14 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kejadian Stres Kerja di Masyarakat

advertisement
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kejadian Stres Kerja di Masyarakat
Kejadian stres kerja maupun masalah kesehatan mental lainnya pada pekerja
dapat diibaratkan sebagai sebuah fenomena gunung es. Kasus-kasus yang terdeteksi
hanyalah sebagian kecil dari sejumlah kasus yang luas yang kenyataannya telah
terjadi di masyarakat. Masalah ini sudah semestinya menjadi perhatian yang serius
dewasa ini.
ILO (International Labor Organization) pada tahun 2003 merintis
penyusunan peraturan perundangan tentang kekerasan dan stres kerja untuk kalangan
praktisi finansial dan profesional (Giga dan Hoel, 2003). Sudah terbukti bahwa stres
kerja berkontribusi terhadap terjadinya lesu kerja (Kitaoka-Higashiguchi dkk., 2004;
Okada dkk., 2005; Tsai dkk., 2009), berkembangnya perilaku maladaptasi seperti
minum-minuman keras dan merokok dan kondisi-kondisi kesehatan seperti depresi
(Kawakami, 2010b), kecemasan, kegugupan, penurunan fungsi imunitas tubuh (Male
dkk., 2006), kelelahan, gangguan jantung (Baker dan Karasek, 2000; Kawano, 2008)
low back pain (Ghaffari dkk., 2008), kerusakan DNA (Inoue, 2009) dan penurunan
fungsi kognitif (Seeman dkk., 1997). Selain itu, berdasarkan informasi-informasi
yang dikumpulkan oleh ILO maka disepakati bahwa stres kerja dapat memicu
timbulnya kekerasan di tempat kerja yang pada akhirnya dapat menurunkan
produktivitas kerja dan kesan terhadap perusahaan serta menurunkan kesejahteraan
14
15
pekerja (Giga dan Hoel, 2003). Berdasarkan data North Western National Life
Company, Amerika tahun 1997 ditemukan bahwa 40% pekerja menghadapi stres
yang ekstrim dalam pekerjaan mereka. Negara-negara maju yang tergabung dalam
Three Post Industrial Countries yaitu negara-negara Uni Eropa, Jepang dan Amerika,
sepakat untuk mentaati sepenuhnya hasil-hasil dari “The Tokyo Declaration on WorkRelated Stress and Health” yang telah dilaksanakan pada bulan November tahun
1998 di Tokyo yang menyatakan untuk masa ke depan sangat dibutuhkan kerjasama
penelitian-penelitian dan upaya-upaya pencegahan terhadap stres kerja (Baker dan
Karasek, 2000; Haratari dan Kawakami, 1999). Data dari The Second European
Survey on Working Condition pada tahun 1996
menunjukkan 28% pekerja
merasakan bahwa pekerjaan mereka menyebabkan stres. Di Negara Jepang, proporsi
pekerja yang dilaporkan mengalami kecemasan yang berat, kekhawatiran atau stres
sehubungan dengan pekerjaan atau kehidupan kerja menunjukkan peningkatan dari
53% pada tahun 1982 menjadi 63% pada tahun 1997 (Baker dan Karasek, 2000;
Haratari dan Kawakami, 1999). Penelitian oleh Hoel dkk., pada tahun 2001 (dalam
Giga dan Hoel, 2003) menemukan bahwa sepertiga komunitas pekerja di negara
berkembang mengalami tingkat stres dari tinggi sampai sangat tinggi. Data-data
survei lainnya menyatakan 1/3 dari pengalaman kerja pekerja menunjukkan stres di
tempat kerja dan adanya peningkatan hampir 50% pengeluaran biaya-biaya perawatan
kesehatan bahkan mendekati peningkatan 200% pada pekerja yang mengalami stres
dan depresi pada tingkat yang berat. Demikian juga halnya di negara berkembang.
16
Peningkatan ini juga terjadi berdasarkan hasil pengamatan di negara-negara Asia
Tenggara.
Di Indonesia, penelitian tentang stres kerja telah beberapa kali dilakukan,
diantaranya Prayitno pada tahun 1993, meneliti 52 orang staf di perusahaan minyak
lepas pantai menunjukkan bahwa yang terpapar pada stresor berat ditemukan 40,38%
dan yang menderita penyakit jantung koroner 4,5%. Penelitian yang dilakukan
terhadap perawat wanita di RSUPN dr. Cipto Mangunkusuma Jakarta didapatkan
prevalensi gejala gangguan mental emosional sebesar 17,7%. Penelitian yang
dilakukan terhadap pilot dan kopilot sipil suatu perusahaan penerbangan di Jakarta
didapatkan prevalensi subjek yang status emosionalnya terganggu sebesar 39,4%
(Ambarwati, 2004). Berdasarkan laporan dari seorang Guru Besar Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Gani, menyatakan di Indonesia terdapat sekitar 50 juta jiwa penduduk
yang mengalami gangguan jiwa. Angka ini berdasarkan atas estimasi WHO yang
menyebutkan satu dari empat orang menderita gangguan jiwa (Balitbang Depkes,
1999). Data hasil penelitian Balitbang Depkes pada tahun 1997 menyatakan bahwa
600 ribu jiwa penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa sehingga dalam setahun
kehilangan enam juta hari kerja atau Rp. 31,9 triliun (Balitbang Depkes, 1999).
2.2 Stres Kerja pada Pekerja Bank
Pekerja bank merupakan kelompok pekerja pada sektor finansial yang dalam
pekerjaan kesehariannya bekerja di dalam kantor dan secara rutin mengoperasikan
komputer. Saat ini penelitian-penelitian tentang masalah human computer interaction
17
(HCI) dan stres yang ditimbulkannya menjadi semakin diminati. Bidang cognitive
ergonomics yang juga termasuk dalam lingkup HCI ini merupakan aspek kajian
khusus yang sangat menarik meskipun terasa agak kompleks. Hampir semua aktivitas
perkantoran saat ini melibatkan penggunaan komputer. Di masa depan, dampak
negatif sedentary work dan stres teknologi pada penggunaan komputer semakin nyata
menimbulkan risiko beberapa penyakit yang dihubungkan dengan aktivitas ini, selain
dampak positif yang dirasakan sangat membantu menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan
yang tergolong rumit.
Hampir seluruh waktu kerja karyawan bank adalah jenis pekerjaan
pengoperasian komputer dan merupakan pekerjaan yang membutuhkan ketelitian
tinggi. Karyawan melakukan tugas-tugas perbankan sehari-hari yang dominan
menggunakan komputer, diantaranya: meng-input data-data tabungan maupun kredit
nasabah serta transaksi-transaksi pembayaran melalui perbankan, menyusun laporan
kredit bermasalah, penyusunan proposal pengembangan nasabah-nasabah baru dan
beberapa laporan rutin yang harus disetorkan tepat waktu kepada pihak Bank
Indonesia. Pesatnya kemajuan teknologi perbankan yang melibatkan sistem
komputerisasi harus diikuti dengan dukungan sumber daya manusia yang mampu
menguasai teknologi ini dengan cepat. Pada umumnya operator komputer
menemukan masalah dalam tugasnya akibat gangguan komputer pada saat digunakan
dan menimbulkan perasaan stres mental yang bermakna. Selain itu, kekhawatiran
pada saat harus mengaplikasikan teknologi baru dalam bidang perbankan dapat
menimbulkan sikap negatif sehingga masalah semakin dirasakan kompleks, apalagi
18
diperberat oleh perasaan khawatir akan kehilangan kesempatan kerja (Kroemer dan
Grandjean, 2000).
Bank Swasta Nasional “X”, tempat penelitian ini dilakukan berlokasi di
Denpasar. Merupakan bank komersial yang secara eksklusif melayani sebagai mitra
strategis perbankan bagi sektor keuangan mikro Indonesia. Perusahan ini mulai
beroperasi sepenuhnya pada tahun 2009, di mana sebelumnya dalam rentang tiga
tahun sejak tahun 2006 melewati masa peralihan dari manajemen bank terdahulu
yang mengalihkan pengoperasiannya. Investasi perusahan tergolong berskala besar
yang melibatkan dana-dana investasi lokal dan asing.
Selain memiliki kantor pusat yang berlokasi di Denpasar, perusahaan juga
memiliki kantor manajemen pusat yang berlokasi di Jakarta dan kantor cabang di
Surabaya. Sebanyak 50 orang (yang bertugas di kantor pusat di Denpasar) karyawan
dan karyawati berada di bawah perusahaan ini, dan melakukan aktivitas perbankan
dengan target kerja yang tinggi. Waktu kerja mulai pukul 08.00 – 16.00 WITA,
dengan diselingi waktu istirahat makan siang selama satu jam yang dimulai pada
pukul 12.00 dan dilakukan secara bergiliran.
2.3 Stres Kerja dari Aspek Fisiologi (Psiko-Neuro-Imunologi)
2.3.1 Definisi stres
Pembahasan tentang stres kerja dan dampaknya bagi kesehatan dalam dunia
kerja saat ini tidak lepas dari penelusuran materi keilmuan lebih dalam tentang
ergonomi yang dipadukan dengan aspek psiko-neuro-imunologi. Telaah tentang ilmu
19
ini banyak diminati pakar ergonomi dan biomedis dewasa ini. Semakin banyak fakta
yang dapat membuktikan hubungan antara penurunan produktivitas kerja dan risiko
kejadian penyakit infeksi dengan pengalaman emosi yang tidak menyenangkan akibat
stres kehidupan ataupun aspek perilaku lainnya. Stres dalam kehidupan maupun
pekerjaan tidak bisa dihindari. Mekanismenya melibatkan komunikasi dua jalur
antara otak (korteks, regio ventromedial prefrontal) dan sistem kardiovascular, imun
(Anonim a, 2003; Anonim b, 2008), dan sistem lainnya melalui sistem saraf otonom
dan sistem neuro-hormonal (McEwen, 2007; Li dan Sinha, 2008).
Temuan konsep hubungan imuno-behavior berawal dari penelitian dasar yang
berfokus pada mekanisme selular dan molekular antara sistem saraf dan sistem imun.
Peneliti dalam bidang ini telah menemukan adanya hubungan selular dan aktivitas
molekular yang menjelaskan sirkuit neuroimunologis. Hal ini sejalan dengan
tingginya ketertarikan para pakar ergonomi dalam mengkaji lebih jauh tentang
penyebab dan dampak dari stres kerja terhadap dan kualitas kehidupan kerja.
Istilah stres diperkenalkan pertama kali oleh Cannon pada tahun 1914 dan
Selye pada tahun 1956 dalam area psikologi dan ilmu kedokteran (McEwen, 2007).
Selye mendefinisikan stres sebagai reaksi dari organisme terhadap situasi yang
menguntungkan (eustress) dan situasi yang merugikan (distress). Dikatakan bahwa
stres penting dalam reaksi berantai dalam mekanisme neuroendokrin. Akibat
rangsangan pada sel-sel diotak akan terjadi peningkatan sekresi hormon-hormon
terutama adrenalin dan noradrenalin dari kelenjar adrenal. Hormon-hormon ini
disebut sebagai hormon penampilan karena berfungsi untuk menjaga tubuh dalam
20
keadaan siaga penuh. Efek dari hormon ini adalah meningkatkan denyut jantung,
meningkatkan tekanan darah serta meningkatkan gula darah dan metabolisme
(Kroemer dan Grandjean, 2000). Menurut Selye dan Mc Ewen, pada prinsipnya
mekanisme tubuh terhadap berbagai stresor atau pemicu stres merupakan gambaran
yang serupa atau dengan karakteristik tertentu yang dapat dianggap sama.
Mekanismenya melibatkan komunikasi dua jalur antara otak dan sistem
kardiovaskuler, imun, dan sistem lainnya melalui sistem saraf otonom dan sistem
neuro-hormonal (McEwen, 2007).
