PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG EKSLUSIFISME BERAGAMA DI INDONESIA Editor: Abdul Aziz Penulis: Ahsanul Khalikin Zirwansyah KEMENTERIAN AGAMA RI BADAN LITBANG DAN DIKLAT PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN JAKARTA, 2013 i Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT) pandangan pemuka agama tentang ekslusifitas beragama di indonesia/Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi I, Cet. 1 …… Jakarta, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI xviii + 141 hlm; 14,8 x 21 cm ISBN : 978-979-797-356-8 Hak Cipta pada Penerbit Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa izin sah dari penerbit Cetakan Pertama, Nopember 2013 PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG EKSLUSIFISME BERAGAMA DI INDONESIA Editor: ABDUL AZIZ Desain cover dan Layout, oleh: Zabidi Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. MH. Thamrin No. 6 Jakarta Telp./Fax. (021) 3920425, 3920421 www.puslitbang1.balitbangdiklat.co.id ii KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN uji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya yang tiada terhingga, sehingga kami dapat merealisasikan ”Penerbitan Naskah Buku Kehidupan Keagamaan”. Penerbitan buku tahun 2013 ini merupakan hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 2012. Buku hasil penelitian yang diterbitkan sebanyak 8 (delapan) naskah. Buku-buku yang dimaksud sebagai berikut: 1. Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia. 2. Efektivitas Pengawasan Fungsional bagi Peningkatan Kinerja Aparatur Kementerian Agama. 3. Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat. 4. Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal. 5. Pandangan Pemuka Agama terhadap Kebijakan Pemerintah Bidang Keagamaan. 6. Pandangan Pemuka Agama terhadap Ekslusifisme Agama di Berbagai Komunitas Agama. iii 7. Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia. 8. Peran Pemerintah Daerah dan Kementerian Agama dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. Kami berharap penerbitan naskah buku hasil penelitian yang lebih banyak menyampaikan data dan fakta ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan khazanah sosial keagamaan, serta sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan tentang pelbagai perkembangan dan dinamika sosial keagamaan. Di samping itu, diharapkan pula buku-buku ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi berbagai pihak tentang informasi kehidupan keagamaan di Indonesia. Dengan selesainya kegiatan penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada: 1. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang telah memberikan kepercayaan, arahan dan sambutan bagi terbitnya buku-buku ini. 2. Para pakar yang telah sudi membaca dan memberikan prolog atas buku-buku yang diterbitkan. 3. Para peneliti sebagai editor yang telah menyelaraskan laporan hasil penelitian menjadi buku, dan akhirnya dapat hadir di depan para pembaca yang budiman. 4. Kepada semua fihak yang telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya program penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini. 5. Tim Pelaksana Kegiatan, sebagai penyelenggara. iv Apabila dalam penerbitan buku ini masih ada hal-hal yang perlu perbaikan, kekurangan dan kelemahannya baik dari sisi substansi maupun teknis, kami mohon maaf dan berharap masukan serta saran untuk penyempurnaan dan perbaikan buku-buku yang kami terbitkan selanjutnya dan semoga bermanfaat. Semoga bermanfaat. Jakarta, Oktober 2013 Kepala, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Prof. Dr. H. Dedi Djubaidi, M.Ag. NIP. 19590320 198403 1 002 v vi Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI Sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 yang menegaskan bahwa “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Amanat konstitusi tersebut merupakan pengakuan negara atas hak asasi warga negara menyangkut kebebasan beragama. Namun, dalam pergaulan sesama warga bangsa, kebebasan beragama yang disandang seseorang memiliki batasnya sendiri, yakni kebebasan beragama orang lain. Kondisi ini tentu akan menjadi potensi benturan dan konflik kepentingan, terutama ketika pemahaman keagamaan masing masing cenderung ekslusif, dalam arti memandang pemahaman dan praktik keagamaannya sendiri yang benar, sementara pemahaman orang lain salah dan perlu segera diluruskan. Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk mengetahui seberapa besar kecenderungan ekslusifitas warga bangsa dewasa ini, dengan harapan dapat mengetahui potensi konflik yang akan muncul dan menyiapkan langkah antisipasinya. Dalam konteks inilah, kami menyambut baik penerbitan hasil vii Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan terkait ekslusifitas pemahaman keagamaan para pemuka agama di Indonesia. Semoga bermanfaat bagi banyak khalayak. Jakarta, Oktober 2013 Pgs. Kepala, Badan Litbang dan Diklat Prof.Dr. H. Machasin, MA. NIP. 19561013 198103 1 003 viii Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia PROLOG “PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG EKSKLUSIVITAS BERAGAMA DI INDONESIA” Oleh: Jaih Mubarok P enelitian tentang pandangan pemuka agama yang dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI memiliki nilai penting dan strategis dalam konteks pembangunan nasional Indonesia yang berkaitan dan modal sosial (social capital), yaitu persatuan dalam keragaman (Bhinneka Tunggal Ika). Oleh karena itu, penelitian ini pun dari segi fungsinya sangat berguna bagi penyelenggara Negara dalam menentukan perannya sebagaimana dijelaskan oleh Imam alMawardi (w. 450 H) yang mengungkapkan bahwa Negara (alimamah) merupakan topik penting untuk menjelaskan khilafah nubuwah dalam rangka memelihara agama (hirasat al-din) dan mengelola kehidupan duniawi (siyasat al-dunya).1 Ibn Taimiah (w. 728 H) menyatakan bahwa kemashalahatan manusia tidak akan terwujud kecuali adanya pemimimpin; oleh karena itu, pembentukan pemimpin termasuk kewajiban terbesar (baca: terpenting) bagi umat Islam.2 Sebagai wacana, pendapat alMawardi dan Ibn Taimiah melahirkan pro dan kontra, 1 2 Abi al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Bashri al-Baghdadi al-Mawardi, al-Ahkam alSulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah. t.th), hlm. 5. Taqiy al-Din Ibn Taimiah, al-Siyasah al-Syar‘iyyah fi Ishlah al-Ra‘i wa al-Ra‘iyah (Beirut: Dar al-Fikr al-Hadits. t.th), hlm. 173. ix Prolog sehingga terlahir sejumlah gagasan yang dipublikasikan melalui media tulisan.3 Kerukunan dan konflik secara akademik laksana dua sisi mata uang; sedangkan dari segi fungsi sosial, keduanya bertolak belakang ibarat taat dan ma‘shiyat dalam ajaran agama; KH Ma‘ruf Amin mengutif pendapat Robert K. Merton tentang pendekatan konflik yang berpangkal pada anggapananggapan dasar berikut: 1) setiap masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir (karena melekat pada masyarakat); 2) setiap masyarakat mengandung konflik, baik konflik internal maupun konflik eksternal; 3) setiap unsur masyarakat berkontribusi bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial; dan 4) setiap masyarakat terintegrasi di atas dominasi atau penguasaan orang lain.4 Noel J. Coulson menampilkan enam pilihan pasangan dalam hal konflik dan ketegangan, yaitu: 1) wahyu dan rasio (revelation and reason); 2) kesatuan pendapat dan keragamannya (unity and diversity); 3) otorisasi dan liberal (authoritarianism and liberalism); 4) ideal dan kenyataan (idealisme da realisme); 5) hukum dan moral (law and morality); dan 6) stabil (stagnan) dan berubah (stability and change).5 3 4 5 x Pakar sejarah berbeda pendapat dalam menentukan peran Nabi Muhammad Saw, apakah beliau hanya berperan sebagai pemimpin agama atau berperan pula sebagai pemimpin negara (politik). Lihat W. Montgomry Watt, Muhammad: Prophet and Statesman (New York: Oxford University Press. 1969); dan Ali Abd al-Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm: Bahts fi al-Khilafah wa al-Hukumah fi al-Islam (Mesir: al-Hibah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab. 1993). KH Ma‘ruf Amin, Empat Bingkai Kerukunan Nasional (Serang: Yayasan an-Nawawi. 2013), hlm. 73. Lihat Noel J. Coulson, Conflict and Tensions in Islamic Jurisprudence (Chicago: The University of Chicago Press. 1969). Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia Sedangkan Muhammad Imarah juga menampilkan empat pasangan pilihan pemahaman dan sikap beragama, yaitu: 1) kesempurnaan agama dan pembaruan; 2) nash dan ijtihad; 3) hukum agama dan hukum negara; dan 4) musyawarah dan syariah.6 Dalam konteks penelitian di Indonesia, Laode Ida meneliti tentang konflik yang terjadi antara NU (Nahdlatul Ulama), Elit Islam, dan Negara.7 Penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI relevan dengan pendapat KH Ma‘ruf Amin dalam mengungkap sebab-sebab konflik agama (ketegangan dan/atau kekerasan)8 secara internal, yaitu: 1) pemahaman keagamaan yang menodai agama, atau pemahaman yang menyimpang (distorsi) dari tatanan dan sistem keyakinan yang disepakati keabsahan dan kesesatannya; 2) pemahaman literal-radikal atau yang menganggap hanya aliran/madzhabnya sendiri yang benar yang ditandai dengan menyalahkan bahkan mengkafirkan yang lain; dan 3) pemahaman yang liberal (bebas semau sendiri) tanpa mengikuti kaidah-kaidah pemahaman yang ada. Di samping itu, konflik beragama bisa terjadi karena: 1) perbedaan pendapat/pemahaman (ikhtilaf) 6 7 8 Muhammad Imarah, Ma‘alim al-Manhaj al-Islami (Beirut: Dar al-Syuruq. 1991), hlm. 94-95. Dalam kajian Islam Indonesia, antara lain lihat Laode Ida, Anatomi Konflik: NU, Elit Islam dan Negara (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1996). Laode Ida, Anatomi Konflik: NU, Elit Islam dan Negara (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1996). Lihat Noel J. Coulson, Conflict and Tensions in Islamic Jurisprudence (Chicago: The University of Chicago Press. 1969). Muhammad Imarah juga menampilkan empat pasangan pilihan: 1) kesempurnaan agama dan pembaruan; 2) nashsh dan ijtihad; 3) hukum agama dan hukum negara; dan 4) musyarah dan syariah. Lihat Muhammad Imarah, Ma‘alim alManhaj al-Islami (Beirut: Dar al-Syuruq. 1991), hlm. 94-95. Dalam kajian Islam Indonesia, antara lain lihat Laode Ida, Anatomi Konflik: NU, Elit Islam dan Negara (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1996). xi Prolog yang bersifat diametral; 2) perbedaan formula atau cara merespon problem eksternal; dan 3) kompetisi dalam hal disribusi otoritas.9 Sedangkan di antara sebab konflik antarumat beragama adalah: 1) kurang efektifnya pelaksanaan regulasi, baik karena kurang pahamnya aparatur Negara maupun karena kurangnya kesadaran sebagian tokoh dan umat beragama; 2) adanya faham radikal di sebagian kecil kelompok agama; 3) pendirian rumah ibadah; 4) penyiaran agama yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 5) penistaan terhadap agama; 6) adanya salah faham di antara pemeluk agama; 7) adanya kebijakan pembangunan yang tidak sensitif terhadap pluralitas agama warganya; dan 8) adanya kebijakan birokrasi yang tidak mempertimbangkan unsur representasi dan/atau keterwakilan agama warganya.10 Dari segi pengumpulan data, penelitian ini termasuk yang sangat luas responden baik dari segi jumlah (mencapai 700 responden) maupun dari segi lokasi yang diteliti dengan mempertimbangkan dua hal: a) daerah yang sikap keberagamaannya terbuka sehingga daerahnya termasuk daerah yang hampir tidak pernah terjadi konflik; dan b) daerah yang sikap keberagamaannya eksklusif (tertutup) sehingga daerahnya termasuk daerah yang sering terjadi konflik. Di samping itu, indikator-indikator pemahaman yang tertutup (baca: sempit) dan indikator-indikator sikap tidak toleran disusun sedemikian rupa sehingga tertata hubungan (korelasi) dan pengaruh (koefesiensi) antara variabel 9 10 KH. Ma‘ruf Amin, Empat Bingkai Kerukunan Nasional (Serang: Yayasan an-Nawawi. 2013), hlm. 93-96. KH. Ma‘ruf Amin, Empat Bingkai Kerukunan Nasional (Serang: Yayasan an-Nawawi. 2013), hlm. 97. xii Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia pemahaman yang sempit dengan sikap tidak toleran terjadi dan terbukti sedemikian rupa. Dari segi deskripsi hubungan dan pengaruh, hasil penelitian ini termasuk yang ideal dari segi keharusan beragama secara normatif. Jika kita ingin membentuk masyarakat dan Negara yang toleran terhadap perbedaan, maka pemahaman keagamaan masyarakat (ulama) dan Negara harus bersifat luas (bukan pemahaman sempit). Tentu saja tidak semua aspek pemahaman keagamaan harus terbuka, ajaran tentang tauhid (iman) dan ibadah mahdhah relatif bersifat tertutup (kecuali dalam proses penjelasannya seperti lahirnya aliran-lairan kalam dalam Islam); tetapi dalam hal domain muamalah (ghair mahdhah) umat Islam harus bersifat terbuka dan harus membuktikan bahwa Islam adalah rahmat bagi semua. Konflik di Negara kita pada umumnya terjadi lebih banyak dipicu oleh hubungan sosial (kasus Sampit), perasaan diperlakukan tidak adil (seperti penyerangan terhadap terdakwa di sejumlah pengadilan oleh keluarga korban), merasa hak dasar ekonominya dicabut (seperti penggusuran pedagang di kawasan stasiun kereta api dan pedagang kaki lima di kota-kota besar (seperti di Jakarta dan Bandung), karena mereka berdagang bukan untuk jadi orang kaya, tetapi untuk menyambung hidup, yang ditandai dengan modal yang apa adanya, keahlian usaha yang apa adanya, dan pendapatannya pun sama, yaitu apa adanya. Konflik seperti ini terkadang menggunakan simbol agama, tetapi sebenarnya bukan konflik karena pemahaman keagamaan. Meskipun sebagian kecil konflik di negeri ini mucul karena pemahaman xiii Prolog keagamaan (seperti di Sampang Madura dan pendirian gereja illegal di Bogor dan Bekasi). Hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama mengenai hubungan dan pengaruh pemahaman keagamaan yang diasumsikan bahwa: a) semakin luas pemahaman keagamaan, maka akan semakin baik sikap keberagamaan; dan sebaliknya b) semakin sempit pemahaman keagamaan, maka akan semakin buruk sikap keberagamaan; oleh karena itu umat Islam (baca: ulama) harus menjauhi pemahaman sempit yang diduga memicu lahirnya sikap tidak toleran yang terkadang berujung pada konflik, kekerasan, dan bahkan pertikaian atas nama agama. Terbentuknya organisasi kemasyarakatan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam (PUI), Mathla‘ul Anwar (MA), al-Washliyyah, alIttihadiyah, sejatinya semakin mempermudah umat untuk melakukan silaturrahim; begitu juga dengan terbentuknya organsisasi kemasyarakatan yang berbasis profesi seperti Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Himpunan Ilmuan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI), Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), dan Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) sejatinya menjadi media untuk mengarahkan kehidupan umat Islam agar semakin baik dan meningkat kualitasnya. Hasil riset ini sudah menunjukkan bahwa pemahaman keagamaan yang sempit akan melahirkan sikap tidak toleran; oleh karena itu, pemahaman agama yang harus dikembang- xiv Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia kan adalah pemahaman agama yang bersifat luas/mendalam dalam rangka mendukung terbentuk dan terbinanya masyarakat dan Negara yang harmonis dengan terhindar dari konflik dan kekerasan; akan tetapi, hasil riset ini memerlukan riset berikutnya karena hasil riset ini belum mendeskripsikan faktor-faktor apa saja (variabel independen/yang berpengaruh) yang memengaruhi pemahaman keagamaan. Jika faktor-faktor tersebut berhasil diidentifikasi dan ditemukan, maka akan jelaslah mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh ulama dan/atau Negara, yaitu memperkuat faktor-faktor yang menyebabkan pemahaman keagamaan menjadi luas/ mendalam, sambil meminimasi faktor-faktor yang menyebabkan pemahaman keagamaan menjadi sempit (eksklusif). Karena hasil riset menunjukkan bahwa pemahaman agama yang dalam akan melahirkan sikap yang toleran (tasamuh) yang sejalan dengan tujuan Negara, yaitu menciptakan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. Pada akhirnya, Negara ini dibentuk dalam rangka membangun kesejahteraan warganya yang antara lain berupa jaminan kebebasan untuk menjalankan ajaran agama. Karena agama yang dipeluk warga Negara bersifat ragam (bhinneka), maka keragaman tersebut sejatinya menjadi modal sosial bagi kita untuk membangun bangsa ini agar hidup lebih beradab dan bermartabat dengan membentuk norma hubungan yang menjunjung tinggi nilai-inilai ketuhanan (ilahiyah) yang terintegrasi dengan nilai-nilai kemanusiaan (insaniyah). Wa Allah a‘lam bi al-shawwab. xv Prolog xvi Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia DAFTAR ISI Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan ............................................................................ Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI ....................................................... Prolog oleh Prof. Dr. Jaih Mubarok ................................... Daftar Isi................................................................................. iii vii ix xvii BAB I. PENDAHULUAN ............................................ A. Latar Belakang Masalah............................ B. Perumusan Masalah .................................. 1 1 7 BAB II. KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS ........................................................ A. Kerangka Teori........................................... B. Kerangka Berpikir ..................................... C. Pengajuan Hipotesis .................................. 11 11 24 27 METODOLOGI PENELITIAN ....................... A. Tujuan Penelitian ....................................... B. Kegunaan Penelitian ................................. C. Waktu dan Tempat Penelitian ................. D. Metode Penelitian ...................................... E. Variabel Penelitian .................................... F. Populasi dan Sampel ................................. G. Instrumen Penelitian ................................. H. Teknik Analisis Data ................................. I. Hipotesis Statistik ...................................... 29 29 29 30 31 31 32 41 47 47 BAB III. xvii Daftar Isi BAB IV. ANALISIS DATA HASIL PENELITIAN ...... A. Deskripsi Arah Penelitian ........................ B. Profil Responden ....................................... C. Jawaban terhadap Masalah Penelitian ... 49 49 51 62 BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ........ A. Kesimpulan................................................. B. Rekomendasi .............................................. 131 131 137 DAFTAR PUSTAKA ............................................................ 139 xviii Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah S etelah Reformasi tahun 1998, diskursus tentang kerukunan hidup beragama di Indonesia menjadi sangat penting, terutama dengan semakin berkembangnya sentimen-sentimen keagamaan antarumat beragama serta terdistorsinya hubungan antarumat beragama oleh berbagai kepentingan ekonomi, sosial dan politik. Melihat kembali sejarah masuknya agama-agama di Indonesia, kita mengetahui bahwa agama-agama tersebut dapat diterima dan akhirnya berkembang di tengah masyarakat Nusantara. Kepercayaan dan nilai-nilai lokal yang ada sebelumnya dapat menerima kehadiran agama-agama seperti Hindu, Buddha, Islam, Katolik, dan Kristen, yang pada akhirnya terjadi adaptasi antara agama-agama tersebut dengan beberapa unsur budaya lokal. Gejala seperti itu berlangsung di hampir seluruh wilayah Nusantara yang secara geografis terdiri lebih dari 7.000 pulau yang didiami, 300 suku, 400 bahasa, dan enam agama yang diakui negara. Hal di atas mengindikasikan bahwa Indonesia adalah bangsa majemuk, termasuk dalam aspek agama. Pada dasarnya, agama tidak mengajarkan, bahkan sebaliknya, melarang pemeluknya melakukan kekerasan terhadap orang yang berbeda agama. Agama menganjurkan perdamaian, kebersamaan, saling menghormati baik terhadap 1 Bab I. Pendahuluan sesama maupun terhadap orang yang berbeda agama. Oleh karena itu seseorang yang memahami ajaran agamanya secara benar, akan tampil sebagai orang yang memiliki perilaku santun, damai, toleran dan penuh kasih dengan orang lain. Namun pada kenyataannya, yang terjadi seringkali sebaliknya. Agama yang seharusnya menjadikan umatnya memelihara perdamaian, membawa ke arah persatuan, persaudaraan, dan keselamatan, pada suatu waktu dapat saja mendorong dan menyebar konflik, bahkan tak jarang menimbulkan peperangan. Sangat mungkin hal tersebut bukan kesalahan ajaran agama, tetapi akibat dari kesalahan dalam memahami agama dan cara orang beragama, yakni menafsirkan ajaran agama secara sembarangan, baik demi kepentingan pribadi maupun kelompok, baik dalam aspek sosial, ekonomi maupun politik. Dalam sejarah agama, kecenderungan eksklusifitas bukanlah sesuatu yang asing, melainkan sesuatu yang sangat mungkin bisa dirujuk kepada inti ajaran. Dalam agama Kristen misalnya, eksklusifitas beragama dapat saja mendasarkan diri pada ayat yang berbunyi demikian: ”Akulah jalan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes, 14: 6). Dalam ayat lain disebutkan, ”Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan (Kisah Para Rasul, 4: 12). Dalam agama Islam eksklusifitas antara lain bisa dirujuk kepada ayat Al-Qur’an yang bunyinya seperti ini: ”hari ini Ku-sempurnakan agamamu bagimu dan Ku-cukupkan nikmat-Ku untukmu 2 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia dan Ku-pilihkan Islam menjadi agamamu (QS, 5: 3), serta ayat yang lain berbunyi: ”Barangsiapa menerima agama selain Islam maka tidaklah diterima dan pada hari kiamat ia termasuk golongan yang rugi” (Q.S. 3: 85). Eksklusifisme, dalam pengertian ekslusifitas ajaran, pemahaman, sikap, dan perilaku keagamaan, memang dapat menjadi salah satu penghambat berkembangnya kerjasama antar umat beragama, karena eksklusifisme menjadikan setiap pemeluk agama selalu bertindak tertutup, dan menutup diri. Adalah bagian dari watak setiap agama untuk selalu menganggap ajarannya paling benar dan mengisolasi agama itu sendiri dari pengaruh luar yang secara otomatis tidak memungkinkan masuknya paham baru dalam ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Wajar, jika watak seperti itu menghasilkan nalar eksklusif yang dikembangkan penganutnya terhadap segala perbedaan, yakni lebih suka mencari titik perbedaan, dan menegasikan integrasi sosial. Sudah tentu wajar pula jika akhir dari eksklusifisme beragama adalah munculnya konflik dan kekerasan atas nama agama. Terhadap kekerasan agama, Wim Beuken dan Karl Josef Kuschel menyatakan bahwa terdapat dua perspektif dalam melihat kekerasan atas nama agama yakni: (1) agama dalam konteks ideologi, dan (2) agama dalam hubungan sosial.1 Untuk mendukung pendapat ini dapat dilihat pada kasuskasus kekerasan atas nama agama di Rwanda, di mana konflik antar suku Hutu dan Tutsi terjadi karena faktor agama; kasus di Srilangka, di mana kerajaan Singhalese 1 Wim Beuken, Karl Josef Kuschel, et.al. Agama Sebagai Sumber Kekerasan, Terjemahan Imam Baehaqi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2003, hal. xiv-xxv. 3 Bab I. Pendahuluan dengan konsep nasionalisme Buddhisnya, memerangi sistem pendidikan kolonial dan missionaris Kristen; serta di Bosnia yang merupakan representasi perang etnis dan agama. Ketiga contoh di atas merupakan sedikit bukti, bahwa agama dalam konteks ideologi menjadi faktor sekaligus melegitimasi kekerasan. Demikian juga kekerasan yang terjadi di Guatemala dan Elsavador, dapat dilihat dari perspektif agama dalam konteks sosial, di mana agama digunakan sebagai alat untuk merespon terhadap ketidakadilan struktural. Armada Riyanto, menyatakan bahwa kekerasan agama lebih disebabkan oleh eksklusifisme dalam beragama yang dicirikan oleh sikap keagamaan yang fanatik, paham keagamaan yang fundamentalis dan integralisme.2 Dengan perkataan lain eksklusifisme beragama menjadikan seseorang lebih dekat dengan konflik, pertikaian dan kekerasan. Sebagaimana telah disinggung, kekerasan yang terjadi antar agama boleh jadi karena cara memahami agama yang keliru. Dengan demikian, kekerasan agama akan jauh tereduksi jika seseorang dalam beragama selain memahami serta yakin dengan kebenaran agamanya (eksklusif), juga memahami serta menyadari akan adanya kebenaran pada agama lain (inklusif). Jika karena sesuatu dan lain hal, seseorang memiliki tingkat pemahaman agama yang rendah, sempit, rigid, maka ketika terjadi relasi, dan interaksi serta dialog antar agama yang timbul adalah klaim kebenaran (truth claim) yang berpotensi munculnya kekerasan antar agama. Hal ini 2 Armada Riyanto; Membongkar Eksklusifisme Hidup Beragama, (Malang: DIOMASTFT Widyasasana), 2000, hal. 16-34. 