Rizobakteria Bacillus SP. Asal Tanah Rizosfer

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Plant Growth-Promoting Rhizobacteria
Plant Growht-Promoting Rhizobacteria (PGPR) pertama kali didefinisikan
oleh Kloepper dan Schroth (1978) sebagai bakteri disekitar perakaran tanaman
yang memiliki kemampuan meningkatkan pertumbuhan tanaman. PGPR
dilaporkan
dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan berbagai
mekanisme diantaranya: fiksasi nitrogen, produksi siderofor sebagai pengkelat
besi, dan sintesis fitohormon (Kloepper dan Schroth 1978). PGPR ini juga dapat
mempengaruhi pertumbuhan tanaman dengan cara meningkatkan fiksasi nitrogen,
giberelin, sitokinin, etilen, kelarutan fosfat dan oksidasi sulfur, meningkatkan
ketersediaan nitrat, produksi antibiotik ekstraseluler, enzim litik, asam hidrosianik
dan meningkatkan permeabilitas akar, kompetisi dalam nutrisi dan letak akar
(Enebak et al. 1998; Mello 2000).
Egamberdiyeva (1997) melaporkan bahwa ketidakcocokan penerapan
pupuk bagi produksi kapas di Uzbekistan menyebabkan pencemaran tanah
pertanian. Dengan mengunakan metode
biologis, selain dapat meningkatkan
produksi tanaman juga tidak merusak lingkungan. PGPR juga dilaporkan sebagai
elemen kunci untuk menyeimbangkan tanaman pada kondisi tekanan nutrisi dan
dapat mereduksi dampak penggunaan pupuk kimia serta mendukung produksi
pertanian yang ramah lingkungan.
Rhizosfer dalam ekosistem tanah yang sehat dihuni oleh organisme yang
menguntungkan dan dapat memanfaatkan substrat organik atau eksudat akar
tanaman sebagai sumber energi dan nutrisinya. Mikroba tanah berperan dalam
proses penguraian bahan organik, melepaskan nutrisi yang diperlukan tanaman
dan mereduksi residu toksik. Selain itu mikroba juga berperan sebagai agen
pemacu pertumbuhan tanaman (PGP Agent) yang memproduksi berbagai hormon
tumbuh, vitamin dan berbagai asam organik yang berperan penting dalam
merangsang pertumbuhan bulu-bulu akar (Hindersah dan Simarmata 2004). IAA
yang dikeluarkan di dalam tanah direspon oleh tumbuhan secara bervariasi,
tergantung pada spesies tanaman dan konsentrasi IAA yang dikeluarkan oleh
bakteri (Beyeler et al. 1997 diacu dalam Husen dan Saraswati 2003).
Rizobakteria
pemacu
pertumbuhan
tanaman
bersaing
dalam
mengkolonisasi akar tanaman, dan memacu pertumbuhan tanaman serta
4
menurunkan infeksi pada tanaman akibat serangan fitopatogen. Konsep PGPR
dipertahankan dengan mengisolasi beberapa bakteri yang memenuhi setidaknya
dua kriteria yaitu kemampuan dalam mengkolonisasi
akar tanaman, mampu
memacu pertumbuhan tanaman dan memiliki sifat sebagai biokontrol (Weller
2002; Haas & Défago 2005).
Terdapat
tiga komponen berbeda di dalam rizosfer, tetapi saling
berinteraksi. Ketiga komponen tersebut adalah rizosfer (tanah), rizoplen, dan akar.
Rizosfer merupakan zona atau areal disekitar perakaran yang terpengaruh oleh
substrat yang dikeluarkan akar, yang berpengaruh terhadap aktivitas mikroba.
Rizoplen merupakan permukaan akar, termasuk yang melekat kuat dengan
partikel
tanah.
Akar
sendiri
merupakan
bagian
dari
sistem,
karena
mikroorganisme tertentu dan endofit mampu mengkolonisasi jaringan akar.
Mikroba yang mengkolonisasi rizoplen dan atau endofit diketahui sebagai
pengkolonisasi akar. Mikroba yang mengkolonisasi di tanah karena pengaruh akar
disebut pengkolonisasi rizosfer (Barea et al. 2005).
Rizobakteria Bacillus sp.
Rizosfer
merupakan
habitat
PGPR,
volume
tanah
seringkali
mempengaruhi sistem perakaran tanaman. Di dalam rizosfer, sekresi senyawa
organik yang dikeluarkan oleh tumbuhan dapat mengaktifkan populasi mikroba.
