GAMBARAN MAKNA HIDUP PADA PENGANUT ATEIS RICKY

advertisement
GAMBARAN MAKNA HIDUP PADA PENGANUT ATEIS
RICKY SULISTIADI
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GUNADARMA
ABSTRAKSI
Pada sebagian besar kehidupan masyarakat Indonesia yang notabene
agamis, makna hidup dapat ditilik, dipelajari, dipahami, dihayati dan
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari melalui nilai-nilai moral agama yang
menjadi dasar dari pedoman hidup sebagian besar masyarakat Indonesia. Lain
halnya dengan kehidupan orang ateis yang tidak memiliki pedoman hidup yang
baku dan berfungsi sebagai pedoman utama seperti misalnya Kitab Suci, tuntunan
serta nasihat dari para pemimpin ataupun orang-orang bijak, maupun buku-buku
mengenai kajian spiritualitas kehidupan seperti yang biasa terjadi dalam
kehidupan masyarakat beragama. Para penganut ateis tidak memiliki perangkat
nilai-nilai baku yang menjadi pedoman dalam kehidupan mereka sebagai sumber
dan titik tolak mereka untuk dapat memperoleh makna dalam kehidupannya. Para
penganut ateis mendasarkan makna hidup mereka pada cara pandang yang bebas
nilai. Dalam arti mereka sendirilah yang mencari, memilih, dan menerapkan
bermacam nilai kehidupan yang bersifat universal sebagai pedoman hidup mereka
yang nantinya dijadikan sebuah metode tersendiri untuk membentuk suatu makna
bagi kehidupan mereka.
Tujuan penelitian ini yaitu berusaha mengkaji lebih dalam mengapa
seseorang individu akhirnya menjadi penganut ateis, bagaimana gambaran makna
hidup penganut ateis, serta mengetahui lebih dekat bagaimana proses dan
perjuangan penganut ateis dalam pencarian makna hidupnya.
Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif yang
sifatnya studi kasus karena penelitian kualitatif studi kasus sesuai digunakan pada
masalah-masalah yang bertujuan untuk mengeksplorasi kehidupan seseorang atau
tingkah laku seseorang dalam kehidupannya sehari-hari, dengan menggunakan
penelitian kualitatif studi kasus juga diperoleh pemahaman yang mendalam
tentang berbagai gejala-gejala sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik wawancara
dan catatan lapangan dengan subjek dan significant other. Untuk membantu
proses pengumpulan data maka peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara
dan alat perekam. Dalam penelitian ditentukan sejumlah karakteristik bagi subjek
penelitian yaitu seorang penganut ateis dewasa awal. Rentang usia 20-25 tahun.
Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 1 orang.
Dari data penelitian disimpulkan bahwa sebagian besar penyebab subjek
menjadi ateis ternyata dipengaruhi oleh faktor ideologi yang dipahami oleh
subjek. Hal tersebut berhubungan dengan kekecewaan subjek terhadap
1
pengalaman dari penerapan dalam ideologi agamanya yang mendorong sikap
pemberontakan subjek. Dalam penelitian ini subjek lebih mengacu dan mengingat
kehidupan dari masa kecil hingga masa remajanya (baik itu dalam lingkungan
masyarakat maupun lingkungan keluarga) yang lebih tertuju dan diporsikan
dalam pengalaman-pengalaman buruk dan kurang menyenangkan sebagai sesuatu
yang mempengaruhi dan membangun cara pandang serta pemaknaan terhadap
hidup yang subjek terapkan pada saat ini dalam kehidupannya.
Adapun faktor yang menjadikan hidup subjek menjadi bermakna pada saat
ini beradasar pada cara pandang eksistensialis. Pandangan dan pembuktian
subjek terhadap independensinya serta keberartian hidup yang dirasakan subjek
disaat keberadaan dirinya dapat memiliki arti bagi orang lain serta dirinya
sendiri didasarkan atas cara pandang tersebut. Subjek seakan ingin menegaskan
dalam pemaknaan hidupnya pada saat ini yaitu bahwa kehidupan manusia
menjadi sesuatu yang memiliki arti bukan karena apa yang dipikirkan atau
diyakininya melainkan apa yang dapat dilakukan oleh manusia tersebut dalam
kehidupannya baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungannya.
Kata kunci : Makna Hiudup dan Ateis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Alasan akan keberadaan diri dan kehadiran seorang individu di dunia
secara relatif dapat dijawab dan ditarik pokok pemikirannya pada prinsip-prinsip
yang ada dalam kehidupan beragama. Sebaliknya, hal tersebut tidak berlaku bagi
para penganut ateis sebab permasalahan tersebut merupakan dasar dari psikologi
kehidupan mereka sendiri yang mengindasikan suatu bentuk autentias dimana
mereka harus memaknai keberadaan mereka dengan cara mereka sendiri bukan
dengan diarahkan dalam suatu cara pandang yang mengikat kebebasan mereka.
(Harris, 2006) Keberadaan diri, kejadian-kejadian dalam hidup, dan berbagai
macam emosi yang melingkupinya bersinergi menjadi suatu kehidupan. Hal-hal
tersebut membentuk dan mengisi setiap ruang dalam kehidupan manusia dan
penganut ateis menyadari bahwa tanpa adanya pengertian akan dasar bagi alasan
yang melingkupi setiap kejadian dalam hidup mereka maka hidup mereka dan
semua kejadian yang terjadi dalam hidup mereka tidak akan ada artinya. (Corevlyn
dan Hutsebaut, 1994)
2
Bastaman (1996) mengatakan bahwa bagi mereka yang tidak mendasari
pemaknaan hidupnya dari nilai-nilai agama tampaknya lebih tepat jika menerapkan
salah satu prinsip pengembangan pribadi yang dikemukakan oleh “Bapak Filsafat
Eksistensi” Kierkegaard, yaitu berusaha meninggalkan inhautic existence untuk
menuju authentic existence. Adapun yang dimaksud dengan inhautic existence
adalah corak kehidupan pribadi yang sepenuhnya ditentukan oleh tuntutantuntutan masyarakat tanpa mampu menentukan apa yang terbaik bagi dirinya
sendiri. Sedangkan authentic existence adalah corak kehidupan pribadi yang
ditentukan oleh pribadi yang ditentukan sendiri secara bebas dan bertanggung
jawab mengenai apa yang baik bagi dirinya sendiri. Seperti juga yang dikatakan
oleh Frankl (dalam Koeswara, 1987) menyatakan bahwa makna hidup tidak harus
merupakan soal agama, tapi juga dapat dan sering merupakan persoalan filsafat
hidup yang sifatnya sekuler.