4 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia dimungkinkan karena agama secara psikologis selain mempengaruhi spiritualitas juga emosionalitas pemeluknya, sehingga jika agamanya tersentuh, meskipun itu ditunggangi oleh bermacam kepentingan, maka agama memotivasi tumbuhnya kekuatan untuk menghancurkan lawanlawannya. Secara singkat dapat dikatakan, eksklusifisme beragama pada gilirannya akan menimbulkan ketegangan, konflik, kekerasan, dan vonis salah atas ajaran agama lain. Akibat dari sikap dan pandangan keberagamaan seperti ini, agama yang seharusnya mendorong pemeluknya untuk berlomba-lomba menampilkan kualitas amal terbaiknya serta menjadi pemersatu, malah menjadi momok yang menakutkan dan pada akhirnya menghilangkan saling percaya dan kerjasama antar umat beragama. Masyarakat menjadi terkotak-kotak, terpilah-pilah ke dalam kelompok yang saling berhadaphadapan dan mudah tersulut amarah. Kerukunan menjadi hilang dan bila ini yang terjadi, maka bangsa dan negara Indonesia berada di ambang kehancuran. Jika kita kembali membuka lembaran sejarah perjuangan kemerdekaan, maka tidak dapat dipungkiri betapa besar peran agama sebagai alat pemersatu rakyat dalam mengusir penjajah Belanda maupun Jepang. Setelah Indonesia merdeka, peran agama diharapkan lebih meningkat terutama dalam mengawal pembangunan Indonesia seutuhnya, yakni Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Hal seperti itu sangat mungkin terjadi jika umat beragama di Indonesia saling bekerjasama menemukan nilai-nilai yang sama dari setiap agama untuk dijadikan nilai bersama. Penemuan nilai- 5 Bab I. Pendahuluan nilai universal agama sangat mungkin terjadi jika masingmasing umat beragama mau membuka diri terhadap agama lain atau bersifat inklusif, dan bukan eksklusif. Jika ini yang terjadi maka cita-cita kemerdekaan menjadikan Indonesia rumah bersama tempat bernaung, tumbuh dan berkembang semua agama, akan tercapai. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 menegaskan bahwa Pembangunan bidang agama merupakan bagian integral pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan Indonesia yang damai, adil, demokratis dan sejahtera. Pembangunan bidang agama adalah upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat yang dijamin oleh konstitusi. Negara dan Pemerintah berkewajiban memberikan jaminan dan perlindungan atas hak setiap warganya untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, serta memberikan fasilitasi dan pelayanan pemenuhan hak dasar warga tersebut. Dengan demikian, aspek perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak beragama sebagai bagian dari hak asasi warga negara, menjadi landasan pokok dalam pembangunan bidang agama. Agar keanekaragaman agama di Indonesia berperan dan menjadi alat integrasi dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, maka perlu ditemukan jawaban tentang sikap dan pandangan beragama yang bagaimana yang selain dapat mereduksi kekerasan dan konflik baik intern maupun antar umat beragama, juga melahirkan kerjasama demi memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Pertanyaannya 6 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia adalah, apakah keragaman agama yang dianut oleh masyarakat bangsa Indonesia dapat menjadi pemersatu yang memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa? Ataukah justeru menjadikan para pemeluknya lebih mengedepankan ekslusifisme? Apakah benar pernyataan bahwa eksklusifisme beragama timbul karena cara seseorang dalam memahami agamanya? Pemahaman agama yang bagaimana yang menjadikan seseorang eksklusif dalam beragama sehingga menjadikannya tertutup bagi agama lain? Seberapa besar pengaruh interaksi sosial, ekonomi dan politik terhadap pemahaman agama yang eksklusif, atau inklusif? Untuk menjawab pertanyaan di atas, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama pada tahun 2011 yang lalu telah melakukan penelitian tentang eksklusifisme beragama di kalangan pemuka agama-agama yang diakui di Indonesia. B. Perumusan Masalah Adapun permasalahan dalam kajian ini dibatasi pada: 1. Pemahaman keagamaan para tokoh agama Indonesia; 2. Eksklusifisme beragama menurut pandangan para tokoh agama Indonesia; Kedua permasalahan pokok di atas masing-masing dijabarkan ke dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian sbb.: Untuk pemahaman keagamaan: 1) Bagaimana potret keberagamaan para pemuka agama di Indonesia?; 7 Bab I. Pendahuluan 2) Apakah di antara pemuka agama terdapat perbedaan pandangan mengenai tingkat keyakinan dan pemahaman mereka terhadap agama masing-masing?; 3) Apakah terdapat perbedaan intensitas pelaksanaan ritual agama para tokoh enam agama, berdasarkan pandangan mereka sendiri? kalau terdapat, penganut agama apa yang paling intens melaksanakan ritualnya?; 4) Apakah faktor-faktor seperti: (1) jenis kelamin, (2) status pernikahan, (3) status kependudukan, (4) waktu pertama memeluk agama, (5) pengalaman mempelajari agama, dan (6) keberadaan keluarga yang berbeda agama di lingkungan tempat tinggal, mempengaruhi keberagamaan seseorang? 5) Apakah provinsi domisili seseorang terhadap pemahaman keagamaannya? berpengaruh Untuk eksklusifisme beragama: 1) Bagaimana pemahaman keagamaan responden penelitian, apakah eksklusif atau inklusif?; 2) Apakah faktor-faktor: (1) organisasi tempat bergabung, (2) jabatan dalam organisasi, (3) fungsi dalam organisasi, (4) jumlah massa dalam organisasi, (5) status pernikahan, (6) status pekerjaan, mempengaruhi sikap keberagamaan seseorang; 3) Apakah provinsi domisili seseorang mempengaruhi sikap keberagamaannya?; 8 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia 4) Adakah pengaruh pemahaman keagamaan terhadap eksklusifisme beragama para pemuka agama Indonesia? Kalau ada seberapa besar pengaruh tersebut?; 5) Adakah perbedaan eksklusifisme beragama para pemuka agama berdasarkan keyakinan agama yang mereka masing-masing anut?; 6) Adakah perbedaan eksklusifisme beragama antara pemuka yang memiliki pemahaman agama yang tinggi dengan yang memiliki pemahaman agama rendah; 7) Bagaimana pandangan para pemuka agama terhadap eksklusifisme dan inklusivisme dalam beragama; 8) Apakah keanekaragaman agama yang dianut oleh masyarakat bangsa Indonesia dapat menjadi pemersatu yang memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa? 9) Pemahaman agama yang bagaimana yang menjadikan seseorang eksklusif dalam beragama sehingga menjadikannya tertutup bagi agama lain? 9 Bab I. Pendahuluan 10 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS A. Kerangka Teori 1. Pengertian Pemahaman Keagamaan D alam kamus umum bahasa Indonesia kata ”paham” diartikan sebagai mengerti, tahu benar, pandai sesuatu hal.3 Kata ”paham” diberi awalan ”pe” dan akhiran ”an” menjadi pemahaman dan mempunyai pengertian mengetahui tentang sesuatu. Pemahaman merupakan proses berpikir dan belajar. Dikatakan demikian karena untuk menuju ke arah pemahaman perlu diikuti dengan aktivitas belajar dan berpikir. Pemahaman juga diartikan sebagai tingkatan kemampuan seseorang dalam memahami arti atau konsep, situasi serta fakta yang diketahuinya. Seseorang yang paham sesuatu tidak hanya hapal secara verbalitas, tetapi mengerti akan konsep atau fakta dari sesuatu tersebut. Dengan demikian seseorang yang paham terhadap sesuatu maka secara operasional ia dapat membedakan, mengubah, mempersiapkan, menyajikan, mengatur, menginterpretasikan, menjelaskan, mendemonstrasikan, memberi contoh, memperkirakan, menentukan, dan mengambil keputusan.4 Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Pemahaman merupakan jenjang kemampuan 3 Poerwadarminta WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta PN Balai Pustaka).1976. hal 279 4 Op.Cit. Porwadarminta. 11 Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis berpikir yang setingkat lebih tinggi dari ingatan dan hafalan". Menurut Dewey, memahami berarti sanggup menjelaskan, mengklasifikasikan, mengikhtisarkan, meramalkan, dan membedakan.5 Dengan pengetahuan, seseorang belum tentu memahami sesuatu yang dimaksud secara mendalam, hanya sekedar mengetahui tanpa bisa menangkap makna dan arti dari sesuatu yang dipelajari. Sedangkan dengan pemahaman, seseorang tidak hanya dapat menjelaskan sesuatu yang diyakininya tetapi juga mempunyai kemampuan untuk menangkap makna. Kata ”Agama” di sini diartikan sebagai segenap kepercayaan kepada Tuhan, Dewa dan sebagainya, disertai ajaran kebaktian dan kewajiban–kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dsb), serta ajaran untuk menjalankan ibadah dan melakukan atau tidak melakukan sesuatu menurut kepercayaan tersebut. Keagamaan berasal dari kata ”agama” diberi awalan ”ke” dan akhiran ”an” menjadi keagamaan, diartikan sebagai segala hal berkenaan dengan keyakinan seseorang yang berkaitan dengan ajaran agama. Agama sendiri oleh Syaltut, diartikan segala ketetapanketetapan Ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia. Sedangkan Badran mendefinisikan agama mengacu kepada al-Qur’an yakni hubungan antara makhluk dengan Khaliknya. Hubungan ini diwujudkan dalam sikap batinnya serta tampak dalam ibadah 5 John Dewey. How We Think , 1933, hal. 153 12 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia yang dilakukannya dan tercermin pula dalam sikap kesehariannya. Nasution, mengartikan agama sebagai ajaranajaran yang diwahyukan Tuhan melalui Rasul".6 Leuba yang dikutip Arifin mengartikan agama sebagai peraturan Ilahi yang mendorong manusia berakal untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, oleh karena agama diturunkan Tuhan kepada manusia adalah untuk kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat".7 Berdasarkan uraian di atas, maka pemahaman agama merupakan kemampuan seseorang untuk menangkap makna dan arti ajaran agamanya, dapat menjelaskan serta menguraikan isi pokok dari agamanya, dapat membedakan mana yang termasuk perbuatan baik dan buruk, memberikan contoh yang baik kepada sesama, serta dapat menerangkan keyakinannya tersebut. Seseorang yang telah memahami ajaran agama secara benar dan mendalam maka keyakinannya yang telah menjadi bagian integral dari kepribadiannya itulah yang akan mengawasi segala perbuatannya baik lahir maupun batin, sehingga yang lahir dari dirinya adalah prilaku damai dan baik dengan siapapun. Pemahaman seseorang terhadap agamanya berlangsung secara dinamis, seiring dengan dinamika kehidupan manusia serta internalisasi nilai-nilai agama itu sendiri. Sedangkan cara umat beragama dalam menginterpretasikan ajaran agamanya sangat dipengaruhi oleh paradigma yang digunakannya dalam memahami agama itu sendiri. Dalam penelitian agama6 Harun Nasution. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press). 1984, hal. 10. H. M. Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar (Jakarta: PT. Golden Teravon Press). 1998, h. 6 7 13 Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis agama setidaknya terdapat tiga paradigma agama dan keberagaman, yakni; eksklusif, inklusif dan pluralis. Pertama, paradigma eksklusif. Eksklusifisme agama adalah ajaran-ajaran yang mengajarkan keistimewaan, keunggulan, dan semangat dominasi satu agama atas agama lain. Semangat ini dimiliki seluruh pemeluk agama. Orang atau kelompok yang memiliki paradigma ini berpandangan bahwa seseorang tidak akan diselamatkan kecuali kalau mengikuti iman yang dia akui, kecuali memeluk agama yang dia peluk. Agama agama lain boleh jadi juga memiliki banyak kebenaran dan kebaikan, tetapi agama-agama lain tersebut dianggap tidak dapat menjadi mediasi keselamatan.8 Ekspresi keberagaman kelompok ini, baik pemahaman, sikap maupun perilaku mereka cenderung tertutup, konservatif, fundamentalis, ekstrimis, intoleran, apologis dan dogmatis, sehingga kurang kondusif untuk melihat agama lain secara bersahabat, serta terlalu menonjolkan sisi perbedaan dengan menutup serapat-rapatnya sisi persamaannya. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan bersifat subjektif, pendekatan yang menilai subjek lain dari perspektif agamanya sendiri. Agamanya dipandang paling otentik memiliki kebenaran dan jalan keselamatan, sementara agama lain di luar agamanya dianggap hanya memiliki kebenaran yang palsu dan tidak otentik. Eksklusifisme dalam agama Islam adalah adanya doktrin agama yang benar di sisi Allah hanyalah agama Islam, sehingga ajaran agama selain Islam 8 J.B. Bana Wiratima SJ. Bersama saudara-saudari Beriman Sains Perspektif gereja Katolik, dalam Seri Dian 1 tahun 1 Dialog: Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Dian/Anter Fidei).1993, h. 4. 14 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia tidak dapat diterima. Diantara ayat yang dipakai sebagai ungkapan eksklusifisme Islam adalah Q.S.3:85, 3:19, 5:3. Ekslusifisme juga ditampakkan oleh agama Kristen, mereka mempunyai akar pada doktrin-doktrin kristologi mengenai “Kesatuan Hipostatik” yang didefinisikan di Kalsedon sebagai berikut: “Yesus dari Nazareth adalah unik dalam arti yang setepat-tepatnya bahwa meskipun sungguhsungguh manusia, berlaku bagi Dia dan hanya Dia, bahwa Dia juga sungguh-sungguh Allah, pribadi yang dari Tritunggal yang sama kedudukannya.” Yesus merupakan satu-satunya jalan yang sah untuk keselamatan (Yohanes 14:6). Dalam agama Hindu eksklusifisme ditampilkan melalui penegasan bahwa Veda merupakan wahyu yang paling sempurna dari kebenaran Ilahi, oleh sebab itu Hindu melihat dirinya juga sebagai kriteria yang harus digunakan sebagai dasar untuk menguji wahyu dari agama lainnya. Selain itu agama Hindu mempunyai keyakinan bahwa kehidupan beragama muncul dari yang Satu. Dalam agama Budha eksklusifisme muncul melalui ajarannya yang menyatakan Keselamatan adalah dengan menyandarkan iman di dalam Buddha dan melantunkan namanya, dimana seseorang dapat mencapai surga. Jika semua agama memiliki cara pandang seperti di atas, maka akan mendorong munculnya budaya truth claim yang berimplikasi pada pembentukan mode of thought yang partikularistik dan pada akhirnya terjadi apa yang oleh Arkoun disebut sebagai pelapisan geologi pemahaman agama dan 15 Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis taqdis al-afkar al diniy9 atau sakralisasi terhadap pemikiran keagamaan. Bahkan terdapat kecenderungan pemahaman tentang agama itu sendiri dianggap sebagai agama yang wajib diikuti sehingga pemahaman agama mengalami stagnasi dan akhirnya terjadilah marginalisasi dan alienasi agama dalam realitas empirik. Padahal, religiousitas itu sesungguhnya bersifat ”on going process” serta ”on going formation”. Proses ini pula yang oleh Fazlur Rahman disebut sebagai proses ”Ortodoksi”.10 Paradigma ini sangat jauh dari kemungkinan terbukanya peluang dialog, interaksi dan toleransi antar umat beragama. Kedua, paradigma inklusif. Kelompok inklusif membedakan antara kehadiran penyelamatan dan aktifitas Tuhan dalam tradisi agama-agama lain.11 Penganut paradigma inklusif lebih mengedepankan pemahaman ajaran agama secara kontekstual, dengan menangkap esensi dan makna terdalam pesan-pesan teks, sehingga implementasi ajaran agama dipertimbangkan dengan konteks ruang dan waktu, situasi dan kondisi sosio-kultural yang tak terpisahkan dari perjalanan historis manusia. Tetapi dalam paradigma inipun masih terdapat titik kelemahan, yakni meskipun memiliki pandangan yang menaruh simpati terhadap agama-agama lain tetapi kurang menempatkan agama lain sebagaimana dialami dan dipeluk oleh yang bersangkutan. Maka sebagai paradigma, hubungan antar umat beragama masih kurang 9 M. Arkoun, M. Islam: Al-Akhlak Wa Al-Siyasah, terjemahan, Hasyim Saleh (Beirut), 1978, h: 116-117. 10 Fazhur Rahman. Islam, terjemahan, Ahsin (Bandung: Penerbit Pustaka), 1984,h.105. 11 Budhi Munawar Rahman. Islam Plural: Wacana kesetaraan kaum beriman (Jakarta: Paramadina), 2001, h:47-48. 16 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia operasional dan kurang tegas membuka peluang untuk saling berinteraksi dengan penuh toleransi. Terdapat tiga gagasan utama yang saling terkait dari inklusivisme yaitu; (1) substansi keimanan dan peribadatan lebih penting dari pada formalitas dan simbolisme keagamaan yang bersifat literal; (2) pesan-pesan agama yang bersifat abadi dalam esensinya dan universal dalam maknanya, harus selalu ditafsirkan ulang oleh masing-masing generasi umat sesuai dengan konteks zaman yang dihadapi, dan (3) kebenaran mutlak hanyalah milik Tuhan, maka tak seorangpun yang dapat memastikan bahwa pemahamannya terhadap pesan Tuhan adalah paling benar, lebih benar atau lebih baik dari pada pemahaman orang lain. Kelompok ini menekankan betapa pentingnya toleransi terhadap umat seagama maupun antar umat beragama karena perbedaan agama dipandang sebagi fitrah kemanusiaan yang bersifat universal. Bagi agama Kristen, sikap inklusif dimaknai akan adanya perbedaan antara Tuhan dalam konteks penyelamatan dengan Tuhan dalam suatu aktivitas. Dalam konteks aktivitas Tuhan, kepercayaan bahwa seluruh kebenaran agama nonKristiani mengacu kepada aktivitas Tuhan dalam Yesus Kristus, maka ini menjadi inklusif. Sementara kalangan Islam inklusif berpandangan bahwa agama semua Nabi adalah satu. Kalangan ini menganut pandangan al-Qur’an tentang adanya titik temu agama-agama (Q.S. 3:64), di mana masing-masing umat telah ditetapkan sebuah syir’ah dan minhaj. Menurut kalangan ini, Allah tidak menghendaki adanya kesamaan manusia dalam segala hal. Adanya perbedaan menjadi 17 Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis motivasi berlomba dalam kebaikan; dan Allah akan menilai dan menjelaskan berbagai perbedaan itu (Q.S. 5:48). Ketiga, paradigma pluralis. Paradigma ini berbeda secara substansial dengan kelompok inklusif, lebih-lebih dengan kelompok eksklusif. Paradigma ini percaya bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatannya sendiri.12 Bagi umat Islam misalnya, contoh yang paling indah ialah sikap Nabi Muhammad SAW, yang lebih mengutamakan kedamaian ketimbang simbol tekstual. Ketika Nabi melakukan perdamaian dengan kaum Quraisy Mekah pada tahun 628 M (tahun 6 H) di Hudaibiyah, hampir saja perdamaian itu gagal, akibat penolakan pihak Quraisy terhadap naskah perdamaian yang diawali dengan perkataan Basmalah (Bismillahi al-Rahmani al-Rahim). Tak seorang pun sahabat Nabi yang berani menghapus Basmalah sebagai simbol Islam yang amat sakral itu. Namun demi perdamaian Nabi meminta tulisan Basmalah diganti dengan kalimat yang lebih singkat Bismika Allahumma, sehingga diterima oleh semua pihak. Selain itu pluralisme dalam Islam juga digambarkan dengan adanya ayat yang menyebut bahwa pada awalnya manusia bersatu, namun pada akhirnya mereka berselisih dan tercerai berai (2:213). Pluralisme dalam agama Kristen dimulai ketika gereja mengubah sikap dari semula kebenaran mutlak hanya dari dalam gereja menjadi sikap untuk mendengarkan kebijaksanaan dan persoalan-persoalan yang berasal dari agama-agama lain. Rahmat Allah yang universal itulah yang 12 John Harwood: God And Universe of Faiths, (Oxford: One World Publications), 2003 18 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia sesungguhnya menggerakkan dan mendorong seorang Kristen untuk mendamaikan suatu teologi Kristosentris dengan pengalaman keagamaan orang-orang bukan Kristen. Hal ini mengindikasikan bahwa pluralisme ada untuk memenuhi tuntutan dari keadaan yang sangat majemuk dewasa ini. Pluralism dalam ajaran Agama Hindu, terdapat dalam kitab Bhagawadgita, Bab 4 Sloka 11, yang berbunyi, “Jalan manapun ditempuh manusia kearah-Ku semuanya kuterima dari mana mereka menuju jalan-Ku”, serta Bab 7 Sloka 21; Apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan kepercayaan mereka sama supaya tetap teguh dan sejahtera. Dalam ajaran agama Budha pluralism termaktub dalam Prasasti Kalingga No. XXII dari Raja Asoka; “Janganlah kita menghormati agama sendiri dan mencela agama orang lain... Dengan mencela dan merugikan agama orang lain berarti kita juga telah merugikan agama sendiri. Pada dasarnya pandangan pluralis ini tidak menganggap bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah keseragaman bentuk agama. Sikap pluralistik mengekspresikan adanya ”fenomena” satu Tuhan ”banyak agama” yang berarti suatu sikap toleran terhadap adanya jalan lain kepada Tuhan.13 Paradigma pluralisme paling memungkinkan untuk membuka dialog, kerjasama, interaksi dan toleransi antar umat beragama. Pemahaman agama yang dipengaruhi oleh paradigma sebagaimana dikemukakan di atas, memiliki potensi mendorong tumbuhnya varian-varian 13 John Hick. The Religions Are Equally Valid To The Same Truth (San Diego, Greenhaven, Inc. 1995), 74-90. 19 Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis paham keagamaan di dalam kelompok satu agama maupun di dalam hubungan dengan agama lain. Sebagaimana telah diuraikan, paham keagamaan adalah pengertian atau pengetahuan seseorang atau sekelompok orang tentang suatu agama yang mereka yakini, baik yang berhubungan dengan ajaran, ibadah dan ritual, hubungan sosial, organisasi dan sebagainya, berdasarkan penafsiran mereka. Dengan demikian, paham keagamaan juga bisa diartikan aliran keagamaan, yang dihasilkan dari adanya multi tafsir terhadap teks-teks agama. Model pemahaman keagamaan yang bersifat aliran itu biasanya memisahkan diri dari suatu paham atau aliran yang telah ada sebelumnya, lalu membentuk organisasi atau gerakan keagamaan baru. Berbicara mengenai gerakan keagamaan, setidaknya dikenal tiga jenis gerakan keagamaan yaitu (a) endogenous religious movement, (b) exogenous religious movement, dan (c) generative religious movement. Yang dimaksud dengan Endogenous Religious Movement ialah suatu gerakan keagamaan di mana perubahan yang terjadi menyangkut sistem kepercayaan, sistem simbol, sistem ritus dan pengamalan, serta organisasi keagamaan. Perubahan yang terjadi dalam aspek-aspek ini telah menimbulkan pembahasan penting dalam sejarah agama-agama di dunia. Dalam agama Kristen perubahan ini melahirkan sekte-sekte baru yang satu dengan lainnya boleh jadi saling mendekat atau saling menjauh. Gerakan keagamaan yang bersifat eksternal (exogenous movement) biasanya merupakan reaksi dari organisasiorganisasi keagamaan terhadap lingkungan sekitarnya yang 20 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia berubah. Para ahli sosiologi mengatakan bahwa keberadaan organisasi-organisasi keagamaan dalam masyarakat itu sedikitnya mempunyai empat kepentingan. (1) Survival (mempertahankan hidup), (2) Economic (kepentingan ekonomi); (3) Status (kepentingan untuk eksis berperan); (4) Ideology (kepentingan untuk mempertahankan dan mengembangkan suatu pandangan hidup). Manakala kepentingan-kepentingan ini terjamin dan tidak terganggu maka organisasi keagamaan itu boleh dikatakan eksis dalam equilibrium atau harmoni dengan lingkunganya. Sebaliknya, ketika sebagian atau seluruh kepentingan-kepentingan itu terganggu, maka organisasi-organisasi keagamaan akan bereaksi terhadap lingkungannya untuk menjamin diperolehnya kembali kepentingan-kepentingan tersebut. Dalam gerakan seperti itu, para pemimpin organisasi atau para tokoh agama biasanya memberikan justifikasi gerakannya dengan nilai-nilai transendental dari ajaran agama yang dianutnya. Bahkan tujuan gerakan keagamaan itu terkadang disebut sebagai bagian dari wahyu Tuhan. Gerakan keagamaan dari jenis Generative Religious Movement, ditandai oleh kesengajaan upaya untuk melahirkan agama baru di luar agama yang ada. Mula-mula mungkin agama baru yang diperkenalkan itu merupakan bagian dari tradisi agama, atau tradisi lokal yang ada. Agama baru itu boleh jadi diimport dari agama lain, atau dari tradisi lokal yang telah berumur lama sehingga tidak pernah dipandang akan berdiri sendiri. Lama kelamaan, didorong oleh lingkungan sosial, politik, kultural yang ada, tradisi itu mengkristal menjadi suatu tradisi yang kemudian dipercaya sebagai agama yang berdiri sendiri. 