JAIJurnal Anestesiologi Indonesia

advertisement
JAI
Volume IV Nomor 01, Maret 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesia
melalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif
Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan
Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif
(PERDATIN) Jawa Tengah
ISSN 2089-970X
www.janesti.com
Pelindung:
Ÿ Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro
Ÿ Ketua Program Studi Anestesiologi dan
Terapi Intensif FK UNDIP
Ÿ Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesi
dan Terapi Intensif (PERDATIN) Jawa Tengah
Ketua Redaksi:
dr. Uripno Budiono, SpAn
Wakil Ketua Redaksi:
dr. Johan Arifin, SpAn, KAP
Anggota Redaksi:
dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNA
dr. Hariyo Satoto, SpAn
dr. Witjaksono, MKes, SpAn, KAR
dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO
dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP
dr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KIC
dr. Doso Sutiyono, SpAn
dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR
dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn
dr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Med
dr. Aria Dian Primatika, SpAn, MSi.Med
dr. Danu Soesilowati, SpAn
dr. Hari Hendriarto, SpAn, MSi.Med
Mitra Bestari:
Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV (Semarang)
Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO (Semarang)
Dr. dr. Sofyan Harahap, SpAn, KNA (Semarang)
Dr. dr. Hari Bagianto, SpAn, KIC (Malang)
Dr. dr. Syarif Sudirman, Sp.An (Surakarta)
Prof. Dr. dr. Made Wiryana, Sp.An, KIC (Denpasar)
Seksi Usaha:
dr. Mochamat, Sp.An
Administrasi:
Maryani, Yulia Sekar Ayu Milasari, SAP
Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) diterbitkan 3
kali per tahun, setiap bulan Maret, Juli dan
November sejak tahun 2009. Harga Rp.200.000,per tahun.
Bagi pengirim artikel penelitian yang dimuat di JAI,
dikenakan kontribusi senilai Rp. 500.000,-.
Untuk berlangganan dan sirkulasi:
Ibu Nik Sumarni (081326271093)
Alamat Redaksi:
Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK
UNDIP/ RS Dr. Kariadi,
Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang.
Telp. 024-8444346.
Email: [email protected]
Website: www.janesti.com
Sejawat terhormat,
Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) terus berusaha meningkatkan kualitas isi artikel
yang dimuat dalam jurnal ini demi kemajuan ilmu anestesi dan terapi intensif.
Edisi ini sepenuhnya memuat artikel penelitian. Diantaranya adalah mengenai
penggunaan closed suction system pada pasien dengan ventilator mekanik, peranan
D 2.5 % NaCl 0.45% terhadap gula darah pasien pediatrik, Penggunaan simvastatin
untuk meningkatkan fagositosis makrofag, perbandingan kestabilan hemodinamik antar
dua regimen anestesi intravena pada pasien ligasi tuba, pengaruh pemilihan teknik
anestesi pada eklamsia terhadap Apgar score bayi dan regimen oral hygiene pada
penderita dengan ventilator mekanik.
Semoga Bermanfaat
Salam,
dr. Uripno Budiono, SpAn
Ucapan Terima Kasih:
Kepada Mitra Bestari Jurnal Anestesiologi Indonesia
Vol. IV No. 2 Tahun 2012:
Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV (Semarang)
Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO (Semarang)
Prof. DR.dr. Made Wiryana, SpAn, KIC (Denpasar)
DR.dr. Syarif Sudirman, SpAn, KMN, KAR, SpAK (Surakarta)
DR. dr. Hari Bagianto, SpAn, KIC (Malang)
DR. dr. Mohamad Sofyan Harahap, SpAn, KNA (Semarang)
DR. dr. Sudadi SpAn, KNA (Yogyakarta)
DAFTAR ISI
PENELITIAN
Yusnita Debora, Ery Leksana, Doso Sutiyono
Hal
73
Perbedaan Jumlah Bakteri pada Sistem Closed Suction dan Sistem Open Suction
pada Penderita dengan Ventilator Mekanik
Penggunaan closed suction system pada pasien dengan ventilasi mekanik
mengurangi jumlah bakteri post-intervensi secara signifikan, demikian halnya
dengan open suction system. Closed suction system tidak lebih baik dalam
mengurangi jumlah bakteri.
Erna Fitriana Alfanti, Uripno Budiono, Johan Arifin
85
Pengaruh Infus Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45% Terhadap Kadar Glukosa Darah
Perioperatif pada Pasien Pediatri
Pemberian cairan infus Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % lebih baik dari cairan D5 %
NaCl 0,45% karena tidak menyebabkan terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia
selama dan setelah operasi pada pasien pediatric.
Sherliyanah Harahap, Heru Dwi Jatmiko, Mohamad Sofyan Harahap
96
Pengaruh Simvastatin Terhadap Kapasitas Fagositosis Makrofag Pada Mencit
Balb/C Yang Diberi Lipopolisakharida
Pemberian simvastatin dosis 0,06 mg dan 0,12 mg peroral menunjukkan perbedaan
bermakna pada penurunan kapasitas fagositosis makrofag intraperitoneal
dibanding kontrol pada mencit yang diberi lipopolisakarida.
Laurentius Sandhie Prasetya, Sudadi
104
Stabilitas Hemodinamik Propofol – Ketamin Vs Propofol – Fentanyl pada Operasi
Sterilisasi / Ligasi Tuba
Kombinasi Propofol 2 Mg/Kgbb/Jam dan Ketamin 0,5mg/Kgbb/Jam memberikan
stabilitas hemodinamik yang lebih baik daripada Kombinasi Propofol 2 Mg/Kgbb/
Jam dan Fentanyl 1 Μg/Kgbb/Jam pada operasi ligasi tuba
Nurhadi Wijayanto, Ery Leksana, Uripno-Budiono
115
Pengaruh Anestesi Regional dan General pada Sectio Cesaria pada Ibu dengan Pre
Eklampsia Berat terhadap Apgar Score
Apgar score pada kelompok anesthesi spinal lebih tinggi daripada anestesi
umum pada pasien sectio caesaria karena preeklampsia berat, tetapi secara klinis
berdasarkan kategori Apgar score kedua kelompok sama.
Fitri Hapsari Dewi, Jati Listiyanto Pujo, Ery Leksana
Perbedaan Jumlah Bakteri Trakhea pada Tindakan Oral Hygiene Menggunakan
Chlorhexidine dan Povidone Iodine pada Penderita dengan Ventilator Mekanik
Penurunan jumlah bakteri trakhea pada tindakan oral hygiene dengan
chlorhexidine 0,2% tidak berbeda bermakna dengan povidone iodine 1%
127
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN
Perbedaan Jumlah Bakteri pada Sistem Closed Suction dan Sistem Open
Suction pada Penderita dengan Ventilator Mekanik
Yusnita Debora*, Ery Leksana**, Doso Sutiyo no**
*Bagian Anestesiologi RSUD Metro, Lampung
**Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Background: Bacterial colonization is identified as major mechanism in the pathogenesis
of Ventilator Associated Pneumonia. Application of suction is one of the nonpharmacologic strategy to decrease number of Ventilator Associated Pneumonia (VAP)
incidence. Since its introduction, closed tracheal suction system (CSS) has been reported
offering microbial advantage over conventional open closed suction system (OSS).
Objective: This research was aimed to identify the difference of bacterial count pre and
post-intervention between CSS and OSS group.
Method: This is a Randomized Control Group Pretest-Postest Design with Consecutive
Sampling Approach. Number of subjects are 30 patients in whom equally distributed into
2 intervention groups; (15 closed suction system, 15 open suction system). Oral suction
was performed every 12 hours for consecutive 48 hours. Secret of trachea was collected
pre and post-intervention to identify for bacteria count and profile. Statistic analysis was
conducted using Wilcoxon and Mann-Whitney test.
Result: Bacterial count was significant different in group 1 (p=0,0010. Significant result
was also identified in group II (p=0,005). Comparatively, pre and post intervention
between group I and II was not significantly different (p=0,008).
Conclusion: Closed suction system’s application in mechanically ventilated patients was
confirmed with decrement in number of bacteria significantly. Comparatively, closed
suction was not significantly better than OSS. However this research that although did
not differ significantly, CSS’ performance was better than OSS.
Key Word: Closed suction system, open suction system
ABSTRAK
Latar belakang: Kolonisasi bakteri didefinisikan sebagai mekanisme utama di dalam
patogenesis Ventilator Associated Pneumonia (VAP). Penggunaan suction merupakan
salah satu strategi dalam mengurangi jumlah kejadian Ventilator Associated Pneumonia
(VAP). Closed tracheal suction system (CSS) dilaporkan memiliki keuntungan dalam
aspek mikrobiologi bila dibandingkan dengan open closed suction system (OSS).
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
73
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tujuan: Mengetahui efektivitas penggunaan closed suction system dibandingkan dengan
open suction system pada penderita dengan ventilator mekanik.
Metode: Merupakan penelitian Randomized Control Group Pretest-Postest Design with
Consecutive Sampling Approach. Jumlah subyek adalah 30 orang yang dibagi menjadi 2
kelompok (15 closed suction system, 15 open suction system). Masing-masing kelompok
diberikan oral hygiene tiap 12 jam selama 48 jam. Tiap kelompok diambil sekret dari
trakhea sebelum dan sesudah perlakuan, untuk kemudian dilakukan pemeriksaan hitung
jumlah dan jenis bakteri. Uji statistik dilakukan menggunakan Wilcoxon dan MannWhitney test.
Hasil: Hitung bakteria berbeda bermakna pada kelompok I (p=0,001) dan berbeda
bermakna pada kelompok II ( p=0,005). Analisis komparatif selisih skor sebelum dan
sesudah perlakuan kedua kelompok berbeda tidak bermakna (p=0,008).
Simpulan: Penggunaan closed suction system pada pasien dengan ventilasi mekanik
mengurangi jumlah bakteri post-intervensi secara signifikan, demikian halnya dengan
open suction system. Closed suction system tidak lebih baik dalam mengurangi jumlah
bakteri pada penelitian ini.
Kata Kunci: Closed suction system, open suction system
PENDAHULUAN
Ventilasi mekanik merupakan bagian
penting dalam unit perawatan intensif
(ICU). 1,2 Pneumonia
nosokomial
(nosocomial infection) dan pneumonia
akibat penggunaan ventilator (ventilator
associated pneumonia-VAP) merupakan
kejadian yang banyak terjadi di ruang
perawatan intensif/Intensive Care Unit
(ICU) lebih beresiko untuk kejadian
infeksi nosokomial.3 Berdasarkan data
dari National Nosocomial Infection
Surveillance System, VAP merupakan
penyebab infeksi nosokomial kedua
terbanyak setelah infeksi saluran kemih,
yang mengenai 27% dari pasien kritis.4
VAP banyak dikaitkan dengan
peningkatan morbiditas dan mortalitas.5
Hal ini juga berakibat pada peningkatan
biaya hospitalisasi dan pengobatan
antibiotika yang harus ditanggung pasien
74
selama perawatan di ICU akibat kasus
infeksi saluran napas.6 Berdasarkan
penelitian diketahui tingkat mortalitas
akibat VAP mencapai 27% dan sebanyak
43% jika agen penyebabnya resisten
terhadap antibiotika.7 Length of stay di
ruang ICU juga mengalami peningkatan
selama 2-3 hari pada pasien dengan VAP.8
Pasien-pasien dengan kondisi terintubasi
memiliki resiko terkena pneumonia lebih
tinggi 21% bila dibandingkan dengan
pasien-pasien yang tidak mendapatkan
saluran napas buatan.9 Pneumonia yang
didapat pada unit rawat intensif
merupakan infeksi saluran napas bawah
yang didahului dengan adanya sejumlah
bakteri atau terjadinya infeksi saluran
napas atas. Aspirasi bakteri dari saluran
pencernaan atas merupakan penyebab
penting terjadinya kolonisasi bakteri di
trakhea.10
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Aspirasi makro atau mikro dari sekret
yang terinfeksi saluran napas bagian atas
mengawali terjadinya pneumonia di rumah
sakit. Organisme-organisme ini kemudian
dapat memperbanyak diri melalui jalan
masuk dan kemudian membentuk lapisan
seperti biofilm secara cepat dan melapisi
permukaan bagian dalam dari pipa
trakhea. Seringkali hal ini diikuti dengan
sejumlah bakteri organisme patogen di
trakhea.11
pendekatan. Antara lain berupa
penggunaan antibiotika non-absorbable
dalam bentuk larutan atau pasta ke dalam
ruang orofaring. Penggunaannya sendiri
telah dibukti pada suatu uji double blind
dengan
2 kelompok (plasebo dan
15
kontrol). Namun demikian penggunaan
a n t ib io t ik a s e b a g a i p r o f i la k s i s
meningkatkan resiko induksi dan
selektivitas patogen resisten, sehingga
tidak dianjurkan untuk rutin digunakan.16
Terdapat beberapa faktor resiko yang
diduga berperan di dalam patogenesis
VAP, di antaranya adalah prosedur suction
pada pasien dengan ventilasi mekanik
dengan intubasi. Beberapa penelitian
menunjukkan adanya perbedaan di dalam
efek penggunaan sistem endotracheal
suction (open versus closed) dalam
terjadinya VAP.12
Combes dkk
menemukan bahwa closed suction system
memberikan penurunan frekuensi kejadian
VAP.12 Hal tersebut didukung oleh hasil
penelitian oleh Zeitoun dkk yang
menunjukkan bahwa closed suction system
dikaitkan dengan penurunan VAP pada
suatu studi multivariat.13
Dekontaminasi oral dapat dilakukan
dengan pemberian antiseptik oral seperti
chlorherhexidine glukonat ataupun
povidone iodine. 17,18 Chlorhexidine
glukonat dapat menurunkan tingkat
kejadian pneumonia nosokomial pada
pasien-pasien dengan sakit kritis.
Penggunaan chlorhexidine glukonat secara
bilasan oral sebanyak dua kali sehari dapat
menurunkan tingkat kejadian infeksi
saluran napas sebesar 69%.12 Pada
penelitian lain juga disebutkan bahwa
pemberian chlorhexidine 2% empat kali
sehari merupakan metode yang aman dan
efektif untuk mencegah VAP pada pasien
dengan ventilator mekanik. Pneumonia ini
disebabkan oleh adanya kolonisasi bakteri
di trakhea.19 Suatu metaanalisis juga
menyatakan bahwa dekontaminasi oral
dengan antiseptik chlorhexidine sebagai
profilaksis pada pasien dengan ventilasi
mekanik dapat menurunkan resiko VAP.
Suatu studi yang dilakukan pada pasien
dengan resiko infeksi tinggi dengan
pember ian chlorhexidine dengan
konsentrasi lebih dari 0,12% memberikan
hasil yang bermakna terhadap angka
penurunan kejadian pneumonia.9 Suatu
Kolonisasi bakteri kuman gram positif dan
negatif di orofaring merupakan salah satu
faktor resiko penting terjadinya VAP.
Trakhea dan pipa endotrakhea merupakan
tempat kolonisasi bakteri pada pasien
dengan sakit kritis, kultur dari sputum atau
aspirasi trakhea merupakan cara yang
dapat digunakan untuk mengetahui jenis
mikroorganisme.14
Untuk mencegah kolonisasi bakteri di
regio orofaring telah diteliti beberapa
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
75
Jurnal Anestesiologi Indonesia
studi lain juga menyebutkan bahwa
pember ian chlorhexidine dengan
konsentrasi 0,2 atau 2% setiap 12 jam
dapat mencegah pembentukan biofilm dari
bakteri di trakhea sehingga menurunkan
kejadian pneumonia.20
Penggunaan antiseptik atau antimikroba
seperti chlorhexidine (CHX) merupakan
pendekatan alternatif untuk dekontaminasi
orofaring. Sifat antiseptik CHX memiliki
spektrum luas terhadap aktivitas
mikroorganisme gram positif, termasuk
jenis kuman patogen multiresisten seperti
Methicillin-Resistant Staphylococcus
aureus (MRSA) dan VancomycinResistant Enterococci (VRE). 21,22
Sehingga pada penelitian ini menggunakan
chlorhexidine sebagai antiseptik.
Suction trakhea seringkali dilakukan pada
pasien yang menggunakan
ventilasi
mekanik. Terdapat laporan yang
menunjukkan pasien yang mengalami
suction hingga 8-17 kali sehari.11,22 Selama
prosedur sekret trakhea dibuang untuk
memastikan patennya jalan napas dan
menghindari obstruksi lumen pernapasan
yang mengakibatkan peningkatan kerja
napas, infeksi paru, atelektasis dan infeksi
paru. Namun demikian pada penggunaan
suction terdapat beberapa resiko efek
samping seperti gangguan detak jantung,
hipoksemia, dan pneumonia terkait
ventilator/ventilator associated pneumonia
(VAP). Selain itu juga dikarenakan
prosedur yang invasif dan tidak nyaman. 23
Terdapat dua sistem suction yang tersedia:
open suction system dan closed suction
system.
Jenis OSS hanya digunakan
76
sekali dan membutuhkan lepasnya
ventilator dari pasien. CSS diletakkan di
antara tube trakhea dan sirkuit ventilator
mekanik dan bisa berada di dalam pasien
lebih dari 24 jam. Penggunaan CSS di
Amerika Serikat telah populer selama
dekade terakhir ini dan berdasarkan
statistika penggunaannya yang makin
meningkat yaitu pada 58% dari kasuskasus, sementara OSS hanya dipergunakan
pada 4% dari senter-senter yang ada.24
Pada beberapa penelitian penggunaan
OSS nampaknya memiliki beberapa
keuntungan seperti insidensi pneumonia
yang lebih rendah, kurangnya perubahan
fisiologis
selama prosedur,kurangnya
kontaminasi bakteria, dan ongkos yang
lebih rendah.25
Pada rekomendasi yang dikeluarkan pada
tahun 2004 terdapat rekomendasi yang
menunjukkan berkurangnya ongkos
perawatan dengan penggunaan CSS.
Selain itu juga terdapat efek samping
lainnya berupa kehilangan volume paru
dan efek lanjutan berupa hipoksemia.
Hingga saat ini tidak terdapat bukti yang
menunjang apakah satu sistem lebih baik
dibandingkan yang lainnya. Namun
demikian belum dievaluasi perbedaan
jenis jumlah bakteri trakhea antara sistem
closed suction dan open suction dengan
penggunaan oral chlorhexidine sebagai
anti septik oral.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
jumlah koloni kuman bakteri trakhea pada
penderita dengan ventilator mekanik
sistem closed suction dan open suction
yang mendapat oral hygiene dengan
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 1. Karakteristik Umum Subyek Penelitian
No
Variabel
Open suction system
Closed suction system
P
1.
Umur
52,53 + 11,38
51,13 + 11,58
0,147*
2.
Jenis kelamin
1,4 + 0,51
1,46 + 0,51
0,407*
*Uji Mann-Whitney U
Tabel 2 Jumlah bakteria masing-masing kelompok
Closed suction system
Open suction system
Pre (mean+SD)
Post (mean+SD)
Pre (mean+SD)
Post (mean+SD)
3.0000E8+ 0,0000
1.3200E8+5.25357E7
2.9467E7+2.06559E7
3.3933E8+5,19003E8
Gambar 1. Jumlah bakteri sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok closed suction system (CSS)
Gambar 2: Jumlah bakteri sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok open suction system (CSS)
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
77
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 3. Perbandingan jenis kuman pada kultur sekret trakhea kelompok CSS dan OSS
Closed suction system (n=15)
Open suction system (n=15)
S.epidermidis
9
9
S. βhemolyticus
-
1
E.coli
3
1
A.faecalis
3
2
P.mirabilis
-
1
Kuman Gram Positif
Kuman Gram Negatif
Tabel 4. Uji normalitas masing-masing kelompok
Closed suction system
Open suction system
Variabel
Pre (mean+SD)
Post (mean+SD)
Pre (mean+SD)
Post (mean+SD)
Jumlah
Bakteri
0,006
0,0018
0,007
0,0058
*Uji dengan Shapiro-Wilk
Tabel 5. Uji pre dan post masing-masing kelompok
Closed suction system
Open suction system
Pre
3.00x108+ 0,00
2.95x107+2.06x107
Post
1.32x108+5.25x107
3.39x108+5,20 x108
0.001
0.05
P
*Uji dengan Wilcoxon Signed Rank Test
Gambar 3. Perbandingan jumlah bakteri trakhea dari kedua kelompok perlakuan
78
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
chlorhexidine, serta menganalisis
perbedaan jumlah koloni kuman bakteri
trakhea sistem closed suction dan open
suction yang mendapat oral hygiene
dengan chlorhexidine pada pasien dengan
ventilator mekanik.
METODE
Penelitian ini merupakan
penelitian
dengan bentuk rancangan randomized
clinical control trial. Kelompok penelitian
dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok
(1) : closed suction system dengan
chlorhexidine 0,2% sebagai oral hygiene
pada penderita dengan ventilator
mekanik , Kelompok (2) : open suction
system dengan chlorhexidine 0,2% sebagai
oral hygiene pada penderita dengan
ventilator mekanik. Penelitian dilakukan
di : ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang,
pada periode: September-Desember 2011.
Sampel penelitian adalah semua penderita
dengan ventilator mekanik di ICU RSUP
Dr. Kariadi yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi pada bulan September
-Desember 2011. Kriteria inklusi:
Penderita dewasa dengan ventilator
mekanik, Kriteria eksklusi: Alergi atau
terdapat ko ntraindikasi, penyakit
keg a na sa n , HI V, me n g g u n ak a n
kortikosteroid dalam jangka lama. Dari
penghitungan besar sampel pada penelitian
ini didapatkan jumlah sampel: N=14,533
orang, dalam penelitian ini akan
digunakan sampel sebesar 15 orang. Total
sampel adalah 30 orang dibagi menjadi 2
kelompok secara berurutan yaitu Pada
kelompok 1 diberikan ventilasi mekanik
closed suction system dan chlorhexidine
0,2% sebanyak 25 mL. Pada kelompok 2
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
diberikan open suction system dan
chlorhexidine 0,2% sebanyak 25 mL.
Dilakukan penyikatan dengan sikat gigi
pada 4 kuadran gigi (kanan atas, kanan
bawah, kiri atas, kiri bawah) dan di antara
kuadran tersebut dilakukan semburan /
semprotan dengan po la teratur.
Pembersihan rongga mulut ini dilakukan
setiap hari setiap 12 jam dan pada hari ke
dua atau 48 jam setelah pemakaian
ventilator dilakukan pengambilan sampel.
Sampel yang diambil kemudian dikirim ke
laboratorium mikrobio logi klinik.
Dilakukan pengenceran dengan NaCl
0,9% dengan perbandingan sampel
pengencer 1;10, 1:100, 1:1000, 1:10.000,
1:100.000. 1:1.000.000 ditanam di media
Nutrient Agar dan dicari perbandingan
pengenceran di mana sampel dapat
dihitung. Untuk mengetahui jenis, sampel
ditanam di media Mac Konkey dan Blood
Agar.
