2. tinjauan pustaka

advertisement
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pencemaran Logam Berat Tembaga
Lingkungan perairan dikatakan tercemar apabila telah terjadi perubahan-
perubahan dalam tatanan lingkungan perairan sehingga tidak sama lagi dengan
bentuk asalnya, sebagai akibat masuknya suatu zat ke dalam tatanan lingkungan
tersebut. Salah satu zat yang dapat mencemari lingkungan perairan adalah
logam berat dan apabila terlarut dalam konsentrasi tinggi, dapat berdampak
buruk pada satu atau lebih jenis organisme yang tadinya hidup normal dalam
tatanan lingkungan tersebut.
Tembaga (Cu) masuk ke dalam tatanan lingkungan perairan melalui jalur
alamiah dan non alamiah. Pada jalur alamiah, logam tembaga mengalami siklus
perputaran yang stabil, namun kandungan alamiah logam akan berubah-ubah
akibat jalur non alamiah. Jalur non alamiah berupa aktifitas manusia seperti
buangan limbah kegiatan industri, pertambangan Cu, maupun industri galangan
kapal beserta outfall dan pengecatan anti fouling pada kapal adalah jalur yang
mempercepat terjadinya peningkatan kelarutan Cu dalam perairan (Mukhtasor,
2007).
Kadar ambien total (Cu+2) yang terlarut dalam perairan laut lepas berkisar
antara 1-10 nM dan akan meningkat kadarnya mencapai 10-100 nM pada daerah
pesisir dan muara sungai (Brown dan Newman, 2003). Penelitian mengenai
status pencemaran tembaga di Indonesia telah banyak dilakukan dan
diperkirakan sudah berindikasi pencemaran. Evaluasi kondisi lingkungan
perairan Kepulauan Seribu bagian utara, tengah, dan selatan tahun 2004
menunjukkan bahwa konsentrasi Cu telah melebihi ambang batas toleransi bagi
makroalga yaitu berkisar antara 0,076-0,209 mg/l (Sachoemar, 2008).
2.2
Peran Tembaga Bagi Makroalga
Tembaga merupakan mineral essensial mikro yaitu mineral yang
diperlukan dalam jumlah sangat sedikit dan umumnya terdapat dalam tubuh
dengan konsentrasi sangat kecil. Walaupun dibutuhkan tubuh dalam jumlah
sedikit, bila kelebihan dapat mengganggu kesehatan atau mengakibatkan
keracunan (Yruela, 2005). Tembaga sebagai logam transisi, aktif dalam kegiatan
redoks pada berbagai proses fisiologi tumbuhan karena dibutuhkan untuk sistem
enzim oksidatif. Tembaga berperan sebagai elemen penting dalam mengatur
protein, berpartisipasi dalam transportasi elektron pada proses fotosintesis,
membantu proses respirasi pada mitokondria, merespons stress oksidatif pada
tubuh, membantu proses metabolisme dinding sel, dan membantu kerja hormon
(Yruela, 2005).
Tembaga dalam bentuk ion berperan sebagai kofaktor sistem enzim seperti
superoksida dismutase (SOD), katalase, askorbat peroksida (APX), sitokrom c
oksidase, amino oksidase, laccase, plastosianin, dan polifenol oksidase serta
bagian
dari
antioksidan
enzim
seperti askorbat,
glutathione, flavonoid,
tokopherol, dan karotenoid (Collen et al., 2003; Yruela, 2005). Oleh karena itu,
tembaga sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan
khususnya makroalga.
2.3
Toksisitas Tembaga bagi Makroalga
Menurut Soemirat (2005) toksisitas adalah kemampuan racun (molekul)
untuk menimbulkan kerusakan apabila masuk ke dalam tubuh dan lokasi organ
yang rentan terhadapnya. Bentuk aksi penyerangan dari suatu toksikan
ditentukan oleh bentuk toksisitas yang dimiliki toksikan. Persenyawaan kimia dari
logam tembaga dapat merusak proses fisiologis makroalga seperti menghalangi
kerja enzim. Kemampuan siklus redoks Cu antara Cu+2 dan Cu+ dapat
memproduksi ROS dalam jumlah besar sehingga merusak DNA, lemak, protein,
dan biomolekul lainnya (Yruela, 2005).