21 Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis Selain hal-hal yang dikemukakan di atas, ada satu konsep lagi yang perlu diperhatikan yaitu elective affineties. Konsep ini merujuk kepada kenyataan bahwa seringkali sesuatu agama itu mempunyai hubungan kedekatan dengan suatu budaya, struktur sosial atau kelompok sosial atau kelompok etnik tertentu. Di Indonesia terdapat pula hubungan elective affinity antara agama dengan daerah tertentu atau etnik tertentu. Secara teoritik hubungan itu dapat dipisahkan sehingga peran-peran seseorang dalam masyarakat juga dapat dipisahkan dalam statusnya sebagai pemeluk agama tertentu, atau sebagai anggota etnik tertentu, atau sebagai anggota kelas sosial ekonomi tertentu, atau sebagai kelas pekerja tertentu. Di dalam kenyataannya pemisahan peran itu tidak mudah dilakukan, bahkan terkadang lebih mudah terkacaukan. Sebagai akibatnya, interaksi konflik ataupun konsensus dari berbagai pengelompokan sosial itu sedikit banyak, cepat atau lambat mempengaruhi interaksi konflik, atau konsensus di antara komunitas–komunitas keagamaan yang ada.14 Berkenaan dengan pandangan agama, terdapat dua kelompok, yakni kelompok yang memandang agama sebagai alat, label atau instrument, dan kelompok yang memandang agama sebagai tujuan seperti kelompok fundamentalis. Kelompok pertama, berkeyakinan bahwa agama adalah sarana untuk menjaga eksistensi kemanusiaan dan mencapai kebahagiaan manusia. Sehingga persoalan kemanusiaan dalam konteks ini diletakkan pada posisi yang tinggi dan karenanya agama hadir sebagai ”pelayan” bagi kemanusiaan, 14 Kustini. Kelompok Keagamaan Kristen, Hindu dan Buddha di Indonesia (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan), 2006, h: 7-8. 22 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia sehingga jika ada perbuatan yang menghinakan dan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, sama artinya dengan memporakporandakan agama. Sementara kelompok kedua, memposisikan kehidupan manusia adalah untuk agama. Karenanya, demi agama kapanpun diperlukan, kemanusiaan dapat dikorbankan dengan cara mengusung simbol-simbol dan mengibarkan panji-panji agama dari “serangan” musuh-musuhnya.15 Dengan melihat paparan mengenai kondisi masyarakat bangsa Indonesia yang ternyata menganut banyak agama, ada satu pertanyaan yang dapat dimunculkan di sini: Bagaimana menjadikan pluralitas agama yang dianut oleh masyarakat bangsa Indonesia sebagai media integrasi sosial agar tercipta kehidupan yang harmonis dalam kerangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa? Pertanyaan tersebut penting diajukan mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, yang percaya pada enam pilar rukun iman,16 dan meyakini serta melaksanakan lima pilar rukun Islam17, meskipun terdapat perbedaan penafsiran atas beberapa praktek keagamaan mereka. Terhadap pilar-pilar iman dan Islam tersebut setiap umat Islam selain harus mempercayainya juga harus 15 Peter L. Berger. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial (Jakarta: LP3ES). 1993, h:36-41. yaitu percaya pada adanya Tuhan yang Maha Esa (Allah SWT), percaya pada para Nabi, Malaikat-Nya, Kitab-Nya, para utusan-Nya, hari akhir (kiamat), dan qada’-qadarNya. 17 yaitu Syahadat (percaya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai utusanNya) shalat lima kali sehari semalam, zakat, puasa selama bulan ramadhan, menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah bagi yang benar-benar mampu melaksanakannya secara mental spiritual, jasmaniah dan finansial. 16 23 Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis memahami dengan baik dan benar. Hal yang sama pasti juga berlaku di kalangan umat Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu, yakni setiap umatnya harus memahami dengan baik dan benar ajaran-ajaran dasar agama masingmasing. Dalam konteks hidup bermasyarakat, pemahaman keagamaan tersebut sangat mungkin ditransformasi menjadi perilaku keseharian. Pada saat berinteraksi itulah, cara beragama (eksklusif, inklusif atau pluralis) masing-masing pemeluk agama, akan sangat mempengaruhi pola-pola interaksi yang berkembang di antara mereka. B. Kerangka Berpikir 1. Terdapat Pengaruh Pemahaman Keagaman terhadap Eksklusivisme Beragama Pemahaman agama adalah pengetahuan yang mendalam seseorang atau sekelompok orang tentang ajaran agama yang mereka anut. Kepribadian seseorang yang telah memiliki pemahaman tentang ajaran agama akan berbeda jika dibandingkan dengan seseorang yang tidak, belum, atau kurang memiliki pemahaman tentang ajaran agama. Perbedaan tersebut akan terlihat dalam sikap dan perbuatannya sehari-hari. Seseorang yang telah memahami ajaran agamanya cenderung akan melakukan perbuatanperbuatan yang dibolehkan dalam agamanya dan selalu melaksanakan kewajiban-kewajibannya selaku hamba Allah. Orang tersebut juga akan selalu berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang bahkan yang diharamkan dalam ajaran agamanya. 24 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia Sebagai ilustrasi, kewajiban dasar umat Islam adalah melaksanakan perintah Allah seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Sholat tidak boleh ditinggalkan oleh setiap Muslim. Kewajiban tersebut harus selalu dilakukan 5 kali dalam sehari semalam pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Puasa wajib dilakukan ketika memasuki bulan Ramadhan, dan seterusnya. Bagi orang yang memiliki pemahaman tentang ajaran agama Islam, ia cenderung akan selalu melakukan kewajiban-kewajibannya kepada Allah dengan melaksanakan ibadah secara rutin dan selalu berusaha agar tidak pernah meninggalkan ibadahnya di manapun ia berada, karena ia menyadari bahwa ibadah yang diwajibkan benar-benar wajib untuk dilaksanakan dan tidak boleh ditinggalkan. Ia melaksanakan ibadah tersebut semata-mata untuk memperoleh ridha dan pahala dari Allah. Jika ia meninggalkan ibadah tersebut dengan sengaja, maka ia akan berdosa dan kelak mendapatkan siksa dari Allah. Dengan perkataan lain pemahaman agama akan mempengaruhi watak dan bentuk perilaku penganutnya dalam setiap aspek kehidupan terutama dalam berinteraksi dengan sesama umat beragama. Selain itu tinggi rendahnya pemahaman ajaran agama yang dimiliki seseorang tergambarkan dalam bentuk pelaksanaan ajaran agama yang diyakini serta pada akhirnya juga mempengaruhi emosi keberagamaanya, yang pada gilirannya akan mempengaruhi perilaku dalam berinteraksi dengan umat agama lainnya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan, pemahaman keagamaan seseorang mempengaruhi bentuk perilaku berinteraksi, baik dengan umat sesama agama maupun umat 25 Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis berlainan agama. Ragam bentuk interaksi dapat bersifat eksklusif, maupun inklusif. 2. Terdapat Perbedaan Eksklusifisme beragama antara para pemuka agama Sebagaimana telah dijelaskan, dalam kegiatan seharihari, para pemuka agama bergaul dan berinteraksi tidak hanya dengan sesama jamaah atau kelompoknya yang seagama saja, tetapi juga bergaul dan berinteraksi dengan kelompok atau jamaah agama lain. Dalam pergaulan dan interaksi tersebut para pemuka agama selain harus tetap melaksanakan semua kewajiban agama juga harus melaksanakan semua tujuan, kegiatan dan program lembaga, organisasi atau institusi di mana ia berada. Dalam hal ini tentunya pola penerapan ajaran agama atau sikap beragama lebih mengutamakan tujuan, kegiatan atau program organisasi di mana mereka berada. Karena para pemuka agama bergabung dalam organisasi yang beranekaragam, yang memiliki program dan tujuan yang berbeda seperti lembaga pendidikan formal, lembaga pendidikan informal, lembaga penelitian dan pengembangan, organisasi sosial ekonomi, asosiasi sosial politik, atau asosiasi profesi, maka pelakasanaan dan sikap beragama merekapun diasumsikan akan berbeda karena dipengaruhi keanekaragaman anggota dan lingkungan organisasi atau lembaga di mana mereka bergabung. Berangkat dari pemikiran di atas, maka diduga terdapat perbedaan eksklusifisme beragama para pemuka agama dari ke- enam agama yang secara formal tertera dalam peraturan. 26 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia C. Pengajuan Hipotesis Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang telah disajikan di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: H1 : Terdapat pengaruh pemahaman keagamaan (X) terhadap ekslusivisme beragama (Y). H0 : Tidak terdapat pengaruh pemahaman agama (X), terhadap ekslusivisme beragama (Y). H1 : Terdapat perbedaan ekslusivisme beragama antara pemuka agama di enam agama yang terdapat di Indonesia. H0 : Tidak terdapat perbedaan ekslusivisme beragama antara pemuka agama di enam agama yang terdapat di Indonesia. 27 Bab II. Kajian Teori dan Pengajuan Hipotesis 28 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tujuan Penelitian P enelitian ini selain bertujuan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas dan komprehensip tentang ada tidaknya pengaruh pemahaman keagamaan terhadap eksklusifisme beragama, juga secara operasional penelitian ini ingin: 1. Mengetahui pengaruh pemahaman keagamaan para pemuka agama terhadap eksklusifisme beragama. 2. Mengetahui perbedaan eksklusifisme beragama para pemuka agama-agama karena perbedaan pemahaman keagamaan mereka. B. Kegunaan Penelitian Temuan hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai: 1. Bahan masukan bagi Departemen Agama dalam hal ini Direktorat Jenderal Bimas Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha, dalam merumuskan kebijaksanaan pembinaan dan pelayanan keagamaan; 2. Melengkapi informasi tentang ekslusifisme keagamaan dalam kerangka upaya penanganan paham-paham keagamaan yang berkembang di Indonesia. 29 Bab III. Metodologi Penelitian C. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian dilakukan tahun 2011 di 10 provinsi, yaitu Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tengah. Seleksi provinsi ini dilaksukan secara purposif dan didasarkan pada pertimbangan sebaran umat beragama– mayoritas-plural-minoritas. Jawa dengan mayoritas Islam; Bali mayoritas Hindu; Nusa Tenggara Timur mayoritas KatolikProtestan; Kalimantan Barat di kabupaten-kota tertentu mayoritas Buddha-Khonghucu; Lampung, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat komunitas heterogen-plural. Secara teoretis, faktor-faktor demografis, geografis, sosialekonomis, dan kultural sangat mempengaruhi cara individu bersikap dan berperilaku keagaman dalam kehidupan seharihari. Karena itu faktor-faktor sosial-ekonomis, geografis dan kultural, menjadi pertimbangan dalam penentuan responden penelitian. Selain itu, untuk kebutuhan analisis berbasis satuan unit agama, survei harus memperhatikan signifikansi representasi agama yang dianut responden dengan variasi karakteristik strata sosialnya. Karenanya, asas proporsionalitas sebaran sampel menurut agama, strata dan karakter sosialkeagamaan populasi mutlak diperhatikan. Jumlah sampel perprovinsi bervariasi. Penentuan jumlah sampel ini didasarkan terutama pada sebaran komunitas populasi menurut kriteria seperti 30 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia ditampilkan pada tabel III.2, dan prinsip tingkat homogenitas populasi yang tinggi, baik dari aspek demografi, sosial, ekonomi dan budaya di setiap provinsi target survei. Sebaran sampel menurut provinsi disajikan pada tabel III.1. D. Metode Penelitian Motode penelitian yang dipergunakan adalah survey, sebagaimana pendapat Ary, Yakubs dan Razavich yang menyatakan bahwa metode survey dirancang untuk memperoleh informasi tentang status gejala pada saat penelitian dilakukan dengan tujuan melukiskan variabel atau kondisi apa yang ada dalam suatu situasi, untuk menguji hipotesis serta untuk menguji ada tidaknya hubungan dan atau pengaruh satu variabel terhadap variabel yang lain.18 E. Variabel Penelitian Penelitian ini terdiri atas satu variabel bebas pemahaman keagamaan (X) dan satu variabel terikat eksklusifisme beragama (Y). Variabel bebas (X) dalam penelitian ini adalah Pemahaman Keagamaan meliputi: (1) keyakinan keagamaan, (2) praktek ritual keagamaan, (3) pengalaman sosial-keagamaan, dan (4) konsekuensi hidup keagamaan, sedangkan Variabel terikat (Y) dalam penelitian ini adalah eksklusifisme beragama dalam aspek (1) teologi sosial, (2) sosial keagamaan, dan (3) sosial politik keagamaan. 18 Donald Ary, L, Ch, Yacobs and Asghar Razavich, Introduction to Research in Education (2nd), (Sydney:Halt Rinehalt and Winston, 1979, p:382. 31 Bab III. Metodologi Penelitian F. Populasi dan Sampel a. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Indonesia yang terdapat di berbagai komunitas agama di Indonesia yakni mereka yang saat survei dilakukan menetap di tanah air, dan berstatus pemuka agama. Pemuka dalam survei ini adalah “setiap individu yang dalam aktivitas kesehariannya berperan spesifik dan dominan untuk pembangunan dan pengembangan umat ber-agama”. Peran dan fungsi dimaksud dapat diaktualisasikan dalam bingkai organisasi formal keagamaan sebagaimana terdapat dalam tabel III.1 di bawah. Selain itu, survei juga memperhatikan signifikansi responden dalam hal representasi agama yang dianut dengan variasi karakteristik strata sosialnya. Asas proporsionalitas sebaran sampel mendapat perhatian. Sebaran sampel menurut representasi agama juga dapat dilihat pada tabel yang sama. Tabel III.1 : Matriks Komunitas/Organisasi/Lembaga Target Survei No 1 Organisasi/ Lembaga Lembaga pendidikan FORMAL Stratum Nama Lembaga Keterangan 1. JENJANG (SD-PT) 2. JENIS pendidikan (Umum-Agama ) Sekolah berbasis keagamaan, pesantren, Perguruan Tinggi Islam, Katolik, Kristen Hindu Budha dan Khonghucu Lembaga kursus, pelatihan, pendidikan, penelitian, pengkajian dan pengembangan (contoh MUI, Lakpesdam, PPIM) Anggota, pengurus, fungsionari s sesuai jenjang berbasis keagamaan 2 Lembaga pendidikan INFORMAL dan penelitianpengem- 32 1. Pendidikan bersertifikat 2. Pelatihanketrampilan 3. Penelitianpengkajian Anggota, pengurus, fungsionari s dan lain sebagainya Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia 3 bangan berbasis keagamaan Organisasi SOSIALEKONOMIKEAGAMAAN 4 Asosiasi SOSIAL- 4. Pengembangan 1. SOSIAL- EKONOMI 2. IBADAH 3. KESEHATAN 4. BUDAYA 5. KEMUNUSIAAN 1. Partai politik 2. Underbow politik (NU, Muhammadiyah, Mathlaul Anwar, PERSIS, Nahdhatul Wathan, al-Irsyad, al-Khairat, LDII, P.HI, FUI, KATOLIK (KWI); KRISTEN Mainstream PGI, PGII, PGPI, Aliran Kristen – Gereja Gabungan Baptis Indonesia, Advent, Kesaksian Jehova, Gereja Orang Suci Akhir Zaman, Bala Keselamatan, Kristen Ortodoks; HINDU seperti PHDI, BUDHA (Walubi), KHONGHUCU (MATAKIN) PKS, PBB, PBR, PDS Anggota, pengurus, fungsionari s dan lain sebagainya Pengacara Syariah, Tim Pembela Muslim, Ikatan Guru Agama, Perhimpunan Khatib, Penceramah-Evangelis, Ikatan Da’i Indonesia, asosiasi pendeta, pedande, bikhku, Serikat Pekerja Islam Indonesia) Anggota, pengurus, fungsionari s dan lain sebagainya ISLAM POLITIK 5 berbasis keagamaan Asosiasi PROFESI berbasis keagamaan 1. Layanan hukum 2. Layanan kesehatan 3. Layanan kemasyarakatan 4. Layanan ekonomi 5. Laynanan pendidikan Anggota, pengurus, fungsionari s b. Teknik sampling dan jumlah responden penelitian Sampel dalam survei ini ditarik secara multistage random sampling dengan menggunakan beberapa prinsip berikut: 33 Bab III. Metodologi Penelitian 1) Asas adil. Responden diseleksi dengan prosedur random agar setiap unsur-kategori populasi di setiap basis komunitas seleksi memiliki peluang yang sama untuk terpilih sebagai responden. Prosedur randomisasi diterapkan pada seleksi sampel di level komunitas agama, dan anggota organisasi atau lembaga, untuk menjadi responden. 2) Asas konsistensi. Petugas lapangan survei ini menerapkan segala prosedur yang telah ditetapkan dalam Buku Panduan secara konsisten. Setiap perubahan prosedur penarikan sampel, dan perubahan strategis-teknis lainnya harus terlebih dahulu mendapat persetujuan koordinator survei. 3) Asas kejelasan. Informasi lengkap untuk setiap komunitas dan anggota komunitas populasi diberikan perhatian. Namun demikian, batas informasi responden yang terpilih dalam survei ini sulit diketahui. Selama ini, dokumen akurat yang mencatat data populasi secara lengkap dan detail masih sangat langka, dan akibatnya sulit didapatkan. Bahkan ada kecenderungan data seperti itu tidak ada. Untuk mengatasi kesulitan ini, sampling frame (bingkai penarikan sampel) dimaksimalisasi berdasarkan data-informasi yang disediakan oleh lembaga formal agama atau lembaga yang bernaung di bawah manajemen agama tertentu, seperti Kantor Kementerian Agama, atau organisasi sosial-keagamaan. Selanjutnya dengan berpedoman kepada prinsip di atas, pengambilan sampel di lapangan mengikuti langkah-langkah berikut ini: 34 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia a. Proses Penentuan Kabupaten-Kota 1) Unit satuan primer referensi penarikan sampel adalah komunitas/kelompok agama. Sampel diseleksi secara random berjenjang. Prosedur random sampling sudah mulai diterapkan saat penyeleksian komunitas/ kelompok agama dan responden. Prinsip randomisasi responden betul-betul diterapkan, di mana tenaga lapangan tidak boleh mengubah prinsip metodologis ini. 2) Bingkai penarikan sampel di setiap jenjang harus mendaftar dan memuat selengkap mungkin seluruh informasi yang terkait dengan nama komunitas/ kelompok agama dan responden. 3) Jika unit satuan komunitas/kelompok berbasis keagamaan tidak ditemukan, sampel diseleksi berbasis individu (tidak terikat oleh bingkai organisasi/kelompok agama); orang per orang tanpa ikatan organisasi tertentu, tetapi setiap peneliti diharuskan memperhatikan semua kriteria responden menurut sub-stratum yang telah ditetapkan koordinator penelitian. Umpama, jika data asosiasi hakim, pengacara, atau dokter berbasis agama tidak ditemukan, maka sampel pengacara, hakim dan dokter dapat diseleksi dengan merujuk pada lembaga tempat mereka bekerja, bukan dari basis organisasi profesi yang memayungi mereka. Dalam hal ini, hakim dirujuk ke pengadilan, dokter dirujuk ke rumah sakit berbasis agama tempat mereka bekerja (seperti rumah Sakit Islam, Katolik, Kristen dan Hindu), dan pengacara dirujuk ke wadah asosiasi hukum yang memayungi keberadaan mereka secara organisatoris. 35 Bab III. Metodologi Penelitian 4) Respresentasi setiap unsur dari sub-stratum dan kriteria di atas benar-benar diperhatikan, dan menjadi ketentuan dasar untuk prosedur penarikan sampel. Setiap unsur dimaksud dengan segala detailnya betul-betul terwakili dengan berbasiskan asas proporsionalitas sebaran komunitas populasi penelitian. 5) Selengkapnya teknik penentuan responden penelitian sebagaimana diagram berikut ini. Diagram Skema Alur Penarikan Sampel Nasional Provinsi 1 Provinsi 2 Provinsi 3 Provinsi … Provinsi 10 Kab-Kota 1 Kab-Kota 2 Kab-Kota 3 Kab-Kota 4 Kab-Kota 30 Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Cluster 4 Cluster 70 Responden 1 Responden 2 Responden 3 Responden 4 Responden 700 .. Keterangan: Alur dan tahapan proses penarikan sampel survei seperti disajikan pada Diagram di atas adalah sebagai berikut. 36 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia a) Pertama, dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, 10 provinsi diseleksi secara purposif dengan pertimbangan proporsionalitas distribusi dan konsentrasi umat beragama menurut provinsi. b) Di setiap provinsi, dipilih 2-3 kabupaten-kota untuk provinsi di luar pulau Jawa dan 3-4 kabupaten-kota untuk provinsi di Jawa, secara purposif, dengan rasio seimbang, walaupun dengan prioritas kota provinsi dan kota yang berpenduduk plural secara agama. Prioritas ini didasarkan pada fakta bahwa konsentrasi komunitas/kelompok umat beragama menurut organisasi sosial-politik-agama umumnya lebih banyak terkonsentrasi di wilayah perkotaan. Jumlah kabupaten-kota yang diseleksi di setiap provinsi disesuaikan dengan proporsi distribusi agama dan konsentrasi komunitas. c) Di setiap kabupaten-kota per provinsi diseleksi sejumlah komunitas organisasi/kelompok pemuka agama di bawah naungan manajemen (struktural-non struktural) organisasiasosiasi. Jumlah komunitas organisasi/kelompok pemuka agama diseleksi secara random dan proporsional menurut kabupaten-kota, provinsi, agama serta kriteria organisasi/ kelompok. Jika di sejumlah daerah tidak ditemukan unit satuan komunitas/organisasi pemuka agama, seleksi komunitas pemuka agama didasarkan pada fakta batas ketersediaan data organisasi/kelompok pemuka dimaksud. d) Di setiap kabupaten-kota diseleksi 8-12 komunitas pemuka agama. Setiap komunitas organisasi/kelompok pemeluk agama yang terpilih harus memenuhi strata-kriteria responden. 37 Bab III. Metodologi Penelitian e) Di setiap komunitas organisasi/kelompok pemuka agama, dipilih 2-3 orang responden, yang berstatus pengurus komunitas organisasi/kelompok pemuka agama, dan atau fungsionaris. Dari setiap komunitas organisasi /kelompok pemuka agama yang terpilih sebagai responden penelitian, responden tersebut tidak boleh; pertama, tumpang tindih fungsi-status jabatannya, Artinya, fungsi dan jabatan seseorang pemuka bisa berstatus berganda, seperti sebagai pengurus, fungsionaris, bahkan untuk fungsi dalam profesi yang beragam, seperti sebagai guru, penceramah, dan lain sebagainya. Kedua, jika seorang pemuka agama terdaftar di dua tempat komunitas, keberadaannya hanya akan diakui di satu komunitas. Artinya, seorang pemuka agama tidak boleh terpilih 2 kali sebagai responden. b. Prosedur Penentuan Komunitas Organisasi/Kelompok Pemuka Agama 1) Mendapatkan informasi tentang jumlah dan namanama komunitas organisasi/ kelompok pemuka agama di kabupaten-kota terpilih. Data tentang komunitas pemuka agama ini umumnya (tetapi tidak selalu) tersedia di Kantor Wilayah Kementerian Agama dan atau di lembaga sosial-keagamaan. 2) Menyalin seluruh nama dan alamat lengkap organisasi/kelompok komunitas pemuka agama tersebut di Lembar Daftar Organisasi/lembaga Komunitas Pemuka Agama. 3) Memilih secara acak komunitas organisasi/kelompok pemuka agama di kabupaten-kota terpilih. 38 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia 4) Dengan cara ini ditemukan komunitas organisasi/ kelompok pemuka agama yang akan dikunjungi untuk penyeleksian calon responden. c. Prosedur Penentuan Responden Pemuka Agama 1. Penentuan responden dari komunitas pemuka agama yang terpilih dilakukan secara random sederhana, yaitu dengan cara pengundian. 2. Langkah yang dilakukan peneliti adalah mendaftar seluruh anggota komunitas pemuka agama yang terpilih menurut masing-masing organisasi/kelompok pemuka agama. Dari daftar nama-nama anggota komunitas pemuka agama menurut kriteria di atas, melalui pengundian, akan diseleksi 2-3 responden, atau sesuai kebutuhan. 3. Jika jumlah anggota komunitas pemuka agama terlalu sedikit, maka peneliti dengan persetujuan Kordinator, menambah jumlah komunitas organisasi/kelompok pemuka agama yang dipilih. Jumlah anggota komunitas organisasi/kelompok yang akan diundi tidak boleh kurang dari 10 orang, untuk kemudian diseleksi 2 orang untuk setiap organisasi. Artinya, dari setiap 5 orang anggota komunitas organisasi/ kelompok, dapat diseleksi 1 orang responden. 4. Memperhatikan representasi responden perempuan dalam seleksi responden. Hal ini penting, karena mayoritas pemuka agama yang terdaftar dalam sebuah komunitas organisasi/kelompok/asosiasi umumnya hanya laki-laki. Akibatnya, penyusunan bingkai 39 Bab III. Metodologi Penelitian penarikan sampel harus memastikan kemungkinan keanggotaan pemuka agama perempuan dalam komunitas organisasi/kelompok dimaksud. Jumlah responden 700 orang dengan standar sampling error 4.7 % dan over-sample untuk responden non muslim. Rincian sebaran sampel menurut provinsi dan agama disajikan pada tabel III.2 berikut. Tabel III.2: Sebaran responden menurut Provinsi dan Agama Jumlah Sampel 5 2 55 2 4 4 90 10 2 4 5 90 9 8 2 4 4 85 60 7 10 2 4 2 85 15 3 4 31 5 2 60 36 4 4 6 3 2 55 15 25 14 2 2 2 60 Provinsi Islam Katolik Kristen 1 Lampung 36 4 4 4 2 DKI Jakarta 60 10 10 3 Jawa Barat 60 9 4 Jawa Tengah 58 5 Jawa Timur 6 Bali 7 8 40 Khong hucu No Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Hindu Budha 9 Kalimantan Barat 15 5 8 2 15 20 65 10 Sulawesi Tengah 35 4 8 2 4 2 55 Jumlah Sampel Real 390 80 80 55 50 45 700 Sampel Normatif 390 ±16 ±29 ±11 ±4 ±3 453 Over Sample Size 0 64 51 44 46 42 147 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia G. Instrumen Penelitian Penelitian ini menggunakan dua instrumen penelitian. Pertama berupa kuesioner yang bertujuan mendapatkan data tentang pemahaman keagamaan dan eksklusivitas beragama yang disebar kepada 700 orang pemuka agama di enam agama dari sepuluh provinsi yang dipilih secara purposif, kedua pedoman wawancara yang bertujuan menggali lebih dalam (indepth interview) pandangan pemuka agama terhadap agamanya dan eksklusifisme. 