ISLAM ( Judul Asli: Gender And Sexuality: An Islam Perspektif Oleh Ahmad Shehu Abdulssalam) Dewi Puspitasari Abstract: This article discusses issues of gender and sexuality from the perspective of Islam, especially wasatiyyah perspective, which is a trend of moderate Muslims who consider the current situation and their relationships with others. With reference to the al-Quran and Hadith, the relationship between men and women as described in the two sources are analyzed in detail. Issues of interest include the husbandwife relationship, marriage and divorce, polygamy, and the etiquette of socialization as well as clothing for men and women. Kata kunci: Gender, seksualitas, Moderat, al-Quran, Hadist PENDAHULUAN Gender dan seksualitas adalah bagian dari identitas alami manusia yang telah diberikan perhatian yang cukup dalam budaya dan politik penelitian sosial. Kajian Agama memberikan kontribusi dalam memperjelas posisi agama yang berhubungan dengan perintah gender, membenarkan konsep dan menafsirkan teks-teks yang membahas seksualitas manusia. Manusia (pria dan wanita) masing-masing dikaruniai dengan beberapa fitur yang sebagian besar identik, sementara yang lain membedakan karakteristik. Beberapa fitur gender tampaknya mempengaruhi seksualitas baik pria dan wanita dengan derajat yang bervariasi, sedangkan faktor-faktor sosio-budaya mempengaruhi perilaku seksual, kegiatan dan orientasi, serta relasi gender, pakaian, hak dan rasa tanggung jawab. Sebagai fenomena sosial, agama mempunyai pengaruh besar pada praktek sosial mengenai identitas gender alami dan seksualitas. Saat beberapa agama tradisional memiliki sedikit kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan sosial, Islam memiliki tujuan untuk membimbing perubahan dalam hubungan gender dan seksualitas manusia. Posisi ini dalam beberapa kasus menyebabkan ketegangan dalam masyarakat Muslim. Dengan adanya perhatian isu-isu gender dan seksualitas dalam wacana sosialbudaya, politik dan agama modern adalah bukti kebutuhan untuk memperjelas posisi Islam mengenai hal-hal semacam itu, sehingga menjadikan orang percaya dan muncullah pertanyaan setelahnya. Tak bisa dipungkiri bahwa isu-isu modern pada gender dan seksualitas tersebut sangat dipengaruhi oleh praktek-praktek sosial-budaya Barat. Sulit untuk mengabaikan pengaruh pandangan dan praktik sosialbudaya Barat dan pada berbagai aspek kehidupan dan intelektual. Nilai-nilai normatif Islam terkadang tidak benar-benar ditaati oleh umat Islam, sementara norma dan aktifitas budaya lokal tidak sesuai dengan semua prinsip dasar Islam. Tulisan ini, bermaksud untuk menyajikan sebuah perspektif Wasatiyyah, bagaimana mengupas isu gender dan seksualitas, sebuah tren yang menjunjung tinggi ajaran Islam tanpa dipengaruhi oleh praktek-praktek budaya dalam pemahamannya tentang al-Quran dan hadis. Dalam rangka mencapai tujuannya, tulisan ini menyajikan pandangan Islam singkat tentang gender dan seksualitas dan analisis ayat al-Quran yang terkait dan ucapan kenabian pada beberapa isu masalah yang berkaitan dengan topik. *. Dosen STAIN Pekalongan Gender dan Seksualitas: Sebuah Perspektif Islam (Dewi Puspitasari) 235 PEMBAHASAN A. Perspektif Islam Wasatiyyah Perspektif Wasatiyyah tentang gender dan seksualitas disajikan dalam karya-karya baik oleh almarhum Syaikh Muhammad al-Ghazali dan Syaikh Yusuf al-Qaradawi. Mengingat fakta bahwa isuisu feminis telah mendominasi diskusi tentang gender dan seksualitas, al-Ghazali (1990) menyajikan pandangan yang komprehensif terhadap isu-isu wanita, mengkritik pengaruh tradisi lokal dan asing, sedangkan al-Qaradawi menangani banyak topik dalam buku-bukunya, ceramah dan fatwa. Kedua ulama menyangkal pandangan praktek ekstremis dan liberalis tentang isu-isu wanita. Al-Ghazali (1990: 15-16) menulis: Islam mengakui kesetaraan antara pria dan wanita di mana Islam memperhatikan hak dan tanggung jawab, dan dalam hal tertentu, terdapat perbedaan, dimana perbedaan itu terkait dengan sifat asal dan fungsi. Dasarnya adalah Allah Maha Kuasa berkata: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik pria maupun wanita, (karena sebagian dari kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain. (Al-Quran 3:195), dan Allah berkata: “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, pria atau wanita, dan memiliki Iman, sesungguhnya, baginya akan Kami berikan kehidupan baru, kehidupan yang baik dan murni, dan Kami akan melimpahkan pahala yang lebih baik sesuai apa yang telah mereka kerjakan. “ (Al-Quran 16:97). Ada tradisi yang dilembagakan oleh orang-orang, yang tidak diperintahkan oleh Tuhan mereka, dan yang mendegradasikan posisi wanita baik secara budaya dan sosial yang menempatkan mereka