Uploaded by diahww

Nonvolatile Anesthetic Agent

advertisement
OBAT ANESTESI NON VOLATILE
KONSEP KUNCI
1. Saat konsentrasi plasma turun, sebagian obat meninggalkan organ dengan
perfusi tinggi untuk menjaga keadaan ekuilibrium. Proses redistribusi ini
merupakan sebab berakhirnya efek sebagian besar obat anestesi. Sebagai
contoh, bangunnya pasien dari pengaruh thiopental bukan disebabkan
metabolisme atau sekresi thiopental tapi lebih disebabkan redistribusi obat dari
otak ke otot.
2. Obat yang tidak terikat protein secara bebas meninggalkan plasma dan
mengalami filtrasi di glomerulus. Fraksi obat non-ionik diabsorbsi kembali di
tubulus ginjal sedangkan fraksi ionik diekskresikan di urin
3. Waktu paruh eliminasi satu obat sebanding dengan volume yang
didistribusikan dan berbanding terbalik dengan laju klirens obat.
4. Konsentrasi obat plasma ditentukan oleh enam parameter farmakokinetik tidak
hanya oleh waktu paruh seperti diasumsikan selama ini.
5. Pemberian barbiturat berulang akan menyebabkan kejenuhan kompartemen
perifer sehingga redistribusi tidak terjadi dan lama kerja akan lebih bergantung
pada eliminasi
6. Barbiturat menyebabkan kontriksi pembuluh darah otak. Efek ini memberikan
efek proteksi otak terhadap iskemia lokal (misalnya emboli otak) namun
mungkin tidak melindungi otak terhadap iskemia global (henti jantung)
7. Walau apnea lebih jarang terjadi setelah induksi dengan benzodiazepin
daripada induksi dengan barbiturat, dosis kecil diazepam dan midazolam dapat
menyebabkan henti napas. Ventilasi harus dimonitor pada semua pasien yang
memperoleh benzodiazepin intravena dan peralatan resusitasi harus siap
tersedia
8. Akumulasi metabolit morfin (morfin-3-glukuronida dan morfin-6glukuronida)
9. Opiat (terutama fentanyl, sufentanil, dan alfentanil) dapat menimbulkan
kekakuan dinding dada yang cukup berat hingga dapat menghalangi
pemberian ventilasi adekuat)
10. Respon stres terhadap operasi diukur melalui sekresi hormon spesifik antara
lain katekolamin, ADH, dan kortisol. Opioid menghambat pelepasan hormonhormon tersebut lebih besar daripada anestetik volatil.
11. Berlawanan dengan obat anestesi lain, ketamin meningkatkan tekanan darah,
denyut jantung dan curah jantung. Efek kardiovaskular ini disebabkan
stimulasi pusat sistim saraf simpatis dan inhibisi ambilan kembali nor
epinephrine.
Induksi anestesi pada orang dewasa biasanya menggunakan obat anestesi
intravena dan dengan penggunaan EMLA induksi anestesi secara intravena pun mulai
dilakukan pada anak-anak. Bahkan pemeliharaan anestesi dapat dilakukan dengan
tehnik anestesi intravena total.
PRINSIP FARMAKOLOGIS
Farmakokinetik
Farmakokinetik menggambarkan bagaimana reaksi tubuh terhadap obat yang
ditentukan berdasarkan 4 parameter yaitu absorbsi, distribusi, biotransformasi, dan
ekskresi.
Selain itu terdapat istilah eliminasi yang menggambarkan degradasi obat melalui
biotransformasi dan ekskresi, sedangkan klirens adalah pengukuran dari laju
eliminasi.
Absorbsi
Absorbsi adalah proses di mana obat meninggalkan tempat obat tersebut diberikan
dan memasuki aliran darah yang dipengaruhi oleh factor-faktor obat (kelarutan, pH,
dan konsentrasi) dan faktor tempat pemberian (sirkulasi, pH, dan luas permukaan).
Absorbsi berbeda dengan ketersediaan biologis (bioavailability). Bioavailabilitas
adalah fraksi obat yang yang memasuki sirkulasi sistemik. Misalnya nitrogliserin
mempunyai ketersediaan biologis (bioavailability) yang rendah walaupun diabsorbsi
dengan baik di GI tract karena dimetabolisme dalan jumlah yang banyak oleh hati (1st
pass hepatic metabolism)
Karena vena daerah mulut bermuara di vena cava superior, pemberian obat secara
sublingual ataupun bukal tidak akan mengalami efek first pass hepatic metabolism.
Pada pasien yang tidak kooperatif pemberian obat secara rectal dapat menjadi
alternatif pemberian obat dikarenakan drainase vena daerah rectum tidak melalui hati.
Pemberian secara transdermal mempunyai keuntungan dapat diberikan secara terus
menerus dan dalam jangka waktu lama dengan jumlah total dosis di dalam tubuh yang
minimal. Stratum korneum berperan sebagai sekat yang tidak dapat ditembus kecuali
oleh obat-obatan yang larut dalam lemak (clonidin, nitrogliserin, scopolamine)
Secara parenteral absorbsi injeksi subkutan dan intramuskular tergantung pada
difusi obat dari tempat injeksi ke sirkulasi. Laju absorbsi bergantung pada aliran darah
di sekitar tempat injeksi dan pelarut (larutan lebih cepat diabsorbsi dari suspensi)
sedangkan pemberian secara intravena tidak memperhitungkan keadaan-keadaan
tersebut karena obat langsung masuk ke dalam aliran darah.
Distribusi
Distribusi adalah proses yang penting pada farmakologi klinis karena merupakan
penentu utama besarnya konsentrasi obat pada organ tujuan. Hal ini banyak
dipengaruhi oleh perfusi organ, ikatan dengan protein dan kelarutan dalam lemak.
Setelah diabsorbsi obat didistribusikan oleh aliran darah ke seluruh tubuh. Organ
dengan perfusi tinggi (otak, jantung, hati, ginjal, kelenjar endokrin) mengambil porsi
obat yang lebih tinggi dibandingkan dengan organ dengan perfusi yang rendah (otot,
jaringan lemak, tulang, ligamen, dan kartilago)
Selama obat terikat dengan protein plasma, obat tidak dapat diambil oleh organ
bersangkutan walaupun perfusi organ tersebut mencukupi. Albumin mengikat obat
yang bersifat asam (mis. Barbiturat) sedangkan 1-acid glycoprotein (AAG) berikatan
dengan obat basa. Gangguan ginjal, penyakit hati, CHF, dan keganasan menurunkan
produksi albumin. Trauma (termasuk operasi), infeksi, miokardial infark, dan nyeri
kronis meningkatkan jumlah AAG.
Ketersediaan obat pada organ-organ tertentu tidak memastikan adanya ambilan oleh
organ. Misalnya masuknya obat-obatan ionik ke dalam SSP dihambat oleh sel glia
perikapiler dan endothelial tight junction yang membentuk blood brian barrier. Obat
yang larut lemak dan molekul nonionik dapat melalui membran lipid tersebut.
Hal lain yang dapat mempengaruhi distribusi adalah ukuran molekul dan ikatan
dengan jaringan terutama oleh paru.