PGPR yang diinokulasikan kepada tanaman, utamanya Pseudomonas, Serratia,
Azospirillum dan Bacillus dapat meningkatkan pertumbuhan dan sistem perakaran
serta menurunkan pertumbuhan fitopatogen. Mekanisme pemacuan sangat
tergantung pada bakteria dan tanaman inang. Pada beberapa kasus pada proses
interaksi antara bakteria dan tanaman ditemukan adanya sintesis hormon pengatur
tumbuh IAA, siderofor dan biokontrol bakteria terhadap fitopatogen atau induksi
respon pertahanan diri (Montesinos et al. 2002).
Bacillus merupakan salah satu bakteri dari kelompok bakteri tanah yang
seringkali dijumpai didalam rizosfer tanaman. Bacillus sp. merupakan bakteri
gram positif yang memiliki sel berbentuk batang. Bakteri ini sangat toleran
terhadap kondisi ekologi yang merugikan, kemampuannya membentuk endospora
membuat bakteri ini dapat beradaptasi dengan formula dan bahan–bahan kimia
5
yang diaplikasikan dalam tanah pertanian (Liu dan Sinchair 1993; Bai et al.
2003).
Endospora Bacillus berada di dalam sel vegetatif induk dan memiliki
morfologi ultrastruktur yang kompleks. Endospora tahan terhadap panas,
kekeringan, radiasi dan kondisi lingkungan yang tak menguntungkan. Dari sisi
akademik Bacillus memiliki peranan penting terutama karena kompleksitas sistem
regulasinya
dalam
mengendalikan
sporulasi,
kompeten,
motilitas,
dan
pembentukan antibiotik. Kemampuannya dalam mensekresi enzim ekstraselular
secara langsung ke dalam medium membuat B. subtilis sebagai bakteri yang
sistem ekspresi gen heterolognya paling banyak dipelajari. Bacillus OSU 142
berpotensi dalam meningkatkan hasil panenan pohon Apricot. Hal ini telah diteliti
pada tahun 2000 sampai dengan 2001 yaitu mengenai efek penyemprotan suspensi
Bacillus OSU 142 terhadap pertumbuhan dan komposisi elemen nutrien pada daun
Apricot kultivar Hacihaliloglu. Pada saat perbungaan dan pada 30 dan 60 hari
setelah pembungaan di lahan pertanian provinsi Matalya Turki. Penelitian ini
menghasilkan perbedaan yang nyata pada hasil panenan, panjang tunas dan
komposisi elemen nurtrisi ( N, P, K, Ca, dan Mg) pada daun, yaitu lebih tinggi
dengan menggunakan perlakuan Bacillus OSU 142 pada fase pembungaan dari
pada tanaman kontrol (Estiken et al. 2002).
Berbagai macam mikroorganisme yang terdapat di dalam rizosfer dapat
mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Secara umum jumlah bakteri lebih banyak
dalam tanah dari pada jumlah cendawan. Beberapa genus bakteri seperti
Pseudomonas,
Agrobacterium,
Azotobacter,
Mycobacter,
Flavobacter,
Cellulomonas, Micrococcus, dan Bacillus dilaporkan jumlahnya melimpah di
dalam rizosfer. Bakteri-bakteri ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
pertumbuhan tanaman. Bakteri gram positif
berpotensi sebagai biological
solution, karena ketahanannya terhadap panas dan kemampuannya membentuk
endospora. Pertumbuhan tanaman dapat ditingkatkan melalui kolonisasi akar oleh
galur Bacillus dan Paenibacillus (Broadbent et al. 1977; Timmusk & Wagner
2001 ; Idriss 2002). Bakteri di dalam rizosfer secara tidak langsung berpengaruh
terhadap pertumbuhan tanaman yaitu sebagai agen pengendali hayati. Bakteri
Pseudomonas flourescens dan Bacillus sp. berperan sebagai pengendali penyakit
layu pada tanaman (Campbell 1989; Nasrun & Nuryani 2007).
6
Mekanisme PGPR dalam Memacu Pertumbuhan Tanaman
Rizobakteri pemacu pertumbuhan tanaman memiliki kemampuan dalam
memproduksi hormon pertumbuhan atau senyawa lain yang dapat merangsang
pertumbuhan tanaman. Indole acetic acid yang diproduksi oleh rizobakteria
berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan tanaman. Senyawa lainnya yang
berfungsi sebagai pengatur pertumbuhan tanaman seperti giberelic acid,
cytokinins dan etylene juga diproduksi oleh rizobakteri ini (Kloepper 1993; Ryu et
al. 2003).
