Bab 7, PROBLEMATIKA PSIKOLOGIS DALAM KARIR DAN USAHA

advertisement
Bab VII
PROBLEMATIKA PSIKOLOGIS DALAM KARIR DAN USAHA
PENCEGAHANNYA; SEBUAH PEMIKIRAN UNTUK
MERAIH KESUKSESAN BERKARIR
Kehidupan tidak selamanya berjalan mulus, kadang berubah atau tidak tetap
selamanya, di suatu waktu kehidupan seseorang dirundung banyak masalah, penuh
kebingungan dan kekesalan. Nasib seseorang pun adakalanya naik adakalanya turun, kadang
dicaci kadang dipuji, kadang berbahagia kadang mengalami kesedihan, kadang suka kadang
menderita. Tidak ada yang abadi dalam hidup ini.
Kalau kita mencoba untuk menyaksikan bagaimana gambaran hidup itu sebenarnya
dalam fenomena atau pengalaman perjalanan karir para peniti karir di lapangan, maka
keberlangsungan karir itu bukan berarti selalu berjalan mulus, sampai dengan figure-figur
peniti karir sukses sekalipun maka badai masalah itu bukan berarti kosong. Boleh jadi kita
terperangah ketika menyaksikan kesuksesan karir orang lain, mereka yang bisa menjadi
pemimpin kenegaraan; jadi presiden, jadi menteri, menjadi aktivis politik, meminpin
organisasi. Mungkin kita bertanya bagaimana kedudukan keluarga mereka, anak-anak
mereka, istri atau suami menyangkut tugas dan tanggung jawab mereka, terlebih jika suami
dan istri keduanya sama-sama pelaku karir. Bagaimanakah sesungguhnya mereka mampu
menjalani semua itu. Kok bisa ya..
Kita terkagum ketika mampu menyaksikan orang-orang yang dapat sukses menjalani
perjalanan karirnya, terlebih indicator kesuksesan itu, orang bisa sukses dalam keluarganya;
dalam mendidik anak-anak mereka, orang bisa sukses dengan terus mengembangkan karirnya
hingga mampu meraih posisi-posisi strategis dalam sebuah intansi atau perusahan organisasi.
Mereka juga memiliki hubungan yang harmonis dengan keluarganya; mampu mengelola
waktu secara seimbang antara karir, keluarga. Bahkan merekapun diterima secara baik oleh
lingkungan masyarakatnya.
Namun demikian, selain fenomena kesuksesan, kitapun tidak sedikit menyaksikan
orang-orang yang gagal dalam mengelola perasaan-perasaan yang buruk, konflik-konflik baik
pada dirinya sendiri maupun dengan yang lain termasuk keluarga dan lingkungan
masyarakatnya. Diantara indicator kegagalan bisa disebutkan seperti: stress atau berbagai
ketegangan, kejenuhan, malas dan tidak ada gairah dalam bekerja (berkarir), konflik peranan
dan terutama lagi bagi wanita karir, konflik atau ketegangan yang timbul karena relasi-relasi
ditempat kerja; dengan atasan, sesame atau bawahan.
Apa yang sebaiknya dilakukan jika dalam perjalanan karir kita dihadapkan dengan sejumlah
persoalan yang bisa menghambat dan mengancam kesuksesan karir? Inilah yang menarik kita
diskusikan.
Persoalan-persoalan Psikologis dalam Karir
1. Ketegangan Pikiran, Emosi dan stress dalam kerja
Dampak dari kualitas kehidupan kerja yang buruk salah satu diantaranya adalah
timbulnya stress di tempat kerja. Stess kerja merupakan istilah umum yang menunjuk pada
tekanan dan masalah yang dialami oleh setiap orang dalam kehidupan kerjanya. Konsep stress
1
mengandung dua makna yaitu positif dan negatif. Jika orang dapat mengatur atau mengelola
stress dengan baik maka secara psikologis akan menumbuhkan semangat dan motivasi untuk
bekerja. Sebaliknya jika stress terlalu berlebihan akan menyebabkan terganggunya kesehatan
baik secara fisik maupun nonfisik.
Stress yang sering dikeluhkan orang biasanya merupakan suatu perasaan tegang atau
tekanan yang dialami ketika tuntutan yang dihadapkan melebihi kekuatan yang ada pada diri
kita. Saat ini, reaksi stress pada umumnya berhubungan dengan ancaman finansial, emosional,
mental, dan sosial. Oleh karena itu pimpinan suatu organisasi perlu mengelola stress agar
karyawan mampu bekerja produktif sehingga kinerja organisasi dapat dicapai secara
maksimal ( Anwar Prabu Mangkunegara, 2003 : 179 ).
Menurut Szilagyi ( 1990 ) stress adalah pengalaman yang bersifat internal yang
menciptakan adanya ketidakseimbangan pisik dan psikis dalam diri seseorang sebagai akibat
dari faktor lingkungan eksternal organisasi atau orang lain. Stress kerja merupakan perasaan
yang menekan atau merasa tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan.
Stress kerja ini tampak dari simpton antara lain emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka
menyendiri, sulit tidur, merokok yang berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup,
tekanan darah meningkat dan mengalami gangguan pencernaan. Penyebab stress kerja antara
lain beban kerja yang dirasakan terlalu berat, waktu kerja yang mendesak, kualitas
pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat, autoritas kerja yang tidak
memadai yang berhubungan dengan tanggung jawab, konflik kerja, perbedaan nilai antar
karyawan dengan pimpinan yang frustasi dalam kerja.
