OBAT ANESTESI NON VOLATILE KONSEP KUNCI 1. Saat konsentrasi plasma turun, sebagian obat meninggalkan organ dengan perfusi tinggi untuk menjaga keadaan ekuilibrium. Proses redistribusi ini merupakan sebab berakhirnya efek sebagian besar obat anestesi. Sebagai contoh, bangunnya pasien dari pengaruh thiopental bukan disebabkan metabolisme atau sekresi thiopental tapi lebih disebabkan redistribusi obat dari otak ke otot. 2. Obat yang tidak terikat protein secara bebas meninggalkan plasma dan mengalami filtrasi di glomerulus. Fraksi obat non-ionik diabsorbsi kembali di tubulus ginjal sedangkan fraksi ionik diekskresikan di urin 3. Waktu paruh eliminasi satu obat sebanding dengan volume yang didistribusikan dan berbanding terbalik dengan laju klirens obat. 4. Konsentrasi obat plasma ditentukan oleh enam parameter farmakokinetik tidak hanya oleh waktu paruh seperti diasumsikan selama ini. 5. Pemberian barbiturat berulang akan menyebabkan kejenuhan kompartemen perifer sehingga redistribusi tidak terjadi dan lama kerja akan lebih bergantung pada eliminasi 6. Barbiturat menyebabkan kontriksi pembuluh darah otak. Efek ini memberikan efek proteksi otak terhadap iskemia lokal (misalnya emboli otak) namun mungkin tidak melindungi otak terhadap iskemia global (henti jantung) 7. Walau apnea lebih jarang terjadi setelah induksi dengan benzodiazepin daripada induksi dengan barbiturat, dosis kecil diazepam dan midazolam dapat menyebabkan henti napas. Ventilasi harus dimonitor pada semua pasien yang memperoleh benzodiazepin intravena dan peralatan resusitasi harus siap tersedia 8. Akumulasi metabolit morfin (morfin-3-glukuronida dan morfin-6glukuronida) 9. Opiat (terutama fentanyl, sufentanil, dan alfentanil) dapat menimbulkan kekakuan dinding dada yang cukup berat hingga dapat menghalangi pemberian ventilasi adekuat) 10. Respon stres terhadap operasi diukur melalui sekresi hormon spesifik antara lain katekolamin, ADH, dan kortisol. Opioid menghambat pelepasan hormonhormon tersebut lebih besar daripada anestetik volatil. 11. Berlawanan dengan obat anestesi lain, ketamin meningkatkan tekanan darah, denyut jantung dan curah jantung. Efek kardiovaskular ini disebabkan stimulasi pusat sistim saraf simpatis dan inhibisi ambilan kembali nor epinephrine. Induksi anestesi pada orang dewasa biasanya menggunakan obat anestesi intravena dan dengan penggunaan EMLA induksi anestesi secara intravena pun mulai dilakukan pada anak-anak. Bahkan pemeliharaan anestesi dapat dilakukan dengan tehnik anestesi intravena total. PRINSIP FARMAKOLOGIS Farmakokinetik Farmakokinetik menggambarkan bagaimana reaksi tubuh terhadap obat yang ditentukan berdasarkan 4 parameter yaitu absorbsi, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi. Selain itu terdapat istilah eliminasi yang menggambarkan degradasi obat melalui biotransformasi dan ekskresi, sedangkan klirens adalah pengukuran dari laju eliminasi. Absorbsi Absorbsi adalah proses di mana obat meninggalkan tempat obat tersebut diberikan dan memasuki aliran darah yang dipengaruhi oleh factor-faktor obat (kelarutan, pH, dan konsentrasi) dan faktor tempat pemberian (sirkulasi, pH, dan luas permukaan). Absorbsi berbeda dengan ketersediaan biologis (bioavailability). Bioavailabilitas adalah fraksi obat yang yang memasuki sirkulasi sistemik. Misalnya nitrogliserin mempunyai ketersediaan biologis (bioavailability) yang rendah walaupun diabsorbsi dengan baik di GI tract karena dimetabolisme dalan jumlah yang banyak oleh hati (1st pass hepatic metabolism) Karena vena daerah mulut bermuara di vena cava superior, pemberian obat secara sublingual ataupun bukal tidak akan mengalami efek first pass hepatic metabolism. Pada pasien yang tidak kooperatif pemberian obat secara rectal dapat menjadi alternatif pemberian obat dikarenakan drainase vena daerah rectum tidak melalui hati. Pemberian secara transdermal mempunyai keuntungan dapat diberikan secara terus menerus dan dalam jangka waktu lama dengan jumlah total dosis di dalam tubuh yang minimal. Stratum korneum berperan sebagai sekat yang tidak dapat ditembus kecuali oleh obat-obatan yang larut dalam lemak (clonidin, nitrogliserin, scopolamine) Secara parenteral absorbsi injeksi subkutan dan intramuskular tergantung pada difusi obat dari tempat injeksi ke sirkulasi. Laju absorbsi bergantung pada aliran darah di sekitar tempat injeksi dan pelarut (larutan lebih cepat diabsorbsi dari suspensi) sedangkan pemberian secara intravena tidak memperhitungkan keadaan-keadaan tersebut karena obat langsung masuk ke dalam aliran darah. Distribusi Distribusi adalah proses yang penting pada farmakologi klinis karena merupakan penentu utama besarnya konsentrasi obat pada organ tujuan. Hal ini banyak dipengaruhi oleh perfusi organ, ikatan dengan protein dan kelarutan dalam lemak. Setelah diabsorbsi obat didistribusikan oleh aliran darah ke seluruh tubuh. Organ dengan perfusi tinggi (otak, jantung, hati, ginjal, kelenjar endokrin) mengambil porsi obat yang lebih tinggi dibandingkan dengan organ dengan perfusi yang rendah (otot, jaringan lemak, tulang, ligamen, dan kartilago) Selama obat terikat dengan protein plasma, obat tidak dapat diambil oleh organ bersangkutan walaupun perfusi organ tersebut mencukupi. Albumin mengikat obat yang bersifat asam (mis. Barbiturat) sedangkan 1-acid glycoprotein (AAG) berikatan dengan obat basa. Gangguan ginjal, penyakit hati, CHF, dan keganasan menurunkan produksi albumin. Trauma (termasuk operasi), infeksi, miokardial infark, dan nyeri kronis meningkatkan jumlah AAG. Ketersediaan obat pada organ-organ tertentu tidak memastikan adanya ambilan oleh organ. Misalnya masuknya obat-obatan ionik ke dalam SSP dihambat oleh sel glia perikapiler dan endothelial tight junction yang membentuk blood brian barrier. Obat yang larut lemak dan molekul nonionik dapat melalui membran lipid tersebut. Hal lain yang dapat mempengaruhi distribusi adalah ukuran molekul dan ikatan dengan jaringan terutama oleh paru. Setelah organ dengan perfusi tinggi menjadi jenuh barulah organ dengan perfusi