Nodulasi
dan
fiksasi
nitrogen
merupakan
mekanisme
pemacuan
pertumbuhan secara langsung oleh rizobakteri khususnya bakteri endofitik seperti
Rhizobium, Bradyrhizobium japonicum dan Azospirillum brasilense. Nodul yang
dibentuk oleh bakteri tersebut membantu tanaman leguminose dalam memfiksasi
nitrogen melalui aktivitas nitrogenase (Zhang et al. 1996). Kemampuan dalam
melarutkan fosfat juga merupakan karakter PGPR. Dengan kemampuan ini, P
inorganik yang terlarut di daerah rizosfer dapat tersedia bagi tanaman.
Ketersediaan hormon pengatur tumbuh dan nutrisi ini membantu secara langsung
dalam memacu perkembangan tanaman. Hasil panenan yang meningkat
merupakan
pengaruh
PGPR
disamping
kemampuannya
dalam
memacu
pertumbuhan tanaman (Datta et al. 1982).
Peran PGPR dalam memacu pertumbuhan tanaman selain melalui
mekanisme langsung dapat pula melalui mekanisme tak langsung seperti
kemampuannya dalam menurunkan pertumbuhan fitopatogen. Produksi siderofor,
antibiotik dan HCN oleh rizobakteria mampu menurunkan pertumbuhan
fitopatogen. Mekanisme dari aktivitas ini antara lain: penghambatan pertumbuhan
fitopatogen oleh senyawa antimikrob, kompetisi dalam mengkelat besi melalui
produksi siderofor, kompetisi ruang dan nutrisi yang dikeluarkan oleh akar,
mekanisme penginduksian resistensi, degradasi faktor patogenesitas fitopatogen
seperti racun, memproduksi enzim ekstraseluler pendegradasi dinding sel seperti
kitinase, dan β-1,3 glukanase (Whipps 2001).
7
Karakteristik Plant Growth Promoting Rhizobacteria
Indole Acetic Acid
Indole acetic acid merupakan hormon utama yang berperan dalam
mengkontrol beberapa proses fisiologi tumbuhan, termasuk perkembangan dan
pembelahan sel dan diferensiasi jaringan tumbuhan serta merespon terhadap
cahaya dan grafitasi. IAA yang disintesis oleh jenis bakteri tertentu merupakan
salah satu faktor penyebab terjadinya peningkatan pertumbuhan tanaman. Akar
merupakan salah satu organ tanaman yang sangat sensitif terhadap jumlah IAA.
Tanaman merespon IAA dengan mekanisme pemanjangan akar utama,
pembentukan akar lateral dan akar adventif (Leveau 2005). Kemampuan Bacillus
sp. dalam memproduksi IAA berpengaruh secara langsung terhadap pertumbuhan
tanaman. Kemampuan tersebut merupakan dasar untuk dikaji potensinya dalam
peningkatan pertumbuhan kecambah kacang hijau, pengukuran panjang kecambah
dan penghitungan jumlah cabang akar kecambah secara kuantitatif berkorelasi
positif dengan aktivitas IAA (Aryantha et al. 2004). IAA berperan aktif pada
semua tanaman dan berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan, seperti
menginisiasi pemanjangan akar, perluasan sel, diferensiasi vaskuler, dan
menginisiasi pembungaan (Brandl et al. 1996).
Terdapat 80 persen bakteria yang berinteraksi dengan tanaman memiliki
kemampuan untuk mensintesis IAA. Efek fisiologis biosintesis IAA pada bakteri
tidak semata-mata hanya berpengaruh pada tanaman, namun juga digunakan
untuk memenuhi persyaratan berinteraksi dengan tanaman. Triptofan merupakan
prekursor utama pada sintesis IAA, karena penambahan triptofan kedalam kultur
bakteri dapat memacu dan meningkatkan produksi IAA. Diasumsikan oleh
Lebuhn et al. 1997 & Bar dan Okon 1992; Zakhrova et al. 1999 bahwa sintesis
IAA pada bakteri merupakan cara detoksifikasi Trp. Terdapat beberapa lintasan
sintesis IAA pada bakteria, dan telah dikemukakan bahwa kemungkinan terdapat
lebih dari satu lintasan pada bakteri tertentu (Gambar 1). Biosintesis IAA yang
bergantung pada triptofan ini terjadi pada bakteri, misalnya pada Enterobacter
cloacae IAA disintesis melalui indole-3-pyruvic acid (IpyA), pada Pseudomonas
syringae biosintesis IAA juga terjadi dari Trp melalui indole-3-acetamide, yang
kemudian dikonversi menjadi IAA. Sintesis IAA juga ditemukan terjadi melalui
8
tryptamine pada Agrobacterium tumefaciens dan melalui indole-3-acetonitrile
(IAN) pada Alcaligenes faecalis dan pada A.tumefaciens (Zakhrova et al. 1999).
