Bab VII PROBLEMATIKA PSIKOLOGIS DALAM KARIR DAN USAHA PENCEGAHANNYA; SEBUAH PEMIKIRAN UNTUK MERAIH KESUKSESAN BERKARIR Kehidupan tidak selamanya berjalan mulus, kadang berubah atau tidak tetap selamanya, di suatu waktu kehidupan seseorang dirundung banyak masalah, penuh kebingungan dan kekesalan. Nasib seseorang pun adakalanya naik adakalanya turun, kadang dicaci kadang dipuji, kadang berbahagia kadang mengalami kesedihan, kadang suka kadang menderita. Tidak ada yang abadi dalam hidup ini. Kalau kita mencoba untuk menyaksikan bagaimana gambaran hidup itu sebenarnya dalam fenomena atau pengalaman perjalanan karir para peniti karir di lapangan, maka keberlangsungan karir itu bukan berarti selalu berjalan mulus, sampai dengan figure-figur peniti karir sukses sekalipun maka badai masalah itu bukan berarti kosong. Boleh jadi kita terperangah ketika menyaksikan kesuksesan karir orang lain, mereka yang bisa menjadi pemimpin kenegaraan; jadi presiden, jadi menteri, menjadi aktivis politik, meminpin organisasi. Mungkin kita bertanya bagaimana kedudukan keluarga mereka, anak-anak mereka, istri atau suami menyangkut tugas dan tanggung jawab mereka, terlebih jika suami dan istri keduanya sama-sama pelaku karir. Bagaimanakah sesungguhnya mereka mampu menjalani semua itu. Kok bisa ya.. Kita terkagum ketika mampu menyaksikan orang-orang yang dapat sukses menjalani perjalanan karirnya, terlebih indicator kesuksesan itu, orang bisa sukses dalam keluarganya; dalam mendidik anak-anak mereka, orang bisa sukses dengan terus mengembangkan karirnya hingga mampu meraih posisi-posisi strategis dalam sebuah intansi atau perusahan organisasi. Mereka juga memiliki hubungan yang harmonis dengan keluarganya; mampu mengelola waktu secara seimbang antara karir, keluarga. Bahkan merekapun diterima secara baik oleh lingkungan masyarakatnya. Namun demikian, selain fenomena kesuksesan, kitapun tidak sedikit menyaksikan orang-orang yang gagal dalam mengelola perasaan-perasaan yang buruk, konflik-konflik baik pada dirinya sendiri maupun dengan yang lain termasuk keluarga dan lingkungan masyarakatnya. Diantara indicator kegagalan bisa disebutkan seperti: stress atau berbagai ketegangan, kejenuhan, malas dan tidak ada gairah dalam bekerja (berkarir), konflik peranan dan terutama lagi bagi wanita karir, konflik atau ketegangan yang timbul karena relasi-relasi ditempat kerja; dengan atasan, sesame atau bawahan. Apa yang sebaiknya dilakukan jika dalam perjalanan karir kita dihadapkan dengan sejumlah persoalan yang bisa menghambat dan mengancam kesuksesan karir? Inilah yang menarik kita diskusikan. Persoalan-persoalan Psikologis dalam Karir 1. Ketegangan Pikiran, Emosi dan stress dalam kerja Dampak dari kualitas kehidupan kerja yang buruk salah satu diantaranya adalah timbulnya stress di tempat kerja. Stess kerja merupakan istilah umum yang menunjuk pada tekanan dan masalah yang dialami oleh setiap orang dalam kehidupan kerjanya. Konsep stress 1 mengandung dua makna yaitu positif dan negatif. Jika orang dapat mengatur atau mengelola stress dengan baik maka secara psikologis akan menumbuhkan semangat dan motivasi untuk bekerja. Sebaliknya jika stress terlalu berlebihan akan menyebabkan terganggunya kesehatan baik secara fisik maupun nonfisik. Stress yang sering dikeluhkan orang biasanya merupakan suatu perasaan tegang atau tekanan yang dialami ketika tuntutan yang dihadapkan melebihi kekuatan yang ada pada diri kita. Saat ini, reaksi stress pada umumnya berhubungan dengan ancaman finansial, emosional, mental, dan sosial. Oleh karena itu pimpinan suatu organisasi perlu mengelola stress agar karyawan mampu bekerja produktif sehingga kinerja organisasi dapat dicapai secara maksimal ( Anwar Prabu Mangkunegara, 2003 : 179 ). Menurut Szilagyi ( 1990 ) stress adalah pengalaman yang bersifat internal yang menciptakan adanya ketidakseimbangan pisik dan psikis dalam diri seseorang sebagai akibat dari faktor lingkungan eksternal organisasi atau orang lain. Stress kerja merupakan perasaan yang menekan atau merasa tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stress kerja ini tampak dari simpton antara lain emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit tidur, merokok yang berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup, tekanan darah meningkat dan mengalami gangguan pencernaan. Penyebab stress kerja antara lain beban kerja yang dirasakan terlalu berat, waktu kerja yang mendesak, kualitas pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat, autoritas kerja yang tidak memadai yang