Tubuh akan selalu berespon terhadap stres akibat adanya rangsangan di pusat
penerimanya yaitu di hipokampus dan hipotalamus yang terletak dalam area sistem
limbik, lalu diikuti reaksi berantai berupa pengaktifan Hypothalamo-PituitaryAdrenal Axis (HPA-axis) dan Sympatetic-Adreno-Medular Axis (SAM-axis) (Appels
dan Kop, 2007). Rangsangan dapat berupa stres fisik maupun psikologis. Aktivasi
SAM-axis dan HPA-axis tidak hanya menggambarkan respon organisme terhadap
stres, tetapi juga penting untuk proses homeostasis normal dan proses metabolisme
(Lavallo dan Thomas, 2000, dalam Sonnentag dan Fritz, 2006). Katekolamin dan
kortisol memicu mobilisasi energi, menyediakan gula darah untuk aktivitas fisik dan
mental, dan meningkatkan sirkulasi darah. Dengan demikian, katekolamin dan
kortisol menginisiasi dan mengawali proses yang membantu organisme untuk
menghadapi tuntutan kebutuhan. Kortisol memiliki pola sirkadian yang kuat, di mana
konsentrasi puncaknya pada pagi hari. Jika dihubungkan dengan stresor, Dickerson
dan Kemeny (2004) dalam Sonnentag dan Fritz (2006), menemukan bahwa puncak
21
respon kortisol dapat diobservasi 21-40 menit setelah onset stresor. Hal ini tentunya
dapat menjadi pertimbangan penentuan waktu dalam pengukuran kadar hormon ini di
dalam darah.
Secara fisiologis, menurut Selye, stres dalam istilah umum adalah suatu
sindrom yang meliputi repons non-spesifik dari organisme terhadap rangsangan dari
lingkungan. Selye membagi proses stres dalam tubuh melalui tiga fase yaitu: (1) fase
alarm reaction; (2) fase resistance reaction; dan (3) fase exhaustion reaction.
Pada fase I atau alarm reaction (reaksi kewaspadaan), seluruh sistem tubuh
diubah menjadi keadaan siaga. Perubahan fisiologis yang terjadi adalah berpusat di
hipotalamus yang mengisyaratkan kepada kelenjar adrenal untuk melepaskan
adrenalin ke saluran darah. Sebagai akibatnya darah mengalir dari kulit dan visera ke
otot dan otak. Hasil redistribusi menyebabkan kulit tampak pucat dan terasa dingin,
berdebar–debar, darah mengalir cepat dan bersiap untuk lari atau melawan ancaman
yang ada. Pada fase ini juga dilepaskan hormon lain terutama Adenocorticotropin
Hormone (ACTH) yang mengaktifkan kelenjar adrenal sehingga kortikoid dilepaskan
ke dalam aliran darah yang membawa pesan kelenjar ke organ lain. Limpa
dimobilisasi untuk melepaskan lebih banyak sel darah merah ke dalam aliran darah.
Lambung melepaskan asam hidroklorik yang digunakan untuk mencernakan
makanan. Ada satu hormon lagi yang dilepaskan yaitu nor adrenalin, hormon ini
menimbulkan perasaan euforia dan kepuasan. Sedangkan hormon adrenalin dan
kortikosteroid dapat dipandang sebagi hormon kecemasan. Fase ini tidak berlangsung
lama.
22
Pada fase II yaitu resistance reaction (reaksi pertahanan), tubuh mengerahkan
seluruh daya tahannya untuk mengadakan perlawanan terhadap faktor–faktor yang
menyebabkan stres. Tubuh berusaha melakukan adaptasi terhadap stres yang terjadi,
akan tetapi daya tahan tubuh terbatas. Dalam fase ini daya tahan sudah naik di atas
taraf daya tahan normal, dan bila stres terjadi terus–menerus dan berat, maka akan
berlanjut ke fase III .
Pada fase III atau Exhaustion reaction (reaksi kelelahan), terjadi kelelahan /
keletihan sehingga adaptasi yang baru dibangun runtuh. Daya tahan tubuh melemah,
energi untuk adaptasi habis dan fase ini berkaitan dengan terganggunya kesehatan
individu.
Pada umumnya individu akan bereaksi terhadap rasa tidak nyaman yang
timbul dari setiap stres dalam bentuk perilaku, kognitif (alam pikiran) dan emosi atau
mood. Reaksi ini pada individu dapat muncul sebagai mekanisme penanggulangan.
Mekanisme penanggulangan atau mekanisme coping terhadap stres berfungsi sebagai
stabilisator yang
dapat menolong individu untuk mempertahankan penyesuaian
psikososial selama periode stres tersebut. Apabila penanggulangannya berhasil,
individu tidak akan menderita penyakit fisik dan gangguan mental-emosional.
Sebaliknya apabila mekanisme penanggulangan stres tidak berhasil, maka individu
tersebut akan menderita penyakit sebagai proses maladapatasi terhadap stres. Proses
maladapatasi terjadi karena fungsi menjaga homeostasis oleh kortisol maupun
mediator-mediator lainnya tidak lagi berperan secara fisiologis.
23
Istilah stres dari teori Selye seringkali membingungkan, dan kemudian saat ini
populer informasi tentang istilah lain yang lebih jelas menggambarkan pengertian
batasan stres yang sifatnya dapat berakibat maladaptif atau merugikan. Menurut
McEwen (2007), terdapat dua sisi penting respon stres. Satu sisi, tubuh memberi
respon terhadap berbagai pengalaman atau kejadian dengan mengeluarkan mediatormediator kimia, misalnya katekolamin yang meningkatkan frekuensi detak jantung
dan tekanan darah. Mediator-mediator tersebut memicu proses adaptasi terhadap
stresor yang sifatnya akut. Jadi mempunyai efek proteksi terhadap ancaman fungsi
tubuh. Sisi lainnya, peningkatan yang kronis dari mediator-mediator tersebut dapat
berakibat perubahan patofisiologis. Adanya mekanisme yang saling berlawanan dari
mediator-mediator tersebut, yaitu bersifat memproteksi maupun menimbulkan
kerusakan, dan juga karena istilah stres menimbulkan kebingungan untuk dapat
menggambarkan kondisi pastinya, maka Sterling dan Eyer (dalam McEwen 2007)
memperkenalkan istilah allostasis yang secara literatur berarti achieving stability
through change. Istilah ini diartikan sebagai proses aktif dari tubuh memberi respon
kepada kejadian-kejadian sehari-hari dan menjaga homeostasis. Karena peningkatan
allostasis secara kronis dapat berakibat timbulnya kondisi patofisiologis, maka
McEwen memperkenalkan istilah allostatic load atau overload yang mengacu kepada
akibat stres yang berlebih atau manajemen allostasis yang tidak adekuat, seperti tidak
terhentinya respon tubuh ketika sudah tidak dibutuhkan, tidak bisa memulai respon
dengan adekuat terhadap stresor awal, ataupun tidak habituating terhadap stresor yang
24
sama dan berkepanjangan yang pada akhirnya mengganggu respon allostatic
(McEwen, 2007; Bellingrath, 2009).
2.3.2 Definisi stres kerja dan job stress model
a. Definisi stres kerja
Stres kerja dalam bahasa Iggrisnya diistilahkan dalam beberapa term yaitu job
stress atau work stress atau work-related stress. Stres kerja adalah kondisi distress
(pengertian oleh Selye) atau allostatic load (istilah oleh McEwen) yang dihubungkan
dengan faktor pekerjaan akibat stres fisik maupun psikologis. WHO mendefinisikan
stres kerja sebagai gambaran reaksi-reaksi tubuh yang muncul ketika pekerja
dihadapkan kepada tuntutan pekerjaan yang tidak sesuai dengan pengetahuannya,
keterampilannya atau kemampuannya dan yang menantang kemampuannya untuk
melakukan coping. Reaksi-reaksi yang dimaksud dapat dalam bentuk respon-respon
fisiologis, respon-respon emosi, respon-respon kognitif, dan reaksi-reaksi perilaku
(WHO, 2007). Stres kerja dapat mempengaruhi kualitas kehidupan kerja yang secara
tidak langsung dapat mempengaruhi produktivitas kerja, penampilan dan kesan
terhadap perusahaan.
Fenomena tentang stres menjadi semakin jelas diketahui setelah dalam dua
dekade terakhir para ahli psikologi dan ahli ilmu-ilmu sosial misalnya McGrath pada
tahun 1976, Lazarus pada tahun 1977, Harrison pada tahun 1978, Caplan dkk. pada
tahun 1980 dan Cox pada tahun 1985 dan 2006) melakukan penelitian-penelitian
detail terutama dalam aspek stres okupasi atau stres yang dihubungkan dengan faktor
25
pekerjaan (Kroemer dan Grandjean, 2000). Pengertian atau definisi work-related stres
menurut Cox adalah reaksi emosi dan psiko-fisiologis terhadap aspek yang tidak
menyenangkan dan bahaya dari pekerjaan, lingkungan kerja dan organisasi kerja.
Merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh tingkat kesiagaan yang tinggi dan
distress dan sering dikarenakan oleh perasaan tidak mampu melakukan coping.
Definisi ini mengacu pada definisi yang dibuat oleh the European Commission’s
Working Group on Stress pada tahun 1997 (Cox dan Griffiths, 2005). Pengertian stres
kerja ini tentunya tidak lepas dari pengertian stres yang ditemukan oleh Selye
sebelumnya.
Sebelum terjadi stres, perlu terdapat stresor atau pemicu stres yang cukup
bermakna dan spesifik untuk setiap individu. Penerimaan dan reaksi selanjutnya
terhadap stres itu berbeda–beda pada masing–masing individu dan bisa merupakan
reaksi yang menyangkut segi fisiologis, psikologis dan tingkah laku. Penelitianpenelitian saat ini tentang stres didasarkan pada asumsi bahwa stres, yang
disimpulkan dari gejala-gajala dan tanda-tanda faal, perilaku, psikologik dan somatik
adalah hasil dari tidak/kurang adanya kecocokan antara orang (dalam arti
kepribadian, bakat dan kecakapanya) dan lingkungannya, yang mengakibatkan
ketidak mampuannya untuk menghadapi berbagai tuntutan terhadap dirinya secara
efektif (Munandar, 2001). Pada umunya kita merasakan stres sebagai suatu kondisi
yang negatif, jika mengakibatkan timbulnya suatu penyakit fisik maupun mental atau
perilaku yang tidak wajar, hal ini disebut distres. Akan tetapi hipotesis lainnya
memberikan penjelasan bahwa sementara stres meningkat, prestasi juga akan
26
bertambah sampai batas tertentu. Bila stres meningkat sehingga melampaui batas
tertentu, maka prestasi akan menurun (Kroemer dan Grandjean, 2000; Munandar,
2001).
Stres kerja maupun bentuk-bentuk pemicu stres lainnya akan menimbulkan
respon biologis yang secara teori hampir sama yang dikenal sebagai general
adaptation respons. Efek stres akan diterima oleh sistem limbik. Jalur informasi
dapat dihantarkan ke korteks serebri maupun ke bagian lain dalam sistem limbik
seperti amigdala, talamus dan terutama ke hipotalamus. Rangsangan pada
hipotalamus dapat mengaktifkan HPA-Axis (Hypothalamo-Pituitary-Adrenal Axis)
dan SAM-Axis (Sympatetic-Adreno-Medular Axis). Hipotalamus menghasilkan CRH
(corticotropic releasing hormon) yang memicu sekresi ACTH (adenocorticotropic
hormon) dari hipofise. Selain CRH, hipotalamus juga mensekresikan AVP (arginine
vasopresin). AVP mengaktifkan SAM-axis. HPA-Axis
menghasilkan mediator
berupa kortisol, dan SAM-Axis menghasilkan mediator epinefrin dan nor epinefrin.
b. Job stres model
Perkembangan studi-studi tentang stres kerja dewasa ini tidak terlepas dari
konsep teori tentang stres kerja yang pertama kali dipopulerkan oleh Karasek pada
tahun 1979. Konsep Karasek ini dikenal sebagai the job demands-control (JD-C)
model atau deman-control-support (DCS) model (Kawakami, 2010a; Inoue, 2010).