Setelah organ dengan perfusi tinggi menjadi jenuh barulah organ dengan perfusi yang
lebih rendah mengambil obat dari aliran darah. Dengan konsentrasi dalam plasma
yang rendah, obat akan meninggalkan obat dengan perfusi tinggi untuk
mempertahankan keseimbangan. Proses redistribusi ini merupakan mekanisme utama
pengakhiran efek dari obat-obatan anestesi (mis. Thiopental). Bila obat diberikan
dalam jumlah besar atau berulang-ulang proses redistribusi tidak akan terjadi dan
pengakhiran efek obat akan banyak bergantung pada eliminasi dari obat. Sehingga
obat-obatan dengan durasi kerja yang cepat seperti thiopental dan fentanyl akan
mempunyai durasi kerja yang lebih panjang.
Volume obat yang didistribusikan disebut volume of distribution (vd) yang
didapatkan dengan membagi dosis obat yang diberikan dibagi dengan konsentrasinya
dalam plasma.
Biotransformasi
Biotransformasi adalah perubahan dari obat melalui proses metabolik. Pada umumnya
menghasilkan bahan yang sudah inaktif dan larut dalam air sehingga dapat
diekskresikan ginjal. Proses ini terjadi di hati
Hepatic clearance adalah laju eliminasi obat hasil dari biotransformasi hati
(ml/menit).
Ekskresi
Ginjal adalah organ ekskresi utama. Renal clearance adalah laju eliminasi obat
melalui ekskresi ginjal. Kegagalan ginjal menyebabkan perubahan farmakokinetik
berbagai macam obat dengan adanya gangguan pada proses ikatan protein, volume
distribusi, dan laju klirens.
Beberapa obat bergantung pada ekskresi bilier karena mengalami reabsorbsi di usus
untuk selanjutnya diekskresikan di urin. Efek memanjang yang bersifat toksik (mis.
Fentanyl) mungkin disebabkan oleh resirkulasi enterohepatic ini.
Obat-obatan volatile terutama diekskresikan paru-paru.
Farmakodinamik
Farmakodinamik adalah pengetahuan mengenai efek terapeutik dan toksik sistemik
dari suatu obat. Hal ini dipengaruhi oleh efisiensi, potensi dan rasio terapi.
Farmakodinamik juga dipengaruhi mekanisme kerja obat, interaksi obat, dan
hubungan antara struktur obat dan aktivitasnya.
Kurva dosis-respons
Kurva ini menggambarkan hubungan antara dosis obat dengan efek farmakologis.
Dosis obat atau konsentrasi dalam plasma ditempatkan pada garis x (absis) sementara
efek farmakologis ditempatkan pada sumbu y (ordinat). Gambaran kurva sepanjang
sumbu x menyatakan potensi obat. Gambaran efek maksimal dari obat menunjukan
efisiensi obat. Lengkung kurva menggambarkan karakteristik ikatan reseptor
Median effective dose (ED50) adalah dosis yang dibutuhkan untuik memberikan efek
pada 50 % populasi. ED50 dari obat-obatan anestesi inhalasi sama dengan MAC.
Median Lethal Dose (LD50) adalah dosis yang menyebabkan 50% dari populasi
meninggal sebagai akibat obat. Terapeutic index adalah rasio dari median lethal dose
terhadap median effective dose (LD50 / ED50)
OBAT ANESTESI NONVOLATILE
Barbiturat
Mekanisme Kerja
Barbiturat mendepresi sistim pengaktivasi retikular –suatu kompleks jaringan sinaps
dan pusat-pusat pengatur yang terletak pada batang otak- yang mengatur beberapa
fungsi vital termasuk kesadaran.
Farmakokinetik
Absorbsi
Secara klinis barbiturat adalah salah satu obat yang banyak diberikan untuk induksi
anestesi umum secara intravena baik pada dewasa maupun anak-anak.
Thiopental dan methohexital dapat diberikan per rectal pada anak-anak.
Sebagai premedikasi dapat pula diberikan secobarbital atau pentobarbital.
Distribusi
Lama kerja obat-obat yang mudah larut dalam lemak (thiopental, thiamylal, dan
methohexital) ditentukan oleh redistribusi yang dialami bukan dengan metabolisme
atau eliminasi.
Bila terjadi syok hipovolemik, albumin serum rendah (penyakit hati berat), atau bila
fraksi non ionik meningkat (asidosis) konsentrasi pada otak dan hati akan dicapai
lebih tinggi.
Redistribusi akan terjadi ke bagian-bagian dengan perfiusi yang lebih rendah seperti
otot sehingga menurunkan konsentrasi plasma dan otak hingga 10 % dalam 20 – 30
menit. Hal ini sesuai dengan profil klinis yang diperlihatkan di mana pasien pada
umumnya hilang kesadaran dalam 20 detik (karena kelarutan lemak thiopental yang
tinggi) dan kembali sadar dalam 20 menit. Berlawanan dengan waktu paruh distribusi
yang cepat, waktu paruh eliminasi dapat terjadi hingga 12 jam.
Pada orang tua dosis induksi dikurangi karena konsentrasi plasma yang tinggi akibat
redistribusi yang lebih lambat.
Kelompok barbiturat lain yang kurang larut lemak mempunyai waktu paruh distribusi
dan lama kerja yang lebih lama. Pemberian barbiturat secara berulang akan
menjadikan organ-organ perifer jenuh sehingga redistribusi tidak terjadi dan lama
kerja akan bergantung kepada eliminasi.
Biotransformasi
Biotransformasi terjadi terutama dengan oksidasi di hati untuk menginaktifkan
metabolit yang larut dalam air. Thiopental lebih cepat mengalami biotransformasi
hingga 4 kali disebabkan laju ekstraksi oleh heparnya yang tinggi, hal ini
menyebabkan pemulihan kondisi psikomotor methohexital lebih cepat dari barbiturat
lainnya.
Ekskresi
Barbiturat berikatan kuat dengan protein sehingga GFR dari barbiturat rendah,
sedangkan kelarutan yang tinggi dari lemak akan mengakibatkan barbiturat banyak
mengalami reabsorbsi.
Barbiturat yang mempunyai kelarutan lemak yang rendah dan ikatan yang lemah
seperti Phenobarbital akan mudah diekskresikan melali urin. Methohexital
diekskresikan juga melalui faeces.
Efek pada Organ
Kardiovaskular
Induksi secara intravena akan menyebabkan turunnya tekanan darah dan takhikardia.
Depresi dari pusat vasomotor menyebabkan vasodilatasi perifer sehingga venous
return menurun. Takhikardia mungkin disebabkan oleh efek vagus.
Sistim simpatis akan bereaksi dengan melakukan vasokontriksi perifer.
Curah jantung dipertahankan oleh peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas
miokard yang dipicu oleh refleks baroreseptor, namun pada kondisi refleks
baroreseptor yang terganggu (mis. Hipovolemia, penyakit jantung kongestif, dan blok
-adrenergik) curah jantung akan
Penderita hipertensi lama cenderung akan mengalami tekanan darah yang naik turun
dengan rentang lebar saat induksi.
Terlihat bahwa efek barbiturat pada kardiovaskuler tergantung pada volume darah,
tonus otonom dan penyakit kardiovaskuler. Pengaruh-pengaruh ini dapat dikurangi
dengan injeksi secara perlahan dan hidrasi preoperative yang adekuat.
