pandangan pemuka agama tentang ekslusifisme

advertisement
PANDANGAN PEMUKA AGAMA
TENTANG EKSLUSIFISME BERAGAMA
DI INDONESIA
Editor:
Abdul Aziz
Penulis:
Ahsanul Khalikin
Zirwansyah
KEMENTERIAN AGAMA RI
BADAN LITBANG DAN DIKLAT
PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN
JAKARTA, 2013
i
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)
pandangan pemuka agama tentang ekslusifitas beragama di indonesia/Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI
edisi I, Cet. 1 ……
Jakarta, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI
xviii + 141 hlm; 14,8 x 21 cm
ISBN : 978-979-797-356-8
Hak Cipta pada Penerbit
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk
dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa izin sah dari penerbit
Cetakan Pertama, Nopember 2013
PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG EKSLUSIFISME BERAGAMA DI
INDONESIA
Editor:
ABDUL AZIZ
Desain cover dan Layout, oleh:
Zabidi
Penerbit:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI
Jl. MH. Thamrin No. 6 Jakarta
Telp./Fax. (021) 3920425, 3920421
www.puslitbang1.balitbangdiklat.co.id
ii
KATA PENGANTAR
KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN
KEAGAMAAN
uji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya yang tiada terhingga, sehingga kami dapat
merealisasikan ”Penerbitan Naskah Buku Kehidupan
Keagamaan”. Penerbitan buku tahun 2013 ini merupakan
hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 2012.
Buku hasil penelitian yang diterbitkan sebanyak 8
(delapan) naskah. Buku-buku yang dimaksud sebagai berikut:
1. Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia.
2. Efektivitas Pengawasan Fungsional bagi Peningkatan Kinerja
Aparatur Kementerian Agama.
3. Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di
Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat.
4. Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi
Produk Halal.
5. Pandangan Pemuka Agama terhadap Kebijakan Pemerintah
Bidang Keagamaan.
6. Pandangan Pemuka Agama terhadap Ekslusifisme Agama di
Berbagai Komunitas Agama.
iii
7. Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina
Damai Etnorelijius di Indonesia.
8. Peran Pemerintah Daerah dan Kementerian Agama dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama.
Kami berharap penerbitan naskah buku hasil penelitian
yang lebih banyak menyampaikan data dan fakta ini dapat
memberikan kontribusi bagi pengembangan khazanah sosial
keagamaan, serta sebagai bahan masukan bagi para
pengambil kebijakan tentang pelbagai perkembangan dan
dinamika sosial keagamaan. Di samping itu, diharapkan pula
buku-buku ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi berbagai
pihak tentang informasi kehidupan keagamaan di Indonesia.
Dengan selesainya kegiatan penerbitan naskah buku
kehidupan keagamaan ini, kami mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
yang telah memberikan kepercayaan, arahan dan
sambutan bagi terbitnya buku-buku ini.
2. Para pakar yang telah sudi membaca dan memberikan
prolog atas buku-buku yang diterbitkan.
3. Para peneliti sebagai editor yang telah menyelaraskan
laporan hasil penelitian menjadi buku, dan akhirnya dapat
hadir di depan para pembaca yang budiman.
4. Kepada semua fihak yang telah memberikan kontribusi
bagi terlaksananya program penerbitan naskah buku
kehidupan keagamaan ini.
5. Tim Pelaksana Kegiatan, sebagai penyelenggara.
iv
Apabila dalam penerbitan buku ini masih ada hal-hal
yang perlu perbaikan, kekurangan dan kelemahannya baik
dari sisi substansi maupun teknis, kami mohon maaf dan
berharap masukan serta saran untuk penyempurnaan dan
perbaikan buku-buku yang kami terbitkan selanjutnya dan
semoga bermanfaat. Semoga bermanfaat.
Jakarta,
Oktober 2013
Kepala,
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Prof. Dr. H. Dedi Djubaidi, M.Ag.
NIP. 19590320 198403 1 002
v
vi
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
SAMBUTAN
KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT
KEMENTERIAN AGAMA RI
Sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 29
ayat 1 dan 2 yang menegaskan bahwa “Negara berdasarkan
atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu”. Amanat konstitusi tersebut merupakan
pengakuan negara atas hak asasi warga negara menyangkut
kebebasan beragama. Namun, dalam pergaulan sesama warga
bangsa, kebebasan beragama yang disandang seseorang
memiliki batasnya sendiri, yakni kebebasan beragama orang
lain. Kondisi ini tentu akan menjadi potensi benturan dan
konflik kepentingan, terutama ketika pemahaman keagamaan
masing masing cenderung ekslusif, dalam arti memandang
pemahaman dan praktik keagamaannya sendiri yang benar,
sementara pemahaman orang lain salah dan perlu segera
diluruskan.
Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk mengetahui
seberapa besar kecenderungan ekslusifitas warga bangsa
dewasa ini, dengan harapan dapat mengetahui potensi konflik
yang akan muncul dan menyiapkan langkah antisipasinya.
Dalam konteks inilah, kami menyambut baik penerbitan hasil
vii
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
penelitian
Puslitbang
Kehidupan
Keagamaan
terkait
ekslusifitas pemahaman keagamaan para pemuka agama di
Indonesia.
Semoga bermanfaat bagi banyak khalayak.
Jakarta, Oktober 2013
Pgs. Kepala,
Badan Litbang dan Diklat
Prof.Dr. H. Machasin, MA.
NIP. 19561013 198103 1 003
viii
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
PROLOG
“PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG
EKSKLUSIVITAS BERAGAMA
DI INDONESIA”
Oleh: Jaih Mubarok
P
enelitian tentang pandangan pemuka agama yang
dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI memiliki
nilai penting dan strategis dalam konteks pembangunan
nasional Indonesia yang berkaitan dan modal sosial (social
capital), yaitu persatuan dalam keragaman (Bhinneka Tunggal
Ika). Oleh karena itu, penelitian ini pun dari segi fungsinya
sangat berguna bagi penyelenggara Negara dalam
menentukan perannya sebagaimana dijelaskan oleh Imam alMawardi (w. 450 H) yang mengungkapkan bahwa Negara (alimamah) merupakan topik penting untuk menjelaskan khilafah
nubuwah dalam rangka memelihara agama (hirasat al-din) dan
mengelola kehidupan duniawi (siyasat al-dunya).1 Ibn Taimiah
(w. 728 H) menyatakan bahwa kemashalahatan manusia tidak
akan terwujud kecuali adanya pemimimpin; oleh karena itu,
pembentukan pemimpin termasuk kewajiban terbesar (baca:
terpenting) bagi umat Islam.2 Sebagai wacana, pendapat alMawardi dan Ibn Taimiah melahirkan pro dan kontra,
1
2
Abi al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Bashri al-Baghdadi al-Mawardi, al-Ahkam alSulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah. t.th), hlm. 5.
Taqiy al-Din Ibn Taimiah, al-Siyasah al-Syar‘iyyah fi Ishlah al-Ra‘i wa al-Ra‘iyah (Beirut: Dar
al-Fikr al-Hadits. t.th), hlm. 173.
ix
Prolog
sehingga terlahir sejumlah gagasan yang dipublikasikan
melalui media tulisan.3
Kerukunan dan konflik secara akademik laksana dua sisi
mata uang; sedangkan dari segi fungsi sosial, keduanya
bertolak belakang ibarat taat dan ma‘shiyat dalam ajaran
agama; KH Ma‘ruf Amin mengutif pendapat Robert K. Merton
tentang pendekatan konflik yang berpangkal pada anggapananggapan dasar berikut: 1) setiap masyarakat senantiasa
berada dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir
(karena melekat pada masyarakat); 2) setiap masyarakat
mengandung konflik, baik konflik internal maupun konflik
eksternal; 3) setiap unsur masyarakat berkontribusi bagi
terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial; dan 4) setiap
masyarakat terintegrasi di atas dominasi atau penguasaan
orang lain.4
Noel J. Coulson menampilkan enam pilihan pasangan
dalam hal konflik dan ketegangan, yaitu: 1) wahyu dan rasio
(revelation and reason); 2) kesatuan pendapat dan
keragamannya (unity and diversity); 3) otorisasi dan liberal
(authoritarianism and liberalism); 4) ideal dan kenyataan
(idealisme da realisme); 5) hukum dan moral (law and morality);
dan 6) stabil (stagnan) dan berubah (stability and change).5
3
4
5
x
Pakar sejarah berbeda pendapat dalam menentukan peran Nabi Muhammad Saw, apakah
beliau hanya berperan sebagai pemimpin agama atau berperan pula sebagai pemimpin
negara (politik). Lihat W. Montgomry Watt, Muhammad: Prophet and Statesman (New
York: Oxford University Press. 1969); dan Ali Abd al-Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm:
Bahts fi al-Khilafah wa al-Hukumah fi al-Islam (Mesir: al-Hibah al-Mishriyyah al-‘Ammah li
al-Kitab. 1993).
KH Ma‘ruf Amin, Empat Bingkai Kerukunan Nasional (Serang: Yayasan an-Nawawi. 2013),
hlm. 73.
Lihat Noel J. Coulson, Conflict and Tensions in Islamic Jurisprudence (Chicago: The
University of Chicago Press. 1969).
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
Sedangkan Muhammad Imarah juga menampilkan empat
pasangan pilihan pemahaman dan sikap beragama, yaitu: 1)
kesempurnaan agama dan pembaruan; 2) nash dan ijtihad; 3)
hukum agama dan hukum negara; dan 4) musyawarah dan
syariah.6 Dalam konteks penelitian di Indonesia, Laode Ida
meneliti tentang konflik yang terjadi antara NU (Nahdlatul
Ulama), Elit Islam, dan Negara.7
Penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
relevan dengan pendapat KH Ma‘ruf Amin dalam mengungkap sebab-sebab konflik agama (ketegangan dan/atau
kekerasan)8 secara internal, yaitu: 1) pemahaman keagamaan
yang menodai agama, atau pemahaman yang menyimpang
(distorsi) dari tatanan dan sistem keyakinan yang disepakati
keabsahan dan kesesatannya; 2) pemahaman literal-radikal
atau yang menganggap hanya aliran/madzhabnya sendiri
yang benar yang ditandai dengan menyalahkan bahkan
mengkafirkan yang lain; dan 3) pemahaman yang liberal
(bebas semau sendiri) tanpa mengikuti kaidah-kaidah
pemahaman yang ada. Di samping itu, konflik beragama bisa
terjadi karena: 1) perbedaan pendapat/pemahaman (ikhtilaf)
6
7
8
Muhammad Imarah, Ma‘alim al-Manhaj al-Islami (Beirut: Dar al-Syuruq. 1991), hlm. 94-95.
Dalam kajian Islam Indonesia, antara lain lihat Laode Ida, Anatomi Konflik: NU, Elit Islam
dan Negara (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1996).
Laode Ida, Anatomi Konflik: NU, Elit Islam dan Negara (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
1996).
Lihat Noel J. Coulson, Conflict and Tensions in Islamic Jurisprudence (Chicago: The
University of Chicago Press. 1969). Muhammad Imarah juga menampilkan empat pasangan
pilihan: 1) kesempurnaan agama dan pembaruan; 2) nashsh dan ijtihad; 3) hukum agama
dan hukum negara; dan 4) musyarah dan syariah. Lihat Muhammad Imarah, Ma‘alim alManhaj al-Islami (Beirut: Dar al-Syuruq. 1991), hlm. 94-95. Dalam kajian Islam Indonesia,
antara lain lihat Laode Ida, Anatomi Konflik: NU, Elit Islam dan Negara (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan. 1996).
xi
Prolog
yang bersifat diametral; 2) perbedaan formula atau cara
merespon problem eksternal; dan 3) kompetisi dalam hal
disribusi otoritas.9 Sedangkan di antara sebab konflik
antarumat beragama adalah: 1) kurang efektifnya pelaksanaan
regulasi, baik karena kurang pahamnya aparatur Negara
maupun karena kurangnya kesadaran sebagian tokoh dan
umat beragama; 2) adanya faham radikal di sebagian kecil
kelompok agama; 3) pendirian rumah ibadah; 4) penyiaran
agama yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 5)
penistaan terhadap agama; 6) adanya salah faham di antara
pemeluk agama; 7) adanya kebijakan pembangunan yang
tidak sensitif terhadap pluralitas agama warganya; dan 8)
adanya kebijakan birokrasi yang tidak mempertimbangkan
unsur representasi dan/atau keterwakilan agama warganya.10
Dari segi pengumpulan data, penelitian ini termasuk
yang sangat luas responden baik dari segi jumlah (mencapai
700 responden) maupun dari segi lokasi yang diteliti dengan
mempertimbangkan dua hal: a) daerah yang sikap
keberagamaannya terbuka sehingga daerahnya termasuk
daerah yang hampir tidak pernah terjadi konflik; dan b)
daerah yang sikap keberagamaannya eksklusif (tertutup)
sehingga daerahnya termasuk daerah yang sering terjadi
konflik. Di samping itu, indikator-indikator pemahaman yang
tertutup (baca: sempit) dan indikator-indikator sikap tidak
toleran disusun sedemikian rupa sehingga tertata hubungan
(korelasi) dan pengaruh (koefesiensi) antara variabel
9
10
KH. Ma‘ruf Amin, Empat Bingkai Kerukunan Nasional (Serang: Yayasan an-Nawawi. 2013),
hlm. 93-96.
KH. Ma‘ruf Amin, Empat Bingkai Kerukunan Nasional (Serang: Yayasan an-Nawawi. 2013),
hlm. 97.
xii
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
pemahaman yang sempit dengan sikap tidak toleran terjadi
dan terbukti sedemikian rupa.
Dari segi deskripsi hubungan dan pengaruh, hasil
penelitian ini termasuk yang ideal dari segi keharusan
beragama secara normatif. Jika kita ingin membentuk
masyarakat dan Negara yang toleran terhadap perbedaan,
maka pemahaman keagamaan masyarakat (ulama) dan
Negara harus bersifat luas (bukan pemahaman sempit). Tentu
saja tidak semua aspek pemahaman keagamaan harus
terbuka, ajaran tentang tauhid (iman) dan ibadah mahdhah
relatif bersifat tertutup (kecuali dalam proses penjelasannya
seperti lahirnya aliran-lairan kalam dalam Islam); tetapi dalam
hal domain muamalah (ghair mahdhah) umat Islam harus
bersifat terbuka dan harus membuktikan bahwa Islam adalah
rahmat bagi semua.
Konflik di Negara kita pada umumnya terjadi lebih
banyak dipicu oleh hubungan sosial (kasus Sampit), perasaan
diperlakukan tidak adil (seperti penyerangan terhadap
terdakwa di sejumlah pengadilan oleh keluarga korban),
merasa hak dasar ekonominya dicabut (seperti penggusuran
pedagang di kawasan stasiun kereta api dan pedagang kaki
lima di kota-kota besar (seperti di Jakarta dan Bandung),
karena mereka berdagang bukan untuk jadi orang kaya, tetapi
untuk menyambung hidup, yang ditandai dengan modal yang
apa adanya, keahlian usaha yang apa adanya, dan
pendapatannya pun sama, yaitu apa adanya. Konflik seperti
ini terkadang menggunakan simbol agama, tetapi sebenarnya
bukan konflik karena pemahaman keagamaan. Meskipun
sebagian kecil konflik di negeri ini mucul karena pemahaman
xiii
Prolog
keagamaan (seperti di Sampang Madura dan pendirian gereja
illegal di Bogor dan Bekasi).
Hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama mengenai
hubungan dan pengaruh pemahaman keagamaan yang
diasumsikan bahwa: a) semakin luas pemahaman keagamaan,
maka akan semakin baik sikap keberagamaan; dan sebaliknya
b) semakin sempit pemahaman keagamaan, maka akan
semakin buruk sikap keberagamaan; oleh karena itu umat
Islam (baca: ulama) harus menjauhi pemahaman sempit yang
diduga memicu lahirnya sikap tidak toleran yang terkadang
berujung pada konflik, kekerasan, dan bahkan pertikaian atas
nama agama.
Terbentuknya organisasi kemasyarakatan seperti Majelis
Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU),
Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat
Islam (PUI), Mathla‘ul Anwar (MA), al-Washliyyah, alIttihadiyah, sejatinya semakin mempermudah umat untuk
melakukan silaturrahim; begitu juga dengan terbentuknya
organsisasi kemasyarakatan yang berbasis profesi seperti
Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Himpunan
Ilmuan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI), Masyarakat
Ekonomi Syariah (MES), dan Ikatan Ahli Ekonomi Islam
(IAEI) sejatinya menjadi media untuk mengarahkan
kehidupan umat Islam agar semakin baik dan meningkat
kualitasnya.
Hasil riset ini sudah menunjukkan bahwa pemahaman
keagamaan yang sempit akan melahirkan sikap tidak toleran;
oleh karena itu, pemahaman agama yang harus dikembang-
xiv
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
kan adalah pemahaman agama yang bersifat luas/mendalam
dalam rangka mendukung terbentuk dan terbinanya
masyarakat dan Negara yang harmonis dengan terhindar dari
konflik dan kekerasan; akan tetapi, hasil riset ini memerlukan
riset berikutnya karena hasil riset ini belum mendeskripsikan
faktor-faktor apa saja (variabel independen/yang berpengaruh) yang memengaruhi pemahaman keagamaan. Jika
faktor-faktor tersebut berhasil diidentifikasi dan ditemukan,
maka akan jelaslah mengenai apa yang seharusnya dilakukan
oleh ulama dan/atau Negara, yaitu memperkuat faktor-faktor
yang menyebabkan pemahaman keagamaan menjadi luas/
mendalam, sambil meminimasi faktor-faktor yang menyebabkan pemahaman keagamaan menjadi sempit (eksklusif).
Karena hasil riset menunjukkan bahwa pemahaman agama
yang dalam akan melahirkan sikap yang toleran (tasamuh)
yang sejalan dengan tujuan Negara, yaitu menciptakan
masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.
Pada akhirnya, Negara ini dibentuk dalam rangka
membangun kesejahteraan warganya yang antara lain berupa
jaminan kebebasan untuk menjalankan ajaran agama. Karena
agama yang dipeluk warga Negara bersifat ragam (bhinneka),
maka keragaman tersebut sejatinya menjadi modal sosial bagi
kita untuk membangun bangsa ini agar hidup lebih beradab
dan bermartabat dengan membentuk norma hubungan yang
menjunjung tinggi nilai-inilai ketuhanan (ilahiyah) yang
terintegrasi dengan nilai-nilai kemanusiaan (insaniyah). Wa
Allah a‘lam bi al-shawwab.
xv
Prolog
xvi
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan
Keagamaan ............................................................................
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI .......................................................
Prolog oleh Prof. Dr. Jaih Mubarok ...................................
Daftar Isi.................................................................................
iii
vii
ix
xvii
BAB I.
PENDAHULUAN ............................................
A. Latar Belakang Masalah............................
B. Perumusan Masalah ..................................
1
1
7
BAB II.
KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN
HIPOTESIS ........................................................
A. Kerangka Teori...........................................
B. Kerangka Berpikir .....................................
C. Pengajuan Hipotesis ..................................
11
11
24
27
METODOLOGI PENELITIAN .......................
A. Tujuan Penelitian .......................................
B. Kegunaan Penelitian .................................
C. Waktu dan Tempat Penelitian .................
D. Metode Penelitian ......................................
E. Variabel Penelitian ....................................
F. Populasi dan Sampel .................................
G. Instrumen Penelitian .................................
H. Teknik Analisis Data .................................
I. Hipotesis Statistik ......................................
29
29
29
30
31
31
32
41
47
47
BAB III.
xvii
Daftar Isi
BAB IV.
ANALISIS DATA HASIL PENELITIAN ......
A. Deskripsi Arah Penelitian ........................
B. Profil Responden .......................................
C. Jawaban terhadap Masalah Penelitian ...
49
49
51
62
BAB V.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ........
A. Kesimpulan.................................................
B. Rekomendasi ..............................................
131
131
137
DAFTAR PUSTAKA ............................................................
139
xviii
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
S
etelah Reformasi tahun 1998, diskursus tentang
kerukunan hidup beragama di Indonesia menjadi
sangat
penting,
terutama
dengan
semakin
berkembangnya sentimen-sentimen keagamaan antarumat
beragama serta terdistorsinya hubungan antarumat beragama
oleh berbagai kepentingan ekonomi, sosial dan politik.
Melihat kembali sejarah masuknya agama-agama di
Indonesia, kita mengetahui bahwa agama-agama tersebut
dapat diterima dan akhirnya berkembang di tengah
masyarakat Nusantara. Kepercayaan dan nilai-nilai lokal yang
ada sebelumnya dapat menerima kehadiran agama-agama
seperti Hindu, Buddha, Islam, Katolik, dan Kristen, yang pada
akhirnya terjadi adaptasi antara agama-agama tersebut
dengan beberapa unsur budaya lokal. Gejala seperti itu
berlangsung di hampir seluruh wilayah Nusantara yang
secara geografis terdiri lebih dari 7.000 pulau yang didiami,
300 suku, 400 bahasa, dan enam agama yang diakui negara.
Hal di atas mengindikasikan bahwa Indonesia adalah bangsa
majemuk, termasuk dalam aspek agama.
Pada dasarnya, agama tidak mengajarkan, bahkan
sebaliknya, melarang pemeluknya melakukan kekerasan
terhadap orang yang berbeda agama. Agama menganjurkan
perdamaian, kebersamaan, saling menghormati baik terhadap
1
Bab I. Pendahuluan
sesama maupun terhadap orang yang berbeda agama. Oleh
karena itu seseorang yang memahami ajaran agamanya secara
benar, akan tampil sebagai orang yang memiliki perilaku
santun, damai, toleran dan penuh kasih dengan orang lain.
Namun pada kenyataannya, yang terjadi seringkali
sebaliknya. Agama yang seharusnya menjadikan umatnya
memelihara perdamaian, membawa ke arah persatuan,
persaudaraan, dan keselamatan, pada suatu waktu dapat saja
mendorong dan menyebar konflik, bahkan tak jarang
menimbulkan peperangan. Sangat mungkin hal tersebut
bukan kesalahan ajaran agama, tetapi akibat dari kesalahan
dalam memahami agama dan cara orang beragama, yakni
menafsirkan ajaran agama secara sembarangan, baik demi
kepentingan pribadi maupun kelompok, baik dalam aspek
sosial, ekonomi maupun politik.
Dalam sejarah agama, kecenderungan eksklusifitas
bukanlah sesuatu yang asing, melainkan sesuatu yang sangat
mungkin bisa dirujuk kepada inti ajaran. Dalam agama
Kristen misalnya, eksklusifitas beragama dapat saja
mendasarkan diri pada ayat yang berbunyi demikian:
”Akulah jalan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun
yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”
(Yohanes, 14: 6). Dalam ayat lain disebutkan, ”Dan
keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam
Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain
yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat
diselamatkan (Kisah Para Rasul, 4: 12). Dalam agama Islam
eksklusifitas antara lain bisa dirujuk kepada ayat Al-Qur’an
yang bunyinya seperti ini: ”hari ini Ku-sempurnakan
agamamu bagimu dan Ku-cukupkan nikmat-Ku untukmu
2
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
dan Ku-pilihkan Islam menjadi agamamu (QS, 5: 3), serta ayat
yang lain berbunyi: ”Barangsiapa menerima agama selain
Islam maka tidaklah diterima dan pada hari kiamat ia
termasuk golongan yang rugi” (Q.S. 3: 85).
Eksklusifisme, dalam pengertian ekslusifitas ajaran,
pemahaman, sikap, dan perilaku keagamaan, memang dapat
menjadi salah satu penghambat berkembangnya kerjasama
antar umat beragama, karena eksklusifisme menjadikan setiap
pemeluk agama selalu bertindak tertutup, dan menutup diri.
Adalah bagian dari watak setiap agama untuk selalu
menganggap ajarannya paling benar dan mengisolasi agama
itu sendiri dari pengaruh luar yang secara otomatis tidak
memungkinkan masuknya paham baru dalam ajaran-ajaran
yang terkandung di dalamnya. Wajar, jika watak seperti itu
menghasilkan
nalar
eksklusif
yang
dikembangkan
penganutnya terhadap segala perbedaan, yakni lebih suka
mencari titik perbedaan, dan menegasikan integrasi sosial.
Sudah tentu wajar pula jika akhir dari eksklusifisme beragama
adalah munculnya konflik dan kekerasan atas nama agama.
Terhadap kekerasan agama, Wim Beuken dan Karl Josef
Kuschel menyatakan bahwa terdapat dua perspektif dalam
melihat kekerasan atas nama agama yakni: (1) agama dalam
konteks ideologi, dan (2) agama dalam hubungan sosial.1
Untuk mendukung pendapat ini dapat dilihat pada kasuskasus kekerasan atas nama agama di Rwanda, di mana
konflik antar suku Hutu dan Tutsi terjadi karena faktor
agama; kasus di Srilangka, di mana kerajaan Singhalese
1
Wim Beuken, Karl Josef Kuschel, et.al. Agama Sebagai Sumber Kekerasan,
Terjemahan Imam Baehaqi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2003, hal. xiv-xxv.
3
Bab I. Pendahuluan
dengan konsep nasionalisme Buddhisnya, memerangi sistem
pendidikan kolonial dan missionaris Kristen; serta di Bosnia
yang merupakan representasi perang etnis dan agama. Ketiga
contoh di atas merupakan sedikit bukti, bahwa agama dalam
konteks ideologi menjadi faktor sekaligus melegitimasi
kekerasan. Demikian juga kekerasan yang terjadi di
Guatemala dan Elsavador, dapat dilihat dari perspektif agama
dalam konteks sosial, di mana agama digunakan sebagai alat
untuk merespon terhadap ketidakadilan struktural.
Armada Riyanto, menyatakan bahwa kekerasan agama
lebih disebabkan oleh eksklusifisme dalam beragama yang
dicirikan oleh sikap keagamaan yang fanatik, paham
keagamaan yang fundamentalis dan integralisme.2 Dengan
perkataan lain eksklusifisme beragama menjadikan seseorang
lebih dekat dengan konflik, pertikaian dan kekerasan.
Sebagaimana telah disinggung, kekerasan yang terjadi
antar agama boleh jadi karena cara memahami agama yang
keliru. Dengan demikian, kekerasan agama akan jauh
tereduksi jika seseorang dalam beragama selain memahami
serta yakin dengan kebenaran agamanya (eksklusif), juga
memahami serta menyadari akan adanya kebenaran pada
agama lain (inklusif).
Jika karena sesuatu dan lain hal, seseorang memiliki
tingkat pemahaman agama yang rendah, sempit, rigid, maka
ketika terjadi relasi, dan interaksi serta dialog antar agama
yang timbul adalah klaim kebenaran (truth claim) yang
berpotensi munculnya kekerasan antar agama. Hal ini
2
Armada Riyanto; Membongkar Eksklusifisme Hidup Beragama, (Malang: DIOMASTFT Widyasasana), 2000, hal. 16-34.
4
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
dimungkinkan karena agama secara psikologis selain
mempengaruhi spiritualitas juga emosionalitas pemeluknya,
sehingga jika agamanya tersentuh, meskipun itu ditunggangi
oleh bermacam kepentingan, maka agama memotivasi
tumbuhnya kekuatan untuk menghancurkan lawanlawannya.
Secara singkat dapat dikatakan, eksklusifisme beragama
pada gilirannya akan menimbulkan ketegangan, konflik,
kekerasan, dan vonis salah atas ajaran agama lain. Akibat dari
sikap dan pandangan keberagamaan seperti ini, agama yang
seharusnya mendorong pemeluknya untuk berlomba-lomba
menampilkan kualitas amal terbaiknya serta menjadi
pemersatu, malah menjadi momok yang menakutkan dan
pada akhirnya menghilangkan saling percaya dan kerjasama
antar umat beragama. Masyarakat menjadi terkotak-kotak,
terpilah-pilah ke dalam kelompok yang saling berhadaphadapan dan mudah tersulut amarah. Kerukunan menjadi
hilang dan bila ini yang terjadi, maka bangsa dan negara
Indonesia berada di ambang kehancuran.