Dikatakan lebih lanjut oleh Hauser dan Singer (2005) ateisme bukanlah
sistem etika (sistem yang menentukan perbuatan yang benar atau salah), ateisme
hanyalah tidak adanya kepercayaan pada Tuhan. Ateisme punya kelebihan karena
tidak perlu mendasarkan keputusan etikanya pada buku yang ditulis oleh orangorang jaman kuno (abad ke-1 atau abad ke-7), dimana buku tersebut menunjukkan
nilai-nilai etika dari orang-orang tersebut. Ateisme juga memungkinkan seorang
individu untuk merendahkan hati dan mengakui bahwa nilai-nilai etika yang
mereka miliki adalah nilai-nilai dari diri mereka sendiri dan bukan hukum alam.
Ateisme memberikan seorang individu baik kebebasan dan tanggung jawab untuk
menentukan perbuatan mana yang etis atau tidak etis bagi diri mereka sendiri.
Bagaimana dan apakah mereka memenuhi tanggung jawab tersebut dengan baik
tergantung dari diri mereka sendiri, bukan pada hal-hal diluar diri mereka.
Cara pandang yang bebas dari para penganut ateis tersebut terkadang kerap
disalah-artikan oleh orang-orang awam sebagai suatu bentuk kebebasan yang tanpa
kontrol. Goldman (dalam Glassgold, 2001) mengatakan bahwa memikiran Tuhan
tidak ada tidak lantas berarti juga berpikir bahwa manusia bebas melakukan
apapun sekehendaknya sendiri. Ateisme hanyalah suatu keadaan sebatas 'tidak
percaya bahwa Tuhan ada', tidak lebih dari itu. Tidak ada jaminan bahwa seorang
3
ateis akan berbuat semaunya, seperti juga tidak ada jaminan seorang beragama dan
percaya pada Tuhan akan berbuat baik.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut dikatakan Goldman (dalam Glassgold,
2001) pada akhirnya akan lebih bijak melihat filosofi ateisme dan para
penganutnya dalam perspektif yang proposional yaitu bahwa para penganut ateis
dapat memiliki hidup yang bermakna yang dengan hal tersebut dapat
menyumbangkan sesuatu yang berarti yang juga memiliki makna bagi orang lain,
kehidupan bermasyarakat, ataupun secara luas bagi seluruh domain dalam
lingkungan tempat dia hidup. Demikian pula halnya orang ateis yang gagal
memaknai, memberi arti, dan menghargai kehidupannya sendiri (dalam artian yang
sempit) dan keterkaitannya akan kehidupan manusia yang lain beserta lingkungan
hidupnya (dalam artian yang luas) dapat menjadi sumber perusak kedamaian dan
ketentraman dalam kehidupan baik sosial, politik, maupun lingkungan hidup.
Sama seperti halnya penganut ateis hal tersebut juga berlaku bagi orang beragama
yang gagal dalam memaknai, memberi arti, dan menghargai kehidupannya sendiri
yang akhirnya kerap bertindak sewenang-wenang atau bahkan cenderung kasar,
apatis, ataupun sadis. (Goldman dalam Glassgold, 2001)
Menurut Goldman (dalam Glassgold, 2001) yang terpenting adalah
bagaimana seseorang memahami dan memaknai moralitasnya sendiri sebagai
nilai-nilai yang menjadi pedoman dalam kehidupannya. Berguna atau tidaknya
seorang individu bagi kehidupannya sendiri dan masyakat luas pada umumnya
tergantung oleh individu yang menjalaninya dan bukan tergantung pada aspek
moralitas yang dimilikinya. Bilamana seorang individu dapat mengaplikasikan
nilai-nilai yang dimilikinya dalam kehidupannya dan dengan hal tersebut dirinya
dapat merasa berguna bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan maka individu
tersebut akan merasa bahagia, merasakan kepenuhan hidup, dan memiliki makna
dalam hidupnya maka itulah bentuk spritulitas para penganut ateis. (Goldman
dalam Glassgold, 2001)
Harris (2006) menyatakan bahwa untuk menjadi seorang individu yang
baik dan memiliki kehidupan yang baik pula seseorang tidaklah harus memiliki
agama terlebih dahulu sebagai persyaratannya. Kehidupan bersifat universal
4
begitupun juga dengan nilai-nilai kehidupan itu sendiri. Seorang individu ateis
dapat memperoleh makna bagi kehidupannya dalam berbagai macam nilai-nilai
yang dapat ditemukan disepanjang kehidupan manusia. Pada akhirnya hal tersebut
tidak mengindikasikan bahwa para penganut ateis merupakan orang-orang yang
kosong secara moralitas dan spiritualitas. Para penganut ateis dapat memiliki
peluang untuk menjadikan hidup mereka bermakna sama seperti orang-orang
beragama pada umumnya dengan spiritulitas dan moralitas mereka sendiri.
Demikian secara singkat gambaran makna hidup para penganut ateis dan
atas dasar alasan tersebut maka penelitian ini dibentuk yaitu untuk mengetahui apa
yang menyebabkan seseorang menjadi ateis, memahami secara lebih dekat
bagaimana proses pergulatan dan perjuangan orang ateis dalam pencarian makna
hidupnya serta memahami lebih dekat mengenai gambaran makna hidup penganut
ateis.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah:
1. Mengetahui penyebab seseorang menjadi ateis.
2. Memahami secara lebih dekat bagaimana proses pergulatan dan perjuangan
orang ateis dalam pencarian makna hidup.
3. Memahami gambaran makna hidup penganut ateis.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Tulisan ilmiah ini diharapkan dapat memberi kontibusi dalam bidang
psikologi sekaligus menambah khasanah penulisan khususnya dalam bidang
psikologi eksistensial. Selain itu penulis juga berharap penelitian ini dapat
menjadi acuan bagi penelitian lain khsusunya yang berhubungan dengan
makna hidup.
2. Manfaat Praktis
Melalui tulisan ini masyarakat diharapkan dapat mellihat secara jelas
bagaimana gambaran dan pandangan hidup seorang ateis yang tentunya juga
seorang manusia biasa sama seperti manusia pada umumnya dan diharapkan
juga hal ini dapat membuka cakrawala pemahaman awam dan memberi
5
informasi yang diperlukan tentang hal yang selama ini masih tabu untuk
dibicarakan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Makna Hidup
1. Pengertian Makna Hidup
Frankl (1985) ketika membahas tentang pengertian dari makna hidup
pernah mengatakan bahwa dirinya sendiri merasa ragu apakah seseorang dokter
sekalipun dapat menjawab pertanyaan ini secara umum. Sebab, makna hidup
bisa berbeda antara satu dengan yang lain dan berbeda setiap hari atau bahkan
setiap jam, makna hidup merupakan suatu hal yang sangat personal tergantung
dari pribadi dan keunikan individu tersebut dalam caranya untuk memaknai
hidupnya. Oleh karena itu yang penting bukanlah makna hidup secara umum
melainkan makna khsusus dari hidup individu pada suatu saat tertentu.