Data yang terkumpul telah diedit,
dikoding dan dientry ke dalam file
komputer serta dilakukan cleaning data.
Analisa deskriptif dilakukan dengan
me n g h it u n g p r o p o r s i g a mb a r a n
karakteristik responden menurut kelompok
perlakuan dan kontrol. Hasil analisa
disajikan bentuk grafik Box Plot. Analisis
analitik akan dilakukan untuk menguji
hasil kultur mikrobiologi pada kedua
kelompok perlakuan dengan uji nonparametrik Mann Whitney, Wilcoxon.
Semua uji analitik menggunakan α=0,05.
Semua perhitungan statistik menggunakan
software Stastical Pakckage for Social
Science SPSS 15.0
79
Jurnal Anestesiologi Indonesia
HASIL
Telah dilakukan penelitian perbedaan
pemberian chlorhexidine pada closed
suction system dan open suction system
pada penderita dengan ventilator mekanik
pada 30 pasien yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi tertentu. Penderita
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
kelompok (1) closed suction system dan
kelompok (2) open suction system
diberikan oral hygiene tiap 12 jam selama
48 jam.
Uji normalitas Shapiro-wilk digambarkan
pada Tabel 1, di mana karakteristik umum
umur pada kelompok closed dan open
suction system memiliki distribusi yang
tidak normal p>0,05, sehingga untuk uji
homogenitas diperlukan Mann Whitney U
test. Karakteristik jenis kelamin dengan
skala nominal digunakan uji kai-kuadrat
(x2). Hasilnya didapatkan data homogen
(p>0.05) dari semua variabel.
Jumlah bakteri trakhea yang diambil
sebelum dan sesudah mendapat perlakuan
pada masing-masing kelompok subyek
penelitian disajikan dalam Tabel 2.
Data perubahan jumlah bakteri trakhea
sebelum dan sesudah mendapat perlakuan
menggunakan uji Shapiro-Wilk dan
didapatkan distribusi data yang tidak
normal (p<0,05).
Pada analisis jumlah bakteri sebelum dan
sesudah intervensi pada kelompok closed
suction system (CSS) sebagai berikut.
Seluruh subyek penelitian mengalami
penurunan jumlah bakteri pada kultur
80
sekret
trakhea
intervensi.
sesudah
dilakukan
Hal yang sama juga didapatkan pada
kelompok open suction system di mana
seluruh subyek penelitian mengalami
penurunan jumlah bakteri pada kultur
sekret
trakhea
sesudah
dilakukan
intervensi
Analisis jenis bakteri untuk masingmasing kelompok perlakuan disajikan
pada Tabel 3. Berdasarkan uji normalitas
data sebagaimana terlihat pada tabel
tersebut , jumlah bakteri trakhea pada
kelompok closed suction system dan open
suction system didapatkan distribusi tidak
normal (p<0,05) maka untuk masingmasing kelompok penelitian digunakan
Wilcoxon Signed Rank Test.
Tabel 5 menunjukkan jumlah bakteri
trakhea pada kelompok closed suction
system sebelum perlakuan 3.00x108+0,00
dan sesudah perlakuan
1.32x108
+5.25x107, terdapat perbedaan 1,68x108
+5,1x107 dan kelompok open suction
sebelum perlakuan 2.95x107+2.06x107 dan
sesudah perlakuan 3.39x108+5,20 x108,
terdapat perbedaan 26,11 x108+15,40
x108.
Hasil uji statistik yang dilakukan dengan
Wilcoxon signed rank test menunjukkan
terdapatnya perubahan jumlah bakteri
trakhea yang berarti pada kelompok closed
suction system yang bermakna (p<0,05).
Sedangkan jumlah bakteri trakhea pada
kelompok
open
suction
system
menunjukkan perbedaan yang bermakna
(p<0,05)
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Pada analisa komparatif antar kelompok
digunakan Mann Whitney U test. Hasil
analisis disajikan dalam grafik box-plot.
Pada analisis komparatif antarkelompok,
didapatkan penurunan jumlah bakteri
trakhea pada kelompok closed suction
system dibandingkan kelompok open
suction system dengan perbedaantidak
bermakna
(p>0.005)
dengan
nilai
(p=0.083).
PEMBAHASAN
Penggunaan CSS berdasarkan tinjauan
memberikan sejumlah keuntungan antara
lain penggunaannya yang multiple-use,
tanpa melepas ventilator dari pasien yang
dapat berakibat pada munculnya tekanan
negatif sehingga terjadi kehilangan
volume paru yang intens sehingga
berakibat pada hipoksemia.26,27
Temuan Combes dkk menunjukkan bahwa
sistem closed endotracheal suction
menurunkan frekuensi VAP sebesar 3,5
kali bila dibandingkan dengan open
endotracheal suction system.28 Penelitian
Zeitound
dkk
juga
menunjukkan
penurunan VAP pada analisis multivariat
dikaitkan dengan penggunaan closed
endotracheal suction system.29 Deppe dkk
menunjukkan bahwa keuntungan survival
lebih banyak ditunjukkan oleh closed
endotracheal suction. Namun demikian
masih terdapat perdebatan mengenai
efektivitas penggunaan closed suction
system.
Penelitian yang dilakukan ini adalah
membandingkan jumlah kuman antar
pemberian chlorhexidine 2% pada sistem
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Closed Suction System (CSS) dan Open
Suction System (OSS). Sebelumnya belum
pernah ada yang melakukan penelitian
sejenis
dengan
membandingkannya
terhadap jumlah koloni bakteri. Pada hasil
penelitian ini digunakan 30 subyek
penelitian dengan karakteristik yang telah
diseleksi melalui kriteria inklusi dan
eksklusi dan didapatkan sejumlah 30
penderita dengan dengan karakteristik
umur, jenis kelamin yang tidak berbeda
bermakna (p>0.05) sehingga dengan
demikian
menjadi
layak
untuk
dibandingkan. Hasil analisis uji Wilcoxon
pada kedua kelompok secara terpisah
menunjukkan bahwa jumlah bakteri
trakhea sebelum dan sesudah perlakuan
berbeda bermakna pada kelompok closed
suction system
(p=0.001) dan pada
kelompok open suction system (p=0,005).
Sedangkan pada analisis jumlah bakteri
trakhea pada kelompok closed suction
system dan open suction system yang
dianalisis dengan uji Mann-Whitney tidak
menunjukkan
perbedaan
bermakna
(p=0,083).
Hasil penelitian ini sesuai dengan sebagian
besar penelitian dan meta analisis yang
ada dan didapatkan hasil tidak ada
pengaruh
yang
positif
terhadap
kemungkinan
terjadinya
pneumonia
20
nosokomial. Selain itu efektivitas biaya
juga masih menjadi pertimbangan karena
penggunaan CSS multiple-use terkait
dengan biaya yang lebih tinggi. Freytag
menunjukkan bahwa penggunaan kateter
suction in-line dalam waktu yang lama
menunjukkan peningkatan kolonisasi dari
traktus respirasi bagian bawah dan
81
Jurnal Anestesiologi Indonesia
pertumbuhan bakteri pada permukaan
kateter dalam kurun waktu 72 jam.30
Lorente, 2005 menunjukkan bahwa swab
yang diperoleh pada saat pasien masuk
dan dua kali per-minggu pada saat
menjalani perawatan menunjukkan tidak
terdapat perbedaan bermakna dan juga
tidak didapatkan perbedaan pada jenis
mikroba.20 Penelitian yang dilakukan
Zeitound, 2003 menunjukkan bahwa
penggunaan closed suction system tidak
menurunkan
insidensi
pneumonia
27
nosokomial.
Temuan
meta-analisis
Jongerden 2007 juga menunjukkan bahwa
berdasarkan hasil penelitian yang ada (8
penelitian, 1272 pasien) dan tingkat
mortalitas (4 penelitian, 19 pasien) dan
kultur sekret (2 penelitian, 37 pasien).
Namun demikian penggunaan CSS sendiri
masih menjadi pertimbangan terutama bila
dihubungkan dengan efek samping OSS,
yang mengakibatkan lepasnya pasien dari
ventilator
mekanik.
Meta-analisis
Jongerden menggaris-bawahi bahwa CSS
secara signifikan menurunkan perubahan
dalam detak jantung (empat penelitian, 85
pasien, weighted mean difference, -6.33;
95% confidence interval, -10.80 to -1.87)
dan juga mengurangi perubabahan tekanan
rerata arteri (tiga penelitian, 59 pasien;
standardized mean difference, -0.43; 95%
confidence interval, -0.87 to 0.00).28
Temuan Brucia, 1996 menunjukkan
bahwa penggunaan CSS lebih diutamakan
untuk menghindari kenaikan tekanan
intrakranial selama penggunaan OSS. Hal
yang masih memberikan dukungan
penggunaan CSS antara lain adalah CSS
mengurangi kontaminasi dari lingkungan
82
bila dibandingkan dengan OSS.30 Pada
penelitian
ini
ditunjukkan
tidak
ditemukannya kuman patogen di saluran
napas,
yang
diketahui
seperti
Staphylococcus aureus, S.pyogenes, C.
diphteriae, S. pneumoniae, H. influenzae,
Chlamydia trachomatis, S. pneumoniae,
H. influenzae, Moraxella catarrhalis,
Streptococcus grup A, Mycoplasma
pneumonia,
N.meningitidis,
M.
tuberculosis, Klebsiella pneumonia. Jenis
bakteria yang ditemukan pada penelitian
ini untuk kelompok closed suction system
adalah S.epidermidis 60% (9/15), E.coli
20% (3/15), A.faecalis 20%(3/15).
Sedangkan untuk kelompok open suction
system adalah S.epidermidis 60% (9/15),
S. βhemolyticus 6% (1/15), E.coli 6%
(1/15).
A.faecalis
12%(2/15),
dan
P.mirabilis 6%(1/15).
SIMPULAN
Terdapat penurunan jumlah bakteri
trakhea pada kelompok closed suction
system dengan pembilasan chlorhexidine
2% secara bermakna. Terdapat juga
penurunan jumlah bakteri trakhea pada
kelompok open suction system dengan
pembilasan chlorhexidine 2% secara
bermakna. penurunan jumlah bakteria
trakhea pada kelompok closed suction
system didapatkan tidak bermakna bila
dibandingkan dengan open suction system.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ibrahim EH, Mehringer L, Prentice D,
Sherman G, Schaiff R, Fraser V, Kollef
MH. Early versus late enteral feeding of
mechanically ventilated patients: results of a
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
clinical trial. JPEN J Parenter Enteral Nutr
2002;26(3):174–181.
Rello J, Ollendorf DA, Oster G, VeraLlonch M, Bellm L, Redman R, et al.
Epidemiology and outcomes of ventilatorassociated pneumonia in a large US
database. Chest 2002;122(6):2115–2121.
Japoni A, Vazin A, Davarpanah MA,
Afkhami Ardakani M, Alborzi A, Japoni S,
Rafaatpour
N.
Ventilator-associated
pneumonia in Iranian intensive care units. J
Infect Dev Ctries. 2011 Apr 26;5(4):286-93.
Richards MJ, Edwards JR, Culver DH,
Gaynes RP. Nosocomial infections in
medical intensive care units in the United
States. National Nosocomial Infections
Surveillance System. Crit Care Med
1999;27:887–892.
Chastre J, Fagon JY. Ventilator-associated
pneumonia. Am J Respir Crit Care Med
2002;165:867–903.
Bergmans DCJJ, Bonten MJM, Gaillard
CA, van Tiel FH, van der Geest S, de
Leeuw PW, Stobberingh EE. Indications for
antibiotic use in ICU patients: a one-year
prospective surveillance. J Antimicrob
Chemother 1997;39:527–535.
Craven
DE.
Epidemiology
of
ventilatorassociated pneumonia. Chest.
2000;117 (4 suppl 2):186S-187S.
Kollef
MH.
The
prevention
of
ventilatorassociated pneumonia. N Engl J
Med.1999;340(8):627-634.
Chan EY, Ruest A, Meade M, Cook DJ.
Oral decontamination for prevention of
pneumonia in mechanically ventilated
adults: systematic review and meta-analysis.
BMJ (serial on internet) 2007 (cited 2010
Dec 10); 334:889. Available from: http://
www.medscape.com/viewarticle
Wiryana
M.
Ventilator
associated
pneumonia. Jurnal penyakit dalam (serial on
internet) 2007 (cited 7 Januari 2012) http://
ejournal.unud.ac.id/abstrak/ventilator%
20associated%20pneumonia.pdf
Deppe SA, Kelly JW, Thoi LL, et al.
Incidence of colonization, nosocomial
pneumonia, and mortality in critically ill
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
patients using a Trach Carew closed-suction
system versus an opensuction system:
prospective, randomized study. Crit Care
Med 1990;18:1389—1393.
Jelic S, Cunningham JA, Factor P. Clinical
review: airway hygiene in the intensive care
unit: Critical Care 2008, 12:209
Combes P, Fauvage B, Oleyer C.
Nosocomial pneumonia in mechanically
ventilated
patients,
a
prospective
randomized evaluation of the Stericath
closed suctioning system. Intens Care Med
2000;26:878—882.
Zeitoun SS, De Barros ALBL, Diccini S. A
prospective, randomized study of ventilatorassociated pneumonia in patients using a
closed vs. open suction system. J Clin Nurs
2003;12:484—489.
Bonten MJM, Bergmans DCJJ, Ambergen
AW, de Leeuw PW, van der Geest S,
Stobberingh EE, Gaillard CA. Risk factors
for pneumonia, and colonization of
respiratory tract
and
stomach
in
mechanically ventilated ICU patients. Am J
Respir Crit Care Med 1996;154:1339–1346.
Pugin J, Auckenthaler R, Lew DP, Suter
PM.
Oropharyngeal
decontamination
decreases incidence of ventilator-associated
pneumonia: a randomized, placebocontrolled, double-blind clinical trial.
JAMA 1991;265:2704–2710.
Koeman M. Hak F, Ramsay G, Joore,
Kaasjager
K,
Hans
et.al.
Oral
decontamination with chlorhexidine reduces
the incidence of ventilator-associated
pneumonia. Am J Resp Crit Care Med
2006;173:1348-55
Ogata J, Minami K, Miyamoto H, Horishita
T, Ogawa M, Sata T, et al. Gargling with
povidone-iodine reduces the transport of
bacteria during oral intubation. Can J
Anaesth 2004;51(9):932-6
Tantipong H, Morkchareonpong C,
Jaiyindee S, Thamlikitkul V. Randomized
controlled trial and meta-analysis of oral
decontamination with 2% chlorhexidine
solution for the prevention of ventilator-
83
Jurnal Anestesiologi Indonesia
associated pneumonia. Infect Control Hosp
Epidemiol 2009;30(1):101-2
Panchabhai TS, Dangayach NS. Role of
chlorhexidine gluconate in ventilator
associated pneumonia prevention strategies
in ICU patients: where are we headed? Crit
Care 2009;13(6):427
Tablan OC, Anderson LJ, Besser R, Bridges
C, Hajjeh R. Guidelines for preventing
health-care–associated pneumonia, 2003:
recommendations of CDC and the
Healthcare Infection Control Practices
AdvisoryCommittee. MMWR Recomm Rep
2004;53:1–36.
Emilson CG. Susceptibility of various
microorganisms to chlorhexidine. Scand J
Dent Res 1977;85:255–265.
Maggiore SM, Iacobone E, Zito G, Conti C,
Antonelli M,Proietti R. Closed versus open
suctioning techniques. Minerva Anestesiol.
2002;68(5):360-4.
Paul-Allen J, Ostrow CL. Survey of nursing
practices with closed-system suctioning.
Am J Crit Care. 2002;9(1):9-17,quiz 18-9.
Comment in: Am J Crit Care. 2000;9(1):68.
Lorente L, Lecuona M, Martin MM, Garcia
C, Mora ML,Sierra A. Ventilator-associated
20.
21.
22.
23.
24.
25.
84
26.
27.
28.
29.
30.
pneumonia using a closed versus an open
tracheal suction system. Crit Care Med.
2005;33(1):115-9.
Kollef MH. The prevention of ventilator
associated pneumonia.
N Engl
J
Med2005;340:627-34.
Lasocki S, Lu Q, Sartorius A, Fouillat D,
Remerand F,Rouby JJ. Open and closedcircuit endotracheal suctioning in acute lung
injury: efficiency and effects on gas
exchange. Anesthesiology. 2006;104(1):3947.
Brochard L, Mion G, Isabey D, Bertrand C,
Messadi AA, Mancebo J, et al. Constantflow insufflation prevents arterial oxygen
desaturation during endotracheal suctioning.
Am Rev Respir Dis 1991; 144(2):395–400.
Combes P, Fauvage B, Oleyer C.
Nosocomial pneumonia in mechanically
ventilated
patients,
a
prospective
randomized evaluation of the Stericath
closed suctioning system. Intens Care Med
2000;26:878-882.
Zeitoun SS, De Barros ALBL, Diccini S. A
prospective, randomized study of ventilatorassociated pneumonia in patients using a
closed vs. open suction system. J Clin Nurs
2003;12:484-489.
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN
Pengaruh Infus Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45% Terhadap Kadar Glukosa
Darah Perioperatif pada Pasien Pediatri
Erna Fitriana Alfant i*, Uripno Budiono**, Johan Arifin **
*Bagian Anestesiologi RSUD Keraton, Pekalongan
**Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Background: In pediatric patients who undergo fasting period, every routine fluid
infusion given should contain glucose because children had less glycogen supply in their
liver, which can lead to fatal hypoglycemia especially for brain cell if oral glucose
intakes are discontinued in few moments. Over the time, we usually use 5 % dextrose 0,45
% NaCl, but this may cause postoperative hyperglycemia. Therefore, we used 2,5 %
dextrose 0,45 % NaCl which have less level of dextrose.
Objective: To compare the effectiveness of 5% Dextrose 0,45 % NaCl and 2,5 % Dextrose
0,45 % NaCl to prevent hypoglycemia and hyperglycemia during and after surgery in
pediatric patientst.
Method: This research was a clinical trial stage 1 (human sample) on 48 patients
undergoing surgery by general anesthesia. All patients underwent 4 hours fasting period
and received premediacation. Peripheral blood sampling was performed before and after
induction, and every 30 minutes during surgery for blood glucose measurement. Patients
were randomly divided in two groups. Group I received 5% Dextrose 0,45% NaCl
infusion and group two received 2,5% Dextrose 0,45% NaCl. The normality distribution
of blood glucose level was tested by using Kolmogorov-Smirnov test. A normal
distribution was determined by p>0,05. Analytical analysis was done to evaluate the
difference of blood glucose level between two groups by using independent-t-test (normal
distribution). The difference test of blood glucose between two groups were performed by
using paired t-test (normal distribution)
Result: The general characteristics of the subjects in each group had a normal
distribution (p>0,05), showing homogen data (no significant difference; p>0,05) on all
variables. Data before treatment in Group I (p=0,109) and group II (p=106) gave normal
blood glucose level distribution (p>0,05). There was a non significant increase of blood
glucose level (p>0.05) between preinduction (p=0.762) and postinduction (p=0.714).
There was a significant difference on blood glucose level between the two groups 30
minutes and 150 minutes after induction (p=0.00). Blood glucose level in group I
preinduction 102,36±4,31mg/dl,postinduction 106,0±44,17mg/dl , 30 menit 107,28±6,05
mg/dl, 60 menit 108,68±7,64 mg/dl, 90 menit 110,36±9,26 mg/dl, 120 menit 112,16±16,07
mg/dl dan 150 menit 114,64±22,38mg/dl. From periodic blood glucose level normality
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
85
Jurnal Anestesiologi Indonesia
test, each group had normal distribution (p>0.05). The difference test of blood glucose
level between the two groups gave a significant difference (p>0.05).
Conclusion: Infusion of 2,5% Dextrose 0,45% NaCl significantly better not cause
hypoglycemia from preoperative fasting and postoperative hyperglycemia in pediatric
patients.
Keywords: blood glucose, 5% Dextrose 0,45% NaCl, 2,5% Dextrose 0,45% NaCl,
pediatric patients
ABSTRAK
Latar belakang : Dari pasien pediatri yang dipuasakan, semua cairan rutin diberikan
harus mengandung glukosa dengan alasan pada anak hanya sedikit mempunyai
cadangan glikogen di hepar, sehingga bila pemasukan per oral terhenti selama beberapa
waktu akan dengan mudah menjadi hipoglikemia yang dapat berakibat fatal terutama
bagi sel otak. Cairan dekstrosa 5% NaCl 0,45% dapat mencegah hipoglikemia tetapi
menyebabkan hiperglikemia post operasi. Cairan infus dekstrosa 2,5% NaCl 0,45% yang
mempunyai kadar glukosa lebih kecil, diperkirakan tidak menyebabkan hiperglikemia
atau hipoglikemia
Tujuan: Untuk membandingkan cairan infus dekstrosa 5% NaCl 0,45% dan cairan infus
dekstrosa 2,5% NaCl 0,45% dalam mencegah terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia
durante dan setelah operasi pada pasien pediatrik
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik tahap 1 (subyek manusia) pada 48 penderita
yang menjalani operasi dengan anestesi umum. Semua penderita dipuasakan 4 jam dan
diberi obat premedikasi. Pengambilan sampel darah perifer untuk pemeriksaan GDS pre
induksi, pasca induksi, tiap 30 menit durante operasi. Penderita dikelompokkan secara
random menjadi 2 kelompok. Kelompok I mendapat infus dekstrosa 5% NaCl 0,45% dan
kelompok II mendapat infus dekstrosa 2,5% NaCl 0,45%. Akan dilakukan uji normalitas
distribusi kadar glukosa darah dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Apabila
p>0,05 maka distribusinya disebut normal. Analisis analitik akan dilakukan untuk
menguji perbedaan kadar glukosa antar kelompok dengan independent-t-test (distribusi
normal). Uji beda kadar glukosa antar kelompok dengan menggunakan paired t-test
(distribusi normal).
Hasil : Karakteristik umum subyek pada masing–masing kelompok memiliki distribusi
yang normal (p > 0,05), didapatkan data yang homogen (perbedaan yang tidak
bermakna, p>0,05) dari semua variabel. Data sebelum perlakuan pada kelompok I (p=
0,109 ) dan kelompok II (p=0,106) memberikan hasil nilai kadar glukosa darah
berdistribusi normal ( p > 0,05 ). Prainduksi ( p = 0,762 ) sampai sesaat setelah induksi
( 0,714 ) terjadi kenaikan kadar glukosa darah namun tidak bermakna ( p> 0,05 ) . Kadar
glukosa antar kelompok berbeda bermakna pasca operasi mulai menit 30 sampai menit
150 ( p=0,00 ). Kadar glukosa darah pada kelompok I saat prainduksi 102,36±4,31 mg/
86
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
dl, pasca induksi 106,0±44,17 mg/dl , 30 menit 107,28±6,05 mg/dl, 60 menit 108,68±7,64
mg/dl, 90 menit 110,36±9,26 mg/dl, 120 menit 112,16±16,07 mg/dl dan 150 menit
114,64±22,38 mg/dl. Uji normalitas variabel glukosa darah dilihat dari waktu, masingmasing kelompok memiliki distribusi yang normal ( p> 0,05 ) .Uji beda kadar glukosa
darah antara kedua kelompok memberikan hasil berbeda bermakna ( p> 0,05 ).