Indole-3-acetaldoxyme
indole-3-acetonitrile
1
2
indole-3-acatamide
tryptophan
indole-3-acetic acid
3
Indole-3-pyruvic acid
indole-3-acetaldehyde
Gambar 1 Lintasan sintesis IAA yang bergantung Triptofan1. melalui Indole-3acetonitrile (IAN), 2. melalui Indole-3-acetamide (IAM) dan 3. melalui Indole-3pyruvic acid (IPyA) (Zakhrova 1999).
Manulis et al. (1998) mengemukakan bahwa IAM dan IPyA merupakan
lintasan utama pada semua bakteri. IAM merupakan lintasan pada semua bakteri
pembentuk bintil, (Bradyrhizobium japonicum, Rhizobium fredii, Azospirillum
brasilense dan Streptomyces). Menurut Brandl et al. (1996) biosintesis IAA
melalui IpyA dijumpai pada tanaman tingkat tinggi dan beberapa jenis bakteri
meliputi Rhizobium spp., Azospirillum spp., Ralstonia solanacearum dan
Enterobacter cloacae.
Biosintesis IAA oleh mikroba ditingkatkan oleh prekursor fisiologi
tertentu yaitu L-triptofan. Triptofan merupakan salah satu asam amino aromatik
yang dihasilkan dari lintasan asam antranilik menjadi indol. Biosintesis triptofan
melibatkan banyak gen yang membentuk suatu kelompok di kromosom. Mazzola
dan White (1993) mengatakan bahwa sel tumbuhan menggunakan enzim
triptophan 2-monooksenase ketika memproduksi IAA dari L-triptofan, dengan
melalui
lintasan
intermediet
indol-3
acetamid
(IAM).
Enzim
tersebut
mengkatalisis konversi triptofan menjadi IAM, sedangkan konversi IAM ke IAA
dikatalisis oleh enzim doleatamid hidrolase.
9
Tien et al. (1979) mengamati bahwa produksi IAA meningkat sesuai
dengan peningkatan konsentrasi triptofan dari 1-100 μg/ml. Konsentrasi IAA juga
meningkat seiring dengan umur kultur sampai bakteri mencapai fase stasioner.
Pengocokan lebih disukai untuk memproduksi IAA, terutama pada media yang
mengandung nitrogen.
Menurut Patten dan Glick (2002) tanaman yang diinokulasi dengan bakteri
mutan yang memproduksi IAA berlebihan akan menghambat pertumbuhan
tanaman. Penghambatan ini terjadi oleh karena pada bakteri mutan terjadi over
produksi IAA. Bakteri penghasil IAA dalam jumlah yang lebih banyak
menyediakan IAA lebih banyak pula untuk tanaman. Produksi IAA tidak
berfungsi nyata sebagai hormon dalam sel bakteri. Hormon ini dimungkinkan
terdapat di dalam sel bakteri, dikarenakan berperan penting untuk berinteraksi
antara bakteri dan tanaman. Pada penelitian yang dilakukan Patten dan Glick
(2002) diperoleh bahwa bakteri yang memproduksi IAA menstimulasi
pertumbuhan sistem perakaran inang. Asosiasi tanaman dengan bakteri
memberikan keuntungan bagi tumbuhan. Metabolit sekunder seperti IAA yang
disuplai oleh bakteri digunakan sebagai pengganti hilangnya sebagian hasil
fotosintesis berupa eksudat akar yang dikeluarkan tanaman ke rhizosfer (Martens
et al. 1994; Patten dan Glik 2002).