Respirasi
Depresi barbiturat pada pada pusat pernapasan mengurangi respons terhadap
hiperkapnia dan hipoksia. Sedasi dengan barbiturat dapat diikuti dengan obstruksi
jalan napas atas, pada dosis induksi dapat menyebabkan apnea. Saat sadar volume
tidal dan respirasi berkurang.
Barbiturat tidak menghambat refleks-refleks pada jalan napas sehingga bronkospasme
dapat timbul pada penderita asma ataupun laringospasme pada pasien dengan light
anesthesia dengan manipulasi jalan napas. Kejadian ini sering terjadi pada pemberian
methoheksital. Bronkospasme pada pemberian thiopental dapat disebabkan oleh
stimulasi kolinergik (dapat diatasi dengan pemberian atropin), pelepassan histamin
atau stimulasi otot polos bronchial.
Otak
Barbiturat menurunkan CBF dan tekanan intrakranial. Penurunan tekanan intrakranial
melebihi penurunan tekanan darah arterial sehingga cerebral perfusion pressure
(CPP) meningkat. Berkurangnya CBF tidak begitu membebani otak karena terdapat
penurunan yang lebih besar lagi dari cerebral oxygen consumption (hingga 50 %
dari normal). Dapat dikatakan bahwa barbiturat mempunyai fungsi proteksi otak.
Spektrum depresi SSP barbiturat bervariasi mulai dari sedasi ringan hingga tidak
sadar tergantung dosis yang diberikan.
Tidak seperti opioid, barbiturat tidak sepenuhnya mengurangi sensasi nyeri, bahkan
seakan-akan mempunyai efek antianalgesik dengan cara menurunkan ambang nyeri
Dosis yang kecil dapat menimbulkan keadaan gelisah dan disorientasi yang dapat
mengganggu efek yang diharapkan.
Barbiturat tidak mempunyai efek relaksasi otot bahkan beberapa obat (mis.
Methoheksital) menimbulkan kontraksi involunter otot skelet.
50-100 mg thiopental secara intravena dapat mengendalikan kejang grand mal.
Toleransi dan ketergantungan fisiologis terhadap efek sedatif barbiturat cepat terjadi.
Renal
Barbiturat menurunkan aliran darh ginjal dan GFR sesuai dengan turunnya tekanan
darah.
Hepatik
Aliran darah hati berkurang. Penggunaan hepatic enzim meningkatkan metabolisme
beberapa obat (mis. Digitoxin). Penggunaan aminoluvulanat sintetase menignkatkan
pembentukan porphyrin (produk antara pembentukan heme) yang dapat
mempresipitasi acute intermittent porphyria atau variegate porphyria pada
individu yang rentan.
Imunologis
Reaksi anafilaktik dan anafilaktoid jarang terjadi. Sulfur pada thiobarbital mernagsang
sel mast mengeluarkan histamin sedangkan oksibarbiturat tidak. Sehingga thiopental
dan thiamylal jarang diberikan pada pasien asmatis atau atopis.
Interaksi Obat
Kontras media, sulfonamida dan obat lain yang menempati tempat ikatan protein yang
sama dengan thiopental akan meningkatkan jumlah obat bebas yang beredar dan
meningkatkan efek pada organ.
Etanol, narkotik, antihistamin dan depresan SSP lainnya memperkuat efek sedatif
barbiturat. Belum ada bukti lebih jelas bahwa penggunaan alcohol kronis
meningkatkan kebutuhan thiopental.
Benzodiazepine
Mekanisme Kerja
Benzodiazepine berinteraksi dengan reseptor spesifik SSP terutama di korteks cerebri.
Ikatan benzodiazepine meningkatkan wefek inhibisi dari bermacam-macam
neurotransmitter, misalnya GABA yang memudahkan transport ion Cl- transmembran.
Keadaan ini menimbulkan perubahan polarisasi membran sehingga menghambat
fungsi normal neuron.
Flumazenil (imidazobenzodiazepin) adalah antagonis reseptor benzodiazepin yang
dapat secara efektif memulihkan hampir semua efek benzodiazepin pada SSP.
Struktur dan aktifitas
Benzodiazepin terdiri dari cincin benzen dan beberapa cincin diazepin. Substitusi dari
cincin ini mempengaruhi potensi dan biotransformasinya. (mis. cincin imidazol pada
midazolam menyebabkan midazolam dapat larut dalam air dalam pH rendah).
Farmakokinetik
Absorbsi
Benzodiazepin biasanya diperikan per oral, intramuskular atau intravena dengan
maksud untuk memberikan efek sedasi atau untuk induksi anestesi umum. Diazepam
dan lorazepam diabsorbsi dari saluran pencernaan dengan baik. Midazolam
memberikan efek sedasi premedikasi yang baik pada pemberian per oral, intranasal,
bukal, dan sublingual.
Pemberian diazepam intramuskular menimbulkan rasa nyeri dan absorbsibya tidak
bias diandalkan berbeda dengan lorazepam dan midazolam yang diabsorbsi dengan
baik setelah pemberian secara intramuskular.
Distribusi
Diazepam sedikit larut dalam lemak dan secara cepat menembus sawar darah otak
Midazolam larut air dalam pH yang rendah namun pada pH fisiologis kelarutannya
dalam lemak meningkat. Lorazepam mempnyai kelarutan lemak yang sedang
sehingga uptake otak dan lama kerjanya bertambah lama.
Redistribusi benzodiazepin terjadi secara cepat dan seperti barbiturat merupakan
mekanisme utama pulihnya kesadaran. Walau midazolam sering digunakan untuk
induksi namun cepatnya mula kerja dan lama kerja tidak dapat mengungguli
thiopental.
Semua benzodiazepin terikat kuat pada protein.
Obat
Diazepam
Midazolam
Lorazepam
Penggunaan dan Dosis Lazim Benzodiazepin
Penggunaan
Cara Pemberian
Dosis
Premedikasi
Oral
0,2-05 mg/kg
Sedasi
IV
0,04-0,2 mg/kg
Induksi
IV
0,3-0,6 mg/kg
Premedikasi
IM
0,07-0,15 mg/kg
Sedasi
IV
0,01-0,1 mg/kg
Induksi
IV
0,1-0,4 mg/kg
Premedikasi
Oral
0,05 mg/kg
IM
0,03-0,05 mg/kg
IV
0,03-0,04 mg/kg
Sedasi
Biotransformasi
Biotransformasi benzodiazepin terjadi di hati dan berubah menjadi glukoronat yang
larut dalam lemak. Metabolit phase I masih dalam keadaan aktif.
Ekstraksi oleh hati terjadi secara lambat sehingga waktu paruh eliminasi diazepam
panjang (hingga 30 jam).
Lorazepam juga diektraksi dengan lambat oleh hati namun sedikit larut dalam lemak
sehingga cepat dieliminasi (15 jam) walupun secara klinis mempunyai efek yang
panjang karena ikatan dengan reseptor yang kuat.
Berbeda dengan midazolam yang mempunyai rasio ekstraksi hepatic yang tinggi
sehingga waktu paruh eliminasinya pun singkat.
Ekskresi
Benzodiazepin terutama diekskresikan melalui urin. Sirkulasi enterhepatik
menimbulkan puncak konsentrasi plasma yang kedua 6 – 12 jam setelah pemberian.
Gagal ginjal menyebabkan pemanjangan sedasi karena penumpukan dari metabolit.