Literatur telah melaporkan berbagai interaksi logam berat terhadap
biomolekul dalam tingkat sellular, diantaranya adalah : (1) berikatan pada gugus
sulfida protein sehingga menghambat sistem kerja enzim dan fungsi protein; (2)
menggantikan posisi ion-ion logam essensial yang terdapat dalam molekul terkait
seperti logam Mg; (3) menghalangi proses transportasi antar sel; dan (4)
kerusakan oksidatif pada tubuh (Yruela, 2005). Tingkatan toksisitas Cu sangat
sulit untuk diprediksi tergantung pada kondisi habitat dan jenis masing-masing
dari organisme tersebut. Karena bersifat essensial dan toksik konsentrasi Cu
dibutuhkan dalam jumlah yang kecil seperti, makroalga dapat mentoleransi <10
μg L-1 Cu dalam selnya (Lobban dan Harrison, 1997).
Beberapa toksisitas yang disebabkan Cu bila konsentrasi dalam sel
melebihi
kemampuan
toleransi
makroalga
seperti,
menghambat
proses
pertumbuhan, menghambat proses biosintesis klorofil-a, dan merusak elastisitas
struktur talus makroalga.
2.3.1
Pertumbuhan
Pola pertumbuhan makroalga Gracilaria membentuk kurva sigmoidal
(pertumbuhannya meningkat dari nilai lambat, cepat dan akhirnya mendekati nilai
tetap (konstan) yang bergantung hanya pada waktu, sehingga model
pertumbuhan biomassa Gracilaria merupakan model pertumbuhan logistik
dengan carrying capacity konstan (Kartono et al., 2008). Model pertumbuhan
logistik ini menunjukkan pertumbuhan maksimum ketika biomassa Gracilaria
sama dengan carrying capacity, dan pada saat itu pertumbuhan tidak lagi terjadi.
Kematian pada
makroalga
disebabkan antara
lain
menipisnya
nutrien,
kekurangan oksigen, media lingkungan yang terlalu panas, pH media yang selalu
berubah-ubah,
atau
kontaminasi
yang
berasal
dari
media
kultivasi
(Coutteau,1996).
Pertumbuhan adalah proses perubahan ukuran meliputi panjang, berat
atau volume pada periode waktu tertentu. Pertumbuhan yang optimal
dikarenakan proses metabolisme berjalan dengan baik. Proses metabolisme
akan berjalan dengan baik bila didukung oleh kondisi lingkungan yang optimal
termasuk konsentrasi mikronutrien yang cukup bagi kelangsungan proses
pertumbuhan makroalga. Enzim memegang peranan yang sangat penting dalam
mempercepat dan memperlancar proses metabolisme. Enzim-enzim tertentu
yang terdapat pada makroalga merah memiliki gugus fungsi sulfhidril (-SH)
sebagai pusat aktifnya (Lobban dan Harrison, 1997). Enzim yang memiliki gugus
sulfhidril merupakan kelompok enzim yang mudah terhalang daya kerjanya
disebabkan gugus sulfhidril yang dikandungnya dengan mudah dapat berikatan
dengan ion-ion logam berat yang masuk ke dalam tubuh (Palar, 2008). Akibat
dari ikatan yang terbentuk, daya kerja yang dimiliki enzim menjadi sangat
berkurang atau sama sekali tidak dapat bekerja. Keadaan ini secara keseluruhan
akan merusak sistem metabolisme tubuh. Selain mempengaruhi kerja enzim,
tembaga juga mempengaruhi pasokan energi untuk proses pertumbuhan.
Pertumbuhan yang optimal, secara fisiologis hanya dapat terjadi apabila
terdapat kelebihan energi, setelah energi melalui pakan yang dikonsumsi
dikurangi dengan kebutuhan energi untuk berbagai aktivitas. Adanya perubahan
kondisi lingkungan terutama kelarutan logam berat yang tinggi akan berpengaruh
pada besaran energi yang dikonsumsi dapat lebih besar atau lebih kecil
daripada
energi
yang dibelanjakan terutama untuk keperluan pertumbuhan.