berhubungan dengan tanggung jawab, konflik kerja, perbedaan nilai antar karyawan dengan pimpinan yang frustasi dalam kerja. Stress yang terjadi berlarut – larut dapat menyebabkan karyawan mengalami burn out. Menurut Sulistyantini ( dalam Lailani, dkk, 2005 ), stress dan tekanan kerja dapat mengalami pasang surut dan berubah – ubah. Dengan kata lain , hari ini individu mengalami stress, esok harinya bisa kembali normal. Sedangkan burn out terjadi secara perlahan melalui proses waktu cukup lama. Atau stress merupakan proses adaptasi sementara terhadap tekanan lingkungan sehingga bersifat fluktuatif dan tidak menetap, serta tidak disertai perubahan sikap dan perilaku. Burnout merupakan tahap akhir dari ketidakmampuan individu untuk beradaptasi dengan tekanan lingkungan, dimanan proses terjadinya berjalan perlahan dan waktu yang lama, serta terjadi perubahan sikap – perilaku yang negatif pada orang lain dan pekerjaannya. Burnout bukanlah kondisi yang bersifat temporal dan terjadi secara bertahap, perlahan dan menetap dalam jangka waktu yang lama. 2. Kejenuhan di tempat kerja Berbagai penelitian yang dilakukan dua dekade terakhir menunjukkan hasil bahwa burnout tidak hanya berakibat negatif pada individu seperti depresi, perasaan gagal, kelelahan, dan hilangnya motivasi tetapi juga berakibat negatif pada organisasi seperti absensi, turnover, dan menurunnya produktivitas kerja ( Van Dierendonk dkk, 1988 ). Problem interpersonal dalam lingkungan kerja dapat terjadi terhadap resipien, kolega, supervisor, dan bawahan. Individu yang mengalami burnout dapat membawa problem di tempat kerja ke rumah, yang oleh Jackson dan Maslach disebut dengan negative spillover. Tipikal individu yang mengalami burnout cenderung menarik diri dari kontak sosial dan lebih buruk lagi jika mengisolasi dirinya. 2 Sikap negatif yang berkembang tidak hanya terjadi pada hubungan interpersonal saja tetapi dapat pula terjadi pada pekerjaan ataupun organisasi. Sikap negatif dalam hubungan interpersonal seperti dehumanisasi, tidak berperasaan ( callous ), memisahkan diri ( detached ), acuh tak acuh ( indifferent ), sinis ( synical ) terhadap resipien, merupakan karakteristik yang sering muncul pada penderita burnout. Burnout dapat memperburuk kualitas kerja ( Chermis dan Freudenberger, dalam Schultz dan Schultz, 1994) bahkan dapat menyebabkan individu berhenti dari pekerjaan, turnover tinggi dan juga absen, serta rendahnya produktivitas kerja ( Schaufeli dan Buunk, 1996 ). Jaffe dan Scott ( dalam Sulistyantini, 1997 ) menambahkan bahwa burnout dapat menimbulkan masalah bagi organisasi atau perusahaan karena simpton burnout dapat muncul dalam bentuk komitmen kinerja menurun, frustasi, penurunan semangat kerja, turnover, hilangnya dedikasi dan kreativitas individu. Simpton ini juga sering disertai dengan munculnya simpton fisik. 3. Konflik antara Tuntutan Pekerjaan vs. keluarga James Levine dan Todd Pittinsky, dalam bukunya WORKING FATHERS: New Strategies for Balancing Work and Family (1997), memberikan 2 pertanyaan penting kepada audience mereka dalam satu tes kepada beberapa pasang suami istri. Pertama, “berapa persen dari ibu-ibu yang bekerja mengalami sejumlah konflik yang siginifikan di antara job dan family life?”. Ada pelbagai jawaan: 80 %, 60 %, 120 % . Akhirnya dirata-ratakan ada 80 %. Itu berarti 4 dari 5 wanita yang bekerja merasakan ketegangan antara job dan family life. Konflik ini menjadi karakteristik ibu-ibu yang bekerja saat ini. Kedua, “berapa % dari bapakbapak yang bekerja mengalami sejumlah konflik signifikan antara work dan family life”?. Ada yang menjawab : Zero %, 20 %, 50 %. Kesimpulannya dalam kelompok itu, rata-rata wanita 2 hingga 4 kali lebih besar mengalami konflik daripada pria. Jumlah ini tentu diluar dugaan kita. Perhatikan juga beberapa survey ini: Pada tahun 1987, ketika satu riset umum diadakan terhadap 1600 karyawan, ditemukan 36 % kaum bapak dilaporkan mengalami sejumlah besar stress dalam menyeimbangkan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga mereka. Pada tahun 1984, ketika perusahaan AT & T mensurvey karyawannya menemukan bahwa anak-anak ternyata lebih menyebabkan stress dan kecemasan pada karyawan daripada hal-hal lain (termasuk karier). Polling tahun 1991 ditemukan mayoritas pria Amerika 59% mendapatkan sejumlah kepuasan yang besar karena mempedulikan keluarga daripada pekerjaan. Tahun 1992, survey nasional menemukan data bahwa 31 % memfokuskan hidup mereka pada pekerjaan, 33 % pada keluarga, dan sisanya (36 %) mengatakan fokus pada keduanya. Pada