Simpulan: Pemberian cairan infus Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % lebih baik dari cairan
D5 % NaCl 0,45% karena tidak menyebabkan terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia
selama dan setelah operasi pada pasien pediatri
Kata kunci: glukosa darah, Dekstrosa 5 % NaCl 0,45 %, Dekstrosa 2,5% NaCl 0,45 %
pediatri
PENDAHULUAN
Glukosa merupakan suatu metabolit yang
penting
bagi
kelangsungan
hidup
manusia . Pada pasien pediatri yang
dipuasakan, semua cairan rutin yang
diberikan harus mengandung glukosa
dengan alasan pada anak hanya sedikit
mempunyai cadangan glikogen di
hepar ,sehingga bila asupan peroral
terhenti selama beberapa waktu akan
dengan mudah menjadi hipoglikemia yang
dapat berakibat fatal terutama bagi sel
otak. Pada anak yang puasa akan terjadi
pemecahan glikogen di hati dan otot
menjadi asam laktat dan piruvat. Sehingga
untuk menghindari hal tersebut pada
pasien pediatri kita biasanya menggunakan
infus yang mengandung dekstrosa.1
Glikogen
hepar
sebagian
besar
berhubungan dengan simpanan dan
pengiriman
heksosa
keluar
untuk
mempertahankan kadar glukosa darah ,
khususnya pada saat-saat sebelum sarapan.
Setelah 12-18 jam puasa, hampir seluruh
simpanan
glikogen
dalam
hepar
mengalami deplesi Cairan dekstrosa 5 %
tanpa kandungan natrium atau kandungan
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
natriumnya lebih kecil dari plasma
sebaiknya tidak digunakan untuk resusitasi
cairan pada anak oleh karena cairan
tersebut tidak efektif untuk mengisi
rongga
intravaskular.
Selain
itu
glukosanya sendiri dapat menyebabkan
hiperglikemia dan osmotik diuretik.1
Hasil akhir pencernaan karbohidrat adalah
glukosa fruktosa dan galaktosa yang
selanjutnya akan dikonversi hepar menjadi
glukosa. Sel akan mengadakan utulisasi
glukosa melalui glikolisis (anaerobik) atau
siklus “Citric Acid” (aerobikal). Glukosa
disimpan dalam bentuk glikogen. Insulin
akan meningkatkan sintesis glikogen. Pada
keadaan normal , pemberian glukosa
secara intravena pada anak jangan
melebihi 5 mg/kgBB/ menit. Hal ini
berhubungan dengan kemampuan tubuh
memetabolisir glukosa. Pemberian glukosa
yang berlebihan akan menyebabkan
hiperglikemi, meningkatkan termogenesis,
dan peningkatan produksi CO2.2
Pemberian
glukosa
meningkatkan pelepasan
Hiperglikemia
yang
memperburuk outcome
sendiri
akan
insulin endogen.
terjadi
dapat
neurologis serta
87
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 3. Nilai Rerata dan Simpangan baku (Standar deviation) karakteristik umum subyek pada masingmasing kelompok
No
Variabel
Kel D21/2%
(n=24)
Kel D5%
(n=24)
p
1
Umur (bulan)
6,58± 0,916
6,54±0,845
0,871
2
3
4
Berat Badan (kg)
Lama Anestesi (menit)
Lama Puasa (jam)
7,07 ± 0,30
140,21±5,80
4,04±0,58
7,10±0,289
139,38±6,81
4,00±0,57
0,662
0,650
0,804
5
6
7
Gula Darah Prainduksi (mg/dl)
Nadi
Status ASA
ASA I
ASA II
102,54±4,30
106,50±5,70
102,67±4,23
107,46±5,82
0,920
0,567
22
2
21
3
0,640
Tabel 4. Uji Normalitas kadar glukosa darah preinduksi
Variabel
Kelompok
p
keterangan
Kadar Glukosa Darah
D5% 1/2N
0,109
Distribusi Normal
D2 1/2 % 1/2N
0,106
Distribusi Normal
Tabel 5. Nilai rerata dan Simpangan baku kadar baku glukosa (mg/ dl) dilihat dari waktu pengukuran dan
kelompok perlakuan
No
Waktu
1
2
3
4
5
6
7
Prainduksi
Pascainduksi
30 menit
60 menit
90 menit
120 menit
150 menit
Kel D21/2%
Kel D5%
p
102,36± 4,31
106,04± 4,17
107,28± 6,05
108,68± 7,64
110,36± 9,26
112,16± 16,07
114,36± 22,38
102,74± 4,29
106,48± 4,05
128,52±14,79
141,26± 21,79
148,83± 25,54
187,52± 14,69
211,83± 6,55
0,762
0,714
0,000*
0,000*
0,000*
0,000*
0,000*
*=bermakna (p<0,005
88
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
memperlama penyembuhan luka operasi
setelah operasi. Kadar glukosa darah yang
tetap dalam batas normal saat anestesi
merupakan tujuan pemberian cairan
intraoperatif pada bedah anak. 2,3
Setiap
tindakan
operasi
akan
menyebabkan terjadinya suatu stress.
Stress operasi dapat merupakan stress
psikologi, stress anestesi dan stress
pembedahan. Respon tubuh terhadap
stress operasi menunjukkan suatu pola
tertentu , yang bersifat sentral, perifer dan
imunologikal. Respon stress normal
dicirikan oleh respon sympathetic
neurohormonal akibat stimulasi dari
sympathoadrenergic
dan
pituitary
pathways mengakibatkan peningkatan
level pada norephinefrin, ephinefrin,
glucagon dan kortisol.4
Pada stress operasi glukosa meningkat
paling sedikit dua kali lipat. Penurunan
insulin terjadi pada tahap awal,
selanjutnya meningkat karena peningkatan
level growth hormone. Glukagon dan
kortisol menginduksi glukoneogenesis.
Hiperglikemia
adalah
khas
dan
menggambarkan peningkatan produksi
hepatic dan juga peningkatan pemakaian
oleh jaringan perifer. Juga terjadi
penurunan toleransi terhadap pembebanan
glukosa, akibat dari penurunan sekresi
insulin dan resistensi perifer terhadap aksiaksi itu. Kedua efek tersebut disebabkan
oleh peningkatan sekresi katekolamin
yang juga meningkatkan lipolisi. Pada
periode perioperatif peningkatan glukosa
darah juga bisa berasal dari stress
psikologi dan stress anestesi. Akibatnya,
pemberian cairan intraoperatif yang
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
mengandung
glukosa
berlebihan
cenderung menyebabkan hiperglikemia.5
Hiperglikemia
yang
terjadi
dapat
menimbulkan kerusakan otak, medulla
spinalis dan ginjal karena iskhemia, koma,
melambatkan pengosongan lambung,
melambatkan penyembuhan luka dan
kegagalan fungsi sel darah putih. Oleh
karena itu diharapkan sesudah operasi
tidak terjadi hiperglikemia sehingga pasien
dapat mencapai kondisi yang baik.3,6
Pada penelitian sebelumnya digunakan
cairan infus Dekstrosa 5 % NaCl 0,225 %,
tetapi masih terjadi peningkatan kadar
glukosa darah yang signifikan dan
hiperglikemia pasca operasi sehingga pada
penelitian ini digunakan cairan infuse
Dekstrosa 2,5% NaCl 0,45 % yang
mengandung kadar glukosa lebih rendah.
Penggunaan cairan infus Dekstrosa 2,5 %
NaCl 0,45 % diharapkan dapat mencari
dosis glukosa yang optimal yang dapat
mencegah hipoglikemia dan hiperglikemia
selama dan post operasi.6
METODE
Penelitian ini merupakan uji klinik
eksperimental murni tahap 2 dengan
randomized control trial dengan double
blind.
Pengukuran
atau
observasi
dilakukan selama dan setelah perlakuan.
Kelompok penelitian dibagi menjadi dua
kelompok sebagai berikut :
Kelompok 1 sebagai kontrol (K) :
mendapat infus Dekstrosa 5 % NaCl
0,45% menjelang awal , selama dan akhir
operasi. Kelompok 2 sebagai perlakuan
(P): mendapat infus Dekstrosa 2,5 %NaCl
89
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Grafik 1. Nilai rerata kadar glukosa darah
Tabel 6. Uji normalitas kadar glukosa darah
No
1
2
3
4
5
6
Waktu
Prainduksi
Pascainduksi
30 menit
60 menit
90 menit
120 menit
Kel D21/2%
P
Kel D5%
P
0,664
0,629
0,826
0,495
0,745
0,977
0,705
0,558
0,870
0,769
0,856
0,865
Keterangan
Distribusi Normal
Distribusi Normal
Distribusi Normal
Distribusi Normal
Distribusi Normal
Distribusi Normal
*=bermakna (p<0,005
Tabel. 7. Uji beda kadar glukosa
No
90
Waktu
p
Keterangan
1
2
3
4
Pascainduksi
30 menit
60 menit
90 menit
0,940
0,000
0,000
0,000
Distribusi Normal
Distribusi Normal
Distribusi Normal
Distribusi Normal
5
6
120 menit
150 menit
0,000
0,000
Distribusi Normal
Distribusi Normal
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
0,45 % menjelang awal, selama dan akhir
operasi. Subyek penelitian yaitu semua
penderita di RS.Dr. Kariadi yang
dipersiapkan untuk pembedahan elektif
labioplasti dan herniotomi dengan
menggunakan infus Dekstrosa 5 % NaCl
0,45% atau Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 %
yang memenuhi kriteria seleksi tertentu.
Tempat penelitian dilakukan Instalansi
Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi
Semarang.
Waktu
penelitian
dilakukanmulai dari 1 Januari 2007
sampai dengan 30 April 2007. Kriteria
inklusi sebagai berikut; Usia antara 1
bulan – 1 tahun, status fisik ASA I-II,
menjalani operasi dengan anestesi umum,
lama operasi tidak lebih dari 3 jam, berat
badan normal. Sedangkan Kriteria
eksklusi pada penelitian ini adalah
mengalami
hipoglikemia
atau
hiperglikemia saat akan dilakukan
penelitian, mendapat transfusi selama
operasi berlangsung, pasien sakit berat.
Dosis dan cara pemberian infus adalah
memberikan infus dengan menggunakan
tetesan infus paediatric maintenance sesuai
dengan rumus : Holliday & Segar yaitu 4
ml/kgBB untuk 10 kgBB pertama, 2 ml/
kgBB untuk 10 kg kedua dan 1 ml/kgBB
untuk setiap kgBB diatas 20 kg.
Penelitian dikerjakan dengan menyeleksi
pasien pada saat kunjungan pra bedah di
RS. Dr. Kariadi Semarang dan pasien yang
memenuhi kriteria inklusi ditetapkan
sebagai sampel. Penelitian dilakukan
terhadap 48 pasien yang akan menjalani
operasi labioplasti dan herniotomi dengan
randomized control trial dengan double
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
blind yang sebelumnya telah mendapat
penjelasan
dan
menyetujui
untuk
mengikuti semua prosedur penelitian serta
menandatangani informed consent. Pasien
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
kelompok Dekstrosa 5 % NaCl 0,45 % dan
kelompok Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 %,
sehingga
masing-masing
kelompok
berjumlah 24 orang. Semua pasien diberi
penjelasan
tentang
hal-hal
yang
berhubungan dengan kondisi yang akan
dialami selama perlakuan dan bersedia
mengikuti penelitian. Semua pasien
dipuasakan sesuai standar internasional
(rumus 2-4-6-8) sebelum pembedahan/
anestesi. Pasien diinfus setelah ditidurkan
dengan isoflurane. Induksi anestesi
dilakukan dengan inhalasi menggunakan
isoflurane 2 volume % dalam N2O 50 %
dengan aliran gas 3 L/menit, Oksigen 3 L/
menit, atracurium besylate 0,5 mg/kgbb
IV, fentanyl 2 μg/kgBB IV. Kadar glukosa
darah diperiksa dari darah perifer sesaat
sebelum induksi, setelah induksi, dan pada
akhir operasi dengan menusukkan jarum
pada jari tangan atau kaki dan hasilnya di
baca dengan optium ( blood glucose test )
dan MediSense strip. Kemudian diberi
cairan yang sesuai dengan kelompok
penelitian yang sudah ditetapkan. Jumlah
kecepatan infus yang diberikan sesuai
dengan rumus dari Holliday & Segar.
Data yang terkumpul kemudian akan diedit, di-koding, dan di-entry kedalam file
komputer.
HASIL
Pada grafik 1 dapat kita lihat pola kadar
glukosa darah dari kedua kelompok .Pada
91
Jurnal Anestesiologi Indonesia
kelompok II (P) mendapat dekstrosa 2,5 %
NaCl 0,45 % kadar glukosa darah tampak
lebih stabil jika dibandingkan dengan
kelompok I ( K) yang mendapat dekstrosa
5% NaCl 0,45 % kadar glukosa darah
meningkat tajam sampai lebih dari 200
mg% . Pada kelompok II (P) tidak ada
satupun yang mengalami hiperglikemia.
Pada tabel 5 nampak bahwa dari waktu
prainduksi sampai sesaat setelah induksi
terjadi kenaikan kadar glukosa darah
namun tidak bermakna seacara statistik.
Pada tabel 6 dapat dilihat Uji normalitas
variabel kadar glukosa darah dilihat dari
waktu menggunakan One – Sample
Kolmogorov Smirnov dimana masing –
masing kelompok memiliki distribusi yang
normal (p > 0,05), sehingga untuk uji
homogenitas diperlukan analisis statistik
dengan parametrik independent t test. Data
kemudian dianalisis secara parametrik
menggunakan uji independent t-test untuk
melihat perbedaan kadar glukosa darah
antara kelompok yang mendapat infuse D
5% N dan D 2 ½ % ½ N.
Pada tabel 7 dapat dilihat Uji beda kadar
glukosa darah antara kelompok I ( infus D
5 % ½ N ) dan kelompok II ( infus D 2 ½
% ½ N ) dimana didapatkan p > 0,05 yang
berarti kadar glukosa darah pada kedua
kelompok
berbeda
bermakna
menggunakan uji independent t-test.
PEMBAHASAN
Pada penelitian sebelumnya dilakukan
penelitian mengenai cairan pada pediatri
yang
mana
mengguanakan
cairan
Dekstrosa 5 % NaCl 0,45 % yang selama
92
ini merupakan cairan yang diberikan untuk
pasien pediatri selama operatif. Ternyata
pasca operatif terjadi hiperglikemia pada
pasien. Pada pasien pediatri yang
dipuasakan, semua cairan rutin yang
diberikan harus mengandung glukosa
dengan alasan pada anak hanya sedikit
mempunyai cadangan glikogen di
hepar ,sehingga bila masuk peroral
terhenti selama beberapa waktu akan
dengan mudah menjadi hipoglikemia yang
dapat berakibat fatal terutama bagi sel
otak. Pada anak yang puasa akan terjadi
metabolisme anaerob dimana terjadi
pemecahan glikogen di hati dan otot
menjadi asam laktat dan piruvat.
Sehingga untuk menghindari hal tersebut
pada pasien pediatri kita biasanya
menggunakan infus yang mengandung
dekstrosa. Pada keadaan normal ,
pemberian glukosa secara intravena pada
anak jangan melebihi 5 mg/kgBB/ menit.
Hal ini berhubungan dengan kemampuan
tubuh memetabolisir glukosa.2 Pemberian
glukosa
yang
berlebihan
akan
menyebabkan hiperglikemi, meningkatkan
termogenesis, dan peningkatan produksi
CO2. Pemberian glukosa sendiri akan
meningkatkan pelepasan insulin endogen.
2,3
Hiperglikemia
yang
terjadi
dapat
memperburuk keluaran neurologis serta
memperlama penyembuhan luka operasi
setelah operasi. Kadar glukosa darah yang
tetap dalam batas normal saat anestesi
merupakan tujuan pemberian cairan
intraoperatif pada bedah anak.
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Pada tabel 5 nampak bahwa dari waktu
prainduksi sampai sesaat setelah induksi
terjadi kenaikan kadar glukosa darah
namun tidak bermakna seacara statistik.
Hal ini menunjukan bahwa pada penelitian
ini , induksi anestesi tidak menyebabkan
perubahan yang bermakna pada kadar
glukosa darah. Kadar glukosa antar
kelompok berbeda secara bermakna pada
waktu pasca operasi mulai pada menit ke
30 sampai menit ke 150. Pada penelitian
ini, pemberian cairan Dekstrosa 5 % NaCl
0,45 % menyebabkan peningkatan kadar
glukosa darah yang signifikan bermakna
dan hiperglikemia pasca operasi (tabel 5).
Pada kelompok ini kadar glukosa darah
meningkat dari rerata 102,74±4,29 mg/dL
prainduksi menjadi rerata 211,83±6,55
mg/dL pasca operasi.
Peningkatan kadar glukosa darah dapat
dilihat pada pola yang dimulai dari menit
30 pasca induksi dengan rerata 128,52±
14,79 mg/dL yang kemudian meningkat
pada menit 60 dengan rerata 141,26±21,79
mg/dL pada menit 90 dengan rerata
148,83±25,54 mg/dL pada menit 120
dengan rerata 187,52±14,69 mg/dL pada
menit 150 dengan rerata 211,83±6,55 mg/
dL Hiperglikemia (kadar glukosa darah >
180 sampai 200 mg/dL) sering disebabkan
oleh defisiensi insulin, resistensi reseptor
insulin atau pemberian glukosa yang
berlebihan. Stress periopeatif dapat
meningkatkan glukosa darah baik itu dari
stress psikhologi preoperatif, stress
anestesia dan stress pembedahan.2,7,8,9
Beberapa tehnik anestesia tertentu
menggunakan methode non farmakologi
hypothermia. Hypothermia menghalangi
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
penggunaan dan metabolisme yang
sepantasnya dari glukosa dan dapat
menyebabkan hiperglikemia. Respon
hiperglikemik dapat terjadi dari agen-agen
anestesia tertentu (seperti, ketamin dan
halotan). Beberapa tindakan anestesia
seperti intubasi dan extubasi endotrakheal
meningkatkan respon stress katekholamin
dan hemodinamik dan akan meningkatkan
glukosa darah.10,11
Hiperglikemia itu sendiri cukup untuk
menyebabkan kerusakan otak, medulla
spinalis dan ginjal karena iskhemia, koma,
melambatkan pengosongan lambung,
melambatkan penyembuhan luka dan
kegagalan fungsi sel darah putih ,
dehidrasi seluler yang berhubungan
dengan
perubahan-perubahan
pada
konsentrasi sodium juga hadir Pada
kelompok yang diberi cairan infus
Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % tidak
menyebabkan peningkatan kadar glukosa
darah yang signifikan (tabel 4) dan tidak
menyebabkan hiperglikemia pasca operasi.
Pada kelompok ini kadar glukosa darah
meningkat dari rerata 102,36±4,31 mg/dL
prainduksi menjadi rerata 114,64±22,38
mg/dL pasca operasi. Peningkatan kadar
glukosa darah dapat dilihat pada pola yang
dimulai dari menit 30 pasca induksi
dengan rerata 107,28±6,05 mg/dL yang
kemudian meningkat pada menit 60
dengan rerata 108,68±7,64 mg/dL pada
menit 90 dengan rerata 110,36±9,26 mg/
dL pada menit 120 dengan rerata
112,16±16,07 mg/dL pada menit 150
dengan rerata 114,64±22,38 mg/dL.
Pengurangan kadar glukosa setengah dari
cairan yang biasa dipakai ( 2 ,5 % )
93
Jurnal Anestesiologi Indonesia
membuktikan
mampu
menghindari
terjadinya hipoglikemia akibat puasa tetapi
juga mampu menncegah terjadinya
hiperglikemia pasca operasi. Perbandingan
kadar glukosa darah pada kedua kelompok
yaitu antara kelompok I ( infus Dekstrosa
5 % NaCl 0,45 %) dan kelompok II
(Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % )
didapatkan hasil perbedaan bermakna ( p <
0,05 ).
Pada
penelitian
sebelumnya
diperbandingkan antara dekstrosa 5 %
NaCl 0,225 % yang mana terbukti terjadi
hiperglikemia pasca operasi. Ada juga
penelitian yang menggunakan dekstrosa
1% dalam larutan ringer laktat dimana
tidak terjadi peningkatan kadar glukosa
darah dan hiperglikemia pasca operasi,
tetapi oleh karena belum ada sediaan
diatas kita harus mencampur lebih dahulu
sehingga kesterilan tidak bisa dijaga dan
bisa menyebabkan infeksi.
Peneliti memakai sediaan dekstrosa 2,5%
NaCl 0,45% yang terbukti tidak
menyebabkan peningkatan kadar glukosa
darah dan hiperglikemia pasca operasi dan
dipasaran sudah mulai ada, tetapi di
instalansi bedah sentral belum ada.
Pada pasien yang mengalami anestesi dan
pembedahan
seharusnya
kecepatan
pemberian glukosa ini lebih rendah lagi
karena adanya stres pembedahan yang
meningkatkan
pelepasan
hormon
katabolik, disertai pengaruh hormon
katabolik, disertai pengaruh obat anestesi
94
yang menekan pelepasan insulin dari sel βpankreas.
Pada penelitian ini didapat bahwa cairan
yang dapat memelihara kadar glukosa
darah dalam batas normal selama periode
intraoperatif adalah Dekstrosa 2,5% NaCl
0,45 % dan tidak menyebabkan
hiperglikemia pasca operasi.
Respon stres adalah suatu keadaan dimana
terjadi perubahan-perubahan fisiologis
tubuh sebagai reaksi terhadap kerusakan
jaringan yang ditimbulkan oleh keadaankeadaan seperti syok, trauma, operasi,
anestesi, gangguan fungsi paru, infeksi
dan gagal fungsi organ yang multipel
1.Pada
respon stres akan dilepaskan
hormon-hormon yang dikenal sebagai
neuroendokrin hormon yaitu : ADH,
aldosteron, angiotensin II, cortisol,
epinephrin dan norepinephrin. Hormonhormon ini akan berpengaruh terhadap
beberapa fungsi fisiologik tubuh yang
penting dan merupakan suatu mekanisme
kompensasi untuk melindungi fungsi
fisiologik tubuh 2,3,4.