Menurut Collen et al. (2003), makroalga yang terpapar Cu (Cu bersifat redoks
dalam tubuh organisme) akan menginduksi produksi ROS (reactive oxygen
species) seperti superoxide radicals (O2•¯), hydrogen peroxide (H2O2), singlet
molecular oxygen (1O2 (1Δg)), dan hydroxyl radicals (OH). Komponen ROS
tersebut akan menginduksi kerusakan oksidatif pada lapisan lemak, protein, dan
asam nukleat disertai menganggu fungsi kerja sel.
ROS dalam konsentrasi kecil merupakan hal yang normal pada organisme
fotosintetik, namun dalam kondisi stress produksi ROS akan meningkat sehingga
akan menjadi permasalahan dalam tubuh. Strategi untuk mencegah kerusakan
yang disebabkan oleh ROS, makroalga memproduksi enzim dan antioksidan
enzim
seperti
SOD
(superoxide
dismutase),
katalase,
APX
(ascorbate
peroxidase), glutathione, malondialdehyde (MDA), flavonoids, tocopherols, dan
karotenoids (Bouzon et al., 2011; Manimaran et al., 2011). Pengaktifan enzim
dan antioksidan ini membutuhkan energi yang besar sehingga energi yang ada
digunakan untuk memproduksi antioksidan tersebut agar kerusakan sel tidak
terjadi dan sisa energi yang ada tidak dapat mencukupi dalam kegiatan proses
pertumbuhan.
Beberapa penelitian toksisitas Cu yang menunjukkan hubungan antara
proses pertumbuhan dengan enzim antioksidan dan cadangan energi yang ada
pada makroalga. Penelitian yang dilakukan oleh Collen et al. (2003) konsentrasi
0,2 ppm Cu+2 selama 4 hari paparan menunjukkan penurunan laju pertumbuhan
Gracilaria tenuistipitata sebesar 60% per hari disertai peningkatan produksi
enzim dan antioksidan enzim berupa SOD, APX, katalase, MDA, dan karotenoid.
Hal yang sama dilakukan oleh Huang et al pada tahun 2010, selama 14 hari
paparan dengan jenis yang sama laju pertumbuhan mengalami penurunan 60%
per hari pada konsentrasi 200 μg L-1 Cu disertai cadangan total energi untuk
pertumbuhan yang semakin menurun akibat toksisitas Cu. Penelitian lain yang
dilakukan Han et al. (2008) selama 3 hari paparan konsentrasi 100 μg L-1 Cu
telah menurunkan 41% laju pertumbuhan Ulva armoricana per hari disertai
peningkatan antioksidan pada konsentrasi tersebut, namun pada konsentrasi 250
μg L-1 Cu terjadi laju pertumbuhan negatif (-1,4% per hari) disertai
kecenderungan menurunnya produksi antioksidan.
2.3.2
Klorofil-a
Komponen molekular penting pada organisme fotosintetik khususnya
makroalga adalah klorofil. Makroalga merah hanya memiliki dua klorofil yaitu
klorofil-a dan d (Meeks, 1974). Klorofil-a dalam bentuk kimia mengandung satu
inti porfirin dengan satu atom magnesium terikat kelat ditengah dan satu rantai
samping hidrokarbon panjang (fitil) tergabung melalui gugus asam karboksilat
(Meeks, 1974). Faktor-faktor yang langsung mempengaruhi konsentrasi klorofil-a
adalah nutrien, intensitas cahaya, suhu, dan umur sel (Meeks, 1974). Oleh sebab
itu keberadaan Cu dalam sel makroalga tidak secara langsung berdampak
negatif terhadap konsentrasi klorofil-a.
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan Cu tidak berdampak
langsung terhadap konsentrasi klorofil-a seperti, Cu 0 μgL-1–500 μgL-1 tidak
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah konsentrasi klorofil-a
Gracilaria longissima selama 7 hari (Brown dan Newman, 2003), selama 4 jam
dengan konsentrasi Cu 0,2 ppm Cu+2 klorofil-a Gracilaria tenuistipitata tidak
mengalami perubahan dibandingkan kontrol (Collen et al., 2003), Xia et al.
