Penelitian Internal USULAN PENELITIAN ANALISIS TINGKAT KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH PASCA PEMEKARAN WILAYAH. (Studi pada Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya) Peneliti : TEDI RUSTENDI NIDN. 04-0605-6801 PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SILIWANGI TASIKMALAYA 2017 i ii KATA PENGANTAR Segala puji dan sukur penulis panjatkan hanyalah kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga usulan penelitian ini dapat diselesaikan. Mudah-mudahan Allah SWT meridhoi, memberikan kemudahan dan kelancaran kepada hambanya untuk melaksanakan aktivitas yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya. Usulan penelitian ini disusun dalam rangka implementasi program pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi pada bidang penelitian dengan harapan dapat berkontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, dan keperluan praktis yang relevan. Mudah-mudahan rencana penelitian ini dapat direalisasikan serta mencapai sasaran dan tujuan sesuai amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tasikmalaya, 28 Maret 2017, Peneliti iii DAFTAR ISI Hal LEMBAR PENGESAHAN i KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI iii DAFTAR TABEL iv DAFTAR GAMBAR v Bab I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang Penelitian 1 1.2. Identifikasi Masalah 4 1.3. Tujuan Penelitian 4 1.4. Kegunaan Penelitian 4 1.5. Lokasi Dan Jadwal Penelitian 5 TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 6 2.1. Tunjauan Pustaka 6 Bab II 2.1.1. Kemandirian Keuangan Daerah 6 2.1.2. Desentralisasi Fiskal 9 2.2. Kerangka Pemikiran 13 2.3. Hipotesis 15 Bab III METODE PENELITIAN 16 3.1. Objek Dan Metode Penelitian 16 3.2. Operasionalisasi Variabel 16 3.3. Populasi Sasaran Dan Sampel 17 3.4. Teknik Pengumpulan Data 17 3.5. Teknik Analisis Data 18 DAFTAR PUSTAKA 21 iv DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.1. Dana Perimbangan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tabel 1.2. Time Schedule Penelitian 2 5 Tabel 2.1. Tabel Kriteria Pola Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah Berdasarkan Kemampuan Keuangan Daerah Tabel 3.1. Operasionalisasi Variabel Penelitian 8 16 v DAFTAR GAMBAR Halaman - - vi ANALISIS TINGKAT KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH PASCA PEMEKARAN WILAYAH (Studi pada Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian. Fenomena yang terjadi di awal reformasi keuangan negara, model transfer yang ada cenderung menunjukan tingkat ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat tetap tinggi, dimana model tersebut dianggap menyurutkan usaha pemerintah daerah untuk memperoleh pendapatan daerah dan menjadi kendala karena tidak fleksibel dalam pengelolaan belanja daerah. DJPK – Kemenkeu (2012 : 16), mengungkapkan bahwa Sebelum tahun 1999 sebagian besar transfer bersifat bersyarat (Inpres). Disisi lain, model desentralisasi fiskal dari sisi belanja (ekspenditure) menimbulkan kecenderungan kepada pemerintah daerah untuk lebih ‘gencar’ menuntut dana perimbangan karena rendahnya kemampuan daerah dalam menghimpun pendapatan daerahnya. Fenomena tersebut menjadi lebih rumit karena adanya tarik-menarik dalam proses politik dan hukum, serta masifnya perilaku koruptif. Dengan demikian, upaya pemeritah pusat mewujudkan keseimbangan fiskal menjadi tidak mudah. Oleh karena itulah, untuk mendorong percepatan kesejahteraan rakyat, pemerintahm perlu melakukan pembenahan dan perbaikan pengelolaan keuangan negara salah satunya yang berkenaan dengan realokasi sumber daya dan pelimpahan kepada daerah terkait dengan pengelolaan sumber-sumber pendapatan tertentu, baik secara normatif (penerbitan regulasi/peraturan perundang-undangan) 1 maupun implementatif (mendorong daerah untuk mengelola keuangannya secara mandiri). DJPK – Kemenkeu (2012 : 16-17) mengemukakan bahwa pada saat ini DAU menggunakan pendekatan kesenjangan fiskal (perbedaan antara kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal) dengan tujuan mengurangi kesenjangan seiring waktu agar ketidaksetaraan semakin mengecil. Disamping itu, dengan berlakunya UU No 18 tahun 2009 tentang Pajak dan Bea Daerah telah menunjukkan indikasi awal bahwa sebagian besar pemda telah memulai menagih pajak transfer tersebut di tahun 2011, dan pertumbuhan yang kuat dalam penagihan pajak ini mulai tampak, dimana salah satu kota telah memulai pengumpulan pajaknya sendiri ini di tahun 2011, dan 23 kota lain telah menunjukkan niatnya untuk memulai di tahun 2012. Sembilan pemda akan diberi bantuan khusus oleh pemerintah pusat untuk menagih pajak yang dipindahkan tersebut, dengan harapan mereka bisa dijadikan model untuk dipelajari oleh pemda lain. Jawa Barat sebagai salah satu provinsi yang berkembang pesat dari aspek perekonomian dengan nilai APBD yang termasuk kelompok besar, tetap memperoleh dana perimbangan yg tergolong tinggi. Proporsi dana perimbangan Tabel 1.1. Dana Perimbangan Provinsi dan Kab/Kota di Jawa Barat Jawa Barat Nasional Dana Perimbangan Jumlah Proporsi (IDRx1000) (IDRx1000) (%) Dana Bagi Hasil 97.009.341.900 5.627.550.431 5,80 DAU 352.887.848.528 31.862.914.458 9,03 DAK 58.807.684.376 3.072.291.210 5,22 Dana Otonomi Khusus 17.115.513.942 Dana Penyesuaian 120.916.977.136 16.258.923.286 13,45 Dana Keistimewaan DIY 547.450.000 JML 647.284.815.882 56.821.679.385 8,78 Sumber : DJPK – Kemenkeu 2016 (diolah) 2 Yang diterima oleh Provinsi Jawa Barat, Kabupaten dan Kota di Jawa Barat mencapai 8,78% dari nilai dana perimbangan nasional pada tahun 2015. Namun demikian, proporsi tersebut beum tentu menunjukkan tingkat ketergantungan yang tinggi dari pemerintah daerah di Jawa Barat kepada Pemerintah Pusat, sebab terdapat faktor lain yang perlu diperhitungkan dalam menentukan tingkat kemandirian keuangan daerah, dan faktanya kabupaten dan kota di Jawa Barat memiliki kesenjangan yang terbilang tinggi dalam hal kemampuan keuangan daerah, terutama antara kota besar dan kota yang berbatasan dengan DKI Jakarta dengan kota/kabupaten diwilayah selatan dan perbatasan dengan Jawa Timur. Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya yang berada di wilayah Priangan Timur, merupakan daerah otonom yang dimekarkan berdasarkan UU No 10 Tahun 2001 tanggal 21 Juni 2001. Kedua daerah otonom di wilayah Priangan Timur tersebut merupakan daerah yang termasuk memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Hal tersebut menggambarkan perkembangan wilayah terutama dari aspek kependudukan, ekonomi, dan politik termasuk pesat. Pemekaran wilayah tersebut merupakan langkah strategis untuk mempercepat pembangunan di daerah berdasarkan skala prioritasnya, sehingga upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan lebih baik. Namun demikian, aspek kemampuan keuangan daerah pasca pemekaran wilayah tersebut perlu dikaji lebih lanjut untuk mengetahui tingkat desentralisasi fiskal yang merupakan salah satu indikator keberhasilan otonomi daerah. 3 1.2. Identifikasi Masalah. Berdasarkan tema sentral yang dipaparkan tersebut di atas, penulis merumuskan masalah penelitian sbb : 1. Bagaimana tingkat kemandirian keuangan daerah Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya ?. 2. Apakah terdapat perbedaan tingkat kemandirian keuangan daerah antara Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya ?. 1.3. Tujuan Penelitian. Berdasarkan masalah yang diidentifikasi tersebut di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1. Tingkat kemandirian keuangan daerah Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya. 2. Perbedaan tingkat kemandirian keuangan daerah antara Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya. 1.4. Kegunaan Penelitian. Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan keperluan praktis sebagai berikut : 1. Memperkuat dan menambah ruang keilmuan pada bidang keuangan sektor publik terutama keuangan daerah di era otonomi daerah.. 4 2. Menyediakan informasi praktis yang dapat digunakan oleh para pemangku kepentingan dalam mendorong daerah otonom ke arah kemandirian terutama dari aspek keuangan. 1.5. Lokasi Dan Jadwal Penelitian. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten dan Kota di wilayah Priangan Timur Provinsi Jawa Barat. Sementara, waktu penelitiannya direncanakan selama 12 bulan terhitung mulai bulan April 2017, dengan time schedule sebagai berikut : Tabel 1.2. Time Schedule Penelitian Kegiatan Desain dan Observasi Awal Penyusunan Dan Pengajuan UP Pengumpulan Data Analsis Data Penyusunan Laporan Penyusunan Artikel Karya Ilmiah 1 V V 2 3 4 V V V Bulan ke - : 5 6 7 8 V V V V V V 9 10 11 12 V V V V V 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka. 2.1.1. Kemandirian Keuangan Daerah. Berdasarkan ruang lingkup pemerintahan, dalam sistem pemerintahan di Indonesia dikenal adanya Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dimana Pemerintah Daerah terbagi menjadi Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi, dan Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten/Kota. Bila dikaitkan dengan tujuan kesejahteraan seluruh rakyat, maka pemerintah perlu mewujudkan keseimbangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui realokasi sumber daya, dan melimpahkan sebagian pengelolaan sumber daya dalam kerangka otonomi daerah. Pemerintah menegaskan bahwa kebijakan transfer fiskal antar pemerintah ditujukan untuk mengikuti prinsip ‘uang mengikuti fungsi,’ yang membawa tantangan dalam penerjemahan fungsi dan desain pengaturan pembiayaan yang tepat. Transfer dirancang untuk mewujudkan keseimbangan vertikal dan horizontal dan menangani situasi limpahan antar yurisdiksi (DJPK – Kemenkeu, dalam Desentralisasi Fiskal Satu Dekade Setelah Ledakan Besar, 2012 : 16). Keuangan daerah diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, termasuk segala sesuatu (baik uang maupun barang) yang dijadikan milik daerah berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban daerah tersebut (PP No 58 Tahun 2005, pasal 1). Pengelolaan keuangan daerah dilakukan oleh setiap pemerintah daerah dalam kerangka penganggaran keuangan 6 daerah. Penganggaran daerah merupakan kunci dalam pengelolaan keuangan daerah, dimana pemerintah harus mampu membiayai seluruh kegiatan dalam rangka pelaksanaan fungsi negara/daerah dengan menggunakan sumber daya yang berasal dari kemampuan daerah dan dana perimbangan dari pemerintah pusat. Otonomi daerah yang mencerminkan desentralisasi fiskal memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri termasuk dalam pengelolaan keuangan daerah. Namun demikian, otonomi daerah menimbulkan konsekuensi dalam hal kesenjangan antara daerah yang kaya dengan daerah yang miskin dalam arti kemampuan daerah untuk memperoleh sumber daya keuangan daerah, sehingga sebagian diantaranya masih memiliki ketergantungan yang tinggi kepada pemerintah pusat. Regulasi berkenaan dengan dana perimbangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, memfasilitasi realokasi sumber daya ke daerah berdasarkan aturan tertentu yang diharapkan menciptakan pemerataan yang berkeadilan. Daerah-daerah yang miskin sumber dayanya akan memperoleh alokasi sumber daya yang besar dengan prioritas pada pembangunan guna pemenuhan pelayan publik berdasarkan standar pelayanan minimal. Sementara daerah-daerah yang kaya sumber dayanya tetap akan memperoleh realokasi sumber daya sesuai kontribusi yang diberikannya. Dengan demikian, dana perimbangan tersebut diharapkan mampu mendorong kemandirian keuangan daerah dalam jangka panjang. 