yang lebih rendah mengambil obat dari aliran darah. Dengan konsentrasi dalam plasma yang rendah, obat akan meninggalkan obat dengan perfusi tinggi untuk mempertahankan keseimbangan. Proses redistribusi ini merupakan mekanisme utama pengakhiran efek dari obat-obatan anestesi (mis. Thiopental). Bila obat diberikan dalam jumlah besar atau berulang-ulang proses redistribusi tidak akan terjadi dan pengakhiran efek obat akan banyak bergantung pada eliminasi dari obat. Sehingga obat-obatan dengan durasi kerja yang cepat seperti thiopental dan fentanyl akan mempunyai durasi kerja yang lebih panjang. Volume obat yang didistribusikan disebut volume of distribution (vd) yang didapatkan dengan membagi dosis obat yang diberikan dibagi dengan konsentrasinya dalam plasma. Biotransformasi Biotransformasi adalah perubahan dari obat melalui proses metabolik. Pada umumnya menghasilkan bahan yang sudah inaktif dan larut dalam air sehingga dapat diekskresikan ginjal. Proses ini terjadi di hati Hepatic clearance adalah laju eliminasi obat hasil dari biotransformasi hati (ml/menit). Ekskresi Ginjal adalah organ ekskresi utama. Renal clearance adalah laju eliminasi obat melalui ekskresi ginjal. Kegagalan ginjal menyebabkan perubahan farmakokinetik berbagai macam obat dengan adanya gangguan pada proses ikatan protein, volume distribusi, dan laju klirens. Beberapa obat bergantung pada ekskresi bilier karena mengalami reabsorbsi di usus untuk selanjutnya diekskresikan di urin. Efek memanjang yang bersifat toksik (mis. Fentanyl) mungkin disebabkan oleh resirkulasi enterohepatic ini. Obat-obatan volatile terutama diekskresikan paru-paru. Farmakodinamik Farmakodinamik adalah pengetahuan mengenai efek terapeutik dan toksik sistemik dari suatu obat. Hal ini dipengaruhi oleh efisiensi, potensi dan rasio terapi. Farmakodinamik juga dipengaruhi mekanisme kerja obat, interaksi obat, dan hubungan antara struktur obat dan aktivitasnya. Kurva dosis-respons Kurva ini menggambarkan hubungan antara dosis obat dengan efek farmakologis. Dosis obat atau konsentrasi dalam plasma ditempatkan pada garis x (absis) sementara efek farmakologis ditempatkan pada sumbu y (ordinat). Gambaran kurva sepanjang sumbu x menyatakan potensi obat. Gambaran efek maksimal dari obat menunjukan efisiensi obat. Lengkung kurva menggambarkan karakteristik ikatan reseptor Median effective dose (ED50) adalah dosis yang dibutuhkan untuik memberikan efek pada 50 % populasi. ED50 dari obat-obatan anestesi inhalasi sama dengan MAC. Median Lethal Dose (LD50) adalah dosis yang menyebabkan 50% dari populasi meninggal sebagai akibat obat. Terapeutic index adalah rasio dari median lethal dose terhadap median effective dose (LD50 / ED50) OBAT ANESTESI NONVOLATILE Barbiturat Mekanisme Kerja Barbiturat mendepresi sistim pengaktivasi retikular –suatu kompleks jaringan sinaps dan pusat-pusat pengatur yang terletak pada batang otak- yang mengatur beberapa fungsi vital termasuk kesadaran. Farmakokinetik Absorbsi Secara klinis barbiturat adalah salah satu obat yang banyak diberikan untuk induksi anestesi umum secara intravena baik pada dewasa maupun anak-anak. Thiopental dan methohexital dapat diberikan per rectal pada anak-anak. Sebagai premedikasi dapat pula diberikan secobarbital atau pentobarbital. Distribusi Lama kerja obat-obat yang mudah larut dalam lemak (thiopental, thiamylal, dan methohexital) ditentukan oleh redistribusi yang dialami bukan dengan metabolisme atau eliminasi. Bila terjadi syok hipovolemik, albumin serum rendah (penyakit hati berat), atau bila fraksi non ionik meningkat (asidosis) konsentrasi pada otak dan hati akan dicapai lebih tinggi. Redistribusi akan terjadi ke bagian-bagian dengan perfiusi yang lebih rendah seperti otot sehingga menurunkan konsentrasi plasma dan otak hingga 10 % dalam 20 – 30 menit. Hal ini sesuai dengan profil klinis yang diperlihatkan di mana pasien pada umumnya hilang kesadaran dalam 20 detik (karena kelarutan lemak thiopental yang tinggi) dan kembali sadar dalam 20 menit. Berlawanan dengan waktu paruh distribusi yang cepat, waktu paruh eliminasi dapat terjadi hingga 12 jam. Pada orang tua dosis induksi dikurangi karena konsentrasi plasma yang tinggi akibat redistribusi yang lebih lambat. Kelompok barbiturat lain yang kurang larut lemak mempunyai waktu paruh distribusi dan lama kerja yang lebih lama. Pemberian barbiturat secara berulang akan menjadikan organ-organ perifer jenuh sehingga redistribusi tidak terjadi dan lama kerja akan bergantung kepada eliminasi. Biotransformasi Biotransformasi terjadi terutama dengan oksidasi di hati untuk menginaktifkan metabolit yang larut dalam air. Thiopental lebih cepat mengalami biotransformasi hingga 4 kali disebabkan laju ekstraksi oleh heparnya yang tinggi, hal ini menyebabkan pemulihan kondisi psikomotor methohexital lebih cepat dari barbiturat lainnya. Ekskresi Barbiturat berikatan kuat dengan protein sehingga GFR dari barbiturat rendah, sedangkan kelarutan yang tinggi dari lemak akan mengakibatkan barbiturat banyak mengalami reabsorbsi. Barbiturat yang mempunyai kelarutan lemak yang rendah dan ikatan yang lemah seperti Phenobarbital akan mudah diekskresikan melali urin. Methohexital diekskresikan juga melalui faeces. Efek pada Organ Kardiovaskular Induksi secara intravena akan menyebabkan turunnya tekanan darah dan takhikardia. Depresi dari pusat vasomotor menyebabkan vasodilatasi perifer sehingga venous return menurun. Takhikardia mungkin disebabkan oleh efek vagus. Sistim simpatis akan bereaksi dengan melakukan vasokontriksi perifer. Curah jantung dipertahankan oleh peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas miokard yang dipicu oleh refleks baroreseptor, namun pada kondisi refleks baroreseptor yang terganggu (mis. Hipovolemia, penyakit jantung kongestif, dan blok -adrenergik) curah jantung akan Penderita hipertensi lama cenderung akan mengalami tekanan darah yang naik turun dengan rentang lebar saat induksi. Terlihat bahwa efek barbiturat pada kardiovaskuler tergantung pada volume darah, tonus otonom