TINJAUAN PUSTAKA Plant Growth-Promoting Rhizobacteria Plant Growht-Promoting Rhizobacteria (PGPR) pertama kali didefinisikan oleh Kloepper dan Schroth (1978) sebagai bakteri disekitar perakaran tanaman yang memiliki kemampuan meningkatkan pertumbuhan tanaman. PGPR dilaporkan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan berbagai mekanisme diantaranya: fiksasi nitrogen, produksi siderofor sebagai pengkelat besi, dan sintesis fitohormon (Kloepper dan Schroth 1978). PGPR ini juga dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dengan cara meningkatkan fiksasi nitrogen, giberelin, sitokinin, etilen, kelarutan fosfat dan oksidasi sulfur, meningkatkan ketersediaan nitrat, produksi antibiotik ekstraseluler, enzim litik, asam hidrosianik dan meningkatkan permeabilitas akar, kompetisi dalam nutrisi dan letak akar (Enebak et al. 1998; Mello 2000). Egamberdiyeva (1997) melaporkan bahwa ketidakcocokan penerapan pupuk bagi produksi kapas di Uzbekistan menyebabkan pencemaran tanah pertanian. Dengan mengunakan metode biologis, selain dapat meningkatkan produksi tanaman juga tidak merusak lingkungan. PGPR juga dilaporkan sebagai elemen kunci untuk menyeimbangkan tanaman pada kondisi tekanan nutrisi dan dapat mereduksi dampak penggunaan pupuk kimia serta mendukung produksi pertanian yang ramah lingkungan. Rhizosfer dalam ekosistem tanah yang sehat dihuni oleh organisme yang menguntungkan dan dapat memanfaatkan substrat organik atau eksudat akar tanaman sebagai sumber energi dan nutrisinya. Mikroba tanah berperan dalam proses penguraian bahan organik, melepaskan nutrisi yang diperlukan tanaman dan mereduksi residu toksik. Selain itu mikroba juga berperan sebagai agen pemacu pertumbuhan tanaman (PGP Agent) yang memproduksi berbagai hormon tumbuh, vitamin dan berbagai asam organik yang berperan penting dalam merangsang pertumbuhan bulu-bulu akar (Hindersah dan Simarmata 2004). IAA yang dikeluarkan di dalam tanah direspon oleh tumbuhan secara bervariasi, tergantung pada spesies tanaman dan konsentrasi IAA yang dikeluarkan oleh bakteri (Beyeler et al. 1997 diacu dalam Husen dan Saraswati 2003). Rizobakteria pemacu pertumbuhan tanaman bersaing dalam mengkolonisasi akar tanaman, dan memacu pertumbuhan tanaman serta 4 menurunkan infeksi pada tanaman akibat serangan fitopatogen. Konsep PGPR dipertahankan dengan mengisolasi beberapa bakteri yang memenuhi setidaknya dua kriteria yaitu kemampuan dalam mengkolonisasi akar tanaman, mampu memacu pertumbuhan tanaman dan memiliki sifat sebagai biokontrol (Weller 2002; Haas & Défago 2005). Terdapat tiga komponen berbeda di dalam rizosfer, tetapi saling berinteraksi. Ketiga komponen tersebut adalah rizosfer (tanah), rizoplen, dan akar. Rizosfer merupakan zona atau areal disekitar perakaran yang terpengaruh oleh substrat yang dikeluarkan akar, yang berpengaruh terhadap aktivitas mikroba. Rizoplen merupakan permukaan akar, termasuk yang melekat kuat dengan partikel tanah. Akar sendiri merupakan bagian dari sistem, karena mikroorganisme tertentu dan endofit mampu mengkolonisasi jaringan akar. Mikroba yang mengkolonisasi rizoplen dan atau endofit diketahui sebagai pengkolonisasi akar. Mikroba yang mengkolonisasi di tanah karena pengaruh akar disebut pengkolonisasi rizosfer (Barea et al. 2005). Rizobakteria Bacillus sp. Rizosfer merupakan habitat PGPR, volume tanah seringkali mempengaruhi sistem perakaran tanaman. Di dalam rizosfer, sekresi senyawa organik yang dikeluarkan oleh tumbuhan dapat mengaktifkan populasi