2. Karakteristik Makna Hidup
Menurut Frankl (dalam Bastaman, 1996) ada beberapa karakteristik dari
makna hidup, yaitu:
a) Sifatnya unik dan personal artinya apa yang dianggap bermakna dan
penting bagi individu belum tentu menjadi sesuatu yang bermakna dan
penting bagi individu lain.
b) Makna hidup sifatnya konkrit dan spesifik maksudnya, dapat dapat
ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan nyata sehari-hari. Tidak
selalu dalam renungan-renungan filosofis.
c) Makna hidup bersifat memberi pedoman dan arah terhadap kegiatankegiatan yang dilakukan sehingga makna hidup seakan-akan menantang
(chalenging) dan mengundang (inviting) individu untuk memenuhinya.
3. Komponen-komponen
yang
Menentukan
Berhasilnya
Perubahan
Penghayatan Hidup Agar Menjadi Lebih Bermakna
Menurut Bastaman (1996) terdapat komponen yang menentukan
keberhasilan hidup menjadi lebih bermakna. Komponen-komponen ini menjadi
6
indikator bagi keberhasilan individu dalam menghayati hidupnya, komponenkomponen tersebut antara lain:
a. Pemahaman diri, yaitu meningkatnya kesadaran akan buruknya kondisi
pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan ke arah
kondisi yang lebih baik.
b. Makna hidup, yaitu nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan
pribadi individu yang dapat berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus
dipenuhi dan pengarah-pengarah kegiatannya.
c. Pengubahan sikap dari yang semula tidak tepat menjadi lebih tepat dalam
menghadapi masalah, kondisi hidup, dan musibah yang tidak terelakkan.
d. Ketertarikan diri terhadap makna hidup yang ditemukan dan tujuan yang
diterapkan.
e. Kegiatan terarah, yaitu upaya-upaya yang dilakukan sadar dan sengaja
berupa pengembangan potensi-potensi pribadi (bakat, kemampuan,
ketrampilan) yang positif serta pemanfaatan relasi antar pribadi untuk
menunjang tercapainya makan dan tujuan hidup.
f. Dukungan sosial, yaitu hadirnya individu atau sejumlah individu yang
akrab, dapat dipercaya, dan selalu bersedia membantu pada saat-saat
diperlukan.
4. Dimensi Makna Hidup
Bastaman (1996) mengatakan bahwa terdapat komponen-komponen yang
potensial ysng dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah yang dihadapi
dan
mengembangkan
kehidupan
bermakna
sejauh
hal
tersebut
diaktualisasikan. Komponen ini ternyata cukup banyak ragamnya, tetapi
semuanya dapat dikategorikan dalam menjadi tiga Dimensi yaitu :
a. Dimensi Personal
Unsur-unsur yang merupakan Dimensi personal adalah :
1). Pemahaman diri (self insight), yakni meninggkatnya kesadaran atas
buruknya kondisi diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan
perubahan ke arah kondisi yang lebih baik.
7
2). Pengubahan sikap (changing attitude), dari semula tidak tepat menjadi
lebih tepat dalam menghadapi masalah, kondisi hidup dan musibah yang
terelakkan.
b.
Dimensi Sosial
Unsur yang merupakan Dimensi sosial adalah dukungan sosial (social
supprot), yakni hdirnya seseorang atau sejumlah orang yang akrab, dpat
dipercaya dan selalu bersedia memberikan bantuan pada saat-saat
diperlukan.
c.
Dimensi Nilai-nilai
Adapun unsur-unsur dari Dimensi nilai-nilai meliputi :
1) Makna hidup (the meaning of live), yakni nilai-nilai penting dan sangat
berarti bagi kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan
hidup yang harus dipenuhi dan mengarah kegiatan-kegiatanya.
2) Keikatan diri (self commitment), terhadap makna hidup yang
ditemukan dan tujuan hidup yang ditetapkan.
3) Kegiatan terarah (directed activities), yakni upaya-upaya yang
dilakukan secara sadar dan sengaja berupa pengembangan potensipoteni pribadi (bakat, kemampuan, keterampilan) yang positif serta
pemanfaatan relasi antar pribadi untuk menunjang tercapainya makna
dan tujuan hidup.
Unsur-unsur tersebut bila disimak dan direnungkan secara
mendalam ternyata merupakan kehendak, kemampuan, sikap, sifat dan
tindakan khas insani, yakni kualitas-kualitas yang terpateri pada
eksistensi manusia. Karena pengembangan pribadi pada dasarnya
adalah
mengoptimalisasi
keunggulan-keunggulan
dan
meminimalisasikan kelemahan-kelemahan pribadi. Dengan demikian
dilihat dari segi Dimensi-Dimensinya dapat diungkap sebuah prinsip,
yaitu keberhasilan mengembangkan penghayatan hidup bermakana
dilakukan dengan jalan menyadari dan mengaktualisasikan potensi
kualitas-kualitas insani.
8
B. Ateisme
1. Pengertian Ateisme :
a. Menurut Bagus (2002), secara etimologis, kata ateisme berasal dari bahasa
Inggris yaitu atheism. Istilah ini sendiri diambil dari bahasa Yunani atheos
yang berarti tanpa Tuhan. Kata tersebut berasal dari kata dasar a,yang berarti
tidak dan kata dasar theos, yang berarti Tuhan.
Beberapa pengertian :
1) Keyakinan bahwa Tuhan, atau dewa/ dewi tidak ada.
2) Pandangan yang menolak adanya yang adikodrati, hidup sesudah mati.
3) Kesangsian
akan
eksistensi
yang
adikodrati
yang
diandaikan
mempengaruhi alam semesta.
4) Tidak adanya keyakinan akan Tuhan yang khusus. (Individu-individu
Yunani pada jaman dahulu menyebutkan individu-individu Kristen ateis
karena tidak percaya pada dewa-dewi mereka. dan individu-individu
Kristen menyebut individu-individu Yunani ateis karena tidak percaya
pada Tuhan mereka.
5) Penolakan semua agama. Sehubungan dengan ini, pantheisme dalam
pelbagai bentuknya menolak Tuhan yang transeden dan personal, tetapi
mengenal dan mengakui sesuatu yang mutlak (hukum moral, keindahan,
dsb).
2. Jenis-jenis Ateisme
Menurut Bagus (2002) jenis-jenis ateisme diklasifikasikan menjadi:
a. Ateisme Naif.