dan penyakit kardiovaskuler. Pengaruh-pengaruh ini dapat dikurangi dengan injeksi secara perlahan dan hidrasi preoperative yang adekuat. Respirasi Depresi barbiturat pada pada pusat pernapasan mengurangi respons terhadap hiperkapnia dan hipoksia. Sedasi dengan barbiturat dapat diikuti dengan obstruksi jalan napas atas, pada dosis induksi dapat menyebabkan apnea. Saat sadar volume tidal dan respirasi berkurang. Barbiturat tidak menghambat refleks-refleks pada jalan napas sehingga bronkospasme dapat timbul pada penderita asma ataupun laringospasme pada pasien dengan light anesthesia dengan manipulasi jalan napas. Kejadian ini sering terjadi pada pemberian methoheksital. Bronkospasme pada pemberian thiopental dapat disebabkan oleh stimulasi kolinergik (dapat diatasi dengan pemberian atropin), pelepassan histamin atau stimulasi otot polos bronchial. Otak Barbiturat menurunkan CBF dan tekanan intrakranial. Penurunan tekanan intrakranial melebihi penurunan tekanan darah arterial sehingga cerebral perfusion pressure (CPP) meningkat. Berkurangnya CBF tidak begitu membebani otak karena terdapat penurunan yang lebih besar lagi dari cerebral oxygen consumption (hingga 50 % dari normal). Dapat dikatakan bahwa barbiturat mempunyai fungsi proteksi otak. Spektrum depresi SSP barbiturat bervariasi mulai dari sedasi ringan hingga tidak sadar tergantung dosis yang diberikan. Tidak seperti opioid, barbiturat tidak sepenuhnya mengurangi sensasi nyeri, bahkan seakan-akan mempunyai efek antianalgesik dengan cara menurunkan ambang nyeri Dosis yang kecil dapat menimbulkan keadaan gelisah dan disorientasi yang dapat mengganggu efek yang diharapkan. Barbiturat tidak mempunyai efek relaksasi otot bahkan beberapa obat (mis. Methoheksital) menimbulkan kontraksi involunter otot skelet. 50-100 mg thiopental secara intravena dapat mengendalikan kejang grand mal. Toleransi dan ketergantungan fisiologis terhadap efek sedatif barbiturat cepat terjadi. Renal Barbiturat menurunkan aliran darh ginjal dan GFR sesuai dengan turunnya tekanan darah. Hepatik Aliran darah hati berkurang. Penggunaan hepatic enzim meningkatkan metabolisme beberapa obat (mis. Digitoxin). Penggunaan aminoluvulanat sintetase menignkatkan pembentukan porphyrin (produk antara pembentukan heme) yang dapat mempresipitasi acute intermittent porphyria atau variegate porphyria pada individu yang rentan. Imunologis Reaksi anafilaktik dan anafilaktoid jarang terjadi. Sulfur pada thiobarbital mernagsang sel mast mengeluarkan histamin sedangkan oksibarbiturat tidak. Sehingga thiopental dan thiamylal jarang diberikan pada pasien asmatis atau atopis. Interaksi Obat Kontras media, sulfonamida dan obat lain yang menempati tempat ikatan protein yang sama dengan thiopental akan meningkatkan jumlah obat bebas yang beredar dan meningkatkan efek pada organ. Etanol, narkotik, antihistamin dan depresan SSP lainnya memperkuat efek sedatif barbiturat. Belum ada bukti lebih jelas bahwa penggunaan alcohol kronis meningkatkan kebutuhan thiopental. Benzodiazepine Mekanisme Kerja Benzodiazepine berinteraksi dengan reseptor spesifik SSP terutama di korteks cerebri. Ikatan benzodiazepine meningkatkan wefek inhibisi dari bermacam-macam neurotransmitter, misalnya GABA yang memudahkan transport ion Cl- transmembran. Keadaan ini menimbulkan perubahan polarisasi membran sehingga menghambat fungsi normal neuron. Flumazenil (imidazobenzodiazepin) adalah antagonis reseptor benzodiazepin yang dapat secara efektif memulihkan hampir semua efek benzodiazepin pada SSP. Struktur dan aktifitas Benzodiazepin terdiri dari cincin benzen dan beberapa cincin diazepin. Substitusi dari cincin ini mempengaruhi potensi dan biotransformasinya. (mis. cincin imidazol pada midazolam menyebabkan midazolam dapat larut dalam air dalam pH rendah). Farmakokinetik Absorbsi Benzodiazepin biasanya diperikan per oral, intramuskular atau intravena dengan maksud untuk memberikan efek sedasi atau untuk induksi anestesi umum. Diazepam dan lorazepam diabsorbsi dari saluran pencernaan dengan baik. Midazolam memberikan efek sedasi premedikasi yang baik pada pemberian per oral, intranasal, bukal, dan sublingual. Pemberian diazepam intramuskular menimbulkan rasa nyeri dan absorbsibya tidak bias diandalkan berbeda dengan lorazepam dan midazolam yang diabsorbsi dengan baik setelah pemberian secara intramuskular. Distribusi Diazepam sedikit larut dalam lemak dan secara cepat menembus sawar darah otak Midazolam larut air dalam pH yang rendah namun pada pH fisiologis kelarutannya dalam lemak meningkat. Lorazepam mempnyai kelarutan lemak yang sedang sehingga uptake otak dan lama kerjanya bertambah lama. Redistribusi benzodiazepin terjadi secara cepat dan seperti barbiturat merupakan mekanisme utama pulihnya kesadaran. Walau midazolam sering digunakan untuk induksi namun cepatnya mula kerja dan lama kerja tidak dapat mengungguli thiopental. Semua benzodiazepin terikat kuat pada protein. Obat Diazepam Midazolam Lorazepam Penggunaan dan Dosis Lazim Benzodiazepin Penggunaan Cara Pemberian Dosis Premedikasi Oral 0,2-05 mg/kg Sedasi IV 0,04-0,2 mg/kg Induksi IV 0,3-0,6 mg/kg Premedikasi IM 0,07-0,15 mg/kg Sedasi IV 0,01-0,1 mg/kg Induksi IV 0,1-0,4 mg/kg Premedikasi Oral 0,05 mg/kg IM 0,03-0,05 mg/kg IV 0,03-0,04 mg/kg Sedasi Biotransformasi Biotransformasi benzodiazepin terjadi di hati dan berubah menjadi glukoronat yang larut dalam lemak. Metabolit phase I masih dalam keadaan aktif. Ekstraksi oleh hati terjadi secara lambat sehingga waktu paruh eliminasi diazepam panjang (hingga 30 jam). Lorazepam juga diektraksi dengan lambat oleh hati namun sedikit larut dalam lemak sehingga cepat dieliminasi (15 jam) walupun secara klinis mempunyai efek yang panjang karena ikatan dengan reseptor yang kuat. Berbeda dengan midazolam yang mempunyai rasio ekstraksi hepatic yang tinggi sehingga waktu paruh eliminasinya pun singkat. Ekskresi Benzodiazepin terutama diekskresikan melalui urin. Sirkulasi enterhepatik menimbulkan puncak konsentrasi plasma yang kedua 6 – 12 jam setelah pemberian. Gagal