JAI Volume IV Nomor 01, Maret 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesia melalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) Jawa Tengah ISSN 2089-970X www.janesti.com Pelindung: Ÿ Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Ÿ Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP Ÿ Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesi dan Terapi Intensif (PERDATIN) Jawa Tengah Ketua Redaksi: dr. Uripno Budiono, SpAn Wakil Ketua Redaksi: dr. Johan Arifin, SpAn, KAP Anggota Redaksi: dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNA dr. Hariyo Satoto, SpAn dr. Witjaksono, MKes, SpAn, KAR dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP dr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KIC dr. Doso Sutiyono, SpAn dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn dr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Med dr. Aria Dian Primatika, SpAn, MSi.Med dr. Danu Soesilowati, SpAn dr. Hari Hendriarto, SpAn, MSi.Med Mitra Bestari: Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV (Semarang) Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO (Semarang) Dr. dr. Sofyan Harahap, SpAn, KNA (Semarang) Dr. dr. Hari Bagianto, SpAn, KIC (Malang) Dr. dr. Syarif Sudirman, Sp.An (Surakarta) Prof. Dr. dr. Made Wiryana, Sp.An, KIC (Denpasar) Seksi Usaha: dr. Mochamat, Sp.An Administrasi: Maryani, Yulia Sekar Ayu Milasari, SAP Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) diterbitkan 3 kali per tahun, setiap bulan Maret, Juli dan November sejak tahun 2009. Harga Rp.200.000,per tahun. Bagi pengirim artikel penelitian yang dimuat di JAI, dikenakan kontribusi senilai Rp. 500.000,-. Untuk berlangganan dan sirkulasi: Ibu Nik Sumarni (081326271093) Alamat Redaksi: Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi, Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang. Telp. 024-8444346. Email: [email protected] Website: www.janesti.com Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) terus berusaha meningkatkan kualitas isi artikel yang dimuat dalam jurnal ini demi kemajuan ilmu anestesi dan terapi intensif. Edisi ini sepenuhnya memuat artikel penelitian. Diantaranya adalah mengenai penggunaan closed suction system pada pasien dengan ventilator mekanik, peranan D 2.5 % NaCl 0.45% terhadap gula darah pasien pediatrik, Penggunaan simvastatin untuk meningkatkan fagositosis makrofag, perbandingan kestabilan hemodinamik antar dua regimen anestesi intravena pada pasien ligasi tuba, pengaruh pemilihan teknik anestesi pada eklamsia terhadap Apgar score bayi dan regimen oral hygiene pada penderita dengan ventilator mekanik. Semoga Bermanfaat Salam, dr. Uripno Budiono, SpAn Ucapan Terima Kasih: Kepada Mitra Bestari Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol. IV No. 2 Tahun 2012: Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV (Semarang) Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO (Semarang) Prof. DR.dr. Made Wiryana, SpAn, KIC (Denpasar) DR.dr. Syarif Sudirman, SpAn, KMN, KAR, SpAK (Surakarta) DR. dr. Hari Bagianto, SpAn, KIC (Malang) DR. dr. Mohamad Sofyan Harahap, SpAn, KNA (Semarang) DR. dr. Sudadi SpAn, KNA (Yogyakarta) DAFTAR ISI PENELITIAN Yusnita Debora, Ery Leksana, Doso Sutiyono Hal 73 Perbedaan Jumlah Bakteri pada Sistem Closed Suction dan Sistem Open Suction pada Penderita dengan Ventilator Mekanik Penggunaan closed suction system pada pasien dengan ventilasi mekanik mengurangi jumlah bakteri post-intervensi secara signifikan, demikian halnya dengan open suction system. Closed suction system tidak lebih baik dalam mengurangi jumlah bakteri. Erna Fitriana Alfanti, Uripno Budiono, Johan Arifin 85 Pengaruh Infus Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45% Terhadap Kadar Glukosa Darah Perioperatif pada Pasien Pediatri Pemberian cairan infus Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % lebih baik dari cairan D5 % NaCl 0,45% karena tidak menyebabkan terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia selama dan setelah operasi pada pasien pediatric. Sherliyanah Harahap, Heru Dwi Jatmiko, Mohamad Sofyan Harahap 96 Pengaruh Simvastatin Terhadap Kapasitas Fagositosis Makrofag Pada Mencit Balb/C Yang Diberi Lipopolisakharida Pemberian simvastatin dosis 0,06 mg dan 0,12 mg peroral menunjukkan perbedaan bermakna pada penurunan kapasitas fagositosis makrofag intraperitoneal dibanding kontrol pada mencit yang diberi lipopolisakarida. Laurentius Sandhie Prasetya, Sudadi 104 Stabilitas Hemodinamik Propofol – Ketamin Vs Propofol – Fentanyl pada Operasi Sterilisasi / Ligasi Tuba Kombinasi Propofol 2 Mg/Kgbb/Jam dan Ketamin 0,5mg/Kgbb/Jam memberikan stabilitas hemodinamik yang lebih baik daripada Kombinasi Propofol 2 Mg/Kgbb/ Jam dan Fentanyl 1 Μg/Kgbb/Jam pada operasi ligasi tuba Nurhadi Wijayanto, Ery Leksana, Uripno-Budiono 115 Pengaruh Anestesi Regional dan General pada Sectio Cesaria pada Ibu dengan Pre Eklampsia Berat terhadap Apgar Score Apgar score pada kelompok anesthesi spinal lebih tinggi daripada anestesi umum pada pasien sectio caesaria karena preeklampsia berat, tetapi secara klinis berdasarkan kategori Apgar score kedua kelompok sama. Fitri Hapsari Dewi, Jati Listiyanto Pujo, Ery Leksana Perbedaan Jumlah Bakteri Trakhea pada Tindakan Oral Hygiene Menggunakan Chlorhexidine dan Povidone Iodine pada Penderita dengan Ventilator Mekanik Penurunan jumlah bakteri trakhea pada tindakan oral hygiene dengan chlorhexidine 0,2% tidak berbeda bermakna dengan povidone iodine 1% 127 Jurnal Anestesiologi Indonesia PENELITIAN Perbedaan Jumlah Bakteri pada Sistem Closed Suction dan Sistem Open Suction pada Penderita dengan Ventilator Mekanik Yusnita Debora*, Ery Leksana**, Doso Sutiyo no** *Bagian Anestesiologi RSUD Metro, Lampung **Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang ABSTRACT Background: Bacterial colonization is identified as major mechanism in the pathogenesis of Ventilator Associated Pneumonia. Application of suction is one of the nonpharmacologic strategy to decrease number of Ventilator Associated Pneumonia (VAP) incidence. Since its introduction, closed tracheal suction system (CSS) has been reported offering microbial advantage over conventional open closed suction system (OSS). Objective: This research was aimed to identify the difference of bacterial count pre and post-intervention between CSS and OSS group. Method: This is a Randomized Control Group Pretest-Postest Design with Consecutive Sampling Approach. Number of subjects are 30 patients in whom equally distributed into 2 intervention groups; (15 closed suction system, 15 open suction system). Oral suction was performed every 12 hours for consecutive 48 hours. Secret of trachea was collected pre and post-intervention to identify for bacteria count and profile. Statistic analysis was conducted using Wilcoxon and Mann-Whitney test. Result: Bacterial count was significant different in group 1 (p=0,0010. Significant result was also identified in group II (p=0,005). Comparatively, pre and post intervention between group I and II was not significantly different (p=0,008). Conclusion: Closed suction system’s application in mechanically ventilated patients was confirmed with decrement in number of bacteria significantly. Comparatively, closed suction was not significantly better than OSS. However this research that although did not differ significantly, CSS’ performance was better than OSS. Key Word: Closed suction system, open suction system ABSTRAK Latar belakang: Kolonisasi bakteri didefinisikan sebagai mekanisme utama di dalam patogenesis Ventilator Associated Pneumonia (VAP). Penggunaan suction merupakan salah satu strategi dalam mengurangi jumlah kejadian Ventilator Associated Pneumonia (VAP). Closed tracheal suction system (CSS) dilaporkan memiliki keuntungan dalam aspek mikrobiologi bila dibandingkan dengan open closed suction system (OSS). Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 73 Jurnal Anestesiologi Indonesia Tujuan: Mengetahui efektivitas penggunaan closed suction system dibandingkan dengan open suction system pada penderita dengan ventilator mekanik. Metode: Merupakan penelitian Randomized Control Group Pretest-Postest Design with Consecutive Sampling Approach. Jumlah subyek adalah 30 orang yang dibagi menjadi 2 kelompok (15 closed suction system, 15 open suction system). Masing-masing kelompok diberikan oral hygiene tiap 12 jam selama 48 jam. Tiap kelompok diambil sekret dari trakhea sebelum dan sesudah perlakuan, untuk kemudian dilakukan pemeriksaan hitung jumlah dan jenis bakteri. Uji statistik dilakukan menggunakan Wilcoxon dan MannWhitney test. Hasil: Hitung bakteria berbeda bermakna pada kelompok I (p=0,001) dan berbeda bermakna pada kelompok II ( p=0,005). Analisis komparatif selisih skor sebelum dan sesudah perlakuan kedua kelompok berbeda tidak bermakna (p=0,008). Simpulan: Penggunaan closed suction system pada pasien dengan ventilasi mekanik mengurangi jumlah bakteri post-intervensi secara signifikan, demikian halnya dengan open suction system. Closed suction system tidak lebih baik dalam mengurangi jumlah bakteri pada penelitian ini. Kata Kunci: Closed suction system, open suction system PENDAHULUAN Ventilasi mekanik merupakan bagian penting dalam unit perawatan intensif (ICU). 1,2 Pneumonia nosokomial (nosocomial infection) dan pneumonia akibat penggunaan ventilator (ventilator associated pneumonia-VAP) merupakan kejadian yang banyak terjadi di ruang perawatan intensif/Intensive Care Unit (ICU) lebih beresiko untuk kejadian infeksi nosokomial.3 Berdasarkan data dari National Nosocomial Infection Surveillance System, VAP merupakan penyebab infeksi nosokomial kedua terbanyak setelah infeksi saluran kemih, yang mengenai 27% dari pasien kritis.4 VAP banyak dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas.5 Hal ini juga berakibat pada peningkatan biaya hospitalisasi dan pengobatan antibiotika yang harus ditanggung pasien 74 selama perawatan di ICU akibat kasus infeksi saluran napas.6 Berdasarkan penelitian diketahui tingkat mortalitas akibat VAP mencapai 27% dan sebanyak 43% jika agen penyebabnya resisten terhadap antibiotika.7 Length of stay di ruang ICU juga mengalami peningkatan selama 2-3 hari pada pasien dengan VAP.8 Pasien-pasien dengan kondisi terintubasi memiliki resiko terkena pneumonia lebih tinggi 21% bila dibandingkan dengan pasien-pasien yang tidak mendapatkan saluran napas buatan.9 Pneumonia yang didapat pada unit rawat intensif merupakan infeksi saluran napas bawah yang didahului dengan adanya sejumlah bakteri atau terjadinya infeksi saluran napas atas. Aspirasi bakteri dari saluran pencernaan atas merupakan penyebab penting terjadinya kolonisasi bakteri di trakhea.10 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia Aspirasi makro atau mikro dari sekret yang terinfeksi saluran napas bagian atas mengawali terjadinya pneumonia di rumah sakit. Organisme-organisme ini kemudian dapat memperbanyak diri melalui jalan masuk dan kemudian membentuk lapisan seperti biofilm secara cepat dan melapisi permukaan bagian dalam dari pipa trakhea. Seringkali hal ini diikuti dengan sejumlah bakteri organisme patogen di trakhea.11 pendekatan. Antara lain berupa penggunaan antibiotika non-absorbable dalam bentuk larutan atau pasta ke dalam ruang orofaring. Penggunaannya sendiri telah dibukti pada suatu uji double blind dengan 2 kelompok (plasebo dan 15 kontrol). Namun demikian penggunaan a n t ib io t ik a s e b a g a i p r o f i la k s i s meningkatkan resiko induksi dan selektivitas patogen resisten, sehingga tidak dianjurkan untuk rutin digunakan.16 Terdapat beberapa faktor resiko yang diduga berperan di dalam patogenesis VAP, di antaranya adalah prosedur suction pada pasien dengan ventilasi mekanik dengan intubasi. Beberapa penelitian menunjukkan adanya perbedaan di dalam efek penggunaan sistem endotracheal suction (open versus closed) dalam terjadinya VAP.12 Combes dkk menemukan bahwa closed suction system memberikan penurunan frekuensi kejadian VAP.12 Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian oleh Zeitoun dkk yang menunjukkan bahwa closed suction system dikaitkan dengan penurunan VAP pada suatu studi multivariat.13 Dekontaminasi oral dapat dilakukan dengan pemberian antiseptik oral seperti chlorherhexidine glukonat ataupun povidone iodine. 17,18 Chlorhexidine glukonat dapat menurunkan tingkat kejadian pneumonia nosokomial pada pasien-pasien dengan sakit kritis. Penggunaan chlorhexidine glukonat secara bilasan oral sebanyak dua kali sehari dapat menurunkan tingkat kejadian infeksi saluran napas sebesar 69%.12 Pada penelitian lain juga disebutkan bahwa pemberian chlorhexidine 2% empat kali sehari merupakan metode yang aman dan efektif untuk mencegah VAP pada pasien dengan ventilator mekanik. Pneumonia ini disebabkan oleh adanya kolonisasi bakteri di trakhea.19 Suatu metaanalisis juga menyatakan bahwa dekontaminasi oral dengan antiseptik chlorhexidine sebagai profilaksis pada pasien dengan ventilasi mekanik dapat menurunkan resiko VAP. Suatu studi yang dilakukan pada pasien dengan resiko infeksi tinggi dengan pember ian chlorhexidine dengan konsentrasi lebih dari 0,12% memberikan hasil yang bermakna terhadap angka penurunan kejadian pneumonia.9 Suatu Kolonisasi bakteri kuman gram positif dan negatif di orofaring merupakan salah satu faktor resiko penting terjadinya VAP. Trakhea dan pipa endotrakhea merupakan tempat kolonisasi bakteri pada pasien dengan sakit kritis, kultur dari sputum atau aspirasi trakhea merupakan cara yang dapat digunakan untuk mengetahui jenis mikroorganisme.14 Untuk mencegah kolonisasi bakteri di regio orofaring telah diteliti beberapa Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 75 Jurnal Anestesiologi Indonesia studi lain juga menyebutkan bahwa pember ian chlorhexidine dengan konsentrasi 0,2 atau 2% setiap 12 jam dapat mencegah pembentukan biofilm dari bakteri di trakhea sehingga menurunkan kejadian pneumonia.20 Penggunaan antiseptik atau antimikroba seperti chlorhexidine (CHX) merupakan pendekatan alternatif untuk dekontaminasi orofaring. Sifat antiseptik CHX memiliki spektrum luas terhadap aktivitas mikroorganisme gram positif, termasuk jenis kuman patogen multiresisten seperti Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan VancomycinResistant Enterococci (VRE). 21,22 Sehingga pada penelitian ini menggunakan chlorhexidine sebagai antiseptik. Suction trakhea seringkali dilakukan pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik. Terdapat laporan yang menunjukkan pasien yang mengalami suction hingga 8-17 kali sehari.11,22 Selama prosedur sekret trakhea dibuang untuk memastikan patennya jalan napas dan menghindari obstruksi lumen pernapasan yang mengakibatkan peningkatan kerja napas, infeksi paru, atelektasis dan infeksi paru. Namun demikian pada penggunaan suction terdapat beberapa resiko efek samping seperti gangguan detak jantung, hipoksemia, dan pneumonia terkait ventilator/ventilator associated pneumonia (VAP). Selain itu juga dikarenakan prosedur yang invasif dan tidak nyaman. 23 Terdapat dua sistem suction yang tersedia: open suction system dan closed suction system. Jenis OSS hanya digunakan 76 sekali dan membutuhkan lepasnya ventilator dari pasien. CSS diletakkan di antara tube trakhea dan sirkuit ventilator mekanik dan bisa berada di dalam pasien lebih dari 24 jam. Penggunaan CSS di Amerika Serikat telah populer selama dekade terakhir ini dan berdasarkan statistika penggunaannya yang makin meningkat yaitu pada 58% dari kasuskasus, sementara OSS hanya dipergunakan pada 4% dari senter-senter yang ada.24 Pada beberapa penelitian penggunaan OSS nampaknya memiliki beberapa keuntungan seperti insidensi pneumonia yang lebih rendah, kurangnya perubahan fisiologis selama prosedur,kurangnya kontaminasi bakteria, dan ongkos yang lebih rendah.25 Pada rekomendasi yang dikeluarkan pada tahun 2004 terdapat rekomendasi yang menunjukkan berkurangnya ongkos perawatan dengan penggunaan CSS. Selain itu juga terdapat efek samping lainnya berupa kehilangan volume paru dan efek lanjutan berupa hipoksemia. Hingga saat ini tidak terdapat bukti yang menunjang apakah satu sistem lebih baik dibandingkan yang lainnya. Namun demikian belum dievaluasi perbedaan jenis jumlah bakteri trakhea antara sistem closed suction dan open suction dengan penggunaan oral chlorhexidine sebagai anti septik oral. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah koloni kuman bakteri trakhea pada penderita dengan ventilator mekanik sistem closed suction dan open suction yang mendapat oral hygiene dengan Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia Tabel 1. Karakteristik Umum Subyek Penelitian No Variabel Open suction system Closed suction system P 1. Umur 52,53 + 11,38 51,13 + 11,58 0,147* 2. Jenis kelamin 1,4 + 0,51 1,46 + 0,51 0,407* *Uji Mann-Whitney U Tabel 2 Jumlah bakteria masing-masing kelompok Closed suction system Open suction system Pre (mean+SD) Post (mean+SD) Pre (mean+SD) Post (mean+SD) 3.0000E8+ 0,0000 1.3200E8+5.25357E7 2.9467E7+2.06559E7 3.3933E8+5,19003E8 Gambar 1. Jumlah bakteri sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok closed suction system (CSS) Gambar 2: Jumlah bakteri sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok open suction system (CSS) Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 77 Jurnal Anestesiologi Indonesia Tabel 3. Perbandingan jenis kuman pada kultur sekret trakhea kelompok CSS dan OSS Closed suction system (n=15) Open suction system (n=15) S.epidermidis 9 9 S. βhemolyticus - 1 E.coli 3 1 A.faecalis 3 2 P.mirabilis - 1 Kuman Gram Positif Kuman Gram Negatif Tabel 4. Uji normalitas masing-masing kelompok Closed suction system Open suction system Variabel Pre (mean+SD) Post (mean+SD) Pre (mean+SD) Post (mean+SD) Jumlah Bakteri 0,006 0,0018 0,007 0,0058 *Uji dengan Shapiro-Wilk Tabel 5. Uji pre dan post masing-masing kelompok Closed suction system Open suction system Pre 3.00x108+ 0,00 2.95x107+2.06x107 Post 1.32x108+5.25x107 3.39x108+5,20 x108 0.001 0.05 P *Uji dengan Wilcoxon Signed Rank Test Gambar 3. Perbandingan jumlah bakteri trakhea dari kedua kelompok perlakuan 78 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia chlorhexidine, serta menganalisis perbedaan jumlah koloni kuman bakteri trakhea sistem closed suction dan open suction yang mendapat oral hygiene dengan chlorhexidine pada pasien dengan ventilator mekanik. METODE Penelitian ini merupakan penelitian dengan bentuk rancangan randomized clinical control trial. Kelompok penelitian dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok (1) : closed suction system dengan chlorhexidine 0,2% sebagai oral hygiene pada penderita dengan ventilator mekanik , Kelompok (2) : open suction system dengan chlorhexidine 0,2% sebagai oral hygiene pada penderita dengan ventilator mekanik. Penelitian dilakukan di : ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang, pada periode: September-Desember 2011. Sampel penelitian adalah semua penderita dengan ventilator mekanik di ICU RSUP Dr. Kariadi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi pada bulan September -Desember 2011. Kriteria inklusi: Penderita dewasa dengan ventilator mekanik, Kriteria eksklusi: Alergi atau terdapat ko ntraindikasi, penyakit keg a na sa n , HI V, me n g g u n ak a n kortikosteroid dalam jangka lama. Dari penghitungan besar sampel pada penelitian ini didapatkan jumlah sampel: N=14,533 orang, dalam penelitian ini akan digunakan sampel sebesar 15 orang. Total sampel adalah 30 orang dibagi menjadi 2 kelompok secara berurutan yaitu Pada kelompok 1 diberikan ventilasi mekanik closed suction system dan chlorhexidine 0,2% sebanyak 25 mL. Pada kelompok 2 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 diberikan open suction system dan chlorhexidine 0,2% sebanyak 25 mL. Dilakukan penyikatan dengan sikat gigi pada 4 kuadran gigi (kanan atas, kanan bawah, kiri atas, kiri bawah) dan di antara kuadran tersebut dilakukan semburan / semprotan dengan po la teratur. Pembersihan rongga mulut ini dilakukan setiap hari setiap 12 jam dan pada hari ke dua atau 48 jam setelah pemakaian ventilator dilakukan pengambilan sampel. Sampel yang diambil kemudian dikirim ke laboratorium mikrobio logi klinik. Dilakukan pengenceran dengan NaCl 0,9% dengan perbandingan sampel pengencer 1;10, 1:100, 1:1000, 1:10.000, 1:100.000. 