(2004) juga membuktikan bahwa pada perlakuan Cu 0 μM–10 μM selama 96 jam
tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah klorofil-a Gracilaria
lemaneiformis, hal serupa terjadi pada mikroalga Pavlova viridis yakni tidak
terjadi perubahan konsentrasi klorofil-a akibat terpapar 0,05–0,5 mgl- Cu+2
selama 16 hari (Li et al., 2006), dan diatom laut Odontella mobiliensis tidak
mengalami perubahan konsentrasi klorofil-a dibandingkan kontrol pada selang
konsentrasi Cu 52-213 μg L-1 selama 72 jam (Manimaran et al., 2011).
Beberapa toksisitas Cu terhadap klorofil-a apabila konsentrasinya sudah
sangat tinggi diantaranya adalah, menghambat pembentukan pigmen fotosintetik
dan memperlambat penggabungan klorofil ke tilakoid (membran fotosintetik
kloroplas) (Manimaran et al., 2011), mengakibatkan pembesaran kompleks
antena (light-harvesting antenna) dalam fotosistem (Bertrand dan Poirier, 2005)
sehingga mengakibatkan fotoinhibisi, berkurangnya konsentrasi klorofil dengan
mengganti posisi logam Fe sebagai biosintesis klorofil-a (Patsikka et al., 2002),
menghambat beberapa enzim dalam sintesa klorofil yaitu δ-aminolevulinic acid
dan protochlorophyllide (Perales-Vela et al., 2007; Manimaran et al., 2011), ALAdehydratase (enzim yang membantu membentuk struktur porphyrin klorofil-a)
(Fernandes dan Henriques, 1991), dan merangsang produksi ROS yaitu
peroxidation yang merusak sintesa pigmen dan membran lemak (Fernandes dan
Henriques, 1991; Perales-Vela et al., 2007; Li et al., 2010), rusaknya struktur
molekul klorofil dikarenakan posisi atom Mg yang berada di tengah cincin
molekul tergantikan oleh logam Cu dan peran klorofil sebagai perangkat
penangkap cahaya akan terhambat dan akhirnya proses fotosintesis akan
terganggu (Kupper et al., 1996; Bertrand dan Poirier, 2005).
Dampak yang terlihat pada klorofil-a akibat toksisitas Cu adalah terjadinya
chorosis yaitu pemutihan sebagian talus makroalga. Chorosis adalah tanda
dimana tumbuhan mengalami stres akibat kondisi lingkungan yang tidak kondusif
sehingga dapat dijadikan indikator terhadap kondisi lingkungan tersebut
(Bertrand dan Poirier, 2005; Ayeni et al., 2010).
2.3.3 Struktur Talus
Struktur anatomi talus Gracilaria edulis dengan menggunakan mikroskop
cahaya, tampak tersusun oleh 3 bentuk sel. Susunan sel dari luar ke dalam yaitu:
epidermis, kortek (cortical), sub kortek (sub cortical), dan tengah (medula)
(Yamamoto, 1978). Terlihat bahwa susunan sel dari tepi berbentuk kecil
(epidermis dan kortek), mulai membesar pada lapisan sel sub kortek dan
semakin ke dalam bentuk selnya semakin besar, poligonal sampai agak bulat
disebut sel medula (Gambar 2).
a
c
c
b
b
.
Gambar 2
Penampang melintang (4) dan potongan membujur (5) Gracilaria
edulis; (a) Lapisan sel kortek, (b) lapisan sel sub kortek, (c) lapisan
sel medula (Yamamoto, 1978).
Tidak banyak penelitian yang membahas toksisitas logam berat khususnya
tembaga terhadap struktur sel makroalga bila di dilihat menggunakan mikroskop
cahaya, namun beberapa penelitian telah membahas permasalahan tersebut.
Tahun 1972 penelitian sitologi yang dilakukan Nuzzi dalam Massalski et al.
(1981) menggunakan mikroskop cahaya pada diatom laut Phaeodactylum
tricormutum, terjadi perubahan-perubahan struktur sel akibat terpapar logam
berat merkuri seperti bentuk sel yang berubah menjadi lebih lonjong dan
terbentuknya
banyak
vakuola.