1) Kuesioner Kuesioner disusun dengan merujuk kepada kisi-kisi sebagaimana terdapat dalam tabel 3.3, dan tabel 3.4 berikut ini. 1. Tabel III.3: Kisi-Kisi instrumen Pemahaman Keagamaan (X) No 1 Dimensi Keyakinan keagamaan 2 Praktek Ritual Keagamaan 3 Pengalaman SosialKeagamaan Indikator a. Dasar-Dasar keyakinan Agama. b. Keyakinan akan pencipta dan pengatur alam semesta. c. Keyakinan akan keselamatan dunia dan akhirat a. Kitab suci sebagai rujukan, b. Pelaksanaan perintah ajaran agama, c. Frekuensi berdo’a, serta menutup kesala han dengan kebaikan Agama aktivitas sosial yang menganjurkan umatnya: a. Membantu sesama, b. Berderma, berbuat baik dengan sesama, No Butir 1 s/d 7 8 s/d 13 14 s/d 18 41 Bab III. Metodologi Penelitian c. 4 Konsekuensi Hidup Keagamaan Cara berinteraksi / berhubungan baik dengan seagama maupun yang berbeda Konsekuensi dari keyakinan Agama dalam melaksanaan perintah Tuhan: a. Membangun semangat persaudaraan, b. Kegiatan peningkatan keimanan, c. Aktivitas perenungan diri 19 s/d 27 2. Tabel III.4. Kisi-Kisi Intrumen eksklusifisme beragama (Y) Dimensi 1 2 3 SosialPolitik Keagamaan TeologiSosial Keagamaan Sosial Keagamaan Indikator Keyakinan bahwa jalan keselamatan hanya ada dalam agamanya. Karena itu dalam kegiatan apapun hanya bagi umat yang seiman No Butir 1 s/d 20 Keyakinan dan cara beragama dalam konteks sosial 21 s/d 28 Kegiatan-kegiatan keagamaan dalam aktivitas sosial 29 s/d 38 2) Pedoman wawancara mendalam Penelitian ini selain bertujuan mendapatkan data kuantitatif juga ingin mendapatkan data kualitatif. Sebagaimana dinyatakan di atas variabel penelitian ini adalah pemahaman keagamaan, dan eksklusifisme beragama. Untuk mendapatkan pemaknaan yang mendalam terhadap kedua variabel di atas, dilakukan wawancara mendalam terhadap narasumber terpilih di setiap daerah. Jumlah narasumber wawancara mendalam per provinsi, berkisar 9-12 orang. 42 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia Fokus wawancara mendalam berkenaan dengan isu-isu tematik yang menjadi materi paham keagamaan dan dampak eksklusifisme beragama pada kehidupan keagamaan. Pemahaman Keagamaan. Mencakup wawancara tentang keyakinan keagamaan, aktivitas ritual keagamaan, pengalaman hidup sosial-keagamaan dan konsekuensi hidup beragama. Secara teknis, Pemahaman Keagamaan diringkas menjadi Keberagamaan Eksklusifisme beragama. Fokusnya adalah dimensi teologissosial keagamaan, sosial-keagamaan dan sosial-politik keagamaan. Narasumber diminta untuk mengungkapkan sikap dan pendirian keagamaannya secara detail dan spesifik tentang eksklusifisme beragama terutama tentang: 1) Dimensi berikut. teologis-sosial keagamaan mencakup butir-butir a) Keyakinan tentang eksklusifisme suteriologi (jalan kesalamatan) untuk misi keadilan dan keberkahan hidup dunia dan akhirat; b) Eksklusifisme mengenai liturgi (cara berdoa/ beribadah, kekuatan doa, dan kebermaknaan doa bagi umat beragama); c) Kesesatan orang-orang (minoritas) yang tidak sealiran/sepaham dengan paham mayoritas di internal setiap agama; d) Kesesatan orang-orang yang tidak seagama serta sikap terhadap ancaman dari umat yang berbeda agama terhadap agama narasumber; 43 Bab III. Metodologi Penelitian e) Sikap terhadap pembangunan tempat ibadat baru dari agama lain; f) Sikap terhadap keberadaan tempat ibadat agama lain di sekitar tempat tinggal narasumber; g) Perlakuan terhadap tempat ibadat narasumber oleh pemeluk agama lain (memasuki tempat ibadat, kehadiran umat berbeda agama di acara keagamaan yang diadakan sendiri); h) Sikap terhadap misi pengembangan agama lain (aktivitas misionaris, dan keberadaan misionaris); i) Sikap terhadap aktivitas ritual umum agama lain (seperti tahlilan, misa di rumah atau di luar tempat ibadat, pengajian, kebaktian) di sekitar tempat tinggal narasumber; j) Pembubaran aktivitas ritual-teologis sosial agama lain; 2) Dimensi sosial-keagamaan mencakup butir-butir berikut. a) Menghadiri perayaan dilakukan agama lain; kegiatan keagamaan yang b) Mengundang umat berbeda agama dalam kegiatan/ acara sosial-keagamaan yang diadakan oleh narasumber atau masyarakat yang berbeda agama; c) Kehadiran umat berbeda agama di lingkungan tempat tinggal sendiri dan ikut berbelasungkawa pada umat berbeda agama yang tertimpa musibah; d) Sikap terhadap aplikasi ajaran agama pada isu-isu interaksi sosial (seperti pernikahan beda agama, dan 44 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia keterlibatan dalam kegiatan sosial lintas agama untuk misi kemanusiaan); e) Aktivitas membendung atau menentang kehadiran umat berbeda agama tinggal di sekitar tempat tinggal narasumber; f) Interaksi sosial dengan umat yang berbeda agama (bertegur sapa, berbagi makanan, saling membantumeminjamkan perabotan rumah tangga lintas umat beragama; g) Kerjasama budaya-ekonomi lintas agama. 3) Dimensi sosial-politik keagamaan a) Sikap terhadap pemilihan pemimpin (dari unit pemerintahan terrendah sampai level paling tinggi); b) Sikap terhadap kepemimpinan tokoh berbeda agama (untuk setiap level pemerintahan) dalam kehidupan sehari-hari; c) Sikap terhadap penggalangan dana untuk membantu kegiatan agama lain untuk penanganan kasus musibah yang menimpa umat agama lain; d) Sikap terhadap isu kemunculan dan perkembangan paham atau aliran minoritas di internal agama; e) Sikap terhadap penanganan isu beragama; kebijakan radikalisme publik mengenai dan eksklusifisme 45 Bab III. Metodologi Penelitian f) Eksklusifisme jalan keselamatan, kedamaian dan kesejateraan, yaitu hanya ada dalam ajaran agama pribadi narasumber. 4) Dimensi Umum Eksklusifisme Beragama a) Penanganan pemerintah pada isu-isu yang berbasis kekerasan terhadap pemahaman agama dari kelompok mayoritas terhadap minoritas; b) Penanganan pemerintah pada isu-isu yang berbasis kekerasan terhadap agama lain seperti pengrusakan tempat ibadat, dan larangan pendirian tempat ibadat; c) Sikap terhadap responsi dan kebijakan pemerintah dalam menanggapi dan menangani isu-isu eksklusifisme beragama, dan hak kebebasan beragama; d) Sikap (rasa terganggu) terhadap kemunculan pemahaman aliran agama dari kelompok minoritas yang seagama; e) Sikap (rasa terganggu) terhadap aktivitas (kekerasan) kelompok mayoritas pada kelompok minoritas seperti terhadap kelompok Ahmadiyah dan paham keagamaan minoritas lainnya. f) Otoritas lembaga atau Majelis-majelis agama untuk mengontrol tafsir (standarisasi) pemahanan ajaran agama di setiap agama; g) Otoritas lembaga atau Majelis-majelis agama untuk menilai kesesatan tafsir (standarisasi) pemahanan ajaran agama dari kelompok tertentu. 46 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia H. Teknik Analisis Data Data penelitian ini dianalisis menggunakan analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial. Analisis statistik deskriptif dilakukan dengan mendeskripsikan semua data dari semua variabel dalam bentuk frekwensi dan prosentase. Statistik inferensial yang digunakan adalah regresi dan korelasi sederhana dan ganda, serta uji beda. Dengan statistik regresi dan korelasi akan diketahui bentuk hubungan, sekaligus sumbangan variabel-variabel bebas pemahaman keagamaan (X), terhadap eksklusifisme beragama (Y) para tokoh dari 6 agama yang diakui di Indonesia. Sedangkan uji beda, untuk mengetahui perbedaan pemahaman agama para tokoh agama terhadap eksklusifisme beragama (Y). I. Hipotesis Statistik Pengajuan Statistik menggunakan hipotesis sebagai berikut: a. Ho : ρxy = 0 H1 : ρxy > 0 b. Ho : µ1 = µ2 = µ3 = µ4 = µ5 = µ6 H1 : µ1 ≠ µ2 ≠ µ3 ≠ µ4 ≠ µ5 ≠ µ6 47 Bab III. Metodologi Penelitian 48 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia BAB IV ANALISIS DATA HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Arah Penelitian T erdapat dua permasalahan yang ingin ditemukan jawabannya dalam penelitian ini yaitu; (1) ingin mengetahui seberapa mendalam atau seberapa kuat pemahaman keagamaan para tokoh agama Indonesia, dan (2) bagaimana cara para tokoh memahami agamanya, eksklusif, ataukah inklusif dan pluralis. Dari dua pertanyaan besar tersebut selanjutnya dijabarkan menjadi sembilan pertanyaan penelitian. Dari sembilan pertanyaan penelitian dua pertanyaan bersifat elaboratif dari tujuan penelitian pertama, dan sisanya tujuh pertanyaan untuk menjawab permasalahan kedua. Untuk mendapatkan jawaban terhadap dua permasalahan penelitian di atas, dikumpulkan data dengan menggunakan kuesioner tentang (1) pemahaman keagamaan, dan (2) eksklusifisme beragama. Kuesioner tentang pemahaman keagamaan terdiri dari 27 butir, terbagi dalam empat kelompok yang menjadi indikatornya, yakni (1) keyakinan terhadap agama, (2) praktek ritual keagamaan, (3) pengalaman sosial keagamaan, dan (4) konsekuensi hidup beragama. Sedangkan kuesioner kedua tentang eksklusifisme beragama terdiri dari 38 butir, terbagai dalam tiga kelompok yang merupakan indikatornya, yaitu keberagamaan dalam kaitan (1) teologi keagamaan, (2) sosial keagamaan, dan (3) sosial politik keagamaan. 49 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian Sebagaimana telah disinggung, hasil kajian teori mengindikasikan bahwa pemahaman keagamaan dan eksklusifisme seseorang terhadap agamanya, dipengaruhi oleh banyak faktor (variabel), seperti; (1) faktor demografis, (2) sosial ekonomi, (3) interaksi sosial, (4) suku, (5) jenjang pendidikan dan sebagainya. Pengaruh faktor-faktor di atas diperhatikan dan dikaji. Namun sebelum tujuan penelitian dan pertanyaan penelitian dijawab, terlebih dahulu akan dideskripsikan profil responden penelitian. Ada 10 profil responden yang akan disajikan dalam penelitian ini yaitu: 1) 2) 3) 4) Provinsi responden penelitian, Status kependudukan, Jenis kelamin, Agama dan waktu memeluk agama, serta agama keluarga terdekat, 5) Jarak tempat tinggal dengan rumah ibadah sendiri dan rumah ibadah agama lain, serta lingkungan agama dekat tempat tinggal, 6) Jenjang pendidikan, 7) Usia, 8) Jenis pekerjaan, 9) Status pernikahan, 10) Organisasi, status kepengurusan, fungsi dan jumlah massa organisasi di mana responden berasal, Selengkapnya profil responden berdasarkan sepuluh aspek di atas dapat dilihat dalam tabel IV.1 sampai dengan tabel IV.14, berikut ini. 50 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia B. Profil Responden 1. Responden berdasarkan Provinsi TABEL IV. 1. RESPONDEN BERDASARKAN PROVINSI No Provinsi Responden Frekuensi Prosentase 1. Lampung 56 8.1 2. DKI Jakarta 90 13.0 3. Jawa Barat 90 13.0 4. Jawa Tengah 85 12.3 5. Jawa Timur 85 12.3 6. Bali 56 8.1 7. Nusa Tenggara Barat 55 8.0 8. Nusa Tenggara Timur 60 8.7 9. Kalimantan Barat 65 9.4 10. Sulawesi Tengah 49 7.1 691 100.0 Total Dari tabel IV.1, di atas diketahui bahwa responden penelitian berasal dari 10 provinsi. Hal ini telah sesuai dengan rencana sebagaimana terdapat dalam Bab III, tentang metodologi penelitian. Dari 700 kuesioner yang diberikan kepada 700 responden penelitian, setelah dilakukan editing terhadap data yang masuk, ternyata yang dapat dilakukan analisis lebih lanjut hanyalah 691. Jumlah ini sesuai dengan rencana semula, dan dengan jumlah sampel sebesar ini maka terdapat over-sample untuk responden non muslim. Secara keseluruhan sampling error sebesar 4.7%. Responden penelitian 51 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian mewakili (diambil) dari 33 kabupaten / kota dan 99 kecamatan yang ada di Indonedia. 2. Responden berdasarkan status kependudukan TABEL IV. 2. RESPONDEN BERDASARKAN STATUS KEPENDUDUKAN Status Kependudukan Responden No Frekuensi Prosentase 1 Pendatang 376 54.4 2 Penduduk Asli 315 45.6 691 100 Total Berdasarkan data sebagaimana tabel 4.2, di atas diketahui bahwa dari 691 responden penelitian yang tersebar di 33 kabupaten-kota dan 99 kecamatan, penduduk asli hanya 45.6%, sedangkan sisanya sebesar 54.4% adalah pendatang. Ini mengindikasikan untuk menjadi seorang pemuka agama tidak harus penduduk asli, tetapi pendatangpun jika memiliki kelebihan (kompetensi) dan diterima oleh masyarakat asli dapat menjadi seorang pemuka di mana ia berada. Data ini dapat menjadi suatu informasi yang baik bagi persatuan dan kesatuan Indonesia, karena masyarakat setempat dalam memilih pemuka (tokoh) tidak harus berasal dari suku sendiri. 52 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia 3. Responden berdasarkan jenis kelamin TABEL IV.3. RESPONDEN BERDASARKAN JENIS KELAMIN No Jenis Kelamin Frekuensi Prosentase 1. Laki-Laki 527 76.3 2. Perempuan 164 23.7 Total 691 100.0 Jika dilihat dari jenis kelamin responden penelitian, ternyata mayoritas adalah laki-laki yakni sebesar 76,3%, sisanya sebesar 23,7% perempuan. Tidak proporsionalnya responden penelitian berdasarkan jenis kelamin, mengindikasikan bahwa para pemuka (tokoh) agama dan tentunya juga tokoh masyarakat pada umumnya masih didominasi oleh laki-laki. Hal ini ternyata juga terjadi di tingkat nasional maupun regional. Jika kita perhatikan, maka jumlah perempuan yang menduduki jabatan publik saat ini masih didominasi oleh laki-laki. 4. Responden berdasarkan kelompok usia TABEL IV. 4. RESPONDEN BERDASARKAN KELOMPOK USIA No. Kelompok Usia f % 1 ≤ 30 tahun 157 0.22 2 31 –40 tahun 168 0.25 3 41 – 50 tahun 221 0.32 4 ≥ 51 tahun 144 0.21 691 100 Jumlah 53 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian Berdasarkan kelompok usia, mayoritas responden berusia antara 41 s/d 50 tahun, diikuti oleh usia antara 31 s/d 40 tahun. Data dalam tabel 4.4, di atas menginformasikan bahwa usia seseorang untuk menjadi pemuka (tokoh) semakin muda. Hal ini dapat dilihat dari tabel IV.4, di atas di mana responden usia di bawah 30 tahun secara prosentase lebih besar dibandingkan dengan responden usia di atas 51 tahun. 5. Responden berdasarkan agama TABEL IV. 5. RESPONDEN BERDASARKAN AGAMA No Frekuensi Prosentase 1. Islam Agama Responden 384 55.6 2. Katolik 73 10.6 3. Protestan 86 12.4 4. Hindu 59 8.5 5. Budha 47 6.8 6. Konghucu 42 6.1 Total 691 100.0 Kuesioner yang disiapkan untuk menjaring data sebanyak 700 ekssemplar atau untuk 700 orang responden. Namun setelah dilakukan editing, dan tabulasi data ternyata yang dapat dijadikan sebagai data mentah untuk dianalisis hanya berjumlah 691 instrumen. Terdapat 9 instrumen yang pengisiannya kurang lengkap (sempurna), dan instrument ini tidak diikutkan dalam analisis data yang ssungguhnya. Berdasarkan agama, responden terbesar adalah beragama Islam sebanyak 384 orang atau 55.6%, dan 54 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia responden tersedikit adalah beragama Konghucu sebanyak 41 orang atau 6.1%. proporsionalitas responden berdasarkan agama sesuai dengan rencana penelitian, yakni memperbesar (over sample) bagi responden non Islam. Over sampel, terutama bagi responden beragama Kristen dan Katolik. Hal ini karena banyaknya denominasi terutama pada agama Kristen. Agar keragaman responden khususnya bagi responden beragama Kristen dan Katolik terpenuhi, maka dilakukan penambahan jumlah sampel (over sample). 6. Responden berdasarkan waktu memeluk agama TABEL IV. 6. WAKTU MEMELUK AGAMA No Waktu memeluk agama Frekuensi Prosentase 1. Sejak Lahir 624 90.3 2. Sejak Sekolah (SD_SLTA) 32 4.6 3. Sejak Kuliah 22 3.2 4. Sejak Menikah 13 1.9 691 100.0 Total Infromasi yang menarik dari tabel IV.5, di atas, adalah cukup besarnya responden yang agamanya ditentukan bukan sejak lahir. Responden yang beragama ditentukan sejak lahir (beragama sesuai dengan agama orang tua) sebesar 90,3%. Sisanya sebesar 8,7%, baru menentukan agama (sesuai KTP) setelah SD s/d ketika kuliah, atau ketika menikah. Ini menginformasikan cukup besar prosentase masyarakat Indonesia yang pada akhirnya berpindah agama. Perpindahan agama ini terjadi tentunya dengan bermacam sebab dan alasan. 55 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian 7. Responden berdasarkan status pernikahan Table IV. 7, di bawah menginformasikan bahwa berdasarkan status pernikahan responden terdapat responden yang belum menikah sebanyak 188 orang atau 27,2%. Selain itu juga terdapat responden yang memang tidak menikah, sebesar 9.4%. Responden yang tidak menikah ini adalah responden yang memang mengabdikan dirinya bagi masyarakatnya, seperti para Pastur, Suster, Bikhu dan Bikhuni. Terdapat juga responden yang berstatus janda/duda. Meskipun demikian mayoritas responden adalah mereka yang menikah yakni sebesar 61.5%. TABEL IV. 7. RESPONDEN BERDASARKAN STATUS PERNIKAHAN No Frekuensi Prosentase 1. Belum Menikah Status Pernikahan 188 27.2 2. Tidak Menikah 65 9.4 3. Menikah 425 61.5 4. Bercerai Hidup_Meninggal 13 1.9 691 100.0 Total 8. Responden berdasarkan organisasi Terdapat lima kelompok (jenis) lembaga (organisasi) responden dalam penelitian ini, yakni; (a) lembaga pendidikan formal keagamaan dengan varian: Sekolah berbasis keagamaan, pesantren, dan perguruan tinggi milik Islam, Katolik, Kristen Hindu Buddha dan Khonghucu, (b) lembaga pendidikan informal/penelitian dan pengembangan dengan varian: lembaga kursus, pelatihan, pendidikan, penelitian, pengkajian dan pengembangan, (c) organisasi 56 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia sosial ekonomi keagamaan, yang bergerak dalam bidang: sosial-ekonomi, ibadah, kesehatan, budaya dan kemunusiaan, (d) asosiasi politik berbasis keagamaan seperti: partai politik dan underbow nya, serta (e) asosiasi profesi berbasis keagamaan yang tergabung dalam: layanan hukum, layanan kesehatan, layanan kemasyarakatan, layanan ekonomi, dan layanan pendidikan. TABEL IV. 8. RESPONDEN BERDASARKAN ORGANISASI No Frekuensi Prosentase 1. Lembaga Pendidikan Formal Keagamaan Organisasi 369 53.4 Lembaga Pendidikan informal / Penelitian / 2. Pengembangan 122 17.7 3. Organisasi Sosial Ekonomi Keagamaan 130 18.8 4. Asosiasi Politik Berbasis Keagamaan 37 5.4 5. Asosiasi Profesi Berbasis Keagamaan Total 33 4.8 691 100.0 Jumlah setiap responden berdasarkan organisasi adalah sebagaimana terdapat dalam tabel IV. 8, di atas. Komposisi responden penelitian berdasarkan organisasi keagamaan di mana mereka bergabung dapat dilihat dalam tabel IV. 8, di atas, dan dari tabel tersebut diketahui bahwa mayoritas responden berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan sebesar 53,4% atau berjumlah 369 orang. Diikuti oleh responden yang berasal dari organisasi sosial keagamaan yang berjumlah 130 orang atau 18,8%, dan sedikit di bawahnya adalah responden yang berasal dari lembaga pendidikan informal/penelitian dan atau pengembangan 57 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian sebesar 17.7% atau berjumlah 122 orang. Dua organisasi lain tempat responden berasal adalah dari asosiasi politik berbasis keagamaan dan asosiasi profesi berbasis keagamaan masingmasing sebesar 5,4% dan 4,8%, atau berjumlah 37 dan 33 orang. Komposisi asal responden sebagaimana terdapat tabel di atas mendekati ketentuan sebagaimana rencana penelitian. Besarnya jumlah responden penelitian yang berasal dari organisasi lembaga pendidikan formal ini disebabkan kelompok organisasi ini terdiri dari bermacam-macam unsur seperti sekolah berbasis keagamaan, pesantren, mulai dari jenjang pendidikan pra sekolah hingga perguruan tinggi, serta mewakili keenam agama yang terdapat di Indonesia yakni Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha dan Khonghucu 9. Responden berdasarkan jabatan dalam organisasi Selanjutnya sebaran responden penelitian berdasarkan jabatan dalam organisasi adalah sebagaimana terdapat dalam tabel IV. 9 berikut ini: TABEL IV. 9. RESPONDEN BERDASARKAN JABATAN DALAM ORGANISASI No Frekuensi Prosentase 1. Ketua Jabatan Responden dalam organisasi 278 40.2 2. Wakil 240 34.7 3. Kepala Bagian_Seksi 86 12.5 4. Pengurus Biasa 87 12.6 691 100.0 Total Dari tabel IV. 9, di atas diketahui responden penelitian terdiri atas ketua, dan wakil ketua, serta pengurus bagian dan 58 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia pengurus biasa. Dari empat kelompok jabatan yang terdapat dalam suatu organisasi sebanyak 518 orang atau 74,9%, berkedudukan sebagai ketua atau wakil ketua organisasi, sisanya sebesar 25,1% atau sebanyak 173 orang terdiri dari para kepala bagian dan pengurus biasa. Besarnya prosentase responden sebagai ketua dan wakil ketua organisasi dengan pertimbangan bahwa dalam suatu organisasi maka ketua atau wakil ketua adalah representasi dari para anggotanya. Namun agar jawaban responden penelitian benar-benar dapat dianggap sebagai representasi dari pengurus suatu organisasi, maka data tidak hanya diambil dari para ketua dan wakil ketua organisasi, namun juga diambil dari para pengurus bagian dan para pengurus biasa. Dengan cara ini dapat diyakini bahwa responden penelitian berdasarkan jabatan dalam suatu organisasi dapat dianggap representatif sebagai pengurus organisasi di mana para pemuka agama berasal. 10. Responden berdasarkan jumlah masa dalam komunitas organisasi TABEL IV. 10. RESPONDEN BERDASARKAN JUMLAH MASA DALAM KOMUNITAS ORGANISASI Jumlah Masa Organisasi “orang” No 1. 100 ≤ Frekuensi Prosentase 191 27.6 2. 100 ≤ masa < 500 229 33.1 3. 500 ≤ masa < 1000 93 13.5 4. 1000 ≤ masa < 5000 47 6.8 5. 5000 ≤ masa < 10000 49 7.1 59 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian 6. 10000 ≤ masa < 25000 73 10.6 7. 25000 ≤ masa < 50000 4 .6 > 50000 8. Total 5 .7 691 100.0 Dari tabel IV.10, di atas diketahui terdapat delapan kelompok organisasi atau terdapat delapan ukuran besarnya organisasi yang dijadikan responden penelitian, yakni, organisasi yang masanya lebih kecil dari 100 orang, untuk ukuran yang terkecil dan organisasi dengan jumlah masa lebih atau sama dengan 50.000 orang. Mayoritas responden penelitian (pemuka agama) memimpin masa antara 500 orang sampai dengan 1000 orang, sebanyak 229 orang atau 33,1%, diikuti oleh pemuka agama yang memiliki masa antara 100 orang sampai 500 orang sebesar 27,6% atau sebanyak 191 orang. Responden penelitian dengan frekuensi terbesar adalah yang memiliki masa antara 25.000 sampai mendekati 50.000 orang. Selanjutnya dari lima jenis organisasi di mana responden dapat berasal, organisasi mana saja yang menjadi responden terbesar dan terkecil. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dilihat dalam tabel IV. 11, yang berupa tabulasi silang antara asal organisasi responden dengan jumlah masa komunitas (jumlah umat). 60 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia TABEL IV. 11 TABULASI SILANG ASAL ORGANISASI RESPONDEN DENGAN JUMLAH MASA DALAM KOMUNITAS ORGANISASI Asal Organisasi Responden Masa Komunitas (Jumlah Umat) ”orang” 100 ≤ Lembaga Pendidikan Formal Keagamaan Lembaga Pendidikan informal / Penelitian / Pengem bangan Organisasi Sosial Eko nomi Ke agamaan Asosiasi Asosiasi Politik Ber Profesi Ber basis Ke basis Ke agamaan agamaan Total 120 24 36 8 7 195 100 ≤ masa <500 131 40 38 14 9 232 500 ≤ masa <1000 39 9 25 7 8 88 1000 ≤ masa < 5000 22 6 10 4 4 46 5000 ≤ masa <10000 25 17 4 1 1 48 10000 ≤ masa < 25000 42 26 2 1 2 73 25000 ≤ masa < 50000 1 0 1 1 1 4 3 0 2 0 0 5 383 122 118 36 32 691 > 50000 Jumlah Tabel IV. 11. di atas menginformasikan bahwa responden penelitian terbesar berasal dari organisasi lembaga pendidikan formal keagamaan, seperti sekolah berbasis keagamaan, mulai dari jenjang pra sekolah sampai perguruan tinggi, dan ini harus mewakili enam agama yakni Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha dan Khonghucu, yang berjumlah 383 orang. Sedangkan untuk responden yang berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan, yang terbanyak dari organisasi dengan masa antara 100 orang sampai mendekati 500 orang, sebanyak 131 orang. Responden berdasarkan asal organisasi yang terkecil adalah yang berasal dari organisasi asosiasi politik berbasis keagamaan dan 61 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian asosiasi profesi berbasis keagamaan yang masing-masing berjumlah 36 dan 32 orang. C. Jawaban terhadap Masalah Penelitian 1. Keberagamaan responden Bagaimanakah Keberagamaan Responden Penelitian? Untuk menjawab permasalahan penelitian tersebut, berikut ini akan disajikan hasil analisis terhadap data skor keberagamaan responden dari enam agama yang diteliti. Terdapat empat indikator yang digunakan untuk mengukur keberagamaan, yaitu (1) keyakinan terhadap agama, (2) praktek ritual keagamaan, (3) pengalaman sosial keagamaan, dan (4) konsekuensi hidup beragama. a. Skor keyakinan keagamaan Pengukuran keyakinan terhadap agama menggunakan tujuh butir pernyataan yang berkaitan, dengan keyakinan agama yakni: a) Kitab suci sebagai pedoman/petunjuk bagi kehidupan, b) Keyakinan bahwa manusia dalam hidupnya perlu petunjuk Tuhan, c) Keyakinan bahwa hidup di dunia hanyalah sementara, d) Keyakinan bahwa manusia hanya berusaha, sedangkan keputusan pada Tuhan, e) Meyakini akan kekuatan do’a, f) Hidup akan hampa (kehilangan arti) jika jauh dari Tuhan, dan g) Memulai setiap aktivitas dengan do’a. 62 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia Setiap butir pernyataan terdiri atas lima alternative jawaban; (a) Sangat Setuju, (b) Setuju, (c) Agak Setuju, (d) Kurang Setuju, dan (e) Sangat Tidak Setuju. Selanjutnya jawaban responden terhadap setiap alternative pernyataan diberi skor dan ditafsirkan sebagaimana terdapat dalam tabel IV. 12, dan tabel IV. 13. TABEL IV. 12. PEDOMAN PENSKORAN ALTERNATIF JAWABAN, RENTANG SKOR DAN SEBUTAN/ARTI INSTRUMEN VARIABLE “X” (KEBERAGAMAAN) Skor Alternatif Jawaban Sangat Setuju “SS” Setuju “S” Agak Setuju “AS” Kurang Setuju “KS” Tidak Setuju “STS” Rentang Skor Sebutan / arti “keberagamaan” + - 5 1 ≥ 4.20 “Sangat Kuat” 4 2 3.40 ≤ s/d < 4.20 “Kuat” 3 3 2.40 ≤ s/d < 3.40 2 4 1.80 ≤ s/d < 2.60 “Kurang Kuat“ 1 5 1.00 ≤ s/d < 1,80 “Tidak Kuat” “Agak Kuat” TABEL IV. 13. PEDOMAN PENSKORAN ALTERNATIF JAWABAN, RENTANG SKOR DAN SEBUTAN/ARTI INSTRUMEN VARIABLE “Y” (EKSKLUSIFISME BERAGAMA) Alternatif Jawaban Sangat Setuju “SS” Setuju “S” + Skor - Rentang Skor 5 1 ≥ 4.20 4 2 3.40≤ s/d <4.20 Agak Setuju “AS” 3 3 2.60≤ s/d <3.40 Kurang Setuju 2 4 1.80 ≤ s/d <2.60 Sebutan Inklusif Eksklusif Sangat Tidak Eksklusif Inklusif Kurang “Eksklusif” Inklusif Eksklusif Inklusif dan dan atau atau Inklusif Eksklusif Kurang Inklusif 63 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian “KS” Tidak Setuju “STS” 1 5 1.00 ≤ s/d <1,80 Eksklusif Sangat Tidak Eksklusif Sangat Inklusif Selanjutnya pertanyaan yang ingin ditemukan jawabannya adalah, bagaimana keberagamaan responden penelitian berdasarkan agama yang dianut. Hasil analisis data jawaban responden terhadap butirbutir pernyataan berkenaan dengan keberagamaan seluruh responden berdasarkan keyakinan agama yang dianut dapat dilihat dalam tabel IV. 13, berikut ini. TABEL IV. 13. SKOR RESPONDEN TERHADAP KEYAKINAN TERHADAP AGAMA No 1. 