EDITORIAL Reaksi Senayan Soal Citibank eaksi politikus Senayan terhadap kasus Citibank amat berlebihan. Komisi Keuangan dan Perbankan di Dewan Perwakilan Rakyat langsung memanggil manajemen bank ini, Gubernur Bank Indonesia, dan kepolisian. Setelah mengadakan rapat maraton dengan mereka, rekomendasi Komisi ini pun tidak menuntaskan akar persoalan. Masalah pertama yang disorot para politikus itu adalah tewasnya Irzen Octa, nasabah kartu kredit Citibank. Kematian si nasabah diduga akibat penganiayaan oleh debt collector yang dikontrak oleh bank ini.Yang kedua, soal pembobolan dana nasabah oleh Malinda Dee, seorang manajer layanan private banking Citibank. Harus diakui, tragedi Irzen Octa merupakan lembaran hitam dalam sejarah perbankan kita. Tapi seharusnya Komisi Keuangan DPR tetap berpikiran jernih dan tidak bermanuver berlebihan. Lewat rapat yang digelar dua hari berturut-turut, mereka “menginterogasi”petinggi Citibank dan BI. Politikus Senayan seolah balas dendam atas perlakuan debt collector terhadap Irzen. Anggota Dewan pun ramai-ramai mengembalikan kartu kredit Citibank yang mereka miliki dalam rapat itu juga. Reaksi Komisi itu terasa janggal karena dua masalah tersebut baru beberapa hari mencuat dan sedang ditangani oleh penegak hukum. Bank Indonesia pun telah menyiapkan perubahan kebijakan untuk mencegah kejadian serupa terulang. Orang tentu bertanya-tanya, kenapa DPR tak memberi kesempatan terlebih dulu, baik kepada kepolisian maupun BI, untuk bertindak. Para politikus seakanakan mengambil alih urusan yang mestinya ditangani oleh penegak hukum dan institusi perbankan. Mungkin karena sikap yang tidak sabar itu pula, kesimpulan rapat yang dihasilkan kurang berbobot dan lebih banyak mengenai hal teknis. Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, misalnya, menilai pengawasan BI terhadap perbankan lemah. Mereka juga merekomendasikan agar pemakaian jasa penagih utang dihentikan sementara. Para anggota Dewan itu mungkin kurang jeli mencermati kasus pembobolan di sejumlah bank, termasuk yang terjadi di Citibank. Hampir semuanya disebabkan oleh lemahnya pengawasan internal bank itu sendiri. Kalau fungsi pengawasan dan pembinaan perbankan perlu ditingkatkan, ada baiknya fungsi ini dilepaskan dari BI dan dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Kita semua tahu, pembahasan rancangan undang-undang mengenai institusi baru ini justru masih terkatung-katung di DPR. Begitu pula mengenai fenomena debt collector. Tak cukup diurus oleh BI, masalah ini mestinya diatur melalui undang-undang, seperti yang dilakukan oleh negara lain. Apalagi pemakaian jasa penagih utang tidak hanya dilakukan di dunia perbankan, tapi juga bisnis lain, seperti jual-beli mobil. Jika ingin mengatasi akar persoalan, politikus seharusnya mengusulkan Undang-Undang tentang Penagihan Utang. Di situ bisa diatur berbagai ketentuan yang melindungi konsumen atau nasabah dari perlakuan sewenang-wenang debt collector. Politikus DPR mestinya merasa ikut bersalah. Garagara tak adanya undang-undang ini, muncul tragedi Irzen Octa serta berbagai kasus kekerasan yang menimpa konsumen dan nasabah. ● R KUTIPAN “Ada link, saya penasaran. Ketika dibuka, gambarnya begituan dan saya hapus.” Politikus Partai Keadilan Sejahtera, Arifinto, membela diri saat kepergok menikmati film porno. “Apa kami harus tinggal di gubuk reot juga, becek-becekan?” Nudirman Munir dari Partai Golkar berbicara seusai diberi penjelasan bahwa gedung Dewan Perwakilan Rakyat terlalu mewah sementara rakyat hidup susah. BERITA UTAMA SABTU, 9 APRIL 2011 A2 Rio Akui Jadi Komisaris Perusahaan Malinda “Saya tidak melakukan bisnis, yang melakukan bisnis adalah CEO-nya.” JAKARTA — Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Marsekal Madya TNI Rio Mendung Thalieb menjadi Komisaris PT Sarwahita Group Management sejak Oktober tahun lalu. Perwira militer ini mengaku menanamkan saham berupa pemikiran. “Pemikiran itu bisa nasihat atau tulisan,” kata Rio di Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta, kemarin.