mikroba. PGPR yang diinokulasikan kepada tanaman, utamanya Pseudomonas, Serratia, Azospirillum dan Bacillus dapat meningkatkan pertumbuhan dan sistem perakaran serta menurunkan pertumbuhan fitopatogen. Mekanisme pemacuan sangat tergantung pada bakteria dan tanaman inang. Pada beberapa kasus pada proses interaksi antara bakteria dan tanaman ditemukan adanya sintesis hormon pengatur tumbuh IAA, siderofor dan biokontrol bakteria terhadap fitopatogen atau induksi respon pertahanan diri (Montesinos et al. 2002). Bacillus merupakan salah satu bakteri dari kelompok bakteri tanah yang seringkali dijumpai didalam rizosfer tanaman. Bacillus sp. merupakan bakteri gram positif yang memiliki sel berbentuk batang. Bakteri ini sangat toleran terhadap kondisi ekologi yang merugikan, kemampuannya membentuk endospora membuat bakteri ini dapat beradaptasi dengan formula dan bahan–bahan kimia 5 yang diaplikasikan dalam tanah pertanian (Liu dan Sinchair 1993; Bai et al. 2003). Endospora Bacillus berada di dalam sel vegetatif induk dan memiliki morfologi ultrastruktur yang kompleks. Endospora tahan terhadap panas, kekeringan, radiasi dan kondisi lingkungan yang tak menguntungkan. Dari sisi akademik Bacillus memiliki peranan penting terutama karena kompleksitas sistem regulasinya dalam mengendalikan sporulasi, kompeten, motilitas, dan pembentukan antibiotik. Kemampuannya dalam mensekresi enzim ekstraselular secara langsung ke dalam medium membuat B. subtilis sebagai bakteri yang sistem ekspresi gen heterolognya paling banyak dipelajari. Bacillus OSU 142 berpotensi dalam meningkatkan hasil panenan pohon Apricot. Hal ini telah diteliti pada tahun 2000 sampai dengan 2001 yaitu mengenai efek penyemprotan suspensi Bacillus OSU 142 terhadap pertumbuhan dan komposisi elemen nutrien pada daun Apricot kultivar Hacihaliloglu. Pada saat perbungaan dan pada 30 dan 60 hari setelah pembungaan di lahan pertanian provinsi Matalya Turki. Penelitian ini menghasilkan perbedaan yang nyata pada hasil panenan, panjang tunas dan komposisi elemen nurtrisi ( N, P, K, Ca, dan Mg) pada daun, yaitu lebih tinggi dengan menggunakan perlakuan Bacillus OSU 142 pada fase pembungaan dari pada tanaman kontrol (Estiken et al. 2002). Berbagai macam mikroorganisme yang terdapat di dalam rizosfer dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Secara umum jumlah bakteri lebih banyak dalam tanah dari pada jumlah cendawan. Beberapa genus bakteri seperti Pseudomonas, Agrobacterium, Azotobacter, Mycobacter, Flavobacter, Cellulomonas, Micrococcus, dan Bacillus dilaporkan jumlahnya melimpah di dalam rizosfer. Bakteri-bakteri ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan tanaman. Bakteri gram positif berpotensi sebagai biological solution, karena ketahanannya terhadap panas dan kemampuannya membentuk endospora. Pertumbuhan tanaman dapat ditingkatkan melalui kolonisasi akar oleh galur Bacillus dan Paenibacillus (Broadbent et al. 1977; Timmusk & Wagner 2001 ; Idriss 2002). Bakteri di dalam rizosfer secara tidak langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman yaitu sebagai agen pengendali hayati. Bakteri Pseudomonas flourescens dan Bacillus sp. berperan sebagai pengendali penyakit layu pada tanaman (Campbell 1989; Nasrun & Nuryani 2007). 