Pada
kondisi
yang
sama
terjadi
ketidakseimbangan pertumbuhan sel-sel Chlorella sp yaitu berubah menjadi sel
raksasa Hal serupa terjadi pada konsentrasi 50 µg/L Cu, vakuola besar dan
beberapa vakuola kecil yang berada pada sitoplasma Enteromorpha flexuosa
(makroalga hijau) dipenuhi oleh logam Cu dan terakumulasi di dalamnya
(Gambar 3) (Andrade et al., 2004). Menurut Andrade et al. (2004) pembentukan
vakuola merupakan salah satu proses atau mekanisme dalam meminimalisasi
daya toksik Cu terhadap sel. Salah satu peran vakuola dalam sel adalah sebagai
tempat pembuangan produk samping metabolisme yang akan membahayakan
sel itu sendiri jika produk samping ini terakumulasi dalam sitosol (Campbell et al.,
2002).
1
2 μm
2
0,5 μm
Gambar 3 Transmisi elektron mikrograph sel Enteromorpha flexuosa. (1) sel
Enteromorpha flexuosa pada media kontrol, tidak terjadi akumulasi
Cu di dalam vakuola (tanda panah). (2) sel Enteromorpha flexuosa
pada media 50 µg/L Cu, terjadi akumulasi Cu di dalam vakuola
besar dan vakuola kecil (tanda panah) (Andrade et al., 2004).
Penelitian yang dilakukan Bouzon et al. (2011) pada Hypnea musciformis
(makroalga merah) bahwa kisaran 50-100 μM Cd selama 7 hari paparan,
percabangan talus (dichotomy) mulai terhambat pertumbuhannya dan tampak
hanya talus utama yang masih utuh (Gambar 4). Pemutihan talus terjadi ketika H.
musciformis terpapar 200-300 μM Cd (Gambar 4). Hal serupa terjadi pada
Lessonia nigrescens (makroalga coklat) yang terpapar 100 μg L-1 Cu selama 96
jam, ujung talus makroalga mengalami pemutihan (Contreras et al., 2009)
(Gambar 5).
Gambar 4 Respon morfologi Hypnea musciformis setelah terpapar Cd selama 7
hari (skala 1 cm). (A) kontol, (B) 50 μM Cd, (C) 100 μM Cd, (D) 200
μM Cd, (E) 300 μM Cd. Tanda panah menunjukkan degradasi warna
pada percabangan talus pada media kontrol hingga terjadi pemutihan
pada media 200-300 μM Cd (Bouzon et al., 2011).
Gambar 5 Pemutihan pada L. nigrescens setelah terpapar Cu selama 96 jam
(skala 2 cm). Tanda panah dua (sebelah kiri) menunjukkan L.
nigrescens pada media kontrol dan tanda panah satu (sebelah
kanan) menunjukkan L. nigrescens pada media 100 μg L-1 (Contreras
et al., 2009).
Perubahan lain yang tampak pada Hypnea musciformis setelah terpapar 50
μM Cd secara anatomi tampak kehadiran bakteri endofit pada lapisan epidermis
hingga lapisan sel kortek hingga spora endofit pada lapisan mucilage (ruang
antar sel kortek). Pada konsentrasi 100 μM Cd, lapisan mucilage H. musciformis
mulai tertutupi oleh noda-noda hitam disertai penebalan pada dinding sel kortek
dan sub kortek, memasuki konsentrasi 200 μM Cd, dinding sel kortek mulai
terjadi kerusakan, volume sel sub kortek terlihat mengecil (keriput) disertai ruang
antar sel sub kortek yang menebal dan dipenuhi noda-noda hitam. Jumlah
bakteri endofit yang semakin meningkat dan pada konsentrasi 300 μM Cd,
terdapat penggumpalan noda-noda hitam di dalam sitoplasma sel kortek
menandakan Cd sudah masuk ke dalam sel dan terakumulasi pada cairan
sitoplasma sel (Gambar 6).
Gambar 6
Penampang melintang talus H. Musciformis setelah terpapar Cd
selama 7 hari. (A, B, C) sel H. Musciformis pada media kontrol.
Tanda panah menunjukkan kehadiran alga endofit diantara sel
kortikal (CC) dan spora endofit pada lapisan mucilage. (D) sel H.
