produksi benih ikan nila jantan dengan rangsangan hormon metil

advertisement
PRODUKSI BENIH IKAN NILA JANTAN DENGAN
RANGSANGAN HORMON METIL TESTOSTERON
DALAM TEPUNG PELET
Zulkifli Mantau
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara, Jalan Kampus Pertanian Kalasey Provinsi Sulawesi Utara
ABSTRAK
Tulisan ini manyajikan ulasan tentang teknologi menjantankan (maskulinisasi) benih ikan nila yang efektif,
praktis, serta menguntungkan. Ikan nila sangat mudah memijah terutama inbreeding. Akibatnya, pertumbuhannya
lambat dan benih yang dihasilkan berukuran kerdil. Untuk mengatasinya perlu dikembangkan budi daya ikan nila
secara tunggal kelamin (monosex culture), yaitu hanya memelihara ikan jantan. Selain itu ikan nila jantan memiliki
tingkat pertumbuhan yang lebih cepat dan dagingnya lebih empuk dibanding ikan nila betina. Benih jantan dapat
diproduksi dengan menggunakan hormon androgen sintetis seperti metil testosteron (MT) dalam pakan larva.
Beberapa penelitian dan pengkajian di dalam dan luar negeri menunjukkan bahwa aplikasi pakan berhormon metil
testosteron untuk maskulinisasi benih ikan nila menghasilkan 90−96% benih jantan. Hasil penelitian dan kajian
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara menunjukkan dosis hormon yang optimal dan aman adalah
15 mg MT/kg pakan. Hormon diaplikasikan pada tahap pembenihan maksimal selama 1 bulan. Penerapan teknologi
maskulinisasi memberi keuntungan bersih Rp19.971.500/13 ekor induk/tahun, dengan B/C ratio 2,60, periode
kembali modal setelah 13 induk betina memijah dan BEP Rp2.370.887/13 ekor induk/tahun. Untuk pembenihan
nila tanpa maskulinisasi diperoleh keuntungan bersih Rp16.840.000/14 ekor induk/tahun, B/C ratio 2,50, periode
kembali modal setelah 14 ekor induk betina memijah dan BEP Rp2.134.322/14 ekor induk/tahun.
Kata kunci: Ikan nila, pemberian pakan, metil testosteron, budi daya tunggal kelamin
ABSTRACT
Male fry production of nile tilapia by methyl testosterone stimulation in flour of pellet feed
This article reviewed technology of fish fry masculinization of nile tilapia in effective, practical and profitable
way. Nile tilapia is easy to spawn especially inbreeding, as a result its growth is slow or retarded. To solve the
problem, it can be developed monosex culture by growing only the male fish. Male nile tilapia also have quicker
growth and softer flesh than the female one. Male fish fry could be produced by using the synthetic androgen like
methyl testosterone (MT) in larval feed. Studies and researches conducted in the country and abroad showed that
application of methyl testosterone hormone in larval feed for masculinization of nile tilapia produced fry which
is 90−96% male. Research result and study of North Sulawesi Assesment Institute for Agricultural Technology
showed that peaceful and optimal dose is 15 mg MT/kg of flour pellet. The hormone was applied at seeding stage
for 1 months of duration. Furthermore, economic analysis showed that the masculinization technology is feasible
with NPV Rp19.971.500/13 fishes/year; B/C ratio 2,60; payback period after 13 female fish spawning and BEP
Rp2.370.887/13 fishes/year. The conventional technology only has NPV Rp16.840.000/14 fishes/year; B/C ratio
2,50; payback period after 14 female fish spawning and BEP Rp2.134.322/14 fishes/year.
Keywords: Oreochromis niloticus, feeding, methyl testosterone, monosex culture
I
kan nila sangat mudah memijah
terutama inbreeding, karena ikan ini
cepat matang gonad dan dapat melakukan
pemijahan berkali-kali (Suyanto 1994;
Guerrero III dan Guerrero 2004). Akibatnya pertumbuhannya menjadi lambat
dan benih yang dihasilkan berukuran
kecil sehingga tidak diminati konsumen.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut,
perlu dikembangkan alternatif budi daya
80
dengan pemeliharaan ikan secara tunggal
kelamin (monosex culture), yakni hanya
memelihara benih ikan jantan, karena
pertumbuhannya lebih cepat, dagingnya
lebih empuk, dan ukurannya lebih besar
dibanding ikan betina (Suyanto 1994;
Fitzsimmons 2004).