Jika kita kembali membuka lembaran sejarah perjuangan
kemerdekaan, maka tidak dapat dipungkiri betapa besar
peran agama sebagai alat pemersatu rakyat dalam mengusir
penjajah Belanda maupun Jepang. Setelah Indonesia merdeka,
peran agama diharapkan lebih meningkat terutama dalam
mengawal pembangunan Indonesia seutuhnya, yakni
Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Hal seperti itu
sangat mungkin terjadi jika umat beragama di Indonesia
saling bekerjasama menemukan nilai-nilai yang sama dari
setiap agama untuk dijadikan nilai bersama. Penemuan nilai-
5
Bab I. Pendahuluan
nilai universal agama sangat mungkin terjadi jika masingmasing umat beragama mau membuka diri terhadap agama
lain atau bersifat inklusif, dan bukan eksklusif. Jika ini yang
terjadi maka cita-cita kemerdekaan menjadikan Indonesia
rumah bersama tempat bernaung, tumbuh dan berkembang
semua agama, akan tercapai.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional
(RPJMN)
2010-2014
menegaskan
bahwa
Pembangunan bidang agama merupakan bagian integral
pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan
Indonesia yang damai, adil, demokratis dan sejahtera.
Pembangunan bidang agama adalah upaya untuk memenuhi
salah satu hak dasar rakyat yang dijamin oleh konstitusi.
Negara dan Pemerintah berkewajiban memberikan jaminan
dan perlindungan atas hak setiap warganya untuk memeluk
agama dan beribadah menurut agamanya, serta memberikan
fasilitasi dan pelayanan pemenuhan hak dasar warga tersebut.
Dengan demikian, aspek perlindungan, pemajuan, penegakan
dan pemenuhan hak beragama sebagai bagian dari hak asasi
warga negara, menjadi landasan pokok dalam pembangunan
bidang agama.
Agar keanekaragaman agama di Indonesia berperan dan
menjadi alat integrasi dalam rangka memperkokoh persatuan
dan kesatuan bangsa, maka perlu ditemukan jawaban tentang
sikap dan pandangan beragama yang bagaimana yang selain
dapat mereduksi kekerasan dan konflik baik intern maupun
antar umat beragama, juga melahirkan kerjasama demi
memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Pertanyaannya
6
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
adalah, apakah keragaman agama yang dianut oleh
masyarakat bangsa Indonesia dapat menjadi pemersatu yang
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa? Ataukah
justeru menjadikan para pemeluknya lebih mengedepankan
ekslusifisme? Apakah benar pernyataan bahwa eksklusifisme
beragama timbul karena cara seseorang dalam memahami
agamanya? Pemahaman agama yang bagaimana yang
menjadikan seseorang eksklusif dalam beragama sehingga
menjadikannya tertutup bagi agama lain? Seberapa besar
pengaruh interaksi sosial, ekonomi dan politik terhadap
pemahaman agama yang eksklusif, atau inklusif?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama pada tahun 2011 yang lalu telah
melakukan penelitian tentang eksklusifisme beragama di
kalangan pemuka agama-agama yang diakui di Indonesia.
B. Perumusan Masalah
Adapun permasalahan dalam kajian ini dibatasi pada:
1. Pemahaman keagamaan para tokoh agama Indonesia;
2. Eksklusifisme beragama menurut pandangan para tokoh
agama Indonesia;
Kedua permasalahan pokok di atas masing-masing
dijabarkan ke dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian sbb.:
Untuk pemahaman keagamaan:
1) Bagaimana potret keberagamaan para pemuka agama di
Indonesia?;
7
Bab I. Pendahuluan
2) Apakah di antara pemuka agama terdapat perbedaan
pandangan mengenai tingkat keyakinan dan pemahaman
mereka terhadap agama masing-masing?;
3) Apakah terdapat perbedaan intensitas pelaksanaan ritual
agama para tokoh enam agama, berdasarkan pandangan
mereka sendiri? kalau terdapat, penganut agama apa yang
paling intens melaksanakan ritualnya?;
4) Apakah faktor-faktor seperti: (1) jenis kelamin, (2) status
pernikahan, (3) status kependudukan, (4) waktu pertama
memeluk agama, (5) pengalaman mempelajari agama, dan
(6) keberadaan keluarga yang berbeda agama di
lingkungan tempat tinggal, mempengaruhi keberagamaan
seseorang?
5) Apakah provinsi domisili seseorang
terhadap pemahaman keagamaannya?
berpengaruh
Untuk eksklusifisme beragama:
1) Bagaimana pemahaman keagamaan responden penelitian,
apakah eksklusif atau inklusif?;
2) Apakah faktor-faktor: (1) organisasi tempat bergabung, (2)
jabatan dalam organisasi, (3) fungsi dalam organisasi, (4)
jumlah massa dalam organisasi, (5) status pernikahan, (6)
status pekerjaan, mempengaruhi sikap keberagamaan
seseorang;
3) Apakah provinsi domisili seseorang mempengaruhi sikap
keberagamaannya?;
8
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
4) Adakah pengaruh pemahaman keagamaan terhadap
eksklusifisme beragama para pemuka agama Indonesia?
Kalau ada seberapa besar pengaruh tersebut?;
5) Adakah perbedaan eksklusifisme beragama para pemuka
agama berdasarkan keyakinan agama yang mereka
masing-masing anut?;
6) Adakah perbedaan eksklusifisme beragama antara
pemuka yang memiliki pemahaman agama yang tinggi
dengan yang memiliki pemahaman agama rendah;
7) Bagaimana pandangan para pemuka agama terhadap
eksklusifisme dan inklusivisme dalam beragama;
8) Apakah keanekaragaman agama yang dianut oleh
masyarakat bangsa Indonesia dapat menjadi pemersatu
yang memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa?
9) Pemahaman agama yang bagaimana yang menjadikan
seseorang
eksklusif
dalam
beragama
sehingga
menjadikannya tertutup bagi agama lain?
9
Bab I. Pendahuluan
10
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
BAB II
KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Kerangka Teori
1. Pengertian Pemahaman Keagamaan
D
alam kamus umum bahasa Indonesia kata ”paham”
diartikan sebagai mengerti, tahu benar, pandai
sesuatu hal.3 Kata ”paham” diberi awalan ”pe” dan
akhiran ”an” menjadi pemahaman dan mempunyai
pengertian mengetahui tentang sesuatu. Pemahaman
merupakan proses berpikir dan belajar. Dikatakan demikian
karena untuk menuju ke arah pemahaman perlu diikuti
dengan aktivitas belajar dan berpikir. Pemahaman juga
diartikan sebagai tingkatan kemampuan seseorang dalam
memahami arti atau konsep, situasi serta fakta yang
diketahuinya. Seseorang yang paham sesuatu tidak hanya
hapal secara verbalitas, tetapi mengerti akan konsep atau
fakta dari sesuatu tersebut. Dengan demikian seseorang yang
paham terhadap sesuatu maka secara operasional ia dapat
membedakan, mengubah, mempersiapkan, menyajikan,
mengatur, menginterpretasikan, menjelaskan, mendemonstrasikan, memberi contoh, memperkirakan, menentukan, dan
mengambil keputusan.4 Dengan kata lain, memahami adalah
mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari
berbagai segi. Pemahaman merupakan jenjang kemampuan
3
Poerwadarminta WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta PN Balai
Pustaka).1976. hal 279
4
Op.Cit. Porwadarminta.
11
Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis
berpikir yang setingkat lebih tinggi dari ingatan dan hafalan".
Menurut Dewey, memahami berarti sanggup menjelaskan,
mengklasifikasikan, mengikhtisarkan, meramalkan, dan
membedakan.5
Dengan
pengetahuan,
seseorang
belum
tentu
memahami sesuatu yang dimaksud secara mendalam, hanya
sekedar mengetahui tanpa bisa menangkap makna dan arti
dari sesuatu yang dipelajari. Sedangkan dengan pemahaman,
seseorang tidak hanya dapat menjelaskan sesuatu yang
diyakininya tetapi juga mempunyai kemampuan untuk
menangkap makna.
Kata ”Agama” di sini diartikan sebagai segenap
kepercayaan kepada Tuhan, Dewa dan sebagainya, disertai
ajaran kebaktian dan kewajiban–kewajiban yang bertalian
dengan kepercayaan itu (Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha dsb), serta ajaran untuk menjalankan ibadah dan
melakukan atau tidak melakukan sesuatu menurut
kepercayaan tersebut. Keagamaan berasal dari kata ”agama”
diberi awalan ”ke” dan akhiran ”an” menjadi keagamaan,
diartikan sebagai segala hal berkenaan dengan keyakinan
seseorang yang berkaitan dengan ajaran agama.
Agama sendiri oleh Syaltut, diartikan segala ketetapanketetapan Ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk
menjadi pedoman hidup manusia. Sedangkan Badran
mendefinisikan agama mengacu kepada al-Qur’an yakni
hubungan antara makhluk dengan Khaliknya. Hubungan ini
diwujudkan dalam sikap batinnya serta tampak dalam ibadah
5
John Dewey. How We Think , 1933, hal. 153
12
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
yang dilakukannya dan tercermin pula dalam sikap
kesehariannya. Nasution, mengartikan agama sebagai ajaranajaran yang diwahyukan Tuhan melalui Rasul".6 Leuba yang
dikutip Arifin mengartikan agama sebagai peraturan Ilahi
yang mendorong manusia berakal untuk mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat, oleh karena agama
diturunkan Tuhan kepada manusia adalah untuk
kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat".7
Berdasarkan uraian di atas, maka pemahaman agama
merupakan kemampuan seseorang untuk menangkap makna
dan arti ajaran agamanya, dapat menjelaskan serta
menguraikan isi pokok dari agamanya, dapat membedakan
mana yang termasuk perbuatan baik dan buruk, memberikan
contoh yang baik kepada sesama, serta dapat menerangkan
keyakinannya tersebut. Seseorang yang telah memahami
ajaran agama secara benar dan mendalam maka
keyakinannya yang telah menjadi bagian integral dari
kepribadiannya itulah yang akan mengawasi segala
perbuatannya baik lahir maupun batin, sehingga yang lahir
dari dirinya adalah prilaku damai dan baik dengan siapapun.
Pemahaman seseorang terhadap agamanya berlangsung
secara dinamis, seiring dengan dinamika kehidupan manusia
serta internalisasi nilai-nilai agama itu sendiri. Sedangkan cara
umat beragama dalam menginterpretasikan ajaran agamanya
sangat dipengaruhi oleh paradigma yang digunakannya
dalam memahami agama itu sendiri. Dalam penelitian agama6
Harun Nasution. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press). 1984,
hal. 10.
H. M. Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar (Jakarta: PT. Golden
Teravon Press). 1998, h. 6
7
13
Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis
agama setidaknya terdapat tiga paradigma agama dan
keberagaman, yakni; eksklusif, inklusif dan pluralis.
Pertama, paradigma eksklusif. Eksklusifisme agama
adalah ajaran-ajaran yang mengajarkan keistimewaan,
keunggulan, dan semangat dominasi satu agama atas agama
lain. Semangat ini dimiliki seluruh pemeluk agama. Orang
atau kelompok yang memiliki paradigma ini berpandangan
bahwa seseorang tidak akan diselamatkan kecuali kalau
mengikuti iman yang dia akui, kecuali memeluk agama yang
dia peluk. Agama agama lain boleh jadi juga memiliki banyak
kebenaran dan kebaikan, tetapi agama-agama lain tersebut
dianggap tidak dapat menjadi mediasi keselamatan.8 Ekspresi
keberagaman kelompok ini, baik pemahaman, sikap maupun
perilaku
mereka
cenderung
tertutup,
konservatif,
fundamentalis, ekstrimis, intoleran, apologis dan dogmatis,
sehingga kurang kondusif untuk melihat agama lain secara
bersahabat, serta terlalu menonjolkan sisi perbedaan dengan
menutup serapat-rapatnya sisi persamaannya. Pendekatan
yang dipakai adalah pendekatan bersifat subjektif,
pendekatan yang menilai subjek lain dari perspektif
agamanya sendiri. Agamanya dipandang paling otentik
memiliki kebenaran dan jalan keselamatan, sementara agama
lain di luar agamanya dianggap hanya memiliki kebenaran
yang palsu dan tidak otentik. Eksklusifisme dalam agama
Islam adalah adanya doktrin agama yang benar di sisi Allah
hanyalah agama Islam, sehingga ajaran agama selain Islam
8
J.B. Bana Wiratima SJ. Bersama saudara-saudari Beriman Sains Perspektif
gereja Katolik, dalam Seri Dian 1 tahun 1 Dialog: Kritik dan Identitas Agama
(Yogyakarta: Dian/Anter Fidei).1993, h. 4.
14
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
tidak dapat diterima. Diantara ayat yang dipakai sebagai
ungkapan eksklusifisme Islam adalah Q.S.3:85, 3:19, 5:3.
Ekslusifisme juga ditampakkan oleh agama Kristen,
mereka mempunyai akar pada doktrin-doktrin kristologi
mengenai “Kesatuan Hipostatik” yang didefinisikan di
Kalsedon sebagai berikut: “Yesus dari Nazareth adalah unik
dalam arti yang setepat-tepatnya bahwa meskipun sungguhsungguh manusia, berlaku bagi Dia dan hanya Dia, bahwa
Dia juga sungguh-sungguh Allah, pribadi yang dari
Tritunggal yang sama kedudukannya.” Yesus merupakan
satu-satunya jalan yang sah untuk keselamatan (Yohanes
14:6).
Dalam agama Hindu eksklusifisme ditampilkan melalui
penegasan bahwa Veda merupakan wahyu yang paling
sempurna dari kebenaran Ilahi, oleh sebab itu Hindu melihat
dirinya juga sebagai kriteria yang harus digunakan sebagai
dasar untuk menguji wahyu dari agama lainnya. Selain itu
agama Hindu mempunyai keyakinan bahwa kehidupan
beragama muncul dari yang Satu.
Dalam agama Budha eksklusifisme muncul melalui
ajarannya yang menyatakan Keselamatan adalah dengan
menyandarkan iman di dalam Buddha dan melantunkan
namanya, dimana seseorang dapat mencapai surga.
Jika semua agama memiliki cara pandang seperti di atas,
maka akan mendorong munculnya budaya truth claim yang
berimplikasi pada pembentukan mode of thought yang
partikularistik dan pada akhirnya terjadi apa yang oleh Arkoun
disebut sebagai pelapisan geologi pemahaman agama dan
15
Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis
taqdis al-afkar al diniy9 atau sakralisasi terhadap pemikiran
keagamaan. Bahkan terdapat kecenderungan pemahaman
tentang agama itu sendiri dianggap sebagai agama yang wajib
diikuti sehingga pemahaman agama mengalami stagnasi dan
akhirnya terjadilah marginalisasi dan alienasi agama dalam
realitas empirik. Padahal, religiousitas itu sesungguhnya
bersifat ”on going process” serta ”on going formation”. Proses ini
pula yang oleh Fazlur Rahman disebut sebagai proses
”Ortodoksi”.10 Paradigma ini sangat jauh dari kemungkinan
terbukanya peluang dialog, interaksi dan toleransi antar umat
beragama.
Kedua, paradigma inklusif. Kelompok inklusif membedakan antara kehadiran penyelamatan dan aktifitas Tuhan
dalam tradisi agama-agama lain.11 Penganut paradigma
inklusif lebih mengedepankan pemahaman ajaran agama
secara kontekstual, dengan menangkap esensi dan makna
terdalam pesan-pesan teks, sehingga implementasi ajaran
agama dipertimbangkan dengan konteks ruang dan waktu,
situasi dan kondisi sosio-kultural yang tak terpisahkan dari
perjalanan historis manusia. Tetapi dalam paradigma inipun
masih terdapat titik kelemahan, yakni meskipun memiliki
pandangan yang menaruh simpati terhadap agama-agama
lain tetapi kurang menempatkan agama lain sebagaimana
dialami dan dipeluk oleh yang bersangkutan. Maka sebagai
paradigma, hubungan antar umat beragama masih kurang
9
M. Arkoun, M. Islam: Al-Akhlak Wa Al-Siyasah, terjemahan, Hasyim Saleh (Beirut),
1978, h: 116-117.
10
Fazhur Rahman. Islam, terjemahan, Ahsin (Bandung: Penerbit Pustaka),
1984,h.105.
11
Budhi Munawar Rahman. Islam Plural: Wacana kesetaraan kaum beriman (Jakarta:
Paramadina), 2001, h:47-48.
16
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
operasional dan kurang tegas membuka peluang untuk saling
berinteraksi dengan penuh toleransi.
Terdapat tiga gagasan utama yang saling terkait dari
inklusivisme yaitu; (1) substansi keimanan dan peribadatan
lebih penting dari pada formalitas dan simbolisme keagamaan
yang bersifat literal; (2) pesan-pesan agama yang bersifat
abadi dalam esensinya dan universal dalam maknanya, harus
selalu ditafsirkan ulang oleh masing-masing generasi umat
sesuai dengan konteks zaman yang dihadapi, dan (3)
kebenaran mutlak hanyalah milik Tuhan, maka tak
seorangpun yang dapat memastikan bahwa pemahamannya
terhadap pesan Tuhan adalah paling benar, lebih benar atau
lebih baik dari pada pemahaman orang lain. Kelompok ini
menekankan betapa pentingnya toleransi terhadap umat
seagama maupun antar umat beragama karena perbedaan
agama dipandang sebagi fitrah kemanusiaan yang bersifat
universal.
Bagi agama Kristen, sikap inklusif dimaknai akan
adanya perbedaan antara Tuhan dalam konteks penyelamatan
dengan Tuhan dalam suatu aktivitas. Dalam konteks aktivitas
Tuhan, kepercayaan bahwa seluruh kebenaran agama nonKristiani mengacu kepada aktivitas Tuhan dalam Yesus
Kristus, maka ini menjadi inklusif. Sementara kalangan Islam
inklusif berpandangan bahwa agama semua Nabi adalah satu.
Kalangan ini menganut pandangan al-Qur’an tentang adanya
titik temu agama-agama (Q.S. 3:64), di mana masing-masing
umat telah ditetapkan sebuah syir’ah dan minhaj. Menurut
kalangan ini, Allah tidak menghendaki adanya kesamaan
manusia dalam segala hal. Adanya perbedaan menjadi
17
Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis
motivasi berlomba dalam kebaikan; dan Allah akan menilai
dan menjelaskan berbagai perbedaan itu (Q.S. 5:48).
Ketiga, paradigma pluralis. Paradigma ini berbeda secara
substansial dengan kelompok inklusif, lebih-lebih dengan
kelompok eksklusif. Paradigma ini percaya bahwa setiap
agama mempunyai jalan keselamatannya sendiri.12
Bagi umat Islam misalnya, contoh yang paling indah
ialah sikap Nabi Muhammad SAW, yang lebih mengutamakan kedamaian ketimbang simbol tekstual. Ketika Nabi
melakukan perdamaian dengan kaum Quraisy Mekah pada
tahun 628 M (tahun 6 H) di Hudaibiyah, hampir saja
perdamaian itu gagal, akibat penolakan pihak Quraisy
terhadap naskah perdamaian yang diawali dengan perkataan
Basmalah (Bismillahi al-Rahmani al-Rahim). Tak seorang pun
sahabat Nabi yang berani menghapus Basmalah sebagai
simbol Islam yang amat sakral itu. Namun demi perdamaian
Nabi meminta tulisan Basmalah diganti dengan kalimat yang
lebih singkat Bismika Allahumma, sehingga diterima oleh
semua pihak. Selain itu pluralisme dalam Islam juga
digambarkan dengan adanya ayat yang menyebut bahwa
pada awalnya manusia bersatu, namun pada akhirnya mereka
berselisih dan tercerai berai (2:213).
Pluralisme dalam agama Kristen dimulai ketika gereja
mengubah sikap dari semula kebenaran mutlak hanya dari
dalam gereja menjadi sikap untuk mendengarkan
kebijaksanaan dan persoalan-persoalan yang berasal dari
agama-agama lain. Rahmat Allah yang universal itulah yang
12
John Harwood: God And Universe of Faiths, (Oxford: One World Publications),
2003
18
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
sesungguhnya menggerakkan dan mendorong seorang
Kristen untuk mendamaikan suatu teologi Kristosentris
dengan pengalaman keagamaan orang-orang bukan Kristen.
Hal ini mengindikasikan bahwa pluralisme ada untuk
memenuhi tuntutan dari keadaan yang sangat majemuk
dewasa ini.
Pluralism dalam ajaran Agama Hindu, terdapat dalam
kitab Bhagawadgita, Bab 4 Sloka 11, yang berbunyi, “Jalan
manapun ditempuh manusia kearah-Ku semuanya kuterima dari
mana mereka menuju jalan-Ku”, serta Bab 7 Sloka 21; Apapun
bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku
perlakukan kepercayaan mereka sama supaya tetap teguh dan
sejahtera. Dalam ajaran agama Budha pluralism termaktub
dalam Prasasti Kalingga No. XXII dari Raja Asoka; “Janganlah
kita menghormati agama sendiri dan mencela agama orang lain...
Dengan mencela dan merugikan agama orang lain berarti kita juga
telah merugikan agama sendiri.
Pada dasarnya pandangan pluralis ini tidak
menganggap bahwa tujuan
yang ingin dicapai adalah
keseragaman
bentuk
agama.
Sikap
pluralistik
mengekspresikan adanya ”fenomena” satu Tuhan ”banyak
agama” yang berarti suatu sikap toleran terhadap adanya
jalan lain kepada Tuhan.13 Paradigma pluralisme paling
memungkinkan untuk membuka dialog, kerjasama, interaksi
dan toleransi antar umat beragama. Pemahaman agama yang
dipengaruhi oleh paradigma sebagaimana dikemukakan di
atas, memiliki potensi mendorong tumbuhnya varian-varian
13
John Hick. The Religions Are Equally Valid To The Same Truth (San Diego,
Greenhaven, Inc. 1995), 74-90.
19
Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis
paham keagamaan di dalam kelompok satu agama maupun
di dalam hubungan dengan agama lain.
Sebagaimana telah diuraikan, paham keagamaan adalah
pengertian atau pengetahuan seseorang atau sekelompok
orang tentang suatu agama yang mereka yakini, baik yang
berhubungan dengan ajaran, ibadah dan ritual, hubungan
sosial, organisasi dan sebagainya, berdasarkan penafsiran
mereka. Dengan demikian, paham keagamaan juga bisa
diartikan aliran keagamaan, yang dihasilkan dari adanya
multi tafsir terhadap teks-teks agama. Model pemahaman
keagamaan yang bersifat aliran itu biasanya memisahkan diri
dari suatu paham atau aliran yang telah ada sebelumnya, lalu
membentuk organisasi atau gerakan keagamaan baru.
Berbicara mengenai gerakan keagamaan, setidaknya
dikenal tiga jenis gerakan keagamaan yaitu (a) endogenous
religious movement, (b) exogenous religious movement, dan (c)
generative religious movement. Yang dimaksud dengan
Endogenous Religious Movement ialah suatu gerakan
keagamaan di mana perubahan yang terjadi menyangkut
sistem kepercayaan, sistem simbol, sistem ritus dan
pengamalan, serta organisasi keagamaan. Perubahan yang
terjadi dalam aspek-aspek ini telah menimbulkan
pembahasan penting dalam sejarah agama-agama di dunia.
Dalam agama Kristen perubahan ini melahirkan sekte-sekte
baru yang satu dengan lainnya boleh jadi saling mendekat
atau saling menjauh.
Gerakan keagamaan yang bersifat eksternal (exogenous
movement) biasanya merupakan reaksi dari organisasiorganisasi keagamaan terhadap lingkungan sekitarnya yang
20
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
berubah. Para ahli sosiologi mengatakan bahwa keberadaan
organisasi-organisasi keagamaan dalam masyarakat itu
sedikitnya mempunyai empat kepentingan. (1) Survival
(mempertahankan hidup), (2) Economic (kepentingan
ekonomi); (3) Status (kepentingan untuk eksis berperan); (4)
Ideology
(kepentingan
untuk
mempertahankan
dan
mengembangkan suatu pandangan hidup). Manakala
kepentingan-kepentingan ini terjamin dan tidak terganggu
maka organisasi keagamaan itu boleh dikatakan eksis dalam
equilibrium atau harmoni dengan lingkunganya. Sebaliknya,
ketika sebagian atau seluruh kepentingan-kepentingan itu
terganggu, maka organisasi-organisasi keagamaan akan
bereaksi
terhadap
lingkungannya
untuk
menjamin
diperolehnya kembali kepentingan-kepentingan tersebut.
Dalam gerakan seperti itu, para pemimpin organisasi atau
para tokoh agama biasanya memberikan justifikasi
gerakannya dengan nilai-nilai transendental dari ajaran
agama yang dianutnya. Bahkan tujuan gerakan keagamaan itu
terkadang disebut sebagai bagian dari wahyu Tuhan.
Gerakan keagamaan dari jenis Generative Religious
Movement, ditandai oleh kesengajaan upaya untuk melahirkan
agama baru di luar agama yang ada. Mula-mula mungkin
agama baru yang diperkenalkan itu merupakan bagian dari
tradisi agama, atau tradisi lokal yang ada. Agama baru itu
boleh jadi diimport dari agama lain, atau dari tradisi lokal
yang telah berumur lama sehingga tidak pernah dipandang
akan berdiri sendiri. Lama kelamaan, didorong oleh
lingkungan sosial, politik, kultural yang ada, tradisi itu
mengkristal menjadi suatu tradisi yang kemudian dipercaya
sebagai agama yang berdiri sendiri.
21
Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis
Selain hal-hal yang dikemukakan di atas, ada satu
konsep lagi yang perlu diperhatikan yaitu elective affineties.
Konsep ini merujuk kepada kenyataan bahwa seringkali
sesuatu agama itu mempunyai hubungan kedekatan dengan
suatu budaya, struktur sosial atau kelompok sosial atau
kelompok etnik tertentu. Di Indonesia terdapat pula
hubungan elective affinity antara agama dengan daerah
tertentu atau etnik tertentu. Secara teoritik hubungan itu
dapat dipisahkan sehingga peran-peran seseorang dalam
masyarakat juga dapat dipisahkan dalam statusnya sebagai
pemeluk agama tertentu, atau sebagai anggota etnik tertentu,
atau sebagai anggota kelas sosial ekonomi tertentu, atau
sebagai kelas pekerja tertentu. Di dalam kenyataannya
pemisahan peran itu tidak mudah dilakukan, bahkan
terkadang lebih mudah terkacaukan. Sebagai akibatnya,
interaksi konflik ataupun konsensus dari berbagai
pengelompokan sosial itu sedikit banyak, cepat atau lambat
mempengaruhi interaksi konflik, atau konsensus di antara
komunitas–komunitas keagamaan yang ada.14
Berkenaan dengan pandangan agama, terdapat dua
kelompok, yakni kelompok yang memandang agama sebagai
alat, label atau instrument, dan kelompok yang memandang
agama sebagai tujuan seperti kelompok fundamentalis.
Kelompok pertama, berkeyakinan bahwa agama adalah
sarana untuk menjaga eksistensi kemanusiaan dan mencapai
kebahagiaan manusia. Sehingga persoalan kemanusiaan
dalam konteks ini diletakkan pada posisi yang tinggi dan
karenanya agama hadir sebagai ”pelayan” bagi kemanusiaan,
14
Kustini. Kelompok Keagamaan Kristen, Hindu dan Buddha di Indonesia (Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan), 2006, h: 7-8.
22
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
sehingga jika ada perbuatan yang menghinakan dan
menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, sama artinya dengan
memporakporandakan agama.
Sementara kelompok kedua, memposisikan kehidupan
manusia adalah untuk agama. Karenanya, demi agama
kapanpun diperlukan, kemanusiaan dapat dikorbankan
dengan cara mengusung simbol-simbol dan mengibarkan
panji-panji agama dari “serangan” musuh-musuhnya.15
Dengan melihat paparan mengenai kondisi masyarakat
bangsa Indonesia yang ternyata menganut banyak agama, ada
satu pertanyaan yang dapat dimunculkan di sini: Bagaimana
menjadikan pluralitas agama yang dianut oleh masyarakat
bangsa Indonesia sebagai media integrasi sosial agar tercipta
kehidupan yang harmonis dalam kerangka memperkokoh
persatuan dan kesatuan bangsa?
Pertanyaan tersebut penting diajukan mengingat
mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, yang percaya
pada enam pilar rukun iman,16 dan meyakini serta
melaksanakan lima pilar rukun Islam17, meskipun terdapat
perbedaan penafsiran atas beberapa praktek keagamaan
mereka. Terhadap pilar-pilar iman dan Islam tersebut setiap
umat Islam selain harus mempercayainya juga harus
15
Peter L. Berger. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial (Jakarta: LP3ES).