dalam kegelapan sebagaimana di jaman Jahiliyah. Al-Qaradawi mengatakan: Dua jenis kebalikan dari orang telah tidak adil kepada wanita: yang pertama, jenis kebarat baratan yang ingin memaksakan tradisi Barat, yang meliputi dekadensi dan kurang memiliki nilai - terutama nilai agama, dan menyimpang dari hal normal, yang cenderung menjauh dari jalan Allah. Tipe kedua termasuk mereka yang memaksa tradisi-tradisi lain pada wanita, tetapi ini adalah tradisi Timur (bukan tradisi Barat). Tradisi tersebut diberi ‘warna’ agama. Mereka yang membuat klaim tersebut membuat hal – hal yang ada dari sisi mereka sendiri; berdasarkan apa yang mereka pahami, atau pandangan bahwa mereka dimulai atau dipilih karena sesuai dengan pandangan mereka terhadap wanita dan tidak menghormati kaum wanita, agamanya, otaknya atau perilakunya. Al Quran dan arahan Nabi: Penting dalam membahas isu gender dan seksualitas dari al-Quran dan arahan ke-nabian untuk membedakan teks dengan makna pasti (qat’iyyah) dan arti hyphothetical (zhanniyah). Teks yang pasti mungkin jumlahnya tidak besar, tetapi suara di dalamnya jelas dan pasti, dan teks hyphothetical sebaliknya berdasar pada interpretasi sesuai dengan berbagai pemahaman tentang peristiwa sejarah yang meliputi pelaksanaan, pemilihan pendapat ahli hukum dan tradisi masyarakat. Al-Quran memberikan arahan pada beberapa isu terkait dengan gender dan seksualitas, mulai dari kesetaraan, identitas, fungsi, kebutuhan, hak, tanggung jawab, interaksi dan hubungan seksual. Karenanya, tak berdasar bila mengasumsikan bahwa terdapat ekstra perhatian pada aspek seksual perkawinan, terutama terhadap kepuasan seksual suami. Dibuktikan pada fakta ini bahwa surat – surat al-Quran yang didedikasikan untuk membahas isu-isu luas pada wanita, seperti surat al-Nisa ‘, al-Nur, al-talaq, alMujadilah. Surat lain seperti al-Baqarah dan al-’Ahzab memuat banyak ayat mengenai gender dan seksualitas. Namun, adalah hal yang wajar untuk berhati-hati ketika berhadapan dengan ‘seksualitas’, dikarenakan fakta bahwa manusia mampu menggunakan akal mereka untuk mengontrol nafsu dan kegiatan seksual mereka, dan bahwa mereka adalah satu – satunya makhluk yang terlibat dalam hubungan seksual di luar kapasitas fisik untuk reproduksi. Di antara berbagai ayat-ayat yang menghasilkan diskusi tentang topik ini adalah ayat (4:34) yang membahas fungsi qawamah (pengelolaan dan pemeliharaan) dengan pria pada urusan wanita dalam hubungan keluarga, dan yang berisi instruksi mengenai hal yang berurusan dengan ‘pemberontakan’ sebagai seorang istri, yang mencakup izin untuk melakukan pemukulan sebagai pilihan terakhir ketika upaya lain telah gagal dalam mengupayakan kesetiaan. 236 MUWÂZÂH , Vol. 2, No. 1, Juli 2010 Al-Quran (04:34) memuat: Pria adalah pelindung wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki – laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.. Oleh karena itu wanita – wanita yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada. Adapun wanita-wanita yang kamu takutkan ketidaksetiaan nya, hendaklah, kamu tegur mereka (pertama), (berikutnya), tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), (dan yang terakhir-kalau perlu) pukullah mereka ( dengan ringan). Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari – cari alas an untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi, Maha Besar. Al-Ghazali (35-36, 154-157) bereaksi terhadap pemahaman dan pelaksanaan qawamah, dan memandang bahwa kesulitan agama adalah pada orang yang mengubah wacana dari arah yang benar, dan mengangkat hadis yang lemah ke posisi ayat-ayat yang jelas dan hadits yang terdengar jelas. Dia mempercayai bahwa siapa pun yang memiliki pemahaman yang benar mengenai al-Quran akan tahu bahwa terdapat kesetaraan antara pria dan wanita. Pria qawamah dalam keluarga tidak berarti kehilangan kesetaraan, seperti halnya penyampaian dari warga yang ditujukan pada pemerintah mereka; tidak berarti sebagai penundukkan dan penaklukan. Bagi pria ini, posisi priaterhadap wanita dan sebaliknya digambarkan dalam (surat 2:187): “Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. “ Dan bahwa di rumah seorang muslim, terdapat batas yang ditentukan oleh Allah (Hudud Allah), yang disebut enam kali dalam dua ayat, al - Baqarah (2:229-230). Dalam Islam, terdapat pembatasan seorang pria memukuli istrinya, yang ada di masyarakat Arab tradisional dahulu, dan Nabi mengutuk dan memperingatkan terhadap pemukulan istri, dan memuji mereka yang tidak memukul istri mereka (Abu Dawud, hadits no. 1830). Beliau tidak setuju dengan setiap pemukulan yang menyebabkan bekas luka pada tubuh dan segala bentuk pelecehan wanita. Terdapat implikasi budaya dan linguistic terhadap pemahaman ayat ini. Ayat lain adalah pada keinginan priauntuk menggantikan istri yang satu dengan yang lain (‘istibdal) dalam ayat (4:20-21), yang ‘diizinkan’ di bawah kondisi dimana priatidak seharusnya menarik apapun yang telah ia berikan kepada istri nya yang sekarang ini. “Tetapi jika kamu memutuskan untuk mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikitpun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Dan bagaimana bisa kamu ambil kembali ketika kamu telah bergaul satu sama lain dan mereka telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.”