Dalam filsafat Yunani kuno (misalnya dalam karya Thales,
Anaximenes, Herakleitos, Demokritos, Epikuros, Xenophanes, dan
Lucretius) terdapat unsur-unsur ateis. Mereka berupaya menjelaskan
fenomen-fenomen dengan sebab-sebab alamiah, walaupun ateisme mereka
masih bersifat naif, spekulatif, dan tidak konsisten.
b. Ateisme Praktis dan Teoritis.
Seorang individu penganut ateisme praktis mempunyai keyakinan
akan adanya Tuhan, tetapi menolak Tuhan dengan cara hidupnya. Dalam
9
hidupnya ia bertingkah laku seolah-olah Tuhan tidak ada. Individu
pemeluk ateisme teoritis memutuskan bahwa Tuhan tidak ada. Ateisme
teoritis terdiri dari dua macam: ateisme teoritis negatif dan ateisme teoritis
positif.
c. Ateisme Materialistis dan Positivistis
Bentuk ateisme secara gamblang dapat ditemukan dalam materialisme
dan positivisme. Aliran-aliran ini menolak keberadaan dari yang rohani dan
transenden.
Sedangkan menurut Costello dan Linden (1956) ateisme teridentifikasi
dalam lima golongan yaitu:
a. Perilaku Ateis, mereka yang menyangkal perintah Tuhan dan mungkin
saja mengatakan Tuhan dibibirnya, tetapi untuk menjalankan secara
intens dan percaya pada Tuhan merupakan hal yang tidak penting
baginya.
b. Individu
yang
mengumumkan
bahwa
Tuhan
itu
ada
tetapi
mendeskripsikan Tuhan sebagai sesuatu yang mustahil.
c. Penganut agnostik juga dikategorikan sebagai ateis yang mengklaim
bahwa Tuhan itu tidak dapat diketahui. Golstein (dalam Linden dan
Costello)
menggambarkan
doktrin
ini
sebagai
“ketidaktahuan
membual.” Beberapa agnostik mengumumkan bahwa Tuhan tidak
sepenuhnya dapat diketahui tetapi mereka sendiri tidak dapat
menjelaskan dengan pasti bahwa Tuhan ada.
d. Jenis yang keempat yaitu suatu bentuk ateisme dimana kita
mendefinisikannya dalam suatu uraian negatif yang singkat.
e. Jenis kelima merupakan individu-individu yang perlu dipertimbangkan
lebih
sebagai
ateis
positif,
sebab
mereka
yang
menyatakan
ketidaktahuan atau keraguannya mengenai keberadaan Tuhan. Dalam
suatu kontradiksi yang lain mereka dengan sangat jelas menyatakan
bahwa Tuhan tidak ada.
10
3. Penjelasan Psikologi Mengenai Ateisme
Dalam bukunya Psychology of Atheism, Sproul (1974) menjelaskan
dengan perspektif yang sekuler dan ilmiah tentang tahap awal respons manusia
terhadap pengetahuan tentang Tuhan. Kita dapat melihat disini bahwa
pernyataan ini sangat berbau ateisme sebab Tuhan dipandang dalam sebuah
hubungan eksistensi yang murni dengan manusia layaknya sebuah subjek,
tanpa adanya asumsi dasar atas keilahian dan kesempurnaan sifat-sifat Tuhan.
Hal ini menurut Sproul telah dikoreksi berdasarkan pengalaman bawah sadar
manusia. Adapun hal tersebut dapat diformulasikan dengan pengkategorian
atas :
a. Trauma
Tuhan menyatakan suatu ancaman terhadap standar moral manusia.
Suatu ancaman terhadap pertanyaan manusia akan otonomi manusia dan
suatu ancaman terhadap hasratnya atau keingintahuan manusia atas
kerahasianNYA. Pada akhirnya ateisme menjadi suatu pilihan dimana
manusia memiliki sesuatu hal untuk dapat merasa bebas menentukan sikap
dan nilai-nilainya sendiri dari suatu bentuk kekuatan yang mengerikan dan
mengekang kebebasan tersebut. Serta suatu bentuk pemutusan hubungan
dari sesuatu hal yang memiliki kekuatan mutlak dimana seseorang merasa
terancam oleh keberadaan hal tersebut.
b. Represi (tekanan)
Dalam kasus penyingkapan Tuhan, manusia menemukan suatu
tanda-tanda ancaman yang menimbulkan trauma. Ingatan atas kesadaran
pengetahuan akan trauma tidak dipertahankan dalam suatu pernyataan jelas
yang mengancam ini, melainkan ditekan agar tidak muncul. Salah satu cara
yang dapat dilakukan adalah menyangkal keberadaan Tuhan sebagai suatu
simbol atas kekuasan serta kekuatan mutlak yang akhirnya diasumsikan
sebagai suatu bentuk yang dapat mengancam eksistensi manusia.
c. Subsitusi
Dalam khazanah psikologi apa yang dihasilkan dari penekanan atau
pembungkaman mengenai konsep Tuhan adalah pernyataan ateisme baik
11
dalam bentuk yang militan atupun yang kurang militan (seperti agnotisme),
atau bentuk lainnya yang membuat Tuhan terlihat tidak terlalu menakutkan
dibandingkan dengan gambaran umum yang sebenarnya berlaku. Baik
pilihan, ateisme ataupun menganut agama tertentu, memerlukan satu
pertukaran kebenaran dengan kebohongan. Hal ini terjadi karena
kebohongan jauh lebih mudah untuk dilalui dalam hidup.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Individu Hingga Menjadi Ateis
Dalam bukunya. Amazing Apostacy, Altemeyer dan Hunsberger (1997)
mengemukakan beberapa kesimpulan tentang hal-hal yang menyebabkan
individu menjadi ateis :
a. Cara-cara pengkondisian seperti misalnya sikap kritis anak-anak yang
sengaja dibungkam terhadap pertanyaan kritis atas kebenaran agama
mereka sendiri (Altemeyer dan Hunsberger, 1997)
b. Penekanan bahwa pendidikan keagamaan mengenai pencegahan dosa dan
berbuat baik harus diperkenalkan secara luas, menyeluruh dan mutlak
membawa konsekuensi tersendiri. Jika ajaran tersebut sukses, maka akan
melahirkan individu dengan kepercayaan yang kuat dan integritas yang
kuat demikian juga sebaliknya. (Altemeyer dan Hunsberger, 1997)
c. Ajaran agama tradisional yang kurang kuat membentengi diri dalam
menghadapi kebenaran yang lain yang lebih sering menggunakan logika.