Diharapkan dengan adanya penelitian ini ,
maka kita tidak perlu takut lagi
menggunakan cairan infus Dekstrosa 2,5
% NaCl 0,45 % karena takut terjadi
hipoglikemia karena puasa. Ternyata
cairan infus Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 %
mampu mengatasi kadar glukosa puasa
pada pediatri . Pasca operasi juga tidak
terjadi hiperglikemia seperti terjadi pada
penggunaan cairan infus Dekstrosa 5 %
NaCl 0,45 % sebagaimana yang biasa kita
lakukan.
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
SIMPULAN
Pemberian cairan infus Dekstrosa 2,5 %
NaCl 0,45 % lebih baik dari cairan D5%
NaCl 0,45% karena tidak menyebabkan
terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia
selama dan setelah operasi pada pasien
pediatri.
7.
8.
DAFTAR PUSTAKA
1. Smith’s. Anestesia for infants and children, 6 th
ed, St. Louis: Mosby; 1996: 319-20.
2. Robert K. Fluid and electrolytes : Parenteral
fluid therapy.Pediatrics in review; 2001 : 22
(11).
3. Bell C. The pediatric anestesia handbook,
2nd ,St louis: Mosby; 1997 : 73-80.
4. Barash P. Clinical anestesia, 4th ed,
Philadelphia : lipincott Company; 2001: 12012.
5. Paediatric Surgery chapter 15.(2005, Oktober
17).Primary surgery volume one:non trauma.
http://www.meb.uni-bonn.de/dtc/primsurg/
index.html
6. Pradian E. The Effect of Dextrose to Blood of
Glucose and Ketone Bodies Level in Pediatric
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
9.
10.
11.
Patient underwent Labioplasty. The Indonesian
Journal of Anaesthesiology and Critical
Care,Bandung ; 2004 : 109-117.
Berry FA. Hypoglycemia and hyperglycemia:
is there a problem? Eg J Anesth 2002; 18: 15762Stoelting RK. Pharmacology and physiology
in anesthetic practice.3rd ed , Lippincott Raven,
Philadelphia, New York, 1999: 302-11.
Intravenous Fluids. Clinical Practice
Guidelines. Royal Children’s Hospital
Melbourne. http://www.rch.org.au/
clinicalguide/cpg.cfm .
Elizabeth M. Molyneux, F.R.C.P.C.H.,
F.F.A.E.M., and Kath Maitland, M.R.C.P.,
Ph.D. (2005, September 1). Intravenous
Fluids— Getting the Balance Right. http://
www.nejm.org/intravenous fluids-getting the
balance right.htm.
Waxman K. Physiologic response to injury.
In : Shoemaker WC, Holbrook PR,Ayres
SM,Grenvik A. Critical care. W.B.Saunders
company, Philadelphia, London ,Toronto,
2000 : 277-82.
Oczenski W,Krenn H, Dahaba AA, Binder M.
Hemodynamic and Cathecolamine Stress
Responses to Insertion of the Combitube,
Laryngeal Mask Airway or Tracheal
Intubation. Anesth Analg 1999 , 88:1389-94.
95
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN
Pengaruh Simvastatin Terhadap Kapasitas Fagositosis Makrofag Pada
Mencit Balb/C Yang Diberi Lipopolisakharida
Sherliyanah Harahap*, Heru Dwi Jat miko**, Mohamad Sofyan Harahap**
*Bagian Anestesiologi RSUD Mataram, Lombok
**Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Background: Simvastatin is included in a group of medicine called hydroxy metyl
glutaryl (HMG Co) reductase inhibitors or statin. The effect of simvastatin on TNF-alpha
neutralizing antibody is that statin (3-hydroxy-3-methylglutaryl) coenzyme reductase
inhibitors has the pleiotropic actions effect that can improve the survival of sepsis
patients.
Objective: To prove the effect of simvastatin administration 0.03 mg, 0.06 mg and 0.12
mg PO on LPS intraperitoneal injected mice to the decrease of intraperitoneal
macrophages’ phagocytosis capacity.
Methods: Experimental design research on post test only control group. The samples
were 20 male mice type balb/c. Mice are divided into 4 groups, consisted of control group
(without simvastatin injection), treatment group 1,2,3 consecutively administered
simvastatin 0.03 mg; 0.06 mg; and 0.12 mg PO respectively. Initially these groups were
injected intraperitoneal lipopolysaccharida 20 mg/kg.
Results: The mean capacity of macrophages’ phagocytosis for each groups: Control =
44,40+3,97; K 1 = 37,80+2,86; K 2 = 31,20+1,30; K 3 = 2,.00+4,30. The results of
statistical tests between groups were shown significant differences between K1 with K3
and K4, between K2 with K3 and K4 (p<0,0,05). There were no significant differences
between K1 dan K2, and between K3 and K4 (p>0.005).
Conclusion: The administration of simvastatin 0.03 mg, 0.06 mg and 0,12 mg PO show
significant differences on the intraperitoneal macrophages’ phagocytosis capacity
compared to the control group of mice with lipopolisakharida injection.
Keywords: Simvastatin, lipopolisakharida, macrophages’ phagocytosis.
ABSTRAK
Latar Belakang : Simvastatin merupakan grup obat yang disebut sebagai hydroxy metyl
glutaryl (HMG Co) reductase inhibitors). Efek simvastatin terhadap TNF-alpha
neutralizing antibody bahwa Statins (3-hydroxy-3-methylglutaryl) coenzyme reductase
inhibitors memiliki efek pleiotropic actions, yang mampu memperbaiki survival penderita
sepsis.
96
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tujuan : Membuktikan efek pemberian simvastatin 0,03 mg, 0,06 mg dan 0,12 mg
peroral pada mencit yang diberi LPS intraperitoneal terhadap penurunan kapasitas
fagositosis makrofag intraperitoneal.
Metode : Penelitian eksperimental desain the post test only controlgroup. Sampel
penelitian 20 ekor mencit balb/c jantan. Mencit dibagi dalam 4 kelompok, yaitu kelompok
Kontrol (tidak diberi simvastatin), kelompok Perlakuan 1,2,3 berturut-turut diberi
simvastatin 0,03 mg; 0,06 mg; dan 0,12 mg peroral.Sebelumnya masing-masing
kelompok disuntikkan lipopolisakarida 10 mg/kgBB intraperitoneal.
Hasil : Rerata kapasitas fagositosis makrofag untuk masing-masing kelompok : Kontrol
= 44,40+3.97; Perlakuan 1 = 37,80+2,86; Perlakuan 2 = 31,20+1,30; Perlakuan 3 =
23,00+4,30. Hasil uji statistik antar kelompok didapatkan perbedaan yang bermakna
antara kelompok K1 dengan K3 dan K4, antara K2 dengan K3 dan K4 (p<0,0,05). Tidak
terdapat perbedaan bermakna antara K1 dan K2, serta K3 dan K4. (p>0,0,05).
Kesimpulan : Pemberian simvastatin dosis 0,06 mg dan 0,12 mg peroral menunjukkan
perbedaan bermakna pada penurunan kapasitas fagositosis makrofag intraperitoneal
dibanding kontrol pada mencit yang diberi lipopolisakarida.
Kata kunci : Simvastatin, lipopolisakharida, fagositosis makrofag.
PENDAHULUAN
Simvastatin merupakan grup obat yang
disebut dengan hydroxy metyl glutaryl
(HMG Co) reductase inhibitors atau
statin. Obat ini digunakan untuk
mengurangi kolesterol low-density
lipoprotein (LDL) dan trigliserid dalam
darah, serta meningkatkan kadar kolesterol
high-density lipoprotein (HDL).1
Statin mempunyai kemampuan dapat
mengurangi kadar kolesterol, tetapi
berdasarkan laporan penelitian Su Zhang
menyatakan bahwa obat ini mempunyai
peran penting dalam pengurangan
kerusakan paru-paru akibat sepsis dan
infeksi.2
Penelitian Yasuda menyatakan bahwa efek
simvastatin dan TNF-alpha neutralizing
antibody telah diteliti pada hewan yang
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
disertai sepsis. Statins (3-hydroxy-3methylglutaryl) coenzyme reductase
inhibitors memiliki efek pleiotropic
actions, dimana obat ini mampu
memperbaiki survival penderita sepsis
atau penderita dengan penyakit infeksi
dengan cara memperbaiki cecal ligation
and puncture (CLP) pada mediator
inflamasi sehingga mengurangi kerusakan
pada organ yang dapat memicu terjadinya
kematian.3
Bahan penyebab syok sepsis yaitu
lipopolisakarida (LPS) merupakan struktur
utama dinding sel bakteri gram negatif
yang berfungsi untuk integritas struktur
bakteri dan melindungi bakteri dari sistem
pertahanan imun hospes. Zat ini bersifat
endotoksin yang menginduksi produksi
sitokin proinflamatori seperti interleukin1α (IL-1α), IL-1β, IL-6, tumor necrosis
97
Jurnal Anestesiologi Indonesia
factor-α (TNF-α) dan prostaglandin
(PGE2).4 LPS ini mengikat reseptor
CD14/ Toll-like receptor-4 (TLR4) yang
m e ng a k i b a t k a n s e k r e s i s it o k i n
proinflamatori dari beberapa tipe sel.
CD14 merupakan reseptor permukaan sel
pada makrofag dan monosit untuk
karbohidrat.5
Makrofag adalah sel darah putih yang
berada didalam jaringan. Monosit dan
makrofag adalah fagosit yang bertindak
pada pertahanan non spesifik (kekebalan
bawaan) serta membantu memulai
mekanisme pertahanan spesifik (kekebalan
adaptif) dari host. Peran makrofag adalah
fagositosis, menelan dan mencerna puingpuing selular dan patogen, merangsang
limfosit dan sel kekebalan lainnya untuk
merespon patogen. Makrofag dapat
diidentifikasi dengan cara menilai ekspresi
tertentu dari sejumlah protein, termasuk
CD14, CD11b, F4/80 (tikus)/ EMR1
(manusia), lisozim M, MAC-1/MAC-3
dan CD68 dengan sitometri atau
pewarnaan imunohistokimia bergerak
dengan aksi gerakan amoeboid. 6,7
Makrofag adalah fagosit yang paling
efisien, dan bisa mencerna sejumlah besar
bakteri atau sel lainnya. Pengikatan
molekul bakteri ke reseptor permukaan
makrofag memicu proses penelanan dan
penghancuran bakteri melalui "serangan
respiratori", menyebabkan pelepasan
bahan oksigen reaktif. Patogen juga
me ns t imu la s i ma k ro fa g u nt u k
menghasilkan kemokin, yang merekrut sel
fagosit lain di sekitar wilayah terinfeksi
dan makrofag tidak teraktivasi oleh
stimulasi sejumlah sitokin seperti TNFα,
98
IL-1β, IL-15 dan IL-8.6
Pemberian
simvastatin 40 mg pada
penelitian Yasuda menyatakan dapat
memperbaiki syok sepsis dan kematian
akibat acute kidney injury (AKI).3 Merx,
menyatakan simvastatin sangat bermanfaat
pada pengobatan dislipidemi dan penyakit
jantung koroner serta memiliki efek dalam
pengobatan sepsis dengan menurunkan
aktivitas monosit. 8 Victor, dalam
penelitiannya menyatakan simvastatin
dapat mencegah dan mengobati sepsis.9
Marc dkk dalam penelit iann ya
menyatakan
statin merupakan terapi
sepsis yang aman
pada penderita
dislipidemi dan penyakit jantung koroner
dengan menganalisis konsentrasi IL-6
plasma.10
Pemberian LPS pada penelitian ini
dilakukan terhadap mencit dengan
penyuntikan intraperitoneal karena pada
intraperitoneal terdapat banyak makrofag.
LPS yang disuntikkan akan merangsang
makrofag untuk menghasilkan sitokin
proinflamasi seperti TNF, IL-1, dan IL-6
yang akan meyebabkan syok septik.11
Penelit ian in i bert u ju an u nt uk
membuktikan pengaruh pemberian
simvastatin terhadap kapasitas fagositosis
makrofag pada mencit dengan dosis 10
mg, 20 mg dan 40 mg yang kemudian
dikonversikan ke dalam dosis mencit
menjadi 0,03 mg, 0,06 mg dan 0,12 mg.
METODE
Penelitian ini termasuk eksperimental
laboratorik dengan desain post test only
control group dengan tujuan mencari
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
pengaruh pemberian simvastatin peroral
pada mencit yang diberi lipopolisakarida
intraperitoneal terhadap kapasitas
fagositosis makrofag. Sampel penelitian
20 ekor mencit babl/c jantan, umur 8 - 10
minggu, berat 20 - 30 gram, sehat dan
tidak tampak cacat secara anatomi.
Mencit dibagi dalam 4 kelompok
perlakuan, sehingga total jumlah sampel
20 ekor mencit balb/c. Sampel yang
memenuhi kriteria inklusi diadaptasikan
dengan dikandangkan per kelompok dan
diberi pakan standar serta minum yang
sama selama 1 minggu secara ad libitum.
Setelah ditunggu selama 6 jam kemudian
dilakukan pengambilan dan kultur
makrofag intraperitoneal. Selanjutnya
dilihat kapasitas fagositosis makrofag
intraperitoneal dibawah mikroskop.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian
ini adalah data primer hasil pemeriksaan
kapasitas fagositosis makrofag yang
dinyatakan dengan jumlah makrofag yang
memfagosit partikel latex dalam 100
makrofag yang diperiksa dengan
mikroskop cahaya.
HASIL
Penelitian ini menggunakan 20 ekor
mencit Balb/c jantan, dari keturunan murni
berumur dua setengah bulan dan berat
badan 2 0- 4 0 g r am. P ene lit ia n
menggunakan 4 kelompok yaitu kelompok
kontrol (K1) terdiri dari 5 ekor mencit
yang diber ikan per laku an LPS
intraperitoneal 10 mg/kgBB. Kelompok
perlakuan 1 (K2), kelompok perlakuan 2
(K3) dan kelompok perlakuan 3 (K4)
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
masing-masing terdiri 5 ekor mencit
mendapat kan
p er lak u a n
LPS
intraperitoneal 10 mg/kgBB dan
simvastatin peroral (0,03 mg, 0,06 mg dan
0,12 mg).
Subyek penelitian dilakukan pemeriksaan
kemampuan fagositosis makrofag dengan
menggunakan partikel latex yang
difagositosis makrofag dalam 100
makrofag pada cairan peritoneum mencit.
Data penghitungan kapasitas fagositosis
makrofag intraperitoneal tercantum pada
Tabel 1.
Hasil pengamatan rerata kapasitas
fagositosis makrofag intraperitoneal pada
keempat kelo mpo k menunjukkan
kapasitas fagositosis makrofag yang
berbeda yaitu pada kelompok perlakuan 1
(K2) menunjukkan kemampuan kapasitas
fagositosis makrofag paling rendah
dibandingkan kelompok kontrol (K1).
Uji beda dilakukan untuk mengetahui
apakah ada perbedaan yang bermakna
pada kapasitas fagositosis makrofag
intraperitoneal pada kelompok kontrol
(K1), kelompok perlakuan 1 (K2) dan
kelompok perlakuan 2 (K3) dan kelompok
perlakuan 3 (K4). Uji beda ini dilakukan
dengan menggunakan ANOVA dan
dilanjutkan dengan uji posteriori. Hasil uji
one way-Anova menunjukkan hasil
signifikan (p<0,001) dengan interpretasi
perbedaan bermakna dari dua kelompok
penelitian.
Hasil uji homogenitas varian dilihat dari
output Levene test. Nilai p pada Levene
test menunjukkan nilai 0,03 (p < 0,05).
99
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 1. Data penghitungan kapasitas fagositosis makrofag intraperitoneal
Kelompok
K1
K2
K3
K4
N
5
5
5
5
Mean
44.40
37.80
31.20
23.00
50
SD
3.975
2.864
1.304
4.301
Error Bars show 95.0% Cl of Mean
K ad a r M ak ro fag

40


30

20
Kontrol
Simvastatin 0,06 mg
Simvastatin 0,03 mg
Simvastatin 0,12 mg
Nama kelompok
Gambar 1. Grafik error bar kapasitas fagositosis makrofag kelompok penelitian
50



K ada r M ak rofag

40









30



20

Kontrol
Simvastatin 0,06 mg
Simvastatin 0,03 mg
Simvastatin 0,12 mg
Nama kelompok
Gambar 2 grafik scatterplot kadar makrofag kelompok penelitian.
100
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Hal ini berarti varian data pada ketiga
kelompok tersebut adalah homogen, untuk
mengetahui kelompok mana yang
memiliki perbedaan, maka dilakukan uji
posteriori dengan Tamhane.
Dari hasil uji posteriori didapatkan
perbedaan yang bermakna antara kapasitas
fagositosis makrofag intraperitoneal pada
kelompok perlakuan 1 (K1) dengan
kelompok perlakuan 3 (K3) dan K4.
Terdapat perbedaan bermakna pada
kelompok
perlakuan
2
(P2)
dibandingkan kelompok perlakuan 3
(P3) dan P4. Tidak terdapat perbedaan
bermakna antara kelompok kontrol K1
dengan K2, serta antara K3 dan K4
(p>0,005). Hasil selengkapnya dapat
dilihat di lampiran.
Uji korelasi dilakukan untuk mengetahui
apakah ada korelasi yang bermakna antara
dosis pemberian simvastatin dengan
kapasitas fagositosis
makrofag
intraperitoneal pada kelompok penelitian.
Uji ini dilakukan menggunakan uji
Pearson. Dari hasil uji korelasi didapatkan
korelasi yang bermakna (p=0,001), dengan
nilai koefisien korelasi Pearson sebesar (0.935), dan arah korelasi negatif dengan
koefisien korelasi kuat.
PEMBAHASAN
Simvastatin merupakan grup obat yang
disebut dengan hydroxy metyl glutaryl
(HMG Co) reductase inhibitors atau
statin. Obat ini digunakan untuk
mengurangi kolesterol low-density
lipoprotein (LDL) dan trigliserid dalam
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
darah, serta meningkatkan kadar kolesterol
high-density lipoprotein (HDL).1
Penelitian Yasuda menyatakan bahwa efek
simvastatin dan TNF-alpha neutralizing
antibody telah diteliti pada hewan yang
disertai sepsis. Statins (3-hydroxy-3methylglutaryl) coenzyme reductase
inhibitors memiliki efek pleiotropic
actions, dimana obat ini mampu
memperbaiki survival penderita sepsis
atau penderita dengan penyakit infeksi
dengan cara memperbaiki cecal ligation
and puncture (CLP) pada mediator
inflamasi sehingga mengurangi kerusakan
pada organ yang dapat memicu terjadinya
kematian.3
Bahan penyebab syok sepsis yaitu
lipopolisakarida (LPS) merupakan struktur
utama dinding sel bakteri gram negatif
yang berfungsi untuk integritas struktur
bakteri dan melindungi bakteri dari sistem
pertahanan imun hospes. Zat ini bersifat
endotoksin yang menginduksi produksi
sitokin proinflamatori seperti interleukin1α (IL-1α), IL-1β, IL-6, tumor necrosis
factor-α (TNF-α) dan prostaglandin
(PGE2).4 LPS ini mengikat reseptor
CD14/ Toll-like receptor-4 (TLR4) yang
m e n g a k i b a t k a n s e k r e s i s it o k i n
proinflamatori dari beberapa tipe sel.
CD14 merupakan reseptor permukaan sel
pada makrofag dan monosit untuk
karbohidrat.5
Pada pemberian LPS akan merangsang
pelepasan mediator proinflamasi seperti
IFN-γ, TNF-α serta IL-I. makrofag
merupakan komponen penting dari respon
inflamasi terhadap kerusakan jaringan.12
101
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Hasil penelitian dapat dilihat bahwa
terdapat penurunan yang kapasitas
fagositosis makrofag intraperitoneal yang
bermakna pada pemberian simvastatin
baik pada dosis 0,06 mg dan dosis 0,12 mg
peroral dibandingkan dengan kelompok
yang tidak diberi simvastatin (Kontrol)
dan pada kelompok (P4).
Hal tersebut di atas disebabkan 2 faktor.
Pertama, karena simvastatin menghambat
langsung produksi sitokin proinflamasi
TNF alfa, IL-6, dan IL-8 yang diinduksi
oleh lipopolisakarida. Menurut penelitian
Gown dkk. menyatakan bahwa simvastatin
menekan TNF-α, IL-6 dan IL-8 yang
diinduksi oleh LPS, dimana TNF-α
merupakan sitokin pertama yang
terinduksi setelah stimulasi LPS yang
kemudian juga akan menstimulasi IL-1
dan IL-6 pada makrofag, monosit,neutrofil
dan sel endotel. Efek supresi simvastatin
terhadap IL-6 dan IL-8 dapat secara
langsung maupun melalui penghambatan
pelepasan TNF-α yang diinduksi oleh
LPS. Pada penelitian ini terdapat efek
supresi simvastatin terhadap TNF-α serta
IL-6 dan IL-8. TNF alfa yang tersupresi
kemudian akan menyebabkan penurunan
kapa s it a s fa g o s it o s is ma k r o fag
intraperitoneal.13
Faktor transkrip NF-κB mempunyai
peranan krusial pada proses inflamasi. NFκB merupakan faktor transkripsi yang
akan memicu produksi sitokin. Pemberian
LPS akan mengaktifkan NF-κB yang akan
meningkatkan produksi mediator inflamasi
seperti IL-8, TNF-α,13
102
Dari hasil uji korelasi didapatkan korelasi
yang bermakna (p=0,001), dengan nilai
Pearson sebesar -0,935 yang menunjukkan
bahwa arah korelasi negatif dengan
koefisien korelasi kuat. Hal ini berarti
bahwa terdapat hubungan erat antara
peningkatan dosis simvastatin semakin
rendahnya kapasitas fagositosis makrofag
intraperitoneal. Dosis simvastatin yang
diberikan semakin tinggi maka kapasitas
fagositosis makrofag intraperitoneal akan
semakin rendah.
SIMPULAN
Pada penelitian ini didapatkan juga bahwa
hasil simvastatin pada dosis 0,12 mg pada
mencit yang setara dengan pemberian
dosis simvastatin 40 mg/kgBB pada
manusia menurunkan kapasitas fagositosis
makrofag intraperitoneal secara signifikan
bila dibandingkan dengan simvastatin
dosis 0,03 mg pada mencit yang setara
dengan pemberian simvastatin 10 mg/
kgBB pada manusia dan simvastatin 0,06
mg pada mencit yang setara dengan
pemberian simvastatin 20 mg/kgBB pada
manusia (p>0,05).
DAFTAR PUSTAKA
1. Sandika. Simvastatin. Tersedia pada : http://
www.detikhealth.com. diakses 12 Agustus
2010.