6 Mekanisme PGPR dalam Memacu Pertumbuhan Tanaman Rizobakteri pemacu pertumbuhan tanaman memiliki kemampuan dalam memproduksi hormon pertumbuhan atau senyawa lain yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Indole acetic acid yang diproduksi oleh rizobakteria berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan tanaman. Senyawa lainnya yang berfungsi sebagai pengatur pertumbuhan tanaman seperti giberelic acid, cytokinins dan etylene juga diproduksi oleh rizobakteri ini (Kloepper 1993; Ryu et al. 2003). Nodulasi dan fiksasi nitrogen merupakan mekanisme pemacuan pertumbuhan secara langsung oleh rizobakteri khususnya bakteri endofitik seperti Rhizobium, Bradyrhizobium japonicum dan Azospirillum brasilense. Nodul yang dibentuk oleh bakteri tersebut membantu tanaman leguminose dalam memfiksasi nitrogen melalui aktivitas nitrogenase (Zhang et al. 1996). Kemampuan dalam melarutkan fosfat juga merupakan karakter PGPR. Dengan kemampuan ini, P inorganik yang terlarut di daerah rizosfer dapat tersedia bagi tanaman. Ketersediaan hormon pengatur tumbuh dan nutrisi ini membantu secara langsung dalam memacu perkembangan tanaman. Hasil panenan yang meningkat merupakan pengaruh PGPR disamping kemampuannya dalam memacu pertumbuhan tanaman (Datta et al. 1982). Peran PGPR dalam memacu pertumbuhan tanaman selain melalui mekanisme langsung dapat pula melalui mekanisme tak langsung seperti kemampuannya dalam menurunkan pertumbuhan fitopatogen. Produksi siderofor, antibiotik dan HCN oleh rizobakteria mampu menurunkan pertumbuhan fitopatogen. Mekanisme dari aktivitas ini antara lain: penghambatan pertumbuhan fitopatogen oleh senyawa antimikrob, kompetisi dalam mengkelat besi melalui produksi siderofor, kompetisi ruang dan nutrisi yang dikeluarkan oleh akar, mekanisme penginduksian resistensi, degradasi faktor patogenesitas fitopatogen seperti racun, memproduksi enzim ekstraseluler pendegradasi dinding sel seperti kitinase, dan β-1,3 glukanase (Whipps 2001). 7 Karakteristik Plant Growth Promoting Rhizobacteria Indole Acetic Acid Indole acetic acid merupakan hormon utama yang berperan dalam mengkontrol beberapa proses fisiologi tumbuhan, termasuk perkembangan dan pembelahan sel dan diferensiasi jaringan tumbuhan serta merespon terhadap cahaya dan grafitasi. IAA yang disintesis oleh jenis bakteri tertentu merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya peningkatan pertumbuhan tanaman. Akar merupakan salah satu organ tanaman yang sangat sensitif terhadap jumlah IAA. Tanaman merespon IAA dengan mekanisme pemanjangan akar utama, pembentukan akar lateral dan akar adventif (Leveau 2005). Kemampuan Bacillus sp. dalam memproduksi IAA berpengaruh secara langsung terhadap pertumbuhan tanaman. Kemampuan tersebut merupakan dasar untuk dikaji potensinya dalam peningkatan pertumbuhan kecambah kacang hijau, pengukuran panjang kecambah dan penghitungan jumlah cabang akar kecambah secara kuantitatif berkorelasi positif dengan aktivitas IAA (Aryantha et al. 2004). IAA berperan aktif pada semua tanaman dan berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan, seperti menginisiasi pemanjangan akar, perluasan sel, diferensiasi vaskuler, dan menginisiasi pembungaan (Brandl et al. 1996). Terdapat 80 persen bakteria yang berinteraksi dengan tanaman memiliki kemampuan untuk mensintesis IAA. Efek fisiologis biosintesis IAA pada bakteri tidak semata-mata hanya berpengaruh pada tanaman, namun juga digunakan untuk memenuhi persyaratan berinteraksi dengan tanaman. Triptofan merupakan prekursor utama pada sintesis IAA, karena penambahan triptofan kedalam kultur bakteri dapat memacu dan meningkatkan produksi IAA. Diasumsikan oleh Lebuhn et al. 1997 & Bar dan Okon 1992; Zakhrova et al. 1999 bahwa sintesis IAA pada bakteri