Terdapat beberapa cara untuk mengubah kelamin atau maskulinisasi ikan nila
dan meningkatkan persentase individu
jantan dalam populasi ikan tersebut, yaitu:
1) memisahkan jantan dan betina dengan
cara seleksi manual, namun cara ini kurang
efisien karena boros waktu dan tenaga,
dan 2) melakukan kawin silang (hibridisasi) antarspesies. Pada tahun 1960-an
dan 1970-an, ilmuwan dari Israel menyatakan bahwa spesies hibrida unggul
ikan nila yang dihasilkan dari kawin silang
lebih condong memiliki jenis kelamin
Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005
jantan. Namun cara ini kurang praktis dan
memakan waktu lama untuk menghasilkan 100% ikan nila jantan (Fitzsimmons
2004), 3) manipulasi kromosom, tetapi cara
ini hanya dapat dilakukan oleh ahli
genetik dan memakan waktu lama, serta
memerlukan tingkat ketelitian yang
tinggi dan biaya yang besar. Untuk
tingkat petani, cara ini belum dapat
diterapkan kecuali melalui kerja sama
dengan lembaga-lembaga penelitian
yang sudah melakukan hal tersebut, 4)
untuk mendapatkan benih jantan ikan
nila secara cepat, akurat dan praktis dapat
dilakukan dengan rangsangan hormon
steroid seperti metil testosteron (MT).
Aplikasinya dilakukan secara oral dengan
pemberian dosis tertentu dalam pakan
larva (Guerrero III dan Guerrero 2004).
Maskulinisasi dengan rangsangan
hormon perlu memperhatikan umur ikan.
Shapiro (1987) menyatakan bahwa semakin muda umur ikan, peluang terbentuknya kelamin jantan semakin besar, dan
semakin tua umur ikan peluang perubahan
kelamin betina ke jantan makin berkurang.
Maskulinisasi pada ikan berumur 2 bulan
(50 g) tidak akan berhasil karena pada saat
itu organ kelamin sudah terbentuk
sempurna. Oleh karena itu, maskulininasi
sebaiknya dilakukan pada umur 7–10 hari
setelah telur menetas dan maksimal pada
umur 17−19 hari (Suyanto 1994; Irfan
1996).
Tulisan ini bertujuan memberikan informasi terutama kepada petani ikan
tentang teknologi maskulinisasi benih
ikan nila secara efektif, praktis, dan menguntungkan. Diuraikan pula dosis dan
durasi yang aman yang dapat menjadi
acuan dalam penerapan teknologi ini di
lapangan.
PEMBENIHAN IKAN NILA
Teknik produksi benih ikan nila jantan
(maskulinisasi) berkaitan erat dengan
proses awalnya yaitu pembenihan. Pembenihan dilakukan dengan memelihara
seekor ikan nila jantan dan 3–5 ekor ikan
nila betina dalam ruang pemijahan (kolam
atau happa) berukuran 1 m 2 (acuan
standar). Ikan jantan berukuran ± 200 g/
ekor dan ikan betina ± 150 g/ekor, masingmasing berumur ± 4 bulan. Ruang
pemijahan dilengkapi dengan bilahanbilahan bambu yang diatur rapat seperti
pagar (Gambar 1)
Ikan nila merupakan parental care
fish, yaitu mengerami telur dan menjaga
larvanya dalam mulut (Suyanto 1994;
www.balitbang-sumut.go.id. 2004; Griffin
2004). Seekor induk betina dapat menghasilkan 1.000–1.500 ekor larva. Pada saat
mengerami dan menjaga larvanya, induk
betina menyendiri dan pada saat larva
telah lepas dari asuhan induknya (± 7 hari),
induk tetap dalam kelompoknya.
Pemijahan dapat dilakukan pada
kolam atau happa (jaring dari kawat
nyamuk). Jika dalam satu kolam atau
happa pemijahan terdapat 10 ekor betina
yang mengeram, maka setelah 7 hari atau
setelah induk dipindahkan akan tetap
terdapat 10 kelompok larva di sudut dan
pinggiran tempat pemijahan. Inilah salah
Gambar 1. Pen/pagar tempat pemijahan induk ikan nila di kolam tanah.
Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005
satu cara mengetahui keberadaan populasi
larva dalam tempat pemijahan.
PERLAKUAN PAKAN
BERHORMON METIL
TESTOSTERON
Masalah umum yang dihadapi dalam
budi daya ikan nila adalah kemampuan
reproduksi ikan yang tinggi, sehingga
sukar diatur dan sering terjadi inbreeding.
Akibatnya tingkat pertumbuhan ikan
menjadi lambat sehingga diperlukan waktu yang lama untuk mencapai ukuran
konsumsi, bahkan pertumbuhannya
sering terhenti (stagnan). Berdasarkan
pengalaman penulis di lapangan, jika ikan
nila dipelihara secara campur kelamin
(polysex culture) maka ikan dengan
ukuran 50 g/ekor sudah mulai memijah,
sehingga pertumbuhan menjadi lambat
bahkan terhenti karena energinya terkuras
untuk memijah dan mengerami telur
(khususnya ikan betina), padahal ukuran
konsumsi atau siap jual adalah lebih dari
100 g/ekor. Untuk mengatasinya perlu
dilakukan budi daya tunggal kelamin yaitu
hanya memelihara ikan nila jantan.
Benih ikan nila jantan antara lain
dapat diproduksi dengan rangsangan
hormon MT yang dicampur dalam pakan
tepung pelet. Ada berbagai cara meracik
pakan berhormon, salah satunya adalah
yang dihasilkan Mantau et al. (2001)
dengan menggunakan tiga dosis hormon
berbeda yaitu 15, 25, dan 30 mg. Selanjutnya hormon dilarutkan dalam alkohol
95% masing-masing sebanyak 7,50; 12,50;
dan 15 ml.
Larutan hormon alkohol yang telah
siap kemudian dicampur dengan 1 kg
tepung pelet (sebagai acuan). Pakan
berhormon dapat langsung diberikan
kepada larva ikan nila atau disimpan
dalam kantong plastik tertutup dan
dimasukkan ke dalam lemari es. Pakan
tahan hingga 2 bulan. Pakan diberikan
empat kali sehari dengan dosis 10% dari
total bobot populasi per happa. Bobot
populasi per happa diketahui dengan
sampling sebanyak 10% dari total populasi
pada penebaran awal yaitu 200 ekor larva
per happa.
Guerrero III dan Guerrero (2004) telah
meneliti efek androstenedion (AD) dan
MT pada larva dan benih ikan nila yang
dijantankan. Dalam penelitian tersebut
diuji tiga perlakuan dosis AD dan MT
81
yaitu 0 (kontrol), 30 mg AD (AD-30), 50
mg AD (AD-50), 30 mg MT (MT-30), dan
50 mg MT (MT-50) per 1 kg pakan.
Pemeliharaan larva dilakukan dalam
happa selama 21 hari. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bobot badan ratarata larva tertinggi diperoleh pada
perlakuan 50 mg MT/kg pakan dan
terendah pada perlakuan 30 mg AD/kg
pakan. Namun survival rate (sintasan)
tertinggi dihasilkan perlakuan 30 mg AD/
kg pakan (Tabel 1).
Perlakuan androgen tidak memiliki
efek yang nyata terhadap pertumbuhan
dan sintasan benih ikan nila selama 21 hari
proses pengubahan kelamin. Sementara
itu, bobot badan rata-rata dari benih yang
diberi perlakuan AD berada pada kisaran
terendah dan tertinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor lain
di luar efek androgen (Guerrero III dan
Guerrero 2004).
Pertumbuhan dan sintasan benih
selama proses pengubahan kelamin
ditentukan oleh beberapa faktor, seperti
padat tebar, pemberian pakan, suhu, dan
kondisi lingkungan lainnya (Bocek et al.
1992 dalam Guerrero III dan Guerrero
2004). Jo et al. (1995) dalam Guerrero III
dan Guerrero (2004) melaporkan bahwa
perlakuan MT 5–25 mg/kg pakan memiliki
pengaruh yang lebih nyata dibanding
kontrol setelah periode pengubahan
kelamin. Diduga MT memiliki efek
anabolik terhadap ikan. Namun, Vera Cruz
dan Mair (1994) tidak menemukan
pengaruh yang nyata perlakuan MT 40
mg/kg pakan terhadap pertumbuhan dan
sintasan ikan nila selama pengubahan
kelamin.