2. 3. 4. 5. 6. Agama Islam Katolik Protestan Hindu Budha Konghucu Rata-rata Total Skor Rata-Rata (Mean) dan Standar Deviasi (S) Butir-butir “Keyakinan terhadap agama” Mean (M) Standar Deviasi (S) 4.82 0.468 4.49 0.744 4.72 0.560 4.68 0.565 4.57 0.601 4.55 0.493 4.73 0.548 Berdasarkan tabel IV.12, di atas diketahui bahwa skor rata-rata total keyakinan terhadap agama adalah 4.73. Ini artinya keyakinan responden, yang dalam hal ini adalah para pemuka agama terhadap agama yang mereka anut untuk semua agama berada pada rentang “sangat kuat”. Jika dilihat skor rata-rata untuk setiap agama, maka diketahui rata-rata skor terbesar adalah untuk agama Islam, yakni sebesar 4.82, 64 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia dan terkecil adalah agama Katolik yakni 4.49. ini artinya di antara di antara 6 agama, maka umat Islam adalah umat yang paling kuat keyakinan terhadap agamanya dibandingkan dengan umat-umat lain. Jika dilihat dari harga standar deviasi (S) diketahui bahwa skor standar deviasi umat agama Katolik adalah terbesar, yakni 0,744. Skor standar deviasi ini mengindikasikan terdapat pola jawaban yang sangat beragam (mulai dari tidak yakin hingga sangat yakin) di antara responden yang beragama Katolik, terhadap butir-butir pernyataan yang berkaitan dengan keyakinan agama. Sebaliknya harga skor standar deviasi terkecil adalah responden yang beragama Islam, yakni sebesar 0,468. Ini berarti jawaban responden beragama Islam terhadap kelompok butir yang mengukur keyakinan mereka terhadap agama yang mereka anut adalah homogen, dan ini mengindikasikan akan homogenitas keyakinan pemuka agama Islam akan kebenaran agamanya. Berdasarkan skor-skor sebagaimana yang terdapat dalam tabel 4. 12, di atas diartikan bahwa responden yang beragama Islam memiliki skor keyakinan terhadap agamanya terbesar dan skor standar deviasi terkecil. Skor ini mengindikasikan bahwa pemuka agama Islam sangat meyakini bahwa: 1. Kitab suci mereka (al-Qur’an) sebagai pedoman dan petunjuk dalam kehidupan keseharian, 2. Dalam kehidupan keseharian mereka sangat membutuhkan pedoman/petunjuk agama (hidayah) Allah, 65 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian 3. Tidak ada yang mustahil bagi Allah. Setiap manusia hanya berusaha tetapi keputusan/ketetapan akan hasil dari usahanya semata-mata oleh karena Allah, 4. Kekuatan do’a, dan hanya do’a lah yang dapat mengubah takdir Allah, sehingga oleh karena itu setiap aktivitas harus dimulai dan di akhiri dengan do’a. 5. Hidup akan hampa (akan kehilangan arti) jika jauh dari Tuhan. Tabel IV.13, di atas menunjukkan bahwa skor rata-rata total adalah 4,73. Harga ini mengindikasikan secara keseluruhan populasi penelitian (10 provinsi dan mewakili semua agama) keyakinan responden terhadap agamanya masuk dalam kategori “Sangat Yakin”. Jika skor 4,73, untuk rata-rata skor responden penelitian ditafsirkan menggambarkan masyarakat Indonesia, maka secara mayoritas, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat meyakini agama mereka masing-masing. Meskipun Indonesia bukan Negara agama, akan tetapi masyarakatnya adalah masyarakat yang sangat meyakini agamanya, sangat “religious”, menggunakan dan menjadikan agama sedbagai pedoman beraktivitas dalam kehidupan keseharian. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan tingkat keyakinan terhadap agama antara responden berdasarkan agama, atau apakah terdapat pengelompokkan tingkat keyakinan terhadap agama antar responden, dapat dilakukan melalui statistika analisis lain. Meskipun berdasarkan skor yang terdapat dalam tabel IV.3. diperoleh gambaran bahwa 66 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia skor keyakinan umat beragama di Indonesia akan kebenaran agamanya berbeda, namun guna lebih meyakini akan perbedaan tersebut perlu dilakukan analisis uji perbedaan dengan menggunakan statistika Analisis Varians. Hasilnya dapat dilihat dalam tabel IV. 14, berikut ini. TABEL IV. 14. ANOVA KEYAKINAN KEAGAMAAN Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 502.764 5 100.553 7.147 .0001 Within Groups 9327.715 663 14.069 Total 9830.478 668 Tabel IV.14, di atas, menunjukkan bahwa harga Fhitung sebesar 7,147, dan harga ini sangat signifikan (Sig. < 0,05). Ini mengindikasikan terdapat perbedaan keyakinan keagamaan atau terdapat pengelompokkan keyakinan keagamaan yang signifikan di antara responden (pemuka agama) yang berbeda agama. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagamana signifikansi perbedaan antar agama yang berbeda?. Untuk menjawab itu dilakukan pengujian lanjut dengan menggunakan uji Tukey, hasilnya dapat dilihat dalam tabel IV. 15. Berdasarkan tabel IV. 15, tentang uji Tukey, terdapat dua kelompok keyakinan keagamaan. Kelompok pertama adalah, responden yang beragama Katolik, Konghucu, Buddha dan Hindu, berada dalam kelompok yang sama, yakni memiliki tingkat keyakinan terhadap agama yang sama. Meskipun secara skor berbeda akan tetapi secara statistika dianggap 67 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian sama. Selanjutnya kelompok kedua adalah responden dengan agama; Hindu, Protestan dan Islam. Untuk kelompok responden yang beragama Hindu terdapat hal yang menarik untuk diperhatikan, karena ia dapat masuk ke dalam kelompok pertama bersama-sama dengan Katolik, Konghucu, dan Budha, juga dapat masuk ke dalam kelompk kedua yaitu Protestan dan Islam. Selanjutnya, jika dibandingkan antara skor rata-rata agama untuk setiap agama dengan skor ratarata total, ternyata skor rata-rata untuk responden beragama Islam lebih besar dari skor rata-rata total (4,82 > 4.73). Sedangkan skor rata-rata untuk responden beragama lain (Katolik, Kristen. Hindu, Buddha dan Konghucu) lebih kecil dibandingkan dengan skor rata-rata keyakinan keagamaan populasi. Lihat Tabel IV.15 di bawah ini: TABEL IV. 15. UJI TUKEY TENTANG KEYAKINAN KEAGAMAAN No 1. 2. 3. 4. 5. 6. Agama Responden N Katolik Konghucu Budha Hindu Protestan Islam 73 42 47 58 85 364 Subset for alpha =0.05 1 2 4.49 4.55 4.57 4.67 4.67 4.72 4.72 4.82 b. Skor Praktek Ritual Keagamaan Pengukuran praktek ritual keagamaan menggunakan enam butir pernyataan yang berkaitan, dengan intensitas melakukan berbagai ritual/keagamaan seperti: 68 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia a. Selalu menjadikan Kitab Suci sebagai pedoman/petunjuk bagi kehidupan, b. Selalu menjalankan/melaksanakan kewajiban / ibadat atau perintah agama dalam kehidupan keseharian, c. Frekuensi berdo’a (bermohon) kepada Tuhan, d. Perasaan bersalah yang diikuti dengan tindakan perbaikan jika melakukan perbuatan (melakukan aktivitas) yang bertentangan dengan perintah Tuhan, serta e. Frekuensi berdo’a ketika sendiri. Hasil analisis data terhadap butir-butir pernyataan berkenaan dengan praktek ritual keagamaan seluruh responden berdasarkan agama yang dianut dapat dilihat dalam tabel IV. 16, berikut ini. TABEL IV.16. SKOR RESPONDEN TENTANG PRAKTEK RITUAL KEAGAMAAN No 1. 2. 3. 4. 5. 6. Agama Islam Katolik Protestan Hindu Buddha Konghucu Total Skor Rata-Rata (M) dan Standar Deviasi (S) Butir-butir “Praktek Ritual Keagamaan” Mean (M) Standar Deviasi (S) 4.55 0.489 4.36 0.641 4.39 0.544 4.49 0.488 4.33 0.548 4.32 0.586 4.48 0.531 69 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian Berdasarkan data sebagaimana terdapat dalam tabel IV.16, di atas diketahui bahwa skor rata-rata praktek ritual keagamaan di antara 6 agama sebesar 4.48. skor ini berarti secara keseluruhan praktek ritual keagamaan responden penelitian berada pada rentang “sangat sering atau bahkan “selalu” melaksanakan praktek ritual keagamaan. Jadi, tidaklah mengherankan jika masjid, gereja, pura, vihara dan klenteng selalu penuh dan ramai oleh para jemaahnya. Jika dilihat skor rata-rata ritual keagamaan untuk setiap agama, maka skor rata-rata terbesar adalah skor responden yang beragama Islam yakni, 4,55 sedangkan skor rata-rata terkecil adalah skor responden beragama Konghucu sebesar 4.32. ini berarti dibandingkan dengan umat agama lain, umat Islam adalah yang dalam melaksanakan ritual keagamaannya lebih intens dibandingkan dengan umat agama lain. Sedangkan umat yang terendah instensitas pelaksanaan ritual keagamaannya adalah umat Konghucu. Rendahnya frekuensi umat Konghucu melaksanakan ritual keagamaannya, boleh jadi karena memang rumah ibadat “klenteng” yang sangat kurang jumlahnya, atau kalaupun ada jauh dari tempat tinggal. Jika dilihat dari harga standar deviasi (S) diketahui bahwa skor standar deviasi agama Katolik adalah terbesar, yakni 0,641. Skor standar deviasi ini mengindikasikan terdapat pola jawaban yang sangat beragam (heterogen) antar responden yang beragama Katolik, terhadap butir-butir pernyataan yang berkaitan dengan praktek ritual keagamaan. 70 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia Sebaliknya harga skor standar deviasi terkecil adalah responden yang beragama Islam, yakni 0,489. Ini berarti jawaban responden beragama Islam terhadap kelompok butir yang mengukur praktek ritual keagamaan, bersifat homogen. Berdasarkan skor-skor sebagaimana yang terdapat dalam tabel IV.15, di atas dapat dikatakan bahwa responden yang beragama Islam memiliki skor praktek ritual keagamaan terbesar dan skor standar deviasi terkecil. Skor ini mengindikasikan bahwa umat Islam adalah umat yang dalam kehidupan keseharian mereka selalu: a. Menjadikan kitab suci sebagai pedoman hidup sesuai dengan perintah/tuntutan agama (membaca/resitasi) b. Menjalankan kewajiban atau perintah ajaran agama dalam kehidupan sehari–hari (pelaksanaan ibadat) c. Merenung/berdoa kepada tuhan, d. Setiap kali selesai melakukan kesalahan, saya selalu menyesali atau merasakan berdosa segala atas segala tindakan saya, e. Merenungi kesalahan/dosa pada tuhan (melakukan pertobatan/ tazkiyah /muhasabah/retreatment), f. Berdoa sendiri sesuai tuntunan ajaran agama Selanjutnya ingin diketahui, apakah terdapat perbedaan praktek ritual keagamaan responden berdasarkan agama yang dianut. Untuk itu dilakukan uji beda dengan menggunakan uji F yang hasilnya sebagai terdapat dalam tabel ANOVA IV.17, berikut: 71 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian TABEL IV.17. ANOVA PRAKTEK RITUAL KEAGAMAAN Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 197.256 5 39.451 3.969 .001 Within Groups 6590.388 663 9.940 Total 6787.644 668 Tabel IV.17. tentang uji ANOVA mengenai praktek ritual keagamaan responden penelitian, menunjukkan bahwa harga Fhitung sebesar 3,969, dan meskipun harga ini signifikan (Sig. < 0,05), namun perbedaan yang ada tidak begitu berarti. Hal ini diketahui setelah diadakan uji lanjut dengan uji Tukey, sebagaimana yang terdapat dalam tabel 4. 18. TABEL IV. 18. UJI TUKEY TENTANG PRAKTEK RITUAL KEAGAMAAN Agama responden N Subset for alpha = 0.05 Konghucu 42 25.90 Budha 47 25.98 Katolik 73 26.22 Protestan 85 26.36 Hindu 58 26.95 Islam 364 27.30 Tabel IV.18, tentang uji Tukey, membuktikan meskipun secara skor rata-rata terdapat perbedaan namun secara statistika perbedaan tersebut dapat dianggap tidak ada. Dengan demikian apapun agama responden dalam 72 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia melaksanakan berbagai praktek ritual keagamaannya adalah sama-sama aktif dan intensif. c. Skor Pengalaman Sosial Keagamaan Pertanyaan yang juga ingin ditemukan jawabannya adalah tentang pengalaman social keagamaan para pemuka agama. Untuk mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan di atas, maka dilakukan pengumpulan data dengan cara melakukan pengukuran berkenaan dengan pengalaman social keagamaan. Pengukuran pengalaman sosial keagamaan menggunakan lima butir pernyataan yang menggambarkan serta berkaitan dengan agama dalam interaksi sosial keseharian seperti: a. Membantu orang lain tanpa melihat/memilih agama yang dianut orang tersebut, b. Meyakini bahwa menyerahkan sebagian penghasilan kepentingan agama akan mendapat pahala, demi c. Meyakini bahwa kebaikan/keberkahan hidup seseorang sangat ditentukan oleh kebaikannya kepada orang lain di dunia ini, d. Meyakini bahwa dalam hidup sehari-hari tidak boleh menyakiti/ menghina/orang yang berbeda pemahaman keagamaan (seagama,) e. Meyakini bahwa umat beragama, dalam hidup sehari-hari tidak boleh menyakiti / menghina umat yang berbeda agama. Hasil analisis data terhadap butir-butir pernyataan berkenaan dengan pengalaman sosial keagamaan para pemuka agama yang terdapat di seluruh lokasi penelitian dan di enam agama dapat dilihat dalam tabel IV.19, di bawah ini. 73 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian TABEL IV. 19 SKOR KEAGAMAAN RESPONDEN No 1. 2. 3. 4. 5. 6. Agama Islam Katolik Protestan Hindu Budha Konghucu Total PENGALAMAN SOSIAL Skor Rata-Rata (M) dan Standar Deviasi (S) “Pengalaman Sosial Keagamaan” Mean (M) Standar Deviasi (SD) 4.58 0.441 4.48 0.626 4.54 0.482 4.53 0.452 4.58 0.430 4.42 0.488 4.55 0.474 Berdasarkan tabel IV.19, di atas diketahui bahwa skor rata-rata pengalaman sosial keagamaan para pemukan agama untuk enam agama adalah 4,55. Skor ini berarti pengalaman sosial keagamaan responden untuk semua agama adalah “sangat kuat”. Selanjutnya jika dilihat skor rata-rata pengalaman sosial keagamaan untuk setiap agama, maka skor terbesar adalah skor responden yang beragama Islam dan Budha yakni, 4,58 sedangkan skor rata-rata terkecil adalah skor responden beragama Konghucu sebesar 4,42. ini berarti umat Islam dan umat Budha, memiliki pengalaman sosial keagamaan yang paling kuat, dibandingkan dengan umat agama lain. Sedangkan umat agama Konghucu, adalah umat yang memiliki pengalaman sosial keagamaan yang paling kecil. Jika dilihat dari harga standar deviasi (S) diketahui bahwa skor standar deviasi agama Katolik adalah terbesar, yakni 0,626. Skor standar deviasi ini mengindikasikan 74 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia terdapat pola jawaban yang sangat beragam antar responden yang beragama Katolik, terhadap butir-butir pernyataan yang berkaitan dengan pengalaman sosial keagamaan. Sebaliknya harga skor standar deviasi terkecil adalah responden yang beragama Budha, yakni 0,430. Ini berarti jawaban responden beragama Budha terhadap kelompok butir yang mengukur pengalaman sosial keagamaan, homogen. Berdasarkan skor-skor sebagaimana yang terdapat dalam tabel IV.18, di atas dapat dikatakan bahwa responden yang beragama Islam dan Budha memiliki skor pengalaman sosial keagamaan terbesar. Skor ini mengindikasikan bahwa umat Islam dan umat Budha adalah umat yang dalam aktivitas sosial atau pengalaman sosial keagamaan cenderung paling kuat atau paling intens dalam: a. Membantu orang lain tanpa melihat/memiih agama yang dianut orang tersebut, b. Menyerahkan sebagian penghasilan demi kepentingan agama, c. Berbuat kebaikan kepada orang lain, karena keberkahan hidup seseorang sangat ditentukan oleh kebaikannya kepada orang lain di dunia ini d. Meyakini bahwa dalam hidup sehari-hari tidak boleh menyakiti/ menghina/orang yang berbeda pemahaman keagamaan (SEAGAMA) e. Meyakini bahwa dalam hidup sehari-hari tidak boleh menyakiti / menghina umat yang berbeda agama. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan pengalaman sosial keagamaan antar responden berdasarkan agama, maka 75 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian dilakukan uji beda dengan menggunakan uji F yang hasilnya sebagai berikut: TABEL IV.20. ANOVA KEAGAMAAN RESPONDEN PENGALAMAN SOSIAL Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 37.653 5 7.531 1.345 .243 Within Groups 3711.118 663 5.597 Total 3748.771 668 Tabel IV.20, ANOVA di atas, menunjukkan bahwa harga Fhitung sebesar 1,345, dan harga ini tidak signifikan (Sig. > 0,05). Ini mengindikasikan tidak terdapat perbedaan pengalaman sosial keagamaan antar responden yang berbeda agama. Dengan perkataan lain apapun agamanya mereka memiliki pengalaman sosial keagamaan yang relatif sama. Hasil analisis ini mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat suka tolong menolong (tanpa memperhatikan perbedaan latar belakang agama), suka bersedekah, meyakini bahwa orang yang orang yang paling baik adalah orang yang paling bermanfaat bagi sesama, serta masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang tidak suka konflik, baik intern amaupun antar umat beragama. Hal ini adalah modal yang sangat besar dalam membangun keharmoniasan dan kerukunan hidup di Indonesia. 76 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia Oleh karena itu adalah suatu ironi jika kita masih menemukan adanya peningkatan kekerasan antar umat beragama di Indonesia akhir-akhir ini. Hasil analisis ini mengindikasikan dan menambah keyakinan yang selama ini ada, bahwa kekerasan yang sering kita dengar, baca dan lihat di berbagai media masa akhirakhir ini bukan karena keyakinan keagamaan, melainkan harus dipahami dari perspektif lain, di luar keyakinan keagamaan. d. Skor Konsekuensi Hidup Beragama Pengukuran tentang konsekuensi hidup beragama menggunakan sembilan butir pernyataan yang menggambarkan intensitas kegiatan keagamaan keseharian seperti: 1) Kebiasaan (frekuensi) mengikuti kegiatan dalam membangun semangat persaudaraan jemaat seagama/ seiman, 2) bersedia untuk menghadiri kegiatan meskipun tempatnya jauh dari rumah, keagamaan 3) mengikuti progam bimbingan keagamaan (pengajian/ pembinaan rohani), 4) menyumbang (dana) untuk kegiatan agama yang diadakan di tempat ibadah (masjid, gereja, pura, vihara) agama saya 5) frekuensi mengikuti bimbingan meningkatkan keimanan, keagamaan untuk 77 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian 6) frekuensi mengikuti ritual suci selain ibadah rutin (sembahyang/kebaktian mingguan/Puja Trisandhya/ Namaskara) di tempat ibadah, 7) kesediaan untuk menyerahkan/menyalurkan sebagian penghasilan demi kepentingan agama sesuai aturan agama, 8) frekuensi atau intensitas melakukan perenungan diri (seperti tafakur/semedi/kontemplasi/meditasi), 9) frekuensi mengikuti progam bimbingan keagamaan (seperti ceramah agama/pembinaan rohani) melalui acara radio Hasil analisis data jawaban responden terhadap butirbutir pernyataan berkenaan dengan konsekuensi hidup beragama seluruh responden dari keenam agama dapat dilihat dalam tabel IV.21. Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa skor ratarata responden untuk konsekuensi hidup beragama adalah 3,85. Skor ini berarti responden beranggapa bahwa konsekuensi hidup beragama “kuat”. Jika dilihat skor ratarata berdasarkan agama, maka skor terbesar adalah skor responden yang beragama Hindu dan dikuti oleh responden beragama Islam yakni, 3,92 dan 3,90. Sedangkan skor rata-rata terkecil adalah skor responden beragama Katolik sebesar 3,70. Ini berarti responden umat Hindu adalah yang terkuat dalam melaksanakan semua konsekuensi hidup beragama, dibandingkan dengan umat agama lain. Sebaliknya umat Katolik, adalah umat yang paling rendah pelaksanaan 78 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia konsekuensi hidup beragamanya dibandingkan dengan umat agama lain. Jika dilihat dari harga standar deviasi (S) diketahui bahwa skor standar deviasi agama Katolik adalah terbesar, yakni 0,699. Skor standar deviasi ini mengindikasikan terdapat pola jawaban yang sangat beragam di antara responden yang beragama Katolik, terhadap butir-butir pernyataan yang berkaitan dengan konsekuensi hidup beragama. Sebaliknya harga skor standar deviasi terkecil adalah responden yang beragama Hindu, yakni 0,532. Ini berarti jawaban responden beragama Hindu terhadap kelompok butir yang mengukur konsekuensi hidup beragama, homogen. TABEL IV.21. SKOR RESPONDEN KONSEKUENSI HIDUP BERAGAMA No 1. 2. 3. 4. 5. 6. Agama Islam Katolik Protestan Hindu Budha Konghucu Total TENTANG Skor Rata-Rata (M) dan Standar Deviasi (S) “Konsekuensi Hidup Beragama” Mean (M) Standar Deviasi (SD) 3.90 0.685 3.70 0.699 3.88 0.588 3.92 0.532 3.84 0.694 3.78 0.602 3.86 0.659 Berdasarkan skor-skor sebagaimana yang terdapat dalam tabel IV.21. di atas dapat dikatakan bahwa responden yang beragama Hindu dan Islam memiliki skor konsekuensi 79 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian hidup beragama terbesar. Skor ini mengindikasikan bahwa umat Hindu dan Islam adalah umat yang frekuensi atau intensitas tinggi (kuat) dalam hal: a. Mengikuti kegiatan dalam membangun semangat persaudaraan jemaat seagama/ seiman, b. Menghadiri kegiatan keagamaan meskipun tempatnya jauh dari rumah, c. Mengikuti progam pembinaan rohani), bimbingan keagamaan (pengajian/ d. Menyumbang (dana) untuk kegiatan agama yang diadakan di tempat ibadah (masjid, gereja, pura, vihara) agama saya e. Mengikuti keimanan, f. bimbingan keagamaan untuk meningkatkan Mengikuti ritual suci selain ibadah rutin (sembahyang/ kebaktian mingguan/puja trisandhya/namaskara) di tempat ibadah, g. Menyerahkan/menyalurkan sebagian penghasilan kepentingan agama sesuai aturan agama, h. Melakukan perenungan kontemplasi/meditasi), i. diri (seperti demi tafakur/semedi/ Mengikuti progam bimbingan keagamaan (seperti ceramah agama/ pembinaan rohani) melalui acara radio Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan konsekuensi hidup beragama antar responden berdasarkan agama, maka dilakukan uji beda dengan menggunakan uji F yang hasilnya sebagai tabel IV.22. berikut: 80 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia TABEL IV. 22. ANOVA BERAGAMA RESPONDEN KONSEKUENSI HIDUP Sum of Squares Df Mean Square F Sig. Between Groups 227.915 5 45.583 1.296 .264 Within Groups 23318.636 663 35.171 Total 23546.550 668 Tabel 4.22, ANOVA di atas, menunjukkan bahwa harga Fhitung sebesar 1,296, dan harga ini tidak signifikan (Sig. > 0,05). Ini mengindikasikan tidak terdapat perbedaan konsekuensi hidup beragama antar responden yang berbeda agama. Dengan perkataan lain apapun agamanya mereka memiliki konsekuensi hidup beragama yang sama. Hasil analisis ini mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang aktif dan bersemangat dalam membangun persaudaraan, rajin meningkatkan pemahaman / pengetahuan agamanya, dan suka bersedekah untuk kepentingan agama. Hasil analisis ini mengindikasikan bahwa agama sangat berperan dalam membangun kepribadian umatnya. Selanjutnya ingin diketahui dari empat aspek keberagamaan responden penelitian, ingin diketahui aspek mana yang paling signifikan membangun keberagamaan tersebut. Untuk mengetahui itu dapat dilihat dalam tabel IV. 23. di bawah ini. 81 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian TABEL IV.23. SKOR DIMENSI KEBERAGAMAAN RESPONDEN UNTUK ENAM AGAMA Dimensi Keberagamaan No Agama Keyakinan Keagamaan Praktek Ritual Keagamaan Pengalaman Sosial Keagamaan Konsekuensi Hidup Beragama Mean S Mean S Mean S Mean S 1. Islam 4.82 0.468 4.55 0.489 4.58 0.441 3.90 0.685 2. Katolik 4.49 0.744 4.36 0.641 4.48 0.626 3.70 0.699 3. Protestan 4.72 0.560 4.39 0.544 4.54 0.482 3.88 0.588 4. Hindu 4.68 0.565 4.49 0.488 4.53 0.452 3.92 0.532 5. Budha 4.57 0.601 4.33 0.548 4.58 0.430 3.84 0.694 6. Konghucu 4.55 0.493 4.32 0.586 4.42 0.488 3.78 0.602 Rata-Rata Total 4.73 0.548 4.48 0.531 4.55 0.474 3.86 0.659 Berdasarkan tabel IV.23. di atas dapat diketahui bahwa untuk aspek keberagamaan yang terdiri dari sub aspek,(1) keyakinan keagamaan, (2) praktek ritual keagamaan, (3) pengalaman sosial keagamaan, dan (4) konsekuensi hidup beragama, umat Islam terbesar skornya pada tiga sub aspek keberagamaan yaitu; a. Keyakinan Keagamaan, b. Praktek Ritual Keagamaan, c. Pengalaman Sosial Keagamaan, Sedangkan Hindu, terkuat / terbesar skornya untuk sub aspek konsekuensi hidup beragama. 