Stress yang terjadi berlarut – larut dapat menyebabkan karyawan mengalami burn out.
Menurut Sulistyantini ( dalam Lailani, dkk, 2005 ), stress dan tekanan kerja dapat mengalami
pasang surut dan berubah – ubah. Dengan kata lain , hari ini individu mengalami stress, esok
harinya bisa kembali normal. Sedangkan burn out terjadi secara perlahan melalui proses
waktu cukup lama. Atau stress merupakan proses adaptasi sementara terhadap tekanan
lingkungan sehingga bersifat fluktuatif dan tidak menetap, serta tidak disertai perubahan sikap
dan perilaku. Burnout merupakan tahap akhir dari ketidakmampuan individu untuk
beradaptasi dengan tekanan lingkungan, dimanan proses terjadinya berjalan perlahan dan
waktu yang lama, serta terjadi perubahan sikap – perilaku yang negatif pada orang lain dan
pekerjaannya. Burnout bukanlah kondisi yang bersifat temporal dan terjadi secara bertahap,
perlahan dan menetap dalam jangka waktu yang lama.
2. Kejenuhan di tempat kerja
Berbagai penelitian yang dilakukan dua dekade terakhir menunjukkan hasil bahwa
burnout tidak hanya berakibat negatif pada individu seperti depresi, perasaan gagal, kelelahan,
dan hilangnya motivasi tetapi juga berakibat negatif pada organisasi seperti absensi, turnover,
dan menurunnya produktivitas kerja ( Van Dierendonk dkk, 1988 ).
Problem interpersonal dalam lingkungan kerja dapat terjadi terhadap resipien, kolega,
supervisor, dan bawahan. Individu yang mengalami burnout dapat membawa problem di
tempat kerja ke rumah, yang oleh Jackson dan Maslach disebut dengan negative spillover.
Tipikal individu yang mengalami burnout cenderung menarik diri dari kontak sosial dan lebih
buruk lagi jika mengisolasi dirinya.
2
Sikap negatif yang berkembang tidak hanya terjadi pada hubungan interpersonal saja
tetapi dapat pula terjadi pada pekerjaan ataupun organisasi. Sikap negatif dalam hubungan
interpersonal seperti dehumanisasi, tidak berperasaan ( callous ), memisahkan diri ( detached
), acuh tak acuh ( indifferent ), sinis ( synical ) terhadap resipien, merupakan karakteristik yang
sering
muncul
pada
penderita
burnout.
Burnout dapat memperburuk kualitas kerja ( Chermis dan Freudenberger, dalam
Schultz dan Schultz, 1994) bahkan dapat menyebabkan individu berhenti dari pekerjaan,
turnover tinggi dan juga absen, serta rendahnya produktivitas kerja ( Schaufeli dan Buunk,
1996 ). Jaffe dan Scott ( dalam Sulistyantini, 1997 ) menambahkan bahwa burnout dapat
menimbulkan masalah bagi organisasi atau perusahaan karena simpton burnout dapat muncul
dalam bentuk komitmen kinerja menurun, frustasi, penurunan semangat kerja, turnover,
hilangnya dedikasi dan kreativitas individu. Simpton ini juga sering disertai dengan
munculnya simpton fisik.
3. Konflik antara Tuntutan Pekerjaan vs. keluarga
James Levine dan Todd Pittinsky, dalam bukunya WORKING FATHERS: New
Strategies for Balancing Work and Family (1997), memberikan 2 pertanyaan penting kepada
audience mereka dalam satu tes kepada beberapa pasang suami istri. Pertama, “berapa persen
dari ibu-ibu yang bekerja mengalami sejumlah konflik yang siginifikan di antara job dan
family life?”. Ada pelbagai jawaan: 80 %, 60 %, 120 % . Akhirnya dirata-ratakan ada 80 %.
Itu berarti 4 dari 5 wanita yang bekerja merasakan ketegangan antara job dan family life.
Konflik ini menjadi karakteristik ibu-ibu yang bekerja saat ini. Kedua, “berapa % dari bapakbapak yang bekerja mengalami sejumlah konflik signifikan antara work dan family life”?.
Ada yang menjawab : Zero %, 20 %, 50 %. Kesimpulannya dalam kelompok itu, rata-rata
wanita 2 hingga 4 kali lebih besar mengalami konflik daripada pria. Jumlah ini tentu diluar
dugaan kita.
Perhatikan juga beberapa survey ini:
Pada tahun 1987, ketika satu riset umum diadakan terhadap 1600 karyawan, ditemukan
36 % kaum bapak dilaporkan mengalami sejumlah besar stress dalam menyeimbangkan
antara pekerjaan dan kehidupan keluarga mereka.
Pada tahun 1984, ketika perusahaan AT & T mensurvey karyawannya menemukan
bahwa anak-anak ternyata lebih menyebabkan stress dan kecemasan pada karyawan daripada
hal-hal lain (termasuk karier).
Polling tahun 1991 ditemukan mayoritas pria Amerika 59% mendapatkan sejumlah
kepuasan yang besar karena mempedulikan keluarga daripada pekerjaan.
Tahun 1992, survey nasional menemukan data bahwa 31 % memfokuskan hidup
mereka pada pekerjaan, 33 % pada keluarga, dan sisanya (36 %) mengatakan fokus pada
keduanya.