merupakan cara detoksifikasi Trp. Terdapat beberapa lintasan sintesis IAA pada bakteria, dan telah dikemukakan bahwa kemungkinan terdapat lebih dari satu lintasan pada bakteri tertentu (Gambar 1). Biosintesis IAA yang bergantung pada triptofan ini terjadi pada bakteri, misalnya pada Enterobacter cloacae IAA disintesis melalui indole-3-pyruvic acid (IpyA), pada Pseudomonas syringae biosintesis IAA juga terjadi dari Trp melalui indole-3-acetamide, yang kemudian dikonversi menjadi IAA. Sintesis IAA juga ditemukan terjadi melalui 8 tryptamine pada Agrobacterium tumefaciens dan melalui indole-3-acetonitrile (IAN) pada Alcaligenes faecalis dan pada A.tumefaciens (Zakhrova et al. 1999). Indole-3-acetaldoxyme indole-3-acetonitrile 1 2 indole-3-acatamide tryptophan indole-3-acetic acid 3 Indole-3-pyruvic acid indole-3-acetaldehyde Gambar 1 Lintasan sintesis IAA yang bergantung Triptofan1. melalui Indole-3acetonitrile (IAN), 2. melalui Indole-3-acetamide (IAM) dan 3. melalui Indole-3pyruvic acid (IPyA) (Zakhrova 1999). Manulis et al. (1998) mengemukakan bahwa IAM dan IPyA merupakan lintasan utama pada semua bakteri. IAM merupakan lintasan pada semua bakteri pembentuk bintil, (Bradyrhizobium japonicum, Rhizobium fredii, Azospirillum brasilense dan Streptomyces). Menurut Brandl et al. (1996) biosintesis IAA melalui IpyA dijumpai pada tanaman tingkat tinggi dan beberapa jenis bakteri meliputi Rhizobium spp., Azospirillum spp., Ralstonia solanacearum dan Enterobacter cloacae. Biosintesis IAA oleh mikroba ditingkatkan oleh prekursor fisiologi tertentu yaitu L-triptofan. Triptofan merupakan salah satu asam amino aromatik yang dihasilkan dari lintasan asam antranilik menjadi indol. Biosintesis triptofan melibatkan banyak gen yang membentuk suatu kelompok di kromosom. Mazzola dan White (1993) mengatakan bahwa sel tumbuhan menggunakan enzim triptophan 2-monooksenase ketika memproduksi IAA dari L-triptofan, dengan melalui lintasan intermediet indol-3 acetamid (IAM). Enzim tersebut mengkatalisis konversi triptofan menjadi IAM, sedangkan konversi IAM ke IAA dikatalisis oleh enzim doleatamid hidrolase. 9 Tien et al. (1979) mengamati bahwa produksi IAA meningkat sesuai dengan peningkatan konsentrasi triptofan dari 1-100 μg/ml. Konsentrasi IAA juga meningkat seiring dengan umur kultur sampai bakteri mencapai fase stasioner. Pengocokan lebih disukai untuk memproduksi IAA, terutama pada media yang mengandung nitrogen. Menurut Patten dan Glick (2002) tanaman yang diinokulasi dengan bakteri mutan yang memproduksi IAA berlebihan akan menghambat pertumbuhan tanaman. Penghambatan ini terjadi oleh karena pada bakteri mutan terjadi over produksi IAA. Bakteri penghasil IAA dalam jumlah yang lebih banyak menyediakan IAA lebih banyak pula untuk tanaman. Produksi IAA tidak berfungsi nyata sebagai hormon dalam sel bakteri. Hormon ini dimungkinkan terdapat di dalam sel bakteri, dikarenakan berperan penting untuk berinteraksi antara bakteri dan tanaman. Pada penelitian yang dilakukan Patten dan Glick (2002) diperoleh bahwa bakteri yang memproduksi IAA menstimulasi pertumbuhan sistem perakaran inang. Asosiasi tanaman dengan bakteri memberikan keuntungan bagi tumbuhan. Metabolit sekunder seperti IAA yang disuplai oleh bakteri digunakan sebagai pengganti hilangnya sebagian hasil fotosintesis berupa eksudat akar yang dikeluarkan tanaman ke rhizosfer (Martens et al. 1994; Patten dan Glik 2002). Tanaman umumnya tumbuh dengan satu atau lebih akar utama, akar lateral muncul dari pembelahan sel