BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Propofol adalah obat intravena paling sering digunakan anestesi saat ini
Percobaan klinis pertama, oleh Kay dan Rolly dan dilaporkan pada tahun 1977,
menegaskan potensi propofol sebagai anestesi untuk menginduksi anestesi. Propofol
tidak larut dalam air dan pada awalnya dipersiapkan dengan Cremophor EL (BASF
AG). Karena anafilaktoid terkait dengan Cremophor EL dalam formulasi awal propofol,
obat itu dirumuskan dalam emulsi.(Morgan et al, 2006)
Propofol merupakan obat anestesi intravena yang efektif , onset cepat, durasi
kerja pendek. Selain itu propofol juga mempunyai keuntungan pulih sadar yang cepat
meskipun setelah penggunaan dalam periode anestesi yang lama serta adanya insidensi
mual-muntah yang rendah. Fakta tersebut menyebabkan propofol semakin popular
penggunaannya secara klinik di berbagai bidang anestesi. (Li et al, 2011)
Propofol (2,6-diisopropylphenol) telah mendapatkan popularitas sebagai obat
baik untuk induksi maupun pemeliharaan anestesi. Hal ini terutama karena onset yang
cepat, durasi aksi yang pendek, dan efek samping yang minimal. Penggunaannya telah
berkembang luas tidak hanya sebagai obat anestesi di kamar operasi tetapi juga untuk
obat sedatif-hipnotis yang digunakan di unit perawatan intensif dan pada prosedurprosedur pasien rawat jalan.(Morgan et al, 2006, Stoelting & Hillier, 2006)
14
Propofol
dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat
isotonic dengan kepekatan 1% ( 1 ml = 10 mg). Propofol (2,6 diisopropylphenol) tidak
larut dalam air, diformulasikan dalam emulsi minyak kacang kedelai berair mirip
dengan 10% Intralipid.(Tessler et al, 1992)
Emulsi propofol dan emulsi obat intravena lainnya diproduksi dengan ukuran
droplet minyak rata-rata 0,15-0,3 µm (150-300 nm). Ukuran ini mirip dengan
kilomikron alami. Secara umum, emulsi dengan droplet 0,1-100 µm dikenal sebagai
makroemulsi, sedangkan emulsi dengan droplet ukuran yang lebih kecil ( kurang dari
0,1 µm, atau 100 nm) yang dikenal sebagai mikroemulsi.(Driscoll et al, 2004)
Propofol 2,6 diisopropylphenol dalam formulasi emulsi selanjutnya disebut
sebagai propofol, telah dikaitkan dengan infeksi pascaoperasi yang disebabkan oleh
Staphylococcus aureus, Moraxella osloensis dan Candida albicans. Dilaporkan infeksi
ini menunjukkan bahwa kontaminasi ekstrinsik dan ketika diinkubasi pada 33 ° C di
propofol, Staphylococcus aureus cepat berproliferasi. Hal ini tidak mengherankan
bahwa propofol mendukung pertumbuhan bakteri. Intralipid 10% mendukung
pertumbuhan bakteri dan ragi, dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
telah merekomendasikan batas 12 jam waktu untuk infus Intralipid 10%. Minyak
kacang kedelai, telur phosphatide 1,2%, dan 2,25% gliserol
akan mendukung
pertumbuhan Staphylococcus aureus, Moraxella osloensis dan Candida albicans ketika
obat ini diinokulasi dengan organisme dan diinkubasi pada suhu kamar. Karena risiko
kontaminasi, propofol dianjurkan untuk segera dimasukkan ke dalam jarum suntik,
untuk meminimalkan inokulum bakteri potensial yang turut masuk ke pasien.
15
Selanjutnya penting bahwa propofol dipersiapkan dan dikelola secara aseptik untuk
mencegah injeksi larutan yang terkontaminasi. Banyak laporan infeksi sistemik telah
ditelusuri pada injeksi propofol terkontaminasi, menambahkan sampai setidaknya 175
kasus termasuk lima korban jiwa.(Tessler et al, 1992, Trepanier & Lessard, 2003)
Pada tahun 1990 produsen propofol mengirim surat menginformasikan kepada
semua anestesi risiko infeksi yang terkait dengan propofol dan bersama-sama dengan
Kesehatan Kanada, merevisi label produk menekankan pentingnya penggunaan teknik
aseptik. Centers for Disease Control and Prevention (CDC), the American Society of
Anesthesiologists (ASA) and the Anesthesia PatientSafety Foundation (APSF) juga
mengeluarkan pedoman mirip dengan produsen recommendations. Rekomendasi ini
didasarkan pada pengetahuan dari bukti ilmiah bahwa propofol mendukung
pertumbuhan bakteri, jumlah bakteri meningkat dengan cepat dan desinfeksi ampul atau
botol sebelum membuka jauh mengurangi kemungkinan kontaminasi bakteri.(
Trepanier & Lessard, 2003)
Oleh karena itu rekomendasi menyatakan bahwa botol dan ampul harus
didesinfeksi dengan alkohol isopropil, jarum suntik harus digunakan untuk pasien
tunggal dan dalam waktu 6 jam, dan infus harus dihabiskan dalam waktu 12 jam setelah
botol dibuka. Namun, meskipun rekomendasi sudah jelas, laporan kasus tetap terus
muncul dalam kepustakaan. Hampir semua kasus tersebut dapat dilacak oleh ahli
epidemiologi titik pelanggaran yang dilkukan yaitu tidak melakukan disinfeksi vial
sebelum aspirasi obat, penggunaan satu spuit lebih dari satu pasien, penggunaan satu
vial obat untuk beberapa pasien, penyiapan obat dalam spuit lebih dari 6 jam. Laporan