2. Zhang S, Rahman M, Zhang SQ, Thorlacius H.
Simvastatin Antagonizes CD4OL Secretion,
CXC Chemokine Formation, and Pulmonary
Infiltritation of Neutrophils in Abdominal
Sepsis. J Leukoc Biol 2011;89(5):735-42.
3. Yasuda H, Yuen P, Hu X, Zhou H, Star R.
Simvastatin Improves Sepsis-Induced Mortality
and Kidney Injury via Renal Vascular Effects.
Kidney Int.2006;69(9):1535-42.
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
4. Stashenko P. Interrelationship of Dental Pulp
and Apical Periodontitis. In : Hargreaves KM,
Goodis, editors. Dental Pulp. Chicago:
Quintessence Publishing Co Inc; 2002.p.389409.
5. Akashi S, Shimazu R, Ogata H, Nagai Y,
Takeda K, Kimoto M, et al. Cutting Edge: Cell
Surface Expression and Lipopolysaccharide
Signaling via the Toll-Like Receptor 4-MD-2
Complex on Mouse Peritoneal Macrophages. J
Immunol 2000; 164: 3471-5.
6. Dilandx. Makrofag. Tersedia pada situs: http://
surgaku.com/2010/03/makrofag. Diakses pada
5 September 2011
7. Widodo D, Pohan HT, Bunga Rampai Penyakit
infeksi. Jakarta: Departemen IPD FKUI.2004:
p.54-88.
8. Merx MW, Liehn EA, Janssens U. HMG-Coa
Reductase Inhibitor Simvastatin Profoundly
Improves Survival in a Murine Model of
Sepsis. Circulation 2004;109:2560-65.
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
9. Novack V, Terblanche M, Almog Y. Do
Statins have a Role in Preventing or Treating
Sepsis? Critial Care 2006;10:113.
10. Marc W, Liehn EA, Graf J, Sandt A,
Schaltenbrand M, Schrader J, Hanrath P,
Weber C. Statin Treatment After Onset of
Sepsis in a Murine Model Improves Survival.
Circulation 2005;112:117-24.
11. Young D. Simvastatin and Severe Sepsis : A
Randomised Controlled Trial. tersedia pada
situs http://www.controlled-ttrials.com/
ISRCTN92093279. Diakses 11 September
2011.
12. Hermawan G, editor. Sitokin yang berperan
dalam Sirs dan Sepsis. In : SIRS, Sepsis &
Syok Septik. 1st ed. Surakarta:Sebelas Maret
University Press;2008. P. 86-98
13. Visintin A. Pharmacological Inhibition of
Endotoxin Responses is Achieved by Targeting
the TLR4 Coreceptor, MD-2. J Immunol
2005;175(10):6465-72.
103
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN
Stabilitas Hemodinamik Propofol – Ketamin Vs Propofol – Fentanyl pada
Operasi Sterilisasi / Ligasi Tuba : Perbandingan Antara Kombinasi Propofol 2
Mg/Kgbb/Jam Dan Ketamin 0,5mg/Kgbb/Jam Dengan Kombinasi Propofol 2 Mg/
Kgbb/Jam Dan Fentanyl 1 Μg/Kgbb/Jam
Laurent ius Sandhie Praset ya*, Sudadi *
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UGM/ RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
ABSTRACT
Background: Continuous TIVA technique using combination of propofol and fentanyl
has been commonly used in RSUP Sardjito. These techniques could provide adequate
anesthesia, but often cause a variety of durante operative hemodynamic changes. The
combination of propofol and ketamine are expected to provide a comfortable anesthesia
for surgery with a more stable durante operative hemodynamic changes.
Methods: The study design was randomized controlled trial. The scope of the study were
female who underwent tubal ligation operations with Metode Operasi Wanita (MOW)
technique at the Instalasi Kontrasepsi Mantap RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta with
continuous TIVA technique. Total 70 subjects that met criteria of inclusion were divided
into two groups which consisted of 35 each. PK group used a combination of propofol 2
mg/kg and ketamine 0.5 mg/kg and were followed with propofol 2 mg/kg/hour and
ketamine 0.5 mg/kg/hour intravenously. The PF group used a combination of propofol 2
mg / kg and fentanyl 1 mcg/kg and were followed with propofol 2 mg/kg/hour and
fentanyl 1 mcg/kg/hour intravenously. Parameters of hemodynamic changes were systolic
blood pressure (SBP), mean arterial pressure (MAP) and heart rate (HR) assessed at
induction, incission and every 5 minutes until the operation was completed.
Results: The change of hemodynamic parameters more than 10 % occurred in the PF
group at the time of induction, after first incision and the fifth minute, in which the SBP
decreased by 15.5 (7.26) %, MAP of 14.0 (8.34) %, HR 14.2 (6.52) % whereas in group
PK, SBP decreased by 4.3 (2.72) % (p = 0.000), MAP of 4.6 (3.18) % (p =0.000) and HR
of 3.5(2.63) % (p = 0.000) at the time of induction.
Conclusion: The hemodynamic stability of the PK group was better than the PF group.
Key words: Continuous TIVA, propofol, ketamine, fentanyl
ABSTRAK
Latar belakang: Teknik TIVA kontinyu menggunakan kombinasi propofol dan fentanyl
telah umum digunakan. Teknik tersebut dapat memberikan anestesi yang adekuat, namun
dapat menyebabkan perubahan hemodinamik durante operatif yang bervariasi.
104
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Kombinasi propofol dan ketamin diharapkan dapat memberikan anestesi yang nyaman
untuk pembedahan dengan perubahan hemodinamik durante operatif yang lebih stabil.
Metode: Desain penelitian percobaan acak terkontrol. Ruang lingkup penelitian adalah
pasien wanita yang menjalani operasi sterilisasi ligasi tuba dengan Metode Operasi
Wanita dengan tehnik anestesi TIVA kontinyu. Subyek berjumlah 70 yang memenuhi
kriteria inklusi, dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing terdiri dari 35.
Kelompok PK adalah subyek yang menggunakan kombinasi propofol 2 mg/kgbb dan
ketamin 0,5 mg/kgbb dilanjutkan pemeliharaan propofol 2 mg/kgbb/jam dan ketamin 0,5
mg/kgbb/jam intravena, sedangkan kelompok PF adalah subyek yang menggunakan
kombinasi induksi propofol 2 mg/kgbb dan fentanyl 1 μg/kgbb dilanjutkan pemeliharaan
propofol 2 mg/kgbb/jam dan fentanyl 1 μg/kgbb/jam intravena. Penilaian parameter
perubahan hemodinamik meliputi tekanan darah sistolik (TDS), tekanan arteri rerata
(TAR) dan laju denyut jantung (DJ) dinilai pada saat induksi, insisi dan durante operasi
hingga selesai.
Hasil: Penurunan parameter hemodinamik lebih dari 10 % terjadi pada kelompok PF
pada saat induksi, insisi dan menit ke-5, dimana tekanan darah sistolik (TDS) menurun
sebesar 15,5 (7,26) %, tekanan arteri rerata (TAR) menurun sebesar 14,0 (8,34) % dan
laju denyut jantung (DJ) sebesar 14,2 (6,52) % sedangkan pada kelompok PK terjadi
penurunan TDS sebesar 4,3 (2,72) % (p = 0,000), TAR of 4,6 (3,18) % (p =0,000) dan DJ
sebesar 3,5(2,63) % (p = 0,000) saat induksi.
Simpulan: Stabilitas hemodinamik kelompok PK lebih baik daripada kelompok PF.
Kata kunci: TIVA kontinyu, propofol, ketamin, fentanyl
PENDAHULUAN
TIVA dalam praktek klinik menjadi
populer karena onset yang cepat serta efek
toksisitas obat sedatif dan hipnotik yang
minimal, juga menghindari efek yang
merugikan dari pengeluaran gas anestesi
kepada personal anestesi dan personal
kamar operasi lainnya. Dari segi ekonomi,
TIVA memiliki harga yang lebih rendah
daripada teknik inhalasi, sehingga
dianggap lebih efisien dalam menekan
biaya.1
Propofol, telah umum digunakan sebagai
agen induksi dan pemeliharaan anestesi
untuk masa operasi yang singkat dan
nyaman. Kecepatan clearance yang tinggi
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
dan penurunan konsetrasi dalam darah
yang cepat, membuatnya cocok digunakan
dalam bentuk infusan. Saat dihentikan,
pemulihan akan terjadi secara cepat.
Selain itu juga didapatkan angka kejadian
mual muntah postoperatif (PONV) lebih
rendah daripada penggunaan agen
inhalasi.2,3
Ketamin adalah satu-satunya obat anestesi
intravena yang memiliki kemampuan
hipnosis, analgesik dan amnesia sekaligus
dan relatif murah. Mempunyai onset kerja
yang cepat dan mencapai efek kerja
maksimal dalam waktu yang singkat pula.
Pada dosis subanestesi ketamin dapat
memberikan analgesi yang kuat.4
105
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Fentanyl, adalah opioid yang umum
digunakan
pada
TIVA.
Fentanyl
memberikan analgesia yang baik dengan
onset yang cepat namun memiliki efek
depresi kardiorespirasi dan sedasi serta
meningkatnya risiko PONV, yang sering
menjadi masalah pada pasca pembedahan.5
Bajwa et al. (2010) dan Badrinath et al.
(2008), menunjukkan bahwa kombinasi
propofol dengan ketamin pada dosis
subhipnotik dapat memberikan analgesia
yang cukup tanpa depresi hemodinamik
serta
kardiorespirasi.6,7
Efek
psikotomimetik minimal pada kombinasi
tersebut.8
Sebuah penelitian yang membandingkan
kombinasi propofol – fentanyl (PF)
dengan propofol – ketamin (PK)
menunjukkan stabilitas hemodinamik pada
kelompok PK sedangkan hipotensi
didapatkan pada kelompok PF. Hal ini
menjadi penting karena perubahan
hemodinamik
duranteoperatif
secara
bermakna akan meningkatkan resiko
terjadinya komplikasi kardiak dan renal
pasca operasi. Kedua kelompok tidak
menunjukkan
berbeda
dalam
perbandingan lamanya membuka mata
spontan. Insiden PONV lebih banyak
didapatkan pada kelompok PF dan tidak
didapatkan efek psokotomimetik pada
kelompok PK.9
Kombinasi
propofol
dan
ketamin
memberikan anestesi yang cukup nyaman
untuk pembedahan dengan onset cepat,
durasi yang cepat, stabilitas hemodinamik,
106
dan analgesia yang poten namun profil
pulih sadar yang cukup bervariasi.
Teknik
TIVA
kontinyu
dengan
menggunakan kombinasi propofol dan
fentanyl telah umum digunakan di RSUP
dr. Sardjito. Teknik tersebut dapat
memberikan anestesi yang adekuat, namun
dapat
menyebabkan
perubahan
hemodinamik
duranteoperatif
yang
bervariasi. Di rumah sakit tertentu di
Indonesia khususnya di Yogyakarta dan
Jawa Tengah, ketamin lebih mudah
didapatkan
dan
lebih
ekonomis
dibandingkan fentanyl. Efek depresi napas
lebih kecil terjadi sehingga lebih aman
apabila digunakan di daerah terpencil. Hal
ini tentunya dapat menjadi pertimbangan
pemilihan obat kombinasi TIVA oleh
dokter anestesi.
Penelitian ini akan membandingkan
stabilitas hemodinamik pada pasien yang
menjalani sterilisasi ligasi tuba Metode
Operasi Wanita (MOW) dengan TIVA
kontinyu menggunakan dua kombinasi
obat anestesi intravena, propofol-ketamin
dengan propofol-fentanyl. Dosis yang
digunakan untuk induksi propofol 2 mg/
kgbb dan ketamin 0,5 mg/kgbb dilanjutkan
pemeliharaan propofol 2 mg/kgbb/jam dan
ketamin 0,5 mg/kgbb/jam intravena
dibandingkan dengan induksi propofol 2
mg/kgbb dan fentanyl 1 μg/kgbb
dilanjutkan pemeliharaan propofol 2 mg/
kgbb/jam dan fentanyl 1 μg/kgbb/jam
intravena.
Penilaian
stabilitas
hemodinamik meliputi perubahan tekanan
darah sistolik (TDS), tekanan arteri rerata
(TAR) dan laju denyut jantung (DJ).
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 1. Karakteristik Subyek
Variabel
PK
PF
(tahun)
37,7(4,57)
37,31(4,25)
0,667
Berat badan
(Kg)
51,2(7,19)
49,8(5,29)
0,367
Tinggi Badan
(cm)
155,1(4,12)
156,6(4,14)
0,130
BMI
21,3(2,77)
20,3 (2,15)
0,097
ASA
n (%)
n (%)
I
35((100)
35(100)
II
0
0
Umur
p
Hemodinamik Awal
Systolik
mmHg
118(11,38)
117,4(13,02)
0,815
Diastolik
mmHg
73,31(7,11)
73,6(7,9)
0,849
TAR
mmHg
88,3(7,86)
88,2 (9,09)
0,989
bpm
84,0(11,44)
80,4 (7,85)
0,127
DJ
Tabel 2. Perbandingan persentase perubahan tekanan darah sistolik
Propofol-Ketamin
Waktu (menit)
%
Propofol-Fentanyl
%
Mean
SD
P
Mean
SD
Induksi
4,3
(2,72)
15,5
(7,26)
0,000*
Insisi
5
10
3,5
4,6
7,4
(3,95)
(2,11)
(1,37)
12,5
10,8
8,4
(6,96)
(8,62)
(4,89)
0,000*
0,000*
0,125
15
20
25
4,7
6,2
5,7
(2,66)
(2,48)
(2,05)
5,6
7,1
6,6
(3,11)
(3,19)
(3,11)
0,205
0,417
0,757
30
35
5,8
7,5
(2,93)
(1,15)
6,7
8,4
(4,13)
(4,04)
0,188
0,737
Data ditampilkan sebagai mean (SD) atau n(%) *p<0,05, independent t-test
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
107
Jurnal Anestesiologi Indonesia
METODE
Sampel pada penelitian ini adalah subyek
yang memenuhi kriteria inklusi dan
kriteria eksklusi yang diambil dari
populasi terjangkau, yaitu wanita yang
menjalani tindakan pembedahan Metode
Operasi Wanita (ligasi tuba) menggunakan
anestesi umum TIVA di Instalasi
Kontrasepsi Mantap RSUP Dr. Sardjito.
Kriteria inklusi meliputi subyek usia 30 –
45 tahun, dengan status fisik ASA I – II,
BMI 18 – 30 kg/m2 dan telah
menandatangani informed consent. Pasien
dengan hipertensi. gangguan fungsi ginjal,
gangguan fungsi hepar, schizophrenia,
riwayat pemakaian obat obatan golongan
opioid dan monoamine oksidase inhibitor
sebelumnya dan pasien yang memiliki
alergi terhadap obat propofol, ketamin
atau fentanyl tidak diikutsertakan dalam
penelitian ini.
Randomisasi dilakukan dengan cara
randomisasi blok dengan tabel angka
random untuk membagi sampel menjadi
Grup A yang mendapat kombinasi induksi
propofol 2 mg/kgbb + ketamin 0,5 mg/
kgbb iv dilanjutkan pemeliharaan dengan
propofol 2 mg/kgbb/jam + ketamin 0,5
mg/kgbb/jam iv dan Grup B yang
mendapat kombinasi induksi propofol 2
mg/kgbb + fentanyl 1 g/kgbb iv
dilanjutkan pemeliharaan dengan propofol
2 mg/kgbb/jam iv + fentanyl 1 g/kgbb/jam
iv. Kedua obat ditempatkan dalam spuit
injeksi, ditutup kertas dan diberi label oleh
petugas farmasi dan tidak diketahui tim
peneliti.
108
Setelah mendapat persetujuan komite etik,
subyek diberi penjelasan mengenai
jalannya
penelitian,
dan
setelah
menyetujui ikut terlibat dalam penelitian,
menandatangani informed consent. Di
ruang persiapan pasien dipasang infus
dengan kateter vena no. 18 G dengan
threeway stop cock pada daerah punggung
tangan dan diberikan infus kristaloid
setengah kebutuhan cairan pengganti
puasa
dan
dilanjutkan
dengan
pemeliharaan 2 ml/kgbb/jam, kemudian
infus dihentikan. Penyediaan obat sesuai
amplop randomisasi dan pembagian pasien
dilakukan oleh petugas khusus (pembantu
peneliti). Untuk induksi, Fentanyl,
konsentrasi 50 μg/ml diencerkan menjadi
konsentrasi 20 μg/ml dengan cara
mengambil 2 ml fentanyl (100 μg) dan
ditambahkan 3 ml NaCl 0,9 % menjadi
total volume keseluruhan 5 ml dalam spuit
5ml. Ketamin, digunakan konsentrasi 10
mg/ml dalam spuit 5 ml. Untuk
pemeliharaan ketamin konsentrasi 10 mg/
ml disiapkan dalam spuit 20 ml dan
fentanyl konsentrasi 50 μg/ml diencerkan
menjadi konsentrasi 20 μg/ml dengan cara
mengambil 8 ml fentanyl dan ditambahkan
NaCl 0,9% 12 cc dalam spuit 20 ml.
Propofol konsentrasi 10 mg/ml disiapkan
dalam spuit 20 ml dan semua obat
terpasang pada syringe pump. Di kamar
operasi, dilakukan pemasangan nasal
kanul dengan oksigen 2–3 liter/menit.
Lakukan pengukuran tekanan darah
sistolik (TDS), tekanan darah diastolik
(TDD) dan denyut jantung (DJ) sebelum
dilakukan prosedur anestesi, data tersebut
dicatat sebagai data awal. Diberikan sedasi
Midazolam dengan dosis 0,05 mg/kgbb iv,
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
setelah 3 menit, dilakukan pencatatan
TDD,TDS dan DJ, hasil pengukuran
dicatat sebagai data sebelum induksi. Pada
kelompok A diberikan injeksi ketamin (0,5
mg/kgBB IV) perlahan-lahan, kemudian
injeksi Propofol (2 mg/kgBB IV) perlahan
-lahan, dilanjutkan dengan Propofol (2
mg/kgBB/jam IV) dan ketamin (0,5 mg/
kgBB/jam IV). Sedangkan pada kelompok
B Kelompok B diberikan injeksi fentanyl
(1 μg/kgBB IV) perlahan-lahan, kemudian
injeksi propofol (2 mg/kgBB IV) perlahan
-lahan dilanjutkan dengan propofol 2/
kgBB/jam IV) dan fentanyl (1 μg/kgBB/
jam IV), menggunakan syringe pump.
Setelah 3 menit dari awal injeksi ketamin
dilakukan penilaian reflek bulu mata dan
tes pinprick. Bila tidak ada respon pada tes
pinprick maka dilakukan pencatatan
TDS,TDD dan DJ sebagai data setelah
induksi. Incisi kulit dilakukan Lakukan
pengukuran TDS,TDD dan DJ sebagai
data setelah incisi. Setiap interval 5 menit
dilakukan pengukuran TDS,TDD dan DJ.
Setelah selesai jahitan kulit, obat-obat
anestesi dihentikan. Operasi selesai, pasien
dipindah ke ruang pulih sadar.
HASIL
Penelitian
dilakukan
di
Instalasi
Kontrasepsi Mantap RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta mulai tanggal 23 Agustus
2011 sampai dengan 20 Oktober 2011
setelah mendapatkan ethical clearance
dari Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta. Penelitian
dilakukan dengan jumlah sampel sebanyak
70 orang. Data yang tercatat pada formulir
yang telah disediakan, dilakukan tabulasi
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
dan di analisis dengan menggunakan
perangkat lunak SPSS versi 18.0.
Data karakteristik umum pasien antara
kedua kelompok meliputi: umur, berat
badan, tinggi badan, Body Mass Index
(BMI), klasifikasi ASA dan data
hemodinamik awal dapat dilihat pada
Tabel 1.
Data karakteristik subyek untuk variabelvariabel: umur, berat badan, tinggi badan,
BMI dan hemodinamik awal dianalisis
dengan t-test tidak berpasangan dimana
secara statistik kedua kelompok propofolketamin (PK) maupun propofol-fentanyl
(PF) tidak berbeda bermakna (P < 0,05 )
sehingga karakteristik subyek penelitian
setara.
Perbandingan tekanan darah sistolik
(TDS), tekanan arteri rerata (TAR) dan
laju denyut jantung (DJ) pada kedua
kelompok dan hasil uji statistik dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan bermakna bila persentase
perubahan hemodinamik dibandingkan
antara kedua kelompok. Pada kelompok
PF tekanan sistolik mengalami perubahan
sebesar > 10 % didapatkan pada saat
setelah induksi 15,5 (7,26) %, setelah
insisi 12,5 (6,96) %, menit ke-5 sebesar
10,8 (8,62) % dimana berbeda bermakna
dengan kelompok PK saat induksi 4,3
(2,72) %, saat insisi 3,5 (3,95) % dan
menit ke-5 sebesar 4,6 (2,11) %. Pada
menit berikutnya perbedaan yang terjadi
tidak bermakna secara statistik.
109
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 3. Perbandingan persentase perubahan tekanan arteri rerata
Propofol-Ketamin
%
Mean
SD
Waktu (menit)
Induksi
Insisi
5
10
15
20
25
30
35
4,6
6,3
6,3
6,2
5,2
5,2
4,0
4,2
2,8
(2,35)
(2,37)
(1,39)
(1,98)
(3,24)
(2,41)
(2,67)
(2,50)
(1,77)
Propofol-Fentanyl
%
Mean
SD
14,0
11,6
8,3
6,8
6,1
4,7
4,5
4,3
1,9
(8,34)
(6,30)
(5,20)
(4,89)
(5,15)
(3,32)
(3,58)
(2,42)
(1,65)
P
0,000*
0,000*
0,028*
0,531
0,415
0,051
0,178
0,386
0,171
Data ditampilkan sebagai mean (SD) atau n(%) *p<0,05, independent t-test
Tabel 4. Perbandingan persentase perubahan laju denyut jantung
Propofol-Ketamin
Propofol-Fentanyl
%
%
Waktu (menit)
P
Mean
SD
Mean
SD
Induksi
3,5
(2,63)
14,2
(6,52)
0,000*
Insisi
4,2
(2,68)
9,3
(8,19)
0,018*
5
6,6
(1,71)
8,7
(4,50)
0,019*
10
7,0
(0,98)
7,2
(4,77)
0,123
15
6,0
(0,78)
7,1
(5,59)
0,218
20
6,2
(1,14)
6,4
(4,33)
0,371
25
5,6
(2,15)
5,7
(3,31)
0,565
30
5,9
(1,57)
4,9
(1,35)
0,031*
35
7,0
(2,83)
4,2
(2,69)
0,009*
Data ditampilkan sebagai mean (SD) atau n(%) *p<0,05, independent t-test
110
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 3 menunjukkan pada kelompok PF
terjadi perubahan tekanan arteri rerata
sebesar > 10 % didapatkan pada saat
setelah induksi sebesar 14,0 (8,34) % dan
setelah insisi 11,9 (6,30) %. Pada menit ke
-5 sebesar 8,3 (5,20) % juga didapatkan
beda bermakna dengan kelompok PK
yaitu saat induksi 4,6 (3,18) % dengan
p=0,000, saat insisi 6,3 (1,03) % dengan
p=0,000 dan menit ke-5 sebesar 6,3 (2,11)
% dengan p=0,028.