1:1.000.000 ditanam di media Nutrient Agar dan dicari perbandingan pengenceran di mana sampel dapat dihitung. Untuk mengetahui jenis, sampel ditanam di media Mac Konkey dan Blood Agar. Data yang terkumpul telah diedit, dikoding dan dientry ke dalam file komputer serta dilakukan cleaning data. Analisa deskriptif dilakukan dengan me n g h it u n g p r o p o r s i g a mb a r a n karakteristik responden menurut kelompok perlakuan dan kontrol. Hasil analisa disajikan bentuk grafik Box Plot. Analisis analitik akan dilakukan untuk menguji hasil kultur mikrobiologi pada kedua kelompok perlakuan dengan uji nonparametrik Mann Whitney, Wilcoxon. Semua uji analitik menggunakan α=0,05. Semua perhitungan statistik menggunakan software Stastical Pakckage for Social Science SPSS 15.0 79 Jurnal Anestesiologi Indonesia HASIL Telah dilakukan penelitian perbedaan pemberian chlorhexidine pada closed suction system dan open suction system pada penderita dengan ventilator mekanik pada 30 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi tertentu. Penderita dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok (1) closed suction system dan kelompok (2) open suction system diberikan oral hygiene tiap 12 jam selama 48 jam. Uji normalitas Shapiro-wilk digambarkan pada Tabel 1, di mana karakteristik umum umur pada kelompok closed dan open suction system memiliki distribusi yang tidak normal p>0,05, sehingga untuk uji homogenitas diperlukan Mann Whitney U test. Karakteristik jenis kelamin dengan skala nominal digunakan uji kai-kuadrat (x2). Hasilnya didapatkan data homogen (p>0.05) dari semua variabel. Jumlah bakteri trakhea yang diambil sebelum dan sesudah mendapat perlakuan pada masing-masing kelompok subyek penelitian disajikan dalam Tabel 2. Data perubahan jumlah bakteri trakhea sebelum dan sesudah mendapat perlakuan menggunakan uji Shapiro-Wilk dan didapatkan distribusi data yang tidak normal (p<0,05). Pada analisis jumlah bakteri sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok closed suction system (CSS) sebagai berikut. Seluruh subyek penelitian mengalami penurunan jumlah bakteri pada kultur 80 sekret trakhea intervensi. sesudah dilakukan Hal yang sama juga didapatkan pada kelompok open suction system di mana seluruh subyek penelitian mengalami penurunan jumlah bakteri pada kultur sekret trakhea sesudah dilakukan intervensi Analisis jenis bakteri untuk masingmasing kelompok perlakuan disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan uji normalitas data sebagaimana terlihat pada tabel tersebut , jumlah bakteri trakhea pada kelompok closed suction system dan open suction system didapatkan distribusi tidak normal (p<0,05) maka untuk masingmasing kelompok penelitian digunakan Wilcoxon Signed Rank Test. Tabel 5 menunjukkan jumlah bakteri trakhea pada kelompok closed suction system sebelum perlakuan 3.00x108+0,00 dan sesudah perlakuan 1.32x108 +5.25x107, terdapat perbedaan 1,68x108 +5,1x107 dan kelompok open suction sebelum perlakuan 2.95x107+2.06x107 dan sesudah perlakuan 3.39x108+5,20 x108, terdapat perbedaan 26,11 x108+15,40 x108. Hasil uji statistik yang dilakukan dengan Wilcoxon signed rank test menunjukkan terdapatnya perubahan jumlah bakteri trakhea yang berarti pada kelompok closed suction system yang bermakna (p<0,05). Sedangkan jumlah bakteri trakhea pada kelompok open suction system menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05) Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia Pada analisa komparatif antar kelompok digunakan Mann Whitney U test. Hasil analisis disajikan dalam grafik box-plot. Pada analisis komparatif antarkelompok, didapatkan penurunan jumlah bakteri trakhea pada kelompok closed suction system dibandingkan kelompok open suction system dengan perbedaantidak bermakna (p>0.005) dengan nilai (p=0.083). PEMBAHASAN Penggunaan CSS berdasarkan tinjauan memberikan sejumlah keuntungan antara lain penggunaannya yang multiple-use, tanpa melepas ventilator dari pasien yang dapat berakibat pada munculnya tekanan negatif sehingga terjadi kehilangan volume paru yang intens sehingga berakibat pada hipoksemia.26,27 Temuan Combes dkk menunjukkan bahwa sistem closed endotracheal suction menurunkan frekuensi VAP sebesar 3,5 kali bila dibandingkan dengan open endotracheal suction system.28 Penelitian Zeitound dkk juga menunjukkan penurunan VAP pada analisis multivariat dikaitkan dengan penggunaan closed endotracheal suction system.29 Deppe dkk menunjukkan bahwa keuntungan survival lebih banyak ditunjukkan oleh closed endotracheal suction. Namun demikian masih terdapat perdebatan mengenai efektivitas penggunaan closed suction system. Penelitian yang dilakukan ini adalah membandingkan jumlah kuman antar pemberian chlorhexidine 2% pada sistem Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Closed Suction System (CSS) dan Open Suction System (OSS). Sebelumnya belum pernah ada yang melakukan penelitian sejenis dengan membandingkannya terhadap jumlah koloni bakteri. Pada hasil penelitian ini digunakan 30 subyek penelitian dengan karakteristik yang telah diseleksi melalui kriteria inklusi dan eksklusi dan didapatkan sejumlah 30 penderita dengan dengan karakteristik umur, jenis kelamin yang tidak berbeda bermakna (p>0.05) sehingga dengan demikian menjadi layak untuk dibandingkan. Hasil analisis uji Wilcoxon pada kedua kelompok secara terpisah menunjukkan bahwa jumlah bakteri trakhea sebelum dan sesudah perlakuan berbeda bermakna pada kelompok closed suction system (p=0.001) dan pada kelompok open suction system (p=0,005). Sedangkan pada analisis jumlah bakteri trakhea pada kelompok closed suction system dan open suction system yang dianalisis dengan uji Mann-Whitney tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p=0,083). Hasil penelitian ini sesuai dengan sebagian besar penelitian dan meta analisis yang ada dan didapatkan hasil tidak ada pengaruh yang positif terhadap kemungkinan terjadinya pneumonia 20 nosokomial. Selain itu efektivitas biaya juga masih menjadi pertimbangan karena penggunaan CSS multiple-use terkait dengan biaya yang lebih tinggi. Freytag menunjukkan bahwa penggunaan kateter suction in-line dalam waktu yang lama menunjukkan peningkatan kolonisasi dari traktus respirasi bagian bawah dan 81 Jurnal Anestesiologi Indonesia pertumbuhan bakteri pada permukaan kateter dalam kurun waktu 72 jam.30 Lorente, 2005 menunjukkan bahwa swab yang diperoleh pada saat pasien masuk dan dua kali per-minggu pada saat menjalani perawatan menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna dan juga tidak didapatkan perbedaan pada jenis mikroba.20 Penelitian yang dilakukan Zeitound, 2003 menunjukkan bahwa penggunaan closed suction system tidak menurunkan insidensi pneumonia 27 nosokomial. Temuan meta-analisis Jongerden 2007 juga menunjukkan bahwa berdasarkan hasil penelitian yang ada (8 penelitian, 1272 pasien) dan tingkat mortalitas (4 penelitian, 19 pasien) dan kultur sekret (2 penelitian, 37 pasien). Namun demikian penggunaan CSS sendiri masih menjadi pertimbangan terutama bila dihubungkan dengan efek samping OSS, yang mengakibatkan lepasnya pasien dari ventilator mekanik. Meta-analisis Jongerden menggaris-bawahi bahwa CSS secara signifikan menurunkan perubahan dalam detak jantung (empat penelitian, 85 pasien, weighted mean difference, -6.33; 95% confidence interval, -10.80 to -1.87) dan juga mengurangi perubabahan tekanan rerata arteri (tiga penelitian, 59 pasien; standardized mean difference, -0.43; 95% confidence interval, -0.87 to 0.00).28 Temuan Brucia, 1996 menunjukkan bahwa penggunaan CSS lebih diutamakan untuk menghindari kenaikan tekanan intrakranial selama penggunaan OSS. Hal yang masih memberikan dukungan penggunaan CSS antara lain adalah CSS mengurangi kontaminasi dari lingkungan 82 bila dibandingkan dengan OSS.30 Pada penelitian ini ditunjukkan tidak ditemukannya kuman patogen di saluran napas, yang diketahui seperti Staphylococcus aureus, S.pyogenes, C. diphteriae, S. pneumoniae, H. influenzae, Chlamydia trachomatis, S. pneumoniae, H. influenzae, Moraxella catarrhalis, Streptococcus grup A, Mycoplasma pneumonia, N.meningitidis, M. tuberculosis, Klebsiella pneumonia. Jenis bakteria yang ditemukan pada penelitian ini untuk kelompok closed suction system adalah S.epidermidis 60% (9/15), E.coli 20% (3/15), A.faecalis 20%(3/15). Sedangkan untuk kelompok open suction system adalah S.epidermidis 60% (9/15), S. βhemolyticus 6% (1/15), E.coli 6% (1/15). A.faecalis 12%(2/15), dan P.mirabilis 6%(1/15). SIMPULAN Terdapat penurunan jumlah bakteri trakhea pada kelompok closed suction system dengan pembilasan chlorhexidine 2% secara bermakna. Terdapat juga penurunan jumlah bakteri trakhea pada kelompok open suction system dengan pembilasan chlorhexidine 2% secara bermakna. penurunan jumlah bakteria trakhea pada kelompok closed suction system didapatkan tidak bermakna bila dibandingkan dengan open suction system. DAFTAR PUSTAKA 1. Ibrahim EH, Mehringer L, Prentice D, Sherman G, Schaiff R, Fraser V, Kollef MH. Early versus late enteral feeding of mechanically ventilated patients: results of a Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. clinical trial. JPEN J Parenter Enteral Nutr 2002;26(3):174–181. Rello J, Ollendorf DA, Oster G, VeraLlonch M, Bellm L, Redman R, et al. Epidemiology and outcomes of ventilatorassociated pneumonia in a large US database. Chest 2002;122(6):2115–2121. Japoni A, Vazin A, Davarpanah MA, Afkhami Ardakani M, Alborzi A, Japoni S, Rafaatpour N. Ventilator-associated pneumonia in Iranian intensive care units. J Infect Dev Ctries. 2011 Apr 26;5(4):286-93. Richards MJ, Edwards JR, Culver DH, Gaynes RP. Nosocomial infections in medical intensive care units in the United States. National Nosocomial Infections Surveillance System. Crit Care Med 1999;27:887–892. Chastre J, Fagon JY. Ventilator-associated pneumonia. Am J Respir Crit Care Med 2002;165:867–903. Bergmans DCJJ, Bonten MJM, Gaillard CA, van Tiel FH, van der Geest S, de Leeuw PW, Stobberingh EE. Indications for antibiotic use in ICU patients: a one-year prospective surveillance. J Antimicrob Chemother 1997;39:527–535. Craven DE. Epidemiology of ventilatorassociated pneumonia. Chest. 2000;117 (4 suppl 2):186S-187S. Kollef MH. The prevention of ventilatorassociated pneumonia. N Engl J Med.1999;340(8):627-634. Chan EY, Ruest A, Meade M, Cook DJ. Oral decontamination for prevention of pneumonia in mechanically ventilated adults: systematic review and meta-analysis. BMJ (serial on internet) 2007 (cited 2010 Dec 10); 334:889. Available from: http:// www.medscape.com/viewarticle Wiryana M. Ventilator associated pneumonia. Jurnal penyakit dalam (serial on internet) 2007 (cited 7 Januari 2012) http:// ejournal.unud.ac.id/abstrak/ventilator% 20associated%20pneumonia.pdf Deppe SA, Kelly JW, Thoi LL, et al. Incidence of colonization, nosocomial pneumonia, and mortality in critically ill Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. patients using a Trach Carew closed-suction system versus an opensuction system: prospective, randomized study. Crit Care Med 1990;18:1389—1393. Jelic S, Cunningham JA, Factor P. Clinical review: airway hygiene in the intensive care unit: Critical Care 2008, 12:209 Combes P, Fauvage B, Oleyer C. Nosocomial pneumonia in mechanically ventilated patients, a prospective randomized evaluation of the Stericath closed suctioning system. Intens Care Med 2000;26:878—882. Zeitoun SS, De Barros ALBL, Diccini S. A prospective, randomized study of ventilatorassociated pneumonia in patients using a closed vs. open suction system. J Clin Nurs 2003;12:484—489. Bonten MJM, Bergmans DCJJ, Ambergen AW, de Leeuw PW, van der Geest S, Stobberingh EE, Gaillard CA. Risk factors for pneumonia, and colonization of respiratory tract and stomach in mechanically ventilated ICU patients. Am J Respir Crit Care Med 1996;154:1339–1346. Pugin J, Auckenthaler R, Lew DP, Suter PM. Oropharyngeal decontamination decreases incidence of ventilator-associated pneumonia: a randomized, placebocontrolled, double-blind clinical trial. JAMA 1991;265:2704–2710. Koeman M. Hak F, Ramsay G, Joore, Kaasjager K, Hans et.al. Oral decontamination with chlorhexidine reduces the incidence of ventilator-associated pneumonia. Am J Resp Crit Care Med 2006;173:1348-55 Ogata J, Minami K, Miyamoto H, Horishita T, Ogawa M, Sata T, et al. Gargling with povidone-iodine reduces the transport of bacteria during oral intubation. Can J Anaesth 2004;51(9):932-6 Tantipong H, Morkchareonpong C, Jaiyindee S, Thamlikitkul V. Randomized controlled trial and meta-analysis of oral decontamination with 2% chlorhexidine solution for the prevention of ventilator- 83 Jurnal Anestesiologi Indonesia associated pneumonia. Infect Control Hosp Epidemiol 2009;30(1):101-2 Panchabhai TS, Dangayach NS. Role of chlorhexidine gluconate in ventilator associated pneumonia prevention strategies in ICU patients: where are we headed? Crit Care 2009;13(6):427 Tablan OC, Anderson LJ, Besser R, Bridges C, Hajjeh R. Guidelines for preventing health-care–associated pneumonia, 2003: recommendations of CDC and the Healthcare Infection Control Practices AdvisoryCommittee. MMWR Recomm Rep 2004;53:1–36. Emilson CG. Susceptibility of various microorganisms to chlorhexidine. Scand J Dent Res 1977;85:255–265. Maggiore SM, Iacobone E, Zito G, Conti C, Antonelli M,Proietti R. Closed versus open suctioning techniques. Minerva Anestesiol. 2002;68(5):360-4. Paul-Allen J, Ostrow CL. Survey of nursing practices with closed-system suctioning. Am J Crit Care. 2002;9(1):9-17,quiz 18-9. Comment in: Am J Crit Care. 2000;9(1):68. Lorente L, Lecuona M, Martin MM, Garcia C, Mora ML,Sierra A. Ventilator-associated 20. 21. 22. 23. 24. 25. 84 26. 27. 28. 29. 30. pneumonia using a closed versus an open tracheal suction system. Crit Care Med. 2005;33(1):115-9. Kollef MH. The prevention of ventilator associated pneumonia. N Engl J Med2005;340:627-34. Lasocki S, Lu Q, Sartorius A, Fouillat D, Remerand F,Rouby JJ. Open and closedcircuit endotracheal suctioning in acute lung injury: efficiency and effects on gas exchange. Anesthesiology. 2006;104(1):3947. Brochard L, Mion G, Isabey D, Bertrand C, Messadi AA, Mancebo J, et al. Constantflow insufflation prevents arterial oxygen desaturation during endotracheal suctioning. Am Rev Respir Dis 1991; 144(2):395–400. Combes P, Fauvage B, Oleyer C. Nosocomial pneumonia in mechanically ventilated patients, a prospective randomized evaluation of the Stericath closed suctioning system. Intens Care Med 2000;26:878-882. Zeitoun SS, De Barros ALBL, Diccini S. A prospective, randomized study of ventilatorassociated pneumonia in patients using a closed vs. open suction system. J Clin Nurs 2003;12:484-489. Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia PENELITIAN Pengaruh Infus Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45% Terhadap Kadar Glukosa Darah Perioperatif pada Pasien Pediatri Erna Fitriana Alfant i*, Uripno Budiono**, Johan Arifin ** *Bagian Anestesiologi RSUD Keraton, Pekalongan **Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang ABSTRACT Background: In pediatric patients who undergo fasting period, every routine fluid infusion given should contain glucose because children had less glycogen supply in their liver, which can lead to fatal hypoglycemia especially for brain cell if oral glucose intakes are discontinued in few moments. Over the time, we usually use 5 % dextrose 0,45 % NaCl, but this may cause postoperative hyperglycemia. Therefore, we used 2,5 % dextrose 0,45 % NaCl which have less level of dextrose. Objective: To compare the effectiveness of 5% Dextrose 0,45 % NaCl and 2,5 % Dextrose 0,45 % NaCl to prevent hypoglycemia and hyperglycemia during and after surgery in pediatric patientst. Method: This research was a clinical trial stage 1 (human sample) on 48 patients undergoing surgery by general anesthesia. All patients underwent 4 hours fasting period and received premediacation. Peripheral blood sampling was performed before and after induction, and every 30 minutes during surgery for blood glucose measurement. Patients were randomly divided in two groups. Group I received 5% Dextrose 0,45% NaCl infusion and group two received 2,5% Dextrose 0,45% NaCl. The normality distribution of blood glucose level was tested by using Kolmogorov-Smirnov test. A normal distribution was determined by p>0,05. Analytical analysis was done to evaluate the difference of blood glucose level between two groups by using independent-t-test (normal distribution). The difference test of blood glucose between two groups were performed by using paired t-test (normal distribution) Result: The general characteristics of the subjects in each group had a normal distribution (p>0,05), showing homogen data (no significant difference; p>0,05) on all variables. Data before treatment in Group I (p=0,109) and group II (p=106) gave normal blood glucose level distribution (p>0,05). There was a non significant increase of blood glucose level (p>0.05) between preinduction (p=0.762) and postinduction (p=0.714). There was a significant difference on blood glucose level between the two groups 30 minutes and 150 minutes after induction (p=0.00). Blood glucose level in group I preinduction 102,36±4,31mg/dl,postinduction 106,0±44,17mg/dl , 30 menit 107,28±6,05 mg/dl, 60 menit 108,68±7,64 mg/dl, 90 menit 110,36±9,26 mg/dl, 120 menit 112,16±16,07 mg/dl dan 150 menit 114,64±22,38mg/dl. From periodic blood glucose level normality Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 85 Jurnal Anestesiologi Indonesia test, each group had normal distribution (p>0.05). The difference test of blood glucose level between the two groups gave a significant difference (p>0.05). Conclusion: Infusion of 2,5% Dextrose 0,45% NaCl significantly better not cause hypoglycemia from preoperative fasting and postoperative hyperglycemia in pediatric patients. Keywords: blood glucose, 5% Dextrose 0,45% NaCl, 2,5% Dextrose 0,45% NaCl, pediatric patients ABSTRAK Latar belakang : Dari pasien pediatri yang dipuasakan, semua cairan rutin diberikan harus mengandung glukosa dengan alasan pada anak hanya sedikit mempunyai cadangan glikogen di hepar, sehingga bila pemasukan per oral terhenti selama beberapa waktu akan dengan mudah menjadi hipoglikemia yang dapat berakibat fatal terutama bagi sel otak. Cairan dekstrosa 5% NaCl 0,45% dapat mencegah hipoglikemia tetapi menyebabkan