Model lainnya masing-masing adalah Levi‟s model yang populer pada tahun 1972,
”balance theory” of worksite stress yang dipopulerkan oleh Carayon dkk. pada tahun
27
1999, ”person-environment fit” yang populer pada tahun 1980 (Sanders, 2004),
NIOSH model (Hurrel dan McLaney, 1988), Effort-reward imballance (ERI) model
(Siegrist, 1996), dan sebuah konsep yang dikenal sebagai Organizational Justice
Concept (Inoue, 2010, di mana konsep ini melengkapi JD-C model dan ERI model).
Dalam penelitian ini, kajian yang dilakukan mengacu pada model stres kerja NIOSH
model, yaitu konsep yang secara skematis dapat dilihat dalam skema pada Gambar
2.1.
1. Work
environment
improvement
Job stressors
Personal factors
Stress
reaction
Gender, age,
personality,
marital status
Psychological
Physical
2. Supervisor
education/training
Support from
supervisors, coworkers,
and family/friends
Behavioral
Illness
Disease/Injury
Role stress
Interpersonal
conflict
Lack of job control
Job overload
Responsibility for
people
Work organization
Work and task
condition
etc.
3. Individualoriented stress
management
From the US NIOSH Job
Stress Model (Hurrell &
McLaney, 1988)
Buffering factors
Gambar 2.1 NIOSH Job Stres Model (Sumber: Hurrel dan McLaney, 1988)
Bagan di atas menggambarkan bahwa stresor yang dihubungkan dengan
pekerjaan adalah kondisi-kondisi kerja yang memicu reaksi-reaksi akut, atau strain-
28
strain pada pekerja. Reaksi-reaksi tersebut menggambarkan dominan atau tidaknya
respon-respon fisiologis maupun perilaku.
2.3.3 Pembangkit stres kerja (stresor)
Munculnya reaksi stres dapat sebagai akibat adanya stresor dari faktor
pekerjaan (yaitu segala kondisi kerja yang berakibat terjadinya reaksi-reaksi akut,
atau berbagai strain pada pekerja) yang dapat berinteraksi dengan tiga faktor lainnya
yaitu faktor-faktor individu, faktor-faktor di luar pekerjaan, dan buffer factors
(Hurrell dan McLaney, 1988). Interaksi mind-body bekerja melalui dua cara, yaitu:
faktor-faktor psikologi dapat berkontribusi terhadap berbagai gangguan fisik, dan sisi
lainnya gangguan-gangguan fisik dapat mempengaruhi pikiran dan mood individu
(Kroemer, 2009).
Masalah-masalah ergonomi yang tidak diantisipasi secara holistik dapat
menjadi pembangkit stres kerja. Stres yang intensif dan berlangsung lama berdampak
kepada perubahan perilaku dan perasaan. Faktor tugas, organisasi dan lingkungan
(termasuk di dalamnya kondisi psikososial akibat relationship yang tidak harmonis)
yang tidak sesuai dengan kapasitas pekerja atau dirasakan mekanisme coping tidak
adekuat berakibat munculnya respon mal-adaptasi. Respon tersebut dapat berakibat
tubuh mengalami kelelahan fisik maupun mental yang pada umumnya lebih dominan
tampak sebagai gejala general malaise (Cox dan Griffiths, dalam Wilson dan Corlet,
2005) dan memicu timbulnya mood yang negatif. Tampak dalam skema model stres
dalam Gambar 2.1 di atas, bahwa stresor dapat beragam. Umumnya, relathionship
29
yang tidak harmonis adalah stresor yang bermakna (Kawakami, 2010a). Selain itu,
tuntutan beban pekerjaan terlalu berat atau terlalu rendah, sangat kompleksnya beban
kerja, tanggung jawab yang berlebihan, pekerja tidak punya hak atau tidak diikutkan
dalam mengorganisasikan pekerjaan (lack of job control), konflik karena tuntutan
yang tinggi akan kualitas dan produktivitas, ketidaknyamanan lingkungan kerja
ataupun kurangnya dukungan sosial dari atasan dan teman kerja merupakan bentukbentuk stresor yang ada di tempat kerja (Manuaba, 2005; Kroemer, 2009).
Pemahaman yang holistik tentang faktor risiko potensial penyebab stres kerja sangat
membantu dalam merancang isi dari suatu program manajemen stres kerja tersebut
(Tsutsumi dkk., 2009). Analisis beberapa pakar ilmu kesehatan jiwa menyatakan
bahwa proses globalisasi menimbulkan transformasi komunikasi dan informasi di
berbagai kawasan dunia yang memberikan dampak terhadap perubahan nilai-nilai
sosial dan budaya. Keadaan ini membutuhkan kemampuan penyesuaian dan
mengatasi masalah yang tinggi, di samping dukungan lingkungan yang kondusif
untuk berkembangnya nilai-nilai sosial budaya yang tanggap terhadap berbagai
perubahan. Kondisi demikian sangat rentan terhadap stres, kecemasan, konflik,
ketergantungan obat psikotropika, perilaku seksual yang menyimpang yang dapat
digolongkan sebagai masalah psikososial (Nasution, 2011).
Manuaba (2000) mengatakan bahwa tuntutan pekerjaan (job demand) dan
kapasitas kerja harus selalu seimbang, sehingga dicapai kinerja atau performance
yang maksimal. Beban tugas yang terlalu tinggi ataupun rendah (underload) dapat
menurunkan performance yang terindikasi dari beberapa parameter, seperti: kualitas
30
produk, produktivitas, ketidaknyamanan, kelelahan, stres, kecelakaan dan penyakit.
Beberapa variabel yang berperan yang termasuk dalam aspek tuntutan pekerjaan
(Gambar 2.2), diantaranya: karakteristik tugas dan tempat kerja, material, organisasi
dan lingkungan. Sedangkan variabel-variabel yang menjadi komponen kapasitas kerja
yaitu: kapasitas fisiologis dan psikologis (Manuaba, 2000).
Karakteristik
material
Karakteristik
tugas/tempat kerja
Tuntutan tugas
Karakteristik
organisasi
Karakteristik
pribadi
Kapasitas
fisiologik
Kapasitas pekerja
Karakteristik
lingkungan
Kapasitas
psikologik
Kapasitas
biomekanik
Kualitas produk
Stres
Kelelahan
Kecelakaan
Discomfort
Penyakit
Injury
Produktivitas
Performance
Gambar 2.2 Hubungan antara tuntutan tugas, kemampuan, dan performance
seseorang (Sumber: Manuaba, 2000)
Dalam konsep Manuaba pada Gambar 2.2 di atas, dijelaskan bahwa antara
tuntutan tugas (task) dengan kapasitas kerja (work capacity) harus selalu dalam
kondisi seimbang, tidak boleh terlalu rendah atau terlalu tinggi. Jika tuntutan tugas
terlalu tinggi melampaui kapasitas kerja akan berakibat tekanan terhadap pekerja,
tetapi jika tuntutan tugas lebih rendah individu akan menjadi pasif dan kurang
termotivasi
31
Tiga faktor yang mempengaruhi keseimbangan tersebut adalah: (a) Kapasitas
pekerja (worker capacity) mencakup: (1) Personal characteristics (karakteristik
pribadi) berkaitan dengan faktor usia, jenis kelamin, antropometri, pendidikan,
pengalaman, status sosial, agama dan kepercayaan, status kesehatan, kesegaran
tubuh/kebugaran fisik, dan sebagainya; (2) Physiological capacity (kemampuan
fisiologis) meliputi kemampuan dan daya tahan kardio-vaskular, saraf otot, panca
indera, dan sebagainya; (3) Psychological capacity (kemampuan psikologis)
berhubungan dengan kemampuan mental, waktu reaksi, kemampuan adaptasi,
stabilitas ekonomi, dan sebagainya; (4) Biomechanical capacity (kemampuan
mekanik) berkaitan dengan kemampuan dan daya tahan sendi dan persendian, tendon
dan jalinan tulang; (b) Tuntutan tugas/aktivitas (task demands) mencakup: (1)
Task/workplace characteristics (karakterik tugas/tempat kerja) yang ditentukan oleh
karakteristik peralatan dan mesin, tipe, kecepatan dan irama kerja, dan sebagainya;
(2) Organization characteristics (karakteristik organisasi) yang berhubungan dengan
jam kerja dan jam istirahat, kerja malam dan bergilir, cuti dan libur, manajemen, dan
sebagainya; (3) Environmental characteristics (karakteristik lingkungan) yang
berkaitan dengan manusia teman setugas, suhu dan kelembaban, bising dan getaran,
penerangan, sosial budaya, tabu, norma, adat dan kebiasaan, gas, cairan, debu, dan
sebagainya; dan (c) Unjuk kerja (performance). Hasil interaksi antara tuntutan tugas
dan kapasitas kerja berupa luaran dalam bentuk performance/unjuk kerja sangat
ditentukan oleh rasio dari besarnya tuntutan tugas dengan besarnya kapasitas kerja
atau kemampuan individu yang bersangkutan. Apabila tuntutan tugas lebih besar
32
daripada kemampuan seseorang, maka akan memberi dampak pada performance
berupa: rasa kurang/tidak nyaman, kelelahan, overstress, kecelakaan, cedera, rasa
sakit, dan penyakit. Semuanya akan diikuti dengan menurunnya kualitas performance
dan produktivitas. Sebaliknya, apabila kemampuan seseorang lebih besar daripada
tuntutan tugas, maka akan terjadi: kejenuhan, kebosanan, kelesuan, munculnya rasa
sakit, dan penurunan produktivitas. Agar performance optimal dan maksimal, maka
perlu adanya keseimbangan dinamis antara tuntutan tugas dengan kemampuan atau
kapasitas kerja seseorang, sehingga tercapai kondisi dan lingkungan yang sehat,
aman, nyaman, dan produktif (Manuaba, 2000).
Konsep Manuaba ini juga sejalan dengan konsep Kumashiro (2003) tentang
produktivitas sumber daya manusia di tempat kerja. Dalam konsep Kumashiro,
kapasitas kerja bergantung pada keterampilan, pengalaman dan pengetahuan, yang
didukung oleh motivasi kerja (yang dipengaruhi oleh adanya insentif dan faktorfaktor higene) dan kemampuan kognitif. Sebagai dasar dari kapasitas kerja adalah
kondisi kesehatan yang mencakup kapasitas fisik, mental, dan fungsi sosial. Konsep
Manuaba maupun konsep Kumashiro menjelaskan bahwa kapasitas kerja yang
optimal sangat diperlukan pekerja untuk menghadapi tuntutan tugas-tugas/pekerjaan.
Dalam kondisi kapasitas kerja yang rendah sementara tuntutan kerja dirasakan
semakin kompleks maka stresor akan dirasakan bermakna dan berakibat timbulnya
stres kerja.
Dalam model stres kerja, selain beberapa faktor dalam pekerjaan yang dapat
memicu timbulnya reaksi stres, beberapa faktor lainnya juga dihubungkan sebagai
33
faktor yang dapat memperberat maupun sebagi penetral kondisi stres pada individu
(Matteson dan Ivancevich, 1982). Permasalahan dalam keluarga, krisis kehidupan,
kesulitan keuangan, keyakinan pribadi dan organisasi yang bertentangan, konflik
antara tuntutan keluarga dan tuntutan perusahaan, semuanya dapat merupakan
tekanan pada individu dan pada pekerjaannya. Sebagaimana halnya stres di pekerjaan
mempunyai dampak yang negatif pada kehidupan keluarga dan pribadi. Akan tetapi,
perlu diketahui bahwa peristiwa-peristiwa kehidupan pribadi dapat meringankan
akibat-akibat dari pembangkit stres organisasi. Jadi dukungan sosial dan keluarga
berfungsi sebagai bantal penahan dari stres.