Tabel 4 menunjukkan pada kelompok PF
terjadi perubahan laju denyut jantung
sebesar > 10 % didapatkan pada saat
setelah induksi sebesar 14,2 (6,52) %.
Perubahan saat setelah insisi 9,3 (8,19) %
dan menit ke-5 sebesar 8,7 (4,50) % juga
berbeda bermakna dengan kelompok PK
yaitu saat induksi 3,5 (2,63) % dengan
p=0,000, saat insisi 4,2 (2,68) % dengan
p=0,018 dan menit ke-5 sebesar 6,6 (1,71)
% dengan p=0,019.
Penambahan obat propofol 0,5 mg/kgbb
diberikan pada saat durante operasi
dengan tanda-tanda pasien akan terbangun
atau adanya gerakan, yaitu pada 7 pasien
(20 %) pada kelompok PK dan 10 pasien
(28,5 %) pada kelompok PF, namun tidak
bermakna secara statistik (p=0,472).
Frekuensi
penambahan
obat
pada
kelompok PK 1,4 (0,53) kali sedangkan
pada kelompok PF 1,5 (0,70) kali
pemberian dan tidak bermakna secara
statistik (p=0,825). Total dosis propofol
yang ditambahkan pada kelompok PK
28,6 (10,69) mg sedangkan pada
kelompok PF 30,0 (14,14) mg dan tidak
bermakna secara statistik (p=0,825).
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
PEMBAHASAN
Data demografi menunjukkan bahwa pada
karakteristik dasar kedua kelompok dan
dari masing-masing variabel umur, berat
badan, tinggi badan, BMI, ASA dan
parameter hemodinamik awal baik tekanan
darah sistolik, tekanan darah diastolik,
tekanan arteri rerata dan laju denyut
jantung tidak didapatkan perbedaan
bermakna sehingga kedua kelompok layak
untuk dibandingkan.
Terdapat perbedaan durasi operasi pada
kedua kelompok dimana kelompok PK
dengan rerata durasi 27,9 (9,66) menit dan
kelompok PF 24,1 (5,59) menit. Durasi
operasi lebih dari 35 menit pada kelompok
PK didapatkan pada 4 pasien dan 1 pasien
pada kelompok PF dimana penyebabnya
adalah faktor kesulitan visualisasi tuba
oleh operator. Rerata selisih waktu yang
diperlukan mulai saat induksi hingga
operator memulai dimulai insisi adalah 5
(0,24) menit pada kelompok PK dan 5,14
(0,55) menit pada kelompok PF (p=0,166).
Perbandingan
persentase
perubahan
hemodinamik bila dibandingkan antara
kedua kelompok menunjukkan beda
bermakna. Tekanan darah sistolik pada
kelompok PF mengalami perubahan
sebesar > 10 % didapatkan pada saat
setelah induksi 15,5 (7,26) %, setelah
insisi 12,5 (6,96) %, menit ke-5 sebesar
10,8 (8,62) % dimana berbeda bermakna
dengan kelompok PK saat induksi 4,3
(2,72) %, saat insisi 3,5 (3,95) % dan
menit ke-5 sebesar 4,6 (2,11) %.
111
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Perubahan tekanan arteri rerata sebesar >
10 % didapatkan pada saat setelah induksi
sebesar 14,0 (8,34) % dan setelah insisi
11,9 (6,30) % pada kelompok PF. Pada
menit ke-5 sebesar 8,3 (5,20) % juga
didapatkan beda bermakna dengan
kelompok PK yaitu saat induksi 4,6 (3,18)
% dengan p=0,000, saat insisi 6,3 (1,03) %
dengan p=0,000 dan menit ke-5 sebesar
6,3 (2,11) % dengan p=0,028.
Pada kelompok PF terjadi perubahan laju
denyut jantung sebesar > 10 % didapatkan
pada saat setelah induksi sebesar 14,2
(6,52) %. Perubahan saat setelah insisi 9,3
(8,19) % dan menit ke-5 sebesar 8,7 (4,50)
% juga berbeda bermakna dengan
kelompok PK yaitu saat induksi 3,5 (2,63)
% dengan p=0,000, saat insisi 4,2 (2,68) %
dengan p=0,018 dan menit ke-5 sebesar
6,6 (1,71) % dengan p=0,019.
Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh
Mahajan et al. (2010), Bajwa et al. (2010)
dan Almeida 2005 yang membandingkan
kombinasi propofol – fentanyl (PF)
dengan propofol – ketamin (PK) dimana
didapatkan penurunan bermakna pada
keempat parameter hemodinamik tersebut.
Penurunan yang terjadi pada saat induksi,
setelah insisi dan menit-menit awal pada
kelompok PF lebih besar dan melebihi
rentang 10 % dari hemodinamik awal
sehingga dapat dikatakan stabilitas
hemodinamik pada kelompok PK lebih
baik daripada kelompok PF meskipun
kemudian, rerata persentase perubahan
hemodinamik pada kedua grup berada
dalam rentang kurang dari 10 %
dibandingkan hemodinamik sebelum
112
induksi. Perlu dicermati bahwa perubahan
hemodinamik duranteperatif merupakan
salah satu prediktor kejadian komplikasi
pascaoperasi dimana beberapa poin
penting dalam pengendalian hemodinamik
intraoperatif.10
Saat dilakukan insisi tidak didapatkan
gerakan pada semua subyek penelitian,
sehingga tidak dibutuhkan penambahan
obat. Hal ini menunjukkan bahwa ketamin
pada dosis 0,5 mg/kg untuk induksi
dilanjutkan dosis pemeliharaan 0,5 mg/
kgbb/jam dapat memberikan analgesi yang
baik sebanding dengan fentanyl 1 μg/kgbb
yang
dilanjutkan
dengan
dosis
pemeliharaan 1 μg/kgbb/jam. Dosis
ketamin 0,5 mg/kgbb telah digunakan
dalam penelitian sebelumnya pada
tindakan debridement luka bakar dimana
didapatkan efek analgesi yang cukup
adekuat. 11
Selama operasi penambahan propofol
diberikan karena adanya gerakan atau
tanda-tanda pasien akan bangun pada saat
dilakukan eksplorasi lebih dalam oleh
operator dan bila terjadi takikardiatau
hipertensi.
Penambahan
propofol
diperlukan pada kedua kelompok meski
tidak berbeda bermakna secara statistik.
Tujuh pasien (20 %) pada kelompok PK
dan 10 pasien (28,5 %) pada kelompok PF
memerlukan penambahan propofol bolus
sebesar
0,5
mg/kgbb.
Frekuensi
penambahan obat pada kelompok PK 1,4
(0,53) kali sedangkan pada kelompok PF
1,5 (0,70) kali pemberian dan tidak
bermakna secara statistik (p=0,825). Total
dosis propofol yang ditambahkan pada
kelompok PK 28,6 (10,69) mg sedangkan
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
pada kelompok PF 30,0 (14,14) mg dan
tidak bermakna secara statistik (p=0,825).
Penambahan ini mungkin dapat menjadi
pertimbangan perlunya menaikkan dosis
pemeliharaan propofol kontinyu yang pada
penelitian ini diberikan 2 mg/kgbb/jam.
Penelitian sebelumnya oleh Mahajan, et
al. (2010) yang menggunakan dosis
propofol yang diberikan dengan dosis 4
mg/kgbb/jam, penelitian Bajwa, et al.
(2010) menggunakan dosis rumatan
propofol 2 mg/kgbb/jam, sedangkan
Almeida (2005) menggunakan dosis
propofol titrasi 10 mg/kgbb/jam yang
diturunkan 2 mg/kgbb/jam tiap 10 menit
dan dilanjutkan titrasi yang dimulai
dengan dosis 4 mg/kgbb/jam.9,6,11
Selama pemantauan baik setelah induksi
maupun durante operasi hingga selesai
tidak didapatkan kejadian penurunan
SpO2 hingga dibawah 95 %, kedua
kombinasi obat masih memungkinkan
ventilasi spontan yang adekuat. Beberapa
penelitian sebelumnya dengan dosis
fentanyl yang lebih besar dari 1 μg/kgbb/
jam
menunjukkan
kecenderungan
terjadinya depresi napas baik selama
operasi maupun di ruang pemulihan.6
Selama operasi tidak didapatkan kejadian
bradikardi
yang
membutuhkan
penatalaksanaan khusus. Walaupun terjadi
penurunan laju denyut jantung, namun
penurunan tersebut tidak disertai gejolak
yang bermakna dan berlangsung singkat.
Kedua kombinasi obat baik propofolketamin
dan
propofol-fentanyl
memberikan kondisi pascaanestesi yang
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
cukup nyaman tanpa adanya keluhan mual
muntah selama observasi di ruang pulih
sadar. Efek anti emetik pada propofol
dapat menurunkan angka kejadian PONV
pada penggunaan ketamin dengan dosis
0,5 mg/kgbb/jam maupun fentanyl 1 μg/
kgbb/jam.
Penelitian
sebelumnya
menyebutkan bahwa dosis subhipnotik
ketamin 0,5 sampai 1 mg/kgbb/jam
dengan kombinasi infus propofol dapat
memberikan analgesia tanpa depresi
hemodinamik dan kejadian PONV,
sedangkan pada dosis lebih besar 1,4 mg/
kgbb/jam secara bermakna meningkatkan
kejadian PONV.7
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian propofol –
ketamin vs propofol – fentanyl dapat
disimpulkan bahwa hemodinamik pada
TIVA kontinyu kombinasi propofol –
ketamin (PK) lebih stabil dibandingkan
TIVA kontinyu kombinasi propofol –
fentanyl (PF) pada operasi MOW.
DAFTAR PUSTAKA
1. Loose, E., Egan, T.D., 2006. Short-acting
Intravenous Anesthetics. In R.L. Hines, ed.
Ambulatory Anesthesia. Philadelphia: Mosby
Elsevier. 39.
2. Lerman, J., 2009. TIVA,TCI and Pediatrics:
Where are we and where are we going.
Available at: http://www.utswanesthesia.com
[Accessed 2 March 2011]
3. Aitkenhead, A.R., 2003. Intravenous anesthetic
agents. In A.R. Aitkenhead, D.J. Rowbotham
& S. Graham, (eds). Textbook of anesthesia.
4th ed. Philadelphia: Elsevier. 184-9.
4. Reves, J.G., Glass, P.S., Lubarsky, D.A.,
McEvoy, M.D., 2010. Intravenous anesthetics.
In Miller, R.D. ed. Miller's Anesthesia. 7th ed.
Philadelphia: Elsevier. 10:719-59.
113
Jurnal Anestesiologi Indonesia
5. Stoelting, R.K., Hillier, S.C., 2006.
Nonbarbiturate intravenous anesthetic drugs. In
Brown, B., Murphy, F. (eds). Pharmacology
and Physiology In Anesthetic Practice. 4th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
1:155
6. Bajwa, S.J., Bajwa, S.K., Kaur, J., 2010.
Comparison of two drug combinations in total
intravenous anesthesia: propofol-ketamine and
propofol-fentanyl. Saudi J Anest, 4(2):72-9
7. Badrinath, S., Avramov, N., Shadrick, M.,Witt,
T.R., Ivankovich, A., 2000. The use of a
ketamine-propofol combination during
monitored anesthesia care. Anest analg, 90:858
-62.
8. Messenger, D.W., Messenger, D.W., Murray,
H.E., Dungey, P.E., Vlymen, J., Sivilotti, M.L.,
2008. Subdissociative-dose ketamine versus
114
fentanyl for analgesia during propofol
procedural sedation: a randomized clinical
trial. Am Emergency Med J, 15:877-86
9. Mahajan, R., Swarnkar, N., Ghosh, A., 2010.
Comparison of ketamine and fentanyl with
propofol in total intravenous anesthesia: a
double blind randomized clinical trial. Internet
J Anest, 23
10. Charlson, M.E., MacKenzie, R., Gold, J.P.,
Ales, K.L., Topkins, M., Shires, T., 1990.
Intraoperative blood pressure : what patterns
identify patients at risk for postoperative
complications. Ann. Surg, 560-80.
11. Almeida, S.L., 2005. Comparative evaluation of
propofol-ketamine and propofol fentanyl in
management of pain during dressing changes in
patients with burns. Available at: http://
www.rila.co.uk [Accessed 4 March 2011]
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN
Pengaruh Anestesi Regional dan General pada Sectio Cesaria pada Ibu
dengan Pre Eklampsia Berat terhadap Apgar Score
Nurhadi Wijayanto*, Ery Leksana**, Uripno-Budiono**
*Bagian Anestesiologi RSU Bhayangkara Sartika Asih Bandung
**Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Background: in patients with severe preeclampsia intubation is dangerous because of the
actions associated with airway management and hemodynamic fluctuations that may
occur. Spinal anesthesia avoided many risks associated with hypotensive but some
studies have shown that spinal anesthesia is safe for both mother and fetus. debate about
the influence of general anesthesia and spinal anesthesia on Apgar score is something
interesting. Some research suggests that there was no difference in anesthesia on both of
them but other studies say that the appreciation of the general anesthesia will result in a
lower than spinal anesthesia.
Objective: to compare the influence of general anesthesia and spinal anesthesia on
children born to mothers with a sectio caesaria because of severe preeclampsia.
Methods: an experimental study design with prospective randomized control trial study,
the research group is divided into two (n: 8), Group I is the group that received general
anesthesia with pentothal 5mg/bb dose and dose muscle paralytic suksinilkholis 1.5mg/bb
Conclusion: Apgar score in the group of spinal anesthetics are higher than general
anesthesia in patients with sectio caesaria because of severe preeclampsia, but clinically
by Apgar score categories of the two groups together
Key words: pre-eclampsia, Apgar score, spinal anesthesia, sectio Cesaria, hemodynamic
ABSTRAK
Latar belakang: pada pasien preeklampsia berat intubasi merupakan tindakan yang
berbahaya karena berkaitan dengan menejeman jalan napas dan gejolak hemodinamik
yang mungkin terjadi. Anestesi spinal banyak dihindari berkaitan dengan resiko
hipotensinya namun beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa anestesi spinal
adalah aman bagi ibu maupun janin . perdebatan tentang pengaruh anestesi umum dan
anestesi spinal terhadap Apgar score adalah sesuatu yang menarik. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan anestesi pada keduanya namun pada
penelitian lainnya dikatakan bahwa dengan apresiasi umum akan menghasilkan anestesi
yang lebih rendah daripada anestesi spinal.
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
115
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tujuan : untuk membandingkan pengaruh anestesi umum dan anestesi spinal terhadap
anak yang dilahirkan oleh ibu dengan sectio caesaria karena preeklampsia berat.
Metode : merupakan penelitian eksperimental dengan desain penelitian prospective
randomized control trial, kelompok penelitian dibagi menjadi dua (n:8), kelompok I
merupakan kelompok yang mendapat anestesi umum dengan pentothal dosis 5mg/bb dan
pelumpuh otot suksinilkholis dosis 1.5mg/bb
Kesimpulan : Apgar score pada kelompok anesthesi spinal lebih tinggi daripada
anestesi umum pada pasien sectio caesaria karena preeklampsia berat, tetapi secara
klinis berdasarkan kategori Apgar score kedua kelompok sama
Kata kunci : preeklampsia, Apgar score, anestesi spinal, sectio cesaria, hemodinamik
PENDAHULUAN
Kurang lebih
50.000 ibu meninggal
karena preeklampsia tiap tahun diseluruh
dunia dan hipertensi pada kehamilan
menyebabkan 15%-20% kematian ibu
dan kurang lebih 30%
bayi yang
dilahirkan mengalami asfiksia selama
persailinan dan IUFD (intrauterine fetal
death sebesar 12% kematian perinatal
terjadi karena
asfiksia.
Hipertensi
merupakan penyebab ketiga kematian ibu
di USA setelah tromboembolisme dan
pendarahan.1,2
Sebuah penelitian yang dilakukan di
Yogyakarta
mendapatkan
bahwa
preeklampsia akan meningkatkan resiko
terjadinya asfiksia berat sebesar 15 kali
dibanding
kehamilan normotensi,
sedangkan untuk terjadinya asfiksia
sedang meningkat 2,9 kali.3
Asfiksia terjadi bila pada saat neonatus
lahir mengalami gangguan
gas dan
transport
O2
sehingga
menderita
kekurangan persediaan O2 dan kesulitan
mengeluarkan CO2. Salah satu penyebab
terjadinya asfiksia
adalah
adannya
116
penurunan perfusi uteroplasenta akibat
tindakan anestesi yang diberikan.
Pada waktu yang lampau istilah hipertensi
selama kehamilan masih membingungkan
namun demikian The National High Blood
Pressure Education Program Working
Group telah merekomendasikan bahwa
istilah hipertensi gestasional diganti
dengan pregnancy-induced hypertension
untuk mendiskripsikan naiknya tekanan
darah disertai proteinuria.
Setelah
kehamilan 20 minggu dan dan kemudian
menurun pada post partum, sebanyak 25%
wanita dengan hipertensi gestasional akan
timbul
proteinuria
dan
sindrom
1
preeklampsia.
Preeklampsia merupakan sekumpulan
gejala yang terdiri dari hipertensi dan
proteinuria setelah kehamilan berumur 20
minggu. lstilah eklampsia digunakan
bila sindrom preeklampsia melibatkan
system saraf pusat sehingga berakibat
kejang.
Istilah
HELLP
Syndrome
digunakan pada preeklampsia dengan
hemolysis elevated liver enzymes, and low
platelet meskipun
kaitan antara
preeklampsia dengan HELLP syndrome
tidak jelas 1,2,3
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Preeklampsia terjadi pada 5% sampai 9%
dari semua
kehamilan meskipun
prevalensi berbeda-beda ditiap Negara.
Di United States 7%-10%
wanita
menderita preeklampsia, di Singapura
0,13-6,6%, sedangkan di Indonesia 3,48,5% dan ini menyebabkan peningkatan
morbiditas
dan mortalitas
ibu dan
neonatus . Antara tahun 1979 dan 1986
insidensi preeklampsia rneningkat dari 2,4
per 1000 persalinan, menjadi 5,2 per
1.000 persalinan
di USA.
Pada
penelitian terhadap 40.124 kelahiran
yang berkaitan dengan kematian ibu
setelah kehamilan 20 minggu di USA
antara 1979 dan 1992. Telah dilaporkan
bahwa rata-rata kematian ibu karena
preeklampsia atau eklampsia adalah 1.5
kematian dari 100.000 kelahiran hidup. 1,4
Sectio caesaria merupakan metode untuk
melahirkan bayi melalui irisan pada
abdomen dan uterus. Asal mula nama ini
tidak jelas walaupun secara luas diyakini
bahwa nama ini berasal dari nama Julius
Caesar walaupun Julius Caesar tidak
dilahirkan dengan metode ini. Mungkin
nama ini berasal dari peraturan yang
dahulu digunakan yaitu berdasar undangundang Julius Caesar. Berdasarkan Center
for Disease Control and Prevention
(CDC) lebih dari 700.000 orang menjalani
sectio caesaria yang pertama dan 400.000
wanita menjalani sectio caesaria berulang
tiap tahun. Jumlah total sectio caesaria
adalah 29% selama tahun 2004. Wanita
dengan
preeklampsia
menunjukkan
peningkatan untuk dilakukan pengakhiran
kehamilan dengan sectio caesaria, dalam
satu penelitian didapat 83% yang
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
didiagnosis preeklampsia menjalani sectio
caesaria.2
Beberapa pasien yang memerlukan
tindakan
sectio
caesaria
tentunya
memerlukan penatalaksanaan anestesi.
Karena bahaya yang mungkin timbul
berkaitan dengan manajemen jalan napas
dan gejolak hemodinamik pada saat
intubasi maka anestesi umum dipilih bila
ada kontra indikasi terhadap anestesi
regional. Anestesi epidural digunakan
pada saat pasien dengan preeklampsia
berat, meskipun anestesi spinal banyak
dihindari
berkaitan dengan
resiko
hipotensinya namun dari beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa efek
anestesi spinal dan epidural terhadap
hemodinamik sama. Perdebatan tentang
pengaruh anestesi umum dan anestesi
spinal terhadap Apgar score adalah
sesuatu yang menarik. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
Apgar score pada keduanya namun pada
penelitian lainnya dikatakan bahwa
dengan anestesi umum akan menghasilkan
Apgar score yang lebih rendah daripada
anestesi spinal.
Telah dilakukan penelitian tingkat stress
hormone selama anestesi. Pada Kelompok
yang
dilakukan
anestesi
umum,
adrenocorticotrophic hormone (ACTH)
dan betaendorphin meningkat secara
bermakna pada saat insisi kulit, tetapi
perubahan ini tidak terjadi pada anestesi
epidural. Epinefrin dan norepinefrin
plasma meningkat secara bermakna pada
saat insisi kulit untuk pasien dengan
anestesi umum sedangkan anestesi
epidural perubahannya tidak bermakna.
117
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Anestesi regional yang digunakan dapat
menggunakan anestesi epidural
atau
anestesi
spinal
karena
keduanya
menunjukkan efek hermodinamik yang
stabil dan tidak bermakna.1,5,6
Pada wanita dengan preeklampsia,
anestesi spinal mempunyai beberapa
keuntungan yaitu menghindari kesulitan
intubasi pada anestesi umum dan
mencegah gejolak intubasi, onset yang
cepat, lebih mudah dikerjakan, lebih
terpercaya jika dibandingkan dengan
anestesi epidural, mempunyai resiko yang
lebih kecil dalam menyebabkan trauma di
ruang epidural sehingga menurunkan
resiko hematom.1,5
Pemeriksaan penunjang dan penilaian
dalam penatalaksanaan asfiksia, dapat
dilakukan dengan : pemantauan janin
(klinik dan kardiotokografi), analisis gas
darah, USG kepala, Computed Tomografi,
MRI, EEG dan Apgar score.7
Apgar score merupakan metode untuk
melakukan penilaian terhadap bayi baru
lahir secara cepat. Penilaian tersebut
meliputi lima komponen yang dengan
mudah dpt dilakukan. Kelima komponen
itu meliputi laju jantung, usaha bernapas,
tonus otot, refleks dan warna kulit, dan
reflek tergantung dari maturitas fisiologi
bayi. Bayi preterm yang sehat tanpa
riwayat asfiksia mungkin saja mendapat
score yang rendah karena imaturitasnya.