perisikel. Akar adventif merupakan tipe dari akar lateral yang bukan berasal dari jaringan akar seperti jaringan yang berada pada dasar batang atau pada batang yang dipotong. Akar lateral dan adventif diinduksi oleh konsentrasi IAA yang tinggi, sedangkan akar utama relatif diinduksi IAA pada tingkat yang rendah, antara 10-9-10-12 M. Akar tersebut terhambat pertumbuhannya oleh konsentrasi IAA yang tinggi, melalui induksi etilen oleh IAA (Patten & Glick 2002). Kelarutan Fosfat Fosfor (P) merupakan makronutrisi esensial bagi pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme. P di dalam tanah ada dalam kondisi terjerat atau sangat sedikit yang terlarut. Walaupun kandungan P dalam tanah rata-rata 0.05%, 10 hanya 0.1% dari total P tersedia bagi tanaman dikarenakan P tersebut terjerat atau terikat dan rendah kelarutannya. Tumbuhan hanya dapat menggunakan fosfat dalam jumlah yang kecil pada penggunaan pupuk fosfat kimiawi, karena terjadinya reaksi antara P dan tanah dan hanya sedikit P yang terlarut. Pada kondisi keterbatasan fosfat, mikroorganisme merupakan agen yang dapat mengatasi masalah tersebut, yakni dengan kemampuannya melarutkan P inorganik sehingga tersedia bagi tanaman. Cendawan dan bakteri merupakan mikroorganisme pelarut fosfat, yang dapat tumbuh pada media yang mengandung trikalsium, besi dan aluminium fosfat, hidroksiapatit, batuan fosfat, dan senyawa terikat fosfat sebagai sumber fosfat. Sebagian mikroba tidak hanya mengasimilasi fosfat namun juga mengeluarkan P terlarut dalam jumlah banyak sebagai efek samping dari kebutuhannya sendiri akan fosfat. Terdapat beberapa genus bakteri yang sangat mampu melarutkan fosfat, diantaranya Bacillus dan Pseudomonas dan cendawan Aspergillus dan Penicillium. Bacillus brevis, B. cereus, B. circulan. B. firmus, B. licheniformis, B. megaterium, B. mesentricus, B. polymyca, B. pumilis, B. pulvifaciens, dan B. subtilis merupakan spesies Bacillus pelarut P yang berasal dari rizosfer polong-polongan, padi dan jagung. Pseudomonas striata, P. cissicola, P. flourescens, P. phinophillum, P. putida, P. syringae, P. aeruginosa, P. putrefasciens dan P. stutzeri merupakan spesies Pseudomonas pelarut P yang berasal dari rizosfer Brassica, chikpea, jagung, kedelai dan tanaman pertanian lainnya (Tilak et al. 2005). Mikro dan makro nutrisi di dalam tanah mengalami kesetimbangan kelarutan yang dinamik, dipengaruhi oleh pH dan mikroflora. Kondisi ini berpengaruh terhadap tanaman dalam menyerap nutrisi tersebut. Fosfor merupakan nutrisi yang jumlahnya sedikit pada kebanyakan tanah, walaupun di dalam tanah fosfat terikat dengan besi dan aluminium pada tanah asam (pH lebih rendah dari pada 5.0) atau kalsium pada tanah alkalin (pH sekitar 7.0). Namun kalsium fosfat dapat dilarutkan dan disediakan bagi tanaman oleh mikroorganisme melalui mekanisme pengeluaran asam organik (Cunningham & kuiak 1992; Golstein 1995; Altomere et al. 1999). PGPR dapat merangsang pertumbuhan tanaman dengan cara menyediakan nutrisi terbatas bagi tanaman, seperti nitrogen, fosfat, vitamin B, dan 11 asam amino di dalam rizosfer melalui kelarutan fosfat dan pengikatan N. Fosfat ditingkatkan jumlahnya dengan mekanisme mobilisasi fosfat terikat sebagai polifosfat inorganik atau fitat. Sejumlah PGPR memiliki potensi sebagai fitostimulator, biofertilizer dan sebagai agen biokontrol (Richardson et al. 2001 dan Bloemberg & Lughtenberg 2001; Idriss et al.2002). Tanaman memiliki sejumlah mekanisme untuk meningkatkan ketersediaan fosfor. Pemanfaatan fosfor