Efek Pada Sistim Organ
Kardiovaskular
Benzodiazepin menunjukan efek depresi kardiovaskular minimal bahkan pada dosis
induksi. Tekanan darah arteral, curah jantung, dan resistensi vascular biasanya seikit
turun sementara denyut jantung sedikit naik.
Midazolam mempunyai efek penurunan tekanan darah dan resistensi vascular yang
lebih renah dari diazepam.
Sistim Pernapasan
Benzodiazepin menurunkan respons respirasi terhadap CO2. Depresi ini biasanya
tidak terjadi secara signifikan kecuali bila obat dimasukan secara intravena atau
adanya depresan pernapasan yang lain. Kurva respons obat yang curam, dan potensi
tinggi dari midazolam. Membutuhkan titrasi yang hati-hati untuk menghindari
overdosis dan apnea. Ventilasi harus dipantau pada pasien yang mendapat
benzodiazepin intravena dan alat-alat resusitasi harus dipersiapkan.
Susunan Saraf Pusat
Benzodiazepin mengurangi konsumsi O2 otak, alliran darah otak dan tekanan
intrakranial namun tidak sebesar golongan barbiturat. Obat-obat ini bekerja efektif
mengendalikan epilepsy grand mal. Pemberian secara oral sebagai sedatif sering
menimbulkan efek amnesia anterograd, salah satu fungsi premedikasi yang berguna.
Golongan benzodiazepin juga mempunyai sedikit efek relaksasi otot yang terjadi pada
medulla spinalis.
Efek antiansietas, amnesia dan sedasi yang terjadi pada dosis yang rendah dapat
berkembang menjadi stupor dan ketidaksadaran pada dosis induksi. Bila dibandingkan
dengan thiopental induksi dengan benzodiazepin menunjukkan lambatnya hilang
kesadaran dan pemulihan.
Benzodiazepin tidak mempunyai efek analgesik langsung.
Interaki Obat
Simetidin berkompetisi pada ikatan dengan sitokrom P450 sehingga metabolisme
diazepam berkurang. Pemberian erythromycin menghambat metabolisme midazolam
dan menyebabkan pemanjangan waktu kerja dan efek obat hingga 2 – 3 kali. Heparin
menggantikan tempat diazepam pada ikatan proteinnya dan pada pemberian heparin
1000 unit konsentrasi obat yang bebas dapat mencapai 200 % lebih besar.
Kombinasi opioid dan diazepam menurunkan tekanan darah arteri dan resistensi
vaskuler. Efek sinergis ini terutama bermanfaat pada pasien dengan penyakit jantung
iskemik atau kelainan katup jantung.
Benzodiazepin mengurangi MAC obat anestesi volatile hingga 30 %.
Etanol, barbiturat dan depresan sistim saraf pusat lainnya memperkuat efek sedasi
benzodiazepin.
Opioid
Mekanisme Kerja
Opioid terikat pada respetor spesifik sepanjang sistim saraf pusat dan jaringan lain. 4
tipe reseptor opioid telah dapat diidentifiksi, yaitu mu (-1 dan -2), kappa (), delta
(), dan sigma ().
Selain mempunyai efek sedasi, opioid juga dapat memberikan efek analgesik. Efek
farmakodinamik yang ditimbulkan tergantung dari reseptor mana yang diikat, kuatnya
ikatan dan apa yang timbul dari aktivasi reseptor. Antagonis opioid (naloxone)
bekerja dengan kompetisi ikatan dengan reseptor opioid namun tidak menimbulkan
aktivasi dari reseptor.
Aktivasi dari reseptor opioid menghambat neurotransmitter eksitasi (mis. Asetilkolin,
substansi P) pada presinaps maupun post sinaps serabut saraf nyeri. Secara selular,
terjadi gangguan pada aliran ion kalium dan klorida sehingga transmisi dari impuls
nyeri terganggu. Hambatan impuls nyeri dapat terjadi pada tingkat kornu posterior
bila opioid diberikan secara epidural maupun intratekal. Selain itu terjadi pula
penghambatan descending inhibitory pathway melalui nucleus raphe magnus ke kornu
posterio medulla spinalis.
Klasifikasi Reseptor Opioid
Reseptor
Mu
Kappa
Efek Klinis
Analgesia supraspinal
Depresi pernapasan
Ketergantungan fisik
Kekakuan otot
Sedasi
Agonis
Morfin
Met-enkephalin
Beta-endorphin
Fentanyl
Morfin
Kappa
Analgesia spinal
Delta
Analgesia
Tingkah llaku
Epileptogenik
Disforia
Halusinasi
Stimulasi Respirasi
Sigma
Nalbuphine
Butorphanol
Dynorphin
Oxycodone
Leu-enkephalin
Beta-endorphine
Pentazosin
Nalorphine
Ketamin
Struktur dan Aktivitas
Struktur obat-obatan opioid mempunyai gambaran yang umum. Perubahan molecular
kecil dapat memberikan perubahan yang besar, bahkan mengubah suatu obat agonis
menjadi antagonis.
Biasanya bentuk-bentuk isomer levo lebih poten daripada bentuk isomer dekstro.
Farmakokinetik
Absorbsi
Absorbsi terjadi secara cepat dan lengkap setelah pemberian morfin dan meperidin
secara intramuskular dalam 20 – 60 menit. Pemberian fentanyl lollipop (oral
transmukosal fentanyl sitrat) merupakan salah cara yang efektif untuk memberikan
efek analgesia dan sedasi dan mempunyai mula kerja yang cepat (10 menit) dengan
dosis 15-20 μg/kg untuk anak-anak dan 200 – 800 μg untuk dewasa.
Fentanyl mempunyai berat molekul yang rendah dan kelarutan lemak yang tinggi
sehingga memungkinkan untuk diabsorbsi secara transdermal. Obat yang diabsorbsi
bergantung pada luas permukaan namun dapat dipengaruhi juga oleh kondisi sirkulasi
darah daerah tersebut.
Absorbsi pada jam-jam pertama berjalan lambat, hingga akhirnya mencapai
konsentrasi pada plasma darah yang stabil setelah 14 – 24 jam pemberian dan dapat
berlanjut hingga 72 jam. Adanya reservoir pada dermis bagian atas menyebabkan
turunnya konsentrasi plasma yang cukup lama walupun setelah patch dilepas. Akan
tetapi tingginya insidensi mual dan kadar dalam darah yang bervariasi membatasi
penggunaan fentanyl patch untuk penanganan nyeri post operatif.
Distribusi
Waktu paruh distribusi obat-obat opioid berlangsung dalam waktu yuang cepat (5 –
20 menit).
Kelarutan lemak yang rendah dari morfin menyebabkan morfin lambat melintasi
sawar darah otak sehingga mula kerjanya lambat dan lama kerjanya panjang. Hal ini
berlawanan dengan fentanyl dan sufentanil yang mempunyai kelarutan lemak yang
tinggi sehingga mula kerja dan lama kerjanya singkat. Alfentanil mempunyai mula
kerja dan lama kerja yang lebih singkat dari fentanyl setelah pemberian secara bolus
walaupun mempunyai kelarutan lemak yang lebih rendah, hal ini disebabkan
tingginya fraksi non ionic alfentanil pada pH fisiologis dan tingginya jumlah obat
dalam bentuk bebas yang beredar sehingga meningkatkan bioavailabilitasnya dalam
darah. Opioid dapat langsung diserap oleh paru-paru (first pass uptake) dan hal ini
bergantung pada akumulasi obat di paru-paru sebelumnya (menurun), riwayat
merokok (meningkat), dan pemberian obat anestesi (menurun).