. Dari ayat ini terdapat pertanyaan tentang ‘mengapa seorang pria diberi ‘tiket terbuka‘ untuk beristri lagi? Pergantian istri ini merupakan solusi terhadap masalah menikah lebih dari empat istri seperti yang dilakukan sebelum Islam, dan ketidakmampuan untuk menikah lebih dari satu istri dimana ada masalah dengan istri yang telah ada. Ayat ini tidak bisa dilihat tanpa memandang perilaku manusia dan alam, yaitu ketidaksetiaan, hilangnya keindahan, ketidakmampuan untuk mencapai kepuasan seksual dan kemampuan keuangan, serta hak atas perceraian, dan kontrol Islam atas hubungan gender dan seksualitas. Ayat di atas berhubungan dengan hak suami atas perceraian (talak). Ayat ini tidak terlepas dari ayat (2:229) di mana seorang istri juga diberikan hak untuk bercerai dari suaminya (khul ‘): “Tidak ada dosa atas salah satu dari mereka jika istri memberikan sesuatu untuk kebebasannya (istri).” Di sini, istri juga diijinkan untuk mengorbankan financial atas pembebasannya sendiri. Suami tidak seharusnya menarik apapun yang diberikan bila dia berusaha bercerai: “Tidak halal bagi Anda, (pria), untuk mengambil kembali salah satu hadiah Anda (dari istri anda) “, sedangkan istri harus mengembalikan apa yang telah diberikan suami ketika istri memulai perpisahan. Poligami (ta’addud), seringkali dipandang sebagai sebuah praktek yang menguntungkan pria, dijelaskan dalam ayat (4:3). Meskipun poligami diperbolehkan bagi pria dalam rangka memenuhi kebutuhan seksual alami mereka dan untuk memberikan kontribusi dalam memecahkan beberapa social masalah, dibatasi pada kemampuan untuk bersikap adil dan menjaga kesetaraan antara sesama istri. “Tetapi jika kamu takut Gender dan Seksualitas: Sebuah Perspektif Islam (Dewi Puspitasari) 237 tidak akan mampu bersikap adil (dengan mereka), maka (menikah) lah satu kali, atau (tawanan) yang dimiliki tangan kananmu.” Namun, kesetaraan antara sesama istri diukur dengan arahan agama dan norma budaya, meskipun fakta bahwa persamaan total mungkin mustahil, terutama dalam hal-hal yang harus dilakukan dengan cinta, karena karakteristik pribadi masing-masing istri. Al-Quran (4:129) mengatakan: “Kamu tidak pernah bisa adil di antara istri-istri(mu), bahkan jika kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung – katung., sehingga meninggalkan dia (seolah-olah) tergantung (di udara) “. B. Budaya dan Pengaruh Linguistik Sulit untuk menyangkal pengaruh budaya dan bahasa pada pandangan dan praktek Islam berkenaan dengan gender dan seksualitas, sebagaimana reaksi Islam sendiri terhadap hal – hal tersebut dalam konteks modern. Bagaimanapun, pengaruh ini, tidak terbatas pada budaya tradisional Arab, dan budaya regional Islam serta budaya asing yang diadopsi yang juga menambah pengaruh tersebut. Al-Ghazali (1990: 58, 174-177) mengerutkan kening pada penafsiran tradisional dari qawamah (mampu), yang setara dengan praktek-praktek tradisional mengenai control politik atau ke-suku-an. Dia mengutuk pemahaman yang dangkal tentang pemukulan istri yang diperbolehkan oleh al-Quran sebagai langkah terakhir untuk menyelamatkan hubungan keluarga dari keruntuhan karena ketidakpatuhan istri. Baginya, pemahaman semacam itu bertentangan dengan arahan al-Quran dan hadits yang jelas; tentang saling menghormati dan hidup bersama antara pasangan suami istri. Praktik dan pemahaman tradisional dan pemahaman ayat (4:34), serta perspektif Barat, tampaknya mendorong beberapa pakar untuk mengklaim bahwa pemukulan (Darb) dalam ayat ini adalah metafora semata, dan bahwa hal itu menunjukkan “meninggalkan” di rumah dan bukannya pemukulan sebenarnya (Abu Suleyman 2001). Namun, ukuran pemukulan korektif imi seharusnya tidak sama dengan pelecehan, dan harus diambil dalam konteks umum tentang hubungan gender (al-Ghazali, 1990:174-177). Al-Quran (4:34) sendiri mengarahkan: “Tetapi jika mereka kembali ke ketaatan, janganlah kamu mencari – cari alasan untuk menyusahkan” Ayat pada proses perceraian mengatakan: “maka tahanlah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula). Dan janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk menzalimi mereka” (2:231) Nabi menyarankan kelembutan