“Anda tanya saya, itu berarti pemikiran saya.” Rio mengatakan pemikiran yang ia sumbangkan berupa ide tentang energi biomassa kepada PT Sarwahita, perusahaan yang didirikan Inong Malinda. Malinda adalah mantan Senior Relationship Manager Citibank yang kini menjadi tersangka kasus penggelapan dana nasabah senilai Rp 20 miliar. Perusahaan ini semula bekerja di bisnis event organizer dan pekerjaan sipil, lalu beralih ke proyek green energy. Secara pribadi, Rio mengaku tak kenal Malinda. Rio hanya mengenal Malinda masuk kepengurusan sebelum Oktober 2010. Sejak kasusnya dinyatakan bermasalah, Rio mengusulkan Malinda dikeluarkan dari organisasi. Karena itu, Malinda dicoret setelah Februari lalu. “(Saya) tidak ada (hubungan pribadi),” kata dia. Rio mengaku tak ikut mengelola bisnis perusahaan. Bisnis di Sarwahita dikendalikan oleh direktur utama. Sebagai jenderal militer, Rio tak boleh berbisnis. “Saya tidak melakukan bisnis, yang melakukan bisnis adalah CEOnya,” Rio menegaskan.“Saya hanya menyumbangkan pemikiran.” Rio tak tahu ada-tidaknya aliran dana dari Malinda sebelum Oktober 2010 ke perusahaan itu. Penelusuran aliran dana menjadi kewenangan Markas Besar Kepolisian RI. Ia mengaku selalu dipojokkan dalam kasus Malinda. Sarwahita, kata Rio, memiliki garis merah yang jelas antara sebelum dan setelah Oktober tahun lalu.“Jangan gebyah uyah, jangan dicampuradukkan,”kata dia. Markas Besar Polri sehari sebelumnya menyatakan penyidik masih menelusuri keterlibatan Sarwahita dalam kasus Malinda. Juru bicara Polri, Anton Bachrul Alam, menyatakan Rio tak masuk jajaran komisaris. Tapi, Anton tak menyebutkan tahun kapan Rio tak menjadi komisaris.“Yang jelas dalam proses penyidikan tak ada nama beliau,” kata dia. Nama Rio ditegaskan Direktur Utama PT Sarwahita, Andrea Persthu. Rio memiliki saham di perusahaan itu sebesar 20 persen. Semula ia menjadi penasihat, tapi kemudian dinilai mubazir. Keterlibatan Rio di perusahaan padahal ia anggota militer aktif dipertanyakan banyak orang. Kementerian Pertahanan berencana mengklarifikasi hal itu kepada Rio. “Akan kami tanya, bagaimana sebetulnya,”kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan Kolonel Infanteri Hartind Asrin. Menurut Hartind, perwira masih dimungkinkan menjadi penasihat perusahaan tapi tak boleh menjadi komisaris. “Biasanya (tentara) menjadi komisaris setelah pensiun,”kata dia. ● RIKY F | BUNGA MANGGIASIH | RIRIN AGUSTIA IMAM SUKAMTO (TEMPO) Perlindungan Hukum Esi Ronaldi (kiri) bersama putrinya, Citra, memegang foto almarhum suami Irzen Octa, yang tewas diduga dianiaya penagih utang Citibank, mendatangi Komisi XI di gedung MPR/DPR, Jakarta, kemarin. Keduanya meminta perlindungan hukum DPR dan mendesak Citibank bertanggung jawab penuh terhadap keluarga mereka. BI Diminta Perketat Aturan Tukang Tagih JAKARTA — Bank Indonesia harus mempertegas aturan perlindungan pemilik kartu kredit dari aksi tukang tagih. Menurut Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia,Tulus Abadi, kehadiran debt collector mungkin tak bisa dihindari. “Tapi regulasinya tak boleh longgar,” ujarnya kemarin. Tulus menyatakan masyarakat sudah mengeluhkan gangguan para tukang tagih itu sejak 10 tahun terakhir. “Keluhan dalam praktek perbankan yang diterima Yayasan Konsumen menempati posisi ketiga terbanyak dan setengah dari keluhan itu merupakan perlakuan pena- gihan utang,”kata dia. Menurut Tulus, Indonesia bisa mencontoh regulasi penagih utang Amerika Serikat atau Fair Debt Collection Practices Act. Salah satu perlindungan terhadap konsumen dilakukan dengan memberi batasan waktu penagihan, yakni pada pukul 08.0009.00. Sang penagih juga dilarang mendatangi tempat kerja si tertagih. Komisi XI Bidang Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat kemarin mengumumkan 11 butir rekomendasi dalam kasus Citibank, terkait dengan dugaan penggelapan dana Inong Malinda Dee dan kekerasan terhadap nasabah Irzen Octa oleh penagih utang. Salah satunya adalah desakan kepada Bank Indonesia supaya mencabut, merevisi, dan menyempurnakan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 dan Surat Edaran Nomor 11/10/DASP. Keduanya mengatur penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu. Revisi utamanya mengenai cara penagihan atas tunggakan yang diragukan dan macet. Ketentuan lama hanya menyatakan bahwa penagihan oleh pihak lain merupakan tanggung jawab penerbit kartu kredit. Menurut ahli hukum perdata, Ricardo Si- manjuntak, pada aturan ini perlu ditambahkan ketentuan pidana dan perdata bagi penagih utang dan bank yang terbukti menyuruh melakukan pelanggaran. Ricardo mengatakan Bank Indonesia bisa menyangkutkan aturan perbuatan tak menyenangkan, termasuk pemukulan dan penganiayaan yang bisa berakibat kematian. Penagih bahkan perlu dilarang menelepon terus-menerus saat menagih.“Jika yang ditagih tidak mau ditagih oleh debt collector dan mengadukan ke bank, maka bank harus menghentikan penagihan,” kata dia. ● DWITA ANGGIARIA | MAHARDIKA SATRIA | PURWANTO