1993, h:36-41.
yaitu percaya pada adanya Tuhan yang Maha Esa (Allah SWT), percaya pada para
Nabi, Malaikat-Nya, Kitab-Nya, para utusan-Nya, hari akhir (kiamat), dan qada’-qadarNya.
17
yaitu Syahadat (percaya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai utusanNya) shalat lima kali sehari semalam, zakat, puasa selama bulan ramadhan,
menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah bagi yang benar-benar mampu
melaksanakannya secara mental spiritual, jasmaniah dan finansial.
16
23
Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis
memahami dengan baik dan benar. Hal yang sama pasti juga
berlaku di kalangan umat Protestan, Katolik, Hindu, Buddha
dan Konghucu, yakni setiap umatnya harus memahami
dengan baik dan benar ajaran-ajaran dasar agama masingmasing. Dalam konteks hidup bermasyarakat, pemahaman
keagamaan tersebut sangat mungkin ditransformasi menjadi
perilaku keseharian. Pada saat berinteraksi itulah, cara
beragama (eksklusif, inklusif atau pluralis) masing-masing
pemeluk agama, akan sangat mempengaruhi pola-pola
interaksi yang berkembang di antara mereka.
B. Kerangka Berpikir
1. Terdapat Pengaruh Pemahaman Keagaman terhadap
Eksklusivisme Beragama
Pemahaman agama adalah pengetahuan yang
mendalam seseorang atau sekelompok orang tentang ajaran
agama yang mereka anut. Kepribadian seseorang yang telah
memiliki pemahaman tentang ajaran agama akan berbeda jika
dibandingkan dengan seseorang yang tidak, belum, atau
kurang memiliki pemahaman tentang ajaran agama.
Perbedaan tersebut akan terlihat dalam sikap dan
perbuatannya sehari-hari. Seseorang yang telah memahami
ajaran agamanya cenderung akan melakukan perbuatanperbuatan yang dibolehkan dalam agamanya dan selalu
melaksanakan kewajiban-kewajibannya selaku hamba Allah.
Orang tersebut juga akan selalu berusaha untuk tidak
melakukan hal-hal yang dilarang bahkan yang diharamkan
dalam ajaran agamanya.
24
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
Sebagai ilustrasi, kewajiban dasar umat Islam adalah
melaksanakan perintah Allah seperti shalat, puasa, zakat dan
haji. Sholat tidak boleh ditinggalkan oleh setiap Muslim.
Kewajiban tersebut harus selalu dilakukan 5 kali dalam sehari
semalam pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Puasa
wajib dilakukan ketika memasuki bulan Ramadhan, dan
seterusnya. Bagi orang yang memiliki pemahaman tentang
ajaran agama Islam, ia cenderung akan selalu melakukan
kewajiban-kewajibannya kepada Allah dengan melaksanakan
ibadah secara rutin dan selalu berusaha agar tidak pernah
meninggalkan ibadahnya di manapun ia berada, karena ia
menyadari bahwa ibadah yang diwajibkan benar-benar wajib
untuk dilaksanakan dan tidak boleh ditinggalkan. Ia
melaksanakan
ibadah
tersebut
semata-mata
untuk
memperoleh ridha dan pahala dari Allah. Jika ia
meninggalkan ibadah tersebut dengan sengaja, maka ia akan
berdosa dan kelak mendapatkan siksa dari Allah. Dengan
perkataan lain pemahaman agama akan mempengaruhi
watak dan bentuk perilaku penganutnya dalam setiap aspek
kehidupan terutama dalam berinteraksi dengan sesama umat
beragama. Selain itu tinggi rendahnya pemahaman ajaran
agama yang dimiliki seseorang tergambarkan dalam bentuk
pelaksanaan ajaran agama yang diyakini serta pada akhirnya
juga mempengaruhi emosi keberagamaanya, yang pada
gilirannya akan mempengaruhi perilaku dalam berinteraksi
dengan umat agama lainnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, pemahaman
keagamaan seseorang mempengaruhi bentuk perilaku
berinteraksi, baik dengan umat sesama agama maupun umat
25
Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis
berlainan agama. Ragam bentuk interaksi dapat bersifat
eksklusif, maupun inklusif.
2. Terdapat Perbedaan Eksklusifisme beragama antara para
pemuka agama
Sebagaimana telah dijelaskan, dalam kegiatan seharihari, para pemuka agama bergaul dan berinteraksi tidak
hanya dengan sesama jamaah atau kelompoknya yang
seagama saja, tetapi juga bergaul dan berinteraksi dengan
kelompok atau jamaah agama lain. Dalam pergaulan dan
interaksi tersebut para pemuka agama selain harus tetap
melaksanakan semua kewajiban agama juga harus
melaksanakan semua tujuan, kegiatan dan program lembaga,
organisasi atau institusi di mana ia berada. Dalam hal ini
tentunya pola penerapan ajaran agama atau sikap beragama
lebih mengutamakan tujuan, kegiatan atau program
organisasi di mana mereka berada.
Karena para pemuka agama bergabung dalam
organisasi yang beranekaragam, yang memiliki program dan
tujuan yang berbeda seperti lembaga pendidikan formal,
lembaga pendidikan informal, lembaga penelitian dan
pengembangan, organisasi sosial ekonomi, asosiasi sosial
politik, atau asosiasi profesi, maka pelakasanaan dan sikap
beragama merekapun diasumsikan akan berbeda karena
dipengaruhi keanekaragaman anggota dan lingkungan
organisasi atau lembaga di mana mereka bergabung.
Berangkat dari pemikiran di atas, maka diduga terdapat
perbedaan eksklusifisme beragama para pemuka agama dari
ke- enam agama yang secara formal tertera dalam peraturan.
26
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
C. Pengajuan Hipotesis
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang
telah disajikan di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis
penelitian sebagai berikut:
H1
: Terdapat pengaruh pemahaman keagamaan (X)
terhadap ekslusivisme beragama (Y).
H0
: Tidak terdapat pengaruh pemahaman agama (X),
terhadap ekslusivisme beragama (Y).
H1
: Terdapat perbedaan ekslusivisme beragama antara
pemuka agama di enam agama yang terdapat di
Indonesia.
H0
: Tidak terdapat perbedaan ekslusivisme beragama
antara pemuka agama di enam agama yang terdapat
di Indonesia.
27
Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis
28
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
P
enelitian ini selain bertujuan untuk memperoleh
gambaran yang lebih jelas dan komprehensip
tentang ada tidaknya pengaruh pemahaman
keagamaan terhadap eksklusifisme beragama, juga secara
operasional penelitian ini ingin:
1. Mengetahui pengaruh pemahaman keagamaan para
pemuka agama terhadap eksklusifisme beragama.
2. Mengetahui perbedaan eksklusifisme beragama para
pemuka agama-agama karena perbedaan pemahaman
keagamaan mereka.
B. Kegunaan Penelitian
Temuan hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat
sebagai:
1. Bahan masukan bagi Departemen Agama dalam hal ini
Direktorat Jenderal Bimas Islam, Protestan, Katolik, Hindu
dan Budha, dalam merumuskan kebijaksanaan pembinaan
dan pelayanan keagamaan;
2. Melengkapi informasi tentang ekslusifisme keagamaan
dalam kerangka upaya penanganan paham-paham
keagamaan yang berkembang di Indonesia.
29
Bab III. Metodologi Penelitian
C. Waktu dan Tempat Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan tahun 2011 di 10 provinsi, yaitu
Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan
Barat, dan Sulawesi Tengah.
Seleksi provinsi ini dilaksukan secara purposif dan
didasarkan pada pertimbangan sebaran umat beragama–
mayoritas-plural-minoritas. Jawa dengan mayoritas Islam; Bali
mayoritas Hindu; Nusa Tenggara Timur mayoritas KatolikProtestan; Kalimantan Barat di kabupaten-kota tertentu
mayoritas Buddha-Khonghucu; Lampung, Sulawesi Tengah
dan Nusa Tenggara Barat komunitas heterogen-plural.
Secara teoretis, faktor-faktor demografis, geografis, sosialekonomis, dan kultural sangat mempengaruhi cara individu
bersikap dan berperilaku keagaman dalam kehidupan seharihari. Karena itu faktor-faktor sosial-ekonomis, geografis dan
kultural, menjadi pertimbangan dalam penentuan responden
penelitian. Selain itu, untuk kebutuhan analisis berbasis
satuan unit agama, survei harus memperhatikan signifikansi
representasi agama yang dianut responden dengan variasi
karakteristik strata sosialnya. Karenanya, asas proporsionalitas
sebaran sampel menurut agama, strata dan karakter sosialkeagamaan populasi mutlak diperhatikan. Jumlah sampel perprovinsi bervariasi.
Penentuan jumlah sampel ini didasarkan terutama pada
sebaran komunitas populasi menurut kriteria seperti
30
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
ditampilkan pada tabel III.2, dan prinsip tingkat homogenitas
populasi yang tinggi, baik dari aspek demografi, sosial,
ekonomi dan budaya di setiap provinsi target survei. Sebaran
sampel menurut provinsi disajikan pada tabel III.1.
D. Metode Penelitian
Motode penelitian yang dipergunakan adalah survey,
sebagaimana pendapat Ary, Yakubs dan Razavich yang
menyatakan bahwa metode survey dirancang untuk
memperoleh informasi tentang status gejala pada saat
penelitian dilakukan dengan tujuan melukiskan variabel atau
kondisi apa yang ada dalam suatu situasi, untuk menguji
hipotesis serta untuk menguji ada tidaknya hubungan dan
atau pengaruh satu variabel terhadap variabel yang lain.18
E. Variabel Penelitian
Penelitian ini terdiri atas satu variabel bebas
pemahaman keagamaan (X) dan satu variabel terikat
eksklusifisme beragama (Y). Variabel bebas (X) dalam
penelitian ini adalah Pemahaman Keagamaan meliputi: (1)
keyakinan keagamaan, (2) praktek ritual keagamaan, (3)
pengalaman sosial-keagamaan, dan (4) konsekuensi hidup
keagamaan, sedangkan Variabel terikat (Y) dalam penelitian ini
adalah eksklusifisme beragama dalam aspek (1) teologi sosial,
(2) sosial keagamaan, dan (3) sosial politik keagamaan.
18
Donald Ary, L, Ch, Yacobs and Asghar Razavich, Introduction to Research in
Education (2nd), (Sydney:Halt Rinehalt and Winston, 1979, p:382.
31
Bab III. Metodologi Penelitian
F. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat
Indonesia yang terdapat di berbagai komunitas agama di
Indonesia yakni mereka yang saat survei dilakukan menetap
di tanah air, dan berstatus pemuka agama. Pemuka dalam
survei ini adalah “setiap individu yang dalam aktivitas
kesehariannya berperan spesifik dan dominan untuk pembangunan
dan pengembangan umat ber-agama”. Peran dan fungsi dimaksud
dapat diaktualisasikan dalam bingkai organisasi formal
keagamaan sebagaimana terdapat dalam tabel III.1 di bawah.
Selain itu, survei juga memperhatikan signifikansi
responden dalam hal representasi agama yang dianut dengan
variasi karakteristik strata sosialnya. Asas proporsionalitas
sebaran sampel mendapat perhatian. Sebaran sampel menurut
representasi agama juga dapat dilihat pada tabel yang sama.
Tabel III.1 : Matriks Komunitas/Organisasi/Lembaga
Target Survei
No
1
Organisasi/
Lembaga
Lembaga
pendidikan
FORMAL
Stratum
Nama Lembaga
Keterangan
1. JENJANG (SD-PT)
2. JENIS pendidikan
(Umum-Agama )
Sekolah berbasis
keagamaan,
pesantren, Perguruan
Tinggi Islam, Katolik,
Kristen Hindu Budha dan
Khonghucu
Lembaga kursus,
pelatihan, pendidikan,
penelitian, pengkajian
dan pengembangan
(contoh MUI, Lakpesdam,
PPIM)
Anggota,
pengurus,
fungsionari
s sesuai
jenjang
berbasis
keagamaan
2
Lembaga
pendidikan
INFORMAL
dan
penelitianpengem-
32
1. Pendidikan
bersertifikat
2. Pelatihanketrampilan
3. Penelitianpengkajian
Anggota,
pengurus,
fungsionari
s dan lain
sebagainya
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
3
bangan
berbasis
keagamaan
Organisasi
SOSIALEKONOMIKEAGAMAAN
4
Asosiasi
SOSIAL-
4. Pengembangan
1. SOSIAL- EKONOMI
2. IBADAH
3. KESEHATAN
4. BUDAYA
5. KEMUNUSIAAN
1. Partai politik
2. Underbow politik
(NU, Muhammadiyah, Mathlaul
Anwar, PERSIS, Nahdhatul Wathan, al-Irsyad,
al-Khairat, LDII, P.HI,
FUI,
KATOLIK (KWI); KRISTEN
Mainstream PGI, PGII,
PGPI, Aliran Kristen –
Gereja Gabungan Baptis
Indonesia, Advent,
Kesaksian Jehova, Gereja
Orang Suci Akhir Zaman,
Bala Keselamatan, Kristen
Ortodoks; HINDU seperti
PHDI, BUDHA (Walubi),
KHONGHUCU
(MATAKIN)
PKS, PBB, PBR, PDS
Anggota,
pengurus,
fungsionari
s dan lain
sebagainya
Pengacara Syariah, Tim
Pembela Muslim, Ikatan
Guru Agama,
Perhimpunan Khatib,
Penceramah-Evangelis,
Ikatan Da’i Indonesia,
asosiasi pendeta,
pedande, bikhku, Serikat
Pekerja Islam Indonesia)
Anggota,
pengurus,
fungsionari
s dan lain
sebagainya
ISLAM
POLITIK
5
berbasis
keagamaan
Asosiasi
PROFESI
berbasis
keagamaan
1. Layanan hukum
2. Layanan
kesehatan
3. Layanan
kemasyarakatan
4. Layanan
ekonomi
5. Laynanan
pendidikan
Anggota,
pengurus,
fungsionari
s
b. Teknik sampling dan jumlah responden penelitian
Sampel dalam survei ini ditarik secara multistage random
sampling dengan menggunakan beberapa prinsip berikut:
33
Bab III. Metodologi Penelitian
1) Asas adil. Responden diseleksi dengan prosedur random
agar setiap unsur-kategori populasi di setiap basis
komunitas seleksi memiliki peluang yang sama untuk
terpilih sebagai responden. Prosedur randomisasi
diterapkan pada seleksi sampel di level komunitas agama,
dan anggota organisasi atau lembaga, untuk menjadi
responden.
2) Asas konsistensi. Petugas lapangan survei ini menerapkan
segala prosedur yang telah ditetapkan dalam Buku Panduan
secara konsisten. Setiap perubahan prosedur penarikan
sampel, dan perubahan strategis-teknis lainnya harus
terlebih dahulu mendapat persetujuan koordinator survei.
3) Asas kejelasan. Informasi lengkap untuk setiap komunitas
dan anggota komunitas populasi diberikan perhatian.
Namun demikian, batas informasi responden yang terpilih
dalam survei ini sulit diketahui. Selama ini, dokumen
akurat yang mencatat data populasi secara lengkap dan
detail masih sangat langka, dan akibatnya sulit
didapatkan. Bahkan ada kecenderungan data seperti itu
tidak ada. Untuk mengatasi kesulitan ini, sampling frame
(bingkai penarikan sampel) dimaksimalisasi berdasarkan
data-informasi yang disediakan oleh lembaga formal
agama atau lembaga yang bernaung di bawah manajemen
agama tertentu, seperti Kantor Kementerian Agama, atau
organisasi sosial-keagamaan.
Selanjutnya dengan berpedoman kepada prinsip di atas,
pengambilan sampel di lapangan mengikuti langkah-langkah
berikut ini:
34
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
a. Proses Penentuan Kabupaten-Kota
1) Unit satuan primer referensi penarikan sampel adalah
komunitas/kelompok agama. Sampel diseleksi secara
random berjenjang. Prosedur random sampling sudah
mulai diterapkan saat penyeleksian komunitas/
kelompok agama dan responden. Prinsip randomisasi
responden betul-betul diterapkan, di mana tenaga
lapangan tidak boleh mengubah prinsip metodologis ini.
2) Bingkai penarikan sampel di setiap jenjang harus
mendaftar dan memuat selengkap mungkin seluruh
informasi yang terkait dengan nama komunitas/
kelompok agama dan responden.
3) Jika unit satuan komunitas/kelompok berbasis keagamaan tidak ditemukan, sampel diseleksi berbasis individu
(tidak terikat oleh bingkai organisasi/kelompok agama);
orang per orang tanpa ikatan organisasi tertentu, tetapi
setiap peneliti diharuskan memperhatikan semua kriteria
responden menurut sub-stratum yang telah ditetapkan
koordinator penelitian. Umpama, jika data asosiasi
hakim, pengacara, atau dokter berbasis agama tidak
ditemukan, maka sampel pengacara, hakim dan dokter
dapat diseleksi dengan merujuk pada lembaga tempat
mereka bekerja, bukan dari basis organisasi profesi yang
memayungi mereka. Dalam hal ini, hakim dirujuk ke
pengadilan, dokter dirujuk ke rumah sakit berbasis
agama tempat mereka bekerja (seperti rumah Sakit
Islam, Katolik, Kristen dan Hindu), dan pengacara
dirujuk ke wadah asosiasi hukum yang memayungi
keberadaan mereka secara organisatoris.
35
Bab III. Metodologi Penelitian
4) Respresentasi setiap unsur dari sub-stratum dan kriteria
di atas benar-benar diperhatikan, dan menjadi ketentuan
dasar untuk prosedur penarikan sampel. Setiap unsur
dimaksud dengan segala detailnya betul-betul terwakili
dengan berbasiskan asas proporsionalitas sebaran
komunitas populasi penelitian.
5) Selengkapnya teknik penentuan responden penelitian
sebagaimana diagram berikut ini.
Diagram Skema Alur Penarikan Sampel
Nasional
Provinsi 1
Provinsi 2
Provinsi 3
Provinsi …
Provinsi 10
Kab-Kota 1
Kab-Kota 2
Kab-Kota 3
Kab-Kota 4
Kab-Kota 30
Cluster 1
Cluster 2
Cluster 3
Cluster 4
Cluster 70
Responden 1
Responden 2
Responden 3
Responden 4
Responden
700
..
Keterangan:
Alur dan tahapan proses penarikan sampel survei seperti
disajikan pada Diagram di atas adalah sebagai berikut.
36
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
a) Pertama, dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, 10
provinsi diseleksi secara purposif dengan pertimbangan
proporsionalitas distribusi dan konsentrasi umat beragama
menurut provinsi.
b) Di setiap provinsi, dipilih 2-3 kabupaten-kota untuk
provinsi di luar pulau Jawa dan 3-4 kabupaten-kota untuk
provinsi di Jawa, secara purposif, dengan rasio seimbang,
walaupun dengan prioritas kota provinsi dan kota yang
berpenduduk plural secara agama. Prioritas ini didasarkan
pada fakta bahwa konsentrasi komunitas/kelompok umat
beragama menurut organisasi sosial-politik-agama
umumnya lebih banyak terkonsentrasi di wilayah
perkotaan. Jumlah kabupaten-kota yang diseleksi di setiap
provinsi disesuaikan dengan proporsi distribusi agama dan
konsentrasi komunitas.
c) Di setiap kabupaten-kota per provinsi diseleksi sejumlah
komunitas organisasi/kelompok pemuka agama di bawah
naungan manajemen (struktural-non struktural) organisasiasosiasi. Jumlah komunitas organisasi/kelompok pemuka
agama diseleksi secara random dan proporsional menurut
kabupaten-kota, provinsi, agama serta kriteria organisasi/
kelompok. Jika di sejumlah daerah tidak ditemukan unit
satuan komunitas/organisasi pemuka agama, seleksi
komunitas pemuka agama didasarkan pada fakta batas
ketersediaan data organisasi/kelompok pemuka dimaksud.
d) Di setiap kabupaten-kota diseleksi 8-12 komunitas pemuka
agama. Setiap komunitas organisasi/kelompok pemeluk
agama yang terpilih harus memenuhi strata-kriteria
responden.
37
Bab III. Metodologi Penelitian
e) Di setiap komunitas organisasi/kelompok pemuka agama,
dipilih 2-3 orang responden, yang berstatus pengurus
komunitas organisasi/kelompok pemuka agama, dan atau
fungsionaris. Dari setiap komunitas organisasi /kelompok
pemuka agama yang terpilih sebagai responden penelitian,
responden tersebut tidak boleh; pertama, tumpang tindih
fungsi-status jabatannya, Artinya, fungsi dan jabatan
seseorang pemuka bisa berstatus berganda, seperti sebagai
pengurus, fungsionaris, bahkan untuk fungsi dalam profesi
yang beragam, seperti sebagai guru, penceramah, dan lain
sebagainya. Kedua, jika seorang pemuka agama terdaftar di
dua tempat komunitas, keberadaannya hanya akan diakui
di satu komunitas. Artinya, seorang pemuka agama tidak
boleh terpilih 2 kali sebagai responden.
b. Prosedur Penentuan Komunitas Organisasi/Kelompok
Pemuka Agama
1) Mendapatkan informasi tentang jumlah dan namanama komunitas organisasi/ kelompok pemuka agama
di kabupaten-kota terpilih. Data tentang komunitas
pemuka agama ini umumnya (tetapi tidak selalu)
tersedia di Kantor Wilayah Kementerian Agama dan
atau di lembaga sosial-keagamaan.
2) Menyalin seluruh nama dan alamat lengkap
organisasi/kelompok komunitas pemuka agama
tersebut di Lembar Daftar Organisasi/lembaga
Komunitas Pemuka Agama.
3) Memilih secara acak komunitas organisasi/kelompok
pemuka agama di kabupaten-kota terpilih.
38
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
4) Dengan cara ini ditemukan komunitas organisasi/
kelompok pemuka agama yang akan dikunjungi untuk
penyeleksian calon responden.
c. Prosedur Penentuan Responden Pemuka Agama
1. Penentuan responden dari komunitas pemuka agama
yang terpilih dilakukan secara random sederhana, yaitu
dengan cara pengundian.
2. Langkah yang dilakukan peneliti adalah mendaftar
seluruh anggota komunitas pemuka agama yang
terpilih menurut masing-masing organisasi/kelompok
pemuka agama. Dari daftar nama-nama anggota
komunitas pemuka agama menurut kriteria di atas,
melalui pengundian, akan diseleksi 2-3 responden, atau
sesuai kebutuhan.
3. Jika jumlah anggota komunitas pemuka agama terlalu
sedikit, maka peneliti dengan persetujuan Kordinator,
menambah jumlah komunitas organisasi/kelompok
pemuka agama yang dipilih. Jumlah anggota
komunitas organisasi/kelompok yang akan diundi
tidak boleh kurang dari 10 orang, untuk kemudian
diseleksi 2 orang untuk setiap organisasi. Artinya, dari
setiap 5 orang anggota komunitas organisasi/
kelompok, dapat diseleksi 1 orang responden.
4. Memperhatikan representasi responden perempuan
dalam seleksi responden. Hal ini penting, karena
mayoritas pemuka agama yang terdaftar dalam sebuah
komunitas organisasi/kelompok/asosiasi umumnya
hanya laki-laki. Akibatnya, penyusunan bingkai
39
Bab III. Metodologi Penelitian
penarikan sampel harus memastikan kemungkinan
keanggotaan pemuka agama perempuan dalam
komunitas organisasi/kelompok dimaksud.
Jumlah responden 700 orang dengan standar sampling
error 4.7 % dan over-sample untuk responden non
muslim. Rincian sebaran sampel menurut provinsi dan
agama disajikan pada tabel III.2 berikut.
Tabel III.2: Sebaran responden menurut Provinsi dan
Agama
Jumlah
Sampel
5
2
55
2
4
4
90
10
2
4
5
90
9
8
2
4
4
85
60
7
10
2
4
2
85
15
3
4
31
5
2
60
36
4
4
6
3
2
55
15
25
14
2
2
2
60
Provinsi
Islam
Katolik
Kristen
1
Lampung
36
4
4
4
2
DKI Jakarta
60
10
10
3
Jawa Barat
60
9
4
Jawa Tengah
58
5
Jawa Timur
6
Bali
7
8
40
Khong
hucu
No
Nusa Tenggara
Barat
Nusa Tenggara
Timur
Hindu Budha
9
Kalimantan Barat
15
5
8
2
15
20
65
10
Sulawesi Tengah
35
4
8
2
4
2
55
Jumlah Sampel Real
390
80
80
55
50
45
700
Sampel Normatif
390
±16
±29
±11
±4
±3
453
Over Sample Size
0
64
51
44
46
42
147
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
G. Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua instrumen penelitian.
Pertama berupa kuesioner yang bertujuan mendapatkan data
tentang pemahaman keagamaan dan eksklusivitas beragama
yang disebar kepada 700 orang pemuka agama di enam
agama dari sepuluh provinsi yang dipilih secara purposif,
kedua pedoman wawancara yang bertujuan menggali lebih
dalam (indepth interview) pandangan pemuka agama terhadap
agamanya dan eksklusifisme.
1) Kuesioner
Kuesioner disusun dengan merujuk kepada kisi-kisi
sebagaimana terdapat dalam tabel 3.3, dan tabel 3.4
berikut ini.
1. Tabel III.3: Kisi-Kisi instrumen Pemahaman Keagamaan
(X)
No
1
Dimensi
Keyakinan
keagamaan
2
Praktek
Ritual
Keagamaan
3
Pengalaman
SosialKeagamaan
Indikator
a. Dasar-Dasar keyakinan Agama.
b. Keyakinan akan pencipta dan
pengatur alam semesta.
c. Keyakinan akan keselamatan dunia
dan akhirat
a. Kitab suci sebagai rujukan,
b. Pelaksanaan perintah ajaran
agama,
c. Frekuensi berdo’a, serta menutup
kesala han dengan kebaikan
Agama aktivitas sosial yang
menganjurkan umatnya:
a. Membantu sesama,
b. Berderma, berbuat baik dengan
sesama,
No Butir
1 s/d 7
8 s/d 13
14 s/d 18
41
Bab III. Metodologi Penelitian
c.
4
Konsekuensi
Hidup
Keagamaan
Cara berinteraksi / berhubungan
baik dengan seagama maupun
yang berbeda
Konsekuensi dari keyakinan Agama
dalam melaksanaan perintah Tuhan:
a.
Membangun semangat
persaudaraan,
b.
Kegiatan peningkatan keimanan,
c.
Aktivitas perenungan diri
19 s/d 27
2. Tabel III.4. Kisi-Kisi Intrumen eksklusifisme beragama (Y)
Dimensi
1
2
3
SosialPolitik
Keagamaan
TeologiSosial
Keagamaan
Sosial
Keagamaan
Indikator
Keyakinan bahwa jalan keselamatan
hanya ada dalam agamanya. Karena itu
dalam kegiatan apapun hanya bagi
umat yang seiman
No Butir
1 s/d 20
Keyakinan dan cara beragama dalam
konteks sosial
21 s/d 28
Kegiatan-kegiatan keagamaan dalam
aktivitas sosial
29 s/d 38
2) Pedoman wawancara mendalam
Penelitian ini selain bertujuan mendapatkan data
kuantitatif juga ingin mendapatkan data kualitatif.
Sebagaimana dinyatakan di atas variabel penelitian ini adalah
pemahaman keagamaan, dan eksklusifisme beragama. Untuk
mendapatkan pemaknaan yang mendalam terhadap kedua
variabel di atas, dilakukan wawancara mendalam terhadap
narasumber terpilih di setiap daerah. Jumlah narasumber
wawancara mendalam per provinsi, berkisar 9-12 orang.
42
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
Fokus wawancara mendalam berkenaan dengan isu-isu
tematik yang menjadi materi paham keagamaan dan dampak
eksklusifisme beragama pada kehidupan keagamaan.