82 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia Adapun yang skornya terendah adalah, responden Katolik, pada tiga sub aspek yaitu: a. Keyakinan Keagamaan, b. Praktek Ritual Keagamaan, c. Konsekuensi hidup beragama, Adapun responden Konghucu, terendah untuk sub aspek pengalaman sosial keagamaan. Secara populasi, berdasarkan skor rata-rata untuk aspekaspek sub keberagamaan, diketahui bahwa skor terbesar sampai terkecil adalah: a. Keyakinan Keagamaan dengan skor rata-rata = 4,73, yang berarti keyakinan keagamaan responden sangat yakin/kuat. b. Pengalaman Sosial Keagamaan, dengan skor rata-rata = 4,55, yang berarti pengalaman sosial keagamaan responden sangat intens/kuat. c. Praktek Ritual Keagamaan, dengan skor rata-rata = 4,48, yang berarti praktek ritual keagamaan responden sangat intens d. Konsekuensi Hidup beragama, dengan skor rata-rata = 3,86, yang ber arti konsekuensi hidup beragama responden “kuat” Pertanyaan selanjutnya yang ingin ditemukan jawabannya adalah, “apakah faktor-faktor seperti; (1) provinsi, (2) jenis kelamin, (3) status pernikahan, (4) status kependudukan, (5) saat memeluk agama, (6) pernah mengikuti kursus agama yang dianut, (7) keberadaan 83 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian keluarga yang berbeda agama di lingkungan tempat tinggal, mempengaruhi keberagamaan. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut dapat dilihat dalam tabel IV.24. sampai dengan tabel IV. 33. berikut ini. e. Keberagamaan berdasarkan provinsi Hasil analisis data jawaban responden terhadap kuesioner keberagamaan dapat dilihat dalam tabel IV.24, berikut ini. TABEL IV. 24. KEBERAGAMAAN BERDASAR-KAN PROVINSI RESPONDEN Dimensi Keberagamaan No Provinsi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Lampung DKI Jakarta Ja_ Barat Ja_Tengah Ja_Timur Bali NTB NTT Kal_Barat Sul_Tengah Rata-Rata Keyakinan Keagamaan Mean 5.00 5.00 5.00 5.00 4.99 4.80 4.58 4.40 4.09 3.83 4.73 Praktek Ritual Keagamaan Mean 5.00 5.00 4.82 4.43 3.97 4.51 4.45 4.36 3.94 4.21 4.49 Pengalaman Sosial Keagamaan Mean 4.98 4.85 4.48 4.42 4.47 4.62 4.47 4.46 4.32 4.53 4.56 Konsekuensi Hidup Beragama Mean 4.78 4.02 4.01 3.63 3.61 4.00 3.78 3.75 3.60 3.71 3.88 Tabel IV.24, di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan keberagamaan berdasarkan dimensi keberagamaan responden dilihat dari provinsi penelitian. Tabel IV. 24. di atas dapat dibaca: 84 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia a) Dari empat dimensi keberagamaan, skor terbesar adalah dimensi praktek ritual keagamaan, yakni sebesar 4,49, yang berarti “sangat kuat” lebih besar dibandingkan dengan tiga dimensi yang lain. Skor terkecil adalah untuk dimensi konsekuensi hidup beragama yakni sebesar 3,88, yang berarti “kuat”. b) Untuk dimensi keyakinan keagamaan provinsi Lampung, DKI Jaya, Jawa Barat, dan Jawa Tengah adalah yang memiliki skor terbesar (penuh) yakni 5,00,yang berarti “sangat kuat” skor yang terendah adalah untuk provinsi Sulawesi Tengah sebesar “3,83”, yang berarti “kuat”. c) Untuk dimensi praktek ritual keberagamaan, provinsi Lampung adalah yang memiliki skor terbesar (penuh) yakni 4,98, yang berarti “sangat kuat” skor yang terendah adalah untuk provinsi Kalimantan Barat sebesar “4,32”, yang juga berarti “sangat kuat”. d) Untuk dimensi konsekuensi hidup beragama provinsi Lampung, adalah yang memiliki skor terbesar (penuh) yakni 4,78, yang berarti “sangat kuat” skor yang terendah adalah untuk provinsi Kalimantan Barat sebesar “3,60”, yang berarti “kuat”. Informasi yang dapat diambil dari tabel IV.24. di atas adalah bahwa provinsi Lampung adalah provinsi yang memiliki keberagamaan yang paling kuat dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. 85 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian f. Keberagamaan berdasarkan jenis kelamin TABEL IV.25. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASARKAN JENIS KELAMIN Keberagamaan No 1. 2. Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Rata-Rata Total Keyakinan Keagamaan Praktek Ritual Keagamaan Pengalama n Sosial Keagamaan Konsekuensi Hidup Beragama Mean 4.70 4.81 Mean 3.81 3.92 Mean 4.55 4.59 Mean 3.86 3.91 4.72 3.84 4.56 3.88 Berdasarkan tabel IV.25, di atas diketahui bahwa dari empat sub dimensi keberagamaan, skor rata-rata untuk sub dimensi keyakinan keagamaan lebih besar dibandingkan dengan skor tiga sub dimensi yang lain. Di mana skor untuk sub dimensi keyakinan keagamaan sebesar 4,72. Skor ini jika dibaca berdasarkan pedoman pengartian skor sebagaimana terdapat dalam tabel IV.12, termasuk dalam kategori “sangat kuat”. Kita dapat mengatakan bahwa keberagamaan untuk sub dimensi keyakinan keagamaan responden penelitian adalah “sangat kuat”. Tabel IV.25, di atas juga menyajikan bahwa rata-rata skor untuk perempuan di empat sub dimensi keberagamaan yakni; keyakinan keagamaan, praktek ritual, pengalaman sosial, dan konsekuensi hidup beragama lebih besar dibandingkan dengan skor laki-laki. Ini mengindikasikan bawah perempuan memiliki keberagamaan yang lebih kuat dibandingkan dengan laki-laki. Data ini mengindikasikan bahwa pemerintah perlu memperhatikan peran kaum wanita 86 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia dan atau kaum ibu berkenaan dengan berbagai persoalan yang terkait dengan isu-isu keagamaan. g. Keberagamaan berdasarkan status pernikahan TABEL IV.26. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASARKAN STATUS PERNIKAHAN Keberagamaan No 1. 2. 3. 4. Status Pernikahan Belum Menikah Tidak Menikah Menikah Bercerai Rata-Rata Total Mean Praktek Ritual Keagamaan Mean Pengalaman Sosial Keagamaan Mean Konsekue nsi Hidup Beragama Mean 4.80 4.79 4.69 4.74 4.73 3.84 3.77 3.86 3.80 3.84 4.54 4.45 4.59 4.43 4.56 3.86 3.66 3.91 3.85 3.88 Keyakinan Keagamaan Data sebagaimana yang terdapat dalam tabel IV. 26, di atas menginformasikan bahwa: a) Orang yang belum menikah memiliki keyakinan keagamaan yang lebih kuat dibandingkan dengan yang tidak menikah, yang menikah maupun yang bercerai, h. Orang yang menikah dalam hal; praktek ritual keagamaannya, pengalaman sosial keagamaan, maupun konsekuensi hidup beragama lebih kuat (baik) dibandingkan dengan yang belum, tidak, maupun bercerai. Dengan perkataan lain orang yang sudah menikah ia akan lebih intensif dalam hal melaksanaan perintah ajaran agama, berdo’a, serta menutup kesalahan dengan kebaikan, berderma, berbuat baik dengan sesama, membangun interaksi/hubungan dengan seagama 87 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian maupun yang berbeda, serta lebih inten membangun semangat persaudaraan, melakukan berbagai kegiatan peningkatan keimanan, dan ktivitas perenungan diri dibandingkan dengan yang belum, tidak maupun bercerai. i. Orang yang tidak menikah memiliki pengalaman praktek ritual keagamaan dan konsekuensi hidup beragama di bawah orang yang belum menikah, menikah maupun bercerai. h. Keberagamaan berdasarkan status penduduk TABEL IV.27. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASARKAN STATUS PENDUDUK Keberagamaan No 1. 2. Status Penduduk Asli Pendatang Rata-Rata Total Keyakinan Keagamaan Mean 4.72 4.73 4.73 Praktek Pengalaman Ritual Sosial Keagamaan Keagamaan Mean Mean 3.92 4.60 3.76 4.51 3.84 4.56 Konsekuensi Hidup Beragama Mean 3.93 3.81 3.88 Tabel IV.27, dapat dibaca: a) Penduduk asli memiliki skor tertinggi untuk dimensi praktek ritual keagamaan, pengalaman sosial keagamaan, dan konsekuensi hidup beragama dibandingkan dengan pendatang. Ini berarti penduduk asli lebih intensif dan lebih kuat dibandingkan dengan pendatang dalam hal; menjadikan kitab suci sebagai rujukan, melaksanaan perintah ajaran agama, frekuensi berdo’a, melakukan 88 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia berbagai aktivitas sosial, membantu sesama, berderma, berbuat baik dengan sesama, dan lebih baik dalam berinteraksi / berhubungan baik dengan seagama maupun yang berbeda, serta membangun semangat persaudaraan. b) Penduduk pendatang lebih baik dibandingkan penduduk asli dalam hal; keyakinan agamanya, keyakinan akan pencipta dan pengatur alam semesta, dan keyakinan akan keselamatan dunia dan akhirat. i. Keberagamaan berdasarkan saat memeluk agama TABEL IV.28. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASARKAN SAAT MEMELUK AGAMA No 1. 2. 3. 4. Saat Memeluk Agama Sejak Lahir Sejak Sekolah (SD_SLTA) Sejak Kuliah Sejak Menikah Total Skor Keberagamaan 4.21 4.21 4.13 4.15 4.20 Tabel IV. 28, di atas dapat dibaca: Keberagaaan seseorang akan lebih baik (lebih kuat), jika itu dimulai sejak lahir atau minimal sejak kecil, dibandingkan dengan kalau ia menentukan agamanya ketika kuliah atau sejak menikah. Ini sesuai dengan teori yang menyatakan makin awal seseorang tersebut mengenal agamanya maka makin kuat keberagamaanya; 89 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian j. Keberagamaan berdasarkan keikutsertaan kursus agama TABEL IV.29. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASARKAN PERNAH MENGIKUTI KURSUS AGAMA YANG DIANUT Keberagamaan No 1. 2. Kursus Agama Keyakinan Keagamaan Praktek Ritual Keagamaan Pengalaman Sosial Keagamaan Konsekue nsi Hidup Beragama Keberaga maan Mean 4.77 4.65 Mean 3.90 3.74 Mean 4.59 4.50 Mean 3.95 3.73 Mean 4.26 4.10 4.73 3.84 4.56 3.88 4.20 Pernah Tidak Pernah Rata-Rata Total Tabel IV.29. di atas dapat dibaca: keberagamaan seseorang akan semakin baik (kuat) jika ia pernah mempelajari (mengkaji) agamanya, dibandingkan dengan jika ia tidak pernah mempelajari (mengkaji) agamanya (4,26 > 4,10). Orang yang mengkaji (mempelajari) agamanya, maka dimensi keyakinan keagamaannya, lebih baik (kuat) dibandingkan dengan dimensi praktek, pengalaman sosial maupun konsekuensi hidup beragamanya (4,77 > “3,90; 4,59 : 3,95). k. Keberagamaan agama berdasarkan adanya keluarga beda TABEL IV.30. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASARKAN KEBERADAAN KELUARGA YANG BERBEDA AGAMA DI LINGKUNGAN TEMPAT TINGGAL 90 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia No 1. 2. 3. 4. 5. 6. Keluarga yang berbeda agama Tidak Ada Ada 1 - 2 pasangan keluarga Ada 3 - 4 pasangan keluarga Ada 5 -6 pasangan keluarga Ada 7 - 10 pasangan keluarga Banyak lebih dari 10 pasangan keluarga Total Skor Keberagamaan 4.23 4.17 4.12 4.07 4.18 4.04 4.20 Tabel IV.30. dapat dibaca, bahwa lingkungan tempat tinggal mempengaruhi keberagamaan seseorang: makin heterogen atau semakin banyak keluarga yang berbeda agama di lingkungan tempat tinggal seseorang, maka makin rendah skor keberagamaannya, atau katakanlah, semakin moderat. l. Keberagamaan berdasarkan komposisi warga sekitar TABEL IV.31 SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASARKAN KOMPOSISI AGAMA WARGA DI TEMPAT TINGGAL No 1. 2. 3. 4. 5. 6. Status Penduduk yang seagama kurang dari 20% yang seagama antara 20 sampai 35 % yang seagama antara 36 sampai 50 % yang seagama antara 51 sampai 65 % yang seagama antara 66 sampai 80 % yang seagama lebih dari 80% Total Skor Keberagamaan 4.01 4.09 4.11 4.14 4.15 4.25 4.13 91 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian Tabel IV.31, di atas sejalan dengan tabel IV.30, yakni makin homogen lingkungan agama seseorang, maka makin kuat keberagamaannya, dan sebaliknya. Hal ini dapat dilihat dari tabel IV.31, di mana responden yang tinggal di lingkungan yang seagama dengannya lebih dari 80%, skor keberagamaanya terbesar yakni 4,25, dan responden yang tinggal di lingkungan yang seagama dengannya kurang dari 20%, skor keberagamaanya 4,01. Karena itu, tidak mengherankan jika di suatu tempat di mana masyarakatnya homogen, kemudian ada rencana pembangunan rumah ibadah kelompok agama lain (agama yang berbeda), maka masyarakat di tempat tersebut cenderung menolak. m. Keberagamaan berdasarkan jarak dengan rumah ibadah TABEL IV.32. SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASARKAN JARAK RUMAH DENGAN TEMPAT IBADAH SENDIRI No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 92 Jarak Rumah dengan Rumah Ibadah Sendiri Skor Keberagamaan Kurang dari 100 meter Antara 100 dan Kurang dari 500 meter Antara 500 dan Kurang dari 1000 meter Antara 1000 dan Kurang dari 2000 meter Antara 2000 dan Kurang dari 5000 meter Lebih dari 5000 meter Total 4.26 4.20 4.19 4.18 4.12 4.09 4.20 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia TABEL IV. 33 SKOR RATA-RATA KEBERAGAMAAN RESPONDEN BERDASARKAN JARAK RUMAH DENGAN TEMPAT IBADAH AGAMA LAIN No 1. 2. 3. 4. 5. 6. Jarak Rumah dengan Rumah Ibadah Agama Lain Kurang dari 100 meter Antara 100 dan Kurang dari 500 meter Antara 500 dan Kurang dari 1000 meter Antara 1000 dan Kurang dari 2000 meter Antara 2000 dan Kurang dari 5000 meter Lebih dari 5000 meter Total Skor Keberagamaan 4.14 4.17 4.18 4.20 4.26 4.29 4.20 Data sebagaimana yang terdapat dalam tabel IV.32 dan tabel IV.33, menggambarkan hal yang hampir sama dengan tabel IV.31, di mana lingkungan tempat tinggal responden apakah itu homogenitas atau heterogenitas keberagamaan masyarakat, serta keberadaan tempat ibadah (agama sendiri atau agama lain) mempengaruhi keberagamaannya. Seseorang yang tinggal dekat dengan tempat ibadah agama sendiri memiliki skor keberagamaan yang lebih besar (kuat) dibandingkan dengan seseorang yang tinggal jauh dari tempat ibadahnya. Sebaliknya seseorang yang tinggal dekat tempat ibadah agama lain, memiliki skor keberagamaan yang rendah dibandingkan dengan seseorang yang tempat tinggalnya jauh dari rumah ibadah agama lain. 93 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian 2. Cara Beragama Responden Bagaimana cara keberagamaan responden penelitian. Apakah eksklusif atau inklusif?. Terdapat tiga indikator yang digunakan untuk mengukur skor eksklusifisme beragama, yaitu; (1) eksklusifisme dalam konteks teologi sosial keagamaan, (2) eksklusifisme dalam konteks sosial keagamaan, dan (3) eksklusifisme dalam konteks sosial politik keagamaan. Masing-masing indikator kemudian dijabarkan menjadi butirbutir pertanyaan/pernyataan. Untuk butir eksklusifisme dalam konteks teologi sosial berjumlah 8 butir, eksklusifisme dalam konteks sosial keagamaan berjumlah 10 butir dan teakhir untuk eksklusifisme dalam konteks sosial politik keagamaan dengan butir sebanyak 20. a. Skor eksklusifisme keagamaan dalam konteks teologi sosial Pengukuran eksklusifisme dalam konteks teologi sosial keagamaan menggunakan delapan butir pernyataan yang berkaitan, dengan sikap beragama dalam konteks teologi sosial, yang menggambarkan eksklusifisme beragama dalam hal: 1) Menolak jika dekat RT tempat tinggal saya akan dibangun tempat ibadat agama lain. 2) Tidak nyaman dengan keberadaan tempat ibadat agama lain di sekitar RT tempat tinggal saya. 94 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia 3) Mendukung kegiatan yang menolak pembangunan tempat ibadat agama lain di sekitar RT tempat tinggal saya. 4) Mendukung kegiatan yang menolak segala kegiatan untuk pengembang an/penyiaran ajaran agama lain. 5) Keberatan jika di lingkungan RT tempat tinggal saya ada juru dakwah/ misionaris yang menyebarkan agama lain. 6) Keberatan jika di lingkungan RT tempat tinggal saya terdapat aktivitas/kegiatan penyebaran agama lain. 7) Mendukung pengusiran juru dakwah/misionaris yang menyebarkan agama lain di lingkungan RT tempat saya tinggal diusir. 8) Mendukung pembubaran kegiatan agama lain di sekitar RT tempat saya tinggal. Hasil analisis data terhadap butir-butir pernyataan berkenaan dengan eksklusifisme dalam konteks teologi sosial keagamaan seluruh responden berdasarkan agama yang dianut dapat dilihat dalam tabel IV.34, berikut ini. TABEL IV.34. SKOR RESPONDEN UNTUK EKSKLUSIFISME TEOLOGI SOSIAL KEAGAMAAN No 7. 8. 9. 10. Agama Islam Katolik Protestan Hindu Skor Rata-Rata (M) dan Standar Deviasi (SD) Butir-butir “eksklusifisme teologi sosial keagamaan” Mean (M) Standar Deviasi (SD) 2.619 1.295 2.447 1.225 2.375 1.262 2.756 1.392 95 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian 11. 12. Budha Konghucu Total 2.518 2.262 2.553 1.327 1.185 1.291 Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa skor rata-rata eksklusifisme beragama dalam konteks teologi sosial keagamaan di antara 6 agama berbeda. Skor rata-rata terbesar adalah skor responden yang beragama Hindu yakni, 2,756 sedangkan skor rata-rata terkecil adalah skor responden beragama Konghucu sebesar 2.262. Jika dilihat dari harga standar deviasi (S) diketahui bahwa skor standar deviasi agama Hindu adalah terbesar, yakni 1.392. Skor standar deviasi ini mengindikasikan terdapat pola jawaban yang sangat beragam (mulai dari sangat tidak setuju hingga sangat setuju) antar responden yang beragama Hindu, terhadap butir-butir pernyataan yang berkaitan dengan eksklusifisme beragama dalam konteks politik sosial keagamaan. Sebaliknya harga skor standar deviasi terkecil adalah responden yang beragama Konghucu yakni sebesar 1.185. Ini berarti jawaban responden beragama Konghucu terhadap kelompok butir yang mengukur eksklusifisme beragama dalam konteks teologi sosial keagamaan homogen. Berdasarkan skor-skor sebagaimana yang terdapat dalam tabel IV.34, di atas dapat dikatakan bahwa responden yang beragama Hindu memiliki skor eksklusifisme beragama dalam konteks teologi sosial keagamaan terbesar dan skor standar deviasi juga terbesar. Skor ini mengindikasikan bahwa umat Hindu dibandingkan dengan responden agama 96 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia lain (Islam, Katolik, Protestan, Budha dan Konghucu), adalah umat yang lebih eksklusive terutama dalam konteks teologi sosial keagamaan, sehingga dalam konteks teologi sosial keagamaan mereka cenderung lebih menolak jika: 1) Dekat RT tempat tinggal saya akan dibangun tempat ibadat agama lain. 2) Tidak nyaman dengan keberadaan tempat ibadat agama lain di sekitar RT tempat tinggal saya. 3) Mendukung kegiatan yang menolak pembangunan tempat ibadat agama lain di sekitar RT tempat tinggal saya. 4) Mendukung kegiatan yang menolak segala kegiatan untuk pengembangan/penyiaran ajaran agama lain. 5) Keberatan jika di lingkungan RT tempat tinggal saya ada juru dakwah/misionaris yang menyebarkan agama lain. 6) Keberatan jika di lingkungan RT tempat tinggal saya terdapat aktivitas/kegiatan penyebaran agama lain. 7) Mendukung pengusiran juru dakwah/misionaris yang menyebarkan agama lain di lingkungan RT tempat saya tinggal diusir. 8) Mendukung pembubaran kegiatan agama lain di sekitar RT tempat saya tinggal. Tabel IV.34, di atas menunjukkan bahwa rata-rata mean total adalah 2,553. Dengan mengacu pada tabel IV.13, harga ini mengindikasikan secara keseluruhan populasi penelitian (10 provinsi) sikap keberagamaan “kurang eksklusifisme” 97 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian atau “inklusif” dalam konteks teologi sosial keagamaan. Sehingga, skor 2,553, menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia, secara mayoritas adalah masyarakat yang sangat inklusif, terutama dalam konteks agama dalam kehidupan sosial. Selanjutnya ingin diketahui, apakah terdapat perbedaan tingkat eksklusifisme dalam konteks teologi sosial di antara responden berdasarkan agama, atau apakah terdapat pengelompokkan tingkat keyakinan keagamaan antar responden. Untuk itu dilakukan pengujian dengan menggunakan statistika Analisis Varians. Hasilnya dapat dilihat dalam tabel IV. 35, di bawah. TABEL IV.35. KEAGAMAAN ANOVA ISU TEOLOGI SOSIAL Sum of Squares Df Mean Square F Sig. Between Groups 721.930 5 144.386 1.359 .238 Within Groups 72765.416 685 106.227 Total 73487.346 690 Tabel ANOVA IV.35, di atas, menunjukkan bahwa harga Fhitung sebesar 1,359 dan harga ini tidak signifikan (Sig. > 0,05). Ini berarti sikap beragama yang sedikit eksklusif, ternyata terdapat pada semua agama. Atau dengan perkataan lain, meskipun responden agama Hindu secara skor rata-rata lebih besar dibandingkan dengan skor rata-rata responden agama lain, akan tetapi secara statistik perbedaan tersebut tidak 98 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia signifikan. Dengan demikian dapat dikatakan apapun agamanya, apakah Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu, secara umum ia cenderung tidak akan mempermasalahkan: 1) Pembangunan rumah ibadat agama lain dekat RT ia tinggal. 2) Keberadaan tempat ibadat agama lain di sekitar RT tempat tinggal, 3) Pengembangan/penyiaran ajaran agama lain. 4) Ada juru dakwah /misionaris yang menyebarkan agama lain. 5) Aktivitas/kegiatan penyebaran agama lain. 6) Penyebaran agama lain di lingkungan RT tempat, dan 7) Tidak mendukung pembubaran kegiatan agama lain di sekitar RT tempatnya tinggal. b. Skor eksklusifisme dalam konteks sosial keagamaan Pengukuran eksklusifisme dalam konteks sosial keagamaan menggunakan delapan butir pernyataan yang berkaitan, dengan sikap beragama dalam konteks sosial, yang menggambarkan eksklusifisme beragama dalam hal: 1) Tidak akan mengucapkan belasungkawa kepada keluarga penganut agama lain yang mengalami musibah; 2) Menolak ajakan melakukan kerjasama ekonomi (seperti kongsi dagang) dengan orang yang berbeda agama; 99 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian 3) Keberatan jika tempat ibadat agama saya dimasuki oleh pemeluk agama lain; 4) Keberatan menerima orang yang berbeda agama untuk tinggal serumah/asrama/kos; 5) Keberatan untuk menerima orang yang berbeda agama sebagai tetangga/teman kerja/teman dekat; 6) Menolak ajakan untuk menghadiri perayaan hari besar agama lain (seperti idul fitri, natal, nyepi, waisak, galungan, imlek); 7) Tidak akan membiarkan umat yang berbeda agama dengan saya untuk menjadi penduduk mayoritas di sekitar saya tinggal; 8) Ketika menjual rumah (properti), saya memprioritaskan penjualannya kepada calon pembeli yang seagama dengan saya; Hasil analisis data terhadap butir-butir pernyataan berkenaan dengan eksklusifisme dalam konteks teologi sosial keagamaan seluruh responden berdasarkan agama yang dianut dapat dilihat dalam tabel IV. 36, berikut ini. 100 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia TABEL IV.36. SKOR RESPONDEN UNTUK EKSKLUSIFISME SOSIAL KEAGAMAAN No 1. 2. 3. 4. 5. 6. Agama Islam Katolik Protestan Hindu Budha Konghucu Total Skor Rata-Rata (M) dan Standar Deviasi (SD) Butir-butir “eksklusifisme sosial keagamaan” Mean (M) Standar Deviasi (SD) 2.201 1.050 2.005 0.998 1.894 0.887 2.345 1.123 1.997 0.977 1.955 0.900 2.126 1.025 Berdasarkan tabel IV.36, di atas diketahui bahwa skor rata-rata eksklusifisme beragama dalam konteks sosial keagamaan di antara 6 agama berbeda. Skor rata-rata terbesar adalah skor responden yang beragama Hindu yakni 2,35 sedangkan skor rata-rata terkecil adalah skor responden beragama Protestan sebesar 1,894. Sesuai dengan tabel IV.13, skor 2,35 dapat dibaca “kurang eksklusif” atau “inklusif”, sedangkan skor 1,894 dapat dibaca “sedikit di atas sangat inklusif” Jika dilihat dari harga standar deviasi (S) diketahui bahwa skor standar deviasi agama Hindu adalah terbesar, yakni 1,123. Skor standar deviasi ini mengindikasikan terdapat pola jawaban yang sangat beragam (mulai dari sangat tidak setuju hingga sangat setuju) antar responden yang beragama Hindu, terhadap butir-butir pernyataan yang berkaitan dengan eksklusifisme beragama dalam konteks sosial. Sebaliknya harga skor standar deviasi terkecil adalah 101 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian responden yang beragama Konghucu yakni sebesar 1,185. Ini berarti jawaban responden beragama Konghucu terhadap kelompok butir yang mengukur eksklusifisme beragama dalam konteks sosial keagamaan, homogen. Berdasarkan skor-skor sebagaimana yang terdapat dalam tabel IV.36. di atas dapat dikatakan bahwa responden yang beragama Hindu memiliki skor eksklusifisme beragama dalam konteks sosial keagamaan terbesar dan skor standar deviasi juga terbesar. Skor ini mengindikasikan bahwa umat Hindu dibandingkan dengan responden agama lain (Islam, Katolik, Protestan, Budha dan Konghucu), adalah umat yang lebih eksklusif, terutama dalam konteks sosial keagamaan. Tabel IV.36, di atas menunjukkan bahwa rata-rata mean total adalah 2,126. Harga ini mengindikasikan secara keseluruhan populasi penelitian (10 provinsi) sikap beragama kurang eksklusifisme, atau inklusif dalam konteks sosial keagamaan. Selanjutnya ingin diketahui, apakah terdapat perbedaan tingkat eksklusifisme beragama dalam konteks sosial di antara responden berdasarkan agama, atau apakah terdapat pengelompokkan tingkat keyakinan keagamaan antar responden. Untuk itu dilakukan pengujian dengan menggunakan statistika Analisis Varians. Hasilnya dapat dilihat dalam tabel IV. 37, di bawah. 