dalam menangani wanita dan pentingnya melakukan kebaikan: “Ambil pelajaran (cara terbaik untuk) berhubungan dengan wanita” (Bukhari, hadits no. 4787). Pengaruh budaya muncul dalam menafsirkan sebuah frase dalam ayat (4:34) yang membenarkan priamengatur masalah wanita di sebuah keluarga, menegaskan bahwa hal tersebut datang karena posisi pria dalam masyarakat lebih tinggi daripada wanita dan dengan pembayaran mas kawin, tanpa mempertimbangkan beberapa fitur linguistik sub frase yang berisi kata ganti maskulin, dan tanpa mempertimbangkan praktek konvensional keluarga (Ibnu Katsir, 1401H, al-Quran 4:34). Dampak bahasa pada penafsiran teks-teks yang berkaitan dengan gender dan seksualitas mungkin telah mendorong ‘Ummu Salamah, seorang sahabat wanita Nabi, untuk memprotes referensi linguistik maskulin (fenomena Taghlib) dalam ayat-ayat Alquran tentang peristiwa hijrah dan hal-hal keimanan.”Wahai utusan Allah, aku tidak mendengar Allah menyebutkan wanita dalam peristiwa hijrah. Kemudian ayat (3:195) diturunkan “Tidak akan pernak Aku menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik priamaupun wanita, (karena sebagian dari kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain.” untuk meyakinkan sahabat wanita ini (al-Tirmidzi, hadits no. 2949). Penggunaan referensi maskulin (kata ganti atau kata) juga mempengaruhi penafsiran dari beberapa ayat dan ucapan nabi. Al-Ghazali (1990: 69) mengacu pada orang yang melarang wanita mendatangi masjid karena ia mengambil kalimat keluar dari konteks dalam ayat-ayat (24:36-37) yang menunjukkan bahwa beberapa pria menyembah Allah di rumah-rumah ibadah.Norma-norma budaya sangat penting 238 MUWÂZÂH , Vol. 2, No. 1, Juli 2010 dalam menentukan arti frase, “bahwa mereka tidak boleh menampilkan keindahan dan ornamen kecuali apa yang (biasanya harus) muncul,” dalam al-Quran (24:31). Al-Qaradawi, menyangkal sebuah pernyataan bahwa rambut kepala termasuk dalam ornamen atau bagian tubuh yang seorang wanita tidak perlu ditutup untuk orang asing. Dia setuju dengan consensus bahwa rambut wanita adalah bagian dari aurat dirinya ‘, dan bahwa itu harus ditutupi, dan dia mengutip pendapat berbeda tentang bagian tubuh yang diperbolehkan yang dapat dibuka pada orang asing. Beberapa pendapat membenarkan kebutuhan untuk menutup rambut dan bagian lain dengan kebutuhan untuk membatasi daya tarik seksual. Norma budaya juga penting dalam menentukan hak dan tanggung jawab pasangan seperti yang ditunjukkan dalam ayat di al-Quran (2:228). “Dan wanita harus memiliki hak yang sama terhadap hak-hak terhadap mereka, menurut apa yang adil, tetapi pria memiliki derajat (keuntungan) atas mereka.” Istilah (al-ma ‘ruf) adalah apa dapat diterima oleh budaya, dan istilah (darajah) harus dipahami sebagai gelar untuk pria terhadap wanita dalam hak dan tanggung jawab, dan bukan sebagai “otoritas” sebagai ditafsirkan oleh budaya dalam beberapa terjemahan. Sementara itu, al-Ghazali (1990: 33) merangkum situasi budaya wanita di Masyarakat Arab Timur Tengah tradisional dan mengatakan: Wanita dalam masyarakat kita tidak memiliki peran budaya atau politik. Seorang wanita tidak melibatkan [dirinya sendiri] dalam program pendidikan maupun dalam set up sosial. Dia tidak memiliki tempat di dalam masjid maupun dalam tempat jihad. Untuk menyebut namanya adalah suatu penghinaan, melihat wajahnya dilarang, fotonya adalah memalukan, dan fungsi pertama dan terakhir nya adalah untuk menyiapkan makanan dan menyiapkan tempat tidur. C. Hubungan Gender Gender adalah identitas alami manusia, yang diciptakan sebagai pria dan sebagai wanita. “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan pasangannya (hawa) dari (diri)nya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan priadan wanita yang banyak.”(4:1). Manusia akan melakukan regenerasi ke dalam berbagai suku dan bangsa, dan memiliki hubungan kerjasama. “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang priadan seorang wanita, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku suku agar kamu dapat mengenal satu sama lain.” (49:13). Manusia juga dihormati: “Kami telah memuliakan anak cucu Adam.” (17:70). Secara fisik dan psikologis, manusia siap terlibat dalam hubungan spiritual, sosial dan seksual, yang membedakan dari binatang. Dalam Islam, perkawinan adalah hubungan yang alami dan spiritual antara manusia dan wanita. Islam mengakui manfaat biologis, sosial, psikologis dan material perkawinan, juga mengakui fungsi reproduksi dan regenerasi dari ras manusia, serta fungsi spiritual keturunan. Allah berfirman: “Dan Allah telah menjadikan bagimu pasangan (suami dan istri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu….. “ (16:72). Sebuah perkawinan antara