7 Secara konseptual, pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah berdasarkan kemampuan keuangan daerah dengan indikator proporsi pendapatan asli daerah dari total pendapatannya dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Pola Hubungan Instruktif, peranan pemerintah puasat lebih dominan dari pada kemandirian pemerintah daerah (daerah yang tidak mampu melaksanakan otonomi daerah). b. Pola Hubungan Konsultif, campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi. c. Pola Hubungan Partisipatif, peranan pemerintah pusat semakin berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi. d. Pola Hubungan Delegatif, campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah. Tabel 2.1 Tabel Kriteria Pola Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah Berdasarkan Kemampuan Keuangan Daerah PAD / TPD Rendah Sekali Rendah Sedang Tinggi Sumber : diolah Kemandirian (%) Pola Hubungan 00 - 25 26 - 50 51 – 75 76 - 100 Instruktif Konsultatif Partisipatif Delegatif Kemandirian suatu daerah dalam pengelolaan keuangannya dapat diukur berdasarkan derajat desentralisasi fiskal yang menunjukkan proporsi dana 8 perimbangan dalam struktur APBD. Hal tersebut sejalan dengan pandangan Joko Tri Haryanto (2015 : 1) yang mengemukakan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia adalah untuk menciptakan aspek kemandirian di daerah. Desentralisasi fiskal mengandung makna adanya pelimpahan kewenangan dari pusat kepada daerah dalam hal pengelolaan sumber daya keuangan baik berupa penyerahan sumber-sumber keuangan untuk menjadi pendapatan daerah, maupun realokasi sumber daya dari Pemerintah Pusat kepada Pemeritah Daerah melalui mekanisme dana perimbangan. 2.1.2. Desentralisasi Fiskal. Desentralisasi fiskal merupakan salah satu implementasi dari paradigma hubungan pemerintah pusat dan daerah. Kebijakan awal yang dirumuskan dalam UU No. 22 dan No. 25 tahun 1999 antara lain ditandai dengan dialokasikannya Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan berbagai urusan pemerintahan yang telah didaerahkan, Dana Bagi Hasil (DBH) dari ekstraksi sumber daya alam yang berada di daerah yang bersangkutan, dan diberikannya otoritas pajak yang terbatas kepada pemerintah daerah. Selanjutnya, amandemen undang-undang desentralisasi yang dilakukan pada tahun 2004 menitikberatkan kepada mekanisme pemantauan oleh pemerintah pusat, dan perbaikan kepada pertanggungjawaban pengeluaran pemerintah daerah (Brodjonegoro 2004). Di sisi fiskal, UU No. 33 tahun 2004 memperbesar basis bagi hasil pajak dari sumber daya alam yang dimiliki daerah, maupun dari pajak tingkat nasional lainnya, dan perluasan total dana yang menjadi sumber DAU. Perubahan kebijakan 9 desentraliasi fiskal itu sendiri merupakan cerminan dari kebutuhan fiskal yang terus membesar di tingkat daerah, praktek soft budget constraint dari sisi pemerintah pusat yang juga disebabkan oleh lambatnya reformasi pajak daerah. Meskipun telah dilakukan berbagai penyempurnaan kebijakan, desentralisasi fiskal di Indonesia masih mempunyai berbagai kelemahan dan kekurangan, baik dalam tataran konsep maupun implementasinya. Masih terdapat peraturan yang saling berbenturan satu sama lain, masih terdapat perbedaan pendapat maupun perebutan kewenangan antar level pemerintahan dalam pengelolaan fiskal daerah, ataupun masih sering terjadi multi-tafsir dalam implementasi kebijakan di daerah. (DJPK – Kemenkeu, 2012 : 4). Selanjutnya dikemukakan bahwa konsep ukuran yang optimal untuk desentralisasi pemerintah memiliki dua dimensi, yaitu : 1. Kepekaan terhadap masyarakat (efisiensi alokatif), yang biasanya menyiratkan manfaat dari ukuran kecil, 2. Minimalisasi biaya (skala ekonomis), yang menyiratkan bahwa banyak pelayanan bisa dihasilkan secara lebih efektif di tingkat penduduk yang kecil (misalnya untuk jasa kepolisian, pemadam kebakaran, pendidikan umum), maupun dalam skala ekonomis yang lebih luas (misalnya untuk pelayanan air bersih dan transfortasi umum). 