tumiyana

advertisement
senin 25 SEPTEMBER 2017
24
Investor Daily/IST
TUMIYANA
DIREKTUR UTAMA PT PP (PERSERO) TBK
K
esuksesan memiliki
makna dan definisi
berbeda-beda bagi
setiap orang. Begitu
pula bagi Tumiyana.
Eksekutif kelahiran
Klaten, Jawa Tengah, 10 Februari
1965 ini menganggap kesuksesan
bersifat relatif dan tidak identik
dengan keberhasilan mencapai
target.
“Kalau mencapai target yang
ditetapkan, saya menamakannya
kepuasan diri, bukan kesuksesan.
Yang bisa mengukur kesuksesan
adalah orang lain, bukan diri
sendiri,” kata Direktur Utama
PT PP (Persero) Tbk itu
kepada wartawan Investor Daily
Parluhutan Situmorang di
Jakarta, belum lama ini.
Tumiyana bahkan tidak
sependapat bila kesuksesan
seseorang semata diukur
berdasarkan pencapaian target
yang diberikan atau dibuatnya.
“Bagi saya, itu adalah kesalahan.
Justru saya memilih untuk
menaikkan target sebelum target
yang telah ditetapkan tercapai,”
ujar dia.
Tumiyana mengibaratkan
kehidupan ini sebagai kurva
parabola. Ketika sampai titik
puncak, praktis bakal terjadi
penurunan. Itu sebabnya, sebelum
mencapai titik tertinggi, ia
harus membentuk kurva kedua.
“Pembentukan kurva kedua
memang memberikan tekanan bagi
saya, tetapi itu harus dilakukan.
Manusia tidak boleh berada di
zona nyaman, tetapi harus terus
berjalan,” tegasnya.
Menaikkan target saat titik
tertinggi hendak tercapai bukan
hanya dilakukan Tumiyana
dalam pekerjaan atau kariernya.
Ia pun melakukannya dalam
kehidupan pribadi, berkeluarga,
dan bermasyarakat. “Seseorang
tidak boleh berada di posisi santai,
karena hal itu sama dengan tamat
atau hidup telah selesai. Tidak
boleh langsung sampai pada titik
kepuasan. Kalau puas, berarti
hidup sudah selesai,” tutur dia.
Bagaimana Tumiyana membuat
target bagi PT PP (Persero) Tbk?
Bagaimana pula ia mendefinisikan
kesuksesan bagi emiten yang
melantai di Bursa Efek Indonesia
(BEI) dengan sandi saham PTPP
itu? Apa saja gebrakan yang
dibuatnya? Berikut petikan lengkap
wawancara dengan pria yang sudah
32 tahun mengabdi di perusahaan
pelat merah tersebut.
Bisa cerita perjalanan karier
Anda hingga menempati posisi
puncak di PT PP?
Saya berkarier mulai dari ‘kelas
pemula’ di PT PP. Saya masuk
sebagai pekerja biasa, kemudian
beranjak menjadi manager saat
berusia 29 tahun. Karier saya terus
merangkak naik menjadi kepala
cabang ketika berusia 32 tahun dan
menjadi kepala divisi pada usia 37
tahun. Kemudian saya diangkat
menjadi direktur keuangan setelah
menginjak umur 51 tahun dan
akhirnya diangkat menjadi direktur
utama.
Saya belum pernah meningalkan
PT PP, saya berkarier mulai dari
awal hingga menempati posisi
direktur utama di perusahaan ini.
Saya sudah berkarier 30 tahun
lebih di PT PP, sudah mengalami
pahit getirnya perusahaan ini.
Misalnya bagaimana PT PP
berjuang untuk lepas dari krisis
moneter 1998. Saya juga sudah
mengalami tingkat keuntungan
PT PP yang hanya Rp 30 miliar
setahun, hingga besar seperti
sekarang.
Apa yang membuat Anda
bertahan?
PT PP itu memiliki kultur
perusahaan (corporate
culture) yang kuat. Hubungan
antarkaryawan PT PP sangat
harmonis dan kuat serta memiliki
sikap kekeluargaan yang tinggi.