pria dan wanita merupakan salah satu tanda-tanda besar Allah dimana tujuannya adalah untuk menciptakan ketenangan dan menikmati rahmat Allah. “Dan di antara tanda-tanda Nya adalah, bahwa Dia menciptakan pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu tinggal dalam ketenangan dengan mereka, dan Dia telah menempatkan cinta dan belas kasih”(30:21). Namun, kontrak pernikahan dalam Islam memiliki implikasi ini: harus tetap semanusiawi mungkin; harus ada kesepakatan antara suami dan istri, harus dengan mahar yang masuk akal, dan harus dengan hak dan kewajiban yang sama, dan masing-masing pasangan saling melengkapi baik secara sosial, psikologis dan spiritual.Pertemuan, atau bertemunya pria dan wanita dalam masyarakat adalah hal yang alami, dan Islam melihat hal tersebut dalam tujuan atau manfaat yang terang, dan sebagai beberapa panduan umum untuk diamati. Ini termasuk menjaga mata, menjaga kesopanan antara kedua pihak, memakai pakaian Islam yang sopan, yang menutupi aurat, (24:31), (33:59), menghindari khalwah (duduk sendirian dengan seorang wanita tanpa muhrim di tempat terpencil), mematuhi Islam dalam perilaku berbicara, (Ahzab: 32), dan gerakan, (24:31), dan menghindari pemakaian make-up atau pakaian yang Gender dan Seksualitas: Sebuah Perspektif Islam (Dewi Puspitasari) 239 menggoda. Pada sebagian besar kondisi ini, perhatian biasanya diarahkan pada wanita, karena daya tarik seksual mereka yang kuat, tetapi pria juga tidak dikecualikan. Al-Qaradawi (2004) membuat catatan tentang masalah pencampuran pria dan wanita: Pertemuan pria dan wanita tidak dilarang, tetapi diterima atau diperlukan jika tujuan nya adalah untuk partisipasi yang memiliki tujuan mulia, terkait dengan pengetahuan yang berguna atau perbuatan baik, atau proyek yang menguntungkan atau jihad ‘yang diperlukan’, atau kegiatan yang perlu menggabungkan upaya dari dua jenis kelamin dan kerjasama di antara mereka dalam perencanaan, arah dan eksekusi. Ini tidak berarti bahwa hambatan antara mereka harus mencair dan hambatan legislatif terkait dengan pertemuan antara dua pihak dilupakan. D. Gender Hak dan Tanggung Jawab Islam tidak membedakan manusia atas dasar jenis kelamin, dan fungsi yang berbeda dalam hidup tidak berarti elevasi atau degradasi satu sama lain. Terdapat hak-hak umum untuk hidup dalam martabat, hak untuk memiliki bekal hidup dan hak-hak sosial dan sipil. Mengingat manusia memiliki hak untuk memilih mitra masa depannya, Islam memberikan wanita hak untuk memilih pasangan hidup sendiri. Nabi disebutkan telah memberikan kembali hak seorang gadis untuk memilih suami yang sebelumnya mengeluh bahwa ayahnya memaksanya untuk menikah. Juga terdapat hak seorang wanita untuk berpenampilan indah, apabila dia cukup sempurna dan bagus moral nya. Adalah hak nya untuk memiliki hubungan social dengan orang lain, dan berpartisipasi dalam mengelola dan membangun komunitasnya. Bila seorang suami berhak atas perceraian, seorang istri juga memiliki hak yang sama, untuk alasan dan prosedur yang berbeda, dan keduanya memiliki hak atas kepuasan seksual. Nabi memperingatkan kaum wanita: “Jika seorang pria mengajak istrinya ke tempat tidurnya, dan dia menolak untuk bergabung dengannya, para malaikat akan terus mengutuknya sampai pagi berikutnya “(Al-Bukhari, hadits no.4794). Nabi menyarankan Abdullah bin Amru bin `al-`Seperti yang menjalani sholat sepanjang malam:” Dan istri mu memiliki hak atas kamu. Jadi tetapkanlah setiap hak nya”(Al-Bukhari, hadits no.1837). AlQuran (2:228) menyatakan: “Dan para wanita memiliki hak yang seimbang dengan kewajjibannya menurut cara yang patut,” dan ini termasuk kepuasan seksual. Wanita juga memiliki hak terhadap posisi kepemimpinan dalam masyarakat, dan hadis yang dikutip yang menunjukkan kegagalan seorang wanita dalam peran kepemimpinan dalam suatu bangsa, ternyata telah keluar dari konteks. Hadits tersebut tentang pengangkatan putri kaisar Persia setelah kejatuhan ayahnya. Nabi berkomentar (al-Bukhari, hadits no.4073): “Mereka tidak akan pernah menang, orang yang menyerahkan kepemimpinan kepada seorang wanita”, yang mengacu pada anak wanita sang kaisar. Ini juga tidak berhubungan dengan sebuah hadis yang mendeskripsikan wanita kurang baik dalam agama maupun kognisi nya- dengan cara menyamakan dua saksi wanita dengan satu saksi pria dalam beberapa proses peradilan tertentu dan dalam mendokumentasikan transaksi bisnis, dan periode menstruasi di mana mereka dibebaskan dari beberapa ritual. (Al-Bukhari, hadits no.293) Namun, hak tidaklah lepas dari tanggung jawab, dan dalam pernikahan Islam, baik suami maupun istri memiliki tanggung jawab bersama dan spesifik. Suami bertanggung jawab atas kebahagiaan, perlindungan dan pemeliharaan