Sejumlah faktor pada fetus dipengaruhi
oleh penurunan konsentrasi oksigen yang
dihirup oleh ibu, penurunan aliran darah
uterus, penurunan aliran darah umbilikus,
emboli uteroplasenta, pendarahan pada
118
ibu, kombinasi dari hipoksemia dan
hipotensia.
METODE
Penelitian
ini merupakan penelitian
eksperimental dengan desain penelitian
prospective randomized control trial,
kelompok penelitian dibagi menjadi dua
sebagai berikut, Kelompok I mendapat
anestesi
umum, yang rnerupakan
kelompok kontrol, Kelompok II mendapat
anestesi spinal.Tempat penelitian adalah
instalasi bedah sentral dan ruang operasi
UGD Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi
Semarang. Waktu penelitian adalah 4
bulan sejak usulan di setujui.
Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah
pasien dengan preeklampsia berat yang
akan menjalani SC, tidak ada riwayat
alergi dengan obat-obat anestesi yang
akan
diberikan, kehamilan aterm,
sedangkan Kriteria eksklusi dari penelitian
ini adalah pasien menolak untuk ikut
dalam penelitian, kontraindikasi untuk
dilakukan anestesi umum atau anestesi
spinal, BMI > 35 kg/m2, mallampati > 2,
koagulasi yang abnormal, trombositopeni
(trombosit 75 X 109/1), SIRS/Sepsis,
deformitas tulang belakang, kehamilan
kembar, fetal distress, partus lama, bayi
preterm
atau
serotinus, penderita
diabetes mellitus, perdarahan antepartum
dan perdarahan intrapartum, ruptur uteri.
Jumlah sampel yang diperlukan untuk
penelitian ini adalah 16 sampel, yang
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
kelompok I (anestesi umum) dan
kelompok II (anestesi spinal), masing-
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
masing kelompok berjumlah 8 sampel.
Randomisasi dilakukan sebelum operasi.
Penderita dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu kelompok I dan II. Kelompok II
mendapatkan
anestesi spinal dengan
bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg,
fentanil 25 ug. Sebelum diberikan anestesi
spinal diberikan pemberian koloid HES
6% dalam larutan berimbang sebanyak
500 ml, kelompok I mendapatkan anestesi
umum dengan pentothal 5% 5 mg/kg bb,
suksinilkholin 1,5 mg/kgbb kemudian
dilakukan intubasi 1 menit kemudian,
analgetik diberikan tramadol 2mg/kgbb,
rumatan anestesi dengan menggunakan
50% N2O dalam O2 dan 0,75-1,5%
isoflurane. Setelah bayi lahir dilakukan
penilaian Apgar score oleh dokter anak/
residen anak.
Data yang terkumpul dibagi, menjadi
dua kelompok. Yaitu kelompok I yang
mendapatkan
anestesi
umum
dan
kelompok II yang mendapatkan anestesi
spinal. Data-data tersebut meliputi data
demografi dasar, status obstetrik, umur
kehamilan, hemoglobin ibu, gula darah
sewaktu melahirkan, hemodinamik ibu,
berat badan bayi baru lahir dan Apgar
score.
HASIL
Pada Tabel 1, Rerata (simpangan baku)
umur ibu, kelompok I, kelompok II
berturut-turut adalah 26,75 (7,09) tahun
dan 29,63) tahun. Keadaan tersebut
berbeda tidak bermakna antara kedua
kelompok ( p= 0,408). Umur ibu pada
kedua kelompok sama.
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Rerata (simpangan baku) umur kehamilan
kelompok I dan kelompok II berturutturut adalah 37,25 (1,58) minggu dan
38,00 (1,60) minggu, sehingga umur
kehamilan pada kedua kelompok berbeda
tidak
bermakna
(p=0,328).
Umur
kehamilan antara kelompok I dan II adalah
sama. Rerata (simpangan baku) kadar
hemoglobin (Hb) kelompok I dan
kelompok II berturut-turut adalah 10,87
(0,63) g% dan 11,16 (1,04) g%. Kadar Hb
pada dua
kelompok
berbeda tidak
bermakna (p=0,516), sehingga kadar Hb
pada kedua kelompok adalah sama.
Rerata (simpangan baku) kadar gula darah
sewaktu (GDS) kelompok I dan Kelompok
II berturut-turut adalah 103,50 (20,87)
mg/dL dan 102,75 (8,88) mg/dL. Kadar
GDS antara kedua kelompok berbeda
tidak bermakna (p= 0,927), sehingga
kadar GDS antara kedua kelompok
adalah sama. Demikian juga berdasarkan
indikasi c=section kedua kelompok
berbeda tidak bermakna (p=0,41),
sehingga berdasarkan indikasi sectio
caesaria kedua kelompok adalah sama.
Rerata (simpangan baku) waktu insisilahir kelompok I dan Kelompok II berturut
-turut adalah 7,25 (0,46) menit dan 7,5
(0,93)
menit.
Kedua
kelompok
menunjukkan adanya perbedaan yang
tidak
bermakna
waktu
insisi-lahir
(p=0,574), sehingga berdasarkan waktu
insisi-lahir kedua kelompok adalah sama.
Rerata (simpangan baku) berat bayi lahir
kelompok I dan kelompok II berturutturut adalah 2869 (266) gram dan 2981
(474) gram. Hasil uji beda menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan yang tidak
119
Jurnal Anestesiologi Indonesia
bermakna berat bayi lahir antara kedua
kelompok (p=0,568).
Rerata (simpangan baku) waktu insisilahir kelompok I dan Kelompok II berturut
-turut adalah 7,25 (0,46) menit dan 7,5
(0,93)
menit.
Kedua
kelompok
menunjukkan adanya perbedaan yang
tidak
bermakna
waktu
insisi-lahir
(p=0,574), sehingga berdasarkan waktu
insisi-lahir kedua kelompok adalah sama.
Rerata (simpangan baku) berat bayi lahir
kelompok I dan kelompok II berturutturut adalah 2869 (266) gram dan 2981
(474) gram. Hasil uji beda menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan yang tidak
bermakna berat bayi lahir antara kedua
kelompok (p=0,568). Berat bayi lahir
antara kedua kelompok adalah sama (tabel
2).
Dari grafik 1 dapat dilihat pada kelompok
I hanya terdapat dua sampel (25%) dengn
riwayat partus satu kali, sedangkan sisanya
belum pernah melahirkan sebelumnya.
Sebaliknya pada kelompok II terdapat
lima sampel (62,5%) dengan riwayat
partus satu kali, sedangkan sisanya belum
pernah melahirkan sebelumnya.
Rerata (simpangan baku) Apgar score
menit ke 1,5. 10 kelompok
I dan
kelompok II berturut-turut adalah 7,00
(1,07),7,88 (0,84), 9,00 (0,76) dan 8,63
(0,52), 9,50 (0,53),9,88(0,35). Terdapat
perbedaan bermakna Apgar score menit
ke 1,5 dan 10 antara kelompok I dan II.
Apgar score menit ke-1, 5,10 pada
kelompok
II lebih
tinggi daripada
kelompok I (tabel 3).
Berdasarkan ketegori klinis Apgar score
dikategorikan menjadi 3 yaitu Apgar score
0 – 3 (asfiksia berat), Apgar score 4 -6
(asfiksia ringan), Apgar score 7 – 10
(normal). Pada kelompok I menit ke – 1
ada sampel yang masuk kategori asfiksia
ringan sebanyak 3 sampel, sedangkan pada
menit ke – 5 dan 10 semua sampel masuk
dalam kategori normal.
Pada kelompok II semua sampel adalah
normal, baik pada menit ke – 1, menit ke –
5, maupun menit ke – 10 . berdasarkan uji
beda terdapat perbedaan tidak bermakna
antara dua kelompok baik pada menit ke –
1 (p = 0,234), menit ke - 5 (p = 1,00) dan
menit ke – 10 (p = 1,00), sehingga
bedasarkan
kategori
klinis
kedua
kelompok sama
Hipotensi berdasarkan
tekanan darah
sistolik menunjukkan bahwa semua
sampel kelompok I tidak ada yang
hipotensi sedangkan pada kelompok II
terdapat dua sampel (25%) yang hipotensi
dan sisanya (75%) tidak hipotensi.
Sementara itu apabila
hipotensi
berdasarkan MAP, maka terdapat seorang
sampel (12,5%) dari kelompok I yang
bipotensi dan tiga sampel (37,5%) dari
kelompok II (grafik 2).
Berdasarkan
uji
Fisher’s
Exact
menunjukkan bahwa kejadian hipotensi
berdasarkan tekanan darah sistolik dan
MAP pada kedua kelompok berbeda tidak
bermakna (p=0,233) dan (p=0,285) kedua
kelompok sama
PEMBAHASAN
Perdebatan tentang anestesi spinal pada
120
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 1. Umur, umur kehamilan, kadar Hb dan kadar GDS, indikasi sectio caesaria
Kelompok Perlakuan
Variabel
Kelompok I
Umur (tahun)
Umur Kehamilan (minggu)
Kadar Hemoglobin (g%)
Kadar GDS (mg/dL)
Indikasi sectio caesaria
Panggul sempit
Disproporsi kepala panggul
Malpresentasi
Partus tak maju
Keterangan:
P
Kelompok II
26,75 (7,09)
37,25 (1,58)
10,87 (0,63)
103,50 (20,87)
29,63(6,37)
38,00 (1,60)
11,16 (1,04)
102,75 (8,88)
0,4081
0,3282
0,5161
0,9271
0
0
4
4
1
0
2
5
0,4113
1
: independen t test
: mann whitney test
3
: chi-square test
2
Tabel 2. Waktu insisi- lahir dan berat bayi lahir
Variabel
Kelompok perlakuan
p
Kelompok I
Kelompok II
Insisi-lahir (menit)
7,25 (0,46)
7,50 (0,93)
0,5742
Berat bayi lahir (gram)
2868 (266)
2981( 474)
0,5681
Ket :
1
= independent t test
2
= mann whitney test
Grafik 1. Distribusi frekuensi (dalam %) riwayat partus di antara kedua kelompok
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
121
Jurnal Anestesiologi Indonesia
preeklamasia berat saat ini telah
ditinggalkan. Penelitian yang telah
dilaksanakan di Perancis pada tahun 2003
menunjukkan bahwa anestesi spinal pada
pasien preeklampsia berat menunjukkan
bahwa anestesi spinal pada pasien
preeklampsia berat menunjukkan hipotensi
yang lebih rendah daripada anesthesia
spinal pada pasien sectio caesaria tanpa
preeklampsia. Resiko hipotensi enam kali
lebih rendah pada pasien dengan
preeklampsia berat dari pada pasien tanpa
preeklampsia.5
Ada dua hal yang mengatur tekanan darah
yaitu tonus vaskuler yang diperantarai
oleh jalur simpatis dan jalur endothelial
jalur simpatis menuju pembuluh darah
berubah dengan tindakan anestesi spinal
pada pasien preeklampsia berat maupun
pada pasien tanpa preeklampsia. Perhatian
tertuju pada jalur endothelial. Akibat
kegagalan
invasi
trophoblast
menyebabkan penurunan perfusi utero
plasenta.
Plasenta
wanita
dengan
preeklampsia menunjukkan
adanya
peningkatan frekuensi
infark dan
perubahan morfologi karena adanya
proliferasi sitotrofoblast yang abnormal
dan adanya peningkatan pembentukakan
syncytial knots.
Endothelium
vaskuler mempunyai
beberapa
fungsi penting termasuk
mengontrol tonus vaskuler dengan
melepaskan beberapa zat yang bersifat
vasokonstriktor dan vasodilator dan
mengatur fungsi antikoagulasi, antiplatelet
dan fibrinolisis. Hal ini menunjukkan
bahwa pelepasan beberapa zat dari
palsenta sebagai respon dari iskemia
122
plasenta menyebabkan disfungsi endothel
sirkulasi
ibu.
Disfungsi
endothel
merupakan tanda awal preeklampsia dan
hal ini merupakan penyebab dan bukan
akibat dari ganggguan kehamilan.8
Selama
kehamilan
normal
terjadi
peningkatan aktivitas endothelial Nitric
Oxide
Synthase
(NOS)
dan
Cyclooxigenase (COX) dan peningkatan
produksi nitric oxide (NO), prostacyclin
(PG12),
dan
endothelium-derived
hyperpolarizing factor (EDHF).
NO
meningkatkan
cGMP
dan
PG12
Meningkatkan c GMP dan PG12
meningkatkan cAMP pada otot polos,
Ca2+ intraseluler mengalami penurunan
dan miofilamen menjadi sensitif terhadap
Ca2+. Demikian juga EDHF akan
membuka
K+
channels,
sehingga
menyebabkan membran otot mengalami
hiperpolarisasi. hal ini menyebabkan
relaksasi otot polos dan penurunan
tahanan perifer serta penurunan tekanan
arteri.
Pada
preeklampsia
terjadi
meningkatkan pelepasan sitokin plasenta
yang menghambat produksi endotheliumderived relaxing factor sehingga terjadi
penurunan relaksasi otot polos. Sitokin
juga merangsang pelepasan endotheliumderived
contracting
factor seperti
endothelin-1 (ET-1) dan tromboksan A2
(TXA2)
dan
mengaktifkan
reninangiotensin system (RAS) di ginjal
sehingga
meningkatkan
ANG
II.
Endothelin-1, TXA2,
dan ANG II
merangsang reseptor spesifik di otot polos
sehingga meningkatkan Ca2+ intraseluler,
aktifitas protein kinase C (PKC) dan hal
ini menyebabkan kontraksi otot polos,
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
dan meningkatkan tahanan perifer serta
tekanan arteri.8
Demikian juga penelitian di Thailand
pada tahun 2005 telah membandingkan
anestesi spinal dan anestesi epidural pada
preeklampsia, dari penelitian tersebut
didapatkan bahwa insidensi hipotensi pada
anestesi spinal lebih tingi daripada
anestesi epidural namun durasi hipotensi
pada
kedua
kelompok
singkat.
Penggunaan efedrin untuk mengatasi
hipotensi lebih banyak pada anestesi
spinal namun demikian hipotensi yang
terjadi mudah untuk diatasi pada kedua
kelompok.
Bayi yang dilahirkan
kemudian dilakukan peniliaian dengan
Apgar score maupun analisa gas darah
dari arteri umbilikus dan ternyata
keduanya sama pada kedua kelompok.9
Perencanaan tindakan anestesi pada sectio
caesaria harus senantiasa memperhatikan
keselamatan ibu maupun anak. Anestesi
umum maupun anestesi regional, termasuk
anestesi spinal, epidural maupun combine
spinal epidural, dapat dilakukan pada
pasien yang akan menjalani sectio
caesaria. Sebagian besar operasi sectio
caesaria yang dilakukan di Amerika
Serikat menggunakan anestesi regional,
dan anestesi regional yang sering
digunakan adalah anestesi spinal.10
Pertanyaan mengenai seberapa besar
pengaruh anesesi umum dibandingkan
anestesi regional terhadap Apgar score
bayi baru lahir merupakan satu hal yang
menarik, bahkan hal ini telah diteliti oleh
beberapa
peneliti,
dan
umumnya
merupakan
penelitian
retrospektif
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
terutama pada operasi-operasi elektif.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa tidak
ada perbedaan antara anestesi umum dan
anestesi regional namun beberapa peneliti
melaporkan bahwa Apgar score yang
rendah telah terjadi pada pasien sectio
caesaria dengan anestesi umum.10
Sementara itu hasil pada penelitian ini
menunjukkan bahwa Apgar score pada
menit pertama dengan anesesi spinal
karena preeklampsia berat menunjukkan
rerata yang lebih tinggi dan perbedaan
rerata Apgar score antara anestesi umum
dan menunjukkan perbedaan yang
bermakna dengan p=0,007 (p<0,05),
demikian juga pada menit kelima maupun
menit kesepuluh Apgar score pada pasien
preeklamasia berat yang mendapatkan
anestesi spinal mempunyai rerata yang
lebih tinggi daripada anestesi umum dan
terdapat perbedaan yang bermakna antara
kedua kelompok berturut-turut didapatkan
nilai p=0,002 dan p=0,028 (p<0,05). Dari
keseluruhan sampel penelitian didapatkan
bahwa Apgar score > 7, sehingga kondisi
bayi yang dilahirkan semuanya masuk
dalam kelompok yang sama yaitu
kelompok normal. Hasil penelitian ini
sesuai dengan penelitian sebelumya yang
menyatakaan bahwa umumnya bayi yang
dilahirkan oleh ibu dengan preeklampsia
berat lahir pada saat aterm dengan berat
badan yang normal, morbiditas dan
mortalitas yang lebih kecil jika
dibandingkan dengan literatur yang telah
ada sebelumnya. Apgar score merupakan
metode yang sederhana dan mudah untuk
diulang dalam menilai kondisi bayi yang
baru dilahirkan secara cepat dan ringkas.
123
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 3. Apgar score
Apgar score menit ke-1
Apgar score menit ke-5
Apgar score menit ke 10
Kelompok Perlakuan
Kelompok I
Kelompok II
P
7,00 (1,07)
7,88 (0,84)
9,00(0,76)
0,0072
0,0022
0,0282
8,63 (0,52)
9,50 (0,53)
9,88 (0,35)
Ket :2 mann whitney test
Tabel 4. Perbedaan klinis Apgar score
Kategori Apgar score
Menit ke – 1
Menit ke – 5
Menit ke - 10
Kelompok Perlakuan
Kelompok I
Kelompok II
Asfiksia berat
0
0
Asfiksia ringan
3
0
Normal
5
8
Asfiksia berat
0
0
Asfiksia ringan
0
0
Normal
8
8
Asfiksia berat
0
0
Asfiksia ringan
0
0
Normal
8
8
P
0,2342
12
12
Ket :2 mann whitney test
Grafik 2. Distribusi frekuensi (dalam 100%) riwayat hipotensi berdasarkan MAP diantara kedua kelompok
124
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tes Apgar bertujuan utuk menilai kondisi
fisiologis bayi secara cepat apakah bayi
tersebut segera memerlukan perawatan
medis dan tidak untuk menilai kesehaan
bayi dalam jangka panjang.11,12
Insidensi hipotensi lebih tinggi pada
kelompok yang mendapat anestesi spinal
yaitu sebesar 37,5% dibanding kelompok
yang mendapatkan anestesi umum yaitu
sebesar 12,5%. Perbedaan insidensi
hipotensi ini tidak berbeda bermakna antar
kedua kelompok. Hasil penelitian ini
sesuai
dengan
hasil
penelitian
Visalyaputra yang menyatakan bahwa
insidensi hipotensi pada preeklampsia
yang diberikan anestesi spinal lebih tinggi.
Walaupun insidensi hipotensinya lebih
tinggi namun Apgar score pada kelompok
anesthesia spinal baik hal ini diduga
karena durasi hipotensinya hanya singkat,
mudah dalam penatalaksanaanya serta
bayi mempunyai mekanisme kompensasi
untuk tetap mempertahankan kecukupan
oksigennya yaitu dengan meningkatkan
laju nadi bayi sehingga anestesi spinal
aman untuk diberikan pada ibu dengan
preeklampsia.6,9
Nilai Apgar score yang rendah pada
menit pertama saja tidak menunjukkan
hasil akhir dari bayi. Apgar score yang
rendah pada menit pertama menunjukkan
bahwa bayi baru lahir memerlukan
perhatian medis tetapi bukan merupakan
indikasi bahwa bayi tersebut akan
mempunyai masalah kesehatan dalam
jangka panjang. Pada anestesi umum obat
induksi yang digunakan dalam hal ini
thiopental dapat menyebabkan depresi
ringan aktivitas bayi yang sifatnya
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
sementara sehingga dapat berakibat
rendahnya Apgar score pada menit
pertama. Sementara obat induksi yang lain
yaitu suksinikholin tidak menunjukkan
adanya transfer plasenta kecuali dosis
yang diberikan lebih dari 300 mg. dari
penelitian
analisis
retrospektif
disimpulkan bahwa Apgar score pada
menit kelima merupakan prediktor yang
valid untuk menilai resiko kematian bayi
baru lahir. Apgar score pada menit kelima
sampai 10 menit menunjukkan bahwa
kondisi bayi normal, Apgar score 4,5,6
(asfiksia ringan) biasanya memerlukan
bantuan medis misalnya dapat diberikan
oksigen dan bantuan napas, sedangkan
Apgar score kurang dari 4 maka bayi
tersebut memerlukan resusitasi.13
Penelitian ini mempunyai keterbatasan
diantaranya adalah sampel penelitian yang
kecil, sehingga perlu sampel yang lebih
besar agar diperoleh hasil yang lebih
akurat. Disamping itu sectio caesaria
karena preeklampsia berat sebagian besar
dikerjakan dalam status darurat (cito),
maka untuk operator, dokter anestesi,
maupun
dokter anak sulit untuk
dikerjakan oleh tim yang sama karena
disesuaikan dengan jadwal jaga masingmasing bagian, sehingga keterbatasan
diatas akan merupakan bias dalam
penelitian ini.
SIMPULAN
Apgar score bayi yang lahir dari pasien
sectio caesaria karena preeklampsia berat
pada kelompok anestesi spinal lebih
125
Jurnal Anestesiologi Indonesia
tinggi daripada anestesi umum, tetapi
secara klinis berdasarkan kategori Apgar
score kedua kelompok sama.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gambling, RG, Hypertensive disorders.
In
:Chesnut DH.
Obstetric anesthesia
principles and practice 3 rd . ed. Philadelphia :
Elsevier Mosby, 2004 :795-830
2. Hypertensive disorder in Pregnancy :
Anesthetic implication and management.
Available
from
:URL
http
://www.
Freemedeme.com/eme/article.efm
/
mode=article full view & cme id=13
3. Hermatno. Factor Resiko asfiksi neonatorum di
RSUP dr. Sardjito Yogyakarta; Bagian IKA FK
UGM//RSUPdr. Sardjito; 1992
4. Granger JP, Barbara TA, Llamas MT, Bennett
WA, Khalil RA Pathophysiology of
hypertension during preeclampsia linking
placental
ischemia
with
endothelial
dysfunction. Available from URL: http://
www.hyper.ahojourplas.org.egi/content/
full/97/3/867
5. Aya GM, mangin R, Vialles N, Ferrer JM,
Robert C, Ripart J, Coussaye JE. Patients with
severe preeclampsia experience less
hypotension during spinal anesthesia for
elective cesarean delivery than healthy
parturient; A prospective cohort comparison.
Available from URL :http://www/aneshesia.
Analgesia.org/egi/content/full/97/3/867
6. MacArhur A, Anesthesia for severe
hypertensive disease of pregnancy and ischemic
heart from URL :http://www.anesthesia
analgesia.org/egi/reprint/101/3/862.