fitat di dalam rizosfer sangat terbatas oleh karena aktivitas fitase yang tersedia didalam rizosfer sangat rendah. Akar Arabidopsis hanya menyumbang 0.5% dari total aktivitas fosfomonoesterase dan tidak terdapat aktivitas fitase ekstraseluler dari tanaman yang terdeteksi. Pada umumnya, fosfatase tidak mampu menghidrolisis fitat. Namun pada organisme prokariot dan eukariot, fosfomonoesterase mampu menghidrolisis fitat menjadi myo-inositol dan fosfat yang merupakan turunan ester fosfat. Disamping kemampuan beberapa bakteri termasuk Bacillus dalam mengkolonisasi akar, bakteri tersebut juga mampu menyediakan fitat fosfor bagi tanaman pada kondisi kekurangan fosfat di dalam tanah (Reddy et al. 1989 dan Wodzinski & Ullah 1996; Idriss et al. 2002). Di dunia ini banyak dijumpai tanah yang memiliki kadar P rendah, karena konsentrasi fosfor bebas sekalipun di tanah yang subur umumnya tidak lebih tinggi dari 10 μM, walaupun pada pH 6.5 dimana fosfor sangat mudah terlarut. Mikroorganisme tanah sangat potensial dalam memecah fosfat di dalam tanah. Pupuk hayati dalam bentuk mikroorganisme dapat membantu meningkatkan ketersediaan dan mengakumulasi fosfat untuk pertumbuhan tanaman melalui mekanisme kelarutan. Penerapan fosforit bersama bakteri pelarut fosfat dapat meningkatkan pengambilan P dan hasil panenan pada tumbuhan. Kemampuan tersebut mengindikasikan bahwa bakteri pelarut fosfat tersebut mampu melarutkan dan menggerakkan fosfat untuk tanaman termasuk kedelai (Galal et al. 2001; Egamberdiyeva et al. 2006). Egamberdiyeva et al. (2006) juga melaporkan hasil penelitiannya bahwa teknologi pupuk hayati dapat meminimalkan biaya produksi dan pada waktu yang bersamaan dapat menurunkan kerusakan lingkungan. Strain Bacillus, Pseudomonas dan Arthobacter berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman gandum, jagung pada tanah calsisol yang miskin nutrisi. Galur PGPR berpengaruh 12 positif terhadap pemanjangan tanaman, panjang akar yang ditingkatkan oleh bakteri tersebut mencapai 53%. Pseudomonas rathonis PsR47 dan Bacillus amyloliquefaciens BcA27 mampu meningkatkan pertumbuhan akar sebesar 20% dibandingkan dengan tanaman kontrol. Kombinasi dua galur dengan fosforit memiliki pengaruh yang rendah pada pertumbuhan tanaman jika dibandingkan dengan inokulasi menggunakan bakteri tunggal. Biokontrol fitopatogen Selain dapat memacu pertumbuhan tanaman, Bacillus sp. juga diketahui mampu mengendalikan beberapa patogen tular tanah. Bacillus sp dapat menghasilkan antibiotik yang mampu menekan pertumbuhan berbagai patogen tanaman. Bacillus sp. yang ditemukan pada tanaman putri malu mampu menghambat R. Solanacacerum penyebab penyakit layu bakteri pada tembakau secara in vitro. Hasil pengujian Bacillus sp. yang berasal dari rizosfer nilam di laboratorium menunjukkan bahwa beberapa isolat Bacillus sp. dapat menghambat pertumbuhan koloni R. solanacacerum dengan membentuk zona hambat 23-45 mm (Arwiyanto 1997; Nasrun & Nuryani 2007). Interaksi mikroorganisme yang antagonis terhadap berbagai macam patogen tanaman memiliki peranan penting dalam keseimbangan mikroorganisme di dalam tanah, serta memberikan kontribusi sebagai agen biokontrol penyakit tanaman. Biokontrol tanaman bermanfaat dalam menurunkan dampak buruk pada tanaman akibat penggunaan bahan kimiawi seperti pestisida. Penggunaan fungisida dapat menyebabkan polusi lingkungan dan dimungkinkan menginduksi resistensi pada patogen. Bahan kimia ini juga dapat menyebabkan klorosis dan kelayuan pada semaian muda ( Jones