Pemahaman Keagamaan. Mencakup wawancara tentang
keyakinan
keagamaan,
aktivitas
ritual
keagamaan,
pengalaman hidup sosial-keagamaan dan konsekuensi hidup
beragama. Secara teknis, Pemahaman Keagamaan diringkas
menjadi Keberagamaan
Eksklusifisme beragama. Fokusnya adalah dimensi teologissosial keagamaan, sosial-keagamaan dan sosial-politik
keagamaan. Narasumber diminta untuk mengungkapkan
sikap dan pendirian keagamaannya secara detail dan spesifik
tentang eksklusifisme beragama terutama tentang:
1) Dimensi
berikut.
teologis-sosial
keagamaan
mencakup
butir-butir
a) Keyakinan tentang eksklusifisme suteriologi (jalan
kesalamatan) untuk misi keadilan dan keberkahan
hidup dunia dan akhirat;
b) Eksklusifisme mengenai liturgi (cara berdoa/
beribadah, kekuatan doa, dan kebermaknaan doa bagi
umat beragama);
c) Kesesatan orang-orang (minoritas) yang tidak
sealiran/sepaham dengan paham mayoritas di internal
setiap agama;
d) Kesesatan orang-orang yang tidak seagama serta sikap
terhadap ancaman dari umat yang berbeda agama
terhadap agama narasumber;
43
Bab III. Metodologi Penelitian
e) Sikap terhadap pembangunan tempat ibadat baru dari
agama lain;
f) Sikap terhadap keberadaan tempat ibadat agama lain
di sekitar tempat tinggal narasumber;
g) Perlakuan terhadap tempat ibadat narasumber oleh
pemeluk agama lain (memasuki tempat ibadat,
kehadiran umat berbeda agama di acara keagamaan
yang diadakan sendiri);
h) Sikap terhadap misi pengembangan agama lain
(aktivitas misionaris, dan keberadaan misionaris);
i)
Sikap terhadap aktivitas ritual umum agama lain
(seperti tahlilan, misa di rumah atau di luar tempat
ibadat, pengajian, kebaktian) di sekitar tempat tinggal
narasumber;
j)
Pembubaran aktivitas ritual-teologis sosial agama lain;
2) Dimensi sosial-keagamaan mencakup butir-butir berikut.
a) Menghadiri perayaan
dilakukan agama lain;
kegiatan
keagamaan
yang
b) Mengundang umat berbeda agama dalam kegiatan/
acara
sosial-keagamaan
yang
diadakan
oleh
narasumber atau masyarakat yang berbeda agama;
c) Kehadiran umat berbeda agama di lingkungan tempat
tinggal sendiri dan ikut berbelasungkawa pada umat
berbeda agama yang tertimpa musibah;
d) Sikap terhadap aplikasi ajaran agama pada isu-isu
interaksi sosial (seperti pernikahan beda agama, dan
44
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
keterlibatan dalam kegiatan sosial lintas agama untuk
misi kemanusiaan);
e) Aktivitas membendung atau menentang kehadiran
umat berbeda agama tinggal di sekitar tempat tinggal
narasumber;
f) Interaksi sosial dengan umat yang berbeda agama
(bertegur sapa, berbagi makanan, saling membantumeminjamkan perabotan rumah tangga lintas umat
beragama;
g) Kerjasama budaya-ekonomi lintas agama.
3) Dimensi sosial-politik keagamaan
a) Sikap terhadap pemilihan pemimpin (dari unit
pemerintahan terrendah sampai level paling tinggi);
b) Sikap terhadap kepemimpinan tokoh berbeda agama
(untuk setiap level pemerintahan) dalam kehidupan
sehari-hari;
c) Sikap terhadap penggalangan dana untuk membantu
kegiatan agama lain untuk penanganan kasus musibah
yang menimpa umat agama lain;
d) Sikap terhadap isu kemunculan dan perkembangan
paham atau aliran minoritas di internal agama;
e) Sikap
terhadap
penanganan isu
beragama;
kebijakan
radikalisme
publik
mengenai
dan eksklusifisme
45
Bab III. Metodologi Penelitian
f) Eksklusifisme jalan keselamatan, kedamaian dan
kesejateraan, yaitu hanya ada dalam ajaran agama
pribadi narasumber.
4) Dimensi Umum Eksklusifisme Beragama
a) Penanganan pemerintah pada isu-isu yang berbasis
kekerasan terhadap pemahaman agama dari kelompok
mayoritas terhadap minoritas;
b) Penanganan pemerintah pada isu-isu yang berbasis
kekerasan terhadap agama lain seperti pengrusakan
tempat ibadat, dan larangan pendirian tempat ibadat;
c) Sikap terhadap responsi dan kebijakan pemerintah
dalam
menanggapi
dan
menangani
isu-isu
eksklusifisme beragama, dan hak kebebasan beragama;
d) Sikap (rasa terganggu) terhadap kemunculan
pemahaman aliran agama dari kelompok minoritas
yang seagama;
e) Sikap (rasa terganggu) terhadap aktivitas (kekerasan)
kelompok mayoritas pada kelompok minoritas seperti
terhadap kelompok Ahmadiyah dan paham
keagamaan minoritas lainnya.
f) Otoritas lembaga atau Majelis-majelis agama untuk
mengontrol tafsir (standarisasi) pemahanan ajaran
agama di setiap agama;
g) Otoritas lembaga atau Majelis-majelis agama untuk
menilai kesesatan tafsir (standarisasi) pemahanan
ajaran agama dari kelompok tertentu.
46
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
H. Teknik Analisis Data
Data penelitian ini dianalisis menggunakan analisis
statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial. Analisis
statistik deskriptif dilakukan dengan mendeskripsikan semua
data dari semua variabel dalam bentuk frekwensi dan
prosentase. Statistik inferensial yang digunakan adalah regresi
dan korelasi sederhana dan ganda, serta uji beda. Dengan
statistik regresi dan korelasi akan diketahui bentuk hubungan,
sekaligus sumbangan variabel-variabel bebas pemahaman
keagamaan (X), terhadap eksklusifisme beragama (Y) para
tokoh dari 6 agama yang diakui di Indonesia. Sedangkan uji
beda, untuk mengetahui perbedaan pemahaman agama para
tokoh agama terhadap eksklusifisme beragama (Y).
I. Hipotesis Statistik
Pengajuan Statistik menggunakan hipotesis sebagai
berikut:
a. Ho : ρxy = 0
H1 : ρxy > 0
b. Ho : µ1 = µ2 = µ3 = µ4 = µ5 = µ6
H1 : µ1 ≠ µ2 ≠ µ3 ≠ µ4 ≠ µ5 ≠ µ6
47
Bab III. Metodologi Penelitian
48
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
BAB IV
ANALISIS DATA HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Arah Penelitian
T
erdapat dua permasalahan yang ingin ditemukan
jawabannya dalam penelitian ini yaitu; (1) ingin
mengetahui seberapa mendalam atau seberapa kuat
pemahaman keagamaan para tokoh agama Indonesia, dan (2)
bagaimana cara para tokoh memahami agamanya, eksklusif,
ataukah inklusif dan pluralis. Dari dua pertanyaan besar
tersebut selanjutnya dijabarkan menjadi sembilan pertanyaan
penelitian. Dari sembilan pertanyaan penelitian dua
pertanyaan bersifat elaboratif dari tujuan penelitian pertama,
dan sisanya tujuh pertanyaan untuk menjawab permasalahan
kedua.
Untuk
mendapatkan
jawaban
terhadap
dua
permasalahan penelitian di atas, dikumpulkan data dengan
menggunakan kuesioner tentang (1) pemahaman keagamaan,
dan (2) eksklusifisme beragama. Kuesioner tentang
pemahaman keagamaan terdiri dari 27 butir, terbagi dalam
empat kelompok yang menjadi indikatornya, yakni (1)
keyakinan terhadap agama, (2) praktek ritual keagamaan, (3)
pengalaman sosial keagamaan, dan (4) konsekuensi hidup
beragama. Sedangkan kuesioner kedua tentang eksklusifisme
beragama terdiri dari 38 butir, terbagai dalam tiga kelompok
yang merupakan indikatornya, yaitu keberagamaan dalam
kaitan (1) teologi keagamaan, (2) sosial keagamaan, dan (3)
sosial politik keagamaan.
49
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
Sebagaimana telah disinggung, hasil kajian teori
mengindikasikan bahwa pemahaman keagamaan dan
eksklusifisme seseorang terhadap agamanya, dipengaruhi
oleh banyak faktor (variabel), seperti; (1) faktor demografis,
(2) sosial ekonomi, (3) interaksi sosial, (4) suku, (5) jenjang
pendidikan dan sebagainya. Pengaruh faktor-faktor di atas
diperhatikan dan dikaji.
Namun sebelum tujuan penelitian dan pertanyaan
penelitian dijawab, terlebih dahulu akan dideskripsikan profil
responden penelitian. Ada 10 profil responden yang akan
disajikan dalam penelitian ini yaitu:
1)
2)
3)
4)
Provinsi responden penelitian,
Status kependudukan,
Jenis kelamin,
Agama dan waktu memeluk agama, serta agama keluarga
terdekat,
5) Jarak tempat tinggal dengan rumah ibadah sendiri dan
rumah ibadah agama lain, serta lingkungan agama dekat
tempat tinggal,
6) Jenjang pendidikan,
7) Usia,
8) Jenis pekerjaan,
9) Status pernikahan,
10) Organisasi, status kepengurusan, fungsi dan jumlah massa
organisasi di mana responden berasal,
Selengkapnya profil responden berdasarkan sepuluh aspek di
atas dapat dilihat dalam tabel IV.1 sampai dengan tabel IV.14,
berikut ini.
50
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
B. Profil Responden
1. Responden berdasarkan Provinsi
TABEL IV. 1. RESPONDEN BERDASARKAN PROVINSI
No
Provinsi Responden
Frekuensi
Prosentase
1.
Lampung
56
8.1
2.
DKI Jakarta
90
13.0
3.
Jawa Barat
90
13.0
4.
Jawa Tengah
85
12.3
5.
Jawa Timur
85
12.3
6.
Bali
56
8.1
7.
Nusa Tenggara Barat
55
8.0
8.
Nusa Tenggara Timur
60
8.7
9.
Kalimantan Barat
65
9.4
10. Sulawesi Tengah
49
7.1
691
100.0
Total
Dari tabel IV.1, di atas diketahui bahwa responden
penelitian berasal dari 10 provinsi. Hal ini telah sesuai dengan
rencana sebagaimana terdapat dalam Bab III, tentang
metodologi penelitian. Dari 700 kuesioner yang diberikan
kepada 700 responden penelitian, setelah dilakukan editing
terhadap data yang masuk, ternyata yang dapat dilakukan
analisis lebih lanjut hanyalah 691. Jumlah ini sesuai dengan
rencana semula, dan dengan jumlah sampel sebesar ini maka
terdapat over-sample untuk responden non muslim. Secara
keseluruhan sampling error sebesar 4.7%. Responden penelitian
51
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
mewakili (diambil) dari 33 kabupaten / kota dan 99 kecamatan
yang ada di Indonedia.
2. Responden berdasarkan status kependudukan
TABEL IV. 2. RESPONDEN BERDASARKAN STATUS
KEPENDUDUKAN
Status Kependudukan
Responden
No
Frekuensi
Prosentase
1
Pendatang
376
54.4
2
Penduduk Asli
315
45.6
691
100
Total
Berdasarkan data sebagaimana tabel 4.2, di atas
diketahui bahwa dari 691 responden penelitian yang tersebar
di 33 kabupaten-kota dan 99 kecamatan, penduduk asli hanya
45.6%, sedangkan sisanya sebesar 54.4% adalah pendatang.
Ini mengindikasikan untuk menjadi seorang pemuka
agama tidak harus penduduk asli, tetapi pendatangpun jika
memiliki
kelebihan
(kompetensi)
dan
diterima
oleh
masyarakat asli dapat menjadi seorang pemuka di mana ia
berada. Data ini dapat menjadi suatu informasi yang baik bagi
persatuan dan kesatuan Indonesia, karena masyarakat
setempat dalam memilih pemuka (tokoh) tidak harus berasal
dari suku sendiri.
52
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
3. Responden berdasarkan jenis kelamin
TABEL IV.3. RESPONDEN BERDASARKAN JENIS
KELAMIN
No
Jenis Kelamin
Frekuensi
Prosentase
1.
Laki-Laki
527
76.3
2.
Perempuan
164
23.7
Total
691
100.0
Jika dilihat dari jenis kelamin responden penelitian, ternyata
mayoritas adalah laki-laki yakni sebesar 76,3%, sisanya
sebesar 23,7% perempuan. Tidak proporsionalnya responden
penelitian berdasarkan jenis kelamin, mengindikasikan bahwa
para pemuka (tokoh) agama dan tentunya juga tokoh
masyarakat pada umumnya masih didominasi oleh laki-laki.
Hal ini ternyata juga terjadi di tingkat nasional maupun
regional. Jika kita perhatikan, maka jumlah perempuan yang
menduduki jabatan publik saat ini masih didominasi oleh
laki-laki.
4. Responden berdasarkan kelompok usia
TABEL IV. 4. RESPONDEN BERDASARKAN KELOMPOK
USIA
No.
Kelompok Usia
f
%
1
≤ 30 tahun
157
0.22
2
31 –40 tahun
168
0.25
3
41 – 50 tahun
221
0.32
4
≥ 51 tahun
144
0.21
691
100
Jumlah
53
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
Berdasarkan kelompok usia, mayoritas responden
berusia antara 41 s/d 50 tahun, diikuti oleh usia antara 31 s/d
40 tahun. Data dalam tabel 4.4, di atas menginformasikan
bahwa usia seseorang untuk menjadi pemuka (tokoh)
semakin muda. Hal ini dapat dilihat dari tabel IV.4, di atas di
mana responden usia di bawah 30 tahun secara prosentase
lebih besar dibandingkan dengan responden usia di atas 51
tahun.
5. Responden berdasarkan agama
TABEL IV. 5. RESPONDEN BERDASARKAN AGAMA
No
Frekuensi
Prosentase
1.
Islam
Agama Responden
384
55.6
2.
Katolik
73
10.6
3.
Protestan
86
12.4
4.
Hindu
59
8.5
5.
Budha
47
6.8
6.
Konghucu
42
6.1
Total
691
100.0
Kuesioner yang disiapkan untuk menjaring data
sebanyak 700 ekssemplar atau untuk 700 orang responden.
Namun setelah dilakukan editing, dan tabulasi data ternyata
yang dapat dijadikan sebagai data mentah untuk dianalisis
hanya berjumlah 691 instrumen. Terdapat 9 instrumen yang
pengisiannya kurang lengkap (sempurna), dan instrument ini
tidak diikutkan dalam analisis data yang ssungguhnya.
Berdasarkan agama, responden terbesar adalah
beragama Islam sebanyak 384 orang atau 55.6%, dan
54
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
responden tersedikit adalah beragama Konghucu sebanyak 41
orang atau 6.1%. proporsionalitas responden berdasarkan
agama sesuai dengan rencana penelitian, yakni memperbesar
(over sample) bagi responden non Islam. Over sampel,
terutama bagi responden beragama Kristen dan Katolik. Hal
ini karena banyaknya denominasi terutama pada agama
Kristen. Agar keragaman responden khususnya bagi
responden beragama Kristen dan Katolik terpenuhi, maka
dilakukan penambahan jumlah sampel (over sample).
6. Responden berdasarkan waktu memeluk agama
TABEL IV. 6. WAKTU MEMELUK AGAMA
No
Waktu memeluk agama
Frekuensi
Prosentase
1.
Sejak Lahir
624
90.3
2.
Sejak Sekolah (SD_SLTA)
32
4.6
3.
Sejak Kuliah
22
3.2
4.
Sejak Menikah
13
1.9
691
100.0
Total
Infromasi yang menarik dari tabel IV.5, di atas, adalah
cukup besarnya responden yang agamanya ditentukan bukan
sejak lahir. Responden yang beragama ditentukan sejak lahir
(beragama sesuai dengan agama orang tua) sebesar 90,3%.
Sisanya sebesar 8,7%, baru menentukan agama (sesuai KTP)
setelah SD s/d ketika kuliah, atau ketika menikah. Ini
menginformasikan cukup besar prosentase masyarakat
Indonesia yang pada akhirnya berpindah agama.
Perpindahan agama ini terjadi tentunya dengan bermacam
sebab dan alasan.
55
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
7. Responden berdasarkan status pernikahan
Table IV. 7, di bawah menginformasikan bahwa
berdasarkan status pernikahan responden terdapat responden
yang belum menikah sebanyak 188 orang atau 27,2%. Selain
itu juga terdapat responden yang memang tidak menikah,
sebesar 9.4%. Responden yang tidak menikah ini adalah
responden yang memang mengabdikan dirinya bagi
masyarakatnya, seperti para Pastur, Suster, Bikhu dan
Bikhuni. Terdapat juga responden yang berstatus janda/duda.
Meskipun demikian mayoritas responden adalah mereka
yang menikah yakni sebesar 61.5%.
TABEL IV. 7. RESPONDEN BERDASARKAN STATUS
PERNIKAHAN
No
Frekuensi
Prosentase
1.
Belum Menikah
Status Pernikahan
188
27.2
2.
Tidak Menikah
65
9.4
3.
Menikah
425
61.5
4.
Bercerai Hidup_Meninggal
13
1.9
691
100.0
Total
8.
Responden berdasarkan organisasi
Terdapat lima kelompok (jenis) lembaga (organisasi)
responden dalam penelitian ini, yakni; (a) lembaga
pendidikan formal keagamaan dengan varian: Sekolah
berbasis keagamaan, pesantren, dan perguruan tinggi milik
Islam, Katolik, Kristen Hindu Buddha dan Khonghucu, (b)
lembaga pendidikan informal/penelitian dan pengembangan
dengan varian: lembaga kursus, pelatihan, pendidikan,
penelitian, pengkajian dan pengembangan, (c) organisasi
56
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
sosial ekonomi keagamaan, yang bergerak dalam bidang:
sosial-ekonomi, ibadah, kesehatan, budaya dan kemunusiaan,
(d) asosiasi politik berbasis keagamaan seperti: partai politik
dan underbow nya, serta (e) asosiasi profesi berbasis
keagamaan yang tergabung dalam: layanan hukum, layanan
kesehatan, layanan kemasyarakatan, layanan ekonomi, dan
layanan pendidikan.
TABEL IV. 8. RESPONDEN BERDASARKAN ORGANISASI
No
Frekuensi
Prosentase
1. Lembaga Pendidikan Formal Keagamaan
Organisasi
369
53.4
Lembaga Pendidikan informal / Penelitian /
2.
Pengembangan
122
17.7
3. Organisasi Sosial Ekonomi Keagamaan
130
18.8
4. Asosiasi Politik Berbasis Keagamaan
37
5.4
5. Asosiasi Profesi Berbasis Keagamaan
Total
33
4.8
691
100.0
Jumlah setiap responden berdasarkan organisasi adalah
sebagaimana terdapat dalam tabel IV. 8, di atas.
Komposisi responden penelitian berdasarkan organisasi
keagamaan di mana mereka bergabung dapat dilihat dalam
tabel IV. 8, di atas, dan dari tabel tersebut diketahui bahwa
mayoritas responden berasal dari lembaga pendidikan formal
keagamaan sebesar 53,4% atau berjumlah 369 orang. Diikuti
oleh responden yang berasal dari organisasi sosial keagamaan
yang berjumlah 130 orang atau 18,8%, dan sedikit di
bawahnya adalah responden yang berasal dari lembaga
pendidikan informal/penelitian dan atau pengembangan
57
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
sebesar 17.7% atau berjumlah 122 orang. Dua organisasi lain
tempat responden berasal adalah dari asosiasi politik berbasis
keagamaan dan asosiasi profesi berbasis keagamaan masingmasing sebesar 5,4% dan 4,8%, atau berjumlah 37 dan 33
orang. Komposisi asal responden sebagaimana terdapat tabel
di atas mendekati ketentuan sebagaimana rencana penelitian.
Besarnya jumlah responden penelitian yang berasal dari
organisasi lembaga pendidikan formal ini disebabkan
kelompok organisasi ini terdiri dari bermacam-macam unsur
seperti sekolah berbasis keagamaan, pesantren, mulai dari
jenjang pendidikan pra sekolah hingga perguruan tinggi, serta
mewakili keenam agama yang terdapat di Indonesia yakni
Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha dan Khonghucu
9. Responden berdasarkan jabatan dalam organisasi
Selanjutnya sebaran responden penelitian berdasarkan
jabatan dalam organisasi adalah sebagaimana terdapat dalam
tabel IV. 9 berikut ini:
TABEL IV. 9. RESPONDEN BERDASARKAN JABATAN
DALAM ORGANISASI
No
Frekuensi
Prosentase
1.
Ketua
Jabatan Responden dalam organisasi
278
40.2
2.
Wakil
240
34.7
3.
Kepala Bagian_Seksi
86
12.5
4.
Pengurus Biasa
87
12.6
691
100.0
Total
Dari tabel IV. 9, di atas diketahui responden penelitian
terdiri atas ketua, dan wakil ketua, serta pengurus bagian dan
58
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
pengurus biasa. Dari empat kelompok jabatan yang terdapat
dalam suatu organisasi sebanyak 518 orang atau 74,9%,
berkedudukan sebagai ketua atau wakil ketua organisasi,
sisanya sebesar 25,1% atau sebanyak 173 orang terdiri dari
para kepala bagian dan pengurus biasa.
Besarnya prosentase responden sebagai ketua dan wakil
ketua organisasi dengan pertimbangan bahwa dalam suatu
organisasi maka ketua atau wakil ketua adalah representasi
dari para anggotanya. Namun agar jawaban responden
penelitian benar-benar dapat dianggap sebagai representasi
dari pengurus suatu organisasi, maka data tidak hanya
diambil dari para ketua dan wakil ketua organisasi, namun
juga diambil dari para pengurus bagian dan para pengurus
biasa.
Dengan cara ini dapat diyakini bahwa responden
penelitian berdasarkan jabatan dalam suatu organisasi dapat
dianggap representatif sebagai pengurus organisasi di mana
para pemuka agama berasal.
10. Responden berdasarkan jumlah masa dalam komunitas
organisasi
TABEL IV. 10. RESPONDEN BERDASARKAN JUMLAH
MASA DALAM KOMUNITAS ORGANISASI
Jumlah Masa Organisasi
“orang”
No
1.
100 ≤
Frekuensi
Prosentase
191
27.6
2.
100 ≤ masa < 500
229
33.1
3.
500 ≤ masa < 1000
93
13.5
4.
1000 ≤ masa < 5000
47
6.8
5.
5000 ≤ masa < 10000
49
7.1
59
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
6.
10000 ≤ masa < 25000
73
10.6
7.
25000 ≤ masa < 50000
4
.6
> 50000
8.
Total
5
.7
691
100.0
Dari tabel IV.10, di atas diketahui terdapat delapan
kelompok organisasi atau terdapat delapan ukuran besarnya
organisasi yang dijadikan responden penelitian, yakni,
organisasi yang masanya lebih kecil dari 100 orang, untuk
ukuran yang terkecil dan organisasi dengan jumlah masa
lebih atau sama dengan 50.000 orang. Mayoritas responden
penelitian (pemuka agama) memimpin masa antara 500 orang
sampai dengan 1000 orang, sebanyak 229 orang atau 33,1%,
diikuti oleh pemuka agama yang memiliki masa antara 100
orang sampai 500 orang sebesar 27,6% atau sebanyak 191
orang. Responden penelitian dengan frekuensi terbesar
adalah yang memiliki masa antara 25.000 sampai mendekati
50.000 orang.
Selanjutnya
dari
lima
jenis
organisasi
di
mana
responden dapat berasal, organisasi mana saja yang menjadi
responden terbesar dan terkecil. Untuk menjawab pertanyaan
tersebut dapat dilihat dalam tabel IV. 11, yang berupa tabulasi
silang antara asal organisasi responden dengan jumlah masa
komunitas (jumlah umat).
60
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
TABEL IV. 11 TABULASI SILANG ASAL ORGANISASI
RESPONDEN DENGAN JUMLAH MASA DALAM
KOMUNITAS ORGANISASI
Asal Organisasi Responden
Masa Komunitas
(Jumlah Umat)
”orang”
100 ≤
Lembaga
Pendidikan
Formal
Keagamaan
Lembaga
Pendidikan
informal /
Penelitian /
Pengem
bangan
Organisasi
Sosial Eko
nomi Ke
agamaan
Asosiasi
Asosiasi
Politik Ber Profesi Ber
basis Ke
basis Ke
agamaan
agamaan
Total
120
24
36
8
7
195
100 ≤ masa <500
131
40
38
14
9
232
500 ≤ masa <1000
39
9
25
7
8
88
1000 ≤ masa < 5000
22
6
10
4
4
46
5000 ≤ masa <10000
25
17
4
1
1
48
10000 ≤ masa < 25000
42
26
2
1
2
73
25000 ≤ masa < 50000
1
0
1
1
1
4
3
0
2
0
0
5
383
122
118
36
32
691
> 50000
Jumlah
Tabel IV. 11. di atas menginformasikan bahwa
responden penelitian terbesar berasal dari organisasi lembaga
pendidikan formal keagamaan, seperti sekolah berbasis
keagamaan, mulai dari jenjang pra sekolah sampai perguruan
tinggi, dan ini harus mewakili enam agama yakni Islam,
Katolik, Kristen, Hindu, Buddha dan Khonghucu, yang
berjumlah 383 orang. Sedangkan untuk responden yang
berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan, yang
terbanyak dari organisasi dengan masa antara 100 orang
sampai mendekati 500 orang, sebanyak 131 orang. Responden
berdasarkan asal organisasi yang terkecil adalah yang berasal
dari organisasi asosiasi politik berbasis keagamaan dan
61
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
asosiasi profesi berbasis keagamaan yang masing-masing
berjumlah 36 dan 32 orang.
C. Jawaban terhadap Masalah Penelitian
1. Keberagamaan responden
Bagaimanakah Keberagamaan Responden Penelitian?
Untuk menjawab permasalahan penelitian tersebut, berikut
ini akan disajikan hasil analisis terhadap data skor
keberagamaan responden dari enam agama yang diteliti.
Terdapat empat indikator yang digunakan untuk
mengukur keberagamaan, yaitu (1) keyakinan terhadap
agama, (2) praktek ritual keagamaan, (3) pengalaman sosial
keagamaan, dan (4) konsekuensi hidup beragama.
a. Skor keyakinan keagamaan
Pengukuran keyakinan terhadap agama menggunakan
tujuh butir pernyataan yang berkaitan, dengan keyakinan
agama yakni:
a) Kitab suci sebagai pedoman/petunjuk bagi kehidupan,
b) Keyakinan bahwa manusia dalam hidupnya perlu
petunjuk Tuhan,
c) Keyakinan bahwa hidup di dunia hanyalah sementara,
d) Keyakinan bahwa manusia hanya berusaha,
sedangkan keputusan pada Tuhan,
e) Meyakini akan kekuatan do’a,
f) Hidup akan hampa (kehilangan arti) jika jauh dari
Tuhan, dan
g) Memulai setiap aktivitas dengan do’a.
62
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
Setiap butir pernyataan terdiri atas lima alternative jawaban;
(a) Sangat Setuju, (b) Setuju, (c) Agak Setuju, (d) Kurang
Setuju, dan (e) Sangat Tidak Setuju. Selanjutnya jawaban
responden terhadap setiap alternative pernyataan diberi skor
dan ditafsirkan sebagaimana terdapat dalam tabel IV. 12, dan
tabel IV. 13.
TABEL IV. 12. PEDOMAN PENSKORAN ALTERNATIF
JAWABAN, RENTANG SKOR DAN SEBUTAN/ARTI
INSTRUMEN VARIABLE “X” (KEBERAGAMAAN)
Skor
Alternatif Jawaban
Sangat Setuju “SS”
Setuju
“S”
Agak Setuju
“AS”
Kurang Setuju
“KS”
Tidak Setuju
“STS”
Rentang Skor
Sebutan / arti
“keberagamaan”
+
-
5
1
≥ 4.20
“Sangat Kuat”
4
2
3.40 ≤ s/d < 4.20
“Kuat”
3
3
2.40 ≤ s/d < 3.40
2
4
1.80 ≤ s/d < 2.60
“Kurang Kuat“
1
5
1.00 ≤ s/d < 1,80
“Tidak Kuat”
“Agak Kuat”
TABEL IV. 13. PEDOMAN PENSKORAN ALTERNATIF
JAWABAN, RENTANG SKOR DAN SEBUTAN/ARTI
INSTRUMEN VARIABLE “Y” (EKSKLUSIFISME BERAGAMA)
Alternatif
Jawaban
Sangat Setuju
“SS”
Setuju
“S”
+
Skor
-
Rentang Skor
5
1
≥ 4.20
4
2
3.40≤ s/d <4.20
Agak Setuju
“AS”
3
3
2.60≤ s/d <3.40
Kurang Setuju
2
4
1.80 ≤ s/d <2.60
Sebutan
Inklusif
Eksklusif
Sangat
Tidak
Eksklusif
Inklusif
Kurang
“Eksklusif”
Inklusif
Eksklusif
Inklusif dan
dan atau
atau
Inklusif
Eksklusif
Kurang
Inklusif
63
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
“KS”
Tidak Setuju
“STS”
1
5
1.00 ≤ s/d <1,80
Eksklusif
Sangat
Tidak
Eksklusif
Sangat
Inklusif
Selanjutnya pertanyaan yang ingin ditemukan
jawabannya adalah, bagaimana keberagamaan responden
penelitian berdasarkan agama yang dianut.