(Altemeyer dan Hunsberger, 1997)
d. Ajaran agama justru digugat oleh sesuatu yang sebenarnya sangat penting
dalam agama tersebut yaitu bukan kegagalan dari proses sosialisasi,
melainkan justru kesuksesan proses sosialisasi. Ada kecurigaan terhadap
adanya hal yang dilebih-lebihkan hingga individu banyak tertarik pada
agama tersebut. Kecurigaan ini mengarah pada proses penyelidikan
selanjutnya. Pada titik ini, agama-agama besarlah (Islam, Kristen, dan
Yahudi) yang mendapatkan serangan paling gencar mengenai pertanyaanpertanyaan tentang Tuhan. (Altemeyer dan Hunsberger, 1997)
e. Pendidikan keagamaan menimbulkan kepercayaan yang kuat dan integritas
yang kuat, nilai keagamaan seorang anak tidak lekas mengorbankan agama
12
keluarga bila mereka gagal dalam pengujian akan imannya. (Altemeyer dan
Hunsberger, 1997)
f. Terdapat suatu dorongan yang membangkitkan semangat kaum muda
untuk menemukan kekurangan agama mereka dan membuat mereka lebih
percaya terhadap keputusan mereka. (Altemeyer dan Hunsberger, 1997)
g. Ditolak oleh komunitas sosial keagamaan merupakan satu sebab seseorang
menjadi ateis. (Altemeyer dan Hunsberger, 1997)
h. Tidak adanya bimbingan dan dukungan moral agama yang kuat yang
diberikan oleh orang tua atau orang lain dan organisasi keagamaan ataupun
lingkugan sosial bagi seorang individu ketika menghadapi masa-masa
krisisnya dalam kehidupan seorang individu. (Altemeyer dan Hunsberger,
1997)
i. Kehidupan orang tua individu yang tidak religius atau memiliki
pengetahuan yang sedikit tentang agama. (Altemeyer dan Hunsberger,
1997)
j. Tekanan untuk harus menjadi individu yang sangat religius. (Altemeyer
dan Hunsberger, 1997)
k. Sedangkan dalam perspektif Leahy (2000), mengatakan bahwa salah satu
alasan individu menjadi ateis ialah jika iman dari individu yang beragama
bila dihayati dan dimengerti secara salah, akan menjadi tanah dimana
tumbuh pelbagai bentuk ateisme.
l. Menurut Fromm (1955) sebab individu menjadi ateis dikarenakan
terjadinya suatu proses alienasi. (Fromm, 1955).
m. Menurut Dekker sebab individu menjadi ateis dapat dilihat dari terdapat
atau tidaknya penghayatan keagamaan pada masa remaja. Indikator dalam
hal ini adalah ada atau tidaknya sikap kritis serta penghayatan individu
dalam masa remaja terhadap agamanya. (Dekker, Monks, Knoers, dan
Haditono, 2004)
n. Menurut Pruser, sebab individu menjadi ateis dapat dipicu oleh perasaan
aman sebagai perasaan religius yang sebenarnya malah dapat menyebabkan
13
individu justru mengingkari religi. (Prusser, dalam Monks, Knoers, dan
Haditono, 2004).
o. Argyle (2000) mengemukakan beberapa pernyataan dari perspektif
psikologis tentang beberapa hal yang harus diperhatikan oleh agama,
karena hal itu berpotensi untuk menjadikan individu bersikap apatis dan
bila hal tersebut bertahan, pada akhirnya individu tersebut dapat menjadi
ateis. Hal-hal tersebut antara lain :
1) Efek negatif yang paling serius adalah keaneka ragaman dengan segala
prasangka buruk yang ada didalamnya, yang seringkali menyebabkan
timbulnya perang-perang besar. Alasan utama dari prasangka ini
adalah adanya anggota-anggota kelompok religi yang membentuk
hubungan yang sangat dekat dengan anggota lain yang memiliki
kesepahaman ritual dan kepercayaan, yang membuat mereka menjadi
jauh dari kelompok yang lain.
2) Hilangnya kebebasan untuk berpikir ketika individu telah menjadi
bagian lembaga keagamaan. Hal ini dikenal sebagai "kekangan
kognitif."
Adanya masalah-masalah dengan kehadiran sekte-sekte dan
kelompok pemujaan. Hal ini dapat menimbulkan pertanyaan yang lebih
serius mengenai kebenaran dalam agama seorang individu, sebab ia
melihat bahwa terdapat banyak sekte yang mengklaim bahwa mereka juga
memiliki kebenaran yang sama kuatnya.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan bentuk
studi kasus yang bermaksud mendeskripsikan hasil penelitian dan berusaha
menemukan gambaran menyeluruh mengenai suatu keadaan. Penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman
yang mendalam tentang masalah-masalah manusia dan sosial, bukan
14
mendeskripsikan bagian permukaan dari suatu realitas sebagaimana dilakukan
penelitian kuantitatif dengan positivismenya. Peneliti mengintepretasikan
bagaimana subjek memperoleh makna dari lingkungan sekeliling, dan
bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku mereka dilakukan dalam
latar (setting) yang alamiah (naturalistic) bukan hasil perlakukan (treatment)
atau manipulasi variable yang melibatkan (Heru, 2006).
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah mahasiswa/i maupun individu awam
yang menganut paham ateis berusia antara 20-30 tahun (dewasa awal). Adapun
jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 1 orang penganut ateis.
C. Tahap-tahap Penelitian
Adapun tahap persiapan dan pelaksanaan yang dilakukan dalam penelitian
ini meliputi, yaitu :
1. Tahap Persiapan Penelitian
Peneliti membuat pedoman wawancara yang disusun berdasarkan
beberapa teori yang relevan dengan masalah. Pedoman wawancara berisi
pertanyaan-pertanyaan mendasar yang nantinya akan berkembang dalam
wawancara. Pedoman wawancara yang telah disusun peneliti dinilai oleh dosen
pembimbing sampai ditemukannya pedoman sempurna bagi pengambilan data.
2. Tahap pelaksanaan Peneltian
Peneliti memindahkan hasil rekaman berdasarkan hasil wawancara
kedalam bentuk verbatim tertulis. Kemudian peneliti melakukan analisa data
dan intepretasi data sesuai dengan langkah-langkah yang dijabarkan pada
bagian metode analisa data diatas. Setelah itu membuat diskusi dan
kesimpulan yang telah dilakukan, peneliti juga mengajukan saran-saran
untuk penelitan selanjutnya.
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik observasi sistematis,
dimana dalam penelitian ini peneliti mempunyai dua fungsi sekaligus, artinya
dapat secara terarah memahami secara mendalam dengan perlahan tapi pasti
15
dan memiliki alur yang jelas dalam pengambilan data sehingga keutuhan dan
kesatuan topik tetap terjaga.