RK 1985; Lim et al. 1991). Fusarium merupakan genus dari cendawan berfilamen, keberadaannya tersebar luas di tanah dan berasosiasi dengan tanaman, jumlahnya relatif melimpah di dalam komunitas mikroba tanah. Sebagian besar dari kelompok cendawan tersebut merupakan saprob tak berbahaya. Beberapa spesies memproduksi mikotoksin pada tanaman gandum, dimana dapat berdampak buruk bagi manusia dan binatang yang mengkonsumsinya. Fumonisin dan trikotekanes merupakan racun utama yang diproduksi oleh Fusarium. Fusarium oxysporum 13 menginfeksi bermacam-macam inang. Infeksi tersebut menyebabkan berbagai macam penyakit, diantaranya: layu batang, kerdil tanaman, busuk akar, dan kematian masal pada kecambah. Adanya lapisan bening pada permukaan daun muda tanaman dan gugur daun pada daun tua merupakan gejala umum yang sering dijumpai pada tanaman yang telah terinfeksi oleh F. oxysporum. Pada tingkat semaian, setelah tanaman menunjukkan gejala tersebut diatas, tanaman akan layu dan mati dengan segera. Pada tanaman yang telah tua gejala ini ditunjukkan dengan adanya lapisan bening pada daun yang diikuti dengan kekerdilan, daun bawah menguning, pembentukan akar adventif, layu daun dan batang, gugur daun, nekrosis pada daun yang masih tersisa dan akhirnya terjadi kematian tanaman (Gonsalves et al. 1993). Fusarium oxysporum dapat di kulturkan pada media potato dextrose agar (PDA). Cendawan ini memperlihatkan penampakan yang berbeda yaitu pertama kali miselium aerial berwarna putih, dan kemudian berubah warna menjadi berbagai warna antara violet, abu-abu gelap tergantung pada galurnya. Ketika jumlah spora melimpah, cendawan ini akan berwarna krem atau oranye (Smith et al.1988; Gonsalves et al. 1993). F. oxysporum memproduksi tiga tipe spora aseksual: mikrokonidia, makrokonidia dan klamidospora. Cendawan ini menyerang tanaman pada bagian akar tanaman dengan menggunakan pembuluh saporangia dan miseliumnya. Serangan tersebut terjadi melalui ujung akar, luka pada akar atau melalui akar lateral. F. oxysporum menyebar melalui irigasi dan kontaminan dari peralatan pertanian, sedangkan pada jarak jauh penyebarannya melalui cangkokan tanaman yang terinfeksi (Agrios 1988; Gonsalves et al. 1993). Telah banyak dilakukan penelitian tentang peran mikroorganisme yang menguntungkan misalnya Pseudomonas flourescent sebagai biokontrol terhadap Fusarium sp. pada tanaman tomat. Streptomyces halstedii (K122) dan S. coloicolor (K139) berperan dalam menghambat cendawan, termasuk Oomycetes, Zigomycetes, Deuteromycetes, Ascomycetes dan Basidiomycetes (Frandberg & Schneur 1998). Bacillus subtilis memiliki kemampuan dalam menekan mikroorganisme fitopatogenik (Phae et al. 1990; Dikin et al. 2006). B. cepacia dan B. gladioli merupakan bakteri yang dominan ditemukan di dalam rizosfer. Keberadaan B. cepacia di dalam rizosfer kelapa sawit dan B. Gladioli di dalam 14 rizosfer pisang sama-sama memiliki kemampuan menyerang F. oxysporum f. sp cubense yang menginfeksi tanaman tersebut. B. cepacia menyerang cendawan tersebut dengan mengkolonisasi permukaan hifa dan makrospora (Pan et al. 1997; Dikin et al. 2006). Terdapat sejumlah mikroorganisme yang mampu melawan Sclerotium rolfsii, diantaranya Trichoderma harzianum, T. Viride, Bacillus subtilis, Penicillium spp dan Glicodium virens. Bacillus sp. selain mampu menghambat pertumbuhan F. oxysporum, juga mampu menghambat Sclerotium rolfsii. Cendawan ini menyebabkan busuk akar pada tanaman. Layu pada pucuk tanaman akibat adanya kerusakan ujung akar merupakan