istrinya menurut kemampuan. Suami harus menghindari hubungan seksual yang melanggar hokum selama terjadi menstruasi dan tidak melakukan seks anal; menjaga istrinya agar terhormat atau menceraikan istri dari ikatan perkawinan dengan terhormat (2:222-242). Istri harus mematuhi suaminya dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam maupun berbahaya bagi dirinya, harus memperhatikan kenyamanan dan kesejahteraan suaminya, dan bijak dalam meminta sesuatu. Istri harus berkonsultasi dengan suami dalam berurusan dengan orang-orang di luar keluarga, mengurus harta suami, dan tidak menyangkal suaminya tanpa alasan yang jelas. Keduanya memiliki kewajiban untuk saling membantu, memahami, memaafkan, mencintai, melindungi, dan fleksibel satu sama lain. 240 MUWÂZÂH , Vol. 2, No. 1, Juli 2010 E. Kesetaraan dan Ketimpangan Gender Islam membahas isu-isu gender sebagai koeksistensi dua mitra yang sama, di mana masing-masing pasangan melengkapi yang lain. Hal ini tidak aneh bahwa pola pandang Islam berisikan beberapa poin ketidaksetaraan antara pria dan wanita, karena terdapat perbedaan alami dan psiko-kognitif antara gender. Ada perbedaan dalam identitas alami, struktur tubuh, dorongan dan reaksi seksual, fungsi dan implikasi reproduksi, serta hormon. Terdapat juga perbedaan dalam kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, dalam respon terhadap rangsangan, fleksibilitas, tingkat ketergantungan, keinginan untuk menyerah, kesiapan, dan konsentrasi. Al-Khisht (1984) menguraikan perspektif Islam mengenai kesetaraan dan ketimpangan gender, terutama dalam pernikahan dan isu-isu yang berhubungan dengan seksualitas. Dia juga membahas isu-isu kesetaraan seperti yang disajikan dalam al-Quran, nilai kemanusiaan (57:39), martabat dan kehormatan (49:13), perbuatan baik dan manfaatnya (3:159), tanggung jawab pribadi dan umum (4:32), (16:97), (4:124), (9:71), (9:67-68), hukuman bagi hubungan luar nikah (05:38), (24:2), hak-hak sipil (dalam pemilihan seorang mitra untuk perkawinan, dan dalam belajar dan mengajar), pengeluaran pendapat (58:1), dan hak atas pemutusan perkawinan (talak untuk suami, dan khul ‘untuk seorang istri, yang melibatkan prosedur yang berbeda). Namun, Islam mengakui ketimpangan dalam beberapa poin berdasarkan cirri – ciri alam dan psikokognitif, beberapa tugas ibadah di mana wanita dibebaskan dari sholat, puasa, melakukan thawaf dan memegang al-Quran selama menstruasi dan pendarahan pasca melahirkan, beberapa aturan hukum, seperti tanggung jawab yang kurang bagi wanita, dan ketidaksamaan dalam pemeliharaan, di mana seorang wanita tidak akan bertanggung jawab atas beban keuangan keluarga, dan segala sesuatu bertumpu pada pria, bahkan selama masa tunggu perceraian, (al-Quran 65:6-7, & 2:33), seorang wanita bahkan dapat menggunakan uang pria(suami) untuk kebutuhan keluarga yang normal tanpa sepengetahuannya. Ketimpangan ada juga di masalah warisan (4:11-12, 176), saksi di mana al-Quran 2:282 mensyaratkan di dokumentasi pinjaman yang akan membutuhkan saksi dua laki – laki, atau seorang pria dan dua wanita; dengan alas an dua wanita dengan seorang pria, dengan kemungkinan bila salah satu dari dua wanita tersebut lupa, yang lain akan dapat mengingatkannya), hak untuk poligami (4:3), pengelolaan urusan (4:34) di mana pria akan bertanggung jawab, penanganan ketidaksetiaan (4:34, dan 128), dan melaksanakan hak perceraian (2:226-230, 65:1-2, 4:19).Satu catatan di sini bahwa banyak point – point ketidaksetaraan ini dipertanyakan oleh liberal serta beberapa non-Muslim yang membuat upaya serius untuk memiliki gambar global tentang semua point kesetaraan dan ketidaksetaraan. Namun ciri – ciri psiko-kognitif natural yang merupakan kerangka utama perbedaan tersebut tidak dapat diabaikan atau diremehkan. F. Perilaku dan Kegiatan Seksual Wanita memiliki hak untuk menjaga kecantikannya dan tampil dalam pakaian yang indah: “Allah menyukai keindahan” (Muslim, hadits no. 131) dan membuat hal-hal dan makhluk indah yang menarik bagi umat manusia. “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa wanita – wanita, anak – anak ….”