Pada tahun 1993, survey nasional oleh University Of Illionis menyimpulkan, bahwa
pria sekarang “mencari emosi utama mereka, secara personal dan kepuasan spiritual dari
family setting.”
Pada tahun 1996, Consumer Survey Center mengadakan polling bagi Levi Strauss &
Co. menemukan pria yang berumur 30 - 40 tahun, 84 % mengartikan “sukses” berarti menjadi
3
ayah yang baik; sementara itu 72 % mengatakan memiliki hubungan yang akrab dengan
pasangannya”.
Apakah data di atas berarti kaum ayah pada masa kini mengalami kemunduran interes mereka
terhadap kerja atau karier?
Pada tahun 1994, ketika Families and Work Institute mengadakan survey pada
sekelompok sample pria di USA, ditanyakan “ apa yang membuat anda merasa sukses di
rumah?” Kebanyakan respon menjawab, “memiliki relasi yang baik dengan keluarga dan
menghabiskan waktu yang cukup dengan keluarga”. Barulah diikuti dengan jawaban ,”
jaminan finansial”.
Tahun 1993, ketika Parents Magazine mensurvey pembacanya, demikian juga Child
Magazine, ditemukan ranking pertama , karakteristik “ a good father” adalah “yang terlibat
dengan anak-anak setiap hari”. Baru setelah itu diikuti, “mampu mensupport finansial
keluarga”.
Namun kenyataannya hanya sedikit kaum Bapa ataupun kaum Ibu yang berhasil
memuaskan keinginannya untuk mengutamakan keluarga. Di sinilah konflik itu muncul.
Konflik ini kemudian mengundang pelbagai macam masalah kesehatan mental dan spiritual.
Termasuk dalam keluarga Hamba Tuhan. Tidak sedikir dalam menjalankan tugas pelayanan
sebagai hamba Tuhan dan majelis, pelayanan dijadikan semacam “katarsis” dan
“penghiburan”.
Dalam satu artikel di Kompas (1997) pernah ditulis, banyak kaum manajer di Amerika
saat ini rela kehilangan jabatan penting dan pelbagai bonus di perusahaan, demi ada waktu
dengan anak-anak. Mereka berusaha tidak pulang lebih dari jam 5 atau 6 sore. Orangtua di
Amerika mulai sadar betapa pentingnya menyediakan waktu bagi keluarga. Bagaimana
dengan keluarga kita masing-masing ditempat kita masing-masing???
Survai Keseimbangan Keluarga dan Karir
Survai di Minneapolis terhadap 1.200 karyawan menghasilkan data perbandingan
kesulitan antara ayah dan ibu dalam memelihara anak. Ternyata kaum ayah punya konflik
lebih tinggi dalam dirinya, yakni 72% : 65 %. Para ayah juga menghadapi konflik antara
keluarga dan kerjaan dengan perbandingan 70 % : 63 %.
Mengapa konflik dalam diri kaum ayah demikian tinggi? Dalam beberapa penelitian
ditemukan, ternyata keinginan kaum ayah menyediakan waktu dengan anak-anak mereka,
sangat tinggi. Dalam polling tahun 1991 ditemukan, mayoritas pria Amerika (59%)
mendapatkan sejumlah kepuasan yang besar karena mempedulikan keluarga daripada
pekerjaan.
Tahun 1996, A Consumer Survey Center mengadakan polling bagi Levi Strauss &
Co dan menemukan, pria yang berumur 30-40 tahun, 84% mengartikan “sukses” adalah
menjadi ayah yang baik; sementara itu 72% mengatakan ”sukses” berarti memiliki hubungan
yang akrab dengan pasangannya.
Tahun 1993, ketika Parents Magazine dan Child Magazine mensurvai pembacanya,
ditemukan ranking pertama, karakteristik “a good father” adalah “yang terlibat dengan anakanak setiap hari”. Baru setelah itu diikuti, “mampu men-support finansial keluarga”.
Namun kenyataannya hanya sedikit kaum ayah atau kaum ibu yang berhasil memuaskan
keinginannya untuk mengutamakan keluarga. Di sinilah konflik itu muncul. Konflik ini
4
kemudian mengundang berbagai masalah kesehatan mental dan spiritual, termasuk dalam
gereja. Misalnya, tidak efektif dalam menjalan-kan tugas pelayanan sebagai hamba Tuhan dan
majelis. Tanpa disadari beberapa pelayan Tuhan, menjadikan gereja semacam “katarsis” dan
“penghiburan”.
Dalam satu artikel di Kompas (1997) pernah ditulis, banyak manajer di Amerika saat ini
rela kehilangan jabatan penting dan bonus di perusahaan, demi ada waktu dengan anak-anak.
Mereka berusaha tidak pulang lebih dari jam 5 atau 6 sore. Beberapa kelompok orang tua di
Amerika mulai sadar betapa pentingnya menyediakan waktu bagi keluarga. Bagaimana
dengan kita?