gejala infeksi oleh S. rolfsii. Fitopatogen ini dicirikan dengan pertumbuhan miselia yang menyerupai kapas dan adanya bulatan sklerotia berwarna coklat muda dan menjadi coklat gelap yang dihasilkan ketika tua. S. rolsfii menyerang tanaman pada kondisi tanah lembab dan pada kisaran temperatur 25 oC sampai 35 oC, serangan ini terjadi pada semaian. Terdapat sekitar 200 jenis tanaman yang merupakan inang dari cendawan ini, termasuk kedelai. Penyakit oleh S. rolfsii ini sulit dikontrol, penurunan pertumbuhannya bergantung pada kombinasi kultur yang digunakan sebagai biokontrolnya atau dengan metode kimia. Rizobakteria merupakan kelompok penting dari PGPR yang memiliki aktivitas pemacuan pertumbuhan berbagai tanaman, diantaranya produksi IAA, dan siderofor, kelarutan fosfat serta sebagai agen biokontrol terhadap fitopatogen. Macrophomins phaseolina, Fusarium oxysporum, F. solani, Rhizoctonia solani, Pythium spp. merupakan fitopatogen yang pertumbuhannya dihambat oleh rizobakteria dengan memproduksi metabolit sekunder seperti antibiotik, siderofor, HCN dan fitoalexin ( Kumar et al. 2006). Antibiotik merupakan dasar dari mekanisme biokontrol pada bakteri termasuk Bacillus sp.. Oligomycin A, kanosamine, zwittermicin A dan xanthobaccin merupakan antibiotik yang diproduksi oleh Bacillus, Streptomycin dan Stenothropomonas spp.. Senyawa amphisin, 2,4-diacetilploroglucinol (DAPG), hydrogen cynide, oomycin A, phenazine, pyloluteorin, pyrrolnitrin, tensin, tropolone dan cyclic lypopeptides diproduksi oleh Pseudomonas. Mikroorganisme juga mengekresikan enzim hidrolase untuk merusak dinding sel 15 cendawan. Kitinase yang diproduksi oleh Serratia marcescens digunakan untuk melawan Sclerotium rolsfii. Kitinase dan laminarinase yang disintesis oleh Pseudomonas stutzeri berfungsi menghancurkan dan melisis miselia Fusarium solani. β-1,3-glukanase disintesis oleh Paenibacillus sp. galur 300 dan Streptomyces sp. galur 385 yang melisis dinding sel Fusarium oxysporum f. Sp. cucumerinum. Bacillus cepacia mensintesis β-1,3-glukanase untuk menghancurkan dinding sel Rizoctonia solani, S. rolsfii, dan Pythium ultimum (Chompant et al. 2005). Besi merupakan elemen esensial bagi pertumbuhan semua organisme. Pada kondisi keterbatasan besi, bakteri memproduksi senyawa berberat molekul rendah yang disebut sebagai siderofor. Setiap jenis bakteri pemacu pertumbuhan tanaman memiliki siderofor dengan kemampuan yang berbeda-beda dalam mengkelat besi, pada umumnya bakteri tersebut mampu mengalahkan cendawan patogenik yang memiliki afinitas rendah terhadap besi. Biosintesis siderofor umumnya diatur oleh protein Fur yang memiliki sensitivitas terhadap besi. Faktor lingkungan seperti pH, tingkat ketersediaan besi, ketersediaan trace element, dan pasokan karbon, nitrogen dan fosfat yang memadai merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap sintesis siderofor (Compant et al. 2005). Kompetisi ruang dan nutrisi antara bakteria dan cendawan fitopatogen telah diketahui dan merupakan mekanisme biokontrol, termasuk juga kompetisi dalam mendapatkan besi. Di bawah kondisi keterbatasan besi, bakteri memproduksi senyawa pengkelat besi atau siderofor yang memiliki afinitas tinggi terhadap Fe3+. Bakteri pengkelat besi berperan dalam menyita besi yang tersedia dalam jumlah yang terbatas di dalam rizosfer, kondisi ini membuat fungi fitopatogenik tidak dapat mendapatkan besi yang dibutuhkan yang berakibat terputus pertumbuhannya (O’sullivan & O’Gara 1992; Loper & Henkels 1999; Whipps 2000). 16