tahun 1993, survey nasional oleh University Of Illionis menyimpulkan, bahwa pria sekarang “mencari emosi utama mereka, secara personal dan kepuasan spiritual dari family setting.” Pada tahun 1996, Consumer Survey Center mengadakan polling bagi Levi Strauss & Co. menemukan pria yang berumur 30 - 40 tahun, 84 % mengartikan “sukses” berarti menjadi 3 ayah yang baik; sementara itu 72 % mengatakan memiliki hubungan yang akrab dengan pasangannya”. Apakah data di atas berarti kaum ayah pada masa kini mengalami kemunduran interes mereka terhadap kerja atau karier? Pada tahun 1994, ketika Families and Work Institute mengadakan survey pada sekelompok sample pria di USA, ditanyakan “ apa yang membuat anda merasa sukses di rumah?” Kebanyakan respon menjawab, “memiliki relasi yang baik dengan keluarga dan menghabiskan waktu yang cukup dengan keluarga”. Barulah diikuti dengan jawaban ,” jaminan finansial”. Tahun 1993, ketika Parents Magazine mensurvey pembacanya, demikian juga Child Magazine, ditemukan ranking pertama , karakteristik “ a good father” adalah “yang terlibat dengan anak-anak setiap hari”. Baru setelah itu diikuti, “mampu mensupport finansial keluarga”. Namun kenyataannya hanya sedikit kaum Bapa ataupun kaum Ibu yang berhasil memuaskan keinginannya untuk mengutamakan keluarga. Di sinilah konflik itu muncul. Konflik ini kemudian mengundang pelbagai macam masalah kesehatan mental dan spiritual. Termasuk dalam keluarga Hamba Tuhan. Tidak sedikir dalam menjalankan tugas pelayanan sebagai hamba Tuhan dan majelis, pelayanan dijadikan semacam “katarsis” dan “penghiburan”. Dalam satu artikel di Kompas (1997) pernah ditulis, banyak kaum manajer di Amerika saat ini rela kehilangan jabatan penting dan pelbagai bonus di perusahaan, demi ada waktu dengan anak-anak. Mereka berusaha tidak pulang lebih dari jam 5 atau 6 sore. Orangtua di Amerika mulai sadar betapa pentingnya menyediakan waktu bagi keluarga. Bagaimana dengan keluarga kita masing-masing ditempat kita masing-masing??? Survai Keseimbangan Keluarga dan Karir Survai di Minneapolis terhadap 1.200 karyawan menghasilkan data perbandingan kesulitan antara ayah dan ibu dalam memelihara anak. Ternyata kaum ayah punya konflik lebih tinggi dalam dirinya, yakni 72% : 65 %. Para ayah juga menghadapi konflik antara keluarga dan kerjaan dengan perbandingan 70 % : 63 %. Mengapa konflik dalam diri kaum ayah demikian tinggi? Dalam beberapa penelitian ditemukan, ternyata keinginan kaum ayah menyediakan waktu dengan anak-anak mereka, sangat tinggi. Dalam polling tahun 1991 ditemukan, mayoritas pria Amerika (59%) mendapatkan sejumlah kepuasan yang besar karena mempedulikan keluarga daripada pekerjaan. Tahun 1996, A Consumer Survey Center mengadakan polling bagi Levi Strauss & Co dan menemukan, pria yang berumur 30-40 tahun, 84% mengartikan “sukses” adalah menjadi ayah yang baik; sementara itu 72% mengatakan ”sukses” berarti memiliki hubungan yang akrab dengan pasangannya. Tahun 1993, ketika Parents Magazine dan Child Magazine mensurvai pembacanya, ditemukan ranking pertama, karakteristik “a good father” adalah “yang terlibat dengan anakanak setiap hari”. Baru setelah itu diikuti, “mampu men-support finansial keluarga”. Namun kenyataannya hanya sedikit kaum ayah atau kaum ibu yang berhasil memuaskan keinginannya untuk mengutamakan keluarga. Di sinilah konflik itu muncul. Konflik ini 4 kemudian mengundang berbagai masalah kesehatan mental dan spiritual, termasuk dalam gereja. Misalnya, tidak efektif dalam menjalan-kan tugas pelayanan sebagai hamba Tuhan dan majelis. Tanpa disadari beberapa pelayan Tuhan, menjadikan gereja semacam “katarsis” dan “penghiburan”. Dalam satu artikel di Kompas (1997) pernah ditulis, banyak manajer di Amerika saat ini rela kehilangan jabatan penting dan bonus di perusahaan, demi ada waktu dengan anak-anak. Mereka berusaha tidak pulang lebih dari jam 5 atau 6 sore. Beberapa kelompok orang tua di Amerika mulai sadar betapa pentingnya menyediakan waktu bagi keluarga. Bagaimana dengan kita? 4. Masalah Karir Bagi Perempuan yang bekerja Arri Handayani, SPsi, MSi, dosen PPB/BK - FIP IKIP PGRI Semarang dalam ulisannya ia mengatakan, Dunia pendidikan tanah air baru saja kehilangan salah satu tokoh terbaiknya. Dialah Prof Dr Hj Retno Sriningsih Satmoko, sosok wanita karier yang berhasil, baik di sektor domestik maupun di sektor publik. Di sektor domestik terbukti dengan keberhasilannya mendidik putra-putrinya sehingga mencapai sukses di bidangnya masing-masing. Salah seorang di antara puteranya itu adalah Dr Hj