10 2.1.2.1. Kebutuhan Fiskal Kebutuhan fiskal yaitu untuk mengukur kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi pelayanan dasar umum (UU No 33 tahun 2004 pasal 28 ayat 1). Semakin tinggi indeks, maka kebutuhan fiskal suatu daerah semakin besar. Pengukuran dengan menghitung rata-rata kebutuhan fiskal standar se kabupaten/kota. Kebutuhan fiskal (fiscal need) dicari dengan menghitung indeks pelayanan publik per kapita (IPP), dimana semakin tinggi IPP menunjukkan kebutuhan fiskal daerah tsb tinggi. Adapun persamaan matematisnya adalah : IPP = Pengeluaran Per Kapita untuk Jasa−Jasa Publik (PPP) Standar Kebutuhan Fiskal Daerah (SKF) SKF = × 100% Σ Pengeluaran Daerah/ Jumlah Penduduk Σ Kecamatan 2.1.2.2. Kapasitas Fiskal Kapasitas fiskal merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil (UU No 33 Tahun 2004 pasal 28(3)). Persamaan matematis kapasitas fiskal (fiscal capacity), dapat digunakan rumus sebagai berikut: FC = Produk Domestik Bruto (PDB)/Σ Penduduk KFs = Kapasitas Fiskal Standar (KFs) ΣPDB/Jumlah Penduduk Σ Kecamatan × 100 % × 100% Dimana semakin tinggi rasio FC menunjukkan kapasitas fiskal daerah tersebut tinggi. 11 2.1.2.3. Upaya Fiskal Upaya fiskal adalah koefisien elastisitas Pendapatan Asli Daerah dengan Produk Domestik Regional Bruto – PDRB. Basis PDRB digunakan sebagai indikasi kemampuan masyarakat suatu daerah dalam membayar pajak. Persamaan matematis untuk menghitung Upaya Fiskal adalah : ∆Pendapatan Asli Daerah Upaya Fiskal = ∆Produk Domestik Regional Bruto × 100% Indikator desentralisasi fiskal tersebut merupakan dasar bagi pemerintah pusat dalam mengalokasikan dana perimbangan, baik berkenaan dengan dana alokasi umum ataupun dana alokasi khusus. Sementara itu dana bagi hasil dialokasikan dengan basis tertentu menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Besarnya alokasi dana perimbangan merupakan dasar bagi daerah untuk menentukan anggaran pendapatan transfer, sehingga kebutuhan pembelanjaan dapat dipenuhi. Bila anggaran belanja dan pengeluaran pembiayaan tidak dapat ditutup baik dengan pendapatan asli daerah maupun dana perimbangan (bantuan pemerintah pusat dan provinsi, maka pemerintah daerah dapat memanfaatkan sumber daya pembiayaan dari pinjaman, baik sektor perbankan mapun pinjaman dari pemerintah pusat/provinsi/daerah lain. Dengan demikian, Rasio Kemadirian Keuangan Daerah dapat ditentukan sebagai berikut : PAD Rasio Kemandirian = Bantuan Pemerintah Pusat/Provinsi dan Pinjaman × 100% 12 2.2. Kerangka Pemikiran Pemekaran wilayah daerah tingkat II sejatinya merupakan upaya untuk mempercepat desentralisasi fiskal dan mendorng kemandirian daerah. Namun faktanya, upaya otonomi daerah tersebut dihadapkan kepada berbagai tantangan yang memerlukan sinergi yang kuat antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Fenomena pemekaran wilayah dalam kategori Pemerintah Daerah Tingkat II Kota sering dianggap memiliki peluang kemandirian yang lebih besar dengan pertimbangan politik, ekonomi, geografis, dan demografi. Pemerintah kota umumnya memiliki wilayah yang lebih sempit dengan jumlah kecamatan yang lebih sedikit, tetapi memiliki sebaran penduduk yang terkonsentrasi dengan aktivitas perekonomian yang lebih tinggi didukung oleh infrastruktur yang lebih baik. Kecenderungan wilayah perkotaan yang menjadi