Faktor sosial budaya merupakan faktor yang berperanan penting dalam
manajemen stres kerja. Persepsi, perilaku individu, motivasi dan kebutuhan (need)
dalam aktivitas sehari-hari sangat dipengaruhi oleh faktor ini. Budaya ke-Timur-an
dan tradisi mempengaruhi sikap dan cara individu bereaksi. Sehingga kebijakan
perusahaan dan cara-cara komunikasi di tempat kerja antara atasan dan bawahan
maupun sesama pekerja yang tidak mempertimbangkan faktor budaya dapat merusak
hubungan sosial yang memicu timbulnya stres kerja. Budaya daerah Bali, tempat
penelitian ini dilakukan, yang telah menjadi aset bagi industri pariwisata tentunya
mewarnai kehidupan pekerja. Pekerja yang terikat adat setempat akan memerlukan
kebijakan untuk mendapatkan ijin pada saat harus terlibat dalam acara-acara adat.
Jika aturan larangan ijin bagi karyawan oleh perusahaan diterapkan sangat kaku dan
tidak empati maka akan menimbulkan konflik bagi karyawan dan dirasakan sebagai
tekanan atau stresor (Sutjana, 2010). Selain itu, disediakannya tempat menghaturkan
34
sesajen di tempat kerja yang fungsinya melindungi seluruh karyawan akan memberi
perasaan aman dan menyenangkan bagi pekerja (Sutjana, 2010). Sehingga akan
menimbulkan suasana kerja yang lebih baik dan berfungsi sebagai buffer terhadap
stres.
Kecakapan merupakan variabel lain yang ikut menentukan stres tidaknya
situasi yang dihadapi. Kecakapan meliputi intelegensia, pendidikan dan latihan yang
akan membentuk mekanisme coping dari individu. Jika seseorang menghadapi
masalah yang ia rasakan tidak mampu ia pecahkan, sedangkan situasi tersebut ia
rasakan sebagai situasi yang mengancam dirinya, maka ia mengalami stres akibat
kegagalan mekanisme coping dan menimbulkan ketidak-berdayaan (distress).
Sebaliknya jika ia merasa mampu atau mekanisme coping dari individu berhasil,
maka ia akan merasa ditantang dan motivasinya meningkat. Dengan menerapkan
program
manajemen
stres
kerja
diharapkan
mekanisme
coping
individu
dimaksimalkan sehingga lebih meningkatkan kapasitasnya dalam mentoleransi
stresor (Cooper dan Payne, 1990).
Peranan faktor umur pada individu dalam memberikan respon terhadap situasi
yang potensial menimbulkan stres tampaknya banyak dipengaruhi faktor lain. Mereka
yang usianya sudah lanjut (di atas 60 tahun) jelas menurun kemampuannya dalam
beradaptasi, karena adanya penurunan fungsi organ di dalam badan. Penelitian pada
kelompok usia lebih dari 40 tahun dan di bawah 40 tahun, dengan indikator adrenalin
dan tekanan darah, mendapatkan hasil bahwa kelompok umur di atas 40 tahun lebih
rentan dalam menghadapi stres. Menentukan batas umur yang dianggap rentan
35
terhadap stres tampaknya sulit karena berfluktuasi tergantung beberapa hal, antara lain
derajat dan beban kerja, bergilir atau tidak bergilir, lingkungan kerja, kecepatan
perubahan teknologi dan sebagainya.
Faktor perbedaan jenis kelamin tampaknya masih banyak menimbulkan
perbedaan pendapat. Sebagian penulis mengatakan bahwa mungkin faktor jenis
kelamin berpengaruh untuk beradaptasi (Evolahti dkk., 2006) tetapi banyak penelitian
menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara pria dan wanita. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Bing Wantoro terhadap karyawan perbankan sebuah bank di
Jakarta tahun 1996 didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara variabel jenis kelamin terhadap gangguan kesehatan jiwa (Ambarwati, 2004).
Faktor sosial budaya sangat berperan dalam mekanisme stres maupun coping
individu. Tuntutan dan aturan-aturan/ norma budaya setempat yang dirasakan
memberatkan akan menimbulkan konflik dan menimbulkan stres. Di sisi lain budaya
tertentu yang memungkinkan individu bisa ”saling berbagi rasa” dalam kegiatankegiatan budaya yang menyenangkan dalam suasana yang hangat akan menjadi buffer
dan mengurangi perasaan stres yang dirasakan.
Dukungan sosial juga merupakan faktor yang penting bila seseorang
menghadapi situasi yang berpotensi terhadap timbulnya stres. Banyak peneliti
mencoba untuk mendefinisikan dukungan sosial ini, antara lain mengatakan bahwa
dukungan sosial merupakan perasaan seseorang merasa diperhatikan dan dihargai
orang lain, serta menjadi bagian dan diterima oleh komunitas. Peranan dukungan
sosial ini sangat besar bagi seseorang dalam menangkal efek buruk dari stres,
36
membuat individu lebih luwes berperan dalam menghadapi stresor tersebut. Biasanya
isteri/suami adalah individu yang paling penting dalam hal ini, walaupun anggota
keluarga yang lain, teman, atasan juga mempunyai peranan penting dalam mendukung
seseorang menghadapi pekerjaan yang penuh stres. Tidak mempunyai dukungan sosial
sudah merupakan stres tersendiri bagi individu tersebut. Walaupun secara teori
dukungan sosial sangat penting peranannya, tetapi dalam penelitian, masalah
dukungan sosial ini sangat luas, meliputi beragam sub-variabel yang harus diukur baik
kualitas maupun kuantitasnya.
2.3.4 Pengukuran kondisi stres kerja
Diperlukan alat ukur untuk mengevaluasi kondisi stres pada pekerja serta
stresor yang muncul sebagai akibat kondisi kerja yang belum ergonomis. Penilaian
dimulai dengan mengevaluasi secara umum kondisi kerja memakai mental health
action checklist (MHACL) (Kobayashi dkk., 2008; Kogi, 2010)
sehingga dapat
menemukan permasalahan secara dini dan penerapan strategi pengelolaannya menjadi
lebih terukur. Jika dibandingkan dengan ergonomics checkpoints (ILO, 2010),
MHACL lebih singkat, mudah diaplikasikan dan lebih mengarah kepada masalahmasalah ergonomi khususnya kondisi-kondisi kerja yang berhubungan dengan risiko
pemicu stres kerja maupun risiko gangguan mental lainnya.
Menurut Cox (dalam Kroemer dan Grandjean, 2000), stres dapat merupakan
kondisi psikologis yang bersifat individual, sehingga sebagai langkah awal,
pengukuran stres kerja dapat difokuskan pada kondisi psikologis individu (Kroemer
37
dan Grandjean, 2000; George dan Steven, 2003). Langkah pertama adalah menggali
informasi tentang pengalaman emosi atau suasana hati seseorang sehubungan dengan
situasi di tempat kerja. Artinya bahwa pengukuran yang dilakukan menggunakan
metode yang sifatnya subjektif.
Dalam perkembangannya saat ini kebanyakan studi-studi di lapangan tentang
stres kerja memakai kuesioner untuk tujuan melakukan survei kondisi-kondisi kerja,
stresor yang potensial, kesehatan dan kesejahteraan pekerja, kepuasan kerja dan
kondisi suasana hati. Sebagian peneliti mengkombinasikan penggunaan kuesioner
dengan pengukuran parameter fisiologis dalam darah (Harenstam, 1990; Söderfeldt
dkk., 2000; Theorell dkk., 2001; Persson dkk., 2003; Evolahti dkk., 2006; Kawaguchi
dkk., 2007), urin (Lueken dkk., 1997; Goldstein, dkk., 1999; Hansen dkk., 2003;
Schnorpfeil dkk., 2003; Bellingrat dkk., 2009; Hansen dkk., 2009;) maupun saliva
(Fox dkk., 1993; Steptoe dkk., 2000; Hanson dan Maas, 2000; Kunz-Ebrecht dkk.,
2004; Alderling dkk., 2006; Eller dkk., 2006; Harris dkk., 2007; Rydstedt dkk., 2008;
Chandola dkk., 2008; Maina dkk., 2009). Pengukuran dengan kuesioner dapat
mengukur stresor, reaksi stres baik dalam bentuk respon psikologis maupun fisik
serta faktor-faktor yang sifatnya sebagai buffer serta kepuasan kerja (Kroemer dan
Grandjean, 2000; NIOSH, 2008; Shimomitsu, dalam Kawakami, 2010a). Dalam
penelitian ini, kuesioner yang dipakai adalah kuesioner Brief Job Stress
Questionnaire (BJSQ) yang dipublikasikan oleh Shimomitsu pada tahun 2000
(Kawakami, 2010a).
38
Kepuasan Kerja juga dipakai sebagai indikator stres kerja (NIOSH, 2008;
Shimomitsu, 2000). Kepuasan kerja juga dihubungkan dengan kondisi-kondisi
kesehatan pekerja mencakup masalah-masalah psikologis, seperti lesu kerja, harga
diri yang rendah, depresi dan kecemasan (Wada dkk., 2009).
Mengacu pada
Herzberg‟s two-factors theory, idealnya pekerjaan harus dirancang dengan
memasukkan faktor-faktor rewarding untuk menjamin adanya kepuasan kerja
(Siregar, 2006; Kroemer, 2009). Kedua faktor tersebut yaitu: faktor motivator
(mencakup: promosi, peluang-peluang, kesempatan-kesempatan perkembangan
personal, keterlibatan, tanggung jawab, dan pencapaian); faktor higene (mencakup:
kualitas pengawasan, upah, aturan-aturan perusahaan, hubungan dengan orang lain,
kondisi kerja dan keamanan kerja). Menurut Herzberg, ada lima faktor yang dapat
menciptakan kepuasan kerja, yaitu: pencapaian, keterlibatan, pekerjaan itu sendiri,
tanggung jawab, dan advancement (Kroemer, 2009).
Saat ini, beberapa penelitian menemukan bahwa gangguan muskuloskeletal
yang sifatnya akut maupun kronis pada pekerja banyak dihubungkan dengan kondisi
emosional di tempat kerja (Rolf dan Rohmet, 1998; Kroemer, 2009; Treaker, 2010).
Stres dapat mengakibatkan ketegangan otot yang berakibat rasa sakit terutama pada
kepala, leher, bahu dan punggung (Kroemer, 2009; Edwards, 2010). Banyak
penelitian yang telah membuktikan adanya kontribusi faktor psikososial terhadap
gangguan-gangguan muskuloskeletal yang dihubungkan dengan pekerjaan. Edwards
menyatakan, penelitian pertama yang terpublikasi pada tahun 1970-an telah memberi
39
gambaran bahwa job-related stress, dukungan sosial, dan kondisi emosi berhubungan
dengan gangguan muskuloskeletal (Edwards, 2010; Kawakami, 2010b).