(3:14). Sementara perilaku seksual, perasaan, daya tarik dan kegembiraan merupakan hal alami bagi manusia, Islam menekankan perilaku seksual yang penuh kesederhanaan, kemanusiaan, rasionalitas, bermanfaat, pada pria dan wanita. Untuk mencapai hal ini, Islam memerintahkan umat Islam (pria dan wanita) untuk menurunkan pandangan mereka, dan juga memerintahkan untuk menjaga organ seksual mereka (24:30-31), mengingat mata adalah kunci untuk perasaan, dan pandangan merupakan awal dari keinginan, yang dapat mengakibatkan hubungan seksual yang melanggar hukum. Mengingat konsekuensi dari hubungan seksual luar nikah dan pra nikah, Islam mendasarkan hukuman yang sama berat untuk perzinahan dan percabulan bagi kedua jenis kelamin (24:2), dan menentukan hukuman atas tuduhan palsu untuk perzinahan (24:4, 23). Pencegahan hukuman (ta’zir) juga dapat Gender dan Seksualitas: Sebuah Perspektif Islam (Dewi Puspitasari) 241 digunakan untuk mencegah orang terlibat dalam situasi yang dapat menyebabkan seksual yang melanggar hukum. Islam menyuruh penyaluran dorongan seksual pada pria dan wanita melalui perkawinan, untuk melindungi mereka dari amoralitas. Setiap orang yang mampu menikah didorong untuk menikah (alBukhari, hadits no.4677), terutama pemuda yang dorongan seksual nya kuat, dan bila situasi tidak mengizinkan, duanjurkan puasa untuk mengekang dorongan seksual dan agar tetap bisa menjaga kesucian. Di sisi lain, orang tua dilarang menghalangi bila anak gadis mereka tertarik untuk menikah. “Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi” (24:33). Tidak ada yang akan memberikan keamanan seksual, atau memenuhi kebutuhan seksual selain daripada melakukan kontak seksual dalam hukum perkawinan, dan puasa untuk menahan hawa nafsu secara sukarela berlaku bagi pria dan wanita, tetapi lebih relevan bagi pria mengingat derajat dorongan seksual mereka yang tinggi. Sang suami memberikan keamanan seksual kepada istrinya, dan istri menjaga kesucian agar bisa memberikan keamanan seksual bagi suaminya, dan keduanya saling melengkapi satu sama lain untuk mencapai kepuasan seksual sesuai dengan kebutuhan mereka. Keduanya saling menjamin kepuasan seksual. Hadits melarang seorang wanita menolak untuk memenuhi kebutuhan seksual suami, sedangkan suami diperintahkan untuk mencari persetujuan istri sebelum melakukan coitus (‘azl). Dalam Islam, aktivitas seksual harus dilakukan atas dasar etiket, dan dianggap sebagai tindakan ‘ibadah, jika dalam perkawinan syah sesuai dengan pedoman Islam yang tepat. Suami dan istri bebas untuk memiliki aktivitas seksual kapan saja mereka menginginkannya, dan dalam situasi yang mereka suka, menurut norma-norma, asalkan tidak selama periode menstruasi (2:222), dan tidak pada sore hari pada bulan puasa, tidak pula pria melakukan hubungan seksual ketika dia i’tikaf di masjid (Ayat 2:187). Di sisi lain, mereka disarankan untuk menjaga kerendahan hati mereka, dan untuk menyadari hal tersebut sebagai salah satu syarat yang harus dimiliki umat yang ingin berhasil dan masuk ke dalam surga (23:05), (33:35). G. Etiket Berpakaian Islam memutuskan bagian tubuh yang harus ditutupi oleh kedua jenis kelamin, mana yang dianggap batas aurat, dan harus ditutupi selama shalat dan bergaul dengan orang-orang yang tidak dilarang dalam pernikahan. Bagian lainnya mungkin perlu ditutupi untuk menjaga kesederhanaan atau menyesuaikan sesuai dengan budaya lokal. Ada juga pengecualian untuk menghilangkan bagian tabir untuk duduk wanita yang tidak akan menikah lagi. “para wanita tua yang telah berhenti (dari haid dan mengandung), maka tidak ada dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka, dengan tidak bermaksud menampakkan perhiasan, tetapi memelihara kehormatan adalah lebih baik bagi mereka, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Salah satu tujuan berpakaian adalah untuk menutupi rasa malu baik pria dan wanita. AlQuran (7:26) berkata: “Hai anak cucu Adam! Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auramu, serta menjadi perhiasan bagimu. Tetapi pakaian kebenaran (takwa) lah yang terbaik. “ Kebijaksanaan hijab (cadar Islam untuk wanita) meskipun aplikasi nya berbeda adalah untuk menjaga kesopanan dan melindungi wanita dari pelecehan pria dan sebaliknya. Ini juga akan menyelamatkan priayang terangsang oleh wanita, yang mungkin mengakibatkan pelecehan seksual. Islam memutuskan adanya etiket berpakaian bagi pria dan wanita, meskipun banyak perhatian yang diberikan oleh kaum Muslim hanya pada etiket pakaian untuk wanita muslim saja. Beberapa etiket ini berlaku bagi pria, dan norma-norma budaya yang tidak bertentangan dengan Islam dapat diamati dalam memilih berpakaian sesuai gender. Perhatian yang lebih besar diberikan kepada pakaian seorang wanita dalam literature Islam, karena sensitivitas daya tarik seksual wanita, dan persepsi budaya. Perhatian beberapa organisasi Islam saat ini terhadap etiket berpakaian ini tidak terlepas dengan pengaruh barat dalam memanfaatkan seksualitas wanita untuk tujuan komersial. Beberapa fitur berikut perlu diperhatikan pada pakaian wanita (al-Qaradawi, 1995): • Gaun harus menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan tangan, dan jilbab harus menutupi dada wanita (24:31), 242 MUWÂZÂH , Vol. 2, No. 1, Juli 2010 • • • • Tidak boleh transparan, mengungkapkan apa yang di