Redistribusi mengakhiri efek opioid pada dosis kecil, sementara dosis yang besar
membutuhkan biotransformasi.
Biotransformasi
Opioid bergantung pada hati untuk biotransformasinya dan dipengaruhi aliran darah
hati. Alfentanil banyak terdapat dalam jumlah bebas sehingga waktu paruh
eliminasinya pendek (11/2 jam). Morfin mengalami konyugasi dengan asam
glukuronat membentuk morfin 3-glukuronat dan morfin 6-glukuronat. Meperidin
dimetilasi menjadi normeperidin suatu bentuk metabolit aktif yang sering
dihubungkan dengan munculnya kejang. Hasil akhir metabolisme fentanyl, sufentanil
dan alfentanil menjadi bentuk inaktif.
Struktur ester dari remifentanil memungkinkan opioid ini mengalami hidrolisa dengan
esterase non spesifik dalam darah maupun jaringan sehingga waktu parah
eliminasinya sangat singkat, kurang dari 10 menit. Biotransformasi dari remifentanil
terjadi amat cepat sehingga pemberian infus remifentanil hanya berefek kecil terhadap
waktu pulih. Tidak adanya akumulasi obat setelah pemberian bolus berulang maupun
infus dalam waktu lama membedakan remifentanil dari obat opioid lainnya. Selain itu
dengan adanya hidrolisis ekstrahepatik pasien dengan disfungsi hati pun tidak akan
mengalami efek toksik dari metabolit.
Ekskresi
Hasil akhir biotransformasi morfin dan meperidin diekskresikan oleh ginjal, kurang
dari 10 % yang mengalami ekskresi melalui empedu. Sebanyak 5 –10 % morfin tidak
mengalami perubahan dan diekskresi di urin sehingga gagal ginjal akan
memperpanjang lama kerja. Akumulasi metabolit morfin pada pasien dengan gagal
ginjal menimbulkan efek narcosis dan depresi pernapasan hingga beberapa hari.
Bahakan morfin-6-glukoronat adalah agonis yang lebih kuat dan mempunyai masa
kerja yang lebih lama dari morfin.
Adanya disfungsi ginjal juga akan mennimbulkan akumulasi metabolit meperidin
yang mempunyai efek eksitasi pada SSP sehingga sering menyebabkan kejang
myoklonik yang tidak bisa diatasi dengan naloxon.
Dapat terjadi puncak konsentrasi plasma kedua setelah pemberian fentanyl intravena
yang terjadi hingga 4 jam setelah pemberian yang mubgkin disebabkan oleh sirkulasi
enterohepatik. Metabolit utama remifentaniol diekskresi melalui ginjal namun ribuan
kali lebih lemah disbanding bahan asalnya sehingga jarnag menimbulkan efek opioid
yang jelas. Penyakit hati berat tidak mengganggu farmakokinetik atau
farmakodinamik remifentanil
Karakteristik Opioid yang Mempengaruhi Distribusi
Obat
Fraksi non ionik
Ikatan Protein
Kelarutan Lemak
Morfin
++
++
+
Meperidin
+
+++
++
Fentanyl
+
+++
++++
Sufentanil
++
++++
++++
Alfentanil
++++
++++
+++
Remifentanil
+++
+++
++
Efek pada Organ Tubuh
Kardiovaskular
Secara umum opioid tidak terlalu mengganggu fungsi kardiovaskular. Meperidin
cenderung meningkatkan denyut jantung, sementara dosis tinggi morfin, fentanyl,
sufentanil, remifentanil dan alfentanil menyebabkan bradikardia
Kecuali meperidin, opioid tidak menghambat kontraktilitas miokard akan tetapi
tekanan darah arteri biasanya turun, sebagai hasil dari bradikardia, venodilatasi dan
penurunan refleks simpatis yang kadang membutuhkan pemberian vasopresor
(efedrin).
Lebih jauh lagi, morfin dan meperidin menyebabkan pelepasan histamin yang dpat
menybebkan penurunan tekanan darah dan resistensi vascular yang cukup besar. Efek
ini dapat diminmalisasi dengan pemberian opioid dengan infus perlahan, menjaga
volume intravaskular yang adekuat, dan premedikasi dengan antagonis histamin H1
dan H2.
Kenaikantekanan darah pada pemberian morfin dan meperidin jarang terjadi, dan bila
terjadi itu biasanya anestesi yang dangkal dan dapat dikendalikan dengan penambahan
vasodilator atau obat anesetsi inhalasi.
Kombinasi opioid dengan obat anestesi lain (mis. N20 benzodiaz kedalamanin,
barbiturat, dan anestesi inhalasi dapat menyebabkan depresi miokard yang sinifikan).
Respirasi
Opioid mendepresi respirasi terutama frekuensi respirasi. CO2 meningkat dan respons
terhadap CO2 menurun. Efek ini terjadi melalui pusat pernapasan di batnag otak, di
mana ambang apnea –PaCO2 di mana pasien menjadi apnea- meningkat, sedangkan
hypoxic drive menurun.
Efek depresi pernapasan pada perempuan lebih besar.
Morfin dan meperidin dapat menyebabkan bronkospasme yang disebabkan pelepasan
histamin pada pasien yang rentan. Opioid (terutama fentanyl, sufentanil, dan
alfentanil) dapat menimbulkan kekakuan dinding dada hingga ke tingkat dapat
menghambat ventilasi yang adekuat. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme secra
sentraldan dapat dietesi dengan pemberian pelumpuh otot.
Opioid dapat pula digunakan untuk menumpulkan respons bronkokonstriktif akibat
stimulasi jalan napas seperti yang timbul saat intubasi
SSP
Secara umum opioid mengurangi konsumsi oksigen otak, aliran darah otak, dan
tekanan intrakranial tetapi pada potensi yang lebih lemah daripada barbiturat maupun
benzodiazepin yang pada akhirnya mampu menjaga otak tetap dalam keadaan
normokarbia.
Ditemukan juga bahwasetelah pemberian bolus pasien dengan tumor otak ataupun
trauma kepala terjadi peningkatan kecepatan aliran darah dan tekanan intrakranial.
Selain itu karena opioid memberikan efek penurunan MAP, penurunan CPP terjadi
secara signifikan pada pasien dengan volume intrakranial yang terganggu.
Fentanyl jaang menimbulkan kejang, walaupun pernah ditemukan beberapa kasus.
Ransangan pada CTZ menjadi penyebab tingginya mual dan muntah, dapat terjadi
ketergantungan fisik terhadap opioid yang biasanya terjadi pada pasien dengan
pembeian opioid berulang. Tidak seperti barbiurat dan benzodiazepin, dibutuhkan
dosis besar untuk memberikan efek hipnotik pada pasien.
Opioid tidak memberikan efek amnesia. Pembeian secara intravena menjadi pilihan
sebagai analgesia dan penggunaannya kini semakin meluas dengan penggunaan
opioid epidural ataupun subdural yang memberikan perubahan yang besar dalam
penanganan nyeri.
Sameridine mempunyai struktur yang menyerupai meperidine namun dalam
penggunaan klinis tidak menunjukkan efek klasik opioid yang menonjol seperti
(mual, muntah, dan gatal-gatal). Pemberian meperidine intravena (25 mg)
memberikian efek yang paling efektif untuk mengurangi keadaan menggigil.