Stres kerja dan beberapa masalah-masalah lainya yang berhubungann dengan
kondisi kerja dan gangguan kesehatan secara umum lainnya dapat menurunkan
kemampuan kerja. Untuk mengetahui seberapa besar dampak negatif yang sudah
ditimbulkan akibat kondisi tersebut maka perlu dilakukan penilaian dengan
menggunakan kuesioner WAI (Tuomi dkk., 1998). WAI adalah alat ukur yang pada
saat ini dipakai secara praktis dalam pelayanan kesehatan kerja. WAI mulai
disosialisasikan pada saat program yang mempromosikan konsep tentang work ability
(WA) pada kisaran tahun 1990 sampai dengan tahun 1996. Dasar dari konsep WA
adalah berbagai bukti ilmiah dalam identifikasi faktor-faktor yang meningkatkan
maupun menurunkan kemampuan kerja (Ilmarinen, 2003). WA dibentuk oleh
beberapa komponen, yaitu: kapasitas fungsional dan kondisi kesehatan secara umum,
kompetensi berupa pengetahuan dan keterampilan, tata nilai berupa sikap dan
motivasi, serta kondisi kerja yang mencakup manajemen, paparan di lingkungan kerja
dan
tuntutan
masyarakat.
Menurut
Ilmarinen,
pemantauan
WA
secara
berkesinambungan akan membantu mempertahankan kemampuan kerja karyawan
(Ilmarinen, 2003). WA diukur dengan kuesioner WAI yang diciptakan oleh Finnish
Institute of Occupational Health pada tahun 1980-an (Tuomi dkk., 1998). WAI dapat
dipakai untuk menilai efektivitas program manajemen stres kerja karena telah
dibuktikan adanya hubungan antara WAI dengan penilaian kondisi kesehatan mental
karyawan di perusahaan (Kumashiro, 2003). Berdasarkan konsep WA (Ilmarinen,
40
2003), peningkatan kemampuan kerja akan diikuti oleh perbaikan kualitas kerja dan
produktivitas, kualitas hidup individu dan kesejahteraan. Secara skematis konsep
tersebut dapat dilihat pada skema pada Gambar 2.3.
Health
Functional Capacities
Adjustment of work
environment
Promotion
Of
Work Ability
45+
Adjustment of
psychosocial work
environment
Professional
Competence
Good Work Ability,
Health and Competence
Functional Capacities
Good Productivity
Good Quality of Work
and Quality of Work
Life and Well-Being
Good Retirement, Meaningful,
Successful and Productive
“Third Age”
Gambar 2.3 Konsep dalam Promosi Work Ability. (Sumber: Ilmarinen, 2003).
Secara objektif, salah satu parameter yang dapat dipakai untuk mengukur stres
adalah kadar hormon kortisol dalam darah. Selain kortisol, beberapa pameter
fisiologis lainnya yang juga dihubungkan dengan kondisi stres diantaranya: 8hydroxy-2′-deoxyguanosine (8-OHdG) (Inoue dkk., 2009), epinephrine dan
norepinephrine,
dehydroepiandrosterone-sulphate
(DHEA-S),
waist/hip-ratio
(WHR), glycosylated haemoglobin (HbA1c), high-density lipoprotein (HDL), total
41
cholesterol/HDL-ratio, tekanan darah sistolik dan diastolik, tumor-necrosis-factoralfa (TNF-a), C-reactive protein (CRP), fibrinogen, D-dimer, persentase lemak
tubuh, trigliserida, dan glukosa darah (Bellingrath dkk., 2009), testosterone,
oestrogens, prolactin, melatonin, thyroxin, immunoglobulin (Ig) A, IgG, dan IgM
(Hansen dkk., 2009). Studi-studi tersebut dapat mengungkap lebih jelas tentang stres
dan dampaknya bagi kesehatan melalui mekanisme biologis. Akan tetapi masih
diperlukan penggalian secara lebih mendalam tentang mekanisme perubahanperubahan parameter fisiologis tersebut dalam tubuh akibat stres. Dipakainya
parameter kortisol darah untuk menilai efek aplikasi program Ergo-JSI dalam
penelitian ini karena perubahan kadar kortisol mampu menggambarkan perubahan
mekanisme rangsangan di hypothalamus dan pusat emosi yang berlanjut kepada
rangsangan pada HPA-axis dan SAM-axis akibat telah dilakukannya program
manajemen stres kerja. Jika dapat dibuktikan perbaikan kadar kortisol menjadi ke
kondisi homeostasis, akan memberi gambaran bahwa hormon-hormon lainnya yang
berhubungan dengan mekanisme stres maupun marker-marker respon imunitas juga
dalam kondisi yang homeostasis. Pengukuran kortisol dalam penelitian lapangan
yang dilakukan di Bali juga aplikatif, karena tergolong pemeriksaan laboratorium
rutin yang tidak menyulitkan dalam hal ketersediaan reagen pemeriksaan.
Kortisol merupakan glukokortikoid yang dominan pada manusia, dan hormon
ini diproduksi dalam zona fasikulata korteks adrenal. Peningkatan konsentrasi
kortisol lebih sering dihubungkan dengan situasi mobilisasi energi tubuh. Situasi
yang bersifat menantang secara berkepanjangan di sisi lain dihubungkan dengan
42
konsentrasi kortisol yang rendah, dan irama diurnal yang normal yang digambarkan
oleh tingginya kadar kortisol darah pagi hari akan tidak tampak. Sekresi kortisol
hampir seluruhnya diatur oleh ACTH yang disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior.
Sekresi ACTH diatur oleh hormone pelepas atau faktor-faktor dari hipotalamus
berupa CRF (Ueta, 2008). CRF disekresikan ke dalam pleksus kapiler utama dari
sistem portal hipofisis di puncak median hipotalamus dan kemudian dibawa ke
kelenjar hipofisis anterior, dan CRF merangsang sekresi ACTH. Badan sel neuron
yang mensekresi CRF terutama terletak di nucleus paraventrikular hipotalamus.
Nukleus ini selanjutnya menerima banyak hubungan saraf dari sistem limbik dan
bagian otak bagian bawah. Efek utama ACTH terhadap sel-sel adrenokortikal adalah
mengaktifkan adenil siklase dalam membran sel. Adenil siklase ini selanjutnya akan
menginduksi
pembentukan
cAMP
dalam
sitoplasma
sel,
mencapai
efek
maksimumnya dalam waktu kira-kira tiga menit. cAMP ini selanjutnya akan
mengaktifkan enzim-enzim intraselular yang menyebabkan terbentuknya hormon
adrenokortikal. Langkah yang paling penting dari ACTH yang sudah dirangsang
dalam mengatur sekresi adrenokortikal adalah mengaktifkan enzim protein kinase A
yang
menyebabkan
perubahan
awal
dari
kolestrol
menjadi
prognenolon.
Perangsangan dalam jangka waktu panjang pada korteks adrenal oleh ACTH tidak
hanya akan meningkatkan aktivitas sekretoriknya namun juga menyebabkan
hipertrofi dan proliferasi sel-sel adrenokortikal, khususnya pada zona fasikulata dan
retikularis, tempat kortisol dan androgen disekresikan.
43
Kortisol mempunyai banyak fungsi metabolik seperti mengatur metabolisme
protein, karbohidrat dan lemak. Efek akhirnya adalah menyediakan pasokan energi
untuk mengantisipasi kebutuhan yang meningkat pada saat tubuh teraktivasi,
misalnya saat kondisi stres. Peran kortisol dalam membantu tubuh mengatasi stres
diperkirakan berkaitan dengan efek metaboliknya. Kortisol menguraikan simpanan
lemak dan protein,
memperbesar simpanan karbohidrat serta meningkatkan
ketersediaan glukosa darah. Peningkatan simpanan glukosa, asam amino, dan asam
lemak ini bertujuan untuk mempertahankan nutrisi bagi otak dan menyediakan bahan
pembangun untuk memperbaiki jaringan yang rusak.
Keseluruhan
mekanisme
sekresi
kortisol
akibat
respon
stres
dan
pengaturannya dapat dilihat dalam Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Mekanisme Pengaturan Kortisol. (Sumber: Guyton dan Hall, 2006).
44
Selain efek kortisol pada sumbu hipotalamus-hipofisis-korteks adrenal,
terdapat bukti bahwa ACTH mungkin berperan mengatasi stres. Karena ACTH
adalah salah satu dari beberapa peptide yang mempermudah proses belajar dan
perilaku, beralasan jika peningkatan ACTH selama proses stres psikososial
membantu tubuh agar lebih siap menghadapi stresor serupa di masa mendatang
dengan mempermudah individu mempelajari respon perilaku yang sesuai. Selain itu,
ACTH bukan satu-satunya produk yang dikeluarkan dari vesikel simpanan di
hipofisis anterior. Pemutusan molekul prekursor besar proopiomelanokortin
menghasilkan tidak saja ACTH tetapi juga β-endorfin yang mirip morfin dan
senyawa-senyawa serupa. Senyawa-senyawa ini disekresikan bersama ACTH setelah
mendapat stimulasi dari CRH selama stres. Diduga bahwa β-endorfin, sebagai opiat
endogen yang kuat, mungkin berperan menyebabkan analgesia (penurunan persepsi
nyeri) seandainya terjadi cedera fisik akibat stres. Selanjutnya juga dispekulasikan
bahwa peptide-peptida yang dikeluarkan itu berperan antara lain dalam proses belajar
dan perubahan suasana hati. Respon-respon hormonal lain di luar kortisol juga
berperan dalam keseluruhan respon metabolik terhadap stres. Sistem saraf simpatis
dan epinefrin yang dikeluarkan atas perintahnya menghambat insulin dan merangsang
glukagon. Perubahan-perubahan hormonal ini bekerjasama untuk meningkatkan
kadar glukosa dan asam lemak darah. Epinefrin dan glukagon yang kadarnya dalam
darah meningkat selama stres, meningkatkan glikogenolisis dan (bersama kortisol)
glukoneogenesis di hati. Semua efek tersebut berperan meningkatkan kadar gula
45
darah. Selama stres, selain terjadi perubahan-perubahan hormon yang memobilisasi
simpanan energi, hormon-hormon lain secara bersamaan juga diaktifkan untuk
mempertahankan volume dan tekanan darah selama keadaan darurat. Sistem simpatis
dan epinefrin berperan penting dengan langsung bekerja pada jantung dan pembuluh
darah untuk meningkatkan fungsi sirkulasi. Selain itu, sistem renin angiotensinaldosteron juga diaktifkan sebagai akibat dari penurunan aliran darah ke ginjal yang
dipicu oleh sistem simpatis. Sekresi vasopresin juga meningkat selama keadaan stres.
Secara kolektif, hormon-hormon ini meningkatkan volume plasma dengan
mendorong retensi garam dan H2O. Diperkirakan peningkatan volume plasma ini
merupakan tindakan pencegahan untuk membentu mempertahankan tekanan darah
sekiranya terjadi pengeluaran akut cairan plasma melalui perdarahan atau keringat
berlebihan
selama
masa
darurat
tersebut.
Vasopresin
juga
diperkirakan
mempermudah proses belajar, yang berdampak pada adaptasi terhadap stres di masa
mendatang.
Semua respon individual terhadap stres yang telah dijelaskan di atas
dipengaruhi secara langsung atau tidak langsung oleh hipothalamus. Hipotalamus
menerima masukan mengenai stresor fisik dan emosi dari hampir semua daerah di
otak dan dari banyak reseptor di seluruh tubuh. Sebagi respon, hipotalamus secara
langsung mengaktifkan sistem saraf simpatis, mengeluarkan CRH untuk merangsang
ACTH dan kortisol, dan memicu pengeluaran vasopresin. Dengan cara ini, selama
stres hipotalamus mengintegrasikan berbagai respon baik dari sistem saraf simpatis
maupun sistem endokrin. Hampir setiap jenis stres fisik atau stres mental dalam
46
waktu beberapa menit saja sudah dapat sangat meningkatkan sekresi ACTH dan
akibatnya sekresi kortisol juga akan sangat meningkat. Sekresi kortisol ini sering
meningkat sampai 20 kali lipat. Rangsangan sakit yang disebabkan oleh jenis stres
fisik apapun atau kerusakan jaringan, pertama dihantarkan ke atas melalui batang
otak dan akhirnya ke puncak median hipotalamus. Kemudian CRF disekresikan ke
dalam sistem portal hipofisis. Dalam beberapa menit seluruh rangkaian pengaturan
mengarah kepada sejumlah besar kortisol di dalam darah.