4. Masalah Karir Bagi Perempuan yang bekerja
Arri Handayani, SPsi, MSi, dosen PPB/BK - FIP IKIP PGRI Semarang dalam
ulisannya ia mengatakan,
Dunia pendidikan tanah air baru saja kehilangan salah satu tokoh terbaiknya. Dialah
Prof Dr Hj Retno Sriningsih Satmoko, sosok wanita karier yang berhasil, baik di sektor
domestik maupun di sektor publik. Di sektor domestik terbukti dengan keberhasilannya
mendidik putra-putrinya sehingga mencapai sukses di bidangnya masing-masing. Salah
seorang di antara puteranya itu adalah Dr Hj Sri Mulyani Indrawati, MSc, yang kini menjabat
sebagai Menteri Keuangan dan Pejabat Menko Perekonomian RI. Sedangkan di sektor publik
dibuktikannya dengan sampai akhir hayat untuk berkarier di dunia pendidikan sebagai dosen.
Pasangan Prof Drs H Satmoko dan Prof Dr Hj Retno Sriningsih Satmoko adalah
model pasangan ideal yang diinginkan setiap keluarga karena perkawinan yang bahagia
adalah dambaan setiap pasangan suami istri. Berbagai upaya dilakukan untuk mencapai
kebahagiaan itu, walaupun kenyataannya, tidak mudah. Tidak semua perkawinan dapat
berjalan seperti yang diharapkan para pasangan pengantin baru. Banyak yang tidak
menemukan kepuasan di dalam perkawinannya, sehingga merasa tidak bahagia dan akhirnya
memutuskan untuk bercerai.
Menurut Prof Dr Hj Retno Sriningsih Satmoko, berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Hidayati (Suara Merdeka, 18 Oktober 2008) fondasi pernikahan terletak pada
pelakunya, yaitu suami dan istri. Poin utamanya adalah bagaimana memilih suami yang tepat
dan sesuai dengan dirinya, atau dalam Islam dikenal dengan konsep sekufu. Sekufu adalah
kesamaan suami istri dalam pola dasar, pengetahuan yang dimiliki, profesi hingga cara
berpikir.
Setelah sekufu antara suami dan istri, bukan berarti tidak ada masalah, karena
nyatanya masalah dalam kehidupan perkawinan akan semakin kompleks ketika suami-istri
tersebut kedua-duanya bekerja, sehingga istri harus berperan ganda sebagai wanita yang
bekerja di luar rumah dan mengurus kegiatan rumah tangganya sendiri. Padahal pada masa
sekarang seorang wanita berkarier sudah merupakan suatu hal yang biasa.
Sesuai dengan tuntutan zaman, seorang wanita berkarier tidak semata-mata untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi juga untuk aktualisasi diri. Seorang wanita ingin maju
sehingga ruang geraknya tidak lagi terbatas pada urusan rumah tangganya, tetapi mulai masuk
ke wilayah yang lebih luas. Beberapa alasan yang mendorong peningkatan partisipasi wanita
dalam dunia kerja antara lain tingkat pendidikan yang lebih tinggi, ingin mengembangkan
ilmu, menambah penghasilan keluarga, mengisi kekosongan waktu, dan mencapai aktualisasi
5
diri.
Meskipun demikian, kerugian yang mungkin terjadi pada pernikahan dengan karier
ganda di antaranya adalah harus menyediakan waktu dan tenaga tambahan, konflik antara
peran pekerjaan dan peran keluarga. Dan jika keluarga itu mempunyai anak, ada
kemungkinan perhatian terhadap kebutuhan anak kurang terpenuhi.
Pada dasarnya sukses wanita yang memutuskan untuk berkarier tergantung pada dua
hal. Pertama keputusannya untuk berkarier diterima suami dan kedua, seorang wanita harus
merasa yakin akan apa yang diinginkan, dan tidak merasa bersalah atas pilihannya itu.
Dengan demikian, bagaimanapun juga, keputusan wanita untuk berkarier didasarkan pada
bagaimana pandangannya tentang wanita karier; apakah ia menganggap sosok wanita karier
adalah suatu hal yang positif karena dapat membantu perekonomian keluarga? Atau justru
menganggapnya sebagai suatu hal yang negatif karena sering meninggalkan keluarga.
Keputusan wanita untuk berkarier juga perlu memperhitungkan perasaan keluarganya.
Sebagai wanita, dalam menjalankan pekerjaannya tergantung pada kebutuhan di
dalam keluarganya. Kondisi ini menyebabkan keberadaan wanita yang sungguh-sungguh
mengutamakan karier masih sedikit, kebanyakan wanita sudah puas hanya sekadar bekerja
dengan memeroleh penghasilan sehingga tidak sepenuhnya bergantung pada suami.
Sebagian wanita yang lain juga tidak tidak ingin mengejar prestasi puncak karena
takut sukses yang dampaknya negatif.
Sebetulnya wanita tidak kalah dibandingkan kaum pria, bahkan jabatan eksekutif
tertinggi di negeri ini pernah dijabat oleh seorang wanita. Meskipun demikian, dalam budaya
patriakhi partisipasi wanita dalam karier masih sering mengalami hambatan. Hambatan itu
pada umumnya terjadi karena konflik antara pekerjaan dan keluarga atau yang sering
dikatakan sebagai konflik peran ganda dalam suatu situasi demikian wanita akan lebih
mengutamakan keluarganya.
Hasil penelitian Pudjibudojo dan Prihanto (2000) menunjukkan bahwa dukungan
suami merupakan faktor yang sangat berpengaruh bagi wanita yang telah berkeluarga.
Mereka dapat berperan secara optimal, baik dalam dunia karier maupun dalam kehidupan
rumah tangga sebagai seorang ibu dan seorang istri.