Gastrointestinal
Opioid memperlambat waktu pengosongan lambung dengan mengurangi peristaltik.
Dapat juga terjadi kolik bilier akibat rangsangan morfin terhadap kontraksi sphincter
Oddi. Spasme bilier yang dapat menyamarkan batu duktus koledokus saat
kolangiografi dapat ditekan dengan pemberian antagonis morfin murni (naloxon).
Pada pasien dengan pemberian jangka panjang, efek samping pada saluran
gastrointestinal biasanya sudah dapat ditolerir kecuali konstipasi akibat berkurangnya
motilitas lambung.
Endokrin
Respons stress terhadap operasi dapat dilihat dengan adanya sekresi hormon-hormon
tertentu termasuk katekolamin, antidiuretik hormon, dan kortisol. Opioid menghambat
pelepasan hormon lebih menyeuruh dari anestesi inhalasi. Efek ini terutama diperoleh
dari opioid yang kuat seprti fentanyl, sufentanil, alfentanil dan remifentanil. Pasien
dengan penyakit jantung iskemik akan memperoleh keuntungan dari penghambatan
stress respons ini.
Interaksi Obat
Kombinasi opioid dengan MAO inhibitor dapat menimbulkan gagal napas, hipertensi
atau hipotensi, koma, dan hiperpireksia dengan mekanisme yang belum diketahui.
Opioid mempunyai efek sinergis dengan obat-obatan barbiturat, benzodiazepin, dan
depresan SSP lainnya.
Biotransformasi alfentanil akan terhambat dengan pemberian erythromycin sehingga
menyebabkan efek sedasi yang memanjang hingga gagal napas.
Ketamin
Mekanisme Kerja
Ketamin mempunyai berbagai efek pada SSP termasuk menghambat refleks
polisinaptik pada medulla spinalis dan neurotransmitter eksitasi di beberapa area
tertentu pada otak. Sedangkan beberapa tempat lainnya tereksitasi. Secara fungsional
menimbulkan efek disosiatif pada thalamus. Hal ini secara klinis disebut dengan
anesthesia disosiatif sehingga pasien tampak sadar (mata terbuka, mampu menelan,
otot kaku) namun tidak dapat memproses ataupun memberikan respons terhadap input
sensoris. Secara biomolekuler ketamin merupakan antagonis dari reseptor NMDA dan
mulai diteliti hubungannya dengan reseptor opioid.
Farmakokinetik
Absorbsi
Ketamin dapat diberikan secara intravena atau intramuskular. Konsentrasi puncak
plasma diperoleh dalam 10 – 15 menit setelah pemberian intramuskular.
Distribusi
Ketamin lebih larut dalam lemak dan lebih lemah ikatan proteinnya dibandingkan
dengan thiopental. Selain itu efek peningkatan aliran darah otak dan curah jantung
ketamin menyebabkan uptake otak dan redistribusi yang cepat (waktu paruh distribusi
10 – 15 menit). Pemulihan bergantung pada redistribusi.
Penggunaan dan Dosis Ketamin, Etomidat, Propofol dan Doperidol
Obat
Penggunaan
Cara Pemberian
Dosis
Ketamin
Induksi
IV
1-2 mg/kg
IM
3-5 mg/kg
Etomidat
Induksi
IV
0,2-0,5 mg/kg
Propofol
Induksi
IV
1-2,5 mg/kg
Infus Rumatan
IV
50-200 g/kg/menit
Infus Sedasi
IV
25-100 g/kg/menit
Droperidol
Premedikasi
IM
0,04-0,07 mg/kg
Sedasi
IV
0,02-0,07 mg/kg
Antiemetik
IV
Biotransformasi
Ketamin mengalami biotrasnformasi di hati dan menghasilkan beberapa metabolit,
beberapa di antaranya (mis. Norketamin) masih mempunyai aktivitas anestesi.
Rasio ekstraksi hepar yang tinggi membuat ketamin mempunyai waktu paruh
eliminasi yang singkat (2 jam).
Ekskresi
Hasil akhir biotransformasi dikeluarkan melalui ginjal.
Efek pada Organ
Kardiovaskular
Berbeda dengan obat anestesi lain, ketamin meningkatkan tekanan darah arterial,
denyut jantung, dan curah jantung. Efek sistim kardiovaskular ini disebabkan oleh
stimulasi dari pusat saraf simpatis dan inhibisi reuptake norepinefrin. Selain efek ini
terjadi juga kenaikan tekanan arteri pulmonal dan kontraksi miokard. Karena itu
ketamin tidak dapat diberikan pada pasien dengan penyakit jantung koroner,
hieprtensi tidak terkontrol, penyakit jantung kongestif, dan aneurisma arteri.
Ketamin kadang menimbulkan hipotensi karena efek blokade kanal kalsium menjadi
lebih menonjol, misalnya pada blokade simpatis (transeksi medulla spinalis), atau
habisnya cadangan katekolamin (mis. Pada fase akhir dari syok). Efek stimulasi ini
dapat bermanfaat untuk pasien dengan syok hipovolemik.
Respirasi
Dorongan untuk ventilasi hanya diperngaruhi secara minimal dengan pemberian dosis
induksi ketamin. Ketamin bersifat bronkodilator, sehingga baik untuk penderita asma.
Walaupun reflek-reflek pernapasan masih dipertahankan, namun pasien dengan risiko
aspirasi pneumonia sebaiknya diintubasi. Hipersalivasi yang disebabkan oleh ketamin
dapat dikurangi dengan premedikasi dengan obat antikolinergik.
Otak
Sesuai dengan efek kardiovaskulernya, ketamin meningkatkan konsumsi O2 otak,
aliran darah otak, dan tekanan intrakranial. Hal ini menyebabkan ketamin tidak dapat
digunakan pada pasien degnan SOL.
Dapat terjadi aktivitas myoklonik karena peningkatan aktivitas listrik subkortikal.
Efek psikomimetik (halusinasi, mimpi buruk, delirium) jarang dialami oleh anak-anak
ataupun pasien dengan premedikasi benzodiazepin.
Di antara obat-obat anestesi intravena, ketamin telah mendekati anesthesia yang
komplit karena ketamin menginduksi analgesia, amnesia dan ketidaksadaran.
Interaksi Obat
Obat relaksan otot non depolarisasi diperkuat efeknya dengan ketamin. Kombinasi
ketamin dengan teofilin dapat menimbulkan kejang.
Diazepam mengurangi efek stimulasi kardiovaskular dan memperpanjang
eliminasinya.
Obat-obat antagonis simpatis (propranolol, fenoksibensamin) menyebabkan efek
depresi miokardial dari ketamin menonjol. Selain itu, obat anestesi inhalasi terutama
halotan juga dapat menimbulkan efek depresi kardiovaskular ketamin menonjol.
Litihium dapat memperlambat lama kerja ketamin.
Etomidat
Mekanisme Kerja
Etomidat menekan ARAS dan menimbulkan efek menyerupai GABA. Etomidat
berikatan dengan resptor GABA tipe A. Berbeda dengan barbiturat, etomidat kadang
tidak menghambat bagai ndari sistim saraf yang mengatur aktivitas pyramidal,
sehingga pada 30 – 60 % pasien dapat terjadi myoklonus.