ginjal menyebabkan pemanjangan sedasi karena penumpukan dari metabolit. Efek Pada Sistim Organ Kardiovaskular Benzodiazepin menunjukan efek depresi kardiovaskular minimal bahkan pada dosis induksi. Tekanan darah arteral, curah jantung, dan resistensi vascular biasanya seikit turun sementara denyut jantung sedikit naik. Midazolam mempunyai efek penurunan tekanan darah dan resistensi vascular yang lebih renah dari diazepam. Sistim Pernapasan Benzodiazepin menurunkan respons respirasi terhadap CO2. Depresi ini biasanya tidak terjadi secara signifikan kecuali bila obat dimasukan secara intravena atau adanya depresan pernapasan yang lain. Kurva respons obat yang curam, dan potensi tinggi dari midazolam. Membutuhkan titrasi yang hati-hati untuk menghindari overdosis dan apnea. Ventilasi harus dipantau pada pasien yang mendapat benzodiazepin intravena dan alat-alat resusitasi harus dipersiapkan. Susunan Saraf Pusat Benzodiazepin mengurangi konsumsi O2 otak, alliran darah otak dan tekanan intrakranial namun tidak sebesar golongan barbiturat. Obat-obat ini bekerja efektif mengendalikan epilepsy grand mal. Pemberian secara oral sebagai sedatif sering menimbulkan efek amnesia anterograd, salah satu fungsi premedikasi yang berguna. Golongan benzodiazepin juga mempunyai sedikit efek relaksasi otot yang terjadi pada medulla spinalis. Efek antiansietas, amnesia dan sedasi yang terjadi pada dosis yang rendah dapat berkembang menjadi stupor dan ketidaksadaran pada dosis induksi. Bila dibandingkan dengan thiopental induksi dengan benzodiazepin menunjukkan lambatnya hilang kesadaran dan pemulihan. Benzodiazepin tidak mempunyai efek analgesik langsung. Interaki Obat Simetidin berkompetisi pada ikatan dengan sitokrom P450 sehingga metabolisme diazepam berkurang. Pemberian erythromycin menghambat metabolisme midazolam dan menyebabkan pemanjangan waktu kerja dan efek obat hingga 2 – 3 kali. Heparin menggantikan tempat diazepam pada ikatan proteinnya dan pada pemberian heparin 1000 unit konsentrasi obat yang bebas dapat mencapai 200 % lebih besar. Kombinasi opioid dan diazepam menurunkan tekanan darah arteri dan resistensi vaskuler. Efek sinergis ini terutama bermanfaat pada pasien dengan penyakit jantung iskemik atau kelainan katup jantung. Benzodiazepin mengurangi MAC obat anestesi volatile hingga 30 %. Etanol, barbiturat dan depresan sistim saraf pusat lainnya memperkuat efek sedasi benzodiazepin. Opioid Mekanisme Kerja Opioid terikat pada respetor spesifik sepanjang sistim saraf pusat dan jaringan lain. 4 tipe reseptor opioid telah dapat diidentifiksi, yaitu mu (-1 dan -2), kappa (), delta (), dan sigma (). Selain mempunyai efek sedasi, opioid juga dapat memberikan efek analgesik. Efek farmakodinamik yang ditimbulkan tergantung dari reseptor mana yang diikat, kuatnya ikatan dan apa yang timbul dari aktivasi reseptor. Antagonis opioid (naloxone) bekerja dengan kompetisi ikatan dengan reseptor opioid namun tidak menimbulkan aktivasi dari reseptor. Aktivasi dari reseptor opioid menghambat neurotransmitter eksitasi (mis. Asetilkolin, substansi P) pada presinaps maupun post sinaps serabut saraf nyeri. Secara selular, terjadi gangguan pada aliran ion kalium dan klorida sehingga transmisi dari impuls nyeri terganggu. Hambatan impuls nyeri dapat terjadi pada tingkat kornu posterior bila opioid diberikan secara epidural maupun intratekal. Selain itu terjadi pula penghambatan descending inhibitory pathway melalui nucleus raphe magnus ke kornu posterio medulla spinalis. Klasifikasi Reseptor Opioid Reseptor Mu Kappa Efek Klinis Analgesia supraspinal Depresi pernapasan Ketergantungan fisik Kekakuan otot Sedasi Agonis Morfin Met-enkephalin Beta-endorphin Fentanyl Morfin Kappa Analgesia spinal Delta Analgesia Tingkah llaku Epileptogenik Disforia Halusinasi Stimulasi Respirasi Sigma Nalbuphine Butorphanol Dynorphin Oxycodone Leu-enkephalin Beta-endorphine Pentazosin Nalorphine Ketamin Struktur dan Aktivitas Struktur obat-obatan opioid mempunyai gambaran yang umum. Perubahan molecular kecil dapat memberikan perubahan yang besar, bahkan mengubah suatu obat agonis menjadi antagonis. Biasanya bentuk-bentuk isomer levo lebih poten daripada bentuk isomer dekstro. Farmakokinetik Absorbsi Absorbsi terjadi secara cepat dan lengkap setelah pemberian morfin dan meperidin secara intramuskular dalam 20 – 60 menit. Pemberian fentanyl lollipop (oral transmukosal fentanyl sitrat) merupakan salah cara yang efektif untuk memberikan efek analgesia dan sedasi dan mempunyai mula kerja yang cepat (10 menit) dengan dosis 15-20 μg/kg untuk anak-anak dan 200 – 800 μg untuk dewasa. Fentanyl mempunyai berat molekul yang rendah dan kelarutan lemak yang tinggi sehingga memungkinkan untuk diabsorbsi secara transdermal. Obat yang diabsorbsi bergantung pada luas permukaan namun dapat dipengaruhi juga oleh kondisi sirkulasi darah daerah tersebut. Absorbsi pada jam-jam pertama berjalan lambat, hingga akhirnya mencapai konsentrasi pada plasma darah yang stabil setelah 14 – 24 jam pemberian dan dapat berlanjut hingga 72 jam. Adanya reservoir pada dermis bagian atas menyebabkan turunnya konsentrasi plasma yang cukup lama walupun setelah patch dilepas. Akan tetapi tingginya insidensi mual dan kadar dalam darah yang bervariasi membatasi penggunaan fentanyl patch untuk penanganan nyeri post operatif. Distribusi Waktu paruh distribusi obat-obat opioid berlangsung dalam waktu yuang cepat (5 – 20 menit). Kelarutan lemak yang rendah dari morfin menyebabkan morfin lambat melintasi sawar darah otak sehingga mula kerjanya lambat dan lama kerjanya panjang. Hal ini berlawanan dengan fentanyl dan sufentanil yang mempunyai kelarutan lemak yang tinggi sehingga mula kerja dan lama kerjanya singkat. Alfentanil mempunyai mula kerja dan lama kerja yang lebih singkat dari fentanyl setelah pemberian secara bolus walaupun mempunyai kelarutan lemak yang lebih rendah, hal ini disebabkan tingginya fraksi non ionic alfentanil pada pH fisiologis dan tingginya jumlah obat dalam bentuk bebas yang beredar sehingga meningkatkan