16
kasus baru bahkan setelah kampanye besar oleh produsen dan CDC menegaskan
kesulitan untuk meyakinkan masyarakat anestesi untuk melaksanakan rekomendasi
untuk mencegah penularan infeksi. Sebuah studi oleh Rosenberg telah menunjukkan
kesulitan untuk mendidik ahli anestesi langkah-langkah pencegahan infeksi dan
kepatuhan personil anestesi untuk teknik aseptik dan pengendalian infeksi. Banyak
alasan yang bisa menjelaskan perilaku ini: ketidaktahuan rekomendasi, kejadian
komplikasi yang dilaporkan relatif rendah dan kenyataan bahwa kebanyakan ahli
anestesi kehilangan jejak pasien mereka pada pasca operasi, tidak pernah menyaksikan
salah satu komplikasi. Telah ditunjukkan bahwa jarum suntik yang digunakan kembali
dapat dikaitkan dengan kontaminasi bakteri dan bahkan lebih mengkhawatirkan,
kontaminasi dalam darah bisa menyebabkan penularan infeksi virus melalui darah
antara pasien. Penggunaan jarum suntik yang sama untuk lebih dari satu pasien memang
telah diidentifikasi sebagai faktor risiko dalam banyak kasus yang dilaporkan dan harus
benar-benar ditinggalkan. Tindakan pencegahan yang memadai bukan tugas rumit untuk
anestesi dan tidak boleh ditinggalkan walaupun dengan alasan penambahan biaya. Para
ahli anestesi yang memilih untuk mengabaikan rekomendasi dasar ini sangat
membahayakan pasien.( Trepanier & Lessard, 2003)
Propofol dalam bentuk emulsi minyak kedelai mempunyai tanggal kedaluarsa
rata-rata 2 tahun setelah pembuatan jika disimpan sesuai yang direkomendasikan.
Penyimpanan yang direkomendasikan yaitu kisaran suhu 2-25 °C (tidak boleh suhu
lebih dari 25 °C atau dibekukan), tidak boleh terkena sinar matahari/cahaya/sinar
ultraviolet secara langsung. Propofol harus segera diberikan setelah dibuka dari
17
kemasan (ampul) sampai dengan 6 jam (Fresofol®; Trivam®; Lipuro®) atau 12 jam
(Diprivan®). (Anonim, 2003, Anonim, 2009, Anonim, 2010, Anonim, 2011)
Batasan waktu 6-12 jam tersebut diatas terkait dengan kontaminasi
mikroorganisma pada propofol yang sudah terbuka dari kemasan. Pada penelitian Aydin
et al. (2002) didapatkan 20-26% propofol terkontaminasi bakteri pada jam ke-12 setelah
dibuka dari ampulnya pada suhu kamar.11 Pada Fresofol®, Lipuro® dan Trivam®
karena tidak mengandung preservatif antimikroba, label menganjurkan segera sampai
dengan 6 jam propofol yang sudah terbuka dari kemasan harus segera digunakan. Untuk
Diprivan® karena mengandung preservatif EDTA maka sesuai penelitian yang
dilakukan oleh label tersebut, membatasi penggunaannya sampai dengan 12 jam.
(Anonim, 2003, Anonim, 2009, Anonim, 2010, Anonim, 2011)
Kenyataannya, pada praktek keseharian dijumpai adanya emulsi propofol yang
sudah dibuka dari kemasan (ampul) kemudian disimpan dalam spuit 10 cc dan
dilakukan penyimpanan dalam suhu kamar operasi maupun lemari es dengan suhu yang
diatur pada 4°C. Propofol tersebut kemudian digunakan kembali dalam kisaran waktu
sampai dengan 24 jam mengabaikan kemungkinan kontaminasi dengan alasan bahwa
dengan dilakukan penyimpanan di lemari pendingin akan memperlambat pertumbuhan
bakteri.
18
B.
Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang tersebut diatas maka dapat dibuat rumusan masalah
sebagai berikut : kontaminasi bakteri
pada propofol yang terbuka dari kemasan
(ampul) setelah 6 dan 24 jam dalam suhu kamar operasi perlu diketahui.
C.
Pertanyaan Penelitian
Berdasar perumusan masalah tersebut maka dapat dibuat pertanyaan penelitian
sebagai berikut : apakah terjadi kontaminasi bakteri pada propofol diluar kemasan
setelah 6 dan 24 jam dalam suhu kamar operasi ?
D.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui apakah ada kontaminasi bakteri pada propofol diluar
kemasan setelah 6 dan 24 jam dalam suhu kamar operasi
E.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Memberikan informasi berapa lama propofol diluar kemasan masih dapat
digunakan dilihat dari aspek sterilitas
2. Memberikan masukan bagi pengambil kebijakan di rumah sakit tentang
penggunaan emulsi propofol yang sudah terbuka dari kemasan dan disimpan
sampai batas waktu 6 dan 24 jam
F.
Keaslian Penelitian
Penulis tidak menemukan penelitian yang serupa. Penelitian yang ada dilakukan
oleh Fukuda & Ozaki (2007) yang meneliti tentang pertumbuhan bakteri dalam
propofol yang mengandung disodium edetate dan tanpa disodium edetate .(Fukada &
19
Ozaki, 2007). Vidovic et al (1999) melakukan penelitian efek lidokain dalam
pertumbuhan bakteri pada propofol. Wachowski et al (1999) juga melakukan penelitian
tentang pertumbuhan mikroorganisme dalam propofol dan propofol dicampur lidokain.
Lorenz et al (2002) melakukan penelitian tentang routine handling propofol untuk
mencegah kontaminasi. Penelitian ini juga belum pernah dilakukan di GBST RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta.
20
Download