Mantau et al. (2001) juga menyatakan
tidak ada pengaruh yang nyata perlakuan
MT 0, 15, 25, 30 mg/kg pakan terhadap
pertumbuhan harian dan mortalitas benih
ikan nila selama 28 hari periode pengubahan kelamin yang dilanjutkan 28 hari
periode pemeliharaan atau pembesaran
benih, di mana pada tahap ini pakan
berhormon diganti dengan pakan tepung
pelet tanpa hormon. Rata-rata pertumbuhan harian larva ikan nila selama 56 hari
pengubahan kelamin dan pembesaran
benih sebesar 8% bobot badan (bb)/ekor/
hari dengan mortalitas 3–4%/56 hari.
Irfan (1996) juga melaporkan tidak
terdapat pengaruh yang nyata perlakuan
MT terhadap pertumbuhan bobot mutlak
dan mortalitas benih ikan nila yang dijantankan. Enam dosis hormon (10, 20, 30,
40, 50, dan 0 mg) yang masing-masing
dicampur dalam 200 g pakan tepung
pelet menghasilkan pertumbuhan bobot
mutlak ikan yang dipelihara selama 3
bulan sebesar 2,05–2,83 g/ekor dengan
pertumbuhan harian rata-rata 4,13−5,54%
bb/ekor/hari, dan mortalitas 16,60–58,86%.
Pertumbuhan harian benih ikan nila hasil
penelitian Irfan (1996) lebih rendah
dengan tingkat mortalitas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Mantau et al. (2001).
Sementara itu hasil penelitian
Guerrero III dan Guerrero (2004) menunjukkan rata-rata bobot badan dan
sintasan benih ikan nila yang dipelihara
selama 30 hari setelah pemijahan dengan
perlakuan MT lebih tinggi (MT-30: 5 g/
ekor dan sintasan 91%; MT-50: 6,50 g/
ekor dan sintasan 93%) dibanding kontrol
(bobot rata-rata 3 g/ekor dan sintasan
95%) maupun perlakuan AD (AD-30: 3,50
g/ekor dan sintasan 85%; AD-50: 3 g/ekor
dan hanya sintasan 70%). Namun,
sebenarnya titik berat penelitian maskulinisasi adalah persentase pembentukan
individu jantan. Vera Cruz dan Mair (1994)
Tabel 1. Rata-rata bobot badan dan sintasan larva O. niloticusa yang dijantankan dalam happa selama 21 hari dengan pakan berhormon.
Parameter
Bobot akhir rata-rata
(g/ekor)
Sintasan (%)
Dosis hormon (mg/kg pakan)
0
AD-30
AD-50
MT-30
MT-50
0,19
0,17
0,23
0,19
0,19
82,30
91,20
78,50
87,70
77,60
Berat awal rata-rata = 0,01 g, AD = androstenedion, MT = metil testosteron.
Sumber: Guerrero III dan Guerrero (2004).
a
82
serta Mantau et al. (2001) tidak menemukan pengaruh yang nyata perlakuan
hormon MT terhadap laju pertumbuhan
ikan nila.
Perlakuan rangsangan hormon MT
memberikan hasil rata-rata tertinggi
dibanding kontrol maupun perlakuan AD,
yaitu menghasilkan 96% jantan baik MT30 maupun MT-50 dengan sintasan 100%
dan bobot akhir rata-rata pada 75 hari
setelah pemijahan masing-masing 15,80
dan 18 g/ekor. Pada perlakuan AD,
persentase individu jantan hanya 74–
81% dengan sintasan 98–100% dan bobot
akhir rata-rata pada 75 hari setelah
pemijahan 15–16,20%. Larva ikan nila
yang tidak diberi rangsangan hormon
menghasilkan individu jantan 59%
walaupun sintasannya 100% dan bobot
akhir rata-rata pada 75 hari setelah
pemijahan 17,70 g/ekor (Guerrero III dan
Guerrero 2004).