Itu menjadi nilai lebih yang
menjadikan saya betah berkarier
di perusahaan ini. Bahkan, banyak
karyawan PT PP yang ditawari
jenjang karier dan gaji lebih besar
di tempat lain, namun hampir
pasti tidak ada yang mau bersedia
melepaskan diri dari PT PP.
Kami membuat PT PP sebagai
tempat ternyaman bagi seluruh
karyawan untuk berkarya.
Isitilahnya saat satu karyawan
dicubit, seluruh karyawan akan
merasakannya. Jadi, bekerja
itu tidak hanya gaji, tetapi ada
nilai-nilai yang dibangun dalam
perusahaan. Kekuatan tersebut
membuat seluruh karyawan betah
berkarier di perusahaan ini.
Langkah pertama Anda saat
diangkat menjadi direktur
utama?
Saya langsung mengubah
business line PT PP. Kapasitas
perusahaan harus ditingkatkan
sejalan dengan kondisi lingkungan
bisnis yang sedang membaik.
Pertama, bagaimana meningkatkan
kapasitas keuangan perseroan,
sehingga PT PP tidak hanya
menjadi kontraktor saja, tetapi
berubah menjadi investor. Hal
ini mendorong saya berani
mencanangkan target investasi PT
PP sebesar Rp 25-30 triliun setiap
tahun.
Saya juga fokus untuk
meningkatkan kapasitas sumber
daya manusia (SDM). Ketika
investasi lebih besar, kekuatan
SDM juga harus ditingkatkan. Ini
untuk mempercepat kemampuan
perseroan mencapai target yang
sudah ditetapkan.
Peningkatan investasi bertujuan
mendiversifikasi sumber
pendapatan perseroan di luar
kontraktor. Kami ingin menaikkan
porsi pendapatan berkelanjutan
(recurring income) untuk
menopang keberlanjutan kinerja
keuangan perseroan dalam jangka
panjang. Jika diversifikasi terwujud,
kami tidak takut menghadapi setiap
masalah ke depan.
Hal terpenting yang
menjadi pegangan Anda dalam
memimpin PT PP?
Dalam memimpin sebuah
perusahaan dibutuhkan leadership
dan sensitivitas terhadap
lingkungan. Leadership dibutuhkan
untuk membuat seluruh karyawan
atau perusahaan berada dalam
satu bahasa. Misalnya kalau saya
menargetkan PT PP menjadi
perusahaan kelas Asean, berarti
kapasitas SDM perusahaan harus
mampu melaksanakannya.
Bagaimana caranya agar
semua mampu? Saya memberikan
pelatihan bagi seluruh karyawan
untuk meningkatkan kualitas
SDM, seperti memberikan
beasiswa bagi karyawan hingga
sekolah di luar negeri. Salah satu
contoh kecil yang saya terapkan
adalah mengharuskan seluruh
karyawan berbahasa Inggris dalam
memberikan laporan.
Selain leadership, seorang
pemimpin membutuhkan
kemampuan membaca lingkungan
sekitar. Kalau kita tidak bisa
membaca lingkungan sekitar,
bagaimana mau membawa
‘gerbong’? Misalnya negara sedang
menganggarkan dana besar untuk
pengembangan infrastruktur.
Situasi demikian harus bisa
diolah untuk menambah nilai bagi
perusahaan. Seorang pemimpin
harus bisa meng-create value dari
kondisi lingkungan tersebut untuk
perusahaan.
Bagaimana caranya agar
target Anda bisa dipahami
hingga level paling bawah?
Saya membuat forum
antarkaryawan PT PP, mulai dari
jenjang top management hingga
pelaksana proyek. Saya punya
CEO talk untuk berdiskusi dengan
seluruh top management perseroan.