Sri Mulyani Indrawati, MSc, yang kini menjabat sebagai Menteri Keuangan dan Pejabat Menko Perekonomian RI. Sedangkan di sektor publik dibuktikannya dengan sampai akhir hayat untuk berkarier di dunia pendidikan sebagai dosen. Pasangan Prof Drs H Satmoko dan Prof Dr Hj Retno Sriningsih Satmoko adalah model pasangan ideal yang diinginkan setiap keluarga karena perkawinan yang bahagia adalah dambaan setiap pasangan suami istri. Berbagai upaya dilakukan untuk mencapai kebahagiaan itu, walaupun kenyataannya, tidak mudah. Tidak semua perkawinan dapat berjalan seperti yang diharapkan para pasangan pengantin baru. Banyak yang tidak menemukan kepuasan di dalam perkawinannya, sehingga merasa tidak bahagia dan akhirnya memutuskan untuk bercerai. Menurut Prof Dr Hj Retno Sriningsih Satmoko, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (Suara Merdeka, 18 Oktober 2008) fondasi pernikahan terletak pada pelakunya, yaitu suami dan istri. Poin utamanya adalah bagaimana memilih suami yang tepat dan sesuai dengan dirinya, atau dalam Islam dikenal dengan konsep sekufu. Sekufu adalah kesamaan suami istri dalam pola dasar, pengetahuan yang dimiliki, profesi hingga cara berpikir. Setelah sekufu antara suami dan istri, bukan berarti tidak ada masalah, karena nyatanya masalah dalam kehidupan perkawinan akan semakin kompleks ketika suami-istri tersebut kedua-duanya bekerja, sehingga istri harus berperan ganda sebagai wanita yang bekerja di luar rumah dan mengurus kegiatan rumah tangganya sendiri. Padahal pada masa sekarang seorang wanita berkarier sudah merupakan suatu hal yang biasa. Sesuai dengan tuntutan zaman, seorang wanita berkarier tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi juga untuk aktualisasi diri. Seorang wanita ingin maju sehingga ruang geraknya tidak lagi terbatas pada urusan rumah tangganya, tetapi mulai masuk ke wilayah yang lebih luas. Beberapa alasan yang mendorong peningkatan partisipasi wanita dalam dunia kerja antara lain tingkat pendidikan yang lebih tinggi, ingin mengembangkan ilmu, menambah penghasilan keluarga, mengisi kekosongan waktu, dan mencapai aktualisasi 5 diri. Meskipun demikian, kerugian yang mungkin terjadi pada pernikahan dengan karier ganda di antaranya adalah harus menyediakan waktu dan tenaga tambahan, konflik antara peran pekerjaan dan peran keluarga. Dan jika keluarga itu mempunyai anak, ada kemungkinan perhatian terhadap kebutuhan anak kurang terpenuhi. Pada dasarnya sukses wanita yang memutuskan untuk berkarier tergantung pada dua hal. Pertama keputusannya untuk berkarier diterima suami dan kedua, seorang wanita harus merasa yakin akan apa yang diinginkan, dan tidak merasa bersalah atas pilihannya itu. Dengan demikian, bagaimanapun juga, keputusan wanita untuk berkarier didasarkan pada bagaimana pandangannya tentang wanita karier; apakah ia menganggap sosok wanita karier adalah suatu hal yang positif karena dapat membantu perekonomian keluarga? Atau justru menganggapnya sebagai suatu hal yang negatif karena sering meninggalkan keluarga. Keputusan wanita untuk berkarier juga perlu memperhitungkan perasaan keluarganya. Sebagai wanita, dalam menjalankan pekerjaannya tergantung pada kebutuhan di dalam keluarganya. Kondisi ini menyebabkan keberadaan wanita yang sungguh-sungguh mengutamakan karier masih sedikit, kebanyakan wanita sudah puas hanya sekadar bekerja dengan memeroleh penghasilan sehingga tidak sepenuhnya bergantung pada suami. Sebagian wanita yang lain juga tidak tidak ingin mengejar prestasi puncak karena takut sukses yang dampaknya negatif. Sebetulnya wanita tidak kalah dibandingkan kaum pria, bahkan jabatan eksekutif tertinggi di negeri ini pernah dijabat oleh seorang wanita. Meskipun demikian, dalam budaya patriakhi partisipasi wanita dalam karier masih sering mengalami hambatan. Hambatan itu pada umumnya terjadi karena konflik antara pekerjaan dan keluarga atau yang sering dikatakan sebagai konflik peran ganda dalam suatu situasi demikian wanita akan lebih mengutamakan keluarganya. Hasil penelitian Pudjibudojo dan Prihanto (2000) menunjukkan bahwa dukungan suami merupakan faktor yang sangat berpengaruh bagi wanita yang telah berkeluarga. Mereka dapat berperan secara optimal, baik dalam dunia karier maupun dalam kehidupan rumah tangga sebagai seorang ibu dan seorang istri. Hasil penelitian Hidayati dengan subyek penelitian Prof Dr Hj Retno Sriningsih Satmoko sendiri (Suara Merdeka, 18 Oktober 2008) juga menunjukkan hasil yang sama. Seorang ibu tidak akan menjadi supermom tanpa adanya seorang suami yang super