Sekresi kortisol bervariasi secara individual. Rentang kadar normal kortisol
dalam darah dipengaruhi secara diurnal. Kadar paling tinggi pada pagi hari dan paling
rendah sekitar tengah malam. Efek ini dihasilkan dari perubahan siklus sinyal dari
hipotalamus selama 24 jam. Bila seseorang mengubah kebiasaan tidur sehari-harinya,
maka akan timbul perubahan siklus ini juga. Salah satu alasan mengapa siklus ini
begitu penting adalah karena pengukuran kadar kortisol dalam darah hanya akan
berarti bila dinyatakan dalam istilah waktu dari siklus sewaktu pengukuran itu dibuat
(McPhee dan Ganong, 2006; Guyton dan Hall, 2006).
Secara teori, kortisol yang tinggi di dalam darah dapat berakibat gangguan
penampilam kognitif, mengubah suasana hati dan perilaku, serta dihubungkan dengan
sejumlah masalah kesehatan lainnya seperti penurunan imunitas dan respon-respon
peradangan dengan segala konsekuensinya (Sherwood, 2001; Hughes, 2005; Hansson
dkk., 2008).
Banyak penelitian yang belum bisa membuktikan hubungan yang kuat antara
marker-marker biologi seperti halnya kortisol terhadap tingkat stres. Wiholm (2006)
47
dalam penelitian ekperimental pada 116 orang insinyur perancang sistem dan
perangkat lunak sistem telekomunikasi, menemukan bahwa program intervensi stres
manajemen dapat menimbulkan perubahan marker biologi dalam tubuh. Dalam
penelitian ini dicoba memakai penanda biologi dengan mengukur kortisol darah
sebagai alat diagnostik dan mengevaluasi keberhasilan program pengendalian stres di
tempat kerja. Peneliti lain juga melakukan pengukuran parameter biologi lainnya
sehubungan dengan stres kerja. Parameter-parameter tersebut diantaranya: kadar
hormon prolaktin darah, testosteron, dan dehidroepiandosteron (Wiholm, 2006),
selain penelitian oleh Hughes (2005) yang memakai parameter kadar kortisol darah
yang ternyata mendapatkan hasil yang cukup memuaskan. Penelitian oleh Theorell
dkk. (2001) sejalan dengan penelitian oleh Hughes, membuktikan bahwa kadar
kortisol yang tinggi dapat diturunkan secara signifikan dengan teknik manajemen
stres dalam bentuk program pelatihan pada supervisor maupun penerapan program
relaksasi (Theorell dkk., 2001; Hughes, 2005). Tetapi penelitian lainnya mendapatkan
hasil yang menunjukkan belum ditemukan perubahan kadar kortisol darah yang
signifikan sebagai efek stres kerja dan manajemennya. Tampaknya perbedaan teknik
manajemen stres akan mempengaruhi kuatnya pengaruh manajemen stres terhadap
kadar kortisol darah. Sehingga masih dibutuhkan penelitian-penelitian pada saat ini
untuk menguatkan teori-teori yang ada serta menemukan jenis marker biologi yang
benar-benar dapat menjadi alat bukti secara objektif tentang efektifitas penerapan
program manajemen stres di tempat kerja.
48
Chida dan Steptoe (2008) dalam penelitian meta-analisis menyatakan bahwa
kadar kortisol darah pagi hari mempunyai hubungan yang positif terhadap stres kerja
dan stres kehidupan secara umum. Menurut Hughes (2005), kadar kortisol yang
tinggi dalam darah sudah terbukti dapat diturunkan dengan teknik manajemen stres
berupa program relaksasi. Pada penelitian ini, dengan peningkatan kemampuan
coping dan turunnya stresor eksternal yang terjadi oleh efek intervensi manajemen
stres pada individu dapat memberi efek penurunan kadar kortisol darah.
2.4 Peranan Aplikasi Ergonomi dalam Manajemen Stres Kerja
2.4.1 Aspek legal manajemen stres di tempat kerja
Besar tidaknya masalah stres kerja bukan merupakan
acuan untuk
dilaksanakan ataupun tidaknya program manajemen stres di tempat kerja. Upaya
pencegahan yang adekuat serta penanganan secara dini kondisi stres pada pekerja
dapat menurunkan biaya-biaya kompensasi serta meningkatkan produktivitas kerja.
Program manajemen stres kerja bertujuan menerapkan berbagai teknik untuk
membantu pekerja mengatasi stres. Targetnya adalah menurunkan jumlah pekerja
dengan keluhan psikosomatik dan mangkir yang diakibatkannya serta meningkatkan
kepuasan kerja (Direktorat Bina Kesehatan Kerja Direktorat Jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat Departemen Kesehatan RI, 2007). Dasar hukum dari program ini adalah
UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, pasal 1 ayat 1 yang menyebutkan bahwa
kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis; dan UU No.13 tahun 2003
49
tentang ketenagakerjaan pasal 4 yang menyebutkan bahwa pembangunan
ketenagakerjaan bertujuan antara lain membudayakan dan mendayagunakan tenaga
kerja secara optimal dan manusiawi dan meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan
keluarganya (Depkes RI, 2007). Landasan hukum lainnya adalah: UU no. 1 tahun
1970 tentang keselamatan kerja, Kepmenaker 02/1980 tentang pemeriksaan
kesehatan, Kepmenaker 03/1982 tentang pelayanan ksehatan kerja, Kepres no. 22
tahun 1993 tentang penyakit akibat kerja, Permenaker 04/1987 tentang P2K3 dan UU
no 3/92 tentang asuransi kesehatan (Jamsostek) (Nasution, 2011).
2.4.2 Ergo-JSI, sebuah program manajemen stres kerja yang berbasis ergonomi
Istilah manajemen stres dipakai oleh karena stres tidak bisa dihindari dan
merupakan komponen kehidupan. Prinsip dasar program manajemen stres di tempat
kerja hendaknya memakai prinsip ergonomi. Pendekatan ini dapat dilakukan dalam
semua tahap program manajemen stres kerja secara umum, yang menurut Kompier
dan Cooper (2008) mengelompokkan aktivitas program manajemen stres dalam
bentuk pencegahan primer, sekunder dan tersier.
Dalam merancang program manajemen stres kerja, faktor budaya harus
menjadi landasan penyusunan program, agar program dapat bermanfaat secara
maksimal. Sutjana (2010) menyatakan bahwa implementasi ergononomi harus selalu
mempertimbangkan faktor budaya agar implementasi dapat berhasil dengan sukses.
Masyarakat Bali dikenal memiliki keterkaitan dengan faktor budaya yang sangat kuat.
Sistem religius yang memberi corak pada sistem sosial sangat kuat mempengaruhi
50
aktivitas masyarakat sehari-hari baik dalam bekerja maupun aktivitas di luar
pekerjaan. Sistem religius ini idealnya dapat menjadi buffer dalam mekanisme stres
yang dirasakan. Akan tetapi faktor kepribadian juga tampaknya akan sangat kuat
mempengaruhi apakah sistem buffer ini dapat maksimal ataupun tidak. Sehingga
meskipun individu sudah memiliki sistem religius yang kuat akan tetap memiliki
risiko mengalami stres kerja yang tentunya membutuhkan manajemen yang sesuai.
Saat ini belum banyak industri-industri yang menyadari sepenuhnya akan
manfaat dilakukannya program manajemen stres di tempat kerja. Masalah-masalah
psikologis pekerja sering terlupakan dan belum dianggap sangat berperan dalam
penampilan kerja maupun produktivitas kerja.
Penelitian tentang manfaat program manajemen stres terhadap kapasitas
individu dalam mengantisipasi stres dilakukan oleh beberapa peneliti di berbagai
negara. Penelitian oleh Williams dkk., (2009) pada 110 orang pekerja yang
merupakan partisipan sebuah grup pelatihan William LifeSkills dari berbagai daerah
di Amerika, menemukan bahwa program manajemen stres yang berisi program
peningkatan kemampuan coping dapat menurunkan faktor-faktor risiko gangguan
kesehatan.
Di Indonesia sampai saat ini upaya-upaya penerapan strategi manajemen stres
kerja di masyarakat industri tampak belum memuaskan. Banyak perusahaan yang
belum menyadari akan dampak buruk dari kondisi stres kerja yang ternyata telah
dialami oleh karyawannya. Termasuk juga dalam aktivitas penelitian. Beberapa
penelitian yang dilakukan di Indonesia masih terbatas pada penemuan fakta-fakta
51
tentang kejadian stres kerja pada karyawan (Ambarwati, 2004). Belum sampai kepada
penemuan strategi yang efektif sebagai solusi dari kondisi tersebut.
Upaya-upaya untuk menemukan sebuah program manajemen stres di tempat
kerja sedang terus dilakukan oleh pelaku-pelaku industri dan pakar-pakar kesehatan
kerja. Banyak jenis program yang mengutamakan program relaksasi berupa meditasi
yang tentunya masih perlu dibuktikan efektifitasnya. Sehingga dunia kerja masih
tetap berhadapan dengan masalah dalam menemukan sebuah program manajemen
stres yang aplikatif dan dapat dijalankan secara berkesinambungan.
Menurut Manuaba (2005), penerapan ergonomi merupakan penerapan ilmu
yang menempatkan manusia sebagai unsur pertama, terutama kemampuan, kebolehan
dan batasannya. Ergonomi merupakan bidang ilmu tentang teori dan aplikasi yang
bertitik tolak kepada usaha menciptakan keserasian antara pekerja dengan kondisi
kerjanya. Tujuan ergonomi adalah mempelajari interaksi antara manusia dan elemenelemen lainnya dalam sistem untuk mengoptimalkan kesejahteraan manusia dan
penampilan seluruh sistem (Caple, 2009). Dengan mengerti dan melaksanakan
ergonomi, dapat membangun pengetahuan tentang karakteristik manusia, kapabilitas
maupun kapasitas dan keinginan-keinginan, yang berperan secara mendasar dalam
kepuasan manusia dan kemudian dimanfaatkan pengertian tersebut untuk
memperbaiki interaksi antar individu terhadap sesuatu yang digunakan dan terhadap
lingkungan di mana individu melakukan sesuatu (Axelsson, 2000; Manuaba, 2005;
Wilson, 2005). Penerapan ergonomi juga bertujuan untuk meningkatkan motivasi,
52
komitmen, tercapainya kualitas produk ataupun produktivitas serta kepuasan kerja
yang tinggi yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas kehidupan kerja.
Sehubungan dengan manajemen stres, penerapan ergonomi bertujuan untuk
mengubah peralatan, metode, informasi
dan lingkungan kerja agar tidak cepat
dirasakan sebagai lingkungan yang penuh stres (Munandar, 2001; Manuaba, 2005).
Menurut Munandar, secara umum perubahan yang dilakukan dapat mencakup
perubahan organisasi, cara kerja, peralatan, kondisi lingkungan fisik, misalnya bising,
getaran, tekanan panas atau dingin yang ekstrim dan faktor berbahaya lainnya melalui
peningkatan otonomi dan kontrol terhadap fungsi tugas dan jadwal kerja. Melalui
analisis yang holistik dapat dirancang organisasi atau pola pekerjaan baru yang secara
umum menggambarkan kondisi kerja yang lebih ergonomis dan mengacu pada
prinsip perbaikan tiada henti (Munandar, 2001; Khai dan Kawakami, 2002;
Kumashiro dkk., 2007).