Hasil penelitian Hidayati dengan subyek penelitian Prof Dr Hj Retno Sriningsih
Satmoko sendiri (Suara Merdeka, 18 Oktober 2008) juga menunjukkan hasil yang sama.
Seorang ibu tidak akan menjadi supermom tanpa adanya seorang suami yang super pula. Dia
memiliki pemahaman dan visi yang cenderung sama dalam menjalani praktek pengasuhan
anak. Prinsip-prinsip kesetaraan dan keselarasan antara suami istri dalam berumah tanggapun
diperlukan dalam usaha meraih tujuan keluarga.
Kebahagiaan perkawinan untuk para wanita karier juga dipengaruhi konsep diri
karena konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan tingkah laku. Menurut
Santrock (2003) konsep diri merupakan evaluasi terhadap domain yang spesifik dari diri.
Evaluasi tentang diri ini meliputi semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang
diketahui individu tentang dirinya sendiri. Ini akan memengaruhi dalam berhubungan dengan
orang lain. Konsep diri mempengaruhi kebahagiaan perkawinan. Bagi wanita karier, dengan
konsep diri yang baik, ia mempunyai penilaian yang baik tentang dirinya, sehingga akan
berdampak positif, yaitu kebahagiaan dalam perkawinannya.
Argumentasi ini memang menjadi kontroversi yang sulit menemukan titik akhir.
Tinggal kita sebagai wanita yang berkarier mau memilih yang mana untuk menciptakan
6
kebahagiaan dalam keluarga. Karena, bahagia itu tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi kita
juga yang mengupayakan, dan setiap pilihan pasti ada konsekwensinya.
Upaya Penanganan Problem-problem psikologis para pelaku karir
Pada dasarnya setiap peniti karir mempunyai obsesi dan harapan bisa menempuh
karirnya dengan sukses. Untuk itu agar seseorang mampu mengupayakannya harus
mengetahui apa yang menjadi karakteristik sukses karir itu.
Jika kita melihat orang yang sukses dalam pekerjaan, ada beberapa karakteristik
umum yang mirip satu sama lain:
1. Bekerja dengan sepenuh hati dan riang
2. Memiliki prestasi dalam pekerjaan sebagai individu dan tim
3. Mampu mengelola konflik
4. Mampu menghadapi dan menjalankan perubahan
5. Memiliki empati terhadap atasan, bawahan dan rekan kerja
6. Mampu membaca dan mengenali emosi diri sendiri maupun orang lain serta mengambil
tindakan yang tepat dalam menanganinya
Jika kita perhatikan, maka hampir semua daftar di atas akan dimiliki oleh orang yang
cerdas secara emosional. Khusus untuk item nomor dua diperlukan kecerdasan intelektual
yaitu bagaimana seseorang bisa menjadi ahli di bidangnya. Memiliki pengetahuan dan skill
yang mumpuni agar bisa berprestasi secara individu. Selanjutnya kecerdasan emosional akan
membantunya berprestasi pula sebagai tim bersama rekan kerja, bawahan maupun atasannya.
Beberapa agenda yang bisa dilakukan agar mampu mempersiapkan peniti karir yang
sukses adalah: pengembangan kecerdasan emosi, pengembangan kemampuan pengendalian
diri, pengembangan gumption, disiplin dan withitness.
-Pengembangan kecerdasan emosional
Dalam bukunya yang terkenal, Daniel Goleman menyebutkan disamping Kecerdasan
Intelektual (IQ) ada kecerdasan lain yang membantu seseorang sukses yakni Kecerdasan
Emosional (EQ). Bahkan secara khusus dikatakan bahwa kecerdasan emosional lebih
berperan dalam kesuksesan dibandingkan kecerdasan intelektual. Klaim ini memang terkesan
agak dibesarkan meskipun ada beberapa penelitian yang menunjukkan kebenaran ke arah
sana. Sebuah studi bahkan menyebutkan IQ hanya berperan 4%-25% terhadap kesuksesan
dalam pekerjaan. Sisanya ditentukan oleh EQ atau faktor-faktor lain di luar IQ tadi.
Jika kita melihat dunia kerja, maka kita bisa menyaksikan bahwa seseorang tidak
cukup hanya pintar di bidangnya. Dunia pekerjaan penuh dengan interaksi sosial di mana
orang harus cakap dalam menangani diri sendiri maupun orang lain. Orang yang cerdas secara
intelektual di bidangnya akan mampu bekerja dengan baik. Namun jika ingin melejit lebih
jauh dia membutuhkan dukungan rekan kerja, bawahan maupun atasannya. Di sinilah
kecerdasan emosional membantu seseorang untuk mencapai keberhasilan yang lebih jauh.
Berdasarkan pengalaman saya sendiri dalam proses rekrutmen karyawan, seseorang
dengan nilai IPK yang tinggi sekalipun dan datang dari Universitas favorit tidak selalu
menjadi pilihan yang terbaik untuk direkrut. Ada kalanya orang yang pintar secara intelektual
kurang memiliki kematangan secara sosial. Orang seperti ini bisa jadi sangat cerdas, memiliki
kemampuan analisa yang kuat, serta kecepatan belajar yang tinggi. Namun jika harus bekerja
sama dengan orang lain dia kesulitan. Atau jika dia harus memimpin maka akan cenderung
7
memaksakan pendapatnya serta jika harus menjadi bawahan punya kecenderungan sulit
diatur.