Hasil analisis data jawaban responden terhadap butirbutir pernyataan berkenaan dengan keberagamaan seluruh
responden berdasarkan keyakinan agama yang dianut dapat
dilihat dalam tabel IV. 13, berikut ini.
TABEL IV. 13. SKOR RESPONDEN TERHADAP
KEYAKINAN TERHADAP AGAMA
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Agama
Islam
Katolik
Protestan
Hindu
Budha
Konghucu
Rata-rata Total
Skor Rata-Rata (Mean) dan Standar Deviasi (S)
Butir-butir “Keyakinan terhadap agama”
Mean (M)
Standar Deviasi (S)
4.82
0.468
4.49
0.744
4.72
0.560
4.68
0.565
4.57
0.601
4.55
0.493
4.73
0.548
Berdasarkan tabel IV.12, di atas diketahui bahwa skor
rata-rata total keyakinan terhadap agama adalah 4.73. Ini
artinya keyakinan responden, yang dalam hal ini adalah para
pemuka agama terhadap agama yang mereka anut untuk
semua agama berada pada rentang “sangat kuat”. Jika dilihat
skor rata-rata untuk setiap agama, maka diketahui rata-rata
skor terbesar adalah untuk agama Islam, yakni sebesar 4.82,
64
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
dan terkecil adalah agama Katolik yakni 4.49. ini artinya di
antara di antara 6 agama, maka umat Islam adalah umat yang
paling kuat keyakinan terhadap agamanya dibandingkan
dengan umat-umat lain.
Jika dilihat dari harga standar deviasi (S) diketahui
bahwa skor standar deviasi umat agama Katolik adalah
terbesar,
yakni
0,744.
Skor
standar
deviasi
ini
mengindikasikan terdapat pola jawaban yang sangat beragam
(mulai dari tidak yakin hingga sangat yakin) di antara
responden yang beragama Katolik, terhadap butir-butir
pernyataan yang berkaitan dengan keyakinan agama.
Sebaliknya harga skor standar deviasi terkecil adalah
responden yang beragama Islam, yakni sebesar 0,468. Ini
berarti jawaban responden beragama Islam terhadap
kelompok butir yang mengukur keyakinan mereka terhadap
agama yang mereka anut adalah homogen, dan ini
mengindikasikan akan homogenitas keyakinan pemuka
agama Islam akan kebenaran agamanya.
Berdasarkan skor-skor sebagaimana yang terdapat
dalam tabel 4. 12, di atas diartikan bahwa responden yang
beragama Islam memiliki skor keyakinan terhadap agamanya
terbesar dan skor standar deviasi terkecil. Skor ini
mengindikasikan bahwa pemuka agama Islam sangat
meyakini bahwa:
1. Kitab suci mereka (al-Qur’an) sebagai pedoman dan
petunjuk dalam kehidupan keseharian,
2. Dalam
kehidupan
keseharian
mereka
sangat
membutuhkan pedoman/petunjuk agama (hidayah) Allah,
65
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
3. Tidak ada yang mustahil bagi Allah. Setiap manusia
hanya berusaha tetapi keputusan/ketetapan akan hasil
dari usahanya semata-mata oleh karena Allah,
4. Kekuatan do’a, dan hanya do’a lah yang dapat mengubah
takdir Allah, sehingga oleh karena itu setiap aktivitas
harus dimulai dan di akhiri dengan do’a.
5. Hidup akan hampa (akan kehilangan arti) jika jauh dari
Tuhan.
Tabel IV.13, di atas menunjukkan bahwa skor rata-rata
total adalah 4,73. Harga ini mengindikasikan secara
keseluruhan populasi penelitian (10 provinsi dan mewakili
semua agama) keyakinan responden terhadap agamanya
masuk dalam kategori “Sangat Yakin”.
Jika skor 4,73, untuk rata-rata skor responden penelitian
ditafsirkan menggambarkan masyarakat Indonesia, maka
secara mayoritas, masyarakat Indonesia adalah masyarakat
yang sangat meyakini agama mereka masing-masing.
Meskipun Indonesia bukan Negara agama, akan tetapi
masyarakatnya adalah masyarakat yang sangat meyakini
agamanya, sangat “religious”, menggunakan dan menjadikan
agama sedbagai pedoman beraktivitas dalam kehidupan
keseharian.
Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan tingkat
keyakinan terhadap agama antara responden berdasarkan
agama, atau apakah terdapat pengelompokkan tingkat
keyakinan terhadap agama antar responden, dapat dilakukan
melalui statistika analisis lain. Meskipun berdasarkan skor
yang terdapat dalam tabel IV.3. diperoleh gambaran bahwa
66
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
skor keyakinan umat beragama di Indonesia akan kebenaran
agamanya berbeda, namun guna lebih meyakini akan
perbedaan tersebut perlu dilakukan analisis uji perbedaan
dengan menggunakan statistika Analisis Varians. Hasilnya
dapat dilihat dalam tabel IV. 14, berikut ini.
TABEL IV. 14. ANOVA KEYAKINAN KEAGAMAAN
Sum of
Squares
df
Mean
Square
F
Sig.
Between Groups
502.764
5
100.553
7.147
.0001
Within Groups
9327.715
663
14.069
Total
9830.478
668
Tabel IV.14, di atas, menunjukkan bahwa harga Fhitung
sebesar 7,147, dan harga ini sangat signifikan (Sig. < 0,05). Ini
mengindikasikan terdapat perbedaan keyakinan keagamaan
atau terdapat pengelompokkan keyakinan keagamaan yang
signifikan di antara responden (pemuka agama) yang berbeda
agama.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagamana signifikansi
perbedaan antar agama yang berbeda?. Untuk menjawab itu
dilakukan pengujian lanjut dengan menggunakan uji Tukey,
hasilnya dapat dilihat dalam tabel IV. 15.
Berdasarkan tabel IV. 15, tentang uji Tukey, terdapat dua
kelompok keyakinan keagamaan. Kelompok pertama adalah,
responden yang beragama Katolik, Konghucu, Buddha dan
Hindu, berada dalam kelompok yang sama, yakni memiliki
tingkat keyakinan terhadap agama yang sama. Meskipun
secara skor berbeda akan tetapi secara statistika dianggap
67
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
sama. Selanjutnya kelompok kedua adalah responden dengan
agama; Hindu, Protestan dan Islam. Untuk kelompok
responden yang beragama Hindu terdapat hal yang menarik
untuk diperhatikan, karena ia dapat masuk ke dalam
kelompok pertama bersama-sama dengan Katolik, Konghucu,
dan Budha, juga dapat masuk ke dalam kelompk kedua yaitu
Protestan dan Islam. Selanjutnya, jika dibandingkan antara
skor rata-rata agama untuk setiap agama dengan skor ratarata total, ternyata skor rata-rata untuk responden beragama
Islam lebih besar dari skor rata-rata total (4,82 > 4.73).
Sedangkan skor rata-rata untuk responden beragama
lain (Katolik, Kristen. Hindu, Buddha dan Konghucu) lebih
kecil dibandingkan dengan skor rata-rata keyakinan
keagamaan populasi. Lihat Tabel IV.15 di bawah ini:
TABEL IV. 15. UJI TUKEY TENTANG KEYAKINAN
KEAGAMAAN
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Agama Responden
N
Katolik
Konghucu
Budha
Hindu
Protestan
Islam
73
42
47
58
85
364
Subset for alpha =0.05
1
2
4.49
4.55
4.57
4.67
4.67
4.72
4.72
4.82
b. Skor Praktek Ritual Keagamaan
Pengukuran praktek ritual keagamaan menggunakan
enam butir pernyataan yang berkaitan, dengan intensitas
melakukan berbagai ritual/keagamaan seperti:
68
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
a. Selalu menjadikan Kitab Suci sebagai pedoman/petunjuk
bagi kehidupan,
b. Selalu menjalankan/melaksanakan kewajiban / ibadat atau
perintah agama dalam kehidupan keseharian,
c. Frekuensi berdo’a (bermohon) kepada Tuhan,
d. Perasaan bersalah yang diikuti dengan tindakan
perbaikan jika melakukan perbuatan (melakukan
aktivitas) yang bertentangan dengan perintah Tuhan, serta
e. Frekuensi berdo’a ketika sendiri.
Hasil analisis data terhadap butir-butir pernyataan
berkenaan dengan praktek ritual keagamaan seluruh
responden berdasarkan agama yang dianut dapat dilihat
dalam tabel IV. 16, berikut ini.
TABEL IV.16. SKOR RESPONDEN TENTANG PRAKTEK
RITUAL KEAGAMAAN
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Agama
Islam
Katolik
Protestan
Hindu
Buddha
Konghucu
Total
Skor Rata-Rata (M) dan Standar Deviasi (S)
Butir-butir “Praktek Ritual Keagamaan”
Mean (M)
Standar Deviasi (S)
4.55
0.489
4.36
0.641
4.39
0.544
4.49
0.488
4.33
0.548
4.32
0.586
4.48
0.531
69
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
Berdasarkan data sebagaimana terdapat dalam tabel
IV.16, di atas diketahui bahwa skor rata-rata praktek ritual
keagamaan di antara 6 agama sebesar 4.48. skor ini berarti
secara keseluruhan praktek ritual keagamaan responden
penelitian berada pada rentang “sangat sering atau bahkan
“selalu” melaksanakan praktek ritual keagamaan. Jadi,
tidaklah mengherankan jika masjid, gereja, pura, vihara dan
klenteng selalu penuh dan ramai oleh para jemaahnya.
Jika dilihat skor rata-rata ritual keagamaan untuk setiap
agama, maka skor rata-rata terbesar adalah skor responden
yang beragama Islam yakni, 4,55 sedangkan skor rata-rata
terkecil adalah skor responden beragama Konghucu sebesar
4.32. ini berarti dibandingkan dengan umat agama lain, umat
Islam adalah yang dalam melaksanakan ritual keagamaannya
lebih intens dibandingkan dengan umat agama lain.
Sedangkan umat yang terendah instensitas pelaksanaan ritual
keagamaannya adalah umat Konghucu. Rendahnya frekuensi
umat Konghucu melaksanakan ritual keagamaannya, boleh
jadi karena memang rumah ibadat “klenteng” yang sangat
kurang jumlahnya, atau kalaupun ada jauh dari tempat
tinggal.
Jika dilihat dari harga standar deviasi (S) diketahui
bahwa skor standar deviasi agama Katolik adalah terbesar,
yakni 0,641. Skor standar deviasi ini mengindikasikan
terdapat pola jawaban yang sangat beragam (heterogen) antar
responden yang beragama Katolik, terhadap butir-butir
pernyataan yang berkaitan dengan praktek ritual keagamaan.
70
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
Sebaliknya harga skor standar deviasi terkecil adalah
responden yang beragama Islam, yakni 0,489. Ini berarti
jawaban responden beragama Islam terhadap kelompok butir
yang mengukur praktek ritual keagamaan, bersifat homogen.
Berdasarkan skor-skor sebagaimana yang terdapat
dalam tabel IV.15, di atas dapat dikatakan bahwa responden
yang beragama Islam memiliki skor praktek ritual keagamaan
terbesar dan skor standar deviasi terkecil. Skor ini
mengindikasikan bahwa umat Islam adalah umat yang dalam
kehidupan keseharian mereka selalu:
a. Menjadikan kitab suci sebagai pedoman hidup sesuai dengan
perintah/tuntutan agama (membaca/resitasi)
b. Menjalankan kewajiban atau perintah ajaran agama dalam
kehidupan sehari–hari (pelaksanaan ibadat)
c. Merenung/berdoa kepada tuhan,
d. Setiap kali selesai melakukan kesalahan, saya selalu menyesali
atau merasakan berdosa segala atas segala tindakan saya,
e. Merenungi kesalahan/dosa pada tuhan (melakukan pertobatan/
tazkiyah /muhasabah/retreatment),
f.
Berdoa sendiri sesuai tuntunan ajaran agama
Selanjutnya ingin diketahui, apakah terdapat perbedaan
praktek ritual keagamaan responden berdasarkan agama yang
dianut. Untuk itu dilakukan uji beda dengan menggunakan
uji F yang hasilnya sebagai terdapat dalam tabel ANOVA
IV.17, berikut:
71
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
TABEL IV.17. ANOVA PRAKTEK RITUAL KEAGAMAAN
Sum of Squares
df
Mean
Square
F
Sig.
Between Groups
197.256
5
39.451
3.969
.001
Within Groups
6590.388
663
9.940
Total
6787.644
668
Tabel IV.17. tentang uji ANOVA mengenai praktek
ritual keagamaan responden penelitian, menunjukkan bahwa
harga Fhitung sebesar 3,969, dan meskipun harga ini signifikan
(Sig. < 0,05), namun perbedaan yang ada tidak begitu berarti.
Hal ini diketahui setelah diadakan uji lanjut dengan uji Tukey,
sebagaimana yang terdapat dalam tabel 4. 18.
TABEL IV. 18. UJI TUKEY TENTANG PRAKTEK RITUAL
KEAGAMAAN
Agama responden
N
Subset for alpha = 0.05
Konghucu
42
25.90
Budha
47
25.98
Katolik
73
26.22
Protestan
85
26.36
Hindu
58
26.95
Islam
364
27.30
Tabel IV.18, tentang uji Tukey, membuktikan meskipun
secara skor rata-rata terdapat perbedaan namun secara
statistika perbedaan tersebut dapat dianggap tidak ada.
Dengan demikian apapun agama responden dalam
72
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
melaksanakan berbagai praktek ritual keagamaannya adalah
sama-sama aktif dan intensif.
c. Skor Pengalaman Sosial Keagamaan
Pertanyaan yang juga ingin ditemukan jawabannya
adalah tentang pengalaman social keagamaan para pemuka
agama. Untuk mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan di
atas, maka dilakukan pengumpulan data dengan cara
melakukan pengukuran berkenaan dengan pengalaman social
keagamaan. Pengukuran pengalaman sosial keagamaan
menggunakan lima butir pernyataan yang menggambarkan
serta berkaitan dengan agama dalam interaksi sosial
keseharian seperti:
a. Membantu orang lain tanpa melihat/memilih agama yang
dianut orang tersebut,
b. Meyakini bahwa menyerahkan sebagian penghasilan
kepentingan agama akan mendapat pahala,
demi
c. Meyakini bahwa kebaikan/keberkahan hidup seseorang sangat
ditentukan oleh kebaikannya kepada orang lain di dunia ini,
d. Meyakini bahwa dalam hidup sehari-hari tidak boleh menyakiti/
menghina/orang yang berbeda pemahaman keagamaan
(seagama,)
e. Meyakini bahwa umat beragama, dalam hidup sehari-hari tidak
boleh menyakiti / menghina umat yang berbeda agama.
Hasil analisis data terhadap butir-butir pernyataan
berkenaan dengan pengalaman sosial keagamaan para
pemuka agama yang terdapat di seluruh lokasi penelitian dan
di enam agama dapat dilihat dalam tabel IV.19, di bawah ini.
73
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
TABEL
IV.
19
SKOR
KEAGAMAAN RESPONDEN
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Agama
Islam
Katolik
Protestan
Hindu
Budha
Konghucu
Total
PENGALAMAN
SOSIAL
Skor Rata-Rata (M) dan Standar Deviasi (S)
“Pengalaman Sosial Keagamaan”
Mean (M)
Standar Deviasi (SD)
4.58
0.441
4.48
0.626
4.54
0.482
4.53
0.452
4.58
0.430
4.42
0.488
4.55
0.474
Berdasarkan tabel IV.19, di atas diketahui bahwa skor
rata-rata pengalaman sosial keagamaan para pemukan agama
untuk enam agama adalah 4,55. Skor ini berarti pengalaman
sosial keagamaan responden untuk semua agama adalah
“sangat kuat”. Selanjutnya jika dilihat skor rata-rata
pengalaman sosial keagamaan untuk setiap agama, maka skor
terbesar adalah skor responden yang beragama Islam dan
Budha yakni, 4,58 sedangkan skor rata-rata terkecil adalah
skor responden beragama Konghucu sebesar 4,42. ini berarti
umat Islam dan umat Budha, memiliki pengalaman sosial
keagamaan yang paling kuat, dibandingkan dengan umat
agama lain. Sedangkan umat agama Konghucu, adalah umat
yang memiliki pengalaman sosial keagamaan yang paling
kecil.
Jika dilihat dari harga standar deviasi (S) diketahui
bahwa skor standar deviasi agama Katolik adalah terbesar,
yakni 0,626. Skor standar deviasi ini mengindikasikan
74
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
terdapat pola jawaban yang sangat beragam antar responden
yang beragama Katolik, terhadap butir-butir pernyataan yang
berkaitan dengan pengalaman sosial keagamaan. Sebaliknya
harga skor standar deviasi terkecil adalah responden yang
beragama Budha, yakni 0,430. Ini berarti jawaban responden
beragama Budha terhadap kelompok butir yang mengukur
pengalaman sosial keagamaan, homogen.
Berdasarkan skor-skor sebagaimana yang terdapat
dalam tabel IV.18, di atas dapat dikatakan bahwa responden
yang beragama Islam dan Budha memiliki skor pengalaman
sosial keagamaan terbesar. Skor ini mengindikasikan bahwa
umat Islam dan umat Budha adalah umat yang dalam
aktivitas sosial atau pengalaman sosial keagamaan cenderung
paling kuat atau paling intens dalam:
a. Membantu orang lain tanpa melihat/memiih agama yang dianut
orang tersebut,
b. Menyerahkan sebagian penghasilan demi kepentingan agama,
c. Berbuat kebaikan kepada orang lain, karena keberkahan hidup
seseorang sangat ditentukan oleh kebaikannya kepada orang lain
di dunia ini
d. Meyakini bahwa dalam hidup sehari-hari tidak boleh menyakiti/
menghina/orang yang berbeda pemahaman keagamaan
(SEAGAMA)
e. Meyakini bahwa dalam hidup sehari-hari tidak boleh menyakiti /
menghina umat yang berbeda agama.
Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan pengalaman
sosial keagamaan antar responden berdasarkan agama, maka
75
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
dilakukan uji beda dengan menggunakan uji F yang hasilnya
sebagai berikut:
TABEL
IV.20.
ANOVA
KEAGAMAAN RESPONDEN
PENGALAMAN
SOSIAL
Sum of
Squares
df
Mean
Square
F
Sig.
Between Groups
37.653
5
7.531
1.345
.243
Within Groups
3711.118
663
5.597
Total
3748.771
668
Tabel IV.20, ANOVA di atas, menunjukkan bahwa harga
Fhitung sebesar 1,345, dan harga ini tidak signifikan (Sig. >
0,05). Ini mengindikasikan tidak terdapat perbedaan
pengalaman sosial keagamaan antar responden yang berbeda
agama. Dengan perkataan lain apapun agamanya mereka
memiliki pengalaman sosial keagamaan yang relatif sama.
Hasil analisis ini mengindikasikan bahwa masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang sangat suka tolong
menolong (tanpa memperhatikan perbedaan latar belakang
agama), suka bersedekah, meyakini bahwa orang yang orang
yang paling baik adalah orang yang paling bermanfaat bagi
sesama, serta masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang
tidak suka konflik, baik intern amaupun antar umat
beragama. Hal ini adalah modal yang sangat besar dalam
membangun keharmoniasan dan kerukunan hidup di
Indonesia.
76
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
Oleh karena itu adalah suatu ironi jika kita masih
menemukan adanya peningkatan kekerasan antar umat
beragama di Indonesia akhir-akhir ini.
Hasil analisis ini mengindikasikan dan menambah
keyakinan yang selama ini ada, bahwa kekerasan yang sering
kita dengar, baca dan lihat di berbagai media masa akhirakhir ini bukan karena keyakinan keagamaan, melainkan
harus dipahami dari perspektif lain, di luar keyakinan
keagamaan.
d. Skor Konsekuensi Hidup Beragama
Pengukuran tentang konsekuensi hidup beragama
menggunakan sembilan butir pernyataan yang menggambarkan intensitas kegiatan keagamaan keseharian seperti:
1) Kebiasaan (frekuensi) mengikuti kegiatan dalam
membangun semangat persaudaraan jemaat seagama/
seiman,
2) bersedia untuk menghadiri kegiatan
meskipun tempatnya jauh dari rumah,
keagamaan
3) mengikuti progam bimbingan keagamaan (pengajian/
pembinaan rohani),
4) menyumbang (dana) untuk kegiatan agama yang
diadakan di tempat ibadah (masjid, gereja, pura, vihara)
agama saya
5) frekuensi mengikuti bimbingan
meningkatkan keimanan,
keagamaan
untuk
77
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
6) frekuensi mengikuti ritual suci selain ibadah rutin
(sembahyang/kebaktian
mingguan/Puja
Trisandhya/
Namaskara) di tempat ibadah,
7) kesediaan untuk menyerahkan/menyalurkan sebagian
penghasilan demi kepentingan agama sesuai aturan
agama,
8) frekuensi atau intensitas melakukan perenungan diri
(seperti tafakur/semedi/kontemplasi/meditasi),
9) frekuensi mengikuti progam bimbingan keagamaan
(seperti ceramah agama/pembinaan rohani) melalui acara
radio
Hasil analisis data jawaban responden terhadap butirbutir pernyataan berkenaan dengan konsekuensi hidup
beragama seluruh responden dari keenam agama dapat
dilihat dalam tabel IV.21.
Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa skor ratarata responden untuk konsekuensi hidup beragama adalah
3,85. Skor ini berarti responden beranggapa bahwa
konsekuensi hidup beragama “kuat”. Jika dilihat skor ratarata berdasarkan agama, maka skor terbesar adalah skor
responden yang beragama Hindu dan dikuti oleh responden
beragama Islam yakni, 3,92 dan 3,90. Sedangkan skor rata-rata
terkecil adalah skor responden beragama Katolik sebesar 3,70.
Ini berarti responden umat Hindu adalah yang terkuat dalam
melaksanakan semua konsekuensi hidup beragama,
dibandingkan dengan umat agama lain. Sebaliknya umat
Katolik, adalah umat yang paling rendah pelaksanaan
78
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
konsekuensi hidup beragamanya dibandingkan dengan umat
agama lain.
Jika dilihat dari harga standar deviasi (S) diketahui
bahwa skor standar deviasi agama Katolik adalah terbesar,
yakni 0,699. Skor standar deviasi ini mengindikasikan
terdapat pola jawaban yang sangat beragam di antara
responden yang beragama Katolik, terhadap butir-butir
pernyataan yang berkaitan dengan konsekuensi hidup
beragama.
Sebaliknya harga skor standar deviasi terkecil adalah
responden yang beragama Hindu, yakni 0,532. Ini berarti
jawaban responden beragama Hindu terhadap kelompok
butir yang mengukur konsekuensi hidup beragama,
homogen.
TABEL
IV.21.
SKOR
RESPONDEN
KONSEKUENSI HIDUP BERAGAMA
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Agama
Islam
Katolik
Protestan
Hindu
Budha
Konghucu
Total
TENTANG
Skor Rata-Rata (M) dan Standar Deviasi (S)
“Konsekuensi Hidup Beragama”
Mean (M)
Standar Deviasi (SD)
3.90
0.685
3.70
0.699
3.88
0.588
3.92
0.532
3.84
0.694
3.78
0.602
3.86
0.659
Berdasarkan skor-skor sebagaimana yang terdapat
dalam tabel IV.21. di atas dapat dikatakan bahwa responden
yang beragama Hindu dan Islam memiliki skor konsekuensi
79
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
hidup beragama terbesar. Skor ini mengindikasikan bahwa
umat Hindu dan Islam adalah umat yang frekuensi atau
intensitas tinggi (kuat) dalam hal:
a. Mengikuti kegiatan dalam membangun semangat persaudaraan
jemaat seagama/ seiman,
b. Menghadiri kegiatan keagamaan meskipun tempatnya jauh dari
rumah,
c. Mengikuti progam
pembinaan rohani),
bimbingan
keagamaan
(pengajian/
d. Menyumbang (dana) untuk kegiatan agama yang diadakan di
tempat ibadah (masjid, gereja, pura, vihara) agama saya
e. Mengikuti
keimanan,
f.
bimbingan
keagamaan
untuk
meningkatkan
Mengikuti ritual suci selain ibadah rutin (sembahyang/
kebaktian mingguan/puja trisandhya/namaskara) di tempat
ibadah,
g. Menyerahkan/menyalurkan sebagian penghasilan
kepentingan agama sesuai aturan agama,
h. Melakukan
perenungan
kontemplasi/meditasi),
i.
diri
(seperti
demi
tafakur/semedi/
Mengikuti progam bimbingan keagamaan (seperti ceramah
agama/ pembinaan rohani) melalui acara radio
Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan
konsekuensi hidup beragama antar responden berdasarkan
agama, maka dilakukan uji beda dengan menggunakan uji F
yang hasilnya sebagai tabel IV.22. berikut:
80
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
TABEL IV. 22. ANOVA
BERAGAMA RESPONDEN
KONSEKUENSI
HIDUP
Sum of
Squares
Df
Mean
Square
F
Sig.
Between Groups
227.915
5
45.583
1.296
.264
Within Groups
23318.636
663
35.171
Total
23546.550
668
Tabel 4.22, ANOVA di atas, menunjukkan bahwa harga
Fhitung sebesar 1,296, dan harga ini tidak signifikan (Sig. > 0,05).
Ini mengindikasikan tidak terdapat perbedaan konsekuensi
hidup beragama antar responden yang berbeda agama.
Dengan perkataan lain apapun agamanya mereka memiliki
konsekuensi hidup beragama yang sama.
Hasil analisis ini mengindikasikan bahwa masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang aktif dan bersemangat
dalam membangun persaudaraan, rajin meningkatkan
pemahaman / pengetahuan agamanya, dan suka bersedekah
untuk kepentingan agama. Hasil analisis ini mengindikasikan
bahwa agama sangat berperan dalam membangun
kepribadian umatnya.
Selanjutnya ingin diketahui dari empat aspek
keberagamaan responden penelitian, ingin diketahui aspek
mana yang paling signifikan membangun keberagamaan
tersebut. Untuk mengetahui itu dapat dilihat dalam tabel IV.
23. di bawah ini.
81
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
TABEL IV.23. SKOR DIMENSI KEBERAGAMAAN
RESPONDEN UNTUK ENAM AGAMA
Dimensi Keberagamaan
No
Agama
Keyakinan
Keagamaan
Praktek Ritual
Keagamaan
Pengalaman
Sosial
Keagamaan
Konsekuensi
Hidup
Beragama
Mean
S
Mean
S
Mean
S
Mean
S
1.
Islam
4.82
0.468
4.55
0.489
4.58
0.441
3.90
0.685
2.
Katolik
4.49
0.744
4.36
0.641
4.48
0.626
3.70
0.699
3.
Protestan
4.72
0.560
4.39
0.544
4.54
0.482
3.88
0.588
4.
Hindu
4.68
0.565
4.49
0.488
4.53
0.452
3.92
0.532
5.
Budha
4.57
0.601
4.33
0.548
4.58
0.430
3.84
0.694
6.
Konghucu
4.55
0.493
4.32
0.586
4.42
0.488
3.78
0.602
Rata-Rata
Total
4.73
0.548
4.48
0.531
4.55
0.474
3.86
0.659
Berdasarkan tabel IV.23. di atas dapat diketahui bahwa
untuk aspek keberagamaan yang terdiri dari sub aspek,(1)
keyakinan keagamaan, (2) praktek ritual keagamaan, (3)
pengalaman sosial keagamaan, dan (4) konsekuensi hidup
beragama, umat Islam terbesar skornya pada tiga sub aspek
keberagamaan yaitu;
a. Keyakinan Keagamaan,
b. Praktek Ritual Keagamaan,
c. Pengalaman Sosial Keagamaan,
Sedangkan Hindu, terkuat / terbesar skornya untuk sub aspek
konsekuensi hidup beragama.