Dari hasil penelitian tersebut
sebetulnya dosis hormon MT yang
digunakan terlalu tinggi sehingga
cenderung boros padahal persentase
benih jantan yang diperoleh rata-rata
hanya 96%. Di samping itu, dosis hormon
MT yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan paradoxial effect, paradoxial
feminization atau efek berbalik (Harahap
1994 dalam Irfan 1996). Selain itu penggunaan hormon yang berlebihan akan
menyebabkan ikan menjadi jantan
sebelum waktunya sehingga menghambat pertumbuhan (Matty 1985).
Fenomena paradoxial feminization
dilaporkan oleh Haniffa et al. (2004)
sebagai akibat penggunaan dosis hormon
MT yang tinggi (400 µg/l). Individu jantan
yang dihasilkan hanya mencapai 30%
sedangkan individu betina 70%. Dalam
penelitian tersebut digunakan ikan
Heteropneustes fossilis (Bloch) atau
catfish, di mana telur-telur ikan dicelup
dalam larutan hormon MT dalam berbagai
dosis (100, 200, 300, 400 µg/l) dengan
empat durasi waktu perlakuan. Walaupun
tidak menggunakan ikan nila sebagai ikan
uji, hasil tersebut dapat mewakili atau
menggambarkan efek atau akibat dari
penggunaan dosis hormon MT yang berlebihan. Penggunaan hormon yang berlebihan juga ditemukan pada penelitian
Irfan (1996), dengan pembentukan individu jantan hanya 83,54% pada perlakuan
hormon MT 50 mg/200 g pakan.
Mantau et al. (2001) melaporkan
penggunaan 15 mg hormon MT/kg pakan
tepung pelet sudah dapat menghasilkan
Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005
benih jantan 93% dengan rata-rata
mortalitas 3,25%. Penelitian ini menggunakan happa sebagai wadah pemeliharaan larva sebagaimana yang dilakukan oleh Guerrero III dan Guerrero
(2004). Sementara itu penelitian Gustiano
(1992) dengan beberapa variasi perlakuan
dosis hormon MT (0, 15, 30, 45, 60 mg/
kg pakan) menghasilkan dosis terbaik 15
mg/kg pakan dengan individu jantan
yang terbentuk 79% dan sintasan 99%,
lebih rendah dari yang diperoleh Guerrero
III dan Guerrero (2004) yaitu 100%
sintasan. Ketiga penelitian tersebut
menggunakan metode yang serupa,
sehingga jika dibandingkan, dosis hormon MT yang efisien adalah yang
dihasilkan Mantau et al. (2001), karena
dengan dosis hormon rendah (15 mg/kg/
pakan), persentase individu jantan yang
diperoleh tidak berbeda nyata dengan
hasil penelitian Guerrero III dan Guerrero
(2004) dan berbeda nyata dengan Gustiano
(1992) maupun Irfan (1996) yang hanya
mencampurkan hormon MT dalam 200 g
pakan.
Dari beberapa hasil penelitian
tersebut dapat disimpulkan bahwa
perubahan sel kelamin ikan nila dengan
pemberian pakan berhormon MT lebih
efektif dibandingkan dengan metode
pencelupan dalam larutan hormon karena
persentase terjadinya individu jantan
mendekati 100%, sedangkan dengan
pencelupan hanya sekitar 80%. Berdasarkan pengalaman penulis di lapangan,
penggunaan pakan berhormon lebih
mudah dilakukan karena tidak perlu
menangkap telur atau larva ikan yang
akan dimaskulinisasi, namun hanya
cukup memindahkan induk ikan dan
pakan berhormon langsung bisa diaplikasikan. Kesulitan penangkapan larva
dan telur lebih disebabkan peluang
mortalitasnya yang sangat tinggi.
Masalah dalam penggunaan metil
testoteron adalah hormon tersebut tidak
dijual bebas dan dibatasi penggunaannya
khususnya untuk tujuan komersial.