pula. Dia memiliki pemahaman dan visi yang cenderung sama dalam menjalani praktek pengasuhan anak. Prinsip-prinsip kesetaraan dan keselarasan antara suami istri dalam berumah tanggapun diperlukan dalam usaha meraih tujuan keluarga. Kebahagiaan perkawinan untuk para wanita karier juga dipengaruhi konsep diri karena konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan tingkah laku. Menurut Santrock (2003) konsep diri merupakan evaluasi terhadap domain yang spesifik dari diri. Evaluasi tentang diri ini meliputi semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya sendiri. Ini akan memengaruhi dalam berhubungan dengan orang lain. Konsep diri mempengaruhi kebahagiaan perkawinan. Bagi wanita karier, dengan konsep diri yang baik, ia mempunyai penilaian yang baik tentang dirinya, sehingga akan berdampak positif, yaitu kebahagiaan dalam perkawinannya. Argumentasi ini memang menjadi kontroversi yang sulit menemukan titik akhir. Tinggal kita sebagai wanita yang berkarier mau memilih yang mana untuk menciptakan 6 kebahagiaan dalam keluarga. Karena, bahagia itu tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi kita juga yang mengupayakan, dan setiap pilihan pasti ada konsekwensinya. Upaya Penanganan Problem-problem psikologis para pelaku karir Pada dasarnya setiap peniti karir mempunyai obsesi dan harapan bisa menempuh karirnya dengan sukses. Untuk itu agar seseorang mampu mengupayakannya harus mengetahui apa yang menjadi karakteristik sukses karir itu. Jika kita melihat orang yang sukses dalam pekerjaan, ada beberapa karakteristik umum yang mirip satu sama lain: 1. Bekerja dengan sepenuh hati dan riang 2. Memiliki prestasi dalam pekerjaan sebagai individu dan tim 3. Mampu mengelola konflik 4. Mampu menghadapi dan menjalankan perubahan 5. Memiliki empati terhadap atasan, bawahan dan rekan kerja 6. Mampu membaca dan mengenali emosi diri sendiri maupun orang lain serta mengambil tindakan yang tepat dalam menanganinya Jika kita perhatikan, maka hampir semua daftar di atas akan dimiliki oleh orang yang cerdas secara emosional. Khusus untuk item nomor dua diperlukan kecerdasan intelektual yaitu bagaimana seseorang bisa menjadi ahli di bidangnya. Memiliki pengetahuan dan skill yang mumpuni agar bisa berprestasi secara individu. Selanjutnya kecerdasan emosional akan membantunya berprestasi pula sebagai tim bersama rekan kerja, bawahan maupun atasannya. Beberapa agenda yang bisa dilakukan agar mampu mempersiapkan peniti karir yang sukses adalah: pengembangan kecerdasan emosi, pengembangan kemampuan pengendalian diri, pengembangan gumption, disiplin dan withitness. -Pengembangan kecerdasan emosional Dalam bukunya yang terkenal, Daniel Goleman menyebutkan disamping Kecerdasan Intelektual (IQ) ada kecerdasan lain yang membantu seseorang sukses yakni Kecerdasan Emosional (EQ). Bahkan secara khusus dikatakan bahwa kecerdasan emosional lebih berperan dalam kesuksesan dibandingkan kecerdasan intelektual. Klaim ini memang terkesan agak dibesarkan meskipun ada beberapa penelitian yang menunjukkan kebenaran ke arah sana. Sebuah studi bahkan menyebutkan IQ hanya berperan 4%-25% terhadap kesuksesan dalam pekerjaan. Sisanya ditentukan oleh EQ atau faktor-faktor lain di luar IQ tadi. Jika kita melihat dunia kerja, maka kita bisa menyaksikan bahwa seseorang tidak cukup hanya pintar di bidangnya. Dunia pekerjaan penuh dengan interaksi sosial di mana orang harus cakap dalam menangani diri sendiri maupun orang lain. Orang yang cerdas secara intelektual di bidangnya akan mampu bekerja dengan baik. Namun jika ingin melejit lebih jauh dia membutuhkan dukungan rekan kerja, bawahan maupun atasannya. Di sinilah kecerdasan emosional membantu seseorang untuk mencapai keberhasilan yang lebih jauh. Berdasarkan pengalaman saya sendiri dalam proses rekrutmen karyawan, seseorang dengan nilai IPK yang tinggi sekalipun dan datang dari Universitas favorit tidak selalu menjadi pilihan yang terbaik untuk direkrut. Ada kalanya orang yang pintar secara intelektual kurang memiliki kematangan secara sosial. Orang seperti ini bisa jadi sangat cerdas, memiliki kemampuan analisa yang kuat, serta kecepatan belajar yang tinggi. Namun jika harus bekerja sama dengan orang lain dia kesulitan. Atau jika dia harus memimpin maka akan cenderung 7 memaksakan pendapatnya serta jika harus menjadi bawahan punya kecenderungan sulit diatur. Orang seperti ini mungkin akan melejit jika bekerja pada bidang yang menuntut keahlian tinggi tanpa banyak ketergantungan dengan orang lain. Namun kemungkinan besar dia akan sulit