Musciformis pada media 50 μM Cd. Tanda panah menunjukkan
alga endofit. (E) sel H. Musciformis pada media 100 μM Cd
menunjukkan penipisan lapisan mucilage dan penebalan dinding
sel. (F) sel H. Musciformis pada media 200 μM Cd, dinding sel
rusak dan semakin menipisnya lapisan mucilage disertai
meningkatnya jumlah spora endofit. (G, H) sel H. Musciformis pada
media 300 μM Cd, tanda panah menunjukkan keberadaan logam
Cd terjadi akumulasi pada daerah tersebut. (Bouzon et al., 2011).
Munculnya noda-noda hitam pada dinding sel dikarenakan interaksi yang
terjadi antara ion logam berat dengan senyawa-senyawa organik yang ada di
dinding sel. Alga merah akan meningkatkan produksi senyawa-senyawa organik
berupa polisakarida sulfonat (agar adalah senyawa organik pada jenis Gracilaria)
ketika logam berat memasuki sel dan mengikatnya serta mengakumulasinya
pada dinding sel (Diannelidis dan Delivopoulos, 1997).
2.4
Mekanisme Toksisitas dan Detoksifikasi Tembaga pada Makroalga
Toksisitas terjadi ketika tahapan detoksifikasi sudah tidak mampu lagi
mentoleransi keberadaan logam berat dalam talus. Beberapa mekanisme atau
tahapan yang terjadi pada talus makroalga ketika media kultivasi terlarut logam
berat Cu. Menurut Soemirat (2005) tahapan tersebut secara berurutan terdiri
atas: (1) paparan/adsorbsi; (2) Absorpsi; (3) distribusi; (4) metabolisme; (5)
detoksifikasi (akumulasi/ekskresi); (6) interaksi; (7) efek toksik.
Proses
adsorbsi
adalah
kemampuan
zat
menempel
pada
suatu
permukaan. Senyawa organik polisakarida berupa zat agar-agar disekresikan
Gracilaria untuk mengadsorbsi Cu dari media (Bouzon et al., 2011). Logam berat
atau nutrien dapat melakukan penetrasi ke dalam sel makroalga melalui seluruh
permukaan talusnya dalam bentuk kation, anion, atau senyawa organik (Bertrand
dan Poirier, 2005). Proses selanjutnya adalah absorbsi Cu ke dalam talus
makroalga yang terdiri dari tiga mekanisme yaitu transpor pasif (difusi), difusi
terfasilitasi, dan transport aktif (Lobban dan Harrison, 1997). Difusi adalah
mekanisme transpor zat mengikuti aliran cairan dari media dengan konsentrasi
tinggi ke media berkonsentrasi rendah. Mekanisme difusi dapat dilakukan
dengan dua cara, pertama dengan cara pertukaran ion (ion pada dinding sel
digantikan oleh ion-ion logam berat). Lapisan membran makroalga terdiri atas
lipid bilayer pada permukaannya yang mengandung lapisan pengikat ion-ion
yang akan diserap.
Membran sel tidak saja mengatur masuknya logam-logam ke dalam sel,
tetapi juga mengontrol mekanisme pembentukan ligan protein dalam sel
(Darmono, 1995) karena membran sel bersifat sukar dilalui (impermeabel ) oleh
ion-ion logam berat seperti Cu. Untuk dapat melintasi membran sel, ion logam
berat mengalami mekanisme difusi terfasilitasi dengan bantuan suatu enzim di
dalam membran sel yang disebut permease (Soemirat, 2005). Permease
berfungsi sebagai katalis sehingga dapat menggangu pasokan nutrien pada sel.
Proses kedua adalah pembentukan senyawa kompleks antara ion-ion logam
berat dengan gugus fungsional seperti karbonil, amino, thiol, hidroksi, fosfat, dan
hidroksi-karboksil secara bolak balik dan cepat (Lobban dan Harrison, 1997).
Membran sel juga mampu memompa ion logam berat berlawanan dengan
gradien konsentrasi (mekanisme transpor aktif) dengan menggunakan energi
yang didapat dai pemecahan ATP menjadi ADP oleh hidrolisa enzim permease.
Bila konsentrasi zat kecil, zat akan tetap berada di dalam sel (Soemirat, 2005).