Penggunaan hormon MT untuk maskulinisasi ikan nila dibatasi hanya pada tahap
pembenihan dengan durasi tidak lebih dari
1 bulan. Penggunaan pada tahap pembesaran tidak diperbolehkan karena
dikhawatirkan akan membawa pengaruh
genetis bagi yang mengonsumsi ikan
tersebut. Untuk mengatasi keterbatasan
dalam menggunakan metil testosteron,
Baroiller dan Toguyeni (1995) menyarankan menggunakan androgen alami yaitu
Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005
AD disarankan menggunakan (11 βhydroxy-androstenedione) untuk mengubah kelamin ikan nila. Mereka menyatakan bahwa perlakuan androstenedione
pada benih ikan nila pada dosis 10–35 mg/
kg pakan selama 21 hari sama efektifnya
dengan menggunakan MT pada dosis
yang sama.
ASPEK SOSIAL-EKONOMI
Ikan nila khususnya di Sulawesi Utara,
dewasa ini lebih diminati petani ikan
karena harga benih dan ikan ukuran
konsumsi relatif bersaing dengan ikan
mas, penanganan benih dan pembesarannya relatif mudah serta efisien
dalam memanfaatkan pakan. Selain itu,
benih ikan nila lebih mudah diperoleh dan
permintaan pasarnya pun lebih terjamin
dibanding ikan mas dan ikan air tawar
lainnya (komunikasi pribadi dengan para
petani ikan nila di Desa Tara-Tara II, Eris,
Telap dan Tounelet 2000−2003).
Berdasarkan penelitian dan pengkajian yang dilakukan BPTP Sulawesi
Utara, Mantau et al. (2001) melaporkan
bahwa keuntungan bersih teknologi intro
duksi BPTP Sulawesi Utara mencapai
Rp19.971.500/13 ekor induk/tahun,
sedangkan teknologi konvensional
Rp16.840.000/14 ekor induk/tahun, dengan B/C ratio teknologi introduksi 2,60
(Tabel 2). Dengan demikian teknologi
pakan berhormon untuk menghasilkan
benih jantan lebih unggul dibandingkan
teknologi konvensional.
Penerapan teknologi maskulinisasi
memberikan berbagai keuntungan baik
dari segi teknis maupun ekonomis. Benih
yang dihasilkan seragam (ukuran dan
jenis kelamin), sehingga petani tidak
perlu lagi melakukan sortasi atau seleksi
benih serta ikan nila terhindar dari
pemijahan yang terlalu dini dan inbreeding. Pemijahan dini dapat menurunkan produktivitas ikan budi daya akibat
pertumbuhan ikan terhambat bahkan
terhenti terutama pada ikan betina
(Suyanto 1994). Dampak ekonominya adalah ikan tidak laku terjual karena ukuran
konsumsi umumnya berkisar 1 kg/3–4
ekor, sedangkan bila pertumbuhan terhenti bobot ikan kurang dari 50 g/ekor.
Maskulinisasi juga memudahkan
petani menerapkan budi daya ikan tunggal
kelamin terutama untuk menghindari
inbreeding atau perkawinan pada
keturunan yang sama. Pada budi daya
secara tunggak kelamin, energi dari
makanan hanya digunakan untuk pertumbuhan sehingga dapat meningkatkan
produksi (Suyanto 1994). Dampak ekonominya adalah penggunaan pakan
menjadi efisien sehingga menurunkan
biaya pakan yang merupakan biaya
terbesar dalam usaha budi daya ikan.
Selain itu poduksi yang tinggi dapat
meningkatkan daya jual petani sehingga
Tabel 2. Analisis usaha per tahun teknologi maskulinisasi (introduksi) (15
mg MT/kg pakan) dan teknologi konvensional di Desa Tara-Tara
II Kota Tomohon.
Uraian
Teknologi introduksi
Teknologi konvensional
Total biaya
Nilai penjualan
benih
Keuntungan
bersih
B/C ratio
Payback
period
BEP
Rp7.678.000
Rp27.649.500/13 ekor induk/tahun
Rp6.637.980
Rp23.478.000/14 ekor induk/
tahun
Rp16.840.000/14 ekor induk/
tahun
2,50
Setelah 14 induk betina
memijah
Rp2.134.322/14 ekor induk/
tahun
Rp19.971.500/13 ekor induk/tahun
2,60
Setelah 13 induk betina memijah
Rp2.370.887/13 ekor induk/tahun
Keterangan: 1. Pemijahan selama 6 periode (1 periode = 1 bulan); 2. pemijahan menggunakan
18 ekor induk betina dan 6 ekor induk jantan (perbandingan 1 jantan : 3 betina/m2); 3. hasil
tetas = 1.500 ekor larva; 4. mortalitas untuk teknologi introduksi = 3% dan teknologi
konvensional = 4%.