Struktur dan Aktivitas
Etomidat mengandung imidazol yang terkarboksilasi dan secara struktural bukan
merupakan turunan dari zat anestesi lainnya. Tidak dapat larut dalam air pada pH
fisiologis, sehingga dilarutkan dalam etilen glikol. Hal ini menyebabkan sering timbul
rasa sakit pada tempat injeksi yang dapat dikurangi dengan penyuktikan lidokain
sebelumnya.
Farmakokinetik
Absorbsi
Etomidat hanya dapat diberikan secara intravena dan digunakan terutama untuk
induksi anestesi
Distribusi
Walupun terikat kuat dengan protein, etomidat mempunyai mula kerja yang amat
cepat dikarenakan kelarutannya yan tinggi dalam lemak dan fraksi obat yang tinggi
dalam pH fisiologis. Pemulihan bergantung pada redistribusi obat.
Biotransformasi
Enzim mikrosom hepar dan plasma esterase secara cepat menghidrolisa etomidat
menjadi metabolit inaktif. Kecepatan biotrasnformasi etomidat mencapai 5 kali dari
thiopental.
Ekskresi
Hasil akhir hidrolisis terutama diekskresikan di urin.
Efek pada Organ Tubuh
Kardiovaskular
Etomidat berefek minimal pada sistim kardiovaskular. Terdapat sedikit penurunan
dari tekanan darah disebabkan karena menurunnya resistensi vascular. Etomidat tidak
menyebabkan pelepasan histamin.
Respirasi
Ventilasi tidak begitu terpengaruh oleh etomidat dibandingkan dengan barbiturat atau
benzodiazepin. Bahkan saat induksi pun tidak menimbulkan apnea kecuali diberikan
pula obat-oabtan opioid.
Otak
Etomidat menurunkan kecepatan metabolisme otak, aliran darah otak, dan tekanan
intrakranial hingga sebesar thiopental, dengan CPP yang masih terjaga karena efek
kardiovaskularnya yang minimal.
Mual dan muntah postoperative lebih sering dijumpai daripada penggunaan barbiturat
namun dapat diminimalisasi dengan pemberian obat-obat anti emetik. Etomidat
bersifat hipnotik-sedatif namun tidak mempunyai efek analgesik.
Endokrin
Induksi dengan etomidat sedikit menghambat enzim-enzim pembentuk kortisol dan
aldosteron. Infus jangka panjang menyebabkan supresi adrenokortikal yang dapat
menyebabkan kematian pasien kritis.
Interaksi Obat
Fentanyl meningkatkan konsentrasi plasma etomidat dan memperpanjang waktu
paruh eliminasi etomidat.
Opioid menurunkan kejadian mioklonus pada pemberian etomidat.
Propofol
Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja propofol dengan meningkatkan inhibisi transmisi saraf melalui
GABA
Aktivitas dan Struktur
Propofol (2,6-diisopropylphenol) terdiri dari cincin fenol dengan dua ikatan kompleks
isopropyl. Perubahan pada panajng rantai ikatan mengubah karakteristik dari potensi,
induksi dan pemulihan.
Propofol tidak larut dalam air. Propofol tersedia dalam bentuk larutan dengan
konsentrasi 1 % berupa suspensi lemak dalam air dan mengandung minyak kacang
kedelai, gliserol, dan lecithin telur. Adanya riwayat alergi telur tidak menjadi
kontraindikasi pemberian propofol, karena unsur lecithin telur diekstrak dari kuning
telur, sementara alergi telur umumnya terkait dengan albumn (kuning telur).
Injeksinya menimbulkan nyeri yang dapat dikurangi dengan pemberian lidokain di
tempat penyuntikan atau mencampurkan 2 cc lidokain 1 % dengan 18 cc propofol.
Terdapat formula lain yaitu 1 % propofol dalam 16 % polyoxyethylated castor oil
yang tidak terlalu menimbulkan nyeri.
Lebih jauh lagi, karena formulasi propofol dapat menjadi media pertumbuhan bakteri,
prinsip penanganan yang bersih dan steril harus mendapatkan perhatian. Misalnya
dengan membersihkan karet atau leher ampul dengan alcohol sebelum membukanya.
Seluruh isi botol harus habis diberikan dalam 6 jam. Telah dilaporkan kejadian sepsis
dan kematian yang berkaitan dengan kontaminasi sediaan propofol. Sediaan lain yang
tidak mudah menjadi media pertumbuhan bakteri yaitu dengan menambahkan 0,005
% dinatrium edetate atau 0,025 % natrium metabisulfit walaupun belum sepenuhnya
diterima.
Farmakokinetik
Absorbsi
Propofol hanyatersedia untuk pemberian intravena untuk induksi anestesi umum.
Distribusi
Kelarutan lemak yang tinggi membuat propofol mempunyai mula kerja yang amat
tinggi, hampir secepat thiopental. Pemulihan dari satu bolusp pun terjadi amat cepat
karena pendeknya waktu paruh distribusi (2 – 8 menit).
Pemulihan propofol terjadi dengan rasa pusing yang lebih ringan dibandingkan
dengan thiopental, methohexital, atau etomidat.
Pada pasien usia tua dibutuhkan dosis induksi yang lebih kecil. Wanita membutuhkan
dosis yang lebih tinggi daripada pria dan pulih lebih cepat.
Biotransformasi
Klirens propofol melebihi kecepatan aliran darah hati, menunjukkan adanya
metabolisme ekstrahepatik. Kecepatan klirens yang tinggi (10 kali dari thiopental)
memberikan andil cepatnya pemulihan setelah pemberian secara infus. Konyugasi di
hati menghasilkan metabolit inaktif yang diekskresikan ginjal.
Metabolisme propofol tidak dipengaruhi oleh keadaan sirosis yang sedang.
Ekskresi
Metabolit propofol terutama diekskresikan melalui urin, gagal ginjal kronis tidak
mempengaruhi perubahan dari obat aktif.
Efek pada Organ Tubuh
Kardiovaskuler
Efek utama kardiovaskuler dari propofol adalah turunnya tekanan darah karena
turunnya resistensi perifer (inhibisi aktivitas vasokonstriktor simpatis), kontraktilitas
miokard dan menurunnya preload. Hipotensi lebih menonjol daripada pemberian
thiopental namun biasanya mudah pulih dengan rangsangan laringoskopi dan intubasi.
Faktor yang memperberat hipotensi adalah dosis yang besar, pemberian yang cepat
dan usia tua. Propofol menghambat refleks baroreseptor terhadap hipotensi terutama
pada keadaan normokarbia ataupun hipokarbia. Walaupun jarang terjadi, penurunan
tensi dapat mengakibatkan bradikardi akibat dari refleks vagal.
Perubahan pada frekuensi dan curah jantung biasanya tidak menonjol, namaun dapat
cukup berat hingga menimbulkan asistol terutama pada usia-usia yang ekstrim, obatobatan dengan efek kronotropik negaif, atau menjalani operasi yng dapat
menimbulkan refleks okulokardiak.
Pasien dengan fungsi centrikel yang menurun dapat mengalami penurunan tensi yang
cukup signifikan sebagai hasil dari penurunan tekanan diastolik dan kontraktilitas
yang menurun.