daya tarik masyarakat untuk melakukan aktivitas ekonomi non agraris, yaitu pada bidang perdagangan dan industri, mampu menciptakan sumber pendapatan asli daerah yang lebih terkonsentrasi pada pajak dan retribusi bidang jasa, perdagangan dan industri. Meskipun wilayah perkotaan relatif miskin dengan sumber daya alam, tetapi pemerintah kota memiliki peluang yang besar untuk memperoleh pendapatan dari sumber pajak dan retribusi tersebut. Namun demikian, dari aspek penganggaran secara keseluruhan, pemerintah kota belum tentu mandiri secara keuangan, sebab tantangan yang muncul dari adanya kantung-kantung kemiskinan, tingginya kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan, pendidikan, ketersediaan fasilitas dan pelayanan publik, air bersih, 13 sampai pada sistem sanitasi dan pengelolaan sampah, menunjukkan besarnya kebutuhan fiskal pemerintah kota. Sementara itu, pemerintah kabupaten yang sering dipandang lebih rendah kemampuan keuangan daerahnya, umumnya memiliki kekuatan dalam hal sumber daya alam, dan karakteristik masyarakat pertanian yang masih dapat dipertahankan sehingga dapat menjadi penyangga pangan baik untuk penduduk di wilayahnya maupun penduduk yang ada di perkotaan. Guna mendongkrak PDRB, pemerintah kabupaten umumnya mendorong tumbuh/berkembangnya industri berbasis hasil pertanian dan meningkatkan volume perdagangan produk pertanian berikut hasil pengolahammya, sehingga disamping memberikan nilai tambah terhadap produk hasil pertanian yang dapat dinikmati oleh masyarakat secara langsung, juga meningkatkan peluang bagi pemerintah kabupaten guna memperoleh pendapatan asli daerah dari pajak dan retribusi. Namun demikian, wilayah kabupaten yang lebih luas dengan sebaran penduduk yang jarang (berada dalam kelompok-kelompok kecil) menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah kabupaten dalam hal penyediaan infrastruktur yang umumnya masih belum memadai, dan penyediaan pelayanan publik yang umumnya belum memenuhi standar pelayanan minimal, termasuk akses masyarakat yang masih terbatas terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan publik lainnya. Kondisi tersebut menempatkan pemerintah kabupaten pada beban kebutuhan fiskal yang besar, sehingga meskipun daerah memiliki sumber daya alam yang melimpah, dan sektor pertanian yang mampu menjadi penyangga wilayah perkotaan, tetapi belum tentu mampu mencapai kemandirian keuangan daerah. 14 Dalam kerangka pengelolaan keuangan sektor publik, pemerintah pusat dihadapkan pada tantangan pemerataan pembangunan dengan tetap melakukan realokasi sumber daya yang berkeadilan dalam program desentralisasi fiskal. Upaya mencapai kemandirian keuangan daerah memerlukan kerjasama yang terintegrasi baik dalam program maupun penganggaran antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Disamping itu para pemangku kepentingan harus berperan aktif dalam pembangunan dan melaksanakan kontrol sosial secara wajar. 2.3 Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, peneliti merumuskan hipotesis penelitian, yaitu bahwa terdapat perbedaan kemandirian keuangan daerah antara Pemerintah Kabupaten tasikmalaya dengan Pemerintah Kota tasikmalaya. 15 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Objek dan Metode Penelitian. Penelitian ini merupakan studi komparatif, dengan tujuan kajian adalah analisis diferensiasi berkenaan dengan kemandirian keuangan daerah dari 2 (dua) populasi data yang berbeda dan independen. 