102 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia Tabel IV. 37. ANOVA Isu Sosial Keagamaan Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 814.568 5 162.914 2.447 .053 Within Groups 45598.396 685 66.567 Total 46412.964 690 Tabel IV. 37, ANOVA di atas, menunjukkan bahwa harga Fhitung sebesar 2,447, dan harga ini tidak signifikan (Sig. > 0,05). Ini berarti sikap beragama yang sedikit eksklusif, ternyata terdapat pada semua agama. Atau dengan perkataan lain, meskipun responden agama Hindu secara skor rata-rata lebih besar dibandingkan dengan skor rata-rata responden agama lain, akan tetapi secara statistic perbedaan tersebut tidak signifikan. Dengan demikian dapat dikatakan apapun agamanya, apakah Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu, sekalipun ia cenderung tidak akan menolak atau bersedia untuk: 1) Mengucapkan belasungkawa kepada keluarga penganut agama lain yang mengalami musibah; 2) Melakukan kerjasama ekonomi (seperti kongsi dagang) dengan orang yang berbeda agama; 3) Tempat ibadat agamanya dimasuki oleh pemeluk agama lain; 4) Menerima orang yang berbeda agama untuk tinggal serumah/asrama/kos; 103 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian 5) Menerima orang yang berbeda tetangga/teman kerja/teman dekat; agama sebagai 6) Menghadiri perayaan hari besar agama lain (seperti idul fitri, natal, nyepi, waisak, galungan, imlek); 7) Menerima umat yang berbeda agama untuk menjadi penduduk mayoritas di sekitar tempat tinggal; 8) Menjual rumah (properti), kepada calon pembeli yang berbeda agama. c. Skor eksklusifisme keagamaan dalam konteks sosial politik Pengukuran eksklusifisme dalam konteks sosial politik keagamaan menggunakan dua puluh butir pernyataan yang berkaitan, dengan sikap beragama dalam konteks sosial politik, yang menggambarkan eksklusifisme beragama dalam hal: 1) Keselamatan hidup hanya terdapat dalam agama yang saya anut; 2) Tidak ada jalan keselamatan (kehidupan dunia dan akhirat), kecuali hanya terdapat dalam agama yang saya anut; 3) Berdo’a tidak seperti cara yang diajarkan agama saya tidak akan dikabulkan oleh tuhan; 4) Setiap orang dikatakan sesat/kafir jika dia tidak sepaham/ sealiran (tetapi seagama) dengan pemahaman keagamaan saya; 104 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia 5) Orang yang tidak seiman/berbeda agama dengan saya adalah tergolong kafir; 6) Orang kafir (beda agama dengan saya) selalu akan merongrong (mengganggu) penganut agama saya; 7) Saya tidak akan memilih calon ketua rt/rw/kepala desa yang berbeda agama dengan saya; 8) Saya tidak akan memilih calon wali kota/bupati yang berbeda agama dengan saya; 9) Saya tidak akan memilih calon gubernur yang berbeda agama dengan saya; 10) Saya tidak akan memilih calon anggota dewan perwakilan rakyat (nasional-daerah) yang berbeda agama saya; 11) Saya tidak akan memilih calon presiden/wakil presiden yang berbeda agama saya; 12) Saya merasa tidak nyaman jika ketua rt/rw/kepala desa berbeda agama dengan saya; 13) Saya merasa tidak nyaman jika wali kota/bupati berbeda agama dengan saya; 14) Dunia akan menjadi aman/damai jika semua manusia menganut ajaran agama yang saya yakini; 15) Saya percaya bahwa hanya ajaran agama saya yang akan dapat mewujudkan keadilan di masyarakat; 16) Saya tidak bersedia mengucapkan selamat (salam keagamaan) pada umat lain saat perayaan hari besar agama lain; 105 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian 17) Saya menentang segala aktivitas pengumpulan dana untuk keperluan kegiatan agama lain; 18) Saya menolak jika anggota keluarga dekat saya berencana menikah dengan orang yang berbeda agama; 19) Saya keberatan jika anggota keluarga saya terlibat/ikut dalam kegiatan organisasi agama lain; 20) Saya sangat resah jika pemahaman keagamaan yang berbeda dengan pemahaman saya (tetapi seagama) dibiarkan berkembang; Hasil analisis data terhadap butir-butir pernyataan berkenaan dengan eksklusifisme dalam konteks sosial politik keagamaan seluruh responden berdasarkan agama yang dianut dapat dilihat dalam tabel IV. 38, berikut ini. TABEL IV.38. SKOR RESPONDEN UNTUK EKSKLUSIFISME SOSIAL POLITIK KEAGAMAAN No 1. 2. 3. 4. 5. 6. Agama Islam Katolik Protestan Hindu Budha Konghucu Total Skor Rata-Rata (M) dan Standar Deviasi (SD) Butir-butir “eksklusifisme sosial politik keagamaan” Mean (M) Standar Deviasi (SD) 2.807 1.284 2.484 1.215 2.385 1.224 2.853 1.303 2.621 1.269 2.374 1.112 2.685 1.269 Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa skor rata-rata eksklusifisme beragama dalam konteks sosial politik 106 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia keagamaan di antara 6 agama berbeda. Skor rata-rata terbesar adalah skor responden yang beragama Hindu yakni, 2,853 sedangkan skor rata-rata terkecil adalah skor responden beragama Konghucu sebesar 2,374. Jika dilihat dari harga standar deviasi (S) diketahui bahwa skor standar deviasi agama Hindu adalah terbesar, yakni 1,303. Skor standar deviasi ini mengindikasikan terdapat pola jawaban yang sangat beragam (mulai dari sangat tidak setuju hingga sangat setuju) antar responden yang beragama Hindu, terhadap butir-butir pernyataan yang berkaitan dengan eksklusifisme beragama dalam konteks sosial politik keagamaan. Sebaliknya harga skor standar deviasi terkecil adalah responden yang beragama Konghucu yakni sebesar 1,185. Ini berarti jawaban responden beragama Konghucu terhadap kelompok butir yang mengukur eksklusifisme beragama dalam konteks sosial keagamaan, homogen. Berdasarkan skor-skor sebagaimana yang terdapat dalam tabel-tabel di atas dapat dikatakan bahwa responden yang beragama Hindu memiliki skor eksklusifisme beragama dalam konteks sosial politik keagamaan terbesar dan skor standar deviasi juga terbesar. Skor ini mengindikasikan bahwa umat Hindu dibandingkan dengan responden agama lain (Islam, Katolik, Protestan, Budha dan Konghucu), adalah umat yang lebih eksklusif terutama dalam konteks sosial politik keagamaan. Selanjutnya ingin diketahui, apakah terdapat perbedaan tingkat eksklusifisme beragama dalam konteks sosial politik di antara responden berdasarkan agama, atau apakah 107 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian terdapat pengelompokkan tingkat keyakinan keagamaan antar responden. Untuk itu dilakukan pengujian dengan menggunakan statistika Analisis Varians. Hasilnya dapat dilihat dalam tabel IV. 39, di bawah. TABEL IV. 39. ANOVA ISU SOSIAL KEAGAMAAN Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 8928.251 5 1785.650 2.811 .056 Within Groups 435205.112 685 635.336 Total 444133.363 690 Tabel IV. 39, ANOVA di atas, menunjukkan bahwa harga Fhitung sebesar 2,811, dan harga ini signifikan (Sig. < 0,05). Ini berarti ekskusivisme beragama dalam konteks sosial politik di enam komunitas agama berbeda. Atau dengan perkataan lain, tidak terdapat perbedaan sikap eksklusifisme beragama dalam konteks sosial politik antara agama. Meskipun responden agama Hindu secara skor rata-rata lebih besar dibandingkan dengan skor rata-rata responden agama lain, akan tetapi secara statistic perbedaan tersebut tidak signifikan. Dengan demikian dapat dikatakan apapun agamanya, apakah Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha dan Konghucu, sekalipun dalam konteks sosial politik keagamaan selain mempercayai (meyakini) agamanya, juga menerima keyakinan agama umat lain tentang: 1) Keselamatan hidup tidak hanya terdapat dalam agama yang dianutnya. 2) Ada jalan keselamatan dari agama umat lain. 108 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia 3) Berdo’a tidak seperti cara yang diajarkan agamanya akan tetap dikabulkan 4) Orang tidak sesat/kafir meskipun dia tidak sepaham/ sealiran (tetapi seagama) dengan pemahaman keagamaannya. 5) Bersedia memilih calon ketua RT/RW/kepala desa yang berbeda agama. 6) Bersedia memilih calon wali kota/bupati yang berbeda agama. 7) Bersedia memilih calon gubernur yang berbeda agama. 8) Bersedia memilih calon anggota dewan perwakilan rakyat yang berbeda. 9) Bersedia memilih calon presiden/wakil presiden yang berbeda agama. 10) Saya merasa nyaman jika ketua RT/RW/kepala desa berbeda agama. 11) Saya merasa nyaman jika wali kota/bupati berbeda agama. 12) Dunia akan menjadi aman/damai jika semua manusia meyakini dan mengamalkan keyakinannya masingmasing. 13) Percaya ajaran agama umat lain dapat mewujudkan keadilandi masyarakat. 14) Bersedia mengucapkan selamat pada umat lain saat perayaan hari besar agama lain. 109 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian 15) Bersedia ikut aktivitas keperluan agama lain. pengumpulan dana untuk 16) Menerima jika anggota keluarga dekat berencana menikah dengan orang yang berbeda agama. 17) Bersedia jika anggota keluarga kegiatan organisasi agama lain terlibat/ikut 18) Membiarkan pemahaman keagamaan (tetapi seagama) dibiarkan berkembang. dalam yang berbeda Pertanyaan berikut yang ingin dicari jawabannya adalah antara aspek teologi sosial, sosial keagamaan dan sosial politik, aspek mana yang paling kuat mempengaruhi eksklusifisme beragama. TABEL IV. 40. KORELASI ANTARA TIGA DIMENSI EKSLUSIFISME DENGAN EKSKLUSIFISME No Dimensi Eksklusifisme Koefisien Korelasi “rxy” 1 TEOLOGI KEAGAMAAN 0.472 2 SOSIAL KEAGAMAAN 0.421 3 SOSIAL POLITIK KEAGAMAAN 0.468 Tabel IV.40, di atas diketahui bahwa, dimensi teologi keagamaan paling kuat korelasinya dengan eksklusifisme beragama, yakni sebesar 0,472. sedangkan yang paling rendah adalah dimensi sosial keagamaan yakni sebesar 0,421. 110 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia Pertanyaan selanjutnya yang ingin ditemukan jawabannya adalah, apakah apakah faktor-faktor (1) organisasi tempat bergabung, (2) jabatan dalam organisasi, (3) fungsi dalam organisasi, (4) jumlah massa dalam organisasi, (5) status pernikahan, (6) status pekerjaan, serta (7) provinsi mempengaruhi sikap keberagamaan seseorang Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dilihat dalam tabel 4.41 sampai dengan tabel IV. 48, berikut ini. TABEL IV.41. SKOR EKSKLUSIFISME BERAGAMA BERDASARKAN ASAL ORGANISASI RESPONDEN No 1. 2. 3. 4. 5. Organisasi Responden Lembaga Pendidikan Formal Keagamaan Lembaga Pendidikan informal / Penelitian / Pengembangan Organisasi Sosial Ekonomi Keagamaan Asosiasi Politik Berbasis Keagamaan Asosiasi Profesi Berbasis Keagamaan Rata-Rata Skor Total Skor Rata-Rata Eksklusifisme beragama Sosial Sosial Teologi Keagamaan Politik RataRata Skor Total 2.73 2.23 2.88 2.70 2.54 2.17 2.69 2.54 2.25 1.90 2.43 2.27 2.17 1.86 2.08 2.05 2.24 1.95 2.22 2.16 2.55 2.13 2.69 2.53 111 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian Berdasarkan tabel IV.41, di atas dapat dibaca: Merujuk pada organisasi responden berasal 1) Rata-rata akor eksklusifisme beragama responden adalah 2,53. Skor ini berarti eksklusifisme beragama responden berada pada rentang skor “2,60-2,80, yang berarti “kurang” eksklusif, atau inklusif. Dapat dikatakan secara keseluruhan populasi eksklusifisme bergama responden penelitian dalam hal ini adalah pemuka agama yang terdapat di Indonesia dalam kategori inklusif. 2) Meskipun secara keseluruhan para pemuka agama bersifat inklusif, namun terdapat perbedaan skor eksklusifisme beragama jika dilihat dari lima organisasi di mana responden bergabung. Dari lima asal organisasi responden, skor terbesar adalah responden yang berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan dengan indeks sebesar 2,70. indeks skor 2,70 ini berada dalam rentang “eksklusif dan atau inklusif”. Skor 2,70 ini juga berarti dari lima lembaga organisasi asal responden penelitian, responden penelitian yang tergabung dalam lembaga pendidikan formal keagamaan atau para pemuka agama yang tergabung dalam lembaga pendidikan formal lebih eksklusif dibandingkan dengan responden atau pemuka agama yang tergabung dalam lembaga pendidikan informal, lembaga sosial ekonomi keagamaan, asosiasi politik berbasis keagamaan dan asosiasi profesi berbasis keagamaan. 3) Skor 2,70 tersebut berada pada rentang sebutan “kurang” eksklusif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa 112 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia secara keseluruhan keberagamaan responden penelitian dalam hal ini adalah para pemuka agama yang tergabung dalam lembaga pendidikan formal keagamaan “dapat bersifat eksklusif dan atau inklusiff”. Skor terendah adalah responden yang berasal dari asosiasi politik berbasis keagamaan, yakni 2,05. yang juga termasuk dalam rentang “ inklusif”. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimanakah sikap keberagamaan responden penelitian atau para pemuka agama di Indonesia berdasarkan asal lembaga (organisasi) responden, eksklusif ataukah inklusif, untuk setiap dimensi. Data sebagaimana yang terdapat dalam tabel iv. 41 di atas, dapat dibaca sbb: 1) Dimensi Teologi Skor terbesar adalah 2,73, untuk responden yang berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan, sedangkan skor terkecil sebesar 2,17, untuk responden yang berasal dari lembaga asosiasi politik berbasis keagamaan. Ini berarti responden yang berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan lebih eksklusif dibandingkan dengan responden yang berasal dari organisasi politik berbasis keagamaan. Skor 2,73 masuk dalam rentang “antara eksklusif_inklusif. Sedangkan indkes skor 2,17 masuk dalam kategori “inklusif”. Inferensi yang dapat diambil dari dua skor ini adalah bahwa untuk dimensi teologi responden yang berasal dari organisasi lembaga pendidikan formal keagamaan lebih 113 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian eksklusif dibandingkan dengan responden yang berasal dari organisasi asosiasi politik berbasis keagamaan. Jika dikaitkan dengan aspek-aspek yang berkenaan dengan teologi sosial keagamaan, seperti keyakinan tentang eksklusifisme suteriologi (jalan keselamatan), keberkahan hidup dunia dan akhirat, cara berdoa/ beribadah, kekuatan doa, dan kebermaknaan doa bagi umat beragama, responden yang berasal dari lembaga pendidikan formal lebih eksklusif dibandingkan dengan responden yang berasal dari lembaga asosiasi politik. 2) Dimensi Sosial keagamaan Skor terbesar adalah untuk responden yang berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan yakni 2,23, skor ini berarti responden yang berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan kurang eksklusif atau dapat dikatakan inklusif. Sedangkan skor untuk sosial keagamaan yang terendah adalah untuk responden yang berasal dari asosiasi politik berbasis keagamaan sebesar 1,86. Skor ini berarti responden sikap keberagamaannya kurang eksklusif atau dapat disebut inklusif. Dapat juga dikatakan responden penelitian yang dalam penelitian ini adalah para pemuka agama yang tergabung dalam asosiasi politik berbasis keagamaan dalam aktivitas sosial keagamaan lebih dapat menerima dan bersedia menghadiri; 114 perayaan kegiatan keagamaan yang dilakukan agama lain; Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia kegiatan/acara sosial-keagamaan yang diadakan oleh narasumber atau masyarakat yang berbeda agama; interaksi sosial (seperti pernikahan beda agama, dan keterlibatan dalam kegiatan sosial lintas agama untuk misi kemanusiaan); 3) Dimensi Sosial Politik Sebagaimana dimensi sosial keagamaan, skor terbesar untuk dimensi sosial politik adalah responden yang berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan yakni 2,88. Skor 2,88 ini berada dalam rentang “ekslusif dan atau inkluisf. Ini berarti responden penelitian yang dalam penelitian ini adalah para pemuka agama berasal dari organisasi pendidikan formal sosial politik keberagamaannya dapat bersifat “eksklusif dan atau inklusif”, tergantung mana yang kuat mempengaruhinya. Sedangkan indeks skor sosial politik keberagamaan yang terendah adalah untuk responden yang berasal dari asosiasi politik berbasis keagamaan yakni sebesar 2,08. Skor ini berarti responden yang berasal dari asosiasi politik berbasis keagamaan termasuk dalam kategori inklusif. Berikut ini adalah skor standar deviasi untuk setiap dimensi keeksklusifan beragama (teologi, sosial keagamaan dan sosial politik) berdasarkan organisasi di mana responden bergabung 115 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian TABEL IV. 42. SKOR STANDAR DEVIASI EKSKLUSIFISME BERAGAMA BERDASARKAN ASAL ORGANISASI KEAGAMAAN RESPONDEN No 1. 2. 3. 4. 5. Organisasi Responden Lembaga Pendidikan Formal Keagamaan Lembaga Pendidikan informal / Penelitian / Pengembangan Organisasi Sosial Ekonomi Keagamaan Asosiasi Politik Berbasis Keagamaan Asosiasi Profesi Berbasis Keagamaan Rata-Rata skor Total Skor Standar Deviasi Eksklusifisme beragama Sosial Sosial Teologi Keagam Politik aan Rata-Rata Skor Total 1.29 1.01 1.25 1.11 1.33 1.15 1.29 1.16 1.21 0.95 1.26 1.10 1.22 0.99 1.14 1.04 1.26 0.96 1.06 0.99 1.29 1.03 1.27 1.13 Tabel IV. 42, dapat dibaca: a) Untuk rata-rata ekslusifisme beragama skor standar deviasi terbesar adalah untuk responden yang berasal dari lembaga pendidikan informal-penelitian dan pengembangan yaitu sebesar 1,16. ini berarti terdapat perbedaan yang signifikans jawaban antara responden yang berada dalam lembaga pendidikan informal, dan lembaga penelitian dan pengembangan terhadap pernyataan-pernyataan yang bertujuan mengungkap 116 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia eksklusifisme beragama. Atau terdapat heterogenitas eksklusifisme beragama antara sesama responden yang bergabung dalam lembaga pendidikan informal, lembaga penelitian dan pengembangan. b) Berdasarkan skor rata-rata eksklusifisme beragama diketahui bahwa skor terendah adalah sebesar 0,99 untuk responden yang bergabung dalam asosiasi profesi berbasis keagamaan. Ini artinya jawaban responden yang tergabung dalam asosiasi profesi berbasis keagamaan lebih homogen dibandingkan dengan respondenresponden yang tergabung dalam lembaga yang lain. c) Dilihat dari tiga dimensi eksklusifisme beragama, skor standar deviasi terbesar adalah 1,33 untuk responden yang bergabung dalam lembaga pendidikan informal dimensi teologi. Pertanyaan berikutnya yang juga ingin diketahui jawabannya adalah: bagaimana cara beragama responden berdasarkan jabatan responden dalam organisasi. Untuk mengetahui jawabannya dapat dilihat dalam table IV.43, berikut ini. TABEL IV.43. SKOR EKSKLUSIFISME BERAGAMA BERDASARKAN JABATAN RESPONDEN DALAM ORGANISASI No 1. 2. Jabatan Responden dalam Organisasi Ketua Wakil Skor Rata-Rata Eksklusifisme beragama Rata-Rata Teologi Sosial Keagamaan Sosial Politik Skor Total 2.57 2.59 2.14 2.16 2.73 2.68 2.56 2.55 117 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian 3. Kepala Bagian Seksi Pengurus Biasa Total 4. 2.51 2.03 2.48 2.38 2.48 2.55 2.10 2.13 2.78 2.69 2.56 2.53 Data sebagaimana yang terdapat dalam tabel IV.43, dapat dibaca sbb: a) Secara keseluruhan skor rata-rata terbesar adalah untuk ketua yakni sebesar 2,56 dan skor terkecil adalah kepala bagian dengan skor 2,38. skor 2,56 dan 2,38, ini termasuk dalam kategori “kurang eksklusif” atau “inklusif”. Dapat dikatakan berdasarkan jabatan responden dalam organisasi, responden termasuk dalam kategori inklusif. b) Dimensi Teologi Skor terbesar adalah 2,59 untuk responden yang berkedudukan sebagai wakil ketua lembaga, sedangkan skor terkecil sebesar 2,48 untuk responden yang berkedudukan sebagai pengurus biasa. Skor 2,59 dan 2,48, ini termasuk dalam rentang inklusif. Artinya responden berdasarkan lembaga di mana ia bergabung adalah inklusif, Inferensi yang dapat diambil dari dua skor ini adalah bahwa untuk dimensi teologi responden yang berkedudukan sebagai pengurus biasa lebih inklusif dibandingkan dengan responden sebagai wakil ketua. Jika dikaitkan dengan aspek-aspek yang berkenaan dengan teologi sosial keagamaan, seperti pembangunan rumah ibadah, kehadiran aktivitas dakwah, maka orang- 118 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia orang yang berkedudukan sebagai wakil ketua lebih kuat menolak, lebih tidak mendukung, adanya kegiatan pembangunan rumah ibadah, keberadaan aktivitas keagamaan yang berbeda dengan yang diyakni dibandingkan dengan responden yang berkedudukan sebagai pengurus biasa. c) Dimensi Sosial keagamaan Skor terbesar adalah untuk responden yang berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan yakni 2,23, skor ini berarti responden yang berasal dari lembaga pendidikan formal keagamaan kurang eksklusif atau dapat dikatakan inklusif. Sedangkan skor untuk sosial keagamaan yang terendah adalah untuk responden yang berasal dari asosiasi politik berbasis keagamaan sebesar 1,86. Skor ini berarti responden sikap keberagamaannya kurang eksklusif atau dapat disebut inklusif. Dapat juga dikatakan responden yang tergabung dalam asosiasi politik berbasis keagamaan dalam aktivitas sosial keagamaan seperti; menganjurkan umatnya membantu sesama, berderma, berbuat baik dengan sesama, serta dalam berinteraksi/berhubungan baik dengan yang seagama maupun yang berbeda agama lebih baik dibandingkan dengan responden yang berasal dari lembaga yang lain (Pendidikan Formal Keagamaan, Pendidikan informal/Penelitian/Pengembangan, Asosiasi Politik Berbasis Keagamaan dan Asosiasi Profesi Berbasis Keagamaan). 119 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian d) Dimensi Sosial Politik Sebagaimana sosial keagamaan, skor terbesar untuk dimensi sosial politik adalah responden yang berkedudukan sebagai wakil ketua yakni 2,16, sedangkan skor terkecil sebesar 2,03 untuk responden yang berkedudukan sebagai kepala bagian. Ini berarti responden yang berkedudukan sebagai wakil ketua inklusivismenya lebih rendah dibandingkan dengan responden yang berkedudukan sebagai kepala bagian. Bagaimana sikap keberagamaan responden berdasarkan fungsi dalam organisasi, dapat dilihat dalam tabel IV. 44, di bawah ini. TABEL IV. 44. SKOR EKSKLUSIFISME BERAGAMA BERDASARKAN FUNGSI RESPONDEN No 1. 2. 3. 4. 