Konsumsi oksigen miokard dan aliran darah juantung menurun, namun ternyata
ditemukan pula peningkaan laktat pada pembuluh darah koroner yang menunjukkan
adanya ketidaksesuaian antara suplai oksigen dan kebutuhannya.
Respirasi
Seperti halnya barbiturat, propofol mempunyai efek depresi pernapasan yang cukup
besar yang sering menyebabkan apnea setelah pemberian dosis induksi. Bahkan bila
hanya diberikan dalam dosis subanestetik sebagai sedatif, propofol menghambat
refleks pernapasan akibat stimulasi kondisi hiperkarbia, sehingga obat ini hanya dapat
digunakan oleh orang yang terlatih.
Propofol menurunkan refleks di saluran napas atas sehingga bergunan saat intubasi
atau pemasangan LMA.
Walaupun propofol mempunyai efek pelepasan histamin, insidensinya bila
dibandingkan dengan barbiturat maupun etomidat lebih kecil, sehingga tidak
dikontraindikasikan terhadap pasien-pasien asma.
Otak
Propofol mengurangi aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Pada pasien dengan
tekanan intrakranial yang meningkat propofol dapat menyebabkan penurunan CPP
yang drastis hingga < 50 mmHg kecuali dilakukan langkah-langkah untuk menjaga
MAP.
Propofol dan thiopental mempunyai karakteristik proteksi otak yang sama kuat pada
kejadian iskemia.
Propofol mempunyai efek antipruritik, dan efek antiemetiknya membuat obat ini
cocok untuk pasien ODS.
Kadang kala induksi disertai adanya gejala-gejala eksitasi seperti fasikulasi, gerakan
spontan, opistotonus, ataupun cegukan yang kemungkinan disebabkan antagonisme
glisin di daerah sbkorteks. Walaupun tanda-tanda ini kadang menyerupai kejang
tonik-klonik, propofol memounyai efek antikonvulsi yang baik dan berhasil
digunakan untuk pasien-pasien status epileptikus dan mungkin dapat diberikan
dengan aman kepada pasien-pasien kejang.
Propofol juga menurunkan tekanan intraokuler dan tidak memberikan toleransi
setelah pemebrian infus propofol dalam waktu lama.
Interaksi Obat
Relaksan otot non depolarisasi dapat meningkatkan potensi propofol yang masih
mengandung cremofor. Konsentrasi fentanyl dan alfentanil mengingkat dengan
pemberian propofol secara kontinyu.
Droperidol
Mekanisme Kerja
Droperidol bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine, termasuk daerah CTZ.
Droperidol juga mengganggu transmisi saraf yang diperantarai serotonin,
norepinefrin, dan GABA. Hal ini menyebabkan droperidol mempunyai efek penenang
dan antiemetik. Secara perifer droperidol menghambat -adrenergik.
Struktur dan Aktivitas
Droperidol secara structural berhbungan dengan haloperidol. Perbedaan struktur
menyebabkan droperidol mempunyai efek neuroleptik smenetara haloperidol
mempunyai efek antipsikotik.
Farmakokinetik
Absorbsi
Droperidol diberikan secara intramuskuler sebagai premedikasi dan untuk induksi
biasanya diberikan secara intravena.
Distribusi
Droperidol mempunyai distribusi yang cepat (waktu paruh distribusi 10 menit), efek
sedatifnya lambat terjadi karena berat molekul yang tinggi dan ikatan protein yang
kuat sehingga mengurangi penetrasi droperidol melewati sawar darah otak.
Biotrasnformasi
Droperidol dimetabolsime secara luas di hati, dengan kecepatan menyerupai etomidat
dan ketamin.
Ekskresi
Hasil akhir biotransformasi diekskresikan melalui urin.
Efek pada Organ Tubuh
Kardiovaskuler
Efek blokade -adrenergik ringan droperidol menyebabkan sedikit penurunan darah
akibat dilatasi resistensi perifer. Pada pasien hipovolemik efeknya dpat bertambah
besar. Efek blokade -adrenergik menebabkan droperidol mempunyai efek
antidisritmia.
Pasien dengan pheochromocytoma tidak boleh diberi droperidol sebab dapat
menyebabkan pelepasan katekolamin yang menimbulkan hipertensi berat.
Respirasi
Droperidol diberikan tunggal pada dosis lazim tidak secara signifikan mendepresi
napas dan bahkan dapat memperkuat respons ventilasi terhadap keadaan hipoksia.
Otak
Droperidol menurunkan aliran darah otak dan tekanan intrakranial melalui
vasodilatasi cerebral. Akan tetapi droperidol tidak mengurangi konsumsi O2 otak
berbeda dengan barbiturat, benzodiazepin, dan etomidat. Droperidol mempunyai efek
antiemetik yang kuat, namun lambatnya pemulihan membatasi penggunaannya dalam
operasi sehingga hanya digunakan dalam dosis rendah (0,05 mg/kg sampai 2,5 mg).
Aktivitas antidopaminergik droperidol jarang menimblkan reaksi ekstrapiramidal
(mis. Torticolis, agitasi, oculogric crises) yang dapat ditangani dengan pemberian
diphenhydramin. Akan tetapi droperidol harus dihindarkan dari pasien dengan
penyakit Parkinson.
Walaupun pasien dengan premedikasi droperidol terlihat mengantuk dan lemas,
namun secara mental mereka gelisah dan ketakutan. Karena itulah droperidol tidak
diberikan sebagai premedikasi. Droperidol adalah obat penenang, tidak mempunyai
efek analgesia, amnesia, dan ketidaksadaran pada dosis lazaim. Kombinasi droperidol
dengan fentanyl (innovar) menghasilkan keadaan analgesia, imobilitas dan hilangnya
ingatan (neuroleptanalgesia). Penambahan nitrat oksida atau obat-obat hipnotik
menyebabkan ketidaksadaran dan anestesi umum (neuroleptanesthesia) yang
menyerupai keadaan disosiatif pada penggunaan. Penambahan opioid dapat
menyebabkan disforia.ketamin.
Interaksi Obat
Droperidol berefek antagonis dengan levodopa dan dapat mempresipitasi gejala-gejala
Parkinson.
Secaa teoritis droperidol dapat menghambat efek anti -adrenergik klonidin dan
menyebabkan terjadinya rebound hypertension.
Droperidol dapat mengurangi efek kardiovaskuler dari ketamin.
Obat
Barbiturat
Thiopental
Thiamylal
Methohexital
Benzodiazepin
Diazepam
Lorazepam
Midazolam
Opioid
Meperidin
Morfin
Fentanyl
Sufentanil
Alfentanil
Remifentanil
Ketamin
Etomidat
Propofol
Droperidol
*
0
0/


Ringkasan Efek Obat Anestesi Nonvolatile
Jantung
Respirasi
HR
MAP Vent.drv Br.Dil
CBF
Otak
CMRO2
ICP











0`









0/
0/







0
0
0
















0
0

*
*

















0
*
*
0
0
0
0

0
0
0



















0










: efeknya tergantung dari besarnya pelepasan histamin
: tidak ada perubahan
: tidak ada perbahan ataupun terjadi perubahan ringan
: menurun (sedikit, sedang , banyak)
: meningkat (sedikit, sedang, banyak)
Download