bioavailabilitasnya dalam darah. Opioid dapat langsung diserap oleh paru-paru (first pass uptake) dan hal ini bergantung pada akumulasi obat di paru-paru sebelumnya (menurun), riwayat merokok (meningkat), dan pemberian obat anestesi (menurun). Redistribusi mengakhiri efek opioid pada dosis kecil, sementara dosis yang besar membutuhkan biotransformasi. Biotransformasi Opioid bergantung pada hati untuk biotransformasinya dan dipengaruhi aliran darah hati. Alfentanil banyak terdapat dalam jumlah bebas sehingga waktu paruh eliminasinya pendek (11/2 jam). Morfin mengalami konyugasi dengan asam glukuronat membentuk morfin 3-glukuronat dan morfin 6-glukuronat. Meperidin dimetilasi menjadi normeperidin suatu bentuk metabolit aktif yang sering dihubungkan dengan munculnya kejang. Hasil akhir metabolisme fentanyl, sufentanil dan alfentanil menjadi bentuk inaktif. Struktur ester dari remifentanil memungkinkan opioid ini mengalami hidrolisa dengan esterase non spesifik dalam darah maupun jaringan sehingga waktu parah eliminasinya sangat singkat, kurang dari 10 menit. Biotransformasi dari remifentanil terjadi amat cepat sehingga pemberian infus remifentanil hanya berefek kecil terhadap waktu pulih. Tidak adanya akumulasi obat setelah pemberian bolus berulang maupun infus dalam waktu lama membedakan remifentanil dari obat opioid lainnya. Selain itu dengan adanya hidrolisis ekstrahepatik pasien dengan disfungsi hati pun tidak akan mengalami efek toksik dari metabolit. Ekskresi Hasil akhir biotransformasi morfin dan meperidin diekskresikan oleh ginjal, kurang dari 10 % yang mengalami ekskresi melalui empedu. Sebanyak 5 –10 % morfin tidak mengalami perubahan dan diekskresi di urin sehingga gagal ginjal akan memperpanjang lama kerja. Akumulasi metabolit morfin pada pasien dengan gagal ginjal menimbulkan efek narcosis dan depresi pernapasan hingga beberapa hari. Bahakan morfin-6-glukoronat adalah agonis yang lebih kuat dan mempunyai masa kerja yang lebih lama dari morfin. Adanya disfungsi ginjal juga akan mennimbulkan akumulasi metabolit meperidin yang mempunyai efek eksitasi pada SSP sehingga sering menyebabkan kejang myoklonik yang tidak bisa diatasi dengan naloxon. Dapat terjadi puncak konsentrasi plasma kedua setelah pemberian fentanyl intravena yang terjadi hingga 4 jam setelah pemberian yang mubgkin disebabkan oleh sirkulasi enterohepatik. Metabolit utama remifentaniol diekskresi melalui ginjal namun ribuan kali lebih lemah disbanding bahan asalnya sehingga jarnag menimbulkan efek opioid yang jelas. Penyakit hati berat tidak mengganggu farmakokinetik atau farmakodinamik remifentanil Karakteristik Opioid yang Mempengaruhi Distribusi Obat Fraksi non ionik Ikatan Protein Kelarutan Lemak Morfin ++ ++ + Meperidin + +++ ++ Fentanyl + +++ ++++ Sufentanil ++ ++++ ++++ Alfentanil ++++ ++++ +++ Remifentanil +++ +++ ++ Efek pada Organ Tubuh Kardiovaskular Secara umum opioid tidak terlalu mengganggu fungsi kardiovaskular. Meperidin cenderung meningkatkan denyut jantung, sementara dosis tinggi morfin, fentanyl, sufentanil, remifentanil dan alfentanil menyebabkan bradikardia Kecuali meperidin, opioid tidak menghambat kontraktilitas miokard akan tetapi tekanan darah arteri biasanya turun, sebagai hasil dari bradikardia, venodilatasi dan penurunan refleks simpatis yang kadang membutuhkan pemberian vasopresor (efedrin). Lebih jauh lagi, morfin dan meperidin menyebabkan pelepasan histamin yang dpat menybebkan penurunan tekanan darah dan resistensi vascular yang cukup besar. Efek ini dapat diminmalisasi dengan pemberian opioid dengan infus perlahan, menjaga volume intravaskular yang adekuat, dan premedikasi dengan antagonis histamin H1 dan H2. Kenaikantekanan darah pada pemberian morfin dan meperidin jarang terjadi, dan bila terjadi itu biasanya anestesi yang dangkal dan dapat dikendalikan dengan penambahan vasodilator atau obat anesetsi inhalasi. Kombinasi opioid dengan obat anestesi lain (mis. N20 benzodiaz kedalamanin, barbiturat, dan anestesi inhalasi dapat menyebabkan depresi miokard yang sinifikan). Respirasi Opioid mendepresi respirasi terutama frekuensi respirasi. CO2 meningkat dan respons terhadap CO2 menurun. Efek ini terjadi melalui pusat pernapasan di batnag otak, di mana ambang apnea –PaCO2 di mana pasien menjadi apnea- meningkat, sedangkan hypoxic drive menurun. Efek depresi pernapasan pada perempuan lebih besar. Morfin dan meperidin dapat menyebabkan bronkospasme yang disebabkan pelepasan histamin pada pasien yang rentan. Opioid (terutama fentanyl, sufentanil, dan alfentanil) dapat menimbulkan kekakuan dinding dada hingga ke tingkat dapat menghambat ventilasi yang adekuat. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme secra sentraldan dapat dietesi dengan pemberian pelumpuh otot. Opioid dapat pula digunakan untuk menumpulkan respons bronkokonstriktif akibat stimulasi jalan napas seperti yang timbul saat intubasi SSP Secara umum opioid mengurangi konsumsi oksigen otak, aliran darah otak, dan tekanan intrakranial tetapi pada potensi yang lebih lemah daripada barbiturat maupun benzodiazepin yang pada akhirnya mampu menjaga otak tetap dalam keadaan normokarbia. Ditemukan juga bahwasetelah pemberian bolus pasien dengan tumor otak ataupun trauma kepala terjadi peningkatan kecepatan aliran darah dan tekanan intrakranial. Selain itu karena opioid memberikan efek penurunan MAP, penurunan CPP terjadi secara signifikan pada pasien dengan volume intrakranial yang terganggu. Fentanyl jaang menimbulkan kejang, walaupun pernah ditemukan beberapa kasus. Ransangan pada CTZ menjadi penyebab tingginya mual dan muntah, dapat terjadi ketergantungan fisik terhadap opioid yang biasanya terjadi pada pasien dengan pembeian opioid berulang. Tidak seperti barbiurat dan benzodiazepin, dibutuhkan dosis besar untuk memberikan efek hipnotik pada pasien. Opioid tidak memberikan efek amnesia. Pembeian secara intravena menjadi pilihan sebagai analgesia dan penggunaannya kini semakin meluas dengan penggunaan opioid epidural ataupun subdural yang memberikan perubahan yang