5. Fungsi Responden dalam Organisasi Penceramah Guru_Dosen Agama Konsultan Agama Guru Umum Kader Muda Organisasi Total Skor Eksklusifisme beragama Sosial Sosial Teologi Keagam Politik aan 2.63 2.22 2.84 2.54 2.05 2.60 2.41 1.96 2.16 2.51 2.24 2.71 Rata-Rata Skor Total 2.65 2.47 2.17 2.56 2.10 1.82 2.20 2.09 2.55 2.13 2.69 2.53 Tabel IV. 44. di atas dapat dibaca: a) Secara keseluruhan skor rata-rata terbesar adalah untuk responden yang berfungsi sebagai penceramah yakni 120 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia sebesar 2,65 dan skor terkecil adalah untuk kader muda organisasi dengan skor 2,09. Skor 2,65 berarti responden yang berfungsi sebagai penceramah termasuk dalam kategori eksklusif _inklusif. Sedangkan skor 2,09 berarti responden yang berfungsi sebagai kader muda termasuk dalam kategori inklusif. b) Dimensi Teologi Skor terbesar adalah 2,63 untuk responden yang berfungsi sebagai penceramah, dan skor terendah adalah 2,10, untuk responden yang berfungsi sebagai kader muda organisasi. Skor 2,63 termasuk dalam rentang eksklusif_inklusif. Artinya responden yang berfungsi sebagai penceramah termasuk dalam rentang eksklusif_inklusif. Skor 2,10 termasuk dalam rentang “kurang eksklusif” atau “inklusif”. Jika dikaitkan dengan aspek-aspek yang berkenaan dengan teologi sosial keagamaan, seperti pembangunan rumah ibadah, kehadiran aktivitas dakwah, maka orangorang yang berfungsi sebagai penceramah lebih kuat menolak, lebih tidak mendukung, adanya kegiatan pembangunan rumah ibadah, keberadaan aktivitas keagamaan yang berbeda dengan yang diyakni dibandingkan dengan responden yang berfungsi sebagai kader muda organisasi. c) Dimensi Sosial keagamaan Skor terbesar adalah untuk responden yang berfungsi sebagai penceramah yakni 2,22, skor ini berarti responden yang berfungsi sebagai peceramah kurang eksklusif atau 121 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian dapat dikatakan inklusif. Sedangkan skor untuk sosial keagamaan yang terendah adalah untuk responden yang berfungsi sebagai kader muda organisasi sebesar 1,82. Skor 1,82 ini berarti responden yang berfungsi sebagai kader muda lebih inklusif dalam dimensi sosial keagamaannya. Dapat juga dikatakan responden yang berfungsi sebagai penceramah dalam aktivitas sosial keagamaan seperti menganjurkan umatnya membantu sesama, berderma, berbuat baik dengan sesama, serta dalam berinteraksi/ berhubungan baik dengan yang seagama maupun yang berbeda agama lebih baik dibandingkan dengan responden yang berfungsi sebagai guru-dosen agama, konsultan agama, guru umum dan kader muda organisasi. d) Dimensi Sosial Politik Sebagaimana pada dimensi sosial keagamaan, skor terbesar untuk dimensi sosial politik adalah responden yang berkedudukan sebagai wakil ketua yakni 2,16, sedangkan skor terkecil sebesar 2,03 untuk responden yang berkedudukan sebagai kepala bagian. Ini berarti responden yang berkedudukan sebagai wakil ketua inklusivismenya lebih rendah dibandingkan dengan responden yang berkedudukan sebagai kepala bagian. Bagaimana sikap keberagamaan responden berdasarkan jumlah masa dalam organisasi, dapat dilihat dalam tabel IV. 45, di bawah ini. 122 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia TABEL IV.45. SKOR EKSKLUSIFISME BERDASARKAN JUMLAH MASSA No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Jumlah Massa “orang” 100 < 100 ≤ 500 ≤ 1000 ≤ 5000 ≤ 10000 ≤ 25000 ≤ s/d < 500 s/d < 1000 s/d < 5000 s/d < 10000 s/d < 25000 s/d < 50000 ≥ 50000 Total Skor Rata-Rata Eksklusifisme beragama Sosial Sosial Teologi Keagamaan Politik 2.59 2.13 2.72 2.56 2.16 2.71 2.33 1.92 2.40 2.60 2.21 2.82 2.99 2.29 3.12 2.43 2.16 2.61 3.34 2.25 2.25 1.48 1.20 1.50 2.55 2.13 2.69 TABEL IV.46. SKOR EKSKLUSIFISME BERDASARKAN PROVINSI PENELITIAN No Provinsi Penelitian 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Sulawesi Tengah Total BERAGAMA Rata-Rata Skor Total 2.57 2.56 2.28 2.63 2.91 2.47 2.49 1.43 2.53 BERAGAMA Skor Rata-Rata Eksklusifisme beragama Sosial Sosial Teologi Keagamaan Politik 2.52 2.09 2.61 2.91 2.17 3.16 3.14 2.60 3.34 2.45 2.31 2.71 2.29 1.88 2.43 2.86 2.43 3.11 2.29 2.00 2.37 2.16 1.69 2.07 2.16 1.88 2.15 2.45 1.99 2.44 2.55 2.13 2.69 Rata-Rata Skor Total 2.47 2.88 3.13 2.57 2.27 2.90 2.27 2.00 2.09 2.34 2.53 123 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian Tabel IV. 46, dapat di baca: 1) Secara rata-rata total, skor untuk eksklusifisme beragama adalah 2,53. Skor ini berdasarkan pedoman penskoran tabel 4,13, kurang eksklusif, atau Inklusif. Dengan cara lain kita dapat mengatakan bahwa cara beragama masyarakat Indonesia adalah Inklusif. 2) Rata-rata sebesar terbesar adalah provinsi Jawa Barat, yakni 3,13, dan Bali yaitu 3,11. Skor ini berarti Jawa Barat dan Bali, adalah provinsi yang lebih eksklusif dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Sesuai dengan tabel IV.13, skor ini dapat dibaca eksklusif_inklusif. 3) Skor rata-rata terendah adalah NTT yakni 2,00. Skor ini artinya provinsi di Indonesia yang paling inklusif adalah NTT. 4) Jika dilihat dari dimensi eksklusifisme, dua provinsi dengan skor tertinggi adalah DKI Jakarta dan Jawa Barat untuk dimensi Teologi, Jawa Barat dan Bali untuk dimensi sosial keagamaan, maupun dimensi sosial politik kegamaan. Sedangkan dua provinsi yang memiliki skor eksklusifisme terendah adalah NTT dan Kalimantan Barat, untuk ketiga dimensi eksklusifisme beragama. 124 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia TABEL IV.47 SKOR EKSKLUSIFISME BERAGAMA BERDASARKAN STATUS PERNIKAHAN RESPONDEN No 1. 2. 3. 4. Status Pernikahan Belum Menikah Tidak Menikah Menikah Bercerai Hidup/ Meninggal Total Skor Rata-Rata Eksklusifisme beragama Sosial Sosial Teologi Keagamaan Politik 2.44 2.12 2.64 2.70 2.29 2.66 2.59 2.11 2.71 Rerata Skor Total 2.48 2.58 2.55 2.65 2.06 2.52 2.45 2.55 2.13 2.69 2.53 Tabel IV.47. dapat dibaca bahwa pernikahan ternyata: berdasarkan status 1) Untuk skor rata-rata total skor terbesar adalah untuk orang yang tidak menikah yakni 2,58. 2) Jika dilihat berdasarkan dimensi eksklusifisme beragama, ternyata skor terbesar juga terdapat pada orang yang tidak menikah, baik itu dimensi teologis, sosial keagamaan, maupun sosial politik keagamaan. Sedangkan untuk skor terendah terdapat keanekaragaman, di mana untuk dimensi teologi skor terendah adalah bagi orang yang belum menikah, untuk dimensi sosial keagamaan dan sosial politik keagamaan pada orang yang bercerai. 125 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian Bagaimanakah eksklusifisme berdasarkan pekerjaan responden. Jawabannya dapat dilihat dalam tabel IV. 48, berikut ini. TABEL IV.48. SKOR EKSKLUSIFISME BERDASARKAN PEKERJAAN UTAMA No Pekerjaan Utama 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. Pendidik Layanan administrasi Jasa angkutan Jasa telekomunikasi Jasa kesehatan Jasa bangunan/konstruksi Jasa layanan keagamaan Jasa pengiriman–ekspedisi Jasa hukum Jasa konsultasi Jasa kebersihan Jasa elektronik Pertanian_Perkebunan Perdagangan Lainnya Total BERAGAMA Skor Rata-Rata Eksklusifisme beragama Sosial Sosial Teologi Keagamaan Politik 2.75 2.39 2.91 2.38 1.99 2.54 2.43 2.22 2.67 2.63 1.60 2.48 1.90 1.67 2.20 2.15 2.38 3.01 2.27 1.84 2.39 1.00 1.25 1.35 2.15 1.85 2.48 2.17 1.65 2.25 3.06 2.19 2.90 2.00 2.16 2.34 2.50 1.65 1.78 2.73 2.15 2.82 2.34 1.96 2.55 2.50 2.11 2.67 Rerata Skor Total 2.76 2.38 2.51 2.32 2.02 2.67 2.24 1.25 2.27 2.10 2.78 2.23 1.91 2.65 2.37 2.51 Tabel IV. 48, di atas dapat dibaca: 1) Untuk rata-rata skor total, skor terbesar adalah responden yang tergabung dalam jasa kebersihan yakni 2,78. Sedangkan skor terendah adalah jasa pengiriman– ekspedisi sebesar 1,25. Skor 2.78 ini berarti termasuk dalam rentang sebutan “eksklusif” dan atau “inklusif”, 126 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia dan skor 1,25 termasuk dalam rentang sebutan :sangat tidak eksklusif” atau “sangat inklusif” 2) Berdasarkan dimensi eksklusifisme, skor terbesar untuk dimensi teologis adalah responden yang berasal dari jasa kebersihan yaitu sebesar 3,06, skor ini termasuk dalam rentang sebutan “eksklusif dan atau inklusif”, sedangkan skor terendah adalah untuk responden yang berasal dari jasa pengiriman –ekspedisi yaitu sebesar 1,00. skor ini termasuk dalam rentang sebutuan “sangat tidak eksklusif” atau “sangat inklusif”. 3) Berdasarkan dimensi eksklusifisme, skor terbesar untuk dimensi sosial keagamaan adalah responden yang berasal dari pendidikan dan jasa kesehatan, masing-masing 2,39 dan 2,38. Skor ini termasuk dalam rentang sebutan “inklusif”, sedangkan skor terendah adalah untuk responden yang berasal dari jasa pengiriman –ekspedisi yaitu sebesar 1,25. skor ini termasuk dalam rentang sebutuan “sangat tidak eksklusif” atau “sangat inklusif 4) Berdasarkan dimensi eksklusifisme, skor terbesar untuk dimensi sosial politik adalah responden yang berasal dari jasa bangunan konstruksi yaitu sebesar 3,01, skor ini termasuk dalam rentang sebutan “eksklusif dan atau inklusif”, sedangkan skor terendah adalah untuk responden yang berasal dari jasa pengiriman –ekspedisi yaitu sebesar 1,35. skor ini termasuk dalam rentang sebutuan “sangat tidak eksklusif” atau “sangat inklusif 127 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian 3. Pengujian Hipotesis: Terdapat dua hipotesis penelitian yang ingin diuji kebenarannya. Hipotesis tersebut berbunyi: 1) Terdapat pengaruh pemahaman keagamaan (X) terhadap ekslusifisme beragama (Y), dan 2) Terdapat perbedaan ekslusifisme beragama antara pemuka agama di enam agama yang terdapat di Indonesia. Untuk menjawab kedua hipotesis di atas, maka digunakan statistic inferensial yakni (a) regresi dan korelasi sederhana, serta (b) analisis varians satu arah. a. Jawaban terhadap hipotesis pertama Untuk mendapatkan jawaban terhadap pernyataan pertama di atas, maka dilakukan analisis regresi antara variable terikat eksklusifisme beragama (Y) dengan variable bebas keberagamaan (X), hasil analisis data diperoleh persaman regresi Ŷ= 2,66 - 0,797X Persamaan regresi di atas dapat dibaca, setiap kenaikan satu unit atau setiap kenaikan satu skor keberagamaan, maka akan menurunkan sikap eksklusifisme beragama sebesar 0,797, pada konstanta 2,66. Atau dapat juga dibaca, jika keberagamaan semakin baik, maka eksklusifisme beragama semakin berkurang, dan sebaliknya. Harga koefisien korelasi antara keberagamaan (X) dengan eksklusifisme beragama (Y) sebesar (rxy) = 0,219. 128 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia Harga ini signifikans, karena harga signfikansi <0,05. Dari harga koefisien korelasi sebesar (rxy) 0,219, dapat diketahui harga koefisien determinasi r2xy sebesar 0,048. Atau dapat dikatakan 4,8% eksklusifisme beragama seseorang dipengaruhi atau ditentukan oleh keberagamaannya. Jawaban sebagaimana telah diuraikan di atas dapat dilihat pada tabel IV.49. Demikian pula hasil analisis data tentang eksklusifisme beragama berdasarkan tingkat pemahaman keagamaan dapat dilihat dalam tabel IV.49. berikut ini. TABEL IV.49. SKOR PEMAHAMAN KEAGAMAAN DAN MEAN SKOR EKSKLUSIFISME BERAGAMA No Skor Pemahaman Keagamaan Mean Score Eksklusif Std. Deviation 1 Rendah 3.29 1.06 2 Sedang 2.45 1.45 3 Tinggi 2.26 1.47 Total 3.26 1.33 Dari tabel di atas dapat dibaca, bahwa makin tinggi pemahaman keagamaan seseorang ternyata makin kurang eksklusifisme beragamanya (makin rendah skor eksklusifismenya), dan sebaliknya makin kurang pemahaman keagamaan seseorang maka makin eksklusif orang tersebut, hak ini dapat dilihat dari tabel di atas, responden yang memiliki skor pemahaman keagamaan terendah memiliki skor eksklusifisme sebesar 3,29, dan responden yang memiliki 129 Bab IV. Analisis Data Hasil Penelitian pemahaman keagamaan tinggi, ternyata memiliki skor eksklusifisme beragama yang rendah (2,26). sesuai dengan pedoman penskoran sebagaimana terdapat dalam tabel IV.13, skor 2,26 ini termasuk dalam rentang inklusif. b. Jawaban terhadap hipotesis kedua Pertanyaan yang juga ingin ditemukan jawabannya adalah “Adakah perbedaan eksklusifisme beragama antara pemuka yang memiliki pemahaman agama yang tinggi dengan yang memiliki pemahaman agama rendah?” Untuk mengetahui jawabannya dapat dilihat dari tabel IV. 50, berikut ini. TABEL IV.50. ANOVA SKOR TOTAL EKSKLUSIFISME BERAGAMA Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 16475.418 2 8237.709 5.081 .006 Within Groups 1115481.398 688 1621.339 Total 1131956.816 690 Tabel IV. 50, di atas menunjukkan bahwa harga Fhitung sebesar 5,081 dan harga ini signifikans, karena Sig < 0.01. Tabel di atas dapat dibaca, terdapat perbedaan yang signifikan eksklusifisme beragama antar para pemuka agama yang memiliki pemahaman agama yang tinggi dengan yang memiliki pemahaman agama rendah pada keenam agama yang terdapat di Indonesia. 130 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data kuantitatif yang terdapat dalam bab IV, maka dapat disimpulan sbb: 1. Keyakinan keagamaan para pemuka agama untuk semua agama berada pada rentang “sangat kuat”. Skor rata-rata 4,73, dari skor maksimal “5”. Masyarakat Indonesia sebagaimana dicerminkan oleh para pemuka agama, adalah masyarakat yang sangat meyakini agama mereka masing-masing. Meskipun demikian terdapat perbedaan keyakinan keagamaan atau pengelompokkan keyakinan keagamaan di antara responden yang berbeda agama. 2. Umat Islam adalah umat yang paling kuat keyakinan keagamaannya dibandingkan dengan umat-umat lain, atau dengan perkataan lain umat Islam adalah umat yang dalam kehidupan keseharian mereka, sangat meyakini bahwa: a) Kitab suci mereka (Al Qur’an) sebagai pedoman dan petunjuk dalam kehidupan keseharian, b) Dalam kehidupan keseharian sangat membutuhkan pedoman/petunjuk agama (hidayah), 131 Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi c) Tidak ada yang mustahil bagi Allah. Setiap manusia hanya berusaha tetapi keputusan/ ketetapan akan hasil dari usahanya semata-mata oleh karena Allah, d) Kekuatan do’a, dan hanya do’alah yang dapat merubah takdir Allah, sehingga oleh karena itu meyakini bahwa setiap aktivitas harus dimulai dengan do’a, dan e) Hidup akan hampa (akan kehilangan arti) jika jauh dari Tuhan. 3. Umat Islam adalah umat keseharian mereka selalu: yang dalam kehidupan a) Menjadikan kitab suci sebagai pedoman hidup sesuai dengan perintah/tuntutan agama (membaca/resitasi) b) Menjalankan kewajiban atau perintah ajaran agama dalam kehidupan sehari–hari (pelaksanaan ibadat) c) Merenung/berdoa kepada tuhan, d) Setiap kali selesai melakukan kesalahan, saya selalu menyesali atau merasakan berdosa segala atas segala tindakan saya, e) Merenungi kesalahan/dosa pada tuhan (melakukan pertobatan/tazkiyah/muhasabah/retreatment), f) Berdoa sendiri sesuai tuntunan ajaran agama 4. Umat yang terendah instensitas pelaksanaan ritual keagamaannya adalah umat Konghucu. 5. Umat Islam dan umat Budha, adalah umat yang memiliki pengalaman sosial keagamaan yang paling kuat, 132 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia dibandingkan dengan umat agama lain. Sedangkan umat agama Konghucu, adalah umat yang memiliki pengalaman sosial keagamaan yang paling kecil. Skor ini mengindikasikan bahwa umat Islam dan umat Budha adalah umat yang dalam aktivitas sosial atau pengalaman sosial keagamaan cenderung paling kuat atau paling intens dalam: a) Membantu orang lain tanpa melihat/memiih agama yang dianut orang tersebut, b) Menyerahkan sebagian penghasilan demi kepentingan agama, c) Berbuat kebaikan kepada orang lain, karena keberkahan hidup seseorang sangat ditentukan oleh kebaikannya kepada orang lain di dunia ini d) Meyakini bahwa dalam hidup sehari-hari tidak boleh menyakiti/ menghina/orang yang berbeda pemahaman keagamaan (SEAGAMA) e) Meyakini bahwa dalam hidup sehari-hari tidak boleh menyakiti/menghina umat yang berbeda agama. 6. Tidak terdapat perbedaan pengalaman sosial keagamaan antar responden yang berbeda agama. Dengan perkataan lain apapun agamanya mereka memiliki pengalaman sosial keagamaan yang sama. 7. Umat Hindu dan umat Islam adalah yang terkuat dalam melaksanakan semua konsekuensi hidup beragama, dibandingkan dengan umat agama lain. Sebaliknya umat Katolik, adalah umat yang paling rendah pelaksanaan 133 Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi konsekuensi hidup beragamanya dibandingkan dengan umat agama lain. Skor ini mengindikasikan bahwa umat Hindu dan Islam adalah umat yang frekuensi atau intensitas tinggi (kuat) dalam hal: a) Mengikuti kegiatan dalam membangun persaudaraan jemaat seagama/ seiman, semangat b) Menghadiri kegiatan keagamaan meskipun tempatnya jauh dari rumah, c) Mengikuti progam bimbingan keagamaan (pengajian/ pembinaan rohani), d) Menyumbang (dana) untuk kegiatan agama yang diadakan di tempat ibadah (masjid, gereja, pura, vihara) agama saya e) Mengikuti bimbingan keagamaan untuk meningkatkan keimanan, f) Mengikuti ritual suci selain ibadah rutin (sembahyang/ kebaktian mingguan/puja trisandhya/namaskara) di tempat ibadah, g) Menyerahkan/menyalurkan sebagian penghasilan kepentingan agama sesuai aturan agama, h) Melakukan perenungan kontemplasi/meditasi), i) diri (seperti demi tafakur/semedi/ Mengikuti progam bimbingan keagamaan (seperti ceramah agama/ pem binaan rohani) melalui acara radio 8. Terdapat pengaruh faktor-faktor; (1) provinsi domisili, (2) jenis kelamin, (3) status pernikahan, (4) status 134 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia kependudukan, (5) saat memeluk agama, (6) pernah mengikuti kursus agama yang dianut, (7) keberadaan keluarga yang berbeda agama di lingkungan tempat tinggal, terhadap keberagamaan seseorang. 9. Penduduk asli lebih intensif dan lebih kuat dibandingkan dengan pendatang dalam hal: menjadikan kitab suci sebagai rujukan, melaksanaan perintah ajaran agama, frekuensi berdo’a, melakukan berbagai aktivitas sosial, membantu sesama, berderma, berbuat baik dengan sesama, dan lebih baik dalam berinteraksi/berhubungan baik dengan yang seagama maupun yang berbeda agama, serta membangun semangat persaudaraan. 10. Penduduk pendatang lebih baik dibandingkan penduduk asli dalam hal; keyakinan agamanya, keyakinan akan pencipta dan pengatur alam semesta, dan keyakinan akan keselamatan dunia dan akhirat. 11. Keberagamaan seseorang akan lebih baik (lebih kuat), jika itu dimulai sejak lahir atau minimal sejak kecil, dibandingkan dengan kalau ia menentukan agamanya ketika kuliah atau sejak menikah. Keberagamaan seseorang akan semakin baik (kuat) jika ia pernah mempelajari (mengkaji) agamanya, dibandingkan dengan jika ia tidak pernah mempelajari (mengkaji) agamanya (4,26 > 4,10). 12. Lingkungan tempat tinggal mempengaruhi keberagamaan seseorang, makin heterogen atau semakin banyak keluarga yang berbeda agama di lingkungan tempat tinggal seseorang, maka makin rendah skor 135 Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi keberagamaannya, atau katakanlah lebih moderat. Sebaliknya, semakin homogen lingkungan agama seseorang, maka semakin kuat skor keberagamaannya. Seseorang yang tinggal dekat dengan tempat ibadah agama sendiri memiliki skor keberagamaan yang lebih besar (kuat) dibandingkan dengan seseorang yang tinggal jauh dari tempat ibadahnya. Sebaliknya seseorang yang tinggal dekat tempat ibadah agama lain, memiliki skor keberagamaan yang rendah dibandingkan dengan seseorang yang tempat tinggalnya jauh dari rumah ibadah agama lain. 13. Umat Hindu dibandingkan dengan responden agama lain (Islam, Katolik, Protestan, Buddha dan Konghucu), adalah umat yang lebih eksklusif terutama dalam konteks teologi sosial keagamaan. 14. Secara keseluruhan populasi penelitian (10 provinsi) sikap keberagamaan masyarakat Indonesia “kurang eksklusifisme” atau “inklusif” dalam konteks teologi social keagamaan. 15. Tidak terdapat perbedaan sikap eksklusifisme beragama dalam konteks sosial politik di antara para pemuka agama. Meskipun responden agama Hindu secara skor rata-rata lebih besar dibandingkan dengan skor rata-rata responden agama lain, akan tetapi secara statistik perbedaan tersebut tidak signifikan. Faktor-faktor (1) organisasi tempat bergabung, (2) jabatan dalam organisasi, (3) fungsi dalam organisasi, (4) jumlah massa dalam organisasi, (5) status pernikahan, (6) status 136 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia pekerjaan, serta (7) provinsi keberagamaan seseorang mempengaruhi sikap 16. Terdapat pengaruh pemahaman keagamaan terhadap ekslusifisme beragama para pemuka agama Indonesia. Melalui persamaan regresi Ŷ= 2,66 - 0,797X 17. Harga koefisien korelasi sebesar (rxy) 0,219, dan dari sini dapat diketahui harga koefisien determinasi r2xy sebesar 0,048. Atau dapat dikatakan 4,8% eksklusifisme beragama seseorang dipengaruhi atau ditentukan oleh pemahaman keberagamaannya. Makin tinggi pemahaman keagamaan seseorang ternyata makin kurang eksklusifisme beragamanya (makin rendah skor eksklusifismenya), dan sebaliknya makin kurang pemahaman keagamaan seseorang maka makin eksklusif orang tersebut. B. Rekomendasi Dengan temuan-temuan penelitian sebagaimana dipaparkan di atas, khususnya kecenderungan keyakinan keagamaan yang kuat, pemahaman keagamaan yang relatif tinggi, dan sikap beragama yang inklusif, maka agar modal dasar agama ini dapat berdaya guna dan berhasil guna, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama, perlu: 1. Melakukan kerjasama yang lebih intensif, terstruktur dengan berbagai majelis agama untuk terus meningkatkan pemahaman keagamaan masyarakat, dalam rangka memajukan semangat keagamaan yang inklusif melalui berbagai jenis program yang utamanya dirancang guna menemukan dan mempraktikkan nilai-nilai keagamaan 137 Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi dan persaudaraan universal. Di antara program yang dapat didorong adalah silaturahmi/safari kerukunan umat beragama hingga ke tingkat kabupaten atau kota, dan kecamatan; 2. Mendukung berbagai program lembaga/ormas agama yang bertujuan meningkatkan pemahaman agama jamaahnya dalam kerangka membangun semangat keagamaan inklusif dan penghormatan atas pluralitas, mengantisipasi serta menyelesaikan permasalahan keagamaan yang timbul, baik di dalam jemaahnya sendiri maupun di tengah masyarakat. Upaya peningkatan pemahaman tersebut dapat dilakukan antara lain dalam bentuk kerjasama program di antara lembaga/ormas berbeda agama; maksimalisasi fungsi organisasi seperti FKUB; dan pemanfaatan nilai-nilai kearifan lokal. 3. Melakukan berbagai kegiatan dan program internal Kementerian Agama dan program antar Kementerian/ lembaga lain (Kemendagri, Kemensosial, Kemenhukum dan Komnas HAM) yang bertujuan peningkatan semangat keberagamaan masyarakat yang inklusif dan mengurangi ekslusifisme. Program yang dapat dipertimbangkan di antaranya perbaikan kurikulum dan materi pendidikan agama yang menekankan pada pendidikan karakter dan etika sosial berbasis nilai-nilai universal agama; peningkatan wawasan dan mutu tenaga pendidik agama; peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap potensi konflik yang bersumber dari ekslusifisme beragama; serta memajukan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat melalui jalur agama. 138 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia DAFTAR PUSTAKA Arifin. H. M. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta: PT. Golden Teravon Press. 1998. Arkoun, M. Islam. Al-Akhlak Wa Al-Siyasah, terjemah, Hasyim Saleh. Beirut: 1978. Ary, Donald. L, Ch, Yacobs and Asghar Razavich, Introduction to Research in Education. Sydney: Halt Rinehalt and Winston, 1979. Asry, Yusuf Asry et.al. 2010. Pengaruh budaya dan nilai-nilai keagamaan terhadap kerjasama antarumat beragama di Indonesia. Puslitbang Kehidupan Beragama. Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan. Alvin Plantiga Azwar, Saifuddin Azwar. Tes Prestasi. 1987.Yogyakarta: Liberty. Beuken, Wim dan Kuschel, Karl-Josef et.al. Agama Sebagai Sumber Kekerasan Terjemahan. Imam Baehaqi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004. Berger, Peter L. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial. Jakarta: LP3ES. 1993. Hick, John. The Religions Are Equally Valid To The Some Thrugh. Son deego, Grenhoven. Inc. 1995. Harwood, Jhon. God And Universe of Faiths. Oxford: One Warld Publications. 2004. 139 Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi Hendropuspito. 1983. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius. John Dewey, How We Think , 1933, p Kustini. Kelompok Keagamaan Kristen, Hindu dan Buddha di Indonesia, Departemen Agama RI. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan. 2006. Nasir, Ridlwan Nasir. 2010. Agama Sebagai Sumber Konflik Atau Harmoni Sosial. Nasution, Harun Nasution. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press. 1984. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 – 2014. Poerwadarminta WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta PN Balai Pustaka. 1976. Rahman, Fazhur Rahman. Islam, terjemahan, Ahsin. Bandung: Penerbit Pustaka. 1984. Rahman, Munawar Budhi Islam Plural: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman Jakarta: Paramadina. 2001. Rahner, Karl. Christianity and the non-Christian Religion” dalam Carl & Breaten dan Robert W Jenson. Riyanto, Armada. Membongkar Eksklusivisme Hidup Beragama” Malang: DIOMA-STFT Widyasasana. 2000. Roland Robertson Syaukani. Syaukani. 2009. Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama dan 140 Pandangan Pemuka Agama tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia Lingkungan Pendidikan terhadap Toleransi Mahassiwa Berbeda Agama. Puslitbang Kehidupan Beragama. Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan. Tolhah, Imam, Mursyid Ali, dan M. Zainuddin Daulay, (edit). 2002. Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia. Puslitbang Kehidupan Beragama. Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan. Wiratima, J.B. Bana SJ. Bersama saudara-saudari Beriman. Sains Perspektip gereja Katolik, dalam Seri Dian 1 tahun 1 Dialog: Kritik dan identitas agama. Yogyakarta: Dian/Anter Fidei. 1993. W,J.S. Poerwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta PN Balai Pustaka. ------------ 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. 141