bertahan pada organisasi yang membutuhkan kerja sama, saling mendukung dan menjadi sebuah “super team”, bukan “super man”. Tentunya tidak semua orang yang cerdas secara intelektual seperti itu. Dan bukan berarti kecerdasan intelektual tidak penting. Dalam dunia kerja kecerdasan intelektual menjadi sebuah prasyarat awal yang menentukan level kemampuan minimal tertentu yang dibutuhkan. Sebagai contoh beberapa perusahaan mempersyaratkan IPK mahasiswa minimal 3.0 atau 2.75 sebagai syarat awal pendaftaran. Hal ini kurang lebih memberikan indikasi bahwa setidaknya kandidat tersebut telah belajar dengan baik di masa kuliahnya dulu. Setelah syarat minimal tersebut terpenuhi, selanjutnya kecerdasan emosional akan lebih berperan dan dilihat lebih jauh dalam proses seleksi. Apakah dia punya pengalaman yang cukup dalam berorganisasi? Apakah calon tersebut pernah memimpin atau dipimpin? Apa yang dia lakukan ketika menghadapi situasi sulit? Bagaimana dia mengelola motivasi dan semangat ketika dalam kondisi tertekan? Dan banyak hal lagi yang akan diuji. Dalam dunia kerja yang semakin kompetitif, kemampuan seseorang menangani beban kerja, stres, interaksi sosial, pengendalian diri, menjadi kunci penting dalam keberhasilan. Seseorang yang sukses dalam pekerjaan biasanya adalah orang yang mampu mengelola dirinya sendiri, memotivasi diri sendiri dan orang lain, dan secara sosial memiliki kemampuan dalam berinteraksi secara positif dan saling membangun satu sama lain. Dengan cara ini orang tersebut akan mampu berprestasi baik sebagai seorang individu maupun tim. Bagaimanakah kecerdasan emosi bisa dikembangkan? Sejak kecil kita telah memiliki emosi dan berinteraksi dengan emosi tersebut. Kebiasaan kita dalam menanganinya akan terus terbawa dan menjadi karakter seseorang ketika dewasa. Dengan demikian, alangkah berbahagianya seorang anak yang memiliki orangtua yang peka dan pelatih emosi yang baik. Anak seperti ini akan berlatih menangani dirinya sejak masa kecil. Untuk topik ini insya Allah akan saya posting dalam kesempatan yang akan datang. Bagaimana jika ketika dewasa kita kurang memiliki kematangan secara emosional? Jawabannya adalah kecerdasan tersebut dapat dilatih. Cara paling awal adalah dengan mengenali emosi diri Anda ketika terjadi. Kenali apa saja yang berkecamuk dalam dada Anda dan suara-suara yang memerintahkan Anda untuk bertindak. Tahapan berikutnya adalah melakukan kontrol diri terhadap berbagai bentuk emosi yang ada. Bagaimana Anda mengendalikan diri ketika marah, tidak terpuruk ketika merasa kecewa, dapat bangkit dari kesedihan, mampu memotivasi diri dan bangkit ketika tertekan, mengatur diri dari kemalasan, menetapkan target yang menantang namun wajar, serta bisa menerima keberhasilan maupun kegagalan dengan lapang dada. Jika hal tersebut sudah Anda kuasai, selanjutnya adalah melatih kematangan sosial. Bagaimana Anda berempati – merasakan apa yang dirasakan orang lain – sehingga bisa memberi respon yang tepat terhadap sinyal-sinyal emosi yang ditampilkan orang lain. Kematangan ini akan mudah dikembangkan jika Anda aktif terlibat dalam organisasi, bekerjasama dengan orang lain dan memiliki interaksi sosial yang intens. Latihlah 8 kemampuan Anda dalam memimpin dan dipimpin, memotivasi orang lain, serta mengatasi dan mengelola konflik. Bagi saya pribadi, memahami emosi sangat membantu dalam mengenali diri dalam tahap awal. Selanjutnya adalah mengenali dan mengendalikan oknum-oknum yang saling berperang dalam diri: berbagai keinginan, kesombongan, iri hati, dengki, kebencian, amarah dan sifat-sifat lainnya. Cerdas secara emosional akan membantu Anda pada tahap awal untuk mengenali diri dengan lebih baik, sekaligus bersikap positif dan melatih kematangan menghadapi kehidupan, apapun yang terjadi: susah atau senang, sukses atau gagal, mudah atau sulit. -Pengembangan gumption, disiplin dan withitness Dave E. Redokopp menyebutkan, diantara factor kesuksesan karir, bahwa karir seseorang tidak berkembang sendiri, karir seseorang akan berkembang setidaknya karena ditentukan oleh kepemilikan tiga atau empat kompetensi utama si peniti karir. Faktor-faktor itu adalah gumption, discipline, honour dan withitness. 