82
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
Adapun yang skornya terendah adalah, responden Katolik,
pada tiga sub aspek yaitu:
a. Keyakinan Keagamaan,
b. Praktek Ritual Keagamaan,
c. Konsekuensi hidup beragama,
Adapun responden Konghucu, terendah untuk sub aspek
pengalaman sosial keagamaan.
Secara populasi, berdasarkan skor rata-rata untuk aspekaspek sub keberagamaan, diketahui bahwa skor terbesar
sampai terkecil adalah:
a. Keyakinan Keagamaan dengan skor rata-rata =
4,73,
yang berarti keyakinan keagamaan responden sangat
yakin/kuat.
b. Pengalaman Sosial Keagamaan, dengan skor rata-rata =
4,55, yang berarti pengalaman sosial keagamaan
responden sangat intens/kuat.
c. Praktek Ritual Keagamaan, dengan skor rata-rata = 4,48,
yang berarti praktek ritual keagamaan responden sangat
intens
d. Konsekuensi Hidup beragama, dengan skor rata-rata =
3,86, yang ber arti konsekuensi hidup beragama
responden “kuat”
Pertanyaan selanjutnya yang ingin ditemukan
jawabannya adalah, “apakah faktor-faktor seperti; (1)
provinsi, (2) jenis kelamin, (3) status pernikahan, (4) status
kependudukan, (5) saat memeluk agama, (6) pernah
mengikuti kursus agama yang dianut, (7) keberadaan
83
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
keluarga yang berbeda agama di lingkungan tempat tinggal,
mempengaruhi keberagamaan. Jawaban terhadap pertanyaan
tersebut dapat dilihat dalam tabel IV.24. sampai dengan tabel
IV. 33. berikut ini.
e. Keberagamaan berdasarkan provinsi
Hasil analisis data jawaban responden terhadap
kuesioner keberagamaan dapat dilihat dalam tabel IV.24,
berikut ini.
TABEL
IV.
24.
KEBERAGAMAAN
BERDASAR-KAN PROVINSI
RESPONDEN
Dimensi Keberagamaan
No
Provinsi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Lampung
DKI Jakarta
Ja_ Barat
Ja_Tengah
Ja_Timur
Bali
NTB
NTT
Kal_Barat
Sul_Tengah
Rata-Rata
Keyakinan
Keagamaan
Mean
5.00
5.00
5.00
5.00
4.99
4.80
4.58
4.40
4.09
3.83
4.73
Praktek
Ritual
Keagamaan
Mean
5.00
5.00
4.82
4.43
3.97
4.51
4.45
4.36
3.94
4.21
4.49
Pengalaman
Sosial
Keagamaan
Mean
4.98
4.85
4.48
4.42
4.47
4.62
4.47
4.46
4.32
4.53
4.56
Konsekuensi
Hidup
Beragama
Mean
4.78
4.02
4.01
3.63
3.61
4.00
3.78
3.75
3.60
3.71
3.88
Tabel IV.24, di atas menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan keberagamaan berdasarkan dimensi keberagamaan responden dilihat dari provinsi penelitian. Tabel IV.
24. di atas dapat dibaca:
84
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
a) Dari empat dimensi keberagamaan, skor terbesar adalah
dimensi praktek ritual keagamaan, yakni sebesar 4,49,
yang berarti “sangat kuat” lebih besar dibandingkan
dengan tiga dimensi yang lain. Skor terkecil adalah untuk
dimensi konsekuensi hidup beragama yakni sebesar 3,88,
yang berarti “kuat”.
b) Untuk dimensi keyakinan keagamaan provinsi Lampung,
DKI Jaya, Jawa Barat, dan Jawa Tengah adalah yang
memiliki skor terbesar (penuh) yakni 5,00,yang berarti
“sangat kuat” skor yang terendah adalah untuk provinsi
Sulawesi Tengah sebesar “3,83”, yang berarti “kuat”.
c)
Untuk dimensi praktek ritual keberagamaan, provinsi
Lampung adalah yang memiliki skor terbesar (penuh)
yakni 4,98, yang berarti “sangat kuat” skor yang terendah
adalah untuk provinsi Kalimantan Barat sebesar “4,32”,
yang juga berarti “sangat kuat”.
d) Untuk dimensi konsekuensi hidup beragama provinsi
Lampung, adalah yang memiliki skor terbesar (penuh)
yakni 4,78, yang berarti “sangat kuat” skor yang terendah
adalah untuk provinsi Kalimantan Barat sebesar “3,60”,
yang berarti “kuat”.
Informasi yang dapat diambil dari tabel IV.24. di atas adalah
bahwa provinsi Lampung adalah provinsi yang memiliki
keberagamaan yang paling kuat dibandingkan dengan
provinsi lain di Indonesia.
85
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
f. Keberagamaan berdasarkan jenis kelamin
TABEL IV.25. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN
RESPONDEN BERDASARKAN JENIS KELAMIN
Keberagamaan
No
1.
2.
Jenis
Kelamin
Laki-Laki
Perempuan
Rata-Rata
Total
Keyakinan
Keagamaan
Praktek
Ritual
Keagamaan
Pengalama
n Sosial
Keagamaan
Konsekuensi
Hidup
Beragama
Mean
4.70
4.81
Mean
3.81
3.92
Mean
4.55
4.59
Mean
3.86
3.91
4.72
3.84
4.56
3.88
Berdasarkan tabel IV.25, di atas diketahui bahwa dari
empat sub dimensi keberagamaan, skor rata-rata untuk sub
dimensi keyakinan keagamaan lebih besar dibandingkan
dengan skor tiga sub dimensi yang lain. Di mana skor untuk
sub dimensi keyakinan keagamaan sebesar 4,72. Skor ini jika
dibaca berdasarkan pedoman pengartian skor sebagaimana
terdapat dalam tabel IV.12, termasuk dalam kategori “sangat
kuat”. Kita dapat mengatakan bahwa keberagamaan untuk
sub dimensi keyakinan keagamaan responden penelitian
adalah “sangat kuat”.
Tabel IV.25, di atas juga menyajikan bahwa rata-rata
skor untuk perempuan di empat sub dimensi keberagamaan
yakni; keyakinan keagamaan, praktek ritual, pengalaman
sosial, dan konsekuensi hidup beragama lebih besar
dibandingkan dengan skor laki-laki. Ini mengindikasikan
bawah perempuan memiliki keberagamaan yang lebih kuat
dibandingkan dengan laki-laki. Data ini mengindikasikan
bahwa pemerintah perlu memperhatikan peran kaum wanita
86
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
dan atau kaum ibu berkenaan dengan berbagai persoalan
yang terkait dengan isu-isu keagamaan.
g. Keberagamaan berdasarkan status pernikahan
TABEL IV.26. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN
RESPONDEN BERDASARKAN STATUS PERNIKAHAN
Keberagamaan
No
1.
2.
3.
4.
Status
Pernikahan
Belum
Menikah
Tidak Menikah
Menikah
Bercerai
Rata-Rata Total
Mean
Praktek
Ritual
Keagamaan
Mean
Pengalaman
Sosial
Keagamaan
Mean
Konsekue
nsi Hidup
Beragama
Mean
4.80
4.79
4.69
4.74
4.73
3.84
3.77
3.86
3.80
3.84
4.54
4.45
4.59
4.43
4.56
3.86
3.66
3.91
3.85
3.88
Keyakinan
Keagamaan
Data sebagaimana yang terdapat dalam tabel IV. 26, di
atas menginformasikan bahwa:
a) Orang yang belum menikah memiliki keyakinan
keagamaan yang lebih kuat dibandingkan dengan yang
tidak menikah, yang menikah maupun yang bercerai,
h. Orang yang menikah dalam hal; praktek ritual
keagamaannya, pengalaman sosial keagamaan, maupun
konsekuensi hidup beragama lebih kuat (baik)
dibandingkan dengan yang belum, tidak, maupun
bercerai. Dengan perkataan lain orang yang sudah
menikah ia akan lebih intensif dalam hal melaksanaan
perintah ajaran agama, berdo’a, serta menutup kesalahan
dengan kebaikan, berderma, berbuat baik dengan sesama,
membangun
interaksi/hubungan
dengan
seagama
87
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
maupun yang berbeda, serta lebih inten membangun
semangat persaudaraan, melakukan berbagai kegiatan
peningkatan keimanan, dan ktivitas perenungan diri
dibandingkan dengan yang belum, tidak maupun
bercerai.
i.
Orang yang tidak menikah memiliki pengalaman praktek
ritual keagamaan dan konsekuensi hidup beragama di
bawah orang yang belum menikah, menikah maupun
bercerai.
h. Keberagamaan berdasarkan status penduduk
TABEL IV.27. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN
RESPONDEN BERDASARKAN STATUS PENDUDUK
Keberagamaan
No
1.
2.
Status
Penduduk
Asli
Pendatang
Rata-Rata Total
Keyakinan
Keagamaan
Mean
4.72
4.73
4.73
Praktek
Pengalaman
Ritual
Sosial
Keagamaan Keagamaan
Mean
Mean
3.92
4.60
3.76
4.51
3.84
4.56
Konsekuensi
Hidup
Beragama
Mean
3.93
3.81
3.88
Tabel IV.27, dapat dibaca:
a) Penduduk asli memiliki skor tertinggi untuk dimensi
praktek ritual keagamaan, pengalaman sosial keagamaan,
dan konsekuensi hidup beragama dibandingkan dengan
pendatang. Ini berarti penduduk asli lebih intensif dan
lebih kuat dibandingkan dengan pendatang dalam hal;
menjadikan kitab suci sebagai rujukan, melaksanaan
perintah ajaran agama, frekuensi berdo’a, melakukan
88
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
berbagai aktivitas sosial, membantu sesama, berderma,
berbuat baik dengan sesama, dan lebih baik dalam
berinteraksi / berhubungan baik dengan seagama maupun
yang berbeda, serta membangun semangat persaudaraan.
b) Penduduk pendatang lebih baik dibandingkan penduduk
asli dalam hal; keyakinan agamanya, keyakinan akan
pencipta dan pengatur alam semesta, dan keyakinan akan
keselamatan dunia dan akhirat.
i. Keberagamaan berdasarkan saat memeluk agama
TABEL IV.28. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN
RESPONDEN BERDASARKAN SAAT MEMELUK AGAMA
No
1.
2.
3.
4.
Saat Memeluk Agama
Sejak Lahir
Sejak Sekolah (SD_SLTA)
Sejak Kuliah
Sejak Menikah
Total
Skor Keberagamaan
4.21
4.21
4.13
4.15
4.20
Tabel IV. 28, di atas dapat dibaca:
Keberagaaan seseorang akan lebih baik (lebih kuat), jika itu
dimulai sejak lahir atau minimal sejak kecil, dibandingkan
dengan kalau ia menentukan agamanya ketika kuliah atau
sejak menikah. Ini sesuai dengan teori yang menyatakan
makin awal seseorang tersebut mengenal agamanya maka
makin kuat keberagamaanya;
89
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
j.
Keberagamaan berdasarkan keikutsertaan kursus agama
TABEL IV.29. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN
RESPONDEN BERDASARKAN PERNAH MENGIKUTI
KURSUS AGAMA YANG DIANUT
Keberagamaan
No
1.
2.
Kursus
Agama
Keyakinan
Keagamaan
Praktek
Ritual
Keagamaan
Pengalaman
Sosial
Keagamaan
Konsekue
nsi Hidup
Beragama
Keberaga
maan
Mean
4.77
4.65
Mean
3.90
3.74
Mean
4.59
4.50
Mean
3.95
3.73
Mean
4.26
4.10
4.73
3.84
4.56
3.88
4.20
Pernah
Tidak Pernah
Rata-Rata
Total
Tabel IV.29. di atas dapat dibaca: keberagamaan seseorang
akan semakin baik (kuat) jika ia pernah mempelajari
(mengkaji) agamanya, dibandingkan dengan jika ia tidak
pernah mempelajari (mengkaji) agamanya (4,26 > 4,10).
Orang yang mengkaji (mempelajari) agamanya, maka dimensi
keyakinan keagamaannya, lebih baik (kuat) dibandingkan
dengan dimensi praktek, pengalaman sosial maupun
konsekuensi hidup beragamanya (4,77 > “3,90; 4,59 : 3,95).
k. Keberagamaan
agama
berdasarkan
adanya
keluarga
beda
TABEL
IV.30.
SKOR
RATA-RATA
KEBERAGAMAAN
RESPONDEN BERDASARKAN KEBERADAAN KELUARGA
YANG BERBEDA AGAMA DI LINGKUNGAN TEMPAT TINGGAL
90
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Keluarga yang berbeda agama
Tidak Ada
Ada 1 - 2 pasangan keluarga
Ada 3 - 4 pasangan keluarga
Ada 5 -6 pasangan keluarga
Ada 7 - 10 pasangan keluarga
Banyak lebih dari 10 pasangan
keluarga
Total
Skor Keberagamaan
4.23
4.17
4.12
4.07
4.18
4.04
4.20
Tabel IV.30. dapat dibaca, bahwa lingkungan tempat
tinggal mempengaruhi keberagamaan seseorang: makin
heterogen atau semakin banyak keluarga yang berbeda agama
di lingkungan tempat tinggal seseorang, maka makin rendah
skor keberagamaannya, atau katakanlah, semakin moderat.
l.
Keberagamaan berdasarkan komposisi warga sekitar
TABEL IV.31 SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN
RESPONDEN BERDASARKAN KOMPOSISI AGAMA
WARGA DI TEMPAT TINGGAL
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Status Penduduk
yang seagama kurang dari 20%
yang seagama antara 20 sampai 35 %
yang seagama antara 36 sampai 50 %
yang seagama antara 51 sampai 65 %
yang seagama antara 66 sampai 80 %
yang seagama lebih dari 80%
Total
Skor Keberagamaan
4.01
4.09
4.11
4.14
4.15
4.25
4.13
91
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
Tabel IV.31, di atas sejalan dengan tabel IV.30, yakni
makin homogen lingkungan agama seseorang, maka makin
kuat keberagamaannya, dan sebaliknya. Hal ini dapat dilihat
dari tabel IV.31, di mana responden yang tinggal di
lingkungan yang seagama dengannya lebih dari 80%, skor
keberagamaanya terbesar yakni 4,25, dan responden yang
tinggal di lingkungan yang seagama dengannya kurang dari
20%, skor keberagamaanya 4,01. Karena itu, tidak
mengherankan jika di suatu tempat di mana masyarakatnya
homogen, kemudian ada rencana pembangunan rumah
ibadah kelompok agama lain (agama yang berbeda), maka
masyarakat di tempat tersebut cenderung menolak.
m. Keberagamaan berdasarkan jarak dengan rumah ibadah
TABEL IV.32. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN
RESPONDEN BERDASARKAN JARAK RUMAH DENGAN
TEMPAT IBADAH SENDIRI
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
92
Jarak Rumah dengan Rumah Ibadah
Sendiri
Skor Keberagamaan
Kurang dari 100 meter
Antara 100 dan Kurang dari 500 meter
Antara 500 dan Kurang dari 1000 meter
Antara 1000 dan Kurang dari 2000 meter
Antara 2000 dan Kurang dari 5000 meter
Lebih dari 5000 meter
Total
4.26
4.20
4.19
4.18
4.12
4.09
4.20
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
TABEL IV. 33 SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN
RESPONDEN BERDASARKAN JARAK RUMAH DENGAN
TEMPAT IBADAH AGAMA LAIN
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Jarak Rumah dengan Rumah Ibadah
Agama Lain
Kurang dari 100 meter
Antara 100 dan Kurang dari 500 meter
Antara 500 dan Kurang dari 1000 meter
Antara 1000 dan Kurang dari 2000 meter
Antara 2000 dan Kurang dari 5000 meter
Lebih dari 5000 meter
Total
Skor Keberagamaan
4.14
4.17
4.18
4.20
4.26
4.29
4.20
Data sebagaimana yang terdapat dalam tabel IV.32 dan
tabel IV.33, menggambarkan hal yang hampir sama dengan
tabel IV.31, di mana lingkungan tempat tinggal responden
apakah itu homogenitas atau heterogenitas keberagamaan
masyarakat, serta keberadaan tempat ibadah (agama sendiri
atau agama lain) mempengaruhi keberagamaannya.
Seseorang yang tinggal dekat dengan tempat ibadah agama
sendiri memiliki skor keberagamaan yang lebih besar (kuat)
dibandingkan dengan seseorang yang tinggal jauh dari
tempat ibadahnya.
Sebaliknya seseorang yang tinggal dekat tempat ibadah
agama lain, memiliki skor keberagamaan yang rendah
dibandingkan dengan seseorang yang tempat tinggalnya jauh
dari rumah ibadah agama lain.
93
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
2. Cara Beragama Responden
Bagaimana cara keberagamaan responden penelitian. Apakah
eksklusif atau inklusif?.
Terdapat tiga indikator yang digunakan untuk
mengukur skor eksklusifisme beragama, yaitu; (1)
eksklusifisme dalam konteks teologi sosial keagamaan, (2)
eksklusifisme dalam konteks sosial keagamaan, dan (3)
eksklusifisme dalam konteks sosial politik keagamaan.
Masing-masing indikator kemudian dijabarkan menjadi butirbutir pertanyaan/pernyataan. Untuk butir eksklusifisme
dalam konteks teologi sosial berjumlah 8 butir, eksklusifisme
dalam konteks sosial keagamaan berjumlah 10 butir dan
teakhir untuk eksklusifisme dalam konteks sosial politik
keagamaan dengan butir sebanyak 20.
a. Skor eksklusifisme
keagamaan
dalam
konteks
teologi
sosial
Pengukuran eksklusifisme dalam konteks teologi
sosial keagamaan menggunakan delapan butir pernyataan
yang berkaitan, dengan sikap beragama dalam konteks
teologi sosial, yang menggambarkan eksklusifisme beragama
dalam hal:
1) Menolak jika dekat RT tempat tinggal saya akan dibangun
tempat ibadat agama lain.
2) Tidak nyaman dengan keberadaan tempat ibadat agama
lain di sekitar RT tempat tinggal saya.
94
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
3) Mendukung kegiatan yang menolak pembangunan
tempat ibadat agama lain di sekitar RT tempat tinggal
saya.
4) Mendukung kegiatan yang menolak segala kegiatan untuk
pengembang an/penyiaran ajaran agama lain.
5) Keberatan jika di lingkungan RT tempat tinggal saya ada
juru dakwah/ misionaris yang menyebarkan agama lain.
6) Keberatan jika di lingkungan RT tempat tinggal saya
terdapat aktivitas/kegiatan penyebaran agama lain.
7) Mendukung pengusiran juru dakwah/misionaris yang
menyebarkan agama lain di lingkungan RT tempat saya
tinggal diusir.
8) Mendukung pembubaran kegiatan agama lain di sekitar
RT tempat saya tinggal.
Hasil analisis data terhadap butir-butir pernyataan berkenaan
dengan eksklusifisme dalam konteks teologi sosial keagamaan
seluruh responden berdasarkan agama yang dianut dapat
dilihat dalam tabel IV.34, berikut ini.
TABEL IV.34. SKOR RESPONDEN UNTUK EKSKLUSIFISME
TEOLOGI SOSIAL KEAGAMAAN
No
7.
8.
9.
10.
Agama
Islam
Katolik
Protestan
Hindu
Skor Rata-Rata (M) dan Standar Deviasi (SD)
Butir-butir “eksklusifisme teologi sosial
keagamaan”
Mean (M)
Standar Deviasi (SD)
2.619
1.295
2.447
1.225
2.375
1.262
2.756
1.392
95
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
11.
12.
Budha
Konghucu
Total
2.518
2.262
2.553
1.327
1.185
1.291
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa skor rata-rata
eksklusifisme beragama dalam konteks teologi sosial
keagamaan di antara 6 agama berbeda. Skor rata-rata terbesar
adalah skor responden yang beragama Hindu yakni, 2,756
sedangkan skor rata-rata terkecil adalah skor responden
beragama Konghucu sebesar 2.262.
Jika dilihat dari harga standar deviasi (S) diketahui
bahwa skor standar deviasi agama Hindu adalah terbesar,
yakni 1.392. Skor standar deviasi ini mengindikasikan
terdapat pola jawaban yang sangat beragam (mulai dari
sangat tidak setuju hingga sangat setuju) antar responden
yang beragama Hindu, terhadap butir-butir pernyataan yang
berkaitan dengan eksklusifisme beragama dalam konteks
politik sosial keagamaan. Sebaliknya harga skor standar
deviasi terkecil adalah responden yang beragama Konghucu
yakni sebesar 1.185. Ini berarti jawaban responden beragama
Konghucu terhadap kelompok butir yang mengukur
eksklusifisme beragama dalam konteks teologi sosial
keagamaan homogen.
Berdasarkan skor-skor sebagaimana yang terdapat
dalam tabel IV.34, di atas dapat dikatakan bahwa responden
yang beragama Hindu memiliki skor eksklusifisme beragama
dalam konteks teologi sosial keagamaan terbesar dan skor
standar deviasi juga terbesar. Skor ini mengindikasikan
bahwa umat Hindu dibandingkan dengan responden agama
96
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
lain (Islam, Katolik, Protestan, Budha dan Konghucu), adalah
umat yang lebih eksklusive terutama dalam konteks teologi
sosial keagamaan, sehingga dalam konteks teologi sosial
keagamaan mereka cenderung lebih menolak jika:
1) Dekat RT tempat tinggal saya akan dibangun tempat
ibadat agama lain.
2) Tidak nyaman dengan keberadaan tempat ibadat agama
lain di sekitar RT tempat tinggal saya.
3) Mendukung kegiatan yang menolak pembangunan
tempat ibadat agama lain di sekitar RT tempat tinggal
saya.
4) Mendukung kegiatan yang menolak segala kegiatan untuk
pengembangan/penyiaran ajaran agama lain.
5) Keberatan jika di lingkungan RT tempat tinggal saya ada
juru dakwah/misionaris yang menyebarkan agama lain.
6) Keberatan jika di lingkungan RT tempat tinggal saya
terdapat aktivitas/kegiatan penyebaran agama lain.
7) Mendukung pengusiran juru dakwah/misionaris yang
menyebarkan agama lain di lingkungan RT tempat saya
tinggal diusir.
8) Mendukung pembubaran kegiatan agama lain di sekitar
RT tempat saya tinggal.
Tabel IV.34, di atas menunjukkan bahwa rata-rata mean
total adalah 2,553. Dengan mengacu pada tabel IV.13, harga
ini mengindikasikan secara keseluruhan populasi penelitian
(10 provinsi) sikap keberagamaan “kurang eksklusifisme”
97
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
atau “inklusif” dalam konteks teologi sosial keagamaan.
Sehingga, skor 2,553, menggambarkan bahwa masyarakat
Indonesia, secara mayoritas adalah masyarakat yang sangat
inklusif, terutama dalam konteks agama dalam kehidupan
sosial.
Selanjutnya ingin diketahui, apakah terdapat perbedaan
tingkat eksklusifisme dalam konteks teologi sosial di antara
responden berdasarkan agama, atau apakah terdapat
pengelompokkan tingkat keyakinan keagamaan antar
responden. Untuk itu dilakukan pengujian dengan
menggunakan statistika Analisis Varians. Hasilnya dapat
dilihat dalam tabel IV. 35, di bawah.
TABEL
IV.35.
KEAGAMAAN
ANOVA
ISU
TEOLOGI
SOSIAL
Sum of
Squares
Df
Mean
Square
F
Sig.
Between Groups
721.930
5
144.386
1.359
.238
Within Groups
72765.416
685
106.227
Total
73487.346
690
Tabel ANOVA IV.35, di atas, menunjukkan bahwa harga
Fhitung sebesar 1,359 dan harga ini tidak signifikan (Sig. > 0,05).
Ini berarti sikap beragama yang sedikit eksklusif, ternyata
terdapat pada semua agama. Atau dengan perkataan lain,
meskipun responden agama Hindu secara skor rata-rata lebih
besar dibandingkan dengan skor rata-rata responden agama
lain, akan tetapi secara statistik perbedaan tersebut tidak
98
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
signifikan. Dengan demikian dapat dikatakan apapun
agamanya, apakah Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha
dan Konghucu, secara umum ia cenderung tidak akan
mempermasalahkan:
1) Pembangunan rumah ibadat agama lain dekat RT ia
tinggal.
2) Keberadaan tempat ibadat agama lain di sekitar RT
tempat tinggal,
3) Pengembangan/penyiaran ajaran agama lain.
4) Ada juru dakwah /misionaris yang menyebarkan agama
lain.
5) Aktivitas/kegiatan penyebaran agama lain.
6) Penyebaran agama lain di lingkungan RT tempat, dan
7) Tidak mendukung pembubaran kegiatan agama lain di
sekitar RT tempatnya tinggal.
b. Skor eksklusifisme dalam konteks sosial keagamaan
Pengukuran eksklusifisme dalam konteks sosial
keagamaan menggunakan delapan butir pernyataan yang
berkaitan, dengan sikap beragama dalam konteks sosial, yang
menggambarkan eksklusifisme beragama dalam hal:
1) Tidak akan mengucapkan belasungkawa kepada keluarga
penganut agama lain yang mengalami musibah;
2) Menolak ajakan melakukan kerjasama ekonomi (seperti
kongsi dagang) dengan orang yang berbeda agama;
99
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
3) Keberatan jika tempat ibadat agama saya dimasuki oleh
pemeluk agama lain;
4) Keberatan menerima orang yang berbeda agama untuk
tinggal serumah/asrama/kos;
5) Keberatan untuk menerima orang yang berbeda agama
sebagai tetangga/teman kerja/teman dekat;
6) Menolak ajakan untuk menghadiri perayaan hari besar
agama lain (seperti idul fitri, natal, nyepi, waisak,
galungan, imlek);
7) Tidak akan membiarkan umat yang berbeda agama
dengan saya untuk menjadi penduduk mayoritas di
sekitar saya tinggal;
8) Ketika menjual rumah (properti), saya memprioritaskan
penjualannya kepada calon pembeli yang seagama dengan
saya;
Hasil analisis data terhadap butir-butir pernyataan
berkenaan dengan eksklusifisme dalam konteks teologi sosial
keagamaan seluruh responden berdasarkan agama yang
dianut dapat dilihat dalam tabel IV. 36, berikut ini.
100
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
TABEL IV.36. SKOR RESPONDEN UNTUK EKSKLUSIFISME
SOSIAL KEAGAMAAN
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Agama
Islam
Katolik
Protestan
Hindu
Budha
Konghucu
Total
Skor Rata-Rata (M) dan Standar Deviasi (SD)
Butir-butir “eksklusifisme sosial keagamaan”
Mean (M)
Standar Deviasi (SD)
2.201
1.050
2.005
0.998
1.894
0.887
2.345
1.123
1.997
0.977
1.955
0.900
2.126
1.025
Berdasarkan tabel IV.36, di atas diketahui bahwa skor
rata-rata eksklusifisme beragama dalam konteks sosial
keagamaan di antara 6 agama berbeda. Skor rata-rata terbesar
adalah skor responden yang beragama Hindu yakni 2,35
sedangkan skor rata-rata terkecil adalah skor responden
beragama Protestan sebesar 1,894. Sesuai dengan tabel IV.13,
skor 2,35 dapat dibaca “kurang eksklusif” atau “inklusif”,
sedangkan skor 1,894 dapat dibaca “sedikit di atas sangat
inklusif”
Jika dilihat dari harga standar deviasi (S) diketahui
bahwa skor standar deviasi agama Hindu adalah terbesar,
yakni 1,123. Skor standar deviasi ini mengindikasikan
terdapat pola jawaban yang sangat beragam (mulai dari
sangat tidak setuju hingga sangat setuju) antar responden
yang beragama Hindu, terhadap butir-butir pernyataan yang
berkaitan dengan eksklusifisme beragama dalam konteks
sosial. Sebaliknya harga skor standar deviasi terkecil adalah
101
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
responden yang beragama Konghucu yakni sebesar 1,185. Ini
berarti jawaban responden beragama Konghucu terhadap
kelompok butir yang mengukur eksklusifisme beragama
dalam konteks sosial keagamaan, homogen.