Orang seperti ini mungkin akan melejit jika bekerja pada bidang yang menuntut
keahlian tinggi tanpa banyak ketergantungan dengan orang lain. Namun kemungkinan besar
dia akan sulit bertahan pada organisasi yang membutuhkan kerja sama, saling mendukung
dan menjadi sebuah “super team”, bukan “super man”.
Tentunya tidak semua orang yang cerdas secara intelektual seperti itu. Dan bukan
berarti kecerdasan intelektual tidak penting. Dalam dunia kerja kecerdasan intelektual menjadi
sebuah prasyarat awal yang menentukan level kemampuan minimal tertentu yang dibutuhkan.
Sebagai contoh beberapa perusahaan mempersyaratkan IPK mahasiswa minimal 3.0 atau 2.75
sebagai syarat awal pendaftaran. Hal ini kurang lebih memberikan indikasi bahwa setidaknya
kandidat tersebut telah belajar dengan baik di masa kuliahnya dulu.
Setelah syarat minimal tersebut terpenuhi, selanjutnya kecerdasan emosional akan
lebih berperan dan dilihat lebih jauh dalam proses seleksi. Apakah dia punya pengalaman
yang cukup dalam berorganisasi? Apakah calon tersebut pernah memimpin atau dipimpin?
Apa yang dia lakukan ketika menghadapi situasi sulit? Bagaimana dia mengelola motivasi
dan semangat ketika dalam kondisi tertekan? Dan banyak hal lagi yang akan diuji.
Dalam dunia kerja yang semakin kompetitif, kemampuan seseorang menangani
beban kerja, stres, interaksi sosial, pengendalian diri, menjadi kunci penting dalam
keberhasilan. Seseorang yang sukses dalam pekerjaan biasanya adalah orang yang mampu
mengelola dirinya sendiri, memotivasi diri sendiri dan orang lain, dan secara sosial memiliki
kemampuan dalam berinteraksi secara positif dan saling membangun satu sama lain. Dengan
cara ini orang tersebut akan mampu berprestasi baik sebagai seorang individu maupun tim.
Bagaimanakah kecerdasan emosi bisa dikembangkan?
Sejak kecil kita telah memiliki emosi dan berinteraksi dengan emosi tersebut.
Kebiasaan kita dalam menanganinya akan terus terbawa dan menjadi karakter seseorang
ketika dewasa. Dengan demikian, alangkah berbahagianya seorang anak yang memiliki
orangtua yang peka dan pelatih emosi yang baik. Anak seperti ini akan berlatih menangani
dirinya sejak masa kecil. Untuk topik ini insya Allah akan saya posting dalam kesempatan
yang akan datang.
Bagaimana jika ketika dewasa kita kurang memiliki kematangan secara emosional?
Jawabannya adalah kecerdasan tersebut dapat dilatih. Cara paling awal adalah dengan
mengenali emosi diri Anda ketika terjadi. Kenali apa saja yang berkecamuk dalam dada Anda
dan suara-suara yang memerintahkan Anda untuk bertindak. Tahapan berikutnya adalah
melakukan kontrol diri terhadap berbagai bentuk emosi yang ada. Bagaimana Anda
mengendalikan diri ketika marah, tidak terpuruk ketika merasa kecewa, dapat bangkit dari
kesedihan, mampu memotivasi diri dan bangkit ketika tertekan, mengatur diri dari kemalasan,
menetapkan target yang menantang namun wajar, serta bisa menerima keberhasilan maupun
kegagalan dengan lapang dada.
Jika hal tersebut sudah Anda kuasai, selanjutnya adalah melatih kematangan sosial.
Bagaimana Anda berempati – merasakan apa yang dirasakan orang lain – sehingga bisa
memberi respon yang tepat terhadap sinyal-sinyal emosi yang ditampilkan orang lain.
Kematangan ini akan mudah dikembangkan jika Anda aktif terlibat dalam organisasi,
bekerjasama dengan orang lain dan memiliki interaksi sosial yang intens. Latihlah
8
kemampuan Anda dalam memimpin dan dipimpin, memotivasi orang lain, serta mengatasi
dan mengelola konflik.
Bagi saya pribadi, memahami emosi sangat membantu dalam mengenali diri dalam
tahap awal. Selanjutnya adalah mengenali dan mengendalikan oknum-oknum yang saling
berperang dalam diri: berbagai keinginan, kesombongan, iri hati, dengki, kebencian, amarah
dan sifat-sifat lainnya. Cerdas secara emosional akan membantu Anda pada tahap awal untuk
mengenali diri dengan lebih baik, sekaligus bersikap positif dan melatih kematangan
menghadapi kehidupan, apapun yang terjadi: susah atau senang, sukses atau gagal, mudah
atau sulit.
-Pengembangan gumption, disiplin dan withitness
Dave E. Redokopp menyebutkan, diantara factor kesuksesan karir, bahwa karir
seseorang tidak berkembang sendiri, karir seseorang akan berkembang setidaknya karena
ditentukan oleh kepemilikan tiga atau empat kompetensi utama si peniti karir. Faktor-faktor
itu adalah gumption, discipline, honour dan withitness.