Secara teori, program manajemen stres dapat diawali dengan identifikasi
kondisi kerja yang menimbulkan stres pada pekerja. Langkah selanjutnya adalah
perancangan dan implementasi intervensi yaitu pemilihan dan aplikasi teknik-teknik
peningkatan kapasitas kepribadian dan penerapan ergonomi sesuai dengan
permasalahan yang ada, dan diakhiri dengan evaluasi keberhasilan program
(Pheasant, 1991; Debra dkk., 1996; Susy-Purnawati, 2007). Langkah-langkah dalam
program ini hendaknya dilaksanakan dengan pendekatan ergonomi partisipatori agar
keberhasilan program menjadi lebih nyata dan berkesinambungan. Pendekatan ini
telah mempertimbangkan berbagai aspek secara menyeluruh dan bersifat partisipatif.
53
WHO memberi acuan tentang strategi mengelola stres kerja yang mencakup
lima langkah. Langkah-langkah yang dimaksud dapat dilihat dalam bagan pada
gambar 2.6.
1. Detecting signs of work-related stress
and taking preparatory actions
5. Evaluating the
intervention (s)
4. Implementing an action plan
2. Analysing risk factors
and risk groups
3. Designing an action plan
Gambar 2.6 Process of Stress Prevention (Sumber: WHO, 2007)
Konsep WHO tersebut di atas dapat dijadikan acuan tahap-tahap perancangan
maupun pelaksaan termasuk evaluasi program, tetapi harus diingat bahwa dalam
setiap tahap prinsip-prinsip ergonomi partisipatori harus selalu diaplikasikan dan
menjadi jiwa dari program. Idealnya penyelenggaraan program manajemen stres yang
paripurna memerlukan internal resources, yaitu tim yang terdiri dari: occupational
health services, human resources management/personnel, training department, orang
lain yang punya tanggung jawab dalam kesejahteraan dan kesehatan pekerja, dan
external resources yang terdiri dari ergonomist, psikolog, counselor dan dokter
kesehatan kerja.
Sebuah program manajemen stres yang diperkenalkan dalam penelitian ini
adalah berupa program penerapan ergonomi, yang diberi nama program manajemen
stres kerja Ergo-JSI. Nama Ergo-JSI merupakan singkatan dari ergonomics job stress
intervention. Program Ergo-JSI ini memadukan upaya-upaya penerapan ergonomi
54
dan
peningkatan
kemampuan
individu
dalam
mekanisme
coping,
serta
mempertimbangkan faktor sosial budaya setempat sehingga perbaikan bersifat
aplikatif dan berkesinambungan. Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa pada
prinsipnya Ergo-JSI merupakan manajemen stres kerja dengan pendekatan organisasi
dan berorientasi individu. Pendekatan organisasi yang dimaksud dalam Ergo-JSI
mencakup perbaikan karakteristik pekerjaan (task), perubahan organisasi, dan
perbaikan kondisi lingkungan kerja. Perubahan dalam aspek organisasi berupa
perubahan kondisi kerja termasuk proses pengambilan keputusan (misalnya
peningkatan partisipasi karyawan terhadap keputusan yang relevan), mengupayakan
terciptanya iklim dukungan termasuk umpan balik yang lebih membangun dalam hal
penampilan kerja, serta mengupayakan sistem distribusi reward yang adil. Mengingat
adanya keterbatasan sumber daya dalam penelitian ini, tentunya beberapa perbaikan
kondisi kerja dilakukan hanya berdasarkan prioritas masalah yang disepakati secara
partisipatori bersama pihak perusahaan. Pendekatan partisipatori dalam perbaikan
kondisi kerja terbukti dapat menghasilkan perubahan secara maksimal. Kelebihan
dari pendekatan partisipatori sudah terbukti dalam beberapa upaya perbaikan kondisi
ergonomi di tempat kerja (Khai dan Kawakami, 2002; Manuaba, 2003a; Kumashiro
dkk., 2007; Manuaba, 2008; Kogi, 2008; Manothum dkk., 2008).
Perbaikan kondisi kerja dalam Ergo-JSI dilakukan dengan memaksimalkan
peran personal-personal di bagian electronic data processing (EDP) dalam
mengantisipasi perangkat lunak sistem perbankan yang harus dioperasikan secara
komputerisasi oleh karyawan. Akses kepada personal EDP dibuat menjadi lebih
55
terbuka untuk mengantisipasi setiap gangguan dalam proses kerja yang berhubungan
dengan teknis komputerisasi. Hal ini dapat mengurangi stres teknologi yang
merupakan stresor umum pada pekerja yang bekerja memanfaatkan teknologi
komputer. Ergo-JSI juga memuat perbaikan kondisi kerja dengan cara melakukan
perbaikan postur kerja karyawan, pengaturan waktu kerja dan istirahat agar
pengorganisasian tugas menjadi lebih ergonomis yang bertujuan untuk mengurangi
kelelahan
pada saat mengoperasikan komputer. Secara teori kelelahan yang
berlebihan dapat memicu mood negatif (perasaan tidak nyaman) pada pekerja.
Lingkungan kerja yang didominasi oleh masalah kurangnya intensitas penerangan
diperbaiki dengan cara memaksimalkan sistem pencahayaan alami dan pengaturan
posisi stasiun kerja terhadap arah pencahayaan. Menurut Kroemer (2009),
pemanfaatan penerangan alami dapat meningkatkan kenyamanan dan memciptakan
perasaan menyenangkan bagi individu.
Perbaikan kondisi kerja tentunya mempunyai batasan-batasan karena harus
disesuaikan dengan kondisi perusahaan (mencakup prioritas dan pertimbangan
sumberdaya yang ada). Selain itu, mengacu pada Towner (2002), bahwa makin ke
depan sumber permasalahan kondisi kerja tentunya juga semakin kompleks.
Sedangkan sumber daya yang ada belum mencukupi untuk melakukan perbaikan
kondisi kerja secara menyeluruh secara serentak. Sebuah prinsip aplikasi ergonomi
yang juga bisa menjadi acuan adalah prinsip do more with less. Keterbatasan ini
menjadi alasan bahwa program manajemen stres Ergo-JSI juga dibuat berorientasi
individu.
Pendekatan
ini
diaplikasikan
melalui
pelatihan
peningkatan
56
kemampuan/keterampilan problem focus coping individu (Hawari, 2002; Shimazu
2010; Smith, 2002). Pelatihan peningkatan kemampuan coping dalam program ErgoJSI bertujuan untuk dapat mengubah stresor yang membangkitkan respon negatif (di
area sistem limbik otak) dapat dipersepsikan berbeda menjadi respon yang lebih
positif oleh individu (Montgomery, 2008), sehingga individu akan mampu
memaksimalkan fungsi kognitif dalam mencari solusi dari setiap kondisi yang tidak
menyenangkan di tempat kerja serta berpikir tentang masa depan (memaksimalkan
fungsi kognitif tingkat tinggi/fungsi luhur otak manusia). Yang dimaksud dengan
pemberdayaan mekanisme coping adalah upaya dalam bentuk peningkatan
keterampilan problem-focus coping yaitu personal skill training dan manajemen
waktu (Smith, 2002; Shimazu, 2010). Personal skill training dapat disesuaikan
dengan jenis stresor yang dihadapi pekerja.
Hal yang mencirikan bahwa Ergo-JSI merupakan program manajemen stres
kerja yang berbasis ergonomi, salah satunya adalah rancangan pembelajaran
manajemen stres dalam kelas yang dibuat ergonomis. Isi program juga mencakup
strategi manajemen stres kerja yang aplikatif dan sesuai dengan kondisi sosial budaya
karyawan di Indonesia. Isi program yang utama selain melakukan perbaikan kondisi
kerja agar faktor penyebab stres yang berasal dari lingkungan kerja dapat diturunkan
juga meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang kondisi emosi dan kognitif
sehubungan dengan peristiwa stres kerja serta meningkatkan keterampilan individu
dalam aspek komunikasi yang asertif dan keterampilan manajemen waktu.
Pemberdayaan individu yang didapatkan dari aplikasi program manajemen stres
57
Ergo-JSI akan menjadi modal utama bagi karyawan dalam meningkatkan penampilan
kerja dan membentuk pertahanan yang kuat terhadap risiko stres kerja ataupun
penyakit psikosomatis yang dihubungkan dengan pekerjaan.
Faktor budaya merupakan faktor yang berperanan penting dalam mekanisme
timbulnya stres kerja. Perbedaan budaya dapat berakibat timbulnya hubungan kerja
yang tidak harmonis yang memicu stres kerja jika masing-masing individu tidak
menerapkan keterampilan komunikasi yang memadai. Salah satu materi pembelajaran
manajemen stres dalam kelas yang diberikan dalam Ergo-JSI memaparkan tentang
peranan faktor budaya terhadap timbulnya stres dan juga menjadi pertimbangan
dalam penanggulangan stres.
Secara mekanisme biologi, program ini dapat menurunkan risiko penyakit
akibat maladaptasi terhadap stres. Mekanismenya melibatkan proses dikendalikannya
kemungkinan pengaktifan berkepanjangan SAM-axis dan HPA-axis pada kondisi
stres yang memicu reaksi-reaksi sebagai respon neuro-hormonal yang menjauhi
keadaan homeostasis dalam tubuh.
Selain itu, program manajemen stres Ergo-JSI juga dapat meningkatkan
kemampuan kerja individu. Langkah-langkah penerapan program secara lebih rinci
mengacu pada teori-teori ergonomi akan diuraikan dalam paparan berikut.
58
2.4.3 Identifikasi kondisi stres pada pekerja, analisis karakteristik tugas, organisasi
dan lingkungan kerja.
Identifikasi kondisi stres pada pekerja dilakukan untuk mengetahui besarnya
masalah stres di tempat kerja dan faktor pencetusnya. Identifikasi stres dapat
dilakukan dengan kuesioner-kuesioner yang disertai dengan pemeriksaan beberapa
parameter fisiologis yang berhubungan. Dalam waktu yang bersamaan juga perlu
dilakukan evaluasi kondisi kerja untuk mengetahui adanya stresor yang berhubungan
dengan faktor pekerjaan dan mencari beberapa alternatif solusi untuk mengantisipasi
stresor tersebut. Kegiatan ini dapat menggunakan ergonomic check point (ILO, 2010)
dan checklist lainnya (menggunakan metode focus group discussion) (Corlett, 2005)
yang menggambarkan kondisi kerja secara umum. Salah satu checklist yang dipakai
dalam penelitian ini adalah Mental Health Action Checklist (MAHCL) (Yoshikawa
dkk., 2007). Dari kegiatan identifikasi ini dapat diketahui jenis stresor yang ada di
tempat kerja. Pada langkah perancangan dan implementasi teknik-teknik manajemen
stres hendaknya sudah mempertimbangkan berbagai aspek secara holistik
dan
melibatkan partisipasi dari berbagai komponen yang akan terlibat, sehingga dapat
ditemukan pilihan cara-cara manajemen stres yang benar-benar sesuai dengan
keinginan dan kondisi pekerja.
2.4.4 Perbaikan kondisi kerja dalam aspek karakteristik tugas (task)
Karakteristik pekerjaan di industri perbankan saat ini didominasi oleh
aktivitas pengoperasian komputer dalam mengaplikasikan teknologi perbankan
59
terkini. Teknologi informatika yang berkembang sangat pesat membuat pengguna
merasa sangat bergantung pada teknologi ini. Tidak dapat dipungkiri lagi dampak
positif dari pemanfaatan teknologi komputer. Akan tetapi, seirama dengan
perkembangan teknologi ini, muncul juga beberapa dampak negatif dari aspek human
computer interaction ini. Kemampuan kognitif dalam penguasaan teknologi
komputer sangat dituntut agar kinerja bisa optimal. Gangguan-gangguan software
maupun hardware komputer saat pengoperasian akan menjadi stresor yang sangat
bermakna bagi penggunanya. Beban kerja yang terlalu komplek ataupun terlalu
ringan, dan sikap kerja yang sedenteri dalam waktu berkepanjangan juga menjadi
sumber masalah kesehatan dalam jangka waktu lama. Pengaturan waktu istirahat aktif
dan waktu kerja yang tidak ergonomis akan berakibat kelelahan muncul lebih cepat.