hiperglikemia post operasi. Cairan infus dekstrosa 2,5% NaCl 0,45% yang mempunyai kadar glukosa lebih kecil, diperkirakan tidak menyebabkan hiperglikemia atau hipoglikemia Tujuan: Untuk membandingkan cairan infus dekstrosa 5% NaCl 0,45% dan cairan infus dekstrosa 2,5% NaCl 0,45% dalam mencegah terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia durante dan setelah operasi pada pasien pediatrik Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik tahap 1 (subyek manusia) pada 48 penderita yang menjalani operasi dengan anestesi umum. Semua penderita dipuasakan 4 jam dan diberi obat premedikasi. Pengambilan sampel darah perifer untuk pemeriksaan GDS pre induksi, pasca induksi, tiap 30 menit durante operasi. Penderita dikelompokkan secara random menjadi 2 kelompok. Kelompok I mendapat infus dekstrosa 5% NaCl 0,45% dan kelompok II mendapat infus dekstrosa 2,5% NaCl 0,45%. Akan dilakukan uji normalitas distribusi kadar glukosa darah dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Apabila p>0,05 maka distribusinya disebut normal. Analisis analitik akan dilakukan untuk menguji perbedaan kadar glukosa antar kelompok dengan independent-t-test (distribusi normal). Uji beda kadar glukosa antar kelompok dengan menggunakan paired t-test (distribusi normal). Hasil : Karakteristik umum subyek pada masing–masing kelompok memiliki distribusi yang normal (p > 0,05), didapatkan data yang homogen (perbedaan yang tidak bermakna, p>0,05) dari semua variabel. Data sebelum perlakuan pada kelompok I (p= 0,109 ) dan kelompok II (p=0,106) memberikan hasil nilai kadar glukosa darah berdistribusi normal ( p > 0,05 ). Prainduksi ( p = 0,762 ) sampai sesaat setelah induksi ( 0,714 ) terjadi kenaikan kadar glukosa darah namun tidak bermakna ( p> 0,05 ) . Kadar glukosa antar kelompok berbeda bermakna pasca operasi mulai menit 30 sampai menit 150 ( p=0,00 ). Kadar glukosa darah pada kelompok I saat prainduksi 102,36±4,31 mg/ 86 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia dl, pasca induksi 106,0±44,17 mg/dl , 30 menit 107,28±6,05 mg/dl, 60 menit 108,68±7,64 mg/dl, 90 menit 110,36±9,26 mg/dl, 120 menit 112,16±16,07 mg/dl dan 150 menit 114,64±22,38 mg/dl. Uji normalitas variabel glukosa darah dilihat dari waktu, masingmasing kelompok memiliki distribusi yang normal ( p> 0,05 ) .Uji beda kadar glukosa darah antara kedua kelompok memberikan hasil berbeda bermakna ( p> 0,05 ). Simpulan: Pemberian cairan infus Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % lebih baik dari cairan D5 % NaCl 0,45% karena tidak menyebabkan terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia selama dan setelah operasi pada pasien pediatri Kata kunci: glukosa darah, Dekstrosa 5 % NaCl 0,45 %, Dekstrosa 2,5% NaCl 0,45 % pediatri PENDAHULUAN Glukosa merupakan suatu metabolit yang penting bagi kelangsungan hidup manusia . Pada pasien pediatri yang dipuasakan, semua cairan rutin yang diberikan harus mengandung glukosa dengan alasan pada anak hanya sedikit mempunyai cadangan glikogen di hepar ,sehingga bila asupan peroral terhenti selama beberapa waktu akan dengan mudah menjadi hipoglikemia yang dapat berakibat fatal terutama bagi sel otak. Pada anak yang puasa akan terjadi pemecahan glikogen di hati dan otot menjadi asam laktat dan piruvat. Sehingga untuk menghindari hal tersebut pada pasien pediatri kita biasanya menggunakan infus yang mengandung dekstrosa.1 Glikogen hepar sebagian besar berhubungan dengan simpanan dan pengiriman heksosa keluar untuk mempertahankan kadar glukosa darah , khususnya pada saat-saat sebelum sarapan. Setelah 12-18 jam puasa, hampir seluruh simpanan glikogen dalam hepar mengalami deplesi Cairan dekstrosa 5 % tanpa kandungan natrium atau kandungan Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 natriumnya lebih kecil dari plasma sebaiknya tidak digunakan untuk resusitasi cairan pada anak oleh karena cairan tersebut tidak efektif untuk mengisi rongga intravaskular. Selain itu glukosanya sendiri dapat menyebabkan hiperglikemia dan osmotik diuretik.1 Hasil akhir pencernaan karbohidrat adalah glukosa fruktosa dan galaktosa yang selanjutnya akan dikonversi hepar menjadi glukosa. Sel akan mengadakan utulisasi glukosa melalui glikolisis (anaerobik) atau siklus “Citric Acid” (aerobikal). Glukosa disimpan dalam bentuk glikogen. Insulin akan meningkatkan sintesis glikogen. Pada keadaan normal , pemberian glukosa secara intravena pada anak jangan melebihi 5 mg/kgBB/ menit. Hal ini berhubungan dengan kemampuan tubuh memetabolisir glukosa. Pemberian glukosa yang berlebihan akan menyebabkan hiperglikemi, meningkatkan termogenesis, dan peningkatan produksi CO2.2 Pemberian glukosa meningkatkan pelepasan Hiperglikemia yang memperburuk outcome sendiri akan insulin endogen. terjadi dapat neurologis serta 87 Jurnal Anestesiologi Indonesia Tabel 3. Nilai Rerata dan Simpangan baku (Standar deviation) karakteristik umum subyek pada masingmasing kelompok No Variabel Kel D21/2% (n=24) Kel D5% (n=24) p 1 Umur (bulan) 6,58± 0,916 6,54±0,845 0,871 2 3 4 Berat Badan (kg) Lama Anestesi (menit) Lama Puasa (jam) 7,07 ± 0,30 140,21±5,80 4,04±0,58 7,10±0,289 139,38±6,81 4,00±0,57 0,662 0,650 0,804 5 6 7 Gula Darah Prainduksi (mg/dl) Nadi Status ASA ASA I ASA II 102,54±4,30 106,50±5,70 102,67±4,23 107,46±5,82 0,920 0,567 22 2 21 3 0,640 Tabel 4. Uji Normalitas kadar glukosa darah preinduksi Variabel Kelompok p keterangan Kadar Glukosa Darah D5% 1/2N 0,109 Distribusi Normal D2 1/2 % 1/2N 0,106 Distribusi Normal Tabel 5. Nilai rerata dan Simpangan baku kadar baku glukosa (mg/ dl) dilihat dari waktu pengukuran dan kelompok perlakuan No Waktu 1 2 3 4 5 6 7 Prainduksi Pascainduksi 30 menit 60 menit 90 menit 120 menit 150 menit Kel D21/2% Kel D5% p 102,36± 4,31 106,04± 4,17 107,28± 6,05 108,68± 7,64 110,36± 9,26 112,16± 16,07 114,36± 22,38 102,74± 4,29 106,48± 4,05 128,52±14,79 141,26± 21,79 148,83± 25,54 187,52± 14,69 211,83± 6,55 0,762 0,714 0,000* 0,000* 0,000* 0,000* 0,000* *=bermakna (p<0,005 88 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia memperlama penyembuhan luka operasi setelah operasi. Kadar glukosa darah yang tetap dalam batas normal saat anestesi merupakan tujuan pemberian cairan intraoperatif pada bedah anak. 2,3 Setiap tindakan operasi akan menyebabkan terjadinya suatu stress. Stress operasi dapat merupakan stress psikologi, stress anestesi dan stress pembedahan. Respon tubuh terhadap stress operasi menunjukkan suatu pola tertentu , yang bersifat sentral, perifer dan imunologikal. Respon stress normal dicirikan oleh respon sympathetic neurohormonal akibat stimulasi dari sympathoadrenergic dan pituitary pathways mengakibatkan peningkatan level pada norephinefrin, ephinefrin, glucagon dan kortisol.4 Pada stress operasi glukosa meningkat paling sedikit dua kali lipat. Penurunan insulin terjadi pada tahap awal, selanjutnya meningkat karena peningkatan level growth hormone. Glukagon dan kortisol menginduksi glukoneogenesis. Hiperglikemia adalah khas dan menggambarkan peningkatan produksi hepatic dan juga peningkatan pemakaian oleh jaringan perifer. Juga terjadi penurunan toleransi terhadap pembebanan glukosa, akibat dari penurunan sekresi insulin dan resistensi perifer terhadap aksiaksi itu. Kedua efek tersebut disebabkan oleh peningkatan sekresi katekolamin yang juga meningkatkan lipolisi. Pada periode perioperatif peningkatan glukosa darah juga bisa berasal dari stress psikologi dan stress anestesi. Akibatnya, pemberian cairan intraoperatif yang Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 mengandung glukosa berlebihan cenderung menyebabkan hiperglikemia.5 Hiperglikemia yang terjadi dapat menimbulkan kerusakan otak, medulla spinalis dan ginjal karena iskhemia, koma, melambatkan pengosongan lambung, melambatkan penyembuhan luka dan kegagalan fungsi sel darah putih. Oleh karena itu diharapkan sesudah operasi tidak terjadi hiperglikemia sehingga pasien dapat mencapai kondisi yang baik.3,6 Pada penelitian sebelumnya digunakan cairan infus Dekstrosa 5 % NaCl 0,225 %, tetapi masih terjadi peningkatan kadar glukosa darah yang signifikan dan hiperglikemia pasca operasi sehingga pada penelitian ini digunakan cairan infuse Dekstrosa 2,5% NaCl 0,45 % yang mengandung kadar glukosa lebih rendah. Penggunaan cairan infus Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % diharapkan dapat mencari dosis glukosa yang optimal yang dapat mencegah hipoglikemia dan hiperglikemia selama dan post operasi.6 METODE Penelitian ini merupakan uji klinik eksperimental murni tahap 2 dengan randomized control trial dengan double blind. Pengukuran atau observasi dilakukan selama dan setelah perlakuan. Kelompok penelitian dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut : Kelompok 1 sebagai kontrol (K) : mendapat infus Dekstrosa 5 % NaCl 0,45% menjelang awal , selama dan akhir operasi. Kelompok 2 sebagai perlakuan (P): mendapat infus Dekstrosa 2,5 %NaCl 89 Jurnal Anestesiologi Indonesia Grafik 1. Nilai rerata kadar glukosa darah Tabel 6. Uji normalitas kadar glukosa darah No 1 2 3 4 5 6 Waktu Prainduksi Pascainduksi 30 menit 60 menit 90 menit 120 menit Kel D21/2% P Kel D5% P 0,664 0,629 0,826 0,495 0,745 0,977 0,705 0,558 0,870 0,769 0,856 0,865 Keterangan Distribusi Normal Distribusi Normal Distribusi Normal Distribusi Normal Distribusi Normal Distribusi Normal *=bermakna (p<0,005 Tabel. 7. Uji beda kadar glukosa No 90 Waktu p Keterangan 1 2 3 4 Pascainduksi 30 menit 60 menit 90 menit 0,940 0,000 0,000 0,000 Distribusi Normal Distribusi Normal Distribusi Normal Distribusi Normal 5 6 120 menit 150 menit 0,000 0,000 Distribusi Normal Distribusi Normal Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia 0,45 % menjelang awal, selama dan akhir operasi. Subyek penelitian yaitu semua penderita di RS.Dr. Kariadi yang dipersiapkan untuk pembedahan elektif labioplasti dan herniotomi dengan menggunakan infus Dekstrosa 5 % NaCl 0,45% atau Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % yang memenuhi kriteria seleksi tertentu. Tempat penelitian dilakukan Instalansi Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi Semarang. Waktu penelitian dilakukanmulai dari 1 Januari 2007 sampai dengan 30 April 2007. Kriteria inklusi sebagai berikut; Usia antara 1 bulan – 1 tahun, status fisik ASA I-II, menjalani operasi dengan anestesi umum, lama operasi tidak lebih dari 3 jam, berat badan normal. Sedangkan Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah mengalami hipoglikemia atau hiperglikemia saat akan dilakukan penelitian, mendapat transfusi selama operasi berlangsung, pasien sakit berat. Dosis dan cara pemberian infus adalah memberikan infus dengan menggunakan tetesan infus paediatric maintenance sesuai dengan rumus : Holliday & Segar yaitu 4 ml/kgBB untuk 10 kgBB pertama, 2 ml/ kgBB untuk 10 kg kedua dan 1 ml/kgBB untuk setiap kgBB diatas 20 kg. Penelitian dikerjakan dengan menyeleksi pasien pada saat kunjungan pra bedah di RS. Dr. Kariadi Semarang dan pasien yang memenuhi kriteria inklusi ditetapkan sebagai sampel. Penelitian dilakukan terhadap 48 pasien yang akan menjalani operasi labioplasti dan herniotomi dengan randomized control trial dengan double Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 blind yang sebelumnya telah mendapat penjelasan dan menyetujui untuk mengikuti semua prosedur penelitian serta menandatangani informed consent. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok Dekstrosa 5 % NaCl 0,45 % dan kelompok Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 %, sehingga masing-masing kelompok berjumlah 24 orang. Semua pasien diberi penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kondisi yang akan dialami selama perlakuan dan bersedia mengikuti penelitian. Semua pasien dipuasakan sesuai standar internasional (rumus 2-4-6-8) sebelum pembedahan/ anestesi. Pasien diinfus setelah ditidurkan dengan isoflurane. Induksi anestesi dilakukan dengan inhalasi menggunakan isoflurane 2 volume % dalam N2O 50 % dengan aliran gas 3 L/menit, Oksigen 3 L/ menit, atracurium besylate 0,5 mg/kgbb IV, fentanyl 2 μg/kgBB IV. Kadar glukosa darah diperiksa dari darah perifer sesaat sebelum induksi, setelah induksi, dan pada akhir operasi dengan menusukkan jarum pada jari tangan atau kaki dan hasilnya di baca dengan optium ( blood glucose test ) dan MediSense strip. Kemudian diberi cairan yang sesuai dengan kelompok penelitian yang sudah ditetapkan. Jumlah kecepatan infus yang diberikan sesuai dengan rumus dari Holliday & Segar. Data yang terkumpul kemudian akan diedit, di-koding, dan di-entry kedalam file komputer. HASIL Pada grafik 1 dapat kita lihat pola kadar glukosa darah dari kedua kelompok .Pada 91 Jurnal Anestesiologi Indonesia kelompok II (P) mendapat dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % kadar glukosa darah tampak lebih stabil jika dibandingkan dengan kelompok I ( K) yang mendapat dekstrosa 5% NaCl 0,45 % kadar glukosa darah meningkat tajam sampai lebih dari 200 mg% . Pada kelompok II (P) tidak ada satupun yang mengalami hiperglikemia. Pada tabel 5 nampak bahwa dari waktu prainduksi sampai sesaat setelah induksi terjadi kenaikan kadar glukosa darah namun tidak bermakna seacara statistik. Pada tabel 6 dapat dilihat Uji normalitas variabel kadar glukosa darah dilihat dari waktu menggunakan One – Sample Kolmogorov Smirnov dimana masing – masing kelompok memiliki distribusi yang normal (p > 0,05), sehingga untuk uji homogenitas diperlukan analisis statistik dengan parametrik independent t test. Data kemudian dianalisis secara parametrik menggunakan uji independent t-test untuk melihat perbedaan kadar glukosa darah antara kelompok yang mendapat infuse D 5% N dan D 2 ½ % ½ N. Pada tabel 7 dapat dilihat Uji beda kadar glukosa darah antara kelompok I ( infus D 5 % ½ N ) dan kelompok II ( infus D 2 ½ % ½ N ) dimana didapatkan p > 0,05 yang berarti kadar glukosa darah pada kedua kelompok berbeda bermakna menggunakan uji independent t-test. PEMBAHASAN Pada penelitian sebelumnya dilakukan penelitian mengenai cairan pada pediatri yang mana mengguanakan cairan Dekstrosa 5 % NaCl 0,45 % yang selama 92 ini merupakan cairan yang diberikan untuk pasien pediatri selama operatif. Ternyata pasca operatif terjadi hiperglikemia pada pasien. Pada pasien pediatri yang dipuasakan, semua cairan rutin yang diberikan harus mengandung glukosa dengan alasan pada anak hanya sedikit mempunyai cadangan glikogen di hepar ,sehingga bila masuk peroral terhenti selama beberapa waktu akan dengan mudah menjadi hipoglikemia yang dapat berakibat fatal terutama bagi sel otak. Pada anak yang puasa akan terjadi metabolisme anaerob dimana terjadi pemecahan glikogen di hati dan otot menjadi asam laktat dan piruvat. Sehingga untuk menghindari hal tersebut pada pasien pediatri kita biasanya menggunakan infus yang mengandung dekstrosa. Pada keadaan normal , pemberian glukosa secara intravena pada anak jangan melebihi 5 mg/kgBB/ menit. Hal ini berhubungan dengan kemampuan tubuh memetabolisir glukosa.2 Pemberian glukosa yang berlebihan akan menyebabkan hiperglikemi, meningkatkan termogenesis, dan peningkatan produksi CO2. Pemberian glukosa sendiri akan meningkatkan pelepasan insulin endogen. 2,3 Hiperglikemia yang terjadi dapat memperburuk keluaran neurologis serta memperlama penyembuhan luka operasi setelah operasi. Kadar glukosa darah yang tetap dalam batas normal saat anestesi merupakan tujuan pemberian cairan intraoperatif pada bedah anak. Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia Pada tabel 5 nampak bahwa dari waktu prainduksi sampai sesaat setelah induksi terjadi kenaikan kadar glukosa darah namun tidak bermakna seacara statistik. Hal ini menunjukan bahwa pada penelitian ini , induksi anestesi tidak menyebabkan perubahan yang bermakna pada kadar glukosa darah. Kadar glukosa antar kelompok berbeda secara bermakna pada waktu pasca operasi mulai pada menit ke 30 sampai menit ke 150. Pada penelitian ini, pemberian cairan Dekstrosa 5 % NaCl 0,45 % menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah yang signifikan bermakna dan hiperglikemia pasca operasi (tabel 5). Pada kelompok ini kadar glukosa darah meningkat dari rerata 102,74±4,29 mg/dL prainduksi menjadi rerata 211,83±6,55 mg/dL pasca operasi. Peningkatan kadar glukosa darah dapat dilihat pada pola yang dimulai dari menit 30 pasca induksi dengan rerata 128,52± 14,79 mg/dL yang kemudian meningkat pada menit 60 dengan rerata 141,26±21,79 mg/dL pada menit 90 dengan rerata 148,83±25,54 mg/dL pada menit 120 dengan rerata 187,52±14,69 mg/dL pada menit 150 dengan rerata 211,83±6,55 mg/ dL Hiperglikemia (kadar glukosa darah > 180 sampai 200 mg/dL) sering disebabkan oleh defisiensi insulin, resistensi reseptor insulin atau pemberian glukosa yang berlebihan. Stress periopeatif dapat meningkatkan glukosa darah baik itu dari stress psikhologi preoperatif, stress anestesia dan stress pembedahan.2,7,8,9 Beberapa tehnik anestesia tertentu menggunakan methode non farmakologi hypothermia. Hypothermia menghalangi Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 penggunaan dan metabolisme yang sepantasnya dari glukosa dan dapat menyebabkan hiperglikemia. Respon hiperglikemik dapat terjadi dari agen-agen anestesia tertentu (seperti, ketamin dan halotan). Beberapa tindakan anestesia seperti intubasi dan extubasi endotrakheal meningkatkan respon stress katekholamin dan hemodinamik dan akan meningkatkan glukosa darah.10,11 Hiperglikemia itu sendiri cukup untuk menyebabkan kerusakan otak, medulla spinalis dan ginjal karena iskhemia, koma, melambatkan pengosongan lambung, melambatkan penyembuhan luka dan kegagalan fungsi sel darah putih , dehidrasi seluler yang berhubungan dengan perubahan-perubahan pada konsentrasi sodium juga hadir Pada kelompok yang diberi cairan infus Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % tidak menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah yang signifikan (tabel 4) dan tidak menyebabkan hiperglikemia pasca operasi. Pada kelompok ini kadar glukosa darah meningkat dari rerata 102,36±4,31 mg/dL prainduksi menjadi rerata 114,64±22,38 mg/dL pasca operasi. Peningkatan kadar glukosa darah dapat dilihat pada pola yang dimulai dari menit 30 pasca induksi dengan rerata 107,28±6,05 mg/dL yang kemudian meningkat pada menit 60 dengan rerata 108,68±7,64 mg/dL pada menit 90 dengan rerata 110,36±9,26 mg/ dL pada menit 120 dengan rerata 112,16±16,07 mg/dL pada menit 150 dengan rerata 114,64±22,38 mg/dL. Pengurangan kadar glukosa setengah dari cairan yang biasa dipakai ( 2 ,5 % ) 93 Jurnal Anestesiologi Indonesia membuktikan mampu menghindari terjadinya hipoglikemia akibat puasa tetapi juga mampu menncegah terjadinya hiperglikemia pasca operasi. Perbandingan kadar glukosa darah pada kedua kelompok yaitu antara kelompok I ( infus Dekstrosa 5 % NaCl 0,45 %) dan kelompok II (Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % ) didapatkan hasil perbedaan bermakna ( p < 0,05 ). Pada penelitian sebelumnya diperbandingkan antara dekstrosa 5 % NaCl 0,225 % yang mana terbukti terjadi hiperglikemia pasca operasi. Ada juga penelitian yang menggunakan dekstrosa 1% dalam larutan ringer laktat dimana tidak terjadi peningkatan kadar glukosa darah dan hiperglikemia pasca operasi, tetapi oleh karena belum ada sediaan diatas kita harus mencampur lebih dahulu sehingga kesterilan tidak bisa dijaga dan bisa menyebabkan infeksi. Peneliti memakai sediaan dekstrosa 2,5% NaCl 0,45% yang terbukti tidak menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah dan hiperglikemia pasca operasi dan dipasaran sudah mulai ada, tetapi di instalansi bedah sentral belum ada. Pada pasien yang mengalami anestesi dan pembedahan seharusnya kecepatan pemberian glukosa ini lebih rendah lagi karena adanya stres pembedahan yang meningkatkan pelepasan hormon katabolik, disertai pengaruh hormon katabolik, disertai pengaruh obat anestesi 94 yang menekan pelepasan insulin dari sel βpankreas. Pada penelitian ini didapat bahwa cairan yang dapat memelihara kadar glukosa darah dalam batas normal selama periode intraoperatif adalah Dekstrosa 2,5% NaCl 0,45 % dan tidak menyebabkan hiperglikemia pasca operasi. Respon stres adalah suatu keadaan dimana terjadi perubahan-perubahan fisiologis tubuh sebagai reaksi terhadap kerusakan jaringan yang ditimbulkan oleh keadaankeadaan seperti syok, trauma, operasi, anestesi, gangguan fungsi paru, infeksi dan gagal fungsi organ yang multipel 1.Pada respon stres akan dilepaskan hormon-hormon yang dikenal sebagai neuroendokrin hormon yaitu : ADH, aldosteron, angiotensin II, cortisol, epinephrin dan norepinephrin. Hormonhormon ini akan berpengaruh terhadap beberapa fungsi fisiologik tubuh yang penting dan merupakan suatu mekanisme kompensasi untuk melindungi fungsi fisiologik tubuh 2,3,4. Diharapkan dengan adanya penelitian ini , maka kita tidak perlu takut lagi menggunakan cairan infus Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % karena takut terjadi hipoglikemia karena puasa. Ternyata cairan infus Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % mampu mengatasi kadar glukosa puasa pada pediatri . Pasca operasi juga tidak terjadi hiperglikemia seperti terjadi pada penggunaan cairan infus Dekstrosa 5 % NaCl 0,45 % sebagaimana yang biasa kita lakukan. Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia SIMPULAN Pemberian cairan infus Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % lebih baik dari cairan D5% NaCl 0,45% karena tidak menyebabkan terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia selama dan setelah operasi pada pasien pediatri. 7. 8. DAFTAR PUSTAKA 1. Smith’s. Anestesia for infants and children, 6 th ed, St. Louis: Mosby; 1996: 319-20. 2. Robert K. Fluid and electrolytes : Parenteral fluid therapy.Pediatrics in review; 2001 : 22 (11). 3. Bell C. The pediatric anestesia handbook, 2nd ,St louis: Mosby; 1997 : 73-80. 4. Barash P. Clinical anestesia, 4th ed, Philadelphia : lipincott Company; 2001: 12012. 5. Paediatric Surgery chapter 15.(2005, Oktober 17).Primary surgery volume one:non trauma. http://www.meb.uni-bonn.de/dtc/primsurg/ index.html 6. Pradian E. The Effect of Dextrose to Blood of Glucose and Ketone Bodies Level in Pediatric Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 9. 10. 11. Patient underwent Labioplasty. The Indonesian Journal of Anaesthesiology and Critical Care,Bandung ; 2004 : 109-117. Berry FA. Hypoglycemia and hyperglycemia: is there a problem? Eg J Anesth 2002; 18: 15762Stoelting RK. Pharmacology and physiology in anesthetic practice.3rd ed , Lippincott Raven, Philadelphia, New York, 1999: 302-11. Intravenous Fluids. Clinical Practice Guidelines. Royal Children’s Hospital Melbourne. http://www.rch.org.au/ clinicalguide/cpg.cfm . Elizabeth M. Molyneux, F.R.C.P.C.H., F.F.A.E.M., and Kath Maitland, M.R.C.P., Ph.D. (2005, September 1). Intravenous Fluids— Getting the Balance Right. http:// www.nejm.org/intravenous fluids-getting the balance right.htm. Waxman K. Physiologic response to injury. In : Shoemaker WC, Holbrook PR,Ayres SM,Grenvik A. Critical care. W.B.Saunders company, Philadelphia, London ,Toronto, 2000 : 277-82. Oczenski W,Krenn H, Dahaba AA, Binder M. Hemodynamic and Cathecolamine Stress Responses to Insertion of the Combitube, Laryngeal Mask Airway or Tracheal Intubation. Anesth Analg 1999 , 88:1389-94. 95 Jurnal Anestesiologi Indonesia PENELITIAN Pengaruh Simvastatin Terhadap Kapasitas Fagositosis Makrofag Pada Mencit Balb/C Yang Diberi Lipopolisakharida Sherliyanah Harahap*, Heru Dwi Jat miko**, Mohamad Sofyan Harahap** *Bagian Anestesiologi RSUD Mataram, Lombok **Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang ABSTRACT Background: Simvastatin is included in a group of medicine called hydroxy metyl glutaryl (HMG Co) reductase inhibitors or statin. The effect of simvastatin on TNF-alpha neutralizing antibody is that statin (3-hydroxy-3-methylglutaryl) coenzyme reductase inhibitors has the pleiotropic actions effect that can improve the survival of sepsis patients. Objective: To prove the effect of simvastatin administration 0.03 mg, 0.06 mg and 0.12 mg PO on LPS intraperitoneal injected mice to the decrease of intraperitoneal macrophages’ phagocytosis capacity. Methods: Experimental design research on post test only control group. The samples were 20 male mice type balb/c. Mice are divided into 4 groups, consisted of control group (without simvastatin injection), treatment group 1,2,3 consecutively administered simvastatin 0.03 mg; 0.06 mg; and 0.12 mg PO respectively. Initially these groups were injected intraperitoneal lipopolysaccharida 20 mg/kg. Results: The mean capacity of macrophages’ phagocytosis for each groups: Control = 44,40+3,97; K 1 = 37,80+2,86; K 2 = 31,20+1,30; K 3 = 2,.00+4,30. The results of statistical tests between groups were shown significant differences between K1 with K3 and K4, between K2 with K3 and K4 (p<0,0,05). There were no significant differences between K1 dan K2, and between K3 and K4 (p>0.005). Conclusion: The administration of simvastatin 0.03 mg, 0.06 mg and 0,12 mg PO show significant differences on the intraperitoneal macrophages’ phagocytosis capacity compared to the control group of mice with lipopolisakharida injection. Keywords: Simvastatin, lipopolisakharida, macrophages’ phagocytosis. ABSTRAK Latar Belakang : Simvastatin merupakan grup obat yang disebut sebagai hydroxy metyl glutaryl (HMG Co) reductase inhibitors). Efek simvastatin terhadap TNF-alpha neutralizing antibody bahwa Statins (3-hydroxy-3-methylglutaryl) coenzyme reductase inhibitors memiliki efek pleiotropic actions, yang mampu memperbaiki survival penderita sepsis. 96 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia Tujuan : Membuktikan efek pemberian simvastatin 0,03 mg, 0,06 mg dan 0,12 mg peroral pada mencit yang diberi LPS intraperitoneal terhadap penurunan kapasitas fagositosis makrofag intraperitoneal. Metode : Penelitian eksperimental desain the post test only controlgroup. Sampel penelitian 20 ekor mencit balb/c jantan. Mencit dibagi dalam 4 kelompok, yaitu kelompok Kontrol (tidak diberi simvastatin), kelompok Perlakuan 1,2,3 berturut-turut diberi simvastatin 0,03 mg; 0,06 mg; dan 0,12 mg peroral.Sebelumnya masing-masing kelompok disuntikkan lipopolisakarida 10 mg/kgBB intraperitoneal. Hasil : Rerata kapasitas fagositosis makrofag untuk masing-masing kelompok : Kontrol = 44,40+3.97; Perlakuan 1 = 37,80+2,86; Perlakuan 2 = 31,20+1,30; Perlakuan 3 = 23,00+4,30. Hasil uji statistik antar kelompok didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok K1 dengan K3 dan K4, antara K2 dengan K3 dan K4 (p<0,0,05). Tidak terdapat perbedaan bermakna antara K1 dan K2, serta K3 dan K4. (p>0,0,05). Kesimpulan : Pemberian simvastatin dosis 0,06 mg dan 0,12 mg peroral menunjukkan perbedaan bermakna pada penurunan kapasitas fagositosis makrofag intraperitoneal dibanding kontrol pada mencit yang diberi lipopolisakarida. Kata kunci : Simvastatin, lipopolisakharida, fagositosis makrofag. PENDAHULUAN Simvastatin merupakan grup obat yang disebut dengan hydroxy metyl glutaryl (HMG Co) reductase inhibitors atau statin. Obat ini digunakan untuk mengurangi kolesterol low-density lipoprotein (LDL) dan trigliserid dalam darah, serta meningkatkan kadar kolesterol high-density lipoprotein (HDL).1 Statin mempunyai kemampuan dapat mengurangi kadar kolesterol, tetapi berdasarkan laporan penelitian Su Zhang menyatakan bahwa obat ini mempunyai peran penting dalam pengurangan kerusakan paru-paru akibat sepsis dan infeksi.2 Penelitian Yasuda menyatakan bahwa efek simvastatin dan TNF-alpha neutralizing antibody telah diteliti pada hewan yang Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 disertai sepsis. Statins (3-hydroxy-3methylglutaryl) coenzyme reductase inhibitors memiliki efek pleiotropic actions, dimana obat ini mampu memperbaiki survival penderita sepsis atau penderita dengan penyakit infeksi dengan cara memperbaiki cecal ligation and puncture (CLP) pada mediator inflamasi sehingga mengurangi kerusakan pada organ yang dapat memicu terjadinya kematian.3 Bahan penyebab syok sepsis yaitu lipopolisakarida (LPS) merupakan struktur utama dinding sel bakteri gram negatif yang berfungsi untuk integritas struktur bakteri dan melindungi bakteri dari sistem pertahanan imun hospes. Zat ini bersifat endotoksin yang menginduksi produksi sitokin proinflamatori seperti interleukin1α (IL-1α), IL-1β, IL-6, tumor necrosis 97 Jurnal Anestesiologi Indonesia factor-α (TNF-α) dan prostaglandin (PGE2).4 LPS ini mengikat reseptor CD14/ Toll-like receptor-4 (TLR4) yang m e ng a k i b a t k a n s e k r e s i s it o k i n proinflamatori dari beberapa tipe sel. CD14 merupakan reseptor permukaan sel pada makrofag dan monosit untuk karbohidrat.5 Makrofag adalah sel darah putih yang berada didalam jaringan. Monosit dan makrofag adalah fagosit yang bertindak pada pertahanan non spesifik (kekebalan bawaan) serta membantu memulai mekanisme pertahanan spesifik (kekebalan adaptif) dari host. Peran makrofag adalah fagositosis, menelan dan mencerna puingpuing selular dan patogen, merangsang limfosit dan sel kekebalan lainnya untuk merespon patogen. Makrofag dapat diidentifikasi dengan cara menilai ekspresi tertentu dari sejumlah protein, termasuk CD14, CD11b, F4/80 (tikus)/ EMR1 (manusia), lisozim M, MAC-1/MAC-3 dan CD68 dengan sitometri atau pewarnaan imunohistokimia bergerak dengan aksi gerakan amoeboid. 6,7 Makrofag adalah fagosit yang paling efisien, dan bisa mencerna sejumlah besar bakteri atau sel lainnya. Pengikatan molekul bakteri ke reseptor permukaan makrofag memicu proses penelanan dan penghancuran bakteri melalui "serangan respiratori", menyebabkan pelepasan bahan oksigen reaktif. Patogen juga me ns t imu la s i ma k ro fa g u nt u k menghasilkan kemokin, yang merekrut sel fagosit lain di sekitar wilayah terinfeksi dan makrofag tidak teraktivasi oleh stimulasi sejumlah sitokin seperti TNFα, 98 IL-1β, IL-15 dan IL-8.6 Pemberian simvastatin 40 mg pada penelitian Yasuda menyatakan dapat memperbaiki syok sepsis dan kematian akibat acute kidney injury (AKI).3 Merx, menyatakan simvastatin sangat bermanfaat pada pengobatan dislipidemi dan penyakit jantung koroner serta memiliki efek dalam pengobatan sepsis dengan menurunkan aktivitas monosit. 8 Victor, dalam penelitiannya menyatakan simvastatin dapat mencegah dan mengobati sepsis.9 Marc dkk dalam penelit iann ya menyatakan statin merupakan terapi sepsis yang aman pada penderita dislipidemi dan penyakit jantung koroner dengan menganalisis konsentrasi IL-6 plasma.10 Pemberian LPS pada penelitian ini dilakukan terhadap mencit dengan penyuntikan intraperitoneal karena pada intraperitoneal terdapat banyak makrofag. LPS yang disuntikkan akan merangsang makrofag untuk menghasilkan sitokin proinflamasi seperti TNF, IL-1, dan IL-6 yang akan meyebabkan syok septik.11 Penelit ian in i bert u ju an u nt uk membuktikan pengaruh pemberian simvastatin terhadap kapasitas fagositosis makrofag pada mencit dengan dosis 10 mg, 20 mg dan 40 mg yang kemudian dikonversikan ke dalam dosis mencit menjadi 0,03 mg, 0,06 mg dan 0,12 mg. METODE Penelitian ini termasuk eksperimental laboratorik dengan desain post test only control group dengan tujuan mencari Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia pengaruh pemberian simvastatin peroral pada mencit yang diberi lipopolisakarida intraperitoneal terhadap kapasitas fagositosis makrofag. Sampel penelitian 20 ekor mencit babl/c jantan, umur 8 - 10 minggu, berat 20 - 30 gram, sehat dan tidak tampak cacat secara anatomi. Mencit dibagi dalam 4 kelompok perlakuan, sehingga total jumlah sampel 20 ekor mencit balb/c. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi diadaptasikan dengan dikandangkan per kelompok dan diberi pakan standar serta minum yang sama selama 1 minggu secara ad libitum. Setelah ditunggu selama 6 jam kemudian dilakukan pengambilan dan kultur makrofag intraperitoneal. Selanjutnya dilihat kapasitas fagositosis makrofag intraperitoneal dibawah mikroskop. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer hasil pemeriksaan kapasitas fagositosis makrofag yang dinyatakan dengan jumlah makrofag yang memfagosit partikel latex dalam 100 makrofag yang diperiksa dengan mikroskop cahaya. HASIL Penelitian ini menggunakan 20 ekor mencit Balb/c jantan, dari keturunan murni berumur dua setengah bulan dan berat badan 2 0- 4 0 g r am. P ene lit ia n menggunakan 4 kelompok yaitu kelompok kontrol (K1) terdiri dari 5 ekor mencit yang diber ikan per laku an LPS intraperitoneal 10 mg/kgBB. Kelompok perlakuan 1 (K2), kelompok perlakuan 2 (K3) dan kelompok perlakuan 3 (K4) Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 masing-masing terdiri 5 ekor mencit mendapat kan p er lak u a n LPS intraperitoneal 10 mg/kgBB dan simvastatin peroral (0,03 mg, 0,06 mg dan 0,12 mg). Subyek penelitian dilakukan pemeriksaan kemampuan fagositosis makrofag dengan menggunakan partikel latex yang difagositosis makrofag dalam 100 makrofag pada cairan peritoneum mencit. Data penghitungan kapasitas fagositosis makrofag intraperitoneal tercantum pada Tabel 1. Hasil pengamatan rerata kapasitas fagositosis makrofag intraperitoneal pada keempat kelo mpo k menunjukkan kapasitas fagositosis makrofag yang berbeda yaitu pada kelompok perlakuan 1 (K2) menunjukkan kemampuan kapasitas fagositosis makrofag paling rendah dibandingkan kelompok kontrol (K1). Uji beda dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang bermakna pada kapasitas fagositosis makrofag intraperitoneal pada kelompok kontrol (K1), kelompok perlakuan 1 (K2) dan kelompok perlakuan 2 (K3) dan kelompok perlakuan 3 (K4). Uji beda ini dilakukan dengan menggunakan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji posteriori. Hasil uji one way-Anova menunjukkan hasil signifikan (p<0,001) dengan interpretasi perbedaan bermakna dari dua kelompok penelitian. Hasil uji homogenitas varian dilihat dari output Levene test. Nilai p pada Levene test menunjukkan nilai 0,03 (p < 0,05). 99 Jurnal Anestesiologi Indonesia Tabel 1. Data penghitungan kapasitas fagositosis makrofag intraperitoneal Kelompok K1 K2 K3 K4 N 5 5 5 5 Mean 44.40 37.80 31.20 23.00 50 SD 3.975 2.864 1.304 4.301 Error Bars show 95.0% Cl of Mean K ad a r M ak ro fag 40 30 20 Kontrol Simvastatin 0,06 mg Simvastatin 0,03 mg Simvastatin 0,12 mg Nama kelompok Gambar 1. Grafik error bar kapasitas fagositosis makrofag kelompok penelitian 50 K ada r M ak rofag 40 30 20 Kontrol Simvastatin 0,06 mg Simvastatin 0,03 mg Simvastatin 0,12 mg Nama kelompok Gambar 2 grafik scatterplot kadar makrofag kelompok penelitian. 100 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia Hal ini berarti varian data pada ketiga kelompok tersebut adalah homogen, untuk mengetahui kelompok mana yang memiliki perbedaan, maka dilakukan uji posteriori dengan Tamhane. Dari hasil uji posteriori didapatkan perbedaan yang bermakna antara kapasitas fagositosis makrofag intraperitoneal pada kelompok perlakuan 1 (K1) dengan kelompok perlakuan 3 (K3) dan K4. Terdapat perbedaan bermakna pada kelompok perlakuan 2 (P2) dibandingkan kelompok perlakuan 3 (P3) dan P4. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok kontrol K1 dengan K2, serta antara K3 dan K4 (p>0,005). Hasil selengkapnya dapat dilihat di lampiran. Uji korelasi dilakukan untuk mengetahui apakah ada korelasi yang bermakna antara dosis pemberian simvastatin dengan kapasitas fagositosis makrofag intraperitoneal pada kelompok penelitian. Uji ini dilakukan menggunakan uji Pearson. Dari hasil uji korelasi didapatkan korelasi yang bermakna (p=0,001), dengan nilai koefisien korelasi Pearson sebesar (0.935), dan arah korelasi negatif dengan koefisien korelasi kuat. PEMBAHASAN Simvastatin merupakan grup obat yang disebut dengan hydroxy metyl glutaryl (HMG Co) reductase inhibitors atau statin. Obat ini digunakan untuk mengurangi kolesterol low-density lipoprotein (LDL) dan trigliserid dalam Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 darah, serta meningkatkan kadar kolesterol high-density lipoprotein (HDL).1 Penelitian Yasuda menyatakan bahwa efek simvastatin dan TNF-alpha neutralizing antibody telah diteliti pada hewan yang disertai sepsis. Statins (3-hydroxy-3methylglutaryl) coenzyme reductase inhibitors memiliki efek pleiotropic actions, dimana obat ini mampu memperbaiki survival penderita sepsis atau penderita dengan penyakit infeksi dengan cara memperbaiki cecal ligation and puncture (CLP) pada mediator inflamasi sehingga mengurangi kerusakan pada organ yang dapat memicu terjadinya kematian.3 Bahan penyebab syok sepsis yaitu lipopolisakarida (LPS) merupakan struktur utama dinding sel bakteri gram negatif yang berfungsi untuk integritas struktur bakteri dan melindungi bakteri dari sistem pertahanan imun hospes. Zat ini bersifat endotoksin yang menginduksi produksi sitokin proinflamatori seperti interleukin1α (IL-1α), IL-1β, IL-6, tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan prostaglandin (PGE2).4 LPS ini mengikat reseptor CD14/ Toll-like receptor-4 (TLR4) yang m e n g a k i b a t k a n s e k r e s i s it o k i n proinflamatori dari beberapa tipe sel. CD14 merupakan reseptor permukaan sel pada makrofag dan monosit untuk karbohidrat.5 Pada pemberian LPS akan merangsang pelepasan mediator proinflamasi seperti IFN-γ, TNF-α serta IL-I. makrofag merupakan komponen penting dari respon inflamasi terhadap kerusakan jaringan.12 101 Jurnal Anestesiologi Indonesia Hasil penelitian dapat dilihat bahwa terdapat penurunan yang kapasitas fagositosis makrofag intraperitoneal yang bermakna pada pemberian simvastatin baik pada dosis 0,06 mg dan dosis 0,12 mg peroral dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberi simvastatin (Kontrol) dan pada kelompok (P4). Hal tersebut di atas disebabkan 2 faktor. Pertama, karena simvastatin menghambat langsung produksi sitokin proinflamasi TNF alfa, IL-6, dan IL-8 yang diinduksi oleh lipopolisakarida. Menurut penelitian Gown dkk. menyatakan bahwa simvastatin menekan TNF-α, IL-6 dan IL-8 yang diinduksi oleh LPS, dimana TNF-α merupakan sitokin pertama yang terinduksi setelah stimulasi LPS yang kemudian juga akan menstimulasi IL-1 dan IL-6 pada makrofag, monosit,neutrofil dan sel endotel. Efek supresi simvastatin terhadap IL-6 dan IL-8 dapat secara langsung maupun melalui penghambatan pelepasan TNF-α yang diinduksi oleh LPS. Pada penelitian ini terdapat efek supresi simvastatin terhadap TNF-α serta IL-6 dan IL-8. TNF alfa yang tersupresi kemudian akan menyebabkan penurunan kapa s it a s fa g o s it o s is ma k r o fag intraperitoneal.13 Faktor transkrip NF-κB mempunyai peranan krusial pada proses inflamasi. NFκB merupakan faktor transkripsi yang akan memicu produksi sitokin. Pemberian LPS akan mengaktifkan NF-κB yang akan meningkatkan produksi mediator inflamasi seperti IL-8, TNF-α,13 102 Dari hasil uji korelasi didapatkan korelasi yang bermakna (p=0,001), dengan nilai Pearson sebesar -0,935 yang menunjukkan bahwa arah korelasi negatif dengan koefisien korelasi kuat. Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan erat antara peningkatan dosis simvastatin semakin rendahnya kapasitas fagositosis makrofag intraperitoneal. Dosis simvastatin yang diberikan semakin tinggi maka kapasitas fagositosis makrofag intraperitoneal akan semakin rendah. SIMPULAN Pada penelitian ini didapatkan juga bahwa hasil simvastatin pada dosis 0,12 mg pada mencit yang setara dengan pemberian dosis simvastatin 40 mg/kgBB pada manusia menurunkan kapasitas fagositosis makrofag intraperitoneal secara signifikan bila dibandingkan dengan simvastatin dosis 0,03 mg pada mencit yang setara dengan pemberian simvastatin 10 mg/ kgBB pada manusia dan simvastatin 0,06 mg pada mencit yang setara dengan pemberian simvastatin 20 mg/kgBB pada manusia (p>0,05). DAFTAR PUSTAKA 1. Sandika. Simvastatin. Tersedia pada : http:// www.detikhealth.com. diakses 12 Agustus 2010. 2. Zhang S, Rahman M, Zhang SQ, Thorlacius H. Simvastatin Antagonizes CD4OL Secretion, CXC Chemokine Formation, and Pulmonary Infiltritation of Neutrophils in Abdominal Sepsis. J Leukoc Biol 2011;89(5):735-42. 3. Yasuda H, Yuen P, Hu X, Zhou H, Star R. Simvastatin Improves Sepsis-Induced Mortality and Kidney Injury via Renal Vascular Effects. Kidney Int.2006;69(9):1535-42. Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia 4. Stashenko P. Interrelationship of Dental Pulp and Apical Periodontitis. In : Hargreaves KM, Goodis, editors. Dental Pulp. Chicago: Quintessence Publishing Co Inc; 2002.p.389409. 5. Akashi S, Shimazu R, Ogata H, Nagai Y, Takeda K, Kimoto M, et al. Cutting Edge: Cell Surface Expression and Lipopolysaccharide Signaling via the Toll-Like Receptor 4-MD-2 Complex on Mouse Peritoneal Macrophages. J Immunol 2000; 164: 3471-5. 6. Dilandx. Makrofag. Tersedia pada situs: http:// surgaku.com/2010/03/makrofag. Diakses pada 5 September 2011 7. Widodo D, Pohan HT, Bunga Rampai Penyakit infeksi. Jakarta: Departemen IPD FKUI.2004: p.54-88. 8. Merx MW, Liehn EA, Janssens U. HMG-Coa Reductase Inhibitor Simvastatin Profoundly Improves Survival in a Murine Model of Sepsis. Circulation 2004;109:2560-65. Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 9. Novack V, Terblanche M, Almog Y. Do Statins have a Role in Preventing or Treating Sepsis? Critial Care 2006;10:113. 10. Marc W, Liehn EA, Graf J, Sandt A, Schaltenbrand M, Schrader J, Hanrath P, Weber C. Statin Treatment After Onset of Sepsis in a Murine Model Improves Survival. Circulation 2005;112:117-24. 11. Young D. Simvastatin and Severe Sepsis : A Randomised Controlled Trial. tersedia pada situs http://www.controlled-ttrials.com/ ISRCTN92093279. Diakses 11 September 2011. 12. Hermawan G, editor. Sitokin yang berperan dalam Sirs dan Sepsis. In : SIRS, Sepsis & Syok Septik. 1st ed. Surakarta:Sebelas Maret University Press;2008. P. 86-98 13. Visintin A. Pharmacological Inhibition of Endotoxin Responses is Achieved by Targeting the TLR4 Coreceptor, MD-2. J Immunol 2005;175(10):6465-72. 103 Jurnal Anestesiologi Indonesia PENELITIAN Stabilitas Hemodinamik Propofol – Ketamin Vs Propofol – Fentanyl pada Operasi Sterilisasi / Ligasi Tuba : Perbandingan Antara Kombinasi Propofol 2 Mg/Kgbb/Jam Dan Ketamin 0,5mg/Kgbb/Jam Dengan Kombinasi Propofol 2 Mg/ Kgbb/Jam Dan Fentanyl 1 Μg/Kgbb/Jam Laurent ius Sandhie Praset ya*, Sudadi * *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UGM/ RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta ABSTRACT Background: Continuous TIVA technique using combination of propofol and fentanyl has been commonly used in RSUP Sardjito. These techniques could provide adequate anesthesia, but often cause a variety of durante operative hemodynamic changes. The combination of propofol and ketamine are expected to provide a comfortable anesthesia for surgery with a more stable durante operative hemodynamic changes. Methods: The study design was randomized controlled trial. The scope of the study were female who underwent tubal ligation operations with Metode Operasi Wanita (MOW) technique at the Instalasi Kontrasepsi Mantap RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta with continuous TIVA technique. Total 70 subjects that met criteria of inclusion were divided into two groups which consisted of 35 each. PK group used a combination of propofol 2 mg/kg and ketamine 0.5 mg/kg and were followed with propofol 2 mg/kg/hour and ketamine 0.5 mg/kg/hour intravenously. The PF group used a combination of propofol 2 mg / kg and fentanyl 1 mcg/kg and were followed with propofol 2 mg/kg/hour and fentanyl 1 mcg/kg/hour intravenously. Parameters of hemodynamic changes were systolic blood pressure (SBP), mean arterial pressure (MAP) and heart rate (HR) assessed at induction, incission and every 5 minutes until the operation was completed. Results: The change of hemodynamic parameters more than 10 % occurred in the PF group at the time of induction, after first incision and the fifth minute, in which the SBP decreased by 15.5 (7.26) %, MAP of 14.0 (8.34) %, HR 14.2 (6.52) % whereas in group PK, SBP decreased by 4.3 (2.72) % (p = 0.000), MAP of 4.6 (3.18) % (p =0.000) and HR of 3.5(2.63) % (p = 0.000) at the time of induction. Conclusion: The hemodynamic stability of the PK group was better than the PF group. Key words: Continuous TIVA, propofol, ketamine, fentanyl ABSTRAK Latar belakang: Teknik TIVA kontinyu menggunakan kombinasi propofol dan fentanyl telah umum digunakan. Teknik tersebut dapat memberikan anestesi yang adekuat, namun dapat menyebabkan perubahan hemodinamik durante operatif yang bervariasi. 104 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia Kombinasi propofol dan ketamin diharapkan dapat memberikan anestesi yang nyaman untuk pembedahan dengan perubahan hemodinamik durante operatif yang lebih stabil. Metode: Desain penelitian percobaan acak terkontrol. Ruang lingkup penelitian adalah pasien wanita yang menjalani operasi sterilisasi ligasi tuba dengan Metode Operasi Wanita dengan tehnik anestesi TIVA kontinyu. Subyek berjumlah 70 yang memenuhi kriteria inklusi, dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing terdiri dari 35. Kelompok PK adalah subyek yang menggunakan kombinasi propofol 2 mg/kgbb dan ketamin 0,5 mg/kgbb dilanjutkan pemeliharaan propofol 2 mg/kgbb/jam dan ketamin 0,5 mg/kgbb/jam intravena, sedangkan kelompok PF adalah subyek yang menggunakan kombinasi induksi propofol 2 mg/kgbb dan fentanyl 1 μg/kgbb dilanjutkan pemeliharaan propofol 2 mg/kgbb/jam dan fentanyl 1 μg/kgbb/jam intravena. Penilaian parameter perubahan hemodinamik meliputi tekanan darah sistolik (TDS), tekanan arteri rerata (TAR) dan laju denyut jantung (DJ) dinilai pada saat induksi, insisi dan durante operasi hingga selesai. Hasil: Penurunan parameter hemodinamik lebih dari 10 % terjadi pada kelompok PF pada saat induksi, insisi dan menit ke-5, dimana tekanan darah sistolik (TDS) menurun sebesar 15,5 (7,26) %, tekanan arteri rerata (TAR) menurun sebesar 14,0 (8,34) % dan laju denyut jantung (DJ) sebesar 14,2 (6,52) % sedangkan pada kelompok PK terjadi penurunan TDS sebesar 4,3 (2,72) % (p = 0,000), TAR of 4,6 (3,18) % (p =0,000) dan DJ sebesar 3,5(2,63) % (p = 0,000) saat induksi. Simpulan: Stabilitas hemodinamik kelompok PK lebih baik daripada kelompok PF. Kata kunci: TIVA kontinyu, propofol, ketamin, fentanyl PENDAHULUAN TIVA dalam praktek klinik menjadi populer karena onset yang cepat serta efek toksisitas obat sedatif dan hipnotik yang minimal, juga menghindari efek yang merugikan dari pengeluaran gas anestesi kepada personal anestesi dan personal kamar operasi lainnya. Dari segi ekonomi, TIVA memiliki harga yang lebih rendah daripada teknik inhalasi, sehingga dianggap lebih efisien dalam menekan biaya.1 Propofol, telah umum digunakan sebagai agen induksi dan pemeliharaan anestesi untuk masa operasi yang singkat dan nyaman. Kecepatan clearance yang tinggi Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 dan penurunan konsetrasi dalam darah yang cepat, membuatnya cocok digunakan dalam bentuk infusan. Saat dihentikan, pemulihan akan terjadi secara cepat. Selain itu juga didapatkan angka kejadian mual muntah postoperatif (PONV) lebih rendah daripada penggunaan agen inhalasi.2,3 Ketamin adalah satu-satunya obat anestesi intravena yang memiliki kemampuan hipnosis, analgesik dan amnesia sekaligus dan relatif murah. Mempunyai onset kerja yang cepat dan mencapai efek kerja maksimal dalam waktu yang singkat pula. Pada dosis subanestesi ketamin dapat memberikan analgesi yang kuat.4 105 Jurnal Anestesiologi Indonesia Fentanyl, adalah opioid yang umum digunakan pada TIVA. Fentanyl memberikan analgesia yang baik dengan onset yang cepat namun memiliki efek depresi kardiorespirasi dan sedasi serta meningkatnya risiko PONV, yang sering menjadi masalah pada pasca pembedahan.5 Bajwa et al. (2010) dan Badrinath et al. (2008), menunjukkan bahwa kombinasi propofol dengan ketamin pada dosis subhipnotik dapat memberikan analgesia yang cukup tanpa depresi hemodinamik serta kardiorespirasi.6,7 Efek psikotomimetik minimal pada kombinasi tersebut.8 Sebuah penelitian yang membandingkan kombinasi propofol – fentanyl (PF) dengan propofol – ketamin (PK) menunjukkan stabilitas hemodinamik pada kelompok PK sedangkan hipotensi didapatkan pada kelompok PF. Hal ini menjadi penting karena perubahan hemodinamik duranteoperatif secara bermakna akan meningkatkan resiko terjadinya komplikasi kardiak dan renal pasca operasi. Kedua kelompok tidak menunjukkan berbeda dalam perbandingan lamanya membuka mata spontan. Insiden PONV lebih banyak didapatkan pada kelompok PF dan tidak didapatkan efek psokotomimetik pada kelompok PK.9 Kombinasi propofol dan ketamin memberikan anestesi yang cukup nyaman untuk pembedahan dengan onset cepat, durasi yang cepat, stabilitas hemodinamik, 106 dan analgesia yang poten namun profil pulih sadar yang cukup bervariasi. Teknik TIVA kontinyu dengan menggunakan kombinasi propofol dan fentanyl telah umum digunakan di RSUP dr. Sardjito. Teknik tersebut dapat memberikan anestesi yang adekuat, namun dapat menyebabkan perubahan hemodinamik duranteoperatif yang bervariasi. Di rumah sakit tertentu di Indonesia khususnya di Yogyakarta dan Jawa Tengah, ketamin lebih mudah didapatkan dan lebih ekonomis dibandingkan fentanyl. Efek depresi napas lebih kecil terjadi sehingga lebih aman apabila digunakan di daerah terpencil. Hal ini tentunya dapat menjadi pertimbangan pemilihan obat kombinasi TIVA oleh dokter anestesi. Penelitian ini akan membandingkan stabilitas hemodinamik pada pasien yang menjalani sterilisasi ligasi tuba Metode Operasi Wanita (MOW) dengan TIVA kontinyu menggunakan dua kombinasi obat anestesi intravena, propofol-ketamin dengan propofol-fentanyl. Dosis yang digunakan untuk induksi propofol 2 mg/ kgbb dan ketamin 0,5 mg/kgbb dilanjutkan pemeliharaan propofol 2 mg/kgbb/jam dan ketamin 0,5 mg/kgbb/jam intravena dibandingkan dengan induksi propofol 2 mg/kgbb dan fentanyl 1 μg/kgbb dilanjutkan pemeliharaan propofol 2 mg/ kgbb/jam dan fentanyl 1 μg/kgbb/jam intravena. Penilaian stabilitas hemodinamik meliputi perubahan tekanan darah sistolik (TDS), tekanan arteri rerata (TAR) dan laju denyut jantung (DJ). Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia Tabel 1. Karakteristik Subyek Variabel PK PF (tahun) 37,7(4,57) 37,31(4,25) 0,667 Berat badan (Kg) 51,2(7,19) 49,8(5,29) 0,367 Tinggi Badan (cm) 155,1(4,12) 156,6(4,14) 0,130 BMI 21,3(2,77) 20,3 (2,15) 0,097 ASA n (%) n (%) I 35((100) 35(100) II 0 0 Umur p Hemodinamik Awal Systolik mmHg 118(11,38) 117,4(13,02) 0,815 Diastolik mmHg 73,31(7,11) 73,6(7,9) 0,849 TAR mmHg 88,3(7,86) 88,2 (9,09) 0,989 bpm 84,0(11,44) 80,4 (7,85) 0,127 DJ Tabel 2. Perbandingan persentase perubahan tekanan darah sistolik Propofol-Ketamin Waktu (menit) % Propofol-Fentanyl % Mean SD P Mean SD Induksi 4,3 (2,72) 15,5 (7,26) 0,000* Insisi 5 10 3,5 4,6 7,4 (3,95) (2,11) (1,37) 12,5 10,8 8,4 (6,96) (8,62) (4,89) 0,000* 0,000* 0,125 15 20 25 4,7 6,2 5,7 (2,66) (2,48) (2,05) 5,6 7,1 6,6 (3,11) (3,19) (3,11) 0,205 0,417 0,757 30 35 5,8 7,5 (2,93) (1,15) 6,7 8,4 (4,13) (4,04) 0,188 0,737 Data ditampilkan sebagai mean (SD) atau n(%) *p<0,05, independent t-test Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 107 Jurnal Anestesiologi Indonesia METODE Sampel pada penelitian ini adalah subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi yang diambil dari populasi terjangkau, yaitu wanita yang menjalani tindakan pembedahan Metode Operasi Wanita (ligasi tuba) menggunakan anestesi umum TIVA di Instalasi Kontrasepsi Mantap RSUP Dr. Sardjito. Kriteria inklusi meliputi subyek usia 30 – 45 tahun, dengan status fisik ASA I – II, BMI 18 – 30 kg/m2 dan telah menandatangani informed consent. Pasien dengan hipertensi. gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hepar, schizophrenia, riwayat pemakaian obat obatan golongan opioid dan monoamine oksidase inhibitor sebelumnya dan pasien yang memiliki alergi terhadap obat propofol, ketamin atau fentanyl tidak diikutsertakan dalam penelitian ini. Randomisasi dilakukan dengan cara randomisasi blok dengan tabel angka random untuk membagi sampel menjadi Grup A yang mendapat kombinasi induksi propofol 2 mg/kgbb + ketamin 0,5 mg/ kgbb iv dilanjutkan pemeliharaan dengan propofol 2 mg/kgbb/jam + ketamin 0,5 mg/kgbb/jam iv dan Grup B yang mendapat kombinasi induksi propofol 2 mg/kgbb + fentanyl 1 g/kgbb iv dilanjutkan pemeliharaan dengan propofol 2 mg/kgbb/jam iv + fentanyl 1 g/kgbb/jam iv. Kedua obat ditempatkan dalam spuit injeksi, ditutup kertas dan diberi label oleh petugas farmasi dan tidak diketahui tim peneliti. 108 Setelah mendapat persetujuan komite etik, subyek diberi penjelasan mengenai jalannya penelitian, dan setelah menyetujui ikut terlibat dalam penelitian, menandatangani informed consent. Di ruang persiapan pasien dipasang infus dengan kateter vena no. 18 G dengan threeway stop cock pada daerah punggung tangan dan diberikan infus kristaloid setengah kebutuhan cairan pengganti puasa dan dilanjutkan dengan pemeliharaan 2 ml/kgbb/jam, kemudian infus dihentikan. Penyediaan obat sesuai amplop randomisasi dan pembagian pasien dilakukan oleh petugas khusus (pembantu peneliti). Untuk induksi, Fentanyl, konsentrasi 50 μg/ml diencerkan menjadi konsentrasi 20 μg/ml dengan cara mengambil 2 ml fentanyl (100 μg) dan ditambahkan 3 ml NaCl 0,9 % menjadi total volume keseluruhan 5 ml dalam spuit 5ml. Ketamin, digunakan konsentrasi 10 mg/ml dalam spuit 5 ml. Untuk pemeliharaan ketamin konsentrasi 10 mg/ ml disiapkan dalam spuit 20 ml dan fentanyl konsentrasi 50 μg/ml diencerkan menjadi konsentrasi 20 μg/ml dengan cara mengambil 8 ml fentanyl dan ditambahkan NaCl 0,9% 12 cc dalam spuit 20 ml. Propofol konsentrasi 10 mg/ml disiapkan dalam spuit 20 ml dan semua obat terpasang pada syringe pump. Di kamar operasi, dilakukan pemasangan nasal kanul dengan oksigen 2–3 liter/menit. Lakukan pengukuran tekanan darah sistolik (TDS), tekanan darah diastolik (TDD) dan denyut jantung (DJ) sebelum dilakukan prosedur anestesi, data tersebut dicatat sebagai data awal. Diberikan sedasi Midazolam dengan dosis 0,05 mg/kgbb iv, Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia setelah 3 menit, dilakukan pencatatan TDD,TDS dan DJ, hasil pengukuran dicatat sebagai data sebelum induksi. Pada kelompok A diberikan injeksi ketamin (0,5 mg/kgBB IV) perlahan-lahan, kemudian injeksi Propofol (2 mg/kgBB IV) perlahan -lahan, dilanjutkan dengan Propofol (2 mg/kgBB/jam IV) dan ketamin (0,5 mg/ kgBB/jam IV). Sedangkan pada kelompok B Kelompok B diberikan injeksi fentanyl (1 μg/kgBB IV) perlahan-lahan, kemudian injeksi propofol (2 mg/kgBB IV) perlahan -lahan dilanjutkan dengan propofol 2/ kgBB/jam IV) dan fentanyl (1 μg/kgBB/ jam IV), menggunakan syringe pump. Setelah 3 menit dari awal injeksi ketamin dilakukan penilaian reflek bulu mata dan tes pinprick. Bila tidak ada respon pada tes pinprick maka dilakukan pencatatan TDS,TDD dan DJ sebagai data setelah induksi. Incisi kulit dilakukan Lakukan pengukuran TDS,TDD dan DJ sebagai data setelah incisi. Setiap interval 5 menit dilakukan pengukuran TDS,TDD dan DJ. Setelah selesai jahitan kulit, obat-obat anestesi dihentikan. Operasi selesai, pasien dipindah ke ruang pulih sadar. HASIL Penelitian dilakukan di Instalasi Kontrasepsi Mantap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta mulai tanggal 23 Agustus 2011 sampai dengan 20 Oktober 2011 setelah mendapatkan ethical clearance dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penelitian dilakukan dengan jumlah sampel sebanyak 70 orang. Data yang tercatat pada formulir yang telah disediakan, dilakukan tabulasi Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 dan di analisis dengan menggunakan perangkat lunak SPSS versi 18.0. Data karakteristik umum pasien antara kedua kelompok meliputi: umur, berat badan, tinggi badan, Body Mass Index (BMI), klasifikasi ASA dan data hemodinamik awal dapat dilihat pada Tabel 1. Data karakteristik subyek untuk variabelvariabel: umur, berat badan, tinggi badan, BMI dan hemodinamik awal dianalisis dengan t-test tidak berpasangan dimana secara statistik kedua kelompok propofolketamin (PK) maupun propofol-fentanyl (PF) tidak berbeda bermakna (P < 0,05 ) sehingga karakteristik subyek penelitian setara. Perbandingan tekanan darah sistolik (TDS), tekanan arteri rerata (TAR) dan laju denyut jantung (DJ) pada kedua kelompok dan hasil uji statistik dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna bila persentase perubahan hemodinamik dibandingkan antara kedua kelompok. Pada kelompok PF tekanan sistolik mengalami perubahan sebesar > 10 % didapatkan pada saat setelah induksi 15,5 (7,26) %, setelah insisi 12,5 (6,96) %, menit ke-5 sebesar 10,8 (8,62) % dimana berbeda bermakna dengan kelompok PK saat induksi 4,3 (2,72) %, saat insisi 3,5 (3,95) % dan menit ke-5 sebesar 4,6 (2,11) %. Pada menit berikutnya perbedaan yang terjadi tidak bermakna secara statistik. 109 Jurnal Anestesiologi Indonesia Tabel 3. Perbandingan persentase perubahan tekanan arteri rerata Propofol-Ketamin % Mean SD Waktu (menit) Induksi Insisi 5 10 15 20 25 30 35 4,6 6,3 6,3 6,2 5,2 5,2 4,0 4,2 2,8 (2,35) (2,37) (1,39) (1,98) (3,24) (2,41) (2,67) (2,50) (1,77) Propofol-Fentanyl % Mean SD 14,0 11,6 8,3 6,8 6,1 4,7 4,5 4,3 1,9 (8,34) (6,30) (5,20) (4,89) (5,15) (3,32) (3,58) (2,42) (1,65) P 0,000* 0,000* 0,028* 0,531 0,415 0,051 0,178 0,386 0,171 Data ditampilkan sebagai mean (SD) atau n(%) *p<0,05, independent t-test Tabel 4. Perbandingan persentase perubahan laju denyut jantung Propofol-Ketamin Propofol-Fentanyl % % Waktu (menit) P Mean SD Mean SD Induksi 3,5 (2,63) 14,2 (6,52) 0,000* Insisi 4,2 (2,68) 9,3 (8,19) 0,018* 5 6,6 (1,71) 8,7 (4,50) 0,019* 10 7,0 (0,98) 7,2 (4,77) 0,123 15 6,0 (0,78) 7,1 (5,59) 0,218 20 6,2 (1,14) 6,4 (4,33) 0,371 25 5,6 (2,15) 5,7 (3,31) 0,565 30 5,9 (1,57) 4,9 (1,35) 0,031* 35 7,0 (2,83) 4,2 (2,69) 0,009* Data ditampilkan sebagai mean (SD) atau n(%) *p<0,05, independent t-test 110 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia Tabel 3 menunjukkan pada kelompok PF terjadi perubahan tekanan arteri rerata sebesar > 10 % didapatkan pada saat setelah induksi sebesar 14,0 (8,34) % dan setelah insisi 11,9 (6,30) %. Pada menit ke -5 sebesar 8,3 (5,20) % juga didapatkan beda bermakna dengan kelompok PK yaitu saat induksi 4,6 (3,18) % dengan p=0,000, saat insisi 6,3 (1,03) % dengan p=0,000 dan menit ke-5 sebesar 6,3 (2,11) % dengan p=0,028. Tabel 4 menunjukkan pada kelompok PF terjadi perubahan laju denyut jantung sebesar > 10 % didapatkan pada saat setelah induksi sebesar 14,2 (6,52) %. Perubahan saat setelah insisi 9,3 (8,19) % dan menit ke-5 sebesar 8,7 (4,50) % juga berbeda bermakna dengan kelompok PK yaitu saat induksi 3,5 (2,63) % dengan p=0,000, saat insisi 4,2 (2,68) % dengan p=0,018 dan menit ke-5 sebesar 6,6 (1,71) % dengan p=0,019. Penambahan obat propofol 0,5 mg/kgbb diberikan pada saat durante operasi dengan tanda-tanda pasien akan terbangun atau adanya gerakan, yaitu pada 7 pasien (20 %) pada kelompok PK dan 10 pasien (28,5 %) pada kelompok PF, namun tidak bermakna secara statistik (p=0,472). Frekuensi penambahan obat pada kelompok PK 1,4 (0,53) kali sedangkan pada kelompok PF 1,5 (0,70) kali pemberian dan tidak bermakna secara statistik (p=0,825). Total dosis propofol yang ditambahkan pada kelompok PK 28,6 (10,69) mg sedangkan pada kelompok PF 30,0 (14,14) mg dan tidak bermakna secara statistik (p=0,825). Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 PEMBAHASAN Data demografi menunjukkan bahwa pada karakteristik dasar kedua kelompok dan dari masing-masing variabel umur, berat badan, tinggi badan, BMI, ASA dan parameter hemodinamik awal baik tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rerata dan laju denyut jantung tidak didapatkan perbedaan bermakna sehingga kedua kelompok layak untuk dibandingkan. Terdapat perbedaan durasi operasi pada kedua kelompok dimana kelompok PK dengan rerata durasi 27,9 (9,66) menit dan kelompok PF 24,1 (5,59) menit. Durasi operasi lebih dari 35 menit pada kelompok PK didapatkan pada 4 pasien dan 1 pasien pada kelompok PF dimana penyebabnya adalah faktor kesulitan visualisasi tuba oleh operator. Rerata selisih waktu yang diperlukan mulai saat induksi hingga operator memulai dimulai insisi adalah 5 (0,24) menit pada kelompok PK dan 5,14 (0,55) menit pada kelompok PF (p=0,166). Perbandingan persentase perubahan hemodinamik bila dibandingkan antara kedua kelompok menunjukkan beda bermakna. Tekanan darah sistolik pada kelompok PF mengalami perubahan sebesar > 10 % didapatkan pada saat setelah induksi 15,5 (7,26) %, setelah insisi 12,5 (6,96) %, menit ke-5 sebesar 10,8 (8,62) % dimana berbeda bermakna dengan kelompok PK saat induksi 4,3 (2,72) %, saat insisi 3,5 (3,95) % dan menit ke-5 sebesar 4,6 (2,11) %. 111 Jurnal Anestesiologi Indonesia Perubahan tekanan arteri rerata sebesar > 10 % didapatkan pada saat setelah induksi sebesar 14,0 (8,34) % dan setelah insisi 11,9 (6,30) % pada kelompok PF. Pada menit ke-5 sebesar 8,3 (5,20) % juga didapatkan beda bermakna dengan kelompok PK yaitu saat induksi 4,6 (3,18) % dengan p=0,000, saat insisi 6,3 (1,03) % dengan p=0,000 dan menit ke-5 sebesar 6,3 (2,11) % dengan p=0,028. Pada kelompok PF terjadi perubahan laju denyut jantung sebesar > 10 % didapatkan pada saat setelah induksi sebesar 14,2 (6,52) %. Perubahan saat setelah insisi 9,3 (8,19) % dan menit ke-5 sebesar 8,7 (4,50) % juga berbeda bermakna dengan kelompok PK yaitu saat induksi 3,5 (2,63) % dengan p=0,000, saat insisi 4,2 (2,68) % dengan p=0,018 dan menit ke-5 sebesar 6,6 (1,71) % dengan p=0,019. Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Mahajan et al. (2010), Bajwa et al. (2010) dan Almeida 2005 yang membandingkan kombinasi propofol – fentanyl (PF) dengan propofol – ketamin (PK) dimana didapatkan penurunan bermakna pada keempat parameter hemodinamik tersebut. Penurunan yang terjadi pada saat induksi, setelah insisi dan menit-menit awal pada kelompok PF lebih besar dan melebihi rentang 10 % dari hemodinamik awal sehingga dapat dikatakan stabilitas hemodinamik pada kelompok PK lebih baik daripada kelompok PF meskipun kemudian, rerata persentase perubahan hemodinamik pada kedua grup berada dalam rentang kurang dari 10 % dibandingkan hemodinamik sebelum 112 induksi. Perlu dicermati bahwa perubahan hemodinamik duranteperatif merupakan salah satu prediktor kejadian komplikasi pascaoperasi dimana beberapa poin penting dalam pengendalian hemodinamik intraoperatif.10 Saat dilakukan insisi tidak didapatkan gerakan pada semua subyek penelitian, sehingga tidak dibutuhkan penambahan obat. Hal ini menunjukkan bahwa ketamin pada dosis 0,5 mg/kg untuk induksi dilanjutkan dosis pemeliharaan 0,5 mg/ kgbb/jam dapat memberikan analgesi yang baik sebanding dengan fentanyl 1 μg/kgbb yang dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1 μg/kgbb/jam. Dosis ketamin 0,5 mg/kgbb telah digunakan dalam penelitian sebelumnya pada tindakan debridement luka bakar dimana didapatkan efek analgesi yang cukup adekuat. 11 Selama operasi penambahan propofol diberikan karena adanya gerakan atau tanda-tanda pasien akan bangun pada saat dilakukan eksplorasi lebih dalam oleh operator dan bila terjadi takikardiatau hipertensi. Penambahan propofol diperlukan pada kedua kelompok meski tidak berbeda bermakna secara statistik. Tujuh pasien (20 %) pada kelompok PK dan 10 pasien (28,5 %) pada kelompok PF memerlukan penambahan propofol bolus sebesar 0,5 mg/kgbb. Frekuensi penambahan obat pada kelompok PK 1,4 (0,53) kali sedangkan pada kelompok PF 1,5 (0,70) kali pemberian dan tidak bermakna secara statistik (p=0,825). Total dosis propofol yang ditambahkan pada kelompok PK 28,6 (10,69) mg sedangkan Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia pada kelompok PF 30,0 (14,14) mg dan tidak bermakna secara statistik (p=0,825). Penambahan ini mungkin dapat menjadi pertimbangan perlunya menaikkan dosis pemeliharaan propofol kontinyu yang pada penelitian ini diberikan 2 mg/kgbb/jam. Penelitian sebelumnya oleh Mahajan, et al. (2010) yang menggunakan dosis propofol yang diberikan dengan dosis 4 mg/kgbb/jam, penelitian Bajwa, et al. (2010) menggunakan dosis rumatan propofol 2 mg/kgbb/jam, sedangkan Almeida (2005) menggunakan dosis propofol titrasi 10 mg/kgbb/jam yang diturunkan 2 mg/kgbb/jam tiap 10 menit dan dilanjutkan titrasi yang dimulai dengan dosis 4 mg/kgbb/jam.9,6,11 Selama pemantauan baik setelah induksi maupun durante operasi hingga selesai tidak didapatkan kejadian penurunan SpO2 hingga dibawah 95 %, kedua kombinasi obat masih memungkinkan ventilasi spontan yang adekuat. Beberapa penelitian sebelumnya dengan dosis fentanyl yang lebih besar dari 1 μg/kgbb/ jam menunjukkan kecenderungan terjadinya depresi napas baik selama operasi maupun di ruang pemulihan.6 Selama operasi tidak didapatkan kejadian bradikardi yang membutuhkan penatalaksanaan khusus. Walaupun terjadi penurunan laju denyut jantung, namun penurunan tersebut tidak disertai gejolak yang bermakna dan berlangsung singkat. Kedua kombinasi obat baik propofolketamin dan propofol-fentanyl memberikan kondisi pascaanestesi yang Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 cukup nyaman tanpa adanya keluhan mual muntah selama observasi di ruang pulih sadar. Efek anti emetik pada propofol dapat menurunkan angka kejadian PONV pada penggunaan ketamin dengan dosis 0,5 mg/kgbb/jam maupun fentanyl 1 μg/ kgbb/jam. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa dosis subhipnotik ketamin 0,5 sampai 1 mg/kgbb/jam dengan kombinasi infus propofol dapat memberikan analgesia tanpa depresi hemodinamik dan kejadian PONV, sedangkan pada dosis lebih besar 1,4 mg/ kgbb/jam secara bermakna meningkatkan kejadian PONV.7 SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian propofol – ketamin vs propofol – fentanyl dapat disimpulkan bahwa hemodinamik pada TIVA kontinyu kombinasi propofol – ketamin (PK) lebih stabil dibandingkan TIVA kontinyu kombinasi propofol – fentanyl (PF) pada operasi MOW. DAFTAR PUSTAKA 1. Loose, E., Egan, T.D., 2006. Short-acting Intravenous Anesthetics. In R.L. Hines, ed. Ambulatory Anesthesia. Philadelphia: Mosby Elsevier. 39. 2. Lerman, J., 2009. TIVA,TCI and Pediatrics: Where are we and where are we going. Available at: http://www.utswanesthesia.com [Accessed 2 March 2011] 3. Aitkenhead, A.R., 2003. Intravenous anesthetic agents. In A.R. Aitkenhead, D.J. Rowbotham & S. Graham, (eds). Textbook of anesthesia. 4th ed. Philadelphia: Elsevier. 184-9. 4. Reves, J.G., Glass, P.S., Lubarsky, D.A., McEvoy, M.D., 2010. Intravenous anesthetics. In Miller, R.D. ed. Miller's Anesthesia. 7th ed. Philadelphia: Elsevier. 10:719-59. 113 Jurnal Anestesiologi Indonesia 5. Stoelting, R.K., Hillier, S.C., 2006. Nonbarbiturate intravenous anesthetic drugs. In Brown, B., Murphy, F. (eds). Pharmacology and Physiology In Anesthetic Practice. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 1:155 6. Bajwa, S.J., Bajwa, S.K., Kaur, J., 2010. Comparison of two drug combinations in total intravenous anesthesia: propofol-ketamine and propofol-fentanyl. Saudi J Anest, 4(2):72-9 7. Badrinath, S., Avramov, N., Shadrick, M.,Witt, T.R., Ivankovich, A., 2000. The use of a ketamine-propofol combination during monitored anesthesia care. Anest analg, 90:858 -62. 8. Messenger, D.W., Messenger, D.W., Murray, H.E., Dungey, P.E., Vlymen, J., Sivilotti, M.L., 2008. Subdissociative-dose ketamine versus 114 fentanyl for analgesia during propofol procedural sedation: a randomized clinical trial. Am Emergency Med J, 15:877-86 9. Mahajan, R., Swarnkar, N., Ghosh, A., 2010. Comparison of ketamine and fentanyl with propofol in total intravenous anesthesia: a double blind randomized clinical trial. Internet J Anest, 23 10. Charlson, M.E., MacKenzie, R., Gold, J.P., Ales, K.L., Topkins, M., Shires, T., 1990. Intraoperative blood pressure : what patterns identify patients at risk for postoperative complications. Ann. Surg, 560-80. 11. Almeida, S.L., 2005. Comparative evaluation of propofol-ketamine and propofol fentanyl in management of pain during dressing changes in patients with burns. Available at: http:// www.rila.co.uk [Accessed 4 March 2011] Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia PENELITIAN Pengaruh Anestesi Regional dan General pada Sectio Cesaria pada Ibu dengan Pre Eklampsia Berat terhadap Apgar Score Nurhadi Wijayanto*, Ery Leksana**, Uripno-Budiono** *Bagian Anestesiologi RSU Bhayangkara Sartika Asih Bandung **Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang ABSTRACT Background: in patients with severe preeclampsia intubation is dangerous because of the actions associated with airway management and hemodynamic fluctuations that may occur. Spinal anesthesia avoided many risks associated with hypotensive but some studies have shown that spinal anesthesia is safe for both mother and fetus. debate about the influence of general anesthesia and spinal anesthesia on Apgar score is something interesting. Some research suggests that there was no difference in anesthesia on both of them but other studies say that the appreciation of the general anesthesia will result in a lower than spinal anesthesia. Objective: to compare the influence of general anesthesia and spinal anesthesia on children born to mothers with a sectio caesaria because of severe preeclampsia. Methods: an experimental study design with prospective randomized control trial study, the research group is divided into two (n: 8), Group I is the group that received general anesthesia with pentothal 5mg/bb dose and dose muscle paralytic suksinilkholis 1.5mg/bb Conclusion: Apgar score in the group of spinal anesthetics are higher than general anesthesia in patients with sectio caesaria because of severe preeclampsia, but clinically by Apgar score categories of the two groups together Key words: pre-eclampsia, Apgar score, spinal anesthesia, sectio Cesaria, hemodynamic ABSTRAK Latar belakang: pada pasien preeklampsia berat intubasi merupakan tindakan yang berbahaya karena berkaitan dengan menejeman jalan napas dan gejolak hemodinamik yang mungkin terjadi. Anestesi spinal banyak dihindari berkaitan dengan resiko hipotensinya namun beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa anestesi spinal adalah aman bagi ibu maupun janin . perdebatan tentang pengaruh anestesi umum dan anestesi spinal terhadap Apgar score adalah sesuatu yang menarik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan anestesi pada keduanya namun pada penelitian lainnya dikatakan bahwa dengan apresiasi umum akan menghasilkan anestesi yang lebih rendah daripada anestesi spinal. Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 115 Jurnal Anestesiologi Indonesia Tujuan : untuk membandingkan pengaruh anestesi umum dan anestesi spinal terhadap anak yang dilahirkan oleh ibu dengan sectio caesaria karena preeklampsia berat. Metode : merupakan penelitian eksperimental dengan desain penelitian prospective randomized control trial, kelompok penelitian dibagi menjadi dua (n:8), kelompok I merupakan kelompok yang mendapat anestesi umum dengan pentothal dosis 5mg/bb dan pelumpuh otot suksinilkholis dosis 1.5mg/bb Kesimpulan : Apgar score pada kelompok anesthesi spinal lebih tinggi daripada anestesi umum pada pasien sectio caesaria karena preeklampsia berat, tetapi secara klinis berdasarkan kategori Apgar score kedua kelompok sama Kata kunci : preeklampsia, Apgar score, anestesi spinal, sectio cesaria, hemodinamik PENDAHULUAN Kurang lebih 50.000 ibu meninggal karena preeklampsia tiap tahun diseluruh dunia dan hipertensi pada kehamilan menyebabkan 15%-20% kematian ibu dan kurang lebih 30% bayi yang dilahirkan mengalami asfiksia selama persailinan dan IUFD (intrauterine fetal death sebesar 12% kematian perinatal terjadi karena asfiksia. Hipertensi merupakan penyebab ketiga kematian ibu di USA setelah tromboembolisme dan pendarahan.1,2 Sebuah penelitian yang dilakukan di Yogyakarta mendapatkan bahwa preeklampsia akan meningkatkan resiko terjadinya asfiksia berat sebesar 15 kali dibanding kehamilan normotensi, sedangkan untuk terjadinya asfiksia sedang meningkat 2,9 kali.3 Asfiksia terjadi bila pada saat neonatus lahir mengalami gangguan gas dan transport O2 sehingga menderita kekurangan persediaan O2 dan kesulitan mengeluarkan CO2. Salah satu penyebab terjadinya asfiksia adalah adannya 116 penurunan perfusi uteroplasenta akibat tindakan anestesi yang diberikan. Pada waktu yang lampau istilah hipertensi selama kehamilan masih membingungkan namun demikian The National High Blood Pressure Education Program Working Group telah merekomendasikan bahwa istilah hipertensi gestasional diganti dengan pregnancy-induced hypertension untuk mendiskripsikan naiknya tekanan darah disertai proteinuria. Setelah kehamilan 20 minggu dan dan kemudian menurun pada post partum, sebanyak 25% wanita dengan hipertensi gestasional akan timbul proteinuria dan sindrom 1 preeklampsia. Preeklampsia merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari hipertensi dan proteinuria setelah kehamilan berumur 20 minggu. lstilah eklampsia digunakan bila sindrom preeklampsia melibatkan system saraf pusat sehingga berakibat kejang. Istilah HELLP Syndrome digunakan pada preeklampsia dengan hemolysis elevated liver enzymes, and low platelet meskipun kaitan antara preeklampsia dengan HELLP syndrome tidak jelas 1,2,3 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia Preeklampsia terjadi pada 5% sampai 9% dari semua kehamilan meskipun prevalensi berbeda-beda ditiap Negara. Di United States 7%-10% wanita menderita preeklampsia, di Singapura 0,13-6,6%, sedangkan di Indonesia 3,48,5% dan ini menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas ibu dan neonatus . Antara tahun 1979 dan 1986 insidensi preeklampsia rneningkat dari 2,4 per 1000 persalinan, menjadi 5,2 per 1.000 persalinan di USA. Pada penelitian terhadap 40.124 kelahiran yang berkaitan dengan kematian ibu setelah kehamilan 20 minggu di USA antara 1979 dan 1992. Telah dilaporkan bahwa rata-rata kematian ibu karena preeklampsia atau eklampsia adalah 1.5 kematian dari 100.000 kelahiran hidup. 1,4 Sectio caesaria merupakan metode untuk melahirkan bayi melalui irisan pada abdomen dan uterus. Asal mula nama ini tidak jelas walaupun secara luas diyakini bahwa nama ini berasal dari nama Julius Caesar walaupun Julius Caesar tidak dilahirkan dengan metode ini. Mungkin nama ini berasal dari peraturan yang dahulu digunakan yaitu berdasar undangundang Julius Caesar. Berdasarkan Center for Disease Control and Prevention (CDC) lebih dari 700.000 orang menjalani sectio caesaria yang pertama dan 400.000 wanita menjalani sectio caesaria berulang tiap tahun. Jumlah total sectio caesaria adalah 29% selama tahun 2004. Wanita dengan preeklampsia menunjukkan peningkatan untuk dilakukan pengakhiran kehamilan dengan sectio caesaria, dalam satu penelitian didapat 83% yang Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 didiagnosis preeklampsia menjalani sectio caesaria.2 Beberapa pasien yang memerlukan tindakan sectio caesaria tentunya memerlukan penatalaksanaan anestesi. Karena bahaya yang mungkin timbul berkaitan dengan manajemen jalan napas dan gejolak hemodinamik pada saat intubasi maka anestesi umum dipilih bila ada kontra indikasi terhadap anestesi regional. Anestesi epidural digunakan pada saat pasien dengan preeklampsia berat, meskipun anestesi spinal banyak dihindari berkaitan dengan resiko hipotensinya namun dari beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa efek anestesi spinal dan epidural terhadap hemodinamik sama. Perdebatan tentang pengaruh anestesi umum dan anestesi spinal terhadap Apgar score adalah sesuatu yang menarik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan Apgar score pada keduanya namun pada penelitian lainnya dikatakan bahwa dengan anestesi umum akan menghasilkan Apgar score yang lebih rendah daripada anestesi spinal. Telah dilakukan penelitian tingkat stress hormone selama anestesi. Pada Kelompok yang dilakukan anestesi umum, adrenocorticotrophic hormone (ACTH) dan betaendorphin meningkat secara bermakna pada saat insisi kulit, tetapi perubahan ini tidak terjadi pada anestesi epidural. Epinefrin dan norepinefrin plasma meningkat secara bermakna pada saat insisi kulit untuk pasien dengan anestesi umum sedangkan anestesi epidural perubahannya tidak bermakna. 117 Jurnal Anestesiologi Indonesia Anestesi regional yang digunakan dapat menggunakan anestesi epidural atau anestesi spinal karena keduanya menunjukkan efek hermodinamik yang stabil dan tidak bermakna.1,5,6 Pada wanita dengan preeklampsia, anestesi spinal mempunyai beberapa keuntungan yaitu menghindari kesulitan intubasi pada anestesi umum dan mencegah gejolak intubasi, onset yang cepat, lebih mudah dikerjakan, lebih terpercaya jika dibandingkan dengan anestesi epidural, mempunyai resiko yang lebih kecil dalam menyebabkan trauma di ruang epidural sehingga menurunkan resiko hematom.1,5 Pemeriksaan penunjang dan penilaian dalam penatalaksanaan asfiksia, dapat dilakukan dengan : pemantauan janin (klinik dan kardiotokografi), analisis gas darah, USG kepala, Computed Tomografi, MRI, EEG dan Apgar score.7 Apgar score merupakan metode untuk melakukan penilaian terhadap bayi baru lahir secara cepat. Penilaian tersebut meliputi lima komponen yang dengan mudah dpt dilakukan. Kelima komponen itu meliputi laju jantung, usaha bernapas, tonus otot, refleks dan warna kulit, dan reflek tergantung dari maturitas fisiologi bayi. Bayi preterm yang sehat tanpa riwayat asfiksia mungkin saja mendapat score yang rendah karena imaturitasnya. Sejumlah faktor pada fetus dipengaruhi oleh penurunan konsentrasi oksigen yang dihirup oleh ibu, penurunan aliran darah uterus, penurunan aliran darah umbilikus, emboli uteroplasenta, pendarahan pada 118 ibu, kombinasi dari hipoksemia dan hipotensia. METODE Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain penelitian prospective randomized control trial, kelompok penelitian dibagi menjadi dua sebagai berikut, Kelompok I mendapat anestesi umum, yang rnerupakan kelompok kontrol, Kelompok II mendapat anestesi spinal.Tempat penelitian adalah instalasi bedah sentral dan ruang operasi UGD Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang. Waktu penelitian adalah 4 bulan sejak usulan di setujui. Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah pasien dengan preeklampsia berat yang akan menjalani SC, tidak ada riwayat alergi dengan obat-obat anestesi yang akan diberikan, kehamilan aterm, sedangkan Kriteria eksklusi dari penelitian ini adalah pasien menolak untuk ikut dalam penelitian, kontraindikasi untuk dilakukan anestesi umum atau anestesi spinal, BMI > 35 kg/m2, mallampati > 2, koagulasi yang abnormal, trombositopeni (trombosit 75 X 109/1), SIRS/Sepsis, deformitas tulang belakang, kehamilan kembar, fetal distress, partus lama, bayi preterm atau serotinus, penderita diabetes mellitus, perdarahan antepartum dan perdarahan intrapartum, ruptur uteri. Jumlah sampel yang diperlukan untuk penelitian ini adalah 16 sampel, yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok I (anestesi umum) dan kelompok II (anestesi spinal), masing- Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia masing kelompok berjumlah 8 sampel. Randomisasi dilakukan sebelum operasi. Penderita dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok I dan II. Kelompok II mendapatkan anestesi spinal dengan bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg, fentanil 25 ug. Sebelum diberikan anestesi spinal diberikan pemberian koloid HES 6% dalam larutan berimbang sebanyak 500 ml, kelompok I mendapatkan anestesi umum dengan pentothal 5% 5 mg/kg bb, suksinilkholin 1,5 mg/kgbb kemudian dilakukan intubasi 1 menit kemudian, analgetik diberikan tramadol 2mg/kgbb, rumatan anestesi dengan menggunakan 50% N2O dalam O2 dan 0,75-1,5% isoflurane. Setelah bayi lahir dilakukan penilaian Apgar score oleh dokter anak/ residen anak. Data yang terkumpul dibagi, menjadi dua kelompok. Yaitu kelompok I yang mendapatkan anestesi umum dan kelompok II yang mendapatkan anestesi spinal. Data-data tersebut meliputi data demografi dasar, status obstetrik, umur kehamilan, hemoglobin ibu, gula darah sewaktu melahirkan, hemodinamik ibu, berat badan bayi baru lahir dan Apgar score. HASIL Pada Tabel 1, Rerata (simpangan baku) umur ibu, kelompok I, kelompok II berturut-turut adalah 26,75 (7,09) tahun dan 29,63) tahun. Keadaan tersebut berbeda tidak bermakna antara kedua kelompok ( p= 0,408). Umur ibu pada kedua kelompok sama. Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Rerata (simpangan baku) umur kehamilan kelompok I dan kelompok II berturutturut adalah 37,25 (1,58) minggu dan 38,00 (1,60) minggu, sehingga umur kehamilan pada kedua kelompok berbeda tidak bermakna (p=0,328). Umur kehamilan antara kelompok I dan II adalah sama. Rerata (simpangan baku) kadar hemoglobin (Hb) kelompok I dan kelompok II berturut-turut adalah 10,87 (0,63) g% dan 11,16 (1,04) g%. Kadar Hb pada dua kelompok berbeda tidak bermakna (p=0,516), sehingga kadar Hb pada kedua kelompok adalah sama. Rerata (simpangan baku) kadar gula darah sewaktu (GDS) kelompok I dan Kelompok II berturut-turut adalah 103,50 (20,87) mg/dL dan 102,75 (8,88) mg/dL. Kadar GDS antara kedua kelompok berbeda tidak bermakna (p= 0,927), sehingga kadar GDS antara kedua kelompok adalah sama. Demikian juga berdasarkan indikasi c=section kedua kelompok berbeda tidak bermakna (p=0,41), sehingga berdasarkan indikasi sectio caesaria kedua kelompok adalah sama. Rerata (simpangan baku) waktu insisilahir kelompok I dan Kelompok II berturut -turut adalah 7,25 (0,46) menit dan 7,5 (0,93) menit. Kedua kelompok menunjukkan adanya perbedaan yang tidak bermakna waktu insisi-lahir (p=0,574), sehingga berdasarkan waktu insisi-lahir kedua kelompok adalah sama. Rerata (simpangan baku) berat bayi lahir kelompok I dan kelompok II berturutturut adalah 2869 (266) gram dan 2981 (474) gram. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang tidak 119 Jurnal Anestesiologi Indonesia bermakna berat bayi lahir antara kedua kelompok (p=0,568). Rerata (simpangan baku) waktu insisilahir kelompok I dan Kelompok II berturut -turut adalah 7,25 (0,46) menit dan 7,5 (0,93) menit. Kedua kelompok menunjukkan adanya perbedaan yang tidak bermakna waktu insisi-lahir (p=0,574), sehingga berdasarkan waktu insisi-lahir kedua kelompok adalah sama. Rerata (simpangan baku) berat bayi lahir kelompok I dan kelompok II berturutturut adalah 2869 (266) gram dan 2981 (474) gram. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang tidak bermakna berat bayi lahir antara kedua kelompok (p=0,568). Berat bayi lahir antara kedua kelompok adalah sama (tabel 2). Dari grafik 1 dapat dilihat pada kelompok I hanya terdapat dua sampel (25%) dengn riwayat partus satu kali, sedangkan sisanya belum pernah melahirkan sebelumnya. Sebaliknya pada kelompok II terdapat lima sampel (62,5%) dengan riwayat partus satu kali, sedangkan sisanya belum pernah melahirkan sebelumnya. Rerata (simpangan baku) Apgar score menit ke 1,5. 10 kelompok I dan kelompok II berturut-turut adalah 7,00 (1,07),7,88 (0,84), 9,00 (0,76) dan 8,63 (0,52), 9,50 (0,53),9,88(0,35). Terdapat perbedaan bermakna Apgar score menit ke 1,5 dan 10 antara kelompok I dan II. Apgar score menit ke-1, 5,10 pada kelompok II lebih tinggi daripada kelompok I (tabel 3). Berdasarkan ketegori klinis Apgar score dikategorikan menjadi 3 yaitu Apgar score 0 – 3 (asfiksia berat), Apgar score 4 -6 (asfiksia ringan), Apgar score 7 – 10 (normal). Pada kelompok I menit ke – 1 ada sampel yang masuk kategori asfiksia ringan sebanyak 3 sampel, sedangkan pada menit ke – 5 dan 10 semua sampel masuk dalam kategori normal. Pada kelompok II semua sampel adalah normal, baik pada menit ke – 1, menit ke – 5, maupun menit ke – 10 . berdasarkan uji beda terdapat perbedaan tidak bermakna antara dua kelompok baik pada menit ke – 1 (p = 0,234), menit ke - 5 (p = 1,00) dan menit ke – 10 (p = 1,00), sehingga bedasarkan kategori klinis kedua kelompok sama Hipotensi berdasarkan tekanan darah sistolik menunjukkan bahwa semua sampel kelompok I tidak ada yang hipotensi sedangkan pada kelompok II terdapat dua sampel (25%) yang hipotensi dan sisanya (75%) tidak hipotensi. Sementara itu apabila hipotensi berdasarkan MAP, maka terdapat seorang sampel (12,5%) dari kelompok I yang bipotensi dan tiga sampel (37,5%) dari kelompok II (grafik 2). Berdasarkan uji Fisher’s Exact menunjukkan bahwa kejadian hipotensi berdasarkan tekanan darah sistolik dan MAP pada kedua kelompok berbeda tidak bermakna (p=0,233) dan (p=0,285) kedua kelompok sama PEMBAHASAN Perdebatan tentang anestesi spinal pada 120 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia Tabel 1. Umur, umur kehamilan, kadar Hb dan kadar GDS, indikasi sectio caesaria Kelompok Perlakuan Variabel Kelompok I Umur (tahun) Umur Kehamilan (minggu) Kadar Hemoglobin (g%) Kadar GDS (mg/dL) Indikasi sectio caesaria Panggul sempit Disproporsi kepala panggul Malpresentasi Partus tak maju Keterangan: P Kelompok II 26,75 (7,09) 37,25 (1,58) 10,87 (0,63) 103,50 (20,87) 29,63(6,37) 38,00 (1,60) 11,16 (1,04) 102,75 (8,88) 0,4081 0,3282 0,5161 0,9271 0 0 4 4 1 0 2 5 0,4113 1 : independen t test : mann whitney test 3 : chi-square test 2 Tabel 2. Waktu insisi- lahir dan berat bayi lahir Variabel Kelompok perlakuan p Kelompok I Kelompok II Insisi-lahir (menit) 7,25 (0,46) 7,50 (0,93) 0,5742 Berat bayi lahir (gram) 2868 (266) 2981( 474) 0,5681 Ket : 1 = independent t test 2 = mann whitney test Grafik 1. Distribusi frekuensi (dalam %) riwayat partus di antara kedua kelompok Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 121 Jurnal Anestesiologi Indonesia preeklamasia berat saat ini telah ditinggalkan. Penelitian yang telah dilaksanakan di Perancis pada tahun 2003 menunjukkan bahwa anestesi spinal pada pasien preeklampsia berat menunjukkan bahwa anestesi spinal pada pasien preeklampsia berat menunjukkan hipotensi yang lebih rendah daripada anesthesia spinal pada pasien sectio caesaria tanpa preeklampsia. Resiko hipotensi enam kali lebih rendah pada pasien dengan preeklampsia berat dari pada pasien tanpa preeklampsia.5 Ada dua hal yang mengatur tekanan darah yaitu tonus vaskuler yang diperantarai oleh jalur simpatis dan jalur endothelial jalur simpatis menuju pembuluh darah berubah dengan tindakan anestesi spinal pada pasien preeklampsia berat maupun pada pasien tanpa preeklampsia. Perhatian tertuju pada jalur endothelial. Akibat kegagalan invasi trophoblast menyebabkan penurunan perfusi utero plasenta. Plasenta wanita dengan preeklampsia menunjukkan adanya peningkatan frekuensi infark dan perubahan morfologi karena adanya proliferasi sitotrofoblast yang abnormal dan adanya peningkatan pembentukakan syncytial knots. Endothelium vaskuler mempunyai beberapa fungsi penting termasuk mengontrol tonus vaskuler dengan melepaskan beberapa zat yang bersifat vasokonstriktor dan vasodilator dan mengatur fungsi antikoagulasi, antiplatelet dan fibrinolisis. Hal ini menunjukkan bahwa pelepasan beberapa zat dari palsenta sebagai respon dari iskemia 122 plasenta menyebabkan disfungsi endothel sirkulasi ibu. Disfungsi endothel merupakan tanda awal preeklampsia dan hal ini merupakan penyebab dan bukan akibat dari ganggguan kehamilan.8 Selama kehamilan normal terjadi peningkatan aktivitas endothelial Nitric Oxide Synthase (NOS) dan Cyclooxigenase (COX) dan peningkatan produksi nitric oxide (NO), prostacyclin (PG12), dan endothelium-derived hyperpolarizing factor (EDHF). NO meningkatkan cGMP dan PG12 Meningkatkan c GMP dan PG12 meningkatkan cAMP pada otot polos, Ca2+ intraseluler mengalami penurunan dan miofilamen menjadi sensitif terhadap Ca2+. Demikian juga EDHF akan membuka K+ channels, sehingga menyebabkan membran otot mengalami hiperpolarisasi. hal ini menyebabkan relaksasi otot polos dan penurunan tahanan perifer serta penurunan tekanan arteri. Pada preeklampsia terjadi meningkatkan pelepasan sitokin plasenta yang menghambat produksi endotheliumderived relaxing factor sehingga terjadi penurunan relaksasi otot polos. Sitokin juga merangsang pelepasan endotheliumderived contracting factor seperti endothelin-1 (ET-1) dan tromboksan A2 (TXA2) dan mengaktifkan reninangiotensin system (RAS) di ginjal sehingga meningkatkan ANG II. Endothelin-1, TXA2, dan ANG II merangsang reseptor spesifik di otot polos sehingga meningkatkan Ca2+ intraseluler, aktifitas protein kinase C (PKC) dan hal ini menyebabkan kontraksi otot polos, Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia dan meningkatkan tahanan perifer serta tekanan arteri.8 Demikian juga penelitian di Thailand pada tahun 2005 telah membandingkan anestesi spinal dan anestesi epidural pada preeklampsia, dari penelitian tersebut didapatkan bahwa insidensi hipotensi pada anestesi spinal lebih tingi daripada anestesi epidural namun durasi hipotensi pada kedua kelompok singkat. Penggunaan efedrin untuk mengatasi hipotensi lebih banyak pada anestesi spinal namun demikian hipotensi yang terjadi mudah untuk diatasi pada kedua kelompok. Bayi yang dilahirkan kemudian dilakukan peniliaian dengan Apgar score maupun analisa gas darah dari arteri umbilikus dan ternyata keduanya sama pada kedua kelompok.9 Perencanaan tindakan anestesi pada sectio caesaria harus senantiasa memperhatikan keselamatan ibu maupun anak. Anestesi umum maupun anestesi regional, termasuk anestesi spinal, epidural maupun combine spinal epidural, dapat dilakukan pada pasien yang akan menjalani sectio caesaria. Sebagian besar operasi sectio caesaria yang dilakukan di Amerika Serikat menggunakan anestesi regional, dan anestesi regional yang sering digunakan adalah anestesi spinal.10 Pertanyaan mengenai seberapa besar pengaruh anesesi umum dibandingkan anestesi regional terhadap Apgar score bayi baru lahir merupakan satu hal yang menarik, bahkan hal ini telah diteliti oleh beberapa peneliti, dan umumnya merupakan penelitian retrospektif Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 terutama pada operasi-operasi elektif. Beberapa peneliti melaporkan bahwa tidak ada perbedaan antara anestesi umum dan anestesi regional namun beberapa peneliti melaporkan bahwa Apgar score yang rendah telah terjadi pada pasien sectio caesaria dengan anestesi umum.10 Sementara itu hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa Apgar score pada menit pertama dengan anesesi spinal karena preeklampsia berat menunjukkan rerata yang lebih tinggi dan perbedaan rerata Apgar score antara anestesi umum dan menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan p=0,007 (p<0,05), demikian juga pada menit kelima maupun menit kesepuluh Apgar score pada pasien preeklamasia berat yang mendapatkan anestesi spinal mempunyai rerata yang lebih tinggi daripada anestesi umum dan terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok berturut-turut didapatkan nilai p=0,002 dan p=0,028 (p<0,05). Dari keseluruhan sampel penelitian didapatkan bahwa Apgar score > 7, sehingga kondisi bayi yang dilahirkan semuanya masuk dalam kelompok yang sama yaitu kelompok normal. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumya yang menyatakaan bahwa umumnya bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan preeklampsia berat lahir pada saat aterm dengan berat badan yang normal, morbiditas dan mortalitas yang lebih kecil jika dibandingkan dengan literatur yang telah ada sebelumnya. Apgar score merupakan metode yang sederhana dan mudah untuk diulang dalam menilai kondisi bayi yang baru dilahirkan secara cepat dan ringkas. 123 Jurnal Anestesiologi Indonesia Tabel 3. Apgar score Apgar score menit ke-1 Apgar score menit ke-5 Apgar score menit ke 10 Kelompok Perlakuan Kelompok I Kelompok II P 7,00 (1,07) 7,88 (0,84) 9,00(0,76) 0,0072 0,0022 0,0282 8,63 (0,52) 9,50 (0,53) 9,88 (0,35) Ket :2 mann whitney test Tabel 4. Perbedaan klinis Apgar score Kategori Apgar score Menit ke – 1 Menit ke – 5 Menit ke - 10 Kelompok Perlakuan Kelompok I Kelompok II Asfiksia berat 0 0 Asfiksia ringan 3 0 Normal 5 8 Asfiksia berat 0 0 Asfiksia ringan 0 0 Normal 8 8 Asfiksia berat 0 0 Asfiksia ringan 0 0 Normal 8 8 P 0,2342 12 12 Ket :2 mann whitney test Grafik 2. Distribusi frekuensi (dalam 100%) riwayat hipotensi berdasarkan MAP diantara kedua kelompok 124 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia Tes Apgar bertujuan utuk menilai kondisi fisiologis bayi secara cepat apakah bayi tersebut segera memerlukan perawatan medis dan tidak untuk menilai kesehaan bayi dalam jangka panjang.11,12 Insidensi hipotensi lebih tinggi pada kelompok yang mendapat anestesi spinal yaitu sebesar 37,5% dibanding kelompok yang mendapatkan anestesi umum yaitu sebesar 12,5%. Perbedaan insidensi hipotensi ini tidak berbeda bermakna antar kedua kelompok. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Visalyaputra yang menyatakan bahwa insidensi hipotensi pada preeklampsia yang diberikan anestesi spinal lebih tinggi. Walaupun insidensi hipotensinya lebih tinggi namun Apgar score pada kelompok anesthesia spinal baik hal ini diduga karena durasi hipotensinya hanya singkat, mudah dalam penatalaksanaanya serta bayi mempunyai mekanisme kompensasi untuk tetap mempertahankan kecukupan oksigennya yaitu dengan meningkatkan laju nadi bayi sehingga anestesi spinal aman untuk diberikan pada ibu dengan preeklampsia.6,9 Nilai Apgar score yang rendah pada menit pertama saja tidak menunjukkan hasil akhir dari bayi. Apgar score yang rendah pada menit pertama menunjukkan bahwa bayi baru lahir memerlukan perhatian medis tetapi bukan merupakan indikasi bahwa bayi tersebut akan mempunyai masalah kesehatan dalam jangka panjang. Pada anestesi umum obat induksi yang digunakan dalam hal ini thiopental dapat menyebabkan depresi ringan aktivitas bayi yang sifatnya Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 sementara sehingga dapat berakibat rendahnya Apgar score pada menit pertama. Sementara obat induksi yang lain yaitu suksinikholin tidak menunjukkan adanya transfer plasenta kecuali dosis yang diberikan lebih dari 300 mg. dari penelitian analisis retrospektif disimpulkan bahwa Apgar score pada menit kelima merupakan prediktor yang valid untuk menilai resiko kematian bayi baru lahir. Apgar score pada menit kelima sampai 10 menit menunjukkan bahwa kondisi bayi normal, Apgar score 4,5,6 (asfiksia ringan) biasanya memerlukan bantuan medis misalnya dapat diberikan oksigen dan bantuan napas, sedangkan Apgar score kurang dari 4 maka bayi tersebut memerlukan resusitasi.13 Penelitian ini mempunyai keterbatasan diantaranya adalah sampel penelitian yang kecil, sehingga perlu sampel yang lebih besar agar diperoleh hasil yang lebih akurat. Disamping itu sectio caesaria karena preeklampsia berat sebagian besar dikerjakan dalam status darurat (cito), maka untuk operator, dokter anestesi, maupun dokter anak sulit untuk dikerjakan oleh tim yang sama karena disesuaikan dengan jadwal jaga masingmasing bagian, sehingga keterbatasan diatas akan merupakan bias dalam penelitian ini. SIMPULAN Apgar score bayi yang lahir dari pasien sectio caesaria karena preeklampsia berat pada kelompok anestesi spinal lebih 125 Jurnal Anestesiologi Indonesia tinggi daripada anestesi umum, tetapi secara klinis berdasarkan kategori Apgar score kedua kelompok sama. DAFTAR PUSTAKA 1. Gambling, RG, Hypertensive disorders. In :Chesnut DH. Obstetric anesthesia principles and practice 3 rd . ed. Philadelphia : Elsevier Mosby, 2004 :795-830 2. Hypertensive disorder in Pregnancy : Anesthetic implication and management. Available from :URL http ://www. Freemedeme.com/eme/article.efm / mode=article full view & cme id=13 3. Hermatno. Factor Resiko asfiksi neonatorum di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta; Bagian IKA FK UGM//RSUPdr. Sardjito; 1992 4. Granger JP, Barbara TA, Llamas MT, Bennett WA, Khalil RA Pathophysiology of hypertension during preeclampsia linking placental ischemia with endothelial dysfunction. Available from URL: http:// www.hyper.ahojourplas.org.egi/content/ full/97/3/867 5. Aya GM, mangin R, Vialles N, Ferrer JM, Robert C, Ripart J, Coussaye JE. Patients with severe preeclampsia experience less hypotension during spinal anesthesia for elective cesarean delivery than healthy parturient; A prospective cohort comparison. Available from URL :http://www/aneshesia. Analgesia.org/egi/content/full/97/3/867 6. MacArhur A, Anesthesia for severe hypertensive disease of pregnancy and ischemic heart from URL :http://www.anesthesia analgesia.org/egi/reprint/101/3/862. 126 7. Chair I, Ensefalopati biopsies iskemikpada bayi baru lahir. Dalam :reasy RK, Resnik R eds Maternal Fetal Medicine. 3 rd ws, USA;WB Saunders, 1994: 28 8. Khalil RA, Granger JP. Vascular mechanisms of increased arterialpressure in preeclampsia :lessons from animal medels. Availale from URL : http:// ajpregu.physiology.org/cegi/content/full/283/1/ R29/BIBL 9. Visalyaputra S, Rondonant O, somboonvinoon W, Tantivitayatan K, Thientong S. SaengchoteW. Spinal versus epiduralanesthesisa for cesarean deligery in severa preeclamsia : a prospective randomizedmultycenter study. Avialableform URL :http: www.medscape.com/ viewarticle/520775 10. Khademis. The effect of anesthesia on apgar. Availabelform URL: Http:// www.medscape.com/viearticle /520775 11. Bellis M. Apgar Scoring for Newborn. Available form UR:http//en. Wikipedia.org/ wiki/Apghar score. 