Berdasarkan skor-skor sebagaimana yang terdapat
dalam tabel IV.36. di atas dapat dikatakan bahwa responden
yang beragama Hindu memiliki skor eksklusifisme beragama
dalam konteks sosial keagamaan terbesar dan skor standar
deviasi juga terbesar. Skor ini mengindikasikan bahwa umat
Hindu dibandingkan dengan responden agama lain (Islam,
Katolik, Protestan, Budha dan Konghucu), adalah umat yang
lebih eksklusif, terutama dalam konteks sosial keagamaan.
Tabel IV.36, di atas menunjukkan bahwa rata-rata mean
total adalah 2,126. Harga ini mengindikasikan secara
keseluruhan populasi penelitian (10 provinsi) sikap beragama
kurang eksklusifisme, atau inklusif dalam konteks sosial
keagamaan.
Selanjutnya ingin diketahui, apakah terdapat perbedaan
tingkat eksklusifisme beragama dalam konteks sosial di
antara responden berdasarkan agama, atau apakah terdapat
pengelompokkan tingkat keyakinan keagamaan antar
responden. Untuk itu dilakukan pengujian dengan
menggunakan statistika Analisis Varians. Hasilnya dapat
dilihat dalam tabel IV. 37, di bawah.
102
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
Tabel IV. 37. ANOVA Isu Sosial Keagamaan
Sum of
Squares
df
Mean
Square
F
Sig.
Between Groups
814.568
5
162.914
2.447
.053
Within Groups
45598.396
685
66.567
Total
46412.964
690
Tabel IV. 37, ANOVA di atas, menunjukkan bahwa
harga Fhitung sebesar 2,447, dan harga ini tidak signifikan (Sig. >
0,05). Ini berarti sikap beragama yang sedikit eksklusif,
ternyata terdapat pada semua agama. Atau dengan perkataan
lain, meskipun responden agama Hindu secara skor rata-rata
lebih besar dibandingkan dengan skor rata-rata responden
agama lain, akan tetapi secara statistic perbedaan tersebut
tidak signifikan. Dengan demikian dapat dikatakan apapun
agamanya, apakah Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha
dan Konghucu, sekalipun ia cenderung tidak akan menolak
atau bersedia untuk:
1) Mengucapkan belasungkawa kepada keluarga penganut
agama lain yang mengalami musibah;
2) Melakukan kerjasama ekonomi (seperti kongsi dagang)
dengan orang yang berbeda agama;
3) Tempat ibadat agamanya dimasuki oleh pemeluk agama
lain;
4) Menerima orang yang berbeda agama untuk tinggal
serumah/asrama/kos;
103
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
5) Menerima orang yang berbeda
tetangga/teman kerja/teman dekat;
agama
sebagai
6) Menghadiri perayaan hari besar agama lain (seperti idul
fitri, natal, nyepi, waisak, galungan, imlek);
7) Menerima umat yang berbeda agama untuk menjadi
penduduk mayoritas di sekitar tempat tinggal;
8) Menjual rumah (properti), kepada calon pembeli yang
berbeda agama.
c. Skor eksklusifisme
keagamaan
dalam
konteks
sosial
politik
Pengukuran eksklusifisme dalam konteks sosial politik
keagamaan menggunakan dua puluh butir pernyataan yang
berkaitan, dengan sikap beragama dalam konteks sosial
politik, yang menggambarkan eksklusifisme beragama dalam
hal:
1) Keselamatan hidup hanya terdapat dalam agama yang
saya anut;
2) Tidak ada jalan keselamatan (kehidupan dunia dan
akhirat), kecuali hanya terdapat dalam agama yang saya
anut;
3) Berdo’a tidak seperti cara yang diajarkan agama saya
tidak akan dikabulkan oleh tuhan;
4) Setiap orang dikatakan sesat/kafir jika dia tidak sepaham/
sealiran (tetapi seagama) dengan pemahaman keagamaan
saya;
104
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
5) Orang yang tidak seiman/berbeda agama dengan saya
adalah tergolong kafir;
6) Orang kafir (beda agama dengan saya) selalu akan
merongrong (mengganggu) penganut agama saya;
7) Saya tidak akan memilih calon ketua rt/rw/kepala desa
yang berbeda agama dengan saya;
8) Saya tidak akan memilih calon wali kota/bupati yang
berbeda agama dengan saya;
9) Saya tidak akan memilih calon gubernur yang berbeda
agama dengan saya;
10) Saya tidak akan memilih calon anggota dewan perwakilan
rakyat (nasional-daerah) yang berbeda agama saya;
11) Saya tidak akan memilih calon presiden/wakil presiden
yang berbeda agama saya;
12) Saya merasa tidak nyaman jika ketua rt/rw/kepala desa
berbeda agama dengan saya;
13) Saya merasa tidak nyaman jika wali kota/bupati berbeda
agama dengan saya;
14) Dunia akan menjadi aman/damai jika semua manusia
menganut ajaran agama yang saya yakini;
15) Saya percaya bahwa hanya ajaran agama saya yang akan
dapat mewujudkan keadilan di masyarakat;
16) Saya tidak bersedia mengucapkan selamat (salam
keagamaan) pada umat lain saat perayaan hari besar
agama lain;
105
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
17) Saya menentang segala aktivitas pengumpulan dana
untuk keperluan kegiatan agama lain;
18) Saya menolak jika anggota keluarga dekat saya berencana
menikah dengan orang yang berbeda agama;
19) Saya keberatan jika anggota keluarga saya terlibat/ikut
dalam kegiatan organisasi agama lain;
20) Saya sangat resah jika pemahaman keagamaan yang
berbeda dengan pemahaman saya (tetapi seagama)
dibiarkan berkembang;
Hasil analisis data terhadap butir-butir pernyataan
berkenaan dengan eksklusifisme dalam konteks sosial politik
keagamaan seluruh responden berdasarkan agama yang
dianut dapat dilihat dalam tabel IV. 38, berikut ini.
TABEL IV.38. SKOR RESPONDEN UNTUK EKSKLUSIFISME
SOSIAL POLITIK KEAGAMAAN
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Agama
Islam
Katolik
Protestan
Hindu
Budha
Konghucu
Total
Skor Rata-Rata (M) dan Standar Deviasi (SD)
Butir-butir “eksklusifisme sosial politik
keagamaan”
Mean (M)
Standar Deviasi (SD)
2.807
1.284
2.484
1.215
2.385
1.224
2.853
1.303
2.621
1.269
2.374
1.112
2.685
1.269
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa skor rata-rata
eksklusifisme beragama dalam konteks sosial politik
106
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
keagamaan di antara 6 agama berbeda. Skor rata-rata terbesar
adalah skor responden yang beragama Hindu yakni, 2,853
sedangkan skor rata-rata terkecil adalah skor responden
beragama Konghucu sebesar 2,374.
Jika dilihat dari harga standar deviasi (S) diketahui
bahwa skor standar deviasi agama Hindu adalah terbesar,
yakni 1,303. Skor standar deviasi ini mengindikasikan
terdapat pola jawaban yang sangat beragam (mulai dari
sangat tidak setuju hingga sangat setuju) antar responden
yang beragama Hindu, terhadap butir-butir pernyataan yang
berkaitan dengan eksklusifisme beragama dalam konteks
sosial politik keagamaan. Sebaliknya harga skor standar
deviasi terkecil adalah responden yang beragama Konghucu
yakni sebesar 1,185. Ini berarti jawaban responden beragama
Konghucu terhadap kelompok butir yang mengukur
eksklusifisme beragama dalam konteks sosial keagamaan,
homogen.
Berdasarkan skor-skor sebagaimana yang terdapat
dalam tabel-tabel di atas dapat dikatakan bahwa responden
yang beragama Hindu memiliki skor eksklusifisme beragama
dalam konteks sosial politik keagamaan terbesar dan skor
standar deviasi juga terbesar. Skor ini mengindikasikan
bahwa umat Hindu dibandingkan dengan responden agama
lain (Islam, Katolik, Protestan, Budha dan Konghucu), adalah
umat yang lebih eksklusif terutama dalam konteks sosial
politik keagamaan.
Selanjutnya ingin diketahui, apakah terdapat perbedaan
tingkat eksklusifisme beragama dalam konteks sosial politik
di antara responden berdasarkan agama, atau apakah
107
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
terdapat pengelompokkan tingkat keyakinan keagamaan
antar responden. Untuk itu dilakukan pengujian dengan
menggunakan statistika Analisis Varians. Hasilnya dapat
dilihat dalam tabel IV. 39, di bawah.
TABEL IV. 39. ANOVA ISU SOSIAL KEAGAMAAN
Sum of
Squares
df
Mean
Square
F
Sig.
Between Groups
8928.251
5
1785.650
2.811
.056
Within Groups
435205.112
685
635.336
Total
444133.363
690
Tabel IV. 39, ANOVA di atas, menunjukkan bahwa
harga Fhitung sebesar 2,811, dan harga ini signifikan (Sig. <
0,05). Ini berarti ekskusivisme beragama dalam konteks sosial
politik di enam komunitas agama berbeda. Atau dengan
perkataan lain, tidak terdapat perbedaan sikap eksklusifisme
beragama dalam konteks sosial politik antara agama.
Meskipun responden agama Hindu secara skor rata-rata lebih
besar dibandingkan dengan skor rata-rata responden agama
lain, akan tetapi secara statistic perbedaan tersebut tidak
signifikan. Dengan demikian dapat dikatakan apapun
agamanya, apakah Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha
dan Konghucu, sekalipun dalam konteks sosial politik
keagamaan selain mempercayai (meyakini) agamanya, juga
menerima keyakinan agama umat lain tentang:
1) Keselamatan hidup tidak hanya terdapat dalam agama
yang dianutnya.
2) Ada jalan keselamatan dari agama umat lain.
108
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
3) Berdo’a tidak seperti cara yang diajarkan agamanya akan
tetap dikabulkan
4) Orang tidak sesat/kafir meskipun dia tidak sepaham/
sealiran
(tetapi
seagama)
dengan
pemahaman
keagamaannya.
5) Bersedia memilih calon ketua RT/RW/kepala desa yang
berbeda agama.
6) Bersedia memilih calon wali kota/bupati yang berbeda
agama.
7) Bersedia memilih calon gubernur yang berbeda agama.
8) Bersedia memilih calon anggota dewan perwakilan rakyat
yang berbeda.
9) Bersedia memilih calon presiden/wakil presiden yang
berbeda agama.
10) Saya merasa nyaman jika ketua RT/RW/kepala desa
berbeda agama.
11) Saya merasa nyaman jika wali kota/bupati berbeda agama.
12) Dunia akan menjadi aman/damai jika semua manusia
meyakini dan mengamalkan keyakinannya masingmasing.
13) Percaya ajaran agama umat lain dapat mewujudkan
keadilandi masyarakat.
14) Bersedia mengucapkan selamat pada umat lain saat
perayaan hari besar agama lain.
109
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
15) Bersedia ikut aktivitas
keperluan agama lain.
pengumpulan
dana
untuk
16) Menerima jika anggota keluarga dekat berencana menikah
dengan orang yang berbeda agama.
17) Bersedia jika anggota keluarga
kegiatan organisasi agama lain
terlibat/ikut
18) Membiarkan pemahaman keagamaan
(tetapi seagama) dibiarkan berkembang.
dalam
yang berbeda
Pertanyaan berikut yang ingin dicari jawabannya adalah
antara aspek teologi sosial, sosial keagamaan dan sosial
politik, aspek mana yang paling kuat mempengaruhi
eksklusifisme beragama.
TABEL IV. 40. KORELASI ANTARA TIGA DIMENSI
EKSLUSIFISME DENGAN EKSKLUSIFISME
No
Dimensi Eksklusifisme
Koefisien Korelasi
“rxy”
1
TEOLOGI KEAGAMAAN
0.472
2
SOSIAL KEAGAMAAN
0.421
3
SOSIAL POLITIK KEAGAMAAN
0.468
Tabel IV.40, di atas diketahui bahwa, dimensi teologi
keagamaan paling kuat korelasinya dengan eksklusifisme
beragama, yakni sebesar 0,472. sedangkan yang paling rendah
adalah dimensi sosial keagamaan yakni sebesar 0,421.
110
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
Pertanyaan selanjutnya yang ingin ditemukan jawabannya
adalah, apakah apakah faktor-faktor (1) organisasi tempat
bergabung, (2) jabatan dalam organisasi, (3) fungsi dalam
organisasi, (4) jumlah massa dalam organisasi, (5) status
pernikahan, (6) status pekerjaan, serta (7) provinsi
mempengaruhi sikap keberagamaan seseorang
Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dilihat dalam
tabel 4.41 sampai dengan tabel IV. 48, berikut ini.
TABEL IV.41. SKOR EKSKLUSIFISME BERAGAMA
BERDASARKAN ASAL ORGANISASI RESPONDEN
No
1.
2.
3.
4.
5.
Organisasi
Responden
Lembaga
Pendidikan Formal
Keagamaan
Lembaga
Pendidikan
informal /
Penelitian /
Pengembangan
Organisasi Sosial
Ekonomi
Keagamaan
Asosiasi Politik
Berbasis
Keagamaan
Asosiasi Profesi
Berbasis
Keagamaan
Rata-Rata Skor
Total
Skor Rata-Rata
Eksklusifisme beragama
Sosial
Sosial
Teologi
Keagamaan
Politik
RataRata
Skor
Total
2.73
2.23
2.88
2.70
2.54
2.17
2.69
2.54
2.25
1.90
2.43
2.27
2.17
1.86
2.08
2.05
2.24
1.95
2.22
2.16
2.55
2.13
2.69
2.53
111
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
Berdasarkan tabel IV.41, di atas dapat dibaca:
Merujuk pada organisasi responden berasal
1) Rata-rata akor eksklusifisme beragama responden adalah
2,53. Skor ini berarti eksklusifisme beragama responden
berada pada rentang skor “2,60-2,80, yang berarti
“kurang” eksklusif, atau inklusif. Dapat dikatakan secara
keseluruhan populasi eksklusifisme bergama responden
penelitian dalam hal ini adalah pemuka agama yang
terdapat di Indonesia dalam kategori inklusif.
2) Meskipun secara keseluruhan para pemuka agama
bersifat inklusif, namun terdapat perbedaan skor
eksklusifisme beragama jika dilihat dari lima organisasi di
mana responden bergabung. Dari lima asal organisasi
responden, skor terbesar adalah responden yang berasal
dari lembaga pendidikan formal keagamaan dengan
indeks sebesar 2,70. indeks skor 2,70 ini berada dalam
rentang “eksklusif dan atau inklusif”. Skor 2,70 ini juga
berarti dari lima lembaga organisasi asal responden
penelitian, responden penelitian yang tergabung dalam
lembaga pendidikan formal keagamaan atau para pemuka
agama yang tergabung dalam lembaga pendidikan formal
lebih eksklusif dibandingkan dengan responden atau
pemuka agama yang tergabung dalam lembaga
pendidikan informal, lembaga sosial ekonomi keagamaan,
asosiasi politik berbasis keagamaan dan asosiasi profesi
berbasis keagamaan.
3) Skor 2,70 tersebut berada pada rentang sebutan “kurang”
eksklusif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
112
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
secara keseluruhan keberagamaan responden penelitian
dalam hal ini adalah para pemuka agama yang tergabung
dalam lembaga pendidikan formal keagamaan “dapat
bersifat eksklusif dan atau inklusiff”. Skor terendah adalah
responden yang berasal dari asosiasi politik berbasis
keagamaan, yakni 2,05. yang juga termasuk dalam rentang
“ inklusif”.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimanakah sikap
keberagamaan responden penelitian atau para pemuka agama
di Indonesia berdasarkan asal lembaga (organisasi)
responden, eksklusif ataukah inklusif, untuk setiap dimensi.
Data sebagaimana yang terdapat dalam tabel iv. 41 di atas,
dapat dibaca sbb:
1) Dimensi Teologi
Skor terbesar adalah 2,73, untuk responden yang berasal
dari lembaga pendidikan formal keagamaan, sedangkan
skor terkecil sebesar 2,17, untuk responden yang berasal
dari lembaga asosiasi politik berbasis keagamaan. Ini
berarti responden yang berasal dari lembaga pendidikan
formal keagamaan lebih eksklusif dibandingkan dengan
responden yang berasal dari organisasi politik berbasis
keagamaan. Skor 2,73 masuk dalam rentang “antara
eksklusif_inklusif. Sedangkan indkes skor 2,17 masuk
dalam kategori “inklusif”.
Inferensi yang dapat diambil dari dua skor ini adalah
bahwa untuk dimensi teologi responden yang berasal dari
organisasi lembaga pendidikan formal keagamaan lebih
113
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
eksklusif dibandingkan dengan responden yang berasal
dari organisasi asosiasi politik berbasis keagamaan.
Jika dikaitkan dengan aspek-aspek yang berkenaan
dengan teologi sosial keagamaan, seperti keyakinan
tentang eksklusifisme suteriologi (jalan keselamatan),
keberkahan hidup dunia dan akhirat, cara berdoa/
beribadah, kekuatan doa, dan kebermaknaan doa bagi
umat beragama, responden yang berasal dari lembaga
pendidikan formal lebih eksklusif dibandingkan dengan
responden yang berasal dari lembaga asosiasi politik.
2) Dimensi Sosial keagamaan
Skor terbesar adalah untuk responden yang berasal dari
lembaga pendidikan formal keagamaan yakni 2,23, skor
ini berarti responden yang berasal dari lembaga
pendidikan formal keagamaan kurang eksklusif atau
dapat dikatakan inklusif. Sedangkan skor untuk sosial
keagamaan yang terendah adalah untuk responden yang
berasal dari asosiasi politik berbasis keagamaan sebesar
1,86. Skor ini berarti responden sikap keberagamaannya
kurang eksklusif atau dapat disebut inklusif. Dapat juga
dikatakan responden penelitian yang dalam penelitian ini
adalah para pemuka agama yang tergabung dalam
asosiasi politik berbasis keagamaan dalam aktivitas sosial
keagamaan lebih dapat menerima dan bersedia
menghadiri;

114
perayaan kegiatan keagamaan yang dilakukan agama
lain;
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia

kegiatan/acara sosial-keagamaan yang diadakan oleh
narasumber atau masyarakat yang berbeda agama;

interaksi sosial (seperti pernikahan beda agama, dan
keterlibatan dalam kegiatan sosial lintas agama untuk
misi kemanusiaan);
3) Dimensi Sosial Politik
Sebagaimana dimensi sosial keagamaan, skor terbesar
untuk dimensi sosial politik adalah responden yang
berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan yakni
2,88. Skor 2,88 ini berada dalam rentang “ekslusif dan atau
inkluisf. Ini berarti responden penelitian yang dalam
penelitian ini adalah para pemuka agama berasal dari
organisasi
pendidikan
formal
sosial
politik
keberagamaannya dapat bersifat “eksklusif dan atau
inklusif”, tergantung mana yang kuat mempengaruhinya.
Sedangkan indeks skor sosial politik keberagamaan yang
terendah adalah untuk responden yang berasal dari
asosiasi politik berbasis keagamaan yakni sebesar 2,08.
Skor ini berarti responden yang berasal dari asosiasi
politik berbasis keagamaan termasuk dalam kategori
inklusif.
Berikut ini adalah skor standar deviasi untuk setiap dimensi
keeksklusifan beragama (teologi, sosial keagamaan dan sosial
politik) berdasarkan organisasi di mana responden bergabung
115
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
TABEL IV. 42. SKOR STANDAR DEVIASI EKSKLUSIFISME
BERAGAMA
BERDASARKAN
ASAL
ORGANISASI
KEAGAMAAN RESPONDEN
No
1.
2.
3.
4.
5.
Organisasi
Responden
Lembaga Pendidikan
Formal Keagamaan
Lembaga Pendidikan
informal / Penelitian /
Pengembangan
Organisasi Sosial
Ekonomi Keagamaan
Asosiasi Politik
Berbasis Keagamaan
Asosiasi Profesi
Berbasis Keagamaan
Rata-Rata skor Total
Skor Standar Deviasi
Eksklusifisme beragama
Sosial
Sosial
Teologi
Keagam
Politik
aan
Rata-Rata
Skor Total
1.29
1.01
1.25
1.11
1.33
1.15
1.29
1.16
1.21
0.95
1.26
1.10
1.22
0.99
1.14
1.04
1.26
0.96
1.06
0.99
1.29
1.03
1.27
1.13
Tabel IV. 42, dapat dibaca:
a) Untuk rata-rata ekslusifisme beragama skor standar
deviasi terbesar adalah untuk responden yang berasal dari
lembaga
pendidikan
informal-penelitian
dan
pengembangan yaitu sebesar 1,16. ini berarti terdapat
perbedaan yang signifikans jawaban antara responden
yang berada dalam lembaga pendidikan informal, dan
lembaga penelitian dan pengembangan terhadap
pernyataan-pernyataan yang bertujuan mengungkap
116
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
eksklusifisme beragama. Atau terdapat heterogenitas
eksklusifisme beragama antara sesama responden yang
bergabung dalam lembaga pendidikan informal, lembaga
penelitian dan pengembangan.
b) Berdasarkan skor rata-rata eksklusifisme beragama
diketahui bahwa skor terendah adalah sebesar 0,99 untuk
responden yang bergabung dalam asosiasi profesi berbasis
keagamaan. Ini artinya jawaban responden yang
tergabung dalam asosiasi profesi berbasis keagamaan
lebih homogen dibandingkan dengan respondenresponden yang tergabung dalam lembaga yang lain.
c) Dilihat dari tiga dimensi eksklusifisme beragama, skor
standar deviasi terbesar adalah 1,33 untuk responden
yang bergabung dalam lembaga pendidikan informal
dimensi teologi.
Pertanyaan berikutnya yang juga ingin diketahui jawabannya
adalah: bagaimana cara beragama responden berdasarkan
jabatan responden dalam organisasi. Untuk mengetahui
jawabannya dapat dilihat dalam table IV.43, berikut ini.
TABEL IV.43. SKOR EKSKLUSIFISME BERAGAMA
BERDASARKAN
JABATAN
RESPONDEN
DALAM
ORGANISASI
No
1.
2.
Jabatan
Responden
dalam Organisasi
Ketua
Wakil
Skor Rata-Rata
Eksklusifisme beragama
Rata-Rata
Teologi
Sosial
Keagamaan
Sosial
Politik
Skor Total
2.57
2.59
2.14
2.16
2.73
2.68
2.56
2.55
117
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
3.
Kepala Bagian
Seksi
Pengurus Biasa
Total
4.
2.51
2.03
2.48
2.38
2.48
2.55
2.10
2.13
2.78
2.69
2.56
2.53
Data sebagaimana yang terdapat dalam tabel IV.43, dapat
dibaca sbb:
a) Secara keseluruhan skor rata-rata terbesar adalah untuk
ketua yakni sebesar 2,56 dan skor terkecil adalah kepala
bagian dengan skor 2,38. skor 2,56 dan 2,38, ini termasuk
dalam kategori “kurang eksklusif” atau “inklusif”. Dapat
dikatakan berdasarkan jabatan responden dalam
organisasi, responden termasuk dalam kategori inklusif.
b) Dimensi Teologi
Skor terbesar adalah 2,59 untuk responden yang
berkedudukan sebagai wakil ketua lembaga, sedangkan
skor terkecil sebesar 2,48 untuk responden yang
berkedudukan sebagai pengurus biasa. Skor 2,59 dan 2,48,
ini termasuk dalam rentang inklusif. Artinya responden
berdasarkan lembaga di mana ia bergabung adalah
inklusif,
Inferensi yang dapat diambil dari dua skor ini adalah
bahwa untuk dimensi teologi responden yang
berkedudukan sebagai pengurus biasa lebih inklusif
dibandingkan dengan responden sebagai wakil ketua.
Jika dikaitkan dengan aspek-aspek yang berkenaan
dengan teologi sosial keagamaan, seperti pembangunan
rumah ibadah, kehadiran aktivitas dakwah, maka orang-
118
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
orang yang berkedudukan sebagai wakil ketua lebih kuat
menolak, lebih tidak mendukung, adanya kegiatan
pembangunan rumah ibadah, keberadaan aktivitas
keagamaan yang berbeda dengan yang diyakni
dibandingkan dengan responden yang berkedudukan
sebagai pengurus biasa.
c) Dimensi Sosial keagamaan
Skor terbesar adalah untuk responden yang berasal dari
lembaga pendidikan formal keagamaan yakni 2,23, skor
ini berarti responden yang berasal dari lembaga
pendidikan formal keagamaan kurang eksklusif atau
dapat dikatakan inklusif. Sedangkan skor untuk sosial
keagamaan yang terendah adalah untuk responden yang
berasal dari asosiasi politik berbasis keagamaan sebesar
1,86. Skor ini berarti responden sikap keberagamaannya
kurang eksklusif atau dapat disebut inklusif. Dapat juga
dikatakan responden yang tergabung dalam asosiasi
politik berbasis keagamaan dalam aktivitas sosial
keagamaan seperti; menganjurkan umatnya membantu
sesama, berderma, berbuat baik dengan sesama, serta
dalam berinteraksi/berhubungan baik dengan yang
seagama maupun yang berbeda agama lebih baik
dibandingkan dengan responden yang berasal dari
lembaga yang lain (Pendidikan Formal Keagamaan,
Pendidikan informal/Penelitian/Pengembangan, Asosiasi
Politik Berbasis Keagamaan dan Asosiasi Profesi Berbasis
Keagamaan).
119
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
d) Dimensi Sosial Politik
Sebagaimana sosial keagamaan, skor terbesar untuk
dimensi sosial politik adalah responden yang
berkedudukan sebagai wakil ketua yakni 2,16, sedangkan
skor terkecil sebesar 2,03 untuk responden yang
berkedudukan sebagai kepala bagian. Ini berarti
responden yang berkedudukan sebagai wakil ketua
inklusivismenya lebih rendah dibandingkan dengan
responden yang berkedudukan sebagai kepala bagian.
Bagaimana sikap keberagamaan responden berdasarkan
fungsi dalam organisasi, dapat dilihat dalam tabel IV. 44, di
bawah ini.
TABEL IV. 44. SKOR EKSKLUSIFISME BERAGAMA
BERDASARKAN FUNGSI RESPONDEN
No
1.
2.
3.
4.
5.
Fungsi Responden
dalam Organisasi
Penceramah
Guru_Dosen Agama
Konsultan Agama
Guru Umum
Kader Muda
Organisasi
Total
Skor Eksklusifisme beragama
Sosial
Sosial
Teologi
Keagam
Politik
aan
2.63
2.22
2.84
2.54
2.05
2.60
2.41
1.96
2.16
2.51
2.24
2.71
Rata-Rata
Skor Total
2.65
2.47
2.17
2.56
2.10
1.82
2.20
2.09
2.55
2.13
2.69
2.53
Tabel IV. 44. di atas dapat dibaca:
a) Secara keseluruhan skor rata-rata terbesar adalah untuk
responden yang berfungsi sebagai penceramah yakni
120
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
sebesar 2,65 dan skor terkecil adalah untuk kader muda
organisasi dengan skor 2,09. Skor 2,65 berarti responden
yang berfungsi sebagai penceramah termasuk dalam
kategori eksklusif _inklusif. Sedangkan skor 2,09 berarti
responden yang berfungsi sebagai kader muda termasuk
dalam kategori inklusif.
b) Dimensi Teologi
Skor terbesar adalah 2,63 untuk responden yang berfungsi
sebagai penceramah, dan skor terendah adalah 2,10, untuk
responden yang berfungsi sebagai kader muda organisasi.
Skor 2,63 termasuk dalam rentang eksklusif_inklusif.
Artinya responden yang berfungsi sebagai penceramah
termasuk dalam rentang eksklusif_inklusif. Skor 2,10
termasuk dalam rentang “kurang eksklusif” atau
“inklusif”.
Jika dikaitkan dengan aspek-aspek yang berkenaan
dengan teologi sosial keagamaan, seperti pembangunan
rumah ibadah, kehadiran aktivitas dakwah, maka orangorang yang berfungsi sebagai penceramah lebih kuat
menolak, lebih tidak mendukung, adanya kegiatan
pembangunan rumah ibadah, keberadaan aktivitas
keagamaan yang berbeda dengan yang diyakni
dibandingkan dengan responden yang berfungsi sebagai
kader muda organisasi.
c) Dimensi Sosial keagamaan
Skor terbesar adalah untuk responden yang berfungsi
sebagai penceramah yakni 2,22, skor ini berarti responden
yang berfungsi sebagai peceramah kurang eksklusif atau
121
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
dapat dikatakan inklusif. Sedangkan skor untuk sosial
keagamaan yang terendah adalah untuk responden yang
berfungsi sebagai kader muda organisasi sebesar 1,82.