Tanaman umumnya tumbuh dengan satu atau lebih akar utama, akar
lateral muncul dari pembelahan sel perisikel. Akar adventif merupakan tipe dari
akar lateral yang bukan berasal dari jaringan akar seperti jaringan yang berada
pada dasar batang atau pada batang yang dipotong. Akar lateral dan adventif
diinduksi oleh konsentrasi IAA yang tinggi, sedangkan akar utama
relatif
diinduksi IAA pada tingkat yang rendah, antara 10-9-10-12 M. Akar tersebut
terhambat pertumbuhannya oleh konsentrasi IAA yang tinggi, melalui induksi
etilen oleh IAA (Patten & Glick 2002).
Kelarutan Fosfat
Fosfor (P) merupakan makronutrisi esensial bagi pertumbuhan dan
perkembangan mikroorganisme. P di dalam tanah ada dalam kondisi terjerat atau
sangat sedikit yang terlarut. Walaupun kandungan P dalam tanah rata-rata 0.05%,
10
hanya 0.1% dari total P tersedia bagi tanaman dikarenakan P tersebut terjerat atau
terikat dan rendah kelarutannya. Tumbuhan hanya dapat menggunakan fosfat
dalam jumlah yang kecil pada penggunaan pupuk fosfat kimiawi, karena
terjadinya reaksi antara P dan tanah dan hanya sedikit P yang terlarut. Pada
kondisi keterbatasan fosfat, mikroorganisme merupakan agen yang dapat
mengatasi masalah tersebut, yakni dengan kemampuannya melarutkan P
inorganik sehingga tersedia bagi tanaman. Cendawan dan bakteri merupakan
mikroorganisme pelarut fosfat, yang dapat tumbuh pada media yang mengandung
trikalsium, besi dan aluminium fosfat, hidroksiapatit, batuan fosfat, dan senyawa
terikat fosfat sebagai sumber fosfat. Sebagian mikroba tidak hanya mengasimilasi
fosfat namun juga mengeluarkan P terlarut dalam jumlah banyak sebagai efek
samping dari kebutuhannya sendiri akan fosfat. Terdapat beberapa genus bakteri
yang sangat mampu melarutkan fosfat, diantaranya Bacillus dan Pseudomonas
dan cendawan Aspergillus dan Penicillium. Bacillus brevis, B. cereus,
B.
circulan. B. firmus, B. licheniformis, B. megaterium, B. mesentricus, B. polymyca,
B. pumilis, B. pulvifaciens, dan B. subtilis merupakan spesies Bacillus pelarut P
yang berasal dari rizosfer polong-polongan, padi dan jagung. Pseudomonas
striata, P. cissicola, P. flourescens, P. phinophillum, P. putida, P. syringae, P.
aeruginosa, P. putrefasciens dan P. stutzeri merupakan spesies Pseudomonas
pelarut P yang berasal dari rizosfer Brassica, chikpea, jagung, kedelai dan
tanaman pertanian lainnya (Tilak et al. 2005).
Mikro dan makro nutrisi di dalam tanah mengalami kesetimbangan
kelarutan yang dinamik, dipengaruhi oleh pH dan mikroflora. Kondisi ini
berpengaruh terhadap tanaman dalam menyerap nutrisi tersebut. Fosfor
merupakan nutrisi yang jumlahnya sedikit pada kebanyakan tanah, walaupun di
dalam tanah fosfat terikat dengan besi dan aluminium pada tanah asam (pH lebih
rendah dari pada 5.0) atau kalsium pada tanah alkalin (pH sekitar 7.0). Namun
kalsium fosfat dapat dilarutkan dan disediakan bagi tanaman oleh mikroorganisme
melalui mekanisme pengeluaran asam organik (Cunningham & kuiak 1992;
Golstein 1995; Altomere et al. 1999).
PGPR
dapat
merangsang
pertumbuhan
tanaman
dengan
cara
menyediakan nutrisi terbatas bagi tanaman, seperti nitrogen, fosfat, vitamin B, dan
11
asam amino di dalam rizosfer melalui kelarutan fosfat dan pengikatan N. Fosfat
ditingkatkan jumlahnya dengan mekanisme mobilisasi fosfat terikat sebagai
polifosfat inorganik atau fitat. Sejumlah PGPR memiliki potensi sebagai
fitostimulator, biofertilizer dan sebagai agen biokontrol (Richardson et al. 2001
dan Bloemberg & Lughtenberg 2001; Idriss et al.2002).