3.2. Operasionalisasi Variabel. Variabel-variabel pada analsisi diferensiasi diperlakukan independen dan didefinisikan secara dikotomus pada 2 (dua) pemerintahan otonom yaitu Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya dan Pemerintah Kota Tasikmalaya : Tabel 3.1. Operasionalisasi Variabel No Variabel Indikator Tingkat Kemandirian PAD Pemkab, Keuangan Daerah Bantuan Pemerintah Pemerintah Kabupaten Pusat dan Provinsi yang Tasikmalaya diterima Pemkab Pinjaman yang diterima (X1) Pemkab Tingkat Kemadarian PAD Pemkot, Keuangan Daerah Bantuan Pemerintah Pemerintah Kota Pusat dan Provinsi yang Tasikmalaya diterima Pemkot Pinjaman yang diterima (X2) Pemkot. Ukuran Skala % Rasio % Rasio 16 3.3. Populasi Dan Sampel Penelitian. Populasi Sasaran dalam penelitian ini adalah data APBD Kabupaten Tasikmalaya, dan APBD Kota Tasikmalaya pasca Otonomi daerah Tahun 2001. Sampel penelitian berupa data APBD yang ditetapkan menurut time series dalam 10 tahun terhitung mulai tahun 2007 s/d 2016, sehingga diperoleh jumlah data (nij) = 20, yang terdiri atas : 1. Ukuran sampel Kabupaten Tasikmalaya (n1) = 10 (data time series dalam Tahun) 2. Ukuran sampel Kota Tasikmalaya (n2) = 10 (data time series dalam Tahun) 3.4. Teknik Pengumpulan Data. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia dengan pertimbangan : 1. Data longitudinal dalam periode publikasi yang sama selama 10 tahun yang berakhir Tahun 2016. 2. Data dalam bentuk Daftar APBD berdasarkan format Kemendagri dan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan, 3. Data merupakan publikasi resmi dari Institusi Kementerian yang kompeten. 4. Pengukuran varuabel sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 17 Sedangkan data penunjang/pelengkap yang digunakan adalah data Sekunder yang diperoleh dari situs masing-masing pemerintah daerah yang diteliti dan Institusi lain yang kompeten (BPS, dan BI) berupa statistik daerah yang dipublikasikan. Prosedur pengumpulan data ditempuh untuk memastikan hanya data yang reliabel yang dijadikan komponen analisis, dengan tahapan sebagai berikut : 1. Menyiapkan profil masing-masing pemerintah daerah yang diteliti. 2. Telaah APBD dan Realisasi APBD masing-masing pemerintah daerah yang diteliti. 3. Menentukan data keuangan yang relevan dengan instrumen pengukuran yang dipilih. 4. Verifikasi hasil perhitungan matematis, dan menyiapkan data utama dalam tabel untuk dianalisis secara kuantitatif. 5. Menyiapkan data penunjang/pelengkap dalam suatu kerangka bahasan hasil penelitian. 3.5. Teknik Analisis Data. Data yang telah disajikan dalam bentuk tabel berdasarkan 2 (dua) sampel independen dianalisis sebagai berikut : 1. Analisis tren rasio kemandirian keuangan daerah untuk masing-masing pemerintah daerah yang diteliti. 2. Menetapkan pola hubungan keuangan pemerintah daerah yang diteliti dengan pemerintah pusat. 18 3. Berdasarkan Sifat Hipotesis yang diajukan yaitu diferensiasi/komparasi 2 sampel independen, serta pertimbangan ukuran sampel baik n1 maupun n2 termasuk kecil (n < 30), maka pengujian hipotesis penelitian dilakukan dengan menggunakan statistik non-parametrik yaitu Uji U Mann-Whitney Untuk 2 Sampel Independen, dengan pertimbangan : a) Tipe uji statistik U Mann-Whitney merupakan uji statistik yang paling kuat diantara uji atas dua sampel independen lain dalam statistik non-parametrik. b) Kekuatan efisiensi mendekati 95,5% untuk sampel sangat kecil, dan lebih unggul daripada uji ‘t’ parametrik. Disamping itu, Uji U Mann-Whitney tidak memerlukan asumsi seperti halnya uji ‘t’ (Sidney Siegel, 1994 : 159). Adapun prosedur kerja Uji U Mann-Whitney dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Menentukan hipotesis statistik, yaitu : - H0 : p (a,b) = 0.5 dimana Tidak terdapat perbedaan signifikan antara kinerja keuangan bank umum konvensional dengan bank umum syariah. - H1 : p (a,b) ≠ 0,5 dimana terdapat perbedaan signifikan antara kinerja keuangan bank umum konvensional dengan bank umum syariah. 