126
7. Chair I, Ensefalopati biopsies iskemikpada bayi
baru lahir. Dalam :reasy RK, Resnik R eds
Maternal Fetal Medicine. 3 rd ws, USA;WB
Saunders, 1994: 28
8. Khalil RA, Granger JP. Vascular mechanisms
of
increased
arterialpressure
in
preeclampsia :lessons from animal medels.
Availale
from
URL
:
http://
ajpregu.physiology.org/cegi/content/full/283/1/
R29/BIBL
9. Visalyaputra S, Rondonant O, somboonvinoon
W, Tantivitayatan K, Thientong
S.
SaengchoteW.
Spinal
versus
epiduralanesthesisa for cesarean deligery in
severa
preeclamsia
:
a
prospective
randomizedmultycenter study. Avialableform
URL
:http:
www.medscape.com/
viewarticle/520775
10. Khademis. The effect of anesthesia on apgar.
Availabelform
URL:
Http://
www.medscape.com/viearticle /520775
11. Bellis M. Apgar Scoring
for Newborn.
Available form UR:http//en. Wikipedia.org/
wiki/Apghar score.
12. Nava F., Roblesn P., Padilla L. Neonatal
Outcome in women with severe preeclamsia.
Available
from
URL
:
http://
www.imbiomed,com.mx/Inper/Prv12n4/
english/Zor84-01.html
13. American Academy of Pediatrics, Committee
on Fetus and Newborn, American College of
Obstetricians
and
sGyanccologist
and
Committec on Obstetric Practice. The apgar
score.available from URL :http://aapopolicy.
Aappublications
.
org/cgi/content/full/
pediatrics;1174/1444
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN
Perbedaan Jumlah Bakteri Trakhea pada Tindakan Oral Hygiene
Menggunakan Chlorhexidine dan Povidone Iodine pada Penderita dengan
Ventilator Mekanik
Fitri Hapsari Dewi*, Jat i List iyanto Pujo**, Ery Leksana**
* Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD dr. Moewardi/ FK UNS Surakarta
** Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP dr. Kariadi / FK UNDIP Semarang
ABSTRACT
Background: pneumonia is a nosocomial infection that often occurs. Pneumonia can be
caused by bacterial colonization in the trachea due to aspiration of upper respiratory
tract bacteria. Oral hygiene in the upper respiratory tract can decrease the number of
bacteria.
Objective: To find the differences in decrease in the number of tracheal bacteria with
oral hygiene chlorhexidine 0.2% and povidone iodine 1% on patients with mechanical
ventilator.
Methods: A randomized clinical control trial study on 30 patients with mechanical ventilator. Patients were divided into 2 groups (n=15), group 1 using chlorhexidine 0.2% and
group 2 using povidone iodine 1%. Each group was given oral hygiene every 12 hours for
48 hours. Each group was taken of tracheal secretions before and after treatment, for
later examination counting the number and types of bacteria. Statistics using the Wilcoxon test and Mann-Whitney test (with degrees of significance <0.05).
Results: This study found a decrease the number of bacteria trachea in chlorhexidine
group 78.99 ± 69.105 (significant difference p=0.04) more than in the povidone iodine
group 24.91 ± 104.764 (not significantly different p=0.75). While the comparative difference in the two groups of test results obtained p=0144 (not significantly different).
Conclusion: The decrease in the number of tracheal bacteria on oral hygiene with chlorhexidine 0.2% was not different from povidone iodine 1%
Keywords: chlorhexidine 0.2%, povidone iodine 1%, the number of tracheal bacteria,
oral hygiene, mechanical ventilator.
ABSTRAK
Latar belakang: Pneumonia merupakan infeksi nosokomial yang sering terjadi. Pneumonia dapat disebabkan karena kolonisasi bakteri di trakhea karena aspirasi bakteri saluran nafas atas. Tindakan oral hygiene pada saluran nafas atas dapat menurunkan jumlah
bakteri.
Tujuan: Untuk mengetahui adanya perbedaan penurunan jumlah bakteri trakhea pada
tindakan oral hygiene dengan chlorhexidine 0,2% dan povidone iodine 1% pada
penderita dengan ventilator mekanik.
Metode: Merupakan penelitian randomized clinical control trial pada 30 penderita dengan ventilator mekanik. Penderita dibagi menjadi 2 kelompok (n=15), kelompok 1 menggunakan chlorhexidine 0,2% dan kelompok 2 menggunakan povidone iodine 1%. Masingmasing kelompok diberikan oral hygiene tiap 12 jam selama 48 jam. Tiap kelompok
diambil sekret dari trakhea sebelum dan setelah perlakuan, untuk kemudian dilakukan
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
127
Jurnal Anestesiologi Indonesia
pemeriksaan hitung jumlah dan jenis bakteri. Uji statistik menggunakan Wilcoxon dan
Mann-Whitney test ( dengan derajat kemaknaan < 0,05 ).
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan penurunan jumlah bakteri trakhea pada kelompok
chlorhexidine sebesar 78,99±69,105 ( berbeda bermakna p=0,04 ) lebih banyak bila
dibandingkan pada kelompok povidone iodine 24,91±104,764 ( berbeda tidak bermakna
p=0,75). Sedangkan pada uji selisih komparatif dua kelompok didapatkan hasil berbeda
tidak bermakna ( p=0.144 ).
Simpulan: Penurunan jumlah bakteri trakhea pada tindakan oral hygiene dengan chlorhexidine 0,2% tidak berbeda bermakna dengan povidone iodine 1%
Kata kunci: chlorhexidine 0,2%, povidone iodine 1%, jumlah bakteri trakhea, oral hygiene, ventilator mekanik.
PENDAHULUAN
Infeksi nosokomial merupakan salah satu
penyebab morbiditas dan mortalitas di
rumah sakit.1 Infeksi nosokomial yang
disebabkan
oleh pneumonia bakteri
disebabkan karena adanya kolonisasi
bakteri di trakhea. Pneumonia bakteri
karena infeksi nosokomial yang terjadi
setelah dua hari pemakaian ventilator
mekanik disebut dengan pneumonia terkait
ventilator/ventilator associated pneumonia
(VAP), kejadian ini merupakan infeksi
nosokomial yang sering didapatkan di
ICU.2
Pasien
yang
terintubasi
memiliki
kemungkinan mengalami pneumonia lebih
tinggi 21% dibandingkan dengan yang
tidak mendapatkan saluran nafas buatan.3
Pneumonia yang didapat di rumah sakit
merupakan penyakit infeksi saluran nafas
bawah yang didahului dengan adanya
jumlah bakteri atau infeksi saluran nafas
atas. Aspirasi bakteri dari saluran
pencernaan atas merupakan penyebab
penting terjadinya kolonisasi bakteri di
trakhea.4
Pneumonia yang didapat di rumah sakit
128
diawali dengan adanya aspirasi makro atau
mikro dari sekret terinfeksi yang berasal
dari saluran nafas atas. Berbagai
organisme
ini
kemudian
dapat
memperbanyak jalan masuk dan kemudian
membentuk jumlah bakteri seperti biofilm
yang secara cepat dapat melapisi
permukaan bagian dalam dari pipa
trakhea. Hal ini seringkali diikuti dengan
jumlah bakteri organisme patogen di
trakhea.5
Pembersihan sekret di saluran nafas atau
higienitas saluran nafas merupakan proses
fisiologis normal yang diperlukan untuk
menjaga patensi saluran nafas dan
mencegah terjadinya infeksi saluran nafas.
Oleh karena itu, perawatan pasien – pasien
yang terintubasi meliputi pengisapan
trakhea untuk mempermudah pembuangan
hasil – hasil sekresi saluran nafas.5
Dekontaminasi oral dapat dilakukan
dengan
antiseptik
oral
seperti
chlorhexidine glukonat atau povidone
iodine.6,7 Chlorhexidine glukonat dapat
menurunkan tingkat kejadian pneumonia
nosokomial pada pasien – pasien dengan
sakit kritis. Penggunaan chlorhexidine
glukonat secara bilasan oral sebanyak dua
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
kali sehari dapat menurunkan tingkat
kejadian infeksi saluran nafas sebesar
69%.5
Faktor resiko kejadian pneumonia adalah
jumlah bakteri pada orofaring oleh bakteri
patogen potensial seperti Staphylococcus
aureus, Streptococcus pneumonia atau
bakteri gram negatif.8,9,10 Trakhea dan
selang endotrakhea secara cepat menjadi
tempat jumlah bakteri pada pasien dengan
sakit kritis, kultur dari sputum atau
aspirasi trakhea merupakan cara yang
dapat digunakan untuk mengetahui jumlah
dan jenis mikroorganismenya.5
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui adakah perbedaan jumlah
bakteri trachea pada tindakan oral hygiene
menggunakan chlorhexidine 0,2% bila
dibandingkan dengan povidone iodine 1%
yang diberikan pada penderita dengan
ventilator mekanik.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
dengan bentuk rancangan randomized
clinical
control
trial.
Pengukuran
dilakukan pada awal dan akhir perlakuan.
Kelompok 1 chlorhexidine 0,2% sebagai
oral hygiene pada penderita dengan
ventilator mekanik. Kelompok 2 povidone
iodine 1% sebagai oral hygiene pada
penderita dengan ventilator mekanik di
ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang pada
bulan Februari hingga April 2011. Peneliti
tidak mengetahui penderita karena urutan
penderita berdasarkan undian terhadap 2
kelompok secara acak.
Kriteria inklusi yaitu pasien dewasa
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
dengan ventilator mekanik. Kriteria
eksklusi meliputi alergi atau terdapat
kontraindikasi terhadap obat yang
digunakan, keganasan, mengidap HIV,
dan penggunaan kortikosteroid dalam
jangka lama. Penelitan ini menggunakan
sampel 15 orang untuk masing-masing
kelompok, sehingga total sampel adalah
30.
Keluarga
penderita
diberikan
penjelasan tentang hal-hal yang akan
dilakukan, serta bersedia untuk mengikuti
penelitian dan mengisi formulir informed
consent.
Pada kelompok 1 diberikan chlorhexidine
0,2% sebanyak 25 ml setiap 12 jam. Pada
kelompok 2 diberikan povidone iodine 1%
sebanyak 25 ml setiap 12 jam. Hasil kultur
sekret trakhea dihitung jumlah bakteri
setelah 48 jam dengan 4 kali perlakuan.
Hasil analisis disajikan dalam bentuk
grafik Box Plot. Analisis analitik akan
dilakukan untuk menguji hasil kultur
mikrobiologi pada kedua kelompok
perlakuan dengan uji non parametrik
Mann Whitney,Wilcoxon. Semua uji
analitik menggunakan α=0,05. Semua
perhitungan
statistik
menggunakan
perangkat lunak Statitiscal Package for
Social Science (SPSS) 15.
HASIL
Telah dilakukan penelitian pada 30 pasien
yang memenuhi kriteria inklusi dan
ekslusi tertentu. Penderita dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu kelompok (1)
chlorhexidine
yang
mendapatkan
chlorhexidine 0,2% dan kelompok (2)
povidone iodine yang mendapatkan
129
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 1. Karakteristik Umum Subyek Penelitian
No
Variabel
Chlorhexidine
Povidone iodine
p
1.
Umur
49,47±16,128
48,20±13,718
0,917*
2.
Jenis kelamin
15(26,7-23,3)
15 (23,3-26,7)
0,133**
Tabel 2. Jumlah bakteri trakhea masing-masing kelompok
Chlorhexidine 0,2%
Variabel
Jumlah
bakteri
Povidone iodine 1%
Pre (mean±SD)
Post (mean±SD)
Pre (mean±SD)
Post
(mean±SD)
198.827±121.192
119.833±113.915
206.767±123.021
181.853±107.0
38
Tabel 3. Uji normalitas masing-masing kelompok
P
Variabel
Jumlah Bakteri
Chlorhexidine 0,2%
Povidone Iodine 1%
Pre
Post
Pre
Post
0,002
0,014
0,001
0,068
Tabel 4. Uji pre dan post masing-masing kelompok
Pre
Post
p
130
Chlorhexidine 0,2%
198.827±121.192
119.833±113.915
0,004
Povidone iodine 1%
206.767±123.021
181.853±107.038
0,75
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
povidone iodine 1%, kedua kelompok
diberikan oral hygiene tiap 12 jam selama
48 jam. Karakteristik subyek penelitian
ditampilkan pada Tabel 1.
Uji normalitas Shapiro-Wilk digambarkan
pada tabel di atas, dimana karakteristik
umum umur pada kelompok chlorhexidine
memiliki distribusi yang normal (p >
0,05), sedangkan kelompok povidone
iodine memiliki distribusi tidak normal (p
< 0,05) sehingga untuk uji homogenitas
diperlukan Mann Whitney U test.
Karakteristik jenis kelamin dengan skala
nominal digunakan uji kai-kuadrat (x2).
Hasilnya didapatkan data homogen (p >
0,05) dari semua variabel.
Jumlah bakteri trakhea yang diambil
sebelum dan sesudah mendapat perlakuan
pada masing-masing kelompok subyek
penelitian ditampilkan dalam Tabel 2.
Berdasarkan
uji
normalitas
data
sebagaimana terlihat pada Tabel 3, jumlah
bakteri
trakhea
pada
pemberian
chlorhexidine 0,2% maupun povidone
iodine 1% didapatkan distribusi tidak
normal (p < 0,05), maka untuk masingmasing kelompok penelitian digunakan
Wilcoxon Signed Rank Test. Hasil analisis
masing-masing kelompok disajikan dalam
Tabel 4.
Tabel 4 menunjukkan jumlah bakteri
trakhea pada kelompok chlorhexidine
0,2% sebelum perlakuan 198.827±121.192
dan setelah perlakuan119.833±113.915
yang berarti mengalami penurunan sebesar
78,99±69,105. Pada kelompok povidone
iodine 1% jumlah bakteri trakhea sebelum
perlakuan 206.767±123.021 dan setelah
perlakuan 181.853±107.038 yang berarti
mengalami
penurunan
sebesar
24,91±104,764.
20
300
Selisih jumlah kuman
200
100
0
-100
-200
CHLORHEXIDINE
POVIDONE IODINE
Kelompok
Grafik 1. Perbandingan jumlah bakteri trakhea dari kedua kelompok perlakuan
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
131
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Hasil uji statistik yang dilakukan dengan
menggunakan Wilcoxon Signed Rank Test,
perubahan jumlah bakteri trakhea pada
kelompok chlorhexidine menunjukkan
perubahan yang bermakna (p<0,05).
Sedangkan jumlah bakteri trakhea pada
kelompok povidone iodine menunjukkan
perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05).
Pada analisis komparatif antar kelompok
digunakan Mann Whitney U-test. Hasil
analisis disajikan dalam boxplot Grafik
1.Pada
analisis
komparatif
antar
kelompok, didapatkan penurunan jumlah
bakteri
trakhea
pada
kelompok
chlorhexidine
0,2%
dibandingkan
kelompok povidone iodine 1% dengan
perbedaan tidak bermakna (p > 0,05).
PEMBAHASAN
Antiseptik atau antimikroba pada dosis
terapi, seperti chlorhexidine dan colistin,
dapat
menjadi
alternatif
untuk
dekontaminasi orofaring. Chlorhexidine
memiliki
spektrum
luas
untuk
mikroorganisme
gram
positif
dan
6
mikroorganisme gram negatif.
Penggunaan chlorhexidine glukonat 0,12%
secara bilasan oral sebanyak dua kali
sehari dapat menurunkan tingkat kejadian
infeksi saluran nafas sebesar 69% dan
menurunkan
penggunaan
antibiotik
sebesar 43% tanpa mempengaruhi pola
resistensi antibiotik. Pengaruh terbesar
didapatkan pada pasien – pasien yang
telah diintubasi selama lebih dari 24 jam
dimana pasien – pasien ini memiliki
derajat jumlah bakteri bakteri terbesar.5,
Penelitian
132
Rahn,
dikatakan
bahwa
povidone iodine dapat menurunkan angka
kejadian bakterimia pada pasien dengan
resiko tinggi infeksi dengan memberikan
cairan povidone iodine secara rutin pada
sulkus ginggiva.
Penelitian yang dilakukan ini adalah
membandingkan jumlah kuman antara
pemberian oral hygiene chloerhexidine
0,2% dengan povidone iodine 1% pada
penderita dengan ventilator mekanik.
Sebelumnya belum pernah ada yang
membandingkan antara keduanya terhadap
jumlah bakteri trakhea. Pada hasil
penelitian ini digunakan 30 subyek
penelitian dengan karakteristik yang telah
diseleksi melalui kriteria inklusi dan
eksklusi didapatkan 30 penderita dengan
karakteristik umur, jenis kelamin yang
tidak berbeda bermakna (p>0,05) sehingga
layak dibandingkan.
Hasil analisis uji Wilcoxon pada kedua
kelompok secara terpisah menunjukkan
bahwa jumlah bakteri trakhea sebelum dan
sesudah perlakuan berbeda bermakna pada
kelompok chlorhexidine (p=0,004) dan
tidak berbeda bermakna pada kelompok
povidone iodine (p=0,075). Sedangkan
selisih jumlah bakteri trakhea antara kedua
kelompok dianalisis dengan uji komparatif
Mann-Whitney, dengan hasil menunjukkan
tidak berbeda bermakna (p=0,144).
Kelompok chlorhexidine menunjukkan
penurunan jumlah bakteri bermakna secara
statistik. Hasil ini sesuai dengan penelitian
Mirelle Koeman yang menyatakan bahwa
terdapat penurunan jumlah kolonisasi di
trakhea pada penderita dengan ventilator
mekanik yang diberi chlorhexidine selama
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Jurnal Anestesiologi Indonesia
48 jam perlakuan.6
Kelompok povidone iodine menunjukkan
penurunan jumlah bakteri tidak bermakna
secara statistik. Penelitian ini sesuai
dengan penelitian Joel Chua, yang
meneliti povidone iodine 1% yang
diberikan terhadap penderita dengan
ventilator mekanik terhadap angka
kejadian VAP yang dinilai secara klinis
bermakna tetapi tidak bermakna secara
statistik11.
Meskipun didapatkan hasil tidak berbeda
bermakna pada uji komparatif kedua
kelompok, akan tetapi chlorhexidine lebih
efektif menurunkan jumlah bakteri trakhea
dibanding dengan povidone iodine. Hal ini
dilihat dari penurunan jumlah bakteri
trakhea sebelum dan sesudah perlakuan
pada kelompok chlorhexidine sebesar
78,99±69,105 (p=0,004), sedangkan pada
kelompok povidone iodine sebesar
24,91±104,764 (p=0,075).
Lebih efektifnya chlorhexidine dalam
menurunkan jumlah bakteri dibandingkan
dengan
povidone
iodine
mungkin
disebabkan oleh sifat chlorhexidine yang
memiliki broad spectrum yang luas,
aktivitas antibakterinya lebih cepat,
absorbsinya minimal, aktivitas dalam
darah baik, dan memiliki efek residu.
Kekurangan pada penelitian ini adalah
ketidakmampuan
peneliti
dalam
mengontrol waktu antara pengambilan
sampel di ICU, pengiriman, serta
pemeriksaan sampel di laboratorium
mikrobiologi klinik. Peneliti telah
berusaha
meminimalkan kekurangan
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
dengan cara mempersingkat pengiriman
serta langsung dilakukan pemeriksaan saat
sampel diterima petugas.
SIMPULAN
Terdapat penurunan jumlah bakteri
trakhea pada kelompok chlorhexidine
secara
bermakna, terdapat penurunan
jumlah bakteri trakhea pada kelompok
povidone iodine secara tidak bermakna,
serta terdapat penurunan jumlah bakteri
trakhea pada kelompok chlorhexidine
dibandingkan kelompok povidone iodine
secara tidak bermakna.
Sebaiknya chlorhexidine 0,2% digunakan
sebagai oral hygiene terpilih pada
penderita dengan ventilator mekanik
dibandingkan povidone iodine 1%.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hunter JD. Ventilator associated pneumonia.
Postgraduate medical journal 2006; 82 (965):
172-78. Available from : http// pmj.bmj.com/
content/82/965/172.full
2. Kohl BA, Hanson CW. Critical care protocols.
In: Miller RD, editor. Miller’s anesthesia 7th ed.
America: Elsevier, 2010;Vol 2:23-87.
3. Chan EY, Ruest A, Meade M, Cook DJ. Oral
decontamination for prevention of pneumonia
in mechanically ventilated adults: systematic
review and meta-analysis. BMJ 2007;334:889.
Available from : http//www.medscape.com/
viewarticle/707833_4
4. Wiryana M. Ventilator associated pneumonia.
Jurnal penyakit dalam 2007 ; 8(3):254-69.
Available from : http // ejournal.unud.ac.id/.../
ventilator%20associated%20pneumonia
5. Jelic S, Cunningham JA, Factor P. Clinical
review:airway hygiene in the intensive care
unit. Critical care 2008;12:209. Available
from : http// www.ncbi.nlm.nih.gov › Journal
List › Crit Care › v.12(2); 2008
6. Koeman M, Hak F, Ramsay G, Joore,
133
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Kaasjager K, Hans, et al. Oral decontamination
with chlorhexidine reduces the incidence of
ventilator-associated pneumonia. American
journal of respiratory and critical care medicine
2006; 173 : 1348-1355. Available from: http //
ajrccm.atsjournals.org/cgi/content/
short/173/12/1348
7. Ogata J, Minami K, Miyamoto H, Horishita T,
Ogawa M, Sata T, et al. Gargling with povidone
-iodine reduces the transport of bacteria during
oral intubation. Can j anaesth 2004;51(9):9326. Available from : http// pubget.com/
paper/15525622
8. Genuit T, Mccarter RJ, Roghman MC,
Bochichio G, Napolitano LM. Prophylactic
chlorhexidine oral rinse decrease ventilatorassociated pneumonia in surgical ICU patients.
Surgical infection
2001;2:1-14. Available
from:http//
www.ncbi.nlm.nih.gov/
pubmed/12594876
134
9. Panchabhai TS, Dangayach NS, Khrisnan A,
Kothari VM, Karnad DR.Oropharyngeal
cleansing with 0,2% chlorhexidine for
prevention of nosocomial pneumonia in critical
care patients. Chest
2008;135:1116-1118.
Available
from:http//
chestjournal.chestpubs.org/content/135/5/1150.
10. Morgan G E, Mikhail M S. Critical care.
In :Morgan GE, ed. Clinical Anesthesiology.4th
ed. Connecticut , Appleton and Lange; 2006.
11. Joel V, Chua MD, Eleanor A, Dominguez MD,
Cherrie M, Sisson MD, et al. The efficacy of
povidone-iodine oral rinse in preventing
ventilator-associated pneumonia: A randomized
double-blind, placebo-controlled (VAPOR)
trial: preliminary report . J mikrobiol infect dis
2004;33(4):153-161. Available from : http //
www.psmid.org.ph/vol33/
vol33num4topic153.pdf
Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012
Download