besar dalam penanganan nyeri. Sameridine mempunyai struktur yang menyerupai meperidine namun dalam penggunaan klinis tidak menunjukkan efek klasik opioid yang menonjol seperti (mual, muntah, dan gatal-gatal). Pemberian meperidine intravena (25 mg) memberikian efek yang paling efektif untuk mengurangi keadaan menggigil. Gastrointestinal Opioid memperlambat waktu pengosongan lambung dengan mengurangi peristaltik. Dapat juga terjadi kolik bilier akibat rangsangan morfin terhadap kontraksi sphincter Oddi. Spasme bilier yang dapat menyamarkan batu duktus koledokus saat kolangiografi dapat ditekan dengan pemberian antagonis morfin murni (naloxon). Pada pasien dengan pemberian jangka panjang, efek samping pada saluran gastrointestinal biasanya sudah dapat ditolerir kecuali konstipasi akibat berkurangnya motilitas lambung. Endokrin Respons stress terhadap operasi dapat dilihat dengan adanya sekresi hormon-hormon tertentu termasuk katekolamin, antidiuretik hormon, dan kortisol. Opioid menghambat pelepasan hormon lebih menyeuruh dari anestesi inhalasi. Efek ini terutama diperoleh dari opioid yang kuat seprti fentanyl, sufentanil, alfentanil dan remifentanil. Pasien dengan penyakit jantung iskemik akan memperoleh keuntungan dari penghambatan stress respons ini. Interaksi Obat Kombinasi opioid dengan MAO inhibitor dapat menimbulkan gagal napas, hipertensi atau hipotensi, koma, dan hiperpireksia dengan mekanisme yang belum diketahui. Opioid mempunyai efek sinergis dengan obat-obatan barbiturat, benzodiazepin, dan depresan SSP lainnya. Biotransformasi alfentanil akan terhambat dengan pemberian erythromycin sehingga menyebabkan efek sedasi yang memanjang hingga gagal napas. Ketamin Mekanisme Kerja Ketamin mempunyai berbagai efek pada SSP termasuk menghambat refleks polisinaptik pada medulla spinalis dan neurotransmitter eksitasi di beberapa area tertentu pada otak. Sedangkan beberapa tempat lainnya tereksitasi. Secara fungsional menimbulkan efek disosiatif pada thalamus. Hal ini secara klinis disebut dengan anesthesia disosiatif sehingga pasien tampak sadar (mata terbuka, mampu menelan, otot kaku) namun tidak dapat memproses ataupun memberikan respons terhadap input sensoris. Secara biomolekuler ketamin merupakan antagonis dari reseptor NMDA dan mulai diteliti hubungannya dengan reseptor opioid. Farmakokinetik Absorbsi Ketamin dapat diberikan secara intravena atau intramuskular. Konsentrasi puncak plasma diperoleh dalam 10 – 15 menit setelah pemberian intramuskular. Distribusi Ketamin lebih larut dalam lemak dan lebih lemah ikatan proteinnya dibandingkan dengan thiopental. Selain itu efek peningkatan aliran darah otak dan curah jantung ketamin menyebabkan uptake otak dan redistribusi yang cepat (waktu paruh distribusi 10 – 15 menit). Pemulihan bergantung pada redistribusi. Penggunaan dan Dosis Ketamin, Etomidat, Propofol dan Doperidol Obat Penggunaan Cara Pemberian Dosis Ketamin Induksi IV 1-2 mg/kg IM 3-5 mg/kg Etomidat Induksi IV 0,2-0,5 mg/kg Propofol Induksi IV 1-2,5 mg/kg Infus Rumatan IV 50-200 g/kg/menit Infus Sedasi IV 25-100 g/kg/menit Droperidol Premedikasi IM 0,04-0,07 mg/kg Sedasi IV 0,02-0,07 mg/kg Antiemetik IV Biotransformasi Ketamin mengalami biotrasnformasi di hati dan menghasilkan beberapa metabolit, beberapa di antaranya (mis. Norketamin) masih mempunyai aktivitas anestesi. Rasio ekstraksi hepar yang tinggi membuat ketamin mempunyai waktu paruh eliminasi yang singkat (2 jam). Ekskresi Hasil akhir biotransformasi dikeluarkan melalui ginjal. Efek pada Organ Kardiovaskular Berbeda dengan obat anestesi lain, ketamin meningkatkan tekanan darah arterial, denyut jantung, dan curah jantung. Efek sistim kardiovaskular ini disebabkan oleh stimulasi dari pusat saraf simpatis dan inhibisi reuptake norepinefrin. Selain efek ini terjadi juga kenaikan tekanan arteri pulmonal dan kontraksi miokard. Karena itu ketamin tidak dapat diberikan pada pasien dengan penyakit jantung koroner, hieprtensi tidak terkontrol, penyakit jantung kongestif, dan aneurisma arteri. Ketamin kadang menimbulkan hipotensi karena efek blokade kanal kalsium menjadi lebih menonjol, misalnya pada blokade simpatis (transeksi medulla spinalis), atau habisnya cadangan katekolamin (mis. Pada fase akhir dari syok). Efek stimulasi ini dapat bermanfaat untuk pasien dengan syok hipovolemik. Respirasi Dorongan untuk ventilasi hanya diperngaruhi secara minimal dengan pemberian dosis induksi ketamin. Ketamin bersifat bronkodilator, sehingga baik untuk penderita asma. Walaupun reflek-reflek pernapasan masih dipertahankan, namun pasien dengan risiko aspirasi pneumonia sebaiknya diintubasi. Hipersalivasi yang disebabkan oleh ketamin dapat dikurangi dengan premedikasi dengan obat antikolinergik. Otak Sesuai dengan efek kardiovaskulernya, ketamin meningkatkan konsumsi O2 otak, aliran darah otak, dan tekanan intrakranial. Hal ini menyebabkan ketamin tidak dapat digunakan pada pasien degnan SOL. Dapat terjadi aktivitas myoklonik karena peningkatan aktivitas listrik subkortikal. Efek psikomimetik (halusinasi, mimpi buruk, delirium) jarang dialami oleh anak-anak ataupun pasien dengan premedikasi benzodiazepin. Di antara obat-obat anestesi intravena, ketamin telah mendekati anesthesia yang komplit karena ketamin menginduksi analgesia, amnesia dan ketidaksadaran. Interaksi Obat Obat relaksan otot non depolarisasi diperkuat efeknya dengan ketamin. Kombinasi ketamin dengan teofilin dapat menimbulkan kejang. Diazepam mengurangi efek stimulasi kardiovaskular dan memperpanjang eliminasinya. Obat-obat antagonis simpatis (propranolol, fenoksibensamin) menyebabkan efek depresi miokardial dari ketamin menonjol. Selain itu, obat anestesi inhalasi terutama halotan juga dapat menimbulkan efek depresi kardiovaskular ketamin menonjol. Litihium dapat memperlambat lama kerja ketamin. Etomidat Mekanisme Kerja Etomidat menekan ARAS dan menimbulkan efek menyerupai GABA. Etomidat berikatan dengan resptor GABA tipe A. Berbeda dengan barbiturat, etomidat kadang tidak menghambat bagai ndari sistim saraf yang