2. Wawancara
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan wawancara terstruktur,
dimana pewawancara menetapkan pertanyaan dan masalah yang akan diajukan
dan alternatif jawaban ditetapkan sendiri oleh pewawancara.
BAB IV
Pembahasan
1. Ateisme Subjek
a. Gambaran Ateisme pada Penganut Ateis
1) Pemaknaan Keterasingan akan Tuhan
Dari
hasil
penelitian
didapat
kesimpulan
bahwa
terdapat
kemungkinan bahwa cara pandang ateisme subjek dipengaruhi oleh
kenangan buruk masa lalu subjek. Terdapat kemungkinan bahwa cara
pandang ateisme subjek merupakan suatu pembuktian sekaligus
pertahanan diri subjek dalam mengahadapi perlakuan buruk yang
merendahkannya. Subjek ingin membuktikan bahwa cara pandang
ateismenya adalah suatu bentuk kebebasan dan penegasan eksistensinya.
2) Konsekuensi dari Ateisme
Dari hasil penelitian diatas dapat ditemukan kesimpulan bahwa
konsekensi yang dirasakan subjek sebagai penganut ateis yaitu adanya
rasa kesepian, kegelisahan, dan kesiapan diri untuk ditolak oleh orangorang yang tidak menyukainya. Subjek memahami bahwa segala
permasalahan
yang
dialaminya
harus
diselesaikannya
sendirian.
Kehadiran beberapa sahabat subjek yang mau menerima subjek apa
adanya dirasakan subjek sebagai sesuatu yang sangat berharga baginya.
Kekhawatiran terbesar bagi subjek sebagai seorang ateis adalah
kehilangan makna. Dari sebab itu bagaimanapun sulit permasalahannya,
subjek selalu berusaha memaknainya sebagai sesuatu yang memiliki arti.
16
b. Sebab-sebab Individu Menjadi Ateis
Terdapat enam faktor yang menyebabkan subjek menjadi ateis
yaitu: faktor pendidikan agama dalam keluarga, faktor paksaan, faktor
depresi, faktor penghayatan, faktor pengaruh social dan faktor ideologi.
Dari keenam faktor tersebut terbagi menjadi dua bagian besar yaitu
mengenai faktor yang disebabkan dalam diri subjek dan faktor yang
disebabkan dari luar diri subjek. Faktor yang ada disebabkan dari dalam
diri subjek yaitu penghayatan, depresi dan ideologi, sedangkan faktor
diluar diri subjek meliputi : pendidikan agama dalam keluarga, paksaan,
dan pengaruh sosial.
Faktor dalam diri subjek (intrinsik) lebih dikarenakan rasa
ketidakpuasan dan pemberontakan subjek terhadap nilai-nilai agama yang
menurutnya memiliki banyak kelemahan. Terlebih, gagasan subjek tidak
terjembatani
dengan
dialog
yang
positif
dant
terbuka
sehingga
menimbulkan salah penafsiran yang berakibat serius dan fatal dikemudian
hari. Seperti yang dikatakan oleh Altemeyer dan Hunsberger (1997) yang
mengatakan bahwa terdapatnya kecurigaan merupakan salah satu penyebab
seseorang menjadi ateis. Kecurigaan
ini
mengarah
pada
proses
penyelidikan selanjutnya. Kekritisan subjek terhadap agamanya dan proses
pembungkaman yang terjadi membuat subjek merasa curiga terhadap
agamanya
hingga
kemudian
subjek
berusaha
mengapresiasikan
kekritisannya tersebut diluar lingkup agama dan mencari nilai-nilai
kebenaran dengan caranya sendiri.
Faktor diluar diri subjek (ekstrinsik) biasanya meliputi pengalaman
buruk dan tidak menyenangkan serta perasaan tertekan yang dialami oleh
subjek berhubungan dengan pemahaman terhadap agama. Seperti yang
dikatakan oleh Altemeyer dan Hunsberger (1997) yang mengatakan bahwa
efek psikologis dari pembungkaman sikap kritis tersebut berupa perasaan
tertekan. Jika tekanan yang timbul ketika pertanyaan kritis itu berhadapan
dengan perasaan bersalah pada akhirnya akan dapat menimbulkan akibat
yang fatal, sebab secara langsung maupun tidak hal tersebut dapat menekan
17
mental seorang anak dimana hal tersebut dapat menyebabkan pengingkaran
seorang individu terhadap agamanya karena kenangan dan perlakukanperlakuan buruk yang pernah dialaminya.
2. Makna Hidup Subjek
a. Gambaran Makna Hidup Subjek
Subjek ingin menciptakan dan memiliki kehidupan yang autentik
dimana subjek memandang bahwa sejauhmana hasil yang dicapai dalam
pemenuhan makna hidupnya itu dikarenakan oleh hasil karya dan usaha
subjek sendiri. Tidak ada Tuhan, tidak ada nasib, tidak ada takdir, yang
ada hanyalah apa yang telah dan dapat dicapai subjek untuk memberi
suatu arti bagi hidupnya. Dengan cara itulah subjek dapat merasa
hidupnya utuh, penuh, dan bahagia.
Bastaman (1996) mengatakan bahwa bagi mereka yang tidak
mendasari pemaknaan hidupnya dari nilai-nilai agama tampaknya lebih
tepat jika berusaha meninggalkan inhautic existence untuk menuju
authentic existence. Adapun yang dimaksud dengan inhautic existence
adalah corak kehidupan pribadi yang sepenuhnya ditentukan oleh
tuntutan-tuntutan masyarakat tanpa mampu menentukan apa yang terbaik
bagi dirinya sendiri. Sedangkan authentic existence adalah corak
kehidupan pribadi yang ditentukan oleh pribadi yang ditentukan sendiri
secara bebas dan bertanggung jawab mengenai apa yang baik bagi dirinya
sendiri.
b. Faktor-faktor Subjek Merasa Memiliki Hidup yang Bermakna
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat
membuat hidup subjek bermakna berakar pada eksistensi. Pandangan dan
pembuktian subjek terhadap independensinya serta keberartian hidup disaat
keberadaan dirinya dapat menjadi berarti bagi orang lain juga dirinya
sendiri didasarkan atas satu pandangan eksistensialis. Subjek seakan ingin
menegaskan bahwa kehidupan seorang manusia menjadi sesuatu hal yang
berarti bukan karena apa yang dipikirkan atau diyakini oleh seorang
manusia melainkan apa yang dapat dilakukan oleh manusia tersebut.