Tanaman memiliki sejumlah mekanisme untuk meningkatkan ketersediaan
fosfor. Pemanfaatan fosfor fitat di dalam rizosfer sangat terbatas oleh karena
aktivitas fitase yang tersedia didalam rizosfer sangat rendah. Akar Arabidopsis
hanya menyumbang 0.5% dari total aktivitas fosfomonoesterase dan tidak terdapat
aktivitas fitase ekstraseluler dari tanaman yang terdeteksi. Pada umumnya,
fosfatase tidak mampu menghidrolisis fitat. Namun pada organisme prokariot dan
eukariot, fosfomonoesterase mampu menghidrolisis fitat menjadi myo-inositol dan
fosfat yang merupakan turunan ester fosfat. Disamping kemampuan beberapa
bakteri termasuk Bacillus dalam mengkolonisasi akar, bakteri tersebut juga
mampu menyediakan fitat fosfor bagi tanaman pada kondisi kekurangan fosfat di
dalam tanah (Reddy et al. 1989 dan Wodzinski & Ullah 1996; Idriss et al. 2002).
Di dunia ini banyak dijumpai tanah yang memiliki kadar P rendah, karena
konsentrasi fosfor bebas sekalipun di tanah yang subur umumnya tidak lebih
tinggi dari 10 μM, walaupun pada pH 6.5 dimana fosfor sangat mudah terlarut.
Mikroorganisme tanah sangat potensial dalam memecah fosfat di dalam tanah.
Pupuk hayati dalam bentuk mikroorganisme dapat membantu meningkatkan
ketersediaan dan mengakumulasi fosfat untuk pertumbuhan tanaman melalui
mekanisme kelarutan. Penerapan fosforit bersama bakteri pelarut fosfat dapat
meningkatkan pengambilan P dan hasil panenan pada tumbuhan. Kemampuan
tersebut mengindikasikan bahwa bakteri pelarut fosfat tersebut mampu
melarutkan dan menggerakkan fosfat untuk tanaman termasuk kedelai (Galal et
al. 2001; Egamberdiyeva et al. 2006).
Egamberdiyeva et al. (2006) juga melaporkan hasil penelitiannya bahwa
teknologi pupuk hayati dapat meminimalkan biaya produksi dan pada waktu yang
bersamaan
dapat
menurunkan
kerusakan
lingkungan.
Strain
Bacillus,
Pseudomonas dan Arthobacter berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman
gandum, jagung pada tanah calsisol yang miskin nutrisi. Galur PGPR berpengaruh
12
positif terhadap pemanjangan tanaman, panjang akar yang ditingkatkan oleh
bakteri tersebut mencapai 53%. Pseudomonas rathonis PsR47 dan Bacillus
amyloliquefaciens BcA27 mampu meningkatkan pertumbuhan akar sebesar 20%
dibandingkan dengan tanaman kontrol. Kombinasi dua galur dengan fosforit
memiliki pengaruh yang rendah pada pertumbuhan tanaman jika dibandingkan
dengan inokulasi menggunakan bakteri tunggal.
Biokontrol fitopatogen
Selain dapat memacu pertumbuhan tanaman, Bacillus sp. juga diketahui
mampu mengendalikan beberapa patogen tular tanah. Bacillus sp dapat
menghasilkan antibiotik yang mampu menekan pertumbuhan berbagai patogen
tanaman. Bacillus sp. yang ditemukan pada tanaman putri malu mampu
menghambat R. Solanacacerum penyebab penyakit layu bakteri pada tembakau
secara in vitro. Hasil pengujian Bacillus sp. yang berasal dari rizosfer nilam di
laboratorium menunjukkan bahwa beberapa isolat Bacillus sp. dapat menghambat
pertumbuhan koloni R. solanacacerum dengan membentuk zona hambat 23-45
mm (Arwiyanto 1997; Nasrun & Nuryani 2007).
Interaksi mikroorganisme yang antagonis terhadap berbagai macam
patogen tanaman memiliki peranan penting dalam keseimbangan mikroorganisme
di dalam tanah, serta memberikan kontribusi sebagai agen biokontrol penyakit
tanaman. Biokontrol tanaman bermanfaat dalam menurunkan dampak buruk pada
tanaman akibat penggunaan bahan kimiawi seperti pestisida. Penggunaan
fungisida dapat menyebabkan polusi lingkungan dan dimungkinkan menginduksi
resistensi pada patogen. Bahan kimia ini juga dapat menyebabkan klorosis dan
kelayuan pada semaian muda ( Jones RK 1985; Lim et al. 1991).