1. Gumption
Gumption mempunyai beberapa arti, diantaranya inisiatif (saya sedang bekerja
berinisiatif untuk mendapatkan kesempatan itu), courage: keberanian, keteguhan hati (Saya
memerlukan keberanian untuk bercakap-cakap dengan bos tentang hal itu), dan common
sense (pikiran sehat), (Seseorang dengan pikiran sehat akan mengetahui apa yang
dikerjakannya). Untuk pembahasan ini, saya akan menggunakan gumption sebagai suatu
kombinasi antara courage dan initiative. Menurut saya, pemakaian inisiatif selalu memerlukan
suatu tingkatan keberanian tertentu, dan keberanian berkurang maknanya tanpa tindakan yang
dikendalikan oleh inisiatif.
“Gumption menggambarkan kejadian yang sebenarnya pada seseorang yang
berhubungan dengan kualitas”. “Seseorang yang mempunyai gumption tidak duduk bermalasmalasan dan bersedih terhadap sesuatu. Dia mengedepankan kesadarannya, memperhatikan
dengan melihat kesan (mengambil pelajaran terhadap suatu peristiwa) dari apa yang
ditemuinya”.
Beberapa isu yang terkait dengan gumption adalah: ketidakmampuan menyampaikan
kebenaran kepada atasan, ketidakmampuan bersikap tegas, sikap gentlemen mengakui
kesalahan dan mau bertanggung jawab, sanggup menanggung resiko, dll.
2. Disiplin
Disiplin atau maksudnya “disiplin diri”, yaitu kemampuan seseorang untuk
mengontrol dan mengerjakan sesuatu yang tidak datang secara alami; untuk menentukan
berbagai tindakan seseorang. Sebagian besar dari kita berfikir bahwa disiplin masyarakat
sebagai kontrol (control), tertib (orderly) dan pengorbanan diri (self sacrificing), tetapi saya
ingin memisahkan “kontrol” dari “pengorbanan diri”. Jika kepribadian anda secara alami
tertib, terorganisir dan anal-retentive, bukan termasuk disiplin. Disiplin diperlukan jika anda
tidak rapi, berantakan (kacau) dan tidak terorganisir. Menurut saya, bagian terpenting dari
disiplin adalah kesediaan seseorang untuk mengatasi problem sendiri secara alami. Hal ini
biasanya meliputi pengorbanan kesenangan dalam jangka pendek (menunda kesenangan
sesaat) karena berharap mendapat prestasi dalam jangka panjang. Bagi kebanyakan kita,
9
belajar keras, latihan suatu alat (instrumen) atau mengerjakan pekerjaan membutuhkan
disiplin.
Menurut Wendy Fox dan Jim Geekie, disiplin adalah sesuatu yang dapat ditukar
“keinginan (impian)” menjadi “kenyataan”. Kita semua mempunyai mimpi dan pandangan
yang lebih baik di masa yang akan datang. Gumption menyebabkan kita bergerak ke arah itu,
tetapi disiplin yang menjaga kita kemana kita melangkah. Dengan kata lain, gumption adalah
keberanian - disiplin membuat waktu anda lebih berarti (bermakna). Anda bisa melihat bahwa
ketekunan, keuletan, ketabahan hati memaksa diri sendiri untuk melakukan sesuatu meskipun
tidak menyenangkan - ini merupakan bagian dari disiplin. Disiplin merupakan bagian dari
ketabahan hati mengambil alih ketika gumption seseorang perlahan-lahan mulai habis
(hilang).
Beberapa isu yang terkait dengan disiplin antara lain meletakkan nilai di atas kepentingan,
menunaikan hak sebenarnya, selalu focus pada masa depan, kepatuhan, dan lain-lain.
3. Withitness
Jacob Kounin (1970) membuat istilah “withitness” ketika melakukan penelitian
tentang efektifitas manajemen ruangan kelas. Kounin dalam penelitiannya menemukan
bahwa keberhasilan seorang guru tidak ditentukan oleh keberagaman masalah kedisiplinan.
Menurut Kounin, kesuksesan seorang guru menjaga masalah-masalah disiplin justru lebih
efektif dari pada guru yang tidak berhasil. Salah satu sifat/keadaan “withitness” adalah
mengetahui apa dan siapa yang akan melakukan sesuatu setiap saat. Guru dengan withitness
mempunyai penglihatan di belakang kepala mereka. Maksudnya, seseorang yang
mempunyai withitness berkemampuan untuk menyadari keberadaan lingkungan dan
pengaruhnya terhadap dirinya. Ia juga bisa membaca lingkungannya dan isyarat-isyarat
emosional, mengecek respon orang lain pada perilaku mereka, mengetahui apa yang terjadi di
dunia, dan menjaga ide-ide baru. Mereka cukup yakin terhadap diri mereka sendiri, dapat
melihat dengan jelas kejadian di luar dirinya dan apa yang ada di dalam hatinya.
Beberapa isu yang terkait dengan withitness adalah pentingnya melihat dampak dari
suatu tindakan, memahami lingkungan politik serta kekuatan yang berpengaruh dalam
organisasi atau manajemen.
Meningkatkan kemampuan pengendalian diri
Kemampuan ini bisa dikenali dari kemampuan mengendalikan diri ketika marah,
tidak terpuruk ketika merasa kecewa, dapat bangkit dari kesedihan, mampu memotivasi diri
dan bangkit ketika tertekan, mengatur diri dari kemalasan, menetapkan target yang menantang
namun wajar, serta bisa menerima keberhasilan maupun kegagalan dengan lapang dada.