bawahnya, Harus longgar dan tidak ketat sehingga bagian tubuhnya tidak terlihat lekuknya, wanita Muslim harus menutup diri dengan pakaian atas longgar – saat mereka keluar (33:59), Dia tidak boleh memakai pakaian khusus untuk pria, Dia tidak boleh berniat untuk menarik perhatian pria terhadap perhiasan-nya yang tersembunyi atau dengan menggunakan parfum atau cara lain. Ayat-ayat berikut (24:30-31) sangat penting dalam memberikan pemahaman yang jelas tentang posisi Islam mengenai berpakaian dan interaksi gender:Katakanlah kepada priayang beriman, agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, bahwa mereka tidak akan menampilkan keindahan dan ornamen kecuali apa (harus biasanya) muncul dari padanya; bahwa mereka harus menutup kerudung mereka ke dada mereka dan tidak menampilkan kecantikan mereka kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, atau anak – anak mereka, putra – putra suami mereka, atau saudara – saudara priamereka atau putra – putra saudara priamereka, atau putra – putra saudara wanita mereka, atau para wanita sesame Islam mereka, atau atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau pelayan pria tua yang tidak memiliki keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak kecil yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang – orang yang beriman, agar kamu beruntung. KESIMPULAN Makalah ini merupakan kontribusi sederhana untuk menyajikan posisi yang jelas mengenai gender dan seksualitas menurut Islam. Makalah ini mengadopsi perspektif Wasatiyyah Islam, yang pendukung posisi moderat sementara menegakkan prinsip-prinsip dasar, dan mempromosikan masalah yang relevan untuk muslim dalam situasi kontemporer. Penulis memberikan perhatian terhadap perlunya pembedaan norma-norma budaya lokal dan regional serta beberapa praktek prinsip-prinsip syariah. Beberapa isu gender dan seksualitas terpilih dibahas dimana beberapa ayat-ayat al-Quran disorot, terutama yang dibuat referensi untuk fungsi, interaksi, pakaian, hubungan perkawinan, perceraian dan kesetaraan gender. Walaupun diskusi ini secara umum singkat, diharapkan bahwa beberapa poin penting yang patut diperhatikan disorot. Yang terakhir, penting bahwa umat Islam mempertahankan identitas Islam tanpa memaksakan preferensi pribadi pada orang lain, dan adalah penting secara totalitas menjalankan agama, tanpa upaya untuk mencampurnya dengan kebudayaan asing atau tradisional. DAFTAR PUSTAKA Abu Dawud, Sulaiman al-Sijistani [nd]. Sunan Abi Dawud, Dar ‘Ihya’ al-Turath al- ‘Arabi. Beirut Abu Suleyman, Ahmad Abdul Hamid. 2001. al-Fahm al-Maqasidi: Al-Mar’ah wasilah Darb Li al-Ru’yah Manhajiyyah-Khilafat al-Zawjiyyah Hall Ismiyaah al-Ma’raifah.6 (24): 117-140. Al-Bukhari, Ismail. 1987. Sahih al-Bukhari.Beirut: Dar al-Qalam. Al-Ghazali, Muhammad. 1990. Qadaya al-Mar’ah al Byna wa al-Taqalid al-Rakidah-Wafidah.Kairo: Dar alShuruq. Al-Khisht, Muhammad ‘Utsman. 1984. Wa Laysa al-Dhakar ka’Untha al-.Kairo: Maktabat al-Quran.1984. Al-Qaradawi, Yusuf - 1995. Fiqh fi al-’Awlawiyyat.Kairo: Maktabah Wahbah.. 2004. Qaradhawi pada Pencampuran Bebas Pria dan Wanita. http://www.themodernreligion.com / wanita / freepencampuran-qaradawi.html. (14/7/2004). Gender dan Seksualitas: Sebuah Perspektif Islam (Dewi Puspitasari) 243 B. 0,2004 Taghtiyah Sha’r al-Ra’s. <Bersih http://www.qaradawi / situs / topik /artikel, pada 14/7/ 2004. Al-Qurtubi, Muhammad bin Ahmad. 1372H. al-Jami ‘li Ahkam ‘al-Quran. Kairo: Dar al-Sha ‘b. Al-Tirmidzi, Muhammad bin ‘Isa. 1983. Sunan At-Tirmidzi.Beirut: Dar al-Fikr. Bouhdiba, Abdelwahab. 1985. Seksualitas dalam Islam.Diterjemahkan dari Perancis oleh Alan Sheridan. London: Routledge & Kegan Paul. Ibnu Katsir, Ismail bin Umar ‘. 1401H. Al’Azhim Tafsir al-Quran. Beirut: Dar al-Fikr. Kausar, Zeenath. 2001. Politik feminis Seksual dan Dekonstruksi Keluarga: Sebuah Islam Perspektif. Gombak: Universitas Islam Internasional Malaysia. Muslim al-Hajjaj bin. 1972. Sahih Muslim.Beirut: al-Turath al ‘Ihya’ Dar-’Arabi. Muslim Women’s League, Sebuah Perspektif Islam di http://www.mwlusa (Seksualitas. org / publikasi / positionpapers /) sexuality.html, pada 7/14/-2004. Wanita Liga Muslim, Jenis Kelamin dan Seksualitas dalam Islam. Http://www. mwlusa.org/publications/ esai / sexuality.html. (2004/07/14). Salman, Magida. 1997.Arab Wanita, dalam Kapoor Marie-Aimee & Harsh (ed.). Wanita Hidup Dalam Hukum Islam.Dossier 20, Grabels, Perancis, (Desember): 24-33. Sano, Moustapha Qoutoub. 2000. Mu’jam Mustalahat ‘Usul al-Fiqh.Beirut: Dar al-Fikr Department of Arabic Language and Literature, Kulliyyah of Islamic Revealed Knowledge, International Islamic University Malaysia. Jalan Gombak53100 Kuala Lumpur. 244 MUWÂZÂH , Vol. 2, No. 1, Juli 2010