Fusarium merupakan genus dari cendawan berfilamen, keberadaannya
tersebar luas di tanah dan berasosiasi dengan tanaman, jumlahnya relatif
melimpah di dalam komunitas mikroba tanah. Sebagian besar dari kelompok
cendawan tersebut
merupakan saprob tak berbahaya. Beberapa spesies
memproduksi mikotoksin pada tanaman gandum, dimana dapat berdampak buruk
bagi manusia dan binatang yang mengkonsumsinya. Fumonisin dan trikotekanes
merupakan racun utama yang diproduksi oleh Fusarium. Fusarium oxysporum
13
menginfeksi bermacam-macam inang. Infeksi tersebut menyebabkan berbagai
macam penyakit, diantaranya: layu batang, kerdil tanaman, busuk akar, dan
kematian masal pada kecambah. Adanya lapisan bening pada permukaan daun
muda tanaman dan gugur daun pada daun tua merupakan gejala umum yang
sering dijumpai pada tanaman yang telah terinfeksi oleh F. oxysporum. Pada
tingkat semaian, setelah tanaman menunjukkan gejala tersebut diatas, tanaman
akan layu dan mati dengan segera. Pada tanaman yang telah tua gejala ini
ditunjukkan dengan adanya lapisan bening pada daun yang diikuti dengan
kekerdilan, daun bawah menguning, pembentukan akar adventif, layu daun dan
batang, gugur daun, nekrosis pada daun yang masih tersisa dan akhirnya terjadi
kematian tanaman (Gonsalves et al. 1993).
Fusarium oxysporum dapat di kulturkan pada media potato dextrose agar
(PDA). Cendawan ini memperlihatkan penampakan yang berbeda yaitu pertama
kali miselium aerial berwarna putih, dan kemudian berubah warna menjadi
berbagai warna antara violet, abu-abu gelap tergantung pada galurnya. Ketika
jumlah spora melimpah, cendawan ini akan berwarna krem atau oranye (Smith et
al.1988; Gonsalves et al. 1993). F. oxysporum memproduksi tiga tipe spora
aseksual: mikrokonidia, makrokonidia dan klamidospora. Cendawan ini
menyerang tanaman pada bagian akar tanaman dengan menggunakan pembuluh
saporangia dan miseliumnya. Serangan tersebut terjadi melalui ujung akar, luka
pada akar atau melalui akar lateral. F. oxysporum menyebar melalui irigasi dan
kontaminan dari peralatan pertanian, sedangkan pada jarak jauh penyebarannya
melalui cangkokan tanaman yang terinfeksi (Agrios 1988; Gonsalves et al. 1993).
Telah banyak dilakukan penelitian tentang peran mikroorganisme yang
menguntungkan misalnya Pseudomonas flourescent sebagai biokontrol terhadap
Fusarium sp. pada tanaman tomat. Streptomyces halstedii (K122) dan S.
coloicolor (K139) berperan dalam menghambat cendawan, termasuk Oomycetes,
Zigomycetes, Deuteromycetes, Ascomycetes dan Basidiomycetes (Frandberg &
Schneur 1998). Bacillus subtilis memiliki kemampuan dalam menekan
mikroorganisme fitopatogenik (Phae et al. 1990; Dikin et al. 2006). B. cepacia
dan B. gladioli merupakan bakteri yang dominan ditemukan di dalam rizosfer.
Keberadaan B. cepacia di dalam rizosfer kelapa sawit dan B. Gladioli di dalam
14
rizosfer pisang sama-sama memiliki kemampuan menyerang F. oxysporum f. sp
cubense yang menginfeksi tanaman tersebut. B. cepacia menyerang cendawan
tersebut dengan mengkolonisasi permukaan hifa dan makrospora (Pan et al. 1997;
Dikin et al. 2006).
Terdapat sejumlah mikroorganisme yang mampu melawan Sclerotium
rolfsii, diantaranya Trichoderma harzianum, T. Viride, Bacillus subtilis,
Penicillium spp dan Glicodium virens. Bacillus sp. selain mampu menghambat
pertumbuhan F. oxysporum,
juga mampu menghambat Sclerotium rolfsii.
Cendawan ini menyebabkan busuk akar pada tanaman. Layu pada pucuk tanaman
akibat adanya kerusakan ujung akar merupakan gejala infeksi oleh S. rolfsii.