Absorpsi racun ke dalam organel makroalga akan berlanjut dengan proses
distribusi zat ke seluruh organel. Distribusi ini sangat ditentukan oleh afinitas zat
terhadap organel dan spesifisitasnya. Telah dijelaskan di atas, tembaga berperan
penting dalam proses metabolisme, kovaktor sistem kerja enzim, dan berikatan
dengan protein pada membran kloroplas (tilakoid) membentuk plastosianin.
Sehingga selama fase pertumbuhan, Cu akan terdistribusi ke seluruh organel
makroalga untuk melaksanakan perannya. Namun apabila konsentrasi Cu sudah
melebihi batas toleransi pertumbuhan makroalga, Cu akan terdistribusi kedinding
sel, vakuola, dan apoplast (lapisan ruang antar sel/lapisan mucilage) (Bertrand
dan Poirier, 2005).
Tembaga yang telah terdistribusi akan mengalami proses metabolisme.
Metabolisme adalah transformasi zat akibat proses seluler. Pada umumnya
transformasi terjadi agar zat menjadi lebih polar sehingga lebih mudah
diekskresikan atau diakumulasikan (Soemirat, 2005). Transformasi atau
metabolisme terdiri atas dua fase yaitu fase I (reaksi penguraian sehingga zat
menjadi lebih reaktif terdiri dari reaksi oksidasi, reduksi, dan hidrolisis) dan fase II
(reaksi konyugasi agar mudah diekskresikan) dan reaksi tersebut terjadi di
beberapa organel yaitu retikulum endoplasma, mitokondria, dan sitoplasma
(Soemirat, 2005).
Masa pertumbuhan dengan konsentrasi Cu yang kecil akan dimanfaatkan
seluruhnya dalam proses metabolisme untuk menunjang proses pertumbuhan
makroalga. Namun apabila fase pertumbuhan selesai dan makroalga tetap
terpapar Cu dalam waktu yang lama maka proses konyugasi akan terjadi hingga
akumulasi,
proses
ini
dinamakan
detoksifikasi.
Akumulasi
merupakan
penumpukan zat dalam talus makroalga. Bila terjadi akumulasi, maka jumlah
yang diabsorpsi akan lebih besar daripada jumlah yang diekskresikan. Zat yang
terakumulasi adalah zat yang relatif tidak berubah karena metabolisme dan
disimpan dalam jaringan yang memiliki senyawa pengikat (chelating agent).
Logam berat terakumulasi dalam talus makroalga melalui mekanisme
spesifik yaitu proses absorpsi, transpor aktif atau difusi terfasilitasi, dan proses
pemangsaan (Neff, 2002). Konsentrasi logam berat dalam talus makroalga
merupakan fungsi dari kesetimbangan antara tingkat pengambilan (rate of
uptake) dengan tingkat pengeluaran (rate of excretion). Perbedaan dari kedua
sistem tersebut menjelaskan bahwa telah terjadi proses akumulasi logam berat
dan penyebarannya dalam talus makroalga (Neff, 2002).
Akumulasi terjadi karena logam berat dalam talus makroalga cenderung
membentuk senyawa komplek dengan zat-zat organik yang terdapat dalam talus
makroalga, sehingga logam berat terfiksasi dan tidak diekskresikan oleh
makroalga yang bersangkutan (Lobban dan Harrison, 1997). Beberapa senyawa
organik yang berfungsi sebagai pengikat logam berat seperti protein,
polisakarida, dan lemak yang terdapat di dalam makroalga relatif tinggi (Lobban
dan Harrison, 1997). Akumulasi dalam komponen sellular makroalga terjadi pada
dinding sel, phosphate-rich granules, lapisan lemak, vakuola, dan physodes,
senyawa
organik
spesifik
pengikat
logam
seperti
metalloprotein
dan
phytochelatin (Andrade et al., 2004).
Beberapa proses detoksifikasi makroalga untuk mencapai kembali
homeostatis adalah mengakumulasi Cu pada dinding sel, mengekskresikan dan
menyimpan Cu dalam vakuola, dan mengikat Cu dengan enzim phytochelatin
(PCs) yang disintesa dari glutathione (Bertrand dan Poirier, 2005; Yruela, 2005).