1. Gumption Gumption mempunyai beberapa arti, diantaranya inisiatif (saya sedang bekerja berinisiatif untuk mendapatkan kesempatan itu), courage: keberanian, keteguhan hati (Saya memerlukan keberanian untuk bercakap-cakap dengan bos tentang hal itu), dan common sense (pikiran sehat), (Seseorang dengan pikiran sehat akan mengetahui apa yang dikerjakannya). Untuk pembahasan ini, saya akan menggunakan gumption sebagai suatu kombinasi antara courage dan initiative. Menurut saya, pemakaian inisiatif selalu memerlukan suatu tingkatan keberanian tertentu, dan keberanian berkurang maknanya tanpa tindakan yang dikendalikan oleh inisiatif. “Gumption menggambarkan kejadian yang sebenarnya pada seseorang yang berhubungan dengan kualitas”. “Seseorang yang mempunyai gumption tidak duduk bermalasmalasan dan bersedih terhadap sesuatu. Dia mengedepankan kesadarannya, memperhatikan dengan melihat kesan (mengambil pelajaran terhadap suatu peristiwa) dari apa yang ditemuinya”. Beberapa isu yang terkait dengan gumption adalah: ketidakmampuan menyampaikan kebenaran kepada atasan, ketidakmampuan bersikap tegas, sikap gentlemen mengakui kesalahan dan mau bertanggung jawab, sanggup menanggung resiko, dll. 2. Disiplin Disiplin atau maksudnya “disiplin diri”, yaitu kemampuan seseorang untuk mengontrol dan mengerjakan sesuatu yang tidak datang secara alami; untuk menentukan berbagai tindakan seseorang. Sebagian besar dari kita berfikir bahwa disiplin masyarakat sebagai kontrol (control), tertib (orderly) dan pengorbanan diri (self sacrificing), tetapi saya ingin memisahkan “kontrol” dari “pengorbanan diri”. Jika kepribadian anda secara alami tertib, terorganisir dan anal-retentive, bukan termasuk disiplin. Disiplin diperlukan jika anda tidak rapi, berantakan (kacau) dan tidak terorganisir. Menurut saya, bagian terpenting dari disiplin adalah kesediaan seseorang untuk mengatasi problem sendiri secara alami. Hal ini biasanya meliputi pengorbanan kesenangan dalam jangka pendek (menunda kesenangan sesaat) karena berharap mendapat prestasi dalam jangka panjang. Bagi kebanyakan kita, 9 belajar keras, latihan suatu alat (instrumen) atau mengerjakan pekerjaan membutuhkan disiplin. Menurut Wendy Fox dan Jim Geekie, disiplin adalah sesuatu yang dapat ditukar “keinginan (impian)” menjadi “kenyataan”. Kita semua mempunyai mimpi dan pandangan yang lebih baik di masa yang akan datang. Gumption menyebabkan kita bergerak ke arah itu, tetapi disiplin yang menjaga kita kemana kita melangkah. Dengan kata lain, gumption adalah keberanian - disiplin membuat waktu anda lebih berarti (bermakna). Anda bisa melihat bahwa ketekunan, keuletan, ketabahan hati memaksa diri sendiri untuk melakukan sesuatu meskipun tidak menyenangkan - ini merupakan bagian dari disiplin. Disiplin merupakan bagian dari ketabahan hati mengambil alih ketika gumption seseorang perlahan-lahan mulai habis (hilang). Beberapa isu yang terkait dengan disiplin antara lain meletakkan nilai di atas kepentingan, menunaikan hak sebenarnya, selalu focus pada masa depan, kepatuhan, dan lain-lain. 3. Withitness Jacob Kounin (1970) membuat istilah “withitness” ketika melakukan penelitian tentang efektifitas manajemen ruangan kelas. Kounin dalam penelitiannya menemukan bahwa keberhasilan seorang guru tidak ditentukan oleh keberagaman masalah kedisiplinan. Menurut Kounin, kesuksesan seorang guru menjaga masalah-masalah disiplin justru lebih efektif dari pada guru yang tidak berhasil. Salah satu sifat/keadaan “withitness” adalah mengetahui apa dan siapa yang akan melakukan sesuatu setiap saat. Guru dengan withitness mempunyai penglihatan di belakang kepala mereka. Maksudnya, seseorang yang mempunyai withitness berkemampuan untuk menyadari keberadaan lingkungan dan pengaruhnya terhadap dirinya. Ia juga bisa membaca lingkungannya dan isyarat-isyarat emosional, mengecek respon orang lain pada perilaku mereka, mengetahui apa yang terjadi di dunia, dan menjaga ide-ide baru. Mereka cukup yakin terhadap diri mereka sendiri, dapat melihat dengan jelas kejadian di luar dirinya dan apa yang ada di dalam hatinya. Beberapa isu yang terkait dengan withitness adalah pentingnya melihat dampak dari suatu tindakan, memahami lingkungan politik serta kekuatan yang berpengaruh dalam organisasi atau manajemen. Meningkatkan kemampuan pengendalian diri Kemampuan ini bisa dikenali dari kemampuan mengendalikan diri ketika marah, tidak terpuruk ketika merasa kecewa, dapat bangkit dari kesedihan, mampu memotivasi diri dan bangkit ketika tertekan, mengatur diri dari kemalasan, menetapkan target yang menantang namun wajar, serta bisa menerima keberhasilan maupun kegagalan dengan lapang dada. Secara teknis, self control dipahami sebagai mengatur pikiran-pikiran dan tindakantindakan sehingga kamu menghentikan tekanan-tekanan dari dalam atau tanpa menghentikannya tetapi melakukan tindakan (mengalihkannya) kepada cara yang kamu ketahui dan rasakan sebagai benar.