Sumber: Mantau et al. (2001).
83
dapat memenuhi permintaan pasar secara
kontinu (Komunikasi pribadi dengan
petani ikan di Desa Eris dan Telap
2002–2003).
Maskulinisasi dapat pula menghasilkan benih unggul untuk tujuan
pembesaran, karena ikan nila jantan lebih
cepat pertumbuhannya, dagingnya lebih
tebal, dan ukurannya lebih besar dibanding ikan betina sehingga cocok
untuk ikan konsumsi. Jika dipersiapkan
untuk induk, ikan nila hasil dari
maskulinisasi ini lebih cepat matang
gonad.
KESIMPULAN
Pakan berhormon MT dapat merangsang
perubahan kelamin ikan nila pada
stadium larva (0−30 hari). Namun cara ini
tidak direkomendasikan untuk diaplikasi-
kan pada pembesaran benih menjadi ikan
konsumsi. Penggunaan pakan berhormon
MT dapat memproduksi 90− 96% ikan nila
jantan.
Keberhasilan maskulinisasi dengan
pakan berhormon antara lain dipengaruhi
oleh dosis hormon, suhu air, tingkah laku
ikan, umur larva, dan durasi atau lama
pemberian pakan berhormon. Faktor yang
terakhir masih terus diteliti agar pembentukan individu jantan optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Baroiller, J.F. and A. Toguyeni. 1995. Comparative effects of a natural androgen. ll βhydroxy-androstenedione and a synthetic
androgen, 17 α-methyl testosterone on the
sex ratios of Oreochromis niloticus. In R.S.V.
Pullin, J. Lazard, M. Legendre, J.B. Amon
Kothias, and D. Pauly (Eds.). The Third
International Symposium on Tilapia in
Aquaculture. ICLARM Conf. Proc. 41.
Fitzsimmons, K. 2004. Introduction to tilapia
sex-determination and sex-reversal. www.
aq.arizona.edu.
Gustiano, R. 1992. Penggunaan hormon dalam
pakan pada pembentukan ikan nila jantan.
Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian XIV(5): 15−16.
Griffin, M. 2004. Tilapia reproduction and sex
reversal. www.aquanic.org.
Guerrero III, R.D. and L.A. Guerrero. 2004.
Effects of androstenedione and methyl
84
testosterone on Oreochromis niloticus fry
treated for sex reversal in outdoor net
enclosures. www.nraes.org/publications.
www.aq.arizona.edu
Haniffa, M.A., S. Sridhar, and M. Nagarajan. 2004.
Hormonal manipulation of sex in stinging
catfish Heteropneustes fossilis (Bloch). Curr.
Sci. 86(7): 1012−1017. April 2004.
www.ias.ac.in
Irfan, M. 1996. Penggunaan hormon testosteron dengan dosis berbeda terhadap
pembentukan individu jantan, mortalitas,
dan pertambahan berat benih ikan nila
(Oreochromis niloticus). Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam
Ratulangi, Manado.
Mantau, Z., A. Supit, Sudarty, J.B.M. Rawung, U.
Buchari, L. Oroh, J. Sumampow, dan A.
Mamentu. 2001. Penelitian adaptif pembenihan ikan mas dan maskulinisasi ikan nila
di Sulawesi Utara. Laporan Hasil Penelitian.
Instalasi Penelitian dan Pengkajian
Teknologi Pertanian Kalasey, Sulawesi Utara.
Matty, A.J. 1985. Fish Endocrinology. Croom
Helm London-Sydney, Timber Press,
Oregon.
Shapiro, Y.D. 1987. Differentiation and
evolution of sex change in fishes. Biosci.
Ser. 37(7): 490−496.
Suyanto, S.R. 1994. Nila. PT Penebar Swadaya,
Jakarta.
Vera Cruz, E.M. and G.C. Mair. 1994. Conditions
for effective androgen sex-reversal in
Oreochromis niloticus (L.). Aquaculture 122:
237−248.
www.balitbang-sumut.go.id. 2004. Pembenihan
ikan nila (Oreochromis niloticus).
Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005
Download