18
Harga diri dan keunikan karakter yang didapatkan subjek sejalan
dengan penemuan makna hidupnya telah memberi suatu perasaan
keyakinan pada diri subjek. Hal ini sejalan dengan pernyataan Baumeister
(dalam Snyder dan Shane, 2005) yang menyimpulkan bahwa pencarian
makna hidup dapat dipahami salah satunya dengan self-efficacy yaitu
keyakinan pada diri sendiri Hal ini menimbulkan kepercayaan bahwa
individu dapat membuat perbedaan. Hidup yang mempunyai tujuan dan
nilai tetapi tanpa efficacy akan menjadi tragis. Individu mungkin
mengetahui sesuatu yang diinginkan tetapi tidak dapat melakukan sesuatu
sesuatu dengan pengetahuan itu.
c. Sumber Makna Hidup Subjek
Menurut Craumbaugh (dalam Iriana, 2005) ada beberapa sumber
makna hidup yang dilihat dalam perpektif logoterapi yaitu :
(1) Creative Values
Subjek memenuhi creative values dengan cara melakukan sesuatu
hal yang berarti bagi orang lain dimana hal tersebut dapat menjadi
alasan keberartian bagi pemaknaan keberadaan diri subjek sendiri.
Selain itu nilai lainnya yang dapat membuat tindakan subjek memiliki
arti yaitu subjek selalu berusaha untuk terus-menerus belajar dari
pengalaman.
(2) Experimental Values
Subjek memenuhi experimental values dengan cara berkumpul
dengan teman-temannya. Subjek merasa bahwa hal tersebut sebagai
sesuatu yang berarti sebab dari kegiatan tersebut terkadang subjek
dapat menemukan inspirasi atas makna hidup dengan sharing; berbagi
pengalaman dengan banyak orang.
(3) Attitudial Values
Subjek menemukan attitudinal values dengan ditemukannya
pemahaman bahwa subjek mengambil suatu pelajaran berharga dari
penderitaannya. Penderitaan apapun yang dihadapinya sebenarnya
19
merupakan suatu proses pembelajaran yang dapat memperkaya
pemahaman subjek akan diri dan kehidupannya
d. Proses Pencarian Makna Hidup
1) Tahap derita
Subjek mengalami fase ini ketika selepas lulus SMA dimana subjek
merasa mulai kehilangan arah hidupnya. Selain dikarenakan situasi
yang telah berubah banyak subjek juga mengalami suatu permasalahan
hidup
yang
dipendamnya
sendiri
hingga
kejadian
tersebut
menyebabkan subjek menjadi gagap layaknya orang cacat.
Menurut Bastaman (1996) keadaan ini dapat terjadi karena
ketidakberhasilan individu menemukan dan memenuhi makna hidup
biasanya menimbulkan semacam frustasi yang disebut existensial
frustation dan kehampaan yang disebut existencial vacumm.
2) Tahap penerimaan diri
Dalam tahap penerimaan diri ini, subjek pada awalnya merasa
kesulitan untuk menyadari dan kondisi yang dialaminya. Setelah cukup
lama terpuruk akhirnya seseorang teman membantu subjek untuk
menyadarkan dan memberinya semangat. Setelah subjek dapat
memahami kondisinya pada saat itu, perlahan-lahan subjek mulai
mengupayakan untuk menata kehidupannya menjadi lebih baik.
Bastaman (1996) mengatakan bahwa tahap penerimaan diri
biasanya datang secara bersamaan dengan dipahaminya suatu peristiwa
baik itu pengalaman orang lain maupun pengalaman dirinya sendiri
yang secara dramatis akhirnya mengubah sikap individu tersebut.
3) Tahap penemuan makna hidup
Menurut Bastaman (1996) penemuan makna hidup dapat terjadi
karena berbagai macam sebab seperti perenungan diri. Subjek sendiri
menemukan makna hidupnya dari hasil perenungannya sendiri yang
didapatkannya dari berbagai sumber. Gutmann (dalam Iriana, 2005)
mengatakan bahwa mendapatkan pengalaman membuka pemahaman
20
seseorang mengenai sesuatu hal yang mungkin selama ini belum
disadari individu tersebut.
4) Tahap realisasi makna
Pada fase ini, pertama-pertama subjek menyadari bahwa dirinya
memiliki kemampuan untuk keluar dari masalahnya dan memiliki
kemampuan untuk menata hidupnya kembali. Perlahan-lahan subjek
mulai menata hidupnya dan berusaha menyelesaikan permasalahan
pribadinya.
Namun
demikian
subjek
mengalami
beberapa
permasalahan dalam dirinya dimana terkadang subjek merasa
kehilangan semangat untuk memikul tanggung jawab yang besar ini.
Bastaman (1996) mengatakan atas dasar pemahaman diri dan
dengan penemuan akan makna hidup maka akan timbul perubahan
sikap (changing attitude) dalam menghadapi masalah. Lebih lanjut
Bastaman (1996) mengatakan bahwa setelah individu berhasil
menghadapi masalahnya, semangat hidup dan gairah kerja meningkat,
kemudian secara sadar melakukan keterikatan diri (self commitment)
untuk melakukan berbagai kegiatan terarah untuk memenuhi makna
hidup yang ditemukan.
5) Tahap kehidupan bermakna
Subjek meyakini bahwa apa yang dapat membuatnya bahagia dan
berarti dalam kehidupan ini adalah membuat dan menciptakan arti bagi
hidup dan dirinya sendiri. Dengan nilai-nilai tersebut subjek memiliki
dasar yang kuat untuk menjalani kehidupannya pada saat ini Penerapan
nilai-nilai itu sendiri mencerminkan adanya keinginan seorang subjek
memaknai hidupnya berdasarkan nilai-nilai yang telah diyakininya.
Frankl (dalam Snyder dan Shane, 2005) mengatakan bahwa jika
seseorang menentukan tindakan mereka berdasarkan nilai, mereka
dapat merasa aman dengan kepercayaan mereka, bahwa mereka telah
melakukan hal yang benar, dengan demikian akan mengurangi perasaan
bersalah, kecemasan, rasa menyesal, dan bentuk keadaan moral yang
lain. Lebih lanjut Frankl (1968) mengatakan bahwa jika individu
21
berhasil menemukan makna hidupnya, maka ia akan merasakan bahwa
kehidupannya sangatlah berarti dan berharga, dan pada akhirnya akan
menimbulkan perngahayatan bahagia sebagai akibat sampingannya.
BAB V
Penutup
A. Kesimpulan
Dari data penelitian disimpulkan bahwa sebagian besar penyebab subjek
menjadi ateis ternyata dipengaruhi oleh faktor ideologi yang dipahami oleh subjek.