(Borba: 81) Self control menolong seseorang menahan dorongan-dorongannya (impulses) dan berpikir sebelum bertindak sehingga ia berperilaku benar dan sedikit membuat pilihan yang ruam (samar) yang berpotensi terhadap outcomes yang membahayakan. Kebajikan ini menolong orang menjadi percaya diri (self-reliant) karena ia tahu bahwa dia dapat mengendalikan tindakannya. Kebajikan ini juga memotivasi kedermawanan (generosity) dan 10 kebaikan hati (kindness) karena ia menolongnya menyimpan ke samping (menangguhkan) apa-apa yang memberinya hadiah langsung (kepuasan, kenikmatan) dan menggerakan suara hatinya (conscience) untuk melakukan sesuatu sebagai gantinya.(Borba: 7) Self control merupakan mekanisme internal yang menjadi perantara dan menghentikan kita dari pemutaran (turning) dorongan-dorongan (impulses) ke dalam realita. Self control merupakan kebajikan esensil untuk perilaku moral, tetapi kepemilikannya jauh dari jaminan. Ia mesti dikembangkan, diinsfirasikan, didorong. Self control yang kurang berkembang menempatkan anak pada ketidakberuntungan moral yang besar: ketika gagasangagasan membahayakan atau pikiran-pikiran muncul dalam kepala mereka, system rem internalnya (internal brake) tidak ada, dan daripada menghentikan malahan mendrumkan kecepatan penuh dan lurus pada kesukaran.(Borba: 82) Self Control adalah apa-apa yang menolong anak mengatur perilakunya sehingga mereka lebih menyukai melakukan apa yang mereka tahu melalui pikirannya dan hati/perasaannya sebagai benar. Self control memberikan seseorang kekuatan kehendak untuk mengatakan tidak (the willpower to say no), melakukan apa-apa yang benar(do what’s right) dan memilih untuk melakukan tindakan yang bermoral (to choose the act morally). (h. 82). Self control merupakan sebuah mekanisme internal yang powerful yang membimbing tingkah laku moralnya sehingga pilihan-pilihannya bukan hanya lebih aman tetapi juga lebih bijaksana. Hal itu karena self control merupakan otot moral yang secara temporarily menghentikan tindakan-tindakan yang berpotensi salah (hurtful). Itu terjadi dengan memberi anak ekstra kritis kedua yang mereka butuhkan untuk mengenal kemungkinan konsekuensi dari tindakannya dan kemudian mengeremnya, kemudian mereka tidak memproses menjadi tindakan yang didasarkan pada pikiran-pikiran berbahaya. Self control penting bagi anak untuk menghadapi dunia yang terkadang kejam dan tidak dapat diprediksi. (Borba: 83) Self control juga didefinisikan dalam ragam rumusan: (1) Selfcontrol adalah self regulatory, yaitu apa yang menolong anak mengatur perilakunya sehingga ia melakukan berdasarkan pengetahuannya dan perasaannya secara benar. Self control memberikan anakanak kehendak yang kuat/ kekuatan kehendak untuk mengatakan tidak, melakukan apa yang benar dan memilih tindakan yang bermoral. (2)kebaikan pada inti kepercayaan diri seseorang. Jika seseorang memiliki self control, dia tahu, dia mempunyai pilihan-pilihan dan dapat mengendalikan tindakannya. Kebaikan itu memotivasi kebaikan budi. Kebaikan menggerakan nuraninya menggerakan sesuatu. (3)sesuatu yang menggerakan seseorang pada karakter kuat, karena menghentikannya dari pemanjaan berlebihan terhadap kesenangan dan mengijinkannya untuk fokus pada tanggung jawabnya. (4)Sesuatu yang mensiagakan seseorang terhadap sesuatu yang secara potensial berkonsekuensi bahaya bagi tindakannya, menolong menggunakan pikirannya untuk mengendalikan emosinya. (Michele Borba,2001: 89 ). Dalam pendapat tokoh lain (Chaplin, 2001) kontrol diri adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri dalam artian kemampuan seseorang untuk menekan atau merintangi impuls- impuls atau tingkah laku impulsif. Kontrol diri ini menyangkut seberapa kuat seseorang memegang nilai dan kepercayaannya untuk dijadikan acuan ketika ia bertindak atau mengambil suatu keputusan. Lazaruz (1976) mengatakan bahwa kontrol diri menggambarkan keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitifnya untuk menyatakan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti apa yang dikehendaki. Hal ini berarti kontrol 11 diri untuk memahami keseluruhan khazanah pengungkapan diri baik yang positif maupun negatif sehingga individu menyadari apa yang bisa membangkitkan ekspresi-ekspresi positif maupun negatif di dalam dirinya. Jika individu mampu menghindari situasi-situasi yang dapat memicu sifat-sifat negatif berarti individu tidak memb iarkan diri menyerah pada kecenderungan-kecenderungan untuk bereaksi secara negatif ketika individu menghadapi realitas keras dalam hidupnya. 12