Setiap tahun saya punya program
Nama: Tumiyana
Tempat/tanggal lahir: Klaten, 10 Februari
1965
Istri: Warsini
Anak: Mega Noorfitriyana, Diny Larasati,
Zahran Nursulistyowati
Pendidikan:
l S-2 Manajemen STIE IPWI, Jakarta
(1997)
l S-1 Teknik Sipil Universitas Borobudur,
Jakarta (1994)
Karier:
l April 2016-sekarang: Direktur Utama
PT PP (Persero) Tbk
l 2008-April 2016: Direktur Keuangan
PT PP (Persero) Tbk
l 2004-2008: Kepala Divisi Operasi PT
PP (Persero) Tbk
l 2000-2004: Kepala Cabang Utama
PT PP (Persero) Tbk
l 1995-2000: Project Manager PT PP
(Persero) Tbk
l 1993-1995: Kepala Urusan Teknik PT
PP (Persero) Tbk
l 1985-1993: Staf PT PP (Persero) Tbk
men-deliver arahan dengan
mengumpulkan semua karyawan di
level manajer.
Saya juga memiliki media
rapat bulanan, tiga bulanan, dan
seterusnya. Rapat-rapat tersebut
dibuat untuk mengevaluasi
perkembangan seluruh proyek,
termasuk pencapaian dan
kekurangannya. Tujuannya agar
target yang telah ditetapkan bisa
tercapai dengan baik.
Begitu pula apabila ada
kecelakaan kerja dalam
satu proyek, saya langsung
mengumpukan semua manajer
proyek untuk menyampaikan
kembali bahwa tidak boleh ada
kegagalan maupun kesalahan di
setiap proyek.
Selain itu, saya melakukan
review hingga middle management
dan mengevaluasi proyek
mingguan. Pertemuan dibuat
agar kinerja karyawan sesuai
harapan. Manajer proyek harus
bisa mengawasi dengan baik para
tukang, sehingga tercipta kondisi
aman dalam bekerja.
Visi Anda dalam memimpin
perusahan?
Visi saya adalah menjadikan PT
PP sebagai perusahaan kelas Asean
atau growth for Asean. Seluruh
karyawan telah memanfaatkan
tagline tersebut sebagai tujuan
bersama. Mereka telah mulai
bekerja untuk mencapai target itu.
Visi growth for Asean telah
menempel di benak seluruh
karyawan perseroan. Melalui
visi tersebut, saya ingin
membangkitkan semangat
karyawan untuk mencapai sebuah
target besar, yaitu menjadi
perusahaan konstruksi dan
investasi nomor satu di level Asean.
Definisi sukses menurut
Anda?
Sukses berasal dari belajar
secara berkelanjutan. Yang bisa
mengukur kesuksesan adalah
orang lain, bukan diri sendiri. Kalau
saya berhasil mencapai target
yang sudah ditetapkan, saya baru
menamakannya kepuasan diri.
Tetapi apakah pencapaian itu bisa
dikatakan sukses? Itu tergatung
pandangan publik atau orang lain.
Saya tidak boleh menilai diri saya
sendiri sudah sukses. Itu tidak
boleh atau pamali. Orang Jawa
bilang ora elok. Saya tidak boleh
mengatakan saya sudah sukses di
depan orang lain.
Seseorang yang telah
mencapai target, apakah ia bisa
disebut sukses?
Bagi saya, itu sebuah kesalahan.
Justru saya memilih untuk
menaikkan target sebelum target
yang telah ditetapkan tercapai.
Hidup ini kan ibarat kurva
parabola, ketika sampai titik puncak
maka akan terjadi penurunan. Jadi,
sebelum mencapai titik tertinggi,
saya harus membentuk kurva
kedua. Pembentukan kurva kedua
memang memberikan tekanan bagi
saya, tetapi itu harus dilakukan.
Manusia tidak boleh berada di
zona nyaman, tetapi harus terus
berjalan.
Menaikkan target ketika hendak
mencapai titik tertinggi tidak
hanya dilakukan dalam pekerjaan
atau karier, tapi juga dalam
kehidupan secara umum, termasuk
di keluarga atau masyarakat.
Seseorang tidak boleh berada di
posisi santai karena hal itu sama
dengan tamat atau hidup telah
selesai. Jadi, tidak boleh langsung
sampai pada titik kepuasan. Kalau
puas, berarti hidup sudah selesai.
Di PT PP, filosofi sukses
seperti itu tidak menjadi beban
bagi kar yawan?
Karyawan memang harus
dibebani, tetapi bebannya
harus terukur sesuai dengan
kemampuan. Apabila setiap target
sudah optimistis tercapai, saya
harus menarik kurva kedua dengan
target baru. Hanya saja, beban yang
diberikan kepada karyawan harus
diikuti reward. Misalnya pegawai
PT PP bisa mendapatkan gaji lebih
dari 24 kali dalam setahun.
Karyawan yang memiliki
performa sangat bagus
kemungkinan bisa mendapatkan
gaji 26 kali, tetapi karyawan dengan
performa rendah kemungkinan
menerima gaji di bawah 24 kali
dalam setahun. Artinya setiap
karyawan yang berhasil mencapai
target diberikan reward, sehingga
mereka terpacu untuk terus
mencapai target-target yang telah
ditetapkan.
Cara Anda membagi waktu
dengan keluarga?
Minimal satu hari dalam
seminggu, baik hari Sabtu atau
hari Minggu, kami makan bersama
di luar. Saya memberikan waktu
penuh untuk istri dan anak-anak
selama satu hari dalam seminggu,
bisa hari Sabtu, bisa pula hari
Minggu. Mereka harus memilih
salah satu. Sebab, pada akhir
pekan, saya juga bisa maintain
klien lewat olahraga.
Kalau di hari kerja, keluarga
tidak boleh klaim. Saya rata-rata
sampai rumah jam 10 malam.
Orang kan lihat sebagai dirut
(direktur utama) bisa lebih
santai, tetapi jam 5 sore saya tidak
‘menghilang’ karena saya bertemu
teman dan klien untuk mengobrol
justru saat jam pulang kantor. q
Investor Daily/IST
M
eskipun sudah menempati posisi
tertinggi di PT PP (Persero) Tbk,
Tumiyana justru menjadi orang yang
paling sibuk. Ketika seluruh karyawan
PT PP sudah pulang, bahkan mungkin sudah tidur,
ia masih bekerja di kantor atau berdiskusi dengan
para klien.
Tumiyana mengaku mendapatkan kepuasan
tersendiri ketika bisa memberikan pelayanan
terbaik kepada klien. “Hobi saya adalah kerja.
Ketika bisa memberikan pelayanan terbaik kepada
klien, itu sudah sangat menyenangkan bagi saya,”
tutur ayah dari tiga anak itu.
Pria yang satu ini punya prinsip bahwa
keberhasilan seseorang mencapai sesuatu
ditentukan oleh kemampuannya memanfaatkan
waktu secara baik. “Tuhan memberikan waktu
yang sama kepada semua orang. Tapi ada orang
yang menjadi tukang batu, insinyur, menteri,
presiden, dan sebagainya. Artinya, siapa yang bisa
memanfaatkan waktunya dengan baik, dia akan
menjadi sesuatu,” ujarnya.
Syukurlah, istri dan anak-anaknya sudah paham
‘hobi’ Tumiyana. “Kami punya komitmen bahwa
dalam kehidupan ada prioritas. Saat sesuatu
menjadi prioritas dalam hidup, yang lain tentu
tidak harus diabaikan. Prioritas saya adalah harus
bermanfaat bagi orang lain. Apakah keluarga saya
tidak diurus? Saya tetap memberikan perhatian
kepada mereka. Hanya saja, saya juga memiliki
prioritas hidup agar bermanfaat bagi orang lain,”
papar dia.
Tumiyana juga selalu meyakinkan istri dan
anak-anaknya bahwa kepintaran atau kelebihan
yang diberikan Tuhan kepada seseorang bukan
hanya untuk dirinya sendiri. Di balik itu ada
tanggung jawab yang harus dipikul, yaitu harus
mendatangkan manfaat kepada orang lain. Hal
yang sama berlaku bagi harta dan kekayaan.
“Jadi, di dalam diri kita ada hak orang lain.
Misalnya ada orang yang pandai atau bergelar
insinyiur, tentu gelar itu bukan hanya untuk
dirinya maupun keluarganya. Orang lain juga
berhak mendapatkan manfaat dari gelar tersebut.
Begitu pula harta kekayaan. Alangkah berdosanya
seseorang apabila ia tidak bisa memberikan
manfaat kepada sesama atas gelar, keahlian, atau
kekayaan yang dimilikinya,” ucap Tumiyana.(hut)
Download