Hal tersebut berhubungan dengan kekecewaan subjek terhadap pengalaman dari
penerapan dalam ideologi agamanya yang mendorong sikap pemberontakan
subjek. Dalam penelitian ini subjek lebih mengacu dan mengingat kehidupan dari
masa kecil hingga masa remajanya (baik itu dalam lingkungan masyarakat maupun
lingkungan keluarga) yang lebih tertuju dan diporsikan dalam pengalamanpengalaman
buruk
dan
kurang
menyenangkan
sebagai
sesuatu
yang
mempengaruhi dan membangun cara pandang serta pemaknaan terhadap hidup
yang subjek terapkan pada saat ini dalam kehidupannya.
B. Saran
1. Bagi yang tertarik mengenai proses pencarian makna hidup.
Kepada yang ingin mendalami logoterapi khususnya mengenai
makna hidup diharapkan memanfaatkan keilmuannya sebagai kontribusi bagi
khasanah keilmuan psikologi. Diharapkan masyarakat awam juga akhirnya
dapat memahami arti pentingnya pencarian makna dalam kehidupannya, bukan
hanya bagi peningkatan kualitas kehidupannya namun juga sebagai salah satu
sumber inspirasi bagi orang-orang dekat beserta lingkungan sekitarnya.
2. Bagi yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai kehidupan para penganut
ateis.
Stigma negatif cenderung menjadi faktor dominan ketika orang awam
membicarakan mengenai ateisme. Akan lebih baik jika setidaknya dapat
sedikit memahami mengenai ateisme. Bukan saja untuk berusaha mempelajari
dan mengajak penganut ateisme kembali pada tuntunan hidup yang benar,
22
lebih dari itu adalah untuk dapat saling memahami tanpa didasari prasangka
yang berlebihan. Agar setiap individu dapat tercipta kerukunan yang didasari
atas toleransi, kesantunan, dan perdamaian.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Peneliti menyadari penelitian ini jauh dari sempurna, tetapi setidaknya
penelitian ini menjadi acuan dari sedikit kelebihannya bagi penelitian
selanjutnya khususnya yang berhubungan dengan makna hidup dan ateisme.
Bagi peneliti selanjutnya yang memiliki topik yang sama di harapkan
menyempurnakan penelitian ini yang banyak kekurangan.
DAFTAR PUSTAKA
Adler, A. 2004. What Life Should Mean to You : Jadikan Hidup Lebih
Bermakna. Alih Bahasa : Septiani, M. Jakarta : Penerbit Alenia.
Althusser, L. 1984. Essays on Ideology. London : Verso.
Altemeyer, B. & Hunsberger, B. 1997. Amazing Conversion : Why Some
Turn to Faith and Others Abandon Religion. New York : Prometheus
Books.
Anonim, 1981. Metodologi Penelitian. Jakarta : Depdikbud Dirjen
Pendidikan
Tinggi.
Argyle, M. 2000. Psychology and Religion. New York : Rautledge.
Baggini, J. 2003. Making Sense : Filsafat Dibalik Headline Berita. Alih
Bahasa : Qamariyah, N. Jakarta : Penerbit Teraju.
Bagus. L. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Bastaman, H. D. 1996. Meraih Hidup Bermakna. Jakarta : Paramadina.
Bastaman, H.D. 2007. Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna
Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: Rajawali Press
Brouwer, M. A. W. 1984. Psikologi Fenomenologi. Jakarta : PT.
Gramedia.
Calne, D. B. 2004. Batas Nalar : Rasionalitas dan Perilaku Manusia. Alih
Bahasa : Simbolon, P.T. Jakarta : Penerbit KPG (Kepustakaan
Populer Gramedia).
23
Chaplin, J. P. 2001. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
Corveleyn, J. & Hutsebaut, D. 1994. Belief and Unbelief : Psycological
Perspektif. Atlanta : Rodopi.
Costelo, W. T. SJ & Linden, J. V. 1956. The Fundamental of Religion.
Chicago : Loyola University Press.
Frankl, V. E. 1985. Man’s Search for Meaning. New York : Washington
Square Press.
Fromm, E. 1995. Masyarakat Yang Sehat.Alih Bahasa : Murtianto, T. B.
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Glassgold, P. 2001. Anarchy!: An Anthology of Emma Goldman's Mother
Earth. Washington D.C : Counterpoint Press
Hall, C. S. & Lindzey, G 2005. Psikologi Kepribadian 2 : Teori-teori
Holistik (Organismik Psikologis). Alih Bahasa : Yustinus.
Yogyakarta : kanisius.
Harris, S. 2006. Letter To Christian Nation. Michigan : Knopf
Hauser, M. & Singer, P. 2005. Morality Without Religion : New York :
Free Inquiry
Iriana, S. 2005. Derita Cinta tak Terbalas : Proses Pencarian Makna
Hidup. Jakarta : Jalasutra.
Koeswara, E. 1987. Psikologi Eksistensial. Bandung : Eresco.
Koeswara, E. 1992. Logoterapi : Psikoterapi Viktor Frankl. Yogyakarta :
Kanisius.
Krueger, D. 1979. An Introduction to Phenomenological Psychology.
Pittsburg : Ouquesne University Press.
Lavine, T.Z. 2003. Jean Paul Sartre : Filsafat Eksistensialisme Humanis.
Alih Bahasa : Iswanto, A. & Utama, D. A. Yogyakarta : Jendela.
Leahy SJ, L. 2001. Aliran-aliran Besar Ateisme : Tinjauan Kritis.
Yogyakarta : Kanisius.
Moleong, L. J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : P. T.
Remaja Rosdakarya.
Momen, M. 1999. The Phenomenon of Religion. Oxford : One World
Publications.
24
Monks,
F.J, Knoers, A.M. & Haditono, S.R. 2004. Psikologi
Perkembangan : Pengantar dalam Berbagai Bagiannya.
Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Narbuko, C. & Achmadi. 2004. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT. Bumi
Aksara.
Nietzsche, F. W. 2001. Genealogi Moral. Alih Bahasa : Maizier, P.
Yogyakarta : Jalasutra.
Papalia, D. E. & Olds, S. W. 2001. Human Development (8th ed). New
York : McGraw-Hill.
Perlmutter. M & Hall, E. 1985. Adult Development and Aging. New York :
John Willey and & Sons, Inc.
Poerwandari, E.K. 2001. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku
Manusia. Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran
dan Pendidikan Psikologi (LSPS3) Universitas Indonesia.
Riyanto, Y. 2001. Metode Penelitian Pendidikan. Surabaya : Sic.
Schultz, D. 2005. Psikologi Pertumbuhan : Model-model Kepribadian
Sehat. Alih Bahasa : Yustinus. Yogyakarta : Kanisius.
Shane, J. P. & Snyder, C. R. 2005. Handbook of Positive Psychology. New
York: Oxford University.
Sproul, R. C. 1974. The Pschology of Atheism. Minneapolis, Minnesota :
Bethany Felloship Inc.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.
25
Download