Fitopatogen ini dicirikan dengan pertumbuhan miselia yang menyerupai kapas
dan adanya bulatan sklerotia berwarna coklat muda dan menjadi coklat gelap yang
dihasilkan ketika tua. S. rolsfii menyerang tanaman pada kondisi tanah lembab
dan pada kisaran temperatur 25 oC sampai 35 oC, serangan ini terjadi pada
semaian. Terdapat sekitar 200 jenis tanaman yang merupakan inang dari
cendawan ini, termasuk kedelai. Penyakit oleh S. rolfsii ini sulit dikontrol,
penurunan pertumbuhannya bergantung pada kombinasi kultur yang digunakan
sebagai biokontrolnya atau dengan metode kimia.
Rizobakteria merupakan kelompok penting dari PGPR yang memiliki
aktivitas pemacuan pertumbuhan berbagai tanaman, diantaranya produksi IAA,
dan siderofor, kelarutan fosfat serta sebagai agen biokontrol terhadap fitopatogen.
Macrophomins phaseolina, Fusarium oxysporum, F. solani, Rhizoctonia solani,
Pythium spp. merupakan fitopatogen yang pertumbuhannya dihambat oleh
rizobakteria dengan memproduksi metabolit sekunder seperti antibiotik, siderofor,
HCN dan fitoalexin ( Kumar et al. 2006).
Antibiotik merupakan dasar dari mekanisme biokontrol pada bakteri
termasuk Bacillus sp.. Oligomycin A, kanosamine, zwittermicin A dan
xanthobaccin merupakan antibiotik yang diproduksi oleh Bacillus, Streptomycin
dan Stenothropomonas spp.. Senyawa amphisin, 2,4-diacetilploroglucinol
(DAPG), hydrogen cynide, oomycin A, phenazine, pyloluteorin, pyrrolnitrin,
tensin, tropolone dan cyclic lypopeptides diproduksi oleh Pseudomonas.
Mikroorganisme juga mengekresikan enzim hidrolase untuk merusak dinding sel
15
cendawan. Kitinase yang diproduksi oleh Serratia marcescens digunakan untuk
melawan Sclerotium rolsfii. Kitinase dan laminarinase yang disintesis oleh
Pseudomonas stutzeri berfungsi menghancurkan dan melisis miselia Fusarium
solani. β-1,3-glukanase disintesis oleh Paenibacillus sp. galur 300 dan
Streptomyces sp. galur 385 yang melisis dinding sel Fusarium oxysporum f. Sp.
cucumerinum.
Bacillus
cepacia
mensintesis
β-1,3-glukanase
untuk
menghancurkan dinding sel Rizoctonia solani, S. rolsfii, dan Pythium ultimum
(Chompant et al. 2005).
Besi merupakan elemen esensial bagi pertumbuhan semua organisme.
Pada kondisi keterbatasan besi, bakteri memproduksi senyawa berberat molekul
rendah yang disebut sebagai siderofor. Setiap jenis bakteri pemacu pertumbuhan
tanaman memiliki siderofor dengan kemampuan yang berbeda-beda dalam
mengkelat besi, pada umumnya bakteri tersebut mampu mengalahkan cendawan
patogenik yang memiliki afinitas rendah terhadap besi. Biosintesis siderofor
umumnya diatur oleh protein Fur yang memiliki sensitivitas terhadap besi. Faktor
lingkungan seperti pH, tingkat ketersediaan besi, ketersediaan trace element, dan
pasokan karbon, nitrogen dan fosfat yang memadai merupakan faktor lingkungan
yang berpengaruh terhadap sintesis siderofor (Compant et al. 2005).
Kompetisi ruang dan nutrisi antara bakteria dan cendawan fitopatogen
telah diketahui dan merupakan mekanisme biokontrol, termasuk juga kompetisi
dalam mendapatkan besi. Di bawah kondisi keterbatasan besi, bakteri
memproduksi senyawa pengkelat besi atau siderofor yang memiliki afinitas tinggi
terhadap Fe3+. Bakteri pengkelat besi berperan dalam menyita besi yang tersedia
dalam jumlah yang terbatas di dalam rizosfer, kondisi ini membuat fungi
fitopatogenik tidak dapat mendapatkan besi yang dibutuhkan yang berakibat
terputus pertumbuhannya (O’sullivan & O’Gara 1992; Loper & Henkels 1999;
Whipps 2000).
16
Download