Tahapan interaksi akan terjadi apabila kemampuan akumulasi dan detoksifikasi
melebihi daya toleransi makroalga sehingga Cu akan bersifat toksik bagi organel
dimulai dengan kemampuan antioksidan enzim yang sudah tidak mampu
menetralisir kerusakan oksidatif pada organel, merusak struktur enzim sehingga
menganggu proses metabolisme, mempengaruhi permeabilitas plasmalemma,
menyebabkan hilangnya ion K+ dari sel dan merubah ukuran volume sel,
menghalangi proses fotosintesis dengan melepaskan penggabungan elektron
transport ke NADP+, kerusakan permanen pada lamella kloroplas hingga
rusaknya struktur klorofil-a, dan kematian organisme (Lobban dan Harrison,
1997). Keseluruhan mekanisme toksisitas dipengaruhi oleh perubahan dalam
faktor fisika kimiawi misalnya, pH, suhu, kadar garam dan ciri-ciri fisiologi dan
perilaku dari organisme tersebut (Connel, 2005).
2.5
Penggunaan Makroalga sebagai Biota Uji Toksisitas
Penelitian toksikologi pada dasarnya bertujuan untuk mengevaluasi
konsentrasi bahan kimia dan lamanya pemaparan yang dapat menimbulkan
pengaruh tertentu (Hindarti, 1997). Uji toksisitas bertujuan untuk mengevaluasi
pencemaran perairan karena uji secara kimiawi dan fisika belum mencukupi
untuk menilai pengaruh bahan pencemar terhadap biota perairan. Karena
pengaruh-pengaruh tersebut tidak selalu berbahaya, maka prinsip dari uji
toksisitas adalah untuk mengidentifikasi bahan kimia yang dapat menimbulkan
dampak negatif bagi biota perairan seperti mortalitas dalam waktu pendek atau
panjang, respon akut, respon letal atau subletal, kerusakan sistem reproduksi,
dll.
Penggunan makroalga sebagai biota uji toksisitas logam berat pertama kali
dilakukan pada tahun 1959. Boney dan Corner tahun 1960 mempelajari jenis
alga merah berfilamen, Steele dan Thursby pada tahun 1970 mempublikasikan
biota uji dari alga merah yaitu C. parvula dan alga coklat dari kelompok Laminaria
dan Fucus, dan tahun 1980, Fletcher mempelajari alga hijau yaitu jenis
Enteromorpha. Dalam kurun waktu 40 tahun (1959-2000) telah tercatat 82 artikel
yang membahas mengenai uji toksisitas pada makroalga dengan total jenis yang
tercatat adalah 26 jenis berasal dari kelompok makroalga merah, 28 jenis dari
kelompok makroalga coklat, dan 11 jenis dari kelompok makroalga hijau dan
tembaga adalah komponen dari logam berat yang paling sering digunakan (41%)
dalam uji toksisitas (Eklund dan Kautsky, 2003).
Pertimbangan utama dalam pemilihan biota dalam uji toksisitas adalah
biota yang dipilih harus sensitif terhadap bahan yang akan digunakan dalam uji
toksisitas, berada dalam tingkatan trofik, kelimpahannya tinggi dalam suatu
perairan, dan tersedia sepanjang tahun, hidup pada zona intertidal (daerah yang
selalu
dipengaruhi
oleh
pencemaran,
bernilai
ekonomis
dan
ekologis,
kemudahahan pemeliharan (ukuran yang tepat) dalam skala laboratorium,
resisten terhadap perubahan lingkungan, parasit, dan penyakit (Hindarti, 1997).
Satu spesies tertentu nampaknya tidak mungkin memenuhi semua kriteria
tersebut, namun kriteria tersebut dapat digunakan sebagai pedoman yang sangat
bermanfaat dalam menentukan pilihan biota yang akan digunakan dalam
pengujian. Makroalga adalah kelompok alga multiseluler yang dapat digunakan
sebagai biota uji dalam pengujian toksisitas berbagai bahan pencemar baik di
perairan estuarin maupun laut. Hal ini disebabkan makroalga memenuhi hampir
keseluruhan persyaratan sebagai biota uji yang telah disebutkan di atas (Eklund
dan Kautsky, 2003; Contreras et al., 2009).
Download