mengatur aktivitas pyramidal, sehingga pada 30 – 60 % pasien dapat terjadi myoklonus. Struktur dan Aktivitas Etomidat mengandung imidazol yang terkarboksilasi dan secara struktural bukan merupakan turunan dari zat anestesi lainnya. Tidak dapat larut dalam air pada pH fisiologis, sehingga dilarutkan dalam etilen glikol. Hal ini menyebabkan sering timbul rasa sakit pada tempat injeksi yang dapat dikurangi dengan penyuktikan lidokain sebelumnya. Farmakokinetik Absorbsi Etomidat hanya dapat diberikan secara intravena dan digunakan terutama untuk induksi anestesi Distribusi Walupun terikat kuat dengan protein, etomidat mempunyai mula kerja yang amat cepat dikarenakan kelarutannya yan tinggi dalam lemak dan fraksi obat yang tinggi dalam pH fisiologis. Pemulihan bergantung pada redistribusi obat. Biotransformasi Enzim mikrosom hepar dan plasma esterase secara cepat menghidrolisa etomidat menjadi metabolit inaktif. Kecepatan biotrasnformasi etomidat mencapai 5 kali dari thiopental. Ekskresi Hasil akhir hidrolisis terutama diekskresikan di urin. Efek pada Organ Tubuh Kardiovaskular Etomidat berefek minimal pada sistim kardiovaskular. Terdapat sedikit penurunan dari tekanan darah disebabkan karena menurunnya resistensi vascular. Etomidat tidak menyebabkan pelepasan histamin. Respirasi Ventilasi tidak begitu terpengaruh oleh etomidat dibandingkan dengan barbiturat atau benzodiazepin. Bahkan saat induksi pun tidak menimbulkan apnea kecuali diberikan pula obat-oabtan opioid. Otak Etomidat menurunkan kecepatan metabolisme otak, aliran darah otak, dan tekanan intrakranial hingga sebesar thiopental, dengan CPP yang masih terjaga karena efek kardiovaskularnya yang minimal. Mual dan muntah postoperative lebih sering dijumpai daripada penggunaan barbiturat namun dapat diminimalisasi dengan pemberian obat-obat anti emetik. Etomidat bersifat hipnotik-sedatif namun tidak mempunyai efek analgesik. Endokrin Induksi dengan etomidat sedikit menghambat enzim-enzim pembentuk kortisol dan aldosteron. Infus jangka panjang menyebabkan supresi adrenokortikal yang dapat menyebabkan kematian pasien kritis. Interaksi Obat Fentanyl meningkatkan konsentrasi plasma etomidat dan memperpanjang waktu paruh eliminasi etomidat. Opioid menurunkan kejadian mioklonus pada pemberian etomidat. Propofol Mekanisme Kerja Mekanisme kerja propofol dengan meningkatkan inhibisi transmisi saraf melalui GABA Aktivitas dan Struktur Propofol (2,6-diisopropylphenol) terdiri dari cincin fenol dengan dua ikatan kompleks isopropyl. Perubahan pada panajng rantai ikatan mengubah karakteristik dari potensi, induksi dan pemulihan. Propofol tidak larut dalam air. Propofol tersedia dalam bentuk larutan dengan konsentrasi 1 % berupa suspensi lemak dalam air dan mengandung minyak kacang kedelai, gliserol, dan lecithin telur. Adanya riwayat alergi telur tidak menjadi kontraindikasi pemberian propofol, karena unsur lecithin telur diekstrak dari kuning telur, sementara alergi telur umumnya terkait dengan albumn (kuning telur). Injeksinya menimbulkan nyeri yang dapat dikurangi dengan pemberian lidokain di tempat penyuntikan atau mencampurkan 2 cc lidokain 1 % dengan 18 cc propofol. Terdapat formula lain yaitu 1 % propofol dalam 16 % polyoxyethylated castor oil yang tidak terlalu menimbulkan nyeri. Lebih jauh lagi, karena formulasi propofol dapat menjadi media pertumbuhan bakteri, prinsip penanganan yang bersih dan steril harus mendapatkan perhatian. Misalnya dengan membersihkan karet atau leher ampul dengan alcohol sebelum membukanya. Seluruh isi botol harus habis diberikan dalam 6 jam. Telah dilaporkan kejadian sepsis dan kematian yang berkaitan dengan kontaminasi sediaan propofol. Sediaan lain yang tidak mudah menjadi media pertumbuhan bakteri yaitu dengan menambahkan 0,005 % dinatrium edetate atau 0,025 % natrium metabisulfit walaupun belum sepenuhnya diterima. Farmakokinetik Absorbsi Propofol hanyatersedia untuk pemberian intravena untuk induksi anestesi umum. Distribusi Kelarutan lemak yang tinggi membuat propofol mempunyai mula kerja yang amat tinggi, hampir secepat thiopental. Pemulihan dari satu bolusp pun terjadi amat cepat karena pendeknya waktu paruh distribusi (2 – 8 menit). Pemulihan propofol terjadi dengan rasa pusing yang lebih ringan dibandingkan dengan thiopental, methohexital, atau etomidat. Pada pasien usia tua dibutuhkan dosis induksi yang lebih kecil. Wanita membutuhkan dosis yang lebih tinggi daripada pria dan pulih lebih cepat. Biotransformasi Klirens propofol melebihi kecepatan aliran darah hati, menunjukkan adanya metabolisme ekstrahepatik. Kecepatan klirens yang tinggi (10 kali dari thiopental) memberikan andil cepatnya pemulihan setelah pemberian secara infus. Konyugasi di hati menghasilkan metabolit inaktif yang diekskresikan ginjal. Metabolisme propofol tidak dipengaruhi oleh keadaan sirosis yang sedang. Ekskresi Metabolit propofol terutama diekskresikan melalui urin, gagal ginjal kronis tidak mempengaruhi perubahan dari obat aktif. Efek pada Organ Tubuh Kardiovaskuler Efek utama kardiovaskuler dari propofol adalah turunnya tekanan darah karena turunnya resistensi perifer (inhibisi aktivitas vasokonstriktor simpatis), kontraktilitas miokard dan menurunnya preload. Hipotensi lebih menonjol daripada pemberian thiopental namun biasanya mudah pulih dengan rangsangan laringoskopi dan intubasi. Faktor yang memperberat hipotensi adalah dosis yang besar, pemberian yang cepat dan usia tua. Propofol menghambat refleks baroreseptor terhadap hipotensi terutama pada keadaan normokarbia ataupun hipokarbia. Walaupun jarang terjadi, penurunan tensi dapat mengakibatkan bradikardi akibat dari refleks vagal. Perubahan pada frekuensi dan curah jantung biasanya tidak menonjol, namaun dapat cukup berat hingga menimbulkan asistol terutama pada usia-usia yang ekstrim, obatobatan dengan efek kronotropik negaif, atau menjalani operasi yng dapat menimbulkan refleks okulokardiak. Pasien dengan fungsi centrikel yang menurun dapat mengalami penurunan tensi yang cukup signifikan sebagai hasil dari penurunan