Secara teknis, self control dipahami sebagai mengatur pikiran-pikiran dan tindakantindakan sehingga kamu menghentikan tekanan-tekanan dari dalam atau tanpa
menghentikannya tetapi melakukan tindakan (mengalihkannya) kepada cara yang kamu
ketahui dan rasakan sebagai benar.(Borba: 81)
Self control menolong seseorang menahan dorongan-dorongannya (impulses) dan
berpikir sebelum bertindak sehingga ia berperilaku benar dan sedikit membuat pilihan yang
ruam (samar) yang berpotensi terhadap outcomes yang membahayakan. Kebajikan ini
menolong orang menjadi percaya diri (self-reliant) karena ia tahu bahwa dia dapat
mengendalikan tindakannya. Kebajikan ini juga memotivasi kedermawanan (generosity) dan
10
kebaikan hati (kindness) karena ia menolongnya menyimpan ke samping (menangguhkan)
apa-apa yang memberinya hadiah langsung (kepuasan, kenikmatan) dan menggerakan suara
hatinya (conscience) untuk melakukan sesuatu sebagai gantinya.(Borba: 7)
Self control merupakan mekanisme internal yang menjadi perantara dan
menghentikan kita dari pemutaran (turning) dorongan-dorongan (impulses) ke dalam realita.
Self control merupakan kebajikan esensil untuk perilaku moral, tetapi kepemilikannya jauh
dari jaminan. Ia mesti dikembangkan, diinsfirasikan, didorong. Self control yang kurang
berkembang menempatkan anak pada ketidakberuntungan moral yang besar: ketika gagasangagasan membahayakan atau pikiran-pikiran muncul dalam kepala mereka, system rem
internalnya (internal brake) tidak ada, dan daripada menghentikan malahan mendrumkan
kecepatan penuh dan lurus pada kesukaran.(Borba: 82)
Self Control adalah apa-apa yang menolong anak mengatur perilakunya sehingga
mereka lebih menyukai melakukan apa yang mereka tahu melalui pikirannya dan
hati/perasaannya sebagai benar. Self control memberikan seseorang kekuatan kehendak untuk
mengatakan tidak (the willpower to say no), melakukan apa-apa yang benar(do what’s right)
dan memilih untuk melakukan tindakan yang bermoral (to choose the act morally). (h. 82).
Self control merupakan sebuah mekanisme internal yang powerful yang membimbing tingkah
laku moralnya sehingga pilihan-pilihannya bukan hanya lebih aman tetapi juga lebih
bijaksana. Hal itu karena self control merupakan otot moral yang secara temporarily
menghentikan tindakan-tindakan yang berpotensi salah (hurtful). Itu terjadi dengan memberi
anak ekstra kritis kedua yang mereka butuhkan untuk mengenal kemungkinan konsekuensi
dari tindakannya dan kemudian mengeremnya, kemudian mereka tidak memproses menjadi
tindakan yang didasarkan pada pikiran-pikiran berbahaya. Self control penting bagi anak
untuk menghadapi dunia yang terkadang kejam dan tidak dapat diprediksi. (Borba: 83)
Self control juga didefinisikan dalam ragam rumusan: (1) Selfcontrol adalah self
regulatory, yaitu apa yang menolong anak mengatur perilakunya sehingga ia melakukan
berdasarkan pengetahuannya dan perasaannya secara benar. Self control memberikan anakanak kehendak yang kuat/ kekuatan kehendak untuk mengatakan tidak, melakukan apa yang
benar dan memilih tindakan yang bermoral. (2)kebaikan pada inti kepercayaan diri seseorang.
Jika seseorang memiliki self control, dia tahu, dia mempunyai pilihan-pilihan dan dapat
mengendalikan tindakannya. Kebaikan itu memotivasi kebaikan budi. Kebaikan
menggerakan nuraninya menggerakan sesuatu. (3)sesuatu yang menggerakan seseorang pada
karakter kuat, karena menghentikannya dari pemanjaan berlebihan terhadap kesenangan dan
mengijinkannya untuk fokus pada tanggung jawabnya. (4)Sesuatu yang mensiagakan
seseorang terhadap sesuatu yang secara potensial berkonsekuensi bahaya bagi tindakannya,
menolong menggunakan pikirannya untuk mengendalikan emosinya. (Michele Borba,2001:
89 ).
Dalam pendapat tokoh lain (Chaplin, 2001) kontrol diri adalah kemampuan untuk
membimbing tingkah laku sendiri dalam artian kemampuan seseorang untuk menekan atau
merintangi impuls- impuls atau tingkah laku impulsif. Kontrol diri ini menyangkut seberapa
kuat seseorang memegang nilai dan kepercayaannya untuk dijadikan acuan ketika ia bertindak
atau mengambil suatu keputusan.
Lazaruz (1976) mengatakan bahwa kontrol diri menggambarkan keputusan individu
yang melalui pertimbangan kognitifnya untuk menyatakan perilaku yang telah disusun untuk
meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti apa yang dikehendaki. Hal ini berarti kontrol
11
diri untuk memahami keseluruhan khazanah pengungkapan diri baik yang positif maupun
negatif sehingga individu menyadari apa yang bisa membangkitkan ekspresi-ekspresi positif
maupun negatif di dalam dirinya. Jika individu mampu menghindari situasi-situasi yang dapat
memicu sifat-sifat negatif berarti individu tidak memb iarkan diri menyerah pada
kecenderungan-kecenderungan untuk bereaksi secara negatif ketika individu menghadapi
realitas keras dalam hidupnya.
12
Download