Skor 1,82 ini berarti responden yang berfungsi sebagai
kader muda lebih inklusif dalam dimensi sosial
keagamaannya.
Dapat juga dikatakan responden yang berfungsi sebagai
penceramah dalam aktivitas sosial keagamaan seperti
menganjurkan umatnya membantu sesama, berderma,
berbuat baik dengan sesama, serta dalam berinteraksi/
berhubungan baik dengan yang seagama maupun yang
berbeda agama lebih baik dibandingkan dengan
responden yang berfungsi sebagai guru-dosen agama,
konsultan agama, guru umum dan kader muda organisasi.
d) Dimensi Sosial Politik
Sebagaimana pada dimensi sosial keagamaan, skor
terbesar untuk dimensi sosial politik adalah responden
yang berkedudukan sebagai wakil ketua yakni 2,16,
sedangkan skor terkecil sebesar 2,03 untuk responden
yang berkedudukan sebagai kepala bagian. Ini berarti
responden yang berkedudukan sebagai wakil ketua
inklusivismenya lebih rendah dibandingkan dengan
responden yang berkedudukan sebagai kepala bagian.
Bagaimana sikap keberagamaan responden berdasarkan
jumlah masa dalam organisasi, dapat dilihat dalam tabel IV.
45, di bawah ini.
122
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
TABEL IV.45. SKOR EKSKLUSIFISME
BERDASARKAN JUMLAH MASSA
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Jumlah Massa “orang”
100 <
100 ≤
500 ≤
1000 ≤
5000 ≤
10000 ≤
25000 ≤
s/d < 500
s/d < 1000
s/d < 5000
s/d < 10000
s/d < 25000
s/d < 50000
≥ 50000
Total
Skor Rata-Rata
Eksklusifisme beragama
Sosial
Sosial
Teologi
Keagamaan
Politik
2.59
2.13
2.72
2.56
2.16
2.71
2.33
1.92
2.40
2.60
2.21
2.82
2.99
2.29
3.12
2.43
2.16
2.61
3.34
2.25
2.25
1.48
1.20
1.50
2.55
2.13
2.69
TABEL IV.46. SKOR EKSKLUSIFISME
BERDASARKAN PROVINSI PENELITIAN
No
Provinsi Penelitian
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Sulawesi Tengah
Total
BERAGAMA
Rata-Rata
Skor Total
2.57
2.56
2.28
2.63
2.91
2.47
2.49
1.43
2.53
BERAGAMA
Skor Rata-Rata
Eksklusifisme beragama
Sosial
Sosial
Teologi
Keagamaan
Politik
2.52
2.09
2.61
2.91
2.17
3.16
3.14
2.60
3.34
2.45
2.31
2.71
2.29
1.88
2.43
2.86
2.43
3.11
2.29
2.00
2.37
2.16
1.69
2.07
2.16
1.88
2.15
2.45
1.99
2.44
2.55
2.13
2.69
Rata-Rata
Skor Total
2.47
2.88
3.13
2.57
2.27
2.90
2.27
2.00
2.09
2.34
2.53
123
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
Tabel IV. 46, dapat di baca:
1) Secara rata-rata total, skor untuk eksklusifisme beragama
adalah 2,53. Skor ini berdasarkan pedoman penskoran
tabel 4,13, kurang eksklusif, atau Inklusif. Dengan cara
lain kita dapat mengatakan bahwa cara beragama
masyarakat Indonesia adalah Inklusif.
2) Rata-rata sebesar terbesar adalah provinsi Jawa Barat,
yakni 3,13, dan Bali yaitu 3,11. Skor ini berarti Jawa Barat
dan Bali, adalah provinsi yang lebih eksklusif
dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Sesuai dengan tabel IV.13, skor ini dapat dibaca
eksklusif_inklusif.
3) Skor rata-rata terendah adalah NTT yakni 2,00. Skor ini
artinya provinsi di Indonesia yang paling inklusif adalah
NTT.
4) Jika dilihat dari dimensi eksklusifisme, dua provinsi
dengan skor tertinggi adalah DKI Jakarta dan Jawa Barat
untuk dimensi Teologi, Jawa Barat dan Bali untuk dimensi
sosial keagamaan, maupun dimensi sosial politik
kegamaan. Sedangkan dua provinsi yang memiliki skor
eksklusifisme terendah adalah NTT dan Kalimantan Barat,
untuk ketiga dimensi eksklusifisme beragama.
124
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
TABEL IV.47 SKOR EKSKLUSIFISME BERAGAMA
BERDASARKAN STATUS PERNIKAHAN RESPONDEN
No
1.
2.
3.
4.
Status Pernikahan
Belum Menikah
Tidak Menikah
Menikah
Bercerai Hidup/
Meninggal
Total
Skor Rata-Rata
Eksklusifisme beragama
Sosial
Sosial
Teologi
Keagamaan
Politik
2.44
2.12
2.64
2.70
2.29
2.66
2.59
2.11
2.71
Rerata
Skor
Total
2.48
2.58
2.55
2.65
2.06
2.52
2.45
2.55
2.13
2.69
2.53
Tabel IV.47. dapat dibaca bahwa
pernikahan ternyata:
berdasarkan status
1) Untuk skor rata-rata total skor terbesar adalah untuk
orang yang tidak menikah yakni 2,58.
2) Jika dilihat berdasarkan dimensi eksklusifisme beragama,
ternyata skor terbesar juga terdapat pada orang yang tidak
menikah, baik itu dimensi teologis, sosial keagamaan,
maupun sosial politik keagamaan. Sedangkan untuk skor
terendah terdapat keanekaragaman, di mana untuk
dimensi teologi skor terendah adalah bagi orang yang
belum menikah, untuk dimensi sosial keagamaan dan
sosial politik keagamaan pada orang yang bercerai.
125
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
Bagaimanakah
eksklusifisme
berdasarkan
pekerjaan
responden. Jawabannya dapat dilihat dalam tabel IV. 48,
berikut ini.
TABEL IV.48. SKOR EKSKLUSIFISME
BERDASARKAN PEKERJAAN UTAMA
No
Pekerjaan Utama
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Pendidik
Layanan administrasi
Jasa angkutan
Jasa telekomunikasi
Jasa kesehatan
Jasa bangunan/konstruksi
Jasa layanan keagamaan
Jasa pengiriman–ekspedisi
Jasa hukum
Jasa konsultasi
Jasa kebersihan
Jasa elektronik
Pertanian_Perkebunan
Perdagangan
Lainnya
Total
BERAGAMA
Skor Rata-Rata
Eksklusifisme beragama
Sosial
Sosial
Teologi
Keagamaan
Politik
2.75
2.39
2.91
2.38
1.99
2.54
2.43
2.22
2.67
2.63
1.60
2.48
1.90
1.67
2.20
2.15
2.38
3.01
2.27
1.84
2.39
1.00
1.25
1.35
2.15
1.85
2.48
2.17
1.65
2.25
3.06
2.19
2.90
2.00
2.16
2.34
2.50
1.65
1.78
2.73
2.15
2.82
2.34
1.96
2.55
2.50
2.11
2.67
Rerata
Skor Total
2.76
2.38
2.51
2.32
2.02
2.67
2.24
1.25
2.27
2.10
2.78
2.23
1.91
2.65
2.37
2.51
Tabel IV. 48, di atas dapat dibaca:
1) Untuk rata-rata skor total, skor terbesar adalah responden
yang tergabung dalam jasa kebersihan yakni 2,78.
Sedangkan skor terendah adalah jasa pengiriman–
ekspedisi sebesar 1,25. Skor 2.78 ini berarti termasuk
dalam rentang sebutan “eksklusif” dan atau “inklusif”,
126
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
dan skor 1,25 termasuk dalam rentang sebutan :sangat
tidak eksklusif” atau “sangat inklusif”
2) Berdasarkan dimensi eksklusifisme, skor terbesar untuk
dimensi teologis adalah responden yang berasal dari jasa
kebersihan yaitu sebesar 3,06, skor ini termasuk dalam
rentang sebutan “eksklusif dan atau inklusif”, sedangkan
skor terendah adalah untuk responden yang berasal dari
jasa pengiriman –ekspedisi yaitu sebesar 1,00. skor ini
termasuk dalam rentang sebutuan “sangat tidak eksklusif”
atau “sangat inklusif”.
3) Berdasarkan dimensi eksklusifisme, skor terbesar untuk
dimensi sosial keagamaan adalah responden yang berasal
dari pendidikan dan jasa kesehatan, masing-masing 2,39
dan 2,38. Skor ini termasuk dalam rentang sebutan
“inklusif”, sedangkan skor terendah adalah untuk
responden yang berasal dari jasa pengiriman –ekspedisi
yaitu sebesar 1,25. skor ini termasuk dalam rentang
sebutuan “sangat tidak eksklusif” atau “sangat inklusif
4) Berdasarkan dimensi eksklusifisme, skor terbesar untuk
dimensi sosial politik adalah responden yang berasal dari
jasa bangunan konstruksi yaitu sebesar 3,01, skor ini
termasuk dalam rentang sebutan “eksklusif dan atau
inklusif”, sedangkan skor terendah adalah untuk
responden yang berasal dari jasa pengiriman –ekspedisi
yaitu sebesar 1,35. skor ini termasuk dalam rentang
sebutuan “sangat tidak eksklusif” atau “sangat inklusif
127
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
3. Pengujian Hipotesis:
Terdapat dua hipotesis penelitian yang ingin diuji
kebenarannya. Hipotesis tersebut berbunyi:
1) Terdapat pengaruh pemahaman keagamaan (X) terhadap
ekslusifisme beragama (Y), dan
2) Terdapat perbedaan ekslusifisme beragama antara
pemuka agama di enam agama yang
terdapat di
Indonesia.
Untuk menjawab kedua hipotesis di atas, maka digunakan
statistic inferensial yakni (a) regresi dan korelasi sederhana,
serta (b) analisis varians satu arah.
a.
Jawaban terhadap hipotesis pertama
Untuk mendapatkan jawaban terhadap pernyataan
pertama di atas, maka dilakukan analisis regresi antara
variable terikat eksklusifisme beragama (Y) dengan variable
bebas keberagamaan (X), hasil analisis data diperoleh
persaman regresi
Ŷ= 2,66 - 0,797X
Persamaan regresi di atas dapat dibaca, setiap kenaikan
satu unit atau setiap kenaikan satu skor keberagamaan, maka
akan menurunkan sikap eksklusifisme beragama sebesar
0,797, pada konstanta 2,66. Atau dapat juga dibaca, jika
keberagamaan semakin baik, maka eksklusifisme beragama
semakin berkurang, dan sebaliknya.
Harga koefisien korelasi antara keberagamaan (X)
dengan eksklusifisme beragama (Y) sebesar (rxy) = 0,219.
128
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
Harga ini signifikans, karena harga signfikansi <0,05. Dari
harga koefisien korelasi sebesar (rxy) 0,219, dapat diketahui
harga koefisien determinasi r2xy sebesar 0,048. Atau dapat
dikatakan
4,8%
eksklusifisme
beragama
seseorang
dipengaruhi atau ditentukan oleh keberagamaannya.
Jawaban sebagaimana telah diuraikan di atas dapat
dilihat pada tabel IV.49. Demikian pula hasil analisis data
tentang eksklusifisme beragama berdasarkan tingkat
pemahaman keagamaan dapat dilihat dalam tabel IV.49.
berikut ini.
TABEL IV.49. SKOR PEMAHAMAN KEAGAMAAN DAN
MEAN SKOR EKSKLUSIFISME BERAGAMA
No
Skor Pemahaman
Keagamaan
Mean Score
Eksklusif
Std. Deviation
1
Rendah
3.29
1.06
2
Sedang
2.45
1.45
3
Tinggi
2.26
1.47
Total
3.26
1.33
Dari tabel di atas dapat dibaca, bahwa makin tinggi
pemahaman keagamaan seseorang ternyata makin kurang
eksklusifisme
beragamanya
(makin
rendah
skor
eksklusifismenya), dan sebaliknya makin kurang pemahaman
keagamaan seseorang maka makin eksklusif orang tersebut,
hak ini dapat dilihat dari tabel di atas, responden yang
memiliki skor pemahaman keagamaan terendah memiliki
skor eksklusifisme sebesar 3,29, dan responden yang memiliki
129
Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian
pemahaman keagamaan tinggi, ternyata memiliki skor
eksklusifisme beragama yang rendah (2,26). sesuai dengan
pedoman penskoran sebagaimana terdapat dalam tabel IV.13,
skor 2,26 ini termasuk dalam rentang inklusif.
b. Jawaban terhadap hipotesis kedua
Pertanyaan yang juga ingin ditemukan jawabannya
adalah “Adakah perbedaan eksklusifisme beragama antara pemuka
yang memiliki pemahaman agama yang tinggi dengan yang
memiliki pemahaman agama rendah?”
Untuk mengetahui jawabannya dapat dilihat dari tabel IV. 50,
berikut ini.
TABEL IV.50. ANOVA SKOR TOTAL EKSKLUSIFISME
BERAGAMA
Sum of Squares
df
Mean
Square
F
Sig.
Between Groups
16475.418
2
8237.709
5.081
.006
Within Groups
1115481.398
688
1621.339
Total
1131956.816
690
Tabel IV. 50, di atas menunjukkan bahwa harga Fhitung
sebesar 5,081 dan harga ini signifikans, karena Sig < 0.01.
Tabel di atas dapat dibaca, terdapat perbedaan yang
signifikan eksklusifisme beragama antar para pemuka agama
yang memiliki pemahaman agama yang tinggi dengan yang
memiliki pemahaman agama rendah pada keenam agama
yang terdapat di Indonesia.
130
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data kuantitatif yang terdapat
dalam bab IV, maka dapat disimpulan sbb:
1. Keyakinan keagamaan para pemuka agama untuk semua
agama berada pada rentang “sangat kuat”. Skor rata-rata
4,73, dari skor maksimal “5”.
Masyarakat Indonesia sebagaimana dicerminkan oleh
para pemuka agama, adalah masyarakat yang sangat
meyakini agama mereka masing-masing. Meskipun
demikian terdapat perbedaan keyakinan keagamaan atau
pengelompokkan keyakinan keagamaan di antara
responden yang berbeda agama.
2. Umat Islam adalah umat yang paling kuat keyakinan
keagamaannya dibandingkan dengan umat-umat lain,
atau dengan perkataan lain umat Islam adalah umat
yang dalam kehidupan keseharian mereka, sangat
meyakini bahwa:
a) Kitab suci mereka (Al Qur’an) sebagai pedoman dan
petunjuk dalam kehidupan keseharian,
b) Dalam kehidupan keseharian sangat membutuhkan
pedoman/petunjuk agama (hidayah),
131
Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi
c) Tidak ada yang mustahil bagi Allah. Setiap manusia
hanya berusaha tetapi keputusan/ ketetapan akan hasil
dari usahanya semata-mata oleh karena Allah,
d) Kekuatan do’a, dan hanya do’alah yang dapat
merubah takdir Allah, sehingga oleh karena itu
meyakini bahwa setiap aktivitas harus dimulai dengan
do’a, dan
e) Hidup akan hampa (akan kehilangan arti) jika jauh
dari Tuhan.
3. Umat Islam adalah umat
keseharian mereka selalu:
yang
dalam
kehidupan
a) Menjadikan kitab suci sebagai pedoman hidup sesuai
dengan perintah/tuntutan agama (membaca/resitasi)
b) Menjalankan kewajiban atau perintah ajaran agama
dalam kehidupan sehari–hari (pelaksanaan ibadat)
c) Merenung/berdoa kepada tuhan,
d) Setiap kali selesai melakukan kesalahan, saya selalu
menyesali atau merasakan berdosa segala atas segala
tindakan saya,
e) Merenungi kesalahan/dosa pada tuhan (melakukan
pertobatan/tazkiyah/muhasabah/retreatment),
f) Berdoa sendiri sesuai tuntunan ajaran agama
4. Umat yang terendah instensitas pelaksanaan ritual
keagamaannya adalah umat Konghucu.
5. Umat Islam dan umat Budha, adalah umat yang memiliki
pengalaman sosial keagamaan yang paling kuat,
132
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
dibandingkan dengan umat agama lain. Sedangkan umat
agama Konghucu, adalah umat yang memiliki
pengalaman sosial keagamaan yang paling kecil.
Skor ini mengindikasikan bahwa umat Islam dan umat
Budha adalah umat yang dalam aktivitas sosial atau
pengalaman sosial keagamaan cenderung paling kuat atau
paling intens dalam:
a) Membantu orang lain tanpa melihat/memiih agama
yang dianut orang tersebut,
b) Menyerahkan sebagian penghasilan demi kepentingan
agama,
c) Berbuat kebaikan kepada orang lain, karena
keberkahan hidup seseorang sangat ditentukan oleh
kebaikannya kepada orang lain di dunia ini
d) Meyakini bahwa dalam hidup sehari-hari tidak boleh
menyakiti/ menghina/orang yang berbeda pemahaman
keagamaan (SEAGAMA)
e) Meyakini bahwa dalam hidup sehari-hari tidak boleh
menyakiti/menghina umat yang berbeda agama.
6. Tidak terdapat perbedaan pengalaman sosial keagamaan
antar responden yang berbeda agama. Dengan perkataan
lain apapun agamanya mereka memiliki pengalaman
sosial keagamaan yang sama.
7. Umat Hindu dan umat Islam adalah yang terkuat dalam
melaksanakan semua konsekuensi hidup beragama,
dibandingkan dengan umat agama lain. Sebaliknya umat
Katolik, adalah umat yang paling rendah pelaksanaan
133
Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi
konsekuensi hidup beragamanya dibandingkan dengan
umat agama lain.
Skor ini mengindikasikan bahwa umat Hindu dan Islam
adalah umat yang frekuensi atau intensitas tinggi (kuat)
dalam hal:
a) Mengikuti kegiatan dalam membangun
persaudaraan jemaat seagama/ seiman,
semangat
b) Menghadiri kegiatan keagamaan meskipun tempatnya jauh
dari rumah,
c) Mengikuti progam bimbingan keagamaan (pengajian/
pembinaan rohani),
d) Menyumbang (dana) untuk kegiatan agama yang diadakan
di tempat ibadah (masjid, gereja, pura, vihara) agama saya
e) Mengikuti bimbingan keagamaan untuk meningkatkan
keimanan,
f)
Mengikuti ritual suci selain ibadah rutin (sembahyang/
kebaktian mingguan/puja trisandhya/namaskara) di tempat
ibadah,
g) Menyerahkan/menyalurkan sebagian penghasilan
kepentingan agama sesuai aturan agama,
h) Melakukan perenungan
kontemplasi/meditasi),
i)
diri
(seperti
demi
tafakur/semedi/
Mengikuti progam bimbingan keagamaan (seperti ceramah
agama/ pem binaan rohani) melalui acara radio
8. Terdapat pengaruh faktor-faktor; (1) provinsi domisili, (2)
jenis kelamin, (3) status pernikahan, (4) status
134
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
kependudukan, (5) saat memeluk agama, (6) pernah
mengikuti kursus agama yang dianut, (7) keberadaan
keluarga yang berbeda agama di lingkungan tempat
tinggal, terhadap keberagamaan seseorang.
9. Penduduk asli lebih intensif dan lebih kuat dibandingkan
dengan pendatang dalam hal: menjadikan kitab suci
sebagai rujukan, melaksanaan perintah ajaran agama,
frekuensi berdo’a, melakukan berbagai aktivitas sosial,
membantu sesama, berderma, berbuat baik dengan
sesama, dan lebih baik dalam berinteraksi/berhubungan
baik dengan yang seagama maupun yang berbeda agama,
serta membangun semangat persaudaraan.
10. Penduduk pendatang lebih baik dibandingkan penduduk
asli dalam hal; keyakinan agamanya, keyakinan akan
pencipta dan pengatur alam semesta, dan keyakinan akan
keselamatan dunia dan akhirat.
11. Keberagamaan seseorang akan lebih baik (lebih kuat), jika
itu dimulai sejak lahir atau minimal sejak kecil,
dibandingkan dengan kalau ia menentukan agamanya
ketika kuliah atau sejak menikah.
Keberagamaan seseorang akan semakin baik (kuat) jika ia
pernah mempelajari (mengkaji) agamanya, dibandingkan
dengan jika ia tidak pernah mempelajari (mengkaji)
agamanya (4,26 > 4,10).
12. Lingkungan tempat tinggal mempengaruhi keberagamaan
seseorang, makin heterogen atau semakin banyak
keluarga yang berbeda agama di lingkungan tempat
tinggal
seseorang,
maka
makin
rendah
skor
135
Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi
keberagamaannya, atau katakanlah lebih moderat.
Sebaliknya, semakin homogen lingkungan agama
seseorang, maka semakin kuat skor keberagamaannya.
Seseorang yang tinggal dekat dengan tempat ibadah
agama sendiri memiliki skor keberagamaan yang lebih
besar (kuat) dibandingkan dengan seseorang yang tinggal
jauh dari tempat ibadahnya. Sebaliknya seseorang yang
tinggal dekat tempat ibadah agama lain, memiliki skor
keberagamaan yang rendah dibandingkan dengan
seseorang yang tempat tinggalnya jauh dari rumah ibadah
agama lain.
13. Umat Hindu dibandingkan dengan responden agama lain
(Islam, Katolik, Protestan, Buddha dan Konghucu),
adalah umat yang lebih eksklusif terutama dalam konteks
teologi sosial keagamaan.
14. Secara keseluruhan populasi penelitian (10 provinsi) sikap
keberagamaan
masyarakat
Indonesia
“kurang
eksklusifisme” atau “inklusif” dalam konteks teologi
social keagamaan.
15. Tidak terdapat perbedaan sikap eksklusifisme beragama
dalam konteks sosial politik di antara para pemuka
agama. Meskipun responden agama Hindu secara skor
rata-rata lebih besar dibandingkan dengan skor rata-rata
responden agama lain, akan tetapi secara statistik
perbedaan tersebut tidak signifikan.
Faktor-faktor (1) organisasi tempat bergabung, (2) jabatan
dalam organisasi, (3) fungsi dalam organisasi, (4) jumlah
massa dalam organisasi, (5) status pernikahan, (6) status
136
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
pekerjaan, serta (7) provinsi
keberagamaan seseorang
mempengaruhi
sikap
16. Terdapat pengaruh pemahaman keagamaan terhadap
ekslusifisme beragama para pemuka agama Indonesia.
Melalui persamaan regresi Ŷ= 2,66 - 0,797X
17. Harga koefisien korelasi sebesar (rxy) 0,219, dan dari sini
dapat diketahui harga koefisien determinasi r2xy sebesar
0,048. Atau dapat dikatakan 4,8% eksklusifisme beragama
seseorang dipengaruhi atau ditentukan oleh pemahaman
keberagamaannya.
Makin tinggi pemahaman keagamaan seseorang ternyata
makin kurang eksklusifisme beragamanya (makin rendah
skor eksklusifismenya), dan sebaliknya makin kurang
pemahaman keagamaan seseorang maka makin eksklusif
orang tersebut.
B. Rekomendasi
Dengan
temuan-temuan
penelitian
sebagaimana
dipaparkan di atas, khususnya kecenderungan keyakinan
keagamaan yang kuat, pemahaman keagamaan yang relatif
tinggi, dan sikap beragama yang inklusif, maka agar modal
dasar agama ini dapat berdaya guna dan berhasil guna,
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama, perlu:
1. Melakukan kerjasama yang lebih intensif, terstruktur
dengan berbagai majelis agama untuk terus meningkatkan
pemahaman keagamaan masyarakat, dalam rangka
memajukan semangat keagamaan yang inklusif melalui
berbagai jenis program yang utamanya dirancang guna
menemukan dan mempraktikkan nilai-nilai keagamaan
137
Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi
dan persaudaraan universal. Di antara program yang
dapat didorong adalah silaturahmi/safari kerukunan umat
beragama hingga ke tingkat kabupaten atau kota, dan
kecamatan;
2. Mendukung berbagai program lembaga/ormas agama
yang bertujuan meningkatkan pemahaman agama
jamaahnya dalam kerangka membangun semangat
keagamaan inklusif dan penghormatan atas pluralitas,
mengantisipasi serta menyelesaikan permasalahan
keagamaan yang timbul, baik di dalam jemaahnya sendiri
maupun di tengah masyarakat. Upaya peningkatan
pemahaman tersebut dapat dilakukan antara lain dalam
bentuk kerjasama program di antara lembaga/ormas
berbeda agama; maksimalisasi fungsi organisasi seperti
FKUB; dan pemanfaatan nilai-nilai kearifan lokal.
3. Melakukan berbagai kegiatan dan program internal
Kementerian Agama dan program antar Kementerian/
lembaga lain (Kemendagri, Kemensosial, Kemenhukum
dan Komnas HAM) yang bertujuan peningkatan semangat
keberagamaan masyarakat yang inklusif dan mengurangi
ekslusifisme. Program yang dapat dipertimbangkan di
antaranya perbaikan kurikulum dan materi pendidikan
agama yang menekankan pada pendidikan karakter dan
etika sosial berbasis nilai-nilai universal agama;
peningkatan wawasan dan mutu tenaga pendidik agama;
peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap potensi
konflik yang bersumber dari ekslusifisme beragama; serta
memajukan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat
melalui jalur agama.
138
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Arifin. H. M. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar.
Jakarta: PT. Golden Teravon Press. 1998.
Arkoun, M. Islam. Al-Akhlak Wa Al-Siyasah, terjemah, Hasyim
Saleh. Beirut: 1978.
Ary, Donald. L, Ch, Yacobs and Asghar Razavich, Introduction
to Research in Education. Sydney: Halt Rinehalt and
Winston, 1979.
Asry, Yusuf Asry et.al. 2010. Pengaruh budaya dan nilai-nilai
keagamaan terhadap kerjasama antarumat beragama di
Indonesia. Puslitbang Kehidupan Beragama. Badan
Litbang Agama dan Diklat Keagamaan.
Alvin Plantiga
Azwar, Saifuddin Azwar. Tes Prestasi. 1987.Yogyakarta:
Liberty.
Beuken, Wim dan Kuschel, Karl-Josef et.al. Agama Sebagai
Sumber Kekerasan Terjemahan. Imam Baehaqi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
Berger, Peter L. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial.
Jakarta: LP3ES. 1993.
Hick, John. The Religions Are Equally Valid To The Some Thrugh.
Son deego, Grenhoven. Inc. 1995.
Harwood, Jhon. God And Universe of Faiths. Oxford: One Warld
Publications. 2004.
139
Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi
Hendropuspito. 1983. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
John Dewey, How We Think , 1933, p
Kustini. Kelompok Keagamaan Kristen, Hindu dan Buddha di
Indonesia, Departemen Agama RI. Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan.
2006.
Nasir, Ridlwan Nasir. 2010. Agama Sebagai Sumber Konflik
Atau Harmoni Sosial.
Nasution, Harun Nasution. Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya. Jakarta: UI Press. 1984.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2010 – 2014.
Poerwadarminta WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta
PN Balai Pustaka. 1976.
Rahman, Fazhur Rahman. Islam, terjemahan, Ahsin. Bandung:
Penerbit Pustaka. 1984.
Rahman, Munawar Budhi Islam Plural: Wacana Kesetaraan
Kaum Beriman Jakarta: Paramadina. 2001.
Rahner, Karl. Christianity and the non-Christian Religion”
dalam Carl & Breaten dan Robert W Jenson.
Riyanto, Armada. Membongkar Eksklusivisme Hidup Beragama”
Malang: DIOMA-STFT Widyasasana. 2000.
Roland Robertson
Syaukani. Syaukani. 2009. Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan
Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama dan
140
Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia
Lingkungan Pendidikan terhadap Toleransi Mahassiwa
Berbeda Agama. Puslitbang Kehidupan Beragama.
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan.
Tolhah, Imam, Mursyid Ali, dan M. Zainuddin Daulay, (edit).
2002. Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia.
Puslitbang Kehidupan Beragama. Badan Litbang
Agama dan Diklat Keagamaan.
Wiratima, J.B. Bana SJ. Bersama saudara-saudari Beriman. Sains
Perspektip gereja Katolik, dalam Seri Dian 1 tahun 1
Dialog: Kritik dan identitas agama. Yogyakarta:
Dian/Anter Fidei. 1993.
W,J.S. Poerwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Jakarta PN Balai Pustaka.
------------ 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka.
141
Download