tekanan diastolik dan kontraktilitas yang menurun. Konsumsi oksigen miokard dan aliran darah juantung menurun, namun ternyata ditemukan pula peningkaan laktat pada pembuluh darah koroner yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara suplai oksigen dan kebutuhannya. Respirasi Seperti halnya barbiturat, propofol mempunyai efek depresi pernapasan yang cukup besar yang sering menyebabkan apnea setelah pemberian dosis induksi. Bahkan bila hanya diberikan dalam dosis subanestetik sebagai sedatif, propofol menghambat refleks pernapasan akibat stimulasi kondisi hiperkarbia, sehingga obat ini hanya dapat digunakan oleh orang yang terlatih. Propofol menurunkan refleks di saluran napas atas sehingga bergunan saat intubasi atau pemasangan LMA. Walaupun propofol mempunyai efek pelepasan histamin, insidensinya bila dibandingkan dengan barbiturat maupun etomidat lebih kecil, sehingga tidak dikontraindikasikan terhadap pasien-pasien asma. Otak Propofol mengurangi aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Pada pasien dengan tekanan intrakranial yang meningkat propofol dapat menyebabkan penurunan CPP yang drastis hingga < 50 mmHg kecuali dilakukan langkah-langkah untuk menjaga MAP. Propofol dan thiopental mempunyai karakteristik proteksi otak yang sama kuat pada kejadian iskemia. Propofol mempunyai efek antipruritik, dan efek antiemetiknya membuat obat ini cocok untuk pasien ODS. Kadang kala induksi disertai adanya gejala-gejala eksitasi seperti fasikulasi, gerakan spontan, opistotonus, ataupun cegukan yang kemungkinan disebabkan antagonisme glisin di daerah sbkorteks. Walaupun tanda-tanda ini kadang menyerupai kejang tonik-klonik, propofol memounyai efek antikonvulsi yang baik dan berhasil digunakan untuk pasien-pasien status epileptikus dan mungkin dapat diberikan dengan aman kepada pasien-pasien kejang. Propofol juga menurunkan tekanan intraokuler dan tidak memberikan toleransi setelah pemebrian infus propofol dalam waktu lama. Interaksi Obat Relaksan otot non depolarisasi dapat meningkatkan potensi propofol yang masih mengandung cremofor. Konsentrasi fentanyl dan alfentanil mengingkat dengan pemberian propofol secara kontinyu. Droperidol Mekanisme Kerja Droperidol bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine, termasuk daerah CTZ. Droperidol juga mengganggu transmisi saraf yang diperantarai serotonin, norepinefrin, dan GABA. Hal ini menyebabkan droperidol mempunyai efek penenang dan antiemetik. Secara perifer droperidol menghambat -adrenergik. Struktur dan Aktivitas Droperidol secara structural berhbungan dengan haloperidol. Perbedaan struktur menyebabkan droperidol mempunyai efek neuroleptik smenetara haloperidol mempunyai efek antipsikotik. Farmakokinetik Absorbsi Droperidol diberikan secara intramuskuler sebagai premedikasi dan untuk induksi biasanya diberikan secara intravena. Distribusi Droperidol mempunyai distribusi yang cepat (waktu paruh distribusi 10 menit), efek sedatifnya lambat terjadi karena berat molekul yang tinggi dan ikatan protein yang kuat sehingga mengurangi penetrasi droperidol melewati sawar darah otak. Biotrasnformasi Droperidol dimetabolsime secara luas di hati, dengan kecepatan menyerupai etomidat dan ketamin. Ekskresi Hasil akhir biotransformasi diekskresikan melalui urin. Efek pada Organ Tubuh Kardiovaskuler Efek blokade -adrenergik ringan droperidol menyebabkan sedikit penurunan darah akibat dilatasi resistensi perifer. Pada pasien hipovolemik efeknya dpat bertambah besar. Efek blokade -adrenergik menebabkan droperidol mempunyai efek antidisritmia. Pasien dengan pheochromocytoma tidak boleh diberi droperidol sebab dapat menyebabkan pelepasan katekolamin yang menimbulkan hipertensi berat. Respirasi Droperidol diberikan tunggal pada dosis lazim tidak secara signifikan mendepresi napas dan bahkan dapat memperkuat respons ventilasi terhadap keadaan hipoksia. Otak Droperidol menurunkan aliran darah otak dan tekanan intrakranial melalui vasodilatasi cerebral. Akan tetapi droperidol tidak mengurangi konsumsi O2 otak berbeda dengan barbiturat, benzodiazepin, dan etomidat. Droperidol mempunyai efek antiemetik yang kuat, namun lambatnya pemulihan membatasi penggunaannya dalam operasi sehingga hanya digunakan dalam dosis rendah (0,05 mg/kg sampai 2,5 mg). Aktivitas antidopaminergik droperidol jarang menimblkan reaksi ekstrapiramidal (mis. Torticolis, agitasi, oculogric crises) yang dapat ditangani dengan pemberian diphenhydramin. Akan tetapi droperidol harus dihindarkan dari pasien dengan penyakit Parkinson. Walaupun pasien dengan premedikasi droperidol terlihat mengantuk dan lemas, namun secara mental mereka gelisah dan ketakutan. Karena itulah droperidol tidak diberikan sebagai premedikasi. Droperidol adalah obat penenang, tidak mempunyai efek analgesia, amnesia, dan ketidaksadaran pada dosis lazaim. Kombinasi droperidol dengan fentanyl (innovar) menghasilkan keadaan analgesia, imobilitas dan hilangnya ingatan (neuroleptanalgesia). Penambahan nitrat oksida atau obat-obat hipnotik menyebabkan ketidaksadaran dan anestesi umum (neuroleptanesthesia) yang menyerupai keadaan disosiatif pada penggunaan. Penambahan opioid dapat menyebabkan disforia.ketamin. Interaksi Obat Droperidol berefek antagonis dengan levodopa dan dapat mempresipitasi gejala-gejala Parkinson. Secaa teoritis droperidol dapat menghambat efek anti -adrenergik klonidin dan menyebabkan terjadinya rebound hypertension. Droperidol dapat mengurangi efek kardiovaskuler dari ketamin. Obat Barbiturat Thiopental Thiamylal Methohexital Benzodiazepin Diazepam Lorazepam Midazolam Opioid Meperidin Morfin Fentanyl Sufentanil Alfentanil Remifentanil Ketamin Etomidat Propofol Droperidol * 0 0/ Ringkasan Efek Obat Anestesi Nonvolatile Jantung Respirasi HR MAP Vent.drv Br.Dil CBF Otak CMRO2 ICP 0` 0/ 0/ 0 0 0 0 0 * * 0 * * 0 0 0 0 0 0 0 0 : efeknya tergantung dari besarnya pelepasan histamin : tidak ada perubahan : tidak ada perbahan ataupun terjadi perubahan ringan : menurun (sedikit, sedang , banyak) : meningkat (sedikit, sedang, banyak)