Jenis pekerjaan yang tergolong monoton juga akan menjadi stresor dan berakibat lesu
kerja dan penurunan produktivitas kerja.
Penerapan ergonomi dalam bentuk pengaturan beban kerja kuantitatif maupun
kualitatif, perbaikan stasiun kerja dan sikap kerja merupakan solusi dari permasalahan
di atas. Sikap kerja yang ergonomis didukung oleh pengaturan istirahat aktif yang
memadai akan mebantu melancarkan sirkulasi darah ke seluruh tubuh. Sistem
eliminasi bahan-bahan sampah metabolisme juga menjadi semakin baik, dan tubuh
terhindar dari kelelahan yang bermakna. Variasi tampilan data dan jenis tugas dalam
pekerjaan komputerisasi mampu menghilangkan kebosanan dan perasaan stres
sehingga pada akhirnya meningkatkan penampilan dan kepuasan kerja. Beban kerja
yang sangat berat dan kompleks melebihi kapasitas kerja akan membuat individu
60
merasa frustrasi dan muncul perasaan stres dengan segala konsekuensinya (Tsai dkk.,
2009). Analisis tugas yang seksama dilanjutkan dengan redisain penugasan yang
mempertimbangkan kemampuan, kebolehan dan batasan akan memaksimalkan
kapasitas kerja dan pada akhirnya tercapai produktivitas kerja dan kepuasan kerja
yang tinggi.
2.4.5 Perbaikan kondisi kerja dalam aspek organisasi
Pengaturan organisasi kerja merupakan hal yang sangat menarik dan
memerlukan kreativitas tinggi untuk bisa diterapkan secara aplikatif. Menurut
Manuaba (2005), perpaduan antara konsep total quality management dengan konsep
ergonomi akan menciptakan kualitas produk yang mampu bersaing dan produktivitas
kerja yang tinggi disertai oleh kondisi kerja yang lebih manusiawi. Keterlibatan
semua lini dalam struktur organisasi sangat mempengaruhi berhasil tidaknya sebuah
perbaikan dalam organisasi kerja. Line produksi yang dirancang secara ergonomis
menjadi jaminan tercapainya produktivitas kerja yang tinggi. Kesempatan masingmasing individu dalam sistem kontrol atas pekerjaannya, serta kemungkinan adanya
fleksibilitas dalam target kerja dapat mencegah pekerja mengalami stres kerja. Faktor
lainnya yang juga berperan dalam menurunkan risiko stres kerja adalah sistem
supervisi yang friendly, adanya jaminan akan karir, kejelasan peran dan garis
penugasan, dukungan sosial baik dari teman sekerja maupun atasan, budaya
organisasi yang positif, iklim komunikasi yang penuh keterbukaan antara pimpinan
61
dan bawahan, serta sistem rewards yang mengacu pada pertimbangan atas prestasi
kerja dan senioritas (grading system).
Adanya perimbangan antara waktu kerja dan istirahat juga merupakan hal
penting yang harus diperhatikan dalam pengaturan organisasi kerja. Istirahat
seringkali diartikan sebagai hal yang dapat mengurangi angka produktivitas kerja.
Konsep U-shape telah memberi gambaran dengan jelas bagaimana lama jam kerja
dihubungkan dengan produktivitas (Grandjean, 2000). Karasek (1992), dalam metaanalisisnya menyatakan bahwa program pencegahan stres telah terbukti selain
berdampak bagi kesehatan pekerja juga meningkatkan produktivitas. Peningkatan
produktivitas tampak lebih jelas pada program yang melakukan perbaikan dalam
organisasi selain intervensi stres yang sifatnya sebagai pendekatan individu.
Perbaikan kondisi kerja atau organisasi dilakukan dengan pendekatan
ergonomi partisipatori agar sistem kerja dan produksi menjadi lebih manusiawi,
mampu bersaing dan berkesinambungan (Manuaba, 2005; Kogi, 2008; Sutajaya, 2009
; Tsutsumi dkk., 2009). Perubahan dalam aspek organisasi berupa: reorganisasi garis
kekuasaan, restrukturisasi unit-unit organisasi, perubahan dalam proses pengambilan
keputusan (misalnya peningkatan partisipasi karyawan terhadap keputusan yang
relevan), mengupayakan terciptanya iklim dukungan termasuk umpan balik yang
lebih membangun dalam hal penampilan kerja, mengupayakan sistem distribusi
reward yang adil (Cooper dan Payne, 1990; Munandar, 2001; Manuaba, 2005).
Program perbaikan harus dilakukan secara partisipatori berdasarkan hasil analisis
kerja serta mengacu kepada prinsip upaya perbaikan yang berkesinambungan (Khai
62
dan Kawakami, 2002; Kumashiro dkk., 2007; Kogi, 2008). Melalui penerapan
ergonomi partisipatori dapat dirancang organisasi, pola pekerjaan baru bagi pekerjaan
yang dirasakan memiliki beban berlebihan serta risiko bahaya atas suatu pekerjaan
dapat dikurangi. Beban kerja kuantitatif berlebihan dapat dikurangi dengan rotasi
kerja maupun penambahan tenaga kerja, sedangkan beban kerja kualitatif berlebih
dapat dikurangi dengan mengurangi derajat kemajemukan keterampilan yang
diperlukan ataupun tanggung jawab dari seorang pekerja. Sebaliknya bagi pekerjaan
dengan beban terlalu sedikit dapat dilakukan job enlargment maupun job enrichment
(Khai dan Kawakami, 2002; Manuaba, 2005; Kumashiro dkk., 2007).
Pembelajaran
manajemen stres
dalam kelas
untuk
mengadekuatkan
mekanisme coping individu dapat dimulai dengan program pemahaman diri dengan
memberi edukasi pada pekerja tentang mekanisme terjadinya stres, gejala-gejala stres,
hal-hal dalam diri maupun faktor dari luar (stresor) yang dapat berperan dalam
timbulnya stres, dampak stres terhadap kesehatan, serta keterampilan untuk
mengurangi stres (misalnya dengan meningkatkan kecerdasan emosi, assertive skill,
komunikasi, manajemen waktu dan pelatihan relaksasi) (Cooper dan Payne, 1990;
Winfried dan Peter, 1998; Munandar, 2001; Shimazu dkk., 2006; Kroemer, 2009).
Melalui upaya-upaya ini, mekanisme adaptasi akan menjadi positif dalam
menghadapi tuntutan tugas sehingga diharapkan yang terjadi adalah respon adaptasi
yang sifatnya fisiologis. Dengan edukasi ini diharapkan pekerja dapat mengenali
secara dini kondisi stres masing-masing dan menyadari hal-hal dalam dirinya maupun
faktor-faktor lainnya yang merupakan stresor dari kondisi stres yang dialami. Untuk
63
selanjutnya diharapkan terjadi pemberdayaan diri sehingga pekerja akan memiliki
ketahanan yang lebih besar terhadap situasi-situasi yang dapat merupakan sumber
stres dan tahu cara-cara untuk menanggulangi stres yang dialami. Van der Klink
(2001) membuktikan bahwa intervensi dalam bentuk cognitive–behavioral efektif
meningkatkan quality of work life.
Pekerjaan yang sifatnya sedentary work sepanjang waktu kerja (misalnya pada
pekerja kantor, termasuk juga pada pekerja di sektor finansial) (Treaker, 2010) harus
diimbangi dengan istirahat pendek yang sifatnya aktif, dapat dalam bentuk kegiatan
peregangan di tempat kerja. Hal ini dapat bermanfaat dalam memperbaiki sistem
sirkulasi darah sehingga dapat mengurangi kelelahan dan mencegah timbulnya
gangguan muskuloskeletal dan mengurangi stres. Treaker (2010) mengatakan bahwa
pekerja-pekerja kantor modern memerlukan aktivitas fisik yang lebih besar untuk
mencegah timbulnya penyakit metabolik di kemudian hari.
2.4.6 Perbaikan kondisi kerja dalam aspek lingkungan kerja
Lingkungan kerja yang nyaman adalah penangkal stres dan dapat
meningkatkan produktivitas kerja. Ketika lingkungan kerja dirasakan panas, bising,
pencahayaan yang kurang atau kesilauan, atau tata kerumahtanggaan yang semrawut,
akan mengganggu konsentrasi, memicu munculnya emosi negatif dan perasaan
mudah marah. Hormon-hormon stres lalu dengan mudah membanjiri tubuh yang
diikuti oleh-perubahan-perubahan emosi maupun perilaku. Perbaikan kondisi
lingkungan kerja dengan mengatur temperatur dan kelembaban ruangan, mengatur
64
penataan pencahayaan alami maupun buatan serta pengendalian bising akan membuat
suasana kerja nyaman dan lebih produktif. Moral kerja juga menjadi positif.
Dalam
penelitian
ini,
perbaikan
lingkungan
dilakukan
dengan
memaksimalkan penerangan alami dengan membuka korden, membuat kaca jendela
selalu bersih dan mengatur penempatan monitor komputer. Hal ini dilakukan agar
intensitas penerangan dapat ditingkatkan sesuai besarnya intensitas yang dibutuhkan
untuk pekerjaan kantor yang membutuhkan ketelitian, yaitu minimal 300 lux dan
terhindar dari kesilauan. Pemanfaatan penerangan alami juga membuat pekerja
merasa dapat berinteraksi maksimal dengan lingkungan di luar ruangan yang secara
teori dapat meningkatkan perasaan nyaman dan menyenangkan (Kroemer dan
Grandjean, 2000). Selain itu, memaksimalkan daily light juga merupakan tindakan
untuk meningkatkan efisiensi yang merupakan salah satu prinsip penerapan
ergonomi.
2.4.7
Evaluasi program
Evaluasi program sangat penting dilakukan untuk menilai apakah program dapat
berjalan sesuai perencanaan awal dan efektif bagi pekerja dan organisasi.
Permasalahan-permasalahan atau hambatan-hambatan
yang ditemukan dapat
dijadikan acuan untuk melakukan perbaikan-perbaikan sehingga kelanjutan program
dapat semakin sempurna dan efektivitasnya dapat semakin ditingkatkan. Evaluasi
program dapat dilakukan memakai acuan parameter yang dipakai dalam identifikasi
awal. Hasil evaluasi program hendaknya didiskusikan untuk menilai dan mencari
65
strategi untuk memperbaiki kegagalan yang terjadi. Berhasil tidaknya program
manajemen stres di tempat kerja juga sangat tergantung dari bagaimana budaya
organisasi di tempat tersebut. Budaya organisasi menunjukkan sikap dan nilai-nilai
staf yang dikembangkan di tempat kerja dan keyakinan mereka terhadap organisasi.
Budaya organisasi akan mempengaruhi bagaimana permasalahan-permasalahan digali
dan dicarikan solusinya termasuk permasalahan stres kerja (Debra, 1996). Dalam
penelitian ini, efek program Ergo-JSI sebagai sebuah bentuk program manajemen
stres kerja dinilai dengan parameter-parameter psikofisiologis berupa: stresor, distres
psikologis, keluhan muskuloskeletal, WAI, kadar kortisol darah dan kepuasan kerja.
Akhirnya dengan melaksanakan program manajemen stres di tempat kerja diharapkan
akan tercipta budaya organisasi yang lebih positif, suasana kerja yang menyenangkan,
produktivitas kerja meningkat, dan pada akhirnya quality of work life dan image
perusahan akan meningkat.
Download