19 2. Menentukan harga statisti uji U untuk sampel kecil dengan rumus : U= n1n2 + n1(n2+1) 2 – R1 n1n2 + n1(n2+1) 2 – R1 Atau : U= Dimana : Ri = Jumlah peringkat untuk ni ni = Ukuran Sampel yaitu n1 dan n2 U = Statistik Uji yang dipilih adalah U yang paling kecil 3. Menentukan tingkat signifikansi, dimana pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan α = 5% (0,05) dengan critical value untuk two tailed test yaitu Un1,n2(0,5α) dengan probabilitas P(U*2), atau merujuk kepada Tabel U-observed Mann-Whitney untuk ukuran sampel gabungan n1+n2 < 8 dengan kontrol n2 pada probabilitas P(U*2). 4. Menetapkan kaidah Keputusan , dimana untuk two tailed test adalah : Terima HA bila Ustatitik < Utabel, atau P(U statistik) < P(U*2) ; dan Tolak HA bila Ustatitik > Utabel, atau P(U statistik) > P(U*2). 5. Membuat interpretasi kualitatif berdasarkan hasil uji hipotesis sebagai bentuk kesimpulan hasil penelitian. 20 DAFTAR PUSTAKA Copley, Paul A. 2011. Essentials of Accounting for Governmental and Not-for Profit Organizations, 10th edt. Penerbit : McGraw Hill – New Yorl, USA. Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan. 2012. Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar. Penerbit : DJPK – Kemnterian Keuangan RI bersama mitra Asian Development Bank dan Australiaan Aid. ________ . 2012. Grand Design Desentralisasi Fiskal Indonesia. DJPK – Kementerian Keuangan RI, Jakarta. ________ . 2014. Deskripsi dan Analisis APBD. Penerbit : DJPK – Kementerian Keuangan RI, Jakarta. ________ . 2016. Alokasi Dana Perimbangan Pusat untuk Jawa Barat Tahun Anggaran 2016. Tersedia pada http//djpk.depkeu.go.id/simtrada/… diunduh 10 Maret 2017. Gruber, Jonathan. 2013. Public Finance and Public Policy, 4th edt. Penerbit : Worth Publishers ; a MacMillan HEC, New York – USA. Gusti, I Ngurah Suryaadi Mahardika, dan Luh Gede Sri Artini. 2014. Analisis Kemandirian Keuangan Daerah di Era Otonomi pada Pemerintah kabupaten Tabanan. e – Jurnal Manajemen Universitas Udayana Volume 3 No 3 Tahun 2014. Tersedia pada http//ojs.unud.ac.id/index.php/ manajemen/… diunduh Tgl 2 Mei 2016. Joko Tri Haryanto. 2015. Desentralisasi Fiskal Seutuhnya. Tersedia pada http//kemenkeu.go.id/artikel/… diunduh Tgl 2 Mei 2016. Mardiasmo. 2004. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit : ANDI ; Andi Offset – Yogyakarta. Robinson, Marc. 2014. Program Classification for Performance-Based Budgeting. Penerbit : International Bank for Recontruction and Development – World Bank, Washington DC – USA. Siegel, Sidney. Diterjemahkan oleh Zanzawi Suyuti dan Landung Simatupang. 1994. Statistik Nonparametrik. Penerbit : Gramedia, Jakarta. Sjahruddin Rasul. 2004. Pengintegrasian sistem Akuntabilitas Kinerja dan Anggaran dalam Perspektif UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Penerbit : Perum Percetakan Negara RI – PNRI Jakarta. Tresch, Richard W. 2015. Public Finance ; a Normative Theory, 3rd edt. Penerbit : Elsevier Inc., London – UK. Wakhyudi, dan Laila Firda Tarunasari. 2013. Mengukur Kinerja Keuangan Daerah melalui Rasio Keuangan Daerah. Jurnal Ilmiah Akuntansi kesatuan – JIAKES Volume 01 No 02, 2013 pg 139 – 150 ISSN 2337 7852. 21 Peraturan Perundang-undangan : Undang Undang Republik Indonesia No 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang Undang Republik Indonesia No 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah. Undang Undang Republik Indonesia No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Undang Undang Republik Indonesia No 14 Tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara - APBN 2016 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 20 Tahun 2013 tentang Pinjaman Daerah. Peraturan Presiden No 137 Tahun 2015 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara – APBN 2016. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. 22