12. Nava F., Roblesn P., Padilla L. Neonatal Outcome in women with severe preeclamsia. Available from URL : http:// www.imbiomed,com.mx/Inper/Prv12n4/ english/Zor84-01.html 13. American Academy of Pediatrics, Committee on Fetus and Newborn, American College of Obstetricians and sGyanccologist and Committec on Obstetric Practice. The apgar score.available from URL :http://aapopolicy. Aappublications . org/cgi/content/full/ pediatrics;1174/1444 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia PENELITIAN Perbedaan Jumlah Bakteri Trakhea pada Tindakan Oral Hygiene Menggunakan Chlorhexidine dan Povidone Iodine pada Penderita dengan Ventilator Mekanik Fitri Hapsari Dewi*, Jat i List iyanto Pujo**, Ery Leksana** * Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD dr. Moewardi/ FK UNS Surakarta ** Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP dr. Kariadi / FK UNDIP Semarang ABSTRACT Background: pneumonia is a nosocomial infection that often occurs. Pneumonia can be caused by bacterial colonization in the trachea due to aspiration of upper respiratory tract bacteria. Oral hygiene in the upper respiratory tract can decrease the number of bacteria. Objective: To find the differences in decrease in the number of tracheal bacteria with oral hygiene chlorhexidine 0.2% and povidone iodine 1% on patients with mechanical ventilator. Methods: A randomized clinical control trial study on 30 patients with mechanical ventilator. Patients were divided into 2 groups (n=15), group 1 using chlorhexidine 0.2% and group 2 using povidone iodine 1%. Each group was given oral hygiene every 12 hours for 48 hours. Each group was taken of tracheal secretions before and after treatment, for later examination counting the number and types of bacteria. Statistics using the Wilcoxon test and Mann-Whitney test (with degrees of significance <0.05). Results: This study found a decrease the number of bacteria trachea in chlorhexidine group 78.99 ± 69.105 (significant difference p=0.04) more than in the povidone iodine group 24.91 ± 104.764 (not significantly different p=0.75). While the comparative difference in the two groups of test results obtained p=0144 (not significantly different). Conclusion: The decrease in the number of tracheal bacteria on oral hygiene with chlorhexidine 0.2% was not different from povidone iodine 1% Keywords: chlorhexidine 0.2%, povidone iodine 1%, the number of tracheal bacteria, oral hygiene, mechanical ventilator. ABSTRAK Latar belakang: Pneumonia merupakan infeksi nosokomial yang sering terjadi. Pneumonia dapat disebabkan karena kolonisasi bakteri di trakhea karena aspirasi bakteri saluran nafas atas. Tindakan oral hygiene pada saluran nafas atas dapat menurunkan jumlah bakteri. Tujuan: Untuk mengetahui adanya perbedaan penurunan jumlah bakteri trakhea pada tindakan oral hygiene dengan chlorhexidine 0,2% dan povidone iodine 1% pada penderita dengan ventilator mekanik. Metode: Merupakan penelitian randomized clinical control trial pada 30 penderita dengan ventilator mekanik. Penderita dibagi menjadi 2 kelompok (n=15), kelompok 1 menggunakan chlorhexidine 0,2% dan kelompok 2 menggunakan povidone iodine 1%. Masingmasing kelompok diberikan oral hygiene tiap 12 jam selama 48 jam. Tiap kelompok diambil sekret dari trakhea sebelum dan setelah perlakuan, untuk kemudian dilakukan Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 127 Jurnal Anestesiologi Indonesia pemeriksaan hitung jumlah dan jenis bakteri. Uji statistik menggunakan Wilcoxon dan Mann-Whitney test ( dengan derajat kemaknaan < 0,05 ). Hasil: Pada penelitian ini didapatkan penurunan jumlah bakteri trakhea pada kelompok chlorhexidine sebesar 78,99±69,105 ( berbeda bermakna p=0,04 ) lebih banyak bila dibandingkan pada kelompok povidone iodine 24,91±104,764 ( berbeda tidak bermakna p=0,75). Sedangkan pada uji selisih komparatif dua kelompok didapatkan hasil berbeda tidak bermakna ( p=0.144 ). Simpulan: Penurunan jumlah bakteri trakhea pada tindakan oral hygiene dengan chlorhexidine 0,2% tidak berbeda bermakna dengan povidone iodine 1% Kata kunci: chlorhexidine 0,2%, povidone iodine 1%, jumlah bakteri trakhea, oral hygiene, ventilator mekanik. PENDAHULUAN Infeksi nosokomial merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas di rumah sakit.1 Infeksi nosokomial yang disebabkan oleh pneumonia bakteri disebabkan karena adanya kolonisasi bakteri di trakhea. Pneumonia bakteri karena infeksi nosokomial yang terjadi setelah dua hari pemakaian ventilator mekanik disebut dengan pneumonia terkait ventilator/ventilator associated pneumonia (VAP), kejadian ini merupakan infeksi nosokomial yang sering didapatkan di ICU.2 Pasien yang terintubasi memiliki kemungkinan mengalami pneumonia lebih tinggi 21% dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan saluran nafas buatan.3 Pneumonia yang didapat di rumah sakit merupakan penyakit infeksi saluran nafas bawah yang didahului dengan adanya jumlah bakteri atau infeksi saluran nafas atas. Aspirasi bakteri dari saluran pencernaan atas merupakan penyebab penting terjadinya kolonisasi bakteri di trakhea.4 Pneumonia yang didapat di rumah sakit 128 diawali dengan adanya aspirasi makro atau mikro dari sekret terinfeksi yang berasal dari saluran nafas atas. Berbagai organisme ini kemudian dapat memperbanyak jalan masuk dan kemudian membentuk jumlah bakteri seperti biofilm yang secara cepat dapat melapisi permukaan bagian dalam dari pipa trakhea. Hal ini seringkali diikuti dengan jumlah bakteri organisme patogen di trakhea.5 Pembersihan sekret di saluran nafas atau higienitas saluran nafas merupakan proses fisiologis normal yang diperlukan untuk menjaga patensi saluran nafas dan mencegah terjadinya infeksi saluran nafas. Oleh karena itu, perawatan pasien – pasien yang terintubasi meliputi pengisapan trakhea untuk mempermudah pembuangan hasil – hasil sekresi saluran nafas.5 Dekontaminasi oral dapat dilakukan dengan antiseptik oral seperti chlorhexidine glukonat atau povidone iodine.6,7 Chlorhexidine glukonat dapat menurunkan tingkat kejadian pneumonia nosokomial pada pasien – pasien dengan sakit kritis. Penggunaan chlorhexidine glukonat secara bilasan oral sebanyak dua Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia kali sehari dapat menurunkan tingkat kejadian infeksi saluran nafas sebesar 69%.5 Faktor resiko kejadian pneumonia adalah jumlah bakteri pada orofaring oleh bakteri patogen potensial seperti Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumonia atau bakteri gram negatif.8,9,10 Trakhea dan selang endotrakhea secara cepat menjadi tempat jumlah bakteri pada pasien dengan sakit kritis, kultur dari sputum atau aspirasi trakhea merupakan cara yang dapat digunakan untuk mengetahui jumlah dan jenis mikroorganismenya.5 Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah perbedaan jumlah bakteri trachea pada tindakan oral hygiene menggunakan chlorhexidine 0,2% bila dibandingkan dengan povidone iodine 1% yang diberikan pada penderita dengan ventilator mekanik. METODE Penelitian ini merupakan penelitian dengan bentuk rancangan randomized clinical control trial. Pengukuran dilakukan pada awal dan akhir perlakuan. Kelompok 1 chlorhexidine 0,2% sebagai oral hygiene pada penderita dengan ventilator mekanik. Kelompok 2 povidone iodine 1% sebagai oral hygiene pada penderita dengan ventilator mekanik di ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang pada bulan Februari hingga April 2011. Peneliti tidak mengetahui penderita karena urutan penderita berdasarkan undian terhadap 2 kelompok secara acak. Kriteria inklusi yaitu pasien dewasa Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 dengan ventilator mekanik. Kriteria eksklusi meliputi alergi atau terdapat kontraindikasi terhadap obat yang digunakan, keganasan, mengidap HIV, dan penggunaan kortikosteroid dalam jangka lama. Penelitan ini menggunakan sampel 15 orang untuk masing-masing kelompok, sehingga total sampel adalah 30. Keluarga penderita diberikan penjelasan tentang hal-hal yang akan dilakukan, serta bersedia untuk mengikuti penelitian dan mengisi formulir informed consent. Pada kelompok 1 diberikan chlorhexidine 0,2% sebanyak 25 ml setiap 12 jam. Pada kelompok 2 diberikan povidone iodine 1% sebanyak 25 ml setiap 12 jam. Hasil kultur sekret trakhea dihitung jumlah bakteri setelah 48 jam dengan 4 kali perlakuan. Hasil analisis disajikan dalam bentuk grafik Box Plot. Analisis analitik akan dilakukan untuk menguji hasil kultur mikrobiologi pada kedua kelompok perlakuan dengan uji non parametrik Mann Whitney,Wilcoxon. Semua uji analitik menggunakan α=0,05. Semua perhitungan statistik menggunakan perangkat lunak Statitiscal Package for Social Science (SPSS) 15. HASIL Telah dilakukan penelitian pada 30 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi tertentu. Penderita dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok (1) chlorhexidine yang mendapatkan chlorhexidine 0,2% dan kelompok (2) povidone iodine yang mendapatkan 129 Jurnal Anestesiologi Indonesia Tabel 1. Karakteristik Umum Subyek Penelitian No Variabel Chlorhexidine Povidone iodine p 1. Umur 49,47±16,128 48,20±13,718 0,917* 2. Jenis kelamin 15(26,7-23,3) 15 (23,3-26,7) 0,133** Tabel 2. Jumlah bakteri trakhea masing-masing kelompok Chlorhexidine 0,2% Variabel Jumlah bakteri Povidone iodine 1% Pre (mean±SD) Post (mean±SD) Pre (mean±SD) Post (mean±SD) 198.827±121.192 119.833±113.915 206.767±123.021 181.853±107.0 38 Tabel 3. Uji normalitas masing-masing kelompok P Variabel Jumlah Bakteri Chlorhexidine 0,2% Povidone Iodine 1% Pre Post Pre Post 0,002 0,014 0,001 0,068 Tabel 4. Uji pre dan post masing-masing kelompok Pre Post p 130 Chlorhexidine 0,2% 198.827±121.192 119.833±113.915 0,004 Povidone iodine 1% 206.767±123.021 181.853±107.038 0,75 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia povidone iodine 1%, kedua kelompok diberikan oral hygiene tiap 12 jam selama 48 jam. Karakteristik subyek penelitian ditampilkan pada Tabel 1. Uji normalitas Shapiro-Wilk digambarkan pada tabel di atas, dimana karakteristik umum umur pada kelompok chlorhexidine memiliki distribusi yang normal (p > 0,05), sedangkan kelompok povidone iodine memiliki distribusi tidak normal (p < 0,05) sehingga untuk uji homogenitas diperlukan Mann Whitney U test. Karakteristik jenis kelamin dengan skala nominal digunakan uji kai-kuadrat (x2). Hasilnya didapatkan data homogen (p > 0,05) dari semua variabel. Jumlah bakteri trakhea yang diambil sebelum dan sesudah mendapat perlakuan pada masing-masing kelompok subyek penelitian ditampilkan dalam Tabel 2. Berdasarkan uji normalitas data sebagaimana terlihat pada Tabel 3, jumlah bakteri trakhea pada pemberian chlorhexidine 0,2% maupun povidone iodine 1% didapatkan distribusi tidak normal (p < 0,05), maka untuk masingmasing kelompok penelitian digunakan Wilcoxon Signed Rank Test. Hasil analisis masing-masing kelompok disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan jumlah bakteri trakhea pada kelompok chlorhexidine 0,2% sebelum perlakuan 198.827±121.192 dan setelah perlakuan119.833±113.915 yang berarti mengalami penurunan sebesar 78,99±69,105. Pada kelompok povidone iodine 1% jumlah bakteri trakhea sebelum perlakuan 206.767±123.021 dan setelah perlakuan 181.853±107.038 yang berarti mengalami penurunan sebesar 24,91±104,764. 20 300 Selisih jumlah kuman 200 100 0 -100 -200 CHLORHEXIDINE POVIDONE IODINE Kelompok Grafik 1. Perbandingan jumlah bakteri trakhea dari kedua kelompok perlakuan Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 131 Jurnal Anestesiologi Indonesia Hasil uji statistik yang dilakukan dengan menggunakan Wilcoxon Signed Rank Test, perubahan jumlah bakteri trakhea pada kelompok chlorhexidine menunjukkan perubahan yang bermakna (p<0,05). Sedangkan jumlah bakteri trakhea pada kelompok povidone iodine menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05). Pada analisis komparatif antar kelompok digunakan Mann Whitney U-test. Hasil analisis disajikan dalam boxplot Grafik 1.Pada analisis komparatif antar kelompok, didapatkan penurunan jumlah bakteri trakhea pada kelompok chlorhexidine 0,2% dibandingkan kelompok povidone iodine 1% dengan perbedaan tidak bermakna (p > 0,05). PEMBAHASAN Antiseptik atau antimikroba pada dosis terapi, seperti chlorhexidine dan colistin, dapat menjadi alternatif untuk dekontaminasi orofaring. Chlorhexidine memiliki spektrum luas untuk mikroorganisme gram positif dan 6 mikroorganisme gram negatif. Penggunaan chlorhexidine glukonat 0,12% secara bilasan oral sebanyak dua kali sehari dapat menurunkan tingkat kejadian infeksi saluran nafas sebesar 69% dan menurunkan penggunaan antibiotik sebesar 43% tanpa mempengaruhi pola resistensi antibiotik. Pengaruh terbesar didapatkan pada pasien – pasien yang telah diintubasi selama lebih dari 24 jam dimana pasien – pasien ini memiliki derajat jumlah bakteri bakteri terbesar.5, Penelitian 132 Rahn, dikatakan bahwa povidone iodine dapat menurunkan angka kejadian bakterimia pada pasien dengan resiko tinggi infeksi dengan memberikan cairan povidone iodine secara rutin pada sulkus ginggiva. Penelitian yang dilakukan ini adalah membandingkan jumlah kuman antara pemberian oral hygiene chloerhexidine 0,2% dengan povidone iodine 1% pada penderita dengan ventilator mekanik. Sebelumnya belum pernah ada yang membandingkan antara keduanya terhadap jumlah bakteri trakhea. Pada hasil penelitian ini digunakan 30 subyek penelitian dengan karakteristik yang telah diseleksi melalui kriteria inklusi dan eksklusi didapatkan 30 penderita dengan karakteristik umur, jenis kelamin yang tidak berbeda bermakna (p>0,05) sehingga layak dibandingkan. Hasil analisis uji Wilcoxon pada kedua kelompok secara terpisah menunjukkan bahwa jumlah bakteri trakhea sebelum dan sesudah perlakuan berbeda bermakna pada kelompok chlorhexidine (p=0,004) dan tidak berbeda bermakna pada kelompok povidone iodine (p=0,075). Sedangkan selisih jumlah bakteri trakhea antara kedua kelompok dianalisis dengan uji komparatif Mann-Whitney, dengan hasil menunjukkan tidak berbeda bermakna (p=0,144). Kelompok chlorhexidine menunjukkan penurunan jumlah bakteri bermakna secara statistik. Hasil ini sesuai dengan penelitian Mirelle Koeman yang menyatakan bahwa terdapat penurunan jumlah kolonisasi di trakhea pada penderita dengan ventilator mekanik yang diberi chlorhexidine selama Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 Jurnal Anestesiologi Indonesia 48 jam perlakuan.6 Kelompok povidone iodine menunjukkan penurunan jumlah bakteri tidak bermakna secara statistik. Penelitian ini sesuai dengan penelitian Joel Chua, yang meneliti povidone iodine 1% yang diberikan terhadap penderita dengan ventilator mekanik terhadap angka kejadian VAP yang dinilai secara klinis bermakna tetapi tidak bermakna secara statistik11. Meskipun didapatkan hasil tidak berbeda bermakna pada uji komparatif kedua kelompok, akan tetapi chlorhexidine lebih efektif menurunkan jumlah bakteri trakhea dibanding dengan povidone iodine. Hal ini dilihat dari penurunan jumlah bakteri trakhea sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok chlorhexidine sebesar 78,99±69,105 (p=0,004), sedangkan pada kelompok povidone iodine sebesar 24,91±104,764 (p=0,075). Lebih efektifnya chlorhexidine dalam menurunkan jumlah bakteri dibandingkan dengan povidone iodine mungkin disebabkan oleh sifat chlorhexidine yang memiliki broad spectrum yang luas, aktivitas antibakterinya lebih cepat, absorbsinya minimal, aktivitas dalam darah baik, dan memiliki efek residu. Kekurangan pada penelitian ini adalah ketidakmampuan peneliti dalam mengontrol waktu antara pengambilan sampel di ICU, pengiriman, serta pemeriksaan sampel di laboratorium mikrobiologi klinik. Peneliti telah berusaha meminimalkan kekurangan Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 dengan cara mempersingkat pengiriman serta langsung dilakukan pemeriksaan saat sampel diterima petugas. SIMPULAN Terdapat penurunan jumlah bakteri trakhea pada kelompok chlorhexidine secara bermakna, terdapat penurunan jumlah bakteri trakhea pada kelompok povidone iodine secara tidak bermakna, serta terdapat penurunan jumlah bakteri trakhea pada kelompok chlorhexidine dibandingkan kelompok povidone iodine secara tidak bermakna. Sebaiknya chlorhexidine 0,2% digunakan sebagai oral hygiene terpilih pada penderita dengan ventilator mekanik dibandingkan povidone iodine 1%. DAFTAR PUSTAKA 1. Hunter JD. Ventilator associated pneumonia. Postgraduate medical journal 2006; 82 (965): 172-78. Available from : http// pmj.bmj.com/ content/82/965/172.full 2. Kohl BA, Hanson CW. Critical care protocols. In: Miller RD, editor. Miller’s anesthesia 7th ed. America: Elsevier, 2010;Vol 2:23-87. 3. Chan EY, Ruest A, Meade M, Cook DJ. Oral decontamination for prevention of pneumonia in mechanically ventilated adults: systematic review and meta-analysis. BMJ 2007;334:889. Available from : http//www.medscape.com/ viewarticle/707833_4 4. Wiryana M. Ventilator associated pneumonia. Jurnal penyakit dalam 2007 ; 8(3):254-69. Available from : http // ejournal.unud.ac.id/.../ ventilator%20associated%20pneumonia 5. Jelic S, Cunningham JA, Factor P. Clinical review:airway hygiene in the intensive care unit. Critical care 2008;12:209. Available from : http// www.ncbi.nlm.nih.gov › Journal List › Crit Care › v.12(2); 2008 6. Koeman M, Hak F, Ramsay G, Joore, 133 Jurnal Anestesiologi Indonesia Kaasjager K, Hans, et al. Oral decontamination with chlorhexidine reduces the incidence of ventilator-associated pneumonia. American journal of respiratory and critical care medicine 2006; 173 : 1348-1355. Available from: http // ajrccm.atsjournals.org/cgi/content/ short/173/12/1348 7. Ogata J, Minami K, Miyamoto H, Horishita T, Ogawa M, Sata T, et al. Gargling with povidone -iodine reduces the transport of bacteria during oral intubation. Can j anaesth 2004;51(9):9326. Available from : http// pubget.com/ paper/15525622 8. Genuit T, Mccarter RJ, Roghman MC, Bochichio G, Napolitano LM. Prophylactic chlorhexidine oral rinse decrease ventilatorassociated pneumonia in surgical ICU patients. Surgical infection 2001;2:1-14. Available from:http// www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/12594876 134 9. Panchabhai TS, Dangayach NS, Khrisnan A, Kothari VM, Karnad DR.Oropharyngeal cleansing with 0,2% chlorhexidine for prevention of nosocomial pneumonia in critical care patients. Chest 2008;135:1116-1118. Available from:http// chestjournal.chestpubs.org/content/135/5/1150. 10. Morgan G E, Mikhail M S. Critical care. In :Morgan GE, ed. Clinical Anesthesiology.4th ed. Connecticut , Appleton and Lange; 2006. 11. Joel V, Chua MD, Eleanor A, Dominguez MD, Cherrie M, Sisson MD, et al. The efficacy of povidone-iodine oral rinse in preventing ventilator-associated pneumonia: A randomized double-blind, placebo-controlled (VAPOR) trial: preliminary report . J mikrobiol